ii kajian kepustakaan 2.1 itik cihateup (anas platyrhyncos...
TRANSCRIPT
9
II
KAJIAN KEPUSTAKAAN
2.1 Itik Cihateup (Anas platyrhyncos javanica)
2.1.1 Karakteristik Itik Cihateup
Itik Cihateup merupakan itik lokal berasal dari Desa Cihateup, Kecamatan
Rajapolah, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. Itik Cihateup sesuai
untuk dipelihara di daerah pegunungan karena memiliki daya adaptasi terhadap
lingkungan dingin yang baik dengan kemampuan hidup pada ketinggian 378 m di
atas permukaan laut (dpl) (Wulandari, 2005). Itik Cihateup merupakan komoditas
ternak unggas lokal yang sangat potensial sebagai penghasil telur. Perannya
dalam menunjang perekonomian petani cukup besar, karena produktivitasnya
sangat tinggi dengan rataan produksi telur 275 butir per ekor per tahun, tingkat
kematian dewasa sekitar 2-5% dan berdaya adaptasi dengan kondisi lingkungan
agraris cukup tinggi (Dudi, 2007).
Itik Cihateup merupakan salah satu unggas air yang mempunyai sifat
fisiologis dengan kemampuan termoregulasi yang rendah dibandingkan dengan
unggas lainnya. Menurut Saraswati (2011), klasifikasi itik Cihateup adalah
sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Aves
Ordo : Anseriformes
Famili : Anatidae
Genus : Anas
Spesies : Anas platyrhynchos javanica
10
Wulandari dkk., (2005) meneliti karakteristik itik Cihateup pada corak
bulu, warna paruh, dan shank, dijelaskan bahwa warna bulu bagian leher itik
Cihateup jantan didominasi warna penciled dan ekor warna polos, sedangkan
paruh dan shank didominasi warna hitam. Pada itik betina warna bulu bagian
leher, dada, shank dan ekor sedikit berbeda dengan jantan yakni warna laced dan
buttercup, sementara pada shank dan paruh tetap didominasi warna hitam. Warna
paruh dan shank yang hitam pada itik Cihateup mirip dengan itik lainnya yang ada
di Jawa seperti itik Tegal dan Mojosari. Itik Cihateup memiliki bentuk badan
langsing dengan lingkar dada yang lebih besar dibandingkan itik Cirebon dan itik
Mojosari. Rata-rata bobot badan itik Cihateup umur 15 minggu adalah 1,388 kg.
2.1.2 Kebutuhan Nutrisi Itik Cihateup
Nutrisi dalam pakan digunakan tubuh unggas untuk menjaga
keberlangsungan proses fisiologis yang secara umum berupa kebutuhan hidup
pokok, pertumbuhan, produksi telur dan deposit lemak (North dan Bell, 1990).
Bahan makanan untuk ransum itik tidak berbeda dengan ransum ayam
(Wahju, 1992). Ransum dasar dianggap telah memenuhi standar kebutuhan
ternak apabila cukup energi, protein, serta imbangan asam amino yang tepat
(Rasyaf, 1995).
Standar kebutuhan dan energi dapat dihitung berdasarkan pola konsumsi
ransum per hari (Wahju, 1992). Ransum merupakan gabungan dua atau lebih
bahan pakan yang disediakan untuk memenuhi kebutuhan nutrien selama 24 jam
meliputi lemak, protein, karbohidrat, vitamin dan mineral (Anggorodi, 1995).
Ransum yang diberikan dapat berupa bentuk pellet, crumble, dan mash. Ransum
yang diberikan itik adalah berbentuk mash karena ukuran paruh itik yang lebar
dan pipih. Kebutuhan nutrien dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu umur dan
11
fase, palatabilitas ransum, kesehatan ternak, jenis ternak, aktivitas ternak, energi
ransum dan tingkat produksi (Anggorodi, 1995).
Tabel 1. Kebutuhan Nutrien Itik Cihateup pada Berbagai Umur
Sumber : *) Sinurat (2000)
**) NRC (1984)
***) Chen (1996)
Tabel 2. Rata-Rata Kebutuhan Pakan Per Ekor Per Hari
Sumber : Supriadi (2011)
2.1.3 Respon Fisiologi Itik Cihateup terhadap Lingkungan
Lingkungan adalah semua keadaan, kondisi dan pengaruh-pengaruh
sekitarnya yang dapat memengaruhi pertumbuhan, perkembangan dan produksi
ternak (Ensminger dkk., 1990). Ternak memerlukan lingkungan yang nyaman
untuk mempertahankan hidup, berproduksi, dan bereproduksi secara optimal.
