incest in religious community of social … masyarakat bali, menjadi payung dalam berbagai aspek...
TRANSCRIPT
INCES DALAM KEHIDUPAN SOSIAL RELIGIUS MASYARAKAT BALI
INCEST IN RELIGIOUS COMMUNITY OF SOCIAL LIFE IN BALI
I Nyoman Duana Sutika
I Gusti Ngurah Jayanti
Fakultas Sastra Universitas Udayana
Jln. Nias 13 Denpasar
Email: [email protected]
Hp. 082144444058
ABSTRAK
Inces sosial religius dipahami sebagai larangan tata kehidupan sosial masyarakat Bali
terhadap prilaku kehidupannya yang diatur dalam dresta dan sima (kebiasaan)
masyarakatnya. Tata nilai tersebut sampai saat ini masih tetap dipertahankan, diyakini
dan ditaati oleh anggota masyarakat Bali. Ketaatan ini didasari oleh adanya keyakinan
dan persepsi masyarakat atas konsekuensi sosial religius yang ditimbulkan bagi
pelanggarnya. Dengan demikian masyarakat Bali senantiasa menjadikan tri hita
karana sebagai payung kearifan lokal di dalam segala aspek kehidupan sosial
religiusnya, yakni menjaga hubungan yang selaras dan harmonis dengan pencipta
(Tuhan), sesama, dan alam lingkungannya. Hal ini bertujuan untuk menciptakan
kehidupan yang sejahtera dan damai bagi kelangsungan hidup masyarakatnya.
Kata kunci: Inces, kearifan lokal, tata nilai, dan sosial religius
ABSTRACT
Religious social inces is understood as Balinese society prohibition on social
behavior religious of their life that is regulated in dresta and sima (habit) of the
community. The value system until this time is still maintained, believed and obeyed
by Balinese community members. This obedience is underlined by belief and society
perception on the religious social consequence which is posed for its offender. So that
Balinese community always use tri hita karana as local wisdom protection in all of
religious social life aspects, that is keeping relationship that is conformable and
harmonious with the creator (God), fellow, and the environment. It aims to create
prosperous and peace life for continuance of community life.
Key words : Inces, local wisdom, value system, and Religious social
A. PENDAHULUAN
Hampir setiap anggota masyarakat di seluruh belahan bumi ini mempunyai
tatanan hidup yang mengatur dirinya untuk mencapai kesejahteraan dan kedamaian
hidupnya. Begitu pula halnya dengan masyarakat Bali telah mewarisi tradisi
kehidupan sosial religius yang sampai saat ini masih tetap dipertahankan, dipelihara,
ditaati, dan dilaksanakan untuk dijadikan pedoman dalam hidupnya berupa tatanan
yang mengatur dirinya menuju masyarakat yang selaras, damai dan sejahtera.
Orientasi kehidupan masyarakat Bali secara makro mempunyai esensi bertujuan untuk
menjaga hubungan selaras antara dirinya dengan Tuhan, sesama, dan alam di
sekitarnya. Konsep dasar yang disebut tri hita karana ini senantiasa melandasi tatanan
hidup masyarakat Bali, menjadi payung dalam berbagai aspek kehidupannya untuk
mencapai tujuan hidupnya dalam memperoleh kebahagiaan yang dalam ajaran agama
Hindu disebut moksartam jagaditya yacha iti dharma.
Pemahaman tentang tri hita karana ini didasarkan atas kontemplasi atau
perenungan masyarakat Bali di dalam menjaga keharmonisan untuk mewujudkan
keselarasan, kesejahteraan dan kedamaian masyarakatnya. Konsepsi ini merupakan
kearifan lokal pengetahuan asli masyarakat Bali yang bermanfaat untuk mengatur
kehidupannya, baik untuk mengatur hubungan antarmanusia dalam suatu masyarakat,
hubungan manusia dengan alam maupun hubungan manusia dengan Tuhan. Tidak
hanya berlaku pada masyarakat Bali Dataran, hal ini juga diterapkan pada desa-desa
Bali Aga pun menyimpan kearifan dan kepercayaan lokal yang dilandasi semangat
untuk menjaga keharmonisan antar sesama, lingkungan dan dengan pencitanya (lihat
Sujaya, 2007: v). Pengetahuan pragmatis ini diturunkan dari generasi ke nenerasi dan
terus menerus dipedomani dalam menata kebiasaan hidup untuk memperkuat
kepribadian yang diimplementasikan demi kesejahteraan dan peradaban manusia.
Kearifan lokal sebagaimana dinyatakan Sibarani (2012: 113) adalah nilai
budaya lokal yang dapat dimanfaatkan untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat
secara arif atau bijaksana. Tatanan kehidupan yang bersumber dari pengetahuan
masyarakat tersebut dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan dan
kedamaian masyarakat sebagai kebenaran yang diidam-idamkan masyarakatnya.
Kebenaran semacam ini diyakini sebagai kebenaran pragmatis karena secara praktis
pengetahuan asli (lokal) tersebut merupakan kebenaran yang sesungguhnya dan
bermanfaat bagi kehidupan manusia untuk menata kehidupannya.
