infertilitas

32
Infertilitas Setiap pasangan suami istri pada umumnya selalu mendambakan anak sebagai salah satu penunjang kebahagiaan rumah tangga. Pasangan suami istri (Pasutri) yang belum berhasil mendapatkan anak akan berusaha mendapatkannya demi mewujudkan keluarga bahagia dan sejahtera. Namun harapan itu tidak semua dapat terpenuhi karena adanya beberapa permasalahan antara lain sulit hamil. Masalah yang dikenal sebagai infertilitas ini memang menjadi masalah serius pasangan suami istri. Oleh karena itulah pasangan suami istri yang kesulitan hamil harus mendapat perhatian dalam pelayanan medis demi kesejahteraan keluarganya (Sumapraja, 1999). Angka infertilitas pasangan suami istri usia produktif di Indonesia terdapat sebesar 12-15%. Persentase jumlah pasangan infertil di Indonesia bila diperhitungkan dari banyaknya wanita yang pernah kawin dan tidak mempunyai anak yang hidup yang berada di desa dan kota kira-kira sama. Penelitian sebelumnya juga menunjukkan jumlah pasangan suami istri di Indonesia yang infertil terdapat sekitar 10-15%. Pada tahun 1995 WHO melaporkan terdapat sekitar 8% pasangan suami istri di dunia mengalami masalah infertilitas selama masa reproduksinya. Penyebab infertilitas bisa berasal dari pihak suami maupun istri, atau keduanya. Infertilitas harus dikelola dalam satu kesatuan pasangan, karena keberhasilan kehamilan tidak dapat diandalkan hanya dari satu pihak saja. Penyebab infertilitas ada yang dengan mudah dapat dijelaskan tetapi ada pula yang belum ataupun tidak dapat dijelaskan, meskipun kini telah tersedia cara-cara diagnostik yang canggih dan teknik pengobatan yang maju (Vayena, 2002). Kehamilan merupakan hasil dari pertemuan sel sperma dan sel telur (konsepsi) yang kemudian berkembang menjadi janin. Konsepsi terjadi dengan syarat harus ada sel telur dan sel sperma yang matang dan harus melakukan “perjalanan” melalui beberapa

Upload: fathir-knc-solok

Post on 28-Jan-2016

8 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Infertilitas

TRANSCRIPT

Page 1: Infertilitas

Infertilitas

Setiap pasangan suami istri pada umumnya selalu mendambakan anak sebagai salah satu penunjang kebahagiaan rumah tangga. Pasangan suami istri (Pasutri) yang belum berhasil mendapatkan anak akan berusaha mendapatkannya demi mewujudkan keluarga bahagia dan sejahtera. Namun harapan itu tidak semua dapat terpenuhi karena adanya beberapa permasalahan antara lain sulit hamil. Masalah yang dikenal sebagai infertilitas ini memang menjadi masalah serius pasangan suami istri. Oleh karena itulah pasangan suami istri yang kesulitan hamil harus mendapat perhatian dalam pelayanan medis demi kesejahteraan keluarganya (Sumapraja, 1999).

Angka infertilitas pasangan suami istri usia produktif di Indonesia terdapat sebesar 12-15%. Persentase jumlah pasangan infertil di Indonesia bila diperhitungkan dari banyaknya wanita yang pernah kawin dan tidak mempunyai anak yang hidup yang berada di desa dan kota kira-kira sama. Penelitian sebelumnya juga menunjukkan jumlah pasangan suami istri di Indonesia yang infertil terdapat sekitar 10-15%. Pada tahun 1995 WHO melaporkan terdapat sekitar 8% pasangan suami istri di dunia mengalami masalah infertilitas selama masa reproduksinya. Penyebab infertilitas bisa berasal dari pihak suami maupun istri, atau keduanya. Infertilitas harus dikelola dalam satu kesatuan pasangan, karena keberhasilan kehamilan tidak dapat diandalkan hanya dari satu pihak saja. Penyebab infertilitas ada yang dengan mudah dapat dijelaskan tetapi ada pula yang belum ataupun tidak dapat dijelaskan, meskipun kini telah tersedia cara-cara diagnostik yang canggih dan teknik pengobatan yang maju (Vayena, 2002). Kehamilan merupakan hasil dari pertemuan sel sperma dan sel telur (konsepsi) yang kemudian berkembang menjadi janin. Konsepsi terjadi dengan syarat harus ada sel telur dan sel sperma yang matang dan harus melakukan “perjalanan” melalui beberapa organ reproduksi yang sehat. Permasalahan terjadi jika salah satu atau kedua alat reproduksi pria maupun wanita mengalami gangguan, kalau yang terjadi demikian maka konsepsi sulit terjadi. Oleh karena itu pemeriksaan pada pasangan infertil harus dilakukan secara bersamaan dan satu kesatuan. Fertilitas adalah fungsi satu pasangan yang sanggup untuk menjadi hamil dan melahirkan anak hidup. Infertilitas primer adalah pasangan suami istri tidak pernah hamil meskipun bersenggama teratur selama 1 tahun tanpa proteksi. Infertilitas sekunder adalah pasangan suami istri pernah hamil tetapi kemudian tidak mampu untuk hamil lagi meskipun bersenggama teratur selama 1 tahun tanpa proteksi (Speroff, 2005).

Fertilisasi In vitro

Page 2: Infertilitas

Fertilisasi in vitro adalah salah satu cara untuk mendapatkan keturunan dengan cara menempatkan kembali hasil konsepsi yang dipertemukan di luar tubuh ibu ke dalam rongga rahim (Pernoll, 2001). Semula fertilisasi in vitro diindikasikan untuk istri yang mengalami kerusakan pada kedua tuba yang tidak dapat dilakukan reparasi atau perbaikan. Setelah ternyata tingkat keberhasilannya meningkat, indikasi fertilisasi in vitro diperluas tidak hanya faktor tuba saja, tetapi juga mencakup yang pertama adalah faktor suami yaitu Konsentrasi spermatozoa. Pada inseminasi buatan dilakukan kontak langsung antara spermatozoa dan oosit. Angka kejadian fertilisasi meskipun rendah namun dapat diterima dengan konsentrasi sperma 1,5 x 106/ml setelah dilakukan prosedur swim up. Faktor yang kedua adalah motilitas spermatozoa. Jenis motilitas spermatozoa tergantung dari gerakan ekor, kemajuan, arah dan kecepatan spermatozoa. Faktor yang ketiga yaitu Morfologi Spermatozoa. Spermatozoa normal memiliki tiga bagian yaitu kepala, leher dan ekor. Bila salah satu bagian tersebut tidak ada atau bentuknya abnormal menyebabkan kemampuan sel sperma untuk membuahi akan menurun. Sel sperma dianggap normal jika bentuk sperma normal sekitar 30% dalam setiap ejakulat (WHO, 1997)

Faktor infertilitas istri yang pertama adalah kerusakan kedua tuba. Indikasi klasik fertilisasi in vitro adalah riwayat salpingektomi oleh karena kehamilan ektopik, kegagalan operasi rekonstruksi tuba atau adanya obstruksi menetap pada tuba bagian distal atau kornu (Amino, 2002). faktor kedua adalah servik abnormal. Infertilitas yang berhubungan dengan faktor servik dapat disebabkan oleh sumbatan kanalis servikalis, lendir servik abnormal, malposisi servik atau kombinasinya. Bila beberapa kali didapatkan hasil pemeriksaan uji pasca sanggama yang buruk, faktor ini patut dipertimbangkan. Pada pasien ini biasanya keadaan mukosa servik tidak dapat diperbaiki dengan obat-obatan dan inseminasi intrauterin tidak berhasil sehingga harus dilakukan fertilisasi in vitro. Faktor yang ketiga adalah Gangguan Ovulasi. Gangguan perkembangan pematangan sel telur dan pecahnya sel telur antara lain merupakan faktor penyebab ketidaksuburan. Saat akan dilakukan inseminasi buatan diperlukan deteksi tepat waktu ovulasi. Waktu ovulasi digunakan untuk menentukan saat sanggama atau bila siklus haid sangat panjang. Faktor yang keempat adalah imunologi. Imunologi infertilitas dipengaruhi oleh aspek imunobiomolekuler. Adanya aktifitas sitokin dan antibody mediated menunjukkan mekanisme yang saling berhubungan pada proses fertilisasi awal sampai implantasi. Kerjasama jaringan reproduksi dan aktifitas sistem imun ini dapat menimbulkan respon lingkungan yang harmonis antara sel-sel sistem imun, sekresi produksi yang berefek normal pada jaringan reproduksi. Pada sebagian kasus infertilitas, antibodi dalam tubuh wanita yang disebut antibodi antisperma dapat menggumpalkan sperma yang akan mengurangi motilitas sperma. Antibodi antisperma menghasilkan sistem imun yang dalam keadaan tertentu berperan sebagai benda asing. Antibodi antisperma dapat mengakibatkan aglutinasi sperma atau berpengaruh pada interaksi antara sperma dan sel telur. Kemampuan sperma untuk membuahi sel telur berkurang terutama jika antibodi sperma menempel di kepala sperma. Faktor selanjutnya adalah penyebab yang tidak terjelaskan.

