i pendahuluan - negripapua · peningkatan tingkat pendidikan di papua barat dalam kriteria angka...
TRANSCRIPT
1
I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kebijakan pembangunan nasional dan kebijakan pembangunan daerah telah
disusun dalam koridor perencanaan jangka panjang, jangka menengah dan jangka
pendek. Kebijakan perencanaan jangka panjang sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang RPJPN 2005-2025, menyatakan
bahwa arah kebijakan pembangunan daerah dalam upaya mewujudkan
pembangunan yang lebih merata dan berkeadilan diprioritaskan pada: (1)
pengembangan wilayah yang berbasis potensi unggulan daerah yang
berkelanjutan dan memperhatikan daya dukung lingkungan; (2) percepatan
pembangunan melalui pusat-pusat pertumbuhan ekonomi seperti Kawasan
Ekonomi Khusus dan Kawasan Industri untuk mengembangkan daerah tertinggal
di sekitarnya dengan memperhatikan keterkaitan mata rantai produksi dan
distribusi; (3) keberpihakan prioritas pelaksanaan program dan kegiatan
pembangunan pemerintah di daerah tertinggal dan berpotensi cepat tumbuh secara
ekonomi; (4) memperhatikan kawasan perbatasan sebagai pintu gerbang aktivitas
ekonomi dan perdagangan dengan negara tetangga; (5) peningkatan kapasitas
kelembagaan, keuangan dan legislatif pemangku kepentingan pembangunan; serta
(6) penanggulangan kemiskinan yang memperhatikan hak-hak dasar masyarakat
dengan prinsip kesetaraan dan non diskriminasi.
Saat ini kita telah masuk dalam fase orientasi pembangunan jangka
menengah tahun 2010-2014, yang memprioritaskan pemantapan penataan kembali
Indonesia disegala bidang dengan menekankan upaya peningkatan kualitas
sumber daya manusia, termasuk pengembangan kemampuan ilmu dan teknologi
serta penguatan daya saing perekonomian. Esensi penguatan daya saing
perekonomian dalam pembangunan daerah yang berbasis pengembangan wilayah,
diarahkan pada pengembangan strategi pengembangan kawasan strategis dan
cepat tumbuh serta upaya peningkatan investasi daerah tertinggal. Upaya-upaya
pengembangan daerah tertinggal telah diinisiasi melalui pilar-pilar strategi dasar
percepatan pembangunan daerah tertinggal, yang ditujukan untuk:
2 (1) meningkatkan kemandirian masyarakat melalui pengembangan ekonomi lokal,
pemberdayaan masyarakat, penyediaan sarana dan prasarana serta peningkatan
kapasitas kelembagaan; (2) Mengoptimalkan pemanfaatan potensi wilayah; (3)
Memperkuat integrasi ekonomi antara daerah tertinggal dan daerah maju; serta (4)
Meningkatkan penanganan daerah khusus yang memiliki karakteristik
“keterisolasian”.
Dalam skala nasional, proses pembangunan yang dilaksanakan selama ini
ternyata telah menimbulkan masalah pembangunan yang cukup besar dan
kompleks. Pendekatan pembangunan yang sangat menekankan pada pertumbuhan
ekonomi makro, cenderung mengabaikan terjadinya kesenjangan-kesenjangan
pembangunan antar wilayah yang cukup besar. Investasi dan sumberdaya terserap
dan terkonsentrasi di perkotaan dan pusat-pusat pertumbuhan, sementara wilayah-
wilayah hinterland mengalami pengurasan sumberdaya yang berlebihan.
Kesenjangan ini pada akhirnya menimbulkan permasalahan yang dalam konteks
makro sangat merugikan proses pembangunan yang ingin dicapai sebagai bangsa.
Ketidakseimbangan pembangunan antar wilayah disatu sisi terjadi dalam bentuk
buruknya distribusi dan alokasi pemanfaatan sumberdaya yang menciptakan
inefisiensi dan tidak optimalnya sistem ekonomi, dimana faktor-faktor penyebab
terjadinya disparitas antar wilayah menurut Rustiadi et. al. (2009) adalah:
(1) geografi; (2) sejarah; (3) politik; (4) kebijakan pemerintah; (5) administrasi;
(6) sosial budaya dan (7) ekonomi.
