laporan kasus gagal ja

47
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gagal jantung kongestif adalah kumpulan gejala klinis akibat kelainan struktural ataupun fungsional jantung yang menyebabkan gangguan kemampuan pengisian ventrikel dan ejeksi darah ke seluruh tubuh. Insiden gagal jantung dalam setahun diperkirakan 2,3-3,7 per 1000 penderita per tahun. Gagal jantung susah dikenali secara klinis, karena beragamnya keadaan klinis, serta tidak spesifiknya tanda-tanda pada tahap awal penyakit. Perkembangan diagnosis terkini memungkinkan untuk mengenali gagal jantung secara dini, serta perkembangan pengobatan yang memperbaiki gejala klinis dan kualitas hidup akan memperlambat progresifitas penyakit dan meningkatkan kualitas hidup. 1,2 Sindroma gagal jantung bisa diakibatkan oleh berbagai macam penyakit jantung yang mengurangi kemampuan memompa. Penyakit yang sering menyebabkan gagal jantung diantaranya adalah penyakit arteri koroner, hipertensi, kardiomiopati, dan penyakit jantung katup. 4 Penyakit jantung katup ada beberapa macam. Pada studi laporan ini, fokus pembahasan ialah mengenai mitral stenosis. Mitral stenosis adalah suatu kondisi dimana katup mitral tidak terbuka dengan sempurna sewaktu pengisian ventrikel kiri dari atrium kiri. Riwayat demam rematik merupakan penyebab terbanyak dari terjadinya mitral stenosis. Sedangkan pennyebab

Upload: stefen-andrianus

Post on 16-Dec-2015

22 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

4

33

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar BelakangGagal jantung kongestif adalah kumpulan gejala klinis akibat kelainan struktural ataupun fungsional jantung yang menyebabkan gangguan kemampuan pengisian ventrikel dan ejeksi darah ke seluruh tubuh. Insiden gagal jantung dalam setahun diperkirakan 2,3-3,7 per 1000 penderita per tahun. Gagal jantung susah dikenali secara klinis, karena beragamnya keadaan klinis, serta tidak spesifiknya tanda-tanda pada tahap awal penyakit. Perkembangan diagnosis terkini memungkinkan untuk mengenali gagal jantung secara dini, serta perkembangan pengobatan yang memperbaiki gejala klinis dan kualitas hidup akan memperlambat progresifitas penyakit dan meningkatkan kualitas hidup.1,2Sindroma gagal jantung bisa diakibatkan oleh berbagai macam penyakit jantung yang mengurangi kemampuan memompa. Penyakit yang sering menyebabkan gagal jantung diantaranya adalah penyakit arteri koroner, hipertensi, kardiomiopati, dan penyakit jantung katup.4 Penyakit jantung katup ada beberapa macam. Pada studi laporan ini, fokus pembahasan ialah mengenai mitral stenosis.Mitral stenosis adalah suatu kondisi dimana katup mitral tidak terbuka dengan sempurna sewaktu pengisian ventrikel kiri dari atrium kiri. Riwayat demam rematik merupakan penyebab terbanyak dari terjadinya mitral stenosis. Sedangkan pennyebab lainnya seperti endokarditis mitral dan kalsifikasi.6 Pada beberapa negara, masih terdapat peningkatan dari insidensi kasus demam rematik. Sekitar 10-35 % dari penderita penyakit jantung adalah penderita demam rematik dan penyakit jantung rematik dan diestimasi bahwa sekitar 15,6 juta anak-anak dan dewasa menderita penyakit ini dan kurang lebih 233.000 pasien meninggal disebabkan oleh penyakit ini.3 Gejala dari mitral stenosis biasanya muncul setelah 20-40 tahun sejak onset demam rematik.5

1.2. Rumusan MasalahDari uraian ringkas dalam latar belakang masalah di atas, penulis merumuskan pertanyaan dasar sebagai berikut: Bagaimana patofisiologi, gambaran klinis, diagnosa serta penatalaksanaan gagal jantung kongestif et causa mitral stenosis?

1.3. Tujuan PenulisanTujuan dari penulisan laporan kasus ini adalah:a. Memahami teori mengenai gagal jantungb. Memahami teori mengenai mitral stenosisc. Mengintegrasikan teori kedokteran terhadap kasus gagal jantung et causa mitral stenosis secara langsung.d. Memenuhi tugas kepaniteraan klinik di Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler RS Haji Adam Malik Medan.

1.4. Manfaat PenulisanManfaat yang diharapkan dari penulisan laporan kasus ini adalah:a. Memperkuat landasan teori ilmu kedokteran di bidang ilmu kardiologi dan kedokteran vaskuler, khususnya mengenai mitral stenosis yang berujung pada gagal jantung.b. Sebagai bahan informasi bagi pembaca yang ingin mendalami topik-topik lebih lanjut yang berkaitan dengan gagal jantung et causa mitral stenosis.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1.Gagal Jantung Kongestif2.1.1.DefinisiGagal jantung kongestif adalah keadaan dimana jantung tidak mampu untuk memompa darah dalam jumlah yang dibutuhkan untuk metabolisme tubuh. Atau dalam arti lain, gagal jantung adalah keadaan dimana jantung tidak lagi memompa darah ke jaringan untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh karena terdapatnya kelainan struktural atau fungsional pada jantung sehingga ejeksi ke seluruh jaringan terganggu. Gangguan fungsi jantung dapat berupa gangguan fungsi diastolik, gangguan irama jantung, atau ketidaksesuaian preload dan afterload. 2,3

