indi~go!!

18
INDI-GO!! 13 Mei 1998 Langit begitu gelap, cuaca nampak begitu mendung. Matahari enggan menunjukkan wajahnya. Dalam hitungan menit, titik-titik air membasahi jalan, pohon, dan atap rumah. Indi bergelung nyaman di dekapan ibunya. Hangatnya pisang goreng dan teh manis membuat bocah berumur lima tahun itu senang. Sore itu keadaan rumah cukup sepi, hanya ada Indi dan Mama. Mbok Narti dan cucu-cucunya yang biasa membantu di rumah sedang pulang kampung. “Ma, papa kapan pulang?”, tanya Indi polos. “Papa Indi sudah pergi. Mungkin Indi bakal lama tidak ketemu papa.” “Sejak om berbaju putih itu ngajak papa pergi, Indi nggak pernah ketemu papa lagi.” “Siapa yang Indi maksud?” “Itu lho ma, om yang pakai baju putih. Wajahnya terang. Dia bilang sama papa mau jemput papa karena udah waktunya.” Mama kaget mendengar perkataan Indi. Bulu halus di kulitnya meremang. Siapa yang dimaksud Indi? Apakah itu malaikat maut yang menjembut papanya. Ah, mungkin itu hanya khalayan bocah lima tahun. Mama menepis dugaan sebelumnya. Indi memang bocah yang cerdas dan menggemaskan. Dialah cahaya dalam hidup mama. Sejak suaminya meninggal sebulan yang lalu,

Upload: anisa-listya

Post on 01-Feb-2016

216 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Cerpen

TRANSCRIPT

Page 1: INDI~GO!!

INDI-GO!!

13 Mei 1998

Langit begitu gelap, cuaca nampak begitu mendung. Matahari enggan menunjukkan

wajahnya. Dalam hitungan menit, titik-titik air membasahi jalan, pohon, dan atap rumah. Indi

bergelung nyaman di dekapan ibunya. Hangatnya pisang goreng dan teh manis membuat

bocah berumur lima tahun itu senang. Sore itu keadaan rumah cukup sepi, hanya ada Indi dan

Mama. Mbok Narti dan cucu-cucunya yang biasa membantu di rumah sedang pulang

kampung.

“Ma, papa kapan pulang?”, tanya Indi polos.

“Papa Indi sudah pergi. Mungkin Indi bakal lama tidak ketemu papa.”

“Sejak om berbaju putih itu ngajak papa pergi, Indi nggak pernah ketemu papa lagi.”

“Siapa yang Indi maksud?”

“Itu lho ma, om yang pakai baju putih. Wajahnya terang. Dia bilang sama papa mau

jemput papa karena udah waktunya.”

Mama kaget mendengar perkataan Indi. Bulu halus di kulitnya meremang. Siapa yang

dimaksud Indi? Apakah itu malaikat maut yang menjembut papanya. Ah, mungkin itu hanya

khalayan bocah lima tahun. Mama menepis dugaan sebelumnya. Indi memang bocah yang

cerdas dan menggemaskan. Dialah cahaya dalam hidup mama. Sejak suaminya meninggal

sebulan yang lalu, wanita itu seperti kehilangan tempatnya berpijak. Hanya Indi yang menjadi

satu-satunya alasan untuk bertahan hidup.

Mama tersadar dari lamunannya. Dipeluknya Indi lebih erat. Matanya terasa basah,

ada genangan air mengalir dari kedua bola matanya yang indah. Kepala Indi diusapnya

dengan penuh kasih. Kamu adalah malaikat mama, Nak. Suasana hujan begitu damai dengan

pemandangan ibu dan anak yang saling mengasihi.

Tiba-tiba Indi melepaskan dekapan mamanya. Wajahnya tampak pucat, dia langsung

berteriak histeris.

“Mama, mama lari... Ada orang jahat!!”

Mama sangat kaget melihat Indi. Dia segera menenangkan anaknya dan memeluknya

erat. Indi semakin panik. Berontak dari dekapan dan menarik tangan mamanya.

