iv. pembahasan 4.1. produksi...luas, produksi dan produktivitas tanaman perkebunan kakao kabupaten...
TRANSCRIPT
18
IV. Pembahasan
4.1. Produksi
Sampai saat ini sektor pertanian masih berperan penting dalam meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Untuk mewujudkan visi Kabupaten Morowali sebagai
Kabupaten Si’e 2012 (lumbung pangan) maka diperlukan keberhasilan dari
program-program pembangunan yang diadakan oleh pemerintah pada sektor
pertanian. Sektor pertanian memiliki beberapa sub sektor diantaranya sub sektor
perkebunan. Di dalam sub sektor perkebunan itu sendiri, masih terbagi lagi dalam
berbagai komoditi, diantaranya kelapa, kelapa sawit, karet, kakao, kopi, cengkeh
dan lain-lain.
Tabel 4.1.
Luas Areal, Produksi dan Produktivitas Tanaman Perkebunan Kakao Kabupaten
Morowali Menurut Kecamatan Tahun 2010
No. Kecamatan Luas (Ha) Produksi kakao
kering (Ton)
Produktivitas
(Kg/Ha)
1 Menui Kepulauan 159 19,00 119,50
2 Bungku Selatan 1.043 672,80 645,06
3 Bahodopi 1.191 340,00 285,47
4 Bungku Tengah 2.008 639,00 318,23
5 Bungku Barat 1.011 360,00 356,08
6 Bumi Raya 1.265 559,80 442,53
7 Witaponda 867 366,60 422,84
8 Lembo 1.788 617,40 345,30
9 Mori Atas 1.925 596,00 309,61
10 Mori Utara(*) …… ……. ……..
11 Petasia 1.901 821,80 432,30
12 Soyo Jaya 1.269 501,20 394,96
13 Bungku Utara 408 435,00 1066,18
14 Mamosalato 357 20,10 56,02
Total 15192 5948,70 5194,36
rata-rata
kecamatan
1169 457,59 391,57
Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Morowali
Catatan*)
: Data masih gabung dengan kecamatan induknya (Mori Atas)
19
Salah satu komoditi perkebunanan unggulan Kabupaten Morowali adalah
kakako. Hal ini dapat dilihat dari Tabel 4.1. dimana keempatbelas kecamatan yang
berada di Kabupaten Morowali semuanya memiliki perkebunan kakao yang
dikekola oleh masyarakat atau perkebunan rakyat. Dari Tabel 4.1., terlihat bahwa
rata-rata kecamatan di Kabupaten Morowali pada tahun 2010 memiliki perkebunan
kakao seluas 1.169 Ha dengan produksi 457,59 ton. Setiap kecamatan memiliki luas
perkebunan kakao yang berbeda-beda, demikian juga dengan hasil produksi dan
produktivitasnya. Banyak hal yang dapat mempengaruhi produksi dan produktivitas
dari perkebunan kakao diantaranya perbedaan tingkat kesuburan tanah, perbedaan
umur tanaman kakao (belum menghasilkan, menghasilkan dan tidak menghasilkan
atau rusak), serangan hama dan perubahan iklim. Perkebunan kakao terluas bereda
di Kecamatan Bungku Tengah yaitu 2.008 Ha atau 13,22% dari total luas
perkebunan kakao Morowali tahun 2010, berikut kecamatan Mori Atas 1.925 Ha
(12,67%) sebelum pemekaran Kecamatan, dan Kecamatan Petasia 1.901 Ha
(12,51%). Kecamatan yang memiliki luas perkebunan kakao paling sedikit adalah
Kecamatan Menui Kepulauan yaitu 159 Ha atau hanya 1,05% dari luas perkebunan
kakao Kabupaten Morowali. Produksi terbesar pada tahun 2010 berasal dari
Kecamatan Petasia sebesar 821,80 Ton atau menyumbang 13,81% total produksi
kakao Kabupaten Morowali, berikut Kecamatan Bungku Selatan dengan produksi
672,80 ton (11,31%). Kecamatan yang kontribusinya paling sedikit adalah
Kecamatan Mamosalato (0,34%) dan Menui Kepulauan (0,32%).
Produktivitas perkebunan kakao di tingkat Kecamatan pada tahun 2010 cukup
bervariasi dengan 391,57 kg/Ha. Banyaknya masalah seperti keterbatasan biaya
produksi, perubahan iklim, penyakit dan hama yang dihadapi petani dalam
pengolahan perkebunan kakao di berbagai Kecamatan di Kabupaten Morowali
membuat produktivitas perkebunan pun bervariasi. Walaupun satu Kecamatan
20
memiliki perkebunan kakao yang lebih luas, tetapi jika dibandingkan dengan
kecamatan lain produktivitas Kecamatan tersebut justru lebih rendah (Tabel 4.1.).
Kecamatan Bungku Utara yang luas perkebunanya mecapai 2.008 Ha, tingkat
produktivitasnya hanya 318,23 kg/Ha. Demikian juga dengan Kecamatan Mori Atas
yang produktivitasnya hanya 309,61 kg/Ha dengan luas areal perkebunan 1.925 Ha.
Lain halnya dengan Kecamatan Bungku Selatan yang memiliki luas perkebunan
1.043 Ha atau hampir seribu hektar lebih sedikit dari Kecamatan Bungku Utara dan
Mori Atas justru produktivitasnya dua kali lebih besar dari kedua kecamatan
tersebut yakni 645,06 kg/Ha. Dari semua Kecamatan yang ada di Kabupaten
Morowali, Kecamatan yang memiliki produktivitas perkebunan kakao paling tinggi
adalah Kecamatan Bungku Utara yaitu 1.066,18 kg/Ha dengan lahan perkebunan
hanya 408 Ha. Sedangkan Kecamatan dengan produktivitas perkebunan kakao
terendah adalah Kecamatan Mamosalato dengan luas perkebunan 357 Ha dan
produktivitasnya hanya 56,02 kg/Ha. Secara keseluruhan pada tahun 2010,
produktivitas perkebunan kakao Kabupaten Morowali yang rata-rata 391,57 kg/Ha
masih lebih rendah jika dibandingkan dengan produktivitas perkebunan kakao
Sulawesi Tengah yaitu 832,51 kg/Ha.
Produksi atau hasil dari suatu usaha pertanian dalam hal ini produksi komoditi
kakao, akan dijadikan sebagai suatu patokan apakah komoditi kakao memiliki
potensi untuk diusahakan dan dikembangkan sebagai komoditi unggulan di
Kabupaten Morowali. Secara keseluruhan luas dan produksi perkebunan kakao
Kabupaten Morowali dari tahun 2007- 2010 dapat dilihat pada Tabel 4.2.
21
Tabel 4.2.
