ii. tinjauan pustaka a. temu putiheprints.mercubuana-yogya.ac.id/5535/3/bab ii.pdf · ii. tinjauan...

28
4 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Temu Putih Curcuma zedoaria berasal dari Himalaya, India, dan terutama tersebar di negara-negara Asia meliputi China, Vietnam dan Jepang. Curcuma zedoaria tumbuh liar di Sumatra (Gunung Dompo), di hutan jati Jawa Timur, banyak dijumpai di Jawa Barat dan Jawa Tengah, di ketinggian sampai 1000 mdpl (Windono dan Parfiati, 2002). Temu putih (Curcuma zedoaria (Berg) Roscoe ) cukup dikenal di kalangan masyarakat untuk bahan jamu. Kepopuleran tanaman obat ini digunakan untuk mengobati penyakit kanker. Temu putih mudah menyebar terutama di daerah Asia yaitu dari Himalaya ke Chittagong Utara sampai ke Indonesia. Tanaman ini banyak dibudidayakan di Asia Tenggara, Madagaskar dan beberapa daerah di Indonesia. Di Indonesia, temu putih tumbuh subur pada ketinggian1000 m di atas permukaan laut yaitu di daerah Sumatera dan Jawa. Secara taksonomi, temu putih diklasifikasikan ke dalam divisi Spermatophyta, sub-divisi Angiospermae, Kelas Monocotyledoneae, ordo Zingiberales, suku Zingiberaceae, marga Curcuma, spesies Curcuma zedoaria (Berg) Roscoe. Menurut Syukur (2003), temu putih merupakan tanaman semak dengan tinggi hampir mencapai 2 m dengan batang semu berwarna hijau yang di dalam tanah membentuk rimpang. Ciri khas dari tanaman ini adalah adanya warna ungu di sepanjang ibu tulang daun.Helaian daunnya berwarna hijau muda sampai hijautua dengan punggung daun berwarna pudar dan mengkilat. Panjang daun antara

Upload: others

Post on 04-Nov-2019

19 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

4

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Temu Putih

Curcuma zedoaria berasal dari Himalaya, India, dan terutama tersebar di

negara-negara Asia meliputi China, Vietnam dan Jepang. Curcuma zedoaria tumbuh

liar di Sumatra (Gunung Dompo), di hutan jati Jawa Timur, banyak dijumpai di Jawa

Barat dan Jawa Tengah, di ketinggian sampai 1000 mdpl (Windono dan Parfiati,

2002). Temu putih (Curcuma zedoaria (Berg) Roscoe ) cukup dikenal di kalangan

masyarakat untuk bahan jamu. Kepopuleran tanaman obat ini digunakan untuk

mengobati penyakit kanker. Temu putih mudah menyebar terutama di daerah Asia

yaitu dari Himalaya ke Chittagong Utara sampai ke Indonesia. Tanaman ini banyak

dibudidayakan di Asia Tenggara, Madagaskar dan beberapa daerah di Indonesia. Di

Indonesia, temu putih tumbuh subur pada ketinggian1000 m di atas permukaan laut

yaitu di daerah Sumatera dan Jawa.

Secara taksonomi, temu putih diklasifikasikan ke dalam divisi

Spermatophyta, sub-divisi Angiospermae, Kelas Monocotyledoneae, ordo

Zingiberales, suku Zingiberaceae, marga Curcuma, spesies Curcuma zedoaria

(Berg) Roscoe. Menurut Syukur (2003), temu putih merupakan tanaman semak

dengan tinggi hampir mencapai 2 m dengan batang semu berwarna hijau yang di

dalam tanah membentuk rimpang. Ciri khas dari tanaman ini adalah adanya warna

ungu di sepanjang ibu tulang daun.Helaian daunnya berwarna hijau muda sampai

hijautua dengan punggung daun berwarna pudar dan mengkilat. Panjang daun antara

5

31–75 cm dan lebar daun 7–20 cm.Kenampakan tanaman temu putih ditunjukkan

pada Gambar 1.

Rimpang induk berbentuk lanset-lonjong, sedangkan rimpang akar yang

berupa akar menggembung pada bagian ujungnya membentuk umbi dengan kulit

rimpang berwarna putih. Antara satu rimpang dengan rimpang lain cukup liat untuk

dipatahkan. Pada ujung-ujung akar terdapat bulatan-bulatan atau bintil-bintil yang

merupakan cadangan air.Kulit rimpang berwarna putih. Apabila diiris, daging

rimpangnya berwarna putih ke arah kuning muda dan rasanya pahit. Temu putih

berbunga majemuk, berbentuk tabung, bermahkota lonjong dan berwarna putih. Buah

berbentuk lonjong dengan warna hijau sedangkan biji bulat berwarna hitam (Syukur,

Gambar 1. Tanaman Temu Putih (Curcuma zedoaria (Berg)

Roscoe) (Ochse dan Van den Brink, 1977)

6

2003). Rimpang temu putih mengandung zat warna kuning yaitu

kurkuminoid (diarilheptanoid) dan senyawa kimia lain, seperti: minyak atsiri,

zingiberen, sineol, polisakarida, dan golongan lain. Kurkuminoid yang telah

diketahui meliputi kurkumin, desmektosikurkumin, dan

bisdemetoksikurkumin.Selain itu, bagian minyak temu putih juga mengandung

epikurzerenon, kurdion, dan zedoaron (Anonim, 2007).

Secara tradisional digunakan sebagai antimikrobia dan antifungal (Wilson et

al, 2005). Shiobara et al (1985) mengidentifikasi senyawa

cyclopropanosesquiterpene, curcumenone dan 2 spirolactones, curcumanolide A dan

curcumanolide B. Pada shoots muda dari Curcuma zedoaria mengandung (+)-

germacrone-4,5-epixide, sebuah intermediet kunci pada biogenesis a germacrone-

type sesquiterpenoids. Di Brazilia, digunakan sebagai obat penurun panas. Aktivitas

ini dikarenakan adanya senyawa yang bertanggung jawab yaitu curcumenol (Navarro

et al, 2002). Kandungan kimia rimpang Curcuma zedoaria terdiri dari kurkuminoid

(diarilheptanoid), minyak atsiri, polisakarida serta golongan lain. Diarilheptanoid

yang telah diketahui meliputi kurkumin, demetoksikurkumin, bisdemetoksikurkumin,

dan 1,7 bis (4-hidroksifenil)-1,4,6- heptatrien-3-on (Windono dan Parfiatri, 2002).

