iklim organisasi.pdf

68
15 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini akan diuraikan mengenai landasan teoritis yang terdiri dari pengertian, teori, aspek/dimensi, faktor-faktor yang memengaruhi dan peran iklim organisasi dan motivasi kerja terhadap kepuasan kerja. Selain itu, dijelaskan juga tentang hasil-hasil penelitian terdahulu, model penelitian, dan hipotesis penelitian. 2.1. KEPUASAN KERJA 2.1.1. Pengertian Kepuasan Kerja Menurut Robbins dan Judge (2008), kepuasan kerja adalah sebagai suatu sikap umum individu terhadap pekerjaannya. Pekerjaan menuntut interaksi dengan rekan kerja, atasan, peraturan dan kebijakan organisasi, standar kinerja, kondisi kerja dan sebagainya. Individu dengan tingkat kepuasan kerja yang tinggi menunjukkan sikap positif terhadap pekerjaan, sebaliknya individu yang tidak puas dengan pekerjaannya menunjukkan sikap negatif terhadap pekerjaan tersebut. Senada dengan itu, Locke (dalam Luthans, 2011) menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah suatu keadaan emosional yang menyenangkan atau positif yang dihasilkan dari penilaian atau pengalaman seseorang terhadap pekerjaannya. Dalam hal ini, dipahami bahwa kepuasan kerja mencerminkan perasaan seseorang terhadap pekerjaannya. Kepuasan kerja pada dasarnya merujuk pada seberapa besar seorang pegawai menyukai pekerjaannya (dalam Cherington, 2007). Sementara itu, Singh (dalam Jain, Jabeen, Mishra, & Gupta, 2007) mengatakan bahwa kepuasan kerja adalah bagian dari kepuasan hidup seseorang secara umum sebagai reaksi afektif yang terkait dengan perasaan karyawan terhadap pekerjaannya, supervisi, rekan kerja, gaji, kemajuan karirnya saat ini, dan masa depannya.

Upload: bebeb-yepi

Post on 03-Feb-2016

83 views

Category:

Documents


12 download

TRANSCRIPT

Page 1: iklim organisasi.pdf

15

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab ini akan diuraikan mengenai landasan teoritis yang

terdiri dari pengertian, teori, aspek/dimensi, faktor-faktor yang

memengaruhi dan peran iklim organisasi dan motivasi kerja terhadap

kepuasan kerja. Selain itu, dijelaskan juga tentang hasil-hasil penelitian

terdahulu, model penelitian, dan hipotesis penelitian.

2.1. KEPUASAN KERJA

2.1.1. Pengertian Kepuasan Kerja

Menurut Robbins dan Judge (2008), kepuasan kerja adalah sebagai

suatu sikap umum individu terhadap pekerjaannya. Pekerjaan menuntut

interaksi dengan rekan kerja, atasan, peraturan dan kebijakan organisasi,

standar kinerja, kondisi kerja dan sebagainya. Individu dengan tingkat

kepuasan kerja yang tinggi menunjukkan sikap positif terhadap pekerjaan,

sebaliknya individu yang tidak puas dengan pekerjaannya menunjukkan

sikap negatif terhadap pekerjaan tersebut. Senada dengan itu, Locke

(dalam Luthans, 2011) menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah suatu

keadaan emosional yang menyenangkan atau positif yang dihasilkan dari

penilaian atau pengalaman seseorang terhadap pekerjaannya. Dalam hal

ini, dipahami bahwa kepuasan kerja mencerminkan perasaan seseorang

terhadap pekerjaannya. Kepuasan kerja pada dasarnya merujuk pada

seberapa besar seorang pegawai menyukai pekerjaannya (dalam

Cherington, 2007). Sementara itu, Singh (dalam Jain, Jabeen, Mishra, &

Gupta, 2007) mengatakan bahwa kepuasan kerja adalah bagian dari

kepuasan hidup seseorang secara umum sebagai reaksi afektif yang terkait

dengan perasaan karyawan terhadap pekerjaannya, supervisi, rekan kerja,

gaji, kemajuan karirnya saat ini, dan masa depannya.

Page 2: iklim organisasi.pdf

16

Kepuasan kerja merupakan salah satu elemen yang cukup penting

karena berpengaruh pada produktivitas suatu organisasi secara langsung

maupun tidak langsung serta merangsang semangat kerja dan loyalitas

pegawai dalam bekerja. Menurut Smith, Jones, dan Blair (2000), kepuasan

kerja sebagai serangkaian perasaan senang atau tidak senang dan emosi

seorang pegawai yang berkenaan dengan pekerjaannya sehingga

merupakan penilaian pegawai terhadap perasaan menyenangkan, positif

atau tidak terhadap pekerjaannya. Hal senada pula di ungkapkan Handoko

(2000) bahwa kepuasan kerja merupakan keadaan emosional yang

menyenangkan atau tidak menyenangkan dengan mana para karyawan

memandang pekerjaan mereka. Dalam hal ini, dapat dipahami bahwa

kepuasan kerja mencerminkan perasaan seseorang terhadap pekerjaannya

yang nampak dari sikap positif pegawai terhadap pekerjaan dan segala

sesuatu yang berhubungan dengan lingkungan kerjanya.

Dalam suatu kesempatan, Wexley dan Yukl (dalam Muhaimin,

2004) menyatakan bahwa kepuasan kerja sebagai perasaan seseorang

terhadap pekerjaannya. Kepuasan kerja secara umum merupakan sikap

terhadap pekerjaan yang didasarkan pada evaluasi terhadap aspek-aspek

yang berbeda bagi pekerja. Sikap seseorang terhadap pekerjaannya

tersebut menggambarkan pengalaman-pengalaman yang menyenangkan

atau tidak menyenangkan dalam pekerjaan dan harapan-harapan mengenai

pengalaman mendatang.

Sehubungan dengan pernyataan di atas, ada ungkapan yang

mengatakan bahwa kepuasan kerja adalah apa yang dirasakan orang

tentang banyak aspek dalam pekerjaan mereka. Aspek tersebut meliputi

gaji, kondisi kerja, rekan kerja, pengawasan, dan kesempatan promosi.

Pernyataan tersebut dinyatakan oleh Bruce dan Mc. Afee (1987:40),

sebagai berikut:

Page 3: iklim organisasi.pdf

17

Job satisfaction refers to how people feel about variousaspects of their job. Those aspect include pay, workingconditions, co-workers, supervision and promotionaloppurtunities.

Selain itu, ada ungkapan yang menyatakan bahwa kepuasan kerja

berarti perasaan positif dan negatif dan sikap kita mengenai pekerjaan kita.

Hal ini tergantung dari banyak faktor kerja, berkisar dari kapan kita dapat

merasakan apa yang kita dapat dari tugas sehari-hari. Faktor personal juga

dapat memengaruhi kepuasan kerja. Faktor ini meliputi usia, kesehatan,

jangka waktu dari masa percobaan, kestabilan, emosi, status sosial,

aktifitas yang menyenangkan, dan keluarga serta hubungan sosial lainnya.

Setiap motivasi dan aspirasi dan perasaan puas dengan tiap pekerjaan juga

berpengaruh pada kerja dan sikap terhadap pekerjaan tersebut. Pendapat

ini dijelaskan oleh Schultz dan Schultz (1998:271), sebagai berikut:

Job satisfaction refers to the positive and negative feelings andattitudes we hold about our jobs, it depends on many work-related factors, ranging from where we have to park to thesense fulfillment we get from our daily tasks. Personal factorscan influence job satisfaction. These factors include age,health, length of the job experience, emotional stability, socialstatus, leisure activities, and family and other socialrelationships. Our motivations and aspirations and how wellthese are satisfied by our work also affect our attitudes towardour job.

Kepuasan kerja pada dasarnya merupakan hal yang bersifat

individual, setiap individu akan memiliki tingkat kepuasan yang berbeda-

beda dengan sistem nilai yang berlaku pada dirinya. Hal ini disebabkan

karena adanya perbedaan masing-masing individu. Semakin banyak aspek-

aspek dalam pekerjaan yang sesuai dengan keinginan individu tersebut,

semakin tinggi kepuasan yang dirasakannya, dan sebaliknya bila semakin

sedikit aspek-aspek dalam pekerjaan yang sesuai dengan keinginan

individu, maka makin rendah tingkat kepuasannya (dalam As’ad, 2004).

Page 4: iklim organisasi.pdf

18

Dari beberapa pengertian di atas, penulis menyimpulkan bahwa

kepuasan kerja adalah perasaan seorang pegawai terhadap pekerjaannya

baik positif atau puas maupun negatif atau ketidakpuasan terhadap lima

aspek pekerjaan yaitu gaji, kesempatan promosi, rekan kerja, pengawasan,

dan pekerjaan itu sendiri.

2.1.2. Teori Kepuasan Kerja.

1. Teori Keadilan (Equity Theory)

Teori ini dikembangkan oleh John Stacy Adams. Prinsip dari teori

ini adalah bahwa orang akan merasa puas atau tidak puas, tergantung

apakah ia merasakan adanya keadilan (equity) atau tidak atas suatu situasi.

Perasaan equity dan inequity atas suatu situasi, diperoleh individu dengan

cara membandingkan dirinya dengan orang lain yang sekelas, sekantor

maupun di tempat lain. Menurut teori ini elemen-elemen dari equity ada

tiga yaitu: input, outcome, comparison, dan equity-in-equity. Input ialah is

anything of value that an employee perceives that the contributes to his

job. Ini berarti input ialah segala sesuatu yang berharga yang dirasakan

karyawan sebagai sumbangan terhadap pekerjaan. Dalam hal ini misalnya:

education, experience, skills, amount of effort expected, number of hours

worked, and personal tools dan sebagainya. Adapun yang dimaksud

outcomes adalah is anything of value that the employee perceives he

obtains from the job. Ini berarti outcomes adalah segala sesuatu yang

berharga, yang dirasakan karyawan sebagai “hasil” dari pekerjaannya

seperti misalnya: pay, fringe benefits, status symbols, recognition,

opportunity for achievement or self-expression. Sedangkan yang dimaksud

dengan comparison persons ialah kepada orang lain dengan siapa

karyawan membandingkan ratio input-outcomes yang dimilikinya.

Comparison persons ini bisa berupa seseorang di perusahaan yang sama,

Page 5: iklim organisasi.pdf

19

atau di tempat lain, atau bisa pula dengan dirinya sendiri di waktu lampau

(the comparison person may be someone in the same organization,

someone in a different organization, or even the person himself in a

previous job). Menurut teori ini, setiap karyawan akan membandingkan

ratio input – outcomes dirinya dengan ratio input – outcomes orang lain

(comparison persons). Bila perbandingan itu dianggapnya cukup adil

(equity), maka ia akan merasa puas. Bila perbandingan itu tidak seimbang

tetapi menguntungkan (over compensation inequity), bisa menimbulkan

kepuasan tetapi bisa pula tidak (misalnya pada orang yang moralis). Tetapi

bila perbandingan itu tidak seimbang dan merugikan (under compensation

in-equity), akan timbul ketidakpuasan (Wexley & Yukl, dalam As’ad,

2004).

2. Teori Kesesuaian (Discrepancy Theory)

Menurut Locke, teori ketidaksesuaian mengungkapkan bahwa

kepuasan atau ketidakpuasan dari beberapa aspek pekerjaan menggunakan

dasar pertimbangan dua nilai (values), yaitu: 1). Kesesuaian yang

dipersepsikan antara apa yang diinginkan individu dengan apa yang dia

terima dalam kenyataannya dan (2). Apa pentingnya pekerjaan yang

diinginkan oleh individu tersebut. Kepuasan kerja secara keseluruhan bagi

individu adalah jumlah dari kepuasan kerja dari setiap aspek pekerjaan

dikalikan dengan derajat pentingnya aspek pekerjaan individu. Contohnya:

seorang supervisor mempunyai keinginan lebih mengutamakan aspek

kenaikan jabatan dari pada kenaikan gaji, maka supervisor tersebut akan

memberi rangking yang lebih tinggi pada aspek kenaikan jabatan

dibanding dengan kenaikan gaji (dalam Wijono, 2010).

Page 6: iklim organisasi.pdf

20

3. Model dari Kepuasan Bidang/ Bagian (Facet Satisfaction).

Wijono (2010) menuliskan bahwa kepuasan bidang menurut model

Lawler mempunyai kaitan erat dengan teori keadilan J. Adam. Model

Lawler mengatakan bahwa individu akan merasa puas terhadap bidang

tertentu dari pekerjaan mereka (misalnya: hubungan antara rekan kerja,

atasan dan bawahan, dan atau gaji). Individu dapat menerima dan

melaksanakan pekerjaannya dengan senang hati dalam bidang yang dia

persepsikan, maka hasilnya akan sama dengan jumlah yang dia

persepsikan dari yang secara aktual mereka terima.

Jumlah dari bidang yang dipersepsikan individu akan menjadi

sesuai tergantung dari bagaimana individu mempersepsikan nilai dari

pekerjaan dan karakteristik pekerjaannya. Selain itu, persoalan yang perlu

dipertanyakan adalah bagaimana individu mempersepsikan “input and

output” dari orang lain yang digunakan sebagai pembanding bagi dirinya

sendiri. Akhirnya, jumlah dari bidang yang dipersepsikan orang terhadap

apa yang individu terima secara nyata tergantung dari hasil output yang

secara nyata individu terima dan hasil output yang dipersepsikan dari

orang dengan siapa individu akan membandingkan dirinya sendiri (dalam

Wijono, 2010).

4. Teori Proses Bertentangan (Opponent-Process Theory).

Dalam teori proses-bertentangan Landy (dalam Munandar, 2010)

memandang kepuasan kerja dari perspektif yang berbeda secara mendasar

daripada pendekatan yang lain. Teori ini memberi tekanan bahwa individu

ingin mempertahankan keseimbangan emosional (emotional equilibrium).

Dalam teori proses-bertentangan mengasumsikan bahwa kondisi

emosional yang ekstrem tidak memberikan kemaslahatan. Kepuasan atau

ketidakpuasan kerja menimbulkan mekanisme fisiologis dalam system

pusat saraf yang membuat aktif emosi yang berlawanan. Kesimpulan

Page 7: iklim organisasi.pdf

21

sementara (hipotesis) menunjukkan bahwa emosi tersebut akan terus ada

dalam jangka waktu relatif lama. Misalnya, individu merasa takut gagal

dalam tugas yang diberikan oleh atasannya. Walaupun dalam

kenyataannya, dia sering kali berhasil dalam menyelesaikan tugasnya.

Atas keberhasilannya tersebut dia menjadi senang dan bangga. Jadi, antara

rasa senang dan bangga karena sering berhasil dalam tugasnya, tetapi dia

masih mempunyai rasa takut. Hal ini menjadi beban psikologis bagi

dirinya (pertentangan).

Teori ini menjelaskan bahwa jika individu memperoleh

keberhasilan dalam pekerjaannya, maka individu akan merasa senang

sekaligus takut gagal atau tidak senang (yang lebih lemah). Setelah

beberapa saat perasaan senang dan bangga berangsur-angsur menjadi turun

dan semakin melemah sehingga individu akan merasa gagal atau sedih

sebelum kembali dalam kondisi yang normal. Hal ini terjadi karena

keadaan emosi tidak senang (emosi yang berlawanan berlangsung lama).

Atas dasar asumsi bahwa kepuasan kerja bervariasi secara mendasar dari

waktu ke waktu, akibatnya adalah bahwa pengukuran kepuasan kerja perlu

dilakukan secara terus menerus dan periodik sesuai dengan rentang waktu

secara interval. Asumsi ini dibuat untuk meminimalisir kondisi kepuasan

kerja yang dipengaruhi oleh emosi yang berlawanan sesuai dengan interval

rentang waktu terjadinya (dalam Wijono, 2010).

5. Teori Dua Faktor (Two Factor Theory)

Teori dua faktor (two factor theory) yang dikemukakan oleh

seorang psikolog bernama Frederick Herzberg (dalam Thoha, 2009).

Dalam teori ini menjelaskan bahwa kepuasan bekerja itu selalu

dihubungkan dengan isi jenis pekerjaan (job content) dan ketidakpuasan

bekerja selalu disebabkan karena hubungan pekerjaan tersebut dengan

aspek-aspek disekitar yang berhubungan dengan pekerjaan (job context).

Page 8: iklim organisasi.pdf

22

Kepuasan bekerja oleh Herzberg disebut Motivator dan ketidakpuasan

bekerja disebut Hygiene. Dari kedua istilah inilah yang dinamakan teori

dua faktor. Adapun penjelasan dari dua faktor sebagai berikut (dalam

Thoha, 2009):

1. Faktor motivasi (motivator) yang menyangkut kebutuhan psikologis

yang berhubungan dengan penghargaan terhadap individu yang secara

langsung berkaitan dengan pekerjaannya (elemen pekerjaan itu

sendiri) dan merupakan sumber kepuasan kerja. Faktor-faktor tersebut

mencakup :

a Pekerjaan itu sendiri (The work itself) menyangkut karakteristik

dari pekerjaan, yaitu apakah pekerjaan tersebut menantang,

menarik ataukah justru membosankan.

b Prestasi kerja (Achievement) yaitu adanya kesempatan untuk

menunjukkan prestasi yang lebih baik dari sebelumnya, yang

diperoleh melalui usaha dan kemampuan.

c Promosi (Promotion) yaitu tersedianya kesempatan untuk

berkembang dalam pekerjaan dan jabatan.

d Pengakuan (Recognition) adalah adanya penghargaan dan

pengakuan atas prestasi kerja melalui umpan balik yang diterima.

e Tanggung jawab (Reponsibility) adalah kewajiban menjalankan

fungsi jabatan dan tugas yang sesuai dengan kemampuannya serta

pengarahan yang diterima.