Luas, Produksi dan Produktivitas Tanaman Perkebunan Kakao
Kabupaten Morowali Tahun 2007-2010
Tahun Luas (ha) Produksi Biji
Kakao Kering (ton)
Produktivitas
(Kg/Ha)
2007 11.742 5489.09 467.47
2008 11.81 5535.16 468.68
2009 13.84 6383.79 461.26
2010 15.192 5948.7 391.56
Rata-rata 13.146 5,839.16 447.25
Sumber: BPS Kabupaten Morowali
Dari tahun ke tahun luas perkebunan kakao di Kabupaten Morowali terus
mengalami peningkatan dengan rata-rata produksi 5.839,16 ton per tahun. Dengan
bertambahnya luas perkebunan kakao dari tahun ke tahun, maka diharapakan
produksi dan produktivitasnya akan ikut meningkat. Dari Tabel 4.2. dapat dilihat
bahwa pada tahun 2010 produksi dan produktivitas kakao mengalami sedikit
penurunan. Namun tahun sebelumnya yaitu tahun 2007-2009 produksi kakao terus
meningkat. Pada tahun 2009 produksi kakao mengalami peningkatan sebesar 848,67
ton atau meningkat 13,29% dari tahun 2008. Jika dilihat dari produktivitas, tahun
2007-2010 produktivitas perkebunan kakao cenderung stabil dengan rata-rata
447.25 kg/Ha. Apabila dibandingkan dengan produktivitas Kakao Sulawesi Tengah
dengan rata-rata 696,62 kg/Ha, produktivitas perkebunan kakao Kabupaten
Morowali masih rendah. Dari Tabel 4.2. tentunya memberikan gambaran bahwa
luas dan produksi komoditi kakao di Kabupaten Morowali semakin maningkat dan
memiliki peluang atau potensi untuk terus dikembangkan sebagai salah satu
komoditi unggulan, menjadi sumber pendapatan dan membuka lapangan pekerjaan
bagi masyarakat.
22
4.1.1. Usaha Perkebunan Kakao di Desa Peleru
Usaha pertanian yang dikelola oleh masyarakat di setiap kecamatan (Tabel
4.1.) adalah komoditi kakao. Kecamatan penghasil kakao tersebut diantaranya
adalah Kecamatan Mori Utara. Kecamatan yang baru terbentuk pada tahun 2009
dan merupakan hasil pemekaran dari kecamatan Mori Atas ini, berada di sebelah
Barat Kabupaten Morowali dan berbatasan langsung dengan Kabupaten Poso. Luas
perkebunan kakao di Kecamatan Mori Utara yang tersebar di delapan Desa pada
tahun 2011 mencapai 589,75 Ha dengan produktivitas lebih tinggi dari rata-rata
Kabupaten dan Propinsi yaitu 800 kg/Ha atau sama dengan 471,8 ton per tahun
(BPK kecamatan Mori Utara). Selanjutnya, dari data BPK (Badan Penyuluhan
Kecamatan) kecamatan Mori Utara, luas perkebunan kakao terbesar berada di Desa
Peleru yaitu 570,4 Ha atau 96,7% dari luas perkebunan kakao di Kecamatan Mori
Utara.
Tanaman kakao memiliki habitat di lingkungan hutan tropis, tanah yang
lembab dengan naungan yang cukup. Kakao akan berproduski secara maksimal
apabila di lingkungan atau iklim yang tepat seperti cukupnya ketersediaan air dan
hujan yang relatif merata di sepanjang tahun. Desa Peleru memiliki potensi dan
iklim yang cocok untuk pertumbuhan tanaman kakao. Sebagian besar pekebunan
kakao petani berada di lembah sepanjang Sungai Kuse. Kondisi tanah yang lembab
dan ketersediaan air yang cukup membuat lokasi ini sangat cocok untuk perkebunan
kakao.
Sebagian besar penduduk Desa Peleru memiliki lahan dan mata pencaharian
sebagai petani kakao. Inilah yang membuat Desa Paleru menjadi salah satu kantong
penghasil komoditi kakao di Kecamatan Mori Utara. Keseharian petani dijalani
dengan mengolah dan memelihara perkebunan kakao yang merupakan lapangan
pekerjaan dan sumber pendapatan terbesar petani. Dari 30 responden, rata–rata
23
petani di Desa Peleru memiliki luas perkebunan kakao sebesar ≤ 2 Ha (86.67%)
dengan lama bertani rata-rata 10-20 tahun (70%). Budidaya, pemeliharaan dan
produksi tanaman kakao yang dilakukan oleh petani berskala perkebunan rakyat di
Desa Peleru dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Penanaman
Sebelum dilakukan penanaman tentunya yang terpenting adalah ketersediaan
bibit dan lahan dengan luas tertentu yang sudah siap untuk ditanami. Biji
kakao yang dijadikan sebagai bibit adalah biji kakao yang berasal dari buah
terpilih dari pohon kakao yang telah ada sebelumnya. Sebelum ditanam,
terlebih dahulu dilakukan pembibitan, baik menggunakan polibek berukuran
kecil maupun di lahan yang suduah disiapkan khusus untuk pembibitan.
Setelah bibit kakao berumur kurang lebih tiga sampai enam bulan, bibit
tersebut dipindakah ke lahan perkebunan dengan jarak tanam 3x3 meter.
Petani melakukan penanaman kakao secara berkala sesuai dengan
ketersediaan bibit dan luas lahan yang siap ditanami. Dari hasil wawancara
lapangan, hanya 23.33% petani responden yang mengetahui jenis kakao
yang mereka tanam yaitu jenis trinitario/hibrida sedangkan 76.67%
responden lainya menjawab tidak mengetahui jenis kakao yang mereka
tanam. Kakao yang ditanam petani jenisnya sudah bercampur, hal ini terjadi
karena bibit yang digunakan adalah bibit lokal yang berasal dari pohon
kakao yang ditanam sebelumnya, baik dari kerabat sesama petani atau milik
petani itu sendiri.
2. Pemupukan
Pemupukan dilakukan untuk menyuburkan dan mengembalikan unsur hara
pada tanah sehingga meningkatkan dan merangsang pertumbuhan tanaman
kakao baik batang, daun dan buah. Umur tanaman kakao petani responden
24
Desa Peleru yang berumur ≤ 10 tahun sebesar 16.67% dan 76.67% berumur
10-20 tahun sedangkan umur diatas duapuluh tahun hanya 6,67%. Umur
tanaman kakao ini merupakan umur produktif sehingga Pengunaan pupuk
sangat diperlukan untuk meningkatkan produktivitasnya. Jenis pupuk yang
digunakan petani adalah pupuk urea dan beberapa pupuk lainya seperti TSP,
KCL dan NPK. Skala penggunaan pupuk urea lebih besar daripada pupuk
lainya dan terkadang pula petani mencampur jenis tersebut dengan pupuk
urea. Pemupukan dilakukan satu kali dalam setahun dengan rata-rata
penggunaan pupuk urea sebanyak 208 kg/Ha.
