i pendahuluan - negripapua · peningkatan tingkat pendidikan di papua barat dalam kriteria angka...

13
1 I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebijakan pembangunan nasional dan kebijakan pembangunan daerah telah disusun dalam koridor perencanaan jangka panjang, jangka menengah dan jangka pendek. Kebijakan perencanaan jangka panjang sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang RPJPN 2005-2025, menyatakan bahwa arah kebijakan pembangunan daerah dalam upaya mewujudkan pembangunan yang lebih merata dan berkeadilan diprioritaskan pada: (1) pengembangan wilayah yang berbasis potensi unggulan daerah yang berkelanjutan dan memperhatikan daya dukung lingkungan; (2) percepatan pembangunan melalui pusat-pusat pertumbuhan ekonomi seperti Kawasan Ekonomi Khusus dan Kawasan Industri untuk mengembangkan daerah tertinggal di sekitarnya dengan memperhatikan keterkaitan mata rantai produksi dan distribusi; (3) keberpihakan prioritas pelaksanaan program dan kegiatan pembangunan pemerintah di daerah tertinggal dan berpotensi cepat tumbuh secara ekonomi; (4) memperhatikan kawasan perbatasan sebagai pintu gerbang aktivitas ekonomi dan perdagangan dengan negara tetangga; (5) peningkatan kapasitas kelembagaan, keuangan dan legislatif pemangku kepentingan pembangunan; serta (6) penanggulangan kemiskinan yang memperhatikan hak-hak dasar masyarakat dengan prinsip kesetaraan dan non diskriminasi. Saat ini kita telah masuk dalam fase orientasi pembangunan jangka menengah tahun 2010-2014, yang memprioritaskan pemantapan penataan kembali Indonesia disegala bidang dengan menekankan upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia, termasuk pengembangan kemampuan ilmu dan teknologi serta penguatan daya saing perekonomian. Esensi penguatan daya saing perekonomian dalam pembangunan daerah yang berbasis pengembangan wilayah, diarahkan pada pengembangan strategi pengembangan kawasan strategis dan cepat tumbuh serta upaya peningkatan investasi daerah tertinggal. Upaya-upaya pengembangan daerah tertinggal telah diinisiasi melalui pilar-pilar strategi dasar percepatan pembangunan daerah tertinggal, yang ditujukan untuk:

Upload: doanminh

Post on 03-Mar-2019

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kebijakan pembangunan nasional dan kebijakan pembangunan daerah telah

disusun dalam koridor perencanaan jangka panjang, jangka menengah dan jangka

pendek. Kebijakan perencanaan jangka panjang sebagaimana diatur dalam

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang RPJPN 2005-2025, menyatakan

bahwa arah kebijakan pembangunan daerah dalam upaya mewujudkan

pembangunan yang lebih merata dan berkeadilan diprioritaskan pada: (1)

pengembangan wilayah yang berbasis potensi unggulan daerah yang

berkelanjutan dan memperhatikan daya dukung lingkungan; (2) percepatan

pembangunan melalui pusat-pusat pertumbuhan ekonomi seperti Kawasan

Ekonomi Khusus dan Kawasan Industri untuk mengembangkan daerah tertinggal

di sekitarnya dengan memperhatikan keterkaitan mata rantai produksi dan

distribusi; (3) keberpihakan prioritas pelaksanaan program dan kegiatan

pembangunan pemerintah di daerah tertinggal dan berpotensi cepat tumbuh secara

ekonomi; (4) memperhatikan kawasan perbatasan sebagai pintu gerbang aktivitas

ekonomi dan perdagangan dengan negara tetangga; (5) peningkatan kapasitas

kelembagaan, keuangan dan legislatif pemangku kepentingan pembangunan; serta

(6) penanggulangan kemiskinan yang memperhatikan hak-hak dasar masyarakat

dengan prinsip kesetaraan dan non diskriminasi.

