bab 2 infertilitas sekunder
DESCRIPTION
laporan pendahuluan asuhan kebidanan pada pasien dengan infertil sekunder (bab 2)TRANSCRIPT
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Dasar Infertilitas Sekunder
2.1.1 Definisi Infertilitas
Infertilitas didefinisikan sebagai ketidakmampuan pasangan suami-
istri untuk mencapai konsepsi/kehamilan setelah satu tahun melakukan
hubungan senggama teratur tanpa kontrasepsi atau ketidakmampuan untuk
hamil sampai melahirkan bayi hidup (Anwar dan Jamaan, 2003).
Infertilitas primer yaitu jika istri belum pernah hamil walaupun
bersenggama dan dihadapkan kepada kemungkinan kehamilan selama 12
bulan, sedangkan infertilitas sekunder yaitu jika istri pernah hamil akan
tetapi kemudian tidak terjadi kehamilan lagi walaupun bersenggama dan
dihadapkan kepada kemungkinan kehamilan selama 12 bulan
(Wiknjosastro, 2009).
2.1.2 Etiologi
Secara statistik, sekitar 40% penyebab infertilitas terjadi pada
pihak suami atau istri, sekitar 10% keduanya sebagai penyebab, sementara
10% lagi dikategorikan pada penyebab yang tidak diketahui atau
unexplained infertility (Anwar dan Jamaan, 2003).
1) Masalah pada perempuan
a. Masalah vagina
Kemampuan menyampaikan air mani ke dalam vagina sekitar
serviks perlu untuk fertilitas. Masalah vagina yang dapat menghambat
penyampaian ini ialah adanya sumbatan atau peradangan. Sumbatan
psikogen disebut vaginismus atau disparenia, sedangkan sumbatan
anatomik dapat karena bawaan atau perolehan. Vaginitis karena Kandida
albikans atau Trikomonas vaginalis hebat dapat merupakan masalah,
bukan karena antispermisidalnya, melainkan antisenggamanya
(Wiknjosastro, 2009).
3
b. Masalah serviks
Serviks biasanya mengarah ke bawah-belakang, sehingga
berhadapan langsung dengan dinding belakang vagina. Kedudukannya
yang demikian itu memungkinkannya tergenang dalam air mani yang
disampaikan pada forniks posterior. Kanalis servikalis yang dilapisi
lekukan-lekukan seperti kelenjar yang mengeluarkan lendir, sebagian dari
sel-sel epitelnya mempunyai silia yang mengalirkan lendir serviks ke
vagina. Bentuk servikalis seperti itu memungkinkan ditimbun dan
dipeliharanya spermatozoa motil dari kemungkinan fagositosis, dan juga
terjaminnya penyampaian spermatozoa ke dalam kanalis servikalis secara
terus menerus dalam jangka waktu lama.
Infertilitas yang berhubungan dengan faktor serviks dapat
disebabkan oleh sumbatan kanalis servikalis, lendir serviks yang
abnormal, malposisi dari serviks atau kombinasinya. Terdapat berbagai
kelainan anatomi serviks yang dapat berperan dalam infertilitas, yaitu
cacat bawaan (atresia), polip serviks, stenosis akibat trauma, peradangan
(servisitis menahun), sinekia (biasanya bersamaan dengan sinekia
intrauterin) setelah konisasi, dan inseminasi yang tidak adekuat. Pernah
dipikirkan bahwa vaginitis yang disebabkan oleh Trikomonas vaginalis
dan Kandida albikans dapat menghambat motilitas spermatozoa. Akan
tetapi perubahan pH akibat vaginitis ternyata tidak menghambat
motilitasnya. Gnarpe dan Friberg memperoleh lebih banyak T-
Mikroplasma pada biakan lendir serviks istri infertil dari pada yang fertil,
walaupun laporan lainnya ternyata tidak demikian (Wiknjosastro, 2009).
c. Masalah uterus
Spermatozoa dapat ditemukan dalam tuba fallopii manusia secepat
5 menit setelah inseminasi. Kontraksi vagina dan uterus memegang
peranan penting dalam transportasi spermatozoa. Pada manusia, oksitosin
tidak berpengaruh terhadap uterus yang tidak hamil akan tetapi
prostaglandin dalam air mani dapat membuat uterus berkontraksi secara
ritmik. Ternyata, prostaglandinlah yang memegang peranan penting dalam
transportasi spermatozoa ke dalam uterus dan melewati penyempitan pada
4
batas uterus dengan tuba itu. Uterus sangat sensitif terhadap prostaglandin
pada akhir fase proliferasi dan permulaan fase sekresi. Dengan demikian,
kurangnya prostaglandin dalam air mani dapat merupakan masalah
infertilitas.
