ii. tinjauan pustaka 2.1. perubahan iklim dan dampaknya … · berdasarkan sifatnya, dampak...

47
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perubahan Iklim dan Dampaknya Pada Sektor Pertanian Perubahan iklim didefinisikan sebagai perubahan pada iklim yang dipengaruhi aktivitas manusia baik secara langsung maupun tidak langsung yang mengubah komposisi atmosfer dan yang akan memperbesar keragaman iklim teramati pada periode yang cukup panjang (Trenberth, Hougton dan Meira Filho, 1995 diacu dalam Handoko et al. 2008). Perubahan iklim alamiah terjadi secara gradual dalam rentang waktu yang cukup panjang, namun sejak revolusi industri, telah terjadi peningkatan konsentrasi gas rumah kaca yang cukup signifikan yang pada akhirnya menyebabkan pemanasan global. Selain meningkatkan suhu udara, pemanasan global juga menyebabkan : (a) peningkatan frekuensi kejadian iklim ekstrim atau anomali iklim seperti El-Nino dan La-Nina, serta penurunan atau peningkatan suhu secara ekstrim; (b) perubahan dan ketidakmenentuan (uncertainty) curah hujan dan musim; (c) peningkatan permukaan air laut dan robb (gelombang pasang laut). Banyak bukti menunjukkan bahwa secara global kejadian iklim esktrim semakin sering terjadi. Meningkatnya kejadian iklim ekstrim salah satunya ditandai oleh makin seringnya muncul berbagai bencana. Bencana ( hazard) merupakan kejadian yang berpotensi menimbulkan kerusakan yang serius, misalnya badai tropis, kemarau panjang, banjir, atau kondisi yang dapat menimbulkan peledakan penyakit tertentu (Boer 2008a). Bencana angin kencang yang selama ini jarang melanda wilayah pertanian di Jawa, sekarang jenis bencana ini sudah mulai sering terjadi. Berdasarkan data OFDA/CRED International Disaster Database, selama periode 1907-2006 bencana alam yang masuk ke dalam kategori bencana global mencapai 345 kejadian. Sekitar 60% dari bencana ini merupakan bencana terkait iklim. Dalam periode ini, bentuk becana alam terkait iklim yang pertama kali terjadi baru pada awal tahun 1950an. Kemudian setelah tahun 1980an, jumlah bencana alam terkait iklim yang masuk ke dalam kategori bencana global meningkat tajam (Gambar 3). Bentuk bencana iklim yang paling sering terjadi ialah bencana banjir kemudian diikuti oleh tanah longsor, penyakit yang dibawa oleh air dan vektor, angin

Upload: lyhanh

Post on 08-Mar-2019

241 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Perubahan Iklim dan Dampaknya Pada Sektor Pertanian

Perubahan iklim didefinisikan sebagai perubahan pada iklim yang

dipengaruhi aktivitas manusia baik secara langsung maupun tidak langsung yang

mengubah komposisi atmosfer dan yang akan memperbesar keragaman iklim

teramati pada periode yang cukup panjang (Trenberth, Hougton dan Meira Filho,

1995 diacu dalam Handoko et al. 2008). Perubahan iklim alamiah terjadi secara

gradual dalam rentang waktu yang cukup panjang, namun sejak revolusi industri,

telah terjadi peningkatan konsentrasi gas rumah kaca yang cukup signifikan yang

pada akhirnya menyebabkan pemanasan global. Selain meningkatkan suhu udara,

pemanasan global juga menyebabkan : (a) peningkatan frekuensi kejadian iklim

ekstrim atau anomali iklim seperti El-Nino dan La-Nina, serta penurunan atau

peningkatan suhu secara ekstrim; (b) perubahan dan ketidakmenentuan

(uncertainty) curah hujan dan musim; (c) peningkatan permukaan air laut dan

robb (gelombang pasang laut).

Banyak bukti menunjukkan bahwa secara global kejadian iklim esktrim

semakin sering terjadi. Meningkatnya kejadian iklim ekstrim salah satunya

ditandai oleh makin seringnya muncul berbagai bencana. Bencana (hazard)

merupakan kejadian yang berpotensi menimbulkan kerusakan yang serius,

misalnya badai tropis, kemarau panjang, banjir, atau kondisi yang dapat

menimbulkan peledakan penyakit tertentu (Boer 2008a).

Bencana angin kencang yang selama ini jarang melanda wilayah pertanian

di Jawa, sekarang jenis bencana ini sudah mulai sering terjadi. Berdasarkan data

OFDA/CRED International Disaster Database, selama periode 1907-2006

bencana alam yang masuk ke dalam kategori bencana global mencapai 345

kejadian. Sekitar 60% dari bencana ini merupakan bencana terkait iklim. Dalam

periode ini, bentuk becana alam terkait iklim yang pertama kali terjadi baru pada

awal tahun 1950an. Kemudian setelah tahun 1980an, jumlah bencana alam terkait

iklim yang masuk ke dalam kategori bencana global meningkat tajam (Gambar 3).

Bentuk bencana iklim yang paling sering terjadi ialah bencana banjir kemudian

diikuti oleh tanah longsor, penyakit yang dibawa oleh air dan vektor, angin

15

kencang, kebakaran dan kekeringan. Pada tingkat global frekuensi dan intensitas

kejadian bencana iklim juga meningkat secara konsisten dari waktu ke waktu

(Sivakumar 2005).

Gambar 3. Jumlah bencana terkait iklim menurut jenis (kanan) dan menurut

tahun (kiri). Sumber: Diolah dari basis data OFDA/CRED

International Disaster Database (Sumber : Boer dan Perdinan 2008c)

Indikator perubahan iklim berupa kenaikan suhu udara akan berdampak

terhadap peningkatan transpirasi, peningkatan konsumsi air, percepatan

pematangan buah/biji sehingga mempengaruhi mutu hasil, perkembangan

organisme pengganggu tanaman (OPT), serta pergeseran pola dan jenis tanaman.

Kenaikan muka air laut akan berdampak pada penciutan lahan pertanian di

sepanjang pantai akibat genangan air laut dan peningkatan salinitas tanah disekitar

pantai. Perubahan pola hujan berdampak terhadap pergeseran masa tanam atau

awal musim. Kejadian iklim ekstrim berupa peningkatan curah hujan pada musim

hujan (MH) (banjir) dan penurunan curah hujan pada musim kering (MK)

(kekeringan) berdampak pada penciutan luas area tanam/panen akibat banjir dan

kekeringan.

Kejadian iklim esktrim di Indonesia seringkali berasosiasi dengan

fenomena ENSO (El-Nino and Southern Oscillation) yang pada umumnya

membawa dampak yang merugikan. Dampak kejadian El-Nino terhadap

keragaman hujan di Indonesia beragam menurut lokasi. Pengaruh El-Nino kuat

pada wilayah yang pengaruh sistem monsoon kuat, lemah pada wilayah yang

pengaruh sistem equatorial kuat, dan tidak jelas pada wilayah yang pengaruh lokal

108

38

27

10 9 82

0

20

40

60

80

100

120

Floo

ds

Land

slid

es

Wat

er o

r Vec

tor B

orne

d Disea

ses

Wind

stor

m/C

yclone

Fore

st F

ire

Dro

ught

Hig

h Ti

de/S

urge

Fre

qu

en

cy

0

2

4

6

8

10

12

14

19

50

19

55

19

60

19

65

19

70

19

75

19

80

19

85

19

90

19

95

20

00

20

05

Nu

mb

er

of

Clim

ate

-Re

late

d.

Ha

za

rds

16

kuat. Pengaruh El-Nino lebih kuat pada musim kemarau dari pada musim hujan.

Pengaruh El-Nino pada keragaman hujan memiliki beberapa pola: (1) akhir

musim kemarau mundur dari normal, (2) awal masuk musim hujan mundur dari

normal, (3) curah hujan musim kemarau turun tajam dibanding normal, dan (4)

deret hari kering semakin panjang, khususnya di daerah Indonesia bagian timur.

Hasil penelitian Boer dan Las (2003) menunjukkan bahwa wilayah yang

terkena bencana iklim (banjir, kemarau panjang, angin besar) sudah semakin luas

dengan tingkat kehilangan produksi yang semakin tinggi. Meningkatnya suhu juga

diperkirakan akan menurunkan tingkat produktivitas komoditas pangan seperti

padi. Penelitian KP3I (Boer 2008b) menggambarkan bahwa peningkatan suhu

akibat naiknya konsentrasi CO2 akan menurunkan hasil tanaman. Jika

diasumsikan tidak ada konversi sawah dan indeks penanaman tidak mengalami

peningkatan, maka pada tahun 2025 produksi padi di tingkat kabupaten

diperkirakan akan mengalami penurunan antara 12,500 hingga 72,500 ton.

Menurut Cline (2007) diacu dalam Boer (2010b), penurunan produktivitas

komoditas pertanian di Indonesia pada tahun 2080 akibat pemanasan global

berkisar antara 15-25%. Tschirley (2007) menunjukkan bahwa pemanasan global

akan menurunkan produktivitas tanaman pangan secara signifikan khususnya di

daerah tropis. Penurunan dapat mencapai lebih dari 20% apabila suhu naik

melebihi 4oC. Namun demikian peningkatan suhu sebesar 2

oC tetap akan

berdampak negatif berupa penurunan hasil tanaman pangan, yaitu sekitar 10%

untuk jagung dan 5% untuk padi (Gambar 4).

Hasil penelitian Handoko et al. (2008) memperlihatkan bahwa kenaikan

suhu 2oC akan menyebabkan penurunan produksi gabah hingga 36.9%. Apabila

curah hujan turun sebesar 246 mm/tahun maka diperkirakan produksi gabah turun

4.6%. Jika kedua faktor tersebut digabungkan, maka diperkirakan akan terjadi

penurunan produksi padi sekitar 38% (Tabel 1).

17

Gambar 4. Perkiraan penurunan hasil tanaman padi dan jagung di daerah tropis

akibat pemanasan global dan perubahan iklim (Sumber : Tschirley

2007).

Tabel 1. Dampak perubahan iklim terhadap produksi komoditas strategis (%)

dalam kondisi BAU (Sumber : Handoko et al. 2008).

Komoditas Suhu naik 2oC CH turun 246

mm/th

Kombinasi

keduanya

Padi -36,9 -4,6 -38,0

Jagung -440,0 -20,0 -450,0

Kedelai -285,7 -65,2 -952,0

Tebu/gula -300,0 -17,1 -328,0

Kelapa sawit -314,2 -21,4 -343,0

Menurut Handoko et al. (2008) dampak kenaikan suhu udara terhadap

tanaman padi sawah melalui tiga faktor, yaitu : 1) penurunan luas areal panen

akibat kekurangan air irigasi karena meningkatnya evapotranspirasi, 2) penurunan

produktivitas karena umur tanaman menjadi lebih pendek (cepat matang) dan 3)

meningkatnya laju respirasi tanaman. Penurunan luas areal panen padi sawah

akibat peningkatan suhu udara pada tahun 2050 diperkirakan mencapai 3.3% di

Jawa dan 4.1% di luar Jawa dari luas panen padi saat ini.

Dampak yang paling besar dirasakan oleh sektor pertanian khususnya

tanaman pangan akibat variabilitas dan perubahan iklim adalah perubahan curah

hujan dan pergeseran musim. Hasil analisis iklim 30 tahun terakhir menunjukkan

bahwa awal musim kemarau lebih cepat 1-6 dasarian, awal musim hujan mundur

Jagung Padi P

eru

bh

an H

asil

(%

)

Perubahan Suhu (oC) Perubahan Suhu (

oC)

18

1-3 dasarian, penurunan curah hujan pada musim kemarau dan peningkatan

variabilitas curah hujan pada musim hujan (Las 2007). Sementara luas areal

tanaman padi yang mengalami gagal penen akibat kekeringan tahun 2000, 2004

dan 2008, berturut-turut: 97.221 ha, 190.307 ha dan 423.284 ha. Jumlah

kehilangan hasil akibat kekeringan pada tiga tahun yang sama tercatat 201.148

ton, 410.034 ton dan 984.188 ton (GKG) (Pasaribu 2009b). Besarnya dampak

yang ditimbulkan oleh fenomena El-Nino pada wilayah pertanaman padi sangat

erat kaitannya dengan pola tanam dan perilaku petani (Boer 2002c).

