ii. tinjauan pustaka a. batu bata 1. pengertian batu …digilib.unila.ac.id/3736/16/bab ii.pdfaashto...

23
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Batu Bata 1. Pengertian Batu Bata Batu bata merupakan salah satu elemen (material) pendukung dalam pendirian sebuah bangunan, terbuat dari tanah hitam (humus) dan tanah kuning (tanah liat).Bahan utama batu merah adalah tanah dan air.Bentuk dan ukuran tanah bervariasi.(Subandi, 2013). Batu bata merah adalah salah satu unsur bangunan dalam pembuatan konstruksi bangunan yang terbuat dari tanah lempung/tanah liat ditambah air dengan atau tanpa bahan campuran lain melalui beberapa tahap pengerjaan,seperti menggali, mengolah, mencetak, mengeringkan, membakar pada temperatur tinggi hingga matang dan berubah warna, serta akan mengeras seperti batu setelah didinginkan hingga tidak dapat hancur lagi bila direndam dalam air. (Ramli, 2007). Definisi batu bata menurut SNI 15-2094-2000, SII-0021-78 merupakan suatu unsur bangunan yang diperuntukkan pembuatan konstruksi bangunan dan yang dibuat dari tanah dengan atau tanpa campuran bahan- bahan lain, dibakar cukup tinggi, hingga tidak dapat hancur lagi bila direndam dalam air.

Upload: lekhanh

Post on 16-Mar-2018

234 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

5

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Batu Bata

1. Pengertian Batu Bata

Batu bata merupakan salah satu elemen (material) pendukung dalam

pendirian sebuah bangunan, terbuat dari tanah hitam (humus) dan tanah

kuning (tanah liat).Bahan utama batu merah adalah tanah dan air.Bentuk

dan ukuran tanah bervariasi.(Subandi, 2013).

Batu bata merah adalah salah satu unsur bangunan dalam pembuatan

konstruksi bangunan yang terbuat dari tanah lempung/tanah liat ditambah

air dengan atau tanpa bahan campuran lain melalui beberapa tahap

pengerjaan,seperti menggali, mengolah, mencetak, mengeringkan,

membakar pada temperatur tinggi hingga matang dan berubah warna,

serta akan mengeras seperti batu setelah didinginkan hingga tidak dapat

hancur lagi bila direndam dalam air. (Ramli, 2007).

Definisi batu bata menurut SNI 15-2094-2000, SII-0021-78 merupakan

suatu unsur bangunan yang diperuntukkan pembuatan konstruksi

bangunan dan yang dibuat dari tanah dengan atau tanpa campuran bahan-

bahan lain, dibakar cukup tinggi, hingga tidak dapat hancur lagi bila

direndam dalam air.

6

2. Tanah Lempung/Tanah Liat

Tanah Lempung atau tanah liat ini merupakan bahan utama material dari

pembuatan batu bata.

3. Standar Batu Bata

Pembuatan batu bata harus memiliki standardisasi, karena dalam

pembuatan batu bata merupakan syarat mutlak dan menjadi suatu acuan

penting dari sebuah industri di suatu negara khususnya di Indonesia.

Standardisasi menurut Organisasi Internasional (ISO) merupakan proses

penyusunan dan pemakaian aturan-aturan untuk melaksanakan suatu

kegiatan secara teratur demi keuntungan dan kerjasama semua pihak yang

berkepentingan, khususnya untuk meningkatkan ekonomi keseluruhan

secara optimum dengan memperhatikan kondisi-kondisi fungsional dan

persyaratan keamanan. (Suwardono, 2002).

Adapun syarat-syarat batu bata dalam SNI 15-2094-2000 dan SII-0021-78

meliputi beberapa aspek seperti :

a. Sifat Tampak

Batu bata merah harus berbentuk prisma segi empat panjang,

mempunyai rusuk-rusuk yang tajam dan siku, bidang sisinya harus

datar, tidak menunjukkan retak-retak.

b. Ukuran dan Toleransi

Standar Bata Merah di Indonesia oleh BSN (Badan Standardisasi

Nasional) nomor 15-2094-2000 menetapkan suatu ukuran standar

untuk bata merah sebagai berikut :

7

Tabel 1. Ukuran dan Toleransi Bata Merah Pasangan Dinding

Modul Tebal (mm) Lebar (mm) Panjang (mm)

M-5a

M-5b

M-6a

M-6b

M-6c

M-6d

65 + 2

65 + 2

52 + 3

55 + 3

70 + 3

80 + 3

90 + 3

100 + 3

110 + 4

110 + 6

110 + 6

110 + 6

190 + 4

190 + 4

230 + 4

230 + 5

230 + 5

230 + 5

Sumber: SNI 15-2094-2000

c. Kuat Tekan

Besarnya kuat tekan rata-rata dan koefisien variasi yang diijinkan

untuk bata merah untuk pasangan dinding sesuai Tabel 2.

