institutional repository uin syarif hidayatullah jakarta: home -...
TRANSCRIPT
iv
ABSTRAK
Ladina Rosalinda, NIM 11150440000138. Kompetensi Pengadilan Agama dan
Pengadilan Negeri Dalam Memutus Perceraian Akibat Kawin Beda Agama
(Analisis Putusan Pengadilan Agama Nomor. 1377/Pdt.G/2016/PA.JS dan
Putusan Pengadilan Negeri Nomor. 668/Pdt.G/2015/PN.Jkt.Sel. Program Studi
Hukum Keluarga (Akhwal Syakhsiyyah), Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2019 M/1441 H.
Pada umumnya, perceraian dapat diputus melalui salah satu lembaga
peradilan yang berwenang, tergantung perkawinan yang dilangsungkan oleh
kedua belah pihak berperkara. Akan tetapi, seiring berkembangnya zaman
terdapat permasalahan yang kompleks menyinggung kewenangan lembaga
peradilan di masing-masing tingkatan, sehingga menimbulkan ketidakpastian
hukum mengenai kompetensi yang dimiliki oleh lembaga peradilan itu sendiri.
Penelitian ini bertujuan untuk membahas keabsahan perkawinan, serta
mengetahui kompetensi dari masing-masing lembaga peradilan yakni Pengadilan
Agama dan Pengadilan Negeri, dimana kedua lembaga peradilan tersebut
diketahui telah memutus perceraian yang dilakukan oleh pasangan perkawinan
beda agama, sebagaimana tertera dalam putusan Nomor. 1377/Pdt.G/2016/PA.JS
dan putusan Nomor. 668/Pdt.G/2015/PN.Jkt.Sel. Penelitian ini termasuk pada
penelitian kualitatif, dengan menggunakan pendekatan yuridis-normatif.
Hasil dari penelitian ini adalah apabila telah berlangsung dua kali
perkawinan dengan ritual keagamaan yang berbeda, pertama dilakukan secara
Islam dan kedua secara Kristen. Kemudian kedua perkawinan tersebut hanya salah
satu yang dicatatkan, maka perkawinan yang sah adalah perkawinan kedua, yang
memiliki bukti berupa akta nikah sebab telah tercatat di Kantor Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil. Sedangkan perkawinan pertama dianggap tidak
sah, karena dinilai tidak memiliki butkti yang kuat. Meskipun pasangan
perkawinan tersebut berbeda agama, namun yang dianggap sah hanya satu
perkawinan, yakni perkawinan secara agama Kristen. Dengan begitu Pengadilan
Negeri yang berwenang memutus perkara tersebut.
Kata Kunci: Kompetensi Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri, Perceraian
Akibat Kawin Beda Agama.
Pembimbing: Indra Rahmatullah, S.H.I., M.H.
Daftar Pustaka: 1982 - 2018
v
KATA PENGANTAR
Segala puja dan puji syukur kepada Allah SWT. Tuhan semesta alam, atas
rahmat, hidayah, dan cahaya ilmu-Nya yang telah dilimpahkan terkhusus kepada
penulis, serta atas izin dan ridho-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini
dengan judul: Kompetensi Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri dalam
Memutus Perceraian Akibat Kawin Beda Agama (Analisis Putusan Pengadilan
Agama Nomor. 1377/Pdt.G/2016/PA.JS dan Putusan Pengadilan Negeri Nomor.
668/Pdt.G/2015/PN.Jkt.Sel) sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi
pada Program Studi Hukum Keluarga di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta. Kemudian, sholawat serta salam semoga dapat tercurahkan
kepada junjungan Nabi besar kita, Nabi Muhammad SAW. beserta keluarga,
sahabat dan seluruh umatnya. Sebab dari jasa beliaulah kita dapat menempuh
zaman yang kaya akan ilmu pengetahuan seperti saat ini.
Selanjutnya dalam menempuh proses skripsi ini, penulis mendapatkan
bantuan dan dorongan motivasi yang mampu membangun semangat penulis dari
segala kesulitan dan hambatan, tak luput juga hal tersebut tentunya semata-mata
atas izin Allah SWT. Oleh sebab itu, dalm kesempatan kali ini penulis ingin
mengucapkan terimakasih yang tidak terhingga untuk semua pihak yang telah
membantu baik secara moril ataupun materil, sehingga terselesaikannya skripsi
ini, ucapan itu khususnya diberikan kepada:
1. Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, M.A., Rektor Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A., selaku Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
berikut para Wakil Dekan I, II, dan III Fakultas Syariah dan Hukum.
3. Dr. Mesraini, M.Ag., dan Ahmad Chairul Hadi, M.A., selaku Ketua Program
Studi Hukum Keluarga dan Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga
vi
Fakultas Syariah dan Hukum, yang senantiasa memberikan dorongan
motivasi, semangat, dan doa bagi penulis beserta rekan-rekan jurusan.
4. Hj. Rosdiana, M.A., selaku Dosen Pembimbing Akademik penulis yang
senantiasa bersedia mendengar keluh kesah penulis selama berkuliah, serta
beliau juga yang mendukung, membimbing, dan mengarahkan penulis untuk
dapat menemukan masalah penelitian.
5. Indra Rahmatullah, S.HI, M.H., selaku Dosen Pembimbing Skripsi penulis
yang hebat, tak kenal lelah, murah hati, dan sabar dalam membimbing serta
menuntun penulis untuk menyelesaikan skripsi ini tahap demi tahap. Penulis
beruntung bisa menjadi anak didik beliau.
6. Seluruh Dosen di Fakultas Syariah dan Hukum yang telah mendidik dan
memberikan ilmu yang berharga kepada penulis, serta seluruh staf dan
karyawan yang telah memberikan pelayanan terpadu selama penulis berkuliah
di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
7. Kepada yang teristimewa, orang tua penulis. Papah dan Mamah (Anbiya
Suharja dan Tuti Supriati) yang telah begitu banyak memberikan kasih sayang,
doa yang tulus, dan segala jerih payahnya untuk penulis selaku buah hati
mereka. Serta kedua adik perempuan penulis (Lisda Umul Kulsum dan Linda
Adriyanti) yang selalu menghibur penulis dan memberikan semangat bagi
penulis.
8. Kepada yang tercinta dan terbaik dari segalanya, sahabat Calon S.H. Ira Putri,
Nurmalia Ivani, Siti Muslika, Winanda Fikri, S.H., Kahfil Waro, Suparman
S.H., Khairunnisa Fahmiyanti S.H., yang telah banyak berkontribusi dalam
memberikan semangat dan dorongan motivasi serta telah bersedia menemani
suka maupun duka penulis selama penulis berkuliah dan menyelesaikan
skripsi.
9. Kepada sahabat sekaligus teman seperjuangan. Dina Rahayu, Imamah, Dede
Siti, Novia Dwi S.H., Novia Yulianti, Asma Hana, Iis Sholehah, Devy Nurul,
Halimatus Sa’adah, Desi Widayanti, yang telah bersama-sama membantu
penulis menemukan masalah penelitian serta telah mewarnai kehidupan
penulis selama berkuliah.
vii
10. Kepada guru, sahabat, serta teman taat bagi penulis. Kak Sevi Syophia, S.H.,
Sita Rosidah, Rahmah Nurlaily, Nafi, Kak Una, Ana Eka Fitriani, S.H., Kak
Putri Ayu Mukhtar, S.Pd., dan seluruh keluarga besar Alumni Ponpes At-
taqwa Almiski 2015, keluarga besar Forum Komunikasi At-taqwa (FKMA),
keluarga besar LDKS FSH, keluarga besar LDK Syahid UIN Jakarta, keluarga
besar LTQ (Lembaga Tahfidz Qur’an) Syahid, keluarga besar ALQUMI
(Asosiasi Lembaga Al-Qur’an Mahasiswa Indonesia), keluarga Besar Program
Studi Hukum Keluarga 2015, keluarga KKN Creator 66 2018 yang tidak dapat
penulis sebutkan namanya satu-persatu. Mereka yang telah membantu penulis
untuk tumbuh berproses dibidang yang diminati oleh penulis.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih memerlukan banyak
perbaikan. Oleh sebab itu, kritik dan saran akan penulis perhatikan secara baik.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan setiap pembaca
pada umumnya, serta dicatat sebagai suatu amal baik di sisi Allah SWT. Amin.
Ciputat, 26 September 2019
Ladina Rosalinda
Penulis
viii
PEDOMAN TRANSLITERASI
Hal yang dimaksud dengan transliterasi adalah alih aksara dari tulisan
asing (terutama Arab) ke dalam tulisan Latin. Pedoman ini diperlukan terutama
bagi mereka yang dalam teks karya tulisnya ingin menggunakan beberapa istilah
Arab yang belum dapat diakui sebagai kata bahasa Indonesia atau lingkup masih
penggunaannya terbatas.
a. Padanan Aksara
Berikut ini adalah daftar akasara Arab dan padanannya dalam aksara Latin:
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
Tidak Dilambangkan ا
B Be ب
T Te ت
Ts te dan es ث
J Je ج
h} ha dengan garis bawah ح
Kh ka dan ha خ
D De د
Dz de dan zet ذ
R Er ر
ix
Z Zet ز
S Es س
Sy es dan ye ش
s} es dengan garis bawah ص
d} de dengan garis bawah ض
t} te dengan garis bawah ط
z} zet dengan garis bawah ظ
koma terbalik diatas hadap ‘ ع
kanan
Gh ge dan ha غ
F Ef ف
Q Qo ق
K Ka ك
L El ل
M Em م
N En ن
W We و
H Ha ه
Apostrop ‘ ء
x
Y Ya ي
b. Vokal Pendek dan Vokal Panjang
Vokal Pendek Vokal Panjang
_____ ______ = a ىا = a>
_____ ______ = i ىي = i>
_____ ______ = u ىو = u>
c. Diftong dan Kata Sandang
Diftong Kata Sandang
al = )ال( ai = __ أ ي
al-sh = )الش( aw = __ أ و
-wa al = )وال(
d. Tasydid (Syaddah)
Dalam alih aksara, syaddah atau tasydid dilambangkan dengan huruf,
yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah. Tetapi, hal ini
tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah
kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya: al-Syuf’ah,
tidak ditulis asy-syuf’ah
e. Ta Marbutah
xi
Jika ta marbutah terdapat pada kata yang berdiri sendiri (lihat contoh
1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2), maka huruf ta marbûtah
tersebut dialihaksarakan menjadi huruf “h” (ha). Jika huruf ta marbûtah
tersebut diikuti dengan kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihasarakan
menjadi huruf “t” (te) (lihat contoh 3).
Kata Arab Alih Aksara
syarî ‘ah شريعة
al- syarî ‘ah al-islâmiyyah الشريعة اإلسال مية
Muqâranat al-madzâhib مقارنة المذا هب
Beberapa ketentuan lain dalam EYD juga dapat diterapkan dalam alih
aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring atau cetak tebal.
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama yang berasal dari dunia
Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meski akar kara nama
tersebut berasal dari Bahasa Arab. Misalnya: Nuruddin al-Raniri, tidak ditulis
Nûr al-Dîn al-Rânîrî.
Istilah keislaman (serapan): istilah keislaman ditulis dengan
berpedoman kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia, sebagai berikut contoh:
No Transliterasi Asal Dalam KBBI
1 Al-Qur’a>n Alquran
2 Al-H}adi>th Hadis
3 Sunnah Sunah
xii
4 Nas{ Nas
5 Tafsi>r Tafsir
6 Fiqh Fikih
Dan lain-lain (lihat KBBI)
xiii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................................. i
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ................................................................. ii
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................................... iii
ABSTRAK .................................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR .................................................................................................... v
PEDOMAN TRANSLITERASI ................................................................................... viii
DAFTAR ISI ................................................................................................................ xiii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................... 1
A. Latar Belakang .............................................................................................................. 1
B. Identifikasi Masalah ...................................................................................................... 4
C. Pembatasan Masalah dan Rumusan Masalah ................................................................ 4
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ..................................................................................... 5
E. Studi Literatur ............................................................................................................... 6
F. Metode Penelitian ......................................................................................................... 8
G. Rancangan Sistematika Penulisan ............................................................................... 10
BAB II PERCERAIAN AKIBAT KAWIN BEDA AGAMA DAN KOMPETENSI
LEMBAGA PERADILAN ........................................................................................... 12
A. Perkawinan Beda Agama ............................................................................................ 12
1. Pengertian Perkawinan Beda Agama ...................................................................... 12
2. Regulasi Perkawinan Beda Agama di Indonesia .................................................... 16
B. Putusnya Perkawinan Karena Perceraian .................................................................... 22
1. Putusnya Perkawinan Menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dan
Kompilasi Hukum Islam (KHI) ...................................................................................... 22
2. Alasan-alasan Perceraian Menurut Undang-Undang No.1 tahun 1974 dan
Kompilasi Hukum Islam (KHI) ...................................................................................... 23
C. Kompetensi Lembaga Peradilan Dalam Memutus Perceraian Akibat Kawin Beda
Agama ................................................................................................................................. 25
1. Kompetensi Lembaga Peradilan ............................................................................. 25
2. Asas Personalitas Keislaman dalam Menangani Kasus Perceraian Akibat Kawin
Beda Agama .................................................................................................................... 32
xiv
BAB III PENANGANAN PERKARA PERCERAIAN AKIBAT KAWIN BEDA
AGAMA ...................................................................................................................... 35
A. Kronologis Perkara Nomor 668/Pdt.G/2015/PN.Jkt.Sel ............................................. 35
1. Duduk Perkara ........................................................................................................ 35
2. Pertimbangan Hakim .............................................................................................. 41
3. Amar Putusan .......................................................................................................... 43
B. Kronologis Perkara Nomor 1377/Pdt.G/2016/PA.JS .................................................. 44
1. Duduk Perkara ........................................................................................................ 44
2. Pertimbangan Hakim .............................................................................................. 49
3. Amar Putusan .......................................................................................................... 54
BAB IV ANALISIS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA NO.
1377/Pdt.G/2016/PA.JS DAN PUTUSAN PENGADILAN NEGERI NO.
668/Pdt.G/2015/PN.Jkt.Sel ................................................................................................... 60
A. Analisis Mengenai Dasar Hukum Pertimbangan Hakim Tingkat Pertama di
Pengadilan Agama Nomor. 1377/Pdt.G/2016/PA.JS dan Pertimbangan Hakim di
Pengadilan Negeri Nomor. 668/Pdt.G/2015/PN.Jkt.Sel dalam Memutus Perceraian
Akibat Kawin Beda Agama ................................................................................................ 60
B. Analisis Mengenai Terjadinya Dua Putusan dalam Penanganan Perkara Cerai
yang di Keluarkan Oleh Dua Lembaga Peradilan Pada Tingkat Pertama di Pengadilan
Agama dan Pengadilan Negeri ............................................................................................ 75
C. Analisis Mengenai Dua Putusan yang Mana dapat dianggap Berkekuatan Hukum
Tetap ................................................................................................................................... 82
BAB V PENUTUP ................................................................................................................. 84
A. Kesimpulan ................................................................................................................. 84
B. Saran-saran .................................................................................................................. 86
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................ 88
LAMPIRAN-LAMPIRAN ................................................................................................... 93
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkawinan yang baik yakni perkawinan yang dilakukan oleh pria dan
wanita dalam satu akidah, akhlak, maupun tujuannya. Islam memandang
kehidupan keluarga seperti itu tidak akan terwujud secara sempurna, kecuali
suami istri tersebut berpegang pada agama yang sama. Jika keyakinan
keduanya berbeda, maka timbullah berbagai kesulitan di lingkungan keluarga,
baik dalam pelaksanaan ibadah, pendidikan anak, pembinaan tradisi
keagamaan, dan lain-lain.1
Apabila dilihat dari keabsahan suatu perkawinan, jelas sudah diatur
dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan,
yang menyatakan bahwa suatu perkawinan dilakukan menurut hukum masing-
masing agama dan kepercayaannya.2 Dengan demikian, substansi yang
terkandung dalam Undang-Undang Perkawinan tersebut tidaklah mengatur
perihal perkawinan beda agama. Undang-Undang ini juga tidak melarang
perkawinan beda agama, sehingga sah atau tidaknya perkawinan ditentukan
oleh hukum agama masing-masing. Hal tersebut menimbulkan kekosongan
hukum mengenai keabsahan praktek perkawinan beda agama di Indonesia.3
Selain itu pada prakteknya, perkawinan beda agama ini juga telah
banyak melakukan pencatatan perkawinan di Kantor Catatan Sipil. Pencatatan
dilakukan semata hanya ingin memenuhi syarat administratif saja, sebagaimana
perintah Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan. Namun, keabsahannya
kembali lagi pada ketentuan masing-masing agama serta keinginan kedua calon
1 Novianty, Fatwa Perkawinan Beda Agama Majelis Tarjih Muhammadiyah dihubungkan
dengan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, h. 1-2
2 Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
3 Kadek W. Indrayanti, dkk., “Peran Negara dalam Memberikan Perlindungan Hukum
Bagi Calon Pasangan Kawin Beda Agama (KBA) di Indonesia”, Vol.6, No.1,(Juni, 2015) h. 57
2
mempelai. Oleh karena itu tidak jarang jika mereka melakukan upacara
perkawinan dua kali yaitu menurut hukum dan menurut agama masing-
masing.4
Disamping itu, melalui ikatan perkawinan yang dilakukan terdapat pula
kebahagian yang perlu dicapai dalam suatu keluarga, dan kebahagian itu
haruslah bersifat kekal. Hal tersebut ditujukan untuk jangka waktu selamanya,
sampai matinya salah seorang di antara pasangan perkawinan. Namun, dalam
keadaan tertentu terdapat hal-hal yang menghendaki putusnya perkawinan. Jika
ikatan perkawinan tersebut tetap dilanjutkan, maka kemudaratan pasti akan
terjadi.5 Sehingga ada prosesnya, perceraian dapat diminta oleh salah satu
pihak atau kedua belah pihak untuk mengakomodasi realitas-realitas tentang
perkawinan yang gagal. Meskipun begitu, perceraian merupakan suatu hal
yang dibenci dalam Islam meskipun kebolehannya sangat jelas dan hanya
boleh dilakukan ketika tidak ada jalan lain yang dapat ditempuh oleh kedua
belah pihak. 6
Dalam Pasal 38 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
dan Pasal 113 Kompilasi Hukum Islam (KHI) menjelaskan tentang penyebab
putusnya perkawinan. Dengan demikian, bagi pasangan yang ingin
melangsungkan perceraian di Indonesia tidak semudah itu dilakukan.
Melainkan, mereka harus melakukannya di hadapan pengadilan. Hukum positif
di Indonesia telah mengatur lembaga peradilan mana yang berhak dan
berwenang dalam menyelesaikan masalah perceraian, hal tersebut berkaitan
4 Muhammad Ashsubli, “Undang-Undang Perkawinan Dalam Pluralitas Hukum Agama
(Judicial Review Pasal Perkawinan Beda Agama)”, Vol.3, No.2, (2015) h. 290
5 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana
Prenadamedia Group, 2014) h. 190
6 Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013) h.
228
3
dengan kewenangan relatif dan absolut dari masing-masing lembaga
peradilan.7
Dalam menentukan pengadilan mana yang berwenang untuk mengadili
perkara cerai akibat kawin beda agama ini, maka harus memerhatikan agama
masing-masing pasangan dan tata cara yang digunakan dalam melangsungkan
perkawinan. Dengan demikian, bagaimana jika perkara tersebut dilakukan oleh
pasangan yang menundukkan diri pada agama Islam dan agama selain Islam?
Hal tersebut seperti pada perkara dalam putusan Nomor.
1377/Pdt.G/2016/PA.JS dan putusan Nomor. 668/Pdt.G/2015/PN.JKT.SEL,
yang dimana kasus perceraian akibat kawin beda agama ini diputus oleh dua
lembaga peradilan tingkat pertama.
Berawal dari dilangsukannya perkawinan menurut agama Islam yang
diselenggarakan di salah satu Masjid daerah Jakarta. Kemudian, selang
beberapa bulan setelah melangsukan perkawinan tersebut, pasangan
perkawinan ini juga turut melangsukan perkawinan secara ajaran agama
Kristen, di salah satu Hotel daerah Serpong dengan dihadiri oleh Pendeta
Gereja setempat. Setelah melakukan perkawinan menurut dua agama, akhirnya
pasangan tersebut pun mencatatkan perkawinannya hanya pada satu Kantor
Pencatatan Perkawinan.
Setahun pertama perkawinan mereka berjalan harmonis. Akan tetapi, di
tahun-tahun berikutnya tinbul perselisihan di antara mereka yang menyebabkan
keduanya ingin berpisah. Karena tidak kuasa lagi dengan salah satu sikap
pasangan, akhirnya dimulai oleh istrinya yang melayangkan gugatan cerai ke
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Namun di sisi lain, suami pun merasa
bahwa dirinya telah dirugikan pihak istri. Sebab, suami menilai mereka juga
telah melangsungkan pernikahan menurut agama Islam. Akhirnya, suami pun
ikut mengajukan cerainya ke Pengadilan Agama.
Berdasarkan kasus di atas, pasangan tersebut telah melangsungkan
perkawinan menurut dua agama yakni, menurut agama Islam dan agama
7 Awalauddin Hakim Zen, “Penyelesaian Perceraian Pasangan Beda Agama (Studi
Kasus Perceraian Pasangan yang Melakukan Dua Pencatatan Perkawinan pada Putusan
No.0979/Pdt.G/2015/Pa.kds)”, h. 2
4
Kristen. Maka bagaimana seharusnya upaya dalam menyelesaikan perkara
cerai tersebut? Lalu lembaga peradilan mana yang dapat berwenang untuk
memutus perkara cerai tersebut? Diketahui bahwa pada saat mengajukan
perkara tersebut suami masih beragama Islam dan istri sudah beragama
Kristen.
Oleh karena itu, berdasarkan pemaparan latar belakang di atas, penulis
merasa tertarik untuk membahas masalah yang ada dalam putusan tersebut,
dengan mengambil judul mengenai Kompetensi Pengadilan Agama Dan
Pengadilan Negeri Dalam Memutus Perceraian Akibat Kawin Beda Agama
(Analisis Putusan Pengadilan Agama Nomor. 1377/Pdt.G/2016/PA.JS dan
Putusan Pengadilan Negeri Nomor. 668/Pdt.G/2015/PN.Jkt.Sel).
B. Identifikasi Masalah
1. Bagaimana keabsahan perkawinan yang dilakukan oleh pasangan
perkawinan beda agama?
2. Bagaimana cara menyelesaikan perkara cerai akibat kawin beda agama
yang melangsungkan perkawinan tersebut secara dua agama?
3. Lembaga peradilan mana yang berwenang memutus perkara cerai akibat
kawin beda agama?
4. Apakah dasar hukum yang digunakan oleh Majelis Hakim tingkat pertama
di Pengadilan Agama dalam putusan Nomor. 1377/Pdt.G/2016/PA.JS
sudah sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku?
5. Bagaimana pertimbangan hukum dari Majelis Hakim tingkat pertama di
Pengadilan Negeri Nomor. 668/Pdt.G/2015/PN.JKT.SEL dalam memutus
perkara tersebut?
C. Pembatasan Masalah dan Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis memberikan batasan masalah
yang hanya terbatas pada Kompetensi Pengadilan Agama Dan Pengadilan
Negeri Dalam Memutus Perceraian Akibat Kawin Beda Agama (Analisis
Putusan Putusan Pengadilan Agama Nomor. 1377/Pdt.G/2016/PA.JS dan
Pengadilan Negeri Nomor. 668/Pdt.G/2015/PN.JKT.SEL).
5
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa pokok rumusan masalah yang
nantinya akan diteliti dalam skripsi ini, yaitu:
1. Apa yang menjadi dasar hukum pertimbangan hakim di Pengadilan Agama
dan Pengadilan Negeri dalam memutus perceraian akibat kawin beda
agama?
Berdasarkan masalah diatas, maka terdapat beberapa pertanyaan penelitian
diantaranya sebagai berikut:
a) Mengapa terjadi dua putusan dalam penanganan perkara cerai yang di
keluarkan oleh dua lembaga peradilan pada tingkat pertama di Pengadilan
Agama dan Pengadilan Negeri?
b) Adakah diantara kedua putusan tersebut yang berkekuatan hukum tetap?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Agar dapat mengetahui dasar hukum pertimbangan hakim di Pengadilan
Agama dan Pengadilan Negeri dalam memutus perceraian akibat kawin
beda agama.
2. Manfaat Penelitian
Dengan diadakannya penelitian ini, maka terdapat beberapa manfaat yakni
sebagai berikut:
a. Penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pengalaman dalam bidang
penelitian khususnya bagi penulis.
b. Penelitian ini juga dapat berguna sebagai bahan wawasan pengetahuan
bagi penulis tentang kompetensi Pengadilan Agama dan Pengadilan
Negeri dalam memutus perceraian akibat kawin beda agama.
c. Kemudian penelitian ini dapat bermanfaat bagi dunia penelitian di
lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
d. Selanjutnya penelitian ini juga dapat dijadikan sebagai bahan bacaan
bagi civitas akademik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, baik untuk
6
kepentingan akademik, maupun untuk kepentingan pengayaan
pengetahuan.
