informasi lama terapi obat

5
Pemberian Informasi Lama Terapi dan Konfirmasi Jurnal Farmasi dan Ilmu Kefarmasian Indonesia, Vol.1 No.1 Juni 2014 1 Pemberian Informasi Lama Terapi dan Konfirmasi Informasi Obat Perlu Ditingkatkan di Puskesmas Yuni Priyandani, Eny Dwi Susanti, Halla Hisan Hartoto, Kristina Kesumawardani, Mutiara Titani, Ratna Ayu Amalia, Catur Dian Setiawan, Mufarrihah, I Nyoman Wijaya, Wahyu Utami Departemen Farmasi Komunitas, Fakultas Farmasi Universitas Airlangga, Kampus B Unair, Jl. Dharmawangsa Dalam, Surabaya 60286, email:[email protected] Abstract Primary health care center as the first line of health services which have the function of improving the health of individuals and communities to be supported with quality pharmaceutical services. The modification of the orientation of pharmaceutical care from drug oriented to patient oriented also requires pharmacist to be able to provide quality services. Measurement of quality of pharmaceutical services could be done by measuring patient satisfaction. There are five dimention of quality of pharmaceutical services, namely tangibles, responsiveness, reliability, assurance, and empathy. Indicator of pharmaceutical services depend on standart of pharmaceutical services in primary health care center by Health Department of Indonesia. The purpose of this study was to determine patient satisfaction with Likert scale for the quality pharmaceutical services at 58 primary health care center in Surabaya. Accidental sampling method was conducted by collecting data from 581 patients and fullfilled the inclusion criteria. Data were anaylized by customer window methods. In customer window method, the result showed that indicator of pharmaceutical service that had inadequate performance and should be enhanced, include providing information of therapeutic duration and confirmation of drugs information to the patients. Indicator of pharmaceutical service of that had should be improved to achieve good pharmaceutical services. Keywords: patient satisfaction, pharmaceutical services, primary health care center PENDAHULUAN Pelayanan kesehatan dapat diperoleh di rumah sakit, apotek, maupun puskesmas (pusat kesehatan masyarakat). Puskesmas merupakan unit pelaksana teknis Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu wilayah kerja. Secara nasional standar wilayah kerja suatu puskesmas adalah satu kecamatan (Depkes RI, 2006). Fungsi puskesmas sebagai pusat pemberdayaan masyarakat, serta pusat pelayanan kesehatan masyarakat strata pertama (primary health care) yaitu meliputi pelayanan kesehatan perorangan (private good) dengan tujuan utama untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat serta mencegah penyakit dengan tidak mengabaikan upaya kuratif dan rehabilitatif (Depkes, 2008). Penyelenggaraan upaya kesehatan masyarakat di puskesmas perlu ditunjang dengan pelayanan kefarmasian yang bermutu sesuai Pedoman Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas (Depkes, 2006). Puskesmas mempunyai tujuh unit pelayanan, dengan unit nomor enam yaitu unit penunjang yang mempunyai tugas melaksanakan kegiatan laboratorium sederhana dan pengelolaan obat-obatan serta termasuk pelayanan kefarmasian (Perda Kota Surabaya no.17 tahun 1995). Pelayanan kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil untuk meningkatkan kualitas hidup pasien (Peraturan Pemerintah No.51 tahun 2009). Paradigma pelayanan kefarmasian saat ini telah berubah dari orientasi obat menjadi orientasi kepada pasien yang mengacu pada asuhan kefarmasian (Pharmaceutical Care) dengan konsekuensi perubahan orientasi tersebut mengharuskan apoteker sebagai tenaga kefarmasian di puskesmas untuk terus meningkatkan kompetensi, sehingga mampu menyediakan dan memberikan pelayanan kefarmasian yang bermutu (Depkes RI, 2006). Kemampuan memberikan pelayanan kefarmasian bermutu merupakan salah satu kompetensi yang harus dimiliki apoteker yang ada di puskesmas (Depkes RI, 2006). Mutu merupakan suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses, dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan. Mutu pelayanan terkait kepuasan adalah segala sesuatu yang dirasakan atau dipersepsikan oleh seseorang (pasien) sebagai mutu (Sari, 2010). Definisi kepuasan adalah evaluasi purnabeli, dimana persepsi terhadap kinerja alternatif produk/jasa yang dipilih memenuhi atau melebihi harapan, apabila persepsi terhadap kinerja tidak dapat memenui harapan, maka yang terjadi adalah ketidakpuasan (Umar, 2003). Pengukuran kepuasan pengguna jasa kesehatan merupakan salah satu indikator untuk mengetahui mutu pelayanan kesehatan. Ada beberapa macam konsep pengukuran kepuasan pasien seperti kepuasan pasien secara keseluruhan, dimensi kepuasan pasien, konfirmasi harapan, minat pembelian ulang, kesediaan merekomendasi, dan ketidakpuasan pasien (Umar, 2003). Kepuasan pelanggan (pasien) diukur melalui lima dimensi, yaitu tangibles (bukti langsung), responsiveness (ketanggapan), reliability (kehandalan), assurance (jaminan), dan empathy (Kotler, 2009). Setiap dimensi mutu pelayanan dijabarkan dalam indikator mutu pelayanan kefarmasian yang sesuai dengan Pedoman Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas (Depkes RI, 2006). Pemerintah juga telah mengeluarkan pedoman umum dalam penyusunan indeks kepuasan masyarakat dan merupakan tolok ukur untuk menilai tingkat kualitas pelayanan. Puskesmas merupakan instansi pemerintah yang memberikan pelayanan publik termasuk pelayanan kefarmasian sehingga perlu dilakukan penilaian kepuasan pasien untuk mengetahui unsur pelayanan yang masih perlu perbaikan dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan (KepMenPAN, 2004).