Saat ini kita telah masuk dalam fase orientasi pembangunan jangka

menengah tahun 2010-2014, yang memprioritaskan pemantapan penataan kembali

Indonesia disegala bidang dengan menekankan upaya peningkatan kualitas

sumber daya manusia, termasuk pengembangan kemampuan ilmu dan teknologi

serta penguatan daya saing perekonomian. Esensi penguatan daya saing

perekonomian dalam pembangunan daerah yang berbasis pengembangan wilayah,

diarahkan pada pengembangan strategi pengembangan kawasan strategis dan

cepat tumbuh serta upaya peningkatan investasi daerah tertinggal. Upaya-upaya

pengembangan daerah tertinggal telah diinisiasi melalui pilar-pilar strategi dasar

percepatan pembangunan daerah tertinggal, yang ditujukan untuk:

2 (1) meningkatkan kemandirian masyarakat melalui pengembangan ekonomi lokal,

pemberdayaan masyarakat, penyediaan sarana dan prasarana serta peningkatan

kapasitas kelembagaan; (2) Mengoptimalkan pemanfaatan potensi wilayah; (3)

Memperkuat integrasi ekonomi antara daerah tertinggal dan daerah maju; serta (4)

Meningkatkan penanganan daerah khusus yang memiliki karakteristik

“keterisolasian”.

Dalam skala nasional, proses pembangunan yang dilaksanakan selama ini

ternyata telah menimbulkan masalah pembangunan yang cukup besar dan

kompleks. Pendekatan pembangunan yang sangat menekankan pada pertumbuhan

ekonomi makro, cenderung mengabaikan terjadinya kesenjangan-kesenjangan

pembangunan antar wilayah yang cukup besar. Investasi dan sumberdaya terserap

dan terkonsentrasi di perkotaan dan pusat-pusat pertumbuhan, sementara wilayah-

wilayah hinterland mengalami pengurasan sumberdaya yang berlebihan.

Kesenjangan ini pada akhirnya menimbulkan permasalahan yang dalam konteks

makro sangat merugikan proses pembangunan yang ingin dicapai sebagai bangsa.

Ketidakseimbangan pembangunan antar wilayah disatu sisi terjadi dalam bentuk

buruknya distribusi dan alokasi pemanfaatan sumberdaya yang menciptakan

inefisiensi dan tidak optimalnya sistem ekonomi, dimana faktor-faktor penyebab

terjadinya disparitas antar wilayah menurut Rustiadi et. al. (2009) adalah:

(1) geografi; (2) sejarah; (3) politik; (4) kebijakan pemerintah; (5) administrasi;

(6) sosial budaya dan (7) ekonomi.

Sejak bergulirnya otonomi daerah di Indonesia, terlebih lagi otonomi khusus

bagi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, paradigma baru pembangunan

yang secara langsung maupun tidak langsung telah membawa pengaruh yang

cukup luas dan signifikan dalam tata kehidupan masyarakat baik di tingkat

regional dan lokal. Wujud otonomi daerah adalah UU Nomor 22 Tahun 1999

tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang

perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (yang kemudian

diperbaharui dengan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan

antara Pemerintah Pusat dan Daerah). Secara harfiah otonomi daerah berarti hak,

wewenang serta kewajiban daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri

sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Seluruh urusan pemerintahan

3

didesentralisasikan kepada daerah-daerah kecuali yang menyangkut hubungan

luar negeri serta pertahanan dan keamanan. Daerah menjadi memiliki kewenangan

yang lebih luas dalam pengelolaan sumberdaya yang dimilikinya, baik

sumberdaya alam (natural capital), sumberdaya buatan (man made capital),

sumberdaya manusia (human capital) maupun sumberdaya sosial (social capital).

Kewenangan yang lebih luas, nyata dan bertanggung jawab tesebut diberikan

kepada daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan,

pembagian dan pemanfaatan sumberdaya nasional, serta perimbangan keuangan

antara pusat dan daerah, sesuai dengan prinsip demokrasi, peran serta masyarakat,

pemerataan dan keadilan serta potensi dan keberagaman daerah.

