bab 2 infertilitas sekunder

31
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Dasar Infertilitas Sekunder 2.1.1 Definisi Infertilitas Infertilitas didefinisikan sebagai ketidakmampuan pasangan suami-istri untuk mencapai konsepsi/kehamilan setelah satu tahun melakukan hubungan senggama teratur tanpa kontrasepsi atau ketidakmampuan untuk hamil sampai melahirkan bayi hidup (Anwar dan Jamaan, 2003). Infertilitas primer yaitu jika istri belum pernah hamil walaupun bersenggama dan dihadapkan kepada kemungkinan kehamilan selama 12 bulan, sedangkan infertilitas sekunder yaitu jika istri pernah hamil akan tetapi kemudian tidak terjadi kehamilan lagi walaupun bersenggama dan dihadapkan kepada kemungkinan kehamilan selama 12 bulan (Wiknjosastro, 2009). 2.1.2 Etiologi Secara statistik, sekitar 40% penyebab infertilitas terjadi pada pihak suami atau istri, sekitar 10% keduanya sebagai penyebab, sementara 10% lagi dikategorikan pada penyebab yang tidak diketahui atau unexplained infertility (Anwar dan Jamaan, 2003). 3

Upload: rini-wulandani

Post on 23-Oct-2015

159 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

laporan pendahuluan asuhan kebidanan pada pasien dengan infertil sekunder (bab 2)

TRANSCRIPT

Page 1: BAB 2 infertilitas sekunder

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Infertilitas Sekunder

2.1.1 Definisi Infertilitas

Infertilitas didefinisikan sebagai ketidakmampuan pasangan suami-

istri untuk mencapai konsepsi/kehamilan setelah satu tahun melakukan

hubungan senggama teratur tanpa kontrasepsi atau ketidakmampuan untuk

hamil sampai melahirkan bayi hidup (Anwar dan Jamaan, 2003).

Infertilitas primer yaitu jika istri belum pernah hamil walaupun

bersenggama dan dihadapkan kepada kemungkinan kehamilan selama 12

bulan, sedangkan infertilitas sekunder yaitu jika istri pernah hamil akan

tetapi kemudian tidak terjadi kehamilan lagi walaupun bersenggama dan

dihadapkan kepada kemungkinan kehamilan selama 12 bulan

(Wiknjosastro, 2009).

2.1.2 Etiologi

Secara statistik, sekitar 40% penyebab infertilitas terjadi pada

pihak suami atau istri, sekitar 10% keduanya sebagai penyebab, sementara

10% lagi dikategorikan pada penyebab yang tidak diketahui atau

unexplained infertility (Anwar dan Jamaan, 2003).

1) Masalah pada perempuan

a. Masalah vagina

Kemampuan menyampaikan air mani ke dalam vagina sekitar

serviks perlu untuk fertilitas. Masalah vagina yang dapat menghambat

penyampaian ini ialah adanya sumbatan atau peradangan. Sumbatan

psikogen disebut vaginismus atau disparenia, sedangkan sumbatan

anatomik dapat karena bawaan atau perolehan. Vaginitis karena Kandida

albikans atau Trikomonas vaginalis hebat dapat merupakan masalah,

bukan karena antispermisidalnya, melainkan antisenggamanya

(Wiknjosastro, 2009).

3

Page 2: BAB 2 infertilitas sekunder

b. Masalah serviks

Serviks biasanya mengarah ke bawah-belakang, sehingga

berhadapan langsung dengan dinding belakang vagina. Kedudukannya

yang demikian itu memungkinkannya tergenang dalam air mani yang

disampaikan pada forniks posterior. Kanalis servikalis yang dilapisi

lekukan-lekukan seperti kelenjar yang mengeluarkan lendir, sebagian dari

sel-sel epitelnya mempunyai silia yang mengalirkan lendir serviks ke

vagina. Bentuk servikalis seperti itu memungkinkan ditimbun dan

dipeliharanya spermatozoa motil dari kemungkinan fagositosis, dan juga

terjaminnya penyampaian spermatozoa ke dalam kanalis servikalis secara

terus menerus dalam jangka waktu lama.

Infertilitas yang berhubungan dengan faktor serviks dapat

disebabkan oleh sumbatan kanalis servikalis, lendir serviks yang

abnormal, malposisi dari serviks atau kombinasinya. Terdapat berbagai

kelainan anatomi serviks yang dapat berperan dalam infertilitas, yaitu

cacat bawaan (atresia), polip serviks, stenosis akibat trauma, peradangan

(servisitis menahun), sinekia (biasanya bersamaan dengan sinekia

intrauterin) setelah konisasi, dan inseminasi yang tidak adekuat. Pernah

dipikirkan bahwa vaginitis yang disebabkan oleh Trikomonas vaginalis

dan Kandida albikans dapat menghambat motilitas spermatozoa. Akan

tetapi perubahan pH akibat vaginitis ternyata tidak menghambat

motilitasnya. Gnarpe dan Friberg memperoleh lebih banyak T-

Mikroplasma pada biakan lendir serviks istri infertil dari pada yang fertil,

walaupun laporan lainnya ternyata tidak demikian (Wiknjosastro, 2009).

