jatuhnya blambangan 1768 sri marganadisbudpar.jatimprov.go.id/uploads/berkas/jatuhnya blambangan...
TRANSCRIPT
1
JATUHNYA BLAMBANGAN 1768
Sri Margana
Blambangan: Antara Mitos dan Realitas
Kerajaan Blambangan terletak di ujung timur pulau Jawa. Kerajaan ini memiliki sejarah
panjangnya sendiri, berkembang bersamaan dengan kerajaan Hindu terbesar di Jawa,
Majapahit. Pada masa keruntuhan Majapahit abad ke-15, Blambangan berdiri sebagai satu-
satunya kerajaan Hindu di Jawa, mengontrol bagian terbesar wilayah Ujung Timur Jawa
(wilayah ini sekarang terbagi dalam lima kabupaten: Banyuwangi, Jember, Lumajang,
Bondowoso dan Situbondo). Hampir selama tiga abad, Blambangan berada di antara dua faksi
politik yang berbeda, kerajaan Islam Mataram di Barat dan berbagai kerajaan Hindu di Bali
(Gelgel, Buleleng, dan Mengwi) di Timur. Kedua kekuatan yang bertetangga ini secara
simultan terus memperebutkan wilayah Blambangan untuk memuaskan ambisi politik,
ekonomi dan religius mereka. Para penguasa Bali menggunakan Blambangan sebagai wilayah
antara untuk melawan ekspansi Islam yang dilakukan oleh Mataram Islam dari barat, dan
mereka juga mendapati bahwa wilayah tersebut sangat bermanfaat untuk menyokong ekonomi
Bali yang bangkrut akibat peperangan antar-kerajaaan yang endemik. Pada paruh akhir abad
ke-16, beberapa misionaris Barat tiba di Jawa Timur untuk mencoba mengubah agama
penduduk lokal dan, satu abad kemudian Belanda dan Inggris mengadu kekuatan politik dan
ekonomi masing-masing di kawasan tersebut. Kerusuhan internal berkaitan dengan
penggantian raja di kerajaan Blambangan memperlemah kerajaan tersebut, menjadikannya
rawan terhadap intervensi asing.1
Blambangan sangat jarang disebut dalam historiografi Indonesia. Dalam karya
pionirnya Pengantar Sejarah Indonesia dan berjilid-jilid buku Sejarah Nasional Indonesia2
karyanya, Sartono Kartodirdjo tidak sekalipun membuat kalimat tentang kawasan tersebut.
Sebelum penerbitan karya I Made Sujana pada tahun 2003, episode sejarah Blambangan hanya
dapat ditemukan pada karya-karya C. Lekkerker dan H. J. De Graaf. Karya penting Lekkerker
tentang Ujung Timur Jawa sangat jarang dibaca oleh para pembaca Indonesia karena ditulis
dalam bahasa Belanda. Saya mendapatkan banyak manfaat dari penelitian penting ini. Meski
1 Etimologi Blambangan atau Balambangan, dijelaskan oleh Atmosudirdjo sebagai berikut: nama
Balambangan ditemukan pertama kalinya dalam Negara Kertagama 1365. Encyclopaedie van Nederlandsch-
Indië, vol. 2, merujuk pada Kawi-Balineesch Woordenboek yang menjelaskan kata lambwang (Jawa dan
Indonesia; lambung) berarti pinggir atau batas, yang dapat dibaca Kalambwangan. Dokumen-dokumen VOC abad
ke-18 menyebut Balemboangang atau Balamboang(han). Ejaan lainnya adalah Balaboanghan (seperti ditemukan
dalam R. van Goens, ‘Reijsbeschrijvingen na Mataram’ (1856), 307.), Baliboangh and Balimbang (dalam
Encyclopaedie van Nederlandsch- Indië, vol. 4, 300) atau Bolamboan. P. J. Veth mengaitkan kata Balambangan,
yang berarti “perbatarasan” dengan Wong Pinggir atau orang pinggiran. Dua artikel dalam Encyclopaedie van
Nederlandsch-Indie berjudul ‘Pinggir’ dan ‘Tenggereezen’, merujuk pada para tahanan yang diangkut ke
Mataram dari Blambangan pada masa Perang Mataram-Blambangan 1625-1645. Lihat P. J. Veth, Java:
Geographisch, Ethnologish, Historisch, vol. iv, hlm., 103-104. Atmosudirdjo sendiri menawarkan sebuah
interpretasi alternative dari kata Balambangan yang barangkali berasal dari dua kata bala, ‘orang’ dan (i)mbang,
‘batas’. Brandes menjelaskan pengejaan Balamboang(han) dari dialek Oesing dialect, di mana kata itu dilafalkan
sebagai Balambjangan atau Balambwangan. J. L. A., Brandes, ‘Verslag over een babad Balambwangan’ (1894),
hlm., 325. Lihat juga, R. S. P. Atmosudirdjo, Vergelijkende adatrechtelijk studie van Oost Javase, Madoerezen
en Oesingers. (Amsterdam: 1952), hlm., 2-4. 2 Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia: Dari Emporium ke Imperium, 1600-1800 (Jakarta:
Gramedia, 1987); Idem. (et.al.), Sejarah Nasional Indonesia. 6 jilid, (Jakarta: Departemen Pedidikan &
Kebudayaan,1976)
2
demikian, cerita dramatis Blambangan sangat populer di antara penduduk Indonesia, terutama
mereka yang hidup di Jawa, karena roman kerajaan Blambangan sering kali ditulis dalam
banyak novel atau disebut-sebut dalam tradisi oral dan tulis lokal (babad). Oleh karena itu,
dalam benak penduduk Indonesia Blambangan lebih sering atau setidaknya dianggap sebagai
negeri entah brantah.3
Pada tahun 1935, sebuah novel tentang Blambangan berjudul Digdaja diterbitkan
dalam majalah sastra Penghidoepan. Pengarang dari novel ini, Tan Boen Swie (T.B.S),
mencoba menjawab teka-teki mengenai asal usul Tiyang Pinggir atau Wong Pinggir, sebuah
komunitas terpisah yang hidup di Surakarta dan Yogyakarta.4 Tiyang Pinggir berasal dari ujung
timur Pulau Jawa atau pinggiran, Blambangan tepatnya. Tiyang Pinggir atau rakyat
Blambangan terkenal digdaya (sakti). Tan Boen Swie menceritakan bahwa pada masa
Mataram, laki-laki dari Blambangan digunakan sebagai guinea-pig (percobaan) untuk senjata
yang lazim mereka gunakan dalam pertempuran. Jika terbunuh, senjatanya akan dianggap sakti
dan layak digunakan dalam pertempuran.5 Para perempuan Blambangan dijadikan abdi untuk
menyusui anak-anak raja dan bangsawan. Ada kepercayaan bahwa ketika hamil, perempuan
Blambangan memiliki kebiasaan meminum jamu yang dibuat dari dedaunan rajegwesi. Jamu
ini menjadikan warna air susu mereka berwarna setengah wulung (indigo), dan seorang bayi
yang mengonsumsi air susu tersebut akan tumbuh menjadi seorang yang digdaya dan kebal
senjata.
Ketika Blambangan dikalahkan oleh Mataram, Tiyang Pinggir dipindah ke Mataram
dan direkrut sebagai anggota pasukan kerajaan, di mana mereka disebut sebagai Prajurit
Blambangan. Setelah pembagian Mataram pada tahun 1755, korps Prajurit Blambangan
terpecah menjadi dua kelompok. Satu kelompok tetap berada di bawah administrasi Surakarta,
sementara satunya lagi dipindah pada Sultan baru, Hamengkubuwana I Yogyakarta. Di
Surakarta, pada masa kekuasaan Pakubuwana III, korps Prajurit Blambangan dibubarkan
karena mereka tidak lagi digdaya, namun mereka kemudian direkrut lagi pada masa
pemerintahan Pakubuwana IV (17881820). Korps baru ini diberi 400 pangkon lungguh (tanah
garapan) atau sekitar 100 bahu, terletak di sekitar Kartasura dan Ngadireja. Pada masa
pemerintahan Pakubuwana IV korps Prajurit Blambangan berada di bawah komando Pangeran
Aria Mangkubumi II. Setelah kematian Mangkubumi II, korps Prajurit Blambangan dibagi
menjadi dua kelompok; Suratetana dan Jayatetana, yang kemudian lebih terkenal sebagai
Prajurit Kartasura. Setelah masa itu, nama Prajurit Blambangan surut di Surakarta.
Citra Blambangan sebagai tanah air wong digdaya masih terus terpelihara hingga kini.
Banyuwangi, nama saat ini untuk Blambangan, telah lama menikmati reputasi sebagai salah
satu pusat belajar ilmu kekuatan supernatural di Indonesia; sebuah reputasi yang juga dimiliki
oleh Banten di Jawa Barat dan Lombok. Ilmu supranatural yang dipraktekkan di Banyuwangi
saat ini dipercaya sebagai campuran kepercayaan animistik dan mistisisme Islam, yang
ditumbuhkan dalam atmosfer konflik antar agama yang menguasai istana Blambangan sejak
abad ke-16. Rakyat Banyuwangi meyakini dengan sepenuh hati bahwa seluruh kekacauan–baik
komunal ataupun personal–disebabkan oleh kekuatan gelap. Kematian yang tidak wajar atau
tiba-tiba, kegagalan panen, kematian ternak, dan persoalan pernikahan ini segalanya dianggap
sebagai hasil kerja keji para dukun ilmu hitam. Pada tahun 1998, pembunuhan massal atas
3 I Made Sudjana, Nagari Tawon Madu: Sejarah Politik Blambangan Abad XVIII (Bali: Larasan-Sejarah,
2001); C. Lekkerkerker, ‘Blambangan’ IG, 45/2, (1923); H. J. de Graaff, Geschiedenis van Indonesië (s-
Gravenhage: Nijhoff, 1949). 4 Mengenai Tiyang Pinggir, lihat Soehari, ‘Pinggir’, Djava, 5-6, (1929), hlm., 160-168. 5 Tan Boen Swie, Digdaja (Soerabaja: Tan’s Drukkerij, 1935). Diterbitkan juga dalam Penghidoepan, no.
128, (1935). Novel kedua, Tjoban: Samboengan dari Digdaja (Soerabaja: Tan’s Drukkerij, 1936), juga diterbitkan
dalam Pengidoepan, no. 133, (1936).
3
ratusan praktisi ilmu hitam menjadi salah satu isu politik besar pemerintahan Presiden
Abdurrachman Wahid.6
Blambangan merupakan negara fragmentaris yang strukturnya bahkan dibuat lebih
rentan oleh kekacauan politik internal, perang, dan konsekuensi-konsekuensinya yang tidak
dapat ditawar-tawar: intervensi dan pendudukan asing. Sejak pendiriannya pada paruh akhir
abad ke-13, ibukota Blambangan telah berpindah ke enam lokasi berbeda.7 Meski artifak-
artifak historis yang signifikan yang berhasil ditemukan bertanggal dari masa sangat awal
kerajaan tersebut, informasi tentang kerajaan ini tertutup bagi tradisi historiografi lokal yang,
dalam banyak kasus tercampur dengan mitos dan legenda.