3. Penyemprotan
Penyemprotan dilakukan untuk mengatasi dan membasmi hama serta
penyakit yang menyerang tanaman kakao. Dari tahun ke tahun hama dan
busuk buah ditambah dengan iklim yang tidak menentu semakin membuat
resah para petani. Berbagai jenis hama pengganggu pada pertumbuhan dan
pada produksi kakao adalah hama PBK (penggerek buah kakao), penggerek
daun, dan batang. Masalah lain adalah timbulnya penyakit seperti hitam
buah yang diakibatkan curah hujan yang terlalu tinggi, mati pucuk dan
serangan jamur batang yang dapat menyebabkan matinya pohon kakao.
Berbagai upaya dilakukan oleh para petani untuk mengatasi hal tersebut
khususnya pada serangan hama. Pemberantasan hama dilakukan dengan
melakukan penyemprotan pestisida. Rata-rata petani atau 96.67% petani
responden melakukan penyemprotan dua kali dalam sebulan. Janis pestisida
yang digunakan petani cukup bervariasi seperti Vigor, Unisait, Nordoks,
Akodag, Sidametrin, Capture, Kloromit, Topplus dan lain-lain. Dalam
satukali penyemprotan petani mencampurkan 2-3 jenis pestisida dengan
skala 1/2-1 liter setiap jenis pestisida, sehingga total penggunaan pestisida
25
dalam satu kali penyemprotan berkisar 1-2 liter. Karena kebutuhan tanaman
akan pupuk cukup tinggi dan juga tujuan untuk meningkatkan produksi
maka terkadang dalam penyemprotan hama, petani juga mencampurkan
pestisida dengan pupuk cair perangsang pertumbuhan daun dan buah seperti
Ronsaid dan Agrodite.
4. Penyiangan
Penyiangan diperlukan untuk menjaga lahan perkebunan tetap bersih dan
bebas dari gulma atau rumput yang akan mengganggu pertumbuhan kakao
seperti akan terbaginya makanan dengan rumput liar. Pada saat kakao
menghasilkan buah, penyiangan dilakukan untuk menghindari hama tikus
dan pemakan buah lainnya. Seiring dengan kemajuan teknologi, jika dahulu
penyiangan dilakukan dengan arit, tenaga kerja dan waktu yang panjang,
maka sekarang dengan alat-alat pertanian modern seperti mesin pemangkas
dan herbisida yang digunakan dengan tangki penyemprot, sangat membantu
petani untuk mengusahakan lahan pertanian secara efisien.
5. Pemangkasan
Walaupun pada awal penanaman tanaman kakao harus memiliki naungan
(pelindung), tetapi setelah pohon itu bertumbuh besar dan lebat maka
tanaman pelindung tersebut tahap demi tahap harus dikurangi. Seiring
dengan hal itu, kerimbunan dari daun atau cabang kakao harus diatur dengan
pemangkasan cabang yang terlalu rimbun dan tunas air yang dianggap
mengganggu pertumbuhan kakao. Pemangkasan dilakukan agar tanaman
mendapatkan intensitas cahaya yang cukup secara keseluruhan sehingga
dapat menghasilkan buah atau berproduksi secara maksimal.
26
6. Panen
Buah kakao memiliki warna yang cukup beragam. Warna kakao yang pada
waktu muda berwarna hijau, setelah masak akan berwarna kuning.
Sedangkan jenis lain, yang awalnya berwarna merah setelah masak akan
berwarna oranye. Apabila buah tersebut sudah masak maka petani
melakuakn pemetikan buah (panen). Buah kakao yang telah dipetik tersebut
akan dikumpulkan di salah satu tempat (biasanya ditumpuk dipinggir kebun)
kemudian dilakukan pemeraman buah maksimal satu minggu agar
kematangan buah kakao merata. Namun petani responden tidak melakukan
proses pemeraman buah tersebut, akan tetapi langsung melakukan
pemecahan buah. Pemecahan buah dapat dilakukan menggunakan beberapa
alat diantaranya pisau, golok dan sepotong kayu yang bertujuan untuk
memisahkan biji dari kulit kakao, kemudian dimasukan kedalam karung dan
langsung diangkut ke rumah petani. Panen buah kakao di Desa Peleru
dilakukan dalam dua musim, petani menyebutnya dengan musim panen raya
dan panen antara (panen semester). Musim panen raya dilakukan antara
bulan April sampai Juni sedangkan panen semester dilakukan antara bulan
Agustus sampai November. Intensitas panen raya pada petani responden
Desa Peleru ≥ 5 kali (60%) dan 3-4 kali (40%), sedangkan untuk panen
antara ≥ 5 kali (70%) dan 3-4 kali (23,3%) dalam setahun. Rata–rata dalam
bualan-bulan panen, baik panen raya maupun panen semester adalah dua kali
pemanenan dalam sebulan (panen setiap dua minggu sekali).
7. Penjemuran
Setelah biji kakao yang sudah di panen diangkut ke rumah petani, kakao
tersebut dibiarkan berada di dalam karung selama 2-3 hari dengan tujuan
mengurangi kandungan air dari biji yang basah, kemudian biji kakao
27
dikelurakan dari karung dan siap dijemur. Tempat penjemuran yaitu di balai-
balai yang terbuat dari bambu, namun penjemuran ditempat ini sudah jarang
dilakukan petani karena petani lebih memilih menjemur di daerah lapang
halaman rumah dengan menggunakan karoro (tikar atau jaring penjemuran).
Lama penjemuran biji kakao sampai kering yaitu 3-4 hari bahkan bisa lebih,
tergantung pada cuaca atau sinar matahari. Penjemuran juga dapat dilakukan
dengan menggunakan mesin khusus pengering biji kakao. Namun sampai
sekarang belum ada petani responden yang memiliki dan menggunakan
mesin pengering tersebut. Setelah biji kakao kering, petani melakukan
pengemasan di dalam karung goni dan biji kakaopun siap untuk dijual.
Pengolahan komoditi kakao di Desa Peleru masih terbilang sederhana serta
kurang memperhatikan standar dan mutu yang baik. Sistem pengolahan kakao
petani masih sebatas panen, jemur sampai dianggap kering lalu dijual. Sedangkan
untuk menghasilkan komoditi kakao yang berkualitas diperlukan pengolahan yang
lebih teliti. Beberapa proses pengolahan masih dilewatkan oleh para petani seperti
proses fermentasi atau pemeraman dengan tujuan melepas lendir-lendir yang
melekat pada biji dan menambah aroma khas biji kakao, belum melakukan
pencucian yang bertujuan untuk menghilangkan kotoran dan lendir yang masih
melekat pada biji, serta sortasi (membersikan kotoran dan memisahkan biji yang
baik dan yang kurang baik).
