icaseps working paper no. 68pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/wp_68_2004.pdf · paten daerah...

30
ICASEPS WORKING PAPER No. 68 ANALISIS POTENSI SUMBERDAYA DAN PELUANG PENGEMBANGAN SEKTOR PERTANIAN DI DAERAH PENGEMBANGAN PROKSI INBIS KABUPATEN PASURUAN Bambang Rahmanto Oktober 2004 Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (Indonesian Center for Agricultural Socio Economic and Policy Studies) Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian

Upload: vuongdien

Post on 16-Mar-2019

215 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: ICASEPS WORKING PAPER No. 68pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_68_2004.pdf · paten Daerah Tingkat II Pasuruan, diperlukan analisis yang lebih mendalamdan ... Faktor Diskriminan

ICASEPS WORKING PAPER No. 68

ANALISIS POTENSI SUMBERDAYA DAN PELUANG PENGEMBANGAN SEKTOR PERTANIAN DI DAERAH PENGEMBANGAN PROKSI INBIS KABUPATEN PASURUAN

Bambang Rahmanto Oktober 2004

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (Indonesian Center for Agricultural Socio Economic and Policy Studies) Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian

Page 2: ICASEPS WORKING PAPER No. 68pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_68_2004.pdf · paten Daerah Tingkat II Pasuruan, diperlukan analisis yang lebih mendalamdan ... Faktor Diskriminan

ANALISIS POTENSI SUMBERDAYA DAN PELUANG PENGEMBANGAN SEKTOR PERTANIAN

DI DAERAH PENGEMBANGAN PROKSI INBIS KABUPATEN PASURUAN

Bambang Rahmanto Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian

Jl. A.Yani No.70 Bogor 16161

ABSTRAK

Sebagai bagian dari kegiatan PROKSI INBIS telah dilakukan suatu studi baseline di Kabupaten Pasuruan sebagai lokasi diselenggarakannya program tersebut di Provinsi Jawa Timur. Analisis ini bertujuan untuk mengidentifikasi potensi dan peluang pengembangan sektor pertanian di wilayah binaan PROKSI INBIS berdasarkan hasil studi baseline sebagai bahan masukan dalam perencanaan dan perancangan model. Berdasarkan letak geografisnya, ketiga kecamatan contoh yang menjadi binaan PROKSI INBIS Pasuruan tidak secara penuh membentuk satu unit pengembangan INBIS. Salah satu kecamatan contoh, yaitu Kecamatan Grati, letak lokasinya terpisah jauh dari dua kecamatan contoh lainnya. Demikian pula berdasarkan kondisi agroekosistem, sumberdaya, dan faktor-faktor penciri lainnya tercermin adanya perbedaan karakteristik antara Kecamatan Grati dengan dua kecamatan contoh lainnya. Dalam pengembangan sektor per-tanian perlu dilakukan pendekatan sistem usahatani terpadu, yang memberikan peluang bagi rumahtangga tani untuk melakukan diversifikasi usaha di sektor petanian, melalui pembinaan yang intensif dalam wadah kelembagaan agribisnis yang terorganisir serta dukungan pelayanan lainnya yang diperlukan, baik berupa fasilitasi modal usaha, akses informasi teknologi, akses informasi pemasaran, fasilitasi hubungan kemitraan, maupun bimbingan manajemen usaha dan organisasi kelompok. Introduksi teknologi seyogyanya diarahkan pada teknologi yang mampu meningkatkan efisiensi usaha, ramah lingkungan, dan lebih banyak mengguna-kan input yang mengandung bahan baku lokal.

Kata Kunci : sumberdaya; pengembangan; agribisnis

PENDAHULUAN

Sebagai bagian dari kegiatan Program Aksi Pemberdayaan Masyarakat Tani Me-

nuju Ketahanan Pangan Nasional Melalui Pengembangan Intensifikasi Berwawasan

Agri-bisnis (PROKSI INBIS) tahun 1999/2000 telah dilakukan suatu STUDI BASELINE di

lima provinsi lokasi penyelenggaraan PROKSI INBIS, yaitu Provinsi Sulawesi Selatan,

Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Di Provinsi Jawa Timur,

lokasi penyelenggaraan PROKSI INBIS bertempat di Kabupaten Pasuruan dan

Kabupaten Magetan. Masing-masing kabupaten telah dipilih dan ditentukan tiga

kecamatan sebagai lokasi penyelenggaraan PROKSI INBIS. Untuk Kabupaten

Pasuruan meliputi Kecamatan Sukorejo, Kecamatan Rembang, dan Kecamatan Grati.

STUDI BASELINE dilaksanakan secara serempak pada bulan Januari 2000 di

kabupaten dan kecamatan lokasi PROKSI INBIS di masing-masing provinsi. Hasil

STUDI BASELINE telah disampaikan dalam bentuk buku Laporan Hasil Studi Baseline,

Page 3: ICASEPS WORKING PAPER No. 68pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_68_2004.pdf · paten Daerah Tingkat II Pasuruan, diperlukan analisis yang lebih mendalamdan ... Faktor Diskriminan

2

1)(nn

2)jD(2jD

DS;n

)2jy1j(y;

DSD

t −

∑∑

=∑ −

== D

yang pada prinsipnya memaparkan mengenai: (1) profil dan sumberdaya wilayah; (2)

karak-teristik dan sumberdaya rumahtangga tani; (3) kebijaksanaan pembangunan

pertanian daerah, (4) kondisi sistem agrbisnis yang berlangsung pada saat itu; dan (5)

aksesibilatas petani terhadap kelembagaan penunjang.

Untuk memberikan gambaran yang lebih lengkap mengenai potensi dan peluang

pengembangan sektor pertanian di wilayah binaan PROKSI INBIS, khususnya di Kabu-

paten Daerah Tingkat II Pasuruan, diperlukan analisis yang lebih mendalam dan

terfokus pada aspek-aspek penting yang secara signifikan dapat digunakan sebagai

bahan masukan dalam perencanaan dan perancangan model PROKSI INBIS.

Makalah ini mengemukakan hasil analisis berdasarkan data dan informasi yang

terkumpul dalam kegiatan STUDI BASELINE dan infomasi lainnya yang bersumber dari

berbagai referensi yang relevan digunakan sebagai data/informasi pendukung. Hasil

analisis akan memberikan luaran sebagai berikut: (1) Karakteristik penciri wilayah

binaan PROKSI INBIS; (2) Potensi sumberdaya dan faktor-faktor pembatasnya; dan (3)

Peluang-peluang pengembangan sektor pertanian yang meliputi aspek teknologi dan

agribisnis, serta faktor-faktor yang menjadi hambatan dan permasalahannya.

METODE ANALISIS

Analisis yang digunakan dalam melihat potensi sumberdaya dan peluang

pengem-bangan sektor pertanian di kecamatan contoh adalah dengan pendekatan

model diagnos-tik dan eksploratif berdasarkan data hasil studi baseline dan acuan

hasil-hasil penelitian sebagai dasar pembanding untuk menerangkan faktor-faktor yang

memiliki pengaruh signifikan untuk memperoleh perha-tian atau prioritas penanganan

dalam upaya pengem-bangan PROKSI INBIS. Analisis statistika digunakan untuk

melihat signifikansi beda rata-rata penggunaan pupuk yang dilakukan petani dengan

dosis rekomendasi guna iden-tifikasi efisiensi pengelolaan pemupukan di tingkat petani.

Uji statistik yang digunakan adalah uji t-student pengamatan berpasangan dengan

formulasi sebagai berikut :

dimana t = t-hitung; D = rata-rata beda aplikasi dosis pupuk petani dengan dosis rekomendasi SD = galat baku

Page 4: ICASEPS WORKING PAPER No. 68pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_68_2004.pdf · paten Daerah Tingkat II Pasuruan, diperlukan analisis yang lebih mendalamdan ... Faktor Diskriminan

3

HASIL DAN PEMBAHASAN Faktor Diskriminan Menurut Karakteristik Penciri Wilayah

Berdasarkan letak geografisnya, ketiga kecamatan contoh yang menjadi binaan

PROKSI INBIS di Kabupaten Pasuruan tidak secara penuh membentuk satu unit

pengem-bangan INBIS. Salah satu kecamatan contoh, yaitu Kecamatan Grati, letak

lokasinya terpisah jauh dari dua kecamatan contoh lainnya. Kecamatan ini lebih dekat

ke arah Kabupaten Probolinggo. Sementara itu, Kecamatan Sukorejo dan Kecamatan

Rembang letaknya saling berdampingan, sehingga dapat membentuk satu unit

pengembangan INBIS. Letak Kecamatan Sukorejo lebih dekat ke arah

Kotamadya/Kabupaten Malang, sedangkan Kecamatan Rembang lebih dekat ke arah

ibukota provinsi.

Berdasarkan kondisi agroekosistem, sumberdaya, dan faktor-faktor penciri lain-

nya tercermin adanya perbedaan karakteristik antara Kecamatan Grati dengan dua

keca-matan contoh lainnya. Perbedaan-perbedaan tersebut antara lain mencakup:

(1) Kondisi Iklim: Kecamatan Grati memiliki kondisi iklim yang relatif lebih kering diban-dingkan dengan Kecamatan Sukorejo dan Rembang. Rata-rata curah hujan tahunan di Kecamatan Grati selama tahun 1989-1998 hanya mencapai sekitar 1.152 mm per tahun, sedangkan di Kecamatan Sukorejo dan Rembang masing-masing mencapai 2.061 dan 1.604 mm per tahun.

(2) Jenis Tanah: Kecamatan Grati didominasi oleh jenis tanah Mediteran (66,0%), sedangkan di Kecamatan Sukorejo dan Rembang masing-masing adalah Regosol (92,1%) dan Grumosol (64,3%).

(3) Sumberdaya Lahan: Dibandingkan dengan Kecamatan Sukorejo dan Rembang, luas lahan sawah di Kecamatan Grati adalah yang terendah yaitu hanya mencapai sekitar 965 ha, sedangkan di Kecamatan Rembang mencapai 1.981 ha, dan di Kecamatan Sukorejo yang terluas mencapai 3.401 ha. Meskipun demikian, Kecamatan Grati memiliki sumberdaya lahan yang relatif beragam, yaitu sawah (19,0%), tegalan (41,2%), hutan (20,9%), dan danau (3,9%).