Masyarakat Bali mewariskan nilai-nilai sosial religius melalui budaya dresta
dan sima (kebiasaan) yang di dalamnya mengandung kandungan tradisi yang secara
turun-temurun diwarisi dan dimanfaatkan untuk menata kehidupan masyarakat dalam
mengatur tatanan kehidupan komunitas. Kearifan lokal dalam pemahaman Sibarani
(2012: 114) dibagi menjadi tiga pendekatan, yakni perspektif struktural, kultural dan
fungsional. Tulisan ini mengacu pada perspektif kultural dan fungsional bahwa
tatanan sosial religius masyarakat Bali sebagai nilai yang diciptakan, dikembangkan
dan dipertahankan oleh masyarakat sendiri dan karena kemampuannya mampu
bertahan dan menjadi pedoman dalam menyejahterakan masyarakatnya sampai saat
ini. Dimensi kultural dan fungsional tersebut di antaranya adalah tatanan budaya lokal
religius masyarakat Bali dalam menjalin hubungan sosial dalam perkawinan, menjalin
keselarasan dengan alam semesta, dan menentukan padewasan (hari baik) di dalam
menata kelangsungan hidupnya.
Konsep-konsep dan nilai-nilai sosial religius juga senantiasa mengalami
perkembangan/pergeseran atau lebih tepat disebut perubahan seiring dengan
perkembangan zaman. Sebuah nilai lahir, tumbuh dan berkembang akan diikuti pula
oleh lenyapnya nilai tersebut seiring lahirnya nilai-nilai baru yang dianggap sesuai
oleh masyarakat pendukungnya. Bahkan nilai budaya positif yang sebelumnya
dianggap sakral-religius, justru pada dekade yang lain atau masa sekarang bisa
berubah dan dianggap sebagai hal biasa/bersifat profan. Begitupun pada pergantian
masa, akan muncul nilai-nilai kearifan lokal baru yang menjadi pedoman kehidupan
bagi masyarakatnya. Hubungan seimbang dan harmonis dalam kultur sosial religius masyarakat
Bali ditandai oleh ketaatan masyarakatnya secara konsisten dan berkesinambungan
melaksanakan nilai-nilai kehidupan yang dijadikan pedoman dalam kehidupannya;
yakni menjauhi larangan, pantangan atau hal-hal yang dianggap bertentangan dengan
nilai-nilai atau norma-norma sosial religius yang ditetapkan oleh masyarakatnya.
Pelarangan dalam konteks sosial religius ini penulis sebut sebagai inces, berupa
pemahaman atas tatanan sosial religius yang dihindari oleh setiap anggota masyarakat.
Larangan ini didasari oleh adanya konskuensi sosial religius yang diakibatkan oleh
setiap anggota masyarakat Bali yang melanggarnya atas efek yang ditimbulkan.
B. PEMBAHASAN
1. Hubungan sosial religius dalam perkawinan
Perkawinan merupakan momentum yang amat penting dan disakralkan oleh
masyarakat Hindu Bali. Proses dari sebuah fase kehidupan yang disebut grehasta ini
adalah satu tahapan kehidupan seseorang untuk berumah tangga, menjalin hubungan
sebagai suami istri. Dalam perkawinan, setiap pasangan merindukan adanya
kehidupan yang langgeng, harmonis, damai dan sejahtera, sebagaimana disebutkan
dalam undang-undang perkawinan nomor 1 tahun 1974, bahwa perkawinan ialah
ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri untuk
membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Hal ini menyiratkan bahwa sebuah perkawinan tidak hanya merupakan pertemuan dua
sejoli secara lahiriah, tetapi juga diikat oleh adanya momentum sakral di dalamnya.
Secara intens masyarakat Bali mengakui dan meyakini bahwa proses
perkawinan tersebut mengandung unsur-unsur sakral dan secara bijak berusaha untuk
menjaganya. Selain itu masyarakat Bali umumnya menginginkan perkawinan itu
hanya terjadi sekali dalam hidupnya. Hal ini tidak hanya berlaku pada masyarakat Bali
umumnya (Bali Dataran) tetapi berlaku pula bagi masyarakat Bali Aga atau Bali Mula
(lihat Sujaya, 2007). Untuk dapat mencapai harapan tersebut maka masyarakat Bali
percaya akan adanya ketentuan-ketentuan yang harus dipatuhi, ditaati dan
dilaksanakan berdasarkan keyakinannya. Sebaliknya ada hal-hal yang harus
(sepatutnya) dihindari dalam hidupnya, karena apabila hal tersebut dilanggar akan
berimplikasi pada ketidakharmonisan (disharmoni) bagi pasangan dan keluarganya
serta mempunyai efek langsung dan tidak langsung terhadap keturunannya. Sebuah
perkawinan dalam kehidupan masyarakat Bali juga tidak hanya dimaknai sebagai
pertemuan dua insan manusia atas dasar suka sama suka (cinta) semata, tetapi ada hal-
hal mendasar harusnya dipatuhi oleh pasangan tersebut. Untuk sampai pada tujuan
perkawinan yang diharapkan, umumnya masyarakat Bali menghindari bentuk
patemuan (perjodohan/perkawinan) yang bertentangan dengan nilai-nilai sosial
religius masyarakatnya. Perkawinan yang dilarang atau dihindari oleh masyarakat Bali
terutama perkawinan sedarah (inces tabo), karena hal ini juga secara medis/ilmiah
mempunyai efek/peluang besar untuk menghasilkan keturunan yang tidak normal atau
cacat fisik yang disebabkan oleh adanya kesamaan genetik antara orang tua (ibu dan
bapak). Perkawinan sedarah ini tidak berdampak langsung untuk pasangan, namun
berdampak besar pada keturunannya, seperti berumur pendek, mengidap suatu
penyakit yang diakibatkan oleh adanya kesamaan genetik orang tua tersebut.
