identifikasi staphylococcusaureus penyebab mastitis … · identifikasi agen penyebab mastitis...

57
IDENTIFIKASI Staphylococcusaureus PENYEBAB MASTITIS PADA KAMBING PERANAKAN ETAWA DI KABUPATEN POLMAN SKRIPSI ICHWANI SYAM MUSTAPA O11112101 PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2017

Upload: phamnguyet

Post on 07-Mar-2019

220 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

IDENTIFIKASI Staphylococcusaureus PENYEBAB

MASTITIS PADA KAMBING PERANAKAN ETAWA

DI KABUPATEN POLMAN

SKRIPSI

ICHWANI SYAM MUSTAPA

O11112101

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2017

ii

PERNYATAAN KEASLIAN

Yang bertanda tangan dibawah ini,

Nama : Ichwani Syam Mustapa

NIM : O 111 12 101

Fakultas : Kedokteran

Program studi : Kedokteran Hewan

Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang saya susun dengan judul:

Identifikasi Staphylococcus aureus Penyebab Mastitis Pada Kambing

Peranakan Etawa

adalah benar-benar hasil karya saya dan bukan merupakan plagiat dari skripsi

orang lain. Apabila sebagian atau seluruhnya dari skripsi ini, terutama dalam bab

hasil dan pembahasan, tidak asli atau plagiasi, maka saya bersedia dibatalkan dan

dikenakan sanksi akademik yang berlaku.

Demikian pernyataan keaslian ini dibuat untuk dapat digunakan seperlunya.

Makassar, 1 Maret 2017

Pembuat Pernyataan

Ichwani Syam Mustapa

iii

ABSTRAK

ICHWANI SYAM MUSTAPA.Identifikasi Staphylococcus aureusPenyebab

Mastitis Pada Kambing Peranakan Etawa Di Kabupaten Polewali Mandar.

Dibimbing oleh Prof. Dr. Drh. Lucia Muslimin, M.Sc dan Drh. Isnaniah

Bagenda

Mastitis merupakan peradangan pada ambing yang dibedakan menjadi

mastitis subklinis tanpa ditemukan gejala klinis dan mastitis klinis yang

mempunyai gejala klinis pada ambing dan penurunan produksi dan kualitas air

susu. Staphylococcus aureus merupakan salah satu dari spesies bakteri patogen

penyebab mastitis pada Kambing Peranakan Etawa. Penelitian ini bertujuan untuk

mendeteksi Staphylococcus aureus sebagai penyebab mastitis pada Kambing

Peranakan Etawa di Kabupaten Polewali Mandar. Sampel susu diperoleh dari

pengujian mastitis dengan metode California Mastitis Test (CMT) sebanyak 10

sampel. Deteksi bakteri dilakukan dengan menggunakan metode kultur dengan

menggunakan empat media yakni Natrium Agar (NA) dan Baird Parker Agar

(BPA),Mannitol Salt Agar (MSA), dan Muller Hinton Agar (MHA) pewarnaan

gram, uji katalase, uji Mannitol Salt Agar (MSA) dan uji Novobiocin. Hasil

penelitian ini menunjukkan bahwa semua sampel susu mengandung bakteri

Staphylococcus aureus.

Kata Kunci : Staphylococcus aureus, Kambing Peranakan Etawa,

Mastitis, Polewali Mandar

iv

ABSTRACT

ICHWANI SYAM MUSTAPA. Identification of Staphylococcus aureus Mastitis

Causes At Crossbreed Etawa Goats In Polewali Mandar. Supervisedby Prof. Dr.

DVM. Lucia Muslims, M.Sc and DVM. Isnaniah Bagenda.

Mastitis is an inflammation of the udder are divided into discovered

subclinical mastitis without clinical symptoms and clinical mastitis that have

clinical symptoms of the udder and decreased milk production and

quality.Staphylococcus aureus is one of the species of pathogens causing mastitis

in goats Peranakan Etawa. This research aims to detect Staphylococcus aureus as

a cause mastitis atCrossbreed Etawa Goats in Polewali Mandar. Milk samples

obtained from mastitis testing method California Mastitis Test (CMT) as many as

10 samples. Bacterial detection is done using culture method using four media

namely Natrium Agar (NA) and Baird Parker Agar (BPA),Mannitol Salt Agar

(MSA), Muller Hinton Agar (MHA) gram stain, catalase test, test Mannitol Salt

Agar (MSA) and Novobiocin test. The results showed that all the samples of milk

containing the bacteria Staphylococcus aureus.

Key Word :Staphylococcus aureus, Crossbreed Etawa Goats, Mastitis,

Polewali Mandar.

v

IdentifikasiStaphylococcus aureus Penyebab Mastitis Pada

Kambing Etawa di Kabupaten Polewali Mandar

ICHWANI SYAM MUSTAPA

O111 12 101

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Program Studi Kedokteran Hewan

Fakultas Kedokteran

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2017

vi

vii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang

telah memberikan rahmat dan karunia-Nya serta nikmatnya yang tiada hentinya

kepada manusia. Terutama nikmat akal yang menjadikan manusia sebagai

makhluk yang paling sempurna. Dengan nikmat dan akal tersebutlah kita dituntut

untuk dapat memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya tanpa menyimpang dari

perintah-Nya.

Shalawat serta salam penulis peruntuhkan kepada junjungan kita Nabi

Muhammad SAW, yang telah membawah kita dari alam yang gelap gulita menuju

alam yang terang menderang, serta kepada keluarga dan sahabat-sahabtnya.

Alhamdulillah,penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang

berjudul “Identifikasi Staphylococcus aureusPenyebab Mastitis Pada Kambing

Peranakan Etawa Di Kabupaten Polewali Mandar”, sebagai salah satu syarat

untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan di Fakultas Kedokteran

Universitas Hasanuddin

Dalam kesempatan kali ini penulis menyampaikan rasa terimakasih atas

bantuan dan dorongan yang diberikan kepada penulis selamapenelitian dan

penyusunan skripsi kepada:

1. Prof. Dr. dr. Andi Asadul Islam, Sp. Bs selaku Dekan Fakultas

Kedokteran Universitas Hasanuddin

2. Ibu Prof. Dr. Drh. Lucia Muslimin, M.Sc selaku pembimbing I dan

selaku Pembimbing Akademik yang telahmeluangkan waktunya untuk

memberikan bimbingan, arahandan nasihat yangsangat berarti kepada

penulis selama penelitian dan penyusunan skripsi.

3. Ibu Drh.Isnaniah Bagendaselaku pembimbing II yang telah

meluangkan waktu, tenaga dan pikiran selama berada dilapangan yang

sangat berartikepada penulis selama penyusunan skripsi

4. Ucapan terima kasih sebesar besarnya juga penulis ucapkan untuk

kedua orang tua tercinta Ayahanda Drs. Mustapa Rasyid, M.Pd dan

Ibunda Syamsiar yang telah mendoakan, merawat, mendidik,

memberikan motivasi yang sangat luar biasa serta kasih sayang yang

tiada hentinya yang berlebih terhadap penulis, serta pengertian orang

tua selama penulis melakukan penelitian ini.

5. Saudara-saudara saya, Ummi Chaerini, Ichwan, dan Abul Wahab yang

telah memberikan support kepada penulis

6. Keluarga besar saya, Ibunda Sumeno, Ayahanda Syarifuddin, Ibunda

Nurliana, Ibunda Ramayani,kakanda Nia, Inna, Amma, Farli, Mita,

Mira, Putra, Ical, Kia, Sandi, serta Nenek saya Manohara yang telah

banyak membantu dan memberikan dukungan selama penelitian.

viii

7. Seluruh staff dosen dan tata usaha Program Studi Kedokteran Hewan

Universitas Hasanuddin yang telah banyak membantu kelancaran

skripsi

8. Bapak Markus yang senantiasa membimbing dan meluangkan

waktunya.

9. Kepada teman-teman seperjuangan Alfionita Arif, Risna Risyani, Andi

Ainun Karlina, dan Nur Sriani Rezki yang telah memberikan banyak

bantuan, dorongan, dan membantu dalam penyusunan skripsi

ini,semoga kita semua menjadi makhluk mulia dunia akhirat, dapat

mengamalkan ilmu yang kita dapat di jalan Allah SWT.

10. Teman-teman SMA Dewi Yanti, Nur Adha, Irmayani, Nuraini yang

selalu meberikan semangat kepada penulis

11. Kepada yang terkasih Achmad Tauhid Latief, yang telah banyak

meluangkan waktunya dan selalu hadir baik susah maupun senang,

memberikan dukungan yang luar biasa demi kelancaran penyusunan

skripsi

12. Teman seangkatan ‘Akestor Anwel 2012’ yang telah menjadi teman

seperjuangan dari awal masuk menjadi mahasiswa Kedokteran

Hewan,terima kasih penulis ucapkan atas dukungan dan bantuannya.

13. Kepada teman-teman 17 yang selalu memberikan dukungan dan

bantuannya dalam penyusunan skripsi

14. Kepada Ibu Aji, Rafa, Kak Amz, Iyang, Icha, Aba, Kak Wiwin yang

selalu memberikan semangat kepada penulis.

15. Dan penghargaan setinggi – tingginya kepada semua pihak yang tidak

dapat penulis sebutkan satu per satu. Terima kasih atas bantuan dan

dukungannya.

