inferioritas ilmu-ilmu sosial dalam pendidikan nasional indonesia: sebuah studi perbandingan antara...

249
TESIS INFERIORITAS ILMU-ILMU SOSIAL DALAM PENDIDIKAN NASIONAL INDONESIA: SEBUAH STUDI PERBANDINGAN ANTARA 8 SEKOLAH DI JABOTABEK BERDASARKAN PSIKOLOGI GESTALT DAN FILSAFAT IDE KOSMONOMIS Ditulis untuk memenuhi sebagian persyaratan akademik guna memperoleh gelar Magister Pendidikan Strata Dua Oleh: Nama : ANDREA KARUNIA ISKANDAR NPM : 6920060014 PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN JAKARTA 2009

Upload: andrea-k-iskandar

Post on 28-Jul-2015

1.153 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

INFERIORITY OF SOCIAL SCIENCES IN INDONESIAN NATIONAL EDUCATION: A COMPARATIVE STUDY AMONG 8 SCHOOLS IN GREATER JAKARTA AREA BASED ON GESTALT PSYCHOLOGY AND PHILOSOPHY OF THE COSMONOMIC IDEA (DE WIJSBEGEERTE DER WETSIDEE)(xiv + 129 pages: 1 picture; 2 attachments)In Indonesian schools social sciences are considered inferior to the natural sciences. This study would examine whether this inferiority of the social sciences in Indonesia takes place because the act of schooling is administered to ensure students’ readiness to work, but forget that humans are not merely economic beings. There are other aspects within each human being which also need to be sharpened but apparently ignored by the education system in Indonesia. According to Gestalt Psychology, human experience tends to be meaningful and complete, while according to Dooyeweerd’s Philosophy of the Cosmonomic Idea, there are 15 aspects of human experience – all of which needs to be developed by education so people can experience their lives in full. This study is conducted by doing interviews to 2 teachers and 2 students in each of 6 national schools and 2 international schools in greater Jakarta area, each school having a particular set of characteristics so as to enable this study to come up with a certain picture of each distinct school’s view of their own education system. The German school is found to use a holistic approach and an integrated hidden curriculum to produce independent and responsible students while the French school combines the social sciences and natural sciences in a synergistic manner to produce students who have a strong sense of nationality and communality as French people. If the Indonesian government is serious about achieving the goal of national education it has prescribed, it is necessary to use both a strategic pattern of thought and strategion actions to take advantage of each sciences’ unique nature to help us attach value to our life experiences and shape a public space we want to achieve together, a democratic country and a highly civilized nation. It is found that neither the natural sciences nor social sciences an sich is an important consideration factor in selecting studies, but the main factors are the character formation gained during the study and the diploma obtained after the study.

TRANSCRIPT

Page 1: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

TESIS

INFERIORITAS ILMU-ILMU SOSIAL

DALAM PENDIDIKAN NASIONAL INDONESIA:

SEBUAH STUDI PERBANDINGAN ANTARA 8 SEKOLAH

DI JABOTABEK BERDASARKAN PSIKOLOGI GESTALT

DAN FILSAFAT IDE KOSMONOMIS

Ditulis untuk memenuhi sebagian persyaratan akademik

guna memperoleh gelar Magister Pendidikan Strata Dua

Oleh:

Nama : ANDREA KARUNIA ISKANDAR

NPM : 6920060014

PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS PELITA HARAPAN

JAKARTA

2009

Page 2: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

PERNYATAAN KEASLIAN TUGAS AKHIR

Saya mahasiswa program studi Magister Pendidikan, Fakultas Ilmu Pendidikan,

Universitas Pelita Harapan

Nama Mahasiswa : Andrea Karunia Iskandar

Nomor Pokok Mahasiswa : 6920060014

Konsentrasi : Teknologi Pendidikan

dengan ini menyatakan bahwa karya tulis tugas akhir yang saya buat dengan judul

“INFERIORITAS ILMU-ILMU SOSIAL DALAM PENDIDIKAN NASIONAL

INDONESIA: SEBUAH STUDI PERBANDINGAN ANTARA 8 SEKOLAH DI

JABOTABEK BERDASARKAN PSIKOLOGI GESTALT DAN FILSAFAT IDE

KOSMONOMIS” adalah:

1) Dibuat dan diselesaikan sendiri, dengan menggunakan hasil kuliah, tinjauan lapangan dan

buku-buku serta jurnal acuan yang tertera di dalam referensi pada karya tulis tugas akhir

saya;

2) Bukan merupakan duplikasi karya tulis yang sudah dipublikasikan atau yang pernah

dipakai untuk mendapatkan gelar sarjana lain kecuali pada bagian-bagian sumber informasi

dicantumkan dengan cara referensi yang semestinya;

3) Bukan merupakan karya terjemahan dari kumpulan buku atau jurnal acuan yang tertera di

dalam referensi pada karya tulis tugas akhir saya.

Kalau terbukti saya tidak memenuhi apa yang telah dinyatakan di atas, maka karya tulis tugas

akhir ini batal.

Jakarta, 16 Mei 2009

Yang membuat pernyataan

Andrea Karunia Iskandar

Page 3: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

UNIVERSITAS PELITA HARAPAN

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING TUGAS AKHIR

INFERIORITAS ILMU-ILMU SOSIAL

DALAM PENDIDIKAN NASIONAL INDONESIA:

SEBUAH STUDI PERBANDINGAN ANTARA 8 SEKOLAH

DI JABOTABEK BERDASARKAN PSIKOLOGI GESTALT

DAN FILSAFAT IDE KOSMONOMIS

Oleh:

Nama : ANDREA KARUNIA ISKANDAR

NPM : 6920060014

Program Studi : Magister Pendidikan

Konsentrasi : Teknologi Pendidikan

telah diperiksa dan disetujui untuk diajukan dan dipertahankan dalam ujian komprehensif

guna mencapai gelar Magister Pendidikan Strata Dua pada Fakultas Ilmu Pendidikan,

Universitas Pelita Harapan, Jakarta.

Jakarta, 16 Mei 2009

Menyetujui:

Pembimbing

Dr. F. Budi Hardiman

Page 4: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

UNIVERSITAS PELITA HARAPAN

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

PERSETUJUAN TIM PENGUJI TUGAS AKHIR

Pada 1 Juli 2009 telah diselenggarakan ujian Tugas Akhir untuk memenuhi sebagian persyaratan

akademik guna mencapai gelar Magister Pendidikan Strata Dua, Program Studi Magister

Pendidikan, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Pelita Harapan atas:

Nama : ANDREA KARUNIA ISKANDAR

NPM : 6920060014

Konsentrasi : Teknologi Pendidikan

yang berjudul

INFERIORITAS ILMU-ILMU SOSIAL

DALAM PENDIDIKAN NASIONAL INDONESIA:

SEBUAH STUDI PERBANDINGAN ANTARA 8 SEKOLAH

DI JABOTABEK BERDASARKAN PSIKOLOGI GESTALT

DAN FILSAFAT IDE KOSMONOMIS

oleh tim penguji yang terdiri dari:

Nama Status Tanda Tangan

1. Dr. I Made Markus sebagai ketua sidang

2. Dr. F. Budi Hardiman sebagai pembimbing / anggota

penguji

3. Dr. Rijanto Purbojo sebagai anggota penguji

Page 5: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

v

ABSTRACT

Andrea Karunia Iskandar (NPM: 6920060014)

TITLE:

INFERIORITY OF SOCIAL SCIENCES IN INDONESIAN NATIONAL EDUCATION: A

COMPARATIVE STUDY BETWEEN 8 SCHOOLS IN GREATER JAKARTA AREA

BASED ON GESTALT PSYCHOLOGY AND PHILOSOPHY OF THE COSMONOMIC

IDEA (DE WIJSBEGEERTE DER WETSIDEE)

(xiv + 129 pages: 1 picture; 2 attachments)

In Indonesian schools social sciences are considered inferior to the natural sciences. This study

would examine whether this inferiority of the social sciences in Indonesia takes place because the

act of schooling is administered to ensure students‘ readiness to work, but forget that humans are

not merely economic beings. There are other aspects within each human being which also need to

be sharpened but apparently ignored by the education system in Indonesia. According to Gestalt

Psychology, human experience tends to be meaningful and complete, while according to

Dooyeweerd‘s Philosophy of the Cosmonomic Idea, there are 15 aspects of human experience –

all of which needs to be developed by education so people can experience their lives in full. This

study is conducted by doing interviews to 2 teachers and 2 students in each of 6 national schools

and 2 international schools in greater Jakarta area, each school having a particular set of

characteristics so as to enable this study to come up with a certain picture of each distinct

school‘s view of their own education system. The German school is found to use a holistic

approach and an integrated hidden curriculum to produce independent and responsible students

while the French school combines the social sciences and natural sciences in a synergistic manner

to produce students who have a strong sense of nationality and communality as French people. If

the Indonesian government is serious about achieving the goal of national education it has

prescribed, it is necessary to use both a strategic pattern of thought and strategion actions to take

advantage of each sciences‘ unique nature to help us attach value to our life experiences and

shape a public space we want to achieve together, a democratic country and a highly civilized

nation. It is found that neither the natural sciences nor social sciences an sich is an important

consideration factor in selecting studies, but the main factors are the character formation gained

during the study and the diploma obtained after the study.

References: 19 (1984-2008)

Page 6: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

vi

ABSTRAK

Andrea Karunia Iskandar (NPM: 6920060014)

JUDUL:

INFERIORITAS ILMU-ILMU SOSIAL DALAM PENDIDIKAN NASIONAL

INDONESIA: SEBUAH STUDI PERBANDINGAN ANTARA 8 SEKOLAH DI

JABOTABEK BERDASARKAN PSIKOLOGI GESTALT DAN FILSAFAT IDE

KOSMONOMIS

(xiv + 129 halaman: 1 gambar; 2 lampiran)

Di sekolah-sekolah di Indonesia ilmu-ilmu sosial dipandang rendah dibandingkan dengan ilmu-

ilmu alam. Penelitian ini hendak menelaah apakah benar inferioritas ilmu-ilmu sosial di Indonesia

terjadi karena sekolah diadakan untuk membekali peserta didik menjadi siap kerja, tetapi

melupakan bahwa manusia bukan semata-mata makhluk ekonomi. Ada aspek-aspek dalam diri

manusia yang juga perlu diasah yang ternyata diabaikan oleh sistem pendidikan di Indonesia.

Menurut psikologi Gestalt, pengalaman manusia cenderung bermakna dan lengkap, sedangkan

menurut filsafat ide kosmonomis Dooyeweerd, ada 15 aspek dari pengalaman hidup manusia

yang semuanya perlu diperhatikan oleh pendidikan agar manusia dapat memaknai pengalaman

hidupnya secara utuh. Di dalam penelitian ini dilakukan wawancara masing-masing terhadap 2

orang guru dan 2 orang murid di 6 sekolah nasional dan 2 sekolah internasional di Jabotabek,

yang masing-masing memiliki ciri khas tertentu, untuk mengetahui pandangan mereka terhadap

pendidikan yang dilakukan di sekolah masing-masing. Didapati bahwa sekolah Jerman

menggunakan pendekatan pendidikan holistik dan hidden curriculum yang terintegrasi untuk

menghasilkan murid-murid yang mandiri dan bertanggung jawab sedangkan sekolah Prancis

menggunakan kurikulum yang menggabungkan ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu alam secara

sinergis untuk menghasilkan murid-murid yang memiliki rasa kebangsaan dan kesadaran

bermasyarakat yang kuat. Jika pemerintah Indonesia hendak mencapai tujuan pendidikan

nasional yang dirumuskannya, maka perlu digunakan pola pikir dan tindakan yang strategis untuk

memanfaatkan masing-masing ilmu sesuai dengan naturnya, untuk membantu kita memaknai

pengalaman hidup kita dan membentuk ruang publik yang kita inginkan bersama, sebuah negara

yang demokratis dan sebuah bangsa yang berperadaban tinggi. Ditemukan bahwa ilmu alam atau

ilmu sosial an sich bukanlah faktor pertimbangan yang penting dalam memilih studi, melainkan

faktor yang terutama adalah pembentukan karakter dan ijazah yang didapatkan.

Referensi: 19 (1984-2008)

Page 7: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

vii

KATA PENGANTAR

Tesis ini dilahirkan dari sebuah kegundahan mengenai tidak seimbangnya penghargaan

terhadap ilmu-ilmu sosial yang terjadi di tengah-tengah masyarakat Indonesia dan bahkan juga di

dalam dunia pendidikan. Melalui karya yang sederhana ini, diharapkan dilahirkan secercah

pemahaman yang lebih baik mengenai kondisi ini, terlebih lagi jika ada peneliti-peneliti lain yang

mengadakan penyelidikan lebih jauh – demi pemahaman dan perbaikan pendidikan di Indonesia.

Tesis ini tidak akan dirampungkan tanpa bantuan, dukungan dan dorongan dari banyak

pihak. Untuk itu penulis hendak menghaturkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Alm. Prof. Dr. Nggandi Katu, selaku Ketua Program Studi M.Pd. UPH yang sejak tesis ini

masih berupa benih telah telah memberikan pengarahan dan bimbingan kepada penulis dan

―mempertemukan‖ penulis dengan Dr. F Budi Hardiman.

2. Dr. I Made Markus, selaku Ketua Program Studi M.Pd. UPH saat ini, yang juga telah

memberikan dorongan dan semangat dalam setiap kesempatan.

3. Dr. F. Budi Hardiman, selaku pembimbing yang selama dua tahun tanpa lelah telah

menyediakan telinga, pikiran dan waktunya yang begitu berharga untuk menyokong penulis

melangkah dalam kegentaran ke dalam sebuah terra incognita.

4. Prof. Dr. I G.A.K. Wardani, yang dengan penuh kesabaran dan pengertian telah

mengizinkan penulis minggu demi minggu minta izin keluar lebih awal dari kelasnya untuk

melakukan konsultasi.

5. Jafet dan Wirawaty Iskandar, kedua orang tua yang telah menanamkan benih yang tak

ternilai harganya, rasa dahaga yang tak kunjung terpuaskan, terhadap ilmu dan pencarian

makna.

6. Christian dan Sherly Saputra yang telah memberikan dorongan, semangat dan dukungan-

dukungan yang sangat berharga melalui proses yang panjang ini. Juga bagi Perdana Sastra,

Budi Johanes, Evi Natalia dan rekan-rekan Pemuda Gereja Kristus Ketapang yang telah

menyediakan pilar-pilar sokongan yang sangat berharga di saat-saat yang berat – Handy &

Muliany Handoko, Ratna Sofian, Zindawati Alamsjah, Novilia Tjandra, Ferdie Irawan,

Yudi & Kartika Putra, Hengki & Amanda Sukardi, Hilton & Martha Tantra.

Page 8: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

viii

7. Sahabat-sahabat di KTB Opus Dei dan KTB Passion yang tak kunjung lelah memberikan

semangat dan dorongan: Agustino Romulo, Alfin Tjandra, Antony Seno, Billy Sulistio,

Jefry Adisaputra, dan Ricky Susanto.

8. Rekan-rekan di Gereja Kristus Ketapang dan Sekolah Kristen Ketapang: Andreas M.

Makino, Anna Purnamawati, Astri Sinaga, Daesy H. Sanger, Daniel Lie, Ester Surjanto,

Natalia S. Rumende, Nico Tasiam, Ony E. Damayanti, Ratnawati M.S., Suhandojo

Tanusaputera.

9. Soeharsono Lie, seorang sahabat dan seorang pengusaha yang dengan sangat murah hati

telah memberikan dukungan-dukungan teknis yang luar biasa dan layanan purnajual yang

sangat andal sehingga memberikan ketenangan bahkan pada saat-saat yang kritis di dalam

penyusunan tesis ini.

10. Ken Asmarahagni yang telah memberikan dukungan administratif yang begitu sabar dan

luar biasa dalam proses penelitian yang berkepanjangan ini bahkan hingga hari-hari terakhir

sebelum pengunduran dirinya dari UPH. Juga bagi Irawati Sadikin yang kemudian

menggantikan beliau dalam memberikan dukungan administratif dalam masa-masa ujian

dan revisi tesis ini.

Semoga tesis ini berhasil menularkan kegelisahan terhadap kondisi pendidikan di Indonesia

yang bersikap diskriminatif terhadap ilmu-ilmu sosial hingga akhirnya dilahirkan suatu gerakan

yang nyata untuk membangkitkan Indonesia melalui pembangunan jati diri bangsa yang jernih

dan kokoh, melalui sebuah pendidikan yang seimbang dan holistik.

Jakarta, 15 Juli 2009

Andrea K. Iskandar

Page 9: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

PERNYATAAN KEASLIAN TUGAS AKHIR

PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING

PERSETUJUAN TIM PENGUJI TUGAS AKHIR

ABSTRACT ........................................................................................................................... v

ABSTRAK ............................................................................................................................ vi

KATA PENGANTAR ......................................................................................................... vii

DAFTAR ISI ......................................................................................................................... ix

DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................................... xiii

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................................... 1

1.1 Duduk Masalah ............................................................................................................ 1

1.1.1 Pemilihan Program Pengajaran ............................................................................. 1

1.1.2 Sekolah dan Sistem Nilai dalam Masyarakat ........................................................ 2

1.1.3 Pendidikan dalam Struktur Masyarakat Indonesia ................................................ 4

1.2 Pertanyaan Penelitian ................................................................................................. 12

1.3 Hipotesis ..................................................................................................................... 13

1.4 Garis Besar Penelitian ................................................................................................ 15

1.4.1 Pengambilan Sampel dan Analisis Data ............................................................. 15

1.4.2 Pendekatan-Pendekatan yang Akan Digunakan.................................................. 16

Page 10: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

x

1.4.3 Sistematika Pembahasan Penelitian .................................................................... 17

1.5 Batasan Penelitian ...................................................................................................... 18

BAB II LANDASAN TEORI .............................................................................................. 19

2.1 Pendahuluan ............................................................................................................... 19

2.1.1 Psikologi Gestalt ................................................................................................. 20

2.1.2 Filsafat Ide Kosmonomis .................................................................................... 21

2.2 Psikologi Gestalt dan Kontribusinya dalam Dunia Pendidikan ................................. 23

2.2.1 Psikologi Gestalt ................................................................................................. 23

2.2.2 Kontribusi Psikologi Gestalt dalam Dunia Pendidikan ...................................... 26

2.3.3 Psikologi Gestalt dan Pembenaran bagi Keberlangsungan Sekolah ................... 28

2.3 Filsafat Ide Kosmonomis dan Klasifikasi Ilmu .......................................................... 30

2.3.1 Filsafat Ide Kosmonomis .................................................................................... 30

2.3.2 Tatanan Ilmu-Ilmu dalam Filsafat Ide Kosmonomis .......................................... 33

2.3.3 Dampak Filsafat Ide Kosmonomis pada Pelaksanaan Pendidikan ..................... 37

2.4 Pendidikan Holistik vs. Pendidikan Positivisitik ....................................................... 39

2.5 Inferioritas IPS terhadap IPA dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia ....... 45

BAB III RANCANGAN PENELITIAN .............................................................................. 48

3.1 Pendahuluan ............................................................................................................... 48

3.2 Jenis Penelitian ........................................................................................................... 48

3.3 Sekolah Sampel .......................................................................................................... 48

Page 11: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

xi

3.3.1 Sekolah-Sekolah Nasional .................................................................................. 49

3.3.2 Sekolah-Sekolah Internasional ............................................................................ 51

3.4 Responden .................................................................................................................. 51

3.5 Pokok-Pokok Penelitian ............................................................................................. 52

3.6 Pertanyaan Wawancara .............................................................................................. 53

3.6.1 Pertanyaan Wawancara kepada Guru di Sekolah Nasional ................................ 53

3.6.2 Pertanyaan Wawancara kepada Murid di Sekolah Nasional............................... 55

3.6.3 Pertanyaan Wawancara kepada Guru dan Murid di Sekolah Internasional ............ 57

3.7 Pengolahan Data......................................................................................................... 57

BAB IV DATA HASIL PENELITIAN ............................................................................... 59

4.1 Pendahuluan ............................................................................................................... 59

4.2 Wawancara di Sekolah-Sekolah Nasional ................................................................. 60

4.2.1 Wawancara di SMA Negeri 35 ........................................................................... 60

4.2.2 Wawancara di SMAK 3 BPK Penabur ............................................................... 66

4.2.3 Wawancara di Sekolah Pelita Harapan, Bukit Sentul ......................................... 71

4.2.4 Wawancara di SMA Katholik Tarakanita 1 ........................................................ 77

4.2.5 Wawancara di Kolese Gonzaga / Seminari Wacana Bhakti ............................... 82

4.2.6 Wawancara di SMA Kristen Ketapang I ............................................................. 86

4.3 Wawancara di Sekolah-Sekolah Internasional ........................................................... 91

4.3.1 Wawancara di Deutsche Internationale Schule .................................................. 91

Page 12: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

xii

4.3.2 Wawancara di Lycée International Français ...................................................... 98

4.4 Penutup ..................................................................................................................... 104

BAB V ANALISIS ............................................................................................................ 105

5.1 Tujuan Penyelenggaraan Sekolah ............................................................................ 105

5.1.1 Sekolah-Sekolah Nasional ................................................................................ 105

5.1.2 Sekolah-Sekolah Internasional .......................................................................... 107

5.2 Persepsi Kebernilaian Ilmu-Ilmu ............................................................................. 107

5.2.1 Sekolah-Sekolah Nasional ................................................................................ 107

5.2.2 Sekolah-Sekolah Internasional .......................................................................... 109

5.3 Sikap Ideal terhadap Ilmu-Ilmu ............................................................................... 110

5.4 Kontribusi Ilmu terhadap Pencapaian Tujuan Pendidikan Nasional ....................... 114

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................................... 116

6.1 Kesimpulan .............................................................................................................. 116

6.2 Saran ......................................................................................................................... 118

6.3 Keterbatasan Penelitian ............................................................................................ 119

6.4 Saran untuk Penelitian Lanjutan .............................................................................. 121

6.5 Penutup ..................................................................................................................... 123

CATATAN AKHIR ........................................................................................................... 125

REFERENSI ...................................................................................................................... 128

Page 13: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN A TRANSKRIP WAWANCARA ............................................................... 130

A1. Wawancara di SMA Negeri 35 ............................................................................... 130

A1.1 Responden 11 .................................................................................................... 130

A1.2 Responden 12 .................................................................................................... 135

A1.3 Responden 13 .................................................................................................... 138

A1.4 Responden 14 .................................................................................................... 139

A2. Wawancara di SMAK 3 BPK Penabur ................................................................... 141

A2.1 Responden 21 .................................................................................................... 141

A2.2 Responden 22 .................................................................................................... 146

A2.3 Responden 23 .................................................................................................... 149

A2.4 Responden 24 .................................................................................................... 153

A3. Wawancara di Sekolah Pelita Harapan, Bukit Sentul ............................................. 156

A3.1 Responden 31 .................................................................................................... 156

A3.2 Responden 32 .................................................................................................... 159

A3.3 Responden 33 .................................................................................................... 161

A3.4 Responden 34 .................................................................................................... 164

A4. Wawancara di SMA Katholik Tarakanita 1 ............................................................ 167

A4.1 Responden 41 .................................................................................................... 167

A4.2 Responden 42 .................................................................................................... 172

A4.3 Responden 43 .................................................................................................... 176

A4.4 Responden 44 .................................................................................................... 179

Page 14: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

xiv

A5. Wawancara di Kolese Gonzaga / Seminari Wacana Bhakti ................................... 183

A5.1 Responden 51 .................................................................................................... 183

A5.2 Responden 52 .................................................................................................... 189

A5.3 Responden 53 .................................................................................................... 192

A5.4 Responden 54 .................................................................................................... 195

A6. Wawancara di SMA Kristen Ketapang I ................................................................. 197

A6.1 Responden 61 .................................................................................................... 197

A6.2 Responden 62 .................................................................................................... 202

A6.3 Responden 63 .................................................................................................... 205

A6.4 Responden 64 .................................................................................................... 208

A7. Wawancara di Deutsche Internationale Schule ....................................................... 210

A7.1 Responden 71 .................................................................................................... 210

A7.2 Responden 72 .................................................................................................... 214

A7.3 Responden 73 .................................................................................................... 219

A7.4 Responden 74 .................................................................................................... 222

A8. Wawancara di Lycée International Français ........................................................... 224

A8.1 Responden 81 .................................................................................................... 224

A8.2 Responden 82 .................................................................................................... 228

A8.3 Responden 83 dan 84 ........................................................................................ 230

LAMPIRAN B BAGAN SISTEM PENDIDIKAN ........................................................... 234

B1. Sistem Pendidikan Jerman ....................................................................................... 234

B2. Sistem Pendidikan Prancis ...................................................................................... 235

Page 15: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Duduk Masalah

1.1.1 Pemilihan Program Pengajaran

Dalam sistem pendidikan di Indonesia, seorang murid wajib mengikuti semua bidang studi

yang disediakan di sekolah yang diikutinya. Pertama kalinya seorang murid memiliki kebebasan

memilih adalah di SMA kelas XI. Di tingkat itu disediakan tiga pilihan program pengajaran: IPA,

IPS atau Bahasa. Kendati ada tiga pilihan program pengajaran, program Bahasa jarang sekali

disediakan oleh sekolah-sekolah. Seorang murid dan orang tuanya pada umumnya hanya melihat

dua pilihan program pengajaran: IPA atau IPS.

Kenyataan yang terjadi di masyarakat menunjukkan bahwa IPA jauh lebih diminati

daripada IPS. Seorang murid, terlepas dari bidang kemampuan akademiknya, pada umumnya

ingin masuk program pengajaran IPA. Masuk ke program IPA dipandang sebagai sesuatu yang

bergengsi, sesuatu yang memberikan kebanggaan tersendiri baik bagi murid itu sendiri maupun

bagi orang tuanya. Bukanlah suatu hal yang aneh bahwa orang tua murid mencampuri urusan

pemilihan program pengajaran bagi anaknya dan memaksa anaknya memilih program IPA,

bahkan memaksa pihak sekolah untuk menyediakan kursi bagi anaknya di program IPA, terlepas

dari kemampuan akademik dan minat anaknya.

Persepsi masyarakat yang memposisikan ilmu-ilmu alam sebagai superior dan ilmu-ilmu

sosial sebagai inferior terjadi tidak hanya pada tingkat pemilihan program pengajaran, tetapi juga

pada tingkat penghargaan terhadap bidang-bidang studi yang diajarkan di sekolah. Bidang-bidang

studi seperti Matematika, Fisika dan Kimia pada umumnya lebih dihargai dan dianggap patut

Page 16: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

2

menjadi bidang studi yang disukai, ditakuti maupun diseriusi sebagai cara mewujudkan cita-cita

dibandingkan bidang-bidang studi seperti Sejarah, Pendidikan Kewarganegaraan serta Bahasa

dan Sastra.

1.1.2 Sekolah dan Sistem Nilai dalam Masyarakat

Neil Postman, dalam bukunya The End of Education: Redefining the Value of School,

mengutarakan: ―… At its best, schooling can be about how to make a life, which is quite different

from how to make a living.‖1 Di dalam bukunya itu Postman mengutarakan bagaimana sekolah

membantu membentuk paradigma sebuah masyarakat tentang apa yang penting dalam kehidupan

dan bagaimana membentuk kehidupan bermasyarakat itu sendiri. Paradigma apa yang dibentuk

ke dalam pola pikir murid-murid di sekolah kemudian akan mempengaruhi paradigma apa yang

dimiliki masyarakat pada generasi berikutnya.

Setiap sekolah, setiap sistem pendidikan, memiliki nilai-nilainya sendiri, hal-hal yang

dianggap penting bagi keberlangsungan sebuah masyarakat. Nilai-nilai itu disebut oleh Postman

sebagai gods (dengan ―g‖ kecil), ‗dewa-dewa‘ yang perwujudannya dapat dilihat dengan sangat

gamblang pada sekolah-sekolah yang didirikan dengan motif keagamaan, ―to serve and celebrate

the glory of God‖2 (dengan ―G‖ kapital):

3

… At the core of such schools, there is a transcendent, spiritual idea that gives purpose and

clarity to learning. Even the skeptics and nonbelievers know why they are there, what they

are supposed to be learning, and why they are resistant to it. Some also know why they

should leave.

Postman berargumen bahwa setiap masyarakat memiliki nilai yang membentuk motif

kenapa mereka menyekolahkan anak-anak mereka, kenapa mereka merancang suatu sistem

pendidikan yang khas dalam masyarakat mereka dan membentuk desakan yang baru ketika

mereka harus menyesuaikan kembali nilai-nilai yang diteruskan di dalam sistem pendidikan

Page 17: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

3

mereka. Motif itu bukan saja motif keagamaan, tetapi ada juga motif-motif seperti: nasionalisme,

kepercayaan terhadap ekonomi pasar, utilitas ekonomi, dan konsumerisme.4

Motif adalah suatu hal yang tak kasat mata tetapi dapat dibaca dan dipahami melalui

keputusan-keputusan yang dibuat. Berdasarkan studi terhadap serangkaian keputusan yang

seseorang buat, dapat dipahami prioritas-prioritas yang ia miliki. Dari prioritas-prioritas itu

kemudian dapat dipahami motif dasar yang menggerakkan dia sehingga memiliki prioritas dan

keputusan yang telah diketahui sebelumnya. Ketika berbicara dalam konteks masyarakat,

masyarakat sebagai sebuah entitas sosial juga memiliki motif-motifnya sendiri yang dapat

diamati melalui dinamika sosial masyarakat itu. Dalam hal ini, dinamika sosial masyarakat itu

adalah dipandangnya program IPA sebagai program yang bergengsi sementara program IPS

dinomorduakan.

Jacques Demougin mengutarakannya demikian:5

L‘instruction, quand elle parraît dans les sociétés historiques, répond, elle, à des

préoccupations utilitaires en rapport étroit avec la structure de la société. Athènes et Rome

forment ainsi explicitement un type d‘homme particulier, spécifique des sociétés antiques :

un citoyen capable de parler en public et d‘exercer des magistratures variées ; Charlemagne

est essentiellement préoccupé, en rassemblant les débris de la culture latine, d‘assurer une

armature administrative minimale à son Empire fruste et hétérogène ; les clercs médiévaux

suivront l‘évolution géopolitique : du service féodal à l‘administration royale. L‘école

suppose donc un projet de société, qui la dépasse mais qui l‘intègre.6

Dengan adanya sikap masyarakat yang secara gamblang memandang IPA sebagai program

yang bergengsi – dan dengan demikian, yang superior – sementara IPS sebagai pilihan yang

inferior, yang terjadi dalam jangka waktu yang panjang, kita dapat bertanya: apa yang menjadi

motif yang melandasi berlangsungnya sistem pendidikan negara ini? Di satu sisi, pertanyaan ini

hendak menyentuh motif apa yang membuat pemerintah Republik Indonesia menyelenggarakan

sebuah sistem pendidikan nasional sebagaimana yang ada saat ini. Di sisi lain, pertanyaan ini

juga hendak mempelajari bagaimana masyarakat sebagai konsumen dan penerima manfaat dari

Page 18: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

4

pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah meresponi pendidikan yang diselenggarakan

oleh pemerintah.

Respon masyarakat ini dapat diketahui antara lain dengan cara mereka memilih program

pengajaran di tingkat SMA, sebab di situlah pertama kalinya seorang murid maupun orang tuanya

menghadapi suatu kemungkinan memilih yang nyata dan memiliki dampak terhadap kelanjutan

studi maupun pemenuhan cita-cita keduanya, murid maupun orang tua murid.

Kenyataan bahwa program dan bidang studi dalam IPA sangat dihargai sementara IPS

kurang dihargai, tentu bisa memberikan pemahaman yang mencerahkan tentang pandangan

masyarakat Indonesia terhadap sistem pendidikan yang kini ada di Indonesia dan bagaimana

sistem pendidikan semacam ini bisa terbentuk sebagai hasil dari ―tawar-menawar‖ antara

pemerintah dan rakyatnya dalam sebuah dinamika sosial-kemasyarakatan.

1.1.3 Pendidikan dalam Struktur Masyarakat Indonesia

Menilik perjalanan sejarah Indonesia, suku-suku yang membentuk entitas yang kini kita

kenal sebagai ―Indonesia‖ telah mengenal model-model pendidikan tradisional berbasis pondok

dan pesantren dengan masuknya berbagai agama besar ke Indonesia sejak berabad-abad yang

lalu. Bahkan, dari sistem pendidikan Hindu-lah, sebagai yang tertua dari sistem-sistem terstruktur

yang kita kenal, kita mewarisi kata ―guru‖ yang hingga hari ini masih kita gunakan. Model-model

pendidikan itu hidup dan berkembang di Indonesia. Tetapi, karena natur kehidupan

bermasyarakat pada masa itu, model-model tersebut menggantungkan kehidupannya pada

struktur keagamaan. Sistem pendidikan merupakan bagian dari kehidupan beragama dan tidak

hadir maupun berkembang secara mandiri. Dilepaskan dari kehidupan beragama, pendidikan

akan mati. Orang tidak melihat adanya kebutuhan yang nyata bagi sebuah sistem pendidikan

Page 19: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

5

selain untuk melayani keperluan orang dalam hidup beragama. Hal tersebut berlangsung generasi

demi generasi, selama berabad-abad.

Sementara itu, wilayah-wilayah yang kini menjadi bagian dari Indonesia berangsur-angsur

masuk ke bawah penjajahan oleh Belanda. Pada masa penjajahan Belanda itu Eropa telah

mengalami Abad Renaissance. Pendidikan yang terjadi di Eropa pada masa itu adalah produk

dari sebuah abad yang menolak kegelapan Abad Pertengahan dan mengagung-agungkan masa

Yunani Kuno dan Romawi, maka pendidikan Eropa pun merupakan pengejawantahan dari

sebuah kurikulum yang menggerakkan pendulum dari ekstremisme pendekatan yang sama sekali

tidak praktis dalam teologi di Abad Pertengahan (yang disebut juga sebagai Abad Kegelapan)

yang ditolaknya kepada pendekatan yang sangat praktis: ―bacaan karya-karya penulis kuno dan

pokok-pokok pelajaran seperti tata bahasa, retorika, sejarah dan filsafat moral‖7, sebuah

kurikulum humanistik. Pada Abad Renaissance, ―kurikulum humanistik‖ berarti kurikulum

yang:8

... Menaruh minat pada estetika, melihat kegunaan pengetahuan sejarah, dan yakin bahwa

tugas utama manusia ialah menikmati kehidupannya secara bijak dan mengabdi

masyarakatnya secara aktif.

Semangat yang berkobar-kobar di tengah kaum humanis yang mendefinisikan abad itu

adalah semangat yang berupaya untuk mendidik orang untuk menghasilkan kualitas terbaik yang

bisa dicapai orang, pertama-tama dalam kapasitasnya sebagai satu pribadi, tapi juga kemudian

berupaya untuk mempersiapkan orang itu untuk mengabdikan dirinya secara aktif untuk

kepentingan masyarakat yang lebih luas sebab kapasitas pribadi yang berkembang besar tanpa

diabdikan kepada masyarakat adalah sia-sia belaka.

Desiderius Erasmus adalah salah seorang tokoh besar Abad Renaissance ini. Sebagai

seorang humanis besar berkebangsaan Belanda, Erasmuslah yang menjadi ―penghubung‖ Italia di

Page 20: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

6

Eropa bagian selatan di mana Abad Renaissance dilahirkan dan bertumbuh dengan pesatnya

dengan dunia Eropa Utara. Walaupun berkebangsaan Belanda, Erasmus dalam masa awal

hidupnya sebagai seorang humanis lebih banyak berkarya di Jerman yang lebih reseptif terhadap

humanisme daripada tanah airnya sendiri.9 Barulah di kemudian hari sebagaimana halnya di

seluruh Eropa, di Negeri Belanda pun humanisme pada akhirnya menjejakkan kakinya secara

kokoh.

Salah seorang humanis Belanda itu adalah Mr. Conrad Theodor van Deventer, seorang

pengacara Belanda dari Semarang yang pada usia 40 tahun kembali ke Nederland pada 1897.

Ialah tokoh yang mempropagandakan utang budi Belanda ―kepada rakyat Jawa (baca: Hindia-

Belanda)‖ dan segera ia menjadi tokoh terkemuka dalam pembaruan politik penjajahan di

Nusantara.10

Dibutuhkan waktu dua tahun dari saat Van Deventer menulis tentang utang budi itu dalam

majalah De Gids di tahun 1899 hingga saat Ratu Wilhelmina mengakui kebenaran argumen

beliau di tahun 1901.11

Politik etis itu mengambil wujud sebuah trilogi: ―educatie, irigatie,

emigratie.‖12

Tahun 1901 ini bertepatan dengan terbentuknya pemerintahan baru di bawah

Perdana Menteri Abraham Kuyper, seorang pendeta dan pendiri Partai Anti Revolusioner yang

memiliki pandangan yang sejalan dengan Van Deventer, dan ―sejak 1879 telah menolak secara

menyeluruh politik eksploitasi di Hindia-Belanda.‖13

Gayung pun bersambut.

Menyoroti sisi ―educatie‖ dari politik etis ini, pendidikan yang hingga saat itu sudah ada di

Hindia Belanda ternyata tidak sesuai dengan kebutuhan zaman yang baru tersebut. Semua upaya

pendidikan yang telah ada tidak cukup untuk mempersiapkan para peserta didiknya untuk

memasuki dunia modern yang telah hadir di Hindia Belanda melalui kehadiran Belanda dengan

struktur administrasi pemerintahannya, pabrik-pabriknya dan institusi-institusi masyarakat

modern lainnya yang telah dibawa.14

Page 21: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

7

Pendidikan dibutuhkan untuk kalangan Pribumi bukan saja untuk memahami ajaran

agamanya dan menghidupi ajaran agamanya itu sebagaimana yang telah berlangsung selama

generasi demi generasi, tetapi pendidikan juga dibutuhkan dengan maksud menyediakan sebuah

sarana mobilisasi sosial secara vertikal bagi kalangan ini. Tanpa penguasaan pengetahuan yang

memadai, kalangan Pribumi akan tetap menjadi orang-orang yang tertinggal di negerinya sendiri.

Maka, berbeda dengan sejarah perkembangan pendidikan yang telah terjadi secara progresif di

Eropa melewati kurun waktu berabad-abad lamanya, perkembangan pendidikan di Indonesia

mengalami lompatan yang luar biasa besar: masyarakat yang semula hanya mempedulikan

penghidupannya dari sektor agraria ini kini dituntut untuk mengerti struktur-struktur sosial

modern. Terjadi suatu keterkejutan peralihan budaya pada masyarakat ini.

Bagi masyarakat di Hindia Belanda pada masa itu, keterkejutan peralihan budaya antara

lain berarti terjadi diskontinuitas pemahaman terhadap pendidikan yang telah terjadi sebelumnya

dalam struktur-struktur kehidupan tradisional dengan pondok-pondok dan pesantren-

pesantrennya di satu pihak dengan pendidikan yang diberikan dengan memanfaatkan lembaga-

lembaga bernama ―sekolah‖ di dalam struktur kehidupan modern. Dua lembaga itu adalah

perwakilan dari dua kebudayaan yang berbeda, dua struktur sosial yang berbeda. ―Sekolah‖

adalah satu entitas sosial yang baru, yang tidak dipahami bersangkut-paut dengan pondok-pondok

dan pesantren-pesantren.

Pondok dan pesantren ada untuk mempersiapkan orang memasuki kehidupan dewasa yang

bertanggung jawab, menjadi anggota masyarakat yang utuh dan berkontribusi dalam kehidupan

bersama. Sekolah ada untuk mempersiapkan orang memiliki penghidupan yang memberikan

penghasilan sehingga ia bisa menopang kehidupannya dengan penghasilannya itu. Dua lembaga

yang berbeda dari dua struktur sosial yang berbeda.

Page 22: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

8

Bagi orang yang bisa bersekolah, belajar sangat jelas dipahami bersangkut-paut dengan hal

penghidupan. ―Bisa‖, dalam konteks ini berarti mampu secara intelektual, terjangkau secara

keuangan serta diperbolehkan secara legal. Penghidupan yang layak dapat diperoleh dengan

kemampuan berdagang dengan banyak suku bangsa atau dengan menjadi ambtenaar, pegawai

pemerintah Hindia Belanda. Maka tak heran kurikulum-kurikulum yang pertama dalam sekolah-

sekolah di Indonesia memiliki muatan bahasa yang cukup banyak.15

Penekanan fungsi sekolah semata-mata pada ranah penghidupan dan bukan pada lingkup

kehidupan yang lebih luas didukung pula oleh ketidaksejalanan antara pergulatan publik yang

terjadi di Belanda dengan pengejawantahan kebijakan yang dibuat di Belanda ketika tiba di

Hindia. Maka, niat-niat baik yang ada di Negeri Belanda dengan politik etis ―educatie, irigatie,

emigratie‖-nya, ketika tiba saatnya dilaksanakan di Hindia menjadi sangat pragmatis, dilakukan

demi kepentingan kolonialisme dan kelanggengan penguasaan Hindia oleh Belanda. Apa yang di

Negeri Belanda disebut ―niat baik‖ untuk rakyat, sekalipun tetap dilaksanakan, hanyalah sekedar

untuk memenuhi kewajiban kepada atasan.16

Demikianlah sekolah-sekolah di Indonesia berkembang sebagai sesuatu yang asing, suatu

entitas sosial yang berkembang dengan dipicu oleh politik etis dari Pemerintah Belanda. Di satu

sisi, sekolah-sekolah hadir sebagai hasil perjuangan Van Deventer dan sejumlah orang lainnya,

orang-orang humanis yang dipengaruhi oleh Erasmus, sang humanis itu. Di sisi lain, lembaga-

lembaga bernama ―sekolah‖ ini tidak dipahami oleh masyarakat yang menikmatinya sebagai

kesinambungan maupun perkembangan dari lembaga-lembaga sejenis yang dikembangkan dalam

struktur-struktur sosial yang sudah ada, seperti pondok-pondok dan pesantren-pesantren. Singkat

kata, terjadi diskontinuitas pemahaman terhadap dua jenis lembaga yang sejenis yang dibesarkan

dalam struktur sosial yang berbeda.

Page 23: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

9

Jadi, kita melihat bahwa pendidikan di Indonesia berkembang untuk memenuhi tuntutan

pekerjaan dan anak-anak dikirimkan bersekolah terutama agar mereka mampu menaiki tangga

mobilitas sosial. Pendidikan tidak terutama dimaksudkan untuk (dan juga tidak dipahami

memiliki fungsi untuk) mendidik orang-orang menjadi manusia yang beradab tinggi dan

berkebudayaan, tetapi terutama dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja. Hal inilah

yang terus mewarnai dunia pendidikan di Indonesia hingga jauh ke depan, hingga saat ini.

Ada satu kurun waktu dalam sejarah berbangsa di Indonesia ketika pendidikan memiliki

misi yang lebih mulia daripada sekedar mempersiapkan orang memiliki penghidupan yang layak.

Soedijarto menuliskan:17

Sejak kebangkitan nasional tahun 1908, para pemimpin pergerakan kemerdekaan Indonesia

dan kemudian para pendiri Republik tampak amat sadar akan pentingnya pendidikan nasional

bagi rakyat bangsa Indonesia. ... Melalui gerakan kebudayaan seperti Budi Utomo, Taman

Siswa, Muhammadiyah, para pendiri Republik memandang bahwa generasi muda harus

memasuki ambang kemerdekaan sebagai bangsa yang cerdas, selain dengan rasa kebangsaan

yang kuat.

Di tahun 1908 hadir sebuah gelombang yang mulai menampakkan benih-benih kebangsaan

di antara apa yang disebutkan oleh Pramoedya Ananta Toer sebagai ―bangsa-ganda Indisch‖,18

cikal-bakal kesadaran persatuan Indonesia. Pendidikan kini dipandang sebagai sebuah ―unsur

esensial bagi lahirnya generasi muda yang tinggi kadar kebangsaannya, terutama untuk

menghadapi kaum penjajah yang bercokol dan menguasai tanah air Indonesia,‖19

demikian tutur

Soedijarto lagi. Lembaga-lembaga pendidikan pada masa itu dikelola oleh lembaga-lembaga

swadaya masyarakat dan lembaga-lembaga keagamaan sebagaimana disebutkan di atas.

Maka, di dalam periode 1908-1949 pendidikan yang dilakukan di banyak wilayah yang

kelak berada dalam wilayah negara Republik Indonesia adalah pendidikan yang bermuatan

pergerakan politik dan kebangsaan – lembaga-lembaga penyelenggaranya sendiri memiliki tujuan

Page 24: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

10

penggerakan semangat kebangsaan di dalam diri para peserta didiknya sebagai raison d’être

lembaga-lembaga pendidikan tersebut.20

Memasuki tahun-tahun pergerakan nasional yang ditandai dengan proklamasi kemerdekaan

Indonesia pada tahun 1945 dan pengakuan kedaulatan Republik Indonesia oleh Kerajaan Belanda

pada tahun 1949, negara muda Indonesia mulai bisa berbicara tentang sebuah sistem pendidikan

nasional. Ketika itulah penyelenggaran pendidikan demi lahirnya semangat kebangsaan mulai

luruh karena irelevansi. Periode di mana pendidikan tidak melulu berbicara mengenai masalah

penghidupan pun mulai menemui akhirnya.

Geger Riyanto dalam tulisannya di Harian Kompas berjudul ―Aku IPA maka Aku Ada‖

mengutarakan demikian:21

Pasca-kolonialisme, umumnya pemerintah negara-negara berkembang menitikberatkan

orientasi politiknya kepada ―pembangunan‖, yang sebenarnya lebih berkonotasi ekonomi.

Karena dengan orientasi itu, ketertinggalan dari dunia maju dapat terkejar dan pada akhirnya

memberikan satu legitimasi politik yang kuat.

Walhasil, sebagaimana disimpulkan pengamatan UNESCO terhadap geliat ilmu sosial di

Asia dan wilayah Pasifik, ilmu pasti ternyata lebih dianggap bisa melegitimasi kebijakan

negara. Tidak aneh bila terlihat lebih seksi di pelupuk mata pemerintah ketimbang ilmu-ilmu

lain yang memiliki fungsi kritis, membangun mentalitas dan kebudayaan.

Tak heran bila ilmu ekonomi, yakni cabang ilmu sosial yang banyak mengadopsi

perhitungan-perhitungan yang tampak pasti, kemudian dianggap sebagai ilmu yang prestisius.

Akibatnya, banyak cabang ilmu sosial dan humaniora, seperti antropologi, psikologi,

sosiologi, dan ilmu politik, menyandarkan kurikulum pengajarannya kepada metodologi

kuantitatif yang mengadopsi pendekatan dan perangkat penalaran dari ilmu pasti untuk

menganalisa fenomena manusia.

Soedijarto mencermati bahwa di dalam periode 1950 hingga 2008 telah di Indonesia telah

ada ―tiga kali perubahan [undang-undang] tentang sistem pendidikan, tujuh kali perubahan

kurikulum, dan tiga kali perubahan dalam sistem penentuan kelulusan (ujian akhir).‖22

Ada satu

hal yang menyedihkan yang terjadi di dalam kurun waktu lebih dari setengah abad tersebut.

Soedijarto membenarkan pendapat In‘am Al Mufti yang dipaparkan tentang kondisi negara-

negara berkembang.23

Banyak negara berkembang – dan Soedijarto menyetujui pula kondisi ini

Page 25: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

11

untuk Indonesia – yang melakukan ekspansi secara signifikan dalam bidang pendidikan. Artinya,

pembangunan infrastruktur digenjot secara luar biasa dan juga tenaga guru disebar ke berbagai

daerah. Tetapi sayangnya hal itu tidak diimbangi dengan kualitas pendidikan yang baik: sekolah

yang kelebihan murid sehingga rasio guru terhadap murid menjadi sangat tinggi, anggaran yang

terbatas sehingga fasilitas sekolah maupun gaji guru tidak diperhatikan, juga metode pengajaran

yang ketinggalan zaman dan didasarkan pada metode menghafal sementara guru hanya dibebani

dengan berbagai beban administratif.

Kondisi demikian menghasilkan guru-guru yang tak mampu mengikuti perkembangan

ilmunya maupun mengikuti perkembangan pengetahuan kontemporer, termasuk di dalamnya

melalui media massa maupun media Internet. Semua faktor tersebut saling mempengaruhi,

menghasilkan pengajaran yang berbasiskan kegiatan menghafal belaka. Kegiatan belajar menjadi

kegiatan ―memindahkan pengetahuan‖ dari buku teks guru ke buku catatan murid. Ketika guru

tidak mampu memaparkan ilmunya secara bermakna, apalagi mengajukan argumen yang

meyakinkan murid-muridnya, memang memerintahkan murid menghafal adalah jalan keluar

yang efisien.

Maka, pelajaran ilmu-ilmu sosial berisikan hafalan-hafalan yang sangat banyak, pelajaran-

pelajaran yang berisikan hitungan melibatkan rumus-rumus yang dihafal dan pelajaran bahasa

sekalipun, yang pada mulanya merupakan pembenaran bagi diadakan sekolah-sekolah di wilayah

Hindia,24

hanya berisi hafalan rumus-rumus linguistik tanpa disertai pemahaman serta

kemampuan berbahasa yang baik.

Secara historis, sekolah di Indonesia hadir untuk membekali murid-murid dengan

keterampilan yang siap pakai di dunia kerja. Ketika di ruang kelas pembelajaran tidak dilakukan

secara bermakna maupun relevan, terjadilah diskontinuitas antara proses belajar dengan

kehidupan nyata para murid. Di tengah terjadinya diskontinuitas, maka ilmu-ilmu dinilai

Page 26: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

12

berdasarkan kegunaan ekonomisnya. Ilmu-ilmu alam menampakkan diri sebagai ilmu yang lebih

bernilai ekonomis dalam dunia pekerjaan25

sehingga terjadi hierarki di dalam sikap orang

terhadap ilmu. Karena ilmu adalah cara manusia mengeksplorasi dan memahami pengalaman

hidupnya, maka sikap yang tidak proporsional terhadap berbagai ilmu akan membawa manusia

kepada ekses-ekses ke dalam ruang kehidupan bersama di dalam masyarakat.

1.2 Pertanyaan Penelitian

Tesis ini hendak mencermati beberapa pertanyaan berikut:

1. Tujuan Penyelenggaraan Sekolah dari Sudut Pandang Berbagai Pihak yang

Berkepentingan, ‗Stakeholders‘ di Dalamnya

Apa sebenarnya yang merupakan tujuan orang tua mengirimkan anaknya ke sekolah?

Dalam kaitannya dengan tujuan pendidikan nasional26

yang tercantum dengan baik di

dalam berbagai peraturan perundang-undangan Indonesia, apakah pemerintah melalui

kebijakan-kebijakannya berupaya untuk menginformasikan tujuan pendidikan ini secara

bermakna kepada masyarakat sehingga mereka memiliki paradigma yang sesuai ketika

mengirimkan seorang anak untuk bersekolah? Atau, jangan-jangan pemerintah lepas tangan

begitu saja membiarkan masyarakat berjalan sendiri dengan tujuan yang ada dalam

benaknya masing-masing?

2. Persepsi Kebernilaian Ilmu-Ilmu Alam dan Ilmu-Ilmu Sosial

Kenapa masyarakat memandang IPA superior sedangkan IPS inferior? Apakah ini

berkaitan dengan ketersediaan lapangan pekerjaan? Atau berkaitan dengan potensi

penghasilan yang diperoleh murid setelah menyelesaikan pendidikan formalnya kelak?

Atau, ini semata didasarkan atas ketidaktahuan orang tua murid terhadap realita dunia

pekerjaan?

Page 27: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

13

3. Sikap Ideal terhadap Ilmu-Ilmu

Dalam terang perbandingan dengan berbagai kebudayaan besar dan tujuan-tujuan

pendidikannya masing-masing, bagaimana idealnya sikap manusia saat ini terhadap ilmu-

ilmu yang semakin beraneka ragam? Dalam ruang lingkup yang lebih sempit, bagaimana

orang-orang yang berkecimpung dalam dunia persekolahan di Indonesia menyikapi

pembedaan yang dilakukan oleh banyak orang terhadap IPA dan IPS dalam kaitannya

dengan tujuan pendidikan nasional Indonesia?

4. Kontribusi Ilmu terhadap Pencapaian Tujuan Pendidikan Nasional

Jika ternyata masyarakat dewasa ini tidak memiliki paradigma yang memadai untuk

memahami kesalingterkaitan di antara ilmu-ilmu dan peranan masing-masing ilmu dalam

kehidupan komunal, paradigma semacam apa yang perlu dikembangkan di antara anggota-

anggota masyarakat untuk mencapai tujuan pendidikan nasional Indonesia dengan upaya

yang optimal? Bagaimana sistem pendidikan nasional Jerman dan Prancis memampukan

masing-masing masyarakat itu menghasilkan lulusan-lulusan yang menjadi manusia yang

utuh, siap hidup mandiri dan berkontribusi dalam kehidupan bersama? Kesenjangan apa

yang nyata terlihat antara kedua sistem pendidikan itu dengan sistem pendidikan nasional

Indonesia?

1.3 Hipotesis

Untuk keperluan penelitian berikutnya, diduga bahwa:

1. Sekolah-sekolah di Indonesia diselenggarakan dengan fokus untuk menyiapkan lulusan-

lulusan yang ―siap pakai‖ di dunia pekerjaan. Dengan demikian, pendidikan yang

disediakan diarahkan untuk mengembangkan keterampilan murid dalam bidang-bidang

studi yang memiliki nilai jual yang tinggi di masyarakat yang tengah membangun ini

Page 28: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

14

dengan mengenyampingkan keterampilan murid dalam bidang-bidang lainnya di dalam

aspek-aspek kehidupan manusia yang tidak memiliki kaitan yang langsung dan hubungan

yang gamblang dengan kompetensi orang dalam memperoleh penghidupannya.

2. Sebagai akibat dari hipotesis di atas, diduga bahwa potensi-potensi dalam diri murid yang

tidak berkaitan langsung dengan ―kesiapan pakai‖ di dunia pekerja menjadi diabaikan.

Pengabaian ini berarti proses pendidikan yang terjadi tidak mengembangkan murid menjadi

manusia yang utuh yang siap hidup mandiri dan berkontribusi dalam kehidupan bersama,

melainkan mempersiapkan mereka untuk hanya menjadi faktor-faktor produksi melalui

pekerjaannya.

Dalam kata-kata Postman, motif masyarakat Indonesia dalam pendidikan adalah motif

utilitas ekonomi:27

... The god of Econonomic Utility is rarely believed by students and certainly has almost no

power to inspire them. Generally, young people have too much curiosity about the world and

far too much vitality to be attracted to an idea that reduces them to a single dimension. ...

Many parents, in fact, are apt to like the idea of school as a primary training ground for future

employment, as do many corporate executives. This is why the story of Economic Utility is

told and retold in television commercials and political speeches as the reason why children

should go to school ....

Dan ia memaparkan bahaya pelaksanaan pendidikan berdasarkan motif utilitas ekonomi

demikian:28

Any education that is mainly about economic utility is far too limited to be useful, and, in any

case, so diminishes the world that it mocks one‘s humanity. At the very least, it diminishes

the idea of what a good learner is.

Page 29: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

15

1.4 Garis Besar Penelitian

1.4.1 Pengambilan Sampel dan Analisis Data

Penelitian akan dilakukan dengan mengambil delapan sekolah di Jabotabek sebagai sampel:

enam sekolah nasional dan dua sekolah internasional. Sedapat mungkin, sekolah-sekolah nasional

dipilih untuk mewakili tradisi-tradisi yang khas dalam dunia persekolahan di Indonesia. Sekolah-

sekolah internasional dipilih dari sekolah-sekolah dari negara maju yang memiliki penghargaan

tinggi terhadap ilmu-ilmu sosial.

Di masing-masing sekolah akan dilakukan wawancara semi-terstruktur terhadap dua orang

guru dan dua orang murid. Dari hasil wawancara ini, jawaban-jawaban para responden akan

dikategorikan menurut kategori-kategori penelitian yang telah ditetapkan untuk kemudian

dianalisis.

Hasil analisis pandangan para responden dari keenam sekolah nasional akan dikontraskan

dengan hasil analisis pandangan para responden dari kedua sekolah internasional. Keduanya

kemudian akan dibandingkan dengan pendekatan-pendekatan yang digunakan sebagai landasan

teori. Pada akhirnya hendak ditunjukkan akibat dari sikap yang menginferioritaskan ilmu-ilmu

sosial dalam upaya mengembangkan kemanusiaan yang utuh pada diri setiap anggota

masyarakatnya, juga dalam membentuk sebuah bangsa yang dewasa.

Sekolah-sekolah internasional dalam hal ini tidak dipandang sebagai model yang harus

diikuti oleh sistem pendidikan Indonesia, tetapi semata-mata sebagai pembanding untuk

membantu kita melihat bagaimana masyarakat-masyarakat lain bersikap dalam hal-hal yang

terkait dengan pertanyaan penelitian.

Page 30: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

16

1.4.2 Pendekatan-Pendekatan yang Akan Digunakan

Untuk memampukan kita melihat hubungan antara pendidikan yang disediakan kepada

seorang anak dengan kehidupannya kelak sebagai seorang manusia dewasa, maka akan

digunakan pendekatan-pendekatan yang mengacu kepada pengalaman hidup manusia secara

menyeluruh dan bagaimana pengalaman hidup itu dimaknai demi terjadinya pengembangan

kemanusiaan yang utuh. Penggunaan pendekatan-pendekatan semacam ini penting karena:

1. Dapat digunakan untuk melihat pendidikan dalam konteks yang lebih luas, yaitu konteks

kehidupan. Konteks kehidupan inilah yang menjadi raison d’être seluruh pendidikan itu

sendiri. Dengan menggunakan pendekatan-pendekatan yang mengacu kepada pengalaman

hidup manusia secara menyeluruh, maka pendidikan dapat dilihat dalam perspektif yang

strategis dan proporsional dalam konteksnya.

2. Ketika dilihat dalam perspektif yang strategis dan proporsional dalam konteksnya, maka

dapat dirumuskan pula di mana masih terdapat aspek-aspek yang kurang diperhatikan di

dalam pendidikan yang diselenggarakan sehingga membuat pendidikan itu tidak maksimal

dalam upayanya mengembangkan manusia yang utuh.

Dengan kata lain, ketika yang defektif diketahui, kita bisa meraba-raba dan merekonstruksi

―bagaimana yang seharusnya‖, tetapi ketika kita mengetahui apa yang sempurna diketahui, maka

dengan gamblang semua kekurangan dari yang defektif akan segera menjadi nyata. Karena itulah

pendekatan-pendekatan yang mengacu kepada pengalaman hidup manusia secara menyeluruh

dan bagaimana manusia mempersepsikan pengalaman hidupnya itu yang akan digunakan.

Pendekatan pertama yang akan digunakan adalah psikologi Gestalt. Dengan pendekatan ini

hendak ditunjukkan bahwa manusia cenderung memahami pengalaman secara komprehensif dan

stabil. Pengalaman yang dipahami secara demikian akan bertahan dan pengalaman yang kurang

Page 31: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

17

komprehensif dan kurang stabil akan memudar pengaruhnya. Dalam konteks pendidikan, ini

berarti pendidikan yang diselenggarakan secara komprehensif dan memiliki kesinambungan

dengan kehidupan akan menjadi pendidikan yang efektif bagi penerimanya. Sementara itu,

pendidikan yang parsial dan fragmentaris akan kurang berguna bagi penerimanya.

Pendekatan kedua yang akan digunakan adalah filsafat ide kosmonomis. Dengan berpijak

pada psikologi Gestalt, tesis ini hendak menunjukkan bagaimana filsafat ide kosmonomis

membantu kita untuk melihat ilmu-ilmu sebagai bagian dari kompendium pengalaman hidup

manusia. Ilmu-ilmu ada untuk membantu manusia memahami satu segmen dari kehidupannya,

tetapi ilmu-ilmu itu tidak memiliki otonomi yang final pada dirinya sendiri. Setiap ilmu utuh pada

dirinya sendiri, tetapi sekaligus merujuk kepada ilmu lain melampaui dirinya sendiri sehingga

dengan seluruh kompendium yang utuh, manusia akan memiliki pengalaman hidup yang utuh

pula. Ketika manusia memberikan penekanan yang berlebihan pada ilmu-ilmu tertentu dan

mengabaikan ilmu-ilmu lainnya, maka kapasitasnya untuk memiliki pengalaman hidup yang utuh

juga akan menjadi terbatas.

1.4.3 Sistematika Pembahasan Penelitian

Di dalam pemaparan hasil penelitian ini, Bab II akan membahas mengenai kedua

pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu psikologi Gestalt dan filsafat ide

kosmonomis. Selanjutnya Bab III akan memaparkan rancangan penelitian yang akan dilakukan,

termasuk rancangan panduan wawancara beserta metode yang akan digunakan dalam

menganalisis hasil penelitian ini.

Bab IV memaparkan analisis atas hasil penelitian yang telah diperoleh, sementara Bab V

akan memaparkan implikasi-implikasi dari hasil penelitian dalam konteks pertanyaan-pertanyaan

Page 32: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

18

penelitian yang dipaparkan di atas. Di dalam bab inilah pertanyaan-pertanyaan penelitian itu akan

dijawab.

Dalam Bab VI dipaparkan kesimpulan penelitian beserta saran-saran tindak lanjut maupun

penelitian lanjutan atas penelitian yang telah dilakukan ini.

1.5 Batasan Penelitian

Penelitian ini dibatasi pada studi kualitatif berupa wawancara terhadap responden-

responden di delapan sekolah yang masing-masing terdiri dari empat orang responden beserta

analisis hasil wawancara itu berdasarkan psikologi Gestalt dan filsafat ide kosmonomis.

Penelitian ini tidak mendalami studi kurikulum dalam arti tidak menelaah dokumen-dokumen

kurikulum walaupun interaksi pemikiran dan pembahasan dengan kurikulum dalam arti yang luas

tentu tak terhindarkan. Juga, penelitian ini tidak membahas psikologi Gestalt maupun filsafat ide

kosmonomis per se. Keduanya digunakan sebagai sarana untuk mendukung analisis terhadap

hasil penelitian ini. Wawancara-wawancara yang dilakukan dimaksudkan untuk memotret

gambaran atas sikap terhadap hipotesis yang diajukan dalam berbagai latar sekolah yang ada di

DKI Jakarta tanpa pretensi bahwa gambaran ini mencerminkan kondisi Indonesia secara umum.

Dengan demikian, kini pembahasan akan dialihkan kepada kedua pendekatan yang akan

digunakan melandasi analisis atas hasil penelitian ini, yaitu psikologi Gestalt dan filsafat ide

kosmonomis.

Page 33: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

19

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Pendahuluan

Dalam bab ini akan dibahas masing-masing pendekatan yang akan digunakan untuk

menganalisis permasalahan yang diteliti, yaitu psikologi Gestalt dan filsafat ide kosmonomis.

Dalam masing-masing pembahasan akan dipaparkan bagaimana kedua pendekatan ini

berkontribusi dalam dunia pendidikan, dilanjutkan dengan dampak yang dihasilkan berupa

pembedaan antara pendidikan yang holistik dengan pendidikan yang positivistik. Menutup bab

ini, akan dipaparkan juga inferioritas IPS terhadap IPA dalam sistem pendidikan nasional di

Indonesia.

Sebuah sistem pendidikan diselenggarakan untuk membentuk pola hidup dan pola pikir

anak-anak yang menjadi peserta didiknya sesuai karakteristik masyarakat tersebut.29

Dengan

membentuk pola hidup, anak-anak yang menjadi peserta didik itu akan diajarkan beradaptasi

dengan lingkungan geografis dan lingkungan sosialnya. Mereka akan mampu bertindak-tanduk

dan bersikap sesuai tuntutan keadaan alam tempat masyarakat mereka hidup sehingga

meningkatkan kemampuan mereka untuk bertahan hidup sebagai pribadi yang mandiri. Dengan

membentuk pola pikir, anak-anak itu diajarkan untuk memandang dunia sebagaimana layaknya

yang dipandang perlu oleh masyarakatnya. Maka, mereka akan mampu menjadi bagian yang aktif

dari masyarakatnya, menjadi seorang kontributor dan bukan sekedar penerima, sehingga dapat

bersama-sama dengan orang-orang lainnya dalam masyarakat itu menyokong dan membangun

masyarakatnya.

Page 34: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

20

Karena itu, dalam upaya untuk mensinkronkan kembali antara praksis pendidikan dengan

idealisme yang diharapkan dari sebuah sistem pendidikan, dalam tesis ini akan ditinjau

pendekatan-pendekatan yang mencoba melihat bagaimana manusia memaknai pengalaman

hidupnya dan bagaimana pengalaman hidup yang dimaknai itu pada gilirannya akan

memampukan manusia menemukan kekayaan makna di dalam kehidupannya sendiri. Di sinilah

kedua pendekatan, psikologi Gestalt dan filsafat ide kosmonomis, akan digunakan.

2.1.1 Psikologi Gestalt

Psikologi Gestalt membedakan antara apa yang ada dan apa yang dialami, yang disebut

sebagai lingkungan geografi dan lingkungan persepsi. Tugas pendidikan adalah untuk membantu

manusia menemukan makna, pemahaman, dan pencerahan, ‗insight‘ di dalam menghadapi

lingkungan geografi dengan membentuk lingkungan persepsi yang baik. Dalam setiap

permasalahan yang manusia jumpai ada hal-hal yang esensial dan ada hal-hal yang periferal. Hal-

hal yang esensial mencakup menyederhanakan masalah melalui pemodelan, memikirkan dan

menimbang berbagai solusinya. Hal-hal esensial inilah yang harus diutamakan di dalam

pendidikan, vis-à-vis hal-hal teknis yang harus dilakukan, langkah demi langkah, setelah solusi

ditemukan.

Membedakan mana yang esensial dan mana yang periferal, berpikir kreatif dan mampu

menerapkan apa yang telah dipelajari di dalam konteks-konteks yang baru di dalam kehidupan

sangat penting dibelajarkan, menurut psikologi Gestalt. Bahkan, itulah bukti bahwa seorang

murid telah belajar. Seorang murid yang tidak mampu melakukan hal-hal tersebut hanya akan

mampu menghafal tetapi tanpa pemahaman, mampu mengulangi apa yang telah dilakukan di

kelas atau apa yang telah dilihatnya dilakukan gurunya, tetapi tidak mampu menerapkannya

dalam konteks yang baru. Murid yang demikian belum belajar, sebab pengulangan dapat

Page 35: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

21

dilakukan oleh komputer dan mesin-mesin mekanik. Kemampuan mengulangi bukanlah

kemampuan yang penting untuk dipelajari oleh manusia.

Menggunakan pendekatan psikologi Gestalt ini, kita akan melihat bagaimana pembedaan

antara kenyataan dan persepsi, pemahaman atas keduanya, pemaknaan dan pencerahan adalah

hal-hal yang penting sekali untuk dilakukan oleh pendidikan dan bahwa hal-hal itulah yang

membuat pendidikan menjadi penting dan harus dipertahankan.

2.1.2 Filsafat Ide Kosmonomis

Filsafat ide kosmonomis yang dicetuskan oleh Herman Dooyeweerd menelaah pengalaman

hidup manusia dalam 15 aspek. Ketika ke-15 aspek ini dipahami, maka pengalaman hidup

manusia akan lengkap. Karena itu, ketika pendidikan diadakan untuk memampukan manusia

memahami pengalaman hidupnya, pendidikan perlu memperhatikan ke-15 aspek ini secara serius

dan memberikan upaya terbaiknya sehingga ke-15 aspek ini dapat dikembangkan secara

proporsional.

Dari pemahaman terhadap aspek-aspek filsafat ide kosmonomis akan didapati bahwa

aspek-aspek itu berkaitan dengan bidang-bidang studi yang dibelajarkan di sekolah. Masing-

masing aspek berkaitan dengan bidang-bidang studi tertentu. Ada aspek-aspek yang berkaitan

dengan satu bidang studi, ada yang berkaitan dengan lebih dari bidang studi dan ada juga bidang

studi yang mempelajari lebih dari satu aspek pengalaman hidup.

Sebagaimana pengalaman hidup manusia membentuk satu kesatuan yang utuh bagi orang

yang mengalaminya, begitu juga bidang-bidang studi ini, dapat dipandang sebagai elemen-

elemen yang membentuk satu kesatuan yang utuh dalam upaya manusia untuk memahami dan

memaknai seluruh pengalaman hidupnya. Karena itu, dari filsafat ide kosmonomis dapat

diargumenkan bagaimana pendidikan yang ideal, yang kembali disinkronkan dengan tujuannya

Page 36: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

22

semula, perlu diselenggarakan dengan memberikan perhatian yang proporsional kepada setiap

bidang studi di dalam kompendium pengetahuan manusia.

Memberikan perhatian yang proporsional berarti menempatkan masing-masing bidang studi

pada tempatnya di dalam struktur ilmu dan pengetahuan, serta memperlakukan mereka sesuai

naturnya. Ilmu-ilmu alam diperlukan untuk memahami lingkungan fisik dalam kehidupan

manusia dan mereka dipelajari untuk keperluan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi

sehingga kualitas hidup manusia menjadi lebih baik, kehidupan menjadi lebih nyaman, lebih

mudah dengan cara yang dapat dipertahankan. Ilmu-ilmu sosial diperlukan untuk mempelajari

bagaimana manusia dan struktur-struktur sosial yang dibentuknya menjadi ada dan berinteraksi

serta berkembang sehingga kita dapat memahami diri kita sendiri dengan lebih baik dan kita

dimampukan untuk hidup bersama dengan orang-orang lain dan orang-orang yang lain dari diri

serta kelompok kita secara harmonis. Ketika semua ilmu ditempatkan pada tempatnya masing-

masing dan dihargai secara sepantasnya, maka pengalaman hidup manusia akan dipahami dengan

lebih baik dan tujuan pendidikan pun tercapai dengan lebih baik.

Di dalam Bab II ini akan dipaparkan lebih jauh tentang psikologi Gestalt serta

kontribusinya dalam dunia pendidikan dan bagaimana psikologi Gestalt dapat membantu kita

memahami pentingnya pendidikan untuk tetap memfokuskan diri pada hal-hal yang esensial,

yang membuat pendidikan tetap dibutuhkan oleh masyarakat. Kemudian akan dibahas filsafat ide

kosmonomis dan ke-15 aspek dari pengalaman hidup yang dipaparkannya. Di dalam bagian ini

pun akan dipaparkan bagiamana ke-15 aspek pengalaman hidup ini berhubungan satu dengan

yang lainnya dan dampaknya pada pemahaman kita terhadap ilmu-ilmu.

Kedua pendekatan tersebut kemudian akan dipergunakan bersama-sama untuk

mendefinisikan sebuah pendidikan yang holistis. Dominasi ilmu-ilmu alam yang terjadi atas

ilmu-ilmu sosial di dalam kurikulum nasional di Indonesia kemudian akan dipaparkan dan

Page 37: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

23

dievaluasi menggunakan sejumlah kriteria berdasarkan pendidikan holistis yang telah dipaparkan.

Kini, kita akan beralih ke dalam psikologi Gestalt serta kontribusinya dalam dunia pendidikan.

2.2 Psikologi Gestalt dan Kontribusinya dalam Dunia Pendidikan30

2.2.1 Psikologi Gestalt

Max Wertheimer mencetuskan psikologi Gestalt melalui sebuah eksperimen inovatif yang

membuktikan bahwa apa yang orang lihat belum tentu sama dengan apa yang dilihatnya. Persepsi

visual yang dimiliki seseorang tidaklah identik dengan fenomena fisik yang ada. Gredler, dalam

bukunya Learning and Instruction: Theory into Practice menjelaskan bagaimana Wertheimer

bersama Kurt Koffka dan Wolfgang Köhler mengembangkan berbagai hukum tentang persepsi

dan menerapkannya dalam konteks belajar dan berpikir.

Dari penelitian mereka dicetuskanlah sebuah istilah Gestaltqualität. Kata ―Gestalt‖ sendiri

berasal dari bahasa Jerman yang lebih-kurang berarti bentuk atau pola. Jadi, Gestaltqualität dapat

dimaknai sebagai ―suatu kualitas yang dihasilkan oleh bentuk atau pola tertentu‖. Gredler

menjelaskan:31

The foundation for Gestalt psychology was established in an 1890 paper by a German named

Christian von Ehrenfels. He maintained that qualities appear in perception in addition to the

separate sensory elements. For example, when the same melody is played in different keys,

the tone sensation (sensory elements) change but the melody is recognized as the same.

Von Ehrenfels mengutarakan bahwa:32

... Understanding an experience requires the specification of the qualities of the experience in

addition to the sensory elements.

Pandangan ini dibawa oleh Wertheimer memasuki babak yang baru ketika sekitar 20 tahun

kemudian ia menemukan teknik dasar yang orang pakai untuk membuat film kartun: serangkaian

gambar yang dibuat pada kertas-kertas yang disusun berurutan dan diperlihatkan berturut-turut

Page 38: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

24

secara cepat dapat membuat orang mempersepsikan adanya gerakan pada obyek yang

digambarkan di kertas-kertas tersebut. Persepsi ini disebut sebagai ―phi phenomenon‖ pada

publikasi penelitian tersebut yang diterbitkan pada tahun 1912.

Gredler mengemukakan pentingnya penemuan ―phi phenomenon‖ ini:33

The discovery was important because it demonstrated the relationships between stimulus

configurations and ―experienced wholes.‖ In other words, the relationships between stimulus

configurations and perceptions were not haphazard. Instead, they could be studied and

categorized.

Meramu pemaparan Von Ehrenfels dan Wertheimer, dapat disimpulkan bahwa apa yang

pada tahap pra-teoretis disebut manusia sebagai sebuah ―pengalaman‖ akan dapat dipahami

dengan lebih baik ketika pengalaman tersebut diuraikan ke dalam elemen-elemennya. Dengan

menguraikan pengalaman ke dalam elemen-elemennya, maka kita akan menghindarkan diri dari

kecenderungan untuk memperlakukan pengalaman semata-mata sebagai fungsi dari berbagai

indera manusia. Sebaliknya, pengalaman dapat dipahami dalam konteks sosial-budaya yang lebih

luas. Artinya, pengalaman (P) dapat dipahami sebagai fungsi berbagai indera manusia (I) yang

diberikan pemaknaan (M) atas dasar konteks sosial-budaya orang yang mengalaminya:

P = f(I) + M.

Perbedaan antara apa yang ada dan apa yang dipersepsikan orang sebagai ada dibedakan

oleh psikologi Gestalt dengan istilah lingkungan geografi dan lingkungan persepsi. Ketika di

lingkungan geografi ada lima bulatan yang diatur berjejer secara horizontal, kemudian di atas

bulatan ketiga dengan jarak yang sama diletakkan tiga bulatan berjejer ke atas dengan jarak yang

sama dan di bawah bulatan ketiga itu pula dengan jarak yang sama diletakkan tiga bulatan

berjejer ke bawah, maka berdasarkan lingkungan geografi hanya dihasilkan 11 bulatan. Tetapi,

lingkungan persepsi orang akan memandang 11 bulatan itu dan melihatnya sebagai satu unit,

yaitu tanda tambah. Penelitian-penelitian yang dilakukan Köhler34

menunjukkan bahwa

Page 39: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

25

―organisms respond to ‗segregated sensory wholes‘ or Gestalten rather than to specific stimuli as

isolated and independent events.‖35

Pembedaan antara lingkungan geografi dan lingkungan persepsi membawa para psikolog

Gestalt kepada satu pertanyaan utama yang menurut mereka merupakan tugas utama psikologi,

―How does the individual psychologically perceive the geographical environment?‖36

Pertanyaan

ini dijawab dengan dua hukum. Hukum yang pertama disebut hukum Prägnanz: proses persepsi

yang berhasil dan bertahan adalah proses yang paling komprehensif dan paling stabil. Artinya,

ketika ada beberapa kemungkinan untuk melihat satu ke-ada-an, misalnya pada gambar-gambar

yang bisa dimaknai sebagai pemandangan-atau-bayi, gadis-atau-nenek dan sejenisnya, maka citra

yang akan lebih dominan dalam keberhasilannya meraih perhatian orang adalah citra yang bisa

memberikan makna atas keseluruhan gambar secara utuh. Citra yang hanya menggunakan

sebagian dari elemen-elemen yang ada dalam gambar akan cenderung diabaikan dan menjadi ‗tak

terlihat‘. Ketika kedua citra yang ada bisa terlihat oleh seseorang, maka citra yang lebih utuh

akan lebih sering nampak bagi orang itu sementara citra yang lainnya hanya akan tampak sekali-

sekali atau dengan upaya memfokuskan perhatian secara khusus.

Hukum yang kedua, yang terkait erat dengan hukum Prägnanz adalah hukum karakter

anggota. Hukum ini mengatakan bahwa aspek-aspek penting dari sebuah elemen yang merupakan

bagian dari sebuah struktur didefinisikan berdasarkan hubungannya dengan struktur itu secara

keseluruhan. Gredler mengutip Murphy memaparkan bagaimana sebuah elemen solid berbentuk

tanda tambah berwarna merah diletakkan di atas dasar berwarna abu-abu. Setelah melihat obyek

merah tersebut selama 20 detik, orang akan melihat obyek merah tersebut memiliki tepi berwarna

hijau. Orang itu kemudian diminta memperkirakan jika tepi elemen merah itu dicukil, warna apa

yang akan dihasilkan. Gredler, mengutip Murphy,37

mengutarakan:38

Page 40: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

26

The logical answer is green, like the border. The Gestaltists, however, predict accurately that

the color will be red. The cross is an organized whole that forces the elements within it to

take on those attributes that support the total structure.

Ada empat karakteristik visual yang mempengaruhi persepsi yang diidentifikasikan oleh

Wertheimer:39

They are proximity, similarity, open direction, and simplicity. Specifically, the nearness of

elements to each other (proximity), shared features such as color (similarity), the tendency of

elements to complete a pattern (open direction), and the contributions of stimulus elements to

a total simple structure (simplicity) are factors that govern the perception of groups from

separate elements. ... Psychological events tend to be meaningful and complete, and the four

characteristics influence the completeness.

Sejauh ini dapat disimpulkan bahwa dalam upayanya untuk memahami lingkungan di

sekitarnya, manusia terpengaruh oleh berbagai hal sehingga apa yang dilihat belum tentu sama

dengan apa yang ada. Perbedaan antara keduanya bisa dijelaskan dengan faktor-faktor kedekatan

(proximity), keserupaan (similarity), pelengkapan (open direction) dan kesederhanaan

(simplicity). Dengan faktor-faktor ini, manusia berupaya untuk menyederhanakan apa yang

dialaminya sehingga apa yang ada diolah melalui pemaknaan menjadi sesederhana dan

sekomprehensif mungkin. Dengan demikian, pengalaman itu pun menjadi stabil.

2.2.2 Kontribusi Psikologi Gestalt dalam Dunia Pendidikan

Pemecahan masalah adalah satu bagian dari pendidikan yang menerima kontribusi yang

signifikan dari psikologi Gestalt. Köhler, dalam Gestalt Psychology yang diterbitkan di tahun

1929 dan dikutip oleh Gredler merekomendasikan bahwa rumusan dua langkah ―stimulus-

respon‖ dalam perilaku manusia lebih tepat dirumuskan sebagai rumusan tiga langkah ―stimulus

– persepsi – reaksi terhadap persepsi‖. Koffka kemudian mendukung pandangan Köhler ini

dengan tulisannya bahwa perilaku yang baru yang disebut sebagai respon atau hasil belajar tidak

Page 41: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

27

muncul serta-merta sebagai akibat dari tindakan tertentu, tetapi respon itu muncul atas

serangkaian pengorganisasian dan reorganisasi atas persepsi-persepsi yang dimiliki individu

tersebut.

Sejalan dengan kedua koleganya Wertheimer kemudian membedakan antara pembelajaran

yang arbitrer atau asal-asalan dan pembelajaran yang bermakna. Ia menyimpulkan bahwa

―meaningful structures should not be learned in a senseless or rote manner.‖40

Hal ini nampak

sangat jelas pada anak-anak berumur 8 hingga 12 tahun yang ketika diberikan sebuah soal

cenderung langsung mengerti dan dapat menjawab dalam seketika atau mengatakan, ―Itu belum

diajarkan.‖ Pembelajaran yang asal-asalan atau hanya menggunakan metode menghafal akan

menghindarkan terjadinya pembelajaran yang sejati yang membawa murid ke dalam pemahaman

yang baru melalui serangkaian proses mengorganisasi dan me-reorganisasi pemahamannya

terhadap persoalan yang ada.

Dalam pemecahan masalah, psikologi Gestalt mengatakan bahwa pembelajaran telah

terjadi ketika seseorang telah mampu menerapkan apa yang dipelajarinya ke dalam situasi yang

baru. Ketika seorang murid baru mampu menghafalkan langkah-langkah yang harus dilakukan

atau mengikuti langkah-langkah yang diajarkan oleh gurunya, pembelajaran yang sesungguhnya

belum terjadi. Dalam menghadapi masalah lain yang serupa, murid itu perlu mengenali elemen-

elemen kunci yang ada pada kedua masalah – baik yang menjadi studi kasusnya maupun yang

kini tengah dihadapinya – kemudian membandingkan kedua permasalahan itu dan menerapkan

apa yang telah dipelajarinya langkah demi langkah untuk memecahkan masalah yang baru ini.

Kemampuan untuk mengenali elemen-elemen kunci dan menerapkan pemecahan masalah yang

telah dipelajari kepada situasi yang baru itu disebut sebagai ―transfer‖ dan itulah bukti bahwa

murid itu telah sungguh-sungguh mempelajari sesuatu.

Page 42: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

28

Psikologi Gestalt juga mengemukakan bahwa pembelajaran perlu dilakukan dengan

mengacu kepada situasi yang nyata, distrukturkan dengan mengkombinasikan kemampuan murid

untuk menerapkan pemahamannya kepada situasi yang baru dan bantuan yang diberikan pada

saat-saat kritis untuk memungkinkannya mencapai momen pencerahan, ‗insight‘. Saat

mengajarkan mengenai luas persegi misalnya, ketika guru memberikan soal menggunakan latar

pertanian dengan ladang yang ingin diukur luasnya, maka murid akan dapat melihat bahwa apa

yang tengah dipelajarinya memiliki kaian dengan dunia nyata. Ketika murid tiba pada saat ia

tidak mampu keluar dari praduga-praduga yang dimilikinya dan terjebak pada pengulangan-

pengulangan langkah-langkah yang ia ketahui (functional fixedness), guru bisa memberikan

bantuan terstruktur tanpa memberikan jawabannya sehingga murid itu kemudian menemukan

bahwa ada suatu konsep atau pola atau jalan lain yang bisa dipakainya dalam pemecahan masalah

tersebut.41

Gredler menyampaikan kesimpulannya:42

Wertheimer did not recommend specific teaching methods based on Gestalt theory. However,

the implication from this example is that providing information that assists students to

reorganize their view of the problem should be an integral component in teaching problem

solving.

2.3.3 Psikologi Gestalt dan Pembenaran bagi Keberlangsungan Sekolah

Di sini kita tiba pada satu konsep yang mungkin merupakan kontribusi yang paling terkenal

dari psikologi Gestalt: pengalaman pencerahan, ‗insight experience‘ yang diperkenalkan oleh

Köhler:43

Problem set (referred to as stereotypy) occurs with poor students who may have the

appropriate skills but stick to one strategy, even when it is not successful (Kaplan &

Davidson, 1988).44

However, an incubation period sometimes permits the unproducttive

associations to weaken. Further, when students reach an impasse on problems that require

creative solutions, researchers suggest that taking a break accompanied by hints and self-

reflection can lead to insight (Seifert, Meyer, Davidson, Patalano, & Yariv, 1995).45

Page 43: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

29

Jadi, pemecahan masalah yang diajarkan merupakan sebuah upaya pembiasaan yang

menanamkan pada murid disiplin untuk menemukan makna di dalam sebuah konsep; memahami

permasalahan yang dihadapi sehingga dapat membedakan elemen-elemen esensial dan periferal

dalam masalah itu, memodelkan masalah itu; dan mencapai momen pencerahan sehingga dapat

menerapkan apa yang telah dimengerti ke dalam situasi yang baru. Di dalam abad yang lalu,

salah satu keuntungan yang diperoleh orang yang bersekolah adalah perolehan informasi.

Semakin tinggi pendidikannya, semakin banyak informasi yang ia ketahui. Pada masa kini, ketika

komputer sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari dan akses kepada Internet bukan lagi

sebuah kemewahan, orang tidak lagi memerlukan sekolah untuk memperoleh informasi.

Informasi tersedia di mana-mana dan praktis dapat diakses oleh siapa saja. Maka, pembenaran

yang sangat penting bagi terus berlangsungnya sekolah-sekolah kita adalah ketika sekolah-

sekolah ini mampu mengasah kapasitas murid-murid dalam hal-hal yang esensial sehingga

murid-murid memperoleh ―makna, pemahaman dan pencerahan‖ dalam studinya yang dapat terus

ia kembangkan dan terapkan ke dalam berbagai situasi yang beragam.

Jika pendidikan yang ditawarkan oleh sekolah-sekolah hanya menawarkan pembelajaran

yang didasarkan pada kegiatan menghafal, mengulangi langkah-langkah yang diajarkan oleh guru

dan menekankan ketepatan jawaban dibandingkan dengan kemampuan menerapkan prosedur

yang telah dibelajarkan ke dalam situasi yang baru, maka sebenarnya sekolah itu menawarkan

suatu hal yang sangat bisa diperoleh tanpa murid-muridnya perlu bersekolah. Di tahun 1930-an,

ketika mesin meteran parkir dan mesin penjual koran mulai digunakan di Amerika Serikat, orang-

orang mengkhawatirkan nasib para tukang parkir dan penjaja koran. Di akhir tahun 1980-an,

ketika mesin-mesin ATM mulai banyak digunakan di Indonesia, para karyawan bank juga

mengalami kegelisahan yang sama. Tetapi, ternyata hadirnya mesin-mesin itu justru menawarkan

karier yang lebih kaya kepada para karyawan bank. Mereka bukan lagi sekedar penghitung uang

Page 44: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

30

dalam melayani setoran dan tarikan dana para nasabah, tetapi pekerjaan mereka lebih kepada

pemberian layanan-layanan bernilai tambah. Kehadiran teknologi dalam kehidupan manusia

dapat membantu kita mengenali mana yang esensial yang harus manusia kuasai dan kerjakan dan

mana yang periferal, yang bisa diserahkan kepada mesin, sehingga kehidupan manusia pun

menjadi lebih bermakna.

Ketika teknologi semakin luas menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari kita dan Internet

menyeruak masuk ke dalam kehidupan semakin banyak orang, kita menemukan peranan sekolah

juga berhadapan dengan tantangan yang baru. Apakah sekolah mempersiapkan murid-muridnya

untuk menguasai hal-hal yang esensial ataukah sekolah sekedar mempersiapkan murid-muridnya

menguasai hal-hal yang periferal yang sebenarnya dapat diserahkan kepada mesin, yang dapat

diakses dengan mudah di Internet?

