ii. tinjauan pustaka 2.1 ubi kayu - repository.ipb.ac.id · potensial untuk diolah dan dikembangkan...

14
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ubi Kayu Ubi kayu (Manihot utilissima pohl) berasal dari Benua Amerika dan Bangsa Portugis membawanya ke Afrika dan digunakan sebagai bahan makanan. Ubi kayu saat ini penyebarannya hampir keseluruh dunia dan berkembang di negara-negara yang terkenal wilayah pertaniannya. Ubi kayu ditanam secara komersial di wilayah Indonesia sekitar tahun 1810, setelah sebelumnya diperkenalkan orang Portugis pada abad ke-16 ke Nusantara dari Brasil. Klasifikasi tanaman ubi kayu adalah : Kingdom : Plantae atau tumbuh-tumbuhan Divisi : Spermatophyta atau tumbuhan berbiji Sub Divisi : Angiospermae atau berbiji tertutup Kelas : Dicotyledoneae atau biji berkeping dua Ordo : Euphorbiales Famili : Euphorbiaceae Genus : Manihot Spesies : Manihot utilissima Pohl ; Manihot esculenta Crantz sin. Ubi kayu termasuk tumbuhan berbatang pohon lunak atau mudah patah. Ubi kayu berbatang bulat dan bergerigi yang terjadi dari bekas pangkal tangkai daun, bagian tengahnya bergabus dan termasuk tumbuhan yang tinggi. Ubi kayu bisa mencapai ketinggian 1-4 meter. Ubi kayu mempunyai panjang fisik rata-rata bergaris tengah 2-3 cm dan panjang 50-80 cm, tergantung dari jenis ubi kayu yang ditanam. Daging umbinya berwarna putih atau kekuning-kuningan. Ubi kayu biasanya diperdagangkan dalam bentuk masih berkulit. Umbinya mempunyai kulit yang terdiri dari 2 lapis yaitu kulit luar dan kulit dalam. Daging umbi berwarna putih atau kuning. Di bagian tengah daging umbi terdapat suatu jaringan yang tersusun dari serat. Antara kulit dalam dan daging umbi terdapat lapisan kambium. Ubi kayu menghasilkan umbi setelah tanaman berumur 6 bulan. Setelah tanaman berumur 12 bulan dapat menghasilkan umbi basah sampai 30 ton per ha. Daun umbi

Upload: dangthu

Post on 19-Mar-2019

214 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ubi Kayu

Ubi kayu (Manihot utilissima pohl) berasal dari Benua Amerika dan Bangsa

Portugis membawanya ke Afrika dan digunakan sebagai bahan makanan. Ubi kayu saat

ini penyebarannya hampir keseluruh dunia dan berkembang di negara-negara yang

terkenal wilayah pertaniannya. Ubi kayu ditanam secara komersial di wilayah Indonesia

sekitar tahun 1810, setelah sebelumnya diperkenalkan orang Portugis pada abad ke-16 ke

Nusantara dari Brasil. Klasifikasi tanaman ubi kayu adalah :

Kingdom : Plantae atau tumbuh-tumbuhan

Divisi : Spermatophyta atau tumbuhan berbiji

Sub Divisi : Angiospermae atau berbiji tertutup

Kelas : Dicotyledoneae atau biji berkeping dua

Ordo : Euphorbiales

Famili : Euphorbiaceae

Genus : Manihot

Spesies : Manihot utilissima Pohl ; Manihot esculenta Crantz sin.

Ubi kayu termasuk tumbuhan berbatang pohon lunak atau mudah patah. Ubi

kayu berbatang bulat dan bergerigi yang terjadi dari bekas pangkal tangkai daun, bagian

tengahnya bergabus dan termasuk tumbuhan yang tinggi. Ubi kayu bisa mencapai

ketinggian 1-4 meter. Ubi kayu mempunyai panjang fisik rata-rata bergaris tengah 2-3

cm dan panjang 50-80 cm, tergantung dari jenis ubi kayu yang ditanam. Daging umbinya

berwarna putih atau kekuning-kuningan. Ubi kayu biasanya diperdagangkan dalam

bentuk masih berkulit. Umbinya mempunyai kulit yang terdiri dari 2 lapis yaitu kulit luar

dan kulit dalam. Daging umbi berwarna putih atau kuning. Di bagian tengah daging umbi

terdapat suatu jaringan yang tersusun dari serat. Antara kulit dalam dan daging umbi

terdapat lapisan kambium.

Ubi kayu menghasilkan umbi setelah tanaman berumur 6 bulan. Setelah tanaman

berumur 12 bulan dapat menghasilkan umbi basah sampai 30 ton per ha. Daun umbi

7

muda dari jenis yang beracun berguna untuk berbagai macam sayur. Daun yang kering

untuk makanan ternak. Batangnya dapat digunakan untuk kayu bakar dan kadang-kadang

untuk pagar hidup. Salah satu varietas tanaman ini mempunyai daun yang indah

warnanya yang dimanfaatkan sebagai tanaman hias (Syarief 1988).