Semoga dengan terselesaikannya penulisan skripai ini dapat menambah

pengetahuan kita semua. Sesungguhnya kesempurnaan itu hanyalah milik Allah

dan kesalahan pasti datangnya dari penulis. Karna itu tidak menutup kemungkinan

jika dalam penulisan Skripsi ini terdapat banyak kesalahan dan kekurangan.

Untuk itu, segala kritik dan saran penulis harapkan demi kesempurnaan Skripsi ini

dan akan penulis terima dengan senang hati.Harapan penulis semoga skripsi ini

dapat memberikan wawasan ilmu yang bermanfaat bagi pihak-pihak yang

memerlukannya serta darmabakti penulis kepada almamater tercinta.

Wassalamu alaikum Warahmatullahi Wabarakatu

Makassar, 1 Maret 2017

Penulis,

ix

DAFTAR ISI

PERNYATAAN KEASLIAN .................................................................................... ii

ABSTRAK ................................................................................................................. iii

ABSTRACT ............................................................................................................... iv

JUDUL ....................................................................................................................... v

HALAMAN PENGESAHAN .................................................................................... vi

KATA PENGANTAR ............................................................................................... vii

DAFTAR ISI .............................................................................................................. ix

DAFTAR GAMBAR ................................................................................................. xi

DAFTAR TABEL ...................................................................................................... xii

BAB I.PENDAHULUAN .......................................................................................... 1

1.1. Latar Belakang ............................................................................................... 1

1.2. Rumusan Masalah .......................................................................................... 2

1.3. Tujuan Penelitian ............................................................................................ 2

1.4. Manfaat Penelitian .......................................................................................... 2

1.5. Hipotesis ......................................................................................................... 2

1.6. Keaslian Penelitian ......................................................................................... 3

BAB II.TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................ 4

2.1. Kambing Peranakan Etawa ............................................................................ 4

2.2. Mastitis ........................................................................................................... 5

2.2.1. Etiologi Mastitis ................................................................................. 5

2.2.2. Penularan dan Faktor Predisposisi ..................................................... 5

2.2.3 Patogenesa .......................................................................................... 6

2.2.4 Gejala Klinis ....................................................................................... 6

2.2.5 Pengendalian dan Pencegahan ........................................................... 7

2.3. Staphylococcus aureus .................................................................................. 7

2.3.1. Klasifikasi dan Morfologi ........................................................................... 8

2.3.2. Patogenitas ......................................................................................... 10

BAB III.METODOLOGI PENELITIAN................................................................... 12

3.1 Waktu dan Tempat ......................................................................................... 12

3.2 Jenis Penelitian ............................................................................................... 12

3.3 Materi Penelitian ............................................................................................ 12

3.3.1 Sampel dan Teknik Sampling ............................................................ 12

3.3.2 Penentuan Mastitis ............................................................................. 12

3.3.3 Bahan.................................................................................................. 13

3.3.4 Alat ..................................................................................................... 13

3.4 Metode Penelitian........................................................................................... 13

3.4.1 Uji Mastitis dengan CMT ................................................................. 13

3.4.2 Pengambilan Sampel .......................................................................... 13

3.4.3 Isolasi dan Identifikasi Bakteri .......................................................... 13

3.5 Analisis Data .................................................................................................. 14

x

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................. 15

4.1 Pemeriksaan Mastitis .................................................................................. 15

4.2 Isolasi dan Identifikasi Staphylococcus aureus................................................. 16

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................... 23

5.1 Kesimpulan ................................................................................................. 23

5.2. Saran ............................................................................................................ 23

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 24

LAMPIRAN

RIWAYAT HIDUP

xi

DAFTAR GAMBAR

1 Kambing Peranakan Etawa .................................................................................. 4

2 Gejala Klinis mastitis pada kambing PE .............................................................. 7

3 Gambaran mikroskopik Staphylococcus aureus pada pewarnaan gram, terlihat

bakteri berbentuk bulat/coccus ............................................................................. 8

4 Staphylococcus aureus pada agar Manitol ........................................................... 10

5 Hasil pengujian CMT (A) trace, B(lemah), C (sedang), dan (D) kuat ................ 12

6 Kriteria ambing pada Kambing Peranakan Etawa yang diambil susunya untuk

uji CMT ................................................................................................................ 15

7 Hasil pengujian susu dengan menggunakan CMT ............................................... 15

8 Kontrol Negative untuk media NA ....................................................................... 16

9 Hasil pengenceran 10-3 pada media NA .............................................................. 17

10 Hasil pengenceran 10-4 pada media NA .............................................................. 17

11 Koloni hasil kultur pada media BPA .................................................................... 19

12 Koloni hasil kultur pada media MSA ................................................................... 19

13 Hasil uji Katalase ................................................................................................. 20

14 Hasil Pewarnaan Gram ......................................................................................... 20

15 Hasil uji Novobicin ............................................................................................... 21

xii

DAFTAR TABEL

1. Hubungan nilai CMT dengan jumlah sel somatik ................................................ 6

2. Kondidi akibat infeksiS.aureus ............................................................................ 10

3. Hasil perhitungan TPC di media NA .................................................................... 17

4. Hasil uji Novobiocin ............................................................................................. 21

5. Gram positif Coccus katalase positif .................................................................... 22

1

1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Susu merupakan bahan makanan yang istimewa bagi manusia dengan

kelezatan dan komposisinya yang ideal karena susu mengandung semua zat yang

dibutuhkan oleh tubuh. Susu yang populer beredar di pasaran adalah susu sapi,

namun demikian susu kambing kini sudah dikenal dan diminati oleh masyarakat,

karena sebenarnya susu kambing memiliki kandungan protein lebih tinggi dari

pada susu sapi dalam kaitannya dengan kalori. Selain memiliki keunggulan dalam

kandungan proteinnya, susu kambing juga memiliki kandungan vitamin A dan

vitamin B (terutama riboflavin dan niasin) yang lebih banyak dari susu sapi

(Mateljan, 2007).

Kambing Peranakan Etawa merupakan salah satu ternak indigenous di

Indonesia yang mempunyai potensi genetik tinggi sebagai penghasil daging

maupun susu, serta mampu menghasilkan anak lebih dari satu ekor setiap

kelahiran. Salah satu penyakit yang sering dijumpai dalam budidaya kambing PE

adalah mastitis.

Beberapa kerugian akibat mastitis antara lain penurunan produksi susu

sekitar 10-25%, kematian anak karena tidak mendapatkan kolostrum, peningkatan

biaya pengobatan yang cukup mahal, meningkatnya jumlah hewan yang harus

dikeluarkan, dan susu ditolak di pasaran karena jumlah sel somatik (JSS) yang

tinggi (Leitner et al.2008).

Provinsi Sulawesi Barat memiliki populasi kambing 216.520 ekor dan

Sulawesi Selatan 539.900 ekor (Dirjenak,releas 2012). Salah satu Kabupaten

penghasil ternak kambing terbesar di Sulawesi Barat adalah Kabupaten Polewali

Mandar. Pada tahun 2015, populasi kambing pada Kabupaten Polewali Mandar

mencapai 104.622 ekor, yang terdiri dari 27.367 ekor kambing jantan dan 63.487

ekor kambing betina (Dinas Pertanian dan Peternakan Polman).

Identifikasi agen penyebab mastitis merupakan faktor utama sebagai salah

satu langkah dalam penanganan dan penentuan terapi terhadap kasus mastitis.

Dengan mengetahui agen penyebab mastitis maka penanganan mastitis akan lebih

mudah dilakukan.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka rumusan

masalah pada penelitian ini yaitu apakah terdapat Staphylococcus aureuspenyebab

dari mastitis pada kambing Peranakan Etawa di Kabupaten Polewali Mandar?

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian ini yaitu untuk mendeteksi Staphylococcus

Aureuspenyebab mastitis pada kambing Peranakan Etawah di Kabupaten

Polewali Mandar

2

1.3.2. Tujuan Khusus

Tujuan khusus penelitian ini yaitu untuk mengidentifikasi Staphylococcus

Aureus sebagai penyebab mastitis pada Kambing Peranakan Etawah di

Kabupaten Polewali Mandar

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Manfaat Pengembangan Ilmu Teori

Sebagai tambahan ilmu pengetahuan dan literatur tentang penyebab

mastitis pada Kambing Peranakan Etawa

1.4.2. Manfaat untuk aplikasi

a. Untuk Peneliti

Melatih kemampuan meneliti dan menjadi acuan bagi penelitian-

penelitian selanjutnya.

b. Untuk Masyarakat

Sebagai rujukan untuk penelitian selanjutnya tentang penyebab

mastitis pada kambing Peranakan Etawa dan membantu dalam

pemyampaian informasi kepada masyarakat, khususnya peternak

Kambing Peranakan Etawa sehingga dapat dilakukan tindakan

pencegahan maupun pengobatan yang tepat.

1.5. Hipotesis

Penyebab mastitis pada Kambing Peranakan Etawa di Kabupaten Polewali

Mandar yang teridentifikasi adalah bakteri Staphylococcus aureus.