E. Studi Literatur
Berdasarkan hasil pencarian penulis, terdapat beberapa penelitian yang
telah dilakukan oleh para peneliti-peneliti terdahulu, mengenai kasus
perceraian akibat kawin beda agama. Dimana dalam penelitian tersebut juga
memiliki perbedaan baik dari segi bahasan, maupun dari segi objek kajian
peneitian. Adapun diantaranya akan penulis kemukakan penelitian terdahulu
yang dilakukan oleh:
1. Awaluddin Hakim Zen, telah melakukan penelitian dengan judul;
Penyelesaian Perceraian Pasangan Beda Agama (Studi Kasus
Perceraian Pasangan yang Melakukan Dua Pencatatan Perkawinan
pada Putusan No.0979/Pdt.G/2015/Pa.kds), UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, tahun 2018. Skripsi ini berisikan tentang perceraian yang
dilakukan oleh pasangan perkawinan beda agama, kemudian tercatatkan
perkawinannya pada dua lembaga pencatatan perkawinan. Akan tetapi,
perceraian tersebut telah diputus oleh salah satu lembaga peradilan tingkat
pertama, dimana Majelis Hakim merasa bahwa perkara tersebut termasuk
pada kewenangannya untuk mengadili. Namun demikian, penelitian ini
hanya menitikberatkan pada masalah pencatatan perkawinan yang
dilakukan oleh dua lembaga pencatat nikah, sehingga terdapat
ketidakpastian hukum terhadap kewenangan mengadili perkara cerai oleh
suatu lembaga peradilan.
2. M. Andri Iskandar Sholeh, telah melakukan penelitian dengan judul;
Hukum Perkawinan Beda Agama Menurut Pandangan Syaikh
Muhammad Rasyid Ridha, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun
2018. Skripsi ini hanya menjelaskan mengenai pasangan yang melakukan
perkawinan beda agama, selanjutnya perkawinan tersebut ditelaah
berdasarkan pandangan tokoh agama yakni Syaikh Muhammad Rasyid
Ridha. Penulis ini juga tidak mengaitkan perceraian akibat kawin beda
agama dalam penelitiannya.
7
3. Novianty, telah melakukan penelitian dengan judul; Fatwa Perkawinan
Beda Agama Majelis Tarjih Muhammadiyah dihubungkan dengan
Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, tahun 2019. Skripsi ini lebih condong membahas fatwa yang
dikeluarkan oleh Majelis Tarjih Muhammadiyah mengenai perkawinan
beda agama, kemudian dikaitkan dengan peraturan tertulis yang berlaku di
Indonesia yakni Undang-Undang Perkawinan. Pada penelitian ini juga
tidak memberi perhatian terhadap pelaksanaan cerai akibat kawin beda
agama, dan tidak pula membahas putusan pengadilan sebagai bahan telaah
dalam penelitian.
4. Dhiya Adliyanto, telah melakukan penelitian dengan judul; Perkawinan
Beda Agama (Studi Kasus di Kelurahan Cibeber Kecamatan Cibeber
Kota Cilegon) tahun 2019. Pada skripsi ini hanya membahas mengenai
pelaksanaan perkawinan beda agama yang dilakukan oleh masyarakat di
kelurahan Cibeber, Kota Cilegon. Penelitian ini juga tidak menitikberatkan
masalah kewenangan lembaga peradilan dalam mengadili perceraian akibat
kawin beda agama.
5. Udhin Wibowo, telah melakukan penelitian dengan judul; Tinjauan
Hukum Tentang Perpindahan Agama Dalam Suatu Perkawinan Beda
Agama Terhadap Penentuan Kewenangan Absolut Pengadilan Dalam
Menangani Perkara Perceraian “Studi Kasus Putusan Pengadilan
Nomor. 174/Pdt.G/2007/PN.Sby dan Putusan Nomor.
2583/Pdt.G/2007/PA.Sby”. Universitas Indonesia, tahun 2012. Pada
skripsi yang penulis temukan ini terdapat beberapa persamaan fokus
bahasan, dimana penelitian ini sama-sama membahas perceraian akibat
perkawinan beda agama, namun terdapat perbedaan yakni perkawinan
tersebut tercatat oleh dua lembaga pencatatan perkawinan, yang membuat
penelitinya memerlukan telaah dengan tinjauan hukum yang berlaku di
Indonesia.
6. Meilisa Fitri Harahap, telah melakukan penelitian dengan judul;
Penyelesaian Perceraian Beda Agama di Indonesia (Studi Kasus Yuni
8
Shara-Henry Siahaan) Universitas Andalas, Padang. Tahun 2011. Pada
penelitian ini memaparkan perihal tata cara menyelesaikan perkawinan
beda agama dengan menelaah kasus pelaku pelaksana perkawinan beda
agama melalui sebuah putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri,
dimana metode pendekatan yang digunakan adalah yuridis sosiologis,
yakni penelitian dengan menggunakan bahan kepustakaan dan data dari
lapangan.
7. Lysa Setiabudi, telah melakukan penelitian dengan judul; Analisis
Perkawinan Beda Agama (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri
Terkait dengan Izin Perkawinan Beda Agama) Universitas Negeri
Semarang, Tahun 2016. Penelitian ini berisikan tentang izin perkawinan
beda agama yang dilakukan di Pengadilan Negeri, dimana dalam tulisan
tersebut menitikberatkan pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri terhadap
makna perkawinan yang sebenarnya, sebagaimana yang telah diatur dalam
Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.
8. Moch. Choliq Al Muchlis, telah melakukan penelitian dengan judul
Analisis Yuridis Terhadap Pertimbangan Hukum Pengadilan Agama
Surabaya Dalam Perceraian Suami Istri Murtad Pada Perkara Cerai
Talak Dengan Alasan Murtad (Studi Putusan No.
2269/Pdt.G/2012/PA.Sby) UIN Sunan Ampel, 2014. Pada penelitian ini
telah memaparkan perihal perceraian suami istri murtad yang dilakukan di
Pengadilan Agama serta membahas mengenai macam-macam putusnya
perkawinan, alasan perceraian dan kewenangan absolut pengadilan.
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis sosiologis, yakni
dengan sumber data berupa putusan dan wawancara dengan majelis hakim.
F. Metode Penelitian
Dalam membahas penelitian ini, diperlukan suatu penelitian untuk
memperoleh data yang berhubungan dengan masalah-masalah yang dibahas,
serta gambaran dari masalah tersebut secara jelas, tepat dan akurat. Ada
beberapa metode yang akan penulis gunakan, antara lain:
9
1. Pendekatan Penelitian.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan yuridis-
normatif, yaitu pendekatan yang lebih menekankan kepada penerapan
norma-norma atau kaidah hukum serta aturan dalam al-Qur’an, dan sunnah
yang dilakukan dalam praktik hukum.8 Terutama dalam melihat kasus yang
telah diputus.
2. Jenis Penelitian.
Penelitian ini termasuk kepada jenis penelitian kualitatif, dimana
memiliki tujuan untuk dapat menemukan rancangan teori, dan kepustakaan
(library research)9 yang kemudian dapat dipelajari dengan menggunakan
literatur, perundang-undangan, dan yurisprudensi serta tulisan para sarjana
yang berhubungan dengan skripsi ini.
3. Sumber Data.
a. Data Primer yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari studi
dokumentasi yakni penelitian yang dilakukan di perpustakaan, dan
lain-lain. Kemudian penulis menjadikan putusan tingkat pertama di
Pengadilan Agama Nomor. 1377/Pdt.G/2016/PA.JS dan putusan
Pengadilan Negeri Nomor. 668/Pdt.G/2015/PN.Jkt.Sel sebagai data
primer yang nantinya akan dilakukan analisis hukum terhadap kedua
pertimbangan putusan tersebut mengenai perceraian akibat kawin beda
agama.
b. Data sekunder, yakni data yang akan melengkapi data primer dari
penelitian ini dengan menggunakan bahan berupa buku-buku, jurnal,
artikel, dan tulisan lainnya yang berhubungan dengan permasalahan
serta menjadi pokok bahasan dalam penelitian ini. Oleh karena itu,
pada umumnya data sekunder dalam keadaan siap terbuat dan dapat
8 Winarno Surakmad, Pengantar Penelitian Ilmiah, (Bandung: Tarsito, 1985), h. 140
9 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Cet. Ke-8 (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2004), h. 13
10
dipergunakan dengan segera, dan salah satu ciri dari data sekunder
tidak terbatas oleh waktu maupun tempat.10
4. Teknik Pengumpulan Data.
Penelitian ini menggunakan studi kepustakaan sebagai penelusuran
informasi dan data yang diperlukan dalam beberapa sumber. Penyusunan
dengan menggunakan studi kepustakaan dilakukan dengan cara membaca,
mempelajari serta menganalisis literatur atau buku-buku dan sumber
lainnya yang berkaitan dengan tema penelitian ini.
a. Analisa Data
Analisa data secara deduktif merupakan prosedur yang
berpangkal pada suatu peristiwa umum, yang kebenarannya telah
diketahui atau diyakini, dan berakhir pada suatu kesimpulan.
b. Teknik Penulisan
Teknik penulisan penelitian ini merujuk pada pedoman
penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang di terbitkan oleh Pusat Peningkatan dan
Jaminan Mutu (PPJM) Fakultas Syariah dan Hukum tahun 2017.
G. Rancangan Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan pembahasan dalam penulisan, penelitian ini dibagi
menjadi lima bab yang saling berkesinambungan satu sama lain, di antaranya
yaitu:
BAB I PENDAHULUAN
Pada bab ini berisikan bab pendahuluan, dimana meliputi latar
belakang yang menjadi alasan dasar penelitian ini sangat
diperlukan, serta identifikasi masalah, rumusan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, studi literatur, metode penelitian yang
digunakan, dan sistematika penulisan.
10 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta, Universitas Indonesia,
1986), h. 11.
11
BAB II PERCERAIAN AKIBAT KAWIN BEDA AGAMA DAN
KOMPETENSI LEMBAGA PERADILAN
Pada bab kedua ini penulis akan memaparkan tentang konsep
Perceraian Akibat Kawin Beda Agama dan Kompetensi Lembaga
Peradilan, di dalamnya meliputi pengertian perkawinan beda agama,
regulasi perkawinan beda agama sebelum berlakunya Undang-
Undang No.1 Tahun 1974, dan regulasi perkawinan beda agama
sesudah berlakunya Undang-Undang No.1 Tahun 1974 beserta
Inpres No.1 Tahun 1991 Kompilasi Hukum Islam (KHI), kemudian
putusnya perkawinan karena perceraian dan alasan-alasan perceraian
menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum
Islam (KHI), selanjutnya membahas tentang kompetensi lembaga
peradilan dalam memutus perceraian akibat kawin beda agama.
BAB III PENANGANAN PERKARA PERCERAIAN AKIBAT KAWIN
BEDA AGAMA
Pada bab ketiga ini penulis telah memaparkan hasil penelitian berupa
putusan hakim tingkat pertama Pengadilan Agama Nomor.
1377/Pdt.G/2016/PA.JS dan Pengadilan Negeri Nomor.
668/Pdt.G/2015/PN.JKT.SEL serta sedikit mengenai putusan upaya
hukum Peninjauan Kembali dalam hal memutus perkara perceraian
akibat kawin beda. Putusan tersebut terdiri dari duduk perkara,
pertimbangan hakim dan amar putusan.
BAB IV ANALISIS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA
NOMOR.1377/Pdt.G/2016/PA.JS DAN PUTUSAN
PENGADILAN NEGERI NOMOR. 668/Pdt.G/2015/PN.Jkt.Sel
Pada bab keempat yang merupakan bab inti yaitu bahasan utama
dalam skripsi ini, dimana di dalamnya terdapat analisis pertimbangan
hukum Majelis Hakim dan analisis kewenangan dalam mengadi
perceraian akibat kawin beda agama sebagaimana putusan tingkat
pertama di Pengadilan Agama Nomor. 1377/Pdt.G./2016/PA.JS dan
putusan Pengadilan Negeri Nomor. 668/Pdt.G/2015/PN.Jkt.Sel.
12
BAB V PENUTUP
Bab kelima yakni bab akhir dalam penelitian ini. Terdiri dari
penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran yang bersifat
membangun bagi penyempurnaan penelitian ini.
12
BAB II
PERCERAIAN AKIBAT KAWIN BEDA AGAMA DAN KOMPETENSI
LEMBAGA PERADILAN
A. Perkawinan Beda Agama
1. Pengertian Perkawinan Beda Agama
Perkawinan merupakan suatu bagian ajaran dari agama Islam.
Perkawinan juga termasuk pada satu aspek pokok kehidupan manusia,
karena hakikatnya manusia dibekali dengan kebutuhan biologis untuk dapat
meneruskan keturunan. Dengan begitu orang yang sudah siap dan
berkeinginan untuk menikah, apabila dirinya khawatir akan terjerumus ke
dalam perbuatan zina, maka sangat dianjurkan untuk melaksanakan
pernikahan.1
Perkawinan atau pernikahan secara bahasa dikenal dalam ilmu fikih
yang disebut “nikah” ()نكاح dan “zawaj” )زواج(, keduanya berasal dari
bahasa Arab. Nikah dalam bahasa Arab mempunyai kemungkinan dua
makna yaitu (الوطء والضم). Menurut Golongan Syafi’iyah, makna hakiki
(yang sebenarnya) ialah (العقد) yang berarti akad, sedangkan makna kiasan
(arti tidak sebenarnya) yaitu (الضم) yang berarti menindih, menghimpit, dan
berkumpul. Kemudian, menurut golongan Hanafiyah berpendapat berbeda
bahwa nikah dalam arti hakiki yaitu (الوطء) berarti bersetubuh, dan arti
kiasan yaitu (العقد) yang berarti akad atau perjanjian.2
Sedangkan menurut istilah, pernikahan adalah suatu akad serah
terima antara laki-laki dan perempuan dengan tujuan agar dapat saling
memuaskan satu sama lainnya, dan juga membentuk sebuah bahtera rumah
tangga yang sakinah serta masyarakat yang sejahtera. Para ulama fikih
1 Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi, Rahmah al-Ummah
Fi Ikhtilaf al-A’immah, Penerjemah ‘Abdullah Zaki Alkaf, Fiqh Empat Mazhab, (Bandung:
Hasyimi, 2015) h. 318
2Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia,… h. 35-37
13
berpendapat dalam mendefinisikan zawwaj atau nikah adalah suatu akad
atau perjanjian yang secara keseluruhan di dalamnya mengandung kata
inkah atau tazwij. Dengan artian membolehkan seorang laki-laki untuk
berhubungan dengan seorang perempuan berdasarkan ketentuan hukum
yang berlaku.3
Jika melirik pada ketentuan Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan, yang dimana telah menjelaskan mengenai
definisi perkawinan yakni bahwa perkawinan merupakan suatu ikatan lahir
batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.4
Menurut Prof. Hilman Hadikusuma, dalam buku karangan beliau
mengatakan bahwa, pengertian perkawinan menurut Undang-Undang
Perkawinan adalah “ikatan antara seorang pria dengan seorang wanita”
berarti perkawinan merupakan “sebuah perikatan”. Namun jika dilihat
kembali pada Pasal 26 KUHPerdata dikatakan bahwasanya Undang-
Undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan perdata.
Dengan demikian jelas sudah menurut perundangan yang dinyatakan tegas
dalam KUH Perdata (BW), bahwa perkawinan itu hanya dilihat dari segi
keperdataan dan telah mengabaikan segi keagamaan.5
Sedangkan definisi lain dari perkawinan, yakni menurut Pasal 2
Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI)
menyatakan bahwa perkawinan ataupun pernikahan menurut hukum Islam
yaitu sebuah akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk
mentaati perintah Allah dan melaksanakannya termasuk perbuatan ibadah.6
3 M. A. Tihami, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali Pers,
2010) h. 8
4 Pasal 1 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
5 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum
Adat, Hukum Agama, (Bandung: Mandar Maju, 2007) h. 6 6 Pasal 2 Inpres No.1 tahun 1991 Kompilasi Hukum Islam (KHI)
14
Di sisi lain, menurut Asep Saepudin Jahar dalam bukunya telah
memberikan definisi tentang perkawinan, yaitu suatu kata yang merujuk
pada hal-hal yang berhubungan dengan sebuah ikatan atau terkait dengan
hubungan pernikahan. Istilah perkawinan jauh lebih luas dari istilah
pernikahan. Jika pernikahan merujuk pada sebuah ikatan yang dilakukan
atau dibuat oleh pihak suami dan istri untuk hidup bersama, dan atau
merujuk pada sebuah proses dari ikatan tersebut, perkawinan merujuk pada
hal-hal yang muncul terkait dengan proses, pelaksanaan dan akibat dari
pernikahan. Dengan demikian, perkawinan mencakup bukan saja syarat dan
rukun pernikahan dan bagaimana pernikahan harus dilakukan, tetapi juga
masalah hak dan kewajiban suami-istri, nafkah, perceraian, pengasuhan
anak, perwalian, dan lain-lain.7
Jadi, jika ditarik kesimpulan dari berbagai pengertian perkawinan,
baik menurut ulama fikih, maupun Undang-Undang Perkawinan dan
Kompilasi Hukum Islam (KHI). Maka perkawinan dapat diartikan menjadi
suatu ikatan untuk mewujudkan kehidupan yang selamat dan kekal bahagia
bukan hanya di dunia, tetapi juga diakhirat. Bukan saja berupa kebutuhan
lahiriah, namun juga batiniyah. Selain itu masalah perkawinan tidak hanya
sekedar merupakan persoalan hukum negara tetapi juga persoalan agama
dan kepercayaan dari mereka yang melangsungkan perkawinan tersebut.8
Sedangkan perkawinan beda agama dapat diartikan sebagai
perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita yang keduanya
memiliki perbedaan agama atau kepercayaan satu sama lain. Perkawinan
beda agama juga bisa terjadi dikalangan sesama WNI yang berbeda agama
7Asep Saepudin Jahar, dkk., Hukum Keluarga, Pidana, dan Bisnis, (Jakarta: Kencana
Prenadamedia Group, 2013) Cetakan ke-1, h. 23-24
8 Abdurrahman, “Kompendium Bidang Hukum Perkawinan, Perkawinan Beda Agama
dan Implikasinya”. Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI,
(Jakarta), September 2011, h.10
15
atau keyakinan, juga bisa terjadi antar beda kewarganegaraan yang salah
satunya memiliki perbedaan agama atau keyakinan. 9
Perkawinan beda agama juga dapat terjadi apabila seorang laki-laki
dan seorang perempuan yang berbeda agama melakukan perkawinan
dengan tetap mempertahankan agamanya masing-masing. Misalnya, laki-
laki yang beragama Islam kawin dengan perempuan yang beragama
Kristen, kemudian menikah di Gereja dengan pemberkatan pendeta, serta
dilakukan pula pencatatan perkawinan di Kantor Catatan Sipil. Inilah yang
terjadi di kehidupan nyata, sering kali terjadi penyimpangan dari ketentuan
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yang
menggaris bawahi perkawinan dapat dikatakan sah apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.10
Dengan begitu, pada pasal 2 ayat 1 dapat dijelasakan bahwa tidak
adanya perkawinan di luar hukum masing-masing agama dan kepercayaan,
jadi bagi seorang yang beragama Islam tidak ada kemungkinan untuk
kawin dengan melanggar hukum agama Islam, demikian juga bagi mereka
yang beragama Kristen, Hindu dan Buddha tidak ada kemungkinan kawin
dengan melanggar hukum masing-masing agamanya. Sehingga pasal
tersebut menjadikan agama dan kepercayaan sebagai pemegang peranan
penting dalam sah atau resminya suatu perkawinan.11
Dengan demikian perkawinan beda agama dapat dikatakan
menyimpang dari ajaran agama dan ketentuan Undang-Undang Perkawinan
No. 1 Tahun 1974. Selain itu, jika bertitik tolak dari penjelasan di atas,
telah menunjukkan bahwa adanya kesenjangan antara hukum yang dicita-
citakan (das sollen) dan realitas hukum yang ada di masyarakat tentang
9 Kadek W. Indrayanti, dkk. “Peran Negara Dalam Memberika Perlindungan Hukum
Bagi Calon Pasangan Kawin Beda Agama (KBA)”,… h. 58
10 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum
Adat, Hukum Agama,… h.17-18
11 Bonar Hutapea, “Dinamika Penyesuaian Suami Istri Dalam Perkawinan Beda
Agama”, Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vo.16, No.1, (2011), h.103
16
permasalahan hukum nikah beda agama (das sein). Bahkan adanya gagasan
untuk memisahkan antara hukum perkawinan dengan aturan agama. Rumah
tangga yang dibangun dengan perkawinan beda agama dapat pula
menimbulkan kerugian dan mengganggu keseimbangan kehidupan di
kemudian hari. Jika terjadi perselisihan dan menginginkan bercerai, maka
perkara tersebut harus diurus oleh lembaga peradilan mana yang
berwenang? Tentu saja hal itu menimbulkan perbedaan dan pertentangan di
lingkungan lembaga peradilan.12
2. Regulasi Perkawinan Beda Agama di Indonesia
a. Regulasi Perkawinan Beda Agama Sebelum Adanya Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974
Sebelum Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan diberlakukan secara efektif pada tanggal 1 Oktober 1975,
hukum perkawinan di Indonesia diatur dalam berbagai macam
peraturan hukum atau sistem hukum yang berlaku untuk berbagai
golongan warga negara dan berbagai daerah. Peraturan yang dimaksud
adalah peraturan yang dahulu dikeluarkan oleh pemerintah kolonial
Hindia Belanda. Berbagai macam peraturan hukum perkawinan
tersebut antara lain:
1) Hukum Adat, yaitu hukum yang berlaku bagi orang-orang
Indonesia asli.
2) Hukum Islam, yaitu hukum yang berlaku bagi orang-orang
Indonesia asli yang beragama Islam.
3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek atau
BW), yang berlaku bagi orang-orang keturunan Eropa dan Cina
(Tionghoa) dengan beberapa pengecualian.
4) Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Ordonnantie Christen
Indonesiaers atau HOCI), yang berlaku bagi orang-orang
12 Islamiyati, “Analisis Yuridis Nikah Beda Agama Menurut Hukum Islam di Indonesia”,
Masalah-Masalah Hukum, Vol.45, No.3, (Juli, 2016), h.244
17
Indonesia asli (Jawa, Minahasa, dan Ambon) yang beragama
Kristen.
5) Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de Gemengde
Huwelijk (GHR)) yaitu peraturan yang dibuat untuk mengatasi
terjadinya banyak perkawinan pada hukum yang berlainan, seperti
perkawinan beda kewarganegaraan, perkawinan beda agama,
ataupun perbedaan asalnya (keturunannya).13
Dalam Pasal 1 Peraturan Perkawinan Campuran (GHR)
dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Perkawinan Campuran ialah
suatu perkawinan antara orang-orang yang berada di Indonesia tunduk
kepada hukum yang berlainan. Pada Peraturan Perkawinan Campuran
juga dimuat dalam Staatsblad 1989 No. 158 perumusan Peraturan
Perkawinan Campuran ini, terbagi menjadi tiga aliran pendapat ahli
hukum yakni, Pertama, Orang-orang yang berpendirian “luas”
didukung oleh para sarjana hukum, berpendapat bahwa baik
perkawinan campuran antar agama maupun antar tempat termasuk di
bawah Peraturan Perkawinan Campuran (GHR). Kedua, Orang-orang
yang berpendirian “sempit” berpendapat bahwa baik perkawinan
campuran antar agama maupun antar tempat tidak termasuk di bawah
Peraturan Perkawinan Campuran (GHR). Ketiga, Mereka yang
berpendirian “setengah luas, setengah sempit” berpendapat bahwa
hanya perkawinan antara agama saja yang termasuk Peraturan
Perkawinan Campuran (GHR).14
Sudargo Gautama dalam pendapatnya yang dikutip oleh
Anggraeni Carolina dari jurnalnya, menjelaskan bahwa istilah
perkawinan campuran pada Pasal 1 GHR berarti perbedaan perlakuan
hukum atau hukum yang berlainan dan dapat disebabkan karena
13 Taufiqurrahman Syahuri, Legislasi Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Kencana
Prenadamedia Group, 2013) Cetakan Ke-1, h. 63-79
14 Asmin, Status Perkawinan Antar Agama, (Jakarta: PT. Dian Rakyat, 1986) h. 66-67
18
perbedaan kewarganegaraan, kependudukan dalam berbagai golongan
rakyat, tempat kediaman, bahkan agama. Sehingga dari pendapat
tersebut, pendirian “luas” yang banyak di dukung oleh para sarjana
hukum.15
Akan tetapi, semenjak dikeluarkannya Instruksi Presidium
Kabinet Ampera No. 31/U/IN/12/1966, sudah tidak ada lagi
penggolongan penduduk kecuali dibedakan antara WNI dan WNA
sehingga di Indonesia tidak mungkin lagi ada perkawinan campuran
antar tempat dan antar golongan. Namun, penghapusan golongan
tersebut tidak menjadikan hukum untuk golongan tersebut terhapus,
kenyataannya sampai saat ini masih banyak pluralisme hukum perdata
tersebut yang masih berlaku.16
b. Regulasi Perkawinan Beda Agama Sesudah Berlakunya Undang-
Undang No.1 Tahun 1974 dan Inpres No.1 Tahun 1991 Kompilasi
Hukum Islam (KHI).