Sejak bergulirnya otonomi daerah di Indonesia, terlebih lagi otonomi khusus
bagi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, paradigma baru pembangunan
yang secara langsung maupun tidak langsung telah membawa pengaruh yang
cukup luas dan signifikan dalam tata kehidupan masyarakat baik di tingkat
regional dan lokal. Wujud otonomi daerah adalah UU Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang
perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (yang kemudian
diperbaharui dengan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Daerah). Secara harfiah otonomi daerah berarti hak,
wewenang serta kewajiban daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri
sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Seluruh urusan pemerintahan
3
didesentralisasikan kepada daerah-daerah kecuali yang menyangkut hubungan
luar negeri serta pertahanan dan keamanan. Daerah menjadi memiliki kewenangan
yang lebih luas dalam pengelolaan sumberdaya yang dimilikinya, baik
sumberdaya alam (natural capital), sumberdaya buatan (man made capital),
sumberdaya manusia (human capital) maupun sumberdaya sosial (social capital).
Kewenangan yang lebih luas, nyata dan bertanggung jawab tesebut diberikan
kepada daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan,
pembagian dan pemanfaatan sumberdaya nasional, serta perimbangan keuangan
antara pusat dan daerah, sesuai dengan prinsip demokrasi, peran serta masyarakat,
pemerataan dan keadilan serta potensi dan keberagaman daerah.
Pembangunan di tanah Papua selayaknya dikembangkan secara lebih
intensif terutama dengan mengutamakan pemanfaatan sumberdaya lokal dan
sektor perekonomian (sektor basis dan non-basis) yang berpotensi memberikan
dampak positif bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Upaya-upaya
pemerintah dalam meningkatkan kualitas pembangunan di tanah Papua telah
secara intensif didorong melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, dan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun
2007 tentang Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.
Upaya-upaya ini dilatarbelakangi oleh permasalahan dan tantangan yang dihadapi
dalam pengelolaan pembangunan tanah Papua seperti Sumber daya alam Papua
dan Papua Barat yang melimpah dan hampir merata di semua wilayah, kawasan
konservasi yang luas dan merata, tingkat kemajuan antar wilayah yang timpang
sehingga masih banyak terdapat daerah-daerah yang tingkat ketertinggalannya
masih tinggi, kemiskinan yang relatif merata di seluruh wilayah, kualitas sumber
daya manusia yang rendah karena keterbatasan akses terhadap pelayanan
pendidikan dan kesehatan, prasarana dan sarana yang terbatas mengakibatkan
kualitas dan kuantitas pelayanan dasar dari pemerintah daerah tidak optimal, serta
kondisi sistem usahatani lokal yang belum mampu mengadopsi teknologi
pertanian modern sehingga masih rentan terhadap perubahan iklim dan
lingkungan biofisik.
Provinsi Papua Barat awalnya bernama Irian Jaya Barat, berdiri atas dasar
Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 tentang pembentukan Provinsi Irian Jaya
4 Barat, Provinsi Irian Jaya Tengah, Kabupaten Mimika, Kabupaten Paniai,
Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong. Berdirinya Provinsi Papua Barat juga
mendapat dukungan dari Surat Keputusan DPRD Provinsi Papua Nomor 10
Tahun 1999 tentang pemekaran Provinsi Papua menjadi tiga provinsi. Provinsi
Papua Barat, memiliki luas wilayah sebesar 143.185 km2
dari luas total 8
(delapan) kabupaten yakni Kabupaten Sorong, Kabupaten Manokwari, Kabupaten
Fak-Fak, Kabupaten Sorong Selatan, Kabupaten Raja Ampat, Kabupaten
Kaimana, Kabupaten Teluk Bintuni dan 1 (satu) kota madya yaitu Kota Madya
Sorong. Sebagian besar aksesibilitas antar pusat-pusat pertumbuhan dirasakan
sangat kurang akibat terbatasnya jaringan jalan, belum adanya jaringan sentra
produksi, terbatasnya sarana dan prasarana kebutuhan dasar seperti air bersih,
listrik, telekomunikasi, dan lain-lain, khususnya di pusat-pusat pertumbuhan
kawasan.
