bab ii infertilitas
DESCRIPTION
referatTRANSCRIPT
BAB IITINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Infertilitas adalah ketidakmampuan seorang istri untuk hamil dan melahirkn
anak hidup meskipun telah melakukan hubungan seksual yang adekuat, regular
(3-4 kali seminggu) dan tanpa kontrsepsi7,8.
Menurut Olds et al (1988), definisi infertilitas adalah ketidakmampuan
pasangan suami istri untuk menghasilkan seorang anak yang hidup sebagai
kegagalan dari mengandung atau kegagalan untuk mengandung bayi yang dapat
hidup9.
2.2 Jenis infertilitas
Infertilitas dibagi menjadi 2, yaitu infertilitas primer dan infertilitas
sekunder. Infertilitas primer merupakan ketidakmampuan pasangan suami istri
untuk memperoleh anak setelah berhubungan seksual secaa teratur selama 1 tahun
dan tanpa menggunakan kontrasepsi. Sedangkan infertilitas sekunder adalah
ketidakmampuan pasangan suami istri untuk memperoleh anak lagi setelah
berhubungan seksual secara teratur selama 1 tahun tanpa menggunakan
kontrasepsi, dimana sebelumnya pasangan ini telah mempunyai anak7.
2.3 Epidemiologi
Secara umum, diperkirakan satu dari tujuh pasangan di dunia bermasalah
dalam hal kehamilan. Di Indonesia, angka kejadian perempuan infertil primer
15% pada usia 30-34 tahun, meningkat 30% pada usia 35-39 tahun dan 64% pada
usia 40-44 tahun. Berdasar survei kesehatan rumah tangga tahun 1996,
diperkirakan ada 3,5 juta pasangan (7 juta orang) yang infertil. Mereka disebut
infertil telah meningkat mencapai15-20 persen dari sekitar 50 juta pasangan di
Indonesia. Penyebab infertilitas sebanyak 40% berasal dari pria, 40% dari wanita,
10% dari pria dan wanita, dan 10% tidak diketahui10.
2.4 Etiologi
Infertilitas dapat terjadi karena faktor wanita, faktor pria, maupun keduanya.
Identifikasi faktor penyebab sangat penting untuk menentukan langkah-langkah
penanganannya, seperti terapi dan prognosis. Berbagai masalah yang dihadapi
3
termasuk abnormalitas hormon atau blokade yang disebabkan oleh infeksi dari
fungsi-fungsi organ reproduksi11.
Stright (2004) mengemukakan bahwa ada faktor-faktor yang menyebabkan
infertilitas pada wanita, diantaranya adalah sebagai berikut :
2.4.1 Faktor wanita
a. Masalah vagina
Meliputi infeksi vagina, abnormalitas anatomi, disfungsi seksual yang
mencegah penetrasi penis, atau lingkungan vagina yang sangat asam yang secara
nyata mengurangi daya hidup sperma.
b. Masalah serviks
Gangguan pada setiap perubahan fisiologis yang secara normal terjadi
selama periode praovulatori dan ovulatori yang membuat lingkungan serviks
kondusif bagi daya hidup sperma (misalnya : lubang ostium serviks, peningkatan
alkalinitas, peningkatan sekresi, dan ferning). Masalah mekanis seperti
inkompetensi serviks berhubungan dengan wanita yang ibunya diobati dengan
etilstilbestrol (DES) selama kehamilan.
c. Masalah uterus
Secara fungsional (misalnya : lingkungan yang kurang disukai untuk
pergerakan sperma naik ke uterus sampai tuba falopi atau untuk implantasi setelah
fertilisasi). Secara struktural (misalnya : mioma uterus atau leiomioma).
d. Masalah tuba
Infertilitas yang berhubungan dengan masalah tuba, menjadi lebih menonjol
dengan peningkatan insiden penyakit radang panggul PID (Pelvic Inflamatory
Desease), menyebabkan jaringan parut yang memblok kedua tuba falopi.
Peningkatan penggunaan alat kontrasepsi dalam rahim (IUD) berperan terhadap
peningkatan PID karena 40% infeksi yang berhubungan dengan penggunaan IUD
merupakan asimtomatik dan tetap tidak tertangani.
Endometriosis juga dapat berperan pada obstruksi tuba. Dimana
diperkirakan mempengaruhi 2,5-3,3 % dari wanita usia subur13.
e. Masalah ovarium
Meliputi anovulasi, oligo-ovulasi dan sindrom ovarium polikistik.
Malfungsi sekretori juga ikut berperan, misalnya sekresi progesteron tidak
4
adekuat atau tidak adekuatnya fase luteal akan berpengaruh pada kemampuan
mempertahankan ovum yang telah dibuahi.
