institutional repository uin syarif hidayatullah jakarta: home -...

111

Upload: others

Post on 12-Sep-2020

4 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut
Page 2: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut
Page 3: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut
Page 4: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut
Page 5: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut

iv

ABSTRAK

Ladina Rosalinda, NIM 11150440000138. Kompetensi Pengadilan Agama dan

Pengadilan Negeri Dalam Memutus Perceraian Akibat Kawin Beda Agama

(Analisis Putusan Pengadilan Agama Nomor. 1377/Pdt.G/2016/PA.JS dan

Putusan Pengadilan Negeri Nomor. 668/Pdt.G/2015/PN.Jkt.Sel. Program Studi

Hukum Keluarga (Akhwal Syakhsiyyah), Fakultas Syariah dan Hukum,

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2019 M/1441 H.

Pada umumnya, perceraian dapat diputus melalui salah satu lembaga

peradilan yang berwenang, tergantung perkawinan yang dilangsungkan oleh

kedua belah pihak berperkara. Akan tetapi, seiring berkembangnya zaman

terdapat permasalahan yang kompleks menyinggung kewenangan lembaga

peradilan di masing-masing tingkatan, sehingga menimbulkan ketidakpastian

hukum mengenai kompetensi yang dimiliki oleh lembaga peradilan itu sendiri.

Penelitian ini bertujuan untuk membahas keabsahan perkawinan, serta

mengetahui kompetensi dari masing-masing lembaga peradilan yakni Pengadilan

Agama dan Pengadilan Negeri, dimana kedua lembaga peradilan tersebut

diketahui telah memutus perceraian yang dilakukan oleh pasangan perkawinan

beda agama, sebagaimana tertera dalam putusan Nomor. 1377/Pdt.G/2016/PA.JS

dan putusan Nomor. 668/Pdt.G/2015/PN.Jkt.Sel. Penelitian ini termasuk pada

penelitian kualitatif, dengan menggunakan pendekatan yuridis-normatif.

Hasil dari penelitian ini adalah apabila telah berlangsung dua kali

perkawinan dengan ritual keagamaan yang berbeda, pertama dilakukan secara

Islam dan kedua secara Kristen. Kemudian kedua perkawinan tersebut hanya salah

satu yang dicatatkan, maka perkawinan yang sah adalah perkawinan kedua, yang

memiliki bukti berupa akta nikah sebab telah tercatat di Kantor Dinas

Kependudukan dan Catatan Sipil. Sedangkan perkawinan pertama dianggap tidak

sah, karena dinilai tidak memiliki butkti yang kuat. Meskipun pasangan

perkawinan tersebut berbeda agama, namun yang dianggap sah hanya satu

perkawinan, yakni perkawinan secara agama Kristen. Dengan begitu Pengadilan

Negeri yang berwenang memutus perkara tersebut.

Kata Kunci: Kompetensi Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri, Perceraian

Akibat Kawin Beda Agama.

Pembimbing: Indra Rahmatullah, S.H.I., M.H.

Daftar Pustaka: 1982 - 2018

Page 6: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut

v

KATA PENGANTAR

Segala puja dan puji syukur kepada Allah SWT. Tuhan semesta alam, atas

rahmat, hidayah, dan cahaya ilmu-Nya yang telah dilimpahkan terkhusus kepada

penulis, serta atas izin dan ridho-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini

dengan judul: Kompetensi Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri dalam

Memutus Perceraian Akibat Kawin Beda Agama (Analisis Putusan Pengadilan

Agama Nomor. 1377/Pdt.G/2016/PA.JS dan Putusan Pengadilan Negeri Nomor.

668/Pdt.G/2015/PN.Jkt.Sel) sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi

pada Program Studi Hukum Keluarga di Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta. Kemudian, sholawat serta salam semoga dapat tercurahkan

kepada junjungan Nabi besar kita, Nabi Muhammad SAW. beserta keluarga,

sahabat dan seluruh umatnya. Sebab dari jasa beliaulah kita dapat menempuh

zaman yang kaya akan ilmu pengetahuan seperti saat ini.

Selanjutnya dalam menempuh proses skripsi ini, penulis mendapatkan

bantuan dan dorongan motivasi yang mampu membangun semangat penulis dari

segala kesulitan dan hambatan, tak luput juga hal tersebut tentunya semata-mata

atas izin Allah SWT. Oleh sebab itu, dalm kesempatan kali ini penulis ingin

mengucapkan terimakasih yang tidak terhingga untuk semua pihak yang telah

membantu baik secara moril ataupun materil, sehingga terselesaikannya skripsi

ini, ucapan itu khususnya diberikan kepada:

1. Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, M.A., Rektor Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A., selaku Dekan Fakultas

Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

berikut para Wakil Dekan I, II, dan III Fakultas Syariah dan Hukum.

3. Dr. Mesraini, M.Ag., dan Ahmad Chairul Hadi, M.A., selaku Ketua Program

Studi Hukum Keluarga dan Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga

Page 7: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut

vi

Fakultas Syariah dan Hukum, yang senantiasa memberikan dorongan

motivasi, semangat, dan doa bagi penulis beserta rekan-rekan jurusan.

4. Hj. Rosdiana, M.A., selaku Dosen Pembimbing Akademik penulis yang

senantiasa bersedia mendengar keluh kesah penulis selama berkuliah, serta

beliau juga yang mendukung, membimbing, dan mengarahkan penulis untuk

dapat menemukan masalah penelitian.

5. Indra Rahmatullah, S.HI, M.H., selaku Dosen Pembimbing Skripsi penulis

yang hebat, tak kenal lelah, murah hati, dan sabar dalam membimbing serta

menuntun penulis untuk menyelesaikan skripsi ini tahap demi tahap. Penulis

beruntung bisa menjadi anak didik beliau.

6. Seluruh Dosen di Fakultas Syariah dan Hukum yang telah mendidik dan

memberikan ilmu yang berharga kepada penulis, serta seluruh staf dan

karyawan yang telah memberikan pelayanan terpadu selama penulis berkuliah

di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

7. Kepada yang teristimewa, orang tua penulis. Papah dan Mamah (Anbiya

Suharja dan Tuti Supriati) yang telah begitu banyak memberikan kasih sayang,

doa yang tulus, dan segala jerih payahnya untuk penulis selaku buah hati

mereka. Serta kedua adik perempuan penulis (Lisda Umul Kulsum dan Linda

Adriyanti) yang selalu menghibur penulis dan memberikan semangat bagi

penulis.

8. Kepada yang tercinta dan terbaik dari segalanya, sahabat Calon S.H. Ira Putri,

Nurmalia Ivani, Siti Muslika, Winanda Fikri, S.H., Kahfil Waro, Suparman

S.H., Khairunnisa Fahmiyanti S.H., yang telah banyak berkontribusi dalam

memberikan semangat dan dorongan motivasi serta telah bersedia menemani

suka maupun duka penulis selama penulis berkuliah dan menyelesaikan

skripsi.

9. Kepada sahabat sekaligus teman seperjuangan. Dina Rahayu, Imamah, Dede

Siti, Novia Dwi S.H., Novia Yulianti, Asma Hana, Iis Sholehah, Devy Nurul,

Halimatus Sa’adah, Desi Widayanti, yang telah bersama-sama membantu

penulis menemukan masalah penelitian serta telah mewarnai kehidupan

penulis selama berkuliah.

Page 8: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut

vii

10. Kepada guru, sahabat, serta teman taat bagi penulis. Kak Sevi Syophia, S.H.,

Sita Rosidah, Rahmah Nurlaily, Nafi, Kak Una, Ana Eka Fitriani, S.H., Kak

Putri Ayu Mukhtar, S.Pd., dan seluruh keluarga besar Alumni Ponpes At-

taqwa Almiski 2015, keluarga besar Forum Komunikasi At-taqwa (FKMA),

keluarga besar LDKS FSH, keluarga besar LDK Syahid UIN Jakarta, keluarga

besar LTQ (Lembaga Tahfidz Qur’an) Syahid, keluarga besar ALQUMI

(Asosiasi Lembaga Al-Qur’an Mahasiswa Indonesia), keluarga Besar Program

Studi Hukum Keluarga 2015, keluarga KKN Creator 66 2018 yang tidak dapat

penulis sebutkan namanya satu-persatu. Mereka yang telah membantu penulis

untuk tumbuh berproses dibidang yang diminati oleh penulis.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih memerlukan banyak

perbaikan. Oleh sebab itu, kritik dan saran akan penulis perhatikan secara baik.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan setiap pembaca

pada umumnya, serta dicatat sebagai suatu amal baik di sisi Allah SWT. Amin.

Ciputat, 26 September 2019

Ladina Rosalinda

Penulis

Page 9: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut

viii

PEDOMAN TRANSLITERASI

Hal yang dimaksud dengan transliterasi adalah alih aksara dari tulisan

asing (terutama Arab) ke dalam tulisan Latin. Pedoman ini diperlukan terutama

bagi mereka yang dalam teks karya tulisnya ingin menggunakan beberapa istilah

Arab yang belum dapat diakui sebagai kata bahasa Indonesia atau lingkup masih

penggunaannya terbatas.

a. Padanan Aksara

Berikut ini adalah daftar akasara Arab dan padanannya dalam aksara Latin:

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

Tidak Dilambangkan ا

B Be ب

T Te ت

Ts te dan es ث

J Je ج

h} ha dengan garis bawah ح

Kh ka dan ha خ

D De د

Dz de dan zet ذ

R Er ر

Page 10: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut

ix

Z Zet ز

S Es س

Sy es dan ye ش

s} es dengan garis bawah ص

d} de dengan garis bawah ض

t} te dengan garis bawah ط

z} zet dengan garis bawah ظ

koma terbalik diatas hadap ‘ ع

kanan

Gh ge dan ha غ

F Ef ف

Q Qo ق

K Ka ك

L El ل

M Em م

N En ن

W We و

H Ha ه

Apostrop ‘ ء

Page 11: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut

x

Y Ya ي

b. Vokal Pendek dan Vokal Panjang

Vokal Pendek Vokal Panjang

_____ ______ = a ىا = a>

_____ ______ = i ىي = i>

_____ ______ = u ىو = u>

c. Diftong dan Kata Sandang

Diftong Kata Sandang

al = )ال( ai = __ أ ي

al-sh = )الش( aw = __ أ و

-wa al = )وال(

d. Tasydid (Syaddah)

Dalam alih aksara, syaddah atau tasydid dilambangkan dengan huruf,

yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah. Tetapi, hal ini

tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah

kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya: al-Syuf’ah,

tidak ditulis asy-syuf’ah

e. Ta Marbutah

Page 12: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut

xi

Jika ta marbutah terdapat pada kata yang berdiri sendiri (lihat contoh

1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2), maka huruf ta marbûtah

tersebut dialihaksarakan menjadi huruf “h” (ha). Jika huruf ta marbûtah

tersebut diikuti dengan kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihasarakan

menjadi huruf “t” (te) (lihat contoh 3).

Kata Arab Alih Aksara

syarî ‘ah شريعة

al- syarî ‘ah al-islâmiyyah الشريعة اإلسال مية

Muqâranat al-madzâhib مقارنة المذا هب

Beberapa ketentuan lain dalam EYD juga dapat diterapkan dalam alih

aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring atau cetak tebal.

Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama yang berasal dari dunia

Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meski akar kara nama

tersebut berasal dari Bahasa Arab. Misalnya: Nuruddin al-Raniri, tidak ditulis

Nûr al-Dîn al-Rânîrî.

Istilah keislaman (serapan): istilah keislaman ditulis dengan

berpedoman kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia, sebagai berikut contoh:

No Transliterasi Asal Dalam KBBI

1 Al-Qur’a>n Alquran

2 Al-H}adi>th Hadis

3 Sunnah Sunah

Page 13: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut

xii

4 Nas{ Nas

5 Tafsi>r Tafsir

6 Fiqh Fikih

Dan lain-lain (lihat KBBI)

Page 14: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut

xiii

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................................. i

PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ................................................................. ii

LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................................... iii

ABSTRAK .................................................................................................................... iv

KATA PENGANTAR .................................................................................................... v

PEDOMAN TRANSLITERASI ................................................................................... viii

DAFTAR ISI ................................................................................................................ xiii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................... 1

A. Latar Belakang .............................................................................................................. 1

B. Identifikasi Masalah ...................................................................................................... 4

C. Pembatasan Masalah dan Rumusan Masalah ................................................................ 4

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ..................................................................................... 5

E. Studi Literatur ............................................................................................................... 6

F. Metode Penelitian ......................................................................................................... 8

G. Rancangan Sistematika Penulisan ............................................................................... 10

BAB II PERCERAIAN AKIBAT KAWIN BEDA AGAMA DAN KOMPETENSI

LEMBAGA PERADILAN ........................................................................................... 12

A. Perkawinan Beda Agama ............................................................................................ 12

1. Pengertian Perkawinan Beda Agama ...................................................................... 12

2. Regulasi Perkawinan Beda Agama di Indonesia .................................................... 16

B. Putusnya Perkawinan Karena Perceraian .................................................................... 22

1. Putusnya Perkawinan Menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dan

Kompilasi Hukum Islam (KHI) ...................................................................................... 22

2. Alasan-alasan Perceraian Menurut Undang-Undang No.1 tahun 1974 dan

Kompilasi Hukum Islam (KHI) ...................................................................................... 23

C. Kompetensi Lembaga Peradilan Dalam Memutus Perceraian Akibat Kawin Beda

Agama ................................................................................................................................. 25

1. Kompetensi Lembaga Peradilan ............................................................................. 25

2. Asas Personalitas Keislaman dalam Menangani Kasus Perceraian Akibat Kawin

Beda Agama .................................................................................................................... 32

Page 15: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut

xiv

BAB III PENANGANAN PERKARA PERCERAIAN AKIBAT KAWIN BEDA

AGAMA ...................................................................................................................... 35

A. Kronologis Perkara Nomor 668/Pdt.G/2015/PN.Jkt.Sel ............................................. 35

1. Duduk Perkara ........................................................................................................ 35

2. Pertimbangan Hakim .............................................................................................. 41

3. Amar Putusan .......................................................................................................... 43

B. Kronologis Perkara Nomor 1377/Pdt.G/2016/PA.JS .................................................. 44

1. Duduk Perkara ........................................................................................................ 44

2. Pertimbangan Hakim .............................................................................................. 49

3. Amar Putusan .......................................................................................................... 54

BAB IV ANALISIS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA NO.

1377/Pdt.G/2016/PA.JS DAN PUTUSAN PENGADILAN NEGERI NO.

668/Pdt.G/2015/PN.Jkt.Sel ................................................................................................... 60

A. Analisis Mengenai Dasar Hukum Pertimbangan Hakim Tingkat Pertama di

Pengadilan Agama Nomor. 1377/Pdt.G/2016/PA.JS dan Pertimbangan Hakim di

Pengadilan Negeri Nomor. 668/Pdt.G/2015/PN.Jkt.Sel dalam Memutus Perceraian

Akibat Kawin Beda Agama ................................................................................................ 60

B. Analisis Mengenai Terjadinya Dua Putusan dalam Penanganan Perkara Cerai

yang di Keluarkan Oleh Dua Lembaga Peradilan Pada Tingkat Pertama di Pengadilan

Agama dan Pengadilan Negeri ............................................................................................ 75

C. Analisis Mengenai Dua Putusan yang Mana dapat dianggap Berkekuatan Hukum

Tetap ................................................................................................................................... 82

BAB V PENUTUP ................................................................................................................. 84

A. Kesimpulan ................................................................................................................. 84

B. Saran-saran .................................................................................................................. 86

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................ 88

LAMPIRAN-LAMPIRAN ................................................................................................... 93

Page 16: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkawinan yang baik yakni perkawinan yang dilakukan oleh pria dan

wanita dalam satu akidah, akhlak, maupun tujuannya. Islam memandang

kehidupan keluarga seperti itu tidak akan terwujud secara sempurna, kecuali

suami istri tersebut berpegang pada agama yang sama. Jika keyakinan

keduanya berbeda, maka timbullah berbagai kesulitan di lingkungan keluarga,

baik dalam pelaksanaan ibadah, pendidikan anak, pembinaan tradisi

keagamaan, dan lain-lain.1

Apabila dilihat dari keabsahan suatu perkawinan, jelas sudah diatur

dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan,

yang menyatakan bahwa suatu perkawinan dilakukan menurut hukum masing-

masing agama dan kepercayaannya.2 Dengan demikian, substansi yang

terkandung dalam Undang-Undang Perkawinan tersebut tidaklah mengatur

perihal perkawinan beda agama. Undang-Undang ini juga tidak melarang

perkawinan beda agama, sehingga sah atau tidaknya perkawinan ditentukan

oleh hukum agama masing-masing. Hal tersebut menimbulkan kekosongan

hukum mengenai keabsahan praktek perkawinan beda agama di Indonesia.3

Selain itu pada prakteknya, perkawinan beda agama ini juga telah

banyak melakukan pencatatan perkawinan di Kantor Catatan Sipil. Pencatatan

dilakukan semata hanya ingin memenuhi syarat administratif saja, sebagaimana

perintah Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan. Namun, keabsahannya

kembali lagi pada ketentuan masing-masing agama serta keinginan kedua calon

1 Novianty, Fatwa Perkawinan Beda Agama Majelis Tarjih Muhammadiyah dihubungkan

dengan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, h. 1-2

2 Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

3 Kadek W. Indrayanti, dkk., “Peran Negara dalam Memberikan Perlindungan Hukum

Bagi Calon Pasangan Kawin Beda Agama (KBA) di Indonesia”, Vol.6, No.1,(Juni, 2015) h. 57

Page 17: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut

2

mempelai. Oleh karena itu tidak jarang jika mereka melakukan upacara

perkawinan dua kali yaitu menurut hukum dan menurut agama masing-

masing.4

Disamping itu, melalui ikatan perkawinan yang dilakukan terdapat pula

kebahagian yang perlu dicapai dalam suatu keluarga, dan kebahagian itu

haruslah bersifat kekal. Hal tersebut ditujukan untuk jangka waktu selamanya,

sampai matinya salah seorang di antara pasangan perkawinan. Namun, dalam

keadaan tertentu terdapat hal-hal yang menghendaki putusnya perkawinan. Jika

ikatan perkawinan tersebut tetap dilanjutkan, maka kemudaratan pasti akan

terjadi.5 Sehingga ada prosesnya, perceraian dapat diminta oleh salah satu

pihak atau kedua belah pihak untuk mengakomodasi realitas-realitas tentang

perkawinan yang gagal. Meskipun begitu, perceraian merupakan suatu hal

yang dibenci dalam Islam meskipun kebolehannya sangat jelas dan hanya

boleh dilakukan ketika tidak ada jalan lain yang dapat ditempuh oleh kedua

belah pihak. 6

Dalam Pasal 38 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

dan Pasal 113 Kompilasi Hukum Islam (KHI) menjelaskan tentang penyebab

putusnya perkawinan. Dengan demikian, bagi pasangan yang ingin

melangsungkan perceraian di Indonesia tidak semudah itu dilakukan.

Melainkan, mereka harus melakukannya di hadapan pengadilan. Hukum positif

di Indonesia telah mengatur lembaga peradilan mana yang berhak dan

berwenang dalam menyelesaikan masalah perceraian, hal tersebut berkaitan

4 Muhammad Ashsubli, “Undang-Undang Perkawinan Dalam Pluralitas Hukum Agama

(Judicial Review Pasal Perkawinan Beda Agama)”, Vol.3, No.2, (2015) h. 290

5 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana

Prenadamedia Group, 2014) h. 190

6 Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013) h.

228

Page 18: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut

3

dengan kewenangan relatif dan absolut dari masing-masing lembaga

peradilan.7

Dalam menentukan pengadilan mana yang berwenang untuk mengadili

perkara cerai akibat kawin beda agama ini, maka harus memerhatikan agama

masing-masing pasangan dan tata cara yang digunakan dalam melangsungkan

perkawinan. Dengan demikian, bagaimana jika perkara tersebut dilakukan oleh

pasangan yang menundukkan diri pada agama Islam dan agama selain Islam?

Hal tersebut seperti pada perkara dalam putusan Nomor.

1377/Pdt.G/2016/PA.JS dan putusan Nomor. 668/Pdt.G/2015/PN.JKT.SEL,

yang dimana kasus perceraian akibat kawin beda agama ini diputus oleh dua

lembaga peradilan tingkat pertama.

Berawal dari dilangsukannya perkawinan menurut agama Islam yang

diselenggarakan di salah satu Masjid daerah Jakarta. Kemudian, selang

beberapa bulan setelah melangsukan perkawinan tersebut, pasangan

perkawinan ini juga turut melangsukan perkawinan secara ajaran agama

Kristen, di salah satu Hotel daerah Serpong dengan dihadiri oleh Pendeta

Gereja setempat. Setelah melakukan perkawinan menurut dua agama, akhirnya

pasangan tersebut pun mencatatkan perkawinannya hanya pada satu Kantor

Pencatatan Perkawinan.

Setahun pertama perkawinan mereka berjalan harmonis. Akan tetapi, di

tahun-tahun berikutnya tinbul perselisihan di antara mereka yang menyebabkan

keduanya ingin berpisah. Karena tidak kuasa lagi dengan salah satu sikap

pasangan, akhirnya dimulai oleh istrinya yang melayangkan gugatan cerai ke

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Namun di sisi lain, suami pun merasa

bahwa dirinya telah dirugikan pihak istri. Sebab, suami menilai mereka juga

telah melangsungkan pernikahan menurut agama Islam. Akhirnya, suami pun

ikut mengajukan cerainya ke Pengadilan Agama.

Berdasarkan kasus di atas, pasangan tersebut telah melangsungkan

perkawinan menurut dua agama yakni, menurut agama Islam dan agama

7 Awalauddin Hakim Zen, “Penyelesaian Perceraian Pasangan Beda Agama (Studi

Kasus Perceraian Pasangan yang Melakukan Dua Pencatatan Perkawinan pada Putusan

No.0979/Pdt.G/2015/Pa.kds)”, h. 2

Page 19: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut

4

Kristen. Maka bagaimana seharusnya upaya dalam menyelesaikan perkara

cerai tersebut? Lalu lembaga peradilan mana yang dapat berwenang untuk

memutus perkara cerai tersebut? Diketahui bahwa pada saat mengajukan

perkara tersebut suami masih beragama Islam dan istri sudah beragama

Kristen.

Oleh karena itu, berdasarkan pemaparan latar belakang di atas, penulis

merasa tertarik untuk membahas masalah yang ada dalam putusan tersebut,

dengan mengambil judul mengenai Kompetensi Pengadilan Agama Dan

Pengadilan Negeri Dalam Memutus Perceraian Akibat Kawin Beda Agama

(Analisis Putusan Pengadilan Agama Nomor. 1377/Pdt.G/2016/PA.JS dan

Putusan Pengadilan Negeri Nomor. 668/Pdt.G/2015/PN.Jkt.Sel).

B. Identifikasi Masalah

1. Bagaimana keabsahan perkawinan yang dilakukan oleh pasangan

perkawinan beda agama?

2. Bagaimana cara menyelesaikan perkara cerai akibat kawin beda agama

yang melangsungkan perkawinan tersebut secara dua agama?

3. Lembaga peradilan mana yang berwenang memutus perkara cerai akibat

kawin beda agama?

4. Apakah dasar hukum yang digunakan oleh Majelis Hakim tingkat pertama

di Pengadilan Agama dalam putusan Nomor. 1377/Pdt.G/2016/PA.JS

sudah sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku?

5. Bagaimana pertimbangan hukum dari Majelis Hakim tingkat pertama di

Pengadilan Negeri Nomor. 668/Pdt.G/2015/PN.JKT.SEL dalam memutus

perkara tersebut?

C. Pembatasan Masalah dan Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis memberikan batasan masalah

yang hanya terbatas pada Kompetensi Pengadilan Agama Dan Pengadilan

Negeri Dalam Memutus Perceraian Akibat Kawin Beda Agama (Analisis

Putusan Putusan Pengadilan Agama Nomor. 1377/Pdt.G/2016/PA.JS dan

Pengadilan Negeri Nomor. 668/Pdt.G/2015/PN.JKT.SEL).

Page 20: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut

5

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa pokok rumusan masalah yang

nantinya akan diteliti dalam skripsi ini, yaitu:

1. Apa yang menjadi dasar hukum pertimbangan hakim di Pengadilan Agama

dan Pengadilan Negeri dalam memutus perceraian akibat kawin beda

agama?

Berdasarkan masalah diatas, maka terdapat beberapa pertanyaan penelitian

diantaranya sebagai berikut:

a) Mengapa terjadi dua putusan dalam penanganan perkara cerai yang di

keluarkan oleh dua lembaga peradilan pada tingkat pertama di Pengadilan

Agama dan Pengadilan Negeri?

b) Adakah diantara kedua putusan tersebut yang berkekuatan hukum tetap?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Agar dapat mengetahui dasar hukum pertimbangan hakim di Pengadilan

Agama dan Pengadilan Negeri dalam memutus perceraian akibat kawin

beda agama.

2. Manfaat Penelitian

Dengan diadakannya penelitian ini, maka terdapat beberapa manfaat yakni

sebagai berikut:

a. Penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pengalaman dalam bidang

penelitian khususnya bagi penulis.

b. Penelitian ini juga dapat berguna sebagai bahan wawasan pengetahuan

bagi penulis tentang kompetensi Pengadilan Agama dan Pengadilan

Negeri dalam memutus perceraian akibat kawin beda agama.

c. Kemudian penelitian ini dapat bermanfaat bagi dunia penelitian di

lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

d. Selanjutnya penelitian ini juga dapat dijadikan sebagai bahan bacaan

bagi civitas akademik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, baik untuk

Page 21: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut

6

kepentingan akademik, maupun untuk kepentingan pengayaan

pengetahuan.

