iv. hasil dan pembahasan - repository.ipb.ac.id · plta saguling adalah salah satu unit bisnis...

72
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum PLTA 4.1.1 PLTA Saguling dan Cirata di Propinsi Jawa Barat Guna memanfaatkan debit air yang dialirkan Sungai Citarum, sungai terpanjang dan terbesar di provinsi Jawa Barat luas 1.448.279,25 ha, pemerintah membuat tiga bendungan dan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di sungai ini yaitu PLTA Saguling, PLTA Cirata, dan PLTA Ir. H. Djuanda (PLTA Jatiluhur). Pengoperation ketiga waduk ini diintegrasikan dalam satu pola operasi yang disebut “Pola operasi waduk kaskade Citarum” dengan pendekatan equal sharing yang dilakukan setiap bulan Oktober oleh ketiga pengelola waduk, yaitu Perum Jasa Tirta II (Waduk Jatiluhur), PT Pembangkit Jawa Bali (Waduk Cirata), dan PT Indonesia Power (Waduk Saguling). PLTA yang menjadi objek penelitian adalah PLTA Saguling dan PLTA Cirata. A. PLTA Saguling PLTA Saguling adalah salah satu unit bisnis pembangkitan di bawah PT. Indonesia Power. PLTA Saguling yang mulai beroperasi tahun 1986 memiliki visi menjadi perusahaan publik dengan kinerja kelas dunia dan bersahabat dengan lingkungan. Misi PLTA Saguling melakukan usaha dalam bidang ketenagalistrikan dan mengembangkan usaha-usaha lainnya yang berkaitan, berdasarkan kaidah industri dan niaga yang sehat, guna menjamin keberadaan dan pengembangan perusahaan dalam jangka panjang. UPB Saguling mengelola 29 mesin pembangkit yang tersebar di Jawa Barat dengan total kapasitas terpasang 797,36 MW. Keuntungan PLTA ini antara lain waktu pengoperasian relatif lebih cepat (15 menit), biaya produksi lebih murah karena menggunakan air, rotasi turbin rendah dan tidak mengeluarkan panas sehingga peralatan jarang mengalami kerusakan. PLTA juga ramah lingkungan, karena tidak adanya proses pembakaran sehingga tidak ada limbah bekas pembakaran yang ditimbulkan. Dam (waduk) bertindak cultivation multifungsi, seperti pengendalian banjir dan sistem irigasi sawah.

Upload: doankhue

Post on 13-Mar-2019

235 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

66

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum PLTA

4.1.1 PLTA Saguling dan Cirata di Propinsi Jawa Barat

Guna memanfaatkan debit air yang dialirkan Sungai Citarum, sungai

terpanjang dan terbesar di provinsi Jawa Barat luas 1.448.279,25 ha, pemerintah

membuat tiga bendungan dan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di sungai

ini yaitu PLTA Saguling, PLTA Cirata, dan PLTA Ir. H. Djuanda (PLTA

Jatiluhur). Pengoperation ketiga waduk ini diintegrasikan dalam satu pola operasi

yang disebut “Pola operasi waduk kaskade Citarum” dengan pendekatan equal

sharing yang dilakukan setiap bulan Oktober oleh ketiga pengelola waduk, yaitu

Perum Jasa Tirta II (Waduk Jatiluhur), PT Pembangkit Jawa Bali (Waduk Cirata),

dan PT Indonesia Power (Waduk Saguling). PLTA yang menjadi objek penelitian

adalah PLTA Saguling dan PLTA Cirata.

A. PLTA Saguling

PLTA Saguling adalah salah satu unit bisnis pembangkitan di bawah PT.

Indonesia Power. PLTA Saguling yang mulai beroperasi tahun 1986 memiliki visi

menjadi perusahaan publik dengan kinerja kelas dunia dan bersahabat dengan

lingkungan. Misi PLTA Saguling melakukan usaha dalam bidang

ketenagalistrikan dan mengembangkan usaha-usaha lainnya yang berkaitan,

berdasarkan kaidah industri dan niaga yang sehat, guna menjamin keberadaan dan

pengembangan perusahaan dalam jangka panjang.

UPB Saguling mengelola 29 mesin pembangkit yang tersebar di Jawa Barat

dengan total kapasitas terpasang 797,36 MW. Keuntungan PLTA ini antara lain

waktu pengoperasian relatif lebih cepat (15 menit), biaya produksi lebih murah

karena menggunakan air, rotasi turbin rendah dan tidak mengeluarkan panas

sehingga peralatan jarang mengalami kerusakan. PLTA juga ramah lingkungan,

karena tidak adanya proses pembakaran sehingga tidak ada limbah bekas

pembakaran yang ditimbulkan. Dam (waduk) bertindak cultivation multifungsi,

seperti pengendalian banjir dan sistem irigasi sawah.

67

PLTA Saguling memanfaatkan air Sungai Citarum yang terbagi atas 11 sub

DAS. Tujuh diantara Sub Das tersebut mempengaruhi pola aliran Sungai Citarum

baik kuantitas maupun kualitasnya yaitu Sub DAS Citarik, Sub DAS Cirasea, Sub

DAS Cihaur, Sub DAS Ciminyak, Sub DAS Cisangkuy, Sub DAS Ciwidey, dan

Sub DAS Cikapundung. Sungai ini bermata air utama di Gunung Wayang, di

selatan Bandung pada ketinggian 2.182 m, dan bermuara ke Laut Jawa di daerah

Tanjung Karawang. Luas DAS sekitar 6.080 km2 dan panjang sungai sekitar 270

km (Marganingrum 2007).

Pengelolaan sumberdaya air secara berkelanjutan diintegrasikan ke dalam

sistem manajemen perusahaan. Program penghijauan ditetapkan dalam road map

tahun 2003-2016. PLTA Saguling melibatkan masyarakat sekitar lokasi

pembangkitan untuk menjaga dan meningkatkan kualitas lingkungan sekaligus

sebagai bentuk partisipasi perusahaan membantu meningkatkan taraf hidup

masyarakat setempat.

PLTA bekerjasama dengan Kabupaten Bandung Barat menghimpun

kepedulian 56 perusahaan untuk berpartisipasi pada program penghijauan Dinas

Lingkungan Kabupaten dan melakukan kerjasama dengan Perhutani Kabupaten

pada acara Tepung Lawung. Kerjasama juga dilakukan dengan masyarakat

pendidikan lingkungan untuk memberikan pelatihan dan pendampingan kepada

masyarakat di Kabupaten Bandung mengenai kelestarian lingkungan DAS sebagai

sumber kehidupan masyarakat sekitar DAS dan keberlangsungan operasional

Waduk Saguling.

B. PLTA Cirata

PT. Pembangkitan Jawa-Bali (PJB) adalah anak perusahaan PT. PLN

(Persero) yang mengelola PLTA Cirata. PLTA Cirata beroperasi pada akhir

September 1988. Visi PT.PJB adalah menjadi perusahaan pembangkit tenaga

listrik Indonesia yang terkemuka dengan standar kelas dunia. Misi: (1)

Memproduksi tenaga listrik yang handal dan berdaya saing. (2) Meningkatkan

kinerja secara berkelanjutan melalui implementasi tata kelola pembangkitan dan

sinergi business partner dengan metoda best practice dan ramah linngkungan, (3)

68

Mengembangkan kepasitas dan kapabilitas SDM yang mempunyai kompetensi

teknik dan manjerial yang unggul serta berwawasan bisnis.

Dalam menjalankan bisnisnya, PT. PJB menerapkan tiga pilar strategis yaitu

pengelolaan aset (asset management), sistem manajemen SDM (human capital),

dan teknologi informasi sebagai business enabler. Tiga pilar strategis dijabarkan

ke dalam 10 sistem manajemen best practice yang antara lain: Manajemen aset,

Manajemen Risiko, Manajemen Mutu ISO 9001, Manajemen Lingkungan ISO

14001, dan K3 OHSAS 18000, Good Corporate Governance (GCG), Manajemen

Teknologi Informasi, Knowlegde Management, Manajemen SDM Berbasis

Kompetensi, Manajemen Baldrige, dan Manajemen House Keeping 5S.

Unit Pembangkitan Cirata berlokasi di Desa Cadas, Kecamatan Tegal Waru

Plered Purwakarta. PLTA terbesar di Asia Tenggara dengan bangunan Power

House 4 lantai di bawah tanah. Waduk Cirata memiliki luas 62 km2 dengan

elevasi muka air banjir 223 m, elevasi muka air normal 220 m dan elevasi muka

air rendah 205 m. Volume air waduk sebesar 2.165 juta meter3 dan efektif waduk

796 juta m3.

PLTA Cirata mengoperasikan 8 x 126 MW atau 1008 MW dan mampu

memproduksi listrik rata-rata sebesar 1.428 juta kilowatt jam per tahun yang

disalurkan melalui transmisi tegangan ekstra tinggi 500 KV ke sistem interkoneksi

Jawa Bali . Kemampuan memproduksi listrik PLTA ini setara dengan kemampuan

pembangkit termal yang menggunakan BBM 428 ton .Untuk menghasilkan energi

listrik sebesar 1.428 GWh, di operasikan 8 buah turbin dengan kapasitas masing–

masing 120.000 KW dengan putaran 187,5 RPM. Adapun tinggi air jatuh efektif

untuk memutar turbin 112,5 meter dengan debit air maksimum 135 m3/detik.

Penerapan sistem manajemen lingkungan di unit pembangkitan Cirata,

merupakan bagian tak terpisahkan dari proses produksi yang diwujudkan dalam

bentuk upaya pengelolaan lingkungan yang terencana, terintegrasi pada semua

bidang kegiatan dengan melibatkan seluruh komponen dalam manajemen unit

pembangkitan Cirata untuk kepentingan masyarakat, tuntutan pasar serta akrab

lingkungan dan sejalan dengan visi perusahaan yang ingin menjadikan perusahaan

ini peduli lingkungan.

69

4.1.2 PLTA Tanggari I dan II di Propinsi Sulawesi Utara

Energi listrik di Sulawesi Utara bersumber dari sistem pembangkitan PLTA

Tonsea Lama, PLTA Tanggari I, PLTA Tanggari II, PLTD Manado dan PLTD

Bitung. PLTA yang menjadi objek penelitian adalah PLTA Tanggari I dan II.

Kedua PLTA ini menggunakan sumber energi gravitasi “air terjun” Sungai

Tondano yang bersumber dari Danau Tondano dengan hulunya Desa Tolour dan

bermuara di Pantai Manado. Panjang Sungai Tondano hampir 40 km. Tahun 2006

Manajemen puncak PLTA Tanggari I dan Tanggari II memutuskan untuk

menerapkan sistem manajemen lingkungan pada pengelolaan dan pengoperasian

PLTA.

PLTA Tanggari I berlokasi di Desa Tanggari termasuk Kecamatan

Airmadidi Kabupaten Minahasa Utara Provinsi Sulawesi Utara. Terletak pada

124º 56’ 11” BT dan 1º 21’ 26” LU. PLTA Tanggari I dibangun pada tahun 1984

dan beroperasi pada tahun 1987. PLTA Tanggari I memiliki dua unit mesin,

dengan kapasitas daya terpasang sebesar 18 MW.

PLTA Tanggari II berlokasi di Desa Tanggari Kecamatan Airmadidi

Kabupaten Minahasa Utara Provinsi Sulawesi Utara. Terletak pada 124º 56’ 49”

BT dan 1º 22’ 16” LU. PLTA Tanggari II dibangun pada tahun 1995 dan mulai

beroperasi pada tahun 1998. PLTA Tanggari II mampu membangkitkan tenaga

listrik dengan kapasitas daya terpasang sebesar 19 MW dengan tegangan sebesar

13.2 KV. Tipe pambangkit run off river (aliran langsung), dengan headrace tunnel

yang mempunyai panjang 800 meter, diameter 2.6 meter, tinggi jatuh 103 meter,

dan debit maksimum sebesar 16,5 m3/detik.

Apabila Sungai Tondano sudah tidak mampu menyalurkan debit air sebesar

16 m3/s pada saat permukaan Danau Tondano mencapai elevasi 629,27 (Low

lower Level/LWL), maka pengoperasian PLTA menjadi terganggu. Pendangkalan

dasar sungai sejak mulut danau hingga pintu pengambilan (intake) PLTA Tonsea

lama baik yang ditimbulkan oleh bahan sedimen maupun tumbuhan ganggang

yang tumbuh subur sepanjang 2 - 3 kilometer di hulu sungai mempengaruhi

pengoperasian PLTA Tanggari. Debit air terus berkurang dapat menggangggu

perputaran turbin.

70

Sungai Tondano mulai dari mulut danau hingga PLTA Tonsea lama

melewati tengah kota Manado. Hampir di sepanjang tepi sungai telah dihuni oleh

penduduk. Tidak mengherankan Sungai Tondano juga merupakan tempat

pembuangan sampah baik oleh pemukim maupun oleh pasar kota. Sampah yang

diperkirakan 5 – 6 ton per hari sangat terasa gangguannya dalam pengoperasian

turbin.

Danau Tondano sejak dahulu merupakan sumber ikan tawar bagi penduduk.

Kini perkembangan nelayan meningkat dan penggunaan sistem “keramba” untuk

meningkatkan volume tanggakan ikan. Sistem keramba menggunakan tepian

danau untuk dijadikan tempat pemeliharaan ikan yang diberi makanan tertentu

(pellet dsb). Kondisi ini menyebabkan kadar nitrogen dalam air yang mendorong

pertumbuhan gulma air.

PLTA Tanggari juga mengalami permasalahan pasokan air akibat waktu

tempuh air dari Tonsea Lama sampai intake PLTA Tanggari. Lamanya waktu

tempuh disebabkan oleh kondisi dasar sungai yang terlalu banyak hambatan

berupa batuan dan sampah buangan disamping profil sungai yang tidak teratur.

4.2 Perubahan Penggunaan Lahan di Wilayah PLTA

4.2.1 Perubahan Penggunaan Lahan pada DAS Citarum

Analisis perubahan penggunaan lahan (landuse change) DAS dari citra

satelit 2001 dan 2007. Citra satelit yang digunakan adalah citra Landsat ETM 7.

Secara umum hasil analisis perubahan penggunaan lahan memperlihatkan adanya

perubahan tutupan dan peruntukan lahan pada DAS Citarum di Jawa Barat. Peta

penutupan dan penggunaan lahan berdasarkan citra satelit dan hasil analisisnya

pada wilayah DAS Citarum tersebut ditampilkan dalam Gambar 13 berikut.

71

(a) (b)Gambar 13 Citra satelit pada DAS Citarum: (a) tahun 2001 dan (b) tahun 2007.

Gambar 13 menunjukkan penutupan lahan berdasarkan citra satelit pada

tahun 2001 (a) dan 2007 (b) di wilayah DAS Citarum. DAS Citarum sendiri

meliputi DAS Citarum hulu di mana terdapat DAS Waduk Saguling dan DAS

Citarum hilir di mana DAS Waduk Cirata berada. Guna memudahkan pemahaman

selanjutnya, dalam peta penggunaan lahan kedua DAS ini dipisahkan menjadi

DAS Waduk Saguling (hulu) dan DAS Waduk Cirata (hilir), meskipun keduanya

merupakan satu sistem DAS yang berhubungan secara langsung. DAS Waduk

Saguling merupakan bagian dari DAS Waduk Cirata yang berada di bagian hulu.

Gambar 14 menunjukkan peta penggunaan lahan di DAS Saguling pada

tahun 2001 dan 2007 berdasarkan hasil interpretasi citra satelit. Sementara

Gambar 15 menunjukkan peta penggunaan lahan di DAS Cirata pada tahun 2001

dan 2007. Perbedaan penggunaan lahan pada tahun 2001 dan 2007 menjadi dasar

analisis perubahan lahan di DAS Citarum yang menjadi daerah tangkapan air

Waduk Saguling dan Cirata. Penggunaan lahan yang ditampilkan dalam kedua

peta tersebut terdiri dari berbagai kelas penutupan atau liputan lahan (land cover),

antara lain tutupan hutan, permukiman, sawah, semak belukar, tanah terbuka,

rawa, perkebunan, pertanian dan badan air (waduk), serta tutupan awan.

72

(a)

(b)

Gambar 14 Penggunaan lahan DAS Saguling: (a) tahun 2001 dan (b) tahun 2007.

73

(a)

(b)

Gambar 15 Penggunaan lahan DAS Cirata: (a) tahun 2001 dan (b) tahun 2007.

74

Hasil analisis spasial menunjukkan bahwa luas DAS Waduk Saguling yang

berada pada wilayah paling hulu Sungai Citarum kurang lebih meliputi wilayah

seluas 222.830 ha. Sementara luas DAS Waduk Cirata meliputi wilayah sekitar

465.286 ha, di mana DAS Waduk Saguling tercakup di dalamnya. Hasil analisis

terhadap perubahan penggunaan lahan pada DAS Waduk Saguling disajikan

dalam Tabel 5.

Tabel 5 Perubahan penggunaan lahan pada DAS Waduk Saguling

Jenis Penggunaan

Lahan

Luas tahun 2001 Luas tahun 2007 Perubahan PL

(ha) (%) (ha) (%) (ha) (ha/thn) (%/thn)

Hutan 38.139,80 17,12 12.531,77 5,62 (25.608,03) (4.268,01) (11,19)

Permukiman 39.782,58 17,85 41.458,90 18,61 1.676,32 279,39 0,70

Sawah 64.940,11 29,14 65.007,33 29,17 67,22 11,20 0,02

Semak belukar 1.060,72 0,48 30.604,91 13,73 29.544,19 4.924,03 464,22

Lahan terbuka 1.867,27 0,84 190,95 0,09 (1.676,32) (279,39) (14,96)

Pertanian lahan kering

72.864,11 32,70 43.252,87 19,41 (29.611,24) (4.935,21) (6,77)

Perkebunan 2.300,34 1,03 27.908,94 12,52 25.608,60 4.268,10 185,54

Rawa 521,49 0,23 520,81 0,23 (0,68) (0,11) (0,02)

Badan air 1.353,58 0,61 1.353,52 0,61 (0,06) (0,01) (0,00)

Total 222.830,00 100,00 222.830,00 100,00

Tabel 5 di atas menunjukkan terjadinya dinamika perubahan penggunaan

lahan pada DAS Waduk Saguling selama kurun waktu 6 tahun dari tahun 2001

hingga tahun 2007. Luas hutan di bagian hulu waduk pada tahun 2001 sebesar

38.139,80 ha atau sebesar 17,12% dari luas DAS. Luasan hutan berubah menjadi

hanya 5,62% atau sekitar 12.531 ha pada tahun 2007, sehingga diperkirakan

terjadi pengurangan luas hutan 11,19% setiap tahunnya. Hal ini disebabkan

terjadinya perubahan penggunaan lahan dari hutan menjadi berbagai penggunaan

lahan lainnya, terutama menjadi perkebunan. Luas perkebunan meningkat pesat

sekitar 185% setiap tahunnya, dari luas sekitar 2.300 ha pada tahun 2001 menjadi

sekitar 25.608 ha yang hampir seluruhnya berasal dari konversi terhadap hutan.

Sementara penggunaan lahan lainnya yang mengalami pengurangan adalah lahan

terbuka yang berkisar seluas 1.867 ha pada tahun 2001 menjadi sekitar 190 ha saja

75

pada tahun 2007. Hasil analisis spasial menunjukkan bahwa hampir seluruh lahan

terbuka pada tahun 2001 ini berubah menjadi lahan permukiman pada tahun 2007.

