analslisis teluk bintuni dari sudut pandang ekologi manusia

31
ARTIKEL 1 BP Tangguh, Teluk Bintuni dalam konteks Papua Proyek LNG (gas cair alam cair) BP Tangguh di Teluk Bintuni adalah proyek terkini dalam sejarah proyek eksploitasi sumber daya alam di belahan barat pulau New Guinea. Bisa dikatakan bahwa proyek ini dianggap sangat penting karena membuka wilayah itu terhadap sebuah gelombang baru eksploitasi. Seperti halnya keuntungan besar yang diraup Freeport-Rio Tinto dari pertambangan emas dan tembaga telah menarik perusahaan tambang lainnya datang ke Papua, Tangguh juga menarik perusahaan- perusahaan minyak dan gas lainnya ke Papua. Kebutuhan energi dunia meningkatkan tekanan terhadap masyarakat dan lingkungan di Papua. Skala proyek Tangguh, berikut penghasilan yang diperoleh dari penjualan LNG ke pasar asing, semakin memperkuat tekanan ini. Sejak tahun 1997, ketika perusahaan Amerika ARCO mengumumkan ditemukannya cadangan gas yang besar di Teluk Bintuni, kecepatan 1

Upload: ulil-tetap-arimbi

Post on 24-Oct-2015

270 views

Category:

Documents


10 download

DESCRIPTION

Menganalisis sisi ekologis Teluk Bintuni yang tereksploitasi

TRANSCRIPT

Page 1: Analslisis Teluk Bintuni dari Sudut Pandang Ekologi Manusia

ARTIKEL 1

BP Tangguh, Teluk Bintuni dalam konteks Papua

Proyek LNG (gas cair alam cair) BP Tangguh di Teluk Bintuni adalah proyek terkini dalam

sejarah proyek eksploitasi sumber daya alam di belahan barat pulau New Guinea. Bisa

dikatakan bahwa proyek ini dianggap sangat penting karena membuka wilayah itu terhadap

sebuah gelombang baru eksploitasi. Seperti halnya keuntungan besar yang diraup Freeport-

Rio Tinto dari pertambangan emas dan tembaga telah menarik perusahaan tambang lainnya

datang ke Papua, Tangguh juga menarik perusahaan-perusahaan minyak dan gas lainnya ke

Papua. Kebutuhan energi dunia meningkatkan tekanan terhadap masyarakat dan lingkungan

di Papua. Skala proyek Tangguh, berikut penghasilan yang diperoleh dari penjualan LNG ke

pasar asing, semakin memperkuat tekanan ini.

Sejak tahun 1997, ketika perusahaan Amerika ARCO mengumumkan ditemukannya

cadangan gas yang besar di Teluk Bintuni, kecepatan ekspolitasi sumber daya alam di Papua

telah meningkat tajam. Meskipun ada krisis keuangan Asia, jatuhnya Soeharto dan

meningkatnya masalah politik di Papua, semakin banyak perusahaan Indonesia dan asing

yang mencari keuntungan dari sumber daya ini. Selain mineral, minyak dan gas, hutan

Papua merupakan target utama ekploitasi. Pembalak mengambil kayu yang berharga secara

komersial dari banyak wilayah hutan dan pengusaha perkebunan kelapa sawit dan pulpwood

(kayu untuk bubur kayu) mengikuti jejak mereka. Sekarang ini ada rencana ambisius untuk

mengembangkan tanaman pangan dan energi di Merauke, di bagian selatan Papua.

1

Page 2: Analslisis Teluk Bintuni dari Sudut Pandang Ekologi Manusia

Kekhawatiran global mengenai perubahan iklim juga telah mendorong adanya fokus baru-

baru ini, yaitu mengenai keuntungan yang mungkin diperoleh dari pelestarian stok karbon di

hutan-hutan Papua yang masih ada.

Masuknya masyarakat dari daerah lain di Indonesia menyediakan tenaga kerja bagi industri-

industri ini dan mendorong adanya perubahan sosial dan ekonomi di Papua. Sementara itu

ketegangan politik terus berlanjut dengan gagalnya Otonomi Khusus yang diberikan

pemerintah pusat hampir satu dekade yang lalu untuk mengatasi tuntutan untuk merdeka.

Otonomi Khusus gagal mengangkat sebagian besar masyarakat Papua dari kemiskinan atau

memberi mereka suara dalam pengambilan keputusan mengenai pemerintahan dan

pengelolaan sumber daya alam mereka yang kaya di masa mendatang.

Ini adalah konteks bagi proyek LNG Tangguh BP, yang terletak di distrik Teluk Bintuni

dalam provinsi Papua Barat. Lokasi utama proyek itu terletak di pesisir selatan Teluk Berau,

sebelah selatan semenanjung 'Kepala Burung' Papua Barat. Batas-batas distrik itu ditentukan

pada tahun 2006 dan terdiri dari 11 kecamatan dan 97 desa. Luas daerah itu meliputi

18.658,00 km2, dengan penduduk sebanyak 48.079 orang.

Warga daerah itu adalah masyarakat adat Papua dan masyarakat dari luar Papua yang tinggal

di sana karena program transmigrasi dari pemerintah juga penghuni lain. Masyarakat adat

Papua di Teluk itu terdiri dari tujuh kelompok: Irarutu, Wamesa, Sebiar, Sumuri, Kuri, Soub,

dan Moskona.

Kondisi geologi di Teluk itu cukup kaya akan mineral, minyak dan gas. Menurut BP,

konsesi Tangguh memiliki hak atas 14,4 triliun kaki kubik cadangan gas yang telah

terbukti, dengan cadangan yang mungkin ada sebesar 24-25 triliun kaki kubik.

