hunian di atas air sebagai ruang bertinggal alternatif

20
HUNIAN DI ATAS AIR SEBAGAI RUANG BERTINGGAL ALTERNATIF Uswatun Hasanah, Emirhadi Suganda 1. Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia, 16424, Depok 2. Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia, 16424, Depok Email: [email protected] Abstrak Air sebagai substansi yang disediakan alam, ternyata tidak hanya memberi manfaat untuk keberlangsungan hidup manusia saja, tetapi juga menjadi wadah untuk manusia bertinggal. Hubungan yang terjalin antara air dengan manusia dan arsitektur mewujudkan suatu bentuk hunian di atas air. Munculnya hunian di atas air didasari baik faktor fisik lingkungan maupun faktor yang dibentuk oleh manusia itu sendiri, sejarah, budaya, dan kepercayaan misalnya. Skripsi ini memaparkan pentingnya peran air pada hunian di atas air menjadikannya sebagai orientasi berhidup ataupun berinteraksi dengan sesama. Akibatnya, pengaruh aktivitas yang ada di atasnya menentukan konsep hunian dan pembagian ruang – ruangnya. Dalam menjaga keberdirian dan memastikan hunian untuk tetap terapung, metode yang digunakan untuk keterbangunan hunian di atas air juga menjadi hal utama. Berdasarkan tinjauan kasus yang telah dilakukan, kehidupan di atas air tidak dapat lepas begitu saja dengan aktivitas yang terjadi di daratan. Maka dari itu, secara garis besar bahwa hidup di atas air menghapus batasan antara daratan dan air. Kata kunci: air, hunian, aktivitas DWELLING ON THE WATER AS THE ALTERNATIVE LIVING SPACE Abstract Water as a substance which is provided by nature, not only gives amelioration for human living, but also accommodates spaces for human dwelling. The relationship between water with human and architecture could form a kind of dwelling on the water. The presence of dwelling on the water may be affected by physical environment or the behaviour of human itself, such as history, culture, and belief. This paper is aimed to reveal the ability of water to create whether as life orientation or human interaction. The influence of human’s activity could establish the concept of dwelling and the diverse types of spaces. Construction method also has a main role to ensure the building keeps floating. Based on case study, dwelling on the water could not be separated from activities which occured on land. Therefore, generally that dwelling on the water wipes out the boundary between land and water. Keywords: water, dwelling, activity Hunian Di Atas..., Uswatun Hasanah, FT UI, 2013

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

13 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: HUNIAN DI ATAS AIR SEBAGAI RUANG BERTINGGAL ALTERNATIF

HUNIAN DI ATAS AIR SEBAGAI RUANG BERTINGGAL ALTERNATIF

Uswatun Hasanah, Emirhadi Suganda

1. Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia, 16424, Depok 2. Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia, 16424, Depok

Email: [email protected]

Abstrak

Air sebagai substansi yang disediakan alam, ternyata tidak hanya memberi manfaat untuk keberlangsungan hidup manusia saja, tetapi juga menjadi wadah untuk manusia bertinggal. Hubungan yang terjalin antara air dengan manusia dan arsitektur mewujudkan suatu bentuk hunian di atas air. Munculnya hunian di atas air didasari baik faktor fisik lingkungan maupun faktor yang dibentuk oleh manusia itu sendiri, sejarah, budaya, dan kepercayaan misalnya. Skripsi ini memaparkan pentingnya peran air pada hunian di atas air menjadikannya sebagai orientasi berhidup ataupun berinteraksi dengan sesama. Akibatnya, pengaruh aktivitas yang ada di atasnya menentukan konsep hunian dan pembagian ruang – ruangnya. Dalam menjaga keberdirian dan memastikan hunian untuk tetap terapung, metode yang digunakan untuk keterbangunan hunian di atas air juga menjadi hal utama. Berdasarkan tinjauan kasus yang telah dilakukan, kehidupan di atas air tidak dapat lepas begitu saja dengan aktivitas yang terjadi di daratan. Maka dari itu, secara garis besar bahwa hidup di atas air menghapus batasan antara daratan dan air.

Kata kunci: air, hunian, aktivitas

DWELLING ON THE WATER AS THE ALTERNATIVE LIVING SPACE

Abstract

Water as a substance which is provided by nature, not only gives amelioration for human living, but also accommodates spaces for human dwelling. The relationship between water with human and architecture could form a kind of dwelling on the water. The presence of dwelling on the water may be affected by physical environment or the behaviour of human itself, such as history, culture, and belief. This paper is aimed to reveal the ability of water to create whether as life orientation or human interaction. The influence of human’s activity could establish the concept of dwelling and the diverse types of spaces. Construction method also has a main role to ensure the building keeps floating. Based on case study, dwelling on the water could not be separated from activities which occured on land. Therefore, generally that dwelling on the water wipes out the boundary between land and water.

Keywords: water, dwelling, activity

Hunian Di Atas..., Uswatun Hasanah, FT UI, 2013

Page 2: HUNIAN DI ATAS AIR SEBAGAI RUANG BERTINGGAL ALTERNATIF

Latar Belakang

Air merupakan salah satu kebutuhan paling esensial dalam seluruh aspek kehidupan

manusia. Terlihat pada besarnya jumlah air yang mencapai dua per tiga bumi jika

dibandingkan dengan luasnya daratan, sedangkan dari jumlah keseluruhan air tersebut, hanya

dua per tiga nya yang tergolong air bersih1.