Masalah lain yang dapat mengganggu transportasi spermatozoa
melalui uterus ialah distorsi kavum uteri karena sinekia, mioma, atau
polip; peradangan endometrium, dan gangguan kontraksi uterus. Kelainan-
kelainan tersebut dapat mengganggu dalam hal implantasi, pertumbuhan
intrauterine, dan nutrisi serta oksigenisasi janin (Wiknjosastro, 2009).
d. Masalah tuba
Frekuensi faktor tuba dalam infertilitas sangat bergantung pada
populasi yang diselediki. Peranan faktor tuba yang masuk akal ialah 25-
50%. Dengan demikian, dapat dikatakan faktor tuba paling sering
ditemukan dalam masalah infertilitas. Oleh karena itu, penilaian patensi
tuba dianggap sebagai salah satu pemeriksaan terpenting dalam
pengelolaan infertilitas (Wiknjosastro, 2009).
e. Masalah ovarium
Deteksi ovulasi merupakan bagian integral pemeriksaan infertilitas
karena kehamilan tidak mungkin terjadi tanpa ovulasi. Ovulasi yang
jarang terjadi dapat menyebabkan infertilitas. Bagi pasangan infertil yang
bersenggama teratur, cukup dianjurkan senggama 2 hari sekali pada
minggu dimana ovulasi diharapkan akan terjadi. Selain kehamilan atau
ditemukannya ova pada pembilasan tuba, pemeriksaan ovulasi manapun
masih dapat mengalami kesalahan. Siklus haid yang teratur dan lama haid
yang sama biasanya merupakan siklus haid yang berovulasi. Menurut
Ogino, haid berikutnya akan terjadi 14 kurang lebih 2 hari setelah ovulasi.
Siklus haid yang tidak teratur, dengan lama haid yang tidak sama, sangat
mungkin disebabkan anovulasi. Amenore hampir selalu disertai kegagalan
ovulasi (Wiknjosastro, 2009).
2) Masalah pada laki-laki
Masalah pada laki-laki sebagian besar berupa air mani yang abnormal.
Air mani disebut abnormal kalau pada tiga kali pemeriksaan berturut-turut
5
hasilnya tetap abnormal. Nasihat terbaik bagi pasangan dengan air mani
abnormal adalah melakukan senggama berencana pada saat-saat subur istri.
Adapun air mani abnormal yang masih dapat diperbaiki itu kalau disebabkan
oleh varikokel, sumbatan, dan infeksi.
a. Varikokel
Motilitas spermatozoa yang kurang hampir selalu terdapat pada
pria dengan varikokel. Menurut MacLeod, motilitas spermatozoa yang
kurang itu dapat ditemukan pada 90% pria dengan varikokel, sekalipun
hormon gonad dan gonadotropiknya normal. Sejak Dubin dan Ameral
mengumumkan hasil varikokelektomi tidak berhubungan dengan besar-
kecilnya varikokelnya, adanya varikokel disertai motilitas spermatozoa
yang kurang hampir selalu dianjurkan untuk dioperasi. Kira-kira dua per
tiga pria dengan varikokel yang dioperasi akan mengalami perbaikan
dalam motilitas spermatozoanya (Wiknjosastro, 2009).
b. Sumbatan vas
Pria yang tersumbat vasnya akan mempertunjukkan azoospermia,
dengan besar testikel dan kadar FSH yang normal. Dua tanda terakhir itu
sangat konsisten untuk spermatogenesis yang normal. Operasi
vasoepisidimostomi belum memuaskan hasilnya. Walaupun 90% dari
ejakulatnya mengandung spermatozoa, akan tetapi angka kehamlannya
berkisar sekitar 5-30% (Wiknjosastro, 2009).
c. Infeksi
Infeksi akut traktus genitalis dapat menyumbat vas atau merusak
jaringan testis sehingga pria yang bersangkutan menjadi steril. Akan
tetapi, infeksi yang menahun mungkin hanya menurunkan kualitas
spermatozoa, dan masih dapat diperbaiki menjadi seperti semula dengan
pengobatan. Air mani yang selalu mengandung banyak lekosit, apalagi
kalau disertai gejala disuria, nyeri pada waktu ejakulasi, nyeri punggung
bagian bawah, patut diduga karena infeksi menahun traktus genitalis.
Antibiotika yang terbaik adalah yang akan terkumpul dalam traktus
genitalis dengan jumlah besar, seperti eritromisin, dimetilklortetrasiklin,
6
dan trimetoprimsulfametokosazol. Nitrofurantoin jangan dipakai, karena
dapat menghambat spermatogenesis (Wiknjosastro, 2009).
d. Faktor pekerjaan
Produksi sperma yang optimal membutuhkan suhu di bawah
temperature tubuh, Spermagenesis diperkirakan kurang efisien pada pria
dengan jenis pekerjaan tertentu, yaitu pada petugas pemadam kebakaran
dan pengemudi truk jarak jauh (Henderson dan Jones, 2006).
e. Faktor lingkungan
a) Suhu, memegang peranan penting pada spermatogenesis. Spermatazoa
hanya dapat diproduksi bila suhu testis 29-30ºC, sedikitnya. 1,5-2ºC
dibawah suhu dalam tubuh, kenaikan suhu beberapa derajat akan
menghambat proses spermatogenesis, sebaliknya suhu rendah akan
meningkatkan spermatogenesis pada manusia.