Proyek Tangguh LNG memiliki tiga blok konsensi: Wiriagar, yang masa kontraknya berlaku

hinggal 2023, dan Berau serta Muturi, yang masa kontraknya berlaku masing-masing hingga

2017 dan 2022.  Untuk memproses gas, BP Tangguh telah membangun pabrik LNG di atas

lokasi seluas 3.500 hektare di Distrik Babo.  Investasi modal seluruhnya untuk proyek ini,

yang diharapkan akan berjalan selama paling tidak 20 tahun adalah sebesar sekitar US$5

milyar.

Untuk pembangunan proyek Tangguh sebuah desa direlokasi secara total – Desa Tanah

Merah  - dan tanah yang dimiliki oleh tiga suku dari masyarakat adat Sumuri yang

2

Page 3: Analslisis Teluk Bintuni dari Sudut Pandang Ekologi Manusia

merupakan pemilik tanah adat di daerah: Sowai, Wayuri dan Simuna dibebaskan demi

memberi ruang bagi pembangunan pabrik pemrosesan LNG. BP telah membangun desa-desa

pemukiman baru bagi masyarakat yang tergusur karena pabrik LNG, yang diberi nama Tanah

Merah Baru. Pembangunan kilang dimulai pada bulan Februari 2003 dan desa yang baru itu

secara resmi ‘dibuka’ pada 17 Juli 2004.

Juga terdapat sembilan desa yang telah ditentukan sebagai ‘Desa yang terkena dampak

langsung proyek’, yang merupakan sasaran program ‘aksi komunitas’ dan dana

‘pembangunan’ dari BP.

Untuk dua tahun pertama, BP memberi warga desa pemukiman itu penerangan listrik, air

bersih, fasilitas kesehatan, dan makanan. Sekarang terdapat laporan bahwa sebagian warga,

terutama nelayan dan petani, merasa bahwa mereka telah terbuang. Mereka tak lagi memiliki

tanah adat untuk bertani, sementara perempuan desa yang biasa menangkap udang di pantai

sekarang dilarang melakukannya.

Fasilitas umum, seperti air bersih yang dulu melimpah, sekarang sering kali tak ada. Listrik

hanya tersedia di malam hari. Puskesmas yang didirikan BP lebih sering tutup daripada buka,

karena dokter dan paramedis biasanya ada di kota Bintuni. Program sosial belum terlaksana

seperti yang mula-mula dijanjikan BP. Tetapi laporan menyebutkan bahwa yang paling

membuat marah masyarakat adalah kesempatan kerja bagi warga Papua setempat yang

sangat terbatas. Posisi yang paling tinggi dapat diharapkan oleh anak muda setempat,

misalnya, adalah menjadi penjaga keamanan proyek.

Untuk mengatasi masalah ini, perlu ada tekanan bagi BP untuk memastikan bahwa

perusahaan bertindak sesuai dengan kepastian yang telah diberikan kepada masyarakat

setempat di sekitar proyek Tangguh. Informasi yang dikumpulkan DTE mengenai komitmen

BP atas standar lingkungan hidup dan hak asasi manusia  di Tangguh, bertujuan untuk turut

berpartisipasi dalam usaha yang lebih luas untuk memperkuat kapasitas masyarakat itu

sendiri dalam menagih kewajiban BP.

Sumber :

http://www.downtoearth-indonesia.org/id/story/bp-tangguh-teluk-bintuni-dalam-konteks-

papua

3

Page 4: Analslisis Teluk Bintuni dari Sudut Pandang Ekologi Manusia

TELUK BINTUNI

MINYAK HUTAN

GAS ALAMMINERAL

Rusaknya Ekologi :

- Berkurangnya SDA (minyak,gas,mineral) secara drastis

- Hutan gundul akibat penebangan besar-besaran

Permasalahan Sosial

Gagalnya kebijakan otonomi khusus dari pemerintah, masy.setempat tetap tidak bisa menyalurkan aspirasinya.

Relokasi total dari Desa Tanah Merah dan 9 desa lainnya untuk pembangunan pabrik pemrosesan LNG BP Tangguh.

Fasilitas umum tidak maksimal:

- Listrik hanya malam hari- Puskesmas jarang buka- Program social BP tidak jalan- Lapangan kerja masy.setempat sulit

Visualisasi Alur Berpikir

Vis.1 (Masalah Ekologi)

eksploitasi

Vis.2 (Masalah Sosial)

4

ARCO America

Pengusaha Kelapa Sawit &

PulpwoodBP Tangguh

Perubahan Iklim

Page 5: Analslisis Teluk Bintuni dari Sudut Pandang Ekologi Manusia

Kerangka Pemikiran

Vis.1

Minyak dan gas merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui. Jumlah yang

terkandung di dalam Teluk Bintuni memang relatif besar, yakni 24-25 triliun kubik. Namun,

jika terus menerus dikeruk tanpa mempedulikan keseimbangan kuantitas pengeksploitasian,

maka dapat dipastikan di masa mendatang sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui

tersebut akan habis oleh generasi saat ini.

Sedangkan hutan adalah sumber daya alam hayati, atau dapat diperbaharui, yaitu dengan cara

menanam pohon pengganti dari jumlah pohon yang ditebang. Secara normal, jika kita

menebang satu batang pohon, maka kita harus menanam lima batang pohon pengganti.

Namun, peraturan ini sering kali diabaikan oleh oknum yang menebangnya secara liar.

Jikalaupun sudah ada izin, maka pelaksanaannya ‘melenceng’ dari perjanjian yang sudah

disepakati. Hal inilah yang mengakibatkan hutan menjadi gundul, dan lagi-lagi Indonesia

harus kehilangan sebagian hutannya, bahkan hingga ekspor asap ke negara tetangga.

Cara yang harus dilakukan untuk ‘mengobati’ hal ini adalah

- Pemerintah harus tegas terhadap segala pelanggaran yang ada. Perjanjian dan undang-

undang tentang pelestarian sumber daya dan perizinan pengambilan sumber daya

harus berjalan sesuai dengan hukumnya.

