isi
DESCRIPTION
dfghTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kini banyak sekali muncul kasus-kasus kejahatan yang diberitakan tidak
hanya melibatkan harta benda tetapi nyawa seseorang. Dalam perjalanan
menelusuri kasus-kasus tersebut pihak kepolisian melakukan penyelidikan yang
kemudian berakhir di peradilan. Dalam proses penyidikan dalam kasus yang
melibatkan nyawa seseorang terkadang penyidik meminta bantuan dari ahli
misalnya dokter dalam bentuk keterangan yang disebut visum et repertum . Visum
et repertum merupakan salah satu pelayanan di bidang kedokteran forensik yang
dapat membantu di bidang hukum1.
Visum et repertum adalah keterangan tertulis dari seorang dokter (dalam
kapasitasnya sebagai ahli) atas permintaan resmi dari penegak hukum yang
berwenang tentang apa yang dilihat dan ditemukan pada objek yang diperiksanya
dengan mengingat sumpah atau janji ketika menerima jabatan2. Visum et repertum
juga merupakan salah satu bantuan yang sering diminta oleh pihak penyidik polisi
kepada dokter menyangkut perlukaan pada tubuh manusia. Visum et repertum
merupakan alat bukti dalam proses peradilan yang tidak hanya memenuhi standar
penulisan rekam medis, tetapi juga memenuhi hal-hal yang diisyaratkan dalam
system peradilan3.
Visum et repertum dibuat berdasarkan permintaan oleh penyidik dan
biasanya visum dibuat oleh dokter spesialis forensik. Dokter spesialis forensik
adalah dokter umum yang telah mengambil spesialisasi di bidang forensik dan
kedokteran kehakiman (medikolegal) ,mereka berwenang untuk membuat visum et
repertum. Akan tetapi jumlah dokter spesialis forensik tidaklah sebanding dengan
jumlah penduduk dan luas wilayah di Indonesia sehingga ada daerah yang
terdapat dokter spesialis forensik dan ada yang tidak terdapat dokter spesialis
forensik1.
Bagi daerah tertentu karena secara geografis tidak memungkinkan dan
sangat jauh letaknya dan belum ada dokter ahli forensik maupun jauh dari
laboratorium forensik seperti misalnya, Laboratorium Forensik Kepolisian,
Laboratorium Kesehatan (Dinas Kesehatan atau Rumah Sakit), Laboratorium
Forensik Fakultas Kedokteran, maka visum et repertum dari dokter (umum) atau
dokter bukan ahli sebagai pemeriksaan luka,pemeriksaan mayat kecuali otopsi
yang hanya boleh dilakukan oleh dokter ahli forensik.2 Oleh karena itu dokter
umum bisa dimintai membuat visum et repertum 1.
Keterbatasan dokter spesialis forensik di Indonesia memberikan pengaruh
terhadap dokter umum di mana pada saat terdapat permintaan visum dan di
instansi tersebut hanya terdapat dokter umum,maka dokter umum berkewajiban
untuk membuatnya. Sebenarnya semua dokter umum telah mendapatkan
kepaniteraan klinik sewaktu di masa pendidikan mengenai ilmu forensik dan
medikolegal di mana di dalamnya terdapat visum et repertum. Jadi diperlukan
keberanian,ketelitian dan kesungguhan dari para dokter itu sendiri untuk
melakukan pemeriksaan dan diberikan dalam bentuk visum et repertum 1.
Dengan demikian visum et repertum secara utuh telah menjembatani ilmu
kedokteran dengan ilmu hukum, sehingga dengan membaca visum et repertum,
dapat diketahui dengan jelas apa yang telah terjadi pada seseorang dan praktisi
hukum dapat menerapkan norma-norma hukum pada perkara pidana yang
menyangkut tubuh atau jiwa manusia2.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan apa yang telah penulis uraikan di latar belakang, maka
penulis merumuskan masalah sebagai berikut:
a. Apakah yang dimaksud dengan visum et repertum ?
b. Apa fungsi visum et repertum ?
c. Bagaimana dasar hukum visum et repertum ?
d. Bagaimana peranan visum et repertum dalam proses peradilan?
e. Apa saja jenis dan bentuk visum et repertum ?
f. Bagaimana prosedur permintaan visum et repertum ?
g. Bagaimana teknis pembuatan visum et repertum ?
2
1.3 Tujuan
1.3.1. Tujuan Umum
Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk mengetahui tentang visum et
repertum .
1.3.2. Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus dari penulisan referat ini adalah:
a. Mengetahui pengertian visum et repertum
b. Mengetahui fungsi visum et repertum
c. Mengetahui dasar hukum visum et repertum
d. Mengetahui peranan visum et repertum dalam proses peradilan
e. Mengetahui jenis dan bentuk visum et repertum
f. Mengetahui prosedur permintaan
g. Mengetahui teknis pembuatan visum et repertum
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Visum et repertum
Visum et repertum adalah keterangan yang dibuat oleh dokter, atas
permintaan penyidik yang berwenang mengenai hasil pemeriksaan medik terhadap
manusia, baik hidup atau mati ataupun bagian atau diduga bagian dari tubuh
manusia, berdasarkan keilmuannya dan di bawah sumpah, untuk kepentingan
peradilan 2.
Secara garis besar, semua dokter yang telah mempunyai surat atau surat
izin dokter dapat membuat keterangan ahli. Namun untuk tertib administrasinya,
maka sebaiknya permintaan keterangan ahli hanya diajukan kepada dokter yang
bekerja pada suatu instansi kesehatan (Puskesmas, Rumah Sakit) atau instansi
khusus terutama milik pemerintah. Adapun yang dimaksud dengan penyidik di
sini menurut Peraturan Pemerintah No.27 tahun 1983 adalah penyidik Polri
berpangkat serendah-rendahnya Pembantu Letnan Dua, sedangkan pada wilayah
kepolisian tertentu yang komandannya adalah seorang bintara (sersan), maka ia
adalah penyidik karena jabatannya tersebut. Kepangkatan bagi penyidik pembantu
adalah bintara serendah-rendahnya sersan dua 2.
2.1.1 Perbedaan Visum et repertum dengan Catatan Medik
Catatan medik adalah catatan tentang seluruh hasil pemeriksaan medik
beserta tindakan pengobatan/perawatannya, yang merupakan milik pasien,
meskipun dipegang oleh dokter/institusi kesehatan. Catatan medik ini terikat pada
rahasia pekerjaan dokter yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No 10 tahun
1966 dengan sanksi hukum seperti dalam pasal 322 KUHP 2.
Dokter boleh membuka isi catatan medik kepada pihak ketiga, misalnya
dalam bentuk keterangan medik, hanya setelah memperoleh izin dari pasien, baik
berupa izin langsung maupun berupa perjanjian yang dibuat sebelumnya antara
pasien dengan pihak ketiga tertentu (misalnya perusahaan asuransi) 2.
Oleh karena visum et repertum dibuat atas kehendak undang-undang,
maka dokter tidak dapat dituntut karena membuka rahasia pekerjaan sebagaimana
diatur dalam pasal 322 KUHP, meskipun dokter membuatnya tanpa seizin pasien.
4
Pasal 50 KUHP, mengatakan bahwa barang siapa melakukan perbuatan untuk
melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidana, sepanjang visum et
repertum tersebut hanya diberikan kepada pasien instansi penyidik yang
memintanya, untuk selanjutnya dipergunakan dalam proses peradilan 2.
2.2 Fungsi Visum et repertum
Visum et repertum adalah salah satu alat bukti yang sah sebagaimana
tertulis dalam pasal 184 KUHAP. Visum et repertum turut berperan dalam proses
pembuktian suatu perkara pidana terhadap kesehatan dan jiwa manusia. Visum et
repertum menguraikan segala sesuatu tentang hasil pemeriksaan medik yang
tertuang dalam bagian pemberitaan, yang karenanya dapat dianggap sebagai
pengganti benda bukti 2.
Visum et repertum juga memuat keterangan atau pendapat dokter
mengenai hasil pemeriksaan medik tersebut yang tertuang dalam bagian
kesimpulan. Dengan demikian, visum et repertum secara utuh telah menjembatani
ilmu kedokteran dengan ilmu hukum, sehingga dengan membaca visum et
repertum , dapat diketahui dengan jelas apa yang telah terjadi pada seseorang dan
para praktisi hukum dapat menerapkan norma-norma hukum pada perkara pidana
yang menyangkut tubuh atau jiwa manusia 2.
2.3 Dasar Hukum Visum et repertum
Dalam tugas sehari-hari, selain melakukan pemeriksaan diagnostik,
memberikan pengobatan dan perawatan kepada pasien, dokter juga mempunyai
tugas melakukan pemeriksaan medik untuk tujuan membantu penegakan hukum
baik untuk korban hidup maupun korban mati 2.
