IDENTIFIKASI Staphylococcusaureus PENYEBAB
MASTITIS PADA KAMBING PERANAKAN ETAWA
DI KABUPATEN POLMAN
SKRIPSI
ICHWANI SYAM MUSTAPA
O11112101
PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
ii
PERNYATAAN KEASLIAN
Yang bertanda tangan dibawah ini,
Nama : Ichwani Syam Mustapa
NIM : O 111 12 101
Fakultas : Kedokteran
Program studi : Kedokteran Hewan
Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang saya susun dengan judul:
Identifikasi Staphylococcus aureus Penyebab Mastitis Pada Kambing
Peranakan Etawa
adalah benar-benar hasil karya saya dan bukan merupakan plagiat dari skripsi
orang lain. Apabila sebagian atau seluruhnya dari skripsi ini, terutama dalam bab
hasil dan pembahasan, tidak asli atau plagiasi, maka saya bersedia dibatalkan dan
dikenakan sanksi akademik yang berlaku.
Demikian pernyataan keaslian ini dibuat untuk dapat digunakan seperlunya.
Makassar, 1 Maret 2017
Pembuat Pernyataan
Ichwani Syam Mustapa
iii
ABSTRAK
ICHWANI SYAM MUSTAPA.Identifikasi Staphylococcus aureusPenyebab
Mastitis Pada Kambing Peranakan Etawa Di Kabupaten Polewali Mandar.
Dibimbing oleh Prof. Dr. Drh. Lucia Muslimin, M.Sc dan Drh. Isnaniah
Bagenda
Mastitis merupakan peradangan pada ambing yang dibedakan menjadi
mastitis subklinis tanpa ditemukan gejala klinis dan mastitis klinis yang
mempunyai gejala klinis pada ambing dan penurunan produksi dan kualitas air
susu. Staphylococcus aureus merupakan salah satu dari spesies bakteri patogen
penyebab mastitis pada Kambing Peranakan Etawa. Penelitian ini bertujuan untuk
mendeteksi Staphylococcus aureus sebagai penyebab mastitis pada Kambing
Peranakan Etawa di Kabupaten Polewali Mandar. Sampel susu diperoleh dari
pengujian mastitis dengan metode California Mastitis Test (CMT) sebanyak 10
sampel. Deteksi bakteri dilakukan dengan menggunakan metode kultur dengan
menggunakan empat media yakni Natrium Agar (NA) dan Baird Parker Agar
(BPA),Mannitol Salt Agar (MSA), dan Muller Hinton Agar (MHA) pewarnaan
gram, uji katalase, uji Mannitol Salt Agar (MSA) dan uji Novobiocin. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa semua sampel susu mengandung bakteri
Staphylococcus aureus.
Kata Kunci : Staphylococcus aureus, Kambing Peranakan Etawa,
Mastitis, Polewali Mandar
iv
ABSTRACT
ICHWANI SYAM MUSTAPA. Identification of Staphylococcus aureus Mastitis
Causes At Crossbreed Etawa Goats In Polewali Mandar. Supervisedby Prof. Dr.
DVM. Lucia Muslims, M.Sc and DVM. Isnaniah Bagenda.
Mastitis is an inflammation of the udder are divided into discovered
subclinical mastitis without clinical symptoms and clinical mastitis that have
clinical symptoms of the udder and decreased milk production and
quality.Staphylococcus aureus is one of the species of pathogens causing mastitis
in goats Peranakan Etawa. This research aims to detect Staphylococcus aureus as
a cause mastitis atCrossbreed Etawa Goats in Polewali Mandar. Milk samples
obtained from mastitis testing method California Mastitis Test (CMT) as many as
10 samples. Bacterial detection is done using culture method using four media
namely Natrium Agar (NA) and Baird Parker Agar (BPA),Mannitol Salt Agar
(MSA), Muller Hinton Agar (MHA) gram stain, catalase test, test Mannitol Salt
Agar (MSA) and Novobiocin test. The results showed that all the samples of milk
containing the bacteria Staphylococcus aureus.
Key Word :Staphylococcus aureus, Crossbreed Etawa Goats, Mastitis,
Polewali Mandar.
v
IdentifikasiStaphylococcus aureus Penyebab Mastitis Pada
Kambing Etawa di Kabupaten Polewali Mandar
ICHWANI SYAM MUSTAPA
O111 12 101
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada
Program Studi Kedokteran Hewan
Fakultas Kedokteran
PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
vii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang
telah memberikan rahmat dan karunia-Nya serta nikmatnya yang tiada hentinya
kepada manusia. Terutama nikmat akal yang menjadikan manusia sebagai
makhluk yang paling sempurna. Dengan nikmat dan akal tersebutlah kita dituntut
untuk dapat memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya tanpa menyimpang dari
perintah-Nya.
Shalawat serta salam penulis peruntuhkan kepada junjungan kita Nabi
Muhammad SAW, yang telah membawah kita dari alam yang gelap gulita menuju
alam yang terang menderang, serta kepada keluarga dan sahabat-sahabtnya.
Alhamdulillah,penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang
berjudul “Identifikasi Staphylococcus aureusPenyebab Mastitis Pada Kambing
Peranakan Etawa Di Kabupaten Polewali Mandar”, sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan di Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin
Dalam kesempatan kali ini penulis menyampaikan rasa terimakasih atas
bantuan dan dorongan yang diberikan kepada penulis selamapenelitian dan
penyusunan skripsi kepada:
1. Prof. Dr. dr. Andi Asadul Islam, Sp. Bs selaku Dekan Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanuddin
2. Ibu Prof. Dr. Drh. Lucia Muslimin, M.Sc selaku pembimbing I dan
selaku Pembimbing Akademik yang telahmeluangkan waktunya untuk
memberikan bimbingan, arahandan nasihat yangsangat berarti kepada
penulis selama penelitian dan penyusunan skripsi.
3. Ibu Drh.Isnaniah Bagendaselaku pembimbing II yang telah
meluangkan waktu, tenaga dan pikiran selama berada dilapangan yang
sangat berartikepada penulis selama penyusunan skripsi
4. Ucapan terima kasih sebesar besarnya juga penulis ucapkan untuk
kedua orang tua tercinta Ayahanda Drs. Mustapa Rasyid, M.Pd dan
Ibunda Syamsiar yang telah mendoakan, merawat, mendidik,
memberikan motivasi yang sangat luar biasa serta kasih sayang yang
tiada hentinya yang berlebih terhadap penulis, serta pengertian orang
tua selama penulis melakukan penelitian ini.
5. Saudara-saudara saya, Ummi Chaerini, Ichwan, dan Abul Wahab yang
telah memberikan support kepada penulis
6. Keluarga besar saya, Ibunda Sumeno, Ayahanda Syarifuddin, Ibunda
Nurliana, Ibunda Ramayani,kakanda Nia, Inna, Amma, Farli, Mita,
Mira, Putra, Ical, Kia, Sandi, serta Nenek saya Manohara yang telah
banyak membantu dan memberikan dukungan selama penelitian.
viii
7. Seluruh staff dosen dan tata usaha Program Studi Kedokteran Hewan
Universitas Hasanuddin yang telah banyak membantu kelancaran
skripsi
8. Bapak Markus yang senantiasa membimbing dan meluangkan
waktunya.
9. Kepada teman-teman seperjuangan Alfionita Arif, Risna Risyani, Andi
Ainun Karlina, dan Nur Sriani Rezki yang telah memberikan banyak
bantuan, dorongan, dan membantu dalam penyusunan skripsi
ini,semoga kita semua menjadi makhluk mulia dunia akhirat, dapat
mengamalkan ilmu yang kita dapat di jalan Allah SWT.
10. Teman-teman SMA Dewi Yanti, Nur Adha, Irmayani, Nuraini yang
selalu meberikan semangat kepada penulis
11. Kepada yang terkasih Achmad Tauhid Latief, yang telah banyak
meluangkan waktunya dan selalu hadir baik susah maupun senang,
memberikan dukungan yang luar biasa demi kelancaran penyusunan
skripsi
12. Teman seangkatan ‘Akestor Anwel 2012’ yang telah menjadi teman
seperjuangan dari awal masuk menjadi mahasiswa Kedokteran
Hewan,terima kasih penulis ucapkan atas dukungan dan bantuannya.
13. Kepada teman-teman 17 yang selalu memberikan dukungan dan
bantuannya dalam penyusunan skripsi
14. Kepada Ibu Aji, Rafa, Kak Amz, Iyang, Icha, Aba, Kak Wiwin yang
selalu memberikan semangat kepada penulis.
15. Dan penghargaan setinggi – tingginya kepada semua pihak yang tidak
dapat penulis sebutkan satu per satu. Terima kasih atas bantuan dan
dukungannya.
Semoga dengan terselesaikannya penulisan skripai ini dapat menambah
pengetahuan kita semua. Sesungguhnya kesempurnaan itu hanyalah milik Allah
dan kesalahan pasti datangnya dari penulis. Karna itu tidak menutup kemungkinan
jika dalam penulisan Skripsi ini terdapat banyak kesalahan dan kekurangan.
