jawaban tugas hukum internasional

26
JAWABAN TUGAS HUKUM INTERNASIONAL Jawaban : Persamaan definisi Perjanjian Internasional menurut Komisi Hukum Internasional dengan Perjanjian Internasional menurut Pasal 2 Konvensi Wina 1969. a.Sama-sama mendefinisikan sebagai suatu bentuk Perjanjian Internasional yang menyatakan melewati batas wilayah suatu negara. b.Kedua definisi tersebut sama-sama menyebutkan bahwa semua perjanjian yang dibuat harus dalam bentuk tertulis “...in written form...”. c.Kedua definisi tersebut juga menyatakan bahwa “...whether embodied in a single instrument or in two or more related instruments and whatever its particular designed...”, hal ini menyatakan bahwa perjanjian internasional yang dibuat tidak memandang banyaknya instrument dan bagaimana bentuk perjanjian itu (treaty, convention, protocol, covenants, charter, statute, act, declaration, concordat, exchange of notes, agreed minute, memorandum of agreement, modus vivendi or other appellation). Perbedaan definisi Perjanjian Internasional menurut Komisi Hukum Internasional dengan Perjanjian Internasional menurut Pasal 2 Konvensi Wina 1969. Perbedaan yang mendasar dari kedua definisi tersebu hanya pada subyek hukum yang melakukan perjanjian internasional. Pada Komisi Hukum Internasional menyebutkan bahwa perjanjian internasional dilakukan oleh dua negara atau lebih dan subyek hukum internasional lainnya. Sedangkan pada Konvensi Wina lebih dipersempit, perjanjian internasional hanya dilakukan antara negara-negara saja, subyek hukum internasional lainnya tidak disebutkan dalam definisi disini. Dari pembahasan di atas dapat saya simpulkan bahwa sebenarnya kedua definisi tersebut memiliki isi atau maksud yang sama. Hanya saja pada Konvensi Wina definisi dari Perjanjian Internasional lebih dipersempit. Pelaku atau subyek hukum internasional yang bisa melakukan perjanjian internasional dalam Konvensi Wina hanya negara saja, selain negara tidak disebutkan. Sedangkan dalam

Upload: charly-tomasoa

Post on 27-Jun-2015

1.088 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Jawaban Tugas Hukum Internasional

JAWABAN TUGAS HUKUM INTERNASIONAL

Jawaban :Persamaan definisi Perjanjian Internasional menurut Komisi Hukum Internasional dengan Perjanjian Internasional menurut Pasal 2 Konvensi Wina 1969.a.Sama-sama mendefinisikan sebagai suatu bentuk Perjanjian Internasional yang menyatakan melewati batas wilayah suatu negara.b.Kedua definisi tersebut sama-sama menyebutkan bahwa semua perjanjian yang dibuat harus dalam bentuk tertulis “...in written form...”. c.Kedua definisi tersebut juga menyatakan bahwa “...whether embodied in a single instrument or in two or more related instruments and whatever its particular designed...”, hal ini menyatakan bahwa perjanjian internasional yang dibuat tidak memandang banyaknya instrument dan bagaimana bentuk perjanjian itu (treaty, convention, protocol, covenants, charter, statute, act, declaration, concordat, exchange of notes, agreed minute, memorandum of agreement, modus vivendi or other appellation).

Perbedaan definisi Perjanjian Internasional menurut Komisi Hukum Internasional dengan Perjanjian Internasional menurut Pasal 2 Konvensi Wina 1969.Perbedaan yang mendasar dari kedua definisi tersebu hanya pada subyek hukum yang melakukan perjanjian internasional. Pada Komisi Hukum Internasional menyebutkan bahwa perjanjian internasional dilakukan oleh dua negara atau lebih dan subyek hukum internasional lainnya. Sedangkan pada Konvensi Wina lebih dipersempit, perjanjian internasional hanya dilakukan antara negara-negara saja, subyek hukum internasional lainnya tidak disebutkan dalam definisi disini.

Dari pembahasan di atas dapat saya simpulkan bahwa sebenarnya kedua definisi tersebut memiliki isi atau maksud yang sama. Hanya saja pada Konvensi Wina definisi dari Perjanjian Internasional lebih dipersempit. Pelaku atau subyek hukum internasional yang bisa melakukan perjanjian internasional dalam Konvensi Wina hanya negara saja, selain negara tidak disebutkan. Sedangkan dalam Komisi Hukum Internasional subyek hukum internasional lainnya juga disebutkan. Selain daripada itu kedua definisi tersebut memiliki arti dan bahkan format tulisan yang sama.

Jika dikaitkan dengan Perjanjian Internasional menurut Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri Indonesia yang menyatakan bahwa :“ Perjanjian Internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan sebutan apapun, yang diatur oleh Hukum Internasional dan dibuat secara tertulis oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan satu atau lebih negara, organisasi internasional, atau subyek hukum internasional lainnya, serta menimbulkan hak dan kewajiban pada Pemerintah RI yang bersifat hukum publik”.Pertama terdapat pengkhususan yang dilakukan, subyek hukum yang melakukan perjanjian internasional langsung disebutkan, yaitu Negara Republik Indonesia itu sendiri. Hal ini dilakukan sebagai upaya penunjukan kedaulatan dari negara itu sendiri. Perjanjian Internasional yang telah disepakati oleh Negara Indonesia, secara langsung akan menimbulkan hak serta kewajiban yang memang telah disetujui, serta membentuk susatu hukum publik yang mengikat secara nasional. Selain perbedaan ini isi, maksud serta format dari penulisan definisi Perjanjian Internasional dengan dua definisi lainnya menurut Komisi Hukum Internasional dengan

Page 2: Jawaban Tugas Hukum Internasional

Konvensi Wina sama. Mulai dari bentuk perjanjian yang disepakati bisa berbentuk apapun (treaty, convention, protocol, covenants, charter, statute, act, declaration, concordat, exchange of notes, agreed minute, memorandum of agreement, modus vivendi or other appellation), perjanjian dibuat secara tertulis, perjanjian dapat dilakukan dengan Negara lain sebagai subyek hukum internasional, maupun dengan subyek hukum internasional lainnya. Jadi dapat disimpulkan bahwa ketiga definisi ini tidak memiliki perbedaan yang signifikan, baik isi atau makna, maupun format penulisan.