Nutrien Starter
(0-8 Minggu) *
Grower
(9-20 Minggu)
Layer
(>20 Minggu)*
Energi Metabolis
(Kkal/Kg) 3.100 2.800** 2.700
Protein Kasar (%) 17,00-20,00 16,00** 17,00-19,00
Calsium (%) 0,60-1,00 0,60** 2,90-3,25
Phospor (%) 0,60 0,60** 0,60
Lisin (%) 1,05 0,90** 1,05
Metionin (%) 0,37 0,56*** 0,37
Umur (Minggu) Jumlah (gram) Umur (Minggu) Jumlah (gram)
1 15,00 12 76,00
2 30,00 13 76,00
3 40,00 14 70,00
4 60,00 15 70,00
5 65,00 16 80,00
6 70,00 17 80,00
7 70,00 18 95,00
8 72,00 19 90,00
9 74,00 20 90,00
10 74,00 21 100,00
11 75,00 22 110,00
12
Itik merupakan golongan unggas air yang secara alaminya tumbuh dengan
ketersediaan kolam untuk membasahi tubuhnya sehingga suhu itik tetap seimbang
dan tidak mengganggu metabolismenya.
Setiap makhluk hidup memiliki suatu zona nyaman yang disebut
Thermoneutral Zone (TNZ) (Noor dan Seminar 2009). Itik Cihateup memiliki
TNZ relatif rendah dibandingkan ternak unggas lainnya berkisar 18,3-25,5oC.
Itik yang dipelihara dalam kondisi minim air atau air hanya diberikan untuk
kebutuhan minum saja serta suhu lingkungan yang tinggi akan menyebabkan itik
mengalami stres atau cekaman panas. Namun, sebelum itik mengalami stres
maka tubuh akan berusaha mengembalikan ke kondisi sebelum terjadi stres. Stres
merupakan respons biologis yang dapat menimbulkan ancaman dan mengganggu
homeostatis ternak (Moberg dkk., 2000). Homeostatis adalah kemampuan ternak
untuk dapat mempertahankan suhu tubuh. Organ penting sebagai pusat
pengaturan suhu tubuh adalah hipotalamus. Ketidakmampuan itik Cihateup
melakukan homeostatis dan beradaptasi dalam kondisi minim air akan membuat
itik stres.
Suhu dan kelembaban lingkungan yang tinggi dapat menyebabkan stres
terhadap ternak sehingga konsumsi pakan menurun dan metabolisme terganggu,
sehingga produktivitasnya menurun. Pembuangan panas dari dalam tubuh ternak
unggas dilakukan melalui dua cara, yaitu secara sensible heat loss dan insensible
heat loss. Pada kisaran suhu lingkungan normal maka ternak akan melepaskan
panas dengan cara sensible heat loss, yaitu hilangnya panas tubuh melalui proses
radiasi, konduksi, dan konveksi. Pada saat suhu naik melebihi TNZ maka ternak
melepas panas secara insensible heat loss, yaitu hilangnya panas tubuh melalui
proses panting (Bird dkk., 2003). Ternak yang menderita stres akan mengalami
13
panting dengan frekuensi yang berbanding lurus dengan tingkat stres. Panting
merupakan tanda klinis yang khas pada golongan unggas yang menderita heat
stress secara bersamaan akan terjadi gangguan fungsi normal tubuhnya (Moares
dkk., 2003). Suhu rektal ternakpun akan meningkat yang diikuti dengan
peningkatan kadar hormon kortikosteron (Tamzil dkk., 2013). Kadar
kortikosteron yang terus meningkat sehingga memengaruhi kerja hipotalamus
dalam merangsang untuk menurunkan konsumsi pakannya. Ternak unggas yang
stres memiliki ciri-ciri gelisah, banyak minum, dan feed intake menurun (Tamzil.,
2014).