Ubi kayu mengandung racun yang disebut asam sianida (HCN). Berdasarkan

kandungan asam sianidanya, ubi kayu dapat digolongkan menjadi empat yaitu (a)

golongan tidak beracun, mengandung HCN 50 mg per kg umbi segar yang telah diparut,

(b) beracun sedikit mengandung HCN antara 50 dan 80 mg per kg, (c) beracun,

mengandung HCN antara 80 dan 100 mg per kg dan (d) sangat beracun, mengandung

HCN lebih besar dari 100 mg per kg. Ubi kayu yang tidak beracun dikenal sebagai ubi

kayu manis sedangkan ubi kayu yang beracun disebut ubi kayu pahit.

Ubi kayu memiliki kelebihan sebagai bahan baku bioetanol yaitu dapat tumbuh di

tanah yang kurang subur, memiliki daya tahan yang tinggi terhadap penyakit, dan dapat

diatur waktu panennya. Potensi pengembangan produksi ubi kayu di Indonesia disajikan

pada Tabel 1.

Tabel 1. Perkembangan produksi ubi kayu Indonesia

Tahun Luas Areal (Ha) Produksi (Ton)

2000 1.284.040 16.089.020

2001 1.317.912 17.054.648

2002 1.276.533 16.912.901

2003 1.244.543 18.523.810

2004 1.255.805 19.424.707

2005 1.213.460 19.321.183

2006 1.227.459 19.986.640.

2007 1.201.481 19.988.058

2008 1.178.306 20.834.241

Sumber : Departemen Pertanian (2008)

Ubi kayu sebagai bahan baku energi alternatif hanya memiliki kadar karbohidrat

sekitar 32 – 35 % dan dengan kadar pati sekitar 83,8% setelah diproses menjadi tepung.

Sifat fisiko kimia ubi kayu dan tepung ubi kayu disajikan pada Tabel 2 berikut.

8

Tabel 2. Sifat fisiko kimia ubi kayu dan tepung ubi kayu

Jumlah (%) (b/b)Komponen

Ubi kayu(a) Ubi kayu(b)

Air 62 – 65 59,40

Karbohidrat 32 – 35 38,10*

Protein 0,7 – 2,6 0,70

Lemak 0,2 – 0,5 0,20

Serat 0,8 – 1,3 0,6

Abu 0,3 – 1,3 1,00Sumber : a. Kay (1979); b Balagopalan et al.(1988)Keterangan : *) Dihitung berdasarkan by difference

2.2 Polisakarida Dalam Ubi Kayu

Polisakarida yang menyusun ubi kayu terdiri dari pati, selulosa dan hemiselulosa.

Pati pada tumbuhan dipergunakan sebagai cadangan makanan yang dapat diuraikan

menjadi glukosa dan dikonversikan menjadi energi. Pada saat yang tepat, tubuh tanaman

akan mensintesa α-amilase, β-amilase dan R-enzim yang secara bersama-sama

dipergunakan untuk memutuskan ikatan-ikatan rantai pati menjadi molekul-molekul

glukosa bebas (Tjokroadikoesoemo 1986).

Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik. Pati terdiri dari

dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas yaitu fraksi amilosa dan amilopektin.

Fraksi amilosa sifatnya larut dalam air panas dan fraksi amilopektin bersifat tidak larut.

Amilosa mempunyai struktur lurus dengan ikatan α-(1,4)-D-glukosa, sedang amilopektin

mempunyai cabang dengan ikatan α-(1,6)-D-glukosa sebanyak 4 – 5 % dari berat total

(Winarno 1992). Hidrolisis amilosa menghasilkan maltosa, glukosa dan oligosakarida

lainnya. Pada amilopektin sebagian dari molekul-molekul glukosa di dalam rantai

percabangannya saling berikatan melalui gugus α-1,6. Ikatan α-1,6 sangat sukar

diputuskan, apalagi jika dihidrolisis menggunakan katalisator asam.

Selulosa merupakan polimer glukosa dengan rantai linier yang terdiri dari satuan

glukosa anhidrida yang saling berikatan melalui atom karbon pertama dan keempat.

