i. pendahuluan a. latar belakang/pengaruh...daging merupakan sumber protein ... selama ini kebutuhan...
TRANSCRIPT
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seiring dengan meningkatnya pendapatan dan kesadaran masyarakat
Indonesia, maka pemenuhan gizi yang seimbang terutama bahan pangan
sumber protein hewani juga meningkat. Daging merupakan sumber protein
hewani yang cukup diminati masyarakat. Selama ini kebutuhan daging
terutama disuplai dari ternak besar, ternak kecil dan unggas, sedangkan untuk
aneka ternak termasuk kelinci peranannya belum optimal. Padahal kelinci
memiliki potensi sebagai ternak penghasil daging.
Dalam peternakan kelinci dibutuhkan manajemen yang baik dalam
pemeliharaan agar didapatkan produksi yang optimal. Pakan baik kuantitas
maupun kualitasnya merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap
produktivitas ternak kelinci. Produktivitas ternak yang tinggi dapat dicapai
apabila kuantitas dan kualitas nutrien terpenuhi. Pada umumnya untuk
mendapatkan pakan dengan kandungan nutrien yang baik harganya mahal.
Apalagi yang penggunaannya berkompetisi dengan ternak lain seperti non
ruminansia dan atau unggas. Pakan hijauan yang biasa digunakan adalah
rumput lapang, daun kangkung, daun lamtoro, daun turi, jerami kacang tanah
dan sebagainya. Jerami kacang tanah (rendeng) sering digunakan sebagai
komponen hijauan dalam ransum kelinci, tetapi ketersediannya tidak kontinyu
sepanjang tahun. Oleh karena itu diperlukan upaya mencari bahan pakan
pengganti hijauan tersebut yang ketersediaannya dapat kontinyu sepanjang
tahun dan memiliki nutrien yang dapat dimanfaatkan oleh kelinci. Salah satu
bahan pakan tersebut adalah daun pisang.
Daun pisang jumlahnya melimpah dan relatif tersedia sepanjang tahun,
serta mempunyai kandungan nutrien yang dapat dimanfaatkan oleh ternak.
Komposisi kimia daun pisang antara lain energi (TDN) 73,5 %, protein kasar
16,6 % dan serat kasar 23,0 % (Siregar, 2003), energi (DE) sebesar 2240 kkal/
kg (Widayati dan Widalestari, 1996 cit. Irawan, 2009).
2
Penggunaan daun pisang sebagai pakan ternak memiliki kendala yakni
cepat busuk ataupun kering sehingga perlu dilakukan pengawetan untuk dapat
meningkatkan daya simpan dan mempertahankan kandungan nutriennya.
Salah satu cara pengawetan hijauan (dalam bentuk segar) adalah dengan
pembuatan silase. Silase merupakan proses fermentasi pada suatu tempat yang
kedap udara dan dalam kondisi anaerob (Mc Donald, 1991). Prinsip
pembuatan silase adalah mempercepat terjadinya keadaan anaerob (hampa
udara) dan suasana asam di dalam silo. Dalam keadaan anaerob dan suasana
asam, bakteri pembusuk, dan jamur berhenti bekerja sehingga bahan pakan
yang dibuat silase dapat tahan lama (Soegiri et al., 1981). Proses pembuatan
silase ini disebut ensilase.
Berdasarkan hal di atas, penulis tertarik untuk meneliti pengaruh
substitusi jerami kacang tanah (rendeng) dengan silase daun pisang (Musa
paradisiaca) dalam ransum terhadap performan kelinci New Zealand White
jantan.
B. Rumusan Masalah
Ternak kelinci mempunyai potensi yang baik untuk dikembangkan
sebagai ternak penghasil daging. Daging kelinci mempunyai kandungan
protein yang tinggi dengan kadar lemak dan kolesterol rendah serta
mempunyai bentuk dan warna yang menyerupai daging ayam, sehingga
banyak disukai oleh masyarakat umum.
Pakan merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap
produktivitas ternak kelinci. Untuk mendapatkan pakan dengan kandungan
nutrien yang baik harganya sangat mahal. Maka diperlukan manajemen
pemeliharaan untuk meningkatkan produktivitas ternak tanpa harus
mengeluarkan biaya yang tinggi untuk pakan. Jerami kacang tanah (rendeng)
sering digunakan sebagai komponen hijauan dalam ransum kelinci, tetapi
ketersediannya yang tidak kontinyu sepanjang tahun, sehingga diupayakan
bahan pakan pengganti hijauan tersebut yang salah satu diantaranya adalah
daun pisang.
3
Daun pisang menjadi pakan alternatif bagi ternak kelinci karena
ketersediaannya melimpah dan mengandung nutrien yang dapat dimanfaatkan
ternak. Akan tetapi daun pisang cepat busuk apabila tidak dilakukan suatu
pengolahan, oleh karena itu diperlukan pengolahan dengan membuat silase.
Ensilase merupakan proses fermentasi pada suatu tempat yang anaerob.
Ensilase dapat meningkatkan kualitas pakan dan palatabilitas serta konsumsi
pakan sehingga dapat meningkatkan performan.
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan
penelitian tentang pengaruh subtitusi silase daun pisang terhadap performan
kelinci New Zealand White jantan.
C. Tujuan Penelitian
Mengetahui pengaruh substitusi jerami kacang tanah dengan silase daun
pisang (Musa paradisiaca) dalam ransum terhadap performan kelinci New
Zealand White jantan.
4
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Kelinci New Zealand White
Menurut Kartadisastra (1994), taksonomi kelinci adalah sebagai
berikut :
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Sub phylum : Vertebrata
Classis : Mammalia
Ordo : Lagomorpha
Familia : Leporidae
Sub familia : Leporinae
Species : Lepus spp, Oryctolagus spp
Kelinci New Zealand berasal dari Australia. Umumnya berwarna putih,
tapi ada juga yang berwarna merah atau hitam. Matanya berwarna merah
muda, bulunya padat, cepat dewasa, dan anak cepat disapih. Termasuk tipe
kelinci pedaging dengan puncak produksi sekitar 3 tahun (Whendrato dan
Madyana, 1983). Jenis kelinci New Zealand, terdiri dari New Zealand White,
Red dan Black. New Zealand White paling banyak dipelihara karena terkenal
sebagai penghasil daging yang baik, dan pertumbuhannya relatif cepat. Kelinci
New Zealand White termasuk tipe sedang karena mempunyai berat 4,5-5,5 kg
(Kartadisastra, 1994).