Dengan intensitas dua kali panen dalam sebulan, maka panen raya petani
sebanyak 4-6 kali dan panen antara sebanyak 4-8 kali dalam satu tahun. Perbedaan
intensitas panen baik panen raya dan panen semester antara responden tergantung
dari produktivitas perkebunan kakao masing-masing responden dan juga karena
dipengaruhi oleh cara pemeliharaan seperti pemberian pupuk, pemangkasan,
28
kebersihan lahan dan penyemprotan hama. Total hasil produksi kakao kering rata-
rata untuk panen raya dan panen semester petani responden adalah 1,6 ton per
tahun.
Usaha pertanian kakao tentunya berkaitan erat dengan sarana produksi
(saprodi) sebagai pendukung berjalannya usaha perkebunan tersebut. Sarana
produksi yang digunakan diantaranya pupuk, pestisida, dan alat-alat pertanian.
Pupuk dan pestisida diperoleh petani dari kelompok tani, kios-kios lokal dan pasar
Kecamatan. Pupuk yang digunakan oleh petani adalah pupuk urea dengan harga Rp.
100.000/50 kg (tahun 2011) dan beberapa pupuk lainnya seperti TSP, KCL dan
NPK. Sedangkan pestisida yang digunakan oleh petani cukup beragam dan
harganyapun bervariasi (Tabel 4.3.).
Tabel 4.3.
Daftar Jenis, Fungsi dan Harga Pestisida
Sumber: Data Primer
No. Pestisida Fungsi Harga /botol (RP)
1 Vigor Untuk membasmi hama penggerek buah,
batang dan daun pada tanaman kakao.
75.000
2 Unisait Untuk membasmi hama penggerek buah,
batag dan daun pada tanamn kakao.
75.000
3 Nordoks Mencegah jamur dan hitam buah kakao. 125.000
4 Alika Membasmi serangga, ulat penggerek
batang, daun dan buah kakao.
50.000
5 Akodan Untuk membasmi hama penggerek buah,
batang dan daun pada tanaman kakao.
85.000
6 Capture Mencegah serangan hama pengerek dan
mencegah busuk buah.
75.000
7 Kloromit Untuk membasmi hama semut. 130.000
8 Seprint Untuk mencegah serangan Hama
penggerek batang, daun dan buah kakao.
50.000
9 Sidametrin Untuk memberantas ulat atau hama
penggerek tanaman kakao.
30.000
10 Topplus Perangsang buah. 35.000
11 Ronsaid Perangsang buah. 10.000
29
Selain pupuk dan pestisida, sarana produksi yang juga digunakan dalam
pengolahan perkebunan kakao adalah alat-alat pertanian. Sebagian besar petani
kakao sudah menggunakan alat pertanian yang moderen seperti mesin pemangkas,
gunting buah dan lain-lain. Beberapa alat pertanian yang digunakan oleh petani
kakao di Desa Peleru dapat dilihat pada Tabel 4.4.
Tabel 4.4.
Alat-Alat Pertanian Yang Digunakan Petani Serta Fungsinya
di Lahan Perkebunan Kakao
No. Alat Pertanian Fungsi/ Kegunaan
1 Arit Untuk penyiangan
2 Cangkul Untuk penggali lubang dalam penanaman kakao
serta penggalian saluran air di lahan perkebunan.
3 Gerobak Dorong Sebagai alat pengangkut buah kakao saat panen.
4 Golok (Parang) Untuk penyiangan dan digunakan pula untuk
memisahkan biji kakao dari kulitnya (Pemecahan
buah).
7 Grobak menggunakan
tenaga sapi (roda)
Sebagai alat transportasi petani ke lahan
perkebunan dan sebagai alat pengangkut biji
kakao dari perkebunan ke rumah petani.
8 Gunting
Buah/Daun/Ranting
Untuk memetik buah dan pemangkasan ranting
kakao
9
Pemetik Buah
(Poncada)
Alat pertanian kakao mirip angka 7 yang
disambungkan pada sebatang bambu dengan
panjang tertentu. Berfungsi untuk pemetik buah
dan alat pemangkas dahan kakao.
10 Jaring Penjemuran
( Karoro)
Untuk menjemur biji kakao yang masih basah.
11 Terpal Untuk menjemur biji kakao yang sudah setengah
kering.
10 Karung goni Untuk menyimpan biji kakao setelah dipanen
serta biji kakao yang sudah kering dan siap dijual.
11 Mesin Pemangkas
Rumput
Untuk alat pemangkas rumput di lahan
perkebunan kakao.
13 Tangki Penyemprot Untuk penyemprotan rumput dan juga hama pada
perkebunan kakao.
Sumber: Data primer
Petani kakao tidak semua mengerjakan proses pengolahan perkebunan
kakaonya seorang diri. Untuk proses produksi, dibutuhkan tenaga kerja untuk
kegiatan penyemprotan, pemangkasan, pemupukan, panen dan pengangkutan.
30
Tenaga kerja tersebut berasal dari dalam keluarga (anggota keluarga) maupun
tenaga kerja dari luar keluarga (jasa tenaga kerja).
Tabel 4.5.