Page 2: INDI~GO!!

“Tenang, nak. Ada mama di sini. Tidak akan ada apa-apa.”

“Ma, ayo kita pergi dari sini. Nanti ada orang jahat!”, Indi terlihat ketakutan. Matanya

membelalak. Tubuhnya mengejang dan panas. Mama memegang dahi Indi. Sepertinya Indi

mendadak demam. Aneh, padahal sejak tadi suhu tubuhnya normal. Keringat deras

membasahi baju Indi. Mama panik dan cemas. Segera dia bergegas menuju klinik terdekat.

Baru saja mama membuka pintu, ada hampir sepuluh orang menerobos paksa ke dalam

rumah. Tampang mereka menyeramkan. Golok dan senjata tajam menghiasi tangan mereka

yang legam dan berotot. Mama ketakutan, tubuhnya gemetar.

“Ma, lari!!!”, Indi berteriak.

Mama segera tersadar. Dia berlari sekuat tenaga mengendong Indi. Pintu keluar sudah

diblokir. Mama bergegas menuju pintu belakang. Tapi tiga orang sudah menghadang di pintu

belakang. Kalut memenuhi pikiran mama. Mama segera berlari ke kamar, mengunci pintu,

dan menahan pintu dengan meja rias dan perabot lain. Lelaki-lelaki yang tidak tahu dari mana

asalnya itu dengan beringas menggedor pintu. Dalam hitungan detik, mereka berhasil

mendobrak paksa kamar. Seringai menyeramkan menghiasi wajah para lelaki itu. Salah satu

lelaki bertampang sangar dengan kumis tebal dan rambut awut-awutan mendekati mama. Indi

melempari mereka dengan barang-barang di sekitarnya. Para lelaki itu cukup sigap

menghindar. Mereka makin mendekat. Mama segera membuka jendela kamar dan

mengeluarkan Indi.

“Lari, Nak. Selamatkan dirimu!!”

“Mama juga harus lari. Indi takut sendirian.”

“Mama sayang kamu, Indi. Jaga dirimu.”

Mama menutup jendela dan menghalangi dengan badannya. Dia ingin mengulur

waktu agar orang jahat tidak mengejar Indi. Indi tak mau meninggalkan mama. Mama terus

berteriak menyuruhnya lari. Setelah mama berteriak marah akhirnya Indi tertatih mencari

bantuan. Entah berapa lama Indi berjalan, dia tidak melihat satu orang pun. Suasana jalan

nampak sepi. Penduduk takut untuk keluar karena kondisi sedang rawan. Indi ketakutan, dia

ingin mama. Matahari sudah kembali ke peraduan. Hujan masih deras mengguyur. Indi

menggigil kedinginan. Kepalanya terasa berat. Sekeliling Indi terasa berputar, dan mendadak

semuanya menjadi gelap.

Page 3: INDI~GO!!

Lima tahun kemudian..

Lonceng sekolah sudah berbunyi. Para murid bergegas meninggalkan kelas. Sebagian

sudah ditunggu orang tua yang menjemput mereka. Beberapa siswa bergerombol berjalan

beriringan dengan ceria sambil mengobrol tentang film dan komik. Siang itu cukup terik,

sangat tepat untuk menikmati minuman segar dan es krim.

“Nila, kita minum es krim yuk.”

Anak perempuan yang dimaksud tidak langsung menanggapi. Dia malah terlihat

bengong. Setelah sepersekian detik dia baru sadar dirinya dipanggil.

“Nggak ah. Aku mau pulang.”

“Kamu nggak asik banget sih. Terserah deh.”

Tanpa menggubris ledekan temannya, gadis yang dipanggil Nila itu berjalan terus

tanpa menoleh. Langkahnya dipercepat, tengkuknya terasa dingin. Sejak tadi Nila merasa

sulit bernafas. Suasana toilet sekolah terasa mencekam. Dia melihat wanita berambut panjang

tertawa nyaring di atas pohon dekat toilet. Nila segera berlari pulang ke rumah. Seorang

nenek menyambutnya dan menyuruhnya makan.