Faktanya, kehidupan manusia di daratan mengalami penurunan kualitas, yakni

meningkatnya jumlah penduduk yang tak diimbangi dengan jumlah lahan di daratan yang

tidak bertambah. Dalam mewujudkan dwelling yang ideal, beberapa negara mencoba

menggunakan air sebagai alternative tempat bertinggal dan beraktifitas, walaupun

pemanfaatan air dalam hal ini bukanlah sesuatu yang baru. Sebagai bentuk pemahaman dari

keterhubungan manusia dan air untuk menciptakan dwellingnya, maka hal yang terlebih

dahulu perlu untuk dipahami adalah pengertian tentang dwelling. Menurut Heidegger (2009)

terkait dengan pernyataan tersebut, pendekatan dwelling yang didapat yakni hakikat

keberadaan manusia tidak terlepas dari empat komponen utama yang terangkum pada alam

dan kehidupan manusia itu sendiri. Kemudian dwelling hadir dari bentukan hunian yang

mewadahi kegiatan penting manusia di dalamnya.

Kaitan dari pernyataan yang dilontarkan oleh Moore (1991) dan dwelling oleh

Heidegger, air sebagai simbol yang merepresentasikan keberadaan manusia melalui karakter

fisik air berbaur dengan indra manusia. Kemudian keduanya saling berinteraksi dan

membentuk ketergantungan dimana aktivitas tercakup didalamnya. Disinilah air hadir

menjadi media dwelling yang mewadahi kegiatan manusia di atasnya. Lebih lanjut Moore

(1991) menyatakan bahwa apabila manusia mampu menggabungkan air baik secara simbol,

sejarah, dan fisik, maka keterkaitan antara air dan arsitektur akan menghasilkan suatu

bentukkan yang memiliki potensi tiada banding.

Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia2 yang terdiri dari lima pulau

besarnya dengan karakteristik yang berbeda pada tiap pulaunya, salah satunya Banjarmasin,

kota yang berada tepat di bagian selatan Kalimantan ini memiliki julukan sebagai “Kota

seribu sungai.” Julukan ini merepresentasikan pada kondisi fisik kota yang dialiri oleh banyak

sungai, berdasarkan Kementrian Lingkungan Hidup jumlah sungai yang ada sebelumnya

                                                                                                                         1 Atas, Wandawa. (2012). Air Mengalir Sampai Jauh. Greeneration Indonesia, http://greeneration.org/air-mengalir-sampai-jauh/ Diakses pada 23 Maret 2013 pukul 20.54 WIB.

2 n.d. Geografis Indonesia. http://www.indonesia.go.id/in/sekilas-indonesia/geografi-indonesia. Diakses pada 23 Maret 22.00 WIB.

Hunian Di Atas..., Uswatun Hasanah, FT UI, 2013

Page 3: HUNIAN DI ATAS AIR SEBAGAI RUANG BERTINGGAL ALTERNATIF

membelah kota Banjarmasin sebanyak 400 sungai. Namun, sejak tahun 2004 hingga saat ini

jumlah sungai yang ada disinyalir hanya berjumlah 60 sungai.

Kondisi geografis Banjarmasin yang dialiri oleh banyak sungai membuat

masyarakatnya sangat bergantung pada air terlihat pada masyarakatnya yang melakukan

kegiatan jual beli dan mendirikan rumah di atas sungai maupun di bibir sungai. Fakta yang

ada saat ini adalah masyarakat Banjarmasin mulai meninggalkan tradisi bertinggal di sungai

dan lebih memilih tinggal di daratan.

Banjarmasin sebagai bagian dari Indonesia sebenarnya memiliki potensi dalam

pengembangan pemanfaatan air sebagai tempat bertinggal di masa yang akan datang

seharusnya tidak meninggalkan tradisi tersebut. Beberapa negara telah menerapkan hunian di

atas air, yakni Thailand dan Belanda. Kasus yang ada di Thailand tidak jauh berbeda dengan

yang ada di Indonesia. Sedangkan Belanda dijadikan contoh dalam konteks kecanggihan

teknologi yang diterapkan dalam pemanfaatan air sebagai tempat bertinggal dan beraktifitas.

Berdasarkan contoh – contoh yang diangkat untuk dikaji lebih dalam dan melihat

bagaimana aktifitas dan keterbangunannya, kemudian dikaitkan pada teori hunian di atas air

yang akan dibahas terlebih dahulu dirasa akan menghasilkan sebuah parameter dalam

mewujudkan sebuah bentuk hunian di atas air yang layak. Akhirnya, parameter tersebut dapat

diaplikasikan sebagai hunian alternatif di masa datang dan bukan lagi suatu yang tak mungkin

bahwa teknologi yang saat ini sedang berkembang maupun pemahaman akan teknologi

keterbangunan yang berbasis pada tradisi akan terlibat.

Kemajuan teknologi memunculkan berbagai macam inovasi, tak terkecuali dalam

mewujudkan tempat untuk bertinggal dan beraktifitas bagi manusia yang layak serta mampu

menjadi tempat berlindung dari bencana. Inovasi dalam pembangunan rumah tinggal dan

fasilitas publik di atas air saat ini dianggap menjadi solusi yang tepat melihat kualitas hidup

dan ketersediaan lahan tidak seimbang dengan sebagaimana mestinya. Sejak dulu, masyarakat

Banjarmasin tinggal di rumah lanting dan rumah panggung dalam kesehariannya yang

bersahabat dengan air. Menurunnya kualitas lingkungan, mengakibatkan berpindahnya

masyarakat Banjar yang semula tinggal di dekat sungai ke daratan. Hal ini dilandasi oleh

kurang memadainya baik jumlah maupun kualitas higienisnya utilitas yang ada. Seharusnya,

air yang telah lama menjadi media tempat bertinggal dan berbudaya tetap dilestarikan dan

dijaga keberadaannya. Oleh karena itu, melalui penelitian ini penulis mencoba menjawab

pertanyaan – pertanyaan yang muncul, yakni:

a. Apa yang menjadi pemicu munculnya hunian di atas air?

Hunian Di Atas..., Uswatun Hasanah, FT UI, 2013

Page 4: HUNIAN DI ATAS AIR SEBAGAI RUANG BERTINGGAL ALTERNATIF

b. Bagaimana dan apa saja konsep hunian di atas air dalam pemenuhan kebutuhan

manusia?

c. Bagaimana aktifitas manusia dalam kesehariannya yang berlangsung ketika

bertinggal di atas air tanpa melupakan pemenuhan kebutuhan dasar manusia?

