indi~go!!
DESCRIPTION
CerpenTRANSCRIPT
INDI-GO!!
13 Mei 1998
Langit begitu gelap, cuaca nampak begitu mendung. Matahari enggan menunjukkan
wajahnya. Dalam hitungan menit, titik-titik air membasahi jalan, pohon, dan atap rumah. Indi
bergelung nyaman di dekapan ibunya. Hangatnya pisang goreng dan teh manis membuat
bocah berumur lima tahun itu senang. Sore itu keadaan rumah cukup sepi, hanya ada Indi dan
Mama. Mbok Narti dan cucu-cucunya yang biasa membantu di rumah sedang pulang
kampung.
“Ma, papa kapan pulang?”, tanya Indi polos.
“Papa Indi sudah pergi. Mungkin Indi bakal lama tidak ketemu papa.”
“Sejak om berbaju putih itu ngajak papa pergi, Indi nggak pernah ketemu papa lagi.”
“Siapa yang Indi maksud?”
“Itu lho ma, om yang pakai baju putih. Wajahnya terang. Dia bilang sama papa mau
jemput papa karena udah waktunya.”
Mama kaget mendengar perkataan Indi. Bulu halus di kulitnya meremang. Siapa yang
dimaksud Indi? Apakah itu malaikat maut yang menjembut papanya. Ah, mungkin itu hanya
khalayan bocah lima tahun. Mama menepis dugaan sebelumnya. Indi memang bocah yang
cerdas dan menggemaskan. Dialah cahaya dalam hidup mama. Sejak suaminya meninggal
sebulan yang lalu, wanita itu seperti kehilangan tempatnya berpijak. Hanya Indi yang menjadi
satu-satunya alasan untuk bertahan hidup.
Mama tersadar dari lamunannya. Dipeluknya Indi lebih erat. Matanya terasa basah,
ada genangan air mengalir dari kedua bola matanya yang indah. Kepala Indi diusapnya
dengan penuh kasih. Kamu adalah malaikat mama, Nak. Suasana hujan begitu damai dengan
pemandangan ibu dan anak yang saling mengasihi.
Tiba-tiba Indi melepaskan dekapan mamanya. Wajahnya tampak pucat, dia langsung
berteriak histeris.
“Mama, mama lari... Ada orang jahat!!”
Mama sangat kaget melihat Indi. Dia segera menenangkan anaknya dan memeluknya
erat. Indi semakin panik. Berontak dari dekapan dan menarik tangan mamanya.
“Tenang, nak. Ada mama di sini. Tidak akan ada apa-apa.”
“Ma, ayo kita pergi dari sini. Nanti ada orang jahat!”, Indi terlihat ketakutan. Matanya
membelalak. Tubuhnya mengejang dan panas. Mama memegang dahi Indi. Sepertinya Indi
mendadak demam. Aneh, padahal sejak tadi suhu tubuhnya normal. Keringat deras
membasahi baju Indi. Mama panik dan cemas. Segera dia bergegas menuju klinik terdekat.
Baru saja mama membuka pintu, ada hampir sepuluh orang menerobos paksa ke dalam
rumah. Tampang mereka menyeramkan. Golok dan senjata tajam menghiasi tangan mereka
yang legam dan berotot. Mama ketakutan, tubuhnya gemetar.
“Ma, lari!!!”, Indi berteriak.
Mama segera tersadar. Dia berlari sekuat tenaga mengendong Indi. Pintu keluar sudah
diblokir. Mama bergegas menuju pintu belakang. Tapi tiga orang sudah menghadang di pintu
belakang. Kalut memenuhi pikiran mama. Mama segera berlari ke kamar, mengunci pintu,
dan menahan pintu dengan meja rias dan perabot lain. Lelaki-lelaki yang tidak tahu dari mana
asalnya itu dengan beringas menggedor pintu. Dalam hitungan detik, mereka berhasil
mendobrak paksa kamar. Seringai menyeramkan menghiasi wajah para lelaki itu. Salah satu
lelaki bertampang sangar dengan kumis tebal dan rambut awut-awutan mendekati mama. Indi
melempari mereka dengan barang-barang di sekitarnya. Para lelaki itu cukup sigap
menghindar. Mereka makin mendekat. Mama segera membuka jendela kamar dan
mengeluarkan Indi.