Distribusi Responden Berdasarkan Penggunaan Tenaga Kerja
Dalam Produksi Perkebunan Kakao Petani Desa Peleru
No. Proses
Produksi
Jumlah dan Presentase Responden
Hanya dari
dalam kel
Hanya dari
luar kel
Dari dalam
dan luar kel
Total
jumlah % Jumlah % Jumlah % jumlah %
1 Penanaman 30 100 - - - - 30 100
2 Pemupukan 13 43 9 30 8 27 30 100
3 Penyemprotan 13 43 8 27 9 30 30 100
4 Penyiangan 18 60 8 27 4 13 30 100
5 Pemangkasan 16 53 8 27 6 20 30 100
6 Panen 6 20 14 47 10 33 30 100
7 Pengangkutan 18 60 12 40 - - 30 100
8 Penjemuran 30 100 - - - - 30 100
Sumber: Data Primer
Dalam proses produksi perkebunan Kakao, petani pemilik perkebunan
terkadang mengerjakan sendiri proses pengolahan karena dipengaruhi beberapa
faktor seperti keterbatasan biaya dan lahan pertanian yang tidak terlalu luas
sehingga dapat di kerjakan sendiri oleh petani tersebut. Dapat dilihat pada Tabel
4.5. dimana proses penanaman kakao di lahan pertanian dan proses penjemuran,
dilakukan oleh tenaga kerja (TK) hanya dari dalam keluarga dengan presentase 100
% yang terdiri dari ayah, ibu dan anak yang terkadang ikut membantu. Namun
berbeda halnya dengan beberapa proses produksi yang membutuhkan bantuan
tenaga kerja dari luar keluarga seperti untuk proses pemupukan yang walaupun
hanya dilakukan satu tahun sekali, petani yang menggunakan TK dari dalam
keluarga sebesar 43%, TK dari luar keluarga 30% dan yang menggunakan TK dari
dalam dan dari luar keluarga presentasenya sebesar 27%. Untuk penyemprotan,
petani yang menggunakan TK hanya dari dalam keluarga 43%, TK hanya dari luar
keluarga 27% dan responden yang menggunakan TK dari dalam dan luar keluarga
31
berjumlah 30%. Untuk proses penyiangan, sebagian besar petani menggunakan TK
hanya dari dalam keluarga yaitu sebesar 60%, sedangkan sisanya TK hanya dari luar
keluarga sebnyak 27% dan 13% lainnya menggunakan TK dari dalam dan luar
keluarga. Proses pemangkasan, yang menggunakan TK hanya dari dalam keluarga
yaitu sebanyak 53%, yang menggunakan TK hanya dari luar keluarga 27%
sedangkan TK dari dalam dan luar keluarga 20%. Proses panen merupakan proses
yang cukup lama dan membutuhkan banyak tenaga kerja dari luar keluarga.
Responden yang menggunakan TK hanya dari dalam keluara pada proses panen
20% saja sedangkan 47% lainnya menggunakan TK hanya dari luar keluarga serta
yang menggunakan TK dari dalam dan luar keluarga sebanyak 33% responden.
Untuk proses pengangkutan 60% petani responden memilih mengangkut sendiri
kakao yang telah di panen (menggunakan TK hanya dari dalam keluarga) sedangkan
40% lainnya memakai TK hanya dari luar keluarga.
Sebagian besar masyarakat Desa Peleru adalah petani kakao, sehinga selain
kepala keluarga (bapak), ibu rumah tangga atau TK wanita juga ikut membantu
dalam beberapa proses produksi walaupun presentasenya sangat kecil. Proses yang
menggunakan tenaga kerja wanita adalah proses pemupukan yaitu 13% (masuk
dalam data TK dari dalam keluarga Tabel 4.5.) dan dalam proses panen sebanyak
23% responden menggunakan TK wanita dari dalam keluarga (ibu rumah tangga)
dan 43% lainnya menggunakan TK dari luar keluarga.
32
Tabel 4.6.
Rata- Rata Penggunaan Tenaga Kerja
dan Jumlah Hari Kerja Menurut Jenis Kelamin
untuk Proses Produksi Kakao di Desa Peleru
Proses produksi
Rata-rata jumlah TK Rata-rata jumlah HK
No. TK dalam
kel
TK dari luar
kel
TK dalam
kel
TK dari
luar kel
P W P W P W P W
1 Penanaman 1 - - - - - - -
2 Pemupukan 1 1 2 - 3 3 3 -
3 Penyemprotan 1 - 2 - 3 - 2 -
4 penyiangan 1 - 2 - 7 - 4 -
5 Pemangkasan 1 - 2 - 9 - 6 -
6 Panen 1 1 3 3 3 3 3 3
7 Pengangkutan 1 - 1 - 1 - 1 -
8 Penjemuran 1 1 - - - - - -
Sumber: Data Primer
Tabel 4.6. dapat dijelaskan sebagai berikut: 1) Penanaman: Petani melakukan
penanaman di lahan perkebunannya dengan hari dan waktu kerja yang fleksibel atau
berkala, hal ini dilakukan sesuai ketersediaan lahan dan bibit yang siap ditanam. 2)
Pemupukan: Selain menggunakan dua orang TK (ayah,ibu) dari dalam keluarga
dengan tiga hari kerja (HK), jumlah TK yang dibutuhkan dari luar keluarga dalam
satukali pemupukan rata-rata dua orang TK dengan tiga HK. 3) Penyemrpotan:
Rata-rata penggunaan TK pada proses penyemprotan yang berasal dari luar keluarga
adalah dua orang dengan dua HK. Pada proses penyemprotan ini, pemilik kebun
ikut bekerja namun waktu kerjanya lebih lama yaitu rata-rata tiga HK. 4)
Penyiangan: Untuk penyiangan dengan luas lahan ≤ 2 Ha, petani menyewa rata-rata
dua orang TK dari luar keluarga dengan empat HK, sedangkan petani responden
lainya yang tidak menyewa tenaga kerja menghabiskan waktu kerja selama satu
minggu untuk proses penyiangan. 5) Pemangkasan: Dalam pamangkasan, petani
33
responden menggunakan rata-rata dua orang TK dari luar keluarga dengan rata-rata
enam HK. Apabila petani hanya melakukan pemangkasan dengan tenaga sendiri,
maka jumlah hari kerja yang dibutuhkan lebih panjang yakni sembilan HK. 6)
Panen: Proses panen ini membutuhkan tenaga kerja yang lebih banyak
dibandingkan dengan proses-proses sebelumnya. Untuk satu kali panen, petani
menyewa rata-rata tiga orang TK pria dari luar keluarga dan tiga orang TK wanita,
ditambah dengan anggota dalam keluarga petani itu sendiri dengan rata-rata tiga HK
per satukali panen. Dalam proses pemanenan buah kakao, TK pria bertugas untuk
memetik buah sedangkan wanita sebagai tenaga pemecah buah kakao. Namun tidak
jarang TK pria juga ikut melakukan proses pemecahan buah. 7) Pengangkutan:
Pada hari panen pertama, kedua dan ketiga, biji kakao langsung diangkut sendiri
oleh petani pemilik perkebunan pada hari itu juga dengan menggunakan gerobak
atau sepeda motor atau oleh tenaga kerja pria dengan cara dipikul (ndalembara).
Selain itu, ada beberapa petani yang menggunakan jasa pengangkutan gerobak
dengan biaya Rp. 20.000- Rp. 25.000 per karung. Rata–rata petani responden
maupun tenaga kerja lainya mulai bekerja di perkebunan kakao dari pukul 08.00-
16.00 WITA (8 jam per HK). Upah rata-rata tenaga kerja baik upah penyemprotan,
pemupukan, penyiangan dan panen adalah Rp. 40.000/ HK.
