hunian di atas air sebagai ruang bertinggal alternatif
TRANSCRIPT
HUNIAN DI ATAS AIR SEBAGAI RUANG BERTINGGAL ALTERNATIF
Uswatun Hasanah, Emirhadi Suganda
1. Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia, 16424, Depok 2. Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia, 16424, Depok
Email: [email protected]
Abstrak
Air sebagai substansi yang disediakan alam, ternyata tidak hanya memberi manfaat untuk keberlangsungan hidup manusia saja, tetapi juga menjadi wadah untuk manusia bertinggal. Hubungan yang terjalin antara air dengan manusia dan arsitektur mewujudkan suatu bentuk hunian di atas air. Munculnya hunian di atas air didasari baik faktor fisik lingkungan maupun faktor yang dibentuk oleh manusia itu sendiri, sejarah, budaya, dan kepercayaan misalnya. Skripsi ini memaparkan pentingnya peran air pada hunian di atas air menjadikannya sebagai orientasi berhidup ataupun berinteraksi dengan sesama. Akibatnya, pengaruh aktivitas yang ada di atasnya menentukan konsep hunian dan pembagian ruang – ruangnya. Dalam menjaga keberdirian dan memastikan hunian untuk tetap terapung, metode yang digunakan untuk keterbangunan hunian di atas air juga menjadi hal utama. Berdasarkan tinjauan kasus yang telah dilakukan, kehidupan di atas air tidak dapat lepas begitu saja dengan aktivitas yang terjadi di daratan. Maka dari itu, secara garis besar bahwa hidup di atas air menghapus batasan antara daratan dan air.
Kata kunci: air, hunian, aktivitas
DWELLING ON THE WATER AS THE ALTERNATIVE LIVING SPACE
Abstract
Water as a substance which is provided by nature, not only gives amelioration for human living, but also accommodates spaces for human dwelling. The relationship between water with human and architecture could form a kind of dwelling on the water. The presence of dwelling on the water may be affected by physical environment or the behaviour of human itself, such as history, culture, and belief. This paper is aimed to reveal the ability of water to create whether as life orientation or human interaction. The influence of human’s activity could establish the concept of dwelling and the diverse types of spaces. Construction method also has a main role to ensure the building keeps floating. Based on case study, dwelling on the water could not be separated from activities which occured on land. Therefore, generally that dwelling on the water wipes out the boundary between land and water.
Keywords: water, dwelling, activity
Hunian Di Atas..., Uswatun Hasanah, FT UI, 2013
Latar Belakang
Air merupakan salah satu kebutuhan paling esensial dalam seluruh aspek kehidupan
manusia. Terlihat pada besarnya jumlah air yang mencapai dua per tiga bumi jika
dibandingkan dengan luasnya daratan, sedangkan dari jumlah keseluruhan air tersebut, hanya
dua per tiga nya yang tergolong air bersih1.
Faktanya, kehidupan manusia di daratan mengalami penurunan kualitas, yakni
meningkatnya jumlah penduduk yang tak diimbangi dengan jumlah lahan di daratan yang
tidak bertambah. Dalam mewujudkan dwelling yang ideal, beberapa negara mencoba
menggunakan air sebagai alternative tempat bertinggal dan beraktifitas, walaupun
pemanfaatan air dalam hal ini bukanlah sesuatu yang baru. Sebagai bentuk pemahaman dari
keterhubungan manusia dan air untuk menciptakan dwellingnya, maka hal yang terlebih
dahulu perlu untuk dipahami adalah pengertian tentang dwelling. Menurut Heidegger (2009)
terkait dengan pernyataan tersebut, pendekatan dwelling yang didapat yakni hakikat
keberadaan manusia tidak terlepas dari empat komponen utama yang terangkum pada alam
dan kehidupan manusia itu sendiri. Kemudian dwelling hadir dari bentukan hunian yang
mewadahi kegiatan penting manusia di dalamnya.
Kaitan dari pernyataan yang dilontarkan oleh Moore (1991) dan dwelling oleh
Heidegger, air sebagai simbol yang merepresentasikan keberadaan manusia melalui karakter
fisik air berbaur dengan indra manusia. Kemudian keduanya saling berinteraksi dan
membentuk ketergantungan dimana aktivitas tercakup didalamnya. Disinilah air hadir
menjadi media dwelling yang mewadahi kegiatan manusia di atasnya. Lebih lanjut Moore
(1991) menyatakan bahwa apabila manusia mampu menggabungkan air baik secara simbol,
sejarah, dan fisik, maka keterkaitan antara air dan arsitektur akan menghasilkan suatu
bentukkan yang memiliki potensi tiada banding.
Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia2 yang terdiri dari lima pulau
besarnya dengan karakteristik yang berbeda pada tiap pulaunya, salah satunya Banjarmasin,
kota yang berada tepat di bagian selatan Kalimantan ini memiliki julukan sebagai “Kota
seribu sungai.” Julukan ini merepresentasikan pada kondisi fisik kota yang dialiri oleh banyak
sungai, berdasarkan Kementrian Lingkungan Hidup jumlah sungai yang ada sebelumnya
1 Atas, Wandawa. (2012). Air Mengalir Sampai Jauh. Greeneration Indonesia, http://greeneration.org/air-mengalir-sampai-jauh/ Diakses pada 23 Maret 2013 pukul 20.54 WIB.