Upload: silmiaira

Post on 21-Dec-2015

10 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

informasi terapi obat, obat, terapi, konfirmasi, dan lain-lain

TRANSCRIPT

Page 1: informasi lama terapi obat

Pemberian Informasi Lama Terapi dan Konfirmasi Jurnal Farmasi dan Ilmu Kefarmasian Indonesia, Vol.1 No.1 Juni 2014 1

Pemberian Informasi Lama Terapi dan Konfirmasi Informasi Obat Perlu Ditingkatkan di Puskesmas

Yuni Priyandani, Eny Dwi Susanti, Halla Hisan Hartoto, Kristina Kesumawardani, Mutiara Titani, Ratna Ayu Amalia,

Catur Dian Setiawan, Mufarrihah, I Nyoman Wijaya, Wahyu Utami

Departemen Farmasi Komunitas, Fakultas Farmasi Universitas Airlangga, Kampus B Unair, Jl. Dharmawangsa Dalam,

Surabaya 60286, email:[email protected]

Abstract

Primary health care center as the first line of health services which have the function of improving the

health of individuals and communities to be supported with quality pharmaceutical services. The modification

of the orientation of pharmaceutical care from drug oriented to patient oriented also requires pharmacist to be

able to provide quality services. Measurement of quality of pharmaceutical services could be done by

measuring patient satisfaction. There are five dimention of quality of pharmaceutical services, namely

tangibles, responsiveness, reliability, assurance, and empathy. Indicator of pharmaceutical services depend on

standart of pharmaceutical services in primary health care center by Health Department of Indonesia.

The purpose of this study was to determine patient satisfaction with Likert scale for the quality

pharmaceutical services at 58 primary health care center in Surabaya. Accidental sampling method was

conducted by collecting data from 581 patients and fullfilled the inclusion criteria. Data were anaylized by

customer window methods.

In customer window method, the result showed that indicator of pharmaceutical service that had

inadequate performance and should be enhanced, include providing information of therapeutic duration and

confirmation of drugs information to the patients. Indicator of pharmaceutical service of that had should be

improved to achieve good pharmaceutical services.

Keywords: patient satisfaction, pharmaceutical services, primary health care center

PENDAHULUAN

Pelayanan kesehatan dapat diperoleh di rumah sakit,

apotek, maupun puskesmas (pusat kesehatan masyarakat).

Puskesmas merupakan unit pelaksana teknis Dinas

Kesehatan Kabupaten/Kota yang bertanggung jawab

menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu

wilayah kerja. Secara nasional standar wilayah kerja suatu

puskesmas adalah satu kecamatan (Depkes RI, 2006).

Fungsi puskesmas sebagai pusat pemberdayaan

masyarakat, serta pusat pelayanan kesehatan masyarakat

strata pertama (primary health care) yaitu meliputi

pelayanan kesehatan perorangan (private good) dengan

tujuan utama untuk memelihara dan meningkatkan derajat

kesehatan masyarakat serta mencegah penyakit dengan

tidak mengabaikan upaya kuratif dan rehabilitatif

(Depkes, 2008). Penyelenggaraan upaya kesehatan

masyarakat di puskesmas perlu ditunjang dengan

pelayanan kefarmasian yang bermutu sesuai Pedoman

Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas (Depkes, 2006).

Puskesmas mempunyai tujuh unit pelayanan, dengan

unit nomor enam yaitu unit penunjang yang mempunyai

tugas melaksanakan kegiatan laboratorium sederhana

dan pengelolaan obat-obatan serta termasuk pelayanan

kefarmasian (Perda Kota Surabaya no.17 tahun 1995).

Pelayanan kefarmasian adalah suatu pelayanan

langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang

berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud

mencapai hasil untuk meningkatkan kualitas hidup pasien

(Peraturan Pemerintah No.51 tahun 2009). Paradigma

pelayanan kefarmasian saat ini telah berubah dari orientasi

obat menjadi orientasi kepada pasien yang mengacu pada

asuhan kefarmasian (Pharmaceutical Care) dengan

konsekuensi perubahan orientasi tersebut mengharuskan

apoteker sebagai tenaga kefarmasian di puskesmas untuk

terus meningkatkan kompetensi, sehingga mampu

menyediakan dan memberikan pelayanan kefarmasian

yang bermutu (Depkes RI, 2006).

