jam vol 23 no 2 agustus 2012

77

Upload: tranphuc

Post on 26-Jan-2017

249 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: JAM Vol 23 No 2 Agustus 2012
Page 2: JAM Vol 23 No 2 Agustus 2012

Vol. 23, No. 2, Agustus 2012

JURNAL AKUNTANSI & MANAJEMEN (JAM)

TERAKREDITASISK. Nomor: 64a/DIKTI/Kep/2010

EDITOR IN CHIEFDjoko Susanto

STIE YKPN Yogyakarta

EDITORIAL BOARD MEMBERS

Dody Hapsoro I Putu Sugiartha SanjayaSTIE YKPN Yogyakarta Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Dorothea Wahyu Ariani Jaka SriyanaUniversitas Atma Jaya Yogyakarta Universitas Islam Indonesia

MANAGING EDITORSBaldric Siregar

STIE YKPN Yogyakarta

EDITORIAL SECRETARYRudy Badrudin

STIE YKPN Yogyakarta

PUBLISHERPusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat STIE YKPN Yogyakarta

Jalan Seturan Yogyakarta 55281Telpon (0274) 486160, 486321 ext. 1100 Fax. (0274) 486155

EDITORIAL ADDRESSJalan Seturan Yogyakarta 55281

Telpon (0274) 486160, 486321 ext. 1332 Fax. (0274) 486155http://www.stieykpn.ac.id e-mail: [email protected]

Bank Mandiri atas nama STIE YKPN Yogyakarta No. Rekening 137 – 0095042814

Jurnal Akuntansi & Manajemen (JAM) terbit sejak tahun 1990. JAM merupakan jurnal ilmiah yang diterbitkan oleh PusatPenelitian dan Pengabdian Masyarakat Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Yayasan Keluarga Pahlawan Negara (STIE YKPN) Yogyakarta.Penerbitan JAM dimaksudkan sebagai media penuangan karya ilmiah baik berupa kajian ilmiah maupun hasil penelitian di bidangakuntansi dan manajemen. Setiap naskah yang dikirimkan ke JAM akan ditelaah oleh MITRA BESTARI yang bidangnya sesuai.Daftar nama MITRA BESTARI akan dicantumkan pada nomor paling akhir dari setiap volume. Penulis akan menerima limaeksemplar cetak lepas (off print) setelah terbit.JAM diterbitkan setahun tiga kali, yaitu pada bulan April, Agustus, dan Desember. Harga langganan JAM Rp7.500,- ditambahbiaya kirim Rp17.500,- per eksemplar. Berlangganan minimal 1 tahun (volume) atau untuk 3 kali terbitan. Kami memberikankemudahan bagi para pembaca dalam mengarsip karya ilmiah dalam bentuk electronic file artikel-artikel yang dimuat pada JAMdengan cara mengakses artikel-artikel tersebut di website STIE YKPN Yogyakarta (http://www.stieykpn.ac.id).

Tahun 1990

ISSN: 0853-1259

J U R N A LAKUNTANSI & MANAJEMEN

Page 3: JAM Vol 23 No 2 Agustus 2012

Vol. 23, No. 2, Agustus 2012

DAFTAR ISITERAKREDITASI

SK. Nomor: 64a/DIKTI/Kep/2010

UTANG DAN KUALITAS LABABambang Sutopo

79-86

REFORMASI PAJAK DALAM KERANGKA REFORMASI EKONOMI-POLITIK DI INDONESIABambang Sudibyo

87-103

PENGARUH KARAKTERISTIK DEWAN KOMISARIS DAN KOMITE AUDITTERHADAP KUALITAS LAPORAN KEUANGAN

Bambang Suripto105-117

STRATEGY TO ENHANCE INDONESIAN TRADE PERFORMANCE TOWARDSTHE REST OF ASEAN-5 MARKETS

Jaka SriyanaAbdul Hakim

119-127

ESTIMASI HARGA PREMI PENJAMINAN SIMPANAN WAJAR BAGI IDICDENGAN MODEL RISIKO KREDIT

Firman PribadiSuad Husnan

Mamduh M.HanafiEduardus Tandelilin

129-137

THE VALUE RELEVANCE OF ACCOUNTING INFORMATION IN TRANSITION TO IAS/IFRS:THE CASE OF INDONESIA

Eko Widodo Lo139-151

Tahun 1990

ISSN: 0853-1259

J U R N A LAKUNTANSI & MANAJEMEN

Page 4: JAM Vol 23 No 2 Agustus 2012

79

UTANG DAN KUALITAS LABA ......................................... (Bambang Sutopo)

Vol. 23, No. 2, Agustus 2012Hal. 79-86

ABSTRACT

This study examines the association between debt fi-nancing and earnings quality of non-financial compa-nies listed on the Indonesia Stock Exchange in the pe-riod of 2008-2010. Results of this study show that debtis positively associated with quality of earnings at lowlevel of debt, and debt is negatively associated withearnings quality at high level of debt. After controllingfor dividend status, returns on assets (ROA), age, size,and market-to-book ratio, the results on the positiveassociation between debt and earnings quality is con-sistent at low level of debt. However, this study doesnot find the negative association between debt andearnings quality at high level of debt. Results of thisstudy show that at high level of debt, size is positivelyrelated to earnings quality.

Keywords: earnings quality, debt, abnormal accruals,size

JEL Classification: M41

PENDAHULUAN

Penelitian ini menguji hubungan antara utang dankualitas laba (kualitas informasi laba) di Indonesia untuktingkat utang tinggi dan tingkat utang rendah. Hasilpenelitian-penelitian sebelumnya tentang kualitas laba

UTANG DAN KUALITAS LABA

Bambang SutopoFakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret

Jl. Ir. Sutami 36A, Surakarta 57126Telepon +62 271 647481, Fax +62 271 638143

E-mail: [email protected]

Tahun 1990

ISSN: 0853-1259

J U R N A LAKUNTANSI & MANAJEMEN

menunjukkan manfaat kualitas laba, antara lain, bahwakualitas laba: berhubungan dengan arus kas padaperioda berikutnya (Al-Attar dkk., 2008), mempunyairelevansi nilai (Cahan dkk., 2009), mempunyai pengaruhpada biaya modal (Kim dan Qi, 2010; Bhattacharya dkk.,2012), dan berpengaruh pada underpricing (Boultondkk., 2011).

Meskipun kualitas laba bermanfaat, kualitas labayang dilaporkan oleh perusahaan-perusahaan di suatunegara dan/atau di berbagai negara bervariasi. Hasilstudi Boulton dkk. (2011) menunjukkan bahwa Indo-nesia termasuk negara yang mempunyai kualitas labaperusahaan yang rendah (di samping China dan Tai-wan), sedangkan beberapa negara maju seperti AmerikaSerikat dan Australia termasuk negara yang mempunyaikualitas laba perusahaan yang tinggi. Penelitiantersebut menggunakan skor manajemen laba agregatrata-rata (average aggregate EM scores) untukmengukur kualitas laba. Dengan demikian, di antaraperusahaan-perusahaan di suatu negara masih terdapatvariasi kualitas laba.

Salah satu faktor yang dapat mempengaruhikualitas laba adalah penggunaan utang. Hasil studiGhosh dan Moon (2010) dengan menggunakan data diAmerika Serikat -termasuk negara dengan kualitas labaperusahaan tinggi, menunjukkan bahwa utang dapatberhubungan positif atau negatif dengan kualitas laba.Utang berhubungan positif dengan kualitas laba jikatingkat utang rendah, dan utang berhubungan negatifdengan kualitas laba jika tingkat utang tinggi. Dalamhal ini, tingkat utang rendah yaitu rasio utang terhadap

Page 5: JAM Vol 23 No 2 Agustus 2012

80

JAM, Vol. 23, No. 2, Agustus 2012: 79-86

total aset (debt-to-assets ratio atau DAR) kurang atausama dengan 40%, dan tingkat utang tinggi yaitu DARlebih besar dari 40%. Valipour dan Moradbeygi (2011),yang juga meneliti hubungan utang dengan kualitaslaba di Iran tetapi menggunakan klasifikasi tingkat utangtinggi dan rendah yang berbeda yaitu tingkat utangrendah jika DAR kurang atau sama dengan 50% dantingkat utang tinggi jika DAR lebih besar dari 50%,mendapatkan hasil yang konsisten dengan temuanGhosh dan Moon (2010).

Penelitian ini menguji hubungan utang dengankualitas laba di Indonesia yang berdasarkan temuanBoulton dkk. (2011) termasuk negara dengan kualitaslaba rendah. Pengujian dilakukan untuk seluruh sampel(utang tinggi dan rendah), sampel utang tinggi, dansampel utang rendah. Penentuan batas tingkat utangmengikuti Ghosh dan Moon (2010) yaitu 40%. Disamping itu, pengujian tambahan denganmenggunakan batas tingkat utang sesuai Valipour danMoradbeygi (2011) yaitu 50%. Hasil penelitian inidiharapkan bermanfaat, yaitu dengan memberi buktiempiris di Indonesia dan memberi kontribusi terhadapliteratur penelitian akuntansi khususnya tentanghubungan utang dengan kualitas laba.

MATERI DAN BAHAN PENELITIAN

Penggunaan utang dapat mempunyai hubungandengan kualitas laba, dan hubungan tersebut dapatbersifat positif atau negatif. Hubungan positif antarautang dan kualitas laba, antara lain dinyatakan olehBarton dan Waymire (2004) dan (Feltham dkk., 2007),yaitu bahwa perusahaan cenderung meningkatkankualitas pelaporan seiring dengan peningkatan lever-age. Perusahaan terdorong untuk menyediakaninformasi yang berkualitas untuk menurunkan biayamodal pinjaman. Peningkatan kualitas informasi inimeningkatkan efisiensi biaya.

Utang dapat berhubungan negatif dengankualitas laba, karena manajemen laba (sebagai ukuranterbalik dari kualitas laba) lebih potensial dilakukan olehperusahaan yang mempunyai leverage tinggi untukmenghindari pelanggaran perjanjian utang. Jika utangmeningkat, penggunaan debt covenant menjadisemakin diperlukan untuk mengurangi konflik keagenan(Ghosh dan Moon, 2010). Covenants (yang banyakmenggunakan EBITDA) adalah penting dalam

pendanaan perusahaan khususnya pada perusahaanbesar (Moir dan Sudarsanam, 2007). Hasil studi Billettdkk. (2007) menunjukkan bahwa proteksi denganmenggunakan covenant meningkat searah dengan le-verage. Kegagalan dalam memenuhi perjanjian utangdiharapkan tidak terjadi karena dapat mengakibatkanperusahaan menanggung biaya yang tinggi (Beneishdan Press, 1993; serta Chen dan Wei, 1993). Untukmenghindari biaya yang tinggi ini, perusahaan dapatterdorong untuk melakukan manajemen laba (Dichevdan Skinner, 2002; serta Beatty dan Weber, 2003).Menurut Feltham dkk. (2007), nilai akuntansi cenderungbias jika nilai perusahaan mendekati level perjanjianutang. Hasil beberapa studi menunjukkan hubunganpositif antara utang dan manajemen laba atau hubungannegatif antara utang dan kualitas laba (DeFond danJiambalvo, 1994; Prawitt dkk., 2009; Givoly dkk., 2010;Tong dan Miao, 2011).

Penelitian tentang hubungan positif dan negatifdilakukan oleh Ghosh dan Moon (2010) di AmerikaSerikat. Hasil studinya menunjukkan bahwa utangdapat berhubungan positif atau negatif dengan kualitaslaba. Utang berhubungan positif dengan kualitas labauntuk tingkat utang rendah dan utang berihubungannegatif dengan kualitas laba untuk tingkat utang tinggi.Valipour dan Moradbeygi (2011) yang menelitihubungan antara utang dan kualitas laba di Iranmenemukan hasil yang konsisten dengan temuan Ghoshdan Moon (2010). Berdasarkan uraian tersebut,dirumuskan hipotesis penelitian tentang hubunganutang dengan kualitas laba sebagai berikut.H1a: Pada tingkat utang rendah, utang berhubungan

positif dengan kualitas laba.H1b: Pada tingkat utang tinggi, utang berhubungan

negatif dengan kualitas laba.Penelitian ini memasukkan beberapa variabel

kontrol yang dapat mempunyai pengaruh pada kualitaslaba, yaitu dividen, profitabilitas, umur perusahaan,ukuran perusahaan, dan market-to-book ratio. Dividendapat merupakan signal positif tentang kinerjaperusahaan yang akan datang. Hasil studi Tong danMiao (2011) menunjukkan bahwa perusahaan yangmembayar dividen mempunyai kualitas laba yang relatiftinggi baik dibandingkan dengan perusahaan yangtidak membayar dividen. Profitabilitas dapatmempengaruhi kualitas laba. Perusahaan denganprofitabilitas yang tinggi diharapkan mempunyai

Page 6: JAM Vol 23 No 2 Agustus 2012

81

UTANG DAN KUALITAS LABA ......................................... (Bambang Sutopo)

kualitas informasi laba yang tinggi pula. Determinanpenting perilaku pengungkapan dan pelaporan adalahkinerja perusahaan. Lee dkk. (2006) menyatakan bahwakualitas laba berhubungan positif dengan kinerjaperusahaan. Prawitt dkk. (2009) menemukan hubungannegatif antara ROA dan absolute value dari accruals.Hasil studi Zang (2012) menunjukkan bahwaprofitabilitas berpengaruh negatif pada accrual-basedearnings management. Hasil ini mengindikasi bahwaprofitabilitas berpengaruh positif pada kualitas laba.Umur perusahaan dapat mencerminkan kemapananperusahaan. Perusahaan yang lebih mapan diharapkanmempunyai kualitas laba yang relatif lebih baik. Hasilstudi Dechow dkk. (2003) menunjukkan bahwakarakteristik discretionary accruals yang relatif besarpada perusahaan dengan laba kecil (dibandingkanperusahaan yang lain) disertai dengan karakteristik umurperusahaan yang lebih kecil. Prawitt dkk. (2009)menemukan bahwa umur perusahaan berhubungannegatif dengan absolute value of accruals. Hasil duastudi ini mengindikasi bahwa umur perusahaanmempunyai hubungan positif dengan kualitas laba.Ukuran Perusahaan dapat mempunyai pengaruh padakualitas laba. Perusahaan besar mendapat perhatianlebih besar dari para pemangku kepentingandibandingkan dengan perusahaan kecil. Oleh karenaitu, perusahaan besar diharapkan mempunyai kualitaslaba yang lebih baik dibandingkan perusahaan kecil.Beberapa studi (Lim dkk., 2008; Sanjaya, 2011; Zhang,2012) menunjukkan bahwa ukuran perusahaanberhubungan negatif dengan manajemen laba atauberhubungan positif dengan kualitas laba. Market-to-Book Ratio (MTB) yang mencerminkan pertumbuhanperusahaan dapat berhubungan dengan kualitas laba.Hasil penelitian Beneish dan Vargus (2002)menunjukkan bahwa MTB berpengaruh positifterhadap laba pada perioda berikutnya. Sebaliknya,Tong dan Miao (2011) menemukan bahwa MTBberhubungan negatif dengan kualitas laba.

Kualitas laba, diukur dengan menggunakan tigaproksi abnormal accruals. Proksi abnormal accrualsmenurut Peasnell dkk. (2000, 2005) dan Al-Attar (2008)adalah residuals yang dihasilkan dari persamaanregresi berikut:

WCi,s,t

= β0,s,t

+ β1,s,t*

( REVi,s,t

+ RECi,s,t

) + ε i,s,t

(1)

Proksi abnormal accruals adalah residualsyang dihasilkan dari persamaan regresi berikutsebagaimana digunakan oleh Al-Attar (2008) yaitu:

WCi,s,t

= β0,s,t

+ β1,s,t*

( REVi,s,t

+ RECi,s,t

) +

β2,s,t*

OCFi,s,t

+ ε i,s,t

(2)

Penjelasan notasi dalam dua persamaan di atas adalahsebagai berikut: WC

j,s,t = working capital accruals untuk perusahaan

j (dalam sektor s dan tahun t) = perubahan aset lancarnon-kas dikurangi perubahan kewajiban jangka pendek;REV

j,s,t = perubahan pendapatan dari tahun t-1 ke t;

RECj,s,t

= perubahan piutang dari tahun t-1 ke t. OCFi,s,t

= arus kas dari aktivitas operasi. â0,s,t

, â1,s,t*

+ â2,s,t*

merupakan parameter model yang diestimasi untuksektor s dan tahun t. å

j,s,t = residual errors = estimasi

abnormal accruals dari model (1) dan (2). Nilai absolutdari masing-masing residuals errors tersebutdigunakan sebagai proksi kualitas laba, yaitu berturut-turut: AA1 dan AA2. Nilai absolut residual errors yangrendah (tinggi) menunjukkan kualitas laba yang tinggi(rendah).Metoda analisis menggunakan model empiris sebagaiberikut.

AAi,t = α + β

1DAR + β

2i,tDIV + β

3i,tROA + β

4i,tAGE +

β5i,t

SIZE + β6i,t

MTB + eit

AA adalah kualitas laba diukur dengan AA1dan AA2 sebagaimana dijelaskan dalam pengukuranvariabel di atas. DAR (debt-to-assets ratio) adalah to-tal utang dibagi dengan total aset. DIV (status dividen)merupakan variabel dummy, yaitu diberi angka 1 jikaperusahaan membayar dividen kas dan diberi angka 0jika perusahaan tidak membayar dividen kas. ROAadalah laba dibagi dengan aset total. AGE (umurperusahaan) adalah jumlah tahun dari tahun pendirianperusahaan sampai dengan tahun observasi. MTBadalah nilai pasar saham dibagi dengan nilai buku.

Sumber utama data penelitian adalah informasikeuangan yang dipublikasi melalui website Bursa EfekIndonesia (BEI) dan dilengkapi ikhtisar informasikeuangan dari Indonesian Capital Market Directory.Data laporan keuangan yang digunakan untukpengukuran variabel adalah data perioda 2007-2010 dan

Page 7: JAM Vol 23 No 2 Agustus 2012

82

JAM, Vol. 23, No. 2, Agustus 2012: 79-86

untuk analisis adalah data perioda 2008-2010. Penelitianini menggunakan sampel perusahaan non-keuanganyang terdaftar di BEI. Pemilihan sampel dalam penelitianini menggunakan kriteria sebagai berikut: data untukpengukuran variabel dapat diperoleh secara lengkap,pada tahun yang bersangkutan ekuitas perusahaanadalah positif, dan rasio utang terhadap aset atau debtto assets ratio (DAR) kurang dari 1. Di samping itu,data yang ekstrim untuk working capital accruals danabsolute value dari abnormal accuals dikeluarkan darisampel. Identifikasi data ekstrim menggunakan fasilitasprogram statistik SPSS.

HASIL PENELITIAN

Pemilihan sampel perusahaan nonkeuangan yangterdaftar di BEI dari periode pelaporan keuangan 2007-

2010 (untuk pengukuran variabel) dan perioda 2008-2010 (untuk pengujian hipotesis) menghasilkan 566observasi. Daftar sampel penelitian berdasarkan sektorindustri disajikan pada Tabel 1. Jumlah sampel tersebutberdasarkan kategori tingkat utang meliputi 195observasi dalam utang rendah (rasio utang terhadapaset atau debt to assets ratio [DAR] lebih kecil atausama dengan 40%) dan 371 observasi dalam utangtinggi (DAR lebih besar dari 40%).

Tabel 2 menyajikan statistik deskriptif untukvariabel-variabel penelitian yang dikelompokkanmenjadi 3 bagian, yaitu statistik deskriptif untuk 1)seluruh sampel (sampel dalam kategori utang tinggidan rendah); 2) sampel dalam kategori utang tinggi;dan 3) sampel dalam kategori utang rendah. Hasilstatistik deskriptif pada Tabel 2 menunjukkan bahwamean DAR untuk semua sampel adalah 0,4792, mean

Tabel 1. Sampel Penelitian

Nomor Sektor Nama Sektor Jumlah Observasi

1 Pertanian) 262 Pertambangan 303 Industri Dasar dan Kimia 964 Aneka Industri 575 Industri Barang Konsumsi 726 Properti, Real Estat, dan Konstruksi Bangunan 877 Infrastruktur, Utilitas, dan Transportasi 338 Keuangan 09 Perdagangan, Jasa, dan Investasi 165

566

Tabel 2. Statistik Deskriptif

Utang Tinggi dan Rendah Utang Tinggi Utang RendahVariabel Mean Std. Deviation Mean Std. Deviation Mean Std. Deviation

AA1 0,171 0,136 0,169 0,139 0,173 0,131AA2 0,166 0,130 0,165 0,135 0,168 0,121DAR 0,479 0,210 0,604 0,130 0,241 0,097DIV 0,380 0,486 0,361 0,481 0,415 0,494ROA 9,086 11,413 7,183 8,184 12,707 15,217AGE 45,180 33,583 46,090 34,479 43,440 31,823SIZE 13,967 1,632 14,074 1,625 13,763 1,629MTB 2,051 4,087 2,198 4,866 1,772 1,836

N 566 371 195

Page 8: JAM Vol 23 No 2 Agustus 2012

83

UTANG DAN KUALITAS LABA ......................................... (Bambang Sutopo)

DAR pada kategori utang tinggi adalah 0,604, dan meanDAR pada kategori utang rendah adalah 0,241. MeanAA1 adalah 0,171 (untuk seluruh sampel), 0,169 (untuksampel utang tinggi), dan 0,173 untuk sampel utangrendah), dan mean AA2 adalah 0,166 (untuk seluruhsampel), 0,165 (untuk sampel utang tinggi), dan 0,168(untuk sampel utang rendah). Mean AA1 atau AA2untuk utang tinggi tidak berbeda signifikan denganmean AA1 atau AA2 untuk utang rendah (hasil uji bedamean tidak disajikan).

AA = Absolute Abnormal Accruals (Proksikualitas laba), DAR = Rasio utang terhadap aset (Debtto assets ratio), DIV = Status dividen (1 jika perusahaanmembayar dividen, dan 0 jika tidak), ROA = Return onassets, AGE = Umur perusahaan, SIZE = Ukuranperusahaan, MTB = Market to book ratio.

Tabel 3 menyajikan hasil analisis hubunganantara utang dan kualitas laba. Sebagaimanaditunjukkan dalam Tabel 3 tersebut, koefisien DARuntuk seluruh sampel dan untuk kategori tingkat utangtinggi tidak signifikan, sedangkan koefisien DAR untuktingkat utang rendah adalah negatif signifikan untukkedua proksi kualitas laba.

AA = Absolute Abnormal Accruals (Proksikualitas laba), DAR = Rasio utang terhadap aset (Debtto assets ratio), DIV = Status dividen (1 jika perusahaan

membayar dividen, dan 0 jika tidak), ROA = Return onassets, AGE = Umur perusahaan, SIZE = Ukuranperusahaan, MTB = Market to book ratio.

PEMBAHASAN

Hasil regresi pada Tabel 3 untuk seluruh sampel,koefisien DAR adalah negatif tetapi tidak signifikan.Hasil analisis untuk seluruh sampel ini menunjukkanbahwa tidak terdapat hubungan utang dengan kualitaslaba. Untuk sampel utang tinggi, hasil regresimenunjukkan koefisien DAR adalah positif tetapi tidaksignifikan. Hasil analisis ini tidak berhasil mendukungbahwa utang berhubungan negatif dengan kualitas laba(atau berhubungan positif dengan manajemen laba).Hasil regresi untuk sampel utang rendah pada Tabel 3menunjukkan koefisien DAR adalah -0,427 (signifikanpada level 1%) untuk proksi kuaitas laba AA1 dan -0,387 (signifikan pada level 1%) untuk proksi kualitaslaba AA2. Karena AA1 dan AA2 yang rendah (tinggi)menunjukkan kualitas laba yang tinggi (rendah), hasilini mendukung hipotesis bahwa jika utang rendah,maka utang mempunyai hubungan positif dengankualitas laba.

Analisis tambahan dilakukan denganmenggunakan pengelompokan utang ke dalam 2

Tabel 3Hasil Regresi Kualitas Laba terhadap Utang

Utang Tinggi dan Rendah Utang Tinggi Utang RendahVariabel AA1 AA2 AA1 AA2 AA1 AA2

Konstanta 0,386 *** 0,343 *** 0,389 **** 0,307 *** 0,296 *** 0,321 ***(7,288) (6,748) (4,977) (4,014) (3,579) (4,237)

DAR -0,015 -0,015 0,053 0,057 -0,427 *** -0,387 ***(-0,543) (-0,562) (0,893) (0,984) (-4,464) (-4,416)

DIV -0,023 * -0,017 -0,025 -0,025 -0,030 -0,013(-1,699) (-1,320) (-1,470) (-1,474) (-1,431) (-0,660)

ROA 0,000 0,000 0,001 0,001 0,001 0,000(0,388) (-0,016) (0,935) (0,999) (0,792) (0,455)

AGE 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,001 *(0,005) (-0,229) (-0,830) (-1,266) (1,543) (1,918)

SIZE -0,014 *** -0,011 *** -0,017 *** -0,011 *** -0,002 -0,005(-3,877) (-3,215) (-3,655) (-2,494) (-0,322) (-0,825)

MTB 0,000 -0,001 -0,001 -0,001 -0,003 -0,009 *(0,038) (-0,368) (-0,344) (-0,600) (-0,661) (-1,902)

N 566 566 371 371 195 195Adj. R2 0,034 0,021 0,043 0,022 0,096 0,116F-stat 4,308 *** 3,065 *** 3,780 *** 2,406 ** 4,445 *** 5,229 ***

Page 9: JAM Vol 23 No 2 Agustus 2012

84

JAM, Vol. 23, No. 2, Agustus 2012: 79-86

kategori tingkat utang sesuai pengelompokan yangdilakukan oleh Valipour dan Moradbeygi (2011), yaitukategori utang tinggi jika DAR lebih besar dari 50%dan kategori utang rendah jika DAR lebih kecil atausama dengan 50%. Hasil pengujian hubungan antarautang dan kualitas laba dengan pengelompokan inikonsisten dengan hasil pengujian hubungan antarautang dan kualitas laba dengan pengelompokan kedalam kategori utang tinggi jika DAR lebih besar dari40% dan kategori utang rendah jika DAR lebih kecilatau sama dengan 40%, yaitu koefisien DAR adalahnegatif (signifikan pada level 1%) baik untuk proksikualitas laba AA1 maupun AA2. Hasil ini memberi buktiempiris bahwa terdapat hubungan positif antara utangdan kualitas laba jika tingkat utang rendah.

Hasil analisis untuk seluruh sampel tidakmemberi bukti empiris bahwa terdapat hubungan antarautang dan kualitas laba. Seluruh sampel yang meliputisampel utang tinggi dan utang rendah yangmempunyai karakteristik berbeda dapat mengeliminasihubungan utang dengan kualitas laba. Oleh sebab itu,analisis terhadap seluruh sampel dapat memberi hasilyang tidak konsisten. Ketidakkonsistenan ini dapatdisebabkan oleh komposisi sampel (berdasarkan utangtinggi dan utang rendah) yang digunakan dalamanalisis.

Hasil analisis untuk sampel utang tinggimenunjukkan koefisien DAR adalah positif signifikanjika analisis dilakukan tanpa variabel kontrol. Setelahmemasukkan variabel-variabel kontrol, tidak ditemukanhubungan antara utang dan kualitas laba. Sebagaimanadisajikan pada Tabel 3, variabel yang berhubunganpositif dengan kualitas laba adalah ukuran perusahaan(SIZE). Semakin besar perusahaan, semakin tinggikualitas laba. Kemungkinan penjelasan atas hasil iniadalah bahwa perusahaan besar mendapat perhatianrelatif lebih besar dari para pemangku kepentingandibandingkan perusahaan kecil. Oleh karena itu,perusahaan besar cenderung melaporkan kualitas labayang lebih tinggi dibandingkan perusahaan kecil.

Hasil penelitian ini mendukung hipotesis bahwajika utang rendah, maka utang mempunyai hubunganpositif dengan kualitas laba. Hasil empiris inimendukung argumen bahwa perusahaan dengantingkat utang rendah terdorong untuk meningkatkankualitas pelaporan yang tinggi sejalan denganpeningkatan utang, dan peningkatan kualitas pelaporan

ini diharapkan dapat menurunkan biaya modal.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Penelitian ini memberi hasil empiris bahwa jika tingkatutang rendah, maka utang berhubungan positif dengankualitas laba. Hubungan positif antara utang dankualitas laba ini mengindikasi bahwa manajer cenderungmenggunakan kebijakan akuntansi untukmenyampaikan informasi privat tentang prospekperusahaan di masa depan untuk menurunkan biayapendanaan. Hasil penelitian ini juga menunjukkanbahwa tanpa menggunakan variabel kontrol, utangberhubungan negatif dengan kualitas laba untuktingkat utang tinggi. Dengan menggunakan variabelkontrol, penelitian ini tidak menemukan bahwa jikatingkat utang tinggi, utang berhubungan negatifdengan kualitas laba. Hasil studi ini menunjukkanhubungan positif antara ukuran perusahaan dankualitas laba untuk tingkat utang tinggi.

Saran

Penelitian lanjutan dapat dilakukan untuk mengujivaliditas eksternal dan/atau pengembangan hasil studiini. Penelitian dapat dilakukan dengan menggunakanberbagai variasi pengukuran kualitas laba, pengukuranpenggunaan utang, dan pengukuran variabel-variabelkontrol sesuai tujuan spesifik yang ingin dicapai.Ketersediaan sampel perlu mendapat perhatian dalampenelitian lanjutan tersebut.

__________________Penulis menyampaikan terima kasih kepada Universi-tas Sebelas Maret yang telah memberi bantuan danauntuk penelitian ini melalui Lembaga Penelitian danPengabdian kepada Masyarakat Universitas SebelasMaret (LPPM UNS).

Page 10: JAM Vol 23 No 2 Agustus 2012

85

UTANG DAN KUALITAS LABA ......................................... (Bambang Sutopo)

DAFTAR PUSTAKA

Al-Attar, Ali, Simon Hussain dan Ling Y. Zuo. 2008.“Earnings Quality, Bankruptcy Risk and FutureCash Flows.” Accounting and Business Re-search 38(1): 5-9,16-17,19-20.

Barton, Jan dan Gregory Waymire. 2004. “Investor Pro-tection under Unregulated Financial Reporting.”Journal of Accounting and Economics 38(1-3):65-116.

Beatty, Anne dan Joseph Weber. 2003. “The Effects ofDebt Contracting onVoluntary AccountingMethod Changes.” The Accounting Review78(1):119–142.

Beneish, Messod D. dan Eric Press. 1993. “Costs ofTechnical Violation of Accounting-Based DebtCovenants.” The Accounting Review 68(2):233–257.

Beneish, Messod D. dan Mark E. Vargus. 2002. “In-sider Trading, Earnings Quality, and AccrualMispricing.” The Accounting Review 77(4): 755-791.

Bhattacharya, Nilabhra, Frank Ecker, Per M. Olsson,dan Katherine Schipper. 2012. “Direct and Me-diated Associations among Earnings Quality,Information Asymmetry, and the Cost of Eq-uity.” The Accounting Review 87(2): 449-482.

Billett, Matthew T., Tao-Hsien Dolly King, dan DavidC. Mauer. 2007. “Growth Opportunities and theChoice of Leverage, Debt Maturity, and Cov-enants.” Journal of Finance 62(2): 697–730.

Boulton, Thomas J., Scott B. Smart, dan Chad J. Zutter.2011. “Earnings Quality and International IPOUnderpricing.” The Accounting Review 86(2):483-505.

Cahan, Steven F., David Emanuel, dan Jerry Sun. 2009.“The Effect of Earnings Quality and Country-Level Institutions on the Value Relevance ofEarnings.” Review of Quantitative Finance and

Accounting 33(4): 371-391.

Chen, Kevin C. W. dan K. C. John Wei. 1993. “Credi-tors’ Decisions to Waive Violations of Account-ing-Based Debt Covenants.” The AccountingReview 68(2): 218–232.

Dechow, Patricia M., Scott A. Richardson, dan IremTuna. 2003. “Why are Earnings Kinky? an Ex-amination of the Earnings Management Expla-nation.” Review of Accounting Studies 8(2-3):355-384.

DeFond, Mark L. dan James Jiambalvo. 1994. “DebtCovenant Violation and Manipulation of Ac-cruals.” Journal of Acccounting and Econom-ics 17(1/2): 145-176.

Dichev, Ilia D. dan Douglas J. Skinner. 2002. “LargeSample Evidence on the Debt Covenant Hy-pothesis.” Journal of Accounting Research40(4): 1091–123.

Feltham, Glenn, Sean Robb, dan Ping Zhang. 2007. “Pre-cision in Accounting Information, FinancialLeverage and the Value of Equity.” Journal ofBusiness Finance & Accounting 34(7&8):1099–122.

Ghosh, Aloke (Al) dan Doocheol Moon. 2010. “Corpo-rate Debt Financing and arnings Quality”. Jour-nal of Business Finance & Accounting 37(5/6):538-559.

Givoly, Dan, Carla K. Hayn, dan Sharon P. Katz. 2010.“Does Public Ownership of Equity ImproveEarnings Quality?” The Accounting Review85(1): 195-225.

Kim, Dongcheol and Yaxuan Qi. 2010. “Accruals Qual-ity, Stock Returns, and Macroeconomic Condi-tions.” The Accounting Review 85(3):937-978.

Lee, Chi-Wen Jevons, Laura Yue Li, dan Heng Yue.2006. “Performance, Growth, and Earnings Man-agement.” Review of Accounting Studies 11(2/3): 305-344.