Ketika ternak menderita stres maka sistem neurogenik langsung diaktifkan
(Virden dan Kidd, 2009) ditandai dengan peningkatan tekanan darah, otot,
sensitivitas saraf, gula darah, dan respirasi. Bila upaya ini gagal untuk mengatasi
stres, maka tubuh akan mengaktifkan Hypothalamicpituitary-Adrenal Cortical
System. Ketika sistem ini diaktifkan maka hipotalamus menghasilkan
Corticotrophin Releasing Factor (CRF) yang akan merangsang pituitari untuk
pelepasan Adrenocorticotropic Hormone (ACTH). Sekresi ACTH menyebabkan
sel-sel jaringan korteks adrenal mengeluarkan kortikosteron. Hormon ini
berfungsi untuk membantu proses glukoneogenesis (Ewing dkk., 1999).
Tingginya kadar hormon ini menyebabkan konsumsi pakan menurun dan
metabolisme tubuh menjadi terganggu karena kortikosteron merupakan hormon
anti anabolisme. Adanya kortikosteron menyebabkan terganggunya produksi
sel-sel imun dalam tubuh, yaitu jumlah neutrofil meningkat dan produksi limfosit
menurun sehingga rasio neutrofil:limfosit meningkat (Aengwanich dan Chinrasri,
2003).
14
2.2 Feed Additive
2.2.1 Definisi Feed Additive
Feed additive adalah suatu bahan atau kombinasi bahan yang ditambahkan
biasanya dalam kuantitas yang kecil ke dalam campuran pakan untuk memenuhi
kebutuhan khusus (Hartadi dkk., 1991). Murwani dkk., (2002) menyatakan
bahwa feed additive adalah bahan pakan tambahan bukan zat makanan yang
diberikan pada ternak dengan tujuan untuk meningkatkan produktivitas ternak
maupun kualitas produksi.
Berbagai macam feed additive yang bersifat non nutritive menurut
Murwani dkk., (2002) antara lain :
1. Flavoring agent, yaitu zat pemberi bau enak yang dipergunakan untuk
meningkatkan palatabilitas pakan
2. Enzim-enzim yang memperbaiki daya cerna di bawah kondisi tertentu
3. Antibiotika dipergunakan pada tingkat rendah untuk melindungi pakan
dari serangan perusakan oleh mikroorganisme dan mencegah timbulnya
keracunan yang disebabkan oleh mikroflora dalam usus
4. Antioksidan untuk mencegah kerusakan asam-asam lemak yang tidak
jenuh dan vitamin-vitamin yang larut dalam lemak karena proses
peroksidasi
5. Hormon-hormon yang digunakan untuk memperbaiki metabolisme ternak
antara lain :
a. Estrogen untuk memperbaiki pertumbuhan
b. Senyawa-senyawa thyroaktif untuk memperbaiki produksi telur,
kualitas telur, kualitas kulit telur dan mencegah degenerasi lemak pada
kondisi tertentu
15
Feed additive yang digunakan dalam percobaan ini adalah kitosan iradiasi
yang memiliki sifat-sifat feed additive seperti antioksidan dan antibiotik.
2.2.2 Kitosan Iradiasi
Kitosan iradiasi adalah produk deasetilasi dari kitin yang merupakan
biopolimer alami kedua terbanyak di alam setelah selulosa. Kitin merupakan
konstituen organik yang sangat penting pada hewan golongan orthopoda,
annelida, mollusca, coelanterata dan nematoda. Kitin biasanya berkonyugasi
dengan protein dan tidak hanya terdapat pada kulit dan kerangkanya saja, tetapi
juga terdapat pada trachea, insang, dinding usus, dan pada bagian dalam kulit
pada cumi-cumi (Sepherd dkk., 1997). Menurut Cahyaningrum (2008), kitin
berbentuk kristal berwarna putih, tidak berasa, dan tidak berbau. Kitin tidak larut
dalam air, asam anorganik encer, alkali encer dan pekat, alkohol dan pelarut
oganik lainnya yang bersifat polikationik.
Kitin merupakan polimer (1-4)-2-asetamido-2-deoksi-β-D-glukosamin
yang dapat dicerna oleh manusia. Struktur kimia dari kitin mirip dengan struktur
kimia dari selulosa. Residu monosakarida pada selulosa adalah β-D-glukosa
sedangkan pada kitin adalah N-asetil-β-D-glukosa dimana gugus hidroksil (-OH)
pada posisi C-2 digantikan oleh gugus asetamido (-NHCOCH3), dimana
monosakaridanya dihubungkan melalui ikatan β(1,4) (Kumar, 2000). Struktur
kitin dan selulosa dapat dilihat pada Ilustrasi 1 dan Ilustrasi 2.