Kemampuan memberikan pelayanan kefarmasian

bermutu merupakan salah satu kompetensi yang harus

dimiliki apoteker yang ada di puskesmas (Depkes RI,

2006). Mutu merupakan suatu kondisi dinamis yang

berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses, dan

lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan. Mutu

pelayanan terkait kepuasan adalah segala sesuatu yang

dirasakan atau dipersepsikan oleh seseorang (pasien)

sebagai mutu (Sari, 2010). Definisi kepuasan adalah

evaluasi purnabeli, dimana persepsi terhadap kinerja

alternatif produk/jasa yang dipilih memenuhi atau

melebihi harapan, apabila persepsi terhadap kinerja tidak

dapat memenui harapan, maka yang terjadi adalah

ketidakpuasan (Umar, 2003).

Pengukuran kepuasan pengguna jasa kesehatan

merupakan salah satu indikator untuk mengetahui mutu

pelayanan kesehatan. Ada beberapa macam konsep

pengukuran kepuasan pasien seperti kepuasan pasien

secara keseluruhan, dimensi kepuasan pasien, konfirmasi

harapan, minat pembelian ulang, kesediaan

merekomendasi, dan ketidakpuasan pasien (Umar, 2003).

Kepuasan pelanggan (pasien) diukur melalui lima

dimensi, yaitu tangibles (bukti langsung), responsiveness

(ketanggapan), reliability (kehandalan), assurance

(jaminan), dan empathy (Kotler, 2009). Setiap dimensi

mutu pelayanan dijabarkan dalam indikator mutu

pelayanan kefarmasian yang sesuai dengan Pedoman

Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas (Depkes RI, 2006).

Pemerintah juga telah mengeluarkan pedoman umum

dalam penyusunan indeks kepuasan masyarakat dan

merupakan tolok ukur untuk menilai tingkat kualitas

pelayanan. Puskesmas merupakan instansi pemerintah

yang memberikan pelayanan publik termasuk pelayanan

kefarmasian sehingga perlu dilakukan penilaian

kepuasan pasien untuk mengetahui unsur pelayanan

yang masih perlu perbaikan dalam rangka meningkatkan

kualitas pelayanan (KepMenPAN, 2004).

Page 2: informasi lama terapi obat

2 Jurnal Farmasi dan Ilmu Kefarmasian Indonesia, Vol.1 No.1, Juni 2014 Priyandani Y., et al.

Berdasarkan kondisi di rumah sakit (RS) pemerintah

di wilayah Surabaya Barat didapatkan informasi bahwa

masyarakat keluarga miskin yang sebelumnya berobat ke

rumah sakit lebih memilih berobat ke puskesmas karena

pasokan obat di RS berkurang (www.surabayapost.co.id,

19 Januari 2012) yang berarti banyak masyarakat

memanfaatkan pelayanan puskesmas. Masih banyak

keluhan masyarakat terkait pelayanan puskesmas di

wilayah Surabaya seperti pelayanan lambat dan proses

menunggu obat terlalu lama (www.harianbhirawa.co.id,

28 Desember 2011) sehingga perlu dilakukan penelitian

ini untuk mengetahui unsur pelayanan yang masih perlu

perbaikan dalam rangka meningkatkan kualitas

pelayanan kefarmasian di puskesmas. Berdasarkan

tinjauan tersebut didapatkan rumusan masalah

bagaimanakah kepuasan pasien terhadap pelayanan

kefarmasian di puskesmas wilayah Surabaya ditinjau

dari indikator mutu pelayanan kefarmasian.

Tujuan umum penelitian ini untuk mengetahui

kepuasan pasien terhadap mutu pelayanan kefarmasian

di puskesmas wilayah Surabaya ditinjau dari indikator

mutu pelayanan kefarmasian. Tujuan khusus penelitian

ini untuk mengetahui indikator mutu pelayanan

kefarmasian yang merupakan prioritas utama untuk

ditingkatkan, dipertahankan, prioritas rendah, atau

dirasakan berlebihan oleh pasien di puskesmas wilayah

Surabaya. Penelitian ini bermanfaat sebagai pedoman

bagi apoteker untuk meningkatkan kinerja pelayanan

kefarmasian di puskesmas wilayah Surabaya, sebagai

pedoman dan sarana membentuk kebijakan baru bagi

Dinas Kesehatan terkait pelayanan kefarmasian di

puskesmas wilayah Surabaya.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif cross

sectional, karena variabel diteliti dengan satu kali

pengamatan dalam satu jangka waktu tertentu

(Notoatmodjo, 2002). Lokasi penelitian ini adalah 58

puskesmas di seluruh wilayah Surabaya. Waktu

pengambilan data di lapangan dilakukan pada bulan

Januari sampai Mei 2012 sesuai dengan surat ijin

penelitian (survei) dari Dinas Kesehatan Kota Surabaya.

