ii. tinjauan pustaka a. temu putiheprints.mercubuana-yogya.ac.id/5535/3/bab ii.pdf · ii. tinjauan...
TRANSCRIPT
4
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Temu Putih
Curcuma zedoaria berasal dari Himalaya, India, dan terutama tersebar di
negara-negara Asia meliputi China, Vietnam dan Jepang. Curcuma zedoaria tumbuh
liar di Sumatra (Gunung Dompo), di hutan jati Jawa Timur, banyak dijumpai di Jawa
Barat dan Jawa Tengah, di ketinggian sampai 1000 mdpl (Windono dan Parfiati,
2002). Temu putih (Curcuma zedoaria (Berg) Roscoe ) cukup dikenal di kalangan
masyarakat untuk bahan jamu. Kepopuleran tanaman obat ini digunakan untuk
mengobati penyakit kanker. Temu putih mudah menyebar terutama di daerah Asia
yaitu dari Himalaya ke Chittagong Utara sampai ke Indonesia. Tanaman ini banyak
dibudidayakan di Asia Tenggara, Madagaskar dan beberapa daerah di Indonesia. Di
Indonesia, temu putih tumbuh subur pada ketinggian1000 m di atas permukaan laut
yaitu di daerah Sumatera dan Jawa.
Secara taksonomi, temu putih diklasifikasikan ke dalam divisi
Spermatophyta, sub-divisi Angiospermae, Kelas Monocotyledoneae, ordo
Zingiberales, suku Zingiberaceae, marga Curcuma, spesies Curcuma zedoaria
(Berg) Roscoe. Menurut Syukur (2003), temu putih merupakan tanaman semak
dengan tinggi hampir mencapai 2 m dengan batang semu berwarna hijau yang di
dalam tanah membentuk rimpang. Ciri khas dari tanaman ini adalah adanya warna
ungu di sepanjang ibu tulang daun.Helaian daunnya berwarna hijau muda sampai
hijautua dengan punggung daun berwarna pudar dan mengkilat. Panjang daun antara
5
31–75 cm dan lebar daun 7–20 cm.Kenampakan tanaman temu putih ditunjukkan
pada Gambar 1.
Rimpang induk berbentuk lanset-lonjong, sedangkan rimpang akar yang
berupa akar menggembung pada bagian ujungnya membentuk umbi dengan kulit
rimpang berwarna putih. Antara satu rimpang dengan rimpang lain cukup liat untuk
dipatahkan. Pada ujung-ujung akar terdapat bulatan-bulatan atau bintil-bintil yang
merupakan cadangan air.Kulit rimpang berwarna putih. Apabila diiris, daging
rimpangnya berwarna putih ke arah kuning muda dan rasanya pahit. Temu putih
berbunga majemuk, berbentuk tabung, bermahkota lonjong dan berwarna putih. Buah
berbentuk lonjong dengan warna hijau sedangkan biji bulat berwarna hitam (Syukur,
Gambar 1. Tanaman Temu Putih (Curcuma zedoaria (Berg)
Roscoe) (Ochse dan Van den Brink, 1977)
6
2003). Rimpang temu putih mengandung zat warna kuning yaitu
kurkuminoid (diarilheptanoid) dan senyawa kimia lain, seperti: minyak atsiri,
zingiberen, sineol, polisakarida, dan golongan lain. Kurkuminoid yang telah
diketahui meliputi kurkumin, desmektosikurkumin, dan
bisdemetoksikurkumin.Selain itu, bagian minyak temu putih juga mengandung
epikurzerenon, kurdion, dan zedoaron (Anonim, 2007).
Secara tradisional digunakan sebagai antimikrobia dan antifungal (Wilson et
al, 2005). Shiobara et al (1985) mengidentifikasi senyawa
cyclopropanosesquiterpene, curcumenone dan 2 spirolactones, curcumanolide A dan
curcumanolide B. Pada shoots muda dari Curcuma zedoaria mengandung (+)-
germacrone-4,5-epixide, sebuah intermediet kunci pada biogenesis a germacrone-
type sesquiterpenoids. Di Brazilia, digunakan sebagai obat penurun panas. Aktivitas
ini dikarenakan adanya senyawa yang bertanggung jawab yaitu curcumenol (Navarro
et al, 2002). Kandungan kimia rimpang Curcuma zedoaria terdiri dari kurkuminoid
(diarilheptanoid), minyak atsiri, polisakarida serta golongan lain. Diarilheptanoid
yang telah diketahui meliputi kurkumin, demetoksikurkumin, bisdemetoksikurkumin,
dan 1,7 bis (4-hidroksifenil)-1,4,6- heptatrien-3-on (Windono dan Parfiatri, 2002).
Menurut Harbone (1987) bahwa Curcuma zedoaria memiliki senyawa kimia
antara lain polimer fenol, polifenol (tanin, melanin, lignin, kuinon sebagai alkaloid).
Dijelaskan pula oleh Saputra (2010) bahwa Curcuma zedoaria memiliki sifat larut
sangat baik dengan pelarut methanol dan etanol sedangkan air kelarutannya cukup
baik.
7
Curcuma zedoaria atau yang dikenal dengan temu putih merupakan salah
satu dari genus Curcuma yang banyak dimanfaatkan sebagai obat maupun bahan
untuk masakan. Di Indonesia, daun Curcuma zedoaria digunakan sebagai bumbu
tambahan untuk meningkatkan cita rasa masakan ikan dan makanan lainnya
(Sirirugsa et al., 2007). Dalam pengobatan Curcuma zedoaria telah lama
dimanfaatkan oleh berbagai etnis di Indonesia, Malaysia dan India (Malek et al.,
2004).