Berbagai persoalan atau masalah yang sering di hadapi oleh para petani dalam
hal pengolahan dan produksi perkebuan kakao seperti keterbatasan modal, sumber
daya manusia (SDM) dan serangan hama. Usaha pertanian perkebunan kakao
membutuhkan modal sebagai biaya operasional produksi. Dengan modal yang
cukup, petani dapat membiayai keperluan usaha seperti pengadaan saprodi (alat-alat
pertanian, pupuk, pestisida, dan upah tenaga kerja). Modal yang digunakan petani
responden untuk membiayai operasional produksi diperoleh dari hasil penjualan biji
kakao. Terbatasnya akses modal oleh petani baik dari lembaga kauangan Bank dan
34
lembaga pinjaman lainya membuat petani harus membagi pendapatan dari hasil
penjualan biji kakao untuk kebutuhan pokok sehari-hari dengan biaya operasional
produksi. Keterbatasan akses modal ini, disebabkan oleh kurangnya pengetahuan
dan pemahaman petani mengenai akses peminjaman modal di bank, sehingga petani
enggan untuk meminjam modal. Saat terjadi penurunan produksi bahkan saat gagal
panen pada tanaman kakao, petani membiayai operasinal pertanian seadanya saja
(megurangi pupuk dan jumlah pestisida), petani kadang menempuh cara lain seperti
mengutang saprodi (sarana produksi) pada pembeli (pengumpul biji kakao) yang
akan dilunasi setelah memperoleh hasil panen kakao.
Sumber daya manusia (SDM) merupakan salah satu komponen penting dalam
pengolahan perkebunan yang baik. Pengetahuan dan informasi yang diperoleh
petani Desa Peleru mengenai pengolahan perkebunan kakao masih sangat sedikit
sehinga cara budidaya tanaman kakao yang dipraktekan petani hanya berdasarkan
pengalaman dan informasi dari sesama petani dan dari pembeli kakao. Keterbatasan
ini juga dikarenakan masih kurangnya pelatihan, seminar-seminar dan sosialisai
pertanian yang diberikan oleh pemerintah atau instansi terkait lainya. Belum
maksimalnya kinerja Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) yang ditempatkan disetiap
desa dalam memberikan pendampingan bagi petani, khususnya petani kakao.
Akibatnya petani tidak dapat berbuat banyak selain mengandalkan pengetahuan dan
informasi terbatas yang mereka miliki dalam mengolah perkebunan kakao tersebut.
Dalam pertanian kakao, masalah terbesar petani adalah serangan hama.
Serangan hama sangat merugikan petani karena akan menyebabkan menurunnya
hasil produksi. Hama yang menyerang perkebunan petani diantaranya hama
penggerek batang dan daun yang menyebabkan daun dan batang kakao menjadi
rusak dan bahkan mati. Hama pengerek buah juga menjadi musuh terbesar petani,
karena akan menyebabkan busuk dan kangker buah sehingga produksi dapat
35
menurun drastis. Selain itu, jamur batang dan mati pucuk juga dapat membuat
pohon kakao akan perlahan-lahan mati. Cuaca yang tidak menentu, seperti curah
hujan yang terlalu tinggi membuat buah kakao yang masih muda menjadi hitam dan
akhirnya petani akan mengalami gagal panen. Berbagai upaya dilakukan petani
untuk mengatasi masalah ini seperti melakukan pemangkasan pucuk yang telah
mati, peremajaan kembali, dan penyemprotan perstisida yang tetap dilakukan
walaupun dengan harga pestisida yang cukup mehal bagi petani.
4.2. Pemasaran
Setelah melalui proses produksi yang cukup panjang mulai dari penanaman,
pemeliharaan, pemetikan dan penjemuran, petani memperoleh output atau hasil dari
usaha pertanian tersebut berupa biji kakao kering. Biji kakao kering dikemas dengan
baik di dalam karung goni kemudian siap untuk dijual. Sebanyak 93,33% petani
responden menggunakan sistem penjualan langsung ke rumah pembeli, sedangkan
hanya 6,66% saja yang didatangi oleh pembeli. Alat transportasi dan angkutan yang
digunakan oleh petani dalam penjualan kakao adalah sepeda motor (66,7 %),
gerobak yang ditarik oleh sapi (13,3 %), sedangkan sisanya menggunakan mobil
dan tenaga manusia (dipikul).
Ada beberapa jenis pedagang kakao diantaranya pengumpul (tengkulak),
kelompok tani, pedagang antar kecamatan, pedagang antar kabupaten, dan pedagang
antar pulau (eksportir antar pulau). Pengumpul adalah pedagang yang langsung
membeli kakao di rumah-rumah petani dan kemudian kembali menjualnya kepada
pengumpul tingkat kecamatan bahkan ke pedagang tingkat kabupaten. Harga beli
yang ditetapkan oleh pengumpul tersebut cukup bervariasi. Kelompok tani, adalah
kelompok yang dibentuk secara swadaya oleh masyarakat dan beranggotakan para
petani kakao dengan jumlah anggota tertentu. Tujuan utama dibentuknya kelompok
36
tani atau organisasi tani ini adalah untuk menjadi lembaga musyawarah dan diskusi
bagi petani mengenai masalah-masalah dalam pertanian kakao. Selain itu, tujuan
dibentuknya kelompok tani di Desa Peleru yaitu untuk membendung masuknya
tengkulak atau pedagang baru dari luar desa yang dianggap merugikan pengumpul
lokal yang telah lama bekerja sama dengan petani. Terbentuknya organisasi petani
(kelompok tani) akan mempermudah penyaluran bantuan dari pemerintah dan
mempermudah petani dalam penyediaan saprotan (sarana produski pertanian).
Sebanyak 56,66% petani responden menjual kakaonya kepada kelompok Tani,
36,66% menjual ke pengumpul biasa, dan hanya 6,66% yang menjual ke pedagang
besar antar kabupaten. Di Desa Peleru, Penjualan kakao ke kelompok tani sama
dengan penjualan ke pengumpul biasa (tengkulak), hal ini terjadi karena yang
menjadi pembeli sebenarnya adalah pengumpul lokal yang merupakan anggota dan
bahkan ketua dari kelompok tani tersebut. Namun demikian, ada perbedaan
pengumpul biasa (pengumpul dari luar kelompok tani) dengan pengumpul lokal
yang berada di dalam keanggotaan kelompok tani. Perbedaan tersebut diantaranya
adalah penetapan harga. Harga beli pengumpul biasa lebih rendah karena
berdasarkan harga di tingkat kecamatan, sedangkan harga pengumpul yang berasal
dari kelompok tani cenderung lebih tinggi karena pengumpul tersebut berpatokan
dari harga kakao pengumpul besar di tingkat kabupaten. Selain itu, kerjasama dan
relasi yang baik yang sudah berlangsung cukup lama antara petani dengan
pengumpul lokal, membuat petani lebih memilih untuk menjual komoditi kakaonya
pada pengumpul lokal yang juga merupakan anggota kelompok tani daripada ke
pengumpul biasa. Pengumpul tingkat kecamatan biasanya membeli langsung ke
rumah-rumah petani dan juga dari para pengumpul biasa yang sudah menjalin relasi
dengannya. Pengumpul tingkat kabupaten adalah pengumpul yang membeli kakao
dari pedagang antar kecamatan dan juga dari pengumpul-pengumpul lokal di tingkat
37
desa. Pengumpul besar tingkat kabupaten menjual langsung ke pedagang antar
pulau (ekportir antar pulau) dan bahkan langsung ke sektor industri pengolahan.
