i - staff official site unila | blog dosen universitas...

73
PROPOSAL PENULISAN “PENINGKATAN PERAN DPRD DI ERA OTONOMI DAERAH” Penulis Chici Gamiarsi 0816041023 Manda Aryan Sari 0816041005 Mukhlis 0856041025 Nita Perdana 0816041039 Rahma Santi 0856041033 Susi Simbolon 0816041011 Mata Kuliah : Metode Penelitian Kualitatif Administrasi Publik Dosen : Eko Budi Sulistio, M.AP.

Upload: truongthu

Post on 20-Mar-2018

217 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: I - Staff Official Site Unila | Blog Dosen Universitas Lampungstaff.unila.ac.id/ekobudisulistio/files/2013/09/... · Web viewProf. Dr. Bhenjamin Hussein dalam Sarundajang (2005:73)

PROPOSAL PENULISAN “PENINGKATAN PERAN DPRD DI ERA OTONOMI DAERAH”

Penulis

Chici Gamiarsi 0816041023Manda Aryan Sari 0816041005Mukhlis 0856041025Nita Perdana 0816041039Rahma Santi 0856041033Susi Simbolon 0816041011

Mata Kuliah : Metode Penelitian Kualitatif Administrasi Publik

Dosen : Eko Budi Sulistio, M.AP.

JURUSAN ILMU ADMINISTRASI NEGARAFAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS LAMPUNGBANDAR LAMPUNG

2010

Page 2: I - Staff Official Site Unila | Blog Dosen Universitas Lampungstaff.unila.ac.id/ekobudisulistio/files/2013/09/... · Web viewProf. Dr. Bhenjamin Hussein dalam Sarundajang (2005:73)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Reformasi yang terjadi pada pertengahan tahun 1998 merupakan tonggak awal berdirinya sistem pemerintahan reformasi itu sendiri. Hal ini yang akhirnya manandai berakhirnya sistem pemerintahan yang bersifat sentralistik yang telah lama di adopsi dan dilaksanakan oleh pemerintah Republik Indonesia. Pada masa sentaralisasi memang telah terdapat sistem desentralisasi tetapi dalam lingkup yang sangat kecil sehingga kecendrungannya tetap terpusat. Kemelut politik yang terjadi pada tahun 1998 inilah yang menandai lahirnya sistem baru, dimana sebagian kewenangan perintah pusat dilimpahkan kepada pemerintah daerah yang akhirnya kita kenal sistem desentralisasi, sistem inilah yang memberikan kebebasan dan kewenangan penuh kepada pemerintah daerah (Pemda) untuk memejukan dan memaksimalkan potensi daerah masing-masing sehingga terjadinya otonomi daerah yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Secara filosofis pemerintah daerah (Pemda) dibentuk untuk melayani kebutuhan masyarakat. Dari tujuan politis dan administratif, misi utama keberadaan pemerintah daerah (Pemda) adalah untuk mensejahterakan masyarakat melalui penyediaan pelayanan publik secara efektif, efisien, ekonomis, transparan, partisipasif, dan demokratis. Cita-cita membawa dan menuju masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur sesuai dengan pembukaan Undang-Undang Dasar alinea ke-4, hal ini tentunya memerlukan kemapanan, harmonisasi dan keselarasan suatu hubungan yang dijalin antara unsur penyelenggara Pemerintah Daerah (Pemda). Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki perangkat-perangkat untuk menjalankan sistem pemerintahannya, berdasarkan undang-undang 32 tahun 2004 bab I pasal 1 ayat 2, 3, dan 4 menerangkan bahwa yang dimaksud pemerintah daerah (Pemda) terdiri dari Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintah daerah (Pemda).

Keberadaan lembaga perwakilan rakyat di dalam suatu negara yang menganut demokrasi sangat diperlukan karena pada dasarnya setiap kebijakan publik harus dirumuskan dan diputustan oleh dan untuk rakyat sendiri. Pada umumnya suatu negara yang memiliki penduduk (warga negara) dalam jumlah besar, keputusan tidaklah mungkin dilakukan oleh seluruh warga negara dan untuk itulah diperlukan adanya lembaga perwakilan rakyat. Dalam menyelenggarakan pemerintahan di daerah, diperlukan perangkat perangkat dan lembaga-lembaga untuk menyelenggarakan jalannya pemerintahan didaerah sehari-hari. Sebagaimana hanya di pusat negara, perangkat-perangkat dan lembaga-lembaga daerah biasanya merupakan refleks dari sistem yang ada di pusat negara. Untuk memenuhi fungsi perwakilan dalam menjalankan kekuasaan legislatif daerah sebagaimana di pusat negara di daerah dibentuk pula Lembaga

Page 3: I - Staff Official Site Unila | Blog Dosen Universitas Lampungstaff.unila.ac.id/ekobudisulistio/files/2013/09/... · Web viewProf. Dr. Bhenjamin Hussein dalam Sarundajang (2005:73)

Perwakilan Rakyat, dan lembaga ini biasa dikenal atau dinamakan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dewan Perwakilan Daerah adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Secara umum peran ini diwujudkan dalam tiga fungsi, yaitu:1. Regulator. Mengatur seluruh kepentingan daerah, baik yang termasuk

urusanurusan rumah tangga daerah (otonomi) maupun urusan-urusan pemerintah pusat yang diserahkan pelaksanannya ke daerah (tugas pembantuan);

2. Policy Making. Merumuskan kebijakan pembangunan dan perencanaan program-program pembangunan di daerahnya;

3. Budgeting. Perencanaan angaran daerah (APBD)

Dalam perannya sebagai badan perwakilan, DPRD menempatkan diri selaku kekuasaan penyeimbang (balanced power) yang mengimbangi dan melakukan control efektif terhadap Kepala Daerah dan seluruh jajaran pemerintah daerah. Peran ini diwujudkan dalam fungsi-fungsi berikut:

1. Representation. Mengartikulasikan keprihatinan, tuntutan, harapan dan melindungikepentingan rakyat ketika kebijakan dibuat, sehingga DPRD senantiasa berbicara “atas nama rakyat”;

2. Advokasi. Anggregasi aspirasi yang komprehensif dan memperjuangkannya melalui negosiasi kompleks dan sering alot, serta tawar-menawar politik yang sangat kuat. Hal ini wajar mengingat aspirasi masyarakat mengandung banyak kepentingan atau tuntutan yang terkadang berbenturan satu sama lain. Tawar menawar politik dimaksudkan untuk mencapai titik temu dari berbagai kepentingan tersebut.

3. Administrative oversight. Menilai atau menguji dan bila perlu berusaha mengubah tindakan-tindakan dari badan eksekutif. Berdasarkan fungsi ini adalah tidak dibenarkan apabila DPRD bersikap “lepas tangan” terhadap kebijakan pemerintah daerah yang bermasalah atau dipersoalkan oleh masyarakat. Apalagi dengan kalimat naif, “Itu bukan wewenang kami”, seperti yang kerap terjadi dalam praktek. Dalam kasus seperti ini, DPRD dapat memanggil dan meminta keterangan, melakukan angket dan interpelasi, bahkan pada akhirnya dapat meminta pertanggung jawaban Kepala Daerah.(http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2009/05 /implementasiperanfungsi dprd.pdf )

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang kedudukannya sebagai wakil rakyat tidak mungkin melepaskan dirinya dari kehidupan rakyat yang diwakilinya, oleh karena itu secara material mempunyai kewajiban untuk memberikan pelayanan kepada rakyat atau publik yang diwakilinya. Dewan Perwakilan Rakyat daerah (DPRD) sebagai lembaga perwakilan rakyat harus dapat merepresentasikan keingiana masyarakat sehingga setiap kebijakan yang dikerluakan betul-betul merupakan sarana demokrasi dan komunikasi timbal balik antara kepala daerah dengan masyarakat di daerahnya. Denagan demikian Dewan Perwakilan Daerah (DPRD) tidak akan melakukan perbuatan yang tidak terpuji, menguntungkan pribadi dan membebani anggaran rakyat untuk kepentingannya.

Page 4: I - Staff Official Site Unila | Blog Dosen Universitas Lampungstaff.unila.ac.id/ekobudisulistio/files/2013/09/... · Web viewProf. Dr. Bhenjamin Hussein dalam Sarundajang (2005:73)

Dengan memahami etika pemerintahan diharapkan dapat mengurangi tindakan-tindakan yang tercela, tidak terpuji dan merugikan masyarakat. Untuk itu perlu kiranya dibuatkan kode etik untuk para anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPRD) yang dapat dijadikan pedoman dalam pelaksanaan peran dan fungsinya, sehingga kewenangan yang besar juga disertai dengan tanggung jawab yang besar pula. Sosok ideal Dewan Perwakilan Daerah (DPRD) yang bermoral, aspiratif dengan kepentingan rakyat, dan selalu memperjuangkan kesejahteraan rakyat dapat terwujud. Dengan kata lain antara perangkat pemerintah daerah (Pemda) harus terjalin komunikasi timbal balik dan adanya keterbukaan diantara para pihak dalam penyelesaian segala permasalahan dalam mewujudkan kesejahteraan rakyatnya.

Eksistensi lembaga Dewan Perwakilan Daerah (DPRD) di era otonomi daerah berdasarkan Undang-undang No.32 tahun 2004 diharapkan dapat menyeimbangkan kekuatan terhadap pihak eksekutif daerah dengan cara menjalankan 3 fungsinya secara optimal, yakni fungsi perwakilan, fungsi legislasi dan fungsi pengawasan, serta DPRD harus menjalankan perannya sebagai berikut: Dalam tataran empirik ketiga fungsi itu diduga belum berjalan secara maksimal karena terkendala oleh berbagai faktor misalnya kemampuan sumberdaya manusia dan maupun pengaturan kelembagaan secara internal Dewan Perwakilan Daerah (DPRD). Daerah Dewan Perwakilan Daerah (DPRD) belum menunjukkan kinerja yang diharapkan. Hal ini tercermin pada semakin tinggi tingkat korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dalam era otonomi daerah maupun banyaknya peraturan perundang-undangan yang tidak dijalankan secara konsekuen dan konsisten oleh pemerintah daerah.(Sumber: Sadu Wasistiono,2009:139)

Hal ini sangat dirasakan sekali oleh daerah-daerah otonom yang ada di Indonesia. Salah satunya adalah Kota Bandar Lampung yang bertempat dikawasan Provinsi Lampung. Dimana Dewan Perwakilan Daerah (DPRD) Provinsi Lampung diduga belum maksimal dalam menjalankan ketiga fungsi tersebut. Dewan Perwakilan Daerah (DPRD) kota merupakan mitra kerja walikota (eksekutif). Sejak diperlakukannya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Walikota tidak lagi bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Daerah (DPRD) Kota, karena dipilih langsung oleh rakyat melalui Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).Dalam penjelasan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Daerah (DPRD) kota Bandar Lampung dalam Bab IX Pasal 53 DPRD Kota Bandar Lampung terdiri dari beberapa komisi yaitu :

1. Komisi A : Bidang Pemerintahan dan Hukum2. Komisi B : Bidang Perekonomian3. Komisi C : Bidang Pembangunan4. Komisi D : Bidang Kesejahteraan Rakyat

Fokus dalam penelitian ini lebih kepada Peningkatan peran DPRD yang dibahas Komisi C dalam bidang pembangunan. Yaitu mengenai kemacetan yang belum bias dituntaskan oleh DPRD di Bandar Lampung. Berdasarkan pantauan ANTARA di beberapa titik lintas Sumatera, kemacetan makin parah karena jumlah polisi yang mengatur arus lalu lintas di perempatan jalan hanya beberapa orang.

Kemacetan juga menghambat kelancaran arus kendaraan di dalam Kota

Page 5: I - Staff Official Site Unila | Blog Dosen Universitas Lampungstaff.unila.ac.id/ekobudisulistio/files/2013/09/... · Web viewProf. Dr. Bhenjamin Hussein dalam Sarundajang (2005:73)

Bandarlampung, karena arus kendaraan yang melintasi perempatan jalan lintas itu juga tersendat.

Pesatnya pertumbuhan penduduk Bandarlampung mengakibatkan mereka banyak membangun permukiman dan tempat usaha di pinggiran jalan lintas Sumatera. Akibatnya, jalan lintas yang puluhan tahun lalu masih di pinggiran kota, kini berada di pusat Kota Bandarlampung.

Sementara lebar jalan negara dua arah itu kurang lebih enam meter, namun tiap hari dipadati kendaraan, termasuk truk sarat muatan, menuju Pelabuhan Panjang dan Bakauheni, atau dari arah kedua pelabuhan menuju berbagai daerah di Sumatera.

Titik kemacetan panjang selalu terjadi di perempatan Tanjungsenang, Sukarame, Kalibalok hingga pertigaan Panjang di jalan lintas ruas Rajabasa- Panjang.

Kondisi jalan yang masih rusak-meski telah ditambal sekadarnya menjelang Lebaran lalu-mengakibatkan kendaraan harus melaju perlahan. Kondisi sisi jalan yang juga rusak parah mengakibatkan arus kendaraan makin tersendat, karena kendaraan makin sulit melintasinya.

Kemacetan di jalan lintas Sumatera Wilayah Lampung makin parah dari bulan ke bulan, karena perbaikan dan pelebaran jalan itu tidak kunjung dilaksanakan. Fakta ini bkan tidak dapat dilihat dan diakses oleh pemerintah, akan tetapi mereka menutup mata dengan kejadian yang ada, alas an mereka hanya terpaut pada APBD/ alokasi dana pembangunan yang terbatas sehingga tidak bisa untuk memaksimalkan perbaikan terutama pembangunan jalan. Namun perlu dilihat juga dari sisi hukum, banyak truk yang menggunakan jalan tidak sesuai dengan muatan yang seharusnya sehingga jalan mudah amblas dan rusak. Dan kejadsian ini tidak jarang dibiarkan oleh petugas, jika Negara kita adalahnegara hukum seharusnya hukum ditegakkan yang melanggar dan yang menjaga ditindak keras, agar permasalahan seperti tidak terulang kemabli, yang menjadi korban bukan hanya individu akan tetapi masyarakat terutama pengguna jalan. ( http://www.antaranews.com)

B. Permasalahan

Rumusan masalah dalam penulisan ini adalah:1. Bagaimana peran DPRD Provinsi Lampung di Era Otonomi Daerah saat ini?2. Kendala apa saja yang ada di Era Otonomi Daerah sampai saat ini

berkenaan dengan peran DPRD Provinsi Lampung tersebut?3. Solusi apa saja yang diberikan DPRD Provinsi Lampung dalam

meningkatkan peran mereka di Era Otonomi Daerah saat ini?

C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan-rumusan masalah diatas, maka tujuan dari penulisan ini adalah untuk:1. Mendeskripsikan dan menganalisis peran DPRD Provinsi Lampung di Era

Otonomi Daerah saat ini.2. Mendeskripsikan dan menganalisis kendala apa saja yang ada di Era

Otonomi Daerah sampai saat ini berkenaan dengan peran DPRD Provinsi Lampung tersebut.

Page 6: I - Staff Official Site Unila | Blog Dosen Universitas Lampungstaff.unila.ac.id/ekobudisulistio/files/2013/09/... · Web viewProf. Dr. Bhenjamin Hussein dalam Sarundajang (2005:73)

3. Mendeskripsikan dan menganalisis solusi apa saja yang diberikan oleh DPRD Provinsi Lampung dalam meningkatan perannya.

D. Kegunaan Penulisan

Berdasarkan tujuan penulisan, maka kegunaan penulisan adalah:1. Secara teoritis, hasil penulisan ini dapat menambah wawasan dan

pengetahuan serta memberikan sumbangan gagasan dalam ranah Ilmu Administrasi Publik, khusunya studi tentang peran instansi pemerintahan dalam mewujudkan desentralisasi.

2. Secara praktis, hasil penulisan ini dapat menjadi bahan masukan bagi peningkatan peran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) di Era Otonomi Daerah di Provinsi Lampung pada tahun-tahun berikutnya.

Page 7: I - Staff Official Site Unila | Blog Dosen Universitas Lampungstaff.unila.ac.id/ekobudisulistio/files/2013/09/... · Web viewProf. Dr. Bhenjamin Hussein dalam Sarundajang (2005:73)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan tentang Otonomi Daerah

Menurut Sarundajang (2005) otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajibn daerh untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Prof. Dr. Bhenjamin Hussein dalam Sarundajang (2005:73) menyatakan bahwa otonomi, melalui desentralisasi bukan diberikn kepada pemerintah daerah, bukan kepada DPRD, bukan kepada daerah tetapi kepada masyarakat setempat. Hal ini merupakan esensi dari otonomi. Moh. Hatta dalam Sarundajang (2005:73) mengatakan bahwa otonomisasi suatu masyarakat, yaitu masyarakat yang berada di dalam teritorial tertentu yang semula tidak mempunyai otonomi menjadi memiliki otonomi. Masyarakat ini kemudian menjelma menjadi daerah otonom.

Menurut Sarundajang (2005) tujuan dari pemberian otonomi adalah: (1)peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik; (2)pengembangan kehidupan demokrasi; (3)distribusi pelayanan publik yang semakin baik, merata dan adil; (4)penghormatan terhadap budaya lokal; (5)perhatian atas potensi dan keanekaragaman daerah.

Sarundajang menegaskan bahwa tujuan pemberian otonomi daerah setidak-tidaknya meliputi empat aspek: (1)dari segi politik adalah untuk mengikutsertakan, menyalurkan, inspirasi dan aspirasi masyarakat, baik untuk kepentingan daerah sendiri, maupun untuk mendukung politik dan kebijaksanaan nasional dalam rangka pembangunan dalam proses demokrasi di lapisan bawah; (2)dari segi manajemen pemerintahan, adalah untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan, terutama dalam memberikan penyelenggaraan pemerintahan, terutama dalam memberikan pelayanan terhadap masyarakat dengan memperluas jenis-jenis pelayanan dalam berbagai bidang kebutuhan masyarakat; (3)dari segi kemasyarakatan, untuk meningkatkan partisipasi serta menumbuhkan kemandirian masyarakat, dengan melakukan usha pemberdayaan masyarakat sehingga masyarakat makin mandiri; (4)dari segi ekonomi pembangunan, untuk melancarkan pelaksanaan program pembangunan guna tercapainya kesejahteraan rakyat yang makin meningkat.

Pemberlakuan otonomi daerah merupakan amanat yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) Amandemen kedua tahun 2000 untuk dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang yang dibentuk khusus untuk mengatur daerah, UUD 1945.

Otonomi daerah menurut UU No.32 tahun 2004 Pasal 1 poin 5, adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri

Page 8: I - Staff Official Site Unila | Blog Dosen Universitas Lampungstaff.unila.ac.id/ekobudisulistio/files/2013/09/... · Web viewProf. Dr. Bhenjamin Hussein dalam Sarundajang (2005:73)

urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sementara itu daerah otonom dalam UU No. 32 tahun 2004 Pasal 1 poin 6 dijelaskan selanjutnya yang disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pelaksanaan otonomi daerah dipengaruhi oleh faktor-faktor yang meliputi kemampuan si pelaksana, kemampuan dalam keuangan, ketersediaan alat dan bahan, dan kemampuan dalam berorganisasi. Otonomi daerah tidak mencakup bidang-bidang tertentu, seperti politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter, fiskal, dan agama. Bidang-bidang tersebut tetap menjadi urusan pemerintah pusat. Pelaksanaan otonomi daerah berdasar pada prinsip demokrasi, keadilan, pemerataan, dan keanekaragaman.

Dalam otonomi daerah ada prinsip desentralisasi, dekonsentrasi dan pembantuan yang dijelaskan dalam UU No.32 tahun 2004 sebagai berikut:

1. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

2. Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerinta kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu.

3. Tugas pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.

Menurut “Sarundajang” (2005) otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Prof. Dr. Bhenjamin Hussein dalam Sarundajang (2005:73) menyatakan bahwa otonomi, melalui desentralisasi bukan diberikan kepada pemerintah daerah, bukan kepada DPRD, bukan kepada daerah tetapi kepada masyarakat setempat. Hal ini merupakan esensi dari otonomi. Moh. Hatta dalam Sarundajang (2005:73) mengatakan bahwa otonomisasi suatu masyarakat, yaitu masyarakat yang berada di dalam teritorial tertentu yang semula tidak mempunyai otonomi menjadi memiliki otonomi. Masyarakat ini kemudian menjelma menjadi daerah otonom.