Sumber : http://www.slideshare.net/ekpd/hasil-evaluasi-kinerja-pembangunan- daerah-tahun-2009-provinsi-papua-barat2
2 Seminar Nasional Hasil Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah Tahun 2009 Provinsi Papua Barat, Pelaksana Universitas Negeri Papua. Hotel Santika Premiere 18-20 Desember 2009 [februari 2011]
Gambar 1 Tingkat pembangunan ekonomi Provinsi Papua Barat dan Nasional tahun 2004-2009
5
Pembangunan ekonomi di Provinsi Papua Barat jika dilihat secara nasional
selama periode 2004-2009 masih berada di bawah tingkat pembangunan ekonomi
nasional dan menunjukan trend yang sangat fluktuatif dibanding dengan trend
pembangunan ekonomi nasional. Pada gambar di atas dapat dilihat bahwa
fluktuasi indikator capaian outcomes Papua Barat yang menurun drastis pada
tahun 2006 hingga berada di bawah rata-rata nasional, kemudian meningkat
melampaui rata-rata nasional pada tahun 2007 dan selanjutnya turun secara drastis
di bawah rata-rata nasional dan mencapai minimum pada tahun 2009 menunjukan
bahwa kinerja pemerintah Provinsi Papua Barat dalam pembangunan ekonomi
relatif belum relevan dan efektif dalam mengurangi disparitas pembangunan
wilayah.
Tabel 1 di bawah memperlihatkan bahwa terjadi disparitas dalam
perkembangan ekonomi pada Kabupaten Manokwari, Kabupaten Sorong dan
Kota Sorong dibanding dengan kabupaten lainnya. Secara spasial ketiga wilayah
tersebut memiliki aksesibilitas cukup tinggi karena berada pada jalur transportasi
utama baik laut dan udara yang merupakan pintu masuk dan keluar ke Provinsi
Papua Barat.
Tabel 1 PDRB, luas wilayah dan jumlah penduduk per kabupaten/kota serta kontribusinya terhadap Provinsi Papua Barat tahun 2007
Kabupaten/ Kota
Luas Wilayah Jumlah Penduduk PDRB atas dasar harga berlaku
Km2 (%) Jiwa (%) Nilai (Jutaan Rp) (%)
Fak-Fak Kaimana Wondama Teluk Bintuni Manokwari Sorong Selatan Sorong Raja Ampat Kota Sorong
14.320,00 18.500,00 12.146,62 18.637,00 14.448,50 29.810,00 28.894,00 6.084,50
344,49
10,00 12,82 8,48
13,02 10,09 20,82 20,18 4,25 0,24
66.254 41.660 22.936 53.664
171.222 60.934 97.810 40.912
167.589
9,16 5,76 3,17 7,42
23,68 8,43
13,53 5,66
23,18
912.368,45 534.432,78 172.899,41 640.772,08
1.686.242,76 327.559,71
3.345.501,50 796.193,43
1.869.355,55
8,87 5,20 1,68 6,23
16,39 3,18
32,53 7,74
18,17 Jumlah 143.185,1 100,00 722.981 100,00 10.285.325,67 100,0
Sumber : BPS Papua Barat, 2008
6
Kondisi lainnya yang menunjukan perbedaan pembangunan (disparitas)
pada kabupaten dan kota adalah terpusatnya kegiatan perekonomian pada daerah
kabupaten induk dibandingkan dengan daerah pemekaran, seperti pertanian, jasa,
perdagangan, perhotelan dan pendidikan terfokus di Kota Sorong, Kabupaten
Sorong dan Kabupaten Manokwari yang juga menyerap sumberdaya dari daerah
pemekaran baru (hinterland). Hal ini menyebabkan masyarakatnya menikmati
pendapatan per kapita yang lebih tinggi, angka kemiskinan yang lebih rendah
serta kualitas SDM yang lebih baik menyebabkan Indeks Pembangunan
Manusianya (IPM) cenderung meningkat.
Secara umum nilai IPM Papua Barat terus mengalami peningkatan dari
tahun ke tahun namun ada beberapa daerah yang mengalami peningkatan pesat
dan ada yang lambat baik pada kabupaten induk maupun kabupaten pemekaran.
Kondisi ini dipengaruhi oleh variasi komponen tingkat kesehatan, tingkat
pendidikan dan tingkat daya beli masyarakat pada masing-masing wilayah.
