i. pendahuluanetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67316/potongan/s1...presipitasi menjadi elemen...

22
1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah kerusakan lingkungan dewasa ini menjadi isu penting yang mengundang perhatian baik dalam lingkup daerah, nasional maupun internasional. Zen (1982, dalam Martopo, 1988) menyebutkan bahwa masalah kerusakan lingkungan pada dasarnya timbul karena dinamika penduduk, pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya yang kurang bijaksana, kurang terkendalinya pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi maju serta berturan tata ruang. Proses pembangunan yang berlangsung sebagai respon terhadap meningkatnya kebutuhan akan sarana prasarana yang dapat mengakomodasi kepentingan manusia telah mengakibatkan perubahan pada lingkungan fisik, salah satunya perubahan penggunaan lahan dari lahan tidak terbangun menjadi lahan terbangun. Perubahan penggunaan lahan yang terjadi sangat mempengaruhi kondisi hidrologi wilayah terdampak karena kecenderungan perubahan sifat lahan yang semula lolos air (permeable) menjadi lebih kedap air (impermeable). Porsi air hujan yang jatuh banyak yang menjadi aliran permukaan karena kemampuan tanah dalam kaitannya dengan infiltrasi berkurang dan di sisi lain genangan dan limpasan permukaan meningkat. Lahan merupakan sumberdaya yang relatif tidak berubah dalam hal luas. Adapun proses perubahan lahan baik secara alami (sedimentasi) maupun melalui proses artificial (reklamasi) sangat kecil, sehingga memiliki batas kemampuan dalam penggunaannya. Persaingan ketat dalam memperebutkan lahan sebagai upaya pemanfaatan ruang mengakibatkan perubahan penggunaan lahan tidak dapat dihindari. Dampak negatif dari perubahan penggunaan lahan yang tidak proporsional dan tidak terencana dengan baik banyak terjadi pada kasus perkerasan lahan (untuk pembuatan kawasan permukiman, perdagangan, industri, fasilitas publik dan jaringan infrastruktur lain) mengakibatkan tidak seimbangnya sistem hidrologi yang ditandai oleh kapasitas daya resap air hujan pada kawasan yang mengalami perubahan penggunaan lahan menjadi semakin kecil

Upload: dangliem

Post on 29-Aug-2018

226 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Masalah kerusakan lingkungan dewasa ini menjadi isu penting yang

mengundang perhatian baik dalam lingkup daerah, nasional maupun internasional.

Zen (1982, dalam Martopo, 1988) menyebutkan bahwa masalah kerusakan

lingkungan pada dasarnya timbul karena dinamika penduduk, pemanfaatan dan

pengelolaan sumberdaya yang kurang bijaksana, kurang terkendalinya

pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi maju serta berturan tata ruang.

Proses pembangunan yang berlangsung sebagai respon terhadap meningkatnya

kebutuhan akan sarana prasarana yang dapat mengakomodasi kepentingan

manusia telah mengakibatkan perubahan pada lingkungan fisik, salah satunya

perubahan penggunaan lahan dari lahan tidak terbangun menjadi lahan terbangun.

Perubahan penggunaan lahan yang terjadi sangat mempengaruhi kondisi hidrologi

wilayah terdampak karena kecenderungan perubahan sifat lahan yang semula

lolos air (permeable) menjadi lebih kedap air (impermeable). Porsi air hujan yang

jatuh banyak yang menjadi aliran permukaan karena kemampuan tanah dalam

kaitannya dengan infiltrasi berkurang dan di sisi lain genangan dan limpasan

permukaan meningkat.

Lahan merupakan sumberdaya yang relatif tidak berubah dalam hal luas.

Adapun proses perubahan lahan baik secara alami (sedimentasi) maupun melalui

proses artificial (reklamasi) sangat kecil, sehingga memiliki batas kemampuan

dalam penggunaannya. Persaingan ketat dalam memperebutkan lahan sebagai

upaya pemanfaatan ruang mengakibatkan perubahan penggunaan lahan tidak

dapat dihindari. Dampak negatif dari perubahan penggunaan lahan yang tidak

proporsional dan tidak terencana dengan baik banyak terjadi pada kasus

perkerasan lahan (untuk pembuatan kawasan permukiman, perdagangan, industri,

fasilitas publik dan jaringan infrastruktur lain) mengakibatkan tidak seimbangnya

sistem hidrologi yang ditandai oleh kapasitas daya resap air hujan pada kawasan

yang mengalami perubahan penggunaan lahan menjadi semakin kecil

2

dibandingkan dengan kondisi semula. Infiltrasi air hujan ke dalam tanah

berkurang, di sisi lain proporsi air hujan yang menjadi limpasan semakin besar

sehingga berdampak langsung terhadap meningkatnya laju dan volume limpasan.

Di antara variable – variable yang digunakan untuk memprakirakan

besarnya limpasan, komponen penting yang terkait dengan perubahan kondisi

penggunaan lahan adalah nilai koefisien aliran (U.S. Soil Conservation Service,

1973 dalam Asdak, 2010). Tuan (1991, dalam Susilowati, 2006) menyebutkan

bahwa perubahan penggunaan lahan memberi dampak yang signifikan terhadap

koefisien aliran. Penelitian yang dilakukan fokus pada pengaruh yang ditimbulkan

akibat perubahan penggunaan lahan yang terjadi pada daerah aliran sungai yang

menjadi objek kajian yaitu DAS Ciliwung bagian hulu terhadap perubahan nilai

koefisien aliran volumetrik (Runoff Coefficient).

Wilayah studi kasus dalam penelitian ini adalah DAS Ciliwung bagian hulu

yang secara administratif meliputi wilayah Kabupaten Bogor dan Kota Bogor.