Peta Perkiraan Lokasi yang pernah menjadi Ibukota Kerajaan Blambangan
Banyak sejarawan meyakini bahwa tidak lama setelah kejatuhan Tumapel atau
Singasari dan pendirian Majapahit pada paruh akhir abad ke-13 (1293), sebuah kerajaan baru
didirikan di sebelah timur Jawa menggunakan nama Blambangan. Pendiri kerajaan ini dan
lokasi ibukotanya yang tepat sangat sulit ditentukan. Versi prosa dari Babad Blambangan
menyatakan bahwa raja pertama Blambangan adalah Menak Sopal, namun penulis babad
menjelaskan bahwa tidak ada yang dapat diceritakan mengenai raja ini dan pemerintahannya.8
Kronik lain, Babad Sembar, meletakkan Lembu Miruda di puncak pohon keluarga Blambangan
dan menunjuk Watu Putih (dekat Panarukan) sebagai ibu kotanya. Pada abad ke-14 (1365)
Blambangan juga disebut dalam sebuah kakawin (sastra klasik Jawa), Negarakertagama, dan
sebuah kronik Melayu, Hikayat Raja-raja Pasei. Sumber lokal lain, Serat Pararaton,
menyatakan bahwa pada masa pemerintahan Kalagemet atau Jayanagara (1309-1328),
Majapahit meluaskan kekuasaannya ke belahan timur Jawa, menekan ke arah timur Lumajang
6 Mengenai pembantaian ini, lihat Veven S. P. Wardhana (ed.), Geger Santet Banyuwangi (Institut Studi Arus
Informasi ISAI). Lihat juga S. Saiful Rohim, Merah Darah Santet di Banyuwangi, (Jakarta: Metro Pos, 1998);
Jason Brown, ‘The Banyuwangi Murders’ (The Australian Consortium of In Country Indonesian Studies, 1999);
Sunarlan, ‘Kekerasan Negara dan Konflik Elite: Studi Kasus di Banyuwangi 1998-1999’, Jurnal Demokrasi dan
HAM, vol. 2 (2002), hlm., 110-136. 7 Gagasan mengenai Blambangan sebagai Negara fragmentaris diperkenalkan oleh I Made Sujana. Pengarang
mengasosiasikan Blambangan dengan Nagari Tawon Madu. lihat, I Made Sujana, Nagari Tawon Madu, op. cit.,
hlm., 3. 8 Babad Notodinngratan, dalam Winarsih Arifin, Babad Blambangan, (Yogyakarta: Bentang Budaya, 1995).
4
termasuk Blambangan. Kemudian, pada masa pemerintahan Rajasanagara atau Hayamwuruk
(1359-1389), kawasan ini dihadiahkan pada anaknya Bhre Wirabumi. Ketika Hayamwuruk
meninggal pada tahun 1389, sepupunya dan menantu laki-lakinya, Wikramawardana,
berkuasa, namun sepuluh tahun kemudian penguasa ini turun tahta dan menarik diri ke
pedalaman untuk menjadi seorang petapa. Dia mengambil keputusan ini setelah kematian putra
tunggalnya, yang bakal menjadi penggantinya. Sebelum mengundurkan diri, dia memilih satu-
satunya putrinya yang masih hidup, Dewi Suhita, sebagai pewarisnya. Bhre Wirabumi menolak
keputusan tersebut, dan mencoba untuk melepaskan Blambangan dari Majapahit. Hal ini
berujung pada pecahnya perang antara Majapahit dan Blambangan (1404-1406), yang berakhir
dengan kehancuran Bhre Wirabumi, yang kemudian dipenggal lehernya. Kepalanya
dipersembahkan kepada Ratu Majapahit.
Sejarah Kematian Bhre Wirabumi mirip dengan salah satu cerita yang dituturkan dalam
epik Jawa terkenal Serat Damarwulan. J. L. A. Brandes mengasosiasikan Bhre Wirabumi
dengan Raja Menak Jingga, seorang figur antagonis dalam epik tersebut. Garis yang diambil
dalam cerita ini adalah bahwa Menak Jingga, raja Blambangan, tidak mengakui kedaulatan
Majapahit dan dia ingin menikahi Ratu Majapahit, Kencanawungu (Dewi Suhita). Sang Ratu
menolak lamaran Menak Jingga dan mengirim Damarwulan ke Blambangan untuk
membunuhnya. Pada saat perang terjadi, Menak Jingga terbunuh dan kepalanya pun
dipersembahkan pada sang Ratu. Sebagai imbalannya, sang Ratu menikahi Damarwulan dan
mengangkatnya ke singgasana.9
Ilustrasi dalam naskah Serat Damarwulan yang sekarang tersimpan di British Museum
London. Dalam naskah itu Menak Jingga duduk di kursi merangkul selirnya sambil
menikmati makanan dan pertuunjukkan tarian.
Penulis Babad Blambangan juga menempatkan cerita Menak Jingga pada plot utama sejarah
Blambangan. Menurut babad ini, setelah penaklukan Raja Brawijaya menganugerahkan
Blambangan pada Ajar Gunturgeni, seorang petapa dari Tengger, yang dengan gagah berani
mengusir musuh dari Majapahit. Petapa ini juga dianugerahi nama baru, Pamengger. Akan
tetapi, Pamengger tidak memiliki anak yang dapat menggantikannya. Yang dia miliki hanyalah
seekor anjing. Dia mengubah anjingnya tersebut menjadi sesosok manusia, namun tidak
sempurna, kepala sosok manusia itu masih berbentuk anjing. Dia menamai makhluk ciptaannya
9 Brandes, ‘Verslag over een Babad Balambwangan’, TBG, 37, (1894).
5
ini sebagai Menak Jingga dan menaikkannya ke singgasana. Dari titik ini, kisah berlanjut
seperti yang telah disebutkan dalam epik di atas. Sekali lagi, Menak Jingga dilengserkan oleh
Damarwulan.
Dua tokoh utama Menank Jingga (antagonis) dan Damarwulan (protagonis) dalam Wayang
Krucil tradisi Mangkunegara Surakarta. Penggambaran tokoh Menak Jingga tampaknya
mengadopsi cerita yang digambarkan dalam Serat Kanda, manusia berkepala anjing.
Bhre Wirabumi, Pamengger, dan Menak Jingga, semua tokoh ini barangkali merujuk pada satu
figur yang sama. Jika yang pertama diterima sebagai figur yang lebih historis, maka dua yang
terakhir mestinya merupakan personifikasi dari yang pertama. Patung yang disebutkan oleh
Veth barangkali adalah patung Bhre Wirabumi. Siapa pun yang menulis epik Damarwulan,
maka pastilah dia dipenuhi dengan gairah tentang kejayaan Majapahit. Menak Jingga dianggap
bukan manusia dan diasosiasikan tidak berbeda dengan anjing. Barangkali penulis Babad
Blambangan menolak untuk mengakui sosok penuh tanda tanya semacam itu sebagai Bhre
Wirabumi, ke dalam pohon keluarga Blambangan. Oleh karena itu, ia menciptakan seorang
tokoh antagonis, Menak Jingga, yang dapat mewakili seluruh sifat-sifat buruk yang ada.
Dengan kata lain, penulis mengakui Menak Jingga sebagai salah satu raja Blambangan, namun
secara genealogis dia tidak disangkutkan pada garis utama keluarga. Barangkali ini merupakan
sebuah upaya untuk menghapus noda politik pada dinasti penguasa Blambangan.
Kronik Jawa terkenal, Serat Pararaton, tidak memberi banyak petunjuk mengenai
nasib Blambangan setelah kematian Bhre Wirabumi di tahun 1406, namun Babad Blambangan
dengan jelas menyebut nama Menak Dadaliputih. Babad ini menyebutkan bahwa setelah
kematian Menak Jingga, raja Majapahit, Brawijaya, menunjuk Menak Dadaliputih, anak
Menak Jingga, sebagai penguasa baru Blambangan. Menak Dadaliputih juga dibunuh ketika
raja mengetahui bahwa dia telah mencuri sebuah pusaka Majapahit yang terkenal, sebuah keris
bernama Kyai Semelagandring. Meski demikian, ada jurang yang tidak bisa dipahami dalam
cerita ini. Sang Penulis Babad tiba-tiba melompat menuju peristiwa lain yang terjadi di
Blambangan satu setengah abad berikutnya. Kronik Blambangan lain, Babad Sembar,
menghadirkan sebuah versi yang sangat berbeda mengenai dinasti penguasa Blambangan.
Seperti disebutkan di atas, Babad Sembar menyatakan bahwa Lembu Miruda, anak Brawijaya
Majapahit, adalah raja pertama Blambangan. Hal ini seolah menyatakan bahwa, setelah
pembunuhan Menak Dadaliputih, penguasa Majapahit memilih untuk tidak mengangkat
seorang penguasa baru di Blambangan dari dinasti Bhre Wirabumi yang pemberontak, namun
6
anaknya sendiri, Lembu Miruda. Dengan kata lain, penulis Babad Sembar melacak dinasti
penguasa Blambangan hanya dari garis Raja Brawijaya yang secara genealogis bersambung
dengan para penguasa Blambangan abad ke-18.10
Blambangan pada Abad ke-17
Pada akhir abad ke-16, Blambangan jatuh ke dalam kekuasaan Raja Bali Gelgel. Lekkerkerker
meyakini bahwa setelah tahun 1600, raja-raja Blambangan memiliki darah Bali. Dalam waktu
yang bersamaan, Mataram juga mulai mengonsolidasikan kekuatannya di Jawa Timur. Pada
tahun 1625, Sultan Agung (1613-1646) mengirim ekspedisi militer ke Blambangan, melibatkan
20.000 hingga 30.000 prajurit. Pada tahun 1628, Blambangan meminta bantuan Belanda untuk
memukul invasi Mataram ini, namun pengepungan atas Batavia oleh para prajurit Sultan
Agung (1628-1629) merusak seruan ini. Pada tahun 1631, Panarukan, ibukota Blambangan,
dihancurkan oleh para bajak laut, dan para penduduknya terpaksa mengungsi sejauh enam mil
ke pedalaman. Pada 1636, Mataram melancarkan serangan baru terhadap Blambangan
membuat seluruh Blambangan hancur lebur. Dengan bantuan dari rakyat Bali, pekerjaan
rekonstruksi segera dilakukan. Gubernur Jenderal Van Diemen menulis pada Heeren XVII
Desember 1639 bahwa Susuhunan sekali lagi mengirim pasukan ke Blambangan, dan juga
menyerang Bali. Babad Tanah Jawi mengatakan bahwa ekspedisi tersebut dilaksanakan di
bawah kepemimpinan Pangeran Selarong dan Raden Padureksa. Pasuruan yang pertama kali
diserang. Raja Blmabangan, Sang Dipati, meminta bantuan Bali, namun hanya menerima 500
orang di bawah kepemimpinan Dewa Lengkara, Dewa Agong Panji Buleleng, dan Panji Macan
Kuning. Sang Dipati dapat dihancurkan namun tidak jelas apakah dia dibunuh atau tidak.
Anaknya, Mas Kembar, menggantikannya, namun setelah perang yang panjang dan penuh
darah, Blambangan dapat ditaklukkan. Mas Kembar dideportasi ke Mataram bersama sejumlah
besar pengikutnya, namun setelah dia berjanji untuk tetap setia pada Mataram dia kembali
diangkat menjadi Raja Blambangan.11
Setelah kematian Sultan Agung Mataram, Dewa Agong dari Gelgel kembali berusaha
merebut takhta Blambangan, dan seorang raja baru diangkat. Murka dengan penentangan ini,
Amangkurat I mengirim prajurit ke Blambangan di bawah komando Wiraguna, Danupaya, dan
Bupati Sampang, yang memaksa Mas Kembar untuk lari ke Bali. Sekitar 1500 penduduk
lainnya dideportasi ke Mataram namun tidak pernah tiba di tujuan mereka. Ketika kembali ke
Mataram, Wiraguna dan Danupaya dibunuh atas perintah Amangkurat I, karena mereka gagal
meluaskan penyerangannya ke Bali. Para penduduk Blambangan yang dideportasi diasingkan
di Taji (Prambanan), setengah dari mereka kembali ke tanah air. Raja Blambangan kembali ke
negerinya. Pada tahun 1647, Dewa Agong dari Bali mengirim duta lain ke Batavia, meminta
bantuan Belanda, namun pada Februari 1648 duta tersebut kembali dengan tangan kosong.12
Pada tahun 1651, Gubernur Jenderal Reinersz mengirim seorang utusan, Jacob
Bacharach, ke Gelgel untuk menawarkan aliansi melawan Mataram, namun ketika tiba di
Gelgel, dia mendapati kerajaan Bali telah terpecah belah. Karangasem, Mengwi, dan Buleleng
kini menjadi kerajaan merdeka. Gusti Agong dari Karangasem memegang kekuasaan di Gelgel.
Di bawah kondisi ini, Raja Mataram mempertahankan cengkeramannya di Blambangan, dan
sejak saat itu penguasa kerajaan ini harus mengirim duta-duta dan upeti tahunan ke Mataram.