Pembangunan di tanah Papua selayaknya dikembangkan secara lebih

intensif terutama dengan mengutamakan pemanfaatan sumberdaya lokal dan

sektor perekonomian (sektor basis dan non-basis) yang berpotensi memberikan

dampak positif bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Upaya-upaya

pemerintah dalam meningkatkan kualitas pembangunan di tanah Papua telah

secara intensif didorong melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang

Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, dan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun

2007 tentang Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.

Upaya-upaya ini dilatarbelakangi oleh permasalahan dan tantangan yang dihadapi

dalam pengelolaan pembangunan tanah Papua seperti Sumber daya alam Papua

dan Papua Barat yang melimpah dan hampir merata di semua wilayah, kawasan

konservasi yang luas dan merata, tingkat kemajuan antar wilayah yang timpang

sehingga masih banyak terdapat daerah-daerah yang tingkat ketertinggalannya

masih tinggi, kemiskinan yang relatif merata di seluruh wilayah, kualitas sumber

daya manusia yang rendah karena keterbatasan akses terhadap pelayanan

pendidikan dan kesehatan, prasarana dan sarana yang terbatas mengakibatkan

kualitas dan kuantitas pelayanan dasar dari pemerintah daerah tidak optimal, serta

kondisi sistem usahatani lokal yang belum mampu mengadopsi teknologi

pertanian modern sehingga masih rentan terhadap perubahan iklim dan

lingkungan biofisik.

Provinsi Papua Barat awalnya bernama Irian Jaya Barat, berdiri atas dasar

Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 tentang pembentukan Provinsi Irian Jaya

4 Barat, Provinsi Irian Jaya Tengah, Kabupaten Mimika, Kabupaten Paniai,

Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong. Berdirinya Provinsi Papua Barat juga

mendapat dukungan dari Surat Keputusan DPRD Provinsi Papua Nomor 10

Tahun 1999 tentang pemekaran Provinsi Papua menjadi tiga provinsi. Provinsi

Papua Barat, memiliki luas wilayah sebesar 143.185 km2

dari luas total 8

(delapan) kabupaten yakni Kabupaten Sorong, Kabupaten Manokwari, Kabupaten

Fak-Fak, Kabupaten Sorong Selatan, Kabupaten Raja Ampat, Kabupaten

Kaimana, Kabupaten Teluk Bintuni dan 1 (satu) kota madya yaitu Kota Madya

Sorong. Sebagian besar aksesibilitas antar pusat-pusat pertumbuhan dirasakan

sangat kurang akibat terbatasnya jaringan jalan, belum adanya jaringan sentra

produksi, terbatasnya sarana dan prasarana kebutuhan dasar seperti air bersih,

listrik, telekomunikasi, dan lain-lain, khususnya di pusat-pusat pertumbuhan

kawasan.

Sumber : http://www.slideshare.net/ekpd/hasil-evaluasi-kinerja-pembangunan- daerah-tahun-2009-provinsi-papua-barat2

2 Seminar Nasional Hasil Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah Tahun 2009 Provinsi Papua Barat, Pelaksana Universitas Negeri Papua. Hotel Santika Premiere 18-20 Desember 2009 [februari 2011]

Gambar 1 Tingkat pembangunan ekonomi Provinsi Papua Barat dan Nasional tahun 2004-2009

5

Pembangunan ekonomi di Provinsi Papua Barat jika dilihat secara nasional

selama periode 2004-2009 masih berada di bawah tingkat pembangunan ekonomi

nasional dan menunjukan trend yang sangat fluktuatif dibanding dengan trend

pembangunan ekonomi nasional. Pada gambar di atas dapat dilihat bahwa

fluktuasi indikator capaian outcomes Papua Barat yang menurun drastis pada

tahun 2006 hingga berada di bawah rata-rata nasional, kemudian meningkat

melampaui rata-rata nasional pada tahun 2007 dan selanjutnya turun secara drastis

di bawah rata-rata nasional dan mencapai minimum pada tahun 2009 menunjukan

bahwa kinerja pemerintah Provinsi Papua Barat dalam pembangunan ekonomi

relatif belum relevan dan efektif dalam mengurangi disparitas pembangunan

wilayah.