b) Tempat atau dataran tinggi. Atmosfer dataran tinggi (high altitude)
juga menghambat pembuatan spermatozoa.
c) Sinar Rontgen, spermatogonia dan spermatosit sangat peka terhadap
sinar Rontgen, tapi spermatic dan sel sertoli tidak. Bahan kimia dan
obat-abatan tertentu dapat menghambat proses spermatogenesis, misal
metronidazol, simetidin dan lain-lain (Khaidir, 2006).
f. Masalah interaktif
Berupa masalah yang berasal dari penyebab spesifik untuk setiap
pasangan meliputi: frekuensi sanggama yang tidak memadai, waktu
sanggama yang buruk, perkembangan antibodi terhadap sperma pasangan
dan ketidakmampuan sperma untuk melakukan penetrasi ke sel telur
(Stritgh, 2005)
7
2.1.3 Patofisiologi Infertilitas
2.1.4 Prognosis Infertilitas
Menurut Behrman dan Kistner, prognosis terjadinya kehamilan
tergantung pada umur suami, umur istri, dan lamanya dihadapkan kepada
kemungkinan kehamilan (frekuensi senggama dan lamanya perkawinan).
Fertilitas maksimal wanita dicapai pada umur 24 tahun, kemudian
menurun perlahan-lahan sampai umur 30 tahun, dan setelah itu menurun
dengan cepat. Menurut MacLeod, fertilitas maksimal pria dicapai pada
umur 24-25 tahun. Hampir pada setiap golongan umur pria proporsi
terjadinya kehamilan dalam waktu kurang dari 6 bulan meningkat dengan
meningkatnya frekuensi senggama. Ternyata, senggama 4 kali seminggu
paling meluangkan terjadinya kehamilan karena ternyata kualitas dan jenis
motilitas spermatozoa menjadi lebih baik dengan seringnya ejakulasi.
Penyelidikan jumlah bulan yang diperlukan untuk terjadinya
kehamilan tanpa pemakaian kontrasepsi telah dilakukan di Taiwan dan di
Amerika Serikat dengan kesimpulan bahwa 25% akan hamil dalam 1
bulan pertama, 63% dalam 6 bulan pertama, 75% dalam 9 bulan pertama,
80% dalam 12 bulan pertama, dan 90% dalam 18 bulan pertama. Dengan
8
demikian, makin lama pasangan kawin tanpa hasil, makin menurun
prognosis kehamilannya.
Pengelolaan mutakhir terhadap pasangan infertil dapat membawa
kehamilan kepada lebih dari 50% pasangan, walaupun masih selalu ada
10-20% pasangan yang belum diketahui etiologinya. Separuhnya lagi
terpaksa harus hidup tanpa anak, atau memperoleh anak dengan jalan lain,
umpamanya dengan inseminasi buatan donor, atau mengangkat anak
(adopsi).
Hasil penyelidikan Dor et al. menunjukkan apabila umur istri akan
dibandingkan dengan angka kehamilannya, maka pada infertilitas primer
terdapat penurunan yang tetap setelah umur 30 tahun. Pada infertilitas
sekunder terdapat juga penurunan, akan tetapi tidak securam seperti pada
infertilitas primer. Penyelidikan tersebut selanjutnya mengemukakan
bahwa istri yang baru dihadapkan kepada kemungkinan kehamilan selama
3 tahun kurang, prognosis kehamilannya masih baik. Akan tetapi, kalau
sudah dihadapkan selama 5 tahun lebih, prognosisnya buruk. Oleh karena
itu dianjurkan untuk tidak menunda pemeriksaan dan pengobatan
infertilitas selama 3 tahun lebih (Anwar dan Jamaan, 2003).
2.1.5 Syarat-Syarat Pemeriksaan
Setiap pasangan infertil harus diperlakukan sebagai satu kesatuan.
Itu berarti, kalau istri saja sedangkan suaminya tidak mau diperiksa, maka
pasangan itu tidak diperiksa. Adapun syarat-syarat pemeriksaan pasangan
infertil adalah:
1) Istri yang berumur antara 20-30 tahun baru akan diperiksa setelah berusaha
untuk mendapat anak selama 12 bulan. Pemeriksaan dapat dilakukan lebih
dini apabila: (1) pernah mengalami keguguran berulang, (2) diketahui
mengidap kelainan endokrin, (3) pernah mengalami peradangan rongga
panggul atau rongga perut, dan (4) pernah mengalami bedah ginekologi.
2) Istri yang berumur antara 31-35 tahun dapat diperiksa pada kesempatan
pertama pasangan itu datang ke dokter.
9
3) Istri pasangan infertil yang berumur antara 36-40 tahun hanya dilakukan
pemeriksaan infertilitas kalau belum mempunyai anak dari perkawinan ini.
