humas 11-juni-2011

294
KEHUTANAN MASYARAKAT Teori dan Implementasi Hamdani Fauzi

Upload: hamdani-fauzi

Post on 17-Aug-2015

146 views

Category:

Education


4 download

TRANSCRIPT

Kayu Gergajian : Kayu bulat yang telah dikonversikan dengan mempergunakan gergaji termasuk balok-balok segi empat pacakan

Kearifan Lokal : Pengetahuan lokal yang sudah demikian menyatu dengan sistem kepercayaan, norma dan budaya yang diekspresikan di dalam tradisi dan mitos yang dianut dalam jangka waktu yang cukup lama ada

Kebun Hutan : Suatu variasi dari kebun pekarangan tradisional yang dikembangkan oleh penduduk local dalam usaha mengembangkan produk yang laku di pasaran

Kebijakan : Cara dan tindakan pemerintah untuk mengatasi masalah pembangunan tertentu atau untuk mencapai tujuan pembangunan tertentu dengan mengeluarkan keputusan, strategi , perencanaan maupun implementasinya di lapangan dengan menggunakan instrument tertentu

Kegiatan Sosial : Kegiatan yang tidak terbatas pada pengaturan rumah tangga tetapi menyangkut kegiatan berhubungan dengan orang-orang di sekelilingnya untuk kepentingan bersama

Kelembagaan : Suatu tatanan dan pola hubungan antara anggota masyarakat atau organisasi yang saling mengikat yang dapat menentukan bentuk hubungan antar manusia atau antara organisasi yang diwadahi dalam suatu organisasi atau jaringan dan ditentukan oleh faktor-faktor pembatas dan pengikat berupa norma, kode etik , aturan formal maupun informal untuk pengendalian perilaku sosial serta insentif untuk bekerjasama dan mencapai tujuan bersama

Kelompok Tani : Kumpulan petani dalam suatu wadah organisasi yang tumbuh berdasarkan kebersamaan, keserasian, kesamaan profesi dan kepent ingan dalam memanfaatkan sumberdaya alam yang mereka kuasai dan berkepentingan untuk bekerjasama dalam rangka meningkatkan produkt ivitas usahatani dan kesejahteraan anggotanya

Kemiskinan : Sebuah kondisi yang berada di bawah garis nilai standar kebutuhan minimum, baik untuk makanan dan non-makanan

Konsesi : Hak yang diberikan kepada pengusaha untuk memanfaatkan dan mengelola hutan secara lestari dan berkelanjutan

Masyarakat Desa Hutan : Kelompok masyarakat setempat, terutama masyarakat tradisional, baik yang berada di dalam hutan maupun di pedesaan sekitar hutan

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

270 Kehutanan Masyarakat 269

GLOSARIUM

Agroforestryi : Istilah kolektif untuk sistem-sistem dan teknologi penggunaan lahan, yang secara terencana dilaksanakan pada suatu unit lahan dengan mengkombinasikan tumbuhan berkayu (pohon, perdu, palem, bambu dan lain-lain) dengan tanaman pertanian dan/atau hewan (ternak) dan/atau ikan, yang dilakukan pada waktu bersamaan atau bergiliran sehingga terbentuk interaksi ekologis dan ekonomis antar berbagai komponen yang ada

Dukuh : Istilah untuk kebun buah yang terdiri dari kelompok pohon yang didominasi oleh buah-buahan dari hasil tanaman permudaan alam yang pola tanamnya tidak teratur, strata tidak seragam, tidak seumur, menyerupai hutan alam

Ekosistem : Unit dasar fungsional yang merupaka lingkungan bagi makhluk hidup maupun benda mati yang masing-masing ikut menentukan sifat-sifat anggotanya dan diperlukan untuk menjaga kelestarian bumi

Erosi : Suatu proses atau peristiwa hilangny lapisan permukaan atas tanah yang disebabkan pergerakan air dan/atau angin

Hutan : Suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan

Hutan Rakyat : Hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik maupun hak lainnya dengan ketentuan luas minimum 0,25 ha, penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan dan tanaman lainnya lebih dari 50%

Hutan Kemasyarakatan : Hutan Negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat setempat di dalam kawasan hutan negara