2 n.d. Geografis Indonesia. http://www.indonesia.go.id/in/sekilas-indonesia/geografi-indonesia. Diakses pada 23 Maret 22.00 WIB.
Hunian Di Atas..., Uswatun Hasanah, FT UI, 2013
membelah kota Banjarmasin sebanyak 400 sungai. Namun, sejak tahun 2004 hingga saat ini
jumlah sungai yang ada disinyalir hanya berjumlah 60 sungai.
Kondisi geografis Banjarmasin yang dialiri oleh banyak sungai membuat
masyarakatnya sangat bergantung pada air terlihat pada masyarakatnya yang melakukan
kegiatan jual beli dan mendirikan rumah di atas sungai maupun di bibir sungai. Fakta yang
ada saat ini adalah masyarakat Banjarmasin mulai meninggalkan tradisi bertinggal di sungai
dan lebih memilih tinggal di daratan.
Banjarmasin sebagai bagian dari Indonesia sebenarnya memiliki potensi dalam
pengembangan pemanfaatan air sebagai tempat bertinggal di masa yang akan datang
seharusnya tidak meninggalkan tradisi tersebut. Beberapa negara telah menerapkan hunian di
atas air, yakni Thailand dan Belanda. Kasus yang ada di Thailand tidak jauh berbeda dengan
yang ada di Indonesia. Sedangkan Belanda dijadikan contoh dalam konteks kecanggihan
teknologi yang diterapkan dalam pemanfaatan air sebagai tempat bertinggal dan beraktifitas.
Berdasarkan contoh – contoh yang diangkat untuk dikaji lebih dalam dan melihat
bagaimana aktifitas dan keterbangunannya, kemudian dikaitkan pada teori hunian di atas air
yang akan dibahas terlebih dahulu dirasa akan menghasilkan sebuah parameter dalam
mewujudkan sebuah bentuk hunian di atas air yang layak. Akhirnya, parameter tersebut dapat
diaplikasikan sebagai hunian alternatif di masa datang dan bukan lagi suatu yang tak mungkin
bahwa teknologi yang saat ini sedang berkembang maupun pemahaman akan teknologi
keterbangunan yang berbasis pada tradisi akan terlibat.
Kemajuan teknologi memunculkan berbagai macam inovasi, tak terkecuali dalam
mewujudkan tempat untuk bertinggal dan beraktifitas bagi manusia yang layak serta mampu
menjadi tempat berlindung dari bencana. Inovasi dalam pembangunan rumah tinggal dan
fasilitas publik di atas air saat ini dianggap menjadi solusi yang tepat melihat kualitas hidup
dan ketersediaan lahan tidak seimbang dengan sebagaimana mestinya. Sejak dulu, masyarakat
Banjarmasin tinggal di rumah lanting dan rumah panggung dalam kesehariannya yang
bersahabat dengan air. Menurunnya kualitas lingkungan, mengakibatkan berpindahnya
masyarakat Banjar yang semula tinggal di dekat sungai ke daratan. Hal ini dilandasi oleh
kurang memadainya baik jumlah maupun kualitas higienisnya utilitas yang ada. Seharusnya,
air yang telah lama menjadi media tempat bertinggal dan berbudaya tetap dilestarikan dan
dijaga keberadaannya. Oleh karena itu, melalui penelitian ini penulis mencoba menjawab
pertanyaan – pertanyaan yang muncul, yakni:
a. Apa yang menjadi pemicu munculnya hunian di atas air?
Hunian Di Atas..., Uswatun Hasanah, FT UI, 2013
b. Bagaimana dan apa saja konsep hunian di atas air dalam pemenuhan kebutuhan
manusia?
c. Bagaimana aktifitas manusia dalam kesehariannya yang berlangsung ketika
bertinggal di atas air tanpa melupakan pemenuhan kebutuhan dasar manusia?
Tinjauan Teoritis
Cakupan permasalahan yang akan dibahas adalah dalam perwujudan hunian di atas air
yang ideal, kajian didasari dengan menilik teori hunian dan teori munculnya bentuk suatu
hunian pada konteks hunian di atas air. Kemudian melihat apakah pengaruh aktifitas fisik di
atas air berpengaruh terhadap bentuk hunian. Pada pembahasan studi kasus dengan batasan
hanya daerah yang tergolong pada daerah Asia Tenggara dan satu studi kasus negara yang
menerapkan konsep ini dengan melibatkan teknologi.
Hidup di Atas Air
Pencapaian untuk menciptakan sebuah tempat bertinggal “yang baru”, perlu ditinjau
bagaimana keterhubungan manusia dengan lingkungannya karena terkait dengan lingkungan
yang tak dapat dipisahkan dari tempat manusia berinteraksi dan beradaptasi.
Dalam bukunya House, Form, and Culture , Rapoport (1969) menyebutkan bahwa terdapat
hubungan antara tingkah laku manusia dan bentuk tempat bertinggal manusia, yang
dipengaruhi oleh insting manusia akan membentuk perwujudan tempat bertinggal dan
sebaliknya, bentuk fisik tempat bertinggal manusia yang akan membentuk sikap dan cara
hidup manusia. Lebih lanjut disebutkan bahwa bentukkan dari tempat bertinggal manusia erat
kaitannya dengan culture, site, climate, dan technology and materials. Faktor – faktor tersebut
memberi pengaruh yang berbeda, artinya terdapat kondisi dimana salah satu faktornya
berperan lebih dominan. Misalnya, pengaruh dari faktor site dapat memberi hasil yang
berbeda – beda dan sebaliknya, suatu bentuk tempat bertinggal dapat diaplikasikan dalam
berbagai jenis lokasi.