Penggunaan lahan lainnya yang mengalami pertumbuhan cukup pesat

adalah semak belukar yang tumbuh sekitar 462% setiap tahunnya, dari seluas

1.060 ha pada tahun 2001 menjadi sekitar 29.544 ha pada tahun 2007. Semak

belukar ini sebagian besar berasal dari lahan pertanian kering yang berubah dari

luas sekitar 72.864 ha pada tahun 2001 yang menyusut menjadi 43.252 ha pada

tahun 2007. Sementara penggunaan lahan lainnya relatif berubah secara perlahan,

seperti permukiman (0,7% per tahun), sawah dan rawa (0,02% per tahun), serta

relatif tidak berubah, seperti badan air (0,0007% per tahun).

Sementara Tabel 6 menunjukkan terjadinya dinamika perubahan

penggunaan lahan pada DAS Waduk Cirata pada kurun waktu yang sama.

Hampir sebagian luas DAS Waduk Cirata sebenarnya merupakan DAS Waduk

Saguling, yang berada di hulu Waduk Cirata. Hal ini menunjukkan dinamika

perubahan penggunaan lahan pada DAS Waduk Cirata, sebagian merupakan

sumbangan dari perubahan yang terjadi pada DAS Waduk saguling.

Tabel 6 Perubahan penggunaan lahan pada DAS Waduk Cirata

Jenis Penutupan Lahan

Luas tahun 2001 Luas tahun 2007 Perubahan PL

(ha) (%) (ha) (%) (ha) (ha/thn) (%/thn)

Hutan 87.817,72 18,87 23.392,37 5,03 (64.425,35) (10.737,56) (12,23)

Permukiman 48.489,76 10,42 55.233,83 11,87 6.744,07 1.124,01 2,32

Sawah 135.217,40 29,06 135.348,93 29,09 131,53 21,92 0,02

Semak belukar 3.259,97 0,70 70.056,67 15,06 66.796,70 11.132,78 341,50

Lahan terbuka 6.935,02 1,49 190,95 0,04 (6.744,07) (1.124,01) (16,21)

Pertanian lahan kering 135.677,20 29,16 68.749,14 14,78 (66.928,06) (11.154,68) (8,22)

Perkebunan 34.523,69 7,42 98.949,60 21,27 64.425,91 10.737,65 31,10

Rawa 840,08 0,18 839,81 0,18 (0,27) (0,04) (0,01)

Badan air 11.534,08 2,48 11.533,88 2,48 (0,20) (0,03) (0,00)

Awan 991,08 0,21 990,82 0,21 (0,26) (0,04) (0,00)

Total 465.286,00 100,00 465.286,00 100,00 - - -

Hutan pada wilayah DAS Waduk Cirata memiliki luas sekitar 87.817 ha

atau sebesar 18,87% dari luas DAS pada tahun 2001. Luasan hutan berubah

menjadi hanya 5,03% atau sekitar 23.392 ha pada tahun 2007, sehingga

76

diperkirakan terjadi pengurangan luas hutan 12,23% setiap tahunnya. Seperti

halnya pada DAS Waduk Saguling, perubahan penggunaan lahan dari hutan

menjadi berbagai penggunaan lahan lainnya, terutama disebabkan konversi

terhadap lahan perkebunan. Hal ini mendorong peningkatan luas lahan

perkebunan dari luas sekitar 34.523 ha pada tahun 2001 menjadi sekitar 98.949

ha, atau meningkat sekitar 12,23% setiap tahunnya. Penggunaan lahan lainnya

yang mengalami pengurangan adalah lahan terbuka yang berkisar seluas 6.935 ha

pada tahun 2001 menjadi sekitar 190 ha saja pada tahun 2007. Hasil analisis

spasial menunjukkan bahwa hampir seluruh lahan terbuka pada tahun 2001 ini

berubah menjadi lahan permukiman pada tahun 2007.

Seperti pada DAS Waduk saguling, semak belukar pada DAS Waduk Cirata

mengalami pertumbuhan cukup pesat dari sekitar 3.259 ha pada tahun 2001

menjadi sekitar 66.796 ha pada tahun 2007, atau tumbuh sekitar 341% setiap

tahunnya. Semak belukar ini sebagian besar berasal dari lahan pertanian kering

yang berubah dari luas sekitar 135.677 ha pada tahun 2001 yang menyusut

menjadi 68.749 ha pada tahun 2007. Penggunaan lahan lainnya relatif berubah

secara perlahan, seperti sawah (0,02% per tahun) dan rawa (0,01% per tahun),

serta relatif tidak berubah, seperti badan air (0,0007% per tahun). Sementara

permukiman di bagian hilir memiliki tingkat pertumbuhan yang relatif lebih tinggi

dibandingkan bagian hulu (DAS Waduk Saguling). Hal ini terlihat dari tingkat

pertumbuhan permukiman secara keseluruhan di DAS Cirata sebesar 2,32% setiap

tahun, atau lebih tinggi dari DAS Waduk Saguling (0,7% per tahun).

Secara umum pengurangan luas hutan bisa meningkatkan laju degradasi

lahan, karena tutupan hutan bisa mencegah terjadinya peningkatan laju erosi dan

sedimentasi (Indriyanto 2008). Menurut PPSDAL UNPAD (2008), tingkat erosi

di DAS Citarum Hulu pada tahun 2001 sekitar 2,20 mm/tahun dan sedimentasi

4.296.268 m3/tahun. Pada tahun 2007, tingkat erosi meningkat menjadi 2,23

mm/tahun dan laju sedimentasi meningkat menjadi 4.315.404 m3/tahun.

Tingkat erosi dan laju sedimentasi yang tinggi dapat mengancam

keberlanjutan Waduk Saguling dan Waduk Cirata yang memasok air ke PLTA.

Sesuai perencanaan waduk, tingkat erosi dan laju sedimentasi yang diperbolehkan

secara berturut yaitu 2,10 mm/tahun dan 4.000.000 m3/tahun. Berdasarkan

77

prediksi PPSDAL UNPAD (2008), peningkatan sedimentasi akan mengurangi

kemampuan waduk untuk menampung air sebab sedimen akan terakumulasi baik

di dead storage dan life storage waduk. Peningkatan sedimen ini akan

mengurangi fungsi waduk sebagai penampung air.

Hutan dapat mempertahankan debit air sungai sehingga tidak akan banjir

pada musim hujan dan tidak akan kekeringan pada musim kemarau (Indriyanto

2008). Air dari Waduk Saguling berasal dari Sungai Cikapundung, Sungai

Cikeruh, Sungai Citarik, Sungai Cisangkuy, Sungai Ciwidey dan Sungai Cisarea.

Berdasarkan data tahun 1990-2010, debit air sungai sangat berfluktuasi. Debit air

minimum dan maksimum sungai ke Waduk Saguling yaitu 4,08 - 66,92 m3/dtk

dan 141,46 - 306,39 m3/dtk (PLTA Saguling 2011). Waduk Cirata memperoleh

air dari Sungai Cisokan, Sungai Cibalagung, Sungai Cimeta, Sungai Cikundul dan

Sungai Citarum. Debit minimum dan maksimum air sungai ke Waduk Cirata yaitu

31,18 - 103,02 m3/dtk dan 205,21- 488,66 m3/dtk (PLTA Cirata 2011).

4.2.2 Perubahan Penggunaan Lahan pada DAS Tondano

Gambar 16 menunjukkan penutupan lahan berdasarkan citra satelit pada

tahun 2001 (a) dan 2007 (b) di wilayah DAS PLTA Tanggari dan II (DAS

Tondano). Gambar 17 dan 18 menunjukkan peta penggunaan lahan di DAS

Tondano pada tahun 2001 dan 2007 berdasarkan hasil interpretasi citra satelit.

Perbedaan penggunaan lahan pada tahun 2001 dan 2007 menjadi dasar analisis

perubahan lahan di DAS Tondano yang menjadi daerah tangkapan air PLTA

Tanggari I dan II.

Seperti pada peta penggunaan lahan DAS Citarum, penggunaan lahan yang

ditampilkan dalam kedua peta penggunaan lahan DAS Tondano juga terdiri dari

berbagai kelas penutupan lahan. Penggunaan lahan tersebut terdiri dari tutupan

hutan, permukiman, sawah, semak belukar, tanah terbuka, rawa, perkebunan,

pertanian dan badan air (waduk), serta tutupan awan. Penggunaan lahan

berdasarkan analisis terhadap citra satelit tersebut ditampilkan dalam peta

penggunaan lahan pada tahun 2001 dan tahun 2007. Perbedaan luas penggunaan

lahan antara kedua tahun tersebut menjadi dasar dalam memperkirakan terjadinya

perubahan penggunaan lahan di DAS Tondano setiap tahunnya.

78

(a) (b)Gambar 16 Citra satelit pada DAS Tondano: (a) tahun 2001 dan (b) tahun 2007.

Gambar 17 Penggunaan lahan DAS Tondano pada tahun 2001.

79

Gambar 18 Penggunaan lahan DAS Tondano pada tahun 2007.

Hasil analisis spasial menunjukkan bahwa luas DAS Tondano di mana

PLTA Tanggari I dan II berada meliputi wilayah seluas 24.708 ha. Penampakan

tutupan lahan melalui citra satelit menunjukkan bahwa sebagian besar wilayahnya

tertutup oleh vegetasi (hijau). Sementara pemukiman (merah) tersebar di

beberapa wilayah, terutama terkonsentrasi di wilayah pesisir pantai pada bagian

utara lokasi studi dan di pesisir Danau Tondano yang ada di bagian selatan lokasi

studi. Hasil analisis terhadap perubahan penggunaan lahan pada DAS Tondano

yang mempengaruhi PLTA Tanggari I dan II disajikan dalam Tabel 7.

80

Tabel 7 Perubahan penggunaan lahan pada DAS Tondano

Jenis Penutupan Lahan

Luas tahun 2001 Luas tahun 2007 Perubahan PL

(ha) (%) (ha) (%) (ha) (ha/thn) (%/thn)

Hutan 18.323,83 74,16 18.098,12 73,25 (225,71) (37,62) (0,0021)

Permukiman 2.000,39 8,10 2.198,62 8,90 198,23 33,04 0,0165

Sawah 1.739,37 7,04 1.739,38 7,04 0,01 0,00 0,000001

Semak belukar 794,91 3,22 796,41 3,22 1,50 0,25 0,0315

Lahan terbuka 789,03 3,19 551,05 2,23 (237,98) (39,66) (0,0503)

Bayangan Awan 18,90 0,08 17,40 0,07 (1,50) (0,25) (1,3228)

Badan air 15,85 0,06 15,56 0,06 (0,29) (0,05) (0,0030)

Awan 1.026,59 4,15 1.292,33 5,23 265,74 44,29 0,0431

Total 24.708,87 100,00 24.708,87 100,00

Perubahan penggunaan lahan pada DAS Tondano selama kurun waktu 6

tahun dari tahun 2001 hingga tahun 2007 relatif tidak terlalu dinamis. Hal ini

dilihat dari sedikitnya prosentase perubahan penggunaan lahan setiap tahunnya.

Hasil analisis penggunaan lahan terhadap data citra satelit menunjukkan bahwa

pada tahun 2001, sebagian besar wilayah DAS Tondano ditutupi oleh hutan seluas

74,16% dari luas DAS secara keseluruhan. Selain hutan, wilayah ini juga

ditempati oleh permukiman (8,1%), sawah (7,04%), semak belukar (3,22%), lahan

terbuka (3,19%), badan air (0,06%), serta selebihnya ditutupi awan dan bayangan

awan. Penggunaan lahan pada tahun 2001 ini tidak berbeda jauh dengan

penggunaan lahan pada tahun 2007, sehingga bisa disimpulkan perubahan

penggunaan lahan yang terjadi di wilayah ini relatif kecil.

Luas hutan di DAS Tondano pada tahun 2001 sebesar 18.323 ha berubah

menjadi sekitar 18.098 ha pada tahun 2007, sehingga diperkirakan terjadi

pengurangan luas hutan hanya sekitar 0,0021% setiap tahunnya. Luas

permukiman relatif meningkat sekitar 0,0165% setiap tahunnya, dari luas sekitar

2.000 ha pada tahun 2001 menjadi sekitar 2.198 ha pada tahun 2007. Sementara

penggunaan lahan lainnya relatif berubah secara perlahan, seperti sawah

(0,000001% per tahun), semak belukar (0,0315 per tahun) dan lahan terbuka (-

0,0503% per tahun).

Jenis tanah di perbukitan sekitar danau Tonado adalah latosol sehingga

jumlah erosi diduga atas dasar curah hujan. Tingkat erosi di DAS Tondano pada

tahun 1992 telah mencapai 0,213 ton/ha di lahan bervegetasi, serta sebesar 24,932

81

ton/ha di lahan terbuka tanpa vegetasi. Sementara erosi yang masih dapat

ditoleransi sebesar 11,0 ton/ha. Jadi lahan harus tertutup vegetasi untuk

menghindari bahaya erosi (DPE 1992).

Sungai yang bermuara di Danau Tondano adalah Sungai Noogan, Sungai

Panasen, Sungai Ema. Kondisi debit air minimum Sungai Tondano yang masuk

ke PLTA saat ini berkisar 4,005 – 20,324 m3/dtk dan maksimum berkisar 53,351 -

181,225 m3/dtk. PLTA Tanggari I dan II hanya akan beroperasi jika debit air

Sungai Tondano minimum 16 m3/dtk. Debit Sungai Tondano dipengaruhi musim.

Wilayah Manado, Tondano, dan Airmadidi memiliki iklim dengan nisbah bulan

kering (bulan dengan curah hujan < 60 mm) berkisar 0 % – 14,30 %. Faktor lain

yang mempengaruhi debit air adanya rumput air di tepian danau sampai sejauh

500 meter dari danau dan erosi dari wilayah sekitarnya. Hal ini merupakan

sumber pendangkalan yang menghambat laju air (DPE 1992).

4.3 Kualitas Air Sungai di Wilayah PLTA

Kualitas air suatu perairan mencerminkan kualitas lingkungan. Kualitas air

waduk sangat dipengaruhi kualitas lingkungan catchment area di wilayah hulu,

perubahan penutupan lahan dan penggunaannya. Kualitas air ini akan

mempengaruhi dan menentukan kemampuan hidup jasad perairan tersebut dan

proses teknis/produksi pembangkit listrik. Kelayakan suatu perairan sebagai

lingkungan hidup dipengaruhi oleh sifat fisika kimia perairan tersebut (Krismono

et al. 1987; Kartamihardja et al. 1987). Data-data yang berkaitan dengan

karakteristik fisik dan kimia yang berpengaruh terhadap PLTA meliputi suhu,

TDS, TSS, Fe, COD, DO, H2S, pH, NO3-2, dan PO4

-3. Analisis kualitas air sungai

pada empat PLTA menggunakan uji T berpasangan dan metode deksriptif dengan

membandingkan kualitas air di wilayah PLTA dengan baku mutu kualitas air

kelas 4 (PP No.82/2001). Uji T dilakukan untuk mengetahui apakah ada

perbedaan kualitas air di inlet dan outlet PLTA. Bilamana nilai P < 0,05 maka H0

ditolak (Siregar 2004).

4.3.1 Kualitas air PLTA Saguling dan Cirata

82

Hasil uji T terhadap kualitas air di inlet dan outlet PLTA dilihat pada Tabel

8. Hasil uji T kualitas air di wilayah PLTA Saguling menunjukkan bahwa secara

umum kualitas air di outlet sama dengan kualitas air di inlet. Perbedaan secara

nyata (α=0,05) pada kualitas air di inlet dan outlet berdasarkan hasil uji T hanya

terlihat pada BOD pada tahun 2005, TSS pada tahun 2008, dan pH tahun 2008

dan tahun 2009.

Tabel 8 Hasil uji T kualitas air di PLTA Saguling

Parameter P-Value SagulingTahun

2005 2006 2007 2008 2009 2010Suhu 0,560 0,396 0,426 0,787 0,166 0,076TDS 0,288 0,117 0,220 0,058 0,102 0,079TSS 0,620 0,409 0,365 0,031 0,112 0,191pH 0,433 0,213 0,453 0,021 0,005 0,199H2S 0,391 0,291 0,395 0,221 0,132 0,391NO3

-2 0,517 0,600 0,850 0,224 0,155 0,672PO4

-3 0,561 0,074 0,637 0,672 0,804 0,342DO - - 0,103 0,885 0,240 0,184COD 0,081 0,833 0,596 0,211 0,467 0,436BOD 0,039* 0,621 0,951 0,146 0,871 0,714Fe 0,275 0,155 0,078 0,473 0,537 0,116

Ket: nilai P < 0,05 maka H0 ditolak (sumber : Siregar 2004) ; - : tidak ada data

Konsentrasi nilai rata-rata median TSS (3 mg/L) dan pH (7,1) di oulet lebih

rendah dibandingkan dengan TSS (4 mg/L) dan pH (7.9) di inlet pada tahun 2008.

Konsentrasi BOD di outlet (7,85 mg/L) lebih rendah dibandingkan dengan

konsentrasi rata-rata median BOD (8,75) di inlet pada tahun 2005 (Lampiran 1).

Walaupun ada parameter pada tahun yang berbeda tersebut menunjukkan adanya

perbedaan nyata (α=0,05) namun hal tersebut tidak menggambarkan hasil

keseluruhan tentang kualitas air waduk. Dari Tabel 8 hanya sekitar 6,25 % data

yang menunjukkan ada perbedaan nyata. Kualitas air yang tidak berbeda nyata

secara statistik (α=0,05) sebelum dan sesudah dimanfaatkan oleh PLTA

menunjukkan bahwa PLTA Saguling dalam kegiatan operasionalnya tidak

menurunkan kualitas air.

Hasil uji T terhadap kualitas air di inlet dan outlet PLTA Cirata secara

umum menunjukkan kualitas air di PLTA Cirata di outlet sama dengan kualitas air

di inlet. Perbedaan secara nyata (α=0,05) kualitas air di inlet dan outlet hanya

terlihat pada konsentrasi TDS pada tahun 2010 dan phosfat pada tahun 2009.

83

Tabel 9 Hasil uji T kualitas air di PLTA Cirata

Parameter P-Value Tahun

2005 2006 2007 2008 2009 2010Suhu 0,391 0,406 0,467 0,989 0,074 0,134TDS 0,116 0,759 0,217 0,163 0,110 0,007TSS 0,225 0,401 0,886 0,372 0,375 0,577pH 0,532 0,118 0,623 0,139 0,097 0,059H2S 0,391 - 0,227 0,333 0,459 0,193NO3

- 0,381 0,198 0,759 0,310 0,627 0,284PO4-3_ 0,103 0,153 0,571 0,722 0,034 0,470DO 0,861 0,779 0,373 0,192 0,018 0,832COD 0,960 0,904 0,207 0,781 0,080 0,638BOD 0,892 0,378 0,348 0,692 0,096 0,521Fe 0,319 0,389 0,735 0,428 0,108 0,541

Ket: nilai P < 0,05 maka H0 ditolak (sumber : Siregar 2004) ; - : tidak ada data

Konsentrasi rata-rata median TDS (150 mg/L) di outlet Cirata pada tahun

2010 lebih tinggi dibandingkan konsentrasi TDS (112 mg/L) di inlet. Konsentrasi

phosfat (0,26 mg/L) di outlet lebih tinggi dibandingkan di inlet (0,23 mg/L) pada

2009 sebagaimana tertera pada Lampiran 2. Walaupun terdapat dua parameter

pada tahun yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan nyata namun hal

tersebut tidak menggambarkan hasil keseluruhan tentang kualitas air waduk atau

hanya sekitar 3,08 % data yang menunjukkan ada perbedaan nyata. Dengan

demikian kualitas air tidak berbeda nyata secara statistik (α=0,05) sebelum dan

sesudah dimanfaatkan oleh PLTA Cirata. Hal ini menunjukkan bahwa PLTA

Cirata dalam kegiatan operasionalnya tidak menurunkan kualitas air.