Hutan Tanaman Industri : Pengelolaan hutan yang dibangun oleh kelompok industri dalam rangka pemenuhan kebutuhan bahan baku industri hasil hutan

Teori dan Implementasi

Hamdani Fauzi

KEHUTANAN MASYARAKATTeori dan Implementasi

Hamdani Fauzi

© Hamdan FauziKEHUTANAN MASYARAKAT

“Teori dan Implementasi”

Desain Cover, Layout & Editing:Rasta Albanjari

Tim Pustaka Banua

Cetakan pertama: Agustus 2010Diterbitkan oleh: Pustaka Banua

Jalan Pramuka Komplek Bumi Pramuka Asri NO.21 Blok D Banjarmasin . E-mail:[email protected]:081351628292

Isi di luar tanggung jawab percetakan

PRAKATA

Kehutanan Masyarakat i

Teori dan Implementasi

enurut Kementerian Kehutanan (2010) jumlah desa yang berhubungan dengan kawasan hutan saat ini tercatat sebanyak 31.957 desa, yang Mterdistribusi di dalam kawasan hutan sebanyak 1.305 desa (4,08%), tepi

kawasan hutan sebanyak 7.943 (24,86%) dan di sekitar kawasan hutan sebanyak 22.709 (71,06%).

Provinsi terbanyak untuk desa di dalam kawasan hutan adalah Kalimantan Tengah (sebanyak 208 desa), dan Jawa Tengah (sebanyak 1.581 desa di tepi kawasan hutan dan 6.795 desa di sekitar kawasan hutan). Penduduk tersebut sebagian bermata pencaharian langsung dari hutan yang ada disekitarnya, sedangkan yang bekerja di sektor swasta kurang lebih 3,4 juta orang. Secara tradisi, pada umumnya masyarakat yang bermata pencaharian langsung dari hutan berupa perladangan dan memanfaatkan berbagai jenis produk-produk hasil hutan, baik kayu maupun non kayu seperti damar, kayu manis, gaharu, rotan dan lebah madu.

Harus diakui bahwa sejak awal sejarah peradabannya manusia memiliki keterkaitan yang erat dengan sumberdaya hutan. Masyarakat lokal telah sejak lama memahami prinsip bahwa hutan alam klimaks lebih merupakan puncak keseimbangan ekologis daripada mampu menjanjikan produktivitas tinggi bagi kepentingan hidup manusia. Banyak bukti-bukti yang menunjukkan bahwa pemanfaatan hutan dan lahan hutan oleh masyarakat mampu menjawab persoalan lingkungan dan sosial ekonomi masyarakat.

Misalnya saja, pengelolaan hutan adat oleh Suku Dayak Iban (Kalimantan Barat) atau hutan rakyat yang dikelola oleh masyarakat Desa Dengok (Kec. Playen), Desa Girisekar (Kec. Parang) dan Desa Kedungkeris (Kecamatan Nglipar) yang terbukti mampu mengelola hutan secara lestari sedemikian rupa sehingga mendapatkan sertifikat Pengelolaan Hutan Lestari dari Lembaga Ecolabel Indonesia (LEI). Ini menunjukkan bahwa rakyat yang hidup di sekitar hutan memiliki pengalaman panjang dan kemampuan yang memadai untuk mengelola hutan.

Sebetulnya, upaya pengembangan kehutanan masyarakat mendapat dukungan dari para ahli dan praktisi kehutanan sedunia sejak dilaksanakannya Kongres Kehutanan Sedunia VIII pada 16 - 28 Oktober 1978 di Jakarta dengan tema pokok “Forest for People”. Namun dalam prakteknya masih jauh dari apa yang diharapkan sebagaimana yang tertuang dalam Kongres Jakarta bahwa Kehutanan harus memberikan kontribusi yang semaksimal mungkin bagi pembangunan masyarakat secara lestari dan berkelanjutan dengan melibatkan rakyat dalam pengelolaan hutan.