Pemeriksaan medik untuk tujuan membantu penegakan hukum antara lain
adalah pembuatan visum et repertum terhadap seseorang yang dikirim oleh polisi
(penyidik) karena diduga sebagai korban suatu tindak pidana, baik dalam
peristiwa kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja, penganiayaan, pembunuhan,
perkosaan, maupun korban meninggal yang pada pemeriksaan pertama polisi,
terdapat kecurigaan akan kemungkinan adanya tindak pidana 2.
5
Berikut merupakan dasar-dasar hukum yang mengatur tentang visum et
repertum :
1. Pasal 133 KUHAP menyebutkan:
1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang
korban baik luka, keracunan ataupun mati diduga karena peristiwa yang
merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan
keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau
ahli lainnya.
2) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas
untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan
bedah mayat.
Penjelasan terhadap pasal 133 KUHAP (2) : Keterangan yang
diberikan oleh ahli kedokteran kehakiman disebut keterangan ahli, sedangkan
keterangan yang diberikan oleh dokter bukan kehakiman disebut keterangan.
2. Pasal 7(1) butir h dan pasal 11 KUHAP:
Yang berwenang meminta keterangan ahli adalah penyidik dan penyidik
pembantu
3. Pasal 6(1) butir a:
Yang dimaksud dengan penyidik di sini adalah penyidik penyidik tunggal
bagi pidana umum, termasuk pidana yang berkaitan dengan kesehatan dan
jiwa manusia.
4. Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1983 :
Mengenai kepangkatan penyidik pembuat surat permintaan visum et repertum
adalah penyidik Polri berpangkat serendah – rendahnya Pembantu Letnan
Dua, sedangkan pada wilayah kepolisian tertentu yang komandannya adalah
seorang bintara (Sersan), maka ia adalah penyidik karena jabatannya tersebut.
Kepangkatan bagi penyidik pembantu adalah bintara serendah-serendahnya
sersan dua.
Nama visum et repertum sendiri hanya disebut di dalam Statsblad 350
tahun 1937 pasal 1 dan 2 yang berbunyi:
6
1. Visa reperta dari dokter-dokter, yang dibuat atas sumpah jabatan yang
diikrarkan pada waktu menyelesaikan pelajaran kedokteran di negeri Belanda
atau di Indonesia, atau atas sumpah khusus sebagai dimaksud dalam pasal 2
mempunyai daya bukti dalam perkara – perkara pidana, sejauh itu
mengandung keterangan tentang yang dilihat oleh dokter pada benda yang
diperiksa.
2. Dokter-dokter yang tidak mengikrarkan sumpah jabatan di Negeri Belanda
maupun di Indonesia, sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, boleh
mengikrarkan sumpah (atau janji) sedangkan bunyi sumpah dokter yang
dimaksud dalam pasal 1 di atas, adalah lafal sumpah seperti pada Statsblad
1882 No. 97, pasal 38 (berlaku hingga 2 Juni 1960) yang berbunyi:
“Saya bersumpah (berjanji) bahwa saya akan melakukan pekerjaan ilmu
kedokteran, bedah dan kebidanan menurut ketentuan – ketentuan yang
ditetapkan oleh undang – undang sebaik-baiknya menurut kemampuan saya
dan bahwa saya tidak akan mengumumkan kepada siapapun juga, segala
sesuatu yang dipercayakan kepada saya atau yang saya ketahui karena
pekerjaan saya, kecuali kalau saya dituntut untuk memberi keterangan
sebagai saksi atau ahli di muka pengadilan atau selain itu saya berdasarkan
undang-undang diwajibkan untuk memberikan keterangan.”
Pasal – pasal KUHAP yang mengatur tentang produk dokter, yang
sepadan dengan visum et repertum adalah pasal 186 dan 187, yang berbunyi:
Pasal 186: keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang
pengadilan
Penjelasan pasal 186 KUHAP : keterangan ahli ini dapat juga sudah diberikan
pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan
dalam suatu bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah di waktu ia
menerima jabatan atau pekerjaan.
Pasal 187 (c): surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat
berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang
diminta secara resmi dari padanya
7
Keduanya termasuk ke dalam alat bukti yang sah sesuai dengan ketentuan
dalam KUHAP Pasal 184 (1) Alat bukti yang sah adalah: Keterangan saksi,
Keterangan ahli, Surat, Petunjuk, Keterangan terdakwa.
2.4 Peranan Visum et repertum Dalam Proses Peradilan
Sebagai suatu keterangan tertulis yang berisi pemeriksaan seorang dokter
ahli terhadap barang bukti yang ada dalam suatu perkara pidana, maka visum et
repertum mempunyai peran sebagai berikut:4
1. Sebagai alat bukti yang sah. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam KUHAP :
Pasal 184 (1) KUHAP : Alat bukti yang sah adalah : Keterangan saksi,
Keterangan ahli, Surat, Petunjuk dan Keterangan terdakwa.
Pasal 187 (c) : Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat
berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang
diminta secara resmi dari padanya.
2. Bukti penahan tersangka. Di dalam suatu perkara yang mengharuskan
penyidik melakukan penahanan tersangka pelaku tindak pidana, maka
penyidik harus mempunyai bukti-bukti yang cukup untuk melakukan
tindakan tersebut. Salah satu bukti akibat tindak pidana yang dilakukan oleh
tersangka terhadap korban. Visum et repertum yang dibuat oleh dokter dapat
dipakai oleh penyidik sebagi pengganti barang bukti untuk melengkapi surat
perintah penahanan tersangka.
3. Sebagai bahan pertimbangan hakim. Meskipun bagian kesimpulan visum et
repertum tidak mengikat hakim, namun apa yang diuraikan di dalam bagian
pemberitaan sebuah visum et repertum adalah merupakan bukti materiil dari
sebuah akibat tindak pidana, di samping itu bagian pemberitaan ini adalah
dapat dianggap sebagai pengganti barang bukti yang telah dilihat dan
ditemukan oleh dokter. Dengan demikian dapat dipakai sebagai bahan
pertimbangan bagi hakim yang sedang menyidangkan perkara tersebut.
Karena tujuan pemeriksaan perkara pidana adalah mencari kebenaran
materiil, maka setiap masalah yang berhubungan dengan perkara pidana
tersebut harus dapat terungkap dengan jelas. Demikian halnya dengan visum
et repertum yang dibuat oleh dokter spesialis forensik atau dokter ahli
8
lainnya, dapat memperjelas alat bukti yang ada bahwa tindak pidana benar-
benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya. Mengenai dasar
hukum peranan visum et repertum dalam fungsinya membantu aparat penegak
hukum menangani satu perkara pidana, hal ini berdasarkan ketentuan dalam
KUHAP yang memberi kemungkinan dipergunakannya bantuan tenaga ahli
untuk lebih memperjelas dan mempermudah pengungkapan dan pemeriksaan
suatu perkara pidana.4
2.5 Jenis Dan Bentuk Visum et repertum
2.5.1 Visum et repertum Pada Kasus Perlukaan
Tujuan pemeriksaan kedokteran forensik pada korban hidup adalah untuk
mengetahui penyebab luka/sakit dan derajat parahnya luka atau sakitnya tersebut.
Hal ini dimaksudkan untuk memenuhi rumusan delik dalam KUHP. Jelaslah di
sini bahwa pemeriksaan kedokteran forensik tidak ditujukan untuk pengobatan. 2
Terhadap setiap pasien, dokter harus membuat catatan medik atas semua
hasil pemeriksaan mediknya. Pada korban yang diduga korban tindak pidana,
pencatatan harus lengkap dan jelas sehingga dapat digunakan untuk pembuatan
visum et repertum. Catatan medik yang tidak lengkap dapat mengakibatkan
hilangnya sebagian barang bukti di dalam bagian Pemberitaan visum et repertum.2
Umumnya, korban dengan luka ringan datang ke dokter setelah melapor
ke penyidik/pejabat kepolisian, sehingga mereka datang dengan membawa serta
surat permintaan visum et repertum. Sedangkan para korban dengan luka sedang
dan berat akan datang ke dokter atau rumah sakit sebelum melapor ke penyidik,
sehingga surat permintaan visum et repertum nya akan datang terlambat.
