imam ja
DESCRIPTION
Imam JaTRANSCRIPT
Imam Ja’far Shodiq
KelahiranAl Imam Ja’far Shodiq bin Muhammad Al Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Fatimah Az-Zahro binti Muhammad SAW.Ia lahir di Madinah pada tanggal 17 Rabiul Awwal 83 Hijriyah / 20 April 702 Masehi (M), dan meninggal pada tanggal 25 Syawal 148 Hijriyah / 13 Desember 765 M. Ja'far yang juga dikenal dengan julukan Abu Abdillah dimakamkan di Pekuburan Baqi', Madinah. Ia merupakan ahli ilmu agama dan ahli hukum Islam (fiqih). Aturan-aturan yang dikeluarkannya menjadi dasar utama bagi mazhab Ja'fari atau Dua Belas Imam; ia pun dihormati dan menjadi guru bagi kalangan Sunni karena riwayat yang menyatakan bahwa ia menjadi guru bagi Abu Hanifah (pendiri Mazhab Hanafi) dan Malik bin Anas (pendiri Mazhab Maliki). Ia merupakan anak sulung dari Muhammad al-Baqir, sedangkan ibunya bernama Fatimah (beberapa riwayat menyatakan Ummu Farwah) binti al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar. Melalui garis ibu, ia dua kali merupakan keturunan Abu Bakar, karena al-Qasim menikahi putri pamannya (Asma’), Abdurrahman bin Abu Bakar. Ia dilahirkan pada masa pemerintahan Abdul-Malik bin Marwan, dari Bani Umayyah.
Beliau adalah Al-Imam Ja’far bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib (semoga Allah meridhoi mereka semua). Beliau terkenal dengan julukan Ash-Shodiq (orang yang jujur). Beliau biasa dipanggil dengan panggilan Abu Abdullah dan juga dengan panggilan Abu Ismail. Ibu beliau adalah Farwah bintu Qasim bin Muhammad bin Abubakar Ash-Shiddiq. Sedangkan ibu dari Farwah adalah Asma bintu Abdurrahman bin Abubakar Ash-Shiddiq. Oleh karena itu, beliau (Al-Imam Ja’far Ash-Shodiq) pernah berkata, “Abubakar (Ash-Shiddiq) telah melahirkanku dua kali.”
Banyak para imam besar (semoga Allah meridhoi mereka) yang
mengambil ilmu dari beliau, diantaranya Yahya bin Sa’id, Ibnu Juraid, Imam Malik, Sufyan Ats-Tsauri, Sufyan bin ‘Uyainah, Abu Hanifah, Su’bah dan Ayyub. Banyak ilmu dan pengetahuan yang diturunkan dari beliau, sehingga nama beliau tersohor luas seantero negeri. Umar bin Miqdam berkata, “Jika aku melihat kepada Ja’far bin Muhammad, aku yakin bahwa beliau adalah keturunan nabi.”
Asy-Syarif Ahmad bin Muhammad Sholih al-Baradighi mengatakan bahwa nasab para sayyid/syarif di Hadramaut berpangkal pada nasab Imam Ja'far al-Shadiq melalui Muhammad bin Ali Uraidhi. Ia diberi gelar gelar 'al-Shadiq' karena kebenarannya dalam kata-katanya. Ia juga diberi nama ' Amudusy-Syaraf ' (tiang kemuliaan).
Ibundanya ialah Farwah binti Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar al-Shiddiq. Sedangkan ibunda Farwah ialah Asma binti Abdurahman bin Abu Bakar al-Shiddiq. Ia pernah berkata: “Aku dilahirkan al-Shiddiq dua kali!” (Keturunan Sayyidana Abu Bakar ash-Shiddiq.ra). Imam Ja'far al-Shaddiq mempunyai anak:Anak laki-laki :1. Abdullah2. Abbas3. Yahya4. Muhsin5. Ja'far6. Hasan7. Muhammad al-Ashgor(mereka tsb di atas tak memiliki keturunan)Sedangkan yang memberi keturunan:1. Ismail 2. Muhammad al-Akbar (gelarnya al-Dibaj)3. Ishaq (gelarnya al-Mu'taman)4. Musa al-Kadzim5. Ali (gelarnya al-Uraidhi)Anak perempuan :
1. Fatimah binti Ja'far 2. Asma binti Ja'far 3. Ummu Farwah binti Ja'far Keluarga
Ia memiliki saudara satu ibu yang bernama Abdullah bin Muhammad. Sedangkan saudara lainnya yang berlainan ibu adalah Ibrahim dan Ubaydullah yang beribukan Umm Hakim binti Asid bin al-Mughirah. Ali dan Zaynab beribukan wanita hamba sahaya, dan Umm Salamah yang beribukan wanita hamba pula.
Masa Kecil
Sejak kecil hingga berusia sembilan belas tahun, ia dididik langsung oleh ayahnya. Setelah kepergian ayahnya yang syahid pada tahun 114 H, ia menggantikan posisi ayahnya sebagai Imam bagi kalangan Muslim.
Pada masa remajanya, Ja'far ash-Shadiq, turut menyaksikan kejahatan dinasti Bani Umayyah seperti Al-Walid I (86-89 H) dan Sulaiman (96-99 H). Kedua-dua bersaudara inilah yang terlibat dalam konspirasi untuk meracuni Ali Zainal Abidin, pada tahun 95 Hijriyah. Saat itu Ja'far ash-Shadiq baru berusia kira-kira 12 tahun. Ia juga dapat menyaksikan keadilan Umar II bin Abdul Aziz (99-101 H). Pada masa remajanya Ja'far ash-Shadiq menyaksikan puncak kekuasaan dan kejatuhan dari Bani Umayyah.
Masa Keimanan
Situasi politik di zaman itu sangat menguntungkannya, sebab di saat itu terjadi pergolakan politik di antara dua kelompok yaitu Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah yang saling berebut kekuasaan. Dalam situasi politik yang labil inilah Ja'far ash-Shadiq mampu menyebarkan dakwah Islam dengan lebih leluasa. Dakwah yang dilakukannya meluas ke segenap
penjuru, sehingga digambarkan muridnya berjumlah empat ribu orang, yang terdiri dari para ulama, para ahli hukum dan bidang lainnya seperti, Abu Musa Jabir Ibn Hayyan, di Eropa dikenal dengan nama Geber, seorang ahli matematika dan kimia, Hisyam bin al-Hakam, Mu'min Thaq seorang ulama yang disegani, serta berbagai ulama Sunni seperti Sofyan ats-Tsauri, Abu Hanifah (pendiri Mazhab Hanafi), al-Qodi As-Sukuni, Malik bin Anas (pendiri Mazhab Maliki) dan lain-lain.
Di zaman Imam Ja'far, terjadi pergolakan politik dimana rakyat sudah jenuh berada di bawah kekuasaan Bani Umayyah dan muak melihat kekejaman dan penindasan yang mereka lakukan selama ini. Situasi yang kacau dan pemerintahan yang mulai goyah dimanfaatkan oleh Bani Abbasiyah yang juga berambisi kepada kekuasaan. Kemudian mereka berkampanye dengan berkedok sebagai "para penuntut balas dari Bani Hasyim".
Bani Umayyah akhirnya tumbang dan Bani Abbasiyah mulai membuka kedoknya serta merebut kekuasaan dari Bani Umayyah. Kejatuhan Bani Umayyah serta munculnya Bani Abbasiyah membawa babak baru dalam sejarah. Selang beberapa waktu, ternyata Bani Abbasiyah memusuhi Ahlul Bait dan membunuh pengikutnya. Imam Ja'far juga tidak luput dari sasaran pembunuhan. Pada 25 Syawal 148 H, Al-Mansur membuat Imam syahid dengan meracunnya.
"Imam Ja'far bin Muhammad, putra Imam kelima, lahir pada tahun 83 H/702 M. Dia wafat pada tahun 148 H/757 M, dan menurut riwayat kalangan Syi'ah diracun dan dibunuh karena intrik Al-Mansur, khalifah Bani Abbasiyah. Setelah ayahnya wafat dia menjadi Imam keenam atas titah Illahi dan fatwa para pendahulunya."
Murid-murid Ja'far ash-Shadiq
Imam telah memanfaatkan kesempatan ini untuk mengembangkan berbagai pengetahuan keagamaan sampai
saat terakhir dari keimamannya yang bersamaan dengan akhir Bani Umayyah dan awal dari kekhalifahan Bani Abbasiyah. Ia mendidik banyak sarjana dalam berbagai lapangan ilmu pengetahuan aqliah (intelektual) dan naqliah (agama) seperti:
Zararah, Muhammad bin Muslim, Mukmin Thaq, Hisyam bin Hakam, Aban bin Taghlib, Hisyam bin Salim, Huraiz, Hisyam Kaibi Nassabah, dan Abu Musa Jabir Ibn Hayyan, ahli kimia. (di Eropa dikenal dengan nama Geber)
Bahkan beberapa sarjana terkemuka Sunni seperti: Sofyan ats-Tsauri, Abu Hanifah (pendiri Madzhab Hanafi), Qadhi Sukuni, Qodhi Abu Bakhtari, Malik bin Anas (pendiri Madzhab Maliki)
Mereka beroleh kehormatan menjadi murid-muridnya. Disebutkan bahwa kelas-kelas dan majelis-majelis pengajaranya menghasilkan empat ribu sarjana hadist dan ilmu pengetahuan lain. Jumlah hadist yang terkumpul dari Imam Muhammad al-Baqir dan Imam Ja’far as-Shadiq, lebih banyak dari seluruh hadits yang pernah dicatat dari Imam Hadist lainnya.
