jikom selesai

Upload: zartikaagisha

Post on 20-Jul-2015

164 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN PERILAKU KEKERASAN DI KELUARGA (PADA DEWASA DAN LANSIA) DAN KOMUNITAS

Mata Kuliah : Keperawatan Klinik VIII (JIKOM) Pembimbing : Sri Wahyuni, S.Kep. M.Kep. Sp. Jiwa

DI SUSUN OLEH : Kelompok 3

Andi Ebiet Krisandi Bibing Rahmano Marjoko Chintya Anggraini Desi Wulandari Deslani Khairun Nisak Fitri Yona Ika Purnama Sari Masdelita

Nurhayati Pebrita Heriani Rahmatika Amelda Tengku Srifhanie Yahya Viny Armeliza Yiyi Nanda Resfi Yulius Nuryani Yuri Oktavindo

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS RIAU 2011

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan ke hadirat Allah SWT dengan rahmat dan karunia-Nya makalah ini dapat diselesaikan dengan sebaik mungkin. Dan disini tidak lupa juga penulis ucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing yang telah banyak memberikan bantuan dan arahan kepada penulis, sehingga makalah ini bias menjadi lebih baik. Makalah ini membahas tentang Konsep Asuhan keperawatan Kekerasan di Keluarga (pada dewasa, lansia) dan Komunitas. Penulis melengkapi makalah ini dengan mencantumkan referensi dengan edisi terbaru dan situs internet. Sehingga makalah ini memiliki informasi yang sangat berguna bagi pembaca dan sebagai tempat penulis memperoleh informasi tentang judul yang penulis bahas. Namun, penulis juga mengharapkan kepada pembaca supaya mencari referensi yang lain tentang judul makalah ini supaya mendapatkan informasi yang lebih banyak. Judul yang penulis bahas di makalah ini banyak terdapat manfaat yang bisa kita peroleh dari ilmu tentang gangguan mental yang salah satunya adalah resiko perilaku kekerasan. Karena dalam makalah ini mengandung ilmu yang sangat penting bagi kita semua sebagai seorang perawat untuk membantu dalam menyelesaikan masalah yang kita hadapi dikemudian harinya. Penulis mengharapkan kepada pembaca dan dosen pembimbing untuk memberikan kritik dan saran yang membangun tentang makalah ini, supaya makalah ini bisa menjadi lebih baik lagi.

Pekanbaru, 25 Oktober 2011

Penulis

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Gangguan jiwa dalam berbagai bentuk adalah penyakit yang sering dijumpai pada semua lapisan masyarakat. Penyakit ini dialami oleh siapa saja, tidak memandang jenis kelamin, usia, serta status sosial. Kekerasan merupakan gejala seseorang mengidap gangguan jiwa. Kekerasan juga merupakan tindakan agresi dan pelanggaran (penyiksaan, pemukulan, pemerkosaan, dan lain-lain) yang menyebabkan atau dimaksudkan untuk menyebabkan penderitaan atau menyakiti orang lain ( Farida dan Yudi, 2010). Tahun 2007 lalu, Komnas Perempuan menerima sekitar 26.000 laporan kasus kekerasan terhadap perempuan. Jumlah itu naik lebih 100 persen pada tahun 2008 lalu menjadi sekitar 56.000 kasus. Utamanya adalah kasus KDRT. Laporan terbanyak yang masuk adalah berasal dari Pulau Jawa dan Pulau Sumatera. Sementara pulau lainnya, seperti Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan Maluku, terbilang kecil karena akses informasi dari dan kepada lembaga serta korban, terbilang cukup sulit. Menurut RISKESDAS, 2007, jumlah populasi penduduk Indonesia yang terkena gangguan jiwa berat mencapai 1-3 persen di antara total penduduk. Jika penduduk Indonesia diasumsikan sekitar 200 juta, tiga persen dari jumlah itu adalah 6 juta orang. Khusus untuk gangguan jiwa berat dengan perilaku kekerasan, jumlahnya mencapai 3 juta orang. Perilaku kekerasan dianggap sebagai suatu akibat yang ekstrim dari marah atau ketakutan/ panik. Perilaku agresif dan perilaku kekerasan sering dipandang sebagai rentang dimana agresif verbal di suatu sisi dan perilaku kekerasan (violence) disisi yang lain. Berdasarkan keadaan emosi secara mendalam tersebut terkadang perilaku menjadi agresif atau melukai karena penggunaan koping yang kurang bagus (Keliat, 2002). Kekerasan dalam keluarga merupakan masalah kesehatan masyarakat yang utama di Amerika Serikat. Diperkirakan 50% dari semua orang Amerika mengalami kekerasan didalam keluarga. Kekerasan dalam keluarga terjadi disemua lingkungan, terdapat disemua tingkat sosial ekonomi, jenis kelamin, area geografi, suku bangsa, agama dan pekerjaan. Kekerasan dalam keluarga juga terjadi pada semua kelompok

umur. Korbannya antara lain, janin, bayi, anak, remaja, orang dewasa, atau lansia (Isaacs, 2005). Sepertiga dari semua wanita dianiaya oleh pasangan prianya selama beberapa waktu dalam hubungan mereka. Kekerasan domestik merupakan penyebab 22% sampai 35% wanita mengunjungi UGD di rumah sakit. Dua puluh tiga persen dari semua wanita hamil yang mencari pelayanan prenatal merupakan korban penganiayaan. Cedera yang terjadi pada wanita lebih banyak terjadi akibat pemukulan dibandingkan perkosaan, penyerangan, dan kecelakaan mobil bila digabungkan (Townsend, 1999). Satu di antara tujuh wanita menikah melapor telah diperkosa oleh suaminya (Isaacs, 2005). Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) telah menjadi agenda bersama dalam beberapa dekade terakhir. Fakta menunjukan bahwa KDRT memberikan efek negatif yang cukup besar bagi wanita sebagai korban (Amirthalingam, 2005 dalam Faiz, 2007). World Health Organization (WHO) dalam World Report pertamanya mengenai Kekerasan dan Kesehatan di tahun 2002, menemukan bahwa antara 40 hingga 70 persen perempuan yang meninggal karena pembunuhan, umumnya dilakukan oleh mantan atau pasangannya sendiri (Faiz, 2007). Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang dilakukan khususnya terhadap perempuan oleh pasangannya maupun anggota keluarga dekatnya, terkadang juga menjadi permasalahan yang tidak pernah diangkat ke permukaan (Faiz, 2007). KDRT merupakan permasalahan yang telah mengakar sangat dalam dan terjadi di seluruh negara dunia. Dalam hal ini, masyarakat internasional telah menciptakan standar hukum yang efektif dan khusus memberikan perhatian terhadap KDRT. Tindakan untuk memukul perempuan, misalnya, telah dimasukan di dalam konvensi HAM internasional maupun regional yang mempunyai sifat hukum mengikat terhadap negara yang telah meratifikasinya. Dokumen HAM Internasional tersebut meliputi, Universal Declaration of Human Rights (UDHR), the International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), dan the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) yang menjadi standar umum mengenai Hak Asasi Manusia, di mana para korban dari KDRT dapat menggugat negaranya masingmasing (Zhao, 2001 dalam Faiz, 2007). Faktor presipitasi meliputi empat hal yaitu stresor, asal stresor, waktu stresor yang dialami, dan banyaknya stresor yang dihadapi. faktor predisposisi baik berupa biologis, psikologis, atau sosiokultural dan spiritual dapat menjadi stresor munculnya