1.6. Keaslian Penelitian

Penelitian mengenai Identifikasi Staphyloccoccus aureus Penyebab Mastitis

pada Kambing Peranakan Etawa sudah pernah dilakukan sebelumnya yakni

mengenai Staphylococcus Aureus Penyebab Mastitis Pada Kambing Peranakan

Etawa Oleh Widodo Suwito dan Indrajulianto S, namun pada daerah Istimewa

Yogyakarta bukan pada daerah Polewali Mandar.

3

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kambing Peranakan Etawa

Kambing Peranakan Etawa merupakan kambing hasil persilangan antara

kambing Kacang betina dengan kambing Etawa jantan. Menurut Devendra dan

Burn (1994), kambing Peranakan Etawa merupakan bangsa kambing yang paling

populer dan dipelihara secara luas sebagai ternak penghasil susu di India dan Asia

Tenggara. Kambing Etawa berasal dari sekitar sungai Gangga, Jumna dan

Chambal di India. Populasi kambing ini banyak terdapat di distrik Etawa,

sehingga lebih terkenal dengan kambing Etawa.

Dewasa ini telah banyak usaha peternakan kambing Peranakan Etawa yang

secara tegas memfokuskan usahanya untuk produksi susu (kambing perah).

Perkembangan usaha peternakan kambing perah di Indonesia selama 10 tahun

terakhir menunjukkan tren yang positif baik dilihat dari jumlah usaha peternakan

kambing perah yang dikelola secara komersial maupun dari populasi ternak

kambing yang dipelihara di setiap unit usaha. Peningkatan jumlah ini tidak

terlepas dari sambutan positif dari pasar terhadap susu kambing, walaupun masih

fluktuatif dari waktu ke waktu (Salasa,2010).

Susu secara umum adalah sumber gizi yang paling sempurna/lengkap.

Masyarakat Indonesia khususnya yang di pedesaan belum terbiasa minum susu

segar, bukan hanya karena tidak mampu membeli, tapi juga susu segar sulit

diperoleh. Susu kambing mempunyai beberapa kelebihan di antaranya butir-butir

lemaknya lebih kecil dari butir-butir lemak susu sapi dan oleh karena itu susu

kambing mudah dicerna. Susu kambing dengan kandungan gizi yang seimbang,

sangat baik untuk bayi dan bagi penderita sakit maag. Susu kambing dapat

membantu penyembuhan penyakit pernafasan (ashma, bronchitis, TBC). Satu atau

dua ekor kambing sudah cukup memberikan susu untuk konsumsi satu keluarga

dalam sehari, dan hal ini tidak harus tersedia referigerator untuk menyimpannya

(Indarjulianto, 2013).

Sentra terbesar kambing PeranakanEtawa adalah di Kaligesing Purworejo

Jawa Tengah. Purworejo (Jateng), Girimulyo, Kulonprogo dan Turi, Sleman

(Yogyakarta). Kambing Etawa juga telah berkembang di Jawa Barat, Jawa Timur,

Lampung, Bali dan Jawa Tengah.

Sumadi dan Prihadi (1999), menyatakan bahwa Kambing Peranakan Etawa

memiliki cirri-ciri sebagai berikut: ukuran badan besar, kepala tegak, garis profil

cembung, rahang bawah lebih panjang daripada rahang atas, tanduk mengarah ke

belakang, telinga lebar panjang dan menggantung dengan ujung telinga melipat.

Warna bulu bermacam–macam dari belang putih hitam, putih coklat, sampai

campuran antara putih, hitam, dan coklat, terdapat bulu yang lebat dan panjang di

bawah ekor. Penampilan fisik dari Kambing PeranakanEtawa dapat dilihat pada

gambar 1.

4

Gambar 1 Kambing Peranakan Etawa (Badan Litbang Pertanian,2011)

Menurut Davendra and Mcleroy (1982), sistematika Kambing Etawa adalah

sebagaiberikut:

Kingdom : Animals

Phylum : Chordata

Group : Cranita (Vertebrata)

Class : Mammalia

Order : Artiodactyla

Sub-order : Ruminantia

Famili : Bovidae

Sub Famili :Caprinae

Genus :Capra atau Hemitragus

Spesies :Capricornis sp

Rata-rata bobot lahir kambing Peranakan Etawa 2,75 kg atau 3,72 kg. Bobot

tubuh kambing Peranakan Etawajantan dewasa dapat mencapai 65-90 kg. Tinggi

gumba kambing Peranakan Etawa jantan 90-110 cm, panjang badan berkisar

antara 85-105 cm. Kambing Peranakan Etawa jantan mencapai dewasa kelamin

pada umur 6-8 bulan pada saat bobot tubuh 12,9-18,7 kg. Rata-rata bobot tubuh

kambing Peranakan Etawa pada saat lahir, disapih, dan umur 12 bulan masing-

masing 2,75; 10,50; dan 17,50 kg dengan pertambahan bobot tubuh harian

mencapai 48,30 g (Sutama dan Budiarsa, 1996).

1.2.Mastitis

Kejadian mastitis pada kambing Peranakan Etawa di Polewali Mandar sering

terjadi namun data epidemiologi belum banyak dilaporkan. Hal ini berbeda

dengan beberapa Negara yang menggunakan susu kambing sebagai bahan dasar

pembuatan keju. Berdasarkan JSS dalam susu maka kejadian mastitis subklinis

pada kambing berkisar 9-50% Sanchez et al. (2007) sedangkan mastitis klinis

sebesar 25,5% terjadi setelah melahirkan atau 40 hari pasca melahirkan

(McDougall et al. 2002).

5

Kejadian mastitis berhubungan dengan faktor risiko seperti manajemen

pemerahan yang kurang higienis, pemerahan yang tidak tuntas serta sanitasi

kandang yang kurang baik. Status kelahiran induk serta produksi susu juga dapat

berpengaruh terhadap kejadian mastitis. Penelitian yang dilakukan oleh Moroni et

al. (2005) menyebutkan bahwa faktor risiko mastitis pada kambing antara lain

produksi yang tinggi, telah melahirkan lebih dari tiga kali, pada akhir laktasi dan

jumlah anak sekelahiran atau litter size. Sedangkan Tørmod et al. (2007)

menyatakan bahwa kejadian mastitis pada domba kebanyakan terjadi pada satu

minggu sebelum dan delapan minggu setelah beranak.

2.1.1. Etiologi Mastitis

Mastitis klinis dan subklinis umumnya disebabkanoleh infeksi bakteri

Gram positif sepertiStaphylococcus sp dan Streptococcus sp. Penelitianyang

dilakukan oleh Hall dan Rycroft (2007) sebanyak40% S. aureus berhasil diisolasi

dari kasus mastitisklinis dan subklinis pada kambing di negara

Inggris.Staphylococcus aureus ada dua macam yaitu S. aureuskoagulase positif

dan negatif. Mastitis klinis dansubklinis dapat disebabkan oleh S. aureus

koagulasepositif dan negatif. Mastitis klinis dan subklinis dinegara Canada

disebabkan oleh Mannheimiahaemolytica 26%, S. aureus koagulase positif

(23%)dan S. aureus koagulase negatif (17%) (Arsenault et al.2008). Sedangkan

penelitian yang dilakukan oleh(Contreras et al. 2007) penyebab mastitis klinis

dansubklinis antara lain Staphylococcus spp. Non hemolytic38,2%, S. aureus

11,0%, E. coli 1,6% danPseudomonas spp. 1,2%.

Mastitis klinis dan subklinis juga disebabkan oleh kelompok bakteri Gram

negatif walaupun jarang terjadi. Bakteri E. coli dan S. aureus dilaporkan oleh

Bleul et al. (2006) sebagai penyebab toksik pada mastitis. Mastitis klinis dan

subklinis pada kambing yang disebabkan oleh Pseudomonas aeroginosa dila

porkan oleh Heras et al. (1999). Selain bakteri, mastitis klinis dan subklinis juga

disebabkan oleh Candida sp, Mycoplasma sp.

2.1.2. Penularan dan Faktor Predisposisi

Sori et al (2005) menyatakan bahwa saat periode kering adalah saat awal

kuman penyebab mastitis menginfeksi, karena pada saat itu terjadi hambatan aksi

fagositosis dari neutrofil pada ambing.

Disamping faktor –faktor mikroorganisme yang meliputi berbagai jenis,

jumlah dan virulensinya, faktor ternak dan lingkungannya juga menentukan

mudah tidaknya terjadi radang ambing dalam suatu peternakan. Faktor

predisposisi radang ambing dilihat dari segi ternak, meliputi: bentuk ambing,

misalnya ambing yang sangat menggantung, atau ambing dengan lubang puting

terlalu lebar (Subronto, 2003).

Faktor umur dan tingkat produksi susu kambing juga mempengaruhi

kejadian mastitis. Semakin tua umur kambing dan semakin tinggi produksi susu,

maka semakin mengendur pula spinchter putingnya. Puting dengan spincter yang

kendor memungkinkan mudah terinfekesi oleh mikroorganisme, karena fungsi

spinchter adalah menahan infeksi mikroorganisme.

Faktor lingkungan dan pengelolaan peternakan yang banyak mempengaruhi

terjadinya radang ambing meliputi: pakan, perkandangan, banyaknya sapi dalam

satu kandang, ventilasi, sanitasi kandang dan cara pemerahan susu. Pada ventilasi

6

jelek, mastitis mencapai 87,5%, ventilasi yang baik mencapai 49,39% (Sori et al.,

2005).