2.1.2.EpidemiologiGagal jantung adalah penyebab paling sering terhadap kejadian hospitalisasi pada pasien lebih dari 65 tahun. Prevalensi gagal jantung meningkat seiring penambahan usia. Prevalensi populasi yang berumur kurang dari 55 tahun sebanyak 1-2% dan meningkat pada prevalensi populasi yang berumur lebih dari 75 tahun, yaitu sebesar 10%.7

2.1.3.EtiologiGagal jantung adalah komplikasi yang paling sering dari semua jenis penyakit jantung baik kongenital maupun didapat. Di negara maju, penyakit arteri koroner dan hipertensi merupakan penyebab tebanyak, sedangkan di negara berkembang yang menjadi penyebab terbanyak adalah penyakit jantung katup dan penyakit jantung akibat malnutrisi. Mekanisme fisiologis yang menyebabkan gagal jantung mencakup keadaan yang meningkatkan preload, afterload, atau menurunkan kontraktilitas miokardium. Secara umum mekanisme penyebab gagal jantung dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu akibat fungsi jantung yang terganggu dan akibat kerja jantung yang berlebih.

Tabel 2.1 Penyebab Gagal JantungFungsi jantung yang tergangguKerja yang berlebih

Penyakit miokardial Kardiomiopati Miokarditis Insufisiensi koroner Infark miokardPeningkatan kerja tekanan Hipertensi sistemik Hipertensi pulmonal Koartasi aorta

Penyakit katup jantung Penyakit jantung stenosis Penyakit jantung regurgitasiPeningkatan kerja volum AV shunt Pemberian cairan IV berlebih

Penyakit jantung bawaanPeningkatan kerja perfusi Tiroktoksikosis Anemia

Perikarditis konstriktif

2.1.4.Klasifikasi 2,3Klasifikasi gagal jantung menurut New York Heart Association (NYHA):1. NYHA kelas I : Tidak terdapat pembatasan pada aktivitas fisik. Aktifitas fisik sehari-hari tidak menimbulkan gejala-gejala seperti mudah lelah, palpitasi, dan dyspnoe.2. NYHA kelas II : Terdapat sedikit pembatasan pada aktivitas fisik sehari-hari. Penderita tidak mengalami keluhan apabila istirahat. Aktivitas fisik sehari-hari dapat mengakibatkan terjadinya dyspnoe, angina, mudah lelah dan palpitasi.3. NYHA kelas III : Terdapat pembatasan pada aktivitas fisik ringan yang jelas. Penderita tidak mengalami keluhan apabila istirahat. Aktivitas fisik yang ringan dapat menimbulkan sesak nafas, mudah lelah, angina, dan palpitasi.4. NYHA kelas IV : Penderita mengalami keluhan sesak nafas, angina, dan palpitasi pada saat pasien istirahat.

Klasifikasi stadium gangguan struktural pada jantung berdasarkan American College of Cardiology (ACC) dan The American Heart Association (AHA) :1.Tahap AMempunyai resiko tinggi terhadap perkembangan gagal jantung tetapi tidak menunjukkan struktur abnormal dari jantung.2.Tahap BAdanya struktur yang abnormal pada jantung pasien tetapi tidak dijumpai gejala.3.Tahap CAdanya struktur yang abnormal dari pasien dengan gejala awal gagal jantung.4.Tahap DPasien dengan gejala tahap akhir gagal jantung sulit diterapi dengan pengobatan standar.

2.1.5.PatofisiologiBeberapa mekanisme kompensasi tubuh terhadap CO yang berkurang adalah (1) mekanisme Frank-Starling, (2) perubahan neurohormonal, dan (3) hipertrofi ventrikel dan remodeling.Pada gagal jantung yang disebabkan oleh gangguan kontraktilitas ventrikel kiri, terjadi pengosongan ventrikel yang tidak sempurna. Sisa volume darah yang terakumulasi ini memicu peningkatan kontraksi, seperti hukum Frank-Starling. Walaupun begitu, mekanisme kompensasi ini mempunyai batas tertentu. Pada gagal jantung yang sudah berat, terjadi peningkatan EDV dan tekanan balik ke atrium kiri, dan dapat menyebabkan kongesti pulmoner dan edema.Tiga respon neurohormonal yang paling penting diantaranya (1) sistem adrenergik, (2) sistem renin-angiotensin-aldosteron, dan (3) peningkatan produksi ADH. Ketiga mekanisme ini membantu mempertahankan resistensi perifer dan tetap menstabilkan perfusi arteri ke organ vital. Aktivasi dari sistem saraf simpatis memperkuat kontraktilitas jantung, meningkatkan HR serta vasokonstriksi yang disebabkan oleh reseptor . Vasokontriksi arterial yang disebabkan oleh sistem ini meningkatkan resistensi pembuluh perifer dan mempertahankan tekanan darah (BP = CO x TPR).Sistem renin-angiotensin-aldosteron dimediasi dengan pengeluaran renin. Renin adalah enzim yang mengubah angiotensinogen menjadi angiotensin I, yang kemudian diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin II meningkatkan volume intravaskular melalui dua mekanisme: (1) dari hipotalamus merangsang rasa haus dan (2) dari korteks adrenal meningkatkan sekresi aldosteron. Aldosteron menyebabkan reabsorpsi sodium dari ginjal menuju ke sirkulasi. Sekresi ADH dari pituitari posterior disebabkan oleh peningkatan angiotensin II. ADH meningkatkan volume intravaskular dengan retensi cairan di nefron distal. Peningkatan volume ini meningkatkan preload dan CO. ADH juga menyebabkan vasokonstriksi sistemik.Stress pada jantung dapat menyebabkan hipertofi ventrikel kiri dan peningkatan tekanan sistolik jantung untuk mengkompensasi kelebihan afterload. Pola dari hipertrofi dan remodeling juga berbeda-beda berdasarkan overload volume atau tekanan kronik. Dilatasi ruang jantung yang disebabkan oleh kelebihan volum (mitral atau aorta regurgitasi) merangsang miosit memanjang. Oleh karena itu, radius dari ruang jantung membesar disertai dengan penebalan dinding, yang disebut hipertrofi eksentrik.Sedangkan dilatasi jantung yang disebabkan oleh kelebihan tekanan (hipertensi atau aorta stenosis) merangsang miosit membesar, yang disebut dengan hipertrofi konsentrik. 8