fErrY,,cAndY aDdicT,,,>[///]<

nabiLLa,,:Nama      : Nabilla UlfaKelas / NIM   : 06260010Mata Kuliah   : Hukum Internasional

TUGAS MATA KULIAH HUKUM INTERNASIONAL

Jawab :

Perjanjian Internasional adalah Persetujuan Internasional yang ditandatangani antara negara dengan pemerintah dalam bentuk tertulis, apakah itu diwujudkan dalam sebuah instrumen dua atau lebih, yang berhubungan dan fakta apa saja yang ditunjuk. Berdasarkan definisi tersebut, bahwa subyek hukum internasional yang mengadakan perjanjian adalah anggota masyarakat, bangsa-bangsa, termasuk juga lembaga-lembaga internasional dan negara-negara. Dari definisi-definisi ini dapat ditarik persamaan mengenai ciri-ciri Perjanjian Internasional, bahwa pihak-pihak yang mengadakan Perjanjian saling menyetujui antara pihak-pihak, yang dapat menimbulkan hak dan kewajiban dalam bidang internasional.Dalam perkembangan dewasa ini kedudukan dan Perjanjian Internasional sebagai sumber hukum internasional adalah sangat penting, mengingat Perjanjian Internasional lebih menjamin kepastian hukum, karena dibuat secara tertulis. Lain dari itu Perjanjian Internasional mengatur masalah-masalah bersama yang penting dalam hubungan antara subyek hukum internasional.Menurut Pasal 2 ayat 1 Konvensi Wina tahun 1969 tentang perjanjian internasional, yang dimaksud dengan Perjanjian Internasional adalah suatu persetujuan yang dibuat antar negara dalam bentuk tertulis dan diatur oleh hukum internasional. Definisi Perjanjian Internasional tersebut tercantum pula dalam peraturan perundang-undangan Republik Indonesia dalam UU no. 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri.

Persamaan Persetujuan Internasional menurut Komisi Hukum Internasional dengan menurut Konvensi Wina 1969 :a.Kedua definisi tersebut sama-sama menuliskan bahwa Persetujuan Internasional yang dibuat berbentuk tertulis.b. “...whether embodied in a single instrument or in two or more related instruments and whatever its particular designed...”, kedua definisi tersebut menyatakan bahwa Perjanjian yang dibuat dapat berbentuk apapun, entah itu traktat, protokol, konvensi dan lain-lain.c.Perjanjian internasional yang dibentuk merupakan hasil persetujuan dari bangsa-bangsa atau

Page 3: Jawaban Tugas Hukum Internasional

negara sebagai subyek hukum internasional.

Perbedaan Persetujuan Internasional menurut Komisi Hukum Internasional dengan menurut Konvensi Wina 1969 :Kedua definisi Persetujuan Internasional tersebut tidak memiliki perbedaan yang mendasar, perbedaannya hanya pada subyek hukum internasional yang melakukan perjanjian tersebut. Pada Komisi Internasional, subyek hukum internasioal yang melakukan persetujuan tersebut adalah negara serta subyek hukum internasional lainnya. Sedangkan pada Konvensi Wina 1969 subyek hukum yang ditekankan hanyalah negara saja, tidak menjelaskan tentang subyek hukum internasional lainnya.

Kaitan dengan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia dalam UU no. 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri. Dalam perundang-undangan ini definisi persetujuan internasional langsung tertuju pada negara Indonesia sendiri, hal ini dilakukan sebagai upaya politik indonesia yang bebas aktif. Di dalam perundang-undangan ini juga disebutkan bahwa persetujuan yang dilakukan dan telah disetujui dapat menimbulkan hak dan kewajiban tertentu pada masyarakat Indonesia khususnya. Selain perbedaan itu, tidak ada perbedaan lainnya, baik isi atau maksud dari penjelasan mengenai Persetujuan Internasional sendiri. Mulai dari bentuk perjanjian yang bisa bermacam-macam, bentuk perjanjian yang tertulis serta dilakukan oleh atau antar negara.

Nina:Assalamulekum.... gimana kbrnya disna bu...? baik-baik saja kan?!

???.......... :)    Dalam menganalisis persamaan dan perbedaan pengertian Perjanjian Internasional, saya perlu memaparkan sedikit pengertiannya.Menurut Pasal 2 Konvensi Wina 1969, Perjanjian Internasional merupakan suatu persetujuan yang dibuat antara negara dalam bentuk tertulis dan diatur oleh hukum internasional, apakah itu dalam instrumen tunggal, dua atau lebih instrument yang berkaitan dan apapun nama yang diberikan kepadanya (Pakta, Konvensi, Agreement, Protocol, Charter, dll.) Kemudian dalam Pasal 1 dari konvensi Wina lebih membatasi diri dalam ruang lingkup berlakunya, hanya berlaku untuk perjanjian antar negara, seperti dinyatakan “The present convention applies to treaties between states”. Namun demikian konvensi menganggap perlu untuk mengatur perjanjian-perjanjian yang diadakan oleh subyek-subyek hukum lainnya secara tersendiri, seperti perjanjian antar negara dengan subyek hukum lain selain daripada negara, dan subyek hukum bukan negara satu sama lain.