Sasaran dari khalifah yang berkuasa
Tetapi menjelang akhir hayatnya, ia menjadi sasaran pembatasan-pembatasan yang dibuat atas dirinya oleh Al-Mansur, khalifah Bani Abbasiyah, yang memerintahkan penyiksaan dan pembunuhan yang kejam terhadap keturunan Nabi, yang merupakan kaum Syi'ah, hingga tindakan-
tindakannya bahkan melampaui kekejaman Bani Umayyah. Atas perintahnya mereka ditangkap dalam kelompok-kelompok, beberapa dan mereka dibuang dalam penjara yang gelap dan disiksa sampai mati, sedangkan yang lain dipancung atau dikubur hidup-hidup atau ditempatkan di bawah atau di antara dinding-dinding yang dibangun di atas mereka.
Penangkapannya
Hisyam, khalifah Bani Umayyah, telah memerintahkan untuk menangkap Imam Ja’far Shadiq dan dibawa ke Damaskus. Belakangan, Imam ditangkap oleh As-Saffah, khalifah Bani Abbasiyah dan dibawa ke Iraq. Akhirnya Al-Mansur menangkapnya lagi dan dibawa ke Samarra, Iraq untuk diawasi dan dengan segala cara mereka melakukan tindakan lalim dan kurang hormat dan berkali-kali merencanakan untuk membunuhnya. Kemudian Imam diizinkan kembali ke Madinah, di mana dia menghabiskan sisa hidupnya di Madinah, sampai dia diracun dan dibunuh melalui upaya rahasia Al-Mansur.
Riwayat mengenai Ja'far ash-Shadiq
Dari al- Imam Malik bin Anas
Imam Malik menceritakan pribadi Imam Ja'far ash-Shadiq dalam kitab Tahdhib al-Tahdhib, Jilid 2, hlm. 104:
"Aku sering mengunjungi ash-Shadiq. Aku tidak pernah menemui beliau kecuali dalam salah satu daripada keadaan-keadaan ini:
1. beliau sedang shalat, 2. beliau sedang berpuasa, 3. beliau sedang membaca kitab suci al-Qur'an.
Aku tidak pernah melihat beliau meriwayatkan sebuah hadits dari Nabi SAW tanpa taharah(bersuci-wudhu). Beliau seorang
yang paling bertaqwa, warak, dan amat terpelajar selepas zaman Nabi Muhammad SAW. Tidak ada mata yang pernah, tidak ada telinga yang pernah mendengar dan hati ini tidak pernah terlintas akan seseorang yang lebih utama (afdhal) melebihi Ja'far bin Muhammad dalam ibadah, kewarakan dan ilmu pengetahuannya."
Dari al-Imam Abu Hanifah
Pada suatu ketika khalifah Al-Mansur dari Bani Abbasiyah ingin mengadakan perdebatan antara Abu Hanifah dengan Imam Ja'far ash-Shadiq AS. Khalifah bertujuan untuk menunjukkan kepada Abu Hanifah bahwa banyak orang sangat tertarik kepada Imam Ja'far bin Muhammad karena ilmu pengetahuannya yang luas itu. Khalifah Al-Mansur meminta Abu Hanifah menyediakan pertanyaan-pertanyaan yang sulit untuk diajukan kepada Imam Ja'afar bin Muhammad AS di dalam perdebatan itu nanti. Sebenarnya Al-Mansur telah merencanakan untuk mengalahkan Imam Ja'far bin Muhammad, dengan cara itu dan membuktikan kepada orang banyak bahwa Ja'far bin Muhammad tidaklah luas ilmunya.
Menurut Abu Hanifah
"Al-Mansur meminta aku datang ke istananya ketika aku tidak berada di Hirah. Ketika aku masuk ke istananya, aku melihat Ja'far bin Muhammad duduk di sisi Al-Mansur. Ketika aku memandang Ja'far bin Muhammad, jantungku bergoncang kuat, rasa getar dan takut menyelubungi diriku terhadap Ja'far bin Muhammad lebih daripada Al-Mansur. Setelah memberikan salam, Al-Mansur memintaku duduk dan beliau memperkenalkanku kepada Ja'far bin Muhammad. Kemudian Al-Mansur memintaku mengemukakan pertanyaan-pertanyaan kepada Ja'far bin Muhammad. Aku pun mengemukakan pertanyaan demi pertanyaan dan beliau menjawabnya satu persatu, mengeluarkan bukan saja pendapat ahli-ahli fiqih Iraq dan Madinah tetapi juga mengemukakan pandangannya
sendiri, baik beliau menerima atau menolak pendapat-pendapat orang lain itu sehingga beliau selesai menjawab semua empat puluh pertanyaan sulit yang telah aku sediakan untuknya."
Abu Hanifah berkata lagi,
"Tidakkah telah aku katakan bahwa dalam soal keilmuan, orang yang paling alim dan mengetahui adalah orang yang mengetahui pendapat-pendapat orang lain?"
Lantaran pengalaman itu, Abu Hanifah berkata,
"Aku tidak pernah melihat seorang ahli fiqih yang paling alim selain Ja'far bin Muhammad."
Karamahnya
Imam Ja'far ash-Shadiq sering berkata
"Hadist-hadist yang aku keluarkan adalah hadits-hadits dari bapakku. Hadist-hadist dari bapakku adalah dari kakekku. Hadist-hadist dari kakekku adalah dari Ali bin Abi Thalib, Amirul Mu'minin. Hadist-hadist dari Amirul Mu'minin Ali bin Abi Thalib adalah hadist-hadist dari Rasulullah SAW dan hadist-hadist dari Rasulullah SAW adalah wahyu Allah Azza Wa Jalla."
Beliau adalah salah seorang tokoh Imam Mazhab dalam Islam. Beliau dikenal sebagai seorang yang mustajab doanya. Bila menginginkan sesuatu beliau hanya cukup berdoa: "Ya Allah, aku ingin ini dan itu". Dengan sekejap mata saja apa yang diinginkan itu terkabul di hadapannya.
Diceritakan pula bahawa beliau pernah digiring ke hadapan Khalifah Mansur Al-Abbasi dengan tuduhan palsu dan disaksikan oleh seorang. Saksi itu berkata: "Aku bersumpah bahwa Ja'far melakukan begini dan begitu". Belum selesai saksi itu berkata tiba-tiba ia tersungkur mati di hadapan beliau.
Imam As-Syibli berkata: "Setengah dari karamahnya ialah ketika Bani Hasyim hendak membaiat Muhammad dan Ibrahim bin Abdullah bin Hassan bin Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah di saat mendekatnya keruntuhan Daulat Bani Umayyah mereka meminta pendapat dari Imam Ja'afar As-Shadiq. Setelah berada di hadapan Imam Ja'far mereka berkata: "Kami berkumpul di sini hendak membaiat engkau jadi khalifah". Jawab Imam Ja'far As-Shadiq: "Sebenarnya kekhalifahan ini tidak akan diperoleh olehku dan tidak pula untuk kedua orang itu (Muhammad dan Ibrahim bin Abdullah). Sesungguhnya kekhalifahan akan diperoleh oleh yang memakai jubah kuning itu. Demi Allah, mereka akan dipermainkan oleh budak-budak mereka sendiri". Kemudian Imam Ja'far pergi meninggalkan majlis itu".
Memang waktu itu Al-Mansur sedang hadir di majlis itu dan ia sedang memakai jubah bewarna kuning. Ucapan beliau itu selalu dipeganginya sampai ia diangkat jadi khalifah daulat Banil Abbas.
Imam Al-Laitsi ibnu Sa'ad pemah bercerita: "Di tahun 113 H aku pergi haji. Setelah bersembahyang Asar waktu aku naik ke bukit Jabal Aba Qubais tiba-tiba aku lihat ada seorang duduk sedang berdoa: "Ya Allah, ya Allah, ya Hayu, ya Hayu dengan penuh tawadhuk. Kemudian orang itu berdoa lagi: "Ya Allah, sesungguhnya aku ingin buah anggur, kumohon kurniakanlah padaku, Ya Allah sesungguhnya kain bajuku koyak-koyak aku mohon berikan padaku kain baju".
Aku dibuatnya terperanjat sebelum ia menyelesaikan doanya tiba-tiba muncul sekeranjang buah anggur penuh yang waktu itu bukan musimnya, dan kulihat pula ada dua kain yang serba mahal yang belum pemah kulihat ada kain baju sebagus itu. Waktu itu akan makan buah anggur itu aku katakan padanya: "Aku juga ikut ada dalam buah anggur itu, kerana waktu engkau berdoa aku membaca Amin". Jawab orang itu: "Datanglah kemari". Kemudian ia memberikan sebahagian buah
anggur itu dan kumakan segera. Rasanya belum pernah aku makan buah anggur selazat buah itu. Dan iapun melarangku untuk menyimpan sisanya. Anehnya isi keranjang itu sedikitpun tidak berkurang.
Kemudian orang itu memberikan padaku sepotong dari dua kain baju itu sedang yang sepotong dipakai olehnya. Namun waktu kutolak kain itu ia menggunakannya kedua potong kain tersebut. Yang sepotong dipakai buat baju sedangkan yang sepotong disarungkan dibawahnya. Selanjurnya ketika ia berjalan di tempat bersa'ie di antara Safa dan Marwa ia bertemu dengan seorang miskin yang berkata: "Wahai cucu Rasulullah berikanlah padaku pakaian". Orang itu tidak pikir-pikir lagi untuk memberikan dua potong kain yang baru ditempahnya itu kepada si fakir tersebut. Waktu kutanyakan kepada si fakir, siapakah orang yang memberinya dua potong kain itu? Jawab si fakir: "la adalah Ja'far bin Muhammad Al Baqir".
Mutiara Kalam Beliau
“Tiada bekal yang lebih utama daripada takwa. Tiada sesuatu yang lebih baik daripada diam. Tiada musuh yang lebih berbahaya daripada kebodohan. Tiada penyakit yang lebih parah daripada berbohong.”
“Jika engkau mendengar suatu kalimat dari seorang muslim, maka bawalah kalimat itu pada sebaik-baiknya tempat yang engkau temui. Jika engkau tak mampu untuk mendapatkan wadah tempat kalimat tersebut, maka celalah dirimu sendiri.”