E. Studi Literatur

Berdasarkan hasil pencarian penulis, terdapat beberapa penelitian yang

telah dilakukan oleh para peneliti-peneliti terdahulu, mengenai kasus

perceraian akibat kawin beda agama. Dimana dalam penelitian tersebut juga

memiliki perbedaan baik dari segi bahasan, maupun dari segi objek kajian

peneitian. Adapun diantaranya akan penulis kemukakan penelitian terdahulu

yang dilakukan oleh:

1. Awaluddin Hakim Zen, telah melakukan penelitian dengan judul;

Penyelesaian Perceraian Pasangan Beda Agama (Studi Kasus

Perceraian Pasangan yang Melakukan Dua Pencatatan Perkawinan

pada Putusan No.0979/Pdt.G/2015/Pa.kds), UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta, tahun 2018. Skripsi ini berisikan tentang perceraian yang

dilakukan oleh pasangan perkawinan beda agama, kemudian tercatatkan

perkawinannya pada dua lembaga pencatatan perkawinan. Akan tetapi,

perceraian tersebut telah diputus oleh salah satu lembaga peradilan tingkat

pertama, dimana Majelis Hakim merasa bahwa perkara tersebut termasuk

pada kewenangannya untuk mengadili. Namun demikian, penelitian ini

hanya menitikberatkan pada masalah pencatatan perkawinan yang

dilakukan oleh dua lembaga pencatat nikah, sehingga terdapat

ketidakpastian hukum terhadap kewenangan mengadili perkara cerai oleh

suatu lembaga peradilan.

2. M. Andri Iskandar Sholeh, telah melakukan penelitian dengan judul;

Hukum Perkawinan Beda Agama Menurut Pandangan Syaikh

Muhammad Rasyid Ridha, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun

2018. Skripsi ini hanya menjelaskan mengenai pasangan yang melakukan

perkawinan beda agama, selanjutnya perkawinan tersebut ditelaah

berdasarkan pandangan tokoh agama yakni Syaikh Muhammad Rasyid

Ridha. Penulis ini juga tidak mengaitkan perceraian akibat kawin beda

agama dalam penelitiannya.

Page 22: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut

7

3. Novianty, telah melakukan penelitian dengan judul; Fatwa Perkawinan

Beda Agama Majelis Tarjih Muhammadiyah dihubungkan dengan

Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta, tahun 2019. Skripsi ini lebih condong membahas fatwa yang

dikeluarkan oleh Majelis Tarjih Muhammadiyah mengenai perkawinan

beda agama, kemudian dikaitkan dengan peraturan tertulis yang berlaku di

Indonesia yakni Undang-Undang Perkawinan. Pada penelitian ini juga

tidak memberi perhatian terhadap pelaksanaan cerai akibat kawin beda

agama, dan tidak pula membahas putusan pengadilan sebagai bahan telaah

dalam penelitian.

4. Dhiya Adliyanto, telah melakukan penelitian dengan judul; Perkawinan

Beda Agama (Studi Kasus di Kelurahan Cibeber Kecamatan Cibeber

Kota Cilegon) tahun 2019. Pada skripsi ini hanya membahas mengenai

pelaksanaan perkawinan beda agama yang dilakukan oleh masyarakat di

kelurahan Cibeber, Kota Cilegon. Penelitian ini juga tidak menitikberatkan

masalah kewenangan lembaga peradilan dalam mengadili perceraian akibat

kawin beda agama.

5. Udhin Wibowo, telah melakukan penelitian dengan judul; Tinjauan

Hukum Tentang Perpindahan Agama Dalam Suatu Perkawinan Beda

Agama Terhadap Penentuan Kewenangan Absolut Pengadilan Dalam

Menangani Perkara Perceraian “Studi Kasus Putusan Pengadilan

Nomor. 174/Pdt.G/2007/PN.Sby dan Putusan Nomor.

2583/Pdt.G/2007/PA.Sby”. Universitas Indonesia, tahun 2012. Pada

skripsi yang penulis temukan ini terdapat beberapa persamaan fokus

bahasan, dimana penelitian ini sama-sama membahas perceraian akibat

perkawinan beda agama, namun terdapat perbedaan yakni perkawinan

tersebut tercatat oleh dua lembaga pencatatan perkawinan, yang membuat

penelitinya memerlukan telaah dengan tinjauan hukum yang berlaku di

Indonesia.

6. Meilisa Fitri Harahap, telah melakukan penelitian dengan judul;

Penyelesaian Perceraian Beda Agama di Indonesia (Studi Kasus Yuni

Page 23: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut

8

Shara-Henry Siahaan) Universitas Andalas, Padang. Tahun 2011. Pada

penelitian ini memaparkan perihal tata cara menyelesaikan perkawinan

beda agama dengan menelaah kasus pelaku pelaksana perkawinan beda

agama melalui sebuah putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri,

dimana metode pendekatan yang digunakan adalah yuridis sosiologis,

yakni penelitian dengan menggunakan bahan kepustakaan dan data dari

lapangan.

7. Lysa Setiabudi, telah melakukan penelitian dengan judul; Analisis

Perkawinan Beda Agama (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri

Terkait dengan Izin Perkawinan Beda Agama) Universitas Negeri

Semarang, Tahun 2016. Penelitian ini berisikan tentang izin perkawinan

beda agama yang dilakukan di Pengadilan Negeri, dimana dalam tulisan

tersebut menitikberatkan pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri terhadap

makna perkawinan yang sebenarnya, sebagaimana yang telah diatur dalam

Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.

8. Moch. Choliq Al Muchlis, telah melakukan penelitian dengan judul

Analisis Yuridis Terhadap Pertimbangan Hukum Pengadilan Agama

Surabaya Dalam Perceraian Suami Istri Murtad Pada Perkara Cerai

Talak Dengan Alasan Murtad (Studi Putusan No.

2269/Pdt.G/2012/PA.Sby) UIN Sunan Ampel, 2014. Pada penelitian ini

telah memaparkan perihal perceraian suami istri murtad yang dilakukan di

Pengadilan Agama serta membahas mengenai macam-macam putusnya

perkawinan, alasan perceraian dan kewenangan absolut pengadilan.

Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis sosiologis, yakni

dengan sumber data berupa putusan dan wawancara dengan majelis hakim.

F. Metode Penelitian

Dalam membahas penelitian ini, diperlukan suatu penelitian untuk

memperoleh data yang berhubungan dengan masalah-masalah yang dibahas,

serta gambaran dari masalah tersebut secara jelas, tepat dan akurat. Ada

beberapa metode yang akan penulis gunakan, antara lain:

Page 24: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut

9

1. Pendekatan Penelitian.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan yuridis-

normatif, yaitu pendekatan yang lebih menekankan kepada penerapan

norma-norma atau kaidah hukum serta aturan dalam al-Qur’an, dan sunnah

yang dilakukan dalam praktik hukum.8 Terutama dalam melihat kasus yang

telah diputus.

2. Jenis Penelitian.

Penelitian ini termasuk kepada jenis penelitian kualitatif, dimana

memiliki tujuan untuk dapat menemukan rancangan teori, dan kepustakaan

(library research)9 yang kemudian dapat dipelajari dengan menggunakan

literatur, perundang-undangan, dan yurisprudensi serta tulisan para sarjana

yang berhubungan dengan skripsi ini.

3. Sumber Data.

a. Data Primer yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari studi

dokumentasi yakni penelitian yang dilakukan di perpustakaan, dan

lain-lain. Kemudian penulis menjadikan putusan tingkat pertama di

Pengadilan Agama Nomor. 1377/Pdt.G/2016/PA.JS dan putusan

Pengadilan Negeri Nomor. 668/Pdt.G/2015/PN.Jkt.Sel sebagai data

primer yang nantinya akan dilakukan analisis hukum terhadap kedua

pertimbangan putusan tersebut mengenai perceraian akibat kawin beda

agama.

b. Data sekunder, yakni data yang akan melengkapi data primer dari

penelitian ini dengan menggunakan bahan berupa buku-buku, jurnal,

artikel, dan tulisan lainnya yang berhubungan dengan permasalahan

serta menjadi pokok bahasan dalam penelitian ini. Oleh karena itu,

pada umumnya data sekunder dalam keadaan siap terbuat dan dapat

8 Winarno Surakmad, Pengantar Penelitian Ilmiah, (Bandung: Tarsito, 1985), h. 140

9 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Cet. Ke-8 (Jakarta:

Raja Grafindo Persada, 2004), h. 13

Page 25: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut

10

dipergunakan dengan segera, dan salah satu ciri dari data sekunder

tidak terbatas oleh waktu maupun tempat.10

4. Teknik Pengumpulan Data.

Penelitian ini menggunakan studi kepustakaan sebagai penelusuran

informasi dan data yang diperlukan dalam beberapa sumber. Penyusunan

dengan menggunakan studi kepustakaan dilakukan dengan cara membaca,

mempelajari serta menganalisis literatur atau buku-buku dan sumber

lainnya yang berkaitan dengan tema penelitian ini.

a. Analisa Data

Analisa data secara deduktif merupakan prosedur yang

berpangkal pada suatu peristiwa umum, yang kebenarannya telah

diketahui atau diyakini, dan berakhir pada suatu kesimpulan.

b. Teknik Penulisan

Teknik penulisan penelitian ini merujuk pada pedoman

penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta yang di terbitkan oleh Pusat Peningkatan dan

Jaminan Mutu (PPJM) Fakultas Syariah dan Hukum tahun 2017.

G. Rancangan Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan pembahasan dalam penulisan, penelitian ini dibagi

menjadi lima bab yang saling berkesinambungan satu sama lain, di antaranya

yaitu:

BAB I PENDAHULUAN

Pada bab ini berisikan bab pendahuluan, dimana meliputi latar

belakang yang menjadi alasan dasar penelitian ini sangat

diperlukan, serta identifikasi masalah, rumusan masalah, tujuan dan

manfaat penelitian, studi literatur, metode penelitian yang

digunakan, dan sistematika penulisan.

10 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta, Universitas Indonesia,

1986), h. 11.

Page 26: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut

11

BAB II PERCERAIAN AKIBAT KAWIN BEDA AGAMA DAN

KOMPETENSI LEMBAGA PERADILAN

Pada bab kedua ini penulis akan memaparkan tentang konsep

Perceraian Akibat Kawin Beda Agama dan Kompetensi Lembaga

Peradilan, di dalamnya meliputi pengertian perkawinan beda agama,

regulasi perkawinan beda agama sebelum berlakunya Undang-

Undang No.1 Tahun 1974, dan regulasi perkawinan beda agama

sesudah berlakunya Undang-Undang No.1 Tahun 1974 beserta

Inpres No.1 Tahun 1991 Kompilasi Hukum Islam (KHI), kemudian

putusnya perkawinan karena perceraian dan alasan-alasan perceraian

menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum

Islam (KHI), selanjutnya membahas tentang kompetensi lembaga

peradilan dalam memutus perceraian akibat kawin beda agama.

BAB III PENANGANAN PERKARA PERCERAIAN AKIBAT KAWIN

BEDA AGAMA

Pada bab ketiga ini penulis telah memaparkan hasil penelitian berupa

putusan hakim tingkat pertama Pengadilan Agama Nomor.

1377/Pdt.G/2016/PA.JS dan Pengadilan Negeri Nomor.

668/Pdt.G/2015/PN.JKT.SEL serta sedikit mengenai putusan upaya

hukum Peninjauan Kembali dalam hal memutus perkara perceraian

akibat kawin beda. Putusan tersebut terdiri dari duduk perkara,

pertimbangan hakim dan amar putusan.

BAB IV ANALISIS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA

NOMOR.1377/Pdt.G/2016/PA.JS DAN PUTUSAN

PENGADILAN NEGERI NOMOR. 668/Pdt.G/2015/PN.Jkt.Sel

Pada bab keempat yang merupakan bab inti yaitu bahasan utama

dalam skripsi ini, dimana di dalamnya terdapat analisis pertimbangan

hukum Majelis Hakim dan analisis kewenangan dalam mengadi

perceraian akibat kawin beda agama sebagaimana putusan tingkat

pertama di Pengadilan Agama Nomor. 1377/Pdt.G./2016/PA.JS dan

putusan Pengadilan Negeri Nomor. 668/Pdt.G/2015/PN.Jkt.Sel.

Page 27: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut

12

BAB V PENUTUP

Bab kelima yakni bab akhir dalam penelitian ini. Terdiri dari

penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran yang bersifat

membangun bagi penyempurnaan penelitian ini.

Page 28: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut

12

BAB II

PERCERAIAN AKIBAT KAWIN BEDA AGAMA DAN KOMPETENSI

LEMBAGA PERADILAN

A. Perkawinan Beda Agama

1. Pengertian Perkawinan Beda Agama

Perkawinan merupakan suatu bagian ajaran dari agama Islam.

Perkawinan juga termasuk pada satu aspek pokok kehidupan manusia,

karena hakikatnya manusia dibekali dengan kebutuhan biologis untuk dapat

meneruskan keturunan. Dengan begitu orang yang sudah siap dan

berkeinginan untuk menikah, apabila dirinya khawatir akan terjerumus ke

dalam perbuatan zina, maka sangat dianjurkan untuk melaksanakan

pernikahan.1

Perkawinan atau pernikahan secara bahasa dikenal dalam ilmu fikih

yang disebut “nikah” ()نكاح dan “zawaj” )زواج(, keduanya berasal dari

bahasa Arab. Nikah dalam bahasa Arab mempunyai kemungkinan dua

makna yaitu (الوطء والضم). Menurut Golongan Syafi’iyah, makna hakiki

(yang sebenarnya) ialah (العقد) yang berarti akad, sedangkan makna kiasan

(arti tidak sebenarnya) yaitu (الضم) yang berarti menindih, menghimpit, dan

berkumpul. Kemudian, menurut golongan Hanafiyah berpendapat berbeda

bahwa nikah dalam arti hakiki yaitu (الوطء) berarti bersetubuh, dan arti

kiasan yaitu (العقد) yang berarti akad atau perjanjian.2

Sedangkan menurut istilah, pernikahan adalah suatu akad serah

terima antara laki-laki dan perempuan dengan tujuan agar dapat saling

memuaskan satu sama lainnya, dan juga membentuk sebuah bahtera rumah

tangga yang sakinah serta masyarakat yang sejahtera. Para ulama fikih

1 Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi, Rahmah al-Ummah

Fi Ikhtilaf al-A’immah, Penerjemah ‘Abdullah Zaki Alkaf, Fiqh Empat Mazhab, (Bandung:

Hasyimi, 2015) h. 318

2Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia,… h. 35-37

Page 29: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut

13

berpendapat dalam mendefinisikan zawwaj atau nikah adalah suatu akad

atau perjanjian yang secara keseluruhan di dalamnya mengandung kata

inkah atau tazwij. Dengan artian membolehkan seorang laki-laki untuk

berhubungan dengan seorang perempuan berdasarkan ketentuan hukum

yang berlaku.3

Jika melirik pada ketentuan Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan, yang dimana telah menjelaskan mengenai

definisi perkawinan yakni bahwa perkawinan merupakan suatu ikatan lahir

batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan

tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.4

Menurut Prof. Hilman Hadikusuma, dalam buku karangan beliau

mengatakan bahwa, pengertian perkawinan menurut Undang-Undang

Perkawinan adalah “ikatan antara seorang pria dengan seorang wanita”

berarti perkawinan merupakan “sebuah perikatan”. Namun jika dilihat

kembali pada Pasal 26 KUHPerdata dikatakan bahwasanya Undang-

Undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan perdata.

Dengan demikian jelas sudah menurut perundangan yang dinyatakan tegas

dalam KUH Perdata (BW), bahwa perkawinan itu hanya dilihat dari segi

keperdataan dan telah mengabaikan segi keagamaan.5

Sedangkan definisi lain dari perkawinan, yakni menurut Pasal 2

Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI)

menyatakan bahwa perkawinan ataupun pernikahan menurut hukum Islam

yaitu sebuah akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk

mentaati perintah Allah dan melaksanakannya termasuk perbuatan ibadah.6

3 M. A. Tihami, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali Pers,

2010) h. 8

4 Pasal 1 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

5 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum

Adat, Hukum Agama, (Bandung: Mandar Maju, 2007) h. 6 6 Pasal 2 Inpres No.1 tahun 1991 Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Page 30: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut

14

Di sisi lain, menurut Asep Saepudin Jahar dalam bukunya telah

memberikan definisi tentang perkawinan, yaitu suatu kata yang merujuk

pada hal-hal yang berhubungan dengan sebuah ikatan atau terkait dengan

hubungan pernikahan. Istilah perkawinan jauh lebih luas dari istilah

pernikahan. Jika pernikahan merujuk pada sebuah ikatan yang dilakukan

atau dibuat oleh pihak suami dan istri untuk hidup bersama, dan atau

merujuk pada sebuah proses dari ikatan tersebut, perkawinan merujuk pada

hal-hal yang muncul terkait dengan proses, pelaksanaan dan akibat dari

pernikahan. Dengan demikian, perkawinan mencakup bukan saja syarat dan

rukun pernikahan dan bagaimana pernikahan harus dilakukan, tetapi juga

masalah hak dan kewajiban suami-istri, nafkah, perceraian, pengasuhan

anak, perwalian, dan lain-lain.7

Jadi, jika ditarik kesimpulan dari berbagai pengertian perkawinan,

baik menurut ulama fikih, maupun Undang-Undang Perkawinan dan

Kompilasi Hukum Islam (KHI). Maka perkawinan dapat diartikan menjadi

suatu ikatan untuk mewujudkan kehidupan yang selamat dan kekal bahagia

bukan hanya di dunia, tetapi juga diakhirat. Bukan saja berupa kebutuhan

lahiriah, namun juga batiniyah. Selain itu masalah perkawinan tidak hanya

sekedar merupakan persoalan hukum negara tetapi juga persoalan agama

dan kepercayaan dari mereka yang melangsungkan perkawinan tersebut.8

Sedangkan perkawinan beda agama dapat diartikan sebagai

perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita yang keduanya

memiliki perbedaan agama atau kepercayaan satu sama lain. Perkawinan

beda agama juga bisa terjadi dikalangan sesama WNI yang berbeda agama

7Asep Saepudin Jahar, dkk., Hukum Keluarga, Pidana, dan Bisnis, (Jakarta: Kencana

Prenadamedia Group, 2013) Cetakan ke-1, h. 23-24

8 Abdurrahman, “Kompendium Bidang Hukum Perkawinan, Perkawinan Beda Agama

dan Implikasinya”. Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI,

(Jakarta), September 2011, h.10

Page 31: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut

15

atau keyakinan, juga bisa terjadi antar beda kewarganegaraan yang salah

satunya memiliki perbedaan agama atau keyakinan. 9

Perkawinan beda agama juga dapat terjadi apabila seorang laki-laki

dan seorang perempuan yang berbeda agama melakukan perkawinan

dengan tetap mempertahankan agamanya masing-masing. Misalnya, laki-

laki yang beragama Islam kawin dengan perempuan yang beragama

Kristen, kemudian menikah di Gereja dengan pemberkatan pendeta, serta

dilakukan pula pencatatan perkawinan di Kantor Catatan Sipil. Inilah yang

terjadi di kehidupan nyata, sering kali terjadi penyimpangan dari ketentuan

Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yang

menggaris bawahi perkawinan dapat dikatakan sah apabila dilakukan

menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.10

Dengan begitu, pada pasal 2 ayat 1 dapat dijelasakan bahwa tidak

adanya perkawinan di luar hukum masing-masing agama dan kepercayaan,

jadi bagi seorang yang beragama Islam tidak ada kemungkinan untuk

kawin dengan melanggar hukum agama Islam, demikian juga bagi mereka

yang beragama Kristen, Hindu dan Buddha tidak ada kemungkinan kawin

dengan melanggar hukum masing-masing agamanya. Sehingga pasal

tersebut menjadikan agama dan kepercayaan sebagai pemegang peranan

penting dalam sah atau resminya suatu perkawinan.11

Dengan demikian perkawinan beda agama dapat dikatakan

menyimpang dari ajaran agama dan ketentuan Undang-Undang Perkawinan

No. 1 Tahun 1974. Selain itu, jika bertitik tolak dari penjelasan di atas,

telah menunjukkan bahwa adanya kesenjangan antara hukum yang dicita-

citakan (das sollen) dan realitas hukum yang ada di masyarakat tentang

9 Kadek W. Indrayanti, dkk. “Peran Negara Dalam Memberika Perlindungan Hukum

Bagi Calon Pasangan Kawin Beda Agama (KBA)”,… h. 58

10 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum

Adat, Hukum Agama,… h.17-18

11 Bonar Hutapea, “Dinamika Penyesuaian Suami Istri Dalam Perkawinan Beda

Agama”, Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vo.16, No.1, (2011), h.103

Page 32: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut

16

permasalahan hukum nikah beda agama (das sein). Bahkan adanya gagasan

untuk memisahkan antara hukum perkawinan dengan aturan agama. Rumah

tangga yang dibangun dengan perkawinan beda agama dapat pula

menimbulkan kerugian dan mengganggu keseimbangan kehidupan di

kemudian hari. Jika terjadi perselisihan dan menginginkan bercerai, maka

perkara tersebut harus diurus oleh lembaga peradilan mana yang

berwenang? Tentu saja hal itu menimbulkan perbedaan dan pertentangan di

lingkungan lembaga peradilan.12

2. Regulasi Perkawinan Beda Agama di Indonesia

a. Regulasi Perkawinan Beda Agama Sebelum Adanya Undang-

Undang No. 1 Tahun 1974

Sebelum Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan diberlakukan secara efektif pada tanggal 1 Oktober 1975,

hukum perkawinan di Indonesia diatur dalam berbagai macam

peraturan hukum atau sistem hukum yang berlaku untuk berbagai

golongan warga negara dan berbagai daerah. Peraturan yang dimaksud

adalah peraturan yang dahulu dikeluarkan oleh pemerintah kolonial

Hindia Belanda. Berbagai macam peraturan hukum perkawinan

tersebut antara lain:

1) Hukum Adat, yaitu hukum yang berlaku bagi orang-orang

Indonesia asli.

2) Hukum Islam, yaitu hukum yang berlaku bagi orang-orang

Indonesia asli yang beragama Islam.

3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek atau

BW), yang berlaku bagi orang-orang keturunan Eropa dan Cina

(Tionghoa) dengan beberapa pengecualian.

4) Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Ordonnantie Christen

Indonesiaers atau HOCI), yang berlaku bagi orang-orang

12 Islamiyati, “Analisis Yuridis Nikah Beda Agama Menurut Hukum Islam di Indonesia”,

Masalah-Masalah Hukum, Vol.45, No.3, (Juli, 2016), h.244

Page 33: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut

17

Indonesia asli (Jawa, Minahasa, dan Ambon) yang beragama

Kristen.

5) Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de Gemengde

Huwelijk (GHR)) yaitu peraturan yang dibuat untuk mengatasi

terjadinya banyak perkawinan pada hukum yang berlainan, seperti

perkawinan beda kewarganegaraan, perkawinan beda agama,

ataupun perbedaan asalnya (keturunannya).13

Dalam Pasal 1 Peraturan Perkawinan Campuran (GHR)

dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Perkawinan Campuran ialah

suatu perkawinan antara orang-orang yang berada di Indonesia tunduk

kepada hukum yang berlainan. Pada Peraturan Perkawinan Campuran

juga dimuat dalam Staatsblad 1989 No. 158 perumusan Peraturan

Perkawinan Campuran ini, terbagi menjadi tiga aliran pendapat ahli

hukum yakni, Pertama, Orang-orang yang berpendirian “luas”

didukung oleh para sarjana hukum, berpendapat bahwa baik

perkawinan campuran antar agama maupun antar tempat termasuk di

bawah Peraturan Perkawinan Campuran (GHR). Kedua, Orang-orang

yang berpendirian “sempit” berpendapat bahwa baik perkawinan

campuran antar agama maupun antar tempat tidak termasuk di bawah

Peraturan Perkawinan Campuran (GHR). Ketiga, Mereka yang

berpendirian “setengah luas, setengah sempit” berpendapat bahwa

hanya perkawinan antara agama saja yang termasuk Peraturan

Perkawinan Campuran (GHR).14

Sudargo Gautama dalam pendapatnya yang dikutip oleh

Anggraeni Carolina dari jurnalnya, menjelaskan bahwa istilah

perkawinan campuran pada Pasal 1 GHR berarti perbedaan perlakuan

hukum atau hukum yang berlainan dan dapat disebabkan karena

13 Taufiqurrahman Syahuri, Legislasi Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Kencana

Prenadamedia Group, 2013) Cetakan Ke-1, h. 63-79

14 Asmin, Status Perkawinan Antar Agama, (Jakarta: PT. Dian Rakyat, 1986) h. 66-67

Page 34: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut

18

perbedaan kewarganegaraan, kependudukan dalam berbagai golongan

rakyat, tempat kediaman, bahkan agama. Sehingga dari pendapat

tersebut, pendirian “luas” yang banyak di dukung oleh para sarjana

hukum.15

Akan tetapi, semenjak dikeluarkannya Instruksi Presidium

Kabinet Ampera No. 31/U/IN/12/1966, sudah tidak ada lagi

penggolongan penduduk kecuali dibedakan antara WNI dan WNA

sehingga di Indonesia tidak mungkin lagi ada perkawinan campuran

antar tempat dan antar golongan. Namun, penghapusan golongan

tersebut tidak menjadikan hukum untuk golongan tersebut terhapus,

kenyataannya sampai saat ini masih banyak pluralisme hukum perdata

tersebut yang masih berlaku.16

b. Regulasi Perkawinan Beda Agama Sesudah Berlakunya Undang-

Undang No.1 Tahun 1974 dan Inpres No.1 Tahun 1991 Kompilasi

Hukum Islam (KHI).

Jika sebelum diberlakukannya Undang-Undang No. 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan, sebuah polemik perkawinan beda agama

dimungkinkan keberadaannya, sebagaimana telah diatur dalam

Peraturan Perkawinan Campuran (GHR) yang telah memberikan

definisi secara luas. Maka dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan mendefinisikan sebaliknya bahwa perkawinan

campuran sudah tidak mungkin lagi diperluas pengertiannya dengan

memasukkan perkawinan beda agama.17

Polemik yang muncul dalam Undang-Undang Perkawinan yaitu

terdapat redaksi pasal demi pasal yang memberikan celah selebar-

lebarnya bagi masyarakat dalam memilih pasangannya masing-masing.