- Lakukan perbaikan kembali terhadap rusaknya hutan yang telah terjadi. Perbaikan ini

harus dilakukan oleh pelaksana proyek dan dipantau oleh pemerintah/penegak hukum

serta masyarakat setempat.

- Berikan batasan terhadap pengambilan jumlah sumber daya alam yang tidak dapat

diperbaharui.

Vis.2

Permasalahan sosial yang terjadi akibat bungkamnya para penegak hukum dan pemerintah

bukan hal baru lagi. Namun, jika hal ini didiamkan dan diabaikan, maka dapat dipastikan

konflik akan muncul sebagai bentuk kekecewaan masyarakat setempat terhadap kebijakan

yang menurut mereka tidak bijak sama sekali. Listrik adalah kebutuhan masyarakat untuk

dapat melaksanakan aktivitas sehari-hari mulai dari bangun tidur hingga tidur kembali.

Puskesmas adalah sarana kesehatan yang wajib ada di tengah-tengah masyarakat sebagai

5

Page 6: Analslisis Teluk Bintuni dari Sudut Pandang Ekologi Manusia

jaminan kesehatan masyarakat setempat. Program sosial yang dijanjikan oleh BP Tangguh

harus segera direalisasikan agar masyarakat tidak kecewa.

Adapun program yang harus dilaksanakan antara lain adalah :

- Berikan penyuluhan dan pelatihan terhadap masyarakat setempat akan proyek yang

dilakukan oleh BP.

- Rekrut masyarakat setempat menjadi tenaga kerja dengan jabatan yang tidak

mengecewakan dan gaji yang adil.

6

Page 7: Analslisis Teluk Bintuni dari Sudut Pandang Ekologi Manusia

ARTIKEL 2

Industrialisasi Migas dan Eksistensi Masyarakat Lokal Hasil Studi di Teluk Bintuni

Papua

Pembangunan dan industrialisasi di mana pun, tak terkecuali di wilayah Teluk

Bintuni, Provinsi Papua sesungguhnya selalu akan melahirkan sejumlah dilema. Di satu sisi

industrialisasi diharapkan dapat menjadi jalan keluar dan pintu terobosan untuk mempercepat

upaya penanggulangan kemiskinan dan keterbelakangan. Tetapi, di sisi yang lain

industrialisasi dan investasi berbagai kekuatan komersial ternyata seringkali malah

melahirkan proses marginalisasi, kerusakan ekologis dan tidak berkesuaian dengan kebutuhan

masyarakat lokal. Kajian berikut ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan: apakah hal yang

serupa akan juga terjadi di kawasan Teluk Bintuni, Provinsi Papua?

Dilacak ke belakang, industrialisasi dan perubahan sosial yang terjadi di kawasan

Teluk Bintuni dan di Provinsi Papua pada umumnya, sebetulnya tidak hanya baru terjadi pada

era reformasi, atau setelah diberlakukannya kebijakan otonomi khusus di Papua. Paling-tidak

dalam kurun waktu 30 tahun terakhir, proyek transmigrasi dan masuknya berbagai usaha

perniagaan di wilayah Papua telah memicu terjadinya perubahan sosial, ekonomi dan budaya

yang signifikan di wilayah ini. Di wilayah-wilayah yang memiliki potensi sumber daya alam

yang menarik minat investor, sudah tentu perubahan yang terjadi lebih dini dan lebih cepat

karena dihela masuknya industrialisasi dan para pendatang.

Di era Orde Baru, ketika pemerintah mencanangkan program yang disebut “kebijakan

ke arah Timur”, yang bertujuan untuk mendorong investasi di wilayah Indonesia bagian

Timur, sejak itu pula arus investasi yang masuk ke wilayah Papua mulai meningkat pesat.

Sejumlah perusahaan di bidang perkayuan, perikanan, pertanian, dan juga pertambangan

mulai banyak melirik Papua, termasuk ke kawasan Teluk Bintuni, karena potensi sumber

daya alam yang ada di kawasan ini memang menjanjikan. Walau kondisi infrastruktur, sarana

dan prasarana yang ada relatif belum memadai, namun demikian potensi sumber daya alam

yang berlimpah di berbagai wilayah di Provinsi Papua, bagaimana pun juga adalah pemikat

yang membuat para pengusaha tidak mungkin menutup mata begitu saja.

Teluk Bintuni, misalnya adalah salah satu teluk di Provinsi Irian Jaya Barat yang

memiliki potensi sumber daya alam sangat berlimpah, termasuk potensi di sektor kehutanan,

7

Page 8: Analslisis Teluk Bintuni dari Sudut Pandang Ekologi Manusia

perikanan dan sumber gas bumi. Teluk Bintuni secara geografis memiliki konfigurasi hutan

mangrove sangat luas, bahkan terluas di Papua. Luas kawasan hutan mangrove di Teluk

Bintuni tercatat sekitar 260 ribu hektar, dengan kandungan sumber daya alam yang beraneka

ragam, mulai dari flora, fauna, hasil-hasil tambang, dan lain sebagainya. Konfigurasi seperti

ini membentuk ekosistem kawasan mangrove yang mempunyai fungsi ekologis dan ekonomis

bagi masyarakat setempat. Fungsi yang cukup penting dari hutan mangrove kecuali sebagai

kawasan penahan abrasi pantai, adalah juga sebagai tempat berpijah udang dan ikan secara

alami. Sementara fungsi ekonomisnya adalah sebagai penunjang kebutuhan hidup masyarakat

di sekitarnya, dan bahkan masyarakat luar yang memperoleh manfaat dari hasil laut dan kayu

yang melimpah di sana.