Menurut Sarwono (2002) keunggulan kelinci New Zealand White
adalah pertumbuhannya yang cepat sehingga baik untuk diternakkan sebagai
penghasil daging komersial dan kelinci percobaan di laboratorium. Jumlah
anak yang dilahirkan rata-rata 24 ekor per tahun. Kelinci memilki kemampuan
lebih tinggi sebagai penghasil daging dibandingkan sapi/ kambing, karena
sifatnya yang prolifik atau beranak banyak. Sarwono (2002) menyatakan
bahwa kelinci dapat melahirkan 4 - 5 kali dalam waktu 1 tahun, dimana lama
buntingnya selama 1 bulan dan 2 bulan waktu untuk mengasuh anak-anaknya
5
Kandungan protein kelinci, ayam, sapi, domba, dan babi berturut-turut
yaitu 20,8 %; 20 %; 16,3 %; 15,7 %; dan 11,9 % serta kandungan lemaknya
berturut-turut yaitu 10,2 %; 11 %; 22 %; 22,7 %; dan 40 % (Sarwono, 2002).
Manfaat yang dapat diambil dari kelinci New Zealand adalah rasio
daging dan tulang yang baik, daya asuhnya tinggi, daging, dan bulunya, serta
manfaat lain yaitu kulit kelinci (dapat dibuat bahan kerajinan) dan kotoran
kelinci yang dapat dipakai untuk pupuk ( Kartadisastra, 1994).
B. Pakan Kelinci
Keberhasilan suatu usaha ternak ditentukan oleh beberapa faktor,
diantaranya genetik, pakan dan manajemen pemeliharaan. Terpenuhinya
kebutuhan pakan, secara kualitas maupun kuantitas akan menentukan
penampilan produksi ternak (Ichwan, 2003).
Williamson dan Payne (1993), menyatakan bahwa secara garis besar
pakan ternak dapat dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu, hijauan dan
konsentrat. Hijauan ditandai dengan kandungan serat kasar yang relatif banyak
pada bahan keringnya. Secara umum konsentrat mengandung serat kasar lebih
sedikit daripada hijauan yang mengandung karbohidrat, protein dan lemak
yang relatif banyak tetapi jumlahnya bervariasi dengan jumlah air yang relatif
sedikit.
Pemberian pakan secara ekonomis dan teknis memenuhi persyaratan
dilandasi beberapa kebutuhan, diantaranya adalah kebutuhan hidup pokok,
pertumbuhan, dan reproduksi. Kebutuhan hidup pokok, yaitu kebutuhan pakan
yang mutlak dibutuhkan dalam jumlah minimal, walaupun ternak dalam
keadaan hidup tetapi tidak mengalami pertumbuhan, dan atau penurunan
bobot badan. Kebutuhan untuk pertumbuhan, yaitu kebutuhan pakan yang
diperlukan ternak untuk memproduksi jaringan tubuh, dan menambah berat
tubuh. Kebutuhan untuk reproduksi, yaitu kebutuhan pakan yang diperlukan
ternak untuk proses reproduksi (Murtidjo, 2003).
Menurut Sarwono (2002) seperti halnya ternak ruminansia, kelinci
membutuhkan karbohidrat, lemak, protein, mineral, vitamin, dan air. Jumlah
6
kebutuhannya tergantung pada umur, tujuan produksi, serta laju atau kecepatan
pertumbuhannya. Menurut Kartadisastra (1994) kebutuhan energi (DE,
Digestible Energy) kelinci masa pertumbuhan berkisar antara 2600-2900 kkal/
kg. Menurut Whendrato dan Madyana (1983) bahwa ransum yang dibutuhkan
mengandung protein kasar (PK) berkisar antara 12-16 %, lemak kasar (LK) 2-4
%, dan serat kasar (SK) 10-20 %.
1. Hijauan
Hijauan segar adalah semua bahan pakan yang diberikan pada ternak
dalam bentuk segar, baik yang dipotong terlebih dahulu maupun tidak.
Hijauan segar pada umumnya segar terdiri atas daun-daunan yang berasal dari
rumput-rumputan, tanaman biji-bijian atau sejenis legume. Hijauan banyak
mengandung karbohidrat dalam bentuk gula sederhana, pati, fruktosan yang
sangat berperan dalam menghasilkan energi. Rumput-rumputan mengandung
karbohidrat lebih tinggi dari pada legume (terutama kandungan selulosanya)
sedangkan legume mengandung lebih banyak pektin daripada rumput.
Meskipun demikian dalam hal kandungan protein dan mineral (terutama Ca,
Mg, S dan Cu) legum mempunyai potensi lebih tinggi daripada rumput-
rumputan (Kartadisastra, 1997).
Hijauan adalah semua bahan pakan yang berasal dari tanaman dalam
bentuk daun-daunan. Termasuk kelompok pakan hijauan adalah bangsa
rumput (graminae), legume, dan tumbuh-tumbuhan lain. Semuanya bisa
diberikan dalam dua bentuk, yaitu hijauan segar atau kering. Hijauan segar
adalah hijauan yang diberikan dalam keadaan masih segar, ataupun berupa
silase sedangkan hijauan kering berupa hay (hijauan yang sengaja
dikeringkan) atau jerami kering (sisa hasil ikutan pertanian yang
dikeringkan (AAK, 1983).
Hijauan dihasilkan dari tanaman tahunan, dari rumput-rumputan dan
tanaman yang dipanen, sebagai hasil sampingan dari tanaman lain seperti
buah-buahan, kacang-kacangan, minyak palm dan karet. Jerami atau
tangkai tanaman yang kering dari tanaman kacang-kacangan
7
(Leguminoceae) memiliki nilai gizi lebih tinggi daripada jerami lainnya
(Williamson dan Payne, 1993).