Bila dari hasil pemeriksaan lengkap tidak dapat ditemukan kelainan yang dapat menghambat kehamilan, keadaan ini dikategorikan sebagai unexplained factor. Sebanyak 10% kasus infertilitas penyebabnya belum dapat dijelaskan. Hal ini dapat diketahui apabila dari pemeriksaan lengkap pasangan suami istri dinyatakan normal

Page 3: Infertilitas

namun setelah ditangani selama minimal 6 bulan istri belum berhasil hamil. Keberhasilan fertilisasi in vitro pada pasien unexplained factor hampir sama dengan kasus infertilitas yang disebabkan karena faktor tuba dan endometriosis (Soesatyo, 2003)

Perkembangan dunia kedokteran dengan adanya teknologi fertilisasi in vitro atau bayi tabung telah memberikan harapan pada pasangan suami istri infertil untuk dapat memiliki keturunan. Fertilisasi in vitro merupakan prosedur bantuan reproduksi yang digunakan secara luas di dunia. Dalam pengertian sederhana, fertilisasi in vitro adalah upaya mengambil sel telur dari ovarium kemudian disatukan dengan sel sperma di laboratorium menjadi embrio. Embrio lalu ditempatkan ke dalam rahim untuk implantasi dan kehamilan. Pada saat pemindahan embrio, keadaan lingkungan rahim, kualitas dan jumlah embrio mempengaruhi implantasi dan kehamilan tersebut. Penelitian-penelitian dilakukan untuk mendapatkan angka kehamilan yang tinggi berdasarkan keadaan lingkungan rahim, kualitas embrio dan jumlah embrio yang diransfer. Kualitas dan jumlah embrio dinilai secara langsung berdasarkan morfologi. Keberhasilan pertama kali cara fertilisasi in vitro ditandai dengan lahirnya bayi tabung pada bulan juli 1978. Proses suatu kehamilan didahului oleh adanya pertemuan antara ovum atau sel telur dari pihak wanita dengan spermatozoa dari pihak pria yang disebut sebagai proses fertilisasi. Setelah terjadi konsepsi barulah terjadi perkembangan sel yang disebut sebagai embrio yang terdiri dari beberapa sel. Selanjutnya embrio ini akan tertanam di rongga rahim ibu atau berimplantasi dan selanjutnya akan tumbuh dan berkembang melalui diferensiasi hingga tumbuh menjadi janin. Peristiwa ketidakmampuan hamil seringkali berasal dari kegagalan yang terjadi saat fertilisasi maupun implantasi. Kehadiran teknik in vitro fertilization atau disebut juga teknologi bayi tabung sebagai salah satu usaha untuk mengatasi problem infertilitas, ternyata hanya menghasilkan kehamilan kurang dari 10% (Lopata, 1996).

Page 4: Infertilitas

dr I Nyoman Rudi Susantha SpOG

tiang keturunan "ARYA DAUH BALEAGUNG"tiang asli saking Banjar Jeroagung desa Gelgel Klungkung Bali. Tugas di bagian kandungan dan kebidanan rsu sanjiwani gianyar,bali trims

Senin, 14 Juli 2008

male infertility

Dr. Nono Tondohusodo, M.Kes, Sp.AndTim Bayi Tabung “ Graha Tunjung”Sub.Bag. Fertilitas Endokrinologi Reproduksi (FER)BAG/SMF Obstetri & Ginekologi FK UNUD Denpasar

Pasangan disebut infertil jika belum terjadi kehamilan setelah menikah 1 tahun atau lebih, dengan catatan pasangan tersebut melakukan hubungan seks secara teratur tanpa alat kontrasepsi.Infertilitas pasangan suami istri kurang lebih merupakan 10 - 15 % dari pasangan usia subur. Kurang lebih setengah dari jumlah itu disebabkan oleh faktor pria. Pada masa lalu kebanyakan anggapan menyebutkan bahwa yang menjadi penyebab utama infertilitas pasangan adalah pihak wanita. Pandangan tersebut akhir-akhir ini berubah bahwa infertiltas adalah problem pasangan yaitu suami dan istri.Penyebab infertiltas pria antara lain karena faktor potensi generandi dan potensi coendi, yaitu kendala pada komponen untuk memproduksi sel-sel benih dan kegagalan untuk dapat berhubungan seks. Maka dari itu penanganan infertilitas pria diupayakan untuk meningkatkan kedua potensi tersebut.Penyebab kegagalan potensi generandi meliputi faktor pre testikuler, testikuler dan post testikuler. Faktor pre testikuler misalnya kelainan yang terjadi pada daerah sebelum testis misalnya di hipotalamus dan hipofisa ( hipogonadisme sekunder). Kelainan testikuler adalah kelainan yang terdapat di testis yaitu hipogonadisme primer. Berbagai kelainan genetik, kelainan kongenital, infeksi, radiasi, obat-obatan, trauma dan proses aging termasuk kausa primer pada gangguan testis. Kelainan post testikuler yaitu kelainan pada daerah setelah testis misalnya epididimis, vesika seminalis, prostat dan kelenjar seks asesoris.Untuk melihat penyebab infertilitas pria dapat dilakukan dengan pemeriksaan analisa sperma. Semua unsur dalam analisa sperma dapat berpotensi secara tunggal atau bersama untuk berpengaruh pada status fertilitas seorang pria. Hasil analisa sperma ditambah dengan anamnesis , pemeriksaan fisik, laboratorium umum dan laboratorium andrologi dapat merupakan alat guna mengetahui kasus infertilitas pria. Penyebab infertilitas pria karena disfungsi seksual dapat berupa kelainan vaskuler, neurologis, penyakit sistemik, kelainan endokrin, penyakit pada penis atau adanya gangguan psikologis. Beberapa jenis obat-obatan tertentu telah diketahui mempunyai efek samping berupa disfungsi seksual.Usaha-usaha untuk mengatasi infertilitas pria telah dilakukan oleh banyak pihak dan WHO telah membuat suatu penuntun penatalaksanaan infertilitas pria. Tetapi telah diketahui bahwa hampir separuh penyebab infertilitas pria tidak diketahui, sehingga pengobatan tidak bisa diarahkan dengan tepat. Disamping itu banyak kelainan-kelainan yang menyebabkan infertilitas pria sudah tidak dapat diobati atau pengobatannya tidak terlalu efektif. Jadi secara umum sampai saat ini dapat dikatakan hasil