Berdasarkan berbagai dampak tersebut, Boer et al. (2011a) secara garis

besar mensarikan bahwa berdasarkan prosesnya, dampak perubahan iklim dapat

dibedakan menjadi langsung, tidak langsung dan konteks yang lebih luas (broader

context). Dampak perubahan iklim secara langsung terjadi pada sumberdaya

pertanian, yaitu terjadinya degradasi dan penciutan sumberdaya lahan, dinamika

dan anomali ketersediaan air dan kerusakan sumberdaya genetik/biodiversity.

Sistem produksi pangan juga terkena dampak langsung perubahan iklim.

Penurunan produktivitas akan berpengaruh terhadap produksi yang pada akhirnya

akan menyebabkan terganggunya sistim ketahanan pangan dan menyebabkan

kemiskinan. Dampak tidak langsung sebagian besar disebabkan adanya dampak

komitmen atau kewajiban melaksanakan mitigasi, seperti yang tertuang dalam

RAN-GRK, perpres 61 tahun 2011 yang berpengaruh terhadap

produktivitas/produksi, ketahanan pangan, pengembangan bioenergi dan sosial

ekonomi. Dampak INPRES NO. 10 tahun 2011 berupa penundaan ijin pembukaan

hutan produksi dan lahan gambut akan berdampak terhadap program perluasan

areal baru serta dampak lainnya. Dalam konteks yang lebih luas, perubahan iklim

terkait dengan kebijakan baik nasional maupun internasional, harga pangan dan

sebagainya (Tim Road Map 2011). Berdasarkan sifatnya, dampak perubahan iklim

global terhadap sektor pertanian dibedakan menjadi tiga yaitu: 1) dampak yang

bersifat kontinu berupa kenaikan suhu udara, perubahan hujan dan kenaikan

salinitas air tanah untuk wilayah pertanian dekat pantai akan menurunkan

produktivitas tanaman dan perubahan panjang musim yang merubah pola tanam

dan indeks penanaman. 2) dampak yang bersifat diskontinu seperti meningkatnya

gagal panen akibat meningkatnya frekuensi dan intensitas kejadian iklim ekstrim

19

(banjir, kekeringan, angin kencang dll) dan meningkatnya gagal panen akibat

munculnya serangan atau ledakan hama penyakit baru tanaman. 3) dampak yang

bersifat permanen berupa berkurangnya luas kawasan pertanian di kawasan pantai

akibat kenaikan muka air laut.

2.2. Kekeringan dan Dampaknya Terhadap Produksi Padi

Kekeringan adalah keadaan kekurangan pasokan air pada suatu daerah

dalam masa yang berkepanjangan (beberapa bulan hingga bertahun-tahun).

Biasanya kejadian ini muncul bila suatu wilayah secara terus-menerus mengalami

curah hujan di bawah rata-rata. Definisi lain menyebutkan bahwa kekeringan

adalah hubungan antara ketersediaan air yang jauh di bawah kebutuhan air baik

untuk kebutuhan hidup, pertanian, kegiatan ekonomi dan lingkungan. US Weather

Bureau diacu dalam Chow (1964) mendefinisikan kekeringan sebagai kondisi

kekurangan curah hujan yang begitu banyak dan lama sehingga mengakibatkan

adanya pengaruh terhadap tempat hidup tanaman dan hewan dan mengakibatkan

berkurangnya suplai air baik untuk kebutuhan domestik maupun untuk

pertumbuhan tanaman, terutama pada daerah yang secara normal cukup untuk

kebutuhan-kebutuhan tersebut.

Kekeringan dapat menjadi bencana alam apabila mulai menyebabkan

suatu wilayah kehilangan sumber pendapatan akibat gangguan pada pertanian dan

ekosistem yang ditimbulkannya. Dampak ekonomi dan ekologi kekeringan

merupakan suatu proses sehingga batasan kekeringan dalam setiap bidang dapat

berbeda-beda. Kekeringan juga berkonotasi beragam di berbagai belahan dunia.

Di Bali, suatu periode dikatakan kering apabila tidak hujan selama 6 hari berturut-

turut. Di Libya, suatu wilayah dianggap kering hanya jika tidak terjadi hujan

selama 2 tahun. Di Mesir, Sungai Nil dianggap kering jika tidak terjadi banjir

sepanjang tahun. Dengan demikian penggambaran kekeringan merupakan suatu

hal yang spesifik lokasi dan spesifik waktu. Namun demikian, suatu kekeringan

yang singkat tetapi intensif dapat pula menyebabkan kerusakan yang signifikan.

Menurut Irianto (2005) secara faktual kekeringan lebih menakutkan dibandingkan

banjir dalam hal besaran: luas wilayah, durasi kejadian, biaya dan waktu

pemulihannya. Namun seringkali penanggulangannya belum terencana dengan

http://id.wikipedia.org/wiki/Airhttp://id.wikipedia.org/wiki/Curah_hujanhttp://id.wikipedia.org/wiki/Bencana_alamhttp://id.wikipedia.org/wiki/Pendapatanhttp://id.wikipedia.org/wiki/Pertanianhttp://id.wikipedia.org/wiki/Ekosistemhttp://id.wikipedia.org/wiki/Ekonomihttp://id.wikipedia.org/wiki/Ekologi

20

baik akibat kurangnya data dan informasi secara spasial dan temporal tentang

wilayah-wilayah endemik kekeringan.

Berdasarkan penyebab kejadiannya, kekeringan dibedakan menjadi dua,

yaitu (i) secara alamiah dan (ii) karena ulah manusia (antropogenik). Secara

alamiah, kekeringan diklasifikasikan menjadi 4 jenis, yaitu : 1) kekeringan

meteorologis, 2) kekeringan hidrologis, kekeringan agronomis, dan 4) kekeringan

sosial ekonomi. Kekeringan meteorologis berkaitan dengan tingkat curah hujan di

bawah normal dalam satu musim. Pengukuran kekeringan meteorologis

merupakan indikasi pertama adanya kekeringan. Kekeringan Hidrologis berkaitan

dengan kekurangan pasokan air permukaan dan air tanah. Kekeringan ini diukur

berdasarkan elevasi muka air sungai, waduk, danau dan elevasi muka air tanah.

Ada tenggang waktu mulai berkurangnya hujan sampai menurunnya elevasi muka

air sungai, waduk, danau dan elevasi muka air tanah. Kekeringan hidrologis bukan

merupakan indikasi awal adanya kekeringan. Kekeringan agronomis berhubungan

dengan kekurangan lengas tanah (kandungan air dalam tanah) sehingga tidak

mampu memenuhi kebutuhan tanaman tertentu pada periode waktu tertentu pada

wilayah yang luas. Kekeringan pertanian ini terjadi setelah gejala kekeringan

meteorologi.Kekeringan Sosial Ekonomi berkaitan dengan kondisi dimana

pasokan komoditi ekonomi kurang dari kebutuhan normal akibat terjadinya

kekeringan meteorologi, hidrologi, dan agronomis. Kekeringan Antropogenik

adalah kekeringan yang disebabkan karena ketidak-taatan pada aturan terjadi.

Kekeringan antropogenik ini disebabkan karena: 1) kebutuhan air lebih besar dari

pasokan yang direncanakan akibat ketidaktaatan pengguna terhadap pola

tanam/penggunaan air, serta 2) kerusakan kawasan tangkapan air, sumber-sumber

air akibat perbuatan manusia (www.bakornaspb.go.id).

Kekeringan berkaitan dengan menurunnya tingkat curah hujan di bawah

normal dalam satu musim. Pengukuran kekeringan meteorologis merupakan

indikasi pertama adanya kekeringan. Tahap kekeringan selanjutnya adalah

terjadinya kekurangan pasokan air permukaan dan air tanah. Kekeringan ini

diukur berdasarkan elevasi muka air sungai, waduk, danau dan elevasi muka air

tanah. Ada tenggang waktu mulai berkurangnya hujan sampai menurunnya elevasi

muka air sungai, waduk, danau dan elevasi muka air tanah. Kekeringan hidrologis

http://www.bakornaspb.go.id/

21

bukan merupakan indikasi awal adanya kekeringan. Kekeringan pada lahan

pertanian ditandai dengan kekurangan lengas tanah (kandungan air dalam tanah)

sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan tanaman tertentu pada phase tertentu

pada wilayah yang luas yang menyebabkan tanaman menjadi rusak/mengering.

Dampak dari bahaya kekeringan ini seringkali secara gradual/lambat, sehingga

jika tidak dimonitor secara terus menerus akan mengakibatkan bencana berupa

hilangnya bahan pangan akibat tanaman pangan dan ternak mati, petani

kehilangan mata pencaharian, banyak orang kelaparan dan mati, sehingga

berdampak urbanisasi (www.bakornaspb.go.id).

Chow (1964) mengatakan bahwa kekeringan merupakan bentuk kejadian

alam yang salah satunya dapat disebabkan oleh anomali iklim El-Nino. Dari data

historis, kekeringan di Indonesia sangat berkaitan erat dengan fenomena ENSO

(El-Nino Southern Oscillation). Pengamatan dari tahun 1844, dari 43 kejadian

kekeringan di Indonesia, hanya enam kejadian yang tidak berkaitan dengan

kejadian ElNino (www.bakornaspb.go.id). Data curah hujan di Pulau Sumatera,

Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Bali, memberikan gambaran bahwa di Indonesia

pernah terjadi kemarau panjang pada tahun 1903, 1914, 1925, 1929, 1935, 1948,

1961, 1963, 1965, 1967, 1972, 1977, 1982, 1987, 1991, 1994 dan 1997.

Sementara itu penyimpangan iklim El-Nino terjadi pada tahun 1951, 1953, 1957,

1958, 1963, 1965, 1969, 1972, 1977, 1982, 1983, 1987, 1991, 1992, 1993,

1994, 1997. Selama kurun waktu tersebut, dari 17 kali kejadian kemarau panjang,

11 kali diantaranya bersamaan dengan kejadian El-Nino. Hal ini menunjukkan

bahwa kekeringan dapat terjadi ketika terjadi penyimpangan iklim El-Nino atau

ketika tidak terjadi penyimpangan iklim El-Nino. Namun, kejadian penyimpangan

iklim El-Nino dapat memperparah tingkat kekeringan di Indonesia. Banyak

tanaman pangan yang mengalami cekaman air (water stress) sehingga

menyebabkan gagal panen. Pada wilayah yang secara faktual lebih basah seperti

Jawa Barat dan Jawa Tengah mengalami kekeringan dan fuso relatif tinggi.

Musim kemarau yang panjang akan menyebabkan kekeringan karena

cadangan air tanah akan habis akibat penguapan (evaporasi), transpirasi, ataupun

penggunaan lain oleh manusia. Penyebab kekeringan yang utama adalah curah

hujan yang berkaitan dengan jumlah uap air di atmosfer. Jika salah satu dari

http://www.bakornaspb.go.id/http://id.wikipedia.org/wiki/Musim_kemarauhttp://id.wikipedia.org/wiki/Air_tanahhttp://id.wikipedia.org/wiki/Penguapanhttp://id.wikipedia.org/wiki/Transpirasi

22

komponen tersebut berkurang, maka hasilnya adalah kekeringan. Aktivitas

manusia secara langsung dapat memperburuk dan menjadi faktor pemicu seperti

pada pertanian, irigasi berlebihan, deforestasi. Erosi berdampak negatif dalam hal

kemampuan tanah untuk menangkap dan menahan air.

Dalam bidang pertanian, dari berbagai bencana yang terkait iklim, bencana

kekeringan merupakan salah satu bencana yang paling dominan dan menimbulkan

kerugian cukup besar. Kekeringan terjadi karena air yang tersedia tidak cukup

untuk memenuhi kebutuhan atau jumlah yang diharapkan. Ditinjau dari aspek

klimatologi pertanian, kekeringan merupakan gangguan terhadap keseimbangan

hubungan antara tanaman dan air tanah yang mengakibatkan persediaan air dalam

tanah tidak mampu mencukupi kebutuhan air tanaman.