Kapasitas untuk menemukan makna, pemahaman dan tiba pada momen pencerahan pada

murid-murid adalah kontribusi yang penting dari psikologi Gestalt yang akan digunakan untuk

mengevaluasi praksis pendidikan yang terjadi. Kini kita akan beralih kepada filsafat ide

kosmonomis yang membahas bagaimana pengalaman hidup manusia diklasifikasikan ke dalam

berbagai aspek dan bagaimana semua aspek ini berhubungan dengan berbagai ilmu yang telah

manusia kembangkan.

2.3 Filsafat Ide Kosmonomis dan Klasifikasi Ilmu46

2.3.1 Filsafat Ide Kosmonomis

Sejauh ini telah dipaparkan bagaimana pendidikan berupaya untuk membentuk pola hidup

dan pola pikir para peserta didik sehingga mereka dapat memaknai pengalaman hidupnya dan

dengan demikian menjadi anggota masyarakat yang mandiri dan dapat berkontribusi dalam

kehidupan bersama. Dalam upayanya untuk membelajarkan proses pemaknaan pengalaman

Page 45: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

31

hidup, bagaimana hubungan antara pendidikan dengan pengalaman hidup? Bagaimanakah

hubungan antara berbagai bidang studi yang diajarkan di sekolah dengan pengalaman hidup

manusia?

Pertanyaan ini dapat dijawab dengan menggunakan pendekatan filsafat ide kosmonomis

(De Wijsbegeerte der Wetsidee). Filsafat ini dicetuskan oleh seorang filsuf Belanda bernama

Herman Dooyeweerd. Dooyeweerd berargumen bahwa seluruh pengalaman manusia dapat

diselidiki dalam aspek-aspek yang spesifik. Aspek-aspek ini disebutnya sebagai ―aspek modalitas

kenyataan‖ yang disebut juga ―aspek waktu47

dari kenyataan‖, yaitu aspek-aspek dari

pengalaman hidup manusia. Pada mulanya Dooyeweerd bersama saudara iparnya D.H.Th.

Vollenhoven menjabarkan 14 aspek modalitas kenyataan ini: kuantitatif, spasial, kinematis, fisik,

biotik, sensori, logis, historis, linguistik, sosial, ekonomis, estetis, yustisi dan etis. Tetapi, di

kemudian hari aspek ke-15 ditambahkan: fidusiari atau pistis, yaitu aspek hidup beriman. Aspek-

aspek ini ditata menjadi satu rangkaian model antropologis yang ditelaah dan dijabarkannya di

dalam filsafat ide kosmonomis.

Masing-masing aspek ini dapat dipelajari secara tersendiri, sebab masing-masing memang

lengkap pada dirinya sendiri, tetapi masing-masing juga merujuk kepada aspek yang melampaui

dirinya. Misalnya, aspek yang paling umum dalam seluruh pengalaman manusia adalah aspek

kuantitatif. Aspek ini ditemukan dalam setiap pengalaman manusia, sebab segala sesuatu dalam

kehidupan manusia berkaitan dengan angka: jarak, volume, waktu, uang. Tentu, pengalaman

manusia tidak terkungkung melulu dalam aspek kuantitatif. Dengan menggunakan aspek

kuantitatif manusia menjadi bisa mengukur jarak dan volume. Tetapi, ketika manusia hendak

memanipulasi jarak dan volume tersebut, mau tidak mau manusia pasti bersentuhan dengan aspek

spasial sebab pengukuran jarak dan volume hanya bisa terjadi di dalam ruang. Kebutuhan

terhadap aspek spasial ini tidak membuat aspek kuantitatif menjadi cacat atau tidak lengkap.

Page 46: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

32

Aspek kuantitatif sudah lengkap pada dirinya dan manusia bisa mempelajari aspek kuantitatif

sendiri tanpa perlu menggantungkan pemahamannya pada aspek spasial. Di sinilah dijumpai

bahwa aspek kuantitatif lengkap pada dirinya sendiri, tetapi juga merujuk kepada aspek

berikutnya dalam pengalaman manusia, yaitu aspek spasial.

Pemahaman yang baik pada aspek spasial akan memampukan manusia untuk memanipulasi

aspek yang ketiga, yaitu aspek kinematis. Dalam Kalkulus, ketika seorang murid telah menguasai

bidang dimensi dua, maka selanjutnya ia akan bisa memahami bahwa ketika sebuah lingkaran

diputar pada sebuah diameternya, akan dihasilkan bentuk bola. Ia juga akan bisa memahami

bahwa benda-benda yang ada dalam ruang memiliki satu properti, yaitu bisa bergerak. Maka,

pemahaman yang baik terhadap aspek spasial akan membawa manusia untuk mengerti aspek

kinematis. Tetapi, pemahaman kuantitatif yang baik tidak bisa membantu manusia memahami

aspek kinematis tanpa terlebih dulu ada pemahaman terhadap aspek spasial.

Pemahaman terhadap adanya urut-urutan inilah yang membawa Dooyeweerd dan

Vollenhoven kepada pengurutan kelima belas aspek waktu dari kenyataan. Dooyeweerd dan

Vollenhoven tidak memandang kelima belas aspek ini sebagai aspek yang berderet secara

hierarkis, tetapi hadir secara setara dalam pengalaman hidup manusia. Choi Yong-joon, seorang

yang menuliskan disertasi doktoralnya dengan mengangkat filsafat ide kosmonomis ini,

mengutarakannya demikian dalam disertasinya:48

The modal aspects differ from one another by the way in which they manifest themselves in

time. Thus the modal aspects can also be called time aspects. ... Each modal aspect is ordered

and determined by its own peculiar laws. That is why Dooyeweerd also called modal aspects

law-spheres. From the analytic to the pistical aspects, referred to by Dooyeweerd as cultural

sides, laws are called norms because they need to be "acknowledged" and "positivized" by

people and because they can be either obeyed or violated. "Natural laws" of the subanalytical

spheres, referred to as the natural sides, on the other hand, are obeyed involuntarily. Each

modal aspect is irreducible to the others, known as the principle of sphere sovereignty

(souvereiniteit in eigen kring).

Page 47: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

33

Kelima belas aspek itu berbeda satu dengan yang lainnya dalam cara mereka

memanifestasikan diri dalam waktu, seperti prisma yang memecahkan seberkas cahaya matahari

ke dalam satu spektrum cahaya yang mengandung tujuh warna. Dengan caranya masing-masing,

kelima belas aspek modalitas kenyataan memaparkan apa yang manusia alami dengan caranya

masing-masing, sesuai bidang hukumnya masing-masing.

2.3.2 Tatanan Ilmu-Ilmu dalam Filsafat Ide Kosmonomis

Albert E. Greene, seorang guru yang memikirkan penerapan teori Dooyeweerd dalam dunia

pendidikan di Amerika Serikat, berupaya untuk membuat hubungan yang lebih gamblang antara

berbagai bidang studi yang diajarkan di sekolah dengan aspek-aspek modalitas kenyataan

Dooyewerd. Berikut adalah daftar tersebut.49

No. Aspek Bidang studi

15 Fidusiari (pistis) Teologi

14 Etis Etika, Moralitas

13 Yustisi Kewarganegaraan

12 Estetis Kesenian

11 Ekonomis Ekonomi

10 Sosial Sosiologi

9 Linguistik Bahasa

8 Historis Sejarah, Budaya

7 Logis Penalaran, Logika

Page 48: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

34

No. Aspek Bidang studi

6 Sensori Psikologi

5 Biotik Biologi

4 Fisik Ilmu Kimia

3 Kinematis Fisika

2 Spasial Geometri

1 Kuantitatif Aritmetika

Ada bidang studi yang mencakup lebih dari satu aspek dan ada pula satu aspek yang

dicakup di lebih dari satu bidang studi. Secara keseluruhan dapat dilihat bahwa aspek-aspek 1

hingga 6 adalah aspek-aspek yang anormatif, lingkup hukumnya tak terhindarkan. Manusia

dengan kecerdasannya bisa berupaya untuk memanipulasi aspek-aspek ini, tetapi tidak bisa

memilih untuk tidak menaatinya. Aspek-aspek 7 hingga 15 adalah aspek-aspek yang manusia

bisa pilih untuk abaikan dan bahkan nafikan dalam kehidupannya. Inilah aspek-aspek yang

Dooyeweerd klasifikasikan sebagai normatif.

Dapat dipahami bahwa aspek-aspek anormatif memiliki tingkat kepastian yang lebih tinggi

ketika dipelajari dan diupayakan untuk dimanipulasi untuk kepentingan manusia. Penemuan-

penemuan dan perkembangan teknologi dicapai manusia dengan memanipulasi aspek-aspek

anormatif ini. Tak heran berbagai bidang studi yang mempelajari aspek-aspek ini dipandang

bergengsi karena hasil-hasil yang kasat mata yang dapat dicapai dengan memanfaatkan aspek-

aspek ini.

Page 49: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

35

Aspek-aspek anormatif, sebaliknya, adalah aspek-aspek yang tak kasat mata dan tidak

secara langsung memberikan dampak yang nyata bagi kemajuan peradaban seperti penemuan-

penemuan dan perkembangan teknologi. Demikian pula dalam wacana-wacana ilmiah, pokok-

pokok perdebatan yang baru tidak serta-merta membuktikan bahwa pokok-pokok pemikiran yang

lama adalah salah dan kemudian ditinggalkan, seperti halnya pada teknik-teknik arsitektur lama

yang dipandang tidak efisien dan tak sedap dipandang mata lantas ditinggalkan. Perdebatan-

perdebatan yang terjadi dalam bidang-bidang sejarah, sosial, bahasa, etika dan agama bisa terus

saling memperkaya dan menambah kompendium ilmu dalam bidang itu tanpa harus ada yang

tergugurkan.

Tetapi, tak terpungkiri bahwa manusia pun memiliki aspek-aspek logis, historis, linguistik,

sosial, dan seterusnya hingga fidusiari. Manusia tidaklah lengkap jika hanya memiliki keenam

aspek pertama. Ketika pendidikan membelajarkan orang hanya pada aspek-aspek yang paling

dasar ini maka pendidikan itu tidaklah lengkap. Pendidikan semacam itu membekali para

muridnya untuk memanfaatkan alam tetapi tidak membekali murid-muridnya untuk hidup utuh,

baik sebagai pribadi maupun sebagai anggota masyarakat.

Model antropologi Dooyeweerd, yaitu kelima belas aspek modalitas kenyataan bersama

dengan teori filsafat ide kosmonomisnya digambarkan secara komprehensif oleh E.L. Hebden

Taylor sebagai berikut.50

Page 50: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

36

Gambar 1. Ke-15 Aspek Modalitas Filsafat Ide Kosmonomis dalam Perspektif

Ilmu-Ilmu dan Fungsi-Fungsinya.

Dalam gambar di atas diperlihatkan bahwa fungsi tertinggi benda adalah aspek fisik, fungsi

tertinggi tumbuhan adalah aspek biotik dan fungsi tertinggi hewan adalah aspek sensori. Aspek-

aspek inilah yang membentuk ilmu-ilmu alam – sebab, dari situlah datangnya kata ―alam‖ dalam

ilmu-ilmu alam. Ilmu-ilmu ini mempelajari aspek-aspek yang paling mendasar, yaitu aspek-aspek

yang ada dalam hampir semua makhluk hidup.

Dalam gambar yang sama Taylor memperlihatkan aspek-aspek yang dicakup oleh berbagai

lembaga manusia. Keluarga mencakup aspek biotik hingga etis. Semua lembaga sosial lainnya

memiliki aspek historis pada tingkat yang paling mendasar, walaupun puncaknya berbeda-beda.

Pada tatanan inilah ilmu-ilmu sosial dilahirkan, sebab inilah lembaga-lembaga yang menjadi

obyek studi ilmu-ilmu sosial: manusia beserta struktur-struktur sosialnya.

Model antropologi Dooyeweerd inilah yang digunakan sebagai rujukan di dalam penelitian

ini, dengan catatan yang sekali lagi perlu ditekankan bahwa susunan kelima belas aspek

AN

IMA

L

PL

AN

TS

TH

ING

S

SU

BJE

CT

FU

NC

TIO

NS

Faith

Ethical

Juridical

Aesthetic

Economic

Social

Lingual

Historical

Analytical

Psychical

Biological

Physical

Kinematic

Spatial

Arithmetical

An

orm

ativ

e L

aw S

ph

eres

No

rmat

ive

Law

Sp

her

es

Law Spheres

Dir

ecti

on

To

war

ds

Ori

fin

of

Mea

nin

g

MA

N

Ap

ost

ate

Dir

ecti

on

OB

JEC

T F

UN

CT

ION

S

TH

E F

AM

ILY

TH

E C

HU

RC

H

TH

E S

TA

TE

TH

E L

AB

OR

UN

ION

TH

E B

US

INE

SS

EN

TE

RP

RIS

E

The Word of God

Incarnate in

The Lord Jesus Christ

The Tribune Sovereign God‘s Law as the Boundary Between the Creation and the Creator

Foundational Functions

Leading Functions

Page 51: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

37

modalitas tidaklah diperlakukan sebagai sebuah hierarki, melainkan sebagai aspek-aspek yang

setara satu dengan yang lainnya. Perbedaan yang ada di antara kelima belas aspek ini adalah

ruang lingkup hukum masing-masing aspek, sehingga penempatan aspek tertentu pada posisi

yang lebih tinggi di dalam gambar ini menunjukkan lebih kompleksnya aspek ini, tetapi tidak

menunjukkan bahwa aspek yang lebih tinggi lebih penting di dalam pengalaman hidup manusia.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa aspek iman lebih kompleks daripada aspek historis dan

aspek historis lebih kompleks daripada aspek aritmetis, tetapi aspek yang satu tidak bisa

menafikan keberadaan aspek yang lainnya.

2.3.3 Dampak Filsafat Ide Kosmonomis pada Pelaksanaan Pendidikan

Ketika aspek-aspek ini diterima sebagai perwakilan dari pengalaman hidup manusia yang

saling melengkapi untuk memberikan manusia pengalaman hidup yang lengkap, maka

dampaknya adalah ilmu-ilmu yang mempelajari masing-masing aspek ini juga akan dipandang

sebagai ilmu-ilmu yang berdiri sejajar dan saling melengkapi untuk memampukan manusia

memahami dan memaknai pengalaman hidupnya secara lengkap. Ilmu-ilmu tidak lagi melulu

dipandang sebagai sarana untuk memanipulasi alam dan menghasilkan kemajuan-kemajuan

teknologis, tetapi juga ilmu-ilmu kembali dipahami memiliki kegunaan yang lebih luas, yaitu

untuk memahami dan memaknai seluruh pengalaman hidup manusia.

Pendidikan yang dilaksanakan dengan mengacu kepada kerangka pikir demikian akan

menghasilkan kurikulum yang berbeda dibandingkan dengan pendidikan yang dilaksanakan

melulu untuk membekali peserta didiknya untuk memiliki penghidupan yang layak. Pendidikan

yang disebut belakangan ini akan menjadi pendidikan yang didefinisikan oleh tuntutan zaman

tertentu dan mengedepankan aspek-aspek tertentu dalam kehidupan peserta didiknya untuk

memenuhi tuntutan tersebut. Ketika tuntutan itu memiliki perhatian yang sangat tinggi pada

Page 52: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

38

aspek-aspek anormatif seperti yang dikembangkan dalam ilmu-ilmu alam, maka aspek-aspek

tersebut akan memperoleh perhatian yang sangat besar dengan mengorbankan pengembangan

aspek-aspek lainnya. Orang-orang yang dididik dengan cara seperti ini dipersiapkan menjadi

elemen dari sebuah sistem produksi global, satu dari banyak mata rantai produksi-konsumsi umat

manusia, tetapi belum tentu bisa menghayati seluruh kemanusiaannya di dalam hidup yang utuh.

Sebaliknya, pendidikan yang mengacu kepada upaya untuk memahami dan memaknai

seluruh pengalaman hidup manusia akan menggunakan pendekatan yang lebih proporsional di

antara berbagai ilmu yang disodorkan dalam bentuk berbagai bidang studi di sekolah. Pendidikan

yang demikian akan memberikan perhatian yang berimbang antara ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu

sosial, antara aspek-aspek anormatif dan aspek-aspek normatif dalam kehidupan manusia.

Dengan demikian akan dihasilkan manusia-manusia yang utuh, yang mandiri dan dapat

berkontribusi dalam kehidupan bersama. Orang-orang yang memperoleh pendidikan yang

demikian niscaya akan lebih mampu hidup secara seimbang dan menikmati kekayaan hidup

dengan beragam aspeknya. Orang-orang ini tidak sekedar hidup dengan menjadi elemen dari

sistem produksi global. Sebaliknya, mereka mampu melihat dengan lebih jernih ke dalam

permasalahan-permasalahan kemanusiaan dan isu-isu yang esensial di dalam hidup karena

memiliki pemahaman tentang kemanusiaan yang utuh serta struktur-struktur sosial yang manusia

miliki tanpa perlu terjebak melulu ke dalam dunia pekerjaan dan penghidupan.

Kurikulum yang dikembangkan berdasarkan acuan pada masalah penghidupan akan terlihat

memiliki penekanan yang berlebih pada ilmu-ilmu alam, sementara mengabaikan ilmu-ilmu

sosial. Kurikulum yang demikian juga memiliki penekanan yang besar pada sistem ujian yang

mementingkan hasil akhir daripada pada proses. Jika hal ini dilakukan, maka perhatian hanya

diberikan kepada enam aspek pertama dari filsafat ide kosmonomis ini dengan mengorbankan

aspek-aspek lainnya. Hal ini bisa berakibat pada dihasilkannya orang-orang yang sangat pandai

Page 53: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

39

secara teknis tetapi tidak memiliki kehidupan sosial yang sebanding dengan kepandaian

teknisnya, orang-orang yang mampu menghasilkan kemajuan teknologi tetapi miskin dalam

perspektif kemanusiaannya sehingga teknologi yang dihasilkan bisa malah merugikan umat

manusia daripada menguntungkan.

Filsafat ide kosmonomis, pada akhirnya, ketika diterapkan dalam pendidikan, akan

memampukan para perencana pendidikan untuk kembali melihat tujuan awal penyelenggaraan

pendidikan dalam sebuah kerangka yang lebih lengkap, yang mengklasifikasikan pengalaman

hidup manusia ke dalam 15 aspek. Dengan adanya ke-15 aspek ini, akan lebih mudah dilakukan

pemetaan antara bidang-bidang studi yang perlu dibelajarkan kepada murid-murid di sekolah

secara sinkron dengan penyiapan mereka untuk memiliki pengalaman hidup yang utuh, yang

memampukan mereka hidup mandiri dan bertanggung jawab, menjadi orang yang berkontribusi

dalam kehidupan bersama. Kedua model pendidikan yang telah disebutkan itu bisa

diperbandingkan sebagai pendidikan yang holistik dan pendidikan yang positivistik.

2.4 Pendidikan Holistik vs. Pendidikan Positivisitik

Pendidikan yang positivistik adalah pendidikan yang menaruh perhatian yang sangat tinggi

pada ilmu-ilmu alam, yaitu bidang-bidang studi Matematika dan IPA (MIPA). Pendidikan

positivistik mengedepankan ilmu-ilmu alam ini dengan memberikan porsi jam pelajaran yang

sangat banyak kepada bidang-bidang studi Matematika dan IPA dibandingkan kepada ilmu-ilmu

sosial. Juga, pendidikan positivistik cenderung untuk melihat hasil akhirnya melalui ujian-ujian

dibandingkan melihat proses yang terjadi di dalam pembelajaran.

Dengan adanya penekanan yang sistemik terhadap ilmu-ilmu alam ini, maka gengsi yang

dimiliki ilmu-ilmu alam ini pun meningkat di mata masyarakat awam, termasuk di antaranya para

Page 54: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

40

murid dan orang tua murid. Di dalam pendidikan positivistik, diyakini apa yang bisa diukur itulah

yang unggul; apa yang tidak melibatkan angka, hanyalah ilmu-ilmu kelas dua.

Di sisi lain, ada pula pendidikan yang holistik. Pendidikan ini mengedepankan pendekatan

dengan keprihatinan yang lebih luas. Bukan saja ia menaruh perhatian pada ilmu-ilmu alam,

tetapi ia juga menaruh perhatian pada ilmu-ilmu sosial. Ketika murid-murid memperoleh

pelajaran dalam spektrum yang lengkap, baik ilmu-ilmu alam maupun ilmu-ilmu sosial, bisa saja

ilmu-ilmu alam tetap memperoleh jumlah jam pelajaran yang lebih banyak tetapi tidak secara

signifikan.

Tetapi itu juga tidak berarti bahwa di dalam pendidikan yang holistik murid-murid

mempelajari semua bidang studi, melainkan perhatian diberikan agar murid-murid memiliki basis

keilmuan yang lengkap dan solid sehingga menjadi dasar yang kokoh bagi pembangunan

keseluruhan struktur ilmu yang didalaminya. Bisa saja murid diberikan pilihan untuk menekuni

bidang tertentu – sains, literatur, ekonomi – tetapi ada pelajaran-pelajaran wajib yang harus ia

kuasai juga seperti Matematika dasar, bahasa ibu dan Sejarah. Yang terpenting adalah bahwa baik

MIPA maupun ilmu-ilmu sosial sama-sama dibelajarkan dengan cara yang bermakna sehingga

tidak terjadi dikotomi bahwa IPA bernalar dan IPS hanya menghafal.

Psikologi Gestalt telah membantu kita melihat bahwa yang terpenting dari penyelenggaraan

sebuah sekolah adalah kemampuan untuk mengasah pada diri setiap murid kapasitas untuk

memaknai, memahami dan tiba pada momen pencerahan di dalam masalah-masalah yang

dihadapinya di dalam hidup. Sekolah hadir untuk mengembangkan kompetensi-kompetensi yang

diperlukan untuk mendukung pertumbuhan seorang anak hingga mencapai kepenuhan

kapasitasnya sebagai seorang manusia dewasa.

Dalam upaya sekolah untuk mengembangkan kompetensi-kompetensi yang diperlukan, ada

batasan-batasan yang dijumpai. Yang paling kentara dari semua batasan itu adalah adanya

Page 55: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

41

batasan waktu. Sekolah hanya memiliki akses atas waktu yang terbatas setiap minggunya dalam

kehidupan seorang anak. Juga, ada batasan lamanya pendidikan wajib bagi setiap anak. Pada

umumnya seorang anak hanya diwajibkan berada di sekolah pada usia 7 hingga 15 atau 18 tahun.

Ini membentuk batasan-batasan bagi sekolah untuk menetapkan apa yang ingin dicapainya dalam

kurun waktu tertentu. Kemudian, adalah adanya batasan wewenang dengan pihak-pihak lain.

Dalam kehidupannya seorang anak juga mempunyai pengaruh dari orang tua, keluarga besar,

komunitas dan berbagai lembaga sosial yang ada di sekitarnya. Upaya-upaya yang dilakukan oleh

sekolah tidak berada dalam vakum, tetapi terjadi dalam interaksi dengan lembaga-lembaga sosial

ini.

Karena batasan-batasan yang ada, sementara ada begitu banyak kompetensi yang perlu

dikembangkan pada diri seorang anak, sekolah harus bisa memilah antara kompetensi-

kompetensi yang esensial dengan kompetensi-kompetensi yang tidak esensial, yaitu yang

periferal. Kepada kompetensi-kompetensi yang esensial inilah waktu dan upaya dan tenaga perlu

difokuskan dan didedikasikan di dalam masa pendidikan wajib yang berlangsung 9 hingga 12

tahun itu.

Untuk menghasilkan seorang dewasa yang mandiri dan siap berkontribusi dalam kehidupan

bersama, mengacu kepada kelima belas aspek pengalaman hidup yang dipaparkan oleh

Dooyeweerd, orang perlu memiliki wawasan dan pemahaman dalam kelima belas aspek tersebut.

Sebuah sistem pendidikan bisa memiliki penekanan hanya pada aspek-aspek pertama dari kelima

belas aspek tersebut, yaitu aspek-aspek anormatif: aritmetika, spasial, kinematik dan seterusnya.

Tetapi, sebuah sistem pendidikan tidak mungkin memiliki penekanan hanya pada aspek-aspek

normatif sebab aspek-aspek normatif membutuhkan penguasaan terlebih dulu atas aspek-aspek

anormatif, walaupun secara minim.

Page 56: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

42

Orang tidak mungkin menguasai aspek yuridis tanpa memahami aspek analitis dan aspek

analitis dibentuk berdasarkan aspek-aspek anormatif. Demikian pula orang tidak mungkin

menguasai aspek estetis tanpa memahami aspek-aspek aritmetis, spasial dan kinematis sebab

aspek-aspek inilah yang membentuk dasar-dasar keindahan: keragaman dan keserasian.

Maka, ancaman terhadap pendidikan yang holistik bukanlah pendidikan yang berat sebelah

kepada aspek-aspek anormatif saja atau aspek-aspek normatif saja; melainkan, ancaman terhadap

pendidikan yang holistik hanyalah pendidikan yang berat sebelah kepada aspek-aspek anormatif

saja. Sesungguhnya, teramat mudah manusia jatuh ke dalam kecenderungan ini karena manusia

hidup dan berfungsi pada aspek-aspek normatif. Lebih mudah melihat, menganalisis dan

mengevaluasi ke bawah daripada melihat, menganalisis dan mengevaluasi ke samping.

Upaya untuk memahami dan menganalisis alam, yaitu hal-hal yang membentuk aspek-

aspek anormatif dalam pengalaman hidup manusia, akan selamanya jauh lebih mudah dan lebih

eksak dibandingkan dengan upaya untuk memahami dan menganalisis manusia sendiri serta

struktur-struktur sosialnya. Yang disebut belakangan ini selamanya akan lebih banyak

mengandung ketidakpastian dan perdebatan, sebab yang hendak dipahami dan dianalisis

mencakup diri si pelaku itu sendiri.

Dengan pandangan yang demikian, maka sangat penting bahwa sekolah mengembangkan

dalam diri murid-muridnya kompetensi dasar pada setiap aspek kehidupan. Manusia harus

menguasai aspek-aspek anormatif dalam pengalaman hidupnya, tetapi manusia juga sangat perlu

memahami aspek-aspek normatif untuk dapat mencapai kepenuhan potensinya sebagai seorang

manusia.

Apakah pendidikan yang holistik ini lantas mengabaikan bahwa orang-orang memiliki

bakat dan minat yang berbeda-beda? Lantas, bagaimana dengan mereka yang memang memiliki

Page 57: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

43

bakat dalam bidang-bidang studi yang mempelajari aspek-aspek anormatif dalam kehidupan

manusia?

Di dalam pendidikan yang holistik, yang perlu dibelajarkan oleh sekolah kepada semua

muridnya adalah elemen-elemen yang esensial dari kelima belas aspek pengalaman hidup. Dalam

aspek-aspek anormatif misalnya, hal mendasar yang dapat dibelajarkan adalah Matematika Dasar

tanpa perlu menyentuh Kalkulus atau Fisika Diskret. Dalam aspek-aspek anormatif misalnya, hal

mendasar yang dapat dibelajarkan adalah Logika dan Sejarah sehingga setiap murid dapat

melakukan analisis dengan baik atas seluruh pengalaman hidupnya dan dapat memahami

kehidupannya dalam konteks yang lebih luas, tanpa perlu Sosiologi atau Ilmu Hukum. Dengan

mengandalkan bidang-bidang studi yang umum ini sebagai dasar, selanjutnya setiap murid dapat

mendalami bidang studi yang menjadi bakat dan minatnya.

Dengan keterbatasan waktu dan sumber daya yang ada dalam sebuah proses pendidikan,

bahkan di dalam sebuah pendidikan yang holistik juga tetap diperlukan adanya spesialisasi

sehingga berdasarkan psikologi Gestalt, seorang murid dapat mempelajari satu topik secara

mendalam dan tiba pada pemahaman masalah, pemaknaan pengalaman hidup yang membawanya

kepada momen-momen pencerahan. Dengan dasar yang diberikan dalam bidang-bidang studi

yang umum, maka murid tersebut akan mampu meletakkan seluruh ilmu dan pengetahuannya

dalam konteks yang lebih luas – ia bisa menjadi seorang ahli tanpa kehilangan persepektif

kemanusiaannya.

Mengacu kembali kepada tujuan pendidikan yaitu untuk menghasilkan manusia-manusia

dewasa yang mandiri dan berkontribusi dalam kehidupan bersama, maka murid-murid yang

dihasilkan oleh sebuah sistem pendidikan yang holistik akan:

Page 58: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

44

a. memiliki kehidupan dengan spektrum pengalaman yang kaya, artinya tidak hanya berkutat

dengan bidang pekerjaannya dan membuat keputusan-keputusan yang melulu dimotivasi

oleh motif ekonomi (demi penghidupannya) belaka;

b. mampu melihat keseluruhan pengalaman hidup manusia dan menganalisisnya dari berbagai

segi sehingga memiliki pemahaman dan pengertian yang lebih menyeluruh tentang manusia

dan struktur-struktur sosialnya, yang memampukan dirinya untuk lebih bijaksana dalam

mengambil keputusan dalam konteks sosial-kemasyarakatan;

c. memiliki kehidupan yang lebih seimbang antara sisi pribadi dan sosial, pengembangan

karier dan kehidupan sosial, pengembangan teknologi dan pemeliharaan lingkungan,

mendorong kemajuan dan memastikan ketahanan, ‗sustainability‘ seluruh sumber daya

yang terkait.

Karena setiap masyarakat mempunyai sistem pendidikannya yang khas, maka dampak yang

terjadi pada diri setiap orang, ketika diamati pada tingkat masyarakat, akan terjadi secara berlipat

ganda. Kita menjumpai masyarakat yang memiliki sumber daya alam yang kaya-raya tetapi hidup

dalam kemiskinan dan terus-menerus mengeruk kekayaannya dengan cara dan kecepatan yang

membuat kekayaan itu tak terbarui sehingga merugikan seluruh negara dan bahkan dunia. Kita

juga menjumpai masyarakat yang miskin dalam sumber daya alam tetapi bisa menggunakan apa

yang ada dengan bijaksana dan terbarui. Ada negara-negara di mana kesenian berkembang sangat

pesat dan ilmu pun berkembang sangat pesat. Ada negara-negara di mana keduanya berkembang

dengan sangat terbatas.

Ketika sebuah masyarakat atau negara memiliki sistem pendidikannya yang khas, maka

dampak dari sistem pendidikan itu akan nampak dengan sangat jelas dalam lingkup yang besar.

Maka, pemahaman terhadap seluruh pengalaman hidup manusia dan bagaimana murid-murid

Page 59: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

45

dipersiapkan sebaik mungkin untuk mengakses seluruh pengalaman itu menjadi sangat penting

bagi kemajuan sebuah masyarakat, sebuah negara.

2.5 Inferioritas IPS terhadap IPA dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia

Di dalam sistem pendidikan nasional Indonesia, inferioritas IPS terhadap IPA terlihat

dengan sangat jelas. Bukan saja pada saat pemilihan jurusan di mana banyak murid maupun

orang tua murid yang berlomba-lomba untuk mendapatkan ―kursi‖ di jurusan IPA, tetapi hal ini

juga nyata di dalam sikap guru-guru, penetapan sistem ujian nasional yang menentukan kelulusan

dari jenjang SMA dan ujian masuk Perguruan Tinggi negeri (UMPTN) yang sangat

menguntungkan para lulusan SMA dari jurusan IPA dan membatasi pilihan para lulusan SMA

dari jurusan IPS.

Ditilik dari psikologi Gestalt, pendekatan yang disyaratkan oleh psikologi Gestalt untuk

mencapai pemaknaan, pemahaman dan pencerahan adalah pendidikan yang menghindarkan

penghafalan dan menyediakan bantuan pada saat-saat kritis dalam proses belajar sehingga murid

dapat mencapai momen eurekanya secara mandiri dan bertahan. Pada kenyataannya, gejala yang

disebutkan oleh Soedijarto di atas masih terjadi, yaitu rendahnya tingkat ketersediaan tenaga

pendidik dan rendahnya pula fasilitas pendukung pelaksanaan pendidikan menyebabkan

pendidikan dilaksanakan seringkali dengan mengandalkan cara menghafal.

Tingginya tuntutan menghafal mengondisikan di sisi lain kurangnya kesempatan bagi

murid-murid untuk menerapkan apa yang telah dipelajarinya dalam masalah-masalah yang nyata

sesuai konteks kehidupan. Atau, bisa juga dilihat sebaliknya bahwa kurangnya kemampuan guru

untuk menyediakan soal-soal pemecahan masalah yang relevan membuat guru mengondisikan

murid untuk melulu menghafal dalam proses belajar yang disediakannya. Maka, tidak muncul

kebutuhan untuk memberikan bantuan pada momen-momen kritis yang akan membawa murid

Page 60: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

46

kepada momen pencerahannya, ketika ia memahami sebuah konsep dan mampu menerapkan

konsep itu pada situasi yang baru.

Ketika pemahaman tidak dicapai, maka pencerahan pun tidak tercapai. Mungkin inilah

penyebab walaupun kita membangga-banggakan keunggulan pendidikan Matematika di SD-SD

kita dibandingkan pendidikan Matematika di SD-SD negara-negara Barat, tetapi belum ada

ilmuwan Indonesia yang berhasil memperoleh hadiah Nobel dalam bidang Sains.

Ditilik dari filsafat ide kosmonomis, penekanan yang terjadi dalam pendidikan di Indonesia

sangat kuat memfokuskan perhatian pada keenam aspek pertama, yaitu aspek-aspek anormatif.

Penekanan yang berlebihan pada aspek-aspek anormatif dalam pengalaman manusia memiliki

risikonya sendiri, yaitu kurangnya kemampuan membuat penilaian-penilaian normatif. Keahlian

teknis yang dilahirkan dari penekanan yang berlebihan pada aspek-aspek anormatif, dibarengi

dengan kurangnya keterampilan dalam membuat penilaian normatif, bisa membawa dampak yang

mengerikan bagi kehidupan bersama.

Seseorang dengan karakteristik yang demikian akan memiliki keahlian untuk menghasilkan

kemajuan-kemajuan dalam teknologi yang bisa mendukung percepatan pembangunan dan

mendorong peningkatan kekayaan fisik masyarakat tetapi akan memiliki kepedulian yang minim

terhadap sisi-sisi tak kasat mata dari keputusannya, dampak-dampak sosial-kemasyarakatan serta

dampak buruk yang mungkin saja ditimbulkan pada lingkungan.

Memang, hal ini tidaklah membentuk suatu rumusan yang pasti. Bisa saja seseorang

memperoleh pendidikan yang lebih utuh ketika pada suatu masa dalam studinya ia bersekolah

pada sebuah lembaga berkurikulum yang lebih holistik atau ia diperlengkapi dengan kompetensi

itu dari keluarganya, atau secara otodidak ia melengkapi pertumbuhannya sendiri menjadi orang

dewasa yang lebih utuh. Tetapi, bahaya yang dikandung oleh sistem pendidikan Indonesia yang

demikian tetaplah laten.

Page 61: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

47

Maka, kita melihat inferioritas IPS terhadap IPA dalam sistem pendidikan nasional

Indonesia bisa memiliki dampak yang berkepanjangan dan bukan sekedar perlakuan diskriminatif

di dalam sistem pendidikan itu sendiri. Kehidupan bermasyarakat dan berbangsa bisa terkena

ekses-eksesnya pula dalam jangka panjang. Kesenjangan penyebaran kekayaan, ketidaksetaraan

kesempatan untuk perbaikan kualitas hidup, perusakan alam, manipulasi struktur-struktur publik

dan lembaga-lembaga kemasyarakatan untuk kepentingan pribadi, semua itu dapat dihasilkan dari

keterampilan penilaian normatif yang tidak diasah.

Bagaimana sebenarnya kondisi pendidikan di Indonesia dalam hal inferioritas IPS terhadap

IPA dan apa yang telah terjadi sebagai akibat dari inferioritas ini? Dalam bab berikutnya

rancangan penelitian tesis ini akan dibahas.

Page 62: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

48

BAB III

RANCANGAN PENELITIAN

3.1 Pendahuluan

Dalam bab ini akan dipaparkan rancangan penelitian yang dilakukan. Pertama-tama

dipaparkan jenis penelitian yang dilakukan, sampel sekolah yang digunakan dalam penelitian,

serta bagaimana pemilihan responden-responden dilakukan di masing-masing sekolah.

Kemudian, pemaparan dilanjutkan kepada pokok-pokok penelitian, pertanyaan wawancara serta

pengolahan data yang akan dilakukan.

3.2 Jenis Penelitian

Untuk mempelajari lebih dalam mengenai inferioritas ilmu-ilmu sosial dalam pendidikan

nasional Indonesia, maka dilakukan penelitian kualitatif. Di dalam penelitian ini dipilih metode

wawancara semi-terstruktur untuk memperoleh gambaran yang lebih beragam dan juga lebih

pribadi dari berbagai jenis sekolah yang memiliki karakteristik berbeda-beda, serta gambaran

yang lebih mendalam tentang kondisi dunia pendidikan di Indonesia. Metode wawancara semi-

terstruktur dipandang lebih tepat karena dugaan-dugaan yang dimiliki pada saat wawancara dapat

ditanyakan dan dijabarkan dengan lebih rinci, juga pertanyaan dapat dikembangkan sesuai

dengan kebutuhan penelitian.

3.3 Sekolah Sampel

Penelitian dilakukan pada jenjang SMA di mana terjadi proses pemilihan program

pengajaran yang pada saat penelitian dilakukan terjadi pada kenaikan kelas, dari kelas X ke kelas

Page 63: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

49

XI. Sekolah-sekolah dipilih untuk mewakili karakteristik tertentu yang khas sehingga dapat

ditangkap sejumlah keragaman sekolah-sekolah yang ada di Indonesia. Sekolah-sekolah yang

dipilih untuk dijadikan sampel adalah sekolah-sekolah yang berada di wilayah Jabotabek. dan

sekitarnya.

Sekolah-sekolah yang dipilih untuk dijadikan sampel adalah sebagai berikut.

3.3.1 Sekolah-Sekolah Nasional

1. SMA Negeri 35. Sekolah negeri ini terletak di kawasan berpenduduk dari kelas ekonomi

menengah-bawah di daerah Tanah Abang, Jakarta Pusat. SMA Negeri 35 adalah sekolah

yang memiliki ―indeks efektivitas‖51

yang sangat baik, yang artinya dengan kualitas

masukan murid-murid yang sangat minim, sekolah ini bisa menghasilkan murid-murid

berprestasi sangat tinggi sehingga menjadi sekolah unggulan nasional bersama dengan

sekolah-sekolah lain yang kebanyakan memiliki murid dari kalangan menengah-ke-atas.

SMA Negeri 35 adalah salah satu dari sekolah-sekolah negeri yang sebelumnya

dipandang masyarakat sebagai sekolah kalangan bawah yang tidak mampu menghasilkan

murid berkualitas, tetapi dalam tahun-tahun belakangan ini pamornya terus meningkat

dengan pesat.

2. SMAK 3 BPK Penabur. Sekolah Kristen yang terletak di daerah Senen, sekolah ini terkenal

karena dikenal memiliki program pengajaran yang berimbang antara IPA dan IPS.

Keunggulan akademis serta prestasi yang merata di berbagai bidang, baik sains, ekonomi,

maupun olahraga merupakan kekuatan SMAK 3 BPK Penabur.

SMAK 3 BPK Penabur adalah salah satu sekolah yang sudah lama dikenal sebagai

sekolah papan atas di antara sekolah-sekolah lainnya di DKI Jakarta dalam prestasi

akademik dan dapat dijangkau oleh keluarga-keluarga kelas ekonomi menengah.

Page 64: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

50

3. Sekolah Pelita Harapan Bukit Sentul. Sekolah yang terletak di daerah Bogor ini adalah

sekolah nasional plus yang sangat eksklusif yang menyelenggarakan program studi

berkurikulum International Baccalaureate (IB Curriculum) maupun kurikulum nasional.

4. SMA Katholik Tarakanita 1. SMA bergengsi khusus murid perempuan, walaupun terletak

di kawasan yang sangat rawan banjir tetapi peminat SMA ini sangat banyak. Sekolah ini

dikenal karena pembentukan karakter kepemimpinan pada murid-muridnya, banyaknya

pilihan kegiatan ekstra-kurikuler tanpa menomorduakan pelajaran serta pengembangan jiwa

kepemimpinan yang kuat.

SMA Katholik Tarakanita 1 adalah salah satu di antara sekolah-sekolah Katholik

yang secara tradisional dikenal sebagai sekolah-sekolah unggulan dengan spektrum

pendidikan yang holistik.

5. Kolese Gonzaga / Seminari Wacana Bhakti. Sekolah Katholik campuran antara murid laki-

laki dan perempuan di mana diselenggarakan juga pendidikan para calon imam. Sekolah ini

dikenal sebagai sekolah milik ordo Yesuit dari Gereja Katholik Roma yang memiliki

perhatian baik kepada pembentukan keunggulan di bidang IPA maupun ilmu-ilmu

sosialnya.

6. SMA Kristen Ketapang I. Selama beberapa puluh tahun terakhir sekolah-sekolah Kristen di

Indonesia, baik Protestan maupun Katholik, dikenal sebagai sekolah-sekolah berkualitas

unggul, walaupun menggunakan kurikulum nasional. Tetapi dalam tahun-tahun terakhir

sekolah-sekolah ini mulai dikalahkan dalam pamornya oleh pendatang-pendatang baru

yang menyodorkan kurikulum internasional. SMA Kristen Ketapang I adalah salah satu

sekolah tradisional ini yang hingga saat ini menggunakan kurikulum nasional Indonesia

tanpa adanya diferensiasi lainnya yang khas.

Page 65: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

51

3.3.2 Sekolah-Sekolah Internasional

1. Deutsche Internationale Schule. Sekolah berkurikulum nasional Jerman di Indonesia yang

juga menyelenggarakan Trilingual School dengan penggunaan bahasa 85% bahasa Jerman :

10% bahasa Inggris : 5% bahasa Indonesia yang saat penelitian dilakukan baru dibuka

hingga kelas III SD. Sekolah Jerman dikenal karena pendidikan holistiknya yang melihat

semua bidang studi dalam kaitan yang saling menyokong satu dengan lainnya. DIS terletak

di daerah BSD, Tangerang.

2. Lycée International Français. Sekolah berkurikulum Prancis di Indonesia, seluruh proses

belajar menggunakan bahasa Prancis. Sekolah Prancis dikenal karena penekanannya pada

ilmu-ilmu sosial tetapi juga karena elitismenya, sikap yang sangat membanggakan latar

belakang pendidikan seseorang.

3.4 Responden

Di masing-masing sekolah peneliti meminta kepala sekolah memilihkan empat orang

responden, terdiri dari dua orang guru dan dua orang murid. Untuk guru-guru, jika

memungkinkan maka kedua guru yang diwawancarai adalah wakil kepala sekolah bidang

kurikulum dan seorang guru bimbingan karier. Untuk murid-murid, jika memungkinkan maka

yang diwawancarai adalah seorang murid kelas XII IPA dan seorang murid kelas XII IPS atau

kelas XII Bahasa.

Mengingat wawancara dilaksanakan ketika banyak sekolah sudah mulai mempersiapkan

diri menghadapi ujian nasional, jika sekolah tidak mengizinkan dilakukan wawancara terhadap

murid kelas XII maka wawancara akan dilakukan terhadap murid kelas XI dengan prioritas yang

sama seperti dijabarkan di atas. Jika ternyata karena satu dan lain hal sekolah tidak bisa

Page 66: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

52

mengizinkan wawancara baik dengan murid kelas XII maupun kelas XI, tidak tertutup

kemungkinan wawancara akan dilakukan dengan murid kelas X.

3.5 Pokok-Pokok Penelitian

Berdasarkan pertanyaan penelitian yang diajukan di Bab I dan landasan teori yang

dipaparkan di Bab II, maka pokok-pokok penelitian yang akan digunakan sebagai landasan

penyusunan pedoman wawancara adalah sebagai berikut:

1. Tujuan murid bersekolah dan persepsi terhadap tujuan penyelenggaraan sekolah.

2. Persepsi kebernilaian ilmu-ilmu – IPA, IPS dan Bahasa – pada saat pemilihan program

pengajaran

a) Persepsi terhadap kualifikasi guru-guru masing-masing program pengajaran secara

komparatif.

b) Persepsi terhadap ketersediaan lapangan pekerjaan dalam kaitannya dengan program

pengajaran yang dijalani oleh seorang murid.

c) Korelasi antara program pengajaran yang dipelajari di SMA dengan jurusan yang

ditempuh saat masuk ke jenjang Perguruan Tinggi.

d) Kemampuan untuk berhasil secara akademik di sekolah yang sama, pada program

pengajaran yang berbeda.

3. Peranan studi formal yang ditempuh dalam mencapai cita-cita.

4. Persepsi terhadap peran pemerintah dalam mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap

ilmu-ilmu dan berbagai pilihan program pengajaran yang tersedia.

Page 67: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

53

3.6 Pertanyaan Wawancara

Berdasarkan pokok-pokok penelitian di atas, maka dikembangkanlah pertanyaan-

pertanyaan wawancara berikut.

3.6.1 Pertanyaan Wawancara kepada Guru di Sekolah Nasional

1. Tujuan murid bersekolah dan persepsi terhadap tujuan penyelenggaraan sekolah.

a) Apakah komunitas sekolah ini memiliki ciri khas demografis tertentu?

b) Pada umumnya, apa tingkat pendidikan terakhir para orang tua murid?

c) Dari interaksi Anda dengan orang tua murid, apakah orang tua murid memahami

seluk-beluk dunia persekolahan dan memiliki perencanaan yang matang terhadap

pendidikan anaknya?

d) Dari pengamatan Anda, adakah korelasi antara tingkat pendidikan terakhir orang tua

murid dengan keterlibatan mereka dalam pendidikan anaknya? Jika Anda menjawab

‗Ya‘, bagaimana korelasinya?

e) Bagaimana hubungan kerjasama pihak sekolah dengan orang tua murid: apakah orang

tua murid membiarkan sekolah menyelenggarakan pendidikan tanpa ikut campur;

atau sekedar terlibat sejauh sekolah mengundang orang tua untuk terlibat tetapi orang

tua tidak berinisiatif untuk terlibat; atau orang tua berinisiatif untuk terlibat dalam

berbagai ranah kehidupan persekolahan anaknya?

2. Persepsi kebernilaian ilmu-ilmu – IPA, IPS dan Bahasa – pada saat pemilihan program

pengajaran.

a) Menurut Anda, apakah ilmu-ilmu alam dan sosial sama pentingnya dalam

pendidikan?

Page 68: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

54

b) Menurut Anda, adakah perbedaan tingkat kualifikasi kompetensi guru-guru IPA, IPS

maupun Bahasa untuk diterima di sekolah ini? Adakah guru-guru IPA, IPS dan

Bahasa memiliki kompetensi yang setara dalam bidang keilmuannya masing-masing?

c) Adakah bidang studi tertentu yang disegani oleh murid-murid karena tingkat

kesulitannya untuk dikuasai dibandingkan bidang studi lainnya? Adakah guru bidang

studi tertentu yang disegani karena bidang studi yang diampunya? Atau, dalam

pengertian yang sama, adakah guru bidang studi yang dipandang remeh baik oleh

kolega maupun oleh muridnya karena bidang studi yang diampunya?

d) Sejauh mana peran guru BK dalam proses pemilihan program pengajaran oleh murid-

murid dalam kenaikan kelas dari kelas X ke kelas XI? Sejauh mana guru BK terlibat,

baik dengan murid-murid maupun dengan orang tua mereka, untuk memberikan

pemahaman terhadap proses yang tengah dijalani dan dampak-dampaknya terhadap

studi, kelanjutan studi dan peluang kerja setelah lulus dari SMA/Perguruan Tinggi?

e) Adakah kaitan antara pemilihan program pengajaran tertentu oleh murid-murid

dengan bidang pekerjaan yang hendak ditekuninya kelak? Jika Anda menjawab ‗Ya‘,

apa kaitannya?

f) Jika seorang murid berhasil secara akademik dalam program pengajaran IPA, apakah

ia pasti berhasil juga dalam program IPS? Dan vice versa?

3. Menurut Anda, apakah ada peranan pemerintah dalam mengarahkan murid-murid dan

orang tua mereka untuk memilih salah satu program pengajaran? Jika Anda menjawab

‗Ada‘, apa peranan itu? Apakah ada peranan lain yang Anda harapkan dari pemerintah?

Page 69: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

55

3.6.2 Pertanyaan Wawancara kepada Murid di Sekolah Nasional

1. Tujuan murid bersekolah dan persepsi terhadap tujuan penyelenggaraan sekolah.52

a) Dari interaksi Anda dengan teman-teman Anda, apakah menurut Anda orang tua

murid di sekolah ini memahami seluk-beluk dunia persekolahan dan memiliki

perencanaan yang matang terhadap pendidikan anaknya?

b) Dari pengamatan Anda, adakah korelasi antara tingkat pendidikan terakhir orang tua

murid dengan keterlibatan mereka dalam pendidikan anaknya? Jika Anda menjawab

‗Ya‘, sejauh apa?

c) Bagaimana hubungan kerjasama pihak sekolah dengan orang tua murid: apakah orang

tua murid membiarkan sekolah menyelenggarakan pendidikan tanpa ikut campur;

atau sekedar terlibat sejauh sekolah mengundang orang tua untuk terlibat tetapi orang

tua tidak berinisiatif untuk terlibat; atau orang tua berinisiatif untuk terlibat dalam

berbagai ranah kehidupan persekolahan anaknya?

2. Persepsi kebernilaian ilmu-ilmu – IPA, IPS dan Bahasa – pada saat pemilihan program

pengajaran.

a) Menurut Anda, apakah ilmu-ilmu alam dan sosial sama pentingnya dalam

pendidikan?

b) Menurut Anda, adakah perbedaan tingkat kualifikasi kompetensi guru-guru IPA, IPS

maupun Bahasa untuk diterima di sekolah ini? Adakah guru-guru IPA, IPS dan

Bahasa memiliki kompetensi yang setara dalam bidang keilmuannya masing-masing?

c) Adakah bidang studi tertentu yang disegani oleh murid-murid karena tingkat

kesulitannya untuk dikuasai dibandingkan bidang studi lainnya? Adakah guru bidang

studi tertentu yang disegani karena bidang studi yang diampunya? Atau, dalam

Page 70: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

56

pengertian yang sama, adakah guru bidang studi yang dipandang remeh baik oleh

kolega maupun oleh muridnya karena bidang studi yang diampunya?

d) Sejauh mana peran guru BK dalam proses pemilihan program pengajaran oleh murid-

murid dalam kenaikan kelas dari kelas X ke kelas XI? Sejauh mana guru BK terlibat,

baik dengan murid-murid maupun dengan orang tua mereka, untuk memberikan

pemahaman terhadap proses yang tengah dijalani dan dampak-dampaknya terhadap

studi, kelanjutan studi dan peluang kerja setelah lulus dari SMA/Perguruan Tinggi?

e) Adakah kaitan antara pemilihan program pengajaran tertentu oleh murid-murid

dengan bidang pekerjaan yang hendak ditekuninya kelak? Jika Anda menjawab ‗Ya‘,

apa kaitannya?

f) Jika seorang murid berhasil secara akademik dalam program pengajaran IPA, apakah

ia pasti berhasil juga dalam program IPS? Dan vice versa?

3. Peranan studi formal yang dijalani di SMA dalam mencapai cita-cita hidup.

a) Adakah satu hal besar yang menjadi cita-cita hidup Anda, yang ingin Anda kejar

dengan seluruh hidup Anda?

b) Bagaimana Anda memandang peranan studi formal yang Anda jalani ini dalam

mencapai cita-cita hidup Anda: apakah studi ini memang dibutuhkan untuk mencapai

cita-cita itu? Atau Anda menjalani studi ini sekedar sebagai kewajiban dan karena

tidak mengetahui adanya pilihan lain? Apakah sebenarnya ada bidang studi atau

program pengajaran lain yang lebih sesuai dengan cita-cita Anda tetapi karena satu

dan lain hal Anda tidak bisa menekuni bidang studi atau program pengajaran itu?

c) Jika Anda menjawab yang terakhir (―korban-berpengetahuan‖), ketika halangan yang

ada sudah berlalu, apakah Anda akan kembali kepada cita-cita Anda? Jika Anda

Page 71: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

57

menjawab ‗Ya‘, bagaimana Anda berencana mengatasi kesenjangan yang diakibatkan

oleh jalur pendidikan yang tengah Anda tempuh ini?

4. Menurut Anda, apakah ada peranan pemerintah dalam mengarahkan murid-murid dan

orang tua mereka untuk memilih salah satu program pengajaran? Jika Anda menjawab

‗Ada‘, apa peranan itu? Apakah ada peranan lain yang Anda harapkan dari pemerintah?

3.6.3 Pertanyaan Wawancara kepada Guru dan Murid di Sekolah Internasional

1. Bagaimana pembagian jurusan di sekolah Anda dilakukan?

2. Apa yang menjadi pembeda utama antara jurusan-jurusan yang tersedia?

3. Bagaimana sikap murid dan orang tua murid terhadap jurusan-jurusan yang tersedia ini?

4. Apa hubungan antara jurusan-jurusan yang disediakan ini dengan peluang murid-murid di

jurusan yang bersangkutan untuk melanjutkan studi dan untuk bekerja?

5. Apa yang menjadi ciri khas sistem pendidikan yang diterapkan di sekolah Anda ini?

3.7 Pengolahan Data

Hasil wawancara yang diperoleh akan ditranskrip, kemudian dari hasil wawancara itu akan

disarikan pendapat masing-masing responden yang dikelompokkan ke dalam masing-masing

pertanyaan penelitian. Berdasarkan masing-masing pokok penelitian tersebut akan dilihat pola-

pola yang muncul antara berbagai sekolah Indonesia dan juga keragaman yang terjadi di antara

sekolah-sekolah tersebut.

Dari hasil perbandingan di antara sekolah-sekolah Indonesia tersebut kemudian akan dicoba

untuk disimpulkan suatu pola sikap guru dan murid yang diteliti terhadap sekolah dan ilmu-ilmu

sosial. Hasil ini kemudian akan dibandingkan dengan sikap yang nampak dari wawancara dengan

para responden di sekolah Jerman dan sekolah Prancis.

Page 72: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

58

Perbedaan yang nampak kembali akan diperbandingkan dengan idealisme yang telah

dipaparkan di atas dalam pendekatan psikologi Gestalt maupun filsafat ide kosmonomis. Dari

hasil yang nampak, akan disimpulkan posisi sekolah-sekolah Indonesia terhadap ilmu-ilmu sosial

serta dirumuskan apa yang menjadi kerugian potensial yang tengah diderita oleh sekolah-sekolah

di Indonesia dengan sikapnya itu.

Kesimpulan kemudian akan ditarik dan saran-saran diajukan untuk perbaikan sistem

pendidikan nasional di Indonesia. Kini kita akan beralih ke Bab IV, kepada data yang diperoleh

dari hasil wawancara ini.

Page 73: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

59

BAB IV

DATA HASIL PENELITIAN

4.1 Pendahuluan

Di dalam bab ini, data hasil penelitian akan disajikan dalam bentuk intisari hasil wawancara

per sekolah. Berdasarkan jawaban-jawaban yang diperoleh dari hasil wawancara dengan dua

orang guru dan dua orang murid di masing-masing sekolah sebagaimana telah dipaparkan di atas,

maka data akan disajikan secara naratif menurut indikator-indikator yang disajikan pada Bab III.

Jika ada temuan-temuan yang menarik dari hasil wawancara, hal itu akan dipaparkan dalam bab

ini. Begitu pula jika ada kesenjangan-kesenjangan yang terungkap dari antara wawancara-

wawancara yang dilakukan terhadap keempat responden di satu sekolah.

Untuk memudahkan perujukan, setiap responden akan diberikan nomor indeks yang

merujuk kepada indeks sekolahnya dan indeks pribadi responden. Angka ―1‖ pada posisi kedua

indeks R11, R12, R13, dan R14 menunjukkan bahwa keempat responden ini adalah responden-

responden dari sekolah pertama, sedangkan angka-angka di posisi ketiga merupakan indeks

individunya. Dua angka pertama (R11, R12) digunakan untuk guru dan dua angka berikutnya

(R13, R14) digunakan untuk murid. Hal yang sama berlaku untuk sekolah kedua (R21, R22, R23,

R24) hingga sekolah kedelapan (R81, R82, R83, R84). Transkrip wawancara secara lengkap

tersedia pada Lampiran A. Kode P pada transkrip berarti ―peneliti‖.

Page 74: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

60

4.2 Wawancara di Sekolah-Sekolah Nasional

4.2.1 Wawancara di SMA Negeri 35

Guru-guru yang menjadi responden di SMA Negeri 35 adalah Wakil Kepala Sekolah

bidang Kurikulum (R11) dan seorang guru BK (R12), sedangkan murid-murid yang menjadi

responden adalah seorang murid kelas XII IPS (R13) dan seorang murid kelas XII Bahasa (R14).

Kombinasi kedua jurusan ini dipilih karena tidak adanya murid kelas XII IPA yang bisa

diwawancarai sehubungan dengan jadwal pelajaran dan persiapan ujian yang tengah

dilaksanakan.

4.2.1.1 Keadaan Sekolah

Karena sekolah ini terletak di daerah permukiman kelas menengah ke bawah, maka murid-

murid yang bersekolah di sekolah ini pun sebagian besar berasal dari kelas menengah ke bawah.

Secara keseluruhan hanya sekitar 5% dari murid yang berasal dari keluarga mampu dan 40-45%

dari lulusan sekolah ini yang mampu melanjutkan studinya ke Perguruan Tinggi. Di antara

profesi orang tua muridnya, terdapat profesi-profesi seperti tukang ojek, pembantu rumah tangga,

dan pedagang kali lima. Ada juga orang tua murid yang berpendidikan sarjana, walaupun sangat

jarang.

Bagi kebanyakan murid yang disekolahkan oleh orang tuanya di sekolah ini, kemungkinan

besar jenjang SMA ini adalah jenjang pendidikan tertinggi yang mereka tempuh. Bagi

kebanyakan dari mereka, orang tua mereka tidak akan mampu membiayai pendidikan lebih jauh

dan mereka akan harus menafkahi diri mereka sesudah lulus dari SMA. Bagi 5% yang berasal

dari keluarga mampu, mereka dapat mengandalkan orang tua mereka untuk membiayai kuliah

sementara bagi mereka yang tidak berasal dari keluarga mampu tetapi ingin kuliah, mereka

Page 75: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

61

meletakkan harapannya untuk dapat melanjutkan kuliah pada tersedianya jalur PMDK atau

beasiswa. Kedua kelompok inilah yang membentuk angka 40-45% yang disebutkan di atas.

4.2.1.2 Tujuan Bersekolah

Bagi murid-murid yang jelas-jelas orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikan lebih

lanjut dan juga sulit mengharapkan beasiswa, studi mereka adalah sebuah upaya terakhir untuk

memperoleh ijazah setinggi-tingginya untuk memperoleh penghidupan yang lebih baik ketika

mereka harus menafkahi dirinya sendiri kelak. Mempelajari ilmu-ilmu yang disodorkan di

sekolah adalah persoalan nomor dua.

Kondisi keluarga para murid sangat mempengaruhi keadaan ini. Tingginya persentase

orang tua yang berpendidikan rendah dan memiliki pekerjaan kasar berarti tidak ada orang-orang

berpendidikan di rumah mereka yang bisa membantu mengarahkan mereka untuk membuat

perencanaan bagi masa depan mereka sendiri. Kondisi rumah yang memprihatinkan dan dihuni

oleh jumlah orang yang banyak membuat suasana yang mereka jumpai di luar sekolah tidaklah

kondusif pula untuk belajar. R11 menyebutkan bagaimana ada murid-murid yang hidup di

bantaran kali dengan ukuran rumah yang hanya separuh ruang kelas mereka dan ditinggali

bersama oleh enam orang anggota keluarga.

Orang tua murid, dengan segala keterbatasannya, juga melihat bahwa sekolah adalah

sebuah oasis dalam kehidupan mereka, sebuah harapan bagi masa depan anak mereka dalam dua

segi. Segi yang pertama, dengan kehadiran SMA Negeri 35, mereka memperoleh akses kepada

pendidikan yang baik dengan biaya yang sangat terjangkau. Ada murid-murid yang bersekolah

dengan uang sekolah di bawah biaya rata-rata dan bahkan secara gratis. Dengan demikian mereka

mengharapkan anak-anak mereka akan dapat memiliki kualitas kehidupan yang lebih baik

daripada diri mereka sendiri. Segi yang kedua, orang tua juga mengatakan kepada guru-guru

Page 76: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

62

bahwa lebih baik anak mereka bersekolah daripada menganggur dan tidak ada pekerjaan serta

memiliki pergaulan yang salah. Jadi, sekolah juga dipandang sebagai sebuah alternatif

penyelamat dari kemungkinan pergaulan yang salah di masa remaja anak-anak mereka.

Kedua guru yang diwawancarai adalah guru-guru senior yang keduanya telah mengajar di

sekolah ini sejak tahun 1981. Mereka telah melihat SMA Negeri 35 beranjak dari sekolah yang

murid-muridnya sering terlibat perkelahian hingga menjadi sekolah unggulan. Menurut R11

penyelenggaraan pendidikan di sekolah ini memiliki tanggung jawab yang lebih daripada sekedar

memberikan ilmu sesuai tuntutan kurikulum. Di satu sisi, di sekolah ini sudah diciptakan sebuah

proses belajar yang luar biasa di mana murid-murid yang masuk dalam keterbatasan prestasinya

bisa dibina sehingga pada saat kelulusan prestasinya terbukti sebanding dengan SMA-SMA yang

memiliki masukan murid-murid dari kelas menengah-atas seperti SMA Negeri 70 dan 78.

Bahkan, ada seorang murid yang orang tuanya hanya tukang cuci berhasil dibina hingga menjadi

juara di tingkat olimpiade.

Tetapi itu tidaklah cukup bagi guru-guru di sekolah ini. Menyadari bahwa suatu jumlah

yang signifikan dari anak-anak murid mereka ini tidak akan melanjutkan ke jenjang pendidikan

yang lebih tinggi, mereka pun membekali murid-murid ini dengan keterampilan praktis seperti

teknik-teknik reparasi alat-alat elektronik sehingga memberikan mereka bekal tambahan dalam

upaya mereka untuk hidup mandiri di tengah keterbatasan orang tua mereka.

Jadi, sejauh ini kita melihat bahwa tujuan penyelenggaraan sekolah di SMA Negeri 35 ini

sangat beragam dilihat dari berbagai kacamata pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Para orang

tua berpikir ini adalah harapan bagi anak mereka untuk memperoleh pendidikan yang lebih baik,

tetapi juga sebagai pengaman agar anak mereka jangan sampai terjatuh ke pergaulan yang salah.

Di antara murid-murid ada yang bisa melihat masa SMA ini dalam kaitannya dengan rencana

masa depan mereka, tetapi ada juga yang hanya melihat pentingnya ijazah yang akan diperoleh

Page 77: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

63

sebagai kunci untuk membuka kesempatna memperoleh penghidupan yang lebih baik. Bagi para

guru, ini adalah bentuk tanggung jawab mereka untuk membina murid yang mereka terima

dengan kualitas akademik yang terbatas di kelas X menjadi murid-murid unggulan di kelas XII,

tetapi juga secara realistis dibekali dengan keterampilan praktis karena sebagian besar dari murid-

murid ini akan langsung memasuki dunia kerja selepas SMA.

4.2.1.3 Kebernilaian Ilmu-Ilmu

Saat berbicara mengenai persepsi terhadap kebernilaian ilmu-ilmu, pendapat yang

diutarakan terbagi ke dalam dua kelompok. R12 menyetujui pandangan umum bahwa IPA secara

inheren lebih unggul sehingga menjadi lebih bergengsi dibandingkan IPS. Hal ini, menurutnya

terlihat dari keunggulan murid-murid IPA di dalam bernalar dan berpikir secara sistematis,

sementara murid-murid IPS cenderung lebih lambat di dalam berpikir.

Seorang murid, R14, ketika ditanyakan pertanyaan-pertanyaan seputar inferioritas ilmu-

ilmu sosial mengatakan bahwa IPA, IPS dan Bahasa sama saja, tetapi di dalam jawaban-jawaban

yang diutarakannya sejumlah ketidaksinkronan. Misalnya, ketika ditanyakan apakah di antara

teman-temannya di jurusan Bahasa ini ada yang disesalkan orang tuanya karena masuk jurusan

Bahasa, ia menjawab bahwa tidak ada. Tetapi, ketika ditanyakan apakah ada di antara teman-

temannya yang dipaksa orang tuanya pindah ke jurusan lain, ia menjawab, ―Ada. Banyak.‖

Nampaknya, ketidaksinkronan yang terjadi disebabkan oleh lemahnya penguasaan bahasa oleh

siswa ini dan terbatasnya kosa katanya. Ketika ditanya apakah ada perasaan terbuang di antara

murid-murid jurusan Bahasa, ia menjawab, ―Pertamanya, ya. Terus dirembukin, dibuat kayak …

gimana sih, pokoknya kita nggak boleh kalah … gitu deh.‖ Kendati jawaban yang diberikan oleh

R14, dari keseluruhan wawancara nampak bahwa sebenarnya keunggulan jurusan IPA

Page 78: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

64

dibandingkan jurusan lainnya terasa, tetapi hal itu dicoba untuk disangkalinya karena ia adalah

bagian dari mereka yang merasa terbuang itu.

Pandangan lainnya, diutarakan oleh responden-responden R11 dan R13, menyatakan bahwa

di masyarakat umum memang pandangan itu ada dan di dalam komunitas sekolah pun ada, tetapi

tugas merekalah sebagai guru dan sebagai murid jurusan IPS untuk membuktikan bahwa

anggapan itu tidak benar. Mereka memandang bahwa komunitas sekolah tidak sepatutnya

menjadi korban dari label-label yang diberikan oleh pihak di luar sekolah.

SMA Negeri 35 memiliki komposisi guru yang proporsional, terdiri dari guru-guru senior

yang sudah mengajar 30-an tahun dan guru-guru yang muda pula. Sebagian besar dari guru-guru

muda yang diterima adalah para alumni dari SMA ini juga. Dari para murid didapati bahwa tidak

terjadi perbedaan persepsi terhadap kualitas guru-guru IPA, IPS dan Bahasa. Setiap guru dihargai

sebagai profesional-profesional yang kompeten dalam mata pelajaran yang diampunya. Maka,

faktor guru pun tidak mempengaruhi keputusan seorang murid maupun orang tuanya ketika

memilih jurusan di kelas X.

Ketika ditanyakan apakah benar kalau dikatakan, ―IPA bernalar, IPS menghafal,‖ hanya

R12 yang menyetujuinya sedangkan responden yang lain menyangkalnya. Mereka berpendapat

bahwa walaupun pelajaran IPS didominasi dengan menghafal tetapi banyak ada pelajaran-

pelajaran tertentu seperti Ekonomi dan Akuntansi yang membutuhkan penalaran yang berbeda

dari penalaran yang diajarkan di IPA. Lagi-lagi, kecuali R12, para responden beranggapan bahwa

IPA dan IPS memiliki bidang keahlian yang berbeda sehingga tidak bisa disamaratakan bahwa

dalam segala hal murid-murid jurusan IPA bisa dikatakan lebih hebat daripada murid-murid

jurusan IPS.

Page 79: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

65

4.2.1.4 Peranan Studi dalam Meraih Cita-Cita

Pada saat pemilihan jurusan, ternyata kebanyakan murid belum memiliki gambaran yang

jelas ke mana ia akan melanjutkan studinya atau bagaimana jurusan yang dipilihnya bisa

membantu dia untuk menekuni bidang pekerjaan tertentu. Kedua murid yang diwawancarai,

hingga di kelas XII saat wawancara terjadi, juga belum memutuskan jurusan apa yang akan

diambilnya saat memasuki dunia Perguruan Tinggi. Pemilihan jurusan di Perguruan Tinggi

nampaknya memang terjadi pada kurun waktu yang sangat akhir dari masa studi seorang murid di

SMA. Tetapi, dari data alumni ditemui bahwa para murid dari jurusan IPA pun banyak yang

kemudian masuk ke fakultas ekonomi, suatu jurusan yang sebenarnya bisa diraih dengan

mengambil jurusan IPS di SMA.

Dari kedua orang murid yang diwawancarai, R13 dan R14 memiliki sikap dan harapan

yang berbeda terhadap sekolah. R13 memiliki orang tua yang mampu mengarahkan dia untuk

menimbang-nimbang berbagai kemungkinan studi lanjutan sejak dini sehingga ia sudah memiliki

perencanaan yang baik terhadap kelanjutan studinya dan bisa melihat studinya di SMA ini

sebagai bagian dari rencana masa depannya. R14, sebaliknya, pada kelas XII pun tidak bisa

menjabarkan dengan baik rencananya dan bagaimana ia melihat masa studinya ini sebagai

sesuatu yang penting untuk mendukung kehidupannya di masa mendatang. R14 memandang

bahwa yang penting adalah memperoleh ijazah. Setelah itu, selebihnya urusan belakangan. Ia

juga tidak melihat perlunya ada kesinambungan antara kuliah yang hendak ditempuhnya dengan

bidang pekerjaan yang hendak ia jalani.

4.2.1.5 Peran Pemerintah

Peran pemerintah di dalam pendidikan, menurut para responden, yang paling nyata adalah

seringnya pemerintah mengubah-ubah kurikulum dan membuat kebijakan-kebijakan yang tidak

Page 80: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

66

berpijak pada kenyataan dunia pendidikan. Pemerintah nampaknya juga tidak mempunyai

rencana jangka panjang terhadap pengelolaan kurikulum dari jurusan-jurusan yang ada dengan

tujuan yang lebih luas di luar dunia pendidikan. Pendidikan dikondisikan pemerintah lebih

sebagai sarana diseminasi informasi daripada sarana pembentukan pola pikir.

4.2.2 Wawancara di SMAK 3 BPK Penabur

Guru-guru yang diwawancarai adalah Wakil Kepala Sekolah bidang Kurikulum (R21) dan

seorang guru senior (R22), sedangkan murid-murid yang diwawancarai adalah murid kelas XII

IPS (R23) dan kelas XII IPA (R24).

4.2.2.1 Keadaan Sekolah

Sekolah ini terletak di daerah Senen dan demografi orang tua muridnya kebanyakan adalah

para pengusaha yang berhasil dalam dunia bisnis, tetapi mereka sendiri tidak memiliki

pendidikan yang terlalu tinggi. Hal ini menimbulkan kombinasi tersedianya dana yang memadai

bagi anak-anak mereka untuk memperoleh sumber-sumber belajar yang baik dan juga peluang

untuk melanjutkan studi ke universitas-universitas yang baik, sementara para orang tua murid itu

sendiri kurang memahami seluk-beluk dunia pendidikan.

4.2.2.2 Tujuan Bersekolah

Dengan kondisi demografi di atas, maka tujuan pendidikan yang didapat dari para guru

maupun murid di sekolah ini sangat seragam: untuk mempersiapkan murid memasuki dunia

Perguruan Tinggi. Semua murid SMAK 3 BPK Penabur melanjutkan studinya ke jenjang

Perguruan Tinggi. Yang menjadi pertanyaan bagi murid-murid ini adalah ke jurusan apa dan di

universitas mana mereka harus melanjutkan studi mereka.

Page 81: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

67

Murid-murid memilih jurusan mereka saat kenaikan kelas dari kelas X ke kelas XI. Di awal

tahun ajaran orang tua sudah diinformasikan apa persyaratan murid untuk masuk ke masing-

masing jurusan. Sepanjang tahun ajaran, ―dalam kondisi normal‖, orang tua bertemu dengan

pihak sekolah sebanyak tiga kali: pada saat pembagian rapor tengah semester ganjil, pembagian

rapor semester ganjil dan pembagian rapor tengah semester genap. Dalam masa itu wali kelas

maupun guru BK telah memiliki kesempatan berulang kali mendiskusikan perkembangan murid.

Sekolah ini menyediakan satu orang guru BK untuk masing-masing angkatan sehingga seorang

murid akan memiliki satu orang guru BK selama masa studinya yang terus memperhatikan dia

dan memantau perkembangannya. Pada saat penjurusan diadakan pada kenaikan kelas X ke kelas

XI, pendekatan yang bertahap ini diharapkan sudah cukup baik untuk menentukan jurusan terbaik

untuk murid.

4.2.2.3 Kebernilaian Ilmu-Ilmu

Satu hal yang unik di SMAK 3 BPK Penabur ini menjadi nyata melalui tiga dari empat

responden, yaitu R21, R22 dan R23, ialah keengganan murid-murid untuk mengambil jurusan

IPA. Baik R21 yang adalah guru Ekonomi maupun R22 yang adalah guru Biologi menyayangkan

banyaknya murid-murid yang sebenarnya berbakat di dalam pelajaran-pelajaran sains tetapi

memilih masuk IPS karena pendekatan mereka yang ―sangat realistis‖, yaitu mereka sudah tahu

bahwa akan melanjutkan studi ke fakultas ekonomi atau ke fakultas-fakultas lain yang tidak

membutuhkan pendidikan di jurusan IPA, sehingga mereka bisa lebih fokus sejak awal dan juga

mereka tidak perlu melalui tuntutan jurusan IPA yang lebih berat. R23 adalah salah satu murid

semacam itu, yang sebenarnya disarankan untuk masuk ke jurusan IPA tetapi malah memilih IPS.

Tetapi di sisi lain tak disangkali, ada juga murid-murid yang ingin masuk ke jurusan IPA

tetapi tidak diterima. R21 mengatakan:53

Page 82: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

68

R21 : Kita harus sadar juga ya, ini istilahnya kan adaptasi juga. Kita juga musti tahu diri.

Tujuannya dia masuk sekolah itu pasti, siapa pun dia, ditanya maunya ke mana, pasti

jawabnya mau ke IPA. Kenapa? Karena IPA itu kan pilihannya jauh lebih leluasa

dibanding kalau dia IPS.

Hal itu jugalah yang diutarakan oleh R24, bahwa pada saat ia di kelas X ia ingin masuk IPA

bukan karena ia sudah yakin akan kuliah Kedokteran seperti halnya pada saat wawancara ini

dilangsungkan, tetapi karena dengan masuk ke jurusan IPA ia akan memiliki pilihan jurusan yang

lebih luas. R24 bahkan mengatakan nampaknya memang murid-murid yang memilih jurusan IPA

banyak yang belum tahu ia akan melanjutkan studinya ke bidang apa sehingga mereka masuk ke

jurusan IPA semata-mata sebagai pengaman agar ketika mereka mengetahui di mana bakat dan

minatnya mereka bisa menempuh bidang itu.

Menilik persepsi terhadap kebernilaian IPA dan IPS, R21 mengungkapkan bahwa fakta

yang tak terhindarkan adalah, ―Kalau kamu mau masuk IPA dan nggak bisa, kemudian kamu lari

ke IPS, kamu itu anak buangan.‖54

Tetapi itu tidak berarti bahwa IPS itu secara inheren adalah

jurusan buangan. IPA dan IPS adalah jurusan yang masing-masing memiliki wilayah

keilmuannya sendiri. Ditilik dari guru-gurunya, nampak bahwa murid-murid menghargai semua

guru secara setara. Baik guru-guru IPA maupun IPS dipandang sebagai guru-guru yang ahli di

bidangnya. ―Masing-masing jurusan punya ‗dewa‘-nya masing-masing,‖ demikian tutur R22.

Maka, faktor guru sebagai alasan memilih atau tidak memilih jurusan tertentu tidaklah terlalu

berpengaruh.

Dengan peranan guru BK yang intensif sebagaimana dipaparkan di atas dan faktor guru

yang tidak terlalu berpengaruh dalam pemilihan jurusan, maka perhatian berikutnya diarahkan

kepada orang tua murid. Ternyata, orang tua murid memiliki peranan yang cukup berarti dalam

pemilihan jurusan. Walaupun R23 menyatakan bahwa ia sudah memilih dengan jelas ke mana ia

akan melangkah baik di SMA maupun di Perguruan Tinggi dan pilihannya itu tidak banyak

Page 83: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

69

dipengaruhi oleh guru-guru maupun orang tuanya, tetapi ia mengakui juga bahwa kondisinya itu

tidaklah dinikmati sejumlah temannya. Ada juga teman-temannya yang dipaksa oleh orang

tuanya untuk masuk ke jurusan IPA. R24 sendiri adalah salah satu murid yang dipaksa oleh orang

tuanya untuk memilih jurusan IPA dan kemudian kuliah di Fakultas Kedokteran. Hal ini

menunjukkan masih dominannya pandangan bahwa IPA adalah pilihan yang lebih baik dalam

studi di SMA, baik ―karena gengsinya‖ sebagaimana dituturkan oleh R21 maupun karena pintu

yang lebih lebar yang dibukakannya di Perguruan Tinggi, sebagaimana dituturkan oleh R24.

4.2.2.4 Peranan Studi dalam Meraih Cita-Cita

Kondisi ekonomi SMAK 3 BPK Penabur yang cukup mapan menambahkan satu variabel

ke dalam perbincangan yang terjadi, yaitu tempat les. Tempat les menjadi substitusi sekolah bagi

sejumlah murid dan orang tua murid. Dengan dihapuskannya peraturan yang membatasi jurusan

di SMA dalam mengakses jurusan-jurusan tertentu di Perguruan Tinggi, maka murid dari jurusan

IPS pun kini boleh mengikuti tes masuk Fakultas Teknik, Fakultas Kedokteran dan semua

fakultas lainnya yang sebelumnya hanya bisa diakses dengan ijazah SMA jurusan IPA. Kondisi

ini ternyata membuat murid-murid yang tidak diterima di IPA tetapi tetap ingin masuk ke FT

maupun FK untuk menjalani studi SMA-nya di jurusan IPS sambil mengikuti bimbingan belajar

yang mempersiapkannya untuk berhasil dalam tes masuk di Perguruan Tinggi.

Dalam kondisi yang demikian, maka SMA hanya dijalani untuk mendapatkan legalitas

berupa ijazah sedangkan penguasaan materi didapat dari tempat bimbingan belajar. Bahkan, ada

pula murid yang sengaja mengambil jurusan IPS sehingga memiliki tuntutan studi yang lebih

ringan dan mengimbanginya dengan bimbingan belajar yang memberikan materi tanpa banyak

menuntut latihan dan tugas. Dituturkan oleh R22, ―Kalau memang dia punya kemampuan, tidak

Page 84: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

70

apa-apa ya. Karena prinsip dasarnya yang katanya SMA itu memberikan dasar nggak juga kok

ya. Karena di awal masuk PT mereka semua ilmu juga dimatrikulasi lagi kan?‖55

Jadi, dapat dikatakan banyak murid masuk ke jurusan IPA karena ia belum mengetahui

dengan jelas bidang apa yang hendak ditekuninya di Perguruan Tinggi dan dalam pekerjaan.

Dengan demikian mereka masuk ke IPA untuk berjaga-jaga saja dan banyak lulusan SMA

jurusan IPA yang kemudian melanjutkan ke fakultas ekonomi. Sebaliknya, ada juga murid-murid

yang masuk ke jurusan IPS, memanfaatkan kebijakan pemerintah yang membebaskan murid dari

jurusan apa pun di SMA untuk masuk ke jurusan apa pun di Perguruan Tinggi dengan

mengkoplemenkan studinya di SMA dengan bimbingan les. Dengan kondisi ini, artinya studi di

SMA dibutuhkan terutama untuk legalitas ijazahnya, tetapi penguasaan materi yang dibutuhkan

untuk melanjutkan studi di Perguruan Tinggi dapat dilepaskan dari ―paket‖ SMA itu dan

diperoleh dari tempat lain. Kalau begitu, apa kelebihannya seorang murid masuk ke jurusan IPA?

R21 mengatakan, ―Bagaimana pun juga, logika anak IPA berbeda dengan logika anak IPS.‖

Hal ini diimbangi di SMAK 3 BPK Penabur dengan penekanan yang kuat pada analisis di

dalam pelajaran. Baik para guru maupun murid yang diwawancarai menyatakan bahwa seorang

murid yang masuk ke jurusan IPA tidak berarti dia akan bisa mengerjakan soal-soal dari jurusan

IPS sebagaimana halnya sebaliknya. R21 sendiri mengatakan bahwa walaupun logika murid IPA

lebih terlatih daripada logika murid IPS, ia katakan ia menjamin bahwa soal-soal yang

diberikannya dalam pelajaran Ekonomi dan Akuntansi tidak bisa dengan fasih dikerjakan oleh

murid IPA karena dibutuhkan pola berpikir yang berbeda, pendekatan yang bukan matematis saja

tetapi juga ekonomis dan pendekatan akuntansi.

Page 85: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

71

4.2.2.5 Peran Pemerintah

Menurut para responden, peranan pemerintah dalam pengaturan jurusan-jurusan yang ada

di SMA maupun di Perguruan Tinggi nampak penting justru dengan pembebasan pembatasan

akses jurusan di Perguruan Tinggi berdasarkan jurusan yang ditempuh seorang murid di SMA.

4.2.3 Wawancara di Sekolah Pelita Harapan, Bukit Sentul

Guru-guru yang diwawancarai di SPH Bukit Sentul adalah Wakil Kepala Sekolah (R31)

dan seorang guru ilmu-ilmu sosial (R32), sedangkan murid-murid yang diwawancarai adalah

seorang murid kelas XII IPS (R33) dan seorang murid kelas XII IPA (R34).

4.2.3.1 Keadaan Sekolah

SPH merupakan sebuah sekolah yang sangat elit dengan fasilitas sekolah yang terletak di

lahan yang berhektar-hektar, sementara jumlah murid per angkatannya hanya sekitar 50 orang.

Hampir semua murid yang bersekolah di SPH berencana melanjutkan studinya ke luar negeri.

4.2.3.2 Tujuan Bersekolah

Kedua murid yang diwawancarai mengatakan bahwa mereka dipindahkan oleh orang

tuanya dari sekolah-sekolah lain yang mereka sendiri pandang lebih berkualitas dibandingkan

sekolah ini. R33 dipindahkan oleh orang tuanya ke sekolah ini karena status sekolah ini yang

adalah sekolah nasional plus dan karena ia akan dikirimkan ke luar negeri. R34 dipindahkan oleh

orang tuanya karena terlalu banyak terlibat dalam kegiatan ekstra kurikuler di sekolah

sebelumnya dan dianggap tidak bisa menyeimbangkan waktu belajar dan waktu untuk kegiatan

ekstra kurikuler. Jalur studi kedua murid ini sudah direncanakan dengan baik oleh orang tua

Page 86: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

72

mereka masing-masing tanpa mereka sendiri terlibat dengan terlalu aktif dan kendati mereka

berpikir bahwa sekolah mereka sebelumnya adalah sekolah yang lebih unggul.

Menurut R31, dorongan orang tua kepada anak-anaknya di sekolah ini memang sangat

kuat. Orang tua seringkali sudah menyiapkan rencana yang sangat matang untuk anaknya,

termasuk antara lain mengirimkan anaknya selepas dari sekolah ini ke universitas-universitas

yang sangat bergengsi dan sangat mahal, seperti Harvard, padahal anaknya sendiri tidak memiliki

dorongan yang sekuat itu. R32 mengutarakan pandangan yang menarik mengenai sekolahnya

sendiri bahwa kalau orang tua mencari keunggulan akademis, mereka tidak akan mengirimkan

anak mereka ke sekolah ini, suatu pandangan yang sejalan dengan penuturan kedua murid yang

diwawancara. Jadi, menurut R32, orang tua yang mengirimkan anaknya ke sekolah ini mencari

pembentukan sebuah ―visi yang khas SPH‖ yang dijabarkannya sebagai cara memandang

masalah dan upaya memecahkan masalah itu dengan melihat tanggung jawab dan kontribusi

pribadi masing-masing dalam sistem yang bermasalah.

4.2.3.3 Kebernilaian Ilmu-Ilmu

Di SPH ditawarkan kurikulum IBO (International Baccalaureate Organization) dan

kurikulum nasional Indonesia. Berdasarkan kurikulum IBO, ada MYP (middle years programme)

yang setara dengan kelas VI-X di kurikulum nasional dan DP (diploma programme) yang setara

dengan kelas XI-XII. Maka, pada tingkat SMA, murid-murid menjumpai tiga pilihan: DP, IPA

atau IPS. Dengan adanya pilihan DP, maka DP menjadi jurusan yang dipandang lebih bergengsi

dibandingkan jurusan-jurusan yang tersedia pada Kurikulum Nasional.

Dalam wawancara yang dilakukan dengan R31, nampak sangat jelas bahwa keunggulan

IPA terhadap IPS adalah suatu hal yang diterima dengan sangat baik di SPH dan tidak ada suatu

upaya yang gamblang untuk mengatasi itu. Sebagai wakil kepala sekolah, R31 menyatakan:

Page 87: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

73

R31 : Kalau anak bisa dan dia mau, bahasa Inggrisnya dan nilai-nilainya, maka dia akan

masuk ke IB Diploma. Kalau tidak bisa, dilihat lagi apakah bisa masuk IPA. Kalau dia

tidak bisa masuk IB Diploma maupun IPA, dia akan masuk IPS. Sebetulnya itu sendiri

sudah memperlihatkan bahwa seolah-olah IPS itu pilihan ketiga.

Hal yang sama terjadi juga di masyarakat luas sehingga tidak ada sesuatu yang istimewa pada

kenyataan ini, demikian tutur R31. Ada pengecualian-pengecualian pada murid-murid yang

sebenarnya bisa masuk ke dalam DP tetapi memilih IPA atau IPS karena berencana melanjutkan

studi ke bidang-bidang yang S1-nya harus diambil di Indonesia, yaitu kedokteran dan hukum.

Murid-murid yang diwawancarai mencerminkan dengan jelas apa yang juga diutarakan

oleh guru mereka. R33 misalnya, mengutarakan bahwa IPA dan IPS sebenarnya sama-sama

menghafal: ―IPA menghafal rumus, IPS menghafal buku‖56

. Menurutnya di IB-lah terjadi

pembelajaran yang tidak mengutamakan proses menghafal. R34 menyatakan bahwa dari

pelajaran-pelajaran gabungan antara IPA dan IPS, saat pertanyaan diajukan oleh guru, murid-

murid IPA cenderung berpikir dulu sebelum menjawab sedangkan murid-murid IPS menjawab

dulu sebelum berpikir.

Persepsi keunggulan IPA dibandingkan IPS dipandang terjadi karena IPA menuntut

keahlian menghitung yang lebih tinggi dibandingkan IPS, sedangkan pelajaran IPS cenderung

hanya hafal-menghafal yang bisa dilakukan oleh semua orang. Hal ini diperkuat lagi dengan

kenyataan bahwa jika ada murid yang bermasalah di sekolah dan membutuhkan konseling, maka

konselingnya akan dilakukan di jam pelajaran IPS. R31, seorang guru Kimia, menyatakan bahwa

hal itu terjadi karena dipandang murid bisa mengejar sendiri ketertinggalannya dari sebuah

pelajaran IPS sedangkan jika murid tertinggal dari pelajaran IPA akan sulit bagi murid itu untuk

mengejar ketertinggalannya sendiri. Ia sendiri sebagai guru Kimia tidak akan mengizinkan murid

untuk dipanggil di jam pelajarannya:57

Page 88: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

74

P : Tapi ketika ada anak yang bermasalah ....