Jika sebelum diberlakukannya Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan, sebuah polemik perkawinan beda agama
dimungkinkan keberadaannya, sebagaimana telah diatur dalam
Peraturan Perkawinan Campuran (GHR) yang telah memberikan
definisi secara luas. Maka dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan mendefinisikan sebaliknya bahwa perkawinan
campuran sudah tidak mungkin lagi diperluas pengertiannya dengan
memasukkan perkawinan beda agama.17
Polemik yang muncul dalam Undang-Undang Perkawinan yaitu
terdapat redaksi pasal demi pasal yang memberikan celah selebar-
lebarnya bagi masyarakat dalam memilih pasangannya masing-masing.
15 Anggraeni Carolina Palandi, “Analisis Yuridis Perkawinan Beda Agama di Indonesia”,
Lex Privatum, Vo.1, No.2, (April-Juni 2013), h.201
16 Zulfa Djoko Basuki, “Hukum dan Pembangunan”, (Juni, 1987) h.236
17 Sirman Dahwal, Perbandingan Hukum Perkawinan, (Bandung: Mandar Maju, 2017)
Cetakan Ke-1, h.91-92
19
Meskipun Undang-Undang Perkawinan ini telah diberlakukan, bukan
berarti sudah tidak ada masalah dalam hal pelaksanaannya.
Permasalahan yang kerap kali muncul dipermukaan antara lain yakni
tentang perkawinan beda agama. Undang-Undang Perkawinan tidak
mengatur secara eksplisit tentang hubungan perkawinan beda agama.
Undang-Undang perkawinan pun tidak melarang melaksanakan
perkawinan beda agama.18
Menurut Pasal 57 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun
1974, perkawinan beda agama di Indonesia bukanlah sebuah persoalan
dari Perkawinan Campuran, demikian semestinya pengajuan
permohonan perkawinan beda agama di Kantor Kependudukan dan
Catatan Sipil dan Kantor Urusan Agama (KUA) harusnya dapat
ditolak. Akan tetapi, dikarenakan hal tersebut belum diatur dalam
undang-undang secara tuntas dan tegas, maka terdapat beberapa
Kantor Kependudukan dan Catatan Sipil yang menolak mencatatkan.
Adapun pihak yang menerimanya, berargumen bahwa hal tersebut
telah diatur dalam Gemengde Huwelijken Regeling (GHR) menyatakan
bahwa, perkawinan yang dilakukan menurut hukum suami, maka istri
harus mengikuti status hukum tersebut.19
Terjadinya kekosongan hukum dalam mengatur perkawinan
beda agama itulah, yang menyebabkan masyarakat bersifat pluralistik.
Sehingga banyak terjadi penyelendupan nilai sosial, agama, bahkan
hukum positif. Adapun penyelundupan yang dilakukan oleh
masyarakat dalam kasus perkawinan beda agama yaitu, pertama
meninggalkan hukum negara, seperti; melaksanakan suatu perkawinan
di luar negeri, kemudian disusul dengan melangsungkan perkawinan
secara adat. Kedua, meninggalkan hukum agama, seperti; menikah dua
18 Muhammad Ashsubli, “Undang-Undang Perkawinan dalam Pluralitas Hukum
Agama”,… h.293
19 Soedharyo Soemin, Hukum Orang dan Keluarga, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), h. 95
20
kali menurut dua agama, dengan berpindah agama sementara pada saat
perkawinan dilakukan, kemudian kembali pada agama semula setelah
perkawinan terlaksana. Ramainya penyelundupan tersebut, menjadikan
Undang-Undang Perkawinan telah kehilangan karisma hukum dan
menggambarkan bahwa undang-undang tidak lagi sesuai dengan
kebutuhan dan keinginan masyarakat.20
Dalam mengisi ketidaktegasan hukum mengenai perkawinan
beda agama pada Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, maka
Mahkamah Agung memberikan putusan tentang perkawinan beda
agama pada tanggal 20 Januari 1989 Nomor: 1400 K/Pdt/1986. Pada
pertimbangan hakim dalam putusan tersebut menyatakan bahwasanya,
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tidak memuat suatu ketentuan
tentang perbedaan antara calon suami dan calon istri merupakan
larangan perkawinan. Hal ini sepemikiran dengan Pasal 27 Undang-
Undang Dasar (UUD) Tahun 1945 yang menjelaskan bahwa, seluruh
warga negara sekalipun berlainan agama dan selama undang-undang
tidak ditentukan bahwa perbedaan agama merupakan larangan untuk
perkawinan, maka hal tersebut sejalan dengan Pasal 29 Undang-
Undang Dasar (UUD) Tahun 1945 tentang dijaminnya kemerdekaan
bagi setiap warga negara untuk memeluk agama masing-masing. 21
Jika dilihat kembali, terdapat perbedaan pendapat mengenai
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang terbagi
menjadi 3 pendapat yaitu:
1) Perkawinan antar orang yang berbeda agama dapat saja
dilangsungkan dengan landasan hak asasi manusia dalam
menentukan pihan pasangan hidupnya. Perkawinan tersebut juga
dapat menggunakan Stb. 1898 No. 158 tentang Perkawinan
20 Islamiyati, “Analisis Yuridis Nikah Beda Agama Menurut Hukum Islam di
Indonesia”,… h.245
21 Sirman Dahwal, Perbandingan Hukum Perkawinan,… h.93-94
21
Campuran dan mencatatkan perkawinannya di Kantor Catatan
Sipil di tempat mereka melangsungkan perkawinan tersebut.
2) Perkawinan beda agama menurut Pasal 57 Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 memiliki makna tersurat dan tersirat. Makna
tersuratnya ialah penjelasan “yang dimaksud dengan Perkawinan
Campuran dalam undang-undang ini adalah perkawinan antara dua
orang di Indonesia, tunduk kepada hukum yang berlainan, karena
perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak
berkewarganegaraan indonesia”. Sedangkan makna tersiratnya
terletak pada koma setelah kata berlainan. Hal itu menunjukkan
perkawinan bagi orang yang berbeda agama.
3) Perkawinan antar orang yang berbeda agama tidak dikehendaki
oleh pembentuk undang-undang yaitu pemerintah dan DPR RI.
Maksud tersebut dinyatakan secara tegas dalam Pasal 2 ayat (1)
bahwa perkawinan sah apabila berasaskan agama sebagai wujud
dari sila ketuhanan yang Maha Esa. Dan sangat masuk akal jika
dalam Pasal 8 huruf (f) Undang-undang Perkawinan bahwa
dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh
agamanya dan peraturan yang berlaku dilarang kawin.
Maksudnya, Undang-Undang Perkawinan melarang
dilaksnakannya perkawnan yang dilarang oleh suatu agama.22
Setelah Undang-Undang Perkawinan yang mengalami
pedebatan panjang, selanjutnya usaha untuk mengatasi masalah
perkawinan beda agama pada tahun 1991 dikeluarkanlah Inpres No.1
Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam yang mengatur berbagai
macam persoalan perdata umat Islam. Serta MUI juga mengeluarkan
fatwa pada tanggal 1 Juni 1980 dan tanggal 28 Juli 2005. Maka
berdasarkan fatwa dan KHI Pasal 40 huruf (c) dan Pasal 44, yang
dirumuskan kembali dalam Pasal 33 huruf (c) dan Pasal 36 RUU-HM-
22 Sirman Dahwal, Perbandingan Hukum Perkawinan,… h.102-104
22
PA-BPerkwn tahun 2007 menentukan larangan perkawinan terhadap
pemeluk agama yang berbeda. Namun pada ketentuan tersebut tetap
saja tidak diberlakukannya hukuman bagi pelaku yang melanggar. Dan
Pasal 6 ayat (2) RUU-HM-PA-BPerkwn tahun 2007 juga tidak
merumuskan hukuman bagi yang tidak mencatatkan perkawinan. Hal
itulah yang menyebabkan marak dan luasnya perkawinan beda agama
di Indonesia.23
B. Putusnya Perkawinan Karena Perceraian
1. Putusnya Perkawinan Menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dan
Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Putusnya perkawinan merupakan suatu ikatan lahir batin atau
hubungan perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan
yang sudah terputus. Perihal putusnya perkawinan dalam Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 diatur pada Pasal 38 sampai dengan Pasal 41, yang
dimana pasal tersebut menyebutkan bahwa hubungan perkawinan dapat
terputus apabila dengan sebab-sebab sebagai berikut:
a. Kematian.
b. Perceraian.
c. atau Keputusan pengadilan.24
Sedangkan Perceraian (talak) atau dalam bahasa Arab disebut
thalaq, dapat diartikan menjadi sesuatu yang dilepaskan atau ditinggalkan.
Secara istilah, berarti melepaskan ikatan atau hubungan perkawinan antara
seorang laki-laki dan seorang perempuan.25 Dalam Pasal 39 Undang-
Undang No.1 Tahun 1974 memuat ketentuan bahwa putusnya perkawinan
atau yang disebut perceraian, hanya dapat dilakukan di depan Pengadilan,
23 Neng Djubaidah, Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2010) Cetakan Ke-1, h.178-179
24 Aulia Muthiah, Hukum Islam Dinamika Seputar Hukum Keluarga, (Yogyakarta:
Pustaka Baru Press, 2017), Cetakan Ke-1, h.104
25 Nurul Asmayani, Perempuan Bertanya, Fikih Menjawab (Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2018) h. 383
23
setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha mendamaikan kedua belah
pihak yang berperkara.26
Sedangkan putusnya perkawinan berdasarkan Kompilasi Hukum
Islam (KHI) sudah diatur dalam Pasal 113 yang menyatakan bahwa
perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian, dan atas putusan
Pengadilan. Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat
terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian. Hal itu termuat
dalam Pasal 114. Lalu pada Pasal 8 Kompilasi Hukum Islam (KHI)
menjelaskan bahwa putusnya perkawinan selain cerai mati hanya dapat
dibuktikan dengan surat cerai berupa putusan Pengadilan Agama, baik yang
berbentuk putusan perceraian, ikrar talak, khuluk, atau putusan taklik
talak.27
2. Alasan-alasan Perceraian Menurut Undang-Undang No.1 tahun 1974
dan Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Perceraian adalah perbuatan yang tercela dan dibenci Tuhan, namun
hukum membolehkan suami atau istri melakukan perceraian jika
perkawinan mereka sudah tidak dapat dipertahankan lagi. Perceraian juga
harus disertai dengan alasan-alasan hukum sebagaimana telah ditentukan
dalam Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang telah
dijabarkan dalam Pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975, yaitu sebagai berikut:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat,
penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut
tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah aau karena hal lain di
luar kemampuannya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman
yang lebih berat setalah perkawinan berlangsung.
26 Muhammad Syaifuddin, dkk, Hukum Perceraian, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014) h. 19
27 P.N.H. Simanjuntak, Hukum Perdata Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenadamedia
Group, 2015) Cetakan Ke-1, h. 96
24
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri.
f. Antara suami istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran
dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.28
Kemudian dalam Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam (KHI) alasan
perceraian sama halnya dengan alasan perceraian menurut undang-undang
perkawinan, hanya saja ada beberapa penambahan yang akan dijabarkan
sebagai berikut:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi,
dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut
tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah aau karena hal lain di
luar kemampuannya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang
lebih berat setalah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri.
f. Antara suami istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran
dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
g. Suami melanggar taklik talak.
h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya
ketidakrukunan dalam rumah tangga.29
28 Muhammad Syaifuddin, dkk, Hukum Perceraian,… h.181
29 P.N.H. Simanjuntak, Hukum Perdata Indonesia,… h. 97
25
C. Kompetensi Lembaga Peradilan Dalam Memutus Perceraian Akibat
Kawin Beda Agama
1. Kompetensi Lembaga Peradilan
a. Pengertian Kompetensi
Kompetensi berasal dari bahasa Belanda competentie, yang
memiliki arti yaitu “kekuasaan” dan sering kali disebut dengan
“kompetensi”, kata tersebut juga dapat diterjemahkan dengan
“kewenangan” ataupun “kekuasaan”.30 Kompetensi menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah suatu kewenangan (kekuasaan)
untuk menentukan (memutuskan sesuatu).31
Selanjutnya, seluruh kekuasaan lembaga peradilan pada
prinsipnya sama makna, perumusan, dan cara pengaturannya. Seperti
yang ditentukan untuk lingkungan badan peradilan yakni Peradilan
Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradian Tata Usaha
Negara (PTUN), yang keseluruhan berpuncak pada Mahkamah Agung
sebagai Pengadilan Negara Tertinggi. Bahkan pada jenis kekuasaan
fungsi dan kewenangannya pun serupa. Perbedaannya hanya pada
ruang lingkup kekusaan mengadili (attributie van rechmacht), yaitu
disesuaikan dengan wilayah yurisdiksi yang melekat pada masing-
masing lingkungan peradilan sesuai dengan undang-undang yang
mengaturnya.32
Berkenaan dengan hal itu, mengenai atribusi cakupan dan
batasan kekuasaan masing-masing lembaga peradilan. Kekuasaan
pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum meliputi bidang pidana
umum, perdata adat, dan perdata barat. Badan yang menjalankannya
terdiri dari Pengadilan Negeri sebagai pengadilan tingkat pertama dan
30 A. Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2017) h. 118
31 Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi Kelima, (ttp: Badan Pengembangan dan
Pembinaan Bahasa, Kemendikbud RI, 2016)
32 Sulaikin Lubis, dkk., Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta;
Kencana Prenadamedia Group, 2008) Cetakan Ke-3, h. 108
26
Pengadilan Tinggi sebagai pengadilan tingkat banding. 33 Sedangkan
kekuasaan dalam lingkup Peradilan Agama mencakup bidang perdata
tertentu di kalangan orang-orang yang beragama Islam, yang dilakukan
berdasarkan hukum Islam. Dan juga, kekuasaan pengadilan pada
masing-masing lembaga peradilan terdiri atas kekuasaan relatif
(relative competentie) dan kekuasaan mutlak (absolute competentie).34
Selanjutnya, perihal Peradilan Agama yang merupakan suatu
lembaga peradilan dimana bertugas untuk melaksanakan kekuasaan
kehakiman dalam menegakkan keadilan bagi orang-orang yang
beragama Islam sebagaimana menurut Undang-Undang No.7 tahun
1989 yang menyatakan bahwasanya Peradilan Agama hanya
berwenang menyelesaikan perkara-perkara dibidang perdata tertentu
umat Islam. Akan tetapi, dengan diberlakukannya Undang-Undang No.
3 tahun 2006, hal itulah yang menandai lahirnya paradigma baru
mengenai Peradilan Agama. Paradigma tersebut menyatakan bahwa
kalimat “perkara perdata tertentu” dalam Undang-Undang No.7 tahun
1989, telah dihapus dan diganti dengan kalimat “perkara tertentu”. Hal
ini dimaksudkan agar tidak hanya perkara perdata saja yang menjadi
kompetensi pengadilan agama, tetapi mencakup bidang lainnya.
Kemudian, kompetensi (wewenang) peradilan agama juga telah diatur
dalam Pasal 49 sampai dengan Pasal 53 Undang-Undang No. 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama. Kompetensi (wewenang) tersebut
terdiri dari kompetensi relatif dan kompetensi absolut.35
Adapun kompetensi atau kewenangan dari kedua lembaga
peradilan, yakni Peradilan Agama dan Peradilan Umum (Negeri) yang
33 Bambang Sugeng dan Sujayadi, Pengantar Hukum Acara Perdata dan Contoh
Dokumen Litigasi, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2012) Cetakan Ke-2, h.18
34 Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2003) Cetakan Ke-4, h. 217
35 Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia,
(Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2008) Cetakan Ke1, h. 343
27
pertama meliputi kewenangan relatif dan yang kedua kewenangan
absolut, kedua hal itu akan dijelaskan pada point selanjutnya.
b. Kompetensi Relatif Peradilan Agama dan Peradilan Negeri
Kewenangan relatif, yaitu kewenangan untuk mengadili suatu
perkara yang menyangkut wilayah atau daerah hukum suatu
pengadilan (yurisdiksi). Hal ini dapat dikaitkan dengan tempat tinggal
para pihak yang berperkara. Dalam istilah lain kewenangan relatif ini
disebut dengan, Distribute van Rechtsmacht. Setiap pengadilan
terbatas daerah hukumnya, seperti halnya daerah hukum Pengadilan
Negeri sebagaimana termaktub dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang
No. 2 Tahun 1986 menjelaskan bahwa Pengadilan Negeri
berkedudukan di Kotamadya atau ibu kota Kabupaten, dan daerah
hukumnya meliputi wilayah Kotamadya atau Kabupaten yang
bersangkutan.36
Kemudian, dasar hukum untuk menentukan kompetensi relatif
dari setiap Pengadilan Agama adalah ketentuan hukum acara perdata
pada Pasal 54 Undang-Undang No.7 tahun 1989 yang berlaku juga
pada lingkungan Pengadilan Negeri. Dengan demikian, peraturan
dalam Pasal 118 H.I.R/Pasal 142 R.Bg yang mengatur bahwa gugatan
harus diajukan, berlaku juga bagi pengadilan agama.37
Landasan untuk menetukan kewenangan relatif Pengadilan
Negeri merujuk pada ketentuan Pasal 118 H.I.R. atau Pasal 142 R.Bg.
yang kemudian pasal tersebut dirujuk oleh Pasal 66 dan Pasal 73
Undang-Undang No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Ketentuan
kompetensi relatif tersebut bertitik tolak pada aturan yang menetapkan
bahwa gugatan yang diajukan harus memenuhi syarat formal.38
36 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014) Cetakan Ke-14, h.191
37 Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia,… h. 218
38 Juhaya S. Pradja, Hukum Acara Peradilan Agama di Indonesia, (Bandung: CV Pustaka
Setia, 2017), Cetakan Ke-1, h.120
28
Dalam Pasal 118 ayat (1) H.I.R menganut asas bahwa gugatan
harus diajukan kepada pengadilan yang berwenang mengadili perkara,
tergantung kepada jenis perkara dan dimisili dari tergugat.39 Asas ini
dalam bahasa latin disebut “actor sequitur forum rei”. Yang dimana
terdapat beberapa pengecualian sebagai berikut:
1) Gugatan yang diajukan pada Pengadilan Negeri yang dalam
daerah hukunya meliputi tempat kediaman tergugat, apabila
tempat tinggal tergugat tidak diketahui.
2) Apabila tergugat lebih dari dua orang ataupun lebih, serta
bertempat tinggal dalam wilayah Pengadilan Negeri yang berbeda-
beda, maka penggugat dapat mengajukan gugatan di Pengadilan
Negeri di mana salah seorang dari tergugat bertempat tinggal.40
3) Apabila tempat tinggal dan tempat kediaman tergugat tidak
dikenal, maka gugatan diajukan kepada ketua Pengadilan Negeri
yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal penggugat atau
salah satu dari penggugat.
4) Apabila tempat tinggal dan tempat kediaman tergugat tidak
dikenal dan gugatan ialah mengenai barang tetap, maka dapat juga
diajukan kepada ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya
meliputi di mana barang tetap itu terletak.
5) Apabila ada tempat tinggal yang dipilih dengan suatu akta, maka
gugatan dapat diajukan kepada ketua Pengadilan Negeri yang
daerah hukumnya meliputi tempat tinggal yang dipilih dalam akta
tersebut.41
39 Soeroso, Praktik Hukum Acara Perdata Tata Cara dan Proses Persidangan, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2011) Cetakan Ke-2, h.70
40 Ropaun Rambe, Hukum Acara Perdata Lengkap, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013)
Cetakan Ke-7, h.299
41 Hulman Panjaitan, Kumpulan Kaidah Hukum Putusan Mahkamah Agung Republik
Indonesia Tahun 1953-2008 Berdasarkan Penggolongannya, (Jakarta: Kencana Prenadamedia
Group, 2014) Cetakan Ke-1, h.208
29
Selanjutnya, mengenai kompetensi relatif Pengadilan Agama
dalam kasus cerai talak ataupun cerai gugat, atau istilah tersebut biasa
disebut permohonan talak dan gugat cerai. Menurut Pasal 66 Undang-
Undang No.7 tahun 1989 dijelaskan bahwa kompetensi relatif dalam
kasus cerai talak dapat ditentukan oleh faktor tempat kediaman
termohon. Hal ini dikecualikan jika termohon sengaja meninggalkan
kediaman bersama tanpa izin termohon, dan begitupun jika termohon
bertempat tinggal di luar negeri, maka kompetensi relatif jatuh ke
Pengadilan Agama di ranah hukum tempat kediaman pemohon.
sedangkan mengenai kompetensi relatif dalam kasus cerai gugat, maka
gugatan diberikan kepada Pengadilan Agama daerah tempat kediaman
penggugat, sebagaimana telah diatur dalam Pasal 73 ayat (1) Undang-
Undang No. tahun 1989. Hal ini dapat dikecualikan bila penggugat
meninggalkan kediaman bersama tanpa izin tergugat, maka gugatan
diajukan pada daerah tempa tinggal tergugat.42
c. Kompetensi Absolut Peradilan Agama dan Peradilan Negeri
Penyelenggara kekuasaan kehakiman (judicial power) di
Indonesia dilaksanakan oleh lembaga peradilan dalam lingkup
Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan
tata Usaha Negara (PTUN). Hal tersebut diatur dalam Pasal 10
Undang-Undang No.14 tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman. Pada keempat lingkungan peradilan itu
memiliki cakupan atau batasan kekuasaan masing-masing. Diantara
Kekuasaan atau kewenangan dari masing-masing lembaga peradilan
terdapat kewenangan absolut ysng berarti meliputi jenis perkara dan
sengketa kekuasaan pengadilan dalam hal memutus perkara tertentu,
dari golongan rakyat tertentu.43
42 Sulaikin Lubis, dkk, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama,… h.108-109
43 Cik Hasan Basri, Peradilan Agama di Indonesia,… h. 217-220
30
Selanjutnya mengenai kompetensi absolut Peradilan Agama
yakni, kewenangan yang menyangkut kekuasaan mutlak untuk
mengadili suatu perkara, dengan arti bahwa perkara tersebut hanya bisa
diperiksa dan diadili oleh Pengadilan Agama. Dalam istilah lain
disebut dengan Atribut van Rechsmacht. Kompetensi absolut atau
wewenang mutlak juga sering dikenal sebagai atribusi kekuasaan
kehakiman. Adapun contohnya, perkara perceraian bagi orang-orang
yang beragama Islam dan perkawinannya dilakukan secara Islam
menjadi kewenangan absolut Pengadilan Agama. Sedangkan bagi
orang-orang yang bukan beragama Islam menjadi kekuasaan Peradilan
Umum.44
Berdasarkan Undang-Undang No. 2 Tahun 1986 tentang
Peradilan Umum, kewenangan Peradilan Umum ialah kewenangan
dalam mengadili secara mutlak suatu perkara mengenai hukum pidana
(umum dan khusus), dan perdata serta peradilan niaga. Jadi, jelaslah
bahwa peradilan umum memiliki kompetensi absolut untuk mengadili
perkara perdata yang dilakukan oleh orang-orang sipil. Kecuali suatu
peraturan perundang-undangan menentukan lain.45 Kemudian,
kekuasaan kehakiman dalam lingkungan Peradilan Umum
dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi, hal ini
tercantum pada Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang No. 2 Tahun 1986
tentang Peradilan Umum, kemudian disesuaikan pula dengan hukum
acara perdata.46
Kemudian mengenai kewenangan Pengadilan Negeri yang
berkaitan dengan bidang perkawinan yakni semua perkawinan yang
44 Juhaya S. Pradja, Hukum Acara Peradilan Agama di Indonesia,… h.118
45 Zainal Asikin, Hukum Acara Perdata di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenadamedia
Group, 2016) Cetakan Ke2, h.83-85
46 Kasihardo Herlambang, “Kewenangan Hakim dalam Perkara Perdata di Pengadilan
Negeri dikaitkan dengan Undang-Undang No.4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman”,
(Jakarta: Skripsi, UPN Veteran, 2011) h.2, t.d.
31
tidak diatur dalam lingkungan Pengadilan Agama. Sebagaimana
dinyatakan dalam Pasal 49 Undang-Undang No.3 tahun 2006 tentang
Perubahan atas Undang-Undang No.7 tahun 1989 tentang kewenangan
absolut Pengadilan Agama. Selain diharuskan memenuhi kompetensi
absolut, diharuskan juga memenuhi kompetensi relatif. Yang dimana
telah dijelaskan dalam Pasal 118 H.I.R. lembaga peradilan yang
berwenang mengadili suatu perkara perdata adalah Pengadilan Negeri
yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal tergugat (actor
sequitur forum rei). Sedangkan mengenai kasus perceraian, pengaturan
kewenangan relatif hanya tunduk pada aturan dalam Pasal 118 ayat (1)
H.I.R. selama tidak bertentangan dengan ketentuan Bab V Cara
Perceraian Peraturan Republik Indonesia No.9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.47
Sedangkan jenis perkara yang menjadi wewenang atau
kekuasaan Peradilan Agama, yaitu menyangkut perkara perkawinan,
warisan, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infak, sedekah, dan ekonomi
syariah.48 Sebagaimana telah diatur dalam Pasal 49 sampai dengan 53
Undang-Undang No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah
diamandemen dengan Undang-Undang No.3 tahun 2006 hal tersebut
menjelaskan tentang wewenang dan kekuasaan mengadili yang
menjadi beban tugas Pengadilan Agama. Dengan begitu, cakupan
wewenang atau kekuasaan pengadilan tersebut sekaligus menunjukkan
47 Udhin Wibowo, “Tinjauan Hukum tentang Perpindahan Agama dalam Suatu
Perkawinan Beda Agama Terhadap Penentuan Kewenangan Absolut Pengadilan dalam
menangani Perkara Cerai”, (Depok: Skripsi, Universitas Indonesia, 2012) h.105, t.d.