Menurut Harbone (1987) bahwa Curcuma zedoaria memiliki senyawa kimia

antara lain polimer fenol, polifenol (tanin, melanin, lignin, kuinon sebagai alkaloid).

Dijelaskan pula oleh Saputra (2010) bahwa Curcuma zedoaria memiliki sifat larut

sangat baik dengan pelarut methanol dan etanol sedangkan air kelarutannya cukup

baik.

7

Curcuma zedoaria atau yang dikenal dengan temu putih merupakan salah

satu dari genus Curcuma yang banyak dimanfaatkan sebagai obat maupun bahan

untuk masakan. Di Indonesia, daun Curcuma zedoaria digunakan sebagai bumbu

tambahan untuk meningkatkan cita rasa masakan ikan dan makanan lainnya

(Sirirugsa et al., 2007). Dalam pengobatan Curcuma zedoaria telah lama

dimanfaatkan oleh berbagai etnis di Indonesia, Malaysia dan India (Malek et al.,

2004).

B. Blanching

Blanching merupakan suatu proses yang dilakukan pada bahan pangan

sebelum dilakukan pengeringan, pengalengan atau pembekuan. Blanching

merupakan suatu proses pemanasan pada bahan pangan dengan menggunakan bahan

pangan dengan menggunakan suhu dibawah 100°C. Blanching dilakukan dengan dua

cara, yaitu pemanasan dengan air panas (Hot Water Blanching) atau dengan uap

(Steam Blanching). Kedua proses tersebut mempunyai keuntungan dan kerugian

tersendiri tergantung dari bahan yang akan diblanching. Blanching bertujuan untuk

menginaktifkan enzim yang memungkinkan perubahan warna, tekstur, citarasa bahan

pangan, namun tujuan blanching juga bermacam-macam tergantung dari bahan yang

akan digunakan serta tujuan proses selanjutnya (Muchtadi, 1997). Pada beberapa

bahan yang diblanching, terjadi penyusutan yang sangat besar sehingga

menyebabkan kehilangan berat bahan yang cukup tinggi. Kehilangan berat ini dapat

mencapai 19%. Selama proses blanching, terjadi perubahan warna bahan, cita rasa

7

(flavor) yang larut atau volatil dapat menghilang selama proses blanching. Inaktivasi

enzim dan penghilangan sejumlah oksigen dalam bahan pangan dapat membantu

menahan cita rasa selama penyimpanan. Blanching dapat menyebabkan perubahan

fisik atau biokimiawi yang mengakibatkan perubahan-perubahan tekstur dan struktur

bahan pangan. Perubahan tersebut bergantung pada suhu dan lama blanching, serta

jenis dan kondisi bahan yang diblanching (Estiasih dan Ahmadi, 2009).

Suhu dan waktu blanching yang terkontrol akan mendapatkan hasil yang

optimal. Perlakukan blanching yang tepat dapat mendatangkan manfaat antara lain

dapat meghindari perubahan yang tidak diinginkan, mengurangi kandungan mikroba,

dapat mempertahankan warna, memperlunak jaringan, membantu pengeluaran gas-

gas seluler pada jaringan sehingga mencegah terjadinya korosidan memperbaiki

tekstur pada bahan pangan yang dikeringkan (Winarno, 2002).

Menurut Pratiningsih (2010) blanching bertujuan untuk inaktivasi enzim,

pembersihan bahan-bahan mentah dan mengurangi kadar bakterinya, membuat

jaringan berkerut sehingga membuat bahan mentah menjadi lebih mudah,

mempertahankan dan memperbaiki tekstur. Blanching dapat menyebabkan kerugian

pada bahan, yaitu kehilangan zat gizi yang larut dalam air dan peka terhadap panas,

menghambat proses pengeringan, serta bahan-bahan yang mengandung pati

menyebabkan kerusakan tekstur bila waktu blanching terlalu lama. Hasil penelitian

Noor (2001) blanching dalam media asam askorbat dapat mempertahankan stabilitas

suspensi dan meningkatkan cita rasa sari buah jambu mete.

8

Tujuan blanching menurut Larousse (1997) adalah :

a. Modifikasi struktur jaringan (tekstur)

Fleksibilitas dari beberapa produk ditingkatkan dengan penerapan panas lembab,

yang memfasilitasi operasi pengisian dengan kerusakaan fisik minimum dan rasio

berat dan volume yang lebih besar, yang terakhir adalah mengontrol berat isi.

Blanching sayuran berpati, misalnya kacang polong, buncis dan sebagainya, dalam

hard water cenderung melindungi granula pati dari kerusakaan. Sebaliknya,

blanching soft water cenderung meningkatkan kerusakaan granula pati yang

menghasilkan media pengisi yang keruh dan variasi berat kering yang lebih besar.

Blanching meningkatkan ketegaran dari beberapa sayuran karena kalsium dalam air

dapat beraksi dengan pektin dan komplek pektoselulosat dari dinding sel membrane

menghasilkan produk tegar. Efek tegar dapat berlanjut selama penyimapanan.

Blanching soft water memberikan efek berlawanan. Selama blanching, karena

kalsium bereaksi dengan pektin, air menjadi lebih lunak. Jadi jika blanching hard

water dikehendaki, tingkat kalsium harus dijaga dengan memperbarui air terus-

menerus atau dengan menambahkan garam kalsiumyang larut. Penambahan spesifik

firming agent dapat dicegah dengan blanching hard water.

b. Menghilangkan udara intraseluler dan gas-gas lain.

Buah dan sayuran mentah mengandung udara interseluler dan gas-gas lain yang

akan dilepaskan selama sterilisasi atau pasteurisasi jika tidak dihilangkan selama

blanching. Oksigen dalam udara dilepaskan melalui head space dapat menyebabkan

produk. Teroksidasi dan korosi internal oksidatif pada kaleng. Gas-gas akan

9

mengurangi vakum head space ang mengakibatkan masalah tekanan internal selama

pengalengan dan mempengaruhi hasil yang dicapai.

c. Mengurangi mikrobia permukaan dan kontaminasi kimia.

Blanching mengurangi tingkat kontaminan mikrobia, petisida dan fungisida.

Pengurangan tersebut tergantung dari metode blanching yang digunakan, suhu dan

waktu. Blanching air panas dapat dapat menghasilkan pengurangan yang lebih besar

karena penambahan pencucian, yang blanching dilakukan untuk beberapa waktu

utamanya untuk proses thermal lebih lanjut, harus dilakukan dibawah suhu 40°C

untuk meminimalkan perkecambahan dan pertumbuhan dari organisme teresebut.