16
Ilustrasi 1. Struktur Kitin
Ilustrasi 2. Struktur Selulosa
Proses utama dalam pembuatan kitosan iradiasi dimulai dengan
deproteinasi, yaitu menghilangkan protein pada kulit udang. Tahap ini dilakukan
dengan menambahkan NaOH pada konsentrasi rendah sehingga terbentuk Na-
proteanat yang larut dalam air. Proses selanjutnya, yaitu tahap demineralisasi
untuk memurnikan kitin dari mineral-mineral yang terkandung dalam kulit udang.
Tahap ini dilakukan dengan menambahkan HCl encer. Proses terakhir adalah
deasetilasi (penghilangan gugus asetil) kitin menjadi kitosan iradiasi yang dapat
dilakukan secara kimiawi ataupun enzimatis. Secara kimiawi, deasetilasi kitin
dilakukan dengan penambahan NaOH, sedangkan secara enzimatis digunakan
enzim kitin deasetilasi (Kim, 2011). Deasetilasi adalah proses pemutusan gugus
asetil dari glukosamin, derajat deasetilasi menunjukkan banyaknya gugus asetil
yang putus dari glukosamin dan jumlah persentase dari gugus amino pada struktur
polimer. Semakin besar derajat deasetilasi maka semakin banyak pula kitosan
17
iradiasi yang terbentuk dari kitin, sehingga lebih mudah lamrut dalam asam encer.
Deasetilasi kitin akan menghilangkan gugus asetil dan menyisakan gugus amino
yang bermuatan positif, sehingga kitosan iradiasi polikationik (Shahidi dkk.,
1999).
Kitosan iradiasi merupakan jenis polimer rantai yang tidak linier yang
mempunyai rumus umum (C6H11O4)n atau (1→4) 2-amino-2-deoxy-β-D
glucosamin, dimana strukturnya dapat dilihat pada Ilustrasi 3 sebagai berikut :
Ilustrasi 3. Struktur kitosan iradiasi
Kitosan iradiasi adalah kitosan yang diputuskan rantainya pada
1,4-β-glikosidik sehingga akan memperpendek rantai kitosan, menurunkan bobot
molekulnya, dan memperkecil efek sterik. Hal ini dikarenakan sifat kitosan yang
tidak di iradiasi seperti bobot molekul yang relatif besar dan viskositas yang tinggi
menyebabkan kendala dalam aplikasinya. Prabu (2013) menyatakan bahwa
kitosan dengan berat molekul yang berbeda memiliki efek hiperkolesterolemik
dan hipoglikemik yang berbeda sehingga dibutuhkan turunan kitosan tersebut
yang lebih mudah larut dalam air dan viskositas yang rendah.
Pemutusan rantai kitosan dapat dilakukan secara kimiawi menggunakan
asam kuat, enzimatis menggunakan enzim kitosanase, dan iradiasi. Pada
percobaan ini kitosan yang digunakan sebagai perlakuan diperoleh dari hasil
iradiasi. Proses iradiasi dilakukan dengan pemaparan sinar gamma pada bahan
18
pangan dalam jumlah dan waktu yang terkontrol untuk mencapai tujuan yang
diinginkan (Yao dkk., 2008). Kitosan ini akan mengalami depolimerisasi bila
terkena iradiasi ionisasi.
Daya tembus sinar gamma memiliki banyak aplikasi dalam kehidupan
manusia, dikarenakan sinar gamma dapat menembus beberapa bahan. Sejauh ini
ada tiga radionuklida pemancar gamma yang paling sering digunakan, yaitu
cobalt-60, cesium-137, dan technetium-99m. Salah satu radionuklida tersebut
adalah cobalt-60 yang bermanfaat untuk sterilisasi peralatan medis di rumah sakit,
pasterisasi beberapa makanan dan rempah, sebagai terapi kanker, dan mengukur
ketebalan logam dalam stell mills (Melia, 2014).
Kitosan iradiasi yang dihasilkan Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN)
menggunakan penyinaran sinar gamma cobalt-60 pada dosis 75 kGy dan laju
dosis 5 kGy/jam. Sehingga kitosan iradiasi yang dihasilkan lebih mudah larut
dalam air dan mudah terinfiltrasi ke dalam sel tubuh karena memiliki berat
molekul rendah, yaitu 7-14 kD.