Menurut Olthuis dan Keuning (2010) dalam bukunya FLOAT!, “the only essential
difference between a house on water and a house on land is related to the foundation, not the
structure” (p.49). Secara mendasar terdapat dua jenis struktur yang akhirnya dapat
diaplikasikan sebagai hunian di atas air, yakni:
a. Floating structure (Struktur apung): pondasi utamanya menjadi satu kesatuan dengan
bangunannya dan mengapung mengikuti arus air.
Hunian Di Atas..., Uswatun Hasanah, FT UI, 2013
b. Stilt structure (Struktur tiang): pondasi utama menyatu dengan bagian dasar daratan
dan sifatnya menerjang arus air.
Gambar (kiri – kanan) Stilt structure dan floating structure
(Sumber: Seminar Building on the Water, 2013) Kedua jenis struktur ini yang akhirnya membawa pada peninjauan studi kasus pada tiga
negara, yakni Indonesia, Thailand, dan Belanda dengan tiap negara mewakilkan Floating
House dan Stilt House.
Metode Penelitian
Metode yang dilakukan dalam penulisan adalah metode deskriptif dengan pendekatan
melalui teori seputar hunian di atas air sebagai media berpikir pada awal pencarian data dan
informasi. Teknik pengunpulan data studi kasus yang ditinjau menggunakan pengumpulan
data sekunder yang diperoleh dari buku, jurnal ilmiah, tulisan ilmiah, tesis, media internet dan
narasi seputar.
Hasil Penelitian
1. Floating House sebagai dwelling
a. Rumah Lanting di Banjarmasin, Indonesia
Salah satu rumah tradisional Banjarmasin. Awal terbangunnya lanting ditujukan untuk
tempat bertinggal sementara bagi para pelaku yang berperan dalam kegiatan ekonomi di
sungai. Jarak tempuh yang cukup jauh menjadi alasan utama untuk membuat rumah yang
bergerak sesuai arus air sungai, sehingga membantu dalam aktivitas bekerja.
Hunian Di Atas..., Uswatun Hasanah, FT UI, 2013
Gambar Area servis pada bagian luar rumah lanting
(Sumber: Tim Ekskursi Banjar 2010 yang diolah kembali)
Pembagian ruang pada rumah lanting Banjarmasin secara umum terbilang sederhana.
Seluruh kegiatan terangkum dalam ruang yang sama sehingga elemen – elemen interiornya
menjadi penting dan menentukan pembagian ruang. Keberadaan ruang servis menjadi sangat
penting melihat ruang ini memiliki akses khusus dan terpisah yang menjadikan ruang ini
bersifat privat. Kegiatan yang tercakup pada ruang servis merupakan kegiatan yang
membutuhkan air.
Akses utama pada rumah lanting terdapat
pada pintu yang menuju ke living room dan pintu
menuju area servis. Pintu menuju area servis hanya
dapat diakses oleh penghuninya sehingga membuat
area ini privat. Area living room dimana penghuni
biasa menerima tamu dan bersantai di ruang ini
membuat area ini tergolong semi publik. Dapur
terbagi menjadi dua bagian, yakni dapur yang
berada di dalam dan di luar rumah. Dapur bagian
Gambar Kategori pembagian ruang di rumah lanting (Sumber: Ilustrasi pribadi, 2013)
dalam diletakkan pada ruang tambahan yang ada di dalam rumah, berukuran sekitar 1 m x 0,5
m. Sedangkan kegiatan mencuci peralatan makan, mencuci dan menjemur pakaian dilakukan
di luar rumah. Mereka memanfaatkan arus air dan lubang pada papan rakit yang dimanfaatkan
untuk tempat membasuhnya.
Hunian Di Atas..., Uswatun Hasanah, FT UI, 2013
b. Raft House Uthai Thani, Thailand
Gambar Hubungan antara zona fungi dan sifat ruang (Sumber: Journal of Architectural Research and studies, Volume I 2002, Thammasat University,
yang telah diolah)
Penduduk Uthai Thani sebagian besar bermata pencaharian sebagai nelayan dan
petani. Bagi penduduk yang tergolong dalam nelayan umumnya memiliki ruang khusus untuk
mengolah ikan yang akan diantar ke pasar di rumahnya. Rumah rakit memiliki ruang keluarga
yang memiliki banyak akses dan pintu untuk ke ruang lainnya. Ruang yang terhubung dengan
ruang keluarga umumnya bersifat publik, terkecuali ruang servis yang dipisahkan melalui
sekat. Sehingga ruang servisnya bersifat privat dan kegiatan yang tercakup adalah kegiatan
mandi, cuci, kakus, dan memasak.
Zona work area yang juga menghadap ke sungai digunakan untuk menangkap ikan
yang diolah juga di area ini untuk kemudian dibawa ke pasar dann dijual. Bagian yang
menghadap ke darat digunakan sebagai zona public area yang dihubungkan dengan semacam
jembatan kecil untuk akses ke daratan ataupun dengan rumah lain.