Menurut Sarundajang (2005) tujuan dari pemberian otonomi adalah: (1)peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik; (2)pengembangan kehidupan demokrasi; (3)distribusi pelayanan publik yang semakin baik, merata dan adil; (4)penghormatan terhadap budaya lokal; (5)perhatian atas potensi dan keanekaragaman daerah.

Sarundajang menegaskan bahwa tujuan pemberian otonomi daerah setidak-tidaknya meliputi empat aspek: (1)dari segi politik adalah untuk mengikutsertakan, menyalurkan, inspirasi dan aspirasi masyarakat, baik untuk

Page 9: I - Staff Official Site Unila | Blog Dosen Universitas Lampungstaff.unila.ac.id/ekobudisulistio/files/2013/09/... · Web viewProf. Dr. Bhenjamin Hussein dalam Sarundajang (2005:73)

kepentingan daerah sendiri, maupun untuk mendukung politik dan kebijaksanaan nasional dalam rangka pembangunan dalam proses demokrasi di lapisan bawah; (2)dari segi manajemen pemerintahan, adalah untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan, terutama dalam memberikan penyelenggaraan pemerintahan, terutama dalam memberikan pelayanan terhadap masyarakat dengan memperluas jenis-jenis pelayanan dalam berbagai bidang kebutuhan masyarakat; (3)dari segi kemasyarakatan, untuk meningkatkan partisipasi serta menumbuhkan kemandirian masyarakat, dengan melakukan usha pemberdayaan masyarakat sehingga masyarakat makin mandiri; (4)dari segi ekonomi pembangunan, untuk melancarkan pelaksanaan program pembangunan guna tercapainya kesejahteraan rakyat yang makin meningkat.

Dengan adanya otonomi daerah berarti telah memindahkan sebagian besar kewenangan yang tadinya berada dipemerintah pusat diserahkan kepada daerah ototnom, sehingga pemerintah daerah ototnom dapat lebih cepat dalam merespon tuntutan masyarakat daerah sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Karena kewenangan membuat kebijakan peraturan daerah sepenuhnya menjadi wewenang daerah otonom, maka dengan otonomi daerah pelaksanaan tugas umum pemerintahan dan pembnagunan akan dapat berjalan lebih cepat dan lebih berkualitas. Keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah sangat bergantung kepada kemampuan keuangan daerah, sumber daya yang dimiliki daerah, serta kemampuan daerah untuk mengembangkan segenap potensi yang ada di daerah otonom.

Dalam sistem otonomi daerah, dikenal istilah desentralisasi, dekonsentrsai dan tugas pembantuan. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintah oleh pemerintah pusat kepada daerah ototnomi untuk mangtur dan mengurus urusan pemerintahan dalam system Negara Kesatuan Repiblik Indonesia (NKRI), sedangkan dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintah oleh pemerintah pusat kepada gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah dan atau kepada instansi vertical diwilayah tertentu.

Sementara itu tugas pembantuan merupakan penugasan dari pemerintah pusat kepada daerah dan atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan atau desa serta dari pemerintahan kabupaten /kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.

2.2Tinjauan tentang Pemerintahan Daerah Pemerintah Daerah

Esensi demokrasi adalah partisipasi publik dalam menentukan pejabat –pejabat politik dan dalam pembuatan kebijakan publik. Menurut Rosseau dalam Dede Mariana dan Caroline Paskarina (2008) demokrasi tanpa partisipasi langsung langsung oleh rakyat merupakan bentuk pengingkaran terhadap demokrasi itu sendiri. Asumsi inilah yang mendasari pandangan bahwa pemilihan para pejabat politik secara langsung lebih demokratis dibandingkan melalui mekanisme perwakilan.Ada sejumlah argumen yang melandasi relevansi pemilihan kepala daerah secara langsung dengan legitimasi pemerintahan. Pertama, pemilihan secara langsung diperlukan untuk memutuskan oligarkhi partai yang mewarnai pola pengorganisasian partai politik di DPRD. Kedua, pemilihan kepala daerah secara langsung dapat meningkatkan kualitas akuntabilitas para elit politik lokal, termasuk kepala-kepala daerah.. Ketiga, pemilihan langsung kepla daerah akan

Page 10: I - Staff Official Site Unila | Blog Dosen Universitas Lampungstaff.unila.ac.id/ekobudisulistio/files/2013/09/... · Web viewProf. Dr. Bhenjamin Hussein dalam Sarundajang (2005:73)

memperkuat dan meningkatkan seleksi kepemimpinan elit lokal sehingga membuka peluang bagi munculnya figur-figur alternatif yang memiliki kapabilitas dan dukungan riil di masyarakat lokal. Keempat, pemilihan secara langsung lebih meningkatkan kualitas keterwakilan (representativeness) karena masyarakat dapat menentukan pemimpinnya di tingkat lokal. (Dede Mariana dan Caroline Paskarina, 2008:33)

Mekanisme rekrutmen kepala daerah merupakan salah satu dimensi dalam meningkatkan kualitas demokrasi di tingkat lokal. Menurut Dede Mariana dan Caroline Paskarina (2008:34), penerapan mekanisme pemilihan langsung tidak dengan sendirinya akan menjamin terjadinya peningkatan kualitas demokrasi. Karena itu, penerapan mekanisme pemilihan langsung harus didukung perubahan konteks. Konteks ini meliputi:

1. Budaya politik masyarakat, dalam perlu ada pelembagaan demokrasi sebagai aturan main yang disepakati semua pihak melalui pendidikan politik sehingga masyarakat tidak sekedar menjadi alat mobilisasi bagi kepentingan elit.

2. Pola pengorganisasian partai politik cenderung sentralistis dalam struktur internalnya, yang tampak dari maraknya politik “restu” dari DPP dalam penentuan calon kepala daerah.

3. Politik aliran dalam dinamika politik lokal akan mengarah pada disintegrasi dan instabilitas.

Dede Mariana dan Caroline Paskarina (2008) juga berpendapat bahwa pemilihan kepala daerah secara secara langsung akan punya makna dan efektif dalam mengembalikan legitimasi politik jika didukung oleh prakondisi-prakondisi sebagai berikut :

1. Secara prosedural demokratis: mekanismenya demokratis (termasuk penetapan syarat-syarat calon, mekanisme pencalonan, dan penghitungan suara yang transparan dan adil); aturan main dalam membentuk perundang-undangan yang demokratis (disepakati seluruh pihak); revisi sistem pemilu secara distrik sehingga keterwakilan lebih terjamin; pola pengorganisasian parpol yang desentralistis; isu-isu lokal dalam kampanye pemilu lokal.

2. Secara subtantif demokratis: ada ruang publik yang terbuka dan inklusif bagi partisipasi publik; ada penguatan institusi demokrasi lokal (partai politik, pers, dan LSM yang independen), ada dinamika politik lokal yang konkret dan murni.

Dengan demikian, pemilihan kepala daerah secara langsung akan baru bermakna dalam meningkatkan demokratisasi lokal didukung oleh upaya revisi sistem secara keseluruhan. Dinamika politik lokal tidak berada dalam ruang yang hampa, tetapi senantiasa dipengaruhi tarik-menarik berbagai kekuatan, baik elit maupun massa, baik eksternal maupun internal. Pemilihan kepala daerah secara langsung tidak akan membawa perubahan, jika tidak didukung desain sistem pemilu nasional yang menjamin keterwakilan dan kualitas anggota lembaga legislatif. Dalam tataran lokal, sistem pemilihan kepala daerah juga harus memuat ketentuan-ketentuan yang dapat meminimalkan potensi konflik di daerah, baik yang disebabkan politik aliran, mobilisasi massa maupun konflik kepentingan yang bersifat elitis.

Peran dan Fungsis DPRDHak DPRD tertulis pada Pasal 19 UU Nomor 22 Tahun 1999, maka DPRD adalah “DPR mini” plus kewenangan memilih dan menetapkan kepala daerah/

Page 11: I - Staff Official Site Unila | Blog Dosen Universitas Lampungstaff.unila.ac.id/ekobudisulistio/files/2013/09/... · Web viewProf. Dr. Bhenjamin Hussein dalam Sarundajang (2005:73)

wakil kepala daerah. DPRD tidak perlu berkonsultasi pada Gubernur atau Menteri Dalam Negeri untuk menetapka Bupati/ Walikota. Bahkan dalam pemilihan Bupati/ Walikota, kemandirian itu menjadi milik tiap individu anggota DPRD, karena pemungutan suara, tidak berdasarkan fraksi. Penyusunan daftar calon anggota legislatif (caleg) DPRD oleh parpol-parpol menjadi sangat penting dan harus selektif. Masyarakat harus mencermati dengan seksama siapa caleg yang ditampilkan oleh parpol untuk menjadi anggota DPRD. Hal itu akan sangat menentukan masa depan daerah tersebut, apakah otonomi daerah menjadi rahmat atau bencana. Jumlah partai politik peserta pemilu yang sangat banyak (48 partai) yang kualifikasinya untuk tingkat lokal sangat beragam akan membawa dampak pada kinerja DPRD itu sendiri. Apabila kinerja DPRD lemah, maka dominasi eksekutif tidak dapat dihindari. Gejala sulitnya parpol menjaring dan menetapkan calon anggota legislatif sehingga daftar calon sementara anggota DPR dan DPRD tertunda penetapannya. (Sarundajang, 2005:127)

Secara rinci peran DPRD, di bawah ini: Fungsi Legislasi merupakan suatu proses untuk mengakomodasi berba-

gai kepentingan para pihak (stakeholders), untuk menetapkan bagaimana pembangunan di daerah akan dilaksanakan.

Fungsi Penganggaran merupakan penyusunan dan penetapan anggaran pendapatan dan belanja daerah bersama-sama pemerintah daerah.

Fungsi pengawasan merupakan salah satu fungsi manajemen untuk menjamin pelaksanaan kegiatan sesuai dengan kebijakan dan rencana yang telah ditetapkan serta memastikan tujuan dapat tercapai secara efektif dan efisien. Fungsi ketiga ini bermakna penting, baik bagi pemerin-tah daerah maupun pelaksana pengawasan. Bagi pemerintah daerah, fungsi pengawasan merupakan suatu mekanisme peringatan dini, untuk mengawali pelaksanaan aktivitas mencapai tujuan dan sasaran.

2.3Tinjauan tentang Lembaga Perwakilan Peran dan Tugas

DPRD sebagai lembaga legislatif yang kedudukannya sebagai wakil rakyat tidak mungkin melepaskan dirinya dari kehidupan rakyat yang diwakilinya. Oleh karena itu, secara material mempunyai kewajiban untuk memberikan pelayanan kepada rakyat atau publik yang diwakilinya. DPRD sebagai wakil rakyat dalam tindakan dan perbuatan harus menyesuaikan dengan norma-norma yang dianut dan berlaku dalam kebudayaan rakyat yang diwakilinya. DPRD yang seharusnya mengontrol jalannya pemerintahan agar selalu sesuai dengan aspirasi masyarakat, bukan sebaliknya merusak dan mengkondisikan Eksekutif untuk melakukan penyimpangan-penyimpangan terhadap aturan-aturan yang berlaku, melakukan kolusi dalam pembuatan anggaran agar menguntungkan dirinya, serta setiap kegiatan yang seharusnya digunakan untuk mengontrol eksekutif, justru sebaliknya digunakan sebagai kesempatan untuk “memeras” eksekutif se-hingga eksekutif perhatiannya menjadi lebih terfokus untuk memanjakan anggota DPRD dibandingkan dengan masyarakat keseluruhan.

Anggota DPRD dapat dikatakan memiliki akuntabilitas, manakala memiliki “ rasa tanggung jawab“ dan “kemampuan” yang profesional dalam menjalankan peran dan fungsinya. Mekanisme “Check and Balances” memberikan peluang eksekutif untuk mengontrol legislatif. Walaupun harus diakui oleh DPRD (Legislatif) memi-

Page 12: I - Staff Official Site Unila | Blog Dosen Universitas Lampungstaff.unila.ac.id/ekobudisulistio/files/2013/09/... · Web viewProf. Dr. Bhenjamin Hussein dalam Sarundajang (2005:73)

liki posisi politik yang sangat kokoh dan seringkali tidak memiliki akuntabilitas politik karena berkaitan erat dengan sistem pemilihan umum yang dijalankan.

Mekanisme “Check and Balances” ini dapat meningkatkan hubungan eksekutif dan legislatif dalam mewujudkan kepentingan masyarakat. Kuncinya baik ek-sekutif maupun legislatif harus terjalin komunikasi timbal-balik dan adanya keter-bukaan diantara para pihak dalam penyelesaian segala permasalahan dalam mewujudkan kesejahteraan rakyatnya.

Secara umum peran ini diwujudkan dalam tiga fungsi, yaitu:

Regulator.

Mengatur seluruh kepentingan daerah, baik yang termasuk urusan-urusan rumah tangga daerah (otonomi) maupun urusan-urusan pemerintah pusat yang diser-ahkan pelaksanannya ke daerah (tugas pembantuan);

Policy Making.Merumuskan kebijakan pembangunan dan perencanaan program-program pem-bangunan di daerahnya;

Budgeting.Perencanaan angaran daerah (APBD) Dalam perannya sebagai badan perwaki-lan, DPRD menempatkan diri selaku kekuasaan penyeimbang (balanced power) yang mengimbangi dan melakukan kontrol efektif terhadap Kepala Daerah dan seluruh jajaran pemerintah daerah.

Untuk melaksanaan ketiga fungsi yang ideal tersebut, DPRD dilengkapi dengan modal dasar yang cukup besar dan kuat, yaitu tugas dan wewenang, alat-alat ke-lengkapan DPRD, Hak-hak DPRD/anggota, dan anggaran DPRD yang mandiri.

Dalam perannya sebagai badan perwakilan, DPRD menempatkan diri selaku kekuasaan penyeimbang (balanced power) yang mengimbangi dan melakukan control efektif terhadap Kepala Daerah dan seluruh jajaran pemerintah daerah. Peran ini diwujudkan dalam fungsi-fungsi berikut:

1. Representation. Mengartikulasikan keprihatinan, tuntutan, harapan dan melindungikepentingan rakyat ketika kebijakan dibuat, sehingga DPRD senantiasa berbicara “atas nama rakyat”;

2. Advokasi. Anggregasi aspirasi yang komprehensif dan memperjuangkannya melalui negosiasi kompleks dan sering alot, serta tawar-menawar politik yang sangat kuat. Hal ini wajar mengingat aspirasi masyarakat mengandung banyak kepentingan atau tuntutan yang terkadang berbenturan satu sama lain. Tawar menawar politik dimaksudkan untuk mencapai titik temu dari berbagai kepentingan tersebut.

3. Administrative oversight. Menilai atau menguji dan bila perlu berusaha mengubah tindakan-tindakan dari badan eksekutif. Berdasarkan fungsi ini adalah tidak dibenarkan apabila DPRD bersikap “lepas tangan” terhadap kebijakan pemerintah daerah yang bermasalah atau dipersoalkan oleh masyarakat. Apalagi dengan kalimat naif, “Itu bukan wewenang kami”, seperti yang kerap terjadi

Page 13: I - Staff Official Site Unila | Blog Dosen Universitas Lampungstaff.unila.ac.id/ekobudisulistio/files/2013/09/... · Web viewProf. Dr. Bhenjamin Hussein dalam Sarundajang (2005:73)

dalam praktek. Dalam kasus seperti ini, DPRD dapat memanggil dan meminta keterangan, melakukan angket dan interpelasi, bahkan pada akhirnya dapat meminta pertanggung jawaban Kepala Daerah.

Lebih khusus berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (UU Susduk dan UU Pemerintahan Daerah), implementasi kedua peran DPRD tersebut lebih disederhanakan perwujudannya ke dalam tiga fungsi, yaitu :Fungsi legislasiFungsi anggaran; danFungsi pengawasan

Pelaksanaan ketiga fungsi tersebut secara ideal diharapkan dapat melahirkan output, sebagai berikut:1. PERDA yang aspiratif dan responsif. Dalam arti PERDA-PERDA yang dibuat telah mengakomodasi tuntutan, kebutuhan dan harapan rakyat. Hal itu tidak mungkin terwujud apabila mekanisme penyusunan Peraturan Daerah bersifat ekslusif dan tertutup. Untuk itu mekanisme penyusunan PERDA yang dituangkan dalam Peraturan Tata Tertib DPRD harus dibuat sedemikian rupa agar mampu menampung aspirasi rakyat secara optimal.2. Anggaran belanja daerah (APBD) yang efektif dan efisien, serta terdapat kesesuaian yang logis antara kondisi kemampuan keuangan daerah dengan keluaran (output) kinerja pelayanan masyarakat.3. Terdapatnya suasana pemerintahan daerah yang transparan dan akuntabilitas, baik dalam proses pemerintahan maupun dalam penganggaran. Untuk melaksanaan ketiga fungsi yang ideal tersebut, DPRD dilengkapi dengan modal dasar yang cukup besar dan kuat, yaitu tugas dan wewenang, alat-alat kelengkapan DPRD, Hak-hak DPRD/anggota, dan anggaran DPRD yang mandiri.

Good governance terwujud dalam implementasi dan penegakan (enforcement) dari sistem dan struktur yang telah tersusun dengan baik. Implementasi dan penegakan tersebut bertumpu pada, umumnya, lima prinsip yang universal yaitu: responsibility, accountability, fairness, independency, dan transparency. Kelima prinsip fundamental tersebut dapat dijelaskan secara singkat yakni:

Responsibility: kesesuaian di dalam pengelolaan perusahaan terhadap prinsip korporasi yang sehat serta peraturan perundangan yang berlaku;Accountability: kejelasan fungsi, struktur, sistem dan prosedur pertanggung-jawaban organisasi perusahaan sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif;Fairness: perlakuan yang adil dan setara di dalam memenuhi hak-hak stake-holder yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundangan yang berlaku;Independency: pengelolaan secara profesional, menghindari benturan kepentin-gan dan tekanan pihak manapun sesuai peraturan perundangan yang berlaku;Transparency: keterbukaan informasi di dalam proses pengambilan keputusan dan di dalam mengungkapkan informasi material dan relevan mengenai perusa-haan. Dalam menjalankan perannya sebagai wakil rakyat, DPRD melakukan tiga fungsi utama, yaitu:

Fungsi Legislasi merupakan suatu proses untuk mengakomodasi berba-gai kepentingan para pihak (stakeholders), untuk menetapkan bagaimana pembangunan di daerah akan dilaksanakan.

Page 14: I - Staff Official Site Unila | Blog Dosen Universitas Lampungstaff.unila.ac.id/ekobudisulistio/files/2013/09/... · Web viewProf. Dr. Bhenjamin Hussein dalam Sarundajang (2005:73)

Fungsi Penganggaran merupakan penyusunan dan penetapan anggaran pendapatan dan belanja daerah bersama-sama pemerintah daerah.

Fungsi pengawasan merupakan salah satu fungsi manajemen untuk menjamin pelaksanaan kegiatan sesuai dengan kebijakan dan rencana yang telah ditetapkan serta memastikan tujuan dapat tercapai secara efektif dan efisien. Fungsi ketiga ini bermakna penting, baik bagi pemerin-tah daerah maupun pelaksana pengawasan. Bagi pemerintah daerah, fungsi pengawasan merupakan suatu mekanisme peringatan dini, untuk mengawali pelaksanaan aktivitas mencapai tujuan dan sasaran.

Optimalisasi peran DPRD merupakan kebutuhan yang harus segera diupayakan jalan keluarnya, agar dapat melaksanakan tugas, wewenang, dan hak-haknya secara efektif sebagai lembaga legislatif daerah. Optimalisasi peran ini sangat tergantung dari tingkat kemampuan anggota DPRD. dimana peran akan lebih baik jika dibarengi dengan peningkatan pemehaman mengenai “etika politik” bagi anggota DPRD, agar pelaksanaan fungsi-fungsi anggaran, legislasi, dan pen-gawasan dapat berlangsung secara etis dan proporsional.