2.1.3. Patogenesa

Infeksi mastitis dapat terjadi melalui beberapa tahapan, yaitu pertama

melalui kontak dengan mikroorganisme kemudian selanjutnya sejumlah

mikroorganisme mengalami multiplikasi di sekitar lubang puting (sphincter),

setelah itu dilanjutkan dengan masuknya mikroorganisme ke dalam jaringan

akibat lubang puting yang terbuka ataupun karena adanya luka. Tahap selanjutnya

terjadi respon imun pada induk semang. Respon pertahanan pertama ditandai

dengan berkumpulnya lekosit-lekosit untuk mengeliminasi mikroorganisme yang

telah menempel pada sel-sel ambing. Apabila respon ini gagal, maka

mikroorganisme akan mengalami multiplikasi dan hewan dapat memperlihatkan

respon yang lain, misalnya demam. Bila hewan lemah maka akan terjadi mastitis,

bila hewan sehat maka hewan akan meningkatkan imunitas sehingga

menimbulkan kekebalan dan pada akhirnya hewan akan tetap sehat (Hurley dan

Morin, 2000).

2.1.4. Gejala Klinis

Berdasarkan gejala klinis, mastitis dikelompokkan menjadi dua yaitu

mastitis klinis dan subklinis.Mastitis klinis menampakkan gejala klinis

sepertipembengkakan pada kambing (Gambar 2),meningkatnya suhu tubuh dan

frekuensi nafas, nafsu makan turun yang disertai dengan perubahan komposisi air

susu maupun bentuk ambing. Mastitis subklinis ditandai dengan peningkatan JSS

dalam susu tanpa disertai pembengkakan ambing, dan jika diuji dengan

menggunakan California Mastitis Test (CMT) maka terjadi koagulasi (Marogna et

al. 2012).

Tabel 1 Hubungan nilai CMT dengan jumlah sel somatik (McFadden, 2011)

Nilai CMT Jumlah Sel Somatik Interpretasi

Normal

Trace

Positif 1(+)

Positif 2(++)

Positif 3 (+++)

0 - 200.000

200.000 - 400.000

400.000 - 1.200.000

1.200.000 - 5.000.000

Lebih dari 5.000.000

Sehat

Sangat ringan

Ringan

Sedang

Berat

Bedasarkan waktu kejadiannya mastitis klinis dibagi menjadi empat yaitu

hiperakut, akut, subakut dan kronis. Karakteristik dari mastitis hiperakut adalah

terjadi peradangan ambing secara mendadak yang disertai dengan reaksi sistemik

dari dalam tubuh danberlangsung sangat cepat. Mastitis gangrenosa merupakan

salah satu bentuk mastitis klinis per akut yang kebanyakan disebabkan oleh S.

aureus (Bleul etal. 2006). Selain mastitis gangrenosa juga dijumpai ada toksemia

mastitis dengan gejala depresi, nafsu makan turun, suhu tubuh meningkat, otot

lemah, pembengkakan kelenjar mamae disertai kelainan air susu yang dihasilkan.

Efek toksemia mastitis antara lain menyebabkan kematian kambing atau sapi yang

7

didahului dengan gejala dehidrasi, depresi, koma danakhirnya mati (Bleul et al.

2006).

Mastitis akut ditandai dengan peradangan ambing secara mendadak disertai

dengan gejala sistemik dan kejadiannya sedikit lebih lambat bila dibandingkan

dengan mastitis hiperakut. Mastitis subakut karakteristiknya hampir sama dengan

mastitis akutnamun kejadiannya tidak secepat mastitis akut, sedangkan pada

mastitis kronis ditandai dengan pembengkakan ambing yang terjadi dalam waktu

lama (Marogna et al. 2012).

Gambar 2Gejala klinis mastitis pada Kambing Peranakan Etawa

2.1.5. Pengendalian dan Pencegahan

Pencegahan dan pengendalian mastitis pada kambing Peranakan Etawa

memerlukan beberapa strategi dan pendekatan yang tepat. Manajemen yang baik

mungkin dapat diaplikasikan seperti penggunaan antiseptic untuk pencelupan

puting sebelum dan sesudah pemerahan, pemberian antibiotika pada saat kering

laktasi dan vaksinasi. Pemberian antibiotika pada saat masa kering sangat

diperlukan untuk mengurangi kejadian mastitis subklinis (Bergonier et al. 2003).

Penelitian yang dilakukan oleh Dogruer et al. (2010) kombinasi pemberian

antibiotika Ampicillin dan Dicloxacillin melalui intra muscular dan intra mammae

akan memberikan hasil yang optimal. Sedangkan pemberian antibiotika pada

masa kering akan memberikan perlindungan terhadap mastitis subklinis sebesar

20-60%, namun hal tersebut lebih efektif pada domba bila dibandingkan dengan

kambing (Dogruer et al. 2010).

Strategi lain yang dapat diterapkan dalam pencegahan mastitis yaitu dengan

pencelupan putting sebelum dan sesudah pemerahan. Hal ini bertujuan untuk

mengurangi atau mencegah masuknya bakteri ke dalam puting. Banyak jenis

desinfektan yang digunakan untuk pencelupan putting antara lain larutan iodium

dan klorin(Contreras et al. 2007).

2.2. Staphylococcus Aureus

Bakteri (dari kata Latin bacterium; jamak: bacteria) adalah kelompok yang

tidak memiliki membrane inti sel. Bakteri dikenal sebagai penyebab penyakit,

sedangkan lainnya bermanfaat dalam bidang pangan, pengobatan, maupun

industry (Winata Muslimin, 2013).

8

Bakteri dapat ditemukan dihampir semua tempat: di tanah, air dan udara.

Bakteri termasuk kelompok utama dalam prokariot uniseluler. Bakteri merupakan

mikroorganisme ubikoutus, yang berarti melimpah dan banyak ditemukan

dihampir semua tempat. Habitatnya sangat beragam; lingkungan perairan, tanah,

udara, permukaan daun dan bahkan dapat ditemukan didalam organism hidup

(Winata Muslimin, 2013).

Sebagai penyebab penyakit, bakteri menyebabkan penyakit mastitis pada

hewan perah baik itu sapi maupun kambing dan hewan perah lainnya. Faktor

utama penyebab radang ambing atau mastitis Staphylococcus sp dari bakteri gram

positif. Penularan bakteri ini adalah masuk melalui putting dan kemudian

berkembang biak di dalam kelenjar susu. Hal ini terjadi karena putting yang habis

di perah terbuka, kemudian kontak dengan lantai atau tangan pemerah yang

terkontaminasi bakteri (Purnomo,2006).

2.2.1. Klasifikasi dan Morfologi

Staphylococcus merupakan sel Gram-positif berbentuk bulat, biasanya

tersusun dalam bergerombol yang tidak teratur seperti anggur. Beberapa spesies

merupakan flora normal pada kulit dan selaput lendir. Genus staphylococcus

sedikitnya memiliki 30 spesies. Namun, staphylococcus merupakan agen

penyebab yang paling banyak ditemukan pada kejadian mastitis pada ternak

(Yulika,2009).

Staphylococcus aureus (S. aureus) merupakan nama spesies yang

merupakan bagian dari genus Staphylococcus. Bakteri ini pertama kali diamati

dan dibiakan oleh Pasteur dan Koch, kemudian diteliti secara lebih terinci oleh

Ogston dan Rosenbach pada era tahun 1880-an. Nama genus Staphylococcus

diberikan oleh Ogston karena bakteri ini, pada pengamatan mikroskopis berbentuk

seperti setangkai buah anggur, sedangkan nama spesies aureus diberikan oleh

Rosenbach karena pada biakan murni, koloni bakteri ini terlihat berwarna kuning-

keemasan. Rosenbach juga mengungkapkan bahwa S. aureus merupakan

penyebab infeksi pada luka dan furunkel. Sejak itu S. aureus dikenal secara luas

sebagai penyebab infeksi pada pasien pascabedah dan pneumonia terutama pada

musim dingin/hujan(Yulika,2009).

Gambar 3 Gambaran mikroskopik Staphylococcus aureus pada pewarnaan

Gram,terlihat bakteri berbentuk bulat/coccus (sumber: Yuwono, 2009)

9

Berdasarkan taksonominya, Staphylococcus aureus dapat digolongkan sebagai

berikut :

Kingdom : Bacteria

Filum : Firmicutes

Kelas : Cocci

Ordo : Bacillales

Family : Staphylococcaceae

Genus : Staphylococcus

Spesies : Staphylococcus aureus (Cappucino and Sherman, 2005).

Ciri khas infeksi yang disebabkan oleh S. aureus adalah radang

supuratif(bernanah) pada jaringan lokal dan cenderung menjadi abses. Manifestasi

klinisyang paling sering ditemukan adalah furunkel pada kulit. Infeksi superfisial

ini dapat menyebar (metastatik) ke jaringan yang lebih dalam menimbulkan

osteomielitis, artritis, endokarditis dan abses pada otak, paru-paru, ginjal serta

kelenjar mammae (Sugiri, 2010).