Penelitian ini dihentikan bila jumlah sampel responden

pasien puskesmas telah terpenuhi untuk tiap puskesmas

wilayah Surabaya. Data primer diperoleh dari data

pengisian kuesioner oleh pasien yang telah mendapatkan

pelayanan kefarmasian di puskesmas wilayah Surabaya.

Data sekunder berupa daftar puskesmas di seluruh

wilayah Surabaya dari Dinas Kesehatan Kota Surabaya.

Variabel bebas (independent variabel) adalah mutu

pelayanan kefarmasian di Puskesmas wilayah Surabaya

dan yang menjadi variabel tergantung (dependent

variable) adalah kepuasan pasien terhadap mutu

pelayanan kefarmasian di Puskesmas wilayah Surabaya.

Populasi dan Sampel Penelitian.Populasi penelitian

adalah pasien yang mendapatkan pelayanan kefarmasian

di puskesmas wilayah Surabaya. Penelitian ini

menggunakan teknik accidental sampling. Sampel

penelitian ini adalah pasien yang mendapatkan

pelayanan kefarmasian dan ada pada saat peneliti berada

di puskesmas wilayah Surabaya selama waktu penelitian.

Responden adalah pasien atau pengantar pasien yang

datang berobat ke puskesmas serta memenuhi kriteria

inklusi. Kriteria inklusi responden yaitu bersedia mengisi

kuesioner, mendapatkan resep dan mengambil obat di

kamar obat atau apotek di puskesmas, melakukan

kunjungan lebih dari satu kali di puskesmas, dan berusia

lebih dari 15 tahun agar dapat memberikan penilaian.

Kriteria eksklusi adalah ciri-ciri anggota populasi yang

tidak dapat diambil sebagai sampel (Notoatmodjo,

2005). Kriteria eksklusi responden dalam penelitian ini

yaitu buta aksara, gangguan kejiwaan, serta tidak dapat

membaca kuesioner tanpa alat bantu kacamata. Jumlah

populasi pada penelitian ini tidak diketahui maka jumlah

sampel dihitung berdasarkan persamaan dari Lwanga

and Lemeshow, 2001. Peneliti menetapkan Z=1,96;

p=0,5; dan d=0,05 sehingga diperoleh jumlah sampel

minimal 385 pasien untuk 58 Puskesmas yang ada di

seluruh wilayah Surabaya.

Instrumen Penelitian. Instrumen penelitian ini

berupa kuesioner yang harus diisi oleh responden dengan

pertanyaan menggunakan skala Likert dengan skor 1

sampai 5 untuk kolom harapan, dan kolom kenyataan

pelayanan yang diterima yang merupakan kinerja petugas

pelayanan kefarmasian (Rianse dan Abdi, 2009). Pasien

(responden) mengisi sendiri kuesioner tersebut yang

selanjutnya dilakukan pengolahan data oleh peneliti

dengan bantuan software komputer SPSS versi 18.

Validitas menunjukkan sejauh mana alat ukur

mengukur apa yang ingin diukur (Singarimbun dan

Effendi, 1989). Penelitian ini menggunakan uji validitas

rupa (face validity), validitas isi (content validity), dan

validitas konstruk (construct validity). Validitas rupa

merupakan penampilan fungsi efektivitas dari suatu alat

pengukur untuk mengukur suatu gejala (Rianse dan

Abdi, 2009). Validitas isi (content validity) adalah suatu

pengukuran untuk mengetahui sejauh mana isi alat

pengukur mewakili semua aspek yang dianggap sebagai

aspek kerangka konsep (Singarimbun dan Effendi,

1989). Uji validitas rupa (face validity) dan validitas isi

(content validity) dilakukan dengan melakukan uji coba

instrumen secara bersamaan oleh peneliti. Pengujian

validitas konstruk dilakukan dengan analisis faktor, yaitu

mengkorelasikan skor ítem instrumen dengan rumus

Pearson Product Moment (Rianse dan Abdi, 2009).

Reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan

konsistensi alat pengukur dalam mengukur gejala yang

sama (Singarimbun dan Effendi, 1989). Reliabilitas

pengukuran berkaitan dengan stabilitas dari alat ukur,

kemantapan pembacaan atau presisi hasil pengukuran

/konsitensi pengukuran (Supriyanto dan Djohan, 2011).

Pengukuran reliabilitas instrumen dengan menggunakan

koefisien alpha dari Cronbach (Rianse dan Abdi, 2009).

Salah satu cara untuk melihat kualitas pelayanan

secara keseluruhan dan mendeteksi adanya kesenjangan

dapat digunakan jendela pelanggan (Customer Window).

