i. pendahuluan 1.1 latar belakang - core.ac.uk fileyang dilakukan oleh masyarakat, maka peningkatan...

14
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peningkatan kebutuhan energi mempunyai keterkaitan erat dengan kian berkembang kegiatan ekonomi dan pertambahan jumlah penduduk. Permasalahan energi bagi kelangsungan hidup manusia merupakan masalah yang dihadapi oleh hampir seluruh negara di dunia. Dengan keterbatasan sumber daya alam di dunia dimana cadangan energi yang kian menipis khususnya bahan bakar minyak (BBM). Tidak lagi ditemukan cadangan dalam jumlah yang besar pada rentang waktu terakhir ini serta dengan semakin melambungnya harga minyak dunia, membuat hampir seluruh negara berupaya mengoptimalkan sumber energi yang mungkin untuk diproduksi sendiri guna mengurangi ketergantungan dari negara lain. Untuk skala dunia, saat ini ada sekitar 1,6 milyar penduduk yang masih mengalami kesulitan akses terhadap listrik, dan sekitar 2,4 milyar penduduk masih bergantung pada bahan bakar tradisional biomassa untuk memasak dan pemanas. Berdasarkan perkiraan sampai dengan tahun 2030 masih akan ada sekitar 1,4 milyar penduduk yang mengalami kesulitan akses terhadap listrik, turun sekitar 200 juta dari kondisi saat ini dan lebih dari 2,6 milyar penduduk akan masih bergantung pada bahan bakar biomassa (Nuryanti, 2007). Berdasarkan catatan World Energi Outlook 2002, ada sekitar 20% penduduk terkaya di dunia menggunakan 55% energi primer, sedangkan sekitar 20% penduduk termiskin menggunakan energi primer sekitar 5% saja (Saghir, 2005 dalam Nuryanti, 2007).

Upload: vothuy

Post on 13-Mar-2019

218 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Peningkatan kebutuhan energi mempunyai keterkaitan erat dengan kian

berkembang kegiatan ekonomi dan pertambahan jumlah penduduk. Permasalahan

energi bagi kelangsungan hidup manusia merupakan masalah yang dihadapi oleh

hampir seluruh negara di dunia. Dengan keterbatasan sumber daya alam di dunia

dimana cadangan energi yang kian menipis khususnya bahan bakar minyak (BBM).

Tidak lagi ditemukan cadangan dalam jumlah yang besar pada rentang waktu terakhir

ini serta dengan semakin melambungnya harga minyak dunia, membuat hampir

seluruh negara berupaya mengoptimalkan sumber energi yang mungkin untuk

diproduksi sendiri guna mengurangi ketergantungan dari negara lain.

Untuk skala dunia, saat ini ada sekitar 1,6 milyar penduduk yang masih

mengalami kesulitan akses terhadap listrik, dan sekitar 2,4 milyar penduduk masih

bergantung pada bahan bakar tradisional biomassa untuk memasak dan pemanas.

Berdasarkan perkiraan sampai dengan tahun 2030 masih akan ada sekitar 1,4 milyar

penduduk yang mengalami kesulitan akses terhadap listrik, turun sekitar 200 juta dari

kondisi saat ini dan lebih dari 2,6 milyar penduduk akan masih bergantung pada

bahan bakar biomassa (Nuryanti, 2007). Berdasarkan catatan World Energi Outlook

2002, ada sekitar 20% penduduk terkaya di dunia menggunakan 55% energi primer,

sedangkan sekitar 20% penduduk termiskin menggunakan energi primer sekitar 5%

saja (Saghir, 2005 dalam Nuryanti, 2007).

2

Di Indonesia sendiri dengan pertumbuhan penduduk yang terus mengalami

peningkatan dari tahun ke tahun dan pertumbuhan ekonomi yang terus berlangsung

yang ditunjukkan oleh kian bertambahnya output dengan beragam aktivitas ekonomi

yang dilakukan oleh masyarakat, maka peningkatan kebutuhan energi adalah suatu

hal yang tidak bisa dihindari. Dalam kurun waktu antara tahun 1990 sampai dengan

2005, Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) mencatat terjadinya

pertumbuhan yang cukup substantial dalam permintaan energi final (termasuk

biomassa) di Indonesia, yaitu dengan rata-rata pertumbuhan konsumsi sebesar 4,08%

per tahun. Pada tahun 2005, konsumsi energi final mencapai angka sekitar 863.750

ribu satuan barel minyak (SBM). Pangsa pemakaian energi final walaupun tidak

melakukan aktivitas produksi bersifat komersial, sektor rumah tangga merupakan

sektor pemakai energi final terbesar diantara sektor lainnya (Hidayat, 2005). Pada

tahun 1990, sektor rumah tangga mengkonsumsi 56,5% dari total energi final.