Keterhubungan antar ruangnya adalah melalui pintu dan tirai dimana akses yang
terhubung dari ruang tidur adalah langsung ke area publik, bukan ke living room. Melalui
living room terdapat tiga buah pintu di masing – masing sisi kecuali sisi yang menghadap
service area. Pintu – pintu tersebut langsung berhubungan dengan public area dan salah satu
diantaranya terhubung ke work area. Sedangkan penghubung antara service area ke living
Hunian Di Atas..., Uswatun Hasanah, FT UI, 2013
room hanya menggunakan sekat berupa tirai bambu. Sehingga dapat ditarik kesimpulan
bahwa peran public area cukup penting mengingat banyak akses untuk menjangkau ruang ini.
c. Houseboat Amsterdam, Belanda
Gambar Pembagian zona publik – privat Houseboat (Sumber: Goulburn Murray Water, 2006, yang telah diolah)
Peletakkan ruang yang ada orientasinya mengarah pada dek depan dan belakang
dimana seluruh ruang dimaksimalkan mendapat ruang terbuka dari dek. Fungsi dek bagian
depan pada lantai atas menjadi sebuah ruang sosial, seluruh akses pada akhirnya akan
bermuara ke dek depan. Adanya perbedaan fungsi dan kegiatan tidak membuat ruang yang
ada terpisahkan oleh sekat begitu saja, contohnya dapur menyatu dengan lounge. bagian atas
lebih banyak ruang yang bersifat publik dan langsung terkena matahari, yakni sundeck yang
terletak di bagian belakang dan di depan. Sundeck yang lebih luas menjadi muka rumah
dermaga bagi pemilik yang memiliki perahu untuk menepikan perahunya selama tidak
digunakan.
Berbeda dengan sundeck bagian belakang yang tidak menjadi akses dari seluruh
ruangan, seluruh ruang mengarah ke sundeck bagian depan. Sundeck bagian belakang hanya
dapat diakes oleh kamar pribadi saja untuk yang di lantai atas. Apabila membandingkan
penataan ruang atas dan bawah, ruang atas lebih penuh dibanding ruang bawah yang lounge
nya berukuran lebih besar dan hal ini berkaitan dengan sirkulasi udara dan pencahayaannya.
Hunian Di Atas..., Uswatun Hasanah, FT UI, 2013
2. Stilt House sebagai dwelling
a. Rumah Panggung di Banjarmasin, Indonesia
Ruang – ruang pada rumah panggung Banjarmasin terbagi secara akses publik dan privat
dimana ruang publik menghadap sungai, sedangkan ruang privat menghadap ke darat.
Interaksi dengan publik seperti kegiatan jual beli dilakukan di atas sungai, tepatnya di
dermaga kecil yang tergolong ruang servis.
Ruang servis menghadap ke arah sungai
terdiri dari dapur, ruang menjemur, dan MCK.
Ruang yang menghadap daratan, terdiri dari
ruang menerima tamu dan kamar beristirahat.
Ruang peralihan antara ruang di darat dan sungai
merupakan koneksi antara keduanya yang
bersifat semi publik, yakni ruang keluarga.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa
hubungan antara ruang dan aktivitas yang ada
sangat dipengaruhi oleh arah orientasi bangunan.
Gambar Sifat publik – prifat pada ruang di rumah panggung (Sumber: Tim Ekskursi Banjar 2010 yang diolah kembali)
b. Rumah Panggung Amphawa di Amphawa, Thailand
Pembagian ruang pada rumah panggung Amphawa lebih sederhana dibanding rumah
panggung Banjarmasin. Memasuki ke dalam rumah, ruang bersifat semakin privat. Peran teras
menjadi penting karena interaksi publik terjadi melalui jalur sungai. Rumah ini memiliki
banyak bukaan dan hanya terdapat dua batasan yang membagi ruangnya, yakni pintu menuju
dapur dan pintu menuju ruang tidur. Bagian depan rumah terdapat teras luar dan teras dalam,
atau biasa disebut dengan chaan. Teras luar (outter chaan) bersifat publik dimana biasanya
pembeli berada di area ini, selain itu melalui teras inilah akses satu – satunya menuju dapur.
Hunian Di Atas..., Uswatun Hasanah, FT UI, 2013
(Sumber: Therakomen, 2000, yang telah diolah)
Transisi outer chaan menuju inner chaan ditandai dengan adanya perbedaan level
dimana outer chaan lebih rendah dari inner chaan dan bersifat semi publik. Pintu utama
sebagai akses hanya terdapat yang menghadap sungai, yakni pintu dari ruang tidur ke inner
chaan. Terlihat bahwa outer chaan memiliki ukuran yang lebih luas dibanding inner chaan
dengan alasan meminimalisir inner chaan saat banjir dan memudahkan pengeringan pasca
banjir dengan menerima cahaya matahari yang banyak.
Sehingga dapat dikatakan bahwa peran outer chaan menghubungkan antara interaksi
darat dengan darat dan interaksi darat dengan sungai. Ruang transisi bagian bawah antara
inner chaan dan outer chaan biasa digunakan sebagai ruang penyimpanan (storage).
Penggunaan ruang ini sebagai tempat penyimpanan mengalami perlakuan yang berbeda –
beda bagi penghuninya. Bagi para petani digunakan untuk menyimpan peralatan bertaninya,
mereka juga memanfaatkan air yang melewati kolong ini sebagai pengairan terhadap lahan
pertaniannya.