gejala ini. kemudian dikaji asal stresor, waktu stresor yang dilami, dan banyaknya stresor yang dihadapi. karakteristik klien yang berhubungan dengan perilaku kekerasan yaitu jenis kelamin, riwayat kekerasan, tipe Skizofrenia dan frekuensi dirawat (Stuart & Laraia, 2005). Penganiayaan pasangan diperkirakan terjadi pada sampai 12 juta rumah di Amerika Serikat pertahun. Delapan persen pembunuhan di Amerika Serikat adalah pembunuhan terhadap salah seorang pasangan oleh pasangannya, dan tiga dari sepuluh wanita korban pembunuhan dibunuh oleh suami mereka, mantan suami, kekaasih atau mantan kekasih. Sembilan puluh sampai sembilan puluh lima persen korban kekerasan dalam rumah tangga adalah wanita, dan diperkirakan bahwa satu dari tiga wanita di Amerika Serikat dipukuli oleh pasangan mereka setidaknya satu kali (Communission on Domestic Violence, 1999 dalam Videbeck, 2008). Dari data yang diperoleh didapatkan bahwa angka kejadian kekerasan dan penganiayaan di keluarga dan komunitas sangat tinggi dan selalu mengalami peningkatan, sehingga kelompok tertarik untuk membahas mengenai perilaku kekerasan dan penganiayaan baik yang terjadi di keluarga maupun komunitas.

B. TUJUAN Setelah membaca makalah ini mahasiswa diharapkan mampu: 1. Mendiskusikan karakteristik faktor risiko dan dinamika keluarga pada perilaku penganiayaan dan kekerasan. 2. Mempelajari insiden dan tren tentang penganiayaan lansia, kekerasan dalam rumah tangga dan pemerkosaan. 3. Menerapkan proses keperawatan pada perawatan klien yang bertahan dari penganiayaan dan kekerasan. 4. Memberi penyuluhan kepada klien, keluarga, dan anggota masyarakat untuk meningkatkan pencegahan atau intervensi dini yang terkait dengan penganiayaan dan kekerasan. 5. Mengevaluasi pengalaman perasaan, sikap, dan keyakinan diri sendiri tentang perilaku penganiayaan dan kekerasan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Perilaku Kekerasan Perilaku kekerasan merupakan suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun lingkungan ( Stuart dan Sundeen, 1995). Perilaku kekerasan atau agresif merupakan suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai orang lain secara fisik maupun psikologis (Berkowitz, dalam Harnawati, 2007). Perilaku kekerasan dapat dibagi dua menjadi, perilaku kekerasan secara verbal dan fisik (Ketner et al, 1995 dalam Isaac, 2005). Perilaku kekerasan (agresif) adalah suatu bentuk perilaku yang diarahkan pada tujuan menyakiti atau melukai orang lain yang dimotivasi menghindari perilaku tersebut (Kaplan dan Sadock, 1997). Marah adalah perasaan jengkel yang timbul sebagai respon terhadap kecemasan/ kebutuhan yang tidak terpenuhi yang dirasakan sebagai ancaman (Farida dan Yudi, 2010). Penganiayaan adalah tindakan sengaja yang menyebabkan cedera fisik, penderitaan jiwa, atau keduanya. Kekerasan domestik adalah (kekerasan dalam keluarga) adalah pola perilaku mengancam atau memaksa dari satu anggota keluarga (atau orang dekat) pada anggota keluarga yang lain. Perilaku tersebut meliputi penganiayaan fisik, pengabaian, penganiayaan psikologis, penganiayaan ekonomi, dan penganiayaan seksual. Penyiksa atau pelaku penyiksaan adalah orang yang meciptakan kekerasan atau menyiksa orang lain, dan korban adalah orang yang menjadi kambing hitam, target atau penerima penganiayaan atau kekerasan (Isaacs, 2005).

B. Jenis penganiayaan Menurut Isaac, 2005 jenis-jenis penganiayaan antara lain sebagai berikut: 1. Penganiayaan fisik meliputi pemukulan, penusukan, penembakan,

pembakaran, dan pemerkosaaan. 2. Pengabaian dicirikan dengan penghentian atau kegagalan memberikan asuhan pribadi, kebutuhan pribadi (mis. makanan, air, rumah), kebersihan, perawatan kesehatan, kontak sosial, dan pendidikan serta pengawasan anak anak.

3. Penganiayaan psikologis meliputi: a. Serangan verbal dan ancaman bahaya fisik, biasanya untuk mengintimidasi atau memanipulasi. b. Sarkasme, peghinaan, merendahkan dan kritik. c. Pola komunikasi yang tidak konsisten, termasuk menarik diri dan diam d. Isolasi korban (mis. mencegah korban berinteraksi dan berkomunikasi dengan keluarga dan teman temannya). e. Pelanggaran hakhak pribadi, seperti tidak mengizinkan korban

menghubungi keluarga, teman, dan orang lain. 4. Penganiayaan ekonomi (eksploitasi finansial) meliputi: a. Mencuri uang atau harta korban b. Menghalangi akses korban atas keuangan pribadinya c. Penggunaan uang atau harta milik korban secara tidak tepat 5. Penganiayaan seksual adalah aktivitas seksual yang dipaksakan atau dibawah tekanan, termasuk percakapan atau tindakan yang distimulasi secara seksual, perabaan atau hubungan seksual yang tidak tepat, perkosaan, dan inses (perilaku seksual antar saudara kandung).

Jenis- jenis Kekerasan menurut Fontaine, 2003 : 1. Kekerasan Afektif Kekerasan afektif adalah ekspresi verbal seperti marah dan emosi. Berupa intimidasi, ejekan jelek, tidak hormat, keterasingan, dan ancaman fisik yang banyak orang alami setiap hari. Cedera adalah tujuan utama. Biasanya, perilaku impulsif dan respon terhadap stres antarpribadi dan sering di bawah pengaruh alkohol dan obat-obatan (Shea, 1998 dalam Fontaine, 2003). 2. Kekerasan Fisik Kekerasan predator termasuk kejahatan yang dimotivasi oleh kebencian terhadap kelompok minoritas. Orang yang biasanya tidak melakukan apa pun untuk memprovokasi serangan, dilecehkan, disiksa, dan bahkan dibunuh hanya karena mereka berbeda. Kejahatan terjadi di masyarakat pedesaan, pinggiran kota, perkotaan, minoritas agama, dan gay, lesbian, biseksual, dan transgender. Beberapa pelaku yang didorong oleh ras atau agama atau ideology fanatisme, dan etnis. Mereka mencerminkan sikap negatif budayanya dan membenarkan tindakan