Peran DPRD sebagai badan perwakilan rakyat daerah jauh lebih besar dibandingkan dengan periode sebelumnya. DPRD dalam UU 5/1974 adalah bagian dari pemerintah daerah. Sebagai badan legislatif dia tidak terpisahkan dari pemerintah daerah sebagai badan eksekutif daerah. Sehingga dengan produk-produk yang dihasilkan oleh kedua badan ini adalah merupakan hasil kerja sama dalam mewujudkan kesejahteraan bangsa.

Tetapi dengan Undang-Undang yang baru tugas dan fungsi kedua badan ini dipisahkan secara tegas. DPRD berfungsi sepenuhnya sebagai badan leegislatif dan pemerintah daerah berfungsi sebagai badan eksekutif di daerah. Sebagai badan legislatif, dia harus dapat menyerap aspirasi masyarakat untuk disalurkan kepada eksekutif untuk dijadikan sebagai dasar pengambilan keputusan. Kemudia juga melaksanakan pengawasan sebagai tindak lanjut dari penyaluran aspirasi masyarakat kepada eksekutif tersebut.

Tujuan pertama dan kedua berhubungan dengan pengetahuan anggota DPRD terhadap aturan-aturan yang ada dan implementasinya. Pengetahuan mengenai aturan adalah merupakan langkah awal untuk memulai melaksanakannya. Namun pengetahuan saja tidak cukup jika tidak diikuti oleh kemauan untuk melaksanakan aturan yang ada sebagaimana mestinya. Sedangkan kemauan merupakan bahagian dari kemampuan untuk melaksanakan semua aturan yang ada yang merupakan tujuan kedua dari penelitian ini. Tujuan ketiga merupakan pemeriksaan ulang terhadap keberhasilan Legislatif daerah. Kepentingan masyarakat (rakyat) adalah menjadi sasaran utama dalam pelaksanaan ototnomi daerah.

DPRD Lembaga Perwakilan Daerah

DPR, DPD, dan MPR. DPR merupakan lembaga perwakilan politik (political representation), DPR merupakan perwakilan daerah (regional representation),

Page 15: I - Staff Official Site Unila | Blog Dosen Universitas Lampungstaff.unila.ac.id/ekobudisulistio/files/2013/09/... · Web viewProf. Dr. Bhenjamin Hussein dalam Sarundajang (2005:73)

sedangkan MPR merupakan penjelmaan keseluruhan rakyat, baik dari segi politik maupun kedaerahan.DPR berfungsi untuk membentuk undang-undang, DPD memberikan pertimbangan dalam pembentukan undang-undang, sedangkan MPR menetapkan UUD sebagai kebijakan tertinggi. Adanya MPR, DPR, dan DPD dalam sistem ketatanegaraan kita berdasarkan UUD 1945 dewasa ini merupakan satu kesatuan kelembagaan parlemen Indonesia yang mempunyai tiga forum perwakilan dan permusyawaratan dalam rangka pengambilan keputusan mengenai kebijakan negara berdasarkan UUD 1945.

A. MAJELIS PERMUSAWARATAN RAKYAT (MPR)Pasal 2 UUD 1945 berbunyi:(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan

Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang.

(2) Majelis Permusyawaratan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibukota negara.

(3) Segala putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat ditetapkan dengan suara yang terbanyak.

Sedangkan Pasal 3-nya menyatakan:(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan

undang-undang dasar.(2) Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik Presiden dan/atau Wakil Presi-

den.(3) Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat memberhentikan Presiden

dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut undang-undang dasar.

Dapat dikatakan bahwa Pasal 2 UUD 1945 tersebut mengatur mengenai organ atau lembaganya, sedangkan Pasal 3 mengatur kewenangan lembaga MPR itu. Di samping itu, ada beberapa pasal lain dalam UUD 1945 yang juga mengatur tentang MPR, termasuk mengenai kewenangannya. Akan tetapi, pada bagian ini, yang dititik-beratkan hanya penegasan bahwa dalam UUD 1945, status MPR itu sebagai lembaga atau organ negara diatur secara eksplisit.

Mengapa nian ketentuan mengenai MPR harus ditempatkan pada Bab III yang tersendiri dan mendahului pengaturan mengenai hal-hal lain seperti Presiden dan DPR serta DPD? Jawabannya jelas bahwa memang demikianlah susunan UUD 1945 yang asli sebagai Konstitusi Proklamasi yang disahkan tanggal 18 Agustus 1945. Malah aslinya, ketentuan tentang MPR itu terdapat dalam Bab II, bukan Bab III seperti naskah setelah perubahan yang berlaku sekarang.

Sebelum menentukan hal-hal lain, UUD 1945 yang asli menegaskan bahwa kedaulatan rakyat Indonesia dijelmakan dalam tubuh MPR sebagai pelaku utama dan pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat itu. Karena itu, bunyi rumusan asli Pasal 1 ayat (2) Bab I UUD 1945 adalah “Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR”. Di samping itu, pada Bab III Pasal 6 ayat (2) ditentukan pula bahwa “Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan suara yang terbanyak”.

Atas dasar rumusan yang demikian, dikembangkan pengertian sebagaimana diuraikan dalam Penjelasan Umum UUD 1945 yang oleh Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 dijadikan bagian yang tak terpisahkan dari naskah UUD 1945, yaitu

Page 16: I - Staff Official Site Unila | Blog Dosen Universitas Lampungstaff.unila.ac.id/ekobudisulistio/files/2013/09/... · Web viewProf. Dr. Bhenjamin Hussein dalam Sarundajang (2005:73)

bahwa Presiden bertunduk dan bertanggungjawab kepada MPR. Karena itu, selama ini dimengerti bahwa MPR inilah yang merupakan yang paling tinggi, atau biasa disebut sebagai lembaga tertinggi negara, sehingga wajar bahwa keberadaanya diatur paling pertama dalam susunan UUD 1945.

Sekarang, setelah UUD 1945 diubah secara substantif oleh Perubahan Pertama sampai dengan Keempat dengan paradigma pemikiran yang sama sekali baru, susunan organisasi negara Republik Indonesia sudah seharusnya diubah sebagaimana mestinya. Antara MPR, DPR, dan DPD sudah semestinya dijadikan 1 bab atau setidak-tidaknya berada dalam rangkaian bab-bab yang tidak terpisahkan seperti sekarang. Dalam naskah resmi konsolidasi yang tidak resmi1 (setelah Perubahan Keempat), susunan Bab III tentang MPR dan Bab VII tentang DPR serta Bab VII tentang DPD, diantarai oleh Bab IV tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara, Bab IV tentang Dewan Pertimbangan Agung yang telah dihapuskan ketentuannya dari UUD 1945, dan Bab V tentang Kementerian Negara, dan Bab VI tentang Pemerintah Daerah.Dalam UUD 1945 setelah Perubahan Keempat, organ MPR juga tidak dapat lagi dipahami sebagai lembaga yang lebih tinggi kedudukannya daripada lembaga negara yang lain atau yang biasa dikenal dengan sebutan lembaga tertinggi negara. MPR sebagai lembaga negara sederajat levelnya dengan lembaga-lembaga negara yang lain seperti DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, dan Badan Pemeriksa Keuangan. Bahkan dalam hubungan dengan fungsinya, organ MPR dapat dikatakan bukanlah organ yang pekerjaannya bersifat rutin. Meskipun di atas kertas, MPR itu sebagai lembaga negara memang terus ada, tetapi dalam arti yang aktual atau nyata, organ MPR itu sendiri sebenarnya baru dapat dikatakan ada (actual existence) pada saat kewenangan atau ‘functie’nya sedangkan dilaksanakan. Kewenangannya itu adalah mengubah dan menetapkan undang-undang dasar (UUD), memberhentikan presiden dan/atau wakil presiden, memilih presiden atau wakil presiden untuk mengisi lowongan jabatan presiden atau wakil presiden, dan ‘melantik’ presiden dan/atau wakil presiden.

Sebelum perubahan UUD 1945, MPR atau Majelis Permusyawaratan Rakyat mempunyai kedudukan sebagai lembaga tertinggi negara. Kepada lembaga MPR inilah Presiden, sebagai kepala negara dan sekaligus kepala pemerintahan, bertunduk dan bertanggungjawab. Dalam lembaga ini pula kedaulatan rakyat Indonesia dianggap terjelma seluruhnya, dan lembaga ini pula yang dianggap sebagai pelaku sepenuhnya kedaulatan rakyat itu. Dari lembaga tertinggi MPR inilah, mandat kekuasaan kenegaraan dibagi-bagikan kepada lembaga-lembaga tinggi negara lainnya, yang kedudukannya berada di bawahnya sesuai prinsip pembagian kekuasaan yang bersifat vertikal (distribution of power).

Namun, sekarang setelah perubahan UUD 1945, tidak dikenal lagi adanya lembaga tertinggi negara. Sesuai doktrin pemisahan kekuasaan (separation of power) berdasarkan prinsip “checks and balances” antara cabang-cabang kekuasaan negara, MPR mempunyai kedudukan yang sederajat saja dengan lembaga-lembaga (tinggi) negara lainnya. Malahan, jika dikaitkan dengan teori mengenai struktur parlemen di dunia, yang dikenal hanya dua pilihan, yaitu struktur parlemen satu kamar (unikameral) atau struktur parlemen dua kamar (bikameral).

1

Page 17: I - Staff Official Site Unila | Blog Dosen Universitas Lampungstaff.unila.ac.id/ekobudisulistio/files/2013/09/... · Web viewProf. Dr. Bhenjamin Hussein dalam Sarundajang (2005:73)

Di lingkungan negara-negara yang menganut sistem parlemen dua kamar, memang dikenal adanya forum psersidangan bersama di antara kedua kamar parlemen yang biasa disebut sebagai “joint session” atau sidang gabungan. Akan tetapi, sidang gabungan itu bukanlah lembaga yang tersendiri. Misalnya, di Amerika Serikat terdapat the House of Representatives dan Senate. Keduanya disebut sebagai Congress of the United States of America. Jika sidang gabungan atau ‘joint session’ diadakan, maka namanya adalah persidangan Kongres.

Dalam Konstitusi Amerika Serikat disebutkan bahwa “All legislative power vested in Congress which consist of the Senate and the House of Representatives”. Segala kekuasaan legislatif berada di Kongres yang terdiri atas House of Representative dan Senat. Akan tetapi, dalam Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 ketentuan mengenai MPR, dirumuskan secara berbeda, yaitu “MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilu dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang”. Dengan demikian, MPR tidak dikatakan terdiri atas DPR dan DPD, melainkan terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD. Dengan demikian, MPR itu merupakan lembaga yang tidak terpisah dari institusi DPR dan DPD.

Berdasarkan ketentuan Pasal 3 juncto Pasal 8 ayat (2) dan (3), MPR mempunyai kewenangan untuk (1) mengubah dan menetapkan undang-undang dasar; (2) memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut undang-undang dasar; (3) memilih Presiden dan/atau Wakil Presiden untuk mengisi kekosongan dalam jabatan Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut undang-undang dasar; dan (4) mengadakan sidang MPR untuk pelantikan atau pengucapan sumpah/janji jabatan Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Keempat kewenangan tersebut sama sekali tidak tercakup dan terkait dengan kewenangan DPR ataupun DPD, sehingga sidang MPR untuk mengambil keputusan mengenai keempat hal tersebut sama sekali bukanlah sidang gabungan antara DPR dan DPD, melainkan sidang MPR sebagai lembaga tersendiri. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa keberadaan lembaga MPR itu merupakan institusi ketiga dalam struktur parlemen Indonesia, sehingga saya menamakannya sebagai sistem tiga kamar (trikameralisme). Dewasa ini, tidak ada satupun negara di dunia yang menerapkan sistem tiga kamar seperti ini. Karena itu, Indonesia dapat dikatakan merupakan satu-satunya negara di dunia yang menerapkan sistem tiga kamar ini.

Namun demikian, meskipun MPR itu adalah kamar ketiga, sifat pekerjaan MPR itu sendiri tidaklah bersifat tetap, melainkan bersifat adhoc. Sebagai organ negara, lembaga MPR itu baru dapat dikatakan ada, apabila fungsinya sedang bekerja (in action). Dalam hal ini kita dapat membedakan antara pengertian “MPR in book” dengan “MPR in action”. Dari keempat kewenangan di atas, tidak satupun yang bersifat tetap. Perubahan dan penetapan undang-undang dasar tentunya hanya akan dilakukan sewaktu-waktu. Setelah perubahan 4 (empat) kali berturut-turut pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002, mungkin masih akan lama untuk adanya perubahan lagi atas UUD 1945. Kita belum dapat memperkirakan dalam waktu 10 sampai dengan 20 tahun mendatang, apakah akan ada lagi atau tidak agenda perubahan atas UUD 1945.

Demikian pula dengan agenda pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden serta agenda pemilihan presiden dan/atau wakil presiden untuk mengisi

Page 18: I - Staff Official Site Unila | Blog Dosen Universitas Lampungstaff.unila.ac.id/ekobudisulistio/files/2013/09/... · Web viewProf. Dr. Bhenjamin Hussein dalam Sarundajang (2005:73)

lowongan jabatan. Kita tidak dapat membuat ramalan mengenai kemungkinan kedua agenda ini akan dijalankan dalam waktu dekat. Dalam sejarah lebih dari 2 abad2 pengalaman Amerika Serikat, baru tercatat 3 (tiga) kasus yang terkait dengan ‘impeachment’ terhadap Presiden. Ketiga kasus itu msing-masing melibatkan Presiden Lindon Johnson, Presiden Nixon, dan Presiden Bill Clinton.

Karena itu, satu-satunya kewenangan MPR yang bersifat rutin dan dapat direncanakan adalah kegiatan persidangan untuk pelantikan presiden dan wakil presiden setiap lima tahunan. Akan tetapi, menurut ketentuan Pasal 9 ayat (1) dan (2) UUD 1945, sidang MPR itu sendiri bersifat fakultatif. Pengucapan sumpah atau janji Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat dilakukan di hadapan atau di dalam sidang MPR atau sidang DPR. Jika MPR tidak dapat bersidang, pengucapan sumpah/janji itu dapat dilakukan dalam sidang atau rapat paripurna DPR. Jika rapat paripurna DPR juga tidak dapat diselenggarakan, maka pengucapan sumpah/janji jabatan Presiden dan/atau Wakil Presiden itu cukup dilakukan di hadapan pimpinan MPR dengan disaksikan oleh Pimpinan Mahkamah Agung.

Dengan perkataan lain, tidak satupun dari keempat kewenangan MPR itu yang bersifat tetap, sehingga memerlukan alat-alat perlengkapan organisasi yang juga bersifat tetap. MPR itu baru ada jika fungsinya memang sedang berjalan atau bekerja (in action). Oleh karena itu, tidak ada keharusan bagi MPR untuk diadakan pimpinan dan sekretariat yang tersendiri. UUD 1945 sama sekali tidak mengamanatkan hal ini. Artinya, jika dikehendaki, dapat saja pembentuk undang-undang dalam hal ini DPR dengan persetujuan Presiden dapat saja mengadakan pimpinan MPR yang bersifat tersendiri itu atau malah meniadakan dan mengatur agar pimpinan MPR itu dirangkap saja secara ex officio oleh pimpinan DPR dan pimpinan DPD.

Di masa Orde Baru, pimpinan MPR juga pernah dirangkap oleh pimpinan DPR, karena pertimbangan bahwa kegiatan MPR itu sendiri tidak bersifat tetap. Oleh karena itu, pembentuk undang-undang diberikan kebebasan menentukan pilihan apakah akan mengadakan atau meniadakan jabatan pimpinan dan sekretariat jenderal MPR yang bersifat permanen. Kedua pilihan itu sama-sama dapat dibenarkan, asalkan masing-masing pilihan itu benar-benar idadasarkan atas alasan yang masuk akal dan memang ada kegunaanya.

Sebenarnya, baik pimpinan MPR, pimpinan DPR, maupun pimpinan DPD sama-sama tidak diatur dalam UUD 1945. Hal ini berbeda dari para pimpinan Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, dan Badan Pemeriksa Keuangan yang secara tegas diatur, yaitu bahwa ketuanya dipilih dari dan oleh anggotanya masing-masing. Karena itu, adalah keharusan konstitusional (constitutional imperative) bahwa di dalam organisasi MA, MK, dan BPK , diadakan jabatan Ketua. Sedangkan di MPR, DPR, dan DPD, dapat saja diatur dalam Undang-Undang bahwa pimpinannya hanya dijabat oleh seorang Koordinator, atau disebut Juru Bicara atau “Speaker”. Hanya saja, untuk pimpinan DPR selama ini sudah biasa disebut Ketua DPR dan Wakil Ketua DPR, sehingga dapat dikatakan sudah menjadi konvensi ketatanegaraan bahwa di DPR ada jabatan Ketua dan Wakil Ketua DPR.

2

Page 19: I - Staff Official Site Unila | Blog Dosen Universitas Lampungstaff.unila.ac.id/ekobudisulistio/files/2013/09/... · Web viewProf. Dr. Bhenjamin Hussein dalam Sarundajang (2005:73)

Setara dengan susunan DPR, di dalam susunan kepemimpinan DPD tentunya dapat pula diadakan jabatan Ketua dan Wakil Ketua seperti yang terdapat dalam susunan organisasi DPR. Karena itu, tidak salah jika pembentuk undang-undang, sama-sama mengadakan jabatan Ketua dan Wakil, baik dalam susunan DPR maupun DPD. Akan tetapi, untuk jabatan pimpinan MPR, keadaannya sungguh berbeda. Jabatan kepimpinanan MPR yang terpisah dari kepemimpinan DPR dan DPD serta adanya sekretariat jenderal MPR-RI yang juga tersendiri, terlepas dari sekretariat jenderal DPR dan sekretariat jenderal DPD seperti dewasa ini, adalah semata-mata akibat pengaturannya dalam Undang-Undang No. .... tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Selama masa Order Baru juga sudah biasa diatur bahwa pimpinan MPR-RI itu dirangkap secara ex-officio oleh pimpinan DPR-RI. Lagi pula keberadaan MPR yang tersendiri sebagai lembaga ketiga di samping DPR dan DPD (trikameralisme) adalah produk baru dalam sistem ketatanegaraan kita berdasarkan UUD 1945. Keberadaan pimpinan MPR yang tersendiri belum dapat dikatakan didasarkan atas konvensi ketatanegaraan yang sudah baku. Malahan, apabila dikaitkan dengan semangat efisiensi, keberadaan pimpinan MPR yang tersendiri dan juga kesekretariat-jenderal yang juga tersendiri dapat dikatakan sebagai pemborosan yang sia-sia.

Ketika RUU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD dibahas bersama di DPR pada tahun 2003 yang lalu, harus diakui terdapat suasana politis yang tidak menguntungkan, sehingga pengaturannya mengenai pimpinan MPR dan kesekretraiat-jenderalan yang berdiri sendiri ini mendapat persetujuan. Pertama, perdebatan tersisa mengenai hasil perubahan ketiga dan keempat UUD 1945 sepanjang menyangkut struktur parlemen bikameral masih belum reda.

Kelompok konservatif sangat menentang gagasan bikameralisme yang salah satunya diartikan seakan-akan menghilangkan sama sekali keberadaan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai lembaga yang sebelumnya merupakan lembaga tertinggi negara. Padahal keberadaan Dewan dan Majelis tersebut dianggap sebagai pencerminan langsung dari dianutnya sila keempat Pancasila, yaitu “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”. Kata “permusyawaratan” dinilai terjelma dalam pelembagaan MPR, sedangkan kata “perwakilan” dianggap tercermin dalam pelembagaan DPR. Menerima ide struktur parlemen bikameral yang terdiri atas DPR dan DPD, berarti menghilangkan keberadaan MPR sebagai pelembagaan prinsip “permusyawaratan” dalam sila keempat itu.