2. Faktor-faktor pemeliharaan (maintenance factors) atau dikenal juga

dengan hygene factors atau dissatisfier. Merupakan faktor-faktor yang

berhubungan ketidakpuasan kerja dan merupakan suatu faktor

ekstrinsik, yang berkaitan dengan keadaan pekerjaan. Faktor-faktor

ini mencakup:

Page 9: iklim organisasi.pdf

23

a Rekan kerja (co-worker) yang dimaksud adalah apakah dalam

bekerja rekan-rekan kerja dapat diajak bekerjasama, memiliki

kompetensi, bersahabat, dan saling tolong- menolong.

b Gaya penyeliaan (quality and technical support). Gaya penyeliaan

yang dimaksud adalah kualitas dan bentuk pengawasan,

pengarahan dan pembimbingan yang diterima dari atasan.

c Hubungan antar karyawan (relations with others) yakni adanya

kerja sama antar bawahan dan atasan dalam hal tolong menolong

dan saling memberikan dorongan.

d Kondisi lingkungan fisik kerja (psychological working conditions)

meliputi kondisi lingkungan baik tempat bekerja, seperti

penerangan, temperatur, kualitas udara, serta peralatan kerja.

e Kebijaksanaan perusahaan (company policies) termasuk di

dalamnya mengenai administrasi, dan prosedur kerja yang

diterapkan perusahaan, peraturan-peraturan kebijaksanaan

perusahaan, dan tindakan yang diambil perusahaan untuk

kepentingan karyawan.

f Gaji (salary pay) yang dimaksud adalah imbalan jasa berupa uang

yang dibawa oleh karyawan sesuai dengan jenis dan beban

pekerjaan yang dilaksanakan.

g Keamanan kerja (job security) berupa kejelasan dari pekerjaan

yang dipegang, kelangsungan pekerjaan, jaminan hari tua,

tunjangan-tunjangan, tingkat kepangkatan, serta kedudukan dalam

organisasi.

Berdasarkan teori yang telah di uraikan di atas, maka teori

kepuasan kerja yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah teori

kepuasan kerja berdasarkan konsep Herzberg (dalam Thoha, 2009) yakni

teori dua faktor (Two Factor Theory). Penggunaan teori kepuasan kerja

Page 10: iklim organisasi.pdf

24

tersebut disesuaikan dengan tujuan penelitian ini yakni untuk menjelaskan

kepuasan kerja pegawai Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi

Nusa Tenggara Timur di Kupang dengan tujuan untuk melihat kepuasan

kerja pegawai melalui dua faktor tersebut. Pada prinsipnya teori ini

menjelaskan bahwa kepuasan dalam bekerja itu selalu dihubungkan

dengan isi jenis pekerjaan (job content) dan ketidakpuasan bekerja selalu

disebabkan karena hubungan pekerjaan tersebut dengan aspek-aspek

disekitar yang berhubungan dengan pekerjaan (job context).

2.1.3. Aspek-aspek Kepuasan Kerja.

Menurut Mas`ud (dalam Mahesa, 2010), ada dua komponen

kepuasan kerja, yaitu: pertama, kepuasan intrinsik meliputi variasi tugas,

kesempatan berkembang, kesempatan menggunakan kemampuan dan

ketrampilan, otonomi, kepercayaan, pekerjaan yang menantang dan

bermakna. Kedua, kepuasan ekstrinsik, meliputi gaji (upah) yang

diperoleh, supervisi, jaminan kerja, status dan prestise. Sedangkan

menurut Ward dan Sloane (dalam Koesmono, 2005), elemen yang

termasuk dalam kepuasan adalah: 1). Hububungan dengan rekan kerja, 2).

Hubungan dengan pimpinan, 3). Kemampuan dan efisiensi pimpinan, 4).

Jam kerja, 5). Kesempatan berinsiatif, 6). Kesempatan promosi, 7). Gaji,

8). Keamanan kerja, 9). Pekerjaan itu sendiri, 10). Keseluruhan kepuasan

kerja.

Sementara itu, Ruvendi (2005) mengemukakan indikator kepuasan

atau ketidakpuasan kerja pegawai dapat diperlihatkan oleh beberapa aspek

di antaranya:

a. Jumlah kehadiran pegawai atau jumlah kemangkiran.

b. Perasaan senang atau tidak senang dalam melaksanakan pekerjaan.

c. Perasaan adil atau tidak adil dalam menerima imbalan.

Page 11: iklim organisasi.pdf

25

d. Suka atau tidak suka dengan jabatan yang dipegangnya.

e. Sikap menolak pekerjaan atau menerima dengan penuh tanggung

jawab.

f. Tingkat motivasi para pegawai yang tercermin dalam perilaku

pekerjaan.

g. Reaksi positif atau negatif terhadap kebijakan organisasi.

h. Unjuk rasa atau perilaku deskruptif lainnya.

Selanjutnya, Cellucci dan DeVries (dalam Koh & Boo, 2001)

mengembangkan pengukuran kepuasan kerja yang disebut Job Satisfaction

Questionnaire (JSQ) dengan menggunakan lima aspek kepuasan kerja

yakni kepuasan terhadap gaji, kepuasan terhadap promosi, kepuasan

terhadap rekan kerja, kepuasan terhadap penyelia/ atasan dan kepuasan

terhadap pekerjaan itu sendiri. Berikut ini penjelasan dari kelima aspek

sebagai berikut:

a. Kepuasan terhadap gaji (satisfaction with pay) merupakan hal yang

berhubungan dengan gaji yang diberikan lembaga dibandingkan

dengan lembaga yang lain, mempertimbangkan gaji dengan tanggung

jawab dan tunjangan-tunjangan yang memuaskan di tempat kerja.

Penelitian Theriault (dalam Mahesa, 2010), menyatakan kepuasan

kerja merupakan fungsi dari jumlah absolute dari gaji yang diterima,

derajat sejauh mana gaji memenuhi harapan-harapan tenaga kerja, dan

bagaimana gaji diberikan. Upah dan gaji diakui merupakan faktor

yang signifikan terhadap kepuasan kerja.

b. Kepuasan terhadap promosi (satisfaction with promotions) merupakan

hal yang berhubungan dasar atau sistem promosi di tempat kerja dan

tingkat kemajuan karir pegawai yang bekerja dalam suatu lembaga.

Luthans (2011) mengemukakan kesempatan promosi sepertinya

memiliki pengaruh yang berbeda pada kepuasan kerja. Hal ini

Page 12: iklim organisasi.pdf

26

dikarenakan promosi memiliki sejumlah bentuk yang berbeda dan

memiliki berbagai penghargaan. Misalnya, individu yang

dipromosikan atas dasar senioritas sering mengalami kepuasan kerja,

tetapi tidak sebanyak orang yang dipromosikan atas dasar kinerja.

c. Kepuasan terhadap rekan kerja (satisfaction with co-workers)

merupakan hal yang berhubungan dengan dukungan rekan kerja dan

kerja sama dari rekan kerja. Sifat alami dari rekan kerja akan

memengaruhi kepuasan kerja. Luthans (2011) mengungkapkan bahwa

pada umumnya, rekan kerja yang kooperatif merupakan sumber

kepuasan kerja yang paling sederhana pada karyawan secara individu.

Kelompok kerja yang kuat akan bertindak sebagai sumber dukungan,

kenyamanan, nasihat, dan bantuan pada anggota individu. Penelitian

terbaru mengindikasikan bahwa kelompok kerja yang memerlukan

saling ketergantungan antar anggota dalam menyelesaikan pekerjaan,

akan memiliki kepuasan kerja yang lebih tinggi. Kelompok kerja yang

baik atau efektif akan membuat pekerjaan menjadi menyenangkan.

Sebaliknya, jika kondisi di mana orang sulit bekerja sama maka faktor

itu mungkin memiliki efek negatif pada kepuasan kerja.

d. Kepuasan terhadap supervisi/ pengawasan (satisfaction with

supervisors) merupakan hal ini berhubungan dengan dukungan dari

atasan, atasan yang memiliki kompeten di bidangnya, sikap tidak

mendengar pendapat dan perlakuan yang tidak adil oleh atasan.

Pengawasan atau supervisi merupakan sumber penting lain dari

kepuasan kerja. Akan tetapi, untuk saat ini dapat dikatakan bahwa

gaya pengawasan memengaruhi kepuasan kerja. Gaya pengawasan

yang berpusat pada karyawan, diukur menurut tingkat di mana

penyelia menggunakan ketertarikan personal dan peduli pada

karyawan (dalam Luthans, 2011).

Page 13: iklim organisasi.pdf

27

e. Kepuasan terhadap pekerjaan itu sendiri (satisfaction with work it

self) berkaitan dengan perasaan pegawai yang tertarik dengan

pekerjaan, rasa senang dengan jumlah beban pekerjaan dan kurang

prestasi pegawai dalam mengerjakan tugas. Hal ini diperkuat Luthans

(2011) bahwa pekerjaan itu sendiri merupakan sumber utama

kepuasan. Umpan balik dari pekerjaan itu sendiri dan otonomi

merupakan dua faktor motivasi utama yang berhubungan dengan

pekerjaan.

Dari lima aspek yang telah di paparkan di atas, Robbins dan Judge

(2008) menuliskan bahwa lima aspek kepuasan kerja yang terdiri dari

kepuasan terhadap gaji, promosi, rekan kerja, supervisi dan pekerjaan itu

sendiri merupakan aspek yang dinilai berdasarkan skala standar kepuasan

kerja yang kemudian dijumlahkan untuk mendapatkan nilai serta paling

berkaitan erat dengan tingkat kepuasan kerja yang tinggi secara

keseluruhan.

Berdasarkan aspek-aspek yang telah dikemukakan di atas maka

dalam penelitian ini, penulis menggunakan lima aspek kepuasan kerja

menurut Cellucci dan DeVries yang dikutip dari Koh dan Boo (2001).

Alasan dipilihnya aspek kepuasan kerja dari Koh dan Boo (2001) adalah

karena aspek-aspek tersebut sesuai dengan teori Herzberg yang sangat

relevan dengan kondisi yang ada di dalam kantor Disperindag Provinsi

NTT di Kupang secara khusus sesuai dengan karakteristik pegawai yang

bekerja pada kantor tersebut yang dipengaruhi oleh gaji yang diterima,

promosi, rekan kerja, supervisi/pengawasan oleh atasan dan persepsi

terhadap pekerjaannya sendiri. Karena itu, kelima aspek kepuasan kerja

tersebut digunakan untuk meneliti kepuasan kerja pegawai Disperindag

Provinsi NTT di Kupang yang merupakan obyek dari penelitian ini.

Page 14: iklim organisasi.pdf

28

2.1. 4. Faktor-faktor yang Memengaruhi Kepuasan Kerja

Kepuasan merupakan sebuah hasil yang dirasakan oleh karyawan.

jika karyawan puas dengan pekerjaannya, maka ia akan betah bekerja pada

organisasi tersebut. Dengan memahami output yang dihasilkan, maka

perlu mengetahui penyebab yang bisa memengaruhi kepuasan kerja. Ada

banyak faktor-faktor yang memengaruhi kepuasan kerja karyawan. Faktor-

faktor-faktor ini memiliki peranannya dalam memberikan kepuasan kerja

kepada karyawan tergantung pada pribadi masing-masing karyawan.

Dalam suatu kesempatan, Burt (dalam As’ad, 2004) menyatakan

bahwa faktor-faktor yang menyebabkan kepuasan kerja karyawan di

antaranya:

1. Faktor individu, meliputi umur, kesehatan, watak, dan harapan.

Misalnya: kepuasan kerja seorang yang menginjak usia 25 tahun

berbeda dengan orang yang bekerja menginjak usia 50 tahun. Karena

dari segi usia dan kesehatan orang yang menginjak usia 25 tahun lebih

baik dari orang yang berusia 50 tahun, maka orang yang menginjak usia

25 tahun cenderung mengharapkan lebih sehingga pada kasus turnover

karyawan lebih sering terjadi pada karyawan yang berusia 25 tahun

daripada turnover karyawan yang menginjak usia 50 tahun.

2. Faktor sosial, meliputi hubungan kekeluargaan, pandangan masyarakat,

kesempatan berekreasi, kegiatan perserikatan pekerja, kebebasan

berpolitik, dan hubungan kemasyarakatan. Misalnya: Tingkat kepuasan

kerja karyawan dipengaruhi oleh hubungan rekan kerja. Karyawan yang

kesulitan untuk berhubungan dengan rekannya cenderung bosan dan

tidak maksimal ketika menghadapi kesulitan dalam pekerjaannya.

3. Faktor utama dalam pekerjaan, meliputi upah, pengawasan,

ketentraman kerja, kondisi kerja, dan kesempatan untuk maju. Selain

itu, juga penghargaan terhadap kecakapan, hubungan sosial di dalam

Page 15: iklim organisasi.pdf

29

pekerjaan, ketepatan dalam menyelesaikan konflik antar manusia,

perasaan diperlakukan adil baik yang menyangkut pribadi maupun

tugas. Misalnya: tingkat kepuasan kerja karyawan oleh promosi. Hal ini

dikarenakan dengan adanya promosi tentu saja berpengaruh terhadap

kenaikan gaji karyawan.

Menurut Ghiselli dan Brown (dalam As’ad, 2004), ada lima faktor

yang memengaruhi kepuasan kerja, yaitu:

a. Kedudukan (posisi).

Umumnya manusia beranggapan bahwa seseorang yang bekerja pada

pekerjaan yang lebih tinggi akan merasa puas daripada mereka yang

bekerja pada pekerjaan yang lebih rendah. Pada beberapa penelitian

menunjukkan bahwa hal tersebut tidak selalu benar, justru perubahan

dalam tingkatan pekerjaanlah yang memengaruhi kepuasan kerja.

b. Pangkat (golongan).

Pada pekerjaan yang mendasarkan perbedaan tingkat (golongan),

sehingga pekerjaan tersebut memberikan kedudukan tertentu pada orang

yang melakukannya. Apabila ada kenaikan upah, maka sedikit

banyaknya akan dianggap sebagai kenaikan pangkat, dan kebanggaan

terhadap kedudukan yang baru itu akan merubah perilaku dan

perasaannya.

c. Umur. Merupakan salah satu faktor penting yang memengaruhi

kepuasan kerja. Umur di antara 25 tahun sampai 34 tahun merupakan

umur yang paling riskan, hal ini dikarenakan pada usia tersebut sering

terjadi perasaan tidak puas terhadap pekerjaan.

d. Jaminan finansial dan jaminan sosial.

Masalah finansial dan jaminan sosial sangat berpengaruh terhadap

kepuasan kerja karyawan. Misalnya: jaminan kesejahteraan pegawai

Page 16: iklim organisasi.pdf

30

(KESRA), gaji bulanan yang diterima pegawai, uang lembur untuk

pekerjaaan.

e. Mutu pengawasan dalam hal ini dikaitkan dengan pihak pimpinan.

Kepuasan kerja dipengaruhi oleh hubungan antara pimpinan dengan

bawahan. Dengan adanya hubungan yang baik di antara kedua pihak

nantinya akan menimbulkan perasaan karyawan bahwa dirinya

merupakan bagian penting dari organisasi tempatnya bekerja.

Sementara itu, Sutrisno (2009) mengemukakan bahwa faktor-faktor

yang memengaruhi kepuasan kerja, yaitu:

1. Faktor psikologis, merupakan faktor yang berhubungan dengan

kejiwaan karyawan yang meliputi minat, ketentraman dalam kerja,

sikap terhadap kerja, bakat dan keterampilan.

2. Faktor sosial, merupakan faktor yang berhubungan dengan interaksi

sosial baik antara sesama karyawan maupun dengan atasannya.

3. Faktor fisik, merupakan faktor yang berhubungan dengan kondisi fisik

karyawan, meliputi jenis pekerjaan, pengaturan waktu dan waktu

istirahat, perlengkapan kerja, keadaan ruangan, suhu, penerangan,

pertukaran udara, kondisi kesehatan karyawan, umur dan sebagainya.

4. Faktor finansial, merupakan faktor yang berhubungan dengan jaminan

serta kesejahteraan karyawan yang meliputi sistem dan besarnya gaji,

jaminan sosial, macam-macam tunjangan, fasilitas yang diberikan,

promosi dan sebagainya.

Selain itu, Robbins (2001) menuliskan lima faktor yang

memengaruhi kepuasan kerja antara lain:

1. Kerja yang secara mental menantang, karyawan cenderung lebih

menyukai pekerjaan-pekerjaan yang memberi mereka kesempatan

untuk menggunakan ketrampilan dan kemampuan mereka dan

menawarkan beragam tugas, kebebasan, dan umpan balik mengenai

Page 17: iklim organisasi.pdf

31

betapa baik mereka bekerja. Karakteristik ini membuat kerja secara

mental menantang. Pekerjaan yang kurang menantang menciptakan

kebosanan, tetapi yang terlalu banyak menantang menciptakan frustrasi

dan perasaan gagal. Pada kondisi tantangan yang sedang, kebanyakan

karyawan akan mengalami kesenangan dan kepuasan.

2. Ganjaran yang pantas, para karyawan menginginkan sistem upah dan

kebijakan promosi yang mereka persepsikan sebagai adil, tidak

meragukan, dan segaris dengan pengharapan mereka. Bila upah dilihat

sebagai yang didasarkan pada tuntutan pekerjaan, tingkat ketrampilan

individu, dan standar pengupahan komunitas, kemungkinan besar akan

dihasilkan kepuasan.