Analisis hasil uji T memperlihatkan secara statistik kualitas air (kelas IV) di

inlet dan outlet PLTA Saguling dan PLTA Cirata tidak berbeda nyata (α=0,05).

Proses konversi energi potensial air sungai menjadi energi mekanik kemudian

energi listrik di pembangkit tidak ada indikasi adanya tambahan material dalam

kegiatan konversi energi tersebut. Sehingga air yang keluar dari turbin

pembangkit listrik tenaga air tidak menambah beban lingkungan. Air yang keluar

dari turbin PLTA bukan merupakan sisa kegiatan PLTA (Penjelasan pasal 38 ayat

1 dari PP Nomor 82/2001).

Berdasarkan data sebaran kualitas air di Waduk Saguling dan Citara secara

keseluruhan masih di bawah ambang batas dari baku mutu untuk Kelas 4 (PP

No.82/2001), kecuali untuk parameter Biological Oxygen Demand (BOD).

84

Biological Oxygen Demand (BOD) atau kebutuhan oksigen biologis merupakan

jumlah oksigen yang diperlukan agar bahan buangan yang ada di dalam air dapat

diurai oleh mikroorganisma. Dinamika kualitas air inlet di Waduk Saguling untuk

parameter BOD tahun 2005, tahun 2007 hingga tahun 2010 adalah kurang baik.

Sebaran konsentrasi BOD telah melewati ambang batas dari baku mutu untuk

Kelas 4 (Lampiran 5). Hal tersebut juga terjadi di waduk di PLTA Cirata.

Dinamika kualitas air BOD di waduk di Cirata telah melewati ambang baku mutu

Kelas 4 dari PP No. 82/2001 pada tahun 2005, 2006, dan 2008 (Lampiran 6).

Perairan yang memiliki nilai BOD yang tinggi tidak cocok bagi kepentingan

perikanan dan pertanian.

PLTA harus memperhatikan dinamika kualitas air baik di inlet dan outlet,

sebelum dan sesudah dimanfaatkan oleh PLTA. Sesuai dengan komitmen

manajemen puncak untuk selalu memenuhi ketentuan yang berlaku dan mencegah

terjadinya polusi dan kerusakan lingkungan yang diikuti dengan melakukan

perbaikan secara berkelanjutan. Evaluasi kualitas air terhadap pemenuhan regulasi

(audit internal maupun tinjauan manajemen) tidak hanya difokuskan dampak

kualitas air terhadap operasional PLTA, PLTA sebagai pemanfaat sumberdaya

perlu memperhatikan keseimbangan ekosistem antara wilayah hulu dan hilir baik

dalam aspek ekonomi dan pelestarian lingkungan sehingga multifungsi air tetap

dapat dipertahankan. Konsentrasi Fe meskipun tidak ditetapkan persyaratan baku

mutunya dalam PP No. 82/2001, Fe yang teroksidasi di dalam air berwarna

kecoklatan dan tidak dapat larut dapat mengakibatkan penggunaan air menjadi

terbatas untuk keperluan fungsi lainnya.

Selain itu diketahui bahwa air yang terdapat pada waduk di PLTA

Saguling dan Cirata digunakan juga untuk aktivitas lain seperti untuk kegiatan

budidaya keramba jaring apung (KJA). Aktivitas KJA merupakan salah satu

bentuk untuk mengurangi dampak sosial ekonomi saat pendirian PLTA dan

pembangunan waduk dengan jumlah maksimum yang ditetapkan. Sisa limbah

pakan ikan dari kegiatan KJA akan menurunkan kualitas air waduk. Peningkatan

kontentrasi nitrat dan phosfat dapat terjadi karena masuknya bahan pencemar

yang mengandung unsur N dan P seperti dari pakan ikan. Limbah yang berasal

dari KJA (tahun 1996-2000) di Waduk Saguling mengandung 1.359.028 kg N dan

85

214.059 kg P, dan di Waduk Cirata mengandung 6.611.787 kg N dan 1.041.417

kg P (Garno 2002). Sementara peningkatan jumlah KJA terus meningkat hingga

berjumlah 7209 petak unit pada tahun 2010 di Waduk Saguling dan sebanyak

51418 unit di Waduk Cirata. Jumlah ini telah melewati kapasitas daya dukung

waduk. Daya dukung Waduk Saguling hanya dapat menampung 4514 unit petak

KJA (Maulana 2010), sedangkan daya dukung Waduk Cirata dapat menampung

sebanyak 24000 unit petak KJA (Hapsari 2010).

Hal penting lainnya adalah keberlangsungan fungsi waduk juga tergantung

pada kondisi keadaan lahan di sekitar daerah tangkapan air (DTA). Berbagai

penggunaan lahan sebagaimana diuraikan dalam analisis perubahan penutupan

lahan lahan dapat menghasilan berbagai bahan pencemar atau limbah yang akan

mengalir ke perairan waduk. Hal ini dapat memberikan dampak negatif terhadap

lingkungan perairan waduk.

Adanya dinamika kualitas air di kedua waduk tersebut menunjukkan bahwa

PLTA tidak bisa berhenti melakukan pengendalian terhadap kualitas air yang akan

dimanfaatkannya meskipun secara statistik kualitas air waduk di wilayah PLTA

Saguling dan Cirata masih sesuai untuk keperluan operasional PLTA. Pendekatan

sukarela untuk perlindungan lingkungan dan sumberdaya air perlu ditunjukkan

dengan adanya konsistensi untuk mempertahankan kualitas air dan melebihi

(beyond) ketentuan dan persyaratan yang berlaku atau yang ditetapkan pihak

yang berwenang. Selain itu, keberlanjutan sumberdaya air juga berarti

keberlanjutan operasional PLTA itu sendiri. Walaupun pelestarian kualitas air

inlet PLTA, terutama di bagian hulu, di luar kendali manajemen PLTA,

manajemen PLTA harus mengkomunikasikan kepada stakeholder terkait yang

memanfaatkan dan/atau berkepentingan terhadap sumberdaya air waduk.

4.3.2 Kualitas Air PLTA Tanggari I dan II

Hasil uji T terhadap kualitas air di inlet dan outlet PLTA Tanggari I dapat

dilihat pada Tabel 10. Hasil uji T menunjukkan bahwa secara umum kualitas air di

outlet sama dengan kualitas air di inlet. Perbedaan secara nyata (α=0,05) pada

kualitas air di inlet dan outlet berdasarkan hasil uji T hanya terlihat pada

konsentrasi BOD pada tahun 2006 dan COD pada tahun 2009.

86

Tabel 10 Hasil uji T kualitas air di wilayah PLTA Tanggari I

Parameter P-Value Tanggari I2005 2006 2007 2008 2009 2010

Suhu 0,500 0,252 0,224 - 0,151 0,675TDS 0,500 1,000 0,055 0,143 0,116 0,779TSS 0,305 0,642 0,295 0,062 0,387 0,170pH - 0,391 0,090 0,238 0,209 0,570H2S - - 0,393 - 0,541 -NO3

-2 0,063 0,391 0,483 0,236 0,478 0,313PO4

-3 - 0,391 - - - 0,807DO - - - - - -COD 0,514 0,206 0,248 0,134 0,013* -BOD 0,823 0,048* 0,340 0,204 0,379 -Fe - 0,100 0,346 - 0,232 0,604

Ket: nilai P < 0,05 maka H0 ditolak (sumber : Siregar 2004) ; - : tidak ada data

Pada tahun 2005, konsentrasi rata-rata median BOD ( 5,93 mg/L) di oulet

lebih rendah dibandingkan dengan BOD (6,01 mg/L) di inlet. Sedangkan

konsentrasi rata-rata median COD (11,35 mg/L) di outlet lebih tinggi

dibandingkan dengan COD (10,40 mg/L) di inlet pada tahun 2009 sebagaimana

tertera pada Lampiran 3. Walaupun dua parameter yang pada tahun yang berbeda

tersebut menunjukkan adanya perbedaan nyata namun hal tersebut tidak

menggambarkan hasil keseluruhan tentang kualitas air waduk atau hanya sekitar

4,35 % data di wilayah PLTA Tanggari I yang menunjukkan ada perbedaan nyata

(α=0,05). Kualitas air di Tanggari I tidak berbeda nyata secara statistik (α=0,05)

sebelum dan sesudah dimanfaatkan oleh PLTA, menunjukkan bahwa

PLTATanggari I dalam kegiatan operasionalnya tidak menurunkan kualitas air

sungat yang dimanfaatkannya .

Hasil uji T terhadap kualitas air di inlet dan outlet PLTA Tanggari II dapat

dilihat pada Tabel 11. Hasil uji T menunjukkan bahwa secara umum kualitas air di

PLTA Tanggari II di outlet sama dengan kualitas air di inlet. Berdasarkan hasil

uji T perbedaan secara nyata (α=0,05) kualitas air di inlet dan outlet hanya terlihat

pada suhu dan COD pada tahun 2006, dan pH, BOD, NO3-2 pada tahun 2008.

Tabel 11 Hasil uji T kualitas air di wilayah PLTA Tanggari II

Parameter P-Value 2005 2006 2007 2008 2009 2010

Suhu 0,156 0,036 0,346 0,706 0,443 0,878TDS 0,070 0,008 0,241 0,202 0,456 0,626

87

TSS - 0,071 0,387 - 0,313 0,082pH 0,500 0,474 - 0,005 0,092 0,339H2S - - - - 0,421 -NO3

-2 0,698 0,718 - 0,002 0,171 0,949PO4

-3 - - - - - 0,252DO - - - - - -COD 0,358 0,121 0,123 0,237 0,391 -BOD 0,218 0,383 0,689 0,036 0,391 -Fe - 0,252 0,929 - 0,656 0,064

Ket: nilai P < 0,05 maka H0 ditolak (sumber : Siregar 2004) ; - : tidak ada data

Konsentrasi rata-rata median pada tahun 2006 COD (25,85 mg/L) di oulet

Tanggari II adalah lebih tinggi dibandingkan COD (22,5 mg/L) di inlet.

Sementara pada tahun 2008, konsentrasi rata-rata median di outlet Tanggari II

untuk NO3-2, BOD dan pH lebih rendah dibandingkan di inlet sebagaimana

terlihat pada Lampiran 4. Dengan demikian Kualitas air di Tanggari II secara

umum tidak berbeda nyata secara statistik (α=0,05) sebelum dan sesudah

dimanfaatkan oleh PLTA. Hal ini menunjukkan bahwa PLTA dalam kegiatan

operasionalnya tidak menurunkan kualitas air sungai yang dimanfaatkannya.

Secara keseluruhan kualitas air di inlet PLTA Tanggari I dan Tanggari II

masih di bawah ambang batas dari baku mutu untuk Kelas 4 dari PP No.82/2001

sebagaimana ditunjukkan pada Lampiran 7 dan 8. Namun demikian dinamika

kualitas air parameter COD dan Fe di PLTA Tanggari I dan Tanggari II

cenderung lebih tinggi di wilayah outlet dibandingkan di wilayah inlet meskipun

tetap masih di bawah baku mutu untuk Kelas 4 (PP No.82/2001). Adanya

kecenderungan konsentrasi COD dan Fe yang selalu lebih tinggi di wilayah outlet

dibandingkan dengan di inlet perlu di evaluasi lebih lanjut oleh manajemen PLTA.

Dinamika konsentrasi COD di outlet Tanggari I dan II (Gambar 19 dan 20) juga

cenderung lebih tinggi dibandingkan di wilayah inlet mungkin disebabkan adanya

aktivitas pemakaian bahan pelumas dalam pemeliharaan peralatan pembangkit

yang relatif tua (tahun 1984 dan tahun 1987). Kenaikan konsentrasi besi

kemungkinan terjadi karena adanya korosi pada mesin yang sudah relatif lama

(berumur kurang lebih 26 tahun). Konsentrasi Fe yang melebihi 0,3 ppm dapat

menyebabkan air bersifat toksik (Krismono et al. 1987, Kartamihardjo et al. 1987).

88

Gambar 19 Nilai median konsentrasi COD inlet-outlet di PLTA Tanggari I

tahun 2005-2010.

Gambar 20 Nilai median konsentrasi COD inlet-outlet di PLTA Tanggari IItahun 2005-2010.

Selain itu air sungai Tondano juga digunakan untuk aktivitas lainnya. Oleh

karena itu PLTA tetap harus memperhatikan kelestarian sumberdaya air tersebut

sehingga multifungsi sumberdaya air tetap terpelihara. Keberlanjutan sumberdaya

air juga berarti keberlanjutan operasional PLTA.

4.4 Institusi dan Regulasi Terkait Pengelolaan Sumberdaya Air PLTA

Mengacu pada kebijakan dan perencanaan pengelolaan sumberdaya air,

PLTA melakukan serangkaian program lingkungan dengan melakukan

perlindungan terhadap sumberdaya air secara berkelanjutan. Titik fokus kegiatan

0

5

10

15

20

25

2005 2006 2007 2008 2009 2010

CO

D (

mg/

L)

Tahun

COD_in

COD_out

0

5

10

15

20

25

30

2005 2006 2007 2008 2009 2010

COD

(mg/

L)

Tahun

COD_in

COD_out

89

konservasi sumberdaya air yang dilakukan PLTA yaitu pertama untuk menahan

aliran permukaan (run-off) yang sebesar-besarnya dan memberi kesempatan

selama-lamanya air untuk masuk ke dalam tanah (infiltrasi) atau tertahan di muka

tanah di daerah aliran sungai bagian hulu. Serangkian program lingkungan untuk

melindungi sumberdaya air secara berkelanjutan dilakukan melalui program

penghijauan di wilayah Green Belt Waduk PLTA hingga daerah batas konstruksi.

Pengelolaan vegetasi ini mempengaruhi waktu dan penyebaran aliran air,

sehingga wilayah yang ditanami dapat menyimpan air selama musin hujan dan

melepaskannya pada musim kemarau (Asdak, 2010). Kemampuan vegetasi

menangkap butir air hujan sehingga energi kinetik terserap dalam tanaman dan

tidak langsung ke tanah juga akan untuk memperkecil laju erosi (Suripin, 2001).

PLTA Saguling menanam 963.175 pohon di areal seluas 1.403 ha

sebagaimana ditetapkan Roadmad Program Penghijauan tahun 2003-2016. Jenis

pohon yang ditanam adalah pohon buah-buahan, kopi, aren dan jarak. PLTA

Cirata mulai tahun 2003 hingga 2011 (dikelola oleh BPWC) telah menanam

sebanyak 210.120 pohon dengan jenis tanaman buah-buhan, aren dan kayuan

seperti mahoni, mindi, angsana, karet dan trambesi. PLTA Tanggari I dan II

memiliki program 10.000 pohon per tahun.

Penghijauan di wilayah DAS (Green Belt) Waduk PLTA belum

menunjukkan pencapaian tujuan konservasi sumberdaya air secara signifikan

dibandingkan dengan penurunan daya dukung lingkungan akibat tingginya

perubahan tutupan di wilayah hulu PLTA. Untuk mencapai tujuan perlindungan

sumberdaya alam dan lingkungan, pendekatan voluntari memberi fleksibilitas

untuk mengembangkan cara untuk mencapai perlindungan lingkungan yang tentu

saja memperhitungan aspek ekonomi dan sosial dan secara teknis dapat dilakukan.

Pengendalian kualitas maupun kuantitas air sungai (waduk) tidak bisa

dikendalikan sendiri. Pemanfaataan sumberdaya air yang notabene sebagai barang

publik meminta PLTA perlu memahami perspektif dan concern stakeholder yang

memiliki kepentingan terhadap ekosistem dan sumberdaya air. Selain itu, strategi

dan teknik operasional pelaksanaannya harus mengacu pada regulasi yang telah

ditetapkan. Pemetaan tingkat pengaruh dan kepentingan stakeholder dijadikan

sebagai dasar membangun kelembagaan terkait pengelolaan sumberdaya air

90

PLTA. Sementara tinjauan regulasi (legal review) dijadikan dasar pelaksanaan

pengelolaan sumberdaya air PLTA yang taat aturan.

4.4.1 Stakeholder dalam Pengelolaan Sumberdaya Air PLTA

Stakeholder yang teridentifikasi terkait dengan pengelolaan sumberdaya air

PLTA meliputi Kementerian Kehutanan, Kementerian Pekerjaan Umum,

Kementerian ESDM, Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan

Perikanan, Kementerian Lingkungan Hidup, Perhutani/HTI, PLN, Dinas

Kehutanan, Dinas Pekerjaan Umum, Perusahaan Pengguna, Masyarakat,

Pemerintah Daerah, Investor, P3B dan LSM. Hasil justifikasi pakar mengenai

tingkat kepentingan dan pengaruh stakeholder terhadap pencapaian program

pengelolaan sumberdaya air di PLTA ditunjukkan pada Tabel 12.

Tabel 12 Matrik analisis stakeholder perlindungan sumberdaya air di PLTA

Pemangku kepentinganTingkat

KepentinganTingkat

PengaruhKementerian Kehutanan Tinggi TinggiKementerian Pekerjaan Umum Tinggi TinggiPerhutani/HTI Tinggi TinggiKementerian ESDM Tinggi TinggiKementerian Kelautan dan Perikanan PLNKementerian Lingkungan Hidup (KLH)PLTA

TinggiTinggiTinggiTinggi

TinggiTinggiTinggiTinggi

Dinas Kehutanan Dinas Pekerjaan UmumKementerian PertanianDPRD

TinggiTinggiTinggiRendah

RendahRendahRendahTinggi

Perusahaan pengguna Tinggi RendahMasyarakat Tinggi RendahPemerintah Daerah Rendah TinggiInvestor Rendah TinggiLSMP3B

RendahRendah

Rendah Rendah

Sumber : data primer dari justifikasi pakar

Hasil pendapat pakar mengenai besarnya tingkat kepentingan dan pengaruh

masing-masing stakeholder dipetakan dalam empat kuadaran yaitu kuadaran I, II,

III, dan IV yang menunjukan posisi kepentingan dan pengaruh masing-masing

stakeholder. Melalui pemetaan ini, dapat diketahui peran masing-masing

91

stakeholder. Adapun posisi setiap

digambarkan seperti pada Gambar

Gambar 21 Pemetaan para pemangku kepentingan PLTA berdasarkan tingkat kepentingan dan pengaruhnya

Gambar 21 menunjukkan

kepentingan (stakeholder) terkait pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela.

Ketiga kelompok pemangku kepentingan tersebut adalah

stakeholder sekunder dan stakeholder

stakeholders) atau stakeholder

pengaruh yang relatif lebih rendah dalam proses

Stakeholder sekunder (secondary stakeholders

pengaruh dalam proses penentuan kebijakan

Sementara stakeholder ekternal (

Masyarakat

0.00

1.00

2.00

3.00

4.00

5.00

0.00 1.00

Kep

enti

ngan

Stakeholders Primer

Stakeholders Sekunder

Stakeholders Eksternal

Adapun posisi setiap stakeholder berdasarkan hasil pemetaan

Gambar 21.

Pemetaan para pemangku kepentingan PLTA berdasarkan tingkat kepentingan dan pengaruhnya.

menunjukkan bahwa terdapat 3 kelompok pemangku

terkait pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela.