Peningkatan Tingkat kesehatan yang dihitung dari Angka Harapan Hidup di
Papua Barat sebesar 67,90 tahun pada 2008. Artinya rata-rata masyarakat Papua
Barat usia hidupnya 67 tahun. Kota Sorong memiliki Angka Harapan hidup
tertinggi sebesar 71,12 tahun dan terendah pada Kabupaten Raja Ampat sebesar
65,43 tahun. Bila dibandingkan dengan kabupaten pemekaran lainnya, Kabupaten
Teluk Bintuni memiliki Angka Harapan Hidup (AHH) lebih tinggi (67,55 tahun)
dari kabupaten induk Manokwari (67,38 tahun).
Peningkatan tingkat pendidikan di Papua Barat dalam kriteria Angka Melek
Huruf (AMH), terendah di Kabupaten Teluk Bintuni dalam periode tahun 2006-
2008. Pada kriteria lama sekolah, secara keseluruhan Papua Barat memiliki rata-
rata bersekolah sampai dengan kelas 1 Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP)
meskipun pada Kabupaten Teluk wondama terendah dalam periode tahun 2006-
2008 (6,39 tahun) sehingga dapat dikatakan bahwa penduduk hanya mampu
bersekolah sampai dengan kelas 1 Sekolah Dasar (SD). Sangat jauh bila
dibandingkan dengan penduduk Kota Sorong dengan rata-rata lama sekolah
sampai dengan kelas 1 Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA). Daya beli
masyarakat Papua Barat juga terus meningkat selama periode tahun 2006-2008
7
dengan rata-rata sebesar Rp 593, 13 ribu dengan daya beli tertinggi pada Kota
Sorong dan terendah pada Kabupaten Raja Ampat.
Data laporan Tahunan Indeks Pembangunan Manusia Papua Barat Tahun
2008 menyebutkan bahwa berdasarkan kesamaan pencapaian nilai IPM, posisi
relatif kabupaten dan kota di Provinsi Papua Barat dapat dikelompokan kedalam 3
(tiga) kelompok. Kelompok IPM bawah yaitu Kabupaten Teluk Wondama, Teluk
Bintuni, Manokwari, Raja Ampat dan Sorong Selatan, capaian rata-rata IPM pada
tahun 2006-2008 adalah 65 ke bawah. Kelompok IPM menengah terdiri dari
Kabupaten Fak-Fak, Kabupaten Kaimana dan Kabupaten Sorong dengan capaian
rata-rata IPM 2006-2008 antara 66-75. Kelompok IPM atas adalah Kota Sorong
dengan rata-rata capaian IPM 2006-2008 lebih dari 75.
Ketimpangan pada jumlah penduduk, PDRB dan PDRB per kapita juga
menggambarkan ketimpangan pembangunan di Provinsi Papua Barat. Kabupaten
Sorong misalnya, pada tahun 2008 memiliki nilai PDRB (atas dasar harga
berlaku) tertinggi di Papua Barat sebesar Rp 4,28 triliun disusul Kota sorong
sebesar Rp 2,15 triliun dan Kabupaten Manokwari sebesar Rp 2,03 triliun.
Kabupaten Wondama merupakan kabupaten pemekaran dengan nilai PDRB
terendah sebesar Rp 0,27 triliun. Dari segi nilai PDRB per kapita, nilai tertinggi
berada pada Kabupaten Teluk Bintuni (Rp 16 juta), Kabupaten Fak-Fak (Rp 15,
57 juta), Kabupaten Kaimana (Rp 14,31 juta) dan Kota Sorong (Rp 12,7 juta).
Hal ini disebabkan karena konsentrasi penduduk lebih banyak berada di
kabupaten induk sehingga meskipun memiliki pendapatan yang relatif tinggi,
PDRB per kapitanya masih rendah.