Tabel 1 di bawah memperlihatkan bahwa terjadi disparitas dalam

perkembangan ekonomi pada Kabupaten Manokwari, Kabupaten Sorong dan

Kota Sorong dibanding dengan kabupaten lainnya. Secara spasial ketiga wilayah

tersebut memiliki aksesibilitas cukup tinggi karena berada pada jalur transportasi

utama baik laut dan udara yang merupakan pintu masuk dan keluar ke Provinsi

Papua Barat.

Tabel 1 PDRB, luas wilayah dan jumlah penduduk per kabupaten/kota serta kontribusinya terhadap Provinsi Papua Barat tahun 2007

Kabupaten/ Kota

Luas Wilayah Jumlah Penduduk PDRB atas dasar harga berlaku

Km2 (%) Jiwa (%) Nilai (Jutaan Rp) (%)

Fak-Fak Kaimana Wondama Teluk Bintuni Manokwari Sorong Selatan Sorong Raja Ampat Kota Sorong

14.320,00 18.500,00 12.146,62 18.637,00 14.448,50 29.810,00 28.894,00 6.084,50

344,49

10,00 12,82 8,48

13,02 10,09 20,82 20,18 4,25 0,24

66.254 41.660 22.936 53.664

171.222 60.934 97.810 40.912

167.589

9,16 5,76 3,17 7,42

23,68 8,43

13,53 5,66

23,18

912.368,45 534.432,78 172.899,41 640.772,08

1.686.242,76 327.559,71

3.345.501,50 796.193,43

1.869.355,55

8,87 5,20 1,68 6,23

16,39 3,18

32,53 7,74

18,17 Jumlah 143.185,1 100,00 722.981 100,00 10.285.325,67 100,0

Sumber : BPS Papua Barat, 2008

6

Kondisi lainnya yang menunjukan perbedaan pembangunan (disparitas)

pada kabupaten dan kota adalah terpusatnya kegiatan perekonomian pada daerah

kabupaten induk dibandingkan dengan daerah pemekaran, seperti pertanian, jasa,

perdagangan, perhotelan dan pendidikan terfokus di Kota Sorong, Kabupaten

Sorong dan Kabupaten Manokwari yang juga menyerap sumberdaya dari daerah

pemekaran baru (hinterland). Hal ini menyebabkan masyarakatnya menikmati

pendapatan per kapita yang lebih tinggi, angka kemiskinan yang lebih rendah

serta kualitas SDM yang lebih baik menyebabkan Indeks Pembangunan

Manusianya (IPM) cenderung meningkat.

Secara umum nilai IPM Papua Barat terus mengalami peningkatan dari

tahun ke tahun namun ada beberapa daerah yang mengalami peningkatan pesat

dan ada yang lambat baik pada kabupaten induk maupun kabupaten pemekaran.

Kondisi ini dipengaruhi oleh variasi komponen tingkat kesehatan, tingkat

pendidikan dan tingkat daya beli masyarakat pada masing-masing wilayah.

Peningkatan Tingkat kesehatan yang dihitung dari Angka Harapan Hidup di

Papua Barat sebesar 67,90 tahun pada 2008. Artinya rata-rata masyarakat Papua

Barat usia hidupnya 67 tahun. Kota Sorong memiliki Angka Harapan hidup

tertinggi sebesar 71,12 tahun dan terendah pada Kabupaten Raja Ampat sebesar

65,43 tahun. Bila dibandingkan dengan kabupaten pemekaran lainnya, Kabupaten

Teluk Bintuni memiliki Angka Harapan Hidup (AHH) lebih tinggi (67,55 tahun)

dari kabupaten induk Manokwari (67,38 tahun).