Kawasan Teluk Bintuni terletak di Irian Jaya bagian Barat, yaitu di bagian mulut

kepala burung pada koordinat 132036’ – 134036’ BT dan 03015’ – 03032’ LS. Luas wilayah

Teluk Bintuni mencakup 22.817,44 kilometer persegi atau 60,7% dari seluruh luas Kabupaten

Manokwari. Di kawasan Teluk Bintuni diperkirakan terdapat sekitar 7 suku besar, antara lain

adalah suku Wamesa, Sebyar, Soub, Irarutu, Kuri dan Simuri. Suku-suku lokal ini, sebagian

mungkin telah ikut menikmati dan menjadi bagian dari proses industrialisasi yang sudah dan

tengah berlangsung di kawasan itu. Tetapi, seperti juga terjadi di daerah yang lain, tidak

jarang penduduk setempat dalam beberapa hal juga menjadi korban situasi dan terpaksa harus

menanggung akibat kegiatan eksploitasi dan eksploitasi sumber daya alam yang lepas

kendali.

Kajian yang dilakukan Pusat Studi Asia Pasifik-UGM, Konphalindo, WWF dan

YDPTB pada bulan Februari 1999, misalnya telah membuktikan bahwa di Teluk Bintuni

telah terjadi perubahan ekosistem sebagai akibat terjadinya sedimentasi, kekeruhan dan

perubahan sifat-sifat kimiawi air di perairan di Teluk Bintuni. Pengembangan berbagai

kegiatan yang dilakukan perusahaan bidang pertambangan, kehutanan, perumahan,

transmigrasi maupun budidaya pertanian yang membuka lahan hutan dan mengkonservasinya

untuk keperluan lain telah mendorong terjadinya peningkatan erosi dalam skala besar yang

terbawa oleh sistem aliran sungai dan diendapkan di perairan Teluk Bintuni, sehingga cepat

atau lambat mengancam kelangsungan sumber daya alam yang tersedia, khususnya food

security.

H. Jack Ruitenbeek (1992) (lihat: Leksono, 2000) melaporkan bahwa di kawasan

Teluk Bintuni kegiatan ekspor kayu cacahan (wood-chips), merupakan salah satu ancaman

8

Page 9: Analslisis Teluk Bintuni dari Sudut Pandang Ekologi Manusia

potensial terhadap kelangsungan ekosistem hutan mangrove di Teluk Bintuni. Habitat hidup

moluska dan kepiting, misalnya diperkirakan akan terganggu akibat adanya pembukaan hutan

mangrove yang menyebabkan meningkatnya intensitas cahaya dan tingkat abrasi.

Di samping itu, eksplorasi dan eksploitasi yang terjadi di wilayah perairan akibat

pembukaan industri perikanan, dalam beberapa kasus selain menimbulkan perubahan pola

produksi nelayan lokal, ternyata juga melahirkan tekanan kemiskinan yang cukup

meresahkan. Dilaporkan, sekitar 200 kapal trawler besar yang menyapu Teluk Bintuni sampai

ke pinggiran hutan mangrove, bukan saja menyebabkan terjadinya overfishing, tetapi juga

menyebabkan nelayan kecil dan nelayan tradisional mengalami proses marjinalisasi. Wilayah

perairan pantai yang sebelumnya mampu menghidupi dan memenuhi kebutuhan sehari-hari

keluarga nelayan tradisional, pelan-pelan makin tidak bersahabat, akibat kegiatan

modernisasi perikanan.

Berbeda dengan nelayan modern yang acapkali mampu merespon perubahan dan

lebih mampu menyiasati tekanan perubahan dan kondisi overfishing, nelayan kecil dan

tradisional seringkali justru mengalami proses marjinalisasi dan menjadi korban dari kegiatan

industri perikanan yang daya jelajah dan dukungan teknologinya jauh lebih canggih. Akibat

keterbatasan teknologi yang dimiliki, ruang gerak nelayan tradisional umumnya sangat

terbatas: mereka hanya mampu beroperasi di perairan pantai (in shore). Kegiatan

penangkapan ikan hanya dilakukan dalam satu hari sekali melaut (one day a fishing trip).

Bisa dibayangkan, apa yang dapat dilakukan nelayan lokal yang masih mempergunakan alat

tangkap tradisional ketika mereka harus berhadapan dengan kekuatan industri perikanan yang

luar biasa?

Sepanjang kegiatan industrialisasi hanya mengeksploitasi sumber daya alam, dan

tidak melakukan reinvestasi bagi pengembangan dan pemberdayaan masyarakat lokal, maka

dapat dipastikan akan terjadi sejumlah perubahan sosial, ekonomi, politik dan budaya –yang

bukan hanya mengancam kelangsungan ekosistem, tetapi juga kelangsungan hidup

masyarakat setempat. Secara garis besar, sejumlah perubahan yang terjadi di kawasan Teluk

Bintuni adalah:

Pertama, kehadiran berbagai perusahaan dan kekuatan komersial di sebuah wilayah,

termasuk di kawasan Teluk Bintuni akan melahirkan berbagai perubahan pola-pola interaksi

pada komunitas lokal, khususnya desa-desa yang terkena dampak langsung atau disebut

9

Page 10: Analslisis Teluk Bintuni dari Sudut Pandang Ekologi Manusia

sebagai Directly Affected Villages (DAVs) kehadiran proyek itu. Di wilayah manapun,

indutrialisasi niscaya akan menyebabkan terjadinya perubahan karena didorong tiga faktor,

yaitu proses komersialisasi, infiltrasi dan invasi para pendatang, dan proses difusi.