“Lari, Nak. Selamatkan dirimu!!”
“Mama juga harus lari. Indi takut sendirian.”
“Mama sayang kamu, Indi. Jaga dirimu.”
Mama menutup jendela dan menghalangi dengan badannya. Dia ingin mengulur
waktu agar orang jahat tidak mengejar Indi. Indi tak mau meninggalkan mama. Mama terus
berteriak menyuruhnya lari. Setelah mama berteriak marah akhirnya Indi tertatih mencari
bantuan. Entah berapa lama Indi berjalan, dia tidak melihat satu orang pun. Suasana jalan
nampak sepi. Penduduk takut untuk keluar karena kondisi sedang rawan. Indi ketakutan, dia
ingin mama. Matahari sudah kembali ke peraduan. Hujan masih deras mengguyur. Indi
menggigil kedinginan. Kepalanya terasa berat. Sekeliling Indi terasa berputar, dan mendadak
semuanya menjadi gelap.
Lima tahun kemudian..
Lonceng sekolah sudah berbunyi. Para murid bergegas meninggalkan kelas. Sebagian
sudah ditunggu orang tua yang menjemput mereka. Beberapa siswa bergerombol berjalan
beriringan dengan ceria sambil mengobrol tentang film dan komik. Siang itu cukup terik,
sangat tepat untuk menikmati minuman segar dan es krim.
“Nila, kita minum es krim yuk.”
Anak perempuan yang dimaksud tidak langsung menanggapi. Dia malah terlihat
bengong. Setelah sepersekian detik dia baru sadar dirinya dipanggil.
“Nggak ah. Aku mau pulang.”
“Kamu nggak asik banget sih. Terserah deh.”
Tanpa menggubris ledekan temannya, gadis yang dipanggil Nila itu berjalan terus
tanpa menoleh. Langkahnya dipercepat, tengkuknya terasa dingin. Sejak tadi Nila merasa
sulit bernafas. Suasana toilet sekolah terasa mencekam. Dia melihat wanita berambut panjang
tertawa nyaring di atas pohon dekat toilet. Nila segera berlari pulang ke rumah. Seorang
nenek menyambutnya dan menyuruhnya makan.
“Nila, sudah pulang ya. Ayo makan. Semuanya sudah menunggu.”
Nila mengangguk patuh. Di ruang makan sudah ada nenek, ayah, ibu, dan adik
perempuannya yang masih berusia empat tahun. Nila menyendok nasi dan mengisi piringnya
dengan lauk pauk. Masakan nenek memang paling enak. Mereka makan sambil mengobrol.
“Besok ayah mau dinas di luar kota. Nila dan Ungu mau oleh-oleh apa?”
Ungu yang masih bocah dengan lucunya meminta dibelikan boneka.
“Kalau Nila mau hadiah apa?”
Nila diam. Wajahnya pucat dan keringat dingin membasahi dahinya. Tangannya yang
sedang menyendok makanan terlihat gemetar.
“Hei, anak ayah kok diem aja? Nila kok pucat? Ada yang sakit, Nak?”
“Nila nggak mau apa-apa. Nila cuma minta besok ayah nggak usah berangkat.”
“Mana mungkin ayah nggak berangkat. Dinas kali ini sangat penting. Ayah harus ke
luar kota untuk meeting dengan Tuan Yamamoto urusan tender.”
“Tapi, Yah...”, Nila terlihat ragu melanjutkan ucapannya.
“Kenapa, Nila?”
“Nila mimpi buruk.”
“Mimpi apa?”
“Nila mimpi langit menjadi merah karena api membakar burung di udara. Lalu naga
laut menelan burung besi.”
“Itu cuma mimpi. Bunga tidur. Tak usah Nila pikirin, ayo makan.”
Esoknya ayah berangkat. Nila sedang belajar memainkan pianika saat dirinya
dipanggil Bu Guru. Nila disuruh pulang ke rumah. Dia merasakan firasat tidak enak. Cepat-
cepat dia berlari menuju rumah. Setiba di rumah, Nila mendapati seluruh keluarganya sudah
berkumpul. Mata mereka merah dan terlihat ibu dan nenek menangis. Nila masih belum
mengerti apa yang terjadi. Kegelisahannya terjawab saat melihat berita di TV tentang
kecelakaan pesawat terbang. Ternyata ayahnya adalah salah satu penumpang pesawat itu.