Peningkatan tingkat pendidikan di Papua Barat dalam kriteria Angka Melek

Huruf (AMH), terendah di Kabupaten Teluk Bintuni dalam periode tahun 2006-

2008. Pada kriteria lama sekolah, secara keseluruhan Papua Barat memiliki rata-

rata bersekolah sampai dengan kelas 1 Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP)

meskipun pada Kabupaten Teluk wondama terendah dalam periode tahun 2006-

2008 (6,39 tahun) sehingga dapat dikatakan bahwa penduduk hanya mampu

bersekolah sampai dengan kelas 1 Sekolah Dasar (SD). Sangat jauh bila

dibandingkan dengan penduduk Kota Sorong dengan rata-rata lama sekolah

sampai dengan kelas 1 Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA). Daya beli

masyarakat Papua Barat juga terus meningkat selama periode tahun 2006-2008

7

dengan rata-rata sebesar Rp 593, 13 ribu dengan daya beli tertinggi pada Kota

Sorong dan terendah pada Kabupaten Raja Ampat.

Data laporan Tahunan Indeks Pembangunan Manusia Papua Barat Tahun

2008 menyebutkan bahwa berdasarkan kesamaan pencapaian nilai IPM, posisi

relatif kabupaten dan kota di Provinsi Papua Barat dapat dikelompokan kedalam 3

(tiga) kelompok. Kelompok IPM bawah yaitu Kabupaten Teluk Wondama, Teluk

Bintuni, Manokwari, Raja Ampat dan Sorong Selatan, capaian rata-rata IPM pada

tahun 2006-2008 adalah 65 ke bawah. Kelompok IPM menengah terdiri dari

Kabupaten Fak-Fak, Kabupaten Kaimana dan Kabupaten Sorong dengan capaian

rata-rata IPM 2006-2008 antara 66-75. Kelompok IPM atas adalah Kota Sorong

dengan rata-rata capaian IPM 2006-2008 lebih dari 75.

Ketimpangan pada jumlah penduduk, PDRB dan PDRB per kapita juga

menggambarkan ketimpangan pembangunan di Provinsi Papua Barat. Kabupaten

Sorong misalnya, pada tahun 2008 memiliki nilai PDRB (atas dasar harga

berlaku) tertinggi di Papua Barat sebesar Rp 4,28 triliun disusul Kota sorong

sebesar Rp 2,15 triliun dan Kabupaten Manokwari sebesar Rp 2,03 triliun.

Kabupaten Wondama merupakan kabupaten pemekaran dengan nilai PDRB

terendah sebesar Rp 0,27 triliun. Dari segi nilai PDRB per kapita, nilai tertinggi

berada pada Kabupaten Teluk Bintuni (Rp 16 juta), Kabupaten Fak-Fak (Rp 15,

57 juta), Kabupaten Kaimana (Rp 14,31 juta) dan Kota Sorong (Rp 12,7 juta).

Hal ini disebabkan karena konsentrasi penduduk lebih banyak berada di

kabupaten induk sehingga meskipun memiliki pendapatan yang relatif tinggi,

PDRB per kapitanya masih rendah.

Dana perimbangan pembangunan yang bersumber dari Dana Alokasi Umum

(DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Bagi Hasil (DBH) memberikan

kontribusi cukup besar bagi pendanaan pembangunan di kabupaten dan kota

maupun di Provinsi Papua Barat. Daerah yang mempunyai kemampuan fiskal

rendah akan mendapatkan DAU dalam jumlah yang relatif besar, sebaliknya daerah

yang mempunyai kemampuan fiskal tinggi akan mendapat DAU dalam jumlah yang

kecil, dimana pemberian DAU tahun berjalan selalu lebih besar dari tahun

sebelumnya (DAUt > DAUt-1). Pemberian DAU ini diharapkan benar-benar dapat

mengurangi disparitas fiskal horizontal, daerah mempunyai tingkat kesiapan fiskal