Berikut digambarkan rantai pemasaran dan pelaku usaha dalam pertanian komoditi
kakao di Kabupaten Morowali Propinsi Sulawesi Tengah (Gambar 4.1.). Model ini
diadopsi dari model Kameo dkk tahun 2011 mengenai rantai nilai dan pelaku usaha
komoditas kopi.
Gambar 4.1.
Rantai Pemasaran dan Pelaku Usaha Dalam Usaha Pertanian Kakao
di Kabupaten Morowali
Di Desa Peleru dan Kabupaten Morowali bahkan di Sulawesi Tengah, belum
tersedia sarana industri pengolahan kakao yang dapat mengolah biji kakao menjadi
coklat bubuk, coklat cair, permen dan jenis olahan lainnya. Untuk itu sebagian besar
pengumpul tingkat Kabupaten di Sulawesi Tengah menjual biji kakao ke eksportir
antar pulau yang ada di Kota Palu. Sebagian kecil lainnya menjual ke industri
pengolahan di Makasar Sulawesi Selatan. Menurut penelitian Tuti Millias tahun
2009 mengenai Analisis Permintaan Ekspor Biji Kakao Sulawesi Tengah Oleh
Malaysia, tahun 2002 sebesar 77,61% biji kakao Sulawesi Tengah di ekspor ke luar
negeri antara lain ke Malaysia dan beberapa negara lainnya (Tuty Millias 2009: 92).
38
Untuk mendapatkan harga yang tinggi sebelum dijual kembali, para pembeli
atau pengumpul lokal hanya melakukan penjemuran kembali agar tingkat
kekeringan kakao merata dengan standar kekeringan kadar air 7%. Pada pengumpul
tingkat kabupaten, pembeli kembali melakukan penjemuran dan mencampur biji
kakao yang dibeli dari beberapa pengumpul tingkat desa dan kecamatan agar
kualitas kakao merata. Sampai pada eksportir barulah dilakukan penyortiran biji
kakao yaitu dengan membersihkan kotoran yang masih bercampur dengan biji
kakao dan memisahkan biji kakao berdasarkan bentuk dan tingkat kualitasnya.
Keuntungan yang diperoleh pengumpul lokal berasal dari selisih harga kakao
dengan harga pada pengumpul antar kabupaten yaitu Rp. 2.000/kg pada tahun 2011
dan beberapa tahun sebelumnya. Apabila harga pada pengumpul tingkat kabupaten
sebesar Rp. 15.000/kg maka harga beli pengumpul lokal pada petani kurang lebih
Rp. 13.000/kg atau 15% dari harga beli. Keuntungan bersih pengumpul lokal Rp.
1.500/kg karena Rp. 500/kg untuk biaya angkutan dan pemeliharaan kendaraan.
Penetapan kualitas dan harga kakao sampai saat ini masih ditentukan oleh
pembeli. Cara penetapan harga kakao adalah dengan mengukur dan melihat standar
mutu pada kakao. Standar dan mutu tersebut berkaitan dengan kadar air (atau
tingkat kekeringan), warna, dan kebersihan dengan menggunakan alat ukur tester
(alat ukur kadar air). Walaupun di Desa Peleru 47% petani responden menjawab
penentuan kualitas kakao menggunakan terster, namun langkah tersebut hanya
sebagai formalitas yang terkadang dilakukan. Menurut pembeli dan 53% petani
responden, cara pengukuran standar dan mutu kakao hanya dengan meraba dan
melihat biji kakao tersebut. Hal ini dilakukan karena pembeli sudah berpengalaman
dan sudah lama menggeluti jual beli kakao kering, sehingga hanya dengan meraba
dan melihat maka pembeli sudah mengetahui tingkat kekeringan kakao tersebut.
Penggunaan terster belum diterapkan secara serius karena menurut pembeli, petani
39
belum mengerti tentang penetapan standar kakao yang mengunakan tester dan
banyaknya potongan yang akan dilakukan pembeli terhadap kakao yang dibeli
sehingga menimbulkan keluhan dari petani.
Permasalahan yang sering dihadapai petani dalam pemasaran adalah tidak
menentunya harga (fluktuasi harga), yang kemudian akan menyebabkan pendapatan
petani tidak menentu. Selain itu, sistem pembayaran dan jual beli kakao petani
menggunakan sistem bayar tunai dan bukan sistem ijon. Sistem ijon adalah sistem
bukingan harga berdasarkan kesepakatan bersama, yang dilakukan antara petani dan
pembeli dalam rentang waktu tertentu sebelum kakao sampai ke tangan pembeli.
Sebagai contoh, harga untuk kakao petani sudah ditetapkan untuk empat hari
kedepan, ketika harga kakao hari kesepakatan (hari pertama) Rp. 20.000/kg maka
harga pada saat penjualan kakao pada hari ke empat adalah Rp. 20.000/kg walaupun
harga pada hari ke empat sudah naik menjadi Rp. 23.000/kg.
Harga pada komoditi kakao sering berubah-ubah bahkan dalam satu minggu
dapat terjadi dua kali perubahan harga. Untuk itu, informasi harga untuk petani
sangat diperlukan. Kenyataan di lapangan bahwa 50% petani responden tidak
mengetahui informasi harga minimal harga pedagang tingkat kabupaten. Informasi
dan selisih harga yang diperoleh petani lainya hanya berasal dari sesama petani dan
dari pengumpul lokal.
Tabel 4.7.
Harga Komoditi Kakao Bulan September 2011 di Kabupaten Morowali
No Komoditi Sat Harga bulan September 2011
Minggu I Minggu II Minggu II Minggu IV
1. Kakao Kg 17.000 18.000 19.000 19.000
Sumber: Dinas Perkebunan Kabupaten Morowali
Dari Tabel 4.7. dapat dilihat bahwa harga kakao di tingkat kabupaten pada
bulan September mengalami tiga kali perubahan. Walaupun dari minggu pertama
sampai minggu kelima ada peningkatan harga dari Rp. 17.000 menjadi Rp. 19.000,
40
namun harga di tingkat petani pada waktu penelitian yaitu pertengahan bulan
Desember sampai awal Januari mengalami penurunan sampai pada level Rp.