Bahan pakan hijauan berfungsi sebagai pengenyang (bulky), sumber
mineral, karbohidrat, vitamin-vitamin dan protein, terutama yang berasal
dari kacang-kacangan (Anonimus, 2009). Menurut (Hartadi et al., 1990)
jerami kacang tanah mempunyai 35 % kandungan bahan kering (BK); 15,1
% PK; 22,7 % SK; 65 % TDN; 1,51 % Ca dan 0,20 % P. Menurut Huitema
(1982) bahwa tanaman kacang-kacangan yang sangat penting adalah,
kacang tanah (Arachis hypogeae). Sekitar 250.000 ha setiap tahun di Jawa
ditanami tanaman tersebut. Daun kacang tanah baik dalam bentuk segar
maupun sebagai hijauan kering, dapat melengkapi dengan baik sejumlah
pakan ternak berkualitas rendah.
Menurut Cahyono (2007) sistematika tanaman kacang tanah adalah
sebagai berikut :
Divisio : Spermatophyta
Sub divisio : Angiospermae
Classis : Dicotyledoneae
Ordo : Rosales
Familia : Leguminoceae
Sub familia : Papillonoideae
Genus : Arachis
Species : Arachis hypogeae L.
2. Konsentrat
Munurut Tillman et al., (1991) bahwa konsentrat adalah bahan pakan
ternak yang mengandung SK<18 persen banyak mengandung BETN
(karbohidrat yang mudah dicerna), termasuk golongan biji-bijian dan sisa hasil
penggilingan, umbi-umbian dan bahan berasal dari hewan.
Konsentrat adalah suatu bahan pakan yang dipergunakan bersama
bahan pakan lain untuk meningkatkan keserasian gizi dari seluruh pakan yang
dimaksudkan untuk disatukan dan dicampur sebagai suplemen (pelengkap)
8
atau pakan lengkap (Hartadi et al., 1990). Sedang menurut Sugeng (2003)
fungsi pakan penguat ini adalah meningkatkan dan memperkaya nilai gizi
pada bahan pakan lain yang nilai gizinya rendah. Sehingga ternak yang
sedang tumbuh ataupun yang sedang dalam periode penggemukan harus diberi
pakan penguat yang cukup.
Menurut Rasyaf (2001) bahan pakan konsentrat dibagi menjadi dua
jenis, yaitu bahan pakan konsentrat sumber energi dan bahan pakan konsentrat
sumber protein. Bahan pakan konsentrat sumber energi yang kaya karbohidrat
dan protein diantaranya adalah jagung kuning, sorghum, bekatul dan dedak
gandum. Bahan pakan konsentrat yang berasal dari bahan pakan nabati
umumnya mengandung serat kasar yang tinggi, sedangkan bahan pakan
konsentrat sumber protein diantaranya adalah bungkil kedelai, bungkil kacang
tanah, tepung darah, dan tepung ikan.
Teknik pemberian konsentrat dalam meransum ternak disarankan tidak
bersamaan dengan hijauan karena pakan ini mempunyai daya cerna dan
kandungan nutrisi yang berbeda dengan hijauan. Apabila diberikan bersama-
sama maka efektivitas nutrisinya akan kurang (Mulyono, 1998).
C. Silase Daun Pisang
Taksonomi tanaman pisang adalah sebagai berikut :
Filum : Angiospermae
Klas : Monocotyledoneae
Ordo : Scitamineae
Familia : Musaceae
Genus : Musa
Species : Musa paradisiaca (Anonimus, 2010).
Menurut Ginting (2005) yang disitasi oleh Irawan (2009), potensi
pakan asal tanaman pisang secara Nasional mencapai 800.000 ton/ tahun.
Beberapa daerah penting penghasil pisang antara lain yang terbesar adalah
Jawa Barat dan Jawa Timur (> 10.000 ha), Jawa Tengah, Lampung, Nusa
Tenggara Barat, Sulawesi Selatan dan Banten (4.000-8.000 ha), serta
9
Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Bali, Nusa Tenggara Timur dan
Kalimantan Selatan (1.300-2.600 ha).
Menurut pendapat McDonald (1991) silase merupakan hasil
pengawetan bahan pakan. Daun pisang yang dibuat silase akan
memperpanjang masa simpan. Proses pembuatan silase disebut ensilase, yang
dapat menurunkan pH secara cepat agar mikroorganisme lain selain
pembentuk laktat tidak tumbuh, sehingga menurunkan degradasi substrat,
dimana energi pakan dapat lebih tersedia untuk ternak. Ensilase dapat
dilakukan kapan saja tanpa terpengaruh musim. Bahan pakan yang mengalami
proses ensilase akan mampu bertahan hingga berbulan-bulan. Daun pisang
dalam jumlah besar dapat disimpan untuk persediaan pakan. Menurut
Parakkasi (1999) pengawetan bahan pakan akan menekan penurunan nilai
nutrien bahan pakan.
D. Konsumsi Pakan
Tingkat konsumsi (Voluntary Feed Intake) adalah jumlah pakan yang
terkonsumsi oleh ternak bila bahan pakan tersebut diberikan secara ad libitum
(Parakkasi, 1999). Banyaknya pakan yang dikonsumsi oleh kelinci tergantung
pada jenis kelinci, berat badan kelinci dan umur kelinci. Kelinci jenis sedang
memerlukan pakan lebih banyak dibandingkan jenis kecil, tetapi lebih sedikit
jika dibandingkan jenis besar (Whendrato dan Madyana, 1983).
Kemampuan ternak untuk mengkonsumsi pakan dipengaruhi oleh
bobot badan, umur, jenis kelamin, lingkungan, kesehatan, dan mutu pakan.
Ransum yang dikonsumsi oleh ternak harus dapat memenuhi kebutuhan hidup
pokok, pertumbuhan, dan produksi. Jika konsumsi energi yang berasal dari
pakan tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup pokok menyebabkan penurunan
bobot badan (Mugiyono dan Karmada, 1989).
Banyak ragam bahan pakan disukai oleh kelinci, antara lain limbah
pertanian dan sisa dapur. Jumlah pemberian pakan hijauan berkisar antara
0,5 – 2 kg ekor/ hari dan untuk pakan konsentrat diberikan sebanyak 4 - 7
persen dari berat hidup (Sumoprastowo, 1986).