Selain hubungan perkawinan sedarah (inces), masyarakat Bali juga percaya akan
larangan perkawinan (inces) yang secara sosial religius dilarang oleh masyarakat Bali,
seperti: makedeng ngad, ngulihang bengbengan, ngrangda tiga dan kawin megat
jalan yang dianggap akan mendatangkan hal-hal buruk sebagaimana akan diuraikan
berikut ini.
1) Makedeng Ngad (makedengan ngad) adalah bentuk perkawinan bertukar antara
saudara perempuan suami dengan saudara laki-laki istri (lihat Bagus dalam
Koentjaraningrat, 1985: 287). Secara harfiah 'kedeng' artinya tarik sehingga makedeng
artinya ditarik dan kata ngad berarti sejenis pisau yang dibuat dari bambu. Ungkapan
ini menyiratkan bahwa apabila terjadi perkawinan bertukar, yang notabena bahwa
mempelai perempuan bersaudara kandung dengan ipar laki-laki, yang berarti pula
saudara kandung dari mempelai laki-laki dalam waktu berbeda atau bersamaan
diambil istri oleh saudara kandung mempelai perempuan. Perkawinan semacam ini
menurut keyakinan (dresta/sima) masyarakat Bali akan sangat berbahaya ibarat
sebuah pisau bambu ditarik secara berlawanan niscaya akan terjadi gesekan yang akan
melukai atau memotong lawannya secara fatal. Secara kasat mata perkawinan
semacam ini nampak tidak ada anehnya. Akan tetapi masyarakat Bali percaya
perkawinan makedeng ngad ini akan mendatangkan bencana fatal, terutama bagi anak
keturunannya, yang mungkin terjadi di kemudian hari adalah salah satu (suami atau
istri) dari kedua mempelai akan meninggal sebelum waktunya atau akibat perkawinan
tersebut harta warisan keluarga tersebut akan menyusut dan hal-hal lain yang
berimplikasi pada ketidakutuhan atau kemerosotan keluarga/rumah tangga tersebut.
Meskipun urusan perkawinan sering hanya dikaitkan dengan urusan cinta dua sejoli,
tetapi masyarakat Bali sampai sekarang tetap menganggap perkawinan makedeng
ngad (lebih kepada keyakinan/secara niskala) punya efek langsung atau tidak
langsung sehingga menjadi momok yang sudah barang tentu harus dihindari.
2) Ngulihang (ngulihin) bengbengan adalah bentuk perkawinan dari seorang
perempuan yang diambil istri oleh laki-laki dari pihak keluarga inti asal ibunya.
Seringkali bentuk perkawinan ngulihang bengbengan ini dianggap atau dipercaya
mempunyai efek atau implikasi yang tidak jauh berbeda dengan perkawinan
makedeng ngad meskipun efek dari perkawinan ini tidak sama namun tetap dianggap
akan mendatangkan hal-hal buruk yang tidak diinginkan. Ngulihang secara harfiah
berarti mengembalikan, dan bengbengan berarti tempat ayam bertelur
menginspirasikan tentang sosok perempuan. Terkait dengan idiom kata ngulihang
bengbengan, masyarakat Bali juga mengenal istilah kata tulak wali, yang dimaknai
sebagai larangan untuk meminta kembali atau mengembalikan barang/benda apapun
yang sudah secara tulus iklas pernah diberikan atau diterima oleh orang lain.
Ungkapan ini lebih mengandung muatan etika ketimbang mitos yang diyakini umat
bahwa pantang meminta kembali barang/benda apapun yang telah pernah secara tulus
iklas diberikan pada orang lain. Selaras dengan perkawinan ngulihang bengbengan
dan terlepas dari pengetahuan geneologis, hal ini mengilustrasikan bahwa apabila
seorang perempuan yang diibaratkan sebagai bengbengan (benda), apabila
dikembalikan lagi kepada keluarga induk atau keluarga inti ibunya maka implikasinya
kurang baik bagi kelangsungan hidup keluarga atau mempelai tersebut. Selain itu
secara medis tentu hubungan kedua mempelai masih dianggap sangat dekat sehingga
perkawinan tersebut masih dianggap mengandung unsur-unsur inces yang
menimbulkan efek yang tidak diinginkan oleh masyarakat manapun.