Tinjauan Teoritis

Cakupan permasalahan yang akan dibahas adalah dalam perwujudan hunian di atas air

yang ideal, kajian didasari dengan menilik teori hunian dan teori munculnya bentuk suatu

hunian pada konteks hunian di atas air. Kemudian melihat apakah pengaruh aktifitas fisik di

atas air berpengaruh terhadap bentuk hunian. Pada pembahasan studi kasus dengan batasan

hanya daerah yang tergolong pada daerah Asia Tenggara dan satu studi kasus negara yang

menerapkan konsep ini dengan melibatkan teknologi.

Hidup di Atas Air

Pencapaian untuk menciptakan sebuah tempat bertinggal “yang baru”, perlu ditinjau

bagaimana keterhubungan manusia dengan lingkungannya karena terkait dengan lingkungan

yang tak dapat dipisahkan dari tempat manusia berinteraksi dan beradaptasi.

Dalam bukunya House, Form, and Culture , Rapoport (1969) menyebutkan bahwa terdapat

hubungan antara tingkah laku manusia dan bentuk tempat bertinggal manusia, yang

dipengaruhi oleh insting manusia akan membentuk perwujudan tempat bertinggal dan

sebaliknya, bentuk fisik tempat bertinggal manusia yang akan membentuk sikap dan cara

hidup manusia. Lebih lanjut disebutkan bahwa bentukkan dari tempat bertinggal manusia erat

kaitannya dengan culture, site, climate, dan technology and materials. Faktor – faktor tersebut

memberi pengaruh yang berbeda, artinya terdapat kondisi dimana salah satu faktornya

berperan lebih dominan. Misalnya, pengaruh dari faktor site dapat memberi hasil yang

berbeda – beda dan sebaliknya, suatu bentuk tempat bertinggal dapat diaplikasikan dalam

berbagai jenis lokasi.

Menurut Olthuis dan Keuning (2010) dalam bukunya FLOAT!, “the only essential

difference between a house on water and a house on land is related to the foundation, not the

structure” (p.49). Secara mendasar terdapat dua jenis struktur yang akhirnya dapat

diaplikasikan sebagai hunian di atas air, yakni:

a. Floating structure (Struktur apung): pondasi utamanya menjadi satu kesatuan dengan

bangunannya dan mengapung mengikuti arus air.

Hunian Di Atas..., Uswatun Hasanah, FT UI, 2013

Page 5: HUNIAN DI ATAS AIR SEBAGAI RUANG BERTINGGAL ALTERNATIF

b. Stilt structure (Struktur tiang): pondasi utama menyatu dengan bagian dasar daratan

dan sifatnya menerjang arus air.

 Gambar (kiri – kanan) Stilt structure dan floating structure

(Sumber: Seminar Building on the Water, 2013) Kedua jenis struktur ini yang akhirnya membawa pada peninjauan studi kasus pada tiga

negara, yakni Indonesia, Thailand, dan Belanda dengan tiap negara mewakilkan Floating

House dan Stilt House.

Metode Penelitian

Metode yang dilakukan dalam penulisan adalah metode deskriptif dengan pendekatan

melalui teori seputar hunian di atas air sebagai media berpikir pada awal pencarian data dan

informasi. Teknik pengunpulan data studi kasus yang ditinjau menggunakan pengumpulan

data sekunder yang diperoleh dari buku, jurnal ilmiah, tulisan ilmiah, tesis, media internet dan

narasi seputar.

Hasil Penelitian

1. Floating House sebagai dwelling

a. Rumah Lanting di Banjarmasin, Indonesia

Salah satu rumah tradisional Banjarmasin. Awal terbangunnya lanting ditujukan untuk

tempat bertinggal sementara bagi para pelaku yang berperan dalam kegiatan ekonomi di

sungai. Jarak tempuh yang cukup jauh menjadi alasan utama untuk membuat rumah yang

bergerak sesuai arus air sungai, sehingga membantu dalam aktivitas bekerja.

Hunian Di Atas..., Uswatun Hasanah, FT UI, 2013

Page 6: HUNIAN DI ATAS AIR SEBAGAI RUANG BERTINGGAL ALTERNATIF

 Gambar Area servis pada bagian luar rumah lanting

(Sumber: Tim Ekskursi Banjar 2010 yang diolah kembali)

Pembagian ruang pada rumah lanting Banjarmasin secara umum terbilang sederhana.

Seluruh kegiatan terangkum dalam ruang yang sama sehingga elemen – elemen interiornya

menjadi penting dan menentukan pembagian ruang. Keberadaan ruang servis menjadi sangat

penting melihat ruang ini memiliki akses khusus dan terpisah yang menjadikan ruang ini

bersifat privat. Kegiatan yang tercakup pada ruang servis merupakan kegiatan yang

membutuhkan air.

Akses utama pada rumah lanting terdapat

pada pintu yang menuju ke living room dan pintu

menuju area servis. Pintu menuju area servis hanya

dapat diakses oleh penghuninya sehingga membuat

area ini privat. Area living room dimana penghuni

biasa menerima tamu dan bersantai di ruang ini

membuat area ini tergolong semi publik. Dapur

terbagi menjadi dua bagian, yakni dapur yang

berada di dalam dan di luar rumah. Dapur bagian

Gambar Kategori pembagian ruang di rumah lanting (Sumber: Ilustrasi pribadi, 2013)  

dalam diletakkan pada ruang tambahan yang ada di dalam rumah, berukuran sekitar 1 m x 0,5

m. Sedangkan kegiatan mencuci peralatan makan, mencuci dan menjemur pakaian dilakukan

di luar rumah. Mereka memanfaatkan arus air dan lubang pada papan rakit yang dimanfaatkan

untuk tempat membasuhnya.