8 yang relatif sama dalam mengimplementasikan otonomi daerah. Daerah diharapkan

mampu mengalokasikan sumber dana ini pada sektor-sektor produktif yang mampu

mendorong adanya peningkatan investasi di daerah dalam meningkatkan

pembangunan ekonomi wilayah dan juga pada sektor yang berdampak pada

peningkatan pelayanan publik sehingga kemandirian daerah menjadi semakin tinggi

seiring dengan meningkatnya kapasitas fiskal daerah, dan pada gilirannya tanggungan

pemerintah untuk memberikan DAU bisa lebih dikurangi.3 Dana bagi hasil daerah

meliputi pajak bumi dan bangunan (PBB), bea perolehan hak atas tanah dan

bangunan (BPHTB) dan penerimaan dari Sumber Daya Alam (SDA). Pada komponen

PAD ditambah dengan Dana Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (DBHPBP) inilah

yang merupakan indikator fiscal capacity bagi setiap daerah. Fiscal capacity ini

merupakan indikator utama dalam mengukur kemampuan pemerintah daerah untuk

membiayai sendiri kegiatan pemerintahan daerah yang dijalankan, tanpa tergantung

bantuan dari luar, termasuk dari pemerintah pusat. DAU dan DAK merupakan alokasi

pembiayaan daerah yang termuat dalam APBN yang dimaksudkan untuk membantu

pembiayaan pemerintahan daerah baik secara umum, maupun secara khusus. Dimana

DAU memiliki tujuan utama untuk pemerataan kemampuan keuangan antar daerah

untuk membiayai kebutuhan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan desentralisasi,

sedangkan DAK dialokasikan kepada daerah dengan tujuan untuk membantu

pembiayaan daerah dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan khususnya. Selama

periode tahun 2005-2008 alokasi DAU Kabupaten Manokwari, Kabupaten Fak-Fak,

Kabupaten Kaimana, Kabupaten Sorong dan Kabupaten Sorong Selatan lebih besar

dari alokasi pemberian DAU Kabupaten Raja Ampat, Kabupaten Wondama dan Kota

Sorong. Sementara untuk alokasi DAK selama periode tersebut lebih besar alokasinya

bagi Kabupaten Sorong Selatan, Kabupaten Raja Ampat, Kabupaten Manokwari,

Kabupaten Wondama dan Kabupaten Fak-Fak.4

Percepatan pembangunan Provinsi Papua Barat merupakan kebijakan utama

Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Provinsi Papua Barat, sehingga pada tahun

2015 diharapkan Provinsi Papua Barat akan bisa mengejar ketertinggalan dalam

pencapaian pembangunan Millenium Development Goals (MDGs) dari Provinsi

lain di Indonesia. Dalam konteks ini, dokumen rencana pembangunan jangka

3 http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16852/5/Chapter%20I.pdf [februari 2011] 4 http://www.djpk.depkeu.go.id/datadjpk [juli 2010]

9

menengah Papua Barat 2006-2011 serta kebijakan percepatan pembangunan

Pemerintah Pusat melalui Inpres 5/2007 merupakan arah utama dari proses

percepatan dan harmonisasi program pembangunan di Provinsi Papua Barat.

Dokumen RPJMD Buku IV Misi dan Visi Pembangunan Jangka Menengah

Daerah, Pemerintah Provinsi Papua Barat telah merumuskan secara operasional 6

agenda pokok pembangunan di Provinsi Papua Barat. Pertama, membangun

kapasitas kelembagaan dengan sasaran meningkatnya kapasitas kelembagaan yang

mampu melaksanakan pelayanan kepada masyarakat sampai pada tingkat

kampung serta mampu melaksanakan tugas pokok kelembagaan. Kedua,

meningkatkan mutu sumber daya manusia Papua Barat, dengan sasaran

meningkatnya kwalitas sumber daya manusia Papua Barat dalam berbagai bidang

sehingga mampu dan mandiri mengelola sumber daya alam bagi kesejahteraan.