i

Sardjono (2001) dan Mas Achmad (2001) mengemukakan beberapa faktor yang menyebabkan pengelolaan hutan oleh rakyat di masa lalu demikian sulit berkembang dan diterima sebagai alternatif pengelolaan hutan di Indonesia antara lain (1) bentuk-bentuk pengelolaan hutan berbasis rakyat yang didokumentasikan serta dipromosikan pada umumnya merupakan “spot-spot” kecil yang sangat beragam sehingga dalam konteks kehutanan konvensional hal tersebut tidak bisa dijadikan blue print yang bersifat standar sebagaimana sistem “konsesi hutan” dan “tebang pilih”; (2) belum ada data yang secara siginifikan mengemukakan sumbangan praktek pengelolaan hutan oleh rakyat bagi perekonomian regional atau nasional yang justeru menjadi sasaran politik pembangunan kehutanan, walaupun aspek keunggulan dari sisi ekologis dan sosio-kultural pengelolaan hutan kemasyarakat telah ditampilkan; dan (3) Kebijakan pengelolaan hutan selama 3 dekade era HPH cenderung bersifat sentralistik dan sama sekali tidak memberikan jaminan akses publik terhadap proses pengambilan keputusan di sektor kehutanan. Hak masyarakat terbatas pada pemanfaatan hasil hutan. Ini pun hanya dapat dilakukan melalui koperasi, mengetahui rencana peruntukan serta beberapa hal lain yang miskin ruang peran serta masyarakat.

Pengelolaan hutan bersama rakyat akan dapat diimplementasikan apabila ada keinginan semua stakeholders untuk melibatkan rakyat dalam setiap tahapan kegiatan pengelolaan hutan yang dilakukan secara transparan, partisipatif dan bertanggunggugat (accountable). Pelibatan masyarakat hingga ke pelosok-pelosok daerah dilakukan mulai tahap perencanaan, pelembagaan, pelaksanaan sampai dengan pengawasan.

Buku ini dimaksudkan sebagai buku bahan ajar sekaligus buku referensi untuk subyek Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat, Hutan Kemasyarakatan, Sosiologi Kehutanan, dan Kehutanan Sosial di tingkat Universitas. Juga akan sangat bermanfaat bagi pengamat, pemerhati dan praktisi kehutanan, khususnya yang bergerak di bidang kehutanan sosial dan pemberdayaan masyarakat, apalagi saat ini Social Forestry telah dijadikan payung pembangunan kehutanan.

Secara khusus perlu diketengahkan di sini bahwa bahan bacaan dan buku ajar yang berkaitan dengan Kehutanan Masyarakat masih kurang, khususnya yang menyajikan teori dan praktek-praktek pengelolaan hutan yang secara de facto dilakukan masyarakat. Buku ini terdiri dari 12 bab yang disusun sedemikian rupa sehingga pembaca dapat memahami teori-teori pemanfaatan oleh masyarakat, perladangan berpindah, sistem hutan kerakyatan, pemberdayaan masyarakat dan contoh-contoh pengelolaan hutan berbasis masyarakat seperti hutan kemasyarakatan, hutan rakyat, hutan tanaman rakyat dan hutan adat.

Penulis menyadari bahwa penulisan buku ini masih banyak kekurangan dan kelemahan sehinga dalam kesempatan ini memohon maaf dan mengharapkan saran konstruktif demi perbaikan buku ini. Di samping itu, seandainya dalam penulisan buku ini terdapat pernyataan dari pihak lain yang tidak disebutkan sumbernya, semata-mata bukan karena kesengajaan melainkan kekhilafan dan kesalahan penulis. Untuk itu, penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya.

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

ii

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Ir. Sunardi, M.S selaku Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat sekaligus Dosen senior untuk Mata Kuliah Hutan Kemasyarakatan yang telah banyak memberikan masukan dan saran. Kepada Penerbit Pustaka Banua penulis mengucapkan terima kasih telah membantu mengedit, membuat lay out dan tentu saja menerbitkan buku ini. Kepada ananda tercinta Muhammad Wafii Ramadhan serta Isteri tersayang Rahmiyati, S.Hut yang tiada henti mendorong penulis untuk menyelesaikan buku ini, terima kasih atas segala pengertiannya atas waktu yang hilang untuk mereka.

Penulis berharap semoga Allah SWT memberikan balasan yang berlipat ganda kepada semua pihak yang memberikan kontribusi yang sangat berharga hingga buku ini dapat diterbitan. Harapan penulis adalah agar buku ini dapat bermanfaat dalam pengembangan kehutanan masyarakat di tanah air.

