investment -less growth? studi empiris … · 2 1. pendahuluan 1.1. latar belakang terlepas dari...
TRANSCRIPT
1
WP/5/2017
WORKING PAPER
INVESTMENT-LESS GROWTH?: STUDI EMPIRIS DETERMINAN DAN PENGARUH PENANAMAN MODAL ASING TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DAN TOTAL FACTOR PRODUCTIVITY STUDI KASUS: INDONESIA
Francisca Hastuti, Wahyu Dewati (Advisor)
2017
Kesimpulan, pendapat, dan pandangan yang disampaikan oleh penulis dalam paper ini merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan penulis dan bukan merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan resmi Bank Indonesia.
1
INVESTMENT-LESS GROWTH?:
Studi Empiris Determinan dan Pengaruh Penanaman Modal Asing terhadap Pertumbuhan
Ekonomi dan Total Factor Productivity Studi Kasus: Indonesia
Francisca Hastuti1, Wahyu Dewati 2(Advisor)
Abstrak
Studi ini ditujukan untuk menganalisis signifikansi pengaruh
penanaman modal asing (PMA) dalam menunjang pertumbuhan dan
produktivitas ekonomi, serta mengidentifikasikan motif utama PMA di
Indonesia berdasarkan signfikansi faktor determinan PMA di Indonesia.
Dengan menggunakan data panel dan metode structural VAR, hasil studi
empiris menunjukkan: (1) terlepas tren dekade terakhir yang menunjukan
peningkatan PMA di tengah pelambatan atau stagnansi pertumbuhan
ekonomi, secara umum PMA dinyatakan berpengaruh positif dan signifikan
pada pertumbuhan Indonesia; (2) peningkatan PMA berpengaruh positif dan
signifikan terhadap peningkatan produktivitas, khususnya yang terkait
dengan keunggulan PMA di bidang teknologi dan kapital. Adapun dalam
kaitan produktivitas tenaga kerja, pengaruh PMA hanya terbukti signifikan
dalam kaitan jam kerja, dan sebaliknya insignifikan terhadap produktivitas
jumlah tenaga kerja; (3) PMA di Indonesia lebih berorientasi pada motif
market seeking daripada motif-motif lainnya (supply, efficiency, ataupun
strategic asset seeking oriented); (4) tidak terindikasi linkage hulu-hilir
intrasektoral dan lintas sektoral oleh PMA; (5) PMA berpengaruh positif,
tetapi tidak signifikan terhadap pertumbuhan PMDN. Di sisi lain PMA lebih
dipandang sebagai kompetitor bagi PMDN, khususnya untuk sektor primer
dan tersier. Kondisi persaingan mendorong pertumbuhan PMDN sekaligus
menjadi kendala untuk pengembangan keterkaitan (linkage) forward
ataupun backward antara PMA dan PMDN di Indonesia.
Keyword: penanaman modal asing, total factor productivity
JEL Classification: E20, E22
1 Peneliti di Departemen Riset Kebanksentalan, Bank Indonesia, Pos-el (e-mail): [email protected]. 2 Peneliti di Departemen Riset Kebanksentalan, Bank Indonesia, Pos-el (e-mail): [email protected].
2
1. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Terlepas dari pro-kons mengenai benefit penanaman modal asing langsung
atau foreign direct investment–selanjutnya disebut PMA-seperti keunggulan tidak
menimbulkan beban pembayaran luar negeri pada kemudian hari atau sebaliknya
potensial cost PMA dalam bentuk eksploitasi sumber daya yang dapat menjadi
akar masalah bagi jaminan pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan; PMA
dipandang sebagai salah satu sumber dana eksternal yang dapat dimanfaatkan
oleh negara-negara berkembang termasuk Indonesia yang secara struktural dan
persisten menghadapi masalah kesenjangan I-S (I-S gap) dalam mewujudkan
potensi ekonomi menjadi kekuatan ekonomi yang riil.
Historikal data sumber dana eksternal di Indonesia selama periode diamati,
yakni 1980-2015 menunjukan peningkatan stok dan aliran PMA yang lebih pesat
jika dibandingkan dengan instrumen utang pada dekade terakhir atau pascakrisis
multidimensi tahun 1997/1998 yang mulai dihadapi negara-negara kawasan Asia
Tenggara, termasuk Indonesia. Tren peningkatan pesat stok dan aliran PMA
dekade terakhir terjadi sedemikian rupa hingga pangsa terhadap produk domestik
bruto (PDB) nyaris sama dengan utang. Jika sebelum krisis, instrumen utang
mendominasi pangsa pada kisaran 60% dari PDB, pangsa tiap-tiap instrumen
pascakrisis relatif sama, yakni berada pada kisaran 30% dari PDB (lihat Grafik
1.1).
Grafik juga mengindikasikan krisis (atau sebaliknya stabilitas
makroekonomi) dan liberalisasi serta integrasi ekonomi dan keuangan
mempengaruhi perkembangan tiap-tiap instrumen tersebut. Jika
deregulasi/liberalisasi sektor riil dan keuangan (periode tahun 1980-1990-an)
menstimulasi pertumbuhan utang dengan pesat, era integrasi ekonomi dan
keuangan (periode pasca 2000) mempengaruhi peningkatan instrumen PMA lebih
pesat daripada utang. Layak diduga perkembangan tersebut tidak terlepas dari
arah implementasi global atau value chain yang memandang kawasan sebagai
rantai produksi dan distribusi komoditas dalam perdagangan internasional.
Adapun krisis memberikan pelajaran berharga, tidak hanya dalam bentuk
kontraksi ekonomi yang mencapai 13,1%, tetapi juga biaya pemulihan stabilitas
3
perekonomian dan keuangan yang mencapai 51% dari PDB nilai biaya pemulihan
krisis Indonesia tercatat tertinggi kedua setelah Argentina unuk krisis yang terjadi
pada era abad 20.
Dengan pemelajaran krisis yang ada, fenomena pelambatan laju
pertumbuhan ekonomi dan perdagangan global pascakrisis Asia 1997/1998
ataupun pascakrisis global 2007/2009 serta arah implementasi rantai produksi
regional ataupun global layak diduga sebagai faktor yang mempengaruhi
substitubilitas penggunaan kedua instrumen dan menstimulasi pertumbuhan
PMA.
Grafik 1. Stok dan Rasio PMA dan Utang Luar Negeri Indonesia (1970-2015)
Sumber data: UNCTAD-statistic (FDI) dan Bank Dunia (Utang luar negeri)
Tidak hanya dibandingkan dengan instrumen utang, pertumbuhan stok
dan aliran PMA juga tercatat lebih tinggi daripada penanaman modal dalam negeri
(PMDN). Gambaran itu mengisyaratkan bahwa I-S gap yang dihadapi Indonesia
bersifat struktural dan persisten. Persistensi I-S gap ini menjadikan dana
eksternal, termasuk PMA sebagai keniscayaan kebutuhan sumber pembiayaan
untuk mewujudkan potensi ekonomi Indonesia menjadi kekuatan riil. Tidak hanya
perannya pada pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan modal/kapital, PMA
dengan keunggulan penguasaan teknologi, manajemen, ataupun informasi pasar
global diharapkan mampu meningkatkan produktivitas ekonomi Indonesia sebagai
host country, baik secara langsung maupun tidak lansung, yakni melalui spillover
effect-nya pada peningkatan produktivitas investasi dalam negeri, setidaknya yang
4
memiliki keterkaitan, baik secara backward maupun forward linkages dengan
industri PMA.
Namun, perkembangan PMA decade terakhir yang menunjukan peningkatan
tajam pada saat terjadi pelambatan atau stagnansi pertumbuhan ekonomi seakan
membantarkan (menolak) peran PMA dalam menstimulasi pertumbuhan dan
produktivitas ekonomi host country. Kondisi tersebut mengundang pertanyaan
benarkah PMA secara signifkan mempengaruhi pertumbuhan dan produktivitas
ekonomi Indonesia?. Timbulnya pertanyaan itu dikuatkan oleh studi empiris yang
menghasilkan simpulan yang berbeda-beda. Sebagian tetap menilai pengaruh
positif dan signifikan, sedangkan sebagian yang lain menilai pengaruh yang
rendah bahkan insignifikan. Kajian OECD (2008) menyimpulkan pengaruh positif
dan signifikan tidak hanya pada pertumbuhan ekonomi, tetapi juga disimbulkan
sebagai pendorong integrasi ekonomi internasional, stabilitas keuangan, dan
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pandangan positif juga dikemukakan oleh
Borenstein dkk. (1998) yang menilai PMA lebih berperan dalam menunjang
pertumbuhan ekonomi jika dibandingkan dengan PMDN, Balasubramanyam dkk.
(1996) yang menilai PMA menstimulasi pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi di
negara-negara berorientasi ekspor, tetapi Hanson (2001) justru mengekspektasi
rendah spillover effect pada host countries. Sementara itu, Aitken dan Harrison
(1999), Javorcik (2004), dan Liu (2008) menilai pengaruh PMA pada produktivitas
ternyata tidak signfikan.
Di sisi lain, terlepas dari perkembangan studi empiris yang menyatakan
pengaruh atau spillover effect PMA terhadap pertumbuhan ekonomi adalah rendah
atau bahkan insignifikan, pada era integrasi ekonomi dan keuangan sebagaimana
terjadi dalam dekade terakhir, negara-negara berkembang berlomba memberikan
insentif untuk menarik investasi asing. Avi-Yonah (1999) sebagaimana dikutip oleh
Hanson (2001) menyebutkan 103 negara menawarkan konsesi pajak, kemudahan
perizinan, hingga penyediaan fasilitas untuk menarik investasi korporasi-korporasi
asing/multinasional.
Gambaran kebutuhan akan sumber dana eksternal untuk pembiayaan
pembangunan ekonomi yang di satu sisi PMA-nya menjadi opsinya, sedangkan
perkembangan decade terakhir serta studi-studi empiris yang seakan
membantarkan pandangan tersebut. Hal itu mendorong minat kami untuk
meneliti peran dan spillover effect PMA pada pertumbuhan dan produktivitas
ekonomi serta faktor determinan PMA di Indonesia.
5
1.2. Identifikasi dan Pembatasan Masalah
Kami mengidentifikasikan dua pokok masalah yang dihadapi dalam
pelaksanaan penelitian ini. Kedua masalah tersebut adalah (i) masalah yang
terkait dengan objek utama penelitian, yakni pengaruh PMA pada pertumbuhan
ekonomi, dan (ii) masalah pelaksanaan pengujian hipotesis. Kedua hal itu
diuraikan sebagai berikut.
a. Masalah terkait objek penelitian PMA: Ada tiga masalah yang dapat
diidentifikasi terkait objek penelitian. Pertama, stereotip kesenjangan I-S dan
implikasinya pada kebutuhan sumber dana eksternal untuk mewujudkan
potensi ekonomi potensial menjadi riil. Dengan dasar kondisi tersebut,
diasumsikan bahwa jika kondisi atau faktor lainnya cetiris paribus,
kesinambungan (atau sebaliknya gangguan) aliran PMA akan mempengaruhi
kesinambungan (atau sebaliknya gangguan) pertumbuhan ekonomi.
Pertanyaan selanjutnya dari asumsi dasar yang digunakan ini adalah (i)
seberapa signifikankah PMA mempengaruhi pertumbuhan ekonomi
Indonesia? dan (ii) stok ataukah aliran PMA yang mempengaruhi
pertumbuhan ekonomi Indonesia secara signfinikan?
Perbedaan hasil identifikasi stok atau aliran yang mempengaruhi
pertumbuhan ekonomi dapat mempengaruhi perbedaan opsi kebijakan yang
diterapkan. Tren data selama periode diamati (1980-2015) menunjukan
penurunan stok secara signfiikan hanya terjadi pada era krisis, adapun pada
era sebelumnya, stok menunjukan tren peningkatan berkesinambungan dan
pertumbuhan ekonomi yang relatif berfluktuasi secara tahunan dan
peningkatan secara rerata periode lima tahunan. Sekuensi krisis dan
penurunan stok mengisyaratkan bahwa krisislah yang mempengaruhi
penurunan stok karena penurunan stok terjadi setelah krisis terpicu.
Penurunan stok tidak hanya mengindikasikan penghentian aliran, tetapi
terutama mengindikasikan terjadinya reversal/pembalikan arus dana
investasi PMA. Di sisi lain aliran penerimaan PMA bergerak seiring dengan
kinerja kesinambungan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebagai host
country. Jika stok dianggap (dan terbukti) lebih signifikan mempengaruhi
pertumbuhan ekonomi, kebijakan devisa kontrol yang menghilangkan potensi
terjadinya reversal yang tidak dikehendaki bisa menjadi opsi kebijakan yang
tepat. Namun, jika aliran yang lebih signifikan mempengaruhi pertumbuhan
6
ekonomi, kebijakan menjaga stabilitas makroekonomi dan nilai tukar
diperkirakan akan lebih efektif jika dibandingkan dengan penerapan sistem
pengawasan devisa/kontrol devisa.
Kedua, masalah spillover effect keunggulan PMA terhadap perekonomian
domestik. Umumnya PMA diasumsikan memiliki tiga keunggulan, yakni
modal/kapital, teknologi, dan manajerial (termasuk di dalamnya skilled labor
dan pengetahuan pemasaran global). Ketiga bidang keunggulan tersebut
diharapkan dialihkan atau diteteskan (spillover) pada pelaku ekonomi
domestik, baik melalui pembentukan rantai produksi bersifat backward
maupun forward linkages antara PMA dan PMDN maupun melalui
perkembangan persaingan sehat dunia usaha yang meningkatkan efisiensi
pasar. Terkait harapan terjadi spillover effect pada industri dan produktivitas
ekonomi, pertanyaan pertama yang muncul adalah aspek keunggulan mana
yang paling signifikan dan seberapa signifikan pengaruh spillover effect
peningkatan kapital PMA pada produktivitas ekonomi domestik. Apakah
spillover effect PMA terhadap produktivitas terjadi melalui transmisi teknologi
atau tenaga kerja. Perbedaan identifikasi faktor yang dipengaruhi lebih baik
dan identifikasi permasalah untuk pelaksanaan transfer tersebut berpotensi
mempengaruhi fokus pilihan prioritas kebijakan yang akan dapat diterapkan.
Transfer teknologi, misalnya, keunggulan yang berarti perbedaan signifikan
teknologi yang digunakan oleh PMA dengan PMDN tidak berarti PMDN dapat
serta merta mengganti teknologinya dengan teknologi yang diterapkan PMA
(termasuk dalam kondisi standardisasi proses jika terdapat keterkaitan antara
PMA dan PMDN secara forward ataupun backward linkages).
Ketiga, masalah motif investasi PMA di Indonesia. Teori dan studi empiris
mengidentifikasikan PMA menstimulasi pertumbuhan ekonomi yang lebih
tinggi pada negara-negara yang berorientasi ekspor (lihat Kindleberger dan
Subramanyam). Studi tersebut mengisyaratkan orientasi motif supply
dan/atau efficiency seeking lebih mengakselerasi pertumbuhan ekonomi jika
dibandingkan dengan motif (domestic) market-seeking oriented. Di sisi lain,
dalam kaitan kesinambungan aliran dana PMA, pengamanan pasar (market-
seeking oriented) dan/atau pasokan faktor produksi (supply-seeking oriented)
diekspektasi lebih berkesinambungan/permanen jika dibandingkan dengan
motif efisiensi (efficiency-seeking oriented) atau penguasaan aset strategis
(strategic asset-seeking oriented). Dalam hal orientasi motif adalah efisiensi,
7
layak diduga PMA akan segera merelokasikan industrinya (atau kepemilikan
asetnya) apabila daya saing ekonomi host country menunjukan penurunan
dan semakin tertinggal jika dibandingkan dengan potensi negara lain sebagai
kompetitornya. Pertanyaannya adalah di antara empat motif PMA, motif
manakah yang paling signifikan untuk PMA di Indonesia?
b. Masalah utama yang dihadapi dalam analisis adalah masalah ketersediaan
dan konsistensi data yang diperlukan serta masalah orthogonalitas sektoral.
Masalah ketersediaan data bersumber pada perkembangan lingkup pengertian
PMA. Pada definisi awal, PMA dikaitkan dengan pendirian unit-unit
operasional bisnis di host country atau yang saat ini dikenal dengan istilah
green-field investment. Definisi saat ini tidak hanya bentuk pendirian unit-unit
produksi langsung di host country, tetapi juga dalam bentuk kepemilikan
modal pada unit bisnis operasional yang telah ada di host country. Definisi
itu, antara lain, tercermin pada versi investopedia, OECD, ataupun IMF.
Investopedia mendefinisikan PMA sebagai an investment made by a company
or individual in one country in business interest in another country, in the form
of establishing business operation or acquiring business asset in other
country, such as ownership or controlling interest in foreign company3.
Dalam kaitan pemilihan kepentingan/kepemilikan sebagai tolok ukur
pendefinifian PMA, OECD (Benchmark definition, 2008) ataupun IMF (BPM-
Balance of Payment Manual, 2009) mengisyaratkan bahwa penguasaan tidak
harus sepenuhnya (100%), tetapi threshold 10% hak suara pada manajemen
usaha untuk dikatagorikan sebagai PMA. OECD mendefinisikan PMA sebagai
… a category of cross-border investment made by a resident in one economy (the
direct investor) with the objective of establishing a lasting interest in an
enterprises (the direct investment enterprises) that is resident in an economy
other than that of the direct investor. The lasting interest is evidenced when the
direct investor owns at least 10% of the voting power of the direct
investment enterprises. Senada dengan pedoman OECD yang menjadi
rujukan standar internasional pencatatan PMA, BMP-IMF juga menetapkan
threshold kepemilikan sebesar 10% pengendali untuk dikatagorikan sebagai
investasi langsung. Walaupun demikian, definisi IMF juga mengisyaratkan
bahwa investor asing dapat saja memiliki saham di bawah 10% threshold,
tetapi dikatagorikan PMA jika secara efektif menjadi pengendali manajemen
3 www.investopedia.com/terms/f/fdi.asp.
8
(… a threshold of 10% per equity ownership to qualify an investor as foreign
direct investor … own less than 10% of ordinary shares or voting power of
enterprise yet still maintain an effective voice in management).
Implementasi di Indonesia relatif tidak tegas. Definisi PMA versi Undang-
Undang No. 1 Tahun 1967 mengisyaratkan green-field investment. Dengan
diundangkannya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman
Modal PMA tidak harus bersifat green-field atau kepemilikan 100% oleh asing.
Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2016 sebagai pedoman pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 walaupun menetapkan persyaratan
setidaknya 20% hingga 95% kepemilikan asing pada sejumlah aktivitas
ekonomi, baik di sektor primer, sekunder, maupun tertie. Namun, peraturan
tersebut tidak menunjukan standar minimum kepemilikan modal untuk
dikatagorikan sebagai perusahaan PMA.
Permasalahan itu mempengaruhi tingkat kepercayaan pada data yang tersedia
di dalam negeri. Untuk mengatasi kendala tersebut dan untuk menjaga
integritas data, digunakan data yang dipublikasikan UNCTAD dan BIS sebagai
sumber data utama PMA, baik stok, aliran secara total, maupun sektoral.
Masalah kedua yang dihadapi ialah orthogonalisme sektoral yang dapat
mempengaruh hasil ekspektasi tingkat pengaruh PMA pada pertumbuhan
ekonomi. Belajar dari studi Rosen yang mengidentifikasikan hanya
kepemilikan pada industri yang mempengaruhi produktivitas dan PMA
industri yang ortogonal4 terhadap PMA sektor keuangan bersifat eksogen
terhadap pertumbuhan produktivitas. Dengan kata lain, pemisahan antara
industri sektor riil dan keuangan ataupun antara sektor riil yang non-
orthogonal dan orthogonal5 terhadap industri sektor keuangan diperlukan
untuk mengevaluasi spillover effect PMA karena efek produktivitas pada kedua
sektor yang berbeda.
Pemilahan data subsektoral khusus jasa keuangan tidak tersedia pada
publikasi Biro Pusat Statistik, Badan Penanaman Modal, ataupun Bank
Indonesia. Ketiga lembaga ataupun data eksternal hanya memisahkan
4 Orthogonal adalah bidang yang mempunyai sudut sejajar dan tegak lurus terhadap proyektornya. Konsep ini menunjukan fungsi keuangan bersifat procyclical terhadap perkembangan sektor binis/riil. 5 Pengertian industri orthogonal dikaitkan dengan karakteristik prosiklikalitas antarsektor tersebut. Industri keuangan–secara umum-memiliki karakter prosiklikal terhadap perkembangan industri sektor riil dan dengan demikian industri ini dinyatakan bersifat orthogonal terhadap perkembangan industri primer dan atau sekunder.
9
orientasi pengelompokan industri ke dalam industri primer, sekunder, dan
tersier6. Sehubungan dengan kondisi itu, pada tahap awal kami
mengasumsikan bahwa sektor tertierer (yang termasuk di dalamnya jasa
keuangan) bersifat non-orthogonal terhadap sektor riil, yakni primer dan
sekunder. Untuk mengatasi masalah orto vs non-orthogonal, kajian ini
menggunakan data sektoral. Dengan demikian, tingkat dan signifikansi
pengaruh lintas sektoral justru digunakan sebagai dasar untuk
mengidentifikasikan masalah ini.
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Dengan dilandasi latar belakang dan identifikasi masalah sebagaimana
dipaparkan di atas, penelitian ini dilaksanakan untuk tujuan-tujuan sebagai
berikut:
a. Memetakan dan menganalisis pengaruh PMA pada pertumbuhan dan
produktivitas ekonomi Indonesia;
b. Memetakan dan menganalisis faktor determinan aliran dana PMA di Indonesia
sebagai dasar untuk mengidentifikasikan orientasi motif utama PMA di
Indonesia; dan
c. Memetakan dan menganalisis fokus strategi PMA didasarkan pada identifikasi
orientasi motif utama dan motif utama tersebut diharapkan untuk menunjang
pengaruh dan spillover effect PMA pada pertumbuhan dan produktivitas
ekonomi yang diharapkan lebih tinggi lagi.