 :) Kemudian dalam UU Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Internasional (Hubungan Luar Negeri) dinyatakan bahwa Perjanjian Internasional merupakan Perjanjian dalam bentuk dan sebutan apapun yang diatur oleh Hukum Internasional dan dibuat secara tertulis oleh  Pemerintahan Republik Indonesia dengan satu atau lebih negara, organisasi Internasional atau subyek Hukum Internasional lainnya, serta menimbulkan Hak dan Kewajiban pada Pemerintahan RI yang bersifat hukum publik. Sebagai tambahan saja, pada Bab III Pasal 15 memang telah ditetapkan sebelumnya bahwa masalah Perjanjian Internasional akan diatur secara tersendiri dalam suatu Undang-Undang. Mengingat akan pentingnya hal ini, maka pada 22 Mei 2000, pemerintah Republik Indonesia memberi keterangan atas RUU tentang Pembuatan dan

Page 4: Jawaban Tugas Hukum Internasional

Pengesahan Perjanjian Internasional dihadapan Pimpinan dan Anggota DPR yang dalam ruang lingkupnya meliputi pengertian perjanjian internasional, kewenangan membuat perjannjian internasional, tahap-tahap pembuatan perjanjian internasional, serta pengakhiran perjanjian internasional.

 :) Sedangkan menurut Komisi Hukum Internasional 1962 Perjanjian Internasional sama halnya sebagaimana pengertian konvensi wina diatas, hanya saja pada konvensi wina lebih membatasi diri dalam ruang lingkup berlakunya, hanya berlaku untuk perjanjian antar negara, sedangkan tidak demikian dengan Komisi Hukum Internasional, karena ruang lingkup berlakunya lebih luas. negara bukanlah satu-satunya subyek hukum. dalam hal ini negara bisa membuat perjanjian dengan organisasi-organisasi internasional, dan subyek hukum lainnya.

 :) dari pengertian tersebut kemudian saya dapat mengambil kesimpulan, adapun persamaan dari ketiga ketegori pengertian perjanjian internasional tersebut adalah sama-sama melibatkan Subyek Hukum Internasional yang berupa satu atau lebih negara, organisasi-organisasi internasional, atau lainnya yang dibuat dan disusun secara tertulis dan diatur oleh Hukum Internasional.

Namun, perbedaan pengertian perjanjian Internasional disini menurut saya memiliki prosentase yang kecil, dalam UU Nomor 37 Tahun 1999, dijelaskan bahwa perjanjian Internasional ini akan menimbulkan Hak dan Kewajiban bagi pihak-pihak yang bersangkutan, dalam hal ini Pemerintah Republik Indonesia yang bersifat Hukum Publik, sedangkan dalam Konvensi Wina 1969 hal tersebut tidak dijelaskan dan lebih membatasi diri dalam ruang lingkup berlakunya, hanya berlaku untuk perjanjian antar negara.

apabila ada kesalahan presepsi, mohon diluruskan y bu...  :)

Teng kyu feri mach.....   ;)

Nina Nurruwaida Anggita Pradani06260028HI IV/A

Nina:maaf Bu, jawaban saya tadi sedikit ngawur. soalnya tadi saya belum lihat page pertanyaannya  :'(

  :) dari penjelasan ibu tersebut kemudian saya dapat mengambil kesimpulan, adapun persamaan dari ketiga ketegori pengertian perjanjian internasional tersebut adalah sama-sama melibatkan Subyek Hukum Internasional yang berupa satu atau lebih negara, organisasi-organisasi internasional, atau lainnya yang dibuat dan disusun secara tertulis dan diatur oleh Hukum Internasional.

Page 5: Jawaban Tugas Hukum Internasional

:) Sedangkan menurut Komisi Hukum Internasional 1962 Perjanjian Internasional sama halnya sebagaimana pengertian konvensi wina diatas, hanya saja pada konvensi wina lebih membatasi diri dalam ruang lingkup berlakunya, hanya berlaku untuk perjanjian antar negara, sedangkan tidak demikian dengan Komisi Hukum Internasional, karena ruang lingkup berlakunya lebih luas. negara bukanlah satu-satunya subyek hukum. dalam hal ini negara bisa membuat perjanjian dengan organisasi-organisasi internasional, dan subyek hukum lainnya.

Namun, perbedaan pengertian perjanjian Internasional disini menurut saya memiliki prosentase yang kecil, dalam UU Nomor 37 Tahun 1999, dijelaskan bahwa perjanjian Internasional ini akan menimbulkan Hak dan Kewajiban bagi pihak-pihak yang bersangkutan, dalam hal ini Pemerintah Republik Indonesia yang bersifat Hukum Publik, sedangkan dalam Konvensi Wina 1969 hal tersebut tidak dijelaskan dan lebih membatasi diri dalam ruang lingkup berlakunya, hanya berlaku untuk perjanjian antar negara.

jadi, seperti itu analisis saya. maaf tadi saya pake jelasin pengertiannya lagi.   :) ;Dterima kasih....  ;)

Barnaba:Analisis persamaan dan perbedaan perngertian tentang perjanjian internasional menurut konvensi wina tahun 1969 dangan undang-undang no 37 tentang perjanjian  internasional tahun 1999Konvensi wina ,yang disebut dengan vienna convention on the law of treaties 1969 Mengatur tentang perjanjian internasonal publick antar Negara sebagai subjek utama hukum internasional. Sebagai induk dari perjanjian internasional, konvensi wina berisi tentang, baik secara teknis maupun subtansi anatara lain mengatur tentang tanda sebuah Negara menyatakan mengikatkan diri kepada suatu treaty , entry into force dari suatu treaty, hubungan undang-undangdomestik dan treaty, aturan umum untuk memberi interpretasi dari suatu treaty dll. Atao dengan kata lain konvensi wina ialah suatu pernyatan oleh suatu ngara untuk menanda tangani, merativikasi, dan melaksanakan isi dari konvensi perjanjian internasional.Menurut undang- undang no 37 tahun 1999 tentang perjanjian internasional menyatakan : suatu persetujuan antar Negara yang menimbulkan hak dan kewajiban pemerintah antar Negara yang mengadakan perjanjian mengenai suatu objek tertentu yang dirumuskan secara tertulis yang bersifat hukum publik. Melihat dari definisi diatas diperoleh persamaan bahawa : keduanya sama-sama menjadikan Negara sebagai subjek  hukum internasional, dan apabila sudah diratifikasi maka perjanjian internasional tersebut bersifat mengikat dan harus dijalankan menurut isi perjanjian. Sedangkan perbedaan dari perjanjian internasional menurut undang-undang no 37 tahun 1999 dengan konvensi wina ialah: konvensi wina merupakan perjanjian yang biasa mengatur individu dalam suatu Negara, misalnya mengatur tentang hak-hak azasi manusia.