3) Ngrangda tiga adalah perkawinan dari seorang laki-laki dengan perempuan
yang telah pernah melakukan perkawinan tiga kali sebelumnya atau perempuan
tersebut melakukan perkawinan untuk yang keempat kalinya. Ini berarti perempuan
tersebut telah pernah kawin sebelumnya sebanyak tiga kali. Ini semata-mata
berdasarkan keyakinan masyarakat Bali yang umumnya percaya bahwa laki-laki yang
memperistri perempuan seperti ini (rangda tiga/janda tiga kali) akan mengalami
kehidupan yang sulit/bencana. Lebih-lebih keadaan menjanda dari perempuan tersebut
adalah karena ketiga suami sebelumnya meninggal. Inilah hal yang menjadi momok
sehingga suami keempat diyakini tidak akan selamat tanpa harus menyebut bahwa ia
akan bernasib sama dengan suami sebelumnya (meninggal).
4) Kawin megat jalan (margi) adalah perkawinan dilakukan oleh mempelai yang
istri atau calon istrinya berasal atau mempunyai rumah dan bertempat tinggal tepat di
seberang jalan rumah mempelai laki-laki, atau pintu masuk rumah mempelai saling
berhadap-hadapan. Larangan perkawinan ini tentu tidak memenuhi logika ilmiah
dipandang dari perspektif imanensi, sehingga secara logika nampak tidak berpengaruh
apapun terhadap keberlangsungan perkawinan tersebut. Tetapi persepsi masyarakat
tidak lahir begitu saja tanpa adanya bukti-bukti awal yang melatarbelakanginya
sehingga lahir persepsi dan keyakinan yang kemudian menjadi mitos sehingga mampu
mendoktrinasi masyarakatnya.
2. Menjalin keselarasan dengan alam semesta
Selain hubungan selaras antara manusia dengan Tuhan, dengan sesama,
masyarakat Bali juga berupaya menjalin hubungan harmonis dengan alam semesta
atau lingkungannya. Keselarasan ini penting untuk dijaga agar senantiasa terjadi
harmonisasi antara manusia dengan lingkungannya. Masyarakat Hindu Bali percaya
menjaga hubungan keselarasan yang baik dengan alam semesta akan memberikan rasa
aman, nyaman dan damai. Alam mempunyai kekuatan yang tidak terbantahkan
sehingga manusia sebagai penghuninya hendaknya senantiasa menyelaraskan
hidupnya dengan alam. Salah satu yang dapat dilakukan adalah memilih tempat
tinggal atau palemahan karang yang dianggap sesuai.
Untuk menentukan pakarangan/karang rumah yang dianggap layak
sebaiknya diperhatikan rambu-rambu tentang ciri dan tata letak tanah tersebut. Lokasi
tanah yang baik sangat menentukan harmonisasi (kedamaian, kesejahteraan dan
kelanggengan) kehidupan keluarga atau rumah tangga tersebut. Selain karang yang
baik (layak), ada pula karang (tata letak tanah tempat membangun rumah) yang oleh
masyarakat Bali dianggap tidak layak untuk ditempati karena akan rimplikasi kurang
baik (disharmonisasi) bagi yang menempatinya, sebagaimana disebutkan dalam
Lontar Pamanes Karang sebagai berikut;
Iti pamanes karang, salwiring karang panes, sane ngadakang panes lwirnia:
kapanjinganing gelap, puun, kagnibaya, nga. wenang ngadakang palinggih
padma palinggih Ida Hyang Indrablaka. Yan tan ngadegang palinggih ida,
ping dasa, ping limolas carunin tan sida caru,...(hal.2)
Muang karang tumbak rurung, panes karang ika; muang tumbak jalan, panes,
patuh panese. Malih namping margi mampat, muang namping pura, namping
bale banjar, patuh panese,...
Terjemahan:
Inilah tanah yang kurang baik, tanah atau karang yang dianggap tidak baik,
yang menyebabkan sial di antaranya: tidak pernah kena sinar matahari,
terbakar, pernah terbakar, oleh karenanya harus mendirikan padmacapa
tempat berstananya Sangyang Indrablaka. Kalau mungkir, sepuluh sampai
lima belas kali pun diupacarai tidak dapat mengembalikan seperti sediakala,...
Dan tanah yang berpapasan dengan jalan, tanah tersebut tidak baik. Dan
berada di samping perempatan jalan, dan berdampingan dengan pura,
berdampingan dengan bale banjar, sama jeleknya,...
Kutipan bait di atas menyiratkan bahwa karang yang disebut panes/panas
yang diartikan bahwa tanah tersebut tidak layak untuk dijadikan tempat hunian,
meskipun telah melewati beberapa kali upacara yang dilakukan oleh pemilik atau
penghuninya. Hal ini tidak menyurutkan pengaruh buruk (negatif) terhadap tanah
hunian tersebut, dan hal ini hanya bisa dinetralisir dengan mendirikan pelinggih
padmacapa yang mampu mengurangi pengaruh negatif tersebut.
Beberapa karang hunian yang dianggap tidak memenuhi syarat secara sosial
religius di antaranya; karang sula nyupi, karang karubuhan, karang gerah, karang
tenget, karang buta salah wetu, karang sandanglawe, karang kuta kabanda, karang
boros wong, karang suduk angga, karang negen rurung, karang tledu nginyah,
karang matundun jaran, karang tuang, karang nyleking yang akan diuraikan berikut
ini.