Banjarbaru, Juli 2010

Hamdani Fauzi

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

iii

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

iv

Kehutanan Masyarakat ii

DAFTAR ISI

Teori dan Implementasi

Halaman

PRAKATA .............................................................................................................. iDAFTAR ISI .......................................................................................................... iiDAFTAR TABEL .................................................................................................. iiiDAFTAR GAMBAR .............................................................................................. iv

BAB 1. PEMANFAATAN HUTAN OLEH MASYARAKAT ..................................... 11.1 Pendahuluan ....................................................................................................... 11.2 Manfaat Hutan Bagi Masyarakat ................................................................ 41.3 Jenis Jenis Hasil Hutan Yang Dimanfaatkan Oleh Masyarakat ........ 7

BAB 2. PERLADANGAN BERPINDAH ...................................................................... 172.1 Pendahuluan ....................................................................................................... 172.2 Kegiatan dalam Perladangan Berpindah .................................................. 182.3 Ritual Adat dalam Sistem Perladangan ...................................................... 212.4 Perladangan Berpindah:

Kearifan Lokal vs Deforestasi ...................................................................... 23

BAB 3. PENGELOLAAN HUTAN KONVENSIONAL .............................................. 353.1 Pendahuluan ........................................................................................................ 353.2 Penambangan Kayu (Timber Extraction) ............................................... 363.3 Pengelolaan Hutan Tanaman (Timber Management) ......................... 51

BAB 4. PENGELOLAAN HUTAN DENGAN STRATEGI KEHUTANAN SOSIAL ............................................ 61

4.1 Pendahuluan ........................................................................................................ 614.2 Pokok-pokok pikiran Social Forestry ........................................................ 644.3 Penerapan Pengelolaan Hutan dengan Strategi Social Forestry ...... 66

BAB 5. PENGELOLAAN HUTAN DENGAN STRATEGI KEHUTANAN SOSIAL ............................................. 91

5.1 Pendahuluan ....................................................................................................... 915.2 Pengertian dan Prinsip Sistem Hutan Kerakyatan .............................. 945.3 Latar Belakang Muncul Konsep SHK di Indonesia .............................. 965.4 Gerakan Community Forestry di Indonesia ............................................ 1015.5 Peran Pemerintah dalam Pengembangan Community Forestry .... 1075.6 Isu-isu Strategis bagi Gerakan Community Forestry .......................... 109

v

iv

ixxi

Halaman

BAB 6. PEMBERDAYAAN MASYARAKAT ................................................................ 1136.1 Pendahuluan ........................................................................................................ 1136.2 Definisi Pemberdayaan ................................................................................... 1156.3 Proses Pemberdayaan Masyarakat ............................................................ 1196.4 Tujuan dan Tahapan Pemberdayaan Masyarakat ................................ 1246.5 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pemberdayaan Masyarakat ... 128

BAB 7. PEMBINAAN MASYARAKAT DESA HUTAN ............................................ 1357.1 Pendahuluan ........................................................................................................ 1357.2 Tujuan dan Sasaran PMDH ............................................................................ 1357.3 Prinsip Dasar Pengelolaan PMDH .............................................................. 1367.4 Pra-Perencanaan (Studi Diagnostik) PMDH .......................................... 1377.5 Perencanaan PMDH ......................................................................................... 1427.6 Pelaksanaan PMDH ........................................................................................... 146

BAB 8. HUTAN KEMASYARAKATAN (HKm) .......................................................... 1718.1 Pendahuluan ........................................................................................................ 1718.2 Konsepsi Hutan Kemasyarakatan ............................................................... 1738.3 Tujuan dan Pola Kemitraan HKm ............................................................... 1758.4 Sasaran Lokasi ................................................................................................... 1768.5 Kegiatan Hutan Kemasyarakatan ................................................................ 1768.6 Hak dan Kewajiban Peserta HKm ............................................................... 1768.7 Pemantapan Kawasan ..................................................................................... 1778.8 Aspek Kelembagaan ......................................................................................... 1778.9 Pemilihan Jenis ................................................................................................... 1778.10 Hak Pengusahaan Hutan Kemasyarakatan ............................................. 1828.11 Pengalaman Pelaksanaan HKm .................................................................... 1868.12 Kendala Pelaksanaan Hutan Kemasyarakatan ........................................ 189