Staphylococcus aureus merupakan bakteri yang tahan pengeringan dan panas,

tetap hidup pada suhu 50oC selama 30 menit dan dapat hidup pada debu kering

dan makanan yang didinginkan sampai membeku. Sifat khas S. aureus yang

digunakan untuk membedakannya dengan Staphylococcus yang lain adalah

kemampuan menghasilkan enzim koagulase yaitu suatu enzim yang dapat

menggumpalkan plasma. S. aureus menghasilkan 2 (dua) macam enzim koagulase

yaitu tipe bound dan free. Bound koagulase dapat ditunjukkan dengan slide test

sedangkan free koagulase ditunjukkan dengan tube test (Abrar dkk, 2012).

Staphylococcus aureus mampu menghasilkan enzim katalase yang berperan

dalam proses pengubahan hidrogen peroksida (H2O2) menjadi hidrogen (H2) dan

oksigen (O2), karena hal tersebut Staphylococcus aureus dikatakan bersifat

katalase positif dimana hal ini dapat membedakannya dari genus Streptococcus.

Staphylococcus aureus juga menunjukkan kemampuan untuk menghasilkan enzim

koagulase yang dapat membedakannya dari Staphylococcus jenis lainnya, seperti

Staphylococcus epidermidis. Staphylococcus aureus memiliki kemampuan untuk

memfermentasikan manitol menjadi asam, hal ini dapat dibuktikan bila

Staphylococcus aureus dibiakkan dalam agar Manitol, dimana terjadi perubahan

pH dan juga perubahan warna dari merah ke kuning (Audigna,2015).

Gambar 4 Staphylococcus aureus pada agar media MSA

10

2.2.2. Patogenitas

Sebagian bakteri Stafilokokus merupakan flora normal pada kulit, saluran

pernafasan, dan saluran pencernaan makanan pada manusia. Bakteri ini juga

ditemukan di udara dan lingkungan sekitar. S. aureus yang patogen bersifat

invasif, menyebabkan hemolisis, membentuk koagulase, dan mampu meragikan

manitol (Warsa, 1994). Berikut adalah tabel yang menggambarkan tentang

katalase pos

Infeksi oleh S. aureus ditandai dengan kerusakan jaringan yang

disertaiabses bernanah. Beberapa penyakit infeksi yang disebabkan oleh S. aureus

adalah

bisul, jerawat, impetigo, dan infeksi luka. Infeksi yang lebih berat

diantaranyapneumonia, mastitis, plebitis, meningitis, infeksi saluran kemih,

osteomielitis, dan

endokarditis. S. aureus juga merupakan penyebab utama infeksi

nosokomial,keracunan makanan, dan sindroma syok toksik (Ryan, et al., 1994;

Warsa, 1994).

Kondisi klinis lain yang disebabkan oleh infeksi Staphylococcus aureus

pada beberapa hewan dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Kondisi klinis akibat infeksi Staphylococcus aureus (Quinn,et al.,2002)

Host

Kondisi Klinis

Sapi

Domba

Kambing

Babi

Kuda

Anjing, Kucing

Unggas

Mastitis, Impetigo pada ambing

Mastitis, Pyaemia, Folikulitis Jinak, Dermatitis

Mastitis, Dermatitis

Botriomikosis kelenjar mammae, Impetigo kelenjar

mammae

Schirrhous cord (botriomikosis spermatic cord),

mastitis

Kondisi supuratif seperti infeksi S. intermedius

Arthritis dan septisemia pada kalkun, Bumblefoot,

Omphalitis pada anak ayam

Staphylococcus aureus dapat menimbulkan penyakit melalui

kemampuannya tersebar luas dalam jaringan dan melalui pembentukan berbagai

zat ekstraseluler. Berbagai zat yang berperan sebagai faktor virulensi dapat berupa

protein, termasuk enzim dan toksin, contohnya:

1. Katalase

Katalase adalah enzim yang berperan pada daya tahan bakteri terhadap

proses fagositosis. Tes adanya aktivitas katalase menjadi pembeda genus

Staphylococcus dari Streptococcus.

2. Koagulase

Enzim ini dapat menggumpalkan plasma oksalat atau plasma sitrat, karena

adanya faktor koagulase reaktif dalam serum yang bereaksi dengan enzim

11

tersebut. Esterase yang dihasilkan dapat meningkatkan aktivitas penggumpalan,

sehingga terbentuk deposit fibrin pada permukaan sel bakteri yang dapat

menghambat fagositosis.

3. Hemolisin

Hemolisin merupakan toksin yang dapat membentuk suatu zona hemolisis

disekitar koloni bakteri. Hemolisin pada Staphylococcus aureus terdiri dari alfa

hemolisin, beta hemolisin, dan delta hemolisisn. Alfa hemolisin adalah toksin

yang bertanggung jawab terhadap pembentukan zona hemolisis disekitar koloni

Staphylococcus aureus pada medium agar darah. Toksin ini dapat menyebabkan

nekrosis pada kulit hewan dan manusia. Beta hemolisin adalah toksin yang

terutama dihasilkan Staphylococcus yang diisolasi dari hewan, yang menyebabkan

lisis pada sel darah merah domba dan sapi. Sedangkan delta hemolisin adalah

toksin yang dapat melisiskan sel darah merah manusia dan kelinci, tetapi efek

lisisnya kurang terhadap sel darah merah domba.

4. Leukosidin

Toksin ini dapat mematikan sel darah putih pada beberapa hewan. Tetapi

perannya dalam patogenesis pada manusia tidak jelas, karena Staphylococcus

patogen tidak dapat mematikan sel-sel darah putih manusia dan dapat

difagositosis.

5. Toksin eksfoliatif

Toksin ini mempunyai aktivitas proteolitik dan dapat melarutkan matriks

mukopolisakarida epidermis, sehingga menyebabkan pemisahan intraepitelial

pada ikatan sel di stratum granulosum. Toksin eksfoliatif merupakan penyebab

Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (SSSS), yang ditandai dengan

melepuhnya kulit.

6. Toksin Sindrom Syok Toksik (TSST)

Sebagian besar galur Staphylococcus aureus yang diisolasi dari penderita

sindrom syok toksik menghasilkan eksotoksin pirogenik. Pada manusia, toksin ini

menyebabkan demam, syok, ruam kulit, dan gangguan multisistem organ dalam

tubuh

7. Enterotoksin

Enterotoksin adalah enzim yang tahan panas dan tahan terhadap suasana

basa di dalam usus. Enzim ini merupakan penyebab utama dalam keracunan

makanan, terutama pada makanan yang mengandung karbohidrat dan protein.

12

3. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat

Penelitian ini berlangsung dari bulan September sampai Oktober 2016.

Sedangkan tempat penelitian dilakukan di Kecamatan Wonomulyo Polewali

Kabupaten Polewali Mandar untuk pengambilan sample susu Kambing Peranakan

Etawa serta Identifikasi bakteri yang akan dilakukan di Laboratorium

Mikrobiologi Program Studi Kedokteran Hewan Universitas Hasanuddin.

3.2. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yakni kegiatan untuk

mencapai kesimpulan atas hipotesis dari suatu masalah dengan melihat,

mengamati, dan mendeskripsikan objek.

3.3. Materi Penelitian

3.3.1. Sampel dan Teknik Sampling Sampel berasal dari Kambing PeranakanEtawah betina padadi Kabupaten

Polewali Mandar, yang diperoleh dari Peternak di salah satu Kecamatan di Kabupaten

Polewali Mandar. Dengan menggunakan purposive sampling dimana kambing

Peranakan Etawa yang diambil memiliki kriteria yaitu ambingnya harus bengkak dan

pasca melahirkan. Sampel yang diambil yaitu 25 sampel dan 10 sampel positif

masitits.

Mastitis ditentukan dengan melakukan pengujian CMT. Hasil positif

ditentukan berdasarkan sistem skoring pada pengujian CMT.

3.1.1. Penentuan Mastitis

Penentuan hasil positif mastitis dilakukan berdasarkan tingkat kekentalan

saat reagen CMT dengan susu. Semakin tinggi kekentalan yang terjadi semakin

tinggi tinggat positifnya. Nilai pengujian CMT terdiri dari trace, positif 1 (+),

positif 2 (++) dan positif 3 (+++).

Gambar 5 Hasil Pengujian CMT (A) trace, (B) lemah, (C) sedang,

dan (D) kuat (McFadden,2011

13

3.1.2. Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah susu kambing,reagen

CMT, larutan NaCl, alkohol 70%, alcohol 96%, aquades, spiritus, iodine, safranin,

kristal violet, minyak emersi, lugol, media MHA, media MSA, media Nutrient Agar,

media BPA, H2O2 3%, standar MacFarland, Novobiocindisc.

3.1.3. Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini berupa paddle test, test tube,

container, ice pack, cawan petri, tabung reaksi, mikroskop, objek glass, pipet ukur

2 ml, ose, Bunsen, inkubator, autoclave, label, korek api, spidol permanen, tabung

elemeyer, jangka sorong, cutton buds, homogenizer, rak tabung reaksi.

3.2.Metode Penelitian

3.4.1. Uji Mastitis dengan CMT

Sampel susu diambil dari kambing yang memiliki gejala mastitis.

Pengujian dilakukan dengan mengambil 2 ml susu yang ditempatkan di paddle

lalu direaksikan dengan reagen CMT sebanyak 2 ml.