Tabel 2. Klasifikasi Kekuatan Bata

Kelas Kekuatan Tekan Rata-Rata Batu Bata Koefisien

Variasi Izin Kg/cm2 N/mm

2

50

100

150

50

100

150

5,0

10

15

22%

15%

15%

Sumber :(SNI 15-2094-2000)

d. Garam Yang Membahayakan

Garam yang mudah larut dan membahayakan : Magnesium Sulfat

(MgSO4), Natrium Sulfat (Na2SO4), Kalium Sulfat (K2SO4), dan kadar

garam maksimum 1,0%, tidak boleh menyebabkan lebih dari 50%

permukaan batu bata tertutup dengan tebal akibat pengkristalan

garam.

8

e. Kerapatan Semu

Kerapatan semu minimum bata merah pasangan dinding 1,2

gram/cm3.

f. Penyerapan Air

Penyerapan air maksimum bata merah pasangan dinding adalah 20%.

4. Proses Pembakaran Batu Bata

Dari seluruh proses pembuatan batu bata, maka pada tahap pembakaran

adalah tahap yang paling menentukan berhasilnya tidak usaha ini. Jika

pembakaran gagal, maka pengusaha akan mengalami kerugian total.

Karena, bahan pembuatan batu bata hanya dibakar sekali, jika tidak

matang sepenuhnya, maka bahan pembuatan batu bata tersebut tidak dapat

dimatangkan lagi dengan pembakaran yang kedua.

Pembakaran batu bata dapat dilakukan dengan menyusun batu bata secara

bertingkat dan bagian bawah tumpukan itu diberi terowongan untuk kayu

bakar. Bagian samping tumpukan ditutup dengan batu bata setengah

matang dari proses pembakaran sebelumnya atau batu bata yang sudah

jadi. Sedangkan bagian atasnya ditutup dengan batang padi dan lumpur

tanah liat.

Saat kayu bakar telah menjadi bara menyala, maka bagian dapur atau

lubang tempat pembakaran tersebut di tutup dengan lumpur tanah

lempung/tanah liat. Tujuannya agar panas dan semburan api selalu

mengangah dalam tumbukan bata. Proses pembakaran ini memakan waktu

1 – 2 hari tergantung jumlah batu bata yang dibakar.

9

Pada saat musim kemarau, proses penjemuran tanah liat itu hanya

memerlukan waktu sekitar dua hari. Namun, saat musim hujan proses

penjemuran tanah liat itu bisa memakan waktu hingga sepekan lebih.

Proses yang terakhir yaitu membakar tanah liat yang telah dijemur.

Cetakan tanah liat yang sudah berbentuk persegi panjang itu ditata

sedemikian rupa di atas tungku pembakaran dan proses pembakaran batu

bata memerlukan waktu lebih lama dibanding pada pembakaran saat

musim kemarau.

B. Tanah

1. Pengertian Tanah

Tanah dari pandangan ilmu Teknik Sipil merupakan himpunan

mineral, bahan organik dan endapan-endapan yang relative lepas (loose)

yang terletak di atas batu dasar (bedrock) (Hardiyatmo, 1992).

Tanah didefinisikan secara umum adalah kumpulan dari bagian-bagian

yang padat dan tidak terikat antara satu dengan yang lain (diantaranya

mungkin material organik) rongga-rongga diantara material tersebut berisi

udara dan air (Verhoef,1994).

Ikatan antara butiran yang relatif lemah dapat disebabkan oleh karbonat,

zat organik, atau oksida-oksida yang mengendap-ngendap diantara

partikel-partikel.Ruang diantara partikel-partikel dapat berisi air, udara,

ataupun yang lainnya (Hardiyatmo, 1992).

Tanah dapat didefinisikan sebagai akumulasi partikel mineral yang tidak

mempunyai atau lemah ikatan partikelnya, yang terbentuk karena

10

pelapukan dari batuan. Diantara partikel-partikel tanah terdapat ruang

kosong yang disebut pori-pori yang berisi air dan udara. Ikatan yang

lemah antara partikel – partikel tanah disebabkan oleh karbonat dan

oksida yang tersenyawa diantara partikel – partikel tersebut, atau dapat

juga disebabkan oleh adanya material organik. Bila hasil dari pelapukan

tersebut berada pada tempat semula maka bagian ini disebut sebagai

tanah sisa (residu soil). Hasil pelapukan terangkut ke tempat lain dan

mengendap di beberapa tempat yang berlainan disebut tanah bawaan

(transportation soil). Media pengangkut tanah berupa gravitasi, angin,

air, dan gletsyer. Pada saat akan berpindah tempat, ukuran dan bentuk

partikel – partikel dapat berubah dan terbagi dalam beberapa rentang

ukuran.

Proses penghancuran dalam pembentukan tanah dari batuan terjadi

secara fisis atau kimiawi. Proses fisis antara lain berupa erosi akibat

tiupan angin, pengikisan oleh air dan gletsyer, atau perpecahan akibat

pembekuan dan pencairan es dalam batuan sedangkan proses kimiawi

menghasilkan perubahan pada susunan mineral batuan asalnya. Salah

satu penyebabnya adalah air yang mengandung asam alkali, oksigen dan

karbondioksida (Wesley, 1977).