R31 : Ya, bisa dipanggil khusus, dikonseling.

P : Pada jam tertentu? Saat pulang sekolah?

R31 : Ya biasanya kita panggil dia di jam-jam social sciences karena dianggap dia bisa

menyusul sendiri ketertinggalannya. Kalau dipanggil di jam sciences, itu kan harus

diajarkan dulu baru bisa mengerti. Saya sendiri sebagai guru Chemistry, biasanya saya

juga tidak izinkan anak dipanggil pada jam saya. Kalau anaknya sudah lemah, masih

dipanggil di jam sciences, makin kasihan dia.

Hal ini menunjukkan dengan sangat jelas bahwa superioritas IPA terhadap IPS diterima sebagai

kenyataan apa adanya oleh sekolah dan diperkuat pula oleh sikap guru-guru dalam praktek

pendidikan sehari-hari.

R31 berpandangan bahwa keadaan ini bisa diatasi dengan cara memberikan Matematika

kepada murid-murid jurusan IPS, satu hal yang tengah dicoba oleh pemerintah. Dengan

Matematika diajarkan dan diujikan juga pada ujian nasional untuk kelas XII IPS, maka

kesetaraan itu menjadi dapat diwujudnyatakan. Wujud nyata dari kesetaraan itu antara lain adalah

diizinkannya murid-murid lulusan IPS untuk berkuliah di Fakultas Teknik dan fakultas-fakultas

lain yang sebelumnya hanya dibatasi untuk lulusan IPA. Jadi, kesetaraan dan ketidaksetaraan itu

ada pada Matematika:58

R31 : Sekarang, kecenderungan yang terakhir ini, orang dari pemerintah mungkin berpikir

juga bahwa anak IPS tidak boleh dianggap nomor dua. Mereka juga harus tahu

Matematika. Jadi dua tahun ke belakang mereka juga diajar Matematika lagi dan tahun

ini di-ebtanas-kan lagi. Jadi sepertinya ini upaya pemerintah untuk membuat anak IPS

menjadi setara dengan anak IPA. Jadi orang dari IPS juga boleh masuk arsitektur

karena dia sudah ada Matematika. Dulunya mungkin hanya IPA yang bisa.

Sebagai sebuah sekolah dengan jumlah murid yang terbilang sedikit, guru-guru yang

mengajar di SPH mengajar lintas kurikulum: baik di IPA, IPS, maupun IB Diploma juga. Dengan

demikian tidak dapat ditanyakan bagaimana persepsi murid-murid terhadap kualifikasi guru-guru

di masing-masing jurusan. Namun, SPH tidak menuntut guru-gurunya untuk memiliki latar

belakang pendidikan formal dalam ilmu pendidikan maupun Akta 4. Bahkan, seorang guru tidak

Page 89: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

75

perlu memiliki latar belakang pendidikan formal sesuai dengan mata pelajaran yang diampunya.

R31 mengatakan yang penting adalah ketika belajar, orang mengambil dasar ilmunya dan pada

saat bekerja ia terus belajar lagi; yang lebih penting adalah kompetensi guru yang bersangkutan

di bidang itu dan apakah ia ―terus update dengan apa yang current.‖

Jadi, di SPH keunggulan IPA dibandingkan IPS adalah suatu hal yang diterima apa adanya

sebagaimana yang terjadi di masyarakat. Kondisi ini tidak dicoba untuk diperbaiki, tetapi

perbandingan tersebut tidak terlalu drastis karena adanya pilihan DP pada kurikulum IBO yang

membuat perbedaan antara IPA dan IPS menjadi tidak terlalu kentara.

4.2.3.4 Peranan Studi dalam Meraih Cita-Cita

Berbicara mengenai keterkaitan dengan lapangan pekerjaan, bagi murid-murid SPH yang

berasal dari keluarga yang sangat mampu ternyata pendidikan mereka sangat banyak diurusi oleh

orang tua mereka yang sudah membuat perencanaan ke mana mereka akan studi dan apa yang

perlu mereka tekuni. Kondisi hidup mereka membuat guru-guru harus terus-menerus memberikan

motivasi yang besar agar murid-murid memiliki daya juang dan semangat belajar yang tinggi.

Korelasi antara pelajaran yang ditekuni dengan bidang pekerjaan yang ditekuni nampaknya

bukanlah suatu hal yang mendesak untuk diperhatikan oleh murid-murid ini karena adanya

kesempatan yang begitu besar untuk mencoba-coba berbagai hal di dalam kehidupan mereka

dengan sumber daya yang tersedia bagi mereka. R33 misalnya, dalam memutuskan untuk

mengambil jurusan IPS hanya berpikir bahwa ia akan melanjutkan studinya di luar negeri dan

bertanya apakah lulusan IPS bisa studi ke luar negeri. Mendapat jawaban ―ya‖, maka ia pun

mengambil jurusan IPS yang dipandangnya sebagai jurusan yang paling santai sehingga ia bisa

―menikmati masa muda‖-nya tanpa berpikir apa yang akan ia dalami kelak.

Page 90: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

76

R34 yang berencana melanjutkan studinya di Indonesia mengutarakan pandangan orang tua

bahwa murid jurusan IPA dipandang lebih mudah melanjutkan studi:59

P : Kalau begitu, selain dari guru, apakah menurut Cindie dalam pemilihan jurusan ada

peranan orang tua?

R34 : Ada. Saya contohnya, kan peranan orang tua. Orang tua saya kurang mengizinkan saya

ke IPS.

P : Kenapa?

R34 : Karena kalau IPA dari segi kalo mau masuk kuliah lebih gampang mau masuk ke

mananya. Daripada susah nanti, mending sekarang saja susahnya.

P : Jadi bisa tidak kalau saya katakan pada umumnya anak-anak IPS mungkin justru lebih

tahu mereka mau ke jurusan mana daripada anak-anak IPA?

R34 : Nggak juga sih. Karena dapetnya IPS, ya ke IPS, tapi kayaknya kalau dapet IPA,

semua akan ke IPA.

Jadi, keadaan orang tua murid yang berasal dari kalangan sangat berada menyebabkan

tersedianya pilihan yang sangat banyak dalam kehidupan murid-murid dengan sumber daya yang

berlimpah. Hal ini membuat murid kurang terlibat di dalam perencanaan studinya sendiri dan

pertanyaan-pertanyaan mengenai korelasi antara studi yang tengah dijalani dengan rencana yang

mereka miliki menjadi tidak relevan. Kurikulum IBO yang ditawarkan merupakan nilai jual yang

penting bagi sekolah ini karena memungkinkan orang tua mempersiapkan anak mereka melalui

jalur pendidikan yang sudah mereka rencanakan, sementara sang anak hanya tinggal mengikuti

arahan orang tuanya dalam menempuh jalur-jalur pendidikan di luar negeri.

4.2.3.5 Peran Pemerintah

Peran pemerintah dalam pengelolaan pendidikan yang dirasakan positif adalah penambahan

mata pelajaran Matematika pada jurusan IPS di SMA sehingga meningkatkan kesetaraan gengsi

antara jurusan IPA dan IPS. Kehadiran Matematika dalam sebuah jurusan dipandang sebagai

pendefinisi seberapa bernilai jurusan tersebut dibandingkan jurusan lainnya.

Page 91: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

77

4.2.4 Wawancara di SMA Katholik Tarakanita 1

Wawancara di SMA Katholik Tarakanita 1 dilakukan dengan Kepala Sekolah (R41), Wakil

Kepala Sekolah bidang Kesiswaan (R42), seorang murid kelas XII Bahasa (R43) dan seorang

murid kelas XI IPS (R44).

4.2.4.1 Keadaan Sekolah

SMA Tarakanita 1 adalah sekolah Katholik yang diselenggarakan khusus untuk murid-

murid perempuan. Terletak di kawasan yang sangat rawan banjir, sekolah ini setiap tahunnya

mengalami banjir yang parah. Tetapi, kendati demikian, minat orang tua murid untuk

menyekolahkan anaknya di tempat tetap sangat tinggi. Formulir pendaftaran yang terjual setiap

tahunnya selalu melampaui kapasitas belajar yang ada.

Menurut R41, para alumni SMA Tarakanita 1 di universitas-universitas dikenal sebagai

mahasiswa-mahasiswa yang memiliki kepemimpinan yang kuat di samping keunggulan

akademis. Ini adalah salah satu kekuatan SMA Tarakanita 1. Hal ini dikondisikan menggunakan

kegiatan-kegiatan ekstra kurikuler yang tersedia dalam pilihan yang sangat beragam (pada saat

wawancara ini dilakukan, ada 15 buah) dan harus dipilih oleh murid serta ditekuni secara serius.

Kegiatan-kegiatan ekstra kurikuler sedemikian dikenal luas sehingga tidak hanya satu-dua murid

yang masuk ke SMA Tarakanita 1 bukan karena keunggulan akademisnya, tetapi karena kegiatan

ekstra kurikulernya.

4.2.4.2 Tujuan Bersekolah

Tujuan murid masuk ke sekolah ini terdiri dari tiga macam: 1) karena keunggulan

akademisnya secara umum, 2) karena ingin mengambil jurusan Bahasa yang memang sangat

terbatas pilihannya di Indonesia dan di sekolah ini ditawarkan sebuah jurusan Bahasa berkualitas

Page 92: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

78

baik, dan 3) karena tertarik dengan kegiatan-kegiatan ekstra kurikuler yang ditawarkan. Hal-hal

ini diakui oleh para responden dalam wawancara ini.

Orang tua yang pada umumnya berpendidikan baik terlibat cukup dalam dalam pemilihan

jurusan untuk anak-anak mereka. Menurut R44, bagi orang tuanya bersekolah adalah sebuah

persiapan untuk masuk ke Perguruan Tinggi, tetapi tidak berarti sebuah persiapan yang spesifik

sesuai dengan jurusan yang akan ditekuni di Perguruan Tinggi. Masa SMA adalah sekedar masa

persiapan sebaik mungkin, untuk membuka peluang terhadap kemungkinan-kemungkinan yang

tersedia di masa depan:60

R43 : ... kan banyak orang tua yang ingin anaknya IPA atau banyak yang mikir anaknya

SPMB kan kalau dari jurusan IPA lebih gampang masuk ke semua jurusan kan,

mungkin gara-gara hal itu.

4.2.4.3 Kebernilaian Ilmu-Ilmu

Dalam hal penjurusan IPA dan IPS, sekolah ini pernah mengalami masa di mana

superioritas IPA benar-benar terasa dalam kehidupan di sekolah. Bukan saja hal itu dirasakan

oleh murid-murid, tetapi guru-guru IPS pun merasa dipandang sebagai guru-guru kelas dua

sehingga untuk menentukan penjurusan murid-murid, diperlukan dua rapat yang terpisah: rapat

kenaikan kelas oleh semua guru dan rapat penjurusan oleh guru-guru tertentu. Hingga saat

wawancara ini dilaksanakan, seorang murid responden, R43, mengungkapkan bahwa suasana

superioritas yang ditunjukkan oleh guru-guru IPA dibandingkan guru-guru lainnya masih

terasa:61

P : Selama ini kan suka ada pandangan IPA itu superior, bahkan Bahasa karena jarangnya,

jadi ada orang yang bahkan tidak tahu ada jurusan Bahasa. Apakah Nindi masih

merasakan ada pandangan seperti itu?

R43 : Ya banget. Maksudnya sampe sekarang pun dari pihak guru ada sih beberapa yang

ibaratnya, kayaknya, apa sih, dari pihak sekolah aja, ―Kalian jangan kecil hati ...‖, tapi

kenyataannya kan tuh pas penjurusannya kan mustinya dibuat sesuai minat, tapi dalam

praktek ada juga yang minatnya apa yah ... ya tahu sih maksudnya kalau maksud IPA

kan ke semua jurusan lain juga bisa, t‘rus yang jelekannya dikit ke IPS, t‘rus yang

nggak bisa ke mana-mana ke Bahasa.

Page 93: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

79

...

P : Terlihatkah sikap beberapa guru itu dengan jelas?

R43 : Ada, kelihatan. Waktu kelas 1 kayak guru-guru IPA, kayak guru Kimia gitu, ―Ah,

remed-remed melulu sama saya, nanti saja remednya kalau udah masuk jurusan Bahasa

....‖ gitu kadang-kadang juga .... Jadinya kan kadang-kadang kalau di lain ada jurusan

Bahasa kan istilahnya kalau di sekolah-sekolah lain kan jadi mungkin pikirannya lebih

terbuka, tapi kan rata-rata sekolah lain nggak ada ... jadi kadang-kadang di-

underestimate.

P : Menurut Nindi kenapa tuh Bahasa di-underestimate, kenapa IPA tuh dianggap

superior?

R43 : Mungkin karena IPA tuh dianggap spesial dan nggak semua orang bisa kayak

Matematika aja, kan di semua jurusan juga masih jadi kendala.

Hal-hal yang membuat IPA menarik menurut para responden, adalah karena profesi-profesi

yang menarik bagi seorang anak kecil seperti dokter dan insinyur, banyak yang merupakan

profesi yang khas jurusan IPA. Alasan lainnya adalah karena juga tuntutan nilai yang lebih tinggi

untuk masuk ke IPA membuat jurusan itu menjadi lebih menantang. Dua alasan lain yang

berulang diutarakan para responden adalah bahwa IPA melibatkan pembekalan yang lebih kuat

dalam Matematika sebagai bekal yang dipandang penting, terlepas dari jurusan apa yang akan

dipilih di Perguruan Tinggi, suatu hal yang ―tidak semua orang bisa‖ dan terbuka luasnya peluang

di Perguruan Tinggi bagi mereka yang belum yakni benar jurusan apa yang akan mereka dalami

di sana.

Menurut para responden, persepsi murid terhadap perbedaan kualifikasi jurusan ini tidak

lagi terlalu terasa sebagaimana halnya hingga dua tahun sebelum wawancara ini dilakukan, tetapi

masih juga dapat dirasakan bagaimana guru-guru pun terkadang bersikap bahwa jurusan IPS dan

Bahasa adalah jurusan yang lebih inferior dibandingkan IPA, kendati kenyataan adanya murid-

murid yang khusus memilih SMA Tarakanita 1 karena bakat murid itu dalam bidang Bahasa.

R41 menjelaskan bahwa hal ini membentuk pula persepsi pada kualifikasi guru-guru yang

mengajar: guru-guru yang hanya mengajar IPA dipandang sebagai bagian dari kelompok yang

lebih elit daripada guru-guru yang hanya mengajar IPS dan Bahasa. Salah satu upaya yang tengah

Page 94: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

80

dilakukan untuk membenahi masalah ini adalah pembauran jam mengajar guru di mana guru-

guru yang sebelumnya hanya mengajar IPA juga diberikan waktu untuk mengajar jurusan

lainnya, vice versa.

Seorang murid, R43, menyatakan bahwa kendati upaya-upaya yang dilakukan oleh pihak

sekolah, pembedaan-pembedaan antara IPA dan IPS serta Bahasa masih terasa dalam kehidupan

sehari-hari di sekolah. Penjurusan yang dilakukan oleh sekolah dari kelas X ke kelas XI

misalnya, sangat terasa dibuat bukan berdasarkan minat, melainkan dibuat seperti seleksi

bertingkat, dari IPA ke IPS ke Bahasa. Para guru yang diwawancarai juga membenarkan bahwa

proses seleksi yang terjadi lebih banyak melibatkan pengolahan data daripada proses bimbingan

dan konseling, baik kepada murid maupun orang tua murid.

Menilik faktor orang tua murid, ternyata di sekolah ini tuntutan orang tua murid masih

sangat tinggi agar anak-anaknya masuk ke jurusan IPA. Orang tua murid bahkan rela memilih

anaknya tinggal kelas asalkan di tahun pelajaran berikutnya masuk ke jurusan IPA daripada naik

kelas tetap masuk ke jurusan lain. Menurut R41, hal ini juga bisa terkait dengan gengsi orang tua.

Faktor keterlibatan orang tua di dalam pendidikan anaknya dengan cara yang demikian, menurut

para responden, lebih banyak berkorelasi dengan tingkat pendidikan orang tua. Semakin tinggi

pendidikan orang tuanya, akan semakin baik ia bisa membimbing anaknya dan juga memberikan

kebebasan kepada anaknya untuk memilih jurusan yang sesuai dengan bakat dan minat anak itu.

Di sisi lain, tingkat kemapanan orang tua tidaklah terlalu berperan untuk menduga peran orang

tua di dalam pendidikan anaknya.

4.2.4.4 Peranan Studi dalam Meraih Cita-Cita

Menurut keterangan para responden, saat murid memilih jurusannya di Perguruan Tinggi,

ternyata seringkali murid-murid dari jurusan IPA pun memilih fakultas ekonomi untuk studinya.

Page 95: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

81

Dalam penentuan jurusan di Perguruan Tinggi ini, sama sekali tidak ada paksaan dari orang tua

kepada anaknya untuk memilih jurusan eksakta. Hal ini nampaknya mencerminkan bahwa

kepentingan orang tua bukanlah pada ilmu-ilmu eksakta itu sendiri melainkan pada suatu proses

pembentukan di masa SMA yang berkaitan dengan citra jurusan IPA sebagai masa persiapan

untuk memperoleh keberhasilan dalam studi lanjut, jurusan apa pun yang ditekuni dalam studi

itu. R42 mengutarakan bahwa murid-murid jurusan IPA dipandang lebih mudah melanjutkan

studi, memiliki prospek karier yang lebih menjamin dan potensi penghasilan yang lebih tinggi:62

R42 : Karena sebenarnya orang tua, dan juga mungkin masyarakat, punya anggapan, asumsi

ya, kalau anak-anak IPA itu musti anaknya lebih pintar dibandingkan yang jurusan lain

dan mungkin istilahnya kalau nanti anaknya bisa IPA itu kan untuk meneruskan studi

atau nanti orientasinya kerja, ya mungkin yang IPA-IPA itu kan ya mungkin

penghasilannya tinggi. Dokter, insinyur, mungkin itu kan lebih tinggi dan prospek

kerjanya lebih menjamin. Ya, itu kan cuma persepsi. Nggak musti bener. ....

Hal ini nampaknya masih terkait erat dengan pemahaman orang bahwa keberhasilan

seseorang dalam hidup berkaitan erat dengan penguasaan Matematikanya. R42 sebagai guru

Ekonomi/Akuntansi, ketika ditanya apakah mungkin IPS dan Bahasa memiliki gengsi yang setara

dengan IPA, menjawab ―Mungkin saja‖ dan menyodorkan caranya, yaitu dengan membelajarkan

Matematika untuk murid-murid IPS melalui analisis sosial. Analisis sosial, menurut R42, adalah

sebuah pelajaran di mana murid-murid IPS dilatih untuk menggunakan metode-metode

matematis seperti Statistika untuk menelaah permasalahan-permasalahan sosial.63

Artinya, dapat disimpulkan dari pendapat ini bahwa kebernilaian IPS tidak dipahami

sebagai sesuatu yang hadir secara inheren pada ilmu-ilmu dan metode-metode ilmu itu,

melainkan pada metode positivistik yang walaupun asing dan berbeda ranah ilmu, ketika

dihadirkan bisa menambah penghargaan orang terhadap ilmu itu.

Page 96: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

82

4.2.4.5 Peran Pemerintah

Peran pemerintah yang diharapkan dalam menangani kesetaraan di antara ilmu-ilmu,

menurut R42, adalah dengan lebih serius memasukkan materi-materi berbasis metode-metode

positivistik untuk menelaah permasalahan-permasalahan sosial. Dengan demikian orang akan

lebih menghargai ilmu-ilmu sosial, karena di dalamnya pun ada Matematika.

4.2.5 Wawancara di Kolese Gonzaga / Seminari Wacana Bhakti

Fokus studi di Kolese Gonzaga / Seminari Wacana Bhakti ini adalah pendidikan formal

yang diselenggarakan di Kolese Gonzaga terhadap para seminaris Wacana Bhakti. Karena itu,

guru-guru yang diwawancarai di kolese ini adalah Kepala Sekolah (R51) dan seorang guru ilmu

sosial (R52), bersama dua orang seminaris yang tengah duduk di kelas XI IPS (R53) dan XI IPA

(R54).

4.2.5.1 Keadaan Sekolah

Kolese Gonzaga dan Seminari Wacana Bhakti adalah dua lembaga yang hadir bersama-

sama di lokasi yang sama. Kolese Gonzaga merupakan sekolah yang dibuka untuk umum dengan

lama pendidikan tiga tahun sedangkan Seminari Wacana Bhakti adalah lembaga pendidikan para

calon imam setingkat dengan SMA dengan lama pendidikan empat tahun di mana para seminaris

diwajibkan untuk tinggal di asrama. Para responden menjelaskan bagaimana seminaris-seminaris

selepas SMP menempuh pendidikan eksklusif di Seminari Wacana Bhakti. Masa ini disebut

tahun ke-0. Berikutnya, pada tahun ke-1 baru para seminaris diikutsertakan dalam proses belajar

di Kolese Gonzaga bersama dengan murid-murid lainnya sementara tetap memperoleh

pendidikan seminari di sore harinya.

Page 97: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

83

4.2.5.2 Tujuan Bersekolah

R41 menjelaskan bahwa tujuan penyelenggaraan pendidikan di seminari adalah untuk

menyiapkan calon-calon imam sejak dini. Dalam proses pendidikan ini, para seminaris dibimbing

untuk merefleksikan panggilannya dan kariernya sebagai seorang imam. Sebagai sebuah lembaga

pendidikan yang didirikan oleh ordo Yesuit, salah satu ciri khas Gonzaga / Wacana Bhakti adalah

mengembangkan kemampuan anak berefleksi, menentukan pilihan ke depan juga ―dibarengi,

dikunci, dengan rigoritas studi,‖ demikian papar R51. Dengan demikian, pendekatan yang

digunakan dalam penyelenggaraan sekolah ini bukan hanya pada keunggulan akademis, ―tetapi

juga pembentukan hati nurani, mampu menilai baik-buruk, benar-salah.‖

4.2.5.3 Kebernilaian Ilmu-Ilmu

Dengan sistem pendidikan yang demikian, perbedaan antara IPA dan IPS tidak terlalu

signifikan. Dikatakan oleh R51, bukannya IPA bernalar dan IPS menghafal, melainkan IPA dan

IPS bernalar dengan cara dan metode yang berbeda. Dari perspektif para guru, ternyata murid-

murid lebih realistis dalam menilai bakat dan minatnya sendiri sehingga berani memutuskan

dengan jelas apakah tempat yang tepat untuknya adalah di jurusan IPA atau IPS. Tetapi,

permasalahan dengan pemilihan jurusan ini seringkali justru ditemui dengan orang tua murid

yang memaksakan anaknya untuk masuk ke jurusan IPA. R52 bahkan mengutarakan bagaimana

dalam budaya patriarkal tertentu orang tua sangat condong memilih anak laki-lakinya tidak naik

kelas daripada naik kelas ke jurusan IPS.

Orang tua, menurut R52, terkadang memaksakan anaknya masuk ke IPA bukan karena ada

rencana tertentu untuk masa depan anaknya ini tetapi sebagai kompensasi atas kegagalannya di

masa lalu. Tetapi, pada akhirnya, tutur R51:64

Page 98: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

84

R51: .... Keberanian dalam mengambil keputusan sebenarnya adalah tanda proses

pendewasaan. Karena kanak-kanak mungkin mengatakan, ―Oh saya mau jadi dokter.‖

tapi itu bukan sebuah keputusan sebenarnya. Baru mimpi ya .... Bagaimana dari mimpi

mendarat sebagai keputusan. Mimpi yang ada harus dipijakkan dengan kemampuan,

yaitu plus-minusnya masing-masing orang. Ini adalah cerita yang lain. Proses pedagogi

kita mesti mengantar ke sana. Kalau proses pedagogi kita tidak mengantar ke sana,

apapun timbunan pengetahuan, apa pun yang kita berikan ke anak-anak, tidak berati

banyak.

Perbedaan antara IPA dan IPS ini nampaknya bisa ditelusuri hingga ke FKIP-FKIP yang

ada di Indonesia. Para guru responden ini mengakui lebih mudah mendapatkan guru-guru eksakta

yang berkualitas dibandingkan dengan guru-guru ilmu-ilmu sosial yang berkualitas. Di sekolah

ini sendiri ada guru-guru ilmu-ilmu sosial yang memang masuk ke IKIP karena tahu benar ingin

menjadi guru sehingga hasilnya pun mereka menjadi guru yang baik, yang berkualitas, yang

unggul dalam pembelajaran. Tetapi seringkali orang-orang yang masuk ke FKIP adalah orang-

orang yang sudah ditolak di mana-mana sehingga untuk kuliah satu-satunya pilihan yang tersedia

adalah FKIP. Dengan kondisi yang ada di sekolah ini, para responden menyatakan tidak ada

perbedaan kualitas yang nampak antara guru-guru IPA dan IPS.

Dari perspektif murid, salah satu hal yang menarik dinyatakan oleh R54, seorang seminaris

yang adalah murid jurusan IPA, walaupun ia tertarik untuk mendalami beberapa pelajaran di IPS

dan ingin mengambil jurusan IPS, pada akhirnya ia memilih jurusan IPA karena melihat para

kakak kelasnya yang jurusan IPS cenderung santai dan kurang disiplin dibandingkan dengan

mereka yang mengambil jurusan IPA. Perbedaan ini menjadi semakin penting baginya dari hari

ke hari ketika melihat perbedaan tuntutan tugas-tugas terhadap murid jurusan IPA dan IPS serta

tuntutan belajar mandiri yang lebih tinggi kepada murid-murid jurusan IPA. Disiplin yang

mengendur ketika memilih jurusan IPS merupakan satu isu yang sangat penting bagi R54

sehingga ia tidak memilih jurusan IPS:65

Page 99: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

85

R53 : Sebenarnya saya nggak terlalu suka dengan pelajaran eksak dan juga nggak suka sama

sains, saya justru lebih suka malah suka belajar Akuntansi-Ekonomi gitu, tapi kan gitu

pas kelas I saya lihat anak IPA-nya pada disiplin-disiplin, giat-giat belajar sedangkan

anak IPS-nya pada main-main, jadi itu. Saya mengincar disiplin dan ketekunannya.

Bagi R53, seminaris yang menempuh pendidikannya di jurusan IPS, walaupun IPA dan IPS

sama saja, tetapi pandangan masyarakat umum bahwa IPA lebih unggul dibandingkan IPS juga

terasa. Bagi dia, antara lain yang sangat terasa di dalam kehidupan sekolah adalah kenyataan

bahwa pelajaran-pelajaran IPA lebih susah membuat jurusan IPA ―lebih keren, juga lebih

mengesankan bagi para murid putri dan memberikan kemudahan saat kuliah.‖

4.2.5.4 Peranan Studi dalam Meraih Cita-Cita

Karena penelitian diadakan terhadap seminaris Wacana Bhakti, maka pertanyaan-

pertanyaan berikutnya mengenai ketersediaan lapangan pekerjaan tidak ditanyakan. Namun

demikian, para seminaris yang diwawancara dapat melihat dengan baik korelasi antara studi yang

mereka ambil dengan rencana bidang pelayanan yang akan mereka tekuni seandainya mereka

tetap dalam jalur pendidikan sebagai imam, baik mereka mengambil jurusan IPA maupun IPS.

Bagi para seminaris Wacana Bhakti pendidikan yang diberikan pada tahun ke-0 adalah

pembekalan yang sangat baik untuk memberikan dasar penguasaan ilmu yang lebih kokoh

dibandingkan dengan murid-murid lainnya. Bahasa Latin yang harus dikuasai sejak awal

merupakan salah satu bekal yang sangat berharga. Bersamaan dengan kematangan usia mereka

yang satu tahun di atas rekan-rekan seangkatan mereka, pembekalan di seminari membuat para

seminaris unggul dalam kehidupan akademik di Gonzaga dibandingkan dengan rekan-rekan non-

seminaris mereka.

Jadi, di Kolese Gonzaga / Seminari Wacana Bhakti, proses pendidikan yang diberikan

kerangka seminari membuat berbagai pertanyaan seputar ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial

Page 100: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

86

menjadi lebih sederhana karena adanya kesatuan jalur pendidikan calon imam yang telah baku.

Pertanyaan-pertanyaan tentang korelasi antara pendidikan di SMA dengan di Perguruan Tinggi

menjadi tidak relevan karena seluruh proses pendidikan itu telah dipersiapkan dan dirangkai

dalam satu alur. Permasalahan yang ada bersumber dari pandangan orang tua terhadap

kebermaknaan IPA dan IPS serta pasokan tenaga-tenaga guru yang berkomitmen untuk menjadi

guru dari FKIP-FKIP yang tersedia.

4.2.5.5 Peran Pemerintah

Sebagai sebuah lembaga pendidikan yang diselenggarakan oleh ordo Yesuit, sistem

pendidikan di Gonzaga / Wacana Bhakti diwarnai secara kuat oleh kemampuan berefleksi

dibarengi dengan rigoritas studi. Sekolah dibangun sebagai komunitas pembelajar dan tempat

pembentukan hati nurani sehingga murid mampu menilai baik-buruk, benar-salah yang berbuah

kepada kepedulian sosial.

Dalam konteks itu, menurut R51, peran pemerintah yang diharapkan adalah pengawasan

yang terlalu ketat dan dipandang tidak pada tempatnya dalam pelaksanaan pendidikan sehari-hari.

Juga, untuk meningkatkan mutu penguasaan ilmu oleh murid-murid, yang dibutuhkan justru

adalah pengurangan jumlah mata pelajaran sehingga murid, apa pun jurusannya, dapat diasah

dalam kemampuan berefleksi.

4.2.6 Wawancara di SMA Kristen Ketapang I

Wawancara di SMA Kristen Ketapang I dilakukan dengan Kepala Sekolah (R61), mantan

Wakil Kepala Sekolah yang saat wawancara dilakukan telah menjadi Kepala Sekolah di unit lain

(R62), seorang murid kelas XII IPS (R63) dan seorang murid kelas XII IPA (R64).

Page 101: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

87

4.2.6.1 Keadaan Sekolah

SMA Kristen Ketapang I terletak di daerah Kota, Jakarta Pusat. Orang tua murid sekolah

ini kebanyakan adalah pedagang yang latar belakang pendidikannya tidak terlalu tinggi. Sekolah

ini sendiri dikenal sebagai sekolah yang memiliki disiplin yang baik dan memiliki program

pendidikan karakter yang unik.

4.2.6.2 Tujuan Bersekolah

Dengan keadaan yang demikian, tutur R61, maka tujuan murid-murid bersekolah adalah

untuk mendapatkan pendidikan yang baik untuk meneruskan ke Perguruan Tinggi. Hampir semua

murid lulusan SMA ini melanjutkan ke Perguruan Tinggi dan yang tidak melanjutkan pun entah

berasal dari keluarga yang mampu tetapi memandang pendidikan SMA sudah cukup untuk

meneruskan usaha orang tuanya atau bekerja dulu beberapa tahun sebelum melanjutkan

pendidikannya itu. Dari sisi orang tua, mereka mengirimkan anak-anaknya ke SMA Kristen

Ketapang I karena disiplinnya, program pendidikan karakter yang dikenal unik dan karena jarak

yang dekat dengan rumah mereka.

4.2.6.3 Kebernilaian Ilmu-Ilmu

Berbicara mengenai kebernilaian berbagai ilmu, di SMA Kristen Ketapang I keunggulan

IPA dibandingkan IPS adalah suatu hal yang nyata. IPA difavoritkan baik oleh murid maupun

orang tua murid karena dipercaya bahwa: 1) potensi karier dan penghasilan yang lebih tinggi

dibandingkan jurusan IPS, 2) banyaknya pilihan jurusan yang bisa diambil di Perguruan Tinggi,

dan 3) gengsi karena untuk masuk ke jurusan IPA lebih sulit dan pelajaran yang dihadapi pun

lebih sulit. Ketiga hal ini, ditekankan oleh R61 yang sebelumnya adalah guru BK, adalah hal-hal

yang dipercaya, tetapi belum tentu benar:66

Page 102: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

88

R61 : Kalau menurut saya yang selama ini terjadi kenapa kok menjadi favorit tetap di IPA,

karena dilihat secara umum ya, secara umum, walaupun kenyataannya belum tentu,

kalau di jurusan IPA itu untuk kariernya ke depan itu katanya jauh lebih menghasilkan.

Penghasilannya jauh lebih tinggi, itu secara umum. Nah kemudian yang kedua ada

peluang kalau dia nggak memungkinkan untuk masuk ke IPA bisa masuk ke IPS.

P : Untuk kuliahnya?

R61 : Untuk kuliahnya, bidangnya jauh lebih banyak pilihannya. Tapi yang utamanya, tetap

karier ke depannya lebih menjanjikan. Ya mungkin sama gengsinya juga, karena

merasa begini, merasa posisi IPA lebih tinggi karena masuknya lebih susah kan, dan

pelajarannya kenyataannya memang jauh lebih susah. Nah, itu jadi gengsinya lebih

tinggi.

R62 berpandangan bahwa poin penting dari keunggulan IPA dibandingkan IPS adalah

kemampuan para lulusan IPA untuk masuk ke bidang-bidang IPS secara lebih luwes baik di

dalam kuliah maupun pekerjaan sementara untuk sebaliknya jauh lebih sulit. Di dalam jurusan-

jurusan di Perguruan Tinggi, para lulusan IPA lebih unggul, bahkan ketika mereka masuk ke

jurusan-jurusan IPS karena adanya daya juang dan pola pikir yang telah terbentuk pada tahun-

tahun mengambil jurusan IPA di SMA. Hal ini nyata mulai dari hasil tes masuk hingga hasil

ujiannya. Bukan saja di bangku Perguruan Tinggi, bagi R62 hal ini juga nampak dalam sikap

guru-guru IPA dan IPS di sekolah:67

R62 : Ya. Dan ibaratnya daya juangnya anak ini lebih tinggi anak di IPA dari anak IPS.

P : Tapi apakah itu terbukti di dunia kerja bahwa anak IPA lebih gampang atau

penghidupannya akan lebih baik dari anak IPS gitu?

R62 : Kalau misalnya bukti konkret itu nggak tahu deh ya, berapa persen, berapa persen itu

nggak tahu, cuma contoh ketika di bank nggak usah jauh-jauh deh itu banyak yang

orang IPA. Orang IPB di bank itu banyak. IPB lho, nah contoh kayak gitu jadi ya

secara nggak langsung IPA lah. Nah, orang IPS-nya ketika bersaing dengan orang IPA,

daya saing, daya berjuangnya orang IPS ini lemah. Akhirnya secara nggak langsung

yah inilah .... Kenapa? Secara nggak langsung kalau orang eksak udah pasti

kemampuannya, daya juangnya lebih tinggi, dia semangat. Nah itu daya juangnya udah

tinggi nah itu akhirnya terbawa sampai ke dunia pekerjaan. Dan itu kelihatan lah,

sistematis apa nggak itu keliatan banget. Guru pun beda, smartness-nya beda. Guru

IPA lebih terstruktur.

R62 mengatakan bahwa ia sendiri, seorang guru Biologi, menganjurkan murid-muridnya

untuk mengambil IPA jika bisa, walaupun cita-cita mereka sudah jelas bisa diraih melalui jurusan

IPS karena hal-hal tersebut.

Page 103: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

89

Bagi orang tua, perkara anaknya masuk IPA atau IPS terkadang menjadi perkara besar.

Bahkan ada orang tua yang tak segan-segan memindahkan anaknya ke sekolah lain semata-mata

agar anaknya itu bisa masuk ke jurusan IPS. Tentu saja, ini adalah orang tua yang memiliki latar

belakang pendidikan yang terbatas sehingga tidak mengerti seluk-beluk dunia pendidikan. Tetapi,

demikian juga latar belakang kebanyakan orang tua murid di sekolah ini.

Menilik nilai-nilai pelajaran yang sama-sama diperoleh murid-murid IPA dan IPS, dalam

setiap mata pelajaran terbukti murid-murid IPA secara konsisten memperoleh nilai yang lebih

tinggi, bahkan dalam pelajaran-pelajaran IPS. Hal ini turut membentuk kesan adanya kelas

―buangan‖, baik di antara para murid, orang tua murid, bahkan guru sekalipun. R62 mengatakan,

―Kebanyakan orang memilih IPA karena tereliminasi, orang yang bodoh sekalipun, kalau boleh

masuk IPA, akan memilih masuk IPA‖. Di sinilah guru BK berperan memberikan pengertian,

baik kepada murid maupun kepada orang tuanya. Peranan guru BK bagi murid-murid dalam

memilih jurusan bahkan lebih penting daripada peran orang tua. Hal ini bisa dimengerti karena

keterbatasan kapasitas orang tua sebagaimana dijelaskan di atas.

Kedua murid yang diwawancarai menyatakan bahwa terlihat ada perbedaan kualitas antara

guru IPA dan guru IPS. Guru IPA, menurut R64, lebih disaring sementara guru IPS, asalkan dia

bisa mengajar, akan direkrut. R63 juga menyatakan hal serupa, ―Guru-guru eksakta lebih

berpengalaman daripada guru-guru di jurusan IPS.‖ Ketika seorang guru tidak hadir entah karena

sakit atau cuti, para murid responden menyatakan bahwa biasanya hanya diberikan tugas. R61

dan R62 menyatakan juga bahwa ketika dibutuhkan guru pengganti, maka guru IPA harus

digantikan oleh guru IPA sedangkan guru IPS bisa saja digantikan oleh siapa saja. ―Di antara

murid-murid,‖ demikian tutur R62, ―hal itu juga terbaca bahwa guru IPS bisa digantikan oleh

siapa saja.‖

Page 104: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

90

4.2.6.4 Peranan Studi dalam Meraih Cita-Cita

Bagi murid-murid ini, pilihan jurusan dalam studi formal yang dijalani di SMA tidaklah

terlalu berpengaruh dalam mencapai cita-cita mereka. Yang lebih penting adalah bagaimana studi

di SMA mempersiapkan mereka untuk menempuh studi di Perguruan Tinggi. Baru pada tingkat

Perguruan Tinggi mereka perlu menekuni bidang yang akan menjadi fokus pekerjaan mereka.

R64 memandang masa SMA penting untuk membentuk kedisiplinan dan pola pikir serta

wawasan yang luas. Hal ini diperlukan untuk menghadapi banyaknya pilihan di Perguruan Tinggi

dan menempuh studi yang lebih mandiri di tingkat Perguruan Tinggi. Dengan demikian, studi di

SMA dipandang tidak terlalu penting dalam memberikan pembekalan dari segi rigoritas

keilmuan.

4.2.6.5 Peran Pemerintah

Para responden mengemukakan bahwa pemerintah dirasa memiliki sikap mengakomodasi

semua kepentingan dalam pendidikan sehingga pendidikan Indonesia tidak memiliki penekanan

yang khas. Ada terlalu banyak pelajaran yang diberikan kepada murid-murid dan juga begitu

banyak ujian nasional yang diberikan. Sikap ini dipandang hanya membebani murid dengan

berbagai beban belajar yang sebenarnya tidak diperlukan oleh murid.

Dengan sikap yang mendukung superioritas IPA terhadap IPS, peran yang diharapkan dari

pemerintah adalah pengurangan berbagai mata pelajaran IPS serta juga penghapusan berbagai

mata pelajaran seperti Sosiologi, Sejarah dan Geografi dari ujian nasional. R64 secara khusus

menyebutkan bahwa Sejarah tidak perlu dipelajari dan jam pelajaran Geografi perlu dikurangi,

sementara R62 menyebutkan lebih baik penjurusan dilakukan sejak kelas X agar studi yang

dijalani murid lebih terfokus.

Page 105: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

91

Pengurangan beban belajar yang dianggap tak berguna ini diharapkan bisa meningkatkan

kualitas belajar murid-murid pada hal-hal yang esensial dibandingkan memaksa murid untuk

menguasai begitu banyak bidang yang tak berguna dalam kehidupan.

4.3 Wawancara di Sekolah-Sekolah Internasional

4.3.1 Wawancara di Deutsche Internationale Schule

4.3.1.1 Pembagian Jurusan

Deutsche Internationale Schule (DIS) di Indonesia melaksanakan pendidikannya

menggunakan kurikulum nasional Jerman. Sekolah dasar di Jerman yang disebut Grundschule

dilaksanakan hingga kelas IV. Sekolah menengah di Jerman terdiri dari tiga jenis: Gymnasium,

Realshule dan Hauptschule. Ketiga jenis sekolah menengah ini dimulai pada kelas V hingga

maksimum kelas XIII dengan kelas V sebagai masa orientasinya selama satu tahun untuk

menentukan ke sekolah yang mana seorang murid akan melanjutkan studinya.

4.3.1.2 Perbedaan Antar-Jurusan

R71 menjelaskan bahwa Gymnasium adalah sekolah yang menuntut kualifikasi paling

tinggi dari ketiganya dan juga menuntut masa studi yang lebih lama, hingga kelas XIII.

Gymnasium diadakan untuk mereka yang sejak awal telah kelihatan mampu berpikir kritis dan

unggul secara akademis. Dengan masuk ke Gymnasium seorang murid akan dapat melanjutkan

studinya ke Universität (universitas) maupun Hochschule (sekolah tinggi). Namun, pada

kenyataannya hanya sekitar 50% dari lulusan Gymnasium, menurut R71, yang melanjutkan

studinya baik ke Universität maupun ke Hochschule, selebihnya memutuskan untuk langsung

bekerja.

Page 106: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

92

Realschule adalah pendidikan yang berlangsung hingga kelas X. Selepas dari Realschule

para lulusannya bisa melanjutkan ke pendidikan-pendidikan kejuruan sesuai dengan bakat dan

minat masing-masing. Lulusan Realschule kemudian dapat langsung bekerja. Hal yang sama juga

dialami oleh para lulusan Hauptschule yang hanya berlangsung hingga kelas IX dan sesudah itu

dapat langsung bekerja.

Lulusan-lulusan Realschule dan Hauptschule harus tetap melanjutkan studi mereka karena

adanya peraturan yang mewajibkan setiap orang tetap bersekolah hingga berumur 18 tahun.

Artinya, kalaupun mereka sudah lulus dari kedua sekolah itu dan memutuskan untuk bekerja,

mereka tetap harus menghadiri sekolah kejuruan atau sekolah malam hingga umur 18.

4.3.1.3 Sikap Murid dan Orang Tua Murid

Menurut penuturan R71, sistem pendidikan ini telah berlangsung sekitar 50 tahun, sejak

akhir Perang Dunia II. Pada mulanya orang tidak terlalu memusingkan antara Gymnasium,

Realschule, dan Hauptschule karena kesempatan kerja dan potensi penghasilan lulusan ketiga

sekolah ini tidak berbeda secara signifikan. R71 menyatakan bahwa masyarakat Jerman tidak

terlalu membeda-bedakan orang berdasarkan latar belakang pendidikannya. ―Yang penting di

Jerman adalah uangnya,‖ demikian tutur R71. Dan potensi penghasilan ini tidak terlalu dibedakan

oleh jenis sekolah asal seseorang. R72 menyatakan, seorang pegawai bank dan seorang montir

bisa sama-sama memiliki penghidupan yang baik dan kehidupan yang mapan asal keduanya

bekerja dengan tekun dan ulet.

Tetapi, dalam tahun-tahun belakangan ini ada kecenderungan bahwa dengan kondisi

ekonomi secara umum yang semakin mapan, orang tua memang menuntut agar sedapat mungkin

anaknya diterima di Gymnasium. Mengakomodasi hal ini, syarat masuk ke Gymnasium telah

Page 107: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

93

sedikit dilonggarkan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Sedikit banyak ini berhubungan

dengan gengsi orang tua juga, demikian tutur R71.

Faktor yang juga berpengaruh bagi minat orang tua murid terhadap ketiga jurusan ini

adalah keadaan perekonomian negara dan jumlah pengangguran. Ketika ada banyak

pengangguran dan satu perusahaan ingin mempekerjakan karyawan baru, dari antara lulusan

ketiga sekolah itu tentu lulusan Gymnasium-lah yang paling menarik untuk dipekerjakan. Tetapi

ketika jumlah pekerjaan yang tersedia cukup untuk semua orang, faktor latar belakang pendidikan

bukanlah suatu isu yang penting.

Karena pemilihan sekolah dilaksanakan pada usia yang sangat dini, yaitu sekitar 10-11

tahun di kelas V, maka proses pemilihan itu sendiri banyak dipengaruhi oleh orang tua.

Seringkali orang tua ingin anaknya masuk ke Gymnasium bukan karena ingin anaknya

melanjutkan hingga ke Universität atau ke Hochschule, tetapi semata-mata sekedar untuk

berjaga-jaga agar masa depan anaknya tidak terhambat akibat dia masuk ke sekolah-sekolah yang

lebih rendah, tutur R71.

Selepas dari Gymnasium, melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi tidaklah

dipandang sebagai keniscayaan sebagaimana halnya di Indonesia. Hal ini disebabkan seorang

alumni Gymnasium sudah melewati batas atas usia wajib belajar, 18 tahun, sehingga bisa bekerja

menyusul teman-temannya yang lulusan Realschule dan Hauptschule, sementara jika ia

melanjutkan pendidikannya lagi maka itu berarti penundaan kesempatan untuk memperoleh

penghasilan. Seorang yang setelah lulus dari Perguruan Tinggi baru bekerja bisa tertinggal dari

teman-temannya yang lulusan Hauptschule sejauh 8 hingga 10 tahun dari segi penghasilan.

Dilihat dari sudut pandang penghasilan, maka melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi

bukan memberikan keuntungan kepada murid itu melainkan menyebabkan kerugian potensial

Page 108: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

94

atas penghasilan selama 10 tahun. Maka, pendidikan tinggi ditempuh seseorang ketika ia

memang yakin bahwa itu adalah panggilan hidupnya.

R71 menjelaskan bahwa sistem pendidikan Jerman adalah sistem pendidikan yang sangat

terbuka. Artinya, seorang murid dari Hauptschule bisa saja suatu saat karena prestasinya

kemudian pindah ke Gymnasium; seorang yang sudah bekerja dan kemudian baru menyadari

kebutuhannya akan pendidikan bisa mengambil pendidikan di Gymnasium sehingga selepas dari

Gymnasium ia juga bisa melanjutkan ke Perguruan Tinggi. Sistem selepas kelas V, walaupun

terdiri dari Gymnasium, Realshule dan Hauptschule, tidaklah rigid dan searah secara vertikal

seperti sistem pendidikan di Indonesia yang terdiri dari SMP – SMA – Perguruan Tinggi. Ada

kemungkinan perpindahan horizontal juga di dalam sistem pendidikan Jerman, bahkan

kesempatan untuk kembali melengkapi pendidikan yang kurang setelah orang bekerja. Hal ini

perlu, tutur R71, karena ada murid yang sejak kelas V sudah terlihat kemampuan akademis dan

kematangan sikapnya sehingga bisa diizinkan masuk ke Gymnasium, tetapi ada juga orang yang

baru ―terbangun‖ di usia 14, misalnya. Hak atas orang-orang yang ―terlambat bangun‖ seperti ini,

tidak boleh disangkal dan mereka pun perlu diakomodasi:68

R71 : Biasanya ada satu testing kalau mereka lulus SD dan guru di sini, mereka tulis satu

rapor dan kalau mereka pilih sekolah mereka harus tes masuk di sini. Ini yang satu.

Dan biasanya saya sudah bisa lihat di SD apakah seseorang nanti lihat akan punya

masalah ....

P : Dari kemampuan akademiknya?

R71 : Ya ... juga, tapi apa, bukan dari nilai akademik, sebenarnya dari kepribadian. Pasti ada

beberapa anak yang perlu lebih lama dan mereka mungkin bangun dengan umur 15,

tapi untuk mereka sistem ini buka, kalau mereka di sini kurang bagus mereka bisa ke

Hauptschule dan mereka di sini kita lihat mereka bagus mereka bisa ke Realschule, di

Realshchule bagus, mereka bisa ke Gymnasium.

4.3.1.4 Hubungan antara Pendidikan dan Pekerjaan

Dengan sistem yang terbuka demikian, maka seorang anak yang memperoleh pendidikan

dalam sistem Jerman memiliki pilihan yang bebas di dalam pendidikannya dan juga selepas kelas

Page 109: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

95

IX bisa memiliki kebebasan yang lebih tinggi dalam hal mengkombinasikan antara pekerjaan dan

pendidikan sesuai kebutuhannya sendiri. Ia tidak dipaksa untuk menyelesaikan pendidikan dulu

hingga satu tahap tertentu, kemudian masuk ke dunia pekerjaan dan setelah itu mengalami

kesulitan jika ingin kembali ke dunia pendidikan formal.

Kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah Jerman ini nampaknya memang mengakui

keragaman kematangan dan kebutuhan tiap-tiap orang terhadap pendidikan dan pekerjaan serta

kombinasi di antara keduanya. Maka, semua responden yang diwawancarai di sekolah Jerman

tidak mendikotomikan antara pendidikan dan pekerjaan. Keduanya dilihat saling melengkapi.

Pendidikan adalah upaya mempersiapkan orang menjadi manusia-manusia yang mandiri dan siap

bekerja. Ketika dalam pekerjaannya orang menyadari bahwa ia membutuhkan pendidikan ekstra

dalam segi tertentu untuk bisa terus maju dan semakin berhasil, dunia pendidikan terbuka untuk

menerima dia dengan pilihan yang sangat beragam sesuai dengan kebutuhan masing-masing

orang.

4.3.1.5 Ciri Khas Sistem Pendidikan Jerman

R72 menjelaskan bahwa sistem pendidikan Jerman disusun seperti piramida. Di dasarnya

diberikan pijakan yang luas dan kokoh berupa filsafat dan pengembangan kepribadian. Filsafat

diberikan melalui pelajaran Etika, sedangkan pengembangan kepribadian diberikan secara

terintegrasi melalui berbagai pendekatan dalam tiap-tiap mata pelajaran. ―Curriculum is not

everything,‖ demikian papar R72. Banyak dari upaya-upaya yang paling mendasar justru

dikembangkan melalui pendekatan lintas-pelajaran dan tidak tercantum di dalam dokumen

kurikulum, yang juga disebutnya sebagai ―hidden curriculum‖:69

R72 : Ya, it’s a hidden curriculum, jadi hidden curriculum yang dijalani sehari-hari. Jadi

kalau di sekolah Jerman, SMA begitu, jarang di sekolah ada peraturan seperti kalau di

sini tidak boleh pakai ini, pakai itu, rambutnya harus .... Itu kalau di Jerman tidak ada.

Page 110: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

96

Bukannya tidak ada, tidak tertulis. Jadi biasanya anak-anak dituntut untuk bisa

mengerti apa yang bagus, apa yang tidak bagus, dan apa yang bisa

dipertanggungjawabkan oleh dirinya sendiri. Jadi itu mungkin yang lebih membangun

dan yang berbeda dengan sistem kita di sini. Jadi, kalau kita mengatakan tentang

kurikulum, memang kalau ini kurikulum, it’s a curriculum, tapi curriculum is not

everything dari pendidikan itu. Ada sistem sosialnya juga yang penting.

Tuntutan untuk unggul dalam bidang olahraga dan bisa berkompetisi merupakan upaya

untuk membentuk keunggulan dalam karakter, tetapi juga dipandang sebagai upaya mendukung

keunggulan akademis dalam bidang sains. Olahraga tidak dibelajarkan semata-mata sebagai

pelajaran untuk mengeluarkan keringat atau melepaskan keletihan dari tuntutan pelajaran lainnya,

tetapi dibelajarkan secara serius sehingga ketika murid diajari berenang, ia bisa berenang

sebagaimana layaknya olahragawan. Ada pesan-pesan moral yang diberikan melalui pelajaran

olahraga. Begitu pula ketika murid dilatih untuk berdiri di atas satu kaki dengan posisi tangan

tertentu yang diberikan sebagai pemanasan sebelum berenang. Hal itu dilandaskan juga atas

keyakinan bahwa terlatihnya keseimbangan tubuh seseorang akan menunjang prestasi

akademisnya.70

Seorang guru Gymnasium dalam sistem pendidikan Jerman pertama-tama menempuh

pendidikan tinggi sebagaimana halnya setiap orang, dan setelah itu menempuh pendidikan

Pedagogi secara khusus. Berbeda dengan sistem FKIP di Indonesia di mana seorang lulusan

SMA bisa langsung mengambil satu jurusan yang spesifik di FKIP dan kemudian menjadi guru

dengan satu bidang keahlian, seorang guru dalam sistem pendidikan Jerman dituntut untuk

memiliki sekurang-kurangnya dua bidang keahlian untuk diampu. Hal ini dimaksudkan pertama-

tama untuk efisiensi organisasi sekolah, sehingga sekolah-sekolah kecil tidak perlu memboroskan

sumber dayanya untuk mempekerjakan terlalu banyak guru yang masing-masing mempunyai

sedikit jatah waktu mengajar. Yang kedua, ini juga dimaksudkan untuk membuka wawasan. R71

Page 111: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

97

secara khusus menyebutkan, ―Supaya orang tidak berpikir bahwa Matematika atau pelajaran apa

pun yang paling penting.‖ Beliau sendiri mengampu bidang studi bahasa Jerman, Seni dan Etika.

Begitu pula dengan murid-murid. Walaupun Jerman dikenal dengan sistem pendidikan

Sains-nya yang dimulai sejak sangat awal di Grundschule dengan muatan yang padat, tetapi

pelajaran kesenian dan olahraga juga merupakan pelajaran yang diwajibkan bagi semua murid

untuk didalami.

4.3.1.6 Kesimpulan

Jadi, dari perspektif perbandingan dengan sistem pendidikan Indonesia dapat disimpulkan

bahwa pendidikan Jerman terdiri dari dua bagian: bagian yang pertama adalah pendidikan dasar

yang memberikan landasan pemikiran dan pengembangan kepribadian yang kuat dalam bentuk

hidden curriculum yang terkait erat antara satu pelajaran dengan pelajaran yang lainnya sehingga

olahraga dan kesenian pun dipandang sebagai bagian wajib dari pelajaran yang bukan saja

diambil untuk mengisi tuntutan jam pelajaran tetapi juga ―untuk didalami‖.

Bagian yang kedua adalah pendidikan menengah dan tinggi yang sangat rigid dalam

materinya tetapi sangat fleksibel dan terbuka sehingga memungkinkan setiap orang

memanfaatkan sistem pendidikan yang ada sesuai dengan kebutuhan dan fakta pertumbuhan

pribadinya masing-masing. Orang-orang tidak dimasukkan ke dalam satu sistem di mana ia

seperti berada di atas ban berjalan tanpa bisa berbuat apa-apa selain mengikuti alur yang telah

ditetapkan, tetapi ia bisa menjadi pelaku yang mandiri dalam menentukan apa kebutuhannya

dalam kehidupan dan pekerjaan dan bagaimana ia akan memanfaatkan sistem pendidikan yang

tersedia sesuai dengan kebutuhannya.

Baik dalam pendidikan untuk murid maupun pendidikan untuk guru ditemui sistem yang

mengondisikan orang untuk terpapar kepada berbagai disiplin ilmu, dari kesenian dan olahraga

Page 112: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

98

hingga sains dan filsafat. Penerimaan atas seluruh spektrum ilmu ini membuat orang memiliki

wawasan yang terbuka serta kreativitas dalam bidang apa pun yang ditekuninya karena

perspektif-perspektif yang dimilikinya dari bidang-bidang ilmu lain yang terpapar kepada

wawasannya.

4.3.2 Wawancara di Lycée International Français

4.3.2.1 Pembagian Jurusan

Tingkat SMA dalam sistem pendidikan Prancis disebut sebagai lycée. Penomoran kelas di

tingkat SMP-SMA (collège-lycée) menggunakan penomoran terbalik: dimulai dari kelas VI

hingga kelas III di collège dan berlanjut dengan kelas seconde (kedua), première (pertama) dan

terminale (terakhir) di lycée. Selepas dari dari collège murid-murid dapat melanjutkan ke lycée

atau ke pendidikan kejuruan yang masing-masing berlangsung selama tiga tahun.

Di lycèe, murid-murid akan dijuruskan di kelas II, seperti halnya di Indonesia, ke dalam

tiga pilihan jurusan: Ekonomi dan Ilmu Sosial (ES), Sains (S) dan Literatur (L). Pilihan jurusan

ini kira-kira sama dengan sistem pendidikan Indonesia yang menawarkan IPA (S), IPS (ES) dan

Bahasa (L). Pemilihan jurusan ini, sebagaimana juga keputusan kenaikan kelas, ditentukan oleh

Dewan Kelas, conseille de classe, yang terdiri dari semua guru yang mengajar di kelas itu, 2

orang perwakilan murid, 2 orang perwakilan orang tua murid, semua guru yang mengajar di kelas

itu, kepala sekolah dan seorang wakil kepala sekolah. Jika orang tua tidak puas dengan keputusan

atas penjurusan anaknya, orang tua bisa mengajukan banding kepada sebuah dewan pendidikan

yang ada di pemerintahan.

LIF di Indonesia hanya menyelenggarakan jurusan-jurusan ES dan S karena tidak ada

cukup peminat untuk membuka jurusan L. Para lulusan LIF pada umumnya melanjutkan

Page 113: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

99

pendidikannya ke Prancis, Amerika Serikat, Inggris dan beberapa di universitas internasional di

Indonesia.

4.3.2.2 Perbedaan Antar-Jurusan

Perbedaan antar-jurusan sebagaimana yang terjadi di Indonesia juga terjadi di Prancis.

Seorang guru responden yang diwawancarai, R81, menyatakan bahwa pada masa ia bersekolah,

sekitar 20 tahun yang lalu, setiap murid yang terbaik diwajibkan untuk masuk ke jurusan S.

Walaupun hal ini sudah tidak lagi diberlakukan, tetapi masih ada orang-orang tua yang

berpandangan demikian. Pada masa kini, jurusan-jurusan S dan ES sama-sama diminati secara

luas oleh murid maupun orang tua murid dan tidak terjadi pembedaan yang berarti di antara

kedua jurusan itu. Jurusan L cenderung lebih sedikit peminatnya walaupun tidak dipandang

inferior terhadap jurusan-jurusan lainnya.

Sistem pendidikan Prancis cenderung lebih rigid dibandingkan dengan sistem pendidikan

Jerman sehingga tidak memungkinkan orang meninggalkan sekolah untuk bekerja dan kembali

ke sekolah sesudahnya. Bahkan, sistem pendidikan Prancis dikenal sebagai sistem yang elitis di

mana sekolah yang menjadi tempat seseorang menempuh pendidikan akan melekat sebagai

pembentuk identitas orang itu, sumber gengsi yang dibawanya seumur hidup. R81 menyatakan

bahwa di antara orang-orang Prancis yang bekerja di luar Prancis sekalipun, ketika bertemu salah

satu pertanyaan yang biasa diajukan adalah di mana dulunya mereka bersekolah karena itu

menjadi bahan untuk menentukan posisi dan gengsi satu sama lain. Jadi, sekolah di mana

seseorang diterima untuk menjadi murid lebih penting daripada jurusan yang dijalaninya dalam

studi. Sistem pendidikan Prancis dikenal dengan seleksi-seleksi (les concours) yang kuat pada

setiap jenjangnya, sehingga ada sekolah persiapan tersendiri untuk menghadapi concours itu.

Page 114: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

100

4.3.2.3 Sikap Murid dan Orang Tua Murid

Sistem pendidikan Prancis menetapkan bahwa seorang murid wajib belajar hingga usia 16

tahun dan usia 16 tahun itu bertepatan dengan tahun terakhir lycèe. Murid dan orang tua murid di

Prancis memiliki sikap yang berbeda terhadap pemilihan jurusan. Di antara ES dan S, walaupun

banyak murid yang dengan sadar memilih ES sebagai bidang yang mereka sukai, sebagaimana

halnya R83 dan R84 yang diwawancarai, tetapi pada diri orang-orang tua ada kebanggaan

tersendiri ketika anak-anak mereka masuk ke jurusan S.

Nampaknya ini menunjukkan terjadinya pergeseran paradigma yang baru-baru saja terjadi

dalam satu generasi terakhir. Secara keseluruhan para guru menyatakan ES dan S adalah dua

jurusan yang sama banyak peminatnya, bukan saja di LIF ini tetapi juga di sekolah-sekolah di

Prancis. Tetapi, di antara orang tua murid, mereka cenderung lebih menyukai jika anaknya masuk

ke jurusan S.

4.3.2.4 Hubungan antara Pendidikan dan Pekerjaan

Sistem pendidikan Prancis yang sangat mengandalkan persaingan untuk masuk ke sekolah-

sekolah lanjutan membuat gengsi masing-masing pribadi terkait kuat dengan sekolah asal

mereka. Pendidikan yang mereka tempuh akan mempengaruhi karier mereka, tetapi uniknya

sekolah tempat mereka menempuh pendidikan itu akan lebih berpengaruh dibandingkan dengan

jurusan yang mereka jalani. Perjuangan paling besar yang dijalani oleh para murid adalah dalam

upaya mereka untuk lolos dari concours yang dilaksanakan sebagai ujian saringan masuk ke

perguruan-Perguruan Tinggi yang terbaik yang bisa dijangkau, demi masa depan mereka.

Page 115: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

101

4.3.2.5 Ciri Khas Sistem Pendidikan Prancis

Dalam dua puluh tahun terakhir telah terjadi dua kali perombakan besar di dalam sistem

pendidikan Prancis dengan perombakan terakhir terjadi di tahun 2005. Dengan perombakan yang

terakhir ini sistem pendidikan Prancis memfokuskan diri untuk mengembangkan tujuh

kompetensi pada diri murid: 1) penguasaan bahasa Prancis, 2) penguasaan aktif satu bahasa

asing, 3) perolehan budaya Matematika dan Sains, 4) kefasihan teknologi informasi, 5)

penguasaan humaniora, 6) kompetensi sosial dan kewarganegaraan, dan 7) pengembangan jiwa

yang otonom dan berinisiatif.71

Dari ketujuh poin di atas, penguasaan bahasa Prancis, penguasaan humaniora serta

kompetensi sosial dan kewarganegaraan adalah poin-poin penting yang telah ada sejak sistem-

sistem pendidikan sebelumnya. Masyarakat Prancis telah lama menaruh perhatian penting pada

penguasaan kebudayaan secara umum. Setiap murid, apa pun jurusan yang diambilnya, harus

pula mendalami Filsafat, Bahasa Prancis, Sejarah-Geografi, serta Bahasa Inggris. Semua

pelajaran ini memberikan bekal yang dirancang untuk menjadi fondasi culture générale,

demikian tutur R82. Dengan culture générale ini diharapkan bidang apa pun yang mereka dalami,

mereka akan dapat memijakkan bidang kompetensi mereka itu pada sebuah wawasan kebudayaan

yang memberikan konteks kepada bidang kompetensi itu. R82 lebih lanjut memaparkan bahwa

bidang-bidang culture générale diharapkan menghindarkan orang dari pola pikir yang picik dan

kepakaran yang sempit.

Setiap guru di dalam sistem pendidikan Prancis dituntut untuk menguasai satu bidang studi

saja, sebagaimana halnya di dalam sistem pendidikan di Indonesia, tetapi guru-guru tidak

mendalami bidang studi ini di sebuah jurusan khusus ilmu keguruan. Seperti halnya dalam sistem

pendidikan Jerman, mereka yang berminat menjadi guru tetap kuliah di jurusan yang hendak

diampunya dan baru kemudian mengikuti kelas persiapan untuk concours dan memperoleh

Page 116: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

102

sertifikat profesional sebagai guru. Walaupun guru hanya menguasai satu bidang studi, kurikulum

Prancis memiliki kebanggaan dengan adanya kurikulum yang membuka wawasan murid kepada

ilmu secara luas dan tidak menspesialisasikan murid terlalu dini.

Dari pemaparan R82, terungkap keunikan lain dari sistem pendidikan Prancis, yaitu

penggabungan Sejarah dan Geografi ke dalam satu mata pelajaran dan pelajaran ini menjadi

pelajaran wajib untuk setiap murid di sepanjang masa studi mereka. Pelajaran Sejarah-Geografi

memberikan wawasan kewarganegaraan kepada murid-murid dan dipandang sebagai salah satu

pelajaran inti yang tak dapat diabaikan sebagai upaya pembangunan jati diri sebagai bangsa

Prancis. Walaupun diakui juga oleh para guru bahwa ilmu-ilmu sosial memiliki kegunaan yang

tak nampak secara langsung dalam pekerjaan dan pembangunan fisik, tetapi ilmu-ilmu sosial

dipandang memiliki fungsi yang penting sebagai fondasi dari struktur intelektual yang dimiliki

masing-masing orang serta struktur kebangsaan Prancis.

Sejarah, misalnya, dipandang bukan semata-mata sebuah pelajaran yang berisi fakta-fakta

tetapi sebuah upaya untuk menanamkan nilai-nilai kebangsaan dan mengasah keterampilan

menganalisis. Dengan menguasai Sejarah, orang akan dimampukan untuk memahami satu

keadaan dari berbagai sudut pandang, menganalisisnya secara tajam, berargumentasi dan

mengkritik sudut pandang yang ada serta menawarkan solusi atas isu yang dihadapi secara

komparatif sehingga bersama-sama dengan pihak-pihak lain bisa tiba pada satu pemahaman yang

lebih lengkap atas permasalahan yang dihadapi. Pelajaran Sejarah, dipandang dengan

pemahaman yang demikian, menjadi suatu ilmu yang fundamental untuk membentuk kesadaran

pribadi dan juga kesadaran publik. Penguasaan atas Sejarah akan memampukan orang untuk

menerapkan metodologi Sejarah dalam bidang ilmu apa pun yang digelutinya.

Bagi R82, seorang guru Sejarah-Geografi, mempelajari Sejarah pada dirinya sendiri juga

sangat mendasar untuk memampukan orang melihat dirinya di dalam konteks ruang dan waktu

Page 117: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

103

sehingga tidak kehilangan akar budaya. Di dalam era dunia yang mengglobal ini, sejarah lokal

bukannya menjadi tidak perlu, tetapi justru semakin perlu. Murid-murid perlu diajarkan

menemukan diri mereka dalam konteks sejarah internasional, regional, nasional dan lokal. Untuk

negara dengan keragaman budaya seperti Indonesia dan Prancis, menurut R82, budaya lokal tetap

perlu diajarkan dan tidak menjadi lenyap di dalam budaya nasional sehingga tidak terjadi

pemiskinan budaya. Malah, beliau berpendapat pula bahwa inilah yang menyebabkan ilmu-ilmu

sosial disingkirkan selama masa Orde Baru di Indonesia:

R82 : Saya pikir di Indonesia ya, ini pribadi ya, sistem Indonesia tidak bersikap adil terhadap

ilmu. Ada ilmu-ilmu yang ingin diasingkan sebagai dampak dari potitik yang

dilakukan pada masa Soeharto. Jadi itu adalah bagian dari tindakan politik yang ingin

menjauhkan masyarakat dari pemahaman kultural yang mendasar. Dengan Sejarah dan

Geografi orang akan memiliki pemahaman budaya yang lebih luas dan diperlengkapi

untuk melakukan kritik budaya, tentu di antaranya juga kritik terhadap pemerintah,

tetapi itu dilakukan secara sukarela, berdasarkan kesadaran pribadi. Ilmu itu sendiri

bukanlah bagian dari entitas politik. Dan hari ini, tidak ada lagi sentimen politik, tetapi

apa yang sudah terjadi sudah menjadi kebiasaan sehingga terjadi kesinambungan yang

berkepanjangan.

Sejarah-Geografi. Sejarah adalah ilmu yang sangat bernilai untuk membantu kita

memahami semua ilmu lainnya. Sejarah semuanya. Sejarah Kedokteran. Sejarah

Ekonomi. Sejarah Matematika. Sejarah Politik. Dengan belajar sejarah, kita belajar

menganalisis, belajar bersikap kritis, melihat hal-hal yang mendasar dalam setiap studi.

R81, seorang guru bahasa Jerman membandingkan sistem pendidikan Jerman dan Prancis

dengan mengatakan bahwa dalam sistem pendidikan Jerman, sangat penting orang bisa

berefleksi; dalam sistem pendidikan Prancis, ada kombinasi antara menghafal dan berefleksi;

tetapi kemampuan berefleksi tetap adalah satu hal yang sangat penting untuk dikuasai oleh setiap

orang.

Page 118: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

104

4.3.2.6 Kesimpulan

Jadi, dalam sistem pendidikan Prancis, keunikan yang ada adalah penekanan yang sangat

besar pada kebanggaan sebagai bangsa Prancis. Penekanan itu berbuah kepada upaya pendidikan

yang memberikan perhatian yang besar pula terhadap culture générale sebagai fondasi atas

struktur intelektual dan struktur kehidupan berbangsa. Ilmu-ilmu sosial diakui sebagai ilmu-ilmu

yang tidak memiliki kontribusi langsung terhadap pekerjaan dan pembangunan fisik, tetapi

disadari sebagai fondasi yang sangat penting bagi landasan kehidupan berbangsa.

4.4 Penutup

Dengan demikian hasil wawancara dengan para responden di kedelapan sekolah telah

dipaparkan. Kini kita akan beralih kepada analisis atas hasil wawancara ini di dalam Bab V.

Page 119: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

105

BAB V

ANALISIS

Dalam bab ini hasil wawancara yang telah dipaparkan di dalam Bab IV akan dianalisis

secara tematik berdasarkan indikator-indikator penelitian yang disajikan di dalam Bab III. Hasil

ini juga akan dianalisis menggunakan kedua pendekatan yang dipaparkan di dalam Bab II untuk

membawa kita kepada jawaban-jawaban atas pertanyaan penelitian. Dengan demikian, pertama-

tama akan dipaparkan hasil penelitian atas tujuan penyelenggaraan sekolah, kemudian hasil

penelitian atas persepsi kebernilaian ilmu-ilmu. Ketiga, hasil penelitian atas sikap ideal terhadap

ilmu-ilmu dan terakhir hasil penelitian atas kontribusi ilmu terhadap tujuan pendidikan nasional.

5.1 Tujuan Penyelenggaraan Sekolah

5.1.1 Sekolah-Sekolah Nasional

Dalam wawancara yang dilakukan kepada para responden di sekolah-sekolah nasional

Indonesia, tujuan orang tua mengirimkan muridnya ke sekolah beragam menurut kondisi sosio-

ekonomi orang tua. Dua sekolah berada di ekstrem dari spektrum jawaban ini, yaitu SMA Negeri

35 yang orang tuanya mengirim anaknya bersekolah antara lain untuk menghindarkan anak-anak

mereka dari pergaulan yang salah dan SPH yang orang tuanya mengirimkan anak sebagai bagian

dari satu alur pendidikan yang telah mereka tetapkan untuk anak-anak mereka. Dua alasan ini,

walaupun beranjak dari titik yang berbeda, membuat anak-anak tidak terlibat secara aktif di

dalam proses pendidikan yang mereka sendiri jalani. Bagi murid-murid ini, mereka bukanlah

aktor yang aktif dalam kehidupan mereka sendiri, melainkan hanya diarahkan oleh orang tua

mereka di dalam ketidaktahuan dan terkadang dalam ketidakpedulian mereka.

Page 120: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

106

Baik guru-guru di SMA Negeri 35 maupun di SPH sama-sama menyatakan bagaimana

murid-murid mereka perlu dimotivasi terus-menerus untuk menumbuhkan semangat dan

menyadarkan bahwa ada sesuatu yang bisa diperjuangkan dan diraih. Di kedua sekolah ini,

pemilihan jurusan bukanlah suatu isu yang esensial bagi murid-murid selain soal gengsi atau

kesantaian dalam menjalani studi yang berkaitan dengan jurusan yang mereka pilih. Murid-murid

tidak melihat bahwa studi yang mereka jalani adalah bagian dari kehidupan yang harus mereka

tempuh kelak dengan tanggung jawab pribadi yang melekat pada diri mereka di dalam studi ini.

Di SMA Negeri 35, guru-guru melakukan proses pendidikan untuk mempersiapkan murid-

murid mereka untuk siap bekerja kendati kurikulum yang mempersiapkan murid-murid ini untuk

siap melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Hal ini harus dilakukan karena

kondisi sosio-ekonomi masyarakat di mana mereka berada. Proses belajar yang demikian sangat

penting karena guru-guru ini berupaya untuk membawa murid-murid yang dalam keterbatasan

lingkungan dan sumber dayanya berubah dari sekedar seseorang yang memiliki sikap seorang

korban yang tak berdaya di dalam kehidupan mereka kepada keadaan di mana mereka memiliki

kesadaran bahwa ada sesuatu yang bisa diubah, yaitu mereka menjadi berpengetahuan dan untuk

beberapa orang yang beruntung, mereka bahkan bisa menjadi pelaku-pelaku yang aktif mengubah

kehidupan mereka, keluar dari perangkap kondisi sosio-ekonomi keluarga mereka.

Bagi murid-murid di SMA Tarakanita 1, ekstra kurikuler yang ditawarkan sekolah

merupakan daya tarik sendiri untuk menempuh pendidikannya di sekolah itu. Hal ini

dimanfaatkan oleh pihak sekolah untuk mengembangkan bakat kepemimpinan dan kemandirian

murid melalui kegiatan-kegiatan ekstra kurikuler yang ditawarkannya. Di Kolese Gonzaga /

Seminari Wacana Bhakti, pendidikan yang ditujukan untuk para calon imam ini memiliki

pendekatan yang khas untuk mengembangkan kemampuan anak berefleksi dan menentukan

pilihan sehingga digunakan pendekatan yang holistik. Di kedua sekolah ini, murid-murid dididik

Page 121: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

107

untuk berperan lebih aktif di dalam proses pendidikan mereka sendiri dan keluar sebagai

manusia-manusia mandiri yang bisa berkontribusi bagi orang di sekitarnya. Inilah murid-murid

yang bisa menjadi pelaku aktif di dalam kehidupan mereka, memilih dan memanfaatkan studi

sesuai dengan panggilan mereka dalam hidup.

Sekolah-sekolah lainnya menyelenggarakan pendidikan untuk mengantarkan anak-anaknya

ke bangku Perguruan Tinggi dengan bekal akademik yang kuat, tetapi dari wawancara yang

dilakukan tidak nampak adanya tujuan besar lainnya selain persiapan menuju bangku Perguruan

Tinggi.

5.1.2 Sekolah-Sekolah Internasional

Bagi DIS, tujuan penyelenggaraan sekolah yang terdengar sangat jelas melalui pernyataan

para guru maupun murid adalah kemandirian individu. Hal ini terjadi baik melalui hidden

curriculum, kurikulum lintas-pelajaran, hingga kepada pemberian tugas-tugas dan model belajar

di dalam kelas. Sekolah hadir untuk membentuk jati diri yang utuh pada diri masing-masing

murid sehingga menjadi pribadi yang mandiri sejak sedini mungkin.

Di LIF, tujuan penyelenggaraan sekolah yang terdengar sangat jelas melalui pernyataan

para guru maupun murid adalah pembangunan jiwa dan kebanggaan sebagai bangsa Prancis. Hal

ini dilakukan melalui ilmu-ilmu sosial yang diposisikan sebagai fondasi bagi ilmu-ilmu lainnya di

dalam pembentukan pola pikir para murid sepanjang masa studi.

5.2 Persepsi Kebernilaian Ilmu-Ilmu

5.2.1 Sekolah-Sekolah Nasional

Pernyataan yang terungkap berulang kali dari berbagai responden adalah bahwa IPA

dipandang superior terhadap IPS karena adanya sisi matematis yang dominan di dalam pelajaran-

Page 122: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

108

pelajaran IPA dan nyaris tidak ada di dalam pelajaran-pelajaran IPS. Keterampilan berhitung

nampaknya adalah satu kompetensi yang sangat dihargai oleh masyarakat sehingga ilmu-ilmu

yang tidak mengembangkan keterampilan dipandang sebagai ilmu nomor dua.

Responden guru di SMA Tarakanita dan SPH yang merupakan kalangan ekonomi

menengah ke atas bahkan menyatakan bahwa IPS bisa saja memiliki gengsi yang setara dengan

IPA asalkan murid-murid IPS diajarkan Matematika untuk digunakan dalam analisis sosial.

Artinya, kalaupun IPS bisa dipandang setara dengan IPA, kesetaraan itu bukanlah sesuatu yang

inheren pada ilmu-ilmu sosial itu sendiri dengan metodologinya tetapi harus dicapai dengan

menggunakan metodologi ilmu-ilmu alam untuk menganalisis masalah ilmu-ilmu sosial. Ini

adalah pendekatan yang sangat positivistik.

Di SMAK 3 BPK Penabur, SPH, Tarakanita 1 dan Ketapang semua atau hampir semua

alumni mereka bisa dipastikan akan melanjutkan pendidikannya ke Perguruan Tinggi sehingga

pemilihan jurusan berkaitan dengan jurusan yang hendak dipilih di Perguruan Tinggi. Di antara

sekolah-sekolah ini, murid-murid SMAK 3 BPK Penabur secara umum nampak paling realistis

memilih jurusan yang sejalan dengan rencana mereka untuk mendalami studi tertentu di

Perguruan Tinggi sehingga berani mengambil jurusan IPS. Di tempat lainnya, murid-murid

mengambil jurusan IPA entah karena paksaan orang tua atau untuk mencari aman karena belum

mengetahui jurusan apa yang hendak ditekuninya di Perguruan Tinggi.

Satu temuan yang menarik adalah munculnya fenomena tempat les sebagai komplemen dari

sekolah. Disebutkan di SMAK 3 BPK Penabur dan SPH bahwa kebijakan pemerintah

membebaskan murid dari jurusan apa pun di SMA untuk bebas memilih jurusan di Perguruan

Tinggi membuat hal terpending yang dibutuhkan dari pendidikan di SMA dan tidak bisa

didapatkan di tempat lain adalah ijazahnya. Untuk bisa masuk ke Perguruan Tinggi, murid-murid

bahkan bisa lebih mengandalkan bimbingan les yang menawarkan materi yang spesifik sesuai

Page 123: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

109

kebutuhan murid untuk mengikuti ujian masuk di Perguruan Tinggi. Seorang murid yang hendak

masuk ke IPA karena ingin masuk ke Fakultas Kedokteran tetapi ditolak bisa tetap bersekolah di

jurusan IPS dan tetap masuk ke Fakultas Kedokteran dengan mengikuti bimbingan les. Bahkan,

seorang murid bisa juga sengaja memilih jurusan IPS yang tuntutan akademiknya lebih ringan

dan mengkomplemenkan studinya di jurusan IPS dengan bimbingan belajar untuk masuk ke

Perguruan Tinggi.

Jadi, dari sikap-sikap yang dijumpai ini dapat disimpulkan bahwa komunitas sekolah

sendiri tidak mempercayai bahwa IPA dan IPS bisa menduduki posisi yang setara dalam tataran

ilmu-ilmu. IPS hanya bisa setara dengan IPA jika menggunakan metodologi IPA. Tetapi, dalam

konteks pendidikan di SMA, yang paling bernilai bukanlah ilmu yang didapat dari IPA atau dari

IPS melainkan ijazahnya karena kompetensi atas ilmu itu sendiri bisa didapatkan secara à la

carte dari tempat bimbingan belajar.

5.2.2 Sekolah-Sekolah Internasional

DIS memiliki kurikulum Sains yang lebih kuat dibandingkan dengan kurikulum-kurikulum

nasional lainnya. Walaupun demikian, tidak berarti bahwa DIS mengabaikan ilmu-ilmu sosial.

Bahkan sebaliknya, sementara Sains merupakan bagian dari pelajaran konsentrasi pilihan, ilmu-

ilmu sosial dijadikan bagian dari pelajaran wajib. Setiap murid dipaparkan kepada suatu spektrum

ilmu, dari kesenian dan olahraga hingga sains dan filsafat. Penerimaan atas seluruh spektrum

ilmu ini dilakukan dengan membuat orang memiliki wawasan yang terbuka serta kreativitas

dalam bidang apa pun yang ditekuninya karena perspektif-perspektif yang dimilikinya dari

bidang-bidang ilmu lain yang terpapar kepada wawasannya. Hal yang sama menjadi nyata juga

melalui pendidikan guru yang dilakukan dengan mewajibkan guru setidaknya menguasai dua

bidang studi untuk diampu.

Page 124: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

110

Salah satu hal yang paling dibanggakan oleh LIF adalah kurikulumnya yang memiliki

cakupan yang luas. Di dalam kurikulum LIF, disadari bahwa ilmu-ilmu sosial tidak memiliki

kontribusi yang langsung dan nyata terhadap pekerjaan dan pembangunan fisik, tetapi ilmu-ilmu

sosial sangat dihargai sebagai fondasi yang tak terabaikan dalam upaya pendidikan setiap murid

menjadi manusia Prancis dengan jiwa kebangsaan yang kuat. Maka, di dalam kurikulum Prancis,

sementara ilmu-ilmu alam tersedia sebagai salah satu pilihan konsentrasi studi, ilmu-ilmu sosial

diwajibkan untuk diambil oleh semua murid.

5.3 Sikap Ideal terhadap Ilmu-Ilmu

Di dalam rumusan tujuan pendidikan nasional Indonesia dinyatakan bahwa kita hendak

menghasilkan warga negara yang, antara lain, berakhlak mulia, mandiri dan menjadi warga

negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Tetapi, dari hasil wawancara yang dilakukan di

dalam rangkaian penelitian ini terlihat bahwa sikap yang dihasilkan oleh sistem pendidikan

nasional Indonesia pada diri guru-guru dan murid-murid, juga para orang tua murid, adalah sikap

yang sangat pragmatis. Masa SMA dipandang semata-mata sebagai satu langkah yang harus

dilalui untuk tiba pada jenjang Perguruan Tinggi dan kemudian pada dunia pekerjaan. Tidak ada

satu hal penting yang bisa secara khusus diperoleh murid-murid dari masa SMA ini, kecuali dari

para responden di SMA Gonzaga / Seminari Wacana Bhakti yang menekankan pentingnya

pengembangan keterampilan berefleksi dan bertanggung jawab.

Sebagaimana halnya dalam sistem pendidikan Jerman orang tua mengarahkan murid untuk

memilih Gymnasium, dalam sistem pendidikan Indonesia orang cenderung memaksa anaknya

memilih IPA ketimbang jurusan lainnya karena jurusan itu membuka pintu kesempatan yang

lebih luas. Tetapi, pada sistem pendidikan Jerman pemilihan itu dibuat pada kelas V sedangkan

pada sistem pendidikan Indonesia pemilihan itu dibuat pada kelas X, pada suatu usia yang jauh

Page 125: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

111

lebih matang. Pada sistem pendidikan Jerman ada murid yang sudah harus menentukan

pilihannya untuk mandiri dan bekerja serta memilih sekolah kejuruannya sendiri selepas kelas IX.

Sistem Jerman nampak mengembangkan kemandirian yang besar pada diri murid, suatu hal yang

tercantum dalam tujuan pendidikan nasional kita tetapi tidak nampak di dalam proses pemilihan

jurusan di kelas X ini.

Jurusan ES di dalam sistem pendidikan Prancis tidak lebih santai daripada jurusan S. Ketika

murid memilih ES, ia pun harus mengasah keterampilan menganalisisnya dengan baik. Ketika

murid memilih S, ia pun harus belajar culture générale untuk memampukannya melakukan

analisis dalam bidang kompetensinya di S dengan baik. Kemampuan analisis yang diasah pada

masing-masing bidang adalah unik karena itu murid dipaparkan kepada kedua bidang ini

sehingga memiliki wawasan yang luas dalam berpikir dan memecahkan masalah. Masing-masing

ilmu memiliki metodologi dan kewibawaannya sendiri. ES tidak harus meminjam metodologi S

untuk dapat dihargai dengan baik.

Sikap-sikap yang dijumpai pada sistem pendidikan Jerman dan Prancis ini adalah sikap-

sikap yang menghargai baik ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu alam sesuai dengan porsinya masing-

masing dan pada tempatnya. Dari hasil yang mereka capai dalam pendidikan mereka

menggunakan perspektif ini, kita bisa mengatakan dengan yakin bahwa masing-masing ilmu

memiliki tempatnya sendiri di dalam tatanan ilmu-ilmu, masing-masing dapat memiliki

metodologi yang sah untuk ruang lingkupnya masing-masing tanpa harus diperbandingkan satu

sama lain.

Dari psikologi Gestalt kita belajar bahwa pendidikan terutama diperlukan untuk membawa

manusia kepada momen pencerahan. Tugas guru adalah menuntun murid-muridnya di dalam

proses pendidikan agar murid-muridnya tiba pada momen-momen penemuan-penemuan yang

membuat dia bertumbuh di dalam pemahaman terhadap dunia nyata. Guru hadir sebagai

Page 126: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

112

penuntun yang membantu murid memaknai pengalaman yang baru ditemuinya itu sehingga bisa

diintegrasikan dengan baik dalam pemahaman muridnya terhadap dunia. Psikologi Gestalt secara

gamblang menolak metode pengajaran secara menghafal karena pembelajaran yang dihasilkan

dapat diperoleh tanpa perlu bersekolah.

Sistem pendidikan di DIS dan LIF menunjukkan bagaimana pembelajaran yang utuh dapat

dilakukan di sekolah. Sistem pendidikan DIS, khususnya, sangat baik menjabarkan apa yang

psikologi Gestalt katakan sebagai penguasaan hal-hal yang esensial bagi kehidupan. Integrasi

yang baik antara berbagai disiplin ilmu serta penekanan materi kurikuler pada hal-hal yang

esensial bagi pengembangan kepribadian yang mandiri dan bertanggung jawab sejak dini

merupakan pengejawantahan dari penggunaan ―psychological events‖ yang cenderung dimaknai

secara bermakna dan lengkap.

Dengan mengkombinasikan antara hidden curriculum secara terencana dan pelajaran-

pelajaran lintas-kurikulum, sistem pendidikan di DIS sebenarnya tengah memberikan

pengalaman-pengalaman yang bermakna dan lengkap, suatu upaya yang secara tidak sadar

mengondisikan murid sejak usia yang sangat dini kepada nilai-nilai yang disodorkan melalui

kurikulum-kurikulum itu, baik nyata maupun tesembunyi.

Jika pemerintah Indonesia hendak mencapai tujuan pendidikan nasional yang

dijabarkannya dengan sangat baik, maka bercermin dari psikologi Gestalt dan penerapannya pada

kurikulum DIS, pemerintah perlu dengan serius merancang hidden curriculum yang terintegrasi

dengan baik. Tentu, ini mewajibkan peran serta yang aktif dan dinamis dari guru-guru sebab

hanya guru-guru yang kompetenlah yang mampu menjalankan hidden curriculum tersebut.

Kurikulum Jerman bukanlah kurikulum yang mengandalkan dokumen-dokumen untuk

menjabarkan ―nilai-nilai‖ yang hendak ditanamkan pada diri murid-murid dan menatar guru-guru

untuk memahami nilai-nilai itu. Nilai-nilai tersebut hadir di dalam kehidupan para guru yang

Page 127: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

113

memang telah melalui proses pendidikan yang matang, termasuk di antaranya dengan tuntutan

menguasai sekurang-kurangnya dua mata pelajaran untuk memperluas wawasannya.