1) Karang Karubuhan adalah sebuah tempat (karang) yang menghadap atau
berpapasan dengan perempatan (pempatan) atau pertigaan. Kata karubuhan berasal
dari kata rubuh (roboh) yang berkonotasi bahwa tempat tersebut kurang baik untuk
ditempati sebagai tempat tinggal. Walaupun demikian keadaannya karang semacam
ini banyak juga dihuni/ditempati oleh masyarakat Bali dan dinyatakan baik untuk
usaha berdagang. Sebagai penetrasinya maka di sudut karang yang berhadapan
dengan perempatan atau pertigaan tersebut dibangun palinggih Padmacapa
(Padmacapah) sebagai tempat berstananya Sanghyang Indrablaka sering disebut
Durgamaya atau Kalamaya.
2) Karang Sulanyupi (karang numbak marga/rurung) adalah suatu tempat
(karang) yang berpapasan dengan jalan raya, sungai, gang, got, bahkan batas tembok
orang lain/tetangga, yang mengesankan bahwa pakarangan tersebut ditusuk oleh
posisi alam tersebut sehingga tidak layak untuk ditempati. Masyarakat Bali umumnya
menghindari tempat (karang) semacam ini untuk dijadikan tempat tinggal karena
dianggap menjadi momok dan sumber penyebab hal-hal yang tidak diinginkan bagi
penghuni rumah, sepertiyang menempati karang tersebut. Di banyak tempat karang
semacam ini juga menjadi pilihan atau ditempati oleh masyarakat Bali untuk
membangun rumah dengan penetrasi palinggih Indrawalaka yang dibangun tepat di
sudut karang yang berhadapan dengan jalan (rurung) tersebut.
3) Karang gerah adalah sepetak tanah tempat tinggal yang berada di hulu
(ngulonin) pura, baik pura dadia maupun pura besar lainnya, seperti tri kahyangan,
dang kahyangan dan lain-lainnya. Ketentuan ini juga berlaku bagi pakarangan yang
letaknya di hulu bale banjar, setra (kuburan). Masyarakat Hindu Bali selalu
mengupayakan pengaturan tata letak pura mengambil tempat di hulu sebagaimana
konsepsi tri mandala (utama, madia, dan nista). Hulu (luan) sama dengan kepala
dalam diri manusia, sehingga apabila karang tempat membangun rumah berada di
hulu pura, bale banjar, setra diasumsikan berada di atas kepala dianggap berpengaruh
buruk terhadap karang atau dan yang menempatinya. Selain itu tempat-tempat, seperti
pura, bale banjar, setra diyakini memantulkan kekuatan magnetik yang mempunyai
aura panas (gerah) pada sekelilingnya sehingga tidak baik membangun rumah di
sekitarnya. Namun demikian seiring dengan semakin padatnya jumlah penduduk dan
semakin sempitnya ruang (karang) untuk membangun rumah sering hal ini diabaikan,
lebih-lebih di lingkungan masyarakat kota.
4) Karang tenget adalah tempat yang dianggap angker sehingga tidak baik untuk
dibangun rumah. Karang yang dianggap tenget (angker) oleh masyarakat Bali adalah
tanah bekas kuburan, bekas pura, bekas pertapaan, bekas terjadi pembunuhan, dan
lain-lain. Keyakinan ini didasarkan atas bahwa di tempat-tempat seperti kuburan,
pura, dan tempat pertapaan dianggap sebagai tempat angker. Apalagi di tempat
tersebut sebelumnya pernah terjadi pembunuhan (saling membunuh atau gantung diri)
maka karang semacam ini hendaknya dihindari karena akan berpengaruh tidak baik
atau membawa petaka bagi kelangsungan hidup pemilik rumah.
5) Karang buta salah wetu adalah karang tempat tinggal yang pada tempat
tersebut sebelumnya pernah terjadi keanehan-keanehan atau penyimpangan dari
keadaan umumnya, seperti pohon pisang berbuah melalui batang pohonnya, pohon
kelapa bercabang, kelahiran babi berkepala gajah, kelahiran binatang berkepala dua
dan sebagainya. Hal ini tertulis dalam lontar Pamanes Karang sebagai berikut:
Muah kayu pungkat, tan pasamadana, kayu punggel, kapancabaya, nga. Nyuh
macarang, biu macarang, nyuh kembar, bwah kembar, kapancabaya, nga.
Umah teteh kayu,...
Terjemahan:
Dan kayu yang roboh, tanpa sebab, kayu patah, berbahaya namanya. Pohon
kelapa bercabang, pohon pisang bercabang, pohon kelapa kembar juga
berbahaya, rumah tertimpa pohon,...
Bait di atas menegaskan adanya ciri-ciri tempat hunian yang dianggap tidak
layak untuk ditempati, sehingga sedapat mungkin menghindari tempat-tempat atau
pakarangan dengan ciri seperti di atas. Buta salah wetu ini menginspirasikan sesuatu
yang keluar atau tumbuh tidak pada tempatnya sehingga hal tersebut dianggap sebagai
keanehan/keganjilan atau menyimpang dari kejadian umumnya. Secara naluri
manusia sering sulit menerima penyimpangan dan hal tersebut selalu dianggap salah.