c. Masalah uterus

Spermatozoa dapat ditemukan dalam tuba fallopii manusia secepat

5 menit setelah inseminasi. Kontraksi vagina dan uterus memegang

peranan penting dalam transportasi spermatozoa. Pada manusia, oksitosin

tidak berpengaruh terhadap uterus yang tidak hamil akan tetapi

prostaglandin dalam air mani dapat membuat uterus berkontraksi secara

ritmik. Ternyata, prostaglandinlah yang memegang peranan penting dalam

transportasi spermatozoa ke dalam uterus dan melewati penyempitan pada

4

Page 3: BAB 2 infertilitas sekunder

batas uterus dengan tuba itu. Uterus sangat sensitif terhadap prostaglandin

pada akhir fase proliferasi dan permulaan fase sekresi. Dengan demikian,

kurangnya prostaglandin dalam air mani dapat merupakan masalah

infertilitas.

Masalah lain yang dapat mengganggu transportasi spermatozoa

melalui uterus ialah distorsi kavum uteri karena sinekia, mioma, atau

polip; peradangan endometrium, dan gangguan kontraksi uterus. Kelainan-

kelainan tersebut dapat mengganggu dalam hal implantasi, pertumbuhan

intrauterine, dan nutrisi serta oksigenisasi janin (Wiknjosastro, 2009).

d. Masalah tuba

Frekuensi faktor tuba dalam infertilitas sangat bergantung pada

populasi yang diselediki. Peranan faktor tuba yang masuk akal ialah 25-

50%. Dengan demikian, dapat dikatakan faktor tuba paling sering

ditemukan dalam masalah infertilitas. Oleh karena itu, penilaian patensi

tuba dianggap sebagai salah satu pemeriksaan terpenting dalam

pengelolaan infertilitas (Wiknjosastro, 2009).

e. Masalah ovarium

Deteksi ovulasi merupakan bagian integral pemeriksaan infertilitas

karena kehamilan tidak mungkin terjadi tanpa ovulasi. Ovulasi yang

jarang terjadi dapat menyebabkan infertilitas. Bagi pasangan infertil yang

bersenggama teratur, cukup dianjurkan senggama 2 hari sekali pada

minggu dimana ovulasi diharapkan akan terjadi. Selain kehamilan atau

ditemukannya ova pada pembilasan tuba, pemeriksaan ovulasi manapun

masih dapat mengalami kesalahan. Siklus haid yang teratur dan lama haid

yang sama biasanya merupakan siklus haid yang berovulasi. Menurut

Ogino, haid berikutnya akan terjadi 14 kurang lebih 2 hari setelah ovulasi.

Siklus haid yang tidak teratur, dengan lama haid yang tidak sama, sangat

mungkin disebabkan anovulasi. Amenore hampir selalu disertai kegagalan

ovulasi (Wiknjosastro, 2009).

2) Masalah pada laki-laki

Masalah pada laki-laki sebagian besar berupa air mani yang abnormal.

Air mani disebut abnormal kalau pada tiga kali pemeriksaan berturut-turut

5

Page 4: BAB 2 infertilitas sekunder

hasilnya tetap abnormal. Nasihat terbaik bagi pasangan dengan air mani

abnormal adalah melakukan senggama berencana pada saat-saat subur istri.

Adapun air mani abnormal yang masih dapat diperbaiki itu kalau disebabkan

oleh varikokel, sumbatan, dan infeksi.

a. Varikokel

Motilitas spermatozoa yang kurang hampir selalu terdapat pada

pria dengan varikokel. Menurut MacLeod, motilitas spermatozoa yang

kurang itu dapat ditemukan pada 90% pria dengan varikokel, sekalipun

hormon gonad dan gonadotropiknya normal. Sejak Dubin dan Ameral

mengumumkan hasil varikokelektomi tidak berhubungan dengan besar-

kecilnya varikokelnya, adanya varikokel disertai motilitas spermatozoa

yang kurang hampir selalu dianjurkan untuk dioperasi. Kira-kira dua per

tiga pria dengan varikokel yang dioperasi akan mengalami perbaikan

dalam motilitas spermatozoanya (Wiknjosastro, 2009).

b. Sumbatan vas

Pria yang tersumbat vasnya akan mempertunjukkan azoospermia,

dengan besar testikel dan kadar FSH yang normal. Dua tanda terakhir itu

sangat konsisten untuk spermatogenesis yang normal. Operasi

vasoepisidimostomi belum memuaskan hasilnya. Walaupun 90% dari

ejakulatnya mengandung spermatozoa, akan tetapi angka kehamlannya

berkisar sekitar 5-30% (Wiknjosastro, 2009).

c. Infeksi

Infeksi akut traktus genitalis dapat menyumbat vas atau merusak

jaringan testis sehingga pria yang bersangkutan menjadi steril. Akan

tetapi, infeksi yang menahun mungkin hanya menurunkan kualitas

spermatozoa, dan masih dapat diperbaiki menjadi seperti semula dengan

pengobatan. Air mani yang selalu mengandung banyak lekosit, apalagi

kalau disertai gejala disuria, nyeri pada waktu ejakulasi, nyeri punggung

bagian bawah, patut diduga karena infeksi menahun traktus genitalis.