BAB 9. HUTAN RAKYAT ................................................................................................. 1919.1 Pendahuluan ........................................................................................................ 1919.2 Konsepsi Hutan Rakyat ................................................................................... 1929.3 Karakteristik dan Bentuk Hutan Rakyat .................................................. 1949.4 Tujuan dan Sasaran Hutan Rakyat ............................................................. 1959.5 Pola Pengembangan Hutan Rakyat ............................................................ 1969.6 Pengelolaan Pembangunan Hutan Rakyat .............................................. 1979.7 Pengalaman Pembangunan Hutan Rakyat .............................................. 2009.8 Kontribusi Hutan Rakyat terhadap Masyarakat ................................... 2069.9 Permasalahan dan Alternatif Solusi ........................................................... 208

BAB 10. HUTAN TANAMAN RAKYAT ………...........................…................................ 21710.1 Pendahuluan ........................................................................................................ 21710.2 Prinsip Penyelenggaraan HTR ..................................................................... 22010.3 Sasaran program HTR ..................................................................................... 22110.4 Pola Penyelenggaraan HTR ............................................................................. 222

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

vi

Halaman

10.5 Pembiayaan HTR dan Alternatif Pengembaliannya ............................ 22310.6 Proses permohonan IUPHHK HTR ............................................................ 23010.7 Pengalaman Pembangunan HTR ................................................................ 23110.8 Tantangan Pengembangan HTR .................................................................. 234

BAB 11. HUTAN ADAT ...................................................................................................... 23711.1 Pendahuluan ........................................................................................................ 23711.2 Hak Masyarakat Adat ....................................................................................... 23811.3 Perlindungan Hukum Bagi Masyarakat Adat

dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam ....................................................... 24111.4 Pengakuan Terhadap Hutan Adat ............................................................... 24811.5 Hak Ulayat ............................................................................................................ 24911.6 Proses Perolehan Hak Mengelola Hutan Adat ........................................ 25111.7 Perubahan Iklim, Hutan & Masyarakat Adat .......................................... 25211.8 Sertifikasi Hutan Adat :

Pengalaman Pengelolaan Hutan Adat ........................................................ 253

BAB 12. PENUTUP .............................................................................................................. 259DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 263GLOSARIUM ......................................................................................................... 269

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

vii

INDEKS ................................................................................................................. 275

Kehutanan Masyarakat 269

GLOSARIUM

Agroforestryi : Istilah kolektif untuk sistem-sistem dan teknologi penggunaan lahan, yang secara terencana dilaksanakan pada suatu unit lahan dengan mengkombinasikan tumbuhan berkayu (pohon, perdu, palem, bambu dan lain-lain) dengan tanaman pertanian dan/atau hewan (ternak) dan/atau ikan, yang dilakukan pada waktu bersamaan atau bergiliran sehingga terbentuk interaksi ekologis dan ekonomis antar berbagai komponen yang ada

Dukuh : Istilah untuk kebun buah yang terdiri dari kelompok pohon yang didominasi oleh buah-buahan dari hasil tanaman permudaan alam yang pola tanamnya tidak teratur, strata tidak seragam, tidak seumur, menyerupai hutan alam

Ekosistem : Unit dasar fungsional yang merupaka lingkungan bagi makhluk hidup maupun benda mati yang masing-masing ikut menentukan sifat-sifat anggotanya dan diperlukan untuk menjaga kelestarian bumi

Erosi : Suatu proses atau peristiwa hilangny lapisan permukaan atas tanah yang disebabkan pergerakan air dan/atau angin

Hutan : Suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan

Hutan Rakyat : Hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik maupun hak lainnya dengan ketentuan luas minimum 0,25 ha, penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan dan tanaman lainnya lebih dari 50%

Hutan Kemasyarakatan : Hutan Negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat setempat di dalam kawasan hutan negara

Hutan Tanaman Industri : Pengelolaan hutan yang dibangun oleh kelompok industri dalam rangka pemenuhan kebutuhan bahan baku industri hasil hutan

