i. pendahuluan 1.1 latar belakang - repository.ipb.ac.id i... · sektor tertentu saja yang secara...
TRANSCRIPT
1
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pembangunan dalam perspektif luas dapat dipandang sebagai suatu proses
multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur
sosial, sikap-sikap masyarakat dan institusi-institusi nasional, disamping
penanganan ketimpangan pendapatan dan pengentasan kemiskinan dengan tetap
mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi.
Pembangunan ekonomi merupakan salah satu bagian penting dari
pembangunan nasional dengan tujuan utama untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Pembangunan ekonomi memiliki berbagai acuan, salah satunya
adalah pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan
berkelanjutan merupakan kondisi utama dan suatu keharusan bagi kelangsungan
pembangunan ekonomi.1 Kuznets mendefinisikan pertumbuhan ekonomi sebagai
kenaikan kapasitas dalam jangka panjang suatu negara yang bersangkutan untuk
menyediakan barang-barang ekonomi kepada penduduknya.2
Pada awal pemerintahan orde baru para pembuat kebijakan dan perencana
pembangunan ekonomi di Indonesia lebih berorientasi kepada pertumbuhan
ekonomi yang tinggi. Pembangunan ekonomi yang awalnya terpusat di Jawa,
khususnya DKI Jakarta, diharapkan strategi pembangunan tersebut akan
menghasilkan apa yang dimaksud dengan trickle down effects atau efek menetes
ke bawah. Yaitu pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan menimbulkan tetesan ke
1 Tulus Tambunan, Perekonomian Indonesia:Beberapa masalah penting (Jakarta:Ghalia
Indonesia,2001), h. 39. 2 Michael P. Todaro dan Stephen C. Smith. Pembangunan Ekonomi Di Dunia Ketiga (Jakarta:
Erlangga,2006), h. 99.
2
bawah bagi masyarakat secara menyeluruh. Kesejahteraan dan pemerataan akan
tercapai dengan sendirinya serta berjalan beriringan mengikuti pertumbuhan
ekonomi yang ada.
Pembangunan pada saat itu juga hanya terpusatkan pada wilayah dan sektor-
sektor tertentu saja yang secara potensial memiliki kemampuan besar untuk
menghasilkan nilai tambah tinggi. Adanya strategi tersebut diharapkan
menghasilkan pembangunan yang mampu “menetes” ke sektor-sektor dan wilayah
Indonesia lainnya. Akan tetapi strategi tersebut ternyata kurang berhasil
menciptakan kesejahteraan dan pemerataan seperti yang diharapkan. Oleh karena
itu, sejak Pelita III strategi pembangunan mulai berubah agar tidak lagi hanya
berfokus pada pertumbuhan ekonomi, tetapi pada peningkatan pemerataan
pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Sampai terjadinya krisis ekonomi
Tahun 1997, sudah banyak dilasanakan program-program pemerintah yang
bertujuan untuk mengurangi jumlah orang miskin dan ketimpangan pendapatan
antar kelompok miskin dan kaya di tanah air.3
Berkaitan dengan masalah di atas, terdapat pertanyaan besar yang selama
pemerintahan orde baru hingga masa reformasi saat ini, walaupun pembangunan
ekonomi berjalan dengan baik dan Indonesia memiliki laju pertumbuhan yang
relatif tinggi, mengapa kesenjangan dalam distribusi pendapatan dan kemiskinan
tetap ada. Apakah Hipotesis Kuznets mengenai evolusi atau perubahan
kesenjangan pendapatan, dimana pada awal proses pembangunan, ketimpangan
pendapatan bertambah besar sebagai akibat dari proses urbanisasi dan
industrialisasi, namun setelah itu pada tingkat pembangunan yang lebih tinggi
3 Tulus Tambunan, op. cit., h. 82-83.
3
atau akhir dari proses pembangunan ketimpangan menurun, tidak berlaku untuk
kasus di Indonesia.
Salah satu cara untuk menganalisa tentang ketimpangan pendapatan adalah
indeks Gini. Indeks Gini merupakan salah satu ukuran yang digunakan untuk
mengukur ketimpangan pendapatan yang didasarkan pada kurva Lorenz. Nilai
indeks Gini berada pada selang 0 sampai dengan 1. Bila nilainya 0 maka
menunjukkan kemerataan yang sempurna dan jika nilainya 1 maka menunjukkan
ketidakmerataan yang sempurna. Artinya, satu orang (atau satu kelompok
pendapatan) di suatu negara menikmati semua pendapatan negara tersebut.4
Berdakan Tabel 1.1, nilai indeks Gini di Indonesia dalam lima tahun terahir
relatif cukup stabil. Pada tahun 2006 nilai indeks Gini adalah sebesar 0,36, tahun
2007 mengalami kenaikan menjadi 0,38, Tahun 2008 turun menjadi 0,37, dan di
Tahun 2009 dan 2010 masing-masing nilainya adalah 0,37 dan 0,38. Pada saat
yang sama Indonesia mencatat angka pertumbuhan yang mengesankan, kurang
lebih rata-rata 6 persen. Dari data di atas menunjukkan bahwa ketimpangan
distribusi pendapatan di Indonesia belum berkurang walaupun pertumbuhan
ekonomi relatif tinggi.