Antibiotika yang terbaik adalah yang akan terkumpul dalam traktus

genitalis dengan jumlah besar, seperti eritromisin, dimetilklortetrasiklin,

6

Page 5: BAB 2 infertilitas sekunder

dan trimetoprimsulfametokosazol. Nitrofurantoin jangan dipakai, karena

dapat menghambat spermatogenesis (Wiknjosastro, 2009).

d. Faktor pekerjaan

Produksi sperma yang optimal membutuhkan suhu di bawah

temperature tubuh, Spermagenesis diperkirakan kurang efisien pada pria

dengan jenis pekerjaan tertentu, yaitu pada petugas pemadam kebakaran

dan pengemudi truk jarak jauh (Henderson dan Jones, 2006).

e. Faktor lingkungan

a) Suhu, memegang peranan penting pada spermatogenesis. Spermatazoa

hanya dapat diproduksi bila suhu testis 29-30ºC, sedikitnya. 1,5-2ºC

dibawah suhu dalam tubuh, kenaikan suhu beberapa derajat akan

menghambat proses spermatogenesis, sebaliknya suhu rendah akan

meningkatkan spermatogenesis pada manusia.

b) Tempat atau dataran tinggi. Atmosfer dataran tinggi (high altitude)

juga menghambat pembuatan spermatozoa.

c) Sinar Rontgen, spermatogonia dan spermatosit sangat peka terhadap

sinar Rontgen, tapi spermatic dan sel sertoli tidak. Bahan kimia dan

obat-abatan tertentu dapat menghambat proses spermatogenesis, misal

metronidazol, simetidin dan lain-lain (Khaidir, 2006).

f. Masalah interaktif

Berupa masalah yang berasal dari penyebab spesifik untuk setiap

pasangan meliputi: frekuensi sanggama yang tidak memadai, waktu

sanggama yang buruk, perkembangan antibodi terhadap sperma pasangan

dan ketidakmampuan sperma untuk melakukan penetrasi ke sel telur

(Stritgh, 2005)

7

Page 6: BAB 2 infertilitas sekunder

2.1.3 Patofisiologi Infertilitas

2.1.4 Prognosis Infertilitas

Menurut Behrman dan Kistner, prognosis terjadinya kehamilan

tergantung pada umur suami, umur istri, dan lamanya dihadapkan kepada

kemungkinan kehamilan (frekuensi senggama dan lamanya perkawinan).

Fertilitas maksimal wanita dicapai pada umur 24 tahun, kemudian

menurun perlahan-lahan sampai umur 30 tahun, dan setelah itu menurun

dengan cepat. Menurut MacLeod, fertilitas maksimal pria dicapai pada

umur 24-25 tahun. Hampir pada setiap golongan umur pria proporsi

terjadinya kehamilan dalam waktu kurang dari 6 bulan meningkat dengan

meningkatnya frekuensi senggama. Ternyata, senggama 4 kali seminggu

paling meluangkan terjadinya kehamilan karena ternyata kualitas dan jenis

motilitas spermatozoa menjadi lebih baik dengan seringnya ejakulasi.

Penyelidikan jumlah bulan yang diperlukan untuk terjadinya

kehamilan tanpa pemakaian kontrasepsi telah dilakukan di Taiwan dan di

Amerika Serikat dengan kesimpulan bahwa 25% akan hamil dalam 1

bulan pertama, 63% dalam 6 bulan pertama, 75% dalam 9 bulan pertama,

80% dalam 12 bulan pertama, dan 90% dalam 18 bulan pertama. Dengan

8

Page 7: BAB 2 infertilitas sekunder

demikian, makin lama pasangan kawin tanpa hasil, makin menurun

prognosis kehamilannya.

Pengelolaan mutakhir terhadap pasangan infertil dapat membawa

kehamilan kepada lebih dari 50% pasangan, walaupun masih selalu ada

10-20% pasangan yang belum diketahui etiologinya. Separuhnya lagi

terpaksa harus hidup tanpa anak, atau memperoleh anak dengan jalan lain,

umpamanya dengan inseminasi buatan donor, atau mengangkat anak

(adopsi).

Hasil penyelidikan Dor et al. menunjukkan apabila umur istri akan

dibandingkan dengan angka kehamilannya, maka pada infertilitas primer

terdapat penurunan yang tetap setelah umur 30 tahun. Pada infertilitas

sekunder terdapat juga penurunan, akan tetapi tidak securam seperti pada

infertilitas primer. Penyelidikan tersebut selanjutnya mengemukakan

bahwa istri yang baru dihadapkan kepada kemungkinan kehamilan selama

3 tahun kurang, prognosis kehamilannya masih baik. Akan tetapi, kalau

sudah dihadapkan selama 5 tahun lebih, prognosisnya buruk. Oleh karena

itu dianjurkan untuk tidak menunda pemeriksaan dan pengobatan

infertilitas selama 3 tahun lebih (Anwar dan Jamaan, 2003).

2.1.5 Syarat-Syarat Pemeriksaan

Setiap pasangan infertil harus diperlakukan sebagai satu kesatuan.