1.4. Produk Akhir dan Sistimatika Laporan Hasil Penelitian
1. Produk akhir dan Manfaat: Hasil penelitian dituangkan dalam bentuk Laporan
Hasil Penelitian yang diharapkan dapat menjadi masukan dalam rangka
penyempurnaan dan/atau pemikiran kebijakan untuk menarik PMA ke
Indonesia atau setidaknya menjadi salah satu sumber pengetahuan dan
referensi yang menstimulasi penelitian lain yang lebih mendalam terkait PMA.
2. Sistimatika Penulisan Laporan: Guna memberikan pemahaman yang runut,
paparan selanjutnya secara berurutan disajikan sebagai berikut: (1) landasan
teori dan (pengembangan) kerangka pikir dengan fokus bahasan yang
6 Industri primer adalah industri yang berorientasi pada pengolahan sumber daya alam seperti pertanian, perkebunan, pertambangan, dan perikanan. Industri sekunder adalah industri yang berorientasi pada industri manufaktur dan industri tersier berorientasi pada industri sektor jasa. Dengan kata lain, industri sektor keuangan menjadi bagian industri tersier.
10
ditujukan untuk memberikan kesepemahaman mengenai pemikiran-pemikiran
transmisi PMA pada pertumbuhan dan produktivtas ekonomi host country dan
identifikasi faktor determinan yang mempengaruhi pemilihan PMA. Paparan
pada bab merupakan hasil studi literatur yang digunakan sebagai referensi.
Hasil studi literatur juga digunakan untuk menyusun kerangka pikir dan
mengidentifikasikan model hipotesis faktor determinan PMA dan pengaruh
jangka menengah panjang PMA pada pertumbuhan dan produktivitas ekonomi
Indonesia. (2) Data dan metodologi dengan fokus bahasan jenis dan sumber
data serta metodologi yang digunakan untuk menganalisis, menguji hipotesis,
dan mengestimasi signifikansi faktor determinan PMA dan pengaruh PMA pada
tingkat pertumbuhan dan produktivitas ekonomi. (3) Analisis dengan fokus
pada analisis tren historikal data dan kejadian (trend and event analysis)
dalam kerangka memetakan/mengidentifikasikan faktor-faktor yang potensial
mempengaruhi PMA dan pengaruh PMA pada pertumbuhan dan produktivitas
ekonomi Indonesia serta analisis temuan empiris dengan menggunakan
metode kuantitatif yang direncanakan untuk memastikan keyakinan praduga
(hipotesis) tersebut. Tulisan diakhiri dengan penutup yang berisi simpulan
yang merupakan pokok-pokok ringkasan bahasan yang dianggap penting
dalam paparan bab-bab sebelumnya dan analisis implikasi kebijakan yang
disusun dengan mempertimbangkan analisis hasil temuan.
11
2. Landasan Teori dan Kerangka Pikir
2.1. Review Literatur–Landasan Teori
Dari studi literatur, pengidentifikasian kerangka teori dan pemikiran PMA
dilandasi berbagai sudut pandang atau asumsi. Resume beberapa teori/konsep
pemikiran tersebut tampak sebagai berikut.
Pertama, konsep/teori PMA dengan basis asumsi kondisi pasar, yakni
antarpasar persaingan sempurna (perfect market competition). Teori/pemikiran
awal konsep itu tercermin pada pemikiran MacDougall (1958, 1960), Kemp (1962),
dan MacDougall-Kemp (1964) yang mengasumsikan marginal productivity yang
sama antara home dan host country dan lalu lintas dana antarnegara. Kesamaan
marginal productivity antar-PMA mengisyaratkan bentuk pasar persaingan
sempurna. McDougall dan Kemp mengidentifikasikan bahwa tidak terjadi
penurunan produk dan pendapatan yang dihasilkan Multi-National Corporation
(MNC) PMA di home country, sebaliknya MNC-PMA memperolah peningkatan
penghasilan dari investasi di luar negeri/host country. Raymond Vernon (66)
memperkenalkan Life-cycle product theory dengan fokus pada aspek ownership dan
location untuk menjelaskan bagaimana perusahaan MNC memperdalam dan
memperluas pasar dan lokasi sebagai bagian tahap pembaharuan standar
produksi. Vernon yang mendeskripsikan perkembangan organisasi perusahaan-
perusahaan Amerika Serikat dari perusahaan setempat menjadi MNC yang
mendominasi perdagangan global serta implikasinya pada peningkatan
pendapatan per kapita Amerika Serikat jauh di atas negara-negara maju lainnya.
Kedua, konsep/teori PMA dengan basis asumsi persaingan tak sempurna
(imperfect market competition). Pandangan itu dikemukakan oleh Hymer (1960,
1976) dan Kindleberger (1969). Perkembangan pendekatan teori dengan asumsi
imperfect market competition bebarapa di antaranya ialah (a) industrial organization
approach (Hymer, 1960 dan 1976; Kindleberger, 1969; dan Caves, 1974). Hymer
berpandangan bahwa dalam bersaing dengan penanaman modal dalam negeri
(PMDN) di host country, PMDN memiliki keunggulan dalam kaitan pemahaman
kultur, bahasa, sistem hukum, dan pereferensi konsumen; PMA memanfaatkan
keunggulan spesifik di bidang teknologi untuk mempengaruhi produktivitas.
Kindleberger menambahkan merek dagang, keahlian manajemen dan pemasaran,
skala ekonomi, serta akses sumber pembiayaan yang lebih murah sebagai
12
keunggulan lain yang dimiliki PMA jika dibandingan dengan PMDN. Adapun Caves
(1971) mengidentifikasikan potensi transfer keunggulan antarunit bisnis/usaha,
baik berlokasi di negara yang sama ataupun di negara yang berbeda. Dengan kata
lain, pandangan Caves, khususnya mengidentifikasikan peluang spillover effect
antar-PMA di suatu negara ataupun antar-negara serta mengidentifikasikan
peluang spillover effect PMA pada PMDN. Spillover effect tersebut terjadi melalui
transfer keunggulan teknologi dan manajemen. Spillover teknologi (ataupun
manajemen) terjadi secara veritikal (rantai proses produksi) ataupun horizontal
(rantai produk dan persaingan); (b) monopolistic power yang dikemukakan
Kindleberger. Kindleberger berpandangan bahwa keunggulan yang dimiliki MNC-
PMA dapat digunakan untuk memperoleh monopoli. Semakin besar MNC-PMA
memperoleh hak monopoli, semakin tinggi dorongan untuk melakukan investasi;
(c) teori internalisasi (internalization theory) yang dikemukakan Buckley dan
Carson (1976) dengan tiga dalil motif, yakni maksimisasi keuntungan, pendalaman
pasar, dan pendalaman pasar global/antarnegara. Teori itu menunjukan bahwa
tidak hanya pasar di host country (atau demand oriented di host country), tetapi
juga ekspor ke negara lain, baik dalam bentuk barang setengah jadi (work in
process) yang diperlukan bagi jaringan MNC-PMA atau antar-MNC-PMA maupun
barang jadi untuk konsumsi. Perkembangan konsep pasar tidak hanya pada pasar
di host country, tetapi mengarah pula pada perdagangan internasional yang
mengisyaratkan perubahan dari (domestic) market-seeking oriented ke supply-
seeking oriented; (d) teori oligopolistik dikemukakan oleh Knickerbocker (1973)
dengan asumsi bahwa peningkatan akses pasar dan akses sumber daya yang
berlimpah di host country serta persaingan sebagai motif utama MNC-PMA memilih
lokasi investasi. Knickerbocker berpandangan bahwa MNC-PMA cenderung
mengikuti kompetitornya dalam mendirikan operasional bisnis di host country
untuk pertimbangan menghindari harga yang tidak bersaing (underpriced) jika
dibandingkan dengan kompetitornya. Perkembangan pemikiran kompetisi
mempengaruhi investasi yang mengisyaratkan bahwa pertumbahan orientasi tidak
hanya terjadi pada market dan/atau supply seeking oriented, tetapi terjadi pula
pada pelaksanaan PMA sebagai bagian strategic asset seeking oriented yang
dilakukan MNC-PMA; (e) ecletic paradigm theory atau dikenal pula dengan istilah
OLI paradigm dikembangkan Dunning (1977). Dunning mendalilkan tiga
keunggulan suatu MNC-PMA jika dibandingkan dengan operasional bisnis lainnya
(baik sesama MNC-PMA maupun PMDN) dalam melakukan (atau memperluas)
investasi langsung di luar negeri. Ketiga dalil keunggulan tersebut adalah
13
ownership, location, dan internalisation. Dunning mengategorikan empat
karakteristik tujuan investasi langsung yang dilakukan MNC. Keempat
karakteristik tersebut adalah (1) memenuhi dan/atau memperluas pasar baru
produk yang dihasilkan atau yang kemudian diperkenalkan sebagai market
seeking oriented, (2) mengakses sumber daya alam dan tenaga kerja dalam rangka
menjamin pasokan input/faktor produksi atau yang dikenal sebagai resource atau
supply-seeking oriented, (3) memaksimalkan profit melalui peningkatan efisiensi
produksi yang diperkenalkan dengan istilah efficiency seeking oriented, dan (4)
melindungi atau meningkatkan keunggulan spesifik O (ownership), baik melalui
investasi portofolio, maupun melalui merger dan/atau akusisi terhadap PMA
lainnya atau terhadap perusahaan setempat untuk mengurangi pesaing yang
diperkenalkan sebagai strategic asset-seeking oriented. Dari gambaran itu,
Dunning dapat dikatakan menggabungkan konsep/pemikiran PMA yang
berkembang sebelumnya.
Perkembangan studi empiris dengan objek PMA dapat dikatakan lebih
banyak menggunakan teori OLI-Dunning, baik difokuskan pada satu aspek
maupun padalebih dari satu aspek secara bersama-sama. Aspek L (location) diikuti
O (ownership) relatif lebih banyak menjadi fokus penelitian jika dibandingkan
dengan aspek efisiensi dan strategic asset. Fujita dkk. (99), misalnya,
memfokuskan kajiannya pada pengaruh aglomerasi ekonomi dan klaster industri
pada pilihan lokasi (aspek L) oleh MNC. Maskel dan Malmberg (1999) atau Maskell
(2001) memfokuskan pada aspek spesifik kepemilikan (O) dan infrastruktur
(sebagai bagian aspek I) dengan pilihan lokasi PMA. Maskell dan Malmberg
mengidentifikasikan bahwa pada tahap awal pengembangan lokasi, faktor
keterkaitan produk (backward vs forward linkage), infrastruktur, dan kebijakan
ekonomi yang bersifat heterogen antarwilayah sebagai perbedaan komparatif
bersifat fundamental yang menarik minat PMA.
Adapun Bloom, Sadun, dan Van Reenen (2009), Keller dan Yeaple (2009),
ataupun Haskel, Pereira, dan Slaughter (2007) mengevaluasi pengaruh perbedaan
tingkat ownweship antar-satu MNC-PMA pada produktivitas. Dengan objek yang
sama, tetapi pemisahan tingkat kepemilikan, Desai, Foley, dan Forbes (2007)
ataupun Alfaro dan Chen (2011) mengevaluasi pengaruh PMA yang 100% dimiliki
oleh MNC-PMA pada produktivitas. Secara umum kajian-kajian mereka
menyimpulkan adanya korelasi positif antara kepemilikan asing dan produktivitas
14
serta adanya korelasi positif antar spillover effect pada produktivitas perusahaan
setempat.
Di sisi lain, studi Yin dkk. (2014) menyimpulkan bahwa spillover effect
positif hanya terjadi pada negara maju, tetapi tidak pada negara berkembang.
Kajian Aitken dan Harrison (1999) menyimpulkan bahwa tidak ada bukti adanya
keterkaitan antara perubahan kepemilikan asing dan produktivitas. Senada
dengan Aitken dan Horrisson, Gutierrez dan Philippon (2016) dengan fokus pada
aspek I (internalisasi) sebagai intangible asset–dengan menggunakan data investasi
swasta di Amerika Serikat selama 30 tahun terakhir--menyimpulkan tidak ada
bukti bahwa investasi yang rendah disebabkan oleh produktivitas yang rendah.
Lebih lanjut, dinyatakan bahwa faktor persaingan dan kebijakan pemerintahlah
yang lebih mempengaruhi investasi jika dibandingkan dengan aspek lainnya,
termasuk akses keuangan dan globalisasi. Semakin dibatasi (less entry) dan
terkonsentrasi, semakin rendah minat investasi walaupun telah dilakukan
penetrasi pasar. Hasil tersebut mengisyaratkan bahwa keterbukaan ekonomi dan
kebijakan pemerintah mempengarui minat investasi asing.
Dalam kaitan dengan spillover effect, Rosen dkk. (2013) mengidentifikasikan
rendah tingkat spillover effect produktivitas PMA pada pertumbuhan produktivitas
PMDN. Rendahnya spillover effect mengindikasikan bahwa transfer teknologi dan
keunggulan manajemen PMA ke PMDN juga terjadi secara lamban atau setidaknya
menghadapi kendala.
Dalam konteks pengaruh PMA pada pertumbuhan ekonomi sebagai
indikator peningkatan produktivitas, juga terjadi pro-kons. Studi Borensztein dkk.
(1998) yang menganalisis pengaruh PMA pada pertumbuhan ekonomi negara-
negara berkembang sebagai host country PMA mengidentifikasikan peran PMA
yang lebih tinggi daripada PMDN. PMA berperan sebagai penggerak pertumbuhan
melalui penerapan teknologi baru. Borenztein juga mengidentifikasikan
produktivitas PMA yang lebih tinggi jika ditunjang oleh human capital di host
countrySimpulan studi tersebut mengisyaratkan transfer teknologi hanya dapat
terjadi jika ditunjang oleh tenaga kerja berkualitas. Studi Bulasubramanyam dkk.
(1996), Walsh dan Yu (2010), ataupun Ozturk (2007) menyimpulkan pengaruh
positif PMA dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Walsh dan Yu
menggunakan spesifikasi kondisi makroekonomi, yakni keterbukaan (openness,
pertumbuhan ekonomi, rata-rata inflasi selama tiga tahun sebelumnya, log GDP
15
per kapita, REER (real effective exchange rate), dan stok PMA (untuk estimasi
dampak klustering PMA).
Terlepas dari perbedaan simpulan antara yang satu dan yang lain, telah
dipetakan faktor-faktor determinan PMA berdasarkan hasil literatur review
dimaksud. Peta faktor determinan dikelompokan sesuai dengan karakteristik
spesifik tujuan PMA, yakni market seeking oriented, resource seeking atau supply-
seeking oriented, efficiency seeking oriented, dan strategic seeking oriented
pemilihan Indonesia sebagai host country. Peta faktor determinan itu adalah
sebagai berikut.
1. Motif market-seeking mencakup PDB, baik nominal maupun pertumbuhan
secara menyeluruh ataupun sektoral untuk proxy indikator market
size/demand dan PDB per kapita untuk proxy indicator disposable income atau
daya beli masyarakathingga jumlah penduduk dan tingkat konsumsi baik
nominal maupun pangsanya terhadap PDB.
2. Motif supply-chain seeking mencakup upah riil (upah dibagi harga retail) untuk
proxy indicator upah tenaga kerja atau tingkat CPI/consumer price index dan
PPI/producers price index masing-masing sebagai indikator daya beli dan biaya
produksi. Faktor terkait tenaga kerja yang diamati adalah tingkat pendidikan
yang dicerminkan pada school enrollment. Pengamatan memisahkan tingkat
penddikan ke dalam elementary, secondary ataupun tertiary untuk proxy
tingkat keahlian tenaga kerja, dan produktivitas tenaga kerja (yang dihasilkan
dari jumlah tenaga kerja dibagi dengan PDB ataupun produktivitas per jam
kerja).
3. Motif efisiency-seeking secara umum identik pertimbangan supply-seeking
dengan penambahan indikator infrastruktur penunjang, seperti jasa
transportasi dan komunikasi, akses keuangan, keterbukaan ekonomi dan
keuangan (economic-trade dan financial openness), hukum hingga stabilitas
makroekonomi dengan proxy indikator mencakup nilai tukar, dan harga
produk (producer prices) ataupun inflasi sebagai proxy indikator tingkat harga
konsumen.
4. Motif strategic asset seeking oriented dengan faktor mencakup indikator harga
aset, persaingan antar-PMA dan kecenderungan PMA untuk mengikuti
kemana pesaingnya bergerak, serta pilihan instrumen dan strategi tersedia
(misalnya, mendirikan bisnis unit operasional, akusisi perusahaan sesama
16
PMA, ataupun PMDN melalui proses merger and aqusition atau investasi
portofolio aset pada perusahaan-perusahaan potensial). Untuk menilai
keunggulan aset, digunakan harga aset dan global risk aversion sebagai
indikatornya. Adapun dalam kaitan potensi investasi portofolio aset, harga aset
PMDN atau perusahaan-perusahaan yang tercatat di bursa saham menjadi
proxy indikator yang diamati.
2.2. Kerangka Pemikiran
Dengan didasarkan pada review literatur yang dijadikan referensi untuk
penyusunan hipotesis, kami menyusun kerangka pikir mengenai determinan dan
transmisi spillover effect PMA terhadap pertumbuhan maupun produktivitas
ekonomi Indonesia sebagai host country digambarkan sebagai berikut.
Pertama, transmisi aliran PMA dari home ke host country melalui
peningkatan modal/kapital. Pemikiran itu dilandasi pertimbangan asumsi kondisi
I-S gap yang dihadapi Indonesia sebagai host country dan pertimbangan surplus
dan optimalisasi penghasilan investasi pada sisi investor di home country. Dengan
didasarkan konsep rasionalitas suatu tindakan ekonomi, motif investasi ditunjang
oleh tujuan optimalisasi keuntungan dan mempertimbangkan potensi dan
keunggulan relatif (comparative advantages) kandidat host country terhadap negara
lainnya sebagai pesaingnya.
Kedua, transmisi PMA terhadap pertumbuhan dan produktivitas
dilandaskan pada pertimbangan stereotipe keunggulan perusahaan MNC-PMA
bidang teknologi dan manajerial, termasuk pengetahuan mengenai pasar global.
Keunggulan teknologi dengan merujuk pada konsep fungsi produksi Cobb-
Douglass (mikro) atau model pertumbuhan Sollow (makro-aspek) yang
diformulasikan dalam persamaan fungsional y = 𝜜KαLβ7 mengisyaratkan pengaruh
peningkatan modal pada produktivitas modal, tenaga kerja, atau teknologi.
Transmisi produktivitas langsung ataupun tidak langsung diekspektasi
terjadi melalui transfer teknologi lintas operasional bisnis, baik sesama MNC-PMA
maupun dengan PMDN. Transmisi juga diekspektasi terjadi secara lintas sektoral
melaui backward ataupun melaui forward linkages dengan industri MNC-PMA.
7 y = 𝜜KαLβ7. Y adalah produksi, A adalah total factor productivity yang merupakan penjumlahan
produktivitas modal/K dan tenaga kerja/L dan keduanya dipengaruhi oleh teknologi, K adalah input modal/kapital, dan L adalah input tenaga kerja/labor, serta α dan β mencerminkan elstisitas output masing masing terhadap modal dan tenaga kerja. Nilai elastisitas tersebut diasumsikan konstan/tetap dipengaruhi oleh ketersediaan teknologi. Dengan kata lain, perubahan elastisitas dipengaruhi oleh perubahan teknologi.
17
Dengan kata lain, dengan didasarkan pada ekspektasi backward dan forward
linkages, transfer teknologi akan mempengaruhi pertumbuhan ataupun
produktivitas output dalam skala yang lebih luas, yakni TFP perekonomian dan
bukan sekadar produktivitas kapital yang dimiliki PMA.
Secara keseluruhan kerangka pikir mengenai transmisi pengaruh PMA
terhadap pertumbuhan dan produktivitas ekonomi digambarkan sebagai berikut.
18
Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran Sederhana Transmisi Pengaruh PMA pada Pertumbuhan dan Produktivitas Ekonomi Host
Country
19
3. Data dan Metodologi Penelitian
3.1. Data
Dengan didasarkan pada pemetaan faktor-faktor yang mempengaruhi PMA,
baik yang dinyatakan terbukti signifikan maupun sebaliknya dalam studi-studi
empiris yang dijadikan referensi. Penelitian ini memetakan jenis, frekuensi, dan
sumber data yang diperlukan sebagai berikut.
1. Jenis dan Sumber Data
Jenis data mencakup (a) PMA (baik mencakup nilai total, sektoral, dan
negara asal maupun pangsa masing-masing nilai total dan PDB) sebagai endogen-
dependen variabel yang diamati; (b) PMDN (mencakup nilai total dan per sektoral
serta pangsanya terhadap PDB); (c) data PDB (baik nominal total maupun per
sektoral) sebagai proxy indikator untuk market size dan nilai pertumbuhan sebagai
proxy indicator market potential; (d) PDB per kapita, inflasi/consumer prices dan
producer prices untuk indikator daya beli masyarakat; (e) indikator harga yang
mencakup nilai tukar, harga aset, tingkat suku bunga, dan VIX untuk determinan
faktor comparative advantage. Faktor nilai tukar dianggap sebagai instrumen
kebijakan yang dapat mempengaruhi langsung ataupun tidak langsung aliran
dana luar negeri termasuk PMA; (f) ketenagakerjaan, baik jumlah dan rasio tenaga
kerja sektoral terhadap total angkatan kerja, rasio jumlah tenaga kerja terhadap
jumlah penduduk, school enrollment yang dipisahkan antara elementary,
secondary dan tertiary digunakan sebagai proxy indicator tingkat keterampilan
tenaga kerja (skill labor) dengan asumsi bahwa tingkat pendidikan mempengaruhi
keahlian dan produktivitas kerja, serta produktivitas tenaga kerja secara jumlah
maupun produktivitas jam kerja.