mereka sebagai tanggapan benar (Franklin, 2000; Smith, 1999 dalam Fontaine, 2003) Pelaku kejahatan sering mendapat kesenangan dari tindakan kekerasan itu sendiri, dan hanya merasa sedikit penyesalan. Kejahatan mungkin berakhir dengan pembunuhan, 1998 dalam Fontaine, 2003) C. Tanda dan Gejala Tanda dan gejala yang ditunjukkan antara lain sebagai berikut (Fitria, 2009): - Fisik : mata melotot/ pandangan tajam, tangan mengepal, rahang mengatup, wajah memerah dan tegang, serta postur tubuh kaku. - Verbal : mengancam, mengumpat dengan kata-kata kotor, berbicara dengan kasar, dan ketus. - Perilaku : menyerang orang lain, melukai diri sendiri/ orang lain, meruska lingkungan, amuk/ agresif. - Emosi : tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, merasa terganggu, dendam, jengkel, tidak berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi,

menyalahkan, dan menuntut. - Intelektual : mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan, tidak jarang mengeluarkan kata-kata bernada sarkasme. - Spiritual : merasa diri berkuasa, merasa diri benar, keragu-raguan, tidak bermoral, dan kreativitas terhambat. - Sosial : menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan, dan sindiran. - Perhatian : bolos, melarikan diri, dan melakukan penyimpangan seksual.

Tanda dan gejala perilaku kekerasan dapat diperoleh melalui dua cara yaitu sebagai berikut (Fitria, 2009) : - Observasi Observasi dilakukan dengan menggunakan panca indra. Hal- hal yang bisa di temukan antara lain muka merah, mata tajam, tegang, mondar-mandir, mudah tersinggung, mengepal tinju, memaki, mengancam, merampas, memukul, dan merusak. - Wawancara (anamnes) Tanyakan penyebab, tanda dan gejala yang dirasakan, perilaku kekerasan yang biasa dilakukan.

D. Rentang ResponsRespons Adaptif Respons Maladaptif

Asertif

Frustasi

Pasif

Agresif

Kekerasan

Gambar 1 : Rentang Respons Perilaku Kekerasan Sumber : Keliat (1999)

Keterangan: 1. Asertif : Individu dapat mengungkapkan marah tanpa menyalahkan orang lain. 2. Frustasi : Individu gagal mencapai tujuan kepuasan saat marah dan tidak dapat menemukan alternative. 3. Pasif 4. Agresif : Individu tidak dapat mengungkapkan perasaannya. : Perilaku yang menyertai marah, terdapat dorongan untuk menuntut tetapi masih terkontrol. 5. Kekerasan : Perasaan marah dan bermusuhan yang kuat serta hilangnya kontrol.

E. Etiologi Penyebab dari perilaku kekerasan adalah (Kusumawati, 2010) : a. Faktor predisposisi Menurut Townsend (Townsend, 1998 dalam Kusumawati, 2010) terdapat beberapa teori yang dapat menjelaskan tentang faktor predisposisi perilaku kekerasan, di antaranya adalah sebagai berikut: a) Teori Biologik Berdasarkan teori biologik, ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi seseorang melakukan perilaku kekerasan, yaitu sebagai berikut. a. Pengaruh neurofisiologik, beragam komponen system neurologis mempunyai implikasi dalam memfasilitasi dan menghambat impuls agresif. Sistem limbik sangat terlibat dalam menstimulasi timbulnya perilaku bermusuhan dan respons agresif.

b. Pengaruh biokimia, menurut Goldstein dalam Townsend (1996) menyatakan bahwa berbagai neurotransmitter (epinefrin, norepinefrin, dopamine, asetilkolin, dan serotonin) sangat berperan dalam

memfasilitasi dan menghambat impuls agresif. Peningkatan hormone androgen dan norepinefrin serta penurunan serotonin dan GABA (6 dan 7) pada cairan serebrospinal merupakan factor predisposisi penting yang menyebabkan timbulnya perilaku agresif pada seseorang. c. Pengaruh genetik, menurut penelitian perilaku agresif sangat erat kaitannya dengan genetik termasuk genetic tipe kariotipe XYY, yang umunya dimiliki oleh penghuni penjara pelaku tindak criminal (narapidana). d. Gangguan otak, sindrom otak organic berhubungan dengan berbagai gangguan serebral, tumor otak (khususnya pada limbic dan lobus temporal), trauma otak, penyakit ensefalitis, epilepsi ( epilepsy lobus temporal) terbukti berpengaruh terhadap perilaku agresif dan tindak kekerasan.

b) Teori Psikologik 1. Teori Psikoanalitik, teori ini menjelaskan bahwa tidak terpenuhinya kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak berkembangnya ego dan membuat konsep diri yang rendah. Agresi dan kekerasan dapat memberikan kekuatan dan prestise yang dapat meningkatkan citra diri serta memberikan arti dalam kehidupannya. Teori lainnya berasumsi bahwa perilaku agresif dan tindak kekerasan merupakan pengungkapan secara terbuka terhadap rasa ketidakberdayaan dan rendahnya harga diri pelaku tindak kekerasan. 2. Teori Pembelajaran, perilaku kekerasan merupakan perilaku yang dipelajari, individu yang memiliki pengaruh biologic terhadap perilaku kekerasan lebih cenderung untuk dipengaruhi oleh contoh peran eksternal dibandingkan anak-anak tanpa faktor predisposisi biologik. c) Teori Sosiokultural Kontrol masyarakat yang rendah dan kecendrungan menerima perilaku kekerasan sebagai cara penyelesaian masalah dalam masyarakat

merupakan faktor predisposisi terjedinya perilaku kekerasan.

b. Faktor presipitasi Secara umum seseorang akan marah jika dirinya berupa injury secara fisik, psikis, atau ancaman konsep diri. Beberapa factor pencetus perilaku kekerasan adalah sebagai berikut: 1. Klien : kelemahan fisik, keputusasaan, ketidakberdayaan, kehidupan yang penuh dengan agresif, dan masa lalu yang tidak menyenangkan. 2. Interaksi : kritikan, penghinaan, provokasi, kekerasan, kehilangan orang yang berarti, konflik, merasa terancam baik internal dari permasalahan diri klien sendiri maupun eksternal dari lingkungan. 3. Lingkungan : lingkungan yang padat, bising, panas, keras seperti daerah pelabuhan, terminal, daerah konflik, dan lain-lain. Menurut Shieves (1998) hal-hal yang dapat menimbulkan perilaku kekerasan atau penganiayaan antara lain sebagai berikut: a) Kesulitan kondisi social ekonomi. b) Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu. c) Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan

ketidakmampuannya dalam menempatkan diri sebagai orang yang dewasa. d) Pelaku mungkin mempunyai riwayat antisosial seperti penyalahgunaan obat dan alkohol serta tidak mampu mengontrol emosi pada saat menghadapi rasa frustasi. e) Kematian anggota keluarga yang terpenting kehilangan pekerjaan, perubahan tahap perkembangan, atau perubahan tahap perkembangan keluarga.

F. Akibat dari Perilaku Kekerasan Klien dengan perilaku kekerasan dapat menyebabkan resiko tinggi mencederai diri, orang lain dan lingkungan. Resiko mencederai merupakan suatu tindakan yang kemungkinan dapat melukai/ membahayakan diri, orang lain dan lingkungan (Fitria, 2009).