48 Yang dimaksud dengan “Ekonomi Syariah” adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang
dilaksanakan menurut prinsip syariah, antara lain meliputi; bank syariah, lembaga keuangan mikro
syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah, reksa dana syariah, obligasi syariah dan surat
berharga berjangka menengah syariah, sekuritas syariah, pembiayaan syariah, pegadaian syariah,
dana pension lembaga keuangan syariah, dan bisnis syariah. (Ketentuan Umum, Angka 37 Pasal
49 huruf (i) Undang-Undang No.3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang No.7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama).
32
batasannya, sebagaimana badan peradilan khusus dalam
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman.49
Mengenai hal itu, selain perkara dalam bidang yang telah
disebutkan diatas, maka berada di luar kewenangan lingkungan
Peradilan Agama. Sebagaimana telah diatur dalam Pasal 50 Undang-
Undang No.7 tahun 1989. Menurut penjelasan pasal itu, penyelesaian
terhadap obyek yang menjadi sengketa dimaksud tidak berarti
menghentikan proses peradilan di Pengadilan Agama atas obyek yang
tidak menjadi sengketa. Artinya, ketentuan tersebut merupakan pekara
pra yustisia yang biasa dalam proses peradilan. Sehingga tidak
mengurangi kemandirian Pengadilan Agama dalam memutus perkara.
Sedangkan yang dimaksud dengan sengketa mengenai hak milik atau
keperdataan lain dalam pasal tersebut, ialah sengketa dengan pihak
ketiga.50
Selanjutnya ditegaskan bahwa Peradilan Agama haruslah
menempuh cara-cara yang tidak menimbulkan kerusakan rohani dan
sosial bagi para keluarga yang mencari keadilan. Selain itu, Peradilan
Agama harus pula diarahkan sebagai lembaga preventif bagi
kemungkinan-kemungkinan timbulnya keretakan keluarga yang akan
menjurus kepada sengketa-sengketa keluarga. Demikian juga pada saat
pemeriksaan perkara di persidangan, harus menjaga suasana agar
benar-benar terciptanya rasa manusiawi dan kekeluargaan.51
2. Asas Personalitas Keislaman dalam Menangani Kasus Perceraian
Akibat Kawin Beda Agama
Inti daripada hukum terletak pada asas-asas yang kemudian
diformulasikan menjadi perangkat peraturan perundang-undangan. Dalam
49 A. Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenadamedia
Group, 2017) Cetakan Ke-3, h. 120-121
50 Cik Hasan Basri, Peradilan Agama di Indonesia,… h. 221-222
51 Sulaikin Lubis, dkk, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama,… h.111
33
Undang-Undang No.3 tahun 2006 tentang perubahan Undang-Undang No.7
tahun 1989 tentang Peradilan Agama terdapat delapan asas-asas umum
diantaranya asas personalitas keislaman. Dimana asas ini dapat diartikan
bahwa yang tunduk dan yang dapat ditundukkan pada kekuasaan
lingkungan Peradilan Agama hanya mereka yang mengaku dirinya sebagai
pemeluk Islam. Adapun penganut agama selain Islam tidak tunduk dan
tidak dapat dipaksakan tunduk pada kekuasaan Peradilan Agama.52
Asas ini diatur dalam Pasal 2 penjelasan umum angka 2 alinea
ketiga serta Pasal 49 ayat (1). Selain itu, dalam undang-Undang No.3 tahun
2006 perubahan atas Undang-Undang No.7 tahun 1989 tentang asas
personalitas keislaman dapat dijumpai beberapa penegasan yang melekat
menyertai asas tersebut, yakni:
a. Pihak-pihak yang bersengketa harus sama-sama beragama Islam.
b. Perkara perdata yang disengketakan harus mengenai perkara-perkara
yang termasuk dalam bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah,
wakaf, dan sedekah.
c. Hubungan hukum yang melandasi keperdataan tertentu tersebut
berdasarkan hukum Islam sehingga acara penyelesaiannya berdasarkan
hukum Islam.53
Dengan demikian, yang menjadi patokan pada penerapan asas
personalitas keislaman ini ialah didasarkan kepada patokan umum dan
patokan saat terjadinya hubungan hukum. Jika dilihat patokannya yang
umum, maka keislaman seseorang cukup diketahui dari faktor-faktor yang
melekat pada dirinya. Seperti mengaku beragama Islam, melihat identitas
yang dimiliki orang tersebut baik berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP),
SIM, atau tanda bukti lainnya.54
52 Juhaya S. Pradja, M.A., Hukum Acara Peradilan Agama di Indonesia,… h.146
53 Sulaikin Lubis, dkk, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama,… h.66
54 Jaenal Aripin, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia,…
h.349
34
Namun, menurut Prof Abdul Gani Abdullah yang dikutip oleh
Sulaikin Lubis dalam bukunya menyatakan bahwa, ketentuan Undang-
Undang No.7 tahun 1989 tentang asas personalitas keislaman lebih
menekankan kepada asas agama pihak pengaju perkara, tanpa melihat
agama dari pihak lawan. Jadi, dalam masalah perkawinan beda agama
apabila terjadi perceraian, maka stelsel hukum yang digunakan mengacu
pada hukum agama pemohon atau penggugat. Dengan begitu, apabila terjadi
perceraian maka hukum yang berlaku untuk menentukan pengadilan mana
yang berwenang bukanlah hukum yang melahirkan hubungan hukum
perkawinan, akan tetapi hukum yang ditunjuk oleh agama para pihak yang
bersangkutan.55
55 Sulaikin Lubis, dkk, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama,… h.67
35
BAB III
PENANGANAN PERKARA PERCERAIAN AKIBAT KAWIN BEDA
AGAMA
A. Kronologis Perkara Nomor 668/Pdt.G/2015/PN.Jkt.Sel
1. Duduk Perkara
Maria Clafita Witoko yang beralamat di daerah Pondok Jagung,
Serpong Utara, selanjutnya disebut sebagai Penggugat. Dan Arief Irdan
yang terakhir beralamat di daerah Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, yang
selanjutnya disebut sebagai Tergugat. Dahulu keduanya melangsungkan
dan terikat pada perkawinan yang sah menurut ketentuan hukum yang
berlaku di Indonesia pada Jumat, tanggal 1 November 2013, kemudian
dilangsungkan di hadapan Pendeta Samuel selaku pemuka agama Kristen
Protestan di GPDI Bethesda, Jakarta. Setelah berlangsungnya perkawinan
tersebut Penggugat dan Tergugat mendaftarkan perkawinannya ke Kantor
Catatan Sipil pada tanggal 7 November 2013, dalam Akta Perkawinan
Nomor 3275-KW-07112013-0020 yang dikeluarkan tanggal 20 November
2013.
Selanjutnya dari perkawinan tersebut Penggugat dan Teguga
dikaruniai 1 (satu) orang anak laki-laki yang bernama Arief Danaska
Asmuni lahir pada tanggal 10 Maret 2014, sebagaimana Akta Kelahiran
Nomor 14690/KLT/00-JS/2014. Tanggal 24 Juli 2014. Dan diketahui pula
bahwa saat awal perkawinan sampai dengan awal bulan November 2014
perkawinan Penggugat dan Tergugat berlangsung dengan rukun, saling
menyayangi dan dapat dikatakan harmonis. Namun, setelahnya hubungan
Penggugat dan Terguugat menjadi pasang surut dan terganggu
keharmonisannya dikarenakan sering terjadinya perselisihan dan
pertengkaran terus-menerus, yang menyebabkan perkawinannya tidak
sejalan lagi hal ini dirasakan sejak awal 2015.
36
Selain perelisihan dan pertengkaran yang terjadi, perilaku Tergugat
juga semakin kasar terhadap Penggugat dan anaknya, sejak bulan Mei 2015
Penggugat sudah pindah ke tempat orang tua Penggugat dan tidak tinggal
satu rumah dengan Tergugat. Untuk menyelamatkan jiwa atau psikis
Penggugat dan anaknya, maka pada bulan Agustus 2015 orang tua
Penggugat memutuskan pindah dan menetap sementara di Bali sambil
melanjutkan studi Penggugat di Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas
Udayana, sekaligus melanjutkan karirnya sebagai modelling. Dengan
demikian, Penggugat dan Tergugat sudah tidak berkomunikasi dengan baik
lagi.
Dengan begitu, hubungan perkawinan Penggugat dan Tergugat
sudah tidak dapat dipertahankan lagi dan sudah tidak sesuai dengan yang
diamanatkan dalam Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974.
Oleh sebab itu, sangatlah beralasan bagi Penggugat untuk mengajukan
gugatan perceraian terhadap Tergugat sebagaimana diperkenankan dalam
ketentuan Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975
tentang Pelaksanaan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan yang menyatakan bahwa perceraian dapat terjadi karena alasan
atau antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan rukun lagi dalam rumah tangga.
Selanjutnya, hal ini perlu juga diberitahukan kepada Kantor Catatan
Sipil tentang berakhirnya perkawinan Penggugat dan Tergugat, agar
diterbitkan akta perceraian. Dan mengenai hak asuh anak, mengingat anak
Penggugat dan Tergugat masih balita, maka Penggugat memohon agar hak
asuh anaknya diberikan kepada Penggugat sebagai ibunya. Serta demi
kelangsungan masa depan anaknya, Penggugat memohon juga agar
Tergugat bertanggung jawab memberikan nafkah bagi anaknya sebesar Rp.
20.000.000,- (dua puluh juta rupiah).
Dengan demikian, Penggugat memohon kepada Majelis Hakim
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan agar dapat berkenan memutuskan
perkara dengan mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya, menyatakan
37
perkawinan antara Penggugat dan Tergugat sebagaimana telah tercatat pada
Kantor Catatan Sipil dan dalam Akta Perkawinan, telah dianggap putus
karena perceraian, memerintahkan kepada Panitera Pengganti agar
mengirim salinan putusan dan memberitahukan kepada pejabat Kantor
Catatan Sipil tentang berkahirnya perkawinan tersebut, agar segera
diterbitkan akta perceraian, menetapkan anak laki-laki yang bernama Arief
Danaska Asmuni yang masih balita berada di bawah hak asuh Penggugat,
dan memerintahkan Tergugat untuk memberikan nafkah kepada anaknya
sebesar Rp. 20.000.000 (dua puluh juta rupiah) sampai anak tersebut
tumbuh dewasa.
Setelah Penggugat mengajukan gugatannya tersebut, maka Tergugat
bersama kuasa hukumnya mengajukan jawaban di persidangan tertanggal 9
Februari 2015 sebagai berikut;
a. Dalam Eksepsi (Eksepsi Kompetensi Absolut)
Penggugat dan Tergugat melangsungkan perkawinan pada tanggal
1 November 2013 di Hotel Sol Marina, Tangerang di hadapan Pendeta
Samuel GPDI Bethesda, hanya sebagai bentuk resepsi perkawinan saja.
Penggugat dan Tergugat sudah terlebih dahulu melangsungkan
pernikahan secara Islam di hadapan Ustadz. Syafi’i, B.A. selaku
pemuka agama di daerah setempat dan melangsungkannya di rumah
Tergugat pada tanggal 23 Oktober 2013. Sebelumnya, Penggugat sudah
memeluk ajaran agama Islam pada tanggal 4 Oktober 2013. Sehingga
hal tersebut sudah sesuai berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang No.1
Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan perkawinan sah
apabila dilakukan menurut ajaran masing-masing agama dan
kepercayaan.1
Pada saat dilaksanakan perkawinan secara agama Islam, orang tua
Penggugat belum diberitahu karena kedua orang tua Penggugat
menentang Penggugat untuk masuk agama Islam dan memilih untuk
1 Pasal 2 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
38
menikah secara Islam dengan Tergugat, dengan begitu, pernikhan yang
dilangsungkan di Hotel Sol Marina pada tanggal 1 November 2013
adalah keinginan orang tua Penggugat, sekaligus memberi kesan baik
untuk menyenangkan hati orang tua Penggugat. Kemudian, pencatatan
perkawinan di Kantor Catatan Sipil juga dilakukan semata-mata untuk
menjaga perasaan orang tua Penggugat.
Dikarenakan Penggugat dan Tergugat telah melangsungkan
perkawinan secara agama Islam, maka sudah seharusnya perkara cerai
ini diselesaikan di Pengadilan Agama, sebagaimana ketentuan dalam
Pasal 73 Undang-Undang No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
yang telah diubah menjadi Undang-Undang No.3 Tahun 2006. Dengan
demikian, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tidak memiliki wewenang
untuk mengadili dan memutus perkara cerai tersebut.
b. Eksepsi dalam Pokok Perkara
Tidak benar bahwa perselisihan antara Penggugat dan Tergugat
dapat dianggap sebagai perselisihan yang terjadi secara terus-menerus.
Karena pada saat Penggugat meninggalkan rumah tempat kediaman
Penggugat dan Tergugat, kondisi hubungan rumah tangga mereka
masih dalam keadaan baik. Walaupun Penggugat dan anaknya tinggal
di Bali, setidaknya 1 pekan 1 kali Tergugat menjenguknya.
Dikarenakan orang tua Penggugat yang mengetahui bahwa
perkawinan tersebut dilaksanakan menurut agama Islam, orang tua
Penggugat selalu berusaha dengan berbagai cara untuk memisahkan
Penggugat dan Tergugat serta anaknya. Perselisihan yang terjadi antara
Penggugat dan Tergugat sebenarnya juga didasari oleh orang tua
Penggugat yang tidak menyetujui perkawinan tersebut.
Berdasarkan hal itu, maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada
alasan atau fakta bahwa Penggugat dan Tergugat telah berselisih, dan
akibat perceraian tersebut Tergugat tidak berhak lagi membiayai hidup
Penggugat, akan tetapi Tergugat akan memberikan nafkah kepada anak
Penggugat dan Tergugat sesuai dengan kemampuan Tergugat.
39
c. Dalam Rekonvensi
Sejak bulan Oktober 2015 sampai dengan gugatan aquo
disampaikan, Tergugat dalam Rekonvensi/Penggugat dalam Konvensi
tidak memberikan izin kepada Penggugat dalam Rekonvensi/Tergugat
dalam Konvensi untuk bertemu dengan anak laki-lakinya yang bernama
Arief Danaska Asmuni.
Jelas sekali bahwa memang orang tua Tergugat dalam
Rekonvensi/Penggugat dalam Konvensi bermaksud untuk memutus
hubungan antara anak laki-lakinya dan Penggugat dalam
Rekonvensi/Tergugat dalam Konvensi, hal tersebut juga didukung oleh
tindakan Tergugat dalam Rekonvensi yang tidak berani melawan
keinginan orang tua Tergugat dalam Rekonvensi terhadap hal tersebut.
Akibat dari tindakan Tergugat dalam Rekonvensi yang melarang
Penggugat dalam Rekonvensi untuk bertemu dengan anak laki-lakinya
itu, Penggugat dalam Rekonvensi tidak dapat melaksanakan
kewajibannya sesuai dengan Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang No.1
Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa kedua orang
tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.
Selanjutnya juga dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 23
Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak sebagaimana diubah oleh
Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 yang menyatakan bahwa setiap
anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh
oleh orang tua sendiri. Akan tetapi, hal tersebut tidak dapat
dilaksanakan, disebabkan Tegugat dalam Rekonvensi melarang
Penggugat dalam Rekonvensi untuk dapat mengurus buah hatinya
secara bersama-sama.
Dengan demikian, Tergugat dalam Rekonvensi haruslah bersikap
adil dalam memberikan akses dan mengizinkan Penggugat dalam
Rekonvensi untuk dapat emengasuh, memelihara, mendidik, dan
melindungi buah hatinya serta membantu perkembangan anaknya
sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minat buah hatinya, dengan cara
40
memberikan waktu setidaknya lima kali dalam satu minggu untuk
bertemu anak tersebut tanpa dibatasi oleh waktu.
Berdasarkan hal-hal tersebut, bagian dalam Eksepsi, Pokok
Perkara, maupun dalam Rekonvensi, Tergugat dalam
Konvensi/Penggugat dalam Rekonvensi telah memohon agar Majelis
Hakim yang memeriksa perkara aquo untuk dapat memutuskan hal-hal
tersebut sebagai berikut:
d. Dalam Eksepsi.
1) Menerima Eksepsi Tergugat untuk seluruhnya.
2) Menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima (niet
ontvankelijk verklaard).
e. Dalam Pokok Perkara.
1) Menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya.
2) Membebankan biaya perkara kepada Penggugat.
f. Dalam Rekonvensi.
1) Mengabulkan gugatan Rekonvensi yang diajukan oleh Penggugat
dalam Rekonvensi/Tergugat dalam Konvensi.
2) Menghukum Tergugat dalam Rekonvensi/Penggugat dalam
Konvensi untuk memberikan akses dan mengizinkan Penggugat
dalam Rekonvensi untuk mengasuh, memelihara, mendidik, dan
melindungi anaknya serta membantu tumbuh kembangnya dengan
cara memberikan waktu untuk bertemu setidaknya lima kali dalam
satu minggu tanpa dibatasi oleh waktu.
Dengan demikian, terhadap jawaban Tergugat tersebut. Penggugat
juga telah mengemukakan Repliknya tertanggal 16 Februari 2016, dan
Tergugat juga telah mengajukan Dupliknya tertanggal 1 Maret 2016,
serta sebagaimana termuat dan terlampir dalam Berita Acara
Persidangan karenanya dinyatakan telah cukup termuat dan turut
dipertimbangkan.
Jika melihat jawaban Tergugat tersebut dalam eksepsinya, yang
diantaranya menyangkut pembahasan Kompetensi Absolut. Sehingga
41
dengan eksepsi tersebut, Majelis Hakim telah mempertimbangkan
dengan putusan sela pada tanggal 29 Maret 2016 yang amarnya sebagai
berikut:
1) Menolak Eksepsi Kompetensi Absolut dari Tergugat.
2) Menyatakan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan berwenang
memeriksa dan mengadili perkara tersebut.
3) Memerintahkan Penggugat dan Tergugat untuk melanjutkan
pemeriksaan perkara ini.
4) Menangguhkan biaya perkara sampai putusan akhir.2
Selanjutnya, untuk membuktikan gugatannya itu benar adanya,
Penggugat diminta agar dapat memberikan bukti-bukti berupa surat dan
keterangan saksi pada saat persidangan, begitu pula dengan Tergugat.
Dalam keterangan saksi, orang tua Penggugat menyatakan bahwa
Penggugat benar beragama Kristen Protestan, dan Tergugat beragama
Kristen, keduanya telah menikah sirri secara Islam, dan melaksanakan
perkawinan sah secara Kristen di hadapan Pendeta Samuel GPDI
Bethesda, setelah mengajukan kesimpulan dari masing-masing pihak
pada tanggal 10 Mei 2016, Majelis Hakim menilai hal tersebut sudah
cukup untuk dapat dinyatakan dan turut dipertimbangkan dalam putusan
ini.
2. Pertimbangan Hakim
Di dalam gugatan tersebut, Tergugat telah mengajukan eksepsi yang
meliputi tentang Kompetensi Absolut Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
tidak berwenang mengadili perkara cerai ini, dan sudah dijatuhkan putusan
sela pada tanggal 29 Maret 2016. Selain eksepsi tentang Kompetensi
Absolut Pengadilan Negeri, Tergugat juga menyinggung perihal nafkah
anak sebesar Rp. 20.000.000 sampai anak tersebut tumbuh dewasa dan
Tergugat merasa keberatan. Untuk itu, jika diperhatikan kembali dengan
2 Putusan Sela Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 668/Pdt.G/2015/PN.Jkt.Sel
42
melihat petitum dalam gugatan bahwa nafkah tersebut hanya semata-mata
demi kepentingan anaknya, maka eksepsi Tergugat harus ditolak.
Setelah Majelis Hakim mencermati gugatan Penggugat, maka dapat
disimpulkan bahwa Penggugat mengajukan gugatan cerai terhadap
Tergugat dengan alasan-alasan antara lain, sering terjadinya perselisihan
dan kekerasan fisik terhadap Penggugat. Akhirnya Penggugat memutuskan
untuk pindah dari rumah kediaman mereka sebelumnya, serta Penggugat
merasa kehidupan rumah tangganya dengan Tergugat tidak mungkin dapat
didamaikan. Kemudian hal tersebut dibuktikan melalui surat, serta
keterangan saksi dari pihak Penggugat.
Demikian juga dengan Tergugat dalam eksepsinya mengajukan
pokok perkara yakni, tidak benar adanya pertengkaran terus-menerus antara
Penggugat dan Tergugat, sesungguhnya hubungan keduanya berjalan
dengan baik. Akan tetapi, hal tersebut dirusak oleh orang tua Penggugat
yang berusaha untuk memisahkan Penggugat dan Tergugat. Oleh
karenanya, Tergugat juga telah mengajukan bukti surat yang didampingi
dengan keterangan saksi dari pihak Tergugat.
Dengan begitu, sebelum mempertimbangkan permintaan Pengguat
untuk bercerai dengan Tergugat, maka terlebih dahulu akan
dipertimbangkan apakah benar Penggugat dan Tergugat adalah suami istri
yang sah, yang melangsungkan perkawinan sesuai dengan ketentuan
Undang-Undang Perkawinan No.1 tahun 1974. Namun, jika dilihat dalam
Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan No.1 tahun 1974 menjelaskan bahwa
perkwinan sah apabila dilangsungkan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya, begitu juga tiap perkawinan dicatat
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sehingga berdasarkan ketentuan pasal-pasal tersebut, untuk
mengetahui apakah perkawinan dapat dikatakan sah dan tercatat adalah
dengan adanya Akta Perkawinan, dan perkawinan Penggugat dengan
Tergugat merupakan perkawinan yang sah secara agama Kristen pada
tanggal 1 November 2013 dan dicatatkan melalui Kantor Catatan Sipil
43
dengan dikeluarkannya Akta Perkawinan pada tanggal 20 November 2013.
Kemudian perihal perkawinan yang dilakukan secara Islam, Tergugat tidak
dapat membuktikan tentang adanya perkawinan tersebut. Sebagaimana
yang dimaksud dalam Undang-Undang No.32 Tahun 1954 tentang
Pencatatan Nikah, Nikah, dan Rujuk.
Selanjutnya mengenai hak asuh anak yang diajukan dalam gugatan
Penggugat, melihat adanya bukti kekerasan fisik dari Tergugat terhadap
Penggugat, maka Majelis Hakim memberikan penetapan agar hak asuh
anak tersebut diberikan kepada Penggugat sebagai ibu kandungnya. Hal itu
berdasarkan Pasal 41 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 yang dapat
disimpulkan bahwa apabila terjadi perceraian, baik ayah atau ibu tetap
berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata demi
kepentingan anak, dan bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan
anak, maka pengadilan yang memberi keputusan. Dengan demikian
putusan ini diperimbangkan sesuai dengan Undang-Undang No.1 Tahun
1974 jo. Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 serta peraturan lain yang
bersangkutan.
3. Amar Putusan
a. Dalam Eksepsi
1) Menolak eksepsi dari Tergugat
b. Dalam Konvensi
1) Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya.
2) Menyatakan perkawinan antara Penggugat dan Tergugat yang
dilaksanakan pada tanggal 1 November 2013 di hadapan Pendeta
Samuel GPDI Bethesda sebagai pemuka agama Kristen, dan
dicatatkan pada Dinas Catatan Sipil pada tanggal 7 November 2013,
sesuai dengan Akta Perkawinan yang dikeluarkannya, dinyatakan
putus karena perceraian dengan segala akibat hukumnya.
3) Menyatakan anak Penggugat dan Tergugat yang bernama Arief
Danaska Asmuni yang lahir pada tanggal 10 Maret 2014 saat ini
44
masih di bawah umur, diserahkan pengasuhannya kepada Penggugat
sebagai ibu kandungnya.
4) Menghukum Tergugat untuk memberikan biaya hidup kepada
anaknya sebesar Rp. 3.000.000 (tiga juta rupiah) setiap bulannya.
5) Memerintahkan Panitera Pengganti Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan atau pejabat yang ditunjuk untuk mengirimkan salinan
putusan ini yang telah berkekuatan hukum tetap, kepada Kantor
Catatan Sipil untuk mencatatkan perceraian tersebut dalam daftar
yang tersediakan untuk diterbitkan akta perceraian.
c. Dalam Rekonvensi
1) Menyatakan gugatan Penggugat Rekonpensi tidak dapat diterima.
2) Menghukum Tergugat Konvensi/Penggugat Rekonvensi untuk
membayar baiaya perkara sebesar Rp. 526.000 (lima ratus dua
puluh enam ribu rupiah).
Demikian putusan tersebut diputus dalam rapat musyawarah Majelis
Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, pada tanggal 31 Mei 2016.3
B. Kronologis Perkara Nomor 1377/Pdt.G/2016/PA.JS
1. Duduk Perkara
Arief Irdan, umur 30 Tahun, beragama Islam, selanjutnya sebagai
Pemohon, dan Maria Clafita Witoko, umur 20 Tahun, beragama Islam,
selanjutnya sebagai Termohon, diketahui dahulu telah melangsungkan
pernikahan secara syariat agama Islam pada 23 Oktober 2013. Kemudian,
perkawinannya diakhiri dengan cerai talak di Pengadilan Agama Jakarta
Selatan pada tanggal 03 Mei 2016.4
Dahulu Pemohon dan Termohon yang keduanya beragama Islam
telah melangsungkan perkawinannya tersebut di rumah Pemohon. Dan
diketahui juga bahwasanya Termohon merupakan seorang Mualaf yang
3 Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 668/Pdt.G/PN.Jkt.Sel, h. 27-28 4 Putusan ini (terlampir) oleh Pengadilan Agama Jakarta Selatan untuk dipublikasikan.