2.1.6.Gejala dan Tanda Klinis 2,3,9Pada gagal jantung kiri dapat ditemukan :Gejala klinis : Dyspnoe Orthopnoe Paroxysmal Nocturnal Dyspnoe (PND) FatigueTanda klinis : Diaforesis Takikardi Takipnoe Ronki paru P2 mengeras S3 gallopPada gagal jantung kanan dapat ditemukan : Tekanan vena jugular meningkat Hepatomegali Edema perifer

2.1.7.Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang 2,10,11Diagnosis gagal jantung dapat ditegakkan dengan menggunakan criteria Framingham. Kriteria ini membutuhkan sekurang-kurangnya 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dengan 2 kriteria minor. Kriteria Framingham adalah seperti berikut :Kriteria Mayor : Paroxysmal Nocturnal Dyspnoe (PND) Ronchi basah pada paru S3 Gallop Kardiomegali Peningkatan tekanan vena jugularis Penurunan berat badan > 4,5 kg dalam 5 hari dalam respon terapi Distensi vena leher Edema paru akut Hepatojugular refluksKriteria Minor : Edema ekstremitas Batuk atau sesak nafas pada malam hari Sesak nafas pada saat beraktivitas (DOE) Hepatomegali Asites Efusi Pleura Takikardia ( >120x/menit)Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mendiagnosis adanya gagal jantung adalah antara lain dengan foto thoraks, elektrokardiografi (EKG), ekokardiografi, pemeriksaan darah, angiografi, dan tes fungsi paru. Pada pemeriksaan foto thoraks dapat ditemukan adanya pembesaran silhouette jantung (cardiothoraxic ratio > 50 %), gambaran kongesti vena pulmonalis terutama di zona atas pada tahap awal, bila tekanan vena pulmonal > 20 mmHg, dapat timbul gambaran cairan pada fisura horizontal dan garis Kerley B pada sudut costophrenicus. Bila tekanan > 25 mmHg, didapatkan gambaran batwing pada lapangan paru yang menunjukkan adanya edema paru bermakna. Dapat pula tampak gambaran efusi pleura bilateral, tetapi bila unilateral, yang lebih banyak terkena adalah bagian kanan. Pada EKG 12 lead didapatkan gambaran abnormal pada hampir seluruh penderita gagal jantung, meskipun gambaran normal dapat dijumpai pada 10 % kasus. Gambaran yang sering didapatkan antara lain gelombang Q, abnormalitas ST-T, hipertrofi ventrikel kiri, bundle branch block, dan fibrilasi atrium. Bila gambaran EKG dan foto thoraks menunjukkan gambaran yang normal, kemungkinan gagal jantung sebagai penyebab dyspnea pada pasien sangat kecil kemungkinannya. EKG merupakan pemeriksaan non invasive yang sangat berguna pada gagal jantung. EKG dapat menunjukkan gambaran objektif mengenai struktur dan fungsi jantung. Penderita yang perlu dilakukan EKG adalah semua pasien dengan tanda gagal jantung, susah bernafas yang berhubungan dengan murmur, sesak yang berhubungan dengan fibrilasi atrium, serta penderita dengan resiko disfungsi ventrikel kiri (infark miokard anterior, hipertensi tidak terkontrol atau aritmia). EKG dapat mengidentifikasi gangguan fungsi sistolik, fungsi diastolik, mengetahui adanya gangguan katup, serta mengetahui resiko emboli.Pemeriksaan darah perlu dikerjakan untuk menyingkirkan anemia sebagai penyebab susah bernafas, dan untuk mengetahui adanya penyakit dasar, serta komplikasi. Pemeriksaan serum kreatinin perlu dikerjakan selain untuk mengetahui adanya gangguan ginjal, juga untuk mengetahui adanya stenosis arteri renalis apabila terjadi peningkatan serum kreatinin setelah pemberian ACE-inhibitor, dan diuretik dosis tinggi. Pada gagal jantung berat dapat terjadi proteinuria. Hipokalemia dapat terjadi pada pemberian diuretic tanpa suplementasi kalium dan obat potassium sparring. Hiperkalemia timbul pada gagal jantung berat dengan penurunan fungsi ginjal, penggunaan ACE-Inhibitor serta obat potassium sparring. Pada gagal jantung kongestif, tes fungsi hati (bilirubin,AST,LDH) gambarannya abnormal karena kongesti hati. Pemeriksaan profil lipid, albumin serum, fungsi tiroid dianjurkan sesuai kebutuhan.Troponin-I atau T harus diambil pada pasien yang diduga gagal jantung ketika klinis menunjukkan sebuah sindrom koroner akut (ACS). Sebuah peningkatan troponin jantung menunjukkan nekrosis miosit dan potensi revaskularisasi harus dipertimbangkan dan sesuai diagnosis. Peningkatan troponin juga terjadi di miokarditis akut. Peningkatan troponin jantung ringan sering terlihat pada gagal jantung parah atau selama episode gagal jantung dekompensasi pada pasien tanpa bukti miokard iskemik akibat ACS dan dalam situasi seperti sepsis. Angiografi dikerjakan pada nyeri dada berulang akibat gagal jantung. Angiografi ventrikel kiri dapat mengetahui gangguan fungsi yang baik global maupun segmental serta mengetahui tekanan diastolik, sedangkan kateterisasi jantung kanan untuk mengetahui takanan sebelah kanan (atrium kanan, vebtrikel kanan dan arteri pulmonalis) serta pulmonary artery capillary wedge pressure.