G. Karakteristik Kekerasan dalam Keluarga Kekerasan dalam keluarga mencakup penganiayaan fisik, emosional, dan seksual pada anak-anak, pengabaian anak, pemukulan pasangan, pemerkosaan

terhadap suami atau istri dan penganiayaan lansia. Perilaku penganiayaan dan perilaku kekerasan yang tidak akan dapat diterima bila dilakukan orang yang tidak dikenal sering kali ditoleransi selama bertahun-tahun dalam keluarga. Dalam kekerasan keluarga, keluarga yang normalnya merupakan tempat yang aman dan anggotanya merasa dicintai dan terlindung, dapat menjadi tempat yang paling berbahaya bagi korban. Studi penelitian mengidentifikasi beberapa karakteristik umum kekerasan dalam keluarga tanpa memperhatikan tipe penganiayaan yang ada (Videbeck, 2008). Karakteristik kekerasan dalam keluarga antara lain, sebagai berikut (Videbeck, 2008) : a. Isolasi sosial b. Penyalahgunaan kekuasaan dan kontrol c. Penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan lain d. Proses transmisi antar generasi.

Menurut Isaacs, 2005 karakteristik sistem keluarga tempat terjadinya kekerasan adalah sebagai berikut: 1. Satu anggota atau lebih di dalam keluarga menjadi titik fokus ansietas keluarga dan sering disalahkan atas masalah-masalah yang terjadi. 2. Peran keluarga bersifat stereotip, dengan peran seksual tradisional yang kaku dan perbedaan kekuasaan yang besar antara kedua orang tua (misal salah satu orang tua, biasanya laki-laki, merupakan satu-satunya orang yang paling berkuasa di dalam keluarga, sementara orang tua yang satunya diperlakukan sebagai anakanak dan bukannya sebagai mitra yang setara). 3. Hubungan dalam keluarga menekankan kontrol terhadap orang lain. 4. Keluarga tersebut bisa menutup diri dan terisolasi dari orang-orang di luar keluarga. 5. Pola komunikasi mengalami disfungsional. Penyangkalan, penghindaran konflik, pola ketertarikan ganda, kasih sayang kondisional, dan rasionalisasi penganiayaan merupakan hal yang biasa. Sebagian dari alasan wanita sering memilih tetap berada dalam hubungan yang penuh penganiayaan sebagai berikut (Chez, 1994 dalam Isaacs, 2005): 1. 2. 3. Merasa tidak ada alternatif lain. Takut pada apa yang akan terjadi jika mereka pergi. Ketidakmampuan membiayai diri sendiri dan anak-anak.

4. 5.

Takut ditolak oleh keluarga dan teman-teman. Terikat (mis. secara emosional, finansial) kepada penyiksanya, atau karena kepercayaan agama atau budaya.

H. Penganiayaan di Keluarga 1. Penganiayaan pada Dewasa Penganiayaan fisik pada orang dewasa Penganiayaan fisik pada orang dewasa dapat didefenisikan sebagai penderitaan nyeri fisik atau cedera dengan maksud menyebabkan bahaya yang mencakup tindakan menampar, memukul, menggigit dan menarik rambut, tapi dalam frekuensi atau kejadian yang secara umum meliputi kekerasan yang lebih serius termasuk mencekik, menendang, mematahkan tulang, menikam, atau

menembak, atau pengekangan secara paksa yang mungkin termasuk mengunci seseorang didalam rumah atau kamar kecil, diikat atau diborgol (Townsend, 1998). Tanda-tanda penganiayaan fisik dapat meliputi (Isaacs, 2005) : a. Memar pada berbagai area tubuh. Memar ini mungkin muncul dengan warnawarna yang berbeda-beda, seperti ungu kebiruan sampai dengan hijau kekuningan (mengindikasikan berbagai tahap penyembuhan ). b. Tanda tanda gigitan, bilur-bilur pada kulit, luka bakar. c. Fraktur , jaringan parut , cedera internal serius, bahkan kerusakan otak. d. Laserasi , abrasi, atau perdarahan abnormal. e. Area botak yang merupakan indikasi dari penarikan rambut yang hebat. f. Ansietas hebat dan tidak percaya pada orang lain.

- Penganiayaan seksual orang dewasa Penganiayaan seksual pada seorang dewasa dapat didefenisikan sebagai ekspresi dari kekuatan dan kekuasaan dengan cara-cara kekerasan seksual, paling umum pada pria terhadap wanita, walaupun pria juga dapat menjadi korban dari perkosaan seksual. Perkosaan seksual diidentifikasi melalui penggunaan kekuatan dan dilakukan berlawanan dengan keinginan pribadi seseorang (Townsend, 1998). Tanda- tanda penganiayaan seksual pada orang dewasa mencakup : a. Kontusio dan abrasi pada berbagai area tubuh.

b. Nyeri kepala, lelah, gangguan pola tidur. c. Nyeri abdomen, mual dan muntah. d. Sekret vagina dan gatal, rasa terbakar pada saat defekasi, perdarahan dan nyeri rektal. e. Kasar, mempermalukan, memalukan, hasrat untuk balas dendam, menyalahkan diri sendiri. f. Ketakutan terhadap kekerasan fisik dan kematian. g. Rasa tidak berdaya yang sangat dan kekerasan pribadi.

2. Penganiayaan Lansia Penganiayaan lansia adalah perlakuan semena-mena terhadap lansia oleh anggota keluarga atau orang-orang yang merawat mereka (Videbeck, 2008). Penganiayaan tersebut mencakup penganiayaan fisik dan seksual,

penganiayaan psikologis, pengabaian, pengabaian diri, eksploitasi finansial, menolak terapi medis yang adekuat. Diperkirakan bahwa setengah juta lansia dianiaya atau diabaikan dalam rumah tangga dan perbandingan antara insiden penganiayaan atau pengabaian yang tidak dilaporkan dan yang dilaporkan adalah 5:1. Pelaku hampir 60% adalah pasangan, 20% anak yang sudah dewasa, dan 20% orang lain, seperti saudara kandung, dan cucu. (Lego, 1999 dalam Videbeck, 2008). Setiap tahunnya lebih dari 1,5 juta lansia Amerika mengalami penganiayaan atau pengabaian (Dept. Of Health & Human Services, 1996 dalam Isaacs, 2005). Sebagian ahli percaya bahwa penganiayaan lansia yang dilaporkan hanyalah 1 dari 14 kasus, karenanya cakupan penuh dari masalah ini tidak diketahui (Wolfe, 1998 dalam Isaacs, 2005). Tabel 1: Tanda-tanda Penganiayaan pada Wanita dan Lansia Wanita yang dianiaya Cedera kepala, leher, dan bahu Mata memar Cedera selama kehamilan Terkilir, dislokasi, fraktur Memar, bilur Korban Lansia Kurang gizi atau dehidrasi Bau feses atau urine Kotoran, kutu hewan, kutu rambut pada orang tersebut. Dekubitus, luka, ruam kulit

Bekas luka berbentuk benda yang digunakan Memar, lecet, fraktur

untuk mencederai

Hematoma, bekas cengkeraman pada lengan cedera dalam berbagai tahap

Berulang kali berkunjung ke fasilitas layanan Berbagai kesehatan, terutama UGD Keluhan nyeri tanpa cedera jaringan Berbagai cedera dalam berbagai tahap

penyembuhan.

penyembuhan.

