jkn lebih islami dari takaful

3
JKN Lebih Islami dari Takaful Hasbullah Thabrany * Keputusan Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) mengguncang umat. Fatwa itu berpotensi membuat jutaan umat Islam menderita. Keputusan “JKN belum mencerminkan konsep ideal jaminan sosial menurut syariah Islam” tampaknya tidak didasari pemahaman utuh JKN/BPJS. Di masyarakat fatwa tersebut ditafsirkan sebagai “JKN/BPJS haram”. Terjebak Faham Komersial Menurut Komisi Fatwa, JKN mengandung unsur gharar, maisir, dan riba. Secara sederhana, gharar berarti “penipuan” dan maisir berarti “untung untungan” atau judi. Dalam wawancara televisi, Pak Ma’ruf Amin menjelaskankan masalah Akad, status uang, dan investasi dalam JKN. Dari dokumen dan penjelasan itu, tampak bahwa komisi Fatwa salah faham/salah pandang tentang JKN. Cara pandang komisi fatwa bertumpu pada transaksi dagang. Padahal, JKN adalah program Negara yang bukan transaksi dagang. Dalam transaksi dagang, perlu akad jual beli yang dapat mengandung unsur gharar dan maisir. Analisis Komisi Fatwa terbelenggu pada hubungan transaksional dagang yang memang harus jelas akadnya. Dalam transaksi dagang pada produk asimetrik, seperti layanan kesehatan dan asuransi, mudah terjadi gharar dan maisir. Pembeli (konsumen) adalah pihak yang lemah yang mudah dikadali, termasuk oleh perusahaan takaful sekalipun. Dalam konsep ekonomi, hal itu disebut kegagalan pasar, market failure. Untuk melindungi konsumen (penduduk) yang lemah itulah diperlukan program Negara JKN yang bersifat wajib, yang bukan transaksional komersial. Dalam JKN, dengan iuran wajib dan manfaatnya secara spefisik diatur dalam undangundang, tidak berlaku akad transaksi dagang. Hubungan BPJS dengan peserta adalah hubungan hak dan kewajiban rakyat pada negara dan sebaliknya. Iuran wajib pada JKN sama seperti pajak penghasilan. Hanya saja iuran JKN tidak disebut pajak atau tidak dikelola oleh Ditjen pajak. Iuran JKN dikelola oleh BPJS, sebagai suatu lembaga publik yang bukan pemerintahan. Di negara lain iuran wajib itu disebut pajak dan dibayarkan bersamaan dengan pembayaran pajak penghasilan. Jika JKN dinilai mengandung unusr gharar dan maisir yang haram, maka pajak juga haram. Sisi pandang transaksi itulah yang mendasari kekeliruan keputusan Fatwa. Penggunaan kata BPJS Kesehatan (bukan JKN) oleh Komisi Fatwa menunjukkan ketidafahaman komisi terhadap konsep JKN dan BPJS. Berbagai argumen yang mengemuka dalam polemik Fatwa memperjelas kekeliruan * Guru Besar Universitas Indonesia. Mantan anggota Tim SJSN. Pandangan pribadi. Konsep Fatwa MUI dapat ditafsirkan mendorong Takaful yang kurang Islami

Upload: emha-nafi

Post on 02-Sep-2015

213 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Diskusi tentang BPJS dan Takaful

TRANSCRIPT

  • JKN Lebih Islami dari Takaful Hasbullah Thabrany* Keputusan Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) mengguncang umat. Fatwa itu berpotensi membuat jutaan umat Islam menderita. Keputusan JKN belum mencerminkan konsep ideal jaminan sosial menurut syariah Islam tampaknya tidak didasari pemahaman utuh JKN/BPJS. Di masyarakat fatwa tersebut ditafsirkan sebagai JKN/BPJS haram.

    Terjebak Faham Komersial Menurut Komisi Fatwa, JKN mengandung unsur gharar, maisir, dan riba. Secara sederhana, gharar berarti penipuan dan maisir berarti untung-untungan atau judi. Dalam wawancara televisi, Pak Maruf Amin menjelaskankan masalah Akad, status uang, dan investasi dalam JKN. Dari dokumen dan penjelasan itu, tampak bahwa komisi Fatwa salah faham/salah pandang tentang JKN. Cara pandang komisi fatwa bertumpu pada transaksi dagang. Padahal, JKN adalah program Negara yang bukan transaksi dagang. Dalam transaksi dagang, perlu akad jual beli yang dapat mengandung unsur gharar dan maisir. Analisis Komisi Fatwa terbelenggu pada hubungan transaksional dagang yang memang harus jelas akadnya. Dalam transaksi dagang pada produk asimetrik, seperti layanan kesehatan dan asuransi, mudah terjadi gharar dan maisir. Pembeli (konsumen) adalah pihak yang lemah yang mudah dikadali, termasuk oleh perusahaan takaful sekalipun. Dalam konsep ekonomi, hal itu disebut kegagalan pasar, market failure. Untuk melindungi konsumen (penduduk) yang lemah itulah diperlukan program Negara JKN yang bersifat wajib, yang bukan transaksional komersial. Dalam JKN, dengan iuran wajib dan manfaatnya secara spefisik diatur dalam undang-undang, tidak berlaku akad transaksi dagang. Hubungan BPJS dengan peserta adalah hubungan hak dan kewajiban rakyat pada negara dan sebaliknya. Iuran wajib pada JKN sama seperti pajak penghasilan. Hanya saja iuran JKN tidak disebut pajak atau tidak dikelola oleh Ditjen pajak. Iuran JKN dikelola oleh BPJS, sebagai suatu lembaga publik yang bukan pemerintahan. Di negara lain iuran wajib itu disebut pajak dan dibayarkan bersamaan dengan pembayaran pajak penghasilan. Jika JKN dinilai mengandung unusr gharar dan maisir yang haram, maka pajak juga haram. Sisi pandang transaksi itulah yang mendasari kekeliruan keputusan Fatwa. Penggunaan kata BPJS Kesehatan (bukan JKN) oleh Komisi Fatwa menunjukkan ketidafahaman komisi terhadap konsep JKN dan BPJS. Berbagai argumen yang mengemuka dalam polemik Fatwa memperjelas kekeliruan * Guru Besar Universitas Indonesia. Mantan anggota Tim SJSN. Pandangan pribadi.