Kedua, kehadiran industrialisasi akan melahirkan pergeseran dan perubahan budaya

masyarakat, termasuk di dalamnya adat-istiadat, tradisi, hukum adat, norma lokal, ritus, gaya

hidup, dan bahkan nilai-nilai budaya yang menjadi kerangka acuan berpikir dan hidup

masyarakat lokal. Sebuah komunitas atau suku yang semula hidup relatif terisolasi, jarang

berinteraksi dengan pranata-pranata modern, niscaya mereka cepat atau lambat akan

melakukan proses adaptasi –yang sebagian mungkin berhasil, tetapi sebagian yang lain

mungkin gagal sehingga terpaksa harus tersisih dari kehidupan baru yang lahir karena dihela

industrialisasi.

Ketiga, kehadiran industrialisasi dalam beberapa kasus acapkali pula melahirkan

potensi pergesekan, dan bahkan konflik yang sifatnya terbuka, karena adanya harapan yang

berlebihan, yang tidak sesuai dengan kenyataan yang dihadapi di lapangan. Bisa

dibayangkan, apa yang bakal terjadi jika di sebuah wilayah yang relatif belum berkembang,

atau bahkan agak terisolasi seperti di kawasan Teluk Bintuni hadir sebuah perusahaan

multinasional dengan seluruh pranata yang dimilikinya. Mulai dari soal rekruitmen pegawai,

keeksklusifitas gaya hidup para pendatang, pranata kerja, dan sebagainya jelas perusahaan itu

memiliki kriteria dan mekanisme tersendiri, yang dalam banyak hal tidak mungkin dapat

dipenuhi oleh masyarakat setempat, yang kebanyakan secara sosial belum memiliki

kemampuan dan basis sosial yang memadai. Pertemuan dua subkultur yang berbeda dalam

sebuah proses perubahan sosial dan budaya —terlebih antara kultur dunia industri dan kultur

masyarakat lokal, yang acapkali dinilai tidak pararel dengan kepentingan dunia industri—

tidak mustahil akan potensial memicu terjadinya pergesekan bila tidak dikelola dengan baik.

Di sejumlah daerah yang mengalami proses industrialisasi, potensi pergesekan dan

konflik yang terjadi di masyarakat lokal biasanya bukan sekadar bersumber pada terjadinya

kecemburuan sosial dan perbedaan kultur masyarakat lokal dan para pendatang yang serba

modern. Tetapi, sesungguhnya konflik itu juga berakar pada nilai-nilai sejarah politik

ekonomi sejak jaman kepenguasaan pemerintah kolonial sampai ke kelahiran korporatisme

negara atas sumber daya alam pada jaman ke pemerintahan Orde Baru hingga era reformasi

di Indonesia. Korporatisme negara tersebut tercermin dari lahirnya peraturan perundang-

undangan yang sifatnya sentralistik, atas dasar asas unifikasi, yang dikemas dalam kerangka

10

Page 11: Analslisis Teluk Bintuni dari Sudut Pandang Ekologi Manusia

berpikir yang legalistik, tetapi sulit dicerna nalar warga masyarakat di lingkungan komunitas

lokal yang serba tradisional.

Secara teoritis, konflik dan protes terbuka masyarakat lokal terhadap kehadiran dunia

industri, lebih banyak terjadi jika peran pemerintah yang diharapkan dapat berfungsi sebagai

mediator, yang pembela nasib masyarakat setempat, ternyata dalam kenyataan lebih banyak

berpihak pada kepentingan kekuatan komersial. Di Kalimantan, misalnya, studi yang

dilakukan Ruwiastuti dkk.(1997) (Akhmad, 2005), menemukan bahwa tanah adat dan tanah

milik orang Dayak sebagai penduduk lokal seringkali dikorbankan untuk kepentingan yang

bersifat ekstraktif atau kepentingan orang-orang yang datang dari luar daerah, sehingga bisa

dipahami jika di sana muncul gejolak dan protes keras masyarakat lokal. Hal yang sama tidak

mustahil juga terjadi jika di Teluk Bintuni proses indutrialisasi yang sudah dan tengah

berlangsung ternyata tidak atau kurang berpihak kepada kepentingan mayarakat lokal, dan

terlebih-lebih lagi jika hasilnya justru mengalienasikan dan memarginalisasi penduduk

setempat.

            Di kawasan Teluk Bintuni, saat ini tercatat ada puluhan perusahaan, dengan latar

belakang dan variasi usaha yang bermacam-macam, mulai dari usaha di sektor perkebunan,

kehutanan, perikanan, dan juga pertambangan. BP Berau sendiri sebagai kontraktor bagi hasil

untuk produksi minyak dan gas di area Teluk Bintuni, termasuk salah satu investor baru yang

mulai masuk ke Bintuni sekitar empat-lima tahun terakhir. Sekalipun hingga kini BP Berau

belum benar-benar berproduksi, tetapi kehadiran BP Berau di kawasan Teluk Bintuni berikut

semua pranatanya, sedikit-banyak telah mempengaruhi kehidupan masyarakat lokal,

khususnya kampung-kampung yang terkena dampak langsung pembangunan industri baru

ini. Relokasi penduduk setempat dan pembangunan sarana dan prasarana yang dilakukan

selama persiapan produksi, khususnya pembangunan kilang minyak dan gas, serta kelak

ketika BP sudah benar-benar berproduksi tentu akan melahirkan dinamika perubahan sosial-

budaya tersendiri.

            Seperti terjadi di wilayah manapun, industrialisasi dan masuknya pendatang di sebuah

komunitas yang sebelumnya terisolasi seperti di kawasan Teluk Bintuni ini, niscaya akan

melahirkan perubahan. Masyarakat setempat yang sebelumnya hidup sederhana, subsisten

dan komunal, cepat atau lambat akan berubah lebih modern, terkontaminasi pola-pola

hubungan yang sifatnya kontraktual, dan menjadi lebih rasional serta kritis terhadap hal-hal

yang terjadi di sekitarnya.