Pendidikan Indonesia, untuk mencapai titik tolak yang serius, perlu mempertimbangkan

dengan baik-baik bagaimana menghasilkan guru-guru yang memiliki wawasan luas dan mampu

menyusun serta melaksanakan strategi pembelajaran yang holistik kepada murid-muridnya

ketimbang strategi yang fragmentaris hanya pada mata pelajaran yang diampunya sendiri.

Dari sisi lain, infrastruktur pendidikan yang digunakan di LIF nampaknya lebih menyerupai

sistem pendidikan yang kita miliki di Indonesia. Guru-guru yang hanya dituntut menguasai satu

bidang studi, sistem ujian pada setiap jenjang pendidikan, juga struktur pemilihan jurusan antara

ES (IPS), S (IPA) dan L (Bahasa). Menilik sistem pendidikan Prancis, pengondisian untuk

menghasilkan pembelajaran yang terintegrasi lebih terletak pada sistemnya daripada pada guru-

gurunya. Guru hanya dituntut untuk menguasai satu ilmu, tetapi murid-murid diwajibkan untuk

belajar Filsafat, bahasa Prancis, Sejarah-Geografi, serta bahasa Inggris.

Filsafat ide kosmonomis mengatakan bahwa ada aspek-aspek pengalaman hidup manusia

yang sangat esensial untuk mendefinisikan kemanusiaan kita dan ada pula aspek-aspek

pengalaman hidup manusia yang kita bagi bersama dengan makhluk hidup lainnya dan juga

benda-benda mati. Aspek-aspek yang pertama disebut aspek-aspek normatif dan aspek-aspek

yang kedua ini disebut aspek-aspek anormatif.

Menilik sistem pendidikan Prancis dari segi filsafat ide kosmonomis, nampak jelas bahwa

sistem pendidikan Prancis menempatkan aspek-aspek normatif sebagai landasan yang wajib

dikuasai oleh semua orang yang terlibat di dalam sistem pendidikannya. Fisafat menempati

urutan ke-14 pada aspek-aspek filsafat ide kosmonomis, bahasa Prancis sebagai bahasa ibu

adalah aspek ke-9 dan 12, materi yang dicakup dalam Sejarah-Geografi mencakup aspek-aspek

ke 7-11, sedangkan bahasa Inggris sebagai bahasa internasional adalah aspek ke-9.

Page 128: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

114

Sangat mudah dan alami bagi sistem pendidikan untuk mengutamakan aspek-aspek

anormatif dalam sistem pendidikannya sebagaimana telah dijabarkan dalam Bab II. Tetapi jika

pemerintah serius hendak mencapai tujuan nasional yang dirumuskannya, maka tak terhindarkan,

aspek-aspek normatiflah yang harus ditargetkan untuk dicapai sebagai landasan pendidikan yang

holistik untuk setiap murid dan setiap guru untuk diperjuangkan.

5.4 Kontribusi Ilmu terhadap Pencapaian Tujuan Pendidikan Nasional

Di dalam studi yang dilakukan nampak jelas bahwa para responden dari sekolah-sekolah

nasional, kecuali R51, tidak memiliki satu perspektif yang holistik dan gamblang terhadap

seluruh ilmu dan bagaimana ilmu-ilmu itu bisa hadir bersama secara setara untuk memampukan

manusia memaknai pengalaman hidupnya. Sebaliknya, perspektif yang holistik itu nampak jelas

pada para responden dari DIS dan LIF walaupun dengan cara yang berbeda.

DIS menggunakan sebuah pendekatan lintas-kurikulum yang disinergikan dengan hidden

curriculum pada tingkat dasar sehingga menjadi piramida yang kokoh bagi murid-murid untuk

mengambil studi mendalam di salah satu bidang pada tingkat Gymnasium. Walaupun memiliki

penekanan materi dalam Sains, DIS juga memberikan penekanan yang konsisten pada bidang-

bidang pendukung seperti olahraga, kesenian dan filsafat yang harus dikuasai oleh para murid

sementara para guru memiliki ide yang jelas bagaimana disiplin-disiplin ini berkontribusi bagi

pengembangan jati diri murid yang utuh.

Sementara itu, LIF menggunakan pendekatan yang menempatkan aspek-aspek normatif

filsafat ide kosmonomis sebagai landasan yang kokoh bagi pengembangan struktur intelektual

yang solid serta jiwa kebangsaan yang kuat. Dengan membangun aspek-aspek normatif inilah

sistem pendidikan Prancis dapat menjamin bahwa ia akan menghasilkan warga negara yang baik,

yang mampu ―menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.‖

Page 129: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

115

Maka, paradigma yang perlu dikembangkan di antara anggota-anggota masyarakat untuk

mencapai tujuan pendidikan nasional Indonesia adalah bahwa setiap ilmu yang ada, hadir dari

kebutuhan manusia untuk memahami dan memaknai pengalaman hidupnya. Karena itu, setiap

ilmu hadir dengan ruang lingkup dan pendekatannya masing-masing yang unik. Jika kita ingin

menciptakan manusia yang utuh, maka pengalaman hidup manusia pun perlu ditangani secara

utuh. Kita tidak bisa mengharapkan menghasilkan manusia yang utuh sementara hanya sebagian

dari sisi-sisi pengalaman kemanusiaan yang diasah.

Tugas pemerintah di dalam upaya mewujudnyatakan sistem pendidikan nasional adalah

dengan berpikir strategis dan bertindak secara strategis pula dalam konteks ilmu pendidikan.

Setiap ilmu memiliki tempatnya sendiri di dalam tatanan ilmu, pertanyaannya adalah bagaimana

kita memanfaatkan masing-masing ilmu itu sesuai dengan naturnya, untuk membantu kita

memaknai pengalaman hidup kita dan membentuk ruang publik yang kita inginkan bersama,

sebuah negara yang demokratis dan sebuah bangsa yang berperadaban tinggi.

Dengan pembahasan ini, maka kini kita akan memasuki Bab VI, kesimpulan dan saran.

Page 130: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

116

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan analisis yang telah diuraikan di atas, maka kini pertanyaan-pertanyaan

penelitian yang diajukan akan dijawab sebagai kesimpulan dari penelitian yang telah dilakukan.

1. Superioritas IPA terhadap IPS nyata pada pandangan sejumlah guru maupun orang tua

murid, tetapi pada murid-murid kesan superioritas IPA terhadap IPS ini berkurang sangat

jauh. Murid-murid bisa bersikap lebih realistis terhadap perbedaan IPA dan IPS sebagai dua

disiplin ilmu yang berbeda untuk orang-orang dengan minat dan rencana hidup yang

berbeda.

2. Superioritas IPA terhadap IPS terjadi karena dua faktor: a) Matematika dipandang sebagai

ilmu kunci untuk menjadi pintar, dan b) tuntutan studi yang padat dan lebih menantang di

IPA sehingga membentuk disiplin dan etos yang lebih baik.

3. Faktor kedua (2b) tersebut mencuat karena masa-masa kelas XI dan XII di SMA dipandang

semata-mata hanya sebagai satu segmen dari masa studi yang harus dilalui dengan memilih

antara IPA atau IPS sebelum mereka bisa tiba di bangku Perguruan Tinggi. Kenyataannya,

secara umum para responden tidak merasa bahwa studi di tingkat SMA, entah IPA maupun

IPS, memiliki korelasi sedemikian jauh hingga kepada pekerjaan maupun potensi

penghasilan.

4. Di Perguruan Tinggi-lah isu-isu pekerjaan dan potensi penghasilan dibicarakan dan

kenyataannya di tingkat Perguruan Tinggi orang tua tidak lagi mengunggulkan Fakultas

Teknik maupun Kedokteran apalagi MIPA, melainkan Fakultas Ekonomi. Ini membuktikan

Page 131: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

117

bahwa MIPA tidak diunggulkan demi MIPA itu sendiri. Pendidikan di SMA dipandang

terutama penting untuk membentuk karakter, kedisiplinan dan membukakan wawasan yang

luas, tetapi tidak untuk persiapan bekerja maupun melulu untuk memperoleh penghidupan

yang layak.

5. Sikap pragmatis terhadap pendidikan di SMA nampak dari pilihan bersekolah di jurusan

IPS (―agar santai‖) dan mengkombinasikannya dengan bimbingan belajar. Artinya, SMA

diperlukan untuk mendapatkan ijazahnya sedangkan penguasaan materi sebagai pijakan

untuk kuliah justru adalah hal sekunder yang bisa didapatkan dengan upaya mandiri atau

dari bimbingan les.

6. Jadi, dapat disimpulkan bahwa proses belajar di SMA bukanlah suatu hal yang dipandang

sangat berharga dan tak tergantikan. Hal ini dapat dipahami ketika pendidikan menekankan

fokusnya pada aspek-aspek anormatif dalam filsafat ide kosmonomis, maka penguasaan

materi dipandang jauh lebih penting dibandingkan diskusi yang terjadi untuk tiba pada

pemahaman bersama sehingga hasil belajar pun dipandang lebih penting dibandingkan

dengan proses belajarnya sendiri.

7. Perlu dicatat bahwa hasil wawancara dengan para responden di sekolah-sekolah Indonesia

tidaklah seragam. Secara umum dapat dikatakan ada dua suara yang disonan terhadap

keseluruhan respon, yaitu R21 dan R51. Kedua responden ini memberikan jawaban yang

menyerupai idealisme yang dipaparkan oleh para responden dari DIS dan LIF dalam sikap

mereka terhadap ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial. Tetapi jawaban mereka ini

nampaknya lebih berupa idealisme pribadi yang hendak mereka bentuk ke dalam dinamika

sekolah mereka masing-masing karena jawaban-jawaban dari tiga orang responden lainnya

di sekolah masing-masing tidak mengkonfirmasikan jawaban mereka.

Page 132: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

118

6.2 Saran

1. Pemerintah perlu mengejawantahkan tujuan pendidikan nasional yang telah dirumuskannya

secara strategis ke dalam kebijakan-kebijakan yang sejalan dengan tujuan itu sehingga

dihasilkan proses belajar yang bermakna bagi setiap murid.

2. Pengejawantahan itu dilakukan secara sistemik, termasuk di antaranya dengan

memperhatikan nilai inheren masing-masing ilmu sesuai dengan ruang lingkup ―hukum‖-

nya sebagaimana dipaparkan oleh Dooyeweerd dan juga memperhatikan pembentukan

hidden curriculum.

3. Dalam konteks hidden curriculum, pemerintah perlu dengan serius mengondisikan

terjadinya hidden curriculum yang terintegrasi dengan baik sehingga peranan sekolah

bukanlah sebagai tempat diseminasi informasi belaka, tetapi lebih mendekati apa yang

dikatakan oleh Rhenald Kasali:72

Kepintaran seseorang dalam dunia akademis bukan penentu tunggal dalam kesuksesan hidup.

Bahkan, bukan itu pula tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan adalah untuk memperbaiki cara

berpikir seseorang, sekaligus membebaskan manusia dari berbagai belenggu mitos yang

mengikatnya.

4. Setiap orang yang berkepentingan di dalam dunia pendidikan, baik guru, orang tua murid,

maupun pemerintah, perlu belajar menghargai keunikan masing-masing ilmu sehingga

manusia bisa memahami dan memaknai pengalaman hidupnya dengan lebih utuh dan

menyeluruh. Apa yang dikatakan Heryanto dalam tulisannya Ideological Baggage and

Orientations of the Social Sciences in Indonesia, adalah suatu hal yang harus kita

tinggalkan:73

Viewed from an extreme vantage point, the social sciences in Indonesia have always openly

and almost totally been in the service of whatever government was in power. The change in

rulers over thesame state, from the formation of the colonial Dutch Indies state to that of the

Republic of Indonesia post-1998, has not brought with it any radical change in the character

Page 133: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

119

or orientation of the interests of the government, nor in the policies used to promote the

development of the social sciences.

5. Di tengah kurangnya peran serta pemerintah secara strategis terhadap pencapaian tujuan

pendidikan nasional, maka sekolah-sekolah dapat berinisiatif mengemukakan program-

program unggulan yang sesuai dengan karakteristik siswanya untuk menjawab kebutuhan

masyarakat yang dilayaninya, seperti guru-guru SMAN 35 yang memberi pembekalan

vokasional murid-murid mereka dan program-program ekstra kurikuler SMA Tarakanita 1.

6. Insan-insan pendidikan yang memiliki idealisme mereka sebagaimana R21 dan R51 yang

dinyatakan dalam poin kesimpulan ke-7 perlu melakukan sinergi yang lebih luas untuk

mencapai momentum perubahan sehingga dapat terjadi perbaikan di dalam sistem

pendidikan Indonesia, untuk pendidikan yang berpusat pada murid.

6.3 Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif berupa wawancara semi-terstruktur

sehingga, tidak seperti metode kuantitatif yang berupaya untuk memperoleh gambaran

menyeluruh atas suatu kondisi yang kemudian akan diperhitungkan mewakili seluruh populasi,

penelitian ini tidak berpretensi hendak menyajikan gambaran menyeluruh yang dianggap

mewakili seluruh populasi. Metode penelitian kuantitatif terkait erat dengan positivisme yang

berupaya untuk memperoleh gambaran yang seeksak mungkin dan didasarkan atas keyakinan

bahwa gambaran yang eksak itu memang dapat dipaparkan.74

Dengan memilih metode kualitatif, maka nilai penting penelitian ini bukanlah pada upaya

untuk memperoleh gambaran yang menyeluruh atas kondisi masyarakat sesuai pertanyaan

penelitian yang dipaparkan, melainkan pada upaya untuk memperoleh pemahaman yang

Page 134: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

120

mendalam pada diri sekelompok responden yang dipilih. Metode wawancara semi-terstruktur

memiliki kelemahan utama:75

Important and salient topics may be inadvertently omitted. Interviewer flexibility in

sequencing and wording questions can result in substantially different reesponses from

different perspectives, thus reducing the comparabiilty of responses.

Sedangkan, kekuatan dari metode ini adalah:76

The outline increases the comprehensiveness of the data and makes data collection somewhat

systematic for each respondent. Logical gaps in data can be anticipated and closed.

Interviews remain fairly conversational and situational.

Keterbatasan lainnya dari penelitian ini adalah pada keragaman sekolah responden.

Walaupun telah diupayakan tersedianya pilihan sekolah yang lebih beragam sebagai responden

untuk mewakili tradisi-tradisi yang khas dalam dunia persekolahan di Indonesia – seperti

madrasah atau sekolah Islam, sekolah negeri dari tingkat sosio-ekonomi yang berbeda serta

sekolah swasta yang tidak berbasis agama – tetapi ternyata banyak sekolah enggan membuka

dirinya untuk menjadi responden atas penelitian ini. Demikian juga pada sekolah-sekolah

internasional. Telah diupayakan lebih banyak sekolah internasional untuk menjadi pembanding,

tetapi banyak yang enggan membuka dirinya untuk menjadi responden.

Keterbatasan ketiga terletak pada urutan wawancara yang dilakukan pada sekolah-sekolah

responden. Wawancara pertama-tama dilakukan pada ke-6 sekolah nasional dan baru kemudian

dilakukan wawancara pada sekolah-sekolah internasional. Hal ini dimaksudkan untuk

membandingkan jawaban para responden di sekolah-sekolah nasional dengan para responden di

sekolah-sekolah internasional. Tetapi, ketika ternyata dalam wawancara pada sekolah-sekolah

internasional ditemukan hal-hal baru yang tak terduga sebelumnya, temuan-temuan ini tak dapat

lagi ditanyakan kembali kepada para responden di sekolah nasional, baik karena para murid yang

Page 135: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

121

diwawancarai sudah menempuh ujian nasional sehingga tidak boleh dihubungi lagi dan juga

karena keterbatasan waktu penelitian.

6.4 Saran untuk Penelitian Lanjutan

Dari penelitian ini ternyata hipotesis pertama bahwa ―sekolah-sekolah di Indonesia

diselenggarakan dengan fokus untuk menyiapkan lulusan-lulusan yang ‗siap pakai‘ di dunia

pekerjaan‖ kurang tepat karena didapati bahwa yang terpenting dari sekolah adalah ijazahnya.

Kompetensi sendiri bukanlah satu hal yang penting untuk didapatkan di sekolah karena bisa

didapatkan dari tempat les.

Penelitian lebih lanjut dapat dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh murid-murid dan

orang tua mereka mengandalkan tempat-tempat les dan guru-guru les privat untuk mencapai

keberhasilan di sekolah. Juga, dapat diteliti apakah keberhasilan di sekolah itu dicapai untuk

menguasai ilmu tertentu atau sekedar melalui jenjang pendidikan yang tengah dihadapi hingga

ijazah didapatkan. Jika tempat les dan guru les bisa memberikan keberhasilan yang baik di

sekolah, dapat diteliti juga apakah keberhasilan itu didasarkan atas kemampuan tempat les dan

guru les untuk mendidik murid menjadi kompeten dengan cara dan dalam bidang yang tidak

dikuasai oleh guru di sekolah atau semata-mata melalui penyiapan murid untuk menghadapi pola

ujian tertentu yang diberikan oleh sekolah. Hubungan antara les dan sekolah dapat menjadi topik

yang menarik dan cukup luas untuk dikaji lebih dalam sebagai cermin bagi lembaga-lembaga

pendidikan formal untuk mengetahui seberapa efektif lembaga-lembaga formal ini sebenarnya

dalam menjalankan fungsi yang seharusnya menjadi raison d’être-nya.

Elemen yang sangat penting dari sebuah sistem pendidikan adalah guru-gurunya. Dapat

diteliti bagaimana guru-guru masing-masing bidang studi menguasai ilmunya sebagai seorang

cendekiawan. Juga, lebih jauh lagi dapat diteliti seberapa baik guru itu menguasai metode-metode

Page 136: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

122

ilmunya sehingga dapat menyajikan ilmunya secara menyeluruh, menarik dan mendalam tanpa

harus menggantungkan nasibnya melulu kepada metode ilmu-ilmu alam seperti Statistika. Dalam

kaitannya dengan kompetensi guru, proses penyiapan seseorang untuk menjadi guru bisa juga

menjadi bahan penelitian yang menarik karena permasalahan yang ada di hadapan ini sangat

mungkin merupakan masalah sistemik yang juga menyangkut model pendidikan guru yang

dilakukan di Indonesia.

Penelitian lebih lanjut dapat dilakukan untuk menyelidiki bagaimana bentuk konkret dari

sebuah model pendidikan holistik yang baik untuk bangsa Indonesia yang besar ini sehingga

model pendidikan ini dapat mengembangkan jati diri bangsa Indonesia yang di satu sisi siap

menjawab tantangan kemajuan zaman, tetapi di sisi lain juga berakar pada budaya bangsa.

Dengan demikian diharapkan Indonesia akan mempunyai modal yang lebih kuat untuk

menghasilkan sebuah kurikulum nasional yang kokoh dan efektif dalam mencapai tujuan

pendidikan nasional yang telah dirumuskan dengan baik. Kurikulum nasional yang

dikembangkan atas dasar penelitian akan jauh lebih baik dibandingkan kurikulum yang

dikembangkan dengan mengadopsi kurikulum lain yang telah berhasil di masyarakat lain tanpa

direfleksikan terlebih dulu, karena itu penelitian untuk mengenali kondisi yang lebih tepat

mengenai masyarakat Indonesia perlu dilakukan.

Penelitian lainnya yang dapat dilakukan sebagai tindak lanjut dari penelitian ini adalah

bagaimana penghargaan terhadap ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial mempengaruhi keputusan

lulusan SMA dalam menentukan studi lanjutannya dan menentukan kariernya hingga akhirnya

pada tingkat yang lebih luas akan mempengaruhi daya saing Indonesia di tengah kemajuan sains

dan teknologi serta juga menjadi faktor penentu masa depan peradaban bangsa ini.

Dalam hubungannya dengan perguruan tinggi, kesinambungan antara proses belajar di

SMA, ujian nasional yang diwajibkan kepada semua murid SMA, ujian masuk ke perguruan-

Page 137: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

123

perguruan tinggi baik swasta maupun negeri, serta kompetensi dasar yang dituntut dari seorang

mahasiswa baru dapat diselidiki sebagai cermin untuk menilai kemenyeluruhan sistem

pendidikan yang dijalankan oleh pemerintah Indonesia. Pembandingan antara standar kompetensi

lulusan SMA dibandingkan dengan standar kompetensi awal mahasiswa dapat dilakukan melalui

penelitian kurikulum dari berbagai dokumen lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia maupun

Departemen Pendidikan Nasional RI.

Dalam kaitannya dengan ilmu-ilmu sosial sendiri, dapat diteliti mengapa penguasaan

metode-metode ilmu-ilmu sosial sangat kurang dikuasai oleh guru-guru di Indonesia. Sistem

perekrutan guru, penghargaan terhadap guru serta pandangan masyarakat terhadap profesi guru

dapat menjadi elemen-elemen yang diteliti. Penelitian yang lebih serius dan lebih luas dapat pula

dilakukan terhadap faktor-faktor dinamika politik di Indonesia.

Masih ada banyak hal lainnya yang perlu diteliti di dalam sistem pendidikan Indonesia

untuk mengenali masalah-masalah yang kita hadapi di dalam masyarakat yang majemuk dan

sangat besar ini. Tesis ini pun masih banyak memiliki kekurangan dan keterbatasan. Akan

cukuplah jika karya yang sangat terbatas ini dapat memicu penelitian-penelitian lain yang pada

gilirannya dapat membukakan mata masyarakat Indonesia bahwa masih ada begitu besar

kekayaan intelektual yang selama ini diabaikan demi pragmatisme hidup.

6.5 Penutup

Pendidikan hadir untuk mempersiapkan orang memasuki kehidupan dewasa yang

bertanggung jawab, menjadi anggota masyarakat yang utuh dan berkontribusi dalam kehidupan

bersama. Pendidikan yang diberikan kepada murid-murid akan dapat dikatakan berhasil ketika

murid-murid itu menjadi orang-orang yang berkontribusi dalam kehidupan bersama, bukan hanya

ketika mereka menjadi berhasil memperoleh ijazah dan memperoleh penghidupan dengan cara-

Page 138: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

124

cara yang tidak mempedulikan – atau malah dengan merugikan – orang lain, juga lingkungan dan

masyarakat di sekitarnya. Semua itu menuntut upaya yang dilakukan secara sinergis dan sadar

dari pihak-pihak yang terlibat di dalam pendidikan ini untuk merancang pendidikan dengan tetap

mengingat orang-orang yang akan menerimanya, bahwa mereka adalah manusia yang utuh dan

keutuhan itu harus tetap dijaga dalam proses pendidikan yang terjadi.

Page 139: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

125

CATATAN AKHIR

1 Neil Postman, The End of Education: Redefining the Value of School, (USA: Vintage,

1996), x. 2 Ibid., 4.

3 Ibid., 5.

4 Ibid., 19ff.

5 Chanet, Jean-François, et al., L’ABCdaire de l’École de la France (Paris: Flammarion –

ANCR, 1999), 10. 6 Bahasa Prancis: ―[Kegiatan] pengajaran dalam masyarakat-masyarakat di masa lalu

berkaitan dengan fungsi-fungsi yang spesifik dalam struktur masyarakat. Maka Atena dan Roma

secara eksplisit membentuk manusia-manusia [untuk menempati fungsi-fungsi] tertentu, khusus

untuk masyarakat [pada masa itu]: seorang warga negara yang mampu berbicara di depan publik

dan melakukan beragam tugas pejabat negara; Karel Agung dalam [upayanya melestarikan

peninggalan] budaya Latin secara khusus memberikan perhatian struktur administratif yang

minim bagi kekaisarannya yang usang pula heterogen; para pemuka agama abad pertengahan

mengikuti evolusi geopolitik: dari pelayanan feodal hingga administrasi kerajaan. Maka sekolah

harus menjadi proyek masyarakat yang melampauinya tapi juga menyatukannya.‖ 7 Hale, John R., Zaman Renaissance, (Jakarta: Tira Pustaka, 1984), 15.

8 Loc.cit.

9 Ibid., 163.

10 Simbolon, Parakitri T., Menjadi Indonesia, (Jakarta: Kompas, 1995), 171.

11 Ibid., 171, 179f.

12 Ibid., 172.

13 Ibid., 168.

14 Ibid., 186, 206ff.

15 Ibid., 184ff.

16 Ibid., 192ff.

17 Soedijarto, Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita, (Jakarta: Kompas, 2008), 46.

18 Toer, Pramoedya Ananta, Jejak Langkah, (Jakarta: Lentera Dipantara, 2006).

19 Soedijarto, loc.cit.

20 Cf. Simbolon, Ibid., 215.

21 Geger Riyanto, ―Aku IPA maka Aku Ada‖, (Harian Kompas, 12 Mei 2007), 14.

22 Soedijarto, Ibid., 53.

23 Ibid., 47ff.

24 Simbolon, Ibid., 184f.

25 Cf. Postman, Ibid., 29ff.

26 Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab II Pasal 3

menyatakan, ―Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk

watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,

bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan

Page 140: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

126

bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,

dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.‖ 27

Postman, Ibid., 29f. 28

Ibid., 31. 29

Gutek, Gerald L. ―History of Education.‖ Microsoft® Student 2009 [DVD]. (Redmond,

WA: Microsoft Corporation, 2008). 30

Bagian ini terutama didasarkan pada karya Margaret E. Gredler, Learning and

Instruction, edisi ke-3 dan ke-5. Penggunaan dua edisi ini disebabkan adanya pengeditan yang

dilakukan oleh Gredler sehingga sejumlah ilustrasi yang disediakan pada edisi ke-3 tidak lagi

dimuat pada edisi ke-5, vice versa. 31

Gredler, Margaret E., Learning and Instruction: Theory into Practice (Columbus, Ohio:

Pearson Merril Prentice Hall, 2004), 49. 32

Gredler, Margaret E., Learning and Instruction: Theory into Practice (Columbus, Ohio:

Pearson Merril Prentice Hall, 1997), 34. 33

Gredler (2004), loc.cit. 34

Dikutip oleh Gredler dari Köhler, W., ―Chapter VII. Intellingence in Apes‖; ―Chapter

VII. An Aspect of Gestalt Psychology‖. In C.Murchison (Ed.), Psychologies of 1925 (Worcester,

MA: Clark University Press, 1928), 174. 35

Gredler, Ibid., 50. 36

Gredler, Ibid., 52. 37

Dikutip oleh Gredler dari Murphy, G., Historical Introduction to Modern Psychology,

(New York: Harcourt, Brace, and World, 1949), 288. 38

Gredler, Ibid., 53. 39

Loc.cit. 40

Ibid., 59. 41

Ibid., 67f. 42

Ibid., 59. 43

Ibid., 68. 44

Dikutip oleh Gredler dari Kaplan, C.A.; Davidson, J.E., Hatching A Theory of Incubation

Effects (Tech. Rep. No. C.I.P. 472) (Pittsburgh: Carnegie Mellon University, Department of

Psychology, 1988). 45

Dikutip oleh Gredler dari Seifert, C.M.; Meyer, C.E.; Davidson, N.; Patalano, A.L.;

Yariv. I., ―Demystification of Cognitive Insight: Opportunistic Assimilation and the Prepared-

Mind Perspective‖. In R.J. Sternberg, J.E. Davidson (Eds.), The Nature of Insight (Cambridge,

MA: MIT Press, 1995). 46

Bagian ini terutama didasarkan pada disertasi Choi Yong-Joon berjudul Dialog and

Antithesis, yang ditulis pada tahun 2000. Diakses di Internet:

www.dooy.salford.ac.uk/papers/choi. 47

Choi Yong-joon, Dialog and Antithesis (http://www.dooy.salford.ac.uk/papers/choi,

diakses pada 22 Agustus 2008), § 37. 48

Ibid., § 37-38. 49

Disadur berdasarkan Albert E. Greene, Reclaiming the Future of Christian Education

(Colorado Springs: Purposeful Design Publications, 2003), 180. 50

Steve Bishop, Reformational Philosophy: An Introduction. Diakses di Internet:

www.allofliferedeemed. co.uk/introduction.htm.

Page 141: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

127

51

Indeks efektivitas adalah suatu instrumen penilaian kinerja kepala sekolah dan guru-guru

secara komprehensif yang merupakan bagian dari laporan tahunan yang harus diserahkan oleh

sekolah kepada Departemen Pendidikan Nasional. Aspek-aspek yang dinilai mencapai puluhan

poin yang pada dasarnya hendak mengetahui bagaimana kontribusi proses belajar di sekolah

terhadap selisih prestasi murid antara pada saat ia masuk ke sekolah itu di kelas X dan saat ia

menamatkan studinya di kelas XII. 52

Pertanyaan wawancara no. 1a-c ini sama dengan pertanyaan untuk guru no. 1c-e. 53

Lampiran A2.1, hlm. 138. 54

Lampiran A2.1, hlm. 139. 55

Lampiran A2.2, hlm. 144. 56

Lampiran A3.1, hlm. 152. 57

Lamprian A3.1, hlm. 154. 58

Lampiran A3.1, hlm. 152. 59

Lampiran A3.4, hlm. 161. 60

Lampiran A4.3, hlm. 174. 61

Lampiran A4.2, hlm. 173. 62

Lampiran A4.2, hlm. 168. 63

Lampiran A4.2, hlm. 172. 64

Lampiran A5.1, hlm. 181. 65

Lampiran A5.3, hlm. 190. 66

Lampiran A6.2, hlm. 194. 67

Lampiran A6.2, hlm. 198. 68

Lampiran A7.1, hlm. 207. 69

Lampiran A7.2, hlm. 212. 70

Lampiran A7.2, hlm. 215. 71

UNESCO, World Data on Education. Edisi ke-6. Diakses di Internet:

http://www.ibe.unesco.org. 72

Rhenald Kasali, ―Pintar, tetapi Tertutup‖ (Harian Kompas, 19 Mei 2007), 6. 73

Ariel Heryanto, ―Ideological Baggage and Orientations of the Social Sciences in

Indonesia‖, dalam Hadiz dan Dhakidae (Eds.), Social Science and Power in Indonesia, (Jakarta &

Singapore: Equinox & ISEAS, 2005), 58. 74

Jack R. Fraenkel dan Norman E. Wallen, How to Design and Evaluate Research in

Education (USA: McGraw-Hill, 2005), 431f. 75

Dikutip oleh Fraenkel dan Wallen, 457, dari Patton, Michael Quinn, Qualitative

Evaluation and Research Methods, edisi ke-2 (Newbury Park, CA: Sage, 1990), 288f. 76

Ibid., 457.

Page 142: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

128

REFERENSI

Bishop, Steve. Reformational Philosophy: An Introduction. Internet. URL: http://www.alloflife

redeemed.co.uk/introduction.htm. Diakses pada 22 Agustus 2008.

Chanet, Jean-François et al. L’ABCdaire de l’École de la France. Paris: Flammarion – ANCR,

1999.

Choi, Yong-joon. Dialog and Antithesis. Internet. URL: http://www.dooy.salford.co.uk/papers/

choi. Diakses pada 22 Agustus 2008.

Departemen Pendidikan Nasional RI. Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem

Pendidikan Nasional. Internet. URL: http://www.depdiknas.go.id. Diakses pada 3 Agustus

2005.

Fraenkel, Jack R.; Wallen, Norman E. How to Design and Evaluate Research in Education. Edisi

ke-6. USA: McGraw-Hill, 2005.

Gredler, Margaret E. Learning and Instruction: Theory into Practice. Edisi ke-3. Columbus,

Ohio: Pearson Merril Prentice Hall, 1997.

———. Learning and Instruction: Theory into Practice. Edisi ke-5. Columbus, Ohio: Pearson

Merril Prentice Hall, 2004.

Greene, Albert E. Reclaiming the Future of Christian Education. Edisi ke-2. Colorado Springs:

Purposeful Design Publications, 2003.

Guillaume, Marc. (Ed.) L’état des Sciences Sociales en France. Paris: Éditions la Découvert,

1986.

Gutek, Gerald L. ―History of Education.‖ Microsoft® Student 2009 [DVD]. Redmond, WA:

Microsoft Corporation, 2008.

Hadiz, Vedi R.; Dhakidae, Daniel. Social Science and Power in Indonesia. Jakarta & Singapore:

Equinox Publishing & Institute of Southeast Asian Studies, 2005.

Hale, John R. Zaman Renaissance. Jakarta: Tira Pustaka, 1984.

Rhenald Kasali. ―Pintar, tetapi Tertutup‖. Jakarta: Harian Kompas, 19 Mei 2007.

Posner, George J. Analyzing the Curriculum. Edisi ke-3. USA: McGraw-Hill Higher Education,

2003.

Page 143: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

129

Postman, Neil. The End of Education: Redefining the Value of School. USA: Vintage, 1996.

Riyanto, Geger. ―Aku IPA maka Aku Ada‖. Jakarta: Harian Kompas, 12 Mei 2007.

Simbolon, Parakitri T. Menjadi Indonesia. Jakarta: Kompas, 1995.

Toer, Pramoedya Ananta. Jejak Langkah. Jakarta: Lentera Dipantara, 2006.

UNESCO. World Data on Education. Edisi ke-6. Internet. URL: http://www.ibe.unesco.org.

Diakses pada 14 Mei 2007.

Page 144: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

130

LAMPIRAN A

TRANSKRIP WAWANCARA

A1. Wawancara di SMA Negeri 35

A1.1 Responden 11

P : Bu Tuti adalah wakil kepala sekolah bidang kurikulum ya Bu?

R11 : Ya, betul.

P : Dan Ibu mengajar mata pelajaran?

R11 : Ekonomi. Kelas XII.

P : Oh, berarti kelas IPS ya Bu?

R11 : Betul.

P : Ibu mengajar di sekolah ini sudah berapa lama ya Bu?

R11 : Sejak tahun 1981. Waktu itu saya lulus IKIP, langsung mengajar di sini. Sebelumnya saya

pernah kuliah di Telkom …..

P : Telkom Bandung, Bu?

R11 : Ya, Telkom Bandung. Tapi kemudian harus dikirim ke Makasar, orang tua saya tidak

setuju. Saya kan lulus SMA tahun 1974. Setelah setahun di Telkom, lalu masuk ke IKIP

jurusan ekonomi perusahaan. Saya berpikir yah, kalau toh nanti tidak jadi guru, masih bisa

masuk ke perusahaan. Tapi ternyata memang panggilannya di sini.

P : Kenapa Ibu mau menjadi guru pada awalnya, Bu?

R11 : Ada dua hal. Yang pertama waktu di SMA saya membaca buku ―Di Bawah Bendera

Revolusi‖. Di situ Bung Karno mengatakan, ―Guru itu pasti bisa menjadi pemimpin, tapi

tidak semua pemimpin bisa menjadi guru.‖ Waktu itu saya langsung memutuskan akan

menjadi guru. Dan yang kedua, saya sangat terkesan dengan guru Biologi saya, saya kan

SMA-nya di 15, waktu itu masih di Ancol: keibuan, baik, sabar, lembut. Tahu ya, guru

zaman dulu kan penampilannya kayak apa … rambut disanggul, rapi ….

P : Ya, Bu. Berarti sudah 25 tahun ….

R11 : 27 tahun.

P : Oh ya, sudah 27 tahun ya Bu, Ibu menjadi guru di sekolah ini? Nah, sekarang kita berbicara

mengenai sekolah ini, Bu. Apa ya ciri khas demografi di SMA 35 ini?

R11 : Di sini Mas, yah begitulah kondisinya. Kondisi orang tua pada umumnya sangat terbatas …

kalau saya manggil orang tua, yah ada yang dia sebagai … ibunya, orang tuanya tukang

ojek, ada yang pembantu rumah tangga, ada yang penjual kaki lima. Yang orang mampu ke

atas paling 5%. Jadi saya juga kadang mem-push anak untuk belajar, kalau situasi

rumahnya saja separuh dari ruangan ini di pinggir kali itu, duduk satu keluarga dengan

empat anak ada. Bagaimana anak mau betah di rumah? Bagaimana anak mau belajar? Nah,

inilah milieu 35. Ini tantangan berat bagi guru-guru di kami.

P : Jadi kalau begitu pendidikan orang tua pada umumnya …

R11 : Yah begitulah. Kemarin ini habis tryout, saya manggil yang nilainya nggak mencapai

standar minimal, kan kelihatan ya orang yang ngerti dan nggak ngerti …. Saya bilang, ―Ini

nilai anak Ibu begini …‖ dia cuma bilang, ―Tapi anak saya berangkat ke sekolah kok Bu.‖

Page 145: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

131

―Ibu tahu pulangnya jam berapa?‖ ―Nggak tahu.‖ Jadi ya memang tidak bisa mengikuti

perkembangan belajar anaknya, tidak bisa membimbing di rumah.

P : Karena pendidikannya yang rendah ya Bu?

R11 : Ya. Walaupun ada juga yang pendidikannya lumayan, S1 ….

P : Apakah murid-murid SMA 35 ini banyak yang melanjutkan dengan kuliah Bu?

R11 : Sekitar 40-45% yang melanjutkan ke Perguruan Tinggi. Karena nggak mampu, nggak

mampu biaya.

P : O ya, berarti waktu di kelas XII mau kuliah, apakah yang besar itu pengaruh orang tua,

guru BK, atau teman-teman ....

R11 : BK dong ... karena orang tuanya sendiri kurang paham. Maka BK ada jam di intra,

memberikan gambaran, pengarahan anak itu bagaimana memilih jurusan kuliah, mana yang

cepat kerja .... Jadi di situlah peranan BK ya? Kemudian bagaimana supaya dia juga

menjelaskan bagaimana supaya masuk ke sistem PMDK ....

P : Dengan keterbatasan orang tua murid dengan pendidikan mereka, apakah sekolah punya

usaha tertentu Bu, agar murid setelah lulus siap bekerja, siap terjun ....

R11 : Ya, ada. Kita waktu itu ada kerjasama dengan BLK. Kita ambil 70 anak, kebanyakan anak

IPS, yang orang tuanya tidak mampu dan anak yang kira-kira tidak mungkin untuk

melanjutkan ke Perguruan Tinggi, diajarkan pelatihan teknik AC, teknik kmputer, tata

boga, jadi diharapkan bahwa anak ... IT juga ... anak yang tidak bisa melanjutkan kuliah

lagi diharapkan dia bisa mempunyai peluang.

P : Itu dibuka untuk semua jurusan ya Bu?

R11 : Ya, tapi IPA jarang. Karena kalau anak IPA, kalaupun dia benar-benar tidak mampu kuliah,

dia pintar, dia bisa cari beasiswa sendiri, ada anak kita yang sekarang kuliah di UGM,

denagn beasiswa. Harus dari kemampuan si anak karena orang tuanya kan nggak bisa ya ....

P : Menurut Ibu, apakah cukup besar pengaruh arahan orang tua terhadap anak dalam

studinya?

R11 : Pengaruh lah orang tua untuk mengarahkan. Kalau orang yang nggak ngerti ya, kelihatan

juga pola-polanya, kayak tadi itu, dipanggil juga ngomongnya nggak nyambung ... kalau

orang tua yang mengerti, dia bisa ikut mengarahkan anaknya di rumah ....

P : Saya lihat ada ruangan OSN di sekolah ini Bu, apakah sekolah ini juga ....

R11 : O, ya. Olimpiade Sains Nasional. Baru pembinaan, baru tingkat kotamadya. Dulu kan ada

yang juara olimpiade, untuk IT, itu anak IPA, ibunya tukang cuci.

P : Kalau begitu, apakah itu prestasi sekolah yang membuat dia bisa berhasil seperti itu?

R11 : Ya, anaknya juga motivasinya tinggi, anaknya pintar, sekolah mendukung. Begitu.

Sekarang kuncinya ya jadi anak juga.

P : Jadi kalau begitu menurut Ibu, ciri khas pelaksanaan pendidikan di sekolah ini apa Bu?

R11 : Ciri khas kita di dalam pembinaan. Di dalam proses.

P : Artinya ―proses‖ ini Bu?

R11 : Artinya begini. Input di sini itu kecil. Tapi bisa menghasilkan sesuatu yang besar. Nilai

produktivitasnya tinggi. Keunikan 35 itu, kenapa bisa jadi unggulan, karena keunikannya di

proses, proses bagaimana guru itu membina, mendidik anak, sehingga produktivitasnya

naik. Sekarang bandingkan Mas, SMA 70, inputnya itu sudah tinggi ... di sini kan inputnya

kecil, tapi dari hasil UN, peringkat kita nggak jauh-jauh amat, masih masuk lima besar,

masuk peringkat dua.

P : Waktu orang tua itu memasukkan anaknya ke sini, apakah dia juga tahu hal ini Bu?

R11 : O, tahu. Wilayah sini ya, wilayah Tanah Abang. Kalau orang tua yang aslinya wilayah

Tanah Abang, umumnya memilih sini dulu.

Page 146: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

132

P : Jadi, dengan segala keterbatasan pendidikan mereka, mereka masih tahu sekolah yang baik.

R11 : Kadang-kadang bisa begini Mas, ―Bu, anak saya ini kemauan sekolahnya besar. Saya

nggak punya kerjaan apa-apa. Ibunya udah nggak ada. Dia bisa sekolah itu karena dibantu

transpor dari oom-nya.‖ Kita bisa apa? Kan kita nggak boleh menolak murid. Ada lho yang

dari kelas X sampai kelas XI, SPP saja tidak bayar, apalagi dana bangunan ….

P : Baik, Bu. Kita sudah menyinggung-nyinggu tentang IPA, IPS … Menurut Ibu, apakah

anak-anak melihat ada perbedaan kualitas atau kualifikasi antara guru-guru IPA dan IPS?

R11 : Tidak ada. Baik guru IPA, guru IPS, guru Bahasa, semua sama saja.

P : Kalau ada guru yang tidak masuk, bagaimana Ibu mencari penggantinya?

R11 : Kalau lama, cuti melahirkan misalnya ya?

P : Ya, misalnya cuti melahirkan.

R11 : Team teaching. Kita kan MGMP 2 minggu sekali paling nggak. Jadi bisa bergantian, seperti

juga di tryout ini. Walaupun sehari-hari guru itu tidak mengajar 15 murid itu, tapi saat

tryout kita bagi-bagi tugas. Semua kebagian membimgin. Kalau cuma sehari, ya kan nggak

enak ya, guru juga ada … otonominya sendiri … ya dia bisa kasih tugas, kan ada guru piket

….

P : Untuk rekrutmen guru, apakah sama mudahnya menemukan guru-guru IPA, IPS dan

Bahasa Bu?

R11 : Kita selama ini kelebihan sih. Ada 60 guru, sudah cukup semua di semua mata pelajaran.

Adanya kita yang nolak-nolakin. Soalnya banyak yang ngelamar mau jadi guru di sini. Oh,

gini Mas. Kalau guru di sini kebanyakan juga alumni sini. Ini, Pak Sur, dulunya murid saya

sekarang jadi teman.

P : Apakah semua guru harus dari IKIP atau punya Akta 4 Bu?

R11 : O, ya.

P : Bahkan sebelum mulai mengajar?

R11 : Ya. Tidak harus dari IKIP, asal punya Akta 4.

P : Menurut Ibu, apakah ada bidang studi tertentu yang disegani oleh murid-murid karena

tingkat kesulitannya untuk dikuasai dibandingkan bidang studi lainnya? Atau, guru bidang

studi tertentu yang disegani karena bidang studi yang diampunya?

R11 : Tidak ada. Maksudnya menganggap IPA itu lebih tinggi daripada IPS ya? Orang yang

menganggap IPA itu unggul justru salah. Sekarang seluruh kegiatan justru IPS itu yang

banyak mendukung. Kalau IPA itu kan hanya, ya memang mata pelajaran IPA itu,

Matematika, Fisika, Kimia, itu mata pelajaran yang merasa hebat kan ya? Padahal itu

sebenarnya hanya di situ. Tapi kalau humaniora dia tidak mencakup. Nah, kalau memang di

anak-anak itu kan, wah kalau dia anak IPA itu dia merasa dirinya hebat. Karena hebat apa?

Karena dia merasa dirinya pintar. Saya bisa masuk ke IPA karena saya pintar. Tapi, pada

umumnya begitu mereka lulus dari SMA, anak IPA itu pada saat mengambil perkuliahan

banyak yang jurusan IPS: akuntansi, ekonomi, …

P : FE lebih laku ya Bu?

R11 : Ya, begitu …. Yang kedua, karena begini, anak beranggapan kalau bisa masuk ke IPA nanti

kalau mau kuliah ke jurusan apa saja bisa, tidak dibatasi. Tapi kan pada saat ini kan tidak.

IPS juga bisa masuk ke jurusan kedokteran. Dulu kan seperti itu. Jadi memang ada gengsi

tersendiri. Gengsinya apa? Karena merasa pinter.

P : Tapi di antara anak-anak itu mungkin masih ada, sedikit-banyak anak2 masih merasa,

―Wah, saya IPA nih …‖?

R11 : Yah, itu mungkin masih ada ya. Kalau itu mungkin dari BK yang lebih bisa menjawab

lebih ya. Tapi kalau saya menyarankan ke anak-anak itu, yang tahu kemampuan kita itu diri

Page 147: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

133

kita kan ya? Ada misalnya dia bisa ke IPA, bisa ke IPS. Kalau misalnya di IPS bisa

mengambil ranking 1 dan ke IPA, walaupun dia bisa, tetapi tidak bisa ranking 1, alangkah

baiknya kalau dia mengambil ke IPS. Nah, kalau nanti toh dia mau ke kedokteran, kan bisa

toh mengambil tambahan di luar gitu ya?

Nah, jadi itu kesatu dari anak. Kedua dari orang tua juga sih ya. Kadang-kadang orang tua

itu ya, apalagi kalau anaknya itu IPA dulunya, memaksa kehendak anaknya itu ke IPA.

P : Karena orang tuanya IPA, anaknya harus IPA juga?

R11 : Memang ada. Ada juga satu orang malah, anak itu waktu itu kebetulan nilainya kurang.

Untuk masuk IPA nilainya nggak masuk, ke IPS juga nggak memenuhi syarat, tapi dia naik

kelas, hanya bisa syarat ke Bahasa. Kalau anaknya saya lihat kayaknya sih dia mau

menerima itu, tapi orang tua itu nggak mau. Akhirnya dia mengorbankan si anak. Lebih

baik anaknya tinggal kelas dulu. Mengulang lagi di kelas X, t‘rus tahun berikutnya dia naik,

naik ke IPA. Memang bisa. Tapi ya sayang nilainya tetap saja pas-pasan.

P : Menurut Ibu, benar nggak kalau saya katakan, IPA itu kuat dalam penalaran, IPS kuat

dalam menghafal?

R11 : IPS itu jangan dianggap hanya menghafal. Kalau dia tidak kuat di konsep juga tidak bisa.

Konsep harus tahu. Saya katakan kepada anak, saya tidak mau jawaban esai itu persis ada

di buku. Silakan kamu jawab dengan nalar, kembangkan konsep kamu. Yang penting

nalarnya, kalau menghafal nggak akan bisa.

P : Kalau Ibu, penjurusan dari kelas X ke kelas XI itu gimana Bu? Apakah ada tes khusus?

R11 : Oh tidak, hanya dari nilai rapor saja. Jadi, untuk IPA: Fisika, Kimia, Biologi minimal 7.

Kemudian untuk ke IPS: Ekonomi, Geografi, Sosiologi minimal 7. Untuk ke Bahasa:

Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia.

P : Minimal 7 juga?

R11 : Ya.

P : Nilai Matematika tidak diperhitungkan Bu, saat penjurusan?

R11 : Karena begini: pada saat sebelum kita memakai sistem penilaian dengan SAS, sekolah

memakai kebijakan untuk ke IPA, ada syarat Matematika dimasukkan syarat utuh tetapi

karena di SAS itu Matematika tidak dimasukkan, ya kita mengikuti itu.

P : O, SAS sudah menentukan pelajaran-pelajaran itu?

R11 : Ya. Kalau dulu kita memakai perhitungan manual kebijakan dari sekolah sendiri, kita

memakai Matematika, Fisika, Kimia. Biologi juga tidak masuk. Tapi Dinas minta seperti

itu, ya kita mengikuti saja.

P : Pada saat murid-murid ini dijuruskan dari kelas X ke kelas XI, apakah ada pembimbingan

Bu?

R11 : Ada. Sebelumnya ada tes bakat dan minat, kemudian ada pernyataan atau pilihan dari

siswa, dari orang tua siswa, dia maunya apa ….

P : Itu sama Bu, dari siswa dan orang tua siswa?

R11 : Beda. Bisa saja, suka ada anak maunya IPS, orang tuanya maunya IPA. Kalau

pembimbingan, kita tidak ada pembimbingan khusus, tapi sejauh ini kalau ada anak yang

merasa kekurangan di pelajaran Matematika atau Fisika, dia mau meminta bimbingan dari

kami, kami menyediakan yang namanya klinik akademik. Klinik akademik itu di luar jam

pelajaran. Guru sih stand-by aja … guru sih siap aja ya … siap anaknya maunya kapan,

kemudian materinya apa yang dia kurang, tapi itu pelaksanaan itu bukan merupakan

pelaksanakan bimbingan khusus untuk penjurusan. Jadi kami serahkan itu sepenuhnya

kepada siswa.

P : Kalau dengan bimbingan itu siswa toh mampu ke jurusan yang lain, silakan diambil?

Page 148: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

134

R11 : Ya. Jadi kan anak-anak bisa, ―Bu, saya Matematika kurang bisa.‖ OK, ya siap. Itu kita tidak

menentukan biaya.

P : Pada waktu anak memilih apakah jurusan IPA, IPS atau Bahasa, menurut Ibu apakah

mereka tahu juga nanti saya akan kuliah di jurusan apa ….

R11 : Anak-anak nggak. Jangankan yang itu. Yang kelas XII sekarang saja, ―Nggak tahu Bu, mau

ke mana.‖ Saya suka marah. Itu nggak bisa. Itu berarti kalian tidak bisa memanajemen diri.

Ya kan? Manajemen diri itu kan penting. Saya usia sekarang harus sekolah sampai di mana,

mau ambil jurusan apa, nanti lulus dari ini saya kuliah di mana, saya harus lulus tahun

berapa. Dan saya harus kerja tahun berapa, harus nikah kapan, kan kita harus punya. Saya

punya, saya tekankan kepada anak-anak, tapi anak-anak tuh memang itu, manajemen

dirinya yang nggak ada. Ada yang tahu ….

P : Tapi nggak banyak?

R11 : Tapi nggak banyak. Ya tadi itu Mas, kondisi orang tua, kondisi rumah ….

P : Nah, kalau begitu menurut Ibu, dengan sekitar 40-45% yang melanjutkan ke Perguruan

Tinggi tadi karena ketidakmampuan finansial, waktu mengambil IPA, apakah mereka

berpikir setelah ini mau ke mana?

R11 : Itu tadi 10% yang bisa.

P : Bukankah dengan masuk ke IPA, langsung bekerja, apa yang didapat di IPA juga tidak

terlalu terpakai Bu?

R11 : Ya. Dia itu, anak itu pada umumnya sekolah, ya, untuk ngisi waktu lah ya istilahnya, yang

berpikir dia ke depan mau apa, 20% udah bagus.

P : Ibu dari semua murid, jumlahnya …

R11 : Sekitar 600.

P : Dari 600-an murid, perbandingan IPA-IPS-Bahasanya bagaimana Bu?

R11 : IPA-nya 1 kelas. Kan per paralelnya 6 kelas. IPA 1 kelas, Bahasa 1 kelas, IPS 4 kelas.

Karena memang di sini kita IPA itu betul IPA, Mas. Kita tekan, memang Matematikanya

itu murni nilai segitu. Nggak pake diangkat, ya? Kadang di sekolah lain suka diangkat.

P : Jumlah muridnya per kelas berapa Bu?

R11 : IPA dan IPS, 36-39 orang siswa per kelas, kalau Bahasa hanya 25 atau kurang ….

P : Jurusan Bahasa ini kenapa sedikit ya Bu? Apakah karena peminatnya sedikit? Atau karena

difokuskan?

R11 : Begini ya, dari anak-anak sekelas itu, yang betul-betul mau ke jurusan Bahasa, paling 5

orang ya. Selebihnya karena memang di IPS nggak bisa, di IPA .... Karena apa? Karena

persepsi anak, Bahasa itu anak buangan, padahal tidak ya. Padahal kalau kita sudah terjun

ke masyarakat, kalau kita terjun kerja, bahasa itu nomor satu. Coba sekarang, ke mana-

mana bahasa Inggris ....

P : Bukankah pelajaran di Bahasa juga sulit Bu?

R11 : Memang. Karena ada bahasa Jepang, bahasa Prancis, bahasa Jerman.

P : Bahasa Arab juga ada ya Bu?

R11 : Kalau bahasa Arab di kelas X, semua dapat. Itu masuk ke Keterampilan, ya?

P : Lalu, kalau begitu, apakah murid-murid yang merasa ―terbuang‖ ini Bu, apakah mereka

bisa mengikuti kecepatan pelajaran di Bahasa dengan begitu banyaknya bahasa yang

dipelajari?

R11 : Nggak juga. Ada juga yang yah, begitulah, namanya anak-anak ....

P : Berarti saya simpulkan dari pembicaraan sebelumnya, yang melanjutkan ke bangku

Perguruan Tinggi kebanyakan anak IPA ya Bu?

Page 149: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

135

R11 : Ah, nggak juga! Ada juga di IPA anak yang nggak mampu, jadi tidak kuliah. IPA dan IPS

yang kebanyakan melanjutkan kuliah.

P : Kalau begitu, kalau sudah tahu tidak bisa melanjutkan ke Perguruan Tinggi, kenapa

anaknya tidak dimasukkan ke SMK saja?

R11 : Pertama, karena mereka mendaftar melalui proses online. Kurang pengarahan di SMP, jadi

waktu memilih, orang tua tidak mengerti teknologi, salah pilih, tidak bisa ditarik lagi. Tapi

juga, memang masih ada ya pendapat masyarakat, kalau masuk SMK itu kurang bergengsi.

Kalau SMK itu kok kayaknya anak-anak yang nggak mampu. Padahal nggak ya? Justru kan

sekarang pemerintah lagi menggalakkan SMK kan? SMK sekarang maju-maju.

P : Sekarang mengenai peran pemerintah, Bu. Apakah pemerintah menunjukkan upaya yang

serius untuk mengondisikan pandangan yang proporsional terhadap IPA dan IPS sebagai

jurusan yang setara bagi murid-murid dan orang tua murid yang akan memilih jurusan?

R11 : Yah, pemerintah begitu ya …. Soal kurikulum, itu memang kembali lagi ke pemerintah ya

… kita kan yang di bawah cuma pelaksana …. Sekarang kan kurikulum sudah KTSP ya, itu

saja sekarang kita baru memahami penerapannya 70-80%, nanti pada tahun 2009 ke tahun

2012 itu sudah harus ke SKM. Berubah lagi ke SKM. Jadi kita ini baru belajar dua tahun,

belum memahami sudah pindah lagi. Waktu KBK coba … belum bisa memahami penuh,

sudah pindah ke KTSP, ini sudah mau pindah lagi ke SKM.

P : Menurut Ibu, kalau menilik kurikulum sekarang ini, apa yang paling mendesak untuk

diubah Bu?

R11 : Yang perlu sekarang dimasukkan adalah budi pekerti, selamanya, 2 jam seminggu. Ada

kebutuhan yang sangat serius untuk ada budi pekerti.

P : Apakah BK dan Pendidikan Agama tidak bisa meng-cover?

R11 : Ya, mestinya. Tapi itu mungkin kurang maksimal, artinya di sini Agama kan juga dikejar

materinya harus selesai ini, harus selesai itu. Sebenarnya budi pekerti itu juga bisa

dimasukkan ke dalam semua mata pelajaran, cuma kan kadang kita tidak terkejar waktunya.

Membahas materi ini saja belum selesai kita sudah dikejar materi lain. KWN, itu kan

mestinya bisa.

A1.2 Responden 12

P : Bu Siti, sebagai guru BK, apakah menurut Ibu orang tua di sini memiliki kerjasama yang

baik dengan guru-guru?

R12 : Ya, tergantung ya Mas. Beda-beda juga. Ada orang tua yang nurut-nurut saja, ada juga

yang banyak maunya.

P : Apakah pendidikan orang tua di sini baik?

R12 : Ada yang dokter.

P : Dari interaksi Ibu dengan orang tua murid, apakah orang tua murid memahami seluk-beluk

dunia persekolahan dan memiliki perencanaan yang matang terhadap pendidikan anaknya?

R12 : Ya, kalau pendidikannya baik, pada umumnya mereka cukup terlibat dan tahu

mengarahkan anaknya ke mana-mana saja nantinya. Seperti yang dokter itu. Semua

anaknya harus jadi dokter, walaupun ada juga anaknya yang praktikum saja bisa pingsan.

P : Jadi, orang tua cukup terlibat dengan pendidikan anak ya Bu? Termasuk dalam mengatur

jurusan yang harus diambil dalam studi?

R12 : Ya. Bisa begitu.

P : Kalau pendidikannya tinggi?

R12 : Ya.

Page 150: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

136

P : Menurut Ibu, adakah perbedaan tingkat kualifikasi kompetensi guru-guru IPA, IPS maupun

Bahasa untuk diterima di sekolah ini? Adakah guru-guru IPA, IPS dan Bahasa memiliki

kompetensi yang setara dalam bidang keilmuannya masing-masing?

R12 : Ya, itu tergantung masing-masing orang.

P : Jadi, tidak ada stigma-stigma tertentu karena mata pelajaran yang diampu?

R12 : Nggak ada, dari orang ke orang saja.

P : Apakah menurut Ibu ada bidang studi tertentu yang disegani oleh murid-murid karena

tingkat kesulitannya untuk dikuasai dibandingkan bidang studi lainnya? Atau mungkin guru

bidang studi tertentu yang disegani karena bidang studi yang diampunya?

R12 : Anak-anak memang kayaknya lebih takut sama IPA ya, anak-anak IPA juga lebih, gimana

gitu …. Soalnya yang nggak bisa ke IPA t‘rus ke IPS, kalau nggak bisa juga, t‘rus ke

Bahasa.

P : Jadi, IPA dipandang paling unggul ya Bu?

R12 : Ya.

P : Kenapa begitu, menurut Ibu sebagai guru BK?

R12 : Ya memang dari dulunya sudah begitu ya. Memang IPA begitu. Daftar ke mana-mana kan

lebih gampang.

P : Maksud Ibu ―daftar ke mana-mana‖?

R12 : Daftar Perguruan Tinggi, dapat PMDK, beasiswa …. Bahkan untuk kuliah jurusan apa pun,

termasuk ilmu-ilmu sosial, juga anak IPA gampang masuknya. Pilihan kuliahnya lebih

gampang.

P : Menurut Ibu, persepsi anak-anak murid bahwa IPA itu unggul, apakah benar?

R12 : Memang saya akui, anak-anak IPA itu pemikirannya lebih tap, tap, tap.

P : Lebih sistematis Bu?

R12 : Lebih kuat. Juga ya, lebih sistematis. Jadi mereka merasa super mungkin ya.

P : Kalau begitu, apakah Ibu setuju kalau saya katakan, ―Anak IPA jago bernalar, anak IPS

menghafal.‖

R12 : Ya, memang. Anak IPS itu agak lambat.

P : Apakah Ibu mengajar kelas X?

R12 : Saya mengajar kelas 1, 2, 3. Kan di sini ada tiga guru BK. Kelasnya ada 6 kelas 1, t‘rus

kelas 2 dan 3-nya ada 1 IPA, 1 Bahasa, 4 IPS. Jadi kami seorang pegang 2 kelas di masing-

masing tingkat.

P : O, jadi Ibu terlibat juga di dalam proses penjurusan murid-murid ya Bu?

R12 : Ya.

P : Sejauh mana Ibu terlibat dalam proses mereka memilih jurusan Bu? Apakah ada

pengarahan khusus?

R12 : Ya kan sudah ada psikotes, hasil akademik dan pilihan orang tua.

P : Jadi tidak ada proses yang khusus lagi Bu?

R12 : Nggak ada.

P : Bagaimana dengan peranan orang tua murid Bu? Apakah mereka berperan aktif?

R12 : Ya ada aja, kalau orang tua yang ngerti, kadang-kadang juga memaksakan maunya. Pernah

ada yang sampai komplain-komplain ke Kanwil. Tapi ya tetap karena nilai akademiknya

tidak memenuhi.

P : Apakah Ibu sejak awal memang menjadi guru BK?

R12 : Awalnya saya ini guru PKK. Tapi korban produk percobaan. Ganti menteri, ganti

kebijakan. Dulu saya guru PKK, ketua MGMP Jakarta. Eh, pelajarannya dihapus, ya

terpaksa jadi guru BK.

Page 151: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

137

P : Jadi latar belakang pendidikan Ibu?

R12 : Saya dari IKIP Yogyakarta, Sarjana Muda jurusan PKK. Baru belakangan, karena harus S1,

adanya S1 BK.

P : Dari peranan Ibu di sekolah ini, menurut Ibu, apa ciri khas pendidikan di sekolah ini Bu?

R12 : Keunggulannya. Inputnya dibandingkan dengan outputnya. Inputnya kecil, outputnya besar.

Guru-guru di sini sangat disiplin, bahkan walaupun tidak ada kepala sekolah, semuanya

tetap berjalan lancar.

P : Menurut Ibu, apakah ada peranan pemerintah untuk mengatasi ketidaksetaraan persepsi

masyarakat terhadap IPA dan IPS?

R12 : Nggak ada. Yang penting sebenarnya penataran ditingkatkan. Guru-guru perlu diberi

tambahan materi yang efektif. Guru sekarang terlalu banyak dibebani oleh administrasi.

Dari pemerintah, peningkatan mutu akademik guru perlu ditingkatkan, perbanyak

penataran-penataran. Itu yang penting.

A1.3 Responden 13

P : Rouli sebelumnya dari SMP mana?

R13 : Strada.

P : Dari SMP Strada kenapa mau masuk ke SMA 35?

R13 : Pertama sih dari Mama ya, ―Udah coba masuk situ aja, bagus.‖ Gitu kan? Udah, masuk.

T‘rus cobain di sini, bagus juga, disiplinnya ketat banget ya. Dulu tuh ngeliatin sekolah-

sekolah lain biasa yang anak-anaknya masuk jam 7 pulang jam 10, gitu kan? Kalau di sini

masuk musti on-time, kalau nggak on-time disuruh pulang, tugas-tugasnya juga banyak

banget, nilai-nilainya juga berbobot. Kalau misalnya nggak mencapai standar nilai, itu akan

remedial. Jadi seperti dipaksa, ―Belajar, belajar, belajar ….‖

P : Jadi orang tua Rouli sudah punya rencana ya, mengarahkan Rouli untuk studi ke mana saja

berikutnya?

R13 : Ya.

P : Setelah dari SMA ini, Rouli akan kuliah ke mana?

R13 : Kalau jurusannya belum tahu sih, Kak. Kalau universitasnya udah tahu … mau masuk ke

UI. Tapi jurusannya … mungkin Ilmu Komunikasi.

P : Orang tua setuju juga?

R13 : Nggak … orang tua maunya Akuntansi …. Duh, bingung nih ….

P : Kalau Rouli melihat dari interaksi dengan teman-teman, apakah menurut Rouli orang tua

murid di sekolah ini memahami seluk-beluk dunia persekolahan dan memiliki perencanaan

yang matang terhadap pendidikan anaknya?

R13 : Ya, ada juga. Sebagian. Tapi nggak tahu juga deh ….

P : Kalau di antara teman-teman Rouli sendiri, apakah ada yang mengalami dipaksa orang

tuanya masuk ke jurusan yang tidak dia inginkan?

R13 : Ya. Kebanyakan teman-teman, orang tuanya ingin dia masuk IPA. Ada beberapa yang

orang tuanya mau dia masuk IPS, tapi kebanyakan orang tua maunya anaknya masuk IPA.

P : Apakah sampai ada paksaan untuk masuk IPA?

R13 : Maksa sih nggak ya, paling kasih support aja, kalau nanti masuk IPA kamu bisa begini,

begini, begini …. Atau, ―Udah kamu ikut les ini aja, biar bisa masuk IPA.‖

P : Rouli waktu awal apakah memang sudah jelas akan masuk jurusan IPS?

R13 : Pertama aku sih maunya masuk IPA, karena mikirnya entar UAN-nya cuma Bahasa

Inggris, Matematika, Indonesia. Gitu kan? Kalau IPS: Matematika, Indonesia sama

Page 152: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

138

Ekonomi. Mikirnya gitu. Keluarga juga maunya IPA. Tapi ternyata nggak bisa, ya udah

masuk IPS.

P : Rouli waktu memilih jurusan, apakah sudah tahu mau kuliah ke mana?

R13 : Nggak, belum ada itu. Tapi universitas sih sudah ada, ya tadi itu, maunya sih ke UI, tapi

jurusan apanya belum tahu.

P : Waktu itu kenapa mau ke IPA?

R13 : Dulu mikirnya IPA lebih unggul … wah, IPA, udah jago istilahnya kan? Di luar juga IPA

punya nama. Gitu kan? T‘rus orang tua juga OK ya udah ….

P : Menurut Rouli, kenapa IPA lebih unggul?

R13 : Berpikirnya gimana ya? Itu kan mainnya main rumus semua: Fisika, Kimia, main rumus

semua kan? Jadi logikanya mesti nalar, untuk menghitung gitu. Kalau IPS kan cuma hafal-

hafal-hafal, ngerti ….

P : Jadi, bener nggak kalau saya bilang, ―IPA lebih bernalar, IPS lebih menghafal‖?

R13 : Eh … nggak juga. Karena di IPS kita musti mikir juga kan? Kayak akuntansi gitu kita

musti main logika juga. Ekonomi, kita musti juga mesti mikirin, kalau buat perusahaan gitu

atau, apa ya namanya, kalau buat jadi untung gitu …. Jadi IPA-IPS sebenarnya sama, nalar

juga, tapi IPA kan banyak rumus, gitu-gitu deh, untuk jatuhnya jadi kayak teknik, dokter,

gitu ….

P : Tapi apakah teman-temanmu yang IPA banyak masuk ke Teknik?

R13 : Nggak juga. Kalau ngelihat kayak fakta yang sekarang ini, anak IPA lulus kebanyakan

ambil IPC kalau nggak ambil IPS. Banyak anak IPA yang masuk akuntansi, masuk ….

P : Ketika anak IPA mengambil IPC atau IPS, apakah mereka lebih unggul daripada anak IPS?

R13 : Nggak juga sih. Sebenernya ada juga anak IPS yang masuk ke kedokteran …. Jadi

sebenernya masuk ke Perguruan Tinggi banyak juga yang nggak sesuai dengan kelasnya

dia. Dia mau ambil apa sesuai dengan kemampuannya dia.

P : Jadi kalau ambil IPA, keuntungannya apa, apakah ada pintu yang lebih lebar terbuka? Atau

sama saja?

R13 : Hmm …. IPA … gimana ya? IPA dan IPS, sebenarnya sih luasan IPS ya, karena nggak

ngebohong juga, kita kan butuh duit, sedangkan perusahaan-perusahaan sekarang kan perlu

accounting, perlu marketing, perlu management, banyakan anak IPS yang diambil,

sedangkan anak IPA kan mungkin dokter, atau teknik, yang gitu-gitu yang mungkin harus

di perusahaan-perusahaan luar yang besar ….

P : Tapi tadi Rouli juga bilang bahwa anak IPA bisa masuk IPC, IPS, berarti di akuntansi,

manajemen kan juga ada anak-anak IPA?

R13 : Ya, mereka terbagi juga ….

P : OK, ketika pembagian jurusan apakah ada pengaruh citra yang ada terhadap guru-guru IPA

dan IPS? Apakah ada kewibawaan atau persepsi kualitas yang berbeda antara guru-guru

IPA dan IPS?

R13 : Nggak. Sama saja. Kalau masalah guru, itu nggak pengaruh.

P : Menurut kamu, apakah peranan guru BK penting dalam penjurusan?

R13 : Penting. Dia ngebantu kita buat … kita kan bingung, mau pilih yang mana, entar dia bisa

bantu kita, udah kamu masuk yang ini aja, nanti nilai kamu begini, begini …. Entar dari

nilai itu kan dia yang bisa lihat, kita plusnya di mana-mana aja ….

P : Seandainya ada guru yang tidak masuk, mengisi jam pelajarannya bagaimana?

R13 : Dikasih tugas. Dikasih tugas yang banyak … buat dikumpulin. Itu kalau nggak masuknya

cuma sehari, dua hari. Kalau nggak masuknya lama, digantiin sama guru-guru yang lain.

P : Apakah guru penggantinya pasti sebidang studi?

Page 153: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

139

R13 : Ya, sebidang studi.

P : Pasti?

R13 : Pasti.

P : Tidak pernah terjadi guru satu bidang studi digantikan guru bidang studi yang lain?

R13 : Nggak pernah. Walaupun dia nggak ada, tetap digantiin teman-teman guru yang sama.

P : Rouli rencananya bekerja di bidang apa?

R13 : Aku sih maunya komunikasi, sebidang dengan kuliahnya.

P : Tapi orang tua belum setuju ya?

R13 : Ya, Mama-Papa maunya masuk akuntansi …. Bingung, maunya masuk apa ….

P : Menurut Rouli apakah penting kuliah sejurusan dengan bidang pekerjaan?

R13 : Penting banget, karena bisa membuat kita bekerja nggak maksimal, karena kalau bekerja di

bidang yang tidak sesuai, kerja kita nggak optimal dan juga belajar kita selama itu sia-sia.

P : Menurut Rouli, pentingkah faktor ―gengsi‖ waktu memilih universitas dan jurusan?

R13 : Menurut aku, manfaat juga penting, gengsi penting juga. Karena perusahaan kan biasanya

memilih universitas-universitas yang punya nama. Setidaknya kita mau melamar kerja,

lebih gampang juga. Soal diterima-nggak diterima itu urusan belakangan. Tapi kita bisa

dapetin perhatian mereka dulu dari nama universitas kita.

P : Gelar? Penting jugakah?

R13 : Penting, karena itu kan pengakuan dari universitas bahwa kita udah berhasil mencapai

kompetensi tertentu ….

P : Menurut Rouli, perbaikan-perbaikan apa yang paling penting untuk diadakan di sekolah?

R13 : Eh, apa ya … standar UAN jangan 6, cukup 4 aja.

P : UAN sebagai tolok ukur kelulusan, menurut kamu OK-kah?

R13 : OK. Nggak apa-apa sebagai tolok ukur, tapi jangan ketinggian nilainya … t‘rus perbanyak

penggunaan bahasa asing, program pertukaran pelajar ke luar negeri. Di sini sih yang udah

OK banget, kita nggak ada senioritas, Kak.

A1.4 Responden 14

P : Denny dari jurusan Bahasa, betul ya?

R14 : Ya.

P : Sebelumnya dari SMP mana?

R14 : 88.

P : Kenapa memilih bersekolah di 35?

R14 : Tadinya sih mau masuk 3, tapi nilainya nggak cukup.

P : Di SMA 3 kan tidak ada jurusan Bahasa? Apakah waktu dari SMP mau masuk SMA sudah

tahu Denny mau masuk jurusan mana?

R14 : Belum tahu, yang penting masuk SMA dulu.

P : Ketika di SMA 35 ini, sudah tahu ada 3 jurusan kan? Mau masuk ke jurusan apa?

R14 : Bahasa.

P : Kenapa?

R14 : Saya suka musik. Jadi biar bisa buat lagu pakai bahasa lain aja, gitu.

P : Setelah lulus SMA, apakah sudah tahu mau ke mana?

R14 : Belum tahu. Mau cari yang ada desain grafisnya.

P : Lho, kenapa desain grafis? Bukan bahasa atau musik?

R14 : Ya, menggambar bisa juga. Pokoknya yang ada seni-seninya.

P : Kenapa Denny tidak masuk ke IPS atau IPA?

Page 154: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

140

R14 : Kurang bisa, sih.

P : Menurut Denny, benar nggak bahwa IPA lebih unggul, IPS kedua, kemudian Bahasa …

R14 : Nggak ada. Semuanya sama.

P : Kalau murid IPA diberikan soal pelajaran Bahasa dan murid Bahasa diberikan soal IPA,

apakah menurut Denny murid jurusan IPA akan lebih unggul dalam mengerjakan soal yang

diberikan dibandingkan murid jurusan Bahasa?

R14 : Nggak juga.

P : Apakah Denny setuju kalau saya katakan, ―IPA lebih bernalar, IPS lebih menghafal‖?

R14 : Nggak juga, tergantung dari orangnya.

P : Apakah di jurusan Bahasa banyak menghafalnya?

R14 : Pengertian. Yang penting pengertian.

P : Bahasa apa saja yang Denny sudah pelajari di jurusan Bahasa ini?

R14 : Bahasa Jerman, Prancis, Jepang sama Indonesia …. Ada sastranya juga sih.

P : Ketika pembagian jurusan apakah ada pengaruh citra yang ada terhadap guru-guru IPA dan

IPS? Apakah ada kewibawaan atau persepsi kualitas yang berbeda antara guru-guru IPA

dan IPS?

R14 : Tergantung dari sifat gurunya. Nggak dari guru ngajar apa, nggak.

P : Orang tua Denny keberatan Denny masuk Bahasa?

R14 : Orang tua, asal bisa nguasain, t‘rus gimana sih … nggak jeblok banget, apa aja boleh.

P : Pendidikan orang tua Denny apa ya?

R14 : SMA

P : Dua-duanya?

R14 : Ibu S1.

P : Jurusan apa?

R14 : Kurang tahu.

P : Apakah di antara teman-teman Denny sesama murid jurusan Bahasa ada perasaan terbuang

di antara jurusan-jurusan lainnya?

R14 : Pertamanya, ya. Terus dirembukin, dibuat kayak … gimana sih, pokoknya kita nggak boleh

kalah … gitu deh.

P : Apakah di antara teman-teman sejurusan ini ada yang orang tuanya menyesalkan dia masuk

jurusan Bahasa?

R14 : Nggak ada.

P : Tidak ada? Kalau begitu, apakah ada di antara teman-teman ini yang dipaksa orang tuanya

pindah ke jurusan lain?

R14 : Ada. Banyak. Dari Bahasa pindah ke IPS. Ada yang dari IPS pindah ke Bahasa.

P : Berarti orang tuanya melihat ada jurusan yang lebih baik kan?

R14 : Ya.

P : Kenapa seperti itu?

R14 : Kurang tahu juga. Pendapat orang kan beda-beda.

P : Menurut Denny, ciri khas SMA 35 ini apa?

R14 : Disiplin, sih.

P : Dalam apanya?

R14 : Apa ya …?

P : Waktu masuknya? Seragam? Penggunaan jam belajar, …?

R14 : Ya, semuanya deh.

P : Setelah dari SMA, Denny tadi katakan berencana kuliah. Setelah itu rencananya apa?

R14 : Habis kuliah, asal dapat pegangan, mau nyari kerja.

Page 155: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

141

P : Kerjanya apa?

R14 : Tergantung bisanya apa sih.

P : Kalau begitu, waktu Denny memutuskan akan kuliah di Perguruan Tinggi tertentu atau

jurusan tertentu, pertimbangannya apa?

R14 : Yang penting punya pegangan … itu doang.

A2. Wawancara di SMAK 3 BPK Penabur

A2.1 Responden 21

P : Ibu Enche sudah berapa tahun ya Bu, menjadi guru?

R21 : Saya mulai 2001.

P : Berarti ini tahun ke-7 ya Bu?

R21 : Ya.

P : Langsung mengajar di sini ya Bu?

R21 : Ya.

P : Langsung mengajar Ekonomi juga?

R21 : Ya.

P : Berarti Ibu dari S.Pd. ya?

R21 : Saya latar belakangnya Ekonomi, S.E. Sudah pernah bekerja di perusahaan, kayaknya

nggak sesuai dengan jiwa saya. Karena pada awalnya saya memang ingin jadi guru, tapi

kan orang tua yang logis pasti nggak ingin anaknya jadi guru. Jadi saya pikir ya sudahlah,

ikuti orang tua, setelah ikutin orang tua sudah dua tahun kita coba saya pikir kan sudah

cukup menunjukkan ya? Setelah kita memutuskan jadi istri, jadi ibu, kayaknya nggak akan

mungkin ya kalau kita mau punya anak yang benar-benar mau kita didik dengan baik, kalau

kita kerja dengan ritme seperti yang dulu. Anak saya bukan anak saya lagi. Anak suster.

Ya, saya harus berani memutuskan. Saya berhenti bekerja. Tiga tahun vakum. Sampai anak

saya agak besar, saya mau masuk sini.

P : Ibu menjadi Koordinator Kurikulum sudah berapa lama Bu?

R21 : Ini tahun kedua.

P : Orang tua murid di SMAK 3 ini apakah memiliki ciri khas tertentu Bu?

R21 : Kebanyakan orang tuanya tidak berpendidikan baik, kebanyakan pengusaha, menjadi

pedagang karena udah turun-temurun, basic-nya bukan dari pendidikan. Jadi, ya memang

nggak tahu banyak mengenai dunia pendidikan.

P : Di SMA kan sebenarnya ada tiga jurusan Bu, tapi setahu saya di SMAK tidak ada jurusan

Bahasa ya Bu? Kenapa ya Bu?

R21 : Itu kebijakan dari Yayasan. Kita kan di-drop dari sana kebijakannya. Jadi soal jam

pelajaran pun sudah ada paket-paketnya, paling ada beberapa jam yang disediakan, sekolah

boleh isi sesuai dengan kekhasannya. Kalau SMAK 1, itu pasti diisi dengan Sains. Kalau di

sini sesuai jurusan, beda-beda.

P : Di sini jumlah IPA dan IPS berapa ya Bu?

R21 : 2 kelas IPA, 4 kelas IPS. Banyak murid yang sebenarnya bisa masuk IPA, tapi tidak berani.

P : Tidak berani?

R21 : Anak-anak sini tidak terlalu punya kenekatan yang besar, ya. Nggak tahu kenapa. Karena

mereka mungkin melihat kondisinya, kalau memang dia mau masuk Ekonomi, buat apa

Page 156: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

142

sekarang di kelas III-nya atau di kelas II-nya susah-susah ambil Biologi, Fisika. Banyak

yang berpikir logisnya seperti itu.

P : Apakah ada Bu anak-anak yang mau masuk IPA, tapi tidak bisa dan akhirnya harus masuk

IPS.

R21 : Banyak, kalau kayak gitu mah banyak. Kalau yang nilainya tidak mencukupi, kemudian

harus masuk IPS banyak.

P : Dari seluruh populasi murid IPS, berarti ada murid-murid yang bisa ke IPA tapi memilih

IPS, juga ada murid-murid …

R21 : Reject? Yang mau masuk IPA, tapi nggak bisa?

P : Ya. Kira-kira berapa persen ya Bu, murid-murid yang reject ini?

R21 : Kita harus sadar juga ya, ini istilahnya kan adaptasi juga. Kita juga musti tahu diri.

Tujuannya dia masuk sekolah itu pasti, siapa pun dia, ditanya maunya ke mana, pasti

jawabnya mau ke IPA. Kenapa? Karena IPA itu kan pilihannya jauh lebih leluasa dibanding

kalau dia IPS.

P : Pilihan jurusannya?

R21 : Ya. Pilihan jurusannya untuk kuliah, karena untuk anak usia segitu kan masih belum tahu

mau jadi apa. Dia sendiri belum tahu mau jadi apa. Dalam kebimbangan seperti itu kita

cuma bisa sarankan, ―Kamu sanggup nggak? Kalau nilai kamu cukup, silakan kamu ambil

jurusan IPA. Setelah kamu lulus, kamu bisa juga mengambil jurusan IPS.‖ Itu yang saya

sarankan. Karena bagaimana pun juga, logika anak IPA berbeda dengan logika anak IPS.

Itu saya musti akui. Cara dia berpandang, cara dia menganalisis soal, itu pasti beda. Tapi

kalau memangnya kapasitas dia nggak mampu, karena kita juga tahu ya untuk Penabur kan

standarnya berbeda dengan sekolah biasa …. Kalau dia nggak bisa ngikutin pelajaran, dia

juga musti mikir dia musti merogoh kantong orang tuanya lagi untuk les tambahan. Kita

kasih alternatif seperti itu.

Saya bilang sama mereka, ―IPS itu bukan berarti dunia kiamat kan? Tapi, inilah hidup.

Kamu harus bisa memilih. Kalau tidak bisa A, ya kamu harus ambil B.‖ Jadi masalahnya di

B-nya itu, anak-anak yang nggak dapat, ya itulah yang tertampung di IPS. Tapi bukan

berarti semua yang di IPS anak-anak yang nggak dapat tempat, t‘rus lari ke IPS. Banyak

juga anak-anak yang memang sadar diri kapasitas dia sebenarnya masuk, tapi dia nggak

mau di situ, dia lebih nyaman di IPS-nya. Nah itu yang jadi kebanggaan kita di IPS.

P : Nah, yang sadar diri itu, apakah banyak Bu?

R21 : Nggak banyak. Ya, 10-15% sih ada.

Waktu saya mengajar kelas X, memberikan mereka soal-soal Ekonomi, Akuntansi.

Biasanya kan yang jadi perhatian kita anak-anak yang pintar dulu ya? Tapi saya tahu anak-

anak ini nantinya akan masuk ke IPA. Yang harusnya jadi perhatian saya adalah anak-anak

yang kurang ini, karena merekalah yang nantinya akan jadi murid-murid kita di IPS. Di

kelas X kan mereka biasanya masih belum fokus, kadang-kadang di kelas XII baru berbalik

180°.

Masalahnya, kalau mereka mau ambil beasiswa, PMDK, dan sebagainya, nilai itu kan

dilihat dari semester satu, padahal semester satu mereka nilainya banyak merahnya.

―Kenapa sih kamu nggak sadar? Kenapa kamu nggak berusaha dari sekarang?‖ Karena di

kelas XII mereka sudah sadar, ―O ya, saya belajar untuk ini. Saya mau masuk ke jurusan

ini.‖ Nah, di situ langsung berubah, fokus. Tapi waktu mereka ikut seleksi, saringan

pertama kan pasti nilai, dari semester 1, di kelas X, dan di situ mereka langsung kalah dari

anak-anak IPA. Dan sejujurnya saya enjoy banget kok di IPS, dibandingkan di IPA. Beda.

Auranya itu beda.

Page 157: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

143

P : Apakah di SMAK ini juga ada kasus anak-anak yang tidak punya semangat belajar, sekolah

hanya sekedar untuk mengisi waktu Bu?

R21 : Ada aja sih. Di setiap sekolah juga pasti ada, tinggal masalah jumlahnya. Masalah yang

banyak kita hadapi, mungkin karena lingkungannya memang dari keluarga menengah ke

atas, adalah hubungan orang tua dengan anak yang tidak baik. Bertemu saja sehari mungkin

jarang sekali. Berhubungan lebih sering lewat telepon. Ada anak yang sakit, sesak napas,

waktu kita mau telepon orang tuanya, malah makin sesak napas. Orang tuanya pun hanya

mau kirim supir untuk menjemput dia. Jelas hubungannya sudah tidak baik. Ya, kita hanya

punya waktu tiga tahun untuk membenahi anak ini. Optimis sih kita bisa, tapi sangat

terbatas. Sudah SMA, pasti hubungan yang rusak ini sudah menjadi karang.

P : Pada saat kelas X, mereka akan penjurusan, prosesnya bagaimana ya Bu?

R21 : Biasanya guru BK sudah mengadakan penelusuran minat, juga ada tes bakat dan minat.

Kalau untuk akademiknya, waktu di MOS saya sudah memberikan mereka wawasan, ―Ini

lho, kalau kamu mau masuk IPA nilai kamu harus segini, kalau IPS nilai kamu harus

segini.‖ Biasanya kan kita fokus di IPA, kalau IPA nggak masuk ya mau nggak mau masuk

IPS. IPS nggak masuk juga, ya tinggal kelas. Itu fakta yang mau tidak mau harus

diperhadapkan ke mereka.

P : Berarti tidak ada tes khusus lagi ya Bu? Ketahuannya saat mereka terima rapor semester 2?

R21 : Ya.

P : Berarti di kelas X anak-anak sudah punya gambaran mengenai IPA dan IPS ya Bu? Bahwa

IPA itu lebih ….

R21 : Lebih hebat, lebih bergengsi, nilai gengsinya lebih tinggi.

P : Nah, dari perspektif mereka, menurut Ibu kenapa mereka sampai punya gambaran seperti

itu?

R21 : Ya mungkin karena tingkat kesulitannya ya? Anak-anak kan nggak berpikir ke depannya

mau bagaimana. Kalau yang lebih susah dia bisa masuk, wah hebat …. Anak SMA pasti

kan yang dilihat itu dulu. Yang kedua mungkin yang dilihat adalah tuntutan orang tua.

Orang tua pasti akan lebih bangga kalau ditanya, ―Anaknya di mana?‖ ―SMAK 3.‖ ―Ambil

jurusan apa?‖ ―IPA.‖ ―Wah hebat lho ….‖ Itu kan pasti membangkitkan kebanggaan

tersendiri kepada orang tua. Dua faktor itulah yang sebetulnya paling utama.

P : Dari orang tua sendiri, apakah karena hal yang sama, bahwa IPA lebih susah, atau karena

mereka melihat lebih jauh, murid jurusan IPA bisa ke mana studinya?

R21 : Kalau saya lihat sih, orang tua yang memahami kondisi pendidikan anak benar-benar,

nggak begitu. Tapi karena di sini banyak yang tidak berpendidikan baik, nggak tahu kan?

Beda ya kalau orang tuanya memang berpendidikan, dia pasti akan mengarahkan anaknya,

―O, kamu masuk ke sini karena masa depannya kan begini, begini ….‖

P : Berarti, pada orang tua murid, cukup kuat kesan bahwa IPS itu buangan ya Bu?

R21 : Ya, kayaknya sih sampai sekarang masih ya.

P : Apakah kita bisa menghilangkan persepsi bahwa jurusan-jurusan itu seperti air mancur Bu?

Dari IPA, kalau tidak diterima masuk ke IPS, kalau tidak diterima juga, kalau ada Bahasa,

masuk Bahasa ….

R21 : Tapi di SMAK 3 tidak begitu lho. Sebenarnya begini. Faktanya memang mereka itu

buangan. Itu fakta. Kita nggak bisa hindari. Apa pun persepsinya, dia harus sadar bahwa

―Kalau kamu mau masuk IPA dan nggak bisa, kemudian kamu lari ke IPS, kamu itu anak

buangan.‖ Jangan menambah beban lagi dengan membuat kesan bahwa anak IPS itu

urakan, nggak bisa diatur. Bagaimana caranya dengan ikut lomba, kejuaraan, ikut apa …

buktikan bahwa kamu pun bisa berprestasi.

Page 158: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

144

Kita kan di Penabur yang pertama SMAK 1, kemudian SMAK 3. Kalau SMAK 1 itu

unggulannya Sains dan semuanya dia harus nomor 1. Dan dia kan tinggal mungutin yang

juara-juara. Anak inputnya bagus, hasilnya juga musti bagus. Kalau di SMAK 3 kan nggak.