2. Klasifikasi Tanah

Sistem klasifikasi tanah itu sendiri adalah suatu sistem pengaturan

beberapa jenis tanah untuk membeda-bedakan tanah berdasarkan atas

sifat-sifat yang dimilikinyatetapi mempunyai sifat yang serupa ke dalam

kelompok dan subkelompok berdasarkan pemakaiannya. Dengan adanya

11

sistem klasifikasi memberikan suatu bahasa yang mudah untuk

menjelaskan secara singkat mengenai sifat-sifat umum tanah yang sangat

bervariasi tanpa penjelasan yang rinci. Klasifikasi umumnya di dasarkan

pada sifat-sifat indeks tanah yang sederhana seperti distribusi ukuran

butiran dan plastisitas.

Ada beberapa macam sistem klasifikasi tanah yang umumnya digunakan

sebagai hasil pengembangan dari sistem klasifikasi yang sudah ada.

Beberapa sistem tersebut memperhitungkan distribusi ukuran butiran dan

batas-batas Atterberg, sistem-sistem tersebut adalah sistem klasifikasi

AASHTO (American Association of State Highway and Transportation

Official) dan sistem klasifikasi tanah unified (USCS).

a. Sistem Klasifikasi AASTHO

AASHTO(American Association of State Highway and Transportation

Official) merupakan sistem klasifikasi yang dikembangkan pada tahun

1929 sebagai Public Road Administrasion Classification System. Pada

sistem klasifikasi AASTHO ini telah mengalami beberapa perbaikan,

adapun yang berlaku saat ini adalah yang diajukan oleh Commite on

Classification of Material for Subgrade and Granular Type Road of

the Highway Research Board pada tahun 1945 (ASTM Standar No. D-

3282, AASHTO model M145).

Sistem Klasifikasi AASHTO membagi tanah ke dalam 8 kelompok,

A-1 sampai A-7 termasuk sub-sub kelompok. Tanah yang

diklasifikasikan ke dalam A-1, A-2, dan A-3 adalah tanah berbutir di

12

mana 35 % atau kurang dari jumlah butiran tanah tersebut lolos

ayakan No. 200. Tanah dimana lebih dari 35 % butirannya tanah lolos

ayakan No. 200 diklasifikasikan ke dalam kelompok A-4, A-5 A-6,

dan A-7. Butiran dalam kelompok A-4 sampai dengan A-7 tersebut

sebagian besar adalah lanau dan lempung.

Tanah-tanah dalam tiap kelompoknya yang dihitung dengan rumus-

rumus empiris. Pengujian yang digunakan hanya analisis saringan dan

batas-batas Atterberg. Sistem klasifikasi AASHTO.

Pada sistem klasifikasi AASHTO ini bermanfaat untuk menentukan

kualitas tanah guna pekerjaan jalan yaitu lapis dasar (subbase) dan

tanah dasar (subgrade). Sistem klasifikasi ini didasarkan pada kriteria

di bawah ini :

1) Ukuran Butir

Kerikil : bagian tanah yang lolos ayakan diameter 75 mm

(3in) dan yang tertahan pada ayakan No. 10 (2 mm).

Pasir : bagian tanah yang lolos ayakan No. 10 (2 mm) dan

yang tertahan pada ayakan No. 200 (0.075 mm).

Lanau dan lempung : bagian tanah yang lolos ayakan No.

200.

2) Plastisitas

Nama berlanau dipakai apabila bagian-bagian yang halus dari

tanah mempunyai indeks plastisitas (IP) sebesar 10 atau kurang.

Nama berlempung dipakai apabila bagian-bagian yang halus dari

13

tanah mempunyai indeks plastis indeks plastisitasnya 11 atau

lebih.

Gambar 1. Nilai - Nilai Batas Atterberg Untuk SubkelompokTanah

3) Batuan dengan ukuran lebih besar dari 75 mm di temukan di

dalam contoh tanah yang akan ditentukan klasifikasi tanahnya,

maka batuan tersebut harus dikeluarkan terlebih dahulu. Tetapi,

persentase dari batuan yang dikeluarkan tersebut harus dicatat.

Apabila sistem klasifikasi AASHTO dipakai untuk

mengklasifikasikan tanah, maka data dari hasil uji dicocokkan dengan

angka-angka yang diberikan dalam Tabel 1 dari kolom sebelah kiri ke

kolom sebelah kanan hingga ditemukan angka-angka yang sesuai.