Page 6: Jawaban Tugas Hukum Internasional

Perjanjian InternasionalAuthor: admin

20 Mar

A. Makna Perjanjian InternasionalPerjanjian internasional adalah perjanjian diadakan oleh subjek-subjek hukum internasional dan bertujuan untuk melahirkan akibat-akibat hukum tertentu. Contoh perjanjian internasional adalah perjanjian yang dibuat oleh negara dengan negara lain, negara dengan organisasi internasional, organisasi internasional dengan organisasi internasional lain, serta Tahta Suci dengan negara.

Pengertian perjanjian internasional, diantaranya adalah sebagai berikut :1. Konvensi Wina 1969, perjanjian internasional adalah perjanjian yang diadakan oleh dua negara atau lebih yang bertujuan untu mengadakan akibat-akibat hukum tertentu.2. Konvensi Wina 1986, Perjanjian internasional sebagai persetujuan internasional yang diatur menurut hukum internasional dan ditanda tangani dalam bentuk tertulis antara satu negara atau lebih dan antara satu atau lebih organisasi internasional, antarorganisasi internasional.3. UU No 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, perjanjian internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan sebutan apapun yang diatur oleh hukum internasional dan dibuat secara tertulis oleh pemerintah RI dengan satu atau lebih negara, organisasi internasional atau subjek hukum internasional lainnya, serta menimbulkan hak dan kewajiban pada pemerintah RI yang bersifat hukum publik.4. UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, perjanjian internasional adalah perjanjian dalam bentukdan nama tertentu yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik.5. Oppenheimer-Lauterpact

Page 7: Jawaban Tugas Hukum Internasional

Perjanjian internasional adalah suatu persetujuan antarnegara yang menimbulkan hak dan kewajiban diantara pihak-pihak yang mengadakan.6. Dr. B. SchwarzenbergerPerjanjian internasional adalah persetujuan antara subjek hukum internasional yang menimbulkan kewajiban-kewajiban yang mengikat dalam hukum internasional, dapat berbentuk bilateral maupun multilateral. Adapun subjek hukum yang dimaksud adalah lembaga-lembaga internasional dan negara-negara.7. Prof. Dr. Muchtar Kusumaatmaja, S.H. LLMPerjanjian internasional adalah perjanjian yang diadakan antarbangsa yang bertujuan untuk menciptakan akibat-akibat tertentu.

Kerjasama internasional secara hukum diwujudkan dalam bentuk perjanjian internasional, yaitu negara-negara dalam melaksanakan hubungan atau kerjasamanya membuat perjanjian internasional. Berdasarkan beberapa pengertian tersebut, disimpulkan bahwa perjanjian internasional adalah perjanjian yang dilakukan oleh subjek-subjek hukum internasional dan mempunyai tujuan untuk melahirkan akibat-akibat hukum tertentu.

Perjanjian antarbangsa atau yang sering disebut sebagai perjanjian internasional merupakan persetujuan internasional yang diatur oleh hubungan internasional serta ditandatangani dalam bentuk tertulis. Contoh perjanjian internasional diantaranya adalah antarnegara atau lebih, antarorganisasi internasional atau lebih, dan antarorganisasi internasional.

Perjanjian internasional pada hakekatnya merupakan suatu tujuan atau agreement. Bentuk perjanjian internasional yang dilakuka antarbangsa maupun antarorganisasi internasional ini tidak harus berbentuk tertulis. Dalam perjanjian internasional ini ada hukum yang mengatur perjanjian tersebut. Dalam perjanjian internasional terdapat istilah subjek dan obyek. Yang dimaksud subjek perjanjian internasional adalah semua subjek hukum internasional, terutama negara dan organisasi internasional. Sedangkan yang dimaksud dengan obyek hukum internasional adalah semua kepentingan yang menyangkut kehidupan masyarakat internasional, terutama kepentingan ekonomi, sosial, politik, dan budaya.

B. Macam-Macam Perjanjian InternasionalPerjanjian internasional sebagai sumber formal hukum internasional dapat diklasifikasikan sebagai berikut.1. Berdasarkan Isinyaa) Segi politis, seperti pakta pertahanan dan pakta perdamaian.b) Segi ekonomi, seperti bantuan ekonomi dan bantuan keuangan.c) Segu hukumd) Segi batas wilayahe) Segi kesehatan.Contoh :- NATO, ANZUS, dan SEATO- CGI, IMF, dan IBRD

2.Berdasarkan Proses/Tahapan Pembuatannyaa)Perjanjian bersifat penting yang dibuat melalui proses perundingan, penandatanganan, dan

Page 8: Jawaban Tugas Hukum Internasional

ratifikasi.b)Perjanjian bersifat sederhana yang dibuat melalui dua tahap, yaitu perundingan dan penandatanganan.Contoh :- Status kewarganegaraan Indonesia-RRC, ekstradisi.- Laut teritorial, batas alam daratan.- Masalah karantina, penanggulangan wabah penyakit AIDS.

3. Berdasarkan Subjeknyaa)Perjanjian antarnegara yang dilakukan oleh banyak negara yang merupakan subjek hukum internasional.b)Perjanjian internasional antara negara dan subjek hukum internasional lainnya.c)Perjanjian antarsesama subjek hukum internasional selain negara, yaitu organisasi internasional organisasi internasional lainnya.Contoh :- Perjanjian antar organisasi internasional Tahta suci (Vatikan) dengan organisasi MEE.- Kerjasama ASEAN dan MEE.