Hunian Di Atas..., Uswatun Hasanah, FT UI, 2013

Page 7: HUNIAN DI ATAS AIR SEBAGAI RUANG BERTINGGAL ALTERNATIF

b. Raft House Uthai Thani, Thailand

 

Gambar Hubungan antara zona fungi dan sifat ruang (Sumber: Journal of Architectural Research and studies, Volume I 2002, Thammasat University,

yang telah diolah)

Penduduk Uthai Thani sebagian besar bermata pencaharian sebagai nelayan dan

petani. Bagi penduduk yang tergolong dalam nelayan umumnya memiliki ruang khusus untuk

mengolah ikan yang akan diantar ke pasar di rumahnya. Rumah rakit memiliki ruang keluarga

yang memiliki banyak akses dan pintu untuk ke ruang lainnya. Ruang yang terhubung dengan

ruang keluarga umumnya bersifat publik, terkecuali ruang servis yang dipisahkan melalui

sekat. Sehingga ruang servisnya bersifat privat dan kegiatan yang tercakup adalah kegiatan

mandi, cuci, kakus, dan memasak.

Zona work area yang juga menghadap ke sungai digunakan untuk menangkap ikan

yang diolah juga di area ini untuk kemudian dibawa ke pasar dann dijual. Bagian yang

menghadap ke darat digunakan sebagai zona public area yang dihubungkan dengan semacam

jembatan kecil untuk akses ke daratan ataupun dengan rumah lain.

Keterhubungan antar ruangnya adalah melalui pintu dan tirai dimana akses yang

terhubung dari ruang tidur adalah langsung ke area publik, bukan ke living room. Melalui

living room terdapat tiga buah pintu di masing – masing sisi kecuali sisi yang menghadap

service area. Pintu – pintu tersebut langsung berhubungan dengan public area dan salah satu

diantaranya terhubung ke work area. Sedangkan penghubung antara service area ke living

Hunian Di Atas..., Uswatun Hasanah, FT UI, 2013

Page 8: HUNIAN DI ATAS AIR SEBAGAI RUANG BERTINGGAL ALTERNATIF

room hanya menggunakan sekat berupa tirai bambu. Sehingga dapat ditarik kesimpulan

bahwa peran public area cukup penting mengingat banyak akses untuk menjangkau ruang ini.

c. Houseboat Amsterdam, Belanda

 

Gambar Pembagian zona publik – privat Houseboat (Sumber: Goulburn Murray Water, 2006, yang telah diolah)

Peletakkan ruang yang ada orientasinya mengarah pada dek depan dan belakang

dimana seluruh ruang dimaksimalkan mendapat ruang terbuka dari dek. Fungsi dek bagian

depan pada lantai atas menjadi sebuah ruang sosial, seluruh akses pada akhirnya akan

bermuara ke dek depan. Adanya perbedaan fungsi dan kegiatan tidak membuat ruang yang

ada terpisahkan oleh sekat begitu saja, contohnya dapur menyatu dengan lounge. bagian atas

lebih banyak ruang yang bersifat publik dan langsung terkena matahari, yakni sundeck yang

terletak di bagian belakang dan di depan. Sundeck yang lebih luas menjadi muka rumah

dermaga bagi pemilik yang memiliki perahu untuk menepikan perahunya selama tidak

digunakan.

Berbeda dengan sundeck bagian belakang yang tidak menjadi akses dari seluruh

ruangan, seluruh ruang mengarah ke sundeck bagian depan. Sundeck bagian belakang hanya

dapat diakes oleh kamar pribadi saja untuk yang di lantai atas. Apabila membandingkan

penataan ruang atas dan bawah, ruang atas lebih penuh dibanding ruang bawah yang lounge

nya berukuran lebih besar dan hal ini berkaitan dengan sirkulasi udara dan pencahayaannya.

 

 

 

Hunian Di Atas..., Uswatun Hasanah, FT UI, 2013

Page 9: HUNIAN DI ATAS AIR SEBAGAI RUANG BERTINGGAL ALTERNATIF

2. Stilt House sebagai dwelling

a. Rumah Panggung di Banjarmasin, Indonesia

Ruang – ruang pada rumah panggung Banjarmasin terbagi secara akses publik dan privat

dimana ruang publik menghadap sungai, sedangkan ruang privat menghadap ke darat.

Interaksi dengan publik seperti kegiatan jual beli dilakukan di atas sungai, tepatnya di

dermaga kecil yang tergolong ruang servis.

Ruang servis menghadap ke arah sungai

terdiri dari dapur, ruang menjemur, dan MCK.

Ruang yang menghadap daratan, terdiri dari

ruang menerima tamu dan kamar beristirahat.

Ruang peralihan antara ruang di darat dan sungai

merupakan koneksi antara keduanya yang

bersifat semi publik, yakni ruang keluarga.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa

hubungan antara ruang dan aktivitas yang ada

sangat dipengaruhi oleh arah orientasi bangunan.

Gambar Sifat publik – prifat pada ruang di rumah panggung (Sumber: Tim Ekskursi Banjar 2010 yang diolah kembali)

b. Rumah Panggung Amphawa di Amphawa, Thailand

Pembagian ruang pada rumah panggung Amphawa lebih sederhana dibanding rumah

panggung Banjarmasin. Memasuki ke dalam rumah, ruang bersifat semakin privat. Peran teras

menjadi penting karena interaksi publik terjadi melalui jalur sungai. Rumah ini memiliki

banyak bukaan dan hanya terdapat dua batasan yang membagi ruangnya, yakni pintu menuju

dapur dan pintu menuju ruang tidur. Bagian depan rumah terdapat teras luar dan teras dalam,

atau biasa disebut dengan chaan. Teras luar (outter chaan) bersifat publik dimana biasanya

pembeli berada di area ini, selain itu melalui teras inilah akses satu – satunya menuju dapur.