Kajian ini menggunakan data sekunder yakni data yang disediakan oleh
sumber/produsen data yang dikenal luas dan sering menjadi rujukan di kalangan
peneliti, baik dalam maupun luar negeri. Sumber-sumber data dimaksud adalah
UNCTAD, IMF, Bank Dunia/World Bank, BIS, OECD, dan The Fed-NY untuk
sumber data parastatal internasional, sedangkan untuk sumber data parastatal di
Indonesia berasaal dari BI dan BPS.
20
2. Frekuensi data
Kajian ini menggunakan data tahunan dengan periode observasi dari 1980--
2015. Kami menganggap cakupan n=36 cukup memadai untuk keperluan
pengujian stasionaritas data dan model hipotesis. Dengan pengembangan model
pengujian hioptesis menggunakan data panel PMA secara sektoral yang mencakup
sektor primer, sekunder, dan terisier (k=3), secara keseluruhan jumlah data
observasi adalah 108 (n x k). Jumlah data observasi itu dinilai cukup untuk
mengevaluasi pengaruh jangka menengah-panjang PMA terhadap pertumbuhan
dan produktivitas ekonomi secara menyeluruh ataupun lintas sektoral serta untuk
mengevaluasi backward dan forward linkages sektoral, baik antar-PMA maupun
terhadap PMDN.
Jenis, frekuensi, dan sumber data yang digunakan tersebut tampak dalam
tabel berikut.
21
Tabel 3.1. Jenis, Frekuensi, dan Sumber Data
22
3.2. Metodologi Penelitian
Untuk mengidentifikasi pengaruh PMA pada pertumbuhan dan
produktivitas ekonomi serta untuk mengidentifikasi pengaruh faktor determinan
PMA, digunakan dua metode analisis yaitu sebagai berikut:
1. Metode analisis tren data historis dan kejadian (trend and event analysis) yang
bersifat deskriptif untuk mengestimasi arah signal pengaruh faktor-faktor
determinan pertumbuhan dan produktivitas ekonomi serta PMA yang diamati
sebagai objek utama penelitian ini. Faktor determinan yang diamati adalah
faktor-faktor yang diidentifikasikan dalam studi-studi empiris yang dijadikan
referensi, baik yang dinyatakan terbukti maupun tak terbukti mempengaruhi
pertumbuhan ekonomi dan/atau produktivitas secara signifikan. Peta faktor
determinan yang diamati selengkapnya terdapat dalam Tabel 3.1.
2. Metode structural vector auto regreesive ataupun regression (SVAR) digunakan
untuk menguji hipotesis signifikansi pengaruh PMA pada pertumbuhan dan
produktivitas ekonomi ataupun faktor determinan terhadap PMA. Untuk
operasional pengujian, model hipotesis dibangun dengan menggunakan model
production life cycle yang dapat dikatakan identik dengan model cobb-douglas
production function (mikro) ataupun model pertumbuhan sollow (makro) yang
diformulasikan dalam persamaan sebagai berikut:
У = 𝜜KαLβ …………………………………………………………………. (1)
У adalah output produksi yang pada skala makro adalah PDB.
A adalah total factor productivity yang mengidentifikasikan perubahan
produktivitas output yang dipengaruhi oleh perubahan teknologi,
K adalah input modal/kapital. Dalam kajian ini input kapital dapat
diasumsikan bersumber pada PMA dan PMDN.
L adalah input tenaga kerja/labor,
α dan β mencerminkan elastisitas output masing-masing terhadap modal
(produktivitas kapital yang diperhitungkan sebagai rasio K terhadap Y atau
∂K/∂У) dan tenaga kerja yang diperhitungkan sebagai rasio L terhadap Y atau
∂L/∂У. Nilai elastisitas tersebut diasumsikan konstan dipengaruhi oleh
ketersediaan tenaga kerja. Dengan demikian, PMA diekspektasi mempengaruhi
perubahan α dan β melalui keunggulan teknologi yang mengubah teknologi
sebelumnya.
23
Dengan menggunakan model cobb-douglass production function sebagai
landasan, diformulasikan model persamaan fungsional sebagai berikut:
Уt = C0 + αKt + βLt + εt ………………………………………..……..…. (2)
dengan εt sebagai error-term.
Model itu akan digunakan sebagai langkah awal untuk mengidentifikasi
pengaruh PMA pada pertumbuhan dan produktivitas, baik TFP, produktivitas
modal, maupun produktivitas tenaga kerja.
Faktor K yang secara makro umumnya menggunakan data gross-capital
formation diganti dengan nilai PMA. Dengan demikian, model persamaan
fungsional disesuaikan menjadi:
Уt = C0 + αPMAt + βLt + εt ……………………………………………..... (3)
Dengan menggunakan konsep marginal dari tiap-tiap variabel yang diamati,
model di atas digunakan untuk menganalisis pengaruh PMA pada
pertumbuhan dan produktivitas ekonomi yang masing-masing dicerminkan
dalam persamaan fungsional sebagai berikut:
∂Уt = C0 + α ∂PMAt + β ∂Lt + εt …………………………………….……. (4)
∂Уt/∂Уt = Φ0 + Φ1 ∂PMAt/∂Уt + Φ2 ∂Lt/∂Уt + εt ………………………. (5)
Φ0 adalah proxy indikator TFP yang disebabkan perubahan teknologi
∂PMAt/∂Уt adalah proxy indikator produktivitas Kapital PMA
∂Lt/∂Уt adalah proxy indikator produktivitas tenaga kerja yang didekati dengan
simulasi-simulasi jumlah, produktivitas jam kerja, ataupun jumlah angkatan
kerja berdasarkan tingkat pendidikan sebagai indikator tingkat tenaga kerja
terdidik.
Untuk pengujian signifikansi faktor determinan dan spillover effect PMA secara
sektoral8 dalam kerangka mengidentifikasikan fenomena aglomerasi industri
PMA, backward, ataupun forward linkages antarsesama PMA, dilakukan
pengembangan model dasar di atas. Untuk itu pengujian dilakukan dengan
8 Penelitian ini mengatagorikan PMA dalam tiga sektor yakni primer, sekunder, dan tersier. PMA sektor primer adalah PMA yang bergerak pada sektor industri pertanian dalam arti luas. Sektor ini mencakup pertanian, perkebunan, pertambangan, kehutanan, dan perikanan. PMA sektor sekunder adalah PMA yang bergerak pada sektor industri manufaktur, sedangkan PMA sektor tersier adalah PMA yang bergerak pada sektor industri jasa, termasuk di dalamnya sektor industri jasa keuangan.
24
menambahkan control variables ke dalam persamaan dasar (persamaan #3)
sehingga menjadi:
Уt = C0 + αPMAt + βLt + ΦXit + εt ………………………………….……. (6)
dengan fokus tujuan mengidentifikasikan determinan PMA, lalu dilakukan
penyesuaian persamaan menjadi:
PMAt= Φ0 + Φ1 Уt + Φ2 Lt + Φ3 Xit + εt …………………………….…… (7)
dengan Xi adalah control variable(s) determinan PMA selain GDP (У) dan tenaga
kerja (L). Kami mengamati empat belas control variables determinan У dan L
yang diidentifikasikan dalam persamaan dasar. Keempat belas faktor
determinan tersebut adalah upah riil, purchasing power parity (PPP), producers
price index (PPI), consumer price index (CPI), keterbukaan ekonomi (dengan
indikator CAB dan X) dan keuangan (dengan indikator KAB ataupun sisi
kewajiban secara spesifik, dan Cadangan devisa), REER, Harga asset, EFFR,
VIX dan PMDN.
Data GDP atau PDB yang diamati adalah nilai nominal, baik pertumbuhan
total maupn sektoral, serta PDB per kapita dan PPP. Ketiga variabel tersebut
diidentifikasikan sebagai proxy indikator market size Indonesia dan dengan
demikian dikaitkan dengan motif market-seeking oriented.
Kelompok control variables kedua adalah faktor-faktor yang diidentifikasi
sebagai determinan motif supply seeking oriented. Faktor determinan tersebut
mencakup upah riil, PPI, CPI, ketenagakerjaan, dan REER. Faktor REER juga
digunakan sebagai proxy indicator shock/guncangan bersifat kebijakan. Intervensi
kebijakan nilai tukar dianggap sebagai external shock yang mempengaruhi aliran
PMA. Di samping upah riil sebagai indikator biaya produksi, juga digunakan
simulasi faktor jumlah dan produktivitas tenaga kerja, serta angkatan kerja
berdasarkan tingkat scholl-enrollement sebagai proxy indicator L. Simulasi
pengujian data proxy indicator L ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa
supply-seeking oriented yang menekankan pada akses sumber daya murah dan
produktivitas tenaga kerja dipengaruhi oleh tingkat pendidikan serta dengan
pertimbangan bahwa transfer teknologi di tengah kesenjangan teknologi
memerlukan kesiapan dan ketersediaan tenaga kerja dengan pengetahuan dan
keahlian yang memadai.
Kelompok control variables ketiga adalah faktor-faktor yang diidentifikasikan
sebagai indikator motif efficiency-seeking oriented. Dengan kata lain, di samping
25
faktor biaya produksi, variabel yang diamati mencakup keterbukaan ekonomi
(yang menunjang perluasan pasar) dan keterbukaan keuangan (yang menunjang
perluasan akses keuangan) bagi PMA. Faktor yang diamati untuk indikator
keterbukaan ekonomi mencakup current account balance (CAB) dan ekspor, baik
nominal maupun pertumbuhan, ataupun rasio masing-masing terhadap PDB.
Adapun faktor yang diamati untuk indikator keterbukaan keuangan mencakup
Capital Account Balance (KAB), KAB dari sisi kewajiban dan cadangan devisa, baik
nominal, pertumbuhan, atau rasio masing-masing terhadap PDB. Faktor-faktor itu
dipertimbangkan sebagai proxy indikator potensi investor yang memilih Indonesia
sebagai bagian strategi global value chain (jaringan produksi dan/atau pemasaran
produk) antarnegara. Faktor KAB, khususnya KAL, juga dipertimbangkan sebagai
indikator substitability instrumen, baik pada pasar domestik maupun secara
internasional.
Kelompok control variables keempat adalah faktor-faktor yang
diidentifikasikan sebagai indikator motif strategic asset-seeking oriented yang
mencakup EFFR, VIX, dan PMDN. Faktor-faktor tersebut dipandang sebagai
indikator daya saing dalam kaitan imbal hasil dan risiko PMA Indonesia terhadap
investasi global, serta persaingan di dalam negeri.
Dengan demikian, pengujian signfikansi faktor determinan didasarkan pada
hipotesis sebagai berikut:
H0 = α, β, Φ = 0 dengan
Hi = α, β, Φ ≠ 0
H0 diterima jika Tstat < Ttabel yang berarti bahwa control variabel dimaksud (K, L,
ataupun Xi) dinyatakan tidak terbukti signifikan mempengaruhi perilaku dependen
variabel yang diamati; sebaliknya tidak diterima (dan dengan demikian menerima
Hi) jika Tstat > Ttabel yang berarti bahwa control variabel tersebut dinyatakan terbukti
mempengaruhi perilaku dependen variabel yang diamati secara signifikan.
Pengujian dan analisis signifikansi pengaruh control variable(s) terhadap
dependent variable(s) yang diamati dilakukan dengan mengacu pada model
structural vector auto regressive ataupun regreesion (SVAR)9.
Penelitian menggunakan metode ini dengan mempertimbangkan tiga hal
berikut. Pertama, asumsi utama dalam model SVAR adalah bahwa semua variabel
9 Pemodelan dan pengujian lihat Lampiran 1
26
(dependen ataupun independent/control variables) yang diamati diperlakukan
sebagai variabel endogen. Dengan demikian, analisis hasil pengujian akan
sekaligus melihat pengaruh atau korelasi antarvariabel endogen yang diamati,
yakni PMA serta pertumbuhan dan produktivitas ekonomi, termasuk spillover
effect PMA pada pertumbuhan PMDN.
Kedua, Pilihan SVAR–dan bukan VAR-didasari pertimbangan analisis Sims
(1992) yang mengidentifikasikan hasil pengujian VAR tidak dapat dianalisis secara
akurat karena adanya potensi dampak suatu goncangan (yang dalam kajian Sims
diterapkan pada kebijakan moneter) terhadap variabel lainnya yang bersifat
contempreneous (terjadi bersamaan). Dengan kata lain, pergerakan faktor lain
yang tidak terkait dengan underlying shockdianggap perlu diisolasikan untuk
dapat menganalisis dampak sesungguhnya suatu shock terhadap faktor yang
diamati/ditargetkan. Metode yang mengisolasi perubahan faktor yang tidak terkait
dengan perubahan underlying dikenal sebagai metode SVAR.
Ketiga, SVAR model banyak digunakan untuk analisis model dinamis yang
mengekspektasi gangguan yang bersifat tak terduga (unexpected shock). Model
SVAR yang pada awalnya populer digunakan untuk menganalisis mekanisme
transmisi kebijakan moneter, kini juga populer digunakan untuk mengevaluasi
fluktuasi atau ganguan pada siklus bisnis. Kajian ini pun mengasumsikan bahwa
aliran PMA yang bersifat tak terduga ataupun perubahan teknologi seiring dengan
masuknya PMA terhadap pertumbuhan ekonomi serta variabel REER sebagai
variabel kebijakan di samping variabel ekonomi lainnya terhadap siklus alian PMA
merupakan potensi gangguan. Keempat, SVAR dapat menerapkan beragam
restriksi yang bertujuan membatasi atau memisahkan pergerakan variabel
endogen dengan variabel yang mengalami gangguan. SVAR dinilai lebih mudah,
untuk menganalisis/menginterpretasikan perilaku variabel dan proyeksi suatu
dampak kebijakan terhadap perilaku ekonomi. Kelima, model ini terdapat dalam
aplikasi software EViews dan relatif mudah dioperasionalkan.
Prosedural pengujian dan analisis hipotesis dilakukan dengan langkah-
langkah: (a) identifikasi variabel penelitian; (b) deskripsi data yang diperlukan
untuk pengujian; (c) uji stasionaritas untuk melihat apakah error term dari data
terdistribusi secara normal atau tidak normal. Uji stasionaritas dianggap perlu
untuk memastikan bahwa hasil regresi yang menunjukan nilai koefisien ataupun
R2 yang tinggi dan T-test yang signifikan secara statistik, tetapi hubungan
antarvariabel di dalam model dinyatakan semu (spurious) sehingga tidak memiliki
27
makna apapun. Pengujian dilakukan dengan melihat correlogram ataupun hasil
estimasi unit root test. Estimasi dengan menggunakan unit root test (AR) sekaligus
digunakan untuk melihat panjang lag optimal; (d) pembentukan model SVAR
dengan memperhatikan peta impulse response atau dekomposisi respons; dan (e)
uji stabilitas model dengan memperhatikan peta impulse response variabel yang
diamati terhadap perubahan variabel-variabel lainnya. Analisis impulse respons
ditujukan untuk memastikan seberapa besar dan seberapa cepat dampak
pertumbuhan; atau sebaliknya, gangguan aliran PMA mempengaruhi
pertumbuhan ekonomi.
Pelaksanaan langka proses tersebut serta analisis hasil pengujian dilakukan
dengan menggunakan aplikasi/software EViews9.
Dengan menggunakan metode SVAR, tujuh variabel yang diamati dianggap
sebagai variabel endogen. Korelasi (atau efek) PMA terhadap pertumbuhan dan
produktivitas ekonomi diasumsikan dalam persamaan fungsional yang bersifat
regresif karena Xt = αXt-1 + μt dan ∆Xt = βo + β1Xt-1 + μt
dengan X adalah skalar untuk tujuh variabel endogen yang diamati, yakni
atau jika dijabarkan dalam bentuk persamaan fungsional selengkapnya menjadi
sebagai berikut.,
a1.1PMAt + a1.2GDP t + a1.3Labor t + a1.4Makroekon t + a1.5 Ec.opennesst +
a1.6 Fin.opennest + a1.7EFFRt + a1.8VIXt + a1.9REERt = β1.0+ β1.1PMAt-1 +
β1.2GDPt-1 + β1.3Labort-1 + β1.4Makroekont-1 + β1.5Ec.opennesst-1 +
β1.6Fin.opennesst-1 + β1.7EFFR t-1 + β1.8VIXt-1 + β1.9REERt-1 + μt
28
dijabarkan dalam bentuk matriks menjadi sebagai berikut:
diformulasikan kembali dalam persamaan
A-1.∆Xt = A-1.β0 + A-1∆Xt-1 + A-1μt
Nilai A-1 dilakukan dengan melakukan restriksi pengaruh jangka pendek pada nilai
residual dari setiap faktor determinan yang diamati, yaitu sebagai berikut:
@e1 = c(1)*@u1
@e2 = -c(2)*@e1+c(3)@u2
@e3 = -c(4)*@e1-(5)*@e2+c(5)@u3
@e4 = -c(7)*@e1 - c(8)*@e2 - c(9)*@e3 + c(10)*@u4.
@e5 = - c(11)*@e1 - c(12)*@e2 - c(13)*@e3 - c(14)*@e4 + c(15)*@u5
@e6 = - c(16)*@e1 - c(17)*@e2 - c(18)*@e3 - c(19)*@e4 - c(20)*@e5 +
c(21)*@u6
@e7 = -c(22)*@e1-c(23)*@e2 - c(24)*@e3 - c(25)*@e4 - c(26)*@e5 -
c(27)*@e6 + c(28)*@u7
@e8 = -c(29)*@e1 -c(30)*@e2 - c(31)*@e3 - c(32)*@e4 - c(33)*@e5c-
c(34)*@e6 - c(35)*@e7 + c(36)@u8
@e9 = -c(37)*@e1- c(38)*@e2 - c(39)*@e3 - c(40)*@e4 –c(41)*@e5 -
c(42)*@e6 - c(43)*@e7 - c(44)@ e8 + c(45)*@u9
Jumlah restriksi yang dibentuk disesuaikan dengan jumlah variable endogen yang
diamati.
Dengan A-1A adalah identity matriks, persamaan dikembalikan dalam bentuk
Xt = β0 + β1Xt-1 + et
Dengan mempertimbangkan pandangan bahwa urutan variabel mencerminkan
mekanisme transmisi pengaruh dari suatu shock/gangguan, dalam operasional
running model dipertimbangkan kemungkinan perubahan urutan dari variabel
diamati untuk mencari hasil terbaik.
29
Peta identifikasi variabel endogen (dependen atau independen) tersebut
dapat dikembangkan jika dari hasil-hasil simulasi model terindikasi faktor
determinan (yang diidentifikasikan menjadi proxy alternatif bagi suatu faktor
determinan) yang secara konsisten dan/atau signifikan dinyatakan mempengaruhi
PMA. Penambahan dilakukan jika hasil pengujian pascapenambahan variabel
tidak menunjukan terjadinya masalah stasionaritas, otokolinearitas atau
multikolinearitas, heteroskedastisitas, serta residual tetap dinyatakan terbukti
terdistribusi secara normal.
Implementasi analisis tren dan kejadian serta temuan hasil running model
menjadi fokus paparan selanjutnya.
30
4. Analisis Tren, Determinan, dan Pengaruh Penanaman Modal Asing di
Indonesia
Dengan dilandasi pertimbangan: (1) karakteristik I-S gap perekonomian
menjadi landasan pemikiran kebutuhan sumber dana eksternal, termasuk PMA
untuk membiayai aktivitas ekonomi produktif dalam rangka meningkatkan
pertumbuhan ekonomi riil mendekati tingkat potensialnya serta (2) tujuan utama
kajian ini ialah menganalisis pengaruh PMA pada pertumbuhan dan produktivitas
ekonomi serta mengidentifikasi faktor determinan PMA ke Indonesia: analisis
difokuskan pada tren dan kejadian, sedangkan hasil temuan pengujian hipotesis
diperoleh dengan menggunakan metode SVAR. Masing-masing adalah sebagai
berikut.
4.1. Analisis Tren dan Pengaruh PMA pada Pertumbuhan Ekonomi di
Indonesia
1. Data mapper net-aliran FDI 2015 - Bank Dunia mengindikasikan Indonesia-
dengan net-inflow senilai USD 20,05 miliar - dikatagorikan pada kelompak dua
terendah penerima dana PMA antarnegara terbesar global. Peta menunjukan
bahwa Cina merupakan satu-satunya negara berkembang yang masuk dalam
kelompok pertama penerima dana terbesar (di atas 119 miliar USD). Hanya
empat negara yang masuk dalam katagori ini. Keempat negara yang masuk
pada kategori ini adalah Amerika Serikat (379,34 miliar USD), Cina (USD
249,86 miliar), Irlandia (USD 203,46 miliar), dan Swiss (USD 119,71 miliar).
Untuk melengkapi keempat negara penerima dana terbesar dengan enam
negara penerima dana PMA terbesar di kelompok kedua, tercatat sepuluh
negara dengan net-inflow terbesar. Keenam negara tersebut secara berurutan
berdasarkan tingkat penerimaan aliran dana PMA adalah (1) Belanda (USD
101,79 miliar), (2) Brasil (USD 75,08 miliar), (3) Canada (USD 55,68 miliar), (4)
Inggris (USD 50,44 miliar), (5) Jerman (USD 46,23 miliar), dan (6) India (USD
44,01 miliar). Cina, Brasil, dan India merupakan tiga dari empat negara
berkembang dengan tingkat pertumbuhan ekonomi tertinggi dan menjadi
motor penggerak pertumbuhan global pada dekade terakhir. PMA yang tinggi
dan pertumbuhan yang tinggi pada tiga negara berkembang tersebut seakan
membenarkan konsep pemikiran bahwa PMA berpengaruh positif pada
pertumbuhan ekonomi host country. Di sisi lain, dengan berdasarkan
31
pandangan bahwa investasi adalah tindakan yang didasari keputusan rasional
dalam kerangka optimalisasi hasil, PMA-pun memberikan manfaat pada home
country.