Untuk itu, segala kritik dan saran penulis harapkan demi kesempurnaan Skripsi ini
dan akan penulis terima dengan senang hati.Harapan penulis semoga skripsi ini
dapat memberikan wawasan ilmu yang bermanfaat bagi pihak-pihak yang
memerlukannya serta darmabakti penulis kepada almamater tercinta.
Wassalamu alaikum Warahmatullahi Wabarakatu
Makassar, 1 Maret 2017
Penulis,
ix
DAFTAR ISI
PERNYATAAN KEASLIAN .................................................................................... ii
ABSTRAK ................................................................................................................. iii
ABSTRACT ............................................................................................................... iv
JUDUL ....................................................................................................................... v
HALAMAN PENGESAHAN .................................................................................... vi
KATA PENGANTAR ............................................................................................... vii
DAFTAR ISI .............................................................................................................. ix
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................. xi
DAFTAR TABEL ...................................................................................................... xii
BAB I.PENDAHULUAN .......................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ............................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah .......................................................................................... 2
1.3. Tujuan Penelitian ............................................................................................ 2
1.4. Manfaat Penelitian .......................................................................................... 2
1.5. Hipotesis ......................................................................................................... 2
1.6. Keaslian Penelitian ......................................................................................... 3
BAB II.TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................ 4
2.1. Kambing Peranakan Etawa ............................................................................ 4
2.2. Mastitis ........................................................................................................... 5
2.2.1. Etiologi Mastitis ................................................................................. 5
2.2.2. Penularan dan Faktor Predisposisi ..................................................... 5
2.2.3 Patogenesa .......................................................................................... 6
2.2.4 Gejala Klinis ....................................................................................... 6
2.2.5 Pengendalian dan Pencegahan ........................................................... 7
2.3. Staphylococcus aureus .................................................................................. 7
2.3.1. Klasifikasi dan Morfologi ........................................................................... 8
2.3.2. Patogenitas ......................................................................................... 10
BAB III.METODOLOGI PENELITIAN................................................................... 12
3.1 Waktu dan Tempat ......................................................................................... 12
3.2 Jenis Penelitian ............................................................................................... 12
3.3 Materi Penelitian ............................................................................................ 12
3.3.1 Sampel dan Teknik Sampling ............................................................ 12
3.3.2 Penentuan Mastitis ............................................................................. 12
3.3.3 Bahan.................................................................................................. 13
3.3.4 Alat ..................................................................................................... 13
3.4 Metode Penelitian........................................................................................... 13
3.4.1 Uji Mastitis dengan CMT ................................................................. 13
3.4.2 Pengambilan Sampel .......................................................................... 13
3.4.3 Isolasi dan Identifikasi Bakteri .......................................................... 13
3.5 Analisis Data .................................................................................................. 14
x
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................. 15
4.1 Pemeriksaan Mastitis .................................................................................. 15
4.2 Isolasi dan Identifikasi Staphylococcus aureus................................................. 16
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................... 23
5.1 Kesimpulan ................................................................................................. 23
5.2. Saran ............................................................................................................ 23
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 24
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
xi
DAFTAR GAMBAR
1 Kambing Peranakan Etawa .................................................................................. 4
2 Gejala Klinis mastitis pada kambing PE .............................................................. 7
3 Gambaran mikroskopik Staphylococcus aureus pada pewarnaan gram, terlihat
bakteri berbentuk bulat/coccus ............................................................................. 8
4 Staphylococcus aureus pada agar Manitol ........................................................... 10
5 Hasil pengujian CMT (A) trace, B(lemah), C (sedang), dan (D) kuat ................ 12
6 Kriteria ambing pada Kambing Peranakan Etawa yang diambil susunya untuk
uji CMT ................................................................................................................ 15
7 Hasil pengujian susu dengan menggunakan CMT ............................................... 15
8 Kontrol Negative untuk media NA ....................................................................... 16
9 Hasil pengenceran 10-3 pada media NA .............................................................. 17
10 Hasil pengenceran 10-4 pada media NA .............................................................. 17
11 Koloni hasil kultur pada media BPA .................................................................... 19
12 Koloni hasil kultur pada media MSA ................................................................... 19
13 Hasil uji Katalase ................................................................................................. 20
14 Hasil Pewarnaan Gram ......................................................................................... 20
15 Hasil uji Novobicin ............................................................................................... 21
xii
DAFTAR TABEL
1. Hubungan nilai CMT dengan jumlah sel somatik ................................................ 6
2. Kondidi akibat infeksiS.aureus ............................................................................ 10
3. Hasil perhitungan TPC di media NA .................................................................... 17
4. Hasil uji Novobiocin ............................................................................................. 21
5. Gram positif Coccus katalase positif .................................................................... 22
1
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Susu merupakan bahan makanan yang istimewa bagi manusia dengan
kelezatan dan komposisinya yang ideal karena susu mengandung semua zat yang
dibutuhkan oleh tubuh. Susu yang populer beredar di pasaran adalah susu sapi,
namun demikian susu kambing kini sudah dikenal dan diminati oleh masyarakat,
karena sebenarnya susu kambing memiliki kandungan protein lebih tinggi dari
pada susu sapi dalam kaitannya dengan kalori. Selain memiliki keunggulan dalam
kandungan proteinnya, susu kambing juga memiliki kandungan vitamin A dan
vitamin B (terutama riboflavin dan niasin) yang lebih banyak dari susu sapi
(Mateljan, 2007).
Kambing Peranakan Etawa merupakan salah satu ternak indigenous di
Indonesia yang mempunyai potensi genetik tinggi sebagai penghasil daging
maupun susu, serta mampu menghasilkan anak lebih dari satu ekor setiap
kelahiran. Salah satu penyakit yang sering dijumpai dalam budidaya kambing PE
adalah mastitis.
Beberapa kerugian akibat mastitis antara lain penurunan produksi susu
sekitar 10-25%, kematian anak karena tidak mendapatkan kolostrum, peningkatan
biaya pengobatan yang cukup mahal, meningkatnya jumlah hewan yang harus
dikeluarkan, dan susu ditolak di pasaran karena jumlah sel somatik (JSS) yang
tinggi (Leitner et al.2008).
Provinsi Sulawesi Barat memiliki populasi kambing 216.520 ekor dan
Sulawesi Selatan 539.900 ekor (Dirjenak,releas 2012). Salah satu Kabupaten
penghasil ternak kambing terbesar di Sulawesi Barat adalah Kabupaten Polewali
Mandar. Pada tahun 2015, populasi kambing pada Kabupaten Polewali Mandar
mencapai 104.622 ekor, yang terdiri dari 27.367 ekor kambing jantan dan 63.487
ekor kambing betina (Dinas Pertanian dan Peternakan Polman).
Identifikasi agen penyebab mastitis merupakan faktor utama sebagai salah
satu langkah dalam penanganan dan penentuan terapi terhadap kasus mastitis.
Dengan mengetahui agen penyebab mastitis maka penanganan mastitis akan lebih
mudah dilakukan.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka rumusan
masalah pada penelitian ini yaitu apakah terdapat Staphylococcus aureuspenyebab
dari mastitis pada kambing Peranakan Etawa di Kabupaten Polewali Mandar?
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini yaitu untuk mendeteksi Staphylococcus
Aureuspenyebab mastitis pada kambing Peranakan Etawah di Kabupaten
Polewali Mandar
2
1.3.2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus penelitian ini yaitu untuk mengidentifikasi Staphylococcus
Aureus sebagai penyebab mastitis pada Kambing Peranakan Etawah di
Kabupaten Polewali Mandar
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Manfaat Pengembangan Ilmu Teori
Sebagai tambahan ilmu pengetahuan dan literatur tentang penyebab
mastitis pada Kambing Peranakan Etawa
1.4.2. Manfaat untuk aplikasi
a. Untuk Peneliti
Melatih kemampuan meneliti dan menjadi acuan bagi penelitian-
penelitian selanjutnya.
b. Untuk Masyarakat
Sebagai rujukan untuk penelitian selanjutnya tentang penyebab
mastitis pada kambing Peranakan Etawa dan membantu dalam
pemyampaian informasi kepada masyarakat, khususnya peternak
Kambing Peranakan Etawa sehingga dapat dilakukan tindakan
pencegahan maupun pengobatan yang tepat.
1.5. Hipotesis
Penyebab mastitis pada Kambing Peranakan Etawa di Kabupaten Polewali
Mandar yang teridentifikasi adalah bakteri Staphylococcus aureus.
1.6. Keaslian Penelitian
Penelitian mengenai Identifikasi Staphyloccoccus aureus Penyebab Mastitis
pada Kambing Peranakan Etawa sudah pernah dilakukan sebelumnya yakni
mengenai Staphylococcus Aureus Penyebab Mastitis Pada Kambing Peranakan
Etawa Oleh Widodo Suwito dan Indrajulianto S, namun pada daerah Istimewa
Yogyakarta bukan pada daerah Polewali Mandar.