14

b. Sistem Klasifikasi Tan ah Unified (USCS)

Sistem klasifikasi tanah unified atau Unified Soil Classification System

(USCS)diajukan pertama kali oleh Casagrande dan kemudian

dikembangkan oleh United State Bureau of Reclamation (USBR) dan

United State Army Corps of Engineer (USACE). ASTM atau

American Society for Testing and Materials telah memakai USCS

sebagai metode standard untuk mengklasifikasikan tanah. Dalam

USCS, suatu tanah diklasifikasikan dalam dua kategori utama yaitu :

i. Tanah berbutir kasar (coarse-grained soils) yang terdiri atas kerikil

dan pasir yang kurang dari 50% tanah lolos saringan No. 200

(F200< 50%). Simbol kelompok diawali dengan G untuk kerikil

(gravel) atau tanah berkerikil (gravelly soil) atau S untuk pasir

(sand) atau tanah berpasir (sandy soil).

ii. Tanah berbutir halus (fine-grained soils) yang mana lebih dari 50%

tanah lolos saringan No. 200 (F200 ≥ 50%). Simbol kelompok

diawali dengan M untuk lanau (silt), C untuk lempung (clay), O

untuk lanau atau lempung dengan organik rendah (OL) sampai

organik tinggi (OH). Simbol Pt digunakan untuk gambut (peat).

Simbol lain yang digunakan untuk klasifikasi adalah W - untuk

gradasi baik (well graded), P - gradasi buruk (poorly graded), L -

plastisitas rendah (low plasticity) dan H - plastisitas tinggi (high

plasticity).

15

Klasifikasi sistem tanah unified secara visual di lapangan sebaiknya

dilakukan pada setiap pengambilan contoh tanah. Hal ini berguna

di samping untuk dapat menentukan pemeriksaan yang mungkin

perlu ditambahkan, juga sebagai pelengkap klasifikasi yang di

lakukan di laboratorium agar tidak terjadi kesalahan label.

C. Tanah Lempung

1. Definisi Tanah Lempung

Beberapa pendapat para peneliti mengenai definisi dari tanah lempung,

yaitu:

a. Tanah lempung atau tanah liat adalah partikel mineral bekerangka

dasar silikat yang berdiameter kurang dari 4 mikrometer. Lempung

mengandung silika atau alumunium yang halus. Unsur – unsur ini,

silikon, oksigen, dan alumunium adalah unsur yang paling banyak

menyusun kerak bumi. Lempung terbentuk dari proses pelapukan

batuan silika oleh asam karbonat dan sebagian dihasilkan dari aktivitas

panas bumi. Lempung membentuk gumpalan keras saat kering dan

lengket apabila basah terkena air. Sifat ini ditentukan oleh jenis

mineral lempung yang mendominasinya. Mineral lempung

digolongkan berdasarkan susunan lapisan oksida silikon dan oksida

alumunium yang membentuk kristalnya. Golongan 1:1 memiliki

lapisan satu oksida silikon dan satu oksida alumunium, sementara

golongan 2:1 memiliki dua lapis golongan oksida silikon yang

mengapit satu lapis oksida alumunium.

16

Tabel 3. Sistem Klasifikasi Unified

Divisi Utama Simbol Nama Umum Kriteria Klasifikasi

Tan

ah

berb

uti

r k

asa

r≥ 5

0%

bu

tira

n

tert

ah

an

sari

ng

an

No

. 2

00

Keri

kil

50

%≥

fra

ksi

kasa

r

tert

ah

an

sari

ng

an

No

. 4

Keri

kil

bers

ih

(han

ya k

eri

kil

)

GW

Kerikil bergradasi-baik dan

campuran kerikil-pasir, sedikit

atau sama sekali tidak

mengandung butiran halus

Kla

sifi

kasi

berd

asa

rkan

pro

sen

tase

bu

tira

n h

alu

s ;

Ku

ran

g d

ari

5%

lo

los

sari

ng

an

no

.20

0:

GM

,

GP

, S

W, S

P.

Leb

ih d

ari

12

% l

olo

s sa

rin

gan

no

.20

0 :

GM

, G

C, S

M,

SC

. 5

% -

12

% l

olo

s

sari

ng

an

No

.200

: B

ata

san

kla

sifi

kasi

yan

g m

em

pu

ny

ai

sim

bo

l d

ob

el

Cu = D60 > 4

D10

Cc = (D30)2 Antara 1 dan 3

D10 x D60

GP

Kerikil bergradasi-buruk dan

campuran kerikil-pasir, sedikit

atau sama sekali tidak

mengandung butiran halus

Tidak memenuhi kedua kriteria untuk

GW K

eri

kil

den

gan

Bu

tira

n h

alu

s

GM Kerikil berlanau, campuran

kerikil-pasir-lanau

Batas-batas

Atterberg di

bawah garis A

atau PI < 4

Bila batas

Atterberg berada

didaerah arsir

dari diagram

plastisitas, maka

dipakai dobel

simbol GC

Kerikil berlempung, campuran

kerikil-pasir-lempung

Batas-batas

Atterberg di

bawah garis A

atau PI > 7

Pasi

r≥ 5

0%

fra

ksi

kasa

r

l

olo

s sa

rin

gan

No

. 4

Pasi

r b

ers

ih

(h

an

ya p

asi

r)