Pembersihandan disinfeksi yang cukup dari blanching dapat menyebabkan

mikroorganisme tahan panas beradaptasi terhadap suhu dan bahan yang digunakan.

Peningkatan level dari beberapa mikroorganisme dala produk akan meningkatkan

permintaan dalam proses panas akhir dan harus di bawah kondisi sterilisasi.

d. Inaktivasi enzim.

Kebanyakan enzim dalam buah dan sayuran menjadi inaktif karena panas. Untuk

produk yang dikalengkan, inaktivasi enzim yang dibutuhkan hanya sebagian, karena

akan dilengkapi selama perlakuan panas berikutnya. Namun demikian, inaktivasi

enzim sebagian penting untuk produk untuk meminimalkan efek yang merugikan dari

aktivasi enzim, misalnya perubahan warna, flavor dan tekstur.

e. Penyesuaian tingkat kelembaban.

Selama pemasakan beberapa sayuran, misalnya bayam, kehilangan berat karena

bleanching dari komponen cairnya, sedangkan yang lain misalnya kentang menyerap

10

air. Jadi, selama akhir proses thermal, perubahan kadar air dari produk dapat

membuat kontrol dari berat kering akhir menjadi sulit. Variasi kelembaban dalam

produk dapat diturunkan dengan blanching.

Proses pengolahan menggunakan panas seperti perebusan biasa dilakukan

oleh masyarakat untuk meningkatkan penerimaan terhadap bahan pangan.

Penggunaan panas dalam pengolahan dapat menyebabkan beberapa perubahan

terhadap bahan pangan baik secara fisik maupun kimia. Proses panas menyebabkan

perubahan pada integritas struktural dan matriks seluler yang memberikan efek

negatif dan positif pada kandungn fitokimia. Perlakuan panas pada bahan pangan

biasanya memberikan efek destruktif pada senyawa flavonoid dan fenolik karen

keduanya merupakan komponen yang sangat tidak stabil (Saika dan Mahanta, 2003).

Beberapa penelitian menunjukkan bahan pangan yang diberikan perlakuan panas

mengalami penurunan kandungan total fenol dan aktivitas antioksidan secara

signifikan yang disebabkan oleh dua faktor utama yaitu pelepasan komponen fenol

dan degradasi/pembentukan menjadi komponen baru (Xu dan Chang, 2008).

Efek negatif proses panas pada kandungan total fenol tidak selalu terjadi pada

semua bahan pangan. Beberapa bahan pangan mengalami peningkatan kandungan

total fenol setelah mengalami proses panas. Beberapa kultivular umbi manis

mengalami peningkatan total fenol dan aktivitas antioksidan setelah diolah dengan

metode rumah tangga salah satunya perebusan (Bellail et al, 2012). Peningkatan

kandungan total fenol terjadi pada tomat, kharua brinjal, knoll khol, dan wortel yang

mengalami pemanasan dengan cara pengukusan, perebusan, dan microwave (Saika

11

dan Mahanta, 2003). Proses panas juga meningkatkan aktivitas antioksidan dan

kandungan total fenol pada Phaseolus vulgaris L seiring dengan rusaknya antinutrisi

yang terkandung pada kacang Phaseolus vulgaris (Huber et al, 2014). Menurut

Chumyam (2013) peningkatan total fenol dan aktivitas antioksidan pada terong ungu

yang mengalami perebusan, pengukusan, dan pemanasan menggunakan microwave

selama 5-15 menit disebabkan rusaknya membran sel sehingga senyawa fenol dan

antioksidan lebih mudah terekstrak.

Peningkatan kandungan antioksidan setelah proses blanching juga terjadi

pada kunir putih (Curcuma mangga Val), penelitian yang dilakukan Pujimulyani

(2010) menyebutkan bahwa perlakuan blanching cara perebusan dengan media asam

sitrat 0,05% dengan waktu 5 menit dan 10 menit secara signifikan meningkatkan

kandungan fenol total, flavonoid dan tanin terkondensasi dibandingkan dengan kunir

putih tanpa perlakuan blanching.

C. Asam Sitrat

Asam sitrat merupakan senyawa antara pada siklus kreb (siklus asam

trikarboksilat). Lintasan reaksi katabolik yang mendahului pembentukan asam sitrat ini

diantaranya adalah lintasan glikolisis dan lintasan Entner-Doudoroff yang menyediakan

senyawa antara asam piruvat yang merupakan senyawa kunci dalam metabolisme sel.

Sebagian besar (80%) dari glukosa diubah menjadi piruvat melalui lintasan glikolisis.

Piruvat akan mengalami dekarboksilasi dan berikatan dengan koenzim-A membentuk

asetil-CoA dan selanjutnya masuk kedalam siklus krebs untuk bergabung dengan

oksaloasetat membentuk asam sitrat. Piruvat juga bisa langsung masuk ke siklus krebs

12

dengan bantuan enzim piruvat karboksilase yang mengubah piruvat menjadi

oksaloasetat.

Asam sitrat merupakan metabolik primer, seperti halnya pertumbuhan mikroba

secara umum, pertumbuhan mikroba dalam fermentasi dibatasi oleh ketersediaan

beberapa unsur kelumit (P, Mn, Zn). Peranan ion logam dalam proses ini belum

diketahui secara menyeluruh. Nilai pH optimum sekitar 1,7 – 2,0. Jika pH lebih tinggi

(alkalis) menyebabkan pembentukan asam - asam oksalat dan glukonat dalam jumlah

banyak. Karenanya pengendalian kondisi proses secara cermat merupakan prasyarat

untuk mempertahankan keteraturan dan mendukung pembentukan asam sitrat yang

lebih banyak. Kondisi yang sesuai tersebut memungkinkan stimulasi glikolisis untuk

penyediaan aliran karbon yang tidak terbatas ke dalam metabolism antara. Akumulasi

sitrat selanjutnya tergantung pada pemasokan oksaloasetat (Mangunwidjaja dan

Suryani,1994).