Ketiga kelompok pemangku kepentingan tersebut adalah stakeholder primer,

stakeholder eksternal. Stakeholder primer (primary

stakeholder kunci memiliki tingkat kepentingan tinggi dengan

relatif lebih rendah dalam proses penentuan kebijakan

econdary stakeholders) memiliki tingkat kepentingan dan

pengaruh dalam proses penentuan kebijakan dengan proporsi relatif sama

ekternal (external stakeholders) memiliki tingkat

PLN (Persero)

PLTA

Kementerian ESDM

Kemenhut

Kementerian PU

Kementan KLH

Pemda

DPRD

Dinas PU

Dishut

Dinas LH

Masyarakat

Perusahaan Pengguna

LSM P3B

Kementerian KP

Perhutani

Investor

2.00 3.00 4.00 5.00

Pengaruh

Stakeholders

Stakeholders

Stakeholders

berdasarkan hasil pemetaan

Pemetaan para pemangku kepentingan PLTA berdasarkan tingkat

terdapat 3 kelompok pemangku

terkait pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela.

primer,

rimary

tingkat kepentingan tinggi dengan

penentuan kebijakan.

ngan dan

sama.

tingkat

92

kepentingan relatif lebih rendah dengan pengaruh yang tinggi dalam proses

penentuan kebijakan.

Stakeholder kunci terdiri dari Kementerian Kehutanan, PLN (Persero),

PLTA, Perhutani/HTI, Dinas LH, Dinas Kehutanan, Dinas PU, Perusahaan

Pengguna dan masyarakat. Kementerian Kehutanan (Kemenhut) menjadi pihak

yang memiliki pengaruh dan tingkat kepentingan tertinggi. Hal ini diterkait

mungkinkan karena aspek pengelolaan sumberdaya air sangat dekat dengan

wilayah hulu DAS yang sebagian besar merupakan kawasan hutan yang menjadi

tupoksi Kemenhut. Kemenhut menjadi pihak yang paling berpengaruh dalam

proses penyusunan kebijakan strategis terkait pengelolaan sumberdaya air PLTA,

karena output kebijakan Kemenhut mampu menjangkau semua pihak terkait.

Pada kelompok tengah stakeholder primer (kunci), PLTA menjadi pihak

yang paling berkepentingan, sehingga harus menjadi pihak yang proaktif pada

tataran operasional. PLTA perlu melakukan komunikasi eksternal dan kerjasama

dengan stakeholder kunci lain agar program perlindungan dan pengelolaan

sumberdaya air PLTA tercapai. Stakeholder yang memenuhi kriteria tersebut

yaitu Kemenhut, PLN dan Perhutani di tataran pusat, serta Dinas LH, Dinas

Kehutanan, Dinas PU, perusahaan pengguna, dan masyarakat pada tataran daerah.

Sementara masyarakat menjadi pihak kunci yang berkepentingan, tetapi

memiliki pengaruh yang relatif rendah. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat

merupakan pihak kunci yang lebih banyak menerima dampak kebijakan

pengelolaan sumberdaya air. Oleh karena itu, setiap proses penyusunan dan

pengambilan kebijakan tetap harus melibatkan masyarakat yang akan menjadi

objek penerima dampak di tataran hilir pelaksanaan kebijakan. PLTA harus

melibatkan masyarakat agar dapat berpartisipasi secara aktif dalam pelaksanaan

kebijakan pada tataran operasional. Program lingkungan yang tidak melibatkan

masyarakat tidak akan berhasil. Mereka banyak bergantung pada sumberdaya

alam di wilayah ini untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Kepentingan

masyarakat lebih dipengaruhi oleh kebutuhan mereka akan kelestarian

sumberdaya untuk menopang hidup mereka. Masyarakat sebagian besar bersedia

lahannya dijadikan lahan untuk rehabilitasi (Sundawati & Sanudin 2009).

93

Kementerian PU, Kementerian ESDM, Kementerian Kelautan dan

Perikanan, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Lingkungan Hidup menjadi

institusi pusat yang bisa mendukung program pengelolaan sumberdaya air

berbasis sukarela. Hal ini disebabkan, semua institusi pusat ini berada pada

kuadran stakeholder sekunder. Pada kuadran ini juga terdapat DPRD dan Pemda

sebagai lembaga daerah yang bisa mendukung keberhasilan program. Sementara

pihak swasta yang berada pada kuadran ini adalah pihak investor. Kelompok ini

penting untuk mendukung program konservasi SDA namum perlu pemberdayaan

dalam tataran operasional. PLTA harus mengajak dan meminta dukungan pihak-

pihak tersebut. Pemda dan investor patut diajak kerjasama dalam tataran

operasional. Pemda berperan sebagai fasilitator dan pemberian izin yang terkait

dengan program lingkungan. Investor meskipun memiliki tingkat kepentingan

yang rendah namun penting diperhatikan karena memiliki tingkat pengaruh dalam

pembentukan opini green product PLTA di pasar internasional.

LSM dan Pusat Penyaluran dan pengatur Beban (P3B) memiliki tingkat

kepentingan dan pengaruh yang relatif rendah dalam konservasi sumberdaya air.

PLTA perlu memperhatikan kebutuhan P3B terkait dengan kebutuhan energi

listrik yang dibuutuhkan. LSM dapat diajak untuk membantu memberikan

advokasi dan pelatihan kepada masyarakat.

PLTA perlu mengembangkan upaya untuk membangun potensi kolaborasi

yang dapat dikembangkan dari stakeholder ini. Upaya konservasi sumberdaya air

tidak dapat dikerjakan sendiri, tetapi membutuhkan upaya bersama dari berbagai

pihak. Sebagai pihak yang memanfaatkan sumberdaya air, PLTA perlu

mengetahui tipikal dan concern masing-masing stakeholder guna menetapkan

kunci keberhasihan. Secara umum stakeholder memiliki perhatian lebih pada

kredibilitas dan kemudahan aksesibilitas data, dan ingin mengetahui apakah

tujuan pengelolaan sumberdaya air PLTA sesuai dengan strategi lingkungan

mereka. Komunikasi eksternal perlu dilakukan lebih intensif dengan pemangku

kepentingan guna keberhasilan program lingkungan PLTA dan memperoleh

akseptasi mereka.

4.4.2 Tinjauan Regulasi dalam Pengelolaan Sumberdaya Air PLTA

94

Peraturan perundang-undangan yang diacu oleh ke-empat PLTA dalam

melakukan perlindungan sumberdaya air pada tahap operasional adalah Undang-

undang (UU) Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup, UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air, Peraturan

Pemerintah (PP) Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumberdaya Air, PP

Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian

Pencemaran Air, dan Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan

Hidup Nomor KEP-02/MENKLH/I/1988 tentang Penetapan Baku Mutu

Lingkungan. Selain itu, terkait pengelolaan dan perlindungan kawasan yang lebih

luas (DAS hulu PLTA), PLTA juga harus megacu pada UU Nomor 32 Tahun

2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang

Penataan Ruang.

Secara umum UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air terdiri dari

3 komponen utama yaitu konservasi, pemanfaatan dan pengendalian daya rusak

air. Hal ini menunjukkan bahwa untuk melakukan pengelolaan waduk dengan

melakukan konservasi, pemanfaatan, pengendalian daya rusak air. Berdasarkan

UU ini, penetapan kebijakan pengelolaan sumberdaya air berada pada pemerintah

sesuai dengan wilayah penyebarannya. Wilayah sungai yang melintasi provinsi

menjadi kewenangan Pemerintah Pusat, wilayah sungai yang melintasi

kabupaten/kota menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi, dan wilayah sungai

yang hanya ada di kabupaten/kota menjadi kewenangan Pemerintah Daerah

Kabupaten/Kota yang bersangkutan. Sementara PP Nomor 42 Tahun 2008,

memberikan kewenangan kepada Dinas pada tingkat provinsi untuk membantu

wadah koordinasi pengelolaan sumberdaya air pada wilayah sungai-sungai lintas

kabupaten/kota dalam penyusunan rancangan pola pengelolaan sumberdaya air.

Hal ini sejalan dengan arahan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah dan PP 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan

Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemda Provinsi, dan Pemda Kabupaten/Kota

yang mengatur kewenangan otonomi daerah. Pengelolaan DAS Citarum di mana

PLTA Saguling dan Cirata berada yang melintasi dua kabupaten, menurut UU 32

Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah merupakan tanggung jawab pemerintah

95

provinsi. Sementara DAS Tondano di mana PLTA Tanggari I dan II berada dalam

satu kabupaten yang sama.

Sebagai langkah antisipasi, UU Nomor 7 Tahun 2009 ini juga melarang

berbagai pihak untuk melakukan kegiatan yang bisa mengakibatkan daya rusak air.

Selain itu, UU ini juga memberi peluang kepada masyarakat untuk terlibat dalam

proses penentuan kebijakan terkait pengelolaan sumberdaya air sekaligus

memperoleh manfaat dari pengelolaannya. Berbagai peran masyarakat terhadap

pengelolaan lingkungan juga diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 yang tentu

saja terkait dengan pengelolaan sumberdaya air sebagai salah satu aspek dari

lingkungan.

Kebijakan lain terkait pengelolaan sumber daya air adalah pengelolaan

kualitas air dan pengendalian pencemaran yang diatur dalam PP Nomor 82 Tahun

2001 dan PP No 42 Tahun 2008. Pengelolaan kualitas air tersebut dilakukan

dengan cara memperbaiki kualitas air pada sumber air dan prasarana sumberdaya

air. Perbaikan kualitas air pada sumber air dan prasarana sumberdaya air sendiri

diatur untuk dilakukan Pemerintah atau Pemerintah Daerah sesuai wewenang dan

tanggung jawabnya. Sementara itu, penerapan konsep daya dukung dan daya

tampung lingkungan perlu diimplementasikan dalam pengelolaan sumberdaya air,

karena merupakan bagian dari aspek lingkungan. Hal ini ditegaskan dalam UU

Nomor 32 Tahun 2009.

Pengelolaan yang terkait kawasan lindung dan budidaya yang berada pada

wilayah PLTA diatur dalam UU 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. UU ini

mengatur juga tentang pembangunan berkelanjutan dengan mendefinisikan

keberlanjutan dalam konteks penataan ruang adalah diselenggarakan dengan

menjamin kelestarian dan kelangsungan daya dukung dan daya tampung

lingkungan dengan memperhatikan kepentingan generasi mendatang. Selain itu,

kondisi kualitas lingkungan fisik dapat dipertahankan bahkan dapat ditingkatkan,

termasuk pula antisipasi untuk mengembangkan orientasi ekonomi kawasan

setelah habisnya sumber daya alam tak terbarukan.

Terkait dengan pemenuhan peraturan perundang-undangan yang berlaku,

PLTA berkomitmen untuk melakukan konservasi sumberdaya air sesuai dengan

konsepsi yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang

96

Sumberdaya Air, Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2008 tentang

Pengelolaan Sumberdaya Air, Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001

tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, dan

Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Nomor KEP-

02/MENKLH/I/1988 tentang Penetapan Baku Mutu Lingkungan. Konservasi air

ditujukan untuk meningkatkan volume air, meningkatkan efisiensi penggunaannya,

memperbaiki kualitas sesuai dengan peruntukkannya, dan menjaga keberlanjutan

kemampuan sumberdaya air untuk mendukung perikehidupan manusia dan

makhluk hidup lainnya.

Gambaran berbagai hal tentang perlindungan dan pengelolaan sumberdaya

air dari aspek regulasi tersebut harus menjadi acuan dalam melakukan

implementasi kebijakan. Kondisi saat ini pada empat PLTA yang diteliti, masih

terjadi penurunan kualitas air akibat pemanfaatannya sebagai pembangkit tenaga

listrik. Hal ini terlihat dari hasil analisis deskriptif kualitas air pada inlet dan outlet

PLTA yang masih menunjukkan adanya penurunan kualitas air setelah

dimanfaatkan. Hal ini bertentangan dengan ketentuan regulasi yang melarang

kegiatan yang bisa menyebabkan daya rusak air, termasuk penurunan kualitasnya.

Selain itu, pada sisi pengelolaan masih terjadi konflik kepentingan dan

lemahnya koordinasi antar berbagai stakeholder terkait sumberdaya air. Hal ini

bisa menghambat pencapaian pengelolaan sumberdaya air secara berkelanjutan.

Masyarakat dan pihak swasta lainnya yang diberi peluang untuk mendapat

manfaat dari sumberdaya air juga masih melakukan kegiatan yang tidak sesuai

dengan peraturan yang berlaku. Salah satunya pemanfaatan badan air

waduk/genangan untuk kegiatan budidaya ikan KJA. Saat ini, sudah terjadi

pemanfaatan Waduk Cirata dam Saguling untuk budidaya ikan KJA yang

melampaui batas daya dukung dan daya tampung lingkungannya. Selain itu, ada

juga pemanfaatan waduk untuk budidaya ikan KJA yang tidak sesuai zonasi

peruntukannya.

Berbagai kesenjangan antara regulasi yang harus ditaati dengan kondisi saat

ini di lapangan menjadi gap yang harus dikurangi hingga dihilangkan. Hal ini

bisa dilakukan dengan melakukan penaatan terhadap berbagai peraturan yang

97

telah ditetapkan, serta inisiatif sukarela dari stakeholder guna

mengimplementasikan kebijakan perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air.

4.5 Nilai Jasa Lingkungan Sumberdaya Air PLTA

Perusahaan akan mengembangkan suatu program, bila benefit yang

diperoleh lebih besar dari biaya yang dikeluarkan. Benefit akibat perlindungan

dan pengelolaan sumberdaya air diperoleh dari jasa yang diberikan ekosistem air

yang terlindungi. Jasa ekosistem memberikan use value dan non -use value. Use

value terdiri atas direct use value, indirect use value dan option value. Non-use

value terkait dengan existence value.

Nilai ekonomi dari akibat perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air

mempertimbangkan seluruh value yang dikandung dari program tersebut jarang

sekali dihitung. Berkaitan dengan program pelestaraian sumberdaya air di PLTA,

dilakukan analisis valuasi ekonomi akibat program lingkungan dengan mengambil

kasus di PLTA Saguling.

Analisis data menggunakan pendekatan Total Economic Value (TEV) yaitu

analisis kebijakan untuk menilai manfaat lingkungan secara ekonomis dengan

menggabungkan unsur dari berbagai disiplin ilmu yang bersifat deskriptif, valuatif

dan normatif. Nilai lingkungan tidak hanya bergantung pada nilai pemanfaatan

langsung, namun juga pada seluruh fungsi sumberdaya lain yang memberi nilai

(ekonomis dan non ekonomis) yang setinggi-tingginya.

Model ini bertujuan untuk meningkatkan efisiensi pemanfaataan

sumberdaya yang dapat diukur secara nyata berdasarkan tolok ukur nilai moneter.

Potensi benefit use value dihitung dari market output yang langsung terkait

dengan PLTA yaitu nilai produksi listrik, market output tidak langsung dengan

PLTA akibat dampak positif dari program lingkungan yang dilakukan PLTA,

yaitu nilai produksi ikan, unprices benefit dihitung dari nilai ekowisata, serta

ecological function value dihitung dari potensi nilai karbon dari program

penghijauan, cadangan air tanah, dan cadangan air waduk. Sedangkan non-use

terdiri atas option value, bequest value dan existence value yang dinilai melalui

nilai pasar.

98

4.5.1 Nilai Ekonomi Total Jasa Lingkungan Sumberdaya Air PLTA Sagulingdan Cirata di Provinsi Jawa Barat

Nilai ekonomi total jasa lingkungan sumberdaya air PLTA di Provinsi Jawa

Barat terdiri dari nilai guna langsung (direct use value), nilai guna tidak langsung

(indirect use value), dan nilai bukan guna (non-use value). Nilai guna langsung

terdiri dari nilai produksi listrik, nilai produksi ikan, dan nilai ekowisata.

Sementara nilai guna tidak langsung yang juga merupakan nilai fungsi ekologis

(ecological function value) terdiri dari nilai serapan karbon, nilai cadangan air

tanah, dan nilai cadangan air waduk. Sementara nilai bukan guna terdiri dari nilai

pilihan dan nilai kelestarian.

A. PLTA Saguling

Nilai Guna Langsung

Nilai Produksi Listrik

Nilai produksi listrik merupakan keuntungan yang bisa diperoleh dari

penjualan energi listrik yang diproduksi oleh PLTA. Nilai keuntungan ini

ditentukan oleh jumlah produksi listrik yang bisa dijual dikurangi biaya

produksinya. Produksi listrik PLTA Saguling setiap tahunnya sebesar 2.158

GWh. Berdasarkan statistik listrik PLN, harga jual rata-rata per kWh

sebesar Rp 591,11 dengan biaya produksi Rp 463, maka bisa diperoleh

keuntungan sebesar Rp 276.008.200.000 atau Rp 276 milyar setiap

tahunnya.

Nilai Ekonomi Produksi Ikan Usaha KJA

Nilai ekonomi produksi ikan yang berasal dari usaha keramba jaring apung

(KJA) merupakan keuntungan yang bisa diperoleh dari penjualan ikan hasil

budidaya setiap tahunnya. Nilai keuntungan ini ditentukan oleh jumlah KJA,

jumlah produksi ikan, harga jual ikan, dan biaya usaha budidaya yang

dikeluarkan. Berdasarkan data pada Waduk Saguling terdapat 4.514 unit

KJA (Maulana 2010) dengan rata-rata produksi 2 ton per tahun ikan mas

dan ikan nila setiap unitnya. Harga jual ikan mas berkisar sebesar Rp 14.000

per kg dan harga jual ikan nila sebesar Rp 15.000 per kg. Jika biaya

produksi yang dikeluarkan Rp 28.731.610.000 per unit KJA setiap

99

tahunnya, maka bisa diperoleh keuntungan sebesar Rp 233.080.390.000 atau

Rp 233,08 milyar setiap tahunnya.

Nilai Ekonomi Kegiatan Ekowisata

Nilai ekonomi ekowisata di Waduk Saguling dihitung dari besarnya biaya

perjalanan wisata yang dikeluarkan oleh setiap pengunjung yang datang

setiap tahunnya. Pengunjung yang datang umumnya wisatawan transit ke

wilayah ini dan rata rata hanya berkunjung 1 kali dalam setahun. Biaya

Pengeluaran terdiri atas biaya transportasi dan biaya akomodasi dan

konsumsi. Dari hasil kuesioner diperoleh bahwa biaya rata rata transportasi

sebesar Rp 116.000,- dan biaya akomodasi dan konsumsi sebesar Rp

33.000,-. Jadi biaya Pengeluaran sebesar Rp. 149.000,-/orang.

Berdasarkan hasil survei yang telah dilakukan diperoleh data bahwa rata-

rata pengunjung yang datang ke waduk Saguling pada hari-hari biasa

(Senin-Jumat) berkisar 10 orang, sedangkan pada hari libur seperti hari

Sabtu dan Minggu dapat mencapai 20 orang pengunjung. Dari data tersebut

diketahui jumlah pengunjung rata-rata 4 orang per hari atau 1.460

pengunjung per tahun. Nilai ekonomi wisata di sekitar Waduk Saguling

yaitu sebesar Rp. 149.000 x 1.460 pengunjung = Rp 217, 54 juta = Rp.

0,217 milyar setiap tahunnya.