10
Dari penelitian yang dilakukan Wicahyono (2010) diperoleh data
bahwa konsumsi pakan kelinci New Zealand White jantan dengan penggunaan
tepung kulit buah kakao (Theobroma cocoa, L) dalam ransum berkisar antara
82,24 – 97,98 gram/ ekor/ hari. Sedang penelitian yang dilakukan Bahri
(2010) dengan penggunaan tepung buah semu jambu mete (Anacardium
occidentale linn) dalam ransum berkisar antara 100,68 – 102,19 gram/ ekor/
hari.
E. Pertambahan Berat Badan
Definisi pertumbuhan yang paling sederhana adalah perubahan ukuran
yang meliputi perubahan berat hidup, bentuk dan komposisi tubuh, termasuk
perubahan komposisi kimia, terutama air, lemak, protein dan abu pada karkas.
Perubahan organ-organ dan jaringan berlangsung secara serentak hingga
tercapainya ukuran dan bentuk karakteristik masing-masing organ dan jaringan
tersebut (Soeparno, 1994). Menurut Anggorodi (1990) bahwa pertumbuhan
murni adalah suatu pertambahan jumlah protein dan zat-zat mineral yang
tertimbun dalam tubuh. Penambahan berat akibat penimbunan lemak atau
penimbunan air bukanlah pertumbuhan murni.
Menurut Tillman et al., (1991), pertumbuhan umumnya dinyatakan
dengan pengukuran kenaikan bobot badan yang dilakukan dengan
penimbangan berulang-ulang dan dinyatakan dalam pertambahan bobot badan
tiap hari, tiap minggu atau tiap satuan waktu lainnya. Menurut Mugiyono dan
Karmada (1989), pertumbuhan ternak biasanya dinyatakan dengan adanya
perubahan bobot hidup, perubahan tinggi atau panjang badan. Semakin tinggi
kenaikan bobot badan per hari makin baik pertumbuhannya. Untuk dapat
mencapai bobot badan optimal ditentukan oleh manajemen pada saat periode
pertumbuhan. Hal ini dipengaruhi oleh faktor genetis, lingkungan, manajemen
dan pemberian pakan. Jika bahan pakan yang diberikan dapat menyediakan
nutrien sesuai dengan imbangan dan kebutuhannya, maka pertumbuhannya
akan optimal. Menurut Anggorodi (1990), kekurangan nutrien memperlambat
11
pertumbuhan urat daging dan laju penimbunan lemak, sedangkan pakan yang
lengkap mempercepat terjadinya laju pertumbuhan.
Kelinci muda yang diberi pakan hijauan sampai umur empat bulan
bobot hidupnya hanya sekitar 1,5 kg, tetapi jika ditambah dengan bekatul atau
bijian lainnya, mencapai bobot badan rata-rata 4 kg untuk kelinci New
Zealand White, Californian, dan kelinci potong lainnya (Sarwono, 2002).
Dari penelitian yang dilakukan Wicahyono (2010) diperoleh data
bahwa pertambahan berat badan harian (PBBH) kelinci New Zealand White
jantan dengan penggunaan tepung kulit buah kakao (Theobroma cocoa, L)
dalam ransum berkisar antara 9,87 – 13,43 gram/ ekor/ hari. Sedang penelitian
yang dilakukan Bahri (2010) dengan penggunaan tepung buah semu jambu
mete (Anacardium occidentale linn) dalam ransum berkisar antara 15,83 –
18,51 gram/ ekor/ hari.
F. Konversi Pakan
Menurut Rasyaf (1994) konversi pakan merupakan pembagian antara
konsumsi pakan dengan berat badan yang dicapai pada waktu yang sama.
Konversi pakan digunakan sebagai pegangan berproduksi karena melibatkan
bobot badan dan konsumsi pakan. Menurut Kartadisastra (1994) konversi
pakan adalah imbangan antara berat pakan yang diberikan dengan berat badan
yang dihasilkan. Menurut Anggorodi (1990) bahwa konversi pakan
merupakan salah satu indikator untuk menggambarkan tingkat efisiensi
penggunaan ransum, semakin rendah angka konversi pakan berarti semakin
efisien penggunaan ransumnya.
Tingkat konsumsi dan temperatur lingkungan mempengaruhi efisiensi
penggunaan pakan secara langsung, sehingga mempengaruhi nilai konversi
pakan. Temperatur yang dibawah suhu normal, akan menghasilkan nilai
konversi pakan tinggi karena ternak lebih banyak mengkonsumsi pakan guna
mempertahankan temperatur tubuh. Sebaliknya, pada temperatur di atas suhu
normal akan menurunkan tingkat konsumsinya guna mempertahankan
temperatur tubuh pada kondisi normal. Keduanya akan menurunkan
12
produktivitas dan efisiensi penggunaan pakan, sehingga nilai konversi pakan
menjadi tinggi (Parakkasi, 1999).
Dari penelitian yang dilakukan Wicahyono (2010) diperoleh data
bahwa konversi pakan kelinci New Zealand White jantan dengan penggunaan
tepung kulit buah kakao (Theobroma cocoa, L) dalam ransum berkisar antara
7,44 – 8,42 %. Sedang penelitian yang dilakukan Bahri (2010) dengan
penggunaan tepung buah semu jambu mete (Anacardium occidentale linn)
dalam ransum berkisar antara 5,54 – 6,36 %.
G. Feed Cost per Gain
Biaya pakan merupakan komponen harga pakan dikalikan dengan
jumlah konsumsi pakan. Tinggi rendahnya biaya pakan tergantung pada harga
pakan dan efisien tidaknya penggunaan pakannya (Rasyaf, 1992). Menilai
pemberian dan kualitas pakan yang baik adalah dengan melihat pertambahan
berat badan (Rasyaf. 2001).
Feed cost per gain yang rendah didapatkan dengan pemilihan bahan
pakan yang semurah mungkin dan tersedia secara kontinyu atau dapat juga
menggunakan limbah pertanian yang tidak kompetitif. Feed cost per gain
dinilai baik apabila angka yang diperoleh serendah mungkin, yang berarti dari
segi ekonomi penggunaan pakan efisien (Basuki, 2002).