11

Page 12: Analslisis Teluk Bintuni dari Sudut Pandang Ekologi Manusia

Perubahan ini terjadi, tak lain sebagai akibat bergesernya sistem nilai budaya

masyarakat setempat yang kian berorientasi ke pertimbangan-pertimbangan yang lebih

kalkulatif, dan rasional ketika harus memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Sebagai

perbandingan: di masyarakat Kei, Maluku Tenggara, misalnya, kontrol lemah oleh sistem

adat dan instansi kehutanan serta penetrasi kekuatan komersial yang bergerak di bidang usaha

kehutanan, telah kian mempercepat terjadinya kemunduran kualitas alam di Pulau itu dan

perubahan suku Kei ke arah yang lebih rasional dan komersial.

Sumber :

http://mkp.fisip.unair.ac.id/index.php?

option=com_content&view=article&id=73:industrialisasi-migas-dan-eksistensi-masyarakat-

lokal-hasil-studi-di-teluk-bintuni-papua&catid=34:mkp&Itemid=61

12

Page 13: Analslisis Teluk Bintuni dari Sudut Pandang Ekologi Manusia

SUMBER DAYA ALAM TELUK BINTUNI

MASY. PRIBUMI I

PENDATANG II

MASY. PRIBUMI II

PENDATANG I

EKSPLORASI DAN EKSPLOITASI

KONFLIK

PERUBAHAN SOSIAL, EKONOMI, BUADAYA

Visualisasi Alur Berpikir

Kerangka Pemikiran

Potensi sumber daya alam di Teluk bintuni sangat berlimpah, termasuk potensi di sektor

kehutanan, perikanan dan sumber gas bumi. Masyarakat pribumi di sana memanfaatkan

sumber daya alam dengan cara-cara tradisional, akan tetapi pihak luar menilai, potensi Teluk

Bintuni bukanlah sesuatu yang harus disia-siakan begitu saja. Mereka datang melakukan

eksplorasi dan eksploitasi alam. Masyarakat pribumi pun makin tersisih, sehingga terjadi

perubahan sosial, ekonomi, maupun budaya. Kondisi ini lah yang melahirkan konflik, alam

dirusak, tetapi tidak ada imbal balik bagi masyarakat setempat.

13

Page 14: Analslisis Teluk Bintuni dari Sudut Pandang Ekologi Manusia

Flora and Fauna Survey of

the Tangguh LNG Site

Papua Province, Indonesia

Typical lowland hill forest in the Tangguh LNG Site.

Dalam tahap perencanaan Proyek LNG Tangguh di daerah Teluk Berau-Bintuni di Papua,

Indonesia, BP melaksanakan Survey Flora dan Fauna di dalam area proyeknya. Data dari

survey ini merupakan komponen penting dalam Rencana Pengelolaan Lingkungan, yang pada

gilirannya merupakan bagian utama dari Analisis Dampak Lingkungan di Tangguh

(AMDAL). Survey dan data yang dihasilkan memberikan sumbangan terhadap upaya

konservasi biologi, serta untuk meningkatkan kepedulian lingkungan para staf, para

pengunjung dan komunitas. Koleksi data dan analisisnya juga merupakan hasil sebuah

kolaborasi yang berharga antara para ahli dari Indonesia dan luar negeri. Lokasi proyek

Tangguh LNG berada di Propinsi Papua (dulu Irian Jaya), Indonesia, di Pulau New Guinea

(Gambar 1). Proyek ini terletak di pesisir utara Semenanjung Bomberai, pertemuan antara

Teluk Berau dengan Teluk Bintuni. Luas lokasi meliputi 3.266 ha, namun diperkirakan luas

fisik tapak proyeknya hanya sekitar 800 ha.

KEANEKARAGAMAN HAYATI DI INDONESIA

Keanekaragaman hayati dapat diartikan sebagai suatu keragaman dari gen, spesies, dan

sistem-sistem ekologi yang membentuk dasar kehidupan di planet kita ini. Mempertahankan

14

Page 15: Analslisis Teluk Bintuni dari Sudut Pandang Ekologi Manusia

keanekaragaman hayati merupakan permasalahan global yang sangat mendesak, karena

peranannya dalam menyediakan komponen-komponen yang penting untuk kehidupan di

muka bumi. Punahnya suatu spesies tidak akan dapat dikembalikan lagi – dan kepunahannya

tersebut memberi pengaruh atau dampak bagi spesies yang tersisa termasuk juga bagi

ekosistem di mana mereka hidup. Walaupun kepastian dampak akibat punahnya satu spesies

tertentu belum banyak diketahui, namun perubahan-perubahan dalam keanekaragaman hayati

di lingkungan alam, dapat mengakibatkan timbulnya dampak turunan (sekunder) jangka

panjang terhadap masyarakat. Keanekaragaman hayati di dunia tidaklah tersebar secara

merata, dan suatu daerah yang memiliki konsentrasi keanekaragaman hayati yang tinggi,

dikenal dengan “daerah megadiversity”. Keanekaragaman hayati di wilayah Indo-Pasifik,

yang terbentang dari Indonesia ke arah timur sampai Polinesia dan ke utara sampai

Micronesia memiliki kekayaan biologis yang hampir tak terhingga. Letak Indonesia yang

berada di persilangan Asia dan Pasifik menyebabkan Indonesia memiliki ekosistem

kepulauan yang secara biologi (spesies flora and fauna) sangat unik. Kebanyakan dari biota

Indonesia telah berevolusi dalam keadaan terisolasi, dan banyak spesies-spesies yang hanya

dapat ditemukan pada beberapa pulau-pulau tertentu. Hal tersebut menyebabkan World

Conservation Union (IUCN) dan lembaga sejenis lainnya, menetapkan Indonesia sebagai

negara dengan kategori “negara megadiverse”.

