industri batik : kreatifitas dan modernitas · pdf file4 teknologinya mampu mengasai produksi,...

6

Click here to load reader

Upload: voanh

Post on 06-Feb-2018

214 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: INDUSTRI BATIK : KREATIFITAS DAN MODERNITAS · PDF file4 teknologinya mampu mengasai produksi, pemasaran, industri batik di Indonesia. Sedangkan para pengrajin batik tulis tradisional

1

INDUSTRI BATIK :

KREATIFITAS DAN MODERNITAS

S. Arifianto

Ketika kita bicara masalah batik sebenarnya bukan sekedar membahas masalah

industri keratif, seni kerajinan batik,profesi pembatik yang dimiliki individu atau

komunitas masyarakat tertentu. Tetapi sebenarnya kita membahas budaya komunal,

budaya local, dan budaya nasional sebuah bangsa. Karena batik merupakan ranah budaya

yang dianggap memiliki nilai arstistik tinggi, namun dibalik itu ada permasalahan yang

bersifat kompleks. Batik dewasa ini menjadi ikon budaya sebuah komunitas masyarakat,

bangsa dan Negara.Batik merupakan simbiose komunal yang merepresentasikan budaya

local bernilai tinggi dalam sebuah komunitas masyarakat tertentu. Batik bisa menjadi

media lintas budaya, karena keberadaannya merepresentasikan keragaman seni

tradisional masyarakat komunal di suatu daerah. Batik baik secara langsung maupun

tidak langsung menjadi sebuah identitas komunitas masyarakat. Charles Shander Feire

(1981) menyebutnya sebagai indexical budaya komunal masyarakat. Secara historical

seni batik di Indonesia konon berasal dari zaman Nenek Moyang yang ketika itu ditulis di

selembar daun lontar. Kemudian dikembangkan secara terus menerus (turun temurun)

oleh masyarakat tertentu sebagai symbol atau identitas.

Seni batik menjadi terkenal karena ia menjadi identitas sekaligus symbol sebuah

komunitas masyarakat baik secara lokal maupun nasional. Batik sebagai symbol local

masyarakat secara implisit dapat teridentivikasi dari corak dan motifnya. Artinya ketika

kita melihat corak dan motif batik, maka secara spontan dapat di identivikasi batik yang

bersangkutan diproduksi di daerah mana. (misalnya, batik Pekalongan, batik Solo, batik

Jogya, batik Sunda, batik Madura, dsb). Secara nasional batik dianggap merepresen

tasikan identitas budaya sebuah bangsa.Lembaga PBB yang membidangi masalah

kebudayaan UNESCO telah menyetujuhi ”batik sebagai warisan budaya” yang dihasilkan

oleh Indonesia (Kompas,11/12/2009). Dalam konteks ini budaya bangsa dibentuk dari

keunggulan budaya lokal. Salah satu diatranya di wakili oleh kerajinan atau industri batik.

Dengan kata lain budaya bangsa mewarisi nilai keunggulan dari budaya lokal yang ada di

Page 2: INDUSTRI BATIK : KREATIFITAS DAN MODERNITAS · PDF file4 teknologinya mampu mengasai produksi, pemasaran, industri batik di Indonesia. Sedangkan para pengrajin batik tulis tradisional

2

berbagai komunitas masyarakat. Maka budaya batik di Indonesia dianggap sebagai

warisan budaya (cultural heritage) yang tidak ternilai bagi bangsa ini. Berangkat dari

pemahaman tersebut maka ”batik” di difinisikan sebagai identitas bangsa. Tulisan dalam

makalah ini hanya ingin membahas pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi

(TIK) bagi pengrajin atau industri batik,dilihat dari perspektif budaya. Tulisan ini sebagai

makalah pembanding atas penyajian makalah Ahmad Budi Setiawan, tentang :

Pemanfaatan TIK pada IKM Batik Lawean di Solo Jawa Tengah. Tulisan ini bukan

bertujuan untuk mengkritisi makalah utama, tetapi hanya ingin memberikan pengkayaan

pengetahuan yang belum tergali dari sisi budaya. Dengan pandangan tersebut thema yang

diangkat dalam makalah pembanding ini adalah : Industri Batik : Kreatifitas dan

Modernitas. Pembahasan berkisar pada permasalahan batik sebagai kreasi seni, dan batik

terkomodifikasi teknologi modern.