“Jika engkau berbuat dosa, maka memohon ampunlah, karena sesungguhnya dosa-dosa itu telah dibebankan di leher-leher manusia sebelum ia diciptakan. Dan sesungguhnya kebinasaan yang dahsyat itu adalah terletak pada melakukan dosa secara terus-menerus.”
“Barangsiapa yang rizkinya lambat, maka perbanyaklah istighfar. Barangsiapa yang dibuat kagum oleh sesuatu dan menginginkannya demikian terus, maka perbanyaklah ucapan maa syaa-allah laa quwwata illa billah.”
“Allah telah memerintahkan kepada dunia, ‘Berkhidmatlah kepada orang yang berkhidmat kepadaku, dan buatlah payah orang yang berkhidmat kepadamu.’ “
“Fugaha itu orang yang memegang amanah para rasul, selama tidak masuk ke dalam pintu-pintu penguasa.”
“Jika engkau menjumpai sesuatu yang tidak engkau sukai dari perbuatan saudaramu, maka carilah satu, atau bahkan sampai tujuh puluh alasan, untuk membenarkan perbuatan saudaramu itu. Jika engkau masih belum mendapatkannya, maka katakanlah, ‘Semoga ia mempunyai alasan tertentu (kenapa berbuat demikian) yang aku tidak mengetahuinya.’ “
“Empat hal yang tidak seharusnya bagi seorang yang mulia untuk memandang rendah : bangunnya dia dari tempat duduknya untuk menemui ayahnya, berkhidmatnya dia kepada tamunya, bangunnya dia dari atas binatang tunggangannya, dan berkhidmatnya dia kepada seorang yang menuntut ilmu kepadanya.”
“Tidaklah kebaikan itu sempurna kecuali dengan tiga hal : menganggapnya rendah (tidak berarti apa-apa), menutupinya dan mempercepatnya. Sesungguhnya jika engkau merendahkannya, ia akan menjadi agung. Jika engkau menutupinya, engkau telah menyempurnakannya. Jika engkau mempercepatnya, engkau akan dibahagiakannya.”
Dari sebagian wasiat-wasiat beliau kepada putranya, Musa :
“Wahai putraku, barangsiapa yang menerima dengan ikhlas apa-apa yang telah dibagikan oleh Allah daripada rizki, maka ia
akan merasa berkecukupan. Barangsiapa yang membentangkan matanya untuk melihat apa-apa yang ada di tangannya selainnya, maka ia akan mati miskin. Barangsiapa yang tidak rela dengan apa-apa yang telah dibagikan oleh Allah daripada rizki, maka berarti ia telah menuduh Allah di dalam qadha’-Nya.”
“Barangsiapa yang memandang rendah kesalahannya sendiri, maka ia akan membesar-besarkan kesalahan orang lain. Barangsiapa yang memandang kecil kesalahan orang lain, maka ia akan memandang besar kesalahannya sendiri.”
“Wahai anakku, barangsiapa yang membuka kesalahan orang lain, maka akan dibukakanlah kesalahan-kesalahan keturunannya. Barangsiapa yang menghunuskan pedang kezaliman, maka ia akan terbunuh dengannya. Barangsiapa yang menggali sumur agar saudaranya masuk ke dalamnya, maka ia sendirilah yang nanti akan jatuh ke dalamnya.”
“Barangsiapa yang masuk ke dalam tempat-tempat orang-orang bodoh, maka ia akan dipandang rendah. Barangsiapa yang bergaul dengan ulama, ia akan dipandang mulia. Barangsiapa yang masuk ke dalam tempat-tempat kejelekan, maka ia akan dituduh melakukan kejelekan itu.”
“Wahai putraku, janganlah engkau masuk di dalam sesuatu yang tidak membawa manfaat apa-apa kepadamu, supaya engkau tidak menjadi hina.”
“Wahai putraku, katakanlah yang benar, walaupun berdampak baik kepadamu ataupun berdampak buruk.”
“Wahai putraku, jadikan dirimu memerintahkan kebaikan, melarang kemungkaran, menyambung tali silaturrahmi kepada seorang yang memutuskan hubungan denganmu, menyapa kepada seorang yang bersikap diam kepadamu, dan memberi kepada seorang yang meminta darimu. Jauhilah daripada
perbuatan mengadu domba, karena hal itu akan menanamkan kedengkian di hati manusia. Jauhilah daripada perbuatan membuka aib-aib manusia.”
“Wahai putraku, jika engkau berkunjung, maka kunjungilah orang-orang yang baik, dan janganlah mengunjungi orang-orang pendusta.”
Meninggalnya
Beliau meninggal di kota Madinah pada malam Senin, pertengahan bulan Rajab, tahun 148 H dan disemayamkan di pekuburan Baqi’ di dalam qubah Al-Abbas, dekat dengan makam ayahnya, kakeknya dan paman kakeknya Hasan bin Ali.Ia meninggal pada tanggal 25 Syawal 148 Hijriyah atau kurang lebih pada tanggal 4 Desember 765 Masehi di Madinah, menurut riwayat, dengan diracun atas perintah Khalifah Mansur al-Dawaliki dari Bani Abbasiyah.
Mendengar berita meninggalnya Ja'far ash-Shadiq, Al-Mansur menulis surat kepada gubernur Madinah, memerintahkannya untuk pergi ke rumah Imam dengan dalih menyatakan belasungkawa kepada keluarganya, meminta pesan-pesan Imam dan wasiatnya serta membacanya. Siapapun yang dipilih oleh Imam sebagai pewaris dan penerus harus dipenggal kepalanya seketika. Tentunya tujuan Al-Mansur adalah untuk mengakhiri seluruh masalah keimaman dan aspirasi kaum Syi'ah. Ketika gubernur Madinah melaksanakan perintah tersebut dan membacakan pesan terakhir dan wasiatnya, ia mengetahui bahwa Imam telah memilih empat orang dan bukan satu orang untuk melaksanakan amanat dan wasiatnya yang terakhir; yaitu khalifah sendiri, gubernur Madinah, Abdullah Aftah putranya yang sulung, dan Musa al-Kadzim putranya yang bungsu. Dengan demikian rencana Al-Mansur menjadi gagal.
Beliau dimakamkan di pekuburan Baqi', Madinah, berdekatan
dengan datuknya Hasan bin Ali, kakeknya Ali Zainal Abidin, dan ayahnya Muhammad al-Baqir.
Ya Allah, curahkan dan limpahkanlah keridhoan atasnya dan anugerahilah kami dengan rahasia-rahasia yang Engkau simpan padanya, Aminsalasilah tariqat Tok Ku Paloh
1 Sayyiduna Muhammad saw 2 Fatimah al-Zahra’3 Imam Husain4 Imam Ali Zainal Abidin4 Imam Ahmad
al-Baqir
5 Imam Ja’afar al-Sadiq6 Ali Arawdi7 Muhammad al-Naqib8 Isa9 Ahmad al-Muhajir10 Syeikh Abdullah
11 Syeikh al-’Alawi12 Muhammad13 Ali14 Ali Khala’ Qasam15 Muhammad Sahibul Mirbad
16 Muhammad Faqih Muqaddam17 Alwi18 Ali19 Syed Muhammad Maula Dawilah
20 Qutubuzzaman Muhammad Abdul Rahman al-Saqaf21 Qutubul Irfan Abu Bakr al-Sakran
22 Qutubus Syumus Abdullah al-Idrus23 Qutubul Irsyad Abdullah al-Haddad24 Ali Zainal Abidin
25 Syeikh Mustafa26 Zainal Abidin27 Syed Muhammad28 Syed Muhammad Zainal Abidin
29 Qutubuzzaman Syed Abdul Rahman al-Idrus (Tukku)30 Syed Abu Bakr31 Syed Abdullah
32 Qutubuzzaman Syed Muhammad al-Idrus (Ayahku)
1) Agar Tua Kembali Muda.
Jika anda terasa lemah sendi tulang dan lesu urat geramat kerana sudah lanjut usia (sudah tua), anda
tidak seharusnya berserah begitu sahaja. Tenaga anda masih dapat dipulihkan sekiranya anda amalkan
doa di bawah ini setiap hari selepas sembayang Asar atau Isya’ sebanyak 7 kali. Insya-Allah akan
pulihlah tenaga batin anda seperti tenaga anak muda layaknya.
Inilah doa yang perlu diamalkan.
Bismillah Hiroh Man Niroh Him,Yaa wahidul baqil qawiyul mathin. In nalloha qawiyun, ngazizun, yaa
qawiyu biroh matika yaa ar hamar roohimin.
2. Terapi Seksual Gangguan Sihir (1).
Atas permintaan dari Pelanggan-pelanggan dan teman-teman saya yang begitu mengharapkan
mendapat Rawatan penyembuhan terkena Sihir Gangguan Seksual. Di sini di perturunkan cara-cara
merawatNya. Jika ada keyakinan Insya-Allah amalan ini berjaya menghapuskan sihir-sihir tersebut.
Semuga bagi pembaca-pembaca blog juga dapat menafaat bersama.
Bacakanlah ayat-ayat di bawah ini sebanyak 7 kali pada air, lalu airnya itu dibuat minum dan digunakan
untuk membuat permandian (ia itu pada mereka yang terkena sihir itu) selama 7 hari berturut-turut.
Insya-Allah sihirnya akan gugur. Sekiranya masih belum terhasil buatlah beberapa kali ulangan. Dan
banyaklah berdoa kepada Allah.
1) Surah Yunos 81-82.
Qola Musa maa jiktum bihis sihru innol lohha sayubthiluhu innol lohha laa yuslihu ngamalal mufsidin.
Wayuhikkul lohhul hakqo bikalimaatihi walau qarihal mujrimun.
2) Surah Al-’Araf 117-122
Wa awhainaa illa musa an alqi ngasaaka faiza hiya talqofu mayakfikun. Fawaqo ngal hakqu wabathola
maa kaanu nyakmalun. Fa ghu libu hunaa lika wan qolabu sho giriin. Wa ulqiyas shaharotu saajidin.