Page 5: Infertilitas

pengobatan infertilitas pria masih mengecewakan.Misalnya untuk pengobatan biasa dengan faktor penyebab infertilitas pria, maka angka kehamilan per siklus sekitar 3 %. Ini berarti dari 100 pria diobati maka dalam bulan pertama yang berhasil menghamili istrinya adalah 3 orang. Tampaknya cukup sedikit, tetapi ini adalah proses reproduksi alamiah sehingga akan berulang dan bertambah terus tiap bulan. Secara kumulatif dalam setahun sekitar 30 orang berhasil dan dalam 2 tahun secara keseluruhan 50 orang berhasil. Setelah 2 tahun angka ini angka ini biasanya tidak akan banyak bertambah, sehingga masih ada 50 % pria yang belum berhasil walaupun telah dihilangkan penyebabnya. Oleh karena itu ditempuh alternatif lain melalui rekayasa untuk meningkatkan kemampuan reproduksi pria dengan teknologi yang secara umum disebut Assisted Reproductive Technology (ART).ART memegang peranan penting dalam penanganan infertilitas pria, bukan hanya karena merupakan cara pengobatan yang cukup berhasil, tetapi juga mempunyai nilai diagnostik untuk menguji kemampuan fertilitas spermatozoa seperti pada metode fertilisasi in-vitro (IVF). Indikasi ART untuk faktor pria bisa meliputi infertilitas imunologik, oligo-/ astheno-/ terato zoospermia idiopatik dan infertilitas pria yang gagal dengan pengobatan kausal. Dengan berhasilnya injeksi sperma intra sitoplasmik (ICSI) maka indikasinya meluas untuk hampir semua masalah infertilitas pria termasuk OAT berat , kegagalan fertilisasi pada IVF bahkan untuk azoospermia baik obstruktif maupun non obstruktif.Ada beberapa macam metode ART dimana masing-masing metode memiliki keunggulan dan keterbatasan sendiri-sendiri. Metode yang cukup sederhana adalah IUI, membutuhkan biaya yang jauh lebih rendah dan dapat diulang beberapa kali, tetapi angka keberhasilannya rendah serta syarat saluran telur tidak boleh buntu dan kualitas sperma tidak terlalu jelek. Sedangkan pada metode IVF-ET bisa dikerjakan pada saluran telur buntu dan kualitas sperma yang relatif kurang. Keuntungan lain yaitu fertilisasi bisa diamati untuk menilai potensi fertilisasi sperma dan sel telur. Angka kehamilannya tidak terlalu tinggi. Metode ICSI tentunya merupakan pilihan untuk kelainan sperma yang sangat berat dengan keberhasilan paling tinggi, tetapi keterbatasannya adalah memerlukan peralatan yang canggih dan biaya mahal. ICSI dapat dilakukan pada pria azoospermia dengan menggunakan spermatozoa berasal dari epididimis melalui prosedur MESA (Microsurgically Epididymal Sperm Aspiration) dan juga dari testis melalui prosedur TESE (Testicular Sperm Extraction). Angka keberhasilan pasangan biasanya diungkapkan dengan angka kehamilan per siklus.Dengan teknologi yang ada pada saat ini , tidak semua pasangan yang mengikuti program ini akan menjadi hamil. Dilain pihak, banyak pasangan-pasangan yang tidak mungkin hamil menjadi hamil dengan melalui proses rekayasa ini.PENANGANAN INFERTILITAS PRIA

Page 6: Infertilitas

Infertilitas

Infertilitas adalah kegagalan menjadi hamil setelah 1 tahun dengan koitus normal (Dr. Lynda Saputra, 2009: 383).

Infertilitas adalah ketidakmampuan untuk hamil setelah 12 bulan hubungan seksual yang sering tanpa kontrasepsi (Errol Morwitz & John Schorge, 2008: 53).

Infertilitas adalah tidak terjadinya kehamilan pada pasangan yang telah berhubungan intim tanpa menggunakan kontrasepsi secara teratur minimal 1-2 tahun (WHO).

Pasangsan mandul (infertil) adalah pasangan yang telah kawin dan hidup harmonis serta telah berhubungan seks selama satu tahun tetapi belum terjadi kehamilan (Manuaba, 2009 ).

Infertilitas didefinisikan sebagai ketidakmampuan untuk mengandung setelah paling tidak 1 tahun dalam hubungan yang normal dan tidak menggunakan kontrasepsi apapun (Hamilton, persis. 2006).

2.2    Macam- Macam Infertilitas

Infertilitas primer jika istri belum pernah hamil walaupun bersenggama dan dihadapkan kepada kemungkinan kehamilan selama 12 bulan.

Infertilitas sekunder jika istri pernah hamil akan tetapi kemudian tidak terjadi kehamilan lagi walaupun bersenggama dan dihadapkan kepada kemungkinan kehamilan selama 12 bulan (Sarwono, 2005:497).

2.3    Penyebab Infertilitas

Infertilitas dapat terjadi dari sisi pria, wanita maupun kedua-duanya (pasangan). Disebut infertilitas pasangan bila terjadi penolakan sperma suami oleh istri sehingga sperma tidak dapat bertemu dengan sel telur. Hal ini biasanya disebabkan oleh ketidaksesuaian antigen / antibodi pasangan tersebut (Joko Suryo. 2010: 51-52 ).

2.3.1    Faktor Pria

Azoospermia (tidak terdapat spermatozoa)

Mungkin akibat spermatogenesis yang abnormal (perkembangan testis yang abnormal; kriptokismus atau terlambat turun; orkitis akibat parotikis) atau kerusakan ductus spermatikus oleh infeksi, terutama gonorea.

Oligosperma (jumlah spermatozoa kurang)

Berkaitan dengan defisiensi spermatogenesis; temperatur dalam skrotum meningkat ( iklim yang panas, pakaian ketat, varikokel).

Page 7: Infertilitas

Impotensi

Mungkin bersifat psikologik, hormonal, berkaitan dengan ejakulasi prematur, ejakulasi retrograd atau impotensi erektil.

(Dr. Lyndon Saputra, 2009: 383)

Sumbatan pada saluran vas deferens.

Sperma terhalang pengiriannya dari testis ke seminal vesikel untuk diolah lebih lanjut menjadi cairan semen, sehingga semen yang dihasilkan tidak mengandung sperma sama sekali, atau dalam jumlah tidak cukup.

Kegagalan menghasilkan sperma berkualitas

Penyebab dari terjadinya sperma yang buruk adalah

-       Cacat bawaan sejak lahir.

-       Kegagalan testis untuk turun ke kantong buah pelir (scrotum) sebelum pubertas.

-       Beberapa penyakit masa kanak-kanak dan penyakit lainnya, seperti penyakit gondong (mumps) yang terjadi pada usia dewasa.

-       Pemaparan berbahaya seperti sinar-x, radioaktivitas, beberapa zat kimia dan logam beracun, dan gas karbonmonoksida dari asap rokok dan knalpot mesin.

-       Beberapa gangguan genital, seperti jaringan parut (varikokel) yang dapat menyumbat saluran sperma, dan infeksi tuberkulosa pada prostat.

-       Kondisi panas di sekitar testis (biji kemaluan), misalnya karena pakaian yang terlalu ketat, obesitas, atau kondisi pekerjaan.

-       Faktor vitalitas umum yang tidak baik, misalnya kesehatan yang buruk, nutrisi yang tidak mencukupi (adekuat), tidak berolahraga, merokok, dan minum alkohol berlebihan.

-       Stres emosional

-       Tidak melakukan hubungan seksual (abstinensi) dalam waktu yang terlalu lama, dapat menimbulkan jumlah sperma abnormal.

(Syamsir Alam dan Iwan Hadibroto, 2007:37-38)

Usia

Page 8: Infertilitas

Berdasarkan penilitian yang ada maka jumlah dan kualitas sel spermatozoa akan menurun ketika pria berusia diatas 50 tahun. Perbedaan masing-masing individu sangat terkait erat dengan faktor genetik.

Hormon

Adanya gangguan fungsi hormonal yang dihasilkan oleh kelenjar hipofisis sepeti hipogonadotropin atau hiperprolaktin dapat menjadi penyebab terjadinya infertilitas pada pria

Penyakit autoimun

Adanya antibodi terhadap spermatozoa dapat menurunkan kualitas sel spermatozoa.

Faktor genetik

Adanya kelainan kromosom atau kerusakan genetik dapat menyebabkan infertilitas pria.

Penyakit metabolik seperti diabetes melitus dapat menyebabkan infertilitas pria. Keganasan atau kanker juga dapat mejadi penyebab infertilitas pria

(Andon Hestiantoro, dkk, 2008:31-32)

2.3.2    Faktor Wanita

Spasme tuba falopii (bermacam- macam penyebab, termasuk psikogenik) atau obstruksi (kelainan kongenital atau infeksi)

Gangguan getah serviks, malinformasi uterus, perkembangan endometrium yang kurang sempurna, hiperprotaktinemia, faktor endokrin yang menyebabkan kegagalan terjadinya menstruasi dan / atau ovulasi.

Endometriosis adalah istilah untuk menyebutkan kelainan jaringan endometrium yang tumbuh diluar diluar rahim. Jaringan abnormal tersebut biasanya terdapat pada ligamen yang menahan uterus, ovarium, tuba fallopi, rongga panggul,usus dan berbagai tempat lain. Sebagaimana jaringan endometrium normal,jaringan ini mengalami siklus yang menjadi respon terhadap perubahan hormonal sesuai siklus menstruasi perempuan.

 (Dr. Lyndon Saputra, 2009: 383)

Anoreksia nervosa

Adalah suatu gangguan kejiwaan dimana seseorang (umumnya remaja putri dan wanita muda) enggan makan karena alasan yang tidak masuk akal, yaitu takut gemuk. Akibatnya terjadinya penyusutan berat badan yang membahayakan, gangguan hormonal, dan berhenti haid pada masa subur (amenorea), bahkan dapat pula terjadi kematian.