“Nila, sudah pulang ya. Ayo makan. Semuanya sudah menunggu.”

Nila mengangguk patuh. Di ruang makan sudah ada nenek, ayah, ibu, dan adik

perempuannya yang masih berusia empat tahun. Nila menyendok nasi dan mengisi piringnya

dengan lauk pauk. Masakan nenek memang paling enak. Mereka makan sambil mengobrol.

“Besok ayah mau dinas di luar kota. Nila dan Ungu mau oleh-oleh apa?”

Ungu yang masih bocah dengan lucunya meminta dibelikan boneka.

“Kalau Nila mau hadiah apa?”

Nila diam. Wajahnya pucat dan keringat dingin membasahi dahinya. Tangannya yang

sedang menyendok makanan terlihat gemetar.

“Hei, anak ayah kok diem aja? Nila kok pucat? Ada yang sakit, Nak?”

“Nila nggak mau apa-apa. Nila cuma minta besok ayah nggak usah berangkat.”

“Mana mungkin ayah nggak berangkat. Dinas kali ini sangat penting. Ayah harus ke

luar kota untuk meeting dengan Tuan Yamamoto urusan tender.”

“Tapi, Yah...”, Nila terlihat ragu melanjutkan ucapannya.

“Kenapa, Nila?”

“Nila mimpi buruk.”

“Mimpi apa?”

“Nila mimpi langit menjadi merah karena api membakar burung di udara. Lalu naga

laut menelan burung besi.”

Page 4: INDI~GO!!

“Itu cuma mimpi. Bunga tidur. Tak usah Nila pikirin, ayo makan.”

Esoknya ayah berangkat. Nila sedang belajar memainkan pianika saat dirinya

dipanggil Bu Guru. Nila disuruh pulang ke rumah. Dia merasakan firasat tidak enak. Cepat-

cepat dia berlari menuju rumah. Setiba di rumah, Nila mendapati seluruh keluarganya sudah

berkumpul. Mata mereka merah dan terlihat ibu dan nenek menangis. Nila masih belum

mengerti apa yang terjadi. Kegelisahannya terjawab saat melihat berita di TV tentang

kecelakaan pesawat terbang. Ternyata ayahnya adalah salah satu penumpang pesawat itu.

Pesawat meledak di udara dan puing-puingnya jatuh ke samudera. Nila menggigil. Tayangan

di TV menampilkan hal yang sama dengan mimpinya. Siluet burung besi yang terbakar

memendarkan api menyala-nyala.

Sebulan lebih sejak kepergian ayahnya, mimpi buruk kerap menghantuinya. Kali ini

dia melihat gadis kecil dalam akuarium. Wajahnya tak terlihat jelas. Namun Nila merasa ada

cahaya ungu yang berpendar dari gadis kecil itu lalu lama-kelamaan memudar. Nila

terbangun dalam keadaan basah penuh keringat. Dia tak tenang. Esoknya dia menceritakan

mimpinya pada ibu. Seperti ayah waktu itu, ibu tidak menanggapi dan sibuk mengurus

asuransi ayah.

Perasaan tak enak terus menggelayuti Nila. Dia tak bisa konsentrasi belajar. Bu guru

kerap memanggilnya untuk mencari keterangan atas sikapnya yang aneh. Nila tidak bergaul

dengan teman sebayanya, malah sering terlihat sibuk ‘mengobrol’ di sudut kelas yang

kosong. Teman-temannya menganggapnya aneh. Mereka takut dengan Nila. Nila lebih

senang menyendiri di taman. Dia bebas melakukan apa yang diinginkan. Setiap jam istirahat

Nila ke taman untuk mengobrol dengan Putri, gadis kecil berambut keriting. Usia Putri

mungkin sebaya dengannya. Tidak seperti teman-teman Nila yang lain, Putri sangat berbeda.