Disisi lain, pada klasifikasi negara berkembang, Indonesia tercatat pada
urutan keenam dari sepuluh negara berkembang penerima dana PMA.
Kesepuluh negara tersebut secara berurutan berdasarkan nilai PMA masing-
masing adalah Cina, Brasil, India, Mexico (USD 32,06 miliar), Chile (USD
20,46 miliar), Indonesia (USD 20,05 miliar), Turki (USD16,96 miliar), Yaman
(USD15,445 miliar), Argentina (USD 11,98 miliar), dan Colombia (USD 11,73
miliar). Data menunjukan bahwa Indonesia berada pada urutan ketiga negara
berkembang di luar Cina, Brasil, dan India sebagai negara berkembang
penerima dana terbesar secara global yang sekaligus menjadi penggerak
pertumbuhan ekonomi global pada dekade terakhir seperti tampak pada
Gambar 4.1. Jika dibandingkan dengan negara-negara berkembang ASEAN,
Indonesia jauh lebih unggul daripada Vietnam (USD 11,8 miliar), Malaysia
(USD10,96 miliar), Thailand (USD 9,004 miliar), Philipina (USD 5,835 miliar),
Korea Selatan (USD 5,042 miliar), Myanmar (USD 4,08 miliar), ataupun
Cambodia (USD 1,70 miliar). Data ini mengisyaratkan bahwa jika
dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya di kawasan Asia
Pasifik (diluar Cina, Brasil, India, Mexico, dan Chile), Indonesia menjadi
pilihan lokasi invetasi langsung antarnegara. Jika dibandingkan dengan
negara-negara berkembang lainnya di kawasan, pertumbuhan ekonomi
Indonesia (ataupun n=penerima aliran dana PMA terbesar) tercatat di atas
rerata pertumbuhan ekonomi kawasan Asia.
32
Gambar 4.1. Peta Net-Aliran dana PMA Global (2015)
2. Tren umum inflow PMA lima tahun terakhir periode observasi menunjukan
peningkatan. Walaupun begitu, jika diamati, terdapat perbedaan tren
peningkatan secara sektoral. Gambaran sektoral mengunjukan pelambatan,
bahkan penurunan pada inflow PMA sektor primer dan sekunder pada dua
tahun terakhir. Sebaliknya sektor tersier mengalami peningkatan yang tajam
pada dua tahun terakhir. Gerak tren sektor tersier juga relatif terbaik dengan
PMA pada sektor primer dan sekunder. Jika hingga 2013 sektor primer dan
sekunder mengalami peningkatan, aliran PMA pada sektor tersier justru
mengalami penurunan. Sebaliknya jika pada periode dua tahun terakhir,
sektor primer dan sekunder mengalami penurunan atau pelambatan, inflow
PMA sektor tersier justru mengalami peningkatan.
Jika dilihat lebih jauh pada komoditas antarsektoral, PMA pertambangan
tercatat dominan pada sektor primer, otomotif, elektronik, sedangkan kimia
dominan pada sektor sekunder, adapun transportasi, komunikasi, energi, dan
perumahan dominan pada sektor tersier. (lihat Grafik 4.1)
33
Grafik 4.1. Tren Pertumbuhan PMA Menurut Sektor Ekonomi (2010-2015)
Sumber: UNCTAD statistik-FDI, http://unctadstat.unctad.org/wds/TableViewer/tableView.aspx
Tren penurunan PMA pada sektor primer dan sekunder dalam dua tahun
terakhir layak diduga seiring atau dipengaruhi oleh tren pelambatan
pertumbuhan perdagangan dan ekonomi global, pelemahan harga komoditas
primer (yang menjadi andalan ekspor nasional), ataupun pelemahan daya
saing perekonomian nasional relatif terhadap Cina dan negara kawasan Asia
lainnya. Di sisi lain, perkembangan PMA sektor tersier layak diduga
dipengaruhi oleh perkembangan orientasi kebijakan pembangunan
infrastruktur di Indonesia.
3. Indikasi korelasi positif PMA dengan pertumbuhan ekonomi ditunjukan oleh
kesearahan tren antara kedua variabel tersebut. Walaupun begitu, kesearahan
tren selama periode diamati mengindikasikan adanya perubahan antardekade
(periode praderegulasi, periode deregulasi, dan periode pascakrisis). Pada
dekade 1971-1980 (periode praderegulasi sektor riil), misalnya ditandai dengan
rerata pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan
periode-periode lainnya. Pada saat yang sama, rerata pertumbuhan aliran
dana PMA juga lebih tinggi daripada periode lainnya. Demikian juga jika
dibandingkan antara rerata pertumbuhan ekonomi dan aliran dana PMA
prakrisis (1998) yang tercatat lebih tinggi daripada pascakrisis. Sebaliknya
34
tren pelambatan pertumbuhan aliran PMA, misal tren dekade 1980-1990
ataupun 2000-2010 yang dibandingkan dengan dekade sebelumya, ditandai
dengan tren pelambatan pertumbuhan ekonomi (lihat Grafik 4.2). Gambaran
tersebut mengisyaratkan bahwa pertumbuhan aliran dana PMA berkorelasi
positif dengan pertumbuhan ekonomi.
Grafik 4.2. Tren Rerata Pertumbuhan PMA dan Ekonomi Indonesia
1970-2015
Sumber: UNCTAD statistik-FDI,
http://unctadstat.unctad.org/wds/TableViewer/tableView.aspx
Kesearahan atau perubahan gerak tren tampak lebih nyata jika pengamatan
menggunakan data tahunan. Pada periode pra -1976 (diidentifikasikan sebagai
periode praderegulasi sektor riil) dan periode pascakrisis, kesearahan gerak
kedua variabel tampak cukup jelas. Adapun pada periode 1976-1996
walaupun gambaran linearnya menunjukan kesearahan tren, pergerakan
tahunannya tidak menunjukan kejelasan pengaruh korelasi posifif antarkedua
variabel tersebut. Pada periode ini, nilai aliran menunjukan peningkatan
berkesinambungan dari tahun ke tahun, demikian pula rasionya terhadap
PDB yang terjaga, tetapi pertumbuhan ekonomi justru berfluktuasi atau tidak
menunjukan kesinambungan. Pada periode ini tercatat beberapa kali terjadi
pelambatan laju pertumbuhan dari yang ringan (kurang dari 0,5%) hingga
tajam (antara 2 hingga 2,5%) jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya
walaupun tren aliran PMA terus meningkat (lihat Grafik 4.3).
35
Grafik 4.3. Tren Pertumbuhan Pangsa PMA dan Pertumbuhan Ekonomi
Sumber: UNCTAD stattistik-FDI, http://unctadstat.unctad.org/wds/TableViewer/tableView.aspx
Faktor substitutabilitas instrumen investasi antarnegara layak diduga
menunjang terjadinya fenomena ketidaksearahan tren kedua variabel atau
bahwa tren pertumbuhan ekonomi tidak dipengaruhi oleh tren PMA. Pada
periode ini seiring dengan pelaksanaan deregulasi sektor/sistem keuangan
yang dimulai sejak awal 1980-an, ada indikasi terjadi pergeseran investasi
asing dari instrumen PMA ke instrumen utang. Para periode ini peningkatan
instrumen utang jauh lebih tajam daripad instumen PMA (lihat Grafik 1 pada
halaman 1). Seiring dengan perubahan orientasi instrumen investasi tersebut,
tren pertumbuhan ekonomi pada periode ini juga lebih menunjukan
kesearahan gerak dengan tren pertumbuhan utang jika dibandingkan dengan
pertumbuhan PMA.
Pengamatan tren pascakrisis 1997/98 (yang pemulihannya hingga 2003) dan
khususnya pada dekade terakhir menunjukan kembali terjadi peningkatan
dana PMA sekaligus fluktuasinya. Faktor peningkatan fluktuasi aliran dana
layak diduga memperlemah signifikansi pengaruh PMA pada pertumbuhan
ekonomi sebagaimana tercermin pada pergerakan aliran dana PMA yang
meningkat pesat di tengah pelambatan laju pertumbuhan ekonomi pada
dekade terakhir.
4. Korelasi positif PMA dengan produktivitas tenaga kerja (diperhitungkan per
tenaga kerja ataupun per jam kerja) yang secara umum ditunjukan oleh
kesearahan gerak indikator-indikator dimaksud (lihat Grafik 4.4). Seperti
36
halnya pada pertumbuhan ekonomi, kesearahan gerak tersebut tampak relatif
nyata pada periode prakrisis, terutama praderegulasi sektor riil (1980).
Walaupun secara umum menunjukan kesearahan, korelasi PMA terhadap
produktivitas tenaga kerja relatif tak sejelas kesearahan PMA dengan
pertumbuhan ekonomi pada periode pascaderegulasi hingga krisis (1980-
1996). Pascakrisis korelasi yang ditunjukan oleh kesearahan gerak kedua
variabel tersebut semakin kurang jelas. Kondisi tersebut mengisyaratkan
kemungkinan pengaruh PMA pada produktivitas tenaga kerja yang potensial
bersifat insignifikan jika pengamatan tren difokuskan pada tren PMA dan
produktivitas tenaga kerja secara point to point pada tahun yang sama.
Grafik 4.4. Tren Pertumbuhan Stok PMA dan Produktivitas Tenaga Kerja
Indonesia (1970-2015)
Sumber: UNCTAD stattistik-FDI,
http://unctadstat.unctad.org/wds/TableViewer/tableView.aspx dan The Conference
Board Total Economy Database™, November 2016, http://www.conference-
board.org/data/economydatabase/.
5. Berbeda dengan produktivitas tenaga kerja, pengaruh PMA terhadap
produktivitas ekonomi (lihat Grafik 4.5.a) dan total factor productivity/TFP
(lihat Grafik 4.5.b) menunjukan pergerakan yang relatif lebih secara konsisten
menunjukan kesearahan. Kesearahan tren tampak cukup jelas selama periode
prakrisis dan menjadi kurang jelas sesudahnya.
Hal itu mengindikasikan bahwa produktivitas modal dan teknologi yang
dibawa ke Indonesia sebagai keunggulan perusahaan PMA lebih
mempengaruhi TPF dan pada gilirannya mempengaruhi pertumbuhan
ekonomi daripada produktivitas tenaga kerja. Kondisi tersebut mengisyaratkan
37
bahwa PMA lebih mengutamakan karakteristik keunggulan kapital dan
teknologi daripada mengandalkan ketersediaan tenaga kerja sebagai
keunggulan sumber daya lokal.
Kesearahan gerak PMA dengan produktivitas ekonomi sekaligus
mengisyaratkan bahwa motif pasar menjadi pertimbangan investor non-
residen melakukan investasi langsung ke Indonesia. Hal ini disebabkan baik
pertumbuhan ekonomi (GDP) maupun pendapatan per kapita (GDP perkapita)
lazim digunakan sebagai indikator potensi pasar.
Grafik 4.5. Tren Pertumbuhan PMA, Produktivitas Ekonomi dan Total Factor
Productivity Indonesia (1970–2015)
a. Tren Produktivitas Ekonomi
b. Tren TFP
Sumber: The Conference Board Total Economy Database™, November 2016,
http://www.conference-board.org/data/economydatabase.
4.2. Analisis Tren Faktor Determinan PMA di Indonesia
Dengan dilandasi hasil review literature terkait, kami memetakan sebelas
faktor determinan PMA. Kesebelas faktor tersebut adalah (1) PDB, (2) PDB per
kapita, (3) tenaga kerja (dengan indikator upah riil atau produktivitas tenaga
38
kerja), (4) CPI, (5) PPI, (6) keterbukaan ekonomi (dengan indikator CAB atau
ekspor), (6) keuangan (dengan indikator KAB), dan (7) indikator EFFR, (8) VIX dan
REER, serta PMAt-1 (lihat Bab II Metodologi Penelitian). Ke-sebelas faktor diamati
tersebut sekaligus diamati sebagai proxy indikator motif inevastor melakukan PMA
di Indonesia. Kecuali faktor PMA yang merupakan variabel endogen dependen yang
diamati, faktor lainnya dikelompokan dalam endowmen domestik dan eksternal,
masing-masing dipaparkan sebagai berikut.
1. Faktor Determinan Domestik
Endowmen domestik mencakup PDB dan PDB per kapita, Tenaga kerja
(dengan indikator upah riil atau produktivitas tenaga kerja), CPI, PPI, keterbukaan
ekonomi (dengan indikator CAB atau ekspor), keuangan (dengan indikator KAB),
dan REER. Dalam kaitannya dengan keterbukaan faktor institutional, observasi
difokuskan pada perubahan kebijakan devisa dan nilai tukar. Fenomena yang
mengindikasikan faktor-faktor tersebut mempengaruhi aliran PMA seperti
dipaparkan berikut.
a. Indikasi tren stabilitas dan kesinambungan makroekonomi mempengaruhi
PMA tercermin dengan adanya kesearahan gerak PDB, PDB per kapita, CPI,
dan PPI dengan PMA. Dalam kaitan PDB dan PDB per kapita sebagai ukuran
pertumbuhan ekonomi, misalnya, tampak bahwa semakin tinggi, semakin
stabil, dan semakin berkesinambungan pertumbuhan ekonomi, semakin tinggi
pula aliran PMA. Kecenderungan tren tersebut tidak hanya terjadi di Indonesia
tetapi juga terjadi di kawasan Asia. Dengan rerata pertumbuhan ekonomi yang
lebih tinggi, rerata aliran PMA ke kawasan Asia juga tercatat lebih tinggi
daripada aliran PMA ke kawasan lainnya (Amerika Latin, Afrika, ataupun
Eropa Timur) Lihat Grafik 4.6. Tidak hanya dengan rerata pertumbuhan yang
lebih tinggi, kawasan-kawasan tersebut dapat dikatakan memiliki stereotype
perekonomian yang serupa (hal itu didominasi sektor primer yang bergerak ke
arah pengembangan industri manufaktur dan jasa) dan walaupun kawasan
Amerika Latin memiliki tingkat pendapatan per kapita lebih tinggi jika
dibandingkan dengan negara berkembang kawasan Asia, kawasan Asia lebih
menunjukan stabilitas dan kesinambungan pertumbuhan ekonomi daripada
kawasan lainnya. Selama periode diamati, kawasan Asia hanya mencatatkan
satu kali krisis dengan dampak kontraksi ekonomi. Sementara itu, kawasan
Amerika Latin hampir setiap dekade sejak 1970-an mengalami krisis ekonomi,
utang, fiskal ataupun keuangan. Di sisi lain, sebagian besar negara
39
berkembang di kawasan Afrika sering kali menghadapi masalah fiskal dan
beban utang yang tinggi yang berujung pada moratorium utang luar negeri.
Sebagian negara berkembang di kawasan ini dikatagorikan sebagai severe
indebtedness low atau maksimum medium income countries.
Grafik 4.6. Tren Aliran PMA ke Negara Berkembang Menurut Kawasan (1970-
2015)
a. Tren Inflow Aliran PMA ke Negara Berkembang menurut Kawasan
b. Tren Pangsa Aliran dana PMA ke Negara Berkembang menurut Kawasan
Sumber: UNCTAD stattistik-FDI,
http://unctadstat.unctad.org/wds/TableViewer/tableView.aspx
Dalam kasus individual negara, fenomena Indonesia dan Cina menjadi contoh
tak terbantahkan untuk menunjukan kecederungan tersebut. Dengan rerata
pertumbuhan ekonomi di atas, rerata pertumbuhan ekonomi negara
berkembang secara global ataupun kawasan Asia (dan Cina) mencatatkan
tingkat pertumbuhan tertinggi dan menjadi motor pertumbuhan global di
40
tengah kelumpuhan dan pelambatan ekonomi yang dialami negara-negara
maju yang secara tradisional menjadi motor pertumbuhan ekonomi global.
Kedua negara tersebut mampu menarik PMA lebih signifikan jika
dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya di kawasan Asia
Tenggara (Lihat Grafik 4.7). Meskipun begitu, tidak hanya tingkat
pertumbuhan, tetapi juga perkembangan struktur ekonomi diidentifikasikan
mempengaruhi motif investasi langsung. Pada kasus Cina faktor infrastruktur
(transportasi dan penunjang perdagangan internasional) layak diduga sebagai
faktor yang menarik investasi asing di samping faktor pertumbuhan ekonomi
tinggi dan jumlah penduduk sebagai indikator daya absorbsi ekonomi dan
potensi pasar yang besar. Demikian pula yang terjadi pada Singapore,
Cambodia, Vietnam, dan Laos, Singapore dengan pendapatan per kapitanya
dan infrastruktur, baik perdagangan maupun keuangannya tidak hanya
diidentifikasi sebagai pasar potensial, tetapi juga intermediasi perdagangan
dan keuangan kawasan (bahkan global). Kondisi tersebut menunjang tidak
hanya motif market-oriented, tetapi juga ke efisiensi atau strategic seeking
oriented. Negara ini tercatat menerima aliran dana PMA terbesar di antara
anggota ASEAN. Disisi lain, relatif tingginya aliran dana PMA ke Cambodia,
Vietnam, dan Laos layak diduga sebagai implikasi tingginya output gap yang
mencerminkan daya absorbsi perekonomian yang tinggi dan didukung
ketersediaan sumber daya, termasuk dan terutama tenaga kerja murah.
Gambaran tersebut sekaligus mengindikasikan bahwa prospek pertumbuhan
ekonomi bisa mempengaruhi keputusan investasi langsung para investor
asing.
41
c. Pangsa Aliran PMA Ke ASEAN+
Grafik 4.7. Tren Pangsa PMA Negara-Negara ASEAN (1970-2015)
a. Aliran PMA Ke Negara berkembang dan ASEAN b. Aliran PMA ke ASEAN5
d. Pangsa Aliran PMA ke ASEAN+2
42
e. Pangsa Aliran PMA ke ASEAN kecuali Singapore
f. Pangsa Aliran PMA ke ASEAN kecuali Singapore dan Brunei
Sumber: UNCTAD statistik-FDI, http://unctadstat.unctad.org/wds/TableViewer/tableView.aspx
43
Indikasi stabilitas makroekonomi mempengaruhi aliran juga tercermin pada
kondisi sebaliknya, yakni krisis yang mencerminkan instabilitas. Aliran PMA
selama periode krisis menunjukan tren penurunan yang berarti krisis
berpengaruh negatif pada aliran dana tersebut. Semakin dalam krisis (yang
mengarah pada kondisi resesi), semakin dalam dampak negatif pada aliran
dana. Dampak krisis yang dalam dan berkepanjangan tidak sekadar dalam
bentuk penurunan nilai aliran dana PMA, tetapi sudah dalam bentuk
pembalikan arus dana yang mengakibatkan penurunan stok PMA. Selama
periode diamati (1980-2015), diidentifikasikan dua periode krisis yang
berdampak penurunan aliran PMA secara cukup signifikan bagi Indonesia dan
negara-negara kawasan Asia secara umum. Kedua krisis tersebut adalah krisis
Asia dan krisis Global. Pada periode krisis Asia10, aliran dana PMA ke
kelompok negara berkembang turun 30% (dari USD 232 miliar pada tahun
1998 sebagai titik tertinggi sebelum krisis menjadi USD 166,7 miliar pada
tahun 2001 sebagai titik terendah aliran setelah krisis). Aliran dana PMA ke
negara ASEAN sebagai kawasan terkena krisis langsung, turun secara lebih
signifikan, yakni 53% (dari USD 35,94miliar pada tahun 1997 secara
berkesinambungan turun hingga hanya sebesar USD17miliar pada tahun
2002). Tren penurunan aliran dana PMA ke negara-negara ASEAN juga
berlangsung lebih lama jika dibandingkan dengan negara berkembang secara
umum pada periode yang sama (1997-2002).
Demikian juga implikasinya bagi Indonesia, pengaruh tidak hanya sekadar
penurunan aliran, tetapi juga stok PMA (lihat Grafik 4.2). Seiring dengan
kedalaman krisis yang dihadapi Indonesia, penurunan aliran dan stok PMA
tercatat juga yang terdalam di antara negara anggota ASEAN lainnya. Tren
penurunan aliran PMA bahkan masih terus berlangsung hingga tahun 2003
terlepas Indonsia mengumumkan perubahan sistem devisa dan nilai tukar ke
sistem yang lebih bebas. Fenomena itu mengisyaratkan bahwa krisis
mempengaruhi keputusan investasi PMA secara lebih signfikan jika
dibandingkan dengan liberalisasi sistem devisa dan nilai tukar.
Di samping kinerja, perkembangan stereotip perekonomian juga
mempengaruhi aliran dana. Semakin maju perekonomian, yang ditandai oleh
peralihan industri primer ke sekunder dan tersier, semakin tinggi pula PMA.
10 Periode krisis diasumsikan mencakup 1998 – 2001 dengan mempertimbangkan skala sebaran dan dimulainya tren pemulihan ekonomi yang ditunjukan oleh pertumbuhan positif.
44
Layak diduga terjadi korelasi antara perubahan stereotip perekonomian host
country dan karakteristik keunggulan PMA di bidang modal dan teknologi.
PMA dengan keunggulan modal dan teknologi akan lebih berorientasi pada
sektor sekunder dan/atau tersier yang bersifat padat modal dan
mengandalkan teknologi untuk meningkatkan efisiensi proses produksi dan
pemasaran daripada penggunaan tenaga kerja/padat karya. Tendensi tersebut
sejalan dengan karakteristik PMA pada era integrasi ekonomi dan keuangan
global yang akan lebih berorientasi pada motif efisiensi dan strategic asset
seeking. Aliran PMA ke Cina menjadi indikasinya. Dengan cepat sebagai
pengekspor komoditas manufaktur, negara itu menjadi tujuan utama PMA
untuk kelompok negara berkembang (lihat Grafik 4.8).