Pada tahun 1659, Mataram mengirim ekspedisi lain ke Blambangan. Prajurit Mataram
10 “Babad Sembar” dalam Winarsih Arifin, Babad Blambangan (Yogyakarta: Bentang Budaya, 1995). 11 Lekkerkerker, ‘Blambangan’, hlm., 1038. 12 Ibid., hlm., 1039; lihat juga, H. J. De Graaf, De Regering van Sultan Agung, vorst van Mataram,1613-
1645, en die van zijn voorvanger Panembahan Seda-ing-Krapjak, 1601-1613, (’s-Gravenhage: Verhandelingen
van het KITLV, No. 23, 1958).
7
menyerang dan menghancurkan Puger yang terletak di pesisir selatan Blambangan, sementara
sekali lagi para penduduknya dideportasi ke Mataram.13
Blambangan memasuki periode yang sejahtera dan penuh kedamaian pada masa
kekuasaan Tawangalun (1665-1691). Tidak banyak informasi yang ditemukan dalam arsip-
arsip VOC mengenai kondisi Blambangan pada masa kekuasaan penguasa ini, kecuali tahun-
tahun terakhir pemerintahannya, tepat sebelum kematiannya pada tahun 1691. Untunglah
sedikit manuskrip lokal, yang disusun setengah abad setelah kematiannya, masih tetap
tersimpan dengan baik. Tiga filolog, Brandes, Winarsih Arifin, dan Darusuprapto telah meneliti
teks-teks tersebut.14 Dalam analisisnya terhadap Babad Blambangan dalam versi tembang,
Brandes mengatakan bahwa penulis babad ini adalah seorang pendukung Bali.15 Dengan
membandingkan tiga sumber berbeda dari De Jonge, Brandes, dan J.C. Wikkerman,
Lekkerkerker mencoba merekonstruksi sejarah Blambangan pada masa kekuasaan
Tawangalun.
Tawangalun adalah anak dari Kedawung. Ia naik takhta pada tahun 1665. Saudaranya
yang termuda, Mas Wila, memegang jabatan sebagai Patih, namun empat tahun kemudian, ia
berontak terhadap kakaknya. Tawangalun lari dari istana dan mengungsi ke Bayu, tempat yang
seratus tahun kemudian menjadi markas para pemberontak Blambangan, Rempeg atau
Jagapati. Di tempat ini Tawangalun membangun sebuah keraton baru dan mendapatkan
dukungan dari rakyat Blambangan. Enam tahun kemudian, saudaranya yang termuda, Mas
Wila, datang untuk menyerang dan mengadakan pengepungan atas Bayu. Akhirnya, sang Mas
Wila terbunuh. Setelah itu, Tawangalun menguasai seluruh Kerajaan Blambangan. Dia dijuluki
Pangeran Adipati Macan Putih, setelah ia menarik diri untuk menjadi seorang asketis di
Pangabekten, bagian tenggara gunung Raung.16
Kuil Macan Putih, Engelhard 1802
13 Lekkerkerker, op. cit., hlm., 1039. 14 Brandes, ‘Verslag over een Babad Balambangan’ TBG, 37, (1894), hlm., 325-365; Idem, ‘Nalezing over
een Babad Balambangan’, TBG, 38, (1895), hlm., 282-288; Winarsih Arifin, Babad Blambangan, (Yogyakarta:
Bentang, 1995); Darusuprapto, ‘Babad Blambangan: Pembahasan - Suntingan Naskah – Terjemahan’ (Disertasi
Universitas Gadjah Mada 1984). 15 Brandes: ‘Verslag over een Babad Balambangan’, hlm., 453-457, dan hlm., 348-365. 16 Ibid., hlm., 1040.
8
Kuil Macan Putih 1855
Prosa Babad yang disunting oleh Brandes mengatakan, bahwa dia adalah pendiri kota
Macan Putih di hutan rimba Sudyamara. Wikkerman meyakini bahwa tempat inilah yang
merupakan ibukota Blambangan pada masa pemerintahan Tawangalun (saat ini puing-
puingnya masih dirawat oleh para penduduk lokal. Terutama Keraton Macan Putih, sebuah
tempat di mana tubuh Tawangalun mengalami moksa/hilang atau dalam Budisme menjadi
bebas dari reinkarnasi dan pergi ke kahyangan). Yang menarik, juru kunci tempat ini meyakini
bahwa Tawangalun adalah Wali yang menyebarkan agama Islam di kawasan itu.17 Pada tahun
1805, beberapa puing batu bata masih dapat dilihat di dalam belantara. Macan Putih, berlokasi
di desa Malar utara Ragajampi, kini tidak lebih dari gundukan tanah dan puing-puing batu bata.
Bekas rumah Macan Putih dikelilingi oleh dinding batu bata besar.18 Puing ini mengindikasikan
bahwa pada masa pemerintahan Tawangalun, Blambangan tumbuh dengan sejahtera dan
banyak berdiri kuil dan kota, sebelum akhirnya dihancurkan oleh Mataram. Sekitar tahun 1676,
Tawangalun memutuskan untuk mencoba membebaskan dirinya dari Mataram dan
menghentikan pemberian upeti serta kunjungan tahunannya ke Mataram.19
17 Ibid., hlm., 1041. 18 N. J. Krom, Inleideing tot de Hindoe-Javaansche Kunst, vol. ii, (‘s-Gravenhage: Nijhoff, 1920), hlm., 409-
416. Lihat juga Idem., ‘De regering van Matjan Poetih’, hlm., 429. 19 Lekkerkerker, ‘Blambangan’, hlm., 1041.
9
Di lokasi reruntuhan istana Macan Putih dibangun sebuah monument yang oleh penduduk
setempat disebut Sanggar Pamujan. Foto diambil tahun 2003
Pada masa pemerintahan Amangkurat I (1646-1677), banyak penguasa bawahannya yang
bangkit melawan raja tiran ini. Pada 1680, seorang kapten Belanda, Jeremias van Vliet, dikirim
ke Blambangan untuk meredam pemberontakan orang-orang Makasar dan Melayu yang
membantu upaya pemberontakan Trunajaya. Van Vliet mencoba memberikan Tawangalun
pada Susuhunan Mataram, tidak menyadari bahwa ia sendiri telah mendeklarasikan
kemerdekaannya sendiri dengan julukan Susuhunan Blambangan. Pada tahun 1685, sekali lagi
Gubernur Jenderal Camphuys mengirim Van Vliet ke Blambangan, dengan tawaran
persekutuan untuk bergabung dengan Tawangalun yang tengah mencoba membebaskan
dirinya dari Mataram. Tidak ada satu pun laporan yang dapat ditemukan berkaitan dengan
respon Tawangalun, namun pada tahun 1690, Tawangalun mengirim utusannya ke Jepara dan
Surabaya untuk bekerja sama dengan VOC melawan Surapati, yang telah merebut sebagian
wilayahnya. Batavia meresponnya dengan mengirim dua utusan ke Blambangan, Kapten Jan
Bervelt dan Letnan Jan Francen pada 14 September. Mereka tiba di Macan Putih, dan sang
Raja ingin bertemu mereka pada 18 September, namun pada saat yang ditentukan sang Raja
meninggal. Tidak lama setelah itu, perselisihan muncul di antara anak-anak Tawangalun untuk
menentukan pengganti ayahnya yang kemudian diikuti dengan pecahnya perang suksesi.
Kedua utusan Belanda tersebut diusir oleh dua anak tertua Tawangalun dan kembali ke
Batavia.20
Tampaknya, tidak ada satu hal pun yang membuat nama Tawangalun ternoda dalam
pandangan rakyat Blambangan. Menurut Babad Blambangan, tubuhnya dikubur di belantara
Lecutan, dan pada tanggal 13 Oktober, atau dua puluh lima hari setelah kematiannya, mayatnya
dikremasi dalam sebuah sati raksasa bersama dengan 270 orang dari 400 istrinya. Tujuh hari
setelah kematian Tawangalun, Pangeran Adipati Sasranagara yang memenangkan perselisihan
suksesi meninggal, dan anak yang lain, yaitu Pangeran Adipati Mancanapura atau Pangeran
Macan Putih naik takhta. Wikkerman menyatakan, bahwa ia membangun sebuah keraton baru
di Wijenan, sebelah selatan Macan Putih, karena Macan Putih telah menjadi puing. Tempat
baru ini kemudian dinamai Blambangan (Wijenan terletak di sebelah barat Macan Putih, namun
ibu kota baru Blambangan terletak lebih jauh ke selatan, di pedalaman Muncar). Mancanapura
20 Ibid., hlm., 1041.
10
memerintah dengan independen, namun Panarukan, Jember, dan Malang diduduki oleh
Surapati yang mengangkat kerabatnya sebagai bupati di tempat itu.21
Blambangan di Bawah Hegemoni Bali (1697-1764)
Setelah perang suksesi, dua anak Sasranagara, Mas Purba dan Mas Patih, mencari bantuan dari
Raja Buleleng Gusti Ngurah Panji Kertanagara dan Panji Sakti. Barangkali, upaya kedua orang
anak ini didorong oleh ibunya Mas Ayu Gading, untuk menggulingkan paman mereka dari
takhta pada 1697. Mereka berdua juga mendapat dukungan dari Karangasem dan Makasar,
musuh VOC dan sahabat Surapati. Sebagian dari pasukan mendarat di Tanjungjajar atau
Watudodol, sebelah utara Banyuwangi, sementara yang lain mendarat di Banyualit.
Mancanapura bersama sedikit pengikutnya melarikan diri ke Pasuruan melalui Garahan,
Besuki, dan Probolinggo. Di Pasuruan, dia beralih memeluk Islam. Dia menunggu di sini untuk
mencari kesempatan kembali ke Blambangan, namun dia diracun oleh kemenakan dan
penggantinya.
Bersamaan dengan kepulangan prajurit Buleleng ke Bali, 800 orang Blambangan juga
berlayar ke Buleleng dengan membawa pusaka raja yang berarti bahwa kedaulatannya secara
simbolis dialihkan ke Buleleng. Mas Purba diangkat sebagai Raja Blambangan berjuluk
Pangeran Adipati Danureja (1698-1736). Orang-orang Bali menjulukinya Dewa Nyurga. Dia
membangun istana baru di Kebrukan, di Lateng, dekat Ulupampang. Danureja memerintah
selama tiga puluh sembilan tahun yang penuh pergolakan. Dia dipaksa oleh raja Bali untuk
berperang melawan Mataram dan sekutu-sekutunya. Pada tahun 1726, Gusti Panji dari
Buleleng terlibat peperangan dengan Gusti Agong dari Mengwi, yang berakhir dengan
kekalahan Gusti Panji. Sebagai akibatnya, Buleleng harus menyerahkan Blambangan kepada
Mengwi. Pada tahun 1729, Gusti Agong dari Mengwi mengirim 700 prajurit untuk menduduki
Blambangan.22
Penyerahan Ujung Timur Jawa kepada VOC
Serangkaian ekspedisi militer besar ke Blambangan yang dilakukan oleh Mataram pada tahun
1635 dan 1636-1640 lebih menyerupai perampokan ketimbang pendudukan.23 Mataram tidak
pernah mengukuhkan kekuasaan riil di tanah yang baru saja ditaklukkan itu. Para prajuritnya
menjarah barang-barang dan harta istana, dan mengubah para penduduknya menjadi budak di
ibu kota. Selain itu, juga tidak tampak gerak Islamisasi yang lazimnya berhubungan dengan
penaklukan sebuah wilayah pada masa itu. Blambangan tidak sepenuhnya ditaklukkan, bahkan
meski Mataram mengklaim telah menguasai seluruh Jawa.
Satu abad kemudian, 1743, Raja Pakubuwana II dari Mataram menyerahkan Java’s
Oosthoek (dari sebelah timur Malang sampai Banyuwangi), termasuk Blambangan kepada
VOC sebagai balasan atas pengembalian takhtanya yang direbut VOC dari para pemberontak.24
Penyerahan kawasan ini berdasarkan atas sebuah klaim teritorial kuno Mataram, yang
sebenarnya sangat jauh dari realitas politik aktual. Pada akhir abad ke-17, Pasuruan,
Probolinggo, Malang, dan Lumajang direbut oleh seorang pemberontak terkenal Surapati, dan
21 Ibid., hlm., 1043. 22 Ibid., hlm., 1043-1044. 23 Mengenai penyerbuan Blambangan oleh Sultan Agung lihat de Graaf, De Regering van Sultan Agung, vorst
van Mataram, 1613-1645, en die van zijn voorganger Panembahan Seda-ing-Krapjak, 1601-1613, (’s-
Gravenhage: Verhandelingen van het KITLV, No. 23, 1958), terjemahan bahasa Indonesia, Puncak Kejayaan
Mataram: Politik Ekspansi Sultan Agung, (Jakarta: Grafitipers, 1986), hlm., 262-271. 24 Mengenai pemberontakan ini lihat W. G. J. Remmelink, The Chinese War and the Collapse of the Javanese
State, 1725-1743, (Leiden: KITLV, 1994).