Sesuai dengan namanya, dia terlihat bagai putri dengan gaun kecil berwarna keemasan.

Kepalanya dihiasi dengan mahkota dari rangkaian bunga. Mereka sering berbagi cerita dan

memetik bunga bersama.

“Hey, coba lihat Nila. Aneh banget, masak metik bunga sambil ngomong sendiri.”

“Ih, serem banget. Kayak orang nggak waras.”

“Jangan-jangan dia ngobrol sama hantu.”

“Udah ah, pergi aja. Ngeri.”

Teman-teman sekelas Nila yang sedari tadi memperhatikan Nila meninggalkan taman.

Semakin jelas bagi mereka bahwa Nila adalah anak aneh yang harus dijauhi.

Page 5: INDI~GO!!

Sepulang sekolah Nila mendapati rumahnya penuh dengan orang. Para tetangga,

keluarga, dan orang-orang tak dikenal lalu lalang di rumahnya. Nila semakin kalut, dia

bergegas mencari ibunya. Di ruang tengah Nila melihat ibu dan neneknya menangis. Ibu

berteriak histeris. Di tengah kerumunan nampak sesuatu yang ditutup kain putih. Nila

gemetar, hatinya mencelos. Adiknya, Ungu, sudah pergi untuk selamanya. Kata Bi Inah,

Ungu meninggal karena tenggelam di kolam renang. Tidak tahu bagaimana caranya Ungu

yang baru berumur empat tahun bisa sampai di kolam. Memang saat itu tidak ada yang

memperhatikan Ungu karena sibuk menyiapkan peringatan kematian ayah. Pak Poni, tukang

kebun di rumah, yang menemukan jasad Ungu mengapung di kolam renang. Ibu langsung

pingan saat melihat Ungu sudah tak bernyawa.

Nila tak percaya dan tak mau percaya. Adik kesayangannya pergi begitu cepat. Dia

merasa sangat sedih dan kehilangan, tapi air matanya tak bisa keluar. Sama seperti saat

penguburan ayahnya, Nila juga tak menitikkan setets pun air mata. Rasanya sakit di dada,

tapi tak ada isak dan tangis yang keluar. Nila mendekati ibunya dan memegang bahunya.

“Kamu anak pembawa sial! Gara-gara kamu suami dan anakku meninggal!”

Ibu menepis tangan Nila dari bahunya. Nila tersentak kaget. Dia tidak mengerti apa

yang terjadi dengan ibunya. Nenek menyuruh ibu untuk istighfar.

“Nduk, dia Nila anakmu. Jangan bilang gitu. Kasihan Nila. Istighfar, Nak.”

“Sejak ada kamu di rumah ini, keluargaku jadi tak tenang. Kamu itu memang tidak

seharusnya ada di sini. Pergi!!”, Ibu makin histeris. Kemudian dia jatuh pingsan.

Nila syok dengan sikap ibu. Nenek memeluknya dan meyuruh Nila melupakan

perkataan ibunya tadi. Nila menuntut penjelasan. Nenek menutup rapat mulutnya, namun

Nila terus memaksa. Akhirnya nenek menceritakan masa lalu Nila. Nila ditemukan ayah

sedang pingsan di jalan. Nila kemudian dibawa ke rumah. Saat itu Nila masih sangat belia.

Tekanan batin dan syok yang dialami membuatnya kehilangan ingatan. Nila kaget mendengar

cerita nenek. Dia merasa sedih atas penolakan ibunya.

“Nek, ibu bilang Nila harus pergi dari rumah.”

“Sudah, tidak usah kamu dengar ibumu. Dia lagi emosi waktu bilang itu.”

“Tapi, tapi... Nila bukan anak keluarga ini.”

“Kamu adalah cucu nenek, dan selamanya akan tetap jadi cucu nenek.”

Nila memeluk nenek dengan erat. Pelukan nenek terasa hangat, mengingatkannya

pada seseorang namun tidak jelas wajahnya. Sosok yang menebar kerinduan, tapi Nila tak

bisa mengingatnya. Setiap kali mencoba, kepalanya terasa sakit. Bagai membuka paksa kotak

kenangan, namun tidak dengan menggunakan kunci yang tepat.