Pandangan semacam ini sangat mewarnai pandangan kelompok anggota MPR yang dimotori oleh partai yang berkuasa (the ruling party) ketika itu, yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang dipimpin oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. Suasana psikologis yang terbentuk ketika itu sangat dipengaruhi oleh berbagai tekanan yang sangat kuat dari kelompok yang anti-perubahan UUD, sehingga partai yang berkuasa sangat berhati-hati dalam menyikapi setiap ide perubahan pasal demi pasal UUD 1945. Dalam suasana semacam itu dapat dibayangkan bahwa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri yang juga adalah Ketua Umum Partai ini sangat dihantui oleh kekuatiran bahwa lembaga MPR akan dihapuskan sama sekali dari sistem ketatanegaraan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Page 20: I - Staff Official Site Unila | Blog Dosen Universitas Lampungstaff.unila.ac.id/ekobudisulistio/files/2013/09/... · Web viewProf. Dr. Bhenjamin Hussein dalam Sarundajang (2005:73)

Karena itu, sebagai kompromi atas perdebatan ini, rumusan Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 yang disepakati dalam rangka Perubahan Keempat pada tahun 2002 adalah “MPR terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang”. Karena adanya kata “anggota” dalam rumusan tersebut di atas, berarti – meskipun keanggotaannya dirangkap-- institusi MPR itu sama sekali berbeda dan terpisah dari institusi DPR dan institusi DPD. Sebagai institusi yang terpisah, seperti telah diuraikan di atas, ketiganyapun mempunyai fungsi, tugas, dan kewenangan yang juga berbeda dan terpisah satu sama lain. Karena itu, memang tidak dapat dihindarkan untuk menyatakan bahwa MPR itu adalah lembaga atau kamar ketiga dari struktur parlemen Republik Indonesia (trikameral parliament).

Sebab kedua yang mengakibatkan diterimanya keberadaan pimpinan dan kesekretariat-jenderalan yang tersendiri itu adalah suasana persaingan kepentingan politik antar partai-partai politik itu sendiri baik yang ada di dalam MPR dan DPR maupun di luar parlemen menjelang pemilihan umum legislatif dan pemilihan umum presiden tahun 2004. Berbagai kelompok partai politik sedang disibukkan oleh berbagai agenda koalisi antar satu sama lain. Karena itu, keengganan pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Megawati untuk meniadakan jabatan pimpinan dan kesekretariat-jenderal MPR yang tersendiri itu berhimpit dengan kepentingan elite partai-partai politik untuk menyediakan sebanyak mungkin jabatan publik sebagai bahan untuk pembagian kekuasaan di antara mereka. Karena itu, kesepakatan mengenai rumusan pasal-pasal yang menentukan adanya jabatan pimpinan MPR dan kesekretariat-jenderalan MPR yang terpisah dan tersendiri itu, dengan mudah dapat dicapai.

Karena itu, dapat rangka konsolidasi sistem ketatanegaraan kita pasca Perubahan UUD 1945, dan penataan kelembagaan kenegaraan kita di masa mendatang, dapat diusulkan agar adanya lembaga pimpinan dan kesekretariat-jenderalan MPR yang tersendiri ini cukuplah selama periode transisi sampai tahun 2009 saja. Untuk selanjutnya, hal itu perlu diubah agar lebih efisien. MPR, DPR, dan DPD adalah tiga kamar dalam struktur parlemen Indonesia sebagai satu kesatuan. Gedungnya sama, pegawainya juga sama. Karena itu, piminannya juga sebaiknya dirangkap saja, dan bahkan kesekretariat-jenderalannya pun sebaiknya dijadikan satu saja. Dalam rangka hasil pemilihan umum tahun 2009, pembentuk undang-undang sebaiknya menyempurnakan kembali Undang-Undang tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD, sehingga hal ini mendapat perhatian yang sungguh-sungguh.

B. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT (DPR)Dalam UUD 1945 jelas tergambar bahwa dalam rangka fungsi legislatif dan pengawasan, lembaga utamanya adalah DPR (Dewan Perwakilan Rakyat). Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 menegaskan, “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang”. Bandingkan dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) yang berbunyi, “Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat”. Pasal 5 ayat (1) ini sebelum Perubahan Pertama tahun 1999 berbunyi, “Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”.

Kedua pasal tersebut setelah Perubahan Pertama tahun 1999, berubah drastis sehingga mengalihkan pelaku kekuasaan legislatif atau kekuasaan pembentukan

Page 21: I - Staff Official Site Unila | Blog Dosen Universitas Lampungstaff.unila.ac.id/ekobudisulistio/files/2013/09/... · Web viewProf. Dr. Bhenjamin Hussein dalam Sarundajang (2005:73)

undang-undang itu dari tangan Presiden ke tangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Di samping itu, menurut ketentuan Pasal 21 UUD 1945, setiap anggota DPR berhak pula mengajukan usul rancangan undang-undang yang syarat-syarat dan tatacaranya diatur dalam peraturan tata tertib.

Bahkan lebih dipertegas lagi dalam Pasal 20A ayat (1) UUD 1945 ditentukan pula, “Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan”. Artinya, kekuasaan legislasi, kekuasaan penentuan anggaran (budgeting), dan kekuasaan pengawasan (control), berada di Dewan Perwakilan Rakyat. Menurut Pasal 20A ayat (2) UUD 1945, “Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain undang-undang dasar ini, DPR mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat”. Ayat (3)-nya menyatakan pula, “Selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain undang-undang dasar ini, setiap anggota DPR mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul, dan pendapat, serta hak imunitas”.

Untuk menggambarkan kuat posisi konstitusional DPR berdasarkan UUD 1945, ditegaskan pula dalam Pasal 7C bahwa “Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat”. Sebaliknya, dalam Pasal 7A ditentukan, “Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden”.

Di samping itu, dalam rangka fungsinya sebagai pengawas, Pasal 11 UUD 1945 menentukan pula:(1) Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat per-

damaian, dan perjanjian dengan negara lain.(2) Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menim-

bulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan DPR”.

(3) Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan un-dang-undang.

Bahkan dalam Pasal 13 dan Pasal 14 hasil Perubahan Pertama tahun 1999, bahkan diatur pula hal-hal lain yang bersifat menyebabkan posisi DPR menjadi lebih kuat dibandingkan dengan sebelumnya. Pasal 13 ayat (2) menentukan, “Dalam hal mengangkat duta, Presiden memperhatikan pertimbangan DPR”, dan ayat (3)-nya menentukan, “Presiden menerima penempatan duta negara lain dengan memperhatikan pertimbangan DPR”. Sedangkan Pasal 14 ayat (2) menentukan, “Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan DPR”.

Untuk lebih lengkapnya uraian mengenai kewenangan DPR itu, dapat dikutipkan disini ketentuan UUD 1945 Pasal 20 dan Pasal 20A, yang masing-masing berisi 5 (lima) ayat, dan 4 (empat) ayat. Pasal 20 menentukan bahwa:(1) DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang. (2) Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk

mendapat persetujuan bersama.

Page 22: I - Staff Official Site Unila | Blog Dosen Universitas Lampungstaff.unila.ac.id/ekobudisulistio/files/2013/09/... · Web viewProf. Dr. Bhenjamin Hussein dalam Sarundajang (2005:73)

(3) Jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu.

(4) Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang.

(5) Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancan-gan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.

Selanjutnya, ketentuan Pasal 20A berbunyi:(1) DPR memiliki fungsin legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan.(2) Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal

lain Undang-Undang Dasar ini, DPR empunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat.

(3) Selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, se-tiap angota DPR mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta hak imunitas.

(4) Ketentuan lebih lanjut tentang DPR dan hak anggota DPR diatur dalam un-dang-undang.

Selain ketentuan tersebut, dalam Pasal 21 UUD 1945 juga dinyatakan bahwa “Anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan usul rancangan undang-undang”. Anggota DPR itu sendiri, menurut ketentuan Pasal 19 ayat (1) dipilih melalui pemilihan umum. Dalam ayat (2)-nya ditentukan bahwa susunan DPR itu diatur dengan undang-undang. Selanjutnya dalam Pasal 22B diatur pula bahwa “Anggota DPR dapat diberhentikan dari jabatannya, yang syarat-syarat dan tata caranya diatur dalam undang-undang.

C. DEWAN PERWAKILAN DAERAH (DPD)Pembentukan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) semula dimaksudkan dalam rangka mereformasi struktur parlemen Indonesia menjadi dua kamar (bikameral) yang terdiri atas DPR dan DPD. Dengan struktur bikameral itu diharapkan proses legislasi dapat diselenggarakan berdasarkan sistem “double-check” yang memungkinkan representasi kepentingan seluruh rakyat secara relatif dapat disalurkan dengan basis sosial yang lebih luas. Yang satu merupakan cerminan representasi politik di DPR (political representation), sedangkan yang lain mencerminkan prinsip representasi teritorial atau regional (regional representation) di DPD.Akan tetapi, ide bikameralisme atau struktur parlemen dua kamar itu mendapat tentangan yang keras dari kelompok konservatif di Panitia Ad Hoc Perubahan UUD 1945 di MPR 1999-2002, sehingga yang disepakati adalah rumusan yang sekarang yang tidak dapat disebut menganut sistem bikmaeral sama sekali. Dalam ketentuan UUD 1945 dewasa ini, jelas terlihat bahwa DPD tidaklah mempunyai kewenangan membentuk undang-undang. DPD juga tidak mempunyai kewenangan penuh untuk melakukan fungsi pengawasan. Karena itu, kedudukannya hanya bersifat penunjang atau ‘auxiliary’ terhadap fungsi DPR, sehingga DPD paling jauh hanya dapat disebut sebagai ‘co-legislator’, dari pada ‘legislator’ yang sepenuhnya.

Menurut ketentuan Pasal 22D UUD 1945, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mempunyai beberapa kewenangan sebagai berikut:(1) DPD dapat mengajukan kepada DPR rancangan undang-undang yang

berkaitan dengan:

Page 23: I - Staff Official Site Unila | Blog Dosen Universitas Lampungstaff.unila.ac.id/ekobudisulistio/files/2013/09/... · Web viewProf. Dr. Bhenjamin Hussein dalam Sarundajang (2005:73)

otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya,

serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

(2) Dewan Perwakilan Daerah (DPD):a. ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan

otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya,

serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta

b. memberikan pertimbangan kepada DPR atas: rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja ne-

gara, rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, rancangan undang-undang yang berkait dengan pendidikan, dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan agama.

(3) Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dapat melakukan pengawasan (kontrol) atas:a. Pelaksanaan UU mengenai:

otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran dan belanja negara; pajak, pendidikan, dan agama, serta

b. menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.

Dengan demikian, jelaslah bahwa fungsi Dewan Perwakilan Daerah (DPD) itu hanyalah sebagai ‘co-legislator’ di samping Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Sifat tugasnya hanya menunjang (auxiliary agency) terhadap tugas-tugas konstitusional DPR. Dalam proses pembentukan suatu undang-undang atau legislasi, DPD tidak mempunyai kekuasaan untuk memutuskan atau berperan dalam proses pengambilan keputusan sama sekali. Padahal, persyaratan dukungan untuk menjadi anggota DPD jauh lebih berat daripada persyaratan dukungan untuk menjadi anggota DPR. Artinya, kualitas legitimasi anggota DPD itu sama sekali tidak diimbangi secara sepadan oleh kualitas kewenangannya sebagai wakil rakyat daerah (regional representatives).

Dalam Pasal 22C diatur bahwa:(1) Anggota DPD dipilih dari setiap provinsi mealui pemilihan umum.(2) Anggota DPD dari setiap provinsi jumlahnya sama dan jumlah seluruh

anggota DPD itu tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota DPR.(3) DPD bersidang sedikitnya sekali dalam setahun.(4) Susunan dan kedudukan DPD diatur dengan undang-undang.

Page 24: I - Staff Official Site Unila | Blog Dosen Universitas Lampungstaff.unila.ac.id/ekobudisulistio/files/2013/09/... · Web viewProf. Dr. Bhenjamin Hussein dalam Sarundajang (2005:73)

Seperti halnya, anggota DPR, maka menurut ketentuan Pasal 22D ayat (4), “Anggota DPD dapat diberhentikan dari jabatannya, yang syarat-syarat dan tata caranya diatur dalam undang-undang”.

Bagi para anggota DPD, kewenangan-kewenangan yang dirumuskan di atas tentu kurang memadai. Apalagi dalam pengalaman selama lima tahun DPD periode 2004-2009, telah ternyata bahwa keberadaan lembaga DPD ini terasa kurang banyak gunanya dalam dinamika sistem ketatanegaraan dalam kenyataan praktik. Karena itulah, muncul aspirasi untuk mengadakan (i) Perubahan Kelima UUD 1945, dan/atau setidaknya (ii) Perubahan UU tentang Susduk yang dapat memperkuat kedudukan dan peranan DPD dalam praktik. Namun demikian, ide ini kandas, dikarenakan tidak berhasil meyakinkan para anggota DPR untuk berbagi peran dengan DPD dalam setiap pembentukan undang-undang. Oleh karena itu, di masa yang akan datang, meskipun memang disadari perlunya dilakukan Perubahan Kelima UUD 1945, tetapi inisiatif untuk itu sebaiknya tidak datang dari kalangan DPD, melainkan haruslah datang dari partai-partai politik yang duduk di DPR.

Dari segi etika, juga kurang elok jikalau inisiatif itu datang dari DPD, karena para calon anggota DPD sendiri sebelum terpilih menjadi anggota DPD sudah mengetahui persis bahwa yang harus dilakukan oleh DPD adalah sebagaimana yang sudah diatur dalam UUD 1945 yang sekarang. Mengapa mau menjadi anggota DPD jika sejak sebelumnya sudah mengetahui bahwa kedudukan dan peranan DPD itu memang tidak sekuat yang diharapkan? Jika sesudah terpilih baru mempersoalkan kedudukan DPD yang lemah, akan mudah nampak dari luar bahwa para anggota DPD hanya berusaha memperbesar kekuasaan sendiri, bukan berpikir tentang nasib rakyat di daerah-daerah.

Ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk memperkuat atau menempatkan diri sebagai lembaga yang penting dalam sistem ketatanegaraan kita pada periode 2009-2014 yang akan datang. Pertama, berikan dukungan kepada ide Perubahan Kelima UUD 1945 yang datang dari partai-partai politik yang berkuasa; Kedua, tingkatkan kinerja dengan ‘high profile’ di segala bidang di mata publik; Ketiga, setiap anggota DPD sebaiknya mengalihkan sasaran kritik, bukan kepada DPR yang merasa disaingi oleh DPD, tetapi justru aktif dan kritis terhadap jalannya pemerintahan sesuai dengan kewenangannya. DPR harus diperlakukan sebagai partner, bukan saingan.

Keempat, perjuangkan melalui undang-undang susduk agar pimpinan MPR dirangkap oleh pimpinan DPR dan DPD. Misalnya, Ketua DPR adalah Ketua MPR, sedangkan Ketua DPD sebaga Wakil Ketua MPR. Adakan dialogue-dialogue dan lobi-lobi informal dan tertutup dengan pimpinan partai-partai politik mengenai kemungkinan peningkatan kedudukan DPD di masa yang akan datang. Namun demikian, pendekatan-pendekatan semacam ini jangan memberikan kesan kepada publik bahwa inisiatif untuk memperbesar kekuasaan datang dari kalangan DPD sendiri. Kelima, dan hal-hal lain yang dapat didiskusikan bersama, sehngga kinerja DPD dapat menjalan lebih efektif dan dirasakan kebergunaannya dalam sistem politik dan ketatanegaraan kita berdasarkan UUD 1945.

2.4 Tinjauan tentang Penguatan Lembaga Perwakilan

Page 25: I - Staff Official Site Unila | Blog Dosen Universitas Lampungstaff.unila.ac.id/ekobudisulistio/files/2013/09/... · Web viewProf. Dr. Bhenjamin Hussein dalam Sarundajang (2005:73)

Sebelum dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sulit membayangkan DPR akan sekuat sekarang. Meskipun sebelumnya, dalam kerangka fikir normatif-konstitusional, kedudukan DPR adalah kuat. Namun dalam praktik, DPR tidak dapat menjalankan tugas dan wewenangnya secara optimal. Setelah perubahan UUD 1945, penguatan posisi DPR tidak hanya terjadi dalam pengaturan di tingkat konstitusi tetapi juga di dalam praktik ketatanegaraan. Banyak pendapat mengatakan bahwa perubahan UUD 1945 menghasilkan supremasi DPR. Bahkan, ada penilaian bahwa praktik penyelenggaraan negara berada di bawah ancaman tirani DPR. Penguatan serupa juga terjadi pada lembaga perwakilan rakyat daerah (DPRD). Tujuan adanya penguatan adalah agar ada mekanisme check dan balance.

Penghapusan sistem lembaga tertinggi negara adalah upaya logis untuk keluar dari perangkap design ketatanegaraan yang rancu dalam menciptakan mekanisme check and balances di antara lembaga-lembaga negara. Selama ini, model MPR sebagai “pemegang kedaulatan rakyat sepenuhnya” telah menjebak Indonesia dalam pemikiran-pemikiran kenegaraan yang berkembang pasca-abad pertengahan untuk membenarkan kekuasaan yang absolut. Model supremasi MPR lebih dekat kepada teori Jean Bodin bahwa kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi terhadap warga negara tanpa ada pembatasan. Bahkan kalau diteliti lebih jauh, dalam hal hubungan negara dan masyarakat, konsep kedaulatan Jean Bodin sangat dipengaruhi oleh cara pandang Niccolo Machiavelli.

‘Keberanian’ mengamandemen Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 berimplikasi pada reposisi peran MPR dari lembaga tertinggi negara (supreme body) menjadi sebatas sidang gabungan (joint session) antara DPR dan DPD. Dalam sistem bikameral, masing-masing kamar mencerminkan jenis keterwakilan yang berbeda yaitu DPR merupakan representasi penduduk sedangkan DPD merupakan representasi wilayah (daerah). Perubahan ini, diharapkan, menciptakan keseimbangan antara lembaga-lembaga negara sehingga mekanisme checks and balances berjalan tanpa adanya sebuah lembaga yang mempunyai kekuasaan lebih tinggi dari yang lainnya.

Dari analisis content diketahui beberapa pasal hasil perubahan berpotensi merusak mekanisme check and balances. Potensi ini dapat diamati dalam pasal-pasal tentang DPR yang berhubungan dengan DPD maupun dengan lembaga-lembaga negara yang lain.

Pertama, perubahan radikal terhadap ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 dengan mengurangi secara signifikan kekuasaan Presiden dalam membuat undang-undang menjadi proses politik di DPR sebagai kekuatan paling dominan dalam menerjemahkan rumusan-rumusan normatif yang terdapat dalam UUD. Padahal sebelum dilakukan perubahan, DPR hanya mempunyai fungsi legislasi semu karena lebih diposisikan sebagai “tukang stempel” dalam membuat undang-undang. Semestinya, penguatan posisi DPR dalam proses legislasi harus diikuti dengan pemberian kewenangan kepada Presiden untuk melakukan veto.

Dalam sistem presidensiil Amerika Serikat (AS), misalnya, menurut ketentuan Pasal 1 ayat (7) poin 2 Konstitusi AS menyatakan all bill which shall have passed the House of Representative and the Senate shall, before it becomes a law, be presented to the President of the US ; if he approve, he shall sign it, but if not, he

Page 26: I - Staff Official Site Unila | Blog Dosen Universitas Lampungstaff.unila.ac.id/ekobudisulistio/files/2013/09/... · Web viewProf. Dr. Bhenjamin Hussein dalam Sarundajang (2005:73)

shall return it, with his objections. Penolakan Presiden dapat dimentahkan kalau ternyata 2/3 dari anggota Konggres tetap mendukung rancangan undang-undang (RUU) itu. Dukungan minimal 2/3 anggota Konggres menjadikan veto Presiden tidak mempunyai kekuatan.

Berbeda halnya dengan contoh di atas, supremasi DPR dalam proses legislasi menjadi sangat dominan karena Presiden tidak mempunyai pilihan lain, kecuali mengesahkan RUU. Keharusan bagi Presiden untuk menandatangani semua RUU yang telah disetujui secara eksplisit dinyatakan dalam Pasal 20 ayat (5) bahwa dalam hal RUU yang telah disetujui bersama tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak disetujui, RUU itu sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.

Kedua, adanya rumusan “reaktif” Pasal 7C UUD 1945 yang menyatakan bahwa Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR. Pasal ini muncul sebagai reaksi terhadap sikap mantan Presiden Abdurrahman Wahid yang pernah berupaya untuk membubarkan DPR. Dalam konteks kebutuhan praktik ketatanegaraan ke depan, rumusan ini menjadi tidak masuk akal dengan adanya pilihan untuk tetap mempertahankan sistem presidensiil. Di samping itu, rumusan Pasal 7C dapat menimbulkan pertanyaan mendasar lainnya yaitu mengapa yang dilarang untuk dibekukan dan/atau dibubarkan hanya DPR? Lalu, apakah DPD boleh dibekukan dan/atau dibubarkan oleh Presiden?