11
pada saat kematian Surapati tahun 1705, Mataram hanya mampu merebut Pasuruan dan
Probolinggo. Kawasan lain, seperti Malang dan Lumajang, tetap dipegang oleh keturunan
Surapati dan merupakan sebuah wilayah yang independen, di mana Blambangan di ujung timur
Jawa diklaim oleh orang-orang Bali.25 Dengan kata lain, Pakubuwana II menyerahkan tanah-
tanah yang tidak berada dalam kontrolnya.
Peta Ujung Timur Jawa sekitar Tahun 1743
Setelah perjanjian damai 1743, Gubernur Jenderal Van Imhoff dan Konsul Hindia tidak
mengambil langkah-langkah langsung guna mengokohkan kekuasaan di Ujung Timur Jawa,
kecuali Pasuruan dan Probolinggo. Di kedua tempat tersebut, Batavia mendirikan benteng kecil
yang hanya dijaga oleh sejumlah kecil prajurit Eropa. Pendudukan atas seluruh wilayah Ujung
Timur Jawa terus terhenti diakibatkan oleh dua hal. Pertama-tama adalah Kompeni sekali lagi
ditarik masuk ke dalam perselisihan politik di Jawa Tengah yang belum usai hingga tahun 1757
ketika kerajaan Mataram terpecah menjadi tiga bagian. Pada saat itu, otoritas Belanda di
Batavia tidak sepenuhnya menyadari situasi politik riil di Ujung Timur Jawa dan ancaman laten
datang dari kompetitor utamanya dari Eropa, English East India Company (EIC), yang pada
saat itu meluaskan tentakelnya hingga ke Kepulauan dan bahkan dengan berani membangun
sebuah pos di dekat selat Bali. Meski Gezaghebber Hendrik Breton dari Surabaya terus
mendesak pembangunan sebuah pos baru di Blambangan, Batavia bersikeras pada
kebijakannya untuk tidak mendirikan sebuah loji baru karena Kompeni merasa mereka telah
terlalu jauh meluaskan kehadirannya di Jawa.
Dua Undangan Tak Diharapkan: Ajakan Kolaborasi
Beberapa tahun setelah serangan terakhir ke Blambangan oleh Mataram pada tahun 1647,
prajurit Bali dari Buleleng menduduki kawasan tersebut tanpa memicu pembalasan dari
Mataram. Sejak pertengahan abad ke-17, nasib Blambangan ditentukan oleh iklim politik yang
rentan di Bali yang dipenuhi dengan konflik dan peperangan. Kepemilikan Blambangan
diperebutkan oleh tiga kekuatan utama di Bali, Buleleng–Gelgel di Utara, Mengwi di selatan
dan Karangasem bagian timur pulau itu. Blambangan, yang kaya kayu, sarang burung, dan
25 Kerajaan Buleleng di bawah Gusti Panji Sakti menduduki Blambangan sejak 1659. lihat Soegianto
Sastrodiwiryo, I Gusti Anglurah Panji Sakti Raja Buleleng, 1599-1680 (Kayu Mas Agung, 1995).
12
beras dilihat sebagai sebuah akuisisi yang tak ternilai oleh kerajaan-kerajaan berpenduduk
padat Bali. Pada tahun 1726, tarik menarik antara dua kerajaan Bali, Buleleng dan Mengwi,
berakhir dengan kemenangan Mengwi. Konsekuensinya, Raja Buleleng, Gusti Panji, harus
menyerahkan Blambangan pada Gusti Agong di Mengwi. Selama hampir satu abad
pendudukan, ribuan penduduk Bali menyeberangi selat Bali dan berpindah ke Blambangan. Ini
memberikan efek positif karena populasi penduduk segera meningkat dan perekonomian
kembali bergairah.
Pada tahun 1736, Raja Blambangan, Pangeran Adipati Danureja, meninggal. Gusti
Agong dari Mengwi dengan segera mengirim empat puluh prajurit Bali di bawah komando
Gusti Gedhe Lanang Denpasar untuk menginterverensi proses suksesi. Raden Mas Noyang (13
tahun), anak dari raja yang meninggal diumumkan sebagai penguasa baru dengan nama
Pangeran Adipati Danuningnrat atau Pangeran Adipati Mangkuningrat (dalam sumber-sumber
Belanda Pangeran Pati), sementara saudaranya, Raden Mas Sirna atau Mas Wilis, diangkat
sebagai Patih dengan julukan Wong Agong Wilis. Karena sang raja baru masih sangat muda,
Gusti Agong mengangkat seorang bupati pengasuh (emban) bernama Ranggasatata, seorang
Bali dari Klungkung, untuk mengatur administrasi kerajaan.
Kondisi politik Blambangan pada masa pemerintahan Danuningrat sangat dipengaruhi
oleh para aristokrat berpengaruh, Tepasana, yang para leluhurnya berasal dari Lumajang.26
Tepasana merasa terusik oleh kenyataan bahwa Blambangan berada di bawah kontrol Bali. Dia
mendorong Danuningrat untuk berontak terhadap pengaruh Bali dalam pemerintahannya yang
tumbuh semakin kuat selama beberapa tahun ini. pengaruhnya menjadi semakin nyata ketika
Danuningrat memutuskan untuk memecat Wilis, yang ibunya berasal dari Bali, dari posisinya
sebagai Patih. Wilis merasa sangat terhina dengan keputusan ini, namun dia tidak mengajukan
keberatan sedikitpun. Dia memutuskan untuk meninggalkan Blambangan dan mendirikan
sebuah pemukiman baru di Pesisir Manis, pesisir tenggara Blambangan.27 Pada 1763, sebuah
upaya yang bahkan lebih kentara untuk mengurangi pengaruh Bali dilakukan oleh Danuningrat,
ketika dia membunuh Ranggasatata. Kericuhan antara Sutajiwa, anak Danuningrat, dan
Ranggasatata yang terjadi ketika adu jangkrik digunakan sebagai dalih untuk pembunuhan
ini.28
Wilis menafsirkan kedua insiden tersebut sebagai upaya untuk membebaskan
Blambangan dari kekuasaan Mengwi. Ia melaporkan situasi ini pada Gusti Agong Mengwi,
dan Gusti Agong membuat seruan keras pada Danuningrat untuk mengekstradisi Sutajiwa dan
Tepasana ke Mengwi. Setelah peringatan pertamanya diabaikan oleh Danuningrat, peringatan
kedua dikirikan dengan ancaman bahwa Gusti Agong akan mengirim prajuritnya ke
Blambangan untuk menangkap Sutajiwa dan Tepasana dengan paksa. Sejak kepergian Wilis,
Blambangan tidak kekurangan prajurit pertahanan karena kekuatan militer Blambangan setia
kepada Wilis, yang sangat populer di antara rakyat jelata, ketimbang Raja sendiri. Pengaruh
Danuningrat hanya terbatas pada kalangan elit dalam lingkaran istana. Ketika pasukan Bali
menginvasi istana, mereka tidak mendapatkan perlawanan berarti. Danuningrat melarikan diri
dari istana bersama dengan anaknya dan beberapa pengikut setia mereka menuju Banger, di
mana ia berharap dapat menemukan mediator yang dapat mempertemukannya dengan otoritas
Belanda di Surabaya. Dengan bantuan Bupati Banger dan Bupati Pasuruan, Danuningrat
akhirnya dapat bertemu dengan Panembahan Madura, Cakradiningrat yang
26 Nama Tepasana disebutkan dua kali dalam sumber-sumber lokal. Yang pertama adalah Bupati Jipang yang
mengungsi ke Blambangan setelah kalah melawan Mataram pada awal tahun 1760-an. Hubungan Tepasana
dengan Danuningrat semakin menguat setelah Danuningrat menikahi anaknya. Tepasana yang kedua adalah Mas
Bagus Tepasana, anak Mas Ayu Tawi, saudari dari ayah Danuningrat, Pangeran Danureja. Ini berarti bahwa
Tepasana ini adalah sepupu Danuningrat. Lihat lampiran 1, Pohon Keluarga Tawangalun. 27 “Babad Tawangalun” dalam Winarsih Arifin, Babad Blambangan, bait vii, hlm., 12-18. 28 Kerusuhan ini bermula di arena adu jangkrik. ”Babad Tawangalun”, bait viii, hlm., 14-21.
13
memperkenalkannya pada komandan Belanda di Pasuruan, Hogewitz, dan Gezaghebber dari
Surabaya, Hendrik Berton.
Besuki dipilih untuk pertemuan antara Gezaghebber Breton dan Danuningrat. Pada 19
Oktober 1763, Danuningrat ditemani dua menantunya dan 100 pengikutnya yang tiba di tempat
tersebut namun tidak bisa bertemu Breton dengan segera, karena Breton ingin beristirahat
terlebih dahulu dan mereka bertemu di hari berikutnya. Bupati Surabaya, Candranagara, Bupati
Pasuruan, Nitinagara, dan Scriba Jan Lapro juga menghadiri pertemuan tersebut pada tanggal
20 Oktober. Danuningrat mengumumkan bahwa dia datang untuk tunduk pada Kompeni dan
meminta bantuan untuk mengusir orang-orang Bali yang diundang oleh saudaranya (Wilis)
untuk menguasai wilayahnya. Dia berjanji untuk menyerahkan Blambangan dan Lumajang,
dan untuk mengirim produk-produk yang dibutuhkan Kompeni. Breton menyambut gembira
tawaran Danuningrat untuk menyerahkan diri pada Kompeni, namun dia hanya bisa
menerimanya jika Danuningrat menyatakannya secara tertulis. Dia memberinya beberapa
arahan mengenai cara pembuatan pernyataan tersebut dan dalam kondisi seperti apa dia ingin
menyerahkan diri. Dalam pernyataan tertulisnya, yang isinya terlebih dahulu ia diskusikan
dengan Panembahan Madura, Danuningrat berjanji untuk mengirim 600 koyan beras, 10 pikul
lilin, dan 4 pikul sarang burung. Dalam keadaan damai, jumlah itu akan ditingkatkan. Dia juga
meminta Kompeni untuk mendirikan sebuah benteng militer di Blambangan guna mencegah
invasi Bali di masa depan. Dia bahkan menjanjikan untuk menyediakan bahan-bahan yang
dibutuhkan sekaligus pekerjanya untuk membangun benteng tersebut. Seluruh janji ini ditulis
dan ditandatangani secara pribadi oleh Danuningrat.29
Breton menganggap tawaran ini sebagai kesempatan baik bagi VOC untuk akhirnya
menegaskan kedaulatannya atas seluruh Jawa dan, di saat yang sama, meningkatkan
keuntungan dari wilayah yang sejauh ini terabaikan. Pada tanggal 30 Oktober 1763, ia
mengirimkan proposal ke Batavia dan mendorong VOC untuk menegaskan kehadirannya dan
mengibarkan benderanya di Blambangan. Pada kata pengantar proposal tersebut, Breton
menyatakan bahwa jika VOC tidak mengamankan Blambangan dengan segera, maka orang-
orang Bali akan memperkokoh kedudukan mereka di sana. Breton sangat memperhatikan
bahwa banyak penduduk lokal yang akan musnah dalam perang berkepanjangan.30 Untuk
menghindari situasi yang memilukan tersebut, VOC harus mengirim pasukan dan mendirikan
sebuah perusahaan dagang di Blambangan, yang juga akan dapat menghentikan
penyelundupan, kehadiran Inggris, dan mengalirnya barang-barang asing yang dibawa ke
Blambangan oleh para smokkelaars (penyelundup) dari Bali. Penguasa Palembang, yang
memiliki hubungan dagang dengan Blambangan, harus menandatangani sebuah kontrak
dengan Gubernur VOC di Semarang jika dia ingin dianggap bukan penyelundup dan dilarang
berlayar ke Selat Bali. Blambangan adalah sebuah pasar potensial bagi opium, karena banyak
penduduknya adalah para pecandu opium. Oleh karena itu, Kompeni menyalurkan opium ke
sana untuk mencegah distribusi opium asing yang dilakukan oleh para pedagang Bali dan
Inggris. Di Blambangan, sebuah sistem irigasi yang memanfaatkan banyak sungai dapat
meningkatkan hasil pertanian padi, dan dapat memberikan cadangan suplai bagi Batavia pada
musim kemarau. Akhirnya, pendudukan Blambangan akan menjadikan Belanda mampu
membasmi para pemberontak yang bersembunyi di Malang dan Lumajang.31
Respons negatif dari Batavia dan Semarang membuat Breton dan Danuningrat kaget
luar biasa. Direktur pesisir Timur Laut Jawa, Willem Hendrik Ossenberch, menolak proposal
29 NA, Koleksi Engelhard 19a, Proposal tentang Blambangan oleh Hendrik Breton, Surabaya 30 Oktober
1763, hlm., 152. 30 Ibid. hlm., 152 31 Malang dan Lumajang adalah tempat tinggal Pangeran Singasari dan Raden Mas yang berkolaborasi
dengan keturunan pemberontak terkemuka, Surapati. Mereka sangat menentang Perjanjian Giyanti 1755 yang
membagi Mataram menjadi dua bagian.