4. Berdasarkan Pihak-pihak yang Terlibat.a). Perjanjian bilateral, adalah perjanjian yang diadakan oleh dua pihak. Bersifat khusus (treaty contact) karena hanya mengatur hal-hal yang menyangkut kepentingan kedua negara saja. Perjanjian ini bersifat tertutup, yaitu menutup kemungkinan bagi pihak lain untuk turut dalam perjanjian tersebut.b). Perjanjian Multilateral, adalah perjanjian yang diadakan oleh banyak pihak, tidak hanya mengatur kepentingan pihak yang terlibat dalam perjanjian, tetapi juga mengatur hal-hal yang menyangkut kepentingan umum dan bersifat terbuka yaitu memberi kesempatan bagi negara lain untuk turut serta dalam perjanjian tersebut, sehingga perjanjian ini sering disebut law making treaties.Contoh :Perjanjian antara Indonesia dengan Filipina tentang pemberantasan dan penyelundupan dan bajak laut, perjanjian Indonesia dengan RRC pada tahun 1955 tentang dwi kewarganegaraan, perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura yang ditandatangani pada tanggal 27 April 2007 di Tampaksiring, Bali.Konvensi hukum laut tahun 1958 (tentang Laut teritorial, Zona Bersebelahan, Zona Ekonomi Esklusif, dan Landas Benua), konvensi Wina tahun 1961 (tentang hubungan diplomatik) dan konvensi Jenewa tahun 1949 (tentang perlindungan korban perang).Konvensi hukum laut (tahun 1958), Konvensi Wina (tahun 1961) tentang hubungan diplomatik, konvensi Jenewa (tahun 1949) tentang Perlindungan Korban Perang.

5. Berdasarkan Fungsinyaa). Law Making Treaties / perjanjian yang membentuk hukum, adalah suatu perjanjian yang meletakkan ketentuan-ketentuan atau kaidah-kaidah hukum bagi masyarakat internasional secara keseluruhan (bersifat multilateral).b). Treaty contract / perjanjian yang bersifat khusus, adalah perjanjian yang menimbulkan hak dan kewajiban, yang hanya mengikat bagi negara-negara yang mengadakan perjanjian saja (perjanjian bilateral).

Page 9: Jawaban Tugas Hukum Internasional

Contoh :Perjanjian Indonesia dan RRC tentang dwikewarganegaraan, akibat-akibat yang timbul dalam perjanjian tersebut hanya mengikat dua negara saja yaitu Indonesia dan RRC.

Perjanjian internasional menjadi hukum terpenting bagi hukum internasional positif, karena lebih menjamin kepastian hukum. Di dalam perjanjian internasional diatur juga hal-hal yang menyangkut hak dan kewajiban antara subjek-subjek hukum internasional (antarnegara). Kedudukan perjanjian internasional dianggap sangat penting karena ada beberapa alasan, diantaranya sebagai berikut :1. Perjanjian internasional lebih menjamin kepastian hukum, sebab perjanjian internasional diadakan secara tertulis.2. Perjanjian internasional mengatur masalah-masalah kepentingan bersama diantara para subjek hukum internasional.

C. Istilah Istilah Perjanjian InternasionalDalam kehidupan berbangsa dan bernegara, perjanjian internasional merupakan hukum terpenting bagi hukum internasional positif. Hal ini disebabkan karena lebih menjamin kepastian hukum. Kedudukan perjanjian internasional juga dianggap sangat penting karena selain perjanjian internasional lebih menjamin kepastian hukum, perjanjian internasional diadakan secara tertulis, dan juga karena perjanjian internasional mengatur masalah-masalah kepentingan bersama diantara para subjek hukum internasional dalam perjanjian internasional dikenal beberapa istilah. Istilah-istilah tersebut diantaranya adalah sebagai berikut.1. Traktat (treaty), adalah perjanjian yang paling formal yang merupakan persetujuan dari dua negara atau lebih. Perjanjian ini menitikberatkan pada bidang politik dan bidang ekonomi.2. Konvensi (convention), adalah persetujuan formal yang bersifat multilateral, dan tidak berkaitan dengan kebijaksanaan tingkat tinggi (high policy).3. Deklarasi (declaration),adalah perjanjian internasional yang berbentuk traktat, dan dokumen tidak resmi.4. Convenant, adalah anggaran dasar Liga Bangsa-Bangsa (LBB).5. Charter, adalah suatu istilah yang dipakai dalam perjanjian internasional untuk pendirian badan yang melakukan fungsi administratif.6. Pakta (pact), adalah suatu istilah yang menunjukkan suatu persetujuan yang lebih khusus (Pakta Warsawa).7. Protokol (protocol), adalah suatu dokumen pelengkap instrumen perjanjian internasional, yang mengatur masalah-masalah tambahan seperti penafsiran klausul-klausul tertentu.8. Persetujuan (Agreement), adalah perjanjian yang bersifat teknis dan administratif. Sifat agreement tidak seresmi traktat atau konvensi, sehingga diratifikasi.9. Perikatan (arrangement) adalah suatu istilah yang dipakai untuk masalah transaksi-transaksi yang bersifat sementara. Sifat perikatan tidak seresmi traktat dan konvensi.10. Modus vivendi, adalah sebuah dokumen yang digunakan untuk mencatat persetujuan internasional yang bersifat sementara, sampai berhasil diwujudkan perjumpaan yang lebih permanen, terinci, dan sistematis serta tidak memerlukan ratifikasi.11. Proses verbal, adalah suatu catatan-catatan atau ringkasan-ringkasan atau kesimpulan-kesimpulan konferensi diplomatik atau catatan-catatan pemufakatan yang tidak diratifikasi.12. Ketentuan penutup (final Act), adalah suatu ringkasan hasil konvensi yang menyebutkan

Page 10: Jawaban Tugas Hukum Internasional

negara peserta, nama utusan yang turut diundang, serta masalah yang disetujui konvensi.13. Ketentuan umum (general act), adalah traktat yang bisa bersifat resmi maupun tidak resmi.