Asam sitrat (C6H8O7) adalah asam organik yang banyak digunakan dalam

makanan,minuman, deterjen dan obat-obatan. Nama IUPAC asam sitrat adalah asam

2-hidroksil-1,2,3-propanatrikarboksilt. Asam sitrat memiliki bobot molekul 192,12,

pKa 3,09, 4,75;6,41 dan melebur pada suhu 153°C. Asam sitrat berbentuk hablur

bening, tidak berwarna atau serbuk hablur granul sampai halus, putih, tidak berbau,

rasa sangat asam. Bentuk hidrat mekar dalam udara kering. Asam sitrat sangat mudah

larut dalam air, mudah larut dalam etanol, agak sukar larut dalam eter

(Anonim,1995). Asam sitrat adalah salah satu asam organik penting dalam

kehidupan manusia, karena cukup banyak digunakan dalam dunia industri makanan

13

dan minuman untuk berbagai keperluan, sedangkan 12% digunakan dalam industri

obat-obatan dan sekitar 18% untuk kegunaan industri lainnya (Kareem dan Rahman,

2011).

Di Indonesia, 65% konsumsi asam sitrat berada di industri makanan dan

minuman, 20% berada di industri rumah tangga dan sisanya berada di industri tekstil,

farmasi, kosmetik dan lainnya. Besarnya pemanfaatan asam sitrat pada industri

makanan dan minuman karena sifat asam sitrat menguntungkan dalam pencampuran,

yaitu kelarutan relative tinggi, tak beracun dan menghasilkan rasa asam yang disukai.

Kegunaan lain, yaitu sebagai pengawet, pencegah kerusakan warna dan aroma,

menjaga turbiditas, penghambat oksidasi, penginvert sukrosa, penghasil warna gelap

pada kembang gula, jam dan jelly, serta pengatur pH (Sasmitaloka, 2017).

D. Antioksidan

Antioksidan merupakan inhibitor penting terhadap peroksidasi lemak, yaitu

sebagai pelindung makanan dan pertahanan sel makhluk hidup melawan kerusakan

oksidatif (Vimala dan Adenan, 1999). Antioksidan dalam tubuh bermanfaat untuk

mencegah reaksi oksidasi yang ditimbulkan oleh radikal bebas baik berasal dari

metabolism tubuh maupun faktor eksternal lainnya. Radikal bebas adalah atom atau

molekul yang tidak stabil dan sangat reaktif karena mengandung satu atau lebih electron

tidak berpasangan pada orbit terluarnya. Antioksidan adalah senyawa yang mempu

menghilangkan, membersihkan, menahan pembentukan oksigen reaktif dan radikal

bebas dalam tubuh. Radikal bebas adalah atom atau molekul yang tidak stabil karena

tidak memiliki elektron yang tidak berpasangan dalam orbital luarnya sehingga sangat

14

reaktif untuk mendapatkan pasangan elektron dengan mengikat sel-sel tubuh. Apabila

hal tersebut terjadi secara terus menerus dapat menyebabkan kerusakan dan kematian

sel (Lautan, 1997 : Sies, 1993 dalam Erawati, 2012).

Antioksidan memiliki fungsi utama yang digunakan untuk memperkecil

terjadinya proses oksidasi lemak dan minyak, memperkecil terjadinya proses kerusakan

dalam industri makanan, memperpanjang masa pemakaian dalam industri makanan,

industri petroleum, industri karet dan sebagainya (Tahir dkk., 2003). Antioksidan dapat

bersumber dari zat-zat sintetis atau zat-zat alami hasil isolasi. Adanya antioksidan alami

maupun sintetis dapat menghambat oksidasi lipid, mencegah kerusakan dan perubahan

degradasi komponen organik dalam bahan makanan. Beberapa senyawa antioksidan

sintetis yang umum digunakan adalah butylated hydroxytoluen (BHT), butylated

hydroxyanisole (BHA), terbutyl hydroxyquinon (TBHQ), gallic acid dan propyl gallic

(Pokorny dkk., 2001). Komponen antioksidan alami dari tumbuhan yang umum

dimanfaatkan oleh masyarakat antara lain tanin, antosianin, flavonoid, asam askorbat,

tokoferol dan senyawa fenolik (Pujimulyani, 2010).

Radikal bebas akan bereaksi dengan molekul di sekitarnya untuk memperoleh

pasangan elektron supaya mencapai kestabilan atom atau molekul. Reaksi ini akan

berlangsung terus menerus dalam tubuh dan bila tidak dihentikan akan menimbulkan

berbagai penyakit seperti kanker, jantung, katarak, penuaan dini sera penyakit

degeneratif lainnya. Tubuh memerlukan suatu substansi penting, yaitu antioksidan

yang mampu menangkap radikal bebas sehingga tidak dapat menginduksi suatu

15

penyakit (Kikuzaki dan Nakatani, 1993). Beberapa sumber utama antioksidan

diantaranya enzim, molekul besar (albumin, seruloplasmin, feritin) molekul kecil

(asam askorbat, asam urat, tokoferol, karotenoid, fenol) dan beberapa hormone

seperti estrogen dan lain lain (Prior et al, 2005).

Mekanisme kerja antioksidan secara umum menghambat oksidasi substrat

yang terjadi dalam tiga tahap utama, yaitu inisiasi, propagasi, dan terminasi. Tahap

inisiasi terjadi pembentukan radikal substrat, yaitu turunan substrat yang bersifat

tidak stabil dan sangat reaktif akibat hilangnya satu atom H. Radikal substrat akan

bereaksi dengan oksigen membentuk radikal peroksi pada tahap propagasi. Radikal

peroksi lebih lanjut akan menyerng substrat menghasilkan hidroperoksida dan radikal

substrat baru (Javanmardi et al, 2003).

Reaksi inisiasi

RH R● + H●

Reaksi propagasi

R● + O2 ROO●

ROO● + RH ROOH + R●

Reaksi Terminasi

ROO● + ROO● ROOR + O2

ROO● + R● ROOR

Antioksidan berfungsi sebagai senyawa yang dapat menghambat reaksi radikal

bebas penyebab penyakit karsinogenik, kardiovaskuler dan penuaan dalam tubuh

manusia. Antioksidan diperlukan karena tubuh manusia tidak memiliki sistem

16

pertahanan antioksidan yang cukup, sehingga apabila terjadi paparan radikal berlebihan,

maka tubuh membutuhkan antioksidan eksogen (berasal dari luar) (Muchtadi, 2013).

Produksi antioksidan di dalam tubuh manusia terjadi secara alami untuk mengimbangi

produksi radikal bebas. Antioksidan tersebut kemudian berfungsi sebagai system

pertahanan terhadap radikal bebas, namun peningkatan produksi radikal bebas yang

terbentuk akibat faktor stress, radiasi UV, polusi udara dan lingkungan mengakibatkan

system pertahanan kurang memadai, sehingga diperlukan tambahan antioksidan dari

luar (Muchtadi, 2013).