Sumbatan pada saluran telur

Page 9: Infertilitas

Infertilitas dapat dikaitkan dengan gangguan lain pada organ reproduksi wanita, terasuk akibat infeksi penyakit menular sesual tertentu, sistitis (cystitis), dan sebagainya. Akibat kondisi yang disebut endometriosism menyebabkan peradangan dan terjadinya jaringan parut, yang selain mempengaruhi indung telur juga menyumbat saluran telur. Biasanya gangguan tersebut sering tidak langsung menunjukkan gejalanya, sehingga terabaikan. Kenyataannya infeksi saluran telur sekarang ini menjadi penyebab utama dari terjadinya penyebab kemandulan.

(Syamsir Alam dan Iwan Hadibroto, 2007:30-31)

Kegagalan implantasi embrio di rahim

Tumor (kista, kanker) atau jaringan fibrosa (fibroid, polip), dan pemaparan radiasi dosis tinggi dapat menghalangi terjadinya implantasi (penanaman) sel telur yang telah dibuahi di dinding rahim.

(Syamsir Alam dan Iwan Hadibroto, 2007:30-31)

2.3.3                    Faktor  lain:

a.         penyakit menular seksual tanpa pengobatan memadai.

b.        kebiasaan merokok yang dapat menyebabkan kualitas sperma menurun.

c.         kebiasaan minum- minuman keras.

d.        penggunaan NAPZA.

e.         usia pasangan yang semakin tua, yang dapat menyebabkan fertilitas menurun.

f.                     terdapat kolerasi antara frekuensi dan waktu coitus.

g.        terdapat infeksi pada organ reproduksi.

(Aprilia, Yesie. 2010)

2.4     Pemeriksaan Pasangan Infertilitas

2.4.1                Syarat- Syarat Pemeriksaan Infertilitas

Setiap pasangan infertil harus diperlakukan sebagai satu kesatuan. Itu berarti, kalau istri saja sedangkan suaminya tidak mau diperiksa, maka pasangan itu tidak diperiksa.

Adapun syarat- syarat pemeriksaan pasangan infertil adalah sebagai berikut:

Page 10: Infertilitas

a)        Istri berumur antara 20-30 tahun baru akan diperiksa setelah berusaha untuk mendapatkan anak selama 12 bulan. Pemeriksaan dapat dilakukan lebih dini apabila :

-        Pernah mengalami keguguran berulang.

-        Diketahui mengidap kelainan endokrin.

-        Pernah mengalami peradangan rongga panggul atau rongga perut.

-        Pernah mengalami bedah ginekologi.

b)        Istri berumur antara 31- 35 tahun dapat diperiksa pada kesempatan pertama pasangan itu datang ke dokter.

c)        Istri pasangan infertil yang berumur antara 36-40 tahun hanya dilakukan pemeriksaan infertilitas kalau belum mempunyai anak dari perkawinan ini.

d)       Pemeriksaan infertilitas tidak dilakukan pada pasangan infertil yang salah satu anggota pasangannya mengidap penyakit yang dapat membahayakan kesehatan istri atau anaknya.

(Sarwono, 2005: 500)

2.4.2                Pemeriksaan Masalah – Masalah Infertilitas

1.        Pemeriksaan mikroskopik

Bagi orang yang berpengalaman, memeriksa setetes air mani dibawah mikroskop sudah memungkinkannya menaksir konsentrasi, jenis gerakan dan morfologi spermatozoa dengan ketepatan yang tidak jauh berbeda dari kenyataan. Sel- sel radang menunjukkan adanya peradangan. Kadang-kadang tampak pula trikomonas vaginalis atau candida albicans. Air mani yang dibiarkan lama akan membentuk kristal spermin fosfat.

Kadang-kadang tampak pula pulau pulau aglutinasi spermatozoa, berkisar antara jarang sampai banyak. Terdapat 3 jenis aglutinasi: kepala dengan kepala, kepala dengan ekor, ekor dengan ekor. Spermatozoa dibagian luar aglutinasi itu biasanya masih tampak bergerak, akan tetapi dipusatnya sudah tidak bergerak lagi.

Air mani tanpa spermatozoa (azoospermia) atau sedikit sperma akan segera tampak pada pemeriksaan mikroskop. Sumbatan duktus dapat disingkirkan apabila tampak sel-sel muda yang bulat. Sebelum menyatakan tidak adanya sel-sel muda, sebaiknya air mani disentrifugasikan dahulu 3000 putaran per menit selama 5 menit, kemudian sedimennya diperiksa kemballi. Semua air mani yang azospermia, harus diperiksa akan adanya fruktosa yang dihasilkan oleh vesikula seminalis. Pada tidak tumbuhnya kedua vas deferens dan vesikula seminalis, air maninya tidak mengandung fruktosa  dan tidak dapat berkoagulasi setelah ejakulasi. Demikian pula kalau kedua duktus ejakulatoriusnya tersumbat atau pada ejakulasi retrogard.

Page 11: Infertilitas

( Sarwono, 2005 : 503 – 505)

2.        Uji ketidakcocokan imunologik

Uji kontak air mani dengan lendir serviks (sperm cervical mucus contact test- SCMC test) yang dikembangkan oleh kremer dan jager dapat mempertunjukkan adanya antibody local pada pria atau wanita.

( Sarwono, 2005 : 505)

3.        Uji pascasenggama

Walaupun uji Sims – Huhner atau uji pascasenggama telah lama dikenal di seluruh dunia, tetapi ternyata nilai kliniknya belum diterima secra seragam. Salah satu penyebabnya adalah karena belum adanya standarisasi cara melakukannya. Kebanyakan peneliti sepakat untuk melakukannya pada tengah siklus haid, yang berarti 1 – 2 hari sebelum meningkatnya suhu basal badan yang diperkirakan. Akan tetapi, belum ada kesepakatan berapa hari abstinensi harus dilakukan sebelumnya, walaupun kebanyakan menganjurkan 2 hari. Demikian pula belum terdapat kesepakatan kapan pemeriksaan itu dilakukan setelah senggama. Menurut kepustakaan, ada yang melakukannya setelah 90 detik sampai setelah 8 hari. Sebagaimana telah diuraikan, spermatozoa sudah dapat dampai pada lendir serviks segera setelah senggama, dan dapat hidup di dalamnya sampai 8 hari. Menurut Denezis uji pascasenggama baru dapat dipercaya kalau dilakukan dalam 8 jam setelah senggama. Perloff melakukan penelitian pada golongan fertil dan infertil, dan berkesimpulan tidak ada perbedaan hasil yang antara kedua golongan itu kalau pemeriksaannya dilakukan lebih dari 2 jam setelah senggama. Jika kesimpulan ini benar, maka uji pascasenggama dilakukan secepatnya setelah senggama. Davajan menganjurkan 2 jam setelah senggama, walaupun penilaian secepat itu tidak akan sempat menilai ketahanan hidup spermatozoa dalam lendir serviks.

Berapa banyak spermatozoa harus tampak dalam 1 LPB, belum terdapat kesepakatan pula. Jetre dan Glass menemukan peningkatan presentase kehamilan yang secara statistik bermakna kalau terdapat lebih dari 20 spermatozoa/LPB; dan tidak berbeda bermakna pada golongan dengan 1 – 5, 6 – 10 atau 11 – 20 spermatozoa/LPB.

Cara pemeriksaan : setelah abstinensi selama 2 hari, pasangan dianjurkanmelakukan senggama 2 jam sebelum saat ditentukan untuk datang ke dokter. Dengan spkulum vagina kering, serviks ditampilkan, kemudian lendir serviks yang tampak dibersihkan dengan kapas kering pula. Jangan menggunakan kapas basah oleh antiseptik karena dapat mematikan spermatozoa. Lendir serviks diambil dengan isapan semprit tuberkulin, kemudian disemprotkan keluar pada gelas objek, lalu ditutup dengan gelas penutup. Pemeriksaan mikroskopik dilakukan dengan lapangan pandangan besar ( LPB ).

( Sarwono, 2005 : 506 – 507)

4.        Uji In Vitro

Page 12: Infertilitas

a)        Uji gelas objek

Miller dan Kurzok pada tahun 1932 memakai teknik yang sangat sederhana untuk mengatur kemampuan spermatozoa masuk ke dalam lendir serviks. Caranya dengan menempatkan setetes air mani dan setetes lendir serviks pada gelas objek, kemudian kedua bahan itu disinggungkan satu sama lain dengan meletakkan sebuah gelas penutup diatasnya. Spermatozoa akan tampak menyerbu ke dalam lendir serviks, didahului oleh pembentukan phalanges air mani ke dalam lendir serviks. Menurut Perloff dan Steinberger,  pembentukan phalanges itu bukan merupakan kegiatan spermatozoa, melainkan fenomena fisik kalau dua cairan yang berbeda viskositas, tegangan permukaan dan reologinya bersinggungan satu sama lain di bawah gelas  penutup.

b)        Uji kontak air mani dengan lendir serviks

Menurut Kremer dan Jager, pada ejakulat dengan autoimunisasi, gerakan maju spermatozoa akan berubah menjadi terhenti atau gemetar di tempat kalau bersinggungan dengan lendir serviks. Perangai gemetar ditempat ini terjadi pula kalau air mani yang normal bersinggungan dengan lendir serviks dari wanita yang serumnya mengandung antibodi terhadap spermatozoa.