Tabel 2. Karakteristik Perilaku dan Psikologis dari Korban Penganiyaan (Isaacs, 2005)

Wanita yang Dianiaya a. Rasionalisasi penganiayaan, b. Takut pergi karena diancam, c. Hubungannya dengan pasangan bersifat dominan pria, d. Terisolasi dari teman-teman dan keluarga, e. Merasa kurang, menyalahkan diri sendiri, f. Bertindak sedemikian rupa untuk tidak menimbulkan kemarahan pasangannya, g. Merasa tidak berdaya, h. Penyalahgunaan minuman keras atau obat bius, i. Depresi, ide bunuh diri, j. Ansietas, sering mimpi buruk.

Korban Lansia a. Mengalami gangguan fisik atau jiwa, b. Berperilaku agresif atau sangat penurut, c. Takut melaporkan penganiayaan, d. Bergantung pada pengasuh, e. Merasa harga dirinya rendah, f. Tidak berdaya.

Ciri- ciri pelaku penganiayaan atau kekerasan: 1. Sering dianiaya ketika masih kecil 2. Sangat pencemburu dan posesif 3. Terisolasi secara seksual 4. Kontrol impuls buruk, tindakan koping buruk 5. Penyalahgunaan obat atau alkohol 6. Kaku dan obsesif dalam hal kekuasaan 7. Narsistik

3. Kekerasan dalam Rumah Tangga Dalam suatu kelurga, konflik atau beda pendapat merupakan hal yang biasa terjadi. Jika dilihat lebih jauh, terjadinya konflik dalam hubungan antar manusia merupakan hal yang tidak bisa dihindari. Hal ini bisa menjadi sarana evaluasi bagi masing masing individu untuk memperbaiki sesuatu yang masih kurang. Tetapi konflik bisa menjadi sesuatu yang tidak biasa lagi jika dalam ketegangan tersebut masing- masing individu tidak dapat menahan diri dan akhirnya terjadi kekerasan (Effendi, dkk, 2009). Di Indonesia pelaku tindak kekerasan dalam rumah tangga dapat dijerat dengan undang-undang kekerasan dalam rumah tangga tahun 2004. Undang- undang RI No. 23 tahun 2004, tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. Menimbang : a. Bahwa setiap warga berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan sesuai dengan falsafah pancasila dan undang undang dasar negara republik indonesia tahun 1945 b. Bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabatkemanusiaan serta bentuk dsiskriminasi yang harus dihapus c. Bahwa korban kekerasan dalam rumah tangga , yang kebanyakan adalah perempuan, harus mendapat perlindungan dari negara dan atau masyarakat agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendah kan derajat dan martabat kemanusiaan d. Bahwa dalam kenyataan kasus kekerasan dalam rumah tangga banyak terjadi, sedangkan sistem hukum diindonesia belum menjamin

perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga. Pasal 1 : Dalam undang-undang ini yag dimaksud dengan : 1. Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga termasuk

ancaman

untuk

melakukan

perbuatan,

pemaksaan,

atau

perampasan

kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. 2. Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga adalah jaminan yang diberikan oleh negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga. 3. Korban adalah orang yang mengalami kekerasan atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga (Effendi, dkk, 2009). Jenis kekerasan dalam rumah tangga menurut UU KDRT tahun 2004 : a. Kekerasan fisik Perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. Memukul dengan menggunakan alat atau alat bantu dan bisa dideteksi dengan mudah dari hasil visum. b. Kekerasan psikis Perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan penderitaan psikis pada seseorang. c. Kekerasan ekonomi Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian, ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. d. Kekerasan seksual Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial atau tujuan tertentu (Effendi, dkk, 2009). Peran perawat pada kekerasan dalam rumah tangga Seorang perawat diharapkan mampu menerapkan pendekatan keperawatan dengan melakukan tindakan pencegahan dan kesehatan masyarakat pada praktek yang dilakukan terhadapa klien dan keluarganya. Untuk itu, perilaku perawat sebagai perawat yang bertanggung jawab dengan mendampingi keluarga agar menjadi keluarga yang sehat merupakan suatu upaya yang dapat dipandang untuk

memberikan konsribusi pada upaya mencapai kesehatan bagi keluarga dan masyarakat (Effendi, dkk, 2009). Secara umum, peran perawat dalam kasus KDRT diantaranya adalah sebagai berikut : a) Memeriksa kesehatan korban sesuai standar profesi (anjurkan segera lakukan pemeriksaan visum) b) Lakukan konseling untuk menguatkan dan memberikan rasa aman pada korban c) Memberikan informasi mengenai hak-hak korban untuk mendapatkan perlindungan dari kepolisian dan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan d) Mengantarkan korban kerumah atua tempat tinggal alternatif (ruang pelayanan khusus) e) Melakukan koordinasi yang terpadu dalam memberikan layanan kepada korban dengan pihak kepolisian, dinas sosial, serta lembaga sosial yang dibutuhkan korban f) Sosialisasi UU KDRT kepada keluarga dan masyarakat

I. Siklus Penganiayaan dan Kekerasan di Keluarga Alasan lain yang sering diajukan mengapa wanita sulit meninggalkan hubungan yang abusive ialah siklus kekerasan atau penganiayaan (Videbeck, 2008).Perilaku kekerasan (ditunjukkan melalui tindak kekerasan atau serangan penganiayaan)

Munculnya ketegangan (tuduhan, pertengkaran, keluhan. Sikap diam)

Periode penyesalan periode bulan madu (penganiaya menyesal dan meminta maaf, berjanji bahwa hal itu tidak akan terjadi lagi, membeli hadiah dan bunga)

Sumber: (Videbeck, 2008)

Ada pola yang khas bagaimana penganiayaan terjadi. Episode awal pemukulan atau perilaku kekerasan biasanya diikuti oleh periode ketika penganiaya mengungkapkan penyesalannya dan meminta maaf dengan berjanji bahwa hal tersebut tidak akan terulang. Periode penyesalan ini kadang-kadang disebut periode bulan madu. Setelah periode bulan madu ini, terjadi fase munculnya fase ketegangan yang di warnai oleh pertengkaran, saling diam, atau suami lebih banyak mengeluh. Ketegangan berakhir dengan episode kekerasan yang lain. Siklus ini terjadi berulang-ulang (Videbeck, 2008).

J. Masalah Hukum Kekerasan di Keluarga (Johnson, 1997 dalam Isaacs, 2005) 1. Penganiayaan wanita Perlindungan hukum terhadap wanita yang dianiaya bervariasi antarnegara. a. Pada umumnya, wanita itu sendiri yang harus mencari perlindungan hukum atau sipil seperti perintah perlindungan, perintah penahanan sementara, atau mengajukan tuntutan terhadap pelaku penganiayaan. b. Bila seseorang wanita mengalami cedera akibat penyiksaan dengan senjata (mis. senapan, pisau), penyedia layanan kesehatan harus melaporkan tindak penganiayaan ini kepada polisi, tidak peduli apakah wanita tersebut bermaksud mencari perlindungan atau tidak atas penganiayaan yang dialaminya. 2. Penganiayaan lansia Saat ini empat puluh delapan negara bagian telah memiliki hukum atau undang undang yang mengatur tentang pelaporan penganiayaan atau pengabaian lansia. Perawat dan penyedia layanan kesehatan lainnya harus melaporkan penganiayaan yang dijumpainya.