Dari penelitian yang dilakukan Wicahyono (2010) diperoleh data
bahwa Feed cost per gain kelinci New Zealand White jantan dengan
penggunaan tepung kulit buah kakao (Theobroma cocoa, L) dalam ransum
berkisar antara Rp. 10.252,57 – Rp. 13.276,44. Sedang penelitian yang
dilakukan Bahri (2010) dengan penggunaan tepung buah semu jambu mete
(Anacardium occidentale linn) dalam ransum berkisar antara Rp. 8.296,56 –
Rp. 11.684,61.
13
III. METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di BPBT Non Ruminansia, Satuan Kerja
Aneka Ternak, Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan, Provinsi Jawa
Tengah, di Balekambang, Surakarta. Penelitian dilaksanakan selama 8
minggu dari tanggal 2 Oktober hingga 27 Nopember 2009.
Analisis bahan pakan dan sisa pakan dilaksanakan di Laboratorium
Biologi Tanah Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta.
B. Bahan dan Alat Penelitian
Bahan dan alat penelitian yang digunakan dalam penelitian adalah
sebagai berikut :
1. Kelinci
Kelinci yang digunakan adalah kelinci jenis New Zealand White
jantan sebanyak 20 ekor dengan umur 2 bulan (lepas sapih) dan bobot
badan awal rata-rata 906,8 ± 59,35 gram per ekor.
2. Ransum
Ransum terdiri dari konsentrat dan hijauan dengan perbandingan
40 : 60 (% berdasarkan bahan kering). Susunan konsentrat (15 %
konsentrat layer CP 124, 50 % tepung jagung, dan 35 % bekatul ). Hijauan
yang digunakan sebanyak 60 % berupa jerami kacang tanah (rendeng) dan
silase daun pisang. Pakan yang diberikan untuk kelinci adalah 8 % dari
bobot badan (dalam BK), sedangkan untuk air minum diberikan secara ad
libitum.
Kebutuhan nutrien kelinci New Zealand White jantan, kandungan
nutrien bahan pakan penyusun ransum serta susunan dan kandungan
nutrien ransum percobaan dapat dilihat pada Tabel 1, Tabel 2 dan Tabel 3.
14
Tabel 1. Kebutuhan nutrien untuk kelinci New Zealand White jantan masa pertumbuhan.
Nutrien Kebutuhan
Digestible Energy/DE(kkal/ kg)1) Protein Kasar (%)2)
Lemak Kasar (%)2)
Serat kasar (%)2)
2600-2900 12-16 2-4
10-20 Sumber : 1) Kartadisastra (1994). 2) Whendrato dan Madyana (1983). Tabel 2. Kandungan nutrien bahan penyusun ransum perlakuan
Bahan Pakan BK (%)
DE )4 (Kkal/Kg)
PK SK LK Abu % dasar BK
Jerami Kacang Tanah 1)
Silase daun pisang1)
Jagung2)
Bekatul2)
Kons.ayam petelur CP1243)
46,03 30,76 86,00 86,00 86,00
2718,87 2736,05 3090,60 2979,06 2310,44
14,12 17,62 8,90 12,00 32,00
22,82 21,75 2,20 5,20 8,00
1,28 1,48 4,00 10,70 4,00
12,06 9,50 1,70 9,85 15,00
Sumber : 1) Hasil Analisis Lab. Biologi Tanah UNS (2009). 2) Hartadi (1990). 3) Label konsentrat ayam petelur PT Charoen Pokphand Indonesia. 4) TDN = 77,07 – 0,75(PK) – 0,07(SK)
DE (Kkal/ kg) = TDN x 44 (Hartadi, 1990).
Tabel 3. Susunan dan kandungan nutrien ransum perlakuan (% dasar BK)
Bahan Pakan Komposisi Ransum
P0 P1 P2 P3 Komposisi ransum : Rendeng Silase Daun Pisang Jagung Bekatul Konsentrat ayam petelur
60 0 20 14 6
45 15 20 14 6
30 30 20 14 6
15 45 20 14 6
Jumlah 100 100 100 100 Kandungan Nutrien : DE ( Kkal/ Kg ) Protein Kasar (PK) Serat Kasar (SK) Lemak Kasar (LK) Harga (Rp/ Kg BK)
2805,12 13,85 15,34 3,31
1022,17
2807,69 14,37 15,18 3,34
992,26
2810,28 14,90 15,03 3,37
962,35
2812,85 15,43 14,86 3,40
932,44
Sumber : Hasil perhitungan berdasarkan tabel 2
15
3. Kandang dan Peralatan
a. Kandang
Penelitian ini menggunakan kan dang battery berjumlah 20
buah dengan ukuran p x l x t = ( 0,5 x 0,5 x 0,5 ) m, dan setiap
kandang berisi 1 ekor kelinci. Bahan yang digunakan untuk membuat
kandang adalah bambu, kayu dan kawat kasa.
b. Peralatan
Peralatan kandang yang digunakan meliputi :
1) Tempat pakan dan minum yang dibuat dari tanah liat (lempung)
masing-masing 20 buah dan ditempatkan pada tiap kandang.
2) Thermometer ruang untuk mengukur suhu dalam ruangan.
3) Timbangan yang digunakan yaitu timbangan Kitchen Scale dengan
kapasitas 5 Kg dengan kepekaan 20 g untuk menimbang kelinci, pakan
dan sisa pakan.
4) Timbangan digital Idealife kapasitas 3 Kg dengan kepekaan 1 gr
untuk menimbang silase daun pisang dan konsentrat.
5) Perlengkapan lain meliputi sapu untuk membersihkan kandang, ember
untuk menyiapkan minum kelinci dan sabit untuk mencacah rendeng.
6) Alat-alat tulis untuk men catat dan peralatan lain.
C. Persiapan penelitian
1. Persiapan kandang
Kandang individual dengan ukuran p x l x t = ( 0.5 x 0,5 x 0,5 ) m
dilengkapi dengan tempat pakan dan minum, terlebih dahulu dibersihkan
baru dilakukan pengapuran pada dinding dan alas kandang. Kandang
disemprot menggunakan Antisep L100 dengan dosis 12,5 ml dalam 1 liter
air. Tempat pakan dan minum dicuci hingga bersih kemudian direndam
dalam antiseptik dengan merk dan dosis yang sama, lalu dikeringkan di
bawah sinar matahari dan setelah kering di masukkan dalam kandang.