DAS Ciliwung bagian hulu merupakan bagian dari DAS Ciliwung dan masuk

dalam Satuan Wilayah Sungai Ciliwung – Cisadane berdasarkan Peraturan

menteri Pekerjaan Umum No. 39/1984 (Nugraha, 1999). DAS Ciliwung yang

berhulu di Gunung Gede Pangrango (3019 m dpl) dan bermuara di Teluk Jakarta

ditetapkan menjadi DAS super prioritas untuk dikelola karena letaknya yang

strategis mencakup dua wilayah provinsi yaitu Provinsi Jawa Barat dan Provinsi

DKI Jakarta sehingga mempunyai posisi penting dalam perlindungan sumberdaya

air dan penyangga lingkungan bagi DKI Jakarta dan wilayah disekitarnya.

Pertimbangan ilmiah yang mendasari pemilihan wilayah studi kasus DAS

Ciliwung bagian hulu adalah permasalahan terkait fungsinya sebagai daerah

tangkapan hujan (catchment area) yang berperan penting dalam sistem hidrologi

kawasan bagi wilayah tengah dan hilir DAS Ciliwung bertolak belakang dengan

kondisi Kota Bogor dan Kabupaten Bogor saat ini sebagai kawasan sub urban

yang berkembang sangat pesat dalam hal kependudukan maupun dari segi

aktivitas manusia seperti industri, pariwisata dan perdagangan.

3

Instruksi Presiden Nomor 13 tahun 1976 tentang pengembangan wilayah

Jabotabek (Jakarta – Bogor – Tangerang – Bekasi) yang menginstruksikan strategi

pembangunan kota – kota disekitar Jakarta sebagai kota penyangga untuk

meringankan tekanan penduduk di dalam wilayah DKI Jakarta dan Peraturan

Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang rencana tata ruang wilayah nasional

untuk kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur

(Jabodetabekpunjur) yang ditetapkan sebagai kawasan strategis nasional telah

mengubah kawasan penyangga DKI Jakarta (Bogor, Depok, Tangerang dan

Bekasi) menjadi kawasan yang berkembang cukup pesat, terutama dalam

pembangunan kawasan permukiman, indutri dan pariwisata.

Pembangunan fisik pada hulu DAS Ciliwung yang sebagian besar

wilayahnya termasuk dalam daerah administratif Kabupaten Bogor terjadi

cukup pesat, ditandai dengan luas hutan semakin menurun sedangkan luas

kawasan permukiman cenderung meningkat antara periode tahun 1992-2009.

Proporsi lahan yang digunakan untuk kawasan pemukiman pada tahun 1992

sebesar 588,46 Ha atau 3,96% dari keseluruhan luas DAS Ciliwung bagian

hulu. Tahun 2009 proporsi lahan meningkat dengan pesat menjadi 3.356,71 Ha

atau mencapai 22,59% dari luas total DAS Ciliwung bagian hulu. Hal

sebaliknya terjadi pada luas kawasan hutan yang cenderung mengalami

penurunan. Tahun 1992 proporsi lahan yang digunakan untuk kawasan hutan

lindung dan produksi sebesar 6.184,73 Ha atau 41,62% dari keseluruhan luas

DAS Ciliwung bagian hulu, kemudian mengalami penurunan tajam pada tahun

2009 menjadi hanya 4.318,17 Ha atau 29,06% dari luas total DAS Ciliwung

bagian hulu (Suwarno, 2011). Perkembangan kawasan permukiman yang

signifikan mengakibatkan perubahan sifat lahan yang semula besifat lolos air

menjadi lebih kedap air, sehingga porsi air hujan yang jatuh banyak yang

menjadi aliran permukaan. Aliran ini bersifat cepat dan mempunyai volume

yang besar, sehingga dikhawatirkan tidak hanya mempengaruhi kondisi di

wilayah Bogor sendiri, namun juga wilayah-wilayah di hilir yang bergantung

pada kondisi alam di Bogor, terutama ibukota Jakarta karena dapat

mengakibatkan terjadinya banjir.

4

1.2. Perumusan Masalah

Bertolak dari permasalahan yang diungkapkan dalam bab sebelumnya,

muncul pertanyaan terkait esensi dari penelitian yang dilakukan untuk lebih

memperjelas arah penelitian, yakni bagaimana pengaruh perubahan penggunaan

lahan terhadap koefisien aliran volumetrik yang terjadi di DAS Ciliwung bagian

hulu selama periode tahun 2000 - 2009. Oleh karena itu judul skripsi yang

diajukan adalah Kajian Pengaruh Perubahan Penggunaan Lahan terhadap

Koefisien Aliran Volumetrik Studi Kasus DAS Ciliwung Bagian Hulu, Kabupaten

Bogor, Provinsi Jawa Barat.

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian adalah :

1. Mengkaji hubungan antara curah hujan dengan koefisien aliran volumetrik

di DAS Ciliwung bagian hulu selama periode tahun 2000 - 2009.

2. Mengkaji pengaruh perubahan penggunaan lahan terhadap perubahan nilai

koefisien aliran volumetrik di DAS Ciliwung bagian hulu selama periode

tahun 2000 - 2009.

1.4. Kegunaan Penelitian

1. Memberikan informasi mengenai sejauh mana perubahan penggunaan lahan

yang terjadi sehingga memberi dampak terhadap perubahan nilai koefisien

aliran volumetrik pada DAS Ciliwung bagian hulu dan diharapkan dapat

dijadikan bahan pertimbangan dalam analisis selanjutnya mengenai

pengelolaan DAS Ciliwung khusus nya terkait masalah banjir.

2. Memberikan informasi tentang pentingnya pengelolaan dan perlindungan

lingkungan hidup khusunya kelestarian sumberdaya lahan dan air.