15 Anggraeni Carolina Palandi, “Analisis Yuridis Perkawinan Beda Agama di Indonesia”,

Lex Privatum, Vo.1, No.2, (April-Juni 2013), h.201

16 Zulfa Djoko Basuki, “Hukum dan Pembangunan”, (Juni, 1987) h.236

17 Sirman Dahwal, Perbandingan Hukum Perkawinan, (Bandung: Mandar Maju, 2017)

Cetakan Ke-1, h.91-92

Page 35: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut

19

Meskipun Undang-Undang Perkawinan ini telah diberlakukan, bukan

berarti sudah tidak ada masalah dalam hal pelaksanaannya.

Permasalahan yang kerap kali muncul dipermukaan antara lain yakni

tentang perkawinan beda agama. Undang-Undang Perkawinan tidak

mengatur secara eksplisit tentang hubungan perkawinan beda agama.

Undang-Undang perkawinan pun tidak melarang melaksanakan

perkawinan beda agama.18

Menurut Pasal 57 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun

1974, perkawinan beda agama di Indonesia bukanlah sebuah persoalan

dari Perkawinan Campuran, demikian semestinya pengajuan

permohonan perkawinan beda agama di Kantor Kependudukan dan

Catatan Sipil dan Kantor Urusan Agama (KUA) harusnya dapat

ditolak. Akan tetapi, dikarenakan hal tersebut belum diatur dalam

undang-undang secara tuntas dan tegas, maka terdapat beberapa

Kantor Kependudukan dan Catatan Sipil yang menolak mencatatkan.

Adapun pihak yang menerimanya, berargumen bahwa hal tersebut

telah diatur dalam Gemengde Huwelijken Regeling (GHR) menyatakan

bahwa, perkawinan yang dilakukan menurut hukum suami, maka istri

harus mengikuti status hukum tersebut.19

Terjadinya kekosongan hukum dalam mengatur perkawinan

beda agama itulah, yang menyebabkan masyarakat bersifat pluralistik.

Sehingga banyak terjadi penyelendupan nilai sosial, agama, bahkan

hukum positif. Adapun penyelundupan yang dilakukan oleh

masyarakat dalam kasus perkawinan beda agama yaitu, pertama

meninggalkan hukum negara, seperti; melaksanakan suatu perkawinan

di luar negeri, kemudian disusul dengan melangsungkan perkawinan

secara adat. Kedua, meninggalkan hukum agama, seperti; menikah dua

18 Muhammad Ashsubli, “Undang-Undang Perkawinan dalam Pluralitas Hukum

Agama”,… h.293

19 Soedharyo Soemin, Hukum Orang dan Keluarga, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), h. 95

Page 36: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut

20

kali menurut dua agama, dengan berpindah agama sementara pada saat

perkawinan dilakukan, kemudian kembali pada agama semula setelah

perkawinan terlaksana. Ramainya penyelundupan tersebut, menjadikan

Undang-Undang Perkawinan telah kehilangan karisma hukum dan

menggambarkan bahwa undang-undang tidak lagi sesuai dengan

kebutuhan dan keinginan masyarakat.20

Dalam mengisi ketidaktegasan hukum mengenai perkawinan

beda agama pada Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, maka

Mahkamah Agung memberikan putusan tentang perkawinan beda

agama pada tanggal 20 Januari 1989 Nomor: 1400 K/Pdt/1986. Pada

pertimbangan hakim dalam putusan tersebut menyatakan bahwasanya,

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tidak memuat suatu ketentuan

tentang perbedaan antara calon suami dan calon istri merupakan

larangan perkawinan. Hal ini sepemikiran dengan Pasal 27 Undang-

Undang Dasar (UUD) Tahun 1945 yang menjelaskan bahwa, seluruh

warga negara sekalipun berlainan agama dan selama undang-undang

tidak ditentukan bahwa perbedaan agama merupakan larangan untuk

perkawinan, maka hal tersebut sejalan dengan Pasal 29 Undang-

Undang Dasar (UUD) Tahun 1945 tentang dijaminnya kemerdekaan

bagi setiap warga negara untuk memeluk agama masing-masing. 21

Jika dilihat kembali, terdapat perbedaan pendapat mengenai

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang terbagi

menjadi 3 pendapat yaitu:

1) Perkawinan antar orang yang berbeda agama dapat saja

dilangsungkan dengan landasan hak asasi manusia dalam

menentukan pihan pasangan hidupnya. Perkawinan tersebut juga

dapat menggunakan Stb. 1898 No. 158 tentang Perkawinan

20 Islamiyati, “Analisis Yuridis Nikah Beda Agama Menurut Hukum Islam di

Indonesia”,… h.245

21 Sirman Dahwal, Perbandingan Hukum Perkawinan,… h.93-94

Page 37: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut

21

Campuran dan mencatatkan perkawinannya di Kantor Catatan

Sipil di tempat mereka melangsungkan perkawinan tersebut.

2) Perkawinan beda agama menurut Pasal 57 Undang-Undang No. 1

Tahun 1974 memiliki makna tersurat dan tersirat. Makna

tersuratnya ialah penjelasan “yang dimaksud dengan Perkawinan

Campuran dalam undang-undang ini adalah perkawinan antara dua

orang di Indonesia, tunduk kepada hukum yang berlainan, karena

perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak

berkewarganegaraan indonesia”. Sedangkan makna tersiratnya

terletak pada koma setelah kata berlainan. Hal itu menunjukkan

perkawinan bagi orang yang berbeda agama.

3) Perkawinan antar orang yang berbeda agama tidak dikehendaki

oleh pembentuk undang-undang yaitu pemerintah dan DPR RI.

Maksud tersebut dinyatakan secara tegas dalam Pasal 2 ayat (1)

bahwa perkawinan sah apabila berasaskan agama sebagai wujud

dari sila ketuhanan yang Maha Esa. Dan sangat masuk akal jika

dalam Pasal 8 huruf (f) Undang-undang Perkawinan bahwa

dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh

agamanya dan peraturan yang berlaku dilarang kawin.

Maksudnya, Undang-Undang Perkawinan melarang

dilaksnakannya perkawnan yang dilarang oleh suatu agama.22

Setelah Undang-Undang Perkawinan yang mengalami

pedebatan panjang, selanjutnya usaha untuk mengatasi masalah

perkawinan beda agama pada tahun 1991 dikeluarkanlah Inpres No.1

Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam yang mengatur berbagai

macam persoalan perdata umat Islam. Serta MUI juga mengeluarkan

fatwa pada tanggal 1 Juni 1980 dan tanggal 28 Juli 2005. Maka

berdasarkan fatwa dan KHI Pasal 40 huruf (c) dan Pasal 44, yang

dirumuskan kembali dalam Pasal 33 huruf (c) dan Pasal 36 RUU-HM-

22 Sirman Dahwal, Perbandingan Hukum Perkawinan,… h.102-104

Page 38: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut

22

PA-BPerkwn tahun 2007 menentukan larangan perkawinan terhadap

pemeluk agama yang berbeda. Namun pada ketentuan tersebut tetap

saja tidak diberlakukannya hukuman bagi pelaku yang melanggar. Dan

Pasal 6 ayat (2) RUU-HM-PA-BPerkwn tahun 2007 juga tidak

merumuskan hukuman bagi yang tidak mencatatkan perkawinan. Hal

itulah yang menyebabkan marak dan luasnya perkawinan beda agama

di Indonesia.23

B. Putusnya Perkawinan Karena Perceraian

1. Putusnya Perkawinan Menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dan

Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Putusnya perkawinan merupakan suatu ikatan lahir batin atau

hubungan perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan

yang sudah terputus. Perihal putusnya perkawinan dalam Undang-Undang

No. 1 Tahun 1974 diatur pada Pasal 38 sampai dengan Pasal 41, yang

dimana pasal tersebut menyebutkan bahwa hubungan perkawinan dapat

terputus apabila dengan sebab-sebab sebagai berikut:

a. Kematian.

b. Perceraian.

c. atau Keputusan pengadilan.24

Sedangkan Perceraian (talak) atau dalam bahasa Arab disebut

thalaq, dapat diartikan menjadi sesuatu yang dilepaskan atau ditinggalkan.

Secara istilah, berarti melepaskan ikatan atau hubungan perkawinan antara

seorang laki-laki dan seorang perempuan.25 Dalam Pasal 39 Undang-

Undang No.1 Tahun 1974 memuat ketentuan bahwa putusnya perkawinan

atau yang disebut perceraian, hanya dapat dilakukan di depan Pengadilan,

23 Neng Djubaidah, Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat, (Jakarta:

Sinar Grafika, 2010) Cetakan Ke-1, h.178-179

24 Aulia Muthiah, Hukum Islam Dinamika Seputar Hukum Keluarga, (Yogyakarta:

Pustaka Baru Press, 2017), Cetakan Ke-1, h.104

25 Nurul Asmayani, Perempuan Bertanya, Fikih Menjawab (Jakarta: PT Gramedia

Pustaka Utama, 2018) h. 383

Page 39: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut

23

setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha mendamaikan kedua belah

pihak yang berperkara.26

Sedangkan putusnya perkawinan berdasarkan Kompilasi Hukum

Islam (KHI) sudah diatur dalam Pasal 113 yang menyatakan bahwa

perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian, dan atas putusan

Pengadilan. Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat

terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian. Hal itu termuat

dalam Pasal 114. Lalu pada Pasal 8 Kompilasi Hukum Islam (KHI)

menjelaskan bahwa putusnya perkawinan selain cerai mati hanya dapat

dibuktikan dengan surat cerai berupa putusan Pengadilan Agama, baik yang

berbentuk putusan perceraian, ikrar talak, khuluk, atau putusan taklik

talak.27

2. Alasan-alasan Perceraian Menurut Undang-Undang No.1 tahun 1974

dan Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Perceraian adalah perbuatan yang tercela dan dibenci Tuhan, namun

hukum membolehkan suami atau istri melakukan perceraian jika

perkawinan mereka sudah tidak dapat dipertahankan lagi. Perceraian juga

harus disertai dengan alasan-alasan hukum sebagaimana telah ditentukan

dalam Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang telah

dijabarkan dalam Pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975, yaitu sebagai berikut:

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat,

penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut

tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah aau karena hal lain di

luar kemampuannya.

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman

yang lebih berat setalah perkawinan berlangsung.

26 Muhammad Syaifuddin, dkk, Hukum Perceraian, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014) h. 19

27 P.N.H. Simanjuntak, Hukum Perdata Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenadamedia

Group, 2015) Cetakan Ke-1, h. 96

Page 40: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut

24

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang

membahayakan pihak lain.

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat

tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri.

f. Antara suami istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran

dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.28

Kemudian dalam Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam (KHI) alasan

perceraian sama halnya dengan alasan perceraian menurut undang-undang

perkawinan, hanya saja ada beberapa penambahan yang akan dijabarkan

sebagai berikut:

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi,

dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut

tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah aau karena hal lain di

luar kemampuannya.

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang

lebih berat setalah perkawinan berlangsung.

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang

membahayakan pihak lain.

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat

tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri.

f. Antara suami istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran

dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

g. Suami melanggar taklik talak.

h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya

ketidakrukunan dalam rumah tangga.29

28 Muhammad Syaifuddin, dkk, Hukum Perceraian,… h.181

29 P.N.H. Simanjuntak, Hukum Perdata Indonesia,… h. 97

Page 41: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut

25

C. Kompetensi Lembaga Peradilan Dalam Memutus Perceraian Akibat

Kawin Beda Agama

1. Kompetensi Lembaga Peradilan

a. Pengertian Kompetensi

Kompetensi berasal dari bahasa Belanda competentie, yang

memiliki arti yaitu “kekuasaan” dan sering kali disebut dengan

“kompetensi”, kata tersebut juga dapat diterjemahkan dengan

“kewenangan” ataupun “kekuasaan”.30 Kompetensi menurut Kamus

Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah suatu kewenangan (kekuasaan)

untuk menentukan (memutuskan sesuatu).31

Selanjutnya, seluruh kekuasaan lembaga peradilan pada

prinsipnya sama makna, perumusan, dan cara pengaturannya. Seperti

yang ditentukan untuk lingkungan badan peradilan yakni Peradilan

Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradian Tata Usaha

Negara (PTUN), yang keseluruhan berpuncak pada Mahkamah Agung

sebagai Pengadilan Negara Tertinggi. Bahkan pada jenis kekuasaan

fungsi dan kewenangannya pun serupa. Perbedaannya hanya pada

ruang lingkup kekusaan mengadili (attributie van rechmacht), yaitu

disesuaikan dengan wilayah yurisdiksi yang melekat pada masing-

masing lingkungan peradilan sesuai dengan undang-undang yang

mengaturnya.32

Berkenaan dengan hal itu, mengenai atribusi cakupan dan

batasan kekuasaan masing-masing lembaga peradilan. Kekuasaan

pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum meliputi bidang pidana

umum, perdata adat, dan perdata barat. Badan yang menjalankannya

terdiri dari Pengadilan Negeri sebagai pengadilan tingkat pertama dan

30 A. Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2017) h. 118

31 Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi Kelima, (ttp: Badan Pengembangan dan

Pembinaan Bahasa, Kemendikbud RI, 2016)

32 Sulaikin Lubis, dkk., Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta;

Kencana Prenadamedia Group, 2008) Cetakan Ke-3, h. 108

Page 42: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut

26

Pengadilan Tinggi sebagai pengadilan tingkat banding. 33 Sedangkan

kekuasaan dalam lingkup Peradilan Agama mencakup bidang perdata

tertentu di kalangan orang-orang yang beragama Islam, yang dilakukan

berdasarkan hukum Islam. Dan juga, kekuasaan pengadilan pada

masing-masing lembaga peradilan terdiri atas kekuasaan relatif

(relative competentie) dan kekuasaan mutlak (absolute competentie).34

Selanjutnya, perihal Peradilan Agama yang merupakan suatu

lembaga peradilan dimana bertugas untuk melaksanakan kekuasaan

kehakiman dalam menegakkan keadilan bagi orang-orang yang

beragama Islam sebagaimana menurut Undang-Undang No.7 tahun

1989 yang menyatakan bahwasanya Peradilan Agama hanya

berwenang menyelesaikan perkara-perkara dibidang perdata tertentu

umat Islam. Akan tetapi, dengan diberlakukannya Undang-Undang No.

3 tahun 2006, hal itulah yang menandai lahirnya paradigma baru

mengenai Peradilan Agama. Paradigma tersebut menyatakan bahwa

kalimat “perkara perdata tertentu” dalam Undang-Undang No.7 tahun

1989, telah dihapus dan diganti dengan kalimat “perkara tertentu”. Hal

ini dimaksudkan agar tidak hanya perkara perdata saja yang menjadi

kompetensi pengadilan agama, tetapi mencakup bidang lainnya.

Kemudian, kompetensi (wewenang) peradilan agama juga telah diatur

dalam Pasal 49 sampai dengan Pasal 53 Undang-Undang No. 7 Tahun

1989 tentang Peradilan Agama. Kompetensi (wewenang) tersebut

terdiri dari kompetensi relatif dan kompetensi absolut.35

Adapun kompetensi atau kewenangan dari kedua lembaga

peradilan, yakni Peradilan Agama dan Peradilan Umum (Negeri) yang

33 Bambang Sugeng dan Sujayadi, Pengantar Hukum Acara Perdata dan Contoh

Dokumen Litigasi, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2012) Cetakan Ke-2, h.18

34 Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,

2003) Cetakan Ke-4, h. 217

35 Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia,

(Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2008) Cetakan Ke1, h. 343

Page 43: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut

27

pertama meliputi kewenangan relatif dan yang kedua kewenangan

absolut, kedua hal itu akan dijelaskan pada point selanjutnya.

b. Kompetensi Relatif Peradilan Agama dan Peradilan Negeri

Kewenangan relatif, yaitu kewenangan untuk mengadili suatu

perkara yang menyangkut wilayah atau daerah hukum suatu

pengadilan (yurisdiksi). Hal ini dapat dikaitkan dengan tempat tinggal

para pihak yang berperkara. Dalam istilah lain kewenangan relatif ini

disebut dengan, Distribute van Rechtsmacht. Setiap pengadilan

terbatas daerah hukumnya, seperti halnya daerah hukum Pengadilan

Negeri sebagaimana termaktub dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang

No. 2 Tahun 1986 menjelaskan bahwa Pengadilan Negeri

berkedudukan di Kotamadya atau ibu kota Kabupaten, dan daerah

hukumnya meliputi wilayah Kotamadya atau Kabupaten yang

bersangkutan.36

Kemudian, dasar hukum untuk menentukan kompetensi relatif

dari setiap Pengadilan Agama adalah ketentuan hukum acara perdata

pada Pasal 54 Undang-Undang No.7 tahun 1989 yang berlaku juga

pada lingkungan Pengadilan Negeri. Dengan demikian, peraturan

dalam Pasal 118 H.I.R/Pasal 142 R.Bg yang mengatur bahwa gugatan

harus diajukan, berlaku juga bagi pengadilan agama.37

Landasan untuk menetukan kewenangan relatif Pengadilan

Negeri merujuk pada ketentuan Pasal 118 H.I.R. atau Pasal 142 R.Bg.

yang kemudian pasal tersebut dirujuk oleh Pasal 66 dan Pasal 73

Undang-Undang No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Ketentuan

kompetensi relatif tersebut bertitik tolak pada aturan yang menetapkan

bahwa gugatan yang diajukan harus memenuhi syarat formal.38

36 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Gugatan, Persidangan, Penyitaan,

Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014) Cetakan Ke-14, h.191

37 Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia,… h. 218

38 Juhaya S. Pradja, Hukum Acara Peradilan Agama di Indonesia, (Bandung: CV Pustaka

Setia, 2017), Cetakan Ke-1, h.120

Page 44: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut

28

Dalam Pasal 118 ayat (1) H.I.R menganut asas bahwa gugatan

harus diajukan kepada pengadilan yang berwenang mengadili perkara,

tergantung kepada jenis perkara dan dimisili dari tergugat.39 Asas ini

dalam bahasa latin disebut “actor sequitur forum rei”. Yang dimana

terdapat beberapa pengecualian sebagai berikut:

1) Gugatan yang diajukan pada Pengadilan Negeri yang dalam

daerah hukunya meliputi tempat kediaman tergugat, apabila

tempat tinggal tergugat tidak diketahui.

2) Apabila tergugat lebih dari dua orang ataupun lebih, serta

bertempat tinggal dalam wilayah Pengadilan Negeri yang berbeda-

beda, maka penggugat dapat mengajukan gugatan di Pengadilan

Negeri di mana salah seorang dari tergugat bertempat tinggal.40

3) Apabila tempat tinggal dan tempat kediaman tergugat tidak

dikenal, maka gugatan diajukan kepada ketua Pengadilan Negeri

yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal penggugat atau

salah satu dari penggugat.

4) Apabila tempat tinggal dan tempat kediaman tergugat tidak

dikenal dan gugatan ialah mengenai barang tetap, maka dapat juga

diajukan kepada ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya

meliputi di mana barang tetap itu terletak.

5) Apabila ada tempat tinggal yang dipilih dengan suatu akta, maka

gugatan dapat diajukan kepada ketua Pengadilan Negeri yang

daerah hukumnya meliputi tempat tinggal yang dipilih dalam akta

tersebut.41

39 Soeroso, Praktik Hukum Acara Perdata Tata Cara dan Proses Persidangan, (Jakarta:

Sinar Grafika, 2011) Cetakan Ke-2, h.70

40 Ropaun Rambe, Hukum Acara Perdata Lengkap, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013)

Cetakan Ke-7, h.299

41 Hulman Panjaitan, Kumpulan Kaidah Hukum Putusan Mahkamah Agung Republik

Indonesia Tahun 1953-2008 Berdasarkan Penggolongannya, (Jakarta: Kencana Prenadamedia

Group, 2014) Cetakan Ke-1, h.208

Page 45: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut

29

Selanjutnya, mengenai kompetensi relatif Pengadilan Agama

dalam kasus cerai talak ataupun cerai gugat, atau istilah tersebut biasa

disebut permohonan talak dan gugat cerai. Menurut Pasal 66 Undang-

Undang No.7 tahun 1989 dijelaskan bahwa kompetensi relatif dalam

kasus cerai talak dapat ditentukan oleh faktor tempat kediaman

termohon. Hal ini dikecualikan jika termohon sengaja meninggalkan

kediaman bersama tanpa izin termohon, dan begitupun jika termohon

bertempat tinggal di luar negeri, maka kompetensi relatif jatuh ke

Pengadilan Agama di ranah hukum tempat kediaman pemohon.

sedangkan mengenai kompetensi relatif dalam kasus cerai gugat, maka

gugatan diberikan kepada Pengadilan Agama daerah tempat kediaman

penggugat, sebagaimana telah diatur dalam Pasal 73 ayat (1) Undang-

Undang No. tahun 1989. Hal ini dapat dikecualikan bila penggugat

meninggalkan kediaman bersama tanpa izin tergugat, maka gugatan

diajukan pada daerah tempa tinggal tergugat.42

c. Kompetensi Absolut Peradilan Agama dan Peradilan Negeri

Penyelenggara kekuasaan kehakiman (judicial power) di

Indonesia dilaksanakan oleh lembaga peradilan dalam lingkup

Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan

tata Usaha Negara (PTUN). Hal tersebut diatur dalam Pasal 10

Undang-Undang No.14 tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok

Kekuasaan Kehakiman. Pada keempat lingkungan peradilan itu

memiliki cakupan atau batasan kekuasaan masing-masing. Diantara

Kekuasaan atau kewenangan dari masing-masing lembaga peradilan

terdapat kewenangan absolut ysng berarti meliputi jenis perkara dan

sengketa kekuasaan pengadilan dalam hal memutus perkara tertentu,

dari golongan rakyat tertentu.43

42 Sulaikin Lubis, dkk, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama,… h.108-109

43 Cik Hasan Basri, Peradilan Agama di Indonesia,… h. 217-220

Page 46: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut

30

Selanjutnya mengenai kompetensi absolut Peradilan Agama

yakni, kewenangan yang menyangkut kekuasaan mutlak untuk

mengadili suatu perkara, dengan arti bahwa perkara tersebut hanya bisa

diperiksa dan diadili oleh Pengadilan Agama. Dalam istilah lain

disebut dengan Atribut van Rechsmacht. Kompetensi absolut atau

wewenang mutlak juga sering dikenal sebagai atribusi kekuasaan

kehakiman. Adapun contohnya, perkara perceraian bagi orang-orang

yang beragama Islam dan perkawinannya dilakukan secara Islam

menjadi kewenangan absolut Pengadilan Agama. Sedangkan bagi

orang-orang yang bukan beragama Islam menjadi kekuasaan Peradilan

Umum.44

Berdasarkan Undang-Undang No. 2 Tahun 1986 tentang

Peradilan Umum, kewenangan Peradilan Umum ialah kewenangan

dalam mengadili secara mutlak suatu perkara mengenai hukum pidana

(umum dan khusus), dan perdata serta peradilan niaga. Jadi, jelaslah

bahwa peradilan umum memiliki kompetensi absolut untuk mengadili

perkara perdata yang dilakukan oleh orang-orang sipil. Kecuali suatu

peraturan perundang-undangan menentukan lain.45 Kemudian,

kekuasaan kehakiman dalam lingkungan Peradilan Umum

dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi, hal ini

tercantum pada Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang No. 2 Tahun 1986

tentang Peradilan Umum, kemudian disesuaikan pula dengan hukum

acara perdata.46

Kemudian mengenai kewenangan Pengadilan Negeri yang

berkaitan dengan bidang perkawinan yakni semua perkawinan yang

44 Juhaya S. Pradja, Hukum Acara Peradilan Agama di Indonesia,… h.118

45 Zainal Asikin, Hukum Acara Perdata di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenadamedia

Group, 2016) Cetakan Ke2, h.83-85

46 Kasihardo Herlambang, “Kewenangan Hakim dalam Perkara Perdata di Pengadilan

Negeri dikaitkan dengan Undang-Undang No.4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman”,

(Jakarta: Skripsi, UPN Veteran, 2011) h.2, t.d.

Page 47: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut

31

tidak diatur dalam lingkungan Pengadilan Agama. Sebagaimana

dinyatakan dalam Pasal 49 Undang-Undang No.3 tahun 2006 tentang

Perubahan atas Undang-Undang No.7 tahun 1989 tentang kewenangan

absolut Pengadilan Agama. Selain diharuskan memenuhi kompetensi

absolut, diharuskan juga memenuhi kompetensi relatif. Yang dimana

telah dijelaskan dalam Pasal 118 H.I.R. lembaga peradilan yang

berwenang mengadili suatu perkara perdata adalah Pengadilan Negeri

yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal tergugat (actor

sequitur forum rei). Sedangkan mengenai kasus perceraian, pengaturan

kewenangan relatif hanya tunduk pada aturan dalam Pasal 118 ayat (1)

H.I.R. selama tidak bertentangan dengan ketentuan Bab V Cara

Perceraian Peraturan Republik Indonesia No.9 Tahun 1975 tentang

Pelaksanaan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.47

Sedangkan jenis perkara yang menjadi wewenang atau

kekuasaan Peradilan Agama, yaitu menyangkut perkara perkawinan,

warisan, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infak, sedekah, dan ekonomi

syariah.48 Sebagaimana telah diatur dalam Pasal 49 sampai dengan 53

Undang-Undang No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah

diamandemen dengan Undang-Undang No.3 tahun 2006 hal tersebut

menjelaskan tentang wewenang dan kekuasaan mengadili yang

menjadi beban tugas Pengadilan Agama. Dengan begitu, cakupan

wewenang atau kekuasaan pengadilan tersebut sekaligus menunjukkan

47 Udhin Wibowo, “Tinjauan Hukum tentang Perpindahan Agama dalam Suatu

Perkawinan Beda Agama Terhadap Penentuan Kewenangan Absolut Pengadilan dalam

menangani Perkara Cerai”, (Depok: Skripsi, Universitas Indonesia, 2012) h.105, t.d.