Di Indonesia, bencana kekeringan yang melanda kawasan pertanian

semakin sering terjadi dan cakupan wilayah yang terkena cenderung semakin luas

(Badan Litbang Pertanian 1996, Sumaryanto dan Friyatno 1999). Berdasarkan

peta rawan kekeringan menurut kabupaten (Gambar 5) sebagian besar pulau Jawa,

sebagian Sulawesi Selatan dan sebagian Kalimantan Selatan merupakan daerah-

daerah yang rawan dan sangat rawan terhadap kekeringan. Menurut Boer (2010b)

jumlah kepala keluarga miskin di kabupaten yang rawan bencana pada umumnya

lebih dari 45%. UNDP (2007) melaporkan bahwa antara tahun 1844 hingga 1960,

masalah kekeringan rata-rata empat tahun sekali, tetapi antara 1961 hingga 2006

rata-rata kejadiannya menjadi setiap tiga tahun. Kejadian El Nio yang terjadi

pada 1997-1998 merupakan yang terburuk selama 50 tahun terakhir, dan tahun

1998 tercatat sebagai tahun terpanas pada abad 20.

Gambar 5. Distribusi wilayah rawan kekeringan menurut kabupaten (Sumber:

Boer 2010b)

23

Untuk wilayah pertanaman padi di Indonesia, dampak kekeringan pada

tahun El-Nino meningkat secara signifikan, khususnya di daerah Jawa Barat,

Lampung, Sumatera Selatan dan Sulawesi Selatan. Wilayah-wilayah ini

merupakan sentra padi di Indonesia. Rata-rata luas wilayah pertanaman padi yang

terkena dampak kekeringan pada tahun El Nino di setiap Kabupaten (1989-2006)

dengan luasan lebih dari 2000 Ha cukup besar (Boer 2008b) (Gambar 6).

Gambar 6. Rata-rata wilayah pertanaman padi yang terkena dampak kekeringan

pada tahun El Nino di setiap Kabupaten (1989-2006) (Sumber : Boer

2008b).

Tingkat kerawanan lahan pertanian terhadap kekeringan bervariasi antar-

wilayah (Tabel 2). Dari 5.14 juta ha lahan sawah yang dievaluasi, 74 ribu ha di

antaranya sangat rentan dan sekitar satu juta ha rentan terhadap kekeringan

(Wahyunto 2005).

Tabel 2. Luas lahan sawah yang rentan terhadap kekeringan (Ha)

Wilayah/

provinsi

Sangat rentan Rentan Luas baku

Sawah

Jawa Barat - 30,863 971,474

Banten - 26,588 192,904

Jawa Tengah 2,322 142,575 1,053,882

DI Yogyakarta - 3,652 69,063

Jawa Timur 1,580 70,802 1,313,726

Bali - 14,758 85,525

Nusa Tenggara 38,546 105,687 214,576

Lampung 29,378 168,887 278,135

Sumatera

Selatan - 184,993 439,668

Sumatera Utara 2,055 342,159 524,649

Jumlah 73,881 1,090,964 5,143,602

(Sumber : Wahyunto 2005)

24

Pramudia (2008) melakukan penelitian tentang delineasi wilayah rawan

kekeringan di DAS Cimanuk, Propinsi Jawa Barat dengan mengkombinasikan

aspek klimatologis, hidrologis dan agronomis. Wilayah pertanian yang sangat

rawan kekeringan umumnya terjadi di lahan kering yang merupakan DAS kritis

dan memiliki tingkat sensitivitas yang tinggi terhadap anomali iklim global.

Sementara wilayah pertanian yang agak rawan kekeringan umumnya terjadi di

lahan sawah irigasi yang jauh dari sumber irigasi utama, atau lahan tadah hujan

yang memiliki irigasi non-teknis, dan memiliki tingkat sensitivitas yang rendah

terhadap anomali iklim global. Berdasarkan analisis ini, kabupaten Indramayu,

khususnya bagian selatan termasuk dalam wilayah pertanian yang sangat rawan

hingga agak rawan terhadap kekeringan.

Berdasarkan data Ditlin 1989-2010, pada tahun El Nio luas tanaman padi

yang terkena kekeringan mencapai 300-850 ribu ha (Gambar 7). Kerusakan

tanaman padi akibat kekeringan lebih parah dibandingkan banjir karena

berlangsung pada daerah yang lebih luas dan waktu yang lebih lama. Banjir

mempunyai karakterisik kejadian yang lebih lokal dengan waktu kejadian yang

lebih pendek.

Gambar 7. Luas areal pertanaman padi yang dilanda kekeringan di

Indonesia dalam periode 1989-2010 (Sumber : Road Map

2011).

Menurut Dinas Pertanian Tanaman Pangan Propinsi Jawa Barat (2006),

wilayah Jawa Barat pada MT 2003 yang sangat rawan terhadap kekeringan pada

umumnya adalah : 1) daerah irigasi yang tidak ada fasilitas waduknya (misalnya

bendung Rentang yang mengairi wilayah Cirebon dan Indramayu), 2) areal sawah

25

yang tidak direkomendasikan untuk tanaman gadu atau areal sawah irigasi yang

ada di wilayah tail end ujung ekor, 3) areal sawah tadah hujan dan 4) areal

sawah yang infra struktur irigasinya mengalami kerusakan.

Menurut Drektorat Perlindungan Tanaman (Ditlin 2009), dampak

kekeringan antara lain dapat berupa : menurunnya persediaan air permukaan dan

air tanah, terganggunya pola tanam, pertanaman yang mengalami puso berpotensi

meningkat, musim hujan pertama pasca kekeringan berdasarkan pengalaman

dapat meningkatkan serangan OPT utama (tikus, wereng, penggerek batang, dan

belalang kembara) dan kebakaran lahan pertanian dan hutan berpotensi

meningkat.

Di Indonesia, frekuensi kejadian kemarau panjang atau kekeringan dalam

periode 1844 dan 1960 hanya 1 kali dalam 4 tahun, kemudian dalam periode

1961-2006 frekuensinya meningkat menjadi 1 kali dalam 2-3 tahun (Boer et al.

2007). Kejadian iklim ekstrim berupa kekeringan seringkali menjadi penyebab

utama turunnya produksi pangan. di Indonesia. Pada musim kemarau 1994,

wilayah Jawa yang masih merupakan penyumbang padi terbesar (59%),

merupakan wilayah yang paling terkena dampak kekeringan. Luas wilayah di

pulau Jawa yang terkena kekeringan mencapai 290.457 ha (79% dari luas total

seluruh Indonesia). Diurut dari yang terbesar, propinsi Jawa Barat berada pada

urutan yang pertama kemudian diikuti oleh propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur

(Kahar 1995). Propinsi Jawa Timur yang secara historis jauh lebih kering dari

Jawa Barat, luas wilayah yang terkena kekeringan hanya 1/4 nya Jawa Barat

(Kahar 1995). Menurut Boer (2008b) hal ini diduga karena tingkat kewaspadaan

petani pada daerah ini terhadap bahaya kekeringan lebih tinggi dibanding dengan

petani di Jawa Barat terutama terhadap risiko menanam padi pada musim gadu.

Padahal, sebagian besar areal sawah di Jawa Barat berada di jalur pantura yang

curah hujannya relatif rendah dengan bulan kering lebih dari 6 bulan. Hal tersebut

disebabkan karena sebagian besar sawah di jalur pantura diairi oleh irigasi teknis,

sehingga kurang memperhatikan pola dan tingkah curah hujan. Oleh karena itu,

kajian yang mendalam tentang tingkat kerawanan dan endemik suatu wilayah

terhadap kekeringan perlu dilakukan.

26

Permasalahan yang terjadi pada bencana kekeringan menurut Dinas

Pertanian Tanaman Pangan Propinsi Jawa Barat (2006) pada umumnya adalah

karena : 1) ketidakdisiplinan pola tanam, 2) kerusakan infrastruktur,

sarana/prasarana saluran irigasi, 3) sulitnya memprediksi iklim/cuaca pada musim

kemarau dan 4) masih kurangnya kesadaran petani terhadap gerakan hemat air.

Terkait dengan pola tanam, menurut Boer (2010a) pola tanam yang umum diikuti

oleh petani di Jawa dan hampir seluruh wilayah Indonesia adalah padi-padi-bera

dan pada beberapa wilayah dengan sistem irigasi yang baik bisa tiga kali tanam

padi. Padi pertama ditanam pada musim hujan yaitu November-Januari (MT1),

padi kedua pada awal masuk musim kemarau yaitu Maret-Mei (MT2). Padi yang

biasanya terkena kekeringan adalah padi yang ditanam pada musim kemarau.

2.3. Karakteristik Usahatani Serta Dampak Anomali Iklim Terhadap

Produksi Padi di Kabupaten Indramayu

Karakteristik Usaha Tani

Usaha Tani padi merupakan sistim usahatani yang paling dominan di

Kabupaten Indramayu. Lebih dari 50% wilayahnya (118,513 ha dari 200,014 ha)

merupakan lawan persawahan. Letak wilayah persawahan menyebar dari utara-

selatan. Di bagian Utara luas lahan persawahan sekitar 19%, wilayah tengah 59%

dan Selatan 22%. Lahan pertanian di Indramayu mengandalkan dua sumber

pengairan utama, yaitu air irigasi dan air hujan. Sekitar 87% dari lahan

persawahan merupakan lahan beririgasi yang hampir semuanya terletak di wilayah

bagian utara dan tengah. Untuk wilayah selatan sebagian besar merupakan

wilayah tadah hujan. Pola tanam antara wilayah utara, tengah dan selatan relatif

berbeda. Pada wilayah utara pola tanam adalah (i) padi-padi-bera, (ii) padi-

palawija/sayuran-bera dan (iii) sayuran-padi-bera. Pola tanam ke tiga didahului

oleh sayuran dimana penanaman dilakukan awal musim hujan yaitu sebelum

hujan tinggi. Setelah masuk musim hujan baru dilakukan penanaman padi. Pada

wilayah tengah bentuk pola tanam umum (i) padi-padi-padi, (ii) padi-padi-

palawija/sayuran, (iii) padi-sayuran-padi dan (iv) padi-padi-bera. Untuk wilayah

selatan, pola tanam umum ialah (i) padi gogo-palawija/sayuran-bera, ii) padi-padi-

bera, (iii) padi-palawija/sayuran-bera dan (iv) padi gogo/sayuran-padi-bera.

27

I

II

III

IV

V

7 8 91 2 3 4 5 6

Penggo-

longan air

Musim Hujan Musim Kemarau 1 (MK1) MK2

Bulan Bulan Bulan

10 11 12

Berdasarkan penggolongan air, wilayah bagian utara termasuk wilayah golongan

air III, IV dan V, sedangkan untuk wilayah tengah golongan I dan II. Pada

wilayah golongan air I dan II penanaman padi memungkinkan sampai 3 kali

dalam setahun (Gambar 8).

Catatan: merupakan tanggal penanaman padi pertama (MH) dan kedua (MK)

paling terakhir. = Padi I, = Padi II, dan = tanaman III.

Gambar 8. Sistem penggolongan air dan pola tanam di Indramayu (Sumber: Boer

et al. 2002c)

Pada tahun ekstrim kering jadwal penggolongan bisa bergeser sehingga

mempengaruhi penggolongan lainnya. Petani yang ada di wilayah utara relatif

responsif dan umumnya mengikuti jadwal penanaman rekomendasi yang

disampaikan oleh penyuluh, sedangkan di wilayah tengah kurang disiplin karena

lahannya berada dekat saluran utama dan secara umum jarang mengalami

kekurangan air. Rata-rata hasil padi pada wilayah Utara, Tengah dan Selatan

masing-masing sekitar 5.3, 6.0 dan 5.6 t/ha (Boer et al. 2011).