16
2. Persiapan kelinci
Kelinci yang dipergunakan dalam penelitian ini dipilih berdasarkan
keseragaman bangsa, jenis kelamin, umur dan bobot badan. Kelinci NZW
jantan sebelum digunakan untuk penelitian diberi obat cacing Vermizyn
SBK (produksi Medion) dosis 32 mg/ kg bobot badan, yang diberikan
secara oral untuk menghilangkan parasit dalam saluran pencernaan.
3. Pembuatan silase daun pisang
Cara pembuatan silase daun pisang yaitu : Daun pisang segar
dipotong-potong dengan ukuran 3-5 cm. Pemotongan dilakukan agar
mudah dimasukan ke dalam silo (yang berupa kantong plastik) dan
mengurangi terperangkapnya udara di dalam silo serta memudahkan
pemadatan. Kemudian dilayukan di dalam ruangan yang tidak terkena
sinar matahari langsung sampai kadar airnya 50-65 %. Lalu taburkan
pollar dan aduk secara merata. Masukkan cacahan tersebut ke dalam silo
secara bertahap, lapis demi lapis. Menurut Mc Donald (1991) saat
memasukan bahan baku ke dalam silo secara bertahap, dilakukan
penekanan atau pengepresan untuk setiap lapisan. Kemudian silo ditutup
serapat mungkin agar tidak ada udara yang bisa masuk kedalam silo. Silo
diletakkan pada ruang yang tidak terkena matahari atau kena hujan secara
langsung, selama tiga minggu. Setelah tiga minggu maka silase dibuka dan
sudah siap di berikan untuk pakan ternak.
D. Pelaksanaan Penelitian
1. Metode Penelitian
Penelitian mengenai pengaruh substitusi jerami kacang tanah
(rendeng) dengan silase daun pisang dalam ransum terhadap performan
kelinci New Zealand White jantan ini merupakan penelitian secara
eksperimental.
2. Rancangan Percobaan
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola
searah dengan empat macam perlakuan. Setiap perlakuan terdiri dari lima
17
ulangan, dan setiap ulangan terdiri dari satu ekor kelinci. Pakan yang
diberikan adalah jerami kacang tanah (JKT) dan konsentrat CP 124 dengan
perbandingan 60 : 40 persen berdasarkan bahan kering. Perlakuan yang
diberikan adalah subtitusi jerami kacang tanah dengan silase daun pisang
(SDP), masing-masing adalah sebagai berikut :
P0 : Hijauan 60 % (JKT 100% + SDP 0%) + Konsentrat 40 %.
P1 : Hijauan 60% (JKT 75% + SDP 25%) + Konsentrat 40%.
P2 : Hijauan 60% (JKT 50% + SDP 50%) + Konsentrat 40%.
P3 : Hijauan 60% (JKT 25% + SDP 75%) + Konsentrat 40%.
3. Peubah Penelitian
Peubah penelitian yang diamati adalah sebagai berikut :
a. Konsumsi Pakan
Konsumsi pakan dihitung dengan cara mencari selisih antara pakan
yang diberikan dengan sisa pakan dan dikonversikan ke dalam gram/
ekor/ hari.
Konsumsi = (pakan pemberian x % BK pemberian)–(sisa x % BK sisa)
b. Pertambahan Bobot Badan Harian (PBBH)
Pertambahan bobot badan diperoleh dengan menghitung selisih
antara bobot akhir dengan bobot awal yang dinyatakan dalam g/ ekor/
hari.
PBBH = bobot badan akhir – bobot badan awal jumlah hari pemeliharaan
c. Konversi Pakan
Konversi pakan dapat dihitung dengan membagi jumlah konsumsi
pakan dengan pertambahan bobot badan.
Konversi Pakan = Konsumsi Pakan PBBH
d. Feed Cost Per Gain
Feed cost per gain diperoleh dengan menghitung jumlah biaya
pakan yang diperlukan untuk menghasilkan pertambahan berat badan.
Feed cost per gain dihitung berdasarkan biaya pakan saat penelitian
18
yang dikeluarkan setiap hari dibagi dengan rerata pertambahan berat
badan yang dihasilkan (Rp/kg).
4. Pengambilan Data
Pelaksanaan penelitian dibagi menjadi dua tahap yaitu pendahuluan
dan koleksi data. Tahap pendahuluan dilakukan selama 2 minggu untuk
adaptasi terhadap perlakuan pakan yang diberikan dan lingkungan
kandang. Tahap koleksi data dilakukan selama 6 minggu dengan
pemberian ransum sesuai dengan perlakuan dalam penelitian. Pada tahap
pengumpulan data dilakukan penimbangan bobot badan kelinci, yang
dilakukan setiap satu minggu sekali dan mencatat konsumsi pakan dan
menimbang pakan yang tersisa yang dilakukan pada pagi hari.
Pemberian pakan berupa konsentrat diberikan pada pukul 07.00
WIB dan 15.00 WIB dan pakan hijauan diberikan pada pukul 08.00 WIB
dan 16.00 WIB. Untuk pakan perlakuan yang berupa silase daun pisang
dengan mencampurkannya pada hijauan.
Konsentrat yang dipakai selama penelitian dibuat setiap satu
minggu sekali. Sampel hijauan dikeringkan di bawah sinar matahari dan
diambil sebanyak 10 %, kemudian dilakukan analisis proksimat untuk
mengetahui kandungan nutrient hijauan. Sedangkan untuk sampel sisa
pakan, setiap perlakuan diambil 10 % dari total sisa pakan kemudian
dikeringkan di bawah sinar matahari. Setelah kering sampel ditimbang,
kemudian dianalisis kandungan bahan keringnya.
E. Analisis Data
Data konsumsi pakan dan konversi pakan dianalisis dengan analisis
variansi berdasarkan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola searah serta data
pertambahan berat badan harian (PBBH) dianalisis dengan menggunakan
analisis kovariansi untuk mengetahui adanya pengaruh perlakuan terhadap
peubah yang diamati. Sedangkan untuk feed cost per gain dilaporkan secara
deskriptif. Menurut Yitnosumarto (1993) model matematika yang digunakan
sebagai berikut :
19
Y ij = µ + t I + ε ij
Y ij = Nilai pengamatan pada perlakuan ke-I ulangan ke-j
µ = Nilai tengah perlakuan ke-I
t I = Pengaruh perlakuan ke-I
ε ij = Kesalahan (galat) percobaan pada perlakuan ke-I ulangan ke-j.