3
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kambing Peranakan Etawa
Kambing Peranakan Etawa merupakan kambing hasil persilangan antara
kambing Kacang betina dengan kambing Etawa jantan. Menurut Devendra dan
Burn (1994), kambing Peranakan Etawa merupakan bangsa kambing yang paling
populer dan dipelihara secara luas sebagai ternak penghasil susu di India dan Asia
Tenggara. Kambing Etawa berasal dari sekitar sungai Gangga, Jumna dan
Chambal di India. Populasi kambing ini banyak terdapat di distrik Etawa,
sehingga lebih terkenal dengan kambing Etawa.
Dewasa ini telah banyak usaha peternakan kambing Peranakan Etawa yang
secara tegas memfokuskan usahanya untuk produksi susu (kambing perah).
Perkembangan usaha peternakan kambing perah di Indonesia selama 10 tahun
terakhir menunjukkan tren yang positif baik dilihat dari jumlah usaha peternakan
kambing perah yang dikelola secara komersial maupun dari populasi ternak
kambing yang dipelihara di setiap unit usaha. Peningkatan jumlah ini tidak
terlepas dari sambutan positif dari pasar terhadap susu kambing, walaupun masih
fluktuatif dari waktu ke waktu (Salasa,2010).
Susu secara umum adalah sumber gizi yang paling sempurna/lengkap.
Masyarakat Indonesia khususnya yang di pedesaan belum terbiasa minum susu
segar, bukan hanya karena tidak mampu membeli, tapi juga susu segar sulit
diperoleh. Susu kambing mempunyai beberapa kelebihan di antaranya butir-butir
lemaknya lebih kecil dari butir-butir lemak susu sapi dan oleh karena itu susu
kambing mudah dicerna. Susu kambing dengan kandungan gizi yang seimbang,
sangat baik untuk bayi dan bagi penderita sakit maag. Susu kambing dapat
membantu penyembuhan penyakit pernafasan (ashma, bronchitis, TBC). Satu atau
dua ekor kambing sudah cukup memberikan susu untuk konsumsi satu keluarga
dalam sehari, dan hal ini tidak harus tersedia referigerator untuk menyimpannya
(Indarjulianto, 2013).
Sentra terbesar kambing PeranakanEtawa adalah di Kaligesing Purworejo
Jawa Tengah. Purworejo (Jateng), Girimulyo, Kulonprogo dan Turi, Sleman
(Yogyakarta). Kambing Etawa juga telah berkembang di Jawa Barat, Jawa Timur,
Lampung, Bali dan Jawa Tengah.
Sumadi dan Prihadi (1999), menyatakan bahwa Kambing Peranakan Etawa
memiliki cirri-ciri sebagai berikut: ukuran badan besar, kepala tegak, garis profil
cembung, rahang bawah lebih panjang daripada rahang atas, tanduk mengarah ke
belakang, telinga lebar panjang dan menggantung dengan ujung telinga melipat.
Warna bulu bermacam–macam dari belang putih hitam, putih coklat, sampai
campuran antara putih, hitam, dan coklat, terdapat bulu yang lebat dan panjang di
bawah ekor. Penampilan fisik dari Kambing PeranakanEtawa dapat dilihat pada
gambar 1.
4
Gambar 1 Kambing Peranakan Etawa (Badan Litbang Pertanian,2011)
Menurut Davendra and Mcleroy (1982), sistematika Kambing Etawa adalah
sebagaiberikut:
Kingdom : Animals
Phylum : Chordata
Group : Cranita (Vertebrata)
Class : Mammalia
Order : Artiodactyla
Sub-order : Ruminantia
Famili : Bovidae
Sub Famili :Caprinae
Genus :Capra atau Hemitragus
Spesies :Capricornis sp
Rata-rata bobot lahir kambing Peranakan Etawa 2,75 kg atau 3,72 kg. Bobot
tubuh kambing Peranakan Etawajantan dewasa dapat mencapai 65-90 kg. Tinggi
gumba kambing Peranakan Etawa jantan 90-110 cm, panjang badan berkisar
antara 85-105 cm. Kambing Peranakan Etawa jantan mencapai dewasa kelamin
pada umur 6-8 bulan pada saat bobot tubuh 12,9-18,7 kg. Rata-rata bobot tubuh
kambing Peranakan Etawa pada saat lahir, disapih, dan umur 12 bulan masing-
masing 2,75; 10,50; dan 17,50 kg dengan pertambahan bobot tubuh harian
mencapai 48,30 g (Sutama dan Budiarsa, 1996).
1.2.Mastitis
Kejadian mastitis pada kambing Peranakan Etawa di Polewali Mandar sering
terjadi namun data epidemiologi belum banyak dilaporkan. Hal ini berbeda
dengan beberapa Negara yang menggunakan susu kambing sebagai bahan dasar
pembuatan keju. Berdasarkan JSS dalam susu maka kejadian mastitis subklinis
pada kambing berkisar 9-50% Sanchez et al. (2007) sedangkan mastitis klinis
sebesar 25,5% terjadi setelah melahirkan atau 40 hari pasca melahirkan
(McDougall et al. 2002).
5
Kejadian mastitis berhubungan dengan faktor risiko seperti manajemen
pemerahan yang kurang higienis, pemerahan yang tidak tuntas serta sanitasi
kandang yang kurang baik. Status kelahiran induk serta produksi susu juga dapat
berpengaruh terhadap kejadian mastitis. Penelitian yang dilakukan oleh Moroni et
al. (2005) menyebutkan bahwa faktor risiko mastitis pada kambing antara lain
produksi yang tinggi, telah melahirkan lebih dari tiga kali, pada akhir laktasi dan
jumlah anak sekelahiran atau litter size. Sedangkan Tørmod et al. (2007)
menyatakan bahwa kejadian mastitis pada domba kebanyakan terjadi pada satu
minggu sebelum dan delapan minggu setelah beranak.
2.1.1. Etiologi Mastitis
Mastitis klinis dan subklinis umumnya disebabkanoleh infeksi bakteri
Gram positif sepertiStaphylococcus sp dan Streptococcus sp. Penelitianyang
dilakukan oleh Hall dan Rycroft (2007) sebanyak40% S. aureus berhasil diisolasi
dari kasus mastitisklinis dan subklinis pada kambing di negara
Inggris.Staphylococcus aureus ada dua macam yaitu S. aureuskoagulase positif
dan negatif. Mastitis klinis dansubklinis dapat disebabkan oleh S. aureus
koagulasepositif dan negatif. Mastitis klinis dan subklinis dinegara Canada
disebabkan oleh Mannheimiahaemolytica 26%, S. aureus koagulase positif
(23%)dan S. aureus koagulase negatif (17%) (Arsenault et al.2008). Sedangkan
penelitian yang dilakukan oleh(Contreras et al. 2007) penyebab mastitis klinis
dansubklinis antara lain Staphylococcus spp. Non hemolytic38,2%, S. aureus
11,0%, E. coli 1,6% danPseudomonas spp. 1,2%.
Mastitis klinis dan subklinis juga disebabkan oleh kelompok bakteri Gram
negatif walaupun jarang terjadi. Bakteri E. coli dan S. aureus dilaporkan oleh
Bleul et al. (2006) sebagai penyebab toksik pada mastitis. Mastitis klinis dan
subklinis pada kambing yang disebabkan oleh Pseudomonas aeroginosa dila
porkan oleh Heras et al. (1999). Selain bakteri, mastitis klinis dan subklinis juga
disebabkan oleh Candida sp, Mycoplasma sp.
2.1.2. Penularan dan Faktor Predisposisi
Sori et al (2005) menyatakan bahwa saat periode kering adalah saat awal
kuman penyebab mastitis menginfeksi, karena pada saat itu terjadi hambatan aksi
fagositosis dari neutrofil pada ambing.
Disamping faktor –faktor mikroorganisme yang meliputi berbagai jenis,
jumlah dan virulensinya, faktor ternak dan lingkungannya juga menentukan
mudah tidaknya terjadi radang ambing dalam suatu peternakan. Faktor
predisposisi radang ambing dilihat dari segi ternak, meliputi: bentuk ambing,
misalnya ambing yang sangat menggantung, atau ambing dengan lubang puting
terlalu lebar (Subronto, 2003).
Faktor umur dan tingkat produksi susu kambing juga mempengaruhi
kejadian mastitis. Semakin tua umur kambing dan semakin tinggi produksi susu,
maka semakin mengendur pula spinchter putingnya. Puting dengan spincter yang
kendor memungkinkan mudah terinfekesi oleh mikroorganisme, karena fungsi
spinchter adalah menahan infeksi mikroorganisme.
Faktor lingkungan dan pengelolaan peternakan yang banyak mempengaruhi
terjadinya radang ambing meliputi: pakan, perkandangan, banyaknya sapi dalam
satu kandang, ventilasi, sanitasi kandang dan cara pemerahan susu. Pada ventilasi
6
jelek, mastitis mencapai 87,5%, ventilasi yang baik mencapai 49,39% (Sori et al.,
2005).