Jendela pelanggan adalah suatu alat analisis kesenjangan

untuk memahami kepuasan dan kepentingan relatif

(urutan kepentingan) pelanggan terhadap jasa pelayanan

yang diperoleh (Supriyanto dan Ernawati, 2010). Jendela

pelanggan ini dibagi atas empat kuadran dimana masing-

masing kuadran menunjukkan pelayanan untuk setiap

variabel pelayanan kesehatan yang telah dilakukan. HASIL DAN PEMBAHASAN

Validasi instrumen kuesioner pada penelitian ini

dilakukan dengan parameter validitas rupa (face

validity), validitas isi (content validity), dan validitas

Page 3: informasi lama terapi obat

Pemberian Informasi Lama Terapi dan Konfirmasi Jurnal Farmasi dan Ilmu Kefarmasian Indonesia, Vol.1 No.1 Juni 2014 3

konstruk (construct validity). Uji validitas rupa (face

validity) dan validitas isi (content validity) pada uji coba

instrumen yakni kuesioner secara bersamaan oleh

peneliti kemudian dilakukan uji validitas konstruk

(construct validity).

Jumlah minimal responden yang dibutuhkan untuk

pengujian validitas konstruk adalah 30 responden

(Singarimbun dan Effendi, 1989). Uji validitas konstruk

dilakukan pada 45 orang responden di Puskesmas Jagir

Surabaya Selatan. Hasil pengolahan data uji validitas

konstruk menunjukkan keseluruhan item pertanyaan

pada kuesioner yang terdiri dari 20 item kinerja dan 20

item harapan memberikan nilai r hitung yang lebih besar

dari nilai r tabel, sehingga diambil kesimpulan bahwa

kuesioner memenuhi uji validitas. Sedangkan hasil

pengolahan data uji reliabilitas instrumen kuesioner

(berisi 20 item pertanyaan) didapatkan nilai koefisien

alpha sebesar 0,885 untuk kinerja dan 0,907 untuk

harapan, sehingga instrumen kuesioner ini reliabel,

karena nilai koefisien alpha dari Cronbach lebih besar

dari 0,6 (Rianse dan Abdi, 2009). Kuesioner sebagai

instrumen penelitian ini sudah memenuhi uji validitas

dan uji reliabilitas sehingga dapat dipakai dalam survei

kepuasan pasien terhadap mutu pelayanan kefarmasian

di puskesmas wilayah Surabaya.

Tabel 1. Data Umum Responden di Puskesmas Surabaya

Data

Responden di Puskesmas Surabaya

Frekuensi

(total = 581)

Prosentase

(%)

Jenis Kelamin :

Laki-laki Perempuan

113 468

19,4 80,6

Umur (tahun) :

15-24

25-44 45-64

>65

101

378 98

4

17,4

65,1 16,9

0,7

Jenis pekerjaan :

Wiraswasta/swasta

Ibu rumah tangga

Pegawai/PNS Tidak Bekerja

Lain-lain

207

306

15 17

36

35,6

52,7

2,6 2,9

6,2

Pendidikan :

SD atau sederajat SMP atau sederajat

SMA atau sederajat PT atau sederajat

Lain-lain

83 92

313 88

5

14,3 15,8

53,9 15,1

0,9

Berdasarkan data umum responden (Tabel 1)

didapatkan informasi bahwa jenis kelamin perempuan

dengan pekerjaan sebagai ibu rumah tangga merupakan

jumlah responden yang paling banyak. Ibu sebagai tokoh

sentral dalam keluarga merupakan pasien tidak langsung

yang mengantarkan keluarga berobat ke puskesmas dan

mendapatkan atau merasakan pelayanan kefarmasian di

puskesmas.

Tabel 2. Nilai Kinerja-Harapan Metode Customer Window

(Nomor Kuesioner) Indikator

Mutu Pelayanan Kefarmasian

Rerata Skor

Kinerja

(X)

Rerata Skor

Harapan

(Y)

Posisi

Kuadran

Dimensi Bukti Langsung (Tangibles):

(1) Ketepatan penempatan papan nama “apotek” atau “kamar obat” terlihat jelas

4,08

4,36

B

(2) Tersedia poster untuk upaya

penyuluhan pasien

4,09 4,38 B

(3) Kenyamanan ruang tunggu 4,09 4,37 B (15) Etiket rapi, jelas, dan mudah dibaca 4,34 4,48 B

(19) Kelengkapan obat-obatan 4,19 4,39 B

Dimensi Keandalan (Reliablity):

(4) Memberikan informasi lama penyiapan obat

3,47 4,15 D

(7) Memberikan informasi tentang

kegunaan obat 4,12 4,49 B

(8) Memberikan informasi tentang cara

pemakaian

4,39

4,51 B

(12) Memberikan informasi tentang cara penyimpanan

3,20 4,17 D

(9) Memberikan informasi tentang lama

penggunaan 3,90 4,38 A

(10) Memberikan informasi tentang efek

samping 3,15 4,34 D

(11) Memberikan informasi makanan / minuman yang harus dihindari selama

konsumsi obat

3,40 4,30 D

Dimensi Ketanggapan (Responsiveness):

(5) Kecepatan pelayanan 4,05 4,35 C (13) Memberikan informasi yang mudah

dipahami oleh pasien 4,01 4,32 C

Dimensi Jaminan (Assurance):