B. Blanching
Blanching merupakan suatu proses yang dilakukan pada bahan pangan
sebelum dilakukan pengeringan, pengalengan atau pembekuan. Blanching
merupakan suatu proses pemanasan pada bahan pangan dengan menggunakan bahan
pangan dengan menggunakan suhu dibawah 100°C. Blanching dilakukan dengan dua
cara, yaitu pemanasan dengan air panas (Hot Water Blanching) atau dengan uap
(Steam Blanching). Kedua proses tersebut mempunyai keuntungan dan kerugian
tersendiri tergantung dari bahan yang akan diblanching. Blanching bertujuan untuk
menginaktifkan enzim yang memungkinkan perubahan warna, tekstur, citarasa bahan
pangan, namun tujuan blanching juga bermacam-macam tergantung dari bahan yang
akan digunakan serta tujuan proses selanjutnya (Muchtadi, 1997). Pada beberapa
bahan yang diblanching, terjadi penyusutan yang sangat besar sehingga
menyebabkan kehilangan berat bahan yang cukup tinggi. Kehilangan berat ini dapat
mencapai 19%. Selama proses blanching, terjadi perubahan warna bahan, cita rasa
7
(flavor) yang larut atau volatil dapat menghilang selama proses blanching. Inaktivasi
enzim dan penghilangan sejumlah oksigen dalam bahan pangan dapat membantu
menahan cita rasa selama penyimpanan. Blanching dapat menyebabkan perubahan
fisik atau biokimiawi yang mengakibatkan perubahan-perubahan tekstur dan struktur
bahan pangan. Perubahan tersebut bergantung pada suhu dan lama blanching, serta
jenis dan kondisi bahan yang diblanching (Estiasih dan Ahmadi, 2009).
Suhu dan waktu blanching yang terkontrol akan mendapatkan hasil yang
optimal. Perlakukan blanching yang tepat dapat mendatangkan manfaat antara lain
dapat meghindari perubahan yang tidak diinginkan, mengurangi kandungan mikroba,
dapat mempertahankan warna, memperlunak jaringan, membantu pengeluaran gas-
gas seluler pada jaringan sehingga mencegah terjadinya korosidan memperbaiki
tekstur pada bahan pangan yang dikeringkan (Winarno, 2002).
Menurut Pratiningsih (2010) blanching bertujuan untuk inaktivasi enzim,
pembersihan bahan-bahan mentah dan mengurangi kadar bakterinya, membuat
jaringan berkerut sehingga membuat bahan mentah menjadi lebih mudah,
mempertahankan dan memperbaiki tekstur. Blanching dapat menyebabkan kerugian
pada bahan, yaitu kehilangan zat gizi yang larut dalam air dan peka terhadap panas,
menghambat proses pengeringan, serta bahan-bahan yang mengandung pati
menyebabkan kerusakan tekstur bila waktu blanching terlalu lama. Hasil penelitian
Noor (2001) blanching dalam media asam askorbat dapat mempertahankan stabilitas
suspensi dan meningkatkan cita rasa sari buah jambu mete.
8
Tujuan blanching menurut Larousse (1997) adalah :
a. Modifikasi struktur jaringan (tekstur)
Fleksibilitas dari beberapa produk ditingkatkan dengan penerapan panas lembab,
yang memfasilitasi operasi pengisian dengan kerusakaan fisik minimum dan rasio
berat dan volume yang lebih besar, yang terakhir adalah mengontrol berat isi.
Blanching sayuran berpati, misalnya kacang polong, buncis dan sebagainya, dalam
hard water cenderung melindungi granula pati dari kerusakaan. Sebaliknya,
blanching soft water cenderung meningkatkan kerusakaan granula pati yang
menghasilkan media pengisi yang keruh dan variasi berat kering yang lebih besar.
Blanching meningkatkan ketegaran dari beberapa sayuran karena kalsium dalam air
dapat beraksi dengan pektin dan komplek pektoselulosat dari dinding sel membrane
menghasilkan produk tegar. Efek tegar dapat berlanjut selama penyimapanan.
Blanching soft water memberikan efek berlawanan. Selama blanching, karena
kalsium bereaksi dengan pektin, air menjadi lebih lunak. Jadi jika blanching hard
water dikehendaki, tingkat kalsium harus dijaga dengan memperbarui air terus-
menerus atau dengan menambahkan garam kalsiumyang larut. Penambahan spesifik
firming agent dapat dicegah dengan blanching hard water.
b. Menghilangkan udara intraseluler dan gas-gas lain.
Buah dan sayuran mentah mengandung udara interseluler dan gas-gas lain yang
akan dilepaskan selama sterilisasi atau pasteurisasi jika tidak dihilangkan selama
blanching. Oksigen dalam udara dilepaskan melalui head space dapat menyebabkan
produk. Teroksidasi dan korosi internal oksidatif pada kaleng. Gas-gas akan
9
mengurangi vakum head space ang mengakibatkan masalah tekanan internal selama
pengalengan dan mempengaruhi hasil yang dicapai.
c. Mengurangi mikrobia permukaan dan kontaminasi kimia.
Blanching mengurangi tingkat kontaminan mikrobia, petisida dan fungisida.
Pengurangan tersebut tergantung dari metode blanching yang digunakan, suhu dan
waktu. Blanching air panas dapat dapat menghasilkan pengurangan yang lebih besar
karena penambahan pencucian, yang blanching dilakukan untuk beberapa waktu
utamanya untuk proses thermal lebih lanjut, harus dilakukan dibawah suhu 40°C
untuk meminimalkan perkecambahan dan pertumbuhan dari organisme teresebut.
Pembersihandan disinfeksi yang cukup dari blanching dapat menyebabkan
mikroorganisme tahan panas beradaptasi terhadap suhu dan bahan yang digunakan.
Peningkatan level dari beberapa mikroorganisme dala produk akan meningkatkan
permintaan dalam proses panas akhir dan harus di bawah kondisi sterilisasi.
d. Inaktivasi enzim.
Kebanyakan enzim dalam buah dan sayuran menjadi inaktif karena panas. Untuk
produk yang dikalengkan, inaktivasi enzim yang dibutuhkan hanya sebagian, karena
akan dilengkapi selama perlakuan panas berikutnya. Namun demikian, inaktivasi
enzim sebagian penting untuk produk untuk meminimalkan efek yang merugikan dari
aktivasi enzim, misalnya perubahan warna, flavor dan tekstur.
e. Penyesuaian tingkat kelembaban.
Selama pemasakan beberapa sayuran, misalnya bayam, kehilangan berat karena
bleanching dari komponen cairnya, sedangkan yang lain misalnya kentang menyerap
10
air. Jadi, selama akhir proses thermal, perubahan kadar air dari produk dapat
membuat kontrol dari berat kering akhir menjadi sulit. Variasi kelembaban dalam
produk dapat diturunkan dengan blanching.