2.1.3. Patogenesa
Infeksi mastitis dapat terjadi melalui beberapa tahapan, yaitu pertama
melalui kontak dengan mikroorganisme kemudian selanjutnya sejumlah
mikroorganisme mengalami multiplikasi di sekitar lubang puting (sphincter),
setelah itu dilanjutkan dengan masuknya mikroorganisme ke dalam jaringan
akibat lubang puting yang terbuka ataupun karena adanya luka. Tahap selanjutnya
terjadi respon imun pada induk semang. Respon pertahanan pertama ditandai
dengan berkumpulnya lekosit-lekosit untuk mengeliminasi mikroorganisme yang
telah menempel pada sel-sel ambing. Apabila respon ini gagal, maka
mikroorganisme akan mengalami multiplikasi dan hewan dapat memperlihatkan
respon yang lain, misalnya demam. Bila hewan lemah maka akan terjadi mastitis,
bila hewan sehat maka hewan akan meningkatkan imunitas sehingga
menimbulkan kekebalan dan pada akhirnya hewan akan tetap sehat (Hurley dan
Morin, 2000).
2.1.4. Gejala Klinis
Berdasarkan gejala klinis, mastitis dikelompokkan menjadi dua yaitu
mastitis klinis dan subklinis.Mastitis klinis menampakkan gejala klinis
sepertipembengkakan pada kambing (Gambar 2),meningkatnya suhu tubuh dan
frekuensi nafas, nafsu makan turun yang disertai dengan perubahan komposisi air
susu maupun bentuk ambing. Mastitis subklinis ditandai dengan peningkatan JSS
dalam susu tanpa disertai pembengkakan ambing, dan jika diuji dengan
menggunakan California Mastitis Test (CMT) maka terjadi koagulasi (Marogna et
al. 2012).
Tabel 1 Hubungan nilai CMT dengan jumlah sel somatik (McFadden, 2011)
Nilai CMT Jumlah Sel Somatik Interpretasi
Normal
Trace
Positif 1(+)
Positif 2(++)
Positif 3 (+++)
0 - 200.000
200.000 - 400.000
400.000 - 1.200.000
1.200.000 - 5.000.000
Lebih dari 5.000.000
Sehat
Sangat ringan
Ringan
Sedang
Berat
Bedasarkan waktu kejadiannya mastitis klinis dibagi menjadi empat yaitu
hiperakut, akut, subakut dan kronis. Karakteristik dari mastitis hiperakut adalah
terjadi peradangan ambing secara mendadak yang disertai dengan reaksi sistemik
dari dalam tubuh danberlangsung sangat cepat. Mastitis gangrenosa merupakan
salah satu bentuk mastitis klinis per akut yang kebanyakan disebabkan oleh S.
aureus (Bleul etal. 2006). Selain mastitis gangrenosa juga dijumpai ada toksemia
mastitis dengan gejala depresi, nafsu makan turun, suhu tubuh meningkat, otot
lemah, pembengkakan kelenjar mamae disertai kelainan air susu yang dihasilkan.
Efek toksemia mastitis antara lain menyebabkan kematian kambing atau sapi yang
7
didahului dengan gejala dehidrasi, depresi, koma danakhirnya mati (Bleul et al.
2006).
Mastitis akut ditandai dengan peradangan ambing secara mendadak disertai
dengan gejala sistemik dan kejadiannya sedikit lebih lambat bila dibandingkan
dengan mastitis hiperakut. Mastitis subakut karakteristiknya hampir sama dengan
mastitis akutnamun kejadiannya tidak secepat mastitis akut, sedangkan pada
mastitis kronis ditandai dengan pembengkakan ambing yang terjadi dalam waktu
lama (Marogna et al. 2012).
Gambar 2Gejala klinis mastitis pada Kambing Peranakan Etawa
2.1.5. Pengendalian dan Pencegahan
Pencegahan dan pengendalian mastitis pada kambing Peranakan Etawa
memerlukan beberapa strategi dan pendekatan yang tepat. Manajemen yang baik
mungkin dapat diaplikasikan seperti penggunaan antiseptic untuk pencelupan
puting sebelum dan sesudah pemerahan, pemberian antibiotika pada saat kering
laktasi dan vaksinasi. Pemberian antibiotika pada saat masa kering sangat
diperlukan untuk mengurangi kejadian mastitis subklinis (Bergonier et al. 2003).
Penelitian yang dilakukan oleh Dogruer et al. (2010) kombinasi pemberian
antibiotika Ampicillin dan Dicloxacillin melalui intra muscular dan intra mammae
akan memberikan hasil yang optimal. Sedangkan pemberian antibiotika pada
masa kering akan memberikan perlindungan terhadap mastitis subklinis sebesar
20-60%, namun hal tersebut lebih efektif pada domba bila dibandingkan dengan
kambing (Dogruer et al. 2010).
Strategi lain yang dapat diterapkan dalam pencegahan mastitis yaitu dengan
pencelupan putting sebelum dan sesudah pemerahan. Hal ini bertujuan untuk
mengurangi atau mencegah masuknya bakteri ke dalam puting. Banyak jenis
desinfektan yang digunakan untuk pencelupan putting antara lain larutan iodium
dan klorin(Contreras et al. 2007).
2.2. Staphylococcus Aureus
Bakteri (dari kata Latin bacterium; jamak: bacteria) adalah kelompok yang
tidak memiliki membrane inti sel. Bakteri dikenal sebagai penyebab penyakit,
sedangkan lainnya bermanfaat dalam bidang pangan, pengobatan, maupun
industry (Winata Muslimin, 2013).
8
Bakteri dapat ditemukan dihampir semua tempat: di tanah, air dan udara.
Bakteri termasuk kelompok utama dalam prokariot uniseluler. Bakteri merupakan
mikroorganisme ubikoutus, yang berarti melimpah dan banyak ditemukan
dihampir semua tempat. Habitatnya sangat beragam; lingkungan perairan, tanah,
udara, permukaan daun dan bahkan dapat ditemukan didalam organism hidup
(Winata Muslimin, 2013).
Sebagai penyebab penyakit, bakteri menyebabkan penyakit mastitis pada
hewan perah baik itu sapi maupun kambing dan hewan perah lainnya. Faktor
utama penyebab radang ambing atau mastitis Staphylococcus sp dari bakteri gram
positif. Penularan bakteri ini adalah masuk melalui putting dan kemudian
berkembang biak di dalam kelenjar susu. Hal ini terjadi karena putting yang habis
di perah terbuka, kemudian kontak dengan lantai atau tangan pemerah yang
terkontaminasi bakteri (Purnomo,2006).
2.2.1. Klasifikasi dan Morfologi
Staphylococcus merupakan sel Gram-positif berbentuk bulat, biasanya
tersusun dalam bergerombol yang tidak teratur seperti anggur. Beberapa spesies
merupakan flora normal pada kulit dan selaput lendir. Genus staphylococcus
sedikitnya memiliki 30 spesies. Namun, staphylococcus merupakan agen
penyebab yang paling banyak ditemukan pada kejadian mastitis pada ternak
(Yulika,2009).
Staphylococcus aureus (S. aureus) merupakan nama spesies yang
merupakan bagian dari genus Staphylococcus. Bakteri ini pertama kali diamati
dan dibiakan oleh Pasteur dan Koch, kemudian diteliti secara lebih terinci oleh
Ogston dan Rosenbach pada era tahun 1880-an. Nama genus Staphylococcus
diberikan oleh Ogston karena bakteri ini, pada pengamatan mikroskopis berbentuk
seperti setangkai buah anggur, sedangkan nama spesies aureus diberikan oleh
Rosenbach karena pada biakan murni, koloni bakteri ini terlihat berwarna kuning-
keemasan. Rosenbach juga mengungkapkan bahwa S. aureus merupakan
penyebab infeksi pada luka dan furunkel. Sejak itu S. aureus dikenal secara luas
sebagai penyebab infeksi pada pasien pascabedah dan pneumonia terutama pada
musim dingin/hujan(Yulika,2009).
Gambar 3 Gambaran mikroskopik Staphylococcus aureus pada pewarnaan
Gram,terlihat bakteri berbentuk bulat/coccus (sumber: Yuwono, 2009)
9
Berdasarkan taksonominya, Staphylococcus aureus dapat digolongkan sebagai
berikut :
Kingdom : Bacteria
Filum : Firmicutes
Kelas : Cocci
Ordo : Bacillales
Family : Staphylococcaceae
Genus : Staphylococcus
Spesies : Staphylococcus aureus (Cappucino and Sherman, 2005).
Ciri khas infeksi yang disebabkan oleh S. aureus adalah radang
supuratif(bernanah) pada jaringan lokal dan cenderung menjadi abses. Manifestasi
klinisyang paling sering ditemukan adalah furunkel pada kulit. Infeksi superfisial
ini dapat menyebar (metastatik) ke jaringan yang lebih dalam menimbulkan
osteomielitis, artritis, endokarditis dan abses pada otak, paru-paru, ginjal serta
kelenjar mammae (Sugiri, 2010).