L. Penatalaksanaan a. Pertimbangan Umum. Pengobatan korban penganiayaan bergantung pada faktor-faktor yang mempengaruhi klien, seperti jenis penganiayaan yang diderita, adanya cedera fisik, usia dan kondisi fisik korban, serta keunikan lingkungan keluarga korban sendiri. b. Pengobatan UGD. Sejak tahun 1991, lembaga yang diakreditasi oleh Joint Commission on Accreditation of Healthcare Organizations (JCAHO) diharuskan menerapkan standar kekerasan domestik JCAHO dalam prosedur UGD mereka.

c. Layanan intervensi krisis bermanfaat dalam merespons masalah langsung dan jangka pendek yang terjadi akibat penganiayaan. Kerja sama dengan berbagai anggota tim kesehatan sangat penting untuk memberikan pengobatan yang kontinu (Isaacs, 2005). Wanita yang dianiaya dapat dirujuk ke rumah perlindungan atau penampungan darurat untuk memastikan terlindunginya diri dan anak-anak mereka. Lembaga layanan sosial masyarakat, termasuk lembaga khusus lansia, dapat memberikan berbagai layanan untuk memastikan keamanan dan bantuan bagi korban tindak kekerasan (Isaacs, 2005). Layanan kesehatan dapat diberikan pada keluarga yang mengalami kekerasan 1. Dukungan terapeutik dengan memberikan konseling individu atau kelompok untuk korban kekerasan 2. Konseling individu untuk penganiaya atau perilaku kekerasan 3. Terapi keluarga untuk memutus siklus penganiayaan Pencegahan: 1. Pencegahan primer dapat dilakukan dikomunitas dengan mengidentifikasi keluarga yang beresiko tinggi terhadap kekerasan dan dengan mempromosikan program penyuluhan dan layanan yang dapat meningkatkan fungsi keluarga. 2. Pencegahan sekunder meliputi deteksi dini dan pengobatan kekerasan interpersonal

Tabel 3: Hal yang dapat dilakukan dan tidak dapat dilakukan dalam menangani korban penganiayaan pasangan Hal yang tidak dapat dilakukan 1. Jangan komunikasi membocorkan klien tanpa Hal yang dapat dilakukan 1. Pastikan dan jaga kerahasiaan klien. 2. Dengarkan, pastikan , dan katakan, saya turut menyesal bahwa anda telah disakiti 3. Ungkapkan:saya keselamaatan anda dampak 4. Katakan kepada korban:Anda peduli akan

persetujuan klien. 2. Jangan menggurui, mengatakan hal-hal memberi tentang kesan moral, bahwa atau anda

meragukan klien. 3. Jangan kekerasan 4. Jangan mengungkapkan meremehkan

memiliki hak untuk merasa aman dan dihormati

kemarahan penganiayaan. 5. Jangan

kepada

pelaku

5. Katakan : Penganiayaan yang anda alami bukan salah anda.

memberi

kesan jawab

klien atas

6. Rekomendasikan suatu kelompok pendukung individu. 7. Identifikasi sumber dimasyarakat dan dorong klien untuk rencana atau konseling

bertanggung

penganiayaan yang dialaminya. 6. Jangan merekomendasikan

konseling pasangan. 7. Jangan mengarahkan klien untuk meninggalkan hubungan 8. Jangan membebani klien dan lakukan semua untuk klien.

mengembangkan keamanan.

8. Tawarkan bantuan kepada klien dalam menghubungi tempat

penampungan. Polisi, atau sumber lain. Sumber: (Commission on Domestic Violence, 1999 dalam Videbeck, 2008)

Proses Keperawatan Kekerasan dalam Keluarga A. Pengkajian 1. Identifikasi data pengkajian yang mengidentifikasi kemungkinan penganiayaan. a. Lakukan pemeriksaan yang menyeluruh untuk menentukan sifat dan keparahan cedera fisik korban b. Kaji ciri-ciri perilaku dan psikologis dari penganiayaan. 2. Wawancarai klien untuk memvalidasi penganiayaan yang teah terjadi. Gunakan protokol kelembagaan untuk pengkajian, dan pastikan dimasukkannya faktorfaktor berikut ini: a. Pastikan privasi untuk pengkajian dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada klien jauh dari orang yang dicurigai melakukan penganiayaan. Hal ini meningkatkan rasa percaya klien. b. Gunakan bahasa yang sesuai dengan tingkat usia dan perkembangan klien. c. Ajukan pertanyaan- pertanyaan yang sederhana, langsung dan tidak mengancam. d. Bila memungkinkan, buat catatan yang cermat (termasuk kutipan yang tepat) tentang percakapan dengan klien dan keluarga 3. Identifikasi asek perilaku keluarga yang berkaitan dengan kekerasan domestik

a. Apakah terdapat kurang perhatian terhadap istri atau lansia yang dicurigai mengalami penganiayaan? b. Apakah terdapat ketidakkonsisten antara sifat dan keparahan cedera dengan penjelasan dari korban atau keluarga korban mengenai apa yang telah terjadi? c. Apakah ada keterlambatan dalam mencari bantuan untuk mengatasi cedera? d. Apakah interaksi antara klien dan keluarganya menunjukkan adanya konflik? Apakah ada teriakan dan menyalahkan korban atas luka yang dideritanya? e. Apakah terdapat riwayat perilaku penganiayaan atau penyalahgunaan zat dalam anggota keluarga tersebut? f. Apakah terdapat deskripsi (oleh keluarga) tentang korban bersikap agresif, antisosial dan kecenderungan terhadap cedera? g. Apakah terdapat bukti-bukti peningkatan stres pada sistem keluarga? 4. Perawat harus mengkaji perasaan dan responnya sendiri terhadap kekerasan dan penganiayaan dalam keluarga. a. Memori pribadi perawat dapat muncul kembali akibat permasalahan kekerasan dan penganiayaan. b. Dapat muncul perasaan negative, seperti marah, menyalahkan, terharu, frustasi, menghindari, takut, dan muak. c. Dapat muncul perasaan positive, seperti harapan, dukungan kepedulian, sangat membantu, komitmen, dan pengertian. d. Perawat harus mencari bantuan atas respon dan perasaannya sendiri yang mencampuri atau mengurangi kemampuannya dalam bersikap terapeutik. Tabel 4: Pertanyaan pengkajian keperawatan Pertanyaan spesifik Wanita yang dianiaya Apakah anda diancam atau disakiti Keinginan untuk mengakui terjadinya Data yang diberikan

pasangan anda? Apakah anda pernah dilukai sebelumnya?

penganiayaan Riwayat penganiayaan sebelumnya

Apa kejadian paling buruk yang anda Tingkat kekerasan ingat? Apakah anak-anak melihat ketika anda Penganiayaan anak dianiaya? Apakah mereka pernah dicederai?