Ikatan yang terbentuk disebut dengan ikatan β-1,4 glikosidik. Struktur linier

9

menyebabkan selulosa bersifat kristalin, tidak mudah larut dan tidak mudah didegradasi

secara kimia maupun mekanis. Rumus bangun selulosa disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2 Struktur selulosa

Selulosa bersama-sama dengan hemiselulosa, pektin dan protein berfungsi untuk

membentuk struktur jaringan dinding sel tanaman (Holtzapple 1993). Selulosa dapat

berasosiasi dengan lignin sehingga sering disebut lignoselulosa. Selulosa, hemiselulosa

dan lignin merupakan komponen utama penyusun tanaman yang dihasilkan melalui

proses fotosintesis. Komponen-komponen ini dapat diuraikan menjadi komponen-

komponen yang lebih sederhana oleh aktifitas mikroorganisme dan dipergunakan sebagai

sumber energi (Enari 1983).

2.3 Bioetanol

Bioetanol merupakan etanol atau kependekan dari etil alkohol (C2H5OH) atau

sering juga disebut dengan grain alcohol. Etanol berbentuk cairan tidak berwarna dan

mempunyai bau khas. Berat jenis pada suhu 15oC sebesar 0,7937 dan titik didihnya

78,32 oC pada tekanan 76 mmHg. Sifat lainnya adalah larut dalam air dan eter dan

mempunyai panas pembakaran 328 Kkal.

Etanol dapat diperoleh dari hasil proses fermentasi gula dengan menggunakan

bantuan mikroorganisme. Dalam industri, etanol digunakan sebagai bahan baku industri

turunan alkohol, campuran untuk miras, bahan dasar industri farmasi, dan campuran

bahan bakar untuk kendaraan. Etanol terbagi dalam tiga grade, yaitu grade industri

dengan kadar alkohol 90-94%, netral dengan kadar alkohol 96-99,5% umumnya

digunakan untuk minuman keras atau bahan baku farmasi dan grade bahan bakar dengan

kadar alkohol diatas 99,5% (Hambali et al. 2007).

10

Bioetanol dapat dipergunakan sebagai bahan bakar alternatif memiliki beberapa

keunggulan yaitu mampu menurunkan emisi CO2 hingga 18 %, bioetanol merupakan

bahan bakar yang tidak beracun dan cukup ramah lingkungan serta dihasilkan melalui

proses yang cukup sederhana yaitu melalui proses fermentasi menggunakan mikrobia

tertentu. Bioetanol sebagai bahan bakar memiliki nilai oktan lebih tinggi dari bensin

sehingga dapat menggantikan fungsi aditif seperti metil tertiary butyl ether (MTBE) yang

menghasilkan timbal (Pb) pada saat pembakaran. Di Indonesia, minyak bioethanol sangat

potensial untuk diolah dan dikembangkan karena bahan bakunya merupakan jenis

tanaman yang banyak tumbuh di negara ini dan sangat dikenal masyarakat. Tumbuhan

yang potensial untuk menghasilkan bioetanol adalah tanaman yang memiliki kadar

karbohidrat tinggi atau selulosa, seperti: tebu, nira, sorgum, ubi kayu, garut, ubi jalar,

sagu, jagung, jerami, bonggol jagung, dan kayu.

Tahap inti proses pembuatan bioetanol adalah fermentasi gula baik yang berupa

glukosa, fruktosa maupun sukrosa oleh yeast atau ragi terutama S. cerevisiae dan bakteri

Z. mobilis. Pada proses ini gula dikonversi menjadi etanol dan gas karbon dioksida.

Secara umum proses pembuatan bioetanol meliputi tiga tahapan, yaitu persiapan bahan

baku, fermentasi dan pemurnian. Pada tahap persiapan, bahan baku berupa padatan

terlebih dahulu harus dikonversi menjadi larutan gula sebelum difermentasi menjadi

etanol. Untuk bahan-bahan yang sudah berada dalam bentuk larutan seperti molase dapat

langsung difermentasi. Proses pengecilan ukuran dengan cara menggiling dapat

dilakukan sebelum memasuki tahap pemasakan.

Tahap pemasakan meliputi proses likuifikasi dan sakarifikasi. Pada tahap ini

tepung dikonversi menjadi gula melalui proses pemecahan menjadi gula kompleks. Pada

tahap likuifikasi dilakukan penambahan air dan enzim alpha amilase. Proses ini dilakukan

pada suhu 80-90oC. Berakhirnya proses likuifikasi ditandai dengan parameter cairan

seperti sup. Tahap sakarifikasi dilakukan pada suhu 50 – 60 oC. Enzim yang ditambahkan

pada tahap ini adalah enzim glukoamilase. Pada tahap sakarifikasi akan terjadi

pemecahan gula kompleks menjadi gula sederhana.

Tahap fermentasi merupakan tahap kedua dalam proses produksi bioetanol. Pada

tahap ini terjadi pemecahan gula-gula sederhana menjadi etanol dengan melibatkan enzim

dan ragi. Fermentasi dilakukan pada kisaran suhu 27 – 32 oC. Pada tahap ini akan

11

dihasilkan gas CO2 dengan perbandingan stokiometri yang sama dengan etanol yang

dihasilkan yaitu 1 : 1. Setelah melalui proses pemurnian, gas CO2 dapat digunakan

sebagai bahan baku gas dalam pembuatan minuman berkarbonat.