2.1.8Penatalaksanaan 2,10,11Penatalaksanaan non-farmakologis yang dapat dikerjakan antara lain adalah dengan menjelaskan kepada pasien mengenai penyakitnya, pengobatan serta pertolongan yang dapat dilakukan sendiri. Perubahan gaya hidup seperti pengaturan nutrisi dan penurunan berat badan pada penderita dengan obesitas. Pembatasan asupan garam, konsumsi alkohol, serta pembatasan asupan cairan perlu dianjurkan pada penderita terutama pada kasus gagal jantung kongestif berat. Penderita juga dianjurkan untuk berolahraga karena mempunyai efek yang positif terhadap otot skeletal, fungsi otonom, endotel serta neurohormonal dan juga terhadap sensitivitas terhadap insulin meskipun efek terhadap kelangsungan hidup belum dapat dibuktikan.

Farmakologis ACE inhibitorIndikasi :LVEF 40 %, tidak berpengaruh pada gejalaKontraindikasi : Riwayat angioedema Stenosis bilateral arteri ginjal Konsentrasi kalium serum > 5 mmol/l Serum kreatinin > 220 mol Stenosis aorta berat

BlockerIndikasi : LVEF 40 % Gejala ringan sampai berat (NYHA fungsional kelas II-IV), pasien dengan disfungsi LV sistolik tanpa gejala setelah MI juga memiliki indikasi untuk blocker Untuk meningkatkan dosis optimal suatu ACE-I atau ARB (dan aldosteron antagonis juga diindikasikan) Pasien harus secara klinis stabil (misalnya tidak ada perubahan terbaru dalam dosis diuretic)Kontraindikasi : Penyakit Asma Second or third degree heart block, sindrom sinus sakit, sinus bradikardia

Antagonis AldosteronIndikasi : LVEF 35% Gejala sedang sampai parah (fungsional NYHA kelas III-IV) Dosis optimal -Blocker dan ACE-I atau ARBKontraindikasi : Serum kalium > 5.0 mmol/L Serum keratin > 0,220 mol/L Bersamaan dengan suplemen kalium atau diuretik hemat kalium

Angiotensin Reseptor BlockerIndikasi : LVEF 40% Sebagai alternatif pada pasien dengan gejala ringan sampai berat (fungsional NYHA kelas II-IV) tidak toleran ACE-I Atau pada pasien dengan gejala persisten (NYHA kelas fungsional II-IV) meskipun perawatan dengan ACE-I dan -Blocker. ARB dapat menyebabkan perburukan fungsi ginjal, hiperkalemia, dan gejala hipotensi dengan kejadian yang mirip dengan ACE-I. Mereka tidak menyebabkan batuk.

Kontraindikasi : Seperti ACE-I, dengan pengecualian angiodema Pasien yang diobati dengan ACE-I dan antagonis aldosteron Sebuah ARB hanya boleh digunakan pada pasien dengan fungsi ginjal dan konsentrasi kalium serum normal, pemantauan elektrolit serum serial dan fungsi ginjal adalah wajib, terutama jika suatu ARB digunakan bersama dengan ACE-I

Hydralazine dan Isosorbide DinitrateIndikasi : Alternatif ke ACE-I /ARB ketika kedua yang disebut terakhir tidak ditoleransi Seperti add-on terapi ke ACE-I jika antagonis ARB atau aldosteron tidak ditoleransi Bukti yang kuat pada pasien keturunan Afrika-Amerika

Kontraindikasi : Gejala hipotensi Sindrom Lupus Gagal ginjal (pengurangan dosis mungkin diperlukan)

DigoxinDigoxin biasanya tidak diperlukan pada pasien stabil dengan ritme sinus. Sebuah perawatan harian dosis tunggal 0,25 mg umumnya digunakan pada orang dewasa dengan fungsi ginjal normal. Pada orang tua dan pada mereka dengan kerusakan ginjal, mengurangi dosis 0,125 atau 0,0625 mg harus dilakukan. Konsentrasi digoksin harus diperiksa awal selama terapi pada orang-orang dengan fungsi ginjal normal. Tidak ada bukti bahwa konsentrasi digoksin regular memberikan hasil yang lebih baik. Konsentrasi serum harus berada di antara 0,6 dan 1,2 mg/ml, lebih rendah dari yang direkomendasikan sebelumnya.