48 Yang dimaksud dengan “Ekonomi Syariah” adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang

dilaksanakan menurut prinsip syariah, antara lain meliputi; bank syariah, lembaga keuangan mikro

syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah, reksa dana syariah, obligasi syariah dan surat

berharga berjangka menengah syariah, sekuritas syariah, pembiayaan syariah, pegadaian syariah,

dana pension lembaga keuangan syariah, dan bisnis syariah. (Ketentuan Umum, Angka 37 Pasal

49 huruf (i) Undang-Undang No.3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang No.7 Tahun

1989 tentang Peradilan Agama).

Page 48: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut

32

batasannya, sebagaimana badan peradilan khusus dalam

penyelenggaraan kekuasaan kehakiman.49

Mengenai hal itu, selain perkara dalam bidang yang telah

disebutkan diatas, maka berada di luar kewenangan lingkungan

Peradilan Agama. Sebagaimana telah diatur dalam Pasal 50 Undang-

Undang No.7 tahun 1989. Menurut penjelasan pasal itu, penyelesaian

terhadap obyek yang menjadi sengketa dimaksud tidak berarti

menghentikan proses peradilan di Pengadilan Agama atas obyek yang

tidak menjadi sengketa. Artinya, ketentuan tersebut merupakan pekara

pra yustisia yang biasa dalam proses peradilan. Sehingga tidak

mengurangi kemandirian Pengadilan Agama dalam memutus perkara.

Sedangkan yang dimaksud dengan sengketa mengenai hak milik atau

keperdataan lain dalam pasal tersebut, ialah sengketa dengan pihak

ketiga.50

Selanjutnya ditegaskan bahwa Peradilan Agama haruslah

menempuh cara-cara yang tidak menimbulkan kerusakan rohani dan

sosial bagi para keluarga yang mencari keadilan. Selain itu, Peradilan

Agama harus pula diarahkan sebagai lembaga preventif bagi

kemungkinan-kemungkinan timbulnya keretakan keluarga yang akan

menjurus kepada sengketa-sengketa keluarga. Demikian juga pada saat

pemeriksaan perkara di persidangan, harus menjaga suasana agar

benar-benar terciptanya rasa manusiawi dan kekeluargaan.51

2. Asas Personalitas Keislaman dalam Menangani Kasus Perceraian

Akibat Kawin Beda Agama

Inti daripada hukum terletak pada asas-asas yang kemudian

diformulasikan menjadi perangkat peraturan perundang-undangan. Dalam

49 A. Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenadamedia

Group, 2017) Cetakan Ke-3, h. 120-121

50 Cik Hasan Basri, Peradilan Agama di Indonesia,… h. 221-222

51 Sulaikin Lubis, dkk, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama,… h.111

Page 49: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut

33

Undang-Undang No.3 tahun 2006 tentang perubahan Undang-Undang No.7

tahun 1989 tentang Peradilan Agama terdapat delapan asas-asas umum

diantaranya asas personalitas keislaman. Dimana asas ini dapat diartikan

bahwa yang tunduk dan yang dapat ditundukkan pada kekuasaan

lingkungan Peradilan Agama hanya mereka yang mengaku dirinya sebagai

pemeluk Islam. Adapun penganut agama selain Islam tidak tunduk dan

tidak dapat dipaksakan tunduk pada kekuasaan Peradilan Agama.52

Asas ini diatur dalam Pasal 2 penjelasan umum angka 2 alinea

ketiga serta Pasal 49 ayat (1). Selain itu, dalam undang-Undang No.3 tahun

2006 perubahan atas Undang-Undang No.7 tahun 1989 tentang asas

personalitas keislaman dapat dijumpai beberapa penegasan yang melekat

menyertai asas tersebut, yakni:

a. Pihak-pihak yang bersengketa harus sama-sama beragama Islam.

b. Perkara perdata yang disengketakan harus mengenai perkara-perkara

yang termasuk dalam bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah,

wakaf, dan sedekah.

c. Hubungan hukum yang melandasi keperdataan tertentu tersebut

berdasarkan hukum Islam sehingga acara penyelesaiannya berdasarkan

hukum Islam.53

Dengan demikian, yang menjadi patokan pada penerapan asas

personalitas keislaman ini ialah didasarkan kepada patokan umum dan

patokan saat terjadinya hubungan hukum. Jika dilihat patokannya yang

umum, maka keislaman seseorang cukup diketahui dari faktor-faktor yang

melekat pada dirinya. Seperti mengaku beragama Islam, melihat identitas

yang dimiliki orang tersebut baik berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP),

SIM, atau tanda bukti lainnya.54

52 Juhaya S. Pradja, M.A., Hukum Acara Peradilan Agama di Indonesia,… h.146

53 Sulaikin Lubis, dkk, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama,… h.66

54 Jaenal Aripin, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia,…

h.349

Page 50: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut

34

Namun, menurut Prof Abdul Gani Abdullah yang dikutip oleh

Sulaikin Lubis dalam bukunya menyatakan bahwa, ketentuan Undang-

Undang No.7 tahun 1989 tentang asas personalitas keislaman lebih

menekankan kepada asas agama pihak pengaju perkara, tanpa melihat

agama dari pihak lawan. Jadi, dalam masalah perkawinan beda agama

apabila terjadi perceraian, maka stelsel hukum yang digunakan mengacu

pada hukum agama pemohon atau penggugat. Dengan begitu, apabila terjadi

perceraian maka hukum yang berlaku untuk menentukan pengadilan mana

yang berwenang bukanlah hukum yang melahirkan hubungan hukum

perkawinan, akan tetapi hukum yang ditunjuk oleh agama para pihak yang

bersangkutan.55

55 Sulaikin Lubis, dkk, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama,… h.67

Page 51: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut

35

BAB III

PENANGANAN PERKARA PERCERAIAN AKIBAT KAWIN BEDA

AGAMA

A. Kronologis Perkara Nomor 668/Pdt.G/2015/PN.Jkt.Sel

1. Duduk Perkara

Maria Clafita Witoko yang beralamat di daerah Pondok Jagung,

Serpong Utara, selanjutnya disebut sebagai Penggugat. Dan Arief Irdan

yang terakhir beralamat di daerah Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, yang

selanjutnya disebut sebagai Tergugat. Dahulu keduanya melangsungkan

dan terikat pada perkawinan yang sah menurut ketentuan hukum yang

berlaku di Indonesia pada Jumat, tanggal 1 November 2013, kemudian

dilangsungkan di hadapan Pendeta Samuel selaku pemuka agama Kristen

Protestan di GPDI Bethesda, Jakarta. Setelah berlangsungnya perkawinan

tersebut Penggugat dan Tergugat mendaftarkan perkawinannya ke Kantor

Catatan Sipil pada tanggal 7 November 2013, dalam Akta Perkawinan

Nomor 3275-KW-07112013-0020 yang dikeluarkan tanggal 20 November

2013.

Selanjutnya dari perkawinan tersebut Penggugat dan Teguga

dikaruniai 1 (satu) orang anak laki-laki yang bernama Arief Danaska

Asmuni lahir pada tanggal 10 Maret 2014, sebagaimana Akta Kelahiran

Nomor 14690/KLT/00-JS/2014. Tanggal 24 Juli 2014. Dan diketahui pula

bahwa saat awal perkawinan sampai dengan awal bulan November 2014

perkawinan Penggugat dan Tergugat berlangsung dengan rukun, saling

menyayangi dan dapat dikatakan harmonis. Namun, setelahnya hubungan

Penggugat dan Terguugat menjadi pasang surut dan terganggu

keharmonisannya dikarenakan sering terjadinya perselisihan dan

pertengkaran terus-menerus, yang menyebabkan perkawinannya tidak

sejalan lagi hal ini dirasakan sejak awal 2015.

Page 52: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut

36

Selain perelisihan dan pertengkaran yang terjadi, perilaku Tergugat

juga semakin kasar terhadap Penggugat dan anaknya, sejak bulan Mei 2015

Penggugat sudah pindah ke tempat orang tua Penggugat dan tidak tinggal

satu rumah dengan Tergugat. Untuk menyelamatkan jiwa atau psikis

Penggugat dan anaknya, maka pada bulan Agustus 2015 orang tua

Penggugat memutuskan pindah dan menetap sementara di Bali sambil

melanjutkan studi Penggugat di Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas

Udayana, sekaligus melanjutkan karirnya sebagai modelling. Dengan

demikian, Penggugat dan Tergugat sudah tidak berkomunikasi dengan baik

lagi.

Dengan begitu, hubungan perkawinan Penggugat dan Tergugat

sudah tidak dapat dipertahankan lagi dan sudah tidak sesuai dengan yang

diamanatkan dalam Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974.

Oleh sebab itu, sangatlah beralasan bagi Penggugat untuk mengajukan

gugatan perceraian terhadap Tergugat sebagaimana diperkenankan dalam

ketentuan Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975

tentang Pelaksanaan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan yang menyatakan bahwa perceraian dapat terjadi karena alasan

atau antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan

pertengkaran dan tidak ada harapan akan rukun lagi dalam rumah tangga.

Selanjutnya, hal ini perlu juga diberitahukan kepada Kantor Catatan

Sipil tentang berakhirnya perkawinan Penggugat dan Tergugat, agar

diterbitkan akta perceraian. Dan mengenai hak asuh anak, mengingat anak

Penggugat dan Tergugat masih balita, maka Penggugat memohon agar hak

asuh anaknya diberikan kepada Penggugat sebagai ibunya. Serta demi

kelangsungan masa depan anaknya, Penggugat memohon juga agar

Tergugat bertanggung jawab memberikan nafkah bagi anaknya sebesar Rp.

20.000.000,- (dua puluh juta rupiah).

Dengan demikian, Penggugat memohon kepada Majelis Hakim

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan agar dapat berkenan memutuskan

perkara dengan mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya, menyatakan

Page 53: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut

37

perkawinan antara Penggugat dan Tergugat sebagaimana telah tercatat pada

Kantor Catatan Sipil dan dalam Akta Perkawinan, telah dianggap putus

karena perceraian, memerintahkan kepada Panitera Pengganti agar

mengirim salinan putusan dan memberitahukan kepada pejabat Kantor

Catatan Sipil tentang berkahirnya perkawinan tersebut, agar segera

diterbitkan akta perceraian, menetapkan anak laki-laki yang bernama Arief

Danaska Asmuni yang masih balita berada di bawah hak asuh Penggugat,

dan memerintahkan Tergugat untuk memberikan nafkah kepada anaknya

sebesar Rp. 20.000.000 (dua puluh juta rupiah) sampai anak tersebut

tumbuh dewasa.

Setelah Penggugat mengajukan gugatannya tersebut, maka Tergugat

bersama kuasa hukumnya mengajukan jawaban di persidangan tertanggal 9

Februari 2015 sebagai berikut;

a. Dalam Eksepsi (Eksepsi Kompetensi Absolut)

Penggugat dan Tergugat melangsungkan perkawinan pada tanggal

1 November 2013 di Hotel Sol Marina, Tangerang di hadapan Pendeta

Samuel GPDI Bethesda, hanya sebagai bentuk resepsi perkawinan saja.

Penggugat dan Tergugat sudah terlebih dahulu melangsungkan

pernikahan secara Islam di hadapan Ustadz. Syafi’i, B.A. selaku

pemuka agama di daerah setempat dan melangsungkannya di rumah

Tergugat pada tanggal 23 Oktober 2013. Sebelumnya, Penggugat sudah

memeluk ajaran agama Islam pada tanggal 4 Oktober 2013. Sehingga

hal tersebut sudah sesuai berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang No.1

Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan perkawinan sah

apabila dilakukan menurut ajaran masing-masing agama dan

kepercayaan.1

Pada saat dilaksanakan perkawinan secara agama Islam, orang tua

Penggugat belum diberitahu karena kedua orang tua Penggugat

menentang Penggugat untuk masuk agama Islam dan memilih untuk

1 Pasal 2 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Page 54: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut

38

menikah secara Islam dengan Tergugat, dengan begitu, pernikhan yang

dilangsungkan di Hotel Sol Marina pada tanggal 1 November 2013

adalah keinginan orang tua Penggugat, sekaligus memberi kesan baik

untuk menyenangkan hati orang tua Penggugat. Kemudian, pencatatan

perkawinan di Kantor Catatan Sipil juga dilakukan semata-mata untuk

menjaga perasaan orang tua Penggugat.

Dikarenakan Penggugat dan Tergugat telah melangsungkan

perkawinan secara agama Islam, maka sudah seharusnya perkara cerai

ini diselesaikan di Pengadilan Agama, sebagaimana ketentuan dalam

Pasal 73 Undang-Undang No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama

yang telah diubah menjadi Undang-Undang No.3 Tahun 2006. Dengan

demikian, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tidak memiliki wewenang

untuk mengadili dan memutus perkara cerai tersebut.

b. Eksepsi dalam Pokok Perkara

Tidak benar bahwa perselisihan antara Penggugat dan Tergugat

dapat dianggap sebagai perselisihan yang terjadi secara terus-menerus.

Karena pada saat Penggugat meninggalkan rumah tempat kediaman

Penggugat dan Tergugat, kondisi hubungan rumah tangga mereka

masih dalam keadaan baik. Walaupun Penggugat dan anaknya tinggal

di Bali, setidaknya 1 pekan 1 kali Tergugat menjenguknya.

Dikarenakan orang tua Penggugat yang mengetahui bahwa

perkawinan tersebut dilaksanakan menurut agama Islam, orang tua

Penggugat selalu berusaha dengan berbagai cara untuk memisahkan

Penggugat dan Tergugat serta anaknya. Perselisihan yang terjadi antara

Penggugat dan Tergugat sebenarnya juga didasari oleh orang tua

Penggugat yang tidak menyetujui perkawinan tersebut.

Berdasarkan hal itu, maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada

alasan atau fakta bahwa Penggugat dan Tergugat telah berselisih, dan

akibat perceraian tersebut Tergugat tidak berhak lagi membiayai hidup

Penggugat, akan tetapi Tergugat akan memberikan nafkah kepada anak

Penggugat dan Tergugat sesuai dengan kemampuan Tergugat.

Page 55: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut

39

c. Dalam Rekonvensi

Sejak bulan Oktober 2015 sampai dengan gugatan aquo

disampaikan, Tergugat dalam Rekonvensi/Penggugat dalam Konvensi

tidak memberikan izin kepada Penggugat dalam Rekonvensi/Tergugat

dalam Konvensi untuk bertemu dengan anak laki-lakinya yang bernama

Arief Danaska Asmuni.

Jelas sekali bahwa memang orang tua Tergugat dalam

Rekonvensi/Penggugat dalam Konvensi bermaksud untuk memutus

hubungan antara anak laki-lakinya dan Penggugat dalam

Rekonvensi/Tergugat dalam Konvensi, hal tersebut juga didukung oleh

tindakan Tergugat dalam Rekonvensi yang tidak berani melawan

keinginan orang tua Tergugat dalam Rekonvensi terhadap hal tersebut.

Akibat dari tindakan Tergugat dalam Rekonvensi yang melarang

Penggugat dalam Rekonvensi untuk bertemu dengan anak laki-lakinya

itu, Penggugat dalam Rekonvensi tidak dapat melaksanakan

kewajibannya sesuai dengan Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang No.1

Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa kedua orang

tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.

Selanjutnya juga dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 23

Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak sebagaimana diubah oleh

Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 yang menyatakan bahwa setiap

anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh

oleh orang tua sendiri. Akan tetapi, hal tersebut tidak dapat

dilaksanakan, disebabkan Tegugat dalam Rekonvensi melarang

Penggugat dalam Rekonvensi untuk dapat mengurus buah hatinya

secara bersama-sama.

Dengan demikian, Tergugat dalam Rekonvensi haruslah bersikap

adil dalam memberikan akses dan mengizinkan Penggugat dalam

Rekonvensi untuk dapat emengasuh, memelihara, mendidik, dan

melindungi buah hatinya serta membantu perkembangan anaknya

sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minat buah hatinya, dengan cara

Page 56: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut

40

memberikan waktu setidaknya lima kali dalam satu minggu untuk

bertemu anak tersebut tanpa dibatasi oleh waktu.

Berdasarkan hal-hal tersebut, bagian dalam Eksepsi, Pokok

Perkara, maupun dalam Rekonvensi, Tergugat dalam

Konvensi/Penggugat dalam Rekonvensi telah memohon agar Majelis

Hakim yang memeriksa perkara aquo untuk dapat memutuskan hal-hal

tersebut sebagai berikut:

d. Dalam Eksepsi.

1) Menerima Eksepsi Tergugat untuk seluruhnya.

2) Menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima (niet

ontvankelijk verklaard).

e. Dalam Pokok Perkara.

1) Menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya.

2) Membebankan biaya perkara kepada Penggugat.

f. Dalam Rekonvensi.

1) Mengabulkan gugatan Rekonvensi yang diajukan oleh Penggugat

dalam Rekonvensi/Tergugat dalam Konvensi.

2) Menghukum Tergugat dalam Rekonvensi/Penggugat dalam

Konvensi untuk memberikan akses dan mengizinkan Penggugat

dalam Rekonvensi untuk mengasuh, memelihara, mendidik, dan

melindungi anaknya serta membantu tumbuh kembangnya dengan

cara memberikan waktu untuk bertemu setidaknya lima kali dalam

satu minggu tanpa dibatasi oleh waktu.

Dengan demikian, terhadap jawaban Tergugat tersebut. Penggugat

juga telah mengemukakan Repliknya tertanggal 16 Februari 2016, dan

Tergugat juga telah mengajukan Dupliknya tertanggal 1 Maret 2016,

serta sebagaimana termuat dan terlampir dalam Berita Acara

Persidangan karenanya dinyatakan telah cukup termuat dan turut

dipertimbangkan.

Jika melihat jawaban Tergugat tersebut dalam eksepsinya, yang

diantaranya menyangkut pembahasan Kompetensi Absolut. Sehingga

Page 57: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut

41

dengan eksepsi tersebut, Majelis Hakim telah mempertimbangkan

dengan putusan sela pada tanggal 29 Maret 2016 yang amarnya sebagai

berikut:

1) Menolak Eksepsi Kompetensi Absolut dari Tergugat.

2) Menyatakan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan berwenang

memeriksa dan mengadili perkara tersebut.

3) Memerintahkan Penggugat dan Tergugat untuk melanjutkan

pemeriksaan perkara ini.

4) Menangguhkan biaya perkara sampai putusan akhir.2

Selanjutnya, untuk membuktikan gugatannya itu benar adanya,

Penggugat diminta agar dapat memberikan bukti-bukti berupa surat dan

keterangan saksi pada saat persidangan, begitu pula dengan Tergugat.

Dalam keterangan saksi, orang tua Penggugat menyatakan bahwa

Penggugat benar beragama Kristen Protestan, dan Tergugat beragama

Kristen, keduanya telah menikah sirri secara Islam, dan melaksanakan

perkawinan sah secara Kristen di hadapan Pendeta Samuel GPDI

Bethesda, setelah mengajukan kesimpulan dari masing-masing pihak

pada tanggal 10 Mei 2016, Majelis Hakim menilai hal tersebut sudah

cukup untuk dapat dinyatakan dan turut dipertimbangkan dalam putusan

ini.

2. Pertimbangan Hakim

Di dalam gugatan tersebut, Tergugat telah mengajukan eksepsi yang

meliputi tentang Kompetensi Absolut Pengadilan Negeri Jakarta Selatan

tidak berwenang mengadili perkara cerai ini, dan sudah dijatuhkan putusan

sela pada tanggal 29 Maret 2016. Selain eksepsi tentang Kompetensi

Absolut Pengadilan Negeri, Tergugat juga menyinggung perihal nafkah

anak sebesar Rp. 20.000.000 sampai anak tersebut tumbuh dewasa dan

Tergugat merasa keberatan. Untuk itu, jika diperhatikan kembali dengan

2 Putusan Sela Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 668/Pdt.G/2015/PN.Jkt.Sel

Page 58: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut

42

melihat petitum dalam gugatan bahwa nafkah tersebut hanya semata-mata

demi kepentingan anaknya, maka eksepsi Tergugat harus ditolak.

Setelah Majelis Hakim mencermati gugatan Penggugat, maka dapat

disimpulkan bahwa Penggugat mengajukan gugatan cerai terhadap

Tergugat dengan alasan-alasan antara lain, sering terjadinya perselisihan

dan kekerasan fisik terhadap Penggugat. Akhirnya Penggugat memutuskan

untuk pindah dari rumah kediaman mereka sebelumnya, serta Penggugat

merasa kehidupan rumah tangganya dengan Tergugat tidak mungkin dapat

didamaikan. Kemudian hal tersebut dibuktikan melalui surat, serta

keterangan saksi dari pihak Penggugat.

Demikian juga dengan Tergugat dalam eksepsinya mengajukan

pokok perkara yakni, tidak benar adanya pertengkaran terus-menerus antara

Penggugat dan Tergugat, sesungguhnya hubungan keduanya berjalan

dengan baik. Akan tetapi, hal tersebut dirusak oleh orang tua Penggugat

yang berusaha untuk memisahkan Penggugat dan Tergugat. Oleh

karenanya, Tergugat juga telah mengajukan bukti surat yang didampingi

dengan keterangan saksi dari pihak Tergugat.

Dengan begitu, sebelum mempertimbangkan permintaan Pengguat

untuk bercerai dengan Tergugat, maka terlebih dahulu akan

dipertimbangkan apakah benar Penggugat dan Tergugat adalah suami istri

yang sah, yang melangsungkan perkawinan sesuai dengan ketentuan

Undang-Undang Perkawinan No.1 tahun 1974. Namun, jika dilihat dalam

Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan No.1 tahun 1974 menjelaskan bahwa

perkwinan sah apabila dilangsungkan menurut hukum masing-masing

agamanya dan kepercayaannya, begitu juga tiap perkawinan dicatat

menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Sehingga berdasarkan ketentuan pasal-pasal tersebut, untuk

mengetahui apakah perkawinan dapat dikatakan sah dan tercatat adalah

dengan adanya Akta Perkawinan, dan perkawinan Penggugat dengan

Tergugat merupakan perkawinan yang sah secara agama Kristen pada

tanggal 1 November 2013 dan dicatatkan melalui Kantor Catatan Sipil

Page 59: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut

43

dengan dikeluarkannya Akta Perkawinan pada tanggal 20 November 2013.

Kemudian perihal perkawinan yang dilakukan secara Islam, Tergugat tidak

dapat membuktikan tentang adanya perkawinan tersebut. Sebagaimana

yang dimaksud dalam Undang-Undang No.32 Tahun 1954 tentang

Pencatatan Nikah, Nikah, dan Rujuk.

Selanjutnya mengenai hak asuh anak yang diajukan dalam gugatan

Penggugat, melihat adanya bukti kekerasan fisik dari Tergugat terhadap

Penggugat, maka Majelis Hakim memberikan penetapan agar hak asuh

anak tersebut diberikan kepada Penggugat sebagai ibu kandungnya. Hal itu

berdasarkan Pasal 41 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 yang dapat

disimpulkan bahwa apabila terjadi perceraian, baik ayah atau ibu tetap

berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata demi

kepentingan anak, dan bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan

anak, maka pengadilan yang memberi keputusan. Dengan demikian

putusan ini diperimbangkan sesuai dengan Undang-Undang No.1 Tahun

1974 jo. Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 serta peraturan lain yang

bersangkutan.

3. Amar Putusan

a. Dalam Eksepsi

1) Menolak eksepsi dari Tergugat

b. Dalam Konvensi

1) Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya.

2) Menyatakan perkawinan antara Penggugat dan Tergugat yang

dilaksanakan pada tanggal 1 November 2013 di hadapan Pendeta

Samuel GPDI Bethesda sebagai pemuka agama Kristen, dan

dicatatkan pada Dinas Catatan Sipil pada tanggal 7 November 2013,

sesuai dengan Akta Perkawinan yang dikeluarkannya, dinyatakan

putus karena perceraian dengan segala akibat hukumnya.

3) Menyatakan anak Penggugat dan Tergugat yang bernama Arief

Danaska Asmuni yang lahir pada tanggal 10 Maret 2014 saat ini

Page 60: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut

44

masih di bawah umur, diserahkan pengasuhannya kepada Penggugat

sebagai ibu kandungnya.

4) Menghukum Tergugat untuk memberikan biaya hidup kepada

anaknya sebesar Rp. 3.000.000 (tiga juta rupiah) setiap bulannya.

5) Memerintahkan Panitera Pengganti Pengadilan Negeri Jakarta

Selatan atau pejabat yang ditunjuk untuk mengirimkan salinan

putusan ini yang telah berkekuatan hukum tetap, kepada Kantor

Catatan Sipil untuk mencatatkan perceraian tersebut dalam daftar

yang tersediakan untuk diterbitkan akta perceraian.

c. Dalam Rekonvensi

1) Menyatakan gugatan Penggugat Rekonpensi tidak dapat diterima.

2) Menghukum Tergugat Konvensi/Penggugat Rekonvensi untuk

membayar baiaya perkara sebesar Rp. 526.000 (lima ratus dua

puluh enam ribu rupiah).