Pesawat meledak di udara dan puing-puingnya jatuh ke samudera. Nila menggigil. Tayangan
di TV menampilkan hal yang sama dengan mimpinya. Siluet burung besi yang terbakar
memendarkan api menyala-nyala.
Sebulan lebih sejak kepergian ayahnya, mimpi buruk kerap menghantuinya. Kali ini
dia melihat gadis kecil dalam akuarium. Wajahnya tak terlihat jelas. Namun Nila merasa ada
cahaya ungu yang berpendar dari gadis kecil itu lalu lama-kelamaan memudar. Nila
terbangun dalam keadaan basah penuh keringat. Dia tak tenang. Esoknya dia menceritakan
mimpinya pada ibu. Seperti ayah waktu itu, ibu tidak menanggapi dan sibuk mengurus
asuransi ayah.
Perasaan tak enak terus menggelayuti Nila. Dia tak bisa konsentrasi belajar. Bu guru
kerap memanggilnya untuk mencari keterangan atas sikapnya yang aneh. Nila tidak bergaul
dengan teman sebayanya, malah sering terlihat sibuk ‘mengobrol’ di sudut kelas yang
kosong. Teman-temannya menganggapnya aneh. Mereka takut dengan Nila. Nila lebih
senang menyendiri di taman. Dia bebas melakukan apa yang diinginkan. Setiap jam istirahat
Nila ke taman untuk mengobrol dengan Putri, gadis kecil berambut keriting. Usia Putri
mungkin sebaya dengannya. Tidak seperti teman-teman Nila yang lain, Putri sangat berbeda.
Sesuai dengan namanya, dia terlihat bagai putri dengan gaun kecil berwarna keemasan.
Kepalanya dihiasi dengan mahkota dari rangkaian bunga. Mereka sering berbagi cerita dan
memetik bunga bersama.
“Hey, coba lihat Nila. Aneh banget, masak metik bunga sambil ngomong sendiri.”
“Ih, serem banget. Kayak orang nggak waras.”
“Jangan-jangan dia ngobrol sama hantu.”
“Udah ah, pergi aja. Ngeri.”
Teman-teman sekelas Nila yang sedari tadi memperhatikan Nila meninggalkan taman.
Semakin jelas bagi mereka bahwa Nila adalah anak aneh yang harus dijauhi.
Sepulang sekolah Nila mendapati rumahnya penuh dengan orang. Para tetangga,
keluarga, dan orang-orang tak dikenal lalu lalang di rumahnya. Nila semakin kalut, dia
bergegas mencari ibunya. Di ruang tengah Nila melihat ibu dan neneknya menangis. Ibu
berteriak histeris. Di tengah kerumunan nampak sesuatu yang ditutup kain putih. Nila
gemetar, hatinya mencelos. Adiknya, Ungu, sudah pergi untuk selamanya. Kata Bi Inah,
Ungu meninggal karena tenggelam di kolam renang. Tidak tahu bagaimana caranya Ungu
yang baru berumur empat tahun bisa sampai di kolam. Memang saat itu tidak ada yang
memperhatikan Ungu karena sibuk menyiapkan peringatan kematian ayah. Pak Poni, tukang
kebun di rumah, yang menemukan jasad Ungu mengapung di kolam renang. Ibu langsung
pingan saat melihat Ungu sudah tak bernyawa.
Nila tak percaya dan tak mau percaya. Adik kesayangannya pergi begitu cepat. Dia
merasa sangat sedih dan kehilangan, tapi air matanya tak bisa keluar. Sama seperti saat
penguburan ayahnya, Nila juga tak menitikkan setets pun air mata. Rasanya sakit di dada,
tapi tak ada isak dan tangis yang keluar. Nila mendekati ibunya dan memegang bahunya.
“Kamu anak pembawa sial! Gara-gara kamu suami dan anakku meninggal!”
Ibu menepis tangan Nila dari bahunya. Nila tersentak kaget. Dia tidak mengerti apa
yang terjadi dengan ibunya. Nenek menyuruh ibu untuk istighfar.
“Nduk, dia Nila anakmu. Jangan bilang gitu. Kasihan Nila. Istighfar, Nak.”