3. Memberikan kontribusi ilmu pengetahuan dalam bidang Geografi dan Ilmu

Lingkungan, khusus nya dalam bidang kajian hidrologi air permukaan.

4. Sebagai tugas pokok dan syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan Strata-

1 di Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada.

5

1.5. Tinjauan Pustaka

1.5.1. Daerah Aliran Sungai

Daerah aliran sungai (DAS) dalam bahasa asing memiliki padanan kata

river basin, drainage basin atau watershed adalah daerah yang dibatasi

punggung-punggung gunung sehingga air hujan yang jatuh pada daerah tersebut

akan ditampung dan dialirkan melalui sungai-sungai kecil ke sungai utama yang

berperan sebagai outlet tungal (Asdak, 2010). Pandangan Sudjarwadi (1985,

dalam Laporan Petunjuk Praktikum Hidrologi Sungai dan Danau Fakultas

Geografi UGM, 2011) terhadap DAS adalah sebagai bentang lahan (landscape)

yang dibatasi oleh pemisah topografi, sebagai bentang lahan yang mempunyai

fungsi keruangan, produksi dan habitat, sebagai kesatuan ekosistem, tempat

berlangsungnya interaksi, interpedensi dan interrelasi komponen – komponen

lingkungan. Sistem hidrologis sebagai suatu sistem yang mendapat input dari

hujan, proses dan keluaran berupa debit, muatan sedimen, uap air, unsur hara dan

kandungan material lain yang terbawa oleh aliran sungai.

Dalam mempelajari DAS umumnya dilakukan klasifikasi wilayah pada DAS

berdasarkan toposekuensnya dengan membagi wilayah DAS menjadi bagian hulu,

tengah dan hilir untuk lebih memahami karakteristik baik fisik maupun sosial

pada DAS sehingga memberi kemudahan dalam menentukan bentuk pengelolaan

yang tepat terhadap DAS. Hulu DAS secara biogeofisik dicirikan dengan

topografi bergelombang, berbukit sampai bergunung dengan kemiringan lereng

besar (>15%), kerapatan drainase relatif tinggi dan merupakan daerah tangkapan

air, dimana sumber air yang berasal dari limpasan permukaan (runoff) maupun air

tanah yang bergerak perlahan melalui akuifer masuk ke sungai utama dalam

bentuk aliran dasar (baseflow). DAS bagian hilir merupakan wilayah daratan pada

DAS yang dicirikan dengan topografi datar sampai landai dengan kemiringan

lereng kecil (<8%), kerapatan drainase rendah dan merupakan daerah endapan

sedimen atau aluvial serta pada beberapa tempat merupakan daerah banjir

(genangan). Sementara DAS bagian tengah merupakan daerah transisi dari kedua

karakteristik biogeofisik DAS bagian hulu dan hilir. Ekosistem yang terbentuk

6

pada hulu DAS memegang peran penting karena mempunyai fungsi perlindungan

terhadap seluruh bagian DAS. Perlindungan yang dimaksud antara lain dari segi

fungsi tata air. Oleh karena itu, DAS bagian hulu seringkali menjadi fokus

perencanaan pengelolaan DAS.

Gambar 1.1 Hubungan Biofisik antara Wilayah Hulu dan Hilir DAS (Asdak, 2010)

1.5.2. Daur Hidrologi

Asdak (2010) mendefinisikan daur hidrologi sebagai perjalanan air dari

permukaan laut ke atmosfer kemudian ke permukaan tanah dan kembali lagi ke

laut yang prosesnya tidak pernah berhenti. Air hanya akan tertahan sementara di

sungai, danau/waduk dan dalam tanah sehingga dapat di manfaatkan oleh manusia

atau mahluk hidup lainnya. Daur hidrologi juga didefinisikan sebagai suatu proses

perjalanan air dari laut, sungai, danau dan badan air yang lain serta dari tanah

menuju ke atmosfer dalam bentuk uap air yang disebut evaporasi, dan dari

tumbuh-tumbuhan dalam bentuk transpirasi. Perjalanan naik ke atmosfer ini juga

dalam bentuk evapotranspirasi yang berasal dari air dan tumbuh-tumbuhan, dan

dari tanah dan tumbuh-tumbuhan dan mungkin pula dari ketiganya secara serentak

dan bersama-sama (Apriyanto, 2000). Peran energi panas matahari sangat besar,

disamping faktor iklim lain yang menyebabkan terjadinya proses evapotranspirasi.

7

Uap air sebagai hasil proses penguapan akan terbawa oleh massa udara yang

bergerak menuju daratan dan terkondensasi. Uap air tersebut akan membeku dan

menjadi butiran – butiran air yang membentuk awan. Ketika sampai pada titik

jenuh maka butiran – butiran air kemudian akan membesar untuk dapat jatuh ke

permukaan bumi sebagai hujan. Air hujan yang jatuh ke permukaan tanah

sebagian mengalir sebagai limpasan (runoff) untuk selanjutnya membentuk aliran

debit sungai, tertampung sementara dalam cekungan – cekungan permukaan

tanah, sebagian meresap ke dalam tanah (terinfiltrasi) untuk kemudian bergabung

kembali dengan aliran debit dan sisanya bergerak lurus ke bawah menuju

mintakat jenuh (perkolasi) dan menjadi air tanah. Limpasan (runoff) merupakan

output dari siklus hidrologi yang terjadi di daerah DAS dengan input adalah curah

hujan dan setelah mengalami berbagai macam proses akhirnya menghasilkan

keluaran disamping limpasan juga sedimen dan zat kimia yang terangkut oleh

aliran sungai. Limpasan (runoff) yang dihasilkan tergantung dari karakteristik

hujan sebagai masukan dan karakteristik DAS yang merubah input menjadi

output.