    Konsep Fatwa MUI dapat ditafsirkan

    mendorong Takaful yang kurang Islami

  • pandangan komisi Fatwa. Sebagai contoh, pertanyaan pak Maruf tentang status dana yang terkumpul, jelas menunjukkan ketidakfahaman. Status dana adalah Dana Amanat, dana milik umat/peserta, dana titipan. Dana Amanat, sama dengan dana APBN, bukan milik sekelompok orang. Keliru pandang Fatwa itu dapat ditamsilkan sebagai melihat hilal ke arah Timur. Tidak akan ketemu. Kewajiban mengiur JKN mirip dengan sariat Islam yang mewajibkan setiap orang yang memiliki harta diatas nisab (mampu) untuk membayar zakat. JKN Lebih Islami Salah satu rekomendasi Komisi Fatwa adalah membentuk BPJS Syariah. Apa itu? Perusahaan takaful? Apakah ada pesanan dari pengusaha syariah? Tidak jelas. Yang jelas, filosofi BPJS bukanlah penjual sebagaimana konsep dagang. Dalam UU 24/2011 jelas disebut BPJS adalah badan hukum publik, sama dengan badan hukum pemerintah. Meminta BPJS Syariah sama saja dengan meminta Pemerintahan syariah. Jika BPJS Kesehatan dinilai tidak sesuai syariah, maka Pemerintah juga tidak sesuai syariah. Apakah kita harus menjadi kerajaan? Dalam takaful komersial, yang difahami Komisi Fatwa memenuhi syariah, tidak terjadi tolong-menolong antar umat secara luas. Dalam takaful, tolong menolong hanya terjadi diantara para pembeli asuransi syariah di suatu perusahaan takaful. Itupun tidak secara adil, sebab yang miskin tidak membeli asuransi takaful dasar, apalagi yang preminya mahal. Tolong menolong dalam takaful terbatas pada jenis polis/akad takaful yang dipilih. Pemilik perusahaan takaful (pemodal/kapitalis) dapat memperoleh untung untuk dirinya. Itukah yang diinginkan Komisi Fatwa? Ada sebagian orang yang dapat untung dari JKN? Dalam JKN, Dana Amanat dikelola oleh badan hukum publik (BPJS) yang milik negara, bukan pemilik modal/kapital. Dalam JKN, semua umat masuk dalam satu kelompok satu umat yang saling tolong menolong. Tidak ada pembeli kaya atau pembeli miskin. Tiak ada perbedaan jaminan bagi yang kaya dan bagi yang miskin, yang justeru terjadi pada asuransi takaful. Dalam JKNyang kaya dan yang miskin, yang sehat dan yang sakit, yang muda dan yang tua, yang tinggal di bagian Barat dan yang di bagian Timur, pedagang, pegawai, dan petanisemua menghibahkan sebagian penghasilannya untuk kepentingan bersama. Supaya adil, iuran bersifat wajib bagi yang mampu. Itulah JKN. Kumpulan iuran JKN hanya digunakan untuk layanan publik yang disebut manfaat JKN. Kumpulan iuran JKN adalah dana Hibah Bersama milik seluruh pesera. Jadi jelas status dananya. Program JKN bukan hanya untuk umat Islam, tetapi untuk seluruh penduduk Indonesia. Program JKN mengamalkan ajaran Islam, saling tolong menolong ketika seseorang terkena musibah sakit. Program

    JKN lebih Islami dari takaful. Di dalam JKN itulah terjadi tolong-menolong yang tanpa diskriminasi yang kaya dan yang miskin, yang bisa terjadi dalam asuransi takaful. Apakah tolong menolong Nasional itu tidak sesuai syariah Islam? Jika JKN dinyatakan tidak memenuhi syariah atau dinyatakan haram, maka Fatwa itu dapat ditafsirkan sebagai tolong-menolong secara nasional, haram hukumnya. Maka Fatwa ulama menjadi bertentangan dengan niat ulama melindungi umat.

  • Manfaat versus Mudarat Yang saya fahami, Islam sangat mengedepankan keselamatan dan kesehatan umat. Bahkan; daging babi, yang jelas haramnya, diperkenankan dalam keadaan darurat, untuk survival. Jika masih ada keraguan tentang hukum syariah JKN, mari pertimbangkan manfaat dan mudarat Fatwa dan menjadi peserta JKN. Jika fatwa ulama diikuti; maka puluhan juta umat Islam tidak menjadi peserta JKN. Jika mereka sakit berat, yang memerlukan biaya berobat diatas Rp 10 juta, maka umat sangat menderita akibat mengikuti fatwa tersebut. Jika seorang tidak mentaati fatwa dan menjadi peserta JKN; biaya berobat yang dijamin JKN dapat mencapai diatas Rp 1 milyar, bagi yang miskin sekalipun. Itulah manfaat tolong-menolong nasional. Jadi, fatwa JKN haram justeru menimbulkan kedaruratan buat umat? Itukah yang diinginkan MUI? Semoga MUI dapat segera merevisi Fatwa tersebut.