Berdasarkan letaknya menurut ketinggian atau posisinya di DAS,

Kabupaten Indramayu dapat dikelompokkan menjadi kecamatan yang berada di

bagian atas dan di bagian bawah. Permasalahan yang dihadapi oleh petani di

kedua wilayah ini terkait dengan permasalahan sarana irigasi relatif sama, yaitu

permasalahan infrastruktur irigasi yang banyak terdapat kerusakan, pendangkalan

saluran karena erosi dan terdapatnya sejumlah pintu air yang rusak. Perbedaannya

adalah letak kedua kawasan dimana kawasan pertama terletak lebih dekat ke hulu

DAS dibanding kawasan kedua sehingga air mengalir terlebih dahulu melalui

kawasan pertama sebelum mencapai kawasan kedua. Kondisi ini memberikan

pengaruh utamanya dalam jumlah debit air, ketika musim penghujan dimana debit

air melimpah maka kawasan pertama dapat menampung air menurut kebutuhan

mereka dan membiarkan sisa aliran air mengalir mengikuti DAS, sedangkan

28

kawasan kedua karena letaknya yang berada di hilir sungai menyebabkan daerah

mereka menjadi lokasi genangan air yang mengakibatkan banjir. Sementara, pada

musim kemarau, aliran air yang melewati kawasan pertama belum banyak melalui

daerah dangkalan, penyempitan dan pintu air yang rusak sehingga ketersediaan air

masih mencukupi untuk kebutuhan pengairan lahan pertanian. Berbeda dengan

kawasan kedua yang karena letaknya lebih dekat ke hilir menyebabkan tidak

banyak air tersisa yang mengalir ke daerah mereka sehingga mengakibatkan

kondisi kekeringan. Secara garis besar, keseluruhan karakteristik alam

lingkungan, infrastruktur irigasi dan interaksi keduanya menyebabkan kawasan

pertama menjadi kawasan yang relatif aman dari banjir dan kekeringan.

Sebaliknya, kawasan kedua, sangat rentan terhadap banjir dan kekeringan.

Kondisi ini menyebabkan banyaknya lahan persawahan yang rusak di kedua

wilayah pun berbeda (Boer et al. 2011b).

Khusus untuk lahan tadah hujan, faktor sosial ekonomi yang paling

menentukan adalah tekanan jumlah penduduk yang berpengaruh terhadap luas

garapan dan tingkat pendapatan petani atau akses ke pasar (Pane et al. 2008).

Berdasarkan hubungan kedua faktor tersebut Piggin et al (1998) diacu dalam Pane

et al. (2008) membuat klasifikasi tipologi sistim produksi pertanian pada lahan

sawah tadah hujan (Gambar 9). Diantara keempat tipe sistem produksi pertanian,

Tipe I dan Tipe II perlu kehati-hatian atau analisis yang mendalam dalam

menentukan prioritas penelitian dan anjuran teknologi.

TIPE II

Pemilikan lahan sempit orientasi

pertanian subsistem, intensif tenaga

kerja

TIPE III

Pemilikan lahan sempit diversifikasi

usaha tani, komersial dan mekanisasi

TIPE I

Pemilikan lahan luas, orientasi

pertanian subsisten

TIPE IV

Pemilikan lahan luas, spesialisasi

tanaman palawija, komersial,

mekanisasi

Rendah Tinggi

Tingkat pendapatan atau akses ke pasar

Gambar 9. Tipologi sistim produksi pertanian pada lahan sawah tadah hujan

(modifikasi dari Piggin et al. 1998 diacu dalam Pane et al. 2008).

Tin

gg

i R

end

ah

Tek

an

an

jum

lah

pen

du

du

k

29

Pola hujan bulanan di Kabupaten Indramayu adalah monsunal yaitu

mengalami satu kali musim kemarau (April-September) dan satu kali musim

hujan (Oktober-Maret). Berdasarkan pola hujan bulanan tersebut maka waktu

tanam padi di Indramayu adalah sama dengan waktu terjadinya musim hujan,

sedangkan waktu tanam palawija terjadi pada akhir musim hujan hingga awal

musim kemarau (Gambar 10).

Gambar 10. Kombinasi curah hujan bulanan dengan pola tanam padi dan palawija

pada lahan irigasi teknis, setengah teknis dan tadah hujan di

Kabupaten Indramayu (Boer et al. 2011c).

Menurut Hidayati et al. (2010), musim hujan di Kabupaten Indramayu

umumnya dimulai pada akhir bulan November dan berakhir pada akhir Maret.

Pada tahun El Nino, awal musim hujan dapat mundur sampai awal Januari

sedangkan pada tahun La-Nina awal musim hujan umumnya terjadi lebih awal

(bisa terjadi pada pertengahan Oktober). Lama musim hujan pada umumnya

berkisar antara 4 sampai 5 bulan.

Pengaruh Anomali Iklim Terhadap Usahatani Padi di Kabupaten

Indramayu

Berdasarkan data produksi padi seluruh Indonesia (Departemen Pertanian,

2010), Propinsi Jawa Barat menyumbang 17.6% dari seluruh produksi padi

nasional. Persentase sebesar 17.6% tersebut, 11.7% nya diantaranya berasal dari

Kabupaten Indramayu. Jadi Kabupaten Indramayu berkontribusi paling besar

terhadap produksi padi di seluruh Propinsi Jawa Barat. Hal ini juga disampaikan

oleh Boer et al. (2011b) bahwa pada tahun 2010 lalu, tercatat produksi padi

30

Indramayu mencapai 1,321,315.07 ton dengan produktivitasnya mencapai 6.450

ton/ha. Komoditi beras di Kabupaten Indramayu memiliki stok cukup potensial,

bahkan selama ini menjadi sentra pangan terbesar di Jawa Barat sekaligus

penopang pangan DKI Jakarta. Namun di sisi lain, Kabupaten Indramayu sangat

rentan terhadap kejadian iklim ekstrim, terutama kekeringan. Kekeringan menjadi

penyebab utama gagal panen (Boer et al. 2011a).

Di Kabupaten Indramayu, apabila waktu sudah memasuki bulan-bulan

musim hujan dan kemudian terjadi hujan 1-2 hari berturut-turut biasanya petani

sudah menganggap musim hujan sudah mulai dan kegiatan penanaman mulai

dilakukan. Namun, pada kondisi tertentu, hujan yang terjadi tersebut seakan-akan

bersifat tipuan (false rain), karena kemudian ternyata diikuti oleh hari-hari tanpa

hujan yang berlangsung dalam kurun waktu yang cukup panjang yaitu lebih dari

dua dasarian dan diluar batas toleransi tanaman, atau yang disebut dengan long

dry spell. Akibat dari kondisi ini, petani yang sudah terlanjur tanam seringkali

akan terkena kekeringan. Bibit disiapkan terlalu cepat akibat adanya hujan tipuan

yang sebenarnya belum merupakan indikasi masuknya awal musim hujan. Pada

waktu musim hujan sudah masuk, bibit sudah terlalu tua sehingga tidak bisa

digunakan lagi.

Kejadian kekeringan umumnya terjadi awal bulan Juni setelah penanaman

padi MT2. Kondisi ini biasanya terjadi pada saat fenomena El-Nino dan

kekeringan yang terjadi sebagai akibat curah hujan bersifat di bawah normal

(BN), sehingga ketersediaan air tidak mencukupi untuk mendukung pertumbuhan

tanaman selanjutnya. Kejadian kekeringan semacam ini tidak hanya terjadi di

sawah tadah hujan tetapi juga di sawah beririgasi, khususnya yang berada di

wilayah irigasi bagian ujung (Golongan III dan IV). Sebagai contoh MT

1997/1998 dan 2002/2003. Penurunan hujan bulan Juni-September jauh di bawah

normal akibat dari berlangsungnya fenomena El-Nino telah menimbulkan luas

tanaman padi terkena kekeringan yang sangat tinggi (Gambar 11).

Kajian yang dilakukan di Indramayu (Boer 2003a) menunjukkan bahwa

El-Nino berpengaruh besar terhadap produksi padi karena beberapa hal. Pertama,

El-Nino berpengaruh terhadap masuknya awal musim hujan sehingga penanaman

padi pada musim hujan yang biasanya dilakukan bulan November menjadi

31

mundur sampai Januari atau Februari. Akibatnya tanaman padi kedua juga

mengalami keterlambatan sehingga risiko terkena kekeringan menjadi tinggi

karena hujan pada akhir pertumbuhan tanaman sudah mengalami penurunan yang

besar (sudah masuk musim kemarau). Kedua, El-Nino menyebabkan hujan pada

musim kemarau turun jauh dari normal sehingga air yang tersedia tidak cukup

untuk mendukung pertumbuhan tanaman. Ketiga, El-Nino menyebabkan awal

musim kemarau terjadi lebih awal dari biasanya sehingga tanaman padi kedua

mengalami cekaman kekeringan.

Gambar 11. Hubungan antara kejadian hujan bawah normal (BN) pada musim

tanam gadu dengan kejadian kekeringan Tahun 1997 dan 2003 di

Indramayu (Boer et al. 2008a)

Mundurnya awal musim hujan akibat berlangsungnya fenomena El Nino,

menyebabkan awal musim penanaman padi pertama mundur dari biasanya.

Akibatnya musim penanaman padi kedua juga akan mundur, masuk ke musim

kemarau (Gambar 12). Berdasarkan data historis, mundurnya awal musim hujan

akibat berlangsungnya fenomena El-Nino menyebabkan kumulatif luas tanam

selama musim hujan (MH) menurun. Penurunan ini biasanya dikompensasi

dengan meningkatkan luas tanam pada musim kemarau (MK) yang berisiko tinggi

untuk terkena kekeringan. Kondisi sebaliknya pada fenomena La-Nina (Boer

2010b).

1996 1997 2002 2003

0

100

200

300

400

500

10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Cu

rah

Hu

jan

(m

m)

0

100

200

300

400

500

Cu

rah

Hu

jan

(mm

)

1996/97

Normal

0

100

200

300

400

500

10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Cu

rah

Hu

jan

(m

m)

0

100

200

300

400

500

Cu

rah

Hu

jan

(mm

)

2002/03

Normal

Terkena

Kekeringan:

47,995 ha

Terkena

Kekeringan:

7,896 ha

32

Gambar 12. Pola tanam padi petani dan risiko terkena kekeringan (Sumber : Boer

2010b)

2.4. Adaptasi Terhadap Kejadian Iklim Ekstrim

Adaptasi adalah berbagai tindakan penyesuaian diri terhadap kejadian

yang diakibatkan oleh fenomena perubahan iklim/pemanasan global (Las 2007).

Besar kecilnya kerugian atau kerusakan yang dirasakan akibat perubahan iklim

sangat dipengaruhi oleh kemampuan dalam melakukan adaptasi terhadap

perubahan iklim tersebut. Menurut Boer (2008a) kemampuan adaptasi (Adaptive

Capacity) merupakan kemampuan untuk mendesain atau melaksanakan strategi

adaptasi atau bereaksi terhadap bencana atau kondisi yang kurang menguntungkan

sehingga dapat mengurangi kemungkinan terjadinya bencana tersebut atau

mengurangi besarnya kerusakan yang ditimbulkan oleh kondisi iklim yang tidak

menguntungkan tersebut. Oleh karena itu, kemampuan adaptasi sangat terkait erat

dengan tingkat kerentanan (vulnerability) dan sensitivitas (sensitivity). Sensitivitas

(sensitivity) merujuk kepada tingkat yang menggambarkan sejauh mana atau

sebesar apa suatu sistem dapat dipengaruhi oleh berbagai sifat iklim. Kerentanan

(vulnerability) merupakan resultan dari sensitifitas dan kemampuan adaptif atau

menunjukkan kemampuan sistem mengatasi dampak merusak dari perubahan

iklim (Boer 2008a). Berdasarkan kajian IPCC (2007) pemanasan global dan

perubahan iklim pada wilayah tropis diperkirakan akan menurunkan produktivitas

tanaman pangan secara signifikan apabila tidak dilakukan langkah-langkah

adaptasi.

33

Menurut Las (2007) adaptasi di sektor pertanian melibatkan

infrastruktur/sarana, tata ruang, sistem produksi, sosial ekonomi dan sebagainya.

Untuk mengurangi dampak perubahan iklim terhadap infrastruktur atau sarana

usaha tani, sistem produksi, dan sosial-ekonomi, maka strategi pendekatan

adaptasi yang dilakukan antara lain : teknologi prediksi iklim, pengembangan

sistem jaringan iklim, pengembangan sistem peringatan dini, pengembangan

sekolah lapang pertanian, penyesuaian pola tanam/kalender tanam (waktu, rotasi,

jenis tanam), pengembangan varietas adaptif (VUB rendah emisi gas rumah kaca,

VUB toleran kegaraman, VUB tahan kering (dan umur genjah), VUB tahan

genangan), serta pengembangan teknologi pengelolaan lahan/ tanah, air dan Iklim.

Contoh varietas padi tahan kekeringan adalah Silugonggo dan Dodokan.