Gambar 1.2 Daur Hidrologi pada DAS (Warshall, 1976 dalam Martopo, 1992

dalam Apriyanto, 2000)

8

1.5.3. Presipitasi

Presipitasi didefinisikan sebagai curahan atau jatuhnya air dari atmosfer ke

permukaan bumi dan laut dalam bentuk yang berbeda, yaitu curah hujan di daerah

tropis dan curah hujan serta salju di daerah beriklim sedang (Asdak, 2010).

Presipitasi adalah istilah lain dari curah hujan pada daerah tropis karena bentuk

presipitasi pada daerah tropis hanya ditemui dalam bentuk butiran – butiran air

hujan yang jatuh ke permukaan tanah dan laut. Presipitasi adalah faktor utama

yang mengendalikan proses daur hidrologi pada suatu wilayah DAS dan

merupakan elemen utama yang perlu diketahui mendasari pemahaman tentang

kelembaban tanah, proses resapan air tanah dan debit aliran. Oleh karena itu

presipitasi menjadi elemen yang perlu diketahui dalam kaitanya dengan analisis

hidrologi seperti pengelolaan sumberdaya air pada DAS, dimana harus memahami

proses dan mekanisme terjadinya presipitasi.

Presipitasi mempunyai banyak karakteristik, meliputi penyebaran hujan

menurut ruang, frekuensi (harapan hujan akan jatuh), periode waktu

berlangsungnya hujan dan jumlah hujan yang jatuh pada periode tertentu

(intensitas hujan). Karakteristik presipitasi tersebut mempengaruhi ketersediaan

baik air permukaan maupun air tanah dalam hal kualitas maupun kuantitas.

Keterkaitan antara presipitasi dengan penelitian yang dilakukan adalah dalam

konteks bahwa presipitasi atau curah hujan merupakan salah satu faktor yang

mempengaruhi laju dan volume limpasan. Asdak (2010) mengatakan bahwa

periode waktu berlangsungnya hujan, intensitas hujan dan penyebaran hujan akan

mempengaruhi laju dan volume limpasan. Penelitian yang dilakukan berasumsi

bahwa intensitas hujan yang sama selalu akan memberikan aliran yang sama pula

untuk saat ini maupun waktu mendatang selama tidak terjadi perubahan

penggunaan lahan.

9

1.5.4. Limpasan (Runoff)

Limpasan (runoff) adalah bagian dari curah hujan yang jatuh langsung diatas

permukaan saluran sungai (channel interception), mengalir diatas permukaan

tanah menuju ke saluran sungai (surface flow) dan aliran bawah permukaan

(subsurface flow) serta aliran dasar (baseflow) yang merupakan bagian curah

hujan yang mengalami infiltrasi dan perkolasi dalam tanah yang kemudian

mengalir di bawah permukaan tanah menuju saluran sungai dalam wujud

rembesan maupun mata air. Pada sebagian besar studi hidrograf, tidak lazim

memisahkan masing – masing komponen pembentuk limpasan (runoff) seperti

yang telah disebutkan diatas, melainkan analisis dilaksanakan dengan cara

memisahkan antara limpasan langsung (direct runoff) dari aliran dasar (baseflow)

(Asdak, 2010).

Gambar 1.3 Diagram Alir Proses Hidrologi Dalam Membentuk Limpasan

Precipitation (P)

Losses Precipitation Excess

Surface flow

Direct runoff (DRO)

Other Losses Infiltration

Sub Surface Flow

Base flow

Ground Water Discharge

Percolation Channel Interception

Runoff

10

Proporsi masing – masing komponen seperti yang ditunjukkan pada diagram

alir diatas dalam pengaruhnya terhadap limpasan (runoff) tergantung dari

karakteritik fisik daerah aliran sungai (DAS) yang bersangkutan. Pengaruh

karakteristik fisik DAS terhadap limpasan (runoff) adalah melalui morfometri

DAS (bentuk dan ukuran DAS serta kerapatan aliran), elemen topografi, kondisi

geologi, penutup lahan (land-cover) meliputi jenis dan kerapatan vegetasi serta

tata guna lahan (land-use) yang terdapat pada DAS. Bentuk DAS yang

memanjang dan sempit akan menurunkan laju runoff pada channel sungai jika

dibandingkan dengan bentuk DAS yang membulat, walaupun luas keseluruhan

DAS tersebut sama. Hal ini disebabkan oleh waktu konsentrasi komponen –

komponen pembentuk runoff seperti channel interception dan surface flow pada

channel sungai untuk DAS yang memanjang tidak lebih cepat jika di bandingkan

dengan waktu konsentrasi channel interception dan air surface flow pada DAS

yang membulat. Kerapatan drainase yakni perbandingan antara panjang dari

semua sungai/saluran pada DAS kajian (km) dengan luas DAS (km²) juga

merupakan faktor penting yang mempengaruhi kecepatan limpasan. semakin

tinggi nilai kerapatan drainase maka semakin besar kecepatan limpasan untuk

mencapai outlet.

Kemiringan lereng DAS mempengaruhi perilaku runoff dalam hal timing.

Semakin besar kemiringan lereng suatu DAS, semakin cepat pula laju limpasan

langsung (direct runoff), dan dengan demikian mempercepat respon DAS oleh

adanya curah hujan, terutama dalam meningkatkan laju runoff pada channel

sungai. Struktur geologi dan batuan, macam serta tingkat pelapukan batuan akan

berpengaruh pada besar kecilnya permeabilitas batuan dan kapasitas batuan

menyimpan dan melepas air dalam memperlambat atau mempercepat terjadinya

limpasan. Pengaruh penutup lahan (land-cover) dan tata guna lahan (land-use)

terhadap laju dan volume limpasan cukup besar, terutama dalam memperlambat

atau mempercepat terjadinya limpasan karena merupakan faktor yang paling

dinamis dan lebih disebabkan oleh modifikasi terhadap lahan yang dilakukan oleh

manusia.