Fermentasi adalah suatu proses perubahan kimia pada substrat organik, baik

karbohidrat, protein, lemak atau lainnya, melalui kegiatan katalis biokimia yang dikenal

sebagai enzim dan dihasilkan oleh jenis mikroba spesifik (Prescott dan Dunn 1981).

Secara biokimia fermentasi juga dapat diartikan sebagai pembentukan energi melalui

senyawa organik. Secara sederhana proses fermentasi alkohol dari bahan baku yang

mengandung gula atau glukosa terlihat pada reaksi berikut:

Glukosa 2C2H5OH + 2CO2 + 2 ATP + 5 Kkal

Dari reaksi diatas, 70% energi bebas yang dihasilkan dibebaskan sebagai panas dan

secara teoritis 100% karbohidrat diubah menjadi 51,1% etanol dan 48,9 % menjadi CO2.

Fermentasi menurut jenis medianya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu

fermentasi media padat dan media cair. Fermentasi media padat adalah fermentasi yang

subtratnya tidak larut dan tidak mengandung air bebas, tetapi cukup mengandung air

untuk keperluan mikroba. Fermentasi media cair adalah proses fermentasi yang

subtratnya larut atau tersuspensi dalam media cair. Fermentasi media padat umumnya

berlangsung pada media dengan kadar air berkisar antara 60-80 %.

Dalam proses fermentasi, glukosa dapat diubah secara anaerobik menjadi alkohol

oleh bermacam-macam mikroorganisme. Khamir sering digunakan dalam proses

fermentasi etanol, seperti Saccharomyces cerevisiae, S. uvarum, Schizosaccharomyces sp

dan Kluyveromyces sp. Secara umum khamir dapat tumbuh dan memproduksi etanol

secara efisien pada pH 3,5-6,0 dan suhu 28-35oC. Laju awal produksi etanol dengan

menggunakan khamir akan meningkat pada suhu yang lebih tinggi, namun produktifitas

keseluruhan menurun karena adanya pengaruh peningkatan etanol yang dihasilkan.

(Ratledge 1991). Khamir yang sering dipergunakan dalam proses fermentasi etanol

adalah Saccharomyces cereviseae. Khamir ini bersifat fakultatif anaerobik, tumbuh baik

pada suhu 30oC dan pH 4,0 – 4,5 (Oura 1983).

Produksi etanol dari substrat gula oleh khamir Saccharomyces cereviseae

merupakan proses fermentasi dengan kinetika sangat sederhana karena hanya melibatkan

satu fasa pertumbuhan dan produksi. Pada fase tersebut glukosa diubah secara simultan

12

menjadi biomassa, etanol dan CO2. Terdapat dua parameter yang mengendalikan

pertumbuhan dan methabolisme khamir dalam keadaan anaeorobik, yaitu konsentrasi

gula dan etanol. Secara kinetik glukosa berperan ganda, pada konsentrasi rendah (kurang

dari 1 g/l) merupakan substrat pembatas, sedangkan pada konsentrasi tinggi (lebih dari

300 g/l) akan menjadi penghambat (Mangunwidjaja 1994). Pada permulaan proses

fermentasi, khamir memerlukan oksigen untuk pertumbuhannya. Setelah terjadi akumulsi

CO2 dan reaksi berubah menjadi anaerob, alkohol yang terbentuk akan menghalangi

proses fermentasi lebih lanjut setelah konsentrasi alkohol mencapai 13-15 persen volume

dan biasanya maksimum 13 persen volume (Prescott dan Dunn 1981). Selama proses

fermentasi juga menimbulkan panas, bila tidak dilakukan pendinginan, maka suhu akan

terus meningkat sehingga proses fermentasi terhambat (Oura 1983).

Faktor lingkungan seperti suhu, pH, kebutuhan nutrient dan kofaktor perlu

diperhatikan dalam kehidupan khamir. Sejumlah kecil oksigen harus disediakan pada

proses fermentasi oleh khamir karena oksigen merupakan komponen yang diperlukan

dalam biosintesis beberapa asam lemak tidak jenuh. Untuk kebutuhan oksigen dalam

proses fermentasi, biasanya diberikan tekanan oksigen 0,05 – 0,10 mm Hg. Jika

tekanan oksigen yang diberikan lebih besar dari nilai tersebut, maka konversi akan

cenderung kearah pertumbuhan sel. Kebutuhan relatif nutrien sebanding dengan

komponen utama sel khamir, yaitu mencakup karbon, oksigen, nitrogen dan hidrogen.