SW

Pasir bergradasi-baik , pasir

berkerikil, sedikit atau sama

sekali tidak mengandung butiran

halus

Cu = D60 > 6

D10

Cc = (D30)2 Antara 1 dan 3

D10 x D60

SP

Pasir bergradasi-buruk, pasir

berkerikil, sedikit atau sama

sekali tidak mengandung butiran

halus

Tidak memenuhi kedua kriteria untuk

SW

Pasi

r

den

gan

bu

tira

n

halu

s

SM Pasir berlanau, campuran pasir-

lanau

Batas-batas

Atterberg di

bawah garis A

atau PI < 4

Bila batas

Atterberg berada

didaerah arsir

dari diagram

plastisitas, maka

dipakai dobel

simbol SC

Pasir berlempung, campuran

pasir-lempung

Batas-batas

Atterberg di

bawah garis A

atau PI > 7

Tan

ah

berb

uti

r h

alu

s

50

% a

tau

leb

ih l

olo

s ay

ak

an

No

. 2

00

Lan

au

dan

lem

pu

ng

bata

s cair

≤ 5

0%

ML

Lanau anorganik, pasir halus

sekali, serbuk batuan, pasir halus

berlanau atau berlempung

Diagram Plastisitas:

Untuk mengklasifikasi kadar butiran halus yang

terkandung dalam tanah berbutir halus dan kasar.

Batas Atterberg yang termasuk dalam daerah yang

di arsir berarti batasan klasifikasinya menggunakan

dua simbol.

60

50 CH

40 CL

30 Garis A CL-ML

20

4 ML ML atau OH

0 10 20 30 40 50 60 70 80

Garis A : PI = 0.73 (LL-20)

CL

Lempung anorganik dengan

plastisitas rendah sampai dengan

sedang lempung berkerikil,

lempung berpasir, lempung

berlanau, lempung “kurus” (lean

clays)

OL

Lanau-organik dan lempung

berlanau organik dengan

plastisitas rendah

Lan

au

dan

lem

pu

ng

bata

s cair

≥ 5

0%

MH

Lanau anorganik atau pasir halus

diatomae, atau lanau diatomae,

lanau yang elastis

CH

Lempung anorganik dengan

plastisitas tinggi, lempung

“gemuk” (fat clays)

OH

Lempung organik dengan

plastisitas sedang sampai dengan

tinggi

Tanah-tanah dengan

kandungan organik sangat

tinggi

PT

Peat (gambut), muck, dan tanah-

tanah lain dengan kandungan

organik tinggi

Manual untuk identifikasi secara visual dapat

dilihat di ASTM Designation D-2488

Bata

s P

last

is (

%)

Batas Cair (%)

17

Mineral lempung golongan 2:1 memiliki sifat elastis yang kuat,

menyusut saat kering dan memuai saat basah. Karena perilaku inilah

beberapa jenis tanah dapat membentuk kerutan – kerutan atau “pecah –

pecah” bila kering. (Wikipedia Indonesia).

b. Tanah Lempung merupakan tanah dengan ukuran mikronis sampai

dengan sub mikronis yang berasal dari pelapukan unsur – unsur

kimiawi penyusutan batuan. Tanah lempung sangat keras dalam

keadaan kering, dan tak mudah terkelupas hanya dengan jari tangan.

Permeabilitas lempung sangat rendah, bersifat plastis pada kadar air

sedang. Di Amerika bagian barat, untuk lempung yang keadaan plastis

ditandai dengan wujudnya bersabun seperti terbuat dari lilin disebut

“gumbo”. Sedangkan pada keadaan air yang lebih tinggi tanah

lempung akan bersifat lengket (kohesif) dan sangat lunak. (Terzaghi

dan Peck, 1987).

c. Mendefinisikan tanah lempung sebagai deposit yang mempunyai

partikel berukuran lebih kecil atau sama dengan 0,002 mm dalam

jumlah lebih dari 50%. (Bowles, 1991).

d. Mengatakan sifat – sifat yang dimiliki dari tanah lempung yaitu antara

lain ukuran butiran halus lebih kecil dari 0,002 mm, permeabilitas

rendah, kenaikan air kapiler tinggi, bersifat sangat kohesif, kadar

kembang susut yang tinggi dan proses konsolidasi lambat. Dengan

adanya pengetahuan mengenai mineral tanah tersebut, pemahaman

mengenai perilaku tanah lempung dapat diamati. (Hardiyatmo, 1992).

18

e. Dalam klasifikasi tanah secara umum, partikel tanah lempung memiliki

diameter 2 m atau sekitar 0,002 mm (USDA, AASHTO, USCS).

Namun demikian, dibeberapa kasus partikel berukuran 0,002 mm

sampai 0,005 mm masih digolongkan sebagai partikel lempung

(ASTM-D-653). Disini tanah diklasifikasikan sebagai lempung hanya

berdasarkan ukuran saja, namun belum tentu tanah dengan ukuran

partikel lempung tersebut juga mengandung mineral – mineral

lempung. Jadi, dari segi mineral tanah dapat juga disebut sebagai tanah

bukan lempung (non clay soil) meskipun terdiri dari partikel – partikel

yang sangat kecil (quartz, feldspar), mika dapat berukuran sub

mikroskopis tetapi umumnya tidak bersifat plastis. Partikel – partikel

dari mineral lempung umumnya berukuran koloid, merupakan gugusan

kristal berukuran mikro yaitu < 1m (2m merupakan batas atasnya).