Berdasarkan Tabel 1.1, pada Tahun 2006, 40 persen masyarakat
berpengeluaran rendah memperoleh sebesar 21,42 persen dari total distribusi
pengeluaran nasional. Menurut ukuran yang digunakan Bank Dunia angka
tersebut menunjukkan kondisi relatif merata. Pada tahun 2007 menjadi 18,74
persen, tahun 2008 menjadi 18,72 persen, dan di tahun 2009 dan 2010 masing-
4 Ibid., h. 95
4
masing distribusinya sebesar 18,96 dan 18,05 persen yang cenderung
menunjukkan makin kurang merata.
Tabel 1.1. Distribusi Pembagian Pengeluaran per Kapita dan Indeks Gini,
2006-2010
Daerah Tahun 40%
Berpengeluar-
an Rendah
40%
Berpengeluar-
an Sedang
20%
Berpengeluar-
an Tinggi
Indeks
Gini
Kota 2006 19,79 36,90 43,33 0,35
2007 19,08 37,13 43,80 0,37
2008 18,55 37,00 44,45 0,37
2009 18,49 36,58 44,93 0,37
1010 17,57 36,99 45,44 0,38
Desa 2006 23,42 39,04 37,53 0,28
2007 22,00 37,94 40,05 0,30
2008 22,06 38,58 39,36 0,30
2009 22,45 38,45 39,10 0,29
1010 20,98 38,78 40,24 0,32
Desa+
Kota
2006 21,42 37,65 41,26 0,36
2007 18,74 36,51 44,75 0,38
2008 18,72 36,43 44,86 0,37
2009 18,96 36,13 44,91 0,37
1010 18,05 36,48 45,47 0,38
Sumber: Statistik Indonesia: Statistical Yearbook of Indonesia 2008.BPS. Hal 478
Statistik Indonesia: Staistical Yearbook of Indonesia 2011.BPS. Hal 469
Sedangkan 20 persen masyarakat berpengeluaran tinggi di Tahun 2006,
memperoleh 41,26 persen dari total distribusi pengeluaran nasional. Pada Tahun
2007 meningkat menjadi 44,75 persen, tahun 2008 kembali mengalami
peningkatan menjadi 44,86 persen, dan di tahun 2009 dan 2010 masing-masing
distribusinya sebesar 44,91 persen dan 45,47 persen. Jika dilihat dari data tersebut
5
distribusi untuk 20 persen masyarakat berpengeluaran tinggi cenderung
mengalami peningkatan.
Walaupun bukan merupakan indikator yang bagus, kesejahteraan di suatu
wilayah dapat juga dilihat dari Produk Domestik Regional Bruto atau PDRB per
kapita,5 laju pertumbuhan ekonomi, tingkat kemiskinan. Suatu wilayah yang
memiliki angka kemiskinan yang tinggi namun juga memiliki PDRB per kapita
dan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi pula menunjukkan gejala bahwa
wilayah tersebut memiliki indeks ketimpangan yang cenderung tinggi. Tingkat
kemiskinan di suatu wilayah dapat dilihat dari jumlah persentase penduduk miskin
di wilayah tersebut.
Dengan beragamnya karakteristik dan potensi yang dimiliki oleh setiap
provinsi di Indonesia maka nilai PDRB, PDRB per kapita, dan angka kemiskinan
cukup bervariatif antar provinsi seperti ditunjukkan oleh Tabel 1.2. Provinsi yang
memiliki nilai PDRB terbesar adalah DKI Jakarta yang merupakan ibu kota
negara sekaligus sebagai pusat perekonomian dan pemerintahan Indonesia,
sehingga nampak bahwa perekonomian cenderung terpusat di wilayah ini. Hal
tersebut menandakan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat secara rata-rata di
wilayah ini cukup tinggi, karena PDRB per kapita merupakan besaran yang
digunakan untuk mengukur kesejahteraan masyarakat di suatu wilayah, tanpa
melihat pendapatan antar golongan dalam masyarakat.
5 Maksudnya, indikator tersebut kurang dapat menunjukkan kondisi kesejahteraan yang
sebenarnya. Bisa saja tingkat pendapatan di suatu wilayah tinggi namun sebagian besar(misalnya 50%) dari pendapatan total dinikmati hanya sebagian kecil (misal 20%) dari penduduknya. Dengan kata lain, selain indikator ini harus dilihat bagaimana distribusi pendapatan di wilayah tersebut. Lihat Tulus Tambunan, Perekonomian Indonesia: Beberapa masalah penting, Jakarat:Ghalia Indonesia,2001, h.39.