Page 11: JAM Vol 23 No 2 Agustus 2012

86

JAM, Vol. 23, No. 2, Agustus 2012: 79-86

Lim, Chee Y., Tiong Y. Thong, dan David K. Ding. 2008.“Firm Diversification and Earnings Manage-ment: Evidence from Seasoned Equity Offer-ings.” Review of Quantitative Finance andAccounting 30(1): 69-92.

Moir, Lance and Sudi Sudarsanam. 2007. “Determinantsof Financial Covenants and Pricing of Debt inPrivate Debt Contracts: The UK Evidence.”Accounting and Business Research 37(2):151-166.

Peasnell, K. V., P. F. Pope, dan S. Young. 2000. “AccrualManagement to Meet Earnings Targets: UKEvidence Pre- and Post-Cadbury’.” British Ac-counting Review 32(4): 415–445.

Peasnell, K. V., P. F. Pope, dan S. Young. 2005. “BoardMonitoring and Earnings Management: DoOutside Directors Influence Abnormal Accru-als?” Journal of Business Finance & Account-ing 32(7/8): 1311-1346.

Prawitt, Douglas F., Jason L. Smith, dan David A.Wood. 2009. “Internal Audit Quality and Earn-ings Management.” The Accounting Review84(4): 1255-1280.

Sanjaya, I. Putu Sugiartha. 2011. “The Influence of Ul-timate Ownership on Earnings Management:Evidence from Indonesia. Global Journal ofBusiness Research (GJBR) 5(5): 61-69.

Tong, Yen H. dan Bin Miao. 2011. “Are Dividends As-sociated with the Quality of Earnings?” Ac-counting Horizons 25(1): 183-205.

Valipour, Hashem dan Mehdi Moradbeygi. 2011. “Cor-porate Debt Financing and Earnings Quality”.Journal of Applied Finance & Banking 1(3):139-157.

Zang, Amy Y. 2012. “Evidence on the Trade-Off be-tween Real Activities Manipulation and Accrual-Based Earnings Management.” The Account-ing Review 87(2): 675-703.

Page 12: JAM Vol 23 No 2 Agustus 2012

87

REFORMASI PAJAK DALAM KERANGKA REFORMASI EKONOMI............. (Bambang Sudibyo)

Vol. 23, No. 2, Agustus 2012Hal. 87-103

ABSTRACT

The tax reform proposed by this writer in this article isan integral part of a political and legal reform badlyneeded by Indonesia in order for this country to beable to benefit the golden momentum of the shift in thegeo economic center of gravity from the developedcountries concentrated in the West to the emergingcountries concentrated in the East. The tax reformshould include at least 1) strong enforcement of the taxregime desciplines; 2) improvement of tax governance;3) tax bureaucracy reform; 4) simplification of tax regu-lations; and 5) rearrangement of the tax regulation toimprove it’s investment friendliness. The reform is ex-pected to increase tax ratio from 12% of GDP to 17.5.%of GDP within 8 years.

Keywords: tax reform, tax regime, politiceconomicpatologi, tax ratio

JEL Classification: H21, H23

PENDAHULUAN

Pada tahun 2006 kantor akuntan Price WaterhouseCoopers (2006) membuat sebuah prediksi pergeserandominasi ekonomi global yang mengejutkan. Dalamkurun 20052050, di antara 17 negara anggota terbesardari G20, diprediksikan bahwa pertumbuhan ekonomi

REFORMASI PAJAK DALAM KERANGKA REFORMASIEKONOMI-POLITIK DI INDONESIA

Bambang SudibyoFakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada

Jalan Humaniora Nomor 1, Bulaksumur, Yogyakarta 55281Telepon +62 274 548510 – 548515, Fax. +62 274 563212

E-mail: [email protected]

Tahun 1990

ISSN: 0853-1259

J U R N A LAKUNTANSI & MANAJEMEN

yang tinggi hanya akan terjadi di perekonomian lagimuncul sebagaimana tampak pada Tabel 1.Pertumbuhan PDB dan PDB per kapita yang tinggi, diantara negaranegara G20, diprediksikan akan terjadi danjika diurut menurut besarnya pertumbuhan adalah In-dia, Indonesia, Cina, Turki, Brazilia, Mexico, Rusia, danKorea Selatan. Pertumbuhan PDB di negaranegara majuyang terkonsentrasi di Barat diprediksikan semuanyaakan rendah.

Penyebab utama rendahnya pertumbuhan PDBdi negaranegara maju tersebut, menurut PriceWaterhouce Coopers adalah struktur penduduknyayang semakin didominasi oleh penduduk yang umurnyatua dan tidak lagi produktif. Di samping itu, pada hematpenulis, faktor lain yang menyebabkan rendahnyapertumbuhan ekonomi di negaranegara maju adalahfaktor sudah jenuhnya perekonomian. Padanegaranegara maju ruang untuk penciptaan nilaitambah yang cukup besar bagi pertumbuhan ekonomipositif memang sangat sempit, karena sudah sangattingginya tingkat sofistikasi kehidupan, karenakehidupan tersebut sarat dengan teknologi danteknokrasi.Pada negaranegara lagi muncul situasinya justrusebaliknya. India dan Indonesia, pada kurun 20052050justru merupakan era emas dari perspektif strukturpenduduk yang didominasi oleh usia produktif. Disamping itu, di negaranegara ini ruang untuk tumbuhmasih sangat lebar, karena masih rendahnya tingkataplikasi tekonologi dan teknokrasi untuk memperbaikisofistikasi kehidupan. Berdasarkan proyeksi

Page 13: JAM Vol 23 No 2 Agustus 2012

88

JAM, Vol. 23, No. 2, Agustus 2012: 87-103

pertumbuhan PDB tersebut, Price Waterhouse Coo-pers kemudian membuat proyeksi pergeseran urutanbesarnya PDB, dalam USD PPP, relatif terhadap PDBAmerika Serikat yang diberi nilai tetap 100. Proyeksinyatampak seperti pada Tabel 2.

Berdasarkan proyeksi tersebut, penulismembuat proyeksi mutasi peringkat PDB relatif sepertipada Tabel 3. Tampak pada Tabel 3, negaranegara yangperingkat PDB relatifnya meningkat semuanya adalahnegara berekonomi sedang muncul, sementara negarayang peringkat PDB relatifnya merosot semuanyaadalah negara berekonomi maju. Tabel 3 menunjukkanbahwa Indonesia akan mengalami loncatan peringkatPDB relatif yang paling tinggi, yaitu naik 9 peringkat.Prediksi pergeseran dominasi ekonomi global yanglebih ekstrim menjagoi perekonomian lagi muncul,bahkan juga perekonomian berkembang, dibikin olehCitibank. Prediksi Citibank tidak membatasi padanegaranegara anggota G20 saja, melainkan mencakup

semua negara di dunia. Citibank memperkenalkan suatukonsep baru yang disebut “global growth generators(3G),” yaitu negaranegara yang didasarkan padaberbagai pertimbangan seperti struktur danpertumbuhan penduduk, pendidikan, infrastruktur,kemapanan sistem politik, tingkat kemajuan ekonomidan lain sebagainya diprediksikan akan menjadi gen-erator pertumbuhan ekonomi global untuk kurun waktu20102050.

Negara yang diramalkan menjadi generatorpertumbuhan ekonomi global pada periode 20102050itu ada 11 negara, yaitu, sesuai urutan besarnya indeks3G, Vietnam, Cina, India, Indonesia, Mongolia, Philipina,Irak, Bangladesh, Mesir, Srilangka, dan Nigeria. Sebelasnegara tersebut memiliki angka Indeks 3G tertinggi didunia. Berdasarkan angka tersebut dan faktorfaktor lain,Citibank kemudian membikin proyeksi pertumbuhanekonomi periode 20102050 untuk negaranegara tersebutsebagaimana ditunjukkan pada Tabel 4. Angka

Tabel 1Proyeksi Rerata Pertumbuhan Kurun 2005-2050

Pertumbuhan Pertumbuhan Pertumbuhan PertumbuhanPDB Dalam PDB Dalam Penduduk PDB Per Kapita

Negara USD USD PPP Dalam USD PPP(%) (%) (%) (%)

India 7,6 5,2 0,8 4,3Indonesia 7,3 4,8 0,6 4,2

Cina 6,3 3,9 0,1 3,8Turki 5.6 4,2 0,7 3,4

Brazilia 5,4 3,9 0,7 3,2Mexico 4,8 3,9 0,6 3,3Rusia 4,6 2,7 -0,5 3,3

Korea Selatan 3,3 2,4 -0,1 2,6Canada 2,6 2,6 0,6 1,9

Australia 2,6 2,7 0,7 2,0AS 2,4 2,4 0,6 1,8

Spanyol 2,3 2,2 0,0 2,2Inggris 1,9 2,2 0,3 2,0

Perancis 1,9 2,2 0,1 2,1Italia 1,5 1,6 -0,3 1,9

Jerman 1,5 1,6 -0,1 1,9Jepang 1,2 1,6 -0,3 1,9

Sumber: Price Waterhouse Coppers, “The World in 2050,” March 2006, diolah.

Page 14: JAM Vol 23 No 2 Agustus 2012

89

REFORMASI PAJAK DALAM KERANGKA REFORMASI EKONOMI............. (Bambang Sudibyo)

Tabel 2Pergeseran PDB Relatif 2005-2050 (AS=100)

PDB (USD PPP) Relatif 2005 PDB (USD PPP) Relatif 2050Negara Peringkat PDB Relatif Negara Peringkat PDB Relatif

AS 1 100 Cina 1 143Cina 2 76 AS 2 100

Jepang 3 32 India 2 100India 4 30 Brazilia 4 25

Jerman 5 20 Jepang 5 23Inggris 6 16 Indonesia 6 19

Perancis 7 15 Mexico 7 17Italia 8 14 Jerman 8 15

Brazilia 9 13 Inggris 8 15Rusia 10 12 Rusia 19 14

Spanyol 11 9 Perancis 11 13Canada 11 9 Italia 12 10

Korea selatan 11 9 Turki 12 10Mexico 11 9 Canada 14 9

Indonesia 15 7 Spanyol 15 8Australia 16 5 Korea Selatan 15 8

Turki 16 5 Australia 17 6

Sumber: Price Waterhouse Coppers, “The World in 2050,” March 2006, diolah.

Tabel 3Proyeksi Mutasi Peringkat PDB Relatif

Negara Yang Peringkat PDB Relatifnya Negara Yang Peringkat PDB RelatifnyaNaik/Tetap Turun

Negara Kenaikan Peringkat Negara Kemerosotan Peringkat

Indonesia 9 tingkat Korea Selatan 5 tingkatMexico 7 tingkat Perancis, Italia, 4 tingkatBrazilia 5 tingkat SpanyolTurki 4 tingkatIndia 2 tingkat Jerman, Inggris, 3 tingkatCina 1 tingkat Canada

Rusia 0 tingkat Jepang, AS 2 tingkatAustralia 1 tingkat

Sumber: Tabel 1 dan Tabel 2, diolah.

Page 15: JAM Vol 23 No 2 Agustus 2012

90

JAM, Vol. 23, No. 2, Agustus 2012: 87-103

pertumbuhan PDB pada Tabel 4 tidak sepenuhnyaberbanding lurus dengan indeks 3Gnya, karenapertumbuhan ekonomi akan mudah untuk didongkraktinggi pada negaranegara yang pendapatan perkapitanya masih rendah. Ketika pendapatan per kapitameningkat, percepatan pertumbuhan ekonomi akancenderung menurun seiring dengan berjalannya waktu.Itulah sebabnya mengapa negaranegara yang padasaat ini PDB per kapitanya masih rendah, seperti Nige-

ria, India, Vietnam, dan Bangladesh diproyeksikanmemiliki rerata pertumbuhan PDB jangka panjang yangrelatif lebih tinggi.

Berdasarkan proyeksi pertumbuhan PDB sepertipada Tabel 4 yang diterapkan pada semua negara,Citibank kemudian membikin proyeksi pergeseran 10besar PDB untuk periode 20102050 seperti tampak padaTabel 5, yaitu yang akan menjadi primadona ekonomikurun 20102050, adalah bukan hanya Brazilia, Rusia,

Tabel 4Global Growth Generators (3G) 2010-2050

PDB Per Kapita Proyeksi Pertumbuhan2010 PDB 2010-2050

No Negara Indeks 3G (USD PPP) (%) Keterangan

1 Nigeria 0,25 2.335 6,92 India 0,71 3.298 6,4 anggota G203 Vietnam 0,86 3.108 6,44 Mongolia 0,63 3.764 6,35 Bangladesh 0,39 1.735 6,36 Irak 0,58 3.538 6,17 Indonesia 0,70 4.363 5,6 anggota G208 Philipina 0,60 3.684 5,59 Srilangka 0,33 4.988 5,510 Cina 0,81 7.430 5,0 anggota G2011 Mesir 0.37 5.878 5,0

Sumber: Global Growth Generators: Moving Beyond Emerging Markets And BRI, 27 February 2011, diolah.

Tabel 5Proyeksi Pergeseran 10 Besar PDB 2010-2050

Peringkat 2010 2015 2020 2030 2040 2050

1 AS AS Cina Cina Cina India2 Cina Cina AS AS India Cina3 Jepang India India India AS AS4 India Jepang Jepang Jepang Indonesia Indonesia5 Jerman Jerman Jerman Brazilia Brazilia Brazilia6 Rusia Rusia Brazilia Rusia Rusia Nigeria7 Brazilia Brazilia Rusia Indonesia Jepang Rusia8 Inggris Inggris Inggris Jerman Nigeria Mexico9 Perancis Perancis Perancis Inggris Jerman Jepang10 Italia Italia Korsel Mexico Mexico Mesir

Sumber: Global Growth Generators: Moving Beyond Emerging Markets And BRIC, 27 Februari 2011, diolah.

Page 16: JAM Vol 23 No 2 Agustus 2012

91

REFORMASI PAJAK DALAM KERANGKA REFORMASI EKONOMI............. (Bambang Sudibyo)

India, dan Cina (BRIC), melainkan Brazilia, Rusia, In-dia, Cina, Indonesia, Mexico, Mesir, dan Nigeria(BRICIMEN)1.

MATERI DAN METODE PENELITIAN

Prediksi Price Waterhouse Coopers dan Citibank yangtelah dipaparkan menunjukkan persepsi tentang sedangbergesernya pusat gravitasi geoekonomi darinegaranegara maju yang terkonsentrasi di Barat kenegaranegara sedang muncul yang terkonsentrasi diTimur. Indonesia diperkirakan menjadi bagian dari arusutama pergeseran tersebut, dan karenanya memilikiprospek ekonomi yang sangat bagus pada paruhpertama abad 21. Prospek yang amat bagus akanmenjadi kenyataan tergantung pada bangsa Indonesiasendiri, karena meskipun prospek ekonominya bagus,pada saat ini Indonesia masih tersandera oleh limapatologi ekonomipolitik yang akut dan kronis. Prospekyang amat bagus itu akan menjadi kenyataan jika limapatologi tersebut dapat diatasi.

Sistem politik demokratis yang belum mapan,labil, dan sarat ketidakjujuran. Untuk negara berkategorilagi muncul dan penduduk mayoritasnya muslim, In-donesia bersama Turki adalah yang termaju dalamberdemokrasi. Namun demikian, sistem politikdemokratis di Indonesia belum menjadi lingkunganyang kondusif bagi sehat dan majunya perekonomian(Boediono, 2006). Sistem tersebut masih belum mapan,labil, dan sarat ketidakjujuran sehingga resiko politikbagi investasi menjadi tinggi. Implikasi lebih lanjutnyaadalah spread perbankan menjadi tinggi pula dankarenanya biaya dana untuk berinvestasi di sektor riiljuga tinggi. Dengan resiko politik yang tinggi disertaibiaya dana yang tinggi pula, sistem politik demokratisdi Indonesia, dengan demikian, masih belum ramahinvestasi.

Demokrasi di Indonesia masih belum mapan,masih terus mencari bentuk, dan karenanya demokrasiyang seperti itu menjadi sumber dari labilnya kehidupanpolitik. Kelabilan itu diperparah oleh hilangnya pusatgravitasi sistem sejak Indonesia mulai melakukanreformasi pada tahun 1998. Pusat gravitasi sistem politik

yang semula berada pada Presiden, setelah reformasimenjadi tidak jelas lokusnya, dan sejak saat itugonjangganjing politk tidak pernah berhenti. Secaranormatif, pada tatanan politik demokratis yangmenganut sistem presidensiil, meskipun kekuasaannegara dibagi secara imbang antara kekuasaaneksekutif, legislatif, dan yudikatif agar tercipta checkand balance, seperti halnya yang diterapkan diAmerika Serikat, pusat gravitasi sistem sengajadiletakkan pada presiden agar sistem memiliki angkoryang jelas dan menjadi stabil. Reformasi di Indonesiatelah membagi kekuasaan negara itu secara imbangkepada ketiga cabang kekuasaan negara tersebut, tetapitelah dengan ceroboh mencabut pusat gravitasi sistemitu dari Presiden. Akibatnya, kehidupan politik menjadikehilangan angkor, dan karena itu gonjangganjingpolitik terus terjadi, tidak memberi kesempatan kepadaperekonomian untuk mengaktualisasikan potensitumbuhnya yang menurut penilaian Price WaterhouseCoopers dan Citibank sebetulnya sangat bagus.

Kondisi seperti itu diperparah oleh belumdewasa dan matangnya para individu pemeran ketigacabang kekuasaan negara tersebut pada berbagaitingkatan. Pada persepsi publik ketiganya terlibat padaperburuan rente berdosis berat, sebagaimana terbuktidari indeks persepsi korupsi yang hanya 2,8 (Trans-parency International, 2011). Karena perburuan rentetersebut, interaksi antara ketiga cabang kekuasaannegara menjadi defensif, kaku, tidak terbuka, dan saratketidakjujuran, tetapi sekaligus juga saling melindungi.Mekanisme self correction yang merupakankeunggulan dari sistem politik demokratis, olehkarenanya, menjadi macet.

Supremasi hukum lemah karena sejak merdekapada tahun 1945 Indonesia memang belum pernahmemiliki rezim hukum yang supremasinya kuat. Kondisiseperti itu sejak era Reformasi diperparah oleh patologipertama yang telah diutarakan sebelumnya karenahukum adalah produk dari sistem politik. Rezim politikyang belum mapan, masih labil, dan sarat ketidakjujuranmustahil bisa menghasilkan produkproduk hukum, baiktata negara, pidana, maupun perdata yang bagus. Rezimhukum dewasa ini belum merupakan buah karya para

1 Penggunaan singkatan BRICIMEN adalah dari penulis, untuk Brazil, Russia, India, China, Indonesia, Mexico, Egypt, andNigeria.

Page 17: JAM Vol 23 No 2 Agustus 2012

92

JAM, Vol. 23, No. 2, Agustus 2012: 87-103

politisi negarawan yang berintegritas danbernasionalisme tinggi. Oleh karena itu, rezim hukummenjadi kurang berwibawa dan lemah. Lingkunganhukum menyimpan banyak sekali ketidakpastian dankarenanya menjadi tidak ramah investasi. Rezim hukumyang seperti itu menjadi lingkungan yang tidak kondusifbagi perekonomian untuk meng aktualisasikan potensitumbuh yang sebenarnya.

Rendahnya disiplin hukum perpajakan karenarezim perpajakan adalah bagian dari rezim politik danrezim hukum. Ketika rezim politik dan rezim hukumsecara bersamaan lemah, maka rezim perpajakanotomatis ikut lemah, dan karenanya disiplin perpajakandalam kehidupan bernegara, berbangsa, danbermasyarakat menjadi rendah. Akibatnya penerimaannegara dari pajak menjadi rendah sebagaimana tercermindari rasio pajak terhadap PDB yang sejak 1999/2000hingga sekarang tidak pernah beringsut dari angkasekitar 12% dari PDB. Kemampuan fiskal negara menjadilemah, dan negara menjadi kurang mampumenyelesaikan banyak persoalan yang memerlukandukungan APBN dan APBD.

Rezim perpajakan yang seharusnya menjadi pi-lar demokrasi telah gagal melaksanakan fungsikepilarannya itu. Pada sistem politik demokratis, wajibpajak seharusnya memiliki posisi tawar moral yangtinggi di hadapan negara karena ketergantunganfinansial negara kepada mereka. Wajib pajak yang baikseharusnya memiliki wibawa moral yang tinggi dalammengontrol berfungsinya lembagalembaga eksekutif,legisilatif, dan yudikatif. Ketika disiplin perpajakanrendah seperti yang terjadi di Indonesia dewasa ini,dan karenanya wibawa moral wajib pajak juga rendah,maka tidak aneh jika kontrol sosial yang dilakukan olehmereka kurang digubris oleh pemangku ketigakekuasaan negara tersebut.

Infrastruktur yang jumlahnya tidak memadai dankondisinya buruk. Kondisi infrastruktur yang sepertiitu telah menjadi leher botol dari ketersediaan energidan kelancaran arus manusia, barang, jasa, daninformasi dalam perekonomian. Dalam negarakepulauan seperti Indonesia dan Filipina,pembangunan infrastruktur menjadi tantangan yangsangat penting untuk segera diatasi agar statusnyabisa naik dari negara lagi tumbuh menjadi negara maju.Sebelum masalah infrastruktur ini dapat diatasi, sepertihalnya di inflasi di Filipina, inflasi di Indonesia akan

senantiasa persisten signifikan lebih tinggidibandingkan dengan inflasi negaranegara lain dikawasan regional ASEAN dan Asia Timur. Denganpersisten tingginya inflasi, biaya dana bagi Investasidi sektor riil menjadi amat sulit untuk bisa ditekan olehBank Indonesia. Infrastruktur di Indonesia, dengandemikian, menjadi tidak ramah investasi.

Belum berhasilnya Indonesia memilikiinfrastruktur modern yang menjamin efisiensiperekonomian adalah akibat dari lemahnya rezimperpajakan yang merupakan patologi yang ketiga.Untuk Indonesia, baru sedikit sekali infrastruktur yangbisa dibangun dengan skema publicprivate partner-ship (PPP). Sebagian besar infrastruktur adalah yangmemerlukan dukungan penuh dari APBN dan APBD.Oleh karena itu, ke depan pembangunan danpemeliharaan infrastruktur menjadi sangat tergantungpada pembenahan rezim perpajakan yang menentukankemampuan fiskal negara.

Kerusakan lingkungan stadium lanjut, sehinggaketika musim hujan bencana banjir dan tanah longsorterjadi di manamana. Bencara tersebut di banyak tempattelah menyebabkan gagal panen. Kondisi gagal panenitu diperparah oleh perubahan iklim yang penyebabnyajuga kerusakan lingkungan alam. Kegagalan panen inimenjadi sumber inflasi mengingat tingginya bobotharga pangan dalam pembentukan indeks inflasi.Berbagai bencana tersebut di banyak tempat jugamenjadi sumber kerusakan infrastruktur. Di sampingitu, tingginya tingkat polusi air, udara, dan tanah diJawa dan kawasan perkotaan di luar jawa yang padatpenduduk menjadikan daya dukung kawasankawasantersebut untuk kehidupan manusia semakin kritis.

Seperti halnya infrastruktur, pengatasanmasalah lingkungan ini sangat tergantung padakemampuan APBN dan APBD. Oleh karena itukeberhasilan pembenahan rezim perpajakan menjadisangat penting bagi bisa teratasinya masalahinfrastruktur dan lingkungan. Hubungan antara kelimapatologi tersebut diilustrasikan pada Gambar 1. Rezimpolitik yang lemah telah menyebabkan lemahnya rezimhukum. Kelemahan dua rezim pertama ini secarabersamasama menyebabkan lemahnya rezimperpajakan. Kelemahan tiga rezim ini merupakanpermasalahan hukum, karena permasalahan rezim politikmerupakan domain dari hukum tata negara,permasalahan rezim hukum merupakan domain dari

Page 18: JAM Vol 23 No 2 Agustus 2012

93

REFORMASI PAJAK DALAM KERANGKA REFORMASI EKONOMI............. (Bambang Sudibyo)

hukum tata negara, pidana , dan perdata, danpermasalahan rezim perpajakan menjadi domain darihukum tata negara. Pengatasan dari tiga patologi yangpertama ini, dengan demikian, menjadi sangat pentingmengingat pengatasan dua patologi sisanya sangattergantung pada keberhasilan dalam melakukanreformasi rezim perpajakan yang bertujuan untukmemperbaiki kemampuan fiskal negara.

Dengan demikian jelas kiranya sekarang bahwadari perspektif ekonomipolitik, reformasi pajak memangsangat relevan dan penting. Reformasi itu harusdilakukan sebagai bagian integral dari reformasi sistemhukum yang menyeluruh dan komprehensif, yangmencakup di dalamnya reformasi rezim perpajakan, rezimkepolisian, rezim kejaksaan, rezim kehakiman, dan rezimperadvokatan.

HASIL PENELITIAN

Rezim perpajakan dewasa ini juga didera oleh 5 patologiakut dan kronis yang membuatnya tidak dapat berfungsidengan baik. Kelemahan disiplin hukum perpajakanmerupakan implikasi logis dari patologi ekonomi politik

yang pertama dan kedua yang telah dipaparkan. Sistempolitik demokratis yang masih belum mapan, masih labil,dan sarat ketidakjujuran tidak memberikan basis politikyang baik, kokoh dan berkeadilan bagi sistem hukumyang supremasinya kuat. Padalah rezim perpajakanadalah bagian dari rezim hukum. Ketika hukum lemahsupremasinya, maka otomatis disiplin perpajakan dalamkehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegarajuga menjadi lemah. Implikasi dari lemahnya disiplinperpajakan itu, antara lain tingginya penghindaran dan/atau pelanggaran pajak yang dilakukan oleh wajib pajak,tingginya perburuan rente oleh fiskus, banyaknya wajibpajak yang tidak memiliki NPWP, maraknya informalitasdalam berbisnis yang tidak taat pajak, tetapi konondipelihara serta dilindungi oleh oknum birokrasi karenadijadikan obyek perburuan rente, rendahnya tingkatkesadaran pajak warganegara sehingga banyakpelanggaran pajak dilakukan oleh wajib pajak, bahkankadang yang bersangkutan adalah tokoh masyarakat,tanpa disadarinya bahwa perbuatannya itu merupakanpelanggaran hukum pajak, dan tingginya restitusi PPNyang konon berbau penghindaran pajak.

Tata pamong yang ada memberikan

REZIM PERPAJAKAN YANG LEMAH

REZIM POLITIK YANG LEMAH

REZIM HUKUM YANG LEMAH

INFRASTRUKTUR BERKONDISI

PARAH

LINGKUNGAN RUSAK

Gambar 1Patologi Akut dan Kronis Ekonomi-Politik Indonesia

Page 19: JAM Vol 23 No 2 Agustus 2012

94

JAM, Vol. 23, No. 2, Agustus 2012: 87-103

kewenangan rangkap kepada fiskus sehingga rentanmenimbulkan konflik kepentingan yang berujung padaperburuan rente. Fiskus, yaitu Direktorat Jenderal Pajakdan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, dewasa inimerangkap dua kewenangan sekaligus, yaitukewenangan mempersiapkan regulasi pajak(kewenangan legislatif) dan kewenangan mengeksekusipemungutan pajak (kewenangan eksekutif). Dalamkeadaan seperti itu, regulasi pajak berpotensi memberipeluang bagi perburuan rente oleh fiskus.2

Birokrasi dan regulasi pajak terlalu kompleks,rumit, dan berteletele merupakan implikasi dari tatapamong yang sarat konflik kepentingan sebagaimanadiutarakan di muka. Birokrasi dan regulasi yangkompleks, rumit, dan berteletele konon memangmerupakan buah dari kesengajaan untuk menciptakanasimetri informasi antara fiskus dan wajib pajak.Asimetri informasi terjadi ketika wajib pajak kesulitanuntuk memahami dan untuk secara teknis menerapkan

regulasi pajak, yang kemudian dalam keadaan sepertiitu wajib pajak menjadi rentan untuk dijadikan obyekperburuan rente oleh fiskus.

Rezim perpajakan tidak ramah investasi.Ketidakramahan ini wujudnya bermacammacam, diantaranya asimetri kedudukan hukum antara fiskus danwajib pajak di hadapan pengadilan pajak, tingginyatingkat ketidakpastian hukum pajak, tarif pajak yangdirasakan terlalu tinggi, pemajakan yang berganda, polahubungan subyekobyek antara fiskus dan wajib pajakmenyebabkan wajib pajak rentan dijadikan obyekperburuan rente oleh fiskus, rasio Pajak terlalu rendah.Sebagai implikasi dari patologi nomor 1, 2, 3, dan 4,rasio pajak terhadap PDB menjadi terlalu rendah.Perhatikan Tabel 6 yang menunjukkan rasio pajak dinegaranegara maju, yang pada umumnya tinggi, dannegaranegara lagi muncul. Tampak pada Tabel 6, rasiopajak Indonesia untuk tahun 2011, sebesar 12% dariPDB, merupakan rasio pajak terendah ketiga dari 16

Tabel 6Rasio Pajak Terhadap PDB 2011

Negaranegara maju Negaranegara lagi muncul (emerging)Negara Rasio pajak (%) Negara Rasio pajak (%)

Denmark 49,0 Brazilia 38,8Swedia 47,9 Rusia 36,9Belgia 46,8 Turki 32,5

Perancis 46,1 Afrika Selatan 26,9Norwegia 43,6 Korea Selatan 26,8Austria 43,4 India 17,7

Italia 42,6 Cina 17,0Jerman 40,6 Thailand 17,0Belanda 39,8 Mesir 15,8Inggris 39,0 Malaysia 15,5Spanyol 37,3 Filipina 14,4Yunani 33,5 Singapura 14,2Kanada 32,2 Taiwan 12,4

Australia 30,8 Indonesia 12,0Jepang 27,4 Meksiko 9,7

Amerika Serikat 26,9 Arab Saudi 5,3

Sumber: ax rates around the world 10/20/2011, last price update. www.worldwidetax.com.

2 Bahkan perangkapan kewenangan yudikatif secara tidak langsung juga bisa terjadi jika mantan pejabat pajak dan/atau bea dancukai masih menjadi hakim di pengadilan pajak.

Page 20: JAM Vol 23 No 2 Agustus 2012

95

REFORMASI PAJAK DALAM KERANGKA REFORMASI EKONOMI............. (Bambang Sudibyo)

negara lagi muncul yang dijadikan sampel dalam Tabel6. Rasio tersebut terlalu rendah mengingat banyaksekali permasalahan bangsa dan negara yang solusinyamemerlukan dukungan finansial dari APBN dan APBD.

Dengan memperhatikan rasio pajak dinegaranegara lagi muncul, acuan normatif untuk rasiopajak Indonesia pada tahun 2011 yang ideal adalahsekitar 17,5% dari PDB. PDB Indonesia tahun 2011adalah sekitar Rp7.000 trilyun,. Dengan demikian,potensi pajak yang tidak terkoleksi pada tahun 2011mencapai sekitar Rp385 trilyun, (5,5% dari Rp7.000trilyun,). Jika potensi pajak ini bisa terkoleksi denganbaik, tentu saja ruang fiskal yang dimiliki Pemerintahakan menjadi jauh lebih luas, dan karenanya lebihbanyak masalah yang bisa diatasinya. Reformasi pajakyang resposif terhadap patologi akut dan kronistersebut, dengan demikian, meliputi 1) penegakandisiplin hukum perpajakan, 2) penataan ulang tatapamong perpajakan, 3) reformasi birokrasi pajak, 4)penyederhanaan regulasi pajak, 5) penataan kembalirezim perpajakan agar menjadi lebih ramah investasi,dan 6) peningkatan rasio pajak hingga mencapai sekitar17,5% dari PDB.

Penegakan disipin hukum perpajakanhendaknya merupakan bagian integral dari penegakandisiplin hukum secara keseluruhan. Pembenahan bukanhanya rezim hukum perpajakan, melainkan juga empatrezim hukum lainnya, yaitu rezim kepolisian, rezimkejaksaan, rezim kehakiman, dan rezim peradvokatan.Kasus manipulasi pajak oleh Gayus Tambunanmembuktikan hal itu. Terbukti dalam kasus ini bahwamanipulasi yang dilakukan oleh Gayus Tambunan dankawankawannya tidak hanya melibatkan oknumbirokrat pajak saja, tetapi juga oknum polisi, oknumjaksa, oknum hakim, dan oknum advokat.

Penegakan disiplin hukum pada lima rezimhukum itu hendaknya dilakukan secara komprehensifdan tuntas mencakup individunya, lembaganya, budayahukumnya, dan sistem kerjanya. Pangkal dari reformasiyang menyangkut individu adalah kepemimpinan. Parapemimpin pada kelima rezim hukum tersebut harusmemiliki komitmen yang kuat untuk melakukanpenegakan disipiln hukum, menjadi teladan yang baik,serta memiliki visi, misi, dan program penegakan disiplinhukum yang baik dan jelas. Kompetensi dan integritashukum hendaknya dijadikan kriteria utama dalamrekrutmen aparat baru, pembinaan karier, promosi

jabatan, dan pemberian penghargaan serta hukuman.Budaya hukum yang baik secara evolusionerditumbuhkan dengan ketekunan dan kesabaran.Tujuan utama dari penataan ulang tata pamong ataugovernance adalah untuk meminimumkan, kalau bisamenghilangkan, konflik kepentingan. Untuk itu yangterpenting adalah adanya pemisahan kewenanganmeregulasi pajak, mengeksekusi pemungutan pajak, danmelaksanakan peradilan pajak. Sebetulnya pembenahanparsial terhadap tata pamong ini sudah dilakukanselama zaman reformasi ini dengan dikeluarkannyakewenangan peradilan pajak dari kewenangan MenteriKeuangan dan kemudian kewenangan itu dilaksanakanoleh Pengadilan Pajak yang berada di bawah binaanMahkamah Agung. Namun demikian, sampai dengansaat ini kewenangan meregulasi pajak dan kewenanganmengeksekusi pemungutan pajak masih dirangkap olehMenteri Keuangan.