Antioksidan di luar tubuh dapat diperoleh dalam bentuk sintetis dan alami.

Antioksidan sintetis seperti buthylatedhydroxytoluene (BHT), buthylated hidroksianisol

(BHA) dan ters-butylhydroquinone (TBHQ) secara efektif dapat menghmabat oksidasi.

Penggunaan antioksidan sintetis dibatasi karena jika penggunaannya melebihi batas

justru dapat menyebabkan racun dalam tubuh dan bersifat karsinogenik, sehingga

dibutuhkan antioksidan alami yang aman. Salah satu sumber potensial antioksidan

alami adalah tanaman karena mengandung senyawa flavonoid, klorofil dan tanin (Lie

Jin, 2012).

Antioksidan berdasarkan mekanisme reaksinya dibagi menjadi tiga macam,

yaitu antioksidan primer, antioksiden sekunder dan antioksidan tersier. Antioksidan

primer merupakan zat atau senyawa yang dapat menghentikan reaksi berantai

pembentukan radikal bebas yang melepaskan hidrogen. Antioksidan primer dapat

berasal dari alam atau sintetis. Contoh antioksidan primer adalah Butylated

hidroxytoluene (BHT) (Winarsi, 2007). Reaksi antioksidan primer terjadi pemutusan

17

rantai radikal bebas yang sangat reaktif, kemudian diubah menjadi senyawa stabil atau

tidak reaktif. Antioksidan inidapat berperan sebagai donor hidrogen atau CB-D (Chain

breaking donor) dan dapat berperan sebagai akseptor elektron atau CB-A (Chain

breaking acceptor) (Triyem, 2010).

Antioksiden sekunder disebut juga antioksidan eksogeneus atau non enzimatis.

Antioksidan ini menghambat pembentukan senyawa oksigen reatif dengan cara

pengelatan metal, atau dirusak pembentukannya. Prinsip kerja sistem antioksidan non

enzimatis yaitu dengan cara memotong reaksi oksidasi berantai dari radikal bebas atau

dengan menangkap radikal tersebut, sehingga radikal bebas tidak akan bereaksi dengan

komponen seluler (Winarsi, 2007). Antioksidan sekunder di antaranya adalah vitamin

E, vitamin C, beta karoten, flavonoid, asam lipoat, asam urat, bilirubin, melatonin dan

sebagainya (Muchtadi, 2013).

Kelompok antioksidan tersier meliputi sistem enzim DNA-Repair dan metionin

sulfoksida reduktase. Enzim-enzim ini berperan dalam perbaikan biomolekuler yang

rusak akibat reaktivitas radikal bebas. Kerusakan DNA yang terinduksi senyawa radikal

bebas dicirikan oleh rusaknya Single dan Double strand baik gugus non-basa maupun

basa (Winarsi, 2007).

Fenol atau asam karbolat adalah senyawa asam bersifat asam lemah yang

terdapat pada setiap tanaman, baik pada tanaman yang dapat dimakan maupun pada

tanaman yang tidak dapat dimakan. Dalam tata nama, senyawa-senyawa fenolik ini

biasanya berada dalam bentuk glikosida atau esternya (Proestos dkk, 2006). Fenol

mudah teroksidasi dan pada udara terbuka, cepat berubah warna, larutan encer senyawa

18

fenol atau asam karbolat merupakan anti septic (Pujimulyani, 2010). Rumus struktur

fenol dapat dilihat pada Gambar 3.

Fenol memiliki kelarutan terbatas dalam air, yaitu 8,3 gram/100ml dan bersifat

cenderung asam, yang artinya dapat melepaskan ion H+dari gugus hidroksilnya.

Pengeluaran ion tersebut menjdikan anion fenoksida C6H5O-, larut dalam pelarut

organik, berupa padatan (kristal) yang tidak berwarna, mempunyai masa molar 94,110

g/mol, mempunyai titik didih 181,9°C dan mempunyai titik lebur 40,9°C (Widiyanti,

2006).

Senyawa golongan fenol diketahui sangat berperan terhadap aktivitas

antioksidan, semakin besar kandungan senyawa fenolnya maka semakin besar aktivitas

antioksidannya (Kiessoun et al., 2010; Shawar et al., 2010).Senyawa-senyawa fenolik

mempunyai sejumlah aktivitas biologis termasuk antioksidan (Kahkonen dkk., 1999).

Senyawa fenolik mampu menangkap radikal bebas (Gill., dkk 2002), sehingga dapat

mengurangi risiko terjadinya jantung koroner apabila antioksidan dan fenolik alami

Gambar 2. Rumus struktur fenol (Poerwono, 2012)

19

dikonsumsi secara berlebihan terutama dari sayur-sayuran dan buah-buahan (Ghiselli

dkk.,1998).

Prinsip metode Folin-Ciocalteu adalah reaksi oksidasi dan reduksi

kolorimetrik untuk mengukur semua senyawa fenolik dalam sampel uji. Pereaksi Folin-

Ciocalteu merupakan larutan kompleks ion polimerik yang dibentuk dari asam

fosfomolibdat dan asam heteropolifosfotungstat. Pereaksi ini terbuat dari air, natrium

tungstat, natrium molibdat, asam fosfat, asam klorida, litium sulfat, dan bromin (Folin

dan Ciocalteu, 1944).

Prinsip metode Folin-Ciocalteu adalah reaksi oksidasi gugus fenolik hidroksil.

Pereaksi ini mengoksidasi fenolat (garam alkali), mereduksi asam heteropoli menjadi

suatu kompleks molybdenum-tungsten (Mo-W). Fenolat hanya terdapat pada larutan

basa, tetapi pereaksi Folin-Ciocalteu dan produknya tidak stabil pada kondisi basa.

Selama reaksi berlangsung, gugus fenolik-hidroksil bereaksi dengan pereaksi Folin-

Ciocalteu, membentuk kompleks fosfotungstat-fosfomolibdat berwarna biru dengan

struktur yang belum diketahui dan dapat dideteksi dengan spektrofotometer. Warna biru

yang terbentuk akan semakin pekat setara dengan konsentrasi ion fenolat yang

terbentuk, artinya semakin besar konsentrasi senyawa fenolik, maka semakin banyak

ion fenolat yang akan mereduksi asam heteropoli sehingga warna biru yang dihasilkan

semakin pekat (Singleton dan Rossi, 1965).