Secara teoritis sikap petani adalah ingin menghindari risiko (risk-averse

behavior). Sifat ini muncul apabila suatu kejadian mempunyai dampak ekonomi

sangat buruk sehingga mengganggu posisi finansial petani. Untuk itu petani telah

menerapkan berbagai strategi. Menurut Hadi (2000), ada lima strategi yang dapat

dilakukan petani, yaitu :

1) Strategi finansial, sebagai contoh menyimpan dana cadangan (tabungan)

dalam jumlah cukup besar, melakukan investasi pada kegiatan berdaya hasil

tinggi atau membuat proyeksi arus tunai berdasarkan estimasi yang realistis

tentang harga, produksi dan biaya produksi.

2) Strategi pemasaran, misalnya penetapan dan penguncian harga oleh penjual

dan pembeli untuk waktu mendatang, kontrak penjualan atau menyebar

pemasaran menurut waktu. Strategi pemasaran ini disebut juga sebagai

penyimpanan hasil pertanian (crop storage). Petani padi di Indonesia juga

banyak yang menerapkan strategi ini.

3) Strategi produksi, sebagai contoh diversifikasi dengan melakukan lebih dari

satu jenis usahatani atau kegiatan non-usahatani. Memilih jenis kegiatan yang

cukup fleksibel dari segi waktu, biaya dan produk, atau menerapkan

management yang baik dengan membuat prediksi pendapatan yang stabil.

Hasil berbagai penelitian Pusat Sosial Ekonomi Pertanian menunjukkan

bahwa petani Indonesia umumnya melakukan diversifikasi berupa usahatani

lain atau kegiatan non-usahatani.

34

4) Kredit informal, sebagai contoh meminjam uang atau barang kebutuhan pokok

dari pedagang atau pemilik modal perseorangan. Hasil berbagai penelitian

Pusat Sosial Ekonomi Pertanian juga menunjukkan bahwa petani Indonesia

pada umumnya menerapkan strategi ini.

5) Membeli asuransi pertanian formal berupa polis dari lembaga asuransi untuk

menutup semua atau sebagian kerugian yang diperkirakan akan terjadi.

Strategi ini pada umumnya diterapkan di negara-negara maju seperti AS,

Perancis dan Jepang, serta beberapa negara sedang berkembang seperti

Filipina, Thailand, India dan Sri Langka.

Empat strategi pertama dapat digolongkan sebagai asuransi sendiri (self

insurance) atau asuransi informal (informal insurance), sedangkan strategi kelima

disebut sebagai asuransi formal (formal insurance).

Pasaribu (2008) melakukan penelitian di Propinsi Jawa Tengah dan

Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) untuk mengetahui bentuk dan pola adaptasi

petani terhadap perubahan iklim. Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk

petani di Propinsi Jawa Tengah, bentuk dan pola adaptasinya, antara lain : (a)

membangun long storage sebagai penampung air, (b) peningkatan kerjasama

kelompok tani (gotong royong) melalui kelembagaan P3A yang dibantu oleh

Pemerintah Daerah setempat, (c) mengubah pola tanam termasuk penanaman

serentak disertai dengan pola tanam pada lahan irigasi teknis dengan pola

budidaya hemat air (pola SRI) dan pada lahan non irigasi teknis dengan budidaya

gogo rancah (pemanfaatan air dangkal). Untuk petani di Propinsi NTT, adaptasi

dilakukan antara lain dengan 3 strategi, yaitu : (a) bertahan (menanam tanaman

secara berulang dengan pertimbangan aspek ekonomi dan pasrah kepada keadaan,

(b) agresif (mengganti jenis tanaman, mengubah pola tanam, menerapkan inovasi

pemanenan air dengan embung dan sumur, serta menunggu informasi curah

hujan) dan (c) antisipatif ( menyiapkan input yang cukup, mengalihkan usaha dari

on-farm ke off-farm, serta memanfaatkan pengetahuan spesifik lokal).

Berdasarkan penelitian tersebut, Pasaribu (2008) menyimpulkan secara

garis besar ada dua faktor utama yang mempengaruhi kapasitas adaptasi petani

terhadap perubahan iklim. Pertama adalah faktor di luar kegiatan usaha tani,

seperti : kondisi topografi, dukungan kebijakan pemerintah yang masih kurang,

35

rendahnya akses terhadap informasi iklim, kurangnya tenaga penyuluh atau

pendamping yang membantu menginterpretasikan informasi iklim yang ada,

faktor sosial budaya serta kelembagaan. Kedua adalah faktor yang terkait dengan

pelaksanaan usaha tani, seperti : belum memadainya sarana dan prasarana usaha

tani, keterbatasan modal usaha tani yang menyulitkan petani menerapkan

teknologi tertentu terkait dengan antisipasi perubahan iklim.

Di Kabupaten Indramayu, petani telah memiliki beberapa cara untuk

mengurangi risiko iklim. Hasil penelitian Boer (2008b) di Indramayu

menunjukkan bahwa pada musim hujan, petani pada umumnya melakukan teknik

gogo rancah, ngipuk dan rendengan. Gogo rancah (penyebaran benih secara

langsung/direct seeded) yaitu penanaman bibit padi secara langsung tanpa

dilakukan penyemaian. Cara ini dilakukan ketika curah hujan rendah tetapi sering.

Cara lain yang dilakukan adalah ngipuk (dry seeded). Cara ini dilakukan ketika

curah hujan tinggi namun jarang. Sebelum melakukan penanaman bibit disemai

terlebih dahulu pada sebagian petak sawah dalam keadaan kering sebelum musim

hujan tiba. Setelah musim hujan tiba, bibit yang telah disemai dipindahkan ke

seluruh petak sawah. Rendengan (transplanting system) dilakukan ketika curah

hujan tinggi dan sering. Sebelum melakukan penanaman, bibit disemai terlebih

dahulu pada sebagian petak sawah dalam keadaan basah beberapa waktu sebelum

musim hujan tiba. Setelah musim hujan tiba, bibit yang telah disemai dipindahkan

ke seluruh petak sawah. Pada musim kering, teknik yang dilakukan antara lain :

padi gadu, sistim culik, tanam selain padi dan bera. Padi gadu dilakukan ketika

curah hujan cukup tinggi dan berlangsung lama lebih dari 3 bulan. Sistim culik

adalah melakukan persiapan pembibitan. Cara ini dilakukan jika curah hujan

cukup tinggi tetapi tidak berlangsung sampai 3 bulan. Ketika petani akan panen

untuk masa tanam pertama, terlebih dahulu dilakukan panen muda pada sebagian

kecil petak sawah untuk ditanami bibit yang akan ditanam pada masa tanam

kedua. Sehingga setelah panen, bibit yang telah disemai terlebih dahulu dapat

langsung ditanam.

Khusus untuk kejadian El-Nino, bentuk respon petani padi di Indramayu

terhadap prakiraan El-Nino terdiri dari beberapa cara yaitu: (i) tetap tidak merubah

pola tanamnya, yaitu tetap tanam padi, (ii) tidak melakukan penanaman padi sama

36

sekali (diberakan), (iii) merubah tanaman dari padi menjadi non-padi yang butuh

air lebih sedikit, dan (iv) merubah bentuk kegiatan dari usahatani padi ke usaha

lainnya misalnya menambang garam. Sampai saat ini bentuk respon yang masih

umum ialah mengabaikan hasil hasil ramalan sehingga setiap El-Nino terjadi,

wilayah ini selalu mengalami kekeringan yang meluas (Boer 2003b). Hal ini

seiring dengan hasil penelitian Zubaida (2004) yang menyebutkan bahwa petani di

Kabupaten Indramayu secara umum belum melakukan adaptasi sebelum tanam

agar terhindar dari gagal panen akibat iklim ekstrim, padahal mereka telah

mengetahui ada teknologi-teknologi yang dapat dimanfaatkan dalam

mengadaptasi kejadian iklim ekstrim seperti mengganti varietas, mengatur pola

tanam dan waktu tanam.

Perkiraan kerugian petani akibat kejadian iklim ekstrim berdasarkan

tanaman yang gagal panen adalah Rp. 1890000 (untuk tanaman usia 10 HST), Rp.

2890000 (untuk tanaman usia lebih dari 20 HST) dan Rp. 3350000 (untuk

tanaman usia lebih dari 30 HST) (Zubaida 2004). Secara umum, mekanisme

adaptasi yang dilakukan petani dalam menghadapi gagal panen akibat kejadian

iklim ekstrim adalah menghemat pengeluaran, meningkatkan pendapatan dari

usaha lain, dan mencari pinjaman jika dalam keadaan darurat. Pinjaman biasanya

dilakukan antar kerabat dekat seperti keluarga, teman atau tetangga, sedangkan

untuk pinjaman modal untuk usaha tani biasanya berasal dari bank. Kendala yang

dihadapi dalam beradaptasi pada umumnya adalah masalah ekonomi, seperti

kurangnya kepastian pendapatan dari usaha lain atau terbatasnya dana bantuan.

Membangun kemampuan adaptasi merupakan proses untuk memperkuat

kemampuan sistem untuk menyesuaikan diri terhadap keragaman iklim saat ini

dan mendatang serta goncangan iklim. Pembangunan kemampuan adaptasi

bertujuan untuk memperlebar selang toleransi dari suatu sistem yang

diprioritaskan terhadap bencana iklim, dan kemudian membangun kemampuan

sistem tersebut untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim dan keragamannya.

Apabila kemampuan adaptasi tidak dibangun maka risiko sistem tersebut untuk

terkena dampak perubahan iklim akan semakin besar. Proses untuk meningkatkan

kemampuan adaptasi akan memerlukan kemampuan untuk belajar dari

pengalaman masa lalu dalam menghadapi keragaman iklim dan menggunakan

37

pengalaman tersebut untuk membangun kemampuan beradaptasi terhadap

keragaman iklim masa datang, termasuk terhadap goncangan iklim.

2.5. Hubungan Curah Hujan dan Produksi Padi

Tanah, iklim dan air merupakan lingkungan tumbuh tanaman padi.

Penguasaan tentang lingkungan tumbuh padi ini sangat penting untuk menentukan

cara budidaya yang paling tepat dan menguntungkan (Fagi dan Las 1988). Salah

satu unsur iklim yang sangat berperan terhadap ketersediaan air bagi tanaman

adalah curah hujan. Tinggi rendahnya produksi padi tidak bisa dipisahkan dengan

ketersediaan air bagi tanaman. Hal ini juga diungkapkan Taslim (1988) yang

menyatakan bahwa potensi hasil tanaman padi erat hubungannya dengan jaminan

ketersediaan air selama musim tanam. Di Indonesia, faktor penentu musim tanam

adalah ketersediaan air yang dipengaruhi oleh curah hujan. Meskipun penerimaan

hujan tahunan tinggi, bahkan di beberapa wilayah telah tersedia fasilitas jaringan

irigasi, namun demikian periode tanam pada sebagian besar wilayah produksi

tanaman pangan tetap tergantung pada kondisi penerimaan hujan musiman

(Hidayati et al. 2010). Artinya, curah hujan merupakan indikator yang cukup kuat

untuk mengetahui fluktuasi produksi padi.

Tanaman padi membutuhkan 600 1200 mm air selama 90 120 hari dari

tanam hingga panen (De Datta 1981). Jagung memerlukan 300 hingga 400 mm

air selama 90 hingga 125 hari pada periode tanam (Mink, Dorosh & Perry 1987).

Oleh karena kebutuhan air yang lebih sedikit, maka palawija menjadi alternatif

komoditas yang ditanam petani pada saat akhir musim hujan, di mana

ketersediaan air sudah tidak mencukupi untuk kebutuhan tanaman padi.

Fase tanaman yang paling rentan terhadap kekurangan air adalah awal fase

vegetatif, fase pembungaan dan fase pengisian bulir/polong (Biswas & Choudhuri

1984; Mapegau 2006). Pada tanaman padi, kekurangan air pada fase reproduktif

memberikan dampak penurunan produksi yang lebih besar dibandingkan

kekurangan air pada masa vegetatif (Biswas & Choudhuri 1984).

Vergara (1976) menyatakan bahwa peranan ketersediaan air sangat penting

(kritis) pada awal pertumbuhan dan pada fase pembungaan (Gambar 13).

Kekurangan air pada fase ini akan berdampak besar terhadap pertumbuhan

38

tanaman, sebaliknya bila terjadi pada akhir fase vegetatif dan pada fase akhir

pemasakan. Peranan ketersediaan air juga penting pada saat pembentukan anakan

dan pada awal fase pemasakan (pengisian biji).