Nah, yang nggak ini, yang bagusnya masuk ke IPA, sisanya masuk ke IPS. Itulah jatahnya

kita. Nah, bagaimana kita membangkitkan motivasi anak, yang merasa dirinya terbuang,

bisa bangkit. Dan saya nggak mau menekankan ke anak, IPS gampang lho, materinya

gampang. Itu yang saya nggak mau. Saya akan ubah paradigma itu. Jangan kamu berharap,

begitu di IPS, kamu bisa santai, bisa easy going, tidur-tidur, ulangan dapat bagus. Itu nggak

akan terjadi di SMAK 3.

Karena saya ngajar Ekonomi di kelas III, saya bisa katakan, ―Silakan kamu berikan soal

saya ke anak IPA, anak IPA nggak akan bisa kerjakan soal saya.‖ Karena logikanya beda.

―Kamu dituntut mengerjakan soal ini logikanya bukan cuma matematis tapi juga

ekonominya ada.‖ Kalau anak IPA kan pure matematis.

P : Jadi, apakah di sini tidak terjadi dikotomi, ―IPA bernalar, IPS menghafal?‖

R21 : Ya, itu yang saya mau. Dan itu sudah mulai terjadi belakangan ini. Yang bisa memberikan

esensi seperti itu adalah gurunya. Mau dijadikan apa anak ini, trademark-nya seperti apa,

kita yang memberikan warna, bukan masyarakat. Kalau SMAK 1 input-nya bagus ya

memang hasilnya pasti bagus. Kalau kita mau bersaing dengan SMAK 1, ya kita tunjukkan

bagaimana anak yang input-nya jelek bisa kita poles jadi bagus. Membangkitkan pride

anak, membuang kesan sebagai anak buangan, itu yang berat. ―Walaupun saya anak IPS,

saya punya sesuatu yang nggak dipunyai anak IPA.‖ Itu yang perlu dibentuk.

P : Bicara mengenai kondisi di masyarakat Bu. Apakah menurut Ibu IPA itu memang peluang

kerjanya lebih luas atau potensi penghasilannya lebih tinggi atau bagaimana sehingga IPA

lebih diminati?

R21 : Logic-nya aja kali, ya. Anak lebih diajarkan untuk memiliki sistematika yang lebih hebat.

IPS itu lebih ke sosialisasinya, jadi dia nggak terlalu ke pendekatan problem-solving, tapi

interaksi sosialnya bagiamana. Jadi nggak terlalu fokus ke hasil akhirnya. Jadi balik lagi

tergantung anaknya. Banyak juga anak IPA yang lari ke IPS waktu kuliahnya. Dan juga

biayanya, di FT, FK itu lebih mahal daripada FE.

P : Bagaimana pembinaan oleh guru BK? Apakah di dalam penjurusan guru BK memiliki

peranan yang penting Bu?

R21 : O, ya. Guru BK di sini ada tiga orang. Masing-masing orang menangani satu angkatan.

Jadi, dia ikut bersama dengan anak itu. Dari kelas X sampai kelas XII, kemudian dia

kembali lagi ke kelas XII.

P : Seandainya ada anak-anak yang memiliki minat-minat yang tidak populer, misalnya pada

Antropologi, Sosiologi, … apakah mereka akan tetap disarankan untuk menekuni minat

mereka untuk di SMA dan kuliah?

R21 : Anak kita ada tuh yang tahun lalu sampai ke China ambil Antropologi.

P : Dan orang tuanya OK saja?

R21 : Ya itu dia! Tapi sekarang orang tua tidak terlalu ikut campur kok ya? Lebih pengertian

terhadap minat anak. Yang sampai repot berurusan dengan guru BK itu waktu penjurusan

IPA atau IPS. Kalau untuk kuliah, rasanya sekarang orang tua sudah nggak terlalu ikut

campur. Dan memang anaknya juga tidak mau yang aneh-aneh. Mungkin juga anak sini

terlalu logis atau terlalu ekonominya matang atau gimana, udah jelas dia maunya mau ke

mana. Kebanyakan ya ke Ekonomi, kalau nggak IPA-nya Teknik, Kedokteran, Pangan. Ya

itu-itu aja deh. Yang nggak ada duitnya biasanya jarang peminatnya.

P : Apakah murid-murid melihat guru-guru IPA dan IPS sebagai guru-guru yang setara, Bu?

Page 159: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

145

R21 : Itu dia. Yang memberi nilai pada diri kita ya diri kita sendiri. Di sini antara guru yang

senior dan guru yang muda pun kompaknya bagus. Kita benar-benar kompak, satu suara.

Jadi murid tidak bisa mengambil celah di situ.

P : Tadi Ibu katakan orang tua lebih banyak berperan waktu murid mau mengambil penjurusan

di SMA, daripada waktu mau kuliah. Apakah itu sudah terlihat sejak awal, di kelas X, atau

ada kaitannya dengan peranan guru BK Bu?

R21 : Saringan di kita ini bertingkat. Sebelum masuk KBM, di awal-awal bulan orang tua sudah

kita panggil. Jadi kita sudah share dulu, kira-kira yang akan anak mereka hadapi seperti

apa. Kalau anak itu normal, orang tua akan bertemu pihak Sekolah minimal 4 kali dalam 1

tahun ajaran: awal tahun pelajaran, mid semester, semester ganjil dan mid semester genap.

Nah, untuk semester akhir, anak itu naik-tidak naik, rapor akan kita berikan langsung ke

anaknya. Toh orang tua tidak punya peranan apa-apa lagi. Itu sudah keputusan akhir.

Kalaupun anak ini di tengah jalan ada masalah, guru BK tanpa perlu konsultasi dengan

pihak Sekolah dia akan langsung berhubungan dengan orang tua. Karena dia tiga tahun

menangani anak yang sama, jadi dia yang paling tahu. Di kelas II, orang tua akan diundang

lagi. Ada seminar untuk orang tua, ada KKO, semacam forum untuk orang tua saling

sharing.

P : Jadi pembinaan yang dilakukan kepada murid sudah sangat intensif dari berbagai saluran ya

Bu? BK, orang tua?

R21 : Ya, dan juga BK itu masuk ke kelas, menggunakan jam Agama. Setiap 3 jam pelajaran

Agama diseling 1 jam pelajaran BK. Dan juga tiap ada pelajaran kosong, BK langsung

mengisi. Juga ada konseling pribadi, konseling kelompok.

P : Apakah pada saat memilih jurusan, anak-anak ini sudah tahu benar nantinya mau kuliah ke

mana, mau bekerja jadi apa?

R21 : Beberapa orang bisa, tapi kebanyakan tidak bisa.

P : Bagaimana dengan pengaruh teman, Bu?

R21 : Nggak terlalu kuat ya. Justru yang kami takutkan itu dari anak-anak Penabur, susah

bergaul. Kalau di lomba-lomba tuh kelihatan sekali. Sementara anak-anak Negeri bisa

berbaur, dapat teman baru, ke sana-kemari, anak-anak kita itu ya diem-diem aja …. Capnya

seperti itu ya, terkotak-kotak, sulit berbaur. Padahal kan dalam kehidupan nanti ya

kepintaran terbatas gunanya, justru bisa bergaul itu yang penting.

P : Menurut Ibu, seberapa besar latar belakang pendidikan dan kondisi sosial-ekonomi orang

tua terhadap campur-tangannya dalam pendidikan anak?

R21 : Berpengaruh sih pasti, tapi tergantung ya. Kalau saya lihat di sini, ada orang yang berada,

tapi beradanya itu dalam pengertian uangnya banyak dan anaknya mau ambil apa saja

boleh. Tapi ada juga orang yang punya duit, dan berpendidikan juga, dia sudah

mengarahkan anaknya masuk ke mana. Jadi pendidikan sepertinya lebih berpengaruh

daripada uangnya. Kalau orang tua sudah memasukkan anaknya ke SMAK 3, pasti dia

punya tuntutan lebih kenapa sampai memasukkan anaknya ke sini. Jadi saya rasa sudah

tidak terlalu kolot lagi.

P : Jadi waktu ingin mengambil studi ….

R21 : Orang tua sekarang kebanyakan nggak tahu kok. ―Mam, aku mau ambil ini.‖ ―Itu apa?

Belajar apa? T‘rus, jadi apa?‖ Orang tua kan pasti nanyanya gitu. Mungkin zaman dia

sekolah dulu nggak ada pilihan itu. Tapi yang penting kan nantinya jadi apa, t‘rus gajinya

berapa? Pasti ujung-ujungnya duit. Jadi saya bilang, ―Kamu harus informasikan dengan

baik kepada orang tua.‖

Page 160: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

146

P : Mengenai sikap Sekolah terhadap guru, Bu: apakah ada insentif-insentif atau penghargaan-

penghargaan yang bisa didapatkan oleh guru-guru yang mengajar MIPA atau bidang studi

UAN yang tidak bisa didapatkan oleh guru-guru lainnya? Entah uang, piagam, apa pun …

material maupun imaterial?

R21 : Itu sih pasti tetap ada. Tapi tidak beda terlalu jauh kok. Kan kita juga ada sistem poin

insentif yang menjadi dasar perhitungan bonus di akhir tahun. O ya, anak-anak juga ada

yang saya paksa-paksa masuk IPA dan dia tidak mau, maunya masuk IPS, karena takut

tidak naik kelas. Dan orang tuanya pun OK-OK saja. Jadi saya rasa orang tua sekarang

sudah lebih terbuka, ya.

P : Ketika ada guru yang berhalangan hadir atau cuti, bagaimana mencari penggantinya Bu?

R21 : Kalau cuti hamil, kan lapor ke yayasan, yayasan akan carikan pengganti, sebelum cuti ya

harus jelas serah-terimanya berdasarkan program guru itu … jadi sudah tahu guru

penggantinya harus mengajar dari mana sampai mana. Guru itu akan dicarikan dari Penabur

yang lain, kalau memang bisa guru intern juga sama, tetap saja harus mengacu kepada

program guru itu.

P : Apakah guru penggantinya pasti dari bidang studi yang sama Bu?

R21 : O ya, pasti. Nggak ada cerita guru bidang studi yang berbeda … kalau 1-2 hari, ya mungkin

hanya diberikan tugas, tapi kalau guru pengganti pasti dari biadng studi yang sama.

P : Dibandingkan dengan sekolah-sekolah yang lain, apa keunikan sekolah ini Bu?

R21 : Disiplinnya. Bahkan dibandingkan dengan Penabur yang lain, tetap di sini disiplinnya lebih

kuat.

P : Apakah sebagai Koordinator Kurikulum Ibu merasa pemerintah memiliki campur tangan

yang berarti dalam pemilihan jurusan ini? Mungkin ada kepentingan agar murid-murid

lebih tertarik untuk masuk ke satu jurusan dibandingkan jurusan yang lain?

R21 : Pemerintah lebih banyak kepentingan politisnya daripada unsur pendidikannya. Tapi

memang negara berkembang, pasti masih banyak minat ke Ekonomi, belum ke yang lain-

lain. Kalau saya melihat, kenapa secara umum banyak anak yang sebenarnya tidak mampu

kuliah dan tidak akan kuliah, kok masih masuk ke SMA, ya itu sebenarnya karena banyak

penganggurannya. Yang tinggi saja, yang sudah S1 banyak pengangguran. Kalau yang S1

mau dibayar kayak SMA, buat apa ambil SMK? Lebih nggak laku lagi. Jadi, supaya laku,

ambil S1. Masuk SMA. Di SMA mau ambil IPA.

P : Apakah ada peranan lain yang Ibu harapkan dari pemerintah?

R21 : Yang mendesak sebenarnya mata pelajaran harus dikurangi supaya murid belajar lebih

fokus. Untuk apa ada pelajaran-pelajaran yang isinya sama diulang-ulang? Sejarah, PKn.,

Sosiologi … juga Sejarah itu materinya dari SD ke SMP ke SMA ya diulang-ulang, itu-itu

lagi. Tapi kalau kita ngomong sama pemerintah, ya ujung-ujungnya dibalikin ke kita lagi,

―Ya inilah Indonesia, Bu.‖ Jadi mau bagaimana lagi?

A2.2 Responden 22

P : Ibu Kus, sudah berapa lama menjadi guru Bu?

R22 : Sejak 1987. Sejak awal sudah di sekolah ini.

P : Mengajar?

R22 : Biologi. Kalau kelasnya berganti-ganti, tahun ini mengajar kelas XI IPA dan XII IPA.

P : Apakah menurut Ibu di antara murid ada persepsi bahwa IPA itu lebih tinggi, lebih

bergengsi, daripada IPS?

Page 161: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

147

R22 : Nggak juga. Bahkan anak-anak yang pintar cenderung masuk IPS. Saya itu banyak

kehilangan anak-anak yang saya lihat di kelas X-nya itu bagus, mereka lari ke IPS. Saya

tanya, ―Kenapa?‖ Mereka takut: Fisika, Kimia, Matematika. Yang mereka takutkan itu.

P : Berarti bukan karena tidak mampu, tapi karena takut?

R22 : Ya. Banyak anak IPS yang seharusnya mereka ada di IPA.

P : Apakah ini ada hubungannya dengan cita-cita mereka Bu?

R22 : Ya mungkin memang kaitannya ke sana. Karena mereka kan maunya rata-rata akunting ya,

akhirnya ya sudah daripada capek-capek belajar ya sudah masuk IPS saja. Sebenarnya

mereka otaknya mampu.

P : Murid-murid Ibu sendiri yang masuk IPA, jago-jago Biologi, bahkan ikut di OSN, apakah

kuliahnya kemudian lanjut ke F-MIPA juga Bu?

R22 : Kebanyakan ke FE. Ada ke FT juga, tapi kebanyakan FE. Jarang sekali yang ke F-MIPA.

Mungkin mereka memandang ke depan, setelah lulus mau jadi apa? Pekerjaannya juga

susah ….

P : Jadi, kalau boleh saya simpulkan sementara, pemilihan jurusan ditentukan oleh pekerjaan

dan potensi penghasilannya?

R22 : Ya. Bagaimana masa depannya. Karena ujung-ujungnya mereka itu kan … kadang orang

tua sekarang juga salah ya, saya tanya sama murid, ―Kenapa kamu nggak mau ambil

fakultas kedokteran? Padahal untuk kamu itu kan gampang?‖ ―Nggak mau ah Bu,

kuliahnya lama. Udah gitu nanti dilempar lagi ke luar daerah.‖

P : Waktu anak-anak memilih jurusan, kan sepertinya bertingkat ya Bu, dari IPA, kalau tidak

diterima di IPA, masuk IPS, kemudian Bahasa ….

R22 : Ya sebenarnya dulu nggak begitu ya. Kalau dulu itu, A1, A2, A3, anak-anak bebas

memilih. Jadi sebenarnya kebanyakan anak-anak memilih dengan hati nuraninya. Cuma

kadang-kadang ada orang tua yang mengontrol anaknya harus masuk ke jurusan mana.

P : Apakah peranan orang tua murid cukup kuat dalam pemilihan jurusan ini Bu?

R22 : Terkadang saja. Semakin ke sini, orang tua pada umumnya cenderung lebih membebaskan.

P : Kalau melihat faktor keterdidikan orang tua dan kemapanan ekonomis orang tua, apakah di

antara dua faktor ini ada yang berpengaruh terhadap sikap orang tua dalam membebaskan

keputusan anak Bu?

R22 : Em, kalau saya lihat, kemapanan kok kayaknya nggak ya. Tapi memang orang tua yang

lebih terpelajar cenderung lebih memberikan kebebasan kepada anaknya untuk memilih

jurusan apa saja. Karena mereka kan juga lebih bisa mengarahkan ya.

P : Kalau orang tua, apakah mereka memiliki kerjasama yang baik dengan pihak sekolah Bu?

Dalam hal penjurusan, waktu anaknya memilih jurusan Bu, baik waktu di SMA maupun

untuk kuliah, apa ada peranan yang penting dari orang tua?

R22 : Mereka cukup mengarahkan anaknya ya, baik-buruknya, kemungkinan di masa depannya.

Tapi kebanyakan sih dicoba karena di sini kan bisa coba. Tiga bulan di IPA, kalau tidak

bisa, pas-pasan, boleh pindah ke IPS.

P : Apakah guru BK mempunyai peranan yang penting dalam pemilihan jurusan Bu?

R22 : Guru BK penting, karena selalu mengarahkan sesuai kemampuan murid. Dipantau dengan

baik, diikuti terus. Dan memang kalau mau masuk ke Perguruan Tinggi, mereka malah

konsultasi dengan guru BK-nya dulu.

P : Dari perspektif murid-murid, apakah ada perbedaan penghargaan terhadap guru-guru IPA

dan IPS? Mungkin ada yang dipandang sebagai ―dewa-dewa‖-nya di sekolah ini?

R22 : Nggak ya. Mashi-masing dua jurusan ini ada dewa-dewanya, ada killer-killer-nya jadi

mereka sama menghargai guru IPA dan IPS.

Page 162: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

148

P : Kalau seorang guru berhalangan hadir Bu, atau cuti, bagaimana mencari penggantinya?

Apakah penggantinya ini harus guru semata pelajaran?

R22 : O, ya. Harus dari mata pelajaran yang sama. Tapi biasanya kan kalau cuti melahirkan, guru

yang mau melahirkan itu harus mencari pengganti sesuai bidang studinya. Kalau bisa dari

sesama Penabur boleh, kalau mau cari dari luar juga boleh, tentu yang punya reputasi yang

baik juga. Kemudian mereka harus sepakat dan sebelum hari cuti sudah serah-terima bagian

mana yang mau diserahkan. Kalau tidak masuk 1-2 hari ya cukup kasih tugas. Tapi yang

jelas harus guru dari mata pelajaran yang sama, kalau mau digantikan.

P : Baik pelajaran IPA maupun IPS, harus dari mata pelajaran yang sama Bu?

R22 : Ya. Tidak pengaruh, mau IPA mau IPS, harus dari mata pelajaran yang sama.

P : Apakah untuk menjadi guru IPA dan IPS di SMAK ada perbedaan kualifikasi Bu?

R22 : Sama saja. Karena kita semua kan harus membawa mereka tahun demi tahun, mengubah

dari yang buruk menjadi yang baik, sama saja untuk guru IPA dan IPS.

P : Ketika ada ajang-ajang perlombaan dan ujian nasional, kemudian murid berhasil

menunjukkan prestasi tertentu, apakah ada kesetaraan kesempatan untuk semua guru Bu?

R22 : Ada. Semua sama, kok.

P : Tapi kalau UN, kan tidak semua guru bisa mendapat kesempatan itu? Juga PKn., tidak ada

kompetisi-kompetisinya Bu?

R22 : Oh, maksudnya kalau ada prestasi seperti itu? Penghargaannya kan untuk anak ya, bukan

untuk guru. Kalau untuk guru, itu kita lihat konduitenya, jadi ada penghargaan di akhir

tahun bersamaan dengan konduite. Seperti saya, kalau misalnya berhasil membimbing

Biologi sampai ke tingkat olimpiade, nanti ya diperhitungkan di konduite. Memang untuk

tiap guru kesempatannya beda-beda: ada yang UN, ada yang kompetisi, banyak … tapi

semuanya punya kesempatan.

P : Apakah seorang murid dari jurusan IPA pasti bisa berhasil di jurusan IPS di sekolah ini Bu?

Dan sebaliknya, apakah juga bisa?

R22 : Nggak juga. Karena sekarang ada kan Perguruan Tinggi yang membolehkan dari IPS

masuk ke jurusan apa saja dan ternyata mereka itu di luar juga ikut bimbingan-bimbingan

tes, jadi di sekolah ambil IPS, ikut bimbingan di luar, lalu masuk ke kedokteran. Dan saya

pikir kalau memang dia punya kemampuan, tidak apa-apa ya. Karena prinsip dasarnya yang

katanya SMA itu memberikan dasar nggak juga kok ya. Karena di awal masuk PT mereka

semua ilmu juga dimatrikulasi lagi kan?

P : Apakah ada dikotomi bahwa ―IPA itu lebih bernalar, IPS cenderung lebih hanya menghafal

teori-teori?‖

R22 : Nggak ada. Malah saya pikir anak IPS lebih pintar berbicara, dalam hal bahasa,

berkomunikasi, dibandingkan anak IPA.

P : O ya? Apakah ada pelajaran tertentu Bu, yang membuat mereka begitu?

R22 : Mereka kan dapat Sosiologi kan? Sosiologi kan bagaimana mereka harus bisa

berkomunikasi, bersosialisasi dengan orang-orang kan? Kalau anak IPA itu kan nggak

dapet?

P : O berarti Sosiologi itu kuat di analisis juga ya Bu?

R22 : Ya. Dan memang anak IPS itu kalau berbicara lebih pandai.

P : Sekolah ini ciri khasnya apa ya Bu?

R22 : Disiplin yang luar biasa tinggi. Karena memang kepala sekolahnya dulu menerapkan

disiplin gaya Belanda …. Dan guru tuanya juga banyak, jadi guru-guru muda yang masuk

juga melihat, ―O, seharusnya begini.‖

Page 163: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

149

P : Menurut Ibu, apakah pemerintah punya usaha tertentu untuk lebih membuat jurusan

tertentu menarik dibandingkan jurusan lainnya?

R22 : Tidak ada. Karena dari kelas X mereka dapat pelajarannya IPA dan IPS. Jam-jam juga

sama banyak. Cuma yang saya sayangkan dari pemerintah, ini kan pelajarannya sangat

banyak. Itu anak tuh merasa jadi terlampau beban seperti kalau dia sudah masuk

universitas, ada pelajaran-pelajaran yang kurang perlu … seperti PKn. Yang memberatkan

cuma itu.

A2.3 Responden 23

P : Saya mau nanya dulu sedikit tentang latar belakang di SMAK 3 ya. Fanny memang dari

SMP di Penabur ya?

R23 : Nggak. SMP-nya dari Santo Yosef, bukan dari Penabur.

P : Oh bukan dari Penabur, terus kenapa masuk ke Penabur?

R23 : Soalnya itu karena denger waktu SMP dari saudaraku yang masuk ke sini, sekarang udah

lulus. Waktu itu denger di sini kasih pendidikannya bagus, ya saya juga nggak kepikiran

bisa diterima karena waktu di SMP, saya pikir bukan unggulan kan? Jadi, coba-coba sama

temen. Kan saya nggak tes kan? Dilihat dari rapor kan, jadi dari ranking 1 sampai 3 nggak

perlu tes, masuknya di sini tanpa tes.

P : Waktu mau masuk ke SMAK 3 udah tahu mau masuk kuliah ke mana?

R23 : Waktu masuk pertama kali sih belum tahu tapi udah pasti mau ngambilnya IPS.

P : Kenapa?

R23 : Karena saya berminat di IPS, bukan … eh, waktu kelas 1 tuh nilai IPA saya tuh sangat

memenuhi dan guru-guru, wali kelas tuh menganjurin harusnya masuk IPA aja. Tapi saya

bilang saya nggak mau masuk ke yang jalur yang merurut saya gak di situ. Kalau menurut

saya kemampuan saya, bakat saya dan minat saya itu adanya di IPS.

P : Yang seperti apa tuh maksudnya ―IPS‖?

R23 : Yang seperti Akuntansi, Ekonomi, saya senang sekali dengan Ekonomi gitu. Kalau saya

yang nggak suka tuh kalau IPA ilmunya statis, kan? Saya tuh lebih suka yang bisa berubah

dengan zaman jadi bisa lebih diikuti gitu jadi saya memang berminatnya di IPS bukan

karena memang tidak mampu di IPA atau memang lebih unggul atau nggak ya, tapi

memang minatnya aja sih.

P : Kalau terhadap ilmu sosial lainya seperti Sejarah, Sosiologi, Antropologi, ada minat juga ke

situ?

R23 : Minatnya sih biasa aja, tapi saya sih memang sangat senang dengan pelajaran IPS. Kalau

Sosiologi itu kan memang kita kan hidupdi sekitar masyarakat, jadi bisa tahu. Kalau

Sejarah setidaknya tahulah dulu-dulunya bagaimana. Meskipun nggak begitu tertarik tapi

lebih emang interested-nya di IPS.

P : Jadi dari awal memang IPS ya? Kemudian di luar orang pada umumnya memandang IPA

lebih tinggi, betul ya?

R23 : Ya, paradigma masyarakat.

P : Menurut kamu kenapa terjadi seperti itu?

R23 : Nggak ngerti juga ya, mungkin para orang tua juga suka memaksa anaknya untuk masuk

IPA.

P : Orang tua kamu juga begitu?

R23 : Orang tua saya sih terserah, tapi dari temen-temen saya, saudara ya suka maksa, ―Udah,

masuk IPA aja,‖ tapi saya juga nggak ngerti kalau seandainya ditanya kenapa sih harus

Page 164: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

150

dipaksa masuk IPA begitu, belum tentu yang masuk IPA tuh berhasil justru kita punya

perusahaan, mendirikan perusahaan, manajemen, itu pasti IPS dong? Dan kalau kita nanti

ingin membuat bangunan, berarti arsitek, itu anak IPA dong? Otomatis anak IPA yang kerja

nanti kan? Kita bisa kayak wirausaha, entrepreneur, kita menggaji anak-anak IPA untuk

berkerja. Saya bilang paradigma itu harus diubah gitu, bukan berati IPA lebih tinggi dan

IPS lebih rendah gitu. Kalau menurut saya tuh itu tergantung kemampuan orang. Kalau

orang itu mempunyai kemampuan di IPS pasti dia bisa berkembang di IPS, kalau memang

mampunya di IPA ya pasti bisa berkembang baik di IPA gitu. Kalau itu sih tergantung

anaknya sendiri minatnya di mana.

P : Sekarang kamu sudah tahu ke depannya mau masuk ke jurusan mana?

R23 : Saya di sini sudah diterima di Universitas Atma Jaya jurusan Akuntansi tapi saya kemaren

ini ditawari sekolah, ada PMDK di UI.

P : OK. Jurusan yang sama?

R23 : Ya.

P : Ada rencana studi ke luar negeri?

R23 : Nggak sih. Saya pikir saya lebih enjoy di Indonesia ya kayaknya, memang siapa tahu kita

bisa membantu negara ini, siapa tahu nantinya bisa jadi negara yang berhasil, memang

nggak berminat ke luar negeri.

P : Orang tua Fanny pengusaha?

R23 : Nggak, wirausaha.

P : Wirausaha dua-duanya?

R23 : Nggak. Papa doang. Kalau Mama sih biasanya cuma ngebantuin Papa dikit sih, ibu rumah

tangga biasa.

P : Menurut Fanny, ada bedanya nggak antara ketika orang tua ini latar belakang

pendidikannya, sosio-ekonominya, terhadap ekspektasi mereka ke anak-anaknya?

R23 : Ada. Secara umum ada kalau orang tua saya kan pendidikannya nggak terlalu tinggi kan,

cuma tamat SMA aja. Jadi memang kalau Papa sama Mama saya kalau soal pelajaran itu

mereka juga nggak terlalu ikut campur gitu lho. Terserah saja, yang penting kalau orang tua

cuma menekankan harus kasih contoh papa mama itu kan, pendidikan itu sangat penting

kan, dan kamu sudah besar. Jadi kamu harus tahu jalan apa yang harus kamu tempuh, ya

kalau minat kamu di sini ya udah kamu harus jalanilah. Tapi kalau kayak temen saya tuh

ya, orang tuanya seorang dokter, dia menuntut anaknya harus seperti dia harus ambil

jurusan IPA. Dia harus mengambil jurusan kedokteran supaya nanti bisa meneruskan

pekerjaan Papanya. Saya rasa sih ada pengaruhnya.

P : Apakah ada kecenderungannya orang yang lebih kaya, lebih berada, itu lebih memaksa

anaknya untuk mengambil jurusan tertentu atau bagaimana?

R23 : Mungkin ada sih kayak jurusan kedokteran itu kan otomatis mahal kan, kalau masuk itu tuh

mahal juga dan otomatis dari keluarga yang berada yang bisa masuk ke perguruan

kedokteran. Kalau dari keluarga pas-pasan nggak terlalu memungkinkan bisa masuk ke

jurusan seperti itu

P : Nah waktu kelas 10 nih ya, waktu mau memilih jurusan, di antara teman-teman yang

sebaya kan tentu ada persepsi juga tentang IPA seperti apa, IPS seperti apa begitu ya,

faktor-faktor yang berpengaruh itu apa sih saat mereka memandang IPA, IPS itu?

R23 : Em, faktor yang berpengaruh ya? Kalau kelas I sih, waktu mau pilih jurusan teman-teman

saya cuma bilang, ―Waduh kayaknya IPS susah nih, aduh kayaknya nggak mampun nih

pelajarannya.‖

P : IPA maksudnya?

Page 165: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

151

R23 : Eh ya, IPA. Susah nih pelajarannya, nggak mampu nih, ya sudah masuk IPS aja deh.‖

Mereka memandang sepertinya tuh IPA pelajarannya lebih susah gitu, karena mereka yang

ada di IPS, kadang-kadang mereka nggak berminat, mereka nggak mau berusaha di IPA

gitu lho, seperti Matematika dengan rumus-rumusnya. Tapi ada satu lagi teman saya bilang,

―Ih, apa-apaan sih hafalan otak gua nggak sanggup menghafal, mendingan gua di IPA aja

deh ngitung-ngitungan.‖

P : Jadi ada dikotomi bahwa IPA itu lebih menghitung, IPS lebih menghafal. Benar tidak

dikotomi itu?

R23 : Dibilang bener sih nggak. Kan kalau IPA kan ada Biologi, dan di Biologi kan textbook kan?

Di IPS kita juga dapat Matematika, itu juga hitung-hitungan. Cuma bedanya kalau

Matematika di IPA itu lebih dalam dan kalau di IPS nggak begitu dalam, masih yang

lumayan. Tapi tetap saja di IPA dan IPS tuh tetap saja ada unsur hafalan dan hitungan,

cuma kalau IPA lebih beratnya di hitungan, IPS lebih beratnya di hafalan.

P : Nah pelajaran IPS ini sendiri selain Matematika dan Matematika Ekonomi, apakah isinya

itu pelajaran-pelajaran analitis juga, atau ….

R23 : Analitis, menurut saya. Seperti Geografi itu ya, itu kita harus menganalisis seperti wilayah

ini cenderungnya ke dataran tinggi atau apa? Wilayahnya pertanian atau apa? Kalau kita

belajar Ekonomi juga, bagaimana menurut Anda perkembangan dunia perbankan saat ini?

Itukan soal analisis juga kan? Jadi kita harus melihat, ―Oh ... jadi bank ini tingkat

kesehatannya seperti ini, jadi pengaruh investor asing seperti ini,‖ baru kita bisa menjawab,

seperti itu. Itu kan analisis ….

P : Kalau Sejarah dan Geografi bagaimana? Sejarah dan Geo., PKn., yang mungkin ....

R23 : Kalau sejarah itu kan kita cuma mempelajari masa lampau gitu, ya jadi kalau begitu belajar

cuma textbook gitu, nggak terlalu banyak analisis tapi kalau seperti Geografi, seperti

Matematika ataupun Ekonomi, Akuntansi …. Akuntansi itu juga sebenarnya logika kan?

Nggak bisa cuma pakai rumus ….

P : Berati kalau anak IPA dikasih soal itu belum tentu dia bisa ya?

R23 : Belum tentu, mungkin seperti anak IPS, dikasih soal IPA tapi kalau ribet-ribet juga belum

tentu bisa.

P : Berarti sebenarnya kan setara kalau di sini.

R23 : Setara kalau menurut saya.

P : Tapi kan ini kondisi SMAK 3 nih, menurut kamu di kondisi di luar sana begitu jugakah?

R23 : Nggak tau ya sampai sekarang menurut paradigma orang, IPA lebih diunggulin daripada

IPS, banyak orang yang menganggap kalau lulusan IPA jauh lebih berhasil daripada lulusan

IPS, tapi menurut saya sih nggak seperti itu, kita masih lihat kok orang-orang seperti

Donald Trump, menurut saya tidak berlatar belakang IPA tapi tetap bisa sukses, tergantung

kemauan dan kerja keras sih.

P : Setelah kamu lulus kuliah, nanti cita-citamu apa?

R23 : Saya pengen banget jadi auditor.

P : Auditor? Ada rencana untuk buka usaha sendiri?

R23 : Pengennya sih. Kan kalau kita bisa buka usaha sendiri, bisa mengurangi pengangguran.

Kan tergantung kemampuan, kemampuan modalnya juga. Ya, kalau memang mencukupi

….

P : Waktu kamu memilih jurusan, kan sudah jelas sekali dari awal ingin masuk IPS. Apakah

ada peranan dari orang-orang lain seperti guru BK, orang tua, keluarga?

R23 : Orang tua sih kayak tadi saya bilang, terserah aja, karena kalau kita suka dan berminatnya

di situ … kalau kita melakukan sesuatu yang kita suka, kan kita enjoy? ―Selama kamu suka

Page 166: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

152

dan berminat, ya udah.‖ Banyak juga sih yang bertanya, ―Kenapa nggak ambil IPA aja,

Fan?‖ ―Nggak lah, memang gua berminatnya di IPA, tapi di IPS.‖ Bukan soal nilai, tapi

memang sukanya di IPS.

P : Jadi guru BK jadi tidak ada juga ya?

R23 : Dari guru BK juga ada. Waktu ambil rapor kan guru BK bilang, ―Masuk IPA aja, karena

nilainya mencukupi.‖

P : Tapi tidak ada guru yang menyarankan masuk IPS?

R23 : Nggak ada sih. Tapi teman-teman juga mendukung, ―Kalau lu sukanya masuk IPS, ngapain

masuk IPA?‖

P : Jadi sekedar untuk konfirmasi, tapi tidak ada yang ….

R23 : Nggak, mereka hanya kasih saran, tapi kan keputusan di tangan kita.

P : OK. Orang tua kan membebaskan, tapi apakah buat Fanny karena melihat orang tua

berhasil dalam bidang ini, kemudian jadi mempengaruhi keinginan untuk masuk ke IPS?

R23 : Nggak juga sih. Dari SMP memang suka pelajarannya IPS. Memang cenderungnya ke

ilmu-ilmu seperti Ekonomi, Geografi.

P : Apakah ada faktor guru yang membuat Fanny suka pelajaran-pelajaran ini?

R23 : Nggak juga. Dulu kan juga SMP-nya SMP biasa-biasa aja, bukan Penabur. Jadi ya

pelajarannya juga begitu-begitu aja …. Tapi memang kalau Ekonomi, gampang ngerti.

Baca-baca dikit udah ngerti.

P : Kalau di SMAK 3 ini apakah kamu melihat ada perbedaan antara kualitas guru IPA dan

guru IPS?

R23 : Nggak, ya. Semua guru di sini sangat menguasai, mereka sangat berkompeten di

bidangnya. Sudah senior-senior dan hebat-hebat semua. Kayak kamus berjalan.

P : Di antara teman-temanmu, apakah banyak yang diatur orang tuanya dalam penjurusan?

R23 : Kalau dari 100% ya, masih adalah 60% yang dipengaruhi oleh orang tuanya, masuk sini aja

….

P : Dengan menjadi auditor, kemudian membuka usaha sendiri, apa yang kamu mau capai?

R23 : Ya kalau auditor kan iming-imingnya gajinya besar, kemudian kalau misalnya bisa buka

usaha bisa untuk inves masa depan, waktu tua udah punya usaha sendiri, jadi nggak

bingung mau cari makan dari mana, udah ada pegangan sendiri, jadi selain bekerja berharap

punya usaha sendiri juga.

P : Sekarang mengeni guru. Pernah ada guru yang tidak masuk ya, entah karena cuti atau sakit?

R23 : Ya.

P : Nah, kalau ada guru pengganti, apakah menurut kamu guru pengganti itu memang orang

yang berkualifikasi di bidangnya, atau boleh sembarang guru masuk?

R23 : Nggak sembarang guru. Kan untuk satu mata pelajaran ada lebih dari satu guru. Jadi kalau

ada yang tidak masuk pasti penggantinya adalah guru mata pelajaran yang sama juga. Jadi

sudah pasti orang yang berkualifikasi di bidangnya juga.

P : Kalau kamu bertemu dengan teman-teman dari sekolah lain, apa sih yang paling bisa

dibanggakan dari SMAK 3 ini?

R23 : Kualitasnya dan kedisiplinannya.

P : Sekarang kan banyak lulusan S1 yang pengangguran. Menurut kamu, apakah orang harus

sekolah lebih tinggi lagi supaya tidak terjebak dalam masalah ini? Atau mungkin

sebaliknya, silakan ambil SMK asal siap kerja?

R23 : Terlepas dari itu semua, pendidikan adalah sesuatu yang sangat penting sekali. Kita nggak

bisa lihat dari kondisi sekarang susah cari kerja. Andaikan pun dia punya kemampuan, dia

bisa buka usaha sendiri. Tapi kalau dia sendiri tidak punya latar pendidikan, apa yang mau

Page 167: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

153

dia kembangkan? Apa yang mau dia usahakan untuk … jangankan untuk orang lain, untuk

diri sendiri saja susah, kalau dia tidak punya latar pendidikan yang bagus?

A2.4 Responden 24

P : Nicho sekarang di kelas XII IPA ya? Apakah sejak awal memang sudah tahu mau masuk

IPA?

R24 : Belum. Sampai kelas X masih bingung mau masuk mana.

P : Kalau masuk SMAK 3, kenapa memilih sekolah ini?

R24 : Soalnya … mungkin sih kalau mikir, pertama kali sih pengen masuk IPA, tapi nggak yakin,

jadi nggak berani ambil yang terlalu susah, ambilnya yang sedang-sedang saja. Kalau

SMUK I kan berat, jadi ya udah ambil SMAK 3 aja, tengah-tengah, juga nggak jelek-jelek

banget. Lumayan, kan?

P : Yang menonjol dari SMAK 3 apa sih?

R24 : Paling ya lebih nyantai, ya. Terus temen-temennya lebih friendly. Kata teman-teman, anak-

anak SMUK I lebih kutu buku, udah gitu tuh individualis gitu. Kalau di sini kan enak

teman-temannya ….

P : Waktu Nicho di kelas X, diputuskan boleh ambil IPA, kenapa mengambil IPA, kenapa

tidak mengambil IPS?

R24 : Jujurnya sih lebih suka IPS. Cuma waktu itu kan dibilangin boleh ambil dua-duanya. Jujur,

pas kelas I masih belum tahu mau jadi apa. Mungkin kalau IPA kan bisa ke IPS, sedangkan

kalau di IPS cuma bisa ke IPS aja. Lagian, kalau misalkan IPS, juga nggak terlalu kuat

menghafal sih.

P : O, jadi IPS itu konotasinya kuat dengan menghafal ya?

R24 : Tapi ada juga IPS yang tertentu kan cenderung pakai nulis, kayak esai, gitu, kayak cerita-

cerita. Kalau Nicho lebih suka nulis. Kalau ada esai sama PG, pasti esai lebih bagus.

P : Tapi memang ada kesan bahwa IPA lebih banyak bernalar, IPS lebih banyak menghafal?

R24 : Sebenarnya, nggak juga sih. Sebenarnya gimana ya? Kenapa waktu itu milih IPA ya?

P : Apakah dari sekolah ini ada lulusan IPS yang kemudian masuk ke Kimia murni atau ke

Kedokteran?

R24 : Pernah dengar sih, tapi pasti berat banget.

P : Nicho sudah tahu, nanti mau kuliah ke mana?

R24 : Masih bingung sih mau ke mana, cuma katanya kalau jadi dokter sih bagus. Soalnya kalau

dari psikotes, semuanya mau. Nah, bingung deh, jadinya mau ke mana. Cuma sih kalau dari

IPA, lebih ke Kedokteran. Kalau dari IPS, lebih prefer ke psikologi.

P : Apa ada pengaruh dari orang tua untuk ambil jurusan ini?

R24 : Kalau IPA sih, orang tua banget. Kalau dari saya sendiri mikir, sih maunya IPS. Cuma

pikir-pikir, ya IPA sih ada bagusnya juga sih. IPS juga ada bagusnya sih ….

P : Tapi kamu sebenarnya mau masuk IPS?

R24 : Ya.

P : Kalau antara Kedokteran dan Psikologi, orang tua ….

R24 : Orang tua sekolah kedokteran.

P : Dua-duanya dokter?

R24 : Ya.

P : Tapi apa mereka memaksa atau ….

R24 : Maksa.

P : Tapi kalau nggak Kedokteran, harus masuk Psikologi?

Page 168: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

154

R24 : Kalau aku sih lebih maunya Psikologi, kalau nggak ke Media.

P : Tapi tidak diizinkan oleh orang tua?

R24 : Nggak. Nggak mungkin.

P : Kamu sendiri di antara teman-teman ada melihat nggak, apakah di antara IPA, IPS ada

gengsi-gengsi tersendiri waktu masuk IPA?

R24 : Kalau masuk IPA sih, awalnya berasa gengsi, tapi setelah lama-lama biasa aja, soalnya ada

yang anak IPS bisa dan anak IPA nggak bisa … seperti waktu untuk berorganisasi, belajar

hal-hal yang nggak didapat di kelas … ikutan di OSIS.

P : Kenapa bisa begitu ya? Apakah karena jam pelajarannya lebih sedikit, atau lebih santai?

R24 : Itu kan pelajarannya lebih umum, pengetahuan umum, mungkin kecuali Sejarah yang hafal

mati.

P : Apakah ada kesan bahwa anak-anak IPS adalah anak-anak buangan, yang tidak bisa masuk

ke IPA?

R24 : Nggak juga. Kan anak IPS sebenarnya yang tahu mau ke mana, jadi tahu tidak perlu masuk

ke IPA.

P : Jadi kalau yang IPA itu yang belum tahu mau masuk ke mana?

R24 : Ya, begitu deh. Soalnya teman-teman saya juga kebanyakan dari IPA masuknya ke jurusan-

jurusan IPS juga waktu kuliahnya.

P : Waktu memilih jurusan, orang tua mau Kedokteran, kamu mau Psikologi, apakah ada

peranan guru BK?

R24 : Awalnya sih ada, disuruh mikir-mikir lagi, yang terbaik bagaimana. Ya kalau mikir-mikir

sih, mau di-combine kan bisa, mungkin pertamanya Kedokteran, kemudian setelah itu

ambil Psikiatri. Tapi kalau di Kedokteran udah nggak bisa ambil Psikiatri, ya udah, di

Kedokteran aja. Soalnya kan sekarang katanya kalau kita bilang, ―Nggak mau, maunya

ambil ini, ambil itu.‖ Nanti dijawabinnya, ―Ya lu kan sekolah juga masih dibayarin orang

tua.‖ Ya udah, jadinya sekarang ikutin aja, nanti kalau udah selesai S1 baru usaha sendiri.

P : Di antara guru-guru yang kamu lihat, guru-guru IPA dan IPS, apakah kualifikasi mereka

sebagai guru itu setara?

R24 : Ya itu tergantung bidang masing-masing sih. Tapi memang tidak tertutup juga

kemungkinan orang IPA bisa IPS, orang IPS bisa IPA. Udah bisa jadi guru SMAK 3 udah

pasti bagus-bagus.

P : Menurut kamu, dari melihat teman-teman yang orang tuanya memberikan kebebasan lebih

dalam memilih jurusan, apakah ada faktor keterpelajaran orang tua atau faktor kemapanan

orang tua yang berperan?

R24 : Kalau menurut saya sih ada beberapa kemungkinan. Kemungkinan pertama, roang tuanya

nggak terlalu perhatiin anaknya. Kedua, mungkin anaknya itu udah ngerti dia mau masuk

mana jadi bisa membuat orang tuanya memahami bakat dan minatnya dan rencana masa

depannya dan orang tuanya ngerti. Kalau dari paksaan sih tergantung. Tapi kalau bakatnya

udah kelihatan shi biasanya orang tuanya ngasih. Atau orang tuanya udah mendidik

anaknya sejak kecil, kalau udah gede musti jadi dokter, musti jadi ini …. Jadi anaknya

mindset-nya udah terbentuk begitu ….

P : Apakah orang tua yang lebih terpelajar lebih cenderung memaksa anaknya masuk ke

jurusan tertentu?

R24 : Nggak juga sih. Bahkan orang tua yang kurang terpelajar, kayak orang tua saya juga kurang

sebenarnya ….

P : Kan dokter?

R24 : Nggak. Orang tua saya SMA.

Page 169: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

155

P : Lho, yang tadi ….

R24 : Nyuruh jadi dokter. Dua-duanya nyuruh jadi dokter.

P : OK.

R24 : Tapi orang tua saya sendiri, Ayah SMA, Ibu S1 Ekonomi. Jadi nggak ada dokter-dokternya.

Kata mereka, ―Kalau bisa sih melebihi kita,‖ gitu. Harapannya kayak gitu.

P : Tapi maksa?

R24 : Tapi maksa … itu dia.

P : Tapi kenapa memaksanya jadi dokter?

R24 : Soalnya kan kalau dokter: 1) pasti kepake, dari masa ke masa pasti ada dokter, 2) katanya

prospeknya lebih bagus, 3) kalau prestasinya baik, mungkin ke depannya bisa ditarik ke

luar negeri itu kan baik.

P : Kalau faktor kemapanan orang tua bagaimana?

R24 : Kalau menurut saya sih tergantung orang tuanya juga. Ada orang tua yang walaupun kaya

tetap memperhatikan anaknya, tapi ada juga yang cuek, jadi anaknya lebih depend ke harta

warisan, jadi nggak perlu susah-susah belajar. Ada juga orang tua yang mau anaknya

mengikuti jejaknya.

P : Kamu sendiri apakah memandang positif posisi kamu sendiri dengan orang tua yang

memaksa untuk masuk ke Kedokteran?

R24 : Kalau buat prospek ke depan sih positif, tapi kalau sekarang sih masih susah terima. Tapi

ke depannya sih musti bisa terima, soalnya kalau nggak terima, bingung juga ya kuliahnya

nggak enak.

P : Pernah nggak di SMAK 3 ini ada keadaan di mana guru tidak masuk dan digantikan oleh

guru lain?

R24 : Pernah, tapi jarang sekali.

P : Yang menggantikan apakah pasti guru mata pelajaran yang sama?

R24 : Ya.

P : Dengan rencana kamu studi ke Kedokteran, kemudian lanjut ke Psikiatri, apa yang

memotivasi kamu?

R24 : Saya ingin membuktikan di keluarga saya bahwa saya juga bisa melebihi mereka. Sepupu-

sepupu dan oom-oom saya tuh banyak yang jenius-jenius banget, banyak yang dokter, yang

nggak perlu belajar pun sudah jadi juara umum. Saya ingin nunjukin bahwa saya juga bisa,

nggak dihina-hina. T‘rus saya juga mau menolong orang-orang untuk bisa belajar lebih

baik. Kalau melihat teman-teman, ada yang belajar kayaknya susah banget, udah lama-lama

tapi nggak bagus hasilnya. Mungkin ada penelitian psikologi yang bisa dilakukan, metode-

metode yang bisa membantu mereka, mungkin sejak kecil, sehingga bisa belajar lebih baik.

P : Menurut kamu, apa yang paling dibanggakan dari sekolah ini?

R24 : Temen-temennya enak, kompak. Santai, nggak terlalu berat. Nilai-nilainya lebih bagus.

Guru-gurunya juga lumayan.

P : Apakah kamu merasakan adanya persepsi orang-orang bahwa IPA itu lebih baik ….

R24 : Ya, berasa. Di keluarga juga terasa banget.

P : Apakah menurut kamu benar bahwa di lingkungan kerja IPA lebih banyak punya peluang

dibandingkan IPS?

R24 : Kalau itu sih sama aja, cuma kan ada beberapa aspek seperti pola pikir dan logika yang di

IPA lebih terasah. Jadi kebutuhan itu lebih terpenuhi waktu kerja. Tapi juga orang IPS bisa

menang di aspek-aspek sosialnya, karena anak IPA cenderung individualis dibanding IPS.

Dan sekarang di kelas XII pun terasa di antara sesama anak IPA jadi lebih bersaing.

Page 170: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

156

P : Apakah menurut kamu dari pemerintah ada upaya untuk membuat jurusan tertentu lebih

menarik?

R24 : Nggak ada. Itu cuma masyarakatnya aja.

P : Kenapa ya masyarakat bisa upnya pandangan seperti itu?

R24 : Karena IPA lebih susah masuk. Banyak orang punya mindset, yang lebih mahal lebih

bagus, yang lebih susah lebih bagus. Padahal belum tentu.

A3. Wawancara di Sekolah Pelita Harapan, Bukit Sentul

A3.1 Responden 31

P : Apakah di sini terjadi Bu, bahwa murid memandang IPA atau Sains lebih unggul daripada

IPS?

R31 : Pertama, kalau untuk sekolah kita mungkin perbedaannya adalah antara kurikulum nasional

dengan yang IB Diploma. Ada kalanya seolah-olah yang kurikulum nasional ini dipandang

rendah dibandingkan dengan kurikulum nasionalnya. Kemudian kalau dalam hal sains dan

non-sains-nya sendiri, itu kalau di sini kan disaring. Kalau anak bisa dan dia mau, bahasa

Inggrisnya dan nilai-nilainya, maka dia akan masuk ke IB Diploma. Kalau tidak bisa,

dilihat lagi apakah bisa masuk IPA. Kalau dia tidak bisa masuk IB Diploma maupun IPA,

dia akan masuk IPS. Sebetulnya itu sendiri sudah memperlihatkan bahwa seolah-olah IPS

itu pilihan ketiga. Tetapi ada satu hal yang menarik di sekolah ini dalam beberapa tahun

belakangan, sebetulnya sudah sejak tahun 1994, ada juga beberapa anak yang sengaja dan

ingin memilih IPS, walaupun mereka bisa masuk IPA.

Ada juga anak-anak yang memilih masuk jurusan IPA dan bukan ke IB Diploma bukan

karena mereka tidak mampu tapi karena pilihan mereka sendiri, misalnya mereka mau

masuk kedokteran di Indonesia kan? Atau mau masuk Kedokteran dulu di sini, baru nanti

S2 ke luar karena memang untuk Kedokteran S1-nya harus di Indonesia. Jadi dari anak-

anaknya sendiri ada kecenderungan, dan juga dari pihak sekolah, ya sudah kalau tidak bisa

masuk ke mana-mana, ke sini saja deh. Jadi kayaknya semua orang sudah menganggap hal

itu sebagai satu hal yang biasa.

Mau tahu sebabnya? Secara persisnya, saya belum pernah melakukan penelitian ke arah

itu. Tapi, berdasarkan pengalaman, IPA itu kan banyak menghitung-hitung, orang kan perlu

kemampuan untuk menghitung-hitung, sedangkan kalau IPS, menghafal kan semua orang

bisa, jadi dianggap gampang karena cukup menghitung, tidak perlu pakai logika, seperti itu.

Tapi di IB Diploma itu semuanya ada. Grup 1, grup 2 itu bahasa. Yang satu bahasa ibu,

satunya lagi bahasa asing. Grup 3 itu social sciences, di dalamnya ada humanities. Group 4

sciences. Itu semua mereka harus ambil.

Sekarang, kecenderungan yang terakhir ini, orang dari pemerintah mungkin berpikir juga

bahwa anak IPS tidak boleh dianggap nomor dua. Mereka juga harus tahu Matematika. Jadi

dua tahun ke belakang mereka juga diajar Matematika lagi dan tahun ini di-ebtanas-kan

lagi. Jadi sepertinya ini upaya pemerintah untuk membuat anak IPS menjadi setara dengan

anak IPA. Jadi orang dari IPS juga boleh masuk arsitektur karena dia sudah ada

Matematika. Dulunya mungkin hanya IPA yang bisa.

P : Jadi pembedanya adalah pada kemampuan berhitung ya Bu, pada Matematika? Sementara

ilmu-ilmu seperti Sosiologi, Antropologi, semua itu dianggap hanya hafalan?

R31 : Betul. Itu hafalan.

Page 171: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

157

P : Jadi, di sini terjadi dikotomi bahwa yang IPA itu bernalar dan IPS itu hanya menghafal.

R31 : Betul. Ya.

P : Kalau begitu, apakah bisa saya katakan, ketika seorang murid IPA diberikan soal IPS, dia

akan lebih berhasil mengerjakannya dibandingkan ketika seorang murid IPS diberikan soal

IPA?

R31 : Kalau dari pengalaman sih memang begitu ya. Tergantung sekarang kemauan. Karena

orang kan beranggapan, kalau menghitung bisa, menghafal pasti bisa. Karena di Biologi

juga tak terhindarkan kan? Kalau ada anak IPA seperti itu biasanya terlihat Matematika,

dan Fisikanya bagus, sedangkan Biologinya jelek. Kalau anak IPS, rasanya sih nggak bisa

ya.

P : Selain persepsi yang sudah terbentuk, apakah murid-murid di sekolah ini juga melihat

dirinya dalam cap-cap yang ada ini? ―Wah, saya cuma IPS,‖ atau ―Wah, saya IPA nih‖?

R31 : Kembali lagi kepada individunya masing-masing. Tapi secara umum sih seperti itu. Mereka

melihat dirinya IPS, kemudian menjadi kurang serius. Tapi menurut saya sih seharusnya

mendingan karena dapat konfirmasi dari guru, dari koordinatornya, bahwa kalian ini

penting: ―Tahu nggak kalian bahwa di perusahaan nanti, yang jadi operator itu ya anak-

anak IPA, tapi yang duduk di meja, yang mengurus manajemen ya itu dari IPS?‖ Tapi

suntikan motivasi ini harus terus-menerus, karena dari masyarakat juga bentukan citra IPS

sudah begitu kan.

P : Apakah muncul juga rasa minder dari keberadaan mereka dengan teman-teman yang dari

jurusan lain Bu? Mungkin yang IPA dibandingkan dengan IB? Yang IPS dibandingkan

dengan IPA?

R31 : Nah, kalau di sini kan kebanyakan berasal dari golongan the haves ya, jadi ya itu bukan

suatu masalah lagi. Gengsinya sudah mereka dapatkan dari tempat lain, dari kekayaan

mereka, dari kesempatan-kesempatan yang mereka punya …. Terkadang, kalau memang

disinggung, terucap soal IPA dan IPS, bisa jadi terjadi salah ucap, misalnya IPA selalu

disebutkan duluan dibandingkan IPS, mereka komplain. Ada perasaan IPS itu inferior, tapi

pada umumnya sih tidak muncul.

P : Dari guru-gurunya, apakah murid-murid merasakan ada perbedaan antara guru-guru IPA

dan IPS? Misalnya, lebih senior, lebih kompeten, atau ada perbedaan-perbedaan lainnya?

R31 : Karena, kalaupun dikatakan sama, kenyataannya lebih sulit mendapatkan guru sciences.

Kalau guru social sciences kan bisa merangkap-rangkap: Sosiologi, Antropologi, Geografi,

begitu kan? Kalau sciences, nggak bisa begitu kan, ngajar Fisika, Biologi juga dan Kimia

juga? Tapi di antara guru-guru sendiri sebenarnya tidak ada pengkotak-kotakan seperti itu

kan? Tapi untuk rekrutmen memang hal itu terasa, lebih susah.

P : Lebih susah karena orangnya yang tersedia lebih sedikit Bu?

R31 : Mungkin karena orangnya yang memenuhi syarat karena kan harus Kristen, juga bisa

bahasa Inggris. Kalau social sciences, kita mau seleksi setengahnya juga masih banyak.

P : Apakah ini juga pengaruh dari ketersediaan lulusan IKIP-nya Bu?

R31 : Mungkin ketika sekolah orang mengambil dasar ilmunya, kemudian ketika bekerja kan dia

belajar lagi ….

P : O, jadi tidak harus sesuai dengan pendidikan formalnya? Yang penting kompetensinya,

begitu Bu?

R31 : Ya. Dan terus update dengan apa yang current.

P : Dengan kondisi orang tua yang sangat mapan di tempat ini Bu, apakah masih terlihat

perbedaan pola-pola pengasuhan dan campur tangan terhadap pendidikan anak? Apakah

Page 172: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

158

ada korelasinya antara kemapanan atau pendidikan mereka dengan keterlibatan mereka di

dalam pendidikan anak-anak mereka Bu?

R31 : Ya, di sini ada juga orang tua yang memang karena ingin menyekolahkan anak mereka ke

luar negeri walaupun kondisi keuangannya agak pas-pasan tetapi mereka mengirimkan

anaknya bersekolah di sini sebagai persiapan. Di antara orang-orang yang mampu pun

terlihat secara umum ada dua pola. Ada yang memang meluangkan waktu mendampingi

anak dan mengenal bakat dan minat anak mereka. Ada juga yang tidak meluangkan waktu,

akhirnya tidak mengenali dan tidak tahu anaknya harus ke mana, jadi hanya menggunakan

ancaman-ancaman kepada anaknya. Ada kalanya memang ini berhasil.

P : Tapi, dalam hal pemilihan jurusan bagaimana Bu, apakah ada tuntutan-tuntutan tertentu ….

R31 : Nah, itu uniknya di sini. Tidak terjadi seperti itu tuh. Kalau kelompok yang pertama tadi

bimbingan terhadap anaknya pasti sudah in-tune, tapi yang lainnya pun pada umumnya

percaya mereka menyekolahkan anaknya di sini dan mereka percaya sekolah ini baik. Jadi

ya sudah, selebihnya diserahkan kepada pihak sekolah. Memang tidak terjadi orang tua

yang ngotot-ngotot anaknya mau masuk ke jurusan ini. Malah biasanya anaknya yang lebih

ngotot.

P : Kalau begitu, ketika anak harus memilih apakah akan ke IB atau tidak, dalam proses

pemilihan itu apakah ada bimbingan dari konselor atau hanya diproses berdasarkan nilai

mereka …?

R31 : Di grade 10 mereka sudah diberi tahu syarat-syarat untuk masuk masing-masing jurusan

apa saja. Nah, kemudian ada juga psikotes. Terakhir adalah rapat dewan guru. Konselor

yang ada adalah guru yang menjadi grade leader, jadi grade leader untuk kelas 10 itulah

yang membimbing anak-anak dalam memilih, kebanyakan ketemu di home room, tidak ada

sesi konseling khusus.

P : Tapi ketika ada anak yang bermasalah ….

R31 : Ya, bisa dipanggil khusus, dikonseling.

P : Pada jam tertentu? Saat pulang sekolah?

R31 : Ya biasanya kita panggil dia di jam-jam social sciences karena dianggap dia bisa menyusul

sendiri ketertinggalannya. Kalau dipanggil di jam sciences, itu kan harus diajarkan dulu

baru bisa mengerti. Saya sendiri sebagai guru Chemistry, biasanya saya juga tidak izinkan

anak dipanggil pada jam saya. Kalau anaknya sudah lemah, masih dipanggil di jam

sciences, makin kasihan dia.

P : Anak-anak ini, ketika mereka hendak memilih jurusan, apakah mereka sudah jelas Bu,

arahnya mau kuliah ke mana, mau jadi apa?

R31 : Sama juga. Tergantung. Ada anak yang grade 7 sudah jelas mau jadi apa. Bisa jadi karena

pengaruh profesi orang tuanya. Ada juga yang grade 10 sudah tahu, karena pengaruh

bimbingan dan dorongan dari pihak sekolah. Tetapi untuk yang kurikulum nasional, tidak

selalu. Karena sistemnya memang begitu, ke mana mereka masuk, nanti lihat di kelas XII

jadinya seperti apa. Jarang ya ada anak yang mengambil jurusan karena keinginannya

sendiri. Kebanyakan anak mengambil kuliah karena ikut teman-temannya, apa yang

disodorkan kepada dia, jadi tidak aktif mencari juga.

P : Keunikan dari SPH apa ya Bu?

R31 : Pertama sih pembelajarannya dalam bahasa Inggris. Tapi ini persentasenya berkurang

untuk yang kurikulum nasional. Kemudian yang kedua, sekolah Kristen.

Page 173: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

159

A3.2 Responden 32

P : Jadi Pak Todung mengajar Business Studies dan Ekonomi. Itu grup 3 di IB ya Pak?

R32 : Ya.

P : Apakah di sini ada terlihat jenjang-jenjang gengsinya antara IB, IPA dan IPS Pak?

R32 : Kalau IPS dengan IPA biasa saja ya soalnya mereka yang memilih ya. Kalau IPA dan IPS

saya pilih, ―Kalau saya lebih senang memilih IPS, saya tidak IPA.‖ Tapi kalau tahun ini

agak berubah, banyak yang mereka mampu ke IB tapi mereka nggak mau ke IB.

P : Oh, kenapa tuh Pak?

R32 : Karena mereka arahnya mau ke universitas di Indonesia

P : Oh ya IB harus keluar ya, nggak diakui di sini.

R32 : Ya, nggak diakui di sini.

P : Kecuali UPH, dan beberapa?

R32 : Dan juga ada beberpa program di universitas negeri juga menerima IB sebenarnya, mereka

kan baru memakai jalur internasional itu, kan?

P : Jadi antara IPA dan IPS buat anak-anak sama aja ya Pak? Oke, kalau di IB lebih prestisius

apakah karena tuntutannya lebih tinggi atau bagaimana Pak?

R32 : Kalau rata-rata sih nggak, cuma karena mereka mau ke luar aja.

P : Jadi bukan karena kemampuan akademiknya?

R32 : Maksudnya?

P : Jadi bukan karena anaknya lebih pintar, maka dia bisa masuk ke IB.

R32 : Sebetulnya karena mereka maunya arahnya ke mana aja.

P : Berarti waktu mereka mau memilih sudah jelas, ―O, saya mau masuk IB atau IPA atau IPS

karena saya tahu mau kuliah di mana‖?

R32 : Mereka ada yang ngarahin, jadi mereka sebetulnya sama sekali nggak ada, jadi memang

sama sekali blank ya, paling-paling ada dari orang tuanya kita maunya ke mana. Nah di sini

ada yang namanyaa career counselling, CC.

P : Satu orang guru tertentu Pak?

R32 : Ya, satu orang yang spesial untuk itu, kebetulan dia juga guru. Dia yang meng-explore idea

anak-anak akhirnya arahnya ke mana.

P : Itu di level akhir ya Pak, apakah MYP akhir?

R32 : Ya, MYP akhir.

P : Jadi memang ada session di kelasnya ….

R32 : 10, 11, 12. Karena mereka mau pilih university kan? Jadi mereka masih tetap di Career

Counselling.

P : Ketika mau masuk ke IB atau IPA, IPS ada juga Pak?

R32 : Ada juga.

P : Ini adalah guru yang menangani konseling tapi juga mengajar di bidang lain?

R32 : Betul

P : Dan guru ini satu orang atau satu per angkatan pak?

R32 : Satu orang.

P : Satu orang ya Pak? Karena mungkin nggak terlalu banyak anaknya ya kalau di antara

murid-muruid sendiri kan sudah jelas IPA-IPS berbeda kan ya Pak, dan apakah murid-

murid itu sendiri merasakan pembedaan seperti itu Pak? ―Dia IPA, saya IPS.‖

R32 : Nggak juga ya, karena mereka pilih sendiri, beberapa murid di sini memang maunya

memilih IPS.

P : Kalau dari orang tuanya sendiri bagaimana Pak?

Page 174: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

160

R32 : Kalau orang tuanya sih sebetulnya malah mereka yang National Programme mereka

maunya milih IPA, tapi anak-anaknya mau IPS ya mereka ikutin. Ada juga yang memang

lemah. Dia lihat dari hasil anaknya juga lemah dari MYP jadi nggak mungkin anaknya di

IPA ….

P : Jadi bisa terima anaknya IPS. Pernah terjadi nggak Pak, orang tua yang anaknya harus

masuk ke salah satu jurusan?

R32 : Ada. Satu-dua lah ….

P : Nah kalau begitu bagaimana Pak, apakah orang tuanya dikonseling juga atau ….

R32 : Kita kasih waktu sekitar 3 bulan.

P : Anaknya boleh coba yang dia mau, kalau anaknya tidak bisa harus pindah ke level ini.

R32 : Misalkan anaknya ngotot ke IB, kan salah satu persyaratan IB kan Inggrisnya kuat, kalau

selama menjalani pelajarannya nggak kuat, ya bisa karena masalah Inggrisnya dan itub

biasanya berefek sekali, tapi kembali ke motivasi ke anak-anak. Kembali lagi itu anomali,

satu-dua. Ada juga beberapa kasus yang sudah dikatakan bahwa kamu nggak bisa ke sana.

Saya bisa spesifik katakan untuk kelas 12 ini ada 4 orang sebenernya dikatakan nggak bisa,

2 masuk ke IPA, 2 lagi tetap ke IB. Yang satu rajin dan berhasil, yang satu lagi kita sudah

tahu akan fail.

P : Kalau menurut Bapak, di antara guru-guru di SPH apakah persyarakan atau kualifikasi

menjadi guru antara guru-guru IPA dengan guru-guru IPS itu sama beratnya nggak Pak?

Atau karena guru-guru tersebut susah dicari ….

R32 : Ya, ada. Tapi kalau pengalaman di sini saya nggak tau soalnya saya latar belakangnya

bukan dari guru, saya bukan dari IKIP atau dari M.Pd. Jadi yang pastinya di sini yang sulit

Fisika.

P : Fisika sulit cari gurunya?

R32 : Cari gurunya sulit, dan kebetulan Fisika ini juga turn-over-nya juga agak tinggi karena

bidang mereka di luar juga banyak. Kalau di tempat lain saya nggak liat ya, t‘rus dilihat

dari guru-guru humanities-nya, kayak saya latar belakang saya engineer, S2 baru saya

Manajemen. Ada juga yang lain-lain yang juga dari engineer, kemudian ambil M.M.-nya,

karena pengalaman kita juga mengatakan kalau teknik itu untuk mengambil yang

humanities nggak terlalu sulit, sedangkan sebaliknya saya lihat hampir nggak mungkin,

P : Apakah karena di eksakta kan banyak bernalar, banyak berhitung. Apakah karena di social

studies itu banyakan menghafalnya?

R32 : Kalau saya berpikir begini. Kalau dia latar belakangnya engineer lalu harus mengajar

sejarah mungkin berat, artinya dia sendiri nggak mau. Tapi kalau masih berhubungan

dengan hitung-hitungan seperti tadi, Ekonomi, akan dipertimbangkan.

P : Di antara IPA-IPS apakah ada dikotomi, bahwa IPA itu lebih banyak bernalar, IPS lebih

banyak menghafal?

R32 : Ya sih, tapi nggak terlalu terlampau juga sih, toh mereka masih mendapat Sejarah.

P : Di IPA?

R32 : Ya, saya pikir tidak terlalu berbeda. Saya pikir … Kimia juga masih ada hafalannya. Yang

betul-betul beda sekali mungkin di Fisika dan Matematika. IPA lebih sulit.

P : Dan untuk masuk IPS harus jago menghafal Pak?

R32 : Kayaknya sih begitu ya, tapi saya sih nggak. Soalnya sekarang juga Ekonomi juga nggak

ada hafalan lagi, hitungan malah, Ekonomi bukan hafalan lagi.

P : Menurut Bapak SPH Sentul ini, apa keunikannya yang khas?

R32 : Kalau National Programme-nya kita ada Critical Thinking, Career Counselling, kemudian

kita juga punya … apa lagi ya saya lupa tapi di situ saja sudah ada perbedaan. T‘rus

Page 175: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

161

ekonomi yang di IPA ya, kalo diliat kita nggak terlampau menekankan sama dengan yang

di dalam silabus tapi kan tujuan kita untuk lulus kan, tapi kita perkaya juga dengan masalah

yang apa ya...

P : Yang aktual Pak?

R32 : Ya, yang aktual tapi juga terkait dengan masalah visi dengan SPH-nya itu sendiri. Misalnya

kita kasih kasus dengan kenapa sih di Indonesia ini perekonomiannya kok susah banget sih

ya? Mungkin nomor satu bukan karena kita pinter, bukan soal kita mengetahui ini atau itu,

masih ada satu lagi visi yang membuat kita kuat supaya jangan sampai korupsi. Satu kan,

t‘rus di dalam faktanya abahwa anak-anak tahunya itu cuma korupsi tapi kita juga harus

ngajarin nyontek itu juga korupsi, begitu kan? Supaya mereka tahu juga, jangan kita cuma

ngomong. Kita bisa bilang orang korupsi tapi kita nyontek. Dan kita bangga tuh, karena

kita tahu di luar artinya bagaimana model orang-orang, dalam artian kita tahu dalam ujian-

ujian negara itu banyak mereka yang berbuat curang. Kita nggak akan berbuat begitu. Itu

adalah kekuatan, kita tanamkan seperti itu.

P : Kalau di antara anak-anak itu sendiri Pak, apakah hal yang sama juga yang mereka

banggakan kepada teman-teman mereka?

R32 : Nggak mungkin yang kita harapkan mereka mengatakan SPH mengajar dia pintar. Kalau

kayak gitu, dia nggak akan masuk sini. Pasti masuk misalnya, Penabur. Pasti ada other side

yang seharusnya dibanggakan.

P : Berarti positioning-nya SPH tidak seperti Penabur yang membuat anak menjadi ….

R32 : Pintar? Ya. Walaupun ada juga satu-dua yang secara alami memang sudah ada

kemampuannya.

A3.3 Responden 33

P : Indra jurusan IPS ya, di SPH dari kapan?

R33 : Grade 8.

P : Grade 8, berarti sempat grade 7-nya di sekolah nasional?

R33 : Ya. Di IPK sejak SD.

P : Jadi setahun di SMP-nya kemudian pindah ke sini?

R33 : Ya.

P : Kenapa pindah ke SPH?

R33 : Karena lebih bagus SPH.

P : Dibandingkan IPK?

R33 : Ya, mereka bilang kan nasional plus kan?

P : Memang mau sendiri atau orang tua yang mau memindahkan ke sini?

R33 : Pertama kan ada teman yang sekolah di sini, terus kan orang tuanya ngomong sama orang

tua aku.

P : T‘rus waktu grade 9 ambil ujian kurikulum nggak untuk ujian Ebtanas-nya?

R33 : Itu grade 10 karena waktu grade 9 kan Megawati yang naik, katanya nggak usah ada

Ebtanas. Di grade 10 dia turun, ada lagi.

P : Tapi punya ijazah SMP?

R33 : Paket C ada, sama dengan SMP.

P : T‘rus nanti setelah lulus dari SPH ini mau lanjut ke mana nih?

R33 : Mungkin mau ke luar, ke Perth.

P : T‘rus kenapa waktu itu ambilnya IPS bukan ambil …

Page 176: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

162

R33 : Itu karena faktor-faktor nilai yang lain.

P : Faktor nilainya kenapa?

R33 : Ya, nggak mencukupi aja untuk masuk IB.

P : Oh … apanya yang nggak mencukupi?

R33 : Personal project-nya dulu yang gagal.

P : Oh personal project, itu berarti itu at the end of MYP?

R33 : Ya, udah nilai-nilai yang terakhir, personal project-nya berantakan semua.

P : Kalo menurut Indra sendiri, di sini kan ada IB, IPS, IPA ya? Antara IB, IPS, IPA ini ada

perbedaan nggak yang terasa? Misalnya, IB lebih hebat atau seperti apa …?

R33 : Kalau menurut pelajaran sih IB lebih sibuk ya. Yang kedua IPA, kemudian IPS yang paling

nyantai.

P : Jadi sekalian dinikmati dong?

R33 : Ya, nikmati masa muda, masa sekolah.

P : Menurut Indra kan IB paling sibuk, kemudian IPA kedua dan IPS ketiga. Selain

kesibukannya ada yang beda lagi nggak, antara IB dan IPA dulu deh, perbedaan

signifikannya apa?

R33 : IB kan harus berpikir secara nalar kan? Kalau IPA kan hitung-hitungan harus kuat, sama

hafal-hafal rumus.

P : Jadi nggak perlu bernalar yang penting hafal rumus?

R33 : Kalau IPS harus hafalin satu buku.

P : Jadi menurut Indra, kalau saya simpulkan, IB itu yang paling pakai otak gitu, paling

bernalar, paling memeras otak?

R33 : Paling muter dia.

P : Kalau IPA, asal dia bisa menghafal rumusnya, bisa dikerjakan?

R33 : Kalau IPS, harus pintar menghafal.

P : Jadi di IPS nggak perlu penalaran dong?

R33 : Sedikit-sedikit doang, nggak begitu banyak kepake.

P : Benar nggak kalau saya katakan: di IPA itu lebih banyak bernalar, di IPS lebih banyak

menghafal?

R33 : Ya bisa dibilang begitu sih. Kalau IPA kan harus baca dan hafal rumus kan.

P : Kalau begitu, di antara guru-guru sendiri apakah ada presepsi seperti itu bahwa IB yang

paling hebat, IPA kedua, IPS ketiga?

R33 : Nggak sih. Kalau selama ini sih guru ngomong nggak ada bedanya.

P : Cuma murid-murid berasa? Kamu sendiri berasa?

R33 : Ya berasa, istilahnya yang nggak lulus masuk IPS. Ya, tapi terakhir-akhir dipikir-pikir ya

IPS juga lebih bagus kok.

P : Sekarang anak IPS dikasih soal IPA nih atau sebaliknya anak IPA dikasih soal IPS, apakah

anak IPA bisa lebih mengerjakan atau sama-sama nggak bisa atau bagaimana?

R33 : Kalau masalah Mat pasti IPA lebih bisa, kalau Ekonomi IPS pasti lebih bisa.

P : Waktu Indra memilih jurusan di MYP apakah sudah tahu nantinya akan kuliah apa atau

mau menjadi apa?

R33 : Wah, belum tahu.

P : Belum tahu kalau kuliahnya mau apa?

R33 : Sekarangnya sih maunya Bisnis.

P : Bisnis, berarti waktu memilih jurusan belum tahu?

R33 : Belum tahu.

P : Belum tahu. Yang penting milih IB waktu itu?

Page 177: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

163

R33 : Maunya IPS.

P : Oh, maunya IPS? Memang nggak mau milih IB waktu awal?

R33 : Nggak sih karena kan udah denger dari pengalaman yang … nggak bisa menikmati masa

muda. Nggak bisa nyantai, berat jadinya.

P : Apakah waktu memilih jurusan, ada guru yang membimbing? Entah konselor atau home

room teacher?

R33 : Itu sih nggak ada, tapi waktu itu sempet disaranin untuk masuk IPA gitu.

P : Ohh….

R33 : Iya, disaranin masuk IPA, tapi ah maunya masuk IPS ah ….

P : Berarti sebenarnya boleh dong masuk IPA waktu itu?

R33 : Boleh. IB aja nggak boleh waktu itu.

P : Orang tua sendiri waktu itu nggak apa-apa kalau masuk IPS padahal bisa masuk IPA?

R33 : Bebas sih sebenarnya, tapi pas dengar bisa masuk IPA agak ngomel dikit sih.

P : Jadi waktu udah masuk IPS baru tahu kalau bisa masuk IPA?

R33 : Ya.

P : OK, jadi mereka memandang kalau bisa masuk IPA kenapa nggak masuk IPA? Menurut

Indra, kenapa sih orang-orang sering beranggapan seperti itu?

R33 : Kalau zaman dulu ya kalau IPA buka jalannya gedean buat kuliah kan? Kalo sekarang udah

nggak kan?

P : Kalau dari antara guru-gurunya sendiri apakah ada perbedaan guru-guru eksakta dengan

guru-guru sosial? Kualitasnya? Wibawanya?

R33 : Sama saja, mirip-mirip sih. Cuma pelajarannya aja.

P : Cuma pelajarannya aja yang beda. Seandainya ada guru ada yang nggak masuk nih, cuti

atau sakit.

R33 : Ada, sering.

P : Apakah penggantinya harus sesuai dengan bidang studikah atau cuma dikasih tugas atau

study hall?

R33 : Kasih tugas.

P : Kasih tugas biasanya? Bukan diganti guru lain?

R33 : Tergantung gurunya masing-masing

P : Atau study hall?

R33 : Jarang sih study hall, paling kalau dikasih tugas.

P : Kalau lihat dari teman-teman Indra, apakah ada yang dipaksa orang tuanya untuk masuk ke

jurusan tertentu?

R33 : Ada sih beberapa.

P : Kalau kejadiannya seperti itu apakah ada korelasinya antara kebebasan yang diberikan

kepada anaknya dengan tingkat pendidikan orang tua atau tingkat kemapanan orang tua?

R33 : Wah kalau di SPH susah ditebak juga ya kalau melihat orang. Kebanyakan sih orang tuanya

berada tapi terbalik ... biasanya kan kalau orang berada semua sudah disiapkan, tapi ini

orang tuanya berada tapi anaknya dilepas, jadi berantakan gitu, terserah mau ambil apa.

Kalau dari IPS sih nggak kelihatan.

P : Kalau begitu, dari SPH apa sih yang paling Indra banggakan?

R33 : Fasilitasnya sih. Gym-nya, AC-nya, Internetnya.

P : Sekarang kalau kita bicara tentang studi di Indonesia, menurut kamu apakah kita perlu studi

sampai S1, S2 atau S3?

R33 : Kalau bisa sih sampai S3.

P : Jadi kamu sendiri mau studi sampai S3?

Page 178: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

164

R33 : Ya, nggak tahu juga sih. Kalau masih kuat ya.

P : Kenapa studi perlu tinggi-tinggi?

R33 : Yah, buat kebanggaan sih.

P : Jadi, bagaimana dengan kegunaannya?

R33 : Yah, nggak tahu juga kegunaannya apa. Yang penting S3.

P : Pengalaman belajar Indra sendiri bagaimana, apakah selama ini belajar dari MYP ke

jurusan IPS ....

R33 : Antara MYP dan IPS beda banget sih. Waktu MYP kan berat banget tuh, pas masuk ke IPS

tuh kayaknya tiba-tiba plong ... dulu tugas-tugasnya berat, sekarang kan cuma ngafal,

nggak usah bikin esai ...

P : O, dulu waktu MYP banyak bikin esai ya?

R33 : Ya. Kalau sekarang kan cukup baca-baca buku, t‘rus sekali-sekali keluarin kertas ulangan,

ulangan kebanyakan PG [pilihan ganda], sekali-sekali ada esai. Yah, semuanya masih

pengetahuan yang ada di buku, lah.

P : Indra masih berhubungan dengan teman-teman yang ada di IPK dulu?

R33 : Masih, beberapa.

P : Kalau dibandingkan dengan sekolahmu ini, apakah kualitasnya setara?

R33 : Kalau kualitasnya sih jauh ya.

P : Jauh? Masih jauh bagus sini?

R33 : Masih jauh bagus sana.

P : Lho, kok pindah ke sini?

R33 : Fasilitasnya yang bagus, tapi kalau untuk kurikulumnya, IPK jauh.

A3.4 Responden 34

P : Cindie sekolah di Pelita Harapan sejak kapan?

R34 : Sejak grade 11.

P : Berarti tidak pernah mengalami sekolah di kurikulum IB di sini ya?

R34 : Ya.

P : Dulu sekolahnya di mana?

R34 : Tarakanita.

P : Tarakanita berapa?

R34 : Satu.

P : Hanya kelas X ya?

R34 : Ya.

P : Jadi setahun di Tarki 1 t‘rus pindah ke sini?

R34 : Ya. Tadinya memang pengen ke Tarki 1, tapi Papa bilang saya nggak bisa ngimbangin

antara kegiatan dan pelajaran, lebih banyak ke kegiatan, jadi dipindahkan ke sini.

P : Waktu dari SMP kenapa memilih SMA Tarakanita 1?

R34 : Karena saya suka kegiatan, t‘rus di Tarki tuh saya lihat sebenarnya kegiatan dan

pelajarannya seimbang, jadi antara kreativitas dan pikirannya seimbang, makanya saya pilih

Tarki.

P : Ketika di Tarki, apakah Cindie sudah sempat memilih jurusan antara IPA, IPS dan Bahasa?

R34 : Sudah.

P : Berarti memang sudah tahu mau ke IPA ya?

R34 : Ya.

Page 179: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

165

P : Kalau begitu, kenapa Cindie mau ke IPA?

R34 : Karena kalau IPA itu bisa masuk ke mana saja.

P : Apakah Cindie sudah tahu mau kuliah ke mana?

R34 : Jurusannya atau universitasnya?

P : Jurusannya.

R34 : Waktu pertama-tama sih Kedokteran, tapi kayaknya susah jadinya Psikologi aja deh.

P : Di Indonesia?

R34 : Ya.

P : Universitasnya di mana?

R34 : Kayaknya sih di UI Internasional, 2 tahun di sini, 2 tahun di luar.

P : Menurut kamu apakah di SPH ini terjadi perbedaan antara IPA, IPS, dan Diploma

Programme? Apakah melihat ada jurusan tertentu yang lebih bergengsi?

R34 : Dulu pertama-tama waktu baru penjurusan orang melihatnya kalu IPA lebih apa ... IB di

atasnya IPA, ... tapi setelah masuk ternyata masing-masing punya kesulitannya sendiri ...

dan punya kelebihan sendiri.

P : Kalau begitu, antara IB dan IPA, perbedaan paling besarnya apa?

R34 : Kalau IPA kan jelas jurusan nasional, jadi nggak ada bahasa Inggris. Kalau IB bahasa

Inggrisnya lebih apa ya ... lebih diutamain. T‘rus kalau IB belajarnya satu materi tapi

mendalam tapi kalau IPA banyak tapi nggak begitu mendalam.

P : Kalau antara IPA dan IPS, bedanya apa?

R34 : Apa ya? Kalau IPS lebih ke sosial kali ya, kalau IPA lebih ke alam-alam gitu ....

P : Apakah terjadi pembedaan ―IPA bernalar, IPS menghafal‖?

R34 : Mmm ...

P : Misalnya, kalau IPA lebih banyak berpikir sedangkan IPS yang penting menghafal?

R34 : Ya!

P : Ada pandangan seperti itu?

R34 : Ya.

P : Dan apakah menurut Cindie pandangan itu benar?

R34 : Ya. Kelihatan sih, kan ada sekarng kalau lagi ngerjain apa gitu, IPA dan IPS digabung, nah

di situ kelihatan sih kalo IPA lebih mikir, kalau IPS lihat, langsung ... gitu ....

P : Lebih spontan, langsung menjawab tanpa berpikir panjang?

R34 : Ya.

P : Waktu itu, Cindie kenapa nggak masuk ke Diploma Programme-nya waktu masuk ke sini?

R34 : Kata Papa-Mama saya sih, Diploma itu dia lebih khususin kalau mau sekolah di luar,

sedangkan saya pasti sudah mau sekolah di sini saja.

P : Tapi, terlepas dari itu, seandainya ada kemungkinan Cindie akan sekolah di luar, apakah

akan memilih ?

R34 : Kurang kayaknya. Saya akan tetap lebih memilih IPA?

P : Kenapa begitu?

R34 : Karena saya dari dulu kan sekolah nasional kan, jadi baru tahu ada IB di sini. Tahunya

cuma IPA, IPS, kalau yang International atau Diploma, apa tuh? Baru tahu gitu, ya udah

lah, ambil IPA aja

P : Kalau di sini melihat IPA lebih bernalar, IPS lebih menghafal, apakah ada pengaruh dari

guru-gurunya?

R34 : Nggak sih, kan guru-guru IPA ada juga yang mengajar IPS, berarti sama saja deh.

P : Kalau begitu, selain dari guru, apakah menurut Cindie dalam pemilihan jurusan ada

peranan orang tua?

Page 180: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

166

R34 : Ada. Saya contohnya, kan peranan orang tua. Orang tua saya kurang mengizinkan saya ke

IPS.

P : Kenapa?

R34 : Karena kalau IPA dari segi kalo mau masuk kuliah lebih gampang mau masuk ke mananya.

Daripada susah nanti, mending sekarang saja susahnya.

P : Jadi bisa tidak kalau saya katakan pada umumnya anak-anak IPS mungkin justru lebih tahu

mereka mau ke jurusan mana daripada anak-anak IPA?

R34 : Nggak juga sih. Karena dapetnya IPS, ya ke IPS, tapi kayaknya kalau dapet IPA, semua

akan ke IPA.

P : Kalau menurut Cindie, di antara teman-teman di sini apakah ada pengaruh tingkat

pendidikan atau kemapanan orang tua terhadap pemberian kebebasan anaknya untuk

memilih ?

R34 : Nggak. Kalau saya ya, mungkin karena pengalaman Papa kali ya? Masuknya apa, dia ambil

jurusan IPA dia pikir begitu lulus IPA dia lihat ya, kok lulusan IPA bisa masuk mana aja,

dan dia ingin anaknya kayak gitu juga, malah lebih baik.

P : Oh, Papa juga dulu begitu, kalau mereka sendiri sarjana-sarjana ya, orang tua Cindie?

R34 : Ya.

P : Di antara temen-temen Cindie yang memilih IPA apakah sudah tahu nantinya mau kuliah di

jurusan apa dan ingin jadi apa?

R34 : Ya. Misalnya teman saya, dia diterima di IB tapi ingin jadi dokter, jadi tidak mungkin

ambil IPS juga, di Indo kan berarti butuh ijazah tadi ya dia nggak jadi ambil IB, ya udah

ambil IPA gitu.

P : Buat Cindie, apa yang paling dibanggakan dari sekolah di SPH ini?

R34 : Bahasa dan fasilitas.

P : Bahasanya kenapa?

R34 : Bilingual. Kalau ambil nasional, indonya 60, inggris 40.

P : Yang kedua, fasilitasnya, karena

R34 : Lengkap sekali.

P : Menurut Cindie, apa yang paling mendesak diperbaiki pemerintah dalam sistem pendidikan

nasional kita?

R34 : Beberapa hari yang lalu saya baca artikel, ujian nasional itu melabelkan anak pintar atau

tidak pintar, jadi sebaiknya itu yang diubah, jangan cuma gara-gara UN melabelkan anak.

Saya lebih setuju jika ada ujian sekolah

P : Dari antara masyarakat luas menurut Cindie apakah orang-orang melihat IPS itu lebih

rendah daripada IPA?

R34 : Kalau saya sih nggak segitu juga sih, kasihan anak IPS, sebenarnya anak IPS itu ada

untungnya ada kekurangannya, kalau anak IPA ditanya bisnis anak IPA belum tentu jagoan

anak IPS, jadi nggak bisa diukur rata gitu.

P : Ketika seorang murid IPA dikasih soal IPS, dibandingkan sebaliknya anak IPS dikasih soal

IPA, apakah anak IPA ini akan lebih bisa mengerjakan soalnya daripada anak IPS?

R34 : Kemungkinan besar ya, kan kalau anak IPS kan pelajarannya cuma apa yang ada di sekitar

aja kan, tapi kalau IPA harus ngafal rumus sedangkan anak IPS nggak dapat rumus itu jadi

kalau dikasih soal IPA dikasih IPS, IPS dikasih IPA, ya kayak dibilang tadi.

Page 181: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

167

A4. Wawancara di SMA Katholik Tarakanita 1

A4.1 Responden 41

P : Sr. Imelda menjadi kepala sekolah di sini sudah tahun kedua kan ya?

R41 : Ya, tahun kedua. Aku itu kalau kepala sekolah sudah tahun kelima, tiga tahun di Tarki 2.

Sebelumnya saya di Filipina setahun sebelum di Jakarta. Sebelum di Filipina, tahun 2000-

2002 itu saya di Magelang, SMA Tarakanita Magelang.