14
Brenton dan menyarankan agar Danuningrat dibiarkan menghadapi nasibnya sendiri. Sang
Gubernur menulis:
Sejak awal saya akui bahwa usulan ini tidak bisa saya setujui, terutama karena Pangeran
Adipati (Danuningrat) berjanji bahwa seandainya ia bisa mendapatkan kembali
tanahnya dengan bantuan (Kompeni), sebuah kontrak dengan Kompeni akan dibuat,
yang secara keseluruhan terlihat menjanjikan. Akan tetapi, Dewan Yang Mulia benar
dalam opini mereka, bahwa kekuasaan Kompeni telah cukup luas, dan pemukiman baru
tidak memiliki kaitan dengan kepentingan Kompeni Yang Terhormat. Oleh karena itu,
kami menolak permintaan ini, dan kami membiarkan Pangeran Adipati untuk
menempuh takdirnya sendiri.32
Gagal mendapatkan bantuan dari Belanda, Danuningrat mencari alternatif perlindungan
dari Bupati Lumajang, Kartanagara, cucu dari pemberontak terkenal Surapati. Namun untuk
yang kedua kalinya upaya Danuningrat gagal. Argumennya gagal meyakinkan sang Bupati,
dan dia terpaksa meninggalkan Lumajang dengan tangan kosong. Hasilnya adalah Danuningrat
dan Wilis keduanya dikurung di Mengwi oleh Gusti Agong yang kemudian mengontrol
Blambangan.33
Jelas bahwa dalam hal ini terdapat perbedaan opini antara otoritas di Batavia dan
Surabaya mengenai proposal Breton. Ossensberch di Semarang lebih memahami situasi riil di
Ujung Timur Jawa, namun bodohnya dia tidak mengambil tindakan vital untuk meyakinkan
otoritas Batavia akan arti penting proposal tersebut. Tidak lama setelah itu Breton dipindah ke
Ambon. Alasan lain di balik penolakan tersebut adalah Pemerintahan Tinggi di Batavia merasa
bahwa, secara formal, Danuningrat tidak memiliki hak untuk menyerahkan tanahnya pada
Kompeni, karena di bawah perjanjian tahun 1743, Blambangan telah diserahkan kepada VOC.
Dengan kata lain, Pemerintah Kolonial Belanda di Batavia berpikir secara legalistik dan
mengabaikan situasi aktual yang terjadi di kawasan tersebut.
Otoritas Belanda kembali memberikan reaksi dengan cara yang berbeda pada sebuah
undangan tidak diinginkan dari Raja Tawangalun Blambangan tahun 1692. Pada saat itu,
Tawangalun menawarkan aliansi militer pada Pemerintah Tinggi di Batavia untuk bekerja
menghancurkan Surapati dan para pengikutnya, yang telah menjarah properti rakyat
Blambangan dan menghancurkan wilayahnya. Sang Raja berjanji untuk mengabdikan dirinya
dan membantu VOC dalam membangun sebuah perusahaan dagang di Blambangan. Batavia
segera merespons undangan tersebut dengan mengirim dua utusan, Jan Francen dan Jan
Bervelt, namun aliansi ini batal menyusul terjadinya Perang Suksesi di Blambangan. Dalam
hal ini Batavia tampak bereaksi dengan cepat karena mereka berharap dapat membentuk
sebuah kesepakatan formal dengan Blambangan.34
Pada awal tahun 1767, Batavia mengubah jantung kebijakannya pada Ujung Timur
Jawa, dan menyiapkan sebuah ekspedisi militer guna merespons laporan-laporan yang
menyebutkan terjadinya perkembangan politik yang menganggu di Ujung Timur Jawa,
terutama di Blambangan, setelah pendudukan Bali tahun 1764. Belanda mengungkap sebuah
plot yang merancang aliansi politik dan ekonomi di antara para penguasa Bali, baik di Bali
32 Memorie opgesteld door den Raad Extraordinaris van Nederlansch-Indie en afgaand Directeur van Java’s
Noord-Ooskust, Willem Hendrik Ossenberch, om te strekken tot narigt van zijnen successeur, den Heer Johannes
Vos, aankomend Gouverneur en Directeur van Java’s Noord-Oostkust,’ in De Jonge, De Opkomst, vol. xi, hlm.,
24; Babad Wilis menceritakan bahwa Breton sangat marah dengan penolakan ini dan bahkan Hogewits yang
ditahan karena menyampaikan berita buruk ini, sangat mengutuknya. Winarsih Arifin, Babad Wilis, hlm., xxxv. 33 Menurut “Babad Tawangalun”, Wilis secara sukarela pergi ke Bali dengan saudaranya Pangeran Adipati
Danuningrat. ”Babad Tawangalun”, dalam Winarsih Arifin, Babad Blambangan, bait viii, hlm., 27-35. 34 ANRI, Arsip Daerah Residensi Banyuwangi 5, laporan ditulis oleh J. Bervelt dan J. Francen pada
Susuhunan Blambangan tahun 1691-1692.
15
maupun Blambangan beserta para pedagang Inggris. Ini menghadirkan ancaman bagi posisi
VOC di Jawa, terutama di Ujung Timur Jawa.
Motif-motif Invasi
Setelah kematian Danuningrat, Blambangan otomatis didominasi penuh oleh Mengwi. Ciri
paling tampak dari hal ini adalah Raja Mengwi, Gusti Agong, mengangkat dua orang Bali,
Kotabeda dan Gusti Ngurah Ketut Kabakaba, untuk mengatur Blambangan. Pada masa
pemerintahan mereka, dua orang pejabat Bali ini berusaha menarik lebih banyak pedagang,
baik lokal maupun asing, terutama para pedagang Inggris, untuk mengunjungi Blambangan.
Secara krusial, hal ini bertepatan dengan rencana Kompeni dagang Inggris, English East India
Company (EIC), untuk meluaskan kekuasaannya hingga ke belahan timur Kepulauan
Indonesia, khususnya pelabuhan-pelabuhan yang ada di dalam dan di sekitar Selat Bali.
Alasan atas kehadiran baru di kawasan ini berkaitan erat dengan meningkatnya
aktivitas-aktivitas dagang Inggris di Canton. EIC kesulitan membayar biaya peningkatan
ekspor sutra dan teh dari Canton, dan berusaha membatasi pengiriman perak ke Cina dengan
menggunakan produk-produk Asia Tenggara sebagai sebuah alternatif pembayaran. Inggris
juga berharap dapat menarik barang Cina ke entrepot yang ada di luar monopoli Co Hong dari
Canton, di mana perjanjian dagangnya akan lebih menyenangkan dibanding di Cina sendiri.
Pendirian permukiman baru Inggris di mana pun di Kepulauan Indonesia dirasa akan dapat
menjadi solusi yang baik bagi persoalan-persoalan ini. Skema ini melibatkan baik EIC dan para
country traders (para saudargar Inggris di luar EIC) Inggris. Pada tahun 1765, Konsul EIC
merekomendasikan beberapa pelabuhan yang mungkin cukup tepat untuk menjalankan
informasi ini. Di antara pelabuhan-pelabuhan tersebut adalah Pasir di Kalimantan Timur, pulau
Sumbawa, dan Bali, serta pelabuhan-pelabuhan lain di sebelah timur.
Pada bulan Agustus 1766, tiga kapal besar Inggris diikuti lima belas chialoup, dua
puluh lima pencalang, dan seratus kapal yang lebih kecil, membawa para pelaut Bugis dan
Madura tiba di Blambangan, di bawah komando Edward Coles.35 Mereka mendekati salah
seorang pedagang Cina lokal bernama Encik Lok, dan memberinya dua buah kain hijau (laken)
dan dua gulung armasijn disertai permintaan agar dia bersedia membantu mereka mengirimkan
permohonan pada Gusti Agong dari Mengwi untuk membeli beras. Melalui Encik Lok, para
pedagang Inggris berhasil menukar satu paket opium, 21 senjata api, dan 2 ton bubuk mesiu
dengan 10 koyan beras.36 Inggris juga membawa senjata api dan menjual delapan di antara
senjata tersebut, membeli beras, kerbau, dan sapi dari gubernur Blambangan, Kotabeda.
Sementara itu, dari Gusti Gurah Ketut Kabakaba, Gusti Kotabeda, dan Gusti Pasekan mereka
membeli sepuluh kerbau, beberapa kati beras, dan sejumlah besar kayu berbagai ukuran.37
Adalah hal yang lumrah jika para penguasa Bali mencoba memperoleh keuntungan dari
kedatangan Inggris untuk kepentingan politik mereka yang lebih jauh. Ketika pedagang Inggris
mendarat di Buleleng, dua faksi yang berseberangan mendekati mereka dan menawarkan kerja
sama. Tawaran pertama datang dari Raja Karangasem yang meminta dukungan Inggris atas
invasi ke Blambangan yang tertunda. Inggris menunggu saat yang tepat sembari meyakinkan
bahwa invasi tersebut harus ditunda hingga bulan Desember, dan mengisyaratkan bahwa
keuntungan-keuntungan yang bisa didapatkan dari sebuah pemukiman Inggris akan melampaui
barang rampasan yang bisa didapatkan dari perang di Blambangan. Undangan kedua datang
dari seorang Cina, Kay Ban, yang mengklaim telah berbicara dengan Gusti Agong Mengwi, di
mana Gusti Agong memberi isyarat akan keinginannya untuk melihat pedagang Inggris
membuka loji di Blambangan. Tawaran ini menggugah keinginan Inggris untuk
35 VOC 3186, laporan Vaandrig pribumi, Bapak Banjer, 16 Agustus 1766, folio 673-7. 36 VOC 3186, laporan Encik Mida, 4 September 1766, folio 699-704. 37 VOC 3186, laporan Mantri Banger, Sastrayuda, 15 Agustus 1766, folio 677-679.
16
mengeksplorasi Blambangan. Oleh karena itu, mereka berlayar ke timur menuju Pantai
Pangpang di sebelah timur pesisir Blambangan. Kunjungan ini tampaknya meninggalkan kesan
baik pada kapten Inggris. Dia menunda pelayarannya ke Sumbawa dan secara tiba-tiba kembali
ke Bengkulu untuk mendiskusikan hasil dari perjalanan tersebut. Sebelum keberangkatan
mereka, Inggris mengirim Kay Ban ke Mengwi untuk memperoleh konfirmasi dari tawaran
Gusti Agung. Kay Ban diberi beberapa pakaian untuk dijual dan sebuah perahu agar setelah itu
dia dapat berlayar ke Bengkulu sembari membawa laporan.38
Inggris mengharapkan kehadiran mereka di Pantai Pangpang akan menstimulasi orang-
orang Cina lokal untuk memulai lagi produksi arak dan gula, dan mengundang imigran Cina
lainnya untuk datang dan membantu mereka. Barang bekas yang dibawa imigran dari Cina
akan menjadi sebuah dorongan bagi perdagangan lokal, dan memberikan barang-barang Cina
dengan perjanjian yang lebih baik ketimbang di Kanton. EIC mengharapkan keuntungan dari
penjualan besi, baja, tembaga, sendawa, dan opium, ekspor kayu cendana, dan tugas-tugas
pabrik arak dan gula. Akhirnya, pemukiman Inggris di Pantai Pampang akan membuat
Perusahaan Inggris bisa merusak monopoli Belanda atas rempah.