Hunian Di Atas..., Uswatun Hasanah, FT UI, 2013

Page 10: HUNIAN DI ATAS AIR SEBAGAI RUANG BERTINGGAL ALTERNATIF

 

(Sumber: Therakomen, 2000, yang telah diolah)

Transisi outer chaan menuju inner chaan ditandai dengan adanya perbedaan level

dimana outer chaan lebih rendah dari inner chaan dan bersifat semi publik. Pintu utama

sebagai akses hanya terdapat yang menghadap sungai, yakni pintu dari ruang tidur ke inner

chaan. Terlihat bahwa outer chaan memiliki ukuran yang lebih luas dibanding inner chaan

dengan alasan meminimalisir inner chaan saat banjir dan memudahkan pengeringan pasca

banjir dengan menerima cahaya matahari yang banyak.

Sehingga dapat dikatakan bahwa peran outer chaan menghubungkan antara interaksi

darat dengan darat dan interaksi darat dengan sungai. Ruang transisi bagian bawah antara

inner chaan dan outer chaan biasa digunakan sebagai ruang penyimpanan (storage).

Penggunaan ruang ini sebagai tempat penyimpanan mengalami perlakuan yang berbeda –

beda bagi penghuninya. Bagi para petani digunakan untuk menyimpan peralatan bertaninya,

mereka juga memanfaatkan air yang melewati kolong ini sebagai pengairan terhadap lahan

pertaniannya.

Gambar Sirkulasi rumah Amphawa Gambar Ruang pada rumah Amphawa

Hunian Di Atas..., Uswatun Hasanah, FT UI, 2013

Page 11: HUNIAN DI ATAS AIR SEBAGAI RUANG BERTINGGAL ALTERNATIF

c. Amphibious House di Maasbommel, Belanda

Ruang – ruang pada Amphibious House telah terbagi berdasarkan kegiatannya. Ruang

yang bersifat privat menghadap ke sungai, sedangkan ruang publik atau ruang berkumpul

menghadap ke arah daratan.

Rumah amphibi terdiri dari tiga tingkat, yaitu lantai basement, lantai 2, dan lantai 3.

Pada lantai basement dimanfaatkan untuk ruang penyimpanan atau gudang dan ruang pompa

yang menyimpan pipa – pipa utilitas. Tidak hanya itu, di ruang inilah terdapat struktur

fleksibel yang membuat rumah dapat menyesuaikan tingginya.

Secara umum, bagian lantai 1 terdiri dari ruang keluarga, toilet, ruang penyimpanan,

ruang tidur, dan dapur. Perubahan dapat dilakukan dengan memperluas dapur sebagai

pengganti ruang tidur. Pada lantai 2, baik pada bentuk

tipikal dan yang sudah dimodifikasi ruang yang

ada mencakup tidur, toilet, kamar mandi, dan

lounge. Dapat disimpulkan bahwa ruang uang ada

di lantai 2 ini bersifat privat.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa

pembagian ruang secara privat dan publik

menjadi sangat penting dengan memisahhkan alur

sirkulasi keduanya. Ruang – ruang privat

dimaksimalkan menghadap ke arah sungai

sebagai bentuk relaksasi untuk penghuninya. Jadi,

orientasi sungai bukan menjadi bagian sekunder

dan menjadi area belakang.

Hubungan dan akses menuju ruang public (terhadap lingkungan)

Perbandingan yang dilakukan adalah untuk mencari hubungan ruang pada rumah di

atas air dengan ruang publik. Ruang publik yang dimaksud pada konteks ini adalah hubungan

dengan rumah lain dan secara keseluruhan.

-­‐ Pada kasus Banjarmasin, interaksi yang terjadi adalah rumah panggung dengan rumah

panggung, rumah panggung dengan rumah lanting, rumah lanting dengan rumah

Gambar Pembagian ruang pada Lantai 1 (Sumber : Fenuta, 2010, yang telah diolah)

Hunian Di Atas..., Uswatun Hasanah, FT UI, 2013

Page 12: HUNIAN DI ATAS AIR SEBAGAI RUANG BERTINGGAL ALTERNATIF

lanting, dan kedua jenis rumah dengan publik. Rumah panggung dilengkapi dengan

dermaga kecil sebagai penghubung dengan publik. Teras depan pada rumah lanting

dimanfaatkan sebagai penghubung dengan publik.

 

Gambar Hubungan Rumah Lanting dan Rumah Panggung terhadap Lingkungan Sekitar (Sumber: (Sumber: Tim Ekskursi Banjar 2010 yang diolah kembali)

-­‐ Teras depan (outter chaan) pada kasus rumah panggung Amphawa menjadi

penghubung antara penghuni dengan warga yang menggunakan transportasi air

maupun dengan rumah yang ada di sampingnya. Sedangkan penghubung antar rumah

rakit dan publik di Uthai Thani menggunakan jembatan kecil. Pasar berperan penting

dalam terjadinya interaksi publik dengan masyarakat Uthai Thani dalam hal

pemasaran ikan hasil tangkapan. Selain itu, posisi sungai tempat dimana rumah rakit

berdiri berada di antara daerah yang kontras secara kegiatan dimana di sisi timur

digunakan untuk area agrikultur dan di sisi barat digunakan untuk pasar dan kegiatan

pemerintahan.

 

Gambar Hubungan Rumah Amphawa terhadap Lingkungan Sekitar (Sumber: Silaparachanan, 2008, telah diolah)

Hunian Di Atas..., Uswatun Hasanah, FT UI, 2013

Page 13: HUNIAN DI ATAS AIR SEBAGAI RUANG BERTINGGAL ALTERNATIF

 

Gambar Hubungan Raft House terhadap Lingkungan Sekitar (Sumber: (Sumber: Journal of Architectural Research and studies, Volume I 2002, Thammasat

University, yang telah diolah)

-­‐ Orientasi keterhubungan publik dengan hunian di atas air pada kasus di Belanda lebih

mengarah ke daratan. Terlihat pada lokasi Amphibious House dan Houseboat yang

berdampingan dengan daratan dan pusat kota.