11

1.5.5. Koefisien Aliran Volumetrik

Koefisien aliran volumetrik (Cv) adalah bilangan yang menunjukkan

perbandingan antara besarnya limpasan langsung (direct runoff) terhadap

besarnya curah hujan dalam suatu DAS (Asdak, 2010). Angka koefisien aliran

volumetrik dapat menjadi indikator untuk menentukan kondisi fisik dari DAS

apakah telah mengalami gangguan fisik dan sebagai peringatan awal terhadap

kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh perubahan penggunaan lahan pada

DAS. Nilai Cv yang besar menunjukan bahwa lebih banyak curah hujan yang

jatuh ke permukaan bumi yang kemudian menjadi limpasan langsung (direct

runoff). Ditinjau dari segi keseimbangan air kurang baik karena jumlah curah

hujan yang meresap ke dalam tanah (infiltrasi) yang kemudian menjadi air tanah

berkurang.

Nilai koefisien aliran volumetrik (Cv) dikaji dengan menggunakan analisis

hubungan antara hujan dan hidrograf aliran yang dihasilkan. Berdasarkan

hidrograf aliran yang dihasilkan, nilai koefisien aliran (Cv) diketahui dengan

terlebih dahulu memisahkan antara limpasan langsung (direct runoff) dengan

aliran dasar (baseflow), kemudian menghitung volume limpasan langsung (direct

runoff). Volume limpasan langsung (direct runoff) kemudian dibagi dengan luas

DAS sehingga menghasilkan tebal limpasan langsung. Tebal limpasan langsung

kemudian dibandingkan dengan tebal curah hujan yang menyebabkannya

sehingga diperoleh koefisien aliran volumetrik (Cv). Angka Cv yang menunjukan

antara besarnya air larian terhadap besarnya curah hujan berkisar antara 0 hingga

1. Angka Cv = 0 menunjukan bahwa semua curah hujan terdistribusi menjadi air

intersepsi dan terutama infiltrasi. Sedangkan angka Cv = 1 menunjukan bahwa

semua curah hujan mengalir sebagai limpasan (Asdak, 2010). Besaran nilai Cv

kemudian akan dikorelasikan dengan kondisi topografi, morfometri DAS, tanah,

batuan dan tata guna lahan untuk melihat apakah ke-5 parameter diatas ikut

mempengaruhi perubahan nilai koefisien aliran volumetrik atau tidak.

12

1.5.6. Hidrograf

Hidrograf (hydrograph) adalah grafik yang menggambarkan fenomena

aliran (tinggi muka air, debit, dan lain – lain) dengan waktunya. Hidrograf

umumnya dibagi menjadi 2 macam, yakni hidrograf tinggi muka air (stage

hydrograph) dan hidrograf aliran (discharge hydrograph). Hidrograf tinggi muka

air dihasilkan dari rekaman alat yang disebut Automatic Water Level Recorder

(AWLR) yang dipasang pada Stasiun Pengukur Aliran Sungai (SPAS). SPAS

ditempatkan pada outlet DAS, dimana semua runoff dari DAS keluar melalui satu

channel sungai yang berperan sebagai outlet tersebut. Hidrograf Aliran dapat

dihasilkan dari pasangan data hasil turunan hidrograf tinggi muka air dan

lengkung aliran (stage discharge rating curve) dengan data hujan. Lengkung

aliran merupakan kurva yang menunjukkan hubungan antara tinggi muka air

dengan debit aliran pada lokasi penampang sungai tertentu. Lengkung aliran

dibuat berdasarkan data pengukuran aliran yang dilaksanakan pada muka air dan

waktu yang berbeda – beda.

Hidrograf aliran memiliki empat macam komponen pembentuk aliran, yakni

air larian (surface flow), intersepsi saluran (channel interception), aliran bawah

permukaan dan dan aliran air tanah. Gabungan air larian, intersepsi saluran dan

aliran air bawah permukan dikenal sebagai debit aliran (stormflow). Stormflow ini

menjadi komponen hidrograf yang paling diperhatikan dalam banyak analisis

hidrologi terutama dalam kaitannya dengan karakteristik DAS. Pada sebagian

besar studi hidrograf, tidak lazim memisahkan masing – masing komponen

pembentuk stormflow, melainkan analisis dilaksanakan dengan cara memisahkan

antara limpasan langsung dari aliran dasar (Asdak, 2010).

Gambar 1.4 Ilustrasi Hidrograf Tinggi Muka Air dan Hidrograf Aliran

13

Hidrograf banjir (flood hydrograph) adalah discharge hydrograph pada saat

aliran dalam keadaan banjir, bentuknya seperti bentuk lonceng miring kekanan.

Hidrograf banjir sangat penting dalam analisis hidrologi seperti menghitung

jumlah air sungai, jumlah sedimen yang diangkut aliran, analisis respon DAS dan

analisis hubungan hujan dengan aliran. Hidrograf banjir di sungai disebabkan oleh

hujan tunggal atau hujan ganda. Hujan ganda menyebabkan terjadinya hidrograf

banjir dengan dua puncak.

Gambar 1.5 Pengaruh Hujan Pada Ukuran dan Bentuk Hidrograf Banjir

Parameter hidrograf banjir dapat dibagi menjadi 2, yaitu parameter iklim dan

Limpasan. Parameter iklim tersebut dinyatakan sebagai hujan jumlah hujan,

durasi hujan dan intensitas hujan, sedangkan parameter limpasan dinyatakan

sebagai debit puncak (Qp), limpasan langsung (direct runoff), aliran dasar

(baseflow), waktu konsentrasi (time of concentration or time lag), waktu dasar

(time base) dan koefisien aliran.