6
Tabel 1.2. PDRB , PDRB Per Kapita, Laju Pertumbuhan Ekonomi, dan
Persentase Penduduk Miskin Menurut Provinsi di Indonesia,
2010
Provinsi 1 2 3 4
NAD 33.071,1 7.358,3 2,64 21,0
Sumatera Utara 118.640,9 9.138,7 6,35 11,3
Sumatera Barat 38.860,1 8.017,5 5,93 9,5
Riau 97.701,6 17.640,9 4,17 8,7
Jambi 17.465,2 5.648,0 7,33 8,3
Sumatera Selatan 63.735,9 8.554,7 5,43 15,5
Bengkulu 8.330,3 4.855,9 5,14 18,3
Lampung 38.305,2 5.034,6 5,75 18,9
Kep. Bangbel 10.866,8 8.883,2 5,85 6,5
Kep. Riau 41.083,2 24.466,5 7,21 8,1
DKI Jakarta 395.664,4 41.181,6 6,51 3,5
Jawa Barat 321.875,8 7.476,1 6,09 11,3
Jawa Tengah 186.995,4 5.774,6 5,84 16,6
DIY 21.042,2 6.086,5 4,87 16,8
Jawa Timur 342.280,7 9.133,1 6,68 15,3
Banten 88.393,7 7.177,0 5,94 7,2
Bali 28.880,6 7.133,9 5,83 4,9
Kalimantan Barat 30.292,3 6.890,9 5,35 9,0
Kalimantan Tengah 18.788,9 8.493,8 6,47 6,8
Kalimantan Selatan 30.674,1 8.458,1 5,58 5,2
Kalimantan Timur 110.57,8 31.121,7 4,95 7,7
Sulawesi Utara 18.371,2 8.090,9 7,12 9,1
Sulawesi Tengah 17.437,1 6.486,1 7,79 18,1
Sulawesi Selatan 51.197,0 6.371,9 8,18 11,6
Sulawesi Tenggara 12.226,3 5.218,2 8,19 17,1
Gorontalo 2.917,4 2.804,8 7,62 23,2
Sulawesi Barat 4.744,3 4.094,7 11,91 13,6
NTB 20.056,7 4.456,9 6,29 21,6
NTT 12.531,6 2.675,5 5,13 23,0
Maluku 4.251,3 2.772,3 6,47 17,7
Maluku Utara 3.035,1 2.768,1 7,96 9,4
Papua Barat 8.685,6 9.307,7 26,82 34,9
Papua 22.620,2 8.600,9 (2,65) 36,8
Indonesia 2.310.689,8 9.723,4 6,10 13,3 Sumber: Statistik Indonesia: Staistical Yearbook of Indonesia 2011.BPS.Hal 172,
558, 562, dan hal 564.
Keterangan:
1: PDRB ADHK 2000 (miliar rupiah) 3: Laju Pertumbuhan Ekonomi
2: PDRB Per Kapita (ribu rupiah) 4: Persentase Kemiskinan
7
Tabel 1.3. Jumlah Dana Simpanan Masyarakat per Provinsi (Rp 000), tahun
2008.
Provinsi Giro Tabungan Deposito Subtotal
NAD 7.259.531 6.036.217 5.000.677 18.296.425
Sumatera Utara 14.172.780 28.556.509 34.398.209 77.127.498
Sumatera Barat 3.823.352 6.270.497 4.040.365 14.134.214
Riau 11.111.516 12.870.351 7.738.126 31.719.993
Jambi 2.444.936 4.719.675 3.088.946 10.253.557
Sumatera Selat 5.311.963 11.156.291 10.073.584 26.541.838
Bengkulu 1.628.706 2.048.665 635.694 4.313.065
Lampung 2.143.227 6.498.216 5.027.459 13.668.902
Kep. Bangbel 2.361.119 3.384.293 1.790.783 7.536.195
Kep. Riau 5.583.102 5.546.692 3.556.590 14.686.384
DKI Jakarta 167.355.042 125.569.193 434.862.205 727.786.440
Jawa Barat 23.461.739 49.612.782 56.182.719 129.257.240
Jawa Tengah 10.602.944 36.419.377 32.808.822 79.831.143
DIY 2.515.570 8.293.985 6.073.816 16.883.371
Jawa Timur 28.336.825 57.121.604 70.309.728 155.768.157
Banten 6.534.400 13.153.274 13.025.309 32.712.983
Bali 5.783.679 12.425.928 9.107.437 27.317.044
Kal. Barat 3.673.965 8.044.610 4.833.105 16.551.680
Kal. Tengah 3.209.144 3.194.966 1.141.977 7.546.087
Kal. Selatan 4.304.509 7.578.511 3.354.327 15.237.347
Kal. Timur 11.664.486 14.598.200 11.360.109 37.622.795
Sulawesi Utara 1.272.577 3.854.309 2.853.617 7.980.503
Sulawesi Tengah 1.430.170 2.774.504 1.049.741 5.254.415
Sulawesi Selatan 4.486.995 13.343.965 8.135.207 25.966.167
Sulawesi Tengg 1.289.042 2.380.913 727.915 4.397.870
Gorontalo 203.067 923.567 576.570 1.703.204
Sulawesi Barat 485.616 801.744 67.789 1.355.149
NTB 1.337.029 3.504.828 1.179.148 6.021.005
NTT 2.407.249 3.576.483 1.724.908 7.708.640
Maluku 1.228.372 1.961.493 1.299.098 4.488.963
Maluku Utara 863.944 1.244.241 483.644 2.591.827
Papua Barat 1.802.344 1.797.330 847.044 4.446.718
Papua 6.021.707 4.965.088 3.940.950 14.927.745
Indonesia 346.110.647 464.228.301 741.295.618 1.551.634.566 Sumber: Bank Indonesia (2008) dalam Faisal Basri. Lanskap Ekonomi Indonesia.2009.