Grafik 4.8. Tren PMA ke Negara Berkembang Pengekspor Komoditas Primer
dan Manufaktur (1970-2015)
a. Negara Berkembang Pengekspor Komoditas Manufaktur
b. Negara Berkembang Pengekspor Komoditas Primer dan Manufaktur
Sumber data: UNCTAD-statistic (FDI)
45
Kedua grafik juga mengisyaratkan keunggulan Cina sebagai eksportir
komoditas manufaktur yang lebih menarik minat investasi asing secara
langsung jika dibandingkan dengan Cina sebagai negara eksportir komoditas
primer. Indikasi tersebut tercermin dari area pangsa aliran PMA ke Cina
sebagai eksportir komoditas manufaktur terhadap negara-negara eksportir
manufaktur utama pada sektor tersebut secara lebih luas jika dibandingkan
dengan pangsanya sebagai eksportir komoditas primer dan manufaktur.
Hasil observasi mengindikasikan pelemahan daya saing (comparative
advantage) Indonesia diantara negara-negara berkembang pengekspor
komoditas primer ataupun manufaktur. Indikasi pelemahan daya saing
tersebut layak diduga seiring dengan tren perkembangan CPI, PPI, ataupun
REER yang relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan negara pesaing serta
seiring dengan perkembangan infrastruktur, khususnya sarana transportasi
dan distribusi barang dan jasa. Dalam hal pelemahan daya saing ekonomi
terus berlangsung serta daya absorbsi perekonomian dicerminkan oleh tingkat
dan kesinambungan pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita,
tendensi pelemahan tersebut potensial menunjang terjadinya pergeseran motif
utama PMA di Indonesia dari motif supply seeking ke motif market seeking
oriented.
Pelemahan daya saing dalam konteks regional/kawasan juga potensial
berimplikasi negatif pada perekonomian host country. Pelemahan daya saing
nasional terhadap kompetitor berpotensi menjadi salah satu pertimbangan
relokasi industi oleh PMA ke negara berkembang lain di kawasan Asia, seperti
Thailand, Vietnam, Cambodia, ataupun Laos. Indikasi relokasi industri PMA
itu mulai dirasakan, baik pada sektor otomotif, elektronik, garmen, maupun
apparel. Perkembangan industri PMA di Indonesia saat ini-dalam konteks
global value chain-tampak lebih berorientasi ke sektor industri hulu primer.
Adapun negara anggota ASEAN lainnya, khususnya anggota pendiri, bergerak
pada sektor industri sekunder dan tersier. Indonesia, misalnya, merupakan
produsen CPO (sekaligus penyedia lahan untuk perkebunan kelapa sawit).
Malaysia menjadi produsen PKO (palm kernel oil) sebagai produk refineri CPO,
sedangkan produk akhir turunan CPO, yakni sabun, sampoo, pasta gigi,
hingga obat-obatan dihasilkan oleh Thailand dan Singapore untuk
pengemasan produk. Singapore juga menjadi penghubung perdagangan
antarnegara, termasuk ekspor komoditas tersebut kembali ke Indonesia.
46
Indikasi kesinambungan kinerja makroekonomi mempengaruhi aliran dana
PMA yang tidak hanya tercermin pada korelasi positif tren antarpertumbuhan
ekonomi, tetap juga terjadi pada indikator makroekonomi lain, seperti
harga/inflasi. Indikasi harga mempengaruhi keputusan investasi yang
tercermin dalam kesearahan tren CPI dan PPI sebagai indikator stabilitas
harga (lihat Grafik 4.9).
Grafik 4.9. Tren Perkembangan Indikator Harga Indonesia (1980-2015)
Sumber data: UNCTAD-statistic (FDI)
Di samping itu, terlepas dari pandangan bahwa investasi PMA bersifat jangka
panjang, ada indikasi peningkatan fluktuasi dan volatilitas aliran dana seiring
dengan peningkatan rasionya terhadap PDB (lihat Tabel 4.1). Peningkatan
rasio PMA terhadap PDB mengisyaratkan peningkatan dependensi terhadap
sumber pembiayaan eksternal tersebut. Dengan kata lain, seiring adanya
peningkatan rasio PMA terhadap PDB, terindikasi pula adanya peningkatan
kerentanan perekonomian dalam hal terjadi gangguan aliran dana tersebut. Di
samping itu, seperti halnya instrumen utang, faktor profitabilitas menjadi
pertimbangan investasi lintas negara. Cambodia diidentifikasikan sebagai
negara dengan peningkatan rasio PMA terhadap PDB tertinggi dan
berkesinambungan dalam dua dekade terakhir, kemudian diikuti Laos.
Sementara itu, Vietnam dan Myanmar justru relatif mengalami penurunan
pada lima tahun terakhir daripada dekade sebelumnya. Volatilitas aliran dana
PMA ke Myanmar, Cambodia, dan Laos juga terindikasi mengalami
peningkatan secara berkesinambungan.
47
Tabel 4.1. Perkembangan Volatilitas Aliran dan Pangsa PMA terhadap PDB
Sumber: Perhitungan Peneliti, Volatilitas dihitung berdasarkan standar deviasi rasio
PMA terhadap PDB
b. Indikasi keterbukaan ekonomi dan keuangan mempengaruhi aliran PMA. Hal
itu, antara lain, tercermin pada impak peningkatan PMA seiring dengan
peningkatan kerja sama ekonomi11 dan deregulasi/liberalisasi ekonomi.
Dengan memisahkan periode sebelum deregulasi sektor riil dan keuangan
yang diimplementasikan sejak awal 1980-an dan/atau memisahkan antara
periode sebelum tahun 1999 yang dianggap sebagai titik awal penerapan
sistem devisa bebas dengan diumumkannya Undang-undang Nomor 24 Tahun
1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar ataupun periodisasi
keduanya sebagai cermin peningkatan keterbukaan, pelonjakan aliran dana
PMA terjadi sejak pengimplementasian kebijakan deregulasi ekonomi dan
keuangan.
Stok PMA, misalnya, meningkat dari hanya USD 180 juta (1970) menjadi USD
4,56 miliar tahun 1980, menjadi USD 31,39 miliar tahun 1998 tercatat
sebagai posisi tertinggi pra krisis, dan menjadi USD 224,84 miliar tahun 2015.
Rerata peningkatan stok per tahun selama periode diamati juga meningkat
dari USD 2,23 miliar per tahun pada periode 1970-1980 menjadi USD 12,94
miliar per tahun pada periode 1980-1996), dan menjadi USD 22,48 miliar per
tahun pada periode 2001-2015. Tren stok menunjukan peningkatan
berkesinambungan selama periode diamati, kecuali pada tahun 2000. Pada
periode tersebut stok PMA menunjukan penurunan tajam senilai USD 14,35
miliar hanya dalam kurun satu tahun. Penurunan itu sekaligus
mengisyaratkan penarikan keluar dana investasi PMA, sekaligus juga
11 Keterbukaan ekonomi umumnya diawali dengan deregulasi sektor riil, pakta perdagangan bebas (free trade area), dan pakta integrasi ekonomi yang ditandai dengan kebebasan lalu lintas faktor produksi.
48
mengindikasikan bahwa gangguan stabilitas makroekonomi (krisis)
berpengaruh negatif pada PMA.
Seperti halnya stok, aliran dana PMA juga menunjukan tren peningkatan dari
rerata USD 414,5 juta per tahun pada periode 1970-1980 menjadi USD 1,51
miliar per tahun pada 1980-1997 dan menjadi USD 12,05 miliar per tahun
pada periode 2004-2015.
Indikasi keterbukaan dan integrasi ekonomi mempengaruhi PMA juga
tercermin pada perkembangan PMA intra-ASEAN. Aliran PMA intra-ASEAN
meningkat pesat pasca-Bali Concord tahun 2003 yang mencanangkan
pelaksanaan MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN/ASEAN Economic Community)
pada tahun 2015. Data Sekretariat ASEAN menunjukan peningkatan pangsa
aliran dana PMA antarnegara anggota ASEAN pada tiga tahun terakhir
mengungguli investasi langsung dari negara-negara maju yang merupakan
traditional home country PMA di Indonesia (lihat Tabel 4.2). Dalam tiga tahun
terakhir nominal dan pangsa aliran PMA intra-ASEAN meningkat dari USD
19,6 miliar pada tahun 2013 menjadi USD 22,2 miliar pada tahun 2015 atau
dari 15,7% menjadi 18,4% dari total inflow PMA ke kawasan ASEAN. Di sisi
lain, aliran dana PMA dari luar kawasan tercatat menurun, yakni dari USD
105,30 miliar menjadi USD 98,59 miliar, demikian pula pangsanya–walaupun
masih tetap dominan-menurun dari 84,3% menjadi 81,6% dari total aliran
PMA ke kawasan ASEAN pada periode yang sama. (lihat Tabel 4.2)
49
Tabel 4.2. Tren Aliran dan Pangsa PMA ASEAN (2013-2015)
Walaupun begitu, khususnya, 14 negara (Austria, Amerika Serikat, Belanda,
Canada, Denmark, Finlandia, Inggris, Italia, Jepang, Jerman, Norwegia,
Perancis, Spanyol, dan Swedia) masih tercatat sebagai traditional home country
PMA di Indonesia. Lebih dari 90% aliran PMA berasal dari ke-14 negara
tersebut (Lihat Grafik 4.10.a). Dari ke-14 negara tersebut, lima negara–
Amerika Serikat, Jepang, Inggris, Jerman, dan Perancis-secara tradisional
menjadi pemasok PMA terbesar (lihat Grafik 4.10.b).
50
Grafik 4.10. Rerata Pangsa Aliran Dana PMA ke Indonesia (1980-2015)
a. 14 Negara Asal Dominan
b. Lima Negara Asal Paling Dominan
Sumber data: UNCTAD-statistic (FDI)
Indikasi keterbukaan keuangan (dan dengan demikian akses pembiayaan
global) mempengaruhi aliran PMA tercermin pada kasus Singapura. Di antara
negara anggota ASEAN, Singapura dapat dikatakan lebih dahulu menerapkan
sistem devisa bebas jika dibandingkan dengan negara-negara anggota ASEAN
yang lain dan negara tersebut menerima aliran PMA terbesar (lihat Grafik
4.7.e). Walaupun begitu, berbeda dengan negara anggota lainnya yang
dikatagorikan sebagai negara berkembang, Singapore dengan pendapatan
perkapita di atas USD40 ribu per tahun (posisi 2015 mencapai USD 51.855)
tercatat sebagai urutan ke-14 pendapatan per kapita terbesar secara global
dan dikatagorikan sebagai negara maju. Selain itu, akses dan kedalaman
pasar keuangan, infrastruktur, dan parastatal serta status negara tersebut
51
sebagai pusat pasar keuangan global kawasan Asia (disamping Tokyo dan
Hongkong) layak diduga sebagai daya tarik utama investasi asing langsung di
samping karakteristik pengembangan negara kota sebagai pusat perdagangan
global. Kondisi itu juga mengisyaratkan bahwa motif strategic asset-seeking
dan implementasi global value chain sebagai motif PMA di negeri ini.
Gambaran di atas mengisyaratkan potensi kerja sama ekonomi mempengaruhi
aliran dana PMA dan pengembangan strategi PMA berbasis pasar dan supply.
Penggabungan konsep orientasi tersebut berkaitan dengan penyebaran lokasi
PMA pada sejumlah negara sebagai mata rantai industri hulu-hilir ataupun
sebagai mata rantai industri dan distribusi. Kemungkinan tersebut semakin
terbuka jika didukung oleh keterbukaan ekonomi yang tercermin pada
pengintegrasian sistem ekonomi dan lalu lintas devisa yang semakin bebas.
Seiring dengan peningkatan keterbukaan keuangan dan sistem devisa
mempengaruhi perkembangan instrumen pasar keuangan yang pada
gilirannya mempengaruhi aliran dana PMA, terindikasi pula peningkatan
subtitutabilitas instumren investasi. Subsitutabilitas tercermin pada
pergerakan tren rasio instrumen utang dan investasi langsung masing-masing
terhadap PDB. Tren umum rasio utang terhadap PDB menunjukan
penurunan, sebaliknya tren rasio investasi langsung terhadap PDB
menunjukan peningkatan. Jika pada periode deregulasi hingga prakrisis
(1980-1997) instrumen utang jauh di atas PMA, pascakrisis peningkatan PMA
lebih pesat sehingga rasio terhadap PDB sejak tahun 2010 mendekati rasio
utang swasta terhadap PDB. Pada posisi akhir tahun 2015, rasio keduanya
berada pada pasca kisaran 30% dari PDB (lihat Grafik 4.11). Namun, jika
diamati lebih jauh, penurunan tren rasio utang terhadap PDB terjadi pada
utang sektor publik (termasuk korporasi yang dijamin oleh publik, seperti
utang badan-badan usaha milik negara), sedangkan utang sektor korporasi
swasta terus mengalami peningkatan. Dengan kata lain, aliran instrumen
utang swasta seperti halnya PMA mengalami peningkatan dengan tren
peningkatan PMA yang relatif lebih pesat jika dibandingkan dengan instrumen
utang luar negeri.
52
Grafik 4.11. Tren Utang Luar Negeri dan Investasi Langsung Indonesia (1970-2015)
Sumber data: UNCTAD-statistic (FDI) dan Bank Dunia (Utang Luar Negeri)
2. Faktor Determinan–Sektor Eksternal
Indikator kuantitatif sektor eksternal yang diobservasi mencakup CAB, KAB,
REER, EFFR, dan VIX. Dua faktor yang disebut pertama masing-masing menjadi
proxy indikator keterbukaan ekonomi dan keuangan. Adapun EFFR dan VIX
menjadi proxy indikator peluang dan risiko investasi lintas negara. CAB, KAP, dan
VIX menunjukan kesearahan gerak tren dengan PMA, sedangan EFFR sebaliknya.
Hal itu semakin menguatkan indikasi bahwa keterbukaan ekonomi dan keuangan
berpengaruh positif pada aliran dana PMA serta EFFR berpengaruh negatif
terhadap aliran PMA ke Indonesia. Lihat Grafik 4.12.
Grafik 4.12. Tren Perkembangan Indikator Harga dan Risiko Global (1980-2015)
Sumber data: UNCTAD-statistic (FDI), The Federal Reserve Bank-New York (EFFR), BIS
Jika terbukti signifikan, tren EFFR dan VIX dapat sekaligus digunakan
sebagai indikasi motif efisiensi dan atau strategic asset seeking oriented menjadi
prioritas motif PMA di Indonesia. Hal ini disebabkan EFFR dan VIX menjadi
53
benchmark indikator masing-masing untuk margin penghasilan dan risiko
investasi global.
EFFR yang selama periode diamati menunjukan pola pengaruh tertentu
indikator tersebut pada aliran maupun rasio aliran PMA terhadap PDB. REER
menunjukan korelasi positif, sebaliknya EFFR menunjukan korelasi bersifat
negatif. Tren indikasi itu sejalan dengan konsep pemikiran bahwa PMA
mempengaruhi nilai tukar. Di sisi lain, EFFR dipandang sebagai indikator pilihan
Amerika sebagai opsi/alternatif lokasi investasi atau tolok ukur margin revenue
potensial bagi investasi lintas negara. Seiring dengan penurunan dan rendahnya
EFFR yang terpelihara pada kisaran 0,25% sejak Q3:2007 hingga akhir periode
pengamatan, aliran dana investasi asing langsung ke Indonesia (ataupun ke
negara-negara berkembang kawasan Asia) meningkat tajam. Peningkatan tersebut
jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan rerata aliran saat deregulasi
perekonomian mulai dijalankan (periode 1980-an). Dengan mempertimbangkan
rerata pertumbuhan ekonomi pascakrisis yang belum mencapai rerata
pertumbuhan ekonomi era deregulasi yang mencapai 7% per tahun, hal itu
mengisyaratkan bahwa faktor eksternal dapat mempengaruhi pertimbangan
pemilihan lokasi PMA.
Di samping observasi inikator kuantitatif tersebut, observasi tren
perkembangan sektor ekstrenal yang potensial mempengaruh aliran dana PMA
sekaligus volatilitas/fluktuasinya. Perkembangan tersebut di antaranya adalah
sebagai berikut.
a. Krisis eksternal atau imbas krisis secara konseptual dianggap berpengaruh
negatif terhadap aliran dana ke host country. Namun, kami menilai potensi
sebaliknya dari krisis yang terjadi di negara lain. Krisis yang terjadi di negara
lain, baik home country maupun sebagai kompetitor host country, potensial
meningkatkan aliran dana ke negara-negara lain yang tidak terkena/terimbas
krisis. Krisis atau resesi yang terjadi di kawasan Amerika Latin, misalnya,
sangat potensial mendorong investor merelokasi investasinya ke kawasan lain
yang dianggap lebih stabil. Walaupun begitu, permasalahan atau
pertimbangan relokasi tersebut potensial terkendala oleh stereotip sovereign
dan credit rating instrumen negara-negara berkembang (termasuk Indonesia)
yang maksimum berada pada kriteria investment grade terendah (BBB - atau
BBB). Sebagian besar malah berada pada peringkat below grade dengan
maksimum level CCC. Dengan tingkat investasi terendah atau bahkan di
54
bawah tingkat layak investasi, investasi di negara-negara berkembang dinilai
rentan mengalami pembusukan dan menjadi kelompok junk ‘sampah’ yang
tidak bernilai.
Indikasi bahwa krisis eksternal relatif tidak mempengaruhi aliran PMA ke
Indonesia tercermin pada tren aliran dana tersebut selama periode-periode
krisis eksternal, yakni krisis utang dan keuangan negara-negara berkembang
kawasan Amerika Latin dan Eropa Timur (1980-1990-an), Krisis utang dan
keuangan Asia (1997-2000) dan Krisis keuangan global (2007-2010). Data
menunjukan gangguan berupa penurunan aliran dana hanya diidentifikasikan
saat terjadi krisis Asia (1997-2000) dan krisis global (2007-2010). Jika diamati
dari ketiga periode krisis tersebut, Krisis Asialah yang paling menunjukan
penurunan PMA secara sangat signfiikan, baik aliran maupun stok secara
nominal dan pangsanya terhadap PDB. Adapun pada periode krisis eksternal
lainnya, relatif tidak menunjukan pengaruh signifikan yang
berkeseinambungan.
Saat terjadi krisis di kawasan Amerika Latin dan Eropa Timur (1980-1990),
aliran PMA ke Indonesia terus mengalami peningkatan, demikian pula
stoknya. Adapun aliran dana PMA ke Indonesia pada periode krisis global
(yang melanda negara-negara maju sebagai home country tradisional PMA di
Indonesia), hanya mencatatkan penurunan singkat, yakni pada periode 2009
jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Aliran PMA menurun menjadi
USD 4,88 miliar jauh lebih rendah daripada aliran dana tahun sebelumnya
(2008) yang mencapai USD 9,32 miliar. Disisi lain, tren tiga tahun terakhir
(2006-2008) sebagai periode awal terindikasi krisis terjadi di Amerika Serikat
sebagai episentrum krisis global, aliran PMA ke Indonesia justru menunjukan
peningkatan yang berkesinambungan dari USD 4,9 miliar pada tahun 2006
menjadi USD 6,93 miliar pada tahun 2006 dan menjadi USD 9,32 miliar pada
tahun 2008. Aliran dana kembali tinggi (sekitar USD 15 hingga 21 miliar) pada
dekade terakhir (2010–2015). Tren tersebut mengindikasikan pengaruh krisis
eksternal, bahkan yang terjadi di negara maju sebagai home country
tradisional PMA di Indonesia bisa bersifat sementara dan potensial tidak
terbukti signifikan. Lihat Grafik 4.13.
55
Grafik 4.13. Tren Perkembangan Stok dan Aliran PMA selama Periode Krisis
a. Tren Nominal Stok dan Aliran
b. Tren Pangsa Stok dan Aliran PMA terhadap PDB
Sumber data: UNCTAD-statistic
Penurunan paling signifikan, baik nominal maupun pangsanya terjadi selama
periode krisis Asia. Penurunan pangsa PMA terhadap PDB juga terjadi selama
periode-periode krisis yang diamati tersebut. Dengan mempertimbangkan
periode krisis Asia, termasuk di dalamnya Indonesia, gambaran di atas
mengisyaratkan bahwa stabilitas dan kesinambungan makroekonomi
domestiklah yang lebih utama mempengaruhi PMA. Sepanjang makroekonomi
dapat dipertahankan, krisis eksternal relatif tidak berpengaruh signifikan pada
penurunan PMA dan imbas krisis eksternal potensial berlangsung dalam
jangka pendek walaupun tidak terjadi peningkatan pada peringkat investasi di
Indonesia.
56
b. Indikasi terjadi substitutabilitas antarkelompok negara dan instrumen seiring
dengan keterbukaan sistem devisa/keuangan. Dalam kaitan investasi lintas
negara, substitutabilitas terindikasi pada bentuk simetris dengan arah yang
berlawanan dengan aliran PMA berdasarkan kelompok negara tersebut. Jika
pangsa aliran PMA ke negara maju terhadap total PMA meningkat, dalam
waktu yang sama terjadi penurunan pada aliran PMA ke negara berkembang.
Demikian pula sebaliknya, jika pangsa aliran PMA ke negara maju terhadap
total PMA menurun, pada waktu yang sama terjadi peningkatan pada aliran
PMA ke negara berkembang (lihat Gambar 4.14). Gambaran kondisi tersebut
mengisyaratkan bahwa perubahan parameter pasar investasi di negara-negara
maju yang secara umum menjadi margin indikator tingkat penghasilan
ataupun risiko global mempengaruhi aliran PMA ke negara-negara lainnya,
termasuk Indonesia. Gambaran itu menunjukan persaingan menarik investasi
asing tidak hanya terjadi antarnegara berkembang, tetapi juga terjadi
antarnegara maju.
