jawaban bank soal uts fitofarmaka 7 april 2011

Download Jawaban Bank Soal UTS Fitofarmaka 7 April 2011

If you can't read please download the document

Upload: hifdzurrashifrijai

Post on 10-Dec-2014

28 views

Category:

Documents


12 download

TRANSCRIPT

Jawaban

Bank

Soal UTS Fitofarmaka 7 april 2011

1. mutu didefinisikan sebagai pemenuhan persyaratan konsumen dan dinyatakan dalam berbagai cara:

a b c d e f

Kesesuaian dengan tujuan/manfaat sifat dan karakter produk/ jasa yg memuaskan kebutuhan yg jelas ataupun tersamar. memenuhi kebutuhan konsumen sekarang dan masa yg akan datang keseluuhan karakteristik produk dan jasa yg pemanfaatannya sesuai dg kebutuhan dan harapan konsumen kesesuaian dg persyaratan sesuatu yg berbeda untk setiap orang dan bergantung pada tempat, waktu dan tujuannya.

Dilihat dari kuadran jendela konsumen : kepuasan diperoleh manakala produk Dan layanan sesuai dengan harapan konsumen. (blm yakin hehehe.. :p) 2. manfaat standarisasi adalah untuk menjamin keseragaman produk dalam kualitas, keamanan dan khasiat. Standarisasi simplisia dibutuhkan karena kandungan kimia tanaman obat sangat bervariasi tergantung banyak faktor seperti telah dikemukakan sebelumnya. Standarisasi simplisia diperlukan untuk mendapatkan efek yang dapat diulang ( reproducible). Kandungan kimia yang dapat digunakan sebagai standar adalah kandungan kimia yang berkhasiat, atau kandungan kimia yang hanya sebagai petanda (marker), atau yang memiliki sidik jari ( fingerprint) pada kromatogram. Untuk mendapatkan simplisia dengan mutu standar diperlukan pembudidayaan dalam kondisi standar. Kendala standarisasi obat bahan alam:? 3. - marker aktif - marker identitas senyawa aktif senyawa khas

4. Faktor yang mendorong masyarakat untuk mendayagunakan obat bahan alam antara lain mahalnya harga obat modern/sintetis dan banyaknya efek samping. Selain itu faktor promosi melalui media masa juga ikut berperan dalam meningkatkan penggunaan obat bahan alam. Oleh karena itu obat bahan alam menjadi semakin populer dan penggunaannya meningkat tidak saja di negara sedang berkembang seperti Indonesia, tetapi juga pada negara maju misalnya Jerman dan Amerika Serikat. Tahun 2000 pasar dunia untuk obat herbal termasuk bahan baku mencapai 43 000 juta dolar Amerika. Penjualan obat herbal meningkat dua kali lipat antara tahun 1991 dan 1994, dan antara 1994 dan 1998 di Amerika Serikat.

5. Saintifkasi Jamu adalah pembuktian ilmiah jamu melalui penelitian berbasis pelayanan kesehatan. Klinik jamu dapat merupakan praktik perorangan dokter atau dokter gigi maupun praktik berkelompok dokter atau dokter gigi. (1) Klinik Jamu terdiri dari :

a. Klinik Jamu Tipe A b. Klinik Jamu Tipe B (2) Klinik jamu tipe A harus memenuhi persyaratan: a. Ketenagaan yang meliputi : 1) Dokter sebagai penanggung jawab 2) Asisten Apoteker. 3) Tenaga kesehatan komplementer alternatif lainnya sesuai kebutuhan. 4) Diploma (D3) pengobat tradisional dan/atau pengobat tradisional ramuan yang tergabung dalam Asosiasi Pengobat Tradisional yang diakui Departemen Kesehatan. 5) Tenaga administrasi. b. Sarana yang meliputi: 1) Peralatan medis 2) Peralatan jamu 3) Memiliki ruangan : a) Ruang tunggu. b) Ruang pendaftaran dan rekam medis (medical record). c) Ruang konsultasi/pelaksanaan penelitian. d) Ruang pemeriksaan/tindakan. e) Ruang peracikan jamu. f) Ruang penyimpanan jamu. g) Ruang diskusi. h) Ruang laboratorium sederhana. i) Ruang apotek jamu. (3) Klinik Jamu tipe B harus memenuhi persyaratan: a. Ketenagaan yang meliputi : 1) Dokter sebagai penanggung jawab 2) Tenaga kesehatan komplementer _alternatif lainnya sesuai kebutuhan. 3) Diploma (D3) pengobat tradisional dan/atau pengobat tradisional ramuan yang tergabung dalam Asosiasi Pengobat Tradisional yang diakui Departemen Kesehatan. 4) Tenaga administrasi. b. Sarana yang meliputi: 1) Peralatan medis. 2) Peralatan jamu. 3) Memiliki ruangan : a) Ruang tunggu dan pendaftaran. b) Ruang konsultasi, pemeriksaan/tindakan/penelitian dan rekam medis (medical record). c) Ruang peracikan jamu.