Hal 529
Selanjutnya indikator yang dapat menggambarkan proses pembangunan
ekonomi yang terpusat di Jawa, khususnya DKI Jakarta adalah kepemilikan dana
dan investasi. Semakin banyak perputaran uang di suatu wilayah dapat
menggambarkan potensi pembangunan di daerah tersebut. Dalam Tabel 1.3
8
menunjukkan jumlah dana simpanan masyarakat di semua provinsi di Indonesia.
Dari total Rp 1.551.634.566.000 dana simpanan masyarakat di perbankan
Indonesia di bulan September 2008, penguasaan semua provinsi di Pulau Jawa
sebesar 73,6 persen, sedangkan penguasaan di DKI Jakarta hampir setengah dari
total semua yaitu 46,9 persen. Dengan demikian dapat disimpulkan adanya
ketimpangan distribusi simpanan masyarakat antara DKI Jakarta dengan wilayah-
wilayah lain di Indonesia.
Perdagangan luar negeri merupakan salah satu aspek penting dalam
perekonomian setiap negara. Dewasa ini tidak ada satu negara pun dimuka bumi
yang tidak melakukan hubungan dengan pihak luar. Begitu juga dengan
Indonesia. Perdagangan luar negeri menjadi semakin penting, bukan saja dalam
kaitan dengan haluan pembangunan yang berorientasi ke luar, yakni membidik
masyarakat di negara-negara lain sebagai pasar hasil-hasil produksi dalam negeri,
tapi juga berkaitan dengan pengadaan barang-barang modal untuk memacu
industri dalam negeri.6
Data ekspor dan impor selama ini masih menunjukkan dominasi DKI
Jakarta sebagai pusat kegiatan perdagangan internasional. Seperti yang terlihat
pada nilai ekspor dan impor non-migas per provinsi pada Tabel 1.4. Dimana pada
tahun 2006 dan 2007 nilai ekpor non-migas DKI menempati urutan pertama yaitu
sebesar 29.034,40 dan 31.280,90 atau 36,48 dan 33,92 persen dari nilai total
ekspor nasional. Begitu juga dengan nilai impor non-migas DKI Jakarta pada
tahun yang sama senilai 25.442,90 dan 33.019,00 atau 60,43 dan 62,84 persen dari
nilai total impor non-migas nasional. Angka ekspor dan impor yang sedemikian
6 Dumairy. Perekonomian Indonesia (Jakarta: Erlangga,1996), h. 178.
9
tinggi di DKI Jakarta tidak menunjukkan kepemilikan. Sehingga terjadinya
ketimpangan data ekspor dan impor karena lokasi pelaksanaan ekspor dan
impornya saja. Namun hal tersebut mengidikasikan bahwa infrastuktur untuk
mendukung kegiatan ekspor dan impor tersedia hanya di wilayah-wilayah tertentu
saja.