2.4.2 Faktor pria
Infertilitas pada pria dapat terjadi karena adanya abnormalitas yang
berhubungan dengan spermatogenesis, transpor sperma, fungsi sperma dan
ejakulasi11. Menurut Olooto (2012), infertilitas pada pria dapat dipengaruhi oleh
beberapa faktor, yaitu:
a. Faktor Pra-testis
Kondisi yang menghambat testis memproduksi sperma yang baik yaitu
kadar hormonal yang rendah, penurunan kadar hipogonadisme, penurunan folikel
stimulating hormon (FSH) dan nitrofurantoin yang menurunkan motilitas sperma.
Mengkonsumsi obat-obatan seperti cimetidine dan spironolactone juga dapat
menurunkan folikel. Gaya hidup seperti mengkonsumsi alkohol, ganja, merokok
juga dapat menurunkan kualitas dari sperma.
b. Faktor testis
Faktor yang mempengaruhi kualitas dan kuantitas sperma yang dihasilkan
oleh testis juga tergantung pada usia. Sperma yang kualitasnya buruk dapat
menyebabkan cacat genetic dari kromosom Y (sindrom Klinefelter).
Neoplasma pada pria seperti seminoma , kriptorkismus , varikokel, infeksi
virus gondok menyumbang 30 % dari infertilitas laki-laki. Infeksi virus gondok
pada pria remaja dan dewasa adalah penyebab tersering dari orkitis, epididimitis
atau epididimoorkitis dan setengah dari infeksi ini menyebabkan atrofi testis.
c. Faktor Post-testis
Faktor Post-testis menurunkan kesuburan pria karena kondisi yang
mempengaruhi sistem genital laki-laki setelah testis memproduksi sperma dan
termasuk cacat pada saluran genital seperti masalah ejakulasi : misalnya
impotensi, vasdeferens obstruksi, kurangnya vasdeferens , infeksi seperti prostitis
obstruksi saluran ejakulasi dan hipospadia14.
Stright. R (2004) juga mengemukakan bahwa ada faktor-faktor yang
menyebabkan infertilitas pada pria, diantaranya adalah sebagai berikut :
a. Faktor kongenital meliputi riwayat ibu yang meminum DES selama kehamilan
dan tidak adanya vas deverens atau testis.
5
b. Masalah ejakulasi, meliputi ejakulasi retrograde yang berhubungan dengan
diabetes, kerusakan saraf-saraf, obat-obatan atau trauma bedah.
c. Abnormalitas sperma meliputi produksi atau pematangan sperma tidak
adekuat, mortilitaas tidak adekuat, pembendungan sperma sepanjang saluran
reproduktif pria dan ketidak mampuan menyimpan sperma dalam vagina.
d. Abnormalitas testikular adalah kelainan yang terkait dengan penyakit
(misalnya : orkitis berhubungan dengan infeksi parotitis setelah pubertas),
kriptokidisme, trauma atau radiasi.
e. Kesulitan koitus dapat terjadi karena obesitas atau kerusakan syaraf spinal.
f. Obat-obatan (misalnya : metotreksat, amobisid, hormon-hormon seks dan
nitrifuration) dapat mempengaruhi spermatogenesis.
g. Faktor lain yang berpengaruh terhadap produksi sperma atau semen adalah
infeksi (misalnya : penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual), stres,
nutrisi tidak adekuat, asupan alkohol berlebihan dan nikotin.
2.4.3 Masalah interaktif
Berasal dari penyebab yang spesifik untuk setiap pasangan, meliputi :
frekuensi senggama yang tidak memadai, waktu senggama yang buruk,
perkembangan antibody terhadap sperma pasangan, penggunaan pelumas yang
kemungkinan bersifat spermisida, seperti jelly petroleum dan beberapa pelumas
ctelur12.
2.5 Patofisiologi
Sekitar 95% dari disfungsi pada sistem reproduksi dikaitkan dengan
anovulasi, kelainan anatomis pada traktus genital wanita dan produksi sperma
yang tidak normal.
Disfungsi ovulasi adalah penyebab utama dari infertilitas. Obstruksi
tubafalopi adalah gangguan struktur yang lazim. Penyebab obstruksi yang paling
lazim ditemukan adalah salpingitis akut karena infeksi gonorea atau klamidia.
Infeksi pelvis, pemakaian IUD dan endometriotis juga bisa menyebabkan
obstruksi tuba.
Infeksi bisa merusak kelenjar-kelenjar yang menyekresi mukus yang
membantu kelangsungan hidup dan motilitas sperma. Kurangnya estrogen bisa
6
menyebabkan volume dan kualitas mukus serviks menurun. Kelainan pada uterus
termasuk leinomioma bisa mengganggu implantasi ovum yang telah dibuahi.
Sekitar 40% dari infertilitas menyangkut masalah produksi sperma.
Infertilitas bisa mengakibatkan efek psikologis yang sangat berat pada
suami/istri. Ketidakmampuan untuk mendapat keturunan bisa mempengaruhi
semua aspek hidup suami/istri. Mengikuti pemeriksaan dan pengobatan dapat pula
memberi pengharapan yang kemudian bisa menjadi keputusan apabila pengobatan
gagal15.