“Sejak ada kamu di rumah ini, keluargaku jadi tak tenang. Kamu itu memang tidak
seharusnya ada di sini. Pergi!!”, Ibu makin histeris. Kemudian dia jatuh pingsan.
Nila syok dengan sikap ibu. Nenek memeluknya dan meyuruh Nila melupakan
perkataan ibunya tadi. Nila menuntut penjelasan. Nenek menutup rapat mulutnya, namun
Nila terus memaksa. Akhirnya nenek menceritakan masa lalu Nila. Nila ditemukan ayah
sedang pingsan di jalan. Nila kemudian dibawa ke rumah. Saat itu Nila masih sangat belia.
Tekanan batin dan syok yang dialami membuatnya kehilangan ingatan. Nila kaget mendengar
cerita nenek. Dia merasa sedih atas penolakan ibunya.
“Nek, ibu bilang Nila harus pergi dari rumah.”
“Sudah, tidak usah kamu dengar ibumu. Dia lagi emosi waktu bilang itu.”
“Tapi, tapi... Nila bukan anak keluarga ini.”
“Kamu adalah cucu nenek, dan selamanya akan tetap jadi cucu nenek.”
Nila memeluk nenek dengan erat. Pelukan nenek terasa hangat, mengingatkannya
pada seseorang namun tidak jelas wajahnya. Sosok yang menebar kerinduan, tapi Nila tak
bisa mengingatnya. Setiap kali mencoba, kepalanya terasa sakit. Bagai membuka paksa kotak
kenangan, namun tidak dengan menggunakan kunci yang tepat.
Semenjak kepergian ayah dan Ungu, ibu jadi murung dan tidak mau makan.
Tubuhnya semakin kurus, matanya cekung, dan wajahnya pucat. Dia terlihat seperti orang
linglung. Tapi setiap kali melihat Nila tiba-tiba amarahnya memuncak. Dia meneriaki Nila
dengan kasar dan memukulinya. Ibu mengusir Nila dan tidak mau melihatnya lagi. Nenek
menangis menahan Nila untuk tetap tinggal. Namun kemauan ibu sudah tak bisa dibantah,
Nila pergi dari rumah tidak membawa apapun, hanya baju yang melekat di badan saja. Nila
berjalan tak tentu arah. Tak tahu sudah sejauh mana dia berjalan.
Nila sebatang kara, tidak punya arah tujuan. Berhari-hari dia tidur di jalan, makan dari
makanan sisa. Tak ada jalan lain, dia mengemis untuk bertahan hidup. Udara malam menusuk
kulit, panasnya matahari membakar tubuh. Baru kali ini Nila merasakan namanya penderitaan
hidup. Suatu hari saat sedang mengamen, ada razia besar-besaran oleh Pol PP. Gelandangan,
pengemis, dan anak jalanan diciduk semua termasuk Nila. Nila dibawa ke panti sosial.
Nasibnya sedikit lebih baik karena sekarang dia punya tempat berlindung.
Hari-hari di panti tak bisa dibilang mudah. Nila harus membantu pekerjaan bersih-
bersih seperti menyapu, mengepel, dan mengurusi anak kecil di panti. Nila tumbuh dalam
ketakutan karena setiap hari di panti dia sering mendengar suara isak tangis dari gudang
belakang. Belum lagi dengan wanita berambut panjang yang tinggal di pohon beringin
sebelah panti sering menarik Nila untuk ikut dengannya. Sebagai anak berusia sepuluh tahun
hal itu membuat Nila menjadi pendiam dan menutup diri. Di sekolah, Nila masih seperti dulu
tidak mau bergaul.
Ibu guru melihat Nila punya potensi yang besar. Walau secara akademis dia memang
tidak terlalu menonjol. Namun seringkali gurunya kewalahan dengan pertanyaan-pertanyaan
Nila yang ‘aneh’ dan sulit untuk dipahami. Cara berpikirnya sangat dewasa tidak seperti
teman sebayanya. Sebagian teman menganggapnya aneh karena Nila terkesan dingin dan
sombong. Sebenarnya Nila ingin bergaul dengan teman sebayanya, tapi karena pola pikirnya
yang kelewat tinggi, tidak ada teman sebaya yang mampu mengimbangi.