Gambar Sirkulasi rumah Amphawa Gambar Ruang pada rumah Amphawa
Hunian Di Atas..., Uswatun Hasanah, FT UI, 2013
c. Amphibious House di Maasbommel, Belanda
Ruang – ruang pada Amphibious House telah terbagi berdasarkan kegiatannya. Ruang
yang bersifat privat menghadap ke sungai, sedangkan ruang publik atau ruang berkumpul
menghadap ke arah daratan.
Rumah amphibi terdiri dari tiga tingkat, yaitu lantai basement, lantai 2, dan lantai 3.
Pada lantai basement dimanfaatkan untuk ruang penyimpanan atau gudang dan ruang pompa
yang menyimpan pipa – pipa utilitas. Tidak hanya itu, di ruang inilah terdapat struktur
fleksibel yang membuat rumah dapat menyesuaikan tingginya.
Secara umum, bagian lantai 1 terdiri dari ruang keluarga, toilet, ruang penyimpanan,
ruang tidur, dan dapur. Perubahan dapat dilakukan dengan memperluas dapur sebagai
pengganti ruang tidur. Pada lantai 2, baik pada bentuk
tipikal dan yang sudah dimodifikasi ruang yang
ada mencakup tidur, toilet, kamar mandi, dan
lounge. Dapat disimpulkan bahwa ruang uang ada
di lantai 2 ini bersifat privat.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa
pembagian ruang secara privat dan publik
menjadi sangat penting dengan memisahhkan alur
sirkulasi keduanya. Ruang – ruang privat
dimaksimalkan menghadap ke arah sungai
sebagai bentuk relaksasi untuk penghuninya. Jadi,
orientasi sungai bukan menjadi bagian sekunder
dan menjadi area belakang.
Hubungan dan akses menuju ruang public (terhadap lingkungan)
Perbandingan yang dilakukan adalah untuk mencari hubungan ruang pada rumah di
atas air dengan ruang publik. Ruang publik yang dimaksud pada konteks ini adalah hubungan
dengan rumah lain dan secara keseluruhan.
-‐ Pada kasus Banjarmasin, interaksi yang terjadi adalah rumah panggung dengan rumah
panggung, rumah panggung dengan rumah lanting, rumah lanting dengan rumah
Gambar Pembagian ruang pada Lantai 1 (Sumber : Fenuta, 2010, yang telah diolah)
Hunian Di Atas..., Uswatun Hasanah, FT UI, 2013
lanting, dan kedua jenis rumah dengan publik. Rumah panggung dilengkapi dengan
dermaga kecil sebagai penghubung dengan publik. Teras depan pada rumah lanting
dimanfaatkan sebagai penghubung dengan publik.
Gambar Hubungan Rumah Lanting dan Rumah Panggung terhadap Lingkungan Sekitar (Sumber: (Sumber: Tim Ekskursi Banjar 2010 yang diolah kembali)
-‐ Teras depan (outter chaan) pada kasus rumah panggung Amphawa menjadi
penghubung antara penghuni dengan warga yang menggunakan transportasi air
maupun dengan rumah yang ada di sampingnya. Sedangkan penghubung antar rumah
rakit dan publik di Uthai Thani menggunakan jembatan kecil. Pasar berperan penting
dalam terjadinya interaksi publik dengan masyarakat Uthai Thani dalam hal
pemasaran ikan hasil tangkapan. Selain itu, posisi sungai tempat dimana rumah rakit
berdiri berada di antara daerah yang kontras secara kegiatan dimana di sisi timur
digunakan untuk area agrikultur dan di sisi barat digunakan untuk pasar dan kegiatan
pemerintahan.
Gambar Hubungan Rumah Amphawa terhadap Lingkungan Sekitar (Sumber: Silaparachanan, 2008, telah diolah)
Hunian Di Atas..., Uswatun Hasanah, FT UI, 2013
Gambar Hubungan Raft House terhadap Lingkungan Sekitar (Sumber: (Sumber: Journal of Architectural Research and studies, Volume I 2002, Thammasat
University, yang telah diolah)
-‐ Orientasi keterhubungan publik dengan hunian di atas air pada kasus di Belanda lebih
mengarah ke daratan. Terlihat pada lokasi Amphibious House dan Houseboat yang
berdampingan dengan daratan dan pusat kota.
Gambar Hubungan Houseboat terhadap Lingkungan Sekitar (Sumber:Google Maps, 2013, telah diolah)
Gambar Hubungan Amphibious House terhadap Lingkungan Sekitar (Sumber: Sumber : Fenuta, 2010, telah diolah)
Kasus di atas memberikan suatu kesimpulan bahwa interaksi yang terjadi antara
hunian di atas air dengan publik memiliki sifat dominan baik lebih ke arah darat maupun ke
sungai. Interaksi publik yang terjadi pada hunian di atas air pada kasus Belanda lebih dominan
Hunian Di Atas..., Uswatun Hasanah, FT UI, 2013
ke arah daratan dibanding kasus Thailand dan Banjarmasin dimana kegiatan yang dilakukan
publik lebih banyak terjadi di sungai.