Nilai Guna Tidak Langsung

Nilai Ekonomi Penghijaun (Serapan Karbon)

Nilai ekonomi penyerapan karbon dapat dihitung berdasarkan besarnya

kandungan karbon yang tersimpan di dalam vegetasi hutan yang

dikonversikan dalam nilai finansial. Menurut Brown dan Peaece (1994)

dalam Widada (2004), hutan alam primer, hutan sekunder, dan hutan

terbuka memiliki kemampuan menyimpan masing-masing karbon sebesar

283 ton per hektar, 194 ton per hektar, dan 115 ton per hektar. Setiap 1 ton

karbon dapat dihargai dengan nilai finansial yang berkisar antara $1 US

sampai $28 US (Soemarwoto, 2001). Berdasarkan data ini, maka nilai

ekonomi penyerapan karbon di kawasan hutan sekitar Waduk Saguling

dapat dihitung. Untuk menghindari penilaian yang terlalu tinggi atau terlalu

100

rendah, maka nilai finansial yang diambil adalah nilai tengah dari yang

ditetapkan oleh Soemarwoto yaitu sebesar $19 US per ton.

Nilai ekonomi penyerapan karbon di sekitar Waduk Saguling , dapat

dihitung dengan asumsi sebagai berikut

1. Luas kawasan hutan di sekitar Waduk Saguling 1.403 hektar dimana

keseluruhan merupakan hutan sekunder.

2. Satu hektar hutan sekunder di kawasan hutan sekitar Waduk Saguling

menyimpan karbon sebesar menyimpan karbon sebesar 194,00 ton

karbon.

3. Nilai karbon sebesar $US 19 per ton dimana untuk $US 1 = Rp 9.425,85

Adapun nilai ekonomi serapan karbon di kawasan Waduk Saguling adalah =

1403 ha x 194,00 ton x $US 19 x Rp. 9425,85 = Rp 35,57 milyar setiap

tahunnya.

Nilai Cadangan Air Tanah

Jumlah cadangan air tanah di DAS Saguling pada dasarnya merupakan

sumber utama bagi air permukaan yang mengalir di Sungai Citarum hulu.

Secara tidak langsung air ini juga menjadi pemasok utama pembangkit

listrik PLTA Saguling. Sehingga cadangan air tanah ini memiliki potensi

ekonomi setara dengan jumlah pembangkitan energi listrik yang bisa

dihasilkannya. Besarnya potensi tersebut bisa dihitung dari volume air input

yang berasal dari curah hujan di seluruh DAS, dikurangi yang mengalir di

air permukaan (run off) dan penguapan yang terjadi di seluruh permukaan

DAS.

Berdasarkan data diketahui bahwa luas DAS Waduk Saguling adalah

222.830 ha, dengan rata-rata curah hujan sebesar 3.378 mm/tahun dan rata-

rata penguapan sebesar 1.116 mm/tahun, serta debit air permukaan sebesar

108 m3/detik. Volume cadangan air tanah dihitung dari volume input curah

hujan dikali luas DAS, dikurangi volume output penguapan dikali luas DAS

dan aliran permukaan. Setiap m3 cadangan air tanah ini berpotensi

menghasilkan energi listrik senilai Rp 202. Hasil perhitungan menunjukkan

volume cadangan air tanah tersebut bernilai sebesar Rp 330.174.373.200

atau Rp 330,17 milyar setiap tahunnya.

101

Nilai Cadangan Air Waduk

Seperti hanya cadangan air tanah, air yang tergenang dalam waduk juga

berpotensi untuk dikonversi menjadi energi listrik senilai Rp 202/m3.

Potensi ini bisa hilang jika volume air di waduk mengalami pengurangan

akibat sedimentasi. Sehingga volume sedimentasi yang masuk ke dalam

waduk berpotensi menghilangkan nilai ekonomi cadangan air waduk.

Besarnya nilai ekonomi cadangan air waduk sebanding dengan banyaknya

sedimen yang masuk ke waduk setiap tahunnya. Berdasarkan data PT

Indonesia Power (2010) diketahui rata-rata volume sedimen yang masuk ke

dalam Waduk Saguling sebesar 4,2 juta m3 setiap tahunnya. Sehingga nilai

cadangan air waduk yang hilang sebesar Rp 848,4 juta setiap tahunnya.

Nilai Bukan Guna

Nilai Pilihan

Nilai pilihan waduk adalah nilai pemanfaatan sumberdaya waduk untuk

pemanfaatan dimasa yang akan datang. Nilai pilihan waduk dihitung sama

dengan dengan nilai keberadaan di atas yaitu menggunakan metode

Contingent Valuation Method (CVM) yang didasarkan pada seberapa besar

seseorang atau masyarakat mau membayar (willingness to pay) untuk

melindungi sumberdaya waduk. Nilai pilihan ini dihitung berdasarkan

bagaimana manfaat sumberdaya alam yang terkandung dalam waduk dapat

dipertahankan sehingga dapat dimanfaatkan untuk masa yang akan datang.

Untuk mengumpulkan data berkaitan dengan nilai pilihan ini, disebarkan

kuisioner kepada responden.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua responden menyatakan bahwa

Waduk perlu dipertahankan manfaat yang terkandung di dalamnya terutama

untuk pemanfaatan dimasa yang akan datang. Terkait dengan kesediaan

membayar agar manfaat SDA dalam hutan sekitar waduk tetap

dipertahankan, sekitar 50% menyatakan bersedia membayar dan sisanya

(50%) menyatakan tidak bersedia membayar.

Adapun besar biaya yang bersedia dibayarkan untuk mempertahankan

manfaat Waduk Saguling adalah sekitar 75 % bersedia membayar sebesar

Rp. 5.000,- dan hanya sekitar 25 % bersedia membayar sebesar Rp. 10.000,-.

102

Dari kisaran kesediaan membayar tersebut, jika dirata-ratakan maka dapat

diketahui besaran kesediaan membayar setiap responden yaitu sebesar Rp.

12.500,00/orang

Berdasarkan data di atas, dihitung nilai pilihan waduk yaitu nilai manfaat

(WTP) dikalikan dengan jumlah penduduk di wilayah penelitian.

Berdasarkan data statistik, jumlah penduduk di sekitar waduk sebanyak

618.479 jiwa, sehingga nilai pilihan Waduk Saguling = Rp 12.500 x

618.479 jiwa = Rp 7.730.987.500 atau Rp 7,73 milyar.

Nilai Kelestarian Waduk

Nilai kelestarian waduk juga dihitung dengan metode Contingent Valuation

Method (CVM). Nilai kelestarian waduk dihitung berdasarkan pentingnya

dilestarikan kawasan waduk terutama untuk mempertahankan fungsinya

sebagai kawasan konservasi air untuk operasional PLTA dan kebutuhan air

bagi masyarakat sekitar. Pengumpulan data dilakukan dengan menyebarkan

kuisioner untuk 120 responden. Informasi yang ingin digali dalam kuisioner

dituangkan dalam bentuk pertanyaan.

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa semua responden

menyatakan bahwa waduk perlu dilestarikan untuk mempertahankan

fungsinya sebagai kawasan konservasi air dan pemenuhan kebutuhan air

bagi masyarakat. Berkaitan dengan kesediaan membayar untuk melestarikan

fungsi Waduk, sekitar 62,5 % menyatakan bersedia membayar dan 37,2 %

menyatakan tidak bersedia membayar.

Adapun besar biaya yang bersedia dibayarkan untuk melestarikan Waduk

adalah sekitar 37,5 % bersedia membayar sebesar Rp. 5.000, sekitar 12,5 %

bersedia membayar sebesar Rp. 10.000 dan sekitar 12,5 % bersedia

membayar sebesar Rp. 15.000 serta sisanya yaitu sekitar 37,3 % tidak

bersedia membayar. Dari kisaran kesediaan membayar tersebut, jika dirata-

ratakan maka dapat diketahui besaran kesediaan membayar setiap responden

yaitu sebesar Rp. 15.000,00/orang .

Berdasarkan data di atas, dapat dihitung nilai kelestarian waduk yaitu nilai

kelestarian (WTP) dikalikan dengan jumlah kepala keluarga di wilayah

penelitian. Jumlah kepala keluarga sebanyak diasumsikan ¼ dari jumlah

103

penduduk atau setiap keluarga rata-rata terdiri dari 4 orang. Nilai

Pelestarian Waduk = Rp 15.000,00 x (35.638 jiwa/4) = Rp 2.319.296.250

2,31 milyar setiap tahunnya.

Nilai Ekonomi Total

Nilai ekonomi total perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air di PLTA

Saguling merupakan jumlah dari keseluruhan nilai guna langsung, nilai guna

tidak langsung, dan nilai bukan guna disajikan dalam Tabel 13.

Berdasarkan hasil penelitian seperti diuraikan di atas dapat disimpulkan bahwa

perlindungan dan pengeloaan sumberdaya air di PLTA dengan studi kasus di

PLTA Saguling memiliki nilai ekonomi yang cukup besar terkait pemanfaatan

jasa lingkungan waduk. Nilai ekonomi ini dihitung dari perbaikan sistem

perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air PLTA dan perbaikan hubungan

antara perusahaan (PLTA) dengan masyarakat sekitar sebagai manfaat utama

yang diperoleh PLTA Saguling.

Tabel 13 Nilai ekonomi total jasa lingkungan sumberdaya air PLTA Saguling

No Parameter Jumlah (Rp)1 Nilai Benefit Listrik 276.008.200.0002 Nilai Keuntungan Ikan 233.080.390.0003 Nilai Ekowisata 217.540.000

Nilai Guna Langsung 509.306.130.0004 Nilai Serapan Karbon 35.577.531.4945 Nilai Potensi Cadangan Air 330.174.373.2006 Nilai Potensi Kelestarian Air 848.400.000

Nilai Guna Tidak Langsung 366.600.304.6947 Option Value 7.730.987.5008 Preservation Value 2.319.296.250

Nilai Bukan Guna 10.050.283.750Nilai Ekonomi Total 885.956.718.444

Besar nilai ekonomi total (Total Economic Value) dari pengelolaan

sumberdaya air di PLTA Saguling mencapai Rp. 885.956.718.444 atau sekitar

Rp. 0,885 triliyun.

B. PLTA Cirata

104

Nilai Guna Langsung

Nilai Produksi Listrik

Berdasarkan perhitungan yang sama, maka potensi nilai ekonomi produksi

listrik PLTA Cirata yang bisa diperoleh sebesar Rp 182.385.400.000 atau

Rp 182,38 milyar setiap tahunnya. Nilai ini diperoleh karena PLTA Cirata

memproduksi rata-rata energi listrik sebesar 1.426 GWh setiap tahunnya.

Nilai Ekonomi Produksi Ikan Usaha KJA

Sementara potensi nilai ekonomi produksi ikan PLTA Cirata dipengaruhi

oleh daya dukung waduk terhadap jumlah KJA maksimum yang bisa

diusahakan, yaitu sejumlah 24.000 unit (Hapsari 2010). Jumlah ini

memungkinkan diperolehnya nilai ekonomi produksi budidaya perikanan

sebesar Rp 1.239.240.000.000 atau Rp 1,23 triliun setiap tahunnya.

Nilai Ekonomi Kegiatan Ekowisata

Jmlah kunjungan wisatawan sebanyak 17.516 setiap tahun ke lokasi sekitar

PLTA Cirata berkontribusi terhadap nilai ekonomi kegiatan ekowista.

Berdasarkan jumlah wisatawan tersebut, maka potensi nilai ekonomi yang

bisa diperoleh dari kegiatan ekowisata di sekitar PLTA Cirata sebesar Rp

2.627.400.000 atau Rp 2,62 milyar setiap tahunnya.

Nilai Guna Tidak Langsung

Nilai Ekonomi Penghijaun (Serapan Karbon)

Luasan lahan yang telah direboisasi seluas 525 ha di sekitar PLTA Cirata

menghasilkan potensi nilai ekonomi penyerapan sebesar Rp 18.250.856.732

atau Rp 18,25 milyar setiap tahunnya.

Nilai Cadangan Air Tanah

DAS Waduk Cirata yang merupakan perluasan dari DAS Waduk Saguling

memiliki cadangan air tanah yang lebih banyak. DAS Cirata mencakup

wilayah seluas 465.286 ha dengan curah hujan rata-rata 2.557 mm/tahun

dan penguapan rata-rata 1.116 mm/tahun. Berdasarkan kondisi tersebut,

diperoleh potensi nilai ekonomi cadangan air tanah PLTA Cirata sebesar Rp

222.230.744.400 atau Rp 222,23 milyar setiap tahunnya.

Nilai Cadangan Air Waduk

105

Waduk Cirata yang berada di hilir Waduk Saguling tentu saja menerima

erosi dan sedimentasi yang lebih besar. Hal ini disebabkan luas DAS yang

lebih besar, sehingga perhitungan potensi nilai ekonomi cadangan air waduk

PLTA Cirata menghasilkan nilai sebesar Rp 961.520.000 atau Rp 0,96

milyar setiap tahunnya.

Nilai Bukan Guna

Nilai Pilihan

Jumlah penduduk di sekitar Waduk Cirata yang berjumlah sebesar 234.322

jiwa berpengaruh terhadap besarnya nilai pilihan. Berdasarkan perhitungan

potensi nilai pilihan PLTA Cirata sebesar Rp 2.929.025.000 atau Rp 2,92

milyar setiap tahunnya.

Nilai Kelestarian Waduk

Jumlah penduduk tersebut berkontribusi juga terhadap banyaknya kepala

keluarga (KK) yang bermukim di sekitar Waduk Cirata. Hal ini

menghasilkan perhitungan potensi nilai ekonomi kelestarian waduk PLTA

Cirata sebesar Rp 878.707.500 atau Rp 0,87 milyar setiap tahunnya.

Nilai Ekonomi Total

Nilai ekonomi total perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air di PLTA

Cirata merupakan jumlah dari keseluruhan nilai guna langsung, nilai guna tidak

langsung, dan nilai bukan guna disajikan dalam Tabel 14.

Hasil perhitungan di atas menunjukkan bahwa perlindungan dan pengeloaan

sumberdaya air di PLTA dengan studi kasus di PLTA Cirata juga memiliki

nilai ekonomi yang cukup besar terkait pemanfaatan jasa lingkungan waduk.

Nilai ekonomi ini dihitung dari perbaikan sistem perlindungan dan pengelolaan

sumberdaya air PLTA dan perbaikan hubungan antara perusahaan (PLTA)

dengan masyarakat sekitar sebagai manfaat utama yang diperoleh PLTA Cirata.

Besar nilai ekonomi total dari pengelolaan sumberdaya air di PLTA Cirata

mencapai Rp. 1.669.503.653.632 atau sekitar Rp. 1,66 triliyun.

Tabel 14 Nilai ekonomi total jasa lingkungan sumberdaya air PLTA Cirata

No Parameter Jumlah (Rp)1 Nilai Benefit Listrik 182.385.400.000

106

2 Nilai Keuntungan Ikan 1.239.240.000.0003 Nilai Ekowisata 2.627.400.000

Nilai Guna Langsung 1.424.252.800.0004 Nilai Serapan Karbon 18.250.856.7325 Nilai Potensi Cadangan Air 222.230.744.4006 Nilai Potensi Kelestarian Air 961.520.000

Nilai Guna Tidak Langsung 241.443.121.1327 Option Value 2.929.025.0008 Preservation Value 878.707.500

Nilai Bukan Guna 3.807.732.500Nilai Ekonomi Total 1.669.503.653.632

4.5.2 Nilai Ekonomi Total Jasa Lingkungan Sumberdaya Air PLTATanggari I dan Tanggari II di Provinsi Sulawesi Utara

Nilai ekonomi total jasa lingkungan sumberdaya air PLTA di Provinsi

Sulawesi Utara terdiri dari nilai NET PLTA Tanggari I dan II. Berbeda dengan

PLTA di Provinsi Jawa Barat, PLTA di Provinsi Sulawesi Utara hampir seluruh

parameternya memiliki fungsi ekonomi secara bersama. Fungsi ekonomi jasa

lingkungan yang dihitung terpisah hanya nilai produksi listrik masing-masing

PLTA. Sehingga nilai ekonomi total PLTA Tanggari I dan II merupakan jumlah

nilai ekonomi produksi listrik masing-masing PLTA ditambah nilai ekonomi

parameter lainnya secara bersama-sama. Persamaan dan teknik perhitungan yang

digunakan sama dengan yang dilakukan pada PLTA di Provinsi Jawa Barat.

Nilai Guna Langsung

Nilai Produksi Listrik

Berdasarkan perhitungan, potensi nilai ekonomi produksi listrik PLTA

Tanggari I yang bisa diperoleh sebesar Rp 1.164.350.440 atau Rp 1,16

milyar setiap tahunnya. Sementara potensi nilai ekonomi produksi listrik

PLTA Tanggari II adalah sebesar Rp 1.391.374.859 atau Rp 1,39 milyar

setiap tahunnya. Sehingga total nilai produksi listrik untuk PLTA Tanggari

I dan II adalah sebesar Rp 2.555.725.299 atau Rp 2,55 milyar per tahunnya.

Nilai Ekonomi Produksi Ikan Usaha KJA

Potensi nilai ekonomi produksi ikan PLTA Tanggari I dan II dengan

keberadaan KJA sebanyak 6000 unit. Hal ini menghasilkan potensi nilai

107

ekonomi produksi ikan sebesar Rp 235.350.000.000 atau Rp 0,23 triliun

setiap tahunnya.

Nilai Ekonomi Kegiatan Ekowisata

Potensi nilai ekonomi yang bisa diperoleh dari kegiatan ekowisata di sekitar

PLTA Tanggari I dan II sebesar Rp 9.317.430.000 atau Rp 9,31 milyar

setiap tahunnya. Hal ini diperoleh berdasarkan rata-rata jumlah wisatawan

yang berkunjung sebanyak 34.509 orang setiap tahunnya. Selain itu, hal ini

diperoleh dari besarnya pengeluaran wisatawan yang berupa biaya

transportasi dan biaya akomodasi selama melakukan kunjungan wisata.

Nilai Guna Tidak Langsung

Nilai Ekonomi Penghijaun (Serapan Karbon)

Saat ini di sekitar PLTA Tanggari I dan II telah dilakukan penghijauan

seluas 125 ha. Luas areal penghijauan tersebut menghasilkan potensi nilai

ekonomi penyerapan karbon di sekitar PLTA Tanggari I dan II sebesar Rp

4.342.960.388 atau Rp 4,34 milyar setiap tahunnya.

Nilai Cadangan Air Tanah

Potensi nilai ekonomi cadangan air tanah PLTA Tanggari I dan II berada

pada DAS Tondano seluas 24.708 ha. DAS seluas ini dengan tingkat curah

hujan tahunan rata-rata sebesar 1.936 mm menghasilkan potensi ekonomi

cadangan air tanah senilai Rp 481.745.760 atau Rp 0,48 milyar setiap

tahunnya.

Nilai Cadangan Air Sungai

Sementara cadangan air sungai yang menjadi potensi ekonomi PLTA

Tanggari I dan II senilai Rp 404.000.000 atau Rp 0,40 milyar setiap

tahunnya.

Nilai Bukan Guna

Nilai Pilihan

Nilai pilihan pada PLTA Tanggari I dan II dihitung dari rata-rata WTP

sebesar Rp 12.500 dikalikan dengan jumlah penduduk di sekitar PLTA.

Hasil perhitungan menunjukkan potensi nilai pilihan sebesar Rp

331.975.000 atau Rp 0,33 milyar setiap tahunnya.

108

Nilai Kelestarian Waduk

Berdasarkan perhitungan yang sama dengan nilai pilihan, tetapi terhadap

jumlah KK di sekitar PLTA Tanggari I dan II diperoleh nilai ekonomi

kelestarian menurut penduduk diperoleh sebesar Rp 99.592.500 atau Rp

0,09 milyar setiap tahunnya.

Nilai Ekonomi Total

Nilai ekonomi total perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air di PLTA

Tanggari I dan II disajikan dalam Tabel 15.