Tanah lempung merupakan hasil proses pelapukan mineral batuan

induknya, yang salah satu penyebabnya adalah air yang mengandung

asam atau alkali, oksigen, dan karbondioksida. (Shvoong.com).

2. Mineral Lempung

Tanah lempung terdiri sekumpulan partikel-partikel mineral lempung yang

berbentuk lempeng pipih dan merupakan partikel dari mika, mineral

lempung dan mineral lainnya. Partikel lempung dapat berbentuk seperti

lembaran yang mempunyai permukaan khusus. Karena itu lempung

mempunyai sifat sangat dipengaruhi oleh faktor utama yang digunakan

untuk mengontrol ukuran, bentuk, sifat fisik, sifat kimia dan partikel tanah

19

adalah mineralogi (Mitchell, 1976). Sifat fisik dan mekanis tanah lempung

dikendalikan oleh mineral yang terkandung di tanah tersebut. Mineral

tersebut terutama terdiri dari alumunium silikat yang terdiri dari silikat

tetrahedral dan alumunium oktahedral. Mineral-mineral ini terdiri dari

kristal dimana atom-atom yang membentuknya berada dalam suatu pola

geometri tertentu. Setiap unit tetrahedral terdiri dari empat atom oksigen

mengelilingi satu atom silikon, sedangkan unit oktahedral terdiri dari enam

atom oksigen yang mengelilingi satu atom silikon, seperti yang

ditunjukkan pada gambar berikut.

Gambar 2. Rangkaian Dasar Oktahedral dan Tetrahedral

Mineral-mineral lempung merupakan produk pelapukan batuan yang

terbentuk dari penguraian kimiawi mineral-mineral silikat lainnya dan

selanjutnya terangkut ke lokasi pengendapan oleh berbagai kekuatan.

Mineral-mineral lempung digolongkan ke dalam golongan besar, yaitu

kaolinite, smectit (mont morill onit), dan illit (mika hidrat).

20

3. Sifat Tanah Lempung Pada Pembakaran

Tanah lempung yang dibakar akan mengalami perubahan seperti berikut

(Nuraisyah, 2010) :

a. Pada temperatur + 150oC, terjadi penguapan air pembentuk yang

ditambahkan dalam tanah lempung pada pembentukan setelah menjadi

batu bata mentah.

b. Pada temperatur antara 400oC – 600

oC, air yang terikat secara kimia

dan zat-zat lain yang terdapat dalam tanah lempung akan menguap.

c. Pada temperatur diatas 800oC, terjadi perubahan-perubahan kristal dari

tanah lempung dan mulai terbentuk bahan gelas yang akan mengisi

pori-pori sehingga batu bata menjadi padat dan keras.

d. Senyawa-senyawa besi akan berubah menjadi senyawa yang lebih stabil

dan umumnya mempengaruhi warna batu bata.

e. Tanah lempung yang mengalami susut kembali disebut susut bakar.

Susut bakar diharapkan tidak menimbulkan cacat seperti perubahan

bentuk (melengkung), pecah-pecah dan retak. Tanah lempung yang

sudah dibakar tidak dapat kembali lagi menjadi tanah lempung oleh

pengaruh udara maupun air.

D. Fly Ash (Abu Terbang)

1. PengertianFly Ash (abu terbang)

Fly ash (abu terbang) adalah salah satu residu yang dihasilkan dalam

pembakaran dan terdiri dari partikel – partikel halus seperti amorf dan abu

21

tersebut merupakan bahan anorganik yang terbentuk dari perubahan bahan

mineral (mineral matter) karena proses pembakaran.

Fly ash merupakan material yang memiliki ukuran butiran yang halus,

berwarna keabu-abuan dan diperoleh dari hasil pembakaran batubara.

Komponen fly ash ini bervariasi dikarenakan mengandung unsur kimia

antara lain Silika (SiO2), Alumina (Al2O3), Ferro Oksida (Fe2O3), dan

Kalsium Oksida (CaO), juga mengandung unsur tambahan lain yaitu

Magnesium Oksida (MgO), Titanium Oksida (TiO2), Alkalin (Na2o dan

K2O), Sulfur Trioksida (SO3), Pospor Oksida (P2O5), dan Carbon. Fly

ash banyak mengandung Silika yang amorf (>40%) dan dapat memberikan

sumbangan keaktifan (mempunyai sifat pozzolan untuk dibuat bata/block

dengan campuran kapur padam), sehingga dengan mudah mengadakan

kontak dan bereaksi dengan kapur yang ditambahkan air membentuk

senyawa kalsium silikat. Senyawa inilah yang bertanggung jawab pada

proses pengerasan caampuran atau massa (Suhanda dan Hartono, 1999).

Menurut SNI S-15-1990-F tentang spesifikasi abu terbang sebagai bahan

tambahan untuk campuran beton, abu batubara (fly ash) digolongkan

menjadi tiga jenis, yaitu :

1. Kelas F : Abu terbang (fly ash) yang dihasilkan dari pembakaran

batubara jenis antrasit dan bituminus.