Proses pengolahan menggunakan panas seperti perebusan biasa dilakukan
oleh masyarakat untuk meningkatkan penerimaan terhadap bahan pangan.
Penggunaan panas dalam pengolahan dapat menyebabkan beberapa perubahan
terhadap bahan pangan baik secara fisik maupun kimia. Proses panas menyebabkan
perubahan pada integritas struktural dan matriks seluler yang memberikan efek
negatif dan positif pada kandungn fitokimia. Perlakuan panas pada bahan pangan
biasanya memberikan efek destruktif pada senyawa flavonoid dan fenolik karen
keduanya merupakan komponen yang sangat tidak stabil (Saika dan Mahanta, 2003).
Beberapa penelitian menunjukkan bahan pangan yang diberikan perlakuan panas
mengalami penurunan kandungan total fenol dan aktivitas antioksidan secara
signifikan yang disebabkan oleh dua faktor utama yaitu pelepasan komponen fenol
dan degradasi/pembentukan menjadi komponen baru (Xu dan Chang, 2008).
Efek negatif proses panas pada kandungan total fenol tidak selalu terjadi pada
semua bahan pangan. Beberapa bahan pangan mengalami peningkatan kandungan
total fenol setelah mengalami proses panas. Beberapa kultivular umbi manis
mengalami peningkatan total fenol dan aktivitas antioksidan setelah diolah dengan
metode rumah tangga salah satunya perebusan (Bellail et al, 2012). Peningkatan
kandungan total fenol terjadi pada tomat, kharua brinjal, knoll khol, dan wortel yang
mengalami pemanasan dengan cara pengukusan, perebusan, dan microwave (Saika
11
dan Mahanta, 2003). Proses panas juga meningkatkan aktivitas antioksidan dan
kandungan total fenol pada Phaseolus vulgaris L seiring dengan rusaknya antinutrisi
yang terkandung pada kacang Phaseolus vulgaris (Huber et al, 2014). Menurut
Chumyam (2013) peningkatan total fenol dan aktivitas antioksidan pada terong ungu
yang mengalami perebusan, pengukusan, dan pemanasan menggunakan microwave
selama 5-15 menit disebabkan rusaknya membran sel sehingga senyawa fenol dan
antioksidan lebih mudah terekstrak.
Peningkatan kandungan antioksidan setelah proses blanching juga terjadi
pada kunir putih (Curcuma mangga Val), penelitian yang dilakukan Pujimulyani
(2010) menyebutkan bahwa perlakuan blanching cara perebusan dengan media asam
sitrat 0,05% dengan waktu 5 menit dan 10 menit secara signifikan meningkatkan
kandungan fenol total, flavonoid dan tanin terkondensasi dibandingkan dengan kunir
putih tanpa perlakuan blanching.
C. Asam Sitrat
Asam sitrat merupakan senyawa antara pada siklus kreb (siklus asam
trikarboksilat). Lintasan reaksi katabolik yang mendahului pembentukan asam sitrat ini
diantaranya adalah lintasan glikolisis dan lintasan Entner-Doudoroff yang menyediakan
senyawa antara asam piruvat yang merupakan senyawa kunci dalam metabolisme sel.
Sebagian besar (80%) dari glukosa diubah menjadi piruvat melalui lintasan glikolisis.
Piruvat akan mengalami dekarboksilasi dan berikatan dengan koenzim-A membentuk
asetil-CoA dan selanjutnya masuk kedalam siklus krebs untuk bergabung dengan
oksaloasetat membentuk asam sitrat. Piruvat juga bisa langsung masuk ke siklus krebs
12
dengan bantuan enzim piruvat karboksilase yang mengubah piruvat menjadi
oksaloasetat.
Asam sitrat merupakan metabolik primer, seperti halnya pertumbuhan mikroba
secara umum, pertumbuhan mikroba dalam fermentasi dibatasi oleh ketersediaan
beberapa unsur kelumit (P, Mn, Zn). Peranan ion logam dalam proses ini belum
diketahui secara menyeluruh. Nilai pH optimum sekitar 1,7 – 2,0. Jika pH lebih tinggi
(alkalis) menyebabkan pembentukan asam - asam oksalat dan glukonat dalam jumlah
banyak. Karenanya pengendalian kondisi proses secara cermat merupakan prasyarat
untuk mempertahankan keteraturan dan mendukung pembentukan asam sitrat yang
lebih banyak. Kondisi yang sesuai tersebut memungkinkan stimulasi glikolisis untuk
penyediaan aliran karbon yang tidak terbatas ke dalam metabolism antara. Akumulasi
sitrat selanjutnya tergantung pada pemasokan oksaloasetat (Mangunwidjaja dan
Suryani,1994).
Asam sitrat (C6H8O7) adalah asam organik yang banyak digunakan dalam
makanan,minuman, deterjen dan obat-obatan. Nama IUPAC asam sitrat adalah asam
2-hidroksil-1,2,3-propanatrikarboksilt. Asam sitrat memiliki bobot molekul 192,12,
pKa 3,09, 4,75;6,41 dan melebur pada suhu 153°C. Asam sitrat berbentuk hablur
bening, tidak berwarna atau serbuk hablur granul sampai halus, putih, tidak berbau,
rasa sangat asam. Bentuk hidrat mekar dalam udara kering. Asam sitrat sangat mudah
larut dalam air, mudah larut dalam etanol, agak sukar larut dalam eter
(Anonim,1995). Asam sitrat adalah salah satu asam organik penting dalam
kehidupan manusia, karena cukup banyak digunakan dalam dunia industri makanan
13
dan minuman untuk berbagai keperluan, sedangkan 12% digunakan dalam industri
obat-obatan dan sekitar 18% untuk kegunaan industri lainnya (Kareem dan Rahman,
2011).
Di Indonesia, 65% konsumsi asam sitrat berada di industri makanan dan
minuman, 20% berada di industri rumah tangga dan sisanya berada di industri tekstil,
farmasi, kosmetik dan lainnya. Besarnya pemanfaatan asam sitrat pada industri
makanan dan minuman karena sifat asam sitrat menguntungkan dalam pencampuran,
yaitu kelarutan relative tinggi, tak beracun dan menghasilkan rasa asam yang disukai.