Itu berarti, kalau istri saja sedangkan suaminya tidak mau diperiksa, maka

pasangan itu tidak diperiksa. Adapun syarat-syarat pemeriksaan pasangan

infertil adalah:

1) Istri yang berumur antara 20-30 tahun baru akan diperiksa setelah berusaha

untuk mendapat anak selama 12 bulan. Pemeriksaan dapat dilakukan lebih

dini apabila: (1) pernah mengalami keguguran berulang, (2) diketahui

mengidap kelainan endokrin, (3) pernah mengalami peradangan rongga

panggul atau rongga perut, dan (4) pernah mengalami bedah ginekologi.

2) Istri yang berumur antara 31-35 tahun dapat diperiksa pada kesempatan

pertama pasangan itu datang ke dokter.

9

Page 8: BAB 2 infertilitas sekunder

3) Istri pasangan infertil yang berumur antara 36-40 tahun hanya dilakukan

pemeriksaan infertilitas kalau belum mempunyai anak dari perkawinan ini.

4) Pemeriksaan infertilitas tidak dilakukan pada pasangan infertil yang salah satu

anggota pasangannya mengidap penyakit yang dapat membahayakan

kesehatan istri atau anaknya.

(Wiknjosastro, 2009)

2.1.6 Pemeriksaan Penunjang dalam Infertilitas

1) Laparoskopi-Histeroskopi

Merupakan prosedur operatif yang memungkinkan melihat uterus,

tuba, ovarium, dan seluruh rongga panggul dan struktur lain dengan memakai

alat khusus (laparoskop). Indikasi laparoskopi-histeroskopi

a. Umur istri >30 tahun

b. Lama kawin > 3 tahun tanpa ada kelainan yang jelas

c. Curiga ada faktor peritoneum (terjadi perlekatan), yaitu bila ada: riwayat

penyakit radang panggul, pernah memakai IUD, riwayat operasi panggul

d. Curiga adanya endometriosis, yaitu bila ada wanita infertile dengan

keluhan dismenorea, dispareunia, ada tumor adneksa atau uterus yang

retrofleksi terfiksasi.

Laparoskopi-histeroskopi dikerjakan pada fase sekresi ± hari ke 19-25

siklus haid (Dewata dkk, 2008).

2) Uji Pasca Senggama (UPS)

UPS dikerjakan pada saat menjelang/sekitar ovulasi. Lendir serviks

akan jernih dan encer saat di sekitar ovulasi karena saat itu kadar estrogen

tinggi dan pekat saat pasca ovulasi karena kadar progesteron meningkat. UPS

juga digunakan untuk mengetahui interaksi antara spermatozoa dengan lendir

serviks.

Hasil pemeriksaan:

Lendir serviks baik: volume banyak, jernih, sedikit mengandung sel, daya

membenang tinggi (10-15cm), viskositas rendah tidak pekat, bila dikeringkan

membentuk gambaran daun pakis (tes Fem).

10

Page 9: BAB 2 infertilitas sekunder

UPS baik : bila terdapat >20 spermatozoa per lapangan pandang besar

yang aktif bergerak.

UPS jelek : bila tidak terdapat spermatozoa atau ada tetapi bergerak di

tempat atau mati. Bila hasil UPS jelek, haruslah diulang pada

siklus berikutnya, karena kemungkinan besar disebabkan

kesalahan menentukan waktu UPS. Untuk itu UPS berikutnya

harus diberi ethinyl estradiol 50µg perhari atau setara mulai

hari ke 5 siklus haid selama 20 hari.

(Dewata dkk, 2008)

3) Histerosalpingografi (HSG)

HSG dikerjakan pada fase proliferasi, 3 hari setelah haid bersih. Zat

warna radio-opak disuntikkan melalui serviks ke dalam uterus dan direkam

dengan foto sinar X, sehingga dapat diketahui keadaan kavum uteri, lumen

tuba, potensi tuba, serta dapat menentukan lokasi pembuntuan tuba. HSG

tidak dapat melihat faktor peritoneum atau keadaan patologi lain genetalia

interna yang nampak di rongga abdomen (Dewata dkk, 2008).

4) Pemeriksaan Panas Badan Basal/Basal Body Temperature (BBT)

Pemeriksaan BBT merupakan salah satu metode untuk mengetahui ada

ovulasi. Siklus ovulasi akan member gambaran BBT yang bifasik. Panas

badan menurun saat ovulasi, yang diikuti dengan peningkatan ±0,20C yang

terus dipertahankan 12-15 hari pasca ovulasi sampai dating siklus haid

berikutnya. Bila terjadi BBT monofasik (siklus anovulasi) selama 2 sampai 3

siklus berurutan, maka diperlukan evaluasi lebih jauh untuk mencari sebab

gangguan ovulasi tersebut. Pemeriksaan BBT memerlukan disiplin tinggi dan

edukasi yang baik dari pasutri, karena harus dikerjakan pada saat bangun tidur

(basal) dan terus-menerus tiap hari dalam kurun waktu lama /3 siklus atau

lebih (Dewata dkk, 2008).

5) Biopsi Endometrium (BEM)

“Umur” endometrium pasca ovulasi dapat dikenali dengan BEM

melalui gambaran histopatologi dengan kriteria Noyes, Hertig dan Rode. BEM

dilakukan 2 sampai 3 hari menjelang prakiraan hari pertama haid siklus yang

11

Page 10: BAB 2 infertilitas sekunder

akan datang. BEM dikerjakan bila ada kecurigaan defek fase luteal, waktu

BBT fase luteal sangat pendek kurang dari 12 hari (Dewata dkk, 2008).