Grafik 4.14. Tren dan Pangsa Aliran PMA Global menurut Kelompok Negara
(1970-2015)
Sumber: UNCTAD stattistik-FDI,
http://unctadstat.unctad.org/wds/TableViewer/tableView.aspx
Grafik di atas menunjukan fluktuasi aliran dana ke negara-negara maju yang
lebih tajam daripada ke negara berkembang. Hal itu layak diduga dipengaruhi
oleh karakteristik instrumen investasi selain keterbukaan dan kinerja
makroekonomi dan keuangan yang terjadi pada periode krisis. Instrumen
investasi langsung -di negara-negara maju- diduga lebih beriorientasi pada
strategic asset seeking, yakni bentuk kepemilikan portofolio aset keuangan
daripada dengan pendirian unit operasional produksi (green-field investment)
57
yang lazim di negara-negara berkembang. Walaupun berfluktuasi, tingginya
aliran dana ke negara-negara maju layak diduga didukung oleh infrastruktur
pasar keuangan (tercermin pada perkembangan instrumen investasi dan akses
pembiayaan) dan proses dan kepastian hukum dunia usaha (tercermin pada
pranata merger dan aqutision) yang secara tak langsung memberikan
kepastian akan kelangsungan dan perhitungan untung-rugi, terutama jika
terjadi kepailitan dan akusisi perusahaan.
Paparan analisis tren dan kejadian berdasarkan periode data pengamatan
1980-2015 di atas mengindikasikan beberapa hal berikut. Pertama, korelasi
positif antara aliran PMA dan pertumbuhan ekonomi-terlepas tren pada lima
tahun terakhir-menunjukan peningkatan aliran PMA di tengah pelambatan
atau setidaknya stagnansi pertumbuhan ekonomi. Konsistensi tren antara
PMA, PDG, dan PDB per kapita mengisyaratkan kuatnya motif market seeiking
oriented PMA di Indonesia. Ada indikasi bahwa perkembangan/perubahan
stereotip perekonomian dari primer ke sekunder dan/atau tersier
mempengaruhi aliran dana serta ada indikasi bahwa sektor manufaktur lebih
menarik minat investasi asing daripada sektor primer. Kedua, tren motif
market dan supply seeking oriented relatif lebih kuat jika dibandingkan dengan
motif efficiency ataupun strategic asset seeking oriented. Indikasi tersebut
tercermin pada konsistensi kesearahan tren PDB, PDB kapita (motif market
oriented) CPI, PPI, Upah riil/produktivitas tenaga kerja, dan REER (motif
supply seeking) jika dibandingkan dengan tren EFFR, VIX, bahkan PMDN
sebagai indikator motif efficiency dan/atau strategic asset seeking oriented
yang memandang persaingan antar-PMA sebagai pertimbangan berinvestasi
selain harga aset.
Ketiga, faktor keterbukaan atau integrasi ekonomi dan sistem lalu lintas
devisa berpotensi mempengaruhi motif investasi lintas negara dengan motif
efficiency dan/atau strategic asset seeking oriented.
Dengan mempertimbangkan gambaran tersebut, pertanyaan yang muncul
kemudian adalah seberapa besar dan seberapa signifikan pengaruh PMA pada
pertumbuhan dan produktivitas ekonomi serta seberapa signifikankah faktor-
faktor yang diidentifikasikan sebagai determinan mempengaruhi PMA ke
Indonesia atau adakah faktor yang yang lebih konsisten dan signifikan
mempengaruhi perilaku PMA di Indonesia.
58
Untuk mengidentifikasikan hal-hal tersebut, dilakukan pengujian hipotesis
dengan menggunakan metode kuantitatif SVAR. Temuan dan analisis hasil
pengujian hipotesis menjadi objek bahasan subbab selanjutnya.
4.3. Analisis Temuan Hasil Pengujian Empiris Pengaruh dan Determinan
PMA di Indonesia
1. Pengaruh PMA pada Pertumbuhan Ekonomi
Implementasi bentuk otoregresif model pertumbuhan ekonomi-sollow (yang
pada hakikatnya mirip dengan cobb-douglass production function untuk skala
mikro) digunakan untuk mengidentifikasi pengaruh pembentukan modal/kapital
(K yang direpresentasikan oleh PMA dan PMDN) dan tenaga kerja (L) pada
pertumbuhan ekonomi12 sehingga menunjukan hal sebagai berikut.
a. Pengujian stasionaritas, autokorelasi, dan heteroskedastisitas menunjukan
bahwa simulasi-simulasi model yang digunakan dengan persamaan fungsional
dasar GDP = c + c2*PMA + c3*PMDN + c4*L dengan model restriksi Ae=Bu dan
E(uu1)=1 serta model restriksi pengaruh jangka pendek untuk mengisolasi
dampak guncangan pada faktor selain faktor yang diamati diformulasikan:
@e1=c(1)*@ u1
@e2=-c(2)*@e1+c(3)*@u2
@e3=-c(4)*@e1-c(5)*@e2+c(6)*@u3
@e4=-c(7)*@e1-c(8)*@e2-c(9)*@e3 +c(10)*@u4
yaitu @ei adalah residual GDP,
@e2 adalah residual PMA,
@e3 adalah residual PMDN, dan
@e4 adalah residual labor/tenaga kerja,
12 Simulasi model dilakukan dengan menggunakan model VAR sebagai underlyingnya dan SVAR (yang dikembangkan dari model VAR) dengan melakukan restriksi). Simulasi pengujian dillakukan dengan menggunakan data nominal ataupun pertumbuhan untuk tiap-tiap variabel endogen yang diamati dan ekspektasi lag optimum pada model yang diindentifikasikan melalui proses operasional model dengan menggunakan Eviews9.
Simulasi menggunakan persamaan fungsional dasar GDP = c + c2*PMA + c3*PMDN + c4*L dengan proxy untuk simulasi mencakup nominal GDP, d (GDP) pertumbuhan GDP, d (pertumbuhan GDP), GDP per kapita, d (GDP per kapita), ataupun d (GDPgrowth). Hal yang sama diberlakukan untuk simulasi variabel PMA dan PMDN. Adapun untuk faktor tenaga kerja, simulasi digunakan dengan mengunakan Jumlah L, d (L), pertumbuhan L, d (pertumbuhan L), produktivitas L, dan produktivitas jam kerja.
59
Temuan dan analisis hasil pengujian secara umum menunjukan bahwa:
1) Model memenuhi syarat stasionaritas yang ditunjukan oleh nilai modulus
pada unit roots pada pengujian ARroots yang lebih kecil (<) dari 1. Dengan
demikian, data/model dinyatakan tidak mengalami perubahan dari waktu
ke waktu (stasioner);
2) Tidak terindikasi terjadi oto-korelasi ataupun multikolonearitas
antarvariabel endogen yang diamati yang mengakibatkan model bersifat
spurious (semu), hal itu ditunjukan oleh nilai LM-stat yang lebih besar (>)
dari nilai Ttabel pada α0,05 dan probablilitas LM-stat yang mendekati atau
bahkan nil (0);
3) Tidak terindikasi adanya heteroskedastisitas yang ditunjukan oleh nilai
Fstat yang lebih besar (>) jika dibandingkan dengan Ftabel ataupun
probablitas F dan Chi-sq yang mendekati nil (0); dan
4) Terindikasi residual terdistribusi secara normal yang ditunjukan oleh nilai
probabilitas chi-sq ataupun hasil uji jarque-bera. Grafik colleogram juga
menunjukan bahwa tidak terindikasi adanya penyimpangan residual
melebih 2 standar devisasi selama periode diamati.
b. PMA dinyatakan berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi, baik
dengan metode VAR sebagai undelying maupun SVAR. Walaupun begitu,
berbeda dengan pengujian model VAR yang menghasilkan koefisien korelasi
GDPt dengan PMAt atau PMAt-1 yang sangat rendah (2.07E-17), model SVAR
mengekspektasi nilai koefisien berada pada kisaran 0,002 hingga 0,006 atau
lebih tinggi jika dibandingkan dengan hasil pengujian VAR. Hal itu sekaligus
menyiratkan hasil yang sama pada pengujian Sims yang seakan menunjukan
tidak ada pengaruh antara kebijakan moneter pada suku bunga berdasarkan
pengujian VAR, tetapi sebaliknya jika menggunakan metode SVAR.
Demikian pula pada pengujian signifikansi pengaruh faktor control variables,
pada model SVAR, dengan nilai Tstat lebih besar (>) dari Ttabel (setidaknya
pada α0,05 dan df136 yang tercatat sebesar 1.656135), secara konsisten
pengaruh tersebut dinyatakan signifikan.
Jika dilihat dari pengaruh secara sektoral mengindikasikan bahwa lintas
sektoral PMA terbukti tidak saling mempengaruhi (non-orthogonal). Hal itu
mengisyaratkan bahwa PMA di Indonesia belum membentuk mata rantai
(keterkaitan) yang bersifat lintas sektoral. Hal itu layak diduga terkait dengan
60
karakteristik PMA yang menguasai sendiri hulu-hilir produksi jika
dibandingkan dengan memilih mata rantai produksi melalui kerja sama antar-
PMA ataupun dengan PMDN yang bersifat lintas sektoral, misalnya, sektor
pertanian dan sektor manufaktur hasil pertanian sebagai kerja sama antar-
PMA ataupun antara PMA dan PMDN.
c. Seperti halnya terhadap pertumbuhan ekonomi, pengaruh PMA terhadap
PMDN juga diidentifikasikan positif. Walaupun begitu, pengaruh tersebut
secara konsisten diidentifikasikan insignifikan. Hasil yang berbeda
diidentifikasikan pada pengaruh PMA pada PMDN. PMA diestimasi
berpengaruh positif walaupun insignifikan. Di sisi lain, pola pengaruh PMDN
pada PMA justru secara konsisten diidentifikasikan negatif dan signifikan.
Temuan koefisien negatif pengaruh PMDN pada PMA itu mengisyaratkan
bahwa PMA lebih memandang PMDN sebagai kompetitor/pesaing daripada
sebagai kolaburator/partner dalam proses produksi atau aktivitas ekonomi
dengan keterkaitan hulu (forward linkage) ataupun hilir (backward linkage).
Adapun pengaruh positif PMA terhadap PMDN mengisyaratkan potensi
pengembangan keterkaitan antara PMA dan PMDN melalui pola backward-
forward linkage atapun dampak positif dari peningkatan persaingan di pasar
dengan PMA. Indikasi itu ditunjukan oleh arah koefien dan peta impulse
response PMDN terhadap PMA. Lihat Grafik 4.15.
d. Di samping hal-hal di atas, hasil pengujian signifikansi dampak dan peta
impulse response juga menunjukan hal-hal sebagai berikut.
1) Pengaruh PMA terhadap pertumbuhan ekonomi terjadi dengan lag
tertentu. Lag pengaruh optimum diidentifikasikan 4 tahun kemudian,
Efek optimum itu layak diduga berkaitan dengan karakteristik PMA di
Indonesia yang bersifat green-field investment (yakni pendirian unit-unit
operasional produksi). Lag tersebut mencerminkan durasi proses inflow
dana PMA hingga pembentukan produk atau durasi dari initial investment
hingga memproduksi secara efektif.
2) PMA terbukti secara signifikan mempengaruhi pertumbuhan tenaga kerja
jika menggunakan model SVAR. Tingkat signifikansi meningkat jika
menggunakan lag data (-1) atau (-2) pada pertumbuhan tenaga kerja
sebagai variabel endogen bersifat control variabel. Hasil itu mengisyaratkan
bahwa PMA memerlukan durasi tertentu untuk pemenuhan SDM pada
tingkat keahlian/kemahiran tertentu yang dibutuhkannya.
61
-10
0
10
20
30
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Response of FDIGROWT H to FDIGROWTH
-10
0
10
20
30
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Response of FDIGROWTH to GDPGROWT H
-10
0
10
20
30
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Response of FDIGROWTH to D(PMDN)
-10
0
10
20
30
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Response of FDIGROWTH to T KGROWTH
-1
0
1
2
3
4
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Response of GDPGROWTH to FDIGROWT H
-1
0
1
2
3
4
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Response of GDPGROWTH to GDPGROWTH
-1
0
1
2
3
4
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Response of GDPGROWT H to D(PMDN)
-1
0
1
2
3
4
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Response of GDPGROWT H to T KGROWTH
-2,000
0
2,000
4,000
6,000
8,000
10,000
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Response of D(PMDN) to FDIGROWTH
-2,000
0
2,000
4,000
6,000
8,000
10,000
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Response of D(PMDN) to GDPGROWTH
-2,000
0
2,000
4,000
6,000
8,000
10,000
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Response of D(PMDN) to D(PMDN)
-2,000
0
2,000
4,000
6,000
8,000
10,000
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Response of D(PMDN) to T KGROWTH
-1
0
1
2
3
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Response of T KGROWT H to FDIGROWTH
-1
0
1
2
3
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Response of T KGROWTH to GDPGROWTH
-1
0
1
2
3
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Response of T KGROWT H to D(PMDN)
-1
0
1
2
3
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Response of T KGROWTH to T KGROWTH
Response to Cholesky One S.D. Innov ations
Grafik 4.15. Peta Impulse response Model SVAR–Pertumbuhan Ekonomi
Sumber: olahan data peneliti dari operasional running model
2. Pengaruh PMA pada Produktivitas
Jika diasumsikan nilai konstanta/c pada model-model pertumbuhan
ekonomi yang diuji adalah TPF (total factor productivity), nilai konstanta pertama
(c0) yang secara konsisten menunjukan koefisien positif dan signifikan adalah nilai
Tstat yang melebih Ttabel. Berdasarkan hasil itu dapat disimpulkan bahwa PMA
berpengaruh positif pada TPF Indonesia. Temuan ini sejalan dengan konsep bahwa
PMA dengan keunggulan teknologinya mempengaruhi pertumbuhan TPF host
country.
Walaupun diisyaratkan pengaruh positif PMA pada produktivitas dengan
memperhatikan nilai konstansta pada pengujian model yang dilakukan, hasil
pengujian dengan menggunakan data spesifik produktivitas yang mencakup TFP,
produktivitas kapital, atau produktivitas tenaga kerja menunjukan hal-hal sebagai
berikut.
62
1) Model memenuhi syarat stasionaritas yang ditunjukan oleh nilai modulus
pada pengujian ARroots yang lebih kecil (<) dari 1. Dengan demikian,
data/model dinyatakan tidak mengalami perubahan dari waktu ke waktu
(stasioner).
2) Tidak terindikasi terjadi otokorelasi ataupun multikolonearitas
antarvariabel endogen yang diamati yang mengakibatkan model bersifat
spurious (semu), hal itu ditunjukan oleh nilai LM-stat yang lebih besar (>)
dari nilai Ttabel pada α0,05 dan pobablilitas LM-stat yang mendekati atau
bahkan nil (0).
3) Tidak terindikasi adanya heteroskedastisitas yang ditunjukan oleh nilai
Fstat yang lebih besar (>) jika dibandingkan dengan Ftabel ataupun
probablitas F dan Chi-sq yang mendekati nil (0).
4) Terindikasi residual terdistribusi secara normal yang ditunjukan oleh nilai
probabilitas chi-sq ataupun hasil uji jarque-bera. Grafik colleogram juga
menunjukan tidak terindikasi adanya penyimpangan residual melebih 2
standar devisasi selama periode diamati.
5) Dengan menggunakan model SVAR, terindikasi korelasi positif dan
signfiikan antara pertumbuhan PMA dan produktivitas K-PMA, antara
produktivitas K-PMA dan TFP, ataupun antara produktivitas K-PMA dan
produktivitas L, baik dalam hal jumlah maupun dalam hal jam kerja
dengan data yang disarikan tampak sebagai berikut.
Tabel 4.3. Produktivitas dan PMA
Produktivitas
K-PMA TFP L JamKerja
Pertumbuhan
PMA
α 0.225655 1.829022 1.137973 1.017186
SD 0.08212 1.387074 0.96695 .061905
Tstat 2.74798 1.31863 1.17687 1.70776
Sumber: Perhitungan Peneliti
Tingkat signifikansi pertumbuhan PMA pada produktivitas K-PMA yang
lebih tinggi daripada produktivitas lainnya mengisyaratkan bahwa keunggulan
teknologi yang dibawa oleh PMA mempengaruhi signifikansi pengaruhnya pada
produktivitas kapital. Di sisi lain, relatif rendahnya tingkat signifikansi
produktivitas tenaga kerja mengindikasikan bahwa orientasi tidak pada jumlah
tenaga kerja ataupun tingkat pendidikan angkatan kerja. Hasil yang lebih baik
63
ditunjukan pada tingkat dan signifikansi pengaruh produktivitas tenaga kerja
(ataupun jam kerja) terhadap PMA yang bersifat positif yang terbukti signifikan.
Pengaruh yang positif dan signifikan, baik TPF, kapital, maupun produktivitas
kerja ini konsisten dengan identifikasi nilai konstanta yang secara signifikan juga
dinyatakan positif dan signifikan.
3. Determinan PMA
Pengujian dilakukan dengan menggunakan faktor-faktor yang berdasarkan
studi literatur diidentifikasikan sebagai faktor determinan PMA. Faktor-faktor
tersebut juga digunakan sebagai proxy indikator untuk orientasi motif PMA di
Indonesia. Motif-motif dimaksud–menurut Dunning (1977)-adalah motif market
seeking oriented, supply seeking oriented, efficiency seeking oriented, dan strategic
seeking oriented. Dengan demikian, faktor-faktor yang layak diduga menjadi
determinan PMA yang diobservasi mencakup beberapa hal berikut.
a. PDB atau GDP dan GDP per kapita, baik nominal ataupun pertumbuhan
masing-masing sebagai proxy indikator pasar secara riil dan potensial menjadi
dasar untuk motif market-seeking oriented. Dengan mempertimbangkan bahwa
PMA diharapkan berorientasi ekspor dan sejalan dengan tren potensi
pengembangan global value chain sehingga faktor keterbukaan ekonomi juga
menjadi bagian pertimbangan pencarian pasar. Dalam kaitan dengan hal itu,
CAB dan X (ekspor), baik dalam bentuk nominal maupun pangsa masing-
masing terhadap GDP digunakan sebagai proxy indikator keterbukaan
ekonomi.
b. CPI, PPI, REER, Upah riil, dan produktivitas tenaga kerja13. Khususnya data
produktivitas tenaga kerja disimulasikan baik sebagai produktivitas kerja
maupun sebagai produktivitas jam kerja. Faktor-faktor tersebut digunakan
sebagai proxy indikator motif supply seeking oriented.
c. KAB dari sisi kewajiban dan PMDN, baik nominal maupun pangsanya
terhadap GDP, EFFR, dan VIX sebagai proxy indicator untuk motif strategic
asset seeking oriented. Faktor KAB dianggap sebagai proxy untuk
subtitutabilitas instrumen investasi antarnegara. Adapun PMDN diasumsikan
sebagai faktor pesaing sekaligus potensi pengembangkan backward dan
13 Simulasi model tidak membahas lagi hasil pengujian yang menggunakan data jumlah dan /atau pertumbuhan tenaga kerja, angkatan kerja, ataupun school enrollment sebagai variabel endogen kontrol variable. Hal itu disebabkan hasil pengujian faktor-faktor tersebut relatif rendah dan secara konsisten terbukti insignifikan.
64
forward linkage penunjang PMA. Faktor EFFR dan VIX sebagai indikator
potensi marginal revenue dan global risk aversion yang potensial
mempengaruhi indikator pasar keuangan global dan dengan demikian secara
tidak langsung aliran dana ke Indonesia.
Hasil pengujian model VAR sebagai underlying dan SVAR sebagai model
utama dengan menggunakan asumsi faktor determinan PMA sebagaimana
dinyatakan di atas tampak sebagai berikut.
a. Pengujian stasionaritas, otokorelasi antaravariabel endogen, dan
heteroskedastisitas menunjukan hasil simulasi-simulasi model dengan
menggunakan persamaan fungsional dFDI = f (GDP, GDPkap, CPI, PPI/Real
wages, REER, LHPg/LPLg, CAD, EFFR, VIX) dan model restriksi, yaitu Ae=Bu
dan E(uu1)=1 serta dengan restriksi model jangka pendek (short term
restriction) adalah:
@e1=c(1)*@ u1
@e2=-c(2)*@e1+c(3)*@u2
@e3=-c(4)*@e1-c(5)*@e2+c(6)*@u3
@e4=-c(7)*@e1-c(8)*@e2-c(9)*@e3 +c(10)*@u4
@e5=-c(11)*@e1-c(12)*@e2-c(13)*@e3 –c(14)*@e4 +c(15)*@u5
@e6=-c(16)*@e1-c(17)*@e2-c(18)*@e3 –c(19)*@e4 –c(20)*@e5 +c(21)*@u6
@e7=-c(22)*@e1-c(23)*@e2-c(24)*@e3 –c(25)*@e4 –c(26)*@e5 –c(27)*@e6
+c(28)*@u7
@e8=-c(29)*@e1-c(30)*@e2-c(31)*@e3 –c(32)*@e4 –c(33)*@e5 –c(34)*@e6 –
c(35)*@e7 +c(36)*@u8
@e9=-c(37)*@e1-c(38)*@e2-c(39)*@e3 –c(40)*@e4 –c(41)*@e5 –c(42)*@e6 –
c(43)*@e7 -c(44)*@e8 +c(45)*@u9
@e10=-c(46)*@e1-c(47)*@e2-c(48)*@e3 –c(49)*@e4 –c(50)*@e5 –c(51)*@e6
–c(52)*@e7 -c(53)*@e8 –c(54)*e9 +c(55)*@u10, dan
@e11=-c(56)*@e1-c(57)*@e2-c(58)*@e3 –c(59)*@e4 –c(60)*@e5 –c(61)*@e6
–c(62)*@e7 -c(63)*@e8 –c(64)*e9 –c(65)*e10 +c(66)*@u11
yaitu @ei adalah residual PMA,
@e2 adalah residual GDP,
65
@e3 adalah residual GDP kapita,
@e4 adalah residual PMDN,
@e5 adalah residual CPI,
@e6 adalah residual PPI atau upah riil,
@e7 adalah residual REER,
@e8 adalah residual produktivitas tenaga kerja,
@e9 adalah residual CAD atau Ekspor,
@e10 adalah residual untuk EFFR, dan
@e11 adalah residual VIX.
serta restriksi jangka panjang dilakukan dengan formulasi long-run
@LR2(@u1)=0. Formulasi restriksi tersebut menggunakan aplikasi sistem.