(20) Menjamin mutu obat 4,40 4,45 B (14) Mengkonfirmasi kembali

penjelasan yang diberikan 3,89 4,37 A

(6) Memastikan kebenaran penerima obat

4,48 4,42 B

Dimensi Kepedulian (Empathy):

(16) Kepedulian dengan keluhan pasien 4,26 4,32 C

(17) Memberikan informasi obat dengan ramah

4,21 4,33 C

(18) Bahasa mudah dimengerti 4,29 4,35 C

RERATA SKOR TOTAL 4,00 4,36

Berdasarkan Tabel 2 dinyatakan bahwa rerata skor

kinerja sumbu mendatar X merupakan rerata kinerja

pelayanan kefarmasian dari petugas pelayanan

kefarmasian di puskesmas yang diterima oleh seluruh

jumlah responden. Sedangkan rerata skor harapan sumbu

vertikal Y merupakan rerata harapan pelayanan

kefarmasian di puskesmas yang diharapan oleh seluruh

jumlah responden. Pembagian kuadran ini tidak melalui

titik koordinat (0,00;0,00) karena penilaian kinerja

maupun harapan dengan skala Likert pasti mempunyai

nilai skor. Berdasarkan penelitian didapatkan data bahwa

nilai rerata skor kinerja (X) 4,00 menunjukkan sebagai

letak sumbu Y. Sedangkan nilai rata-rata skor kinerja

(Y) 4,36 menunjukkan letak sumbu X dengan

perpotongan kedua sumbu pada koordinat (X;Y) atau (4,00;4,36). Perpotongan kedua sumbu ini yang akan

menentukan pembagian kuadran A, B, C, dan D seperti

terlihat pada Gambar 1.

Page 4: informasi lama terapi obat

4 Jurnal Farmasi dan Ilmu Kefarmasian Indonesia, Vol.1 No.1, Juni 2014 Priyandani Y., et al.

Gambar 1. Jendela Pelanggan (Customer Window)

Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas Wilayah Surabaya

Berdasarkan Gambar 1 didapatkan informasi bahwa

ada dua indikator mutu pelayanan kefarmasian yang

terdapat pada kuadran A yang mendapat prioritas utama

untuk ditingkatkan yaitu memberikan informasi tentang

lama penggunaan (nomor pertanyaan kuesioner 9) dan

mengkonfirmasi kembali penjelasan yang diberikan

(nomor pertanyaan kuesioner 14). Pemberian informasi

tentang lama penggunaan obat menjadi lebih penting jika

terkait dengan penggunan obat untuk terapi kausal

(antibiotik, antijamur, antivirus) karena jika lama

penggunaan obat tidak diberitahukan oleh petugas

pelayanan kefarmasian kepada pasien maka terapi obat

tersebut tidak optimal bahkan dapat terjadi resistensi

bakteri maupun rekurensi penyakit yang disebabkan oleh

jamur. Indikator konfirmasi kembali penjelasan yang

telah diberikan oleh petugas kepada pasien juga terletak

pada kuadran A yang merupakan indikator untuk

diperbaiki kinerjanya. Indikator ini sangat penting untuk

mengetahui pemahaman pasien terhadap penjelasan

petugas terkait cara penggunaan obat dan aturan waktu

pemakaian obat.

Berdasarkan Tabel 2 dan Gambar 1 didapatkan data

bahwa indikator penentu yang memiliki nilai rerata

paling besar untuk harapan, yang artinya responden

menilai pelayanan kefarmasian benar-benar diperlukan

yaitu memberikan informasi tentang cara pemakaian

obat dengan skor harapan 4,51 yang juga berarti bahwa konfirmasi kembali penjelasan harus meliputi cara

pemakaian obat. Indikator penentu yang memiliki nilai rerata paling besar untuk kinerja sehingga memberikan

penilaian paling baik adalah indikator memastikan

kebenaran penerima obat dengan skor kinerja 4,48 yang

memang sudah sering dilakukan petugas pelayanan

kefarmasian yaitu memanggil pasien saat memberikan

obat dan meminta kembali nomor kitir resep yang telah

diberikan kepada pasien.

Berdasarkan Gambar 1 didapatkan informasi bahwa

ada sembilan indikator mutu pelayanan kefarmasian

yang berada pada kuadran B, yang berarti harap

dipertahankan karena pada kuadran ini harapan pasien

tinggi dan juga sudah sesuai dengan kinerja tinggi yang

telah dilakukan oleh petugas pelayanan kefarmasian.

Sedangkan pada kuadran C menunjukkan ada lima

indikator mutu pelayanan kefarmasian yang merupakan

prioritas rendah untuk ditingkatkan, karena kinerja

petugas pelayanan kefarmasian sudah baik. Kuadran D

menunjukkan ada empat indikator mutu pelayanan

kefarmasian yang tidak diharapkan oleh pasien dan

kinerja petugas pelayanan kefarmasian pada indikator ini

juga rendah.