D. Tahap-Tahap Perjanjian InternasionalPerjanjian internasional biasanya dituangkan dalam bentuk struktur perjanjian internasional yang lengkap dan dibuat melalui tiga tahap, yaitu tahap perundingan, tahap penandatanganan, dan tahap ratifikasi.1. Perundingan (Negotiation)Tahapan ini merupakan suatu penjajakan atau pembicaraan pendahuluan oleh masing-masing pihak yang berkepentingan. Dalam perundingan internasional ini negara dapat diwakili oleh pejabat negara dengan membawa surat kuasa penuh (full powers/credentials), kecuali apabila dari semula peserta perundingan sudah menentukan bahwa full power tidak diperlukan. Pejabat negara yang dapat mewakili negaranya dalam suatu perundingan tanpa membawa full power adalah kepala negara, kepala pemerintahan (perdana menteri), menteri luar negeri, dan duta besar. Keempat pejabat tersebut dianggap sudah sah mewakili negaranya karena jabatan yang disandangnya.Perundingan dalam rangka perjanjian internasional yang hanya melibatkan dua pihak (bilateral) disebut pembicaraan (talk), perundingan yang dilakukan dalam rangka perjanjian multilateral disebut konferensi diplomati (diplomatik conference). Selain secara resmi terdapat juga perundingan yang tidak resmi, perundingan ini disebut corridor talk.Hukum internasional dalam tahap perundingan atau negosiasi, memberi peluang kepada seseorang tanpa full powers untuk dapat mewakili negaranya dalam suatu perundingan internasional. Seseorang tanpa full powers yang ikut dalam perundingan internasional ini akan dianggap sah, apabila tindakan orang tersebut disahkan oleh pihak yang berwenang pada negara yang bersangkutan. Pihak yang berwenang tersebut adalah kepala negara dan/atau kepala pemerintahan (presiden, raja/perdana menteri). Apabila tidak ada pengesahan, maka tindakan orang tersebut tidak sah dan dianggap tidak pernah ada.

2. Tahap Penandatanganan (Signature)Tahap penandatanganan merupakan proses lebih lanjut dari tahap perundingan. Tahap ini diakhiri dengan penerimaan naskah (adoption of the text) dan pengesahan bunyi naskah (authentication of the text). Penerimaan naskah (adoption of the text) yaitu tindakan perwakilan negara dalam perundingan internasional untuk menerima isi dari perjanjian nasional. Dalam perjanjian bilateral, kedua perwakilan negara harus menyetujui penerimaan naskah perjanjian. Sedangkan dalam perjanjian multilateral, bila diatur secara khusus dalam isi perjanjian, maka berlaku ketentuan menurut konferensi Vienna tahun 1968 mengenai hukum internasional. Penerimaan naskah ini dapat dilakukan apabila disetujui sekurang-kurangnya dua pertiga peserta konferensi.Pengesahan bunyi naskah (authentication of the text) dilakukan oleh para perwakilan negara yang turut serta dalam perjanjian tersebut. Dalam perjanjian bilateral maupun multilateral pengesahan naskah dapat dilakukan para perwakilan negara dengan cara melakukan penandatanganan ad referendum (sementara) atau dengan pembubuhan paraf (initial). Pengesahan bunyi naskah adalah tindakan formal untuk menerima bunyi naskah perjanjian.Penandatanganan dilakukan oleh menteri luar negeri (menlu) atau kepala pemerintahan. Dengan menandatangani suatu naskah perjanjian, suatu negara berarti sudah menyetujui untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian. Selain melalui penandatanganan, persetujuan untuk

Page 11: Jawaban Tugas Hukum Internasional

mengikat diri pada suatu perjanjian dapat dilakukan melalui ratifikasi, pernyataan turut serta (acesion) atau menerima (acceptance) suatu perjanjian.

3. Tahap Ratifikasi (Ratification)Pengesahan atau ratifikasi adalah persetujuan terhadap rencana perjanjian internasional agar menjadi suatu perjanjian yang berlaku bagi masing-masing negara tersebut. Pengesahan perjanjian internasional oleh pemerintah dilakukan sepanjang dipersyaratkan oleh perjanjian internasional tersebut. Pengesahan suatu perjanjian internasional dilakukan berdasarkan ketetapan yang telah disepakati oleh para pihak.Setelah penandatanganan naskah perjanjian internasional dilakukan oleh para wakil negara peserta perundingan, maka selanjutnya naskah perjanjian tersebut dibawa pulang ke negaranya masing-masing untuk dipelajari dengan seksama untuk menjawab pertanyaan, yaitu apakah isi perjanjian internasional tersebut sudah sesuai dengan kepentingan nasional atau belum dan apakah utusan yang telah diberi kuasa penuh melampaui batas wewenangnya atau tidak. Apabila memang ternyata isi dalam perjanjian tersebut sudah sesuai, maka negara yang bersangkutan tersebut akan meratifikasi untuk menguatkan atau mengesahkan perjanjian yang ditandatangani oleh wakil-wakil yang berkuasa tersebut.Ratifikasi bertujuan memberi kesempatan kepada negara peserta perjanjian internasional untuk mengadakan peninjauan dan pengkajian secara seksama apakah negaranya dapat diikat suatu perjanjian internasional atau tidak. Ratifikasi perjanjian internasional dibedakan menjadi tiga. Hal ini untuk mengetahui siapakah yang berwenang meratifikasi suatu naskah perjanjian internasional di negara tersebut. Ketiga sistem ratifikasi tersebut adalah sebagai berikut :a). Sistem ratifikasi oleh badan eksekutif, yaitu bahwa suatu perjanjian internasional baru mengikat apabila telah diratifikasi oleh kepala negara atau kepala pemerintahan. Misalnya saja pada pemerintahan otoriter seperti NAZI.b). Sistem ratifikasi oleh badan legislatif, yaitu bahwa suatu perjanjian baru mengikat apabila telah diratifikasi oleh badan legislatif. Misalnya adalah Honduras, Turki, dan Elsalvador.c). Sistem ratifikasi campuran (badan eksekutif dan legislatif), yaitu bahwa suatu perjanjian internasional baru mengikat apabila badan eksekutif dan legislatif sama-sama menentukan proses ratifikasi. Misalnya Amerika Serikat, Perancis, dan Indonesia.