Tabel 15 Nilai ekonomi total jasa lingkungan sumberdaya air PLTA Tanggari I dan II

No Parameter Jumlah (Rp)1 Nilai Benefit Listrik 2.555.725.2992 Nilai Keuntungan Ikan 235.350.000.0003 Nilai Ekowisata 9.317.430.000

Nilai Guna Langsung 247.223.155.2994 Nilai Serapan Karbon 4.342.960.3885 Nilai Potensi Cadangan Air 481.745.7606 Nilai Potensi Kelestarian Air 404.000.000

Nilai Guna Tidak Langsung 5.228.706.148 7 Option Value 331.975.0008 Preservation Value 99.592.500

Nilai Bukan Guna 431.567.500Nilai Ekonomi Total 251.492.054.088

Hasil perhitungan menunjukkan bahwa perlindungan dan pengeloaan

sumberdaya air di PLTA dengan studi kasus di PLTA Tanggari I dan II juga

memiliki nilai ekonomi yang relatif besar terkait pemanfaatan jasa lingkungan

sumberdaya air, meskipun tidak sebesar PLTA di Provinsi Jawa Barat. Hal ini

disebabkan kapasitas produksi listrik dan potensi ekonomi lainnya yang

memiliki skala lebih kecil. Nilai ekonomi total dari pengelolaan sumberdaya

air di PLTA Tanggari I dan II mencapai Rp. 251.492.054.088 atau sekitar Rp.

0,25 triliyun.

109

4.6 Prioritas Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Air PLTA

Upaya penyelamatan lingkungan merupakan tanggung jawab bersama,

sebab fenomena ini menyentuh semua lapisan masyarakat dan institusi dan

kehidupan selanjutnya. Kesadaran akan pentingnya kualitas lingkungan juga

merupakan tanggungjawab global, sehingga berbagai kesepakatan dunia

dilakukan untuk meningkatkan kinerja lingkungan.

Tekanan konsumen, tekanan pemerintah dan kekuatan pasar dan

kepentingan individu organisasi terhadap perlindungan lingkungan memotivasi

penerapan sistem manajemen lingkungan (Uchida 2004). Perlindungan

lingkungan berbasis pendekatan sukarela semakin diminati oleh pengambil

keputusan sebagai tool untuk mengajak pencemar berpartisipasi dalam

perlindungan lingkungan (Segerson & Thomas, 1998). Kehadiran kebijakan

sukarela untuk mengurangi ketidakfleksibelan kebijakan mandatori dapat menjadi

salah satu alternatif yang bersinergi dalam mempercepat perlindungan lingkungan.

Kebijakan perlindungan berbasis sukarela perlu dirumuskan untuk implementasi

ke depan, mengingat dalam penerapannya banyak pihak yang terkait.

Untuk merumuskan desain kebijakan ini menggunakan teknik analisis

hirarki proses (AHP). Teknik AHP umumnya dikembangkan untuk memecahkan

persoalan yang tidak terstruktur dan komplek dalam kerangka berfikir yang

terorganisir sehingga pengambilan keputusan yang efektif dan menyeluruh dapat

dilakukan.

4.6.1 Struktur AHP dan Nilai Eigen

Dalam merumuskan desain kebijakan perlindungan dan pengelolaan

sumberdaya air berbasis sukarela di PLTA, terlebih dahulu disusun hierarki

kebijakan untuk mendukung pengambilan keputusan desain kebijakan tersebut.

Hierarki kebijakan tersebut disusun berdasarkan justifikasi pakar dimana pakar

menetapkan lima level hierarki yaitu :

Level pertama merupakan fokus kebijakan perlindungan dan pengelolaan

sumberdaya air berbasis sukarela di PLTA.

Level kedua merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi/memotivasi

perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela di PLTA yang

110

terdiri atas tekanan pemerintah, tekanan global, tekanan masyarakat, tekanan

pembeli dan kepentingan PLTA.

Level ketiga adalah aktor yang berperan dalam pengembangan kebijakan

perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela di PLTA

antara lain pemerintah, masyarakat, pembeli, investor, dan industri

Level keempat adalah tujuan yang ingin dicapai dalam pengembangan

kebijakan dan pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela di PLTA terdiri

atas perlindungan lingkungan, kontinuitas PLTA, pengakuan publik, dan

liabilitas lingkungan.

Level kelima adalah alternatif kebijakan perlindungan dan pengelolaan

sumberdaya air berbasis sukarela di PLTA yang meliputi penguatan

infrastruktur kelembagaan dan institusional, pemberian insentif dan disinsentif,

peningkatan nilai lingkungan internal.

Setiap elemen pada setiap level selanjutnya diboboti oleh pakar dengan

menggunakan nilai bobot seperti yang telah ditetapkan oleh Saaty (1993).

Pengolahan data untuk menentukan elemen prioritas dalam pengambilan

keputusan kebijakan perlindungan lingkungan berbasis sukarela menggunakan

software Criterium Decision Plus (CDP) versi 3,0.

Hasil sintesis menghasilkan nilai eigen (bobot) untuk setiap pilihan yang

ada di dalam struktur AHP. Untuk memudahkan dalam interpretasi hasil terhadap

nilei eigen maka nilai tersebut dimasukkan dalam struktur AHP secara kumulatif

sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 22.

Hasil sistesis AHP atas pendapat pakar menunjukkan bahwa faktor yang

berperan memotivasi pengembangan dan implementasi kebijakan sukarela

(voluntari) di PLTA adalah tekanan pemerintah dengan nilai eigen 0,462.

Kemudian tekanan global dengan bobot 0,198. Sedangkan tekanan masyarakat,

kepentingan PLTA dan tekanan pembeli memiliki nilai eigen masing sebesar

0.143; 0,111 dan 0,087.

111

Gambar 22 Struktur AHP dan nilai eigen pada hirarki model disain kebijakan perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela di PLTA.

112

4.6.2 Konstribusi Peran Setiap Level

Konstribusi peran dari masing masing level yaitu level faktor, level aktor

dan level tujuan kemudian dianalisis terhadap pengembangan kebijakan

perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela di PLTA sebagai

berikut:

Pertama, konstribusi peran faktor dalam disain insentif dan disinsentif

kebijakan Perlindungan lingkungan berbasis sukarela, pakar melihat bahwa faktor

yang paling berpengaruh adalah tekanan pemerintah (0,201), tekanan global

(0,087), tekanan masyarakat (0,063), kepentingan PLTA (0,048) dan tekanan

pembeli (0,038). Nilai konstribusi faktor dalam menetapkan alternatif kebijakan

perlindungan lingkungan berbasis sukarela ditunjukkan pada Tabel 16 dan

Gambar 23.

Tabel 16 Nilai kontribusi faktor dalam menetapkan pilihan kebijakan perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela

Alternatif kebijakan

Nilai Konstribusi Faktor

Tekanan Pemerintah

Tekanan Global

Tekanan Masyarakat

Kepentingan

PLTA

Tekanan Pembeli

Insentif & Disinsentif 0,201 0,087 0,063 0,048 0,038Penguatan Infrastruktur kelembagaan

0,172 0,073 0,053 0,042 0,032

Peningkatan Nilai Lingkungan Internal

0,088 0,038 0,028 0,021 0,017

sumber : hasil analisis, 2011

Gambar 23 Kontribusi faktor terhadap alternatif kebijakan.

0.00

0.05

0.10

0.15

0.20

0.25

0.30

0.35

0.40

0.45

0.00

0.05

0.10

0.15

0.20

0.25

0.30

0.35

0.40

0.45

Insentif & Disinsentif Penguatan Inf kelembagaan Peningkatan Nilai Ling Internal

T. Pemerintah

T. Global

T. Masyarakat

K. PLTA

T. Pembeli

Contributions to Perlindungan Lingk Berbasis Sukarela fromLevel:Faktor

113

Kedua, kontribusi peran aktor dalam disain kebijakan perlindungan

lingkungan berbasis sukarela bahwa pemerintah, pembeli, perusahaan lain dan

PLTA lebih mengutamakan alternatif insentif dan disinsentif dengan nilai masing

masing sebesar 0,188; 0,057; 0,037 dan 0,021. Sedangkan masyarakat dan

investor lebih cenderung menginginkan penguatan infrastruktur kelembagaan dan

institusional dengan nilai masing-masing 0,102 dan 0,051. Adapun nilai

konstribusi peran aktor hasil analisis pendapat pakar secara rinci disajikan pada

Tabel 17 dan Gambar 24.

Tabel 17 Nilai kontribusi aktor dalam menetapkan pilihan kebijakan perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela

Alternatif kebijakan

Nilai Kontribusi AktorPemerintah Masyarakat Pembeli Investor Perusahaan

lainnyaPLTA

Insentif & Disinsentif 0,188 0,087 0,057 0.048 0,037 0,021

Penguatan Infrastruktur kelembagaan

0,139 0,102 0,045 0,051 0,021 0,014

Peningkatan Nilai Lingkungan Internal

0,082 0,038 0,025 0,021 0,016 0,008

sumber : hasil analisis, 2011

Gambar 24 Kontribusi aktor terhadap alternatif kebijakan.

0.00

0.05

0.10

0.15

0.20

0.25

0.30

0.35

0.40

0.45

0.00

0.05

0.10

0.15

0.20

0.25

0.30

0.35

0.40

0.45

Insentif & Disinsentif Penguatan Inf kelembagaan Peningkatan Nilai Ling Internal

Pemerintah

Masyarakat

Pembeli

Investor

Perusahaan lain

PLTA

Contributions to Perlindungan Lingk Berbasis Sukarela fromLevel:Aktor

114

Ketiga, berbagai tujuan yang diharapkan dalam mendisain kebijakan

perlindungan dan pengelolaan sumber daya air adalah perlindungan lingkungan,

liabilitas lingkungan, kontinuitas PLTA, dan pengakuan publik. Hasil analisis

atas justifikasi pakar menunjukkan bahwa untuk mencapai tujuan perlindungan

lingkungan memerlukan kebijakan insentif dan disintentif. Sedangkan untuk

mencapai tujuan kuntinuitas PLTA, pengakuan publik dan liabilitas lingkungan

yang paling diperlukan adalah penguatan infrastruktur kelembagaan. Adapun hasil

analisis secara rinci seperti pada Tabel 18 dan Gambar 25.

Tabel 18 Nilai kontribusi tujuan dalam menetapkan pilihan kebijakan perlindungan sumberdaya air berbasis sukarela

Alternatif Kebijakan

Nilai Kontribusi TujuanPerlindungan Lingkungan

Kontinuitas PLTA

Pengakuan Publik

Liabilitas Lingkungan

Insentif & Disinsentif 0,317 0,052 0,041 0,026

Penguatan Infrastruktur kelembagaan

0,033 0,116 0,122 0,102

Peningkatan Nilai Lingkungan Internal

0,145 0,017 0,018 0,011

Sumber : hasil analisis, 2011

Gambar 25 Kontribusi tujuan terhadap alternatif kebijakan.

0.00

0.05

0.10

0.15

0.20

0.25

0.30

0.35

0.40

0.45

0.00

0.05

0.10

0.15

0.20

0.25

0.30

0.35

0.40

0.45

Insentif & Disinsentif Penguatan Inf kelembagaanPeningkatan Nilai Ling Internal

Perlind. Lingkungan

Kuntinuitas PLTA

Pengakuan Publik

Liabilitas Lingkungan

Contributions to Perlindungan Lingk Berbasis Sukarela from Level:Tujuan

115

4.6.3 Pengembangan Keputusan Alternatif Kebijakan

Hasil sintesis AHP menetapkan bahwa alternatif kebijakan yang paling

tinggi untuk dipilih adalah kebijakan insentif dan disinsentif. Hal ini terlihat dari

nilai bobot yang lebih besar dibandingkan dengan alternatif lainnya yaitu sebesar

0,436. Alternatif selanjutnya adalah penguatan infrastruktur kelembagaan dan

institusional dengan nilai bobot 0,372 dan iikuti dengan peningkatan nilai

lingkungan internal dengan bobot 0,080.

Nilai dan ranking alternatif kebijakan ditunjukkan pada Tabel 19.

Sedangkan gambaran secara menyeluruh antar pilihan kebijakan yang ada

ditunjukkan pada grafis histogram. Nilai skor keputusan tertinggi ditunjukkan

dengan diagram batang terpanjang yaitu insentif dan disinsentif. Gambaran

menyeluruh antar pilihan kebijakan dalam bentuk grafis histogram ditunjukkan

pada Gambar 26, sedangkan dalam bentuk scatter plot pada Gambar 27.

Tabel 19 Nilai alternatif kebijakan perlindungan lingkungan sukarela

Level Alternatif Bobot Ranking

Insentif & disinsentif 0,436 I

Penguatan infrastruktur kelembagaan 0,372 II

Peningkatan nilai lingkungan internal 0,192 III

Konsistensi ratio = 0,080Sumber : hasil analisis, 2011

Gambar 26 Pengambilan keputusan dengan cara histogram dalam penetapan kebijakan perlindungan sumberdaya air berbasis sukarela di PLTA.

116

Gambar 27 Pengambilan keputusan dengan cara scatter plot dalam penetapan kebijakan perlindungan sumberdaya air berbasis sukarela di PLTA.

Analisa di atas memperlihatkan bahwa kebijakan terbaik dalam desain

pengembangan kebijakan perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air berbasis

sukarela di PLTA adalah dengan menerapkan kebijakan memberikan insentif dan

disinsentif dibandingkan dengan kebijakan pengembangan infrastuktur

kelembangaan dan institusional, dan penguatan valuasi lingkungan internal.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan sebagaimana diuraikan di

atas, dapat disimpulkan bahwa alternatif desain kebijakan perlindungan dan

pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela pada kasus PLTA adalah insentif

dan disinsentif (0,436), diikuti penguatan infrastruktur kelembagaan dan

institusional (0,372) dan Penguatan nilai lingkungan internal (0,192). Untuk

memperkuat instensif dan disintentif, maka faktor yang paling berpengaruh adalah

tekanan pemerintah (0,462) dibandingkan dengan tekanan global (0,198), tekanan

masyarakat (0,143), kepentingan PLTA (0,111) dan tekanan pembeli (0,087).

Pemerintah, pembeli, perusahaan dan PLTA lebih mengutamakan alternatif

insentif dan disinsentif dalam desain kebijakan, sedangkan masyarakat dan

investor cenderung menginginkan penguatan infrastruktur kelembagaan dan

institusional. Kebijakan insentif dan disinsentif merupakan tool regulasi yang

fundamental untuk mencapai perlindungan lingkungan berbasis sukarela.

0

0.2

0.4

0.6

0.8

1

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1

Decision Score

Peningkatan Nilai Ling Internal

Insentif & Disinsentif

Penguatan Inf kelembagaan

117

Penguatan infrastruktur kelembagaan dan isntitusional diperlukan untuk mencapai

tujuan kuntinuitas PLTA, pengakuan publik dan liabilitas lingkungan.

Hasil di atas memperlihatkan faktor yang paling mempengaruhi PLTA

untuk melakukan perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air secara sukarela

adalah tekanan pemerintah. Daya tekan masyarakat dan pembeli belum banyak

mempengaruhi organisasi (PLTA) untuk melaksanakan program perlindungan

sukarela. Hal ini dimungkinkan tekanan pemerintah telah terdiskripsikan dalam

suatu tata aturan legislasi secara jelas dan dapat menjadi acuan organisasi (PLTA)

untuk melaksanakan suatu tindakan. Hal ini juga sejalan dengan hasil penelitian

Uchida (2004) yang menyebutkan bahwa tekanan pemerintah memotivasi

perusahaan di Jepang untuk mengembangkan perlindungan lingkungan. Tekanan

pemerintah dalam bentuk regulasi dan penyelenggaraannya merupakan dorongan

utama praktek perlindungan lingkungan sumberdaya alam (Delmas et al. 2004).

Pemerintah juga masih menjadi aktor utama untuk mendukung pencapaian

tujuan perlindungan lingkungan sumberdaya air. Sektor swasta masih belum

menjadi aktor utama untuk menggulirkan program perlindungan berbasis sukarela.

Konsepsi pendekatan sukarela yang menekankan upaya proaktif perusahaan untuk

merespon ketentuan regulasi, kebutuhan masyarakat dan pasar yang kemudian

diterjemahkan dalam perencanaan strategisnya belum sepenuhnya dipahami.

Keputusan penerapan inisiatif sukarela sangat penting untuk dipahami oleh

pengambil keputusan dalam organisasi. Benefit inisiatif sukarela belum

diterjemahkan secara luas oleh perusahaan dalam kontek sosial ekonomi yang

lebih luas. Sehingga keuntungan tidak hanya terkait dengan peningkatan efisiensi

penggunaan sumberdaya dan proses produksi, serta corporate image. Perbaikan

sumberdaya air yang dilakukan juga berkontribusi terhadap kesejahteraan

masyarakat dan dapat meningkatkan keterlibatan perusahaan untuk memberikan

input terhadap penyempurnaan regulasi saat ini untuk pelaksanaan yang lebih baik

(Lyon et al. 1998).

Peran pemerintah dan tekanan regulasi yang tinggi dalam pengembangan

kebijakan sukarela saat ini, bisa digunakan untuk penyusunan program bersama

antara pemerintah dan perusahaan dalam bentuk perjanjian negosiasi. Regulasi

menjadi landasan untuk pengembangan kebijakan sukarela dan sebagai target

118

lingkungan yang harus disetujui oleh perusahaan dalam periode waktu tertentu.

Perjanjian ini juga dapat digunakan sebagai acuan untuk mempromosikan

program insentif dan disinsentif untuk mencapai tujuan perlindungan lingkungan

dan pembangunan berkelanjutan.

4.7 Model Dinamik Pengelolaan Sumberdaya Air PLTA

Secara umum dari aspek lingkungan, PLTA sangat bergantung dengan

kualitas dan kuantitas sumberdaya air yang menjadi pasokan bagi pembangkitan

energi listriknya. Sementara kuantitas air sangat bergantung dari sumbernya di

bagian hulu PLTA. Keberadaan dan kontinuitas kuantitas air ini sangat

dipengaruhi kondisi penutupan dan penggunaan lahan di hulu PLTA. Perubahan

penggunaan lahan akan sangat berpengaruh terhadap karakteristik air permukaan

dan air bawah permukaan yang bisa diserap lahan. Hal ini akan berpengaruh

secara langsung terhadap kuantitas dan kontinuitas air pasokan bagi PLTA.

Selain itu, kinerja PLTA juga masih dipengaruhi oleh kualitas air yang akan

dialirkan ke dalam turbin pembangkit listrik. Kualitas air akan sangat

berpengaruh terhadap mesin pembangkitan yang dialiri air. Sifat kimia yang

korosif dan cemaran sedimen bisa mempengaruhi kinerja dan usia teknis mesin

pembangkit listrik.

Aspek sosial yang terkait pengelolaan sumberdaya air PLTA adalah

hubungan antara pengelola PLTA dengan semua stakeholder terkait. Hubungan

ini terkait komunikasi yang terjalin antar stakeholder serta kolaborasi dalam

melakukan pengelolaan yang berbasis sukarela.

Selain aspek sosial, terdapat juga aspek ekonomi baik dari pengelolaan

PLTA, maupun dari jasa lingkungan sumberdaya air yang bisa dimanfaatkan oleh

semua stakeholder. Pengelola PLTA bisa mendapatkan manfaat ekonomi dengan

mengkonversi tenaga air menjadi tenaga listrik yang bisa dijual kepada lembaga

penyalur tenaga listrik kepada konsumen. Selisih antara biaya yang dikeluarkan

untuk pembangkitan dengan nilai energi listrik yang dihasilkan bisa menjadi

keuntungan pengelola PLTA. Sementara jasa lingkungan sumberdaya air bisa

bersifat langsung maupun tidak langsung. Manfaat jasa lingkungan air, antara lain

sebagai sarana ekowisata, budidaya perikanan, dan manfaat ekologis lainnya.