Qolu aaman na birobbil ngalamin. Robbi musaa wa haarun.
3. Surat Thaha 69.
Innama sona ghu kaidu saa hirin walaa yuflihus syaahiru haisu ataa.
Untuk mengelakan kesalah bacaan dan bunyi yang betul. Sila rujuk pada kitab-kitab suci Al-Quran,
kerana tulisan rumi kekadang mempunyai kata bunyi yang berbeza.
3. Terapi Seksual Gangguan Sihir (2).
Ambilah bekas berisi air, dan bacakan kepadanya surat Al-Ikhlas, Al-Falaq, An-Nas (Al-Mu’awwidzat)
dan doa-doa di bawah ini.
Allah humma robbin Naasi az hibisbaksa wasfi antas syafi laa syifaa a illa syifa uka syifaa an la yugoo
diru syaqoman.
(Maknanya; Ya Allah, Tuhan semua manusia, hilangkanlah penyakitnya dan sembuhkanlah, kerana
Engkau-lah Yang Maha Menyembuhkan. Tiada kesembuhan, selain kesembuhan (dari) Mu, kesembuhan
yang tidak meninggalkan penyakit.)
Bismillahi arqika wal lohhu yasfika min kulli da in yukzika wa min kulli nafsin aw nga in hasidin. Allahu
yasfika.
Dengan nama Allah, saya obati kamu (dengan rukyah), semuga Allah akan menyembuhkan dari setiap
penyakit yang menyakitimu, dan dari setiap jiwa atau mata yang dengki. Semuga Allah
menyembuhkanmu.
Angu zu bikalimaatil lohit taam maa ti min sarri ma holaq.
Aku berlindung dengan ayat-ayat Allah yang sempurna dari semua kejahatan yang diciptakan-Nya.
Bismillah hillazi laayazurru maas mihi sai un fil arzi wala fis syama ii wa huwas sami ngul ngalim.
Dengan nama Allah, yang dengannya segala sesuatu yang ada di bumi dan di langit tidak akan
membahayakan. Dialah Yang Maha Mendengar, Lagi Maha Mengetahui.
Doa-doa tersebut di baca 7 kali pada air, lalu airnya di minum dan dipakai untuk mandi selama 3 hari.
Insya-Allah sihir itu akan gugur dan ikatan sihirnya akan lepas.
*
Nasihat saya: Janganlah kita bersusah payah kesana kemari, berjumpa orang itu dan orang ini yang
mengaku pandai hal-hal yang ghaib, dan boleh menyembuhkan sesuatu penyakit berkenaan sihir ini.
Memang ada mereka yang pandai seperti Ustaz-ustaz atau orang -orang alim. Cuba yakin pada Allah
dan lakukan sendiri dahulu. Insya-Allah kita juga boleh mendapat kesembuhan.
4. Doa Penguat Zakar (1)
Cubalah kaedah ini untuk menguatkan Zakar anda yang lemah. Hendaklah membaca doa ini sebanyak 7
kali kepada air yang suam kemudian mandikanlah Zakar anda. Atau celupkanlah tuala kecil (good
morning towel) ke dalam air suam itu kemudian perahkan airnya dan bungkuslah Zakar anda dengan
tuala itu sehingga sejuk. Cubalah amalkan sehingga 7 hari berterusan, Insya-Allah
Bismilah Hiroh Man Niroh Him
Yaa Qahar, Lailla Ha il lulloh, Wahidul Qahar.
5. Doa Penguat Zakar. (2)
Faedah Doa Yang Di baca waktu lemah Zakar.
Jika di rasai lemah zakar bagi jimak (bersetubuh), bacalah doa ini 3 kali kepada zakarnya di waktu
hendak jimak (bersetubuh) itu niscaya jadi kuat bersetubuh. Insya-Allah
Inilah Doanya.
ي�م� ح� الر� م�ن� ح� الر� الله� م� ب��س�
ي�ك�و�ن� ف� ك�ن� ل�ه� و�ل� ي�ق� ا �ن�م� ا ف� ا �ر ا�م� ي�ت� ض� ق� ا�ذ�ا ف� ، ض�ى� ت�ق� و� ل�و�ب� ال�ج� و� ، و�ب� ر� ال�ح� و� م�، ح� و�س� م�، ل�ح� و� الد�م�، و� ، ح� و� الر- و� ه�، ت�ام� ذ�ب�ك� ن�ع�و� �ن�ا ا م� �لل�ه� .ا
Bismillah hirohman Niroh him.
Allah huma innaa Na ngu zubika tam mah. Warruhi, wad dami, walhmi, wasahmi, wal hurubi waljulubi
watakzi. Faiza kozoita amron fain namaa yakulu lahu kun fayakun. ( 3 Kali)
6. Doa Penguat Zakar (3).
Atas Permintaan Ramai dari Pelanggan-pelanggan, teman-teman dan pembaca blog yang terus ke email
saya. Di sini saya perturunkan amalan doa penguat Zakar (3) yang di amal-amalkan oleh tetua orang-
orang lama.Anda amalkan doa ini dengan membacanya sebanyak 7 kali ketika hendak bersetubuh. Isya-
Allah ia dapat mengeraskan Zakar anda dan dapat bertahan lama semasa menjalankan tugas anda itu.
Inilah doa yang masyhur di kalangan tuk-tuk guru zaman dahulu yang masih di amalkan oleh
sesetengah orang yang berpoligami pada zaman sekarang.
Doanya ialah.
ي�م� ح� الر� م�ن� ح� الر� الله� م� ب��س�
ا �ر ب�ش� اء� ال�م� م�ن� ل�ق� خ� ال�ذ�ى� د� لله� م� �ل�ح� ا
Bismilah Hiroh Man Niroh Him, Alhamdu lillahil lazi kholako minal maa i basharo.
7. Doa Penguat Zakar (4)
Sebelum tidur ambil sedikit minyak urut dan gosokkan dengan laju pada tapak tangan untuk
memanaskan tapak tangan anda.. Jangan gunakan minyak yang panas di takuti akan mencederakan
zakar Anda. Letakkan sedikit minyak tersebut pada jari-jemari tangan dan urut di kelengkang ia itu di
antara dubur ke telur zakar.. Tekan sedikit dan pastikan anda urut sehala saja, yakni dari dubur
mengarah ke telur zakar. Baca doa ini sebanyak 7 kali .
Ya Qadim -Ya Daim -Ya Ahad -Ya Wahid -Ya Samad -Ya Allah – Ya Allah – Ya AllahYa Qahar – Ya Qahar –
Ya Qahar Lailaha il’aLlah hu Wahidul Qahar
Amalan ini amat berkesan dan kekadang dapat dilihat pada malam itu juga, di mana zakar akan
menegang dengan hebat sekitar 2 atau 3 pagi sehingga waktu solat subuh. Amalkan ia kalau boleh pada
setiap malam sebelum anda tidur terutama ketika dalam keadaan cuaca sejuk supaya ligament dan urat
syaraf yang berada pada zakar dalam keadaan tahap kecergasan yang terbaik.
Naqsyabandiyah merupakan salah satu tarekat sufi yang paling luas penyebaran nya, dan terdapat
banyak di wilayah Asia Muslim (meskipun sedikit di antara orang-orang Arab) serta Turki, Bosnia-
Herzegovina, dan wilayah Volga Ural. Bermula di Bukhara pada akhir abad ke-14, Naqsyabandiyah
mulai menyebar ke daerah-daerah tetangga dunia Muslim dalam waktu seratus tahun. Perluasannya
mendapat dorongan baru dengan munculnya cabang Mujaddidiyah, dinamai menurut nama Syekh
Ahmad Sirhindi Mujaddidi Alf-i Tsani (“Pembaru Milenium kedua”, w. 1624). Pada akhir abad ke-18,
nama ini hampir sinonim dengan tarekat tersebut di seluruh Asia Selatan, wilayah Utsmaniyah, dan
sebagian besar Asia Tengah. Ciri yang menonjol dari Tarekat Naqsyabandiyah adalah diikutinya syari’at
secara ketat, keseriusan dalam beribadah menyebabkan penolakan terhadap musik dan tari, serta lebih
mengutamakan berdzikir dalam hati, dan kecenderungannya semakin kuat ke arah keterlibatan dalam
politik (meskipun tidak konsisten).
Sejarah
Kebanyakan orang Naqsyabandiyah Mujaddidiyah dalam dua abad ini menelusuri keturunan awal
mereka melalui Ghulam Ali (Syekh Abdullah Dihlavi [m. 1824]), karena pada awal abad ke-19 India
adalah pusat organisasi dan intelektual utama dari tarekat ini. Khanaqah (pondok) milik Ghulam Ali di
Delhi menarik pengikut tidak hanya dari seluruh India, tetapi juga dari Timur Tengah dan Asia Tengah.
Hingga kini Khanaqah masih tetap (pernah mengalami masa tidak aktif akibat perampasan Delhi oleh
orang Inggris pada tahun 1857). Namun fungsi Pan-Islami-nya sebagian besar diwarisi oleh para wakil
dan pengganti Ghulam Ali yang menetap di tempat-tempat lain di Dunia Muslim. Yang terpenting
adalah para syekh yang tinggal di Makkah dan Madinah: kedua kota suci ini menyebarkan Tarekat
Naqsyabandiyah di banyak tanah Muslim sampai terjadinya penaklukan Hijaz oleh kaum Wahabiyah
pada 1925, yang mengakibatkan dilarangnya seluruh aktivitas sufi. Demikianlah, Muhammad Jan Al-
Makki (w. 1852), wakil Ghulam Ali di Makkah, menerima banyak peziarah Turki dan Basykir, yang
kemudian mendirikan cabang-cabang baru Naqsyabandiyah di kampung halamannya. Pengganti
Ghulam Ali yang pertama di Khanaqah Delhi, Abi Sa’id, melewatkan beberapa waktu di Hijaz untuk
menerima pengikut baru. Anak dan pengganti Abu Sa’id, Syekh Ahmad Sa’id, memilih tinggal di
Madinah setelah suatu peristiwa besar pada tahun 1857, memindahkan arah
Naqsyahbandiyah India ke Hijaz untuk sementara. Ketiga putra Ahmad Sa’id sama-sama memperoleh
warisannya: dua orang pergi ke Mekkah dan menarik pengikut dari India serta Turki di sana.