Dana perimbangan pembangunan yang bersumber dari Dana Alokasi Umum
(DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Bagi Hasil (DBH) memberikan
kontribusi cukup besar bagi pendanaan pembangunan di kabupaten dan kota
maupun di Provinsi Papua Barat. Daerah yang mempunyai kemampuan fiskal
rendah akan mendapatkan DAU dalam jumlah yang relatif besar, sebaliknya daerah
yang mempunyai kemampuan fiskal tinggi akan mendapat DAU dalam jumlah yang
kecil, dimana pemberian DAU tahun berjalan selalu lebih besar dari tahun
sebelumnya (DAUt > DAUt-1). Pemberian DAU ini diharapkan benar-benar dapat
mengurangi disparitas fiskal horizontal, daerah mempunyai tingkat kesiapan fiskal
8 yang relatif sama dalam mengimplementasikan otonomi daerah. Daerah diharapkan
mampu mengalokasikan sumber dana ini pada sektor-sektor produktif yang mampu
mendorong adanya peningkatan investasi di daerah dalam meningkatkan
pembangunan ekonomi wilayah dan juga pada sektor yang berdampak pada
peningkatan pelayanan publik sehingga kemandirian daerah menjadi semakin tinggi
seiring dengan meningkatnya kapasitas fiskal daerah, dan pada gilirannya tanggungan
pemerintah untuk memberikan DAU bisa lebih dikurangi.3 Dana bagi hasil daerah
meliputi pajak bumi dan bangunan (PBB), bea perolehan hak atas tanah dan
bangunan (BPHTB) dan penerimaan dari Sumber Daya Alam (SDA). Pada komponen
PAD ditambah dengan Dana Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (DBHPBP) inilah
yang merupakan indikator fiscal capacity bagi setiap daerah. Fiscal capacity ini
merupakan indikator utama dalam mengukur kemampuan pemerintah daerah untuk
membiayai sendiri kegiatan pemerintahan daerah yang dijalankan, tanpa tergantung
bantuan dari luar, termasuk dari pemerintah pusat. DAU dan DAK merupakan alokasi
pembiayaan daerah yang termuat dalam APBN yang dimaksudkan untuk membantu
pembiayaan pemerintahan daerah baik secara umum, maupun secara khusus. Dimana
DAU memiliki tujuan utama untuk pemerataan kemampuan keuangan antar daerah
untuk membiayai kebutuhan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan desentralisasi,
sedangkan DAK dialokasikan kepada daerah dengan tujuan untuk membantu
pembiayaan daerah dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan khususnya. Selama
periode tahun 2005-2008 alokasi DAU Kabupaten Manokwari, Kabupaten Fak-Fak,
Kabupaten Kaimana, Kabupaten Sorong dan Kabupaten Sorong Selatan lebih besar
dari alokasi pemberian DAU Kabupaten Raja Ampat, Kabupaten Wondama dan Kota
Sorong. Sementara untuk alokasi DAK selama periode tersebut lebih besar alokasinya
bagi Kabupaten Sorong Selatan, Kabupaten Raja Ampat, Kabupaten Manokwari,
Kabupaten Wondama dan Kabupaten Fak-Fak.4
Percepatan pembangunan Provinsi Papua Barat merupakan kebijakan utama
Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Provinsi Papua Barat, sehingga pada tahun
2015 diharapkan Provinsi Papua Barat akan bisa mengejar ketertinggalan dalam
pencapaian pembangunan Millenium Development Goals (MDGs) dari Provinsi
lain di Indonesia. Dalam konteks ini, dokumen rencana pembangunan jangka
3 http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16852/5/Chapter%20I.pdf [februari 2011] 4 http://www.djpk.depkeu.go.id/datadjpk [juli 2010]
9
menengah Papua Barat 2006-2011 serta kebijakan percepatan pembangunan
Pemerintah Pusat melalui Inpres 5/2007 merupakan arah utama dari proses
percepatan dan harmonisasi program pembangunan di Provinsi Papua Barat.
Dokumen RPJMD Buku IV Misi dan Visi Pembangunan Jangka Menengah
Daerah, Pemerintah Provinsi Papua Barat telah merumuskan secara operasional 6
agenda pokok pembangunan di Provinsi Papua Barat. Pertama, membangun
kapasitas kelembagaan dengan sasaran meningkatnya kapasitas kelembagaan yang
mampu melaksanakan pelayanan kepada masyarakat sampai pada tingkat
kampung serta mampu melaksanakan tugas pokok kelembagaan. Kedua,
meningkatkan mutu sumber daya manusia Papua Barat, dengan sasaran
meningkatnya kwalitas sumber daya manusia Papua Barat dalam berbagai bidang
sehingga mampu dan mandiri mengelola sumber daya alam bagi kesejahteraan.