Ketiga, beberapa perubahan menempatkan DPR sebagai lembaga penentu kata-putus dalam bentuk memberi “persetujuan” terhadap beberapa agenda kenegaraan, antara lain adalah (1) Presiden dalam membuat perjanjian internasional yang menimbulkan akibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat, (2) peraturan pemerintah pengganti undang-undang, (3) pengangkatan Hakim Agung, (4) pengangkatan dan pemberhentian anggota Komisi Yudisial. Di samping itu, masih ada agenda lain yang memerlukan “pertimbangan” DPR, antara lain adalah (1) pengangkatan Duta dan Konsul, (2) menerima penempatan duta negara lain, (3) pemberian amnesti dan abolisi.

Kekuasaan ke tangan DPR bertambah banyak dengan adanya kewenangan untuk mengisi beberapa jabatan strategis kenegaraan, misalnya menentukan tiga dari sembilan orang hakim Mahkamah Konstitusi, dan memilih anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Di samping itu, DPR juga menjadi lembaga yang paling menentukan dalam proses pengisian lembaga non-state lainnya (auxiliary bodies) seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi Pemilihan Umum. Catatan ini akan bertambah dengan adanya keharusan untuk meminta pertimbangan DPR dalam pengisian jabatan Panglima TNI, Kepala Kepolisian Negara RI (Kapolri).

Dominasi posisi DPR tidak hanya terhadap lembaga-lembaga di luar legislatif tetapi juga terjadi terhadap DPD. Dengan terbatasnya kewenangan yang dimiliki DPD, sulit dibantah bahwa keberadaan lembaga negara ini lebih merupakan sub-ordinasi dari DPR. Sebagai representasi kepentingan daerah, DPD secara limitatif hanya diberikan kewenangan untuk mengajukan kepada DPR RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Bahkan dalam fungsi legislasi, Pasal 20 ayat (1)

Page 27: I - Staff Official Site Unila | Blog Dosen Universitas Lampungstaff.unila.ac.id/ekobudisulistio/files/2013/09/... · Web viewProf. Dr. Bhenjamin Hussein dalam Sarundajang (2005:73)

UUD 1945 memberi garis demarkasi secara tegas bahwa kekuasaan membuat undang-undang hanya menjadi monopoli DPR.

Keterbatasan itu memberi makna, gagasan menciptakan dua kamar dengan kekuatan berimbang untuk mengakomodasi kepentingan daerah dalam menciptakan keadilan distribusi kekuasaan gagal karena perubahan UUD 1945 yang bias kepentingan DPR. Kegagalan ini akan berdampak pada melemahnya artikulasi politik daerah pada setiap proses pembuatan keputusan di tingkat nasional. Dengan demikian sulit membantah sinyalemen bahwa keberadaan DPD hanya sebagai pelengkap dalam sistem perwakilan.

Di banyak negara yang memakai sistem bikameral, senate atau upper- house (DPD) diberikan kewenangan yang besar untuk mengimbangi posisi house of representative (DPR). Misalnya di Australia, paling tidak, senat mempunyai dua fungsi utama yaitu (1) meneliti ulang setiap RUU yang diajukan oleh DPR, dan (2) melalui three-fold committee system mempunyai kekuasaan untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Dalam fungsi legislasi, senat mempunyai kekuasaan yang sama dengan DPR untuk mengajukan RUU. Bahkan, setiap anggota senat berhak mengajukan suatu RUU.

Penguatan peran DPR pasca-perubahan UUD 1945 berbeda dengan kecenderungan perkembangan parlemen secara umum. Menurut Bambang Cipto, dalam era modern-industrial pemerintah justru lebih sering terlibat dalam proses pembuatan undang-undang. Pemikiran Bambang Cipto ini sejalan dengan pendapat K.C. Wheare bahwa badan politik ini (DPR, penulis) lebih sering menghabiskan waktunya untuk hal-hal selain pembuatan undang-undang. Mereka berperan aktif dalam mengkritik atau memperbarui pemerintahan dan ikut serta dalam diskusi persoalan-persoalan nasional.

Mencermati pergeseran kekuasaan yang sangat besar di atas, perubahan UUD 1945 mendorong DPR menjadi lembaga negara yang supreme di antara lembaga-lembaga negara yang ada. Kenyataan ini sulit untuk dibantah karena hampir semua kekuasaan negara bertumpu ke DPR. Singkat kata, perubahan UUD 1945 memunculkan concentration of power and responsibility upon the DPR, seperti kekuasaan Presiden di bawah UUD 1945 sebelum dilakukan amandemen.

2.5 Tinjauan tentang Peran Lembaga Perwakilan dalam Sistem Politik Demokrasi

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sistem politik. Demokrasi sebagai suatu rezim dapat pula dilihat dalam kaitannya dengan hubungan antara negara dan masyarakat. Tatanan yang demokratis sebenarnya menggambarkan adanya suatu bentuk hubungan yang memiliki karakter positif antara negara dan masyarakat sipil. Kekuatan antara keduanya relatif seimbang dalam artian bahwa masyarakat memiliki bargaining position yang cukup kuat dan dapat “memaksa” negara mempertimbangkannya dalam suatu proses politik

Demokrasi merupakan proses transisi dari masa otoritarian. Dalam masa transisi otoritarian menuju demokrasi terjadi suatu perubahan-perubahan dalam sistem politik yang sangat penting. Perubahan yang dimaksud khusus-nya yang

Page 28: I - Staff Official Site Unila | Blog Dosen Universitas Lampungstaff.unila.ac.id/ekobudisulistio/files/2013/09/... · Web viewProf. Dr. Bhenjamin Hussein dalam Sarundajang (2005:73)

menyangkut struktur kekuasaan. Dari kekuasaan yang sentralistik/terkonsentrasi pada seseorang atau sekelompok orang berubah menjadi kekuasaan yang terpencar dan terdesentralisasi. Dari kekuasaan yang serba tertutup berubah menjadi transparan, dari yang serba negara (state center) berubah menjadi serba masyarakat. Dalam nuansa yang agak berbeda, Huntington (1983) menjelaskan bahwa proses transisi menuju demokrasi (dalam konteks modernisasi) melahir-kan gerakan/ partisipasi politik masyarakat yang semakin tinggi, namun bila meningkatnya partisipasi politik masyarakat tidak diimbangi oleh proses pelembagaan politik, maka yang sering terjadi adalah ketidakstabilan politik.

Kedudukan DPRDSecara ringkas persoalan-persoalan di masa pemerintahan yang lalu (orde baru) DPRD secara struktural tidak bisa berperan sebagaimana seperti yang diharapkan oleh masyarakat, karena :

1. Pemerintah daerah adalah DPRD dan kepala daerah2. Adanya lembaga oligarki di dalam DPRD3. Tata-tertib DPRD yang memasung hakhak Dewan4. Rekrutmen anggota DPRD yang diten-tukan oleh eksekutif5. Ketidakjelasan status hukummengenai fungsi pengawasan Dewan6. Pengendalian keuangan DPRD oleh eksekutif.

Persoalan di atas membawa implikasi :1. Tidak adanya pemisahan fungsi dan wewenang dan Pengawasan DPRD

yang sangat lemah2. Munculnya struktur oligarki dalam DPRD berupa lembaga pimpinan dan

rapat pimpinan Dewan, Keputusan-keputusan politik di daerah ditentukan oleh sekelompok kecil orang

3. Ketidakmampuan Dewan dalam men-jalankan hak-haknya guna mewu-judkan fungsi-fungsinya.

4. Ketergantungan anggota Dewan pada eksekutif5. Tidak berjalannya fungsi pengawasan Dewan secara maksimal6. Ketiadaan otonomi DPRD dalam bidang penganggaran.

DPRD dalam konteks hubungan antara negara dan masyarakat, merupakan salah satu cermin kekuatan masyarakat. Hal ini berarti DPRD memiliki posisi yang sangat strategis dalam upaya mewujudkan sistem politik yang lebih demokratis di daerah. Ia tidak lagi berada pada posisi yang subordinatif terhadap eksekutif, melainkan sejajar. Sehingga DPRD bisa lebih kritis terhadap eksekutif.DPRD merupakan institusi yang menjadi tumpuan untuk memperjuangkan kepenting-an masyarakat secara luas. Oleh karena itu, dalam posisinya yang demikian DPRD dituntut lebih peka, lebih proaktif, dalam memperjuangkan kepentingan masyarakat di daerah.

Dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis di daerah, DPRD harus memiliki peran yang besar dalam proses perencanaan dan evaluasi terhadap kelangsungan pembangunan, termasuk kinerja eksekutif di daerah.Untuk mewujudkan seperti apa yang di atas, maka perlu :

a) Memisahkan DPRD dari pemerintah daerah;b) Pengaturan kembali lembaga oligarki dalam DPRD, seperti lembaga

pimpinan dewan dan rapat dewan; Lembaga pimpinan dewan dan rapat pimpinan dewan, hanya menjalankan tugas koordinasi dan tidak berhak mengambil keputusan politik;

Page 29: I - Staff Official Site Unila | Blog Dosen Universitas Lampungstaff.unila.ac.id/ekobudisulistio/files/2013/09/... · Web viewProf. Dr. Bhenjamin Hussein dalam Sarundajang (2005:73)

c) Penghapusan tata tertib DPRD yang dipandang membelenggu anggota dewan;

d) Semua bentuk keterlibatan eksekutif dalam rekrutmen anggota dewan ditiada-kan;

e) Pembiayaan DPRD melalui APBD dan dilepaskan dari eksekutif.

Dalam Undang-undang yang baru (UU 22/1999), DPRD sebagai lembaga perwa-kilan rakyat Daerah merupakan untuk melaksanakan demokrasi, sebagai Badan Legislatif Daerah DPRD berkedudukan “sejajar” dan menjadi “mitra” dari Pemerintah Daerah.Kedudukan kesejajaran dan kemitraan antara DPRD dan Pemerintah Daerah, dimaksudkan untuk terciptanya hubungan kerja yang harmonis, stabil dan demokratis. Untuk mencapai tujuan tersebut, merupakan kewajiban bagi DPRD dan Kepala Daerah untuk mewujudkan kerjasam yang saling menghargai.Pemberdayaan DPRD melalui pemberian tugas dan wewenang kepada DPRD cukup luas, meliputi :a. Memilih Gubernur/Bupati/Walikota be-serta

wakil-wakilnya.b. Memilih anggota MPR untuk Utusan Daerahc. Mengajukan pengesahan dan mengusul-

kan pemberhentian pejabatd. Membentuk Peraturan Daerahe. Menetapkan APBDf. Melakukan pengawasang. Memberikan pendapat dan pertimbangan

kepada pemerintah terhadap rencana perjanjian internasional yang menyang-kut kepetingan Daerah

h. Menampung dan menindaklanjuti aspira-si Daerah dan masyarakat.

Untuk melengkapi pemberdayaan DPRD, mereka diberi hak sebagai berikut:a. Meminta pertanggungjawaban Gubernur,

Bupati dan Walikotab. Meminta keterangan kepada Pemerintah

Daerahc. Mengadakan penyelidikand. Mengadakan perubahan atas rancangan

peraturan daerahe. Mengajukan pernyataan pendapatf. Mengajukan rancangan peraturan daerahg. Menentukan Anggaran Belanja DPRDh. Menetapkan peraturan tata tertib DPRD(http://pustakaonline.wordpress.com)

2.7.Tinjauan tentang Huubungan antar Lembaga Pemerintahan di Era Otonomi Daerah

Dalam era otonomi daerah, dituntu peranan pemerintah daerah untuk memberikan kesejahteraan kepada masyarakat daerahnya dengan penyediaan public services yang sangat dibutuhkan. Pergeseran paradigma dari good government menuju good governance (local governance), akan melibatkan hubungan antara pemerintah daerah dengan masyarakatnya dalam kegiatan/urusan urusan pemerintahan. Dalam good governance harus ada

Page 30: I - Staff Official Site Unila | Blog Dosen Universitas Lampungstaff.unila.ac.id/ekobudisulistio/files/2013/09/... · Web viewProf. Dr. Bhenjamin Hussein dalam Sarundajang (2005:73)

keseimbangan antara publik, privat dan sosial/ masyarakat. Dengan demikian desentralisasi/otonomi tidak hanya berupa penyerahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, tetapi juga penyerahan wewenang kepada masyarakat (J.B. Kristiadi :1994).

Pejabat-pejabat pusat didaerah yang menerima pelimpahan wewenang dalam yurisdikasi wilayah administrasi disebut Field Administrator. Ada dua tipe pejabat, yaitu pejabat pejabat yang disebut Kepala Wilayah : Gubernur, Bupati, Walikotamadya (Walokota Administratif), Camat. Pejabat-pejabat ini menjalankan pemerintahan umum (administrator generalist) seperti ketertiban umum, koordinasi. Disamping itu ada pejabat Kepala Instansi Vertikal yang berasal dari departemen teknis. Pejabat-pejabat ini menjalankan pemerintahan umum (administrator specialist) yakni memberikan public service kepada masyarakat sesuai dengan bidang yang menjadi tanggung jawab departemen masing-masing. (www.docstoc.com)

Page 31: I - Staff Official Site Unila | Blog Dosen Universitas Lampungstaff.unila.ac.id/ekobudisulistio/files/2013/09/... · Web viewProf. Dr. Bhenjamin Hussein dalam Sarundajang (2005:73)

III. METODE PENULISAN

A. Tipe Penulisan

Penulisan ini menggunakan tipe penelitian deskriptif dengan metode kualitatif. Dalam Moleong (2007:4), metodologi kualitatif yang didefinisikan oleh Bogdan dan Taylor adalah suatu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Kemudian, metode penelitian kualitatif dalam Sugiyono (2009:9) adalah metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat postpositivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif/kualitatif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna daripada generalisasi.Metode penelitian kualitatif sangat relevan digunakan dalam penelitian ini karena tujuan penelitian ini untuk mengetahui bagaimana peningkatan peran Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD) di Era Otonomi Daerah di Provinsi Lampung.

B. Lokasi Penulisan

Penulisan ini mengambil lokasi pada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Lampung dengan pertimbangan instansi tersebut yang memiliki peran untuk menjalankan otonomi di daerah. Pertimbangan lainnya yaitu karena peneliti mempunyai akses di daerah tersebut, sehingga memudahkan peneliti untuk mencari data dan informasi.

C. Fokus Penulisan

Dalam penulisan ini, peneliti memfokuskan penulisan pada peningkatan peran DPRD di Era Otonomi Daerah di Provinsi Lampung yang difokuskan pada tiga hal yaitu:1. Peran DPRD di Era Otonomi Daerah.2. Kendala-kendala yang ada di Era Otonomi Daerah sampai saat ini berkenaan

dengan peran DPRD tersebut.3. Solusi yang dapat diberikan oleh DPRD untuk meningkatkan perannya di Era

Otonomi Daerah.

D. Jenis dan Sumber Data

1. Jenis Data

Jenis data dalam penulisan ini meliputi:a. Data Primer

Berkaitan dengan data primer ini yang diwawancarai adalah Aparat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Lampung, yaitu Hi. Darwin Rusly Nur sebagai Ketua Komisi IV Bidang Pembangunan di DPRD Provinsi Lampung.

Page 32: I - Staff Official Site Unila | Blog Dosen Universitas Lampungstaff.unila.ac.id/ekobudisulistio/files/2013/09/... · Web viewProf. Dr. Bhenjamin Hussein dalam Sarundajang (2005:73)

b. Data SekunderDalam penulisan ini digunakan data sekunder yang diperoleh dari catatan-catatan, arsip-arsip, dan dokumen-dokumen tentang peran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

2. Sumber Data

Berdasarkan data primer dan data sekunder, maka sumber data dalam penulisan ini adalah:a. Informan

Informan adalah sumber data primer yang meliputi orang-orang yang benar-benar terlibat atau mengalami proses serta menerima dampak dari adanya peran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) di Provinsi Lampung.

b. DokumenTeknik dokumentasi ini digunakan untuk mendapatkan informasi-informasi dan data-data berupa Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Petunjuk Teknis dan arsip-arsip yang berkaitan dengan peran DPRD Provinsi Lampung.

c. Obyek/Peristiwa/TempatPeneliti juga memperoleh data dengan melihat obyek, peristiwa dan tempat. Namun, karena topic yang diangkat mengenai peran DPRD maka tidak obyek, peristiwa, dan tempat yang dapat diamati.

E. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penulisan ini, pasti menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut:a. Wawancara (interview)b. Studi dokumentasic. Observasi

F. Teknik Analisis Data

Pada penulisan ini dilakukan proses analisis data menurut Miles dan Huberman (Sugiyono, 2009:246-252) yaitu:1. Reduksi Data2. Penyajian Data3. Verifikasi

G. Teknik Keabsahan Data

Keabsahan data merupakan standar validitas dari data yang diperoleh. Menurut Moleong (2007:324), ada empat kriteria keabsahan data yang digunakan yakni:1. Derajat Kepercayaan (credibility)2. Keteralihan (transferability)3. Kebergantungan (dependability)4. Kepastian (confirmability)

Page 33: I - Staff Official Site Unila | Blog Dosen Universitas Lampungstaff.unila.ac.id/ekobudisulistio/files/2013/09/... · Web viewProf. Dr. Bhenjamin Hussein dalam Sarundajang (2005:73)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. HASIL

A. Gambaran Umum DPRD di Era Otonomi Daerah.

Dahulu DPRD bernama BP-KNP. BP-KNP (Badan Pekerja-Komite Nasional Pusat) adalah merupakan institusi pertama yang dibentuk untuk melaksanakan kekuasaan legislatif di Indonesia. Membuat Undang-Undang (UU) adalah merupakan salah satu tugas KNP yang dibentuk segera setelah kemerdekaan diumumkan tanggal 17 Agustus 1945.

Lembaga tersebut telah mengalami perubahan bentuk sesuai dengan perkembangan pemerintahan di Indonesia (Kansil, 1995. Hal 219-221). Bentuk pertama adalah DPR pada masa RIS (Republik Serikat Indonesia) 1949. Pada saat ini ada DPR dan ada Senat yang merupakan badan perwakilan dari negara-negara bagian dalam lingkungan Negara Serikat RIS. Bentuk Negara Serikat berubah menjadi NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) tahun 1950. Sebagai akibat ketidakpuasan bangsa dengan bentuk negara tersebut. Perubahan ini berakibat pula pada perubahan keanggotaan legislatif yang semula hany terdiri dari DPR dan Senat, sekarang ditambah atau diperluas dengan seluruh anggota BP-KNP dan seluruh anggota DPA. Oleh karena sifatnya sementara, maka dia diberi nama DPRS (Dewan Perwakilan Rakyat Sementara). Tugasnya adalah sampai pada pembentukan DPR hasil pemilihanumum pertama tahun 1955.

Perubahan situasi kenegaraan menyebabkan Presiden mengeluarkan Dekrit tanggal 5 Juli 1959 yang menyatakan kembali pada UUD 1945, sedangkan UUDS 1950 dinyatakan tidak berlaku lagi. DPR hasil pemilu 1955 ditetapkan sebagai DPRS dan akhirnya tahun 1960 dibentuk DPR-GR (DPR Gotong Royong) sebagai ganti DPRS.

Pemilihan umum pertama dalam pemerintahan Orde Baru tahun 1971 kembali menghasilkan DPR sebagi pengganti DPR-GR yang telah bekerja selama 10 tahun (24 Juni 1960- 28 Oktober 1971). Kedudukan, susuna, tugas dan wewenang DPR hasil pemilihan umum ini telah mengalami berbagai perubahan dan terakhir ditetapkan dengan UU 2/1985.

Sebagai badan legislatif di daerah, DPRD mempunyai kekuasaan untuk mensahkan perda (peraturan daerah), menetapkan APBD besama kepala daerah dan melakukan fungsi pengawasan. Kedudukan DPRD dipisahkan dari Pemerintah Daerah sesuai dengan bunyi pasal 19 UU No. 32 Tahun 2004 ayat (2) yang menyatakan bahwa di daerah dibentuk DPRD sebagai badan legislatif daerah dan pemerintah daerah sebagai badan eksekutif daerah. Sedangkan pemerintah daerah terdiri atas kepala daerah beserta perangkat lainnya.