KEANEKARAGAMAN DI PAPUA

Pulau New Guinea secara administratif terbagi dalam dua wilayah, yaitu Propinsi Papua yang

termasuk wilayah Indonesia dan Negara Papua Nugini. Sebagai pulau tropis yang terbesar

dan tertinggi di dunia, Pulau New Guinea memiliki keragaman dan keunikan ekosistem yang

mengagumkan, termasuk glasier dan ekosistem alpine, hutan berkabut, hutan hujan dataran

rendah, padang rumput, hutan mangrove, terumbu karang dan hamparan rumput laut. Banyak

spesies yang ada di New Guinea memiliki status endemik atau secara alamiah tidak dapat

ditemukan di tempat lain. Masuk dalam kategori ini diantaranya adalah burung cenderawasih,

kanguru pohon, ikan pelangi, kupu-kupu sayap burung, berbagai jenis anggrek dan ribuan

jenis flora dan fauna lainnya. Secara keseluruhan, pulau New Guinea memiliki sedikitnya

500.000 jenis flora dan fauna. Dari jumlah tersebut, diduga sekitar 20.000 sampai 25.000

jenis tanaman hidup di wilayah Propinsi Papua. Pulau New Guinea secara keseluruhan

diperkirakan memiliki sekitar tujuh persen dari total keanekaragaman hayati yang ada di

bumi ini – menyamai keanekaragaman hayati yang ada di seluruh Amerika Utara atau

15

Page 16: Analslisis Teluk Bintuni dari Sudut Pandang Ekologi Manusia

Australia walaupun Pulau New Guinea hanya menempati kurang dari 0,5% dari luas lahan

yang ada bumi.

DATA FLORA DAN FAUNA DI TANGGUH

Tujuan dari survey flora dan fauna ini adalah untuk memperbaharui hasil penelitian ilmiah

dan pekerjaan teknis yang telah dilakukan sebelumnya oleh BP, untuk menjadi masukan bagi

perbaikan yang akan dilaksanakan secara terus-menerus terhadap Rencana Pengelolaan

Lingkungan di wilayah Tangguh LNG. Selain itu, hasil studi ini juga merupakan pedoman

praktis dan salah satu cara terbaik untuk menunjukkan betapa pentingnya masalah

keanekaragaman dan ekosistem kawasan tersebut kepada para karyawan, tamu, dan

masyarakat lokal. Pengumpulan data survey ini dilaksanakan oleh tim gabungan dari PT

Hatfindo Prima, perusahaan patungan Kanada-Indonesia yang bergerak di bidang konsultansi

lingkungan hidup di Bogor, Indonesia, dan Indo-Pacific Conservation Alliance (IPCA),

organisasi penelitian konservasi keanekaragaman nir-laba di Washington DC, Amerika

Serikat. Institusi di Indonesia yang juga tergabung dalam studi ini adalah Lembaga Ilmu

Pengetahuan Indonesia (LIPI) terutama Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi di Bogor

dan Cibinong, Jawa Barat; Universitas Cenderawasih (UNCEN) di Jayapura, Papua; serta

Universitas Negeri Papua (UNIPA) di Manokwari, Papua, Indonesia. Survei lapang

dilaksanakan dalam 3 periode waktu, masing-masing periode selama 2 minggu, yang dimulai

pada bulan Februari hingga April 2002. Survei yang dilaksanakan meliputi pengumpulan data

dasar dan ekologi flora dan fauna dengan melakukan inventarisasi terhadap kelompok

taksonomi utama yaitu: tanaman, burung, mamalia, reptil dan amfibi, serangga (kupu-kupu

dan ngengat), serta ikan air tawar dan ikan daerah estuari. Hasil survei akan menambah data

yang telah dikumpulkan pada saat Studi Data Dasar Lingkungan pada tahun 1998 dan studi

AMDAL tahun 2000. Selain itu, data hasil survei dapat digunakan untuk perbaikan terus

menerus bagi program pengelolaan dan pemantauan lingkungan sumberdaya biologis selama

tahap prakonstruksi, konstruksi, operasi, dan pasca operasi dari pembangunan lokasi Tangguh

LNG. Area kerja Tangguh LNG hanya merupakan sebagian kecil daerah dari rangkaian hutan

di Semenanjung Bomberai, dan secara geografi, tidak dapat dianggap sebagai bagian yang

terpisah/ terisolasi. Areal ini terlalu kecil untuk mendukung adanya suatu ekosistem hutan

yang mempunyai keanekaragaman flora dan fauna yang tinggi. Hal ini disebabkan karena

daerah tersebut tergantung dari pasokan benih dan biji dari luar kawasan untuk survival dan

kesehatan populasi di dalamnya. Hasil studi ini menunjukkan bahwa keanekaragaman hayati

yang ditemukan di lokasi studi relatif lebih rendah bila dibandingkan dengan lokasi lain yang

16

Page 17: Analslisis Teluk Bintuni dari Sudut Pandang Ekologi Manusia

Permasalahan Global

mirip di tempat lain di New Guinea. Namun, jika proses pembangunan di sekitar lokasi

proyek berjalan dengan cepat, dan lokasi proyek menjadi semakin terisolasi dari hutan alam

di sekitarnya, maka kelimpahan dan keanekaragaman jenis di lokasi Tangguh LNG

cenderung akan berkurang oleh sebab-sebab yang tidak selalu terkait secara langsung dengan

Proyek LNG Tangguh.

www.bp.com/liveassets/bp_internet/globalbp/STAGING/global_assets/downloads/E/

executive_summary_brochure1.pdf

Visualisasi Alur Berpikir

17

Kepunahan Keanekaragaman Hayati

Masyarakat Lokal

Tamu

Karyawan

Masyarakat

Dampak Turunan Jangka Panjang

Perubahan Keanekaragaman

Hayati

Page 18: Analslisis Teluk Bintuni dari Sudut Pandang Ekologi Manusia

Kerangka Pemikiran

Permasalahan yang terlihat dalam artikel yaitu eksploitasi sumber daya alam

khususnya yang terletak di negara Indonesia bagian timur, yakni Papua Nugini tepatnya di