 

Gambar Hubungan Houseboat terhadap Lingkungan Sekitar (Sumber:Google Maps, 2013, telah diolah)

 

Gambar Hubungan Amphibious House terhadap Lingkungan Sekitar (Sumber: Sumber : Fenuta, 2010, telah diolah)

Kasus di atas memberikan suatu kesimpulan bahwa interaksi yang terjadi antara

hunian di atas air dengan publik memiliki sifat dominan baik lebih ke arah darat maupun ke

sungai. Interaksi publik yang terjadi pada hunian di atas air pada kasus Belanda lebih dominan

Hunian Di Atas..., Uswatun Hasanah, FT UI, 2013

Page 14: HUNIAN DI ATAS AIR SEBAGAI RUANG BERTINGGAL ALTERNATIF

ke arah daratan dibanding kasus Thailand dan Banjarmasin dimana kegiatan yang dilakukan

publik lebih banyak terjadi di sungai.

Korelasi Kerbangunan dan Konsep “Dwelling” Hunian di Atas Air

Pernyataan yang dilontarkan oleh Olthuis dan Keuning (2010), “the only essential

difference between a house on water and a house on land is related to the foundation, not the

structure” (p.49), membawa titik balik pada studi kasus bahwa bentuk hunian dengan

keterbangunan yang berbeda mempengaruhi konsep keruangan dan kegiatan manusia di

atasnya, atau sebaliknya. Telah disebutkan bahwa pondasi hunian di atas air terbagi menjadi

dua jenis, yakni floating structure dan stilt structure.

 

Gambar Hubungan keterbangunan dan dwelling saat kondisi surut (Sumber: Prawata, Seminar Floating Kampung: HUT Sketsa 24, 2013, telah diolah)

a. Floating structure

Kategori yang tergolong floating structure yakni rumah lanting Banjarmasin, rumah

rakit Uthai Thani, dan Houseboat.

-­‐ Hadirnya rumah lanting Banjarmasin awalnya hanya bersifat temporer dan dengan

alasan rumah apung yang dapat bergerak memudahkan mereka dalam berkegiatan

ekonomi. Fungsi rumah lanting mengalami transformasi menjadi permanen dengan

mengaitkan tali pada rumah lanting ke rumah penduduk yang ada di daratan. Hal ini

membawa perubahan secara spasial yang terjadi pada kegiatan penghuni rumah

lanting dan menjadi terhubung dengan penghui rumah panggung baik ekonomi

maupul sosial.

Hunian Di Atas..., Uswatun Hasanah, FT UI, 2013

Page 15: HUNIAN DI ATAS AIR SEBAGAI RUANG BERTINGGAL ALTERNATIF

-­‐ Sebagian besar penduduk Uthai Thani bermatapencaharian sebagai pedagang dan

nelayan. Fase kegiatan nelayan Uthai Thani adalah menjaring ikan di rumah apung

dan hasil tangkapan akan di jual ke pasar dekat pusat kota. Hal ini menjadikan

interaksi sosial antara penduduk rumah rakit dengan publik sangat penting. Bentuk

hunian yang ada mencoba menjawab kebutuhan nilai sosial ekonominya dengan

membuat rumah tetap terapung pada bagian ruang servis dan ruang menjaring ikan.

Sedangkan bagian depan rumah tertambat dengan daratan.

-­‐ Pada awalnya houseboat digunakan untuk tempat distribusi penjualan barang sebagai

fungsi utamanya, sedangkan tempat bertinggal pedagang di dalamnya sebagai fungsi

pendamping. Saat ini, karena houseboat menjadi ikon dari Belanda sekaligus

memegang aset pariwisata, banyak houseboat yang dialihfungsikan sebagai tempat

bertinggal sekaligus tempat menetap bagi pengunjung dan toko.

 

Gambar 4.3 Hubungan keterbangunan dan dwelling saat kondisi pasang (Sumber: Prawata, Seminar Floating Kampung: HUT Sketsa 24, 2013, telah diolah)

b. Stilt structure

-­‐ Rumah panggung Banjarmasin

Bertumpu pada tiang – tiang yang berdiri tegak di atas air dan tanah yang labil,

menjadikan penghuninya memanfaatkan dua sisinya dengan perlakuan yang berbeda.

Hunian Di Atas..., Uswatun Hasanah, FT UI, 2013

Page 16: HUNIAN DI ATAS AIR SEBAGAI RUANG BERTINGGAL ALTERNATIF

Sisi sungai dianggap ‘bagian belakang’ rumah yang sebagian besar area servis dan

umumnya berakhir menjadi tempat pembuangan. Berbeda dengan sisi daratan sebagai

‘bagian depan’ dan bersifat privat dengan dikelilingi pagar serta ditanami tumbuhan.

Hal ini memberi kesan bahwa bagian depan dirawat baik.

-­‐ Rumah panggung Amphawa

Berkebalikan dengan rumah Amphawa, bagian yang menghadap sungai menjadi

bagian depan rumah, karena kegiatan ekonomi dan interaksi publik dilakukan di teras

depan tanpa melupakan fungsi area servis. Area servis dan area berkegiatan ekonomi

yang terangkum pada satu sisi muka rumah yang menghadap ke sungai

menghilangkan anggapan bahwa sungai hanya sebagai area pembuangan.

-­‐ Amphibious House

Fleksibilitas pondasi dan rumah yang dapat naik dan turun, menjadikan ruang yang

berisi sistem utama hunian ini hanya dapat digunakan sebagai gudang. Pada

Amphibious House terdapat pemisahan fungsi antara darat dan sungai. Kedua bagian

rumah ini dianggap penting, bukan lagi sungai menjadi area belakang.