Karena itu selanjutnya penulis tidak merahasiakan identitas para pihak yang terkait dalam putusan
ini.
45
sebelumnya beragama Kristen, lalu bersyahadat pada tanggal 03 Oktober
2013 berdasarkan surat Pernyataan (P-1) dan diperkuat lagi dengan ikrar
syahadat sebagaimana Surat Keterangan (P-2) pada tanggal 04 Oktober
2013 di Masjid Ar-Ridho yang disaksikan oleh Pemohon, dan saksi-saksi
lainnya.
Pada saat itu, kedua orang tua Termohon masih memeluk agama
Kristen, hal itu menjadikan ijab kabul dipimpin oleh wali hakim yaitu
Ustadz H. Syafi’ie HSM, B.A., lalu dengan mahar emas kawin 6 (enam) gr
emas putih dan disaksikan oleh para saksi dari kedua belah pihak.
Sebagaimana yang diketahui bahwa dalam ajaran agama Islam, sebuah
pernikahan membutuhkan wali nikah dengan syarat-syarat sebagai berikut:
a. Muslim.
b. Seorang laki-laki.
c. Telah dewasa dan berakal.
d. Orang merdeka.
e. Adil.
f. Tidak sedang melakukan ihram haji.5
Kemudian, dalam Pasal 20 ayat (2) menjelaskan bahwa wali nikah
harus seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam, dan wali nikah
terdiri dari; wali nasab, dan wali hakim. Dan pada Pasal 23 ayat (1)
menyatakan bahwa seorang wali hakim baru bisa bertindak sebagai wali
nikah jika wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menjadi wali nikah atau
juga tidak diketahui tempat tinggalnya (ghaib) atau enggan menjadi wali
nikah (adhal).6 Dengan dimikian pernikahan tersebut telah memenuhi
syarat dan/atau tidak ada larangan untuk melangsungkan pernikahan karena
dianggap sudah sesuai dengan syariat Islam maupun peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
5 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia,… h. 76-77
6 Pasal 20 dan 23 Inpres No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
46
Kemudian setelah menikah, Penggugat dan Tergugat bertempat
tinggal di daerah Kebayoran Lama Jakarta Selatan, selama pernikahan
mereka berlangsung, mereka telah dikaruniai seorang anak laki-laki yang
diberi nama Arief Danaska Asmuni lahir pada tanggal 10 Maret 2014
sebagaimana tertera dalam surat akta kelahiran (P-3).
Pernikahan yang telah berlangsung lama itu, tidak segera Pemohon
dan Termohon catatkan ke Kantor Urusan Agama setempat. Akhirnya
tanpa sepengetahuan Pemohon, orang tua Termohon sudah terlebih dahulu
mendaftarkan pernikahan Pemohon dan Termohon di Kantor Catatan Sipil
Kota Bekasi. Dalam melakukan pencatatan tersebut, orang tua Termohon
telah memalsukan dokumen yang isinya tidak sesuai dengan kenyataan.
Dokumen tersebut menyatakan bahwa identitas Pemohon adalah beragama
Kristen yang telah dibaptis di Gereja Kristen Alkitab Indonesia seperti
dalam bukti Surat Baptis (P-4).
Pada akhirnya Pemohon pun melakukan klarifikasi berdasarkan
dokumen-dokumen sebenarnya dan setelahnya pihak Gereja mengeluarkan
Surat Klarifikasi Baptis (P-5). Dengan pemalsuan dokumen dan identitas
itulah, Pemohon kemudian melaporkan tindakan tersebut ke Kepolisian
Resort Metro Jakarta Selatan sebagaimana Laporan Polisi Jakarta Selatan
tertanggal 10 Maret 2016 (P-6).
Dengan demikian, agar Pemohon dapat mengajukan permohonan
cerai talak, maka Pemohon terlebih dahulu mengajukan penetapan
pernikahan, yang selanjutnya dapat digunakan sebagai dasar untuk
mengajukan perceraian. Hal itu sebagaimana telah diatur dalam Pasal 7
ayat (3) huruf (a) Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menyatakan bahwa
itsbat nikah yang diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal
yang berkenaan dengan adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian
perceraian.7
7 Pasal 7 ayat (3) huruf (a) Inpres No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
47
Selanjutnya, pada bulan Juni 2015, Termohon meminta izin kepada
Pemohon untuk kembali melanjutkan kuliahnya di Bali dengan membawa
buah hati mereka ikut bersama Termohon. Sebulan kemudian, Pemohon
pun mengetahui bahwa ternyata Termohon telah kembali kepada ajaran
agamannya yang dahulu (Murtad). Selain diketahui Murtad, Termohon juga
kedapatan selingkuh, sering meminum minuman yang memabukkan, dan
berpakaian tidak sopan hal itu dilihat langsung oleh Penggugat pada foto-
foto dalam telepon seluler Tergugat pada bulan Oktober 2015 (P-7).
Setelah itu, Pemohon juga sudah lama tidak tinggal dengan
Termohon, dikarenakan Pemohon telah diusir oleh Termohon. Dengan
alasan tersebut dan jarak yang terpisahkan itulah, Pemohon dan Termohon
sudah tidak dapat berkomunikasi dengan baik dan sering terjadi
pertengkaran diantara keduanya.
Timbulnya pertengkaran itulah yang menyebabkan hubungan ikatan
lahir batin antara Pemohon dan Termohon yang sebagaimana telah
diamanatkan dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan yaitu pada hakikatnya telah retak dan sudah tidak dapat
diharapkan rukun kembali sebagai kehidupan rumah tangga.8
Berdasarkan penjelasan di atas, jika tali perkawinan Pemohon dan
Termohon sudah tidak dapat disatukan kembali, dan kalaupun bersatu, akan
menimbulkan kemudharatan yang lebih besar, maka dari itu diperbolehkan
untuk memutus tali perkawinan tersebut. Sebagaimana telah dinyatakan
dalam Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang
memuat alasan-alasan perceraian yakni jika diantara suami istri terus-
menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran serta tidak ada harapan akan
hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Maka perceraian boleh saja
dilakukan.9
8 Pasal 1 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
9 Pasal 19 huruf f Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-
Undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
48
Sedangkan alasan-alasan tersebut juga diatur dalam Pasal 116 huruf
(f) dan huruf (k) Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyatakan bahwa jika
diantara suami istri sering kali terjadi perselisihan dan pertengkaran dan
tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Dan
Peralihan agama atau Murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak
rukunan dalam rumah tangga. Maka dengan demikian, perceraian boleh
dilakukan sebagai salah satu cara terakhir yang ditempuh. 10
Dengan perilaku buruk dan Murtadnya Termohon, maka Pemohon
merasa khawatir apabila buah hatinya berada di bawah pemeliharaan hak
asuh Termohon. Karena hal tersebut dapat menjadikan hal buruk dan
membahayakan Akidah serta Psikologis anak. Oleh sebab itu, Pemohon
meminta agar pemeliharaan hak asuh anaknya diberikan pada Pemohon.
Dalam Pasal 26 Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak menyebutkan bahwa, apabila orang tua yang
melalaikan kewajibannya atas pemeliharaan hak asuh anak, maka kuasa
asuh orang tua tersebut dapat dicabut. Hal itu juga dipertegas dalam Pasal
30 Undang-Undang No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.11
Berdasarkan uraian diatas, maka Pemohon memohon kepada
Majelis Hakim yang memutus perkara tersebut adalah untuk dapat;
mengabulkan permohonan Pemohon dan Termohon untuk seluruhnya.
Memberi penetapan perkawinan Pemohon dan Termohon pada tanggal 23
Oktober 2013 adalah sah. Menyatakan bahwa Kutipan Akta Perkawinan
No.3275-KW-07112013-0020 tertanggal 20 November 2013 tidak
mempunyai kekuatan hukum dikarenakan akta tersebut palsu. Kemudian,
memberikan izin kepada Pemohon untuk dapat menjatuhkan talak kepada
Termohon di hadapan sidang Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Serta
10 Pasal 116 huruf (f) dan huruf (k) Inpres No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum
Islam (KHI).
11 Pasal 26 Undang-Undang No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
49
memberi penetapan hak asuh anak yang bernama Arief Danaska Asmuni
yang berumur 2 (dua) tahun jatuh kepada Pemohon.
Kemudian meminta juga agar Majelis Hakim Pengadilan Agama
Jakarta Selatan dalam hal ini yang memutus perkara dengan putusan yang
seadil-adilnya (ex aquo et bono).
2. Pertimbangan Hakim
Majelis hakim sebelum memutus perkara tersebut terlebih dahulu
memberi pertimbangan terhadap hal-hal yang diajukan oleh Pemohon
dalam permohonannya. Diantaranya, menimbang bahwa; sebelum
dimulainya persidangan, majelis hakim telah mencoba mendamaikan para
pihak. Akan tetapi, hal tersebut tidak berhasil, serta Termohon juga tidak
pernah hadir bahkan sampai saat proses mediasi.
Pada proses persidangan, Termohon tidak pernah hadir sama sekali.
Bahkan juga tidak mengutus orang lain sebagai wakil atau kuasanya untuk
hadir di persidangan. Padahal Termohon telah dipanggil secara patut oleh
Jurusita Pengganti Pengadilan Agama Jakarta Selatan, melalui alamat
Termohon yang sebenarnya. Sehingga dengan demikian, perkara aquo
diperiksa tanpa hadirnya Termohon.
Dengan melihat bukti-bukti berupa surat pernyataan, surat
keterangan dari Termohon yang menyatakan bahwa Termohon telah
memeluk agama Islam dan bukti foto pernikahan Pemohon dan Termohon
yang menyatakan bahwa benar Pemohon dan Termohon adalah pasangan
suami istri yang telah menikah pada tanggal 23 Oktober 2013. Namun,
pernikahannya tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA).
Selanjutnya, majelis hakim perlu menyesuaikan ketentuan
perundang-undangan seperti dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No.1
tahun 1974 yang menyatakan bahwa perkawinan itu sah apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Sedangkan
dalam Pasal 14 Inpres No.1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
yang menjelaskan bahwa rukun nikah terdiri dari 5 (lima); calon suami,
50
calon istri, wali nikah, dua orang saksi, serta ijab dan kabul. Dan
pernikahan tersebut sudah memenuhi rukun nikah.
Setelah menyesuaikan alat bukti dengan peraturan perundang-
undangan, selanjutnya majelis hakim mempertimbangkan fakta dari
keterangan saksi yang diajukan Pemohon di hadapan sidang, fakta tersebut
menyatakan bahwa Pemohon adalah seorang Muslim, dan Termohon
adalah seorang Muallaf yang pada saat itu telah bersyahadat sebelum
terjadinya pernikahan. Dikarenakan orang tua Termohon adalah pemeluk
agama Kristen, maka yang menjadi wali nikah bagi Termohon adalah wali
hakim yang bernama Ustadz H. Syafiie bin H. Satiri sebagai tokoh agama
di daerah setempat.
Kemudian, bahwa benar adanya pernikahan yang tidak dicatatkan di
Kantor Urusan Agama disebabkan kondisi mendesak dari orang tua
Termohon yang meminta untuk pernikahan tersebut segera diadakan acara
resepsi pernikahan Pemohon dan Termohon.
Oleh sebab itu, seperti halnya yang diamanatkan pada Pasal 7 ayat
3 huruf (a) Inpres No.1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam yang
menjelaskan bahwa itsbat nikah yang diajukan ke Pengadilan Agama
terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan adanya perkawinan
dalam rangka penyelesaian perceraian. Sehingga majelis hakim
berpendapat bahwa pernikahan tersebut dapat dinyatakan sah secara
hukum.12
Kemudian pada kasus perceraiannya, dikarenakan tidak hadirnya
Termohon di persidangan. Maka majelis hakim meminta agar Pemohon
memberikan bukti-bukti untuk memperkuat permohonannya dan Pemohon
sudah membuktikannya di hadapan majelis hakim dengan membawa alat
bukti dan para saksi.
Selain itu, mengenai pemalsuan identitas terhadap surat pencatatan
nikah yang dilakukan oleh orang tua Termohon, maka Pemohon
membantah pernyataan tersebut dengan memberikan bukti lain berupa
12 Pasal 7 ayat (3) huruf (a) Inpres No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
51
Kartu Tanda Penduduk dengan kolom agama Islam dan Kartu Keluarga
Pemohon dan Termohon yang menyatakan bahwa Termohon berdomisili di
wilayah Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Oleh karenanya, Pemohon
telah tepat mengajukan permohonan tersebut sebab sesuai dengan wilayah
Yurisdiksi Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
Selanjutnya, berdasarkan bukti foto-foto Termohon yang telah di
foto kopi oleh Pemohon, yang menjelaskan bahwa foto tersebut telah
menggambarkan sikap atau perilaku Termohon yang kurang pantas untuk
menjadi seorang muslimah, istri dan juga ibu bagi anaknya. Selain bukti
foto, terdapat bukti juga yang diungkapkan oleh para saksi saat di
persidangan. Keterangan tersebut menyatakan bahwa di antara Pemohon
dan Termohon juga sering terjadi pertengkaran dan keduanya sudah
berpisah tempat tinggal selama satu tahun. Sehingga dalil Pemohon
dipandang telah terbukti.
Berdasarkan bukti dan alasan-alasan dari Pemohon itulah, yang
menjadikan pertimbangan Majelis Hakim agar dapat melihat kembali
hakikat perkawinan dengan menjunjung tinggi keharmonisan rumah tangga
yang di dalamnya terdapat rasa cinta kasih seimbang secara timbal balik
antara suami istri, seperti yang diamanatkan dalam QS. ar-Rum ayat 21,
dan Pasal 1 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, serta
Pasal 3 Inpres No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Namun,
terhadap hubungan Pemohon dan Termohon sebagai suami istri terbukti
tidak seperti hakikat perkawinan yang telah dijelaskan sebelumnya.
Pemohon dan Termohon juga sudah tidak ada itikad baik untuk
memperbaiki rumah tangganya, dan berniat untuk berpisah. Meskipun
perceraian adalah sesuatu yang dibenci Allah, namun dengan melihat bukti-
bukti dan alasan yang diajukan Pemohon tersebut, maka rumah tangga
Pemohon dan Termohon hanyalah berisi kemudharatan dibandingkan
kemaslahatan bagi kedua belah pihak. Oleh karenanya, perkara ini
dianggap telah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku
khususnya dalam Pasal 19 huruf (f) PP Nomor 9 Tahun 1975 tentang
52
Pelaksanaan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo.
Pasal 116 huruf (f) Inpres No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum
Islam. Maka dari itu, permohonan Pemohon dapat diputus dengan tanpa
hadirnya Termohon di muka persidangan.
Dikarenakan perkawinan Pemohon dan Termohon tidak dicatatkan
di Kantor Urusan Agama (KUA), sehingga dengan demikian ketentuan
dalam Pasal 84 Undang-Undang No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya dengan Undang-
Undang No.50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua, terkait dengan
pengiriman salinan putusan ke Kantor Urusan Agama (KUA) dianggap
tidak berlaku bagi perkara aquo.13
Selanjutnya, dikarenakan dari perkawinan tersebut Pemohon dan
Termohon telah dikaruniai anak laki-laki berumur 2 (dua) tahun yang
bernama Arief Danaska Asmuni, dan Pemohon juga meminta agar anak
tersebut dinyatakan anak sah secara hukum serta memohon untuk diasuh
dan dipelihara oleh Pemohon sebagai ayahnya. Maka setelah
mempertimbangkan bahwa benar perkawinan Pemohon dan Termohon itu
ialah perkawinan yang sah, sehingga anak yang lahir dari perkawinan
tersebut juga anak sah, sebagaimana diatur dalam Pasal 42 Undang-Undang
No.1 Tahun 1974 jo. Pasal 99 huruf (a) Inpres No.1 Tahun 1991 tentang
Kompilasi Hukum Islam, yang menyebutkan bahwa anak yang sah adalah
anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Oleh
karenanya, berdasarkan ketentuan perundang-undangan di atas. Maka anak
tersebut dapat dinyatakan sebagai anak sah dari perkawinan Pemohon dan
Termohon.
Secara normatif berdasarkan ketentuan Pasal 105 Inpres No.1
Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, menjelaskan bahwa dalam
hal perceraian, pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum
berumur 12 tahun adalah hak asuh ibunya. Namun, bila melihat syarat-
syarat seseorang yang berhak diberikan hak asuh anak, seperti yang
13 Pasal 84 Undang-Undang No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
53
dijelaskan dalam kitab Kifayah al-Akhyar, juz II halaman 152 jo. Kitab al-
Iqna’ Fi Halli al-Fazhi Abi Syuja’, juz II halaman 195-196 adalah sebagai
berikut;
a. Berakal sehat.
b. Merdeka.
c. Beragama Islam/tidak murtad.
d. Menjaga kehormatan.
e. Dapat dipercaya.
f. Bertempat tinggal tetap/satu tempat kediaman dengan anak yang
diasuh.
g. Tidak bersuami/belum kawin lagi.
Berdasarkan Pasal 1 angka 11 Undang-Undang No.23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak yang menyatakan bahwa kuasa asuh ialah
kekuasaan orang tua untuk mengasuh, mendidik, memelihara, membina,
melindungi, dan menumbuh kembangkan anak sesuai dengan agama yang
dianutnya dan kemampuan, bakat, serta minatnya. Dan apabila yang lebih
berhak dianggap tidak cakap atau gugur haknya, maka kedudukan hak asuh
anak dapat beralih kepada yang lainnya.14
Oleh sebab itu, dengan mempertimbangkan Termohon sebagai ibu
tidak dapat menjaga diri dari hal-hal buruk dan terindikasi murtad atau
kembali ke agamanya semula, serta dianggap telah gugur haknya untuk
memelihara anak. Maka hak asuh tersebut diberikan kepada Pemohon
sebagai ayahnya.
Selanjutnya, melihat bukti dan keterangan saksi dari Pemohon yang
menyatakan bahwa Termohon telah murtad dan berperilaku tidak baik
sebagai seorang ibu, jika hal tersebut dihubungkan dengan bukti foto kopi
KTP milik Termohon tahun 2014 yang mencantumkan identitas agama
adalah agama Islam sangat berbeda dengan bukti foto kopi registrasi online
periode Juli 2015 yang mencantumkan identitas agama Termohon adalah
14 Pasal 1 angka 11 Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
54
Kristen Protestan. Hal ini menimbulkan bukti yang menandakan
ketidakmantapan Termohon dalam memeluk agama Islam, atau dengan
kata lain Termohon terindikasi murtad dari ajaran agama Islam.
Dengan ditetapkannya hak asuh anak kepada Pemohon, hal itu tidak
menjadi penghalang bagi Termohon untuk bertemu dengan anaknya. Selain
untuk memenuhi kepentingan Termohon dan anaknya, Termohon juga
dapat memberikan cinta kasih sepenuhnya untuk keseimbangan hidup anak
tersebut.
Kemudian, karena tuntutan Pemohon terkait Kutipan Akta Nikah
yang dikeluarkan oleh Kantor Catatan Sipil tertanggal 20 November 2013
untuk dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum tetap, ternyata tidak
didukung bukti-bukti yang kuat. Sehingga dengan begitu, tuntutan
Pemohon tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima.
Dikarenakan perkara ini termasuk dalam bidang perkawinan, maka
sesuai dengan yang diamanatkan dalam Pasal 89 ayat (1) Undang-Undang
No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang menyatakan bahwa agar
Pemohon menanggung biaya yang timbul dalam perkara ini.15
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, maka
permohonan Pemohon dapat dikabulkan sebagian dengan verstek16 dan
diktum dalam putusan ini disesuaikan dengan yang telah dipertimbangkan
oleh Majelis Hakim.
3. Amar Putusan
Dengan memerhatikan segala peraturan dan perundang-undangan
yang berlaku serta hukum syariat yang berhubungan dengan perkara
tersebut, maka Majelis Hakim memutus untuk;
15 Pasal 89 ayat (1) Undang-Undang No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
16 Yang dimaksud dengan kata “verstek” ialah sebuah putusan yang dijatuhkan oleh
pengadilan dikarenakan tergugat tidak dapat hadir pada saat persidangan, sedang ia telah dipanggil
secara patut (Sunarto, Peran Aktif Hakim Dalam Perkara Perdata, (Jakarta: Kencana
Prenadamedia Group, 2014) Cetakan Ke-1, h. 143)
55
a. Menyatakan Termohon yang telah dipanggil secara resmi dan patut
untuk menghadap di persidangan, tidak hadir.
b. Mengabulkan permohonan Pemohon sebagian dengan verstek.
c. Menyatakan sah perkawinan Pemohon (Arief Irdan) dan Termohon
(Maria Clafita Witoko) yang dilaksanakan pada tanggal 23 Oktober
2013.
d. Menetapkan anak laki-laki yang bernama Arief Danaska Asmuni adalah
anak yang sah yang lahir pada tanggal 10 Maret 2013 dari perkawinan
Pemohon dan Termohon.
e. Memberi izin kepada Pemohon untuk menjatuhkan talak satu raj’I
terhadap Termohon di depan sidang Pengadilan Agama Jakarta Selatan
setelah putusan berkekuatan hukum tetap.
f. Menetapkan anak yang bernama Arief Danaska Asmuni, berada dalam
asuhan dan pemeliharaan Pemohon sebagai ayah kandungnya.
g. Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima selain dan
selebihnya.
h. Membebankan kepada Pemohon untuk membayar biaya perkara hingga
putusan ini diucapkan sejumlah Rp. 466.000,- (empat ratus enam puluh
enam ribu rupiah).17
Setelah putusan Pengadilan Agama Nomor 1377/Pdt.G/2016/PA.JS dan
putusan Pengadilan Negeri Nomor 668/Pdt.G/PN.Jkt.Sel berkekuatan hukum
tetap, akhirnya saudari Maria Clafita Witoko mengajukan perlawanan upaya
hukum Peninjauan Kembali18 terhadap putusan verstek dari Pengadilan Agama
tersebut ke Mahkamah Agung, dengan Nomor Perkara 110 PK/Ag/2017.
Menyatakan alasan-alasan sebagai berikut;
17 Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor 1377/Pdt.G/2016/PA.JS
18 Maksud kata “peninjauan kembali” berarti meninjau kembali putusan yang dijatuhkan
di luar hadirnya tergugat (verstek) dan merupakan suatu putusan akhir yang tidak lagi membuka
untuk mengajukan perlawanan apapun. (Hulman Panjaitan, Kumpulan Kaidah Hukum Putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Tahun 1953-2008 Berdasarkan Penggolongannya, (Jakarta:
Kencana Prenadamedia Group, 2014) Cetakan Ke-1, h.169)
56
1) Duduk Perkara Pada Putusan Tingkat Pertama di Pengadilan Agama
Nomor 1377/Pdt.G/2016/PA.JS.
Pemohon Peninjauan Kembali yang dahulunya sebagai Termohon,
tidak mengetahui sama sekali adanya permohonan cerai talak yang
didaftarkan Termohon Peninjauan Kembali yang dahulunya sebagai
Pemohon dan juga tidak mengetahui adanya surat resmi panggilan
sidang dari Pengadilan Agama Jakarta Selatan, serta menegaskan
bahwa alamat yang ada dalam putusan Nomor 1377/Pdt.G/2016/PA.JS
itu adalah tidak benar, alamat tersebut hanya alamat selama pernikahan
Pemohon Peninjauan Kembali dan Termohon Peninjauan Kembali
rukun, setelah banyaknya pertengkaran Pemohon Peninjauan Kembali
sudah tidak tinggal di alamat tersebut.
Selanjutnya, Pemohon Peninjauan Kembali menolak semua tuduhan
yang ada dalam posita putusan Pengadilan Agama Nomor
1377/Pdt.G/2016/PA.JS yang diajukan Termohon Peninjauan Kembali,
dengan memberikan bukti-bukti yang kuat. Kemudian sebelum
Termohon Peninjauan Kembali mendaftarkan permohonan cerai talak
ke Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Pemohon Peninjauan Kembali
sudah terlebih dahulu mendaftarkan gugatan cerai terhadap Termohon
Peninjauan Kembali ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan
perkara Nomor. 668/Pdt.G/2015/PN.Jkt.Sel tertanggal 6 November
2015, dan telah diputus oleh Majelis Hakim yang memeriksa perkara
tersebut tertanggal 7 Juni 2016, dan juga pada saat proses persidangan
di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Termohon Peninjauan Kembali
selalu menghadirinya.
2) Dalam Eksepsi, Termohon Peninjauan Kembali telah melanggar
yurisdiksi (kompetensi) absolut;
Dalam permohonan cerai talak yang diajukan oleh Termohon
Peninjauan Kembali ke Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor
1377/Pdt.G/2016/PA.JS telah melanggar yurisdiksi atau kompetensi
absolut. Dikarenakan Pemohon Peninjauan Kembali adalah seorang
57
pemeluk agama Kristen Protestan, dan Pemohon Peninjauan Kembali
dan Termohon Peninjauan Kembali juga telah melangsungkan
pernikahan pada tanggal 1 November 2013 di Hotel Sol Marina
Tangerang, pernikahan tersebut dilaksanakan di hadapan Pendeta
Samuel dari GPDI jemaat Bethesda, berdsarkan Surat Pernikahan No.