3. Kondisi kerja yang mendukung, karyawan peduli akan lingkungan

kerja, baik untuk kenyaman pribadi maupun untuk memudahkan

mengerjakan tugas dengan baik. Karyawan yang lebih menyukai

keadaan sekitar fisik yang tidak berbahaya/ merepotkan yaitu

temperatur, cahaya, derau, faktor lingkungan lain, seharusnya tidak

ekstrim.

4. Rekan sekerja yang mendukung. Orang-orang yang mendapat lebih

sekedar uang/ prestasi yang berwujud dari dalam kerja. Bagi

kebanyakan karyawan, kerja juga mengisi kebutuhan akan interaksi

sosial, oleh karena itu tidaklah mengejutkan bila mempunyai rekan

sekerja yang ramah dan mendukung menghantar kepuasan kerja

meningkat.

5. Kesesuaian kepribadian pekerjaan. Kecocokan yang tinggi antara

kepribadian seorang karyawan akan menghasilkan seorang individu

yang lebih terpuaskan. Orang-orang memiliki tipe kepribadiannya sama

dan sebanding dengan pekerjaan yang mereka pilih akan lebih besar

kemungkinan untuk berhasil pada pekerjaan-pekerjaan tersebut dan

Page 18: iklim organisasi.pdf

32

lebih besar untuk mencapai kepuasan kerja yang tinggi dalam kerja

mereka.

Selanjutnya, penelitian Lumbanraja (2009) menunjukkan bahwa

faktor karakteristik individu, gaya kepemimpinan dan budaya organisasi

berpengaruh secara signifikan terhadap kepuasan kerja pegawai. Lebih

lanjut, Setyawan (2005), dan Mamik (2009) menyatakan bahwa kepuasan

kerja pegawai dipengaruhi oleh faktor kedisplinan, kualitas

kepemimpinan, motivasi kerja, iklim organisasi, dan komitmen organisasi.

Dari beberapa faktor yang disebutkan di atas, dapat disimpulkan

bahwa secara umum tinggi rendahnya kepuasan kerja pegawai dipengaruhi

oleh faktor intrinsik/ personal yang dihubungkan dengan keadaan diri

pegawai ketika melakukan pekerjaannya dan faktor eksternal yang

berhubungan dengan lingkungan pekerjaan dalam suatu organisasi. Faktor-

faktor eksternal antara lain lingkungan fisik dan sosial, gaya

kepemimpinan, budaya organisasi, iklim organisasi, sistem manajemen,

sifat pekerjaaan, dukungan dan faktor lainnya yang menekankan pada

hubungan antar manusia. Sedangkan faktor-faktor personal antara lain

motivasi kerja, karakteristik individu, kepribadian, komitmen, dan

kedisplinan. Adapun dalam penelitian ini, penulis membatasi pada variabel

iklim organisasi sebagai faktor eksternal dan motivasi kerja sebagai faktor

personal yang memengaruhi kepuasan kerja pegawai.

Page 19: iklim organisasi.pdf

33

2.2. IKLIM ORGANISASI

2.2.1. Pengertian Iklim Organisasi

Adapun istilah iklim organisasi (Organizational climate) pertama

kalinya dipakai oleh Kurt Lewin pada tahun 1930-an, dengan istilah iklim

psikologi (psychological climate). Konsep ini bermula dari formulasi

konsep Lewin yang beranggapan bahwa perilaku individu (behavior)

merupakan fungsi dari variabel personal dan lingkungan psikologisnya.

Kemudian istilah iklim organisasi dipakai oleh Tagiuri dan Litwin. Tagiuri

mengemukakan sejumlah istilah untuk melukiskan perilaku dalam

hubungan dengan latar atau tempat (setting) di mana perilaku muncul:

lingkungan (environment), lingkungan pergaulan (milieu), budaya

(culture), suasana (atmosphere), situasi (situation), pola lapangan (field

setting), pola perilaku (behavior setting), dan kondisi (conditions) (dalam

Wirawan, 2007).

Menurut Steers (1985), iklim organisasi adalah sifat atau

karakteristik dari suatu lingkungan kerja yang sebagian besar merupakan

hasil dari tindakan-tindakan yang diambil secara sadar maupun tidak oleh

suatu organisasi dan mempunyai pengaruh terhadap tingkah laku

berikutnya. Ditambahkan pula oleh Steers (1985) bahwa iklim organisasi

merupakan lingkungan internal yang mewakili faktor-faktor dalam

organisasi yang menciptakan kultur dan lingkungan sosial di mana

aktivitas-aktivitas pencapaian tujuan berlangsung sehingga iklim

organisasi berhubungan dengan persepsi karena iklim ini merupakan iklim

yang dilihat dan dirasakan oleh para anggota organisasi dan bukan iklim

yang sebenarnya. Demikian, dalam perkembangan konsep iklim organisasi

telah menjadikan konsep ini untuk digunakan secara leluasa di mana

mengacu pada lingkup yang luas dalam organisasi dan variabel perceptual

Page 20: iklim organisasi.pdf

34

yang merefleksikan interaksi individu dan organisasi serta memengaruhi

perilaku individu d alam organisasi.

Sementara itu, Tagiuri dan Litwin (dalam Wirawan, 2007)

mengungkapkan bahwa iklim organisasi merupakan kualitas lingkungan

internal organisasi yang secara relatif terus berlangsung, dialami oleh

anggota organisasi memengaruhi perilaku mereka dan dapat dilukiskan

dalam pengertian satu set karakteristik atau sifat organisasi. Hal ini berarti

iklim organisasi merupakan perasaan dan pengalaman terhadap

lingkungannya. Selanjutnya, Wirawan (2007) menyatakan bahwa iklim

organisasi adalah persepsi anggota organisasi (secara individual dan

kelompok) dan mereka yang secara tetap berhubungan dengan organisasi

mengenai apa yang ada atau terjadi di lingkungan internal organisasi

secara rutin yang memengaruhi sikap dan perilaku organisasi. Unsur-

unsurnya dapat dipersepsikan dan dialami oleh anggota organisasi dan

dilaporkan melalui kuesioner yang tepat. Stringer (2002) mengatakan

bahwa iklim berfokus pada persepsi-persepsi yang masuk akal atau dapat

dilihat dan dirasakan oleh individu dalam lingkungan kerja.

Sehubungan dengan pengertian di atas, Higgins (1982) menyatakan

bahwa iklim organisasi adalah kumpulan dari persepsi anggota organisasi

termasuk mengenai peraturan, keinginan dari pekerjaan dalam organisasi

dan lingkungan sosial dalam organisasi. Dalam hal ini iklim organisasi

merupakan harapan-harapan serta cara pandang individu terhadap

organisasi. Hal senada diungkapkan Litwin dan Stringer bahwa iklim

organisasi merupakan suatu konsep yang melukiskan sifat subjektif atau

kualitas lingkungan organisasi yang mendorong motivasi sehingga

berpengaruh pada kepuasan dan kinerja (Lafollete & Sims, 1975; Biggs,

Miles, & Rogers, 1980). Dengan demikian, terdapat pengaruh yang positif

antara iklim organisasi terhadap kinerja dan kepuasan kerja. Semakin

Page 21: iklim organisasi.pdf

35

sesuai dan menyehatkan suatu iklim organisasi akan semakin tinggi tingkat

kinerja dan kepuasan kerja pegawainya.

Oleh karena itu, apabila pegawai merasa bahwa iklim yang ada

pada organisasi tempat ia bernaung cukup kondusif dan menyenangkan

baginya untuk bekerja dengan baik, dan hal ini akan membuat pegawai

tersebut merasa puas. Iklim dipengaruhi oleh hampir semua hal yang

terjadi dalam suatu organisasi. Iklim merupakan suatu konsep sistem yang

dinamis yang mencerminkan keseluruhan gaya hidup suatu organisasi.

Dalam lembaga pemerintah, iklim organisasi menggambarkan suatu

keadaan atau suasana dalam organisasi di mana didalamnya menunjukkan

kualitas interaksi atau hubungan seluruh pegawai dalam lingkungan

internal organisasi yang secara relatif terus-menerus meningkat yang

dirasakan dan dipersepsikan oleh anggota-anggotanya, memengaruhi

perilaku mereka, dan dapat digambarkan menurut seperangkat nilai-nilai,

norma-norma yang di yakini secara bersama dalam organisasi.

Dari berbagai definisi di atas dapat disimpulkan bahwa iklim

organisasi adalah persepsi individu mengenai suatu keadaan atau kondisi

yang menunjukkan kualitas lingkungan internal suatu organisasi yang

dinilai mengenai apa yang dilihat, apa yang dialami atau dirasakan dan

dipikirkan oleh semua anggota organisasi yang memengaruhi perilaku

anggota-anggota dalam organisasi.

2.2.2. Teori Iklim Organisasi

Berdasarkan definisi-definisi mengenai iklim organisasi yang telah

diutarakan sebelumnya, menunjukkan bahwa iklim organisasi berkaitan

dengan lingkungan kerja yang dinilai individu melalui persepsinya. Oleh

karena itu, iklim organisasi dapat dipahami melalui teori yang mengkaji

tentang persepsi, salah satunya adalah teori Gestalt. Dalam kaitannya

Page 22: iklim organisasi.pdf

36

dengan psikologi lingkungan, maka persepsi lingkungan merupakan salah

satu aplikasi dari teori Gestalt, di mana teori ini menekankan pada persepsi

dan kognisi secara umum. Menurut teori ini pada saat manusia bereaksi

dengan lingkungannya, manusia tidak hanya sekedar merespons, tetapi

juga melibatkan unsur subyektivitasnya yang antara masing-masing

individu bisa berlainan (dalam Gintoe, 2012). Menurut Backler (dalam

Abdurahman & Maman, 1988), hubungan manusia dengan lingkungan

merupakan titik tolak dan merupakan sumber informasi, sehingga terlihat

individu menjadi seorang pengambil keputusan. Dengan demikian

sebagaimana yang dimaksudkan dalam teori Gestalt, persepsi sebagai

suatu fungsi biologis (melalui organ-organ sensoris) yang memungkinkan

individu menerima dan mengolah informasi dari lingkungan dan

mengadakan perubahan-perubahan di lingkungannya. Dalam hal ini

berkaitan dengan proses aktivitas seseorang dalam memberikan kesan,

penilaian, pendapat, merasakan dan menginterpretasikan sesuatu

berdasarkan informasi yang ditampilkan dari sumber lain (yang

dipersepsi).

Dalam suatu kesempatan, Huczynski dan Buchanan (dalam

Widiani, 2010) mengemukakan bahwa dunia perseptual individu

dipengaruhi oleh faktor-faktor internal dan faktor-faktor eksternal. Kedua

jenis faktor tersebut akan dijelaskan sebagai berikut:

Faktor internal, merupakan faktor dari dalam diri individu, berupa

kebutuhan-kebutuhan, motif-motif, tujuan, karakteristik psikologis

seperti kepribadian, dan pengalaman masa lalu. Adanya perbedaan

faktor internal akan berpengaruh pada hasil akhir yang berupa

perilaku.

Page 23: iklim organisasi.pdf

37

Faktor eksternal, merupakan faktor yang berasal dari luar diri

individu, berupa lingkungan fisik dan lingkungan sosial budaya di

sekitar individu tersebut berada. faktor eksternal tersebut dapat

menjadi stimuli yang akan diproses dalam dunia perseptualnya.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dalam organisasi

dapat dikategorikan sebagai faktor eksternal yang menjadi stimuli bagi

individu, yang selanjutnya akan diproses dan membentuk persepsi tentang

organisasinya. Persepsi terhadap iklim organisasi adalah cara pandang

individu terhadap situasi lingkungan kerjanya, yang dilihat, diamati dan

dirasakan oleh individu selaku anggota organisasi kemudian diberi makna

oleh individu berdasarkan interpretasi mereka terhadap situasi lingkungan

kerjanya. Hasil dari interpretasi tersebut dapat memberikan pengaruh-

pengaruh tertentu terhadap perilaku anggota organisasi. Adanya perbedaan

persepsi pada individu terhadap iklim organisasi disebabkan karena

adanya perbedaan pada faktor internal yang terdapat dalam diri individu.

Selanjutnya, teori iklim organisasi oleh Stringer (2002)

mengatakan bahwa iklim berfokus pada persepsi-persepsi yang masuk akal

atau dapat dilihat dan dirasakan oleh individu dalam lingkungan pekerjaan

baik dalam lingkungan eksternal maupun lingkungan internal. Di katakan

pula oleh Stringer bahwa terdapat lima faktor yang menyebabkan

terjadinya iklim organisasi, yaitu lingkungan eksternal, strategi praktik

kepemimpinan, pengaturan organisasi, dan sejarah organisasi. Masing-

masing faktor ini sangat menentukan, oleh karena itu orang yang ingin

mengubah iklim organisasi dalam suatu organisasi harus mengevaluasi

masing-masing faktor tersebut. Adapun gambar faktor-faktor penyebab

iklim organisasi sebagai berikut:

Page 24: iklim organisasi.pdf

38

Gambar 2.1. Faktor Penyebab Iklim Organisasi(Dikutip dari Stringer, 2002:83).

1. Lingkungan eksternal. Industri atau bisnis yang sama mempunyai iklim

organisasi umum yang sama. Misalnya, iklim organisasi umum

perusahaan atau lembaga asuransi umumnya sama. Demikian juga iklim

organisasi pemerintah, sekolah dasar, atau perusahaan angkutan di

Indonesia, mempunyai iklim umum yang sama. Kesamaan faktor umum

tersebut disebabkan pengaruh lingkungan eksternal organisasi.

Walaupun lingkungan eksternal memengaruhi dimensi aspek iklim

organisasi. Menurut Stringer (2002) terdapat pengaruh langsung yang

paling banyak terhadap tiga dimensi yaitu struktur, tanggung jawab, dan

komitmen sedangkan tiga dimensi lainnya: standar, penghargaan, dan

dukungan lebih berpengaruh oleh faktor-faktor internal penentu iklim

organisasi.

2. Strategi organisasi, merupakan apa yang diupayakan untuk dilakukan,

energi yang dimiliki oleh pegawai untuk melaksanakan pekerjaan yang

diperlukan oleh strategi, dan faktor-faktor lingkungan penentu dari level

energi tersebut. Oleh karena itu, strategi menentukan apa yang penting

IklimOrganisasi

PengaturanOrganisasi

PraktikKepemimpinan

StrategiOrganisasi

SejarahOrganisasi

LingkunganEksternal

Page 25: iklim organisasi.pdf

39

bagi organisasi, hasil apa yang mempunyai nilai, dan perilaku-perilaku

apa yang paling mungkin mencapai tujuan eksplisit dari strategi.

3. Pengaturan organisasi. Pengaturan organisasi mempunyai pengaruh

paling kuat terhadap iklim organisasi yakni hubungan desain formal

organisasi dan hubungan pelaporan, deskripsi pekerjaan/pernyataan

akuntabilitas, penentuan tujuan/ sistem perencanaan, sistem pengukuran

kinerja, sistem evaluasi, sistem imbalan, sistem pelatihan dan

pengembangan, kebijakan dan prosedur baru, sistem manajemen karier,

sistem aliran orang lainnya (misalnya, rekrutmen, penempatan,

pemutusan hubungan kerja/ mutasi kerja), rapat formal/komisi, dan

pengaturan organisasi formal atau informal.

4. Kekuatan sejarah. Semakin tua umur suatu organisasi semakin kuat

pengaruh kekuatan sejarahnya. Pengaruh tersebut dalam bentuk tradisi

dan ingatan yang membentuk harapan anggota organisasi dan

mempunyai pengaruh terhadap iklim organisasinya. dimensi iklim

organisasi yang dipengaruhi kekuatan sejarah adalah standar, tanggung

jawab, dukungan dan komitmen.

5. Kepemimpinan. Perilaku pemimpin/ atasan setiap hari memengaruhi

iklim organisasi yang kemudian mendorong motivasi karyawan.

Lebih lanjut, Stringer (2002), mengembangkan kuesioner yang

lebih konsisten dan sederhana mengenai iklim organisasi yang disebut

Organizational Climate Questionnaire. Menurut Stringer, perlu

pengelompokkan dimensi-dimensi tertentu dalam iklim ke dalam

kelompok-kelompok yang akan menjadi khas suatu organisasi jika

dibandingkan dengan organisasi lain. Yang terpenting pengelompokkan ini

berguna bagi pimpinan organisasi sebagai suatu pedoman untuk

meningkatkan motivasi dan kepuasan kerja para pegawai serta kinerja. Di

katakan pula bahwa iklim organisasi secara obyektif berada dalam suatu

Page 26: iklim organisasi.pdf

40

organisasi, tetapi ia hanya bisa dijelaskan dan diukur secara tidak langsung

melalui persepsi dari pada anggota-anggotanya. Di tambahkan pula

Stringer bahwa iklim bersifat obyektif dan subyektif yang merupakan

ekspresi obyektif yang diukur dari persepsi subjektif dari pegawai terhadap

lingkungan kerja mereka.

Berdasarkan uraian teori yang telah dipaparkan di atas, maka

penulis lebih menekankan pada teori iklim organisasi yang telah di

kemukakan oleh Stringer (2002). Hal ini dikarenakan teori iklim

organisasi dari Stringer secara lengkap menguraikan keseluruhan iklim

organisasi baik secara internal maupun eksternal yang penting dalam suatu

organisasi yang dipersepsikan oleh anggota yang bekerja dalam organisasi

berdasarkan nilai-nilai, aturan-aturan, dan suasana lingkungan kerja yang

dialaminya. Selain itu, sejauh penelusuran penulis mengenai iklim

organisasi yang dikembangkan oleh Stringer masih kurang untuk di teliti.