Pokok-pokok temuan dan analisis hasil pengujian itu adalah sebagai berikut.
1) Model memenuhi syarat stasionaritas yang ditunjukan oleh nilai modulus
pada pengujian ARroots yang lebih kecil (<) dari 1. Dengan demikian,
model dinyatakan tidak berubah dari waktu ke waktu (stasioner).
2) Tidak terindikasi terjadi otokolonearitas ataupun multi-kolonearitas
antarvariabel endogen yang diamati yang mengakibatkan model bersifat
spurious (semu). Simpulan ini didasarkan pada nilai LM-stat yang lebih
besar (>) dari nilai Ttabel pada α0.05 dan pobablilitas LM-stat yang
mendekati atau bahkan nil (0).
3) Tidak terindikasi adanya heteroskedastisitas yang ditunjukan oleh nilai
Fstat yang lebih besar (>) jika dibandingkan dengan Ftabel ataupun
probablitas F dan Chi-sq yang mendekati nil (0)
4) Terindikasi residual terdistribusi secara normal yang ditunjukan oleh nilai
probabilitas chi-sq ataupun hasil uji jarque-bera.Grafik colleogram juga
menunjukan bahwa tidak terindikasi adanya penyimpangan residual
selama periode diamati melebih 2 standar devisasi.
b. Pengujian arah, tingkat, dan signifikansi pengaruh faktor determinan PMA.
1) Aliran PMA secara konsisten dan signifikan mempengaruhi GDP jika
dibandingkan dengan model pengaruh stok PMA terhadap GDP. Dengan
mempertimbangkan hasil temuan itu, analisis selanjutnya akan
66
difokuskan pada hasil pengujian dengan menggunakan aliran PMA
sebagai variabel endogen bersifat dependen variabel yang diamati.
Dengan dasar pertimbangan bukan stok, tetapi aliran yang mempengaruhi
pertumbuhan ekonomi di satu sisi dan karakteristik temuan pengaruh
negatif PMDN pada PMA yang menyiratkan PMA lebih memandang PMDN
sebagai pesaing, penetapan daftar negatif investasi menjadi alat untuk
mengendalikan pengaruh negatif tersebut.
Tuntutan kemitraan pada sejumlah aktivitas penanaman modal pada
sektor primer dan sekunder dan pembatasan maksimum penanaman
modal asing sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 44
Tahun 2016, sangat potensial untuk mengembangkan backward ataupun
forward linkages antarsektoral PMA ataupun antara PMA dan PMDN.
Namun, tampaknya tidak hanya kejelasan peraturan yang bersifat teknis
operasional untuk pelaksanaannya, pendefinisian kemitraan juga sangat
terbatas pada sektor khususnya primer.
2) Kecuali indikator CAB (khususnya KAB terhadap GDP), EFFR dan VIX,
serta variabel endogen lainnya yang diamati (GDP, GDP kapita, PMDN,
CPI, PPI, REER, dan produktivitas tenaga kerja) dinyatakan
mempengaruhi aliran PMA ke Indonesia secara signifikan.
3) GDP dan GDP per kapita berpengaruh positif dan signifikan terhadap PMA.
Hasil ini mengafirmasi bahwa motif market seeking oriented MNC-PMA
memilih Indonesia sebagai host country. Nilai koefisien dan tingkat
signifikansi pengaruh GDP pada PMA yang lebih tinggi dan konsisten
daripada faktor determinan lainnya mengisyaratkan motif market seeking
lebih dominan jika dibandingkan dengan motif-motif lainnya.
4) Seperti halnya dengan hasil pengujian pengaruh PMDN terhadap PMA
pada model sederhana (GDP=f(PMA, PMDN, dan Tenaga kerja) yang
konsisten dinyatakan negatif, hasil pengujian menggunakan model SVAR
dengan pengembangan variabel endogen determinan PMA juga secara
konsisten menghasilkan sinyal negatif. Walaupun begitu, berbeda dengan
pengujian sederhana yang mengestimasi pengaruh tersebut bersifat
insignifikan, hasil pengujian SVAR mengestimasi pengaruh tersebut
signifikan walaupun dengan tingkat relatif kecil. Hasil ini mengafirmasi
67
pandangan yang selama ini muncul, yakni bahwa PMA menjadi kompetitor
bagi PMDN.
5) Hasil pengembangan model dengan menggunakan data sektoral (non-
panel) mengisyaratkan bahwa sektor primer dan tersier yang konsisten
mengidentifikasikan pengaruh negatif PMA pada PMDN bersifat signifikan.
Di sisi lain, pada sektor sekunder (manufaktur), pengaruh negatif tersebut
dinyatakan insignifikan. Faktor karakteristik PMA di sektor manufaktur
yang utama yakni industri otomotif dan kimia yang relatif bersifat spesifik
trade mark dan teknologi (atau setidaknya menjadi keunggulan spesifik
PMA) yang tidak dimiliki PMDN secara setara layak diduga mendukung
insignifikansi hasil. Persaingan industri yang menunjukan keunggulan
spesifik teknologi diestimasi terjadi antarsesama MNC-PMA.
6) Pengaruh GDP sebagai indikator motif market seeking dan insignifikansi
pengaruh PMDN sektor sekunder terhadap PMA yang diasumsikan sebagai
proxy indikator persaingan antara PMDN dan PMA memperkuat asumsi
bahwa market seeking oriented menjadi motif utama MNC-PMA sektor
sekunder memilih Indonesia sebagai host country. Di sisi lain, adanya
dugaan persaingan lebih signifikan terjadi antar-MNC-PMA dan bukan
antara MNC-PMA dan PMDN mengindikasikan motif strategic asset
seeking oriented. Investasi yang dilakukan suatu MNC-PMA di sektor
sekunder mengikuti arah gerak sesama MNC-PMA sebagai kompetitornya.
Adapun investasi di sektor primer dan tersier akan lebih memandang
kemampuan PMDN memenuhi permintaan domestik.
7) Faktor CPI dan produktivitas tenaga kerja berpengaruh positif dan
signifikan. Adapun PPI dan REER berpengaruh negatif dan siginifikan.
Hasil tersebut mengisyaratkan potensi penggunaan nilai tukar sebagai
instrumen kebijakan untuk mempenagruhi aliran dana PMA. Tren
depresiatif –dengan arah yang negatif - potensial mengundang semakin
besar investasi asing. Sebaliknya tren apresiatif akan mengurangi aliran
dana PMA. Namun, pengaruh negatif REER ini searah dengan pengaruh
postif CPI pada PMA. Hal yang perlu diwaspadai dari kondisi ini adalah
bawa surplus aliran dana luar negeri termasuk PMA berimplikasi pada
penguatan nilai tukar dan tekanan inflasi (CPI).
8) Penggantian PPI sebagai indikator biaya produksi yang mempengaruhi
motif supply capabilities dengan upah riil menghasilkan hal yang sama,
68
seperti halnya PPI, upah riil berpengaruh negatif dan signifikan terhadap
PMA. Hasil tersebut mengisyaratkan peningkatan upah riil secara
berkesinambungan berpotensi menurunkan minat investasi MNC-PMA ke
Indonesia.
9) Faktor produktivitas tenaga kerja, baik produktivitas tenaga kerja maupun
jam kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap PMA. Signifikansi
semakin meningkat jika menggunakan lag setidaknya 1 tahun. Di sisi lain
simulasi pengujian dengan menggunakan pertumbuhan dan jumlah
angkatan kerja, jumlah penduduk, atau jumlah penduduk yang
dikelompokan berdasarkan tingkat pendidikan (primer, sekunder, dan
tersier) sebagai proxy produktivitas (atau setidaknya faktor yang
mempengaruhi produktivitas) tidak menunjukan pengaruh yang
signifikan. Hasil pengujian yang menunjukan hasil signifikansi yang lebih
baik jika menggunakan lag2 mengisyaratkan adanya kesenjangan
kebutuhan dengan ketersediaan tenaga kerja terampil. Dengan lag,
diasumsikan tenaga kerja telah memperoleh praktik kerja yang
meningkatkan keterampilan sesuai dengan kebutuhan kerjanya. Layak
diduga bahwa sistem pendidikan formal yang kurang menyiapkan sisi
keterampilan kerja menjadi sumber kendalanya. Data school enrollment
yang digunakan tidak dapat mencerminkan data “ketersediaan tenaga
kerja terampil” yang dibutuhkan untuk pengujian. Data school enrollment
digunakan dengan asumsi bahwa semakin tinggi pengetahuan, semakin
mudah bagi tenaga kerja untuk melakukan pemahaman dan penyesuaian
tuntutan pekerjaan. Peningkatan tingkat signifikasi dengan menggunakan
lag2 mengisyaratkan bahwa penyesuaian keterampilan tersebut
berlangsung cukup lama yakni dua tahun.
10) Signifikansi pengaruh produktivitas tenaga kerja, PPI ataupun upah riil
terhadap PMA mengisyaratkan bahwa motif supply seeking oriented juga
menjadi pertimbangan investasi langsung MNC-PMA di Indonesia. Tingkat
koefisien PPI atau upah riil yang lebih tinggi daripada produktivitas
mengisyaratkan bahwa motif supply seeking oriented tersebut didasari
oleh pertimbangan upah tenaga kerja yang relatif murah. Dalam kaitan
dengan hal itu, peningkatan upah riil yang terjadi terus-menerus dan
gangguan produktivitas kerja (khususnya dalam kaitan produktivitas jam
69
kerja) sebagai dampak pelaksanaan demo buruh berpotensi menjadi faktor
yang kurang menguntungkan untuk menarik investasi asing ke Indonesia.
11) Pengaruh CAD (nominal ataupun pertumbuhan) dan rasio CAD/GDP
sebagai indikator keterbukaan ekonomi terhadap PMA secara konsisten
dinyatakan positif tetapi insignifikan. Demikian juga jika menggantikan
variabel tersebut dengan data ekspor (jumlah, pertumbuhan maupun
rasionya terhadap GDP) sebagai proxy keterbukaan ekonomi sekaligus
peluang menjadikan Indonesia sebagai pusat produksi atau salah satu
mata rantai dari global value chain yang ditargetkan sebagai strategi
pengembangan pasar dan produksi oleh MNC-PMA. Hasil itu semakin
memperkuat bahwa motif utama PMA di Indonesia adalah market-seeking
oriented dengan target utama adalah pasar domestik.
12) Faktor eksternal lainnya yang diamati adalah kebijakan moneter The Fed
yakni EFFR (sebagai proxy indikator bagi benchmark return on international
investment, khususnya di negara-negara maju) dan VIX (sebagai proxy
indikator untuk harga aset di pasar global sekaligus global risk aversion).
Pengaruh kedua variabel tersebut terhadap PMA secara konsisten
dinyatakan insignifikan. EFFR khususnya diestimasikan berpengaruh
negatif. Hasil itu mengisyaratkan implementasi pengetatan kebijakan
moneter The Fed–yang dicerminkan pada peningkatan Fed Fund-Rate
termasuk program normalisasi kebijakan yang berimplikasi sama dengan
pengetatan kebijakan moneter--akan mempengaruhi aliran PMA ke negara
tersebut dan dengan demikian juga mempengaruhi aliran dana ke negara-
negara lainnya, termasuk Indonesia. Walaupun begitu, insignifikansi hasil
mengisyaratkan bahwa dampak tersebut bisa tak terjadi jika kinerja dan
stabilitas makroekonomi Indonesia (GDP, CPI, PPI, produktivitas tenaga
kerja, upah riil, dll) dapat setidaknya dipertahankan.
13) Berbeda dengan EFFR yang berkorelasi negatif terhadap PMA, pengaruh
VIX secara konsisten dinyatakan positif. Hasil itu di luar estimasi semula
yang memprediksikan pengaruh VIX–dalam konteks sebagai indikator
harga aset di pasar keuangan global-seperti halnya EFFR adalah negatif.
Namun, hasil ini sejalan dengan estimasi jika VIX dipandang sebagai
indikator global risk (risiko investasi) global. Arah koefisien positif
menunjukan bahwa peningkatan risiko di pasar global akan membuka
peluang aliran dana PMA ke Indonesia sepanjang faktor-faktor determinan
70
lainnya bersifat kondusif cet-par. Peta impulse response juga menunjukan
pengaruh perubahan EFFR yang segera diikuti oleh perubahan VIX.
Hasil pembahasan di atas secara umum mengafirmasi pengaruh PMA pada
pertumbuhan dan produktivitas ekonomi serta pengaruh faktor determinan PMA
sebagaimana diduga. Peta dan analisis temuan hasil pengujian signifikansi
pengaruh faktor-faktor determinan PMA di atas menunjukan bahwa motif utama
PMA di Indonesia adalah market-seeking oriented. Motif ini lebih dominan jika
dibandingkan dengan motif supply-seeking atau strategis asset seeking oriented.
Prioritas motif market seeking oriented ini berpotensi menimbulkan tekanan
persaingan yang lebih ketat bagi PMDN. Dengan keunggulan pada modal,
teknologi, dan manajerial pasar, dampak negatif potensial semakin kuat. Estimasi
tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa spesifikasi keunggulan PMA di
bidang permodalan, manajerial, dan khususnya teknologi menjadi dasar
keunggulan monopoli atau setidaknya oligopolistik PMA. Kemungkinan
oligopolistik dapat terbentuk antarsesama MNC-PMA. Semakin besar keunggulan
monopoli, semakin besar minat investasi langsung di Indonesia.
71
5. Penutup
5.1. Simpulan
1. Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan (i) menganalisis pengaruh PMA
pada pertumbuhan dan produktivitas ekonomi Indonesia, (ii)
mengidentifikasikan faktor determinan dalam kerangka mengidentifikasikan
motif investasi PMA di Indonesia, dan (iii) memetakan strategi yang
menunjang optimalisasi pengaruh PMA pada pertumbuhan dan produktivitas
ekonomi.
2. Analisis tren dan kejadian untuk menngidentifikasikan awal tren PMA dan
pertumbuhan dan produktivitas ekonomi mengindikasikan beberapa hal
berikuyt. Pertama, semakin tinggi PMA yang diterima suatu negara
berkembang, termasuk Indonesia, semakin tinggi pertumbuhan ekonomi
negara yang bersangkutan di atas rerata kawasan. Kedua, pelambatan
pertumbuhan PMA pada sektor primer dan sekunder yang searah dengan
pelambatan laju pertumbuhan ekonomi dan perdagangan global, sebaliknya
PMA sektor tersier menunjukan tren peningkatan seiring dengan
implementasi kebijakan pembangunan infrastruktur. Ketiga, stabilitas dan
kesinambungan makroekonomi (dengan indikator di antaranya pertumbuhan
ekonomi, pendapatan perkapita, devisa/nilai tukar, serta inflasi pada tingkat
konsumen dan produsen) mempengaruhi pertumbuhan PMA. Adapun
gangguan stabilitas yang tercermin pada krisis berpengaruh negatif pada
PMA. Perkembangan struktur dan keterbukaan ekonomi, kedalaman pasar
keuangan, dan ketersediaan infrastruktur penunjang fisik dari sarana
transportasi hingga media informasi juga menjadi pertimbangan pemilihan
lokasi PMA. Keempat, pengaruh faktor eksternal (keterbukaan, kerja sama
ekonomi, sertaa kondisi pasar dan keuangan global) mempengaruhi aliran
PMA ke negara berkembang, termasuk Indonesia. Hal itu ditunjukan oleh tren
subsitutabilitas PMA antarkelompok negara, peningkatan PMA seiring dengan
pengintegrasian, dan tren PMA terhadap EFFR ataupunn VIX sebagai
indikator marginal pendapatan dan risiko investasi global. Adapun pengaruh
krisis eksternal, baik yang terjadi di home maupun di competitor host country
tidak sekuat krisis yang terjadi di dalam negeri. Kelima, motif market,
supply,dan strategic asset seeking mempengaruhi pilihan Indonesia sebagai
lokasi PMA.
72
3. Hasil pengujian hipotesis pengaruh PMA pada pertumbuhan dan produktivitas
ekonomi yang dibangun berlandaskan model sollow-growth (makro) atau cobb-
douglass production function (mikro) dan menggunakan metode pengujian
SVAR menghasilkan temuan-temuan sebagai berikut. Pertama, pengaruh
aliran PMA pada pertumbuhan ekonomi lebih konsisten dinyatakan signifikan
dibandingkan stok PMA. Kedua, jeda/lag waktu optimum pengaruh PMA pada
pertumbuhan ekonomi sangat konsisten dengan karakteristik PMA di
Indonesia yang bersifat green-field investment. Ketiga, pengujian sektoral
menunjukan karakteristik non-orthogonal antarsektoral PMA sehingga belum
membentuk mata rantai hulu (primer atau sekunder) dan hilir (sekunder atau
tersier). Keempat, PMA mempengaruhi produktivitas ekonomi, baik TFP,
kapital, maupun tenaga kerja. Tingkat dan signifikansi pengaruh PMA pada
produktivitas K-PMA dan TFP lebih tinggi jika dibandingkan dengan
produktivitas tenaga kerja.
Hasil pengujian hipotesis yang dibangun berlandaskan pengembangan
variabel endogen pada model sollow-growth (makro) atau cobb-douglass
production function (mikro) dan metode pengujian SVAR menghasilkan
temuan-temuan sebagai berikut. (1) GDP, GDP kapita, keterbukaan ekonomi,
PMDN, CPI, PPI, REER, dan produktivitas tenaga kerja terhadap PMA secara
signifikan mempengaruhi PMA. Variabel-variabel tersebut mengindikasikan
motif MSO, SSO, ESO ataupun SASO menjadi motif PMA di Indonesia. (2)
Pengaruh negatif PMDN terhadap PMA, tetapi pengaruh PMA pada PMDN yang
justru sebaliknya mengindikasikan PMA lebih dipandang sebagai
pesaing/kompetitor bagi PMDN. Faktor keunggulan spesifik PMA yang tidak
dimiliki PMDN secara setara layak diduga mendukung hasil ini. (3) Pengaruh
negatif PPI, upah riil terhadap PMA mengisyaratkan peningkatan upah riil
secara berkesinambungan berpotensi menurunkan minat investasi MNC-PMA
ke Indonesia. Tingkat koefisien PPI atau upah riil yang lebih tinggi daripada
produktivitas mengisyaratkan bahwa motif supply seeking oriented didasari
pertimbangan upah tenaga kerja yang relatif murah. (4) Tingkat dan
signifikansi pengaruh negatif REER terhadap aliran PMA mengisyaratkan
potensi penggunaan nilai tukar sebagai instrumen kebijakan untuk
mempengaruhi aliran dana PMA. (5) Signifikansi pengaruh produktivitas
tenaga kerja yang lebih baik daripada pertumbuhan atau jumlah angkatan
kerja, penduduk atau tingkat pendidikan, serta peningkatan tingkat
73
signifikansi yang lebih baik jika menggunakan jeda waktu (lag)
mengisyaratkan masalah kesiapan kerja sebagai kendala dan mengisyaratkan
kebutuhan penyempurnaan sistem pendidikan formal dan vocational di
Indonesia untuk mempersiapkan tenaga kerja yang tidak hanya terdidik
(educated), tetapi yang lebih utama adalah terlatih (skilled labor). (6) Motif
market dan supply seeking sebagai motif utama pemilihan Indonesia sebagai
host country diidentifikasikan dari tingkat dan signifikansi pengaruh GDP dan
GDP per kapita terhadap pertumbuhan aliran PMA. Walaupun demikian,
signifikansi dan konsistensi pengaruh GDP dan GDP per kapita daripada
pengaruh produktivitas tenaga kerja, PPI, atau upah riil serta insignifikansi
pengaruh CAD ataupun X terhadap PMA mengisyaratkan bahwa motif
domestic market seeking lebih utama. Dengan kata lain, telah terjadi
pergeseran platform peran PMA. Indonesia memulai platform dengan
menyediakan sumber daya murah (supply seeking) untuk mengembangkan
produk-produk akhir yang sebagian hasilnya ditujukan untuk ekspor. (7)
Pengaruh EFFR yang negatif dan pengaruh positif VIX terhadap aliran PMA di
Indonesia menunjukan substitutabilitas PMA ke Indonesia dengan investasi
global. Adapun tingkat korelasi yang rendah dan insignifikansi dari kedua
faktor tersebut mengindikasikan bahwa SASO bukanlah motif utama PMA di
Indonesia.