DiuretikDiuretik digunakan untuk mengeliminasi natrium dan air melalui ginjal dan menurunkan volume intravaskuler dan venous return pada jantung. Dengan itu, preload dari ventrikel kiri akan berkurang. Jenis-jenis diuretik yang sering digunakan bagi pasien gagal jantung adalah yang bekerja di lengkung Henle ginjal contohnya furosemide. Diuretik jenis Thiazide contohnya hydrochlorothiazide juga dapat digunakan namun kurang efektif.Efek samping dari diuretik yang digunakan adalah penurunan dari cardiac output yang berkepanjangan dan gangguan elektrolit tubuh (paling sering hipokalemia dan hipomagnesemia).

Transplantasi jantungTransplantasi jantung adalah pengobatan yang diterima untuk gagal jantung stadium akhir. Meskipun percobaan terkontrol belum pernah dilakukan, ada konsensus yang mengatakan bahwa transplantasi boleh dianjurkan asalkan kriteria seleksi yang tepat diterapkan. Transplantasi jantung secara signifikan meningkatkan kelangsungan hidup, kapasitas latihan, kembali bekerja, dan kualitas hidup dibandingkan dengan pengobatan konvensional. Pasien dengan gejala gagal jantung berat, prognosis yang buruk dan tanpa bentuk alternatif pengobatan harus dipertimbangkan untuk transplantasi jantung.

2.1.9.Prognosis 12Secara umum, mortalitas pasien yang dihospitalisasi dengan gagal jantung adalah 10,4% dalam 30 hari, 22% dalam 1 tahun dan 42,3% dalam 5 tahun. Tiap hospitalisasi meningkatkan mortalitas sekitar 20-22%. Pasien dengan NYHA kelas III atau IV, survival rate 1 tahun hanya mencapai 40%. Mortalitas naik disebabkan oleh aritmia ventrikel.

2.2. Penyakit Jantung Reumatik 13,142.2.1.Definisi Penyakit jantung reumatik adalah sebuah kondisi dimana terjadi kerusakan permanen dari katup-katup jantung yang disebabkan oleh demam reumatik. Penyakit jantung reumatik (PJR) merupakan komplikasi yang membahayakan dari demam reumatik (DR). Katup-katup jantung tersebut rusak karena proses perjalanan penyakit yang dimulai dengan infeksi tenggorokan yang disebabkan oleh bakteri Streptococcus hemoliticus tipe A (contoh: Streptococcus pyogenes), yang bisa menyebabkan demam reumatik. Kurang lebih 39 % pasien dengan demam reumatik akut bisa terjadi kelainan pada jantung mulai dari insufisiensi katup, gagal jantung, perikarditis bahkan kematian. Dengan penyakit jantung reumatik yang kronik, pada pasien bisa terjadi stenosis katup dengan derajat regurgitasi yang berbeda-beda, dilatasi atrium, aritmia dan disfungsi ventrikel.

2.2.2.PatogenesisHubungan antara infeksi infeksi Streptococcus hemolitik grup A dengan terjadinya DR telah lama diketahui. Demam reumatik merupakan respon autoimun terhadap infeksi Streptokokus hemolitik grup A pada tenggorokan. Respons manifestasi klinis dan derajat penyakit yang timbul ditentukan oleh kepekaaan genetik dari host, keganasan organisme dan lingkungan yang kondusif. Mekanisme patogenesis yang pasti sampai saat ini belum diketahui, tetapi peran antigen histokompatibiliti mayor, antigen jaringan spesifik potensial dan antibodi yang berkembang segera setelah infeksi streptokokus telah diteliti sebagai faktor resiko yang potensial dalam patogenesis penyakit ini. Terbukti sel limfosit T memegang peranan dalam patogenesis penyakit ini dan ternyata antigen tipe M dari Streptococcus grup A mempunyai potensi rheumatogenik. Beberapa serotipe biasanya mempunyai kapsul, berbentuk besar, koloni mukoid yang kaya dengan M-protein. M-protein adalah salah satu determinan virulensi bakteri, strukturnya homolog dengan myosin kardiak dan molecul alpha-helicalcoiled coil, seperti tropomyosin, keratin dan laminin. Laminin adalah matriksprotein ekstraseluler yang disekresikan oleh sel endothelial katup jantung dan bagian integral dari struktur katup jantung. Lebih dari 130 M protein sudah teridentifikasi dan tipe 1, 3, 5, 6, 14, 18, 19 dan 24 berhubungan dengan terjadinya DR. Superantigen streptokokal adalah glikoprotein unik yang disintesa oleh bakteri dan virus yang dapat berikatan dengan major histocompatibility complex molecules dengan nonpolymorphic V b-chains dari T-cell receptors. Pada kasus streptococcus banyak penelitian yang difokuskan pada peranan superantigen-like activity dari fragmen M protein dan juga streptococcal pyrogenic exotoxin, dalam patogenesis DR. Terdapat bukti kuat bahwa respons autoimun terhadap antigen streptococcus memegang peranan dalam terjadinya DR dan PJR pada orang yang rentan. Sekitar 0,3 3 persen individu yang rentan terhadap infeksi faringitis streptokokkus berlanjut menjadi DR. Data terakhir menunjukkan bahwa gen yang mengontrol low level respons antigen streptokokkus berhubungan dengan Class II human leukocyte antigen, HLA. Infeksi streptococcuus dimulai dengan ikatan permukaan bakteri dengan reseptor spesifik sel host dan melibatkan proses spesifik seperti pelekatan, kolonisasi dan invasi. Ikatan permukaan bakteri dengan permukaan reseptor host adalah kejadian yang penting dalam kolonisasi dan dimulai oleh fibronektin dan oleh streptococcal fibronectin-binding proteins. Faktor lingkungan seperti kondisi kehidupan yang jelek, kondisi tinggal yang berdesakan dan akses kesehatan yang kurang merupakan determinan yang signifikan dalam distribusi penyakit ini. Variasi cuaca juga mempunyai peran yang besar dalam terjadinya infeksi streptokokkus untuk terjadi DR.