Memasuki tahun 1995 proporsi pemakaiannya mulai menurun menjadi 49,5% dan

kecenderungan penurunan ini terus berlangsung, bahkan pada tahun 2005 tingkat

pemakaian energi final oleh rumah tangga menjadi 36,5% atau sekitar 315.135 ribu

SBM. Kian menurunnya pemakaian energi final di sektor rumah tangga ini bukan

dikarenakan penurunan pemakaian energi di rumah tangga, namun lebih disebabkan

oleh terjadinya pertumbuhan sektor industri dan transportasi yang sangat pesat

sehingga menyebabkan besaran konsumsi energi final menjadi bertambah besar.

Konsumsi energi sektor rumah tangga adalah seluruh konsumsi energi untuk

keperluan rumah tangga tidak termasuk konsumsi untuk kendaraan pribadi. Konsumsi

energi untuk kendaraan pribadi dimasukkan ke dalam kelompok pengguna sektor

3

transportasi. Konsumsi energi untuk keperluan rumah tangga tersebut 71,7%

diantaranya atau sebesar 225.848 ribu SBM adalah energi tradisional yakni energi

yang berasal dari kayu bakar, arang dan briket. Pola konsumsi energi non

minyak/biomassa di sektor rumah tangga lebih terkonsentrasi pada penggunaan kayu

bakar rata-rata 73,6% per tahun dari total energi rumah tangga. Sementara briket yang

sudah diperkenalkan secara luas kepada masyarakat sebagai bahan bakar alternatif

pengganti minyak tanah untuk memasak pada tahun 2005 tingkat penggunaannya

hanya 0,03% dari seluruh energi rumah tangga. Dilihat dari pertumbuhan pun dari

tahun 1993 sampai 2005 tidak mengalami perubahan hanya berkisar 0,03%. Sama

halnya dengan briket, konsumsi LPG dan gas kota juga tingkat penggunaanya masih

relatif kecil. Pada tahun 1990, tingkat penggunaan LPG oleh rumah tangga hanya

0,42%, sementara gas kota hanya 0,02%. Limabelas tahun berturut-turut proporsi

penggunaan LPG pertumbuhan rata-ratanya hanya 1,18%, gas kota hanya 0,03%.

Lain halnya dengan minyak tanah proporsi penggunaanya relatif stabil pada tahun

1990, tingkat penggunaannya sebesar 18,43% atau sebesar 39.490 ribu SBM

limabelas tahun kemudian yakni tahun 2005 proporsi penggunaannya sebesar 18,87%

atau sebebesar 59.459 ribu SBM.

Beberapa faktor yang menyebabkan pola konsumsi di sektor rumah tangga

lebih terkonsentrasi pada penggunaan minyak tanah dan kayu bakar, yaitu : (1) faktor

harga, minyak tanah dan kayu bakar merupakan energi dengan harga relatif lebih

murah dibandingkan dengan energi lain yang digunakan untuk keperluan yang sama;

(2) faktor pendapatan, sebagian besar rumah tangga di Indonesia berpendapatan

rendah dan menengah. Pada kelompok ini, bahan bakar yang terjangkau dan biasa

4

digunakan adalah minyak tanah dan kayu bakar; (3) alasan kepraktisan; (4)

kurangnya sosialisasi pemanfaatan energi non minyak (Hidayat, 2005).

Jika dilihat dari konsumsi energi final berdasarkan klasifikasi jenis energi,

pada kurun waktu 1990 sampai dengan 2005 BBM masih merupakan energi utama

yang dikonsumsi oleh masyarakat. Persentase konsumsinya terhadap total pemakaian

energi final merupakan yang terbesar dan terus mengalami peningkatan rata-rata

4,80% per tahun. Pada tahun 1990 konsumsi sebesar 173.135.825 SBM angka ini

adalah 40,21% dari total konsumsi energi final. Limabelas tahun kemudian, pada

tahun 2005, konsumsinya meningkat menjadi 347.289.308 SBM.