Batik Sebagai Kreatifitas Seni

Pada dasarnya jika dilihat dari akar budaya yang terjadi ”seni kreasi batik” tidak

ubahnya seperti perkembangan seni lukis. Pada awalnya seni batik yang terkenal adalam

motif batik tulis. Batik tulis adalah batik yang dikerjakan secara tradisional, dilukis

menggunakan (sogo dan canting) oleh para pembatik. Sebagian besar mereka tidak

mendapatkan pendidikan formal tentang batik. Mereka belajar membatik

berdasarkan ”otodidak” dari seniornya. Mereka membatik bukan merepresentasikan

sebagai seniman batik. Tetapi mereka membatik karena tuntutan ekonomi, dan bekerja

sebagai buruh pada juragan batik. Maka meski karyanya menjadi simbol komunitas lokal,

maupun nasional sebagai karya budaya, mereka tidak pernah menuntut penghargaan.

Karya seni yang mereka tuangkan dalam ratusan kodi batik sebagai komoditas bisnis,

tidak lebih sebagai untuk memenuhi kebutuhan pokok (sandang dan pangan). Meski

penciptanya kurang mendapatkan penghargaan, tetapi produk seni kreasi batiktulis yang

mereka ciptakan mampu menjadi ikon sebuah komunitas dan budaya bangsa. Bagi

komunitas tertentu keberadaan batik tulis masih dijadikan simbol sosial bagi masyarakat

tertentu. Memakai batik tulis dari bahan sutera, masih dianggap lebih prestisus ketimbang

memakai batik sablon, atau printing dari bahan yang sama. Dalam dunia bisnis motif

batik tulis mempunyai pangsa pasar tersendiri. Maka kreasi seni batik tulis meski dikelola

Page 3: INDUSTRI BATIK : KREATIFITAS DAN MODERNITAS · PDF file4 teknologinya mampu mengasai produksi, pemasaran, industri batik di Indonesia. Sedangkan para pengrajin batik tulis tradisional

3

secara tradisional masih mendapat tempat di komunitas masyarakat tertentu. Kreasi seni

batik tulis itu bergeser menjadi sebuah identitas masyarakat komunal. Budaya lokal

dalam konteks ini ”disimbolkan dari produksi artistik seni dan produk budaya lain dalam

bentuk kerajinan, seni dan teks budaya” (William, 1981). Sampai sekarang produksi batik

tulis masih dilihat sebagai ”kreasi seni batik artistik” yang mempunyai nilai filosofi dan

ideologi tertentu. Pengguna batik tulis dilihat dari perspektif budaya masih tampak

menyimbolkan adanya perbedaan kelas pada komunitas masyarakat tertentu. Dalam

konteks ini Bourdeau (1984) melihat bahwa penilaian terhadap budaya tetap menjadi

sumber daya dalam pembagian kelas, dan kekuasaan sosial yang menandai batas batas

kelas, kompetensi budaya, dan modal budaya. Dalam implementasinya meski batik tulis

tradisional konsumennya dianggap terbatas, tetapi keberadaannya masih dipertahankan.

Karena berbagai motif batik tulis sebagai sebuah kreasi seni batik di Indonesia

berkembang secara beragam.Sementara itu difinisi batik dalam kontek budaya masih juga

belum jelas. Artinya apakah difinisi batik itu dilihat dari ”desain motif” atau dilihat

berdasarkan ”aspek teknis” pembuatannya. Perdebatan tersebut berkisar pada ”apakah

batik desain printing masuk dalam difinisi sebagai batik?.

Batik Desain Printing

Batik desain printing dapat dikelompokkan dengan batik kreasi modern, karena

proses produksinya menggunakan teknologi modern, termasuk penggunaan TIK dan

internet. Perdebatan di komunitas budaya muncul pakah desain printing masuk dalam

katagori batik atau tidak. Argumentasi mereka bahwa desain printing telah merusak nilai-

nilai artistik dan kreasi seni batik tradisional. Menurut mazab mereka desain printing

dibuat hanya untuk kepentingan kekuasaan kaum pemilik modan dan kapitalis. Motif

desain printing industri batik yang menggunakan teknologi dianggap telah menindas

subordinasi komunitas pengrajin batik tulis di masyarakat komunal. Dalam kajian budaya

popular konsep tersebut di kenal sebagai hegemoni kekuasaan. Dimana hegemoni dikenal

sebagai proses pembentukan dan penggulingan keseimbangan antara kepentingan

kelompok-kelompok fundamentalis (desain printing) dan kepentingan kelompok

subordinat (pengrajin batik tulis) dimana kehadiran kelompok dominan hanya bisa masuk

pada batas batas tertentu (Gramsci, 1968). Secara realitas desain printing dengan