2.6 Faktor resiko
Beberapa faktor resiko yang dapat menyebabkan infertilitas adalah :
a. Umur
Kemampuan reproduksi wanita menurun drastis setelah umur 35 tahun. Hal
ini dikarenakan cadangan sel telur yang makin sedikit. Fase reproduksi wanita
adalah masa sistem reproduksi wanita berjalan optimal sehingga wanita
berkemampuan untuk hamil. Fase ini dimulai setelah fase pubertas sampai
sebelum fase menopause. Pada fase reproduksi, wanita memiliki 400 sel telur.
Semenjak wanita mengalami menarche sampai menopause, wanita mengalami
menstruasi secara periodik yaitu pelepasan satu sel telur. Jadi, wanita dapat
mengalami menstruasi sampai sekitar 400 kali. Pada umur 35 tahun simpanan sel
telur menipis dan mulai terjadi perubahan keseimbangan hormon sehingga
kesempatan wanita untuk bisa hamil menurun drastis. Kualitas sel telur yang
dihasilkan pun menurun sehingga tingkat keguguran meningkat. Sampai pada
akhirnya kira-kira umur 45 tahun sel telur habis sehingga wanita tidak menstruasi
lagi alias tidak dapat hamil lagi. Pemeriksaan cadangan sel telur dapat dilakukan
dengan pemeriksaan darah atau USG saat menstruasi hari ke-2 atau ke-3 10.
Penundaan kehamilan pertama pada pasangan yang telah menikah akan
menurunkan batas alami kesuburan. Terjadi peningkatan infertilitas lebih dari
empat kali lipat sejak tahun 1975 , dari 5% menjadi 24 % bagi perempuan berusia
30 tahun yang menunda kehamilan pertama16.
b. Emosi
Stres memicu pengeluaran hormon kortisol yang mempengaruhi pengaturan
hormon reproduksi10.
7
c. Lingkungan
Paparan terhadap racun seperti lem, bahan pelarut organik yang mudah
menguap, silikon, pestisida, obat-obatan (misalnya, obat pelangsing) dan Kafein
terkandung dalam kopi dan teh. Obat rekreasional (rokok, kafein dan alkohol)
dapat mempengaruhi sistem reproduksi10.
Khususnya merokok dapat menyebabkan gangguan kesuburan selama
tahun-tahun. Laporan dari Surgeon General Merokok mengakibatkan berbagai
efek reproduksi yang merugikan termasuk infertilitas. Pada wanita, merokok
tembakau dikaitkan dengan penurunan fecundability ( kemungkinan terjadinya
konsepsi dalam satu bulan, disfungsi ovulasi dan dengan menopausedini. Pada
pria, merokok tembakau dikaitkan dengan volume yang lebih rendah saat
ejakulasi, kepadatan sperma yang lebih rendah, dan morfologi buruk dari
spermatozoa. Meskipun proporsi infertilitas yang disebabkan oleh merokok
tembakau tidak diketahui, spesialis infertilitas semakin sadar bahwa paparan
produk tembakau dapat menyebabkan kemandulan dan mengganggu
pengobatannya16.
d. Obesitas
Obesitas dikaitkan dengan disfungsi ovulasi dan menstruasi dan infertilitas
berikutnya , peningkatan risiko keguguran , dan penurunan efektivitas ART.
Obesitas pada pria dikaitkan dengan disfungsi ereksi dan penurunan produksi
androgen, namun efeknya pada kesuburan laki-laki belum jelas. Gangguan
metabolik yang berhubungan dengan sindrom ovarium polikistik telah menyoroti
hubungan antara makan berlebihan , resistensi insulin , dan perubahan endokrin
yang mengurangi kesuburan pada wanita dengan sindrom ovarium polikistik16.
e. Hubungan seksual dan Frekuensi
Hubungan intim (disebut koitus) atau onani (disebut masturbasi) yang
dilakukan setiap hari akan mengurangi jumlah dan kepadatan sperma. Frekuensi
yang dianjurkan adalah 2-3 kali seminggu sehingga memberi waktu testis
memproduksi sperma dalam jumlah cukup dan matang10.
8
2.7 Penegakan Diagnosis
Setiap pasangan infertil harus diperlakukan sebagai satu kesatuan. Itu
berarti, kalau istri saja yang diperiksa sedangkan suaminya tidak mau diperiksa,
maka pasangan itu tidak diperiksa.
Adapun syarat-syarat pemeriksaan pasangan infertil adalah sebagai berikut:8
1. Istri yang berumur antara 20-30 tahun baru akan diperiksa setelah berusaha
untuk mendapat anak selama 12 bulan. Pemeriksaan dapat dilakukan lebih dini
apabila:
a. Pernah mengalami keguguran berulang
b. Diketahui mengidap kelainan endokrin
c. Pernah mengalami peradangan rongga panggul atau rongga perut
d. Pernah mengalami bedah ginekologik
2. Istri yang berumur antara 31-35 tahun dapat diperiksa pada kesempatan
pertama pasangan itu datang ke dokter.