Gambar 13. Peranan ketersediaan air pada setiap stadia tumbuh tanaman

(Sumber : Vergara 1976)

Penelitian Rushayati et al. (1989) menunjukkan bahwa tanaman yang diberi

cekaman air (kadar air 50% kapasitas lapang) selama sepuluh hari pada awal fase

pertumbuhan vegetatif memberikan hasil yang sangat rendah, demikian juga

halnya apabila perlakuan ini diberikan pada fase primordia. Penurunan hasil yang

terjadi akibat cekaman kekeringan pada awal fase pertumbuhan vegetatif terutama

melalui pengurangan jumlah anakan dan luas daun sedangkan pada fase primordia

melalui penurunan jumlah gabah, peningkatan jumlah gabah hampa dan

penurunan bobot 100 biji. Selanjutnya Castillo et al. (1992) menemukan bahwa

tidak terjadinya hujan selama lebih dari 15 hari berturut-turut pada fase tepat

sebelum atau segera setelah pembentukan malai dapat menurunkan hasil antara

18% sampai 38%. Lebih jauh Dikshit et al. (1987) menemukan bahwa penurunan

hasil akibat kejadian deret hari kering selama 16 hari selama masa pertumbuhan

bisa mencapai 91%, tergantung waktu terjadinya. Berdasarkan perhitungan neraca

air harian di Jawa Barat, tidak terjadinya hujan lebih dari 15 hari berturut-turut

menurunkan kandungan air tanah dari kapasitas lapang sampai di bawah 50%

kapasitas lapang (Hasan 1997). Menurut McCaskill dan Kariada (1992) dan

Niewolt (1989), terjadinya deret hari kering selama 7 hari atau lebih mempunyai

dampak yang serius terhadap hasil tanaman di daerah tropis.

Vegetatif Reproduktif

39

Pengaruh mundurnya awal musim hujan akibat dari berlangsungnya

fenomena El-Nino dan dampaknya terhadap penurunan produksi padi musim

hujan (MH) sudah dianalisis oleh Naylor et al. (2007). Anomali produksi padi

Januari-April (APJ-A) dapat diduga dari awal musim hujan (AMH) dalam bentuk

persamaan :

1. Jw. Barat/Jw. Tengah: APJ-A = -349 + 31 AMH 0.3 AWM2; R2 = 56%

2. Jw. Timur/Bali: APJ-A = -3029 + 67 AMH 0.3 AWM2; R2 = 71%

Dengan menggunakan persamaan (2), penurunan produksi padi Januari-

April dengan mundurnya awal musim hujan satu bulan dari normal setara dengan

penurunan produksi sekitar 6.5% untuk Jawa Barat dan Jawa Tengah dan 11%

untuk Jawa Timur dan Bali. Awal MH dihitung dari jumlah hari setelah tanggal 1

Agustus. Awal musim hujan sudah masuk apabila kumulatif tinggi hujan sejak

tanggal 1 Agustus sudah mencapai 200 mm. Tahun 1982 dan 1997 merupakan

tahun El-Nino kuat yang menyebabkan awal musim hujan mundur sampai 2-3

bulan (Gambar 14).

Gambar 14. Hubungan anomali produksi padi Januari-April dengan awal MH

(Sumber : Naylor et al. 2007)

2.6. Model Simulasi Tanaman DSSAT

Model dapat diartikan sebagai penyederhanaan suatu sistim, sedangkan

sistim adalah gambaran suatu proses atau beberapa proses (beberapa subsistim)

yang teratur. Menurut Handoko (1994), meskipun terlihat rumit, namun sistim

tersebut tetap merupakan suatu keteraturan.

Model simulasi tanaman merupakan model yang dapat menggambarkan

proses-proses pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang dipengaruhi oleh

faktor iklim, tanah dan tanaman. Dalam aplikasinya, model simulasi tanaman

mengintegrasikan beberapa disiplin ilmu, seperti agrometeorologi, sifat fisik dan

40

kimia tanah, pemuliaan tanaman dan agronomi dalam bentuk persamaan

matematika untuk memprediksi pertumbuhan, perkembangan dan hasil tanaman

(Hoogenboom 2000). Menurut Boer (1997), model-model simulasi tanaman yang

berdasarkan pada faktor-faktor tanaman, tanah dan cuaca merupakan alat yang

efektif dalam pertanian. Model-model ini dapat digunakan untuk merencanakan

alternatif strategi untuk penanaman, penggunaan tanah dan pengelolaan air, untuk

mengevaluasi tanaman, varietas dan teknologi budidaya, untuk menganilisis

tingkat risiko iklim terhadap pertumbuhan tanaman sehingga dapat digunakan

perluasan wilayah penanaman dan pemilihan sistim usaha tani yang sesuai dengan

lokasi, untuk memformulasikan hipotesis dan rancangan percobaan untuk

penelitian, untuk menduga hasil tanaman dan sebagainya.

Studi tentang pemanfaatan model simulasi untuk tujuan analisis dampak

dan perubahan iklim lebih banyak menggunakan model deterministik. Salah satu

model deterministik yang digunakan di banyak negara adalah DSSAT (Decision

Support System for Agrotechnology Transfer). DSSAT adalah suatu perangkat

lunak untuk melakukan simulasi tanaman yang dikembangkan oleh IBSNAT

(International Benchmark Site Network for Agrotechnology Transfer) di Hawaii

University. DSSAT merupakan aplikasi perangkat lunak program yang terdiri dari

model simulasi tanaman. Didukung oleh program manajemen basis data untuk

tanah, cuaca, pengelolaan tanaman dan data eksperimental. Model simulasi

tanaman di DSSAT mensimulasikan pertumbuhan, perkembangan dan hasil

sebagai fungsi dari tanah-tanaman-atmosfer.

Data minimum yang dibutuhkan model DSSAT (Jones et al. 1998) adalah

: 1) posisi lintang dan bujur, data iklim harian : radiasi matahari, suhu udara

minimum dan maksimum serta curah hujan, 2) tanah : kedalaman lapisan tanah

atas dan bawah, tekstur, bobot isi (bulk density), carbon organik, pH dan

kejenuhan aluminium, 3) manajemen : tanggal tanam, jarak tanam, kedalaman

tanam, varietas, irigasi (untuk lahan irigasi) dan pupuk. Diagram database

selengkapnya disajikan dalam Gambar 15.

41

Gambar 15. Diagram database, aplikasi, dan komponen perangkat lunak

pendukung dan penggunaan model tanaman untuk aplikasi

dalamDSSAT v3.5 (Sumber : Jones et al. 2003).

Tsuji et al (1994) menjelaskan kegunaan DSSAT antara lain : 1) dapat

menganalisis sensitivitas model yang digunakan dengan mengganti input

parameter tanah, iklim dan tanaman tanpa merubah susunan file percobaan yang

divalidasi, 2) dapat mengevaluasi variabilitas dan dampak perubahan strategi

skenario iklim, 3) dapat menggambarkan dinamika pertumbuhan tanaman,

keseimbangan penggunaan pupuk, dan proses konservasi tanah yang erat

kaitannya dengan proses pergerakan air baik melalui run off, infiltrasi dan

perkolasi. Selain itu, model DSSAT juga mampu mensimulasi proses

pertumbuhan dan perkembangan tanaman secara kontinu antar musim. Di sisi

lain, ada beberapa kelemahan model DSSAT, yaitu : 1) tidak merumuskan

pengaruh pupuk P (Phospor) dan K (Kalium), serta hama dan penyakit tanaman,

2) subyektivitas dalam merancang percobaan. Ulangan tidak dapat didiskripsikan

dengan jelas, serta 3) keragaman output sangat rendah karena ulangan yang

diberikan dengan input perlakuan yang sama pada periode penanaman yang sama

akan memberikan hasil yang sama.

Di Indonesia, model simulasi tanaman juga telah dikembangkan oleh para

peneliti. Model yang banyak berkembang adalah model pertumbuhan tanaman

padi. Prinsip model pertumbuhan tanaman padi adalah merupakan fungsi konversi

dari CO2 menjadi karbohidrat yang didistribusikan untuk pertumbuhan

42

komponen-komponen tanaman. Besarnya CO2 yang dikonversi menjadi

karbohidrat ditentukan oleh konsentrasi CO2 dan intensitas radiasi serta tingkat

cekaman hara (N, P dan K). Banyaknya karbohidrat yang berubah menjadi bahan

kering ditentukan oleh laju respirasi.

Validasi model DSSAT untuk tanaman padi IR 64 telah dilakukan oleh

Surmaini (2006) dengan membandingkan data hasil penelitian Balai Penelitian

Tanaman Padi mengenai pengaruh berbagai tingkat pemupukan N terhadap

produksi padi di beberapa lokasi yaitu Geritan-Pati, Binangun-Cilacap, Muara-

Bogor dan Sukamandi, dan diperoleh nilai koefisien korelasi yang cukup tinggi

yaitu sebesar 0.9267.

2.7. Asuransi Pertanian di Indonesia

Saat ini dampak dari kejadian cuaca/iklim terhadap pelayanan finansial

sebagian besar disebabkan oleh kejadian ekstrim. Sebagaimana diungkapkan oleh

Wellington (2005) bahwa perubahan iklim membawa keuntungan sekaligus risiko

bagi industri dan perusahaan. Perbedaan kerentanan ada yang disebabkan oleh

lokasi geografis, distribusi penduduk, dan kekayaan nasional. Di negara-negara

berkembang, jumlah kematian sangat tinggi akibat cuaca/iklim ekstrim, namun

biaya untuk sektor keuangan relatif kecil karena penetrasi asuransi rendah.

Sebaliknya di negara-negara maju, yang kehilangan kehidupan mungkin jauh

lebih sedikit tetapi cukup banyak tersedia biaya untuk asuransi industri. Swiss Re

(2000b) diacu dalam IPCC (2001) mengkompilasi data 40 kejadian bencana

terburuk antara 1970 dan 1999 yang menunjukkan bahwa dari 40 kejadian

bencana terburuk tersebut, 16 diantaranya terkait dengan iklim dan 13 diantaranya

terjadi di Asia.

Laporan ketiga kajian IPCC menggarisbawahi tentang pentingnya asuransi

dan komponen jasa keuangan lainnya karena mewakili mekanisme penyebaran

risiko melalui biaya yang didistribusikan yang berhubungan dengan kejadian

cuaca, antar sektor dan melalui masyarakat. Sektor jasa keuangan juga berperan

sentral dalam kegiatan adaptasi dan mitigasi dan merupakan sumber utama data

global dan regional terkait dengan kejadian iklim (IPCC 2001). Mills (2006)

menyajikan dalam laporannya beberapa bentuk solusi asuransi iklim, termasuk

43

diantaranya adalah program efisiensi energi, desain bangunan hijau (green

building design) dan perdagangan emisi karbon.

Hasil penelitian Osgood et al. (2007b) menunjukkan bahwa asuransi formal

ini juga telah dikembangkan di negara-negara berkembang/miskin seperti India,

Ethiophia, Tanzania, Malawi dan Kenya. Menurut Hadi (2000), asuransi formal

bisa merupakan alternatif strategi yang diperlukan bagi petani.

Asuransi ditawarkan sebagai salah satu dari skim pendanaan untuk

membagi risiko seperti kegagalan panen. Asuransi pertanian penting sebagai

bentuk proteksi atas kemungkinan kerugian akibat bencana alam (banjir,

kekeringan, angin puting beliung) atau kerugian lainnya akibat anomali cuaca dan

perubahan iklim (Sanim 2009). Di negara-negara maju, asuransi formal pertanian

telah digunakan secara luas untuk mengantisipasi dampak buruk dari kegagalan

panen. Hasil penelitian Ramaswami (1993) dalam Hadi (2000) menunjukkan

bahwa asuransi formal pertanian dapat memperkecil risiko turunnya pendapatan

petani sehingga kebutuhan konsumsi keluarga tetap terpenuhi secara normal

sepanjang waktu. Selain itu dapat meningkatkan kapasitas petani untuk

mendapatkan kredit karena dapat digunakan sebagai kolateral kepada pihak

pemberi pinjaman (Lee et al. 1980).