Q Q

T T

Hujan efektif

Tunggal

Hujan efektif

Ganda

P P

14

Gambar 1.6 Komponen Hidrograf Banjir (Wilson, 1974)

Triadmodjo (2010) menjelaskan komponen hidrograf banjir seperti puncak

hidrograf, waktu capai puncak, sisi naik, sisi turun, akhir sisi turun dan volume

hidrograf. Puncak hidrograf adalah bagian dari hidrograf yang menggambarkan

debit maksimum. Waktu mencapai puncak adalah waktu yang diukur dari waktu

nol (debit normal) sampai waktu terjadinya debit puncak. Sisi naik (rising limb)

adalah bagian dari hidrograf antara waktu nol (debit normal) dan waktu capai

puncak. Sisi turun (recession curve) adalah bagian dari hidrograf yang menurun

antara waktu capai puncak dan waktu dasar. Waktu dasar adalah waktu yang

diukur dari waktu nol (debit normal) sampai waktu di mana sisi turun berakhir.

Akhir dari sisi turun ini ditentukan dengan perkiraan. Faktor – faktor yang

mempengaruhi setiap komponen pada hidrograf banjir adalah sebagai berikut :

Bagian rising limb sampai pada time to peak banyak dipengaruhi oleh

karakteristik curah hujan dan karakteristik DAS. Pada bagian ini aliran

banyak dipengaruhi oleh input yang berasal dari overland flow.

Bagian recession curve lepas dari karakteristik hujan, bagian ini banyak

dipengaruhi oleh karakteristik pelepasan air dari simpanannya (storage)

meliputi pelepasan air dari simpanan air pada alur sungai, simpanan air

pada lapisan antara tanah dan simpanan air pada akuifer.

15

1.5.7. Lahan dan Penggunaan Lahan

Lahan adalah suatu lingkungan fisik terdiri atas tanah, iklim, relief,

hidrologi, vegetasi, dan benda-benda yang ada di atasnya yang selanjutnya semua

faktor-faktor tersebut mempengaruhi penggunaan lahan termasuk di dalamnya

juga hasil kegiatan manusia baik masa lampau maupun sekarang (FAO, 1975

dalam Arsyad, 1989). Manusia umumnya mempunyai hubungan dengan lahan

dalam kehidupan sehari – hari karena mempunyai nilai sosial ekonomi. Lahan

berfungsi sebagai prasarana atau sebagai tempat berdirinya prasarana guna

melaksanakan berbagai kegiatan sosial ekonomi tersebut.

Penggunaan lahan (land-use) dapat diartikan sebagai campur tangan

manusia terhadap lahan, baik secara menetap maupun berkala untuk memenuhi

kebutuhan hidup baik material maupun spiritual (Arsyad, 1989). Penggunaan

lahan dapat dikelompokkan ke dalam dua golongan besar, yaitu penggunaan lahan

pertanian dan penggunaan lahan bukan pertanian. Penggunaan lahan pertanian

dibedakan secara garis besar ke dalam macam penggunaan lahan berdasarkan

penyediaan air dan lahan yang diusahakan. Berdasarkan hal itu dikenal macam

penggunaan lahan seperti sawah, tegalan, kebun, kebun campuran, dan hutan.

Penggunaan lahan bukan pertanian dapat dibedakan ke dalam penggunaan kota

atau desa (pemukiman), industri, rekreasi dan sebagainya (Arsyad, 1989).

Klasifikasi penggunaan lahan yang digunakan pada penelitian ini adalah

berdasarkan klasifikasi penutup lahan menurut Standar Nasional Indonesia (SNI)

7645:2010. Klasifikasi penutup lahan ini berisi kumpulan klasifikasi dan deskripsi

penutup lahan di Indonesia pada peta tematik penutup lahan skala 1:1.000.000,

1:250.000, dan 1:50.000 atau 1:25.000. Standar klasifikasi SNI 7645:2010

mengacu pada Land-cover Classification System United Nation – Food and

Agriculture Organization (LCCS-UNFAO) dan ISO 19144-1 Geographic

information – Classification Systems – Part 1:Classification system structure, dan

dikembangkan sesuai dengan fenomena yang ada di Indonesia. Standar ini

disusun berdasarkan Pedoman Standardisasi Nasional Nomor 8 tahun 2007,

tentang Penulisan Standar Nasional Indonesia.

16

1.5.8. Perubahan penggunaan lahan

Perubahan penggunaan lahan atau perubahan penggunaan lahan adalah suatu

proses untuk mengelola lahan secara lebih intensif atau ekstensif atau bahkan

merubah pemanfaatan tata guna lahan (Turner & Meyer dalam Chay, 2010).

Perubahan penggunaan lahan berarti terjadi perubahan fungsi sebagian atau

seluruh luas lahan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi

fungsi lain yang dapat menimbulkan dampak positif atau dampak negatif

(masalah) terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri. Faktor – faktor yang

mendorong terjadinya perubahan penggunaan lahan menurut Pierce (1981) adalah

: (1) dinamika penduduk, semakin bertambah jumlah penduduk semakin tinggi

terjadinya perubahan penggunaan lahan, (2) fungsi ekonomi yang dominan, (3)

ukuran kota, (4) rata – rata nilai lahan permukiman, (5) kepadatan, (6) wilayah

geografi dan (7) lahan pertanian potensial. Sementara Chapin (1995, dalam Ratna,

2003) menyebutkan bahwa faktor – faktor yang mempengaruhi perkembangan

penggunaan lahan antara lain : (1) topografi, semaikin tinggi topografi, semakin

rendah tingkat penggunaan lahannya, (2) penduduk, semakin banyak jumlah

penduduk, semakin banyak perubahan pengguna lahan yang terjadi, (3) nilai

lahan, semakin mahal lahan karena lokasi nya yang strategis maka semakin cepat

mengalami perubahan, (4) aksestabilitas, semakin tinggi tingkat aksestabilitas

maka semakin besar perubahan penggunaan lahan, (5) ketersediaan sarana dan

prasarana yang ada semakin mempercepat perubahan penggunaan lahan, terakhir

adalah (7) daya dukung lingkungan.