Sementara yang ketiga, Muhammad Mazhhar, tetap di Madinah dan mengelola pengikut yang terdiri
dari ulama dan pengikut dari India, Turki Daghestan, Kazan, dan Asia Tengah. Namun, yang paling
penting dari pengikut Muhammad Mazhhar adalah seorang Arab, Muhammad Salih al-Zawawi dan
murid-muridnya yang tidak merasakan kebencian, yang umumnya ditujukan kepada Ulama Pribumi
terhadap orang-orang non Arab dalam masyarakat mereka.
Sebagai guru fiqih Syafi’i, dia memiliki akses khusus terhadap orang-orang Indonesia dan orang-orang
Melayu yang berkumpul di Hijaz, serta berkat al-Zawawi dan murid-muridnyalah Naqsyabandiyah
dikenal secara serius di Asia Tenggara. Di Pontianak di pantai barat Kalimantan, masih terdapat
berbagai jejak garis Naqsyabandiyah yang terpancar dari Hijaz ini.
Dorongan yang membawa Naqsyabandiyah ke zaman modern berasal dari pengganti Ghulam Ali yang
lainnya. Maulana Khalid al-Bagdhadi (w. 1827). Beliau mempunyai peranan yang penting di dalam
perkembangan tarekat ini sehinga keturunan dari para pengikutnya dikenal sebagai kaum Khalidiyah,
dan dia kadang-kadang dipandang sebagai “Pemburu” (Mujaddid) Islam pada abad ke-13, sebagaimana
Srihindi dipandang sebagai pemburu Milenium kedua. Khalidiyah tidak terlalu berbeda dengan para
leluhurnya Mujaddidiyah. Yang baru adalah usaha Maulana Khalid untuk menciptakan tarekat yang
terpusat dan disiplin, terfokus pada dirinya pribadi, dengan cara ibadah yang disebut Rabithah
(“petautan”) atau konsentrasi pada citra Maulana Khalid sebelum berdzikir. Usaha ini selanjutnya
terkait dengan sikap politik, aktivitas, yang bertujuan untuk mengamankan supremasi syari’at dalam
masyarakat Muslim dan menolak agresi Eropa. Setelah kematian Maulana Khalid, tidak ada
kepemimpinan yang terpusat, tetapi sikap politik yang mendasari upaya tersebut tetap hidup.
Lahir di Distrik Syahrazur di Kurdistan Selatan pata 1776, Maulana Khalid melewatkan waktu sekitar
satu tahun bersama Ghulam Ali di Delhi sebelum kembali ke kampung halamannya pada 1881 dengan
“wewenang lengkap dan mutlak” sebagai wakilnya. Sebelum meninggalkan Delhi, Maulana Khalid
memberi tahu gurunya bahwa tujuan utamanya adalah untuk “mencari dunia ini demi agama”, dari tiga
tempat tinggalnya setelah itu Sulaimaniyah, Bagdad dan Damaskus, beliau mendirikan jaringan 116
wakil, yang masing-masing dengan tanggung jawab yang jelas batas geografisnya. Murid-muridnya
mencakup tidak hanya anggota-anggota hierarki agama pemerintahan “Utsmaniyah”, tetapi juga
sejumlah gubernur provinsi dan tokoh militer yang sangat penting dalam memajukan wibawa
Khalidiyah adalah wakil kedua Maulana Khalid di Istambul, Abdul al-Wahhab al-Susi, yang merekrut
Makkizada Musthafa Asim, syekh al-Islam masa itu ke dalam tarekat ini. Usaha untuk meraih pengaruh
atas kebijakan Utsmaniyah yang disiratkan oleh berbagai upaya ini tidak pernah benar-benar berhasil.
Namun, terjadi semacam penyejajaran antara Khalidiyah dengan negara Utsmaniyah pada masa
pemeritahan Abdulhamid II, yang berteman dengan Khalidiyah terkemuka di Istambul, Ahmed
Ziyauddin Gumushanevi (w. 1893). Kepentingan Gumushanevi jauh mentransendenkan yang politis:
tulisannya yang dimiliki banyak mengenai sufisme pada umumnya dan Naqsyabandiyah pada
khususnya, mewakili puncak sastra sufi Utsmaniyah besar yang terakhir. Sebaliknya, Adbulhamid
sangat ditentang oleh Syekh Naqsyabandiyah yang menonjol lainnya, Muhamad As’ad dari Ibril wilayah
Irak Utara.
Pengaruh Maulana Khalid mungkin paling nampak di kampung halamannya, Kurdistan. Cabang
Naqsyabandiyah yang beliau perkenalkan di sana sepenuhnya memudarkan pengaruh “Qadiriyah”, yang
sebelumnya merupakan tarekat paling menonjol di wilayah Kurdistan, dan memunculkan sejumlah
keluarga sebagai pemimpin turunan tarekat itu, serta memegang kepemimpinan dalam urusan negara
Kurdistan. Hubungan keturunan Naqsyabandiyah dengan separatisme Kurdistan, dan kemudian
nasionalisme, pertama kali terlihat dalam pemberontakan besar Kurdistan 1880 yang dipimpim oleh
Ubaidillah dari Syamdinan, yang berhasil membebaskan diri, untuk sementara, sebagian besar orang
Kurdistan Iran dari kendali Iran. Keluarga Barzani juga mampu mendominasi ungkapan nasionalisme
Irak selama beberapa puluh tahun melalui wibawa Naqsabandiyah yang diwarisinya.
Khalidiyah juga mengakar dengan cepat dan tepat di Daghestan, wilayah pegunungan yang terletak di
pertemuan Kaukasus dan Rusia Selatan.
Wilayah ini pertama kali diperkenalkan dengan Naqsyabandiyah pada akhir abad ke-18, tetapi
kedatangan Khalidiyah yang membuat wilayah itu menjadi daerah Naqsyabandi semasa hidup Maulana
Khalid. Penekanan ganda Khalidiyah di Daghestan adalah penggantian hukum-kebiasaan (cotumary
law) non Islam menjadi syari’at dan perlawanan terhadap pemerintah Rusia. Pemimpin Naqsyabandiyah
pertama untuk orang Daghestan adalah Ghazi Muhammad, yang meninggal dibunuh oleh orang Rusia
pada 1832, dan penggantinya dua tahun kemudian mengalami nasib yang sama. Sebaliknya Syamil,
yang kemudian mengambil kepemimpinan gerakan itu, mampu menahan Rusia hingga 159, salah satu
perlawanan Muslim terhadap imperialisme Eropa yang terlama dan terkenal. Pengaruh Naqsyabandiyah
di Daghestan ternyata sulit dicabut; kaum Naqsyabandiyah aktif dalam pemberontakan 1877 oleh
Daghestan dan Chechenia yang berjaya pada rentang waktu antara runtuhnya tsar Rusia dan
pembentukan pemerintahan Soviet.
Wilayah populasi Muslim lain yang diperintah oleh Rusia yang ternyata menerima Khalidiyah adalah
Volga-Ural (sekarang Tatarstan dan Baskira).
Wakil Maulana Khalid di Makkah, Abdullah Makki (Erzincani), menerima seorang murid dari Kazan,
Fatsullah Menavusi; namun, yang pengaruhnya terbukti menentukan adalah pengikut Ghumushaveni
asal Basykar, Syekh Zainullah Rasulev dari Troisk. Semula Rasulev adalah pengikut garis mujaddidiyah
yang pergi ke Bukhara, kemudian mengalihkan kesetiaanya kepada Gumushaveni setelah berkunjung
ke Istambul pada 1870. Ketika kembali, dia mempropagandakan Khalidiyah sehingga membangkitkan
permusuhan dari para pesaingnya dan menimbulkan kecurigaan dari pihak berwenang Rusia; hal ini
mengakibatkan Rasulev dipenjara dan diasingkan. Kemudian bebas lagi pada 1881 dia memperkukuh
dan memperkuat pengikutnya sehingga ratusan murid berada di bawah pengaruhnya; mereka tidak
hanya tersebar diwilayah Volga-Ural, tetapi juga di Kazakhstan dan Siberia. Tatkala kematian tiba pada
1917, dia disebut sebagai “raja spiritual rakyatnya”, dan setelah kematiannya wibawa Rasulev tetap
terus bergaung sampai pada periode Soviet: tiga kepala Direktorat Spiritual untuk kaum Muslim Rusia
Eropa dan Siberia yang berfungsi di bawah pengawasan Soviet adalah murid-murid Rasulev.
Akhirnya, Khalidiyah memastikan pula penanaman pengaruh Naqsyabandiyah secara permanen di
dunia Melayu Indonesia. Abdullah Makki mempunyai murid dari Sumatera yaitu Ismail Minangkabawi.