3. Istri pasangan infertil yang berumur antara 36- 40 tahun hanya dilakukan
pemeriksaan infertilitas kalau belum mempunyai anak dari perkawinan
tersebut.
4. Pemeriksaan infertilitas tidak dilakukan pada pasangan infertil yang salah satu
anggota pasangannya mengidap penyakit yang dapat membahayakan kesehatan
istri atau anaknya
2.7.1 Pemeriksaan infertilitas yang terkait dengan faktor istri :
1. Tahap pertama (Fase I) 17,18,19
a. Pemeriksaan riwayat infertilitas (anamnesis)
Anamnesis masih merupakan cara terbaik untuk mencari penyebab
infertilitas pada wanita. Faktor-faktor penting yang berkaitan dengan infertilitas
yang harus ditanyakan pada pasien adalah mengenai usia, riwayat kehamilan,
panjang siklus haid, riwayat penyakit sebelumnya, riwayat operasi, frekuensi
koitus, dan waktu koitus. Perlu juga diketahui pola hidup dari pasien mengenai
konsumsi alkohol, merokok, dan stress.
b. Pemeriksaan fisik
Disini perlu diperiksa Indeks Massa Tubuh (IMT), pemeriksaan kelenjar
tiroid, hirsutisme, akne, sebagai pertanda hiperandrogenisme. Adanya galaktorea
9
merupakan pertanda dari hiperprolaktinemia. Selain itu, dilakukan juga
pemeriksaan pelvik untuk mengetahui apakah ada kelainan di vagina, serviks, dan
uterus.
c. Penilaian ovulasi
Cara sederhana untuk mengetahui ovulasi adalah dengan mengukur suhu
badan basal (SBB). SBB juga dapat digunakan untuk menentukan kemungkinan
hari ovulasi. Cara lain yang dapat digunakan untuk penilaian ovulasi adalah
dengan pemeriksaan USG transvaginal dan pemeriksaan hormon progesteron
darah. Pada pemeriksaan USG transvaginal dapat dilihat pertumbuhan folikel.
Bila diameter mencapai 18-25 mm, berarti menunjukkan folikel matur dan akan
terjadi ovulasi.
d. Uji pasca senggama (UPS)
Merupakan cara pemeriksaan yang sederhana tapi dapat memberi informasi
tentang interaksi antara sperma dengan getah serviks. UPS dilakukan 2-3 hari
sebelum perkiraan ovulasi dimana “ spin barkeit” dari getah serviks mencapai 5
cm atau lebih. Pengambilan getah serviksdari kanalis endo-serviks dilakukan
setelah 2-12 jam senggama. Pemeriksaan dilakukan di bawah mikroskop. UPS
dikatakan (+) bila ditemukan paling sedikit 5 sperma per lapang pandang besar
(LPB). UPS dapat memberikan gambaran tentang kualitas sperma, fungsi getah
serviks,dan keramahan getah serviks terhadap sperma.
2. Tahap kedua (Fase II) 17,18,19
Pada tahap ini dilakukan pemeriksaan HSG untuk mencari patensi tuba. Uji
ini dilakukan pada paruh pertama siklus haid, dimana sebelum tindakan
dilakukan, pasien dianjurkan tidak senggama paling sedikit dua hari sebelumnya.
HSG dilakukan oleh ahli radiologi dengan menyuntikkan larutan radioopaque
melalui kanalis servikalis ke uterus dan tuba fallopi.
3. Tahap ketiga (Fase III) 17,19
Akhir-akhir ini laparoskopi dianggap cara terbaik untuk menilai fungsi tuba
fallopi. Kedua tuba dapat dilihat secara langsung dan potensinya dapat diuji
dengan menyuntikkan larutan metilen blue atau indigokarmir dan dengan melihat
pelimpahannya ke dalam rongga peritoneum. Dengan laparoskopi dapat sekaligus
10
melihat kelainan yang mungkin terdapat dalam rongga peritoneal, seperti
endometritis, perlengketan pelviks, dan patologi ovarium.
2.7.2 Pemeriksaan infertilitas yang terkait dengan faktor suami adalah :
1. Anamnesis20
Hal yang perlu diperhatikan pada pria adalah :
a. Merokok
Kondisi merokok seringkali terkait dengan penurunan kemampuan motilitas
sel spermatozoa.
b. Riwayat infeksi kelenjar parotis
Kondisi ini sering terkait dengan kejadian orchitis yang dapat menyebabkan
infertilitas.
c. Kesulitan ereksi
Kondisi ini terkait dengan stres psikis atau kelainan metabolik kronik seperti
diabetes melitus atau hipertensi.