Tabel 1.4. Ekspor dan Impor Non-Migas per Provinsi ( dalam juta US$)
No. Provinsi Ekspor Impor
2006 2007 2006 2007
1 DKI jakarta 29.034,40 31.280,90 25.422,90 33.019,00
2 Riau 10.242,40 13.259,20 1.158,30 1.470,00
3 Jawa Timur 9.301,90 11.617,90 6.864,30 9.003,10
4 Sumatera Utara 5.523,90 7.082,90 1.331,20 1.829,30
5 Kalimantan Timur 4.657,30 4.856,80 1.195,20 835,40
6 Papua 3.826,90 3.495,10 664,00 632,20
7 Jawa Tengah 2.899,30 3.122,50 1.033,00 1.504,80
8 Sulawesi Selatan 1.874,00 2.771,30 322,80 356,80
9 Kalimantan Selatan 2.361,20 2.749,50 812,90 227,20
10 Sumatera Selatan 1.883,00 2.293,90 282,60 162,90
11 Lampung 1.525,70 1.540,60 331,50 419,30
12 Sumatera Barat 1.074,10 1.512,80 36,80 95,90
13 NTB 1.219,50 1.068,00 278,50 225,50
14 Bangka Belitung 900,70 1.013,80 21,50 18,00
15 Kalimantan Barat 620,70 728,80 72,50 81,60
16 Jambi 574,50 694,40 162,40 178,00
17 Sulawesi Utara 191,10 514,60 45,90 19,90
18 Maluku Utara 197,40 493,30 1,70 4,10
19 Sulawesi Tenggara 350,70 413,90 45,90 0,00
20 Banten 528,50 388,70 1.873,30 2.148,70
21 Jawa barat 240,70 324,00 68,80 156,90
22 Bali 289,60 287,70 27,80 81,60
23 Sulawesi Tengah 202,00 207,20 9,30 0,00
24 Kalimantan Teng 179,20 165,00 27,10 42,70
25 Bengkulu 80,30 85,00 0,70 3,00
26 NAD 11,00 63,60 29,10 29,60
27 Maluku 49,50 25,90 14,00 7,40
28 Gorontalo 14,70 21,20 0,00 5,10
29 NTT 3,80 3,30 12,00 20,10
30 DI Yogyakarta 4,40 2,50 1,40 0,10
Non-Migas 79.589,10 92.012,30 42.102,60 52.540,60
Sumber: Departemen Perdagangan (2008) dalam Faisal Basri. Lanskap Ekonomi
Indonesia.2009. Hal 525-526
10
Permasalahan seperti pertumbuhan ekonomi regional yang tidak merata,
terpusatnya segala aktivitas ekonomi, bertambahnya rumah tangga miskin, dan
pengangguran yang semakin meningkat merupakan tantangan yang harus dihadapi
pemerintah Indonesia maupun masyarakat itu sendiri sebagai pelaku ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi yang kian membaik masih meninggalkan permasalahan
yang harus dihadapi. Salah satu realitas pertumbuhan ekonomi di DKI Jakarta
yang diakibatkan oleh adanya perbedaan laju pembangunan adalah terciptanya
disparitas/ketimpangan pembangunan DKI Jakarta dengan luar DKI Jakarta.
Berbagai penelitian dan kajian yang berdimensi regional, terutama
mengenai kualitas pembangunan regional dan distribusi sumber daya spasial, akan
selalu menjadi bahasan penting dan menarik di negara besar seperti Indonesia.
Terlebih setelah dipertegasnya pengakuan dan pelaksanaan pelimpahan otonomi
daerah dengan diberlakukannya Undang-Undang RI No. 22 dan 25 tahun 1999
yang disempurnakan dengan Undang-Undang RI No. 33 tahun 2000 tentang
perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang
mengunakan prinsip dasar yaitu fungsi pokok pelayanan publik dilaksanakan di
daerah, dengan dukungan pembiayaan pusat melalui penyerahan sumber-sumber
penerimaan kepada daerah. Undang-Undang No. 22/1999 tentang pemerintahan
daerah dan Undang-Undang No. 25/1999 tentang hubungan fiskal antar
pemerintah menjadi kerangka hukum untuk pengenalan desentralisasi fiskal di
Indonesia sedangkan Undang-Undang No. 32/2004 tentang pemerintah daerah
serta Undang-Undang No.33/2004 tentang desentralisasi fiskal kemudian
mengubah dan memperkuat desentralisasi fiskal.
11
Secara konsep, otonomi daerah dan desentralisasi fiskal bukanlah hal baru
di Indonesia. Kedua hal tersebut sudah diatur dalam Undang-Undang RI No.5
tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah. Namun selama
pemerintahan orde baru kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal belum
dilaksanakan secara konsisten. Pemerintah pusat kurang serius dalam
mendelegasikan wewenang ke daerah. Bahkan pemerintah daerah merupakan
hasil dari sistem yang sentralistik dari pemerintah pusat. Sehingga kebijakan
otonomi pada pemerintahan orde baru kurang berperan dalam mengurangi
kesenjangan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.7
Dengan adanya otonomi daerah dan desentralisasi diharapkan dapat
mempermudah pemerintah untuk mengetahui dan memahami kebutuhan
masyarakat. Dengan demikian, dalam pelaksanaan pembangunan (ekonomi) untuk
mencapai kesejahteraan masyarakat dan mengurangi kesenjangan menjadi tujuan
utama, dapat lebih cepat tercapai. Bagi daerah, otonomi daerah dan desentralisasi
ini dimaksudkan untuk menentukan berapa uang yang digunakan pemerintah
daerah dalam pemberian pelayanan kepada mayarakat sehingga memberi
kewenangan yang lebih kepada daerah tersebut dalam pengelolaan dan
pembangunan wilayahnya.
Belum memadainya perimbangan keuangan antara pusat dan daerah hanya
salah satu dari sekian banyak masalah dari otonomi daerah. Sejauh ini
pelaksanaan otonomi daerah masih menyisakan banyak persoalan yang harus
diatasi. Setidaknya ada beberapa masalah besar dan saling berkaitan dalam
pelaksanaan otonomi daerah. Antara lain semakin melebarnya ketimpangan
7 M. Ryaas Rasyid. Desentralisasi Fiskal dan Otonomi Daerah: Desentralisasi, Demokrasi dan
Akuntabilitas Pemerintahan Daerah. Syamsuddin Haris, editor.(LIPI Press,2005), h. 4-5.