Indonesia menganut sistem ratifikasi campuran, yaitu ada peran lembaga eksekutif dan legislatif dalam meratifikasi perjanjian internasional. Dalam UU RI No. 24 Tahun 2000 tentang perjanjian internasional, ratifikasi atau pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang atau keputusan Presiden. Di Indonesia ratifikasi dengan undang-undang harus terdapat persetujuan Presiden dan DPR secara bersama-sama terhadap perjanjian internasional. Ratifikasi dengan keputusan Presiden hanya mengisyaratkan adanya persetujuan Presiden terhadap perjanjian tersebut. Dasar hukum sistem ratifikasi di Indonesia, terdapat dalam undang-undang Dasar 1945 yaitu pasal 11 ayat (1), (2), dan (3) UUD 1945.Perjanjian internasional yang dapat diratifikasi dengan keputusan Presiden, diantaranya yaitu perjanjian induk yang berkaitan dengan kerjasama di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, ekonomi dan teknik perdagangan, kebudayaan, pelayaran niaga, serta penghindaran pajak berganda dan kerjasama perlindungan penanaman modal.

Ratifikasi melalui undang-undang dapat dilakukan terhadap perjanjian internasional yang menyangkut materi-materi di bawah ini,

Page 12: Jawaban Tugas Hukum Internasional

a)Politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara.b)Perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara RI.c)Kedaulatan atau hak berdaulat negara.d)Hak asasi manusia dan lingkungan hidup.e)Pembentukan kaidah hukum baru.f)Pinjaman dan/atau hibah luar negeri.

Page 13: Jawaban Tugas Hukum Internasional

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN BERKAITAN DENGAN TINDAKAN PEMALSUAN MEREK

*) NB : Seluruh tulisan yang ada di blog ini dapat dikutip untuk keperluan akademis dengan mencantumkan sumbernya. STOP PLAGIARISME  

Oleh: Inda Rahadiyan, Fadhilatul Hikmah, Debby Ferina Tampubolon dan Hilda Aini                                                                                                                BAB I

PENDAHULUANA.    Latar Belakang

Perkembangan hukum di bidang perlindungan konsumen yang semakin maju dewasa ini menjadi

fenomena yang penting dan menarik untuk dikaji. Hukum perlindungan konsumen yang berakar dari

gerakan konsumen Amerika Serikat kemudian merambah hampir ke seluruh dunia tak terkecuali

Indonesia. Regulasi bidang perlindungan konsumen di negeri ini dapat dikatakan masih relatif muda.

Diundangkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan konsumen menrupakan

awal dari kebangkitan “consumer power”di Indonesia. Dengan kata lain kehadiran UU.No.8 Tahun 1999

menjadi tonggak sejarah perkembangan hukum perlindungan konsumen di Indonesia.[1]

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan konsumen yang lebih dikenal

dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen(UUPK) dipandang telah cukup baik oleh

sebagian kalangan. UUPK memberikan pengaturan cukup baik mulai dari pengertian

konsumen,pelaku usaha,hak dan kewajiban hingga sanksi terhadap berbagai bentuk pelanggaran.

Namun demikian, bukan berarti ketentuan UUPK telah sempurna. UUPK memang cukup

responsif terhadap kedudukan konsumen yang seringkali dirugikan oleh tindakan-tindakan

pelaku usaha namun terkait dengan beberapa hal yang menimbulkan kerugian bagi konsumen

UUPK belum memberikan pengaturan yang jelas. Salah satunya  adalah mengenai pelanggaran

Page 14: Jawaban Tugas Hukum Internasional

terhadap Hak Atas Kekayaan Intelektual. Tindakan pelanggran HAKI yang menimbulkan

kerugian bagi konsumen seharusnya menjadi salah satu materi muatan  dalam UUPK  karena

pada kenyataannya jumlah tindak pelanggaran HAKI yang merugikan konsumen sangat banyak

terjadi.

Salah satu contoh kasus menarik dan patut untuk dikaji adalah pemalsuan kosmetik merek

‘Ponds’. Kerugian yang diderita oleh konsumen terhadap tindakan pemalsuan kosmetik ini pada

level tertentu sangat membahayakan kesehatan bahkan mengancam kehidupan. Berdasarkan data

dari BPOM didapatkan sebanyak 70 merek kosmetik  mengandung bahan berbahaya seperti

merkuri setelah diadakan uji laboratorium sejak September 2008 hingga Mei 2009. Ketujuh

puluh produk di atas ditengarai bisa memicu penyakit gangguan syaraf, gangguan perkembangan

janin, serta penyakit kanker[2]. Berdasarkan  fakta  tersebut di atas maka sudah selayaknya jika

konsumen mendapatkan perlindungan keamanan atas setiap produk yang dikonsumsinya.

Dengan demikian,pembahasan mengenai perlindungan konsumen terhadap tindakan pemalsuan

kosmetik  ini menjadi sangat penting untuk dikaji.

B. Rumusan masalah

Berdasarkan pada latar belakang masalah tersebut diatas,maka dapat ditarik beberapa rumusan

masalah sebgai berikut:

1.      Hal-hal apa sajakah yang menjadi karakteristik  dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999?

2.      Bagaimanakah UUPK memberikan perlindungan bagi konsumen yang menderita kerugian

sebagai akibat dari tindakan pemalsuan merek kosmetik       ( Ponds)?

BAB II

PEMBAHASAN

Page 15: Jawaban Tugas Hukum Internasional

Pada intinya terdapat beberapa hal penting dan patut digarisbawahi di dalam ketentuan Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1999. Adapun  beberapa hal yang kemudian  menjadi karakteristik

Undang-Udang ini adalah sebagai berikut:

1.      Undang-Undang Perlindungan Konsumen tidak mengatur dengan jelas mengenai macam dan

jenis barang yang dilindungi[3]. Ketentuan semacam ini dapat dipahami sebagai suatu bentuk

perwujudan dari semangat memberikan perlindungan bagi konsumen karena dengan tidak

dirincinya macam dan jenis barang yang dilindungi maka hal ini akan menguntungkan bagi

konsumen. Dikatakan menguntungkan bagi konsumen karena konsumen yang mengkonsumsi

barang jenis apapun tanpa terkecuali akan mendapatkan perlindungan yang sama dari Undang-

Undang ini.