Pada jumlah lebih rendah, fosfor, sulfur, potasium dan magnesium juga harus tersedia

untuk sintesis komponen-komponen mineral. Beberapa mineral seperti Mn, Co, Cu dan

Zn serta faktor pertumbuhan organik seperti asam amino, asam nukleat dan vitamin

diperlukan dalam jumlah besar untuk pertumbuhan khamir.

2.4 Hidrolisis Asam

Konversi polisakarida menjadi monomer-monomer dapat dilakukan dengan

proses hidrolisis baik secara enzimatis maupun secara kimiawi. Hidrolisis secara

kimiawi biasanya menggunakan asam. Asam yang sering dipergunakan adalah asam

sulfat, asam klorida dan asam fosfat. Hidrolisis asam pada dasarnya ada 2 jenis, yaitu

hidrolisis pada suhu rendah dengan konsentrasi asam tinggi (concentrated-acid

hydrolisis) dan hidrolisis pada suhu tinggi dengan konsentrasi asam rendah (dilute-acid

13

hydrolisis) (Taherzadeh dan Keikhosro 2007). Pemilihan antara kedua metode kimiawi

ini didasarkan pada pertimbangan laju hidrolisis, tingkat degradasi, produk dan biaya

total produksi. Perbandingan keuntungan dan kelemahan antara concentrated-acid

hydrolisis dengan dilute-acid hydrolisis disajikan pada Tabel 3 berikut ini :

Tabel 3 Perbandingan keuntungan dan kelemahan antara concentrated-acid hydrolisisdengan dilute-acid hydrolisis

Metode hidrolisis Keuntungan KelemahanHidrolisis pada suhu rendahdengan konsentrasi asamtinggi

–Dioperasikan pada suhurendah

–Rendemen gula tinggi

– Konsentrasi asamtinggi

–Korosi peralatan–Energi tinggi untuk

pengambilan asam

Hidrolisis pada suhu tinggidengan konsentrasi asamrendah

–Konsentrasi asam rendah–Waktu tinggal singkat

–Suhu operasi tinggi–Yield gula rendah– Korosi peralatan

Sumber: Taherzadeh dan Keikhosro (2007).

Hidrolisis asam dengan konsentrasi rendah (dilute-acid) dilakukan dalam dua

tahap yaitu: pertama, tahap yang melibatkan asam encer untuk menghidrolisis gula dari

golongan pentosa umumnya yang terdapat fraksi hemiselulosa. Tahapan ini biasanya

menggunakan 1% H2SO4 pada suhu 80-120oC selama 30-240 menit. Tahap kedua

menggunakan asam dengan konsentrasi yang lebih tinggi untuk menghidrolisis gula yang

berasal dari golongan heksosa seperti selulosa menjadi glukosa, biasanya dilakukan

dengan konsentrasi asam 5-20 % H2SO4 dengan suhu mendekati 180 oC. Dengan

menggunakan hidolisis bertahap ini, maka kondisi optimum untuk memaksimalkan hasil

glukosa dan miminimumkan hasil samping yang tidak diinginkan (Purwadi 2006). Proses

pemisahan antara fraksi gula dengan fraksi asam dapat dilakukan dengan proses

pertukaran ion dan asam dapat dikonsentrasikan kembali dengan proses evaporasi

(Demirbas 2007).

Hidrolisis asam dengan konsentrasi rendah merupakan proses yang murah dan

cepat untuk memperoleh gula dari bahan lignoselulosa. Namun, proses ini akan

menghasilkan senyawa-senyawa penghambat yang bersifat toksik untuk mikroorganisme

pada proses fermentasi, termasuk yeast. Toksik ini dapat menurunkan hasil produktivitas

dan merusak pertumbuhan sel. Proses hidrolisis asam pada bahan lignoselulosik biasanya

14

akan menghasilkan glukosa, manosa, xilosa atau campuran senyawa-senyawa fenolik.

Selama proses hidrolisis asam gula pentosa akan menghasilkan furfural dan gula heksosa

menghasilkan 5-hidroksimetilfurfural (HMF) (Lopez et al.(2004).

Hidrolisis asam dengan konsentrasi rendah dapat dipergunakan sebagai langkah

perlakuan awal (pretreatment) untuk proses hidrolisis secara enzimatik. Perlakuan awal

hidrolisis enzimatik pada limbah lignoselulosik menggunakan H2SO4 0,1-1 % pada suhu

140-190 oC akan dapat melemahkan ikatan-ikatan selulosa. Pretreatment dapat dilakukan

selama 5 menit pada suhu 180 oC atau 30-90 menit pada suhu 120 oC (Taherzadeh dan

Karimi 2007)

2.5 Hidrolisis Enzim

Enzim adalah satu atau beberapa gugus polipeptida atau protein yang berfungsi

sebagai katalis dalam suatu reaksi kimia. Enzim bekerja dengan cara menempel pada

permukaan molekul zat-zat yang bereaksi sehingga dapat mempercepat proses reaksi.