Kremer dab Jager melakukan uji tersebut dengan dua cara :

Cara pertama. Setetes lendir serviks praovulasi dengan tanda – tanda pengaruh esterogen yang baik dan pH lebih dari 7 diletakkan pada sebuah gelas objek di samping setetes air mani. Kedua tetesan itu dicampur dan diaduk dengan sebuah gelas penutup, yang kemudian dipakai untuk menutup camuran itu. Setetes mani yang sama diletakkan pada gelas objek itu juga, kemudian ditutup dengan gelas penutup. Penilaian dilakukan dengan membandingkan  motilitas spermatozoabdari kedua sediaan itu. Sediaan itu keudian di simpan ke dalam tatakan petri yang lembab, pada suhu kamar, selama 30 menit untuk kemudian diamati lagi.

Cara kedua. Setetes besar lendir serviks diletakkan pada sebuah gelas obyek, kemudian dilebarkan sampai diameternya 1 cm. Setetes air mani diletakkan di tengah – tengah lendir serviks itu, kemudian lendir serviks dan air mani di tutup dengan sebuah gelas penutup, sambil ditekan sedikit supaya air maninya dapat menyebar tipis diatas lendir serviks. Setetes air mani yang sama diletakkan pula pada gelas objek itu, kemudian ditutup dengan sebuah gelas penutup. Penilaian dilakukan seperti cara pertama

jika ini sangat berguna untuk menyelidiki adanya faktor imunologi apabila ternyata uji pascasenggama selalu negatif atau kurang baik, sedangkan kualitas air mani dan lendir serviks normal. Perbandingan banyaknyabspermatozoa yang gemetar di tempat, yang maju pesar dan yang tidak bergerak mungkin menentukan prognosis fertilisasi pasangan itu.

5.        Biopsi Endometrium

Barang kali tidak ada satu alasan yang paling penting untuk melakukan biopsi, kecuali untuk menilai perubahan khas yang terjadi pada alat yang dibiopsi itu. Gambaran endometriun itu merupakan bayangan cermin dari pengaruh hormon – hormon ovarium. Akan tetapi, sebgaimana

Page 13: Infertilitas

juga berlaku bagi setiap prosedur kedokteran, keterangan yang ingin diperoleh harus seimbang dengan resiko melakukan prosedur itu.

Kapan biopsi itu dilakukan dari keterangan yang ingin diperoleh. Apabila ingin memperoleh keterangan tentang pengaruh esterogen atau yang lain yang bukan hormonal, maka biopsi endometrium dilakukan pada hari ke-14. Apabila yang ingin diketahui adalah peradangan menahun ( Tuberkulosis ), ovulasi atau neoplasia maka biopsinya dilakukan setelah ovulasi. Pada umunnya , waktu yang terbaik untuk melakukan biopsi adalah 5 – 6 hari setelah ovulasi yaitu sesaat sebelum terjadinya implantasi blastosis pada permukaan endometrium. Biopsi yang dilakukan sebelum hari ke-7 setelah ovulasi itu akan mengurangi kemungkinan terganggunya kehamilan yang sedang terjadi. Biopsi yang dilakukan dalam 12 jam stelah haid masih dapat menilai endometrium yang bersekresi, malahan granuloma tuberkulosis akan tampak lebih jelas. Walaupun biopsi ini maksudnya untuk menghindarkan kemungkinan terganggunya kehamilan, akan tetapi perdarahan hari pertama itu mungkin bukan haid melainkan perdarahan intervilus.

Tredway et al. Memperlihatkan adanya hubungan tepat antara perubahan endometrium yang terjadi dengan penanggalan yang dihitung mulai ovulasi. Pengetahuan ini sangat penting untuk mendiagnosis defek fase luteal. Moyer sangat menganjurkan pemakaian penganggalan yang dimulai pada hari pertama haid.

Defek fase luteal berarti korpus luteum tidak menghasilkan cukup progresteron. Diagnosisnya ditegakkan dengan kurva suhu basal badan, sitologi vagina hormonal, biopsi endometrium dan pemeriksaan progresteron plasma. Kalau kurva suhu basal badan memperlihatkanpeningkatan suhu yang hanya dapat dipertahankan kurang dari 10 hari, diagnosis defek fase luteal dapat ditegakkan. Menurut  Israel et al. , pemeriksaan progresteron plasma sekali pada fase luteal yang bernilai 3 ng/ml lebih dianggap sebagai patokan terjadinya ovulasi. Menurut Abraham et al., kalau 3 kali pemeriksaan progresteron pada 4 – 11 hari sebelum haid berjumlah 15 ng/ml lebih, hal itu haruslah dianggap sebagai patokan telah terjadinya ovulasi dengan fungsi korpus luteum yang normal.

Siklus haid dengan defek fase luteal tidak selalu berulang. Menurut Speroff et al., siklus haid dengan defek luteal yang berulang hanya terjadi pada kurang dari 4 % pasangan infertil. Oleh karena itu, indikasi pengobatannya hanya kalu defek fase luteal itu berulang.

6.        Histerosalpingografi

Sejak Rubin dan Carey melakukan histerosalpingografi untuk pertama kalinya, banyak pembaharuan telah terjadi dalam hal peralatan dan media kontras yang dipakai. Prinsip pemeriksaannya sama dengan pertubasi, hanya peniupan gas diganti dengan penyuntikan menia kontras yang akan melimpah ke dalam kavum peritonei kalau tubanya paten, dan penilaiannya dilakukan secara radiografik.

Kini alat yang dianggap terbaik utuk menyuntikkan media kontras ialah kateter pediatrik Foley nomor 8, sebgaimana diuraikan oleh Ansari, untuk menghindarkan perlukan dan perdarahan serviks, menghindarkan preforasi uterus, mengurangi rasa nyeri dan karena mudah mengatur sikap pasien. Kateter dimasukkan kedalam kavum uteri dengan bantuan klem, kemudian

Page 14: Infertilitas

dipertahankan pada tempatnya dengan menyuntikkan 2 ml air. Setelah spekulum vagina dilepaskan, media kontras disuntikkan ke dalam kavum uteri secukupnya dengan pengawasan fluoroskopi. Untuk mendapat gambaran segmen  bawah uterus dan kanalis servikalis, balon dikempiskan sebentar sambil menyuntukkan media kontras. Keuntungan memakai madia kontras larut air ialah penyebarannya rata dalam kavum periotonei, cepat diserap ( dalam 60 menit ), menghindarkan kemungkinan terjadinya emboli, dan menimbulkan reaksi peritoneal yang tidak berarti.

Kadang – kadang terjadi kejang tuba, sebagai reaksi terhadap nyeri atau ketakutan sewaktu dilakukan histerosalpingografi, yang akan memberikan gambaran palsu seperti sumbatan. Usaha menghindarkannya ialah antara lain dengan obat nitrogliserin dibawah lidah, obat penenang, anestesi para servikal atau pemberian parenteral isoksuprin yang tidak selalu akan berhasil.

Histerosalpingografi yang dilakukan dengan baik dapat memberikan keterangan tentang seluk beluk kavum uteri, patensi tuba, dan kalau tubanya paten tentang peritoneumnya juga. Kalau memakai alat fluoroskopi penguat bayangan, setiap penyuntikan cairan kontras ke dalam kavum uteri dapat diikuti dengan seksama lewat layar televisi sehingga pemotretannya tidak membuta. Dengan teknik ini biasanya tidak lebih dari 3 potret yang dibuat yaitu potret pendahuluan, potret yang menggambarkan perlimpahan kontras ke dalam rongga perut dan potret 24 jam kemudian, kalau tubanya paten dan memakai kontras larut minyak, untuk memeriksa penyebarannya di dalam kavum peritonei. Pemotretan dari berbagai sudut tidak perlu karena tidak menambah pengetahuan, hanya akan menambah bahaya radiasi saja.