Ada 2 pasal utama yang menunjukkan peranan atau fungsi DPRD di daerah yaitu pasal 16 dan pasal 22. Pasal 16 ayat (1) berbunyi sebagai berikut:

Page 34: I - Staff Official Site Unila | Blog Dosen Universitas Lampungstaff.unila.ac.id/ekobudisulistio/files/2013/09/... · Web viewProf. Dr. Bhenjamin Hussein dalam Sarundajang (2005:73)

DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat di daerah merupakan wahana untuk melaksanakan demokrasi berdasarkan pancasila.

Perkataan demokrasi seperti yang tertulis di atas muncul dua kali pada ketentuan menimbang dalam Undang-Undang 22/1999. Demokrasi pertama muncul pada butir (b) dan demokrasi butir kedua muncul pada butir (c). Kedunya merupakan alasana pemberian atau penyelenggaraan otonomi daerah. Diharapkan penyelenggaraan pemerintah di daerah dilandaskan pada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat.

Selanjutnya UU No. 12 tahun 2008 pasal 45 menyebutkan 9 kewajiban Anggota DPRD yaitu:

1. Mengamalkan Pancasila, melaksanakan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menaati segala peraturan perundang-undangan;

2. Melaksanakan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan, pemerintahan daerah;

3. Mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional serta keutuhan NKRI;

4. Memperjuangkan peningkatan kesejahteraan rakyat di daerah;5. Menyerap, menampung, menghimpun, dan menindaklanjuti aspirasi

masyarakat;6. Mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi,

kelompok, dan golongan;7. Memberikan pertanggungjawaban atas tugas dan kinerjanya selaku

anggota DPRD sebagai wujud tanggung jawab moral dan politis terhadap daerah pemilihannya.

8. Mentaati Peraturan, Tata Tertib, Kode Etik, dan sumpah/janji anggota DPRD;

9. Menjaga norma dan etika dalam hubungan kerja dengan lembaga yang terkait.

Kembali pada perkataan demokrasi muncul pada pasl 45 yang dijadikan sebagai kewajiban anggota DPRD. Isi pasal ini merupakan penegasan tentang makna yang terkandung pada UU No. 22 Tahun 1999 pasal 16 ayat (1) sepseti yang telah dikemukakan di atas. Demokrasi, tidak hanya untuk penyelenggaraan pemerintah, tetapi juga untuk pelaksanaan perekonomian (demokrasi ekonomi).

Kata-kata demokrasi yang berdasarkan pancasila (dan UUD 1945) sebenarnya sudah lama ada. Pengertian demokrasi disandingkan dengan peran serta masyarakat, pemerataan keadilan, dan keanekaragaman daerah. Sedangkan pada isi undang-undang juga sudah dituliskan di atas. Terakhir pengertian demokrasi terlihat pada uraian tentang dasar pemikiran pada butir-butir (d), (e), dan (h). Ada satu kata yang cukup penting disini yaitu, ”memberdayakan masyarakat”.

Selanjutnya, terkait pada peranan DPRD terlihat pada penjelasan tentang ”susunan pemerintah daerah dan hak DPRD”. Uraiannya adalah sebagai berikut:

Susunan pemerintahan daerah otonom meliputi DPRD dan pemerintah daerah. DPRD dipisahkan dari pemerintah daerah dengan maksud untuk lebih memberdayakan DPRD dan meningkatkan pertanggungjawaban pemerintah daerah kepada rakyat. Oleh karena itu, hak-hak DPRD cukup luas dan diarahkan untuk menyerap serta menyalurkan aspirasi

Page 35: I - Staff Official Site Unila | Blog Dosen Universitas Lampungstaff.unila.ac.id/ekobudisulistio/files/2013/09/... · Web viewProf. Dr. Bhenjamin Hussein dalam Sarundajang (2005:73)

masyarakat menjadi kebijakan daerah dan melakukan fungsi pengawasan.

Aspirasi masyarakat (kepentingan rakyat) adalah merupakan bagian yang dominan dalam pengertian demokrasi yang berdasarka pancasila dalam UU No. 12 Tahun 2008. Pemerintah daerah wajib mempertanggungjawabkan kebijaksanaan-kebijaksanaannya kepada rakyat. Pertanggungjawaban ini dilakukan melalui wakil-wakil rakyat. Kedudukan sejajar atau bisa sedikit lebih tinggi dari eksekutif dan dia tinduk kepada keinginan atau aspirasi masyarakat.

B. Peran DPRD Provinsi Lampung di Era Otonomi Daerah saat ini.

Eksistensi lembaga Dewan Perwakilan Daerah (DPRD) di era otonomi daerah berdasarkan Undang-undang No.32 tahun 2004 diharapkan dapat menyeimbangkan kekuatan terhadap pihak eksekutif daerah dengan cara menjalankan 3 fungsinya secara optimal, yakni fungsi perwakilan, fungsi legislasi dan fungsi pengawasan. Kemudian, sasaran utama dari ketiga tugas DPR ini adalah mendahulukan kepentingan rakyat dengan cara membantu dan mengawasi pemerintah serta menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Selain fungsi-fungsi tersebut, DPRD juga memiliki peran yang tidak kalah pentingnya dengan fungsi-fungsi tadi. Tiga fungsi DPRD tersebut harus dijalankan dengan sebaik-baiknya karena ini akan berkaitan dengan peran DPRD dalam menjalankan tugasnya sebagai lembaga perwakilan.

Pendapat tentang pentingnya fungsi DPRD ini secara jelas diungkapkan oleh Bapak Hi. Darwin Rusly Nur sebagai Ketua Komisi IV Bidang Pembangunan, 50 tahun.

”peran itu sebenarnya berhubungan pada tupoksi DPR itu sendiri. Ada tiga tupoksi DPR sebagai lembaga legislatif: (1) Budgeting (anggaran); (2) Controlling (pengawasan); dan (3) Legislasi.”(pada Hari Rabu, 20 Agustus 2010 pukul 12.30 WIB)

Dari pemaparan tersebut terlihat bahwa pelaksanaan peran DPRD di Era Otonomi Daerah saat ini berkaitan langsun dengan fungsi-fungsi DPRD tersebut. Lebih lanjut, pelaksanaan peran DPRD juga direalisasikan dengan program-program kerja yang telah dibuat sebelumnya. Hal ini bertujuan agar peran-peran dari DPRD tersebut dapat dibuktikan secara nyata, bukan merupakan suatu hal yang abstrak.

Penjelasan mengenai pelaksanaan peran DPRD Provinsi Lampung melalui program kerjanya dipaparkan oleh Bapak Hi. Darwin Rusly Nur sebagai Ketua Komisi IV Bidang Pembangunan, 50 tahun.

”Pada tahun ini DPRD membuat perencanaan yang berbeda dengan tahun lalu, implementasi program kerja DPRD tahun ini dengan menggunakan reses yaitu anggota DPR turun kelapangan untuk menjaring aspirasi masyarakat dalam pembuatan RAPBD. Sedangkan provinsi Lampung terdiri dari 7 daerah pemilihan umum. Dari penjaringan tersebut maka diproleh 3 kesimpulan yang akan diperbaiki antara lain: jalan, sarana pendidikan dan rumah sehat miskin. Akan tetapi yang difokuskan adalah perbaikan jalan. Jalan yang akan diperbaiaki terdiri dari 2369 km tersebar di 14 kabupaten/kota di provinsi Lampung. Pengajuan

Page 36: I - Staff Official Site Unila | Blog Dosen Universitas Lampungstaff.unila.ac.id/ekobudisulistio/files/2013/09/... · Web viewProf. Dr. Bhenjamin Hussein dalam Sarundajang (2005:73)

alokasi pembanguan untuk tahun 2011 meningkat dari pada tahun sebelumnya. Tahun sebelumnya ”2009” dana alokasi dana APBD hanya 80 M, dana ini dianggap sangat kurang dalam pembangunan, sehinga implementasinya tidak bisa dilakukan dengan maksimal. Dan bisa kita lihat di Provinsi Lampung perbaikan jalan tidak banyak yang diperbaiki. Tahun 2011 RAPBD provinsi Lampung mengajukan 400 M untuk pembangunan. Meskipun tidak mencapai 400 M akan tetapi tidak lebih kecil dari tahun sebelumnya. Di dalam koran Radar Lampung juga memberitakan bahwa alokasi dana untuk pembangunan infrastruktur untuk Provinsi Lampung mencapai 700 M lebih.”(pada Hari Rabu, 20 Agustus 2010 pukul 12.30 WIB)

Pemaparan tersebut menjelaskan bahwa pelaksanaan peran DPRD saat ini berupa implementasi program kerja yang sudah dijalankan. Program kerja ini sampai saat ini dirasakan belum dapat meningkatkan peran DPRD, khususnya di Provinsi Lampung karena masih ada banyak kendala-kendala yang menghambat implementasi program kerja DPRD tersebut. Seperti misalnya rancangan kemampuan fiskal untuk pembangunan diperkirakan sekitar 700 milyar. Dana ini belum dapat dicairkan karena menunggu persetujuan dari pemerintah pusat, Namun dengan rancangan dana seperti ini diharapkan dapat memberi motivasi bagi para anggota DPRD di Provinsi Lampung untuk meningkatkan peran mereka di era otonomi daerah saat ini. Rancangan kemampuan fiskal ini diharapkan dapat lebih diperhatikan oleh pemerintah pusat karena tentunya hal ini tidak terlepas dari kerja keras DPRD dengan DPR RI yang berasal dari daerah pemilihan provinsi Lampung.

C. Kendala-kendala pelaksanaan peran DPRD Provinsi Lampung di Era Otonomi Daerah saat ini.

Untuk pelaksanaan kekuasaan legislatif DPRD diberikan tugas, wewenang dan hak oleh UU No.12 Tahun 2008. Kesemua itu diatur dalam Pasal 42 dalam undang-undang tersebut. Ada dua butir penting yang diatur dalam Pasal 45 yaitu pertama adalah mengenai tugas dan wewenang DPRD dan kedua adalah pelaksanaan tugas dan wewenag tersebut dan Pasal 46 menetapkan hak-hak DPRD. Tugas dan Wewenang DPRD antara lain:

Membentuk peraturan daerah yang dibahas dengan kepala daerah untuk mendapat persetujuan daerah;

Membahsa dan menyetujui rancangan peraturan daerah tentang APBD bersama dengan kepala daerah.;

Melaksanakan pengawasana terhadap pelaksanaan peraturan daerah dan peraturan perundang-undangan lainnya, peraturan kepala daerah, APBD, kebijakan pemerintah daerah dalam melaksanakan program pembangunan daerah, dan kerja sama internasional di daerah;

Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah/wakil kepala daerah kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri bagi DPRD Provinsi dan kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur bagi DPRD Kabupaten /Kota;

Memilih wakil kepala daerah dalam hal terjadi kekosongan jabatan wakil kepala daerah;

Memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah daerah terhadap rencana perjanjian internasional di daerah;

Memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama internasional yang dilakukan oleh pemerintah daerah;

Meminta laporan keterangan pertanggungjawaban kepala daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan;

Page 37: I - Staff Official Site Unila | Blog Dosen Universitas Lampungstaff.unila.ac.id/ekobudisulistio/files/2013/09/... · Web viewProf. Dr. Bhenjamin Hussein dalam Sarundajang (2005:73)

Melakukan pengawasan dan meminta laporan KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah;

Memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama antardaerah dan dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan daerah

Jika dikaitkan dengan kekuasaan legislatif (Pasal 45) kesembilan butir tugas dan wewenang tersebut dapat dibagi pada empat kelompok, yaitu: (1) menghasilkan keputusan, (2) mensahkan kebijaksanaan publik, (3) pengawasan, dan (4) menyalurkan aspirasi masyarakat. Butir pertama, kedua, ketiga dan ketujuh adalah merupakan tugas dan wewenang yang menghasilkan keputusan baik yang bersifat final maupun yang bersifat saran/ pendapat. Sedangkan kelompok kedua yang terdiri dari butir empat dan lima, peranan DPRD adalah mensahkan keputusan publik. Walaupun sifatnya mensahkan, tetapi posisinya sangat penting terhadap keputusan publik. Keputusan publik batal jika tidak mendapat pengesahan DPRD. Kelompok ketiga yaitu pengawasan sebenarnya sudah tumpah tindih dengan hak-hak DPRD yang ada pada Ps. 19. Sedangkan kelompok keempat hanyalah merupakan penegasan kekuasaan legislatif saja, yang sebenarnya tidak perlu disebutkan.

Ada tiga alasan penting yang menyebabkan pemberian tugas dan wewenang yang besar kepada DPRD. Pertama adalah aspek legal yaitu Ps. 16 UU 22/1999. DPRD adalah merupkan wahana pelaksanaan demokrasi yang berdasarkan pancasila. Peranan masyarakat menjadi penting dalam pelaksanaan fungsi (kekuasaan) ini, walaupun tidak sepenuhnya seperti demokrasi yang ada di negara maju. Kedua, Pemerintah harus mempertanggungjawabkan kebijaksanaan-kebijaksanaanya kepada masyarakat, sebab masyarakat adalah merupakan sumber pembiayaan utama bagi pelaksanaan kebijaksanaan publik. Tanpa pembiayaan dari masyarakat, rasanya sulit bagi pemerintah untuk melaksanakan kewenangan yang dimilikinya. Ketiga, masyarakat adalah sumber pembiayaan utama bagi pemerintah, baik berupa pajak, maupun retribusi. Sebagai sumber pembiayaan, masyarakat sering disebutkan sebagai ”stakeholders” yaitu orang atau badan yang akan menentukan kebijaksanaan jalannya pemerintahan. Mereka akan malas membayar kewajiban-kewajibannya kepada Pemerintah jika dana itu digunakan tidak sesuai dengan aspirasinya. Keengganan membayar pajak yang terjadi pada masyarakat kita sekarang adalah merupakan dampak dari lemahnya pertanggungjawaban Pemerintah terhadap stakeholder-nya.

Dari penjelasan kewenangan diatas pemberian kewenangan kepada DPRD perlu dilakukan. Ini berkaitan juga untuk pelaksanaan program-program kerja DPRD Provinsi Lampung. Dengan diberikan kewenangan berarti DPRD mempunyai hak untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan yang mendukung program kerja mereka.

Dalam hal ini, khusus pada bidang pembangunan, kegiatan-kegiatan yang telah dilaksanakan oleh DPRD Provinsi Lampung mengenai kegiatan pembangunan di Provinsi Lampung masih dihadapkan oleh beberapa kendala. Kendala-kendala tersebut yang dapat dijabarkan dalam penelitian ini sebagai berikut.

1. Keterbatasan kemampuan fiskal.

Harapan dari pemberian kewenangan pada DPRD adalah agar aspirasi masyarakat terakomodasi sebagaimana mestinya dalam kebijaksanaan-kebijaksanaan yang akan dilaksanakan oleh pemerintah. Jika sebuah

Page 38: I - Staff Official Site Unila | Blog Dosen Universitas Lampungstaff.unila.ac.id/ekobudisulistio/files/2013/09/... · Web viewProf. Dr. Bhenjamin Hussein dalam Sarundajang (2005:73)

kebijaksanaan di tolak oleh DPRD, maka berarti masyarakat tidak setuju dengan keputusan tersebut dan sebaliknya jika diterima. Masyarakat akan menerima kebijaksanaan tersebut jika sudah sesuai dengan aspirasinya.

Aspirasi masyarakat tersebut tentu saja merupakan hal yang perlu ditindak lanjuti. Penindaklanjutan aspirasi masyarakat ini dilakukan dengan membuat program-program kerja kemudian dilaksanakan. Disinilah peran DPRD perlu diperhatikan dalam merealisasikan aspirasi masyarakat.

Jika dikaitkan dengan otonomi daerah, segala urusan pemerintahan provinsi Lampung diberikan kewenangan kepada pemerintahan provinsi tersebut. Hal ini juga berkaitan dengan penggunaan anggaran. Pemerintah Pusat membagi keuangan kepada daerah-daerah otonomi untuk dipergunakan sebaik-baiknya dalam mencapai tujuan kesejahteraan masyarakat. Begitu juga dengan pembangunan daerah. Dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan pembangunan, maka kemampuan fiskal merupakan aspek penting. Kemampuan fiskal harus sesuai dengan kebutuhan kegiatan yang ada.

Namun dalam kenyataannya, kemampuan fiskal provinsi Lampung seluruhnya belum menopang segala kebutuhan yang harus dipenuhi, termasuk juga bagi kebutuhan bidang pembangunan daerah. Akibat dari kurangnya fiskal ini pun saat ini sudah meresahkan masyarakat. Banyak keluhan yang terjadi mengenai kerusakan jalan.

Pendapat mengenai keterbatasan kemampuan fiskal juga didukung dengan penjelasan oleh Bapak Hi. Darwin Rusly Nur sebagai Ketua Komisi IV Bidang Pembangunan, 50 tahun.

”sebenarnya masalah utama munculnya kendala dalam implementasi peran DPRD di era otonomi daerah saat ini, khususnya untuk masalah pembangunan adalah kemampuan fiskal yang terbatas. Oelh karena itu dibutuhkan bantuan dari pusat. Kalau fiskal terbatas maka pembangunanpun tidak akan berjalan secara optimal.”(pada Hari Rabu, 20 Agustus 2010 pukul 12.30 WIB)

Dari pernyataan ini dapat dikatakan bahwa kemampuan fiskal merupakan aspek paling penting dalam pelaksanaan peran DPRD Provinsi Lampung, khususnya bidang pembangunan. Kemampuan fiskal harus mengimbangi kebutuhan daerah. Sehingga dalam implementasi peran DPRD, hasil yang diperoleh dapat semaksimal mungkin.

2. Kurangnya pengawasan pada satuan kerja.

Kendala lain berkenaan dengan pelaksanaan peran DPRD adalah tentang kurangnya pengawasan. Ini berkaitan dengan fungsi controlling (pengawasan) DPRD. Dalam pelaksanaan fungsi ini, peran DPRD Provinsi Lampung diharapkan dapat mengawasi baik secara langsung maupun tidak pada seluruh bagian yang menjadi pelaksana program kerja DPRD Provinsi Lampung.

Peran DPRD Provinsi Lampung dalam fungsi pengawasan ini memang terbatas hanya pada pengawasan umum. Maksudnya DPRD hanya mengawasi bagian-bagian inti yang melaksanakan kegiatan-kegiatan DPRD. Namun, apabila dalam pelaksanaan kegiatan DPRD akan terjadi kendala, maka DPRD akan dipandang

Page 39: I - Staff Official Site Unila | Blog Dosen Universitas Lampungstaff.unila.ac.id/ekobudisulistio/files/2013/09/... · Web viewProf. Dr. Bhenjamin Hussein dalam Sarundajang (2005:73)

sebagai instansi yang tidak dapat melayani masyarakat dengan baik. Oleh karena itu pengawasan DPRD Provinsi Lampung harus ditingkatkan sampai pada masing-masing satuan kerja. Sehingga, pelaksanaan pembangunan dapat diawasi dengan sebaik-baiknya.

Pentingnya pengawasan DPRD Provinsi Lampung sampai pada tingkat masing-masing satuan kerja dalam mencapai tujuan pembangunan yang optimal ini juga dipaparkan oleh Bapak Hi. Darwin Rusly Nur sebagai Ketua Komisi IV Bidang Pembangunan, 50 tahun.

”Faktor-faktor lain yang menjadi kendala misalnya pengawasan-pengawasan di masing-masing satuan kerja (satker) masih kurang. Pengawasan ini tentunya perlu dilakukan oleh DPRD agar apabila terjadi kendala-kendala lagi dalam pembangunan dapat diketahui lebih awal dan dapat segera diatasi.”(pada Hari Rabu, 20 Agustus 2010 pukul 12.30 WIB)

Fungsi pengawasan DPRD Provinsi Lampung dalam pelaksanaan pembangunan di Provinsi Lampung ternyata juga menghadapi kendala yang cukup riskan. Pengawasan selama ini hanya dilakukan pada bagian-bagian inti pelaksana pembangunan. Pengawasan di masing-masing satuan kerja (satker) juga perlu ditingkatkan demi pelaksanaan pembangunan yang lebih baik.

3. Produk-produk Peraturan Daerah (Perda) yang sudah usang.

Selain kendala keterbatasan kemampuan fiskal, kurangnya pengawasan pada tingkat satuan kerja, ada juga kendala yang cukup penting untuk diperhatikan. Kendala ini adalah mengenai produk-produk peraturan daerah yang sudah usang.