Percepatan terjadi karena enzim menurunkan energi pengaktifan yang dengan sendirinya

akan mempermudah terjadinya reaksi. Enzim bekerja secara khas, yang artinya setiap

jenis enzim hanya dapat bekerja pada satu macam senyawa atau reaksi kimia. Hal ini

disebabkan perbedaan struktur kimia tiap enzim yang bersifat tetap. Sebagai contoh,

enzim α-amilase hanya dapat digunakan pada proses perombakan pati menjadi glukosa.

Hidrolisis pati dapat menggunakan enzim α-amilase dan glukoamilase. Enzim α-

amilase merupakan endo-enzim yang dapat memecah ikatan α-1,4 glikosidik secara acak

dibagian dalam molekul baik pada amilosa maupun pada amilopektinnya. Hasil akhir

hidrolisis amilosa adalah glukosa dan maltosa dengan perbandingan 13 % dan 17 %,

sedangkan hasil akhir hidrolisis amilopektin menghasilkan campuran limit dekstrin

bercabang dan tidak bercabang yang terdiri dari hepta, heksa, penta, tetra dan trisakarida

juga maltosa dan isomaltosa disertai sedikit glukosa.

Hidrolisis pati juga dapat menggunakan enzim glukoamilase. Enzim ini juga

dikenal dengan nama α-1,4 glukan glukohidrolase. Enzim glukoamilase mampu

memecah ikatan polimer monosakarida pada bagian luar dan menghasilkan unit-unit

glukosa dari ujung non-pereduksi rantai polimer polisakarida. Enzim glukoamilase dapat

diperoleh dari strain Aspergillus dan Rhizopus. Enzim ini bersifat eksoamilase, yaitu

15

memutuskan rantai pati menjadi molekul-molekul glukosa pada bagian non pereduksi,

baik pada ikatan α-1,4 dan α-1,6 glikosidik (Tjokroadikoesoemo 1986).

Selulosa dapat dikonversi menjadi produk-produk bernilai ekonomi yang lebih

tinggi seperti etanol, glukosa dan pakan ternak dengan jalan menghidrolisis selulosa

dengan bantuan selulase sebagai biokatalisator atau dengan hidrolisis asam atau basa.

Selulase adalah enzim yang dapat mengkatalis terjadinya reaksi hidrolisis selulosa

menjadi glukosa. Keuntungan hidrolisisi ensim dibandingkan dengan hidrolisis asam

adalah kondisi reaksi ringan dan tidak terjadi reaksi samping yang berarti.

Enzim selulase dapat diproduksi oleh mikroorganisme, seperti T.viride atau T.

reesei. Mikroorganisme selulolitik mampu menghasilkan selulase kompleks, yaitu suatu

campuran beberapa jenis selulase yang berbeda. Selulase kompleks mampu

menghidrolisis kristal selulosa menjadi gula-gula terlarut secara efisien. Beberapa

spesies bakteri yang dapat memproduksi enzim selulase dan hemiselulase adalah

Clostridium, Cellumonas, Thermomonospora, Bacillus, Bacteriodes, Ruminococcus,

Erwinia, Acetovibrio, Microbispora dan Streptomyces, dan jamur seperti Tricoderma,

Penicillium, Fusarium, Phanerochaete, Humicola dan Schizophillum spp. Walaupun

enzim selulase dapat diproduksi oleh berbagai macam mikroorganisme, enzim selulase

dari T. reesei atau T viride telah banyak dipelajari dan mempunyai karakteristik yang

paling baik.

Enzim selulase kompleks terdiri dari tiga enzim utama yaitu endoglukanase,

eksoglukanase dan selobiase. Endoglukanase menghidrolisis ikatan 1,4 β-glikosidik

secara acak pada daerah amorf selulosa menghasilkan glukosa, selobiosa dan

selodekstrin. Eksoglukanase menghidrolisis selodekstrin dengan memutus unit selobiosa

dari ujung rantai polimer. Selobiase menghidrolisis selobiosa dan selo-oligosakarida

menjadi glukosa ( Wu et al. 2000; Jeewon 1997).

Enzim endoglukonase atau endoselulase menguraikan kristal-kristal penyusun

serat selulosa dan melepaskan ikatan pada rantai kristal membentuk selulosa tunggal.

Selulosa tunggal tersebut diurai oleh eksoglukonase atau eksoselulase menjadi unit-unit

selobiase yang merupakan disakarida. Selobiase diuraikan menjadi glukosa oleh β-

glukosidase.