Korelasi Kerbangunan dan Konsep “Dwelling” Hunian di Atas Air
Pernyataan yang dilontarkan oleh Olthuis dan Keuning (2010), “the only essential
difference between a house on water and a house on land is related to the foundation, not the
structure” (p.49), membawa titik balik pada studi kasus bahwa bentuk hunian dengan
keterbangunan yang berbeda mempengaruhi konsep keruangan dan kegiatan manusia di
atasnya, atau sebaliknya. Telah disebutkan bahwa pondasi hunian di atas air terbagi menjadi
dua jenis, yakni floating structure dan stilt structure.
Gambar Hubungan keterbangunan dan dwelling saat kondisi surut (Sumber: Prawata, Seminar Floating Kampung: HUT Sketsa 24, 2013, telah diolah)
a. Floating structure
Kategori yang tergolong floating structure yakni rumah lanting Banjarmasin, rumah
rakit Uthai Thani, dan Houseboat.
-‐ Hadirnya rumah lanting Banjarmasin awalnya hanya bersifat temporer dan dengan
alasan rumah apung yang dapat bergerak memudahkan mereka dalam berkegiatan
ekonomi. Fungsi rumah lanting mengalami transformasi menjadi permanen dengan
mengaitkan tali pada rumah lanting ke rumah penduduk yang ada di daratan. Hal ini
membawa perubahan secara spasial yang terjadi pada kegiatan penghuni rumah
lanting dan menjadi terhubung dengan penghui rumah panggung baik ekonomi
maupul sosial.
Hunian Di Atas..., Uswatun Hasanah, FT UI, 2013
-‐ Sebagian besar penduduk Uthai Thani bermatapencaharian sebagai pedagang dan
nelayan. Fase kegiatan nelayan Uthai Thani adalah menjaring ikan di rumah apung
dan hasil tangkapan akan di jual ke pasar dekat pusat kota. Hal ini menjadikan
interaksi sosial antara penduduk rumah rakit dengan publik sangat penting. Bentuk
hunian yang ada mencoba menjawab kebutuhan nilai sosial ekonominya dengan
membuat rumah tetap terapung pada bagian ruang servis dan ruang menjaring ikan.
Sedangkan bagian depan rumah tertambat dengan daratan.
-‐ Pada awalnya houseboat digunakan untuk tempat distribusi penjualan barang sebagai
fungsi utamanya, sedangkan tempat bertinggal pedagang di dalamnya sebagai fungsi
pendamping. Saat ini, karena houseboat menjadi ikon dari Belanda sekaligus
memegang aset pariwisata, banyak houseboat yang dialihfungsikan sebagai tempat
bertinggal sekaligus tempat menetap bagi pengunjung dan toko.
Gambar 4.3 Hubungan keterbangunan dan dwelling saat kondisi pasang (Sumber: Prawata, Seminar Floating Kampung: HUT Sketsa 24, 2013, telah diolah)
b. Stilt structure
-‐ Rumah panggung Banjarmasin
Bertumpu pada tiang – tiang yang berdiri tegak di atas air dan tanah yang labil,
menjadikan penghuninya memanfaatkan dua sisinya dengan perlakuan yang berbeda.
Hunian Di Atas..., Uswatun Hasanah, FT UI, 2013
Sisi sungai dianggap ‘bagian belakang’ rumah yang sebagian besar area servis dan
umumnya berakhir menjadi tempat pembuangan. Berbeda dengan sisi daratan sebagai
‘bagian depan’ dan bersifat privat dengan dikelilingi pagar serta ditanami tumbuhan.
Hal ini memberi kesan bahwa bagian depan dirawat baik.
-‐ Rumah panggung Amphawa
Berkebalikan dengan rumah Amphawa, bagian yang menghadap sungai menjadi
bagian depan rumah, karena kegiatan ekonomi dan interaksi publik dilakukan di teras
depan tanpa melupakan fungsi area servis. Area servis dan area berkegiatan ekonomi
yang terangkum pada satu sisi muka rumah yang menghadap ke sungai
menghilangkan anggapan bahwa sungai hanya sebagai area pembuangan.
-‐ Amphibious House
Fleksibilitas pondasi dan rumah yang dapat naik dan turun, menjadikan ruang yang
berisi sistem utama hunian ini hanya dapat digunakan sebagai gudang. Pada
Amphibious House terdapat pemisahan fungsi antara darat dan sungai. Kedua bagian
rumah ini dianggap penting, bukan lagi sungai menjadi area belakang.
Kesimpulan
Aktivitas menjadi salah satu substansi yang esensial dalam pembentukan hunian di
atas air mengikuti faktor – faktor yang telah disebutkan di atas. Berdasarkan kurun waktu
keberdiriannya, pemenuhan kebutuhan hidup di atas air menjadi semakin menerapkan
layaknya aktivitas di daratan. Hanya saja dengan cara yang berbeda. Pada konteks
Banjarmasin dan Thailand yang telah menerapkan hunian di atas air lebih dulu, fungsi ruang
servis menjadi sangat penting. Hal itu didasari dengan kegiatan yang terangkum di dalamnya
adalah kegiatan yang menggunakan air sebagai sumber utamanya, seperti mandi, cuci, dan
memasak. Selain itu, orientasi ruang servis yang menghadap sungai menjadi sebuah identitas
tersendiri bagi pemiliknya karena area tersebut menjadi ruang interaksi dengan publik,
contohnya pada kasus rumah panggung Amphawa.