Page 6: INDI~GO!!

Semenjak kepergian ayah dan Ungu, ibu jadi murung dan tidak mau makan.

Tubuhnya semakin kurus, matanya cekung, dan wajahnya pucat. Dia terlihat seperti orang

linglung. Tapi setiap kali melihat Nila tiba-tiba amarahnya memuncak. Dia meneriaki Nila

dengan kasar dan memukulinya. Ibu mengusir Nila dan tidak mau melihatnya lagi. Nenek

menangis menahan Nila untuk tetap tinggal. Namun kemauan ibu sudah tak bisa dibantah,

Nila pergi dari rumah tidak membawa apapun, hanya baju yang melekat di badan saja. Nila

berjalan tak tentu arah. Tak tahu sudah sejauh mana dia berjalan.

Nila sebatang kara, tidak punya arah tujuan. Berhari-hari dia tidur di jalan, makan dari

makanan sisa. Tak ada jalan lain, dia mengemis untuk bertahan hidup. Udara malam menusuk

kulit, panasnya matahari membakar tubuh. Baru kali ini Nila merasakan namanya penderitaan

hidup. Suatu hari saat sedang mengamen, ada razia besar-besaran oleh Pol PP. Gelandangan,

pengemis, dan anak jalanan diciduk semua termasuk Nila. Nila dibawa ke panti sosial.

Nasibnya sedikit lebih baik karena sekarang dia punya tempat berlindung.

Hari-hari di panti tak bisa dibilang mudah. Nila harus membantu pekerjaan bersih-

bersih seperti menyapu, mengepel, dan mengurusi anak kecil di panti. Nila tumbuh dalam

ketakutan karena setiap hari di panti dia sering mendengar suara isak tangis dari gudang

belakang. Belum lagi dengan wanita berambut panjang yang tinggal di pohon beringin

sebelah panti sering menarik Nila untuk ikut dengannya. Sebagai anak berusia sepuluh tahun

hal itu membuat Nila menjadi pendiam dan menutup diri. Di sekolah, Nila masih seperti dulu

tidak mau bergaul.

Ibu guru melihat Nila punya potensi yang besar. Walau secara akademis dia memang

tidak terlalu menonjol. Namun seringkali gurunya kewalahan dengan pertanyaan-pertanyaan

Nila yang ‘aneh’ dan sulit untuk dipahami. Cara berpikirnya sangat dewasa tidak seperti

teman sebayanya. Sebagian teman menganggapnya aneh karena Nila terkesan dingin dan

sombong. Sebenarnya Nila ingin bergaul dengan teman sebayanya, tapi karena pola pikirnya

yang kelewat tinggi, tidak ada teman sebaya yang mampu mengimbangi.

Waktu berjalan sangat cepat, bagai terbang dengan kecepatan cahaya. Tak terasa Nila

sudah kelas tiga SMA. Sekarang dia mulai terbiasa dengan penampakan makhluk halus di

sekitarnya. Dia tidak terlalu merasa terganggu dengan kehadiran mereka, malah ada beberapa

yang menjadi teman bicaranya. Nila sudah mulai menyadari dia memiliki kemampuan yang

berbeda dari orang biasa. Di usianya yang sudah menginjak tujuh belas tahun, Nila semakin

sering mendapat penglihatan tentang masa depan. Walau tidak secara gamblang, hanya

berupa tanda atau simbol.

Page 7: INDI~GO!!

Hari ini perasaannya sangat tidak tenang. Aroma pekat menyelimuti udara. Nila

melihat asap lembayung berpusar di sekitarnya. Mulanya Nila pikir ini karena kehadiran

makhluk pendatang baru di kelasnya, namun ternyata bukan itu. Dia mendapat pesan bahwa

akan ada hal yang mengerikan terjadi. Nila segera menyuruh guru dan teman-temannya untuk

segera keluar dari laboratorium kimia. Teman-temannya menganggap Nila sudah gila.