Waktu berjalan sangat cepat, bagai terbang dengan kecepatan cahaya. Tak terasa Nila
sudah kelas tiga SMA. Sekarang dia mulai terbiasa dengan penampakan makhluk halus di
sekitarnya. Dia tidak terlalu merasa terganggu dengan kehadiran mereka, malah ada beberapa
yang menjadi teman bicaranya. Nila sudah mulai menyadari dia memiliki kemampuan yang
berbeda dari orang biasa. Di usianya yang sudah menginjak tujuh belas tahun, Nila semakin
sering mendapat penglihatan tentang masa depan. Walau tidak secara gamblang, hanya
berupa tanda atau simbol.
Hari ini perasaannya sangat tidak tenang. Aroma pekat menyelimuti udara. Nila
melihat asap lembayung berpusar di sekitarnya. Mulanya Nila pikir ini karena kehadiran
makhluk pendatang baru di kelasnya, namun ternyata bukan itu. Dia mendapat pesan bahwa
akan ada hal yang mengerikan terjadi. Nila segera menyuruh guru dan teman-temannya untuk
segera keluar dari laboratorium kimia. Teman-temannya menganggap Nila sudah gila.
Mereka tetap tidak beranjak dari ruangan itu. Nila makin panik, dia berteriak dan memaksa
mereka untuk meninggalkan ruangan.
“Ayo, keluar dari sini!! Bahaya!”
“Nah, mulai lagi nih anak berulah. Udah nggak usah didengerin. Dia mulai kumat.”
Nila tidak berhasil membuat mereka keluar. Guru menyuruh Nila tetap tenang dan
mengikuti pelajaran dengan tertib. Nila berlari keluar ruangan dengan panik. Suasana kelas
yang sempat riuh kembali ditenangkan oleh guru. Tak beberapa lama, terdengar teriakan
panik dari lab kimia. Api dengan cepat menyebar ke seluruh ruangan. Korsleting listrik
menimbulkan percikan bunga api yang bereaksi dengan zat kimia di lab dengan cepat
membuat kebakaran membesar. Beberapa siswa yang kebetulan sedang memegang bahan
kimia langsung dengan cepat tersambar api. Suara histeris membahana dari dalam lab. Pintu
keluar tertutup api. Guru mencoba menyelamatkan para siswa. Bel alarm kebakaran berbunyi
nyaring di seantero sekolah. Beberapa orang langsung mencari dan mendatangi sumber
kebakaran. Tiba-tiba Nila menerobos pintu sambil menyemprot dengan pemadam api. Api di
depan pintu keluar berhasil dipadamkan. Guru dan para siswa berlarian keluar
menyelamatkan diri. Bala bantuan datang, api berhasil dipadamkan. Untunglah belum sempat
menyebar luas. Tenaga medis mulai berdatangan.
Dari kejadian itu, beberapa siswa mengalami luka bakar ringan. Lab kimia habis
terbakar. Untunglah tidak ada korban jiwa. Setelah kejadian itu, Nila dipanggil oleh guru dan
kepala sekolah. Mereka mengintogerasi Nila bagaimana dia tahu akan terjadi kebakaran.
Mereka mendapat laporan sebelum kejadian Nila sempat menyuruh orang-orang untuk keluar
dari lab. Ada yang berspekulasi mengatakan bahwa Nila menyebabkan kebakaran itu.
“Pasti anak ini sengaja membuat heboh dengan membakar lab kimia.”, tuduh salah
seorang guru.
“Tidak mungkin Nila melakukannya. Jelas-jelas ini adalah korslet.”, wali kelas Nila
memberi pembelaan.
“Saya bisa merasakan akan terjadi sesuatu.”, Nila menjelaskan.
“Alaaah, kamu mengada-ada. Memangnya kamu paranormal.”
Nila hanya diam dan menunduk. Dia berupaya menjelaskan namun tidak ada yang
percaya. Memang hal ini tidak bisa dijelaskan secara logis bagaimana dia bisa tahu.
“Mungkin memang Nila berkemampuan khusus.”
“Anak ini hanya mau cari perhatian dan membuat onar. Dia harus dihukum.”
“Bagaimana kalau Nila mencoba psikotest?”, wali kelasnya memberi saran.