Keterlambatan surat permintaan visum et repertum ini dapat diperkecil dengan
diadakannya kerja sama yang baik antara dokter/ institusi kesehatan dengan
penyidik/instansi kepolisian. 2
Baik terhadap Surat Permintaan Visum et repertum yang datang dengan
korban, maupun yang datang terlambat, harus dibuatkan visum et repertum. Visum
et repertum ini dibuat setelah perawatan/pengobatan selesai, kecuali pada visum et
repertum sementara, dan perlu pemeriksaan ulang pada korban bila surat
permintaan pemeriksaan datang terlambat. 2
9
Korban dengan luka ringan dapat merupakan hasil dari tindak pidana
penganiayaan ringan (Pasal 352 KUHP), sedangkan korban dengan luka ‘sedang’
dapat merupakan hasil dari tindak penganiayaan (Pasal 354 (1) atau 353 (1). 2
Korban dengan luka berat (Pasal 90 KUHP) dapat merupakan hasil dari
tindak pidana penganiayaan dengan akibat luka berat (Pasal 351 (2) atau 353 (2))
atau akibat penganiayaan berat (Pasal 354 (1) atau 355 (1)). 2
Rumusan hukum tentang penganiayaan ringan sebagaimana diatur dalam
pasal 352 (1) KUHP menyatakan bahwa “penganiayaan yang tidak menimbulkan
penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian,
diancam, sebagai penganiayaan ringan”. Jadi bila luka pada seorang korban
diharapkan dapat sembuh sempurna dan tidak menimbulkan penyakit atau
komplikasinya, maka luka tersebut dimasukkan ke dalam kategori tersebut.3
Selanjutnya rumusan hukum tentang penganiayaan (sedang) sebagaimana
diatur dalam pasal 351 (1) KUHP tidak menyatakan apapun tentang penyakit.
Sehingga bila kita memeriksa seorang korban dan didapati “penyakit” akibat
kekerasan tersebut, maka korban dimasukkan ke dalam kategori tersebut.3
Perlu diingat bahwa luka-luka tersebut dapat juga timbul akibat kecelakaan
atau usaha bunuh diri.2
Derajat luka. Berdasarkan ketentuan dalam KUHP, penganiayaan ringan
adalah penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk
menjalankan jabatan atau pekerjaan, sebagaimana bunyi pasal 352 KUHP.
Umumnya, yang dianggap “tanpa luka” atau dengan luka lecet atau luka memar
kecil di lokasi yang tidak berbahaya/yang tidak menurunkan fungsi alat tubuh
tertentu. Luka-luka tersebut kita masukkan ke dalam kategori luka ringan atau
luka derajat satu. 2
KUHP tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan penganiayaan, tetapi
jurispudensi Hoge Raad tanggal 25 Juni 1894 menjelaskan bahwa menganiaya
adalah dengan sengaja menimbulkan sakit atau luka. Yang penting bagi dokter
adalah menentukan keadaan yang bagaimanakah yang dimaksud dengan sakit atau
luka. Oleh karena batasan luka ringan sudah disebutkan di atas, maka semua
keadaan yang “lebih berat” dari luka ringan dimasukkan ke dalam batasan sakit
10
atau luka. Selanjutnya dokter tinggal membaginya ke dalam kategori luka sedang
(luka derajat dua) dan luka berat (luka derajat tiga). 2
KUHP pasal 90 telah memberikan batasan tentang luka berat, yaitu : jatuh
sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali,
atau yang menimbulkan bahaya maut; yang menyebabkan seseorang terus
menerus tidak mampu untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan
pencaharian; yang menyebabkan kehilangan salah satu panca indera; yang
menimbulkan cacat berat (verminking); yang mengakibatkan terjadinya keadaan
lumpuh; terganggunya daya pikir selama empat minggu atau lebih serta terjadinya
gugur atau matinya kandungan seorang perempuan.
Dengan demikian keadaan yang terletak diantara luka ringan dan luka
berat adalah keadaan yng dimaksud dengan luka sedang. 2
Namun demikian, perlu diingat bahwa pada saat pemeriksaan pertama kali,
dokter sering tidak dapat menentukan apakah sesuatu perlukaan yang sedang
diperiksanya adalah luka sedang atau luka berat. Hal ini diakibatkan masih belum
berhentinya perkembangan derajat sesuatu perlukaan sebelum selesainya
pengobatan/perawatan. Kadang-kadang ketidakpastian derajat luka tersebut terjadi
berkepanjangan, sehingga pada saat penyidik membutuhkan visum et repertum
sementara. Visum et repertum sementara ini tidak berisikan kesimpulan derajat
luka, melainkan hanya keterangan bahwa hingga saat visum et repertum dibuat
korban masih dalam perawatan di institusi kesehatan tersebut. 2
Visum et repertum sementara juga diperlukan bila korban dipindah
rawatkan ke institusi kesehatan lainnya. Visum et repertum lengkap baru dibuat
kelak setelah perawatan selesai dan derajat lukanya dapat ditentukan. 2
Di dalam bagian Pemberitaan visum et repertum biasanya disebutkan
keadaan umum korban sewaktu datang, luka-luka atau cedera atau penyakit yang
ditemukan pada pemeriksaan fisik berikut uraian tentang letak, jenis, dan sifat
luka serta ukurannya, pemeriksaan khusus/penunjang, tindakan medik yang
dilakukan, riwayat perjalanan penyakit selama perawatan, dan keadaan akhir saat
pengobatan/perawatan selesai. Gejala/keluhan yang dapat dibuktikan secara
obyektif dapat dimasukkan ke dalam bagian pemberitaan, misalnya sesak nafas,
nyeri tekan, nyeri lepas, nyeri sumbu, dan sebagainya. Sedangkan keluhan
11
subyektif yang tidak dapat dibuktikan tidak dimasukkan dalam visum et repertum,
misalnya keluhan sakit kepala, pusing, mual dan sebagainya. 2
Pada pemeriksaan terhadap tanda kekerasan atau luka, perlu dilakukan
pencatatan yang teliti dan objektif terhadap :
a. Jumlah luka
b. Jenis luka
Tentukan jenis luka, apakah merupakan luka lecet, luka memar atau luka
terbuka.
c. Lokasi luka
Pertama-tama sebutkan regio anatomis luka yang ditemukan, dengan juga
mencatat letaknya yang tepat menggunakan koordinat terhadap garis atau titik
anatomis yang terdekat.
d. Bentuk luka
Sebutkan bentuk luka yang ditemukan. Pada luka yang terbuka sebutkan
pula bentuk luka setelah luka dirapatkan.
e. Ukuran luka
Luka diukur dengan teliti. Pada luka terbuka, ukuran luka diukur juga
setelah luka yang bersangkutan dirapatkan.
f. Sifat luka
- Batas luka
- Tepi luka
Perhatikan tepi luka apakah rata, teratur atau berbentuk tidak beraturan.
- Sudut luka
Pada luka terbuka perhatikan apakah sudut luka merupakan sudut runcing,
membulat, atau bentuk lain.
- Tebing luka
- Antara kedua tebing
- Jembatan jaringan
- Dasar luka
Perhatikan dasar luka, jaringan bawah kulit atau otot, atau bahkan rongga
badan.
- Perabaan luka
12
- Warna luka
- daerah sekitar luka
Sebagai contoh penulisan bagian pemberitaan adalah :
Korban datang dalam keadaan sadar, agak pucat, dan tampak sesak nafas.
Pada dada sisi kanan, setinggi sela iga ke tiga terdapat luka terbuka dengan tepi
rata berbentuk garis mendatar sepanjang tiga sentimeter, kedua sudut luka lancip,
luka menembus dinding dada. 2
Kalimat tersebut di atas berasal dari catatan medik yang sederhana : “CM,
anemis, dispnue, 90/60, RR 32/menit. Pada i.c.III dext terdapat v. sicssum
penetrans 3 cm horizontal, ke-2 sudut lancip…dst. 2
Dalam bagian kesimpulan, dokter harus menuliskan luka-luka atau cedera
atau penyakit yang ditemukan, jenis benda penyebabnya serta derajat perlukaan.