(4) Sumberdaya Rumahtangga dan faktor penciri lainnya: Berdasarkan hasil STUDI BASE-LINE terungkap bahwa sebagian besar usia kepala keluarga pada rumahtangga tani di Kecamatan Grati telah melampaui batas usia produktif, dimana sekitar 33 persen berusia di atas 60 tahun dan 37 persen berusia antara 51 - 60 tahun. Sedangkan di Kecamatan Sukorejo dan Rembang sebagian besar (di atas 70%) berada pada kelompok usia pro-duktif, bahkan lebih dari 30 persen berusia di bawah 40 tahun. Kontribusi sektor non pertanian tampak lebih dominan sebagai sumber pendapatan rumahtangga di Kecamatan Grati, karena rata-rata luas penguasaan lahan usaha yang relatif sempit, yaitu sekitar 0,306 ±

Page 5: ICASEPS WORKING PAPER No. 68pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_68_2004.pdf · paten Daerah Tingkat II Pasuruan, diperlukan analisis yang lebih mendalamdan ... Faktor Diskriminan

4

0,140 hektar untuk lahan sawah dan 0,102 ± 0,328 hektar untuk lahan tegalan. Sementara itu, luas pengusahaan lahan sawah irigasi di Kecamatan Sukorejo dan Rembang relatif lebih luas yaitu masing-masing mencapai sekitar 0,615 ± 0,496 hektar dan 0,733 ± 0,439 hektar. Rata-rata luas pengusahaan sawah yang relatif sempit di Kecamatan Grati mengakibatkan terjadinya perbedaan orientasi produksi padi dengan petani contoh di kedua kecamatan lainnya. Secara agregat, proporsi padi yang dijual oleh petani contoh di Kecamatan Grati hanya mencapai sekitar 38 persen, sedangkan di Kecamatan Sukorejo dan Rembang masing-masing mencapai 58 dan 81 persen. Komo-ditas palawija yang dominan diusahakan di Kecamatan Grati adalah jagung, sedangkan di Kecamatan Sukorejo dan Rembang adalah Kedelai.

Adanya perbedaan karakteristik wilayah, sumberdaya, dan faktor penciri lainnya

antara Kecamatan Grati di satu sisi, dan Kecamatan Sukorejo serta Rembang di sisi lain

akan memberikan implikasi yang cukup bervariasi dalam cara penanganan dan

peranca-ngan model INBIS.

Adanya keragaman penguasaan sumberdaya antar rumahtangga di masing-

masing kecamatan contoh juga perlu menjadi pertimbangan dalam penyusunan model

INBIS. Artinya, dalam upaya memberdayakan dan memandirikan masyarakat petani,

baik melalui proses perekayasaan teknologi maupun kelembagaan sosial-ekonomi perlu

mem-pertimbangkan karakteristik rumahtangga tani yang sebagian besar memiliki

sumber-daya terbatas. Hal ini selaras dengan hasil penelitian dan pendapat pakar

(Pranadji, 1984; Tjondronegoro, 1990; Taryoto et al., 1993; Purwantini dan Suhaeti,

1995; Taryoto dan Pranadji, 1995; dan Pranadji, 1995) yang mengungkapkan

kelemahan dan dampak negatif program intensifikasi padi di masa lalu, yang

menyebutkan bahwa: (1) Kelembagaan pertanian padi sawah moderen, lebih

menekankan upaya memacu peningkatan produksi/ produktivitas padi daripada

peningkatan pendapatan riil petani kecil; (2) Golongan petani kecil dan menengah

cenderung kurang berani menanggung risiko untuk memanfaatkan pelayanan kredit

pertanian yang disediakan pemerintah, karena orientasi dalam berusaha-tani bukanlah

untuk pasar, tetapi menjaga keamanan pangan subsistensi keluarganya; (3)

Penguasaan tanah oleh golongan petani kaya melalui sewa atau gadai dalam

berusahatani secara komersial, mengakibatkan timbulnya pola ketergantungan baru

atas petani kecil dan buruh tani terhadap patronnya; (4) Ketergantungan petani terhadap

peranan pemerin-tah menjadi semakin tinggi; dan (5) Dampak selanjutnya adalah

terjadinya proses margi-nalisasi dan polarisasi di pedesaan.

Page 6: ICASEPS WORKING PAPER No. 68pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_68_2004.pdf · paten Daerah Tingkat II Pasuruan, diperlukan analisis yang lebih mendalamdan ... Faktor Diskriminan

5

Potensi Sumberdaya

Tenaga Kerja

Ketiga kecamatan lokasi PROKSI INBIS memiliki potensi tenaga kerja yang

cukup tersedia. Tingkat kepadatan penduduk di Kecamatan Sukorejo, Rembang dan

Grati masing-masing mencapai sebesar 1.104; 1.098; dan 1.236 orang/km2 di atas rata-

rata tingkat kepadatan penduduk kabupaten yang mencapai sekitar 809 orang/km2,

dimana jumlah angkatan kerja yang tersedia berkisar antara 43,7- 44,0 persen dari

jumlah populasi penduduk. Potensi ini dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan pertum-

buhan sektor pertanian dan sekaligus mengurangi jumlah pengangguran di pedesaan

dengan memberikan insentif ekonomi yang menarik bagi angkatan kerja usia muda

untuk terjun di sektor pertanian melalui pengembangan usahatani terpadu dan

pengembangan usaha pengolahan produk pertanian.

Tabel 1. Curahan tenaga kerja keluarga usia produktif di kecamatan contoh, Kabupaten Pasuruan, 1999/2000

Uraian Pria (HOK)

Wanita (HOK)

Total (HOK)

Kecamatan Sukorejo

1. Tenaga keluarga usia produktif 651 ± 364 (100%) 667 ± 324 (100%) 1.317 ± 437 (100%) 2. Bersekolah 175 ± 309 (26,8%) 127 ± 209 (19,0%) 302 ± 359 (22,9%) 3. Bekerja On-Farm 147 ± 114 (22,6%) 228 ± 166 (34,1%) 368 ± 198 (27,9%) 4. Bekerja Off-Farm 23 ± 51 (3,6%) 27 ± 59 (4,1%) 49 ± 83 (3,8%) 5. Bekerja Non-Farm 151 ± 188 (23,2%) 66 ± 132 (9,9%) 217 ± 212 (16,5%) 6. Potensi tersedia 155 ± 188 (23,8%) 220 ± 166 (32,9) 374 ± 197 (28,4%)

Kecamatan Rembang 1. Tenaga keluarga usia produktif 767 ± 311 (100%) 548 ± 251 (100%) 1.314 ± 322 (100%) 2. Bersekolah 128 ± 214 (16,7%) 55 ± 134 (10,0%) 183 ± 302 (13,9%) 3. Bekerja On-Farm 246 ± 133 (32,2%) 196 ± 134 (35,7%) 442 ± 198 (33,6%) 4. Bekerja Off-Farm 98 ± 177 (12,7%) 92 ± 129 (16,8%) 189 ± 250 (14,4%) 5. Bekerja Non-Farm 98 ± 145 (12,7%) - 98 ± 145 (7,5%) 6. Potensi tersedia 197 ± 131 (25,7%) 205 ± 44 (37,5%) 402 ± 199 (30,6%)

Kecamatan Grati 1. Tenaga keluarga usia produktif 633 ± 383 (100%) 548 ± 314 (100%) 1.180 ± 531 (100%) 2. Bersekolah 134 ± 244 (21,2%) 61 ± 168 (11,1%) 195 ± 267 (16,5%) 3. Bekerja On-Farm 110 ± 115 (17,3%) 20 ± 55 (3,7%) 63 ± 102 (5,4%) 4. Bekerja Off-Farm 23 ± 110 (3,7%) 4 ± 23 (0,8%) 28 ± 112 (2,3%) 5. Bekerja Non-Farm 270 ± 244 (42,7%) 86 ± 154 (15,6%) 347 ± 277 (29,4%) 6. Potensi tersedia 105 ± 112 (16,6%) 377 ± 233 (68,9%) 482 ± 29,9 (40,8%) Sumber : Data Primer Keterangan : angka dalam kurung menunjukkan sebaran frekuensinya.

Page 7: ICASEPS WORKING PAPER No. 68pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_68_2004.pdf · paten Daerah Tingkat II Pasuruan, diperlukan analisis yang lebih mendalamdan ... Faktor Diskriminan

6

Potensi sumberdaya tenaga kerja keluarga yang dapat dimanfaat secara optimal

di sektor pertanian berkisar antara 28,4 - 40,8 persen dari tenaga kerja usia produktif

yang tersedia (Tabel 1). Di Kecamatan Grati, potensi tenaga kerja keluarga wanita

tampak belum termanfaatkan secara optimal.

Sumberdaya Lahan

Dari ketiga kecamatan contoh yang menjadi lokasi pelaksanaan PROKSI INBIS

yang memiliki areal persawahan terluas adalah Kecamatan Sukorejo, yaitu men-capai

3,401 hektar. Sementara itu, Kecamatan Rembang dan Grati masing-masing hanya

mencapai luasan 1.981 dan 965 hektar. Untuk lahan tegalan, kecamatan yang memiliki

areal terluas adalah Kecamatan Grati, yaitu mencapai luasan sekitar 2.090 hektar,

sedangkan Kecamatan Sukorejo dan Rembang masing-masing seluas 1.078 dan 1.752

hektar. Di Kecamatan Grati juga memiliki waduk yang cukup luas (197 ha) yang

berpotensi untuk pengembangan sektor perikanan dan penghasil siput (kreco) potensial

sebagai pendukung penyediaan pakan lokal untuk ternak itik.

Terdapat pola sebaran penguasaan lahan garapan sawah yang berbeda antara

ketiga kecamatan contoh (Tabel 2). Di Kecamatan Sukorejo luas lahan garapan sawah

yang banyak dikuasai petani berada pada interval 0,25 - 0,49 hektar (50%). Di Keca-

matan Rembang, sekitar 46,4 persen petani menguasai lahan garapan sawah di atas

0,99 hektar dan 35,7 persen lainnya menguasai 0,5 - 0,74 hektar. Penguasaan lahan

garapan sawah yang terendah adalah di Kecamatan Grati, yaitu sekitar 36,7 persen

petani hanya menguasai lahan garapan sawah kurang dari 0,25 hektar dan 50 persen

lainnya berada pada interval 0,25 - 0,49 hektar.

Pemanfaatan lahan sawah untuk pertanaman komoditas tanaman pangan pada

umumnya telah mencapai IP= 300, kecuali untuk lahan sawah tadah hujan di

Kecamatan Sukorejo baru dimanfaatkan 2 kali tanam per tahun. Sementara itu, di

Kecamatan Grati ada kompetisi dengan komoditas tebu. Pertanaman padi pada sawah

irigasi umumnya dapat dilakukan hingga 2 - 3 kali per tahun.