Setelah lama menetap di Makkah, Minangkabawi menetap di Penyengat wilayah kepulauan Riau. Di
sana, ia memperoleh kesetiaan dari keluarga pemerintahan, yang sudah mulai diperkenalkan pada
Naqsyabandiyah oleh Duta-duta pemerintah yang dikirim dari Madinah oleh Muhammad Mazhhar. Dia
juga pergi ke Melayu hingga Kedah, mempropagandakan Khalidiyah ke mana pun ia pergi. Namun
usahanya merupakan rintisan, dan digantikan oleh kegiatan dua Khalidiyah yang tinggal di Makkah
yaitu Khalil Hamdi Pasya dan Syekh Sulaiman Zuhdi. Kenyataan bahwa kedua orang ini adalah pesaing,
saling menuduh bahwa yang lainnya adalah menyimpang dari prinsip Naqsyabandiyah, menyiratkan
betapa dunia Melayu Indonesia menjadi sumber pengikut yang kaya untuk Naqsyabandiyah. Dalam
jangka panjang, Sulaiman Zuhdi lebih berhasil dari pada pesaingya, hingga Jabal Abi Qubais di Makkah,
tempat dia tinggal, dipandang sebagai sumber seluruh Tarekat Naqsyabandiyah di Asia Tenggara. Di
antara murid ini banyak yang mendirikan Khalidiyah di berbagai tempat di Sumatera, Jawa dan
Sulawesi, yang paling penting adalah Abdil Wahab Rokan (w. 1926). Beliau dikirim dari Makkah pada
tahun 1868 dengan misi untuk menyebarkan Khalidiyah di seluruh Sumatera, dari Aceh sampai
Palembang — misi yang beliau dilaksanakan dengan sukses besar adalah dari pesantrennya di Bab Al-
Salam, Lengkat-Tinggal menetap selama tiga tahun di Johor, dan memungkinkan dia untuk
memperluas pengaruhnya lebih jauh ke Semenanjung Malaya.
Praktik Naqsyabandiyah di Dunia Melayu Indonesia sejak dini sangat berbeda dengan adanya ritual
yang disebut dengan suluk, yakni menyendiri dengan jangka waktu yang berbeda-beda dan sebagian
diiringi dengan puasa. Asal usul praktik ini sangat berbeda dengan tradisi Naqsyabandiyah yang tidak
diketahui. Putusnya hubungan dengan Makkah akibat penaklukan Hijaz oleh kaum Wahabiyah makin
menambah ciri khas bagi kaum Naqsyabandiyah di Melayu Indonesia.
Peranan Politik
Tidak semua perkembangan formatik yang berkenaan dengan Naqsyabandiyah berkaitan dengan
Ghulam Ali Dihlavi dan keturunannya. Salah satu keturunan dari Ahmad Sirhindi didirikan di Syur
Bazar di pinggiran Kabul pada pertengahan abad ke-19, dan para anggota cabang ini memainkan
peranan penting dalam urusan negara Afghanistan hingga pembentukan negara pasca Komunis
pertama pada tahun 1991. Di tempat lain di Asia Tengah, Naqsyabandiyah dari berbagai keturunan
menonjol dalam perlawanannya terhapap Rusia dan sesudahnya. Dengan demikian pertahanan Goktepe
oleh para Turkmen Akhel-Tekke diarahkan oleh seorang pengikut Naqysabandiyah, yaitu Muhammad
Ali Ihsan (Dukchi Ikhsan). Naqsyabandiyah juga memimpin pemberontakan melawan pemerintah Cina
di Xinjing pada tahun 1863 dan 1864 dan di Shannxi serta Gunsu antara 1862 dan 1873.
Ciri khas yang ditunjukan oleh kelompok Naqyabandiyah ini sering digambarkan dalam negara modern,
terutama di Turki. Namun, di Turkli perlawanan Naqsyabandiyah terhadap sekulerisme selalu bersifat
pasif (kecuali pemberontakan Sa’id). Penggambaran peristiwa Menemen 1931 sebagai konspirasi
Naqsyabandiyah yang menyebabkan Syekh Muhammad As’ad (Mehmed Esad) dihukum mati secara adil,
sekarang diragukan.
Sejumlah pemimpin Naqsyabandiyah menjadi orang penting sebagai guru spiritual dan intelektual:
Mahmud Sami Ramazanoglu (w. 1984), pengganti Syekh Muhammad As’ad. Mehmed Zahid Kotku
(w.1980), keturunan spiritual dari Gumushanevi bersama penggantinya Esad Gosan (sampai sekarang
masih hidup) dan Resit Erol (w. 1994). Kegiatan mengajar para syekh ini beserta syekh lainnya secara
alamiah memiliki pengaruh politik, namun cenderung mengarah pada pengintegrasian Naqsyabandiyah
ke dalam struktur Republik Turki, dan bukan penolakan terhadap struktur tersebut. Penting dicatat
bahwa beberapa pemimpin Naqsyabandiyah hadir secara menonjol di pemakaman Presiden Turki,
Turgut Ozal pada 1993.
Kaum Naqsyabandiyah dalam jumlah dan kekuatan intelektualnya, tidak dapat digambarkan secara
seragam dalam Dunia Islam sekarang ini.
Pengaruh mereka mungkin paling kuat di Turki dan wilayah Kurdistan, dan yang paling lemah adalah
di Pakistan. Pada masa pemerintahan Soviet, pengaruh Naqsyabandiyah sangat terasa pada gerakan
“Islam bawah tahan” di Kaukasus Asia Tengah. Namun, pada akhirnya pemerintahan Soviet tidak
diikuti perkembangan Naqsyabandiyah di permukaan.
Berbagai Ritual dan Teknik Spiritual Naqsyabandiyah
Seperti tarekat-tarekat yang lain, Tarekat Naqsyabandiyah itu pun mempunyai sejumlah tata-cara
peribadatan, teknik spiritual dan ritual tersendiri. Memang dapat juga dikatakan bahwa Tarekat
Naqsyabandiyah terdiri atas ibadah, teknik dan ritual, sebab demikianlah makna asal dari istilah
thariqah, “jalan” atau “marga”. Hanya saja kemudian istilah itu pun mengacu kepada perkumpulan
orang-orang yang mengamalkan “jalan” tadi.
Naqsyabandiyah, sebagai tarekat terorganisasi, punya sejarah dalam rentangan masa hampir enam
abad, dan penyebaran yang secara geografis meliputi tiga benua. Maka tidaklah mengherankan apabila
warna dan tata cara Naqsyabandiyah menunjukkan aneka variasi mengikuti masa dan tempat
tumbuhnya. Adaptasi terjadi karena keadaan memang berubah, dan guru-guru yang berbeda telah
memberikan penekanan pada aspek yang berbeda dari asas yang sama, serta para pembaharu
menghapuskan pola pikir tertentu atau amalan-amalan tertentu dan memperkenalkan sesuatu yang
lain. Dalam membaca pembahasan mengenai berbagai pikiran dasar dan ritual berikut, hendaknya
selalu diingat bahwa dalam pengamalannya sehari-hari variasinya tidak sedikit.
Asas-asas
Penganut Naqsyabandiyah mengenal sebelas asas Thariqah. Delapan dari asas itu dirumuskan oleh ‘Abd
al-Khaliq Ghuzdawani, sedangkan sisanya adalah penambahan oleh Baha’ al-Din Naqsyaband. Asas-asas
ini disebutkan satu per satu dalam banyak risalah, termasuk dalam dua kitab pegangan utama para
penganut Khalidiyah, Jami al-’Ushul Fi al-’Auliya. Kitab karya Ahmad Dhiya’ al-Din Gumusykhanawi itu
dibawa pulang dari Makkah oleh tidak sedikit jamaah haji Indonesia pada akhir abad ke-19 dan awal
abad ke-20. Kitab yang satu lagi, yaitu Tanwir al-Qulub oleh Muhammad Amin al-Kurdi dicetak ulang di
Singapura dan di Surabaya, dan masih dipakai secara luas. Uraian dalam karya-karya ini sebagian besar
mirip dengan uraian Taj al-Din Zakarya (“Kakek” spiritual dari Yusuf Makassar) sebagaimana dikutip
Trimingham. Masing-masing asas dikenal dengan namanya dalam bahasa Parsi (bahasa para
Khwajagan dan kebanyakan penganut Naqsyabandiyah India).
Asas-asasnya ‘Abd al-Khaliq adalah:
1. Hush dar dam: “sadar sewaktu bernafas”. Suatu latihan konsentrasi: sufi yang bersangkutan
haruslah sadar setiap menarik nafas, menghembuskan nafas, dan ketika berhenti sebentar di antara
keduanya. Perhatian pada nafas dalam keadaan sadar akan Allah, memberikan kekuatan spiritual dan
membawa orang lebih hampir kepada Allah; lupa atau kurang perhatian berarti kematian spiritual dan
membawa orang jauh dari Allah (al-Kurdi).
2. Nazar bar qadam: “menjaga langkah”. Sewaktu berjalan, sang murid haruslah menjaga langkah-
langkahnya, sewaktu duduk memandang lurus ke depan, demikianlah agar supaya tujuan-tujuan
(ruhani)-nya tidak dikacaukan oleh segala hal di sekelilingnya yang tidak relevan.
3. Safar dar watan: “melakukan perjalanan di tanah kelahirannya”. Melakukan perjalanan batin, yakni
meninggalkan segala bentuk ketidaksempurnaannya sebagai manusia menuju kesadaran akan
hakikatnya sebagai makhluk yang mulia. [Atau, dengan penafsiran lain: suatu perjalanan fisik,
melintasi sekian negeri, untuk mencari mursyid yang sejati, kepada siapa seseorang sepenuhnya pasrah
dan dialah yang akan menjadi perantaranya dengan Allah (Gumusykhanawi)].
4. Khalwat dar anjuman: “sepi di tengah keramaian”. Berbagai pengarang memberikan bermacam
tafsiran, beberapa dekat pada konsep “innerweltliche Askese” dalam sosiologi agama Max Weber.
Khalwat bermakna menyepinya seorang pertapa, anjuman dapat berarti perkumpulan tertentu.
Beberapa orang mengartikan asas ini sebagai “menyibukkan diri dengan terus menerus membaca
dzikir tanpa memperhatikan hal-hal lainnya bahkan sewaktu berada di tengah keramaian orang”; yang
lain mengartikan sebagai perintah untuk turut serta secara aktif dalam kehidupan bermasyarakat
sementara pada waktu yang sama hatinya tetap terpaut kepada Allah saja dan selalu wara’. Keterlibatan
banyak kaum Naqsyabandiyah secara aktif dalam politik dilegitimasikan (dan mungkin dirangsang)
dengan mengacu kepada asas ini.