2.2.3.Manifestasi KlinisDR/PJR merupakan kumpulan gejala terpisah-pisah dan kemudian menjadi suatu penyakit DR/PJR. Adapun gejala-gajalanya terdiri atas:1. ArtritisArtritis adalah gejala mayor yang paling sering ditemukan pada DR akut. Sendi yang dikenai berpindah-pindah tanpa cacat yang biasanya terjadi sendi besar seperti lutut, pergelangan kaki, paha, lengan, panggul, siku, dan bahu. Munculnya tiba-tiba dengan rasa nyeri meningkat 12-24 jam yang diikuti dengan reaksi radang. Nyeri ini akan hilang secara perlahan-lahan.Radang sendi ini jarang yang menetap lebih dari satu minngu sehingga terlihat sembuh sempurna. Proses migrasi sendi ini membutuhkan waktu 3-6 minggu. Sendi-sendi jari tangan dan kaki juga dapat dikenai.2. KarditisKarditis merupakan manifestasi klinis yang penting dengan insidensi 40-50%, atau berlanjut dengan gejala yang lebih berat yaitu gagal jantung. Kadang-kadang karditis itu asimptomatis dan terdeteksi saat adanya nyeri sendi. Karditis ini bisa hanya mengenai endokardium saja. Endokarditis terdeteksi saat adanya bising jantung. Katup mitral yang terbanyak dikenai dan dapat bersamaan dengan katup aorta. Adanya regurgitasi mitral ditemukan dengan bising sistolik yang menjalar ke aksila, dan kadang-kadang juga disertai bising mid-diastolik. Dengan ekokardiografi dua dimensi dapat dievaluasi kelainan anatomi jantung sedangkan dengan Doppler dapat menentukan kelainan fungsi dari jantung.3. ChoreaChorea ini didapatkan 10% dari DR yang dapat merupakan manifestasi klinis atau bersamaan dengan karditis. Masa laten infeksi SGA dengan chorea cukup lama yaitu 2-6 bulan atau lebih. Penderita dengan chorea ini datang dengangerakan-gerakan yang tidak terkoordinasi dan tidak bertujuan dan emosi labil.Manifestasi ini lebih nyata bila penderita bangun dan dalam keadaan stres.Penderita tampak selalu gugup dan seringkali menyeringai. Bicaranya tertahan-tahan dan meledak-ledak.

4. Eritema MarginatumEritema marginatum ini ditemukan kira-kira 5% dari pasien DR. Merupakan ruam yang khas untuk demam reumatik dan jarang ditemukan pada penyakit lain. Karena kekhasannya tanda ini dimasukkan dalam manifestasi mayor. Keadaan ini paling sering ditemukan pada batang tubuh dan tungkai yang jauh dari badan, tidak melibatkan muka. Ruam makin tampak jelas bila ditutup dengan handuk basah hangat atau mandi air hangat, sementara pada penderita berkulit hitam sukar ditemukan.

5. Nodul SubkutanBesarnya kira-kira 0,5-2 cm, bundar, terbatas, dan tidak nyeri tekan. Nodulus ini biasanya terletak pada permukaan ekstensor sendi, terutama ruas jari, lutut, dan persendian kaki. Kadang-kadang nodulus ini ditemukan pada kulit kepala dan di atas kolumna vertebralis.

2.2.4.DiagnosisUntuk menegakkan diagnosa pada tahun 1994 Jones menetapkan kriteria diagnosis atas dasar beberapa sifat dan gejala saja, yaitu sebagai berikut :Gejala majorGejala minor

Poliartritis Karditis Chorea Nodul Subkutan Eritema marginatum

Klinis: Athralgia Demam Riwayat pernah menderita DR/PJRLaboratorium : Peninggian reaksi fase akut(LED meningkat dan atau C reactive protein) Interval PR memanjang

Ditambah : bukti-bukti adanya suatu infeksi Streptokokus sebelumnya yaitu hapusan tenggorokan yang positif atau kenaikan titer tes serologi ASTO dan anti DNA-se B terutama pada anak/dewasa muda. Alloanamnesis pada orang tua dan keluarga sangat diperlukan.Bila terdapat adanya infeksi streptokokus sebelumnya maka diagnosis DR/PJR didasarkan adanya:1. Dua gejala mayor2. Satu gejala mayor dengan dua minor.Pada 20022003 WHO mengajukan kriteria untuk diagnosis DR dan PJR (berdasarkan kriteria Jones yang telah direvisi).