Tabel 2. Sebaran frekuensi petani dan rata-rata penguasaan sumberdaya llahan dirinci menurut interval penguasaan lahan garapan sawah petani contoh di kecamatan lokasi PROKSI INBIS Kabupaten Pasuruan, 1999/2000

Interval penguasaan Proporsi Rata-rata penguasaan sumberdaya lahan lahan garapan sawah petani sawah pekarangan Tegalan

(ha) (%) (ha) (ha) (ha)

Page 8: ICASEPS WORKING PAPER No. 68pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_68_2004.pdf · paten Daerah Tingkat II Pasuruan, diperlukan analisis yang lebih mendalamdan ... Faktor Diskriminan

7

Kecamatan Sukorejo < 0.25 7,7 0,1900 - -

0,25 - 0,49 50,0 0,3038 0,0554 0,0615 0,50 - 0,74 15,4 0,6683 0,1750 0,0640 0,75 - 0,99 3,8 0,7500 0,2000 0,0700

> 0,99 23,1 1,3667 0,0775 0,5333 Kecamatan Rembang

< 0.25 10,7 0,1650 - - 0,25 - 0,49 7,1 0,2500 - - 0,50 - 0,74 35,7 0,5100 0,0385 - 0,75 - 0,99 - - - -

> 0,99 46,4 1,1833 0,0083 0,1250 Kecamatan Grati

< 0.25 36,7 0,1519 0,0109 0,2273 0,25 - 0,49 50,0 0,3617 0,0023 0,0041 0,50 - 0,74 13,3 0,5225 - 0,1250 0,75 - 0,99 - - - -

> 0,99 - - - - Sumber: Data primer

Potensi Pengembangan Komoditas Palawija dan Ternak

Kecamatan Sukorejo dan Rembang termasuk daerah penghasil kedelai di Kabu-

paten Pasuruan. Produksi kedelai di masing-masing kecamatan tersebut mencapai

4.748 dan 3.008 ton per tahun, menyumbang 16,7 persen terhadap total produksi

kedelai se kabupaten. Meskipun masih dalam skala kecil, telah tampak adanya jalinan

hubungan sinergi antara perusahaan susu Nestle dengan salah satu kelompok tani di

Kecamatan Sukorejo dalam pengadaan benih dan pemasaran hasil. Sementara itu,

Kecamatan Grati termasuk salah satu daerah penghasil jagung dengan tingkat produksi

sebesar 9.568 ton pipilan kering atau sekitar 6,8 persen dari produksi total kabupaten

pada tahun 1998. Peningkatan produksi palawija masih perlu dipacu dengan lebih

menggalakkan peng-gunaan benih bermutu serta pengelolaan usahatani yang efisien.

Untuk komoditas jagung, penggunaan varietas hibrida atau jagung unggul baru lainnya

perlu dipacu untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi usahatani, dimana

berdasarkan data primer, tingkat produktivitas jagung di Kecamatan Grati hanya sekitar

2,7 ton/ha, meskipun dari data sekunder tercatat sekitar 4,06 ton/ha.

Komoditas peternakan seyogyanya semakin mendapat perhatian yang propor-

sional dalam pengembangan sektor pertanian di Kabupaten Pasuruan, mengingat sum-

bangan subsektor peternakan terhadap Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten

Pasuruan relatif masih kecil, yaitu hanya mencapai 4,6 persen pada tahun 1998. Selain

Page 9: ICASEPS WORKING PAPER No. 68pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_68_2004.pdf · paten Daerah Tingkat II Pasuruan, diperlukan analisis yang lebih mendalamdan ... Faktor Diskriminan

8

itu, Pengembangan subsektor peternakan di kabupaten ini akan memberikan

sumbangan yang sangat berarti dalam meningkatkan pendapatan petani, penyerapan

tenaga kerja di pedesaan, dan penyediaan protein hewani bagi bagi masyarakat luas.

Komoditas sapi potong, sapi perah, ayam buras, dan ternak itik merupakan

komoditas subsektor peternakan yang potensiil untuk dikembangkan lebih lanjut di

kecamatan contoh. Berdasarkan data sekunder, pangsa produksi daging sapi di

Kecamat-an Sukorejo dan Grati masing-masing mencapai 30 dan 10 persen, meskipun

populasinya masing-masing hanya mencapai sekitar 8 dan 5 persen dari total populasi

kabupaten. Informasi ini mengindikasikan bahwa usaha penggemukan sapi telah

dilaksanakan secara intensif di kedua kecamatan contoh. Usaha peternakan sapi perah

banyak dilakukan petani di Kecamatan Grati, dimana pangsa populasi sapi perah di

kecamatan ini mencapai 8,7 persen, sedangkan pangsa produksi susunya mencapai 7,6

persen. Usaha peternakan ayam buras yang umumnya dilakukan sebagai usaha

sampingan perlu didorong dan dikembangkan menjadi usaha yang lebih bersifat

komersial. Demikian pula usaha ternak itik yang masih bersifat tradisional dengan

menggunakan sistem gembala dapat ditingkat-kan melalui penerapan teknologi sistem

terkurung, terutama di lingkungan waduk Ranu Klindungan Kecamatan Grati yang

memiliki potensi daya dukung pakan lokal berupa siput sebagai subtitusi pakan

konsentrat. Pangsa populasi ternak itik di Kecamatan Grati paling menonjol

dibandingkan dengan dua kecamatan contoh lainnya, yaitu mencapai 12,6 persen.

Dengan pemeliharaan sistem terkurung sebanyak 95 ekor itik (betina 90 ekor) dapat

diperoleh pendapatan sekitar Rp 24.500 per hari, dengan biaya pakan sekitar Rp

23.000, produksi telor rata-rata 70 butir/hari, dan harga telor Rp 650/butir.

Tabel 3. Rata-rata penguasaan sumberdaya ternak menurut interval penguasaan lahan garapan sawah di kecamatan lokasi PROKSI INBIS Kabupaten Pasuruan, 1999/2000

Interval Proporsi Rata-rata penguasaan sumberdaya ternak

penguasaan lahan garapan sawah

petani Sapi Kambing/ domba

Ayam buras Unggas lainnya

(ha) (%) (ekor) (ekor) (ekor) (ekor)

Kecamatan Sukorejo

< 0.25 7,7 - - 15,00 (50,0%) -

0,25 - 0,49 50,0 - 0,77 (15,4%) 4,77 (61,5%) 0,77 (15,4%)

0,50 - 0,74 15,4 0,50 (25,0%) 1,75 (25,0%) 2,75 (25,0%) -

0,75 - 0,99 3,8 - 3,0 (100%) 20,00 (100%) 16,00 (100%)

> 0,99 23,1 1,17 (50,0%) - 2,5 (33,3%) 2,00 ( 33,3%)

Page 10: ICASEPS WORKING PAPER No. 68pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_68_2004.pdf · paten Daerah Tingkat II Pasuruan, diperlukan analisis yang lebih mendalamdan ... Faktor Diskriminan

9

Kecamatan Rembang

< 0.25 10,7 - - 7,00 (66,7%) -

0,25 - 0,49 7,1 - - - 2,0 (50,0%)

0,50 - 0,74 35,7 - - 2,50 (60,0%) 1,3 (30,0%)

0,75 - 0,99 - - - - -

> 0,99 46,4 0,33 (7,7%) 1,25 (23,1%) 1,58 (30,8%) 3,92 (38,5%)

Kecamatan Grati

< 0.25 36,7 0,45 (36,4%) 1,54 (36,4%) 1,91 (63,6%) 1,36 (18,2%)

0,25 - 0,49 50,0 0,60 (33,3%) 1,07 (20,0%) 3,47 (66,7%) 0,73 (13,3%)

0,50 - 0,74 13,3 - - 0,5 (25,0%) -

0,75 - 0,99 - - - - -

> 0,99 - - - - -

Sumber : Data Primer Keterangan : Angka dalam kurung (..) menunjukkan proporsi petani yang mengusahakan tenak pada masing-masing kelompok interval penguasaan lahan garapan sawah.

Dari pola hubungan penguasaan lahan sawah dengan penguasaan ternak

yang disajikan pada Tabel 3 mengindikasikan beberapa hal sebagai berikut:

(1) Pengusahaan ternak sapi dan kambing/domba di Kecamatan Sukorejo dan Rembang pada umumnya dilakukan oleh petani yang menguasai lahan garapan sawah di atas 0,5 hektar. Sedangkan di Kecamatan Grati, petani yang berlahan sempit justru berusaha mening-katkan pendapatannya melalui deversifikasi usaha peternakan sapi dan kambing/domba.

(2) Pemeliharaan ayam buras dan unggas lainnya dilakukan oleh hampir seluruh petani pada berbagai kelompok interval penguasaan lahan garapan sawah, meskipun dengan skala pengusahaan yang relatif beragam yang cenderung berada di bawah skala usaha ekonomis.

Peluang Pengembangan Teknologi Intensifikasi untuk Meningkatkan Efisiensi

Penerapan tekonologi usahatani yang dilakukan petani di kecamatan contoh

masih memberikan peluang untuk dikembangkan ke arah penerapan teknologi

intensifikasi yang lebih efisien. Di antaranya melalui efisiensi dalam penggunaan benih,

meningkatkan fre-kuensi petani dalam melakukan pergiliran dan penggunaan ragam

varietas unggul ber-label yang adaptif, pemupukan secara berimbang, dan penerapan

secara luas dan menyeluruh teknologi PHT.

Aplikasi Benih dan Pergiliran Varietas

A. Kebutuhan Benih

Page 11: ICASEPS WORKING PAPER No. 68pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_68_2004.pdf · paten Daerah Tingkat II Pasuruan, diperlukan analisis yang lebih mendalamdan ... Faktor Diskriminan

10

Hasil studi baseline menemukan bahwa kebutuhan benih padi di tiga kecamatan

contoh relatif cukup tinggi, terutama di Kecamatan Grati, yaitu rata-rata mencapai 93

kg/ha dengan koefisien keragaman sebesar 26 persen. Sementara itu, di Kecamatan

Suko-rejo dan Rembang masing-masing mencapai 69 dan 68 kg/ha dengan koefisien

keragam-an masing-masing sebesar 29 dan 43 persen. Menurut Taslim et al., (1993),

kebutuhan benih padi sawah pada sistem persemaian basah hanya mencapai sekitar

35-45 kg/ha dengan kondisi tingkat perkecambahan sekitar 80 persen. Pada

persemaian dapog dan persemaian kering masing-masing memerlukan benih sekitar 65

dan 44 kg/ha.