Oleh karena itu, penulis mengusulkan agarDirektorat Jenderal Pajak dan Direktoral Jenderal Beadan Cukai dikeluarkan dari Kementerian Keuangan,dengan membentuk suatu badan baru pengganti keduadirektorat jenderal itu yang bertanggungjawablangsung kepada Presiden. Kewenangan badan baruini dibatasi hanya untuk mengeksekusi pemungutanpajak, bea, dan cukai. Badan ini tidak memilikikewenangan untuk menyiapkan regulasi pajak.Personalia dan bekas personalia dari badan ini jugatidak boleh terlibat dalam peradilan pajak.

Kewenangan untuk meregulasi pajak dijalankanoleh Menteri Keuangan. Menteri Keuanganmenjalankan kewenangan tersebut dibantu oleh BadanAnalisis Kebijakan Fiskal. Dalam menyusunundangundang di bidang pajak bersama DPR, MenteriKeuangan tidak dibantu dan/atau didampingi olehKepala Badan baru. Dengan dipisahkannyakewenangan meregulasi pajak dan kewenanganmemungut pajak itu diharapkan regulasi pajak terbebasdari konflik kepentingan dan berbagai lubang dalamregulasi pajak yang memberi kesempatan perburuanrente oleh fiskus dapat segera dihilangkan.

Beberapa catatan perlu diperhatikan mengenaipengadilan pajak yang independen terhadapPemerintah di bawah binaan Mahkamah Agung. Fiskusatau mantan fiskus tidak boleh menjandi hakim ataupunjaksa di pengadilan pajak. Pengadilan pajakmendudukan wajib pajak dan fiskus simetris di depan

Page 21: JAM Vol 23 No 2 Agustus 2012

96

JAM, Vol. 23, No. 2, Agustus 2012: 87-103

hukum. Oleh karena itu, pengadilan tidak hanyamengadili keberatan yang diajukan oleh fiskus, tetapijuga keberatan yang diajukan oleh wajib pajak. Fiskusyang terbukti di pengadilan telah sengaja melakukankoreksi pajak atau penetapan pajak tidak sesuaiperaturan perundangundangan bisa dikenai sanksipidana yang cukup berat. Putusan pengadilan pajakmenjadi yurisprudensi yang dihormati oleh olehpengadilanpengadilan pajak berikutnya. Dengandemikian pengadilan pajak menjadi pembelajaran hukumyang terus menerus bagi hakim, jaksa, pengacara, fiskus,dan wajib pajak. Yurisprudensi, dengan demikian, ikutmenciptakan kepastian hukum pajak.

Reformasi birokrasi perpajakan hendaknyadilakukan secara komprehensif, tidak terbatas hanyamemperbaiki gaji aparat. Pengalaman empirik 20052011menunjukkan bahwa meskipun gaji di KementerianKeuangan sudah dinaikkan sangat signifikan, ternyatakorupsi oleh aparat pajak yang bersekala besar masihsaja terjadi sebagaimana terungkap melalui skandalGayus Tambunan dan lainlainnya. Kasuskasus inimengungkapkan kepada publik bahwa integritas aparatsecara umum masih rendah. Oleh karena itu, yang pal-ing penting dari reformasi birokrasi perpajakan iniadalah reformasi aparatnya. Otoritas pajak, bea, dancukai perlu segera diisi oleh aparat yang tidak hanyakompeten, tetapi juga berintegritas. Reformasi aparatperlu dilakukan dengan cara drastis yang berdaya kejutagar mentalitas aparat betulbetul berubah. Kerangkawaktu reformasi juga tidak boleh terlalu lama. Dalamwaktu tiga tahun reformasi aparat harus sudah dapatdiselesaikan.

Dengan dibatasinya kewenangan badan barupemegang otoritas pajak, bea, dan cukai yang hanyaterbatas pada pemungutan pajak saja, maka badan baruini jelas akan kelebihan personalia. Oleh karena itu,right sizing atau down sizing perlu dilakukan secarabertahap selama tiga tahun. Jika badan baru itudibentuk maka sekitar 65% dari aparat pajak yangsekarang berjumlah 33.000an orang, belum termasukaparat bea dan cukai, maka perlu digolden shake handdalam waktu tiga tahun. Jika ratarata golden shake handitu memakan biaya Rp1 milyar per orangnya, makadiperlukan dana Rp21,45 trilyun, selama 3 tahun itu.Artinya selama masa 3 tahun tersebut, ratarata danaAPBN yang harus disediakan untuk melaksanakankebijakan ini adalah Rp7,15 trilyun, per tahunnya.

Jumlah ini sebetulnya tidak banyak sepanjang reformasibisa meningkatkan rasio pajak hingga 17,5% PDB danpajak potensial yang selama ini tidak terkoleksi, sebesarRp385 trilyun, tahun 2011 dapat masuk ke Kas Negara.

Rekrutmen karyawan baru hendaknyadilakukan dengan amat selektif. Kriteria seleksi yangdigunakan sebaiknya tidak hanya mengedepankankompetensi teknis perpajakan belaka. Tidak kalahpentingnya adalah kriteria integritas, profesionalitas,kompeensi hukum, dan nasionalisme. Kriteria tersebuthendaknya juga digunakan dalam pembinaan karier,promosi jabatan, dan pemberian penghargaan sertahukuman. Pengawasan terhadap pertumbuhankekayaan aparat badan baru sangat penting. Untukmemastikan bahwa kekayaan aparat meningkat bukankarena perburuan rente, SPT pajak tahunan aparat bisadigunakan sebagai instrumen pengawasan. Setiapaparat pada badan tersebut diharuskan menyerahkankopi SPT tahunannya ke BPKP. BPKP kemudianmengauditnya untuk memastikkan bahwa kenaikanaktiva neto para aparat tersebut bukan karenaperburuan rente yang menyalahgunakankewenangannya.

Dalam reformasi birokrasi ini pengembangansistem informasi pajak berbasis super computer. Halini diharapkan mampu memuat basis data wajib pajakyang NPWPnya berbasis pada nomor indukkependudukan (NIK) yang unik dan sekarang sedangdikembangkan melalui proyek eKTP. Terhubung secaraonline dengan wajib pajak badan dan mampu secaraonline pula memfasilitasi pelaporan pajak, mengawasidan membina ketaatan pajak, mengawasi pemungutanpajak oleh wajib pajak badan selaku wajib pungut, danmampu mengawasi praktek transfer pricing.

PEMBAHASAN

Regulasi pajak perlu disederhanakan agar mudah untukditaati oleh wajib pajak dan tidak memberikan ruangbagi perburuan rente oleh oknum aparat pajak. Usulanpenyederhanaan regulasi tersebut meliputi lima hal,yaitu Pajak Pertambahan Nilai (PPN) diganti denganPajak Penjualan (PPn), PPNBM dintegrasikan dengancukai, semua tarif cukai menggunakan tarif spesifik,pajak atas semua penghasilan tetap diperlakukan finalatas dasar tunai, dan tarif PPh progressif yang komplekspenghitungannya diganti dengan tarif rata yang

Page 22: JAM Vol 23 No 2 Agustus 2012

97

REFORMASI PAJAK DALAM KERANGKA REFORMASI EKONOMI............. (Bambang Sudibyo)

sederhanaPajak Pertambahan Nilai (PPN) diganti dengan

Pajak Penjualan (PPn). Secara konsep sebetulnyasistem pajak pertambahan nilai (PPN) atau value addedtax system memang lebih unggul daripada sistem pajakpenjualan (PPn), karena sistem PPN menghilangkanpemajakan ganda yang sulit dihindari pada sistem PPn.Sistem PPN yang dipelopori oleh Perancis itu jugadiadopsi oleh semakin banyak negara. Namun demikian,tidak semua negara maju mengadopsi sistem PPN.Amerika Serikat dan Singapura, misalnya, tetapmempertahankan sistem PPn hingga sekarang. Sistemyang unggul ini hanya cocok untuk diterapkan padanegara yang disiplin hukum dan disiplin perpajakannyasudah baik. Jika kedua disiplin tersebut belum baik,maka perhitungan restitusi PPN menjadi tidak kredibel,berbau penghindaran pajak, seperti yang terjadi di In-donesia dewasa ini di mana restitusi PPN mencapaijumlah yang besar sekali. Oleh karena itu, disarankanagar Indonesia kembali saja dulu ke sistem PajakPenjualan (PPn) yang sederhana, tidak memerlukanrestitusi, dan bersifat final. Apabila disiplin hukum dandisiplin perpajakan sudah baik dan betulbetul mapan,maka Indonesia bisa saja kembali ke sistem PPN.

PPNBM dintegrasikan dengan cukai. PPNBMsejatinya adalah memang cukai. Seperti halnya cukai,tujuan pengenaan PPNBM adalah untuk membatasikonsumsi barang mewah, agar tidak menimbulkankecemburuan sosial yang berlebihan. Penggunaanistilah PPN untuk cukai yang dikenakan atas konsumsibarang mewah mendistorsi tujuan pengenaan cukaitersebut. Dengan pengintegrasian ini, maka restitusiPPNBM menjadi tidak ada.

Semua tarif cukai menggunakan tarif spesifik.Dengan sistem spesifik, Pemerintah tidak perlumenciptakan strata sekala usaha dan pengusaha bebasmenentukan harga. Pemerintah tidak perlu melakukanpengawasan terhadap ketaatan wajik pajak dalammengikuti stratifikasi usaha dan ketaatan dalammenetapkan harga. Dengan demikian, ruang bagipengusaha untuk memanipulasi sekala usaha dan hargajual menjadi tidak ada lagi dan pengawasan ataspemungutan cukai juga menjadi sederhana.

Pajak atas semua penghasilan tetapdiperlakukan final atas dasar tunai. Penghasilan tetaptersebut meliputi gaji, upah, honorarium, bunga, bagihasil produk keuangan syariah, hasil reksadana,

pendapatan sewa, dan sebagainya. Undangundangpajak penghasilan perlu menetapkan secara spesifikapa saja yang termasuk dalam penghasilan tetaptersebut. Dengan cara seperti itu, pelaporanpenghasilan tetap dalam SPT menjadi sederhana,sementara pemungutan pajaknya menjadi mudah dankolektabilitasnya diharapkan dapat lebih tinggi.

Tarif PPh progressif yang komplekspenghitungannya diganti dengan tarif rata yangsederhana dan sedang penjadi tren dunia. Tabel 7menunjukkan semakin populernya tarif PPh rata. Tabel7 juga menunjukkan bahwa sebelum krisis ekonomi2008, pertumbuhan ekonomi pada negaranegara yangmenerapkan sistem tarif PPh rata tersebut padaumumnya tinggi. Meskipun demikian, perlu adanyapenelitian kausal empiris, sebelum seseorangmenyimpulkan bawa pertumbuhan ekonomi tinggitersebut memang disebabkan oleh penerapan sistemtarif rata.

Agar rezim perpajakan menjadi lebih ramahinvestasi diperlukan sekurangkurangnya empatkebijakan, yaitu pertama penegakan disiplin hukumperpajakan secara serius, konsisten, dan berkeadilan.Mengenai pentingnya hal ini di muka telah diberikanuraian yang cukup. Tujuan dari kebijakan ini adalahuntuk menciptakan kepastian hukum perpajakan agarresiko investasi yang bersumber dari perpajakanmenjadi rendah, dan kalkulasi trade off antara hasilinvestasi dengan resikonya menjadi lebih sederhana.Kedua, penyederhanaan birokrasi dan regulasiperpajakan, seperti telah diutarakan di muka. Tujuandari kebijakan ini adalah untuk menciptakan simetriinformasi antara fiskus dan investor sebagai calonwajib pajak, dan untuk menghilangkan peluangperburuan rente oleh fiskus dan wajib pajakdiperlakukan sebagai obyeknya. Ketiga, pemajakanganda dihapuskan. Bentuk dari penghapusanpemajakan ganda tersebut meliputi 1) PPh atas devidenditiadakan, karena merupakan pemajakan berulang padatingkat pemilik badan atas laba bersih yang sudahterkena PPh pada tingkat badan; 2) Perusahaan indukdiperkenankan untuk mengkonsolidasikan SPT PPhanakanak perusahaan yang lebih dari 50% ekuitasnyadikuasai oleh perusahaan induk; dan 3) Biaya PeralihanHak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) atas pembelianproperti ditiadakan.

Keempat, penggeseran andalan penerimaan

Page 23: JAM Vol 23 No 2 Agustus 2012

98

JAM, Vol. 23, No. 2, Agustus 2012: 87-103

pajak dari pajak langsung ke pajak tak langsung. Yangtermasuk pajak langsung dalam APBN adalah PPh danPBB, sementara pajak tak langsung adalah PPN, Cukai,dan Bea Materai. Alasan dari penggeseran ini adalahkarena 1) masyarakat pada umumnya lebih merasa beratdan karenanya kurang ikhlas membayar pajak langsungdaripada pajak tak langsung, 2) Pajak tak langsung lebihramah investasi daripada pajak langsung.

Bentuk dari penggeseran tersebut adalah tarifPPh diturunkan hingga kompetitif. Dengan adanyadugaan krisis ekonomi di negaranegara maju bakal

berkepanjangan, pesaing Indonesia dalam menarikinvestasi adalah negaranegara lagi muncul. Tabel 8menunjukkan tarif PPh di sejumlah negara lagi munculyang cocok untuk dijadikan pembanding bagi Indone-sia. Negaranegara yang tarif PPhnya lebih kompetitifdaripada Indonesia adalah Mesir, Hong Kong, KoreaSelatan, Malaysia, Rusia, Saudi Arabia, Singapura, Tai-wan, dan Turki. Berdasarkan perbandingan dengan tarifPPh pada negaranegara tersebut, diusulkan agar tarifPPh diturunkan menjadi 60% dari tarif yang berlakusekarang, sebagaimana tampak pada Tabel 9.

Tabel 7Negaranegara Yang Telah Menerapkan Tarif PPh Rata

Tahun Tarif PPh rata 2007/2008(%) PertumbuhanNo Negara mulai Pribadi Badan PDB 2007 (%)

1 Hong Kong 1947 16 17,5 6,92 Jamaica 1986 25 33,3 2,63 Estonia 1994 21 0 11,44 Latvia 1995 25 15 11,95 Lituania 1996 24 15 7,56 Rusia 2001 13 24 6,77 Serbia 2003 14 10 5,98 Irak 2004 15 15 1,99 Slovakia 2004 19 19 8,310 Ukraina 2004 15 25 7,111 Georgia 2005 12 20 9,412 Rumania 2005 16 16 7,713 Turkmenistan 2005 25 25 6,014 Trinidad & Tobago 2006 25 25 11,715 Kysgistan 2006 10 10 2,716 Albania 2007 10 20 5,017 Iceland 2007 35,7 18 2,618 Macedonia 2007 10 10 3,1019 Mongolia 2007 10 10,25 7,520 Montenegro 2007 9 9 NA21 Kazakhstan 2007 10 15 10,622 Bulgaria 2008 10 10 NA23 Czech Republic 2008 15 15 NA24 Mauritius 2008 15 15 NA25 Belarusia 2009 12 24 NA26 Belize 2009 25 25 NA

Sumber: Alvin Rabushka, “Flat tax chronology,” Flattaxes Blogspot.com/2010/03/flattaxchrolology.html dan CIA World Factbook 2007, diolah.

Page 24: JAM Vol 23 No 2 Agustus 2012

99

REFORMASI PAJAK DALAM KERANGKA REFORMASI EKONOMI............. (Bambang Sudibyo)

Tabel 9Tarif PPh yang Berlaku dan Tarif Usulan

Tarif PPh Tarif yang berlaku Tarif usulan

Badan 25% 15%Pribadi 30% 18%

Tarif PPn, cukai, dan bea meterai dinaikkan. PPNsetelah diganti dengan PPn tarifnya dinaikkan untukmengkompensasi penerimaan PPh yang turun karenapemotongan tarifnya. Tarif yang sekarang berlaku untukPPN adalah10%. Tarif tersebut dapat dinaikan hingga17%. Tabel 10 menunjukkan bahwa tarif PPn 17%tersebut untuk negara lagi muncul masih wajar,komparabel dengan yang berlaku di Cina.

Demikian pula dengan tarif tarif cukai. Terlebihdahulu sistem cukai untuk berbagai obyek kena cukaisebagai campuran dari sistem ad valorem dan sistemspesifik diseragamkan dulu menjadi sistem spesifikuntuk semua obyek kena cukai. Untuk obyek kena cukaiyang sekarang masih memakai sistem ad valorem,seperti rokok, dicari dulu tarif spesifiknya yangmenjamin penerimaan negara tidak turun. Setelah itubaru kemudian tarif cukai untuk semua obyek kena cukaidinaikkan. Pada umumnya, konsumsi masyarakat atasobyek kena cukai inelastis terhadap kenaikan tarif cukai,sehingga tarif cukai bisa dinaikan signifikan. Lagi pulapenaikan tarif cukai itu memang selaras dengan tujuanpengenaan cukai, yaitu untuk menjerakan konsumendari mengkonsumsi obyek kena cukai. Oleh karena itu,tarif cukai dapat dinaikan 30%. Sebagai pajak tak

Tabel 8Tarif PPh di Negaranegara Lagi Muncul

Tarif PPh 2011No Negara Badan Pribadi

1 Afrika Selatan 28 0 402 Brazilia 34 7,5 27,53 Brunei 23,5 04 Cina 25 5 455 Mesir 20 10 206 Hong Kong 16,5 0 157 India 33,2175 0 – 30 (+ 3% excess)8 Indonesia 25 5 309 Iran 25 3510 Korea Selatan 13/25 9%21,375%+36%excess11 Malaysia 25 0 2612 Mexiko 28 3 2913 Filipina 30 5 3214 Rusia 20 1315 Saudi Arabia 20 2016 Singapura 17 3,5 2017 Sri Lanka 0 35 0 2418 Taiwan 17 6 4019 Thailand 30 5 – 3720 Turki 20 15 – 3521 Vietnam 25 5 – 35

Sumber: Tax rates around the world 10/20/2011 dan www.worldwidetax.com, last price update, 23 Agustus 2011.

Page 25: JAM Vol 23 No 2 Agustus 2012

100

JAM, Vol. 23, No. 2, Agustus 2012: 87-103

langsung, tarif Bea Materai yang berlaku sekarang padaumumnya masih sangat rendah. Tarif tersebut dapatdibikin progresif dan sekaligus dinaikan sedemikianrupa sehingga penerimaan dari bea materai dapatmeningkat dengan 300%. Tabel 11 berisi sebuahsimulasi sederhana tentang penggeseran andalanpenerimaan negara tersebut. Penggeseran itu ternyatabisa menaikkan penerimaan pajak sampai sebesar Rp102,9 trilyun. Perluasan obyek kena PPn, cukai, danbea meterai. Langkah ini perlu diambil mengingat masihbanyaknya obyek yang bisa dikenai PPn, Cukai, danBea Materai yang belum dimanfaatkan. Denganperluasaan obyek kena pajak ini tentunya tambahanpenerimaan pajak akan menjadi lebih besar dari Rp 102,9trilyun.

Kelima langkah tersebut semuanyadiorientasikan pada tujuan akhir meningkatkan rasiopajak dalam jangka menengah hingga mencapai sekitar17,5% dari PDB. Tabel 12 menunjukkan hubunganantara langkahlangkah tersebut dengan peningkatanrasio pajak. Tampak pada tabel tersebut bahwa dari 20dampak positif yang diperkirakan, baru dampak no. 19yang sudah dikuantifikasikan kontribusinya melaluiTabel 11. Artinya, reformasi yang penulis usulkan bisadiharapkan untuk meningkatkan penerimaan pajaksignifikan jauh di atas Rp 102,9 trilyun.

Tabel 10Tarif PPN di Negaranegara Sedang Muncul

No Negara Tarif PPN/PPn (%)

1 Afrika Selatan 142 Brazilia 17253 Brunei NA4 Cina 175 Mesir 106 Hong Kong NA7 India 12,58 Indonesia 109 Iran 1.5 1010 Korea Selatan 1011 Mexiko 1612 Filipina 2313 Rusia 1814 Saudi Arabia 015 Singapura 716 Sri Lanka 1217 Taiwan 518 Thailand 719 Turki 1820 Vietnam 10

Sumber: Tax rates around the world 10/20/2011 danwww.worldwidetax.com, last price update, 23 Agustus,2011.

Tabel 11Simulasi Sederhana Penurunan Tarif PPh Dikompensasi

Dengan Penaikan Tarif PPN, Cukai, dan Bea Materai

RAPBN 2011 dg tarif berlaku RAPBN 2011 revisi dg tarif usulan Jenis Pajak Tarif Jumlah3 Tarif Jumlah Selisih

dalam RAPBN 2011 (%) (Rp trilyun,) (%) (Rp trilyun,) (Rp trilyun,)

PPh migas 54,2 Tetap 54,2 0,0PPh non migas

Pajak Badan 25 360,3 15 216,2 (144,1)Langsung Pribadi 30 18

PBB 27,7 Tetap 27,7 0,0Subtotal 442,2 298,1 (144,1)

PPN 10 309,3 17 525,8 216,5Pajak Cukai 60,7 Dinaikkan 30% 78,9 18,2Tak Bea Materai 4,1 Dinaikkan 300% 16,4 12,3

Langsung Subtotal 374,1 621,1 247,0Total 816,3 919,2 102,9

3 Kementerian Keuangan Republik Indonesia, “Data Pokok APBN 2006-2011”

Page 26: JAM Vol 23 No 2 Agustus 2012

101

REFORMASI PAJAK DALAM KERANGKA REFORMASI EKONOMI............. (Bambang Sudibyo)

Tabel 12Dampak Reformasi Pajak Pada Meningkatnya Rasio Pajak

Langkah KuantifikasiReformasi Dampaknya terhadap upaya meningkatkan rasio pajak dampak

Meningkatnya ketaatan wajib pajak terkait dengan meningkatnyajumlah wajib pajak berNPWP BelumMeningkatnya disiplin fiskus disertai menurunnya perburuan rente dilakukanoleh fiskusMeningkatnya kolektabilitas pajak

Menurunnya perburuan rente oleh fiskus terkait dengan menurunnyakonflik kepentingan fiskus.Meningkatnya ketaatan wajib pajak terkait dengan menurunnya perbu- Belumruan rente oleh fiskus dilakukanMeningkatnya kolektabilitas pajak

Meningkatnya disiplin fiskusMenurunnya perburuan rente oleh fiskus BelumMeningkatnya ketaatan wajib pajak terkait dengan menurunnya perbu- dilakukanruan rente oleh fiskus.Meningkatnya kolektabilitas pajak

Menurunnya perburuan rente oleh fiskusMeningkatnya kolektabilitas pajak BelumMeningkatnya ketaatan wajib pajak terkait dengan menurunnya perbu- dilakukanruan rente oleh fiskus.Meningkatnya penerimaan pajak karena tidak adanya lagi restitusi PPN

Meningkatnya jumlah wajib pajak badan karena meningkatnya jumlahinvestorMeningkatnya jumlah wajib pajak pribadi karena bertambahnyajumlah pekerja yang disebabkan oleh meningkatnya investasiMeningkatnya ketaatan wajib pajak karena rezim perpajakan yanglebih ramah BelumMeningkatnya ketaatan wajib pajak karena mereka lebih ikhlas dilakukanmembayar pajak tidak langsungMeningkatnya penerimaan pajak karena penurunan tarif PPh Sudahdikompensasi dengan penaikan tarif PPn, Cukai, dan Bea Materai dilakukan disedemikian rupa sehingga penerimaan pajak meningkat signifikan Tabel 9Meningkatnya penerimaan pajak karena perluasan obyek kena PPn, BelumCukai dan Bea Materai. dilakukan

Penegakandisiplinhukumperpajakan

Penataanulang tatapamongperpajakan

Reformasibirokrasipajak

Penyederha-naan regulasipajak

Penataankembalirezimperpajakanagar lebihramahinvestasi

Page 27: JAM Vol 23 No 2 Agustus 2012

102

JAM, Vol. 23, No. 2, Agustus 2012: 87-103

Tabel 13 berisi sebuah simulasi peningkatanrasio pajak secara bertahap. Dengan peningkatan rasiopajak 0,7% per tahun diperlukan waktu 8 tahun untukmeningkatkan rasio pajak dari 12% menjadi 17,5%.Analisis terhadap proyeksi tambahan penerimaan pajakpada tiga kolom terakhir Tabel 13 itu menunjukkanbahwa proyeksi pada Tabel 13 cukup konservatif jikamengingat pada potensi tambahan penerimaan pajakyang baru saja dikemukakan. Tambahan penerimaanpajak pada setiap tahunnya ternyata lebih banyakdisumbang oleh pertumbuhan PDB tahunan daripadaoleh reformasi pajak. Sumbangan tahunan yangdiharapkan dari reformasi pajak dengan jumlah di atasRp 102,9 trilyun ternyata hanya pada dua tahun yangterakhir saja, yaitu pada tahun 2018 dan 2019. Artinya,proyeksi pada Tabel 11 itu cukup realistis.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Usulan reformasi pajak ini menyisakan sebuahpertanyaan sensitif. Dengan dihilangkannya tarif PPh

Tabel 13Proyeksi Rasio Pajak Dan Penerimaan Pajak

P r o y e k s iTambahan penerimaan (Rp trilyun)

Rasio Penerimaan Karena KarenaPDB4 pajak pajak kenaikan reformasi

Tahun (Rp trilyun) (%) (Rp trilyun) Total PDB pajak

2011 7.000 12.0 840,0 -2012 7.980 12.7 1.013,5 173,5 123,5 50,02013 9.097 13. 4 1.219,0 205,5 149,7 55,82014 10,371 14.1 1.462,3 243,3 179,6 63,72015 11.823 14.8 1.749,8 287,5 214,9 72,62016 13.478 15.5 2.089,1 339,3 256,5 82,82017 15.364 16.2 2.489,0 399,9 305,5 94,42018 17.516 16.9 2.960,2 471,2 363,7 107,52019 19.968 17.5 3.494,4 534,2 429,1 105,1

4 Dalam beberapa tahun terakhir PDB nominal secara empirik menjadi dobel setiap 5-6 tahun, yang berarti tumbuh minimal14% per tahun.

progresif dan digantikan dengan tarif PPh rata, adilkahsistem perpajakan yang penulis usulkan ini? Padasistem baru yang penulis usulkan progresivitas bebanpajak tetap dipertahankan karena pajak tak langsungyang akan menjadi andalan utama penerimaan negarapasca reformasi pajak secara alami memang sudahbersifat progresif terhadap besarnya konsumsi danbelanja wajib pajak.

Saran

Semakin kaya seorang wajib pajak, semakin besarkonsumsi dan belanjanya, baik yang dilakukannyalansung secara pribadi maupun yang dilakukannyasecara tidak langsung melalui badan yang dikuasainya.Oleh karena itu, semakin besar pula beban pajak taklangsungnya yang terdiri dari PPn, Cukai, dan BeaMaterai. Jadi di bawah sistem pajak yang penulisusulkan ini, beban pajak tetap progresif terhadapkemampuan bayar wajib pajak.

Page 28: JAM Vol 23 No 2 Agustus 2012

103

REFORMASI PAJAK DALAM KERANGKA REFORMASI EKONOMI............. (Bambang Sudibyo)

DAFTAR PUSTAKA

Boediono, 24 Februari 2007. Dimensi EkonomiPolitikPembangunan Indonesia. Pidato PengukuhanGuru Besar Pada Fakultas Ekonomi UGM.

Global Growth Generators: Moving Beyond EmergingMarkets And BRIC. blog.citigroup.com/../g o l b a l g r o w t h g e n e r a t o r s m o v i n g –beyondemerging market andbric.ahcmlCache.Diakses Juli 2011.

Rabushka, Alvin, 2010. Flat tax chronology. FlattaxesBlogspot.com/2010/03/flattaxchrolology.html,wikipedi. Diakses Juli 2011.

Kementerian Keuangan Republik Indonesia, 2012.DataPokok APBN 20062011. www.sctib.com/../5084670543857012101004DataPokokAPBN2011In-donesiarev2Cache. Diakses Juli 2011.

Price Waterhouse Coppers, March 2006. The World in2050. http://www.pwc.com/en_GX/gx/world2050/pdf/worldin2050jan2011.pdf.Diakses Juli 2011.

Rabushka, Alvin, 2010. Flat tax chronology. FlattaxesBlogspot.com/2010/03/flattaxchrolology.html,wikipedia. Diakses Juli 2011.

Transparency International, 2011. Worldwide Corrup-tion Perception Rangking of Countries.e n . w i k i p e d i a . o r g / w i k i /corruption_Perception_IndexCache. DiaksesJuli 2011.

Tax rates around the world 10/20/2011: last price up-date. www.worldwidetax.com. Diakses Juli2011.

Page 29: JAM Vol 23 No 2 Agustus 2012

105

PENGARUH KARAKTERISTIK DEWAN KOMISARIS DAN.................... (Bambang Suripto)

Vol. 23, No. 2, Agustus 2012Hal. 105-117

ABSTRACT

This research investigates the effect of board commis-sioner and audit committee characteristics to the fi-nancial reporting quality. Board commissioner and au-dit committee characteristic researched are comprehen-sive, including job tenure and number directorship thatwere rarely investigated internationally. Financial re-porting quality proxy is accounting discretion used bymanagement in financial reporting. Accounting discre-tion is measured by accrual discretional, incomesmoothing and small negative earnings surprise avoid-ance. Accrual discretional is estimated by times seriesversion Jones models (1991) ten years before observa-tion year. Income smoothing and small negative earn-ings surprise avoidance are measured by quarterly in-come during three years until observation year. Re-search sample consists of 385 nonfinancial firm years.Financial firms are excluded from research sample be-cause have accruals that are not comparable with non-financial firms. Research results indicate commissionertenure and number audit committee members who ex-pert in accounting and finance have a negative asso-ciation with accounting discretion and audit commit-tee size have a positive association with accountingdiscretion.

Keywords: accounting discretion, accrual discretional,corporate governance, income smoothing, negativeearnings surprise avoidance

JEL Classification: M42

PENGARUH KARAKTERISTIK DEWAN KOMISARIS DANKOMITE AUDIT TERHADAP KUALITAS LAPORAN KEUANGAN

Bambang SuriptoSekolah Tinggi Ilmu Ekonomi YKPN Yogyakarta

Jalan Seturan Yogyakarta 55281Telepon +62 274 486160, 486321, Fax. +62 274 486155

E-mail: [email protected]

Tahun 1990

ISSN: 0853-1259

J U R N A LAKUNTANSI & MANAJEMEN

PENDAHULUAN

Integritas laporan keuangan mendapat perhatian besardari regulator setelah terjadi skandal akuntansi yangmelibatkan perusahaan yang terkenal seperti Enron,WoldCom, dan Xerox. Skandal akuntansi sebagianbesar melibatkan perusahaan yang secara agresifmenerapkan prinsip akuntansi berterima umum. Manajermengeksploitasi kelemahan tata kelola perusahaandengan cara menyalahgunakan diskresi akuntansi yangdiberikan oleh standar akuntansi berterima umum gunamencapai atau melampaui target laba untuk secaratemporer mendongkrak harga saham, menggunakanopsinya, dan mengamankan bonusnya (Matsunaga danPark, 2001) atau jabatannya (Matsunaga dan Park,2002). Kejadian semacam itu telah menyebabkanpenurunan kepercayaan investor terhadap laporankeuangan.

Dalam rangka memperbaiki kepercayaan inves-tor terhadap integritas laporan keuangan, lembagapengatur di berbagai negara telah memberlakukanaturan tata kelola baru mengenai dewan komisaris dankomite audit bagi perusahaan publik. Keputusan regu-lator meregulasi tata kelola perusahaan setelah banyakterjadi kecurangan laporan keuangan menunjukkan tigahal penting. Pertama, akurasi dan keandalan informasikeuangan yang digunakan dalam pembuatankeputusan investasi penting bagi integritas pasarmodal. Kedua, regulator memandang aturan baru tatakelola perusahaan sebagai mekanisme yang pentinguntuk menjaga kualitas laporan keuangan. Ketiga,dewan komisaris dan komite audit merupakan bagian

Page 30: JAM Vol 23 No 2 Agustus 2012

106

JAM, Vol. 23, No. 2, Agustus 2012: 105-117

penting tata kelola perusahaan yang berperan besardalam menjaga integritas laporan keuangan.

Penelitian mengenai keefektifan corporate gov-ernance di Indonesia sudah banyak dilakukan(Midiastuty dan Machfoedz, 2003; Boediono, 2005;Darmawati, dkk., 2004). Penelitian ini berbeda denganpenelitian sebelumnya paling tidak dalam dua hal.Pertama, karakteristik dewan komisaris dan komite au-dit yang diteliti komprehensif, melibatkan enamkarakteristik dewan komisaris dan enam karakteristikkomite audit, termasuk di dalamnya masa kerja danjumlah jabatan anggota dewan komisaris dan komiteaudit yang secara internasional jarang diteliti (He dkk.,2008). Penelitian sebelumnya sebagian besar mengukurtingkat diskresi akuntansi hanya berdasar akrualdiskresional (He dkk., 2008). Penelitian ini mencakuptiga kemungkinan penggunaan diskresi akuntansi olehmanajemen, yaitu: 1) penggunaan akrual diskresional,2) perataan laba, dan 3) penghindaran penurunan labadengan pelaporan laba kejutan positif kecil.