Mereka tetap tidak beranjak dari ruangan itu. Nila makin panik, dia berteriak dan memaksa

mereka untuk meninggalkan ruangan.

“Ayo, keluar dari sini!! Bahaya!”

“Nah, mulai lagi nih anak berulah. Udah nggak usah didengerin. Dia mulai kumat.”

Nila tidak berhasil membuat mereka keluar. Guru menyuruh Nila tetap tenang dan

mengikuti pelajaran dengan tertib. Nila berlari keluar ruangan dengan panik. Suasana kelas

yang sempat riuh kembali ditenangkan oleh guru. Tak beberapa lama, terdengar teriakan

panik dari lab kimia. Api dengan cepat menyebar ke seluruh ruangan. Korsleting listrik

menimbulkan percikan bunga api yang bereaksi dengan zat kimia di lab dengan cepat

membuat kebakaran membesar. Beberapa siswa yang kebetulan sedang memegang bahan

kimia langsung dengan cepat tersambar api. Suara histeris membahana dari dalam lab. Pintu

keluar tertutup api. Guru mencoba menyelamatkan para siswa. Bel alarm kebakaran berbunyi

nyaring di seantero sekolah. Beberapa orang langsung mencari dan mendatangi sumber

kebakaran. Tiba-tiba Nila menerobos pintu sambil menyemprot dengan pemadam api. Api di

depan pintu keluar berhasil dipadamkan. Guru dan para siswa berlarian keluar

menyelamatkan diri. Bala bantuan datang, api berhasil dipadamkan. Untunglah belum sempat

menyebar luas. Tenaga medis mulai berdatangan.

Dari kejadian itu, beberapa siswa mengalami luka bakar ringan. Lab kimia habis

terbakar. Untunglah tidak ada korban jiwa. Setelah kejadian itu, Nila dipanggil oleh guru dan

kepala sekolah. Mereka mengintogerasi Nila bagaimana dia tahu akan terjadi kebakaran.

Mereka mendapat laporan sebelum kejadian Nila sempat menyuruh orang-orang untuk keluar

dari lab. Ada yang berspekulasi mengatakan bahwa Nila menyebabkan kebakaran itu.

“Pasti anak ini sengaja membuat heboh dengan membakar lab kimia.”, tuduh salah

seorang guru.

“Tidak mungkin Nila melakukannya. Jelas-jelas ini adalah korslet.”, wali kelas Nila

memberi pembelaan.

“Saya bisa merasakan akan terjadi sesuatu.”, Nila menjelaskan.

“Alaaah, kamu mengada-ada. Memangnya kamu paranormal.”

Page 8: INDI~GO!!

Nila hanya diam dan menunduk. Dia berupaya menjelaskan namun tidak ada yang

percaya. Memang hal ini tidak bisa dijelaskan secara logis bagaimana dia bisa tahu.

“Mungkin memang Nila berkemampuan khusus.”

“Anak ini hanya mau cari perhatian dan membuat onar. Dia harus dihukum.”

“Bagaimana kalau Nila mencoba psikotest?”, wali kelasnya memberi saran.

“Menurut saya, lebih baik dia dibawa ke psikiater untuk melihat apa ada gangguan

kejiwaan.”, jawab guru lain dengan ketusnya.

“Nila, apa kamu bersedia melakukan psikotest?”, tanya wali kelasnya dengan lembut.

Nila mengangguk. Dia juga ingin tahu ada apa sebenarnya dengan dirinya. Esoknya

Nila dijadwalkan untuk mengikuti psikotest dan tes IQ. Hasilnya mengejutkan. IQ Nila di

atas 150. Secara kepribadian dia memang dewasa dari umur yang sebenarnya. Hasil psikotest

Nila menyatakan Nila adalah anak dengan kemampuan khusus. Dia disarankan untuk

melakukan pemeriksaan aura. Ternyata tepat benar dugaan, hasil tes aura menunjukkan Nila

memiliki aura berwarna Indigo (nila).