Dengan penerapan sistem persemaian basah sesuai dengan yang dikemukakan

oleh Taslim et al., (1993) tersebut, sebenarnya petani di tiga kecamatan contoh dapat

melakukan penghematan penggunaan benih, rata-rata sekitar 23-58 kg/ha atau apabila

diperhitungkan harga benih sebesar Rp 2.500/kg, maka potensi penghematan biaya

untuk input benih secara rata-rata mencapai sekitar Rp 57.500 - 145.000 per hektar.

Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa frekuensi petani yang menggunakan benih di atas 75

kg/ha di Keca-matan Grati mencapai 80 persen. Efisiensi penggunaan benih yang dapat

dicapai jika petani menggunakan takaran pada taraf 35kg/ha berkisar sekitar Rp

126.500 - Rp 219.700 per hektar, sedangkan pada taraf 45 kg/ha dapat dilakukan

penghematan sekitar Rp 101.500 - 194.800 per hektar. Di Kecamatan Sukorejo dan

Rembang polanya relatif berbeda dengan di Kecamatan Grati, dimana takaran

penggunaan benih terkonsentrasi pada interval 46-60 kg/ha dan 61-90 kg/ha. Di

Kecamatan Rembang, petani yang menggunakan benih kurang dari 45 kg/ha relatif lebih

banyak jika dibandingkan dengan kedua kecamatan lainnya, yaitu mencapai sekitar 15

persen.

Tabel 4. Sebaran frekuensi petani contoh menurut interval penggunaan benih padi sawah dan rata-rata biaya yang dapat dihemat dengan menerapkan takaran benih pada taraf 35 dan 45 kg/ha di tiga kecamatan contoh, 1999/2000

Kecamatan Uraian Interval penggunaan benih (kg/ha)

≤ 45 46 - 60 61 - 75 76 - 90 > 90

Sukorejo Frekuensi petani (%) 8 40 20 20 12

Penghematan biaya (Rp/ha):

- Dengan takaran 35 kg/ha 12.500 54.130 76.964 117.024 189.220

- Dengan Takaran 45 kg/ha - 29.130 51.964 92.024 164.220

Rembang Frekuensi petani (%) 15 44 19 11 11

Page 12: ICASEPS WORKING PAPER No. 68pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_68_2004.pdf · paten Daerah Tingkat II Pasuruan, diperlukan analisis yang lebih mendalamdan ... Faktor Diskriminan

11

Penghematan biaya (Rp/ha):

- Dengan takaran 35 kg/ha 12.500 56.250 90.000 118.750 245.833

- Dengan Takaran 45 kg/ha - 31.250 65.000 93.750 220.833

Grati Frekuensi petani (%) 3 10 7 27 53

Penghematan biaya (Rp/ha):

- Dengan takaran 35 kg/ha 12.500 55.833 87.500 126.547 200.446

- Dengan Takaran 45 kg/ha - 30.833 62.500 101.547 173.779

Sumber : Data primer Keterangan : Harga benih diasumsikan Rp 2.500/kg

B. Jarak Tanam

Faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah kebutuhan benih yang tinggi di ketiga

kecamatan contoh antara lain dapat disebabkan oleh:

(1) Penggunaan benih yang berasal dari hasil panen sendiri masih dilakukan oleh sebagian petani, sehingga petani kurang memperhatikan efisiensi pengguna-annya, karena tidak mengeluarkan biaya tunai;

(2) Daya kecambah benih yang digunakan relatif rendah;

(3) Penerapan teknik penanaman dengan jarak tanam rapat dan jumlah bibit per rumpun yang relatif banyak.

(4) Bibit sebagian dijual kepada petani lain.

Dari empat kemungkinan di atas, faktor penerapan jarak tanam yang rapat meru-

pakan salah satu unsur yang tampak siginifikan sebagai penyebab tingginya kebutuhan

benih di ketiga kecamatan contoh. Pada Tabel 5, faktor penggunaan benih dari hasil

panen sendiri yang tampak menonjol adalah di Kecamatan Sukorejo, karena pengguna

benih berlabel di kecamatan ini hanya mencapai sekitar 38 - 53 persen, sedangkan di

kedua kecamatan lainnya telah mencapai lebih dari 70 persen. Sementara itu, daya

berkecambah benih umumnya mencapai di atas 80 persen, dan penjualan bibit kepada

petani lain tidak banyak terjadi.

Jarak tanam yang banyak diterapkan petani di tiga kecamatan contoh adalah 20

cm x 20 cm, bahkan sebagian lainnya menerapkan jarak tanam yang lebih rapat.

Semen-tara itu, jarak tanam yang dianjurkan dalam SUPRA INSUS adalah 22 cm x 22

cm untuk musim kemarau, dan 15 cm x 30 cm pada musim hujan untuk memenuhi

populasi tanam-an sebanyak 200.000 rumpun per hektar (Sawit et al., 1990; dan

Tjubarjat dan Daradjat, 1990). Hasil penelitian Balitan Sukamandi mengungkapkan

bahwa jarak tanam yang memberikan keuntungan tertinggi untuk varietas IR-64 adalah

Page 13: ICASEPS WORKING PAPER No. 68pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_68_2004.pdf · paten Daerah Tingkat II Pasuruan, diperlukan analisis yang lebih mendalamdan ... Faktor Diskriminan

12

25 cm x 25 cm dengan 3 bibit/rumpun, sedangkan untuk varietas Cisadane adalah 25

cm x 25 cm dengan 4 bibit/ rumpun (Pirngadi dan Fagi, 1994). Lingkungan pertanaman

padi sawah dengan jarak tanam rapat memberikan peluang yang baik bagi

perkembangan suatu jenis hama, karena kelembaban di antara baris-baris tanaman

menjadi tinggi, dan sinar matahari tidak dapat mencapai pangkal batang tanaman (Oka

dan Bahagiawati, 1991).

Tabel 5. Sebaran frekuensi petani menurut pengguna benih berlabel, daya kecambah ... benih, jarak tanam, dan penjual bibit di tiga kecamatan contoh, 1999/2000

Uraian Kecamatan

Sukorejo Rembang Grati

1. Frekuensi petani pengguna benih berlabel1) (%) 38 - 53 70 - 90 70 - 74

2. Frekuensi petani menurut daya berkecambah benih (%)

a. Daya berkecambah benih: < 80 % 12 11 30

b. Daya berkecambah benih: 80 - 90 % 38 78 70

c. Daya berkecambah benih: > 90 % 50 11 -

3. Frekuensi petani menurut penerapan jarak tanam (%)

a. 15 cm x 15 cm 4 - -

b. 18 cm x 18 cm 19 - 30

c. 20 cm x 15 cm - 22 -

d. 20 cm x 20 cm 77 78 67

e. 10 cm x 20 cm x 40 cm (cara tanam jajar legowo) - - 3

4. Frekuensi petani yang melakukan penjualan bibit (%) - 3,5 6

Sumber: Data Primer Keterangan: 1) Musim Hujan hingga Musim Kemarau II

Untuk meningkatkan efisiensi usahatani perlu penerapan jarak tanam alternatif

seperti jajar legowo. Menurut Suriapermana dan Syamsiah (1995), cara tanam jajar

legowo dua baris memiliki banyak keuntungan, yaitu: (1) tidak mengurangi hasil padi;

(2) memungkinkan untuk memelihara ikan bersama tanaman padi; (3) Mempermudah

pemberian urea tablet; (4) mempermudah pengendalian hama tikus; dan (5)

memberikan kesempatan pada perkembangan azola, dan lebih mudah membenamkan

pupuk organik ini ke tanah.

C. Pergiliran dan Penggunaan Ragam Varietas

Meskipun penerapan teknik pergiliran varietas telah dilakukan oleh sebagian be-

sar petani di kecamatan contoh (54-70%), tetapi upaya untuk meningkatkan jumlah

petani dalam penerapan teknologi ini masih perlu dilakukan, demikian pula dalam hal

Page 14: ICASEPS WORKING PAPER No. 68pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_68_2004.pdf · paten Daerah Tingkat II Pasuruan, diperlukan analisis yang lebih mendalamdan ... Faktor Diskriminan

13

penggu-naan benih berlabel. Pergiliran varietas berdasarkan tetua yang berbeda

ketahanannya terhadap hama/penyakit merupakan salah satu anjuran dalam program

SUPRA INSUS untuk mencegah timbulnya biotipe wereng baru dan strain penyakit

(tungro) yang lebih ganas. Anjuran ini dipadukan pula dengan anjuran tanam serempak

satu varietas sewila-yah kelompok dan anjuran panen serempak se-WKPP (Sawit et al.,

1990).

Introduksi atau sosialisasi terhadap varietas-varietas unggul baru yang memiliki

daya hasil yang lebih tinggi dari varietas-varietas yang digunakan oleh petani saat ini

seyogyanya lebih ditingkatkan melalui Demplot atau percobaan sisipan (super imposed

trial) di lahan sawah petani, sehingga petani dapat menyaksikan dan mengetahui sendiri

tingkat produktivitas dan performance dari tananaman padi yang berasal dari varietas-

varietas yang diintroduksikan tersebut. Selain itu, petani akan memiliki wawasan yang

lebih luas terhadap ragam dan karakteristik varietas-varietas unggul baru yang telah

dihasilkan saat ini, sehingga mereka mempunyai banyak alternatif pilihan varietas untuk

digunakan dalam pelaksanaan pergiliran varietas. Upaya tersebut perlu didukung pula

dengan penyediaan benih dari varietas-varietas introduksi yang diminati petani dalam

jumlah yang cukup dan mutu yang terjamin. Selain kepada petani, sosialisasi varietas

unggul baru perlu juga ditujukan kepada pedagang pengumpul, karena para pedagang

ini memiliki andil yang cukup besar dalam menentukan harga maupun pangsa penjualan

produk baru yang dapat diterima di pasaran. Hal-hal yang perlu diketahui para

pedagang ini terutama adalah penampilan dari hasil pasca panen produk, seperti tingkat

rendemen, rasa nasi, persentase beras kepala, dan komponen lainnya yang berkaitan

dengan mutu beras yang dihasilkan.