Kegunaan lain, yaitu sebagai pengawet, pencegah kerusakan warna dan aroma,
menjaga turbiditas, penghambat oksidasi, penginvert sukrosa, penghasil warna gelap
pada kembang gula, jam dan jelly, serta pengatur pH (Sasmitaloka, 2017).
D. Antioksidan
Antioksidan merupakan inhibitor penting terhadap peroksidasi lemak, yaitu
sebagai pelindung makanan dan pertahanan sel makhluk hidup melawan kerusakan
oksidatif (Vimala dan Adenan, 1999). Antioksidan dalam tubuh bermanfaat untuk
mencegah reaksi oksidasi yang ditimbulkan oleh radikal bebas baik berasal dari
metabolism tubuh maupun faktor eksternal lainnya. Radikal bebas adalah atom atau
molekul yang tidak stabil dan sangat reaktif karena mengandung satu atau lebih electron
tidak berpasangan pada orbit terluarnya. Antioksidan adalah senyawa yang mempu
menghilangkan, membersihkan, menahan pembentukan oksigen reaktif dan radikal
bebas dalam tubuh. Radikal bebas adalah atom atau molekul yang tidak stabil karena
tidak memiliki elektron yang tidak berpasangan dalam orbital luarnya sehingga sangat
14
reaktif untuk mendapatkan pasangan elektron dengan mengikat sel-sel tubuh. Apabila
hal tersebut terjadi secara terus menerus dapat menyebabkan kerusakan dan kematian
sel (Lautan, 1997 : Sies, 1993 dalam Erawati, 2012).
Antioksidan memiliki fungsi utama yang digunakan untuk memperkecil
terjadinya proses oksidasi lemak dan minyak, memperkecil terjadinya proses kerusakan
dalam industri makanan, memperpanjang masa pemakaian dalam industri makanan,
industri petroleum, industri karet dan sebagainya (Tahir dkk., 2003). Antioksidan dapat
bersumber dari zat-zat sintetis atau zat-zat alami hasil isolasi. Adanya antioksidan alami
maupun sintetis dapat menghambat oksidasi lipid, mencegah kerusakan dan perubahan
degradasi komponen organik dalam bahan makanan. Beberapa senyawa antioksidan
sintetis yang umum digunakan adalah butylated hydroxytoluen (BHT), butylated
hydroxyanisole (BHA), terbutyl hydroxyquinon (TBHQ), gallic acid dan propyl gallic
(Pokorny dkk., 2001). Komponen antioksidan alami dari tumbuhan yang umum
dimanfaatkan oleh masyarakat antara lain tanin, antosianin, flavonoid, asam askorbat,
tokoferol dan senyawa fenolik (Pujimulyani, 2010).
Radikal bebas akan bereaksi dengan molekul di sekitarnya untuk memperoleh
pasangan elektron supaya mencapai kestabilan atom atau molekul. Reaksi ini akan
berlangsung terus menerus dalam tubuh dan bila tidak dihentikan akan menimbulkan
berbagai penyakit seperti kanker, jantung, katarak, penuaan dini sera penyakit
degeneratif lainnya. Tubuh memerlukan suatu substansi penting, yaitu antioksidan
yang mampu menangkap radikal bebas sehingga tidak dapat menginduksi suatu
15
penyakit (Kikuzaki dan Nakatani, 1993). Beberapa sumber utama antioksidan
diantaranya enzim, molekul besar (albumin, seruloplasmin, feritin) molekul kecil
(asam askorbat, asam urat, tokoferol, karotenoid, fenol) dan beberapa hormone
seperti estrogen dan lain lain (Prior et al, 2005).
Mekanisme kerja antioksidan secara umum menghambat oksidasi substrat
yang terjadi dalam tiga tahap utama, yaitu inisiasi, propagasi, dan terminasi. Tahap
inisiasi terjadi pembentukan radikal substrat, yaitu turunan substrat yang bersifat
tidak stabil dan sangat reaktif akibat hilangnya satu atom H. Radikal substrat akan
bereaksi dengan oksigen membentuk radikal peroksi pada tahap propagasi. Radikal
peroksi lebih lanjut akan menyerng substrat menghasilkan hidroperoksida dan radikal
substrat baru (Javanmardi et al, 2003).
Reaksi inisiasi
RH R● + H●
Reaksi propagasi
R● + O2 ROO●
ROO● + RH ROOH + R●
Reaksi Terminasi
ROO● + ROO● ROOR + O2
ROO● + R● ROOR
Antioksidan berfungsi sebagai senyawa yang dapat menghambat reaksi radikal
bebas penyebab penyakit karsinogenik, kardiovaskuler dan penuaan dalam tubuh
manusia. Antioksidan diperlukan karena tubuh manusia tidak memiliki sistem
16
pertahanan antioksidan yang cukup, sehingga apabila terjadi paparan radikal berlebihan,
maka tubuh membutuhkan antioksidan eksogen (berasal dari luar) (Muchtadi, 2013).
Produksi antioksidan di dalam tubuh manusia terjadi secara alami untuk mengimbangi
produksi radikal bebas. Antioksidan tersebut kemudian berfungsi sebagai system
pertahanan terhadap radikal bebas, namun peningkatan produksi radikal bebas yang
terbentuk akibat faktor stress, radiasi UV, polusi udara dan lingkungan mengakibatkan
system pertahanan kurang memadai, sehingga diperlukan tambahan antioksidan dari
luar (Muchtadi, 2013).
Antioksidan di luar tubuh dapat diperoleh dalam bentuk sintetis dan alami.
Antioksidan sintetis seperti buthylatedhydroxytoluene (BHT), buthylated hidroksianisol
(BHA) dan ters-butylhydroquinone (TBHQ) secara efektif dapat menghmabat oksidasi.
Penggunaan antioksidan sintetis dibatasi karena jika penggunaannya melebihi batas
justru dapat menyebabkan racun dalam tubuh dan bersifat karsinogenik, sehingga
dibutuhkan antioksidan alami yang aman. Salah satu sumber potensial antioksidan
alami adalah tanaman karena mengandung senyawa flavonoid, klorofil dan tanin (Lie
Jin, 2012).