186/GPDI-Bethesda/XI/2013, serta Pemohon Peninjauan Kembali dan
Termohon Peninjauan Kembali telah mencatatkan perkawinannya ke
Kantor Catatan Sipil daerah setempat, pada tanggal 7 November 2013
berdasarkan Surat Akta Perkawinan No. 3275-KW-07112013-0020
yang di keluarkan pada tanggal 20 November 2013.
Permohonan cerai talak yang diajukan oleh Termohon Peninjauan
Kembali ke Pengadilan Agama Jakarta Selatan adalah melanggar
kompetensi absolut, hal itu telah diatur dalam Pasal 2 jo. Pasal 49
Undang-Undang No.3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-
Undang No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang menyatakan
bahwa Pengadilan Agama adalah salah satu lembaga kekuasaan
kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai
perkara tertentu. Serta Pengadilan Agama juga berwenang untuk
mengadili, memutus, menyelesaikan perkara di tingkat pertama antar
orang-orang yang beragama Islam.19
3) Dasar hukum dan alasan diajukannya Peninjauan Kembali.
Upaya hukum peninjauan kembali merupakan upaya hukum pada
tingkat pertama dan terakhir, sebagaimana ketentuan Pasal 34 Undang-
Undang No.14 Tahun 1985 telah diubah dengan Undang-Undang No.5
Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung. Kemudian alasan-alasan
peninjauan kembali juga telah diatur dlam Pasal 67 Undang-Undang
No.14 Tahun 1985 telah diubah dengan Undang-Undang No.5 Tahun
2004 tentang Mahkamah Agung. Serta tenggang waktu dalam
mengajukan peninjauan kembali adalah sebagaimana ketentuan Pasal
19 Pasal 49 Undang-Undang No.3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang
No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
58
69 Undang-Undang No.14 Tahun 1985 telah diubah dengan Undang-
Undang No.5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung.
Berdasarkan uraian di atas, maka Pemohon Peninjauan Kembali
mengajukan permohonan untuk menolak seluruh tuduhan dalam
permohonan cerai talak Termohon Peninjauan Kembali, dengan
memberikan bukti-bukti autentik.
Pertimbangan Hukum
Berdasarkan alasan-alasan peninjauan kembali tersebut dan setelah
membaca kontra memori peninjauan kembali serta putusan judex facti,
Mahkamah Agung memberi perimbangan sebagai berikut;
Terdapat novum yang dapat dibenarkan, dalam hal ini perkawinan
Pemohon Peninjauan Kembali dan Termohon Peninjauan Kembali
dilakukan secara Kristen pada tanggal 1 November 2013, dan telah
dicatatkan di Kantor Catatan Sipil tanggal 7 November 2013 sebagaimana
Kutipan Akta Perkawinan. Bahkan perkawinan tersebut juga telah
diceraikan atau diputus oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan
putusan Nomor 668/Pdt.G/2015/PN.Jkt.Sel. tanggal 7 Juni 2016 atas dasar
itu, maka Pengadilan Agama Jakarta Selatan tidak berwenang untuk
mengadili perkara a quo.
Oleh karena Pengadilan Agama Jakarta Selatan tidak berwenang
untuk mengadili perkara cerai ini, maka putusan dengan Nomor
1377/Pdt.G/2016/PA.JS tertanggal 9 Juni 2016, dan Penetapan Pengadilan
Agama dengan Nomor 1377/Pdt.G/2016/PA.JS tertanggal 21 Juli 2016,
serta Akta Cerai dengan Nomor 1467/AC/2016/PA.JS tanggal 21 Juli 2016
harus dibatalkan.
Berdasarkan pertimbangan di atas, menurut pendapat Mahkamah
Agung terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan peninjauan
kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali (Maria Clafita Witoko) dan
membatalkan putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor
1377/Pdt.G/2016/PA.JS, dengan memerhatikan pasal-pasal dari Undang-
Undang No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-
59
Undang No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang No.5 Tahun 2004 dan perubahan kedua
dengan Undang-Undang No.3 Tahun 2009, Undang-Undang No.7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang No.3 Tahun 2006 dan perubahan kedua Undang-Undang No.50
Tahun 2009 serta peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan.
Mengadili:
a. Mengabulkan permohonan peninjauan kembali dari Pemohon
Peninjauan Kembali (Maria Clafita Witoko) tersebut.
b. Membatalkan putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor
1377/Pdt.G/2016/PA.JS tertanggal 9 Juni 2016, dan Penetapan
Pengadilan Agama dengan Nomor 1377/Pdt.G/2016/PA.JS tertanggal
21 Juli 2016, serta Akta Cerai dengan Nomor 1467/AC/2016/PA.JS
tanggal 21 Juli 2016.
Mengadili Kembali:
a. Menyatakan Pengadilan Agama Jakarta Selatan tidak berwenang
mengadili perkara ini.
b. Membebankan kepada Pemohon Peninjauan Kembali untuk membayar
perkara dalam pemeriksaan peninjauan kembali sejumlah Rp.
2.500.000,-(dua juta lima ratus ribu rupiah).20
20 Putusan Peninjauan Kembali Nomor 110 PK/Ag/2017
60
BAB IV
ANALISIS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA NO.
1377/Pdt.G/2016/PA.JS DAN PUTUSAN PENGADILAN NEGERI NO.
668/Pdt.G/2015/PN.Jkt.Sel
A. Analisis Mengenai Dasar Hukum Pertimbangan Hakim Tingkat Pertama
di Pengadilan Agama Nomor. 1377/Pdt.G/2016/PA.JS dan Pertimbangan
Hakim di Pengadilan Negeri Nomor. 668/Pdt.G/2015/PN.Jkt.Sel dalam
Memutus Perceraian Akibat Kawin Beda Agama
Sebelum mulai menganalisis, terlebih dahulu penulis mengulik pemaparan
alur cerita yang terjadi pada perkara dalam putusan tingkat pertama di
Pangadilan Agama Nomor. 1377/Pdt.G/2016/PA.JS dan putusan tingkat
pertama di Pengadilan Negeri Nomor. 668/Pdt.G/2015/PN.Jkt.Sel, dimana
dapat dipahami bahwasanya masalah tersebut membahas mengenai perceraian
akibat kawin beda agama yang terjadi pada dua lembaga peradilan dalam satu
tingkatan.
Pada putusan Nomor. 1377/Pdt.G/2016/PA.JS perceraian yang diajukan
kepada Pengadilan Agama, didasari oleh kehendak suami sebagai Pemohon
cerai talak. Mengenai perceraian yang terjadi di Pengadilan Agama,
suami/Pemohon menyatakan bahwa dirinya telah menikah dengan
istrinya/Termohon secara agama Islam, pada tanggal 23 Oktober 2013.
Awalnya Termohon adalah seorang yang beragama Nasrani kemudian
memeluk agama Islam sebelum menikah dengan Pemohon. Akan tetapi,
perkawinan tersebut belum sempat tercatatkan ke kantor Urusan Agama
(KUA). Oleh karenanya, Pemohon meminta untuk diberikan Penetapan
Pernikahan agar nantinya dapat digunakan sebagai dasar untuk mengajukan
perceraian, hal itu sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) huruf
(a) Kompilasi Hukum Islam.1
1 Lihat Pasal 7 ayat (3) huruf (a) Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menyatakan bahwa
“Itsbat Nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang
berkenaan dengan; adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian.”
61
Selanjutnya perihal perceraian, alasan Pemohon mengajukan cerai kepada
Termohon dikarenakan Termohon telah mengusir Pemohon dari rumah, dan
sering kali berpakaian tidak senonoh, mabuk-mabukan, juga diketahui
Termohon telah terindikasi murtad pada bulan juli 2015, dimana hal tersebut
menimbulkan perselisihan terus-menerus antara Pemohon dan Termohon.
Dengan demikian, Pemohon merasa bahwa dirinya sudah tidak mampu
lagi untuk mempertahankan perkawinannya dengan Termohon, dan Pemohon
menginginkan perceraian sebagaimana telah termaktub dalam ketentuan Pasal
19 huruf (f) Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,2 dan juga berdasarkan
Pasal 116 huruf (f) dan huruf (h) Kompilasi Hukum Islam (KHI).3 Oleh sebab
itu, Pemohon meminta kepada Majelis Hakim untuk dapat mengabulkan
permohonan seluruhnya dan menetapkan perkawinan antara Pemohon dan
Termohon pada tanggal 23 Oktober 2013 adalah sah.4
Kemudian, mengenai proses persidangan, Majelis Hakim telah berupaya
untuk mendamaikan kedua belah pihak berperkara, namun tidak berhasil
dikarenakan Termohon tidak pernah hadir pada saat persidangan, serta tidak
juga mengirimkan wakil atau kuasa hukumnya, padahal dirinya telah
dipanggil secara patut oleh Pengadilan Agama melalui Juru sita pengganti.
Oleh karenanya, Majelis Hakim memutus perkara ini dengan putusan verstek,
yakni berdasarkan Pasal 12 H.I.R.
Berdasarkan hal itu, Majelis Hakim tingkat pertama di Pengadilan Agama
memberikan pertimbangan hukum atas perkara tersebut dengan menyatakan
bahwa sebelum memberi pertimbangan terhadap permohonan cerai Pemohon,
2 Lihat Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa, “Perceraian
dapat terjadi karena alasan; antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.”
3 Lihat Pasal 116 huruf (f) dan huruf (h) Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyatakan
bahwa, “Perceraian dapat terjadi karena alasan-alasan; antara suami dan istri terus-menerus terjadi
perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga,
serta peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah
tangga.”
4 Putusan Pengadilan Agama Nomor. 1377/Pdt.G/2016/PA.JS, h.6
62
maka Majelis Hakim terlebih dahulu mempertimbangkan permohonan
Pemohon agar pernikahannya yang tidak tercatat di KUA dinyatakan sah
secara hukum. Oleh sabab itu, Majelis Hakim menyesuaikannya dengan
peraturan perundang-undangan khususnya Pasal 14 Inpres Nomor.1 Tahun
1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, dan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang
No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Melihat keterangan saksi dan alat bukti yang diajukan Pemohon pada saat
persidangan dan menyesuaikan ketentuan peraturan perundang-undangan
tersebut, selanjutnya Majelis Hakim memberi kesimpulan bahwa perkawinan
antara Pemohon dan Termohon telah memenuhi rukun dan syarat perkawinan
secara agama Islam, sehingga tidak dapat lagi menjadi penghalang terhadap
pengesahan perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian, sebagaimana
dimaksud Pasal 7 ayat 3 huruf (a) Inpres Nomor.1 Tahun 1991 tentang
Kompilasi Hukum Islam. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa
perkawinan tersebut sah secara hukum.5
Selanjutnya, mengenai perceraian Pemohon dan Termohon. Meskipun
Termohon tidak pernah hadir pada saat persidangan, akan tetapi untuk
membuktikan dalil dari Pemohon itu benar adanya, maka Majelis Hakim juga
perlu untuk menyesuaikan kembali hal tersebut dengan alat bukti dan
keterangan saksi, serta ketentuan Pasal 19 Peraturan Pemerintah No.9 Tahun
1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, jo. Pasal 116 Inpres No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum
Islam.
Setelah melihat fakta-fakta tersebut, maka Majelis Hakim
mempertimbangkan bahwa benar adanya konflik antara Pemohon dan
termohon sehingga menjadikan hubungan rumah tangga mereka tidak dapat
terjalin dengan baik. Hal itu telah sesuai dengan ketentuan Pasal 19 huruf (f)
Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, jo. Pasal 116 huruf (f) Inpres No.1
5 Putusan Pengadilan Agama Nomor. 1377/Pdt.G/2016/PA.JS, h.14
63
Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Oleh karenanya, permohonan
Pemohon dapat dikabulkan.
Kemudian, berdasarkan bukti yang diajukan Pemohon berupa foto-foto
Termohon sedang berpakaian tidak senonoh, mabuk-mabukan, dan keterangan
saksi yang menyatakan bahwa Termohon telah murtad, maka jika hal tersebut
dihubungkan dengan alat bukti lain berupa fotokopi KTP Termohon Tahun
2014 yang mencantumkan identitas agama Islam, sangat berbeda dengan
fotokopi KTP Termohon pada Tahun 2015 yang mencantumkan agama
Kristen Protestan. Hal itu menimbulkan persangkaan bahwa adanya ketidak
mantapan Termohon dalam memeluk agama Islam, atau benar terindikasi
murtad. Meskipun demikian, dalam memeluk agama termasuk Hak Asasi
Manusia. Sehingga siapapun tidak dapat memaksakan orang lain untuk
menganut suatu agama.
Dengan demikian, maka Majelis Hakim tingkat pertama di Pengadilan
Agama memutus perkara tersebut dengan menyatakan bahwa; mengabulkan
permohonan Pemohon sebagian dengan verstek, menyatakan sah perkawinan
anatara Pemohon dengan Termohon yang dilaksanakan pada tanggal 23
Oktober 2013, memberi izin kepada Pemohon untuk menjatuhkan talak satu
raj’i terhadap Termohon di depan sidang Pengadilan Agama setelah putusan
berkekuatan hukum tetap, membebankan kepada Pemohon untuk membayar
biaya perkara tersebut.6
Selanjutnya, membahas pertimbangan hukum hakim dalam putusan
Pengadilan Negeri Nomor. 668/Pdt.G/2015/PN.Jkt.Sel. dimana putusan ini
telah lebih dahulu dikeluarkan, dari putusan Pengadilan Agama Nomor.
1377/Pdt.G/2016/PA.JS. Perkara cerai yang diajukan oleh istri/Penggugat
terhadap suaminya/Tergugat ini termasuk cerai gugat.
Penggugat mengajukann perceraiannya ke Pengadilan Negeri lantaran
merasa bahwa perkawinan antara Penggugat dan Tergugat yang terjadi pada
tanggal 01 November 2013 merupakan perkawinan yang sah secara agama
6 Putusan Pengadilan Agama Nomor. 1377/Pdt.G/2016/PA.JS, h.24
64
Nasrani/Kristen. Perkawinan tersebut dilangsungkan dihadapan Pendeta
selaku pemuka agama Kristen Protestan di salah satu Gereja daerah Jakarta.
Tidak hanya itu, perkawinan tersebut juga telah tercatat di Kantor Dinas
Kependudukan dan Pencatatan Sipil pada tanggal 07 November 2013,
sehingga perkawinan tersebut memiliki bukti kuat berupa Akta Perkawinan
Nomor. XXX yang di keluarkan pada tanggal 20 November 2013.7
Alasan lain dari Penggugat mengajukan perceraian terhadap Tergugat
yakni sejak awal tahun 2015 hubungan perkawinan antara Penggugat dan
Tergugat tidak lagi berjalan dengan baik, lantaran sering kali terjadi
perselisihan di antara keduanya. Padahal Penggugat telah berusaha untuk
dapat mempertahankan rumah tangga tersebut, akan tetapi kenyataannya kian
memburuk. Hal itu dikarenakan, Tergugat sering melakukan kekerasan fisik
terhadap Penggugat, dan semakin hari perilaku Tergugat kian beringas,
sehingga mengganggu kesehatan mental Penggugat. Oleh karenanya,
Penggugat memutuskan untuk tinggal di rumah orang tua Penggugat.
Setelah berusaha menyelamatkan diri dari kekerasan fisik yang dilakukan
Tergugat terhadap Penggugat, akhirnya sekitar bulan Agustus 2015
Penggugat beserta orang tuanya memutuskan untuk pindah dan menetap
sementara di Bali, sehingga Penggugat juga dapat melanjutkan kembali
studinya di salah satu Universitas di Bali dan merintis kembali karirnya di
dunia modelling. Dengan demikian, hubungan antara Penggugat dan Tergugat
secara tidak langsung kian merenggang.
Atas dasar itulah, maka Penggugat merasa bahwa rumah tangga antara
Penggugat dan Tergugat sudah tidak dapat lagi diperbaiki, dan Penggugat
menginginkan untuk bercerai sebagaimana diperkenankan dalam ketentuan
Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
sehingga jika perceraian tersebut terjadi, maka hal tersebut juga perlu
diketahui oleh pejabat catatan sipil, yang nantinya akan dikeluarkan akta
perceraian. Dengan demikian, Penggugat meminta kepada Majelis Hakim
7 Putusan Pengadilan Negeri Nomor. 668/Pdt.G/2015/PN.Jkt.Sel, h.2
65
untuk mengabulkan gugatannya secara keseluruhan, serta memutus
perkawinan tersebut dan memerintahkan pejabat catatan sipil untuk
mengeluarkan akta cerai, serta membebankan biaya perkara kepada
Tergugat.8
Perihal gugatan dari Penggugat, maka Tergugat mengajukan Eksepsi9 di
persidangan yang menyatakan bahwa perkawinan yang dilangsungkan pada
tanggal 01 November 2013 di hadapan Pendeta dari salah satu Gereja yang
ada di Jakarta merupakan acara seremonial atau resepsi semata, bukan
merupakan akad nikah. Dikarenakan pada saat itu Penggugat dan Tergugat
telah lebih dahulu menikah secara agama Islam pada tanggal 23 Oktober
2013. Sebelum perkawinan berlangsung pun, Penggugat telah memeluk
agama Islam. Dengan demikian, secara tidak langsung perceraian tersebut
seharusnya diajukan kepada Pengadilan Agama sebagaimana telah sesuai
dengan Pasal 2 Undang-Undang No.1 Tahun 1974, jo. Pasal 73 Undang-
Undang No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah
diubah oleh Undang-Undang No.3 Tahun 2006. Oleh karenanya, Pengadilan
Negeri tidak berwenang untuk mengadili perkara tersebut.
Selanjutnya, Mejelis Hakim pun meminta kepada kedua belah pihak
berperkara untuk meneguhkan dalil-dalil tersebut dengan menghadirkan para
saksi dan alat bukti, sehingga dengan begitu Majelis Hakim dapat memberi
pertimbangan hukum atas perkara cerai yang diajukan.
Berdasarkan hal tersebut, Majelis Hakim tingkat pertama di Pengadilan
Negeri terlebih dahulu menyelesaikan Eksepsi yang diajukan oleh Tergugat
pada saat persidangan, dimana dikatakan bahwa Majelis Hakim tingkat
pertama Pengadilan Negeri tidak berwenanga mengadili perkara tersebut,
lantaran Penggugat dan Tergugat telah menikah secara Islam, maka dengan
8 Putusan Pengadilan Negeri Nomor. 668/Pdt.G/2015/PN.Jkt.Sel, h.5
9 Maksud kata “Eksepsi” adalah tangkisan atau pembelaan yang tidak menyinggung isi
surat tuduhan (gugatan), tetapi berisi permohonan agar pengadilan menolak perkara yang diajukan
penggugat karena tidak memenuhi persyaratan hukum. (ttp: Hisnul Muslim, Kamus Hukum)
66
demikian Majelis Hakim mengeluarkan putusan sela yang amarnya sebagai
berikut:
1. Menolak Eksepsi Tergugat Mengenai Kompetensi Absolut.
2. Menyatakan bahwa Pengadilan Negeri berwenang memeriksa dan
mengadili perkara ini.
3. Memerintahkan Penggugat dan Tergugat melanjutkan persidangan hingga
putusan akhir.10
Selanjutnya, perihal perceraian yang diajukan Penggugat, maka Majelis
Hakim berpegang teguh pada ketentuan Undang-Undang No.1 Tahun 1974
serta Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975, untuk itu Majelis Hakim
sebelum memutus perceraian tersebut, merasa perlu mempertimbangkan
apakah benar Penggugat dan Tergugat adalah suami-istri yang sah
sebagaimana ketentuan Pasal 2 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, yang kemudian disesuaikan juga dengan ketentuan Pasal 2-9 dan
Pasal 11 Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975.
Setelah menyesuaikan alat bukti berupa Surat Pernikahan Nomor.XXX
yang dibuat oleh Pendeta di salah satu Gereja daerah Jakarta pada tanggal 01
November 2013, dan Akta Perkawinan Nomor.XXX yang di keluarkan oleh
Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil tanggal 20 November 2013, serta
keterangan saksi dan ketentuan pasal-pasal tersebut, maka Majelis Hakim
memberi kesimpulan bahwasanya perkawinan Penggugat dan Tergugat
merupakan perkawinan yang sah secara agama Kristen. Meskipun Tergugat
berdalil bahwa antara Penggugat dan Tergugat telah melangsungkan
perkawinan secara Islam, akan tetapi alat bukti berupa foto pernikahan dan
keterangan saksi yang diajukan Tergugat tidak dinilai kuat, dikarenakan
perkawinan tersebut belum tercatatkan secara resmi sebagaimana termaktub
10 Putusan Pengadilan Negeri Nomor. 668/Pdt.G/2015/PN.Jkt.Sel
67
dalam Undang-Undang No.32 Tahun 195 tentang Pencatatan Nikah, Nikah
dan Rujuk.11
Selanjutnya, Majelis Hakim telah berupaya mendamaikan kedua belah
pihak namun ternyata tidak berhasil. Dikarenakan Penggungat sudah tidak
mampu lagi membina rumah tangga dengan Tergugat, lantaran Tergugat
sering kali timbul perselisihan dan bersikap kasar, maka dengan demikian
Majelis Hakim mempertimbangkan alasan tersebut dengan memerhatikan alat
bukti berupa Surat KDRT yang dibuat oleh Polisi dan keterangan saksi yang
diajukan oleh Penggugat, dan benar terbukti bahwa antara Penggugat dan
Tergugat sering bertengkar dan Tergugat kerap kali bersikap kasar terhadap
Penggugat.
Berdasarkan uraian diatas, maka Majelis Hakim tingkat pertama di
Pengadilan Negeri memutus perkara tersebut dengan menyatakan bahwa;
dalam Eksepsi, menolak Eksepsi dari Tergugat. Dalam Konvensi;
mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya, menyatakan perkawinan
antara Penggugat dan Tergugat yang dilangsungkan di depan Pendeta sebagai
pemuka agama Kristen dan yang tercatatkan di Dinas Kependudukan dan
Catatan Sipil tersebut, telah terputus karena perceraian dengan segala akibat
hukumnya, memerintahkan Panitera Pengadilan Negeri untuk mengirimkan
salinan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap kepada Kantor Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil agar dapat diterbitkan Akta Perceraian.
Dalam Rekonvensi, menyatakan gugatan Penggugat Rekonvensi tidak dapat
diterima. Dalam Konvensi dan Rekonvensi, menghukum Tergugat
Konvensi/Penggugat Rekonvensi untuk membayar biaya perkara.12
Pada dasarnya, pertimbangan hakim merupakan salah satu aspek
terpenting dalam menentukan terwujudnya nilai-nilai dari suatu putusan
hakim yang mengandung nilai keadilan, dan kepastian hukum. Selain itu juga,
putusan hakim dapat bernilai manfaat bagi para pihak berperkara, sehingga
11 Putusan Pengadilan Negeri Nomor. 668/Pdt.G/2015/PN.Jkt.Sel, h.24
12 Putusan Pengadilan Negeri Nomor. 668/Pdt.G/2015/PN.Jkt.Sel, h.28
68
putusan hakim ini perlu disikapi dengan baik, teliti, dan cermat.13 Oleh sebab
itu, untuk mencapai nilai yang terkandung dari suatu putusan, maka hakim
memiliki peran yang begitu penting dalam rangka menemukan dan
membentuk suatu hukum.14
Berkaitan dengan putusan-putusan diatas, sebenarnya Majelis Hakim
tingkat pertama baik di Pengadilan Agama maupun di Pengadilan Negeri
telah melaksanakan apa yang diatur dalam hukum acara perdata, yakni
Majelis Hakim haruslah bersifat pasif. Dikarenakan tugas Majelis Hakim
hanya menerima, meninjau, menilai bahan-bahan yang disampaikan oleh para
pihak berperkara, kemudian mengambil keputusan atas dasar penilaian
terhadap bahan-bahan yang diajukan. Majelis Hakim hanya sekedar
membantu para pihak dalam mencari keadilan dan berusaha mengatasi
hambatan-hambatan serta rintangan yang terjadi.15
Selanjutnya, mengenai pertimbangan hukum hakim dalam putusan
Pengadilan Agama Nomor. 1377/Pdt.G/2016/PA.JS dan putusan Pengadilan
Negeri Nomor. 668/Pdt.G/2015/PN.Jkt.Sel terdapat hal yang menarik untuk
ditelaah, dimana dalam kedua putusan terdapat perbedaan pertimbangan
hakim dalam memutus perkara cerai tersebut. Dengan demikian, penulis akan
menganalisis pertimbangan tersebut dengan menggunakan pendekatan aliran
filsafat hukum.