Kebolehan hiterosalpingografi memang tidak dapat disangkal, tetapi hanya dapat dilakukan di rumah sakit. Tidak jarang, wanita yang baru menjalani histerosalpingografi menjadi hamil. Khasiat terapeutik ini kalau memang ada, dapat diterangkan karena pemeriksaannya dapat membilas sumbatan – sumbatan tuba yang ringan atau menjadi kontras ( yodium ) yang berkhasiat bakteriostatik sehingga memperbaiki kualitas lendir serviks.

Pemakaian media kontras larut minyak pernah dikutuk karena lambat diserap, dapat menimbulkan granuloma, dan bahaya emboli. Akan tetapi, ternyata komplikasi itu dapat terjadi pula pada pemakaian media kontras larut air. Pembentukan granuloma ternyata lebih berhubungan dengan terdapatnya kelainan tuba sebelumnya daripada dengan jenis media kontras yang dipakai.

Saat percobaan dan indikasi kontra hipersalpingongafi sama dengan pertubasi. Pengulangan pemeriksaan histerosalpingografi yang tidak memuaskan akan menghadapkan pasien kepada bahaya radiasi yang tidak perlu, seandainya terdapat pemeriksaan lain yang lebih baik, misalnya laparoskopi. Laju endap darah yang senantiasa tinggi yang diduga karena peradangan alat – alat panggul, tidak serta – merta harus melaksanakan histerisalpingografi dengan segala kemungkinan bahaya radiasi, langsung saja dengan laparoskopi diagnostik.

( Sarwono, 2005 : 511 – 512 )

7.        Histeroskopi

Page 15: Infertilitas

Histeroskopi adalah peneropongan kavum uteri yang sebelumnya telah digelembungkan dengan media dekstran 32%, glukosa 5%, garam fisiologik, atau gas CO2. Dalam infertilitas, pemeriksaan histeroskopi dilakukan apabila terdapat :

a)         Kelainan pada pemeriksaan histerosalpingografi.

b)        Riwayat abortus habitualis.

c)         Dugaan adanya mioma atau polip submukosa.

d)        Perdarahan abnormal dari uterus.

e)         Sebelum dilakukan bedah plastik tuba, untuk menempatkan kateter sebagai splint pada bagian proksirnal tuba.

Histeroskopi tidak dilakukan kalau diduga terdapat infeksi akut rongga panggul, kehamilan atau perdarahan banyak uterus.

Pemeriksaan histeroskopi yang dapat langsung melihat kavum uteri dapat menghindarkan kesalahan diagnostik seperti yang dapat terjadi pada kuretase atau biopsi endometrium yang membuta. Lagi pula, melalui histeroskopi dapat dilakukan pembedahan ringan seperti melepaskan perlekatan, mengangkat polip dan mioma submukosa.

( Sarwono, 2005 : 512 – 513 )

8.        Pemeriksaan Hormonal

Hasil pemeriksaan hormonal dengan RIA harus selalu dibandingkan dengan nilai normal masing – masing laboratorium.

Pemeriksaan FSH berturut – turut untuk memeriksa kenaikan FSH tidak selalu mudah, karena perbedaan kenaikannya tidak sangat nyata, kecuali pada tengah – tengah siklus haid ( walaupun masih kurang nyata dibandingkan dengan puncak LH). Pada fungsi ovarium tidak aktif, nilai FSH yang rendah sampai normal menunjukkan kelainan pada tingkat hipotalamus atau hipofisis. Sedangkan nilai yang tinggi menunjukkan kelainan primernya pada ovarium.

Pemeriksaan LH setiap hari pada wanita yang berovulasi dapat sangat nyata menun jukkan puncak LH, yang biasanya dipakai sebagai patokan saat ovulasi. Akan tetapi, karena hipofisis mengeluarkan LH – nya secara berkala, penentuan saat ovulasi dengan pemeriksaan ini dapat keliru ± 1 hari. Kekeliruan ini dapat dikurangi dengan melakukan pemeriksaan LH serum atau urin beberapa kali setiap hari, yang tidak selalu mudah dilakukan. Penentuan saat ovulasi dengan pemeriksaan LH ini baru dapat diyakinkan kalau pemeriksaan berikutnya menghasilkan nilai yang lebih rendah dengan nyata. Pada fungsi ovarium yang tidak aktif, nilai LH yang rendah atau tinggi, interpretasinya sama dengan untuk FSH.

Page 16: Infertilitas

Pemeriksaan Estrogen serum atau urin dapat memberikan banyak informasi tentang aktivitas ovarium dan penentuan saat ovulasi. Kalau pemeriksaan ini tidak ditujukan untuk penentuan saat ovulasi yang tepat, pemeriksaannya cukup seminggu sekali. Nilai esterogen urin yang tetap di bawah 10 mikrogram/24 jam menunjukkan tidak adanya aktivitas ovarium. Nilai diatas 15 mikrogram/24 jam menunjukkan adanya aktivitas folikular ovarium. Pemeriksaan perangai sekresi esterogen dan pregnandiol dalam 4 minggu dapat mempertunjukkan adanya siklus anovulasi dengan ekskresi estrogen terus – menerus (20 – 50 mikrogram/24 jam ) atau dengan ekskresi esterogen yang berfluktuasi ( puncak 40 – 200 mikrogram/24jam ) atau dengan nilai prenandiol rendah ( kurang dari 1 mikrogram/24 jam ).

Pemeriksaan progresteron plasma atau pregnandiol urin berguna untuk menunjukkan adanya ovulasi. Terjadinya ovulasi akan diikuti oleh peningkatan progresteron, yang sudah dapat diukur mulai 2 hari sebelum ovulasi, akan tetapi sangat nyata dalam 3 hari setelah ovulasi. Nilainya 20 – 40 kali lebih tinggi daripada nilai pada fase folikular. Akan tetapi, ;puncak estrogen dan LH masih dapat terjadi, sekalipun siklusnya anovulasi. Oleh sebab itu, pemeriksaan estrogen dan LH yang ditujukan untuk mengetahui telah terjadinya ovulasi harus disertai pemeriksaan progresteron plasma atau pregnandiol urin kira – kira seminggu setelah ovulasi diperkirakan terjadi. Pregresteron plasma di atas 10 nanogram/ml atau pregnandiol urin di atas 2 mg/24 jam menunjukkan bahwa ovulasi telah terjadi. Nilai seperti itu di pertahankan kira – kira selama seminggu.

( Sarwono, 2005 : 516 – 517 )

9.        Laparoskopi Diagnostik

Laparoskopi diagnostik telah menjadi bagian integral terakhir pengolahan infertilitas untuk memeriksa masalah peritoneum. Pada umumnya untuk mendiagnosis kelainan yang samar, khususnya pada istri pasangan infertil yang berumur 30 tahun lebih, atau yang telah mengalami infertilitas selama 3 tahun lebih. Esposito menganjurkan agar laparoskopi diagnostik dilakukan 6 – 8 bulan setelah pemeriksaan infertilitas dasar selesai dilakukan. Lebih terperinci lagi, menurut Albano, indikasi untuk melakukan laparaskopi diagnostik adalah :

a)         Apabila selama 1 tahun pengobatan belum juga terjadi kehamilan.

b)        Kalau siklus haid tidak teratur, atau suhu basal badan monofasik.

c)         Apabila isteri pasangan infertil berumur 28 tahun lebih, atau mengalami infertilitas selama 3 tahun lebih.

d)        Kalau terdapat riwayat laparotomi

e)         Kalau pernah dilakukan histerosalpingografi dengan media kontras larut minyak.

f)         Kalau terdapat riwayat apendisitis.

g)        Kalau pertubasi berkali – kali abnormal.

Page 17: Infertilitas

h)        Kalau disangka endometrium.

i)          Kalau akan dilakukan inseminasi buatan.

Saat terbaik untuk melakukan laparoskopi diagnostik ialah segera setelah ovulasi. Segera setelah ovulasi akan tampak korpus rubrum, sedangkan sebelum ovulasi akan tampak folikel Graaf. Pada siklus haid 28 hari laparoskopi dilakukan antara hari ke-14 dan 21. Pada kesempatan ini dapat pula diperiksa biopsi endometrium, pregnandiol, 17-ketosteroid urin 24 jam dan fungsi tiroid. Pada siklus haid yang tidak berovulasi ( amenore ), laparoskopi dapat dilakukan setiap saat.

Cacat bawaan uterus biasanya didiagnosis dengan histerosalpingografi; dilakukan laparaskopi kalau akan meyakinkan uterus septus dari uterus ganda, dan untuk menilai kelayakan operasi metroplastik. Endometriosis dapat ditemukan pada 30% istri pasangan infertil dan kejadiannya akan lebih meningkat dengan beretambahnya usia istri. Kelainan tuba seperti hidrosalping tuba fimosis, perlekatan perituber, hanya dapat diyakini dengan laparoskopi diagnostik. Kelayakan untuk melakukan operasi plastik tuba dilakukan dengan laparoskopi diagnostik.