4) Pemeriksaan infertilitas tidak dilakukan pada pasangan infertil yang salah satu
anggota pasangannya mengidap penyakit yang dapat membahayakan
kesehatan istri atau anaknya.
(Wiknjosastro, 2009)
2.1.6 Pemeriksaan Penunjang dalam Infertilitas
1) Laparoskopi-Histeroskopi
Merupakan prosedur operatif yang memungkinkan melihat uterus,
tuba, ovarium, dan seluruh rongga panggul dan struktur lain dengan memakai
alat khusus (laparoskop). Indikasi laparoskopi-histeroskopi
a. Umur istri >30 tahun
b. Lama kawin > 3 tahun tanpa ada kelainan yang jelas
c. Curiga ada faktor peritoneum (terjadi perlekatan), yaitu bila ada: riwayat
penyakit radang panggul, pernah memakai IUD, riwayat operasi panggul
d. Curiga adanya endometriosis, yaitu bila ada wanita infertile dengan
keluhan dismenorea, dispareunia, ada tumor adneksa atau uterus yang
retrofleksi terfiksasi.
Laparoskopi-histeroskopi dikerjakan pada fase sekresi ± hari ke 19-25
siklus haid (Dewata dkk, 2008).
2) Uji Pasca Senggama (UPS)
UPS dikerjakan pada saat menjelang/sekitar ovulasi. Lendir serviks
akan jernih dan encer saat di sekitar ovulasi karena saat itu kadar estrogen
tinggi dan pekat saat pasca ovulasi karena kadar progesteron meningkat. UPS
juga digunakan untuk mengetahui interaksi antara spermatozoa dengan lendir
serviks.
Hasil pemeriksaan:
Lendir serviks baik: volume banyak, jernih, sedikit mengandung sel, daya
membenang tinggi (10-15cm), viskositas rendah tidak pekat, bila dikeringkan
membentuk gambaran daun pakis (tes Fem).
10
UPS baik : bila terdapat >20 spermatozoa per lapangan pandang besar
yang aktif bergerak.
UPS jelek : bila tidak terdapat spermatozoa atau ada tetapi bergerak di
tempat atau mati. Bila hasil UPS jelek, haruslah diulang pada
siklus berikutnya, karena kemungkinan besar disebabkan
kesalahan menentukan waktu UPS. Untuk itu UPS berikutnya
harus diberi ethinyl estradiol 50µg perhari atau setara mulai
hari ke 5 siklus haid selama 20 hari.
(Dewata dkk, 2008)
3) Histerosalpingografi (HSG)
HSG dikerjakan pada fase proliferasi, 3 hari setelah haid bersih. Zat
warna radio-opak disuntikkan melalui serviks ke dalam uterus dan direkam
dengan foto sinar X, sehingga dapat diketahui keadaan kavum uteri, lumen
tuba, potensi tuba, serta dapat menentukan lokasi pembuntuan tuba. HSG
tidak dapat melihat faktor peritoneum atau keadaan patologi lain genetalia
interna yang nampak di rongga abdomen (Dewata dkk, 2008).
4) Pemeriksaan Panas Badan Basal/Basal Body Temperature (BBT)
Pemeriksaan BBT merupakan salah satu metode untuk mengetahui ada
ovulasi. Siklus ovulasi akan member gambaran BBT yang bifasik. Panas
badan menurun saat ovulasi, yang diikuti dengan peningkatan ±0,20C yang
terus dipertahankan 12-15 hari pasca ovulasi sampai dating siklus haid
berikutnya. Bila terjadi BBT monofasik (siklus anovulasi) selama 2 sampai 3
siklus berurutan, maka diperlukan evaluasi lebih jauh untuk mencari sebab
gangguan ovulasi tersebut. Pemeriksaan BBT memerlukan disiplin tinggi dan
edukasi yang baik dari pasutri, karena harus dikerjakan pada saat bangun tidur
(basal) dan terus-menerus tiap hari dalam kurun waktu lama /3 siklus atau
lebih (Dewata dkk, 2008).
5) Biopsi Endometrium (BEM)
“Umur” endometrium pasca ovulasi dapat dikenali dengan BEM
melalui gambaran histopatologi dengan kriteria Noyes, Hertig dan Rode. BEM
dilakukan 2 sampai 3 hari menjelang prakiraan hari pertama haid siklus yang
11
akan datang. BEM dikerjakan bila ada kecurigaan defek fase luteal, waktu
BBT fase luteal sangat pendek kurang dari 12 hari (Dewata dkk, 2008).
2.1.8 Penatalaksanaan Infertilitas Sekunder
Pada awalnya evaluasi meliputi penilaian pada si pria melalui
analisis semen dan pemeriksaan siklus menstruasi ovulatoir dan potensi
tuba fallopii pada si wanita. Pada beberapa pasangan diperlukan
pemeriksaan tambahan. Pemeriksaan ini meliputi: penilaian anatomis
rongga uterus, evaluasi kandungan ovarium dengan mengukur kadar FSH
dan estradiol serum pada awal fase folikular siklus dan jika diindikasikan
laparoskopi atau histeroskopi.