Sampel penelitian terdiri atas 385 tahunperusahaan dari sejak tahun 2004 sampai dengan 2009.Perusahaan yang masuk ke dalam sampel penelitianmeliputi perusahaan yang bergerak dalam bidang usahanonkeuangan. Perusahaan dari industri jasa keuangantidak dimasukkan ke dalam sampel karena akrualnyatidak sebanding dengan industri lainnya (Bowen dkk.,2007). Hasil penelitian menunjukkan masa kerja dewankomisaris dan jumlah anggota komite audit yang ahliakuntansi dan keuangan berpengaruh negatif terhadappenggunaan diskresi akuntansi, sedangkan ukurankomite audit berpengaruh positif terhadap penggunaandiskresi akuntansi.

MATERI DAN METODE PENELITIAN

Dewan komisaris berperan mengawasi tindakan direksiuntuk meminimalkan biaya keagenan yang timbul akibatpemisahan pemilikan dan pengendalian keputusandalam perusahaan. Dewan komisaris bertanggungjawab membentuk sistem pengawasan yang tepat danmemastikan kepatuhan direksi terhadap sistem tersebut.Pengawasan oleh dewan komisaris yang efektifmemerlukan proses tata kelola yang secara kolektifditentukan oleh individu anggota dewan yang memilikiindependensi, ketekunan, dan keahlian.Ukuran dewan komisaris mempengaruhi kemampuan-

nya untuk mengawasi direksi. Namun literatur tidakpadu mengenai arah pengaruh ukuran dewan komisaristerhadap keefektifannya. Ketika anggota dewankomisaris bertambah, lebih kecil kemungkinan berfungsiefektif dan lebih mudah bagi direksi untukmengendalikannya. Oleh karena sulitnya mengorga-nisasi dan mengkoordinasi kelompok besar, ukurandewan komisaris berhubungan negatif dengankemampuannya untuk memberi nasihat dan melakukanperencanaan strategik jangka panjang. Simpulan itudidukung oleh hasil studi produktifitas kelompok yangmenunjukkan suatu kelompok menjadi kurang efektifketika menambah anggotanya karena biaya koordinasidan pemrosesan informasi melebihi manfaat yang timbulkarena keragaman keahlian yang diperoleh.

Beberapa ahli lainnya berpendapat sebaliknya.Adams dan Mehran (2002) menyatakan perusahaanmembutuhkan anggota dewan komisaris yang lebihbanyak untuk mengawasi direksi secara efektif. Dewankomisaris yang lebih banyak lebih efektif karena dapatmenciptakan hubungan lingkungan yang lebih baik danmenyediakan keahlian yang lebih banyak, dapatmemberikan jasa yang lebih beragam, dapat memberikanwaktu dan usaha lebih banyak, dan memiliki komisarisyang lebih banyak untuk disebarkan di berbagai komiteguna mendistribusi beban pekerjaan (Klein, 2002b).Berdasar argumen yang diajukan, dirumuskan hipotesisyang tidak menentukan arah pengaruh sebagai berikut:H1: Ukuran dewan komisaris berpengaruh terhadap

penggunaan diskresi akuntansi oleh manajemendalam pelaporan keuangan.

Dewan komisaris yang lebih independen dapatmengawasi direksi lebih efektif. Fokus padaindependensi didasarkan teori keagenan yangmemandang fungsi pengawasan merupakan perandewan komisaris yang paling penting. Dewan komisarisyang independen dapat mengawasi direksi secaraobjektif dan bebas dari benturan kepentingan. Faktoryang mempengaruhi independensi dewan komisarismeliputi masuknya komisaris independen sertakeberadaan komite nominasi dan remunerasi.

Anggota dewan komisaris terdiri atas komisarisyang tidak terafiliasi (komisaris independen) dankomisaris terafiliasi. Komisaris independen adalahanggota dewan komisaris yang tidak terafiliasi dengandireksi, anggota dewan komisaris lainnya danpemegang saham pengendali, serta bebas dari

Page 31: JAM Vol 23 No 2 Agustus 2012

107

PENGARUH KARAKTERISTIK DEWAN KOMISARIS DAN.................... (Bambang Suripto)

hubungan bisnis atau hubungan lainnya yang dapatmempengaruhi kemampuannya untuk bertindakindependen dan profesional (KNKG, 2004). Meskipunmenurut UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang perseroanterbatas tidak ada perbedaan tanggung jawabantaranggota dewan komisaris, terdapat kontribusiyang dapat berikan oleh komisaris independen dalammenjamin manajer bertindak demi kepentinganpemegang saham. Komisaris independen dapatmendorong terciptanya iklim yang lebih objektif danmenempatkan kesetaraan di antara berbagaikepentingan, termasuk kepentingan perusahaan dankepentingan stakeholder sebagai prinsip utama dalampengambilan keputusan oleh dewan komisaris.

Keefektifan pengawasan dewan komisaris jugadipengaruhi oleh pembentukan komite nominasi danremunerasi. Komite nominasi akan meniadakanpengaruh direktur utama dalam menominasikananggota komisaris yang baru. Komite remunerasidibentuk untuk menyelaraskan kompensasi eksekutifdengan kinerjanya. Aturan NYSE dan NASDAQmewajibkan pembentukan komite nominasi danremunerasi yang terdiri sepenuhnya komisarisindependen. Kewajiban pembentukan komite nominasidan remunerasi di Indonesia belum diatur. Berdasarargumen yang diajukan, disusun hipotesis sebagaiberikut:H2: Jumlah komisaris independen berpengaruh

negatif terhadap penggunaan diskresi akuntansioleh manajemen dalam pelaporan keuangan.

H3: Keberadaan komite nominasi dan remunerasiberpengaruh negatif terhadap penggunaandiskresi akuntansi oleh manajemen dalampelaporan keuangan.

Pengetahuan anggota komisaris mengenaiusaha dan proses tata kelola perusahaan penting bagikeefektifannya. Komisaris dapat memperolehpengetahuan tersebut melalui pelatihan internal daneksternal dan pengalaman. Pengalaman anggotakomisaris di perusahaan dapat meningkatkankompetensi pengawasannya karena dapat memperolehpengetahuan yang lebih baik mengenai perusahaandan eksekutifnya. Senioritas dewan juga dapatmeningkatkan kemampuannya untuk mengawasi karenamemiliki posisi yang lebih mapan dan lebih tahanterhadap tekanan kelompok untuk memenuhi keinginandireksi. Berdasar argumen di atas, dirumuskan hipotesis

sebagai berikut:H4: Masa kerja anggota dewan komisaris berpengaruh

negatif terhadap penggunaan diskresi akuntansioleh manajemen dalam pelaporan keuangan.

Jumlah jabatan yang dipegang oleh anggotadewan komisaris dapat mempengaruhi keefektifannya.Namun teori tidak padu mengenai arah pengaruh jumlahjabatan terhadap keefektifan pengawasan dewankomisaris. Pasar komisaris memberikan insentif untukmenjadi pengawas yang baik. Pasar memberi imbalankepada komisaris yang efektif dan mengenakan pinaltikepada komisaris yang memiliki rekam jejak kinerjapengawasan yang buruk. Komisaris memiliki insentifuntuk menjadi pengawas yang efektif karena menjadikomisaris perusahaan yang berjalan baik merupakansinyal nilai ke pasar eksternal yang akan memberiimbalan berupa jabatan komisaris tambahan. Komisarisyang menjabat di beberapa perusahaan melakukaninvestasi yang signifikan dalam mengembangkan modalreputasi sebagai ahli pengawas keputusan. Jabatankomisaris tambahan juga memungkinkan komisarisuntuk memperoleh kompetensi tata kelola danpengetahuan praktik terbaik dewan komisaris.Komisaris yang memegang beberapa jabatan akanmengalami kerugian lebih besar akibat perilakupelaporan keuangan oportunistik oleh manajemen.

Pengawasan manajemen puncak memerlukanwaktu dan usaha. Dengan jumlah jabatan yangmeningkat, tuntutan yang lebih tinggi atas waktu danusaha dari seorang komisaris akan menurunkan jumlahperhatian yang dapat diberikan untuk mengawasisebuah perusahaan. Oleh karenanya, lebih banyakjabatan komisaris berhubungan dengan kualitaspengawasan yang lebih rendah. Oleh karena itu.dirumuskan hipotesis sebagai berikut:H5: Jumlah jabatan yang dipegang oleh komisaris

bepengaruh terhadap penggunaan diskresiakuntansi oleh manajemen dalam pelaporankeuangan.

Kendala utama keefektifan dewan komisarisadalah kurangnya waktu untuk menyelesaikantugasnya. Dewan yang menunjukkan ketekunan lebihtinggi dalam melaksanakan tanggung jawabnya akanmeningkatkan pengawasannya terhadap prosespelaporan keuangan. Ketekunan dewan komisarisditunjukkan dalam jumlah rapat dan perilaku anggotadalam rapat tersebut, misalnya persiapan sebelum rapat,

Page 32: JAM Vol 23 No 2 Agustus 2012

108

JAM, Vol. 23, No. 2, Agustus 2012: 105-117

tingkat kehadiran, perhatian dan partisipasi selamarapat, dan tindak-lanjut setelah rapat. Oleh karena itu,dirumuskan hipotesis sebagai berikut:H6: Frekuensi rapat yang diselanggarakan oleh

dewan komisaris berpengaruh negatif terhadappenggunaan diskresi akuntansi oleh manajemendalam pelaporan keuangan.

Keefektifan pengawasan dewan komisarisdipengaruhi oleh bagaimana dewan dibentuk dandiorganisasi. Dewan dapat melaksanakan tugasnyamelalui dewan secara keseluruhan atau mendelegasikankewenangannya kepada komite yang dibentuk danbertanggungjawab kepadanya. Dewan komisaris dapatmendelegasikan tanggung jawab pengawasanpelaporan keuangan kepada komite audit. Komite au-dit memainkan peran penting dalam pembentukan danpengawasan proses akuntansi dalam rangkamenyediakan informasi yang relevan dan andal kepadapemegang saham. Komite audit adalah “first amongequals” dalam proses akuntansi keuangan dan “theultimate monitor” proses tersebut. Komite audit dapatmeningkatkan kemampuan dewan komisaris untukbertindak sebagai pengawas direksi denganmemberikan pengetahuan dan pemahaman yang lebihrinci mengenai laporan keuangan dan informasikeuangan lain yang diterbitkan oleh perusahaan.Keefektifan komite audit dipengaruhi oleh komposisi,kewenangan, sumber daya, dan ketekunan komite au-dit (DeZoort dkk., 2002).

Regulasi menentukan komite audit terdiri atassekurang-kurangnya satu orang komisaris independendan sekurang-kurangnya 2 (dua) orang anggota lainnyayang berasal dari luar emiten atau perusahaan publik(BAPEPAM Nomor: Kep-29/PM/2004). Regulasitersebut menunjukkan lembaga pengatur memandangukuran komite audit dan jumlah komisaris independenyang menjadi anggota komite audit merupakan faktorpenting bagi keefektifan pengawasan pelaporankeuangan.

Namun demikian, literatur tidak padu mengenaiarah pengaruh ukuran komite audit terhadapkeefektifannya. Perusahaan dengan jumlah anggotakomite audit yang sedikit akan memiliki waktu yanglebih sedikit untuk mengawasi penugasan auditor,melakukan dengar pendapat dengan manajemen, danmelakukan rapat dengan personil sistem pengendalianinternal. Argumen yang sebaliknya seperti yang

diberikan terhadap ukuran dewan komisaris juga dapatberlaku untuk komite audit. Oleh karena sulitnyamengorganisasi dan mengkoordinasi kelompok besar,ukuran komite audit dapat berpengaruh negatifterhadap kemampuannya untuk mengawasi prosespelaporan keuangan perusahaan. Berdasar argumentersebut, dirumuskan hipotesis sebagai berikut:H7: Ukuran komite audit berpengaruh terhadap

penggunaan diskresi akuntansi oleh manajemendalam pelaporan keuangan.

Komposisi komite audit merupakan faktorpenting dalam pengawasan yang efektif. Komite audityang independen lebih dapat mengawasi pelaporankeuangan perusahaan secara objektif dan bebas daribenturan kepentingan. Komposisi komite audit menjadifokus usaha reformasi tata kelola. Pada saat ini semuaperusahaan publik yang terdaftar di bursa harusmembentuk sebuah komite audit yang terdiri palingtidak tiga anggota yang sepenuhnya independen(BAPEPAM, 2006).

Komite audit yang memiliki statusorganisasional tinggi, independen, dan kekuasaanbesar yang didelegasikan oleh dewan komisaris lebihmungkin dipandang sebagai badan otoritatif olehmanajemen dan auditor eksternal dan internal. Semakinbanyak komisaris independen yang menjadi komiteaudit akan meningkatkan status organisasional dankekuasaan komite audit sehingga lebih efektif dalammenjalankan fungsi pengawasan terhadap pelaporankeuangan. Berdasar argumen tersebut, dirumuskanhipotesis sebagai berikut:H8: Jumlah komisaris independen yang menjadi

anggota komite audit berpengaruh negatifterhadap penggunaan diskresi akuntansi olehmanajemen dalam pelaporan keuangan.

Komite audit bertanggung jawab untukmengawasi pengendalian internal dan pelaporankeuangan. Oleh karena itu, anggota komite audit harusmemiliki kompetensi di bidang akuntansi ataukeuangan. Bapepam-LK mengatur semua anggotakomite audit memiliki pengetahuan yang cukup untukmembaca dan memahami laporan keuangan dan salahseorang anggota memiliki latar belakang pendidikanakuntansi atau keuangan (BAPEPAM, Kep-29/PM/2004). Aturan tersebut mengasumsi anggota komiteaudit yang memiliki keahlian akuntansi atau keuanganlebih besar kemungkinan dapat mendeteksi

Page 33: JAM Vol 23 No 2 Agustus 2012

109

PENGARUH KARAKTERISTIK DEWAN KOMISARIS DAN.................... (Bambang Suripto)

penyimpangan dalam laporan keuangan. Berdasarargumen tersebut, dirumuskan hipotesis sebagaiberikut:H9: Jumlah anggota komite audit yang ahli dibidang

akuntansi atau keuangan berpengaruh negatifterhadap penggunaan diskresi akuntansi olehmanajemen dalam pelaporan keuangan.

NYSE mengatur jika seorang anggota komiteaudit menjabat di lebih dari tiga buah perusahaan,dewan komisaris harus menentukan apakah jabatantersebut akan merusak kemampuannya untukmelaksanakan tugas sebagai anggota komite audit.Peraturan tersebut selaras dengan pengawasanmanajemen puncak memerlukan waktu dan usaha. Olehkarena jabatan tambahan di perusahaan lain akanmeningkatkan kebutuhan waktu seorang anggotakomite, maka hal tersebut akan menurunkan jumlahwaktu yang tersedia untuk secara efektif menjalankantanggungjawab pengawasannya di sebuah perusahaan.Hasil riset konsisten dengan pernyataan tersebut (Per-sons, 2005).

Argumen sebaliknya seperti yang diajukanuntuk dewan komisaris juga dapat berlaku bagi komiteaudit. Anggota komite audit memiliki insentif untukmenjadi pengawas yang efektif karena menjadi anggotakomite audit perusahaan yang berjalan baik merupakansinyal nilai ke pasar yang akan memberikan imbalanberupa jabatan tambahan. Jabatan tambahan jugamemungkinkan anggota komite audit memperolehkompetensi tata kelola dan pengetahuan praktik terbaik.Hal tersebut mengindikasikan pengaruh positif jumlahjabatan yang dipegang oleh anggota komite auditterhadap kualitas pelaporan keuangan. Berdasarargumen tersebut, dirumuskan hipotesis sebagaiberikut:H10: Jumlah jabatan yang dipegang oleh anggota

komite audit berpengaruh terhadap penggunaandiskresi akuntansi oleh manajemen dalampelaporan keuangan.

Anggota komite audit yang kurang senior dapatberpengaruh buruk pada kemampuannya untukmengawasi proses pelaporan keuangan. Lebih senioranggota komite audit akan kurang rentan terhadaptekanan kelompok dan lebih besar kemungkinanmengkritisi praktik pelaporan yang meragukan olehperusahaan. Penelitian tersebut mengindikasikan lebihlama masa kerja anggota komite audit berpotensi

meningkatkan kualitas pelaporan keuangan. Berdasarargumen tersebut, dirumuskan hipotesis sebagaiberikut:H11: Masa kerja anggota komite audit berpengaruh

negatif terhadap penggunaan diskresi akuntansioleh manajemen dalam pelaporan keuangan.

Frekuensi rapat merupakan sinyal kepeduliankomite audit terhadap kewajibannya dan ketekunankomite audit. Praktik terbaik merekomendasi tiga atauempat kali rapat dalam setahun. Penelitian memberi buktikomite audit yang rapat lebih sering lebih efektif dalammengawasi manajemen dan berpotensi meningkatkankualitas laporan keuangan (Xie dkk., 2002). Berdasarargumen di atas, dirumuskan hipotesis sebagai berikut:H12: Frekuensi rapat yang diselenggarakan oleh

komite audit berpengaruh negatif terhadappenggunaan diskresi akuntansi oleh manajemendalam pelaporan keuangan.

Hipotesis penelitian diuji dengan model regresilinear berganda. Variabel dependen penelitian adalahtingkat penggunaan diskresi akuntansi oleh manajemendalam pelaporan keuangan. Variabel independenpenelitian terdiri atas variabel tata kelola perusahaandan variabel kontrol yang dalam penelitian sebelumnyasudah diidentifikasi sebagai determinan diskresiakuntansi. Variabel kontrol yang dimasukkan ke dalampenelitian ini meliputi rasio ungkitan, ukuranperusahaan, ukuran risiko perusahaan, kinerjaperusahaan, dan tahun amatan.

Manajemen dapat menggunakan keleluasaanpelaporannya untuk menyalahsajikan kinerjaperusahaan. Sebagai contoh, manajer dapatmelebihsajikan laba yang dilaporkan untuk mencapaitarget laba tertentu atau melaporkan kinerja yang luarbiasa pada saat tertentu, misalnya ketika akanmenerbitkan saham. Dalam penelitian ini penggunaandiskresi akuntansi oleh manajemen dalam pelaporankeuangan diukur dengan tiga cara, yaitu 1) penggunaanakrual diskresional, 2) perataan laba melalui akrual, dan3) penghindaran penurunan laba melalui pelaporan labakejutan positif kecil.

Nilai absolut akrual diskresional merupakanindikator besarnya penyesuaian yang dilakukan olehmanajemen untuk mendapat jumlah laba yangdilaporkan. Nilai absolut akrual diskresional yang lebihbesar menunjukkan penggunaan diskresi akuntansiyang lebih tinggi dan sebaliknya. Akrual diskresional

Page 34: JAM Vol 23 No 2 Agustus 2012

110

JAM, Vol. 23, No. 2, Agustus 2012: 105-117

diukur dengan cara akrual total dikurangi akrualnondiskresional. Penelitian ini menggunakan modelJones (1991) versi runtut waktu untuk mengestimasiakrual nondiskresional. Model perhitungan akrualnondiskresional dirumuskan sebagai berikut:

Akrual Totalit = α

0+α

1 (1/Akrual Total

t-1 ) +

α2( Pendapatan

it ) + α

3(Aset Tetap

it ) + ε

it(1)

Akrual total setiap tahun dihitung dengan cara labasebelum pos luar biasa dikurangi dengan arus kas darioperasi. Koefisien setiap perusahaan sampel diestimasiberdasar data runtut waktu selama 10 tahun sebelumtahun amatan. Koefisien hasil perhitungan kemudiandigunakan untuk mengestimasi jumlah akrualnondiskresional pada tahun amatan. Setelah itu, akrualdiskresional setiap tahun amatan dihitung denganrumus sebagai berikut:

Akrual Diskresionalit =

Akrual Totalit

- Akrual Nondiskresionalit

(2)

Supaya konsisten dengan rentang waktu yangdigunakan untuk mengukur dua diskresi akuntansilainnya, analisis dilakukan berdasarkan akrualdiskresional rata-rata dalam tiga tahun yang berakhirpada tahun amatan.

Ukuran diskresi akuntansi yang kedua, yaituperataan laba, dihitung dengan cara deviasi standararus kas operasi dibagi dengan deviasi standar laba(Leuz dkk., 2003). Rasio yang lebih besar dari satumenunjukkan arus kas operasi yang lebih bervariasidibanding laba, konsisten dengan penggunaan diskresiakuntansi untuk perataan laba. Perusahaan denganrasio perataan yang lebih tinggi dibanding perusahaanlain dianggap menggunakan diskresi akuntansi yanglebih tinggi dan sebaliknya. Untuk menghitung rasioperataan laba digunakan laba dan arus kas operasikuartalan selama rentang waktu tiga tahun (dua belaskuartal) yang berakhir pada tahun amatan.

Graham dkk. (2005) menemukan CFO yangmemandang laba kuartal yang sama tahun sebelumnyasebagai target yang akan dicapai atau dilampaui. Olehkarena itu, penelitian ini mengukur frekuensiperusahaan melaporkan laba kuartalan kejutan positifkecil selama rentang waktu tiga tahun yang berakhirpada tahun amatan. Laba kejutan positif kecil terjadi

apabila laba kuartal musiman setelah pajak (Labak –

Labak-4

) diskala aset total pada kuartal k-5 berkisar antara0,00 sampai 0,01 (Burgstahler dan Dichev, 1997). Rasiopenghindaran laba kejutan negatif kecil dihitungdengan cara bagian dari 12 kuartal sebelumnya yangmenyajikan laba kejutan positif kecil dibagi dengan 12.Perusahaan dengan rasio lebih tinggi menunjukkanmanajemen menggunakan diskresi akuntansi yang lebihtinggi dan sebaliknya.

Tiga ukuran di atas merupakan proksi diskresiakuntansi sehingga boleh jadi diukur dengankesalahan. Untuk mengatasi kesalahan pengukuran danmempertimbangkan kemungkinan trade-off antarjenisdiskresi, dalam penelitian ini digunakan indeks diskresiakuntansi yang menggabungkan ketiga ukuran (Leuzdkk., 2003). Setiap ukuran diskresi diurutkan dari pal-ing rendah ke paling tinggi, kemudian nomor urutperingkat masing-masing amatan dibagi dengan jumlahamatan. Ukuran gabungan, yaitu indeks diskresiakuntansi, merupakan hasil rata-rata sederhanaperingkat ketiga ukuran diskresi akuntansi. Hasilperhitungan akan berkisar dari 0 sampai dengan 1, 0 =penggunaan diskresi akuntansi paling rendah dan 1 =penggunaan diskresi akuntansi paling tinggi.

Penelitian ini menguji hubungan langsungsetiap karakteristik dewan komisaris dan komite auditdengan penggunaaan diskresi akuntansi olehmanajemen. Operasionaliasi setiap karakteristik dewankomisaris adalah sebagai 1) ukuran dewan komisarisditentukan berdasarkan jumlah orang yang menjadianggota dewan komisaris dibagi aset total; 2)independensi dewan komisaris diukur berdasarkanproporsi jumlah anggota komisaris independen dibagijumlah seluruh anggota dewan komisaris; 3) keberadaankomite nominasi dan remunerasi diukur dengan dumi;4) masa kerja dewan komisaris diukur berdasarkanjumlah masa kerja seluruh anggota dewan komisarisdibagi jumlah anggota; 5) jumlah jabatan yang dipeganganggota dewan komisaris diukur berdasarkan jumlahjabatan yang dipegang oleh semua anggota dewandibagi jumlah anggota dewan; dan 6) ketekunan dewankomisaris diukur berdasarkan jumlah rapat yangdiselenggarakan oleh dewan komisaris selama setahun.Karakteristik komite audit yang diduga berhubungandengan keefektifan pengawasan pelaporan keuanganperusahaan diukur berdasarkan 1) ukuran komite auditditentukan berdasar jumlah orang yang menjadi anggota

Page 35: JAM Vol 23 No 2 Agustus 2012

111

PENGARUH KARAKTERISTIK DEWAN KOMISARIS DAN.................... (Bambang Suripto)

dibagi aset total; 2) komisaris independen yang menjadianggota komite audit diukur berdasar jumlah komisarisindependen yang menjadi anggota komite auditdibanding jumlah seluruh anggota komite; 3) keahlianakuntansi/keuangan diukur berdasar jumlah anggotakomite audit yang memiliki latar belakang pendidikandi bidang akuntansi/keuangan dibagi jumlah anggotakomite; 4) jumlah jabatan yang dipegang oleh anggotakomite diukur berdasarkan jumlah jabatan yangdipegang oleh semua anggota komite audit dibagijumlah anggota komite; 5) masa kerja anggota komiteaudit diukur berdasarkan jumlah masa kerja seluruhanggota komite audit dibagi jumlah anggota komite;dan 6) ketekunan komite audit diukur berdasarkanjumlah rapat yang diselenggarakan oleh komite auditperusahaan selama setahun.

Kothari dkk. (2005) menyatakan penelitiandiskresi akuntansi yang tidak mengontrol kinerja salahspesifikasi. Untuk mengontrol pengaruh kinerja padadiskresi akuntansi, peneliti memasukkan imbal hasil dariaset (ROA) ke dalam model. ROA dihitung dengan caralaba sebelum pos luar biasa dibagi aset total tahunsebelumnya. Perusahaan dengan volatilitas laba lebihbesar memiliki biaya modal yang lebih tinggi. Olehkarena itu, perusahaan yang lebih berisiko boleh jadimenggunakan diskresi akuntansi yang lebih besaruntuk menurunkan persepsi risiko guna menurunkanbiaya modalnya. Peneliti memproksi risiko dengan

deviasi standar ROA selama lima tahun yang berakhirpada tahun amatan. Peneliti juga memasukkan dumitahun untuk mengontrol semua variasi yang tidakterobservasi dalam lingkungan perusahaan.

Populasi penelitian meliputi semua perusahaanpublik nonkeuangan yang terdaftar di Bursa Efek In-donesia (BEI). Sampel penelitian dipilih berdasarketersediaan data. Data karakteristik dewan komisarisdan komite audit diperoleh dari laporan tahunan,sedangkan data keuangan diperoleh dari laporankeuangan tahunan dan laporan keuangan kuartalan.Data penelitian diperoleh dari situs BEI (www.idx.co.id),situs perusahaan sampel, dan ICMD. Sampel adalahtahun perusahaan yang datanya dapat diperoleh secaralengkap dari sumber-sumber tersebut. Sampelpenelitian terdiri atas 385 tahun perusahaannonkeuangan dari periode amatan tahun 2004 sampaidengan 2009.

HASIL PENELITIAN

Tabel 1 menyajikan statistik deskriptif karakteristikdewan komisaris dan komite audit. Jumlah anggotadewan komisaris rata-rata 4,54; jumlah komisarisindependen rata-rata 1,76; jumlah jabatan yangdipegang oleh anggota dewan komisaris rata-rata 1,24;masa kerja anggota dewan komisaris rata-rata 5,72;jumlah rapat yang diselenggarakan oleh dewan

Tabel 1Statistik Deskriptif Variabel Tata Kelola Perusahaan

Variabel Min. Mak. Mean Deviasi Std.

Anggota komisaris 2 13 4,54 2,000Komisaris independen 0 8 1,76 1,186Komite nominasi dan remunerasi 0 1 0,24 0,427Jumlah jabatan anggota komisaris 0 10 1,24 1,147Masa kerja komisaris 0 21 5,72 3,501Rapat komisaris 0 37 3,37 5,201Anggota komite audit 0 7 2,83 1,211Komisaris independen yang menjadi komite 0 3 0,94 0,562Jumlah jabatan anggota komite audit 0 3 0,44 0,681Jumlah ahli akuntansi dan keuangan 0 5 0,96 1,129Masa kerja komite audit 0 21 3,13 2,204Rapat komite audit 0 72 4,16 7,789

Sumber: Data penelitian, diolah.

Page 36: JAM Vol 23 No 2 Agustus 2012

112

JAM, Vol. 23, No. 2, Agustus 2012: 105-117

komisaris selama satu tahun rata-rata 3,37. Datakeberadaan komite nominasi dan remunerasi merupakandumi 1 jika ada dan 0 untuk lainnya. Jumlah rata-rata0,24 menunjukkan sebagian besar perusahaan sampeltidak memiliki komite tersebut. Data deviasi standardalam tabel menunjukkan sampel penelitian cukupbervariasi dalam enam karakteristik dewan komisarisyang diteliti.

Tabel 1 juga menunjukkan data jumlah anggotakomite audit rata-rata 2,83; jumlah komisaris independenyang menjadi anggota komite audit rata-rata 0,94;jumlah jabatan anggota komite audit rata-rata 0,44;jumlah anggota komite audit yang ahli di bidangakuntansi dan keuangan rata-rata 0,96; masa kerjaanggota komite audit rata-rata 3,13; dan jumlah rapatkomite audit dalam satu tahun rata-rata 4,16. Datadeviasi standar menunjukkan sampel penelitian cukupbervariasi dalam enam karakteristik komite audittersebut.

Tabel 2 menyajikan statistik deskriptif tigaukuran diskresi akuntansi serta indeks diskresiakuntansi yang menggabungkan ketiga ukuran. Rata-rata tiga tahun nilai absolut akrual diskresionalperusahaan sampel sebesar 3,6% dari aset total. Rata-rata rasio perataan laba perusahaan sampel mendekati3, menunjukkan arus kas bervariasi hampir tiga kali lipatdari laba. Perusahaan sampel rata-rata melaporkan labakejutan positif kecil 2,74 kali dalam dua belas kuartalterakhir atau 22,8%. Sebagai konsekuensi dari carapengukuran yang digunakan, indeks diskresi akuntansimemiliki rata-rata 0,5.

Tabel 3 menyajikan data korelasi antarukurandiskresi akuntansi. Statistik menunjukkan korelasi yangsignifikan hanya terjadi antara frekuensi laba kejutanpositif kecil dan perataan laba tetapi tidak besar (0,312).Meskipun ada kemungkinan terdapat elemen yang samadalam ketiga ukuran (misalnya perusahaan dapatmenggunakan akrual diskresional untuk mencapai tar-get laba atau meratakan laba), data korelasimenunjukkan ketiga ukuran menangkap jenis diskresiakuntansi yang berbeda. Pemakaian indeks diskresiakuntansi memiliki keunggulan karena dapatmenangkap atribut dari semua ukuran. Indeks diskresiakuntansi menunjukkan korelasi yang signifikandengan ketiga ukuran (0,18 dengan akrual diskresional,0,49 dengan perataan laba, dan 0,69 dengan frekuensilaba kecil). Sebelum dilakukan pengujian hipotesisdengan analisis regresi berganda, untuk menjaminvaliditas simpulan, perlu dilakukan pengujian asumsiklasik. Pengujian asumsi klasik yang dilakukan meliputiasumsi normalitas, multikolinearitas, homogenitas, danautokorelasi. Hasil pengujian asumsi-asumsi tersebutmenunjukkan tidak terjadi pelanggaran asumsi yangdapat menimbulkan masalah yang serius.

Oleh karena data korelasi yang disajikan dalamTabel 3 menunjukkan ketiga ukuran menangkap jenisdiskresi akuntansi yang berbeda, maka masing-masingakan diinterpretasi secara tersendiri. Hasil uji regresidisajikan dalam Tabel 4. Pada Tabel 4 disajikan hasilregresi untuk setiap ukuran diskresi akuntansi sebagaivariabel independen dalam kolom tersendiri.

Tabel 2Statistik Deskriptif Elemen Diskresi Akuntansi

Elemen Minimum Maksimum Mean Dev. Std.

Akrual diskresional 0,00005 0,72668 0,03637 0,06743Perataan laba 0,08073 33,20199 2,99921 4,63550Frekuensi pelaporan laba kejutan kecil 0,00000 12,00000 2,74000 2,48500Persentase pelaporan laba kejutan kecil 0,00000 1,00000 0,22835 0,20711Indeks diskresi akuntansi 0,06147 0,94285 0,50129 0,17886

Sumber: Data penelitian, diolah.