Oleh karena itu, penulis ingin mengetahui dan memperoleh pemahaman

mengenai iklim organisasi yang dikembangkan oleh Stringer untuk dapat

dilakukan secara khusus di lembaga pemerintah sebagai sektor publik

dalam melaksanakan tugas dan pekerjaan secara rutinitas di tempat kerja.

2.2.3. Dimensi Iklim Organisasi

Iklim organisasi yang dirasakan individu secara positif

(menyenangkan) akan memberikan tampilan kerja yang baik dan efektif

yang akan memengaruhi kepuasan kerja pegawai dan keberhasilan dalam

organisasi. Iklim organisasi secara objektif eksis, terjadi di setiap

organisasi, dan memengaruhi perilaku anggota organisasi, tetapi hanya

dapat diukur secara tidak langsung melalui persepsi anggota dalam hal ini

persepsi pegawai dapat memengaruhi perilaku dalam bekerja dalam

organisasi pemerintah. Dimensi iklim organisasi terdiri atas beragam jenis

dan berbeda pada setiap organisasi (dalam Wirawan, 2007).

Page 27: iklim organisasi.pdf

41

Menurut Ekval (dalam Wirawan, 2007), ada sepuluh dimensi iklim

organisasi adalah sebagai berikut:

1. Challenge (tantangan) yaitu keterlibatan dan komitmen terhadap

organisasi.

2. Freedom (kebebasan) yaitu sampai seberapa tinggi karyawan diberi

kebebasan untuk bertindak.

3. Support for ideas (dukungan untuk ide-ide) yaitu sikap manajemen dan

karyawan terhadap ide baru.

4. Trust (kepercayaan) yaitu keamanan emosional dan kepercayaan

hubungan antar anggota dalam organisasi.

5. Liveliness (semangat) yaitu dinamika dalam organisasi.

6. Playfulnes/humor (keintiman/humor) yaitu kemudahan yang ada dalam

organisasi.

7. Debate (debat) yaitu sampai seberapa tinggi perbedaan pendapat serta

ide-ide dan pengalaman ada dalam organisasi.

8. Conflict (konflik) yaitu adanya tensi personal dan emosional.

9. Risk taking (pengambilan resiko) yaitu kemauan untuk menoleransi

insekuriti dalam organisasi.

10. Ide and time (ide dan waktu) yaitu waktu yang digunakan untuk

mengembangkan ide-ide baru.

Sementara itu, Wirawan (2007) mengemukakan tujuh dimensi

iklim organisasi di antaranya:

1. Keadaan lingkungan fisik, merupakan lingkungan yang berhubungan

dengan tempat, peralatan, dan proses kerja. Persepsi karyawan

mengenai tempat kerjanya menciptakan persepsi karyawan mengenai

iklim organisasi.

2. Keadaan lingkungan sosial, merupakan interaksi antara anggota

organisasi. Hubungan tersebut bersifat hubungan formal, informal,

Page 28: iklim organisasi.pdf

42

kekeluargaan, atau professional. Semua bentuk menentukan iklim

organisasi.

3. Pelaksanaan sistem manajemen. Sistem manajemen adalah pola proses

pelaksanaan manajemen organisasi.

4. Produk, merupakan barang atau jasa yang dihasilkan oleh organisasi.

Produk suatu organisasi sangat menentukan iklim organisasi.

Misalnya, iklim organisasi dinas kebersihan yang produknya berupa

layanan pembersihan sampah, berbeda dengan iklim organisasi

perusahaan perbankan yang produknya adalah layanan keuangan.

5. Konsumen yang dilayani. Konsumen yang dilayani dan untuk siapa

produk ditujukan, memengaruhi iklim organisasi. Misalnya, iklim

organisasi klinik bagian anak-anak di suatu rumah sakit berbeda

dengan klinik bagian rematik yang umumnya melayani orang dewasa

di rumah sakit yang sama.

6. Kondisi fisik dan kejiwaan anggota organisasi. Merupakan persepsi

mengenai kondisi fisik dan kejiwaan anggota organisasi sangat

memengaruhi iklim organisasi. Termasuk dalam kondisi fisik adalah

kesehatan, kebugaran, keenergikan, dan ketangkasan. Kondisi

kejiwaan misalnya adalah komitmen, moral, kebersamaan, dan

keseriusan anggota organisasi.

7. Budaya organisasi. Budaya organisasi maupun iklim organisasi

memengaruhi perilaku anggota organisasi yang kemudian

memengaruhi kinerja mereka. Misalnya, jika kode etik dilaksanakan

dengan sistematis, maka akan memengaruhi persepsi karyawan

mengenai lingkungan sosialnya, lalu terjadinya iklim etis dalam

lingkungan organisasi. Demikian juga, dalam budaya organisasi

terdapat norma tertulis, tetapi banyak dilanggar oleh anggota

Page 29: iklim organisasi.pdf

43

organisasi dan tanpa sanksi sehingga menimbulkan iklim organisasi

negatif.

Lebih lanjut, Stringer (2002) mengungkapkan faktor penyebab iklim

organisasi berkaitan dengan enam dimensi untuk mengukur iklim

organisasi yang disebut Organizational Climate Questionnaire untuk

organisasi sektor publik termasuk lembaga pemerintahan yang di

tampilkan dalam gambar berikut ini:

Gambar 2.2. Keterkaitan Faktor Penyebab Iklim Organisasi DenganDimensi-dimensi Iklim Organisasi

(Dikutip dari Stringer, 2002:18).

1. Struktur (structure). Struktur merefleksikan perasaan yang dirasakan

pegawai dalam organisasi yang secara terorganisir dengan baik dan

memiliki uraian tugas mengenai peran dan tanggung jawab yang jelas.

Struktur tinggi jika pegawai merasa bahwa pekerjaan setiap orang

diorganisir dengan baik. Struktur rendah maka terjadi kebingungan

Strategi

Praktik Kepemimpinan

Pengaturan Organisasi

Kekuatan-kekuatan HistorikalLingkungan Eksternal

Dimensi Iklim OrganisasiStruktur

Standar-standarTanggung jawab

PenghargaanDukunganKomitmen

Page 30: iklim organisasi.pdf

44

mengenai siapa yang harus melakukan sesuatu dan mempunyai

wewenang untuk mengambil keputusan.

2. Standar-standar (standards). Standar-standar dalam suatu organisasi

mengukur perasaan tekanan untuk meningkatkan kinerja dan tingkat

atau derajat kebanggaan pegawai ketika melakukan pekerjaannya

dengan baik dalam organisasi. Standar-standar organisasi yang tinggi

artinya karyawan dalam organisasi selalu berupaya mencari jalan

untuk meningkatkan kinerja. Sebaliknya standar rendah merefleksikan

harapan yang lebih rendah untuk kinerja.

3. Tanggung jawab (responsibility). Tanggung jawab merefleksikan

perasaan pegawai bahwa mereka adalah “bos bagi diri mereka sendiri”

dan tidak harus melaporkan semua keputusan mereka kepada atasan.

Tanggung jawab yang tinggi menunjukkan bahwa pegawai merasa

memiliki tanggung jawab untuk menyelesaikan masalahnya sendiri

sedangkan tanggung jawab yang rendah menunjukkan bahwa pegawai

tidak diharapkan untuk mengambil resiko dan mencoba pendekatan

baru.

4. Penghargaan (recognition). Penghargaan merefleksikan perasaan

pegawai dalam organisasi yang merasa dihargai atas pekerjaan yang

diselesaikan dengan baik. Penghargaan merupakan ukuran untuk

membandingkan antara imbalan dengan hukuman dan kritikan atas

penyelesaian pekerjaan. Penghargaan rendah artinya penyelesaian

pekerjaan dengan baik diberikan imbalan secara tidak konsisten.

5. Dukungan (support). Dukungan merefleksikan perasaan percaya dan

saling mendukung yang berlaku di kelompok kerja/unit kerja dalam

organisasi. Dukungan tinggi jika anggota organisasi merasa bahwa

mereka bagian dari tim yang berfungsi dengan baik dan merasa

memperoleh bantuan dari atasannya, jika mengalami kesulitan dalam

Page 31: iklim organisasi.pdf

45

menjalankan tugas. Jika dukungan rendah, anggota organisasi merasa

terisolasi dan tersisih sendiri.

6. Komitmen (commitment). Komitmen merefleksikan perasaan bangga

oleh pegawai sebagai bagian dalam organisasi dan tingkat atau derajat

komitmen/ loyalitas terhadap pencapaian tujuan-tujuan organisasi.

Perasaan komitmen kuat berasosiasi dengan loyalitas personal. Level

rendah komitmen artinya pegawai merasa apatis terhadap organisasi

dan tujuannya.

Dalam penelitian ini, untuk mengukur iklim organisasi didasarkan

pada teori dan dimensi yang dikembangkan langsung oleh Stringer (2002).

Hal ini karena kondisi riil yang ada dalam organisasi pemerintah secara

khusus di Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi NTT di Kupang

sangat relevan dengan enam dimensi iklim organisasi oleh Stringer untuk

meningkatkan kepuasan kerja pegawai.

2.2.4. Peran Iklim Organisasi

Dalam mengelola sumber daya manusia di dalam organisasi yang

efisien dan efektif maka perlunya suatu lingkungan yang menyenangkan

untuk bekerja melalui kondisi kerja yang bagus dan tersedianya

lingkungan kerja yang sehat, kondusif dan menyenangkan sebagai

iklim organisasi yang baik. Noordin dan Jusoff (2009) mengemukakan

peran iklim organisasi yang positif dan sehat menjadikan kepuasan kerja

karyawan dan peningkatan produktivitas dalam pekerjaan. Selain itu, iklim

organisasi sebagai forum komunikasi (communication forum), keterlibatan

karyawan (employee involvement), manajemen yang proaktif (proactive

management), memperoleh hasil pekerjaan yang positif (positive work

Outcomes) semua atribut ini pada akhirnya dapat mengurangi karyawan

jika dirasakan bahwa mereka tidak mengalami kepuasan kerja di

Page 32: iklim organisasi.pdf

46

organisasi. Stoner (dalam Idrus, 2006) mengungkapkan tentang pentingnya

iklim organisasi untuk para manajer/ atasan dan individu yang ada dalam

organisasi itu, yaitu: 1). Iklim organisasi berpengaruh terhadap

penyelesaian tugas; 2). Iklim organisasi dapat relatif dipengaruhi oleh

atasan/ manajer; dan 3). Keserasian antara individu dengan organisasi

mempunyai pengaruh penting dalam prestasi dan kepuasan individu dalam

organisasi.

Dalam suatu kesempatan, Achua (2004), mengutarakan bahwa

iklim yang kondusif berfungsi sebagai pegangan seluruh jajaran organisasi

untuk beroperasi. Secara lebih rinci, iklim yang kondusif dalam suatu

organisasi berfungsi sebagai mekanisme pengendali yang membentuk dan

mengarahkan sikap dan perilaku pegawai, sebagai lembaga sosial yang

membantu memelihara stabilitas sistem sosial melalui pengkomunikasian

berbagai standar apa yang seharusnya dikatakan dan dilakukan, untuk

pengembangan sense of identity bagi para pegawai, untuk pendefinisian

“batas-batas” keperilakuan atau berbagai karakteristik organisasi yang

membedakannya dengan organisasi lain, serta fasilitator pengembangan

komitmen terhadap organisasi (corporate first), melebihi kepentingan

pribadi.

Iklim yang kondusif mempunyai dampak signifikan terhadap

kepuasan kerja, kinerja dan keefektifan organisasi. Sebagai suatu sistem

nilai yang memberikan pedoman berperilaku kerja dan menjadi prinsip

pengoperasian dasar bagi para karyawan. Menurut Gilles (1996), iklim

dikatakan positif bagi suatu organisasi apabila memberikan kontribusi

pada kinerja efektif, kepuasan kerja dan produktifitas dan bila nilai-nilai

inti dipegang dan dianut secara intensif dan meluas. Sedangkan iklim yang

negatif bila sangat terfragmentasi dan tidak diikat oleh berbagai nilai dan

keyakinan bersama serta menjadi sumber penolakan dan kekacauan,

Page 33: iklim organisasi.pdf

47

sehingga dapat menghambat pemecahan masalah yang efektif. Sementara

itu, Singh dkk., (2011) mengemukakan bahwa iklim organisasi berdampak

disetiap aktivitas dalam suatu organisasi secara langsung atau tidak

langsung dan dipengaruhi oleh hampir segala sesuatu yang terjadi dalam

organisasi yang berdampak pada organisasi untuk tetap survive dan terus

berkembang yang dapat menguntungkan termasuk karyawan yang bekerja

di dalamnya dan dikatakan iklim organisasi sebagai faktor pendorong

utama yang bertanggung jawab untuk kepuasan dan ketidakpuasan

karyawan yang dapat memengaruhi turnover karyawan.

Hasil penelitian Lafollete dan Sims (1975) menunjukkan bahwa

iklim yang menekankan pada prestasi menghasilkan tingkatan kinerja

lebih tinggi, sedangkan iklim demokratis bersahabat menghasilkan

kepuasan kerja dan produktivitas yang tinggi. Beberapa hasil penelitian

seperti Bemana (2011); Frimansah dan Santy (2009); Sudiyanto (2010)

menunjukkan iklim organisasi berpengaruh positif pada kepuasan kerja

pegawai.

2.3. MOTIVASI KERJA

2.3.1. Pengertian Motivasi

Motivasi dalam bahasa inggris disebut motivation yang berasal dari

bahasa Latin movere yang berarti “menggerakkan” (Steers & Porter, dalam

Wijono, 2010). Motif adalah daya penggerak yang mencakup dorongan,

alasan dan kemauan yang timbul dari seseorang yang menyebabkan untuk

berbuat sesuatu. Motivasi sebagai sesuatu hal yang menggerakkan,

memelihara, mengatur, dan menghentikan perilaku.

Menurut Notoatmodjo (dalam Afriyantie, 2011), pengertian

motivasi tidak terlepas dari kata kebutuhan atau “needs” atau “want”.

Kebutuhan adalah suatu “potensi” dalam diri manusia yang perlu

Page 34: iklim organisasi.pdf

48

ditanggapi atau direspons. Sedangkan menurut Hasibuan (2007) bahwa

motivasi adalah pemberian daya penggerak yang menciptakan kegairahan

kerja seseorang agar mereka mau bekerja sama, bekerja efektif, dan

terintegrasi dengan segala upayanya untuk mencapai kepuasan.

Sementara itu, Siagian (2007) bahwa motivasi adalah daya

pendorong yang mengakibatkan seseorang anggota organisasi mau dan

rela untuk menggerakkan kemampuan dalam bentuk keahlian atau

keterampilan, tenaga dan waktunya untuk menyelenggarakan berbagai

kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya dan menunaikan kewajibannya,

dalam rangka pencapaian tujuan dan berbagai sasaran organisasi yang

telah ditentukan sebelumnya. Demikian manusia memiliki peranan penting

dalam mewujudkan tujuan organisasi. Karena itu, motivasi sangat penting

dalam menentukan perilaku orang-orang untuk bekerja atau dengan kata

lain perilaku merupakan cerminan yang paling sederhana dari motivasi.

Dalam suatu kesempatan, Chung dan Megginso (dalam Gomes,

2003:177) mengatakan bahwa:

Motivation is definied as goal-directed behavior. It concernsthe level of effort one exerts in pursing a goal..it is closelyrelated to employee satisfaction and job performance.

Pernyataan tersebut mengartikan bahwa motivasi dirumuskan

sebagai perilaku yang ditujukan pada suatu tujuan. Motivasi berkaitan

dengan tingkat usaha yang dilakukan oleh seseorang dalam mengejar suatu

tujuan dan motivasi berkaitan erat dengan kepuasan karyawan serta

performansi pekerjaan. Sementara itu, Sofyandi dan Garniwa (2007)

mengemukakan motivasi sebagai suatu dorongan untuk meningkatkan

usaha dalam mencapai tujuan-tujuan organisasi, dalam batas-batas

kemampuan untuk memberikan kepuasan atas kebutuhan seseorang.

Page 35: iklim organisasi.pdf

49

Selanjutnya, Keller (1984) mengungkapkan motivasi itu tidak

dapat dilihat dari akan tetapi hanya dapat diamati dari perilaku yang

dihasilkan, yaitu cara atau pola pemenuhan kebutuhan atau pencapaian

yang dikehendaki. Motivasi dapat menjelaskan tentang alasan seseorang

melakukan tindakan karena motivasi merupakan daya pendorong yang

menyebabkan seseorang berbuat (maupun tidak berbuat) sesuatu guna

mencapai tujuan yang diinginkan. Hal ini sependapat dengan sebuah

pernyataan yang menjelaskan bahwa motivasi adalah keadaan dalam diri

individu yang menyebabkan seseorang melakukan perilaku-perilaku

tertentu atau khusus. Pernyataan ini ditegaskan oleh Spector (2007:200)

yaitu:

Motivation is generally defined as an internal state thatinduces a person to engage in particular behaviors.