Tidak lama setelah keberangkatan ekspedisi pertama Inggris, dua orang pedagang
Inggris mengunjungi Blambangan. Mereka juga terlibat dalam konflik lokal, namun cenderung
untuk memberikan bantuan pada rencana Karangasem untuk menduduki Blambangan dengan
kekuatan setelah Gusti Agong Mengwi menolak permintaan mereka untuk mengangkat
kembali Danuningrat dan Wilis di Blambangan.39 Segera, sebuah rencana dan persiapan untuk
melakukan serangan pada Blambangan disusun. Jika serangan ini berhasil, Inggris berencana
untuk membangun sebuah loji di Blambangan. Seorang mata-mata dikirim ke Blambangan
beserta dua kapal Inggris, tiga belas meriam, dan sejumlah paduwakan disiapkan lengkap
dengan prajurit dari Karangasem, Tabanan, Badung, Sumenep, dan Madura yang terlibat dalam
serangan ini. Seorang mata-mata juga dikirim ke Blambangan.40 Menurut rumor, Inggris juga
berupaya mendapatkan dukungan militer dari Sumbawa.41 Yang jelas, Inggris mendiskusikan
rencana ini dengan seorang Bali asal Buleleng, bernama Endo Bandayuda.42 Seorang Bugis,
bernama Daeng Calak (atau Daeng Mancalak), juga terlibat dalam negosiasi dengan para
pedagang Mandar dan Cina yang bertempat tinggal di sepanjang sungai Pangpang agar mereka
mau memberi dukungan atas rencana ini. Inggris memberikan 1.000 Rds kepada seorang
pedagang Cina untuk membangun penggilingan gula dan pabrik gula di tempat itu.43
Blambangan membangun sedikit benteng di sepanjang pesisir, dari mulut sungai Pampang di
utara hingga mulut sungai Pakem di selatan, guna menanggulangi invasi dari Karangasem.44
Sejak awal, Belanda meyakini bahwa kehadiran Inggris di Blambangan tidak hanya
untuk membeli beras dan kayu. Gubernur Semarang, Johannes Vos, serta Gezaghebber
38D. K. Basset, ‘Britsh Trade’, hlm., 215. 39 Pada 1766, Inggris mempersembahkan beberapa hadiah; 1 bokor emas, 1 lalantjang atau tempat sirih dan
sedikit paket opium, pada Gusti Agong Mengwi disertai dengan permintaan untuk membebaskan kedua
bangsawan Blambangan. Namun Gusti Agong menolak dan mengatakan bahwa Pangeran Adipati Danuningrat
dan Pangeran Wilis adalah urusannya sendiri. VOC 3186, Laporan Salammudin, 17 Juli 1766, folio 693-698;
pada saat itu Inggris juga meminta otorisasi untuk menyerang Madura, namun Gusti Agong Mengwi juga
menolaknya karena itu akan mengundang interferensi Belanda, karena Madura juga loyal terhadap VOC. VOC
3186, laporan Vaandrig pribumi, Bapak Banjer, 16 Agustus 1766, folio 673-677. 40 VOC 3186, Laporan Bagus Mida, Semarang 21 Desember 1766, folio 457 – 462. 41 VOC 3186, Laporan Vaandrig pribumi, Bapak Banjer, 16 Agustus 1766, folio 673-677. 42 VOC 3186, Ngabehi Surapernala Besuki pada komandan Pasuruan, Casper Lodewijk Tropponegro, 11
Augustus 1766, folio 707. Lihat juga VOC 3186, Ngabehi Surapernala pada komandan Pasuruan Casper Lodewijk
Tropponegro, folio 708. 43 VOC 3186, laporan Bagus Mida, Semarang 21 Desember 1766, folio 457 – 462; VOC 3186, Ngabehi
Surapernala Besuki pada komandan Pasuruan, Casper Lodewijk Tropponegro, 4 September 1766, folio 705. 44 VOC 3186, laporan Vaandrig pribumi, Bapak Banjer, 16 Agustus 1766, folio 673-7; VOC 3186, laporan
Mantri Banger, Sastrayuda, 15 Agustus 1766, folio 677-9.
17
Surabaya, Coop a Groen, bereaksi dengan cepat atas peningkatan perdagangan ini dengan
mengirim mata-mata ke Blambangan dan Bali untuk menginvestigasi pergerakan pedagang
Inggris dan mengumpulkan informasi tentang kemungkinan partisipasi kelompok lokal di sana.
Seluruh mata-mata ini kembali dengan laporan bahwa kedatangan Inggris tidak hanya
bertujuan untuk mendistribusikan opium dan kapas, namun mereka juga mencoba untuk
memperoleh pijakan di sana. Akan tetapi, Belanda masih membutuhkan lebih banyak informasi
tentang partisipasi penduduk lokal. Pada bulan Agustus 1766, Gubernur Vos mengirim Encik
Mida (Bagus Mida) ke Blambangan dan Bali untuk mengumpulkan lebih banyak informasi
tentang respons Blambangan dan Bali pada krisis politik di Blambangan dan kedatangan
Inggris di sana. Di Blambangan, Kotabeda enggan memberikan pendapatnya mengenai
persoalan ini, meski Encik Mida menyampaikan bahwa Gezaghebber menjanjikan akan
memberi 1.000 Rds untuk melawan Inggris.45 Bali merespons dengan cara yang sama. Gusti
Agong Mengwi menyambut para utusan Belanda dengan pertanyaan: mengapa Belanda sangat
menentang kedatangan para pedagang Inggris di wilayahnya? Ia mencoba meyakinkan utusan
Belanda bahwa Inggris tidak memiliki tujuan lain selain menjual opium, senjata api, dan tekstil,
namun ketika Encik Mida menjelaskan bahwa Belanda menentang kedatangan para pedagang
Inggris karena mereka menjual opium dengan harga yang murah, utusan Belanda kehilangan
kata-kata.46
Perdagangan Bebas di Selat Bali dan Sekitarnya
Salah satu efek signifikan yang disebabkan oleh kehadiran Inggris di wilayah ini adalah
meningkatnya eskalasi perdagangan bebas atau seperti yang kerap disebut Belanda,
smokkelhandel atau pedagang penyelundup. Para pedagang pribumi dari wilayah sekitar
tertarik pada opium dan kapas yang dijual Inggris dengan harga yang lebih murah, sementara
mereka menawarkan garam, beras, dan bahan makanan lain sebagai bentuk pertukaran.
Sebenarnya, opium dan tekstil juga dijual oleh Belanda, namun para pedagang lokal lebih
memilih membeli kedua barang ini dari para pedagang Inggris yang menawarkan harga yang
lebih masuk akal. Di antara para pedagang ini adalah, para pedagang dari Bugis dan Mandar
yang telah mengenal baik para pedagang Inggris dan dagangannya, karena banyak di antara
pedagang Bugis yang sering berlayar ke Bengkulu di Sumatra Barat. Kedatangan Inggris di
perairan laut Jawa jelas-jelas memperpendek perjalanan mereka, sehingga mereka dapat
dengan mudah mengangkut opium dengan risiko yang lebih sedikit.
Para pedagang pribumi ini lazimnya berlayar tanpa izin masuk seperti yang ditetapkan
oleh otoritas Belanda, karena mereka keberatan untuk membelinya dari para syahbandar atau
bandar lokal yang ditunjuk oleh Belanda. Dalam memandang hal ini, Belanda
mengategorisasikan mereka sebagai smokkelaars (penyelundup). Untuk menghindari patroli
Belanda, para pedagang ini menggunakan strategi yang berisiko, seperti berlayar ke selatan
Jawa menuju Bengkulu dengan menggunakan perahu kecil. Strategi yang lain adalah
menyamar sebagai penumpang dan menggunakan kapal milik pedagang lain yang memiliki
izin untuk berlayar dari satu tempat ke tempat lain. Dalam beberapa kasus mereka membayar
para pemilik kapal, namun dalam kasus yang lain mereka tidak segan-segan menggunakan
kekuatan untuk memaksa para pemilik kapal.
Petualangan Encik Saleh memberi sedikit gambaran mengenai praktek
“penyelundupan” di kawasan ini. Pada permulaan tahun 1766, Encik Saleh, seorang pedagang
Mandar yang licin yang tinggal di Batavia selama dua tahun, memutuskan untuk pergi ke
Sumenep. Kabar tentang meningkatnya permintaan garam, beras, dan bahan-bahan makanan
45 VOC 3186, Kotabeda Blambangan pada Ngabehi Surapernala Besuki, 23 Agustus 1766, folio 677. 46 VOC 3186, laporan oleh Encik Mida, Semarang 21 Desember 1766, folio 457 – 462.
18
lainnya dari para pedagang lokal dan asing di Jawa Timur dan Madura mendorongnya untuk
memulai sebuah bisnis baru di tempat itu. Calon perusahaannya mendapatkan awal yang baik.
Encik Saleh memperoleh lisensi dari Belanda di Sumenep untuk menjual beberapa bahan
makanan di Blambangan. Pada bulan Maret 1766, ia berlayar ke Pantai Pampang dengan enam
awak Bugis dan Mandar. Ia mengisi perahu gonting-nya dengan satu koyan garam dan
sejumlah besar kelapa untuk ditukar dengan beras di Blambangan. Encik Saleh
mendeskripsikan Pantai Pampang sebagai salah satu pelabuhan paling sibuk di Selat Bali dan
sekitarnya. Banyak pedagang dari berbagai etnis seperti Bugis, Mandar, Cina, Melayu, dan
Jawa secara reguler berkumpul di sini. Ketika ia memasuki pelabuhan Pampang, ia
menyaksikan dua kapal Belanda yang tengah menurunkan opium dan kapas. Pada kesempatan
itu, Inggris membeli kayu, beras, dan garam. Ketika ia hendak bersiap kembali ke Madura,
empat pedagang Melayu memintanya untuk membawa mereka ke Buleleng. Di tengah jalan
menuju Bali, ia bertemu dengan sebuah kapal Belanda yang tengah berpatroli di selat tersebut.