Staphylococcus aureus merupakan bakteri yang tahan pengeringan dan panas,
tetap hidup pada suhu 50oC selama 30 menit dan dapat hidup pada debu kering
dan makanan yang didinginkan sampai membeku. Sifat khas S. aureus yang
digunakan untuk membedakannya dengan Staphylococcus yang lain adalah
kemampuan menghasilkan enzim koagulase yaitu suatu enzim yang dapat
menggumpalkan plasma. S. aureus menghasilkan 2 (dua) macam enzim koagulase
yaitu tipe bound dan free. Bound koagulase dapat ditunjukkan dengan slide test
sedangkan free koagulase ditunjukkan dengan tube test (Abrar dkk, 2012).
Staphylococcus aureus mampu menghasilkan enzim katalase yang berperan
dalam proses pengubahan hidrogen peroksida (H2O2) menjadi hidrogen (H2) dan
oksigen (O2), karena hal tersebut Staphylococcus aureus dikatakan bersifat
katalase positif dimana hal ini dapat membedakannya dari genus Streptococcus.
Staphylococcus aureus juga menunjukkan kemampuan untuk menghasilkan enzim
koagulase yang dapat membedakannya dari Staphylococcus jenis lainnya, seperti
Staphylococcus epidermidis. Staphylococcus aureus memiliki kemampuan untuk
memfermentasikan manitol menjadi asam, hal ini dapat dibuktikan bila
Staphylococcus aureus dibiakkan dalam agar Manitol, dimana terjadi perubahan
pH dan juga perubahan warna dari merah ke kuning (Audigna,2015).
Gambar 4 Staphylococcus aureus pada agar media MSA
10
2.2.2. Patogenitas
Sebagian bakteri Stafilokokus merupakan flora normal pada kulit, saluran
pernafasan, dan saluran pencernaan makanan pada manusia. Bakteri ini juga
ditemukan di udara dan lingkungan sekitar. S. aureus yang patogen bersifat
invasif, menyebabkan hemolisis, membentuk koagulase, dan mampu meragikan
manitol (Warsa, 1994). Berikut adalah tabel yang menggambarkan tentang
katalase pos
Infeksi oleh S. aureus ditandai dengan kerusakan jaringan yang
disertaiabses bernanah. Beberapa penyakit infeksi yang disebabkan oleh S. aureus
adalah
bisul, jerawat, impetigo, dan infeksi luka. Infeksi yang lebih berat
diantaranyapneumonia, mastitis, plebitis, meningitis, infeksi saluran kemih,
osteomielitis, dan
endokarditis. S. aureus juga merupakan penyebab utama infeksi
nosokomial,keracunan makanan, dan sindroma syok toksik (Ryan, et al., 1994;
Warsa, 1994).
Kondisi klinis lain yang disebabkan oleh infeksi Staphylococcus aureus
pada beberapa hewan dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Kondisi klinis akibat infeksi Staphylococcus aureus (Quinn,et al.,2002)
Host
Kondisi Klinis
Sapi
Domba
Kambing
Babi
Kuda
Anjing, Kucing
Unggas
Mastitis, Impetigo pada ambing
Mastitis, Pyaemia, Folikulitis Jinak, Dermatitis
Mastitis, Dermatitis
Botriomikosis kelenjar mammae, Impetigo kelenjar
mammae
Schirrhous cord (botriomikosis spermatic cord),
mastitis
Kondisi supuratif seperti infeksi S. intermedius
Arthritis dan septisemia pada kalkun, Bumblefoot,
Omphalitis pada anak ayam
Staphylococcus aureus dapat menimbulkan penyakit melalui
kemampuannya tersebar luas dalam jaringan dan melalui pembentukan berbagai
zat ekstraseluler. Berbagai zat yang berperan sebagai faktor virulensi dapat berupa
protein, termasuk enzim dan toksin, contohnya:
1. Katalase
Katalase adalah enzim yang berperan pada daya tahan bakteri terhadap
proses fagositosis. Tes adanya aktivitas katalase menjadi pembeda genus
Staphylococcus dari Streptococcus.
2. Koagulase
Enzim ini dapat menggumpalkan plasma oksalat atau plasma sitrat, karena
adanya faktor koagulase reaktif dalam serum yang bereaksi dengan enzim
11
tersebut. Esterase yang dihasilkan dapat meningkatkan aktivitas penggumpalan,
sehingga terbentuk deposit fibrin pada permukaan sel bakteri yang dapat
menghambat fagositosis.
3. Hemolisin
Hemolisin merupakan toksin yang dapat membentuk suatu zona hemolisis
disekitar koloni bakteri. Hemolisin pada Staphylococcus aureus terdiri dari alfa
hemolisin, beta hemolisin, dan delta hemolisisn. Alfa hemolisin adalah toksin
yang bertanggung jawab terhadap pembentukan zona hemolisis disekitar koloni
Staphylococcus aureus pada medium agar darah. Toksin ini dapat menyebabkan
nekrosis pada kulit hewan dan manusia. Beta hemolisin adalah toksin yang
terutama dihasilkan Staphylococcus yang diisolasi dari hewan, yang menyebabkan
lisis pada sel darah merah domba dan sapi. Sedangkan delta hemolisin adalah
toksin yang dapat melisiskan sel darah merah manusia dan kelinci, tetapi efek
lisisnya kurang terhadap sel darah merah domba.
4. Leukosidin
Toksin ini dapat mematikan sel darah putih pada beberapa hewan. Tetapi
perannya dalam patogenesis pada manusia tidak jelas, karena Staphylococcus
patogen tidak dapat mematikan sel-sel darah putih manusia dan dapat
difagositosis.
5. Toksin eksfoliatif
Toksin ini mempunyai aktivitas proteolitik dan dapat melarutkan matriks
mukopolisakarida epidermis, sehingga menyebabkan pemisahan intraepitelial
pada ikatan sel di stratum granulosum. Toksin eksfoliatif merupakan penyebab
Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (SSSS), yang ditandai dengan
melepuhnya kulit.
6. Toksin Sindrom Syok Toksik (TSST)
Sebagian besar galur Staphylococcus aureus yang diisolasi dari penderita
sindrom syok toksik menghasilkan eksotoksin pirogenik. Pada manusia, toksin ini
menyebabkan demam, syok, ruam kulit, dan gangguan multisistem organ dalam
tubuh
7. Enterotoksin
Enterotoksin adalah enzim yang tahan panas dan tahan terhadap suasana
basa di dalam usus. Enzim ini merupakan penyebab utama dalam keracunan
makanan, terutama pada makanan yang mengandung karbohidrat dan protein.
12
3. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat
Penelitian ini berlangsung dari bulan September sampai Oktober 2016.
Sedangkan tempat penelitian dilakukan di Kecamatan Wonomulyo Polewali
Kabupaten Polewali Mandar untuk pengambilan sample susu Kambing Peranakan
Etawa serta Identifikasi bakteri yang akan dilakukan di Laboratorium
Mikrobiologi Program Studi Kedokteran Hewan Universitas Hasanuddin.
3.2. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yakni kegiatan untuk
mencapai kesimpulan atas hipotesis dari suatu masalah dengan melihat,
mengamati, dan mendeskripsikan objek.
3.3. Materi Penelitian
3.3.1. Sampel dan Teknik Sampling Sampel berasal dari Kambing PeranakanEtawah betina padadi Kabupaten
Polewali Mandar, yang diperoleh dari Peternak di salah satu Kecamatan di Kabupaten
Polewali Mandar. Dengan menggunakan purposive sampling dimana kambing
Peranakan Etawa yang diambil memiliki kriteria yaitu ambingnya harus bengkak dan
pasca melahirkan. Sampel yang diambil yaitu 25 sampel dan 10 sampel positif
masitits.
Mastitis ditentukan dengan melakukan pengujian CMT. Hasil positif
ditentukan berdasarkan sistem skoring pada pengujian CMT.
3.1.1. Penentuan Mastitis
Penentuan hasil positif mastitis dilakukan berdasarkan tingkat kekentalan
saat reagen CMT dengan susu. Semakin tinggi kekentalan yang terjadi semakin
tinggi tinggat positifnya. Nilai pengujian CMT terdiri dari trace, positif 1 (+),
positif 2 (++) dan positif 3 (+++).
Gambar 5 Hasil Pengujian CMT (A) trace, (B) lemah, (C) sedang,
dan (D) kuat (McFadden,2011
13
3.1.2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah susu kambing,reagen
CMT, larutan NaCl, alkohol 70%, alcohol 96%, aquades, spiritus, iodine, safranin,
kristal violet, minyak emersi, lugol, media MHA, media MSA, media Nutrient Agar,
media BPA, H2O2 3%, standar MacFarland, Novobiocindisc.
3.1.3. Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini berupa paddle test, test tube,
container, ice pack, cawan petri, tabung reaksi, mikroskop, objek glass, pipet ukur
2 ml, ose, Bunsen, inkubator, autoclave, label, korek api, spidol permanen, tabung
elemeyer, jangka sorong, cutton buds, homogenizer, rak tabung reaksi.
3.2.Metode Penelitian
3.4.1. Uji Mastitis dengan CMT
Sampel susu diambil dari kambing yang memiliki gejala mastitis.
Pengujian dilakukan dengan mengambil 2 ml susu yang ditempatkan di paddle
lalu direaksikan dengan reagen CMT sebanyak 2 ml.