Antioksidan berdasarkan mekanisme reaksinya dibagi menjadi tiga macam,
yaitu antioksidan primer, antioksiden sekunder dan antioksidan tersier. Antioksidan
primer merupakan zat atau senyawa yang dapat menghentikan reaksi berantai
pembentukan radikal bebas yang melepaskan hidrogen. Antioksidan primer dapat
berasal dari alam atau sintetis. Contoh antioksidan primer adalah Butylated
hidroxytoluene (BHT) (Winarsi, 2007). Reaksi antioksidan primer terjadi pemutusan
17
rantai radikal bebas yang sangat reaktif, kemudian diubah menjadi senyawa stabil atau
tidak reaktif. Antioksidan inidapat berperan sebagai donor hidrogen atau CB-D (Chain
breaking donor) dan dapat berperan sebagai akseptor elektron atau CB-A (Chain
breaking acceptor) (Triyem, 2010).
Antioksiden sekunder disebut juga antioksidan eksogeneus atau non enzimatis.
Antioksidan ini menghambat pembentukan senyawa oksigen reatif dengan cara
pengelatan metal, atau dirusak pembentukannya. Prinsip kerja sistem antioksidan non
enzimatis yaitu dengan cara memotong reaksi oksidasi berantai dari radikal bebas atau
dengan menangkap radikal tersebut, sehingga radikal bebas tidak akan bereaksi dengan
komponen seluler (Winarsi, 2007). Antioksidan sekunder di antaranya adalah vitamin
E, vitamin C, beta karoten, flavonoid, asam lipoat, asam urat, bilirubin, melatonin dan
sebagainya (Muchtadi, 2013).
Kelompok antioksidan tersier meliputi sistem enzim DNA-Repair dan metionin
sulfoksida reduktase. Enzim-enzim ini berperan dalam perbaikan biomolekuler yang
rusak akibat reaktivitas radikal bebas. Kerusakan DNA yang terinduksi senyawa radikal
bebas dicirikan oleh rusaknya Single dan Double strand baik gugus non-basa maupun
basa (Winarsi, 2007).
Fenol atau asam karbolat adalah senyawa asam bersifat asam lemah yang
terdapat pada setiap tanaman, baik pada tanaman yang dapat dimakan maupun pada
tanaman yang tidak dapat dimakan. Dalam tata nama, senyawa-senyawa fenolik ini
biasanya berada dalam bentuk glikosida atau esternya (Proestos dkk, 2006). Fenol
mudah teroksidasi dan pada udara terbuka, cepat berubah warna, larutan encer senyawa
18
fenol atau asam karbolat merupakan anti septic (Pujimulyani, 2010). Rumus struktur
fenol dapat dilihat pada Gambar 3.
Fenol memiliki kelarutan terbatas dalam air, yaitu 8,3 gram/100ml dan bersifat
cenderung asam, yang artinya dapat melepaskan ion H+dari gugus hidroksilnya.
Pengeluaran ion tersebut menjdikan anion fenoksida C6H5O-, larut dalam pelarut
organik, berupa padatan (kristal) yang tidak berwarna, mempunyai masa molar 94,110
g/mol, mempunyai titik didih 181,9°C dan mempunyai titik lebur 40,9°C (Widiyanti,
2006).
Senyawa golongan fenol diketahui sangat berperan terhadap aktivitas
antioksidan, semakin besar kandungan senyawa fenolnya maka semakin besar aktivitas
antioksidannya (Kiessoun et al., 2010; Shawar et al., 2010).Senyawa-senyawa fenolik
mempunyai sejumlah aktivitas biologis termasuk antioksidan (Kahkonen dkk., 1999).
Senyawa fenolik mampu menangkap radikal bebas (Gill., dkk 2002), sehingga dapat
mengurangi risiko terjadinya jantung koroner apabila antioksidan dan fenolik alami
Gambar 2. Rumus struktur fenol (Poerwono, 2012)
19
dikonsumsi secara berlebihan terutama dari sayur-sayuran dan buah-buahan (Ghiselli
dkk.,1998).
Prinsip metode Folin-Ciocalteu adalah reaksi oksidasi dan reduksi
kolorimetrik untuk mengukur semua senyawa fenolik dalam sampel uji. Pereaksi Folin-
Ciocalteu merupakan larutan kompleks ion polimerik yang dibentuk dari asam
fosfomolibdat dan asam heteropolifosfotungstat. Pereaksi ini terbuat dari air, natrium
tungstat, natrium molibdat, asam fosfat, asam klorida, litium sulfat, dan bromin (Folin
dan Ciocalteu, 1944).
Prinsip metode Folin-Ciocalteu adalah reaksi oksidasi gugus fenolik hidroksil.
Pereaksi ini mengoksidasi fenolat (garam alkali), mereduksi asam heteropoli menjadi
suatu kompleks molybdenum-tungsten (Mo-W). Fenolat hanya terdapat pada larutan
basa, tetapi pereaksi Folin-Ciocalteu dan produknya tidak stabil pada kondisi basa.
Selama reaksi berlangsung, gugus fenolik-hidroksil bereaksi dengan pereaksi Folin-
Ciocalteu, membentuk kompleks fosfotungstat-fosfomolibdat berwarna biru dengan
struktur yang belum diketahui dan dapat dideteksi dengan spektrofotometer. Warna biru
yang terbentuk akan semakin pekat setara dengan konsentrasi ion fenolat yang
terbentuk, artinya semakin besar konsentrasi senyawa fenolik, maka semakin banyak
ion fenolat yang akan mereduksi asam heteropoli sehingga warna biru yang dihasilkan
semakin pekat (Singleton dan Rossi, 1965).
Tanin merupakan senyawa kimia yang tergolong dalam senyawa polifenol
(Deaville et al., 2010). Tanin merupakan senyawa polifenol yang memiliki bobot
molekul antara 500-20.000 Dalton dan memiliki kemampuan membentuk kompleks
20
dengan protein dan polisakarida. Tanin mempunyai kemampuan mengendapkan protein,
karena tanin mengandung sejumlah kelompok ikatan fungsional yang kuat dengan
molekul protein yang selanjutnya akan menghasilkan ikatan silang yang besar dan
komplek yaitu protein tanin. Tanin mempunyai berat molekul 0,5-3 KD. Tanin alami
larut dalam air dan memberikan warna pada air, warna larutan tanin bervariasi dari
warna terang sampai warna merah gelap atau coklat, karena setiap tanin memiliki warna
yang khas tergantung sumbernya (Ahadi, 2003). Menurut Susanti (2000), sifat utama
tanin pada tanaman bergantung pada gugus fenolik –OH yang terkandung dalam tanin.