Teori dan Implementasi

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

Kehutanan Masyarakat 269

GLOSARIUM

Agroforestryi : Istilah kolektif untuk sistem-sistem dan teknologi penggunaan lahan, yang secara terencana dilaksanakan pada suatu unit lahan dengan mengkombinasikan tumbuhan berkayu (pohon, perdu, palem, bambu dan lain-lain) dengan tanaman pertanian dan/atau hewan (ternak) dan/atau ikan, yang dilakukan pada waktu bersamaan atau bergiliran sehingga terbentuk interaksi ekologis dan ekonomis antar berbagai komponen yang ada

Dukuh : Istilah untuk kebun buah yang terdiri dari kelompok pohon yang didominasi oleh buah-buahan dari hasil tanaman permudaan alam yang pola tanamnya tidak teratur, strata tidak seragam, tidak seumur, menyerupai hutan alam

Ekosistem : Unit dasar fungsional yang merupaka lingkungan bagi makhluk hidup maupun benda mati yang masing-masing ikut menentukan sifat-sifat anggotanya dan diperlukan untuk menjaga kelestarian bumi

Erosi : Suatu proses atau peristiwa hilangny lapisan permukaan atas tanah yang disebabkan pergerakan air dan/atau angin

Hutan : Suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan

Hutan Rakyat : Hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik maupun hak lainnya dengan ketentuan luas minimum 0,25 ha, penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan dan tanaman lainnya lebih dari 50%

Hutan Kemasyarakatan : Hutan Negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat setempat di dalam kawasan hutan negara

Hutan Tanaman Industri : Pengelolaan hutan yang dibangun oleh kelompok industri dalam rangka pemenuhan kebutuhan bahan baku industri hasil hutan

Teori dan Implementasi

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Manfaat Hutan bagi Masyarakat menurut Jarak Tempat Tinggal dari Hutan …......................................................... 6

Tabel 2. Pengelompokan hasil hutan non kayu ..............…................................. 9

Tabel 3. Pelaksanaan Ekstraksi Kayu dan Jangka Waktu Berlakunya di Beberapa Negara …................................................................................... 40

Tabel 4. Perkembangan Penambangan Kayu di Indonesia ............................ 50

Tabel 5. Garis Besar Perubahan Paradigma Pengelolaan Hutan di Indonesia ….................................................................................................. 50

Tabel 6. Perbedaan antara Paradigma Penambangan Kayu dengan Pengelolaan Hutan Tanaman Monokultur ........…................................ 60

Tabel 7. Tipologi Sistem Hutan Kerakyatan …...................................................... 96

Tabel 8. Rekapitulasi Konflik Sumberdaya Alam ................................................. 98

Tabel 9. Beberapa Konflik HPH/HPHI di Kaltim ................................................ 100

Tabel 10. Tahapan pemberdayaan knowledge, attitudes, practice dengan pendekatan aspek afektif, kognitif, psikomotorik dan konatif .... 128

Tabel 11. Ciri-ciri pelaku pemberdayaan yang memberdayakan dilihat dari aspek perilaku; pengetahuan, sikap dan ketrampilan ............ 131

Tabel 12. Keaktifan Responden dalam Kegiatan Pertanian Menetap pada Program PMDH PT. Aya Yayang Indonesia .....…................................. 149

Tabel 13. Tanggapan Responden Mengenai Dampak Pembinaan Bidang Pertanian Menetap terhadap peningkatan Pendapatan Keluarga Peserta PMDH PT. Aya Yayang Indonesia .. 151

Tabel 14. Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Peserta PMDH PT. Inhutani II SU Pulau Laut .........…........................................................ 161

Tabel 15 Tanggapan Responden Terhadap Sering Tidaknya Perusahaan

Memberikan Pembinaan dan Bantuan Di Bidang Peningkatan Ekonomi pada PT. Inhutan II SU Pulau Laut ….................................... 163

Tabel 16. Sarana Dan Prasarana Umum Bantuan PT. Aya Yayang Indonesia Di Desa Dambung Raya ............................... 167

iiiix

Kayu Gergajian : Kayu bulat yang telah dikonversikan dengan mempergunakan gergaji termasuk balok-balok segi empat pacakan

Kearifan Lokal : Pengetahuan lokal yang sudah demikian menyatu dengan sistem kepercayaan, norma dan budaya yang diekspresikan di dalam tradisi dan mitos yang dianut dalam jangka waktu yang cukup lama ada