2.      Undang-Undang Perlindungan Konsumen sangat menekankan pentingnya arti dari

‘konsumen’[4]. Penekanan terhadap arti konsumen dalam Undang-Undang ini sejalan dengan

semangat pembentukannya yang memang ditujukan untuk membentuk sebuah peraturan

perundang-undangan yang hendak memberikan perlindungan  kepada konsumen secara lebih

nyata. Semangat ini Nampak dalam penjelasan UUPK yang juga secara lebih jelas meberikan

penjelasan terhadap pengertian konsumen. Dengan demikian,semangat untuk memberikan

perlindungan bagi konsumen merupakan hal utama yang menjadi karakteristik dari perumusan

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen.

Sesuai dengan semangat perlindungan konsumen yang hendak diberikan oleh UUPK maka

permasalahan menyangkut kerugian yang diderita oleh konsumen menjadi hal yang paling

penting untuk dikaji. UUPK telah jelas memberikan perlindungan hukum bagi konsumen

tarhadap berbagai tindakan pelanggaran yang merugikan konsumen namun terhadap tindakan

Page 16: Jawaban Tugas Hukum Internasional

pelanggran HAKI yang merugikan konsumen tidak dicover oleh UUPK melainkan dikembalikan

lagi pada Undang-Undang yang bersangkutan.

Sebagai contoh adalah kasus pemalsuan merek kosmetik ‘Ponds’. Dalam TRIPs artikel 16

ditentukan bahwa.

The owner of a registered trademark shall have the exclusive right to prevent all third parties not having the owner’s consent from using in the course of trade identical or similar signs for goods or services which are identical or similar to those in respect of which the trademark is registered where such use would result in a likelihood of confusion. In case of the use of an identical sign for identical goods or services, a likelihood of confusion shall be presumed. The rights described above shall not prejudice any existing prior rights, nor shall they affect the possibility of Members making rights available on the basis of use.[5] Dengan demikian, tindakan pemalsuan merek Pons jelas melanggra ketentuan HAKI dan lebih lanjut tindakan ini pun menimbulkan kerugian bagi konsumen yang mengkonsumsi produk ponds palsu ini.

Dalam kasus pemalsuan tersebut, apabila terbukti si pemalsu merugikan atau

membahayakan konsumen yang mengkonsumsi produk palsunya maka konsumen yang

bersangkutan tidak akan mendapatkan perlindungan hukum dari UUPK namun ia akan mendapat

perlindungan hukum secara tidak langsung dari Undang-Undang Merek yang melindungi si

pemegang merek. Dengan kata lain, UUPK mendelegasikan perlindungan konsumen terhadap

tindakan pelanggran HAKI yang merugikan konsumen kepada Undang-Undang HAKI yang

bersangkutan sehingga perlindungan yang didapatkan oleh konsumen yang dirugikan oleh

tindakan pemalsuan merek kosmetik ponds  berasal dari perlindungan yang diberikan oleh

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 kepada PT. Unilever selaku pemegang merek ‘Ponds’

terdaftar.

Pada kasus pemalsuan merek ponds sebagaimana tersebut di atas, konsumen yang

dirugikan tidak dapat mengajukan gugatan ganti kerugian kepada pelaku usaha (dalam hal ini

PT.Unilever) karena ternyata produk yang merimbulkan kerugian tersebut bukanlah produk yang

diproduksi oleh PT. Unilever melainkan produk yang diproduksi oleh pelaku usaha lain yang

dengan sengaja memalsukan merek ponds. Dengan demikian,akan menjadisangat sulit apabila

Page 17: Jawaban Tugas Hukum Internasional

penyelesaian kasus ini dilakukan dengan menggunakan UUPK. Oleh karena itu,pada masa

mendatang diharapkan revisi terhadap UUPK khususnya agar UUPK memberikan pengaturan

terhadap tindakan pelanggran HAKI yang merugikan konsumen karena seluruh Undang-Undang

tentang HAKIhanya memberikan perlindunan hukum bagi pemegang HAKI yang sebenarnya

namun tidak memberikan perlindngan hukum bagi konsumen.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pada pembahasan sebagaimana tersebut diatas maka dapat ditari kesimpulan

sebagai berikut:

a.       Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen memiliki dua karakteristik

utama yaitu: tidak memberikan pengaturan yang jelas mengenai jenis dan macam barang yang

dilindungi sehingga ketentaun ini akan lebih menguntungkan pihak konsumen

b.      Undang_Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen hendak memberikan

perlindungan kepada konsumen dengan lebih baik. Indikasi dari hal tersebut terlihat dalam penjelasan

Undang-Undang ini yang memberikan pengertian’konsumen’ secara rinci.

c.       Undang-Undang Perlindungan konsumen mendelegasikan penyelesaian megenai hal-hal yang

menyangkut pelanggaran HAKI yang menimbulkan kerugian bagi konsumen kepada UU HAKI ybs. Dalam

kasus pemalsuan merek Pons ini, konsumen yang dirigikan akan mendapatkan perlindungan hukum

secara tidak langsung dari Undanng-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek.

B.     Saran

Berdasarkan pada pembahasan dan analisis singkat mengenai permasalahan-permaslahan

tersebut di atas maka penyusun dapat memerikan saran sebagai berikut;

a.       Agar dikemudian hari UUPK dapat direvisi sehingga ketentuna mengenai pelanggaran HAKI

yang menimbulkan kerugian bagi konsumen dapat dicover  dalam UUPK sehingga hak-hak

Page 18: Jawaban Tugas Hukum Internasional

konsumen untuk memperoleh keamanan dalam mengkonsumsi barang dan jasa benar-benar

terllindungi

b.      Agar aparat penegak hukum dapat lebih meningkatkan law enforcement terhadap ketentaun UUPK

agarkerugian yang diderita oleh konsumen dapat dikurangi.