Page 37: JAM Vol 23 No 2 Agustus 2012

113

PENGARUH KARAKTERISTIK DEWAN KOMISARIS DAN.................... (Bambang Suripto)

Tabel 3Korelasi AntarElemen Diskresi Akuntansi

Akrual Perataan Frekuensi Indeks DiskresiElemen Diskresional Laba Laba Kecil Akuntansi

Akrual diskresional 1,000 -0,090 -0,053 **0,177Perataan laba -0,090 1,000 **0,312 **0,488Frekuensi laba kejutan kecil -0,053 **0,312 1,000 **0,691Indeks diskresi akuntansi **0,177 **0,488 **0,691 1,000

** Korelasi signifikan pada tingkat 0,01 (2-sisi).* Korelasi signifikan pada tingkat 0,05 (2-sisi).

Tabel 4Estimasi Determinan Diskresi Akuntansi

IndeksPrediksi Diskresi Akrual Perataan Frekuensi

Variabel Arah Akuntansi Diskresional Laba Laba Kecil(1) (2) (3) (4)

TH2005 +/- ***2,588 -0,312 ***2,698 **2,382TH2006 +/- ***2,614 -0,253 ***3,421 *1,664TH2007 +/- **2,081 -1,199 ***3,535 1,512TH2008 +/- **2,268 -1,590 ***3,572 **2,202TH2009 +/- 1,304 ***-3,255 ***3,770 *1,888Aset Total + -1,206 **-2,451 0,473 -0,250Return on Assets (ROA) +/- -0,048 -1,557 **2,227 -0,734Variasi ROA + 0,668 0,181 0,334 0,712Leverage + **-2,089 0,962 **-2,514 **-2,292Ukuran Komisaris +/- -1,589 *-1,816 -0,033 -1,077Komisaris Independen - -1,098 1,774 ***-2,823 -0,982Komite Nominasi dan Remunerasi - -0,720 1,419 -1,522 -1,218Masa Kerja Komisaris - ***-3,889 -0,276 ***-4,270 ***-2,637Jabatan Komisaris +/- -0,737 -0,027 0,249 -1,559Rapat Komisaris - 1,294 *1,693 -0,750 1,426Ukuran Komite Audit +/- *1,721 0,610 0,582 **1,965Independensi Komite - 0,838 0,997 -0,419 0,955Ahli Akuntansi dan Keuangan - **-2,346 *-1,672 -1,124 -1,532Jabatan Komite Audit +/- 1,321 -0,726 0,757 **2,379Masa Kerja Komite - -1,482 **-2,004 0,247 -0,971Rapat Komite Audit - 0,662 0,275 0,523 0,425Adj R2 total 8,7% 8,5% 9,3% 5,2%F-stat (p-value) total 2,742 (0,000) 2,687 (0,000) 2,870 (0,000) 1,993 (0,006)Adj R2 variabel GCG saja 6,8% 4,3% 3,6% 4,1%Variable GCG saja 3,342 (0,000) 2,421 (0,005) 2,193 (0,012) 2,379 (0,006)

***Signifikan pada tingkat 0,01;**signifikan pada tingkat 0,05; *signifikan pada tingkat 0,10.

Page 38: JAM Vol 23 No 2 Agustus 2012

114

JAM, Vol. 23, No. 2, Agustus 2012: 105-117

PEMBAHASAN

Hasil hitungan variabel kontrol memiliki tanda koefisienyang tidak sesuai prediksi dan/atau tidak signifikanpada level konvensional apabila digunakan variabelindependen dengan ukuran indeks diskresi akuntansi.Satu-satunya koefisien dengan arah sesuai denganprediksi dan signifikan pada level konvensional adalahROA apabila digunakan variabel independen denganukuran perataan laba.

Meskipun tidak diajukan hipotesis secara for-mal, hasil hitungan dumi tahun amatan memberikan hasilyang menarik. Dibandingkan tahun 2004 (tahun dasar),hasil hitungan menunjukkan koefisien tahunmenunjukkan trend positif untuk indeks diskresiakuntansi yang signifikan pada level konvensional.Tren tersebut didukung dan lebih persisten apabiladigunakan ukuran perataan laba. Tren yang sama jugaterjadi, meskipun kurang persisten, apabila digunakanukuran frekuensi pelaporan laba kejutan positif kecil.Kecenderungan sebaliknya terjadi apabila digunakanukuran akrual diskresional tetapi tidak ada koefisientahun yang signifikan pada level konvensional. Hasiltersebut memberikan indikasi penggunaan diskresiakuntansi oleh manajemen dalam pelaporan keuangansetelah tahun 2004 pada tingkat yang lebih tinggi.

Hasil regresi antara ukuran dewan komisarisdengan indeks akrual diskresional menunjukkan tandakoefisien negatif sesuai prediksi dengan nilai t hitung -1,816 dan p-value 0,070. Oleh karena itu, penelitianberhasil memberikan bukti yang mendukung H1 bahwaukuran dewan komisaris berpengaruh negatif terhadappenggunaan diskresi akuntansi untuk manajemen laba.Hasil tersebut konsisten dengan hasil riset di U.S. (Xiedkk., 2003). Hasil penelitian tidak konsisten denganargumen dewan dengan ukuran besar merupakanpengawas yang buruk terhadap kualitas pelaporankeuangan.

Hasil regresi antara komisaris independendengan peringkat perataan laba menunjukkan tandakoefisien negatif sesuai prediksi dengan nilai t hitung -2,823 dan p-value 0,005. Oleh karena itu, penelitianberhasil memberikan bukti yang mendukung H2 bahwajumlah komisaris independen berpengaruh negatifterhadap penggunaan diskresi akuntansi olehmanajemen dalam pelaporan keuangan untuk perataanlaba. Hasil tersebut konsisten dengan hasil riset di U.S.

(Klein, 2002a). Hasil penelitian ini konsisten denganargumen jumlah komisaris independen yang lebihbanyak akan meningkatkan independensi dewankomisaris sehingga dapat menjadi pengawas yang lebihbaik terhadap kualitas pelaporan keuangan.

Hasil regresi antara masa kerja dewan komisarisdengan indeks diskresi akuntansi menunjukkan tandakoefisien negatif sesuai prediksi dengan nilai t hitung -3,889 dan p-value 0,000; antara masa kerja komisarisdengan peringkat perataan laba menunjukkan tandakoefisien negatif sesuai prediksi dengan nilai t hitung -4,270 dan p-value 0,000; dan antara masa kerja dewankomisaris dengan pelaporan laba kejutan positif kecilmenunjukkan tanda koefisien negatif sesuai prediksidengan nilai t hitung -2,637 dan p-value 0,009. Olehkarena itu, penelitian berhasil memberikan bukti yangmendukung H4 bahwa masa kerja dewan komisarisberpengaruh negatif terhadap penggunaan diskresiakuntansi oleh manajemen dalam pelaporan keuangan,terutama untuk meratakan laba dan melaporkan labakejutan positif kecil. Hasil tersebut tidak konsistendengan hasil penelitian Xie dkk. (2003). Hasil penelitianini konsisten dengan argumen masa kerja meningkatkankemampuan komisaris untuk mengawasi manajemensecara efektif.

Hasil regresi antara ukuran komite audit denganindeks diskresi akuntansi menunjukkan tanda koefisienpositif sesuai prediksi dengan nilai t hitung 1,721 danp-value 0,086 dan antara ukuran komite audit denganperingkat pelaporan laba kejutan positif kecilmenunjukkan tanda koefisien positif sesuai prediksidengan nilai t hitung 1,965 dan p-value 0,050. Olehkarena itu, penelitian ini berhasil memberikan bukti yangmendukung H7 bahwa ukuran komite auditberpengaruh positif terhadap penggunaan diskresiakuntansi oleh manajemen untuk pelaporan laba kejutanpositif kecil. Hal tersebut konsisten dengan argumensemakin besar ukuran komite audit akan semakin sulituntuk diorganisasi dan dikoordinasi sehingga akanmenurunkan kemampuannya dalam mengawasipelaporan keuangan. Penelitian lainnya tidak berhasilmemberi bukti mengenai hubungan antara ukurankomite audit dengan manajemen laba (Xie dkk., 2003.

Hasil regresi antara jumlah anggota komite au-dit yang ahli di bidang akuntansi dan keuangan denganindeks diskresi akuntansi menunjukkan tanda koefisiennegatif sesuai prediksi dengan nilai t hitung -2,346 dan

Page 39: JAM Vol 23 No 2 Agustus 2012

115

PENGARUH KARAKTERISTIK DEWAN KOMISARIS DAN.................... (Bambang Suripto)

p-value 0,019 dan antara jumlah anggota komite audityang ahli di bidang akuntansi dan keuangan denganperingkat akrual diskresional menunjukkan tandakoefisien negatif sesuai prediksi dengan nilai t hitung -1,672 dan p-value 0,095. Oleh karena itu, penelitianberhasil memberikan bukti yang mendukung H9 bahwajumlah anggota komite audit yang ahli di bidangakuntansi dan keuangan berpengaruh negatif terhadappenggunaan diskresi akuntansi oleh manajemen dalampelaporan keuangan terutama untuk manajemen laba.Hasil tersebut konsisten dengan argumen keahlianakuntansi atau keuangan anggota komite auditmeningkatkan kemampuannya dalam menjalankanfungsi pengawasan pelaporan keuangan. Hasilpenelitian ini konsisten dengan hasil penelitian Xie dkk.(2003).

Hasil regresi antara jumlah jabatan yangdipegang oleh anggota komite audit dengan peringkatpelaporan laba kecil menunjukkan tanda koefisienpositif sesuai prediksi dengan nilai t hitung 2,379 danp-value 0,018. Oleh karena itu, penelitian berhasilmemberikan bukti yang mendukung hipotesis H10bahwa jumlah jabatan yang dipegang oleh anggotakomite audit berpengaruh positif terhadap penggunaandiskresi akuntansi oleh manajemen dalam pelaporankeuangan terutama untuk menyajikan laba kejutanpositif kecil. Hasil tersebut konsisten dengan argumensemakin banyak jabatan yang dipegang oleh anggotakomite audit akan mengurangi jumlah waktu yang dapatdisediakan untuk sebuah perusahaan sehingga akanmenurunkan kemampuannya untuk melakukanpengawasan terhadap pelaporan keuangan. Hasilpenelitian ini konsisten dengan hasil penelitiansebelumnya (Persons, 2005).

Hasil hitungan regresi antara masa kerjaanggota komite audit dengan peringkat akrualdiskresional menunjukkan tanda koefisien negatifsesuai prediksi dengan nilai t hitung -2,004 dan p-value0,046. Oleh karena itu, penelitian berhasil memberikanbukti yang mendukung H11 bahwa masa kerja anggotakomite audit berpengaruh negatif dengan penggunaandiskresi akuntansi oleh manajemen dalam pelaporankeuangan terutama untuk manajemen laba. Hasiltersebut konsisten dengan argumen lebih senioranggota komite audit akan kurang rentan terhadaptekanan kelompok dan lebih besar kemungkinanmengkritisi praktik pelaporan keuangan yang

meragukan oleh manajemen. Penelitian tidak berhasilmemberikan bukti keberadaan komite nominasi danremunerasi berpengaurh negatif terhadap penggunaandiskresi akuntansi oleh manajemen dalam pelaporankeuangan. Hasil tersebut konsisten dengan hasilpenelitian sebelumnya yang tidak berhasil memberikanbukti dominasi direktur atas dewan komisarisberpengaruh buruk terhadap kualitas pelaporankeuangan (Xie dkk., 2003). Hasil-hasil tersebut didugaterjadi karena fungsi nominasi dan remunerasi terlalujauh dari fungsi pelaporan keuangan untuk dapatmemberi pengaruh langsung terhadap kualitaspelaporan keuangan (He, dkk., 2008). Penelitian tidakberhasil memberikan bukti jumlah jabatan yangdipegang oleh anggota dewan berpengaruh terhadappenggunaan diskresi akuntansi oleh manajemen dalampelaporan keuangan. Penelitian tidak berhasilmemberikan bukti jumlah rapat yang diselenggarakanoleh dewan komisaris berpengaruh negatif terhadappenggunaan diskresi akuntansi oleh manajemen dalampelaporan keuangan. Hasil tersebut tidak konsistendengan hasil penelitian sebelumnya (Xie dkk., 2003).Hasil penelitian ini tidak konsisten dengan proposisiketekunan dewan komisaris meningkatkankemampuannya dalam melakukan pengawasanterhadap pelaporan keuangan.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Penelitian dilakukan terhadap 385 tahun perusahaannonkeuangan publik yang terdaftar di BEI sejak tahun2005 sampai 2009 untuk menguji pengaruh karakteristikdewan komisaris dan komite audit terhadap kualitaspelaporan keuangan yang diukur dengan penggunaandiskresi akuntansi oleh manajemen. Berdasar hasilpenelitian diperoleh simpulan faktor-faktor berikut iniberpengaruh positif terhadap kemampuan dewankomisaris menjalankan fungsi pengawasan laporankeuangan, yaitu 1) ukuran dewan komisaris, 2) jumlahkomisaris independen, dan 3) masa kerja anggota dewankomisaris. Selain itu, berdasar hasil penelitian jugadiperoleh simpulan bahwa faktor-faktor berikut iniberpengaruh positif terhadap kemampuan komite au-dit menjalankan fungsi pengawasan laporan keuangan,yaitu 1) ukuran komite audit, 2) jumlah anggota komite

Page 40: JAM Vol 23 No 2 Agustus 2012

116

JAM, Vol. 23, No. 2, Agustus 2012: 105-117

audit yang ahli di bidang akuntansi dan keuangan, 3)jumlah jabatan yang dipegang oleh anggota komiteaudit, dan 4) masa kerja anggota komite audit.

Saran

Simpulan di atas harus dipertimbangkan bersamaandengan keterbatasan yang melekat dalam penelitian ini.Sampel penelitian tidak dipilih secara acak sehinggaada kemungkinan tidak mewakili populasi. Datakarakteristik dewan komisaris dan komite audit sebatasyang dapat diperoleh dari informasi yang dilaporkanoleh perusahaan dalam laporan tahunan dan hanyamencakup tata kelola internal perusahaan dan tidakmencakup tata kelola eksternal perusahaan. Oleh karenakualitas pelaporan keuangan tidak dapat diamati secaralangsung, penelitian ini menggunakan diskresiakuntansi sebagai proksi kualitas pelaporan keuangan.Meskipun ukuran diskresi akuntansi yang digunakanstate-of-the-art, masih ada kemungkinan kualitaspelaporan keuangan dalam penelitian ini diukur dengankesalahan. Terdapat kemungkinan penelitian lebih lanjutdi masa datang dengan memasukkan variabel baru,misalnya variabel tata kelola eksternal. Penelitian yangakan datang juga dapat dilakukan dengan sampel yangberbeda pada waktu yang berbeda untuk mengetahuikekuatan hasil penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Adams, R. dan H. Mehran. 2002. Board CommitteeStructures, Ownership, and Firm Performance.Working Paper: New York Federal Reserve.

BAPEPAM-LK. 2006. Studi Penerapan Prinsip-PrinsipOECD 2004 dalam Peraturan Bapepammengenai Corporate Governance. Jakarta: TimStudi Pengkajian Penerapan Prinsip-PrinsipOECD 2004 dalam Peraturan Bapepam mengenaiCorporate Governance.

Boediono, S.B. 2005. Kualitas Laba: Studi PengaruhMekanisme Corporate Governace danDampak Manajemen Laba denganMenggunakan Analisis Jalur. Simposium

Nasional Akuntansi VIII, IAI, 2005.

Bowen, R.M., S. Rajgopal, dan M. Venkatachalam. 2007.Accounting Discretion, Corporate Governanceand Firm Performace. Working Paper: Univer-sity of Washington and Duke University.

Darmawati, D., Khomsiyah, dan Rahayu, R.G. 2004.Hubungan Corporate Governance danKinerja Perusahaan. Simposium NasionalAkuntansi VII, IAI, 2004.

DeZoort, F.T, D.R. Hermanson, D.S. Archambeault, danS.A. Reed. 2002. “Audit Committee Effective-ness: A Synthesis of the Empirical Audit Com-mittee Literature”. Journal of Accounting Lit-erature (21): 38-75.

Graham, J., C. Harvey, dan S. Rajgopal. 2005. “The Eco-nomics Implication of Corporate Financial Re-porting”. Jurnal of Accounting and Econom-ics (40): 3-73.

He, L., R. Labelle, C. Piot, dan D.B. Thornton. 2009.“Board Monitoring, Audit Committee Effective-ness, and Financial Reporting Quality: Reviewand Synthesis of Empirical Literatur”. Journalof Forensic & Investigative Accounting, Vol. 1,No. 2. Available at SSRN: http://ssrn.com

Jones, J. 1991. “Earnings Management During ImportRelief Investigations”. Journal of AccountingResearch (29): 193-228.

Klein, A. 2002a. “Audit Committee, Board of DirectorCharacteristics, and Earnings Management”.Journal of Accounting and Economics (33): 375-400.

Klein, A. 2002b. “Economic Determinants of AuditCommittee Independence”. The AccountingReview 77 (2): 435-452.

KNKG. 2004. Pedoman Tentang Komisaris Independen.http://www.governance-indonesia. or.id/main.htm.

Page 41: JAM Vol 23 No 2 Agustus 2012

117

PENGARUH KARAKTERISTIK DEWAN KOMISARIS DAN.................... (Bambang Suripto)

KNKG. 2004. Pedoman Good Corporate GovernancePerbankan Indonesia. Komite NasionalKebijakan Corporate Governance.

Kothari, S.P., A. Leone dan C. Wasley. 2005. “Perfor-mance Matched Discretionary Accrual Mea-sures”. Journal Accounting and Economics(39): 163-197.

Leuz, C., D. Nanda, dan P.D. Wysocki. 2003. “EarningsManagement and Investor Protection: An In-ternational Comparison”. Journal of FinancialEconomics (69): 505-527.

Matsunaga, S. dan C. Park. 2001. “The Effect of Miss-ing a Quarterly Earnings Benchmark on TheCEO’s Annual Bonus”. The Accounting Review(76) 313-332.

Matsunaga, S. dan C. Park. 2002. The Effect of Con-secutively Missing Quarterly Forecasts on CEOTurnover. Working Paper, University of Oregonand HKUST.

Midiastuty, P.P dan Mahfoedz, M. 2003. AnalisisHubungan Mekanisme Corporate Governancedan Indikasi Manajemen Laba. SimposiumNasional Akuntansi VI. IAI, 2003.

Persons, O.S. 2005. “The Relation Between the NewCorporate Governance Rules and the Likelihoodof Financial Statement Fraud”. Review of Ac-counting & Finance 4 (2): 125-148.

Xie, B., W. N. Davidson III, dan P. J. DaDalt. 2003. “Earn-ings Management and Corporate Governance:The Role of The Board and The Audit Commit-tee”. Journal of Corporate Finance 9: 295-316.

Page 42: JAM Vol 23 No 2 Agustus 2012

119

STRATEGY TO ENHANCE INDONESIAN TRADE............................ (Jaka Sriyana dan Abdul Hakim )

Vol. 23, No. 2, Agustus 2012Hal. 119-127

ABSTRACT

International trade among ASEAN countries shows anincreasing trend in the last five years. However, thetrend does not apply to all ASEAN countries. Some ofthe countries enjoy significant increase in their exportsuch as Singapore and Thailand, while some other, suchas Indonesia, Malaysia, and the Philippines, do notenjoy such situation. This paper constructs a model ofIndonesian trade policy to increase export through thedynamic change in export market share in ASEAN coun-tries, and through speed adjustment in export com-modities. The paper applies the co-integration and theVector Error Correction Model (VECM) to help con-structing the model.

Keywords: international trade, policy, ASEAN, speedadjustment

JEL Classification: G11, G15

STRATEGY TO ENHANCE INDONESIAN TRADEPERFORMANCE TOWARDS THE REST OF

ASEAN-5 MARKETS

Jaka SriyanaFaculty of Economics, Universitas Islam Indonesia,

Yogyakarta, Indonesia, 55283E-mail: [email protected]

Abdul HakimFaculty of Economics, Universitas Islam Indonesia,

Yogyakarta, Indonesia, 55283E-mail: [email protected]

Tahun 1990

ISSN: 0853-1259

J U R N A LAKUNTANSI & MANAJEMEN

INTRODUCTION

International trade has an important role in gross do-mestic product, the ultimate measure of economic ac-tivities in a given country. The role has been more im-portant in ASEAN countries in the last five years, sug-gested by the positive trend in the volume of theirinternational trade. However, the trend does not applyto all ASEAN countries. Some of the countries enjoysignificant increases in their export such as Singaporeand Thailand, while some others such as Indonesia,Malaysia, and the Philippines do not enjoy such situ-ation.

In year 2008, Indonesia’s export contributes 42%of total spending. The global financial crisis started inthe mid 2008 has significantly reduced export of somekey commodities such as textile, shoes, and furniture.It is hypothesized that the decline is caused not onlyby the global financial crisis which led to the decline inworld market demand, but also by the decline in prod-uct competitiveness.

Page 43: JAM Vol 23 No 2 Agustus 2012

120

JAM, Vol. 23, No. 2, Agustus 2012: 119-127

The decline in product competitiveness hascaused a fall in the market share of Indonesian com-modities in international markets. This has an impactboth on macroeconomic aspects including the tradebalance, current account, and power parity, andmicroeconomic aspects including the decrease in levelof production and employment, as well as governmentrevenue from tax of trade.

Indonesian economy has experienced severalstages of economic growth. In the last five years thedeficit fiscal policy has been applied to stabilize theeconomy and to increase export growth. The fiscal andmonetary policies applied by the government did notsignificantly contribute to the economic stabilizationand export growth. During the last ten years, Indone-sia has been recording an average economic growth of5% per year with inflation level of less than 10%. At thesame period, its current account has been declining asthe result of the decline in export. This has led to adecrease in trade surplus which is followed by the rapidincrease in foreign debt.

Bank Indonesia reported that the total outstand-ing debt reached Rp 1,667 trillion in year 2008. Becauseglobal economic and financial crisis has influenced In-donesian economy since the mid of 2008, economicgrowth tend to lower than the previous years. It alsohas a negative impact on export growth which is fol-lowed by the decrease in export tax revenue. Thesemight lead to fiscal crisis, a situation in which a hugegovernment budget deficit becomes a source of seri-ous multi economic and social crisis.

From the aforementioned problem, it is crucialto construct a model of policy strategy to increase ex-port through the dynamic change in export market sharein each country in ASEAN, speed adjustment in eachcommodities, and to measure the impact of export onfiscal sustainability. This paper builds a model of inter-national trade performance enhancement strategy, es-pecially the export performance of Indonesia throughexport market volatility analysis in ASEAN-5, adjust-ment speed analysis to respond shock of Indonesia’sexport to ASEAN -5, and dynamic analysis ofIndonesia’s export-import to ASEAN-5. The model isexpected to increase market shares of Indonesia’s ex-ports in ASEAN, and increase power parity of key ex-port products, especially commodities at SITC 0-9.

LITERATURE REVIEW AND METHOD

To trace the literature in international trade, we need togo back at least to the absolute advantage theory ofSmith (1776), the comparative advantage theory ofRicardo (1817) and factor endowment theory ofHeckscher-Ohlin (Heckscher and Ohlin, 1983). Thesetheories motivate the free market to gain maximum ad-vantage from international trade. They suggest thatdeveloped countries will trade more with developingcountries, compare to that with other developed coun-tries. However, the fact suggested that developed coun-tries trade mostly with the other developed countries.This has triggered the emergence of alternative theo-ries of international trade. Alternative theories such asproduct life cycle theory (Vernon, 1966) capture themotivation to export from the point of view of productstages production, ranges from innovation advantageto the abundance of labour advantage.

These theories explain the motivation to tradeinternationally. In the last few years, the more impor-tant issue has been in building a model to increase theexport performance. Juswanto and Mulyati (2006), us-ing constant market share analysis, found that prod-uct composition seems to be a main problem ofIndonesia’s manufactured exports. Indonesia’s manu-factured exports concentrated in products which is rela-tively low in world demand. This is shown by the factthat products under SITC 6 and 8 which constitutemore than 50% of Indonesia‘s manufactured exportshave lower world export growth than that of other prod-ucts. The study also found that Indonesia’s manufac-tured exports tend to concentrate in some specific mar-kets such as Japan, NIEs (Singapore, South Korea,Taiwan, and Hong Kong), US, ASEAN and China, whichabsorb more than 60% of total manufactured exportsof Indonesia. Those markets make a strong impact onthe performance of Indonesia‘s manufactured export

Misanam et al. (2009) suggest building eco-nomic integration based on the religion value in orderto get maslahah (advantage) through helping the inef-ficient countries. This also represents that the tradebetween Indonesia and some countries has not onlybeen a trade per se, but also representing a tight cul-tural relationship among them. The finding is in thesame spirit with the founding of some economic blockbuilding in Europe and Asia to strengthen regional trade

Page 44: JAM Vol 23 No 2 Agustus 2012

121

STRATEGY TO ENHANCE INDONESIAN TRADE............................ (Jaka Sriyana dan Abdul Hakim )

among them.Apart from the aforementioned theories, some

other papers talks about other aspects which mightinfluence the process of international trade and strat-egy implication to maintain international trade perfor-mance. Hakim and McAleer (2008) investigate the vola-tility pullovers across financial markets and exchangerates. They suggest that fluctuation in one market in-fluences the other markets in a more integrated inter-national market. This implies that the performance ofexport in one commodity is influenced by that of othercommodities, and that exchange rate remains an impor-tant variable in international trade, especially as morecountries apply floating exchange rates system. Thisis an important issue in mapping the key productswhich are crucial to enhance export performance.

Hakim and Mc.Aleer (2009) provide evidencethat conditional correlation across those markets aretime varying, which implies that hedging is one of im-portant strategies in international trade. As the facthas said, the financial crisis in Asia in year 1997-1998was partly caused by the lack of hedging in interna-tional trade toward the fluctuation of exchange rates.With the collapse of US financial market and the emer-gence of the new common currency in Europe (Euro),one needs to consider a new venue of internationaltrade along with the currency which is more stable inorder to minimize the risk from exchange rate fluctua-tion.

This paper uses Cointegration and Vector ErrorCorrection Model (VECM) of Johansen (1991) toanalyse the dynamic behaviour of Indonesia’s trade tothe rest of ASEAN-5. Cointegration can be used todetect the presence of long-run equilibrium across de-pendent and independent variables appear in themodel. VECM can help finding the causality relation-ship across dependent and independent variables inthe model.

Generally, economic theories explain long-runphenomena. In the long-run there is equilibrium acrossvariables, such as Indonesia’s export and import toand from other countries, respectively. However, theremight be disequilibrium in the short-run, which causesa shock. The presence of equilibrium in the long-runcan be to test using cointegration approach. To detectthe presence of shock and its impact on the dynamic ofthose variables, which may suggest the presence of

causality relationship across variables, VECM can beused.

The co-integration-vector error correctionmodel approach, does not only encompass both in leveland in difference of variables in the model which cap-ture the short and long run properties of the model, butalso provides an attractive statistical framework andrepresents the concept of long run relationship be-tween variables. With respect to the theory of co-inte-gration, we need to analyze the time series propertiesof economic variables. It means that we have to satisfyourselves weather the underlying data processes arestationary or not. In the case that the variables in ques-tion are not stationary and co-integrated series, theregression equations related to time series data arespurious. It means that testing for unit root and co-integration can be considered as a pre-test before mak-ing a valid regression.

Testing for co-integration and causality betweenthe two or more variables need two steps of analysis.The first step is to verify the unit root condition or thetest for order of integration of the variables since thecausality test are valid if the variables have the sameorder of integration. Macroeconomic time series gen-erally contain unit roots and are dominated by sto-chastic trends. Unit root tests detect non-stationarythat would invalidate standard empirical analysis. Stan-dard test for the presence of unit root among variablesbased on the work of Dicky and Fuller (1981) is to in-vestigate the degree of integration of the variables usedin this empirical analysis. The Akaike information crite-rion (AIC) determines the optimal backward lag speci-fication. Let, for example, variable of export (X

t) repre-

sents the export series for ASEAN-5 countries; the nullhypothesis of unit root is tested using the DF t-test.The test statistic, t

s, is the usual t-statistic for testing

H0 : s

1 = 0 in the following equation:

t

k

ititt eXBXBX i

110 logloglog

(1)

Where, refers to first difference, B is backward lagoperator, and k indicates optimal backward lag based

on AIC. The distribution of

t

does not follow a stu-

dent-t distribution, but its empirical distribution is tabu-

Page 45: JAM Vol 23 No 2 Agustus 2012

122

JAM, Vol. 23, No. 2, Agustus 2012: 119-127

lated by McKinnon (1991). A rejection of the null hy-pothesis implies that the log export-import data is inte-grated of order 0, and is therefore stationary.

To allow for the possible presence of determin-istic time trend, equation (1) is augmented with timetrend component in order test the presence of unit root.So, the equation will be:

t

k

ititt eXBXBTX i

1210 logloglog

(2)

The augmented Dicky-Fuller (ADF) t statisticfor testing the hypothesis of unit root, H

0 : s

2= 0, is also

based on the work of McKinnon (1991). If the nullhypothesis of unit root in equation (2) is not rejected,the order of integration of log X

t could be one or higher.

Therefore, we must proceed to test the presence ofunit root for log X

t in the first difference form. The test

statistic, ts,

is the usual t-statistic for testing H0 : s

1 = 0

in the following equation:

t

k

ititt eXBXBX i

1

210

2 logloglog

(3)

A rejection of the null hypothesis implies that the logseries is in the degree of integration 1. Furthermore, wecan continue with testing co-integration among vari-ables. Given the presence of unit root, the questionbecomes weather there is some long run equilibriumco-integrating relationship between variables.

The second step is to test the existence of co-integration between variables; meanwhile testing forcausality will be used vector error correction model(VECM). According to Engle and Granger (1987), if twovariables are integrated of degree I (1) and are co-inte-grated then either uni-directional or bi-directionalGranger causality must exist in at least the I(0) vari-ables. This temporal causality can be captured throughthe vector error correction model (VECM) derived fromthe long run co-integrating vectors (Granger, 1988). Inthis analysis we use the Johansen multivariate proce-dure (Johansen and Juselius, 1990) for testing the co-integration. The Johansen maximum likelihood allowstesting multivariate frameworks and avoids some ofthe drawbacks of Engle-Granger (1987) co-integration

methodology. Based on the Johansen and Juselius(1990), a VAR model is fitted to the data to find theappropriate lag structure. A VAR model of order p oftime series data can be written as follow:

1

1

p

itt

iit

it eXBXBX (4)

The long run relationship in the data set is cap-tured in the matrixp. The rank of the coefficient matrix pgives the number of co-integrating vectors. This esti-mation is based on the estimating the p matrix in anunrestricted form, and then test if the restrictions im-plied by reduced rank of p can be rejected. The rank ofp is r, equals the number of co-integrating vectors, whichis tested by the maximum eigenvalues (l

max) and trace

statistics. Testing of the null hypothesis of at least rco-integrating vectors against the alternative hypoth-esis of full rank, based on the likelihood ratio trace testgiven by (5) and eigenvalue max by (6):

3

1

)1log(ri

ir NQ (5)

)1log(max iN (6)

Where r = 0, 2, 3 and li is the i-th largest eigenvalue. The

critical values of these statistics are obtained fromOsterwald-Lenun (1992). The AIC is also used to de-termine the optimum lag (p) of equation (4). If the rankof p equals to zero or p (r = 0 or r = p), co-integrationdoes not exist. So, co-integration only occurs in thecondition of 0 < r < p.

This analysis involves utilization of the VECMmodelling and testing for causality relationship be-tween export and import for ASEAN-5. Engle andGranger (1987) exhibit that in the presence of the co-integration, there always exists a corresponding errorcorrection representation which implies that the changein dependent variable are a function of the level ofdisequilibria in the co-integrating relationship, capturedby error correction term (ECT), as well as changes inexplanatory variables. Thus, through ECT and VECMmodelling establishes an additional way to examine thecausality. In the same way, we will develop the model,which has an explanatory variable and error correction

Page 46: JAM Vol 23 No 2 Agustus 2012

123

STRATEGY TO ENHANCE INDONESIAN TRADE............................ (Jaka Sriyana dan Abdul Hakim )

term (ECT) obtained from co-integration equation. Theuse of VECM is not only to get a valid regression, butalso to explain the effect of government expenditureon output in short run phenomena for each country.After that, we also use impulse response analysis tocapture dynamic interactions and speed of adjustments.In a simple model, the steps of causality analysis be-tween export (EX) and import (IM) using VECM dy-namic regression are developed as follow.

(7)

(8)RESULTS AND DISCUSSION

This section applies the aforementioned methods onASEAN-5 countries, namely Indonesia, Malaysia, Phil-ippines, Thailand and Singapore, to explore the natureof trade among them. The analysis is conducted usingcointegration and vector-error correction model(VECM). The paper uses export-import monthly datafor the period of 2007-2009 measured in USD. The dataare obtained from various series of annual report ofInternational Financial Statistics. All the data are trans-formed to logarithm. The movement of the datathroughout the year are then depicted in Figures 1 and2.

Figure 1Indonesia’s export to Selected Asian Countries

(USD)

Figure 2Indonesian Import from Selected Asian Countries

(USD)

The results of unit root tests of the data serieswith and without time trend are presented in Table 1.The null hypothesis of unit root on the level cannot berejected for all data series even at 10% level of signifi-cance. In contrast, the null hypothesis of unit root onthe first difference can be rejected for all data series atleast at 10% level of significance. It indicates that theseseries are all stationary and hence I (1).

Due to the Engle-Granger representation theo-rem (1987), cointegration test will be valid if a set ofseries data is stationary and has the same degree ofintegration. The cointegration test, therefore appliedon these series and the results are reported in table 10.With Johansen procedure and optimum lag based onAkaike’s criterion, the paper found 1 cointegrating vec-tor for the variable export from Indonesia to Thailand,Singapore, Malaysia and Philippines. A cointegratingvector for the variable of Indonesia’s Import from Thai-land, Singapore, Malaysia and Philippines is also evi-denced (Table 2).

From the empirical cointegration analysis, theresult shows a long run relationship between exportvariables and import in these five countries. It alsoindicates that export will be effective in supportingimport growth. These findings imply that vector errorcorrection should be applied for Granger causality analy-sis. Granger (1988) points out that if a set of data seriesis cointegrated; it implies statistical causality in at leastone direction. Furthermore, we need to analyze causal-ity relationship using vector error correction approach.