11.000- Rp. 14.000/ kg. Harga pada bulan ini menurut petani adalah harga terendah
yang pernah mereka peroleh selama penjualan komoditi kakao.
4.3. Pendapatan
Hasil dari usaha pertanian perkebunan kakao adalah biji kakao kering, yang
kemudian dijual untuk memperoleh uang atau pendapatan yang akan digunakan
untuk memenuhi kebutuhan pokok dan sebagai sumber dana operasional
pengolahan perkebunan kakao selanjutnya. Sumber pendapatan terbesar petani
responden adalah dari hasil perkebunan kakao. Selain perkebunan kakao, untuk
memenuhi kebutuhan pangan, sebanyak 73,33% petani responden memiliki usaha
pertanian lain seperti menanam palawija, padi ladang, padi sawah dan jagung.
Harga- harga saprodi (sarana produksi) yang telah di jelaskan sebelumnya
tentunya akan mempengaruhi pengeluaran dan pendapatan petani. Dari hasil
perhitungan diperoleh total pengeluaran rata-rata petani resmponden baik pembelian
pupuk, pestisida dan pengeluaran upah TK dapat dilihat pada Tabel 4.8.
Tabel 4.8.
Rata-Rata Pengeluaran Usaha Perkebunan Kakao Petani Desa Peleru
Per Tahun
Sumber: Data primer
Dengan harga pupuk urea Rp.100.000 /50 kg ditambah dengan pengeluaran
pupuk jenis lainya dengan penggunaan rata-rata 208 kg/Ha pupuk urea per tahun,
maka total pengeluaran pupuk adalah Rp.943.300 per tahun. Sedangkan hasil
No. Pengeluaran Jumlah per tahun (Rp)
1 Pupuk 943.300
2 Pestisida 2.101.500
3 Upah Tenaga Kerja 6.040.000
4 Lain-Lain 518.000
Total 9.056.133
41
perhitungan dengan jenis dan harga pestisida yang bervariasi (Tabel 4.3.) maka rata-
rata pengeluaran pestisida Rp.2.101.500 per tahun. Pengeluaran terbesar petani
dalam produksi perkebunan kakao adalah pengeluaran upah TK. Rata-rata
pengeluaran petani responden pada upah TK mulai dari penyemprotan sampai pada
pemetikan adalah Rp. 6.040.000 per tahun. Lain-lain pengeluaran berasal dari sewa
angkutan kakao basah yang baru dipanen dari kebun menuju rumah petani dan hal
ini hanya dilakukan oleh beberapa petani dengan upah Rp. 15.000- Rp. 25.000 per
karung (tergantung jarak kebun ke rumah petani) dengan skala angkutan 5-10
karung kakao basah, maka rata-rata pengeluaran petani Rp. 518.000 per tahun.
Dengan demikian rata-rata pengeluaran sarana produksi dan upah TK adalah
Rp.9.056.133 per tahun.
Dari total biaya produksi pada Tabel 4.8. maka diperoleh hasil rata-rata
produksi komoditi kakao kering 1,6 ton per tahun. Selain karena faktor fluktuasi
harga, perbedaan waktu penjualan, perbedaan kualitas biji kakao membuat
pendapatan petani tidak menentu dan berbeda-beda antara petani satu dengan yang
lainnya. Pada Tabel 4.9 dapat dilihat perhitungan pendapatan rata-rata, pendapatan
perkapita petani responden dengan menggunakan kisaran harga saat penelitian di
tingkat petani.
Tabel 4.9.
Perhitungan Pendapatan Rata-rata Petani Kakao Desa Peleru
dan Pendapatan Perkapita Berdasarkan Harga Saat Penelitian
N0. Variasi harga
Harga
(Rp)
Pendapatan
kotor/tahun
(Rp)
Pendapatan
bersih/tahun
(Rp)
Pendapatan
perkapita/tahun
(Rp)
1. Harga kakao saat
penelitian
12.767 20.430.922 11.347.789 2.967.336
Sumber: Data primer
42
Kisaran harga kakao saat penelitian di tingkat petani dengan rata-rata
Rp.12.767/kg (Tabel 4.9.) dijadikan sebagai patokan untuk melihat atau
memperkirakan pendapatan petani kakao per tahun. Dengan harga tersebut
diperoleh rata-rata pendapatan bersih petani sebesar Rp.11.347.789 per tahun.
Sedangkan untuk pendapatan perkapita petani yang diperoleh dari total pendapatan
bersih dibahagi dengan total anggota keluarga responden maka diperoleh
pendapatan perkapita Rp. 2.967.336 per tahun.
Apabila dibandingkan dengan PDRB perkapita Kabupaten Morowali atas
dasar harga berlaku tahun 2011 sebesar Rp. 21.846.250 (dengan migas) dan Rp.
17.343.642 (tanpa migas), maka pendapatan perkapita petani kakao Desa Peleru
dengan rata-rata harga kakao Rp.12.767/kg, sangat rendah yaitu hanya Rp.
2.967.336 per tahun atau 13,58% dan 17,11% dari besar PDRB perkapita kabupaten
(Tabel 4.9.). Demikian juga saat dilihat dari garis kemiskinan Kabupaten Morowali
tahun 2010 yaitu Rp. 248.568 per bulan (Statistik Daerah Kabupaten Morowali,
BPS Kabupaten Morowali 2011), pengeluaran perkapita per bulan petani Desa
Peleru berada sedikit lebih rendah dibawah garis kemiskinan yaitu Rp. 247.278
(pendapatan perkapita petani dibagi 12 bulan). Kondisi ini tentunya sangat
memprihatinkan karena menunjukan indikasi kemiskinan pada petani kakao.
Dengan melihat hasil perhitungan dan perbandingan tersebut, maka diperlukan
usaha yang lebih keras lagi dalam hal pengembangan, peningkatan produksi
pertanian dari petani sebagai pelaku usaha perkebunan dan pemerintah sebagai
pengambil kebijakan melalui berbagai program budidaya tanaman kakao serta
penetapan harga yang wajar untuk dapat mendorong peningkatan produksi,
pendapatan dan kesejahteraan petani kakao.
Pendapatan dari hasil penjualan biji kakao digunakan petani untuk modal
produksi selajutnya, memenuhi kebutuhan sehari-hari dan sebagai sumber
43
pembiayaan bagi sekolah anak. Sebagian besar anak-anak usia sekolah di Desa
Peleru sudah dan sedang mengenyam pendidikan baik di tingkat SD, SMP, SMA
dan bahkan ada yang sedang duduk di bangku kuliah. Namun jika dilihat secara
keseluruhan dari hasil pengamatan dan perhitungan menunjukan bahwa sumbangan
atau pendapatan petani dari perkebunan kakao, belum dapat mengangkat dan
meningkatkan kesejahteraan petani kakao.