Proporsi pemakaian BBM yang tinggi terkait dengan keterlambatan upaya

diversifikasi ke energi non minyak akibat harga BBM yang relatif murah karena

masih mendapat subsidi dari pemerintah. Kebijakan pemberian subsidi BBM ini

dimulai sejak tahun anggaran 1977/1978 dengan maksud untuk menjaga stabilitas

perekonomian nasional melalui penciptaan stabilitas harga BBM sebagai komoditas

yang strategis. Namun dalam perjalannya subsidi BBM ini ternyata menimbulkan

masalah tersendiri. Masyarakat cenderung boros menggunakan BBM dan ada indikasi

bahwa alokasi subsidi BBM lebih banyak dinikmati oleh kelompok masyarakat

berpenghasilan tinggi yang seharusnya tidak perlu mendapatkan subsidi.

Sementara peningkatan kebutuhan BBM tersebut ternyata belum diimbangi

oleh pertumbuhan produksi minyak dalam negeri, bahkan sejak tahun 1990 hingga

2007 produksi minyak dalam negeri terus mengalami penurunan dengan rata-rata

2,383% per tahun dimana pada tahun 1990 tercatat sebesar 533.562 ribu barrel

sementara pada tahun 2007 hanya 348.358 ribu barrel. Untuk mengimbangi

5

peningkatan kebutuhan BBM dalam negeri tersebut pemerintah terpaksa harus

mendatangkan/impor dari luar negeri dengan peningkatan rata-rata 6,442% per tahun,

tahun 1990 sebesar 46.225 ribu barrel, tahun 2007 menjadi 111.067 ribu barrel.

Jika keadaan ini terus berlangsung ditambah lagi dengan harga minyak yang

terus melambung tentunya berdampak kepada harga jual minyak di dalam negeri, dan

sudah barang tentu subsidi pemerintah terhadap bahan bakar minyak yang meliputi

premium, minyak tanah, solar , minyak disel dan minyak bakar juga meningkat

sehingga membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan devisa

negara.

Besarnya beban pemerintah Indonesia untuk subsidi BBM mengakibatkan

berbagai revisi APBN harus dilakukan agar kegiatan perekonomian dan pemerintahan

terus dapat berjalan. Selain itu dampak dari keterbatasan APBN dan devisa negara

maka pemerintah dengan terpaksa mengurangi pasokan BBM terutama minyak tanah.

Pada tahun 2006 subsidi yang dikeluarkan pemerintah untuk BBM sebesar 64,212

triliun rupiah, 31,580 triliun rupiah diantaranya atau sekitar 49,18% dipergunakan

untuk subsidi minyak tanah (DESDM, 2007). Sementara untuk tahun 2007

berdasarkan APBNP subsidi minyak tanah sebesar 28,8 triliun rupiah dari total

subsidi BBM sebesar 49,3 triliun rupiah atau sebesar 58,42% (Pertamina, 2007).

Untuk mengatasi beban subsidi dan ketergantungan terhadap impor BBM

maka pemerintah mengeluarkan kebijakan melalui program konversi minyak tanah ke

LPG. Melalui kebijakan ini diharapkan beban subsidi yang dikeluarkan pemerintah

dan ketergantungan terhadap impor dapat dikurangi serta dapat meningkatkan

6

pemanfaatan potensi sumber daya energi dalam negeri yang penggunaannya relatif

kecil.

Program konversi minyak tanah ke LPG diluncurkan dengan pertimbangan

satuan subsidi per kilogram yang lebih kecil dibandingkan subsidi per liter minyak

tanah, LPG dipandang sebagai energi altenatif yang aman bagi kesehatan, dan ramah

lingkungan (Anonim, 2006 dalam Sunarti 2007). Konversi penggunaan minyak tanah

ke LPG dipandang sebagian kalangan sebagai jalan keluar dan langkah yang tepat

untuk pengurangan beban devisa negara, juga karena Indonesia memiliki cadangan

gas yang cukup besar dan belum dimanfaatkan secara optimal, serta beragam alasan

lain terkait kualitas lingkungan, efisiensi dan harga per satuan energi yang dihasilkan

(Sunarti, 2007).