Selanjutnya disebutkan pula kreteria karang yang dianggap tidak baik,
seperti; karang sandang lawe, karang kuta kabanda, karang teledu nginyah, karang
boros wong, karang negen rurung, karang matundun klipes, karang matundun jaran,
dan karang tuang. Karang sandang lawe, yaitu karang dari rumah tinggal yang
memiliki pintu masuk berpapasan dengan pintu masuk orang lain atau
pakarangan/tanah yang letaknya tepat berhadap-hadapan di antara dua sisi jalan yang
dimiliki oleh satu orang atau satu keluarga purusa. Karang kuta kabanda (karang
kalingkuhan), yakni rumah tinggal yang diapit oleh dua ruas jalan raya/rurung, gang
atau got. Karang teledu nginyah adalah tata letak tanah atau pakarangan yang
dimiliki oleh satu orang atau masih ada hubungan keluarga purusa, yang satu sudut
tanahnya bertemu dengan sudut tanahnya yang lain yang berada di seberang jalan atau
gang. Karang boros wong adalah rumah/karang rumah yang memiliki dua pintu
masuk yang sama tinggi dan berjajar yang membuat penghuni rumah menjadi boros.
Karang negen rurung (negen margi agung), yaitu memiliki karang baru yang
letaknya berseberangan dengan karang rumah yang ditempati dalam hitungan a
peneleng (sepanjang mata dapat melihat atau memandang), karena kalau lewat
tikungan saja hal ini tidak berlaku lagi. Karang matundun klipes, yakni karang tempat
tinggal yang letaknya paling tinggi sementara di samping kanan kiri dan depan
belakang agak rendah sehingga kesannya mudah terjatuh baik ke kiri maupun ke
kanan atau ke depan dan ke belakang. Serupa pula dengan karang matundun jaran,
yaitu karang tempat tinggal yang posisinya di ketinggian sementara di samping kanan
dan sebelah kirinya curam. Selanjutnya karang tuang, yakni sepetak tanah tempat
tinggal yang diyakini sangat angker karena di tempat tersebut sering terjadi hal-hal
aneh/gaib di luar akal sehat.
Ketentuan sebagaimana yang dimaksudkan di atas selalu dilandasi oleh konsep
desa kala patra (tempat, waktu dan keadaan) dan disesuaikan dengan desa mawa cara
(setiap desa mempunyai tata cara dan keyakinan yang berbeda), artinya ketentuan
yang ada di suatu wilayah desa di Bali tidak akan berlaku sama terhadap daerah
lainnya. Karang yang baik oleh suatu daerah belum tentu dianggap baik oleh daerah
lainnya. Begitu juga karang yang dulunya dianggap kurang baik oleh masyarakat
Bali, sebagaimana yang disebutkan di atas, dalam perkembangan kekinian dianggap
biasa. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor terutama semakin sempitnya
ruang atau wilayah hunian bagi masyarakat Bali sehingga harus mengabaikan
ketentuan di atas. Selain itu sebagaimana yang dikemukakan Ardana (2007: 119),
bahwa berubahnya pola pikir (mindset) masyarakat, akan muncul fenomena anomie,
yakni keinginan untuk meninggalkan nilai-nilai lama sehingga yang nampak adalah
pendangkalan keyakinan masyarakat terhadap hal-hal yang bersifat transendental.
Meskipun demikian semua keadaan ini pada hakikatnya bisa dinetralisasi
melalui rangkaian upacara sesuai dengan keyakinan masyarakatnya. Wijayananda
(2004: 14-15) menyatakan bahwa intinya semua pakarangan bisa ditempati
dinetralisir melalui pamarisudha atau pembersihan secara niskala dengan pacaruan
pamahayu sesuai dengan satra agama sehingga tanah tersebut dapat ditempati.
Dengan demikian pakarangan (tanah tempat tinggal) yang pada awalnya dianggap
tidak baik (kotor/leteh) setelah dinetrasi (dibersihkan secara niskala) dapat ditempati
seperti karang lainnya.
3. Larangan padewasan untuk atiwa-tiwa
Dewasa adalah petunjuk tentang baik buruknya hari (waktu) untuk melakukan
suatu aktivitas/kerja. Masyarakat Bali telah lama mengenal istilah hari baik (dewasa
ayu) dan hari yang dianggap kurang baik (dewasa ala) dalam kehidupannya. Hampir
setiap desa adat di Bali merangkum ketentuan ala ayuning padewasan (baik
buruknya hari) yang dituangkan dalam peraturan tertulis yang disebut awig-awig, dan
peraturan lisan lainnya yang diatur serta disepakati oleh masyarakat setempat. Dalam
pengejawantahannya yang lebih spesifik biasanya dibuatkan pula penjabarannya
dalam bentuk perarem, yang berisikan uraian/paparan dan aplikasi dari awig-awig
tentang tata cara kehidupan bermasyarakat. Salah satu ketentuan yang ada dalam
awig-awig adalah tentang atiwa-tiwa, berupa tata cara penguburan atau pembakaran
mayat (sawa) yang diatur sesuai dengan kesepakatan masyarakat desa adat setempat.