Campuran susu dan reagen CMT tersebut digoyang-goyangkan
membentuk lingkaran horizontal selama 10-15 detik, kemudian dilakukan
pengamatan terhadap perubahan yang terjadi pada susu yang telah dicampur
dengan reagen CMT tersebut. Reaksi ini ditandai dengan ada tidaknya perubahan
pada kekentalan susu.
3.4.2 Pengambilan Sampel Sampel susu yang akan diuji di Laboratorium diambil dari susu yang telah
diuji CMT sebanyak ± 20 ml dan langsung ditampung ke dalam tabung reaksi
tertutup yang steril dan telah diberi label, kemudian disimpan dalam cool box berisi
ice pack, agar suhunya stabil pada 5-10oC untuk menghindari perkembangbiakkan
bakteri, hingga tiba di laboratorium.
3.4.3 Isolasi dan Identifikasi Bakteri
• Sampel susu yang telah diuji dengan pereaksi CMT selanjutnya
dilakukan pengenceran 10-1 sampai 10-4. Selanjutnya, susu yang
telah diencerkan ditumbuhkan pada media NA dan BPA masing
masing 1 ml dan diinkubasi selama 18-24 jam dalam suhu 37°C.
Selanjutnya, Koloni yang terbentuk setelah 24 jam diamati bentuk,
warna, ukuran dan elevasi.Koloni yang diamati dipastikan dalam
pengamatan mikroskopis dengan pewarnaan Gram dan dilanjutkan
dengan beberapa uji lainnya.
• Koloni yang tumbuh pada media NA digunakan untuk menghitung
Total Plate Count (TPC). Koloni Staphylococcus aureus pada BPA
mempunyai ciri koloni bundar, licin/halus, cembung, diameter 2 –
3 mm, warna abu – abu hingga kehitaman, sekeliling tepi koloni
bening. Koloni mempunyai konsistensi berlemak dan lengket bila
14
diambil dengan jarum dan diinokulasi. Selanjutnya, koloni dari
media BPA dikultur dengan menggunakan MSA. Koloni
Staphylococcus aureus pada MSA mempunyai ciri berwarna
kuning (BSN, 2011).
• Uji identifikasi dengan Pewarnaan Gram. Objek glass diteteskan
aquades atau NaCl 1 tetes suspensi bakteri diletakkan pada kaca
objek lalu difiksasi di atas bunsen. Preparat yang telah difiksasi
kemudian ditetesi dengan Kristal Violet lalu didiamkan selama 1 –
2 menit. Sisa zat warna dibuang, kemudian dibilas dengan air
mengalir. Seluruh preparat ditetesi dengan larutan lugol dan
biarkan selama 30 detik. Buang larutan lugol dan bilas dengan air
mengalir. Preparat dilunturkan dengan alcohol 96 % sampai semua
zat warna luntur, dan segera cuci dengan air mengalir. Teteskan
dengan zat warna Fuschin, biarkan selama 2 menit lalu bilas
dengan air mengalir kemudian dibiarkan kering, amati di bawah
mikroskop dengan pembesaran objektif 100x memakai minyak
emersi. Bakteri Gram positif memiliki ciri coccus dan bergerombol
sedangkan bakteri gram negatif memilki ciri berbetuk batang.
• Uji Katalase dilakukan dengan meneteskan larutan Hydrogen
Peroksida 3% di atas objek glass lalu dengan kawat ose ambil
beberapa koloni disentuhkan pada cairan tadi tunggu dalam
beberapa saat hingga terjadi reaksi yang ditandai dengan adanya
gelembung.
• Uji Novobiocin
Tes novobiocin dilakukan dengan terlebih dahulu mengambil
koloni dan ditanam dalam NaCl 0,9% atau aquades sampai
mencapai kekeruhan 0,5 McFarland. Suspensi yang telah
distandarkan sesuai dengan standar McFarlandselanjutnya
dilakukan swab pada media MHA menggunakan cotton buds yang
telah dicelupkan ke dalam koloni yang telah sesuai dengan standar
Setelah dilakukan swab, kemudian diletakkan disk Novobiocin ke
media MHA dan diinkubasikan pada suhu 370 C. Adanya daerah
bening disekitar disk menunjukkan hasil positifStaphylococcus
aureus dan untuk selanjutnya dilakukan pengukuran terhadapt zona
bening tersebut dengan menggunakan jangka sorong.
3.3.Analisis Data
Kejadian mastitis pada Kambing Peranakan Etawadi Kabupaten Polewali
Mandar dikonfirmasi melalui identifikasi bakteriStaphylococcus eureus pada susu
melalui pengujian laboratorium dan dianalisis secara deskriptif.
15
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Pemeriksaan Mastitis
Penelitian ini diawali dengan melakukan pemeriksaan mastitis pada
kambing Peranakan Etawa dengan kriteria seperti terjadi pembengkakan pada
ambing seperti yang terjadi pada gambar 6 dan kambing yang sedang meyususi
dan diperoleh 10 sampel susu kambing positif mastitis.
Gambar 6 Kriteria ambing pada kambing Peranakan Etawa yang diambil
susunya untuk diuji CMT
Pemeriksaan mastitis dilakukan dengan menggunakan reagen California
Matitis Test (CMT). Reagen ini mengandung arylsulfonate yang apabila bereaksi
dengan sel somatic dalam susu akan membentuk gelatin. Tingkat kekentalan
reaksi tersebut menunjukkan jumlah sel somatik dalam susu, semakin banyak sel
somatik yang ada dalam susu maka semakin cepat membentuk gelatin.
Pemeriksaan diawali dengan membersihkan ambing kambing kemudian tangan
pemerah dibersihkan dengan alcohol ataupun menggunakan handskun agar tidak
terjadi kontaminasi bakteri yang berasal dari tangan pemerah. Susu dari ambing
yang mengalami mastitis ditampung pada paddle test sebanyak 2 ml lalu
dicampurkan dengan reagen CMT dengan volume yang sama lalu dihomogenkan
dan dilakukan pengamatan dan penilaian terhadap kekentalan reaksi yang terjadi
seperti pada gambar 7.
16
Gambar 7 Hasil pengujian susu dengan menggunakan CMT yang
mengalami perubahan yaitu terjadi kekentalan
4.2 Isolasi dan Identifikasi Staphylococcus aureus
4.2.1 Isolasi Bakteri Isolasi dilakukan dengan penanaman bakteri pada media Baird Parker Agar
(BPA) dan Nutrient Agar (NA). Secara aseptis dilakukan pengenceran dimulai dari
10-1 sampai 10-4. Untuk Pengenceran 10-3dan 10-4dimasukkan dalam cawan sebanyak 1
ml lalu media Nutrient Agar (NA) dituangkan dan dihomogenkan dengan
menggoyangkan seperti angka 8. Sementara pengenceran 10-2dimasukkan dalam
cawan sebanyak 1 ml lalu media Baird Parker Agar (BPA) dituangkan dan
dihomogenkan dengan menggoyangkan seperti angka 8. Cawan diinkubasi selama 24
- 48 jam pada suhu 37oC.
Hasil penelitian terhadap 10 sampel susu yang dikultur pada dua media yakni
media NA dan media BPA, setiap media menghasilkan pertumbuhan koloni yang
berbeda. Koloni yang tumbuh pada media Nutrient Agar digunakan untuk
menghitung Total Plate Count (TPC), sedangkan koloni yang tumbuh pada media
Baird Parker Agar ditumbuhkan pada media Mannitol Salt Agar (MSA).
Gambar 8 Kontrol negative untuk media Nutrient Agar
17
Gambar 9 Hasil dari pengenceran 10-3
Gambar 10 Hasil dari pengenceran 10-4
Tabel 3 Hasil perhitungan Total Plate Count (TPC) di media NA
No. Kode Sampel Total Plate Count
(TPC)
Standar Keterangan
1 Sampel 1 1 x 106 1 x 106 >BMCM
2 Sampel 2 5,8 x 105 1 x 106
3 Sampel 3 3,2 x 105 1 x 106
4 Sampel 4 5 x 105 1 x 106
5 Sampel 5 1,08 x 106 1 x 106 >BMCM
6 Sampel 6 1,8 x 106 1 x 106 >BMCM
18
7 Sampel 7 9,2 x 105 1 x 106
8 Sampel 8 3,3 x 105 1 x 106
9 Sampel 9 2,5 x 105 1 x 106
10 Sampel 10 5,9 x 105 1 x 106
Catatan: Jumlah Total Bakteri/ Total Plate Count (TPC) terhadap ambang Batas
Maksimum Cemaran Mikroba pada susu yang telah ditetapkan oleh SNI yaitu 1 x
106 cfu/ml (BSN,2011).
Berdasarkan data pada tabel 3 yang merupakan hasil dari rata-rata
pengenceran 10-3dan 10-4, diketahui bahwa terdapat 3 dari 10 sampel susu yang
diuji TPC berada di atas ambang Batas Maksimum Cemaran Mikroba (BMCM).