Sedikit berbeda pada Houseboat dan Amphibious house, ruang servis bukan lagi
menjadi suatu elemen dominan pada penentuan orientasi rumah. Orientasi ke arah sungai atau
ke darat menjadi sesuatu untuk dinikmati secara privat bagi pemiliknya. Terlihat pada
aktivitas Houseboat yang orientasinya mengarah ke sundeck, begitupula dengan ruang tidur
pada Amphibious House yang menghadap sungai dan ruang keluarga yang menghadap darat.
Tidak hanya itu, hadirnya faktor ekonomi pada aktivitas fisik membawa pengaruh pada
pembagian ruang di dalamnya. Pentingnya faktor ekonomi menjadikan teras depan (outter
Hunian Di Atas..., Uswatun Hasanah, FT UI, 2013
chaan) pada kasus rumah panggung Amphawa sangat penting. Terlihat pada luasnya cakupan
dan keterjangkauan area outter chaan untuk ke dalam dan luar rumah. Sama halnya dengan
rumah rakit di Uthai Thani, terdapat ruang khusus yang menunjang aktivitas mata
pencahariannya. Pentingnya ruang ekonomi pada kedua jenis rumah, terlihat pada akses yang
dapat dilalui dari berbagai arah untuk menuju ruang ekonomi tersebut.
Faktor pemicu munculnya hunian di atas air ternyata dirasakan pula pada
keterbangunannya. Sebagian besar dipengaruhi oleh teknologi dari pengetauan dan material
yang mudah didapatkan pada masing - masing wilayah setempat. Contohnya pemakaian kayu
ulin dan galam pada rumah panggung Banjarmasin yang merupakan material khas
Kalimantan. Keberdirian hunian juga melibatkan faktor kenyamanan dan kondisi perairan
yang ada. Tidak hanya itu, menimpali pernyataan yang dilontarkan oleh Olthuis dan Keuning
(2010), bahwa yang membedakan hunian di atas air dengan di daratan adalah pondasi bukan
struktur, dan mengaitkannya dengan dwelling, ternyata baik tipe pondasi dan tiap negara
berbeda. Contohnya tipe floating structure mengalami transformasi secara spasial, dari
sebelumnya yang bersifat temporer saat ini menjadi permanen. Perubahan tersebut berupa
rumah apung yang dikaitkan ke daratan dan didasari oleh kegiatan ekonomi. Sedangkan
kondisi pasang surut air tidak berpengaruh karena pondasinya mengikuti arus air, sehingga
kegiatan di dalam rumah tetap berjalan seperti biasa.
Pada stilt structure, keberdirian rumah sifatnya permanen dan bergantung terhadap
kondisi pasang surut air. Hal ini membuat penghuninya memanfaatkan ruang bawah
(kolong)yang bersifat temporer sebagai tempat penyimpanan dan tempat bercocok tanam saat
kondisi surut, seperti yang diterapkan pada rumah di Amphawa. Selain itu, perlunya perkiraan
akan tinggi pasang air yang menentukan tinggi tiang penyokong rumah untuk menghindari air
psang, sehingga kegiatan di atas rumah tetap dapat berjalan sebagaimana biasanya.
Pemaparan di atas menjabarkan bahwa kehadiran hunian di atas air meleburkan batasan antara
air dan darat dari yang kita pikirkan sebelumnya. Melalui kondisi fisik wilayah, budaya yang
bertransformasi ke aktivitas fisik merupakan pemicu meleburnya batas tersebut. Diawali
dengan pengenalan air yang memiliki karakter baik secara wujud nyata maupun secara tak
kasat mata. Hal ini mendukung akan penyataan dari Olthuis dan Keuning (2010) bahwa hidup
di atas air meleburkan batas antara air dan air.
Kembali menimpali masalah yang dihadapi bumi saat ini dan menjadikan hunian di
atas air sebagai hunian yang baru, bukan sesuatu yang tak mungkin bila hal tersebut dapat
diterapkan. Berkaca pada kasus hunian di atas air sebelumnya, menilik kelebihan dan
kekurangan yang dimiliki masing masing, kemudian mencoba melengkapi kelebihan yang ada
Hunian Di Atas..., Uswatun Hasanah, FT UI, 2013
dengan standar kehidupan yang seharusnya. Hal itu akan menjadikkan anggapan tabu pada
hunian di atas air sebelumnya menjadi hunian layaknya yang biasa kita jumpai hanya dengan
cara yang berbeda dan memenuhi standar kelayakan hunian.
Demi tercapainya tempat bertinggal baru di atas air yang memenuhi kelayakan,
menjadi penting melihat referensi yang telah ada sebelumnya untuk dianalisa kembali dan
meningkatkan kekurangan yang ada. Menanggapi kasus hunian di atas air konteks
Banjarmasin, maka penulis merekomendasikan kepada pihak lain yang terkait, yakni:
Untuk Pemerintah Daerah
1. Masalah sanitasi tepatnya penggunaan air untuk beragam aktivitas masih menjadi
masalah utama. Tidak adanya saluran khusus pembuangan air kotor terpaksa membuat
warga membuangnya langsung ke sungai, sama halnya yang terjadi pada sampah. Jika
berkaca pada kasus Belanda, teknologi memang sangat terlibat namun setidaknya
sistem yang digunakan dapat diaplikasikan dengan cara yang lebih sederhana,
layaknya sistem utilitas yang diterapkan pada hunian di atas air kasus Thailand.