Demikian putusan tersebut diputus dalam rapat musyawarah Majelis

Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, pada tanggal 31 Mei 2016.3

B. Kronologis Perkara Nomor 1377/Pdt.G/2016/PA.JS

1. Duduk Perkara

Arief Irdan, umur 30 Tahun, beragama Islam, selanjutnya sebagai

Pemohon, dan Maria Clafita Witoko, umur 20 Tahun, beragama Islam,

selanjutnya sebagai Termohon, diketahui dahulu telah melangsungkan

pernikahan secara syariat agama Islam pada 23 Oktober 2013. Kemudian,

perkawinannya diakhiri dengan cerai talak di Pengadilan Agama Jakarta

Selatan pada tanggal 03 Mei 2016.4

Dahulu Pemohon dan Termohon yang keduanya beragama Islam

telah melangsungkan perkawinannya tersebut di rumah Pemohon. Dan

diketahui juga bahwasanya Termohon merupakan seorang Mualaf yang

3 Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 668/Pdt.G/PN.Jkt.Sel, h. 27-28 4 Putusan ini (terlampir) oleh Pengadilan Agama Jakarta Selatan untuk dipublikasikan.

Karena itu selanjutnya penulis tidak merahasiakan identitas para pihak yang terkait dalam putusan

ini.

Page 61: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut

45

sebelumnya beragama Kristen, lalu bersyahadat pada tanggal 03 Oktober

2013 berdasarkan surat Pernyataan (P-1) dan diperkuat lagi dengan ikrar

syahadat sebagaimana Surat Keterangan (P-2) pada tanggal 04 Oktober

2013 di Masjid Ar-Ridho yang disaksikan oleh Pemohon, dan saksi-saksi

lainnya.

Pada saat itu, kedua orang tua Termohon masih memeluk agama

Kristen, hal itu menjadikan ijab kabul dipimpin oleh wali hakim yaitu

Ustadz H. Syafi’ie HSM, B.A., lalu dengan mahar emas kawin 6 (enam) gr

emas putih dan disaksikan oleh para saksi dari kedua belah pihak.

Sebagaimana yang diketahui bahwa dalam ajaran agama Islam, sebuah

pernikahan membutuhkan wali nikah dengan syarat-syarat sebagai berikut:

a. Muslim.

b. Seorang laki-laki.

c. Telah dewasa dan berakal.

d. Orang merdeka.

e. Adil.

f. Tidak sedang melakukan ihram haji.5

Kemudian, dalam Pasal 20 ayat (2) menjelaskan bahwa wali nikah

harus seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam, dan wali nikah

terdiri dari; wali nasab, dan wali hakim. Dan pada Pasal 23 ayat (1)

menyatakan bahwa seorang wali hakim baru bisa bertindak sebagai wali

nikah jika wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menjadi wali nikah atau

juga tidak diketahui tempat tinggalnya (ghaib) atau enggan menjadi wali

nikah (adhal).6 Dengan dimikian pernikahan tersebut telah memenuhi

syarat dan/atau tidak ada larangan untuk melangsungkan pernikahan karena

dianggap sudah sesuai dengan syariat Islam maupun peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

5 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia,… h. 76-77

6 Pasal 20 dan 23 Inpres No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.

Page 62: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut

46

Kemudian setelah menikah, Penggugat dan Tergugat bertempat

tinggal di daerah Kebayoran Lama Jakarta Selatan, selama pernikahan

mereka berlangsung, mereka telah dikaruniai seorang anak laki-laki yang

diberi nama Arief Danaska Asmuni lahir pada tanggal 10 Maret 2014

sebagaimana tertera dalam surat akta kelahiran (P-3).

Pernikahan yang telah berlangsung lama itu, tidak segera Pemohon

dan Termohon catatkan ke Kantor Urusan Agama setempat. Akhirnya

tanpa sepengetahuan Pemohon, orang tua Termohon sudah terlebih dahulu

mendaftarkan pernikahan Pemohon dan Termohon di Kantor Catatan Sipil

Kota Bekasi. Dalam melakukan pencatatan tersebut, orang tua Termohon

telah memalsukan dokumen yang isinya tidak sesuai dengan kenyataan.

Dokumen tersebut menyatakan bahwa identitas Pemohon adalah beragama

Kristen yang telah dibaptis di Gereja Kristen Alkitab Indonesia seperti

dalam bukti Surat Baptis (P-4).

Pada akhirnya Pemohon pun melakukan klarifikasi berdasarkan

dokumen-dokumen sebenarnya dan setelahnya pihak Gereja mengeluarkan

Surat Klarifikasi Baptis (P-5). Dengan pemalsuan dokumen dan identitas

itulah, Pemohon kemudian melaporkan tindakan tersebut ke Kepolisian

Resort Metro Jakarta Selatan sebagaimana Laporan Polisi Jakarta Selatan

tertanggal 10 Maret 2016 (P-6).

Dengan demikian, agar Pemohon dapat mengajukan permohonan

cerai talak, maka Pemohon terlebih dahulu mengajukan penetapan

pernikahan, yang selanjutnya dapat digunakan sebagai dasar untuk

mengajukan perceraian. Hal itu sebagaimana telah diatur dalam Pasal 7

ayat (3) huruf (a) Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menyatakan bahwa

itsbat nikah yang diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal

yang berkenaan dengan adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian

perceraian.7

7 Pasal 7 ayat (3) huruf (a) Inpres No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.

Page 63: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut

47

Selanjutnya, pada bulan Juni 2015, Termohon meminta izin kepada

Pemohon untuk kembali melanjutkan kuliahnya di Bali dengan membawa

buah hati mereka ikut bersama Termohon. Sebulan kemudian, Pemohon

pun mengetahui bahwa ternyata Termohon telah kembali kepada ajaran

agamannya yang dahulu (Murtad). Selain diketahui Murtad, Termohon juga

kedapatan selingkuh, sering meminum minuman yang memabukkan, dan

berpakaian tidak sopan hal itu dilihat langsung oleh Penggugat pada foto-

foto dalam telepon seluler Tergugat pada bulan Oktober 2015 (P-7).

Setelah itu, Pemohon juga sudah lama tidak tinggal dengan

Termohon, dikarenakan Pemohon telah diusir oleh Termohon. Dengan

alasan tersebut dan jarak yang terpisahkan itulah, Pemohon dan Termohon

sudah tidak dapat berkomunikasi dengan baik dan sering terjadi

pertengkaran diantara keduanya.

Timbulnya pertengkaran itulah yang menyebabkan hubungan ikatan

lahir batin antara Pemohon dan Termohon yang sebagaimana telah

diamanatkan dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan yaitu pada hakikatnya telah retak dan sudah tidak dapat

diharapkan rukun kembali sebagai kehidupan rumah tangga.8

Berdasarkan penjelasan di atas, jika tali perkawinan Pemohon dan

Termohon sudah tidak dapat disatukan kembali, dan kalaupun bersatu, akan

menimbulkan kemudharatan yang lebih besar, maka dari itu diperbolehkan

untuk memutus tali perkawinan tersebut. Sebagaimana telah dinyatakan

dalam Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975 tentang

Pelaksanaan Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang

memuat alasan-alasan perceraian yakni jika diantara suami istri terus-

menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran serta tidak ada harapan akan

hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Maka perceraian boleh saja

dilakukan.9

8 Pasal 1 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

9 Pasal 19 huruf f Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-

Undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

Page 64: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut

48

Sedangkan alasan-alasan tersebut juga diatur dalam Pasal 116 huruf

(f) dan huruf (k) Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyatakan bahwa jika

diantara suami istri sering kali terjadi perselisihan dan pertengkaran dan

tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Dan

Peralihan agama atau Murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak

rukunan dalam rumah tangga. Maka dengan demikian, perceraian boleh

dilakukan sebagai salah satu cara terakhir yang ditempuh. 10

Dengan perilaku buruk dan Murtadnya Termohon, maka Pemohon

merasa khawatir apabila buah hatinya berada di bawah pemeliharaan hak

asuh Termohon. Karena hal tersebut dapat menjadikan hal buruk dan

membahayakan Akidah serta Psikologis anak. Oleh sebab itu, Pemohon

meminta agar pemeliharaan hak asuh anaknya diberikan pada Pemohon.

Dalam Pasal 26 Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak menyebutkan bahwa, apabila orang tua yang

melalaikan kewajibannya atas pemeliharaan hak asuh anak, maka kuasa

asuh orang tua tersebut dapat dicabut. Hal itu juga dipertegas dalam Pasal

30 Undang-Undang No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.11

Berdasarkan uraian diatas, maka Pemohon memohon kepada

Majelis Hakim yang memutus perkara tersebut adalah untuk dapat;

mengabulkan permohonan Pemohon dan Termohon untuk seluruhnya.

Memberi penetapan perkawinan Pemohon dan Termohon pada tanggal 23

Oktober 2013 adalah sah. Menyatakan bahwa Kutipan Akta Perkawinan

No.3275-KW-07112013-0020 tertanggal 20 November 2013 tidak

mempunyai kekuatan hukum dikarenakan akta tersebut palsu. Kemudian,

memberikan izin kepada Pemohon untuk dapat menjatuhkan talak kepada

Termohon di hadapan sidang Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Serta

10 Pasal 116 huruf (f) dan huruf (k) Inpres No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum

Islam (KHI).

11 Pasal 26 Undang-Undang No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Page 65: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut

49

memberi penetapan hak asuh anak yang bernama Arief Danaska Asmuni

yang berumur 2 (dua) tahun jatuh kepada Pemohon.

Kemudian meminta juga agar Majelis Hakim Pengadilan Agama

Jakarta Selatan dalam hal ini yang memutus perkara dengan putusan yang

seadil-adilnya (ex aquo et bono).

2. Pertimbangan Hakim

Majelis hakim sebelum memutus perkara tersebut terlebih dahulu

memberi pertimbangan terhadap hal-hal yang diajukan oleh Pemohon

dalam permohonannya. Diantaranya, menimbang bahwa; sebelum

dimulainya persidangan, majelis hakim telah mencoba mendamaikan para

pihak. Akan tetapi, hal tersebut tidak berhasil, serta Termohon juga tidak

pernah hadir bahkan sampai saat proses mediasi.

Pada proses persidangan, Termohon tidak pernah hadir sama sekali.

Bahkan juga tidak mengutus orang lain sebagai wakil atau kuasanya untuk

hadir di persidangan. Padahal Termohon telah dipanggil secara patut oleh

Jurusita Pengganti Pengadilan Agama Jakarta Selatan, melalui alamat

Termohon yang sebenarnya. Sehingga dengan demikian, perkara aquo

diperiksa tanpa hadirnya Termohon.

Dengan melihat bukti-bukti berupa surat pernyataan, surat

keterangan dari Termohon yang menyatakan bahwa Termohon telah

memeluk agama Islam dan bukti foto pernikahan Pemohon dan Termohon

yang menyatakan bahwa benar Pemohon dan Termohon adalah pasangan

suami istri yang telah menikah pada tanggal 23 Oktober 2013. Namun,

pernikahannya tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA).

Selanjutnya, majelis hakim perlu menyesuaikan ketentuan

perundang-undangan seperti dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No.1

tahun 1974 yang menyatakan bahwa perkawinan itu sah apabila dilakukan

menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Sedangkan

dalam Pasal 14 Inpres No.1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam

yang menjelaskan bahwa rukun nikah terdiri dari 5 (lima); calon suami,

Page 66: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut

50

calon istri, wali nikah, dua orang saksi, serta ijab dan kabul. Dan

pernikahan tersebut sudah memenuhi rukun nikah.

Setelah menyesuaikan alat bukti dengan peraturan perundang-

undangan, selanjutnya majelis hakim mempertimbangkan fakta dari

keterangan saksi yang diajukan Pemohon di hadapan sidang, fakta tersebut

menyatakan bahwa Pemohon adalah seorang Muslim, dan Termohon

adalah seorang Muallaf yang pada saat itu telah bersyahadat sebelum

terjadinya pernikahan. Dikarenakan orang tua Termohon adalah pemeluk

agama Kristen, maka yang menjadi wali nikah bagi Termohon adalah wali

hakim yang bernama Ustadz H. Syafiie bin H. Satiri sebagai tokoh agama

di daerah setempat.

Kemudian, bahwa benar adanya pernikahan yang tidak dicatatkan di

Kantor Urusan Agama disebabkan kondisi mendesak dari orang tua

Termohon yang meminta untuk pernikahan tersebut segera diadakan acara

resepsi pernikahan Pemohon dan Termohon.

Oleh sebab itu, seperti halnya yang diamanatkan pada Pasal 7 ayat

3 huruf (a) Inpres No.1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam yang

menjelaskan bahwa itsbat nikah yang diajukan ke Pengadilan Agama

terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan adanya perkawinan

dalam rangka penyelesaian perceraian. Sehingga majelis hakim

berpendapat bahwa pernikahan tersebut dapat dinyatakan sah secara

hukum.12

Kemudian pada kasus perceraiannya, dikarenakan tidak hadirnya

Termohon di persidangan. Maka majelis hakim meminta agar Pemohon

memberikan bukti-bukti untuk memperkuat permohonannya dan Pemohon

sudah membuktikannya di hadapan majelis hakim dengan membawa alat

bukti dan para saksi.

Selain itu, mengenai pemalsuan identitas terhadap surat pencatatan

nikah yang dilakukan oleh orang tua Termohon, maka Pemohon

membantah pernyataan tersebut dengan memberikan bukti lain berupa

12 Pasal 7 ayat (3) huruf (a) Inpres No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam

Page 67: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut

51

Kartu Tanda Penduduk dengan kolom agama Islam dan Kartu Keluarga

Pemohon dan Termohon yang menyatakan bahwa Termohon berdomisili di

wilayah Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Oleh karenanya, Pemohon

telah tepat mengajukan permohonan tersebut sebab sesuai dengan wilayah

Yurisdiksi Pengadilan Agama Jakarta Selatan.

Selanjutnya, berdasarkan bukti foto-foto Termohon yang telah di

foto kopi oleh Pemohon, yang menjelaskan bahwa foto tersebut telah

menggambarkan sikap atau perilaku Termohon yang kurang pantas untuk

menjadi seorang muslimah, istri dan juga ibu bagi anaknya. Selain bukti

foto, terdapat bukti juga yang diungkapkan oleh para saksi saat di

persidangan. Keterangan tersebut menyatakan bahwa di antara Pemohon

dan Termohon juga sering terjadi pertengkaran dan keduanya sudah

berpisah tempat tinggal selama satu tahun. Sehingga dalil Pemohon

dipandang telah terbukti.

Berdasarkan bukti dan alasan-alasan dari Pemohon itulah, yang

menjadikan pertimbangan Majelis Hakim agar dapat melihat kembali

hakikat perkawinan dengan menjunjung tinggi keharmonisan rumah tangga

yang di dalamnya terdapat rasa cinta kasih seimbang secara timbal balik

antara suami istri, seperti yang diamanatkan dalam QS. ar-Rum ayat 21,

dan Pasal 1 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, serta

Pasal 3 Inpres No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Namun,

terhadap hubungan Pemohon dan Termohon sebagai suami istri terbukti

tidak seperti hakikat perkawinan yang telah dijelaskan sebelumnya.

Pemohon dan Termohon juga sudah tidak ada itikad baik untuk

memperbaiki rumah tangganya, dan berniat untuk berpisah. Meskipun

perceraian adalah sesuatu yang dibenci Allah, namun dengan melihat bukti-

bukti dan alasan yang diajukan Pemohon tersebut, maka rumah tangga

Pemohon dan Termohon hanyalah berisi kemudharatan dibandingkan

kemaslahatan bagi kedua belah pihak. Oleh karenanya, perkara ini

dianggap telah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku

khususnya dalam Pasal 19 huruf (f) PP Nomor 9 Tahun 1975 tentang

Page 68: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut

52

Pelaksanaan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo.

Pasal 116 huruf (f) Inpres No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum

Islam. Maka dari itu, permohonan Pemohon dapat diputus dengan tanpa

hadirnya Termohon di muka persidangan.

Dikarenakan perkawinan Pemohon dan Termohon tidak dicatatkan

di Kantor Urusan Agama (KUA), sehingga dengan demikian ketentuan

dalam Pasal 84 Undang-Undang No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan

Agama sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya dengan Undang-

Undang No.50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua, terkait dengan

pengiriman salinan putusan ke Kantor Urusan Agama (KUA) dianggap

tidak berlaku bagi perkara aquo.13

Selanjutnya, dikarenakan dari perkawinan tersebut Pemohon dan

Termohon telah dikaruniai anak laki-laki berumur 2 (dua) tahun yang

bernama Arief Danaska Asmuni, dan Pemohon juga meminta agar anak

tersebut dinyatakan anak sah secara hukum serta memohon untuk diasuh

dan dipelihara oleh Pemohon sebagai ayahnya. Maka setelah

mempertimbangkan bahwa benar perkawinan Pemohon dan Termohon itu

ialah perkawinan yang sah, sehingga anak yang lahir dari perkawinan

tersebut juga anak sah, sebagaimana diatur dalam Pasal 42 Undang-Undang

No.1 Tahun 1974 jo. Pasal 99 huruf (a) Inpres No.1 Tahun 1991 tentang

Kompilasi Hukum Islam, yang menyebutkan bahwa anak yang sah adalah

anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Oleh

karenanya, berdasarkan ketentuan perundang-undangan di atas. Maka anak

tersebut dapat dinyatakan sebagai anak sah dari perkawinan Pemohon dan

Termohon.

Secara normatif berdasarkan ketentuan Pasal 105 Inpres No.1

Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, menjelaskan bahwa dalam

hal perceraian, pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum

berumur 12 tahun adalah hak asuh ibunya. Namun, bila melihat syarat-

syarat seseorang yang berhak diberikan hak asuh anak, seperti yang

13 Pasal 84 Undang-Undang No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama

Page 69: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut

53

dijelaskan dalam kitab Kifayah al-Akhyar, juz II halaman 152 jo. Kitab al-

Iqna’ Fi Halli al-Fazhi Abi Syuja’, juz II halaman 195-196 adalah sebagai

berikut;

a. Berakal sehat.

b. Merdeka.

c. Beragama Islam/tidak murtad.

d. Menjaga kehormatan.

e. Dapat dipercaya.

f. Bertempat tinggal tetap/satu tempat kediaman dengan anak yang

diasuh.

g. Tidak bersuami/belum kawin lagi.

Berdasarkan Pasal 1 angka 11 Undang-Undang No.23 Tahun 2002

tentang Perlindungan Anak yang menyatakan bahwa kuasa asuh ialah

kekuasaan orang tua untuk mengasuh, mendidik, memelihara, membina,

melindungi, dan menumbuh kembangkan anak sesuai dengan agama yang

dianutnya dan kemampuan, bakat, serta minatnya. Dan apabila yang lebih

berhak dianggap tidak cakap atau gugur haknya, maka kedudukan hak asuh

anak dapat beralih kepada yang lainnya.14

Oleh sebab itu, dengan mempertimbangkan Termohon sebagai ibu

tidak dapat menjaga diri dari hal-hal buruk dan terindikasi murtad atau

kembali ke agamanya semula, serta dianggap telah gugur haknya untuk

memelihara anak. Maka hak asuh tersebut diberikan kepada Pemohon

sebagai ayahnya.

Selanjutnya, melihat bukti dan keterangan saksi dari Pemohon yang

menyatakan bahwa Termohon telah murtad dan berperilaku tidak baik

sebagai seorang ibu, jika hal tersebut dihubungkan dengan bukti foto kopi

KTP milik Termohon tahun 2014 yang mencantumkan identitas agama

adalah agama Islam sangat berbeda dengan bukti foto kopi registrasi online

periode Juli 2015 yang mencantumkan identitas agama Termohon adalah

14 Pasal 1 angka 11 Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Page 70: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut

54

Kristen Protestan. Hal ini menimbulkan bukti yang menandakan

ketidakmantapan Termohon dalam memeluk agama Islam, atau dengan

kata lain Termohon terindikasi murtad dari ajaran agama Islam.

Dengan ditetapkannya hak asuh anak kepada Pemohon, hal itu tidak

menjadi penghalang bagi Termohon untuk bertemu dengan anaknya. Selain

untuk memenuhi kepentingan Termohon dan anaknya, Termohon juga

dapat memberikan cinta kasih sepenuhnya untuk keseimbangan hidup anak

tersebut.

Kemudian, karena tuntutan Pemohon terkait Kutipan Akta Nikah

yang dikeluarkan oleh Kantor Catatan Sipil tertanggal 20 November 2013

untuk dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum tetap, ternyata tidak

didukung bukti-bukti yang kuat. Sehingga dengan begitu, tuntutan

Pemohon tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima.

Dikarenakan perkara ini termasuk dalam bidang perkawinan, maka

sesuai dengan yang diamanatkan dalam Pasal 89 ayat (1) Undang-Undang

No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang menyatakan bahwa agar

Pemohon menanggung biaya yang timbul dalam perkara ini.15

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, maka

permohonan Pemohon dapat dikabulkan sebagian dengan verstek16 dan

diktum dalam putusan ini disesuaikan dengan yang telah dipertimbangkan

oleh Majelis Hakim.

3. Amar Putusan

Dengan memerhatikan segala peraturan dan perundang-undangan

yang berlaku serta hukum syariat yang berhubungan dengan perkara

tersebut, maka Majelis Hakim memutus untuk;

15 Pasal 89 ayat (1) Undang-Undang No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama

16 Yang dimaksud dengan kata “verstek” ialah sebuah putusan yang dijatuhkan oleh

pengadilan dikarenakan tergugat tidak dapat hadir pada saat persidangan, sedang ia telah dipanggil

secara patut (Sunarto, Peran Aktif Hakim Dalam Perkara Perdata, (Jakarta: Kencana

Prenadamedia Group, 2014) Cetakan Ke-1, h. 143)

Page 71: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut

55

a. Menyatakan Termohon yang telah dipanggil secara resmi dan patut

untuk menghadap di persidangan, tidak hadir.

b. Mengabulkan permohonan Pemohon sebagian dengan verstek.

c. Menyatakan sah perkawinan Pemohon (Arief Irdan) dan Termohon

(Maria Clafita Witoko) yang dilaksanakan pada tanggal 23 Oktober

2013.

d. Menetapkan anak laki-laki yang bernama Arief Danaska Asmuni adalah

anak yang sah yang lahir pada tanggal 10 Maret 2013 dari perkawinan

Pemohon dan Termohon.

e. Memberi izin kepada Pemohon untuk menjatuhkan talak satu raj’I

terhadap Termohon di depan sidang Pengadilan Agama Jakarta Selatan

setelah putusan berkekuatan hukum tetap.

f. Menetapkan anak yang bernama Arief Danaska Asmuni, berada dalam

asuhan dan pemeliharaan Pemohon sebagai ayah kandungnya.

g. Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima selain dan

selebihnya.

h. Membebankan kepada Pemohon untuk membayar biaya perkara hingga

putusan ini diucapkan sejumlah Rp. 466.000,- (empat ratus enam puluh

enam ribu rupiah).17

Setelah putusan Pengadilan Agama Nomor 1377/Pdt.G/2016/PA.JS dan

putusan Pengadilan Negeri Nomor 668/Pdt.G/PN.Jkt.Sel berkekuatan hukum

tetap, akhirnya saudari Maria Clafita Witoko mengajukan perlawanan upaya

hukum Peninjauan Kembali18 terhadap putusan verstek dari Pengadilan Agama

tersebut ke Mahkamah Agung, dengan Nomor Perkara 110 PK/Ag/2017.

Menyatakan alasan-alasan sebagai berikut;

17 Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor 1377/Pdt.G/2016/PA.JS

18 Maksud kata “peninjauan kembali” berarti meninjau kembali putusan yang dijatuhkan

di luar hadirnya tergugat (verstek) dan merupakan suatu putusan akhir yang tidak lagi membuka

untuk mengajukan perlawanan apapun. (Hulman Panjaitan, Kumpulan Kaidah Hukum Putusan

Mahkamah Agung Republik Indonesia Tahun 1953-2008 Berdasarkan Penggolongannya, (Jakarta:

Kencana Prenadamedia Group, 2014) Cetakan Ke-1, h.169)

Page 72: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut

56

1) Duduk Perkara Pada Putusan Tingkat Pertama di Pengadilan Agama

Nomor 1377/Pdt.G/2016/PA.JS.

Pemohon Peninjauan Kembali yang dahulunya sebagai Termohon,

tidak mengetahui sama sekali adanya permohonan cerai talak yang

didaftarkan Termohon Peninjauan Kembali yang dahulunya sebagai

Pemohon dan juga tidak mengetahui adanya surat resmi panggilan

sidang dari Pengadilan Agama Jakarta Selatan, serta menegaskan

bahwa alamat yang ada dalam putusan Nomor 1377/Pdt.G/2016/PA.JS

itu adalah tidak benar, alamat tersebut hanya alamat selama pernikahan

Pemohon Peninjauan Kembali dan Termohon Peninjauan Kembali

rukun, setelah banyaknya pertengkaran Pemohon Peninjauan Kembali

sudah tidak tinggal di alamat tersebut.

Selanjutnya, Pemohon Peninjauan Kembali menolak semua tuduhan

yang ada dalam posita putusan Pengadilan Agama Nomor

1377/Pdt.G/2016/PA.JS yang diajukan Termohon Peninjauan Kembali,

dengan memberikan bukti-bukti yang kuat. Kemudian sebelum

Termohon Peninjauan Kembali mendaftarkan permohonan cerai talak

ke Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Pemohon Peninjauan Kembali

sudah terlebih dahulu mendaftarkan gugatan cerai terhadap Termohon

Peninjauan Kembali ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan

perkara Nomor. 668/Pdt.G/2015/PN.Jkt.Sel tertanggal 6 November

2015, dan telah diputus oleh Majelis Hakim yang memeriksa perkara

tersebut tertanggal 7 Juni 2016, dan juga pada saat proses persidangan

di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Termohon Peninjauan Kembali

selalu menghadirinya.

2) Dalam Eksepsi, Termohon Peninjauan Kembali telah melanggar

yurisdiksi (kompetensi) absolut;

Dalam permohonan cerai talak yang diajukan oleh Termohon

Peninjauan Kembali ke Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor

1377/Pdt.G/2016/PA.JS telah melanggar yurisdiksi atau kompetensi

absolut. Dikarenakan Pemohon Peninjauan Kembali adalah seorang

Page 73: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut

57

pemeluk agama Kristen Protestan, dan Pemohon Peninjauan Kembali

dan Termohon Peninjauan Kembali juga telah melangsungkan

pernikahan pada tanggal 1 November 2013 di Hotel Sol Marina

Tangerang, pernikahan tersebut dilaksanakan di hadapan Pendeta

Samuel dari GPDI jemaat Bethesda, berdsarkan Surat Pernikahan No.