2. Pemeriksaan fisik20
a. Payudara pria
Payudara pria harus normal, jika terlihat membesar atau ginekomastia,
mungkin ada peningkatan kadar hormon estrogen pada pria.
b. Penis
Perlu diperhatikan letak uretra yang dapat terkait dengan abnormalitas
seperti hipospadia.
c. Skrotum
Skrotum harus diraba untuk menilai kemungkinan skrotum terisi banyak
cairan, terdapat hernia skrotalis atau terdapat varikokel. Jumlah testis, volume
testis dan turunnya testis ke dalam skrotum juga perlu diperhatikan.
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan dasar yang wajib dikerjakan pada pasangan suami istri dengan
masalah infertilitas adalah pemeriksaan analisis sperma. Sebelum dilakukan
analisis sperma, dilakukan tahap pra analisis yang dapat mempengaruhi hasil
analisis sperma, yaitu sebagai berikut :21
a. Sediaan diambil setelah abstinensia sedikitnya 48 jam dan tidak lebih dari 7
hari.
11
b. Oleh karena variasi yang besar dalam produksi semen dapat terjadi pada
seseorang, sebaiknya dilakukan pemeriksaan dua sediaan. Waktu antara kedua
pemeriksaan tersebut tidak boleh kurang dari 7 hari atau kurang dari 3 bulan.
c. Sebaiknya sediaan dikeluarkan dalam kamar yang tenang dekat laboratorium.
Jika tidak, maka sediaan harus diantar ke laboratorium dalam waktu satu jam
setelah dikeluarkan dan jika motilitas sperma sangat rendah (< 25% bergerak
maju terus), sediaan kedua harus diperiksa secepatnya.
d. Sediaan sebaiknya diperoleh dengan cara masturbasi dan ditampung dalam
botol kaca atau plastik bermulut lebar.
e. Gunakan kondom dengan bahan plastik khusus (Mylex) atau penyimpan cairan
khusus (HDC corporation, Mountian view, calif). Kondom biasa sebaiknya
tidak digunakan untuk menampung semen karena mengandung spermatisid.
f. Coitus interuptus tidak dapat dipakai untuk mendapatkan siapan karena ada
kemungkinan bagian pertama ejakulat yang mengandung sperma paling banyak
akan hilang. Selain itu juga akan terjadi kontaminasi seluler dan bakteri pada
siapan serta dapat terjadi pula pengaruh kurang baik terhadap motilitas sperma
sebagai akibat PH cairan vagina yang asam.
g. Siapan yang tidak lengkap sebaiknya tidak diperiksa, terutama jika bagian
pertama ejakulat hilang.
h. Siapan harus dilindungi terhadap suhu yang ekstrim selama pengangkutan ke
laboratorium (suhu antara 20-400 C).
i. Botol harus diberi label dengan nama penderita, tanggal pengumpulan, dan
lamanya abstinensia.
4. Analisis sperma meliputi pemeriksaan makroskopis dan mikroskopis :21
a. Pemeriksaan Makroskopis
Warna
Warna normal adalah putih/agak keruh. Kadang-kadang ditemukan juga
warna kekuningan atau merah. Warna kekuningan mungkin disebabkan karena
radang saluran kencing atau abstinensia terlalu lama. Warna merah biasanya
oleh karena tercemar sel eritrosit ( hemospermi)
12
Volume
Cairan semen yang ditampung diukur dan diukur dengan gelas ukur, dan
dikatakan normospermi bila volumeya normal, yaitu 2-6 ml, dengan harga rata-
rata 2-3,5 ml. Aspermi bila tidak keluar sperma pada waktu ejakulasi.
Hiperspermi bila volume lebih dari 6 ml. Hipospermi bila volume kurang dari
1 ml, hal ini dapat disebabkan oleh tercecer pada waktu memasukkan semen ke
dalam botol ataupun keadaan patologis, antara lain penyumbatan kedua duktus
ejakulatorius dan kelainan kongenital misalnya agenesis vesikula seminalis.
Hiperspermi biasanya diikuti oleh konsentrasi sperma yang rendah dan
hiperseprmi dapat disebabkan oleh abstinensia yang lama dan produksi
kelenjar asesoris yang berlebihan.
Bau
Spermatozoa mempunyai bau khas yang mungkin disebabkan oleh proses
oksidasi dari spermia yang diproduksi oleh prostat. Semen dapat berbau busuk
atau amis bila terjadi infeksi.
PH
Cara untuk mengetahui keasaman semen digunakan kertas PH atau
lakmus, biasanya sifatnya sedikit alkalis. Semen yang terlalu lama akan
berubah PHnya. Pada infeksi akut kelenjar prostat, Phnya berubah menjadi di
atas 8 atau menjadi 7,2 misalnya pada infeksi kronis organ-organ tadi. WHO
memakai kriteria yang normal yang lazim yaitu 7,2 sampai dengan 7,8.