Sosialisasi program konversi minyak tanah ke LPG mulai dilakukan

pemerintah pada bulan Agustus 2006 yang diawali dengan uji coba pasar di

kecamatan Kemayoran, Jakarta Pusat, dengan target responden 500 ibu rumah tangga

(Pertamina, 2007). Uji coba pasar ini dilakukan oleh konsultan independent dengan

tujuan untuk : (1) Mengetahui reaksi masyarakat pengguna minyak tanah beserta jalur

distribusi; (2) Mengetahui faktor penghambat dan pendorong penggunaan LPG; (3)

Mengetahui sensitifitas harga Elpiji 3 kg. Metode yang digunakan dalam uji coba

adalah : (1) Responden pengguna minyak tanah dibagikan tabung LPG 3 kg beserta

isi, kompor dan perlengkapannya secara cuma-Cuma; (2) Responden diajari cara

menggunakan kompor dan tabung, handling serta safety; (3) Responden diminta

untuk mencoba menggunakan LPG; (4) Responden diamati selama 4 kali pengisian

7

ulang. Setiap kali selesai melakukan pengisian ulang, responden akan diinterview

oleh konsultan.

Setelah uji pasar tahap pertama dilakukan langkah selanjutnya pemerintah

melakukan uji pasar tahap kedua pada bulan Desember 2006 dengan melibatkan

jumlah responden yang lebih besar dari uji pasar tahap pertama yakni 25.000 KK.

Program yang sesungguhnya dimulai pada bulan Mei 2007, dengan target jumlah KK

yang dikonversi pada tahun 2007 adalah 6 juta KK. Untuk mensukseskan program

pengalihan minyak tanah ke LPG ini, pemerintah melibatkan berbagai instansi terkait

yang masing-masing bertanggungjawab sesuai bidang tugasnya, membentuk tim

independen sebagai tim pengarah yang keanggotaannya mewakili instansi-instansi

yang terkait dalam program ini, yaitu : (1) Departemen Energi dan Sumber Daya

Mineral c.q. Ditjen Migas, sebagai koordinator; (2) Departemen Keuangan,

bertanggungjawab dalam penganggaran dalam APBN; (3) Departemen Perindustrian,

bertanggungjawab dalam pengadaan tabung; (4) Kementerian Pemberdayaan

Perempuan, bertanggungjawab dalam sosialisasi; (5) Kementerian Koperasi dan

Usaha Kecil dan Menengah, bertanggung jawab dalam pengadaan kompor; (6)

Departemen Sosial, bertanggungjawab pengalihan profesi dalam usaha niaga minyak

tanah; (7) Badan Pengatur BBM dan Gas Melalui Pipa, bertanggung jawab dalam

penarikan minyak tanah pada daerah konversi. Untuk efektifitas pelaksanaan program

ini, ditunjuk PT Pertamina (Persero) yang telah mempunyai pengalaman dan

infrastruktur pendistribusian BBM, selaku pelaksana program pemerintah dapat

menugasi Badan Usaha Nasional lain untuk mempercepat pelaksanaan program ini

(Blue Print Program Pengalihan Minyak Tanah ke LPG, DESDM, 2007).

8

Program konversi minyak tanah ke LPG ini memiliki target rumah tangga dan

usaha mikro. Target rumah tangga adalah ibu rumah tangga yang tidak memiliki

pekerjaan, pengguna minyak tanah murni, kelas sosial C1 ke bawah (keluarga yang

berpenghasilan kurang dari 1,5 juta rupiah per bulan), serta penduduk yang sah pada

daerah tempat konversi tersebut dilakukan (Tim Studi Pusat Kebijakan Belanja

Negara Badan Kebijakan Fiskal milik Pemerintah Indonesia, 2008). Sedangkan usaha

mikro yang menggunakan minyak tanah sebagai bahan produksinya, penduduk legal

dari tempat konversi dilakukan serta memiliki surat keterangan dari kelurahan

setempat.

Mekanisme konversi minyak tanah ke LPG kepada rumah tangga pengguna

minyak tanah dan usaha mikro yaitu : warteg, pedagang martabak, pedagang

makanan dalam gerobak (mie ayam, gorengan) dan pedagang baso/mie rebus

dilakukan dengan cara (Program Konversi Minyak Tanah ke LPG, Pertamina, 2007) :

1. Untuk rumah tangga pengguna minyak tanah (a) Membagikan secara cuma-cuma

tabung LPG 3 kg beserta isi perdana, kompor gas 1 tungku, beserta

perlengkapannya (selang, klem dan regulator); (b) Distribusi LPG 3 kg

menggunakan jalur distribusi eks minyak tanah, yaitu agen dan pangkalan minyak

tanah; (c) Pelaksanaan konversi dengan membagi paket konversi kepada

masyarakat dilakukan bertahap dari satu kecamatan ke kecamatan lainnya; (d)

Penarikan minyak tanah dilakukan di daerah yang sudah selesai dicacah dan

didistribusikan paket konversi. Penarikan ini dilakukan secara bertahap, untuk

memberi kesempatan kepada masyarakat pengguna untuk beradaptasi.