186/GPDI-Bethesda/XI/2013, serta Pemohon Peninjauan Kembali dan

Termohon Peninjauan Kembali telah mencatatkan perkawinannya ke

Kantor Catatan Sipil daerah setempat, pada tanggal 7 November 2013

berdasarkan Surat Akta Perkawinan No. 3275-KW-07112013-0020

yang di keluarkan pada tanggal 20 November 2013.

Permohonan cerai talak yang diajukan oleh Termohon Peninjauan

Kembali ke Pengadilan Agama Jakarta Selatan adalah melanggar

kompetensi absolut, hal itu telah diatur dalam Pasal 2 jo. Pasal 49

Undang-Undang No.3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-

Undang No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang menyatakan

bahwa Pengadilan Agama adalah salah satu lembaga kekuasaan

kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai

perkara tertentu. Serta Pengadilan Agama juga berwenang untuk

mengadili, memutus, menyelesaikan perkara di tingkat pertama antar

orang-orang yang beragama Islam.19

3) Dasar hukum dan alasan diajukannya Peninjauan Kembali.

Upaya hukum peninjauan kembali merupakan upaya hukum pada

tingkat pertama dan terakhir, sebagaimana ketentuan Pasal 34 Undang-

Undang No.14 Tahun 1985 telah diubah dengan Undang-Undang No.5

Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung. Kemudian alasan-alasan

peninjauan kembali juga telah diatur dlam Pasal 67 Undang-Undang

No.14 Tahun 1985 telah diubah dengan Undang-Undang No.5 Tahun

2004 tentang Mahkamah Agung. Serta tenggang waktu dalam

mengajukan peninjauan kembali adalah sebagaimana ketentuan Pasal

19 Pasal 49 Undang-Undang No.3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang

No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama

Page 74: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut

58

69 Undang-Undang No.14 Tahun 1985 telah diubah dengan Undang-

Undang No.5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung.

Berdasarkan uraian di atas, maka Pemohon Peninjauan Kembali

mengajukan permohonan untuk menolak seluruh tuduhan dalam

permohonan cerai talak Termohon Peninjauan Kembali, dengan

memberikan bukti-bukti autentik.

Pertimbangan Hukum

Berdasarkan alasan-alasan peninjauan kembali tersebut dan setelah

membaca kontra memori peninjauan kembali serta putusan judex facti,

Mahkamah Agung memberi perimbangan sebagai berikut;

Terdapat novum yang dapat dibenarkan, dalam hal ini perkawinan

Pemohon Peninjauan Kembali dan Termohon Peninjauan Kembali

dilakukan secara Kristen pada tanggal 1 November 2013, dan telah

dicatatkan di Kantor Catatan Sipil tanggal 7 November 2013 sebagaimana

Kutipan Akta Perkawinan. Bahkan perkawinan tersebut juga telah

diceraikan atau diputus oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan

putusan Nomor 668/Pdt.G/2015/PN.Jkt.Sel. tanggal 7 Juni 2016 atas dasar

itu, maka Pengadilan Agama Jakarta Selatan tidak berwenang untuk

mengadili perkara a quo.

Oleh karena Pengadilan Agama Jakarta Selatan tidak berwenang

untuk mengadili perkara cerai ini, maka putusan dengan Nomor

1377/Pdt.G/2016/PA.JS tertanggal 9 Juni 2016, dan Penetapan Pengadilan

Agama dengan Nomor 1377/Pdt.G/2016/PA.JS tertanggal 21 Juli 2016,

serta Akta Cerai dengan Nomor 1467/AC/2016/PA.JS tanggal 21 Juli 2016

harus dibatalkan.

Berdasarkan pertimbangan di atas, menurut pendapat Mahkamah

Agung terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan peninjauan

kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali (Maria Clafita Witoko) dan

membatalkan putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor

1377/Pdt.G/2016/PA.JS, dengan memerhatikan pasal-pasal dari Undang-

Undang No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-

Page 75: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut

59

Undang No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah

diubah dengan Undang-Undang No.5 Tahun 2004 dan perubahan kedua

dengan Undang-Undang No.3 Tahun 2009, Undang-Undang No.7 Tahun

1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan Undang-

Undang No.3 Tahun 2006 dan perubahan kedua Undang-Undang No.50

Tahun 2009 serta peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan.

Mengadili:

a. Mengabulkan permohonan peninjauan kembali dari Pemohon

Peninjauan Kembali (Maria Clafita Witoko) tersebut.

b. Membatalkan putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor

1377/Pdt.G/2016/PA.JS tertanggal 9 Juni 2016, dan Penetapan

Pengadilan Agama dengan Nomor 1377/Pdt.G/2016/PA.JS tertanggal

21 Juli 2016, serta Akta Cerai dengan Nomor 1467/AC/2016/PA.JS

tanggal 21 Juli 2016.

Mengadili Kembali:

a. Menyatakan Pengadilan Agama Jakarta Selatan tidak berwenang

mengadili perkara ini.

b. Membebankan kepada Pemohon Peninjauan Kembali untuk membayar

perkara dalam pemeriksaan peninjauan kembali sejumlah Rp.

2.500.000,-(dua juta lima ratus ribu rupiah).20

20 Putusan Peninjauan Kembali Nomor 110 PK/Ag/2017

Page 76: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut

60

BAB IV

ANALISIS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA NO.

1377/Pdt.G/2016/PA.JS DAN PUTUSAN PENGADILAN NEGERI NO.

668/Pdt.G/2015/PN.Jkt.Sel

A. Analisis Mengenai Dasar Hukum Pertimbangan Hakim Tingkat Pertama

di Pengadilan Agama Nomor. 1377/Pdt.G/2016/PA.JS dan Pertimbangan

Hakim di Pengadilan Negeri Nomor. 668/Pdt.G/2015/PN.Jkt.Sel dalam

Memutus Perceraian Akibat Kawin Beda Agama

Sebelum mulai menganalisis, terlebih dahulu penulis mengulik pemaparan

alur cerita yang terjadi pada perkara dalam putusan tingkat pertama di

Pangadilan Agama Nomor. 1377/Pdt.G/2016/PA.JS dan putusan tingkat

pertama di Pengadilan Negeri Nomor. 668/Pdt.G/2015/PN.Jkt.Sel, dimana

dapat dipahami bahwasanya masalah tersebut membahas mengenai perceraian

akibat kawin beda agama yang terjadi pada dua lembaga peradilan dalam satu

tingkatan.

Pada putusan Nomor. 1377/Pdt.G/2016/PA.JS perceraian yang diajukan

kepada Pengadilan Agama, didasari oleh kehendak suami sebagai Pemohon

cerai talak. Mengenai perceraian yang terjadi di Pengadilan Agama,

suami/Pemohon menyatakan bahwa dirinya telah menikah dengan

istrinya/Termohon secara agama Islam, pada tanggal 23 Oktober 2013.

Awalnya Termohon adalah seorang yang beragama Nasrani kemudian

memeluk agama Islam sebelum menikah dengan Pemohon. Akan tetapi,

perkawinan tersebut belum sempat tercatatkan ke kantor Urusan Agama

(KUA). Oleh karenanya, Pemohon meminta untuk diberikan Penetapan

Pernikahan agar nantinya dapat digunakan sebagai dasar untuk mengajukan

perceraian, hal itu sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) huruf

(a) Kompilasi Hukum Islam.1

1 Lihat Pasal 7 ayat (3) huruf (a) Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menyatakan bahwa

“Itsbat Nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang

berkenaan dengan; adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian.”

Page 77: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut

61

Selanjutnya perihal perceraian, alasan Pemohon mengajukan cerai kepada

Termohon dikarenakan Termohon telah mengusir Pemohon dari rumah, dan

sering kali berpakaian tidak senonoh, mabuk-mabukan, juga diketahui

Termohon telah terindikasi murtad pada bulan juli 2015, dimana hal tersebut

menimbulkan perselisihan terus-menerus antara Pemohon dan Termohon.

Dengan demikian, Pemohon merasa bahwa dirinya sudah tidak mampu

lagi untuk mempertahankan perkawinannya dengan Termohon, dan Pemohon

menginginkan perceraian sebagaimana telah termaktub dalam ketentuan Pasal

19 huruf (f) Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan

Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,2 dan juga berdasarkan

Pasal 116 huruf (f) dan huruf (h) Kompilasi Hukum Islam (KHI).3 Oleh sebab

itu, Pemohon meminta kepada Majelis Hakim untuk dapat mengabulkan

permohonan seluruhnya dan menetapkan perkawinan antara Pemohon dan

Termohon pada tanggal 23 Oktober 2013 adalah sah.4

Kemudian, mengenai proses persidangan, Majelis Hakim telah berupaya

untuk mendamaikan kedua belah pihak berperkara, namun tidak berhasil

dikarenakan Termohon tidak pernah hadir pada saat persidangan, serta tidak

juga mengirimkan wakil atau kuasa hukumnya, padahal dirinya telah

dipanggil secara patut oleh Pengadilan Agama melalui Juru sita pengganti.

Oleh karenanya, Majelis Hakim memutus perkara ini dengan putusan verstek,

yakni berdasarkan Pasal 12 H.I.R.

Berdasarkan hal itu, Majelis Hakim tingkat pertama di Pengadilan Agama

memberikan pertimbangan hukum atas perkara tersebut dengan menyatakan

bahwa sebelum memberi pertimbangan terhadap permohonan cerai Pemohon,

2 Lihat Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan

Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa, “Perceraian

dapat terjadi karena alasan; antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan

pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.”

3 Lihat Pasal 116 huruf (f) dan huruf (h) Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyatakan

bahwa, “Perceraian dapat terjadi karena alasan-alasan; antara suami dan istri terus-menerus terjadi

perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga,

serta peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah

tangga.”

4 Putusan Pengadilan Agama Nomor. 1377/Pdt.G/2016/PA.JS, h.6

Page 78: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut

62

maka Majelis Hakim terlebih dahulu mempertimbangkan permohonan

Pemohon agar pernikahannya yang tidak tercatat di KUA dinyatakan sah

secara hukum. Oleh sabab itu, Majelis Hakim menyesuaikannya dengan

peraturan perundang-undangan khususnya Pasal 14 Inpres Nomor.1 Tahun

1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, dan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang

No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Melihat keterangan saksi dan alat bukti yang diajukan Pemohon pada saat

persidangan dan menyesuaikan ketentuan peraturan perundang-undangan

tersebut, selanjutnya Majelis Hakim memberi kesimpulan bahwa perkawinan

antara Pemohon dan Termohon telah memenuhi rukun dan syarat perkawinan

secara agama Islam, sehingga tidak dapat lagi menjadi penghalang terhadap

pengesahan perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian, sebagaimana

dimaksud Pasal 7 ayat 3 huruf (a) Inpres Nomor.1 Tahun 1991 tentang

Kompilasi Hukum Islam. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa

perkawinan tersebut sah secara hukum.5

Selanjutnya, mengenai perceraian Pemohon dan Termohon. Meskipun

Termohon tidak pernah hadir pada saat persidangan, akan tetapi untuk

membuktikan dalil dari Pemohon itu benar adanya, maka Majelis Hakim juga

perlu untuk menyesuaikan kembali hal tersebut dengan alat bukti dan

keterangan saksi, serta ketentuan Pasal 19 Peraturan Pemerintah No.9 Tahun

1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan, jo. Pasal 116 Inpres No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum

Islam.

Setelah melihat fakta-fakta tersebut, maka Majelis Hakim

mempertimbangkan bahwa benar adanya konflik antara Pemohon dan

termohon sehingga menjadikan hubungan rumah tangga mereka tidak dapat

terjalin dengan baik. Hal itu telah sesuai dengan ketentuan Pasal 19 huruf (f)

Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang

No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, jo. Pasal 116 huruf (f) Inpres No.1

5 Putusan Pengadilan Agama Nomor. 1377/Pdt.G/2016/PA.JS, h.14

Page 79: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut

63

Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Oleh karenanya, permohonan

Pemohon dapat dikabulkan.

Kemudian, berdasarkan bukti yang diajukan Pemohon berupa foto-foto

Termohon sedang berpakaian tidak senonoh, mabuk-mabukan, dan keterangan

saksi yang menyatakan bahwa Termohon telah murtad, maka jika hal tersebut

dihubungkan dengan alat bukti lain berupa fotokopi KTP Termohon Tahun

2014 yang mencantumkan identitas agama Islam, sangat berbeda dengan

fotokopi KTP Termohon pada Tahun 2015 yang mencantumkan agama

Kristen Protestan. Hal itu menimbulkan persangkaan bahwa adanya ketidak

mantapan Termohon dalam memeluk agama Islam, atau benar terindikasi

murtad. Meskipun demikian, dalam memeluk agama termasuk Hak Asasi

Manusia. Sehingga siapapun tidak dapat memaksakan orang lain untuk

menganut suatu agama.

Dengan demikian, maka Majelis Hakim tingkat pertama di Pengadilan

Agama memutus perkara tersebut dengan menyatakan bahwa; mengabulkan

permohonan Pemohon sebagian dengan verstek, menyatakan sah perkawinan

anatara Pemohon dengan Termohon yang dilaksanakan pada tanggal 23

Oktober 2013, memberi izin kepada Pemohon untuk menjatuhkan talak satu

raj’i terhadap Termohon di depan sidang Pengadilan Agama setelah putusan

berkekuatan hukum tetap, membebankan kepada Pemohon untuk membayar

biaya perkara tersebut.6

Selanjutnya, membahas pertimbangan hukum hakim dalam putusan

Pengadilan Negeri Nomor. 668/Pdt.G/2015/PN.Jkt.Sel. dimana putusan ini

telah lebih dahulu dikeluarkan, dari putusan Pengadilan Agama Nomor.

1377/Pdt.G/2016/PA.JS. Perkara cerai yang diajukan oleh istri/Penggugat

terhadap suaminya/Tergugat ini termasuk cerai gugat.

Penggugat mengajukann perceraiannya ke Pengadilan Negeri lantaran

merasa bahwa perkawinan antara Penggugat dan Tergugat yang terjadi pada

tanggal 01 November 2013 merupakan perkawinan yang sah secara agama

6 Putusan Pengadilan Agama Nomor. 1377/Pdt.G/2016/PA.JS, h.24

Page 80: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut

64

Nasrani/Kristen. Perkawinan tersebut dilangsungkan dihadapan Pendeta

selaku pemuka agama Kristen Protestan di salah satu Gereja daerah Jakarta.

Tidak hanya itu, perkawinan tersebut juga telah tercatat di Kantor Dinas

Kependudukan dan Pencatatan Sipil pada tanggal 07 November 2013,

sehingga perkawinan tersebut memiliki bukti kuat berupa Akta Perkawinan

Nomor. XXX yang di keluarkan pada tanggal 20 November 2013.7

Alasan lain dari Penggugat mengajukan perceraian terhadap Tergugat

yakni sejak awal tahun 2015 hubungan perkawinan antara Penggugat dan

Tergugat tidak lagi berjalan dengan baik, lantaran sering kali terjadi

perselisihan di antara keduanya. Padahal Penggugat telah berusaha untuk

dapat mempertahankan rumah tangga tersebut, akan tetapi kenyataannya kian

memburuk. Hal itu dikarenakan, Tergugat sering melakukan kekerasan fisik

terhadap Penggugat, dan semakin hari perilaku Tergugat kian beringas,

sehingga mengganggu kesehatan mental Penggugat. Oleh karenanya,

Penggugat memutuskan untuk tinggal di rumah orang tua Penggugat.

Setelah berusaha menyelamatkan diri dari kekerasan fisik yang dilakukan

Tergugat terhadap Penggugat, akhirnya sekitar bulan Agustus 2015

Penggugat beserta orang tuanya memutuskan untuk pindah dan menetap

sementara di Bali, sehingga Penggugat juga dapat melanjutkan kembali

studinya di salah satu Universitas di Bali dan merintis kembali karirnya di

dunia modelling. Dengan demikian, hubungan antara Penggugat dan Tergugat

secara tidak langsung kian merenggang.

Atas dasar itulah, maka Penggugat merasa bahwa rumah tangga antara

Penggugat dan Tergugat sudah tidak dapat lagi diperbaiki, dan Penggugat

menginginkan untuk bercerai sebagaimana diperkenankan dalam ketentuan

Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 tentang

Pelaksanaan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,

sehingga jika perceraian tersebut terjadi, maka hal tersebut juga perlu

diketahui oleh pejabat catatan sipil, yang nantinya akan dikeluarkan akta

perceraian. Dengan demikian, Penggugat meminta kepada Majelis Hakim

7 Putusan Pengadilan Negeri Nomor. 668/Pdt.G/2015/PN.Jkt.Sel, h.2

Page 81: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut

65

untuk mengabulkan gugatannya secara keseluruhan, serta memutus

perkawinan tersebut dan memerintahkan pejabat catatan sipil untuk

mengeluarkan akta cerai, serta membebankan biaya perkara kepada

Tergugat.8

Perihal gugatan dari Penggugat, maka Tergugat mengajukan Eksepsi9 di

persidangan yang menyatakan bahwa perkawinan yang dilangsungkan pada

tanggal 01 November 2013 di hadapan Pendeta dari salah satu Gereja yang

ada di Jakarta merupakan acara seremonial atau resepsi semata, bukan

merupakan akad nikah. Dikarenakan pada saat itu Penggugat dan Tergugat

telah lebih dahulu menikah secara agama Islam pada tanggal 23 Oktober

2013. Sebelum perkawinan berlangsung pun, Penggugat telah memeluk

agama Islam. Dengan demikian, secara tidak langsung perceraian tersebut

seharusnya diajukan kepada Pengadilan Agama sebagaimana telah sesuai

dengan Pasal 2 Undang-Undang No.1 Tahun 1974, jo. Pasal 73 Undang-

Undang No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah

diubah oleh Undang-Undang No.3 Tahun 2006. Oleh karenanya, Pengadilan

Negeri tidak berwenang untuk mengadili perkara tersebut.

Selanjutnya, Mejelis Hakim pun meminta kepada kedua belah pihak

berperkara untuk meneguhkan dalil-dalil tersebut dengan menghadirkan para

saksi dan alat bukti, sehingga dengan begitu Majelis Hakim dapat memberi

pertimbangan hukum atas perkara cerai yang diajukan.

Berdasarkan hal tersebut, Majelis Hakim tingkat pertama di Pengadilan

Negeri terlebih dahulu menyelesaikan Eksepsi yang diajukan oleh Tergugat

pada saat persidangan, dimana dikatakan bahwa Majelis Hakim tingkat

pertama Pengadilan Negeri tidak berwenanga mengadili perkara tersebut,

lantaran Penggugat dan Tergugat telah menikah secara Islam, maka dengan

8 Putusan Pengadilan Negeri Nomor. 668/Pdt.G/2015/PN.Jkt.Sel, h.5

9 Maksud kata “Eksepsi” adalah tangkisan atau pembelaan yang tidak menyinggung isi

surat tuduhan (gugatan), tetapi berisi permohonan agar pengadilan menolak perkara yang diajukan

penggugat karena tidak memenuhi persyaratan hukum. (ttp: Hisnul Muslim, Kamus Hukum)

Page 82: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut

66

demikian Majelis Hakim mengeluarkan putusan sela yang amarnya sebagai

berikut:

1. Menolak Eksepsi Tergugat Mengenai Kompetensi Absolut.

2. Menyatakan bahwa Pengadilan Negeri berwenang memeriksa dan

mengadili perkara ini.

3. Memerintahkan Penggugat dan Tergugat melanjutkan persidangan hingga

putusan akhir.10

Selanjutnya, perihal perceraian yang diajukan Penggugat, maka Majelis

Hakim berpegang teguh pada ketentuan Undang-Undang No.1 Tahun 1974

serta Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975, untuk itu Majelis Hakim

sebelum memutus perceraian tersebut, merasa perlu mempertimbangkan

apakah benar Penggugat dan Tergugat adalah suami-istri yang sah

sebagaimana ketentuan Pasal 2 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan, yang kemudian disesuaikan juga dengan ketentuan Pasal 2-9 dan

Pasal 11 Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975.

Setelah menyesuaikan alat bukti berupa Surat Pernikahan Nomor.XXX

yang dibuat oleh Pendeta di salah satu Gereja daerah Jakarta pada tanggal 01

November 2013, dan Akta Perkawinan Nomor.XXX yang di keluarkan oleh

Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil tanggal 20 November 2013, serta

keterangan saksi dan ketentuan pasal-pasal tersebut, maka Majelis Hakim

memberi kesimpulan bahwasanya perkawinan Penggugat dan Tergugat

merupakan perkawinan yang sah secara agama Kristen. Meskipun Tergugat

berdalil bahwa antara Penggugat dan Tergugat telah melangsungkan

perkawinan secara Islam, akan tetapi alat bukti berupa foto pernikahan dan

keterangan saksi yang diajukan Tergugat tidak dinilai kuat, dikarenakan

perkawinan tersebut belum tercatatkan secara resmi sebagaimana termaktub

10 Putusan Pengadilan Negeri Nomor. 668/Pdt.G/2015/PN.Jkt.Sel

Page 83: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut

67

dalam Undang-Undang No.32 Tahun 195 tentang Pencatatan Nikah, Nikah

dan Rujuk.11

Selanjutnya, Majelis Hakim telah berupaya mendamaikan kedua belah

pihak namun ternyata tidak berhasil. Dikarenakan Penggungat sudah tidak

mampu lagi membina rumah tangga dengan Tergugat, lantaran Tergugat

sering kali timbul perselisihan dan bersikap kasar, maka dengan demikian

Majelis Hakim mempertimbangkan alasan tersebut dengan memerhatikan alat

bukti berupa Surat KDRT yang dibuat oleh Polisi dan keterangan saksi yang

diajukan oleh Penggugat, dan benar terbukti bahwa antara Penggugat dan

Tergugat sering bertengkar dan Tergugat kerap kali bersikap kasar terhadap

Penggugat.

Berdasarkan uraian diatas, maka Majelis Hakim tingkat pertama di

Pengadilan Negeri memutus perkara tersebut dengan menyatakan bahwa;

dalam Eksepsi, menolak Eksepsi dari Tergugat. Dalam Konvensi;

mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya, menyatakan perkawinan

antara Penggugat dan Tergugat yang dilangsungkan di depan Pendeta sebagai

pemuka agama Kristen dan yang tercatatkan di Dinas Kependudukan dan

Catatan Sipil tersebut, telah terputus karena perceraian dengan segala akibat

hukumnya, memerintahkan Panitera Pengadilan Negeri untuk mengirimkan

salinan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap kepada Kantor Dinas

Kependudukan dan Catatan Sipil agar dapat diterbitkan Akta Perceraian.

Dalam Rekonvensi, menyatakan gugatan Penggugat Rekonvensi tidak dapat

diterima. Dalam Konvensi dan Rekonvensi, menghukum Tergugat

Konvensi/Penggugat Rekonvensi untuk membayar biaya perkara.12

Pada dasarnya, pertimbangan hakim merupakan salah satu aspek

terpenting dalam menentukan terwujudnya nilai-nilai dari suatu putusan

hakim yang mengandung nilai keadilan, dan kepastian hukum. Selain itu juga,

putusan hakim dapat bernilai manfaat bagi para pihak berperkara, sehingga

11 Putusan Pengadilan Negeri Nomor. 668/Pdt.G/2015/PN.Jkt.Sel, h.24

12 Putusan Pengadilan Negeri Nomor. 668/Pdt.G/2015/PN.Jkt.Sel, h.28

Page 84: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut

68

putusan hakim ini perlu disikapi dengan baik, teliti, dan cermat.13 Oleh sebab

itu, untuk mencapai nilai yang terkandung dari suatu putusan, maka hakim

memiliki peran yang begitu penting dalam rangka menemukan dan

membentuk suatu hukum.14

Berkaitan dengan putusan-putusan diatas, sebenarnya Majelis Hakim

tingkat pertama baik di Pengadilan Agama maupun di Pengadilan Negeri

telah melaksanakan apa yang diatur dalam hukum acara perdata, yakni

Majelis Hakim haruslah bersifat pasif. Dikarenakan tugas Majelis Hakim

hanya menerima, meninjau, menilai bahan-bahan yang disampaikan oleh para

pihak berperkara, kemudian mengambil keputusan atas dasar penilaian

terhadap bahan-bahan yang diajukan. Majelis Hakim hanya sekedar

membantu para pihak dalam mencari keadilan dan berusaha mengatasi

hambatan-hambatan serta rintangan yang terjadi.15

Selanjutnya, mengenai pertimbangan hukum hakim dalam putusan

Pengadilan Agama Nomor. 1377/Pdt.G/2016/PA.JS dan putusan Pengadilan

Negeri Nomor. 668/Pdt.G/2015/PN.Jkt.Sel terdapat hal yang menarik untuk

ditelaah, dimana dalam kedua putusan terdapat perbedaan pertimbangan

hakim dalam memutus perkara cerai tersebut. Dengan demikian, penulis akan

menganalisis pertimbangan tersebut dengan menggunakan pendekatan aliran

filsafat hukum.