Tanin merupakan senyawa kimia yang tergolong dalam senyawa polifenol

(Deaville et al., 2010). Tanin merupakan senyawa polifenol yang memiliki bobot

molekul antara 500-20.000 Dalton dan memiliki kemampuan membentuk kompleks

20

dengan protein dan polisakarida. Tanin mempunyai kemampuan mengendapkan protein,

karena tanin mengandung sejumlah kelompok ikatan fungsional yang kuat dengan

molekul protein yang selanjutnya akan menghasilkan ikatan silang yang besar dan

komplek yaitu protein tanin. Tanin mempunyai berat molekul 0,5-3 KD. Tanin alami

larut dalam air dan memberikan warna pada air, warna larutan tanin bervariasi dari

warna terang sampai warna merah gelap atau coklat, karena setiap tanin memiliki warna

yang khas tergantung sumbernya (Ahadi, 2003). Menurut Susanti (2000), sifat utama

tanin pada tanaman bergantung pada gugus fenolik –OH yang terkandung dalam tanin.

Tanin secara umum memiliki gugus fenol dan bersifat koloid, semua jenis tanin dapat

larut dalam air, kelarutannya besar dan akan bertambah besar apabila dilarutkan dalam

air panas.

Tanin secara umum dibagi menjadi dua kategori, yaitu tanin terkondensasi dan

tanin terhidrolisis (Hagerman, 2002). Tanin terkondensasi merupakan senyawa polimer

dari flavan-3-ol(-)-epikatekin dan (+)-katekin (Hagerman, 2002), karena tanin ini dapat

terhidrolisis dalam larutan asam kuat membentuk antosianidin, maka tanin

terkondensasi dikenal dengan istilah proantosianidin (Taiz dan Zeiger, 2002). Tanin

terkondensasi terdapat dalam jumlah yang paling banyak pada tanaman, dan tidak

mudah dihidrolisis, dan memiliki struktur senyawa yang kompleks (Cheeke dan Shull,

1985). Struktur dasar senyawa tanin ditunjukkan pada Gambar 3.

21

Jenis tanin selanjutnya yaitu tanin terhidrolisis. Tanin terhidrolisis merupakan

ester kompleks asam galat (asam 3,4,5-trihidroksil benzoate) dengan glukosa,

memiliki bobot molekul yang lebih rendah dibandingkan dengan tanin terkondensasi

dan dapat dengan mudah dihidrolisis dalam asam encer (Taiz dan Zeiger, 2002).

Tanin terhidrolisis dibagi menjadi dua kelompok yaitu gallotanin dan ellagitanin

(Hagerman, 2002). Gallotanin adalah tanin terhidrolisis sederhana yang terbentuk

melalui ikatan ester antara glukosa dengan asam galat. Bentuk dasar dari senyawa ini

disebut pentagalloyl glukosa (β-1,2,3,6-pentagalloyl-O-D-glukopiranosa), memiliki

lima ikatan ester yang terdiri dari gugus hidroksil alifatik pada inti glukosa

(Hagerman, 2002). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tanin dapat berperan

penting dalam kesehatan, senyawa fenolik memiliki aktivitas sebagai antibiotik

dengan cara membentuk kompleks dengan enzim ekstaseluler yang dihasilkan oleh

Gambar 3. Struktur dasar tanin terkondensasi (Taiz dan

Zeiger, 2002)

22

pathogen atau dengan menganggu proses metabolism pathogen tersebut. Lebih

lanjut, penelitian yang dilaporkan oleh Cordoves et all (2001) menunjukkan bahwa

tanin terkondensasi memiliki aktivitas sebagai antioksidan dan dapat melindungi

kulit dari kerusakan yang ditimbulkan oleh radiasi ultraviolet.

Tanin memiliki kemampuan membentuk senyawa kompleks dengan beberapa

molekul seperti karbohidrat, protein dan enzim. Kemampuan tanin untuk membentuk

kompleks dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu krakteristik protein seperti asam

amino, struktur, titik isoelektrik dan berat molekul. Karakteristik tanin seperti bobot

molekul, struktur dan heterogenits tanin, dan kondisi pereaksi seperti suhu, waktu

dan komposisi pelarut ( Leinmuller et al, 1991).

Interaksi tanin dengan protein terjadi melalui empat ikatan yaitu ikatan

hydrogen, ion, kovalen dan interaksi hidrofobik. Ikatan ion dan kovalen memiliki

peran yang kecil di dalam interaksi tanin-protein. Ikatan hydrogen dibentuk melalui

interaksi antara gugus hidroksi fenolik pada tanin dengan gugus amino bebas protein,

gugus asam karboksilat atau dengan atom nitrogen pada ikatan peptide. Interaksi

hidrofibik terjadi antara cincin aromatic polifenol dengan bagian hidrofibik dari

protein (Leinmuller et al, 1991). Ikatan kovalen antara tanin dengan protein dapat

terjadi setelah tanin mengalami reaksi oksidasi oleh enzim oksidatif seperti polifenol

oksidase (Taiz dan Zeiger, 2002).

E. Minuman Serbuk Instan

Minuman serbuk instan adalah minuman berupa serbuk halus yang terbuat dari

bahan buah-buahan, rempah-rempah, biji-bijian atau daun yang dapat langsung

23

diminum dengan cara diseduh dengan air matang baik dingin maupun panas (Ramadina,

2013). Minuman serbuk instan lebih disukai oleh masyarakat karena memiliki berbagai

keunggulan diantaranya yaitu memiliki cara penyajian yang praktis sehingga mudah

dibawa dan disimpan, mutu lebih terjaga dan tanpa bahan pengawet. Melalui proses

pengolahan tertentu, minuman serbuk instan tidak akan mempengaruhi khasiat yang

terkandung dalam bahan tersebut, sehingga baik untuk kesehatan badan (Rengga dan

Handayani, 2009).

Serbuk instan dibuat dengan diawali dengan proses ekstraksi bahan. Ekstraksi

adalah proses penarikan atau pemisahan komponen zat aktif suatu simplisia dengan

menggunakan pelarut tertentu. Proses ekstraksi bertujuan untuk mendapatkan

komponen-komponen bioaktif suatu bahan (Harborne, 1987). Menurut Anonim (2000),

metode ekstraksi dibagi menjadi 2 cara yaitu cara pendinginan dan cara panas. Metode

ekstraksi dengan cara dingin meliputi maserasi dan perlokasi. Sedangkan metode

ekstraksi dengan cara panas terdiri dari refluks, sokletasi, digesti, infundasi dan dekok.