Viskositas
Viskositas semen diukur setelah mengalami likuefaksi betul (15-20 menit
setelah ejakulasi). Pengukuran dapat dilakukan dengan menggunakan pipet
pastur : Semen diisap ke dalam pipet tersebut, pada waktu pipet diangkat maka
akan tertinggal semen berbentuk benang pada ujung pipet. Panjang benang
diukur, normal panjangnya 3-5 cm. Ataupun menggunakan pipet yang sudah
mengalami standarisasi (Elliaon) : Pipet dalam posisi tegak, lalu diukur waktu
yang diperlukan setetes semen untuk lepas dari ujung pipet tadi. Angka normal
adalah 1-2 detik.
13
Likuefaksi
Semen normal pada suhu ruangan akan mengalami likuefaksi dalam
waktu 60 menit, walau pada umumnya sudah terjadi dalam 15 menit. Pada
beberapa kasus, likuefaksi lengkap tidak terjadi dalam 60 menit. Hal ini bisa
terjadi bila mengandung granula seperti jelly (badan gelatin yang tidak
mencair), tetapi tidak memiliki makna secara klinis. Bila hal ini ditemukan
akan sangat mengganggu dalam analisis semen, sehingga perlu dibantu dengan
pencampuran enzimatis.
b. Pemeriksaan mikroskopis
Pemeriksaan mikroskopis meliputi:
Jumlah spermatozoa per ml
Konsentrasi sperma ialah jumlah spermatozoa per ml sperma. Jumlah
spermatozoa total ialah jumlah seluruh spermatozoa dalam ejakulat. Berikut ini
adalah klasifikasinya :
a) Normal: jumlah spermatozoa di atas 60 juta/ml
b) Subfertil: 20-60 juta /ml
c) Steril: 20 juta atau kurang/ml
Namun, WHO menganggap jumlah sperma 20 juta/ml atau lebih masih
dianggap normal.
Jumlah spermatozoa motil per ml/persentase spermatozoa motil
Motilitas sperma dipengaruhi oleh adanya perubahan PH, infeksi,
morfologi, pematangan, dan gangguan hormonal. Namun, secara garis besar
WHO dan beberapa ahli berpendapat motilitas dianggap normal bila 50% atau
lebih bergerak maju atau 25% atau lebih bergerak maju dengan cepat dalam
waktu 60 menit setelah ditampung.
Motilitas sperma juga dapat dilihat dari gerakan maju spermatozoa
dengan ketentuan sebagai berikut:
a) Grade 0 (none) bila tidak ada spermatozoa yang bergerak
b) Grade 1 (poor) bila terlihat gerakan maju spermatozoa yang lemah
c) Grade 2 (good) bila terlihat gerak maju yang cukup baik dari spermatozoa,
termasuk yang bergerak zig zag dan berputar-putar
14
d) Grade 3 (excellent) bila ada gerakan maju dari spermatozoa yang seperti
roket.
Kriteria Jumlah
Volume 2 ml atau lebih
PH 7,2-7,8
Jumlah sperma/ml 20 juta sperma/ml atau lebih
Jumlah sperma total/ejakulat 40 juta sperma/ejakulat atau lebih
Motilitas 50% atau lebih bergerak maju atau 25% lebih
bergerak maju dengan cepat dalam waktu 60
menit setelah ditampung
Morfologi 50% atau lebih bermorfologi normal
Viabilitas 50% atau lebih hidup, yaitu tidak terwarna
dengan pewarnaan supravital
Sel leukosit Kurang dari 1 juta/ml
Seng (total) 2,4 mikromol atau lebih setiap ejakulat
Asam sitrat (total) 52 mikromol (10 mg) atau lebih setiap ejakulat
Fruktosa (total) 13 mikromol atau lebih setiap ejakulat
Uji MAR Perlekatan pada kurang dari 10% sperma
Uji butir imun Perlekatan butir imun pada kurang dari 10%
sperma
Sebagai patokan nilai normal hasil pengamatan sperma di atas, WHO telah
mendapatkan nilai normal hasil pemeriksaan.
c. Kecepatan sperma
Semen yang tidak diencerkan diteteskan ke dalam titik hitung, tentukan
waktu yang dibutuhkan satu spermatozoa untuk menempuh jarak 1/20 mm, pada
keadaan normal dibutuhkan 1-1,4 detik, ini disebut normokinetik.
d. Morfologi
Morfologi spermatozoa yang normal ditentukan oleh bentuk kepala, leher,
tanpa adanya sitoplasmik “droplets” dan bentuk ekor. Semen yang normal
mengandung setidaknya 48%-50% spermatozoa normal.