Ketiga, mengembangkan dan memperkuat basis ekonomi wilayah Provinsi Papua

Barat, dengan sasaran utama terbangunnya kemampuan ekonomi di wilayah

Provinsi Papua Barat untuk mempercepat perbaikan taraf hidup masyarakat serta

menciptakan landasan pembangunan ekonomi yang berkesinambungan. Keempat,

program penanggulangan kemiskinan, dengan sasaran menurunnya angka

kemiskinan di Provinsi Papua Barat menjadi sepertiga (35 %) dari angka

kemiskinan saat ini (70 %). Kelima, mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya

alam untuk kesejahteraan masyarakat di Provinsi Papua Barat yang terjamin

kelestariannya, dengan sasaran termanfaatkannya sumber daya alam bagi

kepentingan masyarakat dan terpelihara kelestariannya. Keenam, revitalisasi dari

nilai sosial masyarakat sebagai modal pembangunan di Provinsi Papua Barat,

dengan sasaran tumbuhnya nilai sosial masyakat sebagai kekuatan yang berperan

aktif dalam pembangunan. Dalam konteks kebijakan pembangunan, Provinsi

Papua Barat sangat terkait dengan berbagai indikator Millenium Development

Goals (MDGs), pada dasarnya ada 2 kerangka acuan utama yaitu INPRES 5/2007

dengan RPJMD Provinsi Papua Barat 2006-2011 terdiri dari pembangunan

infrastruktur fisik, dan juga 3 sektor utama pembangunan (pendidikan, kesehatan,

10 perekonomian rakyat) serta investasi pengembangan wilayah yang merupakan

prioritas pembangunan utama Provinsi Papua Barat.5

Potensi Sumber Daya Alam, Walaupun memiliki keunggulan komparatif

dan kompetitif, namum perlu disadari bahwa kondisi fisik dasar wilayah yang

ditandai dengan geografis dan topografis yang variatif, dimana 15% adalah

wilayah kepulauan, 65% adalah wilayah dataran yang bergelombang dan 20%

adalah wilayah yang datar dan sungai. Di sisi lain kehidupan sosial ekonomi

masyarakat yang rendah merupakan issue strategis daerah yang menjadi tuntutan

bagi kebutuhan pembangunan di wilayah Papua Barat

6

Kab/Kota

.

1.2. Perumusan Masalah

Sebenarnya beberapa daerah kabupaten dan kota di Provinsi Papua Barat

memiliki potensi sumberdaya seperti Sumber Daya Laut, serta potensi mineral gas

bumi, pertambangan dan keragaman budaya yang dimiliki daerah ini merupakan

keunggulan komperatif dan kompetitif untuk akselerasi pembangunan Papua

Barat ke depan.yang dapat diandalkan dalam memacu pertumbuhan ekonomi

(PDRB) dan mengurangi disparitas pembangunan yang terjadi.

Tabel 2 Luas lahan yang sesuai, telah digunakan dan tersedia untuk pengembangan (perluasan) pertanian di Provinsi Papua Barat

Luas Lahan

Sesuai (ha)

Telah Digunakan

(%)

Masih Tersedia (%)

Fak-fak Kaimana Teluk Wondama Teluk Bintuni Manokwari Sorong Selatan Sorong/Kota Raja Ampat

553.784 312.807 46.342

783.176 145.977 477.321 454.140 20.854

33,34 22,80 31,50 3,37 67,61 6,48 36,60 100,00

66,66 77,20 68,50 96,63 32,29 93,52 63,40 0,00

Jumlah 2.794.441 22,34 78,04 Sumber : BPS Papua Barat, 2008 (data diolah)

5 Arah Kebijakan Harmonisasi Papua Barat http://www.westpapuamdgs.com/?p=82&lang=id [februari 2011] 6 Potensi Daerah Papua Barat http://www.papuabarat.info/content/potensi.php [februari 2011]

11

Data pada Tabel 2 di atas menunjukan bahwa ternyata potensi ketersediaan

luasan lahan yang sesuai untuk pengembangan pertanian di Provinsi Papua Barat

sangat luas sehingga dapat digunakan untuk memacu produksi komoditas-

komoditas unggulan (Gambar 2) masing-masing kabupaten dan kota melalui

extensifikasi pertanian. Namun realitasnya, masih sangat kecil total luasan lahan

yang telah digunakan untuk pengembangan pertanian pada tiap kabupaten dan

kota di Provinsi Papua Barat. Selain itu potensi perikanan yang ada di Kabupaten

Kaimana, Kabupaten Fak-fak, Kabupaten Raja Ampat dan Kabupaten Wondama

tidak ditunjang dengan unit penangkapan yang memadai, sehingga produksi

perikanan tangkapnya masih rendah bila dibandingkan dengan Kabupaten

Manokwari (BPS Papua Barat, 2008).