Campuran susu dan reagen CMT tersebut digoyang-goyangkan

membentuk lingkaran horizontal selama 10-15 detik, kemudian dilakukan

pengamatan terhadap perubahan yang terjadi pada susu yang telah dicampur

dengan reagen CMT tersebut. Reaksi ini ditandai dengan ada tidaknya perubahan

pada kekentalan susu.

3.4.2 Pengambilan Sampel Sampel susu yang akan diuji di Laboratorium diambil dari susu yang telah

diuji CMT sebanyak ± 20 ml dan langsung ditampung ke dalam tabung reaksi

tertutup yang steril dan telah diberi label, kemudian disimpan dalam cool box berisi

ice pack, agar suhunya stabil pada 5-10oC untuk menghindari perkembangbiakkan

bakteri, hingga tiba di laboratorium.

3.4.3 Isolasi dan Identifikasi Bakteri

• Sampel susu yang telah diuji dengan pereaksi CMT selanjutnya

dilakukan pengenceran 10-1 sampai 10-4. Selanjutnya, susu yang

telah diencerkan ditumbuhkan pada media NA dan BPA masing

masing 1 ml dan diinkubasi selama 18-24 jam dalam suhu 37°C.

Selanjutnya, Koloni yang terbentuk setelah 24 jam diamati bentuk,

warna, ukuran dan elevasi.Koloni yang diamati dipastikan dalam

pengamatan mikroskopis dengan pewarnaan Gram dan dilanjutkan

dengan beberapa uji lainnya.

• Koloni yang tumbuh pada media NA digunakan untuk menghitung

Total Plate Count (TPC). Koloni Staphylococcus aureus pada BPA

mempunyai ciri koloni bundar, licin/halus, cembung, diameter 2 –

3 mm, warna abu – abu hingga kehitaman, sekeliling tepi koloni

bening. Koloni mempunyai konsistensi berlemak dan lengket bila

14

diambil dengan jarum dan diinokulasi. Selanjutnya, koloni dari

media BPA dikultur dengan menggunakan MSA. Koloni

Staphylococcus aureus pada MSA mempunyai ciri berwarna

kuning (BSN, 2011).

• Uji identifikasi dengan Pewarnaan Gram. Objek glass diteteskan

aquades atau NaCl 1 tetes suspensi bakteri diletakkan pada kaca

objek lalu difiksasi di atas bunsen. Preparat yang telah difiksasi

kemudian ditetesi dengan Kristal Violet lalu didiamkan selama 1 –

2 menit. Sisa zat warna dibuang, kemudian dibilas dengan air

mengalir. Seluruh preparat ditetesi dengan larutan lugol dan

biarkan selama 30 detik. Buang larutan lugol dan bilas dengan air

mengalir. Preparat dilunturkan dengan alcohol 96 % sampai semua

zat warna luntur, dan segera cuci dengan air mengalir. Teteskan

dengan zat warna Fuschin, biarkan selama 2 menit lalu bilas

dengan air mengalir kemudian dibiarkan kering, amati di bawah

mikroskop dengan pembesaran objektif 100x memakai minyak

emersi. Bakteri Gram positif memiliki ciri coccus dan bergerombol

sedangkan bakteri gram negatif memilki ciri berbetuk batang.

• Uji Katalase dilakukan dengan meneteskan larutan Hydrogen

Peroksida 3% di atas objek glass lalu dengan kawat ose ambil

beberapa koloni disentuhkan pada cairan tadi tunggu dalam

beberapa saat hingga terjadi reaksi yang ditandai dengan adanya

gelembung.

• Uji Novobiocin

Tes novobiocin dilakukan dengan terlebih dahulu mengambil

koloni dan ditanam dalam NaCl 0,9% atau aquades sampai

mencapai kekeruhan 0,5 McFarland. Suspensi yang telah

distandarkan sesuai dengan standar McFarlandselanjutnya

dilakukan swab pada media MHA menggunakan cotton buds yang

telah dicelupkan ke dalam koloni yang telah sesuai dengan standar

Setelah dilakukan swab, kemudian diletakkan disk Novobiocin ke

media MHA dan diinkubasikan pada suhu 370 C. Adanya daerah

bening disekitar disk menunjukkan hasil positifStaphylococcus

aureus dan untuk selanjutnya dilakukan pengukuran terhadapt zona

bening tersebut dengan menggunakan jangka sorong.

3.3.Analisis Data

Kejadian mastitis pada Kambing Peranakan Etawadi Kabupaten Polewali

Mandar dikonfirmasi melalui identifikasi bakteriStaphylococcus eureus pada susu

melalui pengujian laboratorium dan dianalisis secara deskriptif.

15

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Pemeriksaan Mastitis

Penelitian ini diawali dengan melakukan pemeriksaan mastitis pada

kambing Peranakan Etawa dengan kriteria seperti terjadi pembengkakan pada

ambing seperti yang terjadi pada gambar 6 dan kambing yang sedang meyususi

dan diperoleh 10 sampel susu kambing positif mastitis.

Gambar 6 Kriteria ambing pada kambing Peranakan Etawa yang diambil

susunya untuk diuji CMT

Pemeriksaan mastitis dilakukan dengan menggunakan reagen California

Matitis Test (CMT). Reagen ini mengandung arylsulfonate yang apabila bereaksi

dengan sel somatic dalam susu akan membentuk gelatin. Tingkat kekentalan

reaksi tersebut menunjukkan jumlah sel somatik dalam susu, semakin banyak sel

somatik yang ada dalam susu maka semakin cepat membentuk gelatin.

Pemeriksaan diawali dengan membersihkan ambing kambing kemudian tangan

pemerah dibersihkan dengan alcohol ataupun menggunakan handskun agar tidak

terjadi kontaminasi bakteri yang berasal dari tangan pemerah. Susu dari ambing

yang mengalami mastitis ditampung pada paddle test sebanyak 2 ml lalu

dicampurkan dengan reagen CMT dengan volume yang sama lalu dihomogenkan

dan dilakukan pengamatan dan penilaian terhadap kekentalan reaksi yang terjadi

seperti pada gambar 7.

16

Gambar 7 Hasil pengujian susu dengan menggunakan CMT yang

mengalami perubahan yaitu terjadi kekentalan

4.2 Isolasi dan Identifikasi Staphylococcus aureus

4.2.1 Isolasi Bakteri Isolasi dilakukan dengan penanaman bakteri pada media Baird Parker Agar

(BPA) dan Nutrient Agar (NA). Secara aseptis dilakukan pengenceran dimulai dari

10-1 sampai 10-4. Untuk Pengenceran 10-3dan 10-4dimasukkan dalam cawan sebanyak 1

ml lalu media Nutrient Agar (NA) dituangkan dan dihomogenkan dengan

menggoyangkan seperti angka 8. Sementara pengenceran 10-2dimasukkan dalam

cawan sebanyak 1 ml lalu media Baird Parker Agar (BPA) dituangkan dan

dihomogenkan dengan menggoyangkan seperti angka 8. Cawan diinkubasi selama 24

- 48 jam pada suhu 37oC.

Hasil penelitian terhadap 10 sampel susu yang dikultur pada dua media yakni

media NA dan media BPA, setiap media menghasilkan pertumbuhan koloni yang

berbeda. Koloni yang tumbuh pada media Nutrient Agar digunakan untuk

menghitung Total Plate Count (TPC), sedangkan koloni yang tumbuh pada media

Baird Parker Agar ditumbuhkan pada media Mannitol Salt Agar (MSA).

Gambar 8 Kontrol negative untuk media Nutrient Agar

17

Gambar 9 Hasil dari pengenceran 10-3

Gambar 10 Hasil dari pengenceran 10-4

Tabel 3 Hasil perhitungan Total Plate Count (TPC) di media NA

No. Kode Sampel Total Plate Count

(TPC)

Standar Keterangan

1 Sampel 1 1 x 106 1 x 106 >BMCM

2 Sampel 2 5,8 x 105 1 x 106

3 Sampel 3 3,2 x 105 1 x 106

4 Sampel 4 5 x 105 1 x 106

5 Sampel 5 1,08 x 106 1 x 106 >BMCM

6 Sampel 6 1,8 x 106 1 x 106 >BMCM

18

7 Sampel 7 9,2 x 105 1 x 106

8 Sampel 8 3,3 x 105 1 x 106

9 Sampel 9 2,5 x 105 1 x 106

10 Sampel 10 5,9 x 105 1 x 106

Catatan: Jumlah Total Bakteri/ Total Plate Count (TPC) terhadap ambang Batas

Maksimum Cemaran Mikroba pada susu yang telah ditetapkan oleh SNI yaitu 1 x

106 cfu/ml (BSN,2011).

Berdasarkan data pada tabel 3 yang merupakan hasil dari rata-rata

pengenceran 10-3dan 10-4, diketahui bahwa terdapat 3 dari 10 sampel susu yang

diuji TPC berada di atas ambang Batas Maksimum Cemaran Mikroba (BMCM).

Keseluruhan susu yang memiliki nilai di atas BMCM berasal dari kambing yang

positif mastitis. Susu yang memiliki rataan jumlah total tertinggi adalah 1,8 x 106

yang berasal dari sampel susu nomor 6dan yang terendah bernilai 2,5 x 105 yang

berasal dari sampel susu nomor 9. Nilai TPC pada susu tidak memiliki kaitan

dengan kejadian mastitis yang menyerang Kambing Peranakan Etawa, ini

dikarenakan tidak semua bakteri yang dideteksi pada susu dapat menyebabkan

peradangan pada jaringan internal ambing(BSN,2011).