Setelah kapal Encik Saleh diangkuti, barulah terungkap bahwa empat pedagang Melayu
tadi ternyata membawa 20 kati opium ilegal yang mereka beli dari Inggris.47 Para pedagang
Melayu tersebut ditahan dan dikirim ke Surabaya, namun dapat melarikan diri. Ketika kapten
patroli Belanda mendapati hal ini, ia meminta Encik Saleh untuk mengantarkannya ke Buleleng
tempat di mana kemungkinan para tersangka ini menyembunyikan diri, namun Encik Saleh
menolak untuk melakukannya dengan alasan bahwa ia tidak lagi berani untuk berlayar ke
pelabuhan itu.48
Perdagangan opium di sekitar Selat Bali juga melibatkan para anggota elite pedagang
Jawa dan Cina. Pada Januari 1767, tiga bupati dari pesisir timur laut Jawa, Raden Tumenggung
Suradiningrat dari Sedayu, Raden Tumenggung Tirtadirja, dan Raden Tumenggung
Astanagara dari Gresik dipanggil landraad di Semarang. Para bupati ini dituduh turut serta
dalam perdagangan opium di Pasir (Kalimantan Timur). Ketiga bupati tersebut dengan sengit
menolak tuduhan tersebut. Mereka berdalih bahwa para penyelundup memaksa pedagang
mereka untuk mengirim opium dari Jawa ke Pasir.49
Sementara itu, tuduhan yang sama juga diberikan pada Bupati Juwana, Ngabehi
Sebajaya. Dua pedagangnya, Tosaya dan Bapak Sabra, bekerja sama dengan dua penumpang,
seorang Makasar, Si Munen, dan seorang Melayu, Encik Manan, yang ditangkap ketika bandar
China Pagirikan menemukan satu paket opium Inggris dalam kapal mereka, yang coba mereka
selundupkan ke Jawa dari Buleleng. Sang Bandar juga menemukan bahwa para juragan Jawa
ini berlayar tanpa izin. Ketiga bupati tersebut didenda 100 hingga 300 Rds.50
Perdagangan opium ini juga melibatkan sejumlah atau para pedagang Cina, termasuk
Kapten Cina Surabaya, Han Bwee Kong (Han Boeijko dalam arsip Belanda). Kan Ga Sing,
seorang yang memperkenalkan dirinya sebagai seorang pedagang Han Bwee Kong, menjual
kapalnya pada para pedagang Inggris di Pasir (Kalimantan Timur), dan pulang ke Jawa dengan
membawa satu setengah peti opium Inggris.51 Penyelidikan lebih detil mengungkap, jika orang
ini adalah seorang buronan dari Batavia. Sementara itu, Raad van Justitie di Semarang juga
menginvestigasi penemuan 200 pound opium di salah satu gonting milik pedangan Cina, Thee
47 VOC 3186, Gubernur Johannes Vos pada Gubernur Jendral Petrus Albertus van der Parra, 1766, folio 643. 48 VOC 3215, salinan laporan oleh pedagang Mandar, Encik Saleh, 14 Oktober 1766, folio 257-259. 49 VOC 3215, notulensi pertemuan Landraad di Semarang, 13 Januari 1767, folio 253-256. Pertemuan ini
juga dihadiri oleh Johannes Vos, konselor luar biasa Hindia, Gubernur dan Direktur Pesisir Timur Laut Jawa,
Adipati Sura Adimanggala Bupati Semarang, Raden Adipati Jayaningrat Bupati Pekalongan, Raden Tumenggung
Sumadiwirya Bupati Kaliwungu, Tumenggung Sumanagara Bupati Kendal, TumenggungWiranagara dan
Suradirja Bupati Demak, dan Tumenggung Citrasoma Bupati Jepara. 50 VOC 3215, salinan kutipan catatan Rade van Justitie Semarang, Selasa, 28 Oktober 1766, folio 249-253.
Laporan ditulis oleh Jacob Spiegel pada Hermanus Munnik. 51 VOC 3186, Gubernur Johannes Vos pada Gubernur Jenderal Petrus Albertus van der Parra, 1766, folio
655-6.
19
Kong. Opium tersebut, bersama dengan dua meriam dan beberapa blunderbusses (senapan),
berasal dari Gusti Kotabeda Blambangan, dan hendak dikirim ke Gusti Tamboa di Buleleng.
Pedagang Cina lain yang bekerja untuk Gusti Kotabeda ditangkap ketika dia mengangkut
opium dari Batavia.52
Dua kapal Belanda yang beroperasi di Selat Bali juga berhasil menangkap sejumlah
besar opium Inggris.53 Kapten Dekker, kapten kapal tersebut, melaporkan bahwa tidak ada satu
pun kapal Inggris yang ditemukan di Besuki, namun dia menemukan bukti bahwa opium
didistribusikan di tempat tersebut. Di Panarukan, ia menangkap satu gonting milik seorang
pedagang Cina dari Blambangan. Kapal kecil tersebut dimuati dengan opium ilegal dan
beberapa barang lain, seperti strooisuiker. Di Selat Bali, Dekker juga menangkap beberapa
pedagang Melayu dari Buleleng dengan dua puluh kati opium dan sebuah surat yang
mengindikasikan bahwa opium tersebut dipesan oleh Cina bandar Surabaya. Kemudian, lima
belas kati opium Inggris juga ditemukan di salah satu kapal milik seorang pedagang Jawa dari
Bali. Di kapal yang sama, Kapten Dekker juga menemukan satu setengah peti opium yang
dibeli dari Belanda. Hasil penyelidikan menemukan bahwa opium ‘legal’ tersebut digunakan
sebagai samaran bagi opium ‘ilegal.’54
Kolaborasi dan Bantuan Lokal
Keputusan untuk mengirim sebuah ekspedisi militer ke Blambangan dibuat oleh Hoge
Regering pada bulan Juni 1766. Setelah menerima laporan tambahan dari Surabaya dan
Semarang, Batavia memutuskan untuk memperluas skup proyek. Tujuan dari ekspedisi kali ini
bukan hanya untuk menghalangi upaya Inggris untuk mendirikan perusahaan dagang di
Blambangan, namun juga untuk mengeliminasi para pemberontak yang melarikan diri,
Pangeran Prabujaka atau Singasari dan anaknya Raden Mas, yang dilaporkan memiliki tempat
pelarian baru di Malang. Prabujaka adalah saudara kandung Sultan Mangkubumi, sultan
Yogyakarta pertama. Ketika Mangkubumi menandatangani sebuah perjanjian dengan
Kompeni dan Pakubuwana III untuk mengakhiri perang, Prabujaka pergi dari Jawa Tengah dan
memutuskan diri untuk melanjutkan perlawanannya. Laporan terakhir tentang keberadaannya
menyebutkan jika dia bergabung dengan para keturunan Surapati di Malang dan Lumajang.
Alasan lain mengapa ekspedisi militer diperluas ke Malang dan Lumajang adalah karena
Bupati Malang, Malayakusuma, menolak untuk membebaskan beberapa prajurit Eropa yang
ditangkap olehnya di Malang sejak tahun 1757.55 Ini membuat persiapan ekspedisi di Surabaya
dan Semarang lebih lama dari yang diperkirakan.
52 VOC 3186, Gubernur Johannes Vos pada Gubernur Jendral van der Parra di Batavia, 12 November 1766,
folio 439-444. 53 VOC 3186, salinan atas salinan instruksi Opperstuurman Jan Smit yang berlayar dari Sumenep ke Bali,
folio 683-686. 54 VOC 3186, Gubernur Johannes Vos pada Gubernur Jenderal Petrus Albertus van der Parra, 1766, folio
649-51. 55 VOC 3186, Gubernur Johannes Vos pada Gubernur Jendral Petrus Albertus van der Parra, 15 Maret 1767,
folio 39-72.
20
Pembicaraan pengiriman ekspedisi ke Ujung Timur Jawa oleh Penguasa VOC di Batavia
Secara keseluruhan dibutuhkan waktu selama enam bulan sebelum pasukan siap untuk
diberangkatkan. Realisasi proyek ini dibayangi oleh kesulitan finansial dan terbatasnya jumlah
kapal besar untuk mendukung ekspedisi masif semacam itu. Untuk menghemat waktu,
Gubernur Pesisir Timur Laut Jawa, Johannes Vos, melakukan kunjungan pribadi ke Ujung
Timur Jawa. Vos mendapati bahwa akan sangat berisiko untuk mengirim ekspedisi di waktu
musim hujan. Satu-satunya kapal besar yang ada di Semarang kapal De Draak yang sangat
lamban. Sementara jika digunakan kapal-kapal kecil, itu akan membutuhkan waktu yang lebih
lama. Gubernur sendiri yang harus menggunakan jalan darat untuk berkunjung ke Surabaya
menemui kesulitan di jalan karena hujan yang tiada hentinya menyebabkan kondisi jalan sangat
buruk.56
Masalah lain yang tidak kalah pelik dalam mengatur proyek ini adalah kurangnya awak
prajurit. Sebagian besar prajurit Eropa yang diturunkan dalam ekspedisi ini diambil dari
benteng Surakarta digabung dengan Semarang dan Surabaya berisi kurang dari 200 orang.
Satu-satunya solusi yang mungkin untuk menjalankan rencana ini adalah mengaktifkan
kembali kolaborasi dengan sekutu-sekutu utama Kompeni di Jawa, yaitu Mataram (Sultan
Mangkubumi), Pasuruan, Banger, Surabaya, dan Madura. Kompeni memiliki alasan kuat untuk
melibatkan Sultan Mangkubumi dalam ekspedisi ini, memaksanya bertanggung jawab untuk
membujuk saudara kandungnya Pangeran Prabujaka, untuk menghentikan perlawanannya. Ini
merupakan salah satu perjanjian tak tertulis antara dia dan Kompeni ketika perjanjian Giyanti
tahun 1757 ditandatangani. Sultan mengambil beberapa langkah untuk menjalankan rencana
ini dengan menunjuk Rangga dari Jipang untuk membuat persiapan guna memenuhi tugas
tersebut. Beberapa dari prajuritnya ditempatkan di sekitar Malang. Meski Sultan memilih untuk
menggunakan dalam menghentikan pemberontakan Prabujaka, namun Batavia berhasil
meyakinkannya bahwa upaya semacam itu tidak akan lagi bisa diterapkan.57
Di antara para sekutunya yang lain, Panembahan dari Madura adalah sekutu yang paling
penting. Pada masa lalu ia telah menunjukkan dirinya sangat setia kepada Kompeni. Ia
membantu mengakhiri pemberontakan ayahnya sendiri Cakraningrat IV, dan bersiap untuk
memberikan hukuman buangan padanya dan pada saudaranya ke Ceylon. Panembahan
56 Ibid. folio 40-1. 57 VOC 3186, Batavia pada Direktur VOC, 12 Maret dan 16 Juni 1766.
21
menjanjikan kekuatan sejumlah 2.000 orang Madura di bawah komando anaknya
Brajamanggala. Dari sekutu-sekutu lainnya, terutama Surabaya, Kompeni memperoleh
prajurit dengan jumlah sedikit lebih banyak. Hasilnya, kekuatan ekspedisi ini sebagian besar
terdiri atas para prajurit pribumi.
Setelah lolos dari seluruh kesulitan ini dan mengerahkan tenaga yang sangat besar,
akhirnya ekspedisi tersebut pun diberangkatkan pada Februari 1767. Beberapa kapal Belanda
di antaranya dalah Geertruijde Susanna, De Meeuw, Vosmaar, De Buijs, De Vrijheijt, De
Dankbaarheijd, De Draak dan banyak kapal lain yang lebih kecil digunakan dalam ekspedisi
ini. Pada tanggal 16 Februari, dua kapal, De Draak dan De Geertruijde Sussanna
diberangkatkan dari Semarang. Kedua kapal ini mengangkut dua peleton infanteri Eropa yang
masing-masing terdiri atas empat belas prajurit di bawah Cornet Rijgers dan Vaandrig Walter.
Hari berikutnya, 17 Februari, rombongan lain berkekuatan 104 prajurit Eropa, berangkat dari
Semarang di bawah komando Kapten Blanke dan Vaandrig Wipperman dan Biesheuvel.
Mereka hendak bergabung dengan Kapten Casper Lodewijk Tropponegro dan tiga puluh milisi
dari Besuki, di Panarukan. Pada tanggal 20 Februari, pasukan Madura diberangkatkan dari
Kwanyer untuk mendukung kapal De Draak di bawah komando Opperstuurman Simon
Feijke.58
Ilustrasi kapal-kapal VOC dan Pribumi dalam ekspedisi ke Ujung Tmur Jawa. dalam naskah
Babad Balambangan yang tersimpan di Perpustakaan Nasional Jakarta (KBG 63)
58 VOC 3215, Gubernur Johannes Vos pada Gubernur Jenderal Petrus Albertus van der Parra, 15 March 1767,
folio 39-72.
22
Pada tanggal 21 Februari, Kapten Tropponegro dan pasukan Madura mendarat di Panarukan.
Prioritas pertama mereka adalah memilih sebuah tempat yang pas untuk membangun sebuah
kamp militer, dan tempat pendaratan bagi kapal Kompeni yang akan mengangkut Gubernur
Vos ke Panarukan. Sebuah desa kecil di sebelah barat Sungai Pulosari dipilih sebagai kamp
sementara pasukan Belanda. Ketika mereka menaikkan bendera Belanda di pantai, para
penduduk lokal menunjukkan sedikit perlawanan, namun ini dapat dihalau dengan mudah.