Pada putusan Nomor. 1377/Pdt.G/2016/PA.JS, Majelis Hakim
menimbang bahwa alasan perceraian yang diajukan oleh Pemohon/suami
terhadap Termohon/istri ini hanyalah berdasarkan ketentuan Pasal 19 huruf
(f) Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-
Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, jo. Pasal 116 huruf (f) Inpres
13 Erisa Ardika Prasada,dan Andri Sapuan, “Pertimbangan Hakim Dalam Menetapkan
Hak Asuh Anak Akibat Perceraian Di Pengadilan Agama Kayuagung”, Jurnal Hukum Uniski,
Vol.6 No.1 Edisi Januari-Juni 2017, h. 37
14 Hamza Halim, Cara Praktis Memahami dan Menyusun Legal Audit dan Legal Opinion,
(Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2016) Cetakan Ke-2, h.174
15 Krisna Harahap, Hukum Acara Perdata Class Action, Arbitrase, Alternatif, serta
Mediasi, (Bandung: PT. Grafiti Bandung, 2007) Cetakan Ke-5, h.9
69
No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, dimana dalam ketentuan
tersebut sama sekali tidak menyinggung alasan perceraian karena perselisihan
Pemohon dengan Termohon yakni mengenai Termohon yang terindikasi
murtad. Padahal Pemohon telah mengajukan dengan alat bukti berupa KTP
milik Termohon serta keterangan saksi, untuk memperkuat dalil tersebut
sebagaimana ketentuan Pasal 116 huruf (h) Inpres Nomor.1 Tahun 1991
tentang Kompilasi Hukum Islam.
Setelah ditelaah lebih dalam oleh Majelis Hakim tingkat pertama di
Pengadilan Agama mengenai murtadnya Termohon dengan melihat beberapa
alat bukti baik itu KTP Termohon maupun keterangan saksi, maka Majelis
Hakim memberikan alasan dalam menyampingkan konteks murtad sebagai
indikator Pemohon untuk bercerai atas pertimbangannya tersebut, menurut
Majelis Hakim pada dasarnya setiap manusia dinilai bebas dalam memeluk
suatu agama, dan kembalinya Termohon kepada agama sebelumnya (Kristen)
termasuk kepada Hak Asasi dalam beragama yang dipilih oleh Termohon.
Berdasarkan hal itu, menurut kacamata penulis dalam menelaah
pertimbangan hukum Majelis Hakim tingkat pertama di Pengadilan Agama,
sepertinya Majelis Hakim telah menggunakan pendekatan realisme hukum16
(legal realism) dan ilmu hukum sosiologis17 (sosiological jurisprudence).
Sebab, dalam putusan Nomor. 1377/Pdt.G/2016/PA.JS Majelis Hakim
menyatakan alasan bahwa murtadnya Termohon termasuk pada Hak Asasi
dalam memeluk agama, sehingga dari pertimbangan tersebut terlihat bahwa
16 Yang dimaksud dengan kata “Realisme” adalah suatu paham atau ajaran yang selalu
bertolak dari kenyataan. (Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi Kelima, (ttp: Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemendikbud RI, 2016), sedangkan kata “Realisme
Hukum” berarti suatu studi tentang hukum sebagai sesuatu yang benar-benar secara nyata
dilaksanakan, dibandingkan hukum hanya sekedar peraturan yang termuat dalam undang-undang,
tetapi tidak pernah dilaksanakan. (Achmad Ali dan Wiwie Heryani, Sosiologi Hukum Kajian
Empiris Terhadap Pengadilan, (Jakarta: Prenada Media Group, 2014) Cetakan Ke-2, h.45)
17 Yang dimaksud dengan kata “Sosiologis” adalah sesuatu mengenai sosiologi; atau
menurut sosiologi, sedangkan kata “Sosiologi” adalah pengetahuan atau ilmu tentang sifat,
perilaku, dan perkembangan masyarakat; ilmu tentang struktur sosial, proses sosial dan
perubahannya. (Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi Kelima, (ttp: Badan Pengembangan
dan Pembinaan Bahasa, Kemendikbud RI, 2016)
70
Majelis Hakim sebagai pemegang peran penting dalam memutus suatu
perkara telah melakukan sebuah penemuan hukum (rechtvinding).
Hal itu dilakukan oleh Majelis Hakim semata-mata bukan dikarenakan
tidak adanya hukum yang mengatur (das sollen), melainkan Majelis Hakim
lebih mengupayakan lagi hukum tersebut dengan menggali dan menemukan
faktor lain melalui perilaku atau peristiwa yang terjadi di lingkungan
masyarakat (das sein). Artinya, hukum itu tidak selalu mengenai kaidah
hukum tertulis saja, akan tetapi dapat juga berupa tingkah laku masyarakat.18
Kendatipun banyak kaidah hukum yang mengatur mengenai murtad
sebagai alasan perceraian, ternyata Majelis Hakim lebih memilih untuk
meruntuhkan tembok pemisah antara hukum tersebut dengan ilmu-ilmu
sosial, sehingga peran Hakim tidak hanya dijadikan sebagai corong undang-
undang saja, melainkan Hakim diharap mampu menggali fakta-fakta tersebut
dari pemahaman hukum dalam lingkungan sosial, dikarenakan pada dasarnya
hukum haruslah berkembang sesuai dengan kepentingan masyarakat secara
menyeluruh.19
Oleh karenanya, murtad yang dijadikan Pemohon sebagai salah satu
alasan baginya untuk bercerai dengan Termohon, dan hal tersebut telah diatur
sebagaimana Pasal 116 huruf (h) Inpres No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi
Hukum Islam. Namun demikian, Majelis Hakim tetap kembali menggali dalil
pada perkara tersebut dengan melihat alat bukti dan fakta sosial yang terdapat
dalam kehidupan para pihak berperkara. Dengan begitu, semua aspek
pragmatis dan empiris dalam hukum merupakan suatu hal yang teramat
penting sebagai upaya mengembangkan penalaran hukum, agar kelak
18 Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum Upaya Mewujudkan Hukum yang Pasti
dan Berkeadilan, (Yogyakarta: UII Pres Yogyakarta, 2012) Cetakan Ke-4, h.53
19 Stjipto Rahadjo, Penegakan Hukum Progresif, (Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara,
2010) Cetakan Ke-1, h.183
71
pemikiran yuridis bisa lebih realistis, dan hukum juga dapat bernuansa
sosiologis.20
Selanjutnya, meskipun Hakim dianggap sebagai corong undang-undang
dan memiliki sifat mandiri, serta bebas dalam menemukan suatu hukum,
seperti yang termaktub dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang
No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.21 Akan tetapi tetap saja,
Majelis Hakim dirasa perlu untuk lebih teliti lagi dalam menggali petunjuk
ataupun keterangan yang secara nyata telah terbukti pada saat persidangan,
agar tidak menimbulkan masalah baru dalam putusan tersebut.22 Hal tersebut
sebagaimana telah diamanatkan juga dalam ketentuan Surat Edaran
Mahkamah Agung (SEMA) No.3 Tahun 2018, angka III Rumusan Hukum
Kamar Agama tentang Hukum Keluarga.23
Atas dasar itulah, maka menurut penulis sebaiknya Majelis Hakim tingkat
pertama di Pengadilan Agama diharap lebih teliti lagi pada saat menelaah
perkara tersebut, penulis berargumen bahwa meskipun perkawinan yang
terjadi antara Pemohon dan Termohon telah diitsbat nikahkan dan dijadikan
sebagai alat untuk bercerai, sebagaimana ketentuan Pasal 7 ayat (3) huruf (a)
Inpres Nomor.1 Tahun 1991. Akan tetapi, sepertinya dalam memutus
perkawinan yang dilakukan oleh kedua belah pihak berperkara bukanlah
diputus dengan talak satu raj’i, melainkan fasakh, hal itu sebagaimana
20 Achmad Ali, dan Wiwie Heryani, Sosiologi Hukum Kajian Empiris Terhadap
Pengadilan,…h.50 21 Lihat Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman yang menyatakan bahwa “Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti,
dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang gidup dalam masyarakat”.
22 Hasan Burhanuddin, dan Sugiono Harinanto Hukum Acara dan Praktik Peradilan
Perdata, (Bogor, Ghalia Indonesia, 2015) Cetakan Ke-1, h.127
23 Lihat Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No.3 Tahun 2018 angka III Rumusan
Hukum Kamar Agama tentang Hukum Keluarga, menegaskan bahwa “dalam mengadili
perceraian, Majelis Hakim hendaknya mempertimbangkan secara cukup dan seksama, sebab
perceraian itu akan mengakhiri lembaga perkawinan yang bersifat sakral, mengubah status hukum
dari halal menjadi haram, juga berdampak luas bagi struktur masyarakat dan menyangkut
pertanggung jawaban di dunia maupun di akhirat. Oleh karena itu, perceraian hanya dapat
dikabulkan jika perkawinan sudah percah (broken marriage) dengan indikator yang secara nyata
telah terbukti”.
72
pendapat dari jumhur ulama. Sedangkan menurut ulama lain seperti Abu
Laila, menyatakan bahwa perceraian yang terjadi karena riddah (Murtad)
salah seorang dari pasangan suami-istri, maka perceraiannya disebut sebagai
fasakh. Dikarenakan hukum perceraian tersebut dianggap serupa dengan
hukum larangan menikahi non-muslim, yakni keduanya terdapat perbedaan
agama.24
Kendatipun begitu, menurut penulis Majelis Hakim juga telah berusaha
mengupayakan diri untuk mencari solusi dalam memutus perkara tersebut
agar terciptanya nilai keadilan dan kemanfaatan bagi para pihak, sehingga
dapat diartikan bahwa dalam mencapai suatu keadilan, Majelis Hakim tidak
hanya memperolehnya dari peraturan perundang-undangan saja, melainkan
dapat dilihat berdasarkan fakta yang tumbuh dalam suatu tatanan kehidupan
sosial masyarakat.25
Selanjutnya, mengenai pertimbangan hukum hakim dalam putusan
Pengadilan Negeri Nomor. 668/Pdt.G/2015/PN.Jkt.Sel. jika diperhatikan pada
pemaparan alur cerita diatas, dapat dikatakan bahwa perceraian ini diajukan
oleh istri/Penggugat terhadap suami/Tergugat, dimana Penggugat menyatakan
alasan perceraian disebabkan perselisihan terus-menerus, dan kekerasan fisik
yang dilakukan oleh Tergugat. Kemudian dikarenakan Tergugat merasa
dirinya telah menikah secara agama Islam dengan Penggugat, maka Tergugat
mengajukan Eksepsi mengenai kompetensi abolut dan menyatakan Majelis
Hakim di Pengadilan Negeri tidak berwenang mengadili perkara tersebut.
Terlepas akan hal itu, Majelis Hakim juga telah mengeluarkan putusan
sela sebagaimana pemaparan diatas, yang intinya menolak eksepsi tergugat
mengenai kompetensi asbsolut, dan menolaknya dengan alasan pertimbangan
hukum atas perkawinan yang dilakukan antara Penggugat dan Tergugat
dengan menyesuaikan alat bukti berupa Surat Pernikhan dari Gereja, dan
24 Hasbi Ash-Shiddieqy, Hukum Antar Golongan dalam Fikih Islam, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1971) h.83
25 Syarif Mappaisse, Logika Hukum Pertimbangan Putusan Haki, (Jakarta: Prenadamedia
Group, 2015) Cetakan Ke-1, h.85
73
Akta Perkawinan dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, serta
keterangan saksi yang diajukan Penggugat, dengan ketentuan Pasal 2
Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974, jo. Pasal 2-11 Peraturan
Pemerintah Nomor.9 Tahun 1975. Kemudian dikarenakan Tergugat tidak
dapat meneguhkan dalilnya dengan alat bukti, maka Majelis Hakim
menyatakan bahwa perkawinan antara Penggugat dan Tergugat telah sah
secara Kristen. Selanjutnya mengenai alasan perceraian Penggugat, Majelis
Hakim telah menyesuaikan alat bukti dengan ketentuan Peraturan Pemerintah
No.9 Tahun 1975, dan menyatakan petitum Penggugat dapat dikabulkan.
Berdasarkan hal itu, menurut kacamata penulis dalam menelaah
pertimbangan hukum hakim pada Pengadilan Negeri dalam putusan Nomor.
668/Pdt.G/2015/PN.Jkt.Sel. sepertinya Majelis Hakim telah menggunakan
pendekatan positivisme hukum,26 sebagai alat penalaran hukum dalam
memutus perkara tersebut, dimana jelas sekali terlihat pada saat memberi
pertimbangan hukum, Majelis Hakim banyak mengaitkan alat bukti dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan, artinya Majelis Hakim sangat
berpedoman terhadap peraturan tertulis dan kaidah hukum lainnya.
Dengan begitu, secara tidak langsung Majelis Hakim telah terikat untuk
menngunakan dan menerapkan hukum secara konsisten, serta tertutup bagi
Hakim untuk menambah dan mengurangi substansi suatu hukum dikarenakan
Hakim menilai bahwa peraturan tertulis dan kaidah hukum lainnya
merupakan sumber hukum yang dianggap sudah lengkap dan jelas dalam
mengatur segala persoalan sosial yang ada pada zamannya.27 Hal itu
sebagaimana diungkapkan oleh Hans Kelsen yang menyatakan bahwa hukum
26 Yang dimaksud dengan kata “Positivisme” adalah aliran filsafat yang beranggapan
bahwa pengetahuan itu semata-mata berdasarkan pengalaman dan ilmu yang pasti. (Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi Kelima, (ttp: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa,
Kemendikbud RI, 2016), sedangkan kata “Positivisme Hukum” adalah sauatu sistem filsafat yang
mengakui hanya fakta-fakta positif dan fenomena-fenomena yang bisa diobservasi. (Muhammad
Syukri Albani Nasution dan Zul Pahmi Lubis, Hukum Dalam Pendekatan Filsafat, Cetakan Ke-1,
h.106)
27 Ahmad Kamil, dan M. Fauzan, Kaidah-Kaidah Hukum Yurisprudensi, (Jakarta:
Kencana Prenadamedia Group, 2008) Cetakan Ke-3, h.28
74
harus dipisahkan dari segala unsur yang berperan dalam pembentukan
hukum, seperti sosiologi, sejarah, politik bahkan etika, karena baginya hukum
dipandang sebagai suatu system yang tetap, logis, dan tertutup.28
Padahal dalam perkembangannya, aliran positivisme hukum atau
legisme hukum ini sudah lama ditinggalkan. Karena dianggap tidak mampu
lagi memecahkan problem-problem hukum yang muncul. Meskipun kepastian
hukum dapat terwujud dengan adanya undang-undang, tetapi di sisi lain
undang-undang juga memiliki kelemahan, yaitu bersifat statis dan kaku,
sehingga terkadang tidak relevan dengan perkembangan kehidupan masyarakat
(Het recht hinkt achter de faiten aan) artinya suatu hukum tertulis senantiasa
tertinggal dari peristiwanya.29
Setelah melihat beberapa perbedaan dasar hukum pertimbangan hakim
dalam menangani perkara cerai tersebut, dan kemudian menganalisisnya
dengan menggunakan kacamata filsafat hukum, maka penulis beranggapan
bahwa hakikatnya setiap putusan yang dibuat oleh Majelis Hakim tidak ada
yang salah, hanya saja setiap Majelis Hakim memiliki pertimbangan dengan
landasan atau pedoman hukumnya masing-masing. Akan tetapi, yang menjadi
perhatian bagi penulis yakni pada putusan tingkat pertama di Pengadilan
Agama, dimana Majelis Hakim hanya sedikit menyentuh peraturan perundang-
undangan dalam putusannya, yang kemudian Majelis Hakim lebih menggali
kembali peraturan perundang-undangan tersebut dengan melihat fakta-fakta
sosial yang dibuktikan pada saat persidangan. Dengan begitu, Hakim dapat
dinyatakan sebagai corong hukum yang artinya tidak hanya melihat keadilan
dari sisi peraturan tertulis saja, melainkan juga melihat keadilan dari sisi
kehidupan sosial.30
28 Muhammad Syukri Albani Nasution dan Zul Pahmi Lubis, Hukum Dalam Pendekatan
Filsafat, (Jakarta: Prenada Media Group, 2016) Cetakan Ke-1, h.109
29 Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum Upaya Mewujudkan Hukum yang Pasti
dan Berkeadilan,…h.55
30 E. Fernando M. Manullang, Legisme, Legalitas, dan Kepastian Hukum, (Jakarta:
Prenada Media Group, 2016) Cetakan Ke-1, h. 98
75
B. Analisis Mengenai Terjadinya Dua Putusan dalam Penanganan Perkara
Cerai yang di Keluarkan Oleh Dua Lembaga Peradilan Pada Tingkat
Pertama di Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri
Pada dasarnya, hukum positif di Indonesia telah mengatur lembaga
peradilan mana yang berhak dan berwenang dalam menyelesaikan masalah
perceraian. Maka dari itu, sebagai subjek hukum masyarakat diharuskan
mengikuti dan menaati hukum yang berlaku di pengadilan. Kewenangan
mengadili atau kompetensi yurisdiksi pengadilan merupakan suatu wadah
untuk menentukan pengadilan mana yang berwenang memeriksa dan memutus
suatu perkara, sehingga pengajuan perkara tersebut dapat diterima dan tidak
ditolak dengan alasan pengadilan tidak berwenang mengadilinya.
Kewenangan mengadili termasuk syarat formil sahnya gugatan, sehingga
pengajuan perkara kepada pengadilan yang tidak berwenang mengadilinya
menyebabkan gugatan tersebut dapat dianggap keliru dan tidak dapat diterima
kerena tidak sesuai dengan kewenangan absolut atau kewenangan relatif suatu
pengadilan.31
Dilihat dari kasus posisi pada bab sebelumnya, bahwa permasalahan
yang timbul atas sengketa kewenangan mengadili antara Pengadilan Agama
dan Pengadilan Negeri, dimana penyebab terjadinya sengketa tersebut karena
terlaksanakannya perkawinan secara ajaran dua agama. Oleh sebab itu, penulis
ingin terlebih dahulu menganalisis masalah keabsahan perkawinan kedua belah
pihak, menurut pendapat ulama fikih dan undang-undang dalam hukum positif,
yang kemudian akan mengaitkannya terhadap kewenangan mengadili dari tiap-
tiap lembaga peradilan.
Diketahui bahwa sebelum melaksanakan perkawinan, kedua belah
pihak memang sudah berbeda keyakinan, yakni suami beragama Islam dan
Istrinya beragama Kristen. Dari ketentuan ajaran agama Islam, jika salah
seorang ingin melangsungkan perkawinan terdapat rukun dan syarat yang harus
31 Retnowulan sutantio, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, (Bandung:
Mandar Maju, 2005) h,11
76
terpenuhi, diantara rukun dan syarat tersebut adanya keharusan yang
menjelaskan bahwa kedua belah mempelai (calon suami dan calon istri)
termasuk orang-orang yang beragama Islam. Begitu pula dengan
diharuskannya menghadirkan wali, dan saksi nikah dari kalangan orang yang
beragama Islam. Hal itu sama seperti yang ditegaskan dalam Pasal 14 Inpres
No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.32
Selain itu juga, menurut para ahli hukum Islam dalam pernikahan itu
hanya terdapat kata nikah yang sah dan nikah yang batil. Akan tetapi, menurut
sebagian ahli hukum Islam yang lain, di antara dua hukum nikah tersebut
terdapat nikah fasid. Sebagaimana menurut Al-Jaziri yang dikutip melalui buku
Aulia Muthiah, menyatakan bahwa nikah fasid adalah nikah yang tidak
memenuhi syarat sahnya untuk melangsungkan perkawinan. Sedangkan nikah
batil, ialah perkawinan yang tidak memenuhi rukun nikah yang telah
ditetapkan oleh syara’ dan kedua bentuk perkawinan tersebut hukumnya tetap
tidak sah.33
Selanjutnya, mengenai masalah perkawinan beda agama pada kasus ini
sepertinya termasuk kepada bentuk orang-orang yang haram untuk dinikahi
dalam jangka waktu sementara, dengan artian bahwa laki-laki muslim dilarang
menikahi perempuan musyrik34, sampai wanita tersebut benar-benar mau
memeluk agama Islam. Hal itu juga berlaku bagi perempuan muslimah yang
hendak menikahi laki-laki musyrik. Sebagaimana telah diatur dalam QS. Al-
Baqarah: 221 yang berbunyi:
32 Aulia Muthiah, Hukum Islam Dinamika Seputar Hukum Keluarga,… h.62
33 Aulia Muthiah, Hukum Islam Dinamika Seputar Hukum Keluarga,… h.76-77
34 Yang dimaksud dengan kata “Musyrik” ialah orang yang memuja atau menyembah
berhala. (Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi Kelima, (ttp: Badan Pengembangan dan
Pembinaan Bahasa, Kemendikbud RI, 2016)
77
ر م حوا شركة ولو أعجب تكم وال ت نك ن م وال ت نكحوا المشركات حتى ي ؤمن ولمة مؤمنة خي
ر م ن مشرك ولو أع لى الن المشركين حتى ي ؤمن وا وال عبد مؤمن خي يدعو ار جبكم أول
وي ب ي ن ءاياته للن والله يدعوآ لى الجنة والمغفرة بإذنه ا لللمم ي تككرو
Artinya: “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum
mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin jauh lebih baik
daripada wanita musyrik, walaupun dia telah menarik hatimu. Dan janganlah
kamu menikahi laki-laki musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya
budak laki-laki yang mukmin jauh lebih baik dari laki-laki musyrik, walaupun
dia menarik hatimu. (Sebab) mereka mengajak ke neraka, sedang Allah
mengajak ke surge dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan
ayat-ayatnya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka
mengambil pelajaran.” 35
Berdasarkan penjelasan ayat di atas, perkawinan beda agama sangatlah
dilarang untuk dilakukan. Karena memiliki kemudharatan yang lebih besar,
dibandingkan kemaslahatan yang dapat diterima. Selain itu, proses pemurtadan
juga sering terjadi dalam perkawinan beda agama dengan dalih Hak Asasi
Manusia (HAM). Usaha lain yang ditempuh pemerintah dalam mengatasi
perkawinan beda agama, yakni dengan mengeluarkan Fatwa Majelis Ulama
Indonesia (MUI) Nomor. 4/MUNAS VII/MUI/8/2005, yang ditetapkan pada
tanggal 28 Juli 2005. Atas dasar Fatwa MUI inilah, maka diadopsi oleh
Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam Pasal 40 huruf c dan Pasal 44 yang
dirumuskan kembali dalam Pasal 33 huruf (c) dan Pasal 36 RUU-HM-
PABPrkwn Tahun 2007, menyatakan tentang larangan perkawinan antar
pemeluk agama yang berbeda.36
35 Abu Malik Kamal ibn Sayyid Salim, Fikih Sunnah Wanita, Penerjemah Firdaus,
(Jakarta: Qisthi Press, 2014) Cetakan Ke-2, h. 480
36 Neng Djubaidah, Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatatkan,… h.178
78
Selanjutnya atas dasar ketentuan tersebut, akhinya istri menyatakan diri
untuk memeluk agama Islam dan tunduk kepada ajaran agama Islam. Setelah
muallaf, akhirnya kedua belah pihak melangsungkan perkawinan secara agama
Islam dengan terpenuhinya rukun dan syarat perkawinan. Akan tetapi, jika
dilihat pada penjelasan bab sebelumnya, terdapat pernyataan bahwa
perkawinan tersebut belum memiliki bukti sah, pasalnya perkawinan tersebut
tidak tercatatkan pada Kantor Urusan Agama (KUA) sebagai lembaga yang
berwenang mencatatkan perkawinan bagi orang-orang yang beragama Islam,
guna mendapatkan bukti yang sah berupa Akta Perkawinan.
Sedangkan perkawinan yang dilangsungkan secara agama Kristen juga
dapat dinyatakan sah secara agama Kristen. Sebab, perkawinan tersebut
dilangsungkan di hadapan Pendeta sebagai pemuka agama Kristen serta
memiliki bukti sah berupa Surat Pernikahan dari Gereja dan Akta Perkawinan
yang dibuat karena telah tercatat oleh Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan
Sipil. Hal itu telah sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-
Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.37
Berdasarkan pemaparan di atas, analisis penulis terhadap kasus
perceraian akibat perkawinan beda agama dalam putusan ini yaitu terdapat
sebuah “penyelundupan hukum” dimana hal itu terjadi lantaran kedua belah
pihak telah menyelenggarakan perkawinan secara dua kali menurut masing-
masing agama, juga menjadikan salah satu pihak bersikap tunduk sementara
kepada salah satu agama yang dianut oleh pasangan lainnya. Penundukkan
sementara ini diperkuat dengan mengganti status agama yang dianut di dalam
KTP. Namun setelah perkawinan tersebut berlangsung, pasangan perkawinan
ini kembali pada ajaran agamanya semula. Hal itu dilakukan guna menghindari
ketentuan hukum negara agar para pihak tidak terikat pada aturan perkawinan
yang seharusnya berlaku bagi mereka. Akan tetapi, menurut Prof. Wahyono
37 Lihat Pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
yang menyatakan bahwa “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-
masing agamanya dan kepercayaannya, dan tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku”.
79
Darmabrata sebagaimana dikutip oleh Udhin Wibowo dalam penelitiannya
menyatakan bahwa, apabila perkawinan dilangsungkan secara dua kali (dua
agama), maka yang berlaku ialah perkawinan pada saat terakhir kali
dilakukan.38
Selanjutnya, untuk dapat menentukan alasan terjadinya dua putusan
yang di keluarkan oleh dua lembaga peradilan pada satu tingkatan, untuk itu
sepertinya akan mengulas sedikit mengenai kewenangan dari masing-masing
lembaga peradilan baik itu Pengadilan Agama maupun Pengadilan Negeri.
Sebagaimana telah penulis jelaskan pada bab sebelumnya, mengenai
atribusi cakupan dan batasan kekuasaan masing-masing lembaga peradilan.