Berdasarkan konsep pelayanan kefarmasian

(pharmaceutical care) untuk mencapai hasil terapi obat

dalam rangka meningkatkan kualitas hidup pasien

(Peraturan Pemerintah No.51 Tahun 2009), maka

indikator yang berada pada kuadran C dan D yang tidak

dirasakan penting oleh pasien, tetapi berkaitan dengan

konsep pelayanan kefarmasian. Indikator kuadran C dan

D tersebut seperti pemberian informasi tentang efek

samping obat, cara penyimpanan obat dan informasi

tentang makanan/minuman yang harus dihindari selama

konsumsi obat sebaiknya diberitahukan kepada pasien

dengan cara memberikan edukasi kepada pasien bahwa

indikator ini sangat penting untuk menjamin terapi obat

yang aman dan efektif. Berdasarkan wawancara dengan

petugas pelayanan kefarmasian di puskesmas wilayah

Surabaya didapatkan keterangan bahwa apoteker enggan

memberikan informasi terkait efek samping obat (ESO)

untuk menghindarkan pasien dari rasa takut minum obat.

Pemberian informasi tentang efek samping obat

sebenarnya dapat meningkatkan kewaspadaan pasien

terhadap efek samping obat yang berpotensi terjadi.

Informasi yang juga harus diberikan untuk menjamin

terapi obat yang optimal adalah makanan/minuman yang

harus dihindari selama konsumsi obat. Indikator lain

yang terdapat pada kuadran D yang perlu mendapatkan

perhatian adalah pemberian informasi tentang cara

penyimpanan obat yang benar. Penyimpanan obat terkait

stabilitas dan efektivitas obat dengan menghindarkan

obat dari sinar matahari langsung, terlindung dari

cahaya, kelembaban, dan suhu (DepKes RI, 2006).

Pengukuran kepuasan pasien pada pelayanan

kefarmasian di puskesmas sangat penting dilakukan

karena akan mempengaruhi minat kunjungan ulang

pasien ke tempat pelayanan kefarmasian tersebut.

Penelitian ini menggunakan metode customer window

karena ingin diketahui indikator pelayanan kefarmasian

yang perlu mendapakan prioritas utama untuk dilakukan

perbaikan. Metode lain yaitu metode servqual (service

quality) yang memiliki beberapa kelemahan seperti tidak

ada bukti pasien menilai mutu pelayanan kefarmasian

berdasarkan gap antara kinerja dan harapan, di samping

itu harapan pasien cenderung sangat tinggi. Dampak dari

harapan pasien yang cenderung tinggi mengakibatkan

kegagalan dalam pemenuhan harapan lebih sering terjadi

bila dibandingkan dengan keberhasilan dalam pemenuhan

harapan (Tjiptono, 2011).

Penelitian ini menggunakan teknik accidental

sampling yaitu mendapatkan sampel responden yang

kebetulan ada saat peneliti sedang melakukan

pengambilan data dan memenuhi kriteria inklusi. Teknik

accidental sampling yang termasuk non-random

sampling ini dilakukan dalam penelitian karena

keterbatasan sumber daya penelitian. Teknik sampling

ini termasuk non-random sampling sehingga penelitian

ini tidak dapat digeneralisasi.

D C

Page 5: informasi lama terapi obat

Pemberian Informasi Lama Terapi dan Konfirmasi Jurnal Farmasi dan Ilmu Kefarmasian Indonesia, Vol.1 No.1 Juni 2014 5

Kesimpulan. Penelitian yang telah dilakukan terkait

kepuasan pasien terhadap pelayanan kefarmasian di

puskesmas wilayah Surabaya ini dapat disimpulkan

bahwa pada kuadran :

A. Indikator mutu pelayanan kefarmasian di puskesmas

wilayah Surabaya yang merupakan prioritas utama untuk

ditingkatkan kinerjanya meliputi dua indikator berikut

yaitu memberikan informasi tentang lama penggunaan

obat dan mengkonfirmasi kembali penjelasan yang

diberikan.

B. Indikator mutu pelayanan kefarmasian di puskesmas

wilayah Surabaya yang harus dipertahankan meliputi

sembilan indikator yaitu pemberian informasi cara

pemakaian obat, penempatan papan nama “apotek atau

kamar obat” yang dapat telihat dengan jelas, memanggil

nama pasien saat penyerahan obat, pemberian informasi

kegunaan obat, poster kesehatan untuk informasi pasien,

kenyamanan ruang tunggu, penulisan petunjuk aturan

pakai obat dengan jelas, penyerahan obat-obatan yang

lengkap, penyerahan obat dalam keadaan fisik baik.

C. Indikator mutu pelayanan kefarmasian di puskesmas

wilayah Surabaya yang mempunyai prioritas rendah

untuk ditingkatkan karena kinerja sudah baik dan

harapan pasien rendah meliputi lima indikator yaitu

pelayanan obat dengan cepat, pemberian informasi yang

dapat dipahami oleh pasien, peduli keluhan pasien,

pemberian informasi obat dengan ramah, dan

penggunaan bahasa yang mudah dimengerti oleh pasien.