Kesimpulan

Aktivitas menjadi salah satu substansi yang esensial dalam pembentukan hunian di

atas air mengikuti faktor – faktor yang telah disebutkan di atas. Berdasarkan kurun waktu

keberdiriannya, pemenuhan kebutuhan hidup di atas air menjadi semakin menerapkan

layaknya aktivitas di daratan. Hanya saja dengan cara yang berbeda. Pada konteks

Banjarmasin dan Thailand yang telah menerapkan hunian di atas air lebih dulu, fungsi ruang

servis menjadi sangat penting. Hal itu didasari dengan kegiatan yang terangkum di dalamnya

adalah kegiatan yang menggunakan air sebagai sumber utamanya, seperti mandi, cuci, dan

memasak. Selain itu, orientasi ruang servis yang menghadap sungai menjadi sebuah identitas

tersendiri bagi pemiliknya karena area tersebut menjadi ruang interaksi dengan publik,

contohnya pada kasus rumah panggung Amphawa.

Sedikit berbeda pada Houseboat dan Amphibious house, ruang servis bukan lagi

menjadi suatu elemen dominan pada penentuan orientasi rumah. Orientasi ke arah sungai atau

ke darat menjadi sesuatu untuk dinikmati secara privat bagi pemiliknya. Terlihat pada

aktivitas Houseboat yang orientasinya mengarah ke sundeck, begitupula dengan ruang tidur

pada Amphibious House yang menghadap sungai dan ruang keluarga yang menghadap darat.

Tidak hanya itu, hadirnya faktor ekonomi pada aktivitas fisik membawa pengaruh pada

pembagian ruang di dalamnya. Pentingnya faktor ekonomi menjadikan teras depan (outter

Hunian Di Atas..., Uswatun Hasanah, FT UI, 2013

Page 17: HUNIAN DI ATAS AIR SEBAGAI RUANG BERTINGGAL ALTERNATIF

chaan) pada kasus rumah panggung Amphawa sangat penting. Terlihat pada luasnya cakupan

dan keterjangkauan area outter chaan untuk ke dalam dan luar rumah. Sama halnya dengan

rumah rakit di Uthai Thani, terdapat ruang khusus yang menunjang aktivitas mata

pencahariannya. Pentingnya ruang ekonomi pada kedua jenis rumah, terlihat pada akses yang

dapat dilalui dari berbagai arah untuk menuju ruang ekonomi tersebut.

Faktor pemicu munculnya hunian di atas air ternyata dirasakan pula pada

keterbangunannya. Sebagian besar dipengaruhi oleh teknologi dari pengetauan dan material

yang mudah didapatkan pada masing - masing wilayah setempat. Contohnya pemakaian kayu

ulin dan galam pada rumah panggung Banjarmasin yang merupakan material khas

Kalimantan. Keberdirian hunian juga melibatkan faktor kenyamanan dan kondisi perairan

yang ada. Tidak hanya itu, menimpali pernyataan yang dilontarkan oleh Olthuis dan Keuning

(2010), bahwa yang membedakan hunian di atas air dengan di daratan adalah pondasi bukan

struktur, dan mengaitkannya dengan dwelling, ternyata baik tipe pondasi dan tiap negara

berbeda. Contohnya tipe floating structure mengalami transformasi secara spasial, dari

sebelumnya yang bersifat temporer saat ini menjadi permanen. Perubahan tersebut berupa

rumah apung yang dikaitkan ke daratan dan didasari oleh kegiatan ekonomi. Sedangkan

kondisi pasang surut air tidak berpengaruh karena pondasinya mengikuti arus air, sehingga

kegiatan di dalam rumah tetap berjalan seperti biasa.

Pada stilt structure, keberdirian rumah sifatnya permanen dan bergantung terhadap

kondisi pasang surut air. Hal ini membuat penghuninya memanfaatkan ruang bawah

(kolong)yang bersifat temporer sebagai tempat penyimpanan dan tempat bercocok tanam saat

kondisi surut, seperti yang diterapkan pada rumah di Amphawa. Selain itu, perlunya perkiraan

akan tinggi pasang air yang menentukan tinggi tiang penyokong rumah untuk menghindari air

psang, sehingga kegiatan di atas rumah tetap dapat berjalan sebagaimana biasanya.

Pemaparan di atas menjabarkan bahwa kehadiran hunian di atas air meleburkan batasan antara

air dan darat dari yang kita pikirkan sebelumnya. Melalui kondisi fisik wilayah, budaya yang

bertransformasi ke aktivitas fisik merupakan pemicu meleburnya batas tersebut. Diawali

dengan pengenalan air yang memiliki karakter baik secara wujud nyata maupun secara tak

kasat mata. Hal ini mendukung akan penyataan dari Olthuis dan Keuning (2010) bahwa hidup

di atas air meleburkan batas antara air dan air.

Kembali menimpali masalah yang dihadapi bumi saat ini dan menjadikan hunian di

atas air sebagai hunian yang baru, bukan sesuatu yang tak mungkin bila hal tersebut dapat

diterapkan. Berkaca pada kasus hunian di atas air sebelumnya, menilik kelebihan dan

kekurangan yang dimiliki masing masing, kemudian mencoba melengkapi kelebihan yang ada

Hunian Di Atas..., Uswatun Hasanah, FT UI, 2013

Page 18: HUNIAN DI ATAS AIR SEBAGAI RUANG BERTINGGAL ALTERNATIF

dengan standar kehidupan yang seharusnya. Hal itu akan menjadikkan anggapan tabu pada

hunian di atas air sebelumnya menjadi hunian layaknya yang biasa kita jumpai hanya dengan

cara yang berbeda dan memenuhi standar kelayakan hunian.

Demi tercapainya tempat bertinggal baru di atas air yang memenuhi kelayakan,

menjadi penting melihat referensi yang telah ada sebelumnya untuk dianalisa kembali dan

meningkatkan kekurangan yang ada. Menanggapi kasus hunian di atas air konteks

Banjarmasin, maka penulis merekomendasikan kepada pihak lain yang terkait, yakni:

Untuk Pemerintah Daerah

1. Masalah sanitasi tepatnya penggunaan air untuk beragam aktivitas masih menjadi

masalah utama. Tidak adanya saluran khusus pembuangan air kotor terpaksa membuat

warga membuangnya langsung ke sungai, sama halnya yang terjadi pada sampah. Jika

berkaca pada kasus Belanda, teknologi memang sangat terlibat namun setidaknya

sistem yang digunakan dapat diaplikasikan dengan cara yang lebih sederhana,

layaknya sistem utilitas yang diterapkan pada hunian di atas air kasus Thailand.