Jelaslah sudah sekarang. Tabir yang selama ini menyelimuti hati Nila mulai terkuak.

Nila yang menyadari dirinya mendapat anugerah menyikapi kemampuannya dengan positif.

Walau kadang konsekuensinya dia mengalami atau melihat hal-hal tak mengenakkan. Guru-

guru dan teman-teman Nila yang sudah mengetahui kondisi Nila mulai membuka diri dan

mencoba mengerti Nila. Mereka berterima kasih karena Nila sudah menyelamatkan mereka

dari kebakaran.

Nila cukup lega dengan kondisi sekarang. Bebannya selama ini seolah menjadi lebih

ringan. Namun masih ada hal yang menjadi tanda tanya besar baginya yaitu mengenai asal

usulnya. Nila mencoba menajamkan pikiran dan berkonsentrasi mencari secuil informasi.

Sejak mengetahui dirinya adalah anak indigo, Nila mulai mengoptimalkan kemampuannya.

Nila berjalan dan mengikuti petunjuk dari ‘mata ketiga’-nya. Tanpa sadar langkahnya terhenti

di sebuah rumah tua tak terawat. Sepertinya rumah itu tak berpenghuni. Perasaan dejavu

muncul saat menginjakkan kaki di rumah itu. Nila melihat sekeliling untuk mencari

informasi. Ruangan itu nampak berantakan, berdebu, dan kotor. Tidak ada tanda-tanda

keberadaan orang di rumah ini. Nila mencoba mencari jejak yang tertinggal. Matanya

memandang nanar pada potret kecil usang di bawah meja. Nampak keluarga kecil bahagia

sedang berlibur di pantai. Bocah perempuan tersenyum cerah pada ayah ibunya. Nila terbawa

kenangan. Seperti film yang diputar ulang dia bisa merasakan suasana yang sangat nyaman.

Ingatannya belum kembali, tapi dia merasa kedekatan dengan rumah ini.

Page 9: INDI~GO!!

Ada sesuatu yang menggerakkan hatinya untuk masuk ke kamar di sudut ruangan.

Ruangan itu gelap dan banyak sarang laba-laba. Nila terbatuk ketika terhirup debu yang

sudah bercokol lama di kamar. Dinding kamar itu sepertinya dulu berwarna nila atau

mungkin juga ungu, tidak begitu jelas karena mulai pudar dimakan waktu. Ada banyak

boneka di kamar itu. Sepertinya itu adalah kamar gadis kecil. Nila meneliti satu per satu

barang di kamar itu. Kenangannya terusik. Di meja kecil ada tempelan nama “INDI”. Nila

menebak Indi adalah gadis kecil pemilik kamar itu. Kepala Nila terasa seperti mau pecah saat

mencoba mengingat. Peluh berjatuhan di keningnya. Dia ingin mencari di mana penghuni

rumah itu. Nila segera keluar rumah dan menanyai orang-orang sekitar itu. Penduduk sekitar

tidak mengetahui keberadaan penghuni rumah itu. Ada yang bilang seluruh penghuni rumah

sudah pindah, bahkan ada yang bilang sudah meninggal. Beritanya masih simpang siur.

Nila hampir putus asa ketika tidak menemukan titik terang. Sepertinya ada yang

membentengi pikirannya untuk mengakses masa lalu. Nila berpikir meminta bantuan ahli

untuk menghipnotis dirinya supaya bisa menemukan keping masa lalunya yang hilang.

Namun usahanya masih belum berhasil. Walau saat ini keluarga barunya di panti cukup baik,

Nila masih merasa kosong dan kesepian.