Page 47: JAM Vol 23 No 2 Agustus 2012

124

JAM, Vol. 23, No. 2, Agustus 2012: 119-127

Table 1ADF Unit Root Test

Level First DifferenceAsean-4 IndonesiaCountries to/from ADF ADF

Singapore Export -1.247 (1) -3.409 (2) ***Import -1.276 (1) -3.362 (2) ***

Malaysia Export -1.821 (1) -3.983 (1) ***Import -0.951 (1) -3.8449 (1) ***

Thailand Export -2.147 (1) -3.594 (1) ***Import -2.129 (1) -3.611 (1) ***

Philippines Export -1.482 (1) -3.788 (2) **Import -1.667 (1) -3.867 (1) **

Note:1) *, **, *** indicate 1, 5 and 10 percent level of significances, respectively.2) Entries in parentheses indicate optimum lag based on AIC.

Table 2Cointegration Test of Export-Import

Indonesia-Malaysia (VAR lag = 3)Null Hypotheses λ - max λ - max (5%) Trace Trace (5%)Ho : r = 0 19.713* 17.89 32.216* 24.31Ho : r 1 8.512 11.44 10.523 12.53Indonesia-Thailand (VAR lag = 2)Null Hypotheses λ - max λ - max (5%) Trace Trace (5%)Ho : r = 0 6.523 17.89 34.523* 24.31Ho : r 1 17.231 11.44 10.112 12.53Indonesia-Philippines (VAR lag = 3)Null Hypotheses λ - max λ - max (5%) Trace Trace (5%)Ho : r = 0 18.776* 17.89 30.986* 24.31Ho : r 1 9.552 11.44 11.443 12.53Indonesia-Singapore (VAR lag = 3)Null Hypotheses λ - max λ - max (5%) Trace Trace (5%)Ho : r = 0 21.233* 17.89 30.886* 24.31Ho : r 1 11.412 11.44 11.523 12.53

Note: * indicates 5 percent level of significance.

Page 48: JAM Vol 23 No 2 Agustus 2012

125

STRATEGY TO ENHANCE INDONESIAN TRADE............................ (Jaka Sriyana dan Abdul Hakim )

The result of empirical causality test is reportedin Table 3. The result shows that the coefficients ofECT in the model of Indonesia’s export to the othercountries in the model are statistically significant, ex-cept the coefficient of ECT to Thailand. The signifi-cance of those coefficients suggests the presence ofdisequilibrium in the short-run of the export from Indo-nesia to Malaysia, Philippines, and Singapore, whichmay also, suggests the tendency of the presence ofshock in the short-run.

The coefficient of ECT in the model ofIndonesia’s import from the other countries in the modelis not statistically significant, except the coefficient ofECT from Philippines. This suggests the absence ofshock in the short-run (month-to-month adjustment)of the Indonesia’s import from from Malaysia, Thai-land, and Singapore. Indonesia’s import from Philip-pines exhibits high level of dynamics, which needsmonth-to-month adjustment.

To summarize, there is disequilibrium ofIndonesia’s export to the rest of ASEAN-5 countries,signalled by the monthly adjustment. In addition, thereis a tendency of the increase in Indonesia’s import fromthe rest of ASEAN-5, while Indonesia’s export experi-enced shocks, along with the decrease in its magni-tude from year 2007 to 2009. It might be inferred thatthere is deterioration in Indonesia’s export performancecompares to the rest of ASEAN-5.

Table 4Summary of Empirical Vector Error Correction

Model Causality Test

Null Hypotheses Results

Indonesia and Malaysia:Export does not Cause Import Rejected *Import does not Cause Export AcceptedIndonesia and Thailand:Export does not Cause Import Rejected *Import does not Cause Export AcceptedIndonesia and Philippines:Export does not Cause Import AcceptedImport does not Cause Export AcceptedIndonesia and Singapore:Export does not Cause Import Rejected *Import does not Cause Export Accepted

Notes:1) DLX is difference level of X2) * indicates 5% level of significances of F statistic

Table 4 summarizes the empirical results of cau-sality test based on vector error correction (VECM)approach. The analysis of Indonesia trade with therest of ASEAN-5 countries shows unidirectional cau-sality, that is, export causes import while there is noreversal causal relationship.

Table 3VECM Causality Test of Export-Import Indonesia to/from ASEAN-4

Indonesia Dependent F Statistic of Restriction Testto/from Variable Intercept ΔΔΔΔΔ Export ΔΔΔΔΔ Import ECT Coefficient

Malaysia Δ Export 234.514(1.414) - 0.024(3.344) 0.128(3.547) *

Δ Import 453.810(0.233) 1.217(1.036) - 0.056(1.427)Thailand Δ Export 134.614(1.284) - 0.234(3.334) * 0.068(1.147)

Δ Import 123.670(0.329) 1.217(1.016) - 0.056(1.927)Philippines Δ Export 786.514(1.214) - 0.024(3.344) * 0.268(3.147) *

Δ Import 435.810(0.323) 1.417(1.216) - 0.356(2.927) *

Singapore Δ Export 532.534(1.234) - 0.214(0.222) 0.348(3.147) *

Δ Import 224.210(0.327) 0.432(0.234) - 0.356(1.327)

Notes:1) Δ X = (X

t) - (X

t-1)

2) Entries in parenthesis are the t statistics3) * indicates 5 percent level of significance

Page 49: JAM Vol 23 No 2 Agustus 2012

126

JAM, Vol. 23, No. 2, Agustus 2012: 119-127

From the data presented above, one can ob-serve that an increase in export will eventually attractimport from the same country with a higher amount.The results also show that Indonesia experienced thelost of competitiveness in the world market againstthose countries. This gives a picture of future positionof Indonesia trade balance against those countries.This phenomenon suggests that prudential trade policyshould be preferable.

As predicted, trade will flow from countries withhigher efficiency to those with lower efficiency. Fromthe empirical ground we need to see whether Indone-sia has lower efficiency that it loss its competitivenessrelative to the other countries. To see this, this paperuses business efficiency index as the proxy to effi-ciency. This proxy provides an early indicator of theproduction efficiency. To see the production efficiencyone need to make a special research on it.

Looking at the index one might find that Indo-nesia is among the low rank in Asian selected coun-tries. We may say that the trade is flowing from coun-try with higher efficiency to the lower one, which sup-ports the aforementioned model. Moreover, there is aneed to compare the aforementioned model and thegravity model since their prediction is somewhat dif-ferent. According to gravity model, the trade flow willbe determined by the distance of both economies. Thefarther the position of two economies is the weaker thetrade “gravity” between them which, accordingly,causes a lower magnitude of trade between them. Thismodel poses a hidden assumption that the transporta-tion cost matters. The real situation may depart fromthis prediction due to the high magnitude of efficiency.

CONCLUSION

International trade has played an important role in grossdomestic product construction, and showed a posi-tive trend in some ASEAN countries in the last fiveyears such as in Singapore and Thailand. However, acountry such as Indonesia did not enjoy such situa-tion. This paper constructs a model of Indonesian tradepolicy strategy to increase export through the dynamicchange in export market share in ASEAN countries,and through speed adjustment in export commodities.Based on vector error correction (VECM) approach, itcan be inferred that Indonesian trade with these four

countries showed unidirectional causality, hence ex-port caused import while there was no reversal causalrelationship. The results also suggest that Indonesiawas experiencing the lost of competitiveness in theworld market against those countries. This phenom-enon suggests that prudential trade policy should bepreferable. It can be concluded that Indonesia was thecountries which has low performance in terms of inter-national trade. It was therefore crucial to construct apolicy strategy to increase export through the dynamicchange in export market share, and to improve the com-modity competitiveness in ASEAN countries.

ACKNOWLEDGEMENT

The authors acknowledge the funds from DirectorateGeneral of Higher Education, Department of Educa-tion, Republic of Indonesia, based on the Act 672/SP2H/DP2M/V/2009, for International Publication ResearchGrand, 30 July 2009

REFERENCES

Dicky, D.A, and W.A. Fuller. 1981. “The Likelihood RatioStatistics for Autoregressive Time Series with aUnit Root”. Econometrica. pp. 1057-1072.

Engle, R.F. and C.W.J. Granger. 1987. “Cointegrationand Error Correction Representation, Estimationand Testing”. Econometrica. pp. 251-276.

Granger, C.W.J. 1988. “Developments in Concept ofCausality”. Journal of Econometrics. pp.199-211.

Hakim, A. and M. McAleer. 2008. Modelling the Inter-actions Across International Stock, Bond andForeign Exchange Markets to appear in AppliedEconomics.

Hakim, A. and M. McAleer. 2009. “Forecasting Condi-tional Correlations in Stock, Bond and ForeignExchange Markets”. Mathematics and Comput-ers in Simulations. pp. 2830-2846.

Page 50: JAM Vol 23 No 2 Agustus 2012

127

STRATEGY TO ENHANCE INDONESIAN TRADE............................ (Jaka Sriyana dan Abdul Hakim )

Johansen, S. 1991. “Estimation and Hypothesis Test-ing of Cointegration Vectors in Gaussian Vec-tor Autoregressive Models”. Econometrica. pp.424-438.

Johansen, S. and K. Juselius. 1990. “MaximumLikelhood Estiamtion and Inference onCointegration with Application to the Demandfor Money”. Oxford Bulletin of Economics andStatistics. pp. 169-220.

Juswanto, W. and P. Mulyati. 2006. “Indonesia’s Manu-factured Exports: A Constant Market sharesAnalysis”. Journal of Monetary and Finance.(2): pp. 97-106.

McKinnon, J. 1991. Critical Values for CointegrationTests in Long Run Economic Relationships. InReading in Cointegration (eds Engle R. andGranger, C.W.J.) Oxford University Press.

Misanam, M., J. Sriyana, and R.P. Santoso. 2009. TheUmmah Factor, Financial Crisis and OIC Eco-nomic Cooperation, International EconomicRoundtable Discourse, Faculty of Economicsand Business, University Kebangsaan Malay-sia.

Osterwald-Lenum, M. 1992. “A note with Quartiles ofthe Asymptotic Distribution of The MaximumLikelhood of Cointegration Rank Statistic”.Oxford Bulletin of Economics and Statistics.pp. 461-471.

Ricardo, D. 1817. On the Principle of Political Economyand Taxation, London

Smith, A. 1776. An Inquiry into the Nature and Causesof the Wealth of Nation, London

Vernon, R. 1966. “International Investiment and Inter-national Trade in the Product Cycle”. QuarterlyJournal of Economics, 197-207.

Page 51: JAM Vol 23 No 2 Agustus 2012

129

ESTIMASI HARGA PREMI................................... (Firman Pribadi, Suad Husnan, Mamduh M.Hanafi dan Eduardus Tandelilin)

Vol. 23, No. 2, Agustus 2012Hal. 129-137

ABSTRACT

Indonesia Deposit Insurance Corporation (IDIC) wasintroduced in 2005 to replace implicit or blankeet guar-antee system. Currently IDIC uses flat rate insurancepremium. Theoretically, the use of flat rate system mayinduce moral hazard behavior among Indonesian banks,subsidy from low risk banks to high risk banks, andincrease insolvency risk for IDIC if bank rush occurs.This paper attempts to calculate fair insurance premiumrate (floating rate) as an alternative to flat rate insur-ance premium. The floating rate can be expected toreduce moral hazard potential and to reflect more real-istic economic condition faced by IDIC. We use CreditRisk Value at Risk model with Monte-Carlo simulationto calculate the fair insurance premium. Using 23 pub-lic banks in Indonesia, we find several empirical find-ings. First, default density function is skewed to theright, suggesting high systematic risk in Indonesia.Second, IDIC economic capital seems to be lower than‘theoretical’ capital calculated using folating rate in-

ESTIMASI HARGA PREMI PENJAMINAN SIMPANAN WAJARBAGI IDIC DENGAN MODEL RISIKO KREDIT 1

Firman PribadiFakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Jalan Lingkar Selatan Tamantirto, Bantul 55183Telepon +62 274 387656, Fax. +62 274 387646

Suad Husnan

Mamduh M.Hanafi

Eduardus TandelilinFakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada

Jalan Humaniora Nomor 1, Bulaksumur, Yogyakarta 55281Telepon +62 274 548510 – 548515, Fax. +62 274 563212

E-mail: [email protected]

Tahun 1990

ISSN: 0853-1259

J U R N A LAKUNTANSI & MANAJEMEN

surance premium. Third, in line with second finding,the amount of current insurance premium collected byIDIC seems to be lower than the ‘theoretical’ amountcalculated using floating rate premium. Our model pro-duces different insurance premium for banks, depend-ing on banks’ risks. Our model also takes accountlarger exposure to IDIC from larger banks.

Keywords: deposit insurance corporation, flat rate in-surance premium, fair rate insurance premium, moralhazard, credit risk

JEL Classification: G21

PENDAHULUAN

Indonesia Deposit Insurance Corporation (IDIC)didirkan pada tanggal 25 April 2005 untuk menggantikebijakan blanket guanrentee (Penjaminan Simpanan

1 Terima kasih kepada Prof. Andrea Sironi atas bantuannya baik teori maupun teknis.

Page 52: JAM Vol 23 No 2 Agustus 2012

130

JAM, Vol. 23, No. 2, Agustus 2012: 129-137

implisit) sebelumnya. Saat ini, IDIC menetapkan premisebesar 0,1% dari dana pihak ke tiga yang dibayarkansetiap semester (2 kali dalam setahun). Penerapansistem premi tarip tetap oleh IDIC berpotensi memicumoral hazard, subsidi dari bank yang mempunyai risikorendah kepada bank yang mempunyai risiko tinggi daninsolvensi lembaga ini jika terjadi tekanan penarikandana secara masif atau bank rush oleh deposan padabank yang tidak sehat.

Pembentukan Lembaga Penjamin Simpananmemunculkan kontroversi, yaitu stability argument(Swidler dan Wilcox, 2002) di satu sisi, dan risk takingargument di sisi lainnya. Sejarah sepertinyamenunjukkan bahwa penjaminan simpanan secaraefektif dapat mencegah timbulnya bank rush dan panikyang membuat stabilitas sistem moneter dan kreditterjaga. Namun potensi moral hazard dari penjaminantersebut perlu diminimalkan. Salah satu mekanismeyang bisa digunakan adalah premi yang bersifat variabeltergantung dari profil risiko bank.

Penelitian ini bertujuan menghitung premiberbasis risiko dengan menggunakan model risikokredit. Berdasarkan premi yang wajar tersebut, denganmenggunakan kerangka Value at Risk (VAR), penelitianini juga akan menghitung modal minimal yangdibutuhkan oleh Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS),jika terjadi bank rush di Indonesia. Premi asuransideposito berbasis risiko merupakan premi yang wajaryang diharapkan dapat mencegah moral hazardperbankan karena munculnya asuransi deposito.

MATERI DAN METODE PENELITIAN

Untuk menghitung kapital ekonomik dan premi wajarasuransi deposito, penelitian ini melakukan beberapatahapan. Pertama, penelitian mengaplikasikan modelrisiko kredit2 yang kemudian dijadikan dasar untukpemodelan distribusi rugi Expected Default Frequency(EDF). Setelah EDF dirumuskan, penelitian iniselanjutnya menghitung rugi harapan dan rugi kejutan.Untuk menghitung kapital ekonomik LPS, diperlukan

perhitungan EDF dalam konteks portofolio. Dalamkonteks portofolio, disamping risiko gagal individual,korelasi gagal antar bank penting diperhatikan. SetelahEDF untuk portofolio dapat dirumuskan, kapitalekonomik dapat dihitung dengan memasukkaneksposur setiap bank dan loss given default.Perhitungan kapital ekonomi dilakukan menggunakansimulasi Monte-Carlo sebanyak 50.000 kali. Bagianberikut ini mereview secara singkat beberapa tehnikdan literatur yang digunakan dalam penelitian ini.

Distribusi rugi dapat digunakan untukmembentuk interval kerugian dalam kerangka VaR dariIDIC. Guna distribusi rugi adalah untuk menentukankapital ekonomik yang tepat. Secara konsep kapitalekonomik adalah cadangan ekuiti atau modal yangditujukan untuk melindungi IDIC terhadap rugi kejutanyang tidak diharapkan yang akan terjadi di masa yangakan datang pada tingkat keyakinan yang telah dipilih.Secara khusus kapital ekonomik dapat didefinisikansebagai rugi maksimal dikurangi rugi harapan. Rugimaksimal adalah hasil dari rugi kejutan dikali pengalimodal, sehingga kapital ekonomik terkadang diacu pulasebagai bentuk dari hasil perkalian ini. Pengali modalmerupakan jarak antara expected outcome dan intervalkeyakinan yang dipilih. Di sisi lain Kuritzkes et al.(2002) menyatakan bahwa kapital ekonomikmenunjukkan jarak antara rugi harapan dan titik kritis.Jarak antara rugi harapan dan titik kritis ini menunjukkanberapa cadangan dana atau modal atau kapitalekonomik yang harus dimiliki untuk menjaga tingkatsolvensi yang diinginkan yang biasanya dinyatakandalam interval keyakinan atau probabilitas ekor.

Berdasarkan distribusi rugi, kita bisamenghitung rugi harapan (EL) dan rugi kejutan (UL).3

Rugi harapan portofolio (ELp) dan rugi kejutan

portofolio (ULp) ini selanjutnya digunakan untuk

menghitung level kapital ekonomik yang tepat dan dasaruntuk menentukan harga premi Penjaminan Simpananwajar. Penentuan kapital ekonomik dilakukan denganmengali rugi kejutan portofolio dengan pengali modal(CM) dikurangi rugi harapan portofolio (EL

p). Oleh

2 Model risiko kredit merupakan alternatif untuk menghitung premi berbasiskan risiko bank.3 Rugi harapan (EL) sama dengan mean dari distribusi rugi, yaitu jumlah kerugian yang diharapkan akan dialami dalam

portofolio IDIC dalam horison waktu yang telah ditetapkan. Rugi kejutan (UL) merupakan deviasi standar dari distribusirugi.

Page 53: JAM Vol 23 No 2 Agustus 2012

131

ESTIMASI HARGA PREMI................................... (Firman Pribadi, Suad Husnan, Mamduh M.Hanafi dan Eduardus Tandelilin)

karena jumlah kontribusi rugi kejutan individual (ULCi)

sama dengan rugi kejutan portofolio (ULp) maka kapital

ekonomik yang dibutuhkan dapat pula dikaitkan padalevel transaksi individual. Kapital ekonomik portofolio= UL

p . CM – EL

p dan pada level individual kapital

ekonomik individual = ULCi . CM – EL

i

Probabilitas gagal riil atau EDF riil tidak dapatdiobservasi secara langsung, maka untuk mendapatkanEDF riil ini dilakukan dengan mengobservasiprobabilitas gagal risk neutral terlebih dahulu denganformula sebagai berikut:

T

TDV

NdNV

Vv

2

ln

)(

2

2(1)

Untuk menghitung EDF riil perlu ditentukanvariabel-variabel berikut terlebih dahulu 1) nilai aset(V); 2) volatilitas nilai aset (ó

V); dan 3) drift nilai aset

(ìV). Volatilitas ekuiti dapat diestimasi melalui Ito’s

Lemma berikut:

00 VV

EE VE

(2)

010 )( VdNE VE (3)

Nilai E0 dapat diamati jika bank

mempedagangkan sahamnya kepada publik. Untukmemecahkan sistem dua persamaan non linear daripersamaan (2) dan (3) digunakan algoritma NewtonRhapson dengan bentuk f(x,y) = 0 dan G(x,y) = 0guna mendapatkan nilai dua variabel yang tidakdiketahui yaitu nilai pasar aset (V) dan volatilitas aset(ó

V).

Selanjutnya, dalam penelitian ini periodamaturitas (T) diasumsikan sama dengan 1 tahun dengantujuan agar EDF dapat diestimasi dalam bentuk tahunandan notasi D menunjukkan titik gagal. Titik gagal dalampenelitian ini didefinisikan sebagai jumlah utang jangkapendek dan separuh utang jangka panjang. Utang

jangka pendek adalah utang yang jatuh tempo atauakan dibayarkan kembali dalam waktu satu tahun danutang jangka panjang yang jatuh tempo dalam tahundilakukannya penelitian. Utang jangka panjang adalahperbedaan antara total utang jangka panjang dan utangjangka pendek. Untuk tingkat bebas risiko (r) akandigunakan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) 30 hari. Driftnilai aset diestimasi dengan menggunakan modelCAPM.

Eksposur dalam penelitian ini adalah total danapihak ketiga bank yang dijamin oleh PenjaminanSimpanan. Rugi Berian Gagal LGD) diasumsikan 30%.4

Perbedaan penelitian ini dengan sebelumnya initerletak pada model probabilitas gagal. Penelitian inimenggunakan model probabilitas gagal Farmen et al.(2004) dan KMV yang dapat dilihat Crosby (2003) danArora et al. (2005) yang mendasarkan modelnya padamodel matriks korelasi aset yang mirip dengan modelcredit metriksTM . Dalam pengembangan model empirisini akan dilakukan dua tahap analisis. Tahap pertamaadalah pengestimasian probabilitas gagal individualbank dan pengestimasian distribusi probabilitas rugiportofolio.

Untuk portofolio, penelitian ini memodelkanketergantungan dan interaksi dari individual-individualmitra pada level portofolio dengan simulasi MonteCarlo untuk menghasilkan distribusi rugi danmendapatkan skenario rugi yang berbeda dan levelpersentil yang diinginkan. Tahapan simulai MonteCarlo ini adalah 1) mencari matriks korelasi aset; 2)meng-generate angka random korelasi denganmemfaktorisasi matrik korelasi return aset denganCholesky Decomposition; 3) menentukan ambangbatas gagal untuk setiap bank; 4) memberikan nilai 0atau 1 dari variabel random Bernaulli (D

i) dengan kriteria:

angka random korelasi > dari ambang batas gagal = 0(bank tidak masuk kriteria gagal); angka random korelasi< ambang batas gagal = 1 (bank masuk kriteria gagal);5) mengestimasi jumlah total rugi yang terjadi dalamsiklus; dan 6) membuat histogram frekuensi denganmenjumlah keluaran simulasi. Penentuan premiPenjaminan Simpanan wajar dalam penelitian ini akanditentukan berdasarkan pada bentuk persamaan berikut:

4 Nilai 30% ini berdasarkan pengalaman historis BPPN dan nilai ini juga digunakan oleh IDIC untuk menentukan tingkatpemulihan jika terjadi bank gagal.

Page 54: JAM Vol 23 No 2 Agustus 2012

132

JAM, Vol. 23, No. 2, Agustus 2012: 129-137

VaRRELFP premiumii (4)

HASIL PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan sampel 23 bank yangterdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) untuk tahun2005.5 Nilai aset sampel mencakup 70% lebih dari totalaset yang ada dalam sistem perbankan di Indonesiauntuk tahun 2005 ini. Data perbankan tahun 2005menunjukan bahwa di Indonesia, total aset seluruhbank berjumlah Rp1.469,8 triliun, total dana pihak ketiga(DPK) sebesar Rp1.133,6 triliun, total rekeningperbankan berjumlah 84.759.840 rekening. Berdasarkandata tersebut total nilai aset untuk sampel 23 banksebesar Rp1.046,2 triliun akan mewakili 71,2% dariseluruh aset perbankan. Total dana pihak ketigasebesar Rp828,1 triliun akan mewakili 73,1% dari seluruhdana pihak ketiga. Jumlah eksposur sebesar Rp214,8

triliun untuk nilai penjaminan maksimal Rp100 juta akanmewakili 19% dari seluruh dana pihak ketiga, dan akanmewakili 82% rekening dari seluruh rekening dana pihakketiga.

Untuk perhitungan premi penjaminan simpananwajar dalam penelitian ini akan digunakan eksposursebesar Rp100 juta6. Tingkat pemulihan yangdigunakan dalam penelitian ini adalah 30% sebagaitingkat pemulihan yang digunakan oleh IDIC7. Tabel 1kolom 2 dan 3 berikut melaporkan statistik deskriptifdari return dan volatiliti ekuiti bulanan dari bank-banksampel untuk periode januari 2000 – desember 2005.Seluruh data diestimasi dengan basis bulanan yangdijadikan tahunan dengan mengalikan mean dengan

12 dan standar deviasi dengan 12 . Standar deviasi

ini akan menjadi input penting bagi model probabilitasdefault sebagai input bagi penentuaan volatilitas aset(ó

V).

5 Data masih memasukan beberapa bank yang saat ini mungkin sudah tidak ada yang disebabkan oleh beberapa hal sepertimerger.

6 Per tanggal 13 Oktober 2008 dana pihak ketiga yang dijamin IDIC dinaikan menjadi sebesar maksimal Rp2 milyar rupiah perrekening.

7 Hasil wawancara dengan ketua eksekutif IDIC untuk recovery rate ini IDIC mengacu pada recovery rate BPPN. IndonesianBank Restructuring Agency (IBRA) atau BPPN mengharapkan recovery rate atas aset bermasalah sebesar 38%, namun yangberhasil masuk kurang dari yang ditargetkan.

Tabel 1Statistik Deskriptif Variabel Penelitian, Tahun 2005

Bank Return Standar Deviasi Return

Nilai Pasar

Ekuitas

Volatilitas Ekuitas

(σE)

Liabilitas Bank

(Nilai total Kewajiban

Bank)

Titik Gagal

1 2 3 4 5 6 7 Rata-rata -0.0007 0.4582 8.4697 0.4764 41.1437 38.8132 Median -0.0080 0.4530 3.1610 0.4530 17.9910 17.1350 Standar Deviasi 0.2365 0.2481 12.5840 0.1108 59.6305 56.2777 Minimum -0.4370 -0.3570 0.0600 0.3250 0.8140 0.8090 Maksimum 0.5080 1.0440 41.4730 0.7770 240.1640 229.8640

Page 55: JAM Vol 23 No 2 Agustus 2012

133

ESTIMASI HARGA PREMI................................... (Firman Pribadi, Suad Husnan, Mamduh M.Hanafi dan Eduardus Tandelilin)

Tabel 1 kolom 4 hingga 7 menunjukan input-input bagiperhitungan EDF risk neutral. Tabel 2 kolom 2 hingga6 menyajikan Nilai pasar aset (V

0) dan Nilai risiko aset

(óV) yang diestimasi dengan model Merton, nilai EDF

risk neutral (EDF RN) mengacu persamaan (1). Driftequity yang dihitung berdasarkan model CAPM

(

FMF RR (

). Proksi nilai risk free yang

digunakan adalah nilai rata-rata SBI 30 hari, dengannilai rata-rata 0,115 untuk tahun 2005. Untuk nilai re-turn pasar digunakan nilai return IHSG bulanan dengannilai 0,12 untuk tahun 2005.

Setelah evaluasi variabel-variabel risiko padabasis individual telah selesai maka risiko portofolio danpenentuan harga premi depsosito asuransi yang wajardapat diestimasi. Pada level portofolio, dependensi(korelasi) antara individual bank menjadi hal penting.Oleh karena itu, korelasi gagal menjadi penting untukmengestimasi kemungkinan terjadinya gagal gabungandari bank yang menjadi mitra IDIC. Penelitian inimenggunakan koefisien korelasi aset dan gagal untukmengestimasi rugi kejutan portofolio dana asuransi.Koefisien korelasi aset selanjutnya akan digunakanuntuk meng-generate distribusi empirik rugi portofolio

Tabel 2Nilai Pasar Aset (V

0), Nilai Risiko Aset (Ó

v), Nilai EDF Risk Neutral

(EDF RN), Beta, Drift Equity, Delta, Gamma, Teta, Drift Asset, dan EFF Riil

Bank V0

óV

EDFRN Beta driftequity Delta Gamma Teta drift asset EDF Riil1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

ANKB 1,11 0,07 0,01% 0,164 0,116 0,9999 0,004 -0,098 0,105 0,02%BABP 3,90 0,02 0,05% 0,367 0,117 0,9995 0,021 -0,420 0,115 0,05%BBCA 161,21 0,10 0,14% 0,675 0,118 0,9990 0,000 -13,693 0,115 0,14%BBIA 17,75 0,11 0,03% 0,093 0,115 0,9998 0,000 -1,389 0,113 0,03%BBNI 137,84 0,07 0,0002% 1,236 0,121 1,0000 0,000 -11,433 0,098 0,001%BBNP 2,50 0,02 0,63% 0,171 0,116 0,9989 0,363 -0,272 0,115 0,64%BBRI 133,57 0,11 0,13% 1,488 0,122 0,9991 0,000 -10,959 0,115 0,13%BCIC 12,90 0,05 1,16% 0,496 0,117 0,9898 0,042 -1,316 0,115 1,15%

BDMN 75,66 0,16 0,35% 1,088 0,120 0,9979 0,001 -5,600 0,110 0,38%BEKS 1,27 0,02 0,50% 1,016 0,120 0,9953 0,542 -0,138 0,115 0,51%BKSW 1,46 0,07 2,14% 0,215 0,116 0,9819 0,435 -0,145 0,115 2,12%BMRI 246,77 0,05 0,01% 1,319 0,122 0,9999 0,000 -23,562 0,112 0,01%BNGA 36,67 0,05 0,001% 0,628 0,118 1,0000 0,000 -3,379 0,102 0,002%BNII 46,48 0,10 2,12% 0,837 0,119 0,9832 0,009 -4,375 0,113 2,23%BNLI 33,70 0,11 4,25% 0,926 0,120 0,9662 0,021 -3,213 0,115 4,24%

BSWD 0,85 0,05 0,05% 0,208 0,116 0,9995 0,039 -0,083 0,115 0,05%BVIC 1,84 0,03 2,87% 0,626 0,118 0,9732 1,123 -0,196 0,115 2,87%INPC 10,36 0,12 7,90% 0,544 0,118 0,9372 0,099 -0,996 0,113 8,16%LPBN 29,33 0,10 0,54% 0,990 0,120 0,9960 0,004 -2,604 0,112 0,58%

MAYA 2,67 0,03 0,01% 0,131 0,116 0,9999 0,003 -0,274 0,109 0,02%MEGA 24,14 0,04 0,05% 0,284 0,116 0,9996 0,002 -2,430 0,115 0,05%NISP 19,80 0,08 0,07% 0,927 0,120 0,9995 0,001 -1,757 0,112 0,08%PNBN 35,22 0,11 1,81% 1,478 0,122 0,9863 0,009 -3,207 0,114 1,85%

Nilai Rata-rata 2,577 0,253

Sumber: Data IDIC, diolah.

Page 56: JAM Vol 23 No 2 Agustus 2012

134

JAM, Vol. 23, No. 2, Agustus 2012: 129-137

yang dilakukan melalui simulasi Monte Carlo.Berdasarkan model yang mirip CreditMetricsTM makakorelasi aset dapat diestimasi. Hasil estimasi korelasiaset untuk tahun 2005 menunjukan nilai kisar korelasiterendah sebesar 8% dan tertinggi sebesar 82%.

Hasil estimasi korelasi return aset selanjutnyadigunakan untuk mengestimasi korelasi gagal tahun2005. Kisaran nilai koefisien korelasi gagal antara 0%(terendah) sampai dengan 41,4% (tertinggi), denganrata-rata sebesar 5%. Berdasarkan nilai rata-rata korelasiaset dan korelasi gagal ini maka rasio antara rata-ratakoefisien korelasi return aset dan korelasi gagal adalahsebesar 8% untuk tahun 2005.Tabel 3 menunjukan distribusi rugi atau fungsi densitasprobabilitas tahun 2005 yang dihasilkan melaluisimulasi Monte Carlo yang mengikuti prosedur Sironidan Zazzara (2004), dengan simulasi sebanyak limapuluh ribu kali. Sejalan dengan proposal Basel Com-mittee on Banking Supervision for the New CapitalRequirements maka penelitian ini menggunakan levelpersentil 99,90%. Pada level persentil ini rugi maksimaluntuk nilai penjaminan maksimal Rp100 juta per rekeningdari 23 bank untuk tahun 2005 adalah sebesar Rp51,71triliun

Tabel 3Distribusi Rugi (Fungsi Densitas Probabilitas),

Tahun 2005

Histogram, Distribusi RugiRugi Frekuensi Persentil Kumulatif

- 37406 74,81% 74,81% 10,85 12095 24,19% 99,00% 16,55 280 0,56% 99,56% 27,29 93 0,19% 99,75% 38,03 2 0,00% 99,75% 51,71 76, 0,15% 99,90% 57,37 25 0,05% 99,95% 68,11 20 0,04% 99,99% 78,85 1 0,00% 100,00% 123,85 2 0,00% 100,00% 168,85 0 0,00% 100,00% 214,39 0 0,00% 100,00% 50.000 100,00%

Sumber: Data IDIC, diolah.

Gambar 1 menunjukan gambar distribusi rugiatau fungsi densitas probabilitas dari IDIC untuk tahun2005 berbentuk menceng ke kanan, yaitu ke arah rugiyang semakin membesar. Karenanya IDIC akanmenghadapi situasi, dimana pada satu waktu tertentuIDIC akan mempunyai probabilitas yang tinggi untukkerugian yang ditimbulkan dari kegagalan bank-bankkecil. Sebaliknya, mempunyai probabilitas yang rendahuntuk kerugian yang ditimbulkan dari kegagalan bankbesar atau sejumlah kegagalan bank secara bersamaan.Selanjutnya bentuk menceng ke kanan ini jugamenunjukan bahwa jika probabilitas gagal satu bankmeningkat maka kemungkinan bank-bank lain akangagal juga ikut meningkat.

Gambar 1Densitas Probabilitas atau distribusi rugi tahun

2005

Sumber: Data IDIC, diolah.