Teluk Bintuni. Berbagai kerusakan keanekaragaman hayati yang dimiliki lama-kelamaan

mengalami kepunahan yang tidak disadari secara penuh oleh masyarakatnya. Kepunahan

keanekaragaman hayati sedikit banyak akan menyebabkan suatu perubahan keanekaragaman

karena keanekaragaman hayati apabila telah mengalami kepunahan tidak dapat lagi

diperbaharui. Akibatnya terdapat dampak yang harus diterima oleh anak cucu atau keturunan

kita pada akhirnya. Dampak yang berimbas pada turunan dan bersifat jangka panjang tersebut

meliputi karyawan yang bekerja di tempat tersebut, tamu yang ingin berkunjung, dan

masyarakat lokal yang mendiami tempat tersebut.

Hal tersebut dapat dihindari dengan tetap mengontrol pengelolaan terhadap

pemanfaatan lingkungan. Mulai dari hal yang paling kecil. Misalnya tetap melestarikan

keanekaragaman hayati dengan menggunakan aturan yang dirancang untuk melindungi

keanekaragaman hayati. Memberikan sanksi yang keras terhadap pelanggar dan memeberikan

pemahaman terhadap masyarakat setempat mengenai pentingnya melindungi

keanekaragaman hayati demi kelangsungan hidup jangka panjang.

18

Page 19: Analslisis Teluk Bintuni dari Sudut Pandang Ekologi Manusia

PENJELASAN KONSEPTUAL

Teluk Bintuni merupakan daerah pesisir yang mengandung sumber daya alam

yang sangat besar. Sumber daya alam ini antara lain berupa mineral, minyak bumi,

gas alam, dan hutan (bakau maupun tropis). Pertama kali yang mengetahui kandungan

yang ada di dalam Teluk Bintuni ini adalah perusahaan ARCO Amerika yang

menaungi minyak dan gas pada tahun 1997. Sejak saat itu, berdatanganlah para

pengusaha asing maupun lokal yang mengeruk sumber daya yang ada di Teluk

Bintuni tersebut.

Masalah :

1. Pengambilan sumber daya biologis berupa :

- Mineral

- Minyak dan gas alam

- Hutan

2. Kepunahan keanekaragaman hayati

3. Permasalahan sosial

- Tidak terlaksananya kebijakan pemerintah tentang otonomi khusus yang

mampu menampung aspirasi masyarakat setempat

- Tergusurnya pemukiman warga setempat oleh pembangunan pabrik

- Lapangan pekerjaan yang sulit, bahkan dari perusahaan para pendatang yang

‘berhasil’ menggusur desa warga.

19

Page 20: Analslisis Teluk Bintuni dari Sudut Pandang Ekologi Manusia

KESIMPULAN DAN SOLUSI

Dari sekian permasalahan yang ditemui pada kasus Teluk Bintuni, dapat dikatakan

bahwa manusia pada abad sekarang ini masih memberdayakan alam dengan berbekal

paham ‘antroposentris’, yakni sebuah pandangan dimana manusia merasa menjadi

raja di alam semesta ini. Segala kebutuhan yang tak ada habisnya tersebut harus

dipenuhi oleh alam, padahal tidak selamanya alam mampu mencukupinya, karena

alam juga mempunyai keterbatasan ‘jumlah’ maupun ‘kesabaran’.

Dari hal itu, solusi yang mampu penulis sarankan adalah :

1. Secara teoritis :

- Mengubah cara pandang atau ideologi manusia dari antroposentris menjadi

ekosentris1.

Ekosentrisme, yang disebut juga deep environmental ethics, semakin dipulerkan

denganversi lain setelah diperkenalkan oleh Arne Naes, seorang filsuf Norwegia

dengan menyebutnya sebagai Deep Ecology ini adalah suatu paradigma baru

tentang alam dan seluruh isinya. Perhatian bukan hanya berpusat pada manusia

melainkan pada mahluk hidup seluruhnya dalam kaitan dengan upaya mengatasi

persoalan lingkungan hidup. Manusia bukan lagi pusat dari dunia moral. Deep

Ecology memusatkan perhatian kepada semua kehidupan di bumi ini, bukan

hanya kepentingan seluruh komunitas ekologi.

2. Secara Teknis :

- Ketegasan pemerintah dalam menjalankan undang-undang, khususnya

tentang perizinan pengambilan sumber daya alam, serta memberikan

hukuman yang setimpal terhadap pelanggaran yang ada.

1 http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=teori%20ekosentris

20

Page 21: Analslisis Teluk Bintuni dari Sudut Pandang Ekologi Manusia

- Lakukan perbaikan kembali ekologi yang rusak, terutama sumber daya alam

yang dapat diperbaharui, misalnya dengan reboisasi dan pembudidayaan

SDA bawah laut.

- Berikan ambang batas bagi setiap pengambilan SDA yang tidak dapat

diperbaharui agar di saat mendatang, manusia di abad ini tidak hanya

meninggalkan ‘kenangan’ buruk bagi manusia di abad mendatang.

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM

Mata Kuliah Ekologi Manusia

ANALISIS PERMASALAHAN EKOLOGIS

PADA TELUK BINTUNI, PAPUA

Disusun Oleh :

1. Moch.Arief Wisuda ( )2. Nurliana Ulfa (0911210049)3. Umi Arifah Y. (0911213081)

21

Page 22: Analslisis Teluk Bintuni dari Sudut Pandang Ekologi Manusia

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

JURUSAN SOSIOLOGI

2011

22