5. Yad kard: “ingat”, “menyebut”. Terus-menerus mengulangi nama Allah, dzikir tauhid (berisi formula
la ilaha illallah), atau formula dzikir lainnya yang diberikan oleh guru seseorang, dalam hati atau
dengan lisan. Oleh sebab itu, bagi penganut Naqsyabandiyah, dzikir itu tidak dilakukan sebatas
berjamaah ataupun sendirian sehabis shalat, tetapi harus terus-menerus, agar di dalam hati
bersemayam kesadaran akan Allah yang permanen.
6. Baz gasyt: “kembali”, ” memperbarui”. Demi mengendalikan hati supaya tidak condong kepada hal-
hal yang menyimpang (melantur), sang murid harus membaca setelah dzikir tauhid atau ketika
berhenti sebentar di antara dua nafas, formula ilahi anta maqsudi wa ridlaka mathlubi (Ya Tuhanku,
Engkaulah tempatku memohon dan keridlaan-Mulah yang kuharapkan). Sewaktu mengucapkan dzikir,
arti dari kalimat ini haruslah senantiasa berada di hati seseorang, untuk mengarahkan perasaannya
yang halus kepada Tuhan semata.
7. Nigah dasyt: “waspada”. Yaitu menjaga pikiran dan perasaan terus-menerus sewaktu melakukan
dzikir tauhid, untuk mencegah agar pikiran dan perasaan tidak menyimpang dari kesadaran yang tetap
akan Tuhan, dan untuk memlihara pikiran dan perilaku seseorang agar sesuai dengan makna kalimat
tersebut. Al-Kurdi mengutip seorang guru (anonim): “Kujaga hatiku selama sepuluh hari; kemudian
hatiku menjagaku selama dua puluh tahun.”
8. Yad dasyt: “mengingat kembali”. Penglihatan yang diberkahi: secara langsung menangkap Zat Allah,
yang berbeda dari sifat-sifat dan nama-namanya; mengalami bahwa segalanya berasal dari Allah Yang
Esa dan beraneka ragam ciptaan terus berlanjut ke tak berhingga. Penglihatan ini ternyata hanya
mungkin dalam keadaan jadzbah: itulah derajat ruhani tertinggi yang bisa dicapai.
Asas-asas Tambahan dari Baha al-Din Naqsyabandi:
1. Wuquf-i zamani: “memeriksa penggunaan waktu seseorang”. Mengamati secara teratur bagaimana
seseorang menghabiskan waktunya. (Al-Kurdi menyarankan agar ini dikerjakan setiap dua atau tiga
jam). Jika seseorang secara terus-menerus sadar dan tenggelam dalam dzikir, dan melakukan
perbuatan terpuji, hendaklah berterimakasih kepada Allah, jika seseorang tidak ada perhatian atau
lupa atau melakukan
perbuatan berdosa, hendaklah ia meminta ampun kepada-Nya.
2. Wuquf-i ‘adadi: “memeriksa hitungan dzikir seseorang”. Dengan hati-hati beberapa kali seseorang
mengulangi kalimat dzikir (tanpa pikirannya mengembara ke mana-mana). Dzikir itu diucapkan dalam
jumlah hitungan ganjil yang telah ditetapkan sebelumnya.
3. Wuquf-I qalbi: “menjaga hati tetap terkontrol”. Dengan membayangkan hati seseorang (yang di
dalamnya secara batin dzikir ditempatkan) berada di hadirat Allah, maka hati itu tidak sadar akan yang
lain kecuali Allah, dan dengan demikian perhatian seseorang secara sempurna selaras dengan dzikir
dan maknanya. Taj al-Din menganjurkan untuk membayangkan gambar hati dengan nama Allah terukir
di atasnya.
Zikir dan Wirid
Teknik dasar Naqsyabandiyah, seperti kebanyakan tarekat lainnya, adalah dzikir yaitu berulang-ulang
menyebut nama Tuhan ataupun menyatakan kalimat la ilaha illallah. Tujuan latihan itu ialah untuk
mencapai kesadaran akan Tuhan yang lebih langsung dan permanen. Pertama sekali, Tarekat
Naqsyabandiyah membedakan dirinya dengan aliran lain dalam hal dzikir yang lazimnya adalah dzikir
diam (khafi, “tersembunyi”, atau qalbi, ” dalam hati”), sebagai lawan dari dzikir keras (dhahri) yang
lebih disukai tarekat-tarekat lain. Kedua, jumlah hitungan dzikir yang mesti diamalkan lebih banyak
pada Tarekat Naqsyabandiyah daripada kebanyakan tarekat lain.
Dzikir dapat dilakukan baik secara berjamaah maupun sendiri-sendiri. Banyak penganut
Naqsyabandiyah lebih sering melakukan dzikir secara sendiri-sendiri, tetapi mereka yang tinggal dekat
seseorang syekh cenderung ikut serta secara teratur dalam pertemuan-pertemuan di mana dilakukan
dzikir berjamaah. Di banyak tempat pertemuan semacam itu dilakukan dua kali seminggu, pada malam
Jum’at dan malam Selasa; di tempat lain dilaksanakan tengah hari sekali seminggu atau dalam selang
waktu yang lebih lama lagi.
Dua dzikir dasar Naqsyabandiyah, keduanya biasanya diamalkan pada pertemuan yang sama, adalah
dzikir ism al-dzat, “mengingat yang Haqiqi” dan dzikir tauhid, ” mengingat keesaan”. Yang duluan
terdiri dari pengucapan asma Allah berulang-ulang dalam hati, ribuan kali (dihitung dengan tasbih),
sambil memusatkan perhatian kepada Tuhan semata. Dzikir Tauhid (juga dzikir tahlil atau dzikir nafty
wa itsbat) terdiri atas bacaan perlahan disertai dengan pengaturan nafas, kalimat la ilaha illa llah, yang
dibayangkan seperti menggambar jalan (garis) melalui tubuh. Bunyi la permulaan digambar dari
daerah pusar terus ke hati sampai ke ubun-ubun. Bunyi Ilaha turun ke kanan dan berhenti pada ujung
bahu kanan. Di situ, kata berikutnya, illa dimulai dengan turun melewati bidang dada, sampai ke
jantung, dan ke arah jantung inilah kata Allah di hujamkan dengan sekuat tenaga. Orang
membayangkan jantung itu mendenyutkan nama Allah dan membara, memusnahkan segala kotoran.
Variasi lain yang diamalkan oleh para pengikut Naqsyabandiyah yang lebih tinggi tingkatannya adalah
dzikir latha’if. Dengan dzikir ini, orang memusatkan kesadarannya (dan membayangkan nama Allah itu
bergetar dan memancarkan panas) berturut-turut pada tujuh titik halus pada tubuh. Titik-titik ini,
lathifah (jamak latha’if), adalah qalb (hati), terletak selebar dua jari di bawah puting susu kiri; ruh
(jiwa), selebar dua jari di atas susu kanan; sirr (nurani terdalam), selebar dua jari di atas putting susu
kanan; khafi (kedalaman tersembunyi), dua jari di atas puting susu kanan; akhfa (kedalaman paling
tersembunyi), di tengah dada; dan nafs nathiqah (akal budi), di otak belahan pertama. Lathifah ketujuh,
kull jasad sebetulnya tidak merupakan titik tetapi luasnya meliputi seluruh tubuh. Bila seseorang telah
mencapai tingkat dzikir yang sesuai dengan lathifah terakhir ini, seluruh tubuh akan bergetar dalam
nama Tuhan. Konsep latha’if — dibedakan dari teknik dzikir yang didasarkan padanya — bukanlah khas
Naqsyabandiyah saja tetapi terdapat pada berbagai sistem psikologi mistik. Jumlah latha’if dan nama-
namanya bisa berbeda; kebanyakan titik-titik itu disusun berdasarkan kehalusannya dan kaitannya
dengan pengembangan spiritual.
Ternyata latha’if pun persis serupa dengan cakra dalam teori yoga. Memang, titik-titik itu letaknya
berbeda pada tubuh, tetapi peranan dalam psikologi dan teknik meditasi seluruhnya sama saja.
Asal-usul ketiga macam dzikir ini sukar untuk ditentukan; dua yang pertama seluruhnya sesuai dengan
asas-asas yang diletakkan oleh ‘Abd Al-Khaliq Al-Ghujdawani, dan muntik sudah diamalkan sejak pada
zamannya, atau bahkan lebih awal. Pengenalan dzikir latha’if umumnya dalam kepustakaan
Naqsyabandiyah dihubungkan dengan nama Ahmad Sirhindi. Kelihatannya sudah digunakan dalam
Tarekat Kubrawiyah sebelumnya; jika ini benar, maka penganut Naqsyabandiyah di Asia Tengah
sebetulnya sudah mengenal teknik tersebut sebelum dilegitimasikan oleh Ahmad Sirhindi.
Pembacaan tidaklah berhenti pada dzikir; pembacaan aurad (Indonesia: wirid), meskipun tidak wajib,
sangatlah dianjurkan. Aurad merupakan doa-doa pendek atau formula-formula untuk memuja Tuhan
dan atau memuji Nabi Muhammad, dan membacanya dalam hitungan sekian kali pada jam-jam yang
sudah ditentukan dipercayai akan memperoleh keajaiban, atau paling tidak secara psikologis akan
mendatangkan manfaat. Seorang murid dapat saja diberikan wirid khusus untuk dirinya sendiri oleh
syekhnya, untuk diamalkan secara rahasia (diam-diam) dan tidak boleh diberitahukan kepada orang
lain; atau seseorang dapat memakai kumpulan aurad yang sudah diterbitkan. Naqsyabandiyah tidak
mempunyai kumpulan aurad yang unik. Kumpulan-kumpulan yang dibuat kalangan lain bebas saja
dipakai; dan kaum Naqsyabandiyah di tempat yang lain dan pada masa yang berbeda memakai aurad
yang berbeda-beda. Penganut Naqsyabandiyah di Turki, umpamanya, sering memakai Al-Aurad Al-
Fathiyyah, dihimpun oleh Ali Hamadani, seorang sufi yang tidak memiliki persamaan sama sekali
dengan kaum Naqsyabandiyah.