Kalau hasil laparoskopi sangat meragukan, dapat dilakuka pemeriksaan histeroskopi. Hasil positif palsu dapat terjadi pada hidroturbasi, karena larutan warna itu dapat lolos melalui suatu lubang pada dinding uterus sehingga dalam kavum douglasi tampak penggumpalan larutan warna. Hasil negatif palsu dapat terjadi karena kegagalan untuk dapat menggelembungkan uterus, yang berarti kegagalan untuk meningkatkan tekanan, agar larutan warna dapat mengalir lewat tuba.

Kalau pemeriksaan laparoskopi tidak dapat dilakukan karena banyak perlekatan, maka satu – satunya cara untuk memeriksa alat – alat rongga panggul ialah laparotomi.

( Sarwono, 2005 :519 – 520 )

10.    Sitologi Vagina Hormonal

Sitologi vagina hormonal menyelidiki sel – sel yang terlepas dari selaput lendir vagina, sebagai pengaruh hormon – hormon ovarium (estrogen dan progesteron). Pemeriksaan ini sangat sederhana, mudah dan tidak menimbulkan nyeri, sehingga dapat dilakukan secara berkala pada seluruh siklus haid.

Tujuan pemeriksaan sitologi vagina hormonal ialah :

a)         Memeriksa pengaruh estrogen dengan mengenal perubahan sitologik yang khas pada fase proliferasi.

b)         Memeriksa adanya ovulasi dengan mengenal gambaran sistologik pada fase luteal lanjut.

c)         Menentukan saat ovulasi dengan mengenal gambaran sitologik ovulasi yang khas.

d)        Memeriksa kelainan fungsi ovarium pada siklus haid yang tidak berovulasi.

Page 18: Infertilitas

Sitologi vagina hormonal tidak mengenal indikasi kontra. Walaupun demikian, pengenalan gambaran sitologi dapat dipersulit kalau terdapat perdarahan atau peradangan traktus genitalis. Pemeriksaan sitologi vagina sebagai berikut :

a)         Sebuah tablet nimorazol dimasukkan ke dalam vagina 2 hari sebelum setia kali pemeriksaan, agar sediaan tidak dikotori oleh sel – sel radang.

b)         Pemeriksaan direncanakan pada hari ke-8, 12, 18, dan 24 dari siklus haid.

c)         Pasien dilarang bersenggama, diperiksa dalam, atau membilas kedalam vagina, dalam 24 jam sebelum pemeriksaan.

d)        Dengan spukulum vagina yang bersih, fornises lateralis ditampilkan.

e)         Lendir vagina dari fornises lateralis itu diusap dengan spatel kayu atau plastik yang bersih, kemudian dioleskan pada sebuah gelas objek yang baru.

f)          Difiksasi dengan alkohol 95%.

g)         Diwarnai dengan pulasan harris-Shorr.

(Sarwono, 2005: 516)

Pria

Penentu kelainan pada pria harus dilakukan segera, karena kira- kira 40% kasus dapat ditemukan penyebabanya. Analisis faktor-faktor pada pria lebih murah dan mudah.

Anamnesis dan pemeriksaan lengkap (fisik, seksual, sosial, dan psikologik), pemeriksaan klinik genetalia untuk ukuran testis, varikokel, dan lain- lain.

Analisis semen termasuk volume semen (lebih dari 2 ml dengan lebih dari 20 jutaspermatozoa/ ml), motilitas ( lebih dari 40%, 4 jam setelah semen dikeluarkan) dan morfologi (60% spermatozoa harus mempunyai morfologi normal).

Wanita

Anamnesis dan pemeriksaan lengkap (fisik, seksual, sosial, dan psikologik), pemeriksaan pelvis untuk kelainan traktus genitalis.

Tes untuk ovulasi (pengukuran temperatur basal tubuh dan lain- lain). Insuflasi tuba, histerosalfingografi, laparoskopi (kira- kira 30% penyebab infertilitas berkaitan

dengan gangguan atau anomali tuba). Pemeriksaan endokrin (kira- kira 20% infertilitas pada wanita disebabkan oleh gangguan

hormonal). Pemeriksaan getah serviks, biopsi endometrium (kira- kira 10% infertilitas pada wanita adalah

akibat lingkungna serviks yang tidak menunjang).

(Dr. Lyndon Saputra, 2009: 383- 384)

Page 19: Infertilitas

2.5     Penanggulangan Beberapa Masalah Infertilitas

2.5.1              Air Mani yang Abnormal

Air mani disebut abnormal kalau pada tiga kali pemeriksaan berturut – turut hasilnya tetap abnormal. Nasihat terbaik bagi pasangan dengan air mani abnormal adalah melakukan senggama berencana pada saat – saat subur istri.

Adapun air mani abnormal yang masih dapat diperbaiki itu kalau disebabkan oleh varikokel, sumbatan, infeksi, defisiensi gonadotropin atau hiperprolaktinemia.

Verikokel

Motilitas spermatozoa yang kurang hampir selalu terdapat pada pria dengan varikokel. Menurut McLeod, motilitas spermatozoa yang kurang itu dapat ditemukan pada 90% pria dengan verikokel, sekalipun hormon gonad dan varikokelektomi tidak berhubungan dengan besar kecilnya varikokel. Adanya varikokel disertai motilitas spermatozoa yang kurang hampir selalu dianjurkan untuk dioperasi. Kira – kira dua pertiga pria dengan varikokel yang dioperasi akan mengalami perbaikan dlaam motilitas spermatozoanya.

Sumbatan Vasdifferen

Pria yang tersumbat vasnya akan mempertunjukkan azoospermia, dengan besar testikel dan kadar FSH yang normal. Dua tanda terakhir ini sangat konsisten untuk spermatogenesis yang normal. Operasi vasoepididimostomi belum memuaskan hasilnya. Walaupun 90% dari ejakulasinya mengandung spermatozoa, akan tetapi angka kehamilannya berkisar 5 – 30%.

Infeksi

Infeksi akut traktus genitalis dapat menyumbat vas atau merusak jaringan testis, sehingga pria yang bersangkutan menjadi steril. Akan tetapi infeksi yang menahun mungkin hanya menurunkan kualitas spermatozoa dan masih dapat diperbaiki menjadi seperti semula dengan pengobatan. Air mani yang selalu mengandung banyak lekosit, apalagi kalau disertai gejala disuria, nyeri pada waktu ejakulasi, nyeri punggung bagian bawah, patut diduga karena  infeksi menahun traktus genitalis. Antibiotika yang terbaik adalah yang akan terkumpul dalam traktus genetalis dengan jumlah besar, seperti eritromisisn, dimetil klortetrasiklin, dan trimetoprimsulfametoksazol. Nitrofurantoin janganpakai karena dapat menghambat spermatogenesis.

Defisiensi Gonadotropin

Walaupun penyebab infertilitas ini jarang sekali terjadi, akan tetapi sangat penting untuk diketahui ada tidaknya penyebab ini, karena pengobatannya dengan gonadotropin dapat mengembalikan fertilitasnya. Pria dengan defisiensi gonadotropin bawaan sering kali mengalami pubertas yang lambat, yang biasanya pernah mendapat pengobatan dengan testosteron. Kalau sudah diobati sebelumnya, tanda – tanda seks sekundernya biasanya tampak jelas. Kalu belum

Page 20: Infertilitas

pernah mendapat pengobatan, air maninya biasanya azoospermia dengan volum yang rendah, tubuhnya jangkung, testikelnya kecil        ( kurang dari 4 ml )  mungkin juga terdapat ginekomastia. Pasien ini mungkin juga mengidap kelainan bawaan lain seperti, anosmia sebagian atau seluruhnya. Adanya hipogonadismus dengan anosmis mengacu kepada sindroma hipogonadismus-hipogonadotrofik            ( sindroma Kallman ).

Sebagian besar pasien ini memerlukan pengobatan dengan LH dan FSH. Biasanya dimulai dengan LH dalam bentuk HCG selama 3 bulan dengan dosis 1000 dan 3000 UI, dua atau tiga kali seminggu. Pengobatan ini akan merangsang pengembangan ciri – ciri seks sekunder, dan menambah besar testis. Libido seksualis, potensi dan volum ejakulat akan bertambah pula walaupun ejakulatnya tidak mengandung spermatozoa. Pada permulaan pengobatan dengan HCG, ada baiknya diperiksa kadar plasma testosteron 48 jam setelah penyuntikan. Menurut Rosenberg, kalau testosteron plasmanya tetap subnormal, besarnya atau frekuensi dosis obat itu harus ditambah.