D. Indikator mutu pelayanan kefarmasian di puskesmas

wilayah Surabaya yang dianggap tidak terlalu penting

oleh pasien meliputi empat indikator yaitu pemberian

informasi tentang efek samping obat, pemberian

informasi tentang makanan/minuman yang harus

dihindari selama konsumsi obat, pemberian informasi

tentang cara penyimpanan obat dan pemberian informasi

lama penyiapan obat.

Saran. Berdasarkan hasil penelitian ini maka dapat

disarankan pemberian edukasi kepada pasien mengenai

pentingnya pelayanan kefarmasian melalui berbagai media

penyuluhan baik secara langsung maupun tidak langsung

karena masih terdapat indikator mutu pelayanan

kefarmasian di puskesmas terutama indikator dengan

harapan rendah pada kuadran C dan D yang dianggap tidak

terlalu penting oleh pasien tetapi sangat penting untuk

menunjang konsep pelaksanaan pharmaceutical care

seperti pemberian informasi efek samping obat (ESO).

Penelitian lain lebih lanjut terkait penilaian kepuasan

pelayanan kefarmasian di puskesmas diperlukan untuk

mengetahui pengaruh kepuasan pasien terhadap minat

kunjungan ulang pada pelayanan kefarmasian di

puskesmas. Selain itu juga perlu dilakukan penelitian

lebih lanjut dengan menggunakan teknik systematic

random sampling yang termasuk teknik random

sampling agar hasil penelitian dapat digeneralisasi ke

dalam populasi penelitian.

Ucapan Terima Kasih. Ucapan terima kasih diberikan

kepada Dekan Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

beserta pimpinan dan komisi penelitian atas kesempatan

yang diberikan untuk melakukan penelitian ini dengan

menggunakan dana penelitian Project Grant tahun 2012.

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kesehatan RI, 2006. Pedoman Pelayanan

Kefarmasian di Puskesmas. Dep.Kes. RI: Jakarta.

Departemen Kesehatan RI, 2008. Pedoman Penilaian

Tenaga Kesehatan Teladan di Puskesmas

KepMenKes RI Nomor: 658/Menkes/SK/IV/2005.

Jakarta : Direktur Bina Kesehatan Komunitas.

Keputusan Menteri Pemberdayagunaan Aparatur Negara

(KepMenPAN) Nomor 25 tahun 2004 tentang

Pedoman Umum Penyusunan Indeks Kepuasan

Masyarakat Unit Pelayanan Instansi Pemerintah.

2004. Jakarta.

Kotler P, Keller KL, 2009. Dasar-dasar Pemasaran Jilid 2,

Edisi keduabelas. Jakarta: PT.Gelora Aksara Pratama.

Lwanga SK, Lemeshow S, 2001. Besar Sampel dalam

Penelitian Kesehatan. Yogyakarta: Gadjah Mada

Univesity Press. hlm.55

Media Harian Bhirawa. Puskesmas Berstandar ISO

Dikeluhkan. diakses dari www.harianbhirawa.co.id/,

diakses tanggal 28 Desember 2011

Notoatmodjo, S., 2002. Metodologi Penelitian Kesehatan,

Edisi Revisi, Jakarta: PT Rineka Cipta. Hal. 35, 125.

Notoatmodjo S, 2005. Promosi Kesehatan Teori dan

Aplikasi, Jakarta: PT Rineka Cipta.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51

Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian.

Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya

Nomor 17 Tahun 1995 tentang Organisasi dan

Tatakerja Pusat Kesehatan Masyarakat di Kotamadya

Daerah Tingkat II Surabaya. 1995. Surabaya.

Rianse U, Abdi SP, 2009. Metodologi Penelitian Sosial

dan Ekonomi. Bandung: Cv. Alfabeta. Hal.

162,166,167, 180.

Sari, I., 2010. Manajemen Pemasaran Usaha Kesehatan.

Jogjakarta: Nuha Medica. hlm. 45-72

Singarimbun M, Effendi S, 1989. Metode Penelitian Survai,

Edisi Revisi. Jakarta: LP3S. Hal.122-140

Supriyanto S, Djohan AJ, 2011. Metodologi Riset dan

Bisnis Kesehatan. Banjar Baru: Garfika Wangi

Kalimantan. hlm.143, 160-161.

Supriyanto S, Ernawati MS, 2010. Pemasaran Industri

Jasa Kesehatan. Jogjakarta: Andi Offset. Hal. 330.

Surabaya Pos. RS BDH Kehabisan Obat. diakses dari

www.surabayapost.co.id/, diakses 19 Januari 2012

Umar H, 2003. Metode Riset Perilaku Konsumen Jasa,

Jakarta: Ghalia Indonesia.

Tjiptono F, 2011. Pemasaran Jasa, Sleman: Bayumedia

Publishing, hlm.334-357.