2.1.8 Penatalaksanaan Infertilitas Sekunder

Pada awalnya evaluasi meliputi penilaian pada si pria melalui

analisis semen dan pemeriksaan siklus menstruasi ovulatoir dan potensi

tuba fallopii pada si wanita. Pada beberapa pasangan diperlukan

pemeriksaan tambahan. Pemeriksaan ini meliputi: penilaian anatomis

rongga uterus, evaluasi kandungan ovarium dengan mengukur kadar FSH

dan estradiol serum pada awal fase folikular siklus dan jika diindikasikan

laparoskopi atau histeroskopi.

Setelah evaluasi lengkap, pengobatan bergantung pada hasil

pemeriksaan. Wanita dengan anovulatori atau oligoovulatori dapat diterapi

baik dengan menyelesaikan setiap masalah yang mendasari seperti

hiperprolaktinemia atau hipotiroidisme atau oleh induksi ovulasi. Obat-

obat yang digunakan untuk induksi ovulasi bekerja melalui berbagai

mekanisme. Obat yang paling digunakan adalah klomifen sitrat, suatu

agonis/antagonis parsial estrogen yang bekerja pada tingkat hipotalamus

dan kelenjar hipofisis untuk memblok umpan balik negatif estrogen. Hal

ini akan meningkatkan sekresi gonadotropin. Inhibitor aromatase bekerja

untuk mengurangi kadar estrogen yang bersirkulasi, memblok umpan balik

negatif secara sentral dan meningkatkan produksi dan pelepasan

gonadotropin. Kedua obat ini membutuhkan aksis hipotalamus-hipofisis-

ovarium yang berfungsi baik. Pasien yang bukan merupakan kandidat

yang baik atau gagal terhadap terapi tersebut dapat diterapi dengan

suntikan gonadotropin.

Pembedahan saluran reproduksi untuk mengangkat endometriosis

atau tumor fibroid dapat dianjurkan, walaupun terapi medis untuk

beberapa masalah ini juga tersedia. Dahulu, pembedahan rekonstruksi tuba

merupakan pengobatan pilihan infertilitas utama, jika telah tersedia teknik

bantuan reproduksi seperti fertilisasi in vitro (IVF) dengan nyata telah

menghilangkan pendekatan terapi dengan pembedahan.

12

Page 11: BAB 2 infertilitas sekunder

Pengobatan infertilitas pada pria terlebih dahulu ditujukan

langsung pada etiologi yang menyebabkannya. Pengobatan ini dapat

meliputi terapi medis atau pembedahan, seperti koreksi verikokel atau

koreksi pada penyumbatan vas deferens. Teknik bantuan reproduksi lebih

sering dilakukan untuk menyelesaikan masalah-masalah sperma. Sperma

dapat dicuci, dikonsentrat dan diletakkan langsung pada rongga uterus

dengan inseminasi buatan.

Ketersediaan teknologi reproduksi secara luas telah merevolusi

pengobatan infertilitas, membuat kehamilan mungkin terjadi pada keadaan

yang sebelumnya tidak dapat diterapi. Terapi yang paling sering adalah

IVF, dimana oosit multiple yang dipisahkan difertilisasi oleh spermatozoa

didalam laboratorium. Embrio-embrio yang dihasilkan ditumbuhkan di

dalam laboratorium selama 2-5 hari, kemudian sekelompok embrio dipilih

dan dipindahkan kembali ke rongga uterus. IVF standar dapat dimodifikasi

melalui beberapa cara. Pada kasus infertilitas pria yang berat, sperma

dapat disuntikkan langsung ke dalam sitoplasma oosit untuk menimbulkan

fertilisasi (injeksi sperma intrasitplasma/intracytoplasmic sperm injection,

ICSI). Sperma-sperma ini mungkin imotil. Sperma tersebut dapat diambil

langsung dari vas deferens, epididimis atau bahkan testis pada pria dengan

azoospermia obstruktif. Akhirnya, teknologi yang berkembang baru-baru

ini memeungkinkan pemeriksaan genetic pada embrio yang dihasilkan

melalui IVF. Dengan menggunakan diagnosis genetik praimplantasi (pre-

implantation genetic diagnosis, PGD), blastomer tunggal diangkat dari

blastokista yang sedang berkembang. Blastomer ini dapat diskrining untuk

berbagai defek gen yang diturunkan atau jumlah kandungan kromosom.

Hasil skrining dapat digunakan untuk menyeleksi embrio-embrio yang

akan dipindahkan kembali ke uterus (Heffner dan Schust, 2006).