Setelah evaluasi lengkap, pengobatan bergantung pada hasil
pemeriksaan. Wanita dengan anovulatori atau oligoovulatori dapat diterapi
baik dengan menyelesaikan setiap masalah yang mendasari seperti
hiperprolaktinemia atau hipotiroidisme atau oleh induksi ovulasi. Obat-
obat yang digunakan untuk induksi ovulasi bekerja melalui berbagai
mekanisme. Obat yang paling digunakan adalah klomifen sitrat, suatu
agonis/antagonis parsial estrogen yang bekerja pada tingkat hipotalamus
dan kelenjar hipofisis untuk memblok umpan balik negatif estrogen. Hal
ini akan meningkatkan sekresi gonadotropin. Inhibitor aromatase bekerja
untuk mengurangi kadar estrogen yang bersirkulasi, memblok umpan balik
negatif secara sentral dan meningkatkan produksi dan pelepasan
gonadotropin. Kedua obat ini membutuhkan aksis hipotalamus-hipofisis-
ovarium yang berfungsi baik. Pasien yang bukan merupakan kandidat
yang baik atau gagal terhadap terapi tersebut dapat diterapi dengan
suntikan gonadotropin.
Pembedahan saluran reproduksi untuk mengangkat endometriosis
atau tumor fibroid dapat dianjurkan, walaupun terapi medis untuk
beberapa masalah ini juga tersedia. Dahulu, pembedahan rekonstruksi tuba
merupakan pengobatan pilihan infertilitas utama, jika telah tersedia teknik
bantuan reproduksi seperti fertilisasi in vitro (IVF) dengan nyata telah
menghilangkan pendekatan terapi dengan pembedahan.
12
Pengobatan infertilitas pada pria terlebih dahulu ditujukan
langsung pada etiologi yang menyebabkannya. Pengobatan ini dapat
meliputi terapi medis atau pembedahan, seperti koreksi verikokel atau
koreksi pada penyumbatan vas deferens. Teknik bantuan reproduksi lebih
sering dilakukan untuk menyelesaikan masalah-masalah sperma. Sperma
dapat dicuci, dikonsentrat dan diletakkan langsung pada rongga uterus
dengan inseminasi buatan.
Ketersediaan teknologi reproduksi secara luas telah merevolusi
pengobatan infertilitas, membuat kehamilan mungkin terjadi pada keadaan
yang sebelumnya tidak dapat diterapi. Terapi yang paling sering adalah
IVF, dimana oosit multiple yang dipisahkan difertilisasi oleh spermatozoa
didalam laboratorium. Embrio-embrio yang dihasilkan ditumbuhkan di
dalam laboratorium selama 2-5 hari, kemudian sekelompok embrio dipilih
dan dipindahkan kembali ke rongga uterus. IVF standar dapat dimodifikasi
melalui beberapa cara. Pada kasus infertilitas pria yang berat, sperma
dapat disuntikkan langsung ke dalam sitoplasma oosit untuk menimbulkan
fertilisasi (injeksi sperma intrasitplasma/intracytoplasmic sperm injection,
ICSI). Sperma-sperma ini mungkin imotil. Sperma tersebut dapat diambil
langsung dari vas deferens, epididimis atau bahkan testis pada pria dengan
azoospermia obstruktif. Akhirnya, teknologi yang berkembang baru-baru
ini memeungkinkan pemeriksaan genetic pada embrio yang dihasilkan
melalui IVF. Dengan menggunakan diagnosis genetik praimplantasi (pre-
implantation genetic diagnosis, PGD), blastomer tunggal diangkat dari
blastokista yang sedang berkembang. Blastomer ini dapat diskrining untuk
berbagai defek gen yang diturunkan atau jumlah kandungan kromosom.
Hasil skrining dapat digunakan untuk menyeleksi embrio-embrio yang
akan dipindahkan kembali ke uterus (Heffner dan Schust, 2006).
2.2 Konsep Asuhan Kebidanan pada Pasangan Infertilitas Sekunder
Pengkajian
No. Register :
Tanggal/Jam :
Oleh :
13
2.2.1 Data subjektif
1) Identitas
a. Nama
b. Umur
Fertilitas maksimal wanita dicapai pada umur 24 tahun dan menurun
perlahan sampai umur 30 tahun, setelah itu menurun cepat. Selain itu umur
isteri merupakan syarat pemeriksaan infertilitas (Wiknjosastro, 2009)
c. Agama
d. Suku bangsa
e. Pendidikan
f. Pekerjaan
Spermatogenesis diperkirakan kurang efisien pada pria dengan jenis
pekerjaan tertentu, seperti petugas pemadam kebakaran dan pengemudi
truk jarak jauh. Hal ini berkaitan dengan suhu tubuh karena produksi
sperma yang optimal membutuhkan suhu di bawah temperatur tubuh
(Khaidir, 2006)
g. Alamat
h. No. telepon
2) Alasan kunjungan
3) Keluhan utama
Belum memiliki anak setelah berusaha lebih dari satu tahun melakukan
senggama teratur tanpa kontrasepsi (Anwar dan Jamaan, 2003)
4) Riwayat pemeriksaan sebelumnya
Untuk mengetahui pemeriksaan dan pengobatan sebelumnya sehingga
pengulangan penatalaksanaan yang tidak perlu dapat dihindarkan (Anwar dan
Jamaan, 2003)
5) Riwayat menstruasi
a. Menarche : normalnya 10-16 th (±12,5 th)
Usia menarche yang terlalu dini berhubungan dengan resiko kejadian
kanker payudara dan mioma uteri yang dapat mengganggu fertilitas
(Anwar dan Jamaan, 2003).