Page 4: INDUSTRI BATIK : KREATIFITAS DAN MODERNITAS · PDF file4 teknologinya mampu mengasai produksi, pemasaran, industri batik di Indonesia. Sedangkan para pengrajin batik tulis tradisional

4

teknologinya mampu mengasai produksi, pemasaran, industri batik di Indonesia.

Sedangkan para pengrajin batik tulis tradisional hanya mampu berkembang di

komunitasnya. Meski demikian modernitas tidak bisa di hindari olehnya. Modernitas

menurut Giddens (1990) tidak terbatas pada organisasi, tetapi juga sebagai alat kontrol

terhadap relasi sosial, disamping memperkenalkan berbagai bentuk inovasi baru (desain

printing) dengan permasalahan yang lebih kompleks.

Pembahasan

Penggunaan teknologi ”desain printing” pada industri batik dalam analisis budaya,

dapat di analogikan sebagai bentuk subordinasi terhadap karya ”seni batik tulis

tradisional” di masyarakat komunal. Persaingan yang tidak seimbang tersebut dalam

konteks subordinasi akan mematikan ”industri batik tulis tradisional” di masyarakat.

Dengan demikian kehadiran budaya modern tidak selamanya baik, tetapi juga tidak

selamanya buruk. Interaksi budaya teknologi itu harus dilihat dari konteks permasalahan

yang ditimbulkannya. Apakah hadirnya budaya teknologi merusak sendi sendi budaya

lokal di masyarakat komunal, atau justru sebaliknya. Untung rugi pertimbangan budaya

bukan sekedar diukur dari kepentingan ekonomi. Tetapi selalu mempertimbangkan

berbagai aspek lainnya, termasuk sosial, teknologi dan budaya itu sendiri. Maka berbagai

tuduhan negatif di masyarakat komunal atas hadirnya teknologi modern tidak bisa

terhindarkan. Misalnya batik printing mempunyai potensi membunuh pengrajin batik

tulis tradisional. Persoalannya sekarang tidak semudah itu, karena di era teknologi global

hadirnya perangkat teknologi sebagai mesin modernitas tidak bisa dihindari oleh

siapapun, termasuk para pengrajin batik tulis di masyarakat. Suka atau tidak TIK dan

internet telah hadir di antara mereka. Artinya budaya TIK dan internet akan berinteraksi

tanpa bisa dibatasi oleh ruang dan waktu diantara mereka. Artinya diera teknologi global,

konsep untuk mempertahankan nilai-nilai budaya antara seni batik tulis dengan seni batik

printing akan gugur dengan sendirinya. Persoalan utama bagaimana para pengrajin batik

tulis tradisional bisa mengadipsi TIK dan internet untuk mengembangan kualitas dan

eksistensinya. Pertentangan budaya itu dalam istilah filosofi jawa disebut : ”rebut balung

tanpo isi” (artinya : memperebutkan sesuatu persoalan yang tidak ada gunanya) di

masyarakat. Karena dengan teknologi informasi dan komunikasi, batik tulis bisa di lukis

Page 5: INDUSTRI BATIK : KREATIFITAS DAN MODERNITAS · PDF file4 teknologinya mampu mengasai produksi, pemasaran, industri batik di Indonesia. Sedangkan para pengrajin batik tulis tradisional

5

menggunakan program komputer, tidak harus dengan ketrampilan tangan manusia lagi.