Derajat luka dituliskan dalam kalimat yang mengarah ke rumusan delik dalam
KUHP. 2
Contoh kesimpulan pada kasus dengan luka ringan:
Pada korban laki-laki ini ditemukan memar pada pipi kiri akibat kekerasan
tumpul yang tidak mengakibatkan penyakit atau halangan dalam melakukan
pekerjaan. 2
Pada “luka sedang”, misalnya :
Pada korban wanita ini ditemukan patah tulang tertutup pada tulang paha
kanan akibat kekerasan tumpul, yang mengakibatkan penyakit dan halangan
dalam melakukan pekerjaannya, selama….. Atau pada kasus lain : pada korban
wanita ini ditemukan luka terbuka di tungkai bawah kiri akibat kekerasan tumpul,
sehingga mengakibatkan penyakit yang memerlukan pengobatan jalan selama….2
Contoh kasus dengan luka lama :
Pada korban laki-laki ini ditemukan luka terbuka di dada sisi kanan yang
mengenai baga tengah paru kanan akibat kekerasan tajam yang telah
mendatangkan bahaya maut, atau pada kasus lain: Pada korban laki-laki ini
ditemukan luka terbuka dan memar pada mata kanan akibat kekerasan tumpul,
mengakibatkan hilangnya indera penglihatan sebelah kanan untuk selamanya. 2
13
2.5.2 Visum et repertum Korban Kejahatan Susila
Kekerasan seksual terjadi bila salah satu pihak diancam, dipaksa, atau
mengalami kekerasan sehingga tindakan seksual terjadi, atau bila salah satu pihak
berada dalam kedudukan lebih kuat atau lebih berkuasa (dalam arti luas), atau bila
tindakan tersebut menyakitkan, melukai, merendahkan, atau tidak diinginkan
salah satu pihak.4
Menurut Soetardjo Wignjo Soebroto yang dimaksud dengan pemerkosaan
adalah suatu usaha melampiaskan nafsu seksual seorang laki-laki terhadap
seorang perempuan yang menurut moral atau hukum yang berlaku adalah
melanggar. Dalam pengertian demikian bahwa apa yang dimaksud pemerkosaan
di satu pihak dapat dilihat sebagai suatu perbuatan (yaitu perbuatan seorang secara
paksa hendak melampiaskan nafsu seksualnya) dan di lain pihak dapat dilihat
sebagai suatu peristiwa pelanggaran norma serta tertib sosial. Berdasarkan
pengertian pemerkosaan tersebut diatas, menunjukkan bahwa pemerkosaan
merupakan bentuk perbuatan pemaksaan kehendak laki-laki terhadap perempuan
yang berkaitan atau ditujukan pada pelampiasan nafsu seksual. Perbuatan ini
dengan sendirinya baik secara moral maupun hukum melanggar norma kesopanan
dan norma kesusilaan di masyarakat. Terhadap hal ini adalah wajar dan bahkan
keharusan untuk menjadikan perbuatan pemerkosaan sebagai suatu tindak pidana
yang diatur bentuk perbuatan dan pidananya dalam hukum pidana materil yang
berlaku.5
Pada umumnya, korban kejahatan susila yang dimintakan visum et
repertum nya kepada dokter adalah kasus dugaan adanya persetubuhan yang
diancam hukuman oleh KUHP. Persetubuhan yang diancam pidana oleh KUHP
meliputi pemerkosaan, persetubuhan pada wanita yang tidak berdaya,
persetubuhan dengan wanita yang belum cukup umur 2.
Fungsi visum et repertum dalam pengungkapan suatu kasus pemerkosaan
menunjukkan peran yang penting bagi tindakan pihak kepolisian selaku aparat
penyidik. Pembuktian terhadap unsur tindak pidana pemerkosaan dari hasil
pemeriksaan yang termuat dalam visum et repertum, menentukan langkah yang
diambil pihak kepolisian dalam mengusut suatu kasus pemerkosaan. Sehubungan
dengan peran visum et repertum yang semakin penting dalam pengungkapan suatu
14
kasus pemerkosaan, bahwa pangaduan atau laporan kepada pihak kepolisian baru
dilakukan setelah tindak pidana perkosaan berlangsung lama sehingga tidak lagi
ditemukan tanda-tanda kekerasan pada diri korban.5
Untuk dapat memeriksa korban wanita tersebut, selain adanya surat
permintaan visum et repertum , selain adanya surat permintaan visum et repertum,
dokter sebaiknya juga mempersiapkan si korban atau orang tuanya bila ia masih
belum cukup umur, agar dapat dilakukan pemeriksaan serta saksi atau
pendamping perawat wanita dan pemeriksaan sebaiknya dilakukan dalam ruang
tertutup yang tenang 2. Hasil pemeriksaan yang tercantum dalam visum et
repertum dapat berbeda dengan hasil pemeriksaan yang dilakukan segera setelah
terjadinya tindak pidana pemerkosaan5.
Untuk kepentingan peradilan, dokter berkewajiban untuk membuktikan
adanya pemerkosaan, persetubuhan dan adanya kekerasan (termasuk pemberian
racun/obat/zat agar menjadi tidak berdaya) serta usia korban. Selain itu dokter
juga diharapkan memeriksa adanya penyakit hubungan seksual, kehamilan, dan
kelainan psikiatrik/kejiwaan sebagai akibat dari tindak pidana tersebut. Dokter
tidak dibebani pembuktian adanya pemerkosaan, karena istilah pemerkosaan
adalah istilah hukum yang harus dibuktikan di depan sidang pengadilan 2.
Tanda-tanda kekerasan yang merupakan salah satu unsur penting untuk
pembuktian tindak pidana pemerkosaan, hal tersebut dapat tidak ditemukan pada
hasil pemeriksaan yang tercantum dalam visum et repertum. Menghadapi
keterbatasan hasil visum et repertum yang demikian, maka akan dilakukan
langkah-langkah lebih lanjut oleh pihak penyidik agar dapat diperoleh kebenaran
materiil dalam perkara tersebut dan terungkap secara jelas tindak pidana
pemerkosaan yang terjadi5.
Pembuktian adanya pemerkosaan dan persetubuhan dilakukan dengan
pemeriksaan fisik terhadap kemungkinan adanya deflorasi hymen, laserasi vulva
atau vagina, serta adanya cairan mani dan sel sperma dalam vagina terutama
dalam forniks posterior2.Pembuktian adanya sel sperma dapat dilakukan dengan
pemeriksaan mikroskopik sediaan usap vagina, baik langsung maupun dengan
pewarnaan khusus. Selain sel sperma, adanya ejakulat juga dapat dibuktikan
dengan pemeriksaan laboratorium khusus untuk cairan mani5.
15
Adanya penyakit hubungan seksual atau kehamilan memperkuat adanya
persetubuhan, meskipun tidak diketahui saat terjadinya. Bukti adanya
persetubuhan tersebut baru mempunyai nilai bila sesuai waktu kejadiannya
dengan persetubuhan yang diperkarakan. Misalnya, adanya deflorasi hymen lama
(tepi robekan berupa jaringan parut) atau ditemukannya sel-sel sperma yang
hampir lisis, bukanlah merupakan bukti persetubuhan yang diperkarakan yang
terjadi satu hari sebelum pemeriksaan. Jejak kekerasan harus dicari tidak hanya di
daerah perineum, melainkan juga daerah-daerah lain yang lazim, seperti wajah,
leher, payudara, perut, dan paha. Pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan
toksikologi dilakukan bila ada kecurigaan ke arah tersebut, baik yang didapat dari
anamnesis maupun dari pemeriksaan fisik 2.
Usia korban biasanya dapat diketahui bila identitasnya dan asal usulnya
jelas. Bila usianya tidak jelas, maka harus dicari tanda-tanda medik guna
memperkirakannya. Telah adanya haid menunjukkan usia 12 tahun atau lebih,
sedangkan adanya tanda seks sekunder yang berkembang menunjukkan usia 15
tahun atau lebih 2.
Dalam kesimpulan visum et repertum korban kejahatan susila diharapkan
tercantum perkiraan tentang usia korban, ada atau tidaknya tanda persetubuhan
dan bila mungkin, menyebutkan kapan perkiraan terjadinya, dan ada atau tidaknya
tanda kekerasan 2.
Hal yang menjadi tantangan dalam penerapan visum et repertum pada saat
ini adalah melihat banyaknya penyelewengan fungsi dari permainan dibalik
pembuatan visum et repertum tersebut, mengingat dalam pembuatan tersebut
terkadang terdapat manipulasi terhadap data yang dibuat. Hal yang demikian bisa
terjadi karena orang yang berkepentingan terhadap permainan tersebut melibatkan
banyak oknum mulai dari oknum yang berkedok politik hingga berkedok bisnis
sehingga dalam penerapan realitas dimasa kini tidak menempatkan visum et
repertum tersebut pada fungsinya sebagai bukti penting terhadap proses
pembuktian5.
16
Pelaku pemerkosaan diancam sanksi pidana yang cukup berat.
Bagan 1. Bagan kejahatan seksual dalam kaitan dengan persetubuhan yang dapat
dikenakan hukuman.