Keseluruhan susu yang memiliki nilai di atas BMCM berasal dari kambing yang
positif mastitis. Susu yang memiliki rataan jumlah total tertinggi adalah 1,8 x 106
yang berasal dari sampel susu nomor 6dan yang terendah bernilai 2,5 x 105 yang
berasal dari sampel susu nomor 9. Nilai TPC pada susu tidak memiliki kaitan
dengan kejadian mastitis yang menyerang Kambing Peranakan Etawa, ini
dikarenakan tidak semua bakteri yang dideteksi pada susu dapat menyebabkan
peradangan pada jaringan internal ambing(BSN,2011).
Susu yang telah diisolasi akan dilanjutkan dengan uji identifikasi yang
meliputi pengamatan karakteristik koloni, pewarnaan Gram, uji fermentasi
mannitol pada media Mannitol Salt Agar (MSA), ujikatalase, dan uji Novobiocin.
Isolasi dilakukan pada media Baird Parker Agar (BPA) yang merupakan
media selektif untuk Staphylococcus karena adanya kandungan sodium piruvat
yang merangsang pertumbuhan Staphylococcus. Pada penelitian ini, sampel susu
yang digunakan berasal dari sampel yang telah dilakukan pengenceran
sebelumnya. Adapun pengenceran yang digunakan untuk pmedia BPA adalah
pengenceran 10-2. Koloni yang tumbuh pada media BPA memperlihatkan hasil
yang sangat beragam. Koloni Staphylococcus aureus pada BPA mempunyai ciri
koloni bundar, licin/halus, cembung, diameter 2 - 3 mm, warna abu – abu hingga
kehitaman, sekeliling tepi koloni bening. Semua koloni yang diduga koloni
Staphylococcus kemudian dipisahkan untuk selanjutnya dilakukan identifikasi
bakteri dengan beberapa pengujian(Fardiaz, 1989).
19
Gambar 11 Koloni hasil kultur pada media BPA
Pengujian identifikasi bakteri kemudian dilanjutkan dengan uji fermentasi
mannitol dengan kultur bakteri pada media Mannitol Salt Agar (MSA) yang
diambil dari koloni yang ada pada media BPA. Kandungan Natrium Chlorida
(NaCl) yang tinggi pada media MSA. Oleh karena itu, media ini menjadi media
yang selektif terhadap Staphylococcus aureus.
Gambar 12 Koloni hasil kultur dari media MSA
Bakteri Staphylococcus aureus dapat menghasilakn enzim koagulase dan
dapat memfermentasikan mannitol pada Media MSA, sehingga warna media yang
merah muda dapat berubah warna menjadi kuning keemasan karena koloni
Staphylococcus aureus berwarna keemasan (Warsa, 1994). Pada gambar 12
menunjukkan bahwa koloni dapat memfermentasikan mannitol sehingga terjadi
20
perubahan warna media. Dari 10 sampel susu, semuanya mengalami perubahan
warna, yang menandakan semuanya positif memfermentasi Manitol.
Uji identifikasi selanjutnya yaitu dengan uji katalase. Uji katalase
digunakan untuk mengetahui aktivitas katalase pada bakteri yang diuji.
Kebanyakan bakteri, khususnya bakteri genus Staphylococcus sp. memproduksi
enzim katalase yang dapat menguraikan Hidrogen Peroksida (H2O2) menjadi air
(H2O) dan oksigen (O2) sehingga jika koloni bakteri dicampurkan dengan H2O2
akan menghasilkan gelembung-gelembung gas (Warsa,1994). Pada gambar 13
menunjukkan bahwa hasil adanya aktivitas katalase. Dari semua sampel yang
telah diujikan, semuanya positif memproduksi enzim katalase.
Gambar 13 Hasil uji katalase (positif ditandai dengan adanya gelembung gas)
Tahapan selanjutnya adalah pewarnaan Gram. Pewarnaan Gram bertujuan
untuk membedakan kelompok bakteri Gram positif dan negatif, selain itu juga
untuk membedakan morfologi bakteri yang berbentuk coccus dan basil.
Gambar 14 Hasil Pewarnaan Gram
Berdasarkan gambar 14 didapatkan hasil pewarnaan gram yang
menunjukkan bakteri berwarna ungu (bakteri gram positif), berbentuk kokus dan
bergerombol seperti anggur. Hasil ini menunjukkan bahwa bakteri tersebut
merupakan morfologi bakteri genus Staphylococcus sp. Prinsip pewarnaan Gram
adalah kemampuan dinding sel terhadap zat warna dasar (Kristal violet) setelah
pencucian alkohol 96%. Bakteri Gram positif terlihat berwarna ungu karena
dinding selnya mengikat Kristal violetlebih kuat, sedangkan sel Gram negative
21
mengandung lebih banyak lipid sehingga pori-pori mudah membesar dan Kristal
violet mudah larut saat pencucian alkohol (Fardiaz, 1989).
Staphylococcus aureusmerupakan bakteri Gram positif dan berbentuk
kokkus yang menghasilkan warna ungu pada pewarnaan Gram. Warna ungu
disebabkan karena bakteri mempertahankan warna pertama, yaitu Kristal violet.
Perbedaan sifat Gram dipengaruhi oleh kandungan pada dinding sel, yaitu bakteri
Gram positif kandungan peptidoglikan lebih tebal jika dibanding dengan Gram
negatif (Bauman, 2009).
Gambar 15 Hasil Uji Novobiocin
Berdasarkan gambar 15, menunjukkan terbentuknya zona hambat
diperoleh dari dari antibiotic Novobiocin terhadap Staphylococcus aureus.
Adapun hasil dari uji Novobiocin terlihat pada tabel berikut:
Tabel 5 Hasil Uji Novobiocin
No. Sampel Diameter Zona Hambat
Novobiocin (mm)
1 Sampel 1 35 mm
2 Sampel 2 31 mm
3 Sampel 3 21 mm
4 Sampel 4 25 mm
5 Sampel 5 30 mm
6 Sampel 6 23 mm
7 Sampel 7 22 mm
8 Sampel 8 28 mm
22
9 Sampel 9 21 mm
10 Sampel 10 21 mm
Uji Novobiocin bertujuan untuk melihat sensitivitas bakteri Novobiocin
atau tingkat kerentanan suatu bakteri terhadap suatu zat mikroba seperti antibiotik.
Novobiocin juga diketahui banyak digunakan untuk perawatan, control,
pencegahan, kondisi dan gejala penyakit yang disebabkan oleh bakteri
Staphylococcus aureus(Gradwohlset al, 1980). Selain itu, staphylococcus aureus
diketahui masih sensitif terhadap Novobiocin sehingga dijadikan salah satu
pengujian untuk staphylococcus aureus.
Tabel 6 Positif Coccus Katalase Positif (Gradwohlset al 8, 1980)
No. Organisme Glukosa Sukrosa Manitol Koagulase D
Nase Novobiocin
1 Mikrococcus -/+
2 Planococcus -
3 S. aureus + + + + + S
4 S.
Epidermidis + + - - - S
5 S.
Saprophyticus + + + - - R
6 S.
Haemolyticus + + - - S
Parameter yang digunakan pada pengujian ini adalah besarnya diameter
zona hambat yang terbentuk dari pemberian Novobiocin. Zona hambat yang
terbentuk disekitar Novobiocin discs menunjukkan adanya aktivitas senyawa
antibakteriStaphylococcus aureus.Berdasarkan hasil penelitian didapatkan hasil
uji aktivitas Novobiocin terhadap Staphylococcus aureus, didapatkan diameter
zona hambat paling rendah pada sampel 9 dan 10 yaitu 21 mm dimana respon
daya hambat antibakterinya masih sensitif. Zona hambat yang paling besar yaitu
pada sampel 1 yaitu 35 mm.
Novobiocin dikatakan resisten apabila zona hambatnya < 17 dan dikatakan
sensitif apabila apabila zona hambatnya > 20. Berdasarkan hasil uji Novobiocin,
semua sampel masih sensitif terhadap Novobiocin dan dapat menjadi acuan untuk
memastikan adanya Staphylococcus aureus pada sampel susu yang telah diuji
(Gradwohlset al, 1980)
23
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
1.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian terhadap susu kambing Peranakan Etawa
yang mengalami mastitis di Kabupaten Polewali Mandar, dapat disimpulkan
bahwa 10 sampel susu Kambing Peranakan Etawa tersebut teridentifikasi
penyebabnya adalah Staphylococcus aureus.
1.2 Saran
Setelah dilakukan penelitian tentangIdentifikasi Staphylococcus aureus
penyebab mastitis pada kambing Peranakan Etawa di Kabupaten Polewali
Mandar, maka disarankan untuk:
1. Perlu dilakukan penelitian mengenai deteksi keberadaan bakteri spesies
lain sebagai penyebab mastitis pada kambing Peranakan Etawa
2. Perlu diadakan sosialisasi kepada peternak mengenai manajemen
pemeliharaan dan higienitas pemerahan dan perlakuan yang tepat pasca
partusagar kejadian mastitis karena infeksi mikroorganisme dapat
dicegah.
24
DAFTAR PUSTAKA
Abrar, M., I Wayan T.W., Bambang P.P., Mirnawati S., dan Fachriyan H.P. 2012.