Peraturan Daerah (perda) menurut UU No. 12 Tahun 2008 Pasal 1 poin 10 adalah peraturan daerah provinsi dan/atau peraturan daerah kabupaten/kota. Di Era Otonomi Daerah saat ini, peraturan daerah berperan penting sebagai penegakkan hukum di daerah. Peraturan daerah satu dengan yang lain pasti berbeda sesuai dengan situasi dan kondisi daerah otonom tersebut.

Peran yang berkaitan dengan fungsi legislasi dari DPRD Provinsi Lampung adalah untuk merancang peraturan daerah. Oleh karena itu, DPRD Provinsi Lampung seharusnya mengetahui apa-apa saja masalah yang ada saat ini dan bagaimanakah cara untuk mengatasi permasalahan tersebut. Apabila permasalahan tersebut sudah sangat penting untuk diatasi maka DPRD berhak mengajukan rancangan peraturan daerah.

Dalam pelaksanaan pembangunan daerah provinsi Lampung, fungsi legislasi perlu diperhatikan. Sepeti misalnya masalah kerusakan jalan yang tak kunjung teratasi. Penyebab kerusakan jalan disadari bahwa produk peraturan daerah saat ini sudah usang. Kendala ini juga diungkapkan oleh Bapak Hi. Darwin Rusly Nur sebagai Ketua Komisi IV Bidang Pembangunan, 50 tahun.

”kendala mengenai fungsi legislasi adalah produk-produk peraturan daerah saat ini sudah usang dan perlu diperbaiki. Ini penting agar kedepannya pelaksanaan pembangunan, kendalanya dalam diminimalisir.”(pada Hari Rabu, 20 Agustus 2010 pukul 12.30 WIB)

Page 40: I - Staff Official Site Unila | Blog Dosen Universitas Lampungstaff.unila.ac.id/ekobudisulistio/files/2013/09/... · Web viewProf. Dr. Bhenjamin Hussein dalam Sarundajang (2005:73)

Dari pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa produk-produk peraturan daerah juga penting untuk diperhatikan oleh DPRD Provinsi Lampung agar pelaksanaan pembangunan di Provinsi Lampung dapat dimaksimalkan Peraturan daerah saat ini harus sesuai dengan situasi dan kondisi saat ini. Oleh karena itu, peraturan daerah yang sudah lama dibuatnya harus diperbaharui.

diatas juga didukung oleh penjelasan Bapak Hi. Darwin Rusly Nur sebagai Ketua Komisi IV Bidang Pembangunan, 50 tahun.

”strategi kami berkenaan dengan peran-peran kami saat ini adalah dengan implementasi program kerja kami. Program kerja itu bertujuan untuk mengakomodir keinginan masyarakat. Nah, untuk mengimplementasikan program kerja, kami sudah menurunkan anggota DPRD untuk terjun langsung berdialog dengan masyarakat. Anggota DPRD itu disebar berdasarkan daerah pemilihan (dapil) mereka masing-masing. Di Provinsi Lampung ini ada 7 daerah pemilihan. Hal ini bertujuan untuk menjaring aspirasi atau keinginan masyarakat. Ini biasa disebut dengan 'Jaring Asmara' (Jaringan Aspirasi Masyarakat). Apabila ini sudah terlaksana, maka akan ada keinginan masyarakat dari setiap dapil, misalnya dapil 1 ingin memperbaiki infrastruktur jalan, dapil 2 ingin memperbaiki infrastruktur kesehatan, dsb. Semuanya itu akan digodok bersama. Akan tetapi usulan atau keinginan masyarakat tersebut akan tetap disesuaikan dengan kemampuan fiskal daerah.”(pada Hari Rabu, 20 Agustus 2010 pukul 12.30 WIB)

D. Solusi yang dapat mengatasi kendala peningkatkan peran DPRD Provinsi Lampung di Era Otonomi Daerah saat ini.

Di Era Otonomi Daerah saat ini dimana Negara telah memberikan hak dan wewenang kepada setiap daerah yang dianggap mampu untuk menjalankan pemerintahannya sendiri, peran DPRD sebagai lembaga legislatif yang mewakili rakyat menjadi sangat penting. Hal ini dikarenakan, DPRD nantinya yang akan melaksanakan atau merealisasikan keinginan-keinginan masyarakat dengan program-program kerjanya.

Peran DPRD merupakan bentuk realisasi fungsi-fungsinya. Maksudnya adalah dari fungsi-fungsi DPRD yang sudah dijelaskan sebelumnya, maka peran dari DPRD itu pun akan jelas bentuknya. Dari peran-peran tersebut, DPRD membuat program kerja yang merupakan implementasi dari peran yang mereka miliki tersebut.

Ada banyak program-program kerja DPRD. Namun dalam hal ini penelitian hanya memfokuskan pada DPRD Komisi C yang merupakan Bidang Pembangunan. Dalam pelaksanaan program-program kerja DPRD bidang pembangunan ini dapat dilihat bahwa masih banyak keluhan atau kendala yang menyebabkan program kerja DPRD tersebut tidak dapat dijalankan secara optimal. Namun, dalam suatu kebijakan public, kendala-kendala tersebut pasti dapat diatasi dengan solusi berupa tindakan-tindakan dari DPRD. Solusi tersebut setidaknya diharapkan akan lebih memaksimalkan peningkatan peran DPRD di Era Otonomi Daerah.

Berdasarkan beberapa kendala yang terjadi dalam pelaksanaan peran DPRD, penelitian ini juga dapat menjelaskan beberapa solusi yang mampu meningkatkan peran DPRD di Era Otonomi Daerah saat ini.

Page 41: I - Staff Official Site Unila | Blog Dosen Universitas Lampungstaff.unila.ac.id/ekobudisulistio/files/2013/09/... · Web viewProf. Dr. Bhenjamin Hussein dalam Sarundajang (2005:73)

1. Peningkatan kemampuan fiskal.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, kemampuan fiskal merupakan aspek penting untuk pelaksanaan peran DPRD. Kemampuan fiskal ini berkaitan dengan fungsi anggaran DPRD. Pelaksanaan peran DPRD akan lebih optimal apabila diimbangi dengan kemampuan fiskal yang dimiliki oleh DPRD tersebut. Oleh karena itu dalam hal ini, khususnya bidang pembangunan daerah, kemampuan fiskal perlu ditingkatkan.

Kemampuan fiskal berkaitan dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Oleh karena itu, peningkatan kemampuan fiskal bermaksud meningkatkan APBD setempat. DPRD Provinsi Lampung dalam peningkatan perannya ternyata memang sudah meningkatkan APBD tahun 2010 ini guna optimalisasi program-program kerjanya.

Namun, untuk realisasi langsung peningkatan fiskal di daerah merupakan tanggung jawab pemerintah pusat. Oleh karena itu, DPRD provinsi Lampung saat ini sedang menaruh harapan besar pada pemerintah pusat agar dapat menggelontorka dana yang sesuai dengan yang diharapkan.

Pendapat mengenai peningkatan kemampuan fiskal yang dalam hal ini peningkatan APBD tersebut juga diungkapkan oleh Bapak Hi. Darwin Rusly Nur sebagai Ketua Komisi IV Bidang Pembangunan, 50 tahun.

“APBD tahun 2010 saat ini sebesar 2,39 triliun sedangkan tahun kemarin hanya sebesar 1,8 triliun. Kemudian, alokasi dana untuk perbaikan infrastruktur jalan tahun ini juga meningkat dari tahun lalu. Anggaran untuk perbaikan infrastruktur jalan tahun 2010 sebesar 80 milyar. Anggaran ini diharapkan akan lebih baik dibandingkan tahun lalu. Kami juga sudah mengusulkan anggaran pembangunan untuk tahun 2011 sebesar 400 milyar. Anggaran ini nantinya akan dialokasikan untuk perbaikan infrastruktur jalan, pendidikan, kesehatan, dan pembangunan rumah sehat. Oleh karena itu, kami DPRD provinsi sedang mencoba melobi DPR RI wakil dari Lampung untuk dapat membantu mengetuk hati pemerintah pusat mengalirkan dana ke Provinsi Lampung”(pada Hari Rabu, 20 Agustus 2010 pukul 12.30 WIB)

Dari ungkapan diatas, dapat disimpulkan bahwa peningkatan kemampuan fiskal merupakan salah satu solusi yang dilakukan DPRD dalam meningkatkan peran DPRD di era otonomi daerah saat ini. Peningkatan kemampuan fiskal ini diharapkan dapat mendorong keberhasilan pencapaian tujuan dari segala program-program kerja yang telah dibuat oleh DPRD.

2. Peningkatan pengawasan pada satuan kerja.

Seperti yang diketahui bahwa saat ini infrastruktur jalan merupakan hal yang sering diperdebatkan. Hal ini tentunya terjadi karena memang pembangunan jalan saat ini kurang baik. Di beberapa jalan misalnya jalan lintas timur dari Rajabasa ke Bakauheni, banyak jalan yang rusak. Ini pasti sangat mengganggu arus lalu lintas. Lebih khusus, kerusakan jalan juga akan berpengaruh pada tingkat kecelakaan lalu lintas.

Berkaitan dengan fungsi DPRD yaitu fungsi controlling (pengawasn), DPRD dalam hal ini juga perlu lebih mengawasi kegiatan pembangunan infrastruktur jalan di era otonomi daerah saat ini. Pengawasan DPRD Provinsi Lampung

Page 42: I - Staff Official Site Unila | Blog Dosen Universitas Lampungstaff.unila.ac.id/ekobudisulistio/files/2013/09/... · Web viewProf. Dr. Bhenjamin Hussein dalam Sarundajang (2005:73)

diharapkan tidak hanya pengawasan secara umum, tetapi juga secara khusus pada pelaksana kegiatan-kegiatan pembangunan.

Hal ini dipertegas dengan penjelasan oleh Bapak Hi. Darwin Rusly Nur sebagai Ketua Komisi IV Bidang Pembangunan, 50 tahun.

”untuk kendala pengawasan DPRD secara langsung masih kurang. Kami mempunyai solusi untuk lebih ketat dalam mengawasi pelaksanaan kegiatan pembangunan di provinsi Lampung. Pengawasan ini dari atas sampai kepada tingkat masing-masing satuan kerja. Ini perlu demi tercapainya tujuan pembangunan.”(pada Hari Rabu, 20 Agustus 2010 pukul 12.30 WIB)

Berdasarkan penjelasan diatas, dapat dilihat bahwa solusi untuk mengatasi kendala kurangnya pengawasan adalah dengan lebih mengawasi secara ketat pelaksanaan kegiatan pembangunan, khusunya pembangunan jalan sampai pada tingkat satuan kerja. Hal ini perlu dilakukan agar kedepannya DPRD dapat meningkatkan perannya di era otonomi daerah dan mencapai tujuan yang diharapkan.

3. Pembaharuan produk Peraturan Daerah.

Dari kendala-kendala yang sudaha dibahas sebelumnya, ada kendala yang berkaitan dengan fungsi legislasi DPRD. Kendala tersebut adalah tentang produk-produk peraturan daerah yang sudah usang. Dari hal ini dapat dikatakan bahwa produk peraturan daerah juga perlu mendapatkan perhatian dalam pelaksanaan peran di era otonomi daerah saat ini.

Peraturan Daerah (perda) ini penting sebagai instrument penegakkan hukum di daerah. Apabila suatu masalah yang sudah merisaukan masyarakat, dapat segera diatasi dengan adanya peraturan daerah yang mengatur. Peraturan daerah yang sekarang harus sesuai dengan kondisi dan situasi saat ini, bukan situasi atau kondisi masa lalu.Oleh karena itu, pembaharuan produk peraturan daerah saat ini diperlukan untuk menunjang pembangunan daerah di Provinsi Lampung.

Pengakuan mengenai produk peraturan daerah harus diperbaharui juga dikatakan oleh Bapak Hi. Darwin Rusly Nur sebagai Ketua Komisi IV Bidang Pembangunan, 50 tahun.

”produk peraturan daerah yang sudah usang perlu diperbaiki karena tidak sesuai dengan sekarang. Misalnya, Perda Tonase yang sedang diajukan. Perda ini mengatur tentang berat beban yang diangkut oleh jasa-jasa angkutan. Hal ini dilakukan menyadari bahwa faktor penyebab kerusakan jalan salah satunya karena banyak jasa-jasa angkutan yang melewati jalur lintas timur itu over tonase. Maksudnya kelebihan beban. Tentunya hal ini akan membuat jalan lebih cepat rusak. Oleh karena itu, perda tonase itu akan mengatur berat beban yang seharusnya diangkut maksimal 12 ton, tidak lebih dari itu. Ini disesuaikan dengan kemampuan jalan tersebut.”(pada Hari Rabu, 20 Agustus 2010 pukul 12.30 WIB)

Pemaparan diatas menjelaskan bahwa peraturan daerah harus selalu diperhatikan. Peraturan daerah harus disesuaikan dengan kondisi dan situasi saat ini. Hal ini dilakukan agar peran DPRD Provinsi Lampung lebih nyata

Page 43: I - Staff Official Site Unila | Blog Dosen Universitas Lampungstaff.unila.ac.id/ekobudisulistio/files/2013/09/... · Web viewProf. Dr. Bhenjamin Hussein dalam Sarundajang (2005:73)

terlihat. Sehingga kedepannya, peraturan daerah tidak menjadi penghambat pelaksanaan peran DPRD Provinsi Lampung.

Dari semua penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa dalam meningkatkan peran DPRD Provinsi Lampung di Era Otonomi Daerah saat ini perlu dilakukan agar kedepannya Provinsi Lampung akan menjadi daerah yang benar-benar otonom dan lebih baik dibandingkan dengan daerah-daerah otonom lain. Dalam meningkatkan peran ini perlu direalisasikan solusi-solusi sebagai penanganan kendala-kendala peningkatan peran DPRD. Seperti misalnya solusi mengenai peningkatan kemampuan fiscal. Ini merupakan solusi inti sebenarnya dalam peningkatan peran pemerintah karena dengan keseimbangan antara kebutuhan dan kemampuan fiscal maka pembangunan akn terlaksana dengan baik. Kemudian mengenai pengawasan, peran DPRD dalam hal pengawasan ini perlu ditingkatkan. Ini penting agar kedepannya DPRD akan mengetahui secara langsung apa yang terjadi di lapangan sehingga dapat diatasi secepat mungkin. Dan yang terakhir mengenai pembaharuan produk-produk peraturan daerah. Peraturan daerah menjadi penting karena ini merupakan instrument penegakkan kebijakan. Seperti misalnya kerusakan jalan yang dirasa merupakan akibat kelebihan beban yang diangkut jasa angkutan melewati jalan-jalan di provinsi lampung. Ini perlu diatur melalui perda agar hukum yang berlaku jelas dan memberikan efek jera bagi pelanggar perda tersebut.

II. PEMBAHASAN

A. Peran DPRD Provinsi Lampung di Era Otonomi Daerah saat ini.

Hak DPRD dalam UU No. 12 Tahun 2008 Pasal 44 ayat (1) dapat diterjemahkan sebagai kekuasaan untuk berbuat sesuatu sebagai akibat adanya aturan yang menetapkannya. Ada 8 (delapan) hak DPRD yang ditetapkan dalam undang-undang tersebut yaitu:

mengajukan rancangan Perda; mengajukan pertanyaan; menyampaikan usul dan pendapat; memilih dan dipilih; membela diri; imunitas; protokoler; dan keuangan dan administratif

Sebagian besar dari hak tersebut (hak pertama sampai dengan hak kelima) adalah merupakan pelaksanaan pengawasan yang dimiliki oleh badan legislatif. Tujuan pemberian hak ini tentu sesuai dengan tujuan fungsi pengawasan dalam Ilmu Manajemen yaitu untuk mengawasi agar kebijaksanaan yang telah disahkan oleh DPRD dan dijadikan kebijaksanaan Pemerintah Daerah dilaksanakan oleh eksekutif sebagaimana mestinya. Jika terjadi kesalahan atau penyimpangan dalam implementasi kebijaksanaan tertentu, maka DPRD dapat menggunakan salah satu atau semua hak yang berhubungan dengan pelaksanaan pengawasan seperti tersebut di atas.

Tiga hak lainnya, yaitu mengajukan Rancangan Peraturan Daerah, mengajukan Anggaran Belanja DPRD dan menetapkan Peraturan Tata Tertib DPRD, tidak termasuk pada fungsi pengawasan. DPRD dapat mengajukan Rancangan Peraturan Daerah sendiri untuk kebijaksanaan tertentu jika Pemerintah Daerah

Page 44: I - Staff Official Site Unila | Blog Dosen Universitas Lampungstaff.unila.ac.id/ekobudisulistio/files/2013/09/... · Web viewProf. Dr. Bhenjamin Hussein dalam Sarundajang (2005:73)

belum berinisiatif untuk mengajukannya. Sedangkan kebijaksanaan tersebut sangat diperlukan oleh masyarakat untuk dijadikan keputusan publik. Selanjutnya adalah merupakan tata cara kerja DPRD agar semua tugas dan wewenang serta hak-hak yang dimiliki DPRD dapat dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Hak mengajukan anggaran Belanja DPRD sendiri nampaknya telah menjadi sumber perbedaan pendapat antara masyarakat pada satu pihak dan DPRD pada pihak lain. DPRD menterjemahkan pengertian hak ini sebagai hak mutlak. Sedangkan pada pihak lain, Pemerintah telah menerbitkan PP 110/2000 tanggal 30 November 2000. Dengan alasan peraturan pemerintah ini terlambat sampainya di DPRD dan dianggap tidak sesuai dengan UU 22/1999, maka anggaran DPRD 2001 tidak disusun berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.

Hak sebenarnya kekuasaan yang benar untuk memperoleh dan melakukan sesuatu. Sebagaimana instansi pemerintah yang lain, DPRD juga memiliki hak untuk melakukan peran-perannya yang merupakan terjemahan dari ketiga fungsi DPRD. Peran DPRD Provinsi Lampung misalnya saat ini perlu lebih ditingkatkan agar pelaksaan pembangunan daerah bisa lebih maksimal, Lebih khusus dalam era otonomi daerah saat ini, Peran DPRD Provinsi Lampung dituntut agar lebih maksimal sehingga dapat mengakomodir segala aspirasi atau keinginan masyarakat.

Peranan utama DPRD adalah untuk melaksanakan demokrasi yang berdasarkan pancasila. Kepentingan masyarakat yang tercermin dari aspirasinya lebih mewarnai pengertian demokrasi yang berdasarkan pancasila yang dianut oleh UU No.12 Tahun 2008 merupakan rincian kegiatan yang dilakukan oleh DPRD. Semua kegiatan yang merupakan tugas, wewenang dan hak-hak DPRD wajib dilakukan berdasarkan isi UU No 12 Tahun 2008 pasal 45 seperti yang sudah diungkapkan di atas.

Dari pemaparan diatas dapat diungkapkan bahwa DPRD sebagai lembaga legislatif di Era Otonomi Daerah saat ini memiliki peranan penting, termasuk DPRD Provinsi Lampung. Peran DPRD ini tidak hanya berupa aturan tertulis namun perlu ada realisasinya. Hal ini karena peran tidak akan berarti apa-apa jika hanya berupa aturan legal mengenai fungsi yang mengatur peran itu. Peran DPRD akan lebih berarti dan terealisasi sempurna apabila dilaksanakan sesuai dengan aturan yang ada.

Peranan DPRD sebagai Badan Legislatif Daerah Berdasarkan UU No.12 Tahun 2008

KekuasaanSebagai wahana pelaksanaan demokrasi yang berdasarkan pancasila

Hak-hak (Ps.44)Pelaksanaan fungsi pengawasan

Tugas dan wewenang (Ps.42) Mensahkan kebijaksanan

publik Lain-lain

Page 45: I - Staff Official Site Unila | Blog Dosen Universitas Lampungstaff.unila.ac.id/ekobudisulistio/files/2013/09/... · Web viewProf. Dr. Bhenjamin Hussein dalam Sarundajang (2005:73)

B. Kendala-kendala pelaksanaan peran DPRD Provinsi Lampung di Era Otonomi Daerah saat ini.

Berdasarkan hasil yang telah dijelaskan, dalam melaksanakan peran-perannya, DPRD provinsi Lampung melakukan berbagai kegiatan, salah satunya yaitu implementasi program kerja yang telah dibuat sebelumnya. Pelaksanaan program kerja ini tentunya penting untuk dilakukan agar masyarakat mengetahui bahwa DPRD juga memiliki peran yang bertujuan untuk menampung atau mengakomodir aspirasi dan keinginan masyarakat.