20
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Konsumsi Pakan
Rerata konsumsi pakan kelinci New Zealand White jantan selama
penelitian disajikan pada Tabel 4 :
Tabel 4. Rerata konsumsi pakan kelinci New Zealand White jantan hasil penelitian (gram BK / ekor/ hari)
Perlakuan Ulangan Rerata 1 2 3 4 5
P0 82,26 86,06 86,85 83,52 84,55 84,65 P1 85,90 79,86 81,65 80,09 72,28 79,96 P2 80,71 82,52 78,58 90,24 82,30 82,87 P3 70,96 76,15 70,73 81,84 84,94 76,92
Rerata konsumsi pakan selama penelitian untuk perlakuan P0, P1, P2, dan
P3 berturut-turut adalah 84,65; 79,96; 82,87 dan 76,92 gram/ekor/hari. Hasil
analisis variansi menunjukkan bahwa konsumsi pakan kelinci New Zealand White
jantan hasil penelitian adalah berbeda tidak nyata (P>0,05). Hal ini berarti
substitusi jerami kacang tanah (rendeng) dengan silase daun pisang hingga taraf
75 % dari total hijauan dalam ransum (penggunaan 45 % dari total ransum) tidak
berpengaruh terhadap konsumsi pakan kelinci New Zealand White jantan.
Konsumsi pakan tidak dipengaruhi oleh penggunaan silase daun pisang
dalam ransum, karena silase daun pisang cukup disukai kelinci (palatabel).
Menurut Nuraini (1999) disitasi Nusanti (2009) palatabilitas merupakan faktor
penting yang mempengaruhi jumlah pakan yang dikonsumsi ternak. Daun pisang
yang dibuat silase mengalami proses ensilase, memiliki tekstur yang lembut dan
empuk, dan rasanya manis keasaman. Rasa sepet karena tannin telah hilang
selama proses ensilase.
Kandungan nutrien antara jerami kacang tanah dengan silase daun pisang,
yaitu kandungan energi (DE) hampir sama sehingga menyebabkan kelinci New
Zealand White jantan mengkonsumsi pakan dalam jumlah yang relatif sama.
21
Sesuai dengan pendapat Anggorodi 1990) yang menyatakan kandungan nutrien
pakan yang relatif sama menyebabkan tidak adanya perbedaan konsumsi pakan.
Dari penelitian yang dilakukan Irawan (2009), diperoleh data bahwa
konsumsi pakan kelinci lokal jantan dengan penggunaan daun pisang (Musa, sp)
dalam ransum berkisar antara 63,50 - 73,98 gram/ ekor/ hari sedangkan pada
penelitian ini lebih tinggi, berkisar antara 76,92 - 84,65 gram/ ekor/ hari. Hal ini
diduga karena jenis kelincinya berbeda serta bobot badan awal kelinci pada
penelitian Irawan (2009) lebih kecil daripada penelitian ini sehingga konsumsi
pakannya berbeda. Semakin besar bobot badan, semakin tinggi pula konsumsi
pakannya. Jenis kelinci pada penelitian Irawan (2009) yaitu kelinci lokal jantan
dengan bobot badan awal yaitu 717 ± 89 gram, sedangkan pada penelitian ini
menggunakan kelinci New Zealand White jantan dengan bobot badan awal
906,80 ± 59,35 gram.
B. Pertambahan Berat Badan Harian
Rerata pertambahan berat badan harian kelinci New Zealand White jantan
selama penelitian disajikan pada tabel 5.
Tabel 5. Rerata pertambahan berat badan harian kelinci New Zealand White jantan hasil penelitian (gram/ekor/hari)
Perlakuan
Ulangan Rerata 1 2 3 4 5
P0 10,05 14,67 10,21 12,74 14,31 12,40 P1 11,99 15,48 13,10 12,67 14,64 13,58 P2 9,88 12,81 13,45 11,64 12,17 11,99 P3 13,57 11,95 14,12 16,19 14,36 14,03
Rerata pertambahan berat badan harian selama penelitian untuk perlakuan
P0, P1, P2, dan P3 berturut-turut adalah 12,40; 13,58; 11,99 dan 14,03
gram/ekor/hari. Hasil analisis variansi menunjukkan bahwa pertambahan berat
badan harian (PBBH) kelinci New Zealand White jantan hasil penelitian adalah
berbeda tidak nyata (P>0,05). Hal ini berarti subtitusi jerami kacang tanah
(rendeng) dengan silase daun pisang hingga taraf 75 % dari total hijauan dalam
ransum (penggunaan 45 % dari total ransum) tidak berpengaruh terhadap
pertambahan berat badan harian kelinci New Zealand White jantan.
22
Perbedaan yang tidak nyata pada pertambahan bobot badan harian diduga
karena kandungan energi (DE) antara jerami kacang tanah dengan silase daun
pisang relatif sama, sehingga kandungan energi masing-masing ransum perlakuan
relatif sama juga. Pada P3 ada kecenderungan lebih tinggi PBBH nya diantara
perlakuan lain karena kandungan protein pada P3 lebih banyak dibandingkan
kandungan protein pada perlakuan lain. Menurut Soeparno (1994) bahwa jenis,
komposisi kimia dan konsumsi pakan mempunyai pengaruh yang besar terhadap
pertumbuhan. Konsumsi pakan dan kandungan nutrien ransum yang relatif sama
antar perlakuan akan menyebabkan kandungan energi dan protein yang masuk ke
dalam tubuh kelinci relatif sama sehingga pertumbuhan yang dihasilkan pada tiap
perlakuan juga relatif sama.
Hasil penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian Irawan
(2009) yang menggunakan pakan perlakuan berupa daun pisang (Musa, sp), yang
mendapatkan PBBH berkisar antara 6,24-6,91 gram/ ekor/ hari sedangkan pada
penelitian ini berkisar antara 11,99 - 14,03 gram/ ekor/ hari. Hal ini diduga karena
konsumsi pakan pada penelitian Irawan (2009) lebih rendah dibandingkan
penelitian ini, sehingga pertambahan berat badan harian (PBBH) yang dihasilkan
berbeda pula. Konsumsi pakan pada penelitian Irawan (2009) berkisar antara
63,50 - 73,98 gram/ ekor/ hari sedangkan pada penelitian ini berkisar antara 76,92
- 84,65 gram/ ekor/ hari.