Asuransi pertanian sudah muncul sejak jaman dahulu, baik yang dilakukan

oleh pihak swasta maupun pemerintah. Asuransi pertanian untuk bencana musim

hujan ditemukan tahun 1979 di Jerman. Di Amerika Serikat penerapan asuransi

pertanian pertama kali tahun 1880 dan produk yang diasuransikan adalah

tembakau. Asuransi pertanian ini berkembang dengan baik di AS, Jepang, Uni

Eropa dan Taiwan. Di India, Bangladesh dan Filipina agak lambat berkembang

(Sanim 2009).

Di Indonesia, Departemen Pertanian pernah mencoba membangun sistem

asuransi formal pertanian dengan terlebih dahulu membentuk Kelompok Kerja

(POKJA) Persiapan dan Pengembangan Asuransi Panen dengan Surat

Keputusan Menteri Pertanian (SK Mentan) nomor 369/Kpts/01/5/1982. Tugas

POKJA tersebut antara lain : (1) mempelajari kemungkinan penerapan sistem

asuransi panen (crop insurance) di Indonesia, (2) menjajagi, mengusahakan dan

memanfaatkan bantuan dari negara lain, (3) menyiapkan rancangan/kerangka

44

bentuk sistim asuransi panen khususnya untuk tanaman padi, (4) melakukan uji

coba mengenai sistem asuransi panen, dan (5) memberikan rekomendasi dan

mengajukan rencana pembangunan sistim asuransi panen kepada pemerintah.

POKJA tersebut belum berjalan dengan baik sehingga pada tahun 1984 dibentuk

lagi POKJA berdasarkan SK Mentan nomor BM 110/98/Kpts/2/1984 tanggal 2

Februari 1984 yang tugasnya sama dengan POKJA tahun 1982. POKJA ini juga

belum berjalan dengan baik sehingga pada tahun 1985 dibentuk lagi POKJA

dengan tugas yang masih sama dengan sebelumnya. POKJA ini juga belum

berhasil melaksanakan tugasnya. Anggota POKJA 1982, 1984 dan 1985 terdiri

dari berbagai instansi pemerintah terkait kecuali badan litbang pertanian. Baru

pada tahun 1999, Badan Litbang Pertanian (dalam hal ini diwakili oleh Pusat

Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian) dilibatkan dalam TIM Pengembangan

Asuransi Pertanian berdasarkan Surat Penunjukkan Menteri Pertanian nomor

KP.440/178/Mentan/VI/99 tanggal 10 Juni 1999. Tugas-tugas tim tersebut masih

sama dengan tugas tim POKJA sebelumnya, namun telah melibatkan pihak

asuransi (PT Pasaraya Life Insurance dan Koperasi Asuransi Indonesia) (Hadi,

2000). Tim ini berhasil menyusun proposal sistem asuransi pertanian, dimana

asuransi panen (crop insurance) untuk padi dan asuransi jiwa (life insurance)

menjadi satu paket asuransi. Pihak yang direncanakan menyediakan asuransi

adalah sebuah konsorsium antara perusahaan swasta bidang asuransi dan

pemerintah. Program asuransi ini telah berjalan pada tahun 2000 dalam bentuk

Pilot Project di bawah koordinasi Direktorat Jenderal Sarana dan Prasarana

Departemen Pertanian.

Berdasarkan kajian Pasaribu (2009a) asuransi pertanian telah

diperkenalkan untuk jangkauan yang terbatas sejak tahun 2000 (oleh lembaga

kredit asuransi Bumida, sebuah perusahaan asuransi umum nasional bekerjasama

dengan BPD Sumut, sebuah bank lokal di Propinsi Sumatera Utara dan difasilitasi

oleh Departemen Pertanian). Pada tahun 2004- 2005 peternak diarahkan untuk

program penggemukan domba/sapi yang dilakukan di Kabupaten Jembrana

Provinsi Bali tetapi bangkrut karena keuangan. Tahun 2006, Departemen

Pertanian secara resmi kembali mencoba memperkenalkan asuransi pertanian,

tetapi sayangnya sektor swasta belum tertarik. Pada tahun 2008, Departemen

45

Pertanian berinisiatif untuk menanggung risiko (kerugian sapi) dalam program

skema asuransi pertanian. Program ini diperkenalkan untuk menanggung semua

risiko untuk ternak dan tanaman padi dengan tingkat premi masing-masing 3.5%

dari nilai pembelian/tahun dan 3.5% dari biaya produksi/ha/musim tanam.

Program ini berlangsung di Jawa dan hanya untuk aplikasi asuransi pertanian.

Penelitian tentang asuransi pertanian ini terus dikembangkan oleh Pasaribu

(2009b) dengan melaksanakan pilot project di desa Pamatang Panombeian dan

desa Marjandi Pisang, Kecamatan Panombeian, Kabupaten Simalungun, Provinsi

Sumatera Utara dan desa Riang Gede, Kecamatan Panebel, Kabupaten Tabanan,

Povinsi Bali. Data tentang kesediaan para petani mengikuti pilot project asuransi

di dua lokasi desa penelitian di Kabupaten Simalungan menunjukkan bahwa 90

persen responden menyatakan kesediaannya dan 10 persen sisanya menyatakan

tidak bersedia dan masih ragu-ragu. Dalam kaitan dengan premi asuransi, 35.71

persen petani menyatakan bersedia menanggung seluruh premi, sementara 64.29

persen lainnya hanya sanggup menanggung sebagian. Dasar penetapan klaim yang

diharapkan para petani adalah 27.50 persen menginginkan atas dasar modal yang

dikeluarkan dan 72.50 persen berdasarkan nilai produksi. Cara penyampaian

klaim yang diusulkan, sebagian besar (79.41%) memilih dengan cara

berkelompok dan 20.59 persen responden lainnya menginginkan secara individu.

Harapan para petani di dua desa lokasi ini menginginkan pelaksanaan pilot project

dapat dilakukan sejak MH 2010 (60%); MK-I 2010 (7%) dan MK-II 2010 (33%).

Sementara respon petani di lokasi penelitian Kabupaten Tabanan menurut

Pasaribu (2009b) menunjukkan bahwa 72.5 persen menyatakan kesediaan untuk

mengikuti pilot project asuransi, 10 persen responden lainnya menyatakan tidak

bersedia dan sebagian lagi (17.5%) masih ragu-ragu. Di lokasi desa Kabupaten

Tabanan, 35.3 persen petani bersedia membayar seluruh premi dan 64.7 persen

menyatakan hanya bersedia menanggung 50 persen. Penetapan klaim yang

diinginkan agar didasarkan pada besaran modal yang dikeluarkan (55.9%) dan

sisanya (44.1%) berdasarkan perkiraan nilai produksi. Cara penyampaian klaim

yang diusulkan sebagian besar menyatakan melalui kelompok 61.8 persen dan

sisanya secara individu. Sebagian besar petani responden menginginkan

penerapan pilot project asuransi usahatani padi pada MH 2009/2010. Dari studi

46

yang telah dilakukan, menurut Pasaribu (2009a) hal yang perlu mendapat

perhatian adalah bahwa aspek hukum yang tersedia masih sangat minim. Oleh

karena itu, hal ini merupakan peluang yang baik untuk mengembangkan penelitian

tentang asuransi yang memperhitungkan parameter iklim yang diharapkan dapat

memberikan wacana baru bagi sistim asuransi di Indonesia.

Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa Kementerian Pertanian

(2012) melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor

1136/Kpts/OT.160/4/2012 telah membentuk Tim Pokja Asuransi Komoditas

Pertanian yang mempunyai tugas melakukan :

1. Identifikasi permasalahan dan upaya pemecahannya dalam asuransi

komoditas pertanian.

2. Perumusan model asuransi komoditas pertanian.

3. Pemantauan dan evaluasi atas pelaksanaan perlindungan usaha komoditas

pertanian.

Kementerian Pertanian bekerjasama dengan BUMN pertanian dan BUMN

asuransi serta kelompok tani pada Bulan Oktober 2012 melaksanakan skim

asuransi usahatani padi sebagai pilot studi pada 3000 ha sawah beririgasi di tiga

lokasi (Sumatera Selatan, Jawa Barat, dan Jawa Timur, masing-masing 1000 ha).

Namun, model yang dipakai masih model tradisional untuk menjamin usahatani

padi dari risiko gagal panen karena banjir, kekeringan dan atau serangan OPT.

Nilai premi Rp. 180000/ha/MT dengan nilai pertanggungan jika gagal panen

(puso dengan kriteria tertentu) Rp. 6 juta/ha. Sebesar 80% premi dibayar

pemerintah dalam bentuk subsidi yang diambil dari dana program Gerakan

Peningkatan Produksi Pangan Berbasis Korporasi (GP3K) yakni Rp. 144 ribu,

sementara petani membayar sisanya (20%, sebesar Rp. 36 ribu) (Pasaribu 2012).

2.8. Asuransi Indeks Iklim (Climate Index Insurance)

Bencana-bencana yang terkait iklim, seperti banjir, kekeringan dan

sebagainya merupakan faktor dominan penyebab kerugian pada usaha tani padi di

Indonesia. Untuk mengatasi atau meminimalkan berbagai risiko akibat bencana

terkait iklim tersebut, petani pada umumnya telah memiliki berbagai cara antara

lain : mengganti tanaman dengan yang lebih tahan, meminjam uang melalui Bank,

47

koperasi atau kelompok tani, dll. Namun cara tersebut masih sangat terbatas dan

tidak ada jaminan, sehingga petani akan tetap mengalami kerugian. Di negara

seperti India dan Afrika, petani sudah memiliki cara untuk menstabilkan

pendapatannya yaitu dengan asuransi informal, namun menurut Hadi (2000),

asuransi informal ini memiliki kelemahan, yaitu : (1) bersifat individu dan tidak

mengasuransikan secara penuh keluarga petani dalam suatu wilayah berisiko yang

luas, dan (2) strategi petani dalam melakukan manajemen risiko tidak efektif

(terlalu mahal) dan tidak dinikmati oleh semua petani. Oleh karena itu, perlu

dikembangkan asuransi formal yang dapat digunakan sebagai alternatif strategi

yang diperlukan oleh petani dan sangat berpeluang dikembangkan di Indonesia.

Saat ini telah berkembang produk asuransi pertanian berbasis index iklim

yang dikenal dengan Asuransi Indeks Iklim (Climate Index Insurance). Menurut

Biro Perasuransian, Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan

(BAPEPAM-LK) Departemen Keuangan (2010), Asuransi Indeks Iklim adalah

asuransi yang memberikan penggantian atas kerugian akibat penurunan tingkat

panen atau kegagalan panen yang dikaitkan dengan cuaca. Contoh: curah hujan

yang berlebihan, atau curah hujan yang kurang (kekeringan). Menurut Boer

(2010b), sistem ini memberikan pembayaran pada pemegang polis manakala

terpenuhi kondisi cuaca/iklim yang tidak diharapkan (Indeks Iklim) tanpa harus

ada bukti kegagalan panen. Asuransi ini dapat mempercepat penerimaan petani

terhadap teknologi adaptasi atau integrasi informasi prakiraan musim/iklim dalam

membuat keputusan. Dalam sistem asuransi iklim yang diasuransikan ialah indeks

Iklimnya bukan tanaman. Pembayaran dilakukan berdasarkan apakah indeks iklim

yang ditetapkan dicapai pada periode pertumbuhan tanaman yang diasuransikan.

Manuamorn (2010) mensarikan beberapa pernyataan tentang asuransi

indeks iklim, diantaranya adalah : (1) kebijakan pembayaran indeks asuransi

berbasis pada obyektif bukan pada pengukuran dari kehilangan riil, (2) indeks

memerlukan korelasi yang kuat dengan kehilangan hasil riil yang akan diproteksi,

(3) Pembayaran dibuat berdasarkan realisasi dari nilai indeks mengikuti skala

pembayaran yang telah disetujui.

Dalam penelitian ini, indeks yang akan dikaji adalah yang terkait dengan

iklim/cuaca, yaitu indeks iklim. Indeks iklim paling banyak digunakan dalam

48

bidang pertanian. Hal ini disebabkan adanya korelasi yang tinggi antara kejadian

iklim dan kehilangan produksi tanaman. Beberapa parameter yang umum

digunakan untuk indeks iklim adalah : curah hujan, temperatur, kecepatan angin,

biomas vegetasi, kelembaban tanah, serta growing degree days. Sebagai contoh

dalam bidang pertanian, menurut Manuamorn (2010), index curah hujan ditujukan

untuk melindungi petani dari kekeringan.