Isolasi dan Karakteristik Hemaglutinin Staphylococcus sureus Penyebab
Mastitis pada Sapi Perah. Jurnal Kedokteran Hewan. ISSN : 1978 – 225
X. Vol. 6. No. 1 Maret 2012. Diakses pada 31 Maret 2015
Arsenault J, Dubreuil P, Higgins R, Belanger D. 2008. Risk factors and impact of
clinical and subclinical mastitis in commercial meat-producing sheep
flocks in Quebec, Canada. Prev Vet Med. 87:373-393.
Audigna, Sabila.2015. Staphylococcus Aureus. Universitas Diponegoro
Bauman, R. 2007. Microbiology With Diseases by Taxonomy. 2thedition. Pearson
Educating Inc. San Fransisco.
Bergonier D, Cremoux R, Rupp R, Lagriffoul R, Lagriffoul G, Berthelot X. 2003.
Mastitis of dairy small ruminants. Vet Res. 34:689-716.
Bleul U, Sacher K, Corti S, Braun U. 2006. Clinical finding in 56 cows with toxic
mastitis. Vet Record. 11:677- 680.
Cappucino, J. G. and N. Sherman. 2005. Microbiology: A Laboratory Manual. 7th
ed. Pearson Education Inc. USA. 101 - 102, 117, 164, 166, 189, 204, 409 -
416, 509 - 512.
Contreras A, Sierra D, Sanchez A, Corrales JC, Marco JC, Paape MJ, Gonzalo C.
2007. Mastitis in small ruminants. Small Rumin Res. 68:145-153.
Devendra, C. dan Burns Marca. 1994. Produksi Kambing di Daerah Tropis.
Penerbit Institut Teknologi Bandung. Bandung.
Devendra.C dan McLeory G.B. 1982. Goat and Sheepn Production in The
Tropis.
Ditjennak. (2012). Direktorat Kesehatan Hewan. Diakses pada 15 April, 2015,
dari Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan:
http://www.ditjennak.go.id/d-keswan.asp.
Dinas Pertanian dan Peternakan Daerah Kabupaten Polewali Mandar. 2014.
Laporan Pelaksanaan kegiatan Tahun 2008. Bidang Produksi Peternakan,
Polewali Mandar.
Dogruer G, Saribay MK, Ergun Y, Aslantas O, Demir C, Ates CT. Short
communication. 2010. Treatment of subclinical mastitis in Damascus
goats during Lactation. Small Rumin Res. 90:153-155.
Fardiaz, S. 1989. Mikrobiologi Pangan. Bogor : IPB.
Gradwohl, R.B.H., Sonnenwirth, A.C., and Jarett, L. 1980. Grandwhol’s clinical
laboratory methods and diagnosis. Mosby, London. 8th ed
Hall SM, Rycroft AN. 2007. Causative organisms and somatic cell counts in
subclinical intramammary infections in milking goats in the UK. Vet
Record. 160:19-22.
Heras L, Dominguez A, Lopez I, Garayzabal JF. 1999. Outbreak of acute ovine
mastitis associated with Pseudomonas aeruginosa infection. Vet Record.
145:111-112.
HURLEY, W.L. and D.E. MORIN. 2000. Mastitis Lesson A. Lactation Biology.
ANSCI 308. http://classes aces.uiuc.edu/Ansci 308/. (20-12-2002).
Indarjulianto dan Widodo Suwito. 2013. Staphylococcus aureus Penyebab
Mastitis Pada Kambing Peranakan Etawah. Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Gadja Mada
25
Leitner G, Silanikove N, Merin U. 2008. Estimate of milk and curd yield loss of
sheep and goats with intramammary infection and its relation to somatic
cell count. Small Rumin Res. 74:221-225.
Marogna GC Pilo, Vidili A, Tola S, Schianchi G, Leori SG. 2012. Comparison of
clinical findings, microbiological results, and farming parameters in goat
herds affected by recurrent infectious mastitis. Small Rumin Res. 102:74-
83.
Martin SW., Meek AH., Willeberg P.1987. Veterinary Epidemiology. USA:Iowa
State University Press.
Mateljan, G. 2007.Journal of The World’s Healthiest
Forwww.whfoods.com/genpage.php.
McDougall S, Pankey W, Delaney C, Barlow J, Patricia AM, Scruton D. 2002.
Prevalence and incidence of subclinical mastitis in goats and dairy ewes
in Vermont USA. Small Rumin Res. 46:115-121.
Moroni P, Pison G, Ruffo, Boetter PJ. 2005. Risk factors for intramammary
infections and relationship with somatic cell counts in Italian dairy goats.
Prev Vet Med. 69:163-173.
Purnomo A, Hartatik, Khusnan, Salasia SIO, Soegiyono. 2006. Isolasi dan
karakterisasi Staphylococcus aureus asal susu kambing Peranakan
Ettawa. Media Kedokteran Hewan 22:142-147.
Quinn, P.J., B.K. Markey., M.E. Carter., W.J. Donnely and F.C. Leonard. 2002.
Veterinary Microbiology and Microbial Disease. Blackwell Science Ltd.
UK. 63.
Salasa, mukarom.2010. Mengenal kambing. Universitas Brawijaya
Sanchez J, Montes P, Jimenez A, Andres S. 2007. Prevention of clinical mastitis
with barium selenate in dairy goats from a selenium deficient area. J Dairy
Sci. 90:2350- 2354.
Songer J.G. and W. Post K. 2005. Veterinary Microbiology Bacterial and Fungal
Agents of Animal Disease. Elsevier Saunders.
Sori H, Zerihun A, Abdicho S (2005). Dairy cattle mastitis in and around Sebeta,
Ethiopia. Int. J. Appl. Res. Vet. Med. 3:332-338.
Subronto. 2003. Ilmu Penyakit Ternak (Mamalia) I. Edisi Kedua. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta. 309 - 351.
Sugiri, Y.D dan Akira Anri. 2010. Prevalensi Patogen Penyebab Mastitis
Subklinis (Staphylococcus aureus dan Streptococcus agalactiae) dan
Patogen Penyebab Mastitis Subklinis Lainnya pada Peternakan Skala
Kecil dan menengah di Beberapa Sentra Peternakan Sapi Perah di Pulau
Jawa. Balai Pengujian dan Penyidikan Penyakit Hewan dan Kesmavet
(BP3HK) Cikole Lembang Bandung Barat, Jawa Barat, Indonesia
Sumadi dan S. Prihadi. 1999. Standarisasi kambing Peranakan Etawah bibit di
Daerah Istimewa Yogyakarta.Sarasehan Standarisasi Kambing PE.
Yogyakarta
Sutama, I.K., I.G.M. Budiarsana, H. Setyanto, and A. Priyanti. 1995. Productive
and reproductive performance of young Etawah-cross does. Jurnal Ilmu
Ternak dan Veteriner l (2): 81-85.
Tørmod M, Waage S, Tollersrud T, Kvitle B, Sviland S. 2007. Clinical mastitis in
ewes; bacteriology, epidemiology and clinical features. Acta Vet Scand.
49:1-8.
26
Warsa, U.C. 1994. Staphylococcus dalam Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran.
Edisi Revisi.: Penerbit Binarupa Aksara. hal.103-110. Jakarta.
Winata Muslimin,Lucia R. 2013. Mikrobiologi Lingkungan. Universitas Indonesia
Press.
Yulika, 2009. Pola Resistensi Bakteri. Fakultas kedokteran Universitas Indonesia
Yuwono. 2009. MRSA: Disertasi. FK Unpad Bandung
27
LAMPIRAN
Survey lapangan sebelum pengambilan sampel
kriteria kambing Peranakan Etawa yang akan diambil sampel
susunya
30
PENGUJIAN LABORATORIUM
Pengemasan sampel susu yang akan dibawa ke Laboratorium
untuk diuji dengan menggunakan cool box
Pengenceran Homogenisasi aquades dan susu
menggunakan homegenizer
44
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 6 Oktober 1993 di Pare-Pare, Sulawesi Selatan
dari ayahanda Drs. Mustapa, M.Pd dan ibunda Syamsiar. Penulis merupakan anak
pertama dari 4 orang bersaudara. Penulis menyelesaikan
Sekolah Dasar di SDN 111 Pasaran dan lulus pada tahun 2006,
kemudian penulis melanjutkan pendidikan ke SMP Negeri 1
Anggeraja dan lulus pada tahun 2009. Penulis kemudian
melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 1 Anggeraja dan lulus
pada tahun 2012. Melalui jalur non subsidi (JNS),penulis
kemudian diterima di Universitas Hasanuddin sebagai
mahasiswa Program Studi Kedokteran Hewan Fakultas
Kedokteran.
Selama perkuliahan penulis aktif dalam organisasi internal kampus yaitu
Himpunan Mahasiswa Kedokteran Hewan (HIMAKAHA) FKUH selama 2
periode masa jabatan. Periode 2013-2014 sebagai anggota Divisi Dana dan Usaha
dan pada periode 2014-2015 sebagai Sekertaris Umum HIMAKAHA.