9

2. Untuk kelompok usaha mikro (a) Warteg: dua set kompor khusus (sanggup

menahan beban sampai dengan 100 kg) dan perlengkapannya, beserta 2 tabung

LPG 3 kg dan isi; (b) Pedagang makanan dalam gerobak: satu kompor gas high

pressure, satu tabung LPG 3 kg dan isi; (c) Pedagang martabak: satu kompor gas

khusus berlubang banyak, satu tabung LPG 3 kg dan isi; (d) Pedagang baso/mie

rebus: satu kompor gas seperti untuk rumah tangga, satu tabung LPG 3 kg dan isi.

Sasaran program pengalihan/konversi minyak tanah ke LPG adalah ZERO-

KERO 2012. Pengertian “Zero-Kero” adalah kondisi dimana tidak ada lagi minyak

tanah bersubsidi yang digunakan untuk memasak. Sesuai Peraturan Presiden No. 9

Tahun 2006 maka minyak tanah untuk penerangan tetap tersedia. Selain itu minyak

tanah akan tetap dipasarkan dengan harga keekonomian atau ditingkatkan nilai

tambahnya menjadi avtur. Terdistribusinya tabung LPG 3 kg untuk 6 juta KK pada

tahun 2007 dan sekitar 42 juta KK pada akhir tahun 2012.

Meskipun program konversi minyak tanah ke LPG sudah berjalan lebih dari

dua tahun yang diawali uji coba pasar pada bulan Agustus dan Desember 2006,

melibatkan beberapa instansi pemerintah dan konsultan independen dengan berbagai

metode sosialisasi telah dilakukan antara lain melalui penyuluhan langsung kepada

masyarakat, iklan layanan masyarkat di lima radio swasta (Radio Delta, Muara,

Elangga, Camajaya, RKM Jakarta) dan RRI, dialog interaktif di lima radio swasta

dan RRI, iklan layanan masyarakat di dua stasiun televisi swasta dan TVRI

(Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan, 2009) dengan pesan yang

disampaikan “LPG lebih mudah dan hemat, aman, bersih, ramah lingkungan dan

praktis”. Dari uji pasar disimpulkan bahwa program pengalihan akan mendapat

10

dukungan dari masyarakat. Responden menganggap mereka lebih suka menggunakan

LPG daripada minyak tanah dengan alasan utama: cepat, hemat, praktis dan bersih

(Pertamina, 2007). Telah pula dilakukan penelitian mengenai aspek sosial budaya

program konversi BBM dimana kesiapan dan persentase terbesar contoh

menganggap program penting dan bersedia berpartisipasi (Sunarti, 2007), serta telah

pula dilakukan kajian efektivitas program konversi minyak tanah ke LPG yang

dilakukan oleh Tim Studi Pusat Kebijakan Belanja Negara Badan Kebijakan Fiskal

milik Pemerintah Indonesia, hasil penelitian ini antara lain menyimpulkan bahwa

pemakaian LPG lebih efisien dan ekonomis dibandingkan dengan minyak tanah

sehingga pengguna LPG akhirnya lebih banyak dibandingkan minyak tanah.

Namun, dalam kenyataannya belum semua masyarakat pengguna minyak

tanah yang menjadi target program konversi minyak tanah ke LPG termotivasi untuk

beralih menggunakan bahan bakar LPG. Terbukti sejak diluncurkannya program

konversi ini hingga Desember 2008 untuk seluruh Indonesia belum memenuhi target

yang telah ditetapkan yakni 15 juta KK dan baru tercapai 6,9 juta KK atau 35,7%

(http://energialternatif.ekon.go.id).

1.2 Perumusan Masalah

Program konversi minyak tanah ke LPG diluncurkan dengan tujuan selain

untuk menghemat anggaran pemerintah, juga untuk menghemat pengeluaran keluarga

dan rumah tangga. Namun dalam pelaksanaannya program konversi minyak tanah ke

LPG yang dilakukan di beberapa wilayah tidak mudah mengubah perilaku konsumsi

energi bahan bakar rumah tangga dari minyak tanah ke LPG. Tingkat penerimaan dan

11

partisipasi keluarga di berbagai wilayah beragam, dan tingkat partisipasi paling

rendah yang dilaporkan adalah 30%. Bahkan disinyalir terdapat sebagian keluarga

yang semula mencoba beralih dari minyak tanah ke LPG, kembali menggunakan

bahan bakar minyak (Sunarti, 2007).