16

Faktor-faktor yang berpengaruh pada proses hidrolisis enzim diantaranya yaitu

kualitas dan konsentrasi substrat, metode perlakuan awal yang diaplikasikan, aktivitas

enzim selulase dan kondisi proses hidrolisis seperti suhu dan pH. Suhu dan pH optimum

merupakan fungsi dari bahan, sumber enzim dan waktu hidrolisis. Suhu dan pH optimum

pada enzim selulase umumnya pada 40 – 50 oC dan pH 4 – 5, sehingga waktu yang

digunakan tergantung pada kondisi tersebut.

Hidrolisis enzimatik tongkol jagung yang diberi perlakuan awal H2SO4 1% pada

suhu 180 oC kemudian dihidrolisis dengan enzim selulase kasar T. viride dan enzim

glukoamilase kasar A.niger yang dilakukan pada suhu 50 oC, pH 4,8 selama 60 jam

menghasilkan 45,7 g/L etanol melalui sistem produksi fed batch (Chen et al. 2007)

Salah satu faktor utama yang berpengaruh terhadap hasil yang diperoleh dan

kecepatan hidrolisis enzimatis adalah substrat. Konsentrasi substrat yang tinggi dapat

menyebabkan penghambat yang memperlambat proses hidrolisis. Terjadinya penghambat

oleh substrat tergantung pada perbandingan antara banyaknya enzim terhadap banyaknya

substrat. Masalah pengadukan dan perpindahan panas juga akan timbul pada substrat

yang berkonsentrasi tinggi. Banyaknya enzim yang ditambahkan pada substrat sangat

berpengaruh terhadap kecepatan proses hidrolisis. Semakin banyak enzim yang

ditambahkan akan semakin cepat proses hidrolisis yang terjadi dan hasil yang diperoleh

juga semakin banyak, tetapi semakin tinggi biaya yang harus dikeluarkan. Banyaknya

enzim yang ditambahkan pada substrat biasanya 5 – 35 FPU/gram substrat. Pengurangan

biaya untuk penyediaan enzim pada proses hidrolisis enzim dapat dilakukan dengan daur

ulang enzim selulase. Bercampurnya enzim dalam hidrolisat dan terbentuknya sisa proses

yang berupa padatan (kemungkinan lignin) mempersulit proses pemisahan enzim.

Alternatif yang dapat dilakukan untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan aplikasi

imobilisasi enzim selama proses.

2.6 Trichoderma viride

T. viride termasuk dalam genur Trichoderma, famili Moniliaceae dan ordo

Moniliales. Kapang ini mudah dilihat karena penampakannya berserabut seperti kapas,

namun jika spora telah timbul akan tampak berwarna hijau tua. T. viride mampu

memproduksi komplek enzim selulase yang lengkap yaitu endoselulase dan eksoselulase

17

yang dapat menghidrolisis selulosa kristalin dan selulosa non kristalin. Pada enzim

selulase dapat terjadi sinergisme antara eksoselulase dengan endoselulase, melainkan

juga antar eksoselulase.

Pertumbuhan T. viride optimal pada pH sekitar 4,0, sedangkan untuk produksi

enzim selulase mendekati ph 3,0. Selama produksi enzim, pH harus dipertahankan dalam

kisaran 3,0 – 4,0 karena inaktivasi enzim akan terjadi di bawah pH 2,0. Suhu optimum

pertumbuhan sekitar 32 – 35 oC dan untuk produksi enzim sekitar 25 – 28 oC.

Karakteristik dari enzim selulase T. viride adalah memiliki pH optimum 4,0 dan akan

tetap stabil pada pH 3 – 7. suhu optimum adalah 50 oC dan aktivitasnya akan menurun

jika suhunya lebih dari 50 oC.

T. viride selain mampu memproduksi enzim selulase, juga dapat menghasilkan

enzim endo-1,4-β-xilanase yang dapat mendegradasi xilan. Berat molekul xilanase yang

dihasilkan dari T. viride adalah sebesar 22.000 dalton ( Ujiie et al. 1991; Tholudur

1999). Palmvist et al. (1997) dan Larsson et al. (1999), melaporkan Trichoderma

mampu secara simultan melakukan proses detoksifikasi dan produksi enzim secara

simultan pada hidrolisat asam yang mengandung senyawa-senyawa inhibitor seperti

furfural dan HMF. Kapang ini juga mampu memetabolisme gula dari golongan pentosa

maupun heksosa dan tidak terlalu sensitif terhadap material-material lignoselulosik.