Maksud ayat: Surah an Nur ayat 35 – 38.
“Allah (memberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah adalah seperti lubang
yang tak tembus yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca dan kaca itu seakan-akan
(bintang yang bercahaya) seperti mutiara yang menyalakan minyak dari pohon yang banyak berkahnya,
iaitu pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah baratnya
yang minyaknya sahaja menerangi walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis)
Allah membimbing kepada cahayanya, siapa yang Dia kehendaki, dan Allah membuat perumpamaan-
perumpamaan bagi manusia dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. Bertasbih kepada Allah di
masjid-masjid yang telah diperintahka untuk dimulakan dan disebut namanya di dalamnya, pada waktu
pagi dan pada waktu petang, lelaki yang tida dilalaikan oleh perniagaan dan tidak pula oleh jual beli
dari mengingati Allah dan dari mendirikan solat dan dari membayar zakat. Mereka takut pada suatu
hari (yang dihari itu) Hati dan penglihatan menjadi goncang. Mereka yang mengerjaka demikian itu
supaya Allah memberikan balsan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang
mereka kerjakan, dan supaya Allah menambahkan kurnianya kepada mereka. Dan Allah memberi rezeki
pada siapa yang dikehendakinya.” (An-Nur: 35-38)
1.1. Hakikat Cahaya
Kejelasan, penafsiran dan pengertian ayat misykat memberi bantuan yang amat besar dalam memahami
persoalan hati dan perjalanan suluk.
Pada ayat pertama, komposisi atau komponen manusia diumpamakan dengan lubang yang tidak tembus
dengan pelita dan kaca. Misykat adalah suatu lubang di dinding yang tidak tembus ke sebelahnya.
Pelita sama dengan lampu, dan kaca adalah dinding yang menghimpun dan melingkupi pelita yang
menerangi.
Perumpamaan ketiga-tiga komponen ini adalah perumpamaan dari manusia yang beriman yang
padanya ada jasadnya, hatinya dan cahaya yang ada di dalam hati. Jasad diumpamakan dengan misykat,
hati diumpamakan dengan kaca dan cahaya diumpamakan dengan pelita yang ada dalam kaca.
“Allah cahaya langit dan bumi”
Bermaksud; Dia adalah pemberi petunjuk (cahaya) kepada langit dan bumi; di mana tiada petunjuk di
langit dan di bumi tanpa cahaya-Nya. Selanjutnya Allah mengumpamakan petunjuk-Nya sebahagian
petunjuk bagi orang mukmin. Hidayah ditamsilkan dengan perumpamaan-perumpamaan, kebesaran
dan kemuliaan hidayah-Nya menjadi jelas.
Jadi, misykat adalah jasad orang mukmin yang melingkupi hatinya, kaca ialah hati orang mukmin yang
melingkupi cahaya hati yang merupakan petunjuk dari penunjuk bagi orang mukmin itu sendiri,
sehingga dia mampu melihat hakikat segala sesuatu yang berjalan di atas hidayah dari Tuhannya
dengan cahaya tersebut. Ini adalah Tahap Pertama dalam perumpamaan.
Tahap perumpamaan kedua ialah kaca yang melingkupi pelita atau hati yang melingkupi cahaya dan
kebenderangan cahaya yang sangat cemerlang diumpamakan dengan bintang yang menerangi, di mana
bintang itu diserupakan dengan mutiara kerana sangat cemerlangnya cahaya bintang tersebut.
Kita perhatikan di sini, perbincangan tentang kaca dan semua pelitanya atau tentang hati dan
cahayanya, seluruhnya diumpamakan dengan bintang yang mutiara (al-Kaukub ad-Durriy) sehingga
pelita itu mampu bersinar. Demikian pula kacanya, ia bersinar kerana cemerlang dan putih bersih.
Perumpamaan Tahap Ketiga ialah pelita ada dalam kaca, dari mana dan dengan apa kaca itu
dinyalakan? Dari mana cahaya itu didapati? Bagaimana kecahayaan (nuraniyah) mampu berlangsung?
Dengan ungkapan lain, cahaya itu ada di dalam hati, dari mana hati itu memperoleh nuraniah? Bentuk
pertolongan bagaimana yang yang diberikan kepada hati atau yang diperolehinya hingga ia
bernuraniah? Apa yang menimbulkan cahaya rohani tersebut?
Allah SWT berfirman yang dinyalakan, maksudnya yang dinyalakan adalah pelita yang ada dalam kaca
atau cahaya yang ada dalam hati orang mukmin dinyalakan, “dengan minyak yang dari pohon yang
banyak berkatnya atau yang banyak manfaatnya. Iaitu pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur
dan tidak pula di sebelah baratnya”. Sedangkan Zaitun ialah syariat Allah.
Menurut Ibnu Kasir, kejernihan, sinar atau nuraniah yang ada dalam diri seorang mukmin
diumpamakan seperti dinding kaca yang jernih lagi murni seperti permata, sedangkan al-Qurán dan
syariát diumpamakan seperti minyak jernih, baik, bercahaya dan seimbang tanpa ada sedikit pun keruh.
Perumpamaan terhadap keempat pohon yang penuh berkah merupakan sumber dari cahaya hati, adalah
syariat Allah yang penuh manfaat, yang merupakan sumbe dari cahaya kalbu. Dari situlah kalbu
mengambil cahaya. Berapa kadar besar minyaknya? Allah befirman:
“Yang minyaknya sahaja hampir-hampir menerangi walaupun tidak disentuh api”
Minyak itu dinyatakan jernih dan bercahaya, kata an-Nasafi kerana kilaunya hampir-hampir bersinar
tanpa ada api atau tanpa dinyalakan api. Kadar besar nuraniah syariat yang memberi cahaya pada hati?
Dan betapa besar cahaya hati yang diperoleh dari sinaran cahaya syariat?
Demikianlah adanya, dan kerana itulah Allah berfirman:
“Cahaya di atas cahaya”
Ini adalah perumpamaan tahap kelima. Cahaya yang diumpamakan kebenaran itu, kata an-Nasafi,
seperti yang bersatu yang berlapis-lapis yang mana di dalamnya terjadi interaksi antara (cahaya)
misykat, pelita dan minyak. Sehingga tidak ada satupun yang tinggal untuk memperkuat benderangnya
cahaya, kerana pelita yang ada di dalam tempat yang sempit menyerupai lubang yang tidak tembus, di
mana ia mampu menghimpun dan memadukan seluruh cahaya. Hal ini berbeza seandainya di tempat
yang luas, maka sinar cahayanya akan tersebar dan berserakan. Sedangkan (dinding) kaca merupakan
suatu yang paling banyak menambah penerangan, demikian juga dengan minyak dan
kebenderangannya.
Menurut Ibnu Kasir’As-Saddi yang pernah berkata tentang firman Allah tersebut, cahaya di atas cahaya
adalah cahaya api dan cahaya minyak bila bersatu akan memancarkan sinar, dan yang satu tidak akan
memancarkan cahaya yang lain. Demikian pula cahaya al-Qurán dan cahaya iman bersatu padu.
Dengan demikian, perumpamaan yang Allah buat untuk menerangkan kebebasan hidayahNya telah
sempurna, dan dari penjelasan tentang perumpamaan tersebut, kita tahu bahawa penunaian syariat
Allah lah yang mampu memberikan cahaya iman yang abadi.
Selain itu, berdasarkan pendapat Ibnu kasir’As-Saddi juga, cahaya api dan cahaya minyak bila bersatu
padu memancarkan sinar, dan tidak akan bersinar satu di antaranya tanpa yang lain. Demikian juga
cahaya al-Qurán dan cahaya iman ketika bersatu padu, dan satu di antaranya tidak akan memancarkan
cahaya tanpa yang lain.
Di sini, kita sudah mulai memahami bahawa kewujudan kandungan al-Qurán merupakan makanan yang
kekal bagi kalbu, sebab dengan al-Qurán pelita hati akan tetap menyala terang dan akan tetap
memperolehi petunjuk. Bertambahnya perpaduan cahaya hati dan pancarannya bergantung kepada
kadar penunaian seseoang terhadap kandungan al-Qurán dan misykat atau jasad akan memantulkan
cahaya ini sehingga jalan baginya menjadi terang dan juga bagi yang lain.
“Allah membimbing kepada cahaya-Nya kepada siapa yang dia kehendaki dan Allah membuat
perumpamaan-perumpamaan bagi manusia. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Maksudnya Allah membimbing kepada cahaya syariat-Nya atau Allah memberi hidayah kepada siapa
yang Dia kehendaki dari ahli Iman sehingga mereka memperolehinya dan mengikuti petunjuk yang
diberikan kepada mereka.
Ayat berikutnya menjelaskan tentang tempat mereka yang hatinya dipenuhi cahaya dan hidayah:
“Di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya.”
Ketika menerangkan ayat misykat (lubang yang tidak tembus) yang terdapat di sebahagian rumah
Allah, iaitu masjid, an-Nasafi mengulas bahawa Misykat adalah jasad orang mukmin yang hatinya
adalah mencintai masjid. Dapat disimpulkan bahawa titik tolak kepada pendidikan keimanan yang
tinggi adalah masjid dengan cara menyucikan diri di dalam masjid pada waktu pagi dan pada waktu
petang dengan melaksanakan solat di dalamnya. Ini adalah kerana mereka adalah lelaki yang tidak
dilalaikan oleh perniagaan dan tidak pula dari jual beli dari mengingat Allah, dari mendirikan solat,
dan dari membayar zakat. Mereka takut pada satu hari (yang di hari itu) hati penglihatan menjadi
goncang.