2.2 Konsep Asuhan Kebidanan pada Pasangan Infertilitas Sekunder

Pengkajian

No. Register :

Tanggal/Jam :

Oleh :

13

Page 12: BAB 2 infertilitas sekunder

2.2.1 Data subjektif

1) Identitas

a. Nama

b. Umur

Fertilitas maksimal wanita dicapai pada umur 24 tahun dan menurun

perlahan sampai umur 30 tahun, setelah itu menurun cepat. Selain itu umur

isteri merupakan syarat pemeriksaan infertilitas (Wiknjosastro, 2009)

c. Agama

d. Suku bangsa

e. Pendidikan

f. Pekerjaan

Spermatogenesis diperkirakan kurang efisien pada pria dengan jenis

pekerjaan tertentu, seperti petugas pemadam kebakaran dan pengemudi

truk jarak jauh. Hal ini berkaitan dengan suhu tubuh karena produksi

sperma yang optimal membutuhkan suhu di bawah temperatur tubuh

(Khaidir, 2006)

g. Alamat

h. No. telepon

2) Alasan kunjungan

3) Keluhan utama

Belum memiliki anak setelah berusaha lebih dari satu tahun melakukan

senggama teratur tanpa kontrasepsi (Anwar dan Jamaan, 2003)

4) Riwayat pemeriksaan sebelumnya

Untuk mengetahui pemeriksaan dan pengobatan sebelumnya sehingga

pengulangan penatalaksanaan yang tidak perlu dapat dihindarkan (Anwar dan

Jamaan, 2003)

5) Riwayat menstruasi

a. Menarche : normalnya 10-16 th (±12,5 th)

Usia menarche yang terlalu dini berhubungan dengan resiko kejadian

kanker payudara dan mioma uteri yang dapat mengganggu fertilitas

(Anwar dan Jamaan, 2003).

b. Siklus : normalnya 28-35 hari (±28 hr)

14

Page 13: BAB 2 infertilitas sekunder

Dari siklus menstruasi dapat diketahui gambaran kinerja ovarium dan

digunakan dalam perhitungan penatalaksanaan pasangan infertil (Anwar

dan Jamaan, 2003).

c. Teratur/Tidak : normalnya teratur

Siklus yang teratur sangat penting bagi perhitungan masa subur (Anwar

dan Jamaan, 2003).

e. Banyaknya : normalnya ± 35 cc

Untuk mendeteksi kecurigaan adanya perdarahan uterus disfungsional

(Anwar dan Jamaan, 2003).

f. Lamanya : normalnya 3-7 hari

Untuk mendeteksi kecurigaan adanya perdarahan uterus disfungsional

(Anwar dan Jamaan, 2003).

g. Sifat darah : normalnya merah encer

Untuk mendeteksi apakah darah mengandung zat fibrinogen (Anwar dan

Jamaan, 2003).

h. Dismenorrhea : normalnya tidak

Untuk mendeteksi kecurigaan adanya endometriosis dan dismenorrhea

primer disebabkan oleh faktor hormonal (Anwar dan Jamaan, 2003).

i. Fluor Albus : positif

Untuk mendeteksi bakteri patogen yang dapat mengganggu gerak sperma

(Anwar dan Jamaan, 2003).

j. HPHT :

Untuk pentalaksanaan pasangan infertil seperti USG TSV, perhitungan

siklus haid atau ovulasi (Anwar dan Jamaan, 2003).

6) Riwayat obstetri

Riwayat obstetri, meliputi a. Jumlah kehamilan dan hasil akhirnya (normal, abortus, ektopik, atau

mola).

b. Risiko oklusi tuba meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah

abortus, riwayat abortus berulang meningkatkan kejadian adhesi intra

uterus (syndrome Asherman).

15

Page 14: BAB 2 infertilitas sekunder

c. Riwayat kehamilan ektopik dikaji mengenai jenis dan cara operasi untuk

menilai fungsi tuba dimana sekitar10-15% kehamilan ektopik terjadi pada

wanita yang sebelumnya hamil ektopik.

d. Riwayat kehamilan mola hidatidosa harus ditunda sampai kadar HCG

normal selama 1 tahun.

Jumlah kelahiran hidup dari perkawinan sekarang maupun sebelumnya

sebab pasangan dengan infertilitas sekunder jarang menyelesaikan

pemeriksaan sehingga perlu konseling lebih baik.

(Anwar dan Jamaan, 2003)

7) Riwayat kontrasepsi

Metode kontrasepsi IUD menunjukkan meningkatnya kejadian infeksi vagina

dan keterlambatan ovulasi dapat terjadi setelah penghentian pemakaian

kontrasepsi oral dan suntikan (Anwar dan Jamaan, 2003).

8) Riwayat penyakit sistemik

Beberapa penyakit sistemik (DM, Tiroid, TBC) dapat mempunyai dampak

buruk terhadap fertilitas (Anwar dan Jamaan, 2003)

9) Riwayat medikamentosa

Beberapa pengobatan dapat menyebabkan terganggunya proses ovulasi secara

permanen atau sementara

a. Terapi sitostatika dapat menyebabkan amenorea dan anovulasi sementara.

b. Steroid seks (pil KB, progesterone, estrogen) dapat menghambat ovulasi.

c. Obat neuroleptik (phenothiazine, butyrophenone, dan pimozide) dapat

menyebabkan hiperprolaktinemia.

d. Obat hipotensi (reserpine, methyldopa) dapat menyebabkan

hiperprolaktinemia.

e. Obat gastrointestinal (metaclopramide, dompiredone, dan cimetidine)

dapat menyebabkan hiperprolaktinemia.