Indikasi adanya hambatan petani dalam penggunaan benih berlabel ditemukan

dalam studi baseline, dimana ada sebagian petani yang mengemukakan bahwa: (1)

Keter-sediaan benih berlabel terbatas; (2) Harga benih berlabel mahal, dan (3) Mutu

benih berlabel diragukan, karena daya berkecambah benih kurang baik. Hambatan

klasik yang berkaitan dengan kurang tersedianya benih berlabel untuk varietas yang

diperlukan dan tingginya harga benih berlabel yang dirasakan petani juga dikemukakan

dalam laporan Sawit et al., (1990) serta Tjubarjat dan Daradjat (1990). Dalam

Adnyana et al., (2000) juga dikemukakan bahwa ketersediaan benih unggul bersertifikat

makin diragukan kualitas-nya, baik dari sisi kemurniannya maupun daya tumbuhnya.

Page 15: ICASEPS WORKING PAPER No. 68pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_68_2004.pdf · paten Daerah Tingkat II Pasuruan, diperlukan analisis yang lebih mendalamdan ... Faktor Diskriminan

14

Kondisi yang demikian menandakan bahwa azas enam tepat benih berlabel semakin

kurang terpenuhi.

Tabel 6. Sebaran luas tanam varietas padi di Provinsi Jawa Timur dan Kabupaten Pasuruan

Varietas Provinsi Jawa Timur Kabupaten Pasuruan

MT 1998 1) MT 1997/1998 2) MT 19981) Pangsa*)

(ha) (%) (ha) (%) (ha) (%) (%)

IR-64 495.497 78,45 21.383 48,32 18.117 67,66 3,66

IR-36 23.007 3,64 5.330 12,04 1,094 4,09 4,76

IR-66 25.121 3,98 - - - - -

IR-74 6.331 1,00 - - - - -

Krueng Aceh 1.457 0,23 - - - - -

Cisadane 10.501 1,66 - - - - -

Semeru 2.416 0,38 576 1,30 200 0,75 8,28

Memberamo 23.979 3,80 1.284 2,90 1.172 4,38 4,89

Cibodas 618 0,10 - - - - -

Cisokan 2.360 0,37 1.338 3,02 1.177 4,40 49,87

Maros 2.416 0,38 415 0,94 117 0,44 4,84

Dodokan 1.168 0,18 - - - - -

Walanai 2.053 0,33 - - - - -

Lainnya 34.679 5,49 13.926 31,47 4.898 18,29 14,78

Total 631.603 100 44.252 100 26.775 100 4,24

Sumber: 1) Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Timur 2) Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Pasuruan Keterangan: *) Pangsa terhadap Provinsi Jawa Timur

Dari sebaran luas tanamnya, pada Tabel 6 tampak bahwa varietas IR-64

masih mendominasi areal tanam padi sawah di Kabupaten Pasuruan maupun

Provinsi Jawa Timur. Demikian pula varietas Memberamo, Cisokan, dan IR-36

banyak diminati petani di Kabupaten Pasuruan. Bahkan untuk varietas Cisokan,

sumbangan areal tanam Kabu-paten Pasuruan pada Provinsi Jawa Timur

mencapai sebesar 49,9 persen. Dari hasil studi baseline diperoleh informasi

mengenai sebaran varietas di kecamatan contoh selama MT 1998/1999 dan MT

1999, dimana varietas Cisokan banyak ditanam di Kecamatan Sukorejo, dan

varietas Memberamo ditanam di Kecamatan Rembang. Sementara itu IR-36

tidak teridentifikasi, sedangkan Krueng Aceh ditanam petani di Kecamatan Grati.

Page 16: ICASEPS WORKING PAPER No. 68pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_68_2004.pdf · paten Daerah Tingkat II Pasuruan, diperlukan analisis yang lebih mendalamdan ... Faktor Diskriminan

15

Dari keragaan produktivitas pada Tabel 7, tercermin bahwa secara rata-

rata tingkat hasil yang dicapai petani umumnya telah mendekati potensi hasil dari

varietas-varietas padi yang ditanam, kecuali untuk varietas Memberamo di

Kecamatan Rembang, produktivitasnya masih perlu ditingkatkan agar bisa lebih

mendekati potensi hasilnya.

Tabel 7. Produktivitas varietas padi yang ditanam di kecamatan contoh, potensi hasil, dan karakteristiknya, 1999/2000

Varietas Parameter Keamatan Potensi

Sukorejo Rembang Grati Hasil1)

MH MK MH MK MH MK (GKG)

(kg/ha - Gabag Kering Giling) (t/ha)

IR-64 Rataan 4.556 4.598 4.241 4.411 4.361 4.635 5,0

SD 1.106 712 972 1.008 1.259 1.247 -

KK (%) 24,3 15,5 22,9 22,9 28,9 26,9 -

Cisokan Rataan - 4.632 - - - - 4,5 - 5,0

SD - 1.318 - - - - -

KK (%) - 28,5 - - - - -

Memberamo Rataan - - 4.219 4.669 - - 6,5

SD - - 1.007 1.163 - - -

KK (%) - - 23,9 24,9 - - -

Krueng Aceh Rataan - - - - 4.484 3.892 4,5 - 5,5

SD - - - - 420 664 -

KK (%) - - - - 9,4 17,1 - Sumber: Data Primer Keterangan: MH = Musim Hujan; MK = Musim Kemarau; SD = Standard Deviation; KK = Koefisien Keragaman; GKG = Gabah Kering Giling.

Pengelolaan Pemupukan

Secara agregat, penggunaan pupuk N dan P2O5 di tiga kecamatan

contoh menun-jukkan lebih tinggi dari dosis rekomendasi, sedangkan untuk

pupuk K2O lebih rendah, karena sebagian besar petani tidak menggunakan

pupuk Kcl. Beda rata-rata dosis pemu-pukan yang dilakukan petani dengan dosis

rekomendasi untuk pupuk N berkisar antara 19-41 kg/ha, pupuk P2O5 berkisar

11 - 21 kg/ha, dan K2O berkisar - (7 - 30) kg/ha (Tabel 8). Berdasarkan uji

statistik, Beda rata-rata penggunaan pupuk P dan K nyata pada taraf α = 1%

Page 17: ICASEPS WORKING PAPER No. 68pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_68_2004.pdf · paten Daerah Tingkat II Pasuruan, diperlukan analisis yang lebih mendalamdan ... Faktor Diskriminan

16

untuk ketiga kecamatan contoh, sedangkan untuk pupuk N, hanya dua

kecamatan yang menunjukkan beda nyata, yaitu di Kecamatan Rembang dan

Grati.

Menilik dari koefisien keragamannya, menunjukkan bahwa penggunaan

pupuk antar petani di Kecamatan Sukorejo lebih bervariasi dibandingkan dengan

Kecamatan Grati dan terutama Rembang, dimana penggunaan pupuk antar

petani lebih seragam.

Tabel 8. Dosis pemupukan di tingkat petani dan dosis rekomendasi di kecamatan contoh, 1999/2000

Jenis pupuk

Kecamatan N P2O5 K2O S Organik

Dosis pemupukan di tingkat petani (kg/ha)1)

Sukorejo 154 ± 78 (50,5%)

39 ± 33 (86,4%)

11 ± 28 (262,4%)

1 ± 7 (489,9%)

336 ± 1.245 (371,0%)

Rembang 176 ± 50 (28,5%)

44 ± 21 (48,2%)

0 ( - )

0 ( - )

0 ( - )

Grati 163 ± 50 (30,9%)

29 ± 24 (84,4%)

23 ± 38 (163,2%)

7 ± 13 (178,6%)

183 ± 614 (334,9%)

Dosis Rekomendasi (kg/ha)2)

Sukorejo 135 18 30 0 2.500

Rembang 135 27 30 0 2.500

Grati 135 18 30 0 2.500

Beda rata-rata dosis pemupukan petani dengan rekomendasi (kg/ha)

Sukorejo 19 ns 21** - 19** 1 ns - 2.164**

Rembang 41** 17** -30 - - 2.500

Grati 28** 11* -7ns 7** - 2.317**

Sumber: 1) Data Primer; 2) Suwono et al (1999). Keterangan: Angka dalam kurung (..) menunjukkan nilai koefisiean keragamannya. * = nyata pada taraf α = 5%; ** = nyata pada taraf α = 1%; ns = tidak signifikan Konversi unsur hara: Urea = 46% N; SP-36 = 36% P2O5 ; Kcl = 60% K2O ZA = 24% N dan 21% S.

Dari Tabel 9 jelas tercermin bahwa sebagian besar petani (54,2 - 85,7%)

melakukan aplikasi pupuk N dan P2O5 di atas dosis rekomendasi, dimana beda

rata-rata untuk pupuk N, umumnya mencapai lebih dari 25 kg/ha, sedangkan

untuk pupuk P2O5 kebanyakan berada pada interval 1-25 kg/ha. Kenyataan ini

menunjukkan bahwa penggu-naan pupuk N relatif lebih boros dibandingkan

Page 18: ICASEPS WORKING PAPER No. 68pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_68_2004.pdf · paten Daerah Tingkat II Pasuruan, diperlukan analisis yang lebih mendalamdan ... Faktor Diskriminan

17

dengan penggunaan pupuk P2O5, meski-pun penggunaan yang berlebihan dari

kedua jenis pupuk tersebut juga mengindikasikan masih kurang efisiennya

manajemen pemupukan yang dilakukan oleh petani.

Pengguna pupuk K yang terbanyak terdapat di Kecamatan Grati yaitu

mencapai proporsi 46,6 persen, kemudian diikuti oleh Kecamatan Sukorejo 15,4

persen, sedangkan di Kecamatan Rembang tidak teridentifikasi adanya petani

yang menggunakan pupuk Kcl. Penggunaan pupuk kandang hanya ditemukan di

Kecamatan Grati dan Kecamatan Sukorejo, itupun terbatas pada petani yang

memiliki ternak sapi, dimana proporsi peng-guna pupuk organik tersebut masing-

masing sekitar 20 dan 11,5 persen.