119

Ketiga aspek terkait pengelolaan PLTA dan interaksinya tersebut

disimplifikasi menjadi model dinamik pengelolaan sumberdaya air PLTA. Model

dinamik ini mencakup sub-model sosial terkait aspek stakeholder, sub-model

lingkungan terkait kualitas air dan perubahan penggunaan lahan, dan sub-model

nilai ekonomi jasa lingkungannya. Untuk memahami sistem tersebut dilakukan

simplifikasi awal melalui diagram lingkar sebab-akibat (causal loop), seperti

disajikan pada Gambar 28. Gambar tersebut menunjukkan setiap sub-model

memiliki keterkaitan sebab-akibat.

Gambar 28 Diagram simpul-kausal (causal loop) model pengelolaan sumberdaya air PLTA.

Semua sub-model tersebut ditransformasi menjadi stock flow diagram (SFD)

sebagai penjabaran causal loop di atas disajikan dalam Gambar 29. Perilaku sub-

model dijabarkan dalam aliran energi dan informasi dalam SFD dengan

pendekatan matematis. Penyusunan SFD dan pendekatan matematisnya dilakukan

dengan bantuan perangkat lunak Powesim Studio 2005E.

Model dirancang berdasarkan hasil pembahasan berbagai aspek pada bab-

bab sebelumnya. Aspek yang mendasari rancang bangun model adalah basis data

dan basis knowledge (pengetahuan pakar dan stakeholder) yang telah dibahas

sebelumnya.

120

Gambar 29 Stock flow diagram model pengelolaan sumberdaya air PLTAberbasis sukarela.

Basis data terutama diterapkan pada elemen-elemen yang menyangkut

kondisi fisik lingkungan dan nilai ekonomi langsung terkait pengelolaan PLTA.

Elemen tersebut terdiri dari perubahan penggunaan lahan dan kuantitas

sumberdaya air, serta nilai guna jasa lingkungan sumberdaya air. Sementara basis

knowledge diterapkan pada nilai bukan guna jasa lingkungan sumberdaya air dan

sistem keterkaitan berbagai elemen pengelolaan dari berbagai aspek berdasarkan

persepsi pakar dan stakeholder.

Model terbagi atas beberapa sub-model, yaitu sub-model sosial, sub-model

lingkungan dan sub-model ekonomi. Berbagai asumsi diterapkan untuk

memenuhi kelengkapan model secara keseluruhan, sehingga bisa dilakukan

simulasi terhadap model tersebut. Model ini dibangun berdasarkan data dan

knowledge di sekitar PLTA Saguling, karena memiliki basis data terlengkap untuk

semua sub-model yang dibangun. Simulasi model dilakukan terhadap data aktual

sejak tahun 2001 dan proyeksinya antara tahun 2010 hingga tahun 2021.

121

Tampilan menu model pengelolaan sumber daya air PLTA berbasis sukarela

dibuat guna memudahkan alur simulasi yang akan dilakukan. Menu model

tersebut menampilkan judul dengan hyperlink pada setiap sub-menu yang akan

ditampilkan dalam simulasi.

4.7.1 Sub-model Sosial

Sub-model sosial dibangun berdasarkan pertumbuhan penduduk yang terjadi

di sekitar PLTA. Selain itu sub-model ini terkait dengan sub-model ekonomi,

khususnya penyisihan dana CSR oleh perusahaan yang ditujukan untuk

pemberdayaan masyarakat. Dinamika pendanaan CSR tersebut diprediksi akan

mempengaruhi indeks pemberdayaan masyarakat.

Hasil simulasi model terhadap komponen sosial menunjukkan bahwa terjadi

peningkatan jumlah penduduk. Penduduk sekitar PLTA berjumlah sekitar

717.770 jiwa pada tahun 2011 dan akan meningkat terus hingga mencapai jumlah

sekitar 833.001 jiwa pada tahun 2021 (Gambar 30).

Peningkatan jumlah penduduk tersebut akan memberikan tekanan terhadap

penggunaan sumberdaya alam yang ada di sekitar PLTA. Salah satunya adalah

meningkatnya kebutuhan lahan untuk pemenuhan kehidupan penduduk.

Kebutuhan tersebut antara lain lahan untuk permukiman yang terus meningkat

seiiring meningkatnya jumlah penduduk. Penggunaan lahan untuk permukiman

ini akan mempengaruhi perubahan penggunaan lahan di sekitar PLTA.

Gambar 30 Hasil simulasi jumlah penduduk.

Jan 01, 2001 Jan 01, 2006 Jan 01, 2011 Jan 01, 2016 Jan 01, 20210

300,000

600,000

Tahun

Pe

nd

ud

uk

122

Hasil simulasi dinamika pendanaan CSR (corporate social responsibility)

dan indeks pemberdayaan masyarakat menunjukkan kaitan yang sangat signifikan.

Penurunan nilai CSR secara langsung akan menekan indeks pemberdayaan

masyarakat.

4.7.2 Sub-model Lingkungan

Sub-model lingkungan terutama direpresentasikan oleh aspek penggunaan

lahan pada DAS hulu PLTA. Hasil simulasi penggunaan lahan menunjukkan luas

lahan semak belukar meningkat secara pesat dari 1.060 ha pada tahun 2001

menjadi seluas 108.141 ha pada tahun 2011, tetapi akan melambat

pertumbuhannya hingga mencapai luas sekitar 110.989 ha pada tahun 2021. Hal

ini merupakan konversi terhadap berbagai penggunaan lahan lainnya, terutama

lahan terbuka dan pertanian lahan kering. Peningkatan luas perkebunan juga

berkembang pesat dari 2.300 ha pada tahun 2001 menjadi seluas 31.007 ha pada

tahun 2021. Peningkatan luas perkebunan ini terutama menurunkan luasan hutan

secara signifikan. Semula lahan terbuka meningkat pada tahun 2001 hingga tahun

2006, tetapi menurun drastis hingga diperkirakan habis menjadi lahan terbangun

pada tahun 2011. Penggunaan lahan yang relatif kecil perubahannya adalah

sawah dan permukiman. Hasil simulasi perubahan penggunaan lahan secara

lengkap disajikan pada Gambar 31 dan Tabel 20.

Gambar 31 Hasil simulasi perubahan penggunaan lahan.

Jan 01, 2001 Jan 01, 2006 Jan 01, 2011 Jan 01, 2016 Jan 01, 20210

50,000

100,000

Hutan

Permukiman

Pertanian Lahan Kering

Sawah

Lahan Terbuka

Semak

Perkebunan

Tahun

Lu

as (

ha

)

123

Tabel 20 Hasil simulasi perubahan penggunaan lahan.

Sumber : hasil analisis, 2011

Hasil simulasi penggunaan lahan tersebut juga akan mempengaruhi kondisi

sumberdaya air yang terkonservasi pada lahan tersebut. Perubahan penggunaan

lahan akan mengubah karakteristik air permukaan dan bawah permukaan.

Perubahan karakteristik sumberdaya air juga akan mempengaruhi nilai jasa

lingkungan yang dihasilkannya. Hal ini disebabkan jasa lingkungan sumberdaya

air dipengaruhi kualitas, kuantitas dan kontinuitas air yang dimanfaatkan.

4.7.3 Sub-model Ekonomi

Sub model ekonomi direpresentasikan oleh nilai ekonomi jasa lingkungan

sumber daya air PLTA berbasis sukarela. Nilai total jasa lingkungan terbagi atas

nilai guna langsung (direct use value), nilai guna tidak langsung (indirect use

value) dan nilai bukan guna (non-use value). Nilai guna langsung jasa lingkungan

terdiri dari nilai keuntungan produksi listrik dan budidaya ikan, dan nilai

ekowisata. Nilai guna tidak langsung terdiri dari nilai serapan karbon, nilai

cadangan air tanah, dan nilai cadangan air waduk/sungai. Sementara nilai bukan

guna jasa lingkungan terdiri dari nilai pilihan dan nilai kelestarian.

Hasil simulasi nilai guna jasa lingkungan sumberdaya air disajikan pada

Gambar 32. Nilai keuntungan dari produksi listrik, produksi budidaya ikan dan

ekowisata diperkirakan cenderung menurun dari tahun ke tahun. Hal ini

disebabkan terjadinya degradasi sumberdaya alam yang berakibat pada kerusakan

sumberdaya air secara langsung. Menurunnya kuantitas, kualitas, dan kontinuitas

sumberdaya air akan menurunkan nilai produksi listrik dan budidaya ikan secara

langsung. Selain itu, kerusakan sumberdaya alam secara keseluruhan juga akan

mengurangi nilai ekowisata di sekitar kawasan PLTA. Secara ekonomis, hal ini

akan menurunkan nilai guna langsung dari jasa lingkungan sumberdaya air dari

Rp 511 miliar pada tahun 2011 menjadi Rp 505 miliar pada tahun 2021.

Time Hutan Permukiman Sawah Semak Lahan Terbuka Pertanian Lahan Kering Perkebunan

Jan 01, 2001

Jan 01, 2006

Jan 01, 2011

Jan 01, 2016

Jan 01, 2021

38,139.80

15,114.14

5,989.47

2,373.52

940.59

39,782.58

40,762.82

41,767.22

42,796.36

43,850.86

64,940.11

64,998.58

65,057.10

65,115.67

65,174.29

1,060.72

17,409.69

108,141.82

110,670.05

110,989.86

8,452.20

14,993.78

0.00

0.00

0.00

66,280.20

49,240.84

40,694.02

37,307.06

35,964.87

2,300.00

18,435.76

26,529.34

29,736.68

31,007.70

124

Gambar 32 Hasil simulasi nilai guna jasa lingkungan sumberdaya air.

Sementara nilai guna tak langsung mengalami peningkatan dari tahun ke

tahun meskipun pada kisaran pertumbuhan yang relatif kecil. Hal ini disebabkan

nilai cadangan air tanah dan cadangan air waduk dihitung secara rata-rata per

tahun, sehingga tidak mengalami peningkatan nilai dari tahun ke tahun. Hal yang

mendorong pertumbuhan hanya berasal dari peningkatan nilai serapan karbon

yang bergantung dari peningkatan harga karbon dari tahun ke tahun. Secara

keseluruhan. Nilai guna setiap jasa lingkungan disajikan secara lengkap pada dan

Tabel 21.

Tabel 21 Hasil simulasi nilai guna langsung (a) dan tidak langsung (b) jasa lingkungan sumberdaya air

(a)

(b)Sumber: hasil analisis, 2011

Hasil simulasi nilai bukan guna jasa lingkungan sumberdaya air disajikan

Jan 01, 2001 Jan 01, 2006 Jan 01, 2011 Jan 01, 2016 Jan 01, 20210

100,000,000,000

200,000,000,000

300,000,000,000

400,000,000,000

500,000,000,000

Benefit Listrik

Benefit Ikan

Nilai Ekowisata

Nilai Guna Langsung

Nilai Serapan Karbon

Nilai Air Tanah

Nilai Air Waduk

Nilai Guna Tak-Langsung

Tahun

Nila

i Ek

on

om

i (R

p)

Time Benefit Listrik Benefit Ikan Nilai Ekowisata Nilai Guna Langsung

Jan 01, 2001

Jan 01, 2006

Jan 01, 2011

Jan 01, 2016

Jan 01, 2021

280,948,440,280.44

279,763,437,467.97

278,583,432,838.31

277,408,405,309.80

276,238,333,889.69

233,080,390,000.00

231,976,102,124.16

230,876,471,986.35

229,781,479,940.88

228,691,106,424.89

217,540,000.00

228,636,726.30

240,299,497.16

252,557,186.55

265,440,141.29

514,246,370,280.44

511,968,176,318.42

509,700,204,321.82

507,442,442,437.23

505,194,880,455.87

Time Nilai Serapan Karbon Nilai Air Tanah Nilai Air Waduk Nilai Guna Tak-Langsung

Jan 01, 2001

Jan 01, 2006

Jan 01, 2011

Jan 01, 2016

Jan 01, 2021

35,577,531,494.40

37,392,343,158.36

39,299,728,456.23

41,304,409,573.70

43,411,349,575.40

330,174,373,200.00

330,174,373,200.00

330,174,373,200.00

330,174,373,200.00

330,174,373,200.00

848,400,000.00

848,400,000.00

848,400,000.00

848,400,000.00

848,400,000.00

366,600,304,694.40

368,415,116,358.36

370,322,501,656.23

372,327,182,773.70

374,434,122,775.40

125

pada Gambar 33. Nilai bukan guna jasa lingkungan cenderung akan terus

meningkat dari Rp 11 miliar pada tahun 2011 menjadi Rp 13 miliar pada tahun

2021. Hal ini disebabkan nilai jasa lingkungan pilihan dan kelestarian juga

cenderung meningkat terus. Nilai bukan guna setiap jasa lingkungan disajikan

secara lengkap pada dan Tabel 22.

Gambar 33 Hasil simulasi nilai bukan guna jasa lingkungan sumberdaya air.

Tabel 22 Hasil simulasi nilai bukan guna jasa lingkungan sumberdaya air

Sumber : hasil analisis, 2011

Secara keseluruhan nilai total ekonomi (total economic value – TEV) tetap

meningkat karena adanya peningkatan nilai guna dan nilai bukan guna. TEV

diperkirakan akan meningkat dari Rp 894 miliar pada tahun 2011 menjadi Rp 895

miliar pada tahun 2021. Hal ini menunjukkan bahwa nilai ekonomi total sebagian

besar disumbang oleh nilai guna jasa lingkungan sumberdaya air. Hasil simulasi

nilai guna, nilai bukan guna, dan nilai ekonomi total jasa lingkungan sumberdaya

air disajikan pada Tabel 23.

Hasil simulasi nilai jasa lingkungan sumberdaya air menunjukkan bahwa air

Jan 01, 2001 Jan 01, 2006 Jan 01, 2011 Jan 01, 2016 Jan 01, 20210

5,000,000,000

10,000,000,000

Nilai Pilihan

Nilai Kelestarian

Nilai Bukan Guna

Tahun

Nila

i E

ko

no

mi (

Rp

)

Time Nilai Pilihan Nilai Kelestarian Nilai Bukan Guna

Jan 01, 2001

Jan 01, 2006

Jan 01, 2011

Jan 01, 2016

Jan 01, 2021

7,730,987,500.00

8,328,469,167.98

8,972,126,611.51

9,665,528,479.40

10,412,519,219.95

2,319,296,250.00

2,498,540,750.39

2,691,637,983.45

2,899,658,543.82

3,123,755,765.99

10,050,283,750.00

10,827,009,918.37

11,663,764,594.96

12,565,187,023.23

13,536,274,985.94

126

bisa sangat bernilai ekonomis tinggi dari aspek lingkungan, meskipun tidak

seluruhnya secara langsung dalam bentuk uang tunai. Meskipun demikian

penggunaan langsung jasa lingkungan air, seperti pembangkit produksi listrik,

produksi budidaya ikan, dan pemanfaatan oleh industri bisa mendukung

perlindungan dan pengelolaannya. Adanya penyisihan keuntungan produksi

listrik dan budidaya ikan secara sukarela dalam bentuk CSR diharapkan mampu

mendukung program perlindungan sumberdaya air. Oleh karena itu, nilai

ekonomi jasa lingkungan sumberdaya air ini harus disosialisasikan dan

didiseminasikan kepada seluruh stakeholder untuk meningkatkan pemahaman

tentang pentingnya nilai ekonomi sumberdaya air.

Tabel 23 Hasil simulasi nilai total jasa lingkungan sumberdaya air

Sumber : hasil analisis, 2011

Sesuai dengan asumsi penyisihan dana perusahaan sebesar 2% dari dana

keuntungan bersih, maka dari produksi listrik dan budidaya ikan diperkirakan

dapat menghasilkan dana CSR sebesar Rp 15 milyar per tahunnya. Dana ini bisa

digunakan untuk mendukung pengelolaan dan perlindungan sumberdaya air dalam

berbagai program aksi. Program-program tersebut antara lain untuk konservasi

wilayah DAS hulu PLTA melalui penghijauan, sosialisasi konservasi,

pemberdayaan masyarakat, penurunan beban pencemar dan lain sebagainya.

4.7.4 Skenario Pengelolaan Sumberdaya Air PLTA

Degradasi lahan akan terus berlangsung jika dibiarkan seperti kondisi yang

ada saat ini. Jika program perlindungan dan pengelolaan lingkungan bisa

diimplementasikan, maka akan ada perbaikan lingkungan. Skenario disusun

terhadap perbaikan penggunaan lahan sebagai hulu masalah dalam pengelolaan

sumberdaya air. Skenario dibuat terdiri dari skenario saat ini (existing), skenario

moderat, dan skenario optimis.

Time Nilai Guna Langsung Nilai Guna Tak-Langsung Nilai Bukan Guna TEV

Jan 01, 2001

Jan 01, 2006

Jan 01, 2011

Jan 01, 2016

Jan 01, 2021

514,246,370,280

511,968,176,318

509,700,204,322

507,442,442,437

505,194,880,456

368,767,413,200

370,692,769,177

372,716,337,660

374,843,128,472

377,078,406,989

10,050,283,750

10,827,009,918

11,663,764,595

12,565,187,023

13,536,274,986

893,064,067,230

893,487,955,414

894,080,306,576

894,850,757,932

895,809,562,431

127

Skenario existing merupakan proyeksi kondisi aktual jika tidak dilakukan

intervensi. Skenario moderat merupakan proyeksi existing dengan pencapaian

perbaikan kondisi lingkungan pada tingkat sedang. Sementara skenario optimis

dibangun dengan asumsi bisa terjadi pencapaian perbaikan lingkungan yang

cukup baik.

Skenario disimulasikan terhadap sub-model lingkungan terutama pada aspek

perubahan penggunaan lahan. Kondisi eksisting menunjukkan adanya penurunan

luas hutan sebesar 16,9% per tahun dan peningkatan luas lahan perkebunan

sebesar 51,5% per tahunnya. Jika program reboisasi yang dapat menahan laju

penggundulan hutan sebesar 10% pada skenario moderat dan sebesar 15% pada

skenario optimis, maka akan terjadi perbaikan kondisi lingkungan. Hasil simulasi

dengan asumsi tersebut disajikan pada Gambar 34 dan Tabel 24.

Skenario dilakukan terutama terhadap perubahan penggunaan lahan hutan

dan perkebunan yang berdasarkan interpretasi spasial saling mempengaruhi.

Hasil simulasi dengan beberapa skenario tersebut menunjukkan bahwa masih

terjadi laju pengurangan luas hutan, tetapi terjadi pengurangan secara signifikan

pada skenario moderat dan lebih besar lagi pada skenario optimis. Hal ini juga

berimplikasi pada pengurangan laju pertumbuhan lahan perkebunan yang

dibangun dari konversi lahan hutan.

Gambar 34 Hasil simulasi skenario penggunaan lahan.

Jan 01, 2001 Jan 01, 2006 Jan 01, 2011 Jan 01, 2016 Jan 01, 20210

10,000

20,000

30,000

Hutan

Mod_Hutan

Opt_Hutan

Perkebunan

Mod_Perkebunan

Opt_ Perkebunan

Tahun

Lu

as (

ha

)

128

Jika bisa dilakukan pengurangan laju konversi hutan menjadi lahan

perkebunan sebesar 10% setiap tahunnya, maka laju pengurangan hutan akan

berkurang menjadi sekitar 6,9% dari kondisi awal sebesar 16,9% setiap tahunnya.