Walaupun pada beberapa orang pengobatan dengan HCG saja dapat berhasil baik, akan tetapi biasanya memerlukan pengobatan HCG dan FSH untuk merangsang spermatogenesis. Preparat FSH biasa dipakai, yang juga mengandung LH ialah yang bersal dari urin. Satu ampulnya mengandung 75 UI FSH san 75 UI LH. Biasanya diperlukan 3 – 4 ampul setiap minggu, itu berarti antara 225 – 300 UI FSH setiap minggu, yang diberikan dibagi – bagi. Keperluan akan HCG yang diberikan dalam bentuk LH bersama FSH, ternyata sangat individual. Lama pengobatan bervariasi antara 4 bulan sampai 2 tahun, untuk mendapatkan spermatozoa dan ejakulatnya, oleh karena itu pengobatannya harus dimonitor dengan pemeriksaan air mani sebulan sekali. Pengobatan standard tidak mungkin dibuat.

Dengan ditemukannya GnRH untuk pemakaian dalam klinik, pengobatan sindroma Kallman memberikan harapan lebih banyak berhasil, akan tetapi hormon ini masih sangat mahal harganya.

Hiperprolaktinemia

Hiperprolaktinemia pada pria dapat mengakibatkan impoten, testikel yang mengecil dan kadang – kadang galaktorea. Analisis air mani biasanya normal atau sedikit berkurang. Akan tetapi, Segal, et al. Dan Saidi, et al., melaporkan adanya hubungan hiperprolaktinemia dengan oligospermia yang kalau diobati dengan dopamin agonis 2-bromo-alfaergo-kriptin dapat memperbaiki spermatogenesisnya.

( Sarwono, 2005 : 521 – 523 )

2.5.2              Uji pasca senggama yang abnormal

Disebabkan oleh saat pemeriksan yang tidak tepat, baik terlampau dini maupun terlamapau lambat dalam siklus haid. Sekalipun ada wanita yang fertil, terdapat kesempatan 2 hari saja untuk melakukan uji pascasenggama yang tepat, yaitu sekitar tengah siklus haidnya. Oleh karena itu, apabila diperoleh hasil uji pascasenggama yang abnormal, sebaiknya diulang beberapa kali lagi pada saat yang tepat.

Page 21: Infertilitas

Penyebab uji pascasenggama yang abnormal:

Air mani yang abnormal seperti azoospermia, oligospermia,kelainan morfologi spermatozoa yang tinggi atau leufaksi air mani yang lambat.

Hasil uji pascasenggama yang terus menerus abnormal harus menjadikan perhatian.

Bila hasil uji penetrasi sperma in vitro baik : berarti kurangnya kontak antara air mani dan lender serviks, seperti pada kelainan alat intravaginal yang kurang baik.

Bila hasil uji penetrasi sperma in vitro abnormal, sedangkan terdapat nonspermia dan sifat fisik kimia lendir serviks yang normal, mungkin seklai disebsbkan oleh faktor imunologi.

( Sarwono, 2005 : 523 – 524 )

2.5.3              Mioma uteri

Ada istri yang tidak dapat hamil dan satu-satunya kelainan yang dapat ditemukan adalah Mioma Uteri.  Mekanisme mioma uteri dapat menghambat terjadinya kehamilan belum diketahui. Mungkin disebabkan oleh tekanan pada tuba, distorsi atau elongsi kavum uteri, iritasi miometruim, atau torsi oleh mioma yang bertangkai. Waktu yang diperlukan untuk menjadi hamil setelah dilakukan miomektomi kira-kira 18 bulan.

( Sarwono, 2005 : 524 – 525 )

2.5.4              Masalah tuba yang tersumbat

Istri dengan riwayat infekasi pelvic yang berulang dapat dicoba dengan pemberian antibiotic dalam jangka panjang. Pemberian antibiotik secukupnya selang 6-12 bulan dapat lebih memungkinkan terjadinya potensi tuba. Terapi kimia pada tuberculosis pelvic yang sangat sedikit membawa hasil. Kalaupun ada, akan dihadapkan kepada kehamilan di luar kandungan yang sangat tinggi. Kemungkinan terjadinya kehamilan sangat tergantung kepada kerusakan yang ditimbulkan pada endosalping.

Indikasi pembedahan tuba: tersumbatnya seluruh atau sebagian tuba sebagaimana diperiksa dalam histerosalpingografi dan laparoskopi, tekukan tuba yang patologik, sakulasi tuba, perlekatan peritubular dan periovarial khususnya untuk membebaskan gerakan tuba dan ovarium.

Pembedahan tuba tidak dapat dilakukan kalau hasil analisis air mani suaminya abnormal dan penyakit pada istri yang tidak memperbolehkan dia hamil.

Tujuan pembedahan tuba: adalah  untuk memperbaiki  dan mengembalikan anatomi tuba dan ovarium seperti semula, dengan sangat memperhatikan kemungkinan gerakan otot dan silia tuba, sekresi tuba dan daya tangkap ovum yang efektif.

( Sarwono, 2005 : 525 – 527 )

Page 22: Infertilitas

2.5.5              Endometriosis

Adalah tumbuhnya kalenjar dan stroma endometrium yang masih berfungsi diluar tempatnya yang biasa, yaitu rongga uterus. Laparoskopi diagnostic pada isteri pasangan infertile, Cohen mendapatkan 23% mengidap penyakit itu.

Gejala dan tanda :

a.   Wanita dengan endometriosis ringan, dapat menderita nyeri nyeri panggul hebat, dan sebaliknya wanita dengan endometriosis hebat keluhannya dapat ringan sekali, nyeri panggul dalam bentuk dysmenorhea sering sekali dianggap sebagai gejala khas.

b.   Dispareunia

Bila penyakit telah menjalar ke ligamentum sakrouterina dan kavem douglasi

c.    Perdarahan abnormal dari uterus

Dara prahaid yang berwarna coklat dan infertilitas primer atau sekunder

d.   Pada periksa dalam terdapat benjolan-benjolan kecil pada ligamentum sakrouterina dan uterus retrofleksi atau adneksa yang sukar digerakkan

Terapi Endometriosis

a.    Menunggu sampai terjadi kehamilan sendiri

b.   Pengobatan hormonal

c.    Pembedahan konservatif

Apabila pengobatan ditujukan untuk infertilitas karena endometriosis, harus ada pertimbangan umur pasien, tahap penyakitnya, lama infertilitas, dan kehebatan keluhannya. Oleh karena itu, pada pasien yang sudah lanjut usia dan sudah lama infertilitasnya, sebaiknya dianjurkan untuk menempuh pembedahan keonservatif.

( Sarwono, 2005 : 527 – 528 )

2.5.6              Induksi ovulasi dengan klomifen sitrat

Pengobatan induksi ovulasi pada istri pasangan infertile yang tidak berovulasi berkisar antara klomifen sitrat, bromokriptin, dan gonadotropin dari manusia. Banyak pasien dengan oligomenorea atau amenorea kurang dari 12 bulan, biasanya akan berovulasi sendiri selagi dalam pemeriksaan, mungkin sekali akibat ketenangan yang diperolehnya setelah mereka memeriksakan diri. Dalam hal ini ovulasi dapat dipercepat dengan pemberian plasebo

Page 23: Infertilitas

Klomifen Sitrat merupakan obat pilihan pertama untuk pasien dengan siklus haid yang tidak berovulasi dan oligomenorhea, amenorrhea sekenuder yang kadar FSH, LH, dan prolaktinnya normal.

Terdapat empat kemungkinan hasil pengobatan Klomifen :

a.       Terjadinya ovulasi : pengobatan diulangi dengan dengan dosis yang sama

b.      Hanya terjadi pematangan folikel, mungkin dengan ovulasi yang terjadi lambat atau dengan defek korpus luteum : pengobatan diulangi dengan dosis yang sama, kalau tetap dosis ditingkatkan

c.       Terjadi pematangan folikel tanpa terjadinya ovulasi : pengobatan diulangi dengan dosis yang sama ditambah suntikan HCG (3000-5000 ui) selama 5-7 hari setelah dosis klomifen terakhir dimakan

d.      Tak ada reaksi sama sekali : dosis klomifen ditingkatkan setiap siklus, dimulai dengan 100 mg perhari selama 5 hari dan berakhir dengan dosis maksimal 200 mg perhari selama lima hari.

( Sarwono, 2005 : 528 – 530 )