12
tingkat kemajuan pembangunan, kesejahteraan, dan kemampuan keuangan antar
daerah. Selain itu masih minimnya kemampuan daerah dalam mengelola diri
sendiri juga merupakan masalah yang dihadapi beberapa daerah di Indonesia.
Politisasi (otonomi daerah), terutama dalam kasus pemekaran wilayah yang
cenderung berlebihan hanya menyebabkan pemborosan uang negara. Demikian
pula maraknya korupsi di daerah, memunculkan fenomena “desentralisasi
korupsi”.8
Selain beberapa permasalahan tersebut, otonomi daerah juga memberikan
beberapa tanda-tanda adanya pemerataan pembangunan. Saat ini mulai muncul
tanda-tanda bahwa berbagai daerah yang pada masa lalu sangat pasif saat ini
mulai aktif. Bahkan tanda-tanda peningkatan infrastuktur daerah sudah mulai
terlihat pada gelombang pertama otonomi daerah.
Tabel 1.5.Perkembangan Sekilas Infrastruktur Daerah Pasca-Otonomi
Daerah (dalam persen)
Pulau 1996 1999 2002
PLN¹ SD² Aspal³ PLN¹ SD² Aspal³ PLN¹ SD² Aspal³
Sumatera 38,69 85,54 53,83 48,93 86,37 53,31 53,41 87,53 58,58
Jawa & Bali 64,42 99,34 77,06 78,98 99,40 74,85 77,73 99,32 72,55
Kalimantan 44,80 90,41 29,91 52,08 93,75 30,60 56,57 92,24 32,40
Sulawesi 39,38 96,86 54,79 49,98 93,70 54,41 51,71 95,59 59,20
Maluku,
Papua, dan
Nusa
Tenggara
29,25 91,53 43,81 37,08 89,86 41,21 36,63 88,34 41,33
Sumber: Usman (2007) dalam Faisal Basri. Lanskap Ekonomi Indonesia.2009. Hal 523
Keterangan:
1) Jumlah rumah tangga pelanggan PLN dibagi jumlah rumah tangga;
8 Faisal Basri. Lanskap Ekonomi Indonesia: Kajian dan Renungan Terhadap Masalah-masalah
Struktural, Transformasi Baru, dan Prospek Perekonomian Indonesi (Jakarta:Pernada Media Grup, 2009), h. 484.
13
2) Jumlah SD dibagi jumlah desa; dan
3) Jumlah desa beraspal dibagi jumlah desa.
Pada Tabel 1.5 memperlihatkan, untuk infrastuktur trasportasi (jalan raya
beraspal) di Sumatera misalnya, pada tahun 1999 sekitar 53,31 persen jalan-jalan
di desa sudah beraspal. Angka ini lebih rendah daripada data di tahun 1996 yang
sudah mencapai 53,83 persen. Namun di tahun 2002 persentasenya meningkat
menjadi 58,58 persen. Peningkatan persentase jalan beraspal di pelosok perdesaan
pada periode 1999-2001 juga terjadi di Kalimantan, dari 30,6 menjadi 32,4
persen, Sulawesi dari 54,41 menjadi 59,20 persen. Adapun di Jawa dan Bali, pada
periode yang sama justru terjadi penurunan persentase jalan beraspal di perdesaan,
yakni dari 74,85 menjadi 72,55 persen.
Penurunan infrastruktur listrik (persentase rumah tanggga pelanggan PLN)
juga terjadi penurunan di Jawa dan Bali selama periode 1999-2002 (78,98 menjadi
77,73 persen). Hal serupa juga dialami oleh Maluku, Papua, dan Nusa Tenggara,
dari 37,08 menjadi 36,63 persen. Adapun daerah-daerah lainya (meliputi
mayoritas daerah) di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi mengalami kenaikan
persentase rumah tangga pelanggan PLN sehingga kondisi infrastruktur listrik di
daerah ini mengalami perbaikan. Peningkatan yang paling signifikan terjadi di
Sumatera (48,93 menjadi 53,41 persen), di susul Kalimantan (52,08 sampai 56,57
persen), lalu Sulawesi (49,98 menjadi 51,71 persen).
Selain perbaikan infrastuktur di daerah, pembangunan daerah juga ditopang
oleh lebih meratanya kepemilikan dan peredaran uang di seluruh Indonesia. Pada
Gambar 1.1, menunjukkan di tahun 1997, 86,6 persen dari seluruh simpanan
(deposito) milik masyarakat di Indonesia ada di Pulau Jawa. Namun di Jawa pun
sebenarnya tidaklah merata karena sebagian besar terpusat di DKI Jakarta, yaitu
14
sebesar 67,3 persen dan sisanya dibagi ke semua provinsi yang ada di Pulau Jawa.