Dari definisi-definisi yang ada, motivasi merupakan suatu konsep

yang sangat kompleks dan sulit didefinisikan karena masing-masing ahli

memiliki pendapat sendiri berdasarkan aliran masing-masing. Namun

menurut penulis hal penting dalam motivasi yang dapat dijelaskan yaitu

motivasi adalah suatu dorongan dalam diri individu yang menggerakkan

individu untuk berperilaku mencapai tujuan-tujuannya dalam organisasi di

mana individu tersebut berada di dalamnya. Motivasi tidaklah dilihat

dengan kasat mata namun dimanifestasikan melalui perilaku.

Page 36: iklim organisasi.pdf

50

2.3.2. Pengertian Motivasi Kerja

Motivasi kerja pegawai merupakan sesuatu hal yang dibutuhkan

suatu organisasi secara substansial. Tanpa adanya motivasi kerja seorang

karyawan akan menemukan kesulitan dalam memperoleh kepuasan kerja

dan meningkatkan produktivitas. Hal ini senada diungkapkan Umar (1999)

menyatakan motivasi kerja adalah faktor yang kehadirannya dapat

menimbulkan kepuasan kerja dan meningkatkan produktivitas atau hasil

kerja dan menimbulkan berbagai perilaku manusia.

Menurut Munandar (2010), motivasi kerja sebagai suatu proses

dimana kebutuhan-kebutuhan mendorong seseorang untuk melakukan

serangkaian kegiatan yang mengarah ke tercapainya tujuan tertentu.

Sedangkan Kartono (2002) mengemukakan bahwa motivasi kerja tidak

hanya berwujud kebutuhan ekonomis saja tetapi dapat juga dalam bentuk

kebutuhan psikis untuk aktif berbuat. Sementara itu, menurut Wijono

(2010), motivasi kerja ialah suatu kesungguhan atau usaha dari individu

untuk melakukan pekerjaannya guna mencapai tujuan organisasi di

samping tujuannya sendiri. Selanjutnya Tosi dan Carrol (dalam Wijono,

2010 mengemukakan bahwa motivasi kerja berkaitan dengan kepuasan

kerja pegawai.

Merangkum serangkaian pendapat yang dikemukakan di atas, jadi

dapat disimpulkan bahwa motivasi kerja adalah suatu kebutuhan yang ada

dalam diri pegawai yang mendorong untuk berbuat aktif dalam melakukan

pekerjaannya guna mencapai tujuan organisasi disamping tujuannya

sendiri untuk kepuasan kerja.

Page 37: iklim organisasi.pdf

51

2.3.3. Teori Motivasi Kerja

Dalam penelitian ini, teori motivasi yang digunakan yaitu teori

motivasi Alderfer yang merupakan salah satu bagian dalam kelompok teori

motivasi isi. Teori ini masih jarang dikembangkan oleh para ahli, namun

salah satu teori dalam motivasi isi ini yaitu teori-teori yang menekankan

kepada kebutuhan dalam diri seorang. Pada kesempatan ini, akan

dijelaskan mengenai teori motivasi isi (Content Theories of Motivation).

Mullins (dalam Wijono, 2010) mengemukakan teori-teori motivasi yang

tergolong dalam kelompok teori motivasi isi yaitu:

a. Hierarki Kebutuhan Maslow

Teori ini melihat bahwa individu yang bekerja mempunyai tahap

kebutuhan dasar yang akan dicapai dalam pekerjaannya. Maslow (dalam

Wijono, 2010) menyusun kebutuhan-kebutuhan manusia dalam lima

tingkat yang akan dicapai menurut kepentingannya sebagai berikut:

a) Kebutuhan Fisiologis, merupakan kebutuhan akan makan, minum,

pernapasan seperti juga tidur dan seks.

b) Kebutuhan Keamanan, merupakan kebutuhan akan perlindungan,

kestabilan, ketergantungan, bebas dari rasa takut dan ancaman.

c) Kebutuhan Sosial, merupakan kebutuhan akan kasih sayang,

kebutuhan untuk berhubungan dengan orang lain, perhatian dari

seseorang.

d) Kebutuhan Harga Diri, merupakan kebutuhan akan kekuasaan,

berprestasi, kekuatan, nama baik, status dan pengakuan serta

penghargaan dari orang lain.

e) Kebutuhan Aktualisasi Diri, merupakan kebutuhan untuk mewujudkan

diri sebagai seseorang yang unik.

Page 38: iklim organisasi.pdf

52

Berdasarkan uraian di atas, dapat di simpulkan bahwa kebutuhan

seseorang seperti yang dijelaskan Maslow merupakan kebutuhan yang

harus dipenuhi terlebih dahulu dari tingkat kebutuhan yang paling rendah

sampai yang tertinggi. Namun dalam kenyataan tidak semua orang yang

memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka berdasarkan tingkatan ini. Selain

itu, kebutuhan yang sudah terpenuhi akan berhenti memberikan motivasi.

Tetapi kebutuhan yang tidak terpuaskan akan menyebabkan rasa frustrasi,

konflik dan stres.

b. Teori kebutuhan Berprestasi McClelland

Teori ini mempunyai peran penting dalam kaitannya dengan usaha

individu untuk memenuhi kebutuhan individu guna mencapai tingkah laku

tertentu dalam merealisasikan prestasi kerja atau kinerja. Tiga motif yang

dikemukakan McClelland dalam teori ini yaitu : 1). Kekuasaan, 2). Afiliasi

dan 3). Berprestasi yang dapat memberi pengaruh terhadap prestasi kerja

atau kinerja (dalam Wijono, 2010). Dengan demikian, berdasarkan teori

ini McClelland tidak melihat kebutuhan individu berdasarkan tingkatan

tertentu, tapi dengan melihat tiga motif yang ada dalam diri individu yang

dapat memprediksi individu dalam melakukan suatu pekerjaan.

Selanjutnya, teori motivasi kerja didasarkan pada konsep dasar

motivasi menurut Wijono (2010), bahwa konsep motivasi telah dipahami

atau diterima karena pertama, fenomena tersebut tidak dapat diperhatikan

secara langsung. Sebaliknya, kedua, motivasi adalah suatu proses hipotesis

yang dapat disimpulkan dengan cara memperhatikan tingkah laku

seseorang, mengukur perubahan-perubahan dalam prestasi atau

mengharapkan penjelasan tentang kebutuhan-kebutuhan dan tujuannya.

Teori ini lebih tepat disebut teori kebutuhan dari McClelland karena dalam

teori McClelland mengemukakan tiga kebutuhan manusia yaitu kebutuhan

berprestasi (need for achievement, n Ach), kebutuhan berkuasa (need for

Page 39: iklim organisasi.pdf

53

power, n Pow), dan kebutuhan berafiliasi atau berhubungan (need for

affiliation, n Aff) (dalam Munandar, 2010).

c. Teori Kebutuhan ERG Alderfer

Teori motivasi ini dikenal sebagai teori ERG sebagai singkatan dari

Existence, Relatedness, dan Growth, dikembangkan oleh Psikolog Clayton

Alderfer. Teori E.R.G. Alderfer ini dibangun diatas beberapa pemikiran

Maslow tetapi mengurangi jumlah kebutuhan universal dari lima menjadi

tiga kebutuhan yang lebih fleksibel dalam hal gerakan antara tingkat

kebutuhan. Maslow mengasumsikan bahwa kebutuhan pada tingkat yang

lebih rendah yang harus dipenuhi sebelum kebutuhan pada tingkat yang

lebih tinggi adalah sebagai motivator, Alderfer menolak pembatasan ini.

Menurut teori ERG, kebutuhan pada tingkat yang lebih tinggi dapat

menjadi motivator bahkan jika kebutuhan pada tingkat yang lebih rendah

tidak sepenuhnya terpuaskan, dan kebutuhan yang lebih dari satu level bisa

menjadi motivator setiap saat. Alderfer setuju dengan Maslow bahwa

ketika kebutuhan pada tingkat rendah terpenuhi seorang pekerja menjadi

termotivasi untuk memenuhi kebutuhan pada tingkat yang lebih tinggi.

Namun Alderfer bertentangan dengan Maslow pada konsekuensi dari

kebutuhan frustrasi. Maslow mengatakan bahwa sekali kebutuhan pada

tingkat yang lebih rendah terpuaskan itu tidak lagi menjadi sumber

motivasi. Alderfer mengusulkan bahwa ketika seseorang termotivasi untuk

memenuhi kebutuhan pada tingkat yang lebih tinggi tetapi memiliki

kesulitan melakukannya, motivasi seseorang untuk memenuhi kebutuhan

pada tingkat rendah akan meningkat (dalam George & Jones, 2012).

Adapun teori motivasi melalui tiga kebutuhan Alderfer (Landy & Trumbo

dalam Wijono, 2010) yaitu:

a) Kebutuhan Keberadaan (Existence need), meliputi dorongan individu

berkaitan dengan kebutuhan materi dan fisik, seperti gaji, keuntungan,

Page 40: iklim organisasi.pdf

54

keselamatan secara fisik. Kategori kebutuhan tersebut mempunyai

tujuan untuk memenuhi kebutuhan materi bagi diri individu itu sendiri.

Jika kebutuhan materi ini tidak terpenuhi individu mempunyai

kecenderungan untuk bersaing dengan individu yang lain. Persaingan

ini terjadi bila sumber yang diinginkan terbatas dan dalam persaingan

tersebut sering kali dapat mengecewakan individu lainnya. Kebutuhan

tersebut akan dicapai oleh individu dengan segala macam cara jika

memang diperlukan untuk dipuaskan. Demikian kebutuhan ini

mencakup kebutuhan fisiologikal dan kebutuhan rasa aman di dalam

teori Maslow. Dengan kata lain, kebutuhan ini dipuaskan oleh faktor-

faktor seperti makanan, udara, imbalan, dan kondisi kerja.

b) Kebutuhan Relasi (Relatedness need), merupakan kebutuhan untuk

mengadakan hubungan dan sosialisasi dengan orang lain. Bila

dikaitkan dengan organisasi, maka individu akan berusaha untuk dapat

membina hubungan dengan orang-orang di lingkungan kerjanya seperti

teman kerja (kolega), atasan dan bawahan. Kebutuhan ini mencakup

kebutuhan sosial dan kasih sayang di dalam teori Maslow. Dengan kata

lain, kebutuhan ini dipuaskan oleh hubungan sosial dan interpersonal

yang berarti.

c) Kebutuhan Pertumbuhan (Growth need), mengacu pada kebutuhan

yang mendorong individu untuk menjadi orang yang kreatif dan

produktif serta berusaha memberikan yang terbaik untuk diri dan

lingkungan di mana dia berada. Kepuasan akan pemenuhan kebutuhan

hidup ini akan timbul jika individu dapat menyelesaikan masalah dan

memuaskan keinginannya untuk dapat mengembangkan potensi diri

dan tumbuh secara optimal dalam kehidupannya, seperti dalam

keluarga, dan tempat kerjanya misalnya memperoleh kesempatan

untuk mengembangkan karier atau meningkatkan diri dalam

Page 41: iklim organisasi.pdf

55

pengetahuan, keterampilan, dan keahliannya. Kebutuhan pertumbuhan

merangkum kebutuhan harga diri dan aktualisasi diri di dalam teori

Maslow. Dengan kata lain, Kebutuhan ini terpuaskan jika individu

membuat kontribusi yang produktif atau kreatif.

Teori Alderfer menekankan bahwa bila kebutuhan yang lebih

tinggi dikecewakan, kebutuhan yang lebih rendah walaupun sudah

terpenuhi, muncul kembali. Hal ini berbeda dengan hierarki kebutuhan

Maslow yang melihat orang bergerak secara mantap menaiki tangga

hierarki kebutuhan sedangkan Alderfer melihat orang naik turun pada

hierarki kebutuhan dari waktu ke waktu dan dari situasi ke situasi (dalam

Ivancevich, Konopaske, & Matteson, 2006).

Sehubungan dengan pernyataan di atas, Wijono (2010)

mengemukakan bahwa Teori ERG menjelaskan bahwa manusia bekerja

memenuhi kebutuhan keberadaan, kebutuhan relasi dan pertumbuhan

terletak berdasarkan urutan kekonkretannya. Semakin konkret kebutuhan

yang rendah dicapai, maka semakin mudah seorang karyawan untuk

mencapainya. Kebutuhan yang konkret menurut Alderfer adalah

kebutuhan keberadaan yang paling mudah, kemudian kebutuhan relasi

dengan orang lain untuk dipenuhi dalam mencapai kepuasan kerja dan

prestasi kerja sebelum seseorang mencapai kebutuhan yang lebih

kompleks dan yang paling kurang konkret (abstrak), yaitu kebutuhan

pertumbuhan.

Sementara itu, teori kebutuhan ERG Alderfer ini memberikan dua

alasan yang mendasar yaitu pertama, makin sempurna suatu kebutuhan

yang paling konkret dicapai/ dipuasi, maka semakin besar kebutuhan yang

kurang konkret (abstrak) dipenuhi. Kedua, makin kurang sempurna

kebutuhan dicapai, maka semakin besar keinginan untuk memenuhi

kebutuhannya agar mendapat kepuasan. Teori ini hampir sama dengan

Page 42: iklim organisasi.pdf

56

Maslow bahwa orang akan memenuhi kebutuhan termudah lebih dahulu

kemudian memenuhi kebutuhan yang lebih sulit (dalam Wijono, 2010).

Teori Alderfer merupakan penyesuaian dari teori Maslow yang

menyatakan bahwa ada tiga proses dalam model hubungan antara

kebutuhan ERG Alderfer yang digambarkan sebagai berikut:

Keterangan:

Satisfaction/progression

Frustration/regression

Satisfaction/strengthening

Gambar 2.3. Teori Kebutuhan Existence, Relatedness, dan Growth Alderfer(Dikutip dari Saal & Knight, 1995:249).

1. Proses pemuasan-progresif (fullfiilment-progression/ satisfaction

progression).

Pada dasarnya penjelasan tentang fulfillment-progression/

satisfaction-progression sama dengan proses hirarkhi kebutuhan Maslow

yang mengatakan bahwa jika individu memuaskan kebutuhan yang lebih

konkret, maka tenaga (energi) yang lebih dapat disiapkan untuk

memperoleh aspek-aspek kebutuhan yang kurang konkret, sifatnya lebih

personal dan sulit dipastikan. Dengan kata lain, seorang pegawai akan

memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi tingkatannya sesudah kebutuhan

pada tingkat yang lebih rendah dipuasi. Misalnya jika pegawai telah

dipuaskan oleh kebutuhan keberadaan (existence need) melalui kebutuhan-

Relatednessneeds

Growthneeds

Existenceneeds

Page 43: iklim organisasi.pdf

57

kebutuhan yang bersifat materi dan keamanan dan keselamatan, maka

pegawai akan berusaha maju ke kebutuhan relasi (relatedness need).

2. Kekecewaan-kemunduran (frustration-regression)

Proses ini adalah kebalikan dari proses yang pertama. Menurut

proses ini individu diumpamakan sebagai seorang yang cenderung untuk

memenuhi kebutuhan yang lebih konkret jika dirinya tidak dapat

memenuhi kebutuhan yang abstrak. Kebutuhan keberadaan (existence

need) akan lebih diinginkan seandainya kebutuhan relasi dengan orang lain

(relatedness need) tidak dapat dipuaskan. Hal ini karena lebih mudah atau

lebih konkret untuk dapat memenuhi kebutuhan yang survival daripada

harus membina hubungan dengan orang lain. Selanjutnya individu juga

akan mengulang kembali kebutuhan relasi dengan orang lain (relatedness

need) jika dirinya tidak mendapat kepuasan dari kebutuhan pertumbuhan

(growth need). Hal ini adalah lebih mudah dicapai untuk memperoleh

dukungan dan bantuan daripada mengembangkan kemampuan diri sendiri.

Singkatnya proses ini dapat mengakibatkan seseorang individu melakukan

pengunduran diri untuk memperoleh kebutuhan pada tingkat yang lebih

rendah jika kebutuhan tingkat tinggi tidak dapat dipuaskan.

3. Kepuasan-kekuatan (satisfaction-strengthening)

Ada kecenderungan bahwa individu akan mengarahkan tenaganya

pada kebutuhan-kebutuhan yang telah berhasil dipuaskan. Pada gambar

2.3. menunjukkan bila seorang telah mencapai pada tingkat kebutuhan

relasi dan kebutuhan pertumbuhan maka dapat menghasilkan kekuatan

dari kebutuhan yang telah dipenuhi untuk dipuaskan. Dalam teori Alderfer

ini, proses ini memungkinkan untuk terus melanjutkan motivasi dari

seseorang untuk mencapai tingkat kebutuhan yang lebih tinggi. Demikian

ada kecenderungan bahwa setiap orang mempunyai kebutuhan yang

berbeda-beda dan kebutuhan-kebutuhan tersebut tergantung pada sejauh

Page 44: iklim organisasi.pdf

58

mana dirinya berhasil memuaskan kebutuhan-kebutuhan tersebut (dalam

Wijono, 2010; Saal & Knight, 1995).

Adapun proses motivasi ERG Alderfer dapat ditunjukkan seperti dalam

tujuh pernyataan sebagai berikut:

1). Kebutuhan existence kurang terpuaskan oleh individu, maka dirinya

cenderung akan menginginkannya terus;

2). Kebutuhan relatedness kurang terpuaskan oleh individu, maka dirinya

cenderung akan menginginkan kebutuhan existence;

3). Kebutuhan existence lebih terpuaskan oleh individu, maka dirinya

cenderung akan lebih menginginkan kebutuhan relatedness;

4). Kebutuhan relatedness kurang terpuaskan oleh inidividu, maka dirinya

cenderung akan menginginkan terus;

5). Kebutuhan growth kurang terpuaskan oleh individu, maka dirinya

cenderung akan lebih menginginkan kebutuhan relatedness;

6). Kebutuhan relatedness lebih terpuaskan oleh individu, maka dirinya

cenderung akan lebih menginginkan kebutuhan growth;

7) Kebutuhan growth lebih terpuaskan oleh individu, maka dirinya akan

lebih menginginkannya terus (dalam Wijono, 2010).