Susu yang telah diisolasi akan dilanjutkan dengan uji identifikasi yang

meliputi pengamatan karakteristik koloni, pewarnaan Gram, uji fermentasi

mannitol pada media Mannitol Salt Agar (MSA), ujikatalase, dan uji Novobiocin.

Isolasi dilakukan pada media Baird Parker Agar (BPA) yang merupakan

media selektif untuk Staphylococcus karena adanya kandungan sodium piruvat

yang merangsang pertumbuhan Staphylococcus. Pada penelitian ini, sampel susu

yang digunakan berasal dari sampel yang telah dilakukan pengenceran

sebelumnya. Adapun pengenceran yang digunakan untuk pmedia BPA adalah

pengenceran 10-2. Koloni yang tumbuh pada media BPA memperlihatkan hasil

yang sangat beragam. Koloni Staphylococcus aureus pada BPA mempunyai ciri

koloni bundar, licin/halus, cembung, diameter 2 - 3 mm, warna abu – abu hingga

kehitaman, sekeliling tepi koloni bening. Semua koloni yang diduga koloni

Staphylococcus kemudian dipisahkan untuk selanjutnya dilakukan identifikasi

bakteri dengan beberapa pengujian(Fardiaz, 1989).

19

Gambar 11 Koloni hasil kultur pada media BPA

Pengujian identifikasi bakteri kemudian dilanjutkan dengan uji fermentasi

mannitol dengan kultur bakteri pada media Mannitol Salt Agar (MSA) yang

diambil dari koloni yang ada pada media BPA. Kandungan Natrium Chlorida

(NaCl) yang tinggi pada media MSA. Oleh karena itu, media ini menjadi media

yang selektif terhadap Staphylococcus aureus.

Gambar 12 Koloni hasil kultur dari media MSA

Bakteri Staphylococcus aureus dapat menghasilakn enzim koagulase dan

dapat memfermentasikan mannitol pada Media MSA, sehingga warna media yang

merah muda dapat berubah warna menjadi kuning keemasan karena koloni

Staphylococcus aureus berwarna keemasan (Warsa, 1994). Pada gambar 12

menunjukkan bahwa koloni dapat memfermentasikan mannitol sehingga terjadi

20

perubahan warna media. Dari 10 sampel susu, semuanya mengalami perubahan

warna, yang menandakan semuanya positif memfermentasi Manitol.

Uji identifikasi selanjutnya yaitu dengan uji katalase. Uji katalase

digunakan untuk mengetahui aktivitas katalase pada bakteri yang diuji.

Kebanyakan bakteri, khususnya bakteri genus Staphylococcus sp. memproduksi

enzim katalase yang dapat menguraikan Hidrogen Peroksida (H2O2) menjadi air

(H2O) dan oksigen (O2) sehingga jika koloni bakteri dicampurkan dengan H2O2

akan menghasilkan gelembung-gelembung gas (Warsa,1994). Pada gambar 13

menunjukkan bahwa hasil adanya aktivitas katalase. Dari semua sampel yang

telah diujikan, semuanya positif memproduksi enzim katalase.

Gambar 13 Hasil uji katalase (positif ditandai dengan adanya gelembung gas)

Tahapan selanjutnya adalah pewarnaan Gram. Pewarnaan Gram bertujuan

untuk membedakan kelompok bakteri Gram positif dan negatif, selain itu juga

untuk membedakan morfologi bakteri yang berbentuk coccus dan basil.

Gambar 14 Hasil Pewarnaan Gram

Berdasarkan gambar 14 didapatkan hasil pewarnaan gram yang

menunjukkan bakteri berwarna ungu (bakteri gram positif), berbentuk kokus dan

bergerombol seperti anggur. Hasil ini menunjukkan bahwa bakteri tersebut

merupakan morfologi bakteri genus Staphylococcus sp. Prinsip pewarnaan Gram

adalah kemampuan dinding sel terhadap zat warna dasar (Kristal violet) setelah

pencucian alkohol 96%. Bakteri Gram positif terlihat berwarna ungu karena

dinding selnya mengikat Kristal violetlebih kuat, sedangkan sel Gram negative

21

mengandung lebih banyak lipid sehingga pori-pori mudah membesar dan Kristal

violet mudah larut saat pencucian alkohol (Fardiaz, 1989).

Staphylococcus aureusmerupakan bakteri Gram positif dan berbentuk

kokkus yang menghasilkan warna ungu pada pewarnaan Gram. Warna ungu

disebabkan karena bakteri mempertahankan warna pertama, yaitu Kristal violet.

Perbedaan sifat Gram dipengaruhi oleh kandungan pada dinding sel, yaitu bakteri

Gram positif kandungan peptidoglikan lebih tebal jika dibanding dengan Gram

negatif (Bauman, 2009).

Gambar 15 Hasil Uji Novobiocin

Berdasarkan gambar 15, menunjukkan terbentuknya zona hambat

diperoleh dari dari antibiotic Novobiocin terhadap Staphylococcus aureus.

Adapun hasil dari uji Novobiocin terlihat pada tabel berikut:

Tabel 5 Hasil Uji Novobiocin

No. Sampel Diameter Zona Hambat

Novobiocin (mm)

1 Sampel 1 35 mm

2 Sampel 2 31 mm

3 Sampel 3 21 mm

4 Sampel 4 25 mm

5 Sampel 5 30 mm

6 Sampel 6 23 mm

7 Sampel 7 22 mm

8 Sampel 8 28 mm

22

9 Sampel 9 21 mm

10 Sampel 10 21 mm

Uji Novobiocin bertujuan untuk melihat sensitivitas bakteri Novobiocin

atau tingkat kerentanan suatu bakteri terhadap suatu zat mikroba seperti antibiotik.

Novobiocin juga diketahui banyak digunakan untuk perawatan, control,

pencegahan, kondisi dan gejala penyakit yang disebabkan oleh bakteri

Staphylococcus aureus(Gradwohlset al, 1980). Selain itu, staphylococcus aureus

diketahui masih sensitif terhadap Novobiocin sehingga dijadikan salah satu

pengujian untuk staphylococcus aureus.

Tabel 6 Positif Coccus Katalase Positif (Gradwohlset al 8, 1980)

No. Organisme Glukosa Sukrosa Manitol Koagulase D

Nase Novobiocin

1 Mikrococcus -/+

2 Planococcus -

3 S. aureus + + + + + S

4 S.

Epidermidis + + - - - S

5 S.

Saprophyticus + + + - - R

6 S.

Haemolyticus + + - - S

Parameter yang digunakan pada pengujian ini adalah besarnya diameter

zona hambat yang terbentuk dari pemberian Novobiocin. Zona hambat yang

terbentuk disekitar Novobiocin discs menunjukkan adanya aktivitas senyawa

antibakteriStaphylococcus aureus.Berdasarkan hasil penelitian didapatkan hasil

uji aktivitas Novobiocin terhadap Staphylococcus aureus, didapatkan diameter

zona hambat paling rendah pada sampel 9 dan 10 yaitu 21 mm dimana respon

daya hambat antibakterinya masih sensitif. Zona hambat yang paling besar yaitu

pada sampel 1 yaitu 35 mm.

Novobiocin dikatakan resisten apabila zona hambatnya < 17 dan dikatakan

sensitif apabila apabila zona hambatnya > 20. Berdasarkan hasil uji Novobiocin,

semua sampel masih sensitif terhadap Novobiocin dan dapat menjadi acuan untuk

memastikan adanya Staphylococcus aureus pada sampel susu yang telah diuji

(Gradwohlset al, 1980)

23

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

1.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian terhadap susu kambing Peranakan Etawa

yang mengalami mastitis di Kabupaten Polewali Mandar, dapat disimpulkan

bahwa 10 sampel susu Kambing Peranakan Etawa tersebut teridentifikasi

penyebabnya adalah Staphylococcus aureus.

1.2 Saran

Setelah dilakukan penelitian tentangIdentifikasi Staphylococcus aureus

penyebab mastitis pada kambing Peranakan Etawa di Kabupaten Polewali

Mandar, maka disarankan untuk:

1. Perlu dilakukan penelitian mengenai deteksi keberadaan bakteri spesies

lain sebagai penyebab mastitis pada kambing Peranakan Etawa

2. Perlu diadakan sosialisasi kepada peternak mengenai manajemen

pemeliharaan dan higienitas pemerahan dan perlakuan yang tepat pasca

partusagar kejadian mastitis karena infeksi mikroorganisme dapat

dicegah.

24

DAFTAR PUSTAKA

Abrar, M., I Wayan T.W., Bambang P.P., Mirnawati S., dan Fachriyan H.P. 2012.

Isolasi dan Karakteristik Hemaglutinin Staphylococcus sureus Penyebab

Mastitis pada Sapi Perah. Jurnal Kedokteran Hewan. ISSN : 1978 – 225

X. Vol. 6. No. 1 Maret 2012. Diakses pada 31 Maret 2015

Arsenault J, Dubreuil P, Higgins R, Belanger D. 2008. Risk factors and impact of

clinical and subclinical mastitis in commercial meat-producing sheep

flocks in Quebec, Canada. Prev Vet Med. 87:373-393.