Sumatera hanya sebesar 7,3 persen, dan yang paling menyedihkan seluruh
Indonesia bagian Timur hanya sebesar 6,2 persen. Kemudian tahun 2007, data
masyarakat di perbankan di Pulau Jawa turun menjadi 75,3 persen, walaupun DKI
Jakarta masih menguasai hampir setengah deposito masyarakat Indonesia.
Sumber: Bank Indonesia (2008) dalam Faisal Basri. Lanskap Ekonomi Indonesia.2009.
Hal 528
Gambar 1.1. Distribusi Regional Simpanan Masyarakat di Perbankan.
Perubahan yang lebih signifikan terjadi pada penyaluran simpanan
masyarakat itu oleh perbankan sebagai kredit. Pada Gambar 1.2, menunjukkan
bahwa penyaluran kredit ke Sumatera dan Kawasan Indonesia Timur selama
periode 1999-2007 masing-masing naik lebih dari dua kali lipat. Dalam kurun
waktu yang sama, DKI Jakarta yang semula menguasai dua pertiga (68,2 persen)
alokasi kredit perbankan nasional turun proporsinya menjadi sekitar sepertiganya
(36,2 persen) dari kredit perbankan nasional, meskipun angka ini masih
menunjukkan dominasi DKI Jakarta.
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
IndonesiaTimur
Jatim Jateng & DIY Jabar &Banten
Jakarta Sumatera
1997
2007
15
Lonjakan kredit tertinggi terjadi di Jawa Barat dan Banten yang mencapai
hampir tiga kali lipat. Namun provinsi lain di Jawa tengah, Jawa Timur, dan DIY
mengalami kenaikan kredit yang paling kecil. Secara keseluruhan pada tahun
2007, provinsi yang ada di Jawa masih menguasai 71,5 persen dari total kredit
perbankan nasional. Proporsi ini sebenarnya sudah berkurang dibanding pada
tahun 1997, sebelum otonomi daerah, ketika seluruh provinsi di Pulau Jawa
menunjukkan angka 86,6 persen dari total kredit perbankan nasional.
Sumber: Bank Indonesia (2008) dalam Faisal Basri. Lanskap Ekonomi Indonesia.2009.
Hal 528
Gambar 1.2. Distribusi Regional Penyaluran Kredit Perbankan
Pelaksanaan otonomi daerah sejauh ini memang banyak menimbulkan akses
negatif. Para pengusaha mengeluh karena banyak pungutan yang tidak memiliki
landasan yang kuat. Praktik korupsi yang hampir merata di seluruh daerah.
Sementara itu pelayanan publik justru cenderung memburuk dan pembangunan
infrastruktur dikesampingkan.
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
IndonesiaTimur
Jatim Jateng & DIY Jabar &Banten
Jakarta Sumatra
1997
2007
16
Meskipun demikian, banyaknya masalah dalam pelaksanaan otonomi daerah
tidak dapat digunakan sebagai pembenaran untuk menyimpulkan bahwa otonomi
harus diakhiri. Dari segi gagasannya, otonomi daerah tetap lebih baik dari pada
sentralisme dan karenanya tetap layak diteruskan dan diperjuangkan.
Bagaimanapun, secara ideal otonomi daerah dapat berfungsi sebagai jangkar
pengaman untuk menjamin terlaksananya penyelenggaraan kegiatan pemerintahan
yang efektif untuk meningkatkan kemakmuran rakyat secara keseluruhan.
Efektifitas pemerintahan antara lain diukur dari kemampuannya memenuhi
pelayanan masyarakat dan mendorong pendayagunaan seluruh potensi sumber
daya secara optimal bagi kesejahteraan masyarakat.9
Selain beberapa keterbatasan pada pelaksanaannya, otonomi daerah telah
menunjukkan hasil dan kemajuan yang cukup mengembirakan. Bahwa manfaat
selama ini masih kurang jika dibanding dengan mudaratnya, kembali lagi bahwa
otonomi daerah merupakan proses pembelajaran. Demi memperoleh pemahaman
yang fair dan berimbang, perlu dilakukan penelitian yang lebih lanjut untuk
melihat apa saja kemajuan dan manfaat yang selama ini sudah di capai dari
otonomi daerah. Dalam hal ini masalah ketimpangan menjadi pokok bahasan
dalam penelitian ini, mengingat salah satu indikator bahwa otonomi daerah
memberikan manfaat atau tidak, dapat diamati dari tingkat ketimpangan antar
wilayah. Mengingat ketimpangan antar wilayah membawa implikasi terhadap
tingkat kesejahteraan masyarakat antar wilayah.
9 Faisal Basri, op. cit., h. 519-534.
17
1.2 Perumusan Masalah
Salah satu penyebab ketimpangan antar wilayah adalah pola pengembangan
yang dilaksanakan pemerintah orde baru yang bersifat sentralistik. Sifat
pemerintahan yang sentralistik yang terjadi selama ini disamping telah
menyebabkan terpuruknya perekonomian nasional juga menimbulkan
ketimpangan pertumbuhan ekonomi antara DKI Jakarta dan luar DKI Jakarta.