17

1.5.9. Pengaruh Perubahan Penggunaan Lahan terhadap Koefisien Aliran Volumetrik

Perubahan tata guna lahan memberi dampak yang signifikan terhadap

koefisien aliran volumetrik (Tuan, 1991 dalam Susilowati, dkk, 2006).

Perambahan hutan untuk kegiatan pertanian dan kawasan permukiman

mengakibatkan peningkatan koefisien aliran volumetrik (runoff coefficient) karena

jumlah air hujan yang menjadi limpasan meningkat, sehingga meningkatkan debit

aliran sungai. Mengacu pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh

Susilowati, dkk (2006) di Surakarta terhadap empat DAS kecil dengan luas 0,5 ha

yang letaknya berdekatan dalam kurun waktu empat tahun dan satu DAS seluas

7,2 ha selama tiga tahun. Penelitian yang dilakukan berangkat dari asumsi awal

bahwa intensitas hujan yang sama selalu akan memberikan aliran yang sama pula

untuk saat ini maupun waktu mendatang selama tidak terjadi perubahan lahan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa koefisien aliran volumetrik, puncak

limpasan dan hasil sedimen per unit luas, meningkat seiring dengan peningkatan

pengembangan tata guna lahan dan menurun seiring dengan konservasi vegetasi

yang semakin baik. Usaha pemanfaatan lahan mendorong adanya perubahan

fungsi lahan dengan kecenderungan lebih kedap air sehingga menimbulkan

genangan dan limpasan permukaan yang cukup tebal (Sulistiono, 1995).

1.6. Kerangka Pemikiran

Riley & Arnell (dalam Estrayuda, 2012) menjelaskan bahwa perubahan

penggunaan lahan memberikan pengaruh negatif terhadap DAS dan sistem

hidrologi seperti berubahnya karakter permukaan tanah dari DAS yang akan

mempengaruhi penyimpanan runoff. Perubahan penggunaan lahan pada DAS

berdampak pada kecenderungan perubahan tanah yang semula besifat lolos air

(permeable) menjadi lebih kedap air (impermeable) dan berdampak langsung

terhadap meningkatnya koefisien aliran. Hubungan antara perubahan penggunaan

lahan dan nilai koefisien aliran volumetrik secara lebih jelas dapat dilihat dalam

gambar 1.7 diagram alir kerangka pemikiran penelitian berikut ini :

18

Keterangan : = input = proses

Data curah hujan wilayah harian tahun 2000 dan 2009

Tebal hujan wilayah harian tahun 2000 dan 2009

Data debit aliran tiap jam tahun 2000 dan 2009

Pemisahan DRO dan baseflow pada Hidrograf aliran

Penentuan debit limpasan langsung (DRO)

Penentuan volume limpasan langsung (DRO)

Penentuan tebal limpasan langsung (DRO)

Nilai koefisien aliran volumterik

Uji beda (T-Test), terhadap nilai tebal hujan wilayah harian tahun 2000 dan 2009

Data Spasial penggunaan Lahan DAS Ciliwung Bagian Hulu Tahun 2000

Peta Tentatif Penggunaan Lahan DAS

Ciliwung Bagian Hulu Tahun 2000

Peta Tentatif Penggunaan Lahan DAS

Ciliwung Bagian Hulu Tahun 2009

Overlay Peta Tentatif Penggunaan Lahan DAS Ciliwung bagian Hulu tahun 2000 dan 2009

luas perubahan penggunaan lahan pada tiap – tiap jenis penutup lahan diketahui

analisis spasial alih fungsi lahan meliputi ditribusi lokasi alih fungsi lahan yang terjadi di DAS Ciliwung bagian hulu

persentase perubahan penggunaan lahan per jenis penggunaan lahan pada DAS Ciliwung bagian hulu antara tahun 2000 dan 2009

Pengaruh alih fungsi lahan terhadap nilai koefisien aliran volumterik pada tahun 2000 dan 2009

Data Spasial penggunaan Lahan DAS Ciliwung Bagian Hulu Tahun 2009

Debit DRO x 3600 s

Volume DRO/luas DAS

Gambar 1.7 Diagram Alir Kerangka Pemikiran Penelitian

Pengaruh curah hujan terhadap nilai koefisien aliran volumterik pada tahun 2000 dan 2009

= output = analisa

19

1.7. Batasan Istilah

Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah daerah yang dibatasi punggung-punggung

gunung sehingga air hujan yang jatuh pada daerah tersebut akan ditampung dan

dialirkan melalui sungai-sungai kecil ke sungai utama yang berperan sebagai

outlet tungal (Asdak, 2010).

Presipitasi (istilah lain dari curah hujan pada daerah tropis) didefinisikan sebagai

bentuk air cair dan padat (es) yang jatuh ke permukaan bumi (Bayong, 2004).

Debit aliran sungai adalah laju aliran air yang melewati suatu penampang per

satuan waktu (Asdak, 2010).