Ketiga, mengembangkan dan memperkuat basis ekonomi wilayah Provinsi Papua
Barat, dengan sasaran utama terbangunnya kemampuan ekonomi di wilayah
Provinsi Papua Barat untuk mempercepat perbaikan taraf hidup masyarakat serta
menciptakan landasan pembangunan ekonomi yang berkesinambungan. Keempat,
program penanggulangan kemiskinan, dengan sasaran menurunnya angka
kemiskinan di Provinsi Papua Barat menjadi sepertiga (35 %) dari angka
kemiskinan saat ini (70 %). Kelima, mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya
alam untuk kesejahteraan masyarakat di Provinsi Papua Barat yang terjamin
kelestariannya, dengan sasaran termanfaatkannya sumber daya alam bagi
kepentingan masyarakat dan terpelihara kelestariannya. Keenam, revitalisasi dari
nilai sosial masyarakat sebagai modal pembangunan di Provinsi Papua Barat,
dengan sasaran tumbuhnya nilai sosial masyakat sebagai kekuatan yang berperan
aktif dalam pembangunan. Dalam konteks kebijakan pembangunan, Provinsi
Papua Barat sangat terkait dengan berbagai indikator Millenium Development
Goals (MDGs), pada dasarnya ada 2 kerangka acuan utama yaitu INPRES 5/2007
dengan RPJMD Provinsi Papua Barat 2006-2011 terdiri dari pembangunan
infrastruktur fisik, dan juga 3 sektor utama pembangunan (pendidikan, kesehatan,
10 perekonomian rakyat) serta investasi pengembangan wilayah yang merupakan
prioritas pembangunan utama Provinsi Papua Barat.5
Potensi Sumber Daya Alam, Walaupun memiliki keunggulan komparatif
dan kompetitif, namum perlu disadari bahwa kondisi fisik dasar wilayah yang
ditandai dengan geografis dan topografis yang variatif, dimana 15% adalah
wilayah kepulauan, 65% adalah wilayah dataran yang bergelombang dan 20%
adalah wilayah yang datar dan sungai. Di sisi lain kehidupan sosial ekonomi
masyarakat yang rendah merupakan issue strategis daerah yang menjadi tuntutan
bagi kebutuhan pembangunan di wilayah Papua Barat
6
Kab/Kota
.
1.2. Perumusan Masalah
Sebenarnya beberapa daerah kabupaten dan kota di Provinsi Papua Barat
memiliki potensi sumberdaya seperti Sumber Daya Laut, serta potensi mineral gas
bumi, pertambangan dan keragaman budaya yang dimiliki daerah ini merupakan
keunggulan komperatif dan kompetitif untuk akselerasi pembangunan Papua
Barat ke depan.yang dapat diandalkan dalam memacu pertumbuhan ekonomi
(PDRB) dan mengurangi disparitas pembangunan yang terjadi.
Tabel 2 Luas lahan yang sesuai, telah digunakan dan tersedia untuk pengembangan (perluasan) pertanian di Provinsi Papua Barat
Luas Lahan
Sesuai (ha)
Telah Digunakan
(%)
Masih Tersedia (%)
Fak-fak Kaimana Teluk Wondama Teluk Bintuni Manokwari Sorong Selatan Sorong/Kota Raja Ampat
553.784 312.807 46.342
783.176 145.977 477.321 454.140 20.854
33,34 22,80 31,50 3,37 67,61 6,48 36,60 100,00
66,66 77,20 68,50 96,63 32,29 93,52 63,40 0,00
Jumlah 2.794.441 22,34 78,04 Sumber : BPS Papua Barat, 2008 (data diolah)
5 Arah Kebijakan Harmonisasi Papua Barat http://www.westpapuamdgs.com/?p=82&lang=id [februari 2011] 6 Potensi Daerah Papua Barat http://www.papuabarat.info/content/potensi.php [februari 2011]
11
Data pada Tabel 2 di atas menunjukan bahwa ternyata potensi ketersediaan
luasan lahan yang sesuai untuk pengembangan pertanian di Provinsi Papua Barat
sangat luas sehingga dapat digunakan untuk memacu produksi komoditas-
komoditas unggulan (Gambar 2) masing-masing kabupaten dan kota melalui
extensifikasi pertanian. Namun realitasnya, masih sangat kecil total luasan lahan
yang telah digunakan untuk pengembangan pertanian pada tiap kabupaten dan
kota di Provinsi Papua Barat. Selain itu potensi perikanan yang ada di Kabupaten
Kaimana, Kabupaten Fak-fak, Kabupaten Raja Ampat dan Kabupaten Wondama
tidak ditunjang dengan unit penangkapan yang memadai, sehingga produksi
perikanan tangkapnya masih rendah bila dibandingkan dengan Kabupaten
Manokwari (BPS Papua Barat, 2008).