e. Komponen seluler lain dari semen (leukosit dan eritrosit)
15
Leukosit sangat sering dijumpai dalam spesimen semen, sebagian besar
adalah neutrofil. Jumlah leukosit yang tinggi ( lebih dari 106/ml) pria,
menandakan leukospermia. Leukospermia bisa disebabkan oleh infeksi pada
sistem duktus ekskretorius pria, terutama di kelenjar asesorius, yang harus
diselidiki dengan anamnesis, pemeriksaan klinis, dan analisis bakteriologis semen
dan cairan prostat setelah tindakan masase prostat dan USG. Pada cairan prostat
yang didapat dengan masase prostat, jumlah leukosit tak sampai melebihi 15 per
LP dengan pembesaran tinggi (LBP). Jumlah sel 15-40/LBP disebut zona
perbatasan dan bila jumlahnya lebih dari 40 maka kemungkinan besar terdapat
inflamasi prostat.
Jenis sel bulat lain yang kadang ditemukan adalah sel-sel imatur dari segi
spermatogenesis dan sel epitel dari uretra dan vesica urinaria, sedangkan untuk
eritrosit dalam keadaan normal tidak ditemukan pada pemeriksaan semen.
2.8 Penatalaksanaan
Menurut National Survey of Family Growth NSFG tahun 2002, sekitar 7,3
juta atau 12 % dari wanita usia subur di Amerika Serikat yang pernah menerima
layanan infertilitas (termasuk konseling dan diagnosis)16.
Infertilitas pria umumnya tidak banyak dapat diobati. Namun evaluasi yang
teliti memungkinkan para pria dengan beberapa kondisi tertentu sembuh dengan
terapi medis.
1. Hipogonodotropik Hipogonadisme
Para pria dengan kegagalan testis berkaitan dengan hipogonodotropik
hipogonodisme mewakili sekelompok pria yang mungkin sembuh dengan terapi
medis setelah penyebab infertilitasnya diketahui secara pasti.
a. Exogenous Pulsatile GnRH
Terapi dengan GnRH eksogen dapat berhasil mengembalikan kadar normal
sekresi gonodotropin sehingga dapat menginduksi produksi testosterone dan
spermatogenesis. Tetapi mungkin perlu waktu 2 tahun terapi untuk
mencapai pertumbuhan testis, spermatogenesis dam fertilitas maksimal.
b. Gonodotropin Eksogen
16
Spermatogenesis normal dapat diinduksi dengan terapi kombinasi hCG dan
human menopusal gonodotropin (hMG, mengandung FSH dan LH) atau
FSH murni (450 IU per minggu 2-3 dosis).
c. Dopamin Agonis
Terapi dengan bromokriptin atau kabergolin secara efektif dapat
mengembalikan kadar prolaktin dan testosterone normal, dan kemudian
meningkatkan libido, potensi, kualitas semen dan fertilitas pada pria dengan
hipogonad hiperprolektinemia.
2. Eugonadisme Hipogonodotrpik
Pria dengan oligospermia berat ( <5juta sperma/ml), kadar testosterone
rendah (<300 ng/dl) dan rasio testosterone (ng/dl) / estradiol (pg/ml) rendah yang
abnormal, dapat berhasil bila mendapat terapi medis dengan inhibitor aromatase
(testolakton 50-100 mg 2x/hari, anatrazole 1mg/hari) dapat menormalkan resio
dan meningkatkan kualitas semen.
3. Oligospermia, Asthenospermia dan Teratospermia Idiopatik.
a. Androgen
Androgen sebagai stimulasi spermatogenesis secara langsung meningkatkan
konsentrasi andogen testis dan tidak langsung meningkatkan rebound
sekresi gonodotropin hipofisis setelah interval supresi terinduksi androgen.
b. Gonodotropinidak
Hasil penelitian dengan menggunakan FSH eksogen untuk stimulasi
spermatogenesis secara langsung banyak mendapat pertentangan. Sementara
pada 2 percobaan acak pada pria subfertil terbukti mendapat peningkatan
parameter semen maupun fertilitas, yang lain menunjukan bahwa FSH
eksogen dapat meningkatkan kualitas semen pada pria dengan ologospermia
idiopatik yang biopsy testisnya menunjukan hipospermatogenesis, FSH
serta kadar inhibitor-B yang normal.
c. Antiestrogen
Belum ada bukti yang cukup bahwa terapi estrogen dapat meningkatkan
kualitas semen dan fertilitas pria.
17
Pengobatan faktor ovulasi seperti pada keadaan disfungsi hipofisis dapat
diusahan terapi subsitusi dengan pemberian FSH dan LH. Pilihan pengobatan
untuk gangguan ovulasi meliputi berbagai obat pemicu ovulasi dan tidakan
pembedahan pada kasus ovulasi polikstik. Pasien dengan faktor ovulasi memiliki
keberhasilan paling tinggi dalam pengobatan infertilitas.