Revisi kriteria WHO ini memfasilitasi diagnosis untuk:1. a primary episode of RF2. recurrent attacks of RF in patients without RHD3. recurrent attacks of RF in patients with RHD4. rheumatic chorea (Insidious onset rheumatic carditis)5. chronic RHD

Kriteria DignosisKategori DiagnostikKriteria

Episode demam reumatikManifestasi 2 mayor atau 1 mayor + 2 minorDitambah dengan bukti adaya infeksi streptokokus grup A

Demam reumatik yang berulang pada pasien tanpa penyakit jantung reumatikManifestasi 2 mayor atau 1 mayor + 2 minorDitambah dengan bukti adaya infeksi streptokokus grup A

Demam reumatik yang berulang pada pasien dengan penyakit jantung reumatik2 Mayor ditambah dengan adanya infeksi streptokokus grup A

Reumatik ChoreaReumatik KarditisManifestasi mayor lainnya atau bukti adanya infeksi sterptokokus grup A tidak diperlukan

2.2.5 PenatalaksanaanPengobatan terhadap DR ditujukan pada 3 hal yaitu 1). Pencegahan primer pada saat serangan DR, 2). Pencegahan sekunder DR, 3). Menghilangkan gejala yang menyertainya, seperti tirah baring, penggunaan anti inflamasi,penatalaksanaan gagal jantung dan korea. Pencegahan primer bertujuan untuk eradikasi kuman streptokokus pada saat serangan DR dan diberikan fase awal serangan. Pencegahan sekunder DR bertujuan untuk mencegah serangan ulangan DR, karena serangan ulangan dapat memperberat kerusakan katup katup jantung dan dapat menyebabkan kecacatan dan kerusakan katup jantung. Pada serangan DR sering didapati gejala yang menyertainya seperti gagal jantung atau korea. Penderita gagal jantung memerlukan tirah baring dan anti inflamasi perlu diberikan pada penderita DR dengan manifestasi mayor karditis dan artritis.

1. Pencegahan Primer dan Sekunder Demam Reumatik Cara pemberianJenis AntibiotikDosisFrekuensi

Pencegahan primer: pengobatan terhadap faringitis streptokokus untuk mencegah serangan primer demam reumatik

IntramuskularBenzatin PNC G1,2 juta unit(600.000 unit untuk BB< 27 kg)

Satu kali

OralPenisilin V250 mg/400.000 unit4 kali sehariselama 10 hari

Eritromisin40 mg/kg BB/hari3-4 kali sehari (jangan lebih dari 1 gr/hari) selama 10 hari

Pencegahan sekunder : pencegahan berulangnya demam reumatik

IntramuskulerBenzatin PNC G1,2 juta unitSetiap 3-4 minggu

OralPenisilin VSulfadiazinEritromisin250 mg 500 mg250 mg2 kali sehariSekali sehari2 2 kali sehari

2. Petunjuk Tirah Baring dan AmbulansiHanya KarditisKarditis minimalKarditis sedangKarditis berat

Tirah baring2 minggu2-3 minggu4-6 minggu2-4 bulan

Ambulansi dalam rumah1-2 minggu2-3 minggu4-6 minggu2-3 bulan

Ambulansi luar 2 minggu2-4 minggu1-3 bulan2-3 bulan

Aktivitas penuhSetelah 4-6 mingguSetelah 6-10 mingguSetelah 3-6 bulanBervariasi

3. Rekomendasi Penggunaan Anti InflamasiHanya KarditisKarditis minimalKarditis sedangKarditis berat

Prednison002-4 minggu2-4 minggu

Aspirin1-2 minggu2-4 minggu6-8 minggu2-4 bulan

Dosis: Prednison 2 mg/kg BB/hari dibagi 4 dosisAspirin 100 mg/kg BB/hari dibagi 6 dosis* Dosis prednison ditappering dan aspirin dimulai selama minggu akhir+ Aspirin dapat dikurangi menjadi 60 mg/kg BB/hari setelah 2 minggu pengobatan

2.3.Stenosis Mitral 15,162.3.1.DefinisiMerupakan suatu keadaan di mana terjadi gangguan aliran darah dari atrium kiri melalui katup mitral oleh karena obstruksi pada level katup mitral. Kelainan struktur mitral ini menyebabkan gangguan pembukaan sehingga timbul gannguan pengisian ventrikel kiri pada saat diastole.

2.3.2.EpidemiologiBerdasarkan penelitian yang dilakukan di berbagai tempat di Indonesia, penyakit jantung katup menduduki urutan kedua setelah penyakit jantung koroner dari seluruh penyebab penyakit jantung. Angka pasti kejadian stenosis mitral tidak diketahui, namun pola etiologi penyakit jantung di Poliklinik Rumah Sakit Moehammad Hoesin Palembang selama 5 tahun (1990-1994) didapatkan angka 13,94 % dengan penyakit jantung katup.Dari hasil penelitian lain, didapati dua pertiga penderita stenosis mitral adalah wanita dan onset terjadi pada umur 30-an hingga 40-an.