Ada banyak ketentuan tentang dewasa ala (larangan hari) yang umumnya
dihindari oleh masyarakat Bali dalam upacara pitra yadnya, apalagi mengacu pada
wariga sebagaimana disebutkan Nala (2001: 12), di antaranya; pasah, anggara kasih,
buda wage, buda keliwon, tumpek, purwani, purnama, dan tilem. Masyarakat Bali
tentu berusaha untuk menaati ketentuan tersebut, karena apabila hal tersebut dilanggar
diyakini akan berkonskuensi buruk bagi kehidupan masyarakat dan keluarga yang
punya kematian.
Semua larangan tersebut tidak berlaku bagi semua masyarakat Bali, lebih-
lebih pada masyarakat Bali Aga atau Bali Mula. Masyarakat Bali Aga dan Bali Mula
justru secara historis mempunyai ketentuan yang berbeda dengan masyarakat Bali
Dataran. Dengan demikian ketentuan larangan atiwa-tiwa ini selalu disesuaikan
dengan desa, kala, patra (tempat waktu dan keadaan) serta desa mawa cara (setiap
desa mempunyai ketentuan aturan yang berbeda) terutama berlaku bagi masyarakat
Bali Dataran. Dalam kebanyakan masyarakat juga berlaku larangan atiwa-tiwa pada
hari yang disebut (1) semut sedulur, dan (2) kala gotongan, 3) titi buuk sebagaimana
yang akan dirujuk berikut ini.
1) Semut sedulur adalah hari yang ditentukan melalui hitungan atau penjumlahan
panca wara dengan sapta wara dengan menghasilkan bilangan tiga belas berturut-
turut tiga kali. Panca artinya lima dan sapta berarti tujuh serta wara (wewaran)
artinya terpilih, terbaik, istimewa, mulia dan utama (Widana, 2008: 35). Umumnya
masyarakat Bali percaya bahwa pada hari yang disebut semut sedulur dianggap tidak
baik melakukan upacara pitra yadnya (ngaben/atiwa-tiwa). Semut sedulur secara
harfiah berarti semut berjalan beriringan, mengibaratkan pada sebuah kejadian
kehidupan masyarakat Bali apabila melakukan upacara pitra yadnya pada hari
tersebut akan terjadi ekses buruk, seperti kematian secara berturut-turut terhadap
anggota masyarakat setempat. Kematian memang hal yang nisbi dan tidak bisa
dihindari sekaligus umumnya sebagai hal yang tidak direncanakan, tetapi apabila
kematian terjadi secara berturut-turut, susul menyusul terjadi dalam suatu wilayah
desa pakraman, tentu hal tersebut dianggap sebagai hal yang tidak wajar, keanehan
bahkan kesalahan. Salah satunya adalah kesalahan atau pelanggaran ketentuan dalam
memilih hari (padewasan) dalam mengubur mayat dan pitra yadnya lainnya.
Untuk menentukan hari yang disebut semut sedulur harus dipahami terlebih
dahulu ketentuan panca wara dan sapta wara beserta jumlah uripnya (urip secara
harfiah berarti hidup). Sebagaimana dapat ditentukan bahwa panca wara meliputi;
umanis (uripnya 5), paing (uripnnya 9), pon (uripnya 7), wage (uripnya 4), dan
kliwon (uripnya 8). Sedangkan sapta wara meliputi; Redite/minggu (uripnya 5),
soma/senin (uripnya 4), anggara/selasa (uripnya 3), buda/rabu (uripnya 7),
wrespati/kamis (uripnya 8), sukra/jumat (uripnya 6), dan saniscara/sabtu (uripnya 9).
Hal ini dapat dicontohkan misalnya hari yang berturut-turut jatuh pada sukra pon,
saniscara wage, dan redite kliwon jumlah urip dari ketiga hari tersebut secara
berturut-turut adalah 'tiga belas' inilah yang disebut semut sedulur. Hal ini tersurat
dalam Lontar Wariga Pangalihan sebagai berikut:
Muah mawasta semut sedulur genahe dyapin hana dina pada, maurip, 13,
dening mabelat-belat, ika tan milu mawasta semut sedulur. Malih mawasta
semut sedulur, ring dina, Su, Pwa, Sa, Wa, Ra, Ka, ika, nga, Semut Sedulur.
Terjemahan:
Dan yang disebut semut sedulur meskipun hitungan uripnya tiga belas, karena
ada jedanya atau tidak berturut-turut harinya, itu bukan semut sedulur. Yang
disebut semut sedulur berturut-turut jatuh pada, Jumat Pon, Sabtu Wage, dan
Minggu Kliwon.
Kutipan di atas menegaskan bahwa semut sedulur hanya berlaku bagi hari
yang secara berturut-turut dengan jumlah uripnya tiga belas dan tidak berlaku bagi hari
lain meskipun hitungan uripnya tiga belas karena ada jeda hari yang jumlah uripnya
berbeda.