Hal ini akan berimplikasi pada pengurangan laju pertumbuhan lahan perkebunan

dari hasil konversi hutan.

Tabel 24 Hasil simulasi skenario perubahan penggunaan lahan

Kondisi eksisting saat ini diperkirakan akan mengurangi luas hutan dari

5.989 ha pada tahun 2011 menjadi hanya 940 ha pada tahun 2021. Skenario

moderat diprediksikan mampu mempertahankan hutan menjadi 2.615 ha hingga

tahun 2021. Sementara skenario optimis diperkirakan mampu mempertahankan

hutan hingga 4.977 ha pada tahun 2021. Hal ini berimplikasi pada berkurangnya

pertumbuhan luas perkebunan yang seharusnya mencapai 31.007 pada tahun 2021,

diprediksikan akan menjadi 29.522 ha pada skenario moderat dan menjadi 27.427

ha pada skenario optimis.

4.7.5 Validasi Model

Simulasi model sebelumnya diuji dengan melakukan validasi terhadap

struktur dan kinerja outputnya. Validasi dilakukan untuk mendapatkan hasil

kesimpulan yang benar berdasarkan persyaratan-persyaratan yang telah ditetapkan

(Hartrisari 2007) terhadap model pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela.

Menurut Muhammadi et al. (2001), validasi dilakukan melalui perbandingan

validasi kinerja model dengan data empiris untuk melihat sejauh mana perilaku

kinerja model sesuai dengan data empiris.

Validasi perilaku model dilakukan dengan membandingkan antara besar dan

sifat kesalahan dapat digunakan: 1) absolute mean error (AME) adalah

penyimpangan (selisih) antara nilai rata-rata (mean) hasil simulasi terhadap nilai

Time Hutan Mod_Hutan Opt_Hutan Perkebunan Mod_Perkebunan Opt_ Perkebunan

Jan 01, 2001

Jan 01, 2006

Jan 01, 2011

Jan 01, 2016

Jan 01, 2021

38,139.80

15,114.14

5,989.47

2,373.52

940.59

38,139.80

15,114.14

5,989.47

3,739.28

2,615.39

38,139.80

15,114.14

5,989.47

4,977.25

4,977.25

2,300.00

18,435.76

26,529.34

29,736.68

31,007.70

2,300.00

18,435.76

26,529.34

28,525.26

29,522.15

2,300.00

18,435.76

26,529.34

27,427.18

27,427.18

129

actual, 2) absolute variation error (AVE) adalah penyimpangan nilai variasi

(variance) simuasi terhadap aktual. Batas penyimpangan yang dapat diterima

adalah antara 1 -10%.

Validasi yang digunakan dalam simulasi model pengelolaan sumberdaya air

berbasis sukarela di PLTA adalah AME. Validasi ini dilakukan dengan memakai

persamaan seperti di bawah ini.

AME = %100xA

AS ;

N

SiS

N

AiA

S, A dan N berturut-turut adalah nilai simulasi, nilai aktual, dan interval waktu

pengamatan. Validasi dilakukan terhadap dengan membandingkan besarnya

jumlah penduduk hasil simulasi model dengan data jumlah penduduk aktual.

Validasi berupa perbandingan jumlah pendududuk aktual dan simulasi disajikan

pada Gambar 35.

Gambar 35 Perbandingan jumlah penduduk aktual dan simulasi.

Berdasarkan hasil perbandingan tersebut terlihat bahwa perilaku model

pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela di PLTA memenuhi batas toleransi

yang ditentukan. Hasil uji validasi berdasarkan jumlah penduduk (Gambar 36)

menunjukkan bahwa, AME menyimpang setiap tahunnya sebesar antara 0,1%

01 02 03 04 05 06550,000

600,000

650,000

Penduduk Simulasi

Penduduk Aktual

Tahun

Jum

lah

Pe

ndu

duk

(ji

wa

)

130

hingga 3,1% atau rata-rata sebesar 1,83% untuk pertambahan penduduk dari data

aktual. Batas penyimpangan variabel pada parameter AME adalah <10%, yang

menunjukkan bahwa model ini mampu mensimulasikan perubahan-perubahan

yang terjadi secara aktual pada sistem yang dimodelkan.

Gambar 36 AME dari hasil validasi jumlah penduduk aktual dan simulasi.

4.8 Model Konseptual Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Air PLTA

Pengelolaan sumberdaya air PLTA perlu didukung adanya institusi

pengelola atau lembaga pengelolanya (manager), kebijakan atau tata cara

pengelolaannya (management), serta anggaran yang menunjang kelancaran

pengelolaanya (money). Secara institusional telah dilakukan analisis stakeholder

untuk mendukung sistem kelembagaan terkait pengelolaan sumberdaya air

berbasis sukarela. Sistem pengelolaan diadaptasi dari hasil analisis kinerja

sumberdaya air dan penggunaan lahan sekitar PLTA. Selain itu, sistem

pengelolaan akan dilandasi regulasi yang sudah ada, yaitu regulasi pemerintah

(UU sumberdaya air) pada tataran strategis dan tren pengelolaan lingkungan

global yang menekankan kesukarelaan (voluntary). Mekanisme ini akan tercapai

secara optimal jika bisa dikomunikasikan kepada semua stakeholder oleh PLTA

(komunikasi eksternal). Sementara pendanaan bisa dikembangkan dari nilai jasa

lingkungan sumberdaya air. Pendanaan bisa dikelola terkait dengan keuntungan

01 02 03 04 05 060

5

10

AME Penduduk

Batas AME

Tahun

AM

E (

%)

131

penggunaan sumberdaya air secara langsung oleh PLTA, melalui skema biaya

pengelolaan lingkungan dan sosial secara sukarela (CSR). Sumberdaya ekonomi

lain yang bisa diberdayakan adalah penggunaan langsung dan tidak langsung.

Berdasarkan hasil analisis stakeholder diketahui bahwa secara strategis

Kementerian Kehutanan diharapkan mampu menjadi pendorong perumusan dan

penetapan kebijakan formal yang bisa melindungi DAS hulu sebagai wilayah

yang menjadi sumber dari air yang memasok PLTA. Sementara PLTA

diharapkan mampu menjadi leading sector pada tataran operasional dengan

berperan aktif dalam mendorong dan bekerja sama dengan stakeholder lain untuk

mencapai keberhasilan pengelolaan sumberdaya air.

Kebijakan pengelolaan akan dituangkan dalam bentuk model konseptual

pengelolaan yang terdiri dari penentuan pengelola kawasan dan penyusunan

sistem pengelolaannya yang memenuhi prinsip-prinsip pembangunan

berkelanjutan. Berdasarkan sistem manajemen lingkungan (SML) dalam

pengelolaan sumberdaya air terdapat beberapa tujuan yang ingin dicapai oleh

masing-masing aspek. Aspek-aspek tersebut terdiri dari kepentingan lingkungan

hidup, kepentingan ekonomi, dan kepentingan sosial. Selain itu diperlukan aspek

operasional sebagai langkah awal dalam mendorong kebijakan pada ketiga aspek

lainnya. Aspek lingkungan hidup menginginkan terciptanya pelestarian

lingkungan dan tercapainnya upaya peningkatan kualitas dan kuantitas, serta

kontinuitas sumberdaya air. Aspek ekonomi mengharapkan adanya pemanfaatan

sumberdaya air yang menguntungkan, serta tercapainya efisiensi dan efektivitas

kerja institusi pengelola. Sementara aspek sosial bertujuan terwujudnya

partisipasi dan pemberdayaan masyarakat, serta terciptanya komunikasi dan

kolaborasi berbagai pihak terkait.

Setiap kepentingan sektor tersebut bisa dielaborasi menjadi sebuah sistem

pengelolaan yang menjaga kesetimbangan setiap kepentingan, sehingga tercipta

sebuah optimalisasi pengelolaan yang bisa mewadahi semua tujuan tanpa saling

meniadakan antar sektor. Hal ini bisa diwujudkan secara operasional dalam

bentuk strategi kebijakan yang terintegrasi untuk mendorong semua pencapaian

tersebut. Kebijakan operasional ini diwujudkan dalam berbagai bentuk program

yang merupakan bagian dari empat aspek (Gambar 37).

132

Gambar 37 Model konseptual pengelolaan sumberdaya air PLTA berbasis sukarela.

Kebijakan dalam aspek operasional terdiri dari: (1) program pemenuhan

regulasi; (2) program penataan kelembagaan; serta (3) program implementasi

insentif dan disinsentif. Kebijakan dalam aspek sosial terdiri dari: (1) program

peningkatan komunikasi eksternal; dan (2) program pemberdayaan masyarakat.

Kebijakan dalam aspek ekonomi terdiri dari: (1) program peningkatan nilai jasa

lingkungan sumberdaya air. Kebijakan dalam aspek lingkungan terdiri dari: (1)

program perbaikan penggunaan lahan; dan (2) program peningkatan kualitas dan

kuantitas sumberdaya air. Setiap program saling terkait satu sama lain, sehingga

pencapaian masing-masing program akan berpengaruh terhadap efektivitas

133

pencapaian tujuan pengelolaan secara keseluruhan.

Tekanan pemerintah memiliki pengaruh besar untuk pengembangan

kebijakan perlindungan lingkungan sukarela. Pemerintah dapat memiliki daya

tawar tinggi untuk mendorong perusahaan menerapkan sistem manajemen

lingkungan. Kebijakan insentif seperti penurunan pajak atau subsidi penguatan

kapasitas bagi perusahaan yang memiliki kinerja lingkungan yang baik.

Disinsentif dapat dikembangkan melalui mekanisme pengaturan liabilitas

lingkungan. Tentu saja kebijakan insentif dan disinsentif diperkuat dengan

perjanjian voluntary sebagaimana dilakukan di banyak negara seperti Negara Uni

Eropa.

Pengembangan infrastruktur kelembagaan dan institusional pendekatan

sukarela kelihatannya dapat meningkatkan pengakuan masyarakat termasuk

investor. Independensi lembaga dan transparansi pelaksanaan perlu dikembangkan

dalam infrastuktur termasuk memberi ruang bagi stakeholder dalam

pengembangan infrastuktur ini.

Sementara dari sisi pendanaan, pengelola PLTA berperan aktif sebagai

leading sektor secara operasional menyisihkan sebagain keuntungannya untuk

pengelolaan secara berkelanjutan. Mekanisme yang digunakan melalui biaya

sukarela (Corporate Sosial Responsibility – CSR) maupun skema pengelolaan

nilai jasa lingkungan lainnya berdasarkan kesadaran dan partisipasi semua pihak.

4.9 Implikasi Kebijakan

Hasil analisis statistik dan analisis spasial menunjukkan bahwa terjadi

dinamika kualitas air dan penggunaan lahan di lokasi dan sekitar PLTA.

Implementasi kebijakan perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air berbasis

sukarela bisa diterapkan guna mencapai keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya

air di PLTA tersebut. Berdasarkan analisis stakeholder, terdapat berbagai pihak

(stakeholder) yang berkepentingan dengan perlindungan dan pengelolaan

sumberdaya air berbasis sukarela di PLTA. Kondisi penggunaan lahan dan

kualitas air menjadi dasar penyusunan kebijakan perlindungan dan pengelolaan

yang akan dijalankan oleh stakeholder terkait di lapangan. Selain itu, kebijakan

dan pengelola yang akan terlibat harus memenuhi regulasi yang sesuai dengan

134

hasil legal review terhadap regulasi terkait perlindungan dan pengelolaan

sumberdaya air berbasis sukarela. Kebijakan tersebut dilengkapi dengan berbagai

prioritas kebijakan berdasarkan pandangan para pakar (knowledge based) yang

diperoleh dari hasil proses hirarki analitik (AHP). Hasil berbagai analisis tersebut

dijadikan sintesa untuk menyusun kebijakan perlindungan dan pengelolaan

sumberdaya air berbasis sukarela. Implementasi kebijakan ini akan berimplikasi

terhadap berbagai aspek yang perlu dikaji secara cermat dan komprehensif.

Implikasi penerapan kebijakan tersebut mendorong perlunya penyusunan

strategi untuk memperkuat sistem yang telah dirancang guna meningkatkan

efektivitas pencapaian tujuan. Manajemen konsensus perlu dilakukan secara

implementatif dalam menentukan keputusan bersama berdasarkan kesepakatan

antar pihak guna mencapai tujuan bersama. Hal ini untuk mengeliminasi

ketidaksetaraan, ego sektoral dan konflik kepentingan di antara para pihak yang

terkait pengelolaan sumberdaya air PLTA. Pemberdayaan masyarakat guna

meningkatkan taraf hidup masyarakat sekitar PLTA menjadi fokus utama dalam

menjalankan kebijakan pengelolaan sumberdaya air. Penyusunan tahapan

program dan penanggung jawabnya secara jelas dan transparan berdasarkan

kesepakatan akan menghasilkan implementasi yang optimal saat pelaksanaannya.

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah arti penting sumberdaya air sebagai

bagian dari ekosistem yang menyeluruh di wilayah PLTA. Meskipun visi dan misi

utama pengelola PLTA adalah memproduksi listrik sesuai target yang telah

dicanangkan, tetapi perlu diingat dampak dari eksploitasi sumberdaya air tersebut.

Pemahaman tentang dampak lingkungan bisa membawa pengelolaan ke arah yang

lebih berkelanjutan dengan memperhatikan aspek-aspek lainnya yang terkait.

Produksi yang berlimpah untuk meningkatkan nilai ekonomi juga harus

memperhatikan aspek lainnya, seperti aspek sosial dan lingkungan. Keuntungan

pada aspek ekonomi harus bisa mendorong perbaikan aspek lainnya, seperti

pemberdayaan masyarakat pada aspek sosial dan perbaikan kondisi penggunaan

lahan pada aspek lingkungan.

Selain implikasi strategis yang bersifat umum tersebut, perlu juga dilakukan

perumusan implikasi kebijakan operasional yang sesuai dengan karakteristik

masing-masing lokasi PLTA. Meskipun secara umum terjadi degradasi lahan dan

135

kelemahan pengelolaan pada semua lokasi PLTA, tetapi karakteristik besaran

kerusakan dan sistem pengelolaan yang ada pada setiap lokasi berbeda satu sama

lain. Hal ini akan menjadi landasan implikasi kebijakan secara lebih operasional

dan teknis untuk setiap lokasi PLTA.

Perubahan penggunaan lahan yang masif pada lokasi PLTA di Jawa Barat

(Saguling dan Cirata) memberikan implikasi kebijakan yang lebih mengarah pada

teknis rehabilitasi lahan terutama pada DAS hulu PLTA. Program-program yang

mengarah pada perbaikan kondisi lahan harus didorong secara aktif baik oleh

aktor kunci di pemerintahan pusat (Kemenhut), maupun aktor kunci di tataran

operasional (PLTA). Penggalakan rehabilitasi lahan melalui kegiatan reboisasi

guna menambah luasan lahan bervegetasi, terutama hutan akan sangat mendukung

perbaikan lahan dan mengurangi ancaman erosi dan sedimentasi ke dalam Waduk

Saguling dan Cirata. Pengurangan ancaman erosi dan sedimentasi akan

meningkatkan umur teknis waduk dan efektifitas pembangkitan listrik. Selain itu,

hal ini akan meningkatkan kualitas, kuantitas dan kontinuitas sumberdaya air yang

menjadi pasokan air bagi PLTA Saguling dan Cirata.

Sementara perubahan penggunaan lahan pada DAS hulu PLTA Tanggari I

dan II juga terjadi seperti di Jawa Barat. Namun besaran perubahan lahannya

masih dalam tahap perkembangan dan belum semasif yang terjadi di Jawa Barat.

Oleh karena itu diperlukan kebijakan yang bisa mendorong pencegahan perubahan

penggunaan lahan dari lahan bervegetasi menjadi lahan terbangun. Penegakan

aturan dan pengetatan ijin pembangunan pada kawasan lindung yang menjadi

daerah resapan air pada DAS hulu PLTA perlu terus digalakan. Selain itu,

komunikasi eksternal dengan masyarakat pada bagian DAS hulu perlu

diintensifkan untuk memberikan pemahaman tentang pentingnya konservasi lahan

terhadap keberadaan sumberdaya air. Hal lain yang bisa dilakukan adalah

mendorong kegiatan reboisasi lahan sebagai langkah perbaikan terhadap kondisi

yang ada.

Perbaikan kualitas sumberdaya air juga bisa dilakukan secara internal oleh

jajaran PLTA, melalui peningkatan kinerja operasional PLTA secara keseluruhan.

Untuk PLTA Saguling dan Cirata bisa dilakukan dengan meningkatkan sistem

operasional pembangkitan listrik, baik dengan mengoptimalkan teknologi dari

136

peralatan yang ada, maupun dengan meningkatkan kapasitas sumberdaya manusia

sebagai pengelolanya. Hal ini diharapkan akan memperbaiki tingkat kualitas air

yang masuk ke dalam sistem PLTA dan dialirkan lagi pada badan air alaminya.

Indikator perbaikan bisa dimonitor pada perbandingan parameter-parameter

kualitas air yang masuk ke dalam inlet dan yang keluar dari outlet PLTA.

Sementara kondisi pada PLTA Tanggari I dan II yang menggunakan

peralatan yang relatif lebih tua, diperlukan berbagai peremajaan guna

meningkatkan kinerja peralatan PLTA. Peningkatan kapasitas sumberdaya

manusia secara mendasar perlu dilakukan terhadap pengelola PLTA. Hal ini

disebabkan sumberdaya pengelola PLTA relatif belum secara optimal memahami

arti penting perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela

terkait kepentingannya sebagai pengelola PLTA.

Berdasarkan hasil analisis nilai ekonomi total jasa lingkungan sumberdaya

air diperoleh karakteristik setiap PLTA yang berbeda secara signifikan. Pada

PLTA Saguling nilai ekonomi hasil budidaya perikanan dan ekowisata relatif

kecil dibandingkan nilai ekonomi lainnya. Sementara pada PLTA Cirata, serta

PLTA Tanggari I dan II, nilai ekonomi hasil budidaya perikanan dan ekowisata

relatif lebih menonjol dibandingkan nilai ekonomi lainnya. Hal ini menunjukkan

bahwa PLTA Saguling belum menjadi lokasi budidaya ikan dan tujuan wisata

yang relatif besar. Kondisi ini disebabkan karena letak dan akses ke PLTA

Saguling relatif tidak mudah untuk kegiatan budidaya ikan dan wisata. Selain itu

luas genangan Waduk Saguling relatif kecil karena berada pada daerah genangan

dataran tinggi dengan karakteristik jurang sempit sebagai daerah genangannya.

Kebalikannya dengan PLTA Saguling, PLTA Cirata serta Tanggari I dan II

memiliki karakteristik genangan dan akses yang mendukung kegiatan budidaya

perikanan dan ekowisata.

Implikasinya KJA pada Waduk Cirata serta genangan Tanggari I dan II

berkembang secara masif dengan jumlah relatif besar. Selain itu kedua lokasi

PLTA ini banyak dikunjungi wisatawan dan bersinergi dengan aktifitas budidaya

ikan KJA. Oleh karena itu, kebijakan yang harus didorong adalah pengelolaan

aktifitas KJA dan ekowisata yang sesuai dengan daya dukung dan daya tampung

Waduk Cirata serta genangan Tanggari I dan II. Mengingat jumlah KJA yang

137

relatif besar, pada Waduk Cirata serta genangan Tanggari I dan II perlu

pemantauan dan pemberian ijin usaha KJA yang sesuai daya dukung dan daya

tampung, serta sesuai dengan zonasi pengelolaan waduk.