Tanin secara umum memiliki gugus fenol dan bersifat koloid, semua jenis tanin dapat
larut dalam air, kelarutannya besar dan akan bertambah besar apabila dilarutkan dalam
air panas.
Tanin secara umum dibagi menjadi dua kategori, yaitu tanin terkondensasi dan
tanin terhidrolisis (Hagerman, 2002). Tanin terkondensasi merupakan senyawa polimer
dari flavan-3-ol(-)-epikatekin dan (+)-katekin (Hagerman, 2002), karena tanin ini dapat
terhidrolisis dalam larutan asam kuat membentuk antosianidin, maka tanin
terkondensasi dikenal dengan istilah proantosianidin (Taiz dan Zeiger, 2002). Tanin
terkondensasi terdapat dalam jumlah yang paling banyak pada tanaman, dan tidak
mudah dihidrolisis, dan memiliki struktur senyawa yang kompleks (Cheeke dan Shull,
1985). Struktur dasar senyawa tanin ditunjukkan pada Gambar 3.
21
Jenis tanin selanjutnya yaitu tanin terhidrolisis. Tanin terhidrolisis merupakan
ester kompleks asam galat (asam 3,4,5-trihidroksil benzoate) dengan glukosa,
memiliki bobot molekul yang lebih rendah dibandingkan dengan tanin terkondensasi
dan dapat dengan mudah dihidrolisis dalam asam encer (Taiz dan Zeiger, 2002).
Tanin terhidrolisis dibagi menjadi dua kelompok yaitu gallotanin dan ellagitanin
(Hagerman, 2002). Gallotanin adalah tanin terhidrolisis sederhana yang terbentuk
melalui ikatan ester antara glukosa dengan asam galat. Bentuk dasar dari senyawa ini
disebut pentagalloyl glukosa (β-1,2,3,6-pentagalloyl-O-D-glukopiranosa), memiliki
lima ikatan ester yang terdiri dari gugus hidroksil alifatik pada inti glukosa
(Hagerman, 2002). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tanin dapat berperan
penting dalam kesehatan, senyawa fenolik memiliki aktivitas sebagai antibiotik
dengan cara membentuk kompleks dengan enzim ekstaseluler yang dihasilkan oleh
Gambar 3. Struktur dasar tanin terkondensasi (Taiz dan
Zeiger, 2002)
22
pathogen atau dengan menganggu proses metabolism pathogen tersebut. Lebih
lanjut, penelitian yang dilaporkan oleh Cordoves et all (2001) menunjukkan bahwa
tanin terkondensasi memiliki aktivitas sebagai antioksidan dan dapat melindungi
kulit dari kerusakan yang ditimbulkan oleh radiasi ultraviolet.
Tanin memiliki kemampuan membentuk senyawa kompleks dengan beberapa
molekul seperti karbohidrat, protein dan enzim. Kemampuan tanin untuk membentuk
kompleks dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu krakteristik protein seperti asam
amino, struktur, titik isoelektrik dan berat molekul. Karakteristik tanin seperti bobot
molekul, struktur dan heterogenits tanin, dan kondisi pereaksi seperti suhu, waktu
dan komposisi pelarut ( Leinmuller et al, 1991).
Interaksi tanin dengan protein terjadi melalui empat ikatan yaitu ikatan
hydrogen, ion, kovalen dan interaksi hidrofobik. Ikatan ion dan kovalen memiliki
peran yang kecil di dalam interaksi tanin-protein. Ikatan hydrogen dibentuk melalui
interaksi antara gugus hidroksi fenolik pada tanin dengan gugus amino bebas protein,
gugus asam karboksilat atau dengan atom nitrogen pada ikatan peptide. Interaksi
hidrofibik terjadi antara cincin aromatic polifenol dengan bagian hidrofibik dari
protein (Leinmuller et al, 1991). Ikatan kovalen antara tanin dengan protein dapat
terjadi setelah tanin mengalami reaksi oksidasi oleh enzim oksidatif seperti polifenol
oksidase (Taiz dan Zeiger, 2002).
E. Minuman Serbuk Instan
Minuman serbuk instan adalah minuman berupa serbuk halus yang terbuat dari
bahan buah-buahan, rempah-rempah, biji-bijian atau daun yang dapat langsung
23
diminum dengan cara diseduh dengan air matang baik dingin maupun panas (Ramadina,
2013). Minuman serbuk instan lebih disukai oleh masyarakat karena memiliki berbagai
keunggulan diantaranya yaitu memiliki cara penyajian yang praktis sehingga mudah
dibawa dan disimpan, mutu lebih terjaga dan tanpa bahan pengawet. Melalui proses
pengolahan tertentu, minuman serbuk instan tidak akan mempengaruhi khasiat yang
terkandung dalam bahan tersebut, sehingga baik untuk kesehatan badan (Rengga dan
Handayani, 2009).
Serbuk instan dibuat dengan diawali dengan proses ekstraksi bahan. Ekstraksi
adalah proses penarikan atau pemisahan komponen zat aktif suatu simplisia dengan
menggunakan pelarut tertentu. Proses ekstraksi bertujuan untuk mendapatkan
komponen-komponen bioaktif suatu bahan (Harborne, 1987). Menurut Anonim (2000),
metode ekstraksi dibagi menjadi 2 cara yaitu cara pendinginan dan cara panas. Metode
ekstraksi dengan cara dingin meliputi maserasi dan perlokasi. Sedangkan metode
ekstraksi dengan cara panas terdiri dari refluks, sokletasi, digesti, infundasi dan dekok.
Ekstraksi dengan pelarut didasarkan pada sifat kepolaran zat dalam pelarut saat
ekstraksi. Senyawa polar hanya akan larut pada pelarut polar, seperti etanol, metanol
dan air. Sedangkan senyawa non-polar hanya akan larut pada pelarut non-polar, seperti
eter, kloroform dan n-heksana (Mukhriani, 2014).
Instanisasi membuat produk mudah dibawa, dapat disimpan sehingga dapat
mempermudah pendistribusian produk, dan memperpanjang umur simpan produk.