b. Siklus : normalnya 28-35 hari (±28 hr)
14
Dari siklus menstruasi dapat diketahui gambaran kinerja ovarium dan
digunakan dalam perhitungan penatalaksanaan pasangan infertil (Anwar
dan Jamaan, 2003).
c. Teratur/Tidak : normalnya teratur
Siklus yang teratur sangat penting bagi perhitungan masa subur (Anwar
dan Jamaan, 2003).
e. Banyaknya : normalnya ± 35 cc
Untuk mendeteksi kecurigaan adanya perdarahan uterus disfungsional
(Anwar dan Jamaan, 2003).
f. Lamanya : normalnya 3-7 hari
Untuk mendeteksi kecurigaan adanya perdarahan uterus disfungsional
(Anwar dan Jamaan, 2003).
g. Sifat darah : normalnya merah encer
Untuk mendeteksi apakah darah mengandung zat fibrinogen (Anwar dan
Jamaan, 2003).
h. Dismenorrhea : normalnya tidak
Untuk mendeteksi kecurigaan adanya endometriosis dan dismenorrhea
primer disebabkan oleh faktor hormonal (Anwar dan Jamaan, 2003).
i. Fluor Albus : positif
Untuk mendeteksi bakteri patogen yang dapat mengganggu gerak sperma
(Anwar dan Jamaan, 2003).
j. HPHT :
Untuk pentalaksanaan pasangan infertil seperti USG TSV, perhitungan
siklus haid atau ovulasi (Anwar dan Jamaan, 2003).
6) Riwayat obstetri
Riwayat obstetri, meliputi a. Jumlah kehamilan dan hasil akhirnya (normal, abortus, ektopik, atau
mola).
b. Risiko oklusi tuba meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah
abortus, riwayat abortus berulang meningkatkan kejadian adhesi intra
uterus (syndrome Asherman).
15
c. Riwayat kehamilan ektopik dikaji mengenai jenis dan cara operasi untuk
menilai fungsi tuba dimana sekitar10-15% kehamilan ektopik terjadi pada
wanita yang sebelumnya hamil ektopik.
d. Riwayat kehamilan mola hidatidosa harus ditunda sampai kadar HCG
normal selama 1 tahun.
Jumlah kelahiran hidup dari perkawinan sekarang maupun sebelumnya
sebab pasangan dengan infertilitas sekunder jarang menyelesaikan
pemeriksaan sehingga perlu konseling lebih baik.
(Anwar dan Jamaan, 2003)
7) Riwayat kontrasepsi
Metode kontrasepsi IUD menunjukkan meningkatnya kejadian infeksi vagina
dan keterlambatan ovulasi dapat terjadi setelah penghentian pemakaian
kontrasepsi oral dan suntikan (Anwar dan Jamaan, 2003).
8) Riwayat penyakit sistemik
Beberapa penyakit sistemik (DM, Tiroid, TBC) dapat mempunyai dampak
buruk terhadap fertilitas (Anwar dan Jamaan, 2003)
9) Riwayat medikamentosa
Beberapa pengobatan dapat menyebabkan terganggunya proses ovulasi secara
permanen atau sementara
a. Terapi sitostatika dapat menyebabkan amenorea dan anovulasi sementara.
b. Steroid seks (pil KB, progesterone, estrogen) dapat menghambat ovulasi.
c. Obat neuroleptik (phenothiazine, butyrophenone, dan pimozide) dapat
menyebabkan hiperprolaktinemia.
d. Obat hipotensi (reserpine, methyldopa) dapat menyebabkan
hiperprolaktinemia.
e. Obat gastrointestinal (metaclopramide, dompiredone, dan cimetidine)
dapat menyebabkan hiperprolaktinemia.