Dalam teori kebutuhan ERG oleh Alderfer belum menstimulasi

banyak penelitian namun Salancik dan Preffer menyatakan bahwa model

seperti Maslow dan Alderfer menjadi populer karena model-model itu

sejalan dengan teori lain mengenai pilihan rasional dan karena model-

model itu mengatribusikan kebebasan individu (dalam Luthans, 2011;

Arnolds & Boshoff, 2002). Ide bahwa individu membentuk tindakan

mereka untuk memenuhi kebutuhan yang belum terpenuhi memberikan

arah dan tujuan pada aktivitas individu. Lebih lanjut, penjelasan mengenai

kebutuhan juga merupakan hal yang populer, walaupun hanya terdapat

sedikit verifikasi penelitian yang mendukung hal tersebut. Karena teori

Page 45: iklim organisasi.pdf

59

tersebut sederhana dan dengan mudah mengekspresikan perilaku manusia

(dalam Ivancevich, Konopaske, & Matteson, 2006). Sejalan dengan itu,

penelitian untuk menguji teori ERG Alderfer sangat jarang dan telah

memberikan sedikit dukungan yang konsisten untuk teori tersebut,

kurangnya minat dalam teori ERG yang kemungkinan karena sebagian

untuk beberapa masalah yang ERG yang sama dengan hirarki kebutuhan

Maslow di mana kedua teori mengandalkan pada konsep kebutuhan, yang

tidak pernah didefinisikan secara operasional untuk kepuasan banyak

peneliti (Rauschenbeger, Schmitt & Hunter; Wanous & Zwany, dalam

Saal & Knight, 1995). Sementara itu, Arnolds dan Boshoff (2002)

mengemukakan bahwa meskipun literatur motivasi telah didominasi oleh

ketidakjelasan teoritis namun teori kebutuhan telah menarik minat

penelitian karena dianggap sebagai salah satu cara yang paling tepat untuk

memahami motivasi. Hal ini sejalan dengan ungkapan Stahl (dalam

Arnolds & Boshoff, 2002) bahwa teori-teori kebutuhan telah menjadi

fokus dari banyak penelitian dalam motivasi.

Menurut Robbins (2001), teori kebutuhan ERG lebih konsisten

dengan pengetahuan kita mengenai perbedaan individual di antara orang-

orang. Variabel seperti pendidikan, latar belakang keluarga, dan

lingkungan budaya dapat mengubah pentingnya atau kekuatan dorong

yang dipegang sekelompok kebutuhan untuk seorang individu tertentu.

Bukti yang memperlihatkan bahwa orang-orang dalam budaya-budaya lain

memeringkatkan kategori kebutuhan secara berbeda misalnya, pribumi

Spanyol dan Jepang menempatkan kebutuhan sosial sebelum persyaratan

faali-yang konsisten dengan teori kebutuhan ERG. Di tambahkan pula oleh

Robbins bahwa secara keseluruhan teori kebutuhan ERG menyatakan

suatu versi yang lebih valid dari hirarki kebutuhan sedangkan McClelland

lebih menekankan pada teori kebutuhan berprestasi. Sejalan dengan itu,

Page 46: iklim organisasi.pdf

60

Saal dan Knight (1995) mengemukakan bahwa teori ERG Alderfer lebih

canggih (more sophisticated) daripada hirarki kebutuhan Maslow karena

memungkinkan untuk mengulang terhadap kebutuhan yang lebih dasar,

ERG lebih kompatibel dengan pengalaman nyata kebanyakan dari orang

yang bekerja. Sementara itu, menurut Trivellas, Kakkos, dan Reklitis

(2010) bahwa keunggulan teori Alderfer yang berasal dari orientasi

spesifikasi pekerjaan yang tercermin terutama oleh pembayaran untuk

tunjangan, kebutuhan akan hubungan dari rekan kerja dan atasan dan

kebutuhan untuk bertumbuh atau berkembang dalam pekerjaan sehingga

menghasilkan kepuasan di tempat kerja.

Dari berbagai teori motivasi yang dikemukakan di atas maka,

dalam penelitian ini penulis menggunakan teori motivasi ERG oleh

Alderfer. Hal ini karena teori motivasi ERG oleh Alderfer merupakan teori

kebutuhan yang sangat revelan dengan kepuasan kerja pegawai Dinas

Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Nusa Tenggara Timur di Kupang.

2.3.3. Aspek-aspek Motivasi Kerja

Menurut McClelland (dalam Wexley & Yukl, 1989), ada tiga

dimensi yang menunjukkan motivasi kerja, yaitu :

a). Motif berprestasi.

Seorang yang memiliki kebutuhan berprestasi yang tinggi akan

mendapat kepuasan dari pengalaman sukses dalam menyelesaikan

tugas yang sulit, atau mengembangkan cara penyelesaian yang lebih

baik. Individu yang memiliki motivasi berprestasi yang kuat akan lebih

memilih tugas yang hasilnya tergantung dari usaha dan

kemampuannya daripada faktor keberuntungan yang berada di luar

kendalinya. Bagi mereka feedback juga merupakan sarana untuk

mengetahui seberapa baik/ kualitas pekerjaan mereka sehingga mereka

Page 47: iklim organisasi.pdf

61

dapat menikmati pengalaman demi pengalaman dalam menciptakan

dan mencapai tujuan. Mereka juga menikmati kompetisi dengan orang

lain atau rekan kerja dalam mengerjakan sesuatu yang belum pernah

mereka kerjakan sebelumnya.

b). Motif afiliasi.

Pada dasarnya manusia memiliki keinginan untuk menjalin hubungan

dengan rekan kerja dan hubungan interpersonal yang baik, di mana

terdapat kasih sayang, keharmonisan, dan perhatian yang saling

memberi dan menerima. Bagaimanapun juga kekuatan dari kebutuhan

ini berubah-ubah setiap orangnya. Seseorang dengan kebutuhan afiliasi

yang kuat akan sangat memperhatikan apakah ia disukai dan diterima

dan juga sensitif sebagai isyarat yang mengidentifikasikan penolakan

dan penerimaan dari orang lain. Individu ini akan menemukan

kenyamanan yang luar biasa di dalam interaksi sosial dan rekan kerja.

c). Motif kekuasaan.

Seseorang yang memiliki kebutuhan kekuasaan memiliki keinginan

yang besar untuk memengaruhi orang lain, ia juga mendapat kepuasan

yang besar pada saat memengaruhi orang lain. Di dalam setiap

kelompok, individu juga berkeinginan untuk memberi pengarahan

kepada orang lain.

Selain itu, menurut Alderfer (dalam Shouksmith, 1989; Arnolds &

Boshoff, 2002), ada tiga aspek yang menunjukkan motivasi kerja yang

didasarkan pada tiga kebutuhan, yaitu:

a). Kebutuhan keberadaan (Existence need)

Kebutuhan keberadaan meliputi berbagai macam tingkat dorongan

yang berkaitan dengan kebutuhan materi dan fisik, seperti gaji,

keuntungan, keselamatan secara fisik. Dalam hal ini lebih

diaplikasikan sebagai alasan seseorang untuk bekerja. Alasan

Page 48: iklim organisasi.pdf

62

seseorang bekerja adalah untuk memenuhi kebutuhannya yang paling

mendasar yaitu kebutuhan makan, tempat tinggal, kebutuhan yang

menyenangkan, serta kebutuhan hidup lainnya. Secara spesifik,

kebutuhan keberadaan berkaitan dengan kebutuhan terhadap gaji dan

tunjangan tambahan (fringe benefits) yang dibutuhkan pegawai ketika

memilih untuk bekerja.

b). Kebutuhan relasi (Relatednes need).

Kebutuhan relasi ini menekankan pada pentingnya hubungan sosial

atau hubungan antar pribadi. Kebutuhan ini dapat dipuaskan melalui

hubungan dengan keluarga, teman, supervisor/ atasan, bawahan, dan

rekan kerja. Bila dikaitkan dalam pekerjaan bahwa pegawai yang

bekerja tidak hanya memperoleh gaji dan tunjangan tambahan saja

namun pegawai membutuhkan suatu hubungan atau relasi untuk

berkomunikasi dengan atasan dan sesama rekan kerja dalam membantu

mencapai kepuasan kerja. Secara spesifik, kebutuhan relasi berkaitan

dengan kebutuhan dalam hubungan dengan atasan dan kebutuhan

dalam hubungan dengan rekan kerja.

c). Kebutuhan pertumbuhan (Growth need).

Kebutuhan pertumbuhan meliputi keinginan seseorang untuk menjadi

kreatif, sehingga dapat berguna dan memberi kontribusi yang produktif

dan memiliki kesempatan untuk pengembangan pribadi. Bila dikaitkan

dalam pekerjaan, pegawai yang bekerja tidak hanya memperoleh gaji

dan tunjangan tambahan, hubungan antar pribadi namun pegawai

membutuhkan suatu pertumbuhan dalam bekerja dengan belajar

sesuatu yang baru dalam pekerjaan, menggunakan kemampuan untuk

bekerja, membuat satu keputusan atau lebih setiap hari dan melakukan

hal-hal yang menantang di tempat kerja. Dengan melihat dan

memahami kebutuhan karyawan maka motivasi kerja karyawan akan

Page 49: iklim organisasi.pdf

63

meningkat sehingga pegawai dapat memperoleh kepuasan kerja yang

berdampak pada kinerja kerja dengan baik.

Adapun aspek motivasi kerja yang akan digunakan dalam penelitian

ini mengacu pada teori motivasi kerja dari Alderfer (dalam Arnolds &

Boshoff, 2002). Ketiga aspek motivasi kerja tersebut ialah kebutuhan akan

keberadaan (existence need), kebutuhan akan relasi (relatednes need) dan

kebutuhan akan pertumbuhan (growth need) yang sangat bersinergi

dengan kepuasan kerja yang merupakan variabel bebas dalam penelitian

ini. Sementara itu, pada aspek-aspek motivasi kerja oleh McClelland lebih

berpengaruh atau berkorelasi dengan kinerja atau produktivitas kerja.

Selain itu, sejauh penelusuran penulis mengenai motivasi kerja

yang dikembangkan oleh Alderfer masih jarang untuk mendapat perhatian

oleh peneliti sebelumnya sehingga hal ini menarik penulis untuk

menelitinya. Demikian hal ini akan sangat membantu dalam mengungkap

data penelitian mengenai motivasi kerja yang berpengaruh dengan

kepuasan kerja pegawai negeri sipil di instansi pemerintah pada Dinas

Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Nusa Tenggara Timur di Kupang.

2.3.4. Peran Motivasi Kerja

Dalam dunia kerja di organisasi apapun, termasuk organisasi

pemerintah, motivasi kerja seseorang pegawai terhadap organisasi

seringkali menjadi isu yang sangat penting. Dengan memiliki motivasi

kerja maka pegawai dapat bekerja dengan lebih baik melalui untuk

mencurahkan segala kemampuan sesuai dengan tugas dan tanggung jawab

sebagai pemenuhan kebutuhannya dalam organisasi. Ishak (dalam Irja,

2008) mengemukakan peran motivasi yang utama adalah menciptakan

gairah kerja sehingga kepuasan kerja dan produktivitas kerja meningkat.

Sementara itu, pegawai memiliki motivasi dalam pekerjaan akan dapat

Page 50: iklim organisasi.pdf

64

menyelesaikan tepat waktu sesuai standart yang benar dan dalam skala

waktu yang sudah ditentukan sehingga karyawan akan senang melakukan

pekerjaannya. Demikian sesuatu yang dikerjakan karena ada motivasi yang

mendorongnya akan membuat orang senang mengerjakannya. Orang pun

akan merasa dihargai atau diakui. Hal ini terjadi karena pekerjaannya itu

betul-betul bagi karyawan mempunyai motivasi sehingga melakukannnya

dengan bekerja keras.

Sementara itu, Remi, Adegoke, dan Toyosi (2011) mengutarakan

bahwa motivasi sangat penting dalam organisasi karena bermanfaat dalam

membangun kemauan dalam diri karyawan untuk bekerja, meningkatkan

tingkat efisiensi di mana tingkat untuk karyawan tidak hanya tergantung

pada kualifikasi dan kemampuannya tetapi adanya kesenjangan antara

kemampuan dan kemauan yang membantu dalam meningkatkan kepuasan

kerja dan tingkat kinerja karyawan yang pada peningkatan produktivitas.

Di tambahkan pula oleh Remi dkk., (2011) bahwa motivasi merupakan

faktor penting yang membawa kepuasan kerja pegawai. Hal ini dapat

dilakukan dengan menjaga ke dalam pikiran dan membingkai sebuah

rencana insentif untuk kepentingan karyawan yaitu berupa insentif

moneter dan non moneter, peluang promosi bagi karyawan dan disinsentif

bagi karyawan yang tidak efisien dan efektif, membangun kerjasama untuk

stabilitas organisasi, mengurangi kerusuhan karyawan, penyesuaian

karyawan mengenai perubahan untuk membantu dalam memberikan

perhatian yang baik untuk kepentingan karyawan dan mengarah pada

tujuan organisasi sehingga meningkatkan kepuasan kerja dan produktivitas

kerja yang lebih baik. Hal ini sejalan dengan pendapat Gibson dkk., (1996)

bahwa motivasi merupakan kekuatan yang mendorong seseorang

karyawan yang menimbulkan/ mengarahkan perilaku, atau suatu proses di

mana perilaku diberikan energi dan diarahkan.

Page 51: iklim organisasi.pdf

65

Selain itu, Grasberger dan Synder (2004) mengemukakan bahwa

motivasi amatlah penting dalam organisasi karena berasal dari dalam diri

karyawan untuk berusaha memenuhi kebutuhan melalui pekerjaan mereka

dan melalui hubungan mereka dengan organisasi sebagai motivasi kerja

untuk meningkatkan kepuasan kerja. Demikian motivasi kerja akan

berpengaruh pada kepuasan kerja melalui perasaan positif dan

menyenangkan terhadap pekerjaan. Hal ini juga sejalan dengan pendapat

Naeem, Sentosa, Nejatian, dan Piaralal (2009) bahwa karyawan yang

termotivasi dalam pekerjaan akan menghasilkan kepuasan kerja yang lebih

tinggi melalui pemenuhan kebutuhan yang dominan dan memiliki

pengaruh besar sebagai bagian yang penting dari kehidupannya dan

berpengaruh dalam situasi pekerjaan.

Berdasarkan penjelasan di atas didukung dalam penelitian Adigun

dan Stephenson (2001) menemukan motivasi kerja berpengaruh signfikan

terhadap kepuasan kerja di antara karyawan Amerika dan Nigeria.

Demikian juga penelitian Kakkos, Trivellas, dan Fillipou (2010)

membuktikan bahwa motivasi kerja melalui tiga aspek kebutuhan oleh

teori Alderfer berpengaruh signfikan terhadap kepuaasan kerja karyawan

yang berjumlah 143 karyawan sektor perbankan di dua bank di Yunani.

Page 52: iklim organisasi.pdf

66

2.4. HASIL-HASIL PENELITIAN TERDAHULU

2.4.1. Iklim Organisasi Sebagai Prediktor Terhadap Kepuasan Kerja

Iklim organisasi merupakan suatu persepsi pegawai mengenai

keadaan atau ciri-ciri atau sifat-sifat yang menggambarkan suatu

lingkungan psikologis organisasi yang dirasakan oleh pegawai yang

bekerja dalam lingkungan organisasi. Singh dkk., (2011) mengemukakan

bahwa iklim organisasi adalah iklim psikologis dalam organisasi sehingga

definisi dari iklim psikologis adalah tepat karena mengacu pada persepsi

yang dimiliki oleh individu tentang situasi kerja. Iklim organisasi dan

kepuasan kerja adalah konstruksi yang berbeda tetapi terkait (Al-

Shammari; Keuter, Byrne, Voell & Larson, dalam Castro & Martins,

2010). Iklim organisasi difokuskan pada organisasi/ atribut kelembagaan

yang dirasakan dan dipersepsikan oleh anggota organisasi, sedangkan

kepuasan kerja merupakan perasaan karyawan baik positif maupun negatif

mengenai pekerjaannya. Dengan demikian apabila pegawai merasa bahwa

iklim yang ada pada organisasi tempat ia bernaung cukup kondusif dan

menyenangkan baginya untuk bekerja dengan baik maka akan dapat

meningkatkan kepuasan kerja para pegawai untuk bekerja lebih baik.

Pentingnya iklim organisasi berpengaruh kepada kepuasan kerja

dibuktikan dalam penelitian yang dilakukan oleh Adenike (2011) kepada

293 staff karyawan akademik yang bekerja di universitas swasta, Nigeria

menemukan bahwa adanya hubungan yang positif dan signifikan antara

iklim organisasi dengan kepuasan kerja (r=0.671, p<0.01). Penelitian

Meeusen dkk., (2011) juga menemukan ada korelasi yang positif antara

iklim organisasi dengan kepuasan kerja perawat ahli anestesi di Belanda

dengan sumbangan kepuasan kerja sebesar 20%. Sementara itu, Sari

(2009) dalam penelitiannya kepada 60 karyawan menemukan bahwa iklim

organisasi memiliki hubungan yang positif dan signifikan dengan

Page 53: iklim organisasi.pdf

67

kepuasan kerja karyawan administrasi di British International School

dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0,714 dengan p-value= 0.000. Hasil

tersebut dikatakan bahwa iklim organisasi yang diciptakan, antara lain

dengan menerapkan hari kerja dan jam kerja yang lebih rendah dari

organisasi lain sehingga iklim kerja yang rileks dapat dinikmati oleh

karyawan yang mendukung karyawan untuk meningkatkan ketrampilan

dan pengetahuan melalui pekerjaannya yang akhirnya menciptakan situasi

kerja yang kondusif yang berdampak pada meningkatnya kepuasan kerja

karyawan.