P : Di Filipina, Suster memegang kongregasi?

R41 : Bukan, itu kursus kepemimpinan. Semuanya suster-suster C.B., tapi dari aneka negara.

P : Waktu di Magelang, Suster ....

R41 : Waktu di Magelang itu ... saya jadi guru, ya guru macam-macam.

P : Tapi tingkat SMA juga, Suster?

R41 : Ya, di SMA. Jadi ada guru yang waktu itu hamil, nah karena waktu di SMP sebelum di

Magelang, saya sudah di Dagen, saya empat tahun di sana, saya mengajar Sejarah,

kemudian mengajar Geografi, kemudian PPKn., kemudian untuk calon baptis.

P : Katekisasi?

R41 : Ya, itu di SMP selama empat tahun, lalu saya pindah ke Magelang. Di Magelang itu saya

ya ikut di UKS, aku ikut timnya di perpustakaan, t‘rus ikut timnya di BK, t‘rus ikut apa

namanya kalau promosi sekolah, jadi ikut paduan suara kalau kita ke gereja-gereja kalau

kita promosi.

P : Berarti Suster lebih ke arah tugas kantorannya, bukan langsung mengajar murid-murid?

R41 : Ya, saya mengajar kalau ada yang cuti, jadi guru pengganti.

P : Itu waktu empat tahun di Magelang?

R41 : Dua tahun. Yang empat tahun itu di SMP di Dagen. Di SMP itu saya ikut bendahara, t‘rus

ngajar ya itu, Sejarah, Geografi .... Nah, sebelum saya jadi suster itu kan sebenarnya saya

sudah ngajar.

P : Itu lulus dari pendidikan apa ya Suster? SPG?

R41 : Diploma III, Geografi. Kemudian aku ngajar, sampai tahun 1992 atau 1993 gitu.

P : Ngajar di level?

R41 : SMP, SMA.

P : Geografi?

R41 : Geografi, Kesenian, PPKn., tapi ya paling banyak Geografi, karena jarang guru Geografi.

P : Kalau Suster melihat di sini, ada nggak kecenderungan murid untuk memfavoritkan jurusan

tertentu untuk penjurusan?

R41 : Biasanya ada orang-orang ... kalau di sini, kalau dari sananya dia sudah pilih ingin ke

Bahasa, memang dia ingin ke Bahasa. Ada yang sudah seperti itu. Tapi ada juga yang

masih prioritasnya ke IPA.

P : Banyakkah yang seperti itu, Suster?

R41 : Banyak. Ada yang pernah, kemarin ya, setahun yang lalu kali ya, atau dua tahun lalu, saya

masuk ke sini, dia sebenarnya kalau masuk ke IPS itu dia bisa naik kelas, tapi karena dia

ingin ke IPA, dia ikut mengulang lagi kelas I, karena dia mau pingin ke IPA.

P : Karena dianya sendiri atau karena orang tuanya, Suster?

R41 : Kalau ini sih saya lihat karena dianya sendiri, jadi dia mau.

P : Dan dia tidak ada rasa malu mengulang ya?

R41 : Tidak. Memang dia yang mau. Dan saya melihat ... oh ... karena itu kan waktu sebelum

saya, saya nggak ikut menentukan bahwa dia itu sudah minta pindah jurusan ke IPA, kan

Page 182: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

168

sebenarnya dia mampu ya, sebenarnya konsekuensinya kalau misalnya dia tidak bisa

mengikuti di IPA, kan toh nanti kita bisa memberikan dia peluang daripada dia harus

mengulang setahun, tapi ya yang dulu policy-nya. Makanya saya mendengarkan seperti itu,

kasihan juga ....

P : Guru BK-nya sendiri bagaimana, Suster? Apa tidak mengarahkan?

R41 : Saya tidak tahu dulu kan .... Kalau di saya, kalau misalnya di saya sekarang ini kan, karena

dibantu oleh SAS, kan sudah jelas, jadi kalau pengelaman mereka sebelumnya di sini

menentukan jurusan itu bisa jadi sangat alot, yah mungkin karena ada di antara guru-guru

itu sendiri bersitegang mempertahankan bidang studinya dan juga, apa namanya, grade-nya

....

P : Jadi gurunya juga merasa IPA itu lebih tinggi?

R41 : Ya, karena biasanya ada tuh masuk IPA, Matematikanya kita tentukan lagi lebih tinggi ....

P : Berarti justru di guru-gurunya terjadinya ya Suster?

R41 : Ada. Saya tidak tahu yang dulunya itu seperti apa, tetapi katanya mereka itu kalau rapat

penjurusan itu, rapat kenaikan sendiri, rapat penjurusan sendiri. Jadi dua kali rapat. Nah,

karena rapat kenaikan kelas juga banyak nanti ininya segala macam, lalu penjurusan juga

.... Kalau yang saya alami itu cepat, apalagi ada persyaratan dari SAS, kan sudah langsung

kelihatan ini mau ke mana. Cuma sekarang itu yang memudahkan SAS itu kan jelas kita

tidak bisa mengubah. Kalau kamu bisa ke IPA, IPS, Bahasa, kalau ada peluang tiga itu,

sekarang dari BK, BK kan sudah mendata sebelumnya keinginan orang tua ke mana,

keinginan dirinya sendiri seperti apa, kemudian dari hasil tes IQ-nya mengarahkan ke

mana. Jadi kita kan lihat mana yang paling dominan. Tapi kalau memang pertama kali

dilihat dari segi keputusan kemampuan akademik itu memang sudah tidak bisa, ya itu dia

memang harus bisa menerima begitu. Jadi tidak bisa namanya menawar nanti dicoba, uji

coba, nggak ada. Maka sebelum itu, sebelum penjurusan memang jauh-jauh hari kan kita

sudah pantau dan kita sudah beritahukan ke BK dan orang tua, nanti begini lho ... jadi tidak

terlalu banyak yang komplain. Tapi kalau misalnya tiba-tiba tidak ada yang begitu, tiba-

tiba, kan ....

Yang saya alami waktu itu di Pluit, sampai membuat surat pernyataan segala kalau dia

misalnya tidak mampu, tapi ngotot mau ke IPA, tapi tidak mampu. Kita hanya membuat

surat pernyataan karena dulu belum ada SAS, kita membuat pernyataan saja, kalau memang

OK, orang tua mengetahui, dan nanti konsekuensinya kalau tidak naik kelas atau tidak

lulus, begini. Sudah, akhirnya bisa menerima, ya jalan. Dengan adanya pernyataan itu kan

mau tidak mau di satu sisi, anak sendiri harus bertanggung jawab dan orang tua juga harus

bertanggung jawab dan tidak menyalahkan sekolah.

P : Menurut Suster, kalau di sini bahkan di antara gurunya nampak sekali superioritas IPA itu

terhadap ilmu-ilmu sosial, kenapa sampai terjadi seperti itu ya? Ada apa dengan IPA?

R41 : Ya sama saja kan kayak waktu saya mau ngambil jurusan dulu, sebenarnya kenapa saya

mengambil jurusan IPA, padahal kalau dilihat-lihat kan, akhirnya aku jurusan Geografi

kan? Orang kan cenderung mengatakan itu kan jurusan IPS, tapi kenapa aku mengambil

jurusan IPA dulu kan? Karena gengsinya kan di IPA?

P : Gengsinya itu kenapa sampai IPA lebih bergengsi ya, Suster? Apakah karena lebih

menantang, lebih sulit, lebih sedikit orang yang masuk, atau ....

R41 : Kalau sekarang saya lihat kan peluangnya, memang banyak peluang untuk masuk ke ...

meskipun sekarang Bahasa dan IPS juga peluangnya banyak, sementara yang jurusan IPA

ini, dia ambil jurusan IPA malah banyak mengambil jurusan IPS di Perguruan Tinggi.

Kenapa? Jadi karena kalau di IPA misalnya materi di Matematikanya itu kan lebih tinggi,

Page 183: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

169

dan lebih sulit, nah kalau lebih sulit kan lebih menantang? Jadi mau tidak mau kan kalau

misalnya nanti mereka masuk ke ini ... ke Ekonomi atau Akuntansi, sama-sama hitung-

hitungan, kan jadinya lebih mudah menguasai.

P : Jadi, apakah ketika anak-anak ini memilih jurusan antara IPA dan IPS, mereka sudah

melihat kuliahnya apa nanti di S1, atau bahkan mereka sudah melihat dengan jelas mereka

akan menjadi apa, profesi apa yang akan mereka tekuni?

R41 : Kalau saya pikir sih mereka sekarang ini jauh-jauh hari karena sekarang sudah semakin

maju dan situasi Perguruan Tinggi dan program-program yang ditawarkan kan juga banyak.

Di samping mereka itu karena banyak juga yang ke luar negeri, jadi kalau yang saya lihat

itu bukan karena sejak awal sudah punya orientasinya ke mana, karena kita kan di sini

selalu ada Career Day, setiap tahun ada dan BK sudah mulai memperkenalkan, jadi nanti

arahnya ke mana kalau kamu begini .... Jadi peluang untuk universitas atau Perguruan

Tinggi yang ini ... lebih-lebih kalau ada alumninya di situ ya, ada yang mewartakan sepeerti

apa ....

P : O, jadi para alumni ini yang kembali ke sekolah untuk memberi tahu seperti apa dunia

jurusan ini?

R41 : Ya, apalagi kalau mereka bisa kan, peluangnya dari yang pintar-pintar ini masuk Perguruan

Tinggi negeri, jadi kalau misalnya kayak UI, Unpad., Undip., UGM, kayak gitu-gitu masih

... tentunya kan yang di sana orang yagn pintar-pintar. Jadi di satu sisi memang karena

bobot untuk IPA karena banyak hitung-hitungan, dari Fisika, Kimia, Matematika, lah itu

kan kalau daya hitungnya nggak kuat pasti kesulitan toh. Meskipun di IPS dan Bahasa

sebenarnya ada juga Matematika, tapi kan kalau Matematikanya lebih sederhana.

P : Ada nggak dikotomi ini, Suster: IPA itu bernalar, IPS cenderung hanya menghafal?

R41 : Kayaknya nggak sih. Kalau dibilang, IPS sekarang sih nggak menghafal. Banyak

analisisnya, karena dibantu dengan model pembelajarannya yang sudah beda. Mungkin

kalau zaman dulu memang begitu ya, tapi kalalu sekarang mereka masuk, ya mereka sudah

memilih. Ya mereka memilih IPA, atau IPS, atau Bahasa.

P : Menurut Suster ketika murid IPA disodorkan soal IPS dan sebaliknya murid IPS

disodorkan soal IPA, apakah murid IPA akan lebih berhasil mengerjakan soal-soal IPS

daripada sebaliknya?

R41 : Sejauh mereka yang sama bidang studinya, saya pikir pasti masih bisa. Kalau misalnya

masuk Sejarah nih, Sejarah untuk IPA, IPS, Bahasa, disuruh masuk, saya pikir OK-OK

saja. Nah, kalau Sosiologi yang jelas yang menguasai, yang mempelajari pasti lebih bisa

daripada yang IPA, ya toh? Kalau saya melihatnya, dari kreativitasnya mereka yang di sini,

karena memang di sini biasanya kan ... apa ... orang-orang itu bisa berkembang dari

kreativitasnya, bagaimana mereka mengelola sesuatu dan juga bagaimana memperhatikan

sesuatu, ya toh? Tapi ya saya melihat itu dari merekanya sendiri, karena tanpa kita suruh

juga kalau mereka itu bisa kreatif sendiri sebenarnya muncul dari mereka sendiri.

P : Jadi apakah bisa dikatakan pokok-pokok pelajaran IPS itu bisa muncul dari kehidupan

sehari-hari?

R41 : Ya, kalau mereka diarahkan ke sana, bisa menemukan itu dalam kehidupan sehari-hari.

P : Dan itu satu hal yang tidak terjadi pada pokok-pokok pelajaran IPA?

R41 : Ya. Mungkin itu salah satu makanya dikatakan IPA kelihatannya, menurut image-nya

semacam itu, tapi kalau saya lihat semuanya sama-sama penting, IPA, IPS, Bahasa, itu

sama. Karena biasanya mereka mengurutkan: pertama IPA, t‘rus IPS, terakhir Bahasa.

Memang Bahasa itu peminatnya lebih sedikit.

P : Paling banyak IPA?

Page 184: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

170

R41 : Sekarang ini kita malah IPS paling banyak, kelas II-nya sekarang IPS-nya 4 kelas, kelas

IPA-nya cuma 2 kelas. Bahasanya tetap 1 dari zaman dahulu sampai zaman sekarang,

karena kita kan menampung orang-orang yang berminat ke Bahasa.

P : Jumlah muridnya per kelas sama, Suster?

R41 : Nggak. Kalau Bahasa, yang mau lulus ini saja cuma 8 orang, kalau yang lain kan sekitar 30

sekelas.

P : Apakah di sini peran guru BK besar di dalam proses penjurusan, Suster?

R41 : Lebih ke arah pengarahan berdasarkan data yang ada. Biasanya yang jadi masalah kalau dia

maunya ke IPA, tapi nilainya pas-pasan, di ambang batas, walaupun memang memenuhi.

Tapi biasanya sih itu jarang. Yang ada, dia bisa ke IPA, tapi maunya ke IPS.

P : Berarti murid sebenarnya sudah cukup jelas dia mau ke jurusan mana ya, Suster? Bukan

cuma terpengaruh oleh ....

R41 : Ya. Makanya sekarang sampai ada 4 kelas IPS dan 2 kelas IPA, seperti ini.

P : Apakah saya bisa katakan bahwa di antara murid-murid Suster di sini ada kesadaran bahwa

saya masuk ke IPA, IPS, Bahasa, karena pilihan saya dan rencana studi saya yang seperti

ini, dibandingkan di antara guru-gurunya, bahwa guru-gurunya justru yang terkooptasi

bahwa IPA lebih superior dibandingkan IPS?

R41 : Kalau dari segi gurunya ya, mungkin dari segi bidang studi mereka sendiri ya menganggap

seperti itu, tapi ya kalau sekarang nggak bisa. Mungkin IPA-nya ya menganggak seperti itu.

Jadi kita mengatakan ya sejajar. Jadi apa namanya, sekarang dibuat guru eksakta pun harus

tetap masuk mengajar di IPS dan di IPA juga, dan di Bahasa juga, supaya jangan merasa

hanya eksak ... jadi kita bagi, jadi balanced, jadi dia bisa mengalami semuanya. Zaman

dulu kan kalau dia guru IPA, ya IPA doang, nah dengan pembagian seperti sekarang itu

mengurangi rasa superior dan senior dan juga penggolongan-penggolongan, ya toh?

P : Suster, di antara murid-murid apakah ada persepsi bahwa guru IPA lebih OK dibandingkan

guru lainnya, atau juga hal serupa terhadap guru-guru bidang studi lain? Jadi bukan pribadi

gurunya, tetapi kelompok bidang studinya?

R41 : Kalau saya melihat sih, nggak. Karena memang gurunya sendiri kan sudah dibaurkan, jadi

anaknya sendiri kan sama saja ya? Sekarang ini kembali kepada pendampingan guru itu

sendiri, bagaimana dia meningkatkan profesionalitasnya dia untuk mengajar di kelas, jadi

lebih anak itu lebih melihat kepada gurunya, bagaimana memberikan materinya.

P : Apakah Suster pernah mengalami orang tua yang ngotot anaknya mau dimasukkan ke

jurusan tertentu? Itu bagaimana penanganannya? Atau orang tua dan anak mau ke jurusan

yang berbeda?

R41 : O, ya ada aja. Biasanya kita itu kan memberikan pengarahan. Apalagi kalau sudah jelas

begini ya? Kita jauh-jauh hari sudah menyampaikan waktu pertemuan orang tua, jangan

sampai nanti dalam penjurusan ada orang tua yang ngotot pada hari-H, maka mulai

sekarang kalau orang tua memang berkeinginan anaknya mau ke jurusan IPA dengan tujuan

nanti mungkin melanjutkan ke profesinya dia, profesinya Bapak/Ibu sendiri, berarti sejak

awal sudah harus didampingi, jadi nggak bisa cuma nanti mau nuntut. Kalau mau seperti

itu, tetap supaya realistis, tetap kita pembagian jurusan berdasarkan hasil nilai, jadi tidak

bisa mau ngotot. Kalau mau menarik anaknya dari sini, ya silakan. Biasanya kita

mengatakan seperti itu.

P : Menurut pengamatan Suster, apakah ada pengaruh yang signifikan antara tingkat sosio-

ekonomi orang tua atau tingkat pendidikan orang tua terhadap campur tangannya di dalam

pendidikan anak?

Page 185: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

171

R41 : Kalau saya lihat di sini, orang tua memang care banget dengan pendidikan anaknya. Di sini

rata-rata orang tuanya berpendidikan, minimum itu guru. Ada satu-dua orang yang bukan

guru atau pedagang, tapi rata-rata orang berpendidikan. Nah, jadi sebenarnya kalau say

amelihat, keinginan orang tua itu lebih kepada mereka memfasilitasi minat anaknya. Tetapi

kenyataannya, banyak anak yang ikut ke profesi orang tuanya. Tergantung ke minat

anaknya sih, kalau saya lihat. Mereka di sini kan rata-rata dari keluarga menengah ke atas

dan berpendidikan.

P : Menurut Suster, di Tarakanita ini apakah ada perbedaan persyaratan untuk menjadi guru

MIPA dan guru ilmu-ilmu sosial?

R41 : Kita menerima, kita mengatakan, karena bukan kita sendiri yang menyaring ya, tapi dari

yayasan, kita sudah membuat permohonan nanti sekian kebutuhan guru di tahun ajaran

mendatang. Nah, mereka itu yang melakukan dari rekrutmen, seleksi dan sebagainya. Kita

di sini tinggal menindaklanjuti, apakah mau tetap dipakai atau tidak, dan juga kan guru baru

biasanya mulai dari kelas X dulu, begitu.

P : Apakah Suster pernah mengalami ada guru yang cuti hamil atau sakit berkepanjangan? Itu

bagaimana mencari penggantinya?

R41 : Jadi kita sudah mempersiapkan, dia mencari guru penggantinya dari luar, kemudian kita

ajak ngobrol, misalnya kan kesepakatan untuk insentifnya seperti apa 3 bulan itu. Kalau

memang dengan kondisi yang ada sudah OK, nanti kita tinggal lapor ke Yayasan. Jadi

kerjasama juga dengan yang mau cuti ini. Tapi kita sendiri juga tetap mencari.

P : Seandainya ada guru yang sakit bagaimana mengisi kelasnya, Suster? Apakah harus diisi

oleh guru yang sebidang studi atau bagaimana?

R41 : Kalau sakit itu paling kasih tugas. Tapi biasanya ada, mereka kan sudah tahu kondisi kita

yang banjir ini, kita kan waktu itu benar-benar ketat. Jadi kita juga nggak main-main

dengan liburan. Kalau orang udah selesai itu di Desember, biasanya Januari baru mulai

semester dua, kalau kita di Desember sudah langsung mulai semester dua. Jadi kalaupun

ada yang nggak masuk, izin urusan keluarga atau apa, harus switch dengan jam pelajaran

yang lain. Prinsipnya tidak boleh ada jam kosong untuk anak dan tidak boleh jam pelajaran

itu tidak diterima. Jadi ganti, nanti dia sendiri yang ngajar saat dia sudah bisa. Jadi harus

komunikasi dengan Piket, dengan Kurikulum, dengan anak.

P : Kalau menurut Suster, di Tarki I ini, keunggulan apa yang menjadi ciri khasnya, Suster?

R41 : Kalau yang menjadi ciri khas di sini yang saya dengar dan saya lihat selama kurang lebih

dua tahun ya, dari kegiatan-kegiatan ekstrakurikulernya, meskipun tidak meninggalkan

akademis karena kita di akademis juga tetap tetapi yang keluar itu yang kelihatan dari segi

leadership-nya. Kita ada 15 ekstrakurikuler. Dan semuanya itu jadi.

P : O, apakah ada anak SMP yang masuk sini cuma mau masuk ekskul.-nya, Suster?

R41 : Ada. Makanya itu, ada yang cuma mau ikut drumband, atau softball atau teater ... makanya

itu bisa aja nanti sore latihan, pagi ini tidak masuk ... tiba-tiba sore muncul untuk latihan.

Karena kan nggak bisa lulus punya ijazah dengan ekskul.

P : Apakah anak harus memilih 1 ekskul.?

R41 : Ya, harus memilih 1 ekskul. Wajib. Kalau untuk pindah biasanya susah. Juga kalau di

Tarakanita ini biasanya prestisenya itu muncul setelah mereka lulus, itu biasanya kelihatan

dari pengalaman berorganisasinya, sehingga kepemimpinannya itu kuat. Mereka biasa jadi

organisator, bukan cuma intelektualitasnya yang terasah.

P : Menurut Suster apakah pemerintah ada campur tangannya dalam pengondisian penjurusan,

sehingga membuat jurusan yang satu lebih menarik daripada jurusan lainnya?

Page 186: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

172

R41 : Kalau pemerintah sih menurut saya nggak ya, mereka itu kan lebih memberikan peraturan-

peraturan. Masuk ke KTSP kan juga sudah murid sendiri, kalau itu benar-benar

dilaksanakan.

P : Kalau Suster punya kebebasan untuk mengutak-atik kurikulum, menurut Suster apa yang

paling mendesak untuk diperbaiki?

R41 : Ya, saya perlu waktu untuk memikirkan baik-baik apa yang perlu diperbaiki ... tapi

mungkin lebih ke arah pembaharuan-pembaharuan atas apa yang ada dan sekaligus

menanamkan nilai-nilai hidup yang berguna untuk masa depan dan tentu bukan seperti apa

yang ada di negara kita sekarang ini yang sudah kacau, nilai-nilai budi pekerti sebenarnya

itu kan penting. Atau, kalau kita sudah memperhatikan hidden curriculum mau tidak mau

kan itu akan mempengaruhi pribadinya, bagaimana dia bertindak. Kenyataannya yang

selama ini, kehadiran hidden curriculum-nya bagaimana, dampaknya pada dunia

pendidikan? Seperti itu lho .... Itu yang bisa saya sharingkan ....

P : Baik, Suster. Terima kasih atas waktunya.

A4.2 Responden 42

P : Pak Bin, Bapak sudah berapa lama mengajar?

R42 : Di sini sudah 4 tahun. Sebelumnya saya di Yogya, kebetulan di Akademi Tarakanita, 8

tahun.

P : Sebelumnya dari Sanata Dharma juga ya Pak?

R42 : Ya.

P : Bapak langsung mengajar Ekonomi-Akuntansi?

R42 : Ya, dan dulu juga ada Kewirausahaan, Pemasaran, juga Manajemen yang dalam rumpun

Ekonomi, karena rumpun Ekonominya saya yang pegang. Termasuk juga Pengantar

Ekonomi, Akuntansi Usaha 1 dan 2.

P : Pendidikan Bapak memang dari IKIP untuk guru Ekonomi ya Pak?

R42 : Ya.

P : Menjadi wakil kepala sekolah sudah berapa lama Pak?

R42 : Baru tahun ini. Karena waktu saya baru masuk itu kan baru ganti, 1 periode 3 tahun, lalu

ganti.

P : Berarti jabatan wakil kepala sekolah juga dirotasi ya Pak?

R42 : Ya, sebenarnya bisa dua periode.

P : Kan jarang ya Pak, ada sekolah yang membuka jurusan Bahasa?

R42 : Ya, untuk DKI jarang, hanya beberapa.

P : Sedangkan orang-orang berebut masuk jurusan IPA, termasuk mereka yang secara

akademik tidak bisa masuk jurusan IPA. Menurut Bapak kenanpa sampai terjadi IPA itu

begitu diunggulkan?

R42 : Karena sebenarnya orang tua, dan juga mungkin masyarakat, punya anggapan, asumsi ya,

kalau anak-anak IPA itu musti anaknya lebih pintar dibandingkan yang jurusan lain dan

mungkin istilahnya kalau nanti anaknya bisa IPA itu kan untuk meneruskan studi atau nanti

orientasinya kerja, ya mungkin yang IPA-IPA itu kan ya mungkin penghasilannya tinggi.

Dokter, insinyur, mungkin itu kan lebih tinggi dan prospek kerjanya lebih menjamin. Ya,

itu kan cuma persepsi. Nggak musti bener. Tapi menurut saya, kalau saya pernah

menyampaikan ke anak-anak IPS itu, ―Kalian jangan minder sama anak IPA. Memang

mungkin ada yang modelnya mereka lebih pintar, tapi nanti kalau dalam dunia kerja pun

Page 187: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

173

siapa tahu kita memimpin anak-anak IPA, karena kita IPS kan, manajemennya. Nanti kita

akan me-manage insinyur-insinyurnya.‖

P : Jadi sebenarnya asumsi itu tidak berdasar juga ya, Pak?

R42 : Ya, tidak berdasar, hanya pandangan umum. Tapi itu juga bisa jadi menjadi gengsi, ada

juga di antara orang tua yang tidak menerima anaknya IPS, karena mau diwarisi ... kemarin

itu ada yang keluar akhirnya, karena orang tuanya ngotot mau masuk IPA, karena mau

diwarisi perusahaannya yang mengelola di bidang apa yang harus dari insinyur. Harus

engineering, nah kalau dari IPS kan susah, walaupun kami sebenarnya ada anak IPS yang

masuk Kedokteran, tapi dengan jalan di bulan-bulan terakhir dia harus les privat IPA. Tapi

dia punya motivasi tinggi. Karena sekarang di Perguruan Tinggi pun kan tidak memandang

jurusan, asal mampu masuk tes itu, pilihannya bisa saja.

P : Kalau sampai terjadi antara keinginan orang tua dan anak berbeda, bagaimana peranan guru

BK, Pak?

R42 : Guru BK itu nanti akan memberikan bantuan konseling kepada anak karena nantinya semua

akan dikembalikan kepada anak. BK akan diarahkan nanti penentunya kepada anak, karena

nanti yang akan menjalani kan anak. Kalau orang tuanya bisa diajak bicara, BK akan

masuk, juga kalau anaknya sungguh-sungguh tertekan. Karena itu akan mengganggu baik

proses yang sekarang maupun yang akan datang.

P : Apakah proses konseling yang terjadi dinilai efektif, Pak?

R42 : Saya kira cukup efektif ya, karena di sini juga ada proses pembimbingan kepada anak yang

bermasalah dan juga mulai dari kelas X sampai kelas III kita memberikan wacana dunia

Perguruan Tinggi sampai yang terakhir itu kita ada seminar pendidikan, juga mendatangkan

narasumber dengan para praktisi juga dengan berbagai latar pendidikan, itu kita undang

entah dokter, insinyur, sarjana hukum, juga yang dari Bahasa, itu ternyata profesi mereka

pun setelah bekerja itu tidak menjamin yang dari IPA musti berpenghasilan tinggi.

P : Dilihat dari kacamata murid, apakah menurut Bapak mereka melihat bahwa guru-guru IPA

dipandang memiliki karakteristik tertentu dibandingkan guru-guru IPS, dan juga

sebaliknya?

R42 : Kalau di sini nggak, cuma ini karena kalau saya melihat, kalau IPA itu karena ... agak beda

dalam bahasa penyampaian materinya. Kalau IPS akan banyak penjelasan, akan banyak

hafalan, apalagi Sejarah ya. Itu kan beda kalau dengan yang cuma beberapa rumus, t‘rus

aplikasi, penerapan, t‘rus praktek. Itu kan akan sedikit ngomong. Harus anak sendiri yang

mengolah berpikir. Ini agak beda dengan IPS. Justru karena anak sendiri yang harus

berpikir dan itu kan membutuhkan apa ya, perhatian dan konsentrasi penuh dibandingkan

yang IPS. Sehingga, seringkali anak-anak IPS akan terlihat lebih santai, lebih apa ... itu

terlihat. Kami melihat ke situ, sehingga tingkat kedisiplinan anak-anak IPS pun yah ... saya

pernah membandingkan dan anak-anak marah. Anak IPS-nya marah karena merasa

dibandingkan dengan anak IPA, ―Kan mereka lain Pak, kita kan ...‖, lain pelajarannya, gitu.

Saya tanya, ―Kalian itu masuk memang benar atau cuma karena nggak keterima di jurusan

IPA? Atau memang minatnya memang di IPS?‖, ya ada yang ketawa-ketawa begitu. Jadi ya

bener, ini karena nggak keterima di IPA, bukan karena minat.

P : Menurut catatan Bapak, apakah cukup banyak murid-murid yang seperti itu, masuk ke IPS

karena tidak diterima di IPA?

R42 : Ya kan kita lihat juga. Walaupun masuk di IPA, tapi kalau minatnya di IPS, tetap kami

masukkan ke IPS. Jadi mungkin cuma beberapa.

P : Kalau yang Bahasa bagaimana Pak? Apa jangan-jangan mereka malah lebih inferior lagi?

Page 188: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

174

R42 : Bahasa, minat. Sehingga justru karena minat itu kami masih berani membuka jurusan

Bahasa. Memang ada yang tertolak di IPS, kemudian masuk ke Bahasa. Kita kan juga

kadang-kadang tarik-ulur, karena nanti penguasaan bahasanya bagaimana .... Jangan

disepelekan Bahasa itu, direndah-rendahkan.

P : Dari sisi orang tua murid Pak, apakah ada peranannya ketika orang tua ini lebih berada atau

lebih berpendidikan, terhadap kebebasan yang diberikan kepada anaknya dalam memilih

jurusan?

R42 : Wah, kalau saya sebagai wali menghadapi orang tua, ada orang tua yang benar-benar

memperhatikan anaknya, di mana memang begini, sebenarnya pilihan kenapa ke SMA,

kenapa tidak ke SMK itu kan harus ada dasarnya. Kalau SMK kan jalur profesi. Lulus,

kerja, bukan kuliah. Yang harus disadari orang tua kan harusnya kalau SMA, jalur

akademik, kan seharusnya kuliah, di mana kita harus secara bersama-sama mempersiapkan

anak ini, mengantar dia nanti sesuai untuk masuk ke Perguruan Tinggi mana, kan ya?

Memang ada orang tua yang mempersiapkan anaknya dan memperhatikan benar nilai-nilai

bidang studi, tapi juga ada beberapa orang yang istilahnya orientasinya lebih pada

pengembangan dari bakat dan tidak kepada intelektualnya, kepada keterampilan apa .... Ya

mungkin ada yang jadi artis atau apa ya, kan kami selain mengandalkan bidang akademik,

juga punya ekstrakurikuler, jadi andalan kami.

P : O, jadi ada juga orang tua yang lebih mementingkan ekskul.-nya?

R42 : Ya, saya kira begitu. Nah, di satu sisi kita juga harus memperhatikan bidang akademiknya.

Bertanya kepada walinya perkembangan anaknya.

P : Apakah orang tua semacam ini lebih berpendidikan Pak?

R42 : Kelihatannya ya. Dan kemarin juga saya menghadapi seorang dosen, ya mungkin

sebelumnya dia serahkan kepada istrinya dan mungkin istrinya kurang paham, jadi dia

sempat kaget. Nah sekarang orang tua ini harus dilihat ternyata harus dilihat dengan cara

yang berbeda, cara mendidiknya juga berbeda. Biasanya kan yang lebih banyak menemani

anaknya kan mamanya. Nah, ternyata mamanya ini pendidikannya kurang dan yang lebih

tinggi papanya. Cuma papanya dalam memperhatikan anaknya kurang. Kemarin saya

sempat menemukan orang tua juga yang kaget juga dengan hasil anaknya. Latar belakang

orang tua yang pendidikannya lebih tinggi cenderung lebih memperhatikan. Kalau soal

berada atau tidak berada rasanya kurang berpengaruh ya.

P : Apakah Bapak pernah menemukan anak yang meminati dan ingin menyeriusi bidang-

bidang seperti Antropologi, Sosiologi ...?

R42 : Kalau selama saya wali biasanya anak-anak memilih jurusannya masih melihat profesinya,

yang marketable. Yang aneh-aneh belum menemukan saya. Jadi lebih kepada mana yang

jurusannya lebih dibutuhkan di pasar. Dan memang orientasinya yang duitnya banyak,

memang.

P : Mengenai gurunya Pak, apakah dari Yayasan Tarakanita ini ada pembedaan kualifikasi

dalam menjadi guru eksakta dan guru ilmu-ilmu sosial Pak?

R42 : Sama saja. Ya memang ada standar minimal misalnya dari ... kan guru itu harus kompeten

di bidangnya. Ya penguasaan kan paling tidak kita ukur dari IPK-nya, mata kuliah-mata

kuliah yang sesuai bidang yang diampu.

P : Kalau ada guru yang cuti melahirkan, atau sakit berkepanjangan, apakah penggantinya

harus dari bidang studi yang sama Pak?

R42 : Ya. Nggak boleh sembarang guru, nanti kacau itu, repot itu. Karena kita kan juga harus

jaga. Output-nya harus baik. Itu kan juga menjaga nama baik, citra Tarakanita. Kalau guru

Geografi disuruh mengajar Matematika atau Akuntansi kan juga aneh.

Page 189: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

175

P : Waktu Bapak masuk IKIP apakah memang jurusan Ekonomi?

R42 : Awalnya saya itu jurusan Matematika, tapi ya kok istirahat nggak istirahat, semua masih

pada di kelas, akhirnya saya nggak tahan. Dan kebetulan IP saya juga pas-pasan, cuma

2,15. Kemudian pindah jurusan ke Ekonomi, ya jadi juara terus sampai lulus. Saya ini

termasuk aliran struktural, suka membahas-bahas yang masalah-masalah sosial, ekonomi

makro. Analisis sosial, penelitian, senang saya ... dan kelihatannya memang lebih enjoy

daripada di Matematika, rumus-rumus ....

P : Menurut Bapak, keunggulan khas Tarakanita I ini apa ya Pak?

R42 : Dulu saya tertarik karena yang memimpin suster, dan dengar-dengar kan C.B. dan saya

senang dengan karakter C.B. itu disiplin. Jadi saya karena waktu sejak kecil sudah biasa

dengan Romo, dengan C.B. ....

P : Kalau dari murid-murid, menurut Bapak apa yang mereka banggakan saat bertemu dengan

teman-temannya dari sekolah lain?

R42 : Kita unggul di dua-duanya: akademik dan ekstrakurikuler, satu hal yang tidak dimiliki oleh

sekolah-sekolah lain. Dalam keterbatasan kita sering banjir pun kita peringkatnya boleh

dibanggakan. Ekskul.-nya maju, tapi akademiknya juga nggak kalah.

P : Apakah menurut Bapak pemerintah menunjukkan adanya kepentingan tertentu dengan

mengondisikan murid untuk meminati jursan tertentu dibandingkan jurusan lainnya?

R42 : Pemerintah nggak begitu ambil pusing.

P : Dalam memilih jurusan apakah menurut Bapak masyarakat sudah bisa menilai kebergunaan

dan tujuan di balik masing-masing jurusan, ataukah masyarakat hanya menilai prestisenya,

atau melihat nama ....?

R42 : Wah, kelihatannya antara prestise dan kebergunaan, masyarakat kita masih berat sebelah,

berat banget, ke arah prestise. Kelihatannya masih ke situ, ya justru terjadi pendidikan yang

salah kan karena begitu, karena mungkin anaknya sebenarnya cocoknya di IPS tapi

dipaksakan ke IPA, justru hasilnya nggak optimal.

P : Apakah murid-murid yang IPA ini kuliahnya konsisten di jurusan IPA juga Pak?

R42 : Nah di situ akhirnya, karena tidak optimal, anak IPA kembali ke IPS kuliahnya, karena itu

tadi gengsinya. Ya akhirnya persiapannya lebih siap anak IPS, begitu kan?

P : Bagaimana anak IPS lebih siap ya Pak? Karena analisisnya?

R42 : Ya kalau analisis mungkin ya daya nalarnya masih kuat anak IPA. Untuk melakukan

hipotesis atau estimasi memang masih lebih kuat anak IPA karena biasa melakukan

eksperimen-eksperimen. Ya karena anak sosial, ilmu sosial itu juga berkembang kan ya.

Kadang-kadang tidak tepat untuk melakukan hipotesis. Tapi kalau anak IPA kan biasa

eksak-eksak gitu kan membuat satu estimasi yang lebih pasti, beda dengan anak sosial.

Biasa dengan menggunakan logika, menggunakan daya pikir. Daya analisis anak IPA

memang lebih tinggi dibandingkan anak IPS.

P : Apakah di IPS banyak menghafalnya Pak?

R42 : Justru karena banyak menghafal, nggak pernah melakukan estimasi, menghafal kan dari

yang sudah ada, tapi untuk memikirkan yang akan datang itu kan nggak begitu kuat. Nah

makanya anak IPS itu kalau nanti, tergantung anak IPS-nya, seharusnya bisa menggunakan

ilmu-ilmu eksak untuk analisis ilmu sosial. Statistika, Matematika, itu kan sebenarnya

digunakan juga di IPS untuk penerapannya. Karena masih di SMA itu mungkin belum

begitu banyak penggunaan penerapan-penerapannya, walaupun saya di Ekonomi juga

sudah mulai menerapkannya, tapi kan masih dasar, baru nanti diperdalam kalau sudah

kuliah. Nah, tetapi anak IPA itu sudah terbiasa dengan sejak SMA untuk melakukan

eksperimen, ada praktek juga di lab. Nah, ini kenapa mereka lebih maju. Sebenarnya nanti

Page 190: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

176

kalau ketemu di bangku kuliah mungkin kalau anak IPS-nya tidak mampu menerapkan tadi

fungsi-fungsi, rumus-rumus Matematika, anak IPA bisa.

P : Kalau Bapak punya kewenangan untuk mengubah kurikulum, menurut Bapak apa yang

paling mendesak untuk diubah Pak?

R42 : Ya tadi, kalau saya mau mempersiapkan anak itu, kurangi hafalan. Untuk materi, perlu

dipersiapkan bentuk-bentuk analisis. Coba benar diterapkan bentuk ilmu IPA, itu

diterapkan di anak-anak IPS dan anak IPS nanti sudah dilatih untuk membuat hipotesis dan

analisis. Dan analisis sosial itu yang penting buat saya. Agar nantinya dia itu berguna, kita

kan tidak bisa hanya bercerita apa yang sudah terjadi, menghafal sejarah, kan menghafal aja

itu kan. Tapi juga harus didalami. Kita memang tidak boleh melupakan yang masa lalu, itu

juga menjadi acuan untuk masa depan. Tetapi justru meramalkan yang akan datang itu yang

penting, untuk menemukan entah itu solusi, entah menemukan follow up dari permasalahan

yang ada. Itu yang penting. Itu sekarang sangat kurang di IPS, makanya kalau perlu

diberikan pelajaran analisis sosial. Mata pelajaran analisis sosial. Kalau perlu penelitian,

ada praktek. Yang praktek tidak hanya IPA. Berikan juga praktek untuk IPS. Ada nggak

praktek untuk IPS? Nggak ada IPS kesempatan praktek! Kenapa anak IPS nggak ada waktu

untuk jam praktek? Memang ada seperti Agama, itu praktek, tapi tetap saja prakteknya itu

teori. Bahasa Indonesia juga ada praktek mengarang, tapi itu lain lagi. Yang penting itu

Ansos., Analisis Sosial. Itu yang diperlukan, karena anak-anak IPS itu bicaranya soal

sosial. Kita nggak pernah melihat situasi sosial itu bagaimana? Situasi ekonomi. Kita kan

textbook, kita nggak pernah tahu itu kondisi bagaimana.

P : Apakah kalau Analisis Sosial ini diberikan, akan berpengaruh terhadap prestise IPS Pak?

R42 : Ya! Akan menyaingi anak IPA untuk daya pikirnya itu .... Analisisnya ... nah itu memang

harus didukung dengan analisis Matematika-Statistika. Walaupun memang dengan analisis

Matematika itu tidak bisa menjawab analisis Ekonomi, tidak bisa dengan hitung-hitungan.

Ini yang nggak mudah untuk diterapkan oleh para praktisi. Justru sebenarnya anak IPA pun

belum bisa mengerjakan permasalahan sosial. IPA kan orientasinya lebih teknologi,

temukan apa lah, formula-formula, tapi masalah-masalah sosial, masalah perilaku, selera,

peradaban ... itu kan nggak gampang.

P : Mungkin dia harus menjadi perwujudan ―belas kasih‖ di visinya Tarakanita ya Pak?

R42 : Ya salah satunya itu, untuk menjadi pribadi yang berbela rasa. Untuk berbela rasanya itu

nggak mudah. Karena orang intelek kan cenderung tidak memegang masalah bela rasa.

Teknologi itu cenderung tidak memperhatikan bagaimana penggunaannya, tidak

berwawasan sosial, lingkungan sosial. Kadang menghancurkan. Nah kalau perlu anak IPA

pun perlu diberikan masalah-masalah sosial agar tidak melulu mengejar teknologi. Tapi

bagaimana dengan masalah kehidupan manusia?

A4.3 Responden 43

P : Nindi kelas XII jurusan Bahasa ya? Kalau boleh tahu, kenapa Nindi masuk SMA

Tarakanita 1 ini?

R43 : Awalnya sih masuk Tarakanita memang karena mau ngincer jurusan bahasanya, karena dari

awal kan di SMA yang punya jurusan bahasa sedikit sekali ya dan yang kualitasnya yang

bagus cuma sedikit ya, kebetulan SMP-nya dari Tarki juga kan, Tarki 5, jadi kebanyakan ya

orientasinya SMA ke sini. Yang kedua, memang mau nyari jurusan bahasa.

P : Kenapa mau ke Bahasa?

Page 191: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

177

R43 : Karena kemampuan saya yang lebih dari yang lainnya memang di bahasa. Dan, waktu

SMP, kepikirannya kuliahnya mau ke Komunikasi gitu kan, jadi ya dari Bahasa.

P : Nah belajar di jurusan Bahasa kan selama kelas XI dan XII. Ketika kelas X ke kelas XI,

apakah ada penjurusan?

R43 : Nggak, hanya lihat nilai rapor.

P : Lihat nilai rapor, tetapi saat itu masih bisa memilih jurusan yang lain juga ya?

R43 : Ya.

P : Nindi sekarang ini kuliahnya mau ke mana?

R43 : Pengennya sih UI.

P : UI. Jurusan?

R43 : Politik.

P : Tidak jadi ...

R43 : Tidak jadi. Karena kebetulan kan orang tua aku di politik juga, jadi ngeliatnya seru ya, jadi

ada ya ... ngeliatnya dari bidang ya ... pengen juga ada tujuan, kalau aku kerja kan belum

tentu di politik juga, tapi aku yakin aja kalau kerja, dengan latar belakang politik, bisa

terpakai juga ke bidang-bidang lainnya.

P : Dalam dua tahun studi di Bahasa, apakah membantu nggak untuk pilihan kuliahmu nanti?

R43 : Membantu sih, soalnya kalau di mata pelajarannya itu kayak misalnya Sejarah dan dibantu

dengan model kurikulum itu kita jadi kayak dikasih ... kan udah nggak zaman guru doktrin

gitu, apalagi kalau Kewarganegaraan, banyak yang melibatkan bahan-bahan FISIP juga,

nggak cuma masalah politik itu kan, ada juga yang lain-lain. Jadi kayak nulis gitu, ngebantu

banget ya.

P : Selama ini kan suka ada pandangan IPA itu superior, bahkan Bahasa karena jarangnya, jadi

ada orang yang bahkan tidak tahu ada jurusan Bahasa. Apakah Nindi masih merasakan ada

pandangan seperti itu?

R43 : Ya banget. Maksudnya sampe sekarang pun dari pihak guru ada sih beberapa yang

ibaratnya, kayaknya, apa sih, dari pihak sekolah aja, ―Kalian jangan kecil hati ...‖, tapi

kenyataannya kan tuh pas penjurusannya kan mustinya dibuat sesuai minat, tapi dalam

praktek ada juga yang minatnya apa yah ... ya tahu sih maksudnya kalau maksud IPA kan

ke semua jurusan lain juga bisa, t‘rus yang jelekannya dikit ke IPS, t‘rus yang nggak bisa

ke mana-mana ke Bahasa.

P : Seperti air terjun?

R43 : Ya. Ke Bahasa gitu, tapi ternyata temen-temen aku juga ada yang dari awal memang

maunya ke Bahasa. Tapi yang aku sayangin tuh ada guru-guru yang kalau ada murid udah

nilainya nggak cukup dioperin ke bahasa jadi istilah kasarnya Bahasa tuh buangan.

P : Terlihatkah sikap beberapa guru itu dengan jelas?

R43 : Ada, kelihatan. Waktu kelas 1 kayak guru-guru IPA, kayak guru Kimia gitu, ―Ah, remed-

remed melulu sama saya, nanti saja remednya kalau udah masuk jurusan Bahasa ....‖ gitu

kadang-kadang juga .... Jadinya kan kadang-kadang kalau di lain ada jurusan Bahasa kan

istilahnya kalau di sekolah-sekolah lain kan jadi mungkin pikirannya lebih terbuka, tapi kan

rata-rata sekolah lain nggak ada ... jadi kadang-kadang di-underestimate.

P : Menurut Nindi kenapa tuh Bahasa di-underestimate, kenapa IPA tuh dianggap superior?

R43 : Mungkin karena IPA tuh dianggap spesial dan nggak semua orang bisa kayak Matematika

aja, kan di semua jurusan juga masih jadi kendala.

P : Tapi, apakah Bahasa semua orang bisa?

Page 192: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

178

R43 : Nah, itu dia. Makanya, ini sih salahnya sikap dari pihak sekolah sih, ada yang kayak aku

bilang, jadinya kalau orang misalnya nggak bisa masuk IPA, IPS jadinya dimasukin ke

Bahasa gitu kayak gitu itu ....

P : Terkooptasi?

R43 : Ya, yang kedua karena nggak semua sekolah ada Bahasa. Kayaknya kalau dilihat kayak ada

pengaruh dari kebiasaan tradisi kita, kan banyak orang tua yang ingin anaknya IPA atau

banyak yang mikir anaknya SPMB kan kalau dari jurusan IPA lebih gampang masuk ke

semua jurusan kan, mungkin gara-gara hal itu.

P : Betul nggak ada dikotomi kalau anak IPA itu cenderung bernalar sedangkan anak IPS

sekedar menghafal?

R43 : Nggak, karena di Tarki sini kita kalau ngeliatnya IPA sih memang kalau hitung-hitungan

lebih jago, tapi ada juga lho temen aku yang masuk IPA karena nilai Bahasa dan nilai IPS-

nya merah. Maksudnya, jadi keliatan kemampuannya juga kan? Nggak tahu sih kalau yang

IPS, tapi kalau yang Bahasa, dari dua tahun aku di Bahasa, kebanyakan analisa.

P : Nah kalau kamu lihat di antara guru-guru ya, guru-guru eksakta/MIPA, IPS dan guru

Bahasa, apakah ada perbedaan kualitasnya? Mungkin guru-guru tertentu lebih unggul ....

R43 : Kayaknya tergantung deh, kayak perbandingannya kalau guru-guru IPA, memang tidak

semua, tapi kebanyakan mereka mengunggulkan bidangnya mereka banget, jadi agak-agak

underestimate terhadap IPS dan Bahasa ....

P : Bahkan ke sesama guru?

R43 : Ya, tapi kalau ke sesama guru mungkin mereka nggak berani ngomong lah .... Tapi kalau

perbedaan ngajarnya, guru-guru eksak pasti mereka lebih tegas, karena juga materinya

lebih banyak kali ya, kalau guru-guru sosial mereka itu aku sih rasanya lebih nyantai, masih

bisa diajak bercanda ....

P : Kalau memilih jurusan di kelas X, di antara temen-temen Nindia, apakah besar

pengaruhnya orang tua?

R43 : Besar sih, tapi kalau aku sendiri, Mama sih yang penting suka. Tapi banyak sih yang

maunya ini tapi sama orang tuanya nggak boleh, banyak juga yang kayak gitu.

P : Misalnya banyak yang mau ke IPS tapi orang tuanya maunya ke IPA gitu ya?

R43 : Ya, biasanya seperti itu.

P : Nah kalau dari pengamatan Nindi, dalam kasus seperti itu, apakah ada pengaruhnya ketika

orang tua itu lebih berada atau lebih berpendidikan, dalam mereka memberikan kebebasan

kepada anak-anaknya?

R43 : Kayaknya tergantung juga sih, maksudnya kebanyakan, kalau yang agak-agak kaya,

mereka bisa melihat nanti pekerjaannya kayak gini atau kayak gitu, tapi kalau yang

menengah ke bawah, ya udah lah nyarinya yang pasti-pasti aja.

P : Pasti penghasilannya?

R43 : Ya. Tapi ada juga sih yang nggak pengaruh, yang orang tuanya berada tapi pikirannya

kolot, yang penting asal cita-cita si orang tua itu kesampaian, yang dulu jadi cita-cita si

orang tua.

P : Menuntut Nindia, kalau teman-teman yang akan dikirim orang tuanya ke luar negeri,

apakah memiliki lebih banyak kebebasan dibandingkan mereka yang memang akan

disekolahkah di dalam negeri?

R43 : Nggak tahu juga ya, soalnya biasanya yang ke luar itu kan juga biasanya kuliahnya di luar

nggak ada hubungannya dengan jurusannya, biasanya kan ambil jurusan-jurusan yang

nggak ada di sini, kayak fashion gitu, atau apa ... yang di sini paling ada cuma sampai D3

....

Page 193: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

179

P : Ketika ada guru tidak masuk dalam waktu lama, atau cuti, misalnya cuti melahirkan,

apakah ada guru pengganti atau diberi tugas saja?

R43 : Pasti ada guru pengganti. Kalau guru cuma nggak masuk sebentar sih, bisa aja dikasih tugas

t‘rus disuruh kumpulin gitu aja, tapi kalau cuti pasti ada guru pengganti.

P : Apakah guru penggantinya itu memiliki kompetensi yang sesuai dengan bidang studinya?

R43 : Sejauh ini cuma sekali sih, tapi ya, sesuai dengan bidangnya.

P : Bagian berikutnya, nih. Kalau Nindi ketemu temen-temen dari sekolah lain, apa yang

paling dibanggakan dari sekolah di Tarki ini?

R43 : Yang pertama, semua anak swasta pasti lebih bangga dibanding sekolah negeri sih. Terus

yang kedua, masih klise banget sih, tapi kalau anak Tarki ketemu anak lain, terutama anak

Negri tuh kita mempunyai style yang lain, kita kayak trend setter gitu. Juga, tingkat

pendidikannya jug lebih bagus. Bukan cuma dengan Negeri, tapi juga swasta lain, karena

kan istilahnya tujuhnya kita bisa dapet dapet 10-nya dia, jadi kita merasa lebih tinggi dari

dia.

P : Di antara sekolah-sekolah Katholik yang lainnya?

R43 : Ya kita ke mana-mana biasanya sih lebih banyak sosialisasinya, kalau yang lain kan

mungkin nggak terlalu banyak kenal yang di luar sekolahnya ... wujud sosialisasinya

misalnya kayak kemarin ini pensinya, respon masyarakatnya lebih kuat ....

P : Kalau bicara mengenai jurusan Bahasa. Hanya sedikit sekali sekolah yang membuka

jurusan ini, bahkan ada yang sudah punya, kemudian ditutup. Menurut Nindi, apakah

pemerintah punya arahan tertentu dengan tidak gencar mempromosikan jurusan Bahasa?

Apakah pemerintah punya target tertentu dengan membiarkan IPA lebih dominan

dibandingkan yang lainnya? Atau juga IPS .....

R43 : Apa ya, kalau aku lihat sendiri pemerintah sebenarnya belum concern ke arah itu, mereka

cuma sibuk ngejalanin dan mengubah-ubah kurikulum, belum ada care ke arah ini.

A4.4 Responden 44

P : Nicky SMP-nya dari SMP mana?

R44 : SMP Tarakanita 3.

P : Kemudian kenapa memilih sekolah di sini?

R44 : Karena udah kayak sekolah impian, memang dari dulu sudah ingin masuk sekolah sini.

Dari SMP kayaknya enak aja nyoba, biasanya heterogen sekarang nyoba yang homogen,

t‘rus kualitas pendidikannya bagus walaupun banjir, tapi diliat dari mutu kualitasnya bagus.

T‘rus yang namanya anak-anak Tarki itu bisa menyeimbangkan antara belajar danm antara

kayak melakukan dengan kegiatan, jadi saya pengen belajar di sini.

P : Apakah sejak awal memang berencana untuk masuk IPS?

R44 : Tadinya mau masuk IPA, pas naik-naikan kelas tadinya nilai saya seimbang, jadi mau

masuk IPA, IPS, Bahasa bisa masuk tiga-tiganya, tapi hasil tes IQ dan tes penjurusan itu

dapetnya IPS, setelah saya pikir-pikir kenapa saya nggak nyoba masuk IPS, bosen juga

masuk IPA, jadinya masuk IPS.

P : Setelah SMA mau masuk jurusan apa untuk kuliahnya?

R44 : Antara Ekonomi sama Hubungan Internasional.

P : Dulu waktu masuk IPA apakah sama cita-citanya?

R44 : Dulu pas masuk IPA maunya jadi dokter. Tapi karena sudah di IPS, ganti profesi.

P : Tapikan kan IPS masih bisa ngambil Kedokteran?

R44 : Tapi semakin ke sini semakin takut mau membelek orang, ngeliat darah ....

Page 194: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

180

P : Sekarang kita berbicara masyarakat secara luas ya, an ada IPA, IPS, Bahasa dan orang

cenderung memilih IPA dong ya? Kalau Bahasa jarang .... Menurut kamu kenapa bisa jadi

seperti itu sih?

R44 : Kalo menurut saya, banyak orang yang ngomong misalkan gini, profesi yang menarik-

menarik itu seperti dokter, insinyur, arsitek, pasti semuanya dari IPA, jadi presepsi orang di

luar itu udah pasti bilang IPA itu no. 1, IPS no. 2, Bahasa no. 3. Jadi, Bahasa yang

dinomortigakan tuh nggak dianggap, padahal di luar sana bahasa tuh diperlukan kita, tanpa

bahasa tuh kita bisa ngapain sih? Jadi bahasa tuh penting.

P : Jadi sebenarnya ada profesi-profesi yang menarik yang bisa dicapai oleh IPA? Padahal ada

banyak profesi lain yang tidak diketahui orang banyak, begitu?

R44 : Ya.

P : Jadi karena ketidaktahuan orang juga?

R44 : Ya.

P : Kalo dari segi akademiknya, apakah karena masuk IPA lebih susah jugakah, jadi masuk

IPA lebih bergengsi?

R44 : Saya rasa ya, karena di sini kan syarat masuk IPA, harus Kima, Matematika, Biologi harus

bagus, setidaknya dapat nilai 7. Semakin ke sininya kita menemukan semakin banyak

hambatan belajar, jadi untuk mengejar nilai yang semuanya hitungan dan hafalan kan tuh

susah, jadi lebih tantangannya sih masuk IPA, tapi kalau masuk IPS atau Bahasa

seandainya kita nggak bisa ya sama saja beratnya.

P : Berarti di sini ada orang yang yang mau ke IPS, sedangkan ada yang mau masuk IPA

nggak kesampaian kan?

R44 : Iya

P : Orang-orang yang disebut belakangan ini, yang ―terbuang‖ dari IPA, apakah cukup banyak

di antara murid-murid IPS?

R44 : Kebanyakan kita sih nggak, kita bener-bener pengen masuk IPS ya akhirnya masuk IPS,

ada yang pada saat itu ingin masuk IPA tapi dimasukin ke IPS tapi mereka ada

pertimbangan, jadi mereka meminta memperbaiki nilai dengan gurunya. Ketika udah

bagus, bisa masuk IPA tapi kalau nggak boleh masuk IPA, harus masuk IPS diterima, dan

kebetulan mereka pinter juga di IPS.

P : Menurut kamu ada nggak orang yang bisa di IPA, tapi di IPS-nya nggak bisa?

R44 : Ada, karena orang kan beda-beda, misalnya gini, anak IPA kan eksakknya lebih apa ya ...

lebih maju, soal hitungan lebih maju tapi lemah di hafalan. Padahal anak IPS kan Sejarah,

Geografi, Sosiologi, semuanya kan harus ngafal, begitu juga dengan anak IPS dan anak

Bahasa juga.

P : Jadi ada dikotomi bahwa IPA lebih menganalisis, IPS lebih menghafal?

R44 : Ya.

P : Apakah di IPS ada cukup banyak muatan menganalisis juga?

R44 : Analisis sosial, terutama. Itu yang kuat dan sering dilakukan.

P : Dibandingkan dengan anak IPA, apakah mereka sama kuatnya dalam analisis sosial?

R44 : Dua-duanya sama kuat, tapi beda sudut pandang. Kalau dari anak IPA mungkin dipandang

dari perhitungannya, kalau anak IPS .... Misalkan gini, anak IPA nanyanya, ―Kok bisa ya

bola jatuh dari ketinggian segitu ke bawah?‖ Kalau kita gini, ―Apa sih yang bikin tuh bola

jatuh?‖, kalau kita lebih ke masalah sosial kehidupan, kalau anak IPA lebih ke hitung-

hitungan.

P : Nah kalau dari segi guru-gurunya, apakah menurut kamu ada perbedaan antaaa kualitas

guru-guru IPA dan IPS?

Page 195: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

181

R44 : Nggak, saya rasa nggak ada.

P : Di antara guru-guru sendiri ada nggak yang merasa inferior, atau ada yang merasa lebih

superior? Mungkin secara verbal ....

R44 : Kalau di sini nggak ada guru-guru yang memperlakukan IPA is the best, IPS second ....

P : Di antara teman-teman Nicky, besar nggak pengaruh orang tua?

R44 : Cukup besar, tapi semuanya kembali kepada kita.

P : Pernah ada teman yang merasa terpaksa masuk ke jurusan tertentu?

R44 : Ada. Pasti tiap tahun ada kasus yang kayak gitu.

P : Dengan kondisi seperti itu, pengaruh nggak kalau orang tuanya lebih berpendidikan atau

lebih berada ...

R44 : Pengaruh banget. Biasanya orang tua punya obsesi, tapi nggak kesampaian, jadi anaknya

yang harus jadi dokter.

P : Kalau yang lebih berpendidikan, apakah dia memberikan kebebasan lebih kepada anaknya?

R44 : Saya rasa semakin tinggi pendidikannya, semakin maju, berarti dia semakin tahu dong

kalau semua itu tergantung kita yang menjalani, tapi kita juga nggak bisa mengubah

pandangan orang tua kita bahwa IPA itu yang terbaik kan? Semuanya itu kembali kepada

anaknya sendiri.

P : Peran guru BK besar nggak dalam hal ini?

R44 : Besar, karena kalau kita konseling itu kita bisa, dia mengarahkan, lebih baik kamu begini

....

P : Termasuk kepada orang tua?

R44 : Bisa, kalau orang tua itu ingin konseling dengan guru BK, karena dia tahu, kalau sekolah

sering ketemu kalau guru BK, bisa menjelaskan bahwa bisa lebih lancar omongannya, siapa

tahu orang tua bisa berubah pikiran dan disetujui gitu.

P : Nah kalau temen-temen kamu yang mau melanjutkan keluar negeri itu, apakah mempunyai

kebebasan lebih daripada mereka yang akan tetap di Indonesia?

R44 : Nggak juga sih karena kadang-kadang studi di luar negeri orang tua yang nyuruh, bukan

maunya anaknya.

P : Dan apakah jurusannya juga jurusan yang sama?

R44 : Ya.

P : Kalau teman-temanmu yang ada di jurusan IPA, apakah mereka mau masuk ke Teknik?

R44 : Nggak. Saya ada beberapa teman saya yang mau masuk ke Akuntanssi, ke Ekonomi.

P : Dari sudut pandang seorang murid, apakah untuk menjadi guru di sini ada perbedaan

kualitas antara menjadi guru IPA, IPS?

R44 : Perbedaan kualifikasi pasti ada, tapi kalau di lapangan rasanya semuanya sama saja. Sama

berat dan susahnya juga.

P : Seandainya mengalami ada guru yang nggak masuk beberapa hari atau ada guru yang cuti

melahirkan cukup lama, apakah guru penggantinya harus guru yang sama bidang studi atau

guru apa saja bisa masuk, atau ....

R44 : Saya rasa kalau IPA harus, kan kalau IPA nggak semua guru bisa Fisika, nggak semua guru

bisa Kimia, jadi harus sama-sama yang di satu pelajaran. Tapi kalau di IPS, di Bahasa, bisa

masuk semuanya.

P : Terjadi itu?

R44 : Ya.

P : Misalnya guru apa yang menggantikan guru apa?

R44 : Pak Anton, guru Sosiologi di IPS bisa, di Bahasa ... Antropologi. Gurunya sama dua-

duanya.

Page 196: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

182

P : Jadi serumpun juga ya antropologi dengan sosiologi ya oke. Kalau kamu sendiri kuliah abis

ini mau ngambila jurusan apa?

R44 : Ekonomi atau Hubungan Internasional.

P : Setelah itu mau ngapain tuh?

R44 : Kerja.

P : Kerjanya mau yang bidang apa?

R44 : Ya, tentunya yang bidang yang satu lapangan dengan apa yang saya udah pilih.

P : Dalam kurun waktu yang lebih panjang, apa yang ingin kamu capai dalam hidupmu?

R44 : Bisnis.

P : Bisnisnya bidang apa?

R44 : Bisnis yang bidang saya suka bakery atau event organizer.

P : Dari visi Tarakanita kan ada kata ―berbelas kasih‖, terpikir nggak bagaimana mewujudkan

kata-kata itu dalam hidupmu nanti?

R44 : Jadi jangka panjangnya gini, kita kan belajar dari Tarki: ramah, tabah dan sederhana. Jadi,

kalau kita udah jadi kaya sekalipun kita tetep harus ramah, tabah dan sederhana. Jadi

walaupun kebanyakan anak-anak Tarki itu anak-anak mampu, tapi harus tetap

berpenampilan sederhana, t‘rus ramah sama orang, jadi pada saat kerja pun saya rasa itu

sudah terbawa .... ya mentalnya udah kayak gitu ... ya lihat nanti lah ...

P : Apa yang paling kamu banggakan dari Tarki 1 ini?

R44 : Seragam.

P : Kenapa seragam? Yang putih-putih ini?

R44 : Nggak, yang kotak-kotak. Dari jauh ... oh udah tahu anak Tarki, tapi yang kita banggakan

itu adalah kita anak cewek semua tapi kita bisa mandiri. Mungkin kita bisa ngalahin yang

cowok-cowok yang sombong-sombongan, jadi kalau kita sudah siap kita bisa lebih ... waw

... kita cewek tapi bisa ngalahin cowok.

P : Menurut kamu, apakah pemerintah terlibat dalam mengondisikan jurusan tertentu lebih

menarik daripada jurusan lainnya?

R44 : Pasti ada. Jadi kayak gini, jurusan IPA, pemerintah membantu dalam labolatoriumnya

ditingkatkan, kalau IPS dan Bahasa juga mustinya ditingkatkan semua, kalau laboratorium

Bahasanya lebih dibaguskan atau buku-buku anak Bahasa dan IPS tuh diseimbangkan jadi

nggak ada yang lebih menonjol gitu, jadi sama, gitu.

P : Jadi itu yang membuat orang milih masuk ke IPA ya?

R44 : Ya.

P : Seandainya kamu terpilih untuk menduduki jabatan yang bisa mengubah kurikulum, ada

nggak suatu hal yang akan kamu ubah dari kurikulum?

R44 : Pertama saya mau evaluasi dulu kurukulumnya, dari kurukulum yang pernah dijalanin sama

sekolah-sekolah di Indonesia itu mana yang paling bagus. Kalau memang ada yang terbaik,

itu akan dijalanin untuk kurun waktu tertentu dan nggak boleh cepat-cepat diganti.

P : Dari isi pelajarnanya sendiri, apakah ada yang mau diganti, dipandang tidak berguna?

R44 : Saya rasa semua pelajaran itu berguna, tapi mutu pendidikan itu yang harus diutamakan.

P : Sejarah dan Geografi, menurut kamu ada manfaatnya untuk kehidupan?

R44 : Ada.

P : Apa manfaatnya?

R44 : Tadi apa?

P : Sejarah dan Geografi.

Page 197: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

183

R44 : Oh … ada dong ... itu kan kalau kita melakukan sesuatu kalau nggak tahu sejarahnya, pasti

kan basic-nya nggak kuat. Terus kalau Geografi, kita kan hidup di bumi, masa kita nggak

tahu bumi itu sendiri?

A5. Wawancara di Kolese Gonzaga / Seminari Wacana Bhakti

A5.1 Responden 51

P : Romo, seminari ini kan cukup lama berdiri ya?

R51 : Dari tahun ‘87.

P : Berarti, selama masa itu sudah mengalami beberapa kurikulum ....

R51 : Dari kurikulum ‘87, ‘94, 2004 dan sekarang KTSP ....

P : Melalui semua kurikulum itu, untuk seminarian, apakah ada kurikulum yang berbeda untuk

seminarian?

R51 : Oh, selalu ada.

P : Bobotnya berapa banyak ya?

R51 : Nggak banyak sih. Tapi kalau dibandingkan ... seminari itu kan 4 tahun ....

P : Ya.

R51 : Tahun pertama ini khusus.

P : Berarti itu setelah lulus SMP?

R51 : Setelah lulus SMP, ini khusus, nah kekususan mereka itu diberi bobot bahasa Latin yang

agak banyak untuk memperkuat humaniora. Humaniora itu bukan hanya seni tetapi

sebetulnya termasuk seni berbicara, termaksud juga bagaimana menghayati nilai-nilai

kemanusiaan lewat bahasa dan lain sebagainya. Maka bahasa Latin sebagai akar dari

bahasa-bahasa Eropa, ini mendapat bobot yang sangat banyak ya, pada tahun pertama ini.

Di samping itu anak-anak diberi bekal tambahan bahasa Inggris. Maklumlah seminari itu

kan datang dari macam-macam ya, dari Ciledug sampai Bekasi. Sangat beragam, jadi diberi

bekal bahasa Inggris. Lalu ada matrikulasi Matematika dan Fisika, memang itu kekuatan ...

sebenarnya kan kekuatan logika nomerik ya, logika matematis lalu itu juga kita kuatin

untuk anak-anak seminari.

Nah di samping itu masih ada sejumlah mata pelajaran lain tentu yang lebih menyangkut

ke arah masalah keagamaan. Kemudian mulai tahun kedua anak-anak seminari itu mulai

belajar bersama dengan anak-anak Gonzaga.

P : Berarti kelas X?

R51 : Ya, kelas X yang non-seminarian. Nah di samping mereka mendapatkan pelajaran pagi

bersama dengan anak-anak Gonzaga, sore hari khususnya haru Senin, Selasa, Rabu, Kamis,

masih ada pelajaran tambahan untuk anak-anak seminari ini.

P : Bahannya adalah ...

R51 : Bahannya khusus kami, staf seminari ....

P : Dari Teologi?

R51 : Ya, kurang lebih begitu, dan masih ada tambahan bahasa, supaya anak mampu lebih

mengekspresikan diri dan sebagainya, maklumlah para seminari nantinya kan diharapkan

harus mampu untuk memberikan khotbah yang sangat menarik kan?

P : Ya.

R51 : Nah, oleh karena itu lebih diberi bekal tambahan. Dan itu lebih menguntungkan karena

mereka ada di seminari kan, di asrama, tidak usah pergi ke mana-mana.

Page 198: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

184

R51 : Lalu di samping anak-anak seminari itu bersama dengan anak-anak Gonzaga yang lain, ada

juga acara-acara mereka biasanya punya kebanggaan yang mereka terus pelihara adalah

orkes dan kalau Anda mau melihat orkes anak-anak seminari ini mulai nanti sore sampai

Minggu sore ada di Gereja Bunda Hati Kudus Kemakmuran, sedang main. Biasanya satu

tahun kita berikan kesempatan anak-anak seminari ki8ta untuk bermain di paroki-paroki ...

mereka mengiringi misa.

Kemudian mereka juga tinggal di rumah umat, diharapkan mereka punya interaksi dengan

umat dan anak-anak remaja di sana, ya menjadi semacam ajang promosi juga. Ya kan?

Dan, orkesnya biasanya main full.

P : Berarti setiap seminarian juga diharapkan menuguasai satu jenis alat musik setidaknya?

R51 : Ya, betul. Jadi mereka pada tahun pertama masuk seminari biasanya itu ada semacam

audisi dan guru-guru musik menentukan pilihan anak ini bisa masuk apa: violin, flute, obo

atau apa, atau bas, cello atau ini atau itu, atau timpani, atau drum atau apa. Jadi mereka

mengalami suatu proses seleksi dan penentuan untuk itu pada tahun pertama dia masuk.

Dan bersamaan itu juga mengalami proses latihan teus-menerus kan. Dan sekali lagi hidup

dia asrama itu bagi mereka mau nggak mau kesempatan berlatihnya lebih banyak. Nah,

kalau dari sisi kemampuan akedemis dibandingkan dengan anak-anak Gonzaga ya

beragam, ada yang tinggi ada yang rendah ada yang tengah.

P : Tidak bisa dikorelasikan begitu saja?

R51 : Nah itu rupanya juga sangat terkait dengan potensi yang ada di dalam diri anak-anak itu.

P : Kalau dari tahun kedua dari empat, mereka itu kan belajar dengan anak Gonzaga 45 jam per

minggu ya Romo...

R51 : Ya ... 42.

P : 42 ya, yang tambahan sorenya itu kira-kira berapa jam pelajaran ya Romo, atau dihitung

begitu?

R51 : Itu di luar.

P : Di luar ya, jadi nggak dihitung berapa jam ya, yang satu tahun itu juga dihitung jam

pelajaran?

R51 : Nggak. Jadi nggak itung jam-jam yang kayak ... ya bisa jadi dihitung tapi tidak

diperhitungkan di Gonzaga.

P : Yang tahun pertama itu bahasa latin itu proporsinya lebih, sangat besar ya Romo?

R51 : Sangat besar.

P : Oh, itu paling besar. Apakah dalam empat tahun itu mereka juga mendapat bahasa Yunani

dan Ibrani, Romo?

R51 : Nggak.

P : Berarti setelah empat tahun ini mereka diarahkan untuk masuk ke mana nih Romo, apa ada

studi lanjutnya lagi atau ....

R51 : Ada studi lanjut dan itu pilihan mereka. Ada yang masuk Praja Jakarta, atau masuk Yesuit,

atau masuk Fransiskan, atau masuk Xaverian, atau masuk ke yang lain.

P : Tapi selama ini semua masuk ke salah satu ya?

R51 : Ya, ada juga yang keluar. Ada yang mengundurkan diri, biasa itu.

P : Jadi pergumulan dari SMP masuk ke seminari ini apakah mereka menurut Romo apakah

lebih karena arahan dari orang tua atau Gereja, atau memang kebanyakan anak sudah cukup

mantap untuk meneruskan ke seminari sampai akhirnya full menjadi ....

R51 : Sangat beragam. Ada yang sudah cukup mantap, ya setengah, tapi pada akhirnya mereka

umumnya cukup matang untuk mengambil keputusan untuk mau ke mana, jadi prinsipnya

adalah sebenarnya proses pembinaan dalam tingkat menengah ini adalah harus bermuara

Page 199: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

185

pada kemampuan pengambilan keputusan yang matang – pada tingkat anak. Matangnya

dalam arti bahwa ya sudah ini pilihan saya, dengan segala konsekuensi, dengan segala

resiko dan lain sebagainya. Untuk anak-anak Gonzaga adalah menentukan pilihan bidang

studi yang mau diambil, karier yang ke depan yang menjadi bayangan, yang satu dengn

yang lain berbeda. Untuk anak-anak yang seminari, ―Mereka akan menjadi iman macam

apa‖, ya kan? Menjadi pastor paroki atau menjadi pastor yang terbuka untuk macam-

macam karya, atau menjadi pastor di mana ... atau menjadi misionaris atau apa.

Semuanya itu membawa konsekuensi masing-masing, dan anak-anak diharapkan untuk

sungguh-sungguh mulai memikirkan, merenungkan, melihat kemampuan dirinya dan

seterusnya, sehingga pada waktu akhir pendidikan diharapkan mampu mengambil

keputusan dan itu keberanian dalam mengambil keputusan sebenarnya adalah tanda proses

pendewasaan. Karena kanak-kanak mungkin mengatakan, ―Oh saya mau jadi dokter.‖ tapi

itu bukan sebuah keputusan sebenarnya. Baru mimpi ya .... Bagaimana dari mimpi

mendarat sebagai keputusan. Mimpi yang ada harus dipijakkan dengan kemampuan, yaitu

plus-minusnya masing-masing orang. Ini adalah cerita yang lain. Proses pedagogi kita

mesti mengantar ke sana. Kalau proses pedagogi kita tidak mengantar ke sana, apapun

timbunan pengetahuan, apa pun yang kita berikan ke anak-anak, tidak berati banyak.

P : Di dalam pendidikan untuk seminarian ini apakah ada juga mata pelajaran filosofi atau

retorika?

R51 : Ya ... kita berikan lewat cara macam-macam.

P : Tidak khusus seperti ini ya?

R51 : Karena itu nanti di pendidikan tinggi ada. Itu di Filsafat. Paling Logika kita berikan.

P : Berapa banyak ya Romo, seminarian di sini?

R51 : Seminari ini, dari keseluruhan anak kita, 668 siswa Gonzaga, seminarisnya antara 60-70-an

anak.

P : Romo, di sini kenapa tidak membuka jurusan Bahasa, kalau memang pendidikan bahasa

cukup kuat di antara seminarian, apakah ....

R51 : Ya sebetulnya itu suatu peluang dan satu tantangan juga. Cuma kami berpikir begini, baik

IPA maupun IPS kemampuan bahasanya sungguh-sungguh harus kuat juga, nah itu yang

kami pikirkan selama ini kenapa tidak mengambil secara khusus Bahasa. Tapi itu sebuah

peluang sebenarnya, sebuah kemungkinan yang hanya sekarang ini kami masih berpikir

baik IPA maupun IPS dua-duanya kemampuan bahasa harus kuat.

P : Dan diberikan juta bahasa asing lainnya?

R51 : Bahasa Jepang, di luar kalau seminarian ada bahasa Latin, tapi itu di seminari.

P : Romo, kalau begitu, apakah di sini ada pandangan bahwa IPA lebih unggulkan, lebih

ulungkah, dibanding IPS?

R51 : Ya mungkin, tapi menurut saya tidak terlalu terasa ya. Ada, tapi tidak terlalu mencuat. IPA,

IPS itu sama jumlahnya ... malah IPS lebih banyak. IPA kami hanya 3 kelas. Di kelas XII

IPA-IPS jumlahnya sama.

P : Ketika memilih IPA-IPS, prosesnya bagaimana Romo, apakah mereka ada bimbingan

konseling dulu atau lihat nilai?

R51 : Ada tes waktu kelas X oleh guru Bimbingan Konseling, kemudian yang paling menentukan

adalah perolehan nilai.

P : Dan itu sama baik untuk seminarian maupun Gonzaga ....

R51 : Ya, perlakuannya sama.

P : Nah, kalau untuk seminarian apakah proporsi di satu jurusan lebih besar Romo, antara IPA

dan IPS, atau mungkin tidak korelasinyakah?

Page 200: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

186

R51 : Kadang lebih banyak IPA, kadang lebih banyak IPS, nggak mesti ya. Tergantung yang

masuk juga kan ya?

P : Pernah terjadi Romo, orang tua ngotot anaknya harus masuk ke jurusan tertentu?

R51 : Ada.

P : Nah kalau gitu penangananya bagaimana, apakah dikonseling juga oleh guru BK-nya atau

....

R51 : Kadang-kadang lalu dites ulang. Pernah terjadi. Ini hasil tesnya seperti ini, bagaimana? ―Ya

nantinya pengen jadi ini, pengen jadi itu ...‖ OK. Nah, itu persis kanak-kanak kan?

Pengennya itu, kemampuannya gimana?

P : Lebih sering terjadi ke orang tuanyakah, daripada ke anaknya?

R51 : Itu yang sering terjadi.

P : Untuk di pelajarna sehari-hari Romo, apakah guru-guru IPA dengan guru-guru Geografi,

Sejarah, apakah ada standar kualitas yang sama Romo, karena ada sekolah-sekolah di mana

guru-guru Fisika, misalnya, lebih sulit dicari sehingga ....

R51 : Ya kalau kesulitan dicari, memang benar. Sekarang juga lebih sulit lagi mencari guru IPS

yang bermutu. Karena apa? Karena di program-program studi kependidikan IPS, yang

masuk sendiri adalah boleh dikatakan sisa-sisa yang tidak bisa masuk ke mana-mana.

Sekarang jujur saja, tanya ke peguruan tinggi yang punya FKIP, yang untuk program studi

sosial, apakah betul orang memang sadar memilih ke sana sejak awal, berapa persen. Saya

masih punya beberapa guru yang sejak awal memilih ini dan bidang IPS, Sejarah. Ini benar,

bagus hasilnya. Tapi, kalau yang buangan, nah ini menjadi masalah. Biasanya nanti di

lapangan juga nanti menjadi masalah. Saya masih punya beberapa guru yang benar-benar

guru IPS.

P : Di dalam pendidikan di Gonzaga ini apakah ada pengenalan berbagai profesi, Romo?

Apakah bimbingan karier atau ....

R51 : O ya, ada.

P : Di dalam jam pelajaran, Romo?

R51 : Ya, jadi pelajarannya ada.

P : Oh jadi ada pelajaran itu, dua jam seminggu atau ....

R51 : Satu jam seminggu.

P : Gurunya itu bagaimana Romo, apakah dia mengikuti muridnya, muridnya naik kelas dia

juga ikut, atau ....

R51 : Nggak. Kadang ada, tapi nggak selalu. Saya apa ... membuat ya, anak-anak musti juga

menyesuaikan dirinya nanti dengan ... kelenturan untuk menyesuaikan diri, itu senantiasa

diperlukan dalam setiap proses belajar-mengajar. Kalau nanti di Perguruan Tinggi nanti

juga nggak akan selamanya ketemu sama si A saja, di masyarakat juga harus berani

bertemu dengan berbagai macam orang. Nah, skill bekomunikasi dengan berbagai macam

orang itu juga menentukan, maka ada program-program live in, outbound, ....

P : Kemudian apakah terjadi dikotomi bahwa IPA itu lebih bernalar, IPS lebih banyak

menghafalnya?

R51 : Pada dasarnya orang mempunyai image seperti itu sebelumnya, tapi saya katakan

seharusnya tidak seperti itu. Karena penalarannya berbeda. Hanya memagn benar

penalaran-penalaran matematis itu logis, sistematis dan lain sebagainya, tetapi penalaran-

penalaran ilmu-ilmu sosial itu pun juga harus sistematis. Juga logika bahasa menjadi

penting di situ, dimanfaatkan. Maka, pada akhir kelas tiga, sebagai syarat mengikuti ujian

kami menerapkan anak harus membuata sebuah paper sesuai bidangnya. Satu karya ilmiah.

Yang IPA ya IPA, terserah ya Biologi, entah Fisika, entah Kimia, dengan library research,

Page 201: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

187

dengan study tour. Kemudian yang IPS ya tentang IPS, entah itu Sejarah, entah masalah

politik, entah itu masalah ketatanegaraan, entah itu masalah apa.

P : Dan itu disidangkan atau dinilai?

R51 : Dinilai. Cuma kalau yang anak IPA kalau nggak salah disidangkan dalam konteks bahasa,

ujian bahasa, nanti ujian lisan bahasa.

P : Kalau begitu apakah berarti murid seminari akan lebih unggul Romo, karena sudah setahun

mendapat bahasa Latin, tahu bahasa lebih intensif juga ....

R51 : Agak susah digeneralisasi, tapi dalam untuk beberapa tahun terakhir memang tendensi ke

arah itu lebih nyata.

P : Romo sendiri sejak awalnya memang menjadi guru ya?

R51 : Saya memang sejak awal, sejak frater sudah menjadi guru di Kanisius, guru Agama dan staf

moderator, jadi untuk staf kita di Kolese itu kan ada yang namanya kepamongan, biasanya

meng-handle semua kegiatan kesiswaan.

P : Romo, apakah di kalangan seminarian ada pandangan juga, ―Ya sudah, tidak bisa masuk ke

mana-mana lagi, masuk ke seminari saja‖?

R51 : Saya rasa nggak ya, kalau ada seperti itu hidupnya nggak akan tahan. Karena itu orang

memilih terpaksa, bukan pilihan sendiri.

P : Kalau menurut Romo ciri khas Gonzaga itu sendiri apa Romo, yang paling unik dari

sekolah-sekolah lain?

R51 : Gonzaga sendiri adalah sebuah bentuk pendidikan yang kita terapkan sebagai bentuk

pendidikan Yesuit, di mana kalau tadi, salah satu ciri khas yang selalu saya kembangkan

adalah kemampuan anak berefleksi, merenungkan pilihan ke depan, tetap yang konkret

yang memang digeluti dengan apa kalau dalam bahasa Inggris mungkin disebut rigoritas

studi, tetapi pada tingkat anak. Nah, bagaimana ini dibentuk beraneka ragam sebetulnya,

sedemikian sehingga satu halnya adalah yang saya terus-menerus upayakan di sekolah,

sekolah itu tidak hanya sama dengan memenuhi tuntutan kurikulum saja, atau kurikulum

sendiri harus juga lebih terbuka kepada sebuah proses pedagogi yang lebih menyeluruh,

yang holistik.

Nah, proses pedagogi yang menyeluruh kan memang maunya menyentuh ranah-ranah

kognitif, ranah-ranah psikomotorik, attitude dan lain sebagainya. Bagaimana ini dibangun,

tidak cukup hanya proses belajar- mengajar di kelas saja kan? Maka, kegiatan-kegiatan

seperti misalnya outbound, live in, kegiatan retret/rekoleksi, bahkan sarasehan klasikan as a

commmunity of learners, itu juga diadakan khususnya di kelas X, kelas XI, satu tahun

sekali. Kemudian juga ada students-parents gathering seperti yang sekarang Anda bisa lihat

di ruang perpustakaan. Sebagai komunitas pembelajar. Jadi idenya adalah bagi kami,

sebagai komunitas Yesuit, kami melihat sekolah ini adalah komunitas pembelajar, dalam

bahasa Inggrisnya adalah community of learners.

Bahkan saya mengatakan kepada teman-teman guru, kita hanya akan menjadi guru yang

benar-benar guru, yang bisa dipercaya dalam memiliki kredibilitas pengajar yang kuat

kalau kita adalam pembelajar. Saya mengatakan, sekali kita berhenti belajar, ya sudah

berhentilah kita menjadi jadi guru. Ngajar yang mungkin ngajar, tapi ya sebenarnya sudah

mandek. Dan itu kan banyak terjadi di Indonesia. Maka saya selalu mendorong teman-

teman untuk juga menjadi ongoing learners, ini kan yang harus didorongkan juga kepada

anak-anak. Anda tidak cukup berhenti belajar ketika sudah mendapatkan ijazah, tetapi

harus menyiapkan anak-anak menjadi pembelajar seumur hidup, life-long learners. Nah,

membekali seperti itu saya merasa bahwa pada tingkat menengah seperti ini sebenarnya

pendekatan kita kan sciences, baik natural sciences maupun social sciences. Nah, mulailah

Page 202: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

188

anak-anak berpikir ke arah mana di sana, dengan melihat, dengan memikirkan bakat yang

lebih menonjol ke arah mana. Maka, pada tingkat remaja seperti ini tetap kita berkeyakinan

bahwa anak bisa diajak menentukan pilihan.

Anda ingat, kalau kita sistem di Amerika, itu kan setelah kelas X kita, jadi kelas XI, XII,

ini sudah college. College itu berarti sudah undergraduate program, lalu setelah kelas XII

itu sudah masuk ke graduate program. Nah, kita baru mulai ke tingkat university,

sebenarnya telat, kan? Nah, maka pada saat itu sebenarnya buat kita di Indonesia kelas XII

sudah saatnya anak berani berani menentukan pilihan ke depan, nah itu yang kita bekali.

Menentukan pilihan sekali lagi bukan sekedar, ―Oh saya pilih ini,‖ nggak. Tapi, ―Saya pilih

ini, saya punya ini, kelemahan saya ini, kemampuan ini. Saya memikirkan karier saya ke

depan ini,‖ jadi punya visi. Tanpa sadar anak punya visi ke depan. Di lain pihak yang juga

kita selalu dengungkan dalam pendidikan khas Yesuit adalah bahwa anak bukan hanya

kompeten, memiliki kompetensi akademik, tetapi juga pembentukan hati nurani,

pembentukan kemampuan menilai yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah

secara moral. Dan itu terus-menerus kita galakkan, maka seperti nyontek itu kami

menganggap ini sebagai hal yang harus dipertegas, bahwa itu tidak ada.

P : Kalau dilakukan, sanksinya?

R51 : Nilainya nol. Kalau nilai ujian nol, itu sudah nggak lulus kan? Dan itu berat, sudah sangat

berat untuk anak-anak. Di samping bahwa anak tidak hanya kompeten dalam sains, anak

juga punya kepedulian sosial, maka ada live in, maka ada bazar untuk mereka yang boleh

dikatakan tidak mengalami nasib baik, atau yang masih secara ekomonis kurang mampu

dan seterusnya, dan itu biasa kita lakukan setiap tahun. Atau peduli itu dengan donor darah,

biasanya anak-anak sendiri yang mengerakkan sendiri di sini. Lalu live in meeka tinggal di

pedesaan dan berinteraksi langsung dengan masyarakat perdesaan, dan mereka

merefleksikan hidupnya, betapa harus disyukuri. Orang Jakarta kan mudah, apa-apa kurang

melulu, tapi sekali melihat realita masyarakat, pantas banyak hal yang patut disyukuri,

menyukuri itu akan memberikan bekal juga kepada anak-anak untuk menghayati hidup

bersama dengan orang lain, tidak menjadi individualistis.

P : Apakah menurut Romo ketika anak-anak kelas XII ini siap lulus, mereka juga sudah

dengan mantap bisa menentukan akan ke jurusan mana ....

R51 : Biasanya macam-macam mengenai itu, ada anak-anak yang sejak kelas X, XI, sudah

mantap. Tapi ada juga anak-anak yang kelas XII masih bingung. Dan itu tidak soal

kepintaran akademis atau kebodohan akademis. Pinter itu juga kadang-kadang bisa

bingung. Ini bisa, ini bisa, lha mau ke mana? Yang kurang: ini nggak bisa, ini nggak bisa,

yang mana? Bingung .... Ya, menentukan mana yang paling menonjol dan mana yang

paling diminati dan mana yang sungguh. Saya kira itu masing-masing perlu proses

pendekatan pribadi, pendampingan yang pribadi.

P : Apakah murid-murid Romo di sini ada yang dari IPA kemudian masuk ke jurusan-jurusan

lainnya seperti FE?

R51 : Ya, ada. Ekonomi ada, Akuntansi juga ada. Ya memang sejak dulu saya katakan, itulah

masalahnya dnegan penjurusan. Anak IPA mau masuk k emana pun bisa, mau masuk

Ekonomi ya, Sejarah, atau apa pun. Anak IPS, mau masuk Teknik, nggak mungkin kan?