2.7 Aspergillus niger

Aspergillus niger termasuk genus Aspergillus, famili Eurotiaceae dan ordo

Eurotiales. Kapang ini mempunyai miselium bercabang dan berseptat. Kapang umumnya

bersifat aerob dan tumbuh baik pada kisaran suhu 25 – 30 oC, namun genus Aspergillus

dapat tumbuh pada kisaran suhu 35 – 37 oC. Kapang ini dapat tumbuh dengan baik pada

suhu 30 oC dengan pH optimum 7,0 atau agak asam dan besifat tidak tahan panas. A.

niger dalam media pertumbuhan dapat langsung mengkonsumsi molekul-molekul

sederhana seperti gula dan komponen lain yang larut disekitar hifa, namun untuk

molekul-molekul yang lebih kompleks seperti selulosa, pati dan protein harus dipecah

terlebih dahulu sebelum masuk kedalam sel.

Pembentukan enzim ekstraseluler A. niger berlangsung lebih baik pada suhu

kamar yaitu 25 – 28 oC dari pada suhu optimum pertumbuhannya (37,8 oC). Sintesis

18

enzim akan menurun pada suhu lebih dari 30 oC karena energi respirasi lebih banyak

dipergunakan untuk pembentukan spora dari pada untuk membentuk miselium.

A. niger dikenal sebagai kapang penghasil asam sitrat, anilin, pektinase, selulase,

β-1,4-glikan hidrolase, protease, α-amilase, glukoamilase, maltase, β-galaktosidase, α-

glukosidase, β-glukosidase, asam glukonat, glukosa oksidase, asam oksalat,

fosfodiestrase, ribonuklease, pupulan 4- glukanohidrolase, β-xilosidase, xilanase dan

lipase. Glukoamilase dari A. niger menunjukkan bobot molekul berkisar 54-112 k D dan

pH optimum berkisar antara 4,0-5,0. Temperatur optimum aktivasi berkisar antara 40 –

65 oC ( Selvakumar et al. 1996).

2.8 Saccharomyces cerevisiae

Saccharomyces cerevisiae termasuk ke dalam kelas Ascomycetes yang dicirikan

dengan pembentukan askus yang merupakan tempat pembentukan askospora. S.

serevisiae memperbanyak diri secara aseksual yaitu dengan bertunas (Pelezar dan Chan

1986). Dinding sel S. cerevisiae terdiri dari komponen-komonen glukan, manan, protein,

kitin dan lemak (Waluyo 2004).

Saccharomyces cerevisiae sering digunakan dalam fermentasi etanol karena

sangat tahan dan toleran terhadap kadar etanol yang tinggi (12-18% v/v), tahan pada

kadar gula yang cukup tinggi dan tetap aktif melakukan fermentasi pada suhu 4-32 oC. S.

cerevisiae mempunyai aktivitas optimum pada suhu 30 – 35 oC dan tidak aktif pada suhu

lebih dari 40 oC. S. cerevisiae dapat memfermentasi glukosa, sukrosa, galaktosa serta

rafinosa (Kunkee dan Mardon 1970). Biakan S. cerevisiae mempunyai kecepatan

fermentasi optimum pada pH 4,48 (Harrison dan Graham 1970)

Rendemen alkohol dari heksosa dalam fermentasi menggunakan khamir dari

genus Saccharomyces dapat mencapai 90 % (Boyles 1984). Proses fermentasi oleh

Saccharomyces adalah proses pengubahan sebagian besar energi dari gula ke dalam

bentuk etanol. Efisiensi pengubahan energi tersebut dapat mencapai 97 % (Campbel

1983). Mekanisme pembentukan etanol oleh kamir melalui jalur Embden-Meyerhof-

Parnas Pathway (EMP) atau glikolisis. Hasil dari EMP adalah memecah glukosa

menjadi 2 molekul piruvat. Mekanisme glikolisis disajikan pada Gambar 3.

19

Glukosa

Glukosa-6-P

Fruktosa-6-P

Fruktosa-1,6-di-P

Gliseraldehida-3-P Dihidroksiasetonfosfat

Gliseraldehida-3-P

1,3-di fosfogliserat

3-fosfogliserat

2-fosfogliserat

Fosfoenolpiruvat

Piruvat

Glukosa

Glukosa-6-P

Fruktosa-6-P

Fruktosa-1,6-di-P

Gliseraldehida-3-P Dihidroksiasetonfosfat

Gliseraldehida-3-P

1,3-di fosfogliserat

3-fosfogliserat

2-fosfogliserat

Fosfoenolpiruvat

Piruvat

Glukosa

Glukosa-6-P

Fruktosa-6-P

Fruktosa-1,6-di-P

Gliseraldehida-3-P Dihidroksiasetonfosfat

Gliseraldehida-3-P

1,3-di fosfogliserat

3-fosfogliserat

2-fosfogliserat

Fosfoenolpiruvat

Piruvat

Gambar 3 Mekanisme proses glikolisis

Setelah melalui tahap glikolisis, piruvat yang terbentuk kemudian dirubah menjadi

asetaldehid dan CO2 oleh enzim piruvat decarboksilase, setelah itu oleh enzim alkohol

dehidrogenase dirubah menjadi etanol.