2.3.3.EtiologiPenyebab tersering dari stenosis mitral adalah endokarditis reumatika, akibat reaksi yang progresif dari demam rematik oleh infeksi Streptococcus. Hampir 50% dari pasien dengan manifestasi klinis stenosis mitral memiliki riwayat demam rematik 20 tahun sebelum timbulnya gejala. Penyebab lainnya walaupun jarang yaitu stenosis mitral kongenital, vegetasi dari systemic lupus eritematosus (SLE), deposit amiloid, mucopolysaccharhidosis, rheumatoid arthritis (RA), Wipples disease, Fabry disease, akibat obat fenfluramin/phentermin, serta kalsifikasi annulus maupun daun katup pada usia lanjut akibat proses degeneratif.

2.3.4.PatologiPada stenosis mitral akibat demam reumatik akan terjadi proses peradangan (valvulitis) dan pembentukan nodul tipis di sepanjang garis penutupan katup. Proses ini akan menimbulkan fibrosis dan penebalan katup, kalsifikasi, fusi komisura, serta pemendekan khorda atau kombinasi dari proses tersebut. Keadaan ini akan menimbulkan distorsi dari apparatus mitral yang normal, mengecilnya area katup mitral menjadi seperti bentuk mulut ikan (fish mouth) atau lubang kancing (button hole).Fusi dari komisura akan menimbulkan penyempitan dari orifisium primer, sedangkan fusi khorda mengakibatkan penyempitan fusi sekunder. Pada endokarditis reumatika, daun katup dan khorda akan mengalami sikatrik dan kontraktur yang bersamaan dengan pemendekan khorda sehingga menimbulkan penarikan daun katup menjadi bentuk funnel shape. Proses perubahan patologi sampai terjadinya gejala kliis (periode laten) biasanya memakan waktu bertahun-tahun (10-20 tahun).

2.3.5.PatofisiologiPada keadaan normal area katup mitral mempunyai ukuran 4-6 cm. Bila area orifisium katup ini berkurang sampai 2 cm, maka diperlukan upaya aktif atrium kiri berupa peningkatan tekanan atrium kiri agar aliran transmitral yang normal tetap terjadi. Stenosis mitral kritis terjadi apabila pembukaan katup berkurang hingga menjadi 1 cm. Pada tahap ini, dibutuhkan suatu tekanan atrium kiri sebesar 25 mmHg untuk mempertahankan cardic output yang normal.Gradien transmitral merupakan hallmark stenosis mitral selain luasnya area katup mitral. Derajat berat ringannya stenosis miral, selain berdasarkan gradient transmitral, dapat juga ditentukan oleh luasnya area katup mitral, serta hubungan antara lamanya waktu antara penutupan katup aorta dan kejadian opening snap. Berdasarkan luasnya area katup mitral derajat stenosis mitral adalah sebagai berikut:1. Minimal : bila area > 2.5 cm2. Ringan : bila are 1,4-2,5 cm3. Sedang : bila area 1-1,4 cm4. Berat : bila area< 1,0 cm5. Reaktif : bila area < 1,0 cmKeluhan dan gejala stenosis mitral mulai akan muncul bila luas area katup mitral menurun sampai seperdua normal (< 2-2,5 cm). Hubungan antara gradien dan luasnya area katup serta waktu pembukaan katup.

Derajat stenosisA2-Os intervalAreaGradien

Ringan>110 msec>1,5 cm1 dan 1,5 cm2, trombus di atrial kiri, regurgitasi mitral derajat sedang atau lebih, kalsifikasi berat di komisura, tanpa ada fusi komisura, bersamaan dengan kelainan katup aorta berat, kombinasi stenosis/regurgitasi berat tricuspid, PJK yang memerlukan bedah pintas koroner

b. Intervensi bedah1. Tindakan bedah perbaikan (repair) katup mitral.Indikasi intervensi repair katup mitral menurut guideline ACC/AHA adalah sebagai berikut:IndikasiKelas

1. Pasien dengan NYHA fungsional III-IV, stenosis mitral sedang-berat, dengan resiko operasi yang dapat diterima ketika PMBV tidak tersedia, kontraindikasi PMBV karena thrombus di atrium kiri (setelah sebelumnya diberikan terapi antikoagulan), atau karena morfologi katup tidak memenuhi syarat untuk PMBV.2. Pasien asimptomatik dengan stenosis mitral sedang-berat dan morfologi katup memungkinkan untuk dilakukan repair, yang memiliki riwayat emboli berulang meskipun mendapat terapi antikoagulan yang adekuat.3. Repair katup mitral tidak diindikasikan pada stenosis mitral yang ringanI

II b

III

2. Tindakan bedah penggantian (replacement) katup mitral.Indikasi intervensi repair katup mitral menurut guideline ACC/AHA adalah sebagai berikut:

IndikasiKelas

a. Pasien simptomatik dengan stenosis mitral sedang-berat yang juga disertai dengan regurgitasi mitral sedangberat, harus menjalani penggantian (replacement) katup mitral.b. Pasien dengan stenosis mitral berat dan hipertensi pulmonal berat (tekanan sistolik PA >60 - 80 mm Hg) dengan fungsi jantung sesuai NYHA kelas I-II, dan morfologi katup tidak memungkinkan untuk dilakukan repair atau PMBV.

I

II a

2.3.9.PrognosisAngka 10 tahun survival pada stenosis mitral yang tidak diobati berkisar 50-60%, bila tidak disertai keluhan atau minimal, angka meningkat 80%. Pada kelompok pasien dengan kelas III-IV prognosis jelek dimana angka hidup dalam 10 tahun