Selain itu, penelitian juga dilakukan oleh Hartuti (2006) dengan

menggunakan pengamatan (observation), wawancara (interview), daftar

pertanyaan (quistionaire) dan studi dokumentasi kepada pegawai

administrasi yang berstatus pegawai negeri sipil pada Biro Pusat

Administrasi Universitas Sumatera Utara menemukan hasil bahwa secara

simultan terdapat pengaruh yang signifikan tinggi antara iklim organisasi

terhadap kepuasan kerja sebesar 79,6% sedangkan secara parsial iklim

organisasi paling dominan yaitu sebesar 30,9% memengaruhi kepuasan

kerja pegawai. Pengaruh yang signifikan tinggi ditunjukkan dengan nilai

Fhitung 107.146 > Ftabel 2.044 pada tingkat signifikansi 0.000 < 0.05. Hal ini

diartikan bahwa tanpa adanya iklim organisasi yang baik dalam organisasi,

akan mengakibatkan rendahnya kepuasan kerja pegawai, atau semakin

baik iklim organisasi, maka akan semakin meningkat kepuasan kerja

pegawai hal ini dikarenakan iklim organisasi terlah berpihak pada pegawai

dan berorientasi pada pegawai, sehingga menimbulkan kegairahan

pegawai untuk memperoleh kepuasan dalam bekerja. Sejalan dengan hal

itu, penelitian Kabes’s (dalam Xiaofu & Qiwen, 2007) juga telah

menemukan hubungan yang positif signifikan antara iklim sekolah dengan

kepuasan kerja guru. Sementara itu, penelitian Keuter, Byrne, Voell dan

Page 54: iklim organisasi.pdf

68

Larson (2000) membuktikan ada korelasi yang positif signifikan antara

iklim organisasi secara keseluruhan dengan kepuasan kerja perawat di

Amerika Serikat (r = .61, p <.01) di mana empat dimensi iklim organisasi

yang terdiri dari struktur organisasi, dukungan, standar, dan status

profesional dilaporkan berkorelasi signifikan secara keseluruhan dengan

kepuasan kerja.

Dalam suatu kesempatan, penelitian Sudiyanto (2010) menemukan

bahwa ada pengaruh yang positif dan signifikan antara iklim organisasi

dengan kepuasan kerja pegawai di Badan Pusat Statistik kabupaten

Purworejo dengan koefisien regresi sebesar 0,484 dengan taraf signifikansi

0,000. Hal senada diungkapkan pula oleh Kaya, Koc, dan Topcu (2010)

dalam hasil penelitiannya yang menyatakan bahwa iklim organisasi

berpengaruh positif signifikan terhadap kepuasan kerja karyawan Bank di

Turki. Penelitian Widianingtanti (2007) kepada 113 karyawan perusahaan

di Semarang yang berstatus karyawan tetap menemukan adanya hubungan

positif dan sangat signifikan antara iklim organisasi dengan kepuasan kerja

pada karyawan, artinya apabila iklim organisasi semakin baik maka

kepuasan kerja karyawan akan semakin tinggi dan buruknya iklim

organisasi menyebabkan semakin rendah kepuasan kerja karyawan.

Penelitian Ahmad, Ahmad, Ahmed, dan Nawaz (2010) menemukan

adanya hubungan antara iklim organisasi dengan kepuasan kerja karyawan

farmasi. Sementara itu, penelitian yang dilakukan Ghaseminejad, Siadat,

dan Nouri (2005) kepada 115 guru di kabupaten Shahrecord, Iran

menemukan ada hubungan yang positif signifikan antara iklim organisasi

dengan kepuasan kerja guru (r = 0.623, sig = 0.000) yang artinya semakin

kondusif iklim organisasi di sekolah maka semakin tinggi pula kepuasan

kerja guru.

Page 55: iklim organisasi.pdf

69

Dalam suatu kesempatan yang lain pula, penelitian Castro dan

Martins (2010) kepada 696 karyawan yang bekerja di organisasi informasi

dan teknologi di Afrika Selatan menemukan bahwa ada hubungan yang

positif dan signifikan antara iklim organisasi dengan kepuasan kerja (r =

0.813, p < 0.01). Demikian juga penelitian Wahat (2009) menyimpulkan

ada hubungan yang positif dann signifikan antara iklim organisasi dengan

kepuasan kerja (r = 0.676, p < 0.05). Senada dengan itu penelitian yang

dilakukan oleh Wibowo dan Utomo (2006) kepada 60 guru menyatakan

ada hubungan atau pengaruh yang positif signifikan antara iklim organisasi

sekolah dengan kepuasan kerja guru pada SMA Negeri di Kota Madiun

dengan koefisien regresi 0,292 dengan taraf signifikansi 0,000. Hasil

penelitian Widiani (2010) menunjukkan bahwa terdapat kontribusi yang

sangat signifikan antara persepsi iklim organisasi terhadap kepuasan kerja

karyawan. Hal ini diketahui dari nilai korelasi yang diperoleh sebesar

0,630 dengan signifikansi sebesar 0,000 (p<0,01). Kemudian hasil

penelitian Sangkan (2005) menemukan adanya hubungan positif signifikan

antara iklim organisasi dengan kepuasan kerja karyawan Serawak,

Malaysia (r= 0,571, p > 0.000). Hal ini berarti bahwa semakin tinggi nilai

iklim organisasi maka semakin tinggi pula kepuasan kerja karyawan.

Penelitian Andriani dkk., (2004) kepada 100 karyawan Bank

Mandiri di kota Malang membuktikan iklim organisasi berpengaruh

langsung secara positif dan signifikan terhadap kepuasan kerja dengan

hasil uji regresi β = 0,686, thit = 8,940 dengan p=0,000 < 0,05. Adapun

sumbangan efektif iklim organisasi terhadap kepuasan kerja sebesar

23,4%. Dikatakan bahwa dengan adanya iklim organisasi yang sehat dan

kondusif memengaruhi kepuasan kerja, di mana kondisi tersebut tentuya

diikuti dengan peningkatan kepuasan kerja karyawan sedangkan apabila

iklim dipandang positif oleh karyawan maka diharapkan sikap dan

Page 56: iklim organisasi.pdf

70

perilaku yang ditimbulkan juga postif. Prasaja (2009) melakukan

penelitian tentang hubungan antara iklim organisasi dengan kepuasan kerja

karyawan PT. KAI Persero Stasiun Kota Malang. Hasil penelitiannya

menyatakan bahwa ada hubungan yang positif signifikan antara iklim

organisasi dengan kepuasan kerja, dengan nilai r = 0,484 (p = 0,000),

Sementara itu, penelitian Rahwidiharto (2003) menyimpulkan hubungan

yang signifikan antara iklim organisasi dengan kepuasan kerja pegawai di

lingkungan kantor sekretariat kabinet (r = 0,436, p 0,000, thit = 4,024 > ttab

= 2,42) sehingga disimpulkan bahwa makin baik iklim organisasi pegawai

dalam bekerja, makin tinggi kepuasan kerja pegawai. Sedangkan

penelitian Obadara (2008) membuktikan adanya pengaruh iklim organisasi

terhadap kepuasan kerja karyawan baik pengajar maupun staff akademik

yang bekerja di 10 universitas di selatan barat Nigeria dengan nilai

koefisien regresi 0,596, nilai beta sebesar 0,081, thit 2,342 dengan

signifikansi 0,005 <0,05 sehingga disimpulkan bahwa karyawan yang

bekerja di organisasi merasakan iklim organisasi yang positif signifikan

berpengaruh terhadap kepuasan kerja karyawan. Hal tersebut senada pula

diungkapkan oleh Arani dan Abbasi (2004) dalam hasil penelitiannya

menyatakan bahwa iklim organisasi sekolah mempunyai hubungan positif

signifikan terhadap kepuasan kerja guru di Iran dan India.

Selain itu, dalam penelitian Frimansah dan Santy (2009) terhadap

100 orang pegawai di lingkungan Pemerintah Daerah Kabupaten

Sukabumi menemukan iklim organisasi memiliki pengaruh positif

signifikan terhadap kepuasan kerja. Hal ini ditunjukkan dalam hasil uji thit

sebesar 5,575 dengan tingkat signifikansi p =0,000 < 0,05. Demikian pula

senada dalam penelitian Bhaesajsanguan (2010) ditemukan hasil nilai

koefisien regresi sebesar 0.81 pada taraf signifikansi p<0.01 yang berarti

iklim organisasi berpengaruh langsung dengan kepuasan kerja karyawan

Page 57: iklim organisasi.pdf

71

teknisi telekomunikasi pada perusahaan swasta di Thailand. Sementara itu,

penelitian Pangil, Yahya, Johari, Isa, dan Daud (2011) menyimpulkan

hasil penelitiannya bahwa iklim organisasi berpengaruh positif signifikan

dengan kepuasan kerja pegawai pada instansi pemerintah di Malaysia.

Sementara itu, penelitian Ella dan Asuquo (2010) juga menyatakan

bahwa iklim organisasi yang dipersepsikan perawat memiliki hubungan

yang positif dan signifikan terhadap kepuasan kerja perawat dengan nilai

korelasi 0,725 dengan signifikansi 5%. Hasil ini dikarenakan kebijakan

pemimpin perawat yang terus melibatkan para perawat dengan program

seminar, lokakarya yang membuat iklim organisasi yang dirasakan

kondusif bagi kepuasan kerja mereka. Hal ini sejalan dengan penelitian

Church (1995) menemukan iklim organisasi yang ada dalam kelompok

kerja memberikan pengaruh signifikan terhadap kepuasan kerja karyawan

dan semangat tim dalam organisasi.

Selanjutnya, Bemana (2011) dalam penelitiannya menemukan

pengaruh yang positif dan signifikan antara iklim organisasi dengan

kepuasan kerja karyawan Shiraz Municipality Personnel di Iran dengan

nilai koefisien regresi sebesar 0.30 pada taraf signifikansi p<0.01. Hal ini

sejalan pula dengan penelitian Xiaofu dan Qiwen (2007) menemukan

adanya hubungan yang positif signifikan antara iklim organisasi sekolah

dengan kepuasan kerja guru SMP di China. Temuan lain juga diperoleh

dalam penelitian oleh Suhanto (2009) menemukan ada pengaruh yang

positif antara iklim organisasi dengan kepuasan karyawan Bank

Internasional Indonesia (BII). Dari hasil penelitiannya diketahui nilai CR

(Critical Ratio) sebesar 4,539 dengan probabilitas sebesar 0,001.

Kemudian hasil penelitian oleh Runtu dan Widyarini (2009) menemukan

kontribusi iklim organisasi dan stres kerja terhadap kepuasan kerja perawat

bagian rawat inap rumah sakit di Jakarta Timur. Hal ini terlihat melalui

Page 58: iklim organisasi.pdf

72

koefisien determinasi (r2) sebesar 0,85 yang berarti bahwa iklim organisasi

dalam rumah sakit memberikan sumbangan efektif sebesar 8.5% terhadap

kepuasan kerja perawat.

Lebih lanjut, penelitian Satria (2005) kepada 300 karyawan (dosen

dan administrasi) tetap di Universitas Muhammadiyah Surakarta

menemukan bahwa ada hubungan positif signifikan antara iklim organisasi

dengan kepuasan kerja (r = 0,183, p 0,000 sehingga p<0,01). Hal senada

pula dalam penelitian Latif, Thiangchanya, dan Nasae (2010) menemukan

adanya hubungan positif signifikan antara iklim organisasi dengan

kepuasan kerja perawat di rumah sakit pemerintah Bangladesh dengan

sampel 126 perawat di dua rumah sakit medical college (r= 0.53. p<0.01)

dengan memperhatikan administrasi dan pembuat kebijakan lembaga

kesehatan kepada perawat maka dapat menciptakan dan memelihara iklim

organisasi yang positif dan menyenangkan sehingga berkontribusi dalam

meningkatkan kepuasan kerja perawat di Bangladesh. Sementara itu,

penelitian Moody (1996) mengenai kepuasan kerja perawat yang menjadi

pengajar di 45 fakultas keperawatan, di mana hasilnya menunjukkan

bahwa ada hubungan yang positif antara iklim organisasi dengan kepuasan

kerja berupa upah, kesempatan promosi, rekan kerja, pekerjaan dan

supervisi. Penelitian yang dilakukan Handriana (2002) kepada karyawan

tetap (Pegawai Negeri Sipil/PNS) di Universitas Airlangga Surabaya

menyatakan bahwa iklim organisasi secara keseluruhan berpengaruh

secara signifikan terhadap kepuasan kerja karyawan. Pengaruh positif

signifikan ditunjukkan dengan nilai Fhitung 24.226 > Ftabel 2.4675 pada

tingkat signifikansi 0.001 < 0.05. Kemudian menurut Church, Hurley, dan

Burker (1992) ada bermacam tipe perilaku yang terdiri dari manajer

senior, atasan langsung, dan anggota kelompok kerja yang tak lain

merupakan elemen-elemen pendukung kondusifitas iklim organisasi secara

Page 59: iklim organisasi.pdf

73

signifikan memengaruhi kepuasan kerja pegawai. Penelitian Bhutto,

Laghari, dan Butt (2012) menemukan iklim organisasi berpengaruh

signifikan terhadap kepuasan kerja karyawan. Hal ini terlihat dengan nilai

F sebesar 7.920 pada taraf signifikansi 0,000 (p<0,05) dan koefisien

determinasi (r2) sebesar 0,61 yang berarti bahwa iklim organisasi

memberikan sumbangan efektif sebesar 6.1% terhadap kepuasan kerja

karyawan bank.

Sebaliknya hasil penelitian yang berbeda dilakukan oleh Temitope

(2010) tentang pengaruh iklim organisasi terhadap kepuasan kerja pegawai

sipil di organisasi publik, Ekiti State dengan sampel 120 pegawai

menemukan tidak ada pengaruh yang signifikan antara iklim organisasi

dengan kepuasan kerja. Hal ini terlihat dari uji koefisien regresi untuk

variabel iklim organisasi dengan nilai β sebesar -0,116, thitung sebesar -1.13

dan nilai probabilitas sebesar 0,05. Dalam simpulannya menyatakan

kemungkinan iklim organisasi yang tercipta dalam suatu organisasi tidak

benar-benar memprediksi untuk meningkatkan kepuasan kerja pegawai

selama ada masa perubahan yang terjadi dalam organisasi. Hal senada

diperkuat oleh penelitian Mulyanto dan Suryani (2010) yang

menyimpulkan iklim organisasi berpengaruh negatif dan tidak signifikan

terhadap kepuasan kerja guru SD di lingkungan Dinas Pendidikan Pemuda

dan Olahraga Kecamatan Karangpandan Kabupaten Karanganyar dengan

koefisien regresi sebesar -0,316 dan nilai signifikansi sebesar 0,172 > 0,05.

Selanjutnya, penelitian Julius (dalam Badoni, 2010) menunjukkan tidak

ada hubungan yang signifikan antara iklim organisasi dengan kepuasan

kerja di antara operator telepon. Hal senada pula ditemukan dalam

penelitian Fahrani (2011) membuktikan iklim organisasi tidak berpengaruh

signifikan terhadap kepuasan kerja karyawan PT. Semen Gresik dengan

koefisien regresi -0,048, C.R.= -0,516 dan p-value 0,606. Hal ini

Page 60: iklim organisasi.pdf

74

menunjukkan bahwa iklim organisasi yang terjadi tidak cukup kuat

meningkatkan kepuasan kerja karyawan yang tinggi. Ditambahkan pula

oleh Wirawan (2007) bahwa pengaruh iklim organisasi terhadap perilaku

organisasi dapat bersifat positif dan negatif. Misalnya, ruang kerja yang

tidak baik, hubungan atasan, bawahan yang konflik, dan birokrasi yang

kaku dapat menimbulkan sifat negatif, stres kerja tinggi serta motivasi dan

kepuasan kerja yang rendah. Sebaliknya jika karyawan bekerja di ruangan

yang nyaman dan bersih, hubungan atasan dan bawahan yang kondusif,

dan birokrasi yang longgar akan menimbulkan sikap positif, stres kerja

rendah, serta motivasi dan kepuasan kerja yang tinggi.

Berdasarkan hasil-hasil penelitian yang telah di kemukakan di atas,

ditemukan adanya perbedaan dalam hasil-hasil penelitian tersebut dan

sejauh penelusuran penulis masih jarang dilakukannya penelitian pada

lembaga atau instansi pemerintah.