Tabel 9. Sebaran frekuensi petani menurut interval beda rata-rata antara dosis pemupukan petani dengan dosis rekomendasi untuk pupuk N dan P

Interval Beda rata-rata antara dosis pemupukan petani

Kecamatan Sukorejo

Kecamatan Rembang

Kecamatan Grati

dengan dosis rekomendasi N P2O5 N P2O5 N P2O5

(kg/ha) (%)

Di bawah dosis rekomendasi (45,8) (20,8) (14,3) (14,3) (36,7) (23,3)

< - 100 - - - - - -

- (76 - 100) 4,2 - - - - -

- (51 - 75) 12,5 - 3,6 - 6,7 -

- (26 - 50) 20,8 - - 3,6 6,7 -

- (1 - 25) 8,3 20,8 10,7 10,7 23,3 23,3

Sesuai dosis rekomendasi (0) ( - ) (4,2) ( - ) ( - ) ( - ) (6,7)

Di atas dosis rekomendasi (54,2) (75,0) (85,7) (85,7) (63,3) (70,0)

1 - 25 8,3 45,8 17,9 53,6 13,3 60,0

26 - 50 20,8 8,3 46,4 28,6 23,3 3,3

51 - 75 12,5 12,5 3,6 3,6 10,0 -

76 - 100 - 4,2 10,7 - 10,0 6,7

> 100 12,5 4,2 7,1 - 6,7 -

Inefisiensi penggunaan pupuk N dan P jika diukur berdasarkan dosis

rekomen-dasi, secara rata-rata di Kecamatan Sukorejo, Rembang, dan Grati

masing-masing mencapai Rp 228.333; Rp 223.913; dan Rp 145.418 per hektar.

Proporsi petani yang melakukan Inefisiensi mencapai lebih dari 80 persen

(Tabel 10).

Page 19: ICASEPS WORKING PAPER No. 68pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_68_2004.pdf · paten Daerah Tingkat II Pasuruan, diperlukan analisis yang lebih mendalamdan ... Faktor Diskriminan

18

Tabel 10. Inefisiensi biaya penggunaan pupuk N dan P2O5 di Kecamatan contoh, 1999/2000

Interval biaya Kecamatan Sukorejo Kecamatan Rembang Kecamatan Grati

yang tidak efisien Proporsi Rata-rata Proporsi Rata-rata Proporsi Rata-rata

penggunaannya petani biaya petani biaya petani biaya

(Rp/ha) (%) (Rp/ha) (%) (Rp/ha) (%) (Rp/ha)

< 75.000 12,6 35.873 17,9 46.848 30,0 33.144

75.000 - 150.000 29,2 97.667 - - 40,0 116.025

> 150.000 45,8 364.068 64,3 272.956 26,7 315.815

Total 87,6 (228.383) 82,2 (223.913) 96,7 (145.418)

Sumber: Data Primer Keterangan: - Angka dalam kurung menunjukkan nilai rata-rata biaya inefisien dari petani sample - Asumsi harga: Urea/ZA = Rp 1.050/kg; dan SP-36 = Rp 1.600/kg

Berbagai hasil penelitian menganjurkan beberapa alternatif untuk

meningkatkan efisiensi pemupukan, antara lain: (1) Pembenaman urea ke

lapisan reduksi dengan meng-gunakan urea super granule (USG), urea briket

(UB), atau urea tablet (UT) dengan Apli-kasi sebanyak 2-3 kali pada umur 14, 28,

dan 42 hari setelah tanam (Suwono et al, 1999; Taslim et al, 1993; Makarim et al,

1995; Daradjat dan Utami, 1995); (2) pemanfaatan Azola sebagai sumber pupuk

Nitrogen (Suriapermana dan Syamsiah, 1995). Sejalan dengan itu, Badan Litbang

Pertanian (1993) mengemukakan bahwa penggunaan Azola segar sebanyak 3

ton/ha dapat meningkatkan hasil padi sekitar 37 persen dibandingkan dengan

tanpa Azola; (3) Efisiensi pupuk P dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan,

di anta-ranya menurut Taher (1995): (a) menggunakan teknik P-stater; (b) gilir air

(intermitten drainage); (c) Penerapan pola mina padi; (d) pemanfaatan jasad

mikro tanah; dan (e) penggunaan varietas padi yang toleran dengan P-tanah

rendah atau varietas yang mampu memanfaatkan timbunan P secara optimal;

dan (4) Efisien pupuk K dapat dilakukan dengan cara: (a) Pengembalian jerami

atau abu pembakaran jerami ke dalam tanah; (b) pemberian pupuk kandang; (c)

Kondisi tanah cukup air; dan (d) Pemantauan sejak dini terhadap keragaan

tanaman padi.

Page 20: ICASEPS WORKING PAPER No. 68pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_68_2004.pdf · paten Daerah Tingkat II Pasuruan, diperlukan analisis yang lebih mendalamdan ... Faktor Diskriminan

19

Penerapan Konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT)

Secara resmi konsepsi PHT telah diterima menjadi kebijakan pada tahun

1979 dengan dimasukkannya ke dalam GBHN III, GBHN IV, dan Intruksi

Presiden No. 3 tahun 1986 yang mempertegas kemauan politik pemerintah untuk

mengatasi permasa-lahan hama tanaman di Indonesia dengan menggunakan

konsepsi PHT, melalui pelatihan dan pelarangan penggunaan 57 jenis formulasi

pestisida pada tanaman padi (Oka dan Bahagiawati, 1991).

Pengertian mengenai PHT dikemukakan oleh Oka dalam Kartaatmadja

dan Sabri (1995), yaitu bahwa PHT adalah teknologi pengendalian hama

dengan pendekatan yang komprehensif berdasarkan ekologi yang dalam

keadaan lingkungan tertentu, meng-usahakan pengintegrasian berbagai taktik

pengendalian yang kompatibel satu sama lain sedemikian rupa, sehingga

populasi hama dapat dipertahankan pada tingkat yang secara ekonomis tidak

merugikan, tidak mencemari lingkungan, dan menguntungkan petani. Pengertian

tersebut diartikan oleh Kartaatmadja dan Sabri (1995) bahwa PHT dituju-kan

untuk mempertahankan kestabilan hasil, bukan meningkatkan hasil. Sementara

itu, petani beranggapan bahwa penggunaan pestisida dapat meningkatkan hasil.

Strategi yang digunakan dalam penerapan konsep PHT meliputi (Oka dan

Bahagiawati, 1991; serta Duriat dan Sastrosiswojo, 1995): (1) Pengendalian

secara kultur teknis; (2) Pengendalian secara hayati; (3) Pengendalian secara

mekanik/fisik; (4) Peman-tauan/pengamatan dan Peramalan; dan (5)

Pengendalian secara kimia secara selektif, efektif, dan bijaksana, dimana

aplikasi pestisida hanya digunakan bila populasi hama atau kerusakan yang

ditimbulkan mencapai ambang ekonomi.

Petani pada umumnya telah mengetahui konsep PHT. Pengetahuan

tersebut selain diperoleh dari kursus/pelatihan, juga didapat dari kegiatan

penyuluhan yang dilakukan oleh petugas penyuluhan pertanian maupun dari

sesama petani (Tabel 11). Meskipun demikian, dalam penerapannya masih

bersifat parsial dan belum terkoordinasi secara baik. Sebagian petani telah

menerapkan beberapa unsur pengendalian secara kultur tek-nis, seperti

Page 21: ICASEPS WORKING PAPER No. 68pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_68_2004.pdf · paten Daerah Tingkat II Pasuruan, diperlukan analisis yang lebih mendalamdan ... Faktor Diskriminan

20

penggunaan benih berlabel, melakukan pergiliran varietas, dan lain sebagai-nya,

tetapi sebagian unsur penting dari strategi PHT lainnya belum dilaksanakan

secara sempurna, misalnya dalam pemantauan hama, utamanya yang dilakukan

secara terkoor-dinasi dengan membentuk regu pengamat hama di masing-

masing kelompok. Pengguna-an pestisida oleh sebagian petani masih dilakukan

secara intensif. Di Kecamatan Suko-rejo, Rembang, dan Grati, frekuensi petani

yang mengeluarkan biaya pestisida di atas Rp 75.000 per hektar masing-masing

mencapai 28,0; 44,8; dan 57,1 persen (Tabel 12).

Tabel 11. Aspek penerapan Pengendalian Hama Terpadu di kecamatan lokasi PROKSI INBIS Kabupaten Pasuruan, 1999/2000

Kecamatan

Uraian Sukorejo Rembang Grati

(%)

1. Proporsi petani yang telah mengetahui tentang PHT 88 89 90

2. Sumber informasi/pengetahuan tentang PHT

a. Kursus/pelatihan 50 54 70

b. Penyuluh Pertanian 38 36 13

c. Ketua kelompok tani/sesama petani 12 10 17

3. Proporsi petani yang telah menerapkan PHT 67 60 81

5. Alasan tidak menerapkan PHT

a. Belum mendapat pelatihan 25 40 20

b. Tidak ada tindak lanjut 13 20 20

c. Tidak ada waktu 13 20 20

d. Tidak ada koordinasi di kecamatan 49 20 20

e. Baru ikut SLPHT - - 20

6. Keberadaan regu pengamat hama 4 7 36

Sumber: Data Primer Tabel 12. Sebaran frekuensi petani di kecamatan contoh dirinci menurut interval biaya korbanan untuk input pestisida, 1999/2000

Kecamatan Sukorejo Kecamatan Rembang Kecamatan Grati

Interval biaya Proporsi Biaya Proporsi Biaya Proporsi Biaya

korbanan petani rata-tara petani rata-tara petani rata-tara

(Rp) (%) (Rp) (%) (Rp) (%) (Rp)

< 25.000 40,0 4.517 17,2 10.600 14,3 5.357

Page 22: ICASEPS WORKING PAPER No. 68pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_68_2004.pdf · paten Daerah Tingkat II Pasuruan, diperlukan analisis yang lebih mendalamdan ... Faktor Diskriminan

21

25.000 - 75.000 32,0 45.716 37,9 47.303 28,6 50.455

76.000 - 125.000 16,0 85.873 24,1 93.167 25,0 107.735

126.000 - 175.000 8,0 149.118 6,9 150.000 14,3 137.073

176.000 - 225.000 - - 6,9 207.000 7,1 204.000

> 225.000 4,0 240.000 6,9 330.000 10,7 364.698

Total/(rata-rata) 100 (53.859) 100 (87.481) 100 (129.184)

Sumber: Data Primer

Beberapa hal penting yang seyogyanya dilakukan dalam kaitannya

dengan upaya penumbuhan budaya Pengendalian Hama Terpadu antara lain:

(1) Meningkatkan kegiatan kursus/pelatihan (SLPHT), yang diikuti dengan perenca-naan program aksi lanjutan dan koordinasi yang kompak antar petugas instansi terkait untuk kesinambungan pemasyarakatan PHT;

(2) Menggalakkan kerjasama antar anggota kelompok tani;

(3) Mengurangi ketergantungan petani terhadap pestisida dan merubah persepsi petani yang menganggap bahwa pestisida adalah “obat” yang dapat menyembuhkan tanaman yang terserang hama dan penyakit.