Serbuk instan yang diperoleh harus memenuhi syarat yaitu mudah dituang tanpa
tersumbat, tidak higroskopis dan tidak menggumpal, mudah dibasahi dan cepat larut.
24
Serbuk instan berlangsung melalui proses berulang, serbuk yang diperoleh dan diakhiri
dengan pengeringan. Pembuatan serbuk instan dilakukan dengan penambahan bahan
lain atau bahan tambahan pangan seperti gula. Penambahan gula digunakan untuk
kristalisasi, bahan pengawet, pemanis serta penambah energi. Menurut Iskandar dan
Tajudin (1990), kristalisasi adalah suatu proses pemisahan dengan cara pemekatan
larutan sampai konsentrasi bahan yang terlarut (solut) menjadi lebih besar daripada
pelarutnya pada suhu yang sama.
Minuman serbuk instan dapat dibuat melalui proses pengeringan dan salah satu
metode pengeringan yang banyak dilakukan oleh masyarakat yaitu kristalisasi. Selama
proses pembuatan ekstrak minuman serbuk instan, larutan gula yang dipanaskan dengan
rempah-rempah akan mengalami proses kristalisasi. Menurut Bennion dan Scheule
(2004), proses kokristalisasi dapat digunakan dalam pembuatan produk pangan jenis
instan. Chen dan Chou (1993), menyatakan bahwa kristalisasi spontan dapat terjadi
dengan adanya pengadukan larutan gula murni superjenuh secara cepat yang akan
menghasilkan agregat kristal yang berukuran mikro. Bahan lain dapat disisipkan atau
disusun dalam sebuah kristal sukrosa berukuran mikro yang merupakan hasil dari
kristalisasi spontan. Sukrosa dengan tingkat kemurnian yang tinggi berperan sebagai
bahan utama dimana bahan lain ditambahkan untuk membentuk struktur yang baru,
sehingga akan terbentuk aglomerat dan fungsionalitas yang baru. Larutan sukrosa yang
ditambah dengan bahan lain dipekatkan hingga mencapai fase superjenuh dan
dipertahankan pada temperatur yang cukup tinggi untuk mencegah kristalisasi.
Sementara itu, sejumlah bahan lainnya yang merupakan bahan kedua dapat
25
ditambahkan setelah penguapan/pemekatan. Larutan gula pekat kemudian diberi
perlakuan pengadukan mekanis, yang mendorong nukleasi sehingga terbentuk kristal
campuran gula dan bahan lain. Begitu larutan gula mencapai suhu dimana terjadi
transformasi dan dimulainya kristalisasi, sejumlah besar panas mulai dipancarkan.
Pengadukan diteruskan dengan tujuan mendorong dan memperpanjang
transformasi/kristalisasi hingga algomerat akan terlepas dari vessel secara cepat, dan
tersaring menjadi ukuran yang sama. Produk kristalisasi mengandung semua bagian
padatan dari bahan baku.
Teknik kristalisasi ini juga dikenal dengan istilah teknik kristalisasi gula semut.
Teknik kristalisasi gula semut merupakan teknik yang digunakan dalam pembuatan gula
semut. Meski demikian, teknik ini dapat digunakan dalam pembuatan serbuk instan
yang berbasis gula. Menurut Cahyono (2005) satu sampai tiga kilogram gula pasir
dilarutkan dalam satu liter air untuk membuat larutan gula. Kemudian dilakukan proses
penyaringan, pemekatan larutan dengan pemanasan dan pendinginan yang disertai
pengadukan cepat untuk pembentukan serbuk. Proses kristalisasi akan menghasilkan
serbuk berwarna kuning kecoklatan hingga coklat dengan kadar air maksimal 3%.
Keunggulan kristaliasi dengan gula semut dibandingkan dengan teknologi (spry drying)
adalah murah, peralatan sederhana dan tidak dibutuhkan kemampuan operator yang
tinggi.
Minuman serbuk yang telah diolah dalam penyajian bentuk serbuk (instan)
merupakan suatu alternatif yang baik untuk menyediakan minuman menyehatkan dan
praktis. Permasalahan yang umum terjadi pada pembuatan serbuk instan adalah
26
kerusakan akibat proses pengeringan yang umumnya memerlukan suhu pemanasan
tinggi (lebih 60oC) seperti hilang atau rusaknya komponen flavor serta terjadinya
pengendapan pada saat serbuk dilarutkan dalam air, sehingga untuk mengantisipasi
hal tersebut perlu menggunakan metode pengeringan yang baik dan penggunaan
bahan penstabil yang berfungsi melapisi komponen flavor serta mencegah kerusakan
komponen-komponen bahan akibat proses pengeringan (Intan, 2007).
Keuntungan dari suatu bahan ketika dijadikan serbuk instan adalah mutu
produk dapat terjaga dan tanpa pengawet. Semua hal tersebut dimungkinkan
karena minuman serbuk instan merupakan produk dengan kadar air yang cukup rendah
yaitu sekitar 3-5%. Melalui proses pengolahan tertentu, minuman serbuk instan
tidak akan mempengaruhi kandungan atau khasiat dalam bahan (Rengga dan
Handayani, 2004).
F. Daya Rehidrasi
Daya rehidrasi menunjukkan penyerapan kembali oleh produk yang sudah
dikeringkan. Daya rehidrasi yang tinggi sangat diharapkan pada produk kering. Nilai
rehidrasi sangat dipengaruhi oleh elastisitas dinding sel, hilangnya permeabilitas
diferensial dalam membrane protoplasma, hilangnya tekanan turgor sel, denaturasi
protein, kristalinitas pati, dan ikatan hydrogen makromolekul (Neuma, 1972).
Menurut Yustiana (2013), panas akan mengurangi derajat hidrasi pada pati,
elastisitas dinding sel, dan koagulasi protein yang mengurangi kapasitas daya ikat air.
Kecepatan dan derajat rehidrasi dapat digunakan untuk menentukan kualitas bahan
pangan. Proses pengeringan bahan yang berjalan sempurna pada suhu optimal,
27
mengakibatkan kerusakan bahan dan dapat dicegah dan rehidrasi berjalan dengan lebih
cepat. Ukuran partikel yang lebih besar menyebabkan luas permukaannya semakin
kecil, sehingga air memerlukan waktu yang lama untuk diabsorpsi ke dalam partikel
pati, sebaiknya ukuran partikel lebih kecil akan meningkatkan laju hidrasi serbuk.