Tabel 4 menunjukan nilai rugi maksimal dari hasilkeluaran simulasi Monte Carlo dengan level keyakinan99,90%. Tabel 4 menunjukan bahwa pada intervalkeyakinan 99,90%, jumlah rugi maksimal portofoliountuk tahun 2005 sebesar Rp51,71 triliun dikurangidengan rugi harapan portofolio (EL

P) sebesar Rp0,217

akan menghasilkan VaR protofolio sebesar Rp 51,49triliun. Nilai Rp51,49 triliun ini mewakili 24% dari totaleksposur IDIC yang berasal dari 23 bank (Rp214,8triliun). Nilai Rp51,49 triliun merupakan kapitalekonomik atau cadangan dana klaim penjaminan yangseharusnya dimiliki oleh IDIC terkait dengan risiko kreditdari Penjaminan Simpanan IDIC masing-masing untuk

VaR

0

5000

10000

15000

20000

25000

30000

35000

40000

-

10.

85

16.

55

27.

29

38.

03

51.

71

57.

37

68.

11

78.

85

123

.85

168

.85

214

.39

Rugi Dalam Triliun Rupiah

Fre

kuen

si

Page 57: JAM Vol 23 No 2 Agustus 2012

135

ESTIMASI HARGA PREMI................................... (Firman Pribadi, Suad Husnan, Mamduh M.Hanafi dan Eduardus Tandelilin)

tahun 2005. Nilai-nilai cadangan klaim ini jauh lebihtinggi dibandingkan dengan nilai cadangan klaim yangditargetkan oleh IDIC sebesar 0,5% dari total jumlahdana pihak ketiga yang ada di sistem perbankan. Halini mengindikasikan bahwa IDIC secara signifikanmengalami modal kurang terhadap risiko kredit dariportofolio Penjaminan Simpanan IDIC.

Berdasarkan perhitungan risiko pada levelportofolio maka rugi kejutan portofolio (UL

P) dapat

diestimasi dengan persamaan sebagai berikut:

N

t

N

tjijiP ULULUL

1 1. (5)

Hasil estimasi rugi kejutan portofolio (ULp) ini

menunjukan nilai sebesar Rp1,004 triliun untuk tahun2005. Karena rugi portofolio dapat diekspresikansebagai jumlah dari rugi kejutan marjinal (ULC

i) sebagai

eksposur individual dalam portofolio, maka rugi kejutanmarjinal inipun dapat diestimasi seperti yang tampakpada Tabel 5. Tabel tersebut juga menunjukan hasilestimasi harga premi yang wajar tersebut untuk tahun2005.

Berdasarkan Tabel 5 tampak bahwa kapitalpelindung atau cadangan klaim yang ditentukandengan rugi harapan (EL

P) terlalu kecil. Penentuan

cadangan klaim yang ditentukan terhadap rugi kejutan(UL

P) walaupun tampak mempunyai nilai yang lebih

Tabel 4Nilai Rugi Maksimal dan VaR dengan Simulasi Monte Carlo

Tahun Interval Rugi Rugi Rugi VaR Pengalikeyakinan Harapan Kejutan Maksimal Modal

2005 99,90% 0,217 1,004 51,71 51,49 51,53

Sumber: Data IDIC, diolah.

Tabel 5Premi Penjaminan Simpanan wajar untuk tahun 2005 yang dihitung berdasarkan model risiko kredit

penelitian. Harga premi Penjaminan Simpanan wajar ini dihasilkan melalui persamaan,

Rugi Harga Hargamaksimal VaR Premi Premi Premi

Bank Ekposur EDF EL U L ULCi Pricing Pricing (8) = (9) = Resiko (11)= (12)(1) Riil (3) (4) (5) (6) (7)(5* Pengali (8)-(3) (10) (3)+(9* (%)

(2) (3)+(5*10) (%) Modal) 10)

ANKB 0,144 0,02% 0,00001 0,001 0,00001 0,00001 0,01% 0,0003 0,0003 0,002 0,00001 0,01%BABP 0,508 0,05% 0,00008 0,003 0,0005 0,00008 0,02% 0,0260 0,0259 0,002 0,00013 0,03%BBCA 41,093 0,14% 0,01730 0,461 0,2541 0,01811 0,04% 13,0930 13,0758 0,003 0,05930 0,14%BBIA 2,359 0,03% 0,00021 0,012 0,0003 0,00021 0,01% 0,0168 0,0166 0,001 0,00022 0,01%BBNI 30,709 0,001% 0,00005 0,022 0,0008 0,00008 0,0002% 0,0438 0,0437 0,028 0,00126 0,004%BBNP 0,256 0,64% 0,00049 0,006 0,0006 0,00049 0,19% 0,0291 0,0286 0,001 0,00052 0,20%BBRI 46,662 0,13% 0,01770 0,497 0,2841 0,01985 0,04% 14,6405 14,6229 0,008 0,12862 0,28%BCIC 0,452 1,15% 0,00157 0,014 0,0038 0,00157 0,35% 0,1978 0,1963 0,002 0,00204 0,45%BDMN 7,661 0,38% 0,00876 0,142 0,0325 0,00910 0,12% 1,6755 1,6667 0,011 0,02632 0,34%BEKS 0,303 0,51% 0,00047 0,006 0,0015 0,00047 0,16% 0,0778 0,0774 0,005 0,00087 0,29%BKSW 0,304 2,12% 0,00193 0,013 0,0039 0,00194 0,64% 0,2002 0,1983 0,001 0,00213 0,70%BMRI 51,652 0,01% 0,00222 0,185 0,0455 0,00272 0,01% 2,3435 2,3413 0,011 0,02799 0,05%BNGA 5,720 0,002% 0,00003 0,007 0,0003 0,00004 0,0006% 0,0178 0,0178 0,011 0,00024 0,004%BNII 5,688 2,23% 0,03802 0,252 0,1179 0,03871 0,68% 6,0746 6,0366 0,006 0,07341 1,29%

Page 58: JAM Vol 23 No 2 Agustus 2012

136

JAM, Vol. 23, No. 2, Agustus 2012: 129-137

besar dan IDIC juga harus mempunyai cadangan klaimterhadap rugi kejutan ini. Namun untuk mendefinisikanrugi kejutan sebagai cadangan klaim untuk kasus bankrun bukanlah pilihan terbaik. Karena ada kemungkinanyang signifikan bahwa kerugian akan lebih besar darirugi harapan (EL

P) dengan lebih dari satu deviasi

standar. Oleh karena itu, konsep kapital ekonomik akanlebih baik untuk digunakan dalam menentukancadangan klaim yang lebih tepat.

Tabel 5 menunjukan harga premi PenjaminanSimpanan wajar dari model risiko kredit penelitian untuktahun 2005. Penentuan harga premi akan bergantungpada tiga komponen risiko, yaitu rugi harapan, risikoportofolio, dan premi risiko. Bank-bank berisiko bukanditunjukkan hanya berdasarkan pada besarnya danapihak ketiga, tetapi secara relatif akan mempunyaikomponen rugi harapan tertinggi, rugi kejutan yangjuga relatif terbesar, premi risiko, dan risiko portofolioyang juga tinggi. Jumlah estimasi premi yangberbasiskan risiko total untuk 23 bank ini adalah sebesarRp 0,539 triliun. Nilai ini adalah nilai teoritik premiPenjamin Simpanan wajar yang seharusnya dikenakankepada bank-bank anggota IDIC. Nilai ini akan mewakili0,25% dari total jumlah eksposur sebesar Rp215 triliun.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan hasil analisis penelitian dapat ditarikbeberapa simpulan, yaitu 1) bentuk distribusi rugi(fungsi densitas probabilitas) menceng ke kananmenunjukkan risiko sistemik perbankan yang tinggi dan2) berdasarkan premi wajar yang berbasis risikopenelitian ini menunjukkan bahwa kapital ekonomik

IDIC seharusnya sekitar 51,49 triliun (24% dari totaleksposur IDIC yang berasal dari 23 bank (Rp214,8triliun), nilai teoritik premi yang wajar seharusnyaberjumlah Rp0,539 triliun (untuk 23 sampel bank) dannilai tersebut akan mewakili 0,25% dari total jumlaheksposur sebesar Rp215 triliun.

Saran

Beberapa saran yang diajukan berdasarkan temuanpenelitian tersebut adalah IDIC dapat menerapkan premimengambang didasarkan pada risiko bank untukmenggantikan premi tetap yang digunakan saat ini.Premi mengambang tersebut dapat mencerminkankondisi ekonomik IDIC yang lebih realistis. IDIC perlumenambah cadangan modalnya, karena cadangan saatini kelihatan lebih rendah dibandingkan cadanganteoritis yang dihitung dalam penelitian ini. Penelitianini baru menggunakan data 23 saham yang go-public.Oleh karena IDIC juga mencakup perbankan yang tidakgo-public, maka penelitian selanjutnya dapatmemperluas sampel untuk memasukkan bank-bank yangbelum go-public.

BNLI 4,488 4,24% 0,05710 0,271 0,1014 0,05755 1,28% 5,2231 5,1660 0,005 0,08036 1,79%BSWD 0,079 0,05% 0,00001 0,001 0,0001 0,00001 0,02% 0,0028 0,0028 0,001 0,00002 0,02%BVIC 0,090 2,87% 0,00077 0,005 0,0007 0,00078 0,86% 0,0339 0,0332 0,003 0,00088 0,98%INPC 0,857 8,16% 0,02099 0,070 0,0142 0,02104 2,45% 0,7303 0,7093 0,004 0,02372 2,77%LPBN 6,887 0,58% 0,01202 0,157 0,0550 0,01245 0,18% 2,8334 2,8214 0,008 0,03409 0,49%MAYA 0,195 0,02% 0,00001 0,001 0,0001 0,00001 0,00% 0,0036 0,0036 0,001 0,00001 0,01%MEGA 1,800 0,05% 0,00027 0,012 0,0005 0,00027 0,01% 0,0239 0,0237 0,002 0,00030 0,02%NISP 3,026 0,08% 0,00071 0,025 0,0042 0,00075 0,02% 0,2173 0,2166 0,008 0,00242 0,08%PNBN 3,863 1,85% 0,03581 0,156 0,0816 0,03655 0,95% 4,2047 4,1689 0,009 0,07394 1,91%Total 214.8 0,217 2,322 1,004 0,223 51,710 51,493 0,539 11,864%

Sumber: Data IDIC, diolah.

Page 59: JAM Vol 23 No 2 Agustus 2012

137

ESTIMASI HARGA PREMI................................... (Firman Pribadi, Suad Husnan, Mamduh M.Hanafi dan Eduardus Tandelilin)

DAFTAR PUSTAKA

Arora, N., Bohn, R, J., Zhu, F. 2005. “Reduce Form VSStructural Models of Credit Risk: A Case Studyof Three Models”. Journal of Investment Man-agement, Fourth Quarter.

Crosby, P. dan Bohan, J. 2003. “Modeling Default Risk:Modeling Methodology”, Moody’s K.M.V.

Farmen, T.E.S., Westgaard, S.F.S., dan Wijst, N.V. 2004.“Default Greeks under an Objective ProbabilityMeasure”, Norwy, Working Paper.

Kuritzkes, A., Schuermann, T., dan Weiner, S. 2002.“Deposit Insurance and Risk Management ofthe US Banking System: How much? Whatprice? Who pays”. Working Paper.

Sironi, A. dan Zazzara, C. 2004. “Applying Credit RiskModel to Deposit Insurance Pricing: EmpiricalEvidence from the Italian Banking System”,Journal of International Banking Regulation.Vol. 6, No. 1:10 - 32.

Swidler, S., dan Wilcox, J.A. 2002. “Information AboutBank Risk in Option Prices”. Journal of Bank-ing and Finance. Vol. 26:1033 -1057.

Page 60: JAM Vol 23 No 2 Agustus 2012

139

THE VALUE RELEVANCE OF ACCOUNTING INFORMATION IN TRANSITION TO............. (Eko Widodo Lo)

Vol. 23, No. 2, Agustus 2012Hal. 139-151

ABSTRACT

The objective of this research is to present some pre-liminary evidence for the information content of earn-ings and book values during transition era to IAS/IFRSin Indonesia, from 1994 to 2009. Sample of this researchconsists of firms listed in Indonesian Stock exchangein which stock prices, earnings, and book values areavailable for the study period 1994 to 2009. Data aredivided into two periods, namely 1995 to 2000 periodand 2001 to 2009 period because there is no or littleadoption of IFRS by IIA during the first period. Dataate analyzed by using multiple regressions. This re-search finds that value relevance of earnings and eq-uity book values is higher in the period of significantadoption of IAS/IFRS than the period of little IAS/IFRS adoption. This research also finds that equitybook values and earnings have value relevance whenboth equity book values and earnings are positive.However, both equity book values and earnings donot have value relevance when both equity book val-ues and earnings are negative.

Keywords: value relevance, earnings, equity bookvalue, IFRS

JEL Classification: M41

THE VALUE RELEVANCE OF ACCOUNTING INFORMATION INTRANSITION TO IAS/IFRS: THE CASE OF INDONESIA

Eko Widodo LoSekolah Tinggi Ilmu Ekonomi YKPN Yogyakarta

Jalan Seturan Yogyakarta 55281Telepon +62 274 486160, 486321, Fax. +62 274 486155

E-mail: [email protected]

Tahun 1990

ISSN: 0853-1259

J U R N A LAKUNTANSI & MANAJEMEN

INTRODUCTION

The objective of financial accounting is to provide rel-evant accounting information for users of financialstatements to make effective and efficient decisions.According to International Accounting Standard Boardconceptual framework, the objective of financial state-ments is to provide information about financial posi-tion, performance, and changes in financial position ofan entity that is useful to wide area of users in makingeconomic decisions. A good accounting informationsystem will result in accounting information that isuseful for users to make sound decision. Investors arethe most important group of decision makers who useaccounting information. Therefore, it is very importantto investigate the extent to which the relevance of ac-counting information to value companies.

The Indonesian Institute of Accountants (IIA)was aware that implementation a set of high qualitystandards such as IAS/IFRS will improve comparabil-ity of financial statements among companies in theworld. In 1994, Indonesian Accountants Associationstarted to converge with IAS/IFRS by adopting IASC’sframework for the Preparation and Presentation of Fi-nancial Statements as the conceptual framework forIndonesian GAAP. Since that year, an increasing num-ber of IAS/IFRS has been adopted with no or few modi-

Page 61: JAM Vol 23 No 2 Agustus 2012

140

JAM, Vol. 23, No. 2, Agustus 2012: 139-151

fications. Therefore, most of Indonesian GAAP is nowbased on IAS/IFRS. The Indonesian Institute of Ac-countants plans that IAS/IFRS can be fully appliedsince 2012.

Before 1994, Indonesian GAAP was influencedby US GAAP. US GAAP tends to be conservative andapply historical cost principles. Conservative and his-torical costs principles are to ensure that the value offirm will not be higher than its intrinsic value. There-fore, under Indonesian GAAP before 1994, the firmvalue that is reflected in financial statements seems tobe lower than the intrinsic firm value. However, IAS/IFRS that were adopted by Indonesia since 1994 tendsto improve relevance quality of accounting informa-tion. Conservatism principle is not mentioned as a quali-tative characteristic in IASB conceptual framework andalso in conceptual framework of Indonesian GAAP,and most cases the historical cost principle is substi-tuted by fair value principle. These changes can alterthe valuations properties of accounting information infinancial statements. The application of fair value prin-ciple can lead firm value to be closer to intrinsic value,so that financial statements provide more value-rel-evant accounting information to stockholders. There-fore, the gradual adoption of IAS/IFRS from 1994 untiltoday will gradually improve the value-relevant of ac-counting information. Based on the description in back-ground above, it is interesting to examine the influenceof IAS/IFRS adoption on the value relevance of ac-counting information in Indonesia. And, contributionsof this research are that research will give preliminaryfindings about the influence of adopting IAS/IFRS onthe value relevance of accounting information to IIA,and attempt to give explanations why IAS/IFRS adop-tion increases or decreases the value relevance of ac-counting information.

LITERATURE REVIEW AND METHOD

Agency theory suggests that the firm can be viewedas a nexus of contracts between resource holders. Anagency relationship arises whenever one or more indi-viduals, called principals, hire one or more other indi-viduals, called agents, to perform some service andthen delegate decision-making authority to the agents.The primary agency relationships in business are be-tween stockholders and managers and between credi-

tors and stockholders. Agency theory assumes thatpeople are self-interest, therefore there agency con-flict between participants. When agency problems oc-cur, it results in to agency costs, which are expensesincurred in order to sustain an effective agency rela-tionship.

Agency theory raises a fundamental problemin organizations, namely self-interested behavior. Acorporation’s managers have personal interests thatcompete with the owner’s interests of maximization ofstockholder wealth. Since the stockholders give deci-sion making authority to managers for managing thefirm’s resources. Therefore, a potential conflict of in-terest exists between them. Agency theory suggeststhat, in imperfect labor and capital markets, managerswill seek to maximize their own utility at the expense ofcompany stockholders. Managers have the ability toact in their own self-interest rather than in the bestinterests of the stockholders because of asymmetricinformation and uncertainty. Information asymmetryhere is that managers know more or better than stock-holders about the company condition and prospect.Uncertainty means that myriad factors contribute tofinal outcomes, and it may not be evident whether theagent directly caused a given outcome, positive ornegative.

Evidence of self-interested behavior by man-agers involves the utilization of some company re-sources in the form of perquisites. Outside investorsrecognize that the firm will make decisions contrary totheir best interests. Therefore, outside investors willdiscount the prices they are willing to pay for thecompany’s stock. Agency costs are defined as thosecosts borne by shareholders to encourage managersto maximize shareholder wealth rather than behave intheir own self-interests. There are three major types ofagency costs, namely monitoring costs, bonding costs,and residual loss.

IFRS are accounting standards that are issuedby the International Accounting Standards Board(IASB), an independent organization based in London,UK. They purport to be a set of rules that ideally wouldapply equally to financial reporting by public compa-nies worldwide. Between 1973 and 2000, internationalstandards were issued by the IASB’s predecessor or-ganization, the International Accounting StandardsCommittee (IASC), a body established in 1973 by the

Page 62: JAM Vol 23 No 2 Agustus 2012

141

THE VALUE RELEVANCE OF ACCOUNTING INFORMATION IN TRANSITION TO............. (Eko Widodo Lo)

professional accountancy bodies in Australia, Canada,France, Germany, Japan, Mexico, Netherlands, UnitedKingdom and Ireland, and the United States. Duringthat period, the IASC’s rules were described as “Inter-national Accounting Standards” (IAS). Since April2001, this rule-making function has been taken over bya newly-reconstituted IASB The IASB describes itsrules under the new label “International Financial Re-porting Standards” (IFRS), though it continues to rec-ognize the prior rules (IAS) issued by the old stan-dard-setter (IASC). The IASB is better-funded, better-staffed and more independent than its predecessor,the IASC. Nevertheless, there has been substantialcontinuity across time in its viewpoint and in its ac-counting standards (Ball, 2006). In recognition of thequality of the core set of IAS, in 2000 the InternationalOrganization of Securities Commissions recommendedthat the world’s securities regulators permit foreign is-suers to use IAS for cross-border offerings. In 2005,almost all publicly listed companies in Europe and manyother countries are required to prepare financial state-ments in accordance with International Financial Re-porting Standards (IFRS).

The objective of the IASC and IASB is to de-velop an internationally acceptable set of high qualityfinancial reporting standards. To attain this objective,the IASC and IASB have issued principles-based stan-dards, and taken steps to remove allowable account-ing alternatives and to require accounting measure-ments that better reflect a firm’s economic position andperformance. Limiting alternatives can increase ac-counting quality because doing so limits management’sopportunistic discretion in determining accountingamounts (Ashbaugh and Pincus, 2001). Accountingfigures that better reflect a firm’s underlying econom-ics, either resulting from principles-based standards orrequired accounting measurements, can increase ac-counting quality because doing so provides investorswith information to aid them in making investment de-cisions. These two sources of higher accounting qual-ity are related in that, all else equal, limiting opportu-nistic discretion by managers increases the extent towhich the accounting amounts reflect a firm’s underly-ing economics. Accounting standards that limit op-portunistic discretion result in accounting earnings thatare more reflective of a firm’s underlying economicsand higher quality. Accounting quality can also increase

because of changes in the financial reporting systemcontemporaneous with firms’ adoption of IAS, e.g.,more rigorous enforcement. Thus, accounting figuresresulting from application of IAS/IFRS are of higherquality than those resulting from application of do-mestic standards.

IAS/IFRS tend to use fair values than historicalcosts for accounting measurement. Using fair valuefor accounting measurement is to achieve relevancequality. Another accounting standard, US GAAP, tendsto use conservative and historical cost principles.These principles are to ensure that the firm value willnot be higher than its intrinsic value. However, conser-vatism principle is not mentioned as a qualitative char-acteristic in IASB conceptual framework, and mostcases the historical cost principle is replaced by fairvalue principle. These changes can change the valua-tions properties of accounting information in financialstatements. Using fair value principle can lead firm valueto be closer to intrinsic value, so that financial state-ments provide more value-relevant accounting infor-mation for outside shareholders.

Financial statements are prepared by the man-agers of companies to investors and other users. Themanagers are the agents of the stockholders to use theresources entrusted to them and earn return. The man-agers have access to more information than the stock-holders. The financial statements are presented to re-duce the information asymmetry between stockhold-ers and managers. Leuz and Verrechhia (2000) studiesthe reduction in information asymmetry by examiningthe impact of adoption of IFRS on the volatility ofreturns, trading volumes, and change in the cost ofcapital. Daske (2006) find that the cost of capital hasactually increased for the IFRS adopters. This researchfinds that the information asymmetry has increasedwith the adoption of IFRS.

The ability of IAS/IFRS to achieve a high ac-counting is questioned by some researchers. Barth etal. (2008) stated that there may not be true that appli-cation of IAS/IFRS is associated with higher account-ing quality, at least for two reasons. IAS may be oflower quality than domestic standards. For example,limiting managerial discretion relating to accountingalternatives could eliminate the firm’s ability to reportaccounting measurements that are more reflective ofits economic position and performance. In addition,

Page 63: JAM Vol 23 No 2 Agustus 2012

142

JAM, Vol. 23, No. 2, Agustus 2012: 139-151

the inherent flexibility in principles-based standardscould provide greater opportunity for firms to manageearnings, thereby decreasing accounting quality. Thisflexibility has long been a concern of securities mar-kets regulators, especially in international contexts.Although IAS are higher quality standards, the effectsof features of the financial reporting system other thanthe standards themselves could eliminate any improve-ment in accounting quality arising from adopting IAS.Tax enforcement can result in limited compliance withthe standards, thereby limiting their effectiveness. Ball,Robin, and Wu (2003) investigate timely loss recogni-tion for firms in Hong Kong, Malaysia, Singapore, andThailand. In these countries, accounting standards arelargely derived from common law and, therefore, likelyare similar to IAS. They find that timely loss recogni-tion for firms in these countries is no better than it isfor firms in code law countries. They attribute this find-ing to differing incentives of managers and auditors.Burgstahler, Hail, and Leuz (2006) discover that stronglegal systems are associated with less earnings man-agement. The study attributes this finding to differentincentives created by market pressures and institutionalfactors to report earnings that reflect economic perfor-mance.

Ball (2006) argues that there are direct and indi-rect advantages of IFRS for investors. Widespread in-ternational adoption of IFRS offers equity investors avariety of potential advantages. There are five advan-tages as follow 1) IFRS promise more accurate, com-prehensive and timely financial statement information,relative to the national standards they replace for pub-lic financial reporting in most of the countries adopt-ing them, Continental Europe included. To the extentthat financial statement information is not known fromother sources, this should lead to more-informed valu-ation in the equity markets, and hence lower risk toinvestors; 2) Small investors are less likely than in-vestment professionals to be able to anticipate finan-cial statement information from other sources. Improv-ing financial reporting quality allows them to competebetter with professionals, and hence reduces the riskthey are trading with a better-informed professional; 3)By eliminating many international differences in ac-counting standards, and standardizing reporting for-mats, IFRS eliminates many of the adjustments ana-lysts historically have made in order to make compa-

nies’ financials more comparable internationally. IFRSadoption therefore could reduce the cost to investorsof processing financial information. The gain would begreatest for institutions that create large, standardized-format financial databases; 4) Reducing the cost ofprocessing financial information most likely increasesthe efficiency with which the stock market incorpo-rates it in prices. Most investors can be expected togain from increased market efficiency; and 5) Reduc-ing international differences in accounting standardsassists to some degree in removing barriers to cross-border acquisitions and divestitures, which in theorywill reward investors with increased takeover premi-ums.

In general, IFRS offer increased comparabilityand hence reduced information costs and also infor-mation risk to investors. IFRS offer several additional,indirect advantages to investors. Because higher in-formation quality should reduce both the risk to allinvestors from owning shares and the risk to less-in-formed investors due to adverse selection, in theory itshould lead to a reduction in firms’ costs of equitycapital. This would increase share prices, and wouldmake new investments by firms more attractive, otherthings equal. Indirect advantages to investors arisefrom improving the usefulness of financial statementinformation in contracting between firms and a varietyof parties, notably lenders and managers.

Increased transparency causes managers to actmore in the interests of shareholders. In particular, time-lier loss recognition in the financial statements in-creases the incentives of managers to attend to exist-ing loss-making investments and strategies morequickly, and to undertake fewer new investments withnegative NPVs. The increased transparency promisedby IFRS also could cause a similar increase in the effi-ciency of contracting between firms and lenders. Inparticular, timelier loss recognition in the financial state-ments triggers debt covenants violations more quicklyafter firms experience economic losses that decreasethe value of outstanding debt. Timelier loss recogni-tion involves timelier revision of the book values ofassets and liabilities, as well as earnings and stock-holders’ equity, causing timelier triggering of covenantsbased on financial statement variables. In other words,the increased transparency and loss recognition time-liness promised by IFRS can increase the efficiency of

Page 64: JAM Vol 23 No 2 Agustus 2012

143

THE VALUE RELEVANCE OF ACCOUNTING INFORMATION IN TRANSITION TO............. (Eko Widodo Lo)

contracting in debt markets, with potential gains toequity investors in terms of reduced cost of debt capi-tal.

Ball (2006) states that there is an ambiguousarea for investors about the effect of IFRS on theirability to forecast earnings. There are two schools ofthought about this, as follow 1) One school of thoughtis that better accounting standards make reported earn-ings less noisy and more accurate, hence more “valuerelevant.” Other things equal (for example, ignoringenforcement and implementation issues for the moment)this would make earnings easier to forecast and wouldimprove average analyst forecast accuracy; 2) Theother school of thought reaches precisely the oppo-site conclusion. This reasoning is along the lines thatmanagers in low-quality reporting regimes are able to“smooth” reported earnings to meet a variety of objec-tives, such as reducing the volatility of their own com-pensation, reducing the volatility of payouts to otherstakeholders (notably, employee bonuses and divi-dends), reducing corporate taxes, and avoiding recog-nition of losses. In contrast, earnings in high-qualityregimes are more informative, more volatile, and moredifficult to predict. This argument is bolstered in thecase of IFRS by their emphasis on fair value account-ing, as outlined in the following section. Fair valueaccounting rules aim to incorporate more-timely infor-mation about economic gains and losses on securities,derivatives and other transactions into the financialstatements, and to incorporate more-timely informa-tion about contemporary economic losses (“impair-ments”) on long term tangible and intangible assets.IFRS promise to make earnings more informative andtherefore, paradoxically, more volatile and more diffi-cult to forecast.

IAS/IFRS adoption seems to reduce informa-tion asymmetry between stockholders and managers.Prior literature finds a reduction of information asym-metry as evidenced by lower earnings management,lower costs of capital, and lower forecast errors. Barthet al. (2008) argue that accounting quality can be im-proved by elimination of alternative accounting meth-ods that are less reflective of firms’ performance andare used by managers to manage earnings. They com-pare earnings management for firms that voluntarilyswitch to IAS with firms that use domestic accountingstandards. They discover that after IAS adoption, com-

panies have higher variance of changes in net income,a higher ratio of variance of changes in net income tovariance of changes in cash flows, higher associationbetween accruals and cash flows, lower frequency ofsmall positive net income, and higher frequency of largelosses. They also investigate the value relevance ofearnings by comparing the R2 from two regressions 1)Price regressed on book value and earnings and 2)Earnings regressed on positive and negative returns.

They discover that R2 increases after IAS adop-tion, providing evidence of greater value relevance forIAS earnings. Van Tendeloo and Vanstraelen (2005)study discretionary accruals of German companiesadopting IAS. They find that IAS companies have morediscretionary accruals and a lower correlation betweenaccruals and cash flows. However, their usage of theJones (1991) model in this setting may lead to measure-ment errors for discretionary accruals. The Jones modelneeds fixed assets for measurement of non-discretion-ary accruals. If fixed assets are revalued under IAS,non-discretionary accruals as a predicted value fromrevenue and fixed assets may contain errors. Intuitively,if out-of-sample revalued fixed assts are plugged in toget non-discretionary accruals, this will reduce theamount of discretionary accruals, but the effect on theabsolute amount of discretionary accruals is unknown.If future depreciation expense is based on the revaluedamount, asset revaluation will also change future totalaccruals through a higher depreciation expense. How-ever, the change in accruals attributable to asset re-valuation may be value relevant.

Leuz (2003) studies bid-ask spreads and stockturnover ratios for U.S. GAAP and IAS firms inGermany’s New Market, where U.S. GAAP and IAS arethe only allowed financial reporting standards. He can-not find any statistical differences in bid-ask spreadsand turnover ratios across the two standards.Ashbaugh and Pincus (2001) investigate whether ana-lyst forecast errors decrease after a firm adopts IAS.They argue that IAS adoption reduces analysts’ costof information acquisition and improves forecast ac-curacy, even though earnings smoothing under otheraccounting standards makes forecasts easier. Theydiscover that forecast errors are positively related tothe difference between a country’s domestic account-ing standards and IAS. After IAS adoption, forecasterrors decrease and the number of news reports about

Page 65: JAM Vol 23 No 2 Agustus 2012

144

JAM, Vol. 23, No. 2, Agustus 2012: 139-151

firms sample increase.Since Ball and Brown (1968), many accounting

researchers have been studying the relationships be-tween accounting numbers and stock prices. In thissection, this study briefly review recent research con-ducted by using Asian, European, and U.S. data.Collins et al. (1997) investigate systematic changes inthe value-relevance of earnings and book value duringthe period of 1953 to 1993 by using US firms. They findthe combined value-relevance of earnings and equitybook values has not declined over forty years, and itappeared to have increased slightly. They investigatethe incremental explanatory power of earnings andequity book values of stock prices and discover thatthere are a decline earnings explanatory power and anincrease of equity book values over the period of study.

Shamy and Kayed (2005) investigate the valuerelevance of earnings and book values derived underKuwaiti accounting system that assures a completecompliance with international Accounting Standards.They use data from listed firms in Kuwaiti Stock Ex-change over the period 1992 to 2001. By using a valu-ation model provided by Ohlson (1995) they find that1) Earnings and equity book values jointly and indi-vidually are positively and significantly connected tostock prices; 2) Incremental information content of earn-ings is higher than equity book values; 3) Earnings forprofit companies add more to the overall explanatoryof the model than book values; 4) Earnings for losscompanies do not add any value to the overall of ex-planatory power of the model, but book values addmore to the overall explanatory power; 5) The best fitfor the model was obtained for the industrial and foodsectors followed by service and financial institutions;and 6) Earnings add more to the overall explanatorypower of the model than equity book value for finan-cial institutions, services, investments and real estatesectors, while book value add more the overall explana-tory power only for industrial sectors.

Kousenidis et al. (2010) explore the value rel-evance of accounting information, Equity book valuesand earnings, in the pre and post-periods of Interna-tional Financial Reporting Standards implementation.Their study uses a sample of Greek companies for theperiod 2003 to 2006. He uses Easton and Harris’s (1991)and Feltham and Ohlson’s (1995) valuation models.They find that the value relevance of equity book val-

ues decreased in the post-IFRS period. This findingmay be attributed to the higher volatility of the equitybook value in that period. However, earnings have anincreasing explanatory power on stock prices in thepost-IFRS period. This might be as a reaction to thedecrease in the information content of equity book val-ues, because earnings and equity book values behaveas substitutes in the valuation model.

Alfaraih and Alanezi (2011) study the value rel-evance of accounting earnings and equity book val-ues information produced by listed companies in Ku-wait Stock exchange (KSE) over the period 1995 to 2006.They use price level and returns models. They dis-cover that earnings and equity book values were, jointlyand individually, positively and significantly related tostock prices and returns. They find that the value rel-evance of earnings and equity book values of KSE-listed firms is higher, in terms of adjusted R2 and earn-ings coefficient, than the findings observed in somedeveloped and emerging countries. This implies thatKSE investors rely on earnings and equity book valesinformation than other markets. The greater value rel-evance can be partially attributed to the fairly limitedsources of credible and useful competing informationavailable to market participants and the lack of alterna-tive sources of information about the prospects.

Empirical research on the improvement of finan-cial statement quality due to the adoption of IFRS canbe categorized into two different groups: those thatexamined the effects of voluntary adoption of IFRSand those that examined the effects of mandatory adop-tion of IFRS. Tarca (2001) explores the extent to whichfirms make policy choices that align with US GAAP orInternational Accounting Standards (IASs), and theattributes of firms that align with either regime. Usingcompanies from the UK, France, Germany, Japan andAustralia, five policy areas (tangible assets, available-for-sale marketable securities, identifiable intangibleassets, research and development expenditure andsoftware development expenditure) are investigated.They discover that there are considerable between-country differences in the extent to which companiesalign with US GAAP or IASs options that are not ac-ceptable under US GAAP.