1. Clomiphene citrate
Keberhasilan dengan menggunakan obat clomid, serophene sangat
memuaskan dengan angka keberhasilan ovulasi 80%. Efek sampingnya meliputi
sindrom hiperstirilisasi ovarium, merasa tidak nyaman di daerah pelvis, mual dan
nyeri pada payudara serta gangguan visus. Dosis permulaan 50mg/hari. Diberikan
mulai hari haid kelima. Dosis maksimal 200 mg/hari.
2. Gonodotropin
Apabila gagal dengan menggunakan clomiphene pada wanita dengan
disfungsi ovulusi sekunder akibat hipogonodotropik hipogonodisme maka
digunakan induksi dengan gonodotropin. Human menopausal gonodotropin
(pergunal, humegon) adalah campuran FSH dan LH yang dimurnikan dari urin
wanita pasca menopause, dan diberikan dalam bentuk suntikan intrsmudkular.
FSH (metrodin) diberikan pada istri, terutama pada PCOD (polikistik
ovarium sindrom). GnRH an analognya diberikan untuk pasien dengan kegagalan
hipotalamus dan disusul kelainan faktor ovulasi.
3. Bromocriptine dan Dexametason
Bermanfaat untuk pasien dengan hiperprolaktinemia dan diikuti dengan
perbaikan ovulasi. Namun penambahan dexametason karena faktor ovulasi masih
kontroversi.
4. Defek fase luteal
Secara umum pengobatan yang sering digunakan adalah pemberian
progesteron fase luteal dan klomiphene sitrat pada fase folikular.progesteron
diberikan pada hari ke 3 setelah pertengan siklus dengan dosis 25-50 mg untuk
vafinal suppositoria dan 50-100 mg/hari intramuscular.
Assisted reproductiv technologies (ART) digunakan di Amerika Serikat
sejak tahun 1981. Di Indonesia juga telah menggunakan teknik ini untuk
membantu wanita hamil. Adapun contoh ART yang dilakukan, seperti :16
18
1. Assisted reproductive technologies (ART) pada pria
IVF dan ICSI telah menjadi refolusi dalam terapi infertilitas pria. IVF
merupakan inseminasi setiap oosit dengan 2-6 juta sperma. Sehingga metode ini
terbatas hanya bila pria sangat oligospermik, dengan teknik yang berkembang,
jumlah sperma motil yang digunakan untuk inseminasi cukup 50.000-100.00 per
oosit. Sehingga membuka jalan untuk melakukan ART pada pasangan dengan
faktor infertilitas pria.
2. Assisted reproductive technologies (ART) pada wanita
a. Inseminasi buatan
Upaya membuahi sel telur tanpa senggama, inseminasi homolog adalah
upaya membuahi sel telur istri dengan sperma suaminya sendiri. Inseminasi
heterolog adalah upaya membuahi sel telur istri dengan sperma donor. Di
Indonesia hanya di perbolehkan inseminasi homolog.
b. Bayi tabung
Cara lain yaitu dengan teknik reproduksi yang di bantu ART yang dikenal
masyarakat dengan bayi tabung. Berbagai metode/teknik bayi tabung antara lain :
IVT-ET (in Vitro Fertilization – Embryo Transfer)
GIFT (Gamette Intrafallopian Transfer)
ZIFT ( Zygote Intra Fallopian Transfer)
TET (Tubal Embryo Transfer)
POST (Peritoneal Oocyte and Sperm Transfer)
SUZY (Subzonal Sperm Injection)
ICSI (intra Cytoplasmic Sperm Injection)
MESA (Microsurgical Epididymal Sperm Aspiration)
TESE (Testicural Sperm Extraction)
ROSI (Round Spermatid Injection)
ROSNI (Round Spermatid Nuclear Injection)
Data NSFG dilaporkan di atas menunjukkan bahwa pengobatan infertilitas
selain ART, seperti stimulasi ovarium diikuti oleh pembuahan alami atau IUI
dapat dilakukan, meskipun literatur ilmiah menunjukkan bahwa kemanjuran
pengobatan tersebut lebih rendah dibandingkan ART (tingkat kehamilan
umumnya di bawah 15%)16.
19
2.8 Pencegahan
Strategi kesehatan masyarakat yang berfokus pada pencegahan primer
(misalnya , melalui penghapusan faktor risiko infertilitas seperti yang dijelaskan
di atas) akan mengurangi prevalensi infertilitas, meningkatkan kesehatan dan
kualitas hidup, dan mencegah biaya pengobatan infertilitas16.
Untuk beberapa penyebab infertilitas, pencegahan primer dapat dilakukan
seperti Skrining klamidia pada wanita, mencegah inisiasi merokok pada remaja,
memfasilitasi berhenti merokok di kalangan orang dewasa, dan mempromosikan
aktivitas fisik dan diet yang sehat adalah semua layanan klinis dengan terbukti
khasiat dan biaya yang efektif, meskipun dampaknya mungkin pada infertilitas
belum di ketahui16.
20