Sedangkan pengobatan yang dapat memepengaruhi spermatogenesis secara
sementara atau permanen adalah:
a. Kemoterapi (“alkylating agent” menyebabkan kerusakan permanen)
b. Terapi hormonal (kortikosteroid, androgen, estrogen, progesterone,
antiandrogen, LHRH agonist)
16
c. Simetidin (menghambat efek androgen secara kompetitif)
d. Spironolacton (antagonis efek androgen pada beberapa jaringan)
e. Nitrofurantoin (mempengaruhi kualitas sperma secara toksik langsung)
f. Sulphasalazine (mempengaruhi kualitas sperma secara toksik langsung)
(Anwar dan Jamaan, 2003)
10) Riwayat pembedahan
Operasi abdominal (appendektomi), operasi ginekologi (ventro suspense,
kistektomi, operasi sterilisasi), dapat mempengaruhi fertilitas khususnya
faktor tuba (Anwar dan Jamaan, 2003).
11) Riwayat PMS
Penyakit Menular Seksual dapat mempengaruhi fertilitas pria melalui cara a. Menyebabkan lesi inflamasi pada epididimis, mengakibatkan azoospermia
akibat obstruksi
b. Memicu produksi antibody antispermia
c. Menyebabkan uretritis dan perubahan ejakulasi
Patologi pada tuba termasuk obstruksi uni/bilateral, perlekatan perituba
dan ovarium juga sering ditemukan pada pasien dengan PMS.
12) Riwayat psikososial dan latar belakang budaya
a. Pernikahan: (berapa kali, lamanya)Lamanya menikah turut menentukan penatalaksanaan pada pasangan infertil.
b. Penerimaan terhadap masalah ini: (bagaimana pasangan menyikapi infertilitasnya)
c. Dukungan keluarga: (bagaimana dukungan keluarga terhadap masalah ini )
d. Berobat ke dukun: (Pernahkah?)
(Anwar dan Jamaan, 2003)
13) Pola fungsi kesehatan
a. Pola nutrisi
Untuk menilai nutrisi yang dikonsumsi pasangan karena nutrisi yang baik
mengoptimalkan pembentukan sperma dan mnghasilkan sel ovum yang
baik (Anwar dan Jamaan, 2003).
b. Pola eliminasi
17
Seringkali infeksi pada kandung kemih maupun saluran kencing dapat
menyebabkan infertilitas
c. Pola aktivitas
Aktifitas fisik yang berat dapat mengganggu proses spermatogenesis
(Anwar dan Jamaan, 2003)
d. Aktivitas seksual
Menilai frekuensi senggama dan ketepatan waktu senggama dengan
ovulasi, dan dispareunia (Anwar dan Jamaan, 2003).
e. Pola kebiasaan sosial
Infertilitas erat hubungannya dengan kebiasaan ibu seperti, merokok,
alkohol, narkoba, obat-obatan, jamu-jamuan, dan binatang peliharaan;
infeksi toxoplasma (Anwar dan Jamaan, 2003).
2.2.2 Data objektif
1) Pemeriksaan Umum
Keadaan umum : ( baik atau buruk)
Kesadaran : ( Compos mentis, somnolens, sopor, delirium, atau coma )
Tanda-tanda vital
Tekanan Darah : (normalnya 120/80 mmHg)
Nadi : ( normal 84 – 88 x/menit )
Pernafasan : ( normal 12 – 20 x/menit )
Suhu : ( normal 36,5 – 37,5 oC )
BB (nilai perubahannya) dan TB, BB lebih atau kurang dari BMI normal akan
mempengaruhi ovulasi normal dan menurunkan kemungkinan hamil.
2) Pemeriksaan Fisik
a. Penilaian terhadap katakteristik seks sekunder.
b. Distribusi rambut sesuai skor hirsutisme Ferriman & Gallwey.
c. Perkembangan payudara termasuk penekanan areola mammae secara hati-
hati untuk melihat galaktorea.
d. Pemeriksaan abdomen
a) Riwayat operasi serta penilaian bekas sikatriks
b) Palpasi abdomen adanya organomegali atau massa dari pelvis.
e. Pemeriksaan pelvis
18
a) Inspeksi genitalia eksterna, termasuk peradangan vulva, ukuran
klitoris, keadaan hymen, dan vagina.
b) Inspeksi genitalia interna, termasuk serviks, uterus, dan ovarium
dinilai apakah normal atau abnormal.
c) Inspeksi vagina untuk menilai fluor albus, bila perlu kultur dan
resistensi.
2.2.3 Pemerksaan penunjang
1) Analisis sperma
Analisis sperma harus dilakukan minimal 1 kali. Jika hasil analisis sperma
abnormal harus dilakukan analisis ulang selang 3 minggu kemudian (Anwar
dan Jamaan, 2003).