Sumber : RI, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pasa 284,285,286,287,288
tentang kejahatan terhadap kesusilaan
17
PersetubuhanDalam
perkawinan (pasal
288)
Diluar perkawinan
Dengan persetujuan
perempuan
Perempuan dalam
keadaan pingsan/tidak
berdaya
(pasal 286)
Dengan
kekerasan/ancaman
kekerasan (pasal 285)
Umur perempuan belum
cukup 15 th (pasal 287)
Umur perempuan > 25
tahun
(pasal 284)
Tanpa persetujuan
perempuan
Bagan 2. Pemerkosaan menurut usia dan perlakuan pelaku terhadap korban
berdasarkan KUHP
Sumber : RI, Kitab Undang-undang hukum pidana pasal 89,285,286,287,291
tentang kejahatan terhadap kesusilaan
18
Pemerkosaan
Usia
KUHP Pasal 287
Ayat 1
Barang siapa bersetubuh dengan
seorang wanita di luar perkawinan
padahal diketahuinya atau sepatutnya
harus diduganya bahwa umurnya belum
lima belas tahun atau kalau umurnya
tidak jelas, bahwa belum waktunya
untuk dikawin, diancam dengan pidana
penjara paling lama Sembilan tahun.
Ayat 2
Penuntutan hanya dilakukan atas
pengaduan kecuali jika umur wanita itu
belum sampai dua belas tahun atau jika
ada salah satu hal berdasarkan pasal
291 dan pasal 294.
KUHP Pasal 285
Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman
kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh
dengan dia di luar perkawinan, diancam karena
melakukan perkosaan dengan pidana penjara
paling lama dua belas tahun.
Kekerasan fisik
KUHP Pasal 291 ayat 1
Kalau salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 286, 287, 288,
dan 290 itu berakibat luka berat, dijatuhkan hukuman penjara selama-
lamanya 12 tahun.
Pasal 291 ayat 2
“Kalau salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 285, 286, 287,
dan 290 itu berakibat matinya orang, dijatuhkan pidana penjara selama-
lamanya lima belas tahun ”.
KUHP Pasal 189
Membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan
menggunakan kekerasan.
KUHP Pasal 286
Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar
perkawinan padahal diketahui bahwa wanita ini dalam keadaan
pingsan atau tidak berdaya, diancam dengan tindak pidana
penjara paling lama Sembilan tahun.
Kekerasan psikis
Perlakuan
Pemeriksaan
Untuk menentukan apakah kasus pemerkosaan dan perlakuan yang terjadi pada
suatu kasus diperlukan pemeriksaan khusus berupa :
1. Anamnesis
Terdiri dari: identitas pasien (nama, umur, tempat dan tanggal lahir, alamat) pertumbuhan gigi geligi, perkembangan seks sekunder (riwayat menstruasi), status perkawinan, aktivitas seksual, keadaan mengenai kejadian seperti : waktu dan lokasi, kekerasan sebelum kejadian, rincian kejadian, terjadi atau tidak penetrasi, yang dilakukan setelah terjadinya kekerasan seksual.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Pemeriksaan Umum
Meliputi pemeriksaan baju korban (menilai apakah ada yang rusak, robek, kancing lepas, noda tanah, noda darah, noda sperma), tubuh korban (baik secara psikologis korban (gelisah, jisteris, depresi), tanda-tana bekas alcohol, obat bius, obat tidur, tanda kekerasan (goresan, cakaran, lecet, memar, gigitan pada mulut/leher/paha/ekstreitas/payudara/punggung)), tanda-tanda anal dan oral seks. Bekas gigitan (bite marks) sering didapatkan pada tubuh korban dan pelaku kejahatan jika korban melakukan perlawanan.
b. Pemeriksaan Khusus
Meliputi pemeriksaan pada payudara dan genitalia. Pemriksaan pada payudara untuk melihat bekas gigitan dan memar. Pemeriksaan genitalia dilakukan mulai dari rambut kemaluan untuk pembuktian dan perbandingan dengan rambut yang ditemukan pada tersangka, vulva untuk melihat adanya sakit pada perabaan, pembengkakan, kemerahan, memar dan lecet, serta dilakukan pemeriksaan pada vagina untuk melihat memar, lecet atau terkikisnya kulit karena adanya paksaan.
Pada selaput dara, robekan pada selaput dara yang masih baru dapat dilihat dengan adanya perdarahan, pembengkakan, maupun proses inflamasi, namun jika sudah terjadi proses penyembuhan maka perlu memperhatikan antara robekan selaput dara dengan bentuk-bentuk yang tidak biasa dari selaput dara yang masih utuh, sifat robekan hymen dan besar lubang. Bentuk selaput dara pada wanita yang robek saat melakukan hubungan seksual pertama kali tanpa paksaan dalam keadaan suka sama suka, tanpa robekan pada bagian belakang arah jam 4,5,7,8 dan robekan ini hanya terjadi pada satu atau dua lokasi tersebut.
19
Gambar. 2 bentuk hymen persukaan
Sumber : Abbara 2006, Ilustrations of the hymen in Various States. Tersedia : http://www.healthystrokes.com/hymengallery.html. (update: 9 januari 2014)
Pada pemerkosaan lokasi robekan selaput dara wulan sari afandy berbeda,
yaitu biasanya terjadi robekan lebih dari dua lokasi. Lokasi robekan selaput dara
berdasarkan arah jarum jam pada pemerkosaan diklasifikasikan menjadi :
a. Bagian atas, jika robekan terdapat pada jam 9, 10, 11, 12, 1, 2, 3
b. Bagian terbawah jika robekan terjadi pada jam 4, 5, 6, 7, 8
c. Tidak beraturan
Gambar 3. Bentuk robekan hymen pemerkosaan
Sumber : shela, L. et.al 2001. Evaluating the Child for Sexual Avuse. Texas:
University of Texas Medical School at Houston. Tersedia:
http://www.aafp.org/online//home/publications/journals/afp.html. (update 9
Januari 2014)
20
2.5.3 Visum et repertum Jenazah
Jenazah yang akan dimintakan visum et repertum nya harus diberi label
yang memuat identitas mayat, di-lak dengan diberi cap jabatan, yang diikat pada
ibu jari kaki atau bagian tubuh lainnya. Pada surat permintaan visum et repertum
nya harus jelas tertulis jenis pemeriksaan yang diminta, apakah hanya
pemeriksaan luar jenazah, ataukah pemeriksaan autopsi (bedah mayat) (pasal 133
KUHAP) 2.
Bila pemeriksaan autopsi yang diinginkan, maka penyidik wajib
memberitahukan kepada keluarga korban dan menerangkan maksud dan
tujuannya pemeriksaan. Autopsi dilakukan setelah keluarga korban tidak
keberatan, atau bila dalam dua hari tidak ada tanggapan apapun dari keluarga
korban (pasal 134 KUHAP). Jenazah yang diperiksa dapat juga berupa jenazah
yang didapat dari pengendalian kuburan (pasal 135 KUHAP) 2.
Jenazah hanya boleh dibawa keluar institusi kesehatan dan diberi surat
keterangan kematian bila seluruh pemeriksaan yang diminta oleh penyidik telah
dilakukan. Apabila jenazah dibawa pulang paksa, maka baginya tidak ada surat
kematian 2.
Pemeriksaan forensik terhadap jenazah meliputi pemeriksaan luar jenazah,
tanpa melakukan tindakan yang merusak jaringan jenazah. Pemeriksaan dilakukan
dengan teliti dan sistematik, serta kemudian dicatat secara rinci, mulai dari
bungkus atau tutup jenazah, pakaian, benda-benda di sekitar jenazah, perhiasan,
ciri-ciri umum identitas, tanda-tanda tanatologi, gigi geligi, dan luka atau cidera
atau kelainan yang ditemukan di seluruh bagian luar 2.
Apabila penyidik hanya meminta pemeriksaan luar saja, maka kesimpulan
visum et repertum menyebutkan jenis luka atau kelainan yang ditemukan dan
jenis kekerasan penyebabnya, sedangkan sebab pastinya tidak dapat ditentukan
karena tidak dilakukan pemeriksaan bedah jenazah. Lamanya mati sebelum
pemeriksaan (perkiraan saat kematian), apabila dapat diperkirakan, dapat
dicantumkan dalam kesimpulan 2.
Kemudian dilakukan pemeriksaan bedah jenazah menyeluruh dengan
membuka rongga tengkorak, leher, dada, perut dan panggul. Kadang kala
dilakukan pemeriksaan penunjang yang diperlukan seperti pemeriksaan
21
histopatologik, toksikologik, serologik dan sebagainya. Dari pemeriksaan dapat
disimpulkan sebab kematian korban selain jenis luka atau kelainan , jenis
kekerasan penyebabnya dan saat kematian seperti tersebut di atas 2.