2. Kelas C : Abu terbang (fly ash) yang dihasilkan dari pembakaran

batubara jenis lignite dan subtuminus.

3. Kelas N :Pozzolan alam, seperti tanah diatome, shale, tufa, abu

gunung merapi atau pumice.

22

Sebenarnya abu terbang tidak memiliki kemampuan mengikat seperti

semen, namun dengan kehadiran air dan ukuran yang halus, oksida silika

yang dikandung di dalam abu batubara akan bereaksi secara kimia dengan

kalsium hidroksida yang terbentuk dari proses hidrasi semen dan akan

menghasilkan zat yang memiliki kemampuan yang mengikat.

Abu batubara dapat digunakan pada beton sebagai material terpisah atau

sebagai bahan dalam campuran semen dengan tujuan untuk memperbaiki

sifat-sifat beton. Fungsi abu batubara sebagai bahan aditif dalam beton

bisa sebagai pengisi (filler) yang akan menambah internal kohesi dan

mengurangi porositas daerah transisi yang merupakan daerah terkecil

dalam beton, sehingga beton menjadi lebih kuat. Pada umur sampai

dengan 7 hari, perubahan fisik abu batubara akan memberikan konstribusi

terhadap perubahan kekuatan yang terjadi pada beton, sedangkan pada

umur 7 sampai dengan 28 hari, penambahan kekuatan beton merupakan

akibat dari kombinasi antara hidrasi semen dan reaksi pozzolan.

Partikel fly ash kebanyakan berbentuk seperti butiran kaca, padat,

berlubang, berbentuk bola kosong berlubang yang disebut cenosphere,

atau berbentuk bulatan yang sedikit mengandung fly ash disebut

plerospheres. Butiran fly ash sangat halus (silt size 0,074 – 0,005 mm) dan

sebagian besar lolos ayakan no. 325 (45 mm) sehinngga cocok sebagai

pozzolan pada beton. Fly ash yang dikumpulkan dengan cara elektrik akan

mempunyai ukuran butiran yang lebih halus, kandungan kimia yang lebih

tinggi dan unsur karbon yang lebih kecil dibanding dengan yang

dikumpulkan secara mekanik. Fly ash memiliki berat jenis antara 2,15 –

23

2,8 g/cm3. Berat jenis ini umumnya ditentukan dari total berat unsur-unsur

kimia yang dikandung dan besarnya volume bola-bola yang terbentuk.

Menurut PP 18 tahun 1999 juncto PP 85 tahun 1999 abu terbang (fly ash)

digolongkan sebagai limbah B-3 (bahan berbahaya dan beracun) dengan

kode limbah D 223 dengan bahan pencemar utama adalah logam berat,

yang dapat menimbulkan pencemaran lingkungan.

2. Manfaat Fly Ash (abu terbang)

Manfaat fly ash (abu terbang) ini sudah mengalami berbagai penelitian

yang sedang dilakukan untuk meningkatkan nilai ekonomis serta

mengurangi dampak buruk terhadap lingkungan. Pada umumnya fly ash

(abu terbang) ini memiliki pemanfaatan yang bermacam – macam untuk

bidang konstruksi maupun lainnya, seperti :

Batu Bata

Batu bata dari fly ash telah digunakan untuk konstruksi rumah di

Windhoek, Nambia sejak tahun 1970, akan tetapi batu bata tersebut

akan cenderung untuk gagal atau menghasilkan bentuk yang tidak

teratur. Hal ini terjadi ketika batu bata tersebut kontak dengan air dan

reaksi kimia yang terjadi menyebabkan batu bata tersebut

memuai.Pada Mei 2007, Henry Liu pensiunan Insinyur Sipil dari

Amerika mengumumkan bahwa dia menemukan sesuatu yang baru

terdiri dari fly ash dan air. Dipadatkan pada 4000 psi dan diperam 24

jam pada temperatur 668°C steam bath, kemudian dikeraskan dengan

bahan air entrainment, batu bata berakhir untuk lebih dari 100 freeze-

24

thaw cycle. Metode pembuatan batu bata ini dapat dikatakan

menghemat energi, mengurangi polusi mercuri dan biayanya 20%

lebih hemat dari pembuatan batu bata tradisional dari lempung. Batu

bata dari fly ash kelas C dan di press dengan mesin Baldwin

Hydraulic.

E. Abu Sekam Padi

Indonesia merupakan negara agraris dengan mata pencaharian penduduk

terbanyak adalah sebagai petani tanaman padi. Jumlah panen padi pada tahun

2013 ini mencapai 72,1 juta metrik ton atau meningkat 4,4% dibandingkan

tahun lalu, yang sebanyak 69,05 juta metrik ton. Dari hasil yang sebesar itu,

dapat dibayangkan jumlah limbah sekam padi yang akan dihasilkan. Namun

penggunaan limbah sekam padi yang ada masih terbatas yakni sebagai bahan

pembakar batu merah atau untuk keperluan pembuatan abu gosok.