Ketimpangan tersebut mengakibatkan semakin melebarnya kesenjangan antara
kaya dan miskin, ketimpangan antar wilayah dan ketimpangan antar sektor
ekonomi. Belum optimalnya pemanfaatan sumber daya alam, rendahnya akses
pasar baik pasar regional, nasional maupun internasional, kapasitas sumberdaya
manusia, kelembagaan yang belum mendukung, infrastruktur yang kurang
memadai, dan pembangunan ekonomi yang terfokus di kota-kota besar juga
menyebahkan gap antar wilayah tersebut.
Sedangkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi harus dimbangi oleh
pemerataan pendapatan antar daerah. Hal ini perlu dilakukan untuk mengurangi
ketimpangan yang dapat mengakibatkan masalah-masalah sosial, meskipun hal itu
bukan hanya disebabkan oleh faktor ekonomi, tetapi juga faktor-faktor lainnya
yang tidak dapat dipisahkan seperti kehidupan sosial, politik, kebudayaan dan
sejarah. Contoh yang dapat di lihat di Indonesia, dimana ketimpangan pendapatan
menyebabkan pula munculnya manifestasi ketidakpuasan rakyat, yang akhirnya
dapat menimbulkan konflik horizontal. Serta ketidakpuasan daerah, yang
memunculkan konflik vertikal.10
10
Tadjoeddin et al. Aspirasi Terhadap Ketidakmerataan: Disparitas Regional dan konflik Vertikal di Indonesia (UNSFIR,2001), h. 7-8.
18
Setelah diberlakukannya Undang-Undang No.22 Tahun 1999 tentang
Otonomi Daerah telah mengubah secara fundamental tata cara bernegara di
Indonesia. Kewenangan penuh pemerintah pusat hanya tersisa pada lima bidang
saja, yakni: pertahanan-keamanan, politik luar negeri, keuangan, agama, dan
kehakiman. Sisanya menjadi kewenangan penuh pemerintah daerah. Saat ini
salah satu masalah utama otonomi daerah adalah kian tajamnya kesenjangan
antara daerah-daerah itu sendiri. Belum lagi praktek korupsi yang hampir merata
di seluruh daerah. Meskipun demikian, banyaknya masalah tentunya tidak
seharusnya kita berkesimpulan bahwa otonomi daerah tidak memberi manfaat dan
kemajuan bagi bangsa kita.
Berkaitan dengan masalah di atas muncul pertanyaan mengenai pola
pertumbuhan ekonomi di DKI Jakarta yang merupakan pusat perekonomian di
Indonesia, serta daerah-daerah lain di luar DKI Jakarta di masa otonomi daerah
maupun sebelum otonomi daerah. Apakah di masa otonomi daerah sekarang ini
ketimpangan di DKI Jakarta maupun luar DKI Jakarta sudah berkurang dan
apakah ada hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan berlaku.
Pada masa otonomi daerah ini seharusnya pemerintah daerah berlomba
meningkatkan perekonomian daerah dan mengurangi ketimpangan. Sehingga
pertumbuhan ekonomi yang tinggi dapat diimbangi oleh pemerataan pendapatan
antar daerah.
Berdasarkan uraian tersebut, maka perumusan masalah yang akan dikaji
dalam penelitian ini adalah:
19
1. Bagaimana klasifikasi pertumbuhan ekonomi di DKI Jakarta dan luar DKI
Jakarta berdasarkan Klassen Typology sebelum dan setelah otonomi
daerah?
2. Bagaimana ketimpangan pendapatan di DKI Jakarta dan luar DKI Jakarta
sebelum dan setelah otonomi daerah?
3. Bagaimanakah trend ketimpangan di DKI Jakarta dan luar DKI Jakarta
sebelum dan setelah otonomi daerah?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah penelitian di atas, maka tujuan dari penelitian
ini adalah sebagai berikut:
1. Menganalisis klasifikasi pertumbuhan ekonomi di DKI Jakarta dan luar
DKI Jakarta berdasarkan Klassen Typology sebelum dan setelah otonomi
daerah.
2. Menganalisis ketimpangan pendapatan di DKI Jakarta dan luar DKI
Jakarta sebelum dan setelah otonomi daerah.
3. Menganalisis trend ketimpangan di DKI Jakarta dan luar DKI Jakarta
sebelum dan setelah otonomi daerah.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat yang ingin dicapai dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan bagi para akademisi, sebagai
proses pembelajaran bagi mahasiswa dalam meneliti
20
disparitas/ketimpangan antara DKI Jakarta dan luar DKI Jakarta dan
referensi bagi penelitian lebih lanjut dan mendalam.
2. Berguna untuk mengevaluasi kegiatan pembangunan dan sebagai
rekomendasi kebijakan bagi pemerintah dalam mengatasi masalah
disparitas/ketimpangan di Indonesia.