Sumber : Supriadi, 2008

Gambar 2 Peta komoditas unggulan di Provinsi Papua Barat.

Uraian masalah tersebut di atas merupakan beberapa indikasi bahwa

pembangunan yang dilaksanakan di Provinsi Papua Barat selama ini masih belum

merata dan belum dioptimalkan sesuai dengan potensi sumberdaya yang ada,

sehingga menyebabkan terjadinya disparitas pembangunan wilayah di Provinsi

Papua Barat.

12

Mengacu pada Hipotesa Neo-Klasik (Sjafrizal, 2008), disparitas

pembangunan regional di Provinsi Papua Barat cenderung melebar (divergence).

Hal ini diakibatkan oleh mobilitas faktor produksi yang kurang lancar pada

permulaan proses pembangunan pada beberapa kabupaten di Provinsi Papua Barat

yang baru memekarkan diri (Kabupaten Kaimana, Kabupaten Wondama,

Kabupaten Bintuni, Kabupaten Raja Ampat dan Kabupaten Sorong Selatan).

Akan tetapi bila proses pembangunan terus berlanjut, dengan semakin

membaiknya mobilitas faktor produksi maka disparitas pembangunan regional di

Provinsi Papua Barat akan berkurang (convergence).

Secara khusus konsep yang dapat ditawarkan agar tercapai konvergensi

(convergence) pembangunan ekonomi di Provinsi Papua Barat pada masa

mendatang adalah bagaimana melakukan pengembangan terhadap potensi dari

sektor-sektor unggulan (leading sectors) yang memberikan kontribusi terhadap

PDRB masing-masing kabupaten dan kota di Provinsi Papua Barat. Oleh karena

itu diperlukan analisis mengenai disparitas pembangunan wilayah di Provinsi

Papua Barat dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.

Dari uraian latar belakang dan perumusan masalah di atas maka muncul

pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana tingkat perkembangan wilayah di Provinsi Papua Barat

2. Berapa besar tingkat disparitas pembangunan wilayah di Provinsi Papua Barat

dan faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya disparitas

pembangunan wilayah di Provinsi Papua Barat.

3. Apa yang menjadi sektor unggulan dari tiap wilayah Kabupaten/Kota di

Provinsi Papua Barat

4. Bagaimana Strategi Pengembangan wilayah di Provinsi Papua Barat

1.3. Tujuan Penelitian

1. Menentukan/mengidentifikasi tingkat perkembangan wilayah di Provinsi

Papua Barat

13

2. Mengetahui tingkat disparitas pembangunan wilayah di Provinsi Papua Barat

dan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya disparitas pembangunan di

Provinsi Papua Barat.

3. Mengidentifikasi sektor unggulan pada tiap wilayah di Provinsi Papua Barat

4. Merumuskan strategi pengembangan wilayah dalam mengurangi disparitas

pembangunan wilayah di Provinsi Papua Barat ke depan.

1.4. Manfaat Penelitian

1. Diharapkan penelitian ini dapat dijadikan sebagai rumusan kebijakan

perencanaan pembangunan wilayah di Provinsi Papua Barat dan masing-

masing kabupaten/kota, terutama dalam mengurangi disparitas pembangunan.

2. Sebagai rujukan informasi bagi kegiatan penelitian lanjutan mengenai

disparitas pembangunan wilayah baik dalam skala nasional, regional dan

lokal.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian difokuskan pada analisis data Produk Domestik

Regional Bruto (PDRB) dan disparitas pembangunan yang disebabkan oleh

perbedaan pada PDRB per Kapita, Alokasi Dana Perimbangan (DAK, DAU,

DBH), Jumlah Penduduk dan Indeks Pembangunan Mmanusia.