Hung and Subramanyam (2007) investigate theinfluence of the voluntary adoption of IFRS by usingGerman listed firms in the period 1998 – 2002. They

Page 66: JAM Vol 23 No 2 Agustus 2012

145

THE VALUE RELEVANCE OF ACCOUNTING INFORMATION IN TRANSITION TO............. (Eko Widodo Lo)

discover that the adoption of IFRS does not increasethe value relevance of net income and equity bookvalues. However, they find that book value has a sig-nificantly larger valuation coefficient and net incomehas a significantly smaller valuation coefficient underIFRS than under German General Accepted Account-ing Principles (GAAP). These results are consistentwith IFRS reducing income persistence.

Bartov et al. (2005) investigate the comparativevalue relevance among IAS, US and German account-ing standards. In their sample they included, firstly,German firms that were listed on the Frankfurt StockExchange and followed the German GAAP and, sec-ondly, German firms that listed on either the FrankfurtStock Exchange or the Neuer Markt and had switchedvoluntarily to US GAAP or IAS during the period 1998-2000. Using returns models they found that the valuerelevance of IAS and US based earnings is higher thanthat of German GAAP-based earnings suggestinghigher accounting quality under an IAS or US account-ing regime.

Barth et al (2008) test whether the applicationof IFRS is associated to higher accounting quality. Theycombine data from 21 countries that adopted the IFRSand reported that firms applying IFRS evidence lessearnings management, more timely loss recognition andmore value relevance of accounting figures. Daske etal. (2008) explores the economic consequences of theintroduction of mandatory IFRS reporting in 26 coun-tries across the world and more specifically the effectson market liquidity, cost of equity capital and Tobin’sQ. They find that market liquidity and equity valua-tions increase around the time of the mandatory intro-duction of IFRS although the results for the cost ofcapital are mixed. They also discover that the capitalmarket benefits exist only in countries with strict en-forcement regimes and institutional environments thatprovide strong reporting incentives. Moreover, the ef-fects are weaker when local GAAP are closer to IFRS,in countries with an IFRS convergence strategy, and inindustries with higher voluntary adoption rates.

Christensen et al. (2008) explores the impact ofincentives on accounting quality changes around IFRSadoption. They test earnings management and timelyloss recognition, constructs often used to assess ac-counting standards quality. While existing literaturedocuments accounting quality improvements follow-

ing IFRS adoption, they find that improvements areconfined to firms with incentives to adopt. We dis-cover that firms that resist IFRS have closer connec-tions with banks and inside shareholders, which canexplain these firms’ lack of incentives to adopt IFRS.The overall results show that incentives dominate ac-counting standards in determining accounting quality.Schadewitz and Vieru (2007) studies the value relevanceof the reconciliations imposed by IFRS in the FinnishStock Market. Finland is usually perceived as a codelaw country with strong law enforcement. Using asample of 86 firms and two price models they discoverthat only the earnings reconciliations are positivelyvalue relevant. Equity reconciliations have either anegative coefficient or are statistically insignificantbased on the model used.

Paananen (2008) investigates whether the qual-ity of financial reporting has increased in Sweden (acode law country) after the mandatory adoption of IFRS.The analysis of accounting quality includes measuresof earnings smoothing, timeliness and association toshare prices. Unexpectedly, the results of all these mea-sures suggest a decrease to the accounting quality ofthe IFRS adoption.

Paananen and Lin (2009) investigates the char-acteristics of accounting amounts by using a sampleof German companies reporting under IAS during 2000-2002 (IAS period), and IFRS during 2003-2004 (IFRSvoluntary period), and 2005-2006 (IFRS mandatory pe-riod). They discover a decrease in accounting qualityafter the mandatory EU adoption in 2005. Their find-ings on earnings smoothing and timely loss recogni-tion corroborated largely their findings related valuerelevance of accounting information. Their resultsshow that accounting quality has not improved butworsened over time. Further analysis showed that thisdevelopment is less likely to be driven by new adopt-ers of IFRS but it was driven by the changes of stan-dards. Contrary to the intention of the European adop-tion of IFRS, this made it harder for investors to basetheir decisions on the IFRS financial reporting.

Armstrong et al. (2010) studies European stockmarket reactions to 16 events associated with the adop-tion of International Financial Reporting Standards(IFRS) in Europe. European IFRS adoption representsa major milestone towards financial reporting conver-gence yet spurred controversy reaching the highest

Page 67: JAM Vol 23 No 2 Agustus 2012

146

JAM, Vol. 23, No. 2, Agustus 2012: 139-151

levels of government. They discover an incrementallypositive reaction for firms with lower quality pre-adop-tion information, which was more pronounced in banks,and with higher pre-adoption information asymmetry,consistent with investors expecting net informationquality benefits from IFRS adoption. They find an in-crementally negative reaction for firms domiciled incode law countries, consistent with investors’ concernsover enforcement of IFRS in those countries. They alsodiscover that a positive reaction to IFRS adoptionevents for firms with high quality pre-adoption infor-mation, consistent with investors expecting net con-vergence benefits from IFRS adoption.

Khanaga (2011) investigates the value relevanceof accounting information in two selected countrieswhich can describe the influence of adapting to IFRSon value relevancy of accounting information in thesecountries. The results obtained from a combination ofregression and portfolio approaches, show that ac-counting information is value relevant in Bahrain andthe United Arab Emirates (UAE) stock market. A com-parison of the results for the periods before and afteradoption, based on both regression and portfolio ap-proaches, shows an improvement in value relevanceof accounting information after the reform in account-ing standards in Bahrain stock market, while the re-sults for UAE stock market, indicate a decline in valuerelevance of accounting information after the reform inaccounting standards. It can be interpreted to meanthat following to IFRS in UAE does not improve valuerelevancy of accounting information.

The objective of IFRS that adopted by IIA is toprovide relevant accounting information to investor,so that it is expected that the value relevance of bothearnings and equity book values increase. IIA adoptedIASB conceptual framework as Indonesian GAAP con-ceptual framework in 1994. However, there is no or littleadoption of IAS/IFRS during the period of 1995 to 2000.IIA began to do a significant adoption of IFRS in 2001by revising at least seven standards. Then, in the endof year 2003, IIA enforced Indonesia Financial Account-ing Standard No. 1 to No. 59 and Interpretations No. 1to No. 4. Most of them have adopted IFRS/IAS. Basedon this premise, the following hypothesis is formu-lated.H1: The value relevance of earnings and equity book

values is higher in the period of significant adop-

tion of IAS/IFRS than the period of little IAS/IFRS adoption.

Shamy and Kayed (2005) find earnings for profitcompanies increase the overall explanatory of the modelthan equity book values. For loss firms, earnings donot increase the overall explanatory power, but bookvalues add more to the overall explanatory power. Basedon these findings, the following hypotheses are for-mulated.H2a: Equity book values and earnings have value rel-

evance when both equity book values and earn-ings are positive.

H2b: Both equity book values and earnings do nothave value relevance when both equity bookvalues and earnings are negative.

This study follows previous empirical researchin accounting that examines the value relevance of ac-counting information by testing the relationship be-tween stock prices, earnings, and book values. Thisstudy uses Ohlson valuation model (1995) that hasbeen used extensively in prior research. This modelexpresses the firm value as a function of its earningsand equity book values as follows:

Pit= α

0 + α

1.E

it + α

2.EBV

it + ε

it(1)

Where:P

it= Firm i’s stock price at the end of year t

Eit= Earnings per share for firm i during period t

EBVit= Equity book value per share for firm i at the end

of period tε

it= Other value-relevant information of firm i for period

t besides earnings and equity book valueBased of the equation above, the dependent variableis stock price and independent variables are earningsand equity book values.

This research uses Collins et al. (1997) method-ology to compare the explanatory power of earningsand equity book values. They decomposed the com-bined explanatory power of earnings and book valueas measured by adjusted R2 of equation 1 into threecomponents 1) The incremental explanatory power ofearnings; 2) The incremental explanatory of equitybook values; and 3) The explanatory common to bothearnings and book values.

This research uses adjusted R2 to measure thecombined explanatory power of earnings and equity

Page 68: JAM Vol 23 No 2 Agustus 2012

147

THE VALUE RELEVANCE OF ACCOUNTING INFORMATION IN TRANSITION TO............. (Eko Widodo Lo)

book values and does not decompose it. This researchuses adjusted R2 because it gives a conservative mea-surement of explanatory power. Magnitude of adjustedR2 is lower than R2 because adjusted R2 considers num-ber of independent variables and size of sample in mea-suring explanatory power.

The sample that is chosen for this study in-cludes firms listed in Indonesian Stock exchange inwhich stock prices, earnings, and book values are avail-able for the study period 1994 to 2009. Data are dividedinto two periods, namely 1995 to 2000 period and 2001to 2009 period because there is no or little adoption ofIFRS by IIA during the first period. Data that are usedto test the hypotheses are secondary data of compa-nies’ financial statements that listed in Indonesia StockExchange in year 1994 to 2009. The sources of data areIndonesian Capital Market Directory (ICMD) and www.idx.co to get a part sample that consists of companiesfinancial statements.

RESULTS AND DISCUSSION

Table 1 shows results of multiple regressions analysisto test hypothesis 1. The results indicate that adjustedR2 (0.237) of sub sample of period 1994 to 2000 is higherthan adjusted R2 (0.217) of sub sample of period 2001

to 2009. These results support hypothesis 1 that valuerelevance of earnings and equity book value is higherin period of significant adoption of IAS/IFRS than theperiod of little IAS/IFRS adoption. However, the re-sults must be interpreted carefully because EPS coeffi-cient of period 2001 to 2009 is not significant. Coeffi-cients of EPS change. EPS coefficient of period 1994 issignificant (0.315, t-value= 4.965), but it becomes in-significant for period 2000 to 2009 (-0.331, t-value= -0.331). It means that value relevance of earnings de-creases. However, value relevance of equity book valueincreases. Coefficient of EBVS is 0.198 (t-value= 10.967)for period 1994 to 2000, and it becomes 0.698 (t-value=10.468) for period 2001 to 2009.

Table 2 indicates results of multiple regressionanalysis to test hypothesis 2a. The results show thatregression coefficient of EPS is positive (1.173) andsignificant (t-value= 6.256), it means that earnings havevalue relevance. Coefficient of regression of EBVS isalso positive (0.229) and significant (t-value= 5.666),this indicates that equity book values have also valuerelevance. These results support hypothesis 2a thatequity book values and earnings have value relevancewhen both equity book values and earnings are posi-tive.

Table 1Results of Regressions of Price on Earnings and Equity Book Values for

Period 1994 to 2000 and Period 2001 to 2009

*denotes significant at 1%

Page 69: JAM Vol 23 No 2 Agustus 2012

148

JAM, Vol. 23, No. 2, Agustus 2012: 139-151

Table 2Results of Regressions of Price on Earnings andEquity Book Values for Period 1994 to 2009-SubSample of Positive Earnings and Positive Equity

Book Values

Sub Sample ofIndependent Positive EPSVariables and Positive EBVS

Constant 2351.231*(8.547)EPS 1.137*(6.256)EBVS 0.229*(5.666)Adjusted R2 0.189P-Value of Regression 0.000Number of year-firm observations 1583

*denotes significant at 5%

Table 3 shows results of multiple regressionanalysis of hypothesis 2b testing. The results indicatethat EPS regression coefficient is positive (0.0455) andinsignificant (t-value= 0.624), this means that earningsdo not have value relevance. Regression coefficient ofEBVS is negative (-0.0924) and significant (t-value= -2.672), this shows that equity book values have valuerelevance but the coefficient is negative. This sign isodd and unpredicted. This negative sign means thatwhen equity book values decrease, the prices will in-crease. It is not common sense. These results supporthypothesis 2b that equity book values and earningsdo not have value relevance when both equity bookvalues and earnings are negative.

Empirical data analysis results support hypoth-esis 1 that value relevance of earnings and equity bookvalues is higher in the period of significant adoption ofIAS/IFRS that the period of little IAS/IFRS adoption.This finding proves that the adoption of IAS/IFRS byIIA increases the value relevance of accounting infor-mation. IIA made a significant adoption of IAS/IFRSsince 2001 to provide relevant accounting informationto investors. This research proves that the value rel-evance of earnings and equity book values increasesafter 2001. This finding is consistent with Khanaga(2011) that investigates the value relevance of account-ing information in Bahrain after reforming its account-ing standard by adopting IFRS. It shows an improve-ment in value relevance of accounting information af

Table 3Results of Regressions of Price on Earnings andEquity Book Values for Period 1994 to 2009-SubSample of Negative Earnings and Negative Equity

Book Values

Sub Sample ofIndependent Negative EPSVariables and Negative EBVS

Constant 463.371*(5.260)EPS 0.0455(0.624)EBVS -0.0924*(-2.672)Adjusted R2 0.042P-Value of Regression 0.000Number of year-firm observations 207

*denotes significant at 5%

ter the reforming accounting standards in Bahrain stockmarket. This finding also support a premise that fairvalue will increase the value relevance of accountinginformation because IAS/IFRS that are adopted by IIAtend to use more fair values than historical costs foraccounting measurement. Accounting measurement byusing fair value can lead value of firm to be closer tointrinsic value, so that accounting information is morevalue-relevant to investors.

Although the results support hypothesis 1, theymust be interpreted carefully because regression coef-ficient of EPS for f period 2001 to 2009 is not signifi-cant. EPS coefficient of period 1994 to 2000 is signifi-cant (0.315, t-value= 4.965), but it becomes insignifi-cant for period 2001 to 2009 (-0.331, t-value= -0.331).These mean that value relevance of earnings decreases.However, value relevance of equity book value in-creases. EBVS coefficient is 0.198 (t-value= 10.967) forperiod 1994 to 2000, and it becomes 0.698 (t-value=10.468) for period 2001 to 2009. This finding showsthat during IAS/IFRS adoption equity book valueshave higher value relevance than earnings.

Results of data analysis support hypothesis 2athat equity book values and earnings have value rel-evance when both equity book values and earningsare positive. This finding shows that when equity bookvalues and earnings are positive, both are used byinvestor to make investment decisions. This finding isconsistent with Shamy and Kayed (2005). They find

Page 70: JAM Vol 23 No 2 Agustus 2012

149

THE VALUE RELEVANCE OF ACCOUNTING INFORMATION IN TRANSITION TO............. (Eko Widodo Lo)

that earnings and book values have explanatory powerwhen they are positive.

Empirical results also support hypothesis 2bthat equity book values and earnings do not have valuerelevance when both equity book values and earningsare negative. The results of data analysis show thatEPS regression coefficient is positive and insignificant,this indicate that earnings do not have value relevance.However, coefficient of EBVS is negative (-0.0924) andsignificant (t-value= -2.672), this finding indicates thatequity book values have value relevance but the coef-ficient is negative. The sign is strange. The negativesign means that share price will increase when equitybook values decrease. It is difficult to explain.

CONCLUSION

The goal of this research is to give preliminary evi-dence for information content of equity book valuesand earnings during transition era to IAS/IFRS in In-donesia. This research compares the value relevanceof equity book values and earnings in the period ofsignificant adoption of IAS/IFRS (1994 to 2000) andthe period of little IAS/IFRS adoption (2001 to 2009).This research finds that value relevance of earningsand equity book values is higher in the period of sig-nificant adoption of IAS/IFRS than the period of littleIAS/IFRS adoption. This research also finds that eq-uity book values and earnings have value relevancewhen both equity book values and earnings are posi-tive. However, both equity book values and earningsdo not have value relevance when both equity bookvalues and earnings are negative.

The limitation of this research is that the re-gression models cannot fulfill all of classical assump-tions. Heteroscedasticty problem occurs in all equa-tions. However, this problem cannot be overcome, al-though the variables have been deflated by using num-ber of outstanding shares, this research uses earningsper share, equity book values per share, and share price.Because this research must use negative earnings andnegative equity book values, heteroscedasticity can-not be reduced by using log or natural log. Log ornatural log cannot be applied on negative values.

REFERENCES

Alfaraih, M. and F. Alanezi. 2011. “The Usefulness ofearnings and book value for equity valuationto Kuwait stock exchange participants”. TheInternational Business & Economics ResearchJournal. 10, 1: 73-89.

Armstrong, C.S., M. E. Barth, A.D. Jagolinzer, and E.J.Riedl. 2010. “Market Reaction to the Adoptionof IFRS in Europe”. The Accounting Review,85, 1:31-61.

Ashbaugh, H., and M. Pincus. 2001. “Domestic Ac-counting Standards, International AccountingStandards, and the Predictability of Earnings”.Journal of Accounting Research. 39: 417-434.

Ball, R. 2006. “International Financial Reporting Stan-dards (IFRS): Pros and Cons for Investors”. Ac-counting & Business Research. 2006, 36(Spe-cial Issue): 5-27.

Ball, R. and P. Brown. 1968. “An Empirical evaluationof accounting income numbers”. Journal of Ac-counting Research. 6: 159-178.

Ball, R., A. Robin, and J.S. Wu. 2003. “Incentives ver-sus Standards: Properties of Accounting In-come in Four East Asian Countries”. Journal ofAccounting and Economics. 36: 235-270.

Barth, M.E, W.R. Landsman, and M.H. Lang. 2008. “In-ternational accounting standards and account-ing quality”. Journal of Accounting Research.46, 3:467-728.

Bartov, E., S. R. Goldberg, and M.-S. Kim. 2005. “Com-parative Value Relevance Among German, U.S.and International Accounting Standards: A Ger-man Stock Market Perspective”. Journal ofAccounting Auditing and Finance. 20, 2: 95-119.

Burgstahler, D., L. Hail, and C. Leuz. 2006. “The Impor-tance of Reporting Incentives: Earnings Man-agement in European Private and Public Firms”.

Page 71: JAM Vol 23 No 2 Agustus 2012

150

JAM, Vol. 23, No. 2, Agustus 2012: 139-151

The Accounting Review. 8, 1: 983-1016.

Collins, D., E. Maydew, and I. Weiss. 1997. “Changesin the value relevance of earnings and bookvalues of equity over the past forty years”. Jour-nal of Accounting and Economics. 24: 39-67.

Christensen, H.B., E. Lee, and M. Walker. 2008. “Incen-tives or standards: What determines account-ing quality changes around IFRS adoption?”Working Paper. Manchester Business School.

Daske, H. 2006. “Economic Benefits of Adopting IFRSor US GAAP - Have the Expected Cost of Eq-uity Capital Really Decreased?” Journal of Busi-ness Finance & Accounting. 33: 329-373.

Daske, H., L. Hail, C. Leuz, and R. Verdi. 2008. “Manda-tory IFRS Reporting around the World: EarlyEvidence on the Economic Consequences”.Journal of Accounting Research. 46, 5: 1085-1142.

Easton, P. and T. Harris. 1991. “Earnings as an Explana-tory Variable for Returns”. Journal of Account-ing Research. 29:19-36.

Feltham, G.A. and J.A. Ohlson. 1995. “Valuation andClean Surplus Accounting for Operating andFinancial Activities”. Contemporary Account-ing Research. 11, 2: 689-731.

Hung, M. and K.R. Subramanyam. 2007. “FinancialStatement Effects of Adopting International Ac-counting Standards: The Case of Germany”.Review of Accounting Studies,.12, 4: 623-657.

Jones, J. 1991. “Earnings management during importrelief investigations”. Journal of AccountingResearch. 29, 2: 193-228.

Khanaga, J.B. 2011. “International Financial ReportingStandards (IFRS) and Value Relevance of Ac-counting Information: Evidence from Bahrainand United Arab Emirates Stock Markets”. Af-rican Journal of Social Sciences.1, 1: 101-114.

Kousenidis, D.V., A.C. Ladas , and C.I. Negakis. 2010.“Value Relevance of Accounting Informationin the Pre- and Post-IFRS Accounting Periods”.European Research Studies. Volume XIII, Is-sue (1): 143-152.

Leuz, C. 2003. “IAS versus US GAAP: information-asymmetry based evidence from Germany’sNew Market”. Journal of Accounting Research.41, 3: 445-72.

Leuz, C. and R. E. Verrecchia. 2000. “The EconomicConsequences of Increased Disclosure”. Jour-nal of Accounting Research. 38 (Supplement):91-124.

Ohlson, J. 1995. “Earnings, book values, and dividendsin equity valuation”. Contemporary Account-ing Research. 11: 661-687.

Paananen, M. 2008. “The IFRS Adoption’s Effect onAccounting Quality in Sweden”. Working Pa-per. Business School, University ofHertfordshire.

Paananen M. and H. Lin. 2009. “The development ofaccounting quality of IAS and IFRS over time:The case of Germany”. Journal of InternationalAccounting Research. 8, 1: 31-55.

Schadewitz, H. and M. Vieru. 2007. “Impact of IFRStransition complexity on audit and audit fees:Evidence from small and medium sized listed inFinland”. Working Paper. Turku School of Eco-nomics. University of Lapland.

Shamy, M.A. E. and M.A. Kayed. 2005. “The valuerelevance of earnings and book values in eq-uity valuation: An International perspective-Thecase of Kuwait”. International Journal of Com-merce & Management.15, 1: 68-79.

Tarca, A. 2001. “Achieving international harmonizationthrough accounting policy choice”. WorkingPaper. University of Western Australia.

Page 72: JAM Vol 23 No 2 Agustus 2012

151

THE VALUE RELEVANCE OF ACCOUNTING INFORMATION IN TRANSITION TO............. (Eko Widodo Lo)

Van Tendeloo, B. and A. Vanstraelen. 2005. “Earningsmanagement under German GAAP versusIFRS”. European Accounting Review. 14, 1: 155-80.

Page 73: JAM Vol 23 No 2 Agustus 2012

Vol. 23, No. 2, Agustus 2012

INDEKS SUBYEKJURNAL AKUNTANSI & MANAJEMEN

Tahun 1990

ISSN: 0853-1259

J U R N A LAKUNTANSI & MANAJEMEN

A

abnormal accruals 79, 81, 83, 86accounting discretion 105, 116accrual discretional 105ASEAN 92, 119, 120, 121, 122, 123, 124, 125, 126

C

corporate governance 105, 106, 116, 117credit risk 129, 137

D

debt 79, 80, 81, 82, , 83, 85, 86, 120, 142, 143deposit insurance corporation 129

E

earnings 79, 81, 105, 139, 141, 142, 143, 144,145, 146, 147, 148, 149, 150

earnings quality 79, 85, 86equity book value 139, 144, 145, 146, 147, 148,

149

F

fair rate insurance premium 129flat rate insurance premium 129

I

IFRS 139, 140, 141, 142, 143, 144, 145, 146,147, 148, 149, 150, 151

income smoothing 105International Trade 127international trade 119, 120, 121, 126

M

moral hazard 129, 130

N

negative earnings surprise avoidance 105

P

policy 119, 120, 126, 144, 150

S

size 79, 81, 82, 83, 84, 105, 119, 147, 150speed adjustment 119, 120, 126

T

tax ratio 87tax reform 87tax regime 87

V

value relevance 85, 139, 140, 143, 144, 145, 146,147, 148, 149, 150

Page 74: JAM Vol 23 No 2 Agustus 2012

Vol. 23, No. 2, Agustus 2012

INDEKS PENGARANGJURNAL AKUNTANSI & MANAJEMEN

Tahun 1990

ISSN: 0853-1259

J U R N A LAKUNTANSI & MANAJEMEN

A

Abdul Hakim 119

B

Bambang Sudibyo 87Bambang Suripto 105Bambang Sutopo 79

E

Eduardus Tandelilin 129Eko Widodo Lo 139

F

Firman Pribadi 129

J

Jaka Sriyana 119

M

Mamduh M.Hanafi 129

S

Suad Husnan 129

Page 75: JAM Vol 23 No 2 Agustus 2012

Vol. 23, No. 2, Agustus 2012

PEDOMAN PENULISANJURNAL AKUNTANSI & MANAJEMEN

Ketentuan Umum1. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris sesuai dengan format yang ditentukan.2. Penulis mengirim tiga eksemplar naskah dan satu compact disk (CD) yang berisikan naskah tersebut

kepada redaksi. Satu eksemplar dilengkapi dengan nama dan alamat sedang dua lainnya tanpanama dan alamat yang akan dikirim kepada mitra bestari. Naskah dapat dikirim juga melalui e-mail.

3. Naskah yang dikirim belum pernah diterbitkan di media lain yang dibuktikan dengan pernyataantertulis yang ditandatangani oleh semua penulis bahwa naskah tersebut belum pernah dipublikasikan.Pernyataan tersebut dilampirkan pada naskah.

4. Naskah dan CD dikirim kepada Editorial SecretaryJurnal Akuntansi & Manajemen (JAM)Jalan Seturan Yogyakarta 55281Telpon (0274) 486160, 486321 ext. 1332 Fax. (0274) 486155e-mail: [email protected]

Standar Penulisan1. Naskah diketik menggunakan program Microsoft Word pada ukuran kertas A4 berat 80 gram, jarak 2

spasi, jenis huruf Times New Roman berukuran 12 point, margin kiri 4 cm, serta margin atas, kanan,dan bawah masing-masing 3 cm.

2. Setiap halaman diberi nomor secara berurutan. Gambar dan tabel dikelompokkan bersama padalembar terpisah di bagian akhir naskah.

3. Angka dan huruf pada gambar, tabel, atau histogram menggunakan jenis huruf Times New Romanberukuran 10 point.

4. Naskah ditulis maksimum sebanyak 15 halaman termasuk gambar dan tabel.

Urutan Penulisan Naskah1. Naskah hasil penelitian terdiri atas Judul, Nama Penulis, Alamat Penulis, Abstrak, Pendahuluan,

Materi dan Metode, Hasil, Pembahasan, Ucapan Terima Kasih, dan Daftar Pustaka.2. Naskah kajian pustaka terdiri atas Judul, Nama Penulis, Alamat Penulis, Abstrak, Pendahuluan,

Masalah dan Pembahasan, Ucapan Terima Kasih, dan Daftar Pustaka.3. Judul ditulis singkat, spesifik, dan informatif yang menggambarkan isi naskah maksimal 15 kata.

Untuk kajian pustaka, di belakang judul harap ditulis Suatu Kajian Pustaka. Judul ditulis denganhuruf kapital dengan jenis huruf Times New Roman berukuran 14 point, jarak satu spasi, dan terletakdi tengah-tengah tanpa titik.

4. Nama Penulis ditulis lengkap tanpa gelar akademis disertai alamat institusi penulis yang dilengkapidengan nomor kode pos, nomor telepon, fax, dan e-mail.

Tahun 1990

ISSN: 0853-1259

J U R N A LAKUNTANSI & MANAJEMEN

Page 76: JAM Vol 23 No 2 Agustus 2012

Vol. 23, No. 2, Agustus 2012

5. Abstrak ditulis dalam satu paragraf tidak lebih dari 200 kata menggunakan bahasa Inggris. Abstrakmengandung uraian secara singkat tentang tujuan, materi, metode, hasil utama, dan simpulan yangditulis dalam satu spasi.

6. Kata Kunci (Keywords) ditulis miring, maksimal 5 (lima) kata, satu spasi setelah abstrak.7. Pendahuluan berisi latar belakang, tujuan, dan pustaka yang mendukung. Dalam mengutip pendapat

orang lain dipakai sistem nama penulis dan tahun. Contoh: Badrudin (2006); Subagyo dkk. (2004).8. Materi dan Metode ditulis lengkap.9. Hasil menyajikan uraian hasil penelitian sendiri. Deskripsi hasil penelitian disajikan secara jelas.10. Pembahasan memuat diskusi hasil penelitian sendiri yang dikaitkan dengan tujuan penelitian (pengujian

hipotesis). Diskusi diakhiri dengan simpulan dan pemberian saran jika dipandang perlu.11. Pembahasan (review/kajian pustaka) memuat bahasan ringkas mencakup masalah yang dikaji.12. Ucapan Terima Kasih disampaikan kepada berbagai pihak yang membantu sehingga penelitian dapat

dilangsungkan, misalnya pemberi gagasan dan penyandang dana.13. Ilustrasi:

a. Judul tabel, grafik, histogram, sketsa, dan gambar (foto) diberi nomor urut. Judul singkat tetapijelas beserta satuan-satuan yang dipakai. Judul ilustrasi ditulis dengan jenis huruf Times NewRoman berukuran 10 point, masuk satu tab (5 ketukan) dari pinggir kiri, awal katamenggunakan huruf kapital, dengan jarak 1 spasi

b. Keterangan tabel ditulis di sebelah kiri bawah menggunakan huruf Times New Romanberukuran 10 point jarak satu spasi.

c. Penulisan angka desimal dalam tabel untuk bahasa Indonesia dipisahkan dengan koma (,) danuntuk bahasa Inggris digunakan titik (.).

d. Gambar/Grafik dibuat dalam program Excel.e. Nama Latin, Yunani, atau Daerah dicetak miring sedang istilah asing diberi tanda petik.f. Satuan pengukuran menggunakan Sistem Internasional (SI).

14. Daftar Pustakaa. Hanya memuat referensi yang diacu dalam naskah dan ditulis secara alfabetik berdasarkan

huruf awal dari nama penulis pertama. Jika dalam bentuk buku, dicantumkan nama semuapenulis, tahun, judul buku, edisi, penerbit, dan tempat. Jika dalam bentuk jurnal, dicantumkannama penulis, tahun, judul tulisan, nama jurnal, volume, nomor publikasi, dan halaman. Jikamengambil artikel dalam buku, cantumkan nama penulis, tahun, judul tulisan, editor, judul buku,penerbit, dan tempat.

b. Diharapkan dirujuk referensi 10 tahun terakhir dengan proporsi pustaka primer (jurnal) minimal80%.

c. Hendaknya diacu cara penulisan kepustakaan seperti yang dipakai pada JAM/JEB berikut ini:

JurnalYetton, Philip W., Kim D. Johnston, and Jane F. Craig. Summer 1994. “Computer-Aided Architects: ACase Study of IT and Strategic Change.”Sloan Management Review: 57-67.

BukuPaliwoda, Stan. 2004. The Essence of International Marketing. UK: Prentice-Hall, Ince.

Tahun 1990

ISSN: 0853-1259

J U R N A LAKUNTANSI & MANAJEMEN

Page 77: JAM Vol 23 No 2 Agustus 2012

Vol. 23, No. 2, Agustus 2012

ProsidingPujaningsih, R.I., Sutrisno, C.L., dan Sumarsih, S. 2006. Kajian kualitas produk kakao yang diamoniasidengan aras urea yang berbeda. Di dalam: Pengembangan Teknologi Inovatif untuk MendukungPembangunan Peternakan Berkelanjutan. Prosiding Seminar Nasional dalam Rangka HUT ke-40 (LustrumVIII) Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman; Purwokerto, 11 Pebruari 2006. FakutasPeternakan UNSOED, Purwokerto. Halaman 54-60.

Artikel dalam BukuLeitzmann, C., Ploeger, A.M., and Huth, K. 1979. The Influence of Lignin on Lipid Metabolism of The Rat.In: G.E. Inglett & S.I.Falkehag. Eds. Dietary Fibers Chemistry and Nutrition. Academic Press. INC., NewYork.

Skripsi/Tesis/DisertasiAssih, P. 2004. Pengaruh Kesempatan Investasi terhadap Hubungan antara Faktor Faktor Motivasionaldan Tingkat Manajemen Laba. Disertasi. Sekolah Pascasarjana S-3 UGM. Yogyakarta.

InternetHargreaves, J. 2005. Manure Gases Can Be Dangerous. Department of Primary Industries and Fisheries,Queensland Govermment. http://www.dpi.gld.gov.au/pigs/ 9760.html. Diakses 15 September 2005.

Dokumen[BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Sleman. 2006. Sleman Dalam Angka Tahun 2005.

Mekanisme Seleksi Naskah1. Naskah harus mengikuti format/gaya penulisan yang telah ditetapkan.2. Naskah yang tidak sesuai dengan format akan dikembalikan ke penulis untuk diperbaiki.3. Naskah yang sesuai dengan format diteruskan ke Editorial Board Members untuk ditelaah diterima

atau ditolak.4. Naskah yang diterima atau naskah yang formatnya sudah diperbaiki selanjutnya dicarikan penelaah

(MITRA BESTARI) tentang kelayakan terbit.5. Naskah yang sudah diperiksa (ditelaah oleh MITRA BESTARI) dikembalikan ke Editorial Board Mem-

bers dengan empat kemungkinan (dapat diterima tanpa revisi, dapat diterima dengan revisi kecil(minor revision), dapat diterima dengan revisi mayor (perlu direview lagi setelah revisi), dan tidakditerima/ditolak).

6. Apabila ditolak, Editorial Board Members membuat keputusan diterima atau tidak seandainya terjadiketidaksesuaian di antara MITRA BESTARI.

7. Keputusan penolakan Editorial Board Members dikirimkan kepada penulis.8. Naskah yang mengalami perbaikan dikirim kembali ke penulis untuk perbaikan.9. Naskah yang sudah diperbaiki oleh penulis diserahkan oleh Editorial Board Members ke Managing

Editors.10. Contoh cetak naskah sebelum terbit dikirimkan ke penulis untuk mendapatkan persetujuan.11. Naskah siap dicetak dan cetak lepas (off print) dikirim ke penulis.

Tahun 1990

ISSN: 0853-1259

J U R N A LAKUNTANSI & MANAJEMEN