(4) Menggalakkan promosi penggunaan produk pertanian bebas pestisida untuk meningkat-kan penghargaan konsumen terhadap produk pertanian bebas pestisida, sehingga petani yang melaksanakan PHT dapat memperoleh insentif harga dengan adanya perbedaan harga yang signifikan antara produk yang bebas pestisida dengan yang tidak; dan

(5) Meningkatkan pengetahuan dan pemahaman petani terhadap pengertian dan prosedur penentuan ambang ekonomi tindak pengendalian suatu hama.

Penanganan Hasil

Ruang lingkup kegiatan penanganan hasil atau pasca panen mencakup

aspek yang sangat luas, yaitu penanganan hasil sejak dari panen di lapangan

sampai produk disajikan kepada konsumen (Damardjati et al., 1990). Ditinjau dari

produk yang dihasilkan, kegiat-an pasca panen dibagi atas tiga kegiatan utama,

yaitu: (1) penanganan pasca panen primer (primary handling); (2) pengolahan

hasil pertanian menjadi produk setengah jadi; dan (3) pengolahan menjadi

produk olahan jadi yang siap dikonsumsi (finished product). Dalam Soekarto

(1990), kedua tahap pengolahan yang terakhir disebut sebagai pasca panen

sekunder (manufacturing).

Pada prinsipnya pasca panen primer bertujuan untuk “menyelamatkan”

hasil per-tanian agar tidak menjadi rusak, susut (kehilangan hasil - loss), atau

Page 23: ICASEPS WORKING PAPER No. 68pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_68_2004.pdf · paten Daerah Tingkat II Pasuruan, diperlukan analisis yang lebih mendalamdan ... Faktor Diskriminan

22

turun mutunya, serta menyiapkan hasil pertanian menjadi komoditas siap pasar,

baik pasar konsumen maupun pasar industri untuk pengolahan selanjutnya.

Kegiatan pasca panen primer mencakup: (1) pemanenan; (2) sortasi-grading; (3)

penanganan segar (transportasi, kemasan, cold storage); (4) perontokan; (5)

penggilingan padi; (6) penyimpanan; dan (7) pengawetan (Soekarto, 1990).

Pasca panen sekunder bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah de-ngan

mengubah/mengolah bahan menjadi produk baru serta memanfaatkan bahan

ter-sebut setinggi-tingginya dengan mengolah semua bentuk hasil pertanian,

baik hasil uta-ma, hasil samping, maupun hasil limbah seefisien mungkin.

Teridentifikasi adanya keragaman dalam penanganan hasil padi yang

dilakukan baik antara rumahtangga tani maupun antar kecamatan contoh. Di

Kecamatan Sukorejo, seluruh petani sample melaksanakan kegiatan pasca

panen primer dengan melakukan kegiatan pemanenan, sedangkan di

Kecamatan Rembang dan Grati, hanya sebagian petani yang melaksanakan

pemanenan, karena sebagian petani lainnya melakukan pema-saran hasil

secara tebasan (Tabel 13). Bagi petani yang melakukan pemanenan pun

sebagian besar penjualannya dalam bentuk Gabah Kering Panen (GKP), seperti

di Kecamatan Sukorejo, petani yang menjual dalam bentuk GKP mencapai 54,4

persen, dan yang menjual dalam bentuk Gabah Kering Giling (GKG) dan beras

masing-masing sebesar 34,2 dan 11,4 persen., Di Kecamatan Rembang dan

Grati proporsi petani yang melakukan penjualan dalam bentuk GKP (di jual

tebasan dan satuan) masing-masing mencapai 93 dan 57 persen. Banyaknya

petani di Kecamatan Grati yang melakukan penggilingan gabah menjadi beras

(43%) disebabkan sebagian besar (33%) digunakan untuk konsumsi sendiri,

sedangkan yang ditujukan untuk dijual hanya mencapai 10 persen.

Tabel 13. Sebaran frekuensi petani contoh di kecamatan lokasi PROKSI INBIS Kabupaten Pasuruan dirinci menurut tempat tujuan penjualan hasil padi dan bentuk produk yang dijual, 1999/2000

Tempat tujuan Kecamatan Sukorejo Kecamatan Rembang Kecamatan Grati

penjualan GKP GKG Beras

GKP*) GKG Beras

GKP*) GKG Beras

(%)

1. Pd. Pengumpul *) 31,6 19,0 86,0 - - 57,0 - -

Page 24: ICASEPS WORKING PAPER No. 68pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_68_2004.pdf · paten Daerah Tingkat II Pasuruan, diperlukan analisis yang lebih mendalamdan ... Faktor Diskriminan

23

2. Pd. Besar - - - - 3,5 - - -

3. Pd. antar daerah - 3,8 - - - - - -

4. Pd. Pengecer - - - - - - - -

5. KUD 11,4 - - - - - - -

6. Penggilingan padi 11,4 11,4 3,8 7,0 - - - - 3,0

7. Konsumen RT. - - - - - - - - 7,0

8. Seluruhnya dikon- sumsi sendiri

- - 7,6 - - 3,5 - - 33,0

Sumber: Data Primer Keterangan: *) Proporsi petani yang menjual padi secara tebasan di Kecamatan Rembang dan Grati masing-masing sekitar 21 dan 37 persen.

Beberapa faktor yang mempengaruhi minat petani dalam melakukan

penanganan hasil padi antara lain tergantung pada: (1) Seberapa besar insentif

harga yang diperoleh petani untuk setiap taraf peningkatan mutu hasil, tingkat

produktivitas hasil gabah, dan rendemen; (2) Ketersediaan modal petani untuk

melakukan peningkatan mutu hasil; (3) Kecukupan modal petani untuk persiapan

tanam padi musim berikutnya; dan (4) Ada tidaknya hambatan dalam proses

pengeringan padi.

Hasil perhitungan kasar yang membandingkan perolehan petani untuk

setiap taraf peningkatan mutu hasil padi yang disajikan pada Tabel 14 diperoleh

gambaran bahwa di Kecamatan Sukorejo dan Rembang, pendapatan tertinggi

dapat dicapai apabila petani bersedia melakukan peningkatan mutu hasil dengan

menjual produk dalam bentuk beras. Tetapi, dari Tabel 13 menunjukkan bahwa

hanya sebagian kecil dari petani di kedua kecamatan contoh yang melakukan

penjualan hasil dalam bentuk beras.

Petani di Kecamatan Sukorejo pada umumnya menjual dalam bentuk

GKP dan GKG dengan cara ditimbang per satuan berat bukan tebasan, karena

tingkat produktivitas padinya tinggi. Penjualan dalam bentuk GKG lebih disukai

dari pada dalam bentuk beras, karena tambahan biaya giling, ongkos angkutan,

dan tingkat keuntungan yang hanya mencapai sekitar 12 persen masih kurang

menarik untuk meningkatkan mutu hasil dari GKG menjadi beras.

Petani di Kecamatan Rembang pada umumnya memilih menjual dalam

bentuk GKP, baik secara satuan/ditimbang maupun tebasan. Hal ini disebabkan

Page 25: ICASEPS WORKING PAPER No. 68pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_68_2004.pdf · paten Daerah Tingkat II Pasuruan, diperlukan analisis yang lebih mendalamdan ... Faktor Diskriminan

24

oleh faktor hambatan dalam proses pengeringan, terutama pada musim hujan.

Kesulitan dalam pena-nganan pengeringan, karena penguasaan lahan dari

sebagian besar petani di kecamatan ini relatif luas yang menyebabkan kuantitas

produksi yang harus ditangani cukup besar. Banyaknya proporsi petani di

Kecamatan Rembang yang menjual hasil padinya secara tebasan (21%) karena

penjualan dalam bentuk tebasan cenderung lebih menguntungkan dibandingkan

dengan cara penjualan satuan/ditimbang. Hal ini ditunjukkan oleh hasil analisis

pada Tabel 14. Keterbatasan modal untuk membiayai ongkos panen dan pasca

panen merupakan kemungkinan lain dalam menentukan pilihan penjualan secara

tebasan.

Page 26: ICASEPS WORKING PAPER No. 68pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_68_2004.pdf · paten Daerah Tingkat II Pasuruan, diperlukan analisis yang lebih mendalamdan ... Faktor Diskriminan

25

Tabel 14. Perbandingan pendapatan petani berdasarkan tingkat mutu produk padi yang dihasilkan di kecamatan contoh

Kecamatan Sukorejo Kecamatan Rembang Kecamatan Grati Uraian Volume Harga Nilai Volume Harga Nilai Volume Harga Nilai

(kg/ha) (Rp/kg)) (Rp/ha) (kg/ha) (Rp/kg)) (Rp/ha) (kg/ha) (Rp/kg)) (Rp/ha) I. Penerimaan - Jual tebasan - 4.505.621 4.742.105 - Jual GKP 6.422 800 5.137.600 5.727 800 4.581.600 6.203 800 4.962.400 - Jual GKG 4.817 1.200 5.779.800 4.295 1.200 5.154.300 4.652 1.200 5.582.700 - Jual beras 3.131 2.000 6.261.450 2.792 2.000 5.583.825 2.559 2.000 5.117.475 II. Biaya - Produksi 2.605.735 2.568.347 2.692.711 - Panen *) 80 513.760 80 458.160 80 496.240 - Jemur 135.820 135.820 21 130.263 - Giling 15 96.330 15 85.905 10 62.030 - Transpot ke penggilingan 12,5 80.275 12,5 71.588 12,5 77.538 III. Pendapatan - Jual Tebasan - 1.937.274 2.049.394 - Jual GKP 2.018.105 1.555.093 1.773.449 - Jual GKG 2.524.485 1.991.973 2.263.486 - Jual Beras 2.829.530 2.264.006 1.658.694 IV. Marjin

- Jual GKP vs Tebasan - -382.181 (0,80)

-275.945 (0,87)

- Jual GKG vs GKP 506.380 (1,25)

436.880 (1,28)

490.037 (1,28)

- Jual Beras vs GKP 811.425 (1,40)

708.912 (1,46)

-114.756 (0,94)

- Jual Beras vs GKG 305.045 (1,12)

272.032 (1,14)

-604.793 (0,73)

Sumber: Data Primer; Keterangan: *) Kegiatan panen mencakup petik, perontokan, dan angkut hasil; - Angka dalam kurung (..) menunjukkan nisbah antar dua peubah yang dibandingkan

Page 27: ICASEPS WORKING PAPER No. 68pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_68_2004.pdf · paten Daerah Tingkat II Pasuruan, diperlukan analisis yang lebih mendalamdan ... Faktor Diskriminan

26

Di Kecamatan Grati, penjualan dalam bentuk GKG sebenarnya paling

mengun-tungkan, tetapi petani memilih menjual dalam bentuk GKP. Penjualan

secara tebasan relatif lebih menguntungkan dibandingkan dengan penjualan

secara ditimbang per satuan berat dalam bentuk GKP maupun beras. Tingkat

rendemen beras giling yang rendah di kecamatan ini menyebabkan tingkat

keuntungan yang diperoleh menjadi rendah. Rendah-nya rendemen beras giling

di Kecamatan Grati disebabkan oleh rendahnya mutu gabah. Berdasarkan

informasi dari pengusaha penggilingan bahwa rendemen beras giling di

Kecamatan Grati mencapai sekitar 50-55 persen, sedangkan di Kecamatan

Sukorejo dan Rembang berkisar antara 60-65 persen. Kondisi tersebut

mencerminkan bahwa gabah yang dihasilkan di Kecamatan Grati lebih rapuh dan

lebih banyak gabah hampa diban-dingkan dengan gabah yang dihasilkan di

Kecamatan Sukorejo atau Rembang.