P : Kalau Romo tadi mengatakan bahwa di sekolah ini diajarkan berpikir kritis dalam semua

pelajaran. Apakah itu berarti pelajaran-pelajaran seperti PKn., Sejarah, Antropologi, apakah

itu berbeda dari yang diajarkan di sekolah-sekolah lain, mungkin di sekolah lain hanya

menghafal buku, di sini ada hal-hal yang unik?

R51 : Mereka banyak diajak untuk banyak presentasi.

Page 203: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

189

P : Banyak presentasinya, dan ulangannya bukan hanya menghafal data?

R51 : Banyak presentasi.

A5.2 Responden 52

P : Pak Purwanto, apakah di Gonzaga ini terjadi bahwa murid lebih cenderung memilih IPA

atau IPS?

R52 : Pertama, kenyataannya kebanyakan murid bahkan orang tua kalau naik ke kelas II itu

maunya ke IPA, malah ada yang kalau nggak ke IPA mendingan nggak naik. Nah ini

kebetulan berkaitan dengan suku. Yang paling sering itu adalah yang namanya anak laki-

laki Bata, biasanya orang tuanya ngotot supaya anaknya ke IPA, nggak boleh ke IPS. Masih

terjadi seperti itu. Yang kedua adalah soal minat anak terhadap yang non-IPA itu

bergantung kepada guru di kelas. Sejauh guru bisa menarik dengan gaya yang mengajar

anak akan merindukan pelajaran yang non-eksakta, dalam tanda petik mungkin sebagai

penghiburan dari padat dan mungkin rumitnya yang IPA dan kemudian ada semacam

selingan yang menghibur bagi mereka.

P : Seperti oase ya Pak?

R52 : Ya betul, tergantung gurunya, maka kalau ada jam kosong, dia bertanya, ―Kok kosong

Pak?‖ Saya bertanya-tanya ada apa seperti itu, mungkin mereka tidak mau selama berhari-

hari setiap hari yang serba eksakta, ngitung dan sebagainya itu. Ada waktu yang mungkin

barangkali semacam hiburan atau yang semacam refreshing, penyegaran dan yang lain.

P : Jadi saat mereka memilih jurusan IPA dan IPS, apakah yang IPS memilih jurusannya

memilih jurusannya karena tidak mau terlalu beratkah?

R52 : Ada, ada juga anak yang pintar dan masuk ke IPS padahal dia bisa ke IPA, tapi kalau itu

kecil. Kalau jujur, mereka lebih banyak maunya ke IPA, persentasenya itu. Nah kalau pas

kenaikan ternyata nilainya nggak bisa ya mau nggak mau kamu hanya punya dua pilihan,

kalau nggak IPA ya IPS. Kami tidak punya bahasa dan lain sebagainya.

P : Jadi apakah yang IPS ini merasa sebagai anak buangankah Pak, atau ....

R52 : Itu image, tapi bagi kami sepertinya tidak karena memang dari segi nilai memenuhi itu,

hanya memang kalau ke IPA tidak bisa karena IPA standarnya lebih tinggi daripada IPS.

Nilai IPS min. 6, kalau nilai IPA min. 6,5, maka yang tidak min. 6,5 dan itu pun tidak boleh

ada remedial lebih dari dua mata pelajaran IPA, baru dia boleh naik ke IPA. Jadi ada

semacam yang lumayan lebih dari yang ke IPS.

P : Untuk para seminariam bagaimana Pak, apakah ada perbedaaan karakteristikkah dengan

yang Gonzaga sendiri, atau ... Bapak mengajar seminari juga?

R52 : Anak seminari pagi sampai siang bergabung dengan anak Gonzaga, baru sore sampai pagi

lagi mereka di asrama dan mereka dicampur, jadi ada yang di kelas X-1, X-2, ya yang kelas

IPA dicampur. Tapi yang kelas I satu dikelompokkan di kelas X-7, dicampur dengan anak

yang non-seminari karena jumlahnya kecil, cuma 11 apa tahun ini. Nah untuk yang

seminari itu kalau sendiri, terlalu sedikit dibanding tambahan dengan tambahan yang

seminari.

P : Apakah guru-guru Gonzaga dan Wacana Bhakti saling mengajar di tempat yang ...

R52 : Ada guru-guru Wacana Bhakti yang mengajar di Gonzaga dan juga sebaliknya yang

membantu untuk kelas 0 atau kelas KPP.

P : Kalau guru bahasa Latinnya ada sendiri Pak?

Page 204: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

190

R52 : Dari mereka sendiri, bukan dari kita karena di sini tidak ada, adanya bahasa Inggris dan

Jepang. Bahasa Jepang untuk kelas X wajib, kelas XI hanya untuk IPS. Tadinya mau

diberikan Mandarin tapi akhirnya diberikan yang lebih siap, dalam arti juga gurunya, guru

Jepang kami lebih siap daripada Mandarin.

P : Kalau menurut Bapak, bagaimana orang tua dan masyarakat mempengaruhi anak saat

mereka harus memilih jurusan mereka?

R52 : Kalau saya bertanya kepada anak, mereka cenderung melihat apa yang dia capai, artinya

kalau memang dia harus IPA ya dia IPA, kalau IPS ya IPS. Tapi terkadang keluarga yang

notabene, menekankan kamu harus ke IPA ....

P : Berati anak lebih realistis ya Pak?

R52 : Ya, kan ada yang namanya tes minat dan bakat .... Dia tahu kemampuan saya di sini, tapi

orang tua tidak mau tahu, pokoknya harus. Atau ada juga yang katanya supaya gampang

milih jurusan Perguruan Tinggi, IPA kan katanya boleh bebas ke mana-mana?

P : Ya. Saat anak memilih jurusan IPA atau IPS apakah anak biasanya sudah mengerti Pak,

mereka akan kuliah ke jurusan mana?

R52 : Biasanya BP membantu untuk menyadarkan itu selama setahun mereka mengikuti pelajaran

BP per minggu selama 1 jam, untuk melihat saya lebih ke jurusan itu apa IPA atau IPS

dengan tadi melihat: satu nilai, dan dua tes bakat dan minat yang diberikan kepada mereka.

P : Berarti kata akhirnya dari guru sendiri dengan berdasarkan nilai?

R52 : Kami tidak memberikan kata akhir, tapi kalau kamu bisa ke IPA, bisa ke IPS, kamu boleh

memilih. Tapi kalau hanya bisa ke IPA kamu harus ke IPA atau sebaliknya. Maka, yang

menentukan adalah nilai.

P : Tapi apa mungkin Pak, ada anak yang bisa ke IPA tapi tidak bisa ke IPS?

R52 : Bisa. Dan sebaliknya. Ada anak yang hebat di eksakta kan, tapi menghafalnya malas? Dia

tidak bisa ke IPS, tapi bisa ke IPA tok.

P : Apakah di sini terjadi dikotomi Pak, bahwa IPA itu lebih bernalar, IPS itu lebih menghafal?

R52 : Kalau demikian, image itu kan mau nggak mau mempengaruhi mereka ya, dan

mempengaruhi guru juga. Kayak gurunya kalau mengajar di IPA ya happy, senang,

gampang, lancar, tapi kalau di IPS menjadi sulit, anak males belajar, cenderung ramai.

P : Gurunya sendiri punya image yang seperti itu?

R52 : Ya. Nggak semuanya ya, tapi cukup mewarnai.

P : Apakah ketika guru memberikan ulangan, apakah PKn., Sejarah, itu kan di sekolah-sekolah

lain umumnya cuma menghafal buku, apakah di Gonzaga ini berbeda apakah lebih

menganalisiskah atau bagaimana?

R52 : Kami kalau ulangan harian cenderung esai, uraian, jarang yang kemudian memberikan

pilihan ganda. Ulangan umum campuran antara yang PG, uraian dengan esai. Sehingga,

saya percaya betul jika dalam uraian anak akan terpaksa harus tidak hanya menghafal A, B,

C tapi juga menghafal. Juga tugas pembuatan makalah, mungkin paper kecil bagi mereka

ada juga, atau presentasi, guru memberikan topik, anak mencari bahan.

P : Itu pun menjadi tagihan-tagihan ya?

R52 : Betul .

P : Berati dikondisikan supaya anak tidak menghafal.

R52 : Ya, tapi juga akhirnya di kelas XII terpaksa menghadapi UN yang hanya bisa memilih A,

B, C atau D. Kadang-kadang prosesnya seperti ini tapi kemudian terpotong yang seperti ini

kan kasihan anak.

P : Apakah di kelas XII itu akhirnya anak menjadi terdemotivasi sehingga untuk, ―Ah, ya

sudahlah, Sejarah tidak ada UN-nya.‖

Page 205: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

191

R52 : Kembali kepada gurunya Pak, ya tadi kalau gurunya bisa membuat anaknya rindu bukan

hanya semata-mata ... ya tadi kayak semacam oase tadi. Maka anak IPA, olahraga jangan

dihilangkan menjelang ujian seperti ini. Dia akan merasa lebih stres, kemudian tidak ada

pelajaran olahraga, tidak ada pelajaran non-eksakta. Itu masih perlu.

P : Kalau tadi Bapak mengatakan kan ada suku tertentu atau orang tua yang lebih ini, apakah

menurut Bapak ada juga faktor orang tua yang lebih berpendidikan atau lebih berada akan

lebih memberikan kebebasan kepada anaknya ....

R52 : Kayaknya ya. Ini menurut saya, mungkin untuk membayar orang tua yang nggak masuk ke

IPA anaknya dipaksa masuk ke IPA, sekarang anak saya harus yang tak giring ke IPA dan

apa yang dulu saya cita-citakan harus dicapai anak saya. Ada beberapa yang seperti itu.

P : Kalau ada hal semacam itu, apakah orang tuanya juga dikonseling Pak?

R52 : Ya, mau nggak mau, karena anaknya nggak mampu dan nggak berminat, dipaksain ke sini,

ada yang sampai dipaksakan orang tuanya, akhirnya nilainya jatuh sampai akhirnya pindah.

Ada yang sampai sengaja menjatuhkan nilai-nilainya, supaya orang tuanya tahu ini lho,

saya nggak ada bakat di sains. Aneh, tapi ya nyata, ada yang seperti itu.

P : Kalau dari status ekonomi?

R52 : Kayaknya memang ada korelasinya ya. Orang semakin berada semakin memaksa anaknya.

P : Dari segi gurunya nih Pak, apakah menurut Bapak untuk menjadi guru di sini

kualifikasinya sebanding, menjadi guru IPA maupun guru IPS?

R52 : Sama, kami punya standar untuk merekrut guru yang dikelola dengan HRD-nya. Ya di

kami para romonya yang mengelola itu, menyeleksi. Ada standar kesehatan dan ada juga

standar untuk akademik. Kami juga tahu bahwa anak-anak kami kadang-kadang beda

dengan anak yang lain apalagi dalam bentuk keberanian. Maka kalau dia melihat guru

kurang siap, ini dari sumber-sumber keisengan bagi anak. Pernah ada dari Perguruan Tinggi

di Jakarta, sejam mengajar, lalu dia mundur karena dia nggak kuat dia mundur karena

nggak kuat dengan keadaan Gonzaga. Maka, nggak cukup bekal akademik, juga harus kuat

mental untuk mengajar di sini.

P : Menurut Bapak ciri khas Gonzaga yang paling unik apa Pak?

R52 : Saya rasakan yang namanya kekeluargaan itu sangat penting ya baik guru, karyawan,

maupun anak-anak. Pengalaman yang pernah saya ada anak kami kecelakaan dari Carita.

Itu mereka bergantian menjenguk ke rumah sakit tanpa pandang kelas.Itu suatu pengalaman

yang sangat real ya. Yang kedua kalau ada acara yang ada anak yang kesulitan ekonomi

yang nggak bisa bayar, mereka patungan. Ini suatu yang real, kekeluargaan dan kerjasama

itu yang ada di tempat ini patut dibanggakan.

P : Bagi para seminarian, waktu mereka ini dijuruskan di kelas XI, XII, apakah mereka ada

beda kualitasnya atau beda kemampuan penalarannyakah atau bagaimana Pak?

R52 : Karena mereka lebih dulu setahun di tempat ini tentu kedwasaannya cenderung mereka

lebih matang, baik dari segi usia, juga psikologis.

P : Menurut Bapak, apakah pemerintah punya kepentingan-kepentingan dengan pendidikan

yang seperti sekarang ini, di mana SMA kan sepertinya kan IPA itu lebih dihargaikan

daripada IPS ....

R52 : Kayaknya cukup jelas itu, kabinet akan sangat diwarnai dengn menterinya itu dari lulusan

mana. Misalnya pada masa Habibie, sangat kental sekali bahwa pelajaran yang di sekolah

ingin dijuruskan hanya kepada yang berbau teknologi. Yang sosial kemudian dianggap

kurang penting, hanya yang berbau teknologi, yang berbau IPA, yang dianggap penting.

Maka ketika menteri pendidikannya Fuad Hassan, seorang psikolog, akan lebih seimbang

yang namanya IPA dan yang namanya non-IPA.

Page 206: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

192

P : Ketika anak-anak mengambil studi di Perguruan Tinggi apakah mereka sudah melihat

dengan jelas saya mau jadi ini atau apa-apa profesi saya yang jelas kemudian karena profesi

ini saya ambil jurusan yang mana atau, sekarang kuliah dulu nanti kerja urusan lain?

R52 : Yang terbanyak mereka mantap saya mau ngambil ini, kenapa karena dari bagian BP itu

ada pendampingan yang sangat intens sehingga dia di kelas XII nanti dia digiring, bagi saya

yang paling pas apa sih. Kemudian dia menulis di sebuah lembar itu saya mengambil ini di

Perguruan Tinggi. Setelah 3 tahun dia kan mengatakan yang paling tepat adalah ini, ini

yang paling banyak terjadi pada anak kami. Kemudian orang akan jelas akan ke mana

tujuan saya, apa yang perlu saya ambil. Itu yang terbanyak.

P : Menurut Bapak, dari kurikulum saat ini, apa yang paling penting untuk diperbaiki diubah

dari kurikulum kita?

R52 : Yang terpenting adalah jumlah mata pelajaran yang harus ditanggung anak saya lihat sangat

banyak, di kelas X sampai 17 pelajaran setiap minggunya. Saya rasa perlu adanya

pemangkasan. Gampangnya Mulok., apa sih pengaruhnya untuk anak? Kenapa nggak

digabung di pelajaran komputer, karena nanti ada ekskul., atau nanti ada pendalaman,

pengayaan, nggak usah pakai Mulok. Tapi Pemda DKI nggak mau tahu, yang penting ada

Mulok. Mulok.-nya apa terserah, ini kan hanya mau dikerjakan tapi tidak mau tahu ....

Bahkan di ujian, Mulok. itu dikembalikan ke sekolah, terserah sekolah mau diuji atau

nggak ini juga boleh kayak gitu, kalau mau dikerjakan konsekuen sampai akhir semua itu

ada ujiannya.

P : Bagaimana dengan PKn. dan Sejarah?

R52 : Itu sebuah pendasaran untuk menanamkan nilai-niali ke depan karena itu ada yang betul

masyarakat yang seperti itu.

P : Menurut Bapak, mengapa orang tidak menghargai pelajaran PKn. dan Sejarah?

R52 : Apa ya alasannya, mungkin juga sudah bergantung kepada negara juga, negara pun nggak

menghargai sejarah, peninggalan digusur, diganti dengan mall. Yang lebih menghargai

malah orang luar kan? Yang kedua juga kembali, soal guru, banyak guru Sejarah, mungkin

saya juga, yang utama melulu hafal tahun, hafal fakta, tapi tidak mengeksplorasi yang

namanya penalaran.

P : Menurut Bapak tujuan idealnya dari belajar Sejarah apa Pak?

R52 : Sebenarnya dari kami ya satu itu, penanaman jiwa bahwa saya bangga sebagai bangsa

Indonesia yang seperti ini, beda dari bangsa lain. Yang kedua, mencintai bangsa sendiri,

menanamkan jiwa kebangsaan. Kalau nggak tahu, dia mau mencinai apa, kalau nggak tahu

bahwa seluk-beluk bangsa sendiri? Nah, kembali lagi dengan pengemasan pembelajaran di

kelas, mempengaruhi bagaimana anak-anak mempunyai sikap dan perilaku.

Di dalam kurikulum Sejarah kita, dari materi manusia purba, loncat langsung ke Indonesia,

tidak membahas budaya lokal maupun dunia, nah ini cenderung menghasilkan sikap right

or wrong is my country.

P : Jadi tidak melihat sesuatu dalam konteks ya Pak?

R52 : Ya, semuanya serba Indonesia-sentris.

A5.3 Responden 53

P : Pergumulan Agus untuk masuk seminari, apakah sudah lama sebelum lulus dari SMP?

R53 : Ah, nggak, saya baru masuk terakhir-akhir .... udah kelas III baru saya tahu ada seminari.

Awalnya nggak sengaja aja, jadi kan temen saya ngajak saya ... tapi dia nggak diterima,

Page 207: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

193

malah saya yang diterima. Berhubung saya pada waktu itu ngaret, saya nggak daftar ke

sekolah lain, saya masuk sini.

P : Jadi ada faktor nggak ke sekolah lain juga ya?

R53 : Ya.

P : Orang tua nggak keberatan?

R53 : Nggak. Justru pertama, ayah saya setuju banget.

P : Agus berapa bersaudara?

R53 : Dua, ada satu kakak laki-laki juga.

P : Apakah Agus sudah yakin akan tetap di jalur ini sampai jadi imam?

R53 : Nah waktu itu saya yakin tapi sekarang ini saya jadi nggak yakin karena saya udah di kelas

IPA tuh sibuk banget, jadi nggak sempat mikirin panggilan segala macem.

P : Jadi sebenarnya bukannya sudah memutuskan akan ke jalur lain, tapi karena kesibukan

studi, jadi tidak sempat menggumulkan lebih serius?

R53 : Ya, karena kesibukannya aja, jadi nggak yakin aja ....

P : Menurut Agus, di sekolah ini, baik Gonzaga maupun Wacana Bhakti, apakah ada jurusan

yang lebih dihargai, lebih prestisius?

R53 : Ada, pasti. Di sini pun ada. Cenderung anak IPA itu mandang anak IPS kurang kompeten,

karena mungkin ketika, contoh kasus aja, ketika anak IPA sedang sibuk-sibuk mau

besoknya mau ulangan Kimia, belajar sampai jam 12-jam 1, tapi anak-anak IPS-nya malah

nyantai-nyantai, baca komik. Nah itu, ulangan pun mereka nggak berniat untuk belajar.

Karena itu anak IPA tuh, walaupun nggak semuanya, ada yang memandang, anak IPS tuh

kurang ini ... kurang disiplin.

P : Perbandingannya dari anak seminari lebih banyak masuk IPA atau IPS?

R53 : IPS. Tapi pebandingannya kecil, paling 5:4 deh.

P : Nggak terlalu signifikan ya. Waktu di KPP atau di kelas I apakah sudah terlihat bahwa IPA

lebih disiplin, lebih sibuk?

R53 : O ya, pasti. Kita kan lihat kakak kelas. Jadi setiap tahun begitu.

P : Kenapa bisa terjadi sikap yang berbeda begitu ya?

R53 : Karena di IPA memang kita dituntut menuntut untuk mesti serius, gitu. Kalau kita nggak

serius, kita nggak bisa.

P : Menurut Agus bener nggak kalau saya katakan bahwa terjadi dikotomi, IPA itu lebih

bernalar, IPS itu lebih menghafal?

R53 : Ya, saya sih mikirnya gitu, karena secara fisik saya melihat anak IPS itu cuma membaca.

Seperti Sejarah, Ekonomi, itu kan cuma membaca sedangkan kalau kayak Kimia, Fisika,

kita nggak cuma ngafal rumus tapi kita juga harus ngerti kan?

P : Nah kalau gitu apakah ketika anak IPA dikasih soal anak IPS mereka akan lebih bisa

dibandingkan dengan anak-anak IPS dikasih soal anak IPA?

R53 : Oh pasti, anak IPA bisa ngerjain soal anak IPS. Jadi anak IPS juga suka minta diajarin juga

ke IPA kalau soal-soal Matematika.

P : Nah, kalau soal-soal yang lain? Pelajaran-pelajaran yang IPA nggak dapet nih kayak

Sosiologi, dikasih ke anak IPA, anak IPA akan lebih bisa membuat daripada anak IPS

dikasih soal-soal ....

R53 : Nggak tahu juga ya karena nggak pernah ... kecuali kalau Sejarah, Sejarah kan dua-duanya

ada. Seharusnya kan idealnya IPS rata-rata nilainya lebih bagus, tapi kenyataannya di kelas

II anak IPA lebih bagus nilai-nilainya.

P : Kalau begitu, terjadi penalaran nggak sih di IPS?

R53 : Mungkin di Sosiologinya kali. Ya, Sosiologi aja.

Page 208: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

194

P : Menurut Agus, apakah masa di KPP membantu untuk studi di IPA ini?

R53 : O, ngebantu banget.

P : Ngebantunya dalam hal apa?

R53 : Ya misalkan contoh kecilnya, di Matematikan kan ada metode eliminasi, substitusi ... itu

kan SMP udah belajar itu dikit, nah di KPP itu kita udah belajar itu. Tapi nggak hanya itu,

jadi pelajaran kelas I kita pelajarin, sedangkan nanti kita udah masuk kelas I tinggal

mengulang, jadi gampang.

P : Bobot yang paling besar di KPP itu apa?

R53 : Jam yang paling banyak itu kalau pas jam 4 angkatan saya, KPP itu kayaknya pelajaran

eksak.

P : O, jadi bahasa Latin itu nggak terlalu banyak?

R53 : Nggak. Bahasa Latin itu juga banyak, ada 4 jam seminggu.

P : Kalau yang eksak?

R53 : Kalau yang eksak kalau digabung, Mat, Fisika, semua itu bisa 10 jam seminggu. Tapi yang

tahun ini beda. Bahasa asing tuh bisa 7 jam seminggu dan bisa 4 jam berturut-turut.

P : Agus sendiri, apakah sejak SMP dulu sudah tahu akan masuk ke IPA?

R53 : Waktu di SMP, nggak, belum mikirin.

P : Agus kenapa memilih IPA kalau begitu?

R53 : Sebenarnya saya nggak terlalu suka dengan pelajaran eksak dan juga nggak suka sama

sains, saya justru lebih suka malah suka belajar Akuntansi-Ekonomi gitu, tapi kan gitu pas

kelas I saya lihat anak IPA-nya pada disiplin-disiplin, giat-giat belajar sedangkan anak IPS-

nya pada main-main, jadi itu. Saya mengincar disiplin dan ketekunannya.

P : Jadi karena bobot pelajarannya, anak IPS terkondisi untuk lebih nyantai ya?

R53 : Maksudnya?

P : Karena kondisi bobot pelajaran lebih tinggi maka anak IPS terkondisi untuk lebih nyatai

ya?

R53 : Ya, agak ngiri juga sih.

P : Kalau orang tua masih memaksa nggak kamu harus IPA?

R53 : Nggak, nggak pernah seperti itu.

P : Kalau dilihat dari guru-gurunya, antara guru IPA dan guru IPS, apakah ada karakteristik

masing-masing bidang studi pada gurunya? Mungkin yang satu lebih tegas ....

R53 : Mungkin secara garis besar sih nggak ya, semuanya pada dasarnya guru itu baik, dan bisa

bersosialisasi dengan murid. Ya mungkin ada satu-dua orang yang terlalu kritis ya

orangnya ....

P : Merasa dibedakan antara seminarian dan murid Gonzaga lainnya?

R53 : Nggak pernah ada.

P : Apa ciri khas sekolah ini yang paling membanggakan buat Agus?

R53 : Komunitasnya siswanya, karena ini sekolahnya memang beda banget ini berbeda dengan

sekolah lain. Nggak hanya intelektual, tapi juga moral diajarin, segala macem udah diajarin.

Kita ... menyontek udah diajarin supaya nggak menyontek. Kita udah diajarin supaya

bersosialisasi, contohnya adik kelas dan kakak kelas juga saling menyapa. Itu ciri khasnya.

Misalnya juga kesadaran kalau pake handphone nggak di depan orang lain, di sini kita juga

punya kesadaran nggak membuat kesenjangan ....

P : Sudah tahu sama tahu gitu ya?

R53 : Ya.

P : Menurut Agus, apa yang paling mendesak untuk diperbaiki dari kurikulum Indonesia?

Page 209: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

195

R53 : Pelajarannya cukup yang inti-inti aja, jadi kalau IPA ya cukup eksaknya aja, nggak usah

kayak PKn. atau bahasa Indonesia. T‘rus pakai moving class.

P : Kalau menurut Agus, apakah Sejarah dan Geografi itu ada gunanya?

R53 : Buat saya sebagai anak IPA sih Sejarah nggak diperlukan di IPA, tapi yang disayangkan

kenapa Geografi itu ada di IPS tapi nggak ada di IPA, karena Geografi kan berhubungan

dengan sains juga.

P : Teman-teman Agus dan kakak-kakak kelas yang di IPA ini apakah ketika memilih kuliah

apakah juga jurusannya sesuai dengan jurusan IPA atau ke jurusan-jurusan IPS?

R53 : Nah itu, saya banyak nemuin jstru masuk IPA ada yang masuk Akuntansi, Bisni, banyak

yang begitu. Malah nggak ada yang masuk Kimia, Bioteknologi.

P : Kalau begitu buat apa dulunya ambil IPA ya?

R53 : Ya mungkin kayak saya ...

P : Untuk disiplinnya?

R53: Ya, atau banyak juga yang masuk IPA karena gengsinya, maka itu di IPA nih banyak yang

remedial, temen-temennya.

P : Nah kalau begitu apakah anak IPS ini merasa seperti anak buangan nggak?

R53 : Nggak juga sih.

P : Ketika dari IPA kemudian masuk kuliah ke jurusan yang bukan IPA, apakah karena mereka

sudah bisa melihat dengan jelas mau mendalami profesi apa ....

R53 : Ada yang dari IPA masuk ke Akuntansi, Bisnis, itu karena mereka ngincer kan itu masuk

lapangan kerja yang luas, atau ada juga yang disuruh orang tuanya ya kurang lebih seperti

itu.

P : Agus sendiri ada panggilan tertentu setelah menjadi imam nanti, untuk melakukan karya

tertentu?

R53 : Ya kalau saya sih nggak jauh-jauh paling saya sih, kerja di tempat-tempat sederhana gitu,

karya khusus di tempat-tempat kecil gitu.

A5.4 Responden 54

P : Santo sekarang ada di tahun ke-2 di seminari ya? Sebelumnya dari SMP mana?

R54 : Saya dari SMP Negeri 63.

P : Kemudian kenapa masuk seminari? Apa karena panggilannya sudah jelaskah atau

bagaimana?

R54 : Awalnya ada frater, dia cerita-cerita, ―Nanti mau ke mana?‖ t‘rus dia nawarin masuk

seminari. Saya belum tahu seminari itu apaan. Itu kelas 3 semester 2 tuh. Dia cerita

seminari itu tempat pendidikan calon imam, ntar di sini ada macem-macem deh, dapet

temen yang enak gitu deh, ada asrama, akhirnya saya tertarik masuk seminari, ya udah pada

akhirnya di akhir kelas III saya daftar ke seminari ikut gelombang 2 di Wacana Bhakti.

Sebelumnya sih maunya ke Manado kan bareng dia, ikut, tapi katanya kejauhan terus nggak

jadi, terus belum daftar ke mana-mana, terus rencananya mau ke Malang, nggak jadi lagi,

terus ke Bogor nggak jadi, terus katanya di Jakarta lebih bagus di Wacana Bhakti kan, udah

gitu katanya tesnya lebih menantang, Matematikanya, bahasa Inggrisnya. Ya udah ke

Wancana Bakti aja, gelombang 2. Sebenernya agak takut juga karena gelombang pertama

tuh dari 80 yang diterima cuma 19, saya ikut gelombang 2 untungnya diterima gitu.

P : Orang tua nggak masalah?

R54 : Nggak masalah asal pilihannya saya bisa tanggung jawab sendiri, ya ambil aja.

Page 210: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

196

P : Santo sendiri berapa bersaudara?

R54 : Tiga.

P : Yang keberapa?

R54 : Satu.

P : Adik-adik ....

R54 : Dua-duanya laki-laki.

P : Waktu ke seminari sudah tahu ya bakal empat tahun di seminaris?

R54 : Tadinya belum tahu. Waktu tes di sini baru tahu.

P : Tahunya setelah masuk?

R54 : Pas tes.

P : OK. Nggak apa-apa tuh, nggak masalah?

R54 : Ya.

P : Dan setelah ini mau lanjut ke mana nih, apakah terus menjadi imam ....

R54 : Ke seminari tinggi.

P : Kalau sekolah di tahun nol itu di KPP itu dapetnya pelajaran apa aja?

R54 : Sebenernya sama aja sih dapetnya kayak pelajaran umum, paling tambahannya kita dapat

Pengantar Kitab Suci, Perjanjian Lama, Perjanjian Baru, bahasa Latin, Logika Bahasa, t‘rus

ada lagi Liturgi, Metodologi Belajar, terus apa lagi ...

P : Seminggu berapa jam pelajaran?

R54 : Sama kayak Gonzaga.

P : Yang paling banyak apa?

R54 : Yang jamnya banyak-banyak tuh bahasa Latin, Kitab Suci, Fisika, Matematika ....

P : Pelajarannya itu sedalam apa? Apakah membantu waktu masuk ke Gonzaga?

R54 : Kita kan dari berbagai macam latar belakang. Itu untuk membantu kita supaya sama

pengertiannya, juga jadi masuknya gampang jadi ngebantu juga. Materinya ngulang yang

SMP, tapi juga masuk ke materi kelas I SMA-nya.

P : Menurut Santo apakah di sini terjadi ada jurusan yang lebih unggul atau lebih difavoritkan

antara IPA dan IPS?

R54 : Kalau seangkatan sih sama aja, dia cuma lihat kemampuan dan minatnya. Kalau memang

minatnya di IPA, tapi kemampuannya pas-pasan, didukung rajin, dia bisa masuk.

P : Jadi tidak dilihat jurusan ini lebih hebat daripada yang ini?

R54 : Nggak, dilihat aja kita mampunya di mana, minatnya di mana, gitu.

P : Berarti, apakah tahun ke-nol itu membantu untuk penjurusan ke IPA/IPS dan untuk studi ke

kelas XI dan XII?

R54 : Kalau buat saya sih, kan saya jurusan IPS nih, cukup membantu juga sih apalagi pelajaran

bahasa Latinnya kan, banyak dari Sosiologi juga dari apa sih Sejarah, Geografi pasti pakai

bahasa Latin kan ada ....

P : Pelajaran sorenya sekarang berapa lama?

R54 : Satu setengah jam. Satu jam lima belas menit deh. Tiga kali seminggu, Senin, Selasa,

Kamis.

P : Pelajarannya apakah masih sama?

R54 : satu jam setengah

P : Beda. Kalau KPP tuh Pengantar Kitab Suci, bahasa Inggris, bahasa Latin. Kelas I bahasa

Latin, Tafsir Perjanjian baru, bahasa Inggris. Kelas II bahasa Inggris, bahasa Inggris, Tafsir

Perjanjian Lama. Kelas III Pendalaman Imam, bahasa Inggris, bahasa Inggris juga.

P : Sekarang kan Santo sudah mau kelas III ya, pergumulannya menjadi imam bagaimana,

apakah akan melanjutkan pendidikan ke calon imam atau bagaimana?

Page 211: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

197

R54 : Kalau dilihat, dari angkatan saya kan tadinya 25, sekarang jadi 18.

P : Selebihnya ke mana?

R54 : Ya itu, beda jalan. Ada juga yang dikeluarkan karena tidak memenuhi tuntutan. Kalau

sekarang sih pergumulannya belum mulai nampak. Apakah akan terus atau ke mana, kuliah

ke mana, saling cerita. Cuma paling masih yang bercanda-bercanda gitu doang.

P : Di antara teman-teman yang di Gonzaga, bukan yang ikut KPP, apakah sikap terhadap IPA

dan IPS itu sama saja, seperti teman-teman yang di KPP?

R54 : Di antara teman-teman waktu kelas I sih lihatnya mereka lebih cenderung ke IPA sih.

Mereka mereka pikir, wah prestisnya lebih tinggi kan, jadi pada ke IPA, tapi sekarang

kabarnya nilainya pada di bawah standar.

P : Kenapa sih mereka sampai ada presepsi seperti itu? Santo melihat nggak, kenapa ....

R54 : Aku sih ngeliatnya ya, pertama kalau dari pandangan dari mereka yang saya perhatiin, wah

lebih keren kalau masuk IPA. Kalau dilihat dari cewek-cewek juga, ―Wah IPA, keren.‖ Ada

juga yang memandang kalau IPA kan nanti jurusan kuliahnya lebih gampang, kalau IPS

kan terbatas.

P : Ketika Santo lulus SMP apakah sudah memutuskan akan masuk IPA atau IPS?

R54 : Belum sih, tapi waktu itu guru saya udah nawarin, kayaknya cocoknya di IPA, dan awalnya

juga memang condong ke IPA-nya cuma pas masuk dari KPP ke kelas I berubah ke IPS,

mungkin karena pembentukan di KPP dan di kelas I-nya.

P : Betul nggak kalau saya katakan ada dikotomi bahwa IPA itu lebih bernalar IPS lebih

menghafal?

R54 : Nggak juga sih, soalnya di IPS kita bernalar juga, misalnya Sosiologi, kalau cuma modal

ngafal doang kita nggak bisa ngapa-ngapain, nggak bisa menganalisis suatu permasalahan

kan dari IPS, dan juga sebaliknya dari IPA, kalau mereka tidak menghafal rumus, atau di

Biologi kan, mereka juga nggak bakalan bisa.

P : Berati kalau anak IPA dikasih soal IPS, apakah mereka juga belum tentu bisa buat?

R54 : Ya.

P : Begitu juga sebaliknya?

R54 : Ya.

P : Kalau guru-gurunya misalkan kita kelompokkanlah ada guru-guru IPA, guru-guru IPS,

apakah ini sama kualitasnya atau ada kelompok guru yang dipandang lebih berkualitas ....

R54 : Tergantung sih dari setiap ... ini saya kurang tau, tapi memang ada guru yang kualitasnya

kurang menonjol, lebih ini. Istilahnya kalau pelajaran dia jadi butuh persiapan lebih

banyak. Ada juga sih ....

P : Baik. Terima kasih atas waktunya.

A6. Wawancara di SMA Kristen Ketapang I

A6.1 Responden 61

P : Di SMA kan ada tiga jurusan ya Bu, IPA, IPS, Bahasa. Tapi di antara ketiga jurusan itu ...

R61 : IPA kelihatan lebih unggul.

P : Unggul dan juga difavoritkan ya Bu. Walaupun anak tidak mampu masuk IPA tapi tetap

ngotot masuk IPA. Menurut pengalaman Ibu dari 22 tahun mengajar, kenapa hal itu bisa

terjadi?

Page 212: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

198

R61 : Kalau menurut saya yang selama ini terjadi kenapa kok menjadi favorit tetap di IPA, karena

dilihat secara umum ya, secara umum, walaupun kenyataannya belum tentu, kalau di

jurusan IPA itu untuk kariernya ke depan itu katanya jauh lebih menghasilkan.

Penghasilannya jauh lebih tinggi, itu secara umum. Nah kemudian yang kedua ada peluang

kalau dia nggak memungkinkan untuk masuk ke IPA bisa masuk ke IPS.

P : Untuk kuliahnya?

R61 : Untuk kuliahnya, bidangnya jauh lebih banyak pilihannya. Tapi yang utamanya, tetap

karier ke depannya lebih menjanjikan. Ya mungkin sama gengsinya juga, karena merasa

begini, merasa posisi IPA lebih tinggi karena masuknya lebih susah kan, dan pelajarannya

kenyataannya memang jauh lebih susah. Nah, itu jadi gengsinya lebih tinggi.

P : Mengenai persepsi IPS sebagai ―orang buangan‖ kemudian gengsinya lebih tinggi, itu ada

di murid ya Bu?

R61 : Ya.

P : Kalau di antara orang tua murid apakah juga ada?

R61 : Kayaknya sih ada juga, gurunya aja secara tidak sadar ada memperlakukannya juga begitu.

―Coba kalau kamu nggak masuk di IPA, di IPS aja‖ kan seolah-olah seperti dapat ... kan

seolah-olah, ya udah nggak dapat di mana-mana, ya udah kamu ke IPS aja gitu,

kenyataannya begitu diberlakukan seperti itu. Memang juga kayaknya nggak fair juga,

kayak sekarang masuk IPA harus tes, nah itu kan menandakan kayak saya harus dengan tes.

Sebenarnya tujuannya dari sekolah itu adalah untuk menjaga supaya jangan anak-anak

berlomba masuk IPA tapi nggak mampu, akhirnya kita melalui tes. Kalau mau fair

sekarang IPA dites, IPS dites, tapi nggak nggak efektif kalau IPS juga dites, akhirnya cuma

IPA-nya aja ....

P : Jadi selain nilai rapor ada tes juga Bu? Tesnya apa saja Bu?

R61 : Empat pelajaran: Matematika, Fisika, Kimia, Biologi. Kenapa? Karena kalau ini

menyangkut masalah kurikulum, penilaian, tugas itu masuk ke penilaian. Saya mau ambil

murninya nilai. Kalau dia di kompetensinya itu secara murni. Kita ambil indikator sebagai

dasar yang harus dia kuasai masuk jurusan itu. Itu diadakan setelah semester 2, sebelum

naik ke kelas XI. Nah itu sebenarnya udah kelihatan bahwa kita udah ngerendahin IPS

sebenarnya. Iya dong, secara tidak sadarnya, padahal tujuan kita nggak gitu kan

sebenarnya?

P : Atau apa karena di IPA ini ada dituntut penalaran ya Bu? Apakah memungkinkan kalau di

IPS itu tidak dituntut penalaran dan analisis yang kuat, sehingga anak yang tidak kuat

menghafal jadi susah di IPS, mungkin ada anak yang jago di hitungan angka tapi dia nggak

mampu untuk menganalisis fakta-fakta sejarah misalnya, kan bisa aja dianya dikatakan

mampu masuk IPA tetapi tak mampu masuk IPS. Ini bagaimana Bu, apakah karena iklim

pelajarannya sendiri yang seperti itu Bu?

R61 : Ya nggak juga sih, karena sebenarnya karena IPS juga istilahnya menjanjikan itu secara

tidak langsung jurusan itu menjanjikan atau tidak itu berpengaruh kan? Ke depannya kan,

anak-anak udah bisa berpikir bahwa kalau ambil IPS arahnya itu nanti mau ambil jurusan

apa itu nanti jelas, berkaitan.

P : Maksudnya?

R61 : Berkaitan Perguruan Tinggi.

P : Dari IPS udah pasti Ekonomi.

R61 : Ya, ke mana-kemana, walau katanya bisa kekedokteran tapi itu kan nggak mungkin lah.

P : Nggak mungkin ya ....

R61 : Ya gitu-gitu, jadi udah jelas anak-anak udah ada tuh pemikiran dari kelas satu udah ada.

Page 213: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

199

P : Atau apa itu karena mereka sendiri belum jelas saya mau ke mana?

R61 : Nah itu ada di dalam itu bisa terjadi, maka dia cari amannya ambil IPA, supaya peluangnya

ambil IPS itu masih bisa.

P : Dan banyak Bu, kayak gitu mungkin cukup banyak ya?

R61 : Ada banyaklah, makanya tergantung dengan pengarahan awalnya ya .... Karena

kenyataannya sekarang anak-anak IPA itu banyak yang ambil IPS untuk kuliahnya. Ada

kayak gitu karena dia pikir belum jelas mau ke mana gitu ngambilnya, IPA dia kan bisa.

Kita kan belum ada di Indonesia, kalau jurusan IPS itu nanti kuliahnya di mana dan

pekerjaannya itu nanti apa, itu bisa menjadi dasar yang jelas. Selama ini kan belum ada

jalur yang seperti itu, dan membuat jadi nggak jelas di sininya kan? Jadi orang membuka

Perguruan Tinggi kan nggak menganalisis kebutuhan apa di masyarakat, pekerjaan apa

yang cocok, kebutuhan-kebutuhan itu, jadi penyalurannya gampang, sampai sekarang kan

nggak jelas gitu. Akhirnya memang yang cuma ambil IPS, ambil misalnya bidang

manajemen membludak, kayak itu nanti ambil hukum nanti membludak, akhirnya

masuknya ambil pekerjaan yang mana-mana nggak jelas. Pekerjaannya sih, menurut saya.

P : Di sekolah ini, apakah peranan guru BK signifikan dalam membantu murid menentukan

masuk jurusan mana?

R61 : Peranannya ya cukup signifikan lah.

P : Dibanding orang tua?

R61 : Orang tua ... justru kandang-kadang kita bisa membantu menjembatani anak dengan orang

tua. Kadang-kadang kan pikiran orang tua masih berdasarkan latar belakang keluarga,

panjang kan, karier yang dipikirkan masih seperti itu sementara anak itu udah berkembang

kan? Anak udah jauh lebih maju, lebih tahu. Nah, itu kadang-kadang guru BK tuh ada

terlibat di dalam situ. Itu harus dikasih pandangan.

P : Tapi seandainya ada anak yang minatnya ke ilmunya aneh-aneh, misalnya Sosiologi,

Planologi, Arkeologi ... itu bagaimana Bu? Apakah memang disarankan ke situ atau ....

R61 : Saya cari tahu dulu latar belakangnya apa dia meminati bidang itu? Bila sampai bener-

bener dia meminati itu, dia meminati pun harus siap dulu, harus siap konsekuensi

finansialnya. Karier yang mau kamu pegang itu apa? Kalau cuma seneng doang, ya dia

nggak akan kuat. Tapi kalau sampai tahu ke pekerjaannya itu nanti kayak apa, di mana, dia

tahu, saya sih nggak apa-apa.

P : Kalau begitu pengaruh nggak misalnya anak ini entah suka bidang yang tidak lazim tadi

kemudian dia berencana untuk studi di luar negeri atau bahkan menetap di luar negeri,

apakah dengan dia keluar negeri itu membuat pilihannya terbuka lebih luas karena mungkn

bidang yang tak dihargai di sini, di sana lebih dihargai? Pernah terjadi seperti itu Bu?

R61 : Kalau yang sampai kayak gitu belum pernah

P : Belum pernah ya .... Belum pernah bidang yang begitu nggak. Sejauh ini kan kalau saya sih

di Ketapang saya bilang anak-anak jurusannya nggak ada yang aneh-aneh. Nggak berani

pilih yang aneh-aneh, justru terlalu seragam karena faktor lingkungan keluarga kan? Saya

sempet nawarin banyak, tapi nggak tertarik mereka, karena arahnya bidangnya itu. Baru

belakangan ini, makin ke sini anak-anak mulai terbuka, kalau dulu saya sampai bingung:

Ekonomi, Akuntansi, Manajemen. Akuntansi paling banyak. Kenapa? Orang tua

menganggap Akuntansi saat itu paling menjanjikan, tapi ada yang nggak mau, nah itu

dijembatani, nanti kita ambil, dikasih pandangan.

P : Kemudian mengenai peran orang tua murid nih Bu, kan tadi karena konteks sosial di sini

orang tua cenderung dominan dan dituruti, dia ngomong apa anaknya nurut aja begitu?

R61 : Nggak selalu sih.

Page 214: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

200

P : Oh nggak selalu, tapi pada umumnya nggak sampe terjadi bentrok atau karena orang tua

mau apa anak mau apa begitu kan?

R61 : Nggak sampe sih, nggak sampe sih justru malah ada yang cukup sampai bertentagan

akhirnya jadi mungkin orang tuanya malah nggak apa-apa, nggak dominan banget.

P : Oh ....

R61 : Malah akhirnya begitu lulus nerusin usaha papanya.

P : Akhirnya kembali.

R61 : Ya.

P : Jadi maksudnya ke usaha orang tuanya ada, nggak jaminan. Nggak kalau orang tua

dominan begini itu mah. Kalau saya rasa orang tua selalu tanya minat orang tuanya apa,

itukan keliatan. Nah kalau dulu-dulu memang dominan sekali, tapi belakangan nggak ya,

lebih ke anaknya.

P : Kalau latar belakang orang tua berpengaruh nggak Bu, misalnya orang tuanya yang lebih

mapan, lebih terbuka atau lebih mempersilakan anaknya memilih jurusa, atau kalau orang

tuanya lebih berpendidikan?

R61 : Ya berpengaruh lah, kalau latar belakang orang tuanya lebih berpendidikan mungkin pola

pikirnya juga jauh berbeda dan itu menjadi pendampingan ke anaknya jauh beda. Ya kalau

anak di sini lebih banyak ngeliatin trennya. Itu tren-tren yang lagi in apa, ―O, sekarang lagi

tren Komunikasi, ke Komunikasi ....‖

P : Tapi ujungnya apakah mereka mendalami bidang itu? Atau ....

R61 : Akhirnya sih kayaknya sih ada, tetap disesuaikan dengan keberadaan dia juga, kalau dia

nggak mampu kan dia nggak mungkin ada karena menurut saya ya, karena saya nggak

pernah ngajar di tempat lain ya, anak sini cukup jeli untuk melihat pekembangan karier

berikutnya. Pemikiran panjangnya ada, jadi bukan asal milih gitu, kalau saya lihat kan

nggak begitu tahu kalau di sekolah-sekolah negeri saya dengar kan cuma ngikutin

temannya aja. Kalau anak kita kan nggak, kalau dia nggak suka ya, ―Ngapain saya ikutan

....‖

P : Kalau dari segi gurunya sendiri, apakah antara guru-guru MIPA dan ilmu-ilmu sosial ada

bedanya Bu? Misalnya kualifikasinya harus memiliki gelar apa atau harus pengalaman

berapa lama dulu?

R61 : Yang jelas mencari guru eksak itu lebih susah. Lebih gampangan orang-orang IPS.

Terkecuali bahasa Inggris, itu susah juga. Jadi kalau dapat, biasanya yah walaupun

diseleksi tapi nggak bisa idealis.

P : Kalau guru IPS cenderung lebih gampang?

R61 : Lebih banyak kali ya? Lebih banyak lulusanya kali ya?

P : Tapi apakah sesuai dengan bidangnya Bu?

R61 : Ya, sesuai dengan bidangnya. Kecuali mungkin beberapa yang memang belum ada

jurusannya seperti Sosiologi, jurusannya .... Tapi untuk yang IPA kalau ambil dari S.Pd.-

nya aja agak susah, makanya banyakan kan ambil yang S.Si. untuk IPA. Ada juga yang

S.Pd., tapi jarang ya mencari S.Pd. yang qualified. Kalau bukan S.Pd., di sisi lain,

masalahnya apa? Gajinya. Mentallah, mungkin kemampuannya jauh lebih tinggi.

P : Ketika di dalam kegiatan belajar sehari-hari, sampai ada guru yang berhalangan hadir untuk

jangka waktu lama misalnya karena sakit atau cuti melahirkan, kan itu ada guru pengganti,

apakah guru pengganti itu harus yang sebidang studi? Apakah ada perbedaan antara IPA

dan IPS?

R61 : Nggak harus sesuai dengan bidangnya sih. Kalau eksakta karena ada guru yang sakit untuk

waktu lama akhirnya kita mengambil dari sekolah lain, tapi kalau IPS kalau bisa cari guru

Page 215: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

201

penggantinya orang-orang dalam sendiri kalau ada kan, kalau guru Geografi misalnya, itu

bisa ambil guru PKn. atau Sejarah.

P : Di antara guru-guru IPA dan IPS apakah ada kesempatan yang sama untuk memperoleh

penghargaan dari pihak sekolah atas prestasinya Bu? Misalnya untuk UN hanya ada

beberapa bidang studi, tapi apakah guru-guru pelajaran yang tidak di-UN-kan itu bisa ....

R61 : Ya, ada penghargaan untuk guru-guru bidang studi UN, tapi memang tidak semua guru bisa

memperoleh insentif itu, karena yang diberikan penghargaan hanya untuk prestasi di tingkat

nasional.

P : Jadi kalau guru PKn. jelas tidak mungkin dapat ya Bu?

R61 : O kalau mau lihat seperti itu, jelas guru IPS tetap lebih kering dari guru IPA. Belum lagi

kalau ngelesin ....

P : Motivasi orang tua untuk menyekolahkan anaknya di sekolah ini apa ya Bu? Apa ada orang

tua yang menyekolahkan anaknya di sini karena ingin mendorong anaknya menjadi juara-

juara di perlombaan-perlombaan besar ...

R61 : O, nggak. Kebanyakan orang tua memilih sekolah ini karena mau cari aman, jadi di sini kan

nggak pernah ada kasus narkoba, perkelahian atau sejenisnya. Orang tua malah bilang, ―Bu,

saya sih percaya kalau ilmunya di mana aja sama, tapi kalau di sini hati saya tenang, anak

saya pasti aman.‖

P : Kalau begitu, sikap orang tua terhadap ilmu-ilmu ini, dengan pemahaman bahwa IPA

peluang berhasilnya lebih besar dan kariernya lebih menjanjikan, penghasilannnya lebih

besar, apakah itu terbukti Bu?

R61 : Nggak, kenyataannya sih nggak musti begitu.

P : Kalau begitu, apakah pendidikan di IPS bisa dibuat lebih besar bobot analitisnya? Mungkin

dengan soal-soal analisis? Atau begini, pernah nggak Ibu menemui guru IPS yang begitu

kreatif sehingga bisa menghasilkan soal-soal analitis yang membuat anak tidak sekedar

menghafal.

R61 : Tapi ilmu sosial dianalisis pun tetep nggak sampe terlalu bagaimana gitu .... Memang

pernah ada guru yang membuat soal analitis di IPS, dan nilai anak-anak waktu pertama kali

menghadapi soal itu langsung jeblok, tapi setelah itu terbiasa dengan polanya, ya balik lagi

seperti biasa. Kita ambil contoh aja SPMB, kalau SPMB itu kan materinya di atas

kurikulum kan, mau ambil yang IPA, pasti anak IPA lebih bisa, mau ambil IPS, anak IPA

juga lebih bisa. Akhirnya ya anak IPS untuk mengungguli itu dia ikut bimbingan tes.

Kemampuan analisisnya IPA dan IPS memang berbeda.

P : Kalau Ibu punya kebebasan untuk mengubah kurikulum ini, Ibu mau melakukan apa?

R61 : Ada mata pelajaran yang bisa saya kurangin, saya mau mengunggulkan apa yang bisa

berkembang ke depannya, misalnya lebih menekankan ke komputer supaya anak siap

mengikuti perkembangan ilmu.

P : Kalau ilmu-ilmu sosialnya bagaimana Bu?

R61 : Kalau di Perguruan Tinggi, Sosiologi menurut saya nggak terlalu banyak juga dan mungkin

nggak boleh terlalu banyak, sebenarnya juga nggak perlu menjadi salah satu faktor dalam

ujian nasional.

P : Kalau Sejarah dan Geografi bagaimana Bu?

R61 : Itu sih Geografi nggak terlalu perlu. Sebaiknya dikurangi. Di Perguruan Tinggi, orang

ambil itu pun tidak menjanjikan apa-apa. Yah banyaklah yang musti di kurang-kurangin.

Sejarah masih perlu, tapi mungkin jamnya tidak perlu banyak-banyak, asal jangan sampai

meninggalkan sejarah, masih mengetahui sejarah, nanti nggak nasionalis lagi. Kalau Geo

memang sekarang sudah sedikit jamnya, tapi yang aneh malah ada ujian nasionalnya

Page 216: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

202

mungkin karena bingung mau menguji apa di IPS, jadi dimunculkanlah Geografi di ujian

nasional. Kalau IPA kan memang bener ada 6 pelajaran, tapi kalau IPS kan nggak bisa

banyak, jadi paling nambah Matematika dasar.

A6.2 Responden 62

P : Ibu mengawali karier dengan menjadi guru Biologi selama 11 tahun ya Bu?

R62 : Ya.

P : Kemudian menjadi wakil kepala sekolah?

R62 : Ya, sampai 2005, kemudian menjadi kepala sekolah.

P : Di SMA sebenarnya ada tiga jurusan Bu: IPA, IPS, Bahasa. Kalau kita lihat secara umun

IPA sangat diminati? IPS kesannya agak buangan atau apa, Bahasa apalagi nyaris nggak

ada. Menurut Ibu kenapa sih murid-murid terlalu memandang tinggi IPA?

R62 : Jadi masalahnya ini gini, kalau apa namanya anak dari jurusan IPA ini bisa ngambil

ladangnya orang IPS. Istilahnya pekerjaannya atau mungkin kuliahnya. Tapi kalau orang

IPS nggak bisa ngambil IPA. Nggak mungkin anak IPS nggak bisa ngambil Kedokteran,

kecuali di Untar. Itu agak aneh menurut saya, resikonya terlalu besar. T‘rus gitu juga anak

IPA ambil Ekonomi bisa dia dan ternyata dari pengalaman dari mana ya saya lupa dari

UPH pernah nanya bagaimana daya saing, eh ... UPH apa Trisakti, lupa. Bagaimana daya

saing antara siswa keluaran IPS dengan siswa keluaran IPA jika di Ekonomi? Ternyata

yang memimpin itu semuanya adalah anak dari IPA. Atau, ketika mereka masuk Perguruan

Tinggi kan mereka pake tes. Grade atas itu selalu dipenuhi anak IPA, jadi secara nggak

langsung, menurut saya pribadi sih secara nggak langsung mempengaruhi pola pikir anak.

P : Sehingga lebih prestisius di IPA?

R62 : Ya. Dan ibaratnya daya juangnya anak ini lebih tinggi anak di IPA dari anak IPS.

P : Tapi apakah itu terbukti di dunia kerja bahwa anak IPA lebih gampang atau

penghidupannya akan lebih baik dari anak IPS gitu?

R62 : Kalau misalnya bukti konkret itu nggak tahu deh ya, berapa persen, berapa persen itu nggak

tahu, cuma contoh ketika di bank nggak usah jauh-jauh deh itu banyak yang orang IPA.

Orang IPB di bank itu banyak. IPB lho, nah contoh kayak gitu jadi ya secara nggak

langsung IPA lah. Nah, orang IPS-nya ketika bersaing dengan orang IPA, daya saing, daya

berjuangnya orang IPS ini lemah. Akhirnya secara nggak langsung yah inilah .... Kenapa?

Secara nggak langsung kalau orang eksak udah pasti kemampuannya, daya juangnya lebih

tinggi, dia semangat. Nah itu daya juangnya udah tinggi nah itu akhirnya terbawa sampai ke

dunia pekerjaan. Dan itu kelihatan lah, sistematis apa nggak itu keliatan banget. Guru pun

beda, smartness-nya beda. Guru IPA lebih terstruktur.

P : Dengan adanya seleksi IPA dan IPS, berapa banyak Bu, anak yang memang mau ke IPS

dan bukan karena ....

R62 : Tereliminasi? Sebetulnya nggak, dia mau masuk IPS bukan karena kemauan, kebanyakan

bukan. Tapi karena tereliminasi.

P : Jadi maksud Ibu, kalau bisa, semua orang akan masuk IPA?

R62 : Sebetulnya di sinilah peran guru BK ketika guru BK itu bisa men-support anak mendukung

anak di IPS, bahwa ―Anda di sini bukan karena Anda buangan, tapi memang kemampuan

Anda sampai di sini. Cobalah itu dimengerti ....‖ Nah itu yang membuat anak maju dan

memberikan pengertian bahwa nggak juga selalul anak IPS itu gagal atau di bawahnya IPA.

Nggak juga. Banyak juga anak IPS yang sukses, lebih sukses dari orang IPA. Nah, itu

maksudnya, itu peranan guru BK.

Page 217: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

203

P : Tapi ketika anak ini sadar keterbatasannya, apakah dia mau ke IPA atau ke IPS karena dia

menyadari pekerjaan apa yang ingin dia sasari atau karena prestisenya sajakah?

R62 : Kalau di Ketapang I itu sebagian besar karena latar belakang cita-cita. Mereka sudah tahu

saya harus melangkah ke mana, makanya saya harus menempuh jalan ini. Begitu.

P : Mungkin nggak sih Bu untuk dibuat perspektif masyarakat kita ini supaya memahami

ketiga jurusan yang ada bukan seperti air terjun yang dari IPA, ke IPS, ke Bahasa, tapi

seperti tapi tiga pintu pilihan?

R62 : Masalahnya begini. Paradigma orang tua juga harus diubah. Orang tua orang tua murid ini

lebih menghargai, tolok ukurnya Matematika. Begitu juga orang-orang di atas kita ini.

Sekarang Matematikanya di mana? Ada di IPA kan? Ya sekarang katakanlah orang yang

masuk pintu IPA itulah yang paling sukses. Nah paradigma orang tua itu, dan biasanya itu

juga peran guru BK ketika dia men-support anaknya untuk di IPS karena kita lihat anak ini

mampunya di IPS, dia juga harus men-support orang tua.

P : Bagaimana ketika ada anak yang memiliki minat untuk mempelajari jurusan yang tidak

populer, seperti Antropologi, atau ....

R62 : Wah, orang tuanya, kalau bisa mah ditengking anak itu. Bener! Nah, di situlah peranan

guru BK.

P : Apakah guru BK bisa ...

R62 : Harus! Guru BK harus ngertiin ke orang tua bahwa ini minat anaknya, termasuk memberi

pengertian kepada orang tuanya bahwa anaknya bisa berhasil dengan masuk jurusan IPS,

kalau itu memang sesuai dengan minatnya. Buat apa dia masuk IPA tapi terpaksa?

P : Potensi penghasilan itu penting nggak Bu di sini?

R62 : Penting! Makanya itu harus dipaparkan baik kepada orang tua juga kepada anaknya. Dan,

orang tua juga tahu kalau anaknya masuk IPA, nanti nggak bisa masuk Kedokteran, masih

bisa masuk ke Ekonomi. Kalau masuk IPA, nanti mau ke Kedokteran, udah pasti nggak

bisa!

P : Jadi sebenarnya ini juga disebabkan anak dan orang tua belum tahu si anak mau kuliah di

jurusan apa?

R62 : Sebetulnya sudah, ada standar prioritas, tapi buat antisipasi kalau gagal.

P : Tapi kalau cita-citanya bisa didapat dari IPS?

R62 : Nggak mau orang tuanya, pasti tetep ngotot untuk ke IPA dulu.

P : Karena?

R62: Gengsinya. Ada orang tua yang lebih baik anaknya masuk ke sekolah lain dan masuk IPA

daripada naik kelas di sekolah yang sama tapi masuk IPS. Tapi menurut saya pemetaan

tentang minat siswa itu harus dari sedini mungkin, misalnya contohlah ―Kamu mau jadi

apa? Mau ke mana?‖

P : Kalau begitu, berarti orang tua masih dominan dalam memilih jurusan anak ya Bu?

R62 : Ya.

P : Dari latar belakang orang tua sendiri ada pengaruh nggak Bu, misalnya orang tua yang

lebih mapan atau lebih berpendidikan ....

R62 : Ada. Yang pasti bukan masalah mapan, pendidikan. Orang yang lebih berpendidikan itu

lebih ngasih kebebasan ke anaknya. Kalau orang yang nggak terlalu berpendidikan pasti

nggak mau tau, ―Lu kerja, dapet duitnya banyak.‖ Nah, menurut dia orang yang kerja dapet

duit banyak itu orang eksak.

P : T‘rus kenapa ya orang tua bisa berpandangan seperti itu? Kan banyak orang tua yang

memandang seperti itu, menurut Ibu kenapa mereka bisa berpandangan seperti itu?

Page 218: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

204

R62 : Ya itu kembali ke Matematika, karena itu yang paling bergengsi, paling susah. Untuk kelas

I saja lihat, yang orang tua banggakan lihat itu nilai Matematika anaknya. Yayasan juga

begitu. Pertanyaannya, ―Berapa nilai Matematika di ujian?‖ Selalu yang ditanya itu kan?

Apa pernah yang ditanya, ―Berapa nilai Biologinya?‖ Nggak pernah kan?

P : Kalau begitu, ketika orang memiliki nilai Matematika yang baik, apakah bisa dipastikan ia

mampu melakukan analisis sosial dengan lebih baik Bu?

R62 : Tergantung kreativitas gurunya. Contoh ini ada guru Sejarah yang bisa maju selangkah dari

yang lainnya, dia memberikan tugas anak-anak membuat komik sejarah dan itu jadi nilai

ulangan, dan ternyata hasilnya itu lebih baik. Anak juga jadi lebih menguasai fakta sejarah

itu dengan mereka membuat komik. Dan ini juga jadi pembelajaran lintas kurikulum.

Mereka lebih menghayati kejadian itu dengan membuat komiknya.

P : Apakah mungkin seorang anak IPA yang jago tapi kalau masuk IPS dia akan gagal Bu?

R62 : Mungkin saja. Dia tidak menikmati. Ketika di sekolah ini, di IPA dia bisa belajar dengan

tenang, dengan serius, tapi kalau anak IPS itu banyak mainnya jadi waktu dia dipindah

seperti beda alam, dia nggak bisa survive di tempat seperti itu.

P : Jadi suasana belajarnya IPA banyak diamnya dan anak IPS banyak main-mainnya?

R62 : Memang ya.

P : Kalau dari segi gurunya Bu, untuk jadi guru MIPA dan jadi guru IPS apakah sama

persyaratannya? Atau ada yang lebih berat?

R62 : Sama saja. Gini lho ada praktisnya juga guru IPA, kenapa kalau guru IPA tuh bisa ngelesin

dapet duit kan? Dan ujung-ujungnya salary-nya orang eksak itu jauh lebih tinggi, kenapa?

Karena di luar bisa ngelesin. Nah sekarang kalau orang IPS mana bisa ngelesin?

P : Tapi kalau dengan salary kenapa pengaruhnya?

R62 : Income-nya. Jadi secara nggak langsung opini masyarakat, guru eksak lebih lagi.

P : Seandainya ada guru yang berhalangan hadir untuk waktu lama Bu, misalnya sakit

berkepanjangan atau cuti melahirkan, apakah penggantinya di sini harus guru yang

sebidang studi Bu?

R62 : Kalau IPA, ya. Harus diganti guru IPA juga. Kalau guru IPS bisa diganti guru IPA.

P : Apakah anak-anak menyadari kalau guru IPA kesannya lebih bergengsi, lebih sulit

digantikan?

R62 : Kebaca. Oleh anak-anak, juga oleh masyarakat. Sekarang juga untuk UAN, ada bimbel.

Bimbel untuk sekolah dari yayasan memberikan bimbel pelajaran kan Matematika, IPA,

bahasa Indonesia, bahasa Inggris. Kalau bimbel itu diberikan ke guru bidang studi akan ada

kecemburuan sosial dengan guru IPS. Enak ya guru IPA ada uang tambahanya karena ada

bimbel. Nah, untuk atisipasi itu saya nggak mau semuanya itu diukur dengan uang itu, jadi

istilahnya semua guru itu sama jadi nggak ada yang enak karena kamu di UN-kan, makanya

untuk bimbel ini saya kerja sama dengan guru luar. Tapi memang ada hal-hal semacam ini

yang hanya bisa didapat oleh guru IPA.

P : Ciri khas Ketapang yang menonjol apa ya Bu?

R62 : Dari zaman saya ya, sekolah ini tertib. Dan murid-muridnya pasti menghormati guru-

gurunya. Kalau kita bawa studi banding ke Bandung misalnya, dengan sekolah lain, itu

pasti nurut dengan gurunya. Bener-bener tertib. Dibilang nggak, ya nggak.

R62 : sainscamp itu yang menurut saya itu jarang yang dilakukan sekolah edufair yang membuat

sekolah, sekolah itu menjalin kerja sama dengan Perguruan Tinggi maksudnya Perguruan

Tinggi itu nggak semuanya percaya dengan

P : Bicara mengenai peranan pemerintah, menurut Ibu apakah pemerintah punya agenda

tertentu terhadap perlakuan terhadap ilmu-ilmu ini?

Page 219: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

205

R62 : Ya. Misalnya dengan penyelenggaraan olimpiade sains, tapi tidak untuk semua ilmu

diadakan, itu kan menandakan ada ilmu yang lebih dihargai dan ada yang diabaikan.

Sejarah misalnya, apa yang pemerintah lakukan untuk membuat sejarah kita jadi pelajaran

yang bermakna? Belum konsisten hingga sekarang. Masih suka ganti-ganti. Anak jadi tidak

bisa menghargai para pendahulunya, penghargaan terhadap orang lain jadi rendah. Murid

juga jadi rawan tergelincir, terlalu sombong dia karena pola pikirnya tidak bisa

menempatkan dirinya dalam konteks yang lebih besar, untuk menghargai masyarakat dan

orang lain. Intinya samalah dengan budi pekerti.

A6.3 Responden 63

P : Apakah Marline tahu bahwa selain jurusan IPA dan IPS yang ada di sekolah ini, untuk

SMA sebenarnya ada jurusan Bahasa juga?

R63 : Nggak. Tahunya cuma IPA, IPS. Nggak pernah tahu ada sekolah yang buka jurusan

Bahasa.

P : Marline ketika kelas X, kenapa memilih masuk jurusan IPA?

R63 : Pertamanya memang saya nggak suka hafalan, jadi saya lebih prefer ke IPA dan lagi waktu

kelas X saya belum bisa nentuin mau masuk jurusan apa. Tapi kalau IPA saya kan bisa ke

semua jurusan, jadi gampang mau milih jurusan yang mana. Kalau IPS saya lebih sedikit,

jadi saya lebih prefer ke IPA.

P : Jurusan untuk kuliahnya ya?

R63 : Ya.

P : Kalau jurusan kuliahnya, sudah milih sekarang?

R63 : Jurusan Matematika.

P : Di mana?

R63 : Di UPH.

P : T‘rus mau jadi apa abis itu?

R63 : Ya tergantung nantinya, yang penting saya suka dulu pelajarannya, jadi ketika kuliah lebih

enjoy.

P : Waktu Marline memilih jurusan apakah ada arahan-arahan tertentu dari orang tua atau dari

guru BK?

R63 : Sama sekali nggak sih.

P : Sama sekali nggak, jadi semuanya atas keinginan sendiri?

R63 : Ya, sendiri. Soalnya kata Papa, ya terserah, mau minatnya apa, ya udah ambil aja.

P : Orang tua Marline apakah bekerja atau ada usaha sendiri?

R63 : Dua-duanya bekerja.

P : Apakah bagi mereka tidak ada masalah Marline masuk ke jurusan IPA atau IPS?

R63 : Nggak tuh. Yang penting belajarnya.

P : Menurut kamu apakah ada pandangan, baik di Ketapang maupun di luar, bahwa IPA lebih

bergengsi, lebih prestisius?

R63 : Banyaklah. Kan saya waktu kelas 10 juga saya denger-denger kalau masuk IPS kayaknya

dianggap lebih rendah, kalau masuk IPA kan logikanya lebih ini, bisa dibilang mungkin

lebih pinter dibanding anak IPS, tapi buat saya sebenernya sama-sama aja. Ya IPA, IPS kan

tergantung minat kita. Kalau minatnya ke mana, ya udah pilihlah itu, nggak usah mikir apa-

apa gitu. Soalnya nggak ada bedanya kalau kita bisa eksak, t‘rus kadang-kadang kita juga

nggak bisa Ekonomi kok.

Page 220: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

206

P : Ada nggak orang yang nggak bisa eksak tapi bisa Sosiologi?

R63 : Saya, nggak bisa.

P : Kenapa nggak bisa Sosiologi?

R63 : Karena harus ngafal.

P : Apakah orang tuamu dua-duanya sarjana?

R63 : Nggak. Yang satu lulusan SMP, yang satu SMA.

P : Oh gitu ya, tapi mereka mendukung kamu mau ke mana aja ya?

R63 : Ya.

P : Sekarang kita lihat kan banyak nih, di mana-mana untuk masuk IPA, kayak di sini, kan

dites ya, waktu kelas X? Kemudian IPS kesannya itu banyak sekali, yang tidak bisa masuk

ke IPA, masuk ke IPS. Menurut kamu apakah itu mempengaruhi orang-orang masyarakat

luas untuk memandang anak IPS tuh cuma buangan?

R63 : Kadang-kadang sih denger gitu, soalnya yan IPA bisa dibilang adalah anak-anak terpilih, ya

minoritas deh dibanding anak-anak IPS. Cuma denger-denger gitu, Pak.

P : Ada orang-orang yang mau masuk IPA dan tidak bisa, maka dia kemudian masuk IPS. Tapi

ada juga orang-orang yang memang tidak niat sekolah dan hanya mencari jurusan yang

paling santai. Dari antara teman-teman kamu, setahu kamu, apakah benar gambaran itu

tentang jurusan IPS?

R63 : Kalau yang saya tahu sih ... maksudnya ... cuma sebagian kecil kok anak IPS yang

sebenarnya mau masuk IPA tapi nggak keterima. Kayaknya banyak juga sih kalau saya

dengar dari nilai-nilai mereka, t‘rus sikap mereka, yang misalnya yang ... memang nggak

niat sekolah.

P : Kalau di IPA sendiri bagaimana? Apakah ada yang mungkin karena begitu pintarnya maka

dia bisa masuk IPA, tapi sebenarnya juga tidak ada niat belajar?

R63 : Ya, kalau niat nggak niat sih banyak. Dateng ke sekolah ya ikutin aja, ya mungkin kalau

dibilang paksaan orang tua, padahal males sekolah.

P : Untuk Marline sendiri, apakah kamu berencana untuk sekolah sampai lebih dari S1?

R63 : Kalau memang ada kesempatan, kenapa nggak?

P : Sampai S2, S3 sekalipun ya?

R63 : Ya.

P : Jadi, tujuannya belajar setinggi itu apa?

R63 : Menurut saya, belajar, dalam hidup ini kan belajar itu memang penting. Kalau kita masih

bisa, ya kita belajar. Otak itu kan kalau kita nggak gunain, ya istilahnya kan bakal

terdegradasi, kalau kita gunakan, akan semakin berkembang. Itu aja sih.

P : Dari apa yang kamu lihat di kelas X, apakah terlihat ada perbedaan karakteristik antara

guru-guru IPA dan IPS?

R63 : Beda.

P : Apanya yang beda?

R63 : Guru-guru IPA kayaknya lebih, misalnya kayak guru-guru eksak itu, kayaknya lebih

dipikirin lagi, lebih menyaring lagi, kalau misalnya IPS, kalau masih bisa dibuat ngajar ya

udah, yang saya liat sih gitu.

P : Jadi pemilihan guru IPA lebih selektif ya?

R63 : Ya.

P : Apakah kamu pernah mengalami saat ada pelajaran kosong, gurunya berhalangan hadir?

R63 : Ya.

P : Biasanya bagaimana, apakah diberikan tugas atau digantikan oleh guru lain? Antara

pelajaran-pelajaran eksakta dan sosial, apakah sama?

Page 221: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

207

R63 : Ya kalau di sekolah kan kalau nggak ada pelajarannya kan biasanya kita cuma dikasih tugas

doang, nggak diajar dengan yang lain.

P : Antara IPA dan IPS, ada perbedaannyakah?

R63 : Nggak.

P : Kamu di Ketapang sejak kapan?

R63 : TK.

P : Pernah terpikir untuk pindah sekolah?

R63 : Pernah. Tadinya waktu lulus SMP mau masuk ke 78, guru BK saya juga nyaranin masuk ke

78 aja, kalau bisa ke sekolah unggulan mendingan ke sekolah unggulan.

P : Teman-teman kamju sendiri ada yang mengikuti saran itu?

R63 : Ada, beberapa, ke 78. Tapi saya sendiri nggak dikasih sama kakek-nenek, sampai diomel-

omelin ....

P : Apakah kamu menyesal nggak jadi masuk ke 78 dan akhirnya masuk Ketapang?

R63 : Nggak juga sih. Kalau di Ketapang, kalau dibilang kan pendidikannya juga nggak jelek ya,

standarlah, maksudnya masih di atas rata-ratalah, masih bisa membuat kita menjadi, yah

maksudnya, lebih baiklah. Jadi ya nggak masalah. Ya mungkin jalannya Tuhan saya ke

sini, ya udah ikuti aja, gitu.

P : Kalau begitu, kalau kamu ngumpul-ngumpul nih sama temen-temen dari sekolah lain,

menurut kamu apa yang paling bisa dibanggain dari ketapang?

R63 : Saya rasa sih biasa-biasa aja sih ....

P : Menurut kamu, bagaimana arahan pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan di

Indonesia ini? Apakah dalam kurikulum yang disusun dari SD, SMP, ke SMA, pemerintah

mempunyai kepentingan tertentu untuk mendorong orang masuk ke profesi-profesi tertentu

dan meminimalkan minat masuk ke profesi lainnya?

R63 : Yang selama ini saya lihat, pemerintah ya gitu-gitu aja, minatnya ke pendidikan kayaknya

terlalu kurang Pak. Kalau misalnya di memang berminat untuk mendidik masyarakat

otomatis seharusnya anak-anak yang kurang mampu yang mau sekolah harus disekolahkah.

Kalau sekarang gitu-gitu aja, yang penting ada yagn sekolah, yah yang penting

berpendidikan, tapi detail-detailnya, terkadang kan orang yang nggak mampu itu minat

belajar mereka pasti lebih dibandingkan dengan orang-orang yang punya uang untuk

belajar, gitu. Yang kayak gitu-gitu malah bisa lebih memajukan bangsa, dibanding orang-

orang yang mikirnya, ―Orang tua saya punya duit, ngapain saya sekolah tinggi-tinggi?‖

P : Kalau kamu punya kesempatan untuk mengubah kurikulum sesuka hatimu, menurut kamu

apa yang paling mendesak untuk diubah dari kurikulum kita sekarang?

R63 : Kalau jam pelajaran itu kita nggak perlu harus pulang sampai jam 3, kayaknya paling

mentok kita full belajar itu hanya sampe jam 12-an, karena kalau saya lihat-lihat, di atas

jam 12-an itu anak-anak tuh udah pada ngantuk, udah nggak niat belajar, jadi istilahnya di

atas jam 12 tuh, sampe jam 3 kita nggak dapet apa-apa, sama sekali nggak maksimal saat

kita belajar. Kalau saya, ya udah belajar ampe jam 12 aja gitu, tapi Sabtu masuk.

P : Dan kamu merasa kelelahan dengan keadaan seperti itu ya?

R63 : Kelelahan sekali.

P : Kalau pelajaran bagaimana? Adakah pelajaran yang dirasa tidak perlu?

R63 : Kadang-kadang saya mikir gitu tentang IPA, Sejarah walaupun cuma satu pelajaran ya

udah cuma itu-itu aja gitu, kayaknya nggak terlalu penting-penting amat gitu. Kalau

misalnya eksak, ya udah kita belajarnya itung-itungan aja gitu.

P : Geografi bagaimana?

Page 222: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

208

R63 : Kalau Geografi sih kayaknya masih penting sih Pak, kan kita belajar tentang Bumi, kalua

Sejarah kan otomatis kita bisa update sendiri, dari berita, dari media massa. Kita tahu

Indonesia merdekanya kapan, yah fakta-fakta kayak gitu aja cukuplah. Nggak usah belajar

yang lebih detail-detailnya lagi.

P : Jadi intinya, Sejarah itu cuma hafalan?

R63 : Ya.

P : Ada menganalisisnya di dalam Sejarah?

R63 : Nggak ada.

P : Juga nggak ada hubungannya dengan sekarang dan masa depankah?

R63 : Ya.

P : Jadi buat kamu, lebih penting belajar eksaknya sajakah?

R63 : Ya, eksaknya saja. Mungkin ditambah agama, karena kita Kristen, untuk membangun iman

kita, gitu. Kalau komputer, olahraga ya untuk ... ya kalau kayak Mandarin kay memang

untuk era globalisasi menuntut kita untuk bisanya tiga bahasa, ya nggak masalah belajar

tiga bahasa. Kalau komputer kita otomatis harus belajar untuk teknologi. Kalau olahraga ya

masih penting untuk kesehatan kita. Yang menurut saya nggak penting lagi itu EC, English

Conversation, dia ngajar, ngajar sendiri, kayak nggak ada orang-orang, ngebuang satu jam

pelajaran untuk gitu doang.

A6.4 Responden 64

P : Apakah Jeffry tahu di SMA ada jurusan bahasa?

R64 : Tahu.

P : Pernah tahu ada teman yang mengambil jurusan Bahasa di SMA?

R64 : Kalau temen sih belum ada sih.

P : Jadi, semua orang yang dikenal ambilnya IPA atau IPS ya?

R64 : Ya.

P : Saya mendengar bahwa kamu sebenarnya boleh masuk IPA, tapi kamu memilih IPS.

Kenapa kamu memilih IPS?

R64 : Tujuan ke depannya, kuliahnya yang saya mau ambil nggak usah ke jurusan IPA.

P : O, jadi sudah tahu ya mau kuliah di jurusan apa?

R64 : Ya. Manajemen – SI, di BINUS.

P : Apakah kamu merasa bahwa di antara teman-teman bahwa IPA itu gengsinya lebih tinggi,

lebih prestisius, daripada IPS?

R64 : Sejauh ini sih nggak merasa ada yang begitu.

P : Menurut kamu sendiri apakah IPA dan IPS dari segi kurikulumnya, dari segi pelajarannya,

apakah memungkinkan, IPS itu dalam beberapa hal, lebih sulit daripada IPA?

R64 : Mungkin.

P : Jadi bisa saja ada anak yang bisa berhasil di IPA tapi tidak berhasil di IPS?

R64 : Bisa saja, kalau di IPS itu kan sosial, jadi kalau orangnya penyendiri atau individual jadi

susah bergabung, susah juga buat dia mengerti ilmu-ilmu sosial.

P : Seandainya kamu ini, walaupun sudah jelas mau ke Manajemen, tapi tetap masuk ke IPS,

apakah menurut kamu, itu bisa memberikan nilai tambah ketika ikut seleksi masuk

Perguruan Tinggi?

R64 : Pastinya sih ada. Biasanya kan orang lebih melihat IPA kan.

P : Dari segi orang tua, mereka membebaskan kamu untuk masuk yang mana saja?

Page 223: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

209

R64 : Ya. Terserah.

P : Ketika dalam proses memilih jurusan ini di kelas X, apakah ada faktor masukan dari guru

BK?

R64 : Ada sih. Waktu pertama dia kan nanya, ―Mau masuk ke mana?‖ Saya bilang, ―Belum tahu,

IPA atau IPS.‖ Pada waktu itu sih saya mau ambil IPA, tapi setelah dipikir-pikir, cuma mau

ngambil manajemen, Kimia, Fisika begitu kan nggak perlu, ya akhirnya ngambil IPS aja.

P : Kalau kamu melihat kualitas guru-guru ilmu-ilmu sosial kamu misalnya Sejarah, Geo., di

kelas X, apakah kamu terpengaruh, karena gurunya seperti ini atau seperti itu, jadi saya

mengambil jurusan yang ini?

R64 : Agak pengaruh juga sih, kita lihat lah mana yang lebih bermutu.

P : Oh ... terus yang mana tuh?

R64 : Kalau IPA sih kalau yang sebelum-sebelumnya sih emang udah bagus ya tapi di IPS, ya

cuma ... gimana ya ....

P : Dengan masuk ke Manajemen, apa yang akan kamu lakukan setelah itu?

R64 : Cita-cita jadi businessman.

P : Sudahj tahu bisnisnya mau bidang apa?

R64 : Setelah lulus sih mau nerusin punya Papa dulu, dalam bidang baju gitu ....

P : Selama ini, pernah nggak mengalami ada guru yang sakit untuk waktu yang agak lama atau

cuti melahirkan, misalnya?

R64 : Ya, pernah.

P : Bagaimana sekolah mencari penggantinya? Apakah harus diganti oleh guru yang sebidang

studi atau boleh siapa saja, atau hanya diberikan tugas?

R64 : Pernah waktu itu guru Mat., gantinya guru Mat. juga. Penggantinya juga bisa jelasin. Tapi

biasanya sih kalau yang lebih banyak cuma jagain kelas cuma jagain kelas.

P : Kalau guru sosial bagaimana?

R64 : Itu pasti nggak ada penggantinya. Gurunya cuma satu-satu-satu.

P : Kenapa kamu memilih sekolah di Ketapang?

R64 : Pernah sih Papa-Mama bilang, di deket rumah banyak sekolah lain, tapi disiplinnya kurang

bagus, jadi mendingan di Ketapang aja, disiplinnya bagus.

P : Ketika kamu bertemu dengan teman-teman dari sekolah lain, apa yang paling kamu

banggakan dari Ketapang ini?

R64 : Kedisplinannya. Juga ibadahnya, seminimalnya ada ibadah tiap minggu. Kalau fasilitasnya

memang kurang.

P : Seandainya kamu punya kebebasan untuk mengubah kurikulum, menurut kamu apa yang

paling mendesak untuk diubah?

R64 : Kalau pelajaran maunya dikurangi, waktunya jangan terlalu panjang. Masuknya jam 7 udah

bagus sih, jadi disiplin, tapi sampai jam 1 aja. Setelah jam 1, masa jenuhnya udah tinggi.

Sabtu masuk nggak apa-apa, daripada sampai sore.

P : OK. Terima kasih atas waktunya.

Page 224: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

210

A7. Wawancara di Deutsche Internationale Schule

Bagan sistem pendidikan Jerman yang digunakan dalam proses wawancara ini tersedia pada

lampiran B1.

A7.1 Responden 71

P : Pak Jürgen, saya mau memastikan dulu apa yang saya pahami tentang kurikulum Jerman

ini benar ya Pak, berdasarkan bagan ini Pak.

R71 : Anda sendiri mengerti bagan ini?

P : Ya, Pak. Yang ingin saya dalami, untuk di sistem Indonesia, itu adalah SMA-nya di mana

pada kelas X itu masih kurikulum umum dan pada kelas XI dan XII dibagi ke dalam tiga

jurusan: Alam, Bahasa dan Sosial. Dalam sistem Jerman, apakah benar Gymnasium itu

sama dengan SMA dalam sistem Indonesia Pak?

R71 : Ini SMA, tapi sistem seperti ini biasanya TK 3 tahun, SD biasanya 4 tahun, lalu biasanya

mereka pilih atau guru pilih mereka harus ikut yang Hauptschule, Realshule, atau

Gymnasium yang seperti SMA, tapi sudah mulai dari kelas V. Gymnasium mulai kelas V

sampai kelas XII. Hauptschule yang paling rendah, kemudian Realshule dan yang paling

tinggi Gymnasium. Biasanya jika seeorang sudah lulus sudah lulus SD dia harus

memutuskan mau ikut yangana. Kalau dia di Hauptschule dia punya nilai bagus, dia juga

boleh ke Realschule.

P : O, boleh berpindah?

R71 : Ya. Kalau nilai dia di Realshule bagus, dia boleh pindah ke Gymnasium ya. Tapi ada

beberapa persen yang hanya sampai Hauptschule. Ini selesai dengan kelas IX, lalu mereka

bekerja, langsung dengan sistem ... apa ... kalau di Jerman mereka harus sekolah sampai

umur 18, juga kalau mereka di kelas IX sudah keluar sekolah dan bekerja sesuatu, mereka

masih harus 1-3 hari seminggu ke sekolah. Dan ini sekolah khusus untuk ....

P : Vokasional?

R71 : Ya, benar.

P : Realschule sampai kelas X, Pak?

R71 : Ya, benar.

P : Dan Gesamtschule ini?

R71 : Gesamtschule ini sekarang hampir tidak ada lagi, ini adalah satu sistem di mana ada semua

macam sekolah di dalam satu sekolah.

P : Jadi jadi hanya pengorganisasiannya?

R71 : Ya dan di sana ada kursus A, B, C dan itu sama dengan Hauptschule, Realschule,

Gymnasium.

P : Di Gymnasium itu apa ada penjurusan lagi Pak?

R71 : Sebenarnya yang Gymnasium satu sekolah umum dengan pendidikan umum, tidak ada

jurusan.

P : Tidak ada jurusan

R71 : Yang jurusan juga ada, tapi tidak ada di atas gambar ini. Ada 3 macam Gymnasium.

Sebenarnya ada 4. Ada yang umum, ini kebanyakan. Ada juga yang kita bicara untuk

jurusan Ekonomi, jurusan Sosial dan jurusan Teknik.

P : Itu memilihnya sejak awal sejak dia masuk Gymnasium atau ....

Page 225: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

211

R71 : Nggak, sebenarnya Gymnasium yang jurusan itu mereka hanya 3 tahun, seperti sistem di

sini, mulai dari kelas X.

P : Jadi seperti sekolah kejuruan?

R71 : Maksud merka memutuskan kalau mereka lulus Realschule, kebanyakan orang yang lulus

Realschule mereka pilih Gymnasium yang punya jurusan dan di sini bisa memutuskan

Gymnasium kalau lulus kelas IX mereka bisa pindah ke satu Gymnasium yang punya

jurusan, tapi di saatnya di Jerman hampir tidak ada lagi yang jurusan, karena bicara

hierarkhi, yang umum bisa ke mana-mana nanti. Semuanya buka, karena standar paling

tinggi dan harus tahu semuanya. Kalau mereka sudah di jurusan, hanya itu, dan mereka

tidak bisa ke setiap universitas juga.

P : Bapak Jürgen sendiri adalah kepala sekolah dari Gymnasium umum yang mencakup kelas

V-XII?

R71 : Ya.

P : Kalau di Indonesia ini Pak, kita bicara, bagaimana mungkin anak-anak dalam usia yang

sedemikian muda harus memilih antara Hauptschule, Realschule dan Gymnasium. Apakah

ada sistem yang dibuat untuk membantu anak-anak menemukan ....

R71 : Biasanya ada satu testing kalau mereka lulus SD dan guru di sini, mereka tulis satu rapor

dan kalau mereka pilih sekolah mereka harus tes masuk di sini. Ini yang satu. Dan biasanya

saya sudah bisa lihat di SD apakah seseorang nanti lihat akan punya masalah ....

P : Dari kemampuan akademiknya?

R71 : Ya ... juga, tapi apa, bukan dari nilai akademik, sebenarnya dari kepribadian. Pasti ada

beberapa anak yang perlu lebih lama dan mereka mungkin bangun dengan umur 15, tapi

untuk mereka sistem ini buka, kalau mereka di sini kurang bagus mereka bisa ke

Hauptschule dan mereka di sini kita lihat mereka bagus mereka bisa ke Realschule, di

Realshchule bagus, mereka bisa ke Gymnasium.

P : Pindah, apakah berarti mereka akan mengulang dari awal Pak?

R71 : Sistem ini buka sebenarnya, tapi untuk saya tidak tahu apakah sistem ini yang paling bagus

di Indonesia ya, yang SMP ... semuanya terbuka. Mungkin semua yang kita mengajar lebih

abstrak di Gymansium, mulai dari kelas V. Di Realschule ini lebih praktis dan mungkin di

Jerman, siapa nanti bekerja dalam suatu bidang yang lebih praktis, dia tidak perlu yang

abstrak, yang terlalu abstrak karena ini dari dulu dia mata pelajaran lebih dijuruskan ke

yang lebih praktis, tidak perlu harus tahu begitu banyak karena dia nanti juga tidak begitu

perlu. Dan, beberapa orang jadi tidak bahagia kalau mereka harus belajar ini.