2.5.4 Visum et repertum Psikiatrik
Visum et repertum psikiatri perlu dibuat oleh karena adanya pasal 44(1)
KUHP yang berbunyi : Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan padanya disebabkan karena jiwanya cacat dalam
tubuhnya atau terganggu karena penyakit (gebrekkige ontwikkeling), tidak
dipidana 2.
Jadi yang dapat dikenakan pasal ini tidak hanya orang yang menderita
penyakit jiwa (psikosis) tetapi juga orang yang retardasi mental. Apabila penyakit
jiwa (psikosis) yang ditemukan, maka harus dibuktikan apakah penyakit itu telah
ada sewaktu tindak pidana tersebut dilakukan. Tentu saja semakin panjang jarak
antara saat kejadian dengan saat pemeriksaan akan semakin sulit bagi dokter
untuk menentukannya. Demikian pula jenis penyakit jiwa yang bersifat hilang
timbul akan mempersulit pembuatan kesimpulan dokter 2.
Visum et repertum psikiatri diperuntukkan bagi tersangka atau terdakwa
pelaku tindak pidana, bukan bagi korban sebagaimana visum et repertum lainnya.
Selain itu visum et repertum psikiatri menguraikan tentang segi kejiwaan
manusia, bukan segi fisik atau raga manusia. Oleh karena visum et repertum
psikiatri menyangkut masalah dapat dipidana atau tidaknya seseorang atas tindak
pidana yang dilakukannya, maka adalah lebih baik bila pembuat visum et
repertum psikiatrik ini hanya dokter spesialis psikiatrik yang bekerja di rumah
sakit jiwa atau rumah sakit umum 2.
Beberapa pemeriksaan yang lazim dilaksanakan dalam psikiatri forensik
adalah sebagai berikut:
1. Pemeriksaan kemampuan bertanggung jawab
Pada awalnya yang ditanyakan oleh yang meminta pembuatan Visum et
repertum adalah apakah terdakwa menderita gangguan jiwa terdakwa sebelumnya
diduga telah melakukan pelanggaran tindak pidana, penganiayaan, pembunuhan,
pengrusakan, atau tindakan desruktif lainnya. Ada anggapan bahwa gangguan
22
jiwa yang diderita terdakwa selalu merupakan alasan untuk melakukan
pelanggaran pidana, dalam arti bahwa tindakan pelanggaran hukum merupakan
bagian atau gejala dari gangguan jiwa. Namun ternyata tidak selalu demikian,
seorang terdakwa penderita gangguan jiwa, seorang pengidap skizofrenia dapat
mencopet uang dari kantong seseorang yang tindakan mencopet bukan merupakan
bagian dari skizofrenia.6
Dahulu, adanya diagnosis gangguan jiwa dianggap cukup untuk
menyatakan bahwa terdakwa dibebaskan dari tuntutan. Padahal sebenarnya yang
diharapkan adalah kepastian seberapa jauh tanggung jawab terdakwa terhadap
perbuatannya melanggar hukum.6
Apabila kita melihat skema dari stimulus konklusi pengembangan
alternatif respons pemilihan alternatif sampai kepada tindakan yang
merupakan respons dari stimulus maka untuk menentukan kemampuan
bertanggung jawab kita harus melihat beberapa tahap.6
a. Tahap kemampuan menyadari tindakan, yaitu tahap saat seharusnya si pelaku
dapat mempersepsikan kemudian menginterpretasikan dan mengambil
konklusi dari stimulus tersebut. Kesadaran di sini ditentukan dengan cara
seperti pada pemeriksaan kesadaran pada pemeriksaan psikiatrik umum. Dapat
ditemukan keadaan : kompos mentis, berkabut, berubah, somnolen, stupor,
dsb.6
b. Tahap memahami tindakan. Setelah mendapat kesimpulan terhadap stimulus
yang diterima maka pelaku akan mengembangkan sebagai respons yang akan
dipilih sebagai tindakan untuk menjawab stimulus. Dalam pengembangan dan
pemilihan respons, pelaku akan menentukan respons-respons apa yang akan
dia lakukan dan setelah itu dia akan mencoba menelaah nilai (value) dari
masing-masing respons tersebut bagi masyarakat. Selain menelaah nilai,
palaku juga akan menelaah kemungkinan risiko serta nilai risiko tersebut bagi
dirinya dan masyarakat. Melalui penelaahan dan pemahaman dari nilai
perbuatannya serta nilai risiko tindakannya, si pelaku akan mengambil satu
respons yang ia pilih sebagai tindakan untuk menjawab stimulus.6
Kemampuan pemahaman ini dapat ditentukan melalui pemeriksaan
discriminative insight, yaitu pemahaman mengenai apa yang akan dia lakukan,
23
mengapa hal itu harus dilakukan, dan bagaimana proses pengembangan
tindakan tersebut. Dengan memahami hal tersebut si pelaku akan menentukan
beberapa tindakan yang mungkin dapat ia lakukan (pengembangan alternatif
respons).6
Setelah beberapa kemungkinan tindakan disiapkan maka si pelaku akan
mempertimbangkan alternatif respons yang mana akan diambil sebagai
tindakan. Pemilihan ini dilaksanakan melalui pertimbangan-pertimbangan
nilai-nilai sosial tentang baik-buruk, benar-salah, tinggi-rendah, serta dosa
atau pahala, yang di dalam pemeriksaan klinis dilakukan melalui
discriminative judgement. Discriminativejudgementditentukan untuk
memberikan penilaian baik pada nilai tindakan maupun nilai risiko tindakan
tersebut.6
c. Tahap pemilihan dan pengarahan tindakan. Seseorang yang normal dan
mampu bertanggung jawab akan bebas mempertimbangkan dan memilih
respons; yang kemudian jugaakanbebasmengarahkanrespons yang dipilih
tersebut sebagai suatu tindakan.6
Dengan demikian, dalam menentukan kemampuan bertanggung jawab
seseorang (menjawab pertanyaan dalam surat pembuatan visum et repertum
psychiatricum) kita harus menentukan hal-hal berikut ini.6
1. Diagnosis : adanya gangguan jiwa pada saat pemeriksaan.
2. Diagnosis : dugaan adanya gangguan jiwa pada saat pelanggaran hukum.
3. Dugaan bahwa tindakan pelanggaran hukum merupakan bagian atau gejala
dari gangguan jiwanya.
4. Penentuan kemampuan tanggung jawab:
a. Tingkat kesadaran pada saat melakukan pelanggaran hukum,
b. Kemampuan memahami nilai perbuatannya,
c. Kemampuan memahami nilai risiko perbuatannya dan
d. Kemampuan memilih dan mengarahkan kemauannya.
Di atas disebutkan ada komponen-komponen yang dapat dipakai untuk
menentukan kemampuan untuk bertanggung jawab, yaitu komponen kesadaran,
komponen pemahaman, (tentang nilai perbuatan dan nilai risikonya), serta
komponen kemampuan untuk memilih dan mengarahkan kemampuannya. Melalui
24
komponen-komponen tersebut dapat dibuat tingkat-tingkat kemampuan
bertanggung jawab, antara lain:6
1. Yang tidak mampu bertanggung jawab :
a. Yang tidak menyadari, tidak memahami, dan tidak dapat memilih dan
mengarahkan kemauannya. Misalnya pelaku yang menderita epilepsi lobus
temporalis.
b. Yang menyadari, tetapi tidak memahami dan tidak mampu memiliki dan
mengarahkan kemauannya, seperti pada kasus-kasus yang pelakunya adalah
penderita psikosis
2. Yang bertanggung jawab sebagian :
a. Yang menyadari, memahami tetapi tidak mampu memilih dan mengarahkan
kemauannya, seperti pada penderita kompulsi.
b. Yang menyadari, memahami dan sebenarnya mampu memilih dan
mengarahkan kemauannya tetapi tidak mendapat kesempatan untuk berbuat
seperti itu karena adanya dorongan impuls yang kuat, seperti yang terjadi
pada tindakan-tindakan yang impulsif atau “mata gelap”
3. Yang mampu bertanggung jawab penuh:
a. Yang melakukan suatu pelanggaran hukum tanpa merencanakan lebih dulu.
b. Yang melakukan pelanggaran hukum dengan suatu perencanaan terlebih
dahulu.