“Menurut saya, lebih baik dia dibawa ke psikiater untuk melihat apa ada gangguan
kejiwaan.”, jawab guru lain dengan ketusnya.
“Nila, apa kamu bersedia melakukan psikotest?”, tanya wali kelasnya dengan lembut.
Nila mengangguk. Dia juga ingin tahu ada apa sebenarnya dengan dirinya. Esoknya
Nila dijadwalkan untuk mengikuti psikotest dan tes IQ. Hasilnya mengejutkan. IQ Nila di
atas 150. Secara kepribadian dia memang dewasa dari umur yang sebenarnya. Hasil psikotest
Nila menyatakan Nila adalah anak dengan kemampuan khusus. Dia disarankan untuk
melakukan pemeriksaan aura. Ternyata tepat benar dugaan, hasil tes aura menunjukkan Nila
memiliki aura berwarna Indigo (nila).
Jelaslah sudah sekarang. Tabir yang selama ini menyelimuti hati Nila mulai terkuak.
Nila yang menyadari dirinya mendapat anugerah menyikapi kemampuannya dengan positif.
Walau kadang konsekuensinya dia mengalami atau melihat hal-hal tak mengenakkan. Guru-
guru dan teman-teman Nila yang sudah mengetahui kondisi Nila mulai membuka diri dan
mencoba mengerti Nila. Mereka berterima kasih karena Nila sudah menyelamatkan mereka
dari kebakaran.
Nila cukup lega dengan kondisi sekarang. Bebannya selama ini seolah menjadi lebih
ringan. Namun masih ada hal yang menjadi tanda tanya besar baginya yaitu mengenai asal
usulnya. Nila mencoba menajamkan pikiran dan berkonsentrasi mencari secuil informasi.
Sejak mengetahui dirinya adalah anak indigo, Nila mulai mengoptimalkan kemampuannya.
Nila berjalan dan mengikuti petunjuk dari ‘mata ketiga’-nya. Tanpa sadar langkahnya terhenti
di sebuah rumah tua tak terawat. Sepertinya rumah itu tak berpenghuni. Perasaan dejavu
muncul saat menginjakkan kaki di rumah itu. Nila melihat sekeliling untuk mencari
informasi. Ruangan itu nampak berantakan, berdebu, dan kotor. Tidak ada tanda-tanda
keberadaan orang di rumah ini. Nila mencoba mencari jejak yang tertinggal. Matanya
memandang nanar pada potret kecil usang di bawah meja. Nampak keluarga kecil bahagia
sedang berlibur di pantai. Bocah perempuan tersenyum cerah pada ayah ibunya. Nila terbawa
kenangan. Seperti film yang diputar ulang dia bisa merasakan suasana yang sangat nyaman.
Ingatannya belum kembali, tapi dia merasa kedekatan dengan rumah ini.
Ada sesuatu yang menggerakkan hatinya untuk masuk ke kamar di sudut ruangan.
Ruangan itu gelap dan banyak sarang laba-laba. Nila terbatuk ketika terhirup debu yang
sudah bercokol lama di kamar. Dinding kamar itu sepertinya dulu berwarna nila atau
mungkin juga ungu, tidak begitu jelas karena mulai pudar dimakan waktu. Ada banyak
boneka di kamar itu. Sepertinya itu adalah kamar gadis kecil. Nila meneliti satu per satu
barang di kamar itu. Kenangannya terusik. Di meja kecil ada tempelan nama “INDI”. Nila
menebak Indi adalah gadis kecil pemilik kamar itu. Kepala Nila terasa seperti mau pecah saat
mencoba mengingat. Peluh berjatuhan di keningnya. Dia ingin mencari di mana penghuni
rumah itu. Nila segera keluar rumah dan menanyai orang-orang sekitar itu. Penduduk sekitar
tidak mengetahui keberadaan penghuni rumah itu. Ada yang bilang seluruh penghuni rumah
sudah pindah, bahkan ada yang bilang sudah meninggal. Beritanya masih simpang siur.
Nila hampir putus asa ketika tidak menemukan titik terang. Sepertinya ada yang
membentengi pikirannya untuk mengakses masa lalu. Nila berpikir meminta bantuan ahli
untuk menghipnotis dirinya supaya bisa menemukan keping masa lalunya yang hilang.