Kegiatan pasca panen sekunder untuk komoditas padi tidak teridentifikasi,

sedangkan untuk komoditas palawija ditemukan di Kecamtan Sukorejo, yaitu

usaha industri rumahtangga yang bergerak di bidang pengolahan tempe/tahu,

keripik tempe, dan tape dari ubikayu. Pengusaha tempe diperkirakan mencapai

300 rumahtangga dengan Omzet pembelian kedelai impor mencapai sekitar 10

ton per hari. Usaha pengolahan tape dikelola oleh sekitar 173 rumahtangga

dengan kebutuhan bahan baku ubikayu kuning segar mencapai sekitar 15 ton

per hari. Adanya usaha industri rumahtangga di Kecamatan Sukorejo yang

mengolah bahan baku yang bersumber dari hasil komoditas sektor pertanian ini

perlu mendapat kajian yang lebih mendalam untuk pengembangan lebih lanjut

dalam kerangka pemberdayaan masyarakat tani di pedesaan.

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

Dalam pengembangan sektor pertanian di lokasi PROKSI INBIS di

Kabupaten Pasuruan seyogyanya dilakukan dengan pendekatan sistem

usahatani terpadu, sehingga dapat memberikan peluang bagi rumahtangga tani

untuk melakukan diversifikasi usaha di sektor petanian. Upaya pembinaan yang

Page 28: ICASEPS WORKING PAPER No. 68pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_68_2004.pdf · paten Daerah Tingkat II Pasuruan, diperlukan analisis yang lebih mendalamdan ... Faktor Diskriminan

27

intensif dalam wadah kelompok tani serta pelayanan lainnya perlu terus

ditingkatkan, baik berupa fasilitasi modal usahatani, akses informasi teknologi,

akses informasi pemasaran, fasili-tasi hubungan kemitraan, maupun bimbingan

manajemen usaha dan penguatan kelembagaan kelompok.

Penerapan teknologi yang perlu diintroduksikan kepada petani

seyogyanya mengarah pada teknologi yang mampu meningkatkan produktivitas

usahatani, mening-katkan efisiensi usaha, dapat menekan kehilangan hasil

dalam kegiatan panen dan pasca panen, ramah lingkungan, dan lebih banyak

menggunakan input yang mengandung bahan baku lokal. Untuk menghasilkan

produk pertanian yang berkualitas dan menekan kehi-langan hasil harus

dilakukan dengan cara Good Farming Practices dan Good Millng Practices.

Mengeliminir secara bertahap hambatan-hambatan klasik yang sering

dihadapi petani, baik dalam hal pengadaan input usahatani, permodalan,

pemasaran, dan pelaya-nan/infrastuktur. Faktor-faktor penghambat itu antara lain

berkaitan dengan masalah: (1) Ketersediaan dan harga sarana produksi yang

terjangkau; (2) Aksesibilitas petani terha-dap sumber permodalan; (3) Ketepatan

waktu dalam pencairan kredit; (4) Aksesibilitas petani terhadap informasi

teknologi; (5) Aksesibilitas petani terhadap informasi pasar; dan (6) faktor-faktor

lainnya yang berkaitan dengan aspek pemasaran dan pelayanan.

DAFTAR PUSTAKA Adnyana, M.O. et al. 1997. Studi dampak pengembangan agribisnis berbasis

komoditas. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.

Adnyana, M.O., Djulin, A., Kariyasa, K., Saktyanu, K.D. dan Darwis, V. 2000. Perumusan kebijaksanaan harga gabah dan pupuk dalam era pasar bebas. Makalah seminar hasil-hasil penelitian P/SE, Bogor 6-7 Maret 2000. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.

Damardjati, D.S., Santoso, B.A.S., Rumiati, S., dan Yastra, Y. 1990. Peranan dan perkembangan penelitian pasca panen tanaman pangan. 1990. Dalam: Mahyuddin Syam et al (eds). Penelitian Tanaman Pangan. Risalah Simposium II. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.

Daradjat, A.A., dan Utami, P.K. 1995. Kebutuhan hara N tanaman padi di lahan sawah irigasi. Dalam: Mahyuddin Syam et al (eds). Kinerja Penelitian Tanaman Pangan. Buku 3. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.

Page 29: ICASEPS WORKING PAPER No. 68pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_68_2004.pdf · paten Daerah Tingkat II Pasuruan, diperlukan analisis yang lebih mendalamdan ... Faktor Diskriminan

28

Djunainah, Susanto, T.W., dan Kasim, H. 1993. Deskripsi varietas padi unggul 1943-1992. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.

Duriat, A.S., dan Sastrosiswojo, S. 1995. Pengendalian hama penyakit terpadu pada agribisnis cabai. dalam: A. Santika (ed). Agribisnis Cabai. Penebar Swadaya. Jakarta.

Kartaatmadja, S., dan Sabri, S.S. 1995. Penerapan pengendalian hama terpadu: keterkaitan faktor sosial dan kelembagaan. Dalam: Mahyuddin Syam et al (eds). Kinerja Penelitian Tanaman Pangan. Buku 3. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.

Makarim, A.K. et al. 1995. Peningkatan efisiensi dan efektivitas pemupukan N pada padi sawah berdasarkan analisis sistem. Dalam: Mahyuddin Syam et al (eds). Kinerja Penelitian Tanaman Pangan. Buku 3. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.

Oka, I.N., dan Bahagiawati, A.H. 1991. Pengendalian hama terpadu. Dalam: Edi Soenarjo et al (eds). Padi, Buku 3. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.

Pranadji, T. 1984. Peranan lembaga dan organisasi tingkat desa dalam pembangunan berencana di pedesaan: Studi kasus di Desa Kedung Poh dan Katongan, Gunung Kidul, DI, Yogyakarta. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, IPB. Bogor.

Pranadji, T. 1995. Intensifikasi padi sawah di pedesaan antara modernisasi dan pembangunan. Dalam: Mahyuddin Syam et al (eds). Kinerja Penelitian Tanaman Pangan, Buku 3. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.

Purwantini, T.B., dan Suhaeti, R.N. 1995. Prospek dan Perkembangan Produksi Padi Sawah di Jawa Barat. Dalam: Mahyuddin Syam et al (eds). Kinerja PenelitianTanaman Pangan, Buku 3. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.

Sawit, H., Saefudi, A., dan Manwan, I. 1990.Program Supra Insus di jalur pantai utara Jawa Barat dan Sulawesi Selatan: Masalah, kendala dan saran perbaikan. Dalam: Mahyuddin Syam et al (eds). Penelitian Tanaman Pangan. Risalah Simposium II. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.

Soekarto, S.T. 1990. Peranan pasca panen dalam pengambangan pertanian tanaman pangan. Dalam: Mahyuddin Syam et al (eds). Penelitian Tanaman Pangan. Risalah Simposium II. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.

Suriapermana, S., dan Syamsiah, I. 1995. Tanam jajar legowo pada sistem usahatani minapadi-azola di lahan sawah irigasi. Dalam: Z. Zaini et al (eds). Sistem Usahatani Berbasis Tanaman Pangan: Keunggulan Komparatif dan Kompetitif. Risalah Seminar Hasil Penelitian Sistem Usahatani dan Sosial-Ekonomi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.

Suwono, Sembiring, H., Prita, D.S., Kasiyadi, F., dan Suyamto. 1999. Acuan rekomendasi pemupukan spesifik lokasi untuk padi sawah di Jawa Timur. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Karangploso. Malang.

Suyamto, H. 1995. Pemupukan Kalium di tanah Vertisol. Dalam: Mahyuddin Syam et al (eds). Kinerja Penelitian Tanaman Pangan. Buku 3. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.

Taher, A. 1995. Pemanfaatan timbunan fosfat di lahan sawah. Dalam: Mahyuddin Syam et al (eds). Kinerja Penelitian Tanaman Pangan. Buku 3. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.

Taryoto, A.H. et al. 1993. Analisis perubahan kebijaksanaan organisasi ekonomi dalam bidang pangan dan dampaknya terhadap produksi, distribusi, dan

Page 30: ICASEPS WORKING PAPER No. 68pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_68_2004.pdf · paten Daerah Tingkat II Pasuruan, diperlukan analisis yang lebih mendalamdan ... Faktor Diskriminan

29

peningkatan pendapatan dan kesempatan kerja di pedesaan. Monograph series No. 10. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.

Taryoto, A.H., dan Pranadji, T. 1995. Perspektif historis kelembagaan dan organisasi peningkatan produksi padi di Indonesia. Dalam: Mahyuddin Syam et al (eds). Kinerja Penelitian Tanaman Pangan, Buku 3. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.

Taslim, H., Partohardjono, S., dan Djunainah. 1993. Bercocok tanam padi sawah. Dalam: M. Ismunadji et al (eds). Padi, Buku 2, Cetakan kedua. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.

Tjondronegoro, S.M.P. 1990. Revolusi hijau dan perubahan sosial di pedesaan Jawa. PRISMA, XI (2). LP3ES. Jakarta.

Tjubarjat, T., dan Daradjat, A.A. 1990. Kajian pelaksanaan Supra Insus di pantai utara Jawa Barat. Dalam: Mahyuddin Syam et al (eds). Penelitian Tanaman Pangan. Risalah Simposium II. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.