Kebun Hutan : Suatu variasi dari kebun pekarangan tradisional yang dikembangkan oleh penduduk local dalam usaha mengembangkan produk yang laku di pasaran

Kebijakan : Cara dan tindakan pemerintah untuk mengatasi masalah pembangunan tertentu atau untuk mencapai tujuan pembangunan tertentu dengan mengeluarkan keputusan, strategi , perencanaan maupun implementasinya di lapangan dengan menggunakan instrument tertentu

Kegiatan Sosial : Kegiatan yang tidak terbatas pada pengaturan rumah tangga tetapi menyangkut kegiatan berhubungan dengan orang-orang di sekelilingnya untuk kepentingan bersama

Kelembagaan : Suatu tatanan dan pola hubungan antara anggota masyarakat atau organisasi yang saling mengikat yang dapat menentukan bentuk hubungan antar manusia atau antara organisasi yang diwadahi dalam suatu organisasi atau jaringan dan ditentukan oleh faktor-faktor pembatas dan pengikat berupa norma, kode etik , aturan formal maupun informal untuk pengendalian perilaku sosial serta insentif untuk bekerjasama dan mencapai tujuan bersama

Kelompok Tani : Kumpulan petani dalam suatu wadah organisasi yang tumbuh berdasarkan kebersamaan, keserasian, kesamaan profesi dan kepent ingan dalam memanfaatkan sumberdaya alam yang mereka kuasai dan berkepentingan untuk bekerjasama dalam rangka meningkatkan produkt ivitas usahatani dan kesejahteraan anggotanya

Kemiskinan : Sebuah kondisi yang berada di bawah garis nilai standar kebutuhan minimum, baik untuk makanan dan non-makanan

Konsesi : Hak yang diberikan kepada pengusaha untuk memanfaatkan dan mengelola hutan secara lestari dan berkelanjutan

Masyarakat Desa Hutan : Kelompok masyarakat setempat, terutama masyarakat tradisional, baik yang berada di dalam hutan maupun di pedesaan sekitar hutan

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

270 Kehutanan Masyarakat 269

GLOSARIUM

Agroforestryi : Istilah kolektif untuk sistem-sistem dan teknologi penggunaan lahan, yang secara terencana dilaksanakan pada suatu unit lahan dengan mengkombinasikan tumbuhan berkayu (pohon, perdu, palem, bambu dan lain-lain) dengan tanaman pertanian dan/atau hewan (ternak) dan/atau ikan, yang dilakukan pada waktu bersamaan atau bergiliran sehingga terbentuk interaksi ekologis dan ekonomis antar berbagai komponen yang ada

Dukuh : Istilah untuk kebun buah yang terdiri dari kelompok pohon yang didominasi oleh buah-buahan dari hasil tanaman permudaan alam yang pola tanamnya tidak teratur, strata tidak seragam, tidak seumur, menyerupai hutan alam

Ekosistem : Unit dasar fungsional yang merupaka lingkungan bagi makhluk hidup maupun benda mati yang masing-masing ikut menentukan sifat-sifat anggotanya dan diperlukan untuk menjaga kelestarian bumi

Erosi : Suatu proses atau peristiwa hilangny lapisan permukaan atas tanah yang disebabkan pergerakan air dan/atau angin

Hutan : Suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan

Hutan Rakyat : Hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik maupun hak lainnya dengan ketentuan luas minimum 0,25 ha, penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan dan tanaman lainnya lebih dari 50%

Hutan Kemasyarakatan : Hutan Negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat setempat di dalam kawasan hutan negara

Hutan Tanaman Industri : Pengelolaan hutan yang dibangun oleh kelompok industri dalam rangka pemenuhan kebutuhan bahan baku industri hasil hutan

Teori dan Implementasi

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

x

Kayu Gergajian : Kayu bulat yang telah dikonversikan dengan mempergunakan gergaji termasuk balok-balok segi empat pacakan

Kearifan Lokal : Pengetahuan lokal yang sudah demikian menyatu dengan sistem kepercayaan, norma dan budaya yang diekspresikan di dalam tradisi dan mitos yang dianut dalam jangka waktu yang cukup lama ada

Kebun Hutan : Suatu variasi dari kebun pekarangan tradisional yang