Menurut Yuningsih (2010) koefisien rehidrasi produk kering dihitung berdasarkan
banyaknya air yang diserap kembali oleh produk kering pada suhu kamar dalam waktu
tertentu. Koefisien rehidrasi yang tinggi menunjukkan bahwa produk memiliki
kecepatan hidrasi yang tinggi. Nilai daya rehidrasi berkorelasi negatif dengan
densitasnya. Proses rehidrasi terjadi lebih cepat karena peningkatan luas permukaan
pada volume yang sama (Praret dan Suwannaporn, 2009).
G. Gula
Gula adalah suatu istilah umum yang sering diartikan bagi setiap karbohidrat
yang digunakan sebagai pemanis. Beberapa gula misalnya glukosa, fruktosa, sukrosa
dan laktosa mempunyai sifat fisik dan kimia yang berbeda-beda misalnya dalam hal
rasa manisnya, kelarutan dalam air, mudah tidaknya difermentasi oleh mikroba tertentu,
daya pembentukan gula jika dipanaskan dan pembentukan kristalnya (Winarno,2008).
Gula yang dimaksud dalam hal ini yaitu sukrosa. Sukrosa merupakan sumber bahan
pemanis alami yang mudah ditemukan. Penambahan gula pada produk bukan saja untuk
menghasilkan rasa manis meskipun sifat ini sangatlah penting. Jadi gula bersifat untuk
menyempurnakan rasa asam, cita rasa juga memberikan kekentalan. Daya larut yang
tinggi dari gula, memiliki kemampuan mengurangi kelembaban relatifdan daya
mengikat air adalah sifat-sifat yang menyebabkan gula dipakai dalam pengawetan
28
pangan (Buckle, dkk., 1987). Menurut Fennema (1985), gula berfungsi sebagai sumber
nutrisi dalam makanan, sebagai pembentuk tekstur dan pembentuk flavor melalui
reaksipencoklatan. Buckle, dkk. (1987) mengatakan bahwa daya larut yang tinggi dari
gula dan daya mengikatnya air merupakan sifat-sifat yang menyebabkan gula sering
digunakan dalam pengawetan bahan pangan. Sukrosa memiliki sifat-sifat antara lain:
a. Sifat fisik : tak berwarna, larut dalam air dan etanol, tidak larut dalam eter dan
kloroform, titik lebur 180°C, bentuk kristal monoklim, bersifat optis aktif, densitas
kristal 1588kg/m3 (pada 15°C)
b. Sifat kimia : dalam suasana asam dan suhu tinggi akan mengalami inversi menjadi
glukosa dan fruktosa. Gula merupakan bahan makanan sumber kalori, tetapi bukan
merupakan bahan makanan pokok seperti beras dan semua penggantinya. Macam-
macam gula antara lain gula pasir (disacharida), gula merah, gula aren, gula bit, gula
batu dan madu. Semua ini sebagai sumber hidrat atau sumber kalori. Gula
mengandung hidrat arang 90-98%. Berarti sebagian besar gula berupa zat hidrat
arang. Bandingkan dengan beras, selain hidrat arang juga mengandung zat-zat lain
yang dibutuhkan oleh tubuh (Tarwotjo, 1998).
Sukrosa atau gula secara kimia termasuk dalam golongan karbohidrat, dengan
rumus C12H22O11. Rumus bangun dari sukrosa terdiri atas satu molekul glukosa
(C6H12O6) yang berikatan dengan satu molekul fruktosa (C6H12O6).Kedua jenis gula
sederhana ini juga terdapat dalam bentuk molekul bebas di dalam batang tanaman tebu,
tetapi tidak di dalam umbi bibit gula. Rumus sukrosa tidak memperlihatkan adanya
gugus formil atau karbonil bebas, karena itu sukrosatidak memperlihatkan sifat
29
mereduksi, misalnya dengan larutan Fehling.Campuran glukosa dan fruktosa disebut
gula invert (Fessenden, 1986), sifat-sifat sukrosa yaitu:
a. Kenampakan dan kelarutan, semua gula berwarna putih, membentuk kristal yang
larut dalam air.
b. Rasa manis, semua gula berasa manis, tetapi rasa manisnya tidak sama.
c. Hidrolisis, disakarida mengalami proses hidrolisismenghasilkan monosakarida.
Hidrolisis sukrosa juga dikenal sebagai inversi sukrosa dan hasilnya berupa
campuran glukosa dan fruktosa disebut “gula invert”. Sukrosa atau gula secara kimia
termasuk dalam golongan karbohidrat, dengan rumus C12H22O11. Rumus bangun dari
sukrosa terdiri atas satu molekul glukosa (C6H12O6) yang berikatan dengan satu
molekul fruktosa (C6H12O6).Kedua jenis gula sederhana ini juga terdapat dalam
bentuk molekul bebas di dalam batang tanaman tebu, tetapi tidak di dalam umbi bibit
gula. Rumus sukrosa tidak memperlihatkan adanya gugus formil atau karbonil bebas,
karena itu sukrosatidak memperlihatkan sifat mereduksi, misalnya dengan larutan
Fehling.Campuran glukosa dan fruktosa disebut gula invert (Fessedan, 1986), sifat-
sifat sukrosa yaitu:
a. Kenampakan dan kelarutan, semua gula berwarna putih, membentuk kristal yang
larut dalam air.
b. Rasa manis, semua gula berasa manis, tetapi rasa manisnya tidak sama.
c. Hidrolisis, disakarida mengalami proses hidrolisismenghasilkan monosakarida.
Hidrolisis sukrosa juga dikenal sebagai inversi sukrosa dan hasilnya berupa
campuran glukosa dan fruktosa disebut “gula invert”. Inversi dapat dilakukan baik
30
dengan memanaskan sukrosa bersama asam atau dengan menambahkan enzim
invertase.
d. Sifat mereduksi, semua monosakarida dan disakarida kecuali sukrosa berperan
sebagai agensia pereduksi dan karenanya dikenal sebagai gula reduksi (Gaman dan
Sherrington, 1994)
H. Hipotesis
Perbedaan konsentrasi asam sitrat dan waktu blanching diduga berpengaruh
terhadap kandungan fenol total dan tanin temu putih.