Pada putusan Nomor. 1377/Pdt.G/2016/PA.JS, Majelis Hakim

menimbang bahwa alasan perceraian yang diajukan oleh Pemohon/suami

terhadap Termohon/istri ini hanyalah berdasarkan ketentuan Pasal 19 huruf

(f) Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-

Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, jo. Pasal 116 huruf (f) Inpres

13 Erisa Ardika Prasada,dan Andri Sapuan, “Pertimbangan Hakim Dalam Menetapkan

Hak Asuh Anak Akibat Perceraian Di Pengadilan Agama Kayuagung”, Jurnal Hukum Uniski,

Vol.6 No.1 Edisi Januari-Juni 2017, h. 37

14 Hamza Halim, Cara Praktis Memahami dan Menyusun Legal Audit dan Legal Opinion,

(Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2016) Cetakan Ke-2, h.174

15 Krisna Harahap, Hukum Acara Perdata Class Action, Arbitrase, Alternatif, serta

Mediasi, (Bandung: PT. Grafiti Bandung, 2007) Cetakan Ke-5, h.9

Page 85: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut

69

No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, dimana dalam ketentuan

tersebut sama sekali tidak menyinggung alasan perceraian karena perselisihan

Pemohon dengan Termohon yakni mengenai Termohon yang terindikasi

murtad. Padahal Pemohon telah mengajukan dengan alat bukti berupa KTP

milik Termohon serta keterangan saksi, untuk memperkuat dalil tersebut

sebagaimana ketentuan Pasal 116 huruf (h) Inpres Nomor.1 Tahun 1991

tentang Kompilasi Hukum Islam.

Setelah ditelaah lebih dalam oleh Majelis Hakim tingkat pertama di

Pengadilan Agama mengenai murtadnya Termohon dengan melihat beberapa

alat bukti baik itu KTP Termohon maupun keterangan saksi, maka Majelis

Hakim memberikan alasan dalam menyampingkan konteks murtad sebagai

indikator Pemohon untuk bercerai atas pertimbangannya tersebut, menurut

Majelis Hakim pada dasarnya setiap manusia dinilai bebas dalam memeluk

suatu agama, dan kembalinya Termohon kepada agama sebelumnya (Kristen)

termasuk kepada Hak Asasi dalam beragama yang dipilih oleh Termohon.

Berdasarkan hal itu, menurut kacamata penulis dalam menelaah

pertimbangan hukum Majelis Hakim tingkat pertama di Pengadilan Agama,

sepertinya Majelis Hakim telah menggunakan pendekatan realisme hukum16

(legal realism) dan ilmu hukum sosiologis17 (sosiological jurisprudence).

Sebab, dalam putusan Nomor. 1377/Pdt.G/2016/PA.JS Majelis Hakim

menyatakan alasan bahwa murtadnya Termohon termasuk pada Hak Asasi

dalam memeluk agama, sehingga dari pertimbangan tersebut terlihat bahwa

16 Yang dimaksud dengan kata “Realisme” adalah suatu paham atau ajaran yang selalu

bertolak dari kenyataan. (Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi Kelima, (ttp: Badan

Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemendikbud RI, 2016), sedangkan kata “Realisme

Hukum” berarti suatu studi tentang hukum sebagai sesuatu yang benar-benar secara nyata

dilaksanakan, dibandingkan hukum hanya sekedar peraturan yang termuat dalam undang-undang,

tetapi tidak pernah dilaksanakan. (Achmad Ali dan Wiwie Heryani, Sosiologi Hukum Kajian

Empiris Terhadap Pengadilan, (Jakarta: Prenada Media Group, 2014) Cetakan Ke-2, h.45)

17 Yang dimaksud dengan kata “Sosiologis” adalah sesuatu mengenai sosiologi; atau

menurut sosiologi, sedangkan kata “Sosiologi” adalah pengetahuan atau ilmu tentang sifat,

perilaku, dan perkembangan masyarakat; ilmu tentang struktur sosial, proses sosial dan

perubahannya. (Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi Kelima, (ttp: Badan Pengembangan

dan Pembinaan Bahasa, Kemendikbud RI, 2016)

Page 86: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut

70

Majelis Hakim sebagai pemegang peran penting dalam memutus suatu

perkara telah melakukan sebuah penemuan hukum (rechtvinding).

Hal itu dilakukan oleh Majelis Hakim semata-mata bukan dikarenakan

tidak adanya hukum yang mengatur (das sollen), melainkan Majelis Hakim

lebih mengupayakan lagi hukum tersebut dengan menggali dan menemukan

faktor lain melalui perilaku atau peristiwa yang terjadi di lingkungan

masyarakat (das sein). Artinya, hukum itu tidak selalu mengenai kaidah

hukum tertulis saja, akan tetapi dapat juga berupa tingkah laku masyarakat.18

Kendatipun banyak kaidah hukum yang mengatur mengenai murtad

sebagai alasan perceraian, ternyata Majelis Hakim lebih memilih untuk

meruntuhkan tembok pemisah antara hukum tersebut dengan ilmu-ilmu

sosial, sehingga peran Hakim tidak hanya dijadikan sebagai corong undang-

undang saja, melainkan Hakim diharap mampu menggali fakta-fakta tersebut

dari pemahaman hukum dalam lingkungan sosial, dikarenakan pada dasarnya

hukum haruslah berkembang sesuai dengan kepentingan masyarakat secara

menyeluruh.19

Oleh karenanya, murtad yang dijadikan Pemohon sebagai salah satu

alasan baginya untuk bercerai dengan Termohon, dan hal tersebut telah diatur

sebagaimana Pasal 116 huruf (h) Inpres No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi

Hukum Islam. Namun demikian, Majelis Hakim tetap kembali menggali dalil

pada perkara tersebut dengan melihat alat bukti dan fakta sosial yang terdapat

dalam kehidupan para pihak berperkara. Dengan begitu, semua aspek

pragmatis dan empiris dalam hukum merupakan suatu hal yang teramat

penting sebagai upaya mengembangkan penalaran hukum, agar kelak

18 Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum Upaya Mewujudkan Hukum yang Pasti

dan Berkeadilan, (Yogyakarta: UII Pres Yogyakarta, 2012) Cetakan Ke-4, h.53

19 Stjipto Rahadjo, Penegakan Hukum Progresif, (Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara,

2010) Cetakan Ke-1, h.183

Page 87: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut

71

pemikiran yuridis bisa lebih realistis, dan hukum juga dapat bernuansa

sosiologis.20

Selanjutnya, meskipun Hakim dianggap sebagai corong undang-undang

dan memiliki sifat mandiri, serta bebas dalam menemukan suatu hukum,

seperti yang termaktub dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang

No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.21 Akan tetapi tetap saja,

Majelis Hakim dirasa perlu untuk lebih teliti lagi dalam menggali petunjuk

ataupun keterangan yang secara nyata telah terbukti pada saat persidangan,

agar tidak menimbulkan masalah baru dalam putusan tersebut.22 Hal tersebut

sebagaimana telah diamanatkan juga dalam ketentuan Surat Edaran

Mahkamah Agung (SEMA) No.3 Tahun 2018, angka III Rumusan Hukum

Kamar Agama tentang Hukum Keluarga.23

Atas dasar itulah, maka menurut penulis sebaiknya Majelis Hakim tingkat

pertama di Pengadilan Agama diharap lebih teliti lagi pada saat menelaah

perkara tersebut, penulis berargumen bahwa meskipun perkawinan yang

terjadi antara Pemohon dan Termohon telah diitsbat nikahkan dan dijadikan

sebagai alat untuk bercerai, sebagaimana ketentuan Pasal 7 ayat (3) huruf (a)

Inpres Nomor.1 Tahun 1991. Akan tetapi, sepertinya dalam memutus

perkawinan yang dilakukan oleh kedua belah pihak berperkara bukanlah

diputus dengan talak satu raj’i, melainkan fasakh, hal itu sebagaimana

20 Achmad Ali, dan Wiwie Heryani, Sosiologi Hukum Kajian Empiris Terhadap

Pengadilan,…h.50 21 Lihat Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman yang menyatakan bahwa “Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti,

dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang gidup dalam masyarakat”.

22 Hasan Burhanuddin, dan Sugiono Harinanto Hukum Acara dan Praktik Peradilan

Perdata, (Bogor, Ghalia Indonesia, 2015) Cetakan Ke-1, h.127

23 Lihat Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No.3 Tahun 2018 angka III Rumusan

Hukum Kamar Agama tentang Hukum Keluarga, menegaskan bahwa “dalam mengadili

perceraian, Majelis Hakim hendaknya mempertimbangkan secara cukup dan seksama, sebab

perceraian itu akan mengakhiri lembaga perkawinan yang bersifat sakral, mengubah status hukum

dari halal menjadi haram, juga berdampak luas bagi struktur masyarakat dan menyangkut

pertanggung jawaban di dunia maupun di akhirat. Oleh karena itu, perceraian hanya dapat

dikabulkan jika perkawinan sudah percah (broken marriage) dengan indikator yang secara nyata

telah terbukti”.

Page 88: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut

72

pendapat dari jumhur ulama. Sedangkan menurut ulama lain seperti Abu

Laila, menyatakan bahwa perceraian yang terjadi karena riddah (Murtad)

salah seorang dari pasangan suami-istri, maka perceraiannya disebut sebagai

fasakh. Dikarenakan hukum perceraian tersebut dianggap serupa dengan

hukum larangan menikahi non-muslim, yakni keduanya terdapat perbedaan

agama.24

Kendatipun begitu, menurut penulis Majelis Hakim juga telah berusaha

mengupayakan diri untuk mencari solusi dalam memutus perkara tersebut

agar terciptanya nilai keadilan dan kemanfaatan bagi para pihak, sehingga

dapat diartikan bahwa dalam mencapai suatu keadilan, Majelis Hakim tidak

hanya memperolehnya dari peraturan perundang-undangan saja, melainkan

dapat dilihat berdasarkan fakta yang tumbuh dalam suatu tatanan kehidupan

sosial masyarakat.25

Selanjutnya, mengenai pertimbangan hukum hakim dalam putusan

Pengadilan Negeri Nomor. 668/Pdt.G/2015/PN.Jkt.Sel. jika diperhatikan pada

pemaparan alur cerita diatas, dapat dikatakan bahwa perceraian ini diajukan

oleh istri/Penggugat terhadap suami/Tergugat, dimana Penggugat menyatakan

alasan perceraian disebabkan perselisihan terus-menerus, dan kekerasan fisik

yang dilakukan oleh Tergugat. Kemudian dikarenakan Tergugat merasa

dirinya telah menikah secara agama Islam dengan Penggugat, maka Tergugat

mengajukan Eksepsi mengenai kompetensi abolut dan menyatakan Majelis

Hakim di Pengadilan Negeri tidak berwenang mengadili perkara tersebut.

Terlepas akan hal itu, Majelis Hakim juga telah mengeluarkan putusan

sela sebagaimana pemaparan diatas, yang intinya menolak eksepsi tergugat

mengenai kompetensi asbsolut, dan menolaknya dengan alasan pertimbangan

hukum atas perkawinan yang dilakukan antara Penggugat dan Tergugat

dengan menyesuaikan alat bukti berupa Surat Pernikhan dari Gereja, dan

24 Hasbi Ash-Shiddieqy, Hukum Antar Golongan dalam Fikih Islam, (Jakarta: Bulan

Bintang, 1971) h.83

25 Syarif Mappaisse, Logika Hukum Pertimbangan Putusan Haki, (Jakarta: Prenadamedia

Group, 2015) Cetakan Ke-1, h.85

Page 89: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut

73

Akta Perkawinan dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, serta

keterangan saksi yang diajukan Penggugat, dengan ketentuan Pasal 2

Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974, jo. Pasal 2-11 Peraturan

Pemerintah Nomor.9 Tahun 1975. Kemudian dikarenakan Tergugat tidak

dapat meneguhkan dalilnya dengan alat bukti, maka Majelis Hakim

menyatakan bahwa perkawinan antara Penggugat dan Tergugat telah sah

secara Kristen. Selanjutnya mengenai alasan perceraian Penggugat, Majelis

Hakim telah menyesuaikan alat bukti dengan ketentuan Peraturan Pemerintah

No.9 Tahun 1975, dan menyatakan petitum Penggugat dapat dikabulkan.

Berdasarkan hal itu, menurut kacamata penulis dalam menelaah

pertimbangan hukum hakim pada Pengadilan Negeri dalam putusan Nomor.

668/Pdt.G/2015/PN.Jkt.Sel. sepertinya Majelis Hakim telah menggunakan

pendekatan positivisme hukum,26 sebagai alat penalaran hukum dalam

memutus perkara tersebut, dimana jelas sekali terlihat pada saat memberi

pertimbangan hukum, Majelis Hakim banyak mengaitkan alat bukti dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan, artinya Majelis Hakim sangat

berpedoman terhadap peraturan tertulis dan kaidah hukum lainnya.

Dengan begitu, secara tidak langsung Majelis Hakim telah terikat untuk

menngunakan dan menerapkan hukum secara konsisten, serta tertutup bagi

Hakim untuk menambah dan mengurangi substansi suatu hukum dikarenakan

Hakim menilai bahwa peraturan tertulis dan kaidah hukum lainnya

merupakan sumber hukum yang dianggap sudah lengkap dan jelas dalam

mengatur segala persoalan sosial yang ada pada zamannya.27 Hal itu

sebagaimana diungkapkan oleh Hans Kelsen yang menyatakan bahwa hukum

26 Yang dimaksud dengan kata “Positivisme” adalah aliran filsafat yang beranggapan

bahwa pengetahuan itu semata-mata berdasarkan pengalaman dan ilmu yang pasti. (Kamus Besar

Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi Kelima, (ttp: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa,

Kemendikbud RI, 2016), sedangkan kata “Positivisme Hukum” adalah sauatu sistem filsafat yang

mengakui hanya fakta-fakta positif dan fenomena-fenomena yang bisa diobservasi. (Muhammad

Syukri Albani Nasution dan Zul Pahmi Lubis, Hukum Dalam Pendekatan Filsafat, Cetakan Ke-1,

h.106)

27 Ahmad Kamil, dan M. Fauzan, Kaidah-Kaidah Hukum Yurisprudensi, (Jakarta:

Kencana Prenadamedia Group, 2008) Cetakan Ke-3, h.28

Page 90: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut

74

harus dipisahkan dari segala unsur yang berperan dalam pembentukan

hukum, seperti sosiologi, sejarah, politik bahkan etika, karena baginya hukum

dipandang sebagai suatu system yang tetap, logis, dan tertutup.28

Padahal dalam perkembangannya, aliran positivisme hukum atau

legisme hukum ini sudah lama ditinggalkan. Karena dianggap tidak mampu

lagi memecahkan problem-problem hukum yang muncul. Meskipun kepastian

hukum dapat terwujud dengan adanya undang-undang, tetapi di sisi lain

undang-undang juga memiliki kelemahan, yaitu bersifat statis dan kaku,

sehingga terkadang tidak relevan dengan perkembangan kehidupan masyarakat

(Het recht hinkt achter de faiten aan) artinya suatu hukum tertulis senantiasa

tertinggal dari peristiwanya.29

Setelah melihat beberapa perbedaan dasar hukum pertimbangan hakim

dalam menangani perkara cerai tersebut, dan kemudian menganalisisnya

dengan menggunakan kacamata filsafat hukum, maka penulis beranggapan

bahwa hakikatnya setiap putusan yang dibuat oleh Majelis Hakim tidak ada

yang salah, hanya saja setiap Majelis Hakim memiliki pertimbangan dengan

landasan atau pedoman hukumnya masing-masing. Akan tetapi, yang menjadi

perhatian bagi penulis yakni pada putusan tingkat pertama di Pengadilan

Agama, dimana Majelis Hakim hanya sedikit menyentuh peraturan perundang-

undangan dalam putusannya, yang kemudian Majelis Hakim lebih menggali

kembali peraturan perundang-undangan tersebut dengan melihat fakta-fakta

sosial yang dibuktikan pada saat persidangan. Dengan begitu, Hakim dapat

dinyatakan sebagai corong hukum yang artinya tidak hanya melihat keadilan

dari sisi peraturan tertulis saja, melainkan juga melihat keadilan dari sisi

kehidupan sosial.30

28 Muhammad Syukri Albani Nasution dan Zul Pahmi Lubis, Hukum Dalam Pendekatan

Filsafat, (Jakarta: Prenada Media Group, 2016) Cetakan Ke-1, h.109

29 Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum Upaya Mewujudkan Hukum yang Pasti

dan Berkeadilan,…h.55

30 E. Fernando M. Manullang, Legisme, Legalitas, dan Kepastian Hukum, (Jakarta:

Prenada Media Group, 2016) Cetakan Ke-1, h. 98

Page 91: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut

75

B. Analisis Mengenai Terjadinya Dua Putusan dalam Penanganan Perkara

Cerai yang di Keluarkan Oleh Dua Lembaga Peradilan Pada Tingkat

Pertama di Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri

Pada dasarnya, hukum positif di Indonesia telah mengatur lembaga

peradilan mana yang berhak dan berwenang dalam menyelesaikan masalah

perceraian. Maka dari itu, sebagai subjek hukum masyarakat diharuskan

mengikuti dan menaati hukum yang berlaku di pengadilan. Kewenangan

mengadili atau kompetensi yurisdiksi pengadilan merupakan suatu wadah

untuk menentukan pengadilan mana yang berwenang memeriksa dan memutus

suatu perkara, sehingga pengajuan perkara tersebut dapat diterima dan tidak

ditolak dengan alasan pengadilan tidak berwenang mengadilinya.

Kewenangan mengadili termasuk syarat formil sahnya gugatan, sehingga

pengajuan perkara kepada pengadilan yang tidak berwenang mengadilinya

menyebabkan gugatan tersebut dapat dianggap keliru dan tidak dapat diterima

kerena tidak sesuai dengan kewenangan absolut atau kewenangan relatif suatu

pengadilan.31

Dilihat dari kasus posisi pada bab sebelumnya, bahwa permasalahan

yang timbul atas sengketa kewenangan mengadili antara Pengadilan Agama

dan Pengadilan Negeri, dimana penyebab terjadinya sengketa tersebut karena

terlaksanakannya perkawinan secara ajaran dua agama. Oleh sebab itu, penulis

ingin terlebih dahulu menganalisis masalah keabsahan perkawinan kedua belah

pihak, menurut pendapat ulama fikih dan undang-undang dalam hukum positif,

yang kemudian akan mengaitkannya terhadap kewenangan mengadili dari tiap-

tiap lembaga peradilan.

Diketahui bahwa sebelum melaksanakan perkawinan, kedua belah

pihak memang sudah berbeda keyakinan, yakni suami beragama Islam dan

Istrinya beragama Kristen. Dari ketentuan ajaran agama Islam, jika salah

seorang ingin melangsungkan perkawinan terdapat rukun dan syarat yang harus

31 Retnowulan sutantio, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, (Bandung:

Mandar Maju, 2005) h,11

Page 92: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut

76

terpenuhi, diantara rukun dan syarat tersebut adanya keharusan yang

menjelaskan bahwa kedua belah mempelai (calon suami dan calon istri)

termasuk orang-orang yang beragama Islam. Begitu pula dengan

diharuskannya menghadirkan wali, dan saksi nikah dari kalangan orang yang

beragama Islam. Hal itu sama seperti yang ditegaskan dalam Pasal 14 Inpres

No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.32

Selain itu juga, menurut para ahli hukum Islam dalam pernikahan itu

hanya terdapat kata nikah yang sah dan nikah yang batil. Akan tetapi, menurut

sebagian ahli hukum Islam yang lain, di antara dua hukum nikah tersebut

terdapat nikah fasid. Sebagaimana menurut Al-Jaziri yang dikutip melalui buku

Aulia Muthiah, menyatakan bahwa nikah fasid adalah nikah yang tidak

memenuhi syarat sahnya untuk melangsungkan perkawinan. Sedangkan nikah

batil, ialah perkawinan yang tidak memenuhi rukun nikah yang telah

ditetapkan oleh syara’ dan kedua bentuk perkawinan tersebut hukumnya tetap

tidak sah.33

Selanjutnya, mengenai masalah perkawinan beda agama pada kasus ini

sepertinya termasuk kepada bentuk orang-orang yang haram untuk dinikahi

dalam jangka waktu sementara, dengan artian bahwa laki-laki muslim dilarang

menikahi perempuan musyrik34, sampai wanita tersebut benar-benar mau

memeluk agama Islam. Hal itu juga berlaku bagi perempuan muslimah yang

hendak menikahi laki-laki musyrik. Sebagaimana telah diatur dalam QS. Al-

Baqarah: 221 yang berbunyi:

32 Aulia Muthiah, Hukum Islam Dinamika Seputar Hukum Keluarga,… h.62

33 Aulia Muthiah, Hukum Islam Dinamika Seputar Hukum Keluarga,… h.76-77

34 Yang dimaksud dengan kata “Musyrik” ialah orang yang memuja atau menyembah

berhala. (Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi Kelima, (ttp: Badan Pengembangan dan

Pembinaan Bahasa, Kemendikbud RI, 2016)

Page 93: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut

77

ر م حوا شركة ولو أعجب تكم وال ت نك ن م وال ت نكحوا المشركات حتى ي ؤمن ولمة مؤمنة خي

ر م ن مشرك ولو أع لى الن المشركين حتى ي ؤمن وا وال عبد مؤمن خي يدعو ار جبكم أول

وي ب ي ن ءاياته للن والله يدعوآ لى الجنة والمغفرة بإذنه ا لللمم ي تككرو

Artinya: “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum

mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin jauh lebih baik

daripada wanita musyrik, walaupun dia telah menarik hatimu. Dan janganlah

kamu menikahi laki-laki musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya

budak laki-laki yang mukmin jauh lebih baik dari laki-laki musyrik, walaupun

dia menarik hatimu. (Sebab) mereka mengajak ke neraka, sedang Allah

mengajak ke surge dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan

ayat-ayatnya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka

mengambil pelajaran.” 35

Berdasarkan penjelasan ayat di atas, perkawinan beda agama sangatlah

dilarang untuk dilakukan. Karena memiliki kemudharatan yang lebih besar,

dibandingkan kemaslahatan yang dapat diterima. Selain itu, proses pemurtadan

juga sering terjadi dalam perkawinan beda agama dengan dalih Hak Asasi

Manusia (HAM). Usaha lain yang ditempuh pemerintah dalam mengatasi

perkawinan beda agama, yakni dengan mengeluarkan Fatwa Majelis Ulama

Indonesia (MUI) Nomor. 4/MUNAS VII/MUI/8/2005, yang ditetapkan pada

tanggal 28 Juli 2005. Atas dasar Fatwa MUI inilah, maka diadopsi oleh

Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam Pasal 40 huruf c dan Pasal 44 yang

dirumuskan kembali dalam Pasal 33 huruf (c) dan Pasal 36 RUU-HM-

PABPrkwn Tahun 2007, menyatakan tentang larangan perkawinan antar

pemeluk agama yang berbeda.36

35 Abu Malik Kamal ibn Sayyid Salim, Fikih Sunnah Wanita, Penerjemah Firdaus,

(Jakarta: Qisthi Press, 2014) Cetakan Ke-2, h. 480

36 Neng Djubaidah, Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatatkan,… h.178

Page 94: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut

78

Selanjutnya atas dasar ketentuan tersebut, akhinya istri menyatakan diri

untuk memeluk agama Islam dan tunduk kepada ajaran agama Islam. Setelah

muallaf, akhirnya kedua belah pihak melangsungkan perkawinan secara agama

Islam dengan terpenuhinya rukun dan syarat perkawinan. Akan tetapi, jika

dilihat pada penjelasan bab sebelumnya, terdapat pernyataan bahwa

perkawinan tersebut belum memiliki bukti sah, pasalnya perkawinan tersebut

tidak tercatatkan pada Kantor Urusan Agama (KUA) sebagai lembaga yang

berwenang mencatatkan perkawinan bagi orang-orang yang beragama Islam,

guna mendapatkan bukti yang sah berupa Akta Perkawinan.

Sedangkan perkawinan yang dilangsungkan secara agama Kristen juga

dapat dinyatakan sah secara agama Kristen. Sebab, perkawinan tersebut

dilangsungkan di hadapan Pendeta sebagai pemuka agama Kristen serta

memiliki bukti sah berupa Surat Pernikahan dari Gereja dan Akta Perkawinan

yang dibuat karena telah tercatat oleh Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan

Sipil. Hal itu telah sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-

Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.37

Berdasarkan pemaparan di atas, analisis penulis terhadap kasus

perceraian akibat perkawinan beda agama dalam putusan ini yaitu terdapat

sebuah “penyelundupan hukum” dimana hal itu terjadi lantaran kedua belah

pihak telah menyelenggarakan perkawinan secara dua kali menurut masing-

masing agama, juga menjadikan salah satu pihak bersikap tunduk sementara

kepada salah satu agama yang dianut oleh pasangan lainnya. Penundukkan

sementara ini diperkuat dengan mengganti status agama yang dianut di dalam

KTP. Namun setelah perkawinan tersebut berlangsung, pasangan perkawinan

ini kembali pada ajaran agamanya semula. Hal itu dilakukan guna menghindari

ketentuan hukum negara agar para pihak tidak terikat pada aturan perkawinan

yang seharusnya berlaku bagi mereka. Akan tetapi, menurut Prof. Wahyono

37 Lihat Pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

yang menyatakan bahwa “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-

masing agamanya dan kepercayaannya, dan tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan

perundang-undangan yang berlaku”.

Page 95: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut

79

Darmabrata sebagaimana dikutip oleh Udhin Wibowo dalam penelitiannya

menyatakan bahwa, apabila perkawinan dilangsungkan secara dua kali (dua

agama), maka yang berlaku ialah perkawinan pada saat terakhir kali

dilakukan.38

Selanjutnya, untuk dapat menentukan alasan terjadinya dua putusan

yang di keluarkan oleh dua lembaga peradilan pada satu tingkatan, untuk itu

sepertinya akan mengulas sedikit mengenai kewenangan dari masing-masing

lembaga peradilan baik itu Pengadilan Agama maupun Pengadilan Negeri.

Sebagaimana telah penulis jelaskan pada bab sebelumnya, mengenai

atribusi cakupan dan batasan kekuasaan masing-masing lembaga peradilan.