Dalam implementasi program-program kerja DPRD Provinsi Lampung, ada beberapa kendala yang berkaitan dalam pelaksanaan peran DPRD tersebut. Kendala-kendala ini wajar terjadi dalam sebuah pelaksanaan kebijakan. Namun yang perlu diperhatikan kedepannya adalah bagaimana cara meminimalisir kendala-kendala tersebut.

Seperti misalnya keterbatasan kemampuan fiskal. Hal ini merupakan kendala yang sangat kompleks. Padahal kemampuan fiskal inilah yang berkaitan erat untuk peningkatan peran DPRD di Era Otonomi Daerah saat ini. Namun, di sisi lain, kemampuan fiskal ini juga harus disesuaikan dengan anggaran pemerintah pusat. Inilah yang kemudian masalah keterbatasan fiskal merupakan kendala yang tidak mudah untuk segera diatasi.

Kemudian, kendala berikutnya adalah mengenai pengawasan DPRD Provinsi Lampung pada masing-masing satuan kerja (satker) masih dirasa kurang ketat. Pengawasan ini juga merupakan aspek penting yang perlu diperhatikan agar kedepannya, masalah yang timbul dari instansi bawah dapat segera diatasi. DPRD provinsi Lampung dalam hal pembangunan di Era otonomi daerah saat ini diharapkan agar lebih ketat dalam pengawasan.

Terakhir mengenai kendala produk-produk peraturan daerah, peraturan daerah merupakan instrumen penegakkan hukum yang berkaitan dengan fungsi legislasi DPRD Provinsi Lampung,. Peraturan daerah harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi saat ini. Namun, pada kenyataannya, peraturan daerah Provinsi

Aspirasi masyarakat

Implementasi kebijaksanaan oleh eksekutif

Kesejahteraan masyarakat dari hasil pelayanan publik

Page 46: I - Staff Official Site Unila | Blog Dosen Universitas Lampungstaff.unila.ac.id/ekobudisulistio/files/2013/09/... · Web viewProf. Dr. Bhenjamin Hussein dalam Sarundajang (2005:73)

Lampung saat ini, khususnya dalam hal pembangunan dirasa sudah usang. Oleh karena itu, perlu ada tindakan untuk mengatasi kendala ini.

Uraian di atas menjelaskan proses implementasi peranan DPRD sebagai wakil rakyat dan keputusan-keputusan yang diambil oleh pemerintah daerah. Mulai dari kebijkasanaan umum daerah (pola dasar daerah) sampai pada kebijaksanaan khuhus (pengesahan RAPBD) ada kewenangan DPRD.

Meskipun DPRD melakukan reses sebagai perbedaan peranan mereka tahun ini dengan tahun sebelumnya, yang menjadi pertanyaan adalah apakah anggota-anggota DPRD yang berasal dari kepentingan kelompok masing-masing benar-benar mengetahui tentang aspirasi masyarakat di daerahnya. Jika mereka mengetahuinya apakah mereka bisa menggunakannya dengan kewenangan yang mereka miliki. Secara riil ini sulit terjadi. Karena jika mereka melakukan hal tersebut akan banyak menimbulkan konflik anta fraksi-fraksi yang ada dalam DPRD.

Dari pemaparan hasil sebelumnya dapat disimpulkan bahwa sebenarnya DPRD perlu melakukan peran-peran yang sesuai dengan fungsinya. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa selama implementasi peran-peran mereka di era otonomi daerah saat ini menghadapi banyak kendala yang cukup sulit untuk diatasi. Seperti misalnya untuk fungsi anggaran, DPRD mempunyai peran untuk merancang APBD. Akan tetapi kemampuan fiskal tidak mencukupi, sehingga pada akhirnya APBD menyesuaikan dengan kemampuan fiskal yang ada. Hal ini perlu mendapat perhatian dari pemerintah pusat agar pembagian keuangan pusat ke daerah bisa berimbang. Kemudian, fungsi pengawasan yang kemudian DPRD berperan untuk mengawasi instansi-instansi pemerintah dalam melaksanakan program kerjanya. Namun, kendala yang menghadang adalah sulitnya untuk mengawasi pembangunan atau pelaksanaan program kerja DPRD sampai kepada tingkat satuan kerja. Dan yang terakhir mengenai fungsi legislasi. Dari fungsi ini, DPRD memiliki peran untuk mensahkan peraturan daerah. Peraturan daerah ini dapat berubah sesuai dengan situasi dan kondisi yang juga selalu berubah-ubah. Peraturan daerah saat ini dirasa kurang bermanfaat lagi. Inilah salah satu kendala juga bagi DPRD dalam pelaksaan perannya.

C. Solusi yang dapat mengatasi kendala peningkatkan peran DPRD Provinsi Lampung di Era Otonomi Daerah saat ini.

Dalam setiap pelaksanaan peran pasti ada kendala-kendala yang mengurangi optimalisasi dari peran tersebut. Seperti halnya juga dengan DPRD Provinsi Lampung. DPRD dengan fungsi-fungsinya berusaha mengimplementasikan perannya melalui program kerja yang telah disusun demi tercapai tujuan program tersebut untuk menampung aspirasi masyarakat. Segala daya dan upaya dikerahkan untuk mencapai tujuan memberikan pelayanan yang baik pada masyarakat.

Namun, dalam kenyataannya, kendala-kendala pasti ada untuk menghalangi tercapainya suatu tujuan. Kendala itu terkadang tak terduga kapan akan datang dan bagaimana bentuknya. Sehingga, DPRD Provinsi Lampung perlu lebih memperhatikan kendala-kendala tersebut agar dapat diatasi secepat mungkin.

Berkenaan dengan kendala tersebut, solusi merupakan suatu hal yang dapat membantu DPRD Provinsi Lampung dalam mengatasi kendala-kendala yang

Page 47: I - Staff Official Site Unila | Blog Dosen Universitas Lampungstaff.unila.ac.id/ekobudisulistio/files/2013/09/... · Web viewProf. Dr. Bhenjamin Hussein dalam Sarundajang (2005:73)

ada. Solusi tersebut juga masih berkaitan dengan fungsi DPRD. Beberapa solusi yang ada diharapkan dapat meminimalisir kendala yang ada pada implementasi peran DPRD di tahun-tahun berikutnya.

Salah satu solusi untuk mengatasi kendala keterbatasan kemampuan fiskal adalah dengan meningkatkan kemampuan tersebut. Hal ini tidak mudah untuk dilakukan karena seperti yang telah dijelaskan bahwa kemampuan fiskal ini merupakan masalah kompleks yang perlu dilihat hubungannya dengan kebutuhan yang lain. Akan tetapi, DPRD Provinsi Lampung tetap tidak berpangku tangan untuk tetap berusaha meningkatkan kemampuan fiskal daerahnya, khususnya untuk biaya pembangunan.

Kemudian, solusi selanjutnya berkaitan dengan fungsi controlling (pengawasan) yang dimiliki oleh DPRD adalah dengan meningkatkan pengawasan sampai kepada masing-masing satuan kerja (satker). Hal ini perlu mendapat perhatian dari DPRD Provinsi Lampung karena pengawasan inilah yang dirasa saat ini perlu ditingkatkan.

Dan yang terakhir, kendala mengenai produk-produk peraturan daerah yang sudah usang. Dalam proses pembangunan, faktor-faktor yang mendukung pencapaian maksimal tujuan pembangunan, seperti jumlah angkutan yang melewati jalan, macam angkutan yang melalui jalan, serta berat beban yang diangkut melewati jalan harus diperhatikan agar pembangunan tersebut tidak sia-sia. Oleh karena itu, dalam hal ini DPRD harus lebih memperhatikan peraturan daerah dengan memperbaharuinya selalu agar sesuai dengan kondisi dan situasi Provinsi Lampung saat ini.

Di bawah ini merupakan bagan yang dapat menjelaskan hubungan kerja pemerintah dengan DPRD di Era Otonomi Daerah saat ini

Hubungan Kerja Pemerintah dengan DPRD dalam Era Otonomi

Pemerintah daerah otonom

Pola dasar pembangunan daerah

DPRD

PROPEDA

Page 48: I - Staff Official Site Unila | Blog Dosen Universitas Lampungstaff.unila.ac.id/ekobudisulistio/files/2013/09/... · Web viewProf. Dr. Bhenjamin Hussein dalam Sarundajang (2005:73)

Bagan di atas menjelaskan hubungan antara perencanaan dan penganggaran. Perencanaan dimulali dari pembuatan pola dasar pembangunan daerah. Pola dasar pembangunan daerah memuat visi, misi, tujuan dan kebijaksanaan pembangunan daerah. Penyusunannya buka hanya didasarkan kepada keinginan aparatur saja tetapi juga dengan mengikut sertakan masyarakat. Mengikut sertakan masyarakat dilakukan dengan pelaksanaan musyawarah kerja antara pemerintah dengan tokoh-tokoh masyarakat. Hasil musyawarah inilah yang biasa dijadikan sebagai dasar penyusunan pola dasar pembangunan daerah.

Langkah kedua dalam kegiatan penyusunan perencanaan daerah adalah pembuatan ”propeda” (program pembangunan daerah). Mengikuti yang dikembangkan ditingkat nasional, maka propeda berisi tentang program-program perencanaan yang diperlukan oleh sebuah daerah tanpa memperhitungkan sumber pembiayaan. Jadi propeda adalah murni perencanaan daerah.

Berikutnya adalah penyusunan ”renstra” (rencana strategi). Penyusunan renstra ini didasarkan kepada PP 108/2000. Berdasarkan aturan ini renstra berisi tentang visi, misi, tujuan, strategi, program dan kegiatan daerah untuk jangka 5 tahun. Renstrada memuat program-program yang akan dibiayai oleh APBD daerah yang bersangkutan. Pembuatan renstrada untuk untuk daerah tertentu sangat penting. Karena akan digunakan sebagai pertanggungjawaban kepala daerah (Ps. 4 PP 108/2000).

Repetada (rencana pembangunan tahunan daerah) disusu setiap tahun. Repetada disusun berdasarkan renstradayang berjangka waktu lima tahun. Baik renstrada maupun repetada adalah perencanaan yang bersifat operasional. Sehingga mempunyai hubungan yang sangat kuat dengan RAPBD.

RAPBD

REPETADA

KECAMATAN

RENSTRA

MASYARAKAT

APBD

LURAH/DESA

Page 49: I - Staff Official Site Unila | Blog Dosen Universitas Lampungstaff.unila.ac.id/ekobudisulistio/files/2013/09/... · Web viewProf. Dr. Bhenjamin Hussein dalam Sarundajang (2005:73)

Dokumen-dokumen pola dasar pembnagunan daerah, propeda dan renstrada membutuhkan pengesahan dari DPRD. DPRD dapat memeriksa kesesuaian program yang ada dalam dokumen perencanaan dengan aspirasi masyarakat. Aspirasi masyarakat sesuai dengan posisi DPRD sebagai perwakilan rakyat yang memiliki kekuasaan legislatif perlu mendapat perhatian dan dijadikan sebagai ukuran dalam pengasahan dokumen perencanaan yang disampaikan kepala daerah untuk disahkan.

Dari seluruh penjabaran diatas, dapat disimpulkan bahwa beberapa solusi yang dapat diungkapkan dalam penelitian ini mampu meningkatkan peran DPRD Provinsi Lampung di Era Otonomi Daerah saat ini. Seperti misalnya peningkatan kemampuan fiskal. Dengan kemampuan fiskal yang nantinya meningkat diharapkan dapat juga menopang kebutuhan-kebutuhan pembangunan yang saat ini dirasa masih kurang. Kemudian mengenai pengawasan yang juga perlu ditingkatkan sampai kepada satuan kerja. Ini juga perlu diperhatikan oleh DPRD Provinsi Lampung agar kedepannya pelaksanaan pembangunan dapat lebih maksimal. Dan yang terakhir solusi berkaitan dengan peran DPRD untuk mensahkan produk peraturan daerah. Dari peran ini sebenarnya DPRD diharapkan lebih tanggap terhadap perubahan berkaitan dengan peraturan daerah yang ada. Semua solusi tersebut merupakan solusi yang baik untuk segera dilaksanakan agar realisasi peningkatan peran DPRD di Provinsi Lampung dapat segera dirasakan oleh masyarakat.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

Page 50: I - Staff Official Site Unila | Blog Dosen Universitas Lampungstaff.unila.ac.id/ekobudisulistio/files/2013/09/... · Web viewProf. Dr. Bhenjamin Hussein dalam Sarundajang (2005:73)

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan yang sudah penulis paparkan dalam Bab IV, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:Peran DPRD Provinsi Lampung di Era Otonomi Daerah saat ini sudah cukup baik. Hal tersebut dilihat dari pelaksanaan program kerja DPRD yang telah dijalankan dengan hasil cukup dapat menampung aspirasi masyarakat dengn menggunakan sistem reses. Sehingga bentuk aspirasi masyarakat lebih tersaaring dan mudah untuk dikategorikan dalam bentuk seperti apa.

Peran DPRD di era ototnomi berdasarkan Undang-undang No.32 tahun 2004 diharapkan dapat menyeimbangkan kekuatan terhadap pihak eksekutif daerah dengan cara menjalankan 3 fungsinya secara optimal, yakni fungsi perwakilan, fungsi legislasi dan fungsi pengawasan. Kemudian, sasaran utama dari ketiga tugas DPR ini adalah mendahulukan kepentingan rakyat dengan cara membantu dan mengawasi pemerintah serta menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Selain fungsi-fungsi tersebut, DPRD juga memiliki peran yang tidak kalah pentingnya dengan fungsi-fungsi tadi. Tiga fungsi DPRD tersebut harus dijalankan dengan sebaik-baiknya karena ini akan berkaitan dengan peran DPRD dalam menjalankan tugasnya sebagai lembaga perwakilan.

Pendapat tentang pentingnya fungsi DPRD ini secara jelas diungkapkan oleh Bapak Hi. Darwin Rusly Nur sebagai Ketua Komisi IV Bidang Pembangunan, 50 tahun.

”peran itu sebenarnya berhubungan pada tupoksi DPR itu sendiri. Ada tiga tupoksi DPR sebagai lembaga legislatif: (1) Budgeting (anggaran); (2) Controlling (pengawasan); dan (3) Legislasi.”(pada Hari Rabu, 20 Agustus 2010 pukul 12.30 WIB)

Dari pemaparan tersebut terlihat bahwa pelaksanaan peran DPRD di Era Otonomi Daerah saat ini berkaitan langsun dengan fungsi-fungsi DPRD tersebut. Lebih lanjut, pelaksanaan peran DPRD juga direalisasikan dengan program-program kerja yang telah dibuat sebelumnya. Hal ini bertujuan agar peran-peran dari DPRD tersebut dapat dibuktikan secara nyata, bukan merupakan suatu hal yang abstrak.

Penjelasan mengenai pelaksanaan peran DPRD Provinsi Lampung melalui program kerjanya dipaparkan oleh Bapak Hi. Darwin Rusly Nur sebagai Ketua Komisi IV Bidang Pembangunan, 50 tahun.

”Pada tahun ini DPRD membuat perencanaan yang berbeda dengan tahun lalu, implementasi program kerja DPRD tahun ini dengan menggunakan reses yaitu anggota DPR turun kelapangan untuk menjaring aspirasi masyarakat dalam pembuatan RAPBD. Sedangkan provinsi Lampung terdiri dari 7 daerah pemilihan umum. Dari penjaringan tersebut maka diproleh 3 kesimpulan yang akan diperbaiki antara lain: jalan, sarana pendidikan dan rumah sehat miskin. Akan tetapi yang difokuskan adalah perbaikan jalan. Jalan yang akan diperbaiaki terdiri dari 2369 km tersebar di 14 kabupaten/kota di provinsi Lampung. Pengajuan alokasi pembanguan untuk tahun 2011 meningkat dari pada tahun sebelumnya.

Page 51: I - Staff Official Site Unila | Blog Dosen Universitas Lampungstaff.unila.ac.id/ekobudisulistio/files/2013/09/... · Web viewProf. Dr. Bhenjamin Hussein dalam Sarundajang (2005:73)

Tahun sebelumnya ”2009” dana alokasi dana APBD hanya 80 M, dana ini dianggap sangat kurang dalam pembangunan, sehinga implementasinya tidak bisa dilakukan dengan maksimal. Dan bisa kita lihat di Provinsi Lampung perbaikan jalan tidak banyak yang diperbaiki. Tahun 2011 RAPBD provinsi Lampung mengajukan 400 M untuk pembangunan. Meskipun tidak mencapai 400 M akan tetapi tidak lebih kecil dari tahun sebelumnya. Di dalam koran Radar Lampung juga memberitakan bahwa alokasi dana untuk pembangunan infrastruktur untuk Provinsi Lampung mencapai 700 M lebih.”(pada Hari Rabu, 20 Agustus 2010 pukul 12.30 WIB)

Pemaparan tersebut menjelaskan bahwa pelaksanaan peran DPRD saat ini berupa implementasi program kerja yang sudah dijalankan. Program kerja ini sampai saat ini dirasakan belum dapat meningkatkan peran DPRD, khususnya di Provinsi Lampung karena masih ada banyak kendala-kendala yang menghambat implementasi program kerja DPRD tersebut. Seperti misalnya rancangan kemampuan fiskal untuk pembangunan diperkirakan sekitar 700 milyar. Dana ini belum dapat dicairkan karena menunggu persetujuan dari pemerintah pusat, Namun dengan rancangan dana seperti ini diharapkan dapat memberi motivasi bagi para anggota DPRD di Provinsi Lampung untuk meningkatkan peran mereka di era otonomi daerah saat ini. Rancangan kemampuan fiskal ini diharapkan dapat lebih diperhatikan oleh pemerintah pusat karena tentunya hal ini tidak terlepas dari kerja keras DPRD dengan DPR RI yang berasal dari daerah pemilihan provinsi Lampung.

B. Saran1. Seharusnya DPRD dalam menyaring aspirasi masyarakat harus

melakukan pendekatan internal, seperti melakukan berbagai kegiatan yang mampu mengubah pola pandang masyarakat terhadap image pejabat. Hal ini berangkat dari banyaknya masyarakat yang anti terhadap pejabat-pejabat daerah, terutama masyarakat awam, akhirnya sulit untuk memperoleh aspirasi dari mereka.

2. Anggota DPRD lebih memfokuskan lagi kepada masalah yang lebih dibuthkan oleh masyarakat, dari kelompok kepentingan, seperti, dalam pembangunan yang sering dibahas mengenai alokasi dana pembangunan yang rendah, sehingga menjadi kendala untuk melakukan pembangunan. Namun pada dasarnya bukan bergantung pada alokasi dana, akan tetapi pada SDMnya yang tidak memiliki kualitas dalam mengalokasikan dana yang ada sehingga pembangunan terbengkalai.

3. Dalam pembangunan pengawasan harus lebih ditingkatkan agar tidak terjadi penyelewengan berbagai hal, seperti tenaga kerja serta dana yang sudah dialokasikan. Dan pembangunan yang dirancang tidak melenceng dari yang direncanakan.

4. keterlibatan DPRD juga sangat penting dalam pembangunan daerah.

DAFTAR PUSTAKA

Page 52: I - Staff Official Site Unila | Blog Dosen Universitas Lampungstaff.unila.ac.id/ekobudisulistio/files/2013/09/... · Web viewProf. Dr. Bhenjamin Hussein dalam Sarundajang (2005:73)

Sarundajang. 2005. Birokrasi dalam Otonomi Daerah “Upaya Mengatasi Kegagalan”. Jakarta: Kata Hasta Pustaka

Wasistiono,Sadu, dkk. 2009. Meningkatkan Kinerja Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Bandung: Fokusmedia

Wijdaja, HAW. 2005. Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

Dwiyanto, Agus. Dkk. 2009. Reformasi Birokrasi, Kepemimpinan dan Pelayanan Publik: “Kajian Tentang Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia”. Yogjakarta: PT. Gava Media

http://bidanlia.blogspot.com/2009/07/teori-peran