2.2.3 Sifat Kitosan Iradiasi
Menurut Kumar (2000), sifat fisika dari kitosan iradiasi, yaitu :
1. Pada umumnya polisakarida alami seperti selulosa, dekstrin, pektin,
alginat, agar-agar, karagenan bersifat netral atau sedikit asam, sedangkan
kitin dan kitosan iradisi bersifat basa
2. Kitosan yang belum dilakukan iradiasi merupakan molekul polimer yang
mempunyai berat molekul tinggi.
19
Menurut Rismana (2006) kitosan iradiasi memiliki sifat kimia dan sifat
biologi, yaitu :
a. Sifat kimia kitosan iradiasi, diantaranya:
1. Merupakan polimer poliamin berbentuk linear
2. Mempunyai gugus amino dan hidroksil aktif
3. Mempunyai kemampuan mengkelat beberapa logam
b. Sifat biologi kitosan iradisi, diantaranya:
1. Bersifat biokompatibel dengan jaringan tubuh dan biodegradable dengan
cairan tubuh
2. Dapat berikatan dengan sel mamalia dan mikroba secara agresif
3. Bersifat hemostatik, fungistatik, antitumor, antikolesterol, antimikroba,
dan immunoadjuvant
4. Bersifat sebagai depresan pada sistem saraf pusat
5. Tidak bersifat toksik
6. Mempunyai daya regeneratif jaringan tubuh
7. Daya ikat sangat tinggi sehingga mampu menghambat absorpsi lemak oleh
tubuh
2.2.4 Kegunaan Kitosan Iradiasi
Potensi kitosan iradiasi dalam kehidupan sangat besar peranannya.
Peranan kitosan iradiasi non-energi bagi kehidupan melingkup berbagai sektor,
diantaranya pertanian, peternakan, kesehatan, industri, lingkungan, dan sumber
daya air.
20
Berdasarkan Badan Tenaga Nuklir Nasional (2013), kegunaan kitosan
iradiasi dalam sektor peternakan salah satunya sebagai feed additive dalam pakan
ternak yang memiliki manfaat sebagai berikut :
1. Mempercepat pertumbuhan hewan
2. Anti bakteri atau jamur
3. Melindungi hewan dari berbagai penyakit (vaksin)
4. Immunostimulatory dan hypocholesterolemic
5. Mengikat ion logam berat sehingga hewan terhindar dari adanya cemaan yang
dimakan
6. Mempunyai aktifitas imunologik seperti mengaktivasi makrofag peritoneal
7. Antioksidatif
8. Meningkatkan produksi
9. Oligokitosan mempunyai khasiat untuk memperbaiki pencernaan hewan,
mengurangi absorpsi lemak dari saluran pencernaan dengan mengikat gugus
karboksil lemak
2.3 Sistem Pencernaan Itik
Sistem pencernaan merupakan sistem yang terdiri dari saluran pencernaan
dan organ-organ pelengkap yang berperan dalam proses perombakan bahan
makanan, baik secara fisik maupun kimia menjadi zat-zat makanan yang siap
diserap oleh dinding saluran pencernaan. Pada ternak unggas empunyai saluran
pencernaan yang sederhana, karena unggas merupakan hewan monogastrik
(berlambung tunggal). Saluran pencernaan terdiri dari mulut, esophagus,
provetrikulus, ventrikulus (gizzard), usus halus (duodenum, jejenum, ileum), usus
21
buntu (caeca), usus besar (colon dan rectum), dan kloaka. Sementara pankreas,
hati (lever) dan kantong empedu (gallblader) merupakan organ pencernaan
tambahan (Abun, 2008).
Kapasitas saluran pencernaan pada itik periode awal dalam memanfaatkan
nutrisi (asam amino dan gula) (Rovira dkk., 1994). Pemberian protein atau asam
amino dalam jumlah banyak dapat meningkatkan daya serap usus atau berakibat
sebaliknya dengan pembatasan ransum. Kemampuan usus dalam memanfaatkan
nutrisi ditentukan oleh perkembangan saluran percernaan secara fisiologis yang
dilihat dari segi aktivitas enzim.