Pemanfaatan yang masih sangat terbatas ini sangat disayangkan, limbah abu

sekam padi ini memiliki potensi ekonomi yang sangat tinggi bila

dimanfaatkan dengan baik.

Beberapa penelitian telah melakukan kajian analisa pemanfaatan limbah abu

sekam padi ini. Limbah sekam padi sebagai produk pertanian mengandung

kurang lebih 20 – 25% silika. Material ini apabila dibiarkan pada ladang padi

dapat menyebabkan gangguan pernafasan dan kerusakan lingkungan. Namun

sebenarnya senyawa silika yang dimiliki abu sekam padi sangat bermanfaat di

dalam bidang kostruksi, karena bahan yang mengandung silika dapat menjadi

pengganti semen yang mana memiliki harga yang sangat tinggi. Dengan

25

menggunakan abu sekam dengan komposisi 15% dari berat semen akan

memberikan peningkatan kuat tekan beton minimal 20%. Selain

meningkatkan kuat tekan beton, penggunaan abu sekam juga akan

menghemat biaya karena abu sekam dapat menggantikan sejumlah semen

yang digunakan. Keuntungan lain yang didapat dari mengganti semen dengan

abu sekam padi adalah mengurangi pencemaran udara, karena hidrasi semen

dapat menghasilkan 40% dari massa semen. Cara memperoleh abu sekam

juga cukup mudah, Sekam hanya perlu dibakar pada suhu 500C selama

kurang lebih 100 menit.

Adapun pemanfaatan abu sekam padi, antara lain :

a. Bahan Campuran Mortar Pasangan Bata

Kulit padi (sekam) merupakan salah satu bahan/material sisa dari proses

pengolahan padi yang sering dianggap sebagai limbah. Besarnya konsumsi

beras sebagai makanan pokok dan meningkatnya produksi padi dapat

memberikan perkiraan makro akan jumlah material tersebut dari tahun ke

tahun. Berdasarkan data dari BPS, produksi padi di Indonesia pada tahun

2004 mencapai 53,67 juta ton gabah kering giling (GKG), dimana dapat

menghasilkan sekam padi sebanyak 20% - 25% dari berat keseluruhan.

Sekam padi umumnya hanya digunakan sebagai bahan bakar utama atau

tambahan pada industri pembuatan bata atau tahu, bahan dekorasi, media

tumbuh bagi tanaman hias, atau bahkan dibuang.Sudah diketahui bahwa

sekam padi mengandung banyak silika amorf apabila dibakar mencapai

suhu 500A – 700AC dalam waktu sekitar 1 sampai 2 jam. Oleh karena

26

itu, kini mulai dikembangkan pemanfaatan abu sekam padi (sisa

pembakaran sekam padi) dalam berbagai bidang, salah satunya di bidang

konstruksi. Reaktivitas antara silika dalam abu sekam padi dengan kalsium

hidroksida dalam pasta semen dapat berpengaruh pada peningkatan mutu

beton. (Hrc Priyosulistyo,2001 dalam 2005 ITB Faculty Civil Engineering

and Planning).

Penelitian ini melakukan eksperimen berupa penggunaan abu sekam padi

(ASP) sebagai bahan pengganti sebagian semen pada mortar pasangan bata

ASP ditambahkan rencana campuran mortar berdasarkan presentase berat,

dengan presentase penambahan ASP tersebut dibandingkan terhadap

mortar standar (tanpa penambahan ASP). Hasilnya menunjukkan bahwa

campuran dengan penambahan kadar sebesar 5% menggantikan berat

semen keseluruhan merupakan campuran yang memiliki kekuatan tekan

rata – rata yang paling tinggi dan tingkat kelecakan (workability) yang

tergolong baik dibandingkan dari campuran yang lain pada umur 28 hari.

Akan tetapi dari segi biaya, mortar ASP 5% tidak memiliki potensi untuk

dapat mengurangi biaya konstruksi, malah cenderung untuk meningkatkan

biaya. (Hrc Priyosulistyo,2001 dalam 2005 ITB Faculty Civil Engineering

and Planning).

b. Pemanfaatan Abu Sekam Padi Sebagai Bahan Aditif pada Beton.

Beton merupakan campuran agregat kasar, agregat halus, semen dan air.

Beton banyak digunakan dalam bidang konstruksi misalnya gedung, jalan,

waduk dan bendungan. Karena begitu luas peranan beton dalam bidang

konstruksi, maka banyak pihak yang mencari beton berkualitas tinggi agar

27

menghasilkan sebuah infrastruktur yang baik. Kualitas tinggi yang

dimaksud pada campuran beton adalah yang memiliki kekuatan tekan,

durabilitas dan workabilitas yang tinggi serta dengan harga yang

seekonomis mungkin. Kekuatan, keawetan dan sifat beton tergantung pada

bahan – bahan dasarnya (agregat kasar, agregat halus, semen dan air)

yakni nilai perbandingan komposisinya, cara pengadukan maupun cara

pengerjaan selama penuangan adukan beton, cara pemadatan dan cara

perawatan (curing) selama proses pekerjaan.