Kekuasaan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum meliputi bidang
pidana umum, perdata adat, dan perdata barat. Badan yang menjalankannya
terdiri dari Pengadilan Negeri sebagai pengadilan tingkat pertama dan
Pengadilan Tinggi sebagai pengadilan tingkat banding.39 Sedangkan,
kekuasaan dalam lingkup Peradilan Agama mencakup bidang perdata tertentu
di kalangan orang-orang yang beragama Islam, yang dilakukan berdasarkan
hukum Islam. Selain itu juga, kekuasaan pengadilan pada masing-masing
lembaga peradilan terdiri atas kekuasaan relatif (relative competentie) dan
kekuasaan mutlak (absolute competentie).40
Landasan untuk menentukan kewenangan relatif Pengadilan Negeri
merujuk pada ketentuan Pasal 118 H.I.R. atau Pasal 142 R.Bg. yang kemudian
pasal tersebut dirujuk oleh Pasal 66 dan Pasal 73 Undang-Undang No.7 tahun
1989 tentang Peradilan Agama. Ketentuan kompetensi relatif tersebut bertitik
38 Udhin Wibowo, “Tinjauan Hukum tentang Perpindahan Agama dalam Suatu
Perkawinan Beda Agama Terhadap Penentuan Kewenangan Absolut Pengadilan dalam
menangani Perkara Cerai”… h.137, t.d.
39 Bambang Sugeng dan Sujayadi, Pengantar Hukum Acara Perdata dan Contoh
Dokumen Litigasi, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2012) Cetakan Ke-2, h.18
40 Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2003) Cetakan Ke-4, h. 217
80
tolak pada aturan yang menetapkan bahwa gugatan yang diajukan harus
memenuhi syarat formal.41
Selanjutnya mengenai kompetensi absolut Peradilan Agama yakni,
kewenangan yang menyangkut kekuasaan mutlak untuk mengadili suatu
perkara, dengan arti bahwa perkara tersebut hanya bisa diperiksa dan diadili
oleh Pengadilan Agama. Dalam istilah lain disebut dengan Atribut van
Rechsmacht. Kompetensi absolut atau wewenang mutlak juga sering dikenal
sebagai atribusi kekuasaan kehakiman. Adapun contohnya, perkara perceraian
bagi orang-orang yang beragama Islam dan perkawinannya dilakukan secara
Islam menjadi kewenangan absolut Pengadilan Agama. Sedangkan bagi orang-
orang yang bukan beragama Islam menjadi kekuasaan Peradilan Umum.42
Berdasarkan Undang-Undang No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan
Umum, kewenangan Peradilan Umum ialah kewenangan dalam mengadili
secara mutlak suatu perkara mengenai hukum pidana (umum dan khusus), dan
perdata serta peradilan niaga. Jadi, jelaslah bahwa peradilan umum memiliki
kompetensi absolut untuk mengadili perkara perdata yang dilakukan oleh
orang-orang sipil. Kecuali suatu peraturan perundang-undangan menentukan
lain.43
Sedangkan jenis perkara yang menjadi wewenang atau kekuasaan
Peradilan Agama, yaitu menyangkut perkara perkawinan, warisan, wasiat,
hibah, wakaf, zakat, infak, sedekah, dan ekonomi syariah.44 Sebagaimana telah
41 Juhaya S. Pradja, Hukum Acara Peradilan Agama di Indonesia, (Bandung: CV Pustaka
Setia, 2017), Cetakan Ke-1, h.120
42 Juhaya S. Pradja, Hukum Acara Peradilan Agama di Indonesia,… h.118
43 Zainal Asikin, Hukum Acara Perdata di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenadamedia
Group, 2016) Cetakan Ke2, h.83-85
44 Yang dimaksud dengan “Ekonomi Syariah” adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang
dilaksanakan menurut prinsip syariah, antara lain meliputi; bank syariah, lembaga keuangan mikro
syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah, reksa dana syariah, obligasi syariah dan surat
berharga berjangka menengah syariah, sekuritas syariah, pembiayaan syariah, pegadaian syariah,
dana pension lembaga keuangan syariah, dan bisnis syariah. (Ketentuan Umum, Angka 37 Pasal
49 huruf (i) Undang-Undang No.3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang No.7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama).
81
diatur dalam Pasal 49 sampai dengan 53 Undang-Undang No.7 tahun 1989
tentang Peradilan Agama yang telah diamandemen dengan Undang-Undang
No.3 tahun 2006 hal tersebut menjelaskan tentang wewenang dan kekuasaan
mengadili yang menjadi beban tugas Pengadilan Agama. Dengan begitu,
cakupan wewenang atau kekuasaan pengadilan tersebut sekaligus
menunjukkan batasannya, sebagaimana badan peradilan khusus dalam
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman.45
Atas dasar itulah, penulis memberi kesimpulan bahwa perkara cerai
yang diajukan oleh kedua belah pihak, dimana pada akhirnya terdapat dua
putusan yang di keluarkan oleh kedua lembaga peradilan yakni Pengadilan
Agama dan Pengadilan Negeri, maka dari itu penulis akan menguraikannya
sebagai berikut;
1. Peradilan Umum berdasarkan Undang-Undang No.2 Tahun 1986 tentang
Peradilan Umum dan memutus perkara dalan hukum pidana (umum dan
khusus) dan perdata (umum dan niaga). Dikarenakan kedua belah pihak
telah melangsungkan perkawinan secara agama Kristen dan telah tercatat
di Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, maka perkawinan
tersebut dapat diputus oleh Pengadilan Negeri, sebab hal itu termasuk ke
dalam kompetensi absolut Pengadilan Negeri.
2. Peradilan Agama berdasarkan Undang-Undang No.3 Tahun 2006 tentang
Perubahan Undang-Undang No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama,
kompetensi absolut Peradilan Agama sebagaimana tercantum dalam Pasal
49 yaitu, memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara perkawinan,
waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syariah.
Disebabkan perkawinan antara kedua belah pihak juga telah dilaksanakan
secara agama Islam, meskipun perceraian tersebut diajukan ke Pengadilan
Agama dengan terlebih dahulu diitsbatkan pernikahannya yang
45 A. Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenadamedia
Group, 2017) Cetakan Ke-3, h. 120-121
82
selanjutnya dijadikan indikator untuk bercerai, maka dengan demikian
Pengadilan Agama juga berwenang untuk mengadili perceraian tersebut.
Berdasarkan kesimpulan diatas, maka kedua lembaga peradilan pada
tingkat pertama baik di Pengadilan Agama maupun di Pengadilan Negeri
sama-sama menganggap bahwa perkara tersebut termasuk pada kewenangan
mengadili/ kompetensi absolutnya. Dikarenakan perkawinan yang
dilangsungkan secara Islam, dapat diputus perceraiannya melalui Pengadilan
Agama, sedangkan perkawinan selain agama Islam, dapat diputus melalui
Pengadilan Negeri. Akhirnya, kedua lembaga peradilan tersebut pun sama-
sama mengeluarkan putusan atas kasus perecaraian ini. Meskipun begitu,
sebenarnya dalam perkara diatas, terdapat keputusan akhir dalam putusan
upaya hukum Peninjauan Kembali dimana putusan tersebut dapat
menentukan lembaga peradilan mana yang berwenang dalam mengadili kasus
cerai tersebut.
C. Analisis Mengenai Dua Putusan yang Mana dapat dianggap Berkekuatan
Hukum Tetap
Jika melihat kembali pada bab sebelumnya, penulis juga telah memasukan
putusan pada upaya hukum Peninjauan Kembali atas perkara tersebut, dimana
pengajuan upaya hukum ini dilakukan oleh istri, karena hal tersebut terdapat
novum (bukti baru) yang diajukan pada saat persidangan. Pengajuan
Peninjauan Kembali ini dilakukan sebab sebelum terjadinya perceraian
melalui Pengadilan Agama, kedua belah pihak telah resmi bercerai melalui
Pengadilan Negeri. Kemudian, untuk menelaah kewenangan absolut
pengadilan ini, Majelis Hakim Peninjauan Kembali menelaah kasus tersebut
dengan melihat kembali alat bukti autentik atas perkawinan kedua belah
pihak, dimana istri mengajukan alat bukti berupa Surat Pernikahan dari
Gereja, dan Akta Perkawinan yang di keluarkan oleh Dinas Kependudukan
dan Catatan Sipil, sedangkan suami hanya dapat membuktikan perkawinan
tersebut melalui foto-foto saat berlangsunya akad nikah.
83
Atas dasar pernyataan tersebut, Majelis Hakim pada upaya hukum
Peninjauan Kembali dalam memutus perkara ini telah melihat alat bukti yang
secara sah dan menguatkan pembuktian sebagaimana dengan pertimbangan
hukum Majelis Hakim tingkat pertama di Pengadilan Negeri, yang
menyatakan bahwa perkawinan tersebut adalah sah secara agama Kristen.
Dengan demikian, Majelis Hakim pada upaya hukum Peninjauan Kembali
menyatakan bahwa putusan Pengadilan Agama dapat dibatalkan, dikarenakan
perkara cerai ini sudah terlebih dahulu diajukan ke Pengadilan Negeri dengan
alasan perkawinan yang resmi tercatatkan di Dinas Kependudukan dan
Catatan Sipil. Oleh karenanya, hal tersebut bukan termasuk pada kewenangan
absolut (mengadili) Pengadilan Agama.46
46 Putusan Peninjauan Kembali Nomor. 110 PK/Ag/2017
84
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Mengenai kasus perceraian akibat kawin beda agama yang telah
dipaparkan dalam putusan Pengadilan Agama Nomor. 1377/Pdt.G/2016/PA.JS
dan putusan Pengadilan Negeri Nomor. 668/Pdt.G/2015/PN.Jkt.Sel. Maka pada
penelitian ini penulis dapat memberi kesimpulan, bahwa:
1. Pada putusan Nomor. 1377/Pdt.G/2016/PA.JS, Majelis Hakim menimbang
bahwa alasan perceraian yang diajukan oleh Pemohon/suami terhadap
Termohon/istri ini hanyalah berdasarkan perselisihan, dimana dalam
ketentuan tersebut sama sekali tidak menyinggung alasan perceraian karena
perselisihan Pemohon dengan Termohon yakni mengenai murtad. Padahal
Pemohon telah mengajukan dengan alat bukti berupa KTP milik Termohon
serta keterangan saksi, untuk memperkuat dalil tersebut sebagaimana
ketentuan Pasal 116 huruf (h) Inpres Nomor.1 Tahun 1991 tentang
Kompilasi Hukum Islam. Setelah ditelaah lebih dalam oleh Majelis Hakim
mengenai murtadnya Termohon dengan melihat beberapa alat bukti baik itu
KTP Termohon maupun keterangan saksi, maka Majelis Hakim
memberikan alasan dalam menyampingkan konteks murtad sebagai
indikator Pemohon untuk bercerai atas pertimbangannya tersebut, menurut
Majelis Hakim pada dasarnya setiap manusia dinilai bebas dalam memeluk
suatu agama, dan kembalinya Termohon kepada agama sebelumnya
(Kristen) termasuk kepada Hak Asasi dalam beragama yang dipilih oleh
Termohon. Oleh sebab itu, menurut kacamata penulis dalam menelaah
pertimbangan hukum Majelis Hakim tingkat pertama di Pengadilan Agama,
mengenai alasan menyampingkan konteks murtad sebagai alasan
perceraian dan menganggapnya sebagai Hak Asasi dalam beragama,
sepertinya Majelis Hakim telah menggunakan pendekatan realisme hukum
dan ilmu hukum sosiologis (sosiological jurisprudence).
85
2. Sedangkan mengenai pertimbangan hukum hakim dalam putusan
Pengadilan Negeri Nomor. 668/Pdt.G/2015/PN.Jkt.Sel. jika diperhatikan
pada pemaparan alur cerita diatas, dapat dikatakan bahwa perceraian ini
diajukan oleh istri/Penggugat terhadap suami/Tergugat, dimana Penggugat
menyatakan alasan perceraian disebabkan perselisihan terus-menerus, dan
kekerasan fisik yang dilakukan oleh Tergugat. Kemudian dikarenakan
Tergugat merasa dirinya telah menikah secara agama Islam dengan
Penggugat, maka Tergugat mengajukan Eksepsi mengenai kompetensi
abolut dan menyatakan Majelis Hakim di Pengadilan Negeri tidak
berwenang mengadili perkara tersebut. Terlepas akan hal itu, Majelis
Hakim juga telah mengeluarkan putusan sela sebagaimana pemaparan
diatas, yang intinya menolak eksepsi tergugat mengenai kompetensi
asbsolut, dan menolaknya dengan alasan pertimbangan hukum atas
perkawinan yang dilakukan antara Penggugat dan Tergugat dengan
menyesuaikan alat bukti berupa Surat Pernikhan dari Gereja, dan Akta
Perkawinan dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, serta keterangan
saksi yang diajukan Penggugat, dengan ketentuan Pasal 2 Undang-Undang
Perkawinan Tahun 1974, jo. Pasal 2-11 Peraturan Pemerintah Nomor.9
Tahun 1975. Kemudian dikarenakan Tergugat tidak dapat meneguhkan
dalilnya dengan alat bukti, maka Majelis Hakim menyatakan bahwa
perkawinan antara Penggugat dan Tergugat telah sah secara Kristen.
Selanjutnya mengenai alasan perceraian Penggugat, Majelis Hakim telah
menyesuaikan alat bukti dengan ketentuan Peraturan Pemerintah No.9
Tahun 1975, dan menyatakan petitum Penggugat dapat dikabulkan.
Berdasarkan hal itu, menurut kacamata penulis dalam menelaah
pertimbangan hukum hakim pada Pengadilan Negeri dalam putusan
Nomor. 668/Pdt.G/2015/PN.Jkt.Sel. sepertinya Majelis Hakim telah
menggunakan pendekatan positivisme hukum, sebagai alat penalaran
hukum dalam memutus perkara tersebut.
3. Mengenai kewenangan absolut lembaga peradilan, maka seharusnya
perkawinan yang dilangsungkan secara Islam, dapat diputus perceraiannya
86
melalui Pengadilan Agama, sedangkan perkawinan selain agama Islam,
dapat diputus melalui Pengadilan Negeri. Meskipun begitu, sebenarnya
dalam kasus ini terdapat keputusan akhir yakni putusan dari upaya hukum
Peninjauan Kembali yang menyatakan bahwasanya membatalkan putusan
Pengadilan Agama dan menganggap bahwa perkara tersebut menjadi
kewenangan absolut Pengadilan Negeri.
B. Saran-saran
1. Adapun saran dari penulis terhadap putusan Majelis Hakim tingkat pertama
di Pengadilan Agama, yakni agar para Hakim dapat lebih bersikap teliti
dalam memutus dan mengadili suatu perkara, terutama pada kasus
perceraian, serta lebih memerhatikan lagi indikator yang secara nyata telah
terbukti dalam persidangan. Agar putusan yang dihasilkan tidak menambah
masalah baru untuk kedepannya. Hal itu sebagaimana termaktub dalam
Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No.3 Tahun 2018, angka III
Rumusan Hukum Kamar Agama tentang Hukum Keluarga yang
menegaskan bahwa dalam mengadili perkara perceraian, Majelis Hakim
hendaknya mempertimbangkan secara cukup dan seksama, karena
perceraian itu akan mengakhiri lembaga perkawinan yang bersifat sakral,
mengubah status hukum dari halal menjadi haram, berdampak luas bagi
struktur masyarakat dan menyangkut pertanggung jawaban di dunia bahkan
akhirat, oleh karena itu perceraian hanya dapat dikabulkan jika perkawinan
sudah pecah (broken marriage) dengan indikator yang secara nyata telah
terbukti.
2. Kemudian, berkaitan dengan peraturan perkawinan beda agama dalam
Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, penulis
menyarankan agar kedepannya pengaturan dalam Undang-Undang No.1
Tahun 1974 hendaknya dirumuskan pasal baru yang secara tegas
membahas mengenai persoalan perkawinan beda agama agar dapat
terakomodasikan dalam bentuk peraturan tertulis yang secara tegas
melarang terjadinya perkawinan beda agama, dimana hal tersebut juga
mampu mengupayakan pencegahan dari tindakan penyelundupan hukum
87
yang kerap kali dilakukan oleh para pelaku perkawinan tersebut akibat
timbulnya multi tafsir dari peraturan tersebut.
3. Agar tidak terjadi lagi dualisme kewenangan pengadilan dalam penanganan
perceraian karena dua kali perkawinan, serta tidak ada lagi konflik hukum
mana yang akan berlaku dalam keluarga setelah perkawinan, maka
hendaknya dilakukan penyempurnaan system administrasi yang ada baik
pada Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil maupun Kantor
Urusan Agama. Sehingga jika terdapat perkawinan yang sudah tercatatkan
pada salah satu lembaga pencatatan nikah, tidak dapat lagi dibatalkan
dengan alasan lainnya.
88
DAFTAR PUSTAKA
A. Referensi Buku
Ali Achmad dan Heryani Wiwie, Sosiologi Hukum Kajian Empiris Terhadap
Pengadilan, (Jakarta: Prenada Media Group, 2014).
Asikin Zainal, Hukum Acara Perdata di Indonesia, (Jakarta: Kencana
Prenadamedia Group, 2016).
Asmayani Nurul, Perempuan Bertanya, Fikih Menjawab (Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2018).
Asmin, Status Perkawinan Antar Agama, (Jakarta: PT. Dian Rakyat, 1986).
Ash-Shiddieqy Hasbi, Hukum Antar Golongan dalam Fikih Islam, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1971).
Aripin Jaenal, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di
Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2008).
Bisri Cik Hasan, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2003).
Dahwal Sirman, Perbandingan Hukum Perkawinan, (Bandung: Mandar
Maju, 2017).
Djalil Basiq. A., Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana
Prenadamedia Group, 2017).
Djubaidah Neng, Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2010).
Hadikusuma Hilman, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan,
Hukum Adat, Hukum Agama, (Bandung: Mandar Maju, 2007).
Halim Hamzah, Cara Praktis Memahami dan Menyusun Legal Audit dan
Legal Opinion, (Jakarta: Kencana Pranadamedia Group, 2016).
Harahap Krisna, Hukum Acara Perdata Class Action, Arbitrase, Alternatif,
serta Mediasi, (Bandung: PT. Grafiti Bandung, 2007).
89
Harahap M. Yahya, Hukum Acara Perdata Gugatan, Persidangan,
Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2014).
Hasan Burhanuddin dan Sugiono Harinanto, Hukum Acara Dan Praktik
Peradilan Perdata, (Bogor, Ghalia Indonesia, 2015).
Huijbers Theo, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, (Yogyakarta: PT
Kanisius, 1982).
Ibn Sayyid Salim Abu Malik Kamal, Fikih Sunnah Wanita, Penerjemah
Firdaus, (Jakarta: Qisthi Press, 2014).
Jahar Asep Saepudin, dkk., Hukum Keluarga, Pidana, dan Bisnis, (Jakarta:
Kencana Prenadamedia Group, 2013).
Kamil Ahmad dan Fauzan M., Kaidah-Kaidah Hukum Yurisprudensi,
(Jakarta: Kencana Pranadamedia Group, 2008).
Kelsen Hans, Introduction To The Problems of Legal Theory, Penerjemah
Purwandari Siwi, Pengantar Teori Hukum, (Bandung: Nusa Media,
2010).
Lubis Sulaikin, dkk., Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia,
(Jakarta; Kencana Prenadamedia Group, 2008).
Manullang E. Fernando M., Legisme, Legalitas, dan Kepastian Hukum,
(Jakarta: Prenada Media Group, 2016).
Mappiasse Syarif, Logika Hukum Pertimbangan Putusan Hakim, (Jakarta:
Prenadamedia Group, 2015).
Muthiah Aulia, Hukum Islam Dinamika Seputar Hukum Keluarga,
(Yogyakarta: Pustaka Baru Press, 2017).
Panjaitan Hulman, Kumpulan Kaidah Hukum Putusan Mahkamah Agung
Republik Indonesia Tahun 1953-2008 Berdasarkan Penggolongannya,
(Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2014).
Rambe Ropaun, Hukum Acara Perdata Lengkap, (Jakarta: Sinar Grafika,
2013).
Sutantio Retnowulan, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek,
(Bandung: Mandar Maju, 2005)
90
Syarifuddin Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana
Prenadamedia Group, 2014).
Tholabi Kharlie Ahmad, Hukum Keluarga Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika,
2013).
Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Progresif, (Jakarta: PT. Kompas Media
Nusantara, 2010).
Simanjuntak P.N.H., Hukum Perdata Indonesia, (Jakarta: Kencana
Prenadamedia Group, 2015).
Sugeng Bambang dan Sujayadi, Pengantar Hukum Acara Perdata dan
Contoh Dokumen Litigasi, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group,
2012).
Sunarto, Peran Aktif Hakim Dalam Perkara Perdata, (Jakarta: Kencana
Prenadamedia Group, 2014).
Surakmad Winarno, Pengantar Penelitian Ilmiah, (Bandung: Tarsito, 1985).
Sutiyoso Bambang, Metode Penemuan Hukum Upaya Mewujudkan Hukum
yang Pasti dan Berkeadilan, (Yogyakarta: UII Pres Yogyakarta, 2012).
Soekanto Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta, Universitas
Indonesia, 1986).
Soekanto Soerjono dan Mamudji Sri, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2004).
Soemin Soedharyo, Hukum Orang dan Keluarga, (Jakarta: Sinar Grafika,
2002).
Soeroso, Praktik Hukum Acara Perdata Tata Cara dan Proses Persidangan,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2011).
Syahuri Taufiqurrahman, Legislasi Hukum Perkawinan di Indonesia,
(Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2013).
Syaikh al-‘Allamah bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi Muhammad, Rahmah al-
Ummah Fi Ikhtilaf al-A’immah, Penerjemah Zaki Alkaf ‘Abdullah,
Fiqh Empat Mazhab, (Bandung: Hasyimi, 2015).
Syaifuddin Muhammad, dkk, Hukum Perceraian, (Jakarta: Sinar Grafika,
2014).
91
Syukri Albani Nasution Muhammad dan Pahmi Lubis Zul, Hukum Dalam
Pendekatan Filsafat, (Jakarta: Prenada Media Group, 2016).
S. Pradja Juhaya, Hukum Acara Peradilan Agama di Indonesia, (Bandung:
CV Pustaka Setia, 2017).
Tihami M. A., Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2010).
B. Referensi Digital
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi Kelima, (ttp: Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemendikbud RI, 2016).
C. Referensi Jurnal
Abdurrahman, “Kompendium Bidang Hukum Perkawinan, Perkawinan Beda
Agama dan Implikasinya”. Badan Pembinaan Hukum Nasional
Kementerian Hukum dan HAM RI, (Jakarta), September 2011.
Ardika Prasada Erisa,dan Andri Sapuan, “Pertimbangan Hakim Dalam
Menetapkan Hak Asuh Anak Akibat Perceraian Di Pengadilan Agama
Kayuagung”, Jurnal Hukum Uniski, Vol.6 No.1 Edisi Januari-Juni
2017.
Ashsubli Muhammad, “Undang-Undang Perkawinan Dalam Pluralitas
Hukum Agama (Judicial Review Pasal Perkawinan Beda Agama)”,
Vol.3, No.2, (2015).
Djoko Basuki Zulfa, “Hukum dan Pembangunan”, (Juni, 1987).
Hakim Zen Awalauddin, Penyelesaian Perceraian Pasangan Beda Agama
(Studi Kasus Perceraian Pasangan yang Melakukan Dua Pencatatan
Perkawinan pada Putusan No.0979/Pdt.G/2015/Pa.kds).
Herlambang Kasihardo, “Kewenangan Hakim dalam Perkara Perdata di
Pengadilan Negeri dikaitkan dengan Undang-Undang No.4 Tahun
2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman”, (Jakarta: Skripsi, UPN Veteran,
2011).
Hutapea Bonar, “Dinamika Penyesuaian Suami Istri Dalam Perkawinan
Beda Agama”, Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial,
Vo.16, No.1, (2011).
92
Islamiyati, “Analisis Yuridis Nikah Beda Agama Menurut Hukum Islam di
Indonesia”, Masalah-Masalah Hukum, Vol.45, No.3, (Juli, 2016).
Novianty, “Fatwa Perkawinan Beda Agama Majelis Tarjih Muhammadiyah
dihubungkan dengan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia”.
Palandi Anggraeni Carolina, “Analisis Yuridis Perkawinan Beda Agama di
Indonesia”, Lex Privatum, Vo.1, No.2, (April-Juni 2013).
Wibowo Udhin, “Tinjauan Hukum tentang Perpindahan Agama dalam Suatu
Perkawinan Beda Agama Terhadap Penentuan Kewenangan Absolut
Pengadilan dalam menangani Perkara Cerai”, (Depok: Skripsi,
Universitas Indonesia, 2012).
W. Indrayanti Kadek, dkk., “Peran Negara dalam Memberikan Perlindungan
Hukum Bagi Calon Pasangan Kawin Beda Agama (KBA) di
Indonesia”, Vol.6, No.1, (Juni, 2015).
D. Referensi Undang-Undang
Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang
No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 3 Tahun 2018.
E. Referensi Yurisprudensi
Putusan Pengadilan Negeri Nomor. 668/Pdt.G/2015/PN.Jkt.Sel.
Putusan Pengadilan Agama Nomor. 1377/Pdt.G/2016/PA.JS.
93
LAMPIRAN-LAMPIRAN
94
95