Setelah lulus SMA, Nila melanjutkan kuliah. Dia mengambil jurusan psikologi agar

bisa lebih memahami orang di sekitarnya. Dia juga berusaha mandiri dengan keluar dari panti

dan bekerja. Walau masih penasaran dengan masa lalunya, Nila mencoba untuk melanjutkan

hidup. Dia ingin memulai lembaran baru. Memasuki tahun kedua kuliah, Nila sering

melakukan kunjungan ke lembaga permasyarakatan, panti rehabilitasi, dan Rumah Sakit

Jiwa. Tujuannya agar dia bisa mempelajari perilaku berbagai jenis manusia.

Suatu hari Nila dan teman-teman mengunjungi sebuah pusat pemulihan penyakit jiwa.

Mereka berkeliling dan melihat pasien-pasien dengan berbagai kondisi. Nila tertarik pada

seorang wanita yang sedang duduk di kursi taman. Dia melihatnya dari kejauhan. Wanita itu

berusia sekitar empat puluhan. Wajahnya terlihat sangat tua lantaran stres yang dialaminya.

Gurat kecantikan masa lalu masih tersisa sedikit di wajahnya. Nila langsung merasa iba.

“Ibu itu korban pelecehan seksual saat masa reformasi. Jiwanya terguncang sejak

kejadian itu. Kasihan dia masih sering berteriak kalau malam hari.”, tenaga psikiatri memberi

penjelasan pada Nila dan teman-teman. Nila semakin merasa kasihan padanya.

Nila dan teman-teman beranjak meninggalkan taman. Tiba-tiba ada perasaan aneh

menjalar di hati Nila. Seperti ada sesuatu yang terasa dekat tapi tak tahu apa artinya.

“Indi... Indi... Lari.. Pergi jauh.. Selamatkan dirimu, Nak..”, teriak ibu itu histeris.

Page 10: INDI~GO!!

Ibu itu mengamuk. Tak tahu kerasukan apa dia mendekati rombongan mahasiswa itu.

Mereka terlihat takut akan diserang karena tatapan ibu itu sangat garang dan membahayakan.

Namun tatapan ibu itu melunak saat matanya melihat Nila. Dia langsung memeluk Nila.

“Indiii, anak mama. Anak mama sayang...”

Tenaga psikiatri langsung menangkap ibu itu. Mereka menarik paksa dan bersiap

menyuntikkan obat penenang. Tanpa sadar, Nila langsung menarik ibu itu dan melihat

wajahnya. Dalam jarak dekat terlihat wajah ibu itu mirip dengan foto wanita yang ada di

rumah tua. Nila merasa ada perasaan hangat mengalir di dadanya.

“Mama...”, kalimat itu terlontar dari mulutnya.

“Indi..”, ibu itu menghambur ke pelukan Nila.

Belenggu ingatan Nila perlahan mulai lepas. Dia teringat kembali saat-saat berada di

pangkuan ibunya dan kehangatan wanita itu. Wanita itu adalah ibu yang telah melahirkannya.

Kenangan peristiwa penyerangan sekelompok lelaki dan kehilangan ibu membuat pikiran

bawah sadarnya memblokir segala hal tentang itu.

Nila ingat dirinya adalah Indi. Indigo Paramitha. Matanya yang selama ini selalu

kering, mulai basah dengan air mata yang membanjir tak henti. Setelah sekian lama, baru kali

ini dia menangis. Kedua insan yang sudah lama terpisah ini berpelukan erat dan tak ingin

berpisah lagi...

Page 11: INDI~GO!!

Nama Lengkap: Anisa Listya

Alamat: Jln. Dempo Dalam No. 958 C Palembang 30124

HP: 081273096970

Twitter: @417154

Biodata Penulis

Chacha Liztya, nama pena yang digunakan penulis dalam karyanya. Penulis besar di

Palembang dan menyukai segala trademarks Palembang seperti Jembatang Ampera, Sungai

Musi, Masjid Agung, dan BKB. Kecintaan pada menulis dan musik membuat Chacha sering

mengikuti lomba menulis (walau belum ada karya yang menang :p). Harapan penulis

karyanya bisa diterbitkan dan bermanfaat serta bisa berbagi dengan para sahabat di seluruh

Indonesia. Salam kenal semuanya