2.3.1 Usus Halus
Suprijatna dkk., (2005) menyatakan usus halus merupakan organ utama
tempat berlangsungnya pencernaan dan absorpsi produk pencernaan. Berbagai
enzim yang masuk ke dalam saluran ini berfungsi mempercepat dan
mengefisiensikan pemecahan karbohidrat, protein, dan lemak untuk
mempermudah proses absorpsi. Sebagian besar pencernaan terjadi di dalam usus
halus, disini terjadi pemecahan zat-zat pakan menjadi bentuk yang sederhana dan
hasil pemecahannya disalurkan ke dalam aliran darah melalui gerakan peristaltik
di dalam usus halus.
Usus halus dibagi menjadi 3 bagian yaitu duodenum (usus dua belas jari),
jejenum (usus kosong), dan ileum (usus penyerapan). Ileum yang merupakan
bagian usus halus yang paling tinggi melakukan penyerapan nutrisi dikarenakan
paling banyak ditemui vili dibandingkan di duodenum dan jejenum.
Morfometrik ileum adalah kajian tentang bentuk luar dan susunan ileum
yang berkaitan dengan ukuran-ukuran (Riznaya, 2015). Austic dan Nesheim
(1990) melaporkan bahwa kemampuan pencernaan dan penyerapan zat-zat
22
makanan dapat dipengaruhi oleh luas permukaan epithel usus, jumlah lipatan-
lipatannya, dan banyaknya vili serta mikrovili yang memperluas bidang
penyerapan. Selain itu, dipengaruhi juga oleh tinggi dan luas permukaan vili,
duodenum, jejunum, dan ileum (Sugito dkk., 2007).
Vili berfungsi untuk memperluas permukaan usus halus yang berpengaruh
terhadap proses penyerapan pakan. Semakin lebar vili semakin banyak zat-zat
pakan yang akan diserap pada akhirnya dapat berdampak pada pertumbuhan
organ-organ tubuh dan karkas yang meningkat. Awad dkk., (2008) melaporkan
bahwa peningkatan tinggi vili pada usus halus ayam pedaging berkaitan erat
dengan peningkatan fungsi pencernaan dan fungsi penyerapan.
Permukaan vili terdiri atas tiga sel, yaitu sel absorptif, sel paneth, dan sel
goblet. Sel absorptif atau sel toraks berfungsi untuk mengabsorpsi yang
dihasilkan pada proses pencernaan. Fungsi dari sel paneth, yaitu mengawasi
mengawasi flora yang ada di usus halus dan memliki aktivitas antimikroba. Sel
goblet berfungsi untuk melepaskan mucus untuk mengabsopsi nutrisi dan sebagai
alat pertahanan diri dari bakteri patogen. Sel goblet ini paling banyak terdapat di
ileum (Utama, 2014). Balqis dkk., (2004) menyatakan bahwa sel goblet
mensintesis dan mensekresikan mukus glikoprotein berbentuk gel untuk
melindungi sel-sel epitelium intestinal dari serangan inang, seperti bakteri non
patogen.
Stres dapat relatif cepat menyebabkan perubahan mukosa usus pada
permukaan dan isi usus. Perubahan morfologi usus seperti memendeknya vili dan
dampak lebihnya meningkatkan radikal bebas (Yason dkk., 1987). Ketika vili
usus memendek maka luas permukaan akan berkurang. Semakin banyak jumlah
ransum yang dikonsumsi maka akan semakin aktif kegiatan usus untuk mencerna
23
sehingga dapat meransang pertumbuhan organ pencernaan (Sirl dkk., 1992).
Panjang usus ternak tergantung pada jenis ransum yang dimakan dan panjang
badan.
Kitosan iradiasi merupakan polimer golongan karbohidrat yang panjang
berbentuk serat. Semakin banyak ransum yang mengandung kitosan iradiasi yang
diberikan pada ternak maka akan semakin intensif kerja saluran pencernaan
sehingga mampu memacu pertumbuhan organ pencernaan. Amrullah (2004),
menyatakan bahwa serat kasar pada unggas membantu gerak peristaltik usus dan
memacu pertumbuhan organ pencernaan. Serat ini menimbulkan perubahan
ukuran saluran pencernaan sehingga menjadi lebih berat, lebih panjang, dan lebih
tebal. Retnodiati (2001) juga menyatakan bahwa serat yang tinggi memerlukan
penyerapan secara instensif, hal ini mengakibatkan usus memperluas permukaan
dan mempertebal dinding usus atau memperpanjang usus sehingga banyak nutrisi
yang terserap.