5.2 Pembelajaran dan Pemikiran Opsi Pengembangan Kebijakan PMA
sebagai Stimulus Peningkatan Pertumbuhan dan Produktivitas Ekonomi
Perumusan suatu kebijakan yang komprehensif memerlukan pemahaman
atas masalah yang dihadapi, memerlukan kejelasan visi peran PMA dalam strategi
pembangunan ekonomi nasional, serta melibatkan lintas bidang dari industri,
fiskal, keuangan, dan moneter dalam konstalasi kebijakan makroekonomi sehingga
untuk paparan pembelajaran dan pemikiran harus dilandasi identifikasi masalah
utama yang berdasarkan hasil temuan. Masalah yang dimaksud adalah (i)
tantangan mengubah orientasi motif PMA dari domestic market oriented menjadii
supply-oriented atau export-led oriented yang mengembangkan orientasi pasar,
tidak hanya domestik tetapi pasar ekspor/eksternal; (ii) tantangan meningkatkan
spillover effect PMA bagi PMDN melalui transformasi anggapan/pandangan
karakteristik persaingan antara PMA dan PMDN menjadi karakteristik kemitraan
dengan backward dan/atau forward linkages, dan (iii) pemanfaatan peran PMA
74
dalam kerangka meningkatkan daya saing produk Indonesia di era globalisasi dan
perkembangan Regional Value Chain MEA ataupun Global Value Chain-APEC.
Gambaran tiap-tiap masalah dan peta opsi kebijakan yang disusun
berdasarkan pengamatan atas strategi kebijakan yang dilakukan negara lain
sebagai berikut.
1. Kebijakan mengubah motif domestic market-seeking oriented menjadi supply
seeking dan export-led oriented. Jika belajar dari Korea yang sukses
melakukan pengalihan strategi subsitusi impor ke promosi ekspor, strategi
kebijakan mencakup (peralihan sektor andalan dari sektor primer dan industri
penunjang sektor primer (pertanian) ke industri yang berbasis teknologi tinggi
(elektronik, otomotif, perkapalan, dan industri berat). Penerapan kebijakan
didukung oleh (1) penetapan sektor/industri spesifik yang akan menjadi
andalan/champion; (2) penyediaan fasilitas fiskal, keuangan, atau light form
policy untuk menunjang perkembangan industri andalan berbasis ekspor.
Kebijakan itu, antara lain, berupa pembebasan atau pengurangan pajak impor
bahan baku, akses pembiayaan eksternal, dan suku bunga pinjaman yang
rendah disesuaikan dengan kinerja ekspor; (3) dukungan R dan D, penyediaan
sarana-prasarana (tol, kereta, pelabuhan, dan bandara), program edukasi dan
pelatihan di dalam/luar negeri, baik formal maupun praktik magang hingga
dukungan pengembangan kontrak-kontrak dengan MNC-PMA melalui
pemberian jaminan dan persyaratan magang kerja bagi tenaga kerja Korea di
home country ataupun host country lain MNC-PMA.
Dari review literatur, Velde ((2001) memetakan kebijakan untuk meningkatkan
peran PMA pada perekonomian yang didasarkan pada (a) aspek tujuan yang
memisahkan antara upaya mengundang investor baru, meningkatkan
investasi dari investor yang telah ada, dan meningkatkan keterkaitan
(linkages) PMA dengan PMDN dan (b) kendali penetapan kebijakan yang
dipisahkan antara otoritas dalam negeri dan kerja sama secara eksternal. Peta
kebijakan versi Velde dapat dilihat pada Tabel 5.1.a. Adapun Echandi (2015)
memetakan kebijakan fiskal (mencakup pajak penghasilan, pajak
pertambahan nilai/VAT, dan kepabeanan) dan akses keuangan dalam
kerangka mendorong PMA (lihat Tabel 5.1.b).
75
Tabel 5.1. Kebijakan Mendorong PMA
a. Kebijakan untuk Menarik Investasi Asing (Velde)
Economic policies largely under domestic control Other policies and factors
Industrial policies Macro-economic policies
Affecting
potential
foreign
investors
(‘determinants’)
Financial and fiscal incentives and bargaining
Efficient administrative
procedures and rules on ownership
Promotion targeting and
image building
Developing key sectors
(agglomeration and clustering)
Developing export platforms (EPZs)
Availability of infrastructure and a skilled workforce and good labour relations
Sound macroeconomic
performance and prospects
Privatisation
opportunities
Development of
financial market and debt position
No impediments to trade of goods and
services
Global economic integration and transportation costs
International, regional
and bilateral treaties, including BITs and WTO
Insurance (ICSID,
MIGA, ECGD, OPIC) and political risk ratings
Location near large and
wealthy markets
Availability of natural
resources
Historical ties and language-use
Absence of corruption
Financial conditions in
home countries
Affecting
established
foreign
investors
(‘upgrading’)
Taxation
Performance requirements (TRIMS etc)
Interaction with research institutions and other firms
Encouragement of R&D
Training of employees
Labour market policy
Trade policies, export promotion and infrastructure
Competition policy
Development of
financial market
Regional and
international investment treaties
Global economic
integration
Civil society
Affecting the
response of
domestic firms
(‘linkages’)
Encouragement of
linkages with multinationals
Encouraging technological capabilities (R&D)
Encouraging human
resources (training)
Supply side
management
Education and skill
generation
Labour mobility
Competition policy
Export promotion
Global economic
integration
b. Kebijakan/Fasilitas Pajak dan Keuangan untuk Mendorong PMA
Fiscal Incentives Fiscal Incentives
Income tax Tax holiday or lower tax rate Direct grants & cost-sharing
schemes
Cash grants on proof of start-up or after X years of
operation
Investment allowance Matching grants
Accelerated depreciation Public sector equity
participation Special deductions Reduced
market
values/direct
provision of
land
Public land or buildings
sold to investors at below
market values
76
Exempted income Low input prices from
para-statal
companies
Reduced rates on public utilities (e.g. electricity,
water and transportation)
Exemption from withholding Lending
instruments
and guarantees
Soft loans
Tax rebate/credit Interest subsidies
Value
added tax
VAT zero rated goods Loan guarantees
Exemption from import VAT
VAT exemption (domestic
sales)
Remission from VAT
Customs
duty
Duty exemption
Duty remission
Sumber: Velde, pg.15, dan Current Issues in Asia Pacific Foreign Direct Investment (2015)
pg.36
Arah kebijakan investasi di Indonesia saat ini dapat dikatakan mencakup:
(1) Jaminan penerapan prinsip no-harm policy untuk mengundang investor.
Arah kebijakan ini tercermin pada penetapan Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang menyatukan pengaturan
PMA (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967) dan PMDN (Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1968) mencerminkan prinsip nondiskriminatif antara PMA
dan PMDN14.
(2) Peningkatan linkages dengan meningkatkan spillover effect PMA pada
PMDN untuk pengembangan investor yang ada. Arah visi kebijakan ini
tercermin dalam Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2016 sebagai
pedoman pelaksanaan utama Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007
tentang Penanaman Modal. Peraturan ini, antara lain, menetapkan
persyaratan kandungan lokal (local content) untuk produk PMA,
persyaratan kemitraan dengan PMDN-baik skala mikro-kecil maupun
menengah, penetapan daftar negatif investasi bagi masuknya PMA,
pembatasan modal hingga penetapan persyaratan perizinan dan jaminan
kesinambungan pasokan, ataupun kewajiban transfer teknologi.
(3) Pembangunan infrastruktur yang mencakup sarana-prasarana fisik (tol,
kereta, pelabuhan, dan bandara) ataupun nonfisik, seperti pembenahan
dan penyederhanaan tata kelola dan administrasi perizinan penanaman
modal dalam kerangka meningkatkan persepsi ease of doing business di
Indonesia.
14 Dua prinsip lainnya adalah kejelasan visi mengenai peran PMA dalam strategi pembangunan dan melibatkan banyak pemangku kepentingan/stakeholder.
77
Seberapa jauh kebijakan tersebut dapat efektif, perlulah dikaji tersendiri.
Studi Echandi, misalnya, menilai kebijakan yang bersifat membatasi atau
penetapan persyaratan justru dinilai lebih mendistorsi perdagangan jika
dibandingkan dengan kebijakan yang berorientasi pada penyediaan infrastruktur
(lihat Tabel 5.2).
Tabel 5.2. Kebijakan Penunjang Peningkatan Peran PMA
Ways to achieve the objective Policy Examples
Most trade
distortive
A. Local content policies by fiat:
Competition and trade distortive.
May deter FDI inflows.
Local content performance requirements for the establishment
of a foreign investment Local content requirement to access public procurement by foreign investors
B. Value addition with mixed outcomes:
May distort competition and trade.
Have shown positive effects on local in
some cases (large markets, sufficient capacity).
Incentives to promote domestic value addition
Least trade
distortive
C. Other (desirable) domestic value addition policies:
Naturally promote domestic value
addition in a sustained manner by increasing investment and domestic firms competitiveness
Supporting non-equity modes of investment Corporate social responsibility/creation of shared
value. Capacity building including skills development and R&D Improving logistics Investing in infrastructure Improving other aspects of business friendly environment (i.e. regulatory transparency) Other aspects of private sector development
2. Kebijakan untuk meningkatkan/mengembangan peran dan spillover effect
keberadaan PMA. Jika mengamati studi-studi yang memetakan kebijakan
investasi lintas negara, kebijakan itu mencakup (a) kejelasan statemen visi
pelaksanaan kebijakan sebagai bagian strategi pembangunan ekonomi
nasional jangka menengah-panjang atau ukuran-ukuran pencapaiannya; (b)
penyiapan sarana-prasarana yang menunjang mobilitas faktor dan sumber
daya secara efektif dan efisien; (c) pembangunan sistem sel/blok produksi
sesuai dengan endowment regional yang ditunjang jasa/sarana transportasi
dan distribusi yang efektif dan efisien; dan (d) dukungan kegiatan R dan D,
78
edukasi, dan pelatihan untuk menunjang pengembangan industri berbasis
teknologi.
Kebijakan untuk menunjang perubahan persepsi persaingan dan spillover
effect PMA bagi PMDN ataupun antar-PMA. Kebijakan umum yang digunakan
untuk menunjang spillover effect dan sekaligus mengurangi persaingan (atau
sebaliknya meningkatkan kerja sama) antara PMA dan PMDN mencakup (a)
penetapan persyaratan kemitraan bagi kedua usaha tersebut, (b)
pembangunan/pengembangan infrastruktur (termasuk sarana/prasarana
transportasi dan distribusi, teknologi informasi dan komunikasi, peluang promosi,
akses pembiayaan, jaringan distribusi hingga konsistensi arah kebijakan lintas
bidang yang mencakup kebijakan sektor riil/industri, fiskal, keuangan ataupun
makroekonomi), penciptaan lingkungan yang kondusif bagi penanaman modal dan
peningkatan keahlian (middle-higher skill) tenaga kerja.
Jika belajar dari Korea, spillover effect tidak dilakukan dalam bentuk penetapan
syarat kemitraan, tetapi dilakukan dalam bentuk persyaratan pelatihan bagi SDM-
Korea untuk praktik kerja di MNC-PMA home-country ataupun host country-
lainnya katagori negara maju atau kontrak produksi komponen tertentu yang
memberikan nilai tambah tinggi dari suatu rangkaian produk antar-negara atau
MNC-PMA utama. Samsung dan LG yang kini menjadi korporasi industri ICT
terbesar dunia, misalnya, menjadi supplier layar LCD bagi ICT MNC-Japan (Nokia,
Sonny, Toshiba, dll). Adapun Hyundai menjadi supplier blok mesin untuk Nisan,
Daihatsu, Isuzu, Toyota, dan Mercedes Benz.
3. Kebijakan meningkatkan daya saing dan meningkatkan orientasi produk
Indonesia dari sektor primer ke sekunder dan/atau tersier dalam Regional
Value Chain MEA ataupun Global Value Chain-APEC. Arah kerja sama regional,
khususnya MEA dan APEC–terlepas dari perkembangan terkini penarikan diri
Amerika Serikat dari TPP-mengisyaratkan bahwa (a) PMA bersifat
komplementer dengan perdagangan kawasan ini, (b) implementasi eficiency
seeking dan pengembangan blok-blok produksi dalam kerangka meningkatkan
nilai tambah dan kesejahteraan masyarakat didasarkan pada keunggulan dan
endowment tiap-tiap anggota, dan (c) comparative advantage yang dicerminkan
oleh biaya produksi dan biaya jasa perdagangan menjadi kuncinya.
Hasil pengujian menunjukan potensi permasalahan pelemahan comparative
advantage sebagai salah satu akar masalah pengembangan industri yang
berorientasi ekspor. Pelemahan daya saing tercermin pada signifikansi pengaruh
79
REER, CPI, dan PPI jika dibandingkan dengan hal yang sama pada negara-negara
anggota MEA lainnya, khususnya Vietnam, Laos, dan Cambodia. Ease of doing
business Indonesia–berada pada peringkat 108 juga lebih rendah daripada
Vietnam yang berada pada posisi 82 atau Malaysia pada posisi 23 dan Thailand
pada posisi 46 sebagai kompetitor utama. Rendahnya daya saing menjadikan
Indonesia dipilih sebagai lokasi industri primer atau hulu yang relatif
menggunakan low-technology daripada industri hilir dengan middle atau bahkan
high technology. Di bidang otomotif, misalnya, kini ada kecenderungan, baik
Jepang (Toyota, Mitsubishi, Hino, Isuzu, dan/atau Yamaha) maupun
Amerika/Eropa (Ford, General Motor, dan BMW) merelokasikan industri
manufakturnya ke Thailand dan Vietnam. Faktor masalah ketenagakerjaan diduga
menjadi salah satu pertimbangan relokasi industri itu.
Dalam kaitan PMA intra-ASEAN, Indonesia juga lebih menjadi lokasi
industri hulu daripada industri hilir. Indonesia menjadi pilihan PMA perkebunan
sawit dengan hasil CPO, produk-produk turunan CPO ataupun olahan lanjutan
CPO seperti olefein atau oleochemical yang menjadi bahan campuran untuk
industri dari makanan hingga sabun, kosmetik, dan obat-obatan berada di negara
lain (Malaysia dan Thailand). Sebagian hasil akhir tersebut diekspor kembali ke
Indonesia.
Dalam kaitan itu, dengan didasarkan pada kerangka OLI yang juga
didasarkan pada asumsi pasar persaingan tak sempurna, opsi pengembangan
industri berdasarkan peta potensial endowment secara spatial regional pada
pertumbuhan ekonomi nasional perlu dipertimbangkan. Jika didukung dengan
perkembangan sarana transportasi, faktor ketersediaan sumber daya terdidik
relatif bukanlah masalah di Indonesia. Sebaliknya faktor sistem ketenagakerjaan
(termasuk jaminan kelangsungan kerja dan sistem pensiun, politisasi sistem
pengupahan, ketimpangan sarana penunjang kualitas hidup antarregional, dan
demo buruh) yang mempengaruhi tingkat produktivitas tenaga/jam kerja dan
faktor kepastian/penegakan hukum ataun penyelesaian sengkera bisnis/kontrak
antarpihak yang melibatkan banyak stakeholder dan bersifat multinasional,
dipandang sebagai faktor yang mengurangi minat investasi asing. Pembenahan
atas aspek-aspek yang dapat melemahkan produktivitas tersebut tidak hanya
memberikan kepastian aliran PMA, tetapi juga daya saing Indonesia dalam konteks
perdagangan regional/global.
80
Daftar Pustaka
Beata Smarzynska Javorcik, “Does Foreign Direct Investment Increase the
Productivity of Domestic Firms? In Search of Spillovers Through Backward
Linkages”, The American Economic Review, Vol. 94, No. 3 (Jun., 2004), pp.
605-627.
Brian J. Aitken and Ann E. Harrison: “Do Domestic Firms Benefit from Direct
Foreign Investment? Evidence from Venezuela”, The Mnerican Economic
Review, June 1999.
Bruce A. Blonigen, “A Review of the Empirical Literature on FDI Determinants”,
University of Oregon and NBER, April 2005.
Carlo Altomonte_Enrico Pennings, “Domestic plant productivity and incremental
spillovers from foreign direct investment”, ERIM Report Series Research in
Management reference number ERS-2009-012-STR. February 2008.
Christian Fons-Rosen, Sebnem Kalemli-Ozcan, Bent E. Sørensen, Carolina
Villegas-Sanchez, Vadym Volosovych. “Quantifying Productivity Gains from
Foreign Investment”, National Berau of Economic Reseach WP No. 18920,
March 2013.
Christopher A. Sims: “Interpreting The Macroeconomic Time Series Facts: The
Effects of Monetary Policy”, August 1991.
E. Borensztein, J. De Gregoriob, J-W. Lee, “How does foreign direct investment
affect economic growth?”, Journal of International Economics 45 (1998)
115–135.
James P. Walsh and Jiangyan Yu,”Determinants of Foreign Direct Investment: A
Sectoral and Institutional Approach”, IMF Working Paper WP/10/187, July
2010.
John H. Dunning, “The eclectic paradigm as an envelope for economic and
business theories of MNE activity, International Business Review 9 (2000)
163–190, www.elsevier.com/locate/ibusrev.
Jonathan E. Haskel, Sonia C. Pereira, Matthew J. Slaughter, “Does Inward Foreign
Direct Investment Boost the Poductivity of Domestic Firms?”, National
Berau of Economic Reseach Working Paper Series, Working Paper 8724,
http://www.nber.org/papers/w8724, January 2002, econpaper (2007).
Laura Alfaro, Maggie Chen: “Surviving The Global Financial Crisis: Foreign
Ownership and Establishment Performance”, National Berau of Economic
Reseach Working Paper Series, Working Paper 17141,
http://www.nber.org/papers/w17141, June 2011.
81
Laura Alfaro and Andrew Charlton, “Intra-lndustry Foreign Direct Investment”,
American Economic Review 2009, 99:5, 2096-2119 http://www.
aeaweb.org/articles.php?doi=10.1257/aer. 99.5.2096.
Mihir A. Desai, C. Fritz Foley, Kristin J. Forbes: “Financial Constraints and Growth:
Multinational and Local Firm Responses to Currency Depreciations”,
Oxford University Pres.-Advance Access publication, March 17, 2007.
Nicholas Bloom, Raffaella Sadun and John Van Reenen: “The Organization of Firms
across Countries”, CEP Discussion Paper No 937, June 2009.
Ozturk, Ilhan, “Foreign Direct Investment – Growth Nexus: A Review of The Recent
Literature”, International Journal of Applied Econometrics and Quantitative
Studies Vol. 4-2 (2007).
Pol Antràs, Mihir A. Desai, C. Fritz Foley: “Multinational Firms, FDI Flows and
Imperfect Capital Markets”, National Berau of Economic Research Working
Paper Series, Working Paper 12855,
http://www.nber.org/papers/w12855. January 2007.
Wolfgang Keller: “International Trade, Foreign Direct Investment, and Technology
Spillovers”, National Berau of Economic Reseach Working Paper Series,
Working Paper 15442, http://www.nber.org/papers/w15442, October
2009, 2009a.
V. N. Balasubramanyam, M. Salisu and David Sapsford, “Foreign Direct Investment
and Growth in EP and IS Countries”, The Economic Journal, 106
(January), 92-I05.
Robert E. Lipsey, “Home- and Host-Country Effects of Foreign Direct Investment”
National Bureau of Economic Research publication “Challenges to
Globalization: Analyzing the Economics”
http://www.nber.org/books/bald04-1, February 2004.
Salvador Barrios, Holger Görg and Eric Strobl, “Multinational Enterprises and New
Trade Theory: Evidence for the Convergence Hypothesis”, Centre for
Research on Globalisation and Labor Markets, Research Paper 2000/19.
Tain-Jy Chen, Homin Chen and Ying-Hua Ku, “Foreign direct investment and local
linkages”, journal of International Business Studies (2004) 35, 320-333?
2004 Palgrave Macmillan Ltd.
82
Lampiran
1. (contoh) Hasil Pengujian Empiris Hipotesis PMA dan Pertumbuhan Ekonomi
Model Simulasi 1: endogen var GDP, PMA, PMDN, TK
Simulasi model ini dilakukan dengan (a) menggunakan data pertumbuhan (hasil
pengujian sebagaimana tabel di atas, (b) menggunakan data d (X) dengan X
adalah nominal GDP, PMA, PMDN, dan Jumlah Angkatan Kerja, (c) model dengan
lag optimum teridentifikasi, dan (d) simulasi dengan ataupun tanpa intercept
sebagai exogen variable.
83
Simulasi 2: menggantikan PMDN pada model simulasi 1 dengan GDP kapita
dengan pertimbangan GDP kapita menjadi proxy kemampuan saving domestik.
Simulasi lanjut model seperti halnya model 1.
84
2. (contoh) Hasil Pengujian Empiris Hipotesis PMA dan Produktivitas
Model Simulasi 1: dengan variable endogen PMA, KP, TFP, dan LP
KP adalah produktivitas Kapital PMA (dPMA/dGDP), TFP adalah Total Factor
Productivity, dan LP adalah Labor Productivity. Simulasi model ini dilakukan (a)
atas indikator produktivitas tenaga kerja, yakni LPLP (labor productivity), LPHG
(man-hour labor productivity) dan (b) dengan ataupun tanpa intercept sbg eksogen.
85
3. (contoh) Hasil Pengujian Empiris Hipotesis Determinan indikator Motif PMA
86
Simulasi model dilakukan dengan menggunakan (a) nominal ataupun
pertumbuhan, (b) penggantian indikator keterbukaan ekonomi (CAD) dengan X,
keterbukaan keuangan (KAB) dengan sisi liabilities capital acc atau cadangan
devisa, penggantian PMDN dengan kemampuan tabungan domestik, serta tenaga
kerja (TK) dengan jumlah angkatan kerja, enrollment, produktivitas jumlah,
ataupun jam kerja, (c) simulasi dengan menggunakan reduced form, yakni
mengeliminasi variabel yang secara konsisten dinyatakan insignifikan, (d) simulasi
model dengan ataupun tanpa intercept. Hasil pengujian yang diperhatikan wajib
memenuhi tes stabilitas, normalitas, heteroskedastisitas, serta pemenuhan
justrifikasi SVAR dalam model.
87
88
Contoh Peta Impulse Respon – pada model pengujian SVAR Determinan PMA