Ekstraksi dengan pelarut didasarkan pada sifat kepolaran zat dalam pelarut saat

ekstraksi. Senyawa polar hanya akan larut pada pelarut polar, seperti etanol, metanol

dan air. Sedangkan senyawa non-polar hanya akan larut pada pelarut non-polar, seperti

eter, kloroform dan n-heksana (Mukhriani, 2014).

Instanisasi membuat produk mudah dibawa, dapat disimpan sehingga dapat

mempermudah pendistribusian produk, dan memperpanjang umur simpan produk.

Serbuk instan yang diperoleh harus memenuhi syarat yaitu mudah dituang tanpa

tersumbat, tidak higroskopis dan tidak menggumpal, mudah dibasahi dan cepat larut.

24

Serbuk instan berlangsung melalui proses berulang, serbuk yang diperoleh dan diakhiri

dengan pengeringan. Pembuatan serbuk instan dilakukan dengan penambahan bahan

lain atau bahan tambahan pangan seperti gula. Penambahan gula digunakan untuk

kristalisasi, bahan pengawet, pemanis serta penambah energi. Menurut Iskandar dan

Tajudin (1990), kristalisasi adalah suatu proses pemisahan dengan cara pemekatan

larutan sampai konsentrasi bahan yang terlarut (solut) menjadi lebih besar daripada

pelarutnya pada suhu yang sama.

Minuman serbuk instan dapat dibuat melalui proses pengeringan dan salah satu

metode pengeringan yang banyak dilakukan oleh masyarakat yaitu kristalisasi. Selama

proses pembuatan ekstrak minuman serbuk instan, larutan gula yang dipanaskan dengan

rempah-rempah akan mengalami proses kristalisasi. Menurut Bennion dan Scheule

(2004), proses kokristalisasi dapat digunakan dalam pembuatan produk pangan jenis

instan. Chen dan Chou (1993), menyatakan bahwa kristalisasi spontan dapat terjadi

dengan adanya pengadukan larutan gula murni superjenuh secara cepat yang akan

menghasilkan agregat kristal yang berukuran mikro. Bahan lain dapat disisipkan atau

disusun dalam sebuah kristal sukrosa berukuran mikro yang merupakan hasil dari

kristalisasi spontan. Sukrosa dengan tingkat kemurnian yang tinggi berperan sebagai

bahan utama dimana bahan lain ditambahkan untuk membentuk struktur yang baru,

sehingga akan terbentuk aglomerat dan fungsionalitas yang baru. Larutan sukrosa yang

ditambah dengan bahan lain dipekatkan hingga mencapai fase superjenuh dan

dipertahankan pada temperatur yang cukup tinggi untuk mencegah kristalisasi.

Sementara itu, sejumlah bahan lainnya yang merupakan bahan kedua dapat

25

ditambahkan setelah penguapan/pemekatan. Larutan gula pekat kemudian diberi

perlakuan pengadukan mekanis, yang mendorong nukleasi sehingga terbentuk kristal

campuran gula dan bahan lain. Begitu larutan gula mencapai suhu dimana terjadi

transformasi dan dimulainya kristalisasi, sejumlah besar panas mulai dipancarkan.

Pengadukan diteruskan dengan tujuan mendorong dan memperpanjang

transformasi/kristalisasi hingga algomerat akan terlepas dari vessel secara cepat, dan

tersaring menjadi ukuran yang sama. Produk kristalisasi mengandung semua bagian

padatan dari bahan baku.

Teknik kristalisasi ini juga dikenal dengan istilah teknik kristalisasi gula semut.

Teknik kristalisasi gula semut merupakan teknik yang digunakan dalam pembuatan gula

semut. Meski demikian, teknik ini dapat digunakan dalam pembuatan serbuk instan

yang berbasis gula. Menurut Cahyono (2005) satu sampai tiga kilogram gula pasir

dilarutkan dalam satu liter air untuk membuat larutan gula. Kemudian dilakukan proses

penyaringan, pemekatan larutan dengan pemanasan dan pendinginan yang disertai

pengadukan cepat untuk pembentukan serbuk. Proses kristalisasi akan menghasilkan

serbuk berwarna kuning kecoklatan hingga coklat dengan kadar air maksimal 3%.

Keunggulan kristaliasi dengan gula semut dibandingkan dengan teknologi (spry drying)

adalah murah, peralatan sederhana dan tidak dibutuhkan kemampuan operator yang

tinggi.

Minuman serbuk yang telah diolah dalam penyajian bentuk serbuk (instan)

merupakan suatu alternatif yang baik untuk menyediakan minuman menyehatkan dan

praktis. Permasalahan yang umum terjadi pada pembuatan serbuk instan adalah

26

kerusakan akibat proses pengeringan yang umumnya memerlukan suhu pemanasan

tinggi (lebih 60oC) seperti hilang atau rusaknya komponen flavor serta terjadinya

pengendapan pada saat serbuk dilarutkan dalam air, sehingga untuk mengantisipasi

hal tersebut perlu menggunakan metode pengeringan yang baik dan penggunaan

bahan penstabil yang berfungsi melapisi komponen flavor serta mencegah kerusakan

komponen-komponen bahan akibat proses pengeringan (Intan, 2007).

Keuntungan dari suatu bahan ketika dijadikan serbuk instan adalah mutu

produk dapat terjaga dan tanpa pengawet. Semua hal tersebut dimungkinkan

karena minuman serbuk instan merupakan produk dengan kadar air yang cukup rendah

yaitu sekitar 3-5%. Melalui proses pengolahan tertentu, minuman serbuk instan

tidak akan mempengaruhi kandungan atau khasiat dalam bahan (Rengga dan

Handayani, 2004).

F. Daya Rehidrasi

Daya rehidrasi menunjukkan penyerapan kembali oleh produk yang sudah

dikeringkan. Daya rehidrasi yang tinggi sangat diharapkan pada produk kering. Nilai

rehidrasi sangat dipengaruhi oleh elastisitas dinding sel, hilangnya permeabilitas

diferensial dalam membrane protoplasma, hilangnya tekanan turgor sel, denaturasi

protein, kristalinitas pati, dan ikatan hydrogen makromolekul (Neuma, 1972).

Menurut Yustiana (2013), panas akan mengurangi derajat hidrasi pada pati,

elastisitas dinding sel, dan koagulasi protein yang mengurangi kapasitas daya ikat air.