Meskipun rumah tidak memiliki toilet pribadi, setidaknya terdapat fasilitas toilet

umum yang saluran pembuangan terhubung dengan saluran pembuangan kota

sehingga air sungai layak untuk pemenuhan kebutuhan sehari – hari. Contoh yang

telah diterapkan pada rumah apung Kamboja yang telah dipaparkan pada bab 2, dapat

jadikan referensi sistem toilet dengan membuat tempat pembuangan sekali pakai

dimana toilet ini diletakkan di tiap – tiap rumah. Hal ini memberikan kemudahan bagi

penghuni rumah dan pengaturan pembuangannya dapat dilakukan masing – masing

keluarga.

2. Selain itu, pandangan atas ketidakteraturan hunian di atas air di Banjarmasin acap kali

dianggap pemukiman kumuh. Seharusnya, pemerintah mengembangkan dan

menertibkan hunian di atas air layaknya yang dilakukan pada rumah panggung di

Amphawa. Revitalisasi rumah dilakukan karena pemerintah sadar akan potensi hunian

dan budaya sungai masyarakat Amphawa, juga melestarikan pasar terapung

Ampahawa yang hingga saat ini terkenal. Sama halnya dengan Banjarmasin, hunian di

atas air dapat menjadi kekkuatan tersendiri dalam meningkatkan perekonomian

penduduknya ditambah dengan adanya pasar terapung muara kuin. Jika hal tersebut

dapat dilakukan, hunian di atas air yang layak sebagai tempat bertinggal yang baru

dapat diaplikasikan.

Hunian Di Atas..., Uswatun Hasanah, FT UI, 2013

Page 19: HUNIAN DI ATAS AIR SEBAGAI RUANG BERTINGGAL ALTERNATIF

Untuk Mayarakat

Bagi masyarakat yang memang bertinggal di wilayah Banjarmasin seharusnya sadar

akan kebersihan lingkungan yang akan memberikan dampak pada kesehatan itu sendiri. Tak

lupa bagi para wisatawan yang mengunjungi Banjarmasin sebaiknya ikut bertanggung jawab

dalam pemeliharaan lingkungan wilayah tersebut untuk meningkatkan nilai budaya dan

pariwisata Banjarmasin.

Untuk Akademisi

Penulis menyadari bahwa penulisan karya ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena

itu, bagi penulis yang tergerak pada pemikiran yang sama bahwa hunian di atas air mampu

menjadi hunian alternatif, dapat memberikan konsep nyata dari hunian baru tersebut tanpa

melupakan nilai budaya masyarakat setempat.

Daftar Referensi

Anisa, Lisa. (2009). Perencanaan Lansekap Riparian Sungai Martapura Kualitas Lingkungan

Alami Kota Banjarmasin. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Boonjub, Wattana. (2009). The study of Thai Traditional Architecture As a Resource for

Contemporary Building Design in Thailand. Bangkok: Silpakorn University.

Dara, Diah Anggun. 2010. Rencana Penataan Lansekap Pemukiman Kampung Kuin,

Banjarmasin. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Denpaiboon, Chaweewan, Mamoru Tohiguchi, Hiroyuki Matsuda, & Hashimoto, Seiyu.

(2002). Typology and Life Style Analysis of the Raft House (Ruan Pae) in Riverine

Settlements in Thailand. Journal of Architectural Research and Studies.  Vol 1, 2002:

109 - 126.

Fenuta, Elizabeth Victoria. (2010). Amphibious Architecture: The Buoyant Foundation

Project in Post-Katrina New Orleans. Ontario: University of Waterloo.

Goenmiandari, Betty. (2012). Konsep Penataan Pemukiman Bantaran Sungai di Kota

Banjarmasin Berdasarkan Budaya Setempat. Surabaya: Institut Teknologi Surabaya.

Hunian Di Atas..., Uswatun Hasanah, FT UI, 2013

Page 20: HUNIAN DI ATAS AIR SEBAGAI RUANG BERTINGGAL ALTERNATIF

Lefas, Pavlos. (2008). Dwelling and Architecture from Heidegger to Koolhaas. Berlin: Jovis.

Moore, Charles Williard. (1957). Water+Architecture. New Jersey: Princeton University.

Olthuis, Koen & David Keuning. (2010). FLOAT! Building On Water To Combat Urban

Congestion And Climate Change. Amsterdam: Frame Publisher.

Rapoport, Amos. (1969). House, Form, and Culture. London: Prentince – Hall.

Silapacharanan, Siriwan. (2008). Amphawa and its Cultural Heritage. Bangkok:

Chulalongkorn University.

Therakomen, Preechaya. (2000). Computer Technology and Globalization of Architecture.

Washington: University of Washington.

Tim Ekskursi Banjar 2010. (2010). banjar.sungai.arsitektur: rekaman arsitektural. Depok:

Departemen Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Indonesia.

Bueren, B.V. (2013). Building on Water. Building on Water Conference and Exhibition.

Erasmus Huis, Jakarta.

Prawata, Albertus. (2013). Floating Kampung. HUT Sketsa 24 Public Lecture. Museum

Nasional, Jakarta.

Wiersema, J. (2006). May 31, 2013. Houseboat in Amsterdam/ Woonboten in Amsterdam.

http://www.wwp-diemen.nl/houseboats/

Design Houseboat near Amsterdam. (n.d.). May 31, 2013.

https://www.airbnb.com/rooms/359677

Hunian Di Atas..., Uswatun Hasanah, FT UI, 2013