2. Pemeriksaan Kompetensi (cakap) dalam lalu lintas hukum
Dasar pemeriksaan kompetensi pada hakikatnya adalah penilaian tentang
kemampuan mengambil keputusan atau tindakan yang benar dan baik. Dengan
demikian, pengambilan keputusan didasarkan kepada kemampuan menyusun
suatu logika yang sistematik untuk membuat suatu proses tindakan dan untuk
mencapai suatu target tertentu. Selanjutnya, suatu keputusan dilaksanakan atau
tidak tergantung kepada bermacam-macam nilai, yaitu nilai rasional intelektual
(benar atau salah),nilai ekonomi (untung atau rugi), nilai etika (baik atau buruk),
dan nilai yuridis (benar atau salah dalam arti melanggar hukum atau tidak, dapat
dihukum atau tidak). Dengan demikian, penentuan kompetensi mempunyai dasar
yang mirip dengan penentuan bertanggung jawab. Beberapa perbedaan pada
25
penentuan kompetensi dan penentuan kemampuan bertanggung jawab adalah
sebagai berikut:6
Pada penentuan kemampuan bertanggung jawab, objek pemeriksaan hanya
satu tindakan melanggar hukum. Sedangkan pada pemeriksaan kompetensi
objek pemeriksaan tidak tertentu, tetapi merupakan tindakan-tindakan yang
kira-kira akan dilakukan oleh si terperiksa terutama yang bersangkutan dengan
hartanya atau dalam hubungannya dengan hubungan sosial yang mempunyai
konsekuensi yuridis (misalnya, kontrak bisnis).
Pada penentuan kemampuan bertanggung jawab tindakan yang merupakan
objek pemeriksaan jelas, tertentu dan sudah dilaksanakan. Hal ini merupakan
pemeriksaan diagnostik di mana tindakan yang merupakan objek pemeriksaan
sudah terjadi sebelum pemeriksaan. Sedangkan pada pemeriksaan kompetensi
tindakan merupakan objek pemeriksaan belum terjadi, tetapi diperkirakan
akan dilaksanakan yang disebut pemeriksaan prognosis di mana tindakan
diperkirakan akan terjadi sesudah pemeriksaan.
Dengan demikian, seperti pada pemeriksaan kemampuan bertanggung
jawab, pemeriksaan kompetensi ditujukan pada pemeriksaan-pemeriksaan berikut
ini.6
Adanya diagnosis gangguan jiwa.
Penentuan kompetensi yang terdiri dari kemampuan memahami nilai
perbuatannya, kemampuan memahami nilai perbuatannya, kemampuan nilai
risiko perbuatannya, serta kemampuan memilih dan mengarahkan
kemauannya.
Oleh karena lebih merupakan gambaran prognosis maka pada gangguan
jiwa yang dapat sembuh (reversible), penentuan kompetensi tidak begitu berarti.
Sudah sembuh, terperiksa dapat dianggap kembali kompeten dalam lalu-lintas
hukum.6
Pada gangguan jiwa yang tidak dapat sembuh (irreversible) yang untuk
seterusnya si terperiksa dianggap tidak kompeten maka biasanya penentuan ini
akan berlanjut pada kasus-kasus pengampunan (curratelle) dan hibah atau
pewarisan, dan sebagai nya.6
26
3. Penentuan hubungan sebab akibat (kausalitas) antara suatu kondisi dengan
timbulnya suatu gangguan jiwa
Seperti kita ketahui, gangguan jiwa merupakan gangguan yang bersifat
multikausal dan multi faktorial. Selain itu, jiwa atau psike merupakan suatu
kesatuan integral tempat suatu gangguan pada suatu komponen jiwa, mempunyai
pengaruh pada komponen-komponen jiwa lainnya. Dengan demikian, sangatlah
sulit untuk memastikan bahwa satu kondisi merupakan satu-satunya penyebab
suatu gangguan jiwa. Apalagi apabila kita mengingat bahwa gangguan jiwa
timbul melalui proses interaksi antara faktor-faktor dasar (predisposisi) dan faktor
pencetus (presipitasi), sedangkan suatu kondisi umumnya hanyalah merupakan
faktor pencetus saja yang menyebabkan gangguan jiwa yang sebebnarnya sudah
membakat melalui adanya faktor-fakotr pendisposisi menjadi manifes. Kasus-
kasus yang memerlukan pemeriksaan untuk menentukan hubungan kausalitas
antara satu kondisi dengan suatu gangguan jiwa , antara lain:6
Kasus yang terperiksa merupakan korban.
Kasus ganti rugi pada gangguan jiwa atau cacat jiwa akibat suatu kondisi
kerja.
Dasar penalarannya adalah anggapan seseorang dapat menderita gangguan
jiwa setelah mengalami stres yang berat. Dianggap pula pelanggaran hukum yang
berupa penganiayaan seperti penyiksaan, pemerkosaan, penyekapan,
penyanderaan dan kondisi kerja yang tidak sesuai yang secara psikologis
memberatkan orang tersebut, merupakan hal-hal yang dapat mengakibatkan stres
yang berat. Di lain pihak, kita ketahui juga gangguan jiwa merupakan gangguan
yang bersifat multikausal. Dengan demikian, pada kasus seperti ini harus
ditentukan bahwa pelanggaran hukum atau situasi kerja yang menimbulkan stres
merupakan penyebab timbulnya gangguan jiwa atau merupakan faktor yang
paling dominan dalam timbulnya gangguan jiwa tersebut.6
Pada kasus-kasus seperti yang tersebut di atas yang harus kita upayakan
adalah sebagai berikut.6
Menentukan adanya gangguan jiwa pada waktu pemeriksaan.
Membuat dugaan ada tidaknya gangguan jiwa sebelum pelanggaran hukum
atau sebelum masuk ke dalam kondisi kerja yang stres ful.
27
Mencari kemungkinan hubungan kausalitas antara gangguan jiwa yang
ditemukan pada saat pemeriksaan dengan pelanggaran hukum yang dialami
terperiksa atau kondisi kerja yang stres ful.
Sebenarnya sulit untuk memastikan ada tidaknya gangguan jiwa sebelum
pelanggaran hukum atau kondisi kerja yang stres ful. Demikian pula korelasi
kausalitas antara gangguan jiwa dan pelanggaran hukum yang dialami terperiksa
atau kondisi kerja yang stres ful kecuali pada kelainan organik otak, pada cedera
kepala, atau pada gangguan jiwa pasca-trauma.6
4. Kompetensi untuk di Tanya dan kelayakan untuk diajukan di sidang
pengadilan.
Sidang yang dilaksanakan pengadilan, harus berlangsung secara tertib.
Terperiksa, baik dalam kedudukan sebagai terdakwa, penggugat, saksi, ataupun
kedudukan yang lain harus pula mampu menaati peraturan tersebut, dalam arti di
dalam sidang terperiksa harus mampu untuk duduk tenang dan sopan selama
waktu yang relatif lama, serta harus mampu berkomunikasi secara baik wajar dan
sopan.6
Penentuan mengenai kecakapan untuk bertanya jawab dapat dinilai dari
kemampuan terperiksa memahami kedudukan dirinya dan memahami situasi
lingkungannya. Ia harus mengetahui kedudukannya dalam sidang. Ia juga harus
mengetahui persoalan yang dihadapinya dan mampu mengusahakan pembelaan
atau mampu minta pertolongan seseorang untuk minta pembelaan persoalannya.5
Dalam sidang terperiksa harus mampu berkomunikasi dengan baik.
Kemampuan berkomunikasi ini dapat kita nilai dengan cara penilaian kemampuan
untuk mengemukakan ide atau pendapat yang dapat dipahami oleh orang lain
dengan wajar dan baik. Apabila terperiksa dapat memenuhi ketentuan-ketentuan
tersebut di atas, ia dianggap cakap dan layak untuk diajukan ke sidang
pengadilan.6
2.6 Prosedur permintaan visum et repertum
Secara garis besar permohonan visum et repertum harus memperhatikan
hal- hal sebagai berikut :
28
1. Permohonan harus dilakukan secara tertulis oleh pihak-pihak yang
diperkenankan untuk itu, dan tidak diperkenankan dilakukan secara lisan
maupun melalui pesawat telepon.7
2. Permohonan visum et repertum harus diserahkan oleh penyidik bersamaan
dengan korban, tersangka, dan juga barang bukti kepada dokter ahli
kedokteran kehakiman.7
Pertimbangan dari keduanya adalah :
1. Mengenai permohonan visum et repertum yang harus dilakukan secara tertulis
oleh permohonan tersebut berdimensi hukum. Artinya,tanpa permohonan
secara tertulis, dokter tidak boleh dengan serta-merta melakukan pemeriksaan
terhadap seseorang yang luka, seseorang yang terganggu kesehatannya
ataupun seseorang yang mati akibat tindak pidana atau setidak-tidaknya patut
disangka sebagai korban tindak pidana. Apabila dokter menolak permohonan
yang dilakukan secara tertulis, maka ia pun akan dikenakan sanksi hukum.7
Permohonan visum et repertum oleh aparat hukum kepada dokter ahli
kedokteran kehakiman merupakan peristiwa dalam lalu lintas hukum. Oleh
karena permintaan dan juga pemenuhan dalam kaitannya dengan visum et
repertum tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang. Kegiatan pemeriksaan
dokter atas seseorang, merupakan kegiatan yang harus dilakukan oleh hukum.