Menurut Sunarti (2007) berbagai penelitian dan kajian mengenai penyebaran

(difusi) inovasi untuk diadopsi masyarakat menunjukkan bahwa pada umumnya

terdapat beberapa tahap dalam proses difusi inovasi. Hal tersebut memberikan makna

perlunya sosialisasi dan pendampingan yang memadai dalam mengintroduksi sebuah

perubahan kepada masyarakat. Apalagi jika aspek yang ingin diubah memiliki

sensitifitas yang tinggi terkait kebiasaan, kemampuan ekonomi, serta risiko atau

keselamatan yang dirasakan masyarakat manakala mengadopsi inovasi yang

didifusikan. Kesediaan atau partisipasi keluarga dan atau masyarakat untuk berubah

seringkali diawali oleh pengetahuan, persepsi, sikap masyarakat terhadap program

atau kegiatan yang diluncurkan. Proses keputusan konsumen selain dipengaruhi sosial

dan budaya, juga dipengaruhi pengetahuan, persepsi, motivasi dan sikap. Sikap

merupakan faktor penting yang mempengaruhi keputusan seseorang (Sumarwan,

2002).

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dipandang penting untuk

mengetahui pengetahuan dan faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi dan sikap

ibu rumah tangga dalam menggunakan bahan bakar LPG. Untuk itu diperlukan

informasi tentang faktor-faktor yang berpengaruh terhadap persepsi dan sikap ibu

rumah tangga dalam program konversi minyak tanah ke LPG, serta faktor-faktor yang

12

mempengaruhi ibu rumah tangga dalam menggunakan bahan bakar LPG, sehingga

menimbulkan pertanyaan penelitian sebagai berikut :

1. Bagaimana upaya sosialisasi konversi minyak tanah yang dilakukan pemerintah

di desa Leuwiliang, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor.

2. Bagaimana pengetahuan ibu rumah tangga mengenai bahan bakar LPG kemasan

3 kg.

3. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi persepsi dan sikap ibu rumah tangga

terhadap bahan bakar LPG kemasan 3 kg.

4. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi ibu rumah tangga dalam menggunakan

bahan bakar LPG kemasan 3 kg.

1.3 Tujuan Penelitian

1. Mengidentifikasi dan menginventarisasi upaya sosialisasi konversi minyak tanah

yang dilakukan pemerintah di Desa Leuwiliang, Kecamatan Leuwiliang.

2. Mengidentifikasi pengetahuan ibu rumah tangga di Desa Leuwiliang, Kecamatan

Leuwiliang mengenai bahan bakar LPG kemasan 3 kg

3. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi dan sikap ibu rumah

tangga di Desa Leuwiliang, Kecamatan Leuwiliang terhadap bahan bakar LPG

kemasan 3 kg.

4. Menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penggunaan bahan bakar

LPG kemasan 3 kg di Desa Leuwiliang, Kecamatan Leuwiliang.

13

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan pertimbangan oleh

Badan Pengelola Kegiatan Hilir Minyak dan Gas (BPH MIGAS) Departemen Energi

dan Sumber Daya Mineral (DESDM) Republik Indonesia dan instansi terkait

merumuskan alternatif strategi sosialisasi konversi minyak tanah ke LPG dalam

upaya meningkatkan penggunaan bahan bakar LPG kemasan 3 kg dilingkungan

keluarga.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini akan mengidentifikasi dan menganalisis pengetahuan, persepsi

dan sikap serta faktor-faktor yang mempengaruhi ibu rumah tangga terhadap

penggunaan bahan bakar LPG. Untuk dapat memberikan gambaran secara umum

mengenai faktor-faktor yang dijadikan pertimbangan ibu rumah tangga dalam

menggunakan bahan bakar LPG kemasan 3 kg, faktor yang dijadikan pertimbangan

adalah karakteristik individu/keluarga : umur, pendidikan, pekerjaan, pengeluaran

rumah tangga, jumlah anggota keluarga, jarak/akses tempat tinggal ke pasar

kecamatan, persepsi dan sikap terhadap bahan bakar LPG. Responden yang dijadikan

objek contoh dalam kajian ini adalah ibu rumah tangga sasaran program konversi

minyak tanah ke LPG bertempat tingal di Desa Leuwiliang, Kecamatan Leuwiliang,

Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

Untuk Selengkapnya Tersedia di Perpustakaan MB-IPB