Korban lansia Saya perhatikan anda mengalami sejumlah Keinginan untuk mengakui terjadinya

memar (atau cedera yang lain). Bisakah penganiayaan anda menceritakan kepada saya apa yang telah terjadi?

Anda tampak takut kepada orang yang Validasi observasi hubungan mengasuh anda, benarkah demikian?

Banyak pasien yang menceritakan kepada Riwayat masa lalu saya bahwa mereka telah dicederai oleh seseorang yang dekat dengan mereka.

Apakah hal ini juga terjadi pada anda? Pada saat tidak sependapat dengan

Dinamika keluarga

pengasuh anda, apa yang terjadi? Sumber: (Isaac, 2005) B. Diagnosis keperawatan 1. Analisa data klien yang telah terkumpul untuk menentukan adanya penganiayaan : a. Analisi fungsi keluarga, termasuk bukti ciri-ciri umum pelaku penganiayaan dan stesor yang saat ini sedang dihadapi keluarga. b. Analisis sumber daya dan kemampuan koping keluarga, termasuk penggunaan sumber daya masyarakat. 2. Tetapkan diagnosis keperawatan yang spesifik untuk korban penganiayaan. a. Ansietas b. Koping individu tidak efektif c. Penyangkalan tidak efektif d. Takut e. Gangguan tumbuh kembang f. Keputusasaan g. Risiko cedera h. Nyeri i. Respon pascatrauma j. Sindrom trauma perkosaan

k. Harga diri rendah situasional l. Kerusakan integritas kulit m. Distres spiritual n. Risiko trauma o. Pengabaian sepihak

3. Tetapkan diagnosis keperawatan untuk keluarga a. Koping keluarga : tidak efektif, memburuk. b. Perubahan proses keluarga c. Risiko perubahan kedekatan orang tua/bayi, anak d. Perubahan perilaku orang tua e. Perubahan kinerja peran f. Risiko kekerasan terhadap diri sendiri/orang lain 4. Tetapkan diagnosis keperawatan untuk penganiaya a. Koping individu tidak efektif b. Kurang pengetahuan c. Ketidakpatuhan d. Perubahan kinerja peran e. Gangguan harga diri f. Gangguan interaksi social g. Disstres spiritual h. Risiko kekerasan terhadap diri sendiri/orang lain

C. Perencanaan dan Identifikasi Hasil Bekerjasama dengan klien dan anggota keluarga, anggota tim kesehatan, dan perwakilan masyarakat dalam menyusun tujuan yang realistik. 1. Tetapkan kriteria hasil yang diinginkan untuk korban penganiayaan. a. Klien menjaga keselamatan. b. Klien menerima perawatan atas cedera fisik dan psikologis yang dialaminya. c. Klien mengekspresikan perasaannya dengan mendiskusikan tentang situasi penganiayaan. d. Klien mengembangkan perilaku fungsi bertahan hidup. 2. Tetapkan kriteria hasil untuk keluarga.

a. Keluarga mengidentifikasi kekerasan dan penganiayaan dalam keluarga. b. Keluarga tetap bebas dari kekerasan. c. Keluarga menerima bantuan dan mengikuti rujukan komunitas. d. Keluarga mengimplementasikan tindakan koping untuk mencegah kekerasan lebih lanjut. e. Keluarga meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan yang sehat dalam keluarga. 3. Tetapkan kriteria hasil yang diinginkan untuk penganiaya. a. Penganiaya menunjukan sikap bertanggungjawab atas perilakunya sendiri. b. Penganiaya membentuk dan mempertahankan kontrol impuls dan strategi koping. c. Penganiaya menghadapi lembaga hukum atas perilakunya, dan menerima hukuman yang ditentukan oleh pengadilan. d. Penganiaya bekerja sama dalam program perawatan yang dianjurkan. e. Penganiaya berhenti melakukan tindakan kekerasan terhadap orang lain(Isaacs, 2005).

D. Implementasi 1. Tindakan umum bagi korban penganiayaan a. Berikan pertolongan pertama sesuai kebutuhan. b. Bila kekerasan atau penganiayaan sangat menonjol, pisahkan korban dari pelaku penganiayaan. c. Laporkan adanya penganiayaan pada layanan perlindungan anak dan lansia, seperti yang diwajibkan oleh undang-undang. Dalam hal penganiayaan wanita, pelaporan diperlukan jika cidera terjadi akibat senapan, pisau, dan senjata lain. d. Bila dicurigai terjadi penganiayaan seksual, ikuti prosedur hukum dan kelembagaan untuk mengumpulkan dan menyimpan bukti yang di akui dalam prosedur rangkaian bukti. e. Pastikan korban mendapatkan perawatan yang sensitive dan penuh kasih sayang. f. Beri dukungan pada korban untuk tidak mentolerir penganiayaan. g. Dengarkan dengan empati penjelasan korban mengenai penganiayaan yang sekarang dan yang telah lalu. h. Catat semua cedera yang terjadi dan perawatan yang telah diberikan.

i. Bekerja sama dengan pendekatan tim, termasuk memulai rujukan antar lembaga dan ikut serta dalam konferensi kasus (Isaacs, 2005).

2. Untuk wanita yang dianiaya a. Komunikasikan sikap menerima, hangat, dan tidak mengadili, jangan

menyampaikan walaupun secara tidak langsung bahwa ia bersalah karena tidak meninggalkan lingkungan yang penuh penganiayaan tersebut. b. Tingkatkan kepedulian terhadap keselamatan dan hak untuk terbebas dari penganiayaan. c. Diskusikan berbagai pilihan yang ada, termasuk rumah penampungan, perlindungan hukum dengan melaporkan penganiayaan, dan mencari perlindungan dari penganiayaan melalui pengadilan. d. Hargai keputusan korban, termasuk keputusan untuk kembali ke situasi yang penuh penganiayaan atau keputusan untuk tidak melaporkan penganiayaan. Mengambilkan keputusan untuk korban hanya akan semakin merusak harga dirinya dan memperkuat perasaan tidak berdaya yang ia alami. e. Bantu korban membuat rencana untuk memastikan keselamatannya, termasuk menyembunyikan kunci duplikat rumah dan mobil, meminta tetangga untuk melapor ke polisi bila mulai terjadi kekerasan, menyimpan dokumen-dokumen seperti akte kelahiran, nomor rekening bank, nomor jaminan sosial, dan kwitansi sewa atau pembelian atas barang yang ada, menyimpan nomor telepon rumah penampungan darurat, bantuan hukum, polisi, konselor, dan kelompok pendukung(Isaacs, 2005).

3. Untuk korban lansia a. Beri waktu dan bersabar untuk bisa membuat lansia mendiskusikan situasi yang dihadapinya. b. Hormati martabat klien dan jangan bersikap mengadili. c. Diskusikan pilihan-pilihan yang ada untuk memastikan keselamatan, seperti hospitalisasi temporer, penempatan di rumah yang aman, dan perintah perlindungan dari pengadilan. d. Berikan daftar sumber daya dan layanan pendukung, termasuk layanan perlindungan orang dewasa, lembaga bantuan hukum, lembaga sumber daya korban, unit-unit lansia setempat, dan nomor telepon hotline 24 jam untuk masalah penganiayaan pada lansia.

e. Bila lansia tidak mampu mengambil keputusan sendiri, harus diatur tentang siapa yang harus menjadi walinya (Isaacs, 2005).