Percontoh semen, yang diperoleh melalui masturbasi 2-4 hari sesudah
senggama terakhir, diteliti dengan menggunakan mikroskop. Criteria WHO
untuk evaluasi semen normal adalah sebagai berikut:
a. Spermatozoa
Konsentrasi >20x106/ml
Motilitas >40% motil progresif
Morfologi >50% bentuk normal
Viabilhas >60% hidup
Aglutinasi tidak ada
b. Cairan seminal
Gambaran dan volume normal
Viskositas normal
Kurang dari 106 lekosit/ml
(Dewata dkk, 2008)
2) Pemeriksaan laboratorium tambahan
Anwar dan Jamaan (2003) mengatakan beberapa pemeriksaan tambahan dapat
dilakukan dengan indikasi tertentu tergantung kebutuhan:
a. Analisa darah untuk mendeteksi penyakit sistemik tertentu yang
mempengaruhi fertilitas (Hb, L, eritrosit, LED, fungsi ginjal dan hepar,
konsentrasi besi serum, serta beberapa pemeriksaan lain tergantung hasil
anamnesa dan pemeriksaan fisik)
19
b. Pemeriksaan Ig G dan Ig M untuk klamidia dan HIV
c. Antibodi sperma. Uji MAR tidak langsung dan uji immunobead langsung
dan tidak langsung
d. Analisis urin, termasuk penilaian glukosa, protein, leukosit, eritrosit, dan
kultur
e. Cairan prostat untuk menilai infeksi
f. Urin pascaorgasme (dilakukan bila ada dugaan ejakulasi retrograde
g. Pemeriksaan hormonal yang harus dilakukan secara selektif:
a) FSH (hanya pada azo/oligozoospermia berat, yaitu sperma <5 jut/cc
dengan volume testis normal atau lebih kecil)
b) LH (tidak perlu diperiksa secara rutin)
c) Testosteron (pada hipoandrogenisme dan pada keadaan FSH tidak
meningkat)
d) PRL (pada disfungsi seksual termasuk penurunan libido dan ereksi
penis atau dengan tanda klinis hipoandrogenisme dan konsentrasi
testosteron rendah dan FSH tidak meningkat)
2.2.4 Analisa
Seorang wanita bisa saja mempunyai lebih dari 1 diagnosis dari 22
kategori diagnosis yang dibuat oleh WHO.
1) Disfungsi seksual
2) Hiperprolaktinemia
3) Lesi organik daerah hipotalamo hipofisa
4) Amenorea dengan peninggian kadar FSH basal
5) Amenorea dengan estrogen endogen adekuat
6) Amenorea dengan estrogen endogen rendah
7) Oligomenorea
8) Menstruasi dan atau ovulasi yang tidak teratur
9) Anovulasi dengan siklus teratur
10) Abnormalitas kongenital bawaan
11) Oklusi tuba bilateral
12) Perlekatan pelvis
13) Endometriosis
20
14) Lesi uterus atau serviks dapatan/acquired
15) Lesi tuba dapatan/ acquired
16) Lesi ovarium dapatan/acquired
17) TBC genetalia
18) Kausa iatrogenik
19) Kausa sistemik
20) Diagnosis belum pasti (tanpa laparoskopi)
21) Kausa tidak jelas (“Unexplained”)
Sedangkan diagnosis infertilitas pria menurut WHO antara lain:
1) Disfungsi seksual dan atau ejakulasi
2) Kausa imunologi
3) Kausa tidak jelas
4) Abnormalitas plasma semen
5) Kausa iatrogenik
6) Kausa sistemik
7) Abnormalitas kongenital
8) Kerusakan testis dapatan/acquired
9) Varikokel
10) Infeksi kelenjar aksesori pria
11) Kausa endokrin
12) Oligozoospermia idiopatik
13) Asthenozoospermia idiopatik
14) Teratozoospermia idiopatik
15) Azoospermia obstruktif
16) Azoospermia idiopatikr
Kategori diagnosis ini dibuat terutama untuk menentukan strategi
pengobatan bukan untuk klasifikasi secara akademik yang rinci tanpa dampak
langsung pada manajemen secara klinis (Anwar dan Jamaan, 2009).
2.2.5 Penatalaksanaan
1) Menginformasikan hasil pemeriksaan dan asuhan yang akan diberikan
21
R/ Klien diharapkan dapat memahami hasil pemeriksaan dan asuhan yang
akan diberikan sehingga memudahkan dalam KIE dan pemeriksaan
selanjutnya
2) Memfasilitasi konseling prosedur dan program penanganan infertilitas
R/ Klien diharapkan bersedia mengikuti prosedur dan program penanganan
infertilitas untuk mengatasi masalah klien
3) Kolaborasi dengan dokter spesialis andrologi untuk penanganan faktor
infertilitas pada pihak suami
R/ Suami diharapkan mau menjalani prosedur diagnostik dan terapi dari
dokter spesialis andrologi untuk mengetahui atau memperbaiki kualitas
sperma yang dihasilkan
4) Memfasilitasi pemeriksaan dalam dan swab vagina oleh dokter spesialis
obstetri dan ginekologi
R/ Pemeriksaan dalam dan swab vagina dilakukan atas indikasi tertentu dan
untuk membantu mengidentifikasi penyebab infertilitas
5) Memberikan KIE: teknik dan jadwal hubungan seksual, pola pengaturan
aktivitas dan menyepakati kunjungan berikutnya
R/ Klien diharapkan memahami dan menjalani KIE yang diberikan untuk
memudahkan program penanganan infertilitas
(Anwar dan Jamaan, 2003)
22