Beberapa keuntungan asuransi indeks iklim, adalah : 1) tidak ada moral

hazard, tidak tergantung pada perilaku individu, 2) tidak ada anti seleksi (Adverse

Selection) dalam konteks subsidi silang karena didasarkan pada banyaknya

ketersediaan informasi (seperti data iklim runut waktu). Hal ini membantu

menghindari situasi dimana hanya orang-orang dengan risiko tinggi saja (yang

memiliki pengetahuan lebih tentang risiko mereka yang mengasuransikan), 3)

biaya adminitrasi rendah, 4) struktur transparan dan 5) fleksibel, dapat

digabungkan dengan fasilitas lain (IFC 2009, Manuamorn 2010, dan IRI 2011).

Sementara tantangannya adalah masih terbatasnya sumberdaya manusia sebagai

pengguna untuk menilai apakah indeks asuransi akan memberikan manajemen

risiko yang efektif, pasar masih dalam masa pertumbuhan di negara negara

berkembang dan biaya awal (start-up) dapat menjadi signifikan (IFC, 2009),

masih terbatasnya alat-alat pengamatan iklim/curah hujan otomatis dan handal

untuk mendapatkan data yang berkualitas, serta undang-undang (regulasi) yang

mendukung.

Sisi lain dari kelebihan adalah kelemahannya. Kelemahan mendasar dari

indeks asuransi adalah ketidaksesuaian antara pembayaran kontrak dan kehilangan

riil. Konsekuensinya petani dapat mengalami kerugian dan tidak akan menerima

pembayaran, atau petani jadi dibayar tanpa harus menderita kerugian (Manuamorn

2010). Kelemahan lain dari indeks asuransi adalah membutuhkan input teknologi

yang tinggi selama fase perkembangan, serta memerlukan adaptasi lokal.

Sebagai contoh, dalam kasus kekeringan sebagaimana tercantum dalam

polis asuransi, petani yang diasuransikan akan menerima pembayaran tepat waktu.

Kompensasi dapat digunakan untuk membiayai kembali atau melunasi pinjaman

penyemaian produksi dan lain-lain. Sebaliknya, jika tidak ada kekeringan, para

49

petani yang mengikuti asuransi akan menerima pendapatan dari penjualan

tanaman sepadan dengan biaya investasi dan tenaga kerja.

Negara-negara yang sudah mengembangkan indeks asuransi iklim/cuaca

antara lain : Malawi, India, Mongolia, Philipina, Thailand, dan Kenya. Di Malawi

digunakan parameter presipitasi untuk mengaplikasikan asuransi bagi petani

kacang. Di India dikembangkan asuransi berdasarkan indeks yang berbasis curah

hujan sejak tahun 2003 dan telah berhasil menjual polis cukup besar. Thailand

lebih memfokuskan pada risiko kekeringan terhadap tanaman jagung, sedangkan

Malawi mengaplikasikan indeks asuransi untuk risiko kekeringan pada tanaman

tembakau. Kenya menggunakan curah hujan sebagai parameter untuk menyusun

indeks asuransi untuk tanaman jagung dan gandum. Selain itu, Kenya juga telah

mengaplikasikan satelit sebagai dasar menentukan indeks vegetasi yang

digunakan untuk memantau kekeringan pada ternak, khususnya di wilayah bagian

utara.

Berbagai metode telah digunakan untuk menentukan indeks iklim.

International Research Institute for Climate and Society (IRI) telah

mengembangkan suatu model untuk asuransi indeks iklim yang disebut dengan

Weather Index Insurance Education Tool (WIIET). WIIET menggunakan konsep

indeks cuaca untuk pengembangan asuransi indeks iklim. Penggunaan indeks

cuaca ini sering digunakan untuk pertanian karena adanya korelasi yang tinggi

antara peristiwa cuaca dan kerugian tanaman. Kehilangan hasil dihitung

berdasarkan pendekatan kecukupan air (water satisfaction) (Gambar 16).

50

Diagram alir 1 WIIET-Pemodelan

Tanaman

Analisis Kecukupan

Air : perlu data curah

hujan dan

evapotranspirasi, dll.

Pembangkitan data

WSI

Konversi kehilangan.

Membutuhkan set

data WSI.

Pembangkitan data

kehilangan secara

runut waktu.

Kontrak. Perlu data

pembayaran secara

runut waktu, set

data curah hujan

dan data kehilangan

hasil.

Pembuatan Kontrak.

Membutuhkan data curah

hujan, data pembayaran. Ini

merupakan bagian utama dari

WIIET sebagai petunjuk bagi

pengguna untuk

memperkirakan parameter

dalam pengembangan kontrak.

Alat (tools) digunakan untuk membantu

membuat kontrak triggers dan untuk

memahami potensi keuntungan dari tanam pada

periode yang berbeda dari setiap musim.

Diagram alir 2 WIIET.

Desain Kontrak

Harga.

Membutuhan

data pembayaran

runut waktu.

Evaluasi Kontrak.

Membutuhkan data

pembayaran runut

waktu dan data

kehilangan hasil.

Diagram alir 1 WIIET-Pemodelan

Tanaman

Konversi kehilangan.

Membutuhkan set

data WSI.

Pembangkitan data

kehilangan secara

runut waktu.

Gambar 16. Diagram alir konsep model WIIET (Sumber : IRI 2009)

Pendekatan lain yang bisa dilakukan untuk menghitung indeks iklim

adalah dengan analisis Historical Burn (Historical Burn Analysis, HBA) yang

dikembangkan oleh IRI (IRI 2012). Pendekatan ini digunakan apabila di lokasi

penelitian hanya tersedia data curah hujan. Pada prinsipnya, analisis Historical

Burn bergantung pada data masa lalu untuk memberikan kunci apa yang

mungkin terjadi di masa depan. Dengan menggunakan pendekatan ini,

diasumsikan bahwa tahun mendatang akan terlihat seperti salah satu dari tahun

yang sudah terjadi. Oleh karena itu, data runut waktu yang panjang digunakan

untuk menentukan trigger dan exit untuk indeks musim yang akan datang.

Meskipun ini merupakan pendekatan yang sederhana, namun menjadi titik awal

dimana indeks dapat dikembangkan lebih lanjut dan disempurnakan. Total curah

hujan yang digunakan dalam penentuan indeks hujan adalah total curah hujan

yang telah disesuaikan (adjusted rainfall total).

51

Dalam menggunakan analisis Historical Burn ada beberapa batasan

yang digunakan, yaitu :

1. Index window (jendela indeks). Index window adalah periode selama musim

tanam dimana kontrak asuransi indeks diaplikasikan. Biasanya, kontrak

asuransi indeks dibuat mulai tanggal awal dan akhir dimana nilai indeks

diukur. Indeks kekeringan, hanya akan mengindikasikan pembayaran jika

curah hujan yang terukur di bawah nilai indexs trigger selama periode yang

ditentukan oleh index window. Jika curah hujan rendah di luar tanggal yang

ditentukan oleh Index Window, tidak akan ada pembayaran.

2. Menentukan Pembayaran Menggunakan Trigger dan Exit : Selama Index

window, perhitungan curah hujan oleh satelit atau alat ukur curah hujan dapat

digunakan untuk menentukan apakah harus ada pembayaran untuk asuransi

indeks kekeringan. Setiap index window memiliki apa yang disebut

trigger/pemicu, jika jumlah total curah hujan selama index window lebih

dari trigger, tidak ada pembayaran. Setiap curah hujan total di bawah trigger

akan menghasilkan pembayaran. Pembayaran akan meningkat untuk setiap

milimeter (mm) dari defisit curah hujan dibawah trigger, sampai pembayaran

maksimum tercapai. Titik pembayaran maksimum disebut indeks 'exit'.

Ringkasnya, jika curah hujan total untuk jendela indeks lebih besar dari

trigger, maka tidak ada pembayaran. Jika curah hujan antara trigger dan exits,

maka akan ada pembayaran secara parsial. Jika curah hujan di bawah exits,

maka akan dibayar penuh. Gambar di bawah ini mengilustrasikan bagaimana

pembayaran ditentukan oleh nilai trigger dan exits (Gambar 17).

3. Mengukur Curah Hujan - Menggunakan Cap: total curah hujan yang

digunakan untuk mengetahui apakah indeks harus dibayarkan adalah total

curah hujan yang disesuaikan (adjusted rainfall total). Untuk menghitung

jumlah curah hujan yang disesuaikan, masukkan jumlah curah hujan untuk

setiap periode sepuluh hari (disebut dekad) di jendela indeks. Selanjutnya jika

jumlah curah hujan untuk periode sepuluh hari kurang dari 'cap' (misalnya 25

mm), maka digunakan curah hujan total untuk periode tersebut. Namun, jika

sepuluh hari total curah hujan lebih dari cap, maka cap yang digunakan. Cap

52

merepresentasikan jumlah maksimum curah hujan yang dihitung untuk setiap

periode sepuluh hari. Setelah penyesuaian dibuat, total dari per-sepuluh-hari

curah hujan kemudian ditambahkan bersama-sama untuk menghitung total

curah hujan yang disesuaikan untuk seluruh index window.

4. Cap diterapkan agar dapat lebih merepresentasikan masa kering. Misalnya

apabila terjadi sebuah badai besar, dalam waktu yang singkat akan

mungkin dihasilkan nilai curah hujan yang melebihi indeks trigger;

sedangkan pada hari-hari yang lain mungkin masih mengalami curah hujan

yang sangat sedikit dan tanaman kering. Dalam kasus ini, tanaman tidak

akan mampu mengambil air yang banyak dari badai besar tersebut

sebelum air mengalir ke tempat lain. Ketika cap yang digunakan untuk

mengatur total curah hujan yang terukur melalui jendela indeks, maka

semua kondisi tersebut diharapkan dapat terwakili.

Gambar 17. Konsep pembayaran asuransi indeks iklim (IRI 2012)

Tahapan analisis Hitorical Burn adalah sebagai berikut :

1. Pilih tahun dan periode yang diasuransikan (indeks window) dan hitung

curah hujan dasarian pada periode tersebut.

2. Tentukan besarnya cap dan hitung curah hujan yang disesuaikan

(adjusted rainfall total). Jika jumlah curah hujan untuk periode sepuluh

hari kurang dari 'cap' , maka digunakan curah hujan total untuk periode

tersebut. Namun, jika dalam sepuluh hari total curah hujan lebih dari

cap, maka cap yang digunakan.

53

3. Hitung jumlah curah hujan dasarian yang sudah disesuaikan untuk setiap

tahunnya. Susun data curah hujan ini dari atas ke bawah mulai dari curah

hujan tertinggi hingga terendah.

4. Tentukan nilai exit atau titik terendah dimana pembayaran sepenuhnya

diberikan. Dalam indeks ini, Exit dirancang sehingga ada pembayaran

penuh untuk tahun terburuk selama periode data. Di sini, Exit akan diatur

sama dengan jumlah curah hujan pada tahun terburuk dan dibulatkan ke

bilangan bulat terdekat.

5. Tentukan trigger berdasarkan periode ulang yang dipilih. Misal untuk

kasus Cikedung periode ulang yang ditawarkan untuk asuransi adalah 4

tahun sekali. Artinya selama 42 tahun periode datanya (1966-2007) ada

sekitar 10 kali pembayaran. Tentukan sepuluh nilai terbawah dari data

yang telah diurutkan.

6. Pembayaran akan dilakukan secara penuh apabila selama periode yang

diasuransikan dipenuhi curah hujan lebih rendah dari exit. Apabila curah

hujan berada antara exit dan trigger, maka pembayaran akan dilakukan

secara parsial. Apabila curah hujan lebih besar dari trigger, maka tidak ada

pembayaran.

Berdasarkan studi di beberapa negara, indeks asuransi iklim/cuaca telah

dikembangkan pada skala komersial dimana terdapat pemeran lokal serta

penelitian dan pengembangan. Hasil penelitian Osgood di Malawi (Osgood 2007a

dan 2007b) menunjukkan bahwa penggunaan indeks iklim dalam asuransi adalah

mudah dan murah untuk diimplementasikan dan memberikan insentif yang baik.

Bank Dunia (2005) diacu dalam IFC (2009) mensarikan beberapa hal

penting terkait dengan kontrak indeks