2) Kala gotongan adalah hitungan hari yang diperoleh melalui penjumlahan
panca wara dengan sapta wara yang menghasilkan bilangan empat belas secara
berturut-turut.. Kala gotongan diartikan sebagai menggotong mayat dalam jeda waktu
yang tidak berjauhan atau terjadi kematian yang waktunya sangat behimpitan atau
berturut-turut sehingga hal tersebut dianggap sebagai ketidakwajaran. Sukra kliwon,
saniscara umanis dan redite paing adalah tiga hari berturut-turut yang uripnya
berjumlah empat belas disebut kala gotongan. Hal ini tersurat pula dalam Lontar
Wariga Pangalihan sebagai berikut:
Malih mawasta dina, kala Gotongan, ring dina, Su, Ka, Sa, U, Ra, Pa, pada
maurip, 14, tarugan, ika, nga, Kala Gotongan, napi malih yan nemu tang, pang,
ping, 4, ping, 14. Nadyan semut sedulur, yan nemu, tang, pang, pada, ping, 3,
muang, ping 13, ika ala paling dahat, dewasa tan keneng supat, aywa mapas
dewasa ika.
Terjemahan:
Yang disebut hari kala gotongan, jatuh pada hari Jumat Kliwon, Sabtu Umanis,
dan Minggu Paing yang mempunyai hitungan urip 14, tarugan namanya. Disebut
kala gotongan, apalagi jatuh pada pinanggal (sehari setelah bulan mati),
panglong (sehari setelah bulan penuh), dan juga semut sedulur, kalau jatuh pada
pinanggal panglong, itu hari yang sangat buruk, hari yang tidak bisa
dikembalikan menjadi suci/sangat kotor, jangan pernah melanggar dengan
memakai hari-hari tersebut.
Pernyataan di atas memperingatkan terhadap umat agar menaati dresta dan
tradisi religius dengan tidak melakukan upacara pitra yadnya pada hari-hari
sebagaimana ditentukan dalam hukum padewasan ini.
3) Titi buuk adalah hari-hari yang telah ditentukan menurut ketentuan
padewasan yang sudah ada secara definitif, seperti: Titi Buuk pada wuku Sinta jatuh
pada Selasa Wage, wuku Landep jatuh pada Rabu Pon, wuku Ukir jatuh pada Jumat
Umanis, begitu seterusnya dan masing-masing wuku mempunyai ketentuan berbeda
mengenai wewaran (sapta wara dan panca wara)-nya.
C. PENUTUP
Setiap orang dalam kehidupan sosial religiusnya mempunyai tata nilai yang
senantiasa dijadikan pedoman dan orientasi di dalam mengatur hidupnya. Begitu pula
dengan masyarakat Bali telah mewarisi tatanan sosial religius yang kuat yang sampai
kini masih ditaati, diyakini dan dilaksanakan oleh masyarakatnya. Untuk dapat
mengatur dirinya, masyarakat Bali menata hidupnya berdasarkan tatanan sosial
tersebut, berpegang pada dresta dan sima sebagai tradisi serta menjadikan tri hita
karana sebagai payung dalam menjaga hubungan selaras dengan Tuhan, sesama dan
alam sekitarnya. Hubungan harmonis dapat terwujud dari ketaatan masyarakatnya
untuk melaksanakan tradisi sosial religius tersebut dan menjauhi larangannya.
DAFTAR PUSTAKA
Ardana, I Gusti Gede. 2007. Pemberdayaan Kearifan Lokal Masyarakat Bali dalam
Menghadapi Budaya Global. Denpasar: Pustaka Tarukan Agung
Kaler, I Gusti Ketut. 2005. Butir-butir Tercecer tentang Adat Bali. Denpasar: CV.
Kayuma Agung
Kerepun, Made Kembar. 2007. Mengurai Benang Kusut Kasta: Membedah Kiat
Pengajegan Kasta di Bali. Denpasar: PT.Empat Warna Komunikasi
Koentjaraningrat.1985. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan
Nala, Ngurah. 2001. Upacara Nyiramang Layon, Upacara Memandikan Jenazah
Umat Hindu di Bali. Paramita: Denpasar
Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Bali, Pusat Dokumentasi Kebudayaan Bali.
Alih Aksara Lontar Pamanes Karang
Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Bali, Pusat Dokumentasi Kebudayaan Bali.
Alih Aksara Wariga Pangalihan
Sibarani, Robert. 2012. Kearifan Lokal; Hakikat, Peran, dan, Metode Tradisi Lisan.
Jakarta Selatan: Asosiasi Tradisi Lisan (ATL)
Sujaya, I Made. 2007. Perkawinan Terlarang: Pantangan berpoligami di Desa-desa
Bali Kuno. Arti Foundation: Denpasar
Wiana, Ketut dan Raka Santeri. 1993. Kasta Dalam Hindu Kesalahpahaman
Berabad-abad. Denpasar: Yayasan Dharma Naradha
Widana, I Gusti Ketut. 2008. Mengenal Budaya Hindu di Bali. Denpasar: Pustaka
Bali Post
Wijayananda, Ida Pandita Mpu Jaya.2004. Tata Letak Tanah dan Bangunan:
Pengaruhnya terhadap Penghuninya. Paramita: Surabaya.