Bagi pelaku penganiayaan a. Bila pelaku penganiayaan mengancam atau sedang di bawah pengaruh obat atau alkohol, perawat harus memanggil petugas keamanan atau polisi untuk memastikan keselamatannya sendiri dan orang lain. b. Beri tahu pelaku penganiayaan tentang tugas melaporkan penganiayaan kepada lembaga yang ditunjuk. c. Dapatkan bantuan dari petugas tim kesehatan yang berpengalaman (mis. perawat spesialis klinik, pekerja sosial, perwakilan lembaga perlindungan, pekerja krisis kesehatan jiwa) untuk memulai intervensi. d. Jika penganiayaan diakui oleh pelakunya, anjurkan ia untuk bertanggung jawab atas perilaku kekerasan yang dilakukannya. e. Komunikasikan keyakinan bahwa perilaku kekerasan dapat dikendalikan dan bahwa ada fungsi lain yang lebih pantas yang bisa dan mungkin dilakukan. f. Anjurkan dan rujuk pelaku penganiayaan ke lembaga sumber daya masyarakat, seperti layanan kesehatan jiwa, kursus pendidikan orang tua, kelompok swadaya (mis. Parents Anonymous), dan panti wreda (Isaacs, 2005).

4. Untuk keluarga Tingkatkan dan anjurkan fungsi keluarga yang sehat. a. Ajarkan pada keluarga tentang pentingnya tanggung jawab individu atas perilakunya masing-masing. b. Ajarkan pada keluarga untuk mengenali situasi yang menimbulkan stres. c. Ajarkan pada keluarga untuk mengembangkan strategi pemecahan masalah atau strategi koping. d. Ajarkan pada keluarga tentang keterampilan menjadi orang tua yang efektif. e. Ajarkan pada keluarga untuk menggunakan sumber daya masyarakat dan bantuan profesional untuk meningkatkan fungsi keluarga (Isaacs, 2005).

5. Untuk komunitas Jadilah anggota komunitas yang profesional dengan mempromosikan perubahan sosial yang meningkatkan fungsi keluarga.

a. Berusaha mengurangi kondisi yang berkaitan dengan kekerasan (mis., kemiskinan, perumahan yang tidak layak, disfungsi sikap masyarakat terhadap kekerasan, penyalahgunaan zat). Sebagai contoh: bergabung dengan organisasi sukarelawan, seperti Victim's Resources, lobi dengan pejabat setempat, negara bagian dan pembuat undang-undang federal untuk menyusun perubahan yang dapat membantu keluarga yang berada di bawah garis kemiskinan. b. Berusaha mengembangkan dan menjaga sumber daya keluarga (mis., layanan perawatan anak, panti wreda, program pendidikan kelompok pendukung). Sebagai contoh: bergabung dengan organisasi sukarelawan, seperti kelompok orang tua dan guru, atau liga atletik remaja. c. Dukung dan tingkatkan upaya hukum dan legislatif untuk menghilangkan kekerasan domestic (Isaacs, 2005).

E. Evaluasi hasil Perawat menggunakan kriteria berikut ini untuk mengevaluasi hasil yang dicapai klien dan efektivitas implementasi keperawatan. a. Korban kekerasan mencapai dan mempertahankan keselamatannya. b. Korban kekerasan menunjukkan adanya perbaikan harga diri dan pemberdayaan diri. c. Keluarga yang tertimpa kekerasan menggunakan sumber daya masyarakat untuk mencapai perbaikan koping. d. Pelaku penganiayaan menerima tanggung jawab atas perilaku kekerasan yang dilakukannya dan menerima hukuman yang diputuskan pengadilan. e. Pelaku penganiayaan tidak melakukan kekerasan terhadap orang lain (Isaacs,2005).

BAB III PENUTUP

A. KESIMPULAN Perilaku kekerasan merupakan suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun lingkungan (Stuart dan Sundeen, 1995). Perilaku kekerasan dapat dibagi dua menjadi, perilaku kekerasan secara verbal dan fisik (Ketner et al, 1995 dalam Isaac, 2005). Klien dengan perilaku kekerasan memerlukan pengkajian lebih dalam untuk mengetahui penyebab, tanda-tanda, jenis, dan akibat dari perilaku kekerasan yang biasa dilakukan klien. Setelah mengetahui penyebab, tanda-tanda, jenis, dan akibat dari perilaku kekerasan yang biasa dilakukan klien, kita bisa menyusun intervensi tindakan keperawatan yang akan dilakukan untuk klien. Semua rencana tindakan keperawatan dari pengkajian hingga evaluasi merupakan serangkaian yang tidak terputus dan semua itu merupakan perbandingan teori dan praktik. KDRT merupakan permasalahan yang telah mengakar sangat dalam dan terjadi di seluruh negara dunia. Dalam hal ini, masyarakat internasional telah menciptakan standar hukum yang efektif dan khusus memberikan perhatian terhadap KDRT. Tindakan untuk memukul perempuan, misalnya, telah dimasukan di dalam konvensi HAM internasional maupun regional yang mempunyai sifat hukum mengikat terhadap negara yang telah meratifikasinya.

B. SARAN Untuk menjadi perawat profesional, perawat harus memiliki landasan teori yang cukup matang dan argumentasi yang kuat, memiliki kompetensi pengkajian yang bagus, fokus dan sabar serta memiliki critical thinking sebab-akibat guna memecahkan kasus yang dialami klien di lahan praktik. Dan selalu berfikir bahwa semua yang terjadi di lahan praktik merupakan suatu masalah, sehingga dapat meringankan beban korban kekerasan dan dapat membantu agar pelaku kekerasan dapat mengubah perilakunya.

DAFTAR PUSTAKA

Effendi, Ferry, dkk. (2009). Keperawatan Kesehatan Komunitas Teori dan Praktik dalam Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika Faiz, pan mohammad. (2007). Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Diambil dari http://jurnalhukum.com/2007/11 tanggal 28 Oktober 2011 Fitria, Nita. (2009). Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan : Laporan Pendahuluan dan Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan ( LP dan SP ). Jakarta : Salemba Medika Fontaine, Lee Karen. (2003). Mental Health Nursing. USA : Pearson Education Isaacs, Ann. (2005). Keperawatan Kesehatan Jiwa di Psikiatrik. Jakarta: EGC Keliat, Budi Anna (1999). Proses keperawatan kesehatan jiwa. Jakarta, EGC Kusumawati, F & Hartono, Y. (2010). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta : Salemba Medika Stuart & Sundeen. (1995). Principles and Practise of Psychiatric Nursing 5th ed. Mosby : Year-Book Stuart & Sundeen. (1998). Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC Townsend, Mary. C. (1998). Diagnosa Keperawatan pada Keperawatan Psikiatri. Jakarta: EGC Videbeck, Sheila L. (2008). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC http://www.docstoc.com/