Namun usahanya masih belum berhasil. Walau saat ini keluarga barunya di panti cukup baik,
Nila masih merasa kosong dan kesepian.
Setelah lulus SMA, Nila melanjutkan kuliah. Dia mengambil jurusan psikologi agar
bisa lebih memahami orang di sekitarnya. Dia juga berusaha mandiri dengan keluar dari panti
dan bekerja. Walau masih penasaran dengan masa lalunya, Nila mencoba untuk melanjutkan
hidup. Dia ingin memulai lembaran baru. Memasuki tahun kedua kuliah, Nila sering
melakukan kunjungan ke lembaga permasyarakatan, panti rehabilitasi, dan Rumah Sakit
Jiwa. Tujuannya agar dia bisa mempelajari perilaku berbagai jenis manusia.
Suatu hari Nila dan teman-teman mengunjungi sebuah pusat pemulihan penyakit jiwa.
Mereka berkeliling dan melihat pasien-pasien dengan berbagai kondisi. Nila tertarik pada
seorang wanita yang sedang duduk di kursi taman. Dia melihatnya dari kejauhan. Wanita itu
berusia sekitar empat puluhan. Wajahnya terlihat sangat tua lantaran stres yang dialaminya.
Gurat kecantikan masa lalu masih tersisa sedikit di wajahnya. Nila langsung merasa iba.
“Ibu itu korban pelecehan seksual saat masa reformasi. Jiwanya terguncang sejak
kejadian itu. Kasihan dia masih sering berteriak kalau malam hari.”, tenaga psikiatri memberi
penjelasan pada Nila dan teman-teman. Nila semakin merasa kasihan padanya.
Nila dan teman-teman beranjak meninggalkan taman. Tiba-tiba ada perasaan aneh
menjalar di hati Nila. Seperti ada sesuatu yang terasa dekat tapi tak tahu apa artinya.
“Indi... Indi... Lari.. Pergi jauh.. Selamatkan dirimu, Nak..”, teriak ibu itu histeris.
Ibu itu mengamuk. Tak tahu kerasukan apa dia mendekati rombongan mahasiswa itu.
Mereka terlihat takut akan diserang karena tatapan ibu itu sangat garang dan membahayakan.
Namun tatapan ibu itu melunak saat matanya melihat Nila. Dia langsung memeluk Nila.
“Indiii, anak mama. Anak mama sayang...”
Tenaga psikiatri langsung menangkap ibu itu. Mereka menarik paksa dan bersiap
menyuntikkan obat penenang. Tanpa sadar, Nila langsung menarik ibu itu dan melihat
wajahnya. Dalam jarak dekat terlihat wajah ibu itu mirip dengan foto wanita yang ada di
rumah tua. Nila merasa ada perasaan hangat mengalir di dadanya.
“Mama...”, kalimat itu terlontar dari mulutnya.
“Indi..”, ibu itu menghambur ke pelukan Nila.
Belenggu ingatan Nila perlahan mulai lepas. Dia teringat kembali saat-saat berada di
pangkuan ibunya dan kehangatan wanita itu. Wanita itu adalah ibu yang telah melahirkannya.
Kenangan peristiwa penyerangan sekelompok lelaki dan kehilangan ibu membuat pikiran
bawah sadarnya memblokir segala hal tentang itu.
Nila ingat dirinya adalah Indi. Indigo Paramitha. Matanya yang selama ini selalu
kering, mulai basah dengan air mata yang membanjir tak henti. Setelah sekian lama, baru kali
ini dia menangis. Kedua insan yang sudah lama terpisah ini berpelukan erat dan tak ingin
berpisah lagi...
Nama Lengkap: Anisa Listya
Alamat: Jln. Dempo Dalam No. 958 C Palembang 30124
HP: 081273096970
Twitter: @417154
Biodata Penulis
Chacha Liztya, nama pena yang digunakan penulis dalam karyanya. Penulis besar di
Palembang dan menyukai segala trademarks Palembang seperti Jembatang Ampera, Sungai
Musi, Masjid Agung, dan BKB. Kecintaan pada menulis dan musik membuat Chacha sering
mengikuti lomba menulis (walau belum ada karya yang menang :p). Harapan penulis
karyanya bisa diterbitkan dan bermanfaat serta bisa berbagi dengan para sahabat di seluruh
Indonesia. Salam kenal semuanya