Dan bukan kegiatan asal-asalan.7
2. Mengenai penyerahan korban, tersangka, dan alat bukti yang lain, didasarkan
bahwa untuk dapat menyimpulkan hasil pemeriksaannya, dokter tidak dapat
melepaskan diri dari alat bukti lainnya. Artinya, untuk sampai pada penentuan
hubungan sebab akibat, maka peranan alat bukti lain, selain korban mutlak
diperlukan.7
2.7 Teknis pembuatan visum et repertum
Visum et repertum dibuat secara tertulis, sebaiknya dengan mesin ketik, di
atas sebuah kertas putih dengan kepala surat institusi kesehatan yang melakukan
pemeriksaan, dalam bahasa Indonesia, tanpa memuat singkatan, dan sebisa
29
mungkin tanpa istilah asing bila terpaksa digunakan agar diberi penjelasan bahasa
Indonesia 2.
Apabila penulisan sesuatu kalimat dalam visum et repertum berakhir tidak
pada tepi kanan format, maka sesudah tanda titik harus diberi garis hingga ke tepi
kanan format. Apabila diperlukan gambar atau foto untuk lebih memperjelas
uraian tertulis dalam visum et repertum , maka gambar atau foto tersebut
diberikan dalam bentuk lampiran 2.
Visum et repertum terdiri dari 5 bagian yang tetap, yaitu 2( gambar 1 ):
1. Kata Pro Justitia yang diletakkan di bagian atas. Kata ini menjelaskan bahwa
visum et repertum khusus dibuat untuk tujuan peradilan. Visum et repertum
tidak membutuhkan materai untuk dapat dijadikan sebagai alat bukti di depan
sidang pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum.
2. Bagian Pendahuluan. Kata “Pendahuluan” sendiri tidak ditulis di dalam visum
et repertum , melainkan langsung dituliskan berupa kalimat – kalimat
dibawah judul. Bagian ini menerangkan nama dokter pembuat visum et
repertum dan institusi kesehatannya, instansi penyidik pemintanya berikut
nomor dan tanggal surat permintaannya, tempat dan waktu pemeriksaan, serta
identitas korban yang diperiksa.
Dokter tidak dibebani pemastian identitas korban, maka uraian identitas
korban adalah sesuai dengan uraian identitas yang ditulis dalam surat
permintaan visum et repertum . Bila terdapat ketidaksesuaian identitas korban
antara surat permintaan dengan catatan medik atau pasien yang diperiksa,
dokter dapat meminta kejelasannya dari penyidik.
3. Bagian Pemberitaan. Bagian ini berjudul “hasil pemeriksaan” dan berisi hasil
pemeriksaan medik tentang keadaan kesehatan atau sakit atau luka korban
yang berkaitan dengan perkaranya, tindakan medik yang dilakukan serta
keadaannya selesai pengobatan atau perawatan.
Bila korban meninggal dan dilakukan autopsi, maka diuraikan keadaan
seluruh alat dalam yang berkaitan dengan perkara dan matinya orang tersebut.
Yang diuraikan dalam bagian ini merupakan pengganti barang bukti, berupa
perlukaan atau keadaan kesehatan / sebab kematian yang berkaitan dengan
30
perkaranya. Temuan hasil pemeriksaan medik yang bersifat rahasia dan tidak
berhubungan dengan perkaranya tidak dituangkan ke dalam bagian
pemberitaan dan dianggap tetap sebagai rahasia kedokteran.
4. Bagian Kesimpulan
Bagian ini berjudul “Kesimpulan” dan berisi pendapat dokter berdasarkan
keilmuannya, mengenai jenis perlukaan/cedera yang ditemukan dan jenis
kekerasan atau zat penyebabnya, serta derajat perlukaan atau sebab
kematiannya.
Pada kejahatan susila, diterangkan juga apakah telah terjadi persetubuhan dan
kapan perkiraan kejadiannya, serta usia korban atau kepantasan korban untuk
dikawinkan.
5. Bagian Penutup.
Bagian ini tidak berjudul dan berisikan kalimat baku “demikianlah Visum et
Repertum ini saya buat dengan sesungguhnya berdasarkan keilmuan saya dan
dengan mengingat sumpah sesuai dengan kitab Undang-undang Hukum
Acara Pidana.
31
32
Gambar 1. Bagian – bagian Visum et Repertum
33
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1. Visum et repertum adalah keterangan yang dibuat oleh dokter, atas
permintaan penyidik yang berwenang mengenai hasil pemeriksaan medik
terhadap manusia, baik hidup atau mati ataupun bagian atau diduga bagian
dari tubuh manusia, berdasarkan keilmuannya dan di bawah sumpah, untuk
kepentingan peradilan.
2. Berdasarkan KUHAP pasal 184, visum et repertum berfungsi sebagai salah
satu alat bukti dalam proses peradilan.
3. Dasar hukum yang mengatur mengenai visum et repertum terdapat dalam
KUHAP pasal 133, 184, 186, dan 187.
4. Fungsi dari Visum et repertum adalah berperan dalam proses pembuktian
suatu perkara pidana terhadap kesehatan, jiwa, dan juga orang yang telah
meninggal. Visum et repertum juga dapat dianggap sebagai barang bukti
yang sah karena segala sesuatu tentang hasil pemeriksaan medis telah
diuraikan dalam bagian pemberitaan. Serta keterbatasan barang bukti yang
diperiksa pasti akan mengalami perubahan alamiah sehingga tidak
memungkinkan untuk dibawa ke pengadilan.
5. Jenis dan bentuk visum et repertum dapat berupa visum et repertum pada
kasus perlukaan, visum et repertum pada korban kejahatan susila, visum et
repertum jenazah, dan visum et repertum psikiatri.
6. Tata cara permohonan visum korban hidup:
Harus tertulis, tidak boleh lisan
Surat diantar langsung oleh penyidik, tidak boleh dititip atau melalui pos
Bukan kejadian yang sudah lewat
Ada alasan mengapa korban dibawa ke dokter
Ada identitas korban
Ada identitas peminta
Mencantumkan tanggal permintaan
Korban diantar oleh polisi atau jaksa
7. Dalam proses pembuatan visum et repertum harus memenuhi unsur berikut:
34
Struktur visum et repertum :
1) Pro justititia
2) Pendahuluan
3) Pemeriksaan
4) Kesimpulan
5) Penutup
Saran
Berdasarkan referat yang kami buat, saran yang kami berikan adalah
sebagai berikut :
1. Harus adanya kerja sama yang baik antara bagian forensik dan medikolegal
dengan pihak berwajib dalam menerbitkan surat permintaan visum et
repertum.
2. Untuk kegunaan pendidikan, diperlukan kerja sama dan koordinasi yang baik
antar bagian dalam Rumah Sakit.
35
DAFTAR PUSTAKA
1. Nuraga AR. Perbedaan Tingkat Pengetahuan Dokter Umum Tentang
Visum et repertum . Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. 2012
2. Budiyanto,Arif, dkk. Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta: Bagian
Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 1997
3. Afandi D. Visum et repertum Perlukaan: Aspek Medikolegal Dan
Penentuan Derajat Luka. Majalah Kedokteran Indonesia, Vol:60 No:4.
April 2010
4. Syamsuddin R. Peranan Visum et repertum di Pengadilan. 2011 Mei
(diakses 19 Desember 2013); Vol 11(1). Diunduh dari: URL:
http://www.uin-alauddin.ac.id
5. Depkes Republik Indonesia. Modul penelitian, pencegahan dan
penanganan kekerasan terhadap perempuan (PP-KtP) di Bidang
Kesehatan. Jakarta. Yayasan Pulih. 2006
6. Darmabrata W., Adhi W.N. Psikiatriforensik. 2003. Jakarta EGC online
(http://books.google.co.id/books?
id=pOkDFpwj8E4C&pg=PA16&lpg=PA16&dq=visum+et+repertum+psi
kiatri&source=bl&ots=DffCOPed7E&sig=FH7BNIUft98mFg1gDmgD8U
Vtk78&hl=en&sa=X&ei=8XC7UuHbBMiJrQfBroGABg&redir_esc=y#v
=onepage&q&f=true) diakses 26 Desember 2013.
7. Waluyadi,S.H,M.H, ilmu kedokteran kehakiman dalam perspektif
peradilan dan aspek hukum praktik peradilan. Jakarta ;
djambatan.2007.hal33-34
36