Dalam serangan tersebut, prajurit Madura memainkan peran penting. Demang Pulosari dan
orang-orangnya menyerah pada Kompeni, namun pemimpin kedua, yang merupakan
peranakan Makasar berhasil melarikan diri. Sementara itu, sebagian besar wanita dan anak-
anak mengungsi dari desa mereka dan mengurung diri mereka di hutan, ketakutan akan
keganasan dan kekejaman prajurit Madura.59
kolaborasi dengan para penguasa lokal terutama Bupati pesisir Utara, Probolinggo dan
Madura menjadi kunci kekuatan VOC dalam invasinya ke Ujung Timur Jawa KBG 63
Unit lain dari tiga puluh prajurit pribumi dari Pasuruan juga mendarat di Besuki. Mereka
bergerak melalui darat dan menduduki dalem Ngabehi Besuki di desa Sela Katupan. Jalan
utama yang menghubungkan Blambangan dan Malang terletak di dekat dalm tersebut. Di
tempat ini didirikan sebuah pos pengawas untuk menangkap para buronan yang mencoba
melarikan diri ke Malang dari Blambangan. Orang-orang Sentong dan Bondowoso juga
memberikan perlawanan, namun mereka dapat dipadamkan dengan mudah. Desa Sentong,
yang terletak di perbatasan antara Panarukan dan Besuki, dianggap sebagai sebuah lokasi
strategis untuk mencegah para buronan melarikan diri, baik dari Blambangan maupun
Lumajang. Di tempat ini didirikan juga sebuah pos militer yang dijaga oleh tiga puluh hingga
lima puluh prajurit.60
Di Blambangan, pasukan Belanda dan Madura di bawah komando Kapten Blanke
menghadapi situasi yang sangat berbeda dengan saat mereka tiba pada tanggal 15 Maret. Tidak
ada perlawanan dari rakyat Blambangan atau Bali ketika mereka mendarat di Banyualit.
Sebelumnya, dilaporkan bahwa Gusti Ngurah Ketut Kabakaba memperkuat posisinya dengan
59 Ibid. folio 39-72. 60 Ibid., folio 39-72.
23
mengumpulkan lebih banyak pejuang untuk mempertahankan posisinya di Kota, namun tidak
ada satu pun dari para pejuang ini yang muncul. Ketika Belanda memasuki kota, mereka
mendapati pemandangan pembantaian besar-besar. Kepala dan jasad manusia tersebar di mana-
mana, sebagian besar dari mereka adalah orang Bali. Tampaknya, telah terjadi pertempuran
besar beberapa saat sebelumnya.
Pasukan Koalisi antara Kompeni dan Pasukan Lokal bergerak ke Ujung Timur Jawa
KBG 63
Akhirnya, mereka mendapatkan jawaban mengenai apa yang terjadi di ibu kota ketika
mereka menemui dua bangsawan Blambangan, Mas Anom dan Mas Uno, yang kemudian
bersekutu dengan Kompeni. Mereka memiliki 300 prajurit untuk membantu Kompeni
bertempur melawan orang Bali. Mereka juga meminta agar diizinkan untuk menduduki Kota,
ibu kota Blambangan, dan menggunakannya sebagai sebuah basis militer. Kapten Blanke tidak
sepenuhnya mempercayai mereka, namun ia mengizinkan kedua pangeran itu bergabung
dengannya masuk ke Kota. Di tengah jalan ke Blambangan, mereka menerima pesan bahwa
Kotabeda, salah satu penguasa Bali di Blambangan, telah dibunuh oleh rakyat Blambangan.
Blanke terus bergerak memasuki Kota, dan di sini dia menemukan sejumlah rakyat
Blambangan yang menyerahkan seluruh senjata mereka dan memberinya persembahan kepala
Kotabeda. Mereka juga menunjukkan sejumlah kepala orang Bali yang mereka bunuh.
Diperkirakan, Gusti Ngurah Ketut Kabakaba juga terluka dalam pertempuran. Pada sore hari,
lima belas orang Cina dan sejumlah orang Blambangan muncul dari arah Ulupampang, tempat
di mana para pedagang dari berbagai etnis tinggal. Para penduduk Cina ini menyimpan senjata
dalam beberapa kapal di Sungai Pampang untuk mempertahankan dirinya dari Belanda. Namun
ketika kapal Vosmmar dan De Dankbaarheid melepaskan jangkar di tempat tersebut, mereka
memutuskan diri untuk menyerah.61
Di seberang sungai Pampang, 100 orang Bugis dan Melayu telah membangun benteng
kecil dan menawarkan kerja sama. Pada tengah hari, mereka datang ke kapal Kompeni, dan
meminta diizinkan untuk bertemu Kapten Blanke. Sang komandan Belanda itu berjanji
memberi mereka perlindungan, namun dia ingin mereka membuktikan kesetiaan mereka
dengan menyerahkan padanya sebanyak mungkin kepala para pemimpin Bali. Dua hari
kemudian, seorang utusan Bugis menghadap Kapten Belanda dan memberikan kepala salah
61 VOC 3215, surat resmi Gubernur Johannes Vos ke Batavia, 29 Maret 1767, folio 71-2.
24
satu anggota keluarga Gusti Ngurah Ketut Kabakaba sebagai bukti kesetiaannya pada
Kompeni. Orang Bugis juga mengatakan bahwa malam lainnya ia memburu dan membunuh
sejumlah orang Bali, dan memperkirakan jika Gusti Ngurah Ketut Kabakaba juga telah
terbunuh, namun tubuhnya belum ditemukan.
Sementara itu, pasukan Belanda dengan kejam memburu orang-orang Bali yang masih
bersembunyi di hutan belantara. Pada tanggal 29 Maret 1767, Kapten Blanke dan pasukannya
masuk ke Ulupampang. Di tempat tersebut, ia bertemu dengan sejumlah orang Bugis dan
Melayu yang membawa dua bendera putih dan kepala Gusti Ngurah Kabakaba. Sang kapten
menyuruh mereka memaku kepala tersebut ke sepasang kayu dan meneruskan perburuannya
terhadap orang-orang Bali di sepanjang sungai. Hari berikutnya, Gusti Ketut Musap, saudara
kandung Gusti Ngurah Kabakaba, menyerahkan diri pada Kompeni. Ia mengaku telah
membunuh para anggota keluarga saudara kandungnya. Ia melakukan itu secara suka rela
sebagai bukti atas kesetiaannya. Ia mempersembahkan tiga kepala kepada komandan Belanda.
Gusti Ketut Musap mengatakan bahwa dia sebenarnya bukan asli Bali, ia lahir di Blambangan,
dan ibunya orang Jawa. Ia juga mengatakan bahwa dirinya tidak pernah berperang melawan
Kompeni. Kapten Blanke meresponsnya dengan memberinya pengampunan, namun pada saat
itu juga ia ditawan dan dikirim ke Surabaya.62
Kesimpulan
Hageman, yang aktif mengumpulkan memori-memori lama masyarakat kolonial di Jawa pada
pertengahan abad ke-19, menulis bahwa Blambangan yang pada awalnya dipaksa untuk tunduk
pada Mataram melalui banyak peperangan pada akhirnya dapat ditaklukkan oleh Belanda,
dengan hanya menggunakan empat prajurit dan satu tambur menunggangi kereta sapi:
mendengar suara tambur, musuh lari pontang-panting.63 Ia mengisahkan bahwa kepemimpinan
Adriaan van Rijcke, komandan dari ekspedisi ini, merupakan faktor yang menentukan dalam
penaklukan yang ringan ini. J. K. J. de Jonge, seorang ahli arsip Belanda yang memilih dan
menyunting sumber-sumber panjang kontemporer milik VOC di Jawa, mencatat kemenangan-
kemenangan sekelompok kecil pasukan Eropa yang berdisiplin tinggi atas berbagai
“gerombolan prajurit pribumi” yang tidak disiplin. Kedua pengarang ini memberi sumbangan
atas elaborasi mitos penaklukan heroik kulit putih, membersihkan perlawanan “penduduk asli”
dari para raja Jawa yang amoral dan despotik dan memaksakan pemerintahan kolonial Eropa
yang jujur dan efisien.
Hal ini untuk mengatakan, bahwa ini merupakan pandangan yang dibelokkan atas apa
yang terjadi, yang akan membawa kita pada langkah untuk memperbaiki keseimbangan. Sangat
jelas bahwa bantuan pribumi sangat berperan dalam penaklukan VOC atas Blambangan.
Rakyat jelata Blambangan dan juga para elite telah memperkirakan invasi tersebut. Mereka
menemukan bahwa tidak ada cara lain untuk mengusir para penguasa Bali keluar dari kawasan
tersebut, sejak dua pemimpin utama mereka, Pangeran Adipati Danuningrat dan Pangeran
Wilis diasingkan ke Bali. Sumber-sumber lokal mendeskripsikan betapa rakyat Blambangan
merasa tertekan di bawah kekuasaan para penguasa Bali sehingga sangat mudah dipahami jika
mereka memilih untuk membantu invasi Belanda.
Seorang pedagang dari Sumenep, Kacung Besar, mendeskripsikan situasi dan sikap
rakyat Blambangan tepat sebelum kedatangan prajurit Belanda dan Madura di Blambangan.
Pada 27 Januari, Kacung Besar meninggalkan Sumenep menuju Panarukan. Dia menginap
semalam di kapalnya ketika berada di mulut sungai Panarukan. Malam itu, kepala desa
62 VOC 3215, kutipan surat resmi dari Kapten Blanke pada Gubernur Johanes Vos, 31 Maret 1767, folio 131-
136. 63 J. C. Hageman, Handleiding tot de kennis der geschiedenis, aardrijkskunde, fabelleer en tijdrekenkunde
van Java, Vol I, (Batavia: Lange & Co, 1850).
25
Panarukan mendatanginya dan bertanya padanya apakah benar jika Kompeni menguasai
Madura. Dia juga ditanya tentang situasi di Sumenep. Kacung Besar mengatakan, bahwa ia
tidak mengetahui apapun kecuali Panembahan Madura masih berada di Semarang. Ia pergi ke
darat dan menemui bandar lokal. Sang bandar mengatakan bahwa jika prajurit Kompeni dan
Madura hendak menyerang Blambangan, para penduduk mempersilahkannya dan akan
mendukung mereka. Rakyat Blambangan telah lama menantikan saat-saat seperti ini. Mereka
lebih memilih diperintah oleh Kompeni ketimbang oleh penguasa Bali.
Paginya, Kacung Besar meneruskan perjalanan, dan enam hari kemudian ia tiba di
Kota, ibu kota Blambangan. Ia memberi tahu para koleganya tentang rencana Kompeni dan
Madura untuk menyerang Blambangan. Mereka terkejut mendengar berita tersebut, namun
menyatakan bahwa setiap orang akan merasa gembira melihat penguasa Bali diusir. Setelah
tinggal di Blambangan selama beberapa hari, Kacung Besar kembali ke Madura dan di lautan
ia bertemu dengan konvoi kekuatan invasi Madura dan Kompeni di dekat Tanjung Sudana.64
Kesuksesan invasi ini ditentukan oleh bantuan oportunistik para individu dan kelompok
lokal. Sikap komunitas-komunitas Melayu dan Bugis di Blambangan yang mendukung invasi
ini sangat oportunistik, jika bukan sebuah pengkhianatan atas sekutu mereka, karena pada masa
lalu kelompok ini sangat loyal kepada para penguasa Bali. Barangkali, hati mereka gentar
ketika melihat rakyat Blambangan sendiri mendukung invasi tersebut dan menggunakan
senjata api dan amunisi mereka untuk mengusir penguasa Bali.65
64 VOC 3215, laporan dari seorang Jawa yang tinggal di Sumenep, Kacung Besar, tentang pengalamannya di
Panarukan dan Blambangan, 17 February 1767, folio 113-8. 65Perilaku Gusti Ketut Musap, saudara kandung Gusti Ngurah Ketut Kabakaba, sangat di luar kebiasaan
akrena dia bertindak sangat brutal pada keluarga Balinya sendiri. Komandan Blanke sendiri mengakui, bahwa apa
yang dilakukannya kejam dan menangkap kemudian mengirimnya ke Surabaya. Gubernur Vos berharap bahwa
dia akan diberi grasi. VOC 3215, salinan surat resmi dari Gubernur Johannes Vos pada Komandan Blanke, 15
April 1767, folio 141-48.