P : Apakah Realschule untuk diploma, atau untuk studi lanjut lainnya Pak?

R71 : Bagaimana dengan Gymnasium Oberstufe, apakah ini juga bagian dari Gymnasium yang

tadi kita bicarakan Pak?

P : Nah begini, karena sistemnya sistem buka, misalkan orang lulus kelas IX lalu dia cari kerja,

setelah tiga tahun dia kembali ke sini, tapi dengan sistem beda. Kalau dia setelah kerja, jadi

ahli bengkel misalnya, dan dia mau ke Perguruan Tinggi, masih ada satu jalan untuk dia.

Tapi ini sedikit complicated karena tidak strict. Ini dibuat supaya orang bisa bekerja dan

setelah itu tetap bisa kembali ke sekolah.

R71 : Dari segi orang tua, Pak. Apakah orang tua merasa tekanan dalam memilih sekoalh untuk

anaknya, antara Hauptschule, Realschule dan Gymansium?

R71 : Ya pasti. Dan saya pikir di saatnya semua pasti mau ke Gymansium. Karena semuanya mau

ke Gymnasium sebenarnya standar Gymnasium juga turun sedikit. Ini juga sebenarnya

punya hubungan dengan situasi ekonomi dalam satu negara. Contohnya kalau tidak ada

begitu banyak tempat kerja dan seseorang cari kerjaan, oke dia dapat orang dari

Page 226: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

212

Hauptschule, dari Realschule, dari Gymansium. Apa yang dia akan pilih? Ini masalahanya.

Kalau ada cukup tempat kerja, tidak masalah, tapi kalau .... Karena itu saatnya siapa yang

hanya ikut Hauptschule dan mungkin mau nanti kerja di bank, itu susah kalau dia mau nanti

untuk tukang-tukang cukup. Dan sebenarnya gaji nanti untuk tukang-tukang di Jerman

tinggi sekali. Dan dia sudah mulai kerja, sudah dapat uang pada 16 tahun, dan kalau dia

selesai Perguruan Tinggi, umur 24 baru mulai dapat uang, yang lain sudah kerja 10 tahun,

sudah punya gaji 10 tahun. Karena itu kalau seseorang sudah tahu saya suka mebel, atau

saya suka kasih keramik atau seperti ini ....

P : Jadi apakah dia lulus sekolah menengah atau lulus universitas, gajinya tidak jauh berbeda

Pak?

R71 : Tidak, sama sekali tidak. Tapi di saatnya kalau saya berpikir tentang situasi ekonomi dan

situasi pekerjaan ya, siapa yang lulus Perguruan Tinggi, diploma, tapi bukan diploma

seperti di Indonesia, diploma yang paling tinggi ....

P : Diploma seperti diplome di Prancis? Yang setara dengan magister di sini?

R71 : Ya.

P : Magister begitu ya?

R71 : Ya, belum pasti dia punya tempat bekerja.

P : Dan memang lulusan Gymnasium itu tidak siap bekerja, harus masuk Perguruan Tinggi

dulu?

R71 : Ya, benar.

P : Apakah di Gymnasium itu murid-murid juga mempunyai pelajaran pilihan atau semua

wajib, Pak?

R71 : Ada ... ini juga sedikit susah. Ada yang mereka harus ikut dan ada yang mereka boleh pilih.

Mereka harus ikut bahasa, bahasa Jerman dan Matematika dan ... lalu ada pilihan ya.

Mereka bisa memilih apa bahasa lebih penting atau sains lebih penting tapi ada satu yang

pelajaran ini mereka harus, ada yang mereka boleh pilih.

P : Dalam satu minggu itu ada berapa jam pelajaran ya Pak?

R71 : Biasanya 35.

P : Dari 35, yang wajib itu?

R71 : 15 ya.

P : Tadi Bapak mengatakan antara Hauptschule, orang menjadi tukang, atau lulusan sarjana,

tidak ada perbedaan pendapatan yang signifikan. Dan bahkan ada selisih 10 tahun bekerja

dengan gaji yang lumayan. Apakah itu berarti dalam mengambil jurusan, tidak ada

pertimbangan bahwa ada ilmu-ilmu yang lebih bergengsi daripada ilmu-ilmu lainnya?

R71 : Sebenarnya kalau saya pikir dengan pikiran orang tua ya, mereka di Jerman sebenarnya

tidak mau anak masuk Hauptschule karena ini paling rendah dan juga bagaimana mereka

interaksi, kehidupan sosialnya, tidak gaji. Karena juga yang tidak berhasil di Gymnasium

kemudian harus ke Realschule dan yang tidak berhasil di situ lalu ke Hauptscule. Jadi ini

seperti cangkir ....

P : Dan sistem ini sudah berlaku sangat lama ya Pak?

R71 : Ya, sudah lebih dari 50 tahun. Tapi dulu mungkin tidak begitu penting mau ke mana, tapi

sekarang jurusan di Gymnasium jadi lebih penting. Dulu mungkin ini hanya untuk orang

yang sungguh mau ke Perguruan Tinggi, mau jadi profesor, mereka ke Gymnasium dan

tidak banyak orang yang mau karena dari gaji tidak begitu penting. Harus tertarik dari

ilmunya. Tapi sekarang kebanyakan orang bicara mau ke Gymnasium, apalagi punya

hubungan dengan situasi ekonomi. Kalau tidak cukup banyak tempat kerja, nanti pilihan

biasanya ya orang yang punya pendidikan lebih tinggi lebih mudah.

Page 227: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

213

P : Bapak mengajar mata pelajaran apa Pak?

R71 : Dalam sistem Jerman, setiap guru harus punya minimum dua. Lebih bagus. Saya punya

bahasa Jerman, tapi juga Seni dan Etika.

P : Berarti pendidikan guru itu tidak spesifik Pak, berupa satu jurusan tersendiri?

R71 : Selalu harus pilih dua. Alasannya untuk organisasi sekolah ini lebih mudah, satu, karena

untuk sekolah kecil mungkin hanya ada 15 jam bahasa ini, kan? Tidak cukup untuk satu

guru. Kalau guru punya pelajaran lain lebih mudah untuk organisasi. Yang kedua

sebenarnya kalau orang hanya belajar satu jurusan, sering orang tidak pikir dalam satu

jurusan. Kalau orang punya dua jurusan lebih buka pikirannya. Seperti orang yang hanya

pikir Matematika yang paling penting. Dua, kalau bisa tiga, walaupun kalau tidak biasanya

sudah sudah untuk atur waktu di Perguruan Tingginya.

P : Apakah pendidikan guru itu setingkat sarjana Pak, atau setelah ambil sarjana, baru ada

pendidikan tambahan khusus untuk menjadi guru?

R71 : Biasanya di zaman sekarang itu biasa orang kuliah seperti biasa, tidak ada yang beda,

sampai mereka lulus, lalu mereka baru sebenarnya mulai belajar hal-hal pedagogik dalam

waktu dua tahun mereka membuat praktik di sekolah dan ada sekolah. Ini sebenarnya satu

sistem di mana belajar ilmu dulu, baru ditambah pedagogiknya. Hanya kadang-kadang ada

praktik supaya punya pengalaman ini bagaimana nanti jadi gurunya, karena nanti belajar 5

tahun, pertama kali di depan murid wah takut.

P : Itu setelah sarjana ya, berati bukan program seperti magister tapi lebih ke ....

R71 : OK. Ini beda ya untuk guru Hauptschule, beda juga untuk Realschule. Ini untuk guru

Gymnasium. Karena mereka sebenarnya penting mereka punya ilmu bagus juga, mereka

mengerti apa yang baru dalam bidang itu, karena itu harus punya standar sama dengan

orang yang nanti mau jadi profesor, standar harus kira-kira sama dan karena itu mereka di

Gymansium belajar yang metoda-metoda kalau mereka lulus Perguruan Tingginya. Antara

Hauptschule dan Realschule sebenarnya lebih sambung. Guru di dua ini harus lebih banyak

belajar tentang metoda karena murid-murid di sini lebih susah. Kalau di Gymnasium harus

lebih cerdik dan harus mau belajar. Ya itu pikiran dulu, kalau sekarang memang kita

katakan semua juga harus mengerti tentang metoda.

P : Apakah dalam sistem pendidikan Jerman ada guru konselor Pak?

R71 : Dalam sistem Jerman tidak ada. Kita sekarang punya salah satu sistem di mana satu sekolah

punya guru yang kerja seperti psikolog. Tapi sistem konselor seperti di sekolah-sekolah

Inggris atau Prancis juga punya, tidak ada. Guru sebenarnya di sistem kita tidak seperti di

sistem Prancis. Di sistem Prancis, guru hanya mengajar. Kalau murid terlambat, ini bukan

hal dia. Ada petugas yang jagain. Dalam sini ini semuanya kerjaan dari guru, karena guru

seperti ayah. Dia juga mendidik. Konseling itu semua juga kerjaan dari satu guru.

P : Berati masing-masing murid akan punya satu guru yang seperti itu?

R71 : Ya.

P : Seperti wali kelas begitu ya Pak?

R71 : Ya, benar. Kalau dia menemukan masalah, dia ke guru kelas dulu. Kalau masih belum

menemukan solusi, masih ada satu guru yang dipilih oleh siswa-siswi, kalau ini tidak

berfungsi biasanya kalau di Jerman bisa ke psikolog.

P : Mengenai masyarakat Jerman, Pak. Dalam kesan saya, lima puluh tahun terakhir ini Jerman

sangat kuat dengan teknologi dan sains, tapi Jerman juga sangat terkenal dengan para filsuf

dan senimannya, juga Dresden terkenal sebagai kota pujangga dengan arsitektur yang

sangat indah. Sebelumnya, Inggris – terutama London – adalah tempat yang dikenal

Page 228: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

214

sebagai masyarakat industri. Apakah masyarakat Jerman mengalami sebuah perubajam

besar sehingga menjadi ....

R71 : Saya pikir karena ini masih tradisi yang saya pikir teknik masih bagus ya, semua jurusan

Teknik masih bagus, bidang Kedokteran masih bagus sekali dan Seni juga kalau saya lihat

masih banyak, apakah ini musik atau gambar, masih banyak. Tapi saya pikir karena ada

sistem mereka dari kelas 5 mereka juga punya seni juga punya musik dan ini ... mereka

harus mengambil Seni itu untuk kreatif. Penting ya apakah dia berpikir kreatif dalam

Matematika atau apa pun tapi bisa belajar di sini bagaimana kalau ada masalah bisa

menemukan solusi, ini sesuatu yang mereka belajar dan nanti juga banyak Perguruan

Tinggi Seni yang bagus. Ini ada karena memang ada tradisi yang bagus di Jerman. Saya

pikir di mana Jerman tidak begitu bagus di bidang bahasa-bahasa sebenarnya. Tidak ada

tradisi dalam hal ini ya.

P : Pada masa, katakanlah, 100-200 tahun lalu ya Pak, apakah Jerman terkenal dengan

industrinya atau arsitekturnya ....

R71 : Industri saya nggak tahu, tapi untuk Arsitektur ya.

P : Arsitektur ya.

R71 : Ya, Arsitektur pasti. Tapi ini punya hubungan dengan Ingenieur. Untuk Arsitektur perlu

Ingenieur yang bagus dan orang yang pintar sains yang bagus juga, karena semuanya Seni

dan Arsitektur punya standar tinggi. Ada cukup banyak arsitek yang terkenal dari Jerman.

Saya juga harus pikirkan kenapa seperti ini. Saya pikir karena ada tradisi-tradisi dari

Perguruan Tinggi, juga terkenal ada banyak contohnya kalau ada arsitek yang bagus di

Jerman, juga bangunan yang bagus ....

P : Untuk menjadi seorang yang dipandang berhasil di Jerman, apakah harus mencapai tingkat

pendidikan tertentu Pak? Misalnya di Indonesia mungkin orang katakan, kalau belum jadi

sarjana, belum jadi ―orang‖?

R71 : Sebenarnya di Jerman, apa yang penting, uangnya. Benar, ya. Siapa yang punya banyak

uang, punya standar tinggi. Tapi karena apa satu ahli, katakanlah ahli bengkel, kalau dia

punya tempat sendiri, dia bisa kaya. Jadi itu tidak penting.

P : Kalau seseorang, setelah lulus Gymnasium apakah sebagian besar orang tetap mengambil

Universität?

R71 : Tidak semuanya. Mungkin setelah mereka lulus Gymnasium hanya 50%.

A7.2 Responden 72

P : Ibu Su Sie adalah kepala sekolah untuk ....

R72 : Trilingual.

P : Oh itu maksudnya bagaimana Bu, kalau trilingual itu tingkat SMA juga seperti

Gymnasium?

R72 : Nggak. Jadi trilingual itu yaitu sekolah yang bernaung di bawah DIS untuk warga negara

Indonesia dan kita mengajarkan dalam 3 bahasa, bahasa Indonesia, bahasa Jerman dan

bahasa Inggris.

P : Ibu Su Sie udah berapa lama mejadi guru?

R72 : Dua puluh tahun. Saya sendiri dulu di Jerman sebetulnya di Kindergarten juga dan

mengajar macam-macam ya, bukan hanya sebagai guru formal, Kindergarten itu adalah

Kindergarten sebelum masuk ke sekolah, jadi kalau kita bilang adalah TK B, persiapan

untuk masuk SD.

Page 229: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

215

P : Anak-anak dalam sistem pendidikan Jerman sudah harus memilih antara Hauptschule,

Realshule, atau Gymnasium. Apakah kurikulum Jerman itu sama dalam muatannya dengan

kurikulum Indonesia Bu – dasar-dasar berhitung, bahasa ibu, dsb. – atau berbedakah

sehingga anak-anak ini siap memilih jalur pendidikan yang berbeda-beda pada usia 10

tahun di kelas V?

R72 : Mungkin kalau itu kita tidak membicarakan kurikulum ya, kita membicarakan lebih

menyeluruh, jadi anak-anak di sana lebih dewasa dan lebih mandiri untuk berpikir. Jadi,

apakah itu tergantung hanya dari kurikulum, itu mungkin saya kurang setuju ya, karena itu

juga dari lingkungan sosial di mana mereka hidup. Itu yang mungkin di mana anak-anak

kita belum siap untuk menentukan di usia 10 tahun, nanti bidang apa yang akan mereka

tekuni. Jadi kita mungkin lepas dari kurikulum. Tentu kurikulum itu mempengaruhi karena

kurikulum di Jerman itu dasarnya, basic-nya lebih luas. Karena saya juga punya

pengalaman di sekolah Singapore, sekolah internasional. Kalau di sistem lain, terlepas dari

apa yang bagus dan tidak bagus, semua sistem ada bagusnya, ada jeleknya, itu kalau sistem

Jerman itu lebih luas, dia dasarnya lebih banyak. Jadi menuju ke atasnya, kerucutnya lebih

pendek. Kalau sistem Amerika lebih lancip.

P : Jadi ....

R72 : Basic-nya tidak kuat, tapi dia langsung jadi orang.

P : Basic-nya itu maksud Ibu?

R72 : Pengetahuan umum, filosofi, itu ya .... Tapi kalau kita di sini lebih luas, Artinya kalau kita

di sini di Trilingual bedanya dengan sekolah nasional plus lainnya, terlepas dari bagus dan

tidak bagus, kita lebih menekankan kepada kemandirian dan personality building. Kalau

academic itu bisa kita kejar kalau sudah kelas II, kelas III. Tapi kalau personality building

itu tidak bisa dikejar. You missed it, and you’re lost. Jadi karena itu kita lebih

mementingkan di bawah ini, dari root, dari kepribadian, itu yang memungkinkan, selain

kurikulum yang bagus juga, untuk anak-anak itu kalau nanti usia 9 atau 10 tahun untuk bisa

menentukan apa yang kira-kira dia ingin tuju. Bukan hanya kurikulumnya saja.

P : Apa karena pendekatannya lebih dialogis Bu?

R72 : Mungkin karena mereka lebih mempunyai, apa ya, daya berpikir yang mandiri. Jadi bukan

karena orang tuanya punya pabrik nanti anaknya harus jadi pemilik pabrik? Jadi kalau di

sini kan kalau dia datang dari keluarga apa nanti anaknya akan jadi apa, tentu di Jerman

juga ada. Tetapi tentu ada juga orang yang menjadi dokter meskipun ayahnya itu tukang

tembok, umpamanya. Kalau di sini itu mustahil. Karena keadaan sosialnya, karena macam-

macam. Tetapi bukan itu saja. Saya rasa itu adalah kemandirian di antara diri yang

dibangun.

P : Berarti itu datang dari keluarga yang ....

R72 : Bukan hanya keluarga. Sekolah juga mempengaruhi, ya. Sekolah juga, keluarga juga,

lingkungan juga, sosial .... Itu yang mungkin berbeda dengan di Indonesia, di Jerman.

Kalau di Jerman kita harus mandiri. Kalau tidak mandiri tidak bisa karena anak mulai kelas

I sudah sekolah sendiri, tidak ada yang diantarkan. Mereka naik bus, jalan, underground.

Karena itu juga ada sistem sekolah yang tidak boleh terlalu jauh dari rumah supaya anak itu

bisa mandiri dan bisa mengikuti jalan ke sekolah sendiri. Itu adalah satu step yang di sini

tidak ada.

P : Saat ini di Indonesia sedang marak kurikulum dengan character building, tetapi seringkali

ternyata itu adalah pelajaran yang diberikan 1-2 jam seminggu atau dulu ada pelajaran budi

pekerti yang dikeluhkan banyak orang perlu diadakan lagi. Apakah di Jerman ada pelajaran

seperti itu atau ...?

Page 230: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

216

R72 : Ya, it’s a hidden curriculum, jadi hidden curriculum yang dijalani sehari-hari. Jadi kalau di

sekolah Jerman, SMA begitu, jarang di sekolah ada peraturan seperti kalau di sini tidak

boleh pakai ini, pakai itu, rambutnya harus .... Itu kalau di Jerman tidak ada. Bukannya

tidak ada, tidak tertulis. Jadi biasanya anak-anak dituntut untuk bisa mengerti apa yang

bagus, apa yang tidak bagus, dan apa yang bisa dipertanggungjawabkan oleh dirinya

sendiri. Jadi itu mungkin yang lebih membangun dan yang berbeda dengan sistem kita di

sini. Jadi, kalau kita mengatakan tentang kurikulum, memang kalau ini kurikulum, it’s a

curriculum, tapi curriculum is not everything dari pendidikan itu. Ada sistem sosialnya juga

yang penting.

P : Di Jerman, Grundschule berakhir di kelas IV ya Bu?

R72 : Di Jerman ya? Ya.

P : Apakah ada sistem ―tidak naik kelas‖ Bu?

R72 : Sebetulnya di Jerman itu jarang sekali ada anak yang tidak naik kelas. Secara tertulis, bisa

terjadi. Tapi jarang sekali. Dan itu kita lihat bukan hanya dari kemampuan akademiknya

saja, tapi juga dari kemandirian secara usia. Jadi kadang-kadang ada anak yang bukan

waktunya. Bukan dia tidak bisa, belum waktunya. Itu biasanya kita menganjurkan kepada

orang tua untuk menahan satu tahun. Tapi kalau orang tua bilang tidak, ya sudah.

P : Di akhir dari Grundschule apakah juga dikenal ujian akhir Bu?

R72 : Kalau seperti di sini itu hanya ada SMA. Kalau ujian seperti di SD, SMP, itu tidak ada. Kita

hanya pakai seperti ulangan-ulangan harian, atau mungkin di sini disebutnya ulangan

umum ya? Ulangan-ulangan di dalam kelas. Angka-angka yang menentukan, jadi sekolah

sebenarnya lebih fleksibel, anak ini diarahkan ke mana.

P : Apakah di Grundschule diadakan pengenalan profesi-profesi Bu?

R72 : Pengenalan itu dilakukan dengan bermain. Misalnya bermain monopoli itu kan

memperkenalkan profesi bankir. Mungkin juga bukan menjurus untuk membuat dia

memilih menjadi profesi-profesi tertentu, tapi lebih ke profesi-profesi apa, tanggung

jawabnya itu apa. Ada misi tertentu bagi setiap profesi. Jadi apakah dia bekerja sebagai

kuli, mandor, itu juga punya tanggung jawab tertentu. Jadi tanggung jawab itu yang

ditanamkan. Bukan kalau profesi ini, t‘rus bisa jadi ini, t‘rus pendapatannya segini. Nggak.

Ya, lebih ke arah tanggung jawab sosialnya. Soal nantinya dia jadi apa, nggak tahu ya.

P : Bagaimana pemerintah Jerman menekankan tanggung jawab itu pada guru-guru supaya

pesan itu sampai?

R72 : Mungkin itu tanya telur dulu apa ayam dulu. Sama ya. Karena pendidikan untuk mereka

jadi guru itu sudah begitu, dari dulunya. When does it start, I don’t know. Jadi kita tidak

bisa tahu, tapi sebagai guru kita mempunyai tanggung jawab tertentu. Dan itu tentunya

kalau kita mempunyai tanggung jawab kita akan menyampaikan kepada anaknya tanpa kata

mungkin, ya.

P : Apakah di dalam dokumen-dokumen itu tercantum juga Bu, misalnya juga dalam penilaian

terhadap guru ....

R72 : Itu mungkin juga tidak tertulis ya, tapi itu adalah sesuatu yang harus. Syarat yang tidak

tertulis mungkin ya. Kalau seumpama di sekolah-sekolah di Jerman, di kita juga, anak-

anak, siswa kita, kalau sudah berusia 17 dia boleh memilih untuk merokok atau tidak, di

sekolah. Kita mempunyai tempat tertentu, usia tertentu. Jadi kalau mereka mau merokok,

terserah, disediakan tempat bagi mereka. Supaya yang kecil tidak ikut-ikutan jadi mereka

sedikit tersembunyi tempatnya. Dan kalau umpamanya mereka mau merokok di bawah usia

17 tahun orang tuanya harus menulis surat memberikan persetujuan. Karena umur 17 itu

tingkat kedewasaan ya, adult – not adult. Jadi itu adalah suatu tanggung jawab juga. Kalau

Page 231: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

217

mereka merasa it’s good for me, ya go ahead. Tapi kan anak-anak kalau mereka diberi

kesempatan untuk merokok, justru yang merokok sedikit sekali. Kalau tidak boleh, justru

jadi banyak. Itu adalah salah satu contoh dari tanggung jawab tadi, apakah mereka bisa

membawa diri di sekolahan. Jadi kita tidak ada yang tertulis dan tidak ada mata

pelajarannya. Kecuali mungkin Moral Ethik. Itu memang ada pelajarannya. Tapi kalau

Moral Ethik itu lain lagi. Itu lebih luas lagi, tentang religion, tentang ini, tentang itu ....

P : Apakah termasuk filsafat juga Bu?

R72 : Ya. Tapi di beberapa Gymnasium ada yang memberikan filosofi sebagai satu pelajaran

tersendiri, itu terserah kepada sekolahnya. Jadi ada tambahan dari sekolahnya sendiri.

P : Apakah kebanggaan orang Jerman sebagai bangsa yang unggul dalam sains dan teknologi

itu masih tetap kentara Bu?

R72 : Saya rasa sisa-sisanya masih ada. Kita lihat Mercedes misalnya, kita tidak bisa pungkiri

keunggulan teknologi mereka. Tetapi itu bukan jadi satu tujuan. Kembali kepada yang

filosofis tadi, saya kaitkan kembali, bagi generasi muda itu tidak menjadi keharusan. Yang

penting adalah kesadaran tanggung jawab sosial mereka. Tentu ada yang berpikir, jadi

dokter penghasilannya lebih besar daripada jadi ini, jadi itu. Di mana-mana itu tentu ada.

Tetapi ada juga sekarang, daripada susah-susah ambil Gymnasium kemudian harus ujian

akhir, enak juga kalau sudah kerja lebih awal, bisa punya uang sendiri, kemudian nanti

tinggal melanjutkan sekolah malam, dan seterusnya seperti itu. Jadi tidak lagi seperti dulu,

mencari uang itu berarti harus punya titel. Jadi kalau di Jerman jarang sekali ditanya, kamu

tuh sebenarnya sekolahnya apa, itu jarang sekali ditanya di Jerman. Jadi orang tidak peduli

berteman dengan siapa, apakah dia tukang batu, tukang ledeng, tidak penting .... Itu tidak

menjadi indikasi pertama untuk berteman. Tentunya kita tidak bisa membohongi, kita

semua manusia, kita selalu mencari hal-hal yang lebih indah, ya kan .... Itu kita harus

mengakui, tapi itu bukan indikasi pertama untuk mencari teman.

P : Kalau menurut Ibu, bagaimana ya benang merahnya orang Jerman. Dulu kan mereka

terkenal dengan arsitektur dan pujangga-pujangganya, filsuf-filsufnya sementara Inggris

yang lebih terkenal dengan pusat industrinya. Apakah ada satu masa ketika mereka

berjuang untuk menjadi pusat industri kemudian mereka mengubah haluan?

R72 : Mungkin tidak mengubah haluan, tapi menjadi satu kebutuhan. Karena, satu negara yang

tidak punya industri adalah negara yang susah sekali untuk maju, ya kan? Jadi kita bukan

mengatakan bahwa Jerman mempunyai benang merah yang ingin mengantikan posisi

Inggris, tetapi Jerman mempunyai benang merah untuk lebih maju dan itu salah satunya ya

industrinya itu harus dimajukan. Ya, mungkin saya melihatnya dari sudut yang sedikit

berbeda, jadi bukan karena ―Kita harus menjadi ini ... supaya ...‖ ya tentunya itu selalu ada

politik, permainan, ya. Tetapi, secara umumnya ya hharus ada kebangganya. Mungkin

sekarang ada tendensi anak-anak secara, semuanya instan. Baca buku pun instan, kalau

perlu ringkasannya aja. Nah itu umpamanya cukup bahaya juga. Dan itu juga cukup

mempengaruhi Jerman. Bukan karena katanya di Jerman itu banyak filsuf maka semua wah

.... Nggak, di sana banyak juga yang tidak peduli ya? Jadi itu hanya bagian kecil, bagian elit

yang masih menjaga filsuf-filsufnya.

P : Ketika Jerman merasa harus maju dan masuk ke dunia industri, tetapi toh dia tidak

meninggalkan keunggulan budaya-budaya lamanya. Apakah itu didasari oleh suatu sistme

pendidikan yang memungkinkan mereka terus merasa, ―Kita maju dengan teknologi

modern, tetapi kita tetap menghargai yang lama.‖ Dibandingkan dengan Indonesia, kita

ingin maju dengan IPTN dkk.-nya tetapi merasa budaya kita ketinggalam zaman?

Page 232: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

218

R72 : Itu mungkin ada tendensi ke situ juga ya. Jadi ada fase-fase tertentu juga. Biasa saya rasa

perkembangan di dunia seperti siklus, naik-turun. Mereka naik dengan industri, mereka

sedikit melupakan kulturnya. Melupakan bukan karena dengan sengaja, tapi mereka harus

mengejar industrinya. Setelah itu maju, mereka turun lagi, naik lagi. Mungkin mereka

merasa, ―O sekarang ini yang ketinggalan, harus digenjot lagi,‖ saya rasa siklus naik-turun

itu terjadi di mana-mana, juga di Jerman.

P : Apakah mungkin karena pengaruh Jerman memiliki waktu berabad-abad untuk melalui

fase-fase itu sementara Indonesia hanya punya waktu yang jauh lebih singkat Bu?

R72 : Mungkin itu bisa terjadi, karena start-nya kan juga berbeda, di tingkat yang berbeda ya.

Tapi di Jerman pun sekarang ada keluhan tentang komputer karena anak-anak jadi malas

membaca, lebih suka main game di komputer. Jadi mulai banyak program untuk

menggalakkan anak-anak membaca, library programme. Ya mungkin jadi kemampuan

bahasnaya jadi berkurang. Ada juga yang mengatakan, bahasa Jermannya orang Jerman

sendiri menurun, perbendaharaan katanya, estetika bahasanya, itu sudah menurun.

P : Apakah pendidikan yang Ibu lalui ini sama dengan yang Pak Jürgen?

R72 : Saya lain, karena saya kan sekolah sebagai orang asing dan saya itu sebetulnya sekolahnya

bagian Kindergarten dan Pedagogi Sosial, jadi asal saya bukan mainstream pedagogi.

P : Membandingkan sekolah Jerman dan Singapura Bu, apalagi Ibu pernah mengajar di

sekolah Singapura, menurut Ibu ....

R72 : Itu susah untuk dibicarakan, itu saya rasa, tetap saya rasa ya, setiap sistem itu mempunyai

keuntungan dan kerugian sendiri. Kalau di Jerman, karena pendidikan saya di Jerman,

tentunya saya lebih mengatakan sistem ini yang paling cocok untuk saya, untuk saya yang

paling fleksibel. Tapi karena saya pernah mengajar di sekolah Singapura dan saya mengajar

di tingkatan yang cukup tinggi, jadi V, VI, SMP I, II, dan saya mengajar Art. Saya melihat

anak-anak itu tidak kreatif. Karena dari Art kita bisa melihat anak-anak itu kreatif atau

tidak. Apakah itu sesuatu yang salah, saya tidak bisa mengatakan. Mungkin itu yang

diperlukan di Asia. Bisa jadi. Saya tidak tahu. Apakah itu kekurangan, I don’t know. Tapi

kalau saya tentunya, karena background saya dari Jerman, saya tentunya akan mengatakan

sesuatu yang kreatif adalah sesuatu yang paling bagus. Dan sistem-sistem ini memang

kalau Singapura ini strict, ada disiplin-disiplin tertentu tapi ya kehidupan di sini juga strict

dan ada disiplin tertentu kan? Berbeda dengan di Eropa. Karena itu mungkin kita tidak bisa

mengatakan sistem mana yang lebih bagus. Sistem Amerika di Amerika cocok. Sistem

Eropa di Eropa cocok. Sistem Asia di Asia cocok. Dan kalau saya sebagai orang tua, kalau

Anda tanya saya begitu, anak saya akan dicocokkan ke sistem mana, tentunya saya memilih

Eropa karena saya dibesarkan di Eropa, begitu kan? Karena menurut saya itu pengetahuan

umumnya luas, dan basic-nya kuat, nanti jurusannya itu baru bisa ditentukan kalau mereka

sudah lebih besar. Meskipun saya masuk universitas, tidak jarang mahasiswa switch karena

dia merasa, ―Ah ini tidak cocok,‖ lalu dia pindah.

R72 : Satu tambahan, di sekolah Jerman, berkompetisi itu adalah suatu bagian dari upaya untuk

membentuk keunggulan dalam karakter, tetapi bukan itu saja. Sikap yang kompetitif juga

dipandang sebagai upaya mendukung keunggulan akademis dalam sains. Olahraga itu tidak

semata-mata untuk berkeringat atau, tetapi mereka diajarkan kalau misalnya berenang, dia

harus bisa berenang seperti halnya olahragawan. Ada pesan-pesan moral yang diberikan

melalui pelajaran olahraga. Misalnya begitu mereka dikasih aba-aba, menceburkan diri ke

dalam kolam, dalam hitungan tertentu mereka harus bisa melepaskan baju luarnya.

Kemudian mereka juga dilatih untuk berdiri di atas satu kaki dengan posisi tangan tertentu.

Ini diberikan sebagai pemanasan sebelum berenang, tetapi kita juga tahu bahwa dengan

Page 233: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

219

mereka bisa melakukan itu, keseimbangannya akan terlatih dan keseimbangan tubuh yang

terlatih dengan baik akan memiliki pengaruh positif, akan menunjang prestasi akademisnya.

Mungkin yang latihan keseimbangan itu diberikan sejak mereka kelas I SD, tetapi

dampaknya akan terlihat ketika mereka di Gymnasium. Hal-hal seperti ini penting juga,

bukan cuma kurikulum yang tertulis.

A7.3 Responden 73

P : Joseph di DIS sejak kapan?

R73 : Kelas VI. Waktu itu saya pindah masih kelas VIII.

P : Kelas VIII pindah kesini ?

R73 : Waktu saya pindah, saya kelas VIII. Tapi saya nggak boleh langsung ikut kelas VIII. Di

sini foreign, mereka tuh harus ikut 1 tahun Deutsch, full time, 7 jam sehari, one year dan

harus mulai dari pertama kelas VI lagi walaupun dia umurnya sudah tua.

P : Tapi kemudian bisa mengejar juga?

R73 : Kalau benar-benar pintar, bisa. Tapi kalau loncat kelas itu kadang-kadang susah sekali ya.

Untuk orang Jerman saja susah sekali, apalagi untuk orang asing, udah nggak bisa gitu.

P : Joseph sekarang di kelas XI ada berapa bahasa yang digunakan dalam pelajaran?

R73 : Sekarang tiga, jadi 80% bahasa Jerman, 15% bahasa Inggris, dan 5% bahasa Indonesia. Jadi

anak-anak Jerman nanti kan untuk pelajaran pilihannya mereka kan harus belajar bahasa

Prancis, kalau kita nggak usah ikut itu tapi Indonesia.

P : Boleh memilih tapi?

R73 : Sebenarnya boleh, tapi pernah anak-anak Indonesia kan mau lebih enak memilih bahasa

Prancis daripada bahasa Indonesia, kalau dapat chance kan, tapi ternyata bahasa Jerman

saja sudah susah, ngapain ambil yang Prancis lagi? Jadi disarankan ambil yang Indonesia.

P : Berarti Joseph sebelumnya di Indonesia juga?

R73 : Saya di Indonesia terus, dari kecil. Pertama sekolah Korea, Indonesia, Amerika, kemudian

yang keempat di sekolah ini.

P : Waktu di sekolah Indonesia lama?

R73 : Ya, paling lama. Kira-kira 6 tahun, mulai kelas IV. Di sini dari kelas VI sampai XI, sudah 5

tahun.

P : Di sini kan sampai kelas XIII, setelah itu mau melanjutkan ke mana?

R73 : Ke Jerman, mengambil Psikologi.

P : Berarti setelah XIII, langsung Universität?

R73 : Ya.

P : Di sini ada masa pengenalan profesi?

R73 : Paling namanya Ethik ya? Ethik tuh kita belajar filosofi dan dari sana saya mengalami

banyak hal baru yang bisa saya pakai untuk Psikologi.

P : Di dalam pelajaran di DIS ini apakah ada pelajaran pilihan?

R73 : Wajib. Tapi mulai kelas XI ada yang bisa dipilih.

P : Apa itu yang dipilih?

R73 : Jadi Sains itukan ada 3: Kimia, Fisika dan Biologi. Itu kalau di kelas XI salah satu bisa

dipilih dan tidak usah ikut pelajaran itu. Jadi ini semacam milih arah fokus dia. Jadi kalau

dia mau jadi dokter, bagaimana pun Biologi dan Kimia harus ikut. Tapi kebanyakan kelas

kita tuh semuanya nggak mau ikut Kimia karena memang gurunya susah sekali, tetapi ada

beberapa yang nggak ikut Prancis.

P : Joseph sekelas berapa orang?

Page 234: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

220

R73 : Sekarang 14. Dulu pas kelas VI-IX, kelas kita yang paling banyak karena ada 22. Itu udah

hampir seperti sekolah di Indonesia yang 30, tapi banyak yang keluar karena ke Jerman

ataupun ke negara lain, jadi 14 sekarang.

P : Dari pengalaman 6 tahun di sekolah ini, apa yang paling membanggakan dari sekolah ini?

R73 : Ya secara keseluruhan, yang pertama enak ya bisa bahasa Jerman gitu ya, dan pertama

memang saya ke sekolah ini nggak ada tujuan, sebenarnya saya tuh kenapa ya pindah ke

sekolah ini padahal kan itu kan susah sekali. Tapi habis saya bisa bahasa Jerman dan saya

bisa berkomunikasi dengan orang Jerman saya merasa ada tuh chance di future saya untuk

... lebih banyak chance-nya dari orang lain, kalau orang lain cuma bisa satu bahasa, saya

bisa dua, enak kan? Dan kalau sekolah ini tuh maunya semuanya individual, jadi nggak ada

multiple choice, nggak ada dibantu guru satu-satu, semuanya nggak dibantu. Tapi kamu

kerja ini, udah stop. Kita harus yang nyelesaiain, kita yang bikin, dan nggak ada multiple

choice itu mereka emang yang mau mendalami itu yang walaupun kita susah ikut

pelajarannya saya tetep suka banget sistemnya sekolah ini dan, bagaimana ya, sekolahnya

kalau orang lain nanya sekolah di mana tuh, proud of my school aja, aku sekolah di Jerman.

―O, bisa bahasa Jerman?‖ Ya, jadi karena aku bisa bahasa Jerman, jadi saya bisa lebih

banyak chance untuk ... mengaktualisasikan diri.

P : Joseph bisa berapa bahasa?

R73 : Saya, 5: Indonesia, Korea, Jerman, Inggris dan bahasa Mandarin.

P : Orang tua sudah lama di sini ya?

R73 : Ya, sudah 22 tahun.

P : Di antara guru-guru, menurut Joseph, apakah ada karakteristik dari guru-guru berdasarkan

bidang studinya? Misalnya guru ilmu-ilmu sosial ada stereotipe seperti ini, atau guru-guru

ilmu-ilmu alam seperti ini?

R73 : Beda. Kalau di sekolah kita beda sekali. Guru-gurunya tuh nggak asal datang, ngajarin,

pergi. Kelihatannya sama, tapi kalau di sini ada guru Fisika dan Matematika, orangnya tuh

bener-bener mau bikin murid itu ngerti. Udah selesai, udah coba? Dia orangnya cepat

loncat. Tapi guru bahasa Jerman kita beda, kalau dia tuh, setiap kali bawa handout paper,

t‘rus dia siap-siapin semuanya, dia jelasin ini kenapa begini, sampai dia makai waktu

pelajaran lain, sampai udah ngerti baru boleh ke pelajaran berikutnya. Kalau guru Biologi

dia tuh sukanya eksperimen, sampai dia tuh bikin ruangan chemi-bio sendiri, dia suggest ke

sekolah untuk buat Biology Room dan Chemistry Room dan dia tuh udah bikin semua

eksperimen yang dia bisa dan kita dalemin, tapi memagn susah. Jadi semua guru ada

karakternya sendiri dan karena itu kita, murid-murid sekolah ini, jadi lebih mau dateng ke

sekolah dan ikut pelajaran itu daripada, kok dia lagi, dia lagi, tapi sekarang pelajaran dia,

enak banget dan ada karakternya, jadi kita tahu harus bagaimana.

P : Dan semuanys kompeten di bidangnya masing-masing ya?

R73 : Ya, semuanya memang jago-jago.

P : Apakah Joseph merasa sekolah Jerman ini tuntutan sains dan teknologinya lebih tinggi

daripada di sekolah-sekolah lain?

R73 : Sebenernya sih nggak begitu ya. Nggak begitu beda waktu saya sekolah di sekolah

Indonesia dan sekolah Korea, eh Korea nggak ada, soalnya waktu itu masih kecil di sekolah

Korea. Waktu saya di sekolah Indonesia dan Amerika mereka tuh emang sainsnya

mendalami juga dan Indonesia tuh nggak kalah jauh, apalagi Indonesia tuh lebih nggak ada

eksperimennya dan lebih mendalami itu into the point gitu, tapi kalau sekolah sini bagus,

tapi mereka tuh cara bikin ngertinya murid tuh beda. Kalau ngelihat buku misalnya buku

Biologi Indonesia dan buku Biologi Jerman tuh sebenarnya isinya sama, tapi cara

Page 235: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

221

menjelaskannya benar-benar beda. Kalau orang Jerman tuh kayak bikin mudah sekali anak-

anaknya ngerti. Mereka tuh bikin eksperimen baru supaya anak-anak itu bener-bener

mengerti. Kalau Indonesia isinya sama, dan bagus, tapi mereka tuh lebih cuma ke tulisan,

poin-poinnya, anak-anak itu harus ngerti tanpa eksperimen. Jadi di sini tuh lebih banyak

chance untuk eksperimen, itu yang bagus.

P : Apakah dengan chance banyak eksperimen itu juga lebih menggugah rasa ingin tahulebih

banyak?

R73 : Lebih banyak.

P : Kemudian dari proses yang cukup panjang di Gymnasium ini dari kelas V sanpai kelas XIII

apakah ada guru untuk konseling? Untuk misalkan ada permasalahan apa di kelas atau

bingung mau memilih jurusan atau mau kuliah di mana ....

R73 : Ada, jadi itu tuh sebenernya guru tutor, mereka tuh punya pengetahuan soal universitas dan

sekolah-sekolah, jadi kalau kita ada masalah kita bilangnya ke dia. Waktu itu saya bilang,

saya tuh mau jadi psikolog, tapi nilai saya nggak begitu bagus. Nah dia bilang, ―Oh kalau

mau kayak gini, kayak gini,‖ kalau mau turun kelas, biar nilaimu bagus, atau seperti ini dan

itu. Mereka tuh jawabannya memang bikin puas gitu. Kita memang nggak perlu konselor

yang bener-bener cuman konselor gitu, guru-guru kita memang udah experienced, mereka

tuh udah cukup bisa jadi counsellor kita dan mereka setiap saat ada untuk membantu.

P : Menurut Joseph, apa ciri khas pendidikan Jerman yang Joseph jalani ini?

R73 : Orang Jerman tuh memagn paling paling jago untuk mikir yang mendalam, ya. Apakah itu

Sains, atau Jerman atau bahasa Inggris, itu nggak pengaruh. Jadi ada orang yang kalau

kasih tahu satu plus satu itu dua tahunya cuma satu plus satu, dua. Tapi kalau orang Jerman

kasih tahu satu plus satu dua mereka tuh tahu semua, dua minus satu itu satu, dan dua plus

satu itu bakal jadi tiga, mereka tahu semua. Hebat banget mereka, karena dari dulu mereka

belajarnya tanpa multiple choice. Apakah itu Sains atau nggak, kalau mereka belajar,

mereka tahu semua, nggak tahu kenapa. Bisa mereka langsung tahu begitu. Padahal kalau

saya sama teman-teman saya yang lain, ―Hah? Kok tahu?‖

P : Joseph setelah menjadi psikolog, apa yang mau dilakukan?

R73 : Sebenernya sih tujuan saya sih maunya dari dulu mau passion diri saya, soal diri saya dan

UNICEF tuh kok masih ada di dunia banyak orang yang miskin dan anak-anak di Afrika

masih meninggal setiap saat. Itu pertanyaan bagi saya, saya kalau bisa dengan psikolog ini

mau bener-benar, memang nggak tahu bisa terjadi nggak ya, bener-bener mau nolong soal

kemiskinan, bukan soal kemiskinan, tapi anak-anak di Afrika itu ada hak untuk hidup

seperti kita ini. Wish saya tuh, tujuan saya tuh kalau bisa dengan kemampuan saya yang

kecil ini memperbaiki, apa ya, membantu anak-anak yang nggak miskin, nggak bisa makan

dan sakit AIDS padahal mereka tuh bisa belajar mereka tuh bisa build new continent, new

future-lah di Afrika. Nggak cuma Asia, nggak cuma Amerika dan Eropa yang punya hak

untuk bangkit dan jadi kayak gini, cuma mereka tuh mulainya dengan kemiskinan, karena

itu yah susah bangkitnya. Kalau itu saya udah tercapai ya udah saya nggak punya wish lagi.

P : Udah lana belum punya wish kayak gini?

R73 : Dari kecil, ya.

P : Dari kecil?

R73 : Ya kayaknya dari kecil emang udah punya mimpi kayak gini, kalau lihat TV mikirnya, we

must help the kids, we must help the kids. Sekarang juga banyak anak-anak yang meninggal

dan nggak ada bedanya, malah tambah parah, dunianya tambah parah ....

P : Apa kontribusi pendidikan di DIS ini terhadap mimpi kamu?

Page 236: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

222

R73 : Bahasa dan Ethik. Ya karena Bahasa itu enabling dan dari Ethik kita bisa mempelajari

kepercayaan orang dan dari kepercayaan itu masih bisa dibedakan lagi. Dari Ethik itu kita

bisa langsung ambil intinya, bisa lihat masalah lebih luas. Dan tujuan saya tuh bisa belajar

semua agama, nggak cuma satu, biar kan tahu bedanya apa, sebenarnya kan tujuannya satu,

hidup baik tanpa dosa, dan Tuhan mencintai kami, udah, nantinya kita ke surga. Tapi

kenapa kita ada banyak agama?

A7.4 Responden 74

P : Katharina dari kelas?

R74 : XIII. Itu berarti Gymnasium yang terakhir?

P : XIII itu berati gymnasium yang terakhir begitu?

R74 : Ya.

P : Katharina di sini sejak kelas?

R74 : Sejak Kindergarten, saya di sini Kindergarten-nya 3 tahun, dari pertama kali sekolah

sampai sekarang di sini.

P : Setelah ini rencananya akan melanjutkan kuliah di?

R74 : Vienna.

P : Jurusan?

R74 : Jurusan International Business.

P : Saya ingin berfokus ke Gymnasium, selama 6 tahun ya?

R74 : Ya, ada masa orientasi kelas V dan VI, kemudian masuk kelas VII sampai XIII, jadi 6

tahun.

P : Selama di Gymnasium ini pelajarannya kan ada yang wajib, ada yang pilihan ya?

R74 : Ya, tapi pelajaran pilihan itu baru bisa pilih kelas XII, XIII.

P : Hanya 2 tahun terakhir?

R74 : Ya, 2 tahun terakhir, yang lainnya nggak ada yang bisa dipilih.

P : Nah dalam seminggu ada berapa jam pelajaran?

R74 : 32 jam.

P : Ketika boleh memilih penjurusan, apakah ada kecenderungan di antara teman-teman

sekelas untuk memilih jurusan tertentu, misalnya ilmu-ilmu sosial atau ilmu-ilmu alam?

R74 : Sebenarnya kan penjurusan baru bisa di kelas XII dan XIII, jadi hanya dua tahun. Kalau

mau ilmu sosial yang ada cuma bahasa Prancis. Kalau yang lainnya, bis amemilih Fisika,

Kimia atau Biologi. Ada 4 pilihan. Dan kita pun harus ambil 3, keluarin 1. Jadi yang ambil

Sains, mereka pasti keluarin Prancis, tapi kalau yang ambil Prancis bisa memilih

mengeluarkan yang mana saja, salah satu dari tiga itu. Saya sih mengeluarkan Kimia, tapi

ada juga yang ambil Prancis, mengeluarkan Biologi, harus lihat dari angka-angkanya, yang

mana yang paling bisa.

P : Motivasi memilih mengeluarkan yang mana itu apa ya?

R74 : Motivasinya sih beda-beda ya. Kalau saya dari nilai sih bisa-bisa aja, tapi saya lebih

berminat ke bahasa karena kalau saya mau kuliah itu bisa dua bahasa, salah satunya

Prancis. Jadi saya sudah mikir panjang, karena kuliahnya mau itu. Tapi kalau yang lainnya

saya nggak tahu. Ada yang karena angka, ada yang karena apa ... saya juga nggak tahu.

P : Apakah di sini ada karakteristik tertentu yang menandai guru-guru ilmu alam dan

membedakan mereka dari guru-guru ilmu sosial, dan sebaliknya?

Page 237: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

223

R74 : Ya ada lah. Pasti mereka ketahuan, oh yang kayak begini ini pasti guru-guru ilmu alam,

yang sains-sains gitu. Kalau yang udah guru-guru yang kayak begini, yang kacamata, pasti

guru Jerman, Literatur Inggris, kelihatanlah. Ada juga sih yang funky-funky jadi nggak

kelihatan begitu.

P : Nah kalau begitu, apakaha ada stigma tertentu yang melekat pada guru-guru ini, misalnya

perbedaan kualitas atau hal-hal lainnya?

R74 : Nggak bisa dibilang kayak gitu ya, semuanya sih kualitasnya tinggi, tapi memang sama-

sama tinggi. Kalau dari cara didaktika, cara mengajarnya sih bagus. Bagus juga bahwa cara

mengajarnya beda-beda, karena kalau Biologi atau Kimia kita lebih pakai PowerPoint

presentation, kalau literatur kita based on the text, jadi dari dua-dua sisi kita dapat, jadi kita

benar-benar berasa penuh, jadi merasa enak gitu kan.

P : Untuk Katharina, dari semua yang dialami di sekolah Jerman ini, apa yang paling

dibanggakan, poin yang lebih dibandingkan sekolah lain?

R74 : Dari sisi pendidikannya atau dari sisi ambiance sekolahnya?

P : Dua-duanya.

R74 : Kalau dari sisi pendidikannya sih saya sangat suka banget karena kalau misalnya kayak

Literatur, kita bisa belajar dari Literatur orang Jerman karena mereka kaya banget, yang

pinter-pinter, itu kaya banget. Atau kita masuk ke ilmu alam, kayak Einstein, jadi kita

nggak perlu ke Amerika, nggak perlu ke mana-mana. Dari negaranya sendiri itu kaya

banget, OK ini bisa jadi idola gue karena begini, begini. Jadi saya merasa enak aja. I think

it’s good. Dari cara diajarinnya juga bukan gurunya yang ngomong melulu tapi terus kita

disuruh ngafal, jadi dia tanya kita gitu bener nggak sih atau lu cuma ngafal doang karena

kalaupun kita ngafal doang, mungkin exam-nya bagus tapi kerjaan di kelasnya pasti dapet

minus, kalau kita ngafal doang, gurunya pasti akan tahu. T‘rus kalau dari sisi ambiance-nya

tuh enak, guru udah kayak teman, karena saking dikitnya kita, di kelas saya cuma 11 orang,

jadi bener-bener kayak temen dan semuanya bisa dapet attention gurunya, jadi gurunya

pasti akan nyadar kalau satunya nggak ngomong apa-apa atau ngantuk, jadi pasti kita yang

nggak tahu sebenarnya gurunya jadi nyambung. Kita community-nya juga kecil kita, nggak

yang senioritas. Kadang-kadang kalau lagi lunch break saya duduk dengan anak kelas IX,

ngobrol-ngobrol, dan dari dulu waktu kecil juga ngobrol sama anak gede juga nggak

masalah, jadi enak gitu. Nggak ada mayoritas lu harus tunduk sama gue gitu.

P : Apakah di sini ada sistem wali kelas?

R74 : Ada.

P : Guru konselor?

R74 : Untuk guru konselor setiap tahun kita memilih satu guru.

P : Murid ya yang memilih?

R74 : Ya, murid yang memilih, jadi kita tanya guru yang mana yang mau, karena kita kan sistem

OSIS kita juga punya, jadi pilih ketua OSIS. Ini cuma pilih ketua OSIS, t‘rus pilih wali

kelas, t‘rus mereka punya satu meeting gitu, baru dari pertemuan itu kita milih counselling

teacher-nya.

P : O, wali kelasnya juga dipilih?

R74 : Ya.

Page 238: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

224

A8. Wawancara di Lycée International Français

Bagan sistem pendidikan Prancis yang digunakan dalam proses wawancara ini tersedia pada

lampiran B2.

A8.1 Responden 81

Transkrip ini merupakan terjemahan dari wawancara yang dilakukan dalam bahasa Prancis.

Istilah-istilah teknis tidak diterjemahkan. Bagan sistem pendidikan Prancis tersedia pada

R81 : Tugas utama saya adalah sebagai conseillère de principale d’education, komunikator antara

Sekolah dan murid-murid, saya menangani sistem, jadi saya bukan seorang yang sehari-hari

berfungsi sebagai spesialis dalam ilmu-ilmu sosial.

P : Seperti wakil kepala sekolah?

R81 : Ya, kira-kira seperti itu.

P : Tetapi Ibu mengajar bahasa Jerman?

R81 : Saya mengajar bahasa Jerman, baik untuk jurusan Sains maupun untuk jurusan Ilmu-Ilmu

Sosial, juga untuk kelas Literatur.

P : Fokus saya adalah pada Lycée. Apakah di sini hanya ada Lycée atau juga jenjang lainnya?

R81 : Tidak, di sini ada semua jenjang, mulai dari Maternelle sampai Lycée. Kami punya semua

jenjang, mulai dari pendidikan untuk anak berusia 3 tahun sampai jenjang Terminale.

P : Dan setelah Terminale, anak-anak ini melanjutkan studinya ke mana, Bu?

R81 : Bermacam-macam. Ada yang ke Prancis, tapi ada juga yang ke Amerika Serikat, ke

Inggris, ada juga yang tetap di sini, ke SGU.

P : Jurusan yang ada pada tingkat Terminale apa saja ya Bu?

R81 : Di sini kami ada jurusan ES (Économique et Sociale), S (Scientifique).

P : Jadi di sini ada dua jurusan?

R81 : Jadi, anak-anak memilih jurusan mereka setelah Seconde. Ya? Di sini kami memiliki

Terminale générale. Tidak ada Technologique. Kami punya Première générale, juga ada

Seconde générale. Jadi di sini, untuk jurusannya, kami punya ES dan S. Kami tidak punya

L (Lettres classique) karena tidak ada cukup murid yang berminat ke jurusan itu.

P : Seperti di Indonesia, jurusan ini juga tidak populer ya Bu?

R81 : Kita tidak ada banyak yang mau kuliah itu dan mungkin ada dua anak saja atau begitu, dan

itu tidak cukup. Jadi, setelah anak masuk dari Troisième, anak-anak sudah bisa memilih di

antara jurusan apa spemilihan jurusan dilakukan, bisa itu lebih Teknik seperti di sini STM

atau yang kita ada di sini, Seconde générale et technologique. Dan kita punya yang ini aja.

Setelah itu mereka bisa ke Première classique yang kita punya atau Première

technologique dan mereka mungkin sudah bisa jadi mekanik ....

P : Jadi, kalau melihat skema, anak-anak bisa memilih antara Baccalauréat, BEP dan CAP?

R81 : Kalau Bac. itu pada umumnya, pada umumnya ya, anak-anaknya lebih baik daripada yang

BEP atau CAP, tapi tidak selalu. Ada juga orang yang memang semata-mata karena tidak

suka sistem model sekolah, tapi hebat untuk jadi mekanik, jadi mereka lebih baik memang

siap bekerja sesuai minat mereka, walaupun Bac. itu lebih disukai. Yang dua lainnya ini

lebih praktis, lebih ke praktek, seperti bengkel. Mereka sistemnya seperti magang. Dua

minggu di bengkel, kemudian belajar teorinya, kemudian magang lagi, lebih praktikal.

Page 239: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

225

Bicara mengenai sistem pendidikan secara umum, sistem Jerman misalnya, bagi mereka

magang itu sesuatu yang sangat penting. Mereka mengembangkan sistem pemagangan

yang sangat baik. Tidak demikian dengan sistem Prancis. Orang Prancis tidak menyukai

sistem magang.

P : Kalau begitu, bagaimana murid-murid memilih di antara sekolah-sekolah yang ditawarkan

ini?

R81 : Ada berbagai tahap orientasi, misalnya di dalam Collège mereka dipaparkan mengenai

berbagai sistem pendidikan yang berbeda antara CAP, BEP, Seconde. Jadi mereka tahu

semua kemungkinannya. Setelah itu mereka menimbang bakat dan minat akademiknya,

juga minatnya untuk bekerja, para guru lantas menganjurkan masing-masing murid untuk

masuk ke sekolah dan jurusan tertentu.

P : Bagaimana dengan para orang tua mereka? Apakah ada perasaan bangga ketika anak-anak

mereka masuk ke sekolah tertentu?

R81 : Tentu saja. Kalau bisa, semua masuk ke Bac., tapi kalau bicara soal persentase saya tidak

tahu, mungkin Pak Rigaux bisa memberitahu lebih detail soal angka-angka itu. Semakin

lama memang semakin banyak anak masuk ke Bac., mereka mengambil Bac., lalu baru

mengambil spesialisasi profesional.

P : Apakah sistem pendidikan ini gratis?

R81 : Ya, gratis.

P : Hingga SMA?

R81 : Hingga universitas! Tapi hingga SMA, orang tidak bisa memilih akan bersekolah di mana,

untuk sistem pemerintah. Kalau saya tinggal di Cipete, maka saya harus bersekolah di SMA

Cipete. Tapi selalu ada SMA paralel yang diselenggarakan oleh swasta, itu bisa memilih di

mana kita mau bersekolah, tetapi kita harus membayar lagi.

P : Ketika murid-murid harus memilih di antara jurusan-jurusan yang ada ...

R81 : Ya, ada ES atau S atau L ...

P : Ya, siapa yang membuat keputusan murid ini masuk ke mana?

R81 : Ah, keputusannya! Keputusan ini dibuat oleh conseille de classe yang terdiri dari guru, dua

murid dan dua orang tua, dan semua guru yang mengajar di kelas itu, seorang kepala

sekolah dan juga CPE, conseillère de principale d’education, yaitu saya. Kami membuat

keputusan apakah murid-murid ini masuk ES atau S atau L.

P : Dan hal itu didiskusikan bersama?

R81 : Ya.

P : Dan murid-murid yang ikut di dalam conseille de classe itu juga punya hak yang sama

untuk berbicara?

R81 : Ya. Mereka boleh melakukan pembelaan atas teman-temannya, menjelaskan kondisi

teman-temannya itu dan ikut terlibat dalam perdebatan untuk memutuskan jurusan dan

kenaikan kelas untuk kelas mereka.

P : Setelah keputusan itu dibuat ....

R81 : Setelah itu keputusan diserahkan kepada orang tua, mereka bisa memilih untuk menerima

atau tidak. Ada komisi juga yang menangani naik banding ketidakpuasan orang tua. Mereka

akan menimbang argumen orang tua murid, argumen murid itu sendiri, keputusan yang

dibuat oleh conseille de classe dan setelah itu membuat keputusan mereka.

P : Semua murid harus bersekolah hingga usia?

R81 : 16 tahun, wajib.

P : Apakah menurut Ibu gengsi itu sesuatu yang penting bagi orang tua?

Page 240: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

226

R81 : Ya, tentu saja. Itu sangat menonjol. Apalagi di Indonesia. Di Prancis juga mungkin ada,

tapi tidak terlalu menonjol. Biasanya yang paling menonjol memang masuk ke Bac. jurusan

S. Itu yang paling kentara. Sama seperti sekolah-sekolah lain di Indonesia, nampaknya.

Tentu saja kita berupaya menjelaskan kepada orang tua murid dan juga kepada murid-

murid, bahwa S itu bukan segalanya. Lebih baik menjadi murid yang unggul di ES daripada

biasa-biasa saja di S, juga demikian kalau mereka bisa menjadi murid yang unggul di L.

Tetapi ada kesan bahwa bahwa yang S itu lebih unggul dan seringkali kami harus

memberikan penjelasan lagi kepada orang tua murid.

P : Murid-murid di sini apakah kebanyakan berasal dari Prancis Bu?

R81 : Ah, tidak. Ada banyak kebangsaan. Ada orang Italia, Maroko, Tunisia, negara-negara

berbahasa Prancis, juga orang Indonesia, mereka yang orang tuanya bekerja di kedutaan

besar Prancis.

P : Anda menyebutkan ada perbedaan citra antara S, ES dan L. Apakah hal yang sama terjadi

juga di Prancis?

R81 : Ya, banyak murid ingin masuk ke S, tapi persentasenya tidak terlalu menonjol seperti di

sini. Memang ada lebih sedikit L dibandingkan ES, tapi tidak terlalu berbeda jauh. ES dan

S kira-kira hampir sebanding jumlahnya, karena banyak orang yang tertarik belajar

Ekonomi dan itu ada di ES, sama seperti banyak orang tertarik ke S. Kalau orang mau

masuk ke dunia bisnis, mau jadi pengusaha, ya mereka akan memilih ES.

P : Jika orang ingin menjadi seorang guru, apakah ia harus memilih jurusan tertentu di

universitas?

R81 : Tidak. Mereka tetap mengambil Baccaulauréat générale, setelah itu orang mengambil

kelas persiapan dan lalu mengambil concours, untuk kemudian mendapatkan sertifikasi.

Pendidikan profesi ini melibatkan pendidikan pedagogi tapi orang juga harus mengajar

dalam masa persiapan ini.

P : Di dalam sistem pendidikan Jerman, setiap guru harus menguasai setidaknya dua bidang

studi ....

R81 : Ya, dua. Kalau kami di Prancis hanya satu bidang.

P : Di dalam sistem Indonesia, dengan satu bidang studi juga, itu terkadang menimbulkan

kesenjangan karena guru terlabeli dengan bidang yang dia ajar, sedangkan ilmu-ilmu sosial

dipandang bisa dikuasai cukup dengan membaca buku tanpa memerlukan gurunya, cukup

dengan menghafal. Juga, guru-guru MIPA bisa memberikan les tambahan sehingga dari

segi penghasilan pun, guru-guru MIPA memiliki pendapatan yang lebih besar. Gengsinya

berbeda antara guru-guru MIPA dan guru-guru ilmu-ilmu sosial.

R81 : O, ya ... saya mengerti. Tidak, itu tidak terjadi dalam sistem Prancis. Sama sekali tidak

terjadi. Kami menghargai ilmu-ilmu sosial, Sejarah dan Geografi, kebudayaan. Hingga

Baccaulauréat semua ilmu diajarkan secara setara. Misalnya seorang murid S dengan

Matematika, Fisika dan Biologi sebagai pelajaran utama, tetap harus belajar Filsafat, bahasa

Prancis, Sejarah-Geografi dan bahasa Inggris. Itu semua harus dipelajari karena sistem

Prancis menuntut semacam pemahaman sejarah secara umum. Jadi semu aguru saling

menghargai sebagai rekan kerja. Walaupun saya guru bahasa Jerman, saya tidak

mempunyai kesan bahwa pelajaran lainnya tidak berguna. Sama sekali tidak. Murid-murid

pun tahu bahwa walaupun pelajaran-pelajaran tidak memiliki jumlah jam pelajarna yang

sama, tetapi semuanya akan berguna kelak. Dengan Sejarah-Geografi mereka akan

mengenal kebudayaan dan itu akan menjadi bekal yang baik bagi mereka, apa pun jurusan

mereka. Dan di Prancis, tidak ada yang namanya les. Para guru memberikan yang terbaik

yang mereka bisa berikan dan tidak ada yang cuma membacakan buku. Mereka hadir untuk

Page 241: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

227

mengajar. Memang ada hal-hal yang perlu dihafal, tetapi guru hadir untuk menjelaskan

maknanya, untuk membantu murid melihat dokumen yang dihafalkan dari perspektif yang

lebih kaya sehingga menghafal memampukan murid untuk menganalisis lebih mendalam.

P : Apakah di dalam sistem pendidikan Prancis terjadi dikotomi ....

R81 : Sebaliknya, ada pembedaan yang sangat jelas dalam hal concours dan latar belakang

pendidikan.

P : Jenjangnya?

R81 : Bukan jenjangnya. Tapi dari sekolah mana, sertifikasi apa yang didapat. Bukan soal tingkat

pendidikannya. Sistem pendidikan Prancis adalah sistem yang sangat elitis. Bagi saya, itu

sangat terasa. Itu selama karena concours itu. Selalu concours. Di mana-mana concours,

jadi orang-orang yang terbaik akan masuk ke universitas top, lalu berikutnya berurut, jadi

selalu persaingan di mana-mana dan sekali bisa masuk ke universitas yang top, kebanggaan

itu dibawa seumur hidup. Bisa saja sudah puluhan tahun lulus dari sekolah, kemudian dua

orang Prancis bertemu di Indonesia, masing-masing akan bertanya, ―Dulu lulusan sekolah

mana?‖ Dijawab, sekolah A, ―Wah, kurang bagus ya sekolahnya?‖ Jadi selalu yang terbaik

dari yang terbaik.

P : Apakah itu berpengaruh terhadap potensi gaji dan kariernya?

R81 : Gaji tidak. Karier, ya. Nanti kalau sudah ikut kelas persiapan, dan itu ada concours lagi.

P : O, ada concours lagi? Ada banyak concours?

R81 : Ya! Selalu ada concours, concours di mana-mana! Selalu yang paling bagus dari yang

bagusnya dan artinya, ya pasti bagus mereka. Kalau universitas, semua yang punya Bac.

pasti boleh masuk, tapi kalau concours nggak, hanya yang paling bagus. Kalau saya bikin

CAPES itu, Jerman ya, bukannya saya tidak bagus, tapi saya dari yang bisa, saya yang

kurang bagus, mereka ambil yang paling bagus. Paling susah dua tahun kelas préparatoire,

sesudah itu ya sudah. Tidak ada lagi. Dan kelas préparatoire itu sudah spesifik, nantinya

mau jurusan apa. Itu dua tahun cuma buat belajar buat dapat concours-nya, buat masuk ke

École yang paling bagus.

P : Apakah orang juga melihat gelar yang dicantumkan bersama dengan nama?

R81 : O, nggak. Nggak. Tapi kalau di CV-nya itu harus, o, saya dari École ini, École itu. Jadi

seperti di sini, ekspat.-ekspat. semua, jadi ada hierarkhinya, saling bertanya seperti tadi itu,

―O, lulus dari mana waktu kuliah itu?‖ Jadi ya itu yang elitisnya.

P : Menurut Ibu, apa yang paling unggul dari sistem pendidikan Prancis?

R81 : Membuka perspektif yang luas untuk semua orang. Kewajiban untuk semua orang, terlepas

dari jurusan yang dipilihnya, untuk mengambil juga pelajaran-pelajaran Sejarah-Geografi,

Filsafat ... sehingga jiwanya bisa terbuka secara luas (une ouverture d’esprit). Sebaliknya,

sistem Amerika, sangat terspesialis. Di Prancis, orang mengakui juga bahwa murid perlu

dibukakan perspektif yang luas, jangan terlalu cepat jadi spesialis. Pada akhirnya dia akan

menjadi spesialis dan untuk itu ada kelas persiapan, tapi dia juga harus tahu bahasa dan

kebudayaan Prancis. Menurut saya, itu yang paling penting dari sistem pendidikan Prancis.

P : Pemikiran apa ya yang melandasi hal itu Bu? Bukankah kalau orang jadi montir atau supir

atau juru masak, dia tidak akan membutuhkan filsafat itu?

R81 : Ya, tentu mereka tidak memerlukan filsafat, tapi ya itu untuk membuka jiwa mereka,

membuka wawasan mereka, sehingga apa pun profesi mereka, mereka bisa memandang

kehidupan secara luas. Juga, supaya mereka mengenal bangsanya, pemikiran-pemikiran

bangsanya. Sangat penting orang belajar latar belakang bangsanya, bangga dengan

bangsanya. Orang Prancis sangat mencintai Prancis dan bangga menjadi bangsa Prancis.

Sangat penting mengenal tanah airnya, menguasai bahasanya. Dan memang saya melihat di

Page 242: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

228

Indonesia orang banyak sekali menghafal, tidak berefleksi. Di dalam sistem Prancis, orang

juga masih menghafal, tetapi juga banyak berefleksi. Kalau sistem Jerman, mereka sangat

condong ke refleksi, banyak sekali refleksi, lebih daripada sistem Prancis.

Saya berharap sistem Indonesia semakin baik, saya lihat belakangan memang sudah ada

perbaikan-perbaikan, anaknya sudah mulai boleh berbicara, tidak hanya gurunya yang

bicara. Saya pikir itu yang paling penting, bahwa murid berefleksi. Di dalam sistem

Indonesia, bukan saja murid hanya menghafal dan tidak boleh berbicara, tetapi juga tidak

dikasih tahu bagaimana bisanya. Kalau di sistem Prancis atau Jerman, kita coba diskusi,

kita ada dokumennya, apa artinya, apa yang bagus apa yang ... kalau di Indonesia, ini hafal,

tapi artinya apa, dan buat apa nanti. Dan itu harus diubah, supaya anak juga belajar

bertanggung jawab. Kalau saya lihat, ―O bukan saya, ini ....‖ Yang salah biasanya yang

lain, tidak bisa retrospeksi, ―O ya, ini memang saya yang salah, karena begini ....‖ Memang

boleh ya, bisa saja kita salah. Tetapi di Indonesia karena pendidikannya begitu, nggak ada

refleksi.

Apakah saya sudah menjawab dengan baik?

P : Ya. Terima kasih, Mme Carole.

R81 : Tapi pasti ... memang dulu, waktu saya kuliah, ―O pasti, itu harus Science‖, harus. Waktu

saya itu murid yang bagus, mau atau tidak mau, harus ikut Science dan itu memang kurang

bagus ya.

P : O sempat terjadi begitu juga di Prancis?

R81 : Ya, dulu, 20 tahun yang lalu. Sekarang OK, sudah mulai lebih open ya, tapi di belakang itu

masih ada sedikit ya. Bon!

P : Baik, Ibu. Terima kasih.

A8.2 Responden 82

Transkrip ini merupakan terjemahan dari wawancara yang dilakukan dalam bahasa Prancis.

Istilah-istilah teknis tidak diterjemahkan.

P : Pak Philippe, Bapak mengajar Sejarah-Geografi?

R82 : Ya, Sejarah-dan-Geografi.

P : Anda sudah lama tinggal di Indonesia?

R82 : 14 tahun.

P : Kalau demikian, mungkin Anda menyadari bahwa di antara orang Indonesia, Sejarah dan

Geografi adalah ilmu yang kurang dihargai?

R82 : Ya, itu sangat kentara. Setelah tsunami di Aceh, saya bersama teman-teman di Prancis dan

kolega-kolega dari Prancis yang ada di Indonesia membentuk satu yayasan untuk

membangun kembali sekolah-sekolah di Aceh. Kami membangun 37 sekolah. Kami juga

menyumbangkan buku-buku. Saya menemukan bahwa ada sedikit sekali bahan bacaan

mengenai Indonesia sendiri. Di Prancis, ketika kita berbicara mengenai sejarah, kita tidak

hanya bicara mengenai sejarah Prancis, tetapi juga sejarah secara umum, sejarah dunia.

P : Murid-murid, terlepas dari jurusannya, tetap harus mengambil Sejarah-Geografi?

R82 : Ya. Untuk SMP, mereka mendapatkan pelajaran ini 3 jam seminggu. Itu untuk Sejarah,

Geografi dan Pendidikan Kewarganegaraan. Mereka mulai dengan mempelajari peradaban

mula-mula, Mesir, masyarakat Ibrani dengan Abraham dan keturunannya, Yunani dan awal

mula demokrasi, Atena, lalu orang mempelajari Aleksander Agung dan Makedonia.

Page 243: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

229

Kemudian Roma, perluasan ke Mediterania. Hal ini diakhiri dengan penyerangan bangsa

Barbar. Untuk Geografi, mereka belajar isu-isu yang umum seperti populasi dan demografi.

Dalam Pendidikan Kewarganegaran, mereka belajar tentang kewarganegaraan, hidup

bersama, berorganisasi, masyarakat, dan seterusnya. Itu di kelas I SMP.

Di SMP kelas II, sejarah dilanjutkan hingga abad-abad pertengahan. Untuk saya yang

mengajar di Indonesia, materinya disesuaikan seperti Sunda Kelapa, perjalanan sejarah

lokal, kerajaan-kerajaan setempat. Dalam Geografi, mereka belajar benua Afrika, China,

Asia, hingga materi khusus mengenai Indonesia, juga benua Amerika. Di kelas III materi

ini diteruskan hingga Perang Dunia I beserta aspek-aspek kultural dan kebangsaannya.

Dalam Geografi dibicarakan mengenai Eropa dan berbagai bangsanya, serta berbagai

pertanyaan tentang eksistensi Eropa. Selain itu juga dibicarakan isu-isu kontemporer di

masyarakat.

Di tingkat SMA, materi yang sama diulang secara kronologis tetapi dengan diskusi yang

lebih luas sesuai dengan kapasitas para murid.

P : Faktor apa yang membuat Sejarah-Geografi menjadi pelajaran yang sangat penting bagi

Prancis Pak?

R82 : Saya pikir di Indonesia ya, ini pribadi ya, sistem Indonesia tidak bersikap adil terhadap

ilmu. Ada ilmu-ilmu yang ingin diasingkan sebagai dampak dari potitik yang dilakukan

pada masa Soeharto. Jadi itu adalah bagian dari tindakan politik yang ingin menjauhkan

masyarakat dari pemahaman kultural yang mendasar. Dengan Sejarah dan Geografi orang

akan memiliki pemahaman budaya yang lebih luas dan diperlengkapi untuk melakukan

kritik budaya, tentu di antaranya juga kritik terhadap pemerintah, tetapi itu dilakukan secara

sukarela, berdasarkan kesadaran pribadi. Ilmu itu sendiri bukanlah bagian dari entitas

politik. Dan hari ini, tidak ada lagi sentimen politik, tetapi apa yang sudah terjadi sudah

menjadi kebiasaan sehingga terjadi kesinambungan yang berkepanjangan.

Sejarah-Geografi. Sejarah adalah ilmu yang sangat bernilai untuk membantu kita

memahami semua ilmu lainnya. Sejarah semuanya. Sejarah Kedokteran. Sejarah Ekonomi.

Sejarah Matematika. Sejarah Politik. Dengan belajar sejarah, kita belajar menganalisis,

belajar bersikap kritis, melihat hal-hal yang mendasar dalam setiap studi.

P : Jadi tujuan belajar Sejarah-Geografi adalah untuk membentuk cara berpikir?

R82 : Tepat sekali. Yang terutama adalah membentuk jiwa dan semangat yang khas dengan

bangsa Prancis. Dengan pelajaran ini orang akan mampu memahami situasi yang mereka

hadapi dan melatih dalam membuat penilaian-penilaian.

P : Bagaimana dengan pekerjaannya? Di Indonesia, orang yang lulus dari jurusan IPA, mereka

mempunyai peluang yang lebih luas untuk meneruskan studi, ke mana pun mereka ingin

melanjutkan studi mereka. Tetapi untuk orang-orang yang mempelajari ilmu-ilmu sosial,

ada lebih sedikit kesempatan. Apakah pandangan semacam itu terjadi di Prancis?

R82 : Sama saja. Ilmu-ilmu sosial dipandang memiliki kebergunaan yang tidak langsung,

seseorang yang belajar informatika misalnya, mungkin lebih mudah secara langsung

menemukan apa yang ingin dikerjakannya dan menekuni pekerjaannya itu. Tetapi untuk

orang-orang dari ilmu-ilmu sosial, pilihan kariernya tidak begitu jelas tercermin dan

terimplikasikan dari studi mereka.

P : Apakah ada kesan bahwa murid-murid jurusan S cenderung bernalar sedangkan murid-

murid ES dan L cenderung kurang bernalar dan lebih menghafal?

R82 : Menghafal? Tidak! Sama sekali tidak! Tidak mungkin! Sangat penting bahwa murid-murid

menemukan, memahami dan menguasai materi itu. Tidak dengan cara menghafal. Sama

Page 244: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

230

sekali tidak. Ya, saya mengerti di sini banyak sekali metode menghafal yang digunakan,

tetapi itu tidak boleh lagi terjadi lebih lanjut. Dulu mungkin ada, abad ke-19 ....

P : Kapan pendidikan Prancis berubah, kalau begitu Pak?

R82 : Perubahan yang besar terjadi setelah Perang Dunia II, dan perubahan drastis berikutnya

terjadi lagi pada 1968. Setelah itu masih ada perubahan-perubahan, tetapi tidak ada

perubahan drastis.

P : Menurut Anda, bagaimana rasa kebangsaan Prancis di antara orang-orang Prancis?

R82 : Semangat kebangsaan bagi orang Prancis sangat kuat. Kesadaran sebagai bangsa Prancis

sangat kuat. Di sini masih sangat kuat perasaan sebagai orang Jawa, orang Sunda, orang

Aceh. Memang ada juga berbagai-bagai wilayah dan suku-suku kecil di Prancis, tetapi

nilai-nilai kesatuan sebagai orang Prancis itu kuat. Orang Prancis sangat patriotik.

P : Apakah menurut Anda sangat penting bahwa murid-murid, apa pun kebangsaannya, untuk

mengenal sejarahnya sendiri?

R82 : Ya, tentu saja. Dia perlu mengenal sejarah bangsanya. Dia perlu memahami. Memahami

konteksnya di dalam ruang dan waktu. Dengan adanya globalisasi, orang semakin perlu

memahami dunia secara luas tetapi juga pada saat yang bersamaan memahami kondisi yang

dekat dengan dia. Jadi di Indonesia, misalnya, tidak cukup hanya belajar sejarah Indonesia,

tetapi orang Papua juga perlu belajar sejarah dan geografi Papua; orang Sunda juga belajar

sejarah dan geografi Sunda. Itu terjadi di Prancis. Murid-murid mempelajari fenomena

globalisasi tetapi juga di masing-masing regional mereka mempelajari karakteristik

wilayahnya sendiri. Ketika orang hanya mempelajari satu sejarah nasional yang sama,

maka mereka justru akan menjadi terasing dari akar budayanya sendiri.

P : Di Prancis, bagaimana ....

R82 : Ah ya, itu juga pernah terjadi di Prancis pada Republik III. Mereka ingin menghapus

kebudayaan lokal. Nenek saya, ketika dia kecil, kalau dia berbicara bahasa lokal dia akan

dihapus. Tetapi hari ini dengan adanya program Sejarah-Geografi ada upaya untuk

memulihkan kembali pengakuan atas kekayaan budaya Prancis.

P : Baik Pak. Terima kasih.

A8.3 Responden 83 dan 84

P : Charlotte sudah sejak kecil sekolah di sini?

R83 : Sejak kecil.

P : Sejak Maternelle?

R83 : Ya.

P : Apakah karena orang tua ....

R83 : Karena di Indonesia aja, kerja. Aku lahir di sini. Papa kerja di sini sejak aku belum lahir.

P : Di sini satu angkatan berapa orang ya?

R83 : Tergantung sih, tapi kalau sekolah di sini memang kita muridnya sedikit, 20-an, nggak

pernah naik sampai 30.

P : Dari 20-an orang itu, teman-teman yang Prancis dan yang Indonesia kira-kira berapa

banyak proporsinya ya?

R83 : Banyakan sih mixed, ya. Mixed Indonesia-Prancis. Kalau yang Prancis aja sih dari 20-an

paling 5 orang.

P : Menurut Charlotte, yang paling unik dari sekolah ini apa?

R83 : Mungkin kecil ya.

Page 245: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

231

P : Kecil?

R83 : Ya kan, kalau internasional pada gede, student-nya banyak jadi mereka nggak pada

mengenal kalau di sinikan sekolah kecil, jadi sama employee-employee-nya, guru-gurunya

juga kita pada kenal, anak-anaknya juga pada saling kenal.

P : Kalau menurut Miryam, apa?

R84 : Kalau menurut aku ya kecilnya, jadi kalau kita mau kenalan sama semua ya itu di sekolah

Prancis. Kalau di-compare sama sekolah JIS, ya mereka saling nggak kenal karena sangat

besar. Di sini kenal semuanya.

P : Jadi, kalau kecil dampaknya?

R83 : Solidaritasnya.

R84 : Ya, solidaritasnya pasti kuat.

P : Ya kalau Miriam juga sejak kecil di sini?

R84 : Pernah sih tahun ‗98 ya, waktu ada masalah itu, cuma 3 bulan sih, tapi itu juga baru

Maternelle.

P : Nah, sekarang kalian kelas berapa>

R84 : Kelas 2.

R83 : Kelas 2.

P : Berarti Lycée ya?

R84 : Premier.

P : Premier berarti belum ada penjurusan?

R84 : Sudah. Kita sama-sama.

P : Oh satu jurusan,oke penjurusannya apa saja?

R83 : Ada yang Sains (IPA), Economics, sama Litterature.

P : Tapi Litterature nggak dibuka kan ya?

R84 : Nggak dibuka, soalnya nggak ada yang minta.

P : Berati kalian ini yang Economics?

R84 : Ya.

R83 : Ya.

P : Pembagian peminatan ini bagaimana? Apakah ada jurusan yang diperebutkan oleh murid-

murid? Maksudnya, apakah peminatan ini terjadi secara sukarela, atau banyak yang

terpaksa masuk ke jurusan-jurusan tertentu karena satu dan lain hal?

R83 : Nggak. Bukan karena terpaksa, tapi karena milih. Saya misalnya, milih Economics karena

saya nggak suka Sains. Mereka juga gitu. Kelas Sains itu isinya 10 orang, kelas kita,

Economics juga isinya 8 orang. Jadi orang masuk apa, itu karena milih, karena memang

sukanya apa, tahu nantinya kerja maunya dalam bidang apa.

P : Teman-teman yang lulus dari sini apakah kuliah di sini juga?

R83 : Ada sih yang di sini, tapi kebanyakan ke Prancis, atau Australia.Sda sih yang disini juga ad

juga yang kebanyakan ke Australi.

P : Kalian sendiri bagaimana?

R83 : Saya sih mau ke Eropa.

P : Miriam juga?

R84 : Ya. Saya sih pengennya balik ke Eropa. Soalnya kan sudah tinggal di sini dari kecil ....

R83 : Ya, balik ke Eropa. Ganti dikit.

P : Jurusannya, kalau boleh tahu?

R84 : Hukum. Saya mau ambil International Law.

P : Menurut kalian, apakah rasa kebangsaan orang Prancis itu lebih tinggi daripada orang

Indonesia?

Page 246: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

232

R83 : Nggak tahu ya, tapi kalau orang Prancis sih memang, their pride ....

R84 : Pride-nya lebih. I’m proud to be French.

P : Apa yang dibanggakan dari menjadi seorang Prancisd?

R84 : The culture is very, very rich, you know?

P : Very rich? How rich?

R84 : Part of many things, the past ... mungkin juga karena makanannya enak-enak, tempatnya

juga bagus, senang aja ...

R83 : T‘rus juga politics-nya, ada securité sociale ....

R84 : Orang dijamin masa depannya.

P : Charlotte, selain 3 bulan waktu kecil, pernah tinggal lama di Prancis?

R83 : Nggak.

P : Miriam, pernah tinggal lama di Prancis-kah?

R84 : Nggak.

P : Menurut kalian, terjadikah di LIF bahwa ada pelajaran-pelajaran tertentu yang difavoritkan

oleh sistem?

R83 : Kayaknya everything is important, cuma yang paling penting Prancisa, Geography and

History, sama Matematika.

P : Tiga itu yang paling penting?

R84 : Ya, tapi karena kita Economics ya Ekonomi juga penting. Kalau di Sains, ya kayak IPA

gitu juga penting. Kayaknya kalau yang kurang dipentingin sama guru-guru tuh kayak

bahasa Spanyol ... atau Inggris ....

R83 : Tapi penting juga sih ....

P : Berarti tiga itu wajib ya?

R84 : Ya, tiga itu wajib. Karena kalau di Collège yang dilihat ya tiga itu.

P : Kalau begitu, apakah guru pelajaran itu lantas jadi lebih dihargai?

R83 : Nggak juga.

R84 : Ya, sama aja.

P : Ada nggak pelajaran yang cukup dengan menghafal, cukup dengan membaca buku sendiri,

sudah bisa, ujiannya pasti bisa?

R84 : Inggris kali ya?

R83 : Ya, Inggris.

R84 : Ya, itu doang sih.

P : Inggris sebagai bahasa kedua, maksudnya?

R83 : Ya, Inggris sebagai bahasa kedua. Yang ketiga Spanyol atau Jerman.

R84 : Orang milih Spanyol atau Jerman, di kelas berapa ya?

R83 : Dua. SMP kelas 2.

P : Menurut kalian, apakah ada kelemahan tertentu dalam sistem pendidikan Prancis yang

mendesak harus diubah?

R84 : Kalau menurut saya sih, it’s not perfect, but it’s already very good.

R83 : Mungkin little things, tapi nggak berarti.

P : Kalau di sini kan hanya ada Seconde générale ya? Tidak ada CAP dan BEP? Seandainya

ada murid dari Collège yang tidak bisa masuk ke Seconde générale, apakah pernah terjadi

seperti itu?

R83 : Nggak. Semua orang pasti bisa masuk. Mungkin ada yang nggak naik kelas, tapi kalau

mereka mengulang lagi, pasti bisa.

P : Jadi lebih baik mengulang di sini daripada ke CAP di Prancis?

R83 : Ya tergantung ....

Page 247: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

233

R84 : Ya tergantung dia mau apa kerjanya. Karena kan ada sekolah yang spesialnya ini, kayak

kita tahun lalu ada anak di sekolah kita dia pindah ke Prancis karena she wants to do, join

the army to become a pilot, dan dia harus join sekolah itu, baru dia bisa.

P : Dan itu dari Seconde générale tidak bisa?

R83 : Nggak. Dia itu Seconde générale.

P : Nah, kalau yang bukan Seconde générale, ketika orang bisa memilih, apakah orang akan

memilih BEP atau CAP juga, atau BEP dan CAP hanya dipilih ketika orang sudah tidak

bisa lagi masuk Seconde générale?

R84 : Ya, memang ada yang memang masuk ke sana karena nggak diterima di Seconde générale,

tapi ada juga yang memang masuk ke sekolah itu, misalnya ada BAP gitu yang untuk

mereka yang mau jadi kerja di salon, nah daripada mereka ngambil Seconde générale,

première, terminale, bac, mereka langsung masuk ke jalur gitu, jadi bisa langsung. Ada

yang untuk mekanik, ada yang untuk kerja-kerja begitu.

P : Jadi kalau untuk orang-orang yang tidak suka bersekolah ...

R84 : Kalau memang lebih bagus masuk situ, daripada bikin Bac, nggak dapet karena pas-pasan

dan ada yang memang cocok, kenapa nggak?

P : Apakah potensi penghasilan tidak menjadi pertimbangan? Atau, potensi penghasilan orang

yang masuk BEP / CAP dan Bac. itu tidak berbeda drastis?

R84 : Tergantung orangnya juga. Sebenarnya semua orang bisa masuk Seconde générale, itu the

law, semua orang berhak, cuma ya kalau nggak naik kelas, ya setahun lagi ....

R83 : Memang beda-beda kalau orang nggak lulus troisième dengan kalau orang udah dapat Bac,

tapi kalau mereka rajin dan mereka memang bisa, ya pasti bisa-bisa aja berhasil. Tapi ya

pasti ada aja yang masuk BEP cuma karena nggak keterima di Seconde générale.

P : Di dalam sistem pendidikan Prancis kan ada conseille de classe ya, apakah suara murid

memang sangat terwakili di sini? Apa fungsi kehadiran kedua murid itu?

R83 : They defend us. Kalau ada masalah, mereka ngomongin di depan guru. Atau mungkin kalau

gurunya nggak mau kasih dia naik kelas, les délégués ini coba defend, ―Ya, cuma dia kan

tahun ini ada masalah‖ atau apa ... ada krisis .... Mereka kayak wakilnya kelas.

P : Baik. Terima kasih atas waktunya.

Page 248: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

234

LAMPIRAN B

BAGAN SISTEM PENDIDIKAN

B1. Sistem Pendidikan Jerman

Sumber: World Data on Education, UNESCO.

Page 249: Inferioritas Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pendidikan Nasional Indonesia: Sebuah Studi Perbandingan Antara 8 Sekolah di Jabotabek berdasarkan Psikologi Gestalt dan Filsafat Ide Kosmonomis

235

B2. Sistem Pendidikan Prancis

Sumber: World Data on Education, UNESCO.