Kecepatan dan derajat rehidrasi dapat digunakan untuk menentukan kualitas bahan

pangan. Proses pengeringan bahan yang berjalan sempurna pada suhu optimal,

27

mengakibatkan kerusakan bahan dan dapat dicegah dan rehidrasi berjalan dengan lebih

cepat. Ukuran partikel yang lebih besar menyebabkan luas permukaannya semakin

kecil, sehingga air memerlukan waktu yang lama untuk diabsorpsi ke dalam partikel

pati, sebaiknya ukuran partikel lebih kecil akan meningkatkan laju hidrasi serbuk.

Menurut Yuningsih (2010) koefisien rehidrasi produk kering dihitung berdasarkan

banyaknya air yang diserap kembali oleh produk kering pada suhu kamar dalam waktu

tertentu. Koefisien rehidrasi yang tinggi menunjukkan bahwa produk memiliki

kecepatan hidrasi yang tinggi. Nilai daya rehidrasi berkorelasi negatif dengan

densitasnya. Proses rehidrasi terjadi lebih cepat karena peningkatan luas permukaan

pada volume yang sama (Praret dan Suwannaporn, 2009).

G. Gula

Gula adalah suatu istilah umum yang sering diartikan bagi setiap karbohidrat

yang digunakan sebagai pemanis. Beberapa gula misalnya glukosa, fruktosa, sukrosa

dan laktosa mempunyai sifat fisik dan kimia yang berbeda-beda misalnya dalam hal

rasa manisnya, kelarutan dalam air, mudah tidaknya difermentasi oleh mikroba tertentu,

daya pembentukan gula jika dipanaskan dan pembentukan kristalnya (Winarno,2008).

Gula yang dimaksud dalam hal ini yaitu sukrosa. Sukrosa merupakan sumber bahan

pemanis alami yang mudah ditemukan. Penambahan gula pada produk bukan saja untuk

menghasilkan rasa manis meskipun sifat ini sangatlah penting. Jadi gula bersifat untuk

menyempurnakan rasa asam, cita rasa juga memberikan kekentalan. Daya larut yang

tinggi dari gula, memiliki kemampuan mengurangi kelembaban relatifdan daya

mengikat air adalah sifat-sifat yang menyebabkan gula dipakai dalam pengawetan

28

pangan (Buckle, dkk., 1987). Menurut Fennema (1985), gula berfungsi sebagai sumber

nutrisi dalam makanan, sebagai pembentuk tekstur dan pembentuk flavor melalui

reaksipencoklatan. Buckle, dkk. (1987) mengatakan bahwa daya larut yang tinggi dari

gula dan daya mengikatnya air merupakan sifat-sifat yang menyebabkan gula sering

digunakan dalam pengawetan bahan pangan. Sukrosa memiliki sifat-sifat antara lain:

a. Sifat fisik : tak berwarna, larut dalam air dan etanol, tidak larut dalam eter dan

kloroform, titik lebur 180°C, bentuk kristal monoklim, bersifat optis aktif, densitas

kristal 1588kg/m3 (pada 15°C)

b. Sifat kimia : dalam suasana asam dan suhu tinggi akan mengalami inversi menjadi

glukosa dan fruktosa. Gula merupakan bahan makanan sumber kalori, tetapi bukan

merupakan bahan makanan pokok seperti beras dan semua penggantinya. Macam-

macam gula antara lain gula pasir (disacharida), gula merah, gula aren, gula bit, gula

batu dan madu. Semua ini sebagai sumber hidrat atau sumber kalori. Gula

mengandung hidrat arang 90-98%. Berarti sebagian besar gula berupa zat hidrat

arang. Bandingkan dengan beras, selain hidrat arang juga mengandung zat-zat lain

yang dibutuhkan oleh tubuh (Tarwotjo, 1998).

Sukrosa atau gula secara kimia termasuk dalam golongan karbohidrat, dengan

rumus C12H22O11. Rumus bangun dari sukrosa terdiri atas satu molekul glukosa

(C6H12O6) yang berikatan dengan satu molekul fruktosa (C6H12O6).Kedua jenis gula

sederhana ini juga terdapat dalam bentuk molekul bebas di dalam batang tanaman tebu,

tetapi tidak di dalam umbi bibit gula. Rumus sukrosa tidak memperlihatkan adanya

gugus formil atau karbonil bebas, karena itu sukrosatidak memperlihatkan sifat

29

mereduksi, misalnya dengan larutan Fehling.Campuran glukosa dan fruktosa disebut

gula invert (Fessenden, 1986), sifat-sifat sukrosa yaitu:

a. Kenampakan dan kelarutan, semua gula berwarna putih, membentuk kristal yang

larut dalam air.

b. Rasa manis, semua gula berasa manis, tetapi rasa manisnya tidak sama.

c. Hidrolisis, disakarida mengalami proses hidrolisismenghasilkan monosakarida.

Hidrolisis sukrosa juga dikenal sebagai inversi sukrosa dan hasilnya berupa

campuran glukosa dan fruktosa disebut “gula invert”. Sukrosa atau gula secara kimia

termasuk dalam golongan karbohidrat, dengan rumus C12H22O11. Rumus bangun dari

sukrosa terdiri atas satu molekul glukosa (C6H12O6) yang berikatan dengan satu

molekul fruktosa (C6H12O6).Kedua jenis gula sederhana ini juga terdapat dalam

bentuk molekul bebas di dalam batang tanaman tebu, tetapi tidak di dalam umbi bibit

gula. Rumus sukrosa tidak memperlihatkan adanya gugus formil atau karbonil bebas,

karena itu sukrosatidak memperlihatkan sifat mereduksi, misalnya dengan larutan

Fehling.Campuran glukosa dan fruktosa disebut gula invert (Fessedan, 1986), sifat-

sifat sukrosa yaitu:

a. Kenampakan dan kelarutan, semua gula berwarna putih, membentuk kristal yang

larut dalam air.

b. Rasa manis, semua gula berasa manis, tetapi rasa manisnya tidak sama.

c. Hidrolisis, disakarida mengalami proses hidrolisismenghasilkan monosakarida.

Hidrolisis sukrosa juga dikenal sebagai inversi sukrosa dan hasilnya berupa

campuran glukosa dan fruktosa disebut “gula invert”. Inversi dapat dilakukan baik

30

dengan memanaskan sukrosa bersama asam atau dengan menambahkan enzim

invertase.

d. Sifat mereduksi, semua monosakarida dan disakarida kecuali sukrosa berperan

sebagai agensia pereduksi dan karenanya dikenal sebagai gula reduksi (Gaman dan

Sherrington, 1994)

H. Hipotesis

Perbedaan konsentrasi asam sitrat dan waktu blanching diduga berpengaruh

terhadap kandungan fenol total dan tanin temu putih.