Audigna, Sabila.2015. Staphylococcus Aureus. Universitas Diponegoro

Bauman, R. 2007. Microbiology With Diseases by Taxonomy. 2thedition. Pearson

Educating Inc. San Fransisco.

Bergonier D, Cremoux R, Rupp R, Lagriffoul R, Lagriffoul G, Berthelot X. 2003.

Mastitis of dairy small ruminants. Vet Res. 34:689-716.

Bleul U, Sacher K, Corti S, Braun U. 2006. Clinical finding in 56 cows with toxic

mastitis. Vet Record. 11:677- 680.

Cappucino, J. G. and N. Sherman. 2005. Microbiology: A Laboratory Manual. 7th

ed. Pearson Education Inc. USA. 101 - 102, 117, 164, 166, 189, 204, 409 -

416, 509 - 512.

Contreras A, Sierra D, Sanchez A, Corrales JC, Marco JC, Paape MJ, Gonzalo C.

2007. Mastitis in small ruminants. Small Rumin Res. 68:145-153.

Devendra, C. dan Burns Marca. 1994. Produksi Kambing di Daerah Tropis.

Penerbit Institut Teknologi Bandung. Bandung.

Devendra.C dan McLeory G.B. 1982. Goat and Sheepn Production in The

Tropis.

Ditjennak. (2012). Direktorat Kesehatan Hewan. Diakses pada 15 April, 2015,

dari Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan:

http://www.ditjennak.go.id/d-keswan.asp.

Dinas Pertanian dan Peternakan Daerah Kabupaten Polewali Mandar. 2014.

Laporan Pelaksanaan kegiatan Tahun 2008. Bidang Produksi Peternakan,

Polewali Mandar.

Dogruer G, Saribay MK, Ergun Y, Aslantas O, Demir C, Ates CT. Short

communication. 2010. Treatment of subclinical mastitis in Damascus

goats during Lactation. Small Rumin Res. 90:153-155.

Fardiaz, S. 1989. Mikrobiologi Pangan. Bogor : IPB.

Gradwohl, R.B.H., Sonnenwirth, A.C., and Jarett, L. 1980. Grandwhol’s clinical

laboratory methods and diagnosis. Mosby, London. 8th ed

Hall SM, Rycroft AN. 2007. Causative organisms and somatic cell counts in

subclinical intramammary infections in milking goats in the UK. Vet

Record. 160:19-22.

Heras L, Dominguez A, Lopez I, Garayzabal JF. 1999. Outbreak of acute ovine

mastitis associated with Pseudomonas aeruginosa infection. Vet Record.

145:111-112.

HURLEY, W.L. and D.E. MORIN. 2000. Mastitis Lesson A. Lactation Biology.

ANSCI 308. http://classes aces.uiuc.edu/Ansci 308/. (20-12-2002).

Indarjulianto dan Widodo Suwito. 2013. Staphylococcus aureus Penyebab

Mastitis Pada Kambing Peranakan Etawah. Fakultas Kedokteran Hewan

Universitas Gadja Mada

25

Leitner G, Silanikove N, Merin U. 2008. Estimate of milk and curd yield loss of

sheep and goats with intramammary infection and its relation to somatic

cell count. Small Rumin Res. 74:221-225.

Marogna GC Pilo, Vidili A, Tola S, Schianchi G, Leori SG. 2012. Comparison of

clinical findings, microbiological results, and farming parameters in goat

herds affected by recurrent infectious mastitis. Small Rumin Res. 102:74-

83.

Martin SW., Meek AH., Willeberg P.1987. Veterinary Epidemiology. USA:Iowa

State University Press.

Mateljan, G. 2007.Journal of The World’s Healthiest

Forwww.whfoods.com/genpage.php.

McDougall S, Pankey W, Delaney C, Barlow J, Patricia AM, Scruton D. 2002.

Prevalence and incidence of subclinical mastitis in goats and dairy ewes

in Vermont USA. Small Rumin Res. 46:115-121.

Moroni P, Pison G, Ruffo, Boetter PJ. 2005. Risk factors for intramammary

infections and relationship with somatic cell counts in Italian dairy goats.

Prev Vet Med. 69:163-173.

Purnomo A, Hartatik, Khusnan, Salasia SIO, Soegiyono. 2006. Isolasi dan

karakterisasi Staphylococcus aureus asal susu kambing Peranakan

Ettawa. Media Kedokteran Hewan 22:142-147.

Quinn, P.J., B.K. Markey., M.E. Carter., W.J. Donnely and F.C. Leonard. 2002.

Veterinary Microbiology and Microbial Disease. Blackwell Science Ltd.

UK. 63.

Salasa, mukarom.2010. Mengenal kambing. Universitas Brawijaya

Sanchez J, Montes P, Jimenez A, Andres S. 2007. Prevention of clinical mastitis

with barium selenate in dairy goats from a selenium deficient area. J Dairy

Sci. 90:2350- 2354.

Songer J.G. and W. Post K. 2005. Veterinary Microbiology Bacterial and Fungal

Agents of Animal Disease. Elsevier Saunders.

Sori H, Zerihun A, Abdicho S (2005). Dairy cattle mastitis in and around Sebeta,

Ethiopia. Int. J. Appl. Res. Vet. Med. 3:332-338.

Subronto. 2003. Ilmu Penyakit Ternak (Mamalia) I. Edisi Kedua. Gadjah Mada

University Press. Yogyakarta. 309 - 351.

Sugiri, Y.D dan Akira Anri. 2010. Prevalensi Patogen Penyebab Mastitis

Subklinis (Staphylococcus aureus dan Streptococcus agalactiae) dan

Patogen Penyebab Mastitis Subklinis Lainnya pada Peternakan Skala

Kecil dan menengah di Beberapa Sentra Peternakan Sapi Perah di Pulau

Jawa. Balai Pengujian dan Penyidikan Penyakit Hewan dan Kesmavet

(BP3HK) Cikole Lembang Bandung Barat, Jawa Barat, Indonesia

Sumadi dan S. Prihadi. 1999. Standarisasi kambing Peranakan Etawah bibit di

Daerah Istimewa Yogyakarta.Sarasehan Standarisasi Kambing PE.

Yogyakarta

Sutama, I.K., I.G.M. Budiarsana, H. Setyanto, and A. Priyanti. 1995. Productive

and reproductive performance of young Etawah-cross does. Jurnal Ilmu

Ternak dan Veteriner l (2): 81-85.

Tørmod M, Waage S, Tollersrud T, Kvitle B, Sviland S. 2007. Clinical mastitis in

ewes; bacteriology, epidemiology and clinical features. Acta Vet Scand.

49:1-8.

26

Warsa, U.C. 1994. Staphylococcus dalam Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran.

Edisi Revisi.: Penerbit Binarupa Aksara. hal.103-110. Jakarta.

Winata Muslimin,Lucia R. 2013. Mikrobiologi Lingkungan. Universitas Indonesia

Press.

Yulika, 2009. Pola Resistensi Bakteri. Fakultas kedokteran Universitas Indonesia

Yuwono. 2009. MRSA: Disertasi. FK Unpad Bandung

27

LAMPIRAN

Survey lapangan sebelum pengambilan sampel

kriteria kambing Peranakan Etawa yang akan diambil sampel

susunya

28

Pengambilan sampel susu

Pemberian antibiotik setelah pengambilan sampel

29

Pengujian sampel susu menggunakan CMT

30

PENGUJIAN LABORATORIUM

Pengemasan sampel susu yang akan dibawa ke Laboratorium

untuk diuji dengan menggunakan cool box

Pengenceran Homogenisasi aquades dan susu

menggunakan homegenizer

31

Hasil pengenceran

Pembuatan media untuk isolasi bakteri

32

Uji Katalase

Pembuatan standar McFarland

33

Swab pada media MHA

Pewarnaan gram

34

Pengukuran diameter Novobiocin

Hasil dari kultur di BPA

Penghitungan koloni pada NA

35

Hasil kultur pada media NA

Hasil kultur pada media MSA

36

37

38

Hasil Uji Novobiocin

39

40

Hasil Uji Katalase

41

42

Hasil Uji CMT

43

44

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 6 Oktober 1993 di Pare-Pare, Sulawesi Selatan

dari ayahanda Drs. Mustapa, M.Pd dan ibunda Syamsiar. Penulis merupakan anak

pertama dari 4 orang bersaudara. Penulis menyelesaikan

Sekolah Dasar di SDN 111 Pasaran dan lulus pada tahun 2006,

kemudian penulis melanjutkan pendidikan ke SMP Negeri 1

Anggeraja dan lulus pada tahun 2009. Penulis kemudian

melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 1 Anggeraja dan lulus

pada tahun 2012. Melalui jalur non subsidi (JNS),penulis

kemudian diterima di Universitas Hasanuddin sebagai

mahasiswa Program Studi Kedokteran Hewan Fakultas

Kedokteran.

Selama perkuliahan penulis aktif dalam organisasi internal kampus yaitu

Himpunan Mahasiswa Kedokteran Hewan (HIMAKAHA) FKUH selama 2

periode masa jabatan. Periode 2013-2014 sebagai anggota Divisi Dana dan Usaha

dan pada periode 2014-2015 sebagai Sekertaris Umum HIMAKAHA.