Sumber : Supriadi, 2008
Gambar 2 Peta komoditas unggulan di Provinsi Papua Barat.
Uraian masalah tersebut di atas merupakan beberapa indikasi bahwa
pembangunan yang dilaksanakan di Provinsi Papua Barat selama ini masih belum
merata dan belum dioptimalkan sesuai dengan potensi sumberdaya yang ada,
sehingga menyebabkan terjadinya disparitas pembangunan wilayah di Provinsi
Papua Barat.
12
Mengacu pada Hipotesa Neo-Klasik (Sjafrizal, 2008), disparitas
pembangunan regional di Provinsi Papua Barat cenderung melebar (divergence).
Hal ini diakibatkan oleh mobilitas faktor produksi yang kurang lancar pada
permulaan proses pembangunan pada beberapa kabupaten di Provinsi Papua Barat
yang baru memekarkan diri (Kabupaten Kaimana, Kabupaten Wondama,
Kabupaten Bintuni, Kabupaten Raja Ampat dan Kabupaten Sorong Selatan).
Akan tetapi bila proses pembangunan terus berlanjut, dengan semakin
membaiknya mobilitas faktor produksi maka disparitas pembangunan regional di
Provinsi Papua Barat akan berkurang (convergence).
Secara khusus konsep yang dapat ditawarkan agar tercapai konvergensi
(convergence) pembangunan ekonomi di Provinsi Papua Barat pada masa
mendatang adalah bagaimana melakukan pengembangan terhadap potensi dari
sektor-sektor unggulan (leading sectors) yang memberikan kontribusi terhadap
PDRB masing-masing kabupaten dan kota di Provinsi Papua Barat. Oleh karena
itu diperlukan analisis mengenai disparitas pembangunan wilayah di Provinsi
Papua Barat dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Dari uraian latar belakang dan perumusan masalah di atas maka muncul
pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana tingkat perkembangan wilayah di Provinsi Papua Barat
2. Berapa besar tingkat disparitas pembangunan wilayah di Provinsi Papua Barat
dan faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya disparitas
pembangunan wilayah di Provinsi Papua Barat.
3. Apa yang menjadi sektor unggulan dari tiap wilayah Kabupaten/Kota di
Provinsi Papua Barat
4. Bagaimana Strategi Pengembangan wilayah di Provinsi Papua Barat
1.3. Tujuan Penelitian
1. Menentukan/mengidentifikasi tingkat perkembangan wilayah di Provinsi
Papua Barat
13
2. Mengetahui tingkat disparitas pembangunan wilayah di Provinsi Papua Barat
dan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya disparitas pembangunan di
Provinsi Papua Barat.
3. Mengidentifikasi sektor unggulan pada tiap wilayah di Provinsi Papua Barat
4. Merumuskan strategi pengembangan wilayah dalam mengurangi disparitas
pembangunan wilayah di Provinsi Papua Barat ke depan.
1.4. Manfaat Penelitian
1. Diharapkan penelitian ini dapat dijadikan sebagai rumusan kebijakan
perencanaan pembangunan wilayah di Provinsi Papua Barat dan masing-
masing kabupaten/kota, terutama dalam mengurangi disparitas pembangunan.
2. Sebagai rujukan informasi bagi kegiatan penelitian lanjutan mengenai
disparitas pembangunan wilayah baik dalam skala nasional, regional dan
lokal.
1.5. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian difokuskan pada analisis data Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB) dan disparitas pembangunan yang disebabkan oleh
perbedaan pada PDRB per Kapita, Alokasi Dana Perimbangan (DAK, DAU,
DBH), Jumlah Penduduk dan Indeks Pembangunan Mmanusia.