6. Uji toksisitas dibagi menjadi uji toksisitas akut, subkronik, kronik, dan uji toksisitas khusus yang meliputi uji teratogenisitas, mutagenisitas, dan karsinogenisitas. Uji toksisitas akut dimaksudkan untuk menentukan LD50 (lethal dose50) yaitu dosis yang mematikan 50% hewan coba, menilai berbagai gejala toksik, spektrum efek toksik pada organ, dan cara kematian. Uji LD50 perlu dilakukan

untuk semua jenis obat yang akan diberikan pada manusia. Untuk pemberian dosis tunggal cukup dilakukan uji toksisitas akut. Pada uji toksisitas subkronik obat diberikan selama satu atau tiga bulan, sedangkan pada uji toksisitas kronik obat diberikan selama enam bulan atau lebih. Uji toksisitas subkronik dan kronik bertujuan untuk mengetahui efek toksik obat tradisional pada pemberian jangka lama. Lama pemberian sediaan obat pada uji toksisitas ditentukan berdasarkan lama pemberian obat pada manusia. 7. Uji preklinik dilaksanakan setelah dilakukan seleksi jenis obat tradisional yang akan dikembangkan menjadi fitofarmaka. Uji preklinik dilakukan secara in vitro dan in vivo pada hewan coba untuk melihat toksisitas dan efek farmakodinamiknya. Bentuk sediaan dan cara pemberian pada hewan coba disesuaikan dengan rencana pemberian pada manusia. Menurut pedoman pelaksanaan uji klinik obat tradisional yang dikeluarkan Direktorat Jenderal POM Departemen Kesehatan RI hewan coba yang digunakan untuk sementara satu spesies tikus atau mencit, sedangkan WHO menganjurkan pada dua spesies. Uji klinik pada manusia hanya dapat dilakukan apabila obat tradisional/obat herbal tersebut telah terbukti aman dan berkhasiat pada uji preklinik. Pada uji klinik obat tradisional seperti halnya dengan uji klinik obat moderen, maka prinsip etik uji klinik harus dipenuhi. Sukarelawan harus mendapat keterangan yang jelas mengenai penelitian dan memberikan informed-consent sebelum penelitian dilakukan. Standardisasi sediaan merupakan hal yang penting untuk dapat menimbulkan efek yang terulangkan (reproducible). Uji klinik dibagi empat fase yaitu: Fase I : dilakukan pada sukarelawan sehat, untuk menguji keamanan dan tolerabilitas obat tradisional Fase II awal: dilakukan pada pasien dalam jumlah terbatas, tanpa pembanding Fase II akhir: dilakukan pada pasien jumlah terbatas, dengan pembanding Fase III : uji klinik definitif Fase IV : pasca pemasaran,untuk mengamati efek samping yang jarang atau yang lambat timbulnya Untuk obat tradisional yang sudah lama beredar luas di masyarakat dan tidak menunjukkan efek samping yang merugikan, setelah mengalami uji preklinik dapat langsung dilakukan uji klinik dengan pembanding. Untuk obat tradisional yang belum digunakan secara luas harus melalui uji klinik pendahuluan (fase I dan II) guna mengetahui tolerabilitas pasien terhadap obat tradisional tersebut.2 Berbeda dengan uji klinik obat modern, dosis yang digunakan umumnya berdasarkan dosis empiris tidak didasarkan dose-ranging study. Kesulitan yang dihadapi adalah dalam melakukan pembandingan secara tersamar dengan plasebo atau obat standar. Obat tradisional mungkin mempunyai rasa atau bau khusus sehingga sulit untuk dibuat tersamar. Saat ini belum banyak uji klinik obat tradisional yang dilakukan di Indonesia meskipun nampaknya cenderung meningkat dalam lima tahun belakangan ini. Kurangnya uji klinik yang dilakukan terhadap obat tradisional antara lain karena: a Besarnya biaya yang dibutuhkan untuk melakukan uji klinik b Uji klinik hanya dapat dilakukan bila obat tradisional telah terbukti berkhasiat dan aman pada uji preklinik c Perlunya standardisasi bahan yang diuji d Sulitnya menentukan dosis yang tepat karena penentuan dosis berdasarkan dosis empiris, selain itu kandungan kimia tanaman tergantung pada banyak faktor. e Kekuatiran produsen akan hasil yang negatif terutama bagi produk yang telah laku di pasaran