C. Konversi Pakan
Rerata konversi pakan kelinci New Zealand White jantan selama penelitian
disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Rerata konversi pakan kelinci New Zealand White jantan hasil penelitian
Perlakuan
Ulangan Rerata 1 2 3 4 5
P0 8,18 5,87 8,50 6,56 5,91 7,00 P1 7,16 5,16 6,23 6,32 4,95 5,96 P2 8,27 6,44 5,84 7,75 6,76 7,01 P3 5,23 6,37 5,01 5,05 5,91 5,51
23
Rerata konversi pakan selama penelitian untuk perlakuan P0, P1, P2, dan
P3 berturut-turut adalah 7,00; 5,96; 7,01 dan 5,51. Hasil analisis variansi
menunjukkan bahwa konversi pakan kelinci New Zealand White jantan hasil
penelitian adalah berbeda tidak nyata (P>0,05). Hal ini berarti bahwa substitusi
jerami kacang tanah (rendeng) dengan silase daun pisang hingga taraf 75 % dari
total hijauan dalam ransum (penggunaan 45 % dari total ransum) tidak
memberikan pengaruh terhadap konversi pakan kelinci New Zealand White jantan.
Nilai konversi pakan yang berbeda tidak nyata disebabkan oleh konsumsi
pakan dan pertambahan berat badan yang juga berbeda tidak nyata. Menurut
Martawidjaja (1998) konversi pakan yaitu jumlah unit pakan berdasarkan bahan
kering yang dikonsumsi dibagi dengan unit pertambahan berat badan per satuan
waktu. Hal ini sesuai dengan pendapat Basuki (2002) bahwa konversi pakan
sangat dipengaruhi oleh konsumsi bahan kering dan pertambahan berat badan
harian ternak.
Nilai konversi pada penelitian ini lebih rendah dibandingkan dengan nilai
konversi pada penelitian Irawan (2009). Pada penelitian ini konversi pakan
berkisar antara 5,51 – 7,01 %, sedangkan pada penelitian Irawan (2009) berkisar
antara 10,70 - 11,19 %. Hal ini diduga karena pada penelitian Irawan (2009)
konsumsi pakan dan PBBH nya berbeda dengan penelitian ini sehingga
didapatkan konversi pakan yang berbeda pula. Konsumsi pakan pada penelitian
Irawan (2009) berkisar antara 63,50 - 73,98 gram/ ekor/ hari dan PBBH nya
berkisar antara 6,24-6,91 gram/ ekor/ hari.
D. Feed Cost per Gain
Rerata feed cost per gain kelinci New Zealand White jantan selama
penelitian disajikan pada tabel 7.
24
Tabel 7. Rerata feed cost per gain kelinci New Zealand White jantan (Rp/kg BB)
Perlakuan
Ulangan Rerata
1 2 3 4 5 P0 8.361,35 6.000,14 8.688,45 6.705,44 6.041,02 7.159,28
P1 7.104,58 5.120,06 6.181,78 6.271,08 4.911,69 5.917,84
P2 7.958,63 6.197,53 5.620,12 7.458,21 6.505,49 6.748,00 P3 4.876,66 5.939,64 4.671,52 4.708,82 5.510,72 5.141,47
Rerata feed cost per gain selama penelitian untuk masing-masing
perlakuan P0, P1, P2 dan P3 berturut-turut yaitu Rp 7.159,28; Rp 5.917,84; Rp.
6.748,00 dan Rp. 5.141,47 .
Feed cost per gain didapat dengan menghitung jumlah biaya pakan yang
diperlukan untuk menghasilkan setiap kenaikan satu kilogram bobot badan
(Wodzicka et al., 1993 cit. Nusanti, 2009). Feed cost per gain dinilai baik apabila
angka yang diperoleh rendah, berarti dari segi ekonomi penggunaan pakan efisien.
Pada tabel 7 dapat diketahui feed cost per gain pada perlakuan P3 terlihat
paling efisien dibandingkan dengan perlakuan lain. Hal ini disebabkan karena
nilai konversi pakan yang cenderung paling rendah, serta harga pakan (ransum)
juga paling rendah. Harga jerami kacang tanah Rp. 500,00/ kg sedang harga silase
daun pisang hanya Rp. 100,00/ kg. Untuk mengetahui pakan yang paling
ekonomis dalam menghasilkan daging, perhitungannya berdasarkan harga pakan
atas dasar bahan kering. Besarnya nilai feed cost per gain ini tergantung pada
harga pakan dan efisiensi dalam penggunaan pakan untuk diubah menjadi daging
(konversi pakan).
Konversi pakan yang rendah berarti penggunaan pakan efisien dan
ekonomis. Penggunaan pakan yang efisien dan ekonomis ditunjukkan dengan
angka feed cost per gain yang rendah. Rasyaf (1994) menyatakan semakin efisien
dalam mengubah pakan menjadi daging, semakin baik pula nilai income over feed
cost-nya.
Pada penelitian ini nilai feed cost per gain-nya lebih rendah dibandingkan
nilai feed cost per gain pada penelitian Irawan (2009). Pada penelitian ini feed
cost per gain bekisar antara Rp. 5.141,47 - Rp. 7.159,28 sedangkan pada penelitian
25
Irawan (2009) berkisar antara Rp. 14.320,96 - Rp. 21.924,21. Hal ini diduga
karena nilai konversi dan harga bahan pakan penyusun ransum pada penelitian
yang dilakukan oleh Irawan (2009) lebih tinggi dibandingkan penelitian ini.
Rerata konversi pakan pada penelitian Irawan (2009) berkisar antara 10,70 –
11,19 %, sedangkan harga bahan pakan penyusun ransumnya (dasar BK) masing-
masing perlakuan P0, P1, P2 dan P3 berturut-turut yaitu Rp. 2023,09/ kg; Rp.
1789,56/ kg; Rp. 1610,18/ kg; Rp. 1337,71/ kg.