Sementara perkembangan batik printing merupakan bagian dari perkembangan teknologi

yang tidak bisa dihentikan, oleh siapapun termasuk industri batik printing maupun

pengrajin batik tulis tradisional. Barangkali pengrajin batik tradisional bisa belajar dari

kehidupan pelukis. Pelukis tidak akan mati tergilas perkembangan ”desain grafis” dari

perkembangan teknologi komputer. Hadirnya teknologi modern justru dianggap semakin

memudahkan persoalan yang selama ini dianggap sulit. Modernitas yang ditandai dengan

perkembangan industrialisasi telah mendorongan kekuatan modal di kalangan kapitalisme

mengambil peran (Giddens, 991). Dalam konteks ini teknologi printing pada industri

batik menjadi salah satu faktor yang mendorong populernya batik Indonesia di seluruh

dunia. Tanpa adanya teknologi printing barangkali permintaan batik eksport di Indonesia

tidak akan bisa dilayani. Pada sisi yang lain pemanfaatan TIK dan internet pada industri

batik tidak mungkin lagi di klasifikasi apakah batik tradisional atau batik printing

(modern). Karena keduanya bisa saja menggunakan TIK untuk mendukung usahanya

baik secara individu maupun organisasi bisnis.

Permasalahan yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana nasib para seniman

batik itu sendiri. Karena perlindungan terhadap para pengrajin batik tulis di komunitas

masyarakat masih tergolong rawan.Mereka sebagai seniman kreasi batik belum ada

penghargaan yang diberikan. Artinya meski karya batik yang mereka ciptakan diberikan

nilai jutaan rupiah oleh pedagang, atau pengusaha, seniman batik tetap saja terpuruk

nasibnya.Eksistensi mereka tidak lebih dari seorang buruh upahan yang menerima gaji

UMR di lingkungan kerjanya. Dalam hal ini profesi pembatik tidak sama dengan profesi

pelukis, meski keduanya sama sama menuangkan ide dan gagasan dalam sebuah lukisan

di kanvas atau kain. Pelukis masih mendapatkan apresiasi tinggi dari konsumen, sehingga

bagi mereka yang tertarik pada lukisan tertentu berani membeli puluhan juta

rupiah/unitnya. Sedangkan nasib pengrajin batik meski telah menggunakan TIK dan

internet masih belum mendapatkan penghargaan seperti itu. Nasib pengrajin batik masih

ditentukan oleh Juragan batik, dimana ia bekerja. Baik pengrajin batik, desainer batik,

ahli pencelup batik di negeri ini belum mendapatkan penghargaan yang setimpal dengan

hasil karyanya. Secara realitas hampir semua produk batik kita tanpa identitas yang jelas,

pada hal batik terlahir dari sebuah karya seni. Ragam motif batik yang ada di daerah tidak

Page 6: INDUSTRI BATIK : KREATIFITAS DAN MODERNITAS · PDF file4 teknologinya mampu mengasai produksi, pemasaran, industri batik di Indonesia. Sedangkan para pengrajin batik tulis tradisional

6

jelas siapa yang menciptakannya. Sekarang orang mengenal batik hanya sebatas motif,

brand, dan dari kalangan masyarakat mana batik itu di koleksi. Tidak ada profesi

pembatik yang terkenal seperti pelukis, kecuali sekedar pekerja informal. Dalam

melestarikan batik sebagai sebuah identitas bangsa kita masih sering terjebak pada

produk batik itu sandiri. Kita bangga bisa mengkoleksi ragam jenis batik dari berbagai

motif dengan harga yang relatif mahal, tetapi tanpa mengenal siapa penciptanya. Pada hal

keistimewaan dan kualitas produk batik yang kita pakai itu tercipta dari tangan tangan

trampil mereka. Bukan dari bukan dari pengusaha, merk atau toko batik yang menjualnya.

Penutup

Mengakhiri ntulisan ini saya ingin mempertanyakan tentang persoalan

perkembangan industri batik yang konon menjadi sebuah identitas bangsa, tetapi tidak

pernah diberikan penghargaan bagi penciptanya. (1). Dalam hal tersebut apakah dengan

kondisi yang demikian para ”seniman batik tradisional”bisa hidup dan bertahan ditengah

tekanan arus kapitalisme, dan teknologi global dewasa ini. (2). Apakah mungkin batik

dapat dikembangkan dalam lingkungan”seni” yang tidak pernah mendapat perlindungan

hukum, penghargaan bagi penciptanya.

Sumber Bacaan :

Bourdieu.P.1984, Disingction: A.Social critique of the Jadgement of

Taste . Cambridge. MA: Havard University Press.

Williams, 1981. Dalam Chris Barker, 2005, Cultural Studies, Penerbit Kreasi

Wacana Jogyakarta.

Gramsci.Antonio.1968.Prison Notebooks.London : Lawrance & Wishart.

Kompas Jakarta Edisi Penerbitan tanggal 11 Desember 2009

.