Sedangkan pengobatan yang dapat memepengaruhi spermatogenesis secara

sementara atau permanen adalah:

a. Kemoterapi (“alkylating agent” menyebabkan kerusakan permanen)

b. Terapi hormonal (kortikosteroid, androgen, estrogen, progesterone,

antiandrogen, LHRH agonist)

16

Page 15: BAB 2 infertilitas sekunder

c. Simetidin (menghambat efek androgen secara kompetitif)

d. Spironolacton (antagonis efek androgen pada beberapa jaringan)

e. Nitrofurantoin (mempengaruhi kualitas sperma secara toksik langsung)

f. Sulphasalazine (mempengaruhi kualitas sperma secara toksik langsung)

(Anwar dan Jamaan, 2003)

10) Riwayat pembedahan

Operasi abdominal (appendektomi), operasi ginekologi (ventro suspense,

kistektomi, operasi sterilisasi), dapat mempengaruhi fertilitas khususnya

faktor tuba (Anwar dan Jamaan, 2003).

11) Riwayat PMS

Penyakit Menular Seksual dapat mempengaruhi fertilitas pria melalui cara a. Menyebabkan lesi inflamasi pada epididimis, mengakibatkan azoospermia

akibat obstruksi

b. Memicu produksi antibody antispermia

c. Menyebabkan uretritis dan perubahan ejakulasi

Patologi pada tuba termasuk obstruksi uni/bilateral, perlekatan perituba

dan ovarium juga sering ditemukan pada pasien dengan PMS.

12) Riwayat psikososial dan latar belakang budaya

a. Pernikahan: (berapa kali, lamanya)Lamanya menikah turut menentukan penatalaksanaan pada pasangan infertil.

b. Penerimaan terhadap masalah ini: (bagaimana pasangan menyikapi infertilitasnya)

c. Dukungan keluarga: (bagaimana dukungan keluarga terhadap masalah ini )

d. Berobat ke dukun: (Pernahkah?)

(Anwar dan Jamaan, 2003)

13) Pola fungsi kesehatan

a. Pola nutrisi

Untuk menilai nutrisi yang dikonsumsi pasangan karena nutrisi yang baik

mengoptimalkan pembentukan sperma dan mnghasilkan sel ovum yang

baik (Anwar dan Jamaan, 2003).

b. Pola eliminasi

17

Page 16: BAB 2 infertilitas sekunder

Seringkali infeksi pada kandung kemih maupun saluran kencing dapat

menyebabkan infertilitas

c. Pola aktivitas

Aktifitas fisik yang berat dapat mengganggu proses spermatogenesis

(Anwar dan Jamaan, 2003)

d. Aktivitas seksual

Menilai frekuensi senggama dan ketepatan waktu senggama dengan

ovulasi, dan dispareunia (Anwar dan Jamaan, 2003).

e. Pola kebiasaan sosial

Infertilitas erat hubungannya dengan kebiasaan ibu seperti, merokok,

alkohol, narkoba, obat-obatan, jamu-jamuan, dan binatang peliharaan;

infeksi toxoplasma (Anwar dan Jamaan, 2003).

2.2.2 Data objektif

1) Pemeriksaan Umum

Keadaan umum : ( baik atau buruk)

Kesadaran : ( Compos mentis, somnolens, sopor, delirium, atau coma )

Tanda-tanda vital

Tekanan Darah : (normalnya 120/80 mmHg)

Nadi : ( normal 84 – 88 x/menit )

Pernafasan : ( normal 12 – 20 x/menit )

Suhu : ( normal 36,5 – 37,5 oC )

BB (nilai perubahannya) dan TB, BB lebih atau kurang dari BMI normal akan

mempengaruhi ovulasi normal dan menurunkan kemungkinan hamil.

2) Pemeriksaan Fisik

a. Penilaian terhadap katakteristik seks sekunder.

b. Distribusi rambut sesuai skor hirsutisme Ferriman & Gallwey.

c. Perkembangan payudara termasuk penekanan areola mammae secara hati-

hati untuk melihat galaktorea.

d. Pemeriksaan abdomen

a) Riwayat operasi serta penilaian bekas sikatriks

b) Palpasi abdomen adanya organomegali atau massa dari pelvis.

e. Pemeriksaan pelvis

18

Page 17: BAB 2 infertilitas sekunder

a) Inspeksi genitalia eksterna, termasuk peradangan vulva, ukuran

klitoris, keadaan hymen, dan vagina.

b) Inspeksi genitalia interna, termasuk serviks, uterus, dan ovarium

dinilai apakah normal atau abnormal.

c) Inspeksi vagina untuk menilai fluor albus, bila perlu kultur dan

resistensi.

2.2.3 Pemerksaan penunjang

1) Analisis sperma

Analisis sperma harus dilakukan minimal 1 kali. Jika hasil analisis sperma

abnormal harus dilakukan analisis ulang selang 3 minggu kemudian (Anwar

dan Jamaan, 2003).