Kekuasaan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum meliputi bidang

pidana umum, perdata adat, dan perdata barat. Badan yang menjalankannya

terdiri dari Pengadilan Negeri sebagai pengadilan tingkat pertama dan

Pengadilan Tinggi sebagai pengadilan tingkat banding.39 Sedangkan,

kekuasaan dalam lingkup Peradilan Agama mencakup bidang perdata tertentu

di kalangan orang-orang yang beragama Islam, yang dilakukan berdasarkan

hukum Islam. Selain itu juga, kekuasaan pengadilan pada masing-masing

lembaga peradilan terdiri atas kekuasaan relatif (relative competentie) dan

kekuasaan mutlak (absolute competentie).40

Landasan untuk menentukan kewenangan relatif Pengadilan Negeri

merujuk pada ketentuan Pasal 118 H.I.R. atau Pasal 142 R.Bg. yang kemudian

pasal tersebut dirujuk oleh Pasal 66 dan Pasal 73 Undang-Undang No.7 tahun

1989 tentang Peradilan Agama. Ketentuan kompetensi relatif tersebut bertitik

38 Udhin Wibowo, “Tinjauan Hukum tentang Perpindahan Agama dalam Suatu

Perkawinan Beda Agama Terhadap Penentuan Kewenangan Absolut Pengadilan dalam

menangani Perkara Cerai”… h.137, t.d.

39 Bambang Sugeng dan Sujayadi, Pengantar Hukum Acara Perdata dan Contoh

Dokumen Litigasi, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2012) Cetakan Ke-2, h.18

40 Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,

2003) Cetakan Ke-4, h. 217

Page 96: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut

80

tolak pada aturan yang menetapkan bahwa gugatan yang diajukan harus

memenuhi syarat formal.41

Selanjutnya mengenai kompetensi absolut Peradilan Agama yakni,

kewenangan yang menyangkut kekuasaan mutlak untuk mengadili suatu

perkara, dengan arti bahwa perkara tersebut hanya bisa diperiksa dan diadili

oleh Pengadilan Agama. Dalam istilah lain disebut dengan Atribut van

Rechsmacht. Kompetensi absolut atau wewenang mutlak juga sering dikenal

sebagai atribusi kekuasaan kehakiman. Adapun contohnya, perkara perceraian

bagi orang-orang yang beragama Islam dan perkawinannya dilakukan secara

Islam menjadi kewenangan absolut Pengadilan Agama. Sedangkan bagi orang-

orang yang bukan beragama Islam menjadi kekuasaan Peradilan Umum.42

Berdasarkan Undang-Undang No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan

Umum, kewenangan Peradilan Umum ialah kewenangan dalam mengadili

secara mutlak suatu perkara mengenai hukum pidana (umum dan khusus), dan

perdata serta peradilan niaga. Jadi, jelaslah bahwa peradilan umum memiliki

kompetensi absolut untuk mengadili perkara perdata yang dilakukan oleh

orang-orang sipil. Kecuali suatu peraturan perundang-undangan menentukan

lain.43

Sedangkan jenis perkara yang menjadi wewenang atau kekuasaan

Peradilan Agama, yaitu menyangkut perkara perkawinan, warisan, wasiat,

hibah, wakaf, zakat, infak, sedekah, dan ekonomi syariah.44 Sebagaimana telah

41 Juhaya S. Pradja, Hukum Acara Peradilan Agama di Indonesia, (Bandung: CV Pustaka

Setia, 2017), Cetakan Ke-1, h.120

42 Juhaya S. Pradja, Hukum Acara Peradilan Agama di Indonesia,… h.118

43 Zainal Asikin, Hukum Acara Perdata di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenadamedia

Group, 2016) Cetakan Ke2, h.83-85

44 Yang dimaksud dengan “Ekonomi Syariah” adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang

dilaksanakan menurut prinsip syariah, antara lain meliputi; bank syariah, lembaga keuangan mikro

syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah, reksa dana syariah, obligasi syariah dan surat

berharga berjangka menengah syariah, sekuritas syariah, pembiayaan syariah, pegadaian syariah,

dana pension lembaga keuangan syariah, dan bisnis syariah. (Ketentuan Umum, Angka 37 Pasal

49 huruf (i) Undang-Undang No.3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang No.7 Tahun

1989 tentang Peradilan Agama).

Page 97: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut

81

diatur dalam Pasal 49 sampai dengan 53 Undang-Undang No.7 tahun 1989

tentang Peradilan Agama yang telah diamandemen dengan Undang-Undang

No.3 tahun 2006 hal tersebut menjelaskan tentang wewenang dan kekuasaan

mengadili yang menjadi beban tugas Pengadilan Agama. Dengan begitu,

cakupan wewenang atau kekuasaan pengadilan tersebut sekaligus

menunjukkan batasannya, sebagaimana badan peradilan khusus dalam

penyelenggaraan kekuasaan kehakiman.45

Atas dasar itulah, penulis memberi kesimpulan bahwa perkara cerai

yang diajukan oleh kedua belah pihak, dimana pada akhirnya terdapat dua

putusan yang di keluarkan oleh kedua lembaga peradilan yakni Pengadilan

Agama dan Pengadilan Negeri, maka dari itu penulis akan menguraikannya

sebagai berikut;

1. Peradilan Umum berdasarkan Undang-Undang No.2 Tahun 1986 tentang

Peradilan Umum dan memutus perkara dalan hukum pidana (umum dan

khusus) dan perdata (umum dan niaga). Dikarenakan kedua belah pihak

telah melangsungkan perkawinan secara agama Kristen dan telah tercatat

di Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, maka perkawinan

tersebut dapat diputus oleh Pengadilan Negeri, sebab hal itu termasuk ke

dalam kompetensi absolut Pengadilan Negeri.

2. Peradilan Agama berdasarkan Undang-Undang No.3 Tahun 2006 tentang

Perubahan Undang-Undang No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama,

kompetensi absolut Peradilan Agama sebagaimana tercantum dalam Pasal

49 yaitu, memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara perkawinan,

waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syariah.

Disebabkan perkawinan antara kedua belah pihak juga telah dilaksanakan

secara agama Islam, meskipun perceraian tersebut diajukan ke Pengadilan

Agama dengan terlebih dahulu diitsbatkan pernikahannya yang

45 A. Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenadamedia

Group, 2017) Cetakan Ke-3, h. 120-121

Page 98: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut

82

selanjutnya dijadikan indikator untuk bercerai, maka dengan demikian

Pengadilan Agama juga berwenang untuk mengadili perceraian tersebut.

Berdasarkan kesimpulan diatas, maka kedua lembaga peradilan pada

tingkat pertama baik di Pengadilan Agama maupun di Pengadilan Negeri

sama-sama menganggap bahwa perkara tersebut termasuk pada kewenangan

mengadili/ kompetensi absolutnya. Dikarenakan perkawinan yang

dilangsungkan secara Islam, dapat diputus perceraiannya melalui Pengadilan

Agama, sedangkan perkawinan selain agama Islam, dapat diputus melalui

Pengadilan Negeri. Akhirnya, kedua lembaga peradilan tersebut pun sama-

sama mengeluarkan putusan atas kasus perecaraian ini. Meskipun begitu,

sebenarnya dalam perkara diatas, terdapat keputusan akhir dalam putusan

upaya hukum Peninjauan Kembali dimana putusan tersebut dapat

menentukan lembaga peradilan mana yang berwenang dalam mengadili kasus

cerai tersebut.

C. Analisis Mengenai Dua Putusan yang Mana dapat dianggap Berkekuatan

Hukum Tetap

Jika melihat kembali pada bab sebelumnya, penulis juga telah memasukan

putusan pada upaya hukum Peninjauan Kembali atas perkara tersebut, dimana

pengajuan upaya hukum ini dilakukan oleh istri, karena hal tersebut terdapat

novum (bukti baru) yang diajukan pada saat persidangan. Pengajuan

Peninjauan Kembali ini dilakukan sebab sebelum terjadinya perceraian

melalui Pengadilan Agama, kedua belah pihak telah resmi bercerai melalui

Pengadilan Negeri. Kemudian, untuk menelaah kewenangan absolut

pengadilan ini, Majelis Hakim Peninjauan Kembali menelaah kasus tersebut

dengan melihat kembali alat bukti autentik atas perkawinan kedua belah

pihak, dimana istri mengajukan alat bukti berupa Surat Pernikahan dari

Gereja, dan Akta Perkawinan yang di keluarkan oleh Dinas Kependudukan

dan Catatan Sipil, sedangkan suami hanya dapat membuktikan perkawinan

tersebut melalui foto-foto saat berlangsunya akad nikah.

Page 99: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut

83

Atas dasar pernyataan tersebut, Majelis Hakim pada upaya hukum

Peninjauan Kembali dalam memutus perkara ini telah melihat alat bukti yang

secara sah dan menguatkan pembuktian sebagaimana dengan pertimbangan

hukum Majelis Hakim tingkat pertama di Pengadilan Negeri, yang

menyatakan bahwa perkawinan tersebut adalah sah secara agama Kristen.

Dengan demikian, Majelis Hakim pada upaya hukum Peninjauan Kembali

menyatakan bahwa putusan Pengadilan Agama dapat dibatalkan, dikarenakan

perkara cerai ini sudah terlebih dahulu diajukan ke Pengadilan Negeri dengan

alasan perkawinan yang resmi tercatatkan di Dinas Kependudukan dan

Catatan Sipil. Oleh karenanya, hal tersebut bukan termasuk pada kewenangan

absolut (mengadili) Pengadilan Agama.46

46 Putusan Peninjauan Kembali Nomor. 110 PK/Ag/2017

Page 100: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut

84

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Mengenai kasus perceraian akibat kawin beda agama yang telah

dipaparkan dalam putusan Pengadilan Agama Nomor. 1377/Pdt.G/2016/PA.JS

dan putusan Pengadilan Negeri Nomor. 668/Pdt.G/2015/PN.Jkt.Sel. Maka pada

penelitian ini penulis dapat memberi kesimpulan, bahwa:

1. Pada putusan Nomor. 1377/Pdt.G/2016/PA.JS, Majelis Hakim menimbang

bahwa alasan perceraian yang diajukan oleh Pemohon/suami terhadap

Termohon/istri ini hanyalah berdasarkan perselisihan, dimana dalam

ketentuan tersebut sama sekali tidak menyinggung alasan perceraian karena

perselisihan Pemohon dengan Termohon yakni mengenai murtad. Padahal

Pemohon telah mengajukan dengan alat bukti berupa KTP milik Termohon

serta keterangan saksi, untuk memperkuat dalil tersebut sebagaimana

ketentuan Pasal 116 huruf (h) Inpres Nomor.1 Tahun 1991 tentang

Kompilasi Hukum Islam. Setelah ditelaah lebih dalam oleh Majelis Hakim

mengenai murtadnya Termohon dengan melihat beberapa alat bukti baik itu

KTP Termohon maupun keterangan saksi, maka Majelis Hakim

memberikan alasan dalam menyampingkan konteks murtad sebagai

indikator Pemohon untuk bercerai atas pertimbangannya tersebut, menurut

Majelis Hakim pada dasarnya setiap manusia dinilai bebas dalam memeluk

suatu agama, dan kembalinya Termohon kepada agama sebelumnya

(Kristen) termasuk kepada Hak Asasi dalam beragama yang dipilih oleh

Termohon. Oleh sebab itu, menurut kacamata penulis dalam menelaah

pertimbangan hukum Majelis Hakim tingkat pertama di Pengadilan Agama,

mengenai alasan menyampingkan konteks murtad sebagai alasan

perceraian dan menganggapnya sebagai Hak Asasi dalam beragama,

sepertinya Majelis Hakim telah menggunakan pendekatan realisme hukum

dan ilmu hukum sosiologis (sosiological jurisprudence).

Page 101: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut

85

2. Sedangkan mengenai pertimbangan hukum hakim dalam putusan

Pengadilan Negeri Nomor. 668/Pdt.G/2015/PN.Jkt.Sel. jika diperhatikan

pada pemaparan alur cerita diatas, dapat dikatakan bahwa perceraian ini

diajukan oleh istri/Penggugat terhadap suami/Tergugat, dimana Penggugat

menyatakan alasan perceraian disebabkan perselisihan terus-menerus, dan

kekerasan fisik yang dilakukan oleh Tergugat. Kemudian dikarenakan

Tergugat merasa dirinya telah menikah secara agama Islam dengan

Penggugat, maka Tergugat mengajukan Eksepsi mengenai kompetensi

abolut dan menyatakan Majelis Hakim di Pengadilan Negeri tidak

berwenang mengadili perkara tersebut. Terlepas akan hal itu, Majelis

Hakim juga telah mengeluarkan putusan sela sebagaimana pemaparan

diatas, yang intinya menolak eksepsi tergugat mengenai kompetensi

asbsolut, dan menolaknya dengan alasan pertimbangan hukum atas

perkawinan yang dilakukan antara Penggugat dan Tergugat dengan

menyesuaikan alat bukti berupa Surat Pernikhan dari Gereja, dan Akta

Perkawinan dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, serta keterangan

saksi yang diajukan Penggugat, dengan ketentuan Pasal 2 Undang-Undang

Perkawinan Tahun 1974, jo. Pasal 2-11 Peraturan Pemerintah Nomor.9

Tahun 1975. Kemudian dikarenakan Tergugat tidak dapat meneguhkan

dalilnya dengan alat bukti, maka Majelis Hakim menyatakan bahwa

perkawinan antara Penggugat dan Tergugat telah sah secara Kristen.

Selanjutnya mengenai alasan perceraian Penggugat, Majelis Hakim telah

menyesuaikan alat bukti dengan ketentuan Peraturan Pemerintah No.9

Tahun 1975, dan menyatakan petitum Penggugat dapat dikabulkan.

Berdasarkan hal itu, menurut kacamata penulis dalam menelaah

pertimbangan hukum hakim pada Pengadilan Negeri dalam putusan

Nomor. 668/Pdt.G/2015/PN.Jkt.Sel. sepertinya Majelis Hakim telah

menggunakan pendekatan positivisme hukum, sebagai alat penalaran

hukum dalam memutus perkara tersebut.

3. Mengenai kewenangan absolut lembaga peradilan, maka seharusnya

perkawinan yang dilangsungkan secara Islam, dapat diputus perceraiannya

Page 102: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut

86

melalui Pengadilan Agama, sedangkan perkawinan selain agama Islam,

dapat diputus melalui Pengadilan Negeri. Meskipun begitu, sebenarnya

dalam kasus ini terdapat keputusan akhir yakni putusan dari upaya hukum

Peninjauan Kembali yang menyatakan bahwasanya membatalkan putusan

Pengadilan Agama dan menganggap bahwa perkara tersebut menjadi

kewenangan absolut Pengadilan Negeri.

B. Saran-saran

1. Adapun saran dari penulis terhadap putusan Majelis Hakim tingkat pertama

di Pengadilan Agama, yakni agar para Hakim dapat lebih bersikap teliti

dalam memutus dan mengadili suatu perkara, terutama pada kasus

perceraian, serta lebih memerhatikan lagi indikator yang secara nyata telah

terbukti dalam persidangan. Agar putusan yang dihasilkan tidak menambah

masalah baru untuk kedepannya. Hal itu sebagaimana termaktub dalam

Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No.3 Tahun 2018, angka III

Rumusan Hukum Kamar Agama tentang Hukum Keluarga yang

menegaskan bahwa dalam mengadili perkara perceraian, Majelis Hakim

hendaknya mempertimbangkan secara cukup dan seksama, karena

perceraian itu akan mengakhiri lembaga perkawinan yang bersifat sakral,

mengubah status hukum dari halal menjadi haram, berdampak luas bagi

struktur masyarakat dan menyangkut pertanggung jawaban di dunia bahkan

akhirat, oleh karena itu perceraian hanya dapat dikabulkan jika perkawinan

sudah pecah (broken marriage) dengan indikator yang secara nyata telah

terbukti.

2. Kemudian, berkaitan dengan peraturan perkawinan beda agama dalam

Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, penulis

menyarankan agar kedepannya pengaturan dalam Undang-Undang No.1

Tahun 1974 hendaknya dirumuskan pasal baru yang secara tegas

membahas mengenai persoalan perkawinan beda agama agar dapat

terakomodasikan dalam bentuk peraturan tertulis yang secara tegas

melarang terjadinya perkawinan beda agama, dimana hal tersebut juga

mampu mengupayakan pencegahan dari tindakan penyelundupan hukum

Page 103: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut

87

yang kerap kali dilakukan oleh para pelaku perkawinan tersebut akibat

timbulnya multi tafsir dari peraturan tersebut.

3. Agar tidak terjadi lagi dualisme kewenangan pengadilan dalam penanganan

perceraian karena dua kali perkawinan, serta tidak ada lagi konflik hukum

mana yang akan berlaku dalam keluarga setelah perkawinan, maka

hendaknya dilakukan penyempurnaan system administrasi yang ada baik

pada Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil maupun Kantor

Urusan Agama. Sehingga jika terdapat perkawinan yang sudah tercatatkan

pada salah satu lembaga pencatatan nikah, tidak dapat lagi dibatalkan

dengan alasan lainnya.

Page 104: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut

88

DAFTAR PUSTAKA

A. Referensi Buku

Ali Achmad dan Heryani Wiwie, Sosiologi Hukum Kajian Empiris Terhadap

Pengadilan, (Jakarta: Prenada Media Group, 2014).

Asikin Zainal, Hukum Acara Perdata di Indonesia, (Jakarta: Kencana

Prenadamedia Group, 2016).

Asmayani Nurul, Perempuan Bertanya, Fikih Menjawab (Jakarta: PT

Gramedia Pustaka Utama, 2018).

Asmin, Status Perkawinan Antar Agama, (Jakarta: PT. Dian Rakyat, 1986).

Ash-Shiddieqy Hasbi, Hukum Antar Golongan dalam Fikih Islam, (Jakarta:

Bulan Bintang, 1971).

Aripin Jaenal, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di

Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2008).

Bisri Cik Hasan, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo

Persada, 2003).

Dahwal Sirman, Perbandingan Hukum Perkawinan, (Bandung: Mandar

Maju, 2017).

Djalil Basiq. A., Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana

Prenadamedia Group, 2017).

Djubaidah Neng, Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat,

(Jakarta: Sinar Grafika, 2010).

Hadikusuma Hilman, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan,

Hukum Adat, Hukum Agama, (Bandung: Mandar Maju, 2007).

Halim Hamzah, Cara Praktis Memahami dan Menyusun Legal Audit dan

Legal Opinion, (Jakarta: Kencana Pranadamedia Group, 2016).

Harahap Krisna, Hukum Acara Perdata Class Action, Arbitrase, Alternatif,

serta Mediasi, (Bandung: PT. Grafiti Bandung, 2007).

Page 105: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut

89

Harahap M. Yahya, Hukum Acara Perdata Gugatan, Persidangan,

Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, (Jakarta: Sinar

Grafika, 2014).

Hasan Burhanuddin dan Sugiono Harinanto, Hukum Acara Dan Praktik

Peradilan Perdata, (Bogor, Ghalia Indonesia, 2015).

Huijbers Theo, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, (Yogyakarta: PT

Kanisius, 1982).

Ibn Sayyid Salim Abu Malik Kamal, Fikih Sunnah Wanita, Penerjemah

Firdaus, (Jakarta: Qisthi Press, 2014).

Jahar Asep Saepudin, dkk., Hukum Keluarga, Pidana, dan Bisnis, (Jakarta:

Kencana Prenadamedia Group, 2013).

Kamil Ahmad dan Fauzan M., Kaidah-Kaidah Hukum Yurisprudensi,

(Jakarta: Kencana Pranadamedia Group, 2008).

Kelsen Hans, Introduction To The Problems of Legal Theory, Penerjemah

Purwandari Siwi, Pengantar Teori Hukum, (Bandung: Nusa Media,

2010).

Lubis Sulaikin, dkk., Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia,

(Jakarta; Kencana Prenadamedia Group, 2008).

Manullang E. Fernando M., Legisme, Legalitas, dan Kepastian Hukum,

(Jakarta: Prenada Media Group, 2016).

Mappiasse Syarif, Logika Hukum Pertimbangan Putusan Hakim, (Jakarta:

Prenadamedia Group, 2015).

Muthiah Aulia, Hukum Islam Dinamika Seputar Hukum Keluarga,

(Yogyakarta: Pustaka Baru Press, 2017).

Panjaitan Hulman, Kumpulan Kaidah Hukum Putusan Mahkamah Agung

Republik Indonesia Tahun 1953-2008 Berdasarkan Penggolongannya,

(Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2014).

Rambe Ropaun, Hukum Acara Perdata Lengkap, (Jakarta: Sinar Grafika,

2013).

Sutantio Retnowulan, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek,

(Bandung: Mandar Maju, 2005)

Page 106: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut

90

Syarifuddin Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana

Prenadamedia Group, 2014).

Tholabi Kharlie Ahmad, Hukum Keluarga Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika,

2013).

Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Progresif, (Jakarta: PT. Kompas Media

Nusantara, 2010).

Simanjuntak P.N.H., Hukum Perdata Indonesia, (Jakarta: Kencana

Prenadamedia Group, 2015).

Sugeng Bambang dan Sujayadi, Pengantar Hukum Acara Perdata dan

Contoh Dokumen Litigasi, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group,

2012).

Sunarto, Peran Aktif Hakim Dalam Perkara Perdata, (Jakarta: Kencana

Prenadamedia Group, 2014).

Surakmad Winarno, Pengantar Penelitian Ilmiah, (Bandung: Tarsito, 1985).

Sutiyoso Bambang, Metode Penemuan Hukum Upaya Mewujudkan Hukum

yang Pasti dan Berkeadilan, (Yogyakarta: UII Pres Yogyakarta, 2012).

Soekanto Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta, Universitas

Indonesia, 1986).

Soekanto Soerjono dan Mamudji Sri, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta:

Raja Grafindo Persada, 2004).

Soemin Soedharyo, Hukum Orang dan Keluarga, (Jakarta: Sinar Grafika,

2002).

Soeroso, Praktik Hukum Acara Perdata Tata Cara dan Proses Persidangan,

(Jakarta: Sinar Grafika, 2011).

Syahuri Taufiqurrahman, Legislasi Hukum Perkawinan di Indonesia,

(Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2013).

Syaikh al-‘Allamah bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi Muhammad, Rahmah al-

Ummah Fi Ikhtilaf al-A’immah, Penerjemah Zaki Alkaf ‘Abdullah,

Fiqh Empat Mazhab, (Bandung: Hasyimi, 2015).

Syaifuddin Muhammad, dkk, Hukum Perceraian, (Jakarta: Sinar Grafika,

2014).

Page 107: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut

91

Syukri Albani Nasution Muhammad dan Pahmi Lubis Zul, Hukum Dalam

Pendekatan Filsafat, (Jakarta: Prenada Media Group, 2016).

S. Pradja Juhaya, Hukum Acara Peradilan Agama di Indonesia, (Bandung:

CV Pustaka Setia, 2017).

Tihami M. A., Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta:

Rajawali Pers, 2010).

B. Referensi Digital

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi Kelima, (ttp: Badan

Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemendikbud RI, 2016).

C. Referensi Jurnal

Abdurrahman, “Kompendium Bidang Hukum Perkawinan, Perkawinan Beda

Agama dan Implikasinya”. Badan Pembinaan Hukum Nasional

Kementerian Hukum dan HAM RI, (Jakarta), September 2011.

Ardika Prasada Erisa,dan Andri Sapuan, “Pertimbangan Hakim Dalam

Menetapkan Hak Asuh Anak Akibat Perceraian Di Pengadilan Agama

Kayuagung”, Jurnal Hukum Uniski, Vol.6 No.1 Edisi Januari-Juni

2017.

Ashsubli Muhammad, “Undang-Undang Perkawinan Dalam Pluralitas

Hukum Agama (Judicial Review Pasal Perkawinan Beda Agama)”,

Vol.3, No.2, (2015).

Djoko Basuki Zulfa, “Hukum dan Pembangunan”, (Juni, 1987).

Hakim Zen Awalauddin, Penyelesaian Perceraian Pasangan Beda Agama

(Studi Kasus Perceraian Pasangan yang Melakukan Dua Pencatatan

Perkawinan pada Putusan No.0979/Pdt.G/2015/Pa.kds).

Herlambang Kasihardo, “Kewenangan Hakim dalam Perkara Perdata di

Pengadilan Negeri dikaitkan dengan Undang-Undang No.4 Tahun

2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman”, (Jakarta: Skripsi, UPN Veteran,

2011).

Hutapea Bonar, “Dinamika Penyesuaian Suami Istri Dalam Perkawinan

Beda Agama”, Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial,

Vo.16, No.1, (2011).

Page 108: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut

92

Islamiyati, “Analisis Yuridis Nikah Beda Agama Menurut Hukum Islam di

Indonesia”, Masalah-Masalah Hukum, Vol.45, No.3, (Juli, 2016).

Novianty, “Fatwa Perkawinan Beda Agama Majelis Tarjih Muhammadiyah

dihubungkan dengan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia”.

Palandi Anggraeni Carolina, “Analisis Yuridis Perkawinan Beda Agama di

Indonesia”, Lex Privatum, Vo.1, No.2, (April-Juni 2013).

Wibowo Udhin, “Tinjauan Hukum tentang Perpindahan Agama dalam Suatu

Perkawinan Beda Agama Terhadap Penentuan Kewenangan Absolut

Pengadilan dalam menangani Perkara Cerai”, (Depok: Skripsi,

Universitas Indonesia, 2012).

W. Indrayanti Kadek, dkk., “Peran Negara dalam Memberikan Perlindungan

Hukum Bagi Calon Pasangan Kawin Beda Agama (KBA) di

Indonesia”, Vol.6, No.1, (Juni, 2015).

D. Referensi Undang-Undang

Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang

No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang

No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 3 Tahun 2018.

E. Referensi Yurisprudensi

Putusan Pengadilan Negeri Nomor. 668/Pdt.G/2015/PN.Jkt.Sel.

Putusan Pengadilan Agama Nomor. 1377/Pdt.G/2016/PA.JS.

Page 109: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut

93

LAMPIRAN-LAMPIRAN

Page 110: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut

94

Page 111: Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Home - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48526... · 2019. 11. 26. · Meskipun pasangan perkawinan tersebut

95