2.4.2. Motivasi Kerja Sebagai Prediktor Terhadap Kepuasan Kerja

Dalam melaksanakan pekerjaan di organisasi apapun, seorang

pegawai membutuhkan motivasi untuk bekerja sebagai kekuatan yang

mendorong dari dalam diri individu untuk menggerakkan atau

mengarahkan dalam berperilaku untuk memenuhi keinginan dan

kebutuhannya dengan bekerja keras, menjalin hubungan antar pribadi dan

bertumbuh dalam pekerjaan sehingga dapat mencapai kepuasan kerja dan

menghasilkan efektivitas, produktivitas dan hasil kerja yang efektif, baik

bagi diri individu maupun bagi sebuah organisasi. Semakin terpenuhinya

dorongan kebutuhan untuk memotivasi kerja pegawai maka dapat

menghasilkan kepuasan kerja pegawai. Ahmed dan Islam (2011)

mengemukakan bahwa ada hubungan atau pengaruh antara motivasi

dengan kepuasan kerja yang merupakan hal pokok penting dari setiap

Page 61: iklim organisasi.pdf

75

keberadaan organisasi meskipun selalu ada kebingungan antara konsep

motivasi dengan kepuasan kerja. Sementara itu, Gibson dkk., (dalam

Peretomode, 1991) mengungkapkan bahwa motivasi dengan kepuasan

kerja merupakan kedua hal istilah yang saling terkait tetapi tidak sinonim.

Hal ini juga di dukung oleh Mullins (dalam Absar, Azim, Balasundaram,

& Akhter, 2010) yang mengemukakan bahwa motivasi berhubungan erat

dengan kepuasan kerja karena motivasi merupakan proses untuk

meningkatkan kepuasan kerja pegawai.

Pentingnya motivasi kerja dengan kepuasan kerja di dukung dalam

penelitian yang dilakukan oleh Ayub dan Kafif (2011) tentang hubungan

antara motivasi kerja dengan kepuasan kerja di man, menemukan bahwa

ada hubungan yang positif signifikan antara motivasi kerja dengan

kepuasan kerja kepada 80 manajer Bank yang di Pakistan r=0.563 dengan

signifikansi p=0.000. Hasil tersebut menunjukkan bahwa manajer merasa

termotivasi oleh karena lingkungan kerja yang baik dengan rekan kerja,

tugas yang menarik, umpan balik serta kompensasi sebagai uang dapat

memenuhi kebutuhan dasar seperti pangan dan keamanan, tetapi juga

kebutuhan yang lebih canggih seperti kebutuhan akan pengakuan. Mamik

(2009) melakukan penelitian kepada 100 karyawan bagian operasional

pada industri kertas yang ada di Jawa Timur yang membuktikan bahwa

motivasi kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan kerja

karyawan dengan nilai koefisien regresi sebesar 0.351 dengan nilai

signifikansi 0,000. Gunawan (2009) menemukan pengaruh positif antara

motivasi kerja dengan kepuasan kerja karyawan PT Sumber Sehat

Semarang. Hal ini di tunjukkan dengan nilai koefisien regresi sebesar

0.386 dengan signifikansi sebesar 0,008. Demikian pula penelitian

Triningsih (2006) menyimpulkan motivasi kerja berpengaruh terhadap

kepuasan kerja guru dan karyawan dengan koefisien regresi sebesar 0,434

Page 62: iklim organisasi.pdf

76

dengan thitung = 3.734 > ttabel (1.67) dan sumbangan determinasi sebesar

18.8% sehingga dikatakan semakin tinggi pemberian motivasi kerja sesuai

dengan kebutuhan gaji atau penghasilan, minat, kebutuhan rasa aman,

hubungan interpersonal dan kesempatan untuk berkembang maka dapat

menghasilkan kepuasan kerja guru dan karyawan SMP Negeri 30

Semarang.

Selain itu penelitian oleh Saleem dkk., (2010) menemukan adanya

hubungan positif antara motivasi kerja dengan kepuasan kerja kepada 30

karyawan di dua organisasi dalam sektor telekomunikasi di Pakistan

dengan koefisien korelasi r= 0.263 pada taraf signifikansi 1%. Secara

keseluruhan karyawan merasa puas dengan pekerjaan mereka dan

memiliki minat dalam pekerjaan mereka. Penelitian Kartika dan Kaihatu

(2010) kepada 72 karyawan yang menyimpulkan bahwa motivasi kerja

berpengaruh secara signifikan terhadap kepuasan kerja karyawan di

Pakuwon Food Festival. Hasil peneltian tersebut terlihat dari nilai

koefisien regresi sebesar 3,326 pada taraf signifikansi 0.001 dan diketahui

kontribusi variabel motivasi kerja terhadap kepuasan kerja hanya sebesar

13.6%. Sejalan dengan itu, penelitian Ukeh dan Kwahar (2012) kepada

144 pegawai menemukan pengaruh motivasi yang positif signifikan

terhadap kepuasan kerja pegawai pemerintah lokal Goboko di Nigeria. Hal

ini dilihat dari nilai r square sebesar 0.270, dengan nilai regresi motivasi

intrinsik sebesar 0.233 dan motivasi ekstrinsik 0.378 terhadap kepuasan

kerja. Sementara itu, penelitian Nisaa (2009) membuktikan adanya

hubungan yang positif dan signifikan antara motivasi kerja dengan

kepuasan kerja karyawan divisi layanan Bisnis Syariah PT. Asuransi Jiwa

Bringin Jiwa Sejahtera, Jakarta (r = 0.532, p 0.004<0.05). Hal senada pula

diungkapkan dalam penelitian Kakkos dkk., (2010) kepada 143 karyawan

bank di Yunani yang menyimpulkan adanya pengaruh yang signifikan

Page 63: iklim organisasi.pdf

77

positif antara motivasi kerja dengan kepuasan kerja karyawan. Hal ini

menunjukkan semakin meningkatnya motivasi kerja maka kepuasan kerja

akan meningkat.

Penelitian Subyantoro (2009) menemukan motivasi kerja

berpengaruh langsung dan signifikan terhadap kepuasan kerja pengurus

Koperasi Unit Desa di kabupaten Sleman. Hasil penelitian tersebut terlihat

dari koefisien path sebesar 0,258 (positif), uji signifikansi koefisien ini

diperoleh nilai C.R sebesar 2,491 dan p = 0,013. Karena nilai C.R = 2,491

> 1,96 pada taraf signifikan 5%. Penelitian Surodilogo (2010) menemukan

pengaruh positif antara motivasi kerja dengan kepuasan kerja karyawan PT

Sumber Sehat Semarang. Hal ini ditunjukkan dengan nilai koefisien

regresi sebesar 0,386 dengan signifikansi sebesar 0,008. Penelitian Ahmed

dan Islam (2011) kepada 400 karyawan (baik akademis dan staf

administrasi) pada lembaga pendidikan tinggi di Pakistan. Hasil

penelitiannya menunjukkan ada hubungan positif dan signifikan antara

motivasi dan kepuasan kerja (r = 0.552, p <0.01). Hal tersebut

menyimpulkan bahwa karyawan yang termotivasi akan puas dengan

pekerjaan mereka karena mereka senang dengan apa yang mereka lakukan.

Sementara itu, Afriyantie (2011) dalam penelitiannya kepada 85

pegawai pada Badan Kepegawaian Daerah menemukan ada pengaruh

positif dan signifikan motivasi kerja, kepemimpinan dan budaya organisasi

terhadap kepuasan pegawai. Hasil penelitiannya dibuktikan dengan hasil

output SPSS yaitu Y= 4.557 + 0.291 X1+ 0.190 X2 + 0.509 X3 yang

berarti motivasi kerja, kepemimpinan, dan budaya organisasi mempunyai

pengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan kerja pegawai.

Sedangkan hasil koefisien determinasi antara motivasi kerja,

kepemimpinan dan budaya organisasi memengaruhi kepuasan kerja

pegawai dengan nilai R = 0.685 dan distribusi frekuensi sebesar 23.870.

Page 64: iklim organisasi.pdf

78

Penelitian Thomas (2010) juga menemukan hubungan yang positif

signifikan antara motivasi kerja dengan kepuasan kerja guru. Hal senada

pula ditemukan dalam penelitan Suliman dan Sabri (2009) bahwa ada

hubungan yang positif signifikan antara motivasi kerja dengan kepuasan

kerja karyawan rumah sakit sektor publik di UAE.

Selanjutnya penelitian Khalid, Salim, dan Loke (2011) kepada 351

karyawan yang bekerja pada organisasi publik dan swasta di bidang

industri penyediaan air minum di Malaysia. Hasil penelitiannya

menyimpulkan ada pengaruh yang positif dan signifikan antara motivasi

kerja dengan kepuasan kerja karyawan pada kedua organisasi publik dan

swasta (β=0.63, p<0.05). Adapun hasil pada organisasi publik (β=0.62,

p<0.05) dan organisasi swasta (β=0.59, p<0.05). Setyawan (2005) dalam

penelitiannya kepada 102 pegawai dilingkungan Pemkab Temanggung

dari eselon III (tiga) dan IV (empat). Dari pengolahan data diketahui

bahwa nilai CR (Critical Ratio) untuk hubungan antara motivasi kerja

dengan variabel kepuasan kerja adalah sebesar 2.258 dengan nilai p

(Probability) sebesar 0.024. Kedua nilai ini menunjukkan hasil yang

memenuhi syarat, yaitu diatas 2.00 untuk CR (Critical Ratio) dan dibawah

0.05 untuk nilai p (Probability). Dengan demikian dapat disimpulkan

bahwa motivasi kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap

kepuasan kerja. Penelitian Pool (1997) menemukan adanya hubungan

positif signifikan antara motivasi kerja dengan kepuasan kerja karyawan (r

= 0.571, p<0.001).

Lebih lanjut, penelitian Dartono (2005) membuktikan bahwa

motivasi kerja berpengaruh secara signiikan terhadap kepuasan kerja

dengan koefisien regresi 0.445, t = 4.608, sig 0.000. Senada dengan hal itu,

penelitian Sarita (2009) menyimpulkan bahwa ada pengaruh yang

signifikan antara motivasi kerja dengan kepuasan kerja auditor dengan

Page 65: iklim organisasi.pdf

79

regresi 0.514, t = 4.989, sig 0.000 < 0.05. Sementara itu, dalam penelitian

Gunawan (2009) kepada 110 Kepala lembaga prekreditan desa (LPD)

menyimpulkan bahwa motivasi kerja berpengaruh positif dan signifikan

terhadap kepuasan kerja dengan koefisien regresi sebesar 0.715. Hal ini

menunjukkan bahwa semakin tinggi motivasi kerja seseorang

menyebabkan semakin tingginya kepuasaan kerja. Selanjutnya penelitian

Risambessy, Swasto, Thoyib, dan Astuti (2011) menemukan motivasi

melalui tiga aspek kebutuhan Alderfer berpengaruh signifikan terhadap

kepuasan kerja karyawan. Hal ini dilihat dari nilai koefisien regresi 0,548,

nilai thitung = 5.324, dan nilai p value = 0.000 (<0.05). Hasil ini

menunjukkan bahwa memiliki motivasi kerja akan meningkatkan

kepuasan kerja karyawan.

Namun hasil penelitian yang berbeda yang dilakukan Budiyanto

dan Oetomo (2011) menemukan bahwa motivasi kerja tidak berpengaruh

signifikan terhadap kepuasan kerja PNS yang bekerja pada pemerintah

kabupaten Magetan, Jawa Timur (nilai t-statistic = 0.791 <1.96.) di mana

terbukti 96,8% pegawai merasa kurang puas dengan pekerjaan itu sendiri

karena pekerjaan ini relatif mudah untuk dilakukan dan tidak bervariasi

(membosankan), kurang menyenangkan, dan kurang relevan dengan

keahlian mereka/ pengalaman dan harapan. Kondisi kerja tersebut tidak

memotivasi pegawai dalam pekerjaan mereka sehingga tidak

menghasilkan dampak yang signifikan terhadap kepuasan kerja. Selain itu,

penelitian Ekayadi dan Mukodim (2009) menemukan motivasi mempunyai

nilai t hitung sebesar 1.315 yang lebih kecil dari t tabelnya dengan nilai α

= 5% yaitu sebesar 1.725 karena lebih kecil dapat disimpulkan bahwa

motivasi tidak mempunyai pengaruh terhadap kepuasan karyawan, hal

tersebut dapat disebabkan karena karyawan motivasi tidak cukup

meningkatkan kepuasan kerja terhadap pekerjaannya, dalam hal ini antara

Page 66: iklim organisasi.pdf

80

lain pengakuan dari pimpinan, tanggung jawab terhadap pekerjaannya,

kesempatan, pengembangan keterampilan dan kemampuan. Hal senada

pula dalam penelitian Arifin (2005) yang menemukan bahwa tidak ada

pengaruh yang signifikan antara motivasi kerja dengan kepuasan kerja

karyawan di PT SAT Nusa Persada, Batam. Hal ini diperkuat dengan nilai

koefisien jalur 0.301, thit 1.842 dengan nilai sign. p=0.065>0.05. Hal ini

dikarenakan motivasi kerja karyawan melalui kesempatan untuk

mengembangkan diri sesuai keahilan dan kemampuan karyawan diabaikan

sehingga tidak dapat meningkatkan kepuasan kerja karyawan.

Hasil penelitian Firdaus (2011) menyimpulkan bahwa motivasi

kerja mempunyai pengaruh kecil terhadap kepuasan kerja karyawan UD

Karya Jati Jombang dengan nilai -0.104 sehingga diindikasikan motivasi

kerja karyawan melalui kebutuhan afiliasi, kebutuhan kekuasan dan

berprestasi yang diterima dalam bekerja masih kurang untuk

meningkatkan kepuasan kerja karyawan. Selain itu, Peretomode (1991)

mengemukakan bahwa karyawan yang memiliki motivasi kerja tinggi

kemungkinan juga tidak puas dengan pekerjaannya. Namun Ifinedo (2003)

berpendapat bahwa seorang karyawan yang memiliki motivasi yang tinggi

mampu memberikan kontribusi lebih untuk mencapai hasil yang

diinginkan organisasi dan sebagian besar puas dengan pekerjaannya.

2.4.3. Iklim Organisasi dan Motivasi Kerja Sebagai Prediktor

Terhadap Kepuasan Kerja

Penelitian Mufidayati (1998), tentang analisis hubungan iklim

organisasi dan motivasi dengan kepuasan kerja tenaga kependidikan pada

Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) Nurul Fikri. Dalam penelitian ini

diperoleh data dengan nilai r= 0.600, R2 = 0.36, F = 10.39, di mana nilai

tersebut berada pada taraf signifikan α = 0.00 < 0.05, nilai determinasi R2

Page 67: iklim organisasi.pdf

81

= 0.36% yang diketahui bahwa sumbangan iklim organisasi dan motivasi

terhadap kepuasan kerja sebesar 36% sehingga dapat disimpulkan bahwa

variabel iklim organisasi dan motivasi secara simultan memiliki hubungan

yang positif dan signifikan terhadap kepuasan kerja tenaga kependidikan

pada Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) Nurul Fikri. Penelitian tersebut

di atas, di dukung oleh Aridiana (2007), yang meneliti tentang hubungan

antara persepsi perawat iklim organisasi dan motivasi kerja dengan

kepuasan kerja perawat di BPKM RSU Ngudi Waluyo Wlingi Kabupaten

Blitar, Jawa Timur. Berdasarkan hasil analisa pengujian secara simultan

diketahui bahwa variabel iklim organisasi dan motivasi kerja mempunyai

hubungan yang positif dan signifikan antara persepsi perawat terhadap

iklim organisasi dan motivasi kerja secara bersama-sama dengan kepuasan

kerja perawat di BPKM RSU Ngudi Waluyo Wlingi (r=0.734, p=0.000 <

p=0.05 R²=0.539).

Peranan iklim organisasi dan motivasi kerja merupakan satu

kesatuan dalam mewujudkan tujuan organisasi. Motivasi lebih berperan

sebagai faktor personal dari pegawai dalam bekerja, sedangkan iklim

organisasi berperan sebagai faktor situasional atau eksternal. Kombinasi

dari kedua faktor ini (motivasi dan iklim) pada aktivitas pegawai dalam

organisasi sangat penting khususnya dalam kaitannya dengan kepuasan

kerja pegawai. Motivasi kerja yang tinggi serta terciptanya iklim

organisasi yang kondusif, dapat memacu dan mendorong setiap individu

untuk bekerja lebih baik lagi.

Berdasarkan hasil-hasil penelitian terdahulu, menunjukkan adanya

beberapa variasi pendapat terkait bagaimana pengaruh atau hubungan

iklim organisasi dan motivasi kerja secara parsial terhadap kepuasan kerja

pegawai, yang diterapkan pada konteks yang berbeda termasuk dalam

konteks lembaga atau instansi pemerintah. Adapun penelitian tentang

Page 68: iklim organisasi.pdf

82

pengaruh iklim organisasi dan motivasi kerja secara simultan terhadap

kepuasan kerja telah di teliti oleh penelitian sebelumnya, sejauh ini penulis

hanya menemukan penelitian yang menunjukkan adanya pengaruh positif

dan signifikan, namun penerapannya hanya pada karyawan yang bekerja

pada sebuah organisasi seperti di perusahaan, lembaga pendidikan, dan di

rumah sakit, dan penulis belum menemukan penelitian sejenis yang

diterapkan pada pegawai negeri sipil di instansi pemerintah.

2.5. MODEL PENELITIAN

Berdasarkan tujuan penelitian, landasan teori, dan hasil-hasil

penelitian sebelumnya, maka kaitan antar variabel dapat digambarkan

dalam model penelitian sebagai berikut :

Gambar 2.4Model Penelitian

2.6. HIPOTESA

Hipotesis penelitian ini yaitu : iklim organisasi dan motivasi kerja

secara simultan sebagai prediktor terhadap kepuasan kerja pegawai di

Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Nusa Tenggara Timur di

Kupang.

Iklim Organisasi(X1)

Kepuasan Kerja(Y)

Motivasi Kerja(X2)