Percontoh semen, yang diperoleh melalui masturbasi 2-4 hari sesudah

senggama terakhir, diteliti dengan menggunakan mikroskop. Criteria WHO

untuk evaluasi semen normal adalah sebagai berikut:

a. Spermatozoa

Konsentrasi >20x106/ml

Motilitas >40% motil progresif

Morfologi >50% bentuk normal

Viabilhas >60% hidup

Aglutinasi tidak ada

b. Cairan seminal

Gambaran dan volume normal

Viskositas normal

Kurang dari 106 lekosit/ml

(Dewata dkk, 2008)

2) Pemeriksaan laboratorium tambahan

Anwar dan Jamaan (2003) mengatakan beberapa pemeriksaan tambahan dapat

dilakukan dengan indikasi tertentu tergantung kebutuhan:

a. Analisa darah untuk mendeteksi penyakit sistemik tertentu yang

mempengaruhi fertilitas (Hb, L, eritrosit, LED, fungsi ginjal dan hepar,

konsentrasi besi serum, serta beberapa pemeriksaan lain tergantung hasil

anamnesa dan pemeriksaan fisik)

19

Page 18: BAB 2 infertilitas sekunder

b. Pemeriksaan Ig G dan Ig M untuk klamidia dan HIV

c. Antibodi sperma. Uji MAR tidak langsung dan uji immunobead langsung

dan tidak langsung

d. Analisis urin, termasuk penilaian glukosa, protein, leukosit, eritrosit, dan

kultur

e. Cairan prostat untuk menilai infeksi

f. Urin pascaorgasme (dilakukan bila ada dugaan ejakulasi retrograde

g. Pemeriksaan hormonal yang harus dilakukan secara selektif:

a) FSH (hanya pada azo/oligozoospermia berat, yaitu sperma <5 jut/cc

dengan volume testis normal atau lebih kecil)

b) LH (tidak perlu diperiksa secara rutin)

c) Testosteron (pada hipoandrogenisme dan pada keadaan FSH tidak

meningkat)

d) PRL (pada disfungsi seksual termasuk penurunan libido dan ereksi

penis atau dengan tanda klinis hipoandrogenisme dan konsentrasi

testosteron rendah dan FSH tidak meningkat)

2.2.4 Analisa

Seorang wanita bisa saja mempunyai lebih dari 1 diagnosis dari 22

kategori diagnosis yang dibuat oleh WHO.

1) Disfungsi seksual

2) Hiperprolaktinemia

3) Lesi organik daerah hipotalamo hipofisa

4) Amenorea dengan peninggian kadar FSH basal

5) Amenorea dengan estrogen endogen adekuat

6) Amenorea dengan estrogen endogen rendah

7) Oligomenorea

8) Menstruasi dan atau ovulasi yang tidak teratur

9) Anovulasi dengan siklus teratur

10) Abnormalitas kongenital bawaan

11) Oklusi tuba bilateral

12) Perlekatan pelvis

13) Endometriosis

20

Page 19: BAB 2 infertilitas sekunder

14) Lesi uterus atau serviks dapatan/acquired

15) Lesi tuba dapatan/ acquired

16) Lesi ovarium dapatan/acquired

17) TBC genetalia

18) Kausa iatrogenik

19) Kausa sistemik

20) Diagnosis belum pasti (tanpa laparoskopi)

21) Kausa tidak jelas (“Unexplained”)

Sedangkan diagnosis infertilitas pria menurut WHO antara lain:

1) Disfungsi seksual dan atau ejakulasi

2) Kausa imunologi

3) Kausa tidak jelas

4) Abnormalitas plasma semen

5) Kausa iatrogenik

6) Kausa sistemik

7) Abnormalitas kongenital

8) Kerusakan testis dapatan/acquired

9) Varikokel

10) Infeksi kelenjar aksesori pria

11) Kausa endokrin

12) Oligozoospermia idiopatik

13) Asthenozoospermia idiopatik

14) Teratozoospermia idiopatik

15) Azoospermia obstruktif

16) Azoospermia idiopatikr

Kategori diagnosis ini dibuat terutama untuk menentukan strategi

pengobatan bukan untuk klasifikasi secara akademik yang rinci tanpa dampak

langsung pada manajemen secara klinis (Anwar dan Jamaan, 2009).

2.2.5 Penatalaksanaan

1) Menginformasikan hasil pemeriksaan dan asuhan yang akan diberikan

21

Page 20: BAB 2 infertilitas sekunder

R/ Klien diharapkan dapat memahami hasil pemeriksaan dan asuhan yang

akan diberikan sehingga memudahkan dalam KIE dan pemeriksaan

selanjutnya

2) Memfasilitasi konseling prosedur dan program penanganan infertilitas

R/ Klien diharapkan bersedia mengikuti prosedur dan program penanganan

infertilitas untuk mengatasi masalah klien

3) Kolaborasi dengan dokter spesialis andrologi untuk penanganan faktor

infertilitas pada pihak suami

R/ Suami diharapkan mau menjalani prosedur diagnostik dan terapi dari

dokter spesialis andrologi untuk mengetahui atau memperbaiki kualitas

sperma yang dihasilkan

4) Memfasilitasi pemeriksaan dalam dan swab vagina oleh dokter spesialis

obstetri dan ginekologi

R/ Pemeriksaan dalam dan swab vagina dilakukan atas indikasi tertentu dan

untuk membantu mengidentifikasi penyebab infertilitas

5) Memberikan KIE: teknik dan jadwal hubungan seksual, pola pengaturan

aktivitas dan menyepakati kunjungan berikutnya

R/ Klien diharapkan memahami dan menjalani KIE yang diberikan untuk

memudahkan program penanganan infertilitas

(Anwar dan Jamaan, 2003)

22