Limpasan (runoff) adalah bagian dari curah hujan yang jatuh langsung diatas

permukaan saluran sungai (channel interception), mengalir diatas permukaan

tanah menuju ke saluran sungai (surface runoff) dan aliran bawah permukaan

(subsurface runoff) serta aliran dasar (baseflow) yang merupakan bagian curah

hujan yang mengalami infiltrasi dan perkolasi dalam tanah yang kemudian

mengalir di bawah permukaan tanah menuju saluran sungai dalam wujud

rembesan maupun mata air (Asdak, 2010).

Hidrograf banjir (flood hydrograph) adalah hidrograf aliran (discharge

hydrograph) pada saat aliran dalam keadaan banjir, bentuknya seperti bentuk

lonceng miring kekanan. Hidrograf banjir sangat penting dalam analisis hidrologi

seperti menghitung jumlah air sungai, jumlah sedimen yang diangkut aliran,

analisis respon DAS dan analisis hubungan hujan dengan aliran (Sudarmadji. Dan

Suyono, 1994)

Koefisien aliran volumetrik (Runoff Coefficient) adalah bilangan yang

menunjukkan perbandingan antara besarnya limpasan permukaan terhadap

besarnya curah hujan dalam suatu DAS (Asdak, 2010).

20

Lahan adalah suatu lingkungan fisik terdiri atas tanah, iklim, relief, hidrologi,

vegetasi, dan benda-benda yang ada di atasnya yang selanjutnya semua faktor-

faktor tersebut mempengaruhi penggunaan lahan termasuk di dalamnya juga hasil

kegiatan manusia, baik masa lampau maupun sekarang (FAO, 1975 dalam

Arsyad, 1989).

Penggunaan Lahan adalah campur tangan manusia terhadap lahan, baik secara

menetap maupun berkala untuk memenuhi kebutuhan hidup baik material maupun

spiritual (Arsyad, 1989).

Perubahan penggunaan lahan adalah suatu proses untuk mengelola lahan secara

lebih intensif atau ekstensif atau bahkan merubah pemanfaatan tata guna lahan

(Turner & Meyer dalam Asdak, 2010).

21

1.8. Penelitian Sebelumnya

Studi literatur dilakukan terhadap hasil-hasil penelitian sebelumnya dalam bentuk skripsi, tesis dan jurnal penelitian yang dipublikasikan oleh

lembaga penelitian atau pengembanan pada instansi pemerintah lainnya yang berkaitan dengan topik penelitian yakni perubahan penggunaan

lahan dan hidrologi air permukaan.

No. Nama Peneliti Judul Penelitian Tujuan Metode Penelitian Hasil Penelitian 1. Sudarmadji dan

Suyono (1995) Karakteristik Limpasan Dari Komplek Perumahan Studi Kasus di Kompleks Perumahan Banteng Baru, Sleman, Yogyakarta.

1) Mengkaji hubungan antara hujan dan aliran di daerah Kompleks Perumahan Banteng baru.

2) Mengkaji karakteristik hidrograf aliran dari berbagai macam kejadian hujan.

1) Analisis sifat hujan pada bulan Desember 1993 hingga akhir Januari 1994 saat dilakukan penelitian.

2) Analisis hidrograf aliran. 3) Analisis hubungan antara

hujan dan perubahan penggunaan lahan terhadap koefisien aliran.

1) Hujan yang terjadi selama penelitian sebagian besar berlangsung relative singkat, yaitu kurang dari 4 jam.

2) Hasil analisis menunjukkan bahwa secara umum hidrograf aliran yang terjadi berlangsung dalam waktu sangat cepat, kenaikan hidrograf berlangsung <1jam. Tb berkisar antara 2-7 jam tergantung durasi yang menyebabkannya, sedangkan Qp berkisar pada angka 80-90 liter/detik

3) Koefisien aliran yang dihasilkan oleh kejadian hujan bervariasi dengan rata – rata sebesar 0,574, lebih rendah jika di bandingkan dengan nilai koefisien aliran untuk daerah pemukiman/perumahan padat yakni berkisar 0,70-0,90

22

2. Susilowati dan Tima Santita N.R. (2006)

Analisis Perubahan Tata Guna Lahan dan Koefisien Limpasan terhadap Debit Drainas Perkotaan

1) Mengkaji perubahan tata guna lahan yang terjadi pada catchment area, meliputi 30 kalurahan di Kodya Surakarta selama periode tahun 1992 - 1996.

2) Mengkaji pengaruh perubahan tata guna lahan terhadap koefisien limpasan pada catchment area selama periode tahun 1992 - 1996.

3) Mengkaji pengaruh perubahan tata guna lahan dan koefisien limpasan terhadap debit rencana hasil perhitungan rumus rasional dan debit terukur di lapangan.

1. Analisis spasial perubahan penggunaan lahan untuk mengetahui persentase perubahan penggunaan lahan.

2. Analisis perhitungan nilai koefisien limpasan menggunakan rumus koefisien limpasan rata-rata tertimbang.

3. Analisis perhitungan debit rencana drainase perkotaan menggunakan rumus rasional

4. Analisis perhitungan debit terukur di lapangan menggunakan Critical Depth Methods

1. perubahan tata guna lahan keseluruhan selama empat tahun dalam catchment area penelitian sebesar 1,81 %.

2. Secara umum terjadi peningkatan nilai koefisien limpasan (C) yang disebabkan oleh perubahan tata guna lahan. Tahun 1992 nilai C berada pada kisaran 0,68 dan dalam jangka empat tahun berubah menjadi 0,69 atau meningkat sebesar 0,37 %. 3. Perubahan tata guna lahan dan koefisien limpasan telah mengakibatkan peningkatan nilai debit rencana hasil perhitungan rumus rasional sebesar 0,44 m3/s atau 0,42% dan peningkatan nilai debit limpasan (debit terukur di lapangan) sebesar 24,71 m 3/s atau 26,64 % dalam jangka empat tahun, selama periode penelitian tahun 1992-1996.