Meskipun rumah tidak memiliki toilet pribadi, setidaknya terdapat fasilitas toilet
umum yang saluran pembuangan terhubung dengan saluran pembuangan kota
sehingga air sungai layak untuk pemenuhan kebutuhan sehari – hari. Contoh yang
telah diterapkan pada rumah apung Kamboja yang telah dipaparkan pada bab 2, dapat
jadikan referensi sistem toilet dengan membuat tempat pembuangan sekali pakai
dimana toilet ini diletakkan di tiap – tiap rumah. Hal ini memberikan kemudahan bagi
penghuni rumah dan pengaturan pembuangannya dapat dilakukan masing – masing
keluarga.
2. Selain itu, pandangan atas ketidakteraturan hunian di atas air di Banjarmasin acap kali
dianggap pemukiman kumuh. Seharusnya, pemerintah mengembangkan dan
menertibkan hunian di atas air layaknya yang dilakukan pada rumah panggung di
Amphawa. Revitalisasi rumah dilakukan karena pemerintah sadar akan potensi hunian
dan budaya sungai masyarakat Amphawa, juga melestarikan pasar terapung
Ampahawa yang hingga saat ini terkenal. Sama halnya dengan Banjarmasin, hunian di
atas air dapat menjadi kekkuatan tersendiri dalam meningkatkan perekonomian
penduduknya ditambah dengan adanya pasar terapung muara kuin. Jika hal tersebut
dapat dilakukan, hunian di atas air yang layak sebagai tempat bertinggal yang baru
dapat diaplikasikan.
Hunian Di Atas..., Uswatun Hasanah, FT UI, 2013
Untuk Mayarakat
Bagi masyarakat yang memang bertinggal di wilayah Banjarmasin seharusnya sadar
akan kebersihan lingkungan yang akan memberikan dampak pada kesehatan itu sendiri. Tak
lupa bagi para wisatawan yang mengunjungi Banjarmasin sebaiknya ikut bertanggung jawab
dalam pemeliharaan lingkungan wilayah tersebut untuk meningkatkan nilai budaya dan
pariwisata Banjarmasin.
Untuk Akademisi
Penulis menyadari bahwa penulisan karya ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena
itu, bagi penulis yang tergerak pada pemikiran yang sama bahwa hunian di atas air mampu
menjadi hunian alternatif, dapat memberikan konsep nyata dari hunian baru tersebut tanpa
melupakan nilai budaya masyarakat setempat.
Daftar Referensi
Anisa, Lisa. (2009). Perencanaan Lansekap Riparian Sungai Martapura Kualitas Lingkungan
Alami Kota Banjarmasin. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Boonjub, Wattana. (2009). The study of Thai Traditional Architecture As a Resource for
Contemporary Building Design in Thailand. Bangkok: Silpakorn University.
Dara, Diah Anggun. 2010. Rencana Penataan Lansekap Pemukiman Kampung Kuin,
Banjarmasin. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Denpaiboon, Chaweewan, Mamoru Tohiguchi, Hiroyuki Matsuda, & Hashimoto, Seiyu.
(2002). Typology and Life Style Analysis of the Raft House (Ruan Pae) in Riverine
Settlements in Thailand. Journal of Architectural Research and Studies. Vol 1, 2002:
109 - 126.
Fenuta, Elizabeth Victoria. (2010). Amphibious Architecture: The Buoyant Foundation
Project in Post-Katrina New Orleans. Ontario: University of Waterloo.
Goenmiandari, Betty. (2012). Konsep Penataan Pemukiman Bantaran Sungai di Kota
Banjarmasin Berdasarkan Budaya Setempat. Surabaya: Institut Teknologi Surabaya.
Hunian Di Atas..., Uswatun Hasanah, FT UI, 2013
Lefas, Pavlos. (2008). Dwelling and Architecture from Heidegger to Koolhaas. Berlin: Jovis.
Moore, Charles Williard. (1957). Water+Architecture. New Jersey: Princeton University.
Olthuis, Koen & David Keuning. (2010). FLOAT! Building On Water To Combat Urban
Congestion And Climate Change. Amsterdam: Frame Publisher.
Rapoport, Amos. (1969). House, Form, and Culture. London: Prentince – Hall.
Silapacharanan, Siriwan. (2008). Amphawa and its Cultural Heritage. Bangkok:
Chulalongkorn University.
Therakomen, Preechaya. (2000). Computer Technology and Globalization of Architecture.
Washington: University of Washington.
Tim Ekskursi Banjar 2010. (2010). banjar.sungai.arsitektur: rekaman arsitektural. Depok:
Departemen Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Indonesia.
Bueren, B.V. (2013). Building on Water. Building on Water Conference and Exhibition.
Erasmus Huis, Jakarta.
Prawata, Albertus. (2013). Floating Kampung. HUT Sketsa 24 Public Lecture. Museum
Nasional, Jakarta.
Wiersema, J. (2006). May 31, 2013. Houseboat in Amsterdam/ Woonboten in Amsterdam.
http://www.wwp-diemen.nl/houseboats/
Design Houseboat near Amsterdam. (n.d.). May 31, 2013.
https://www.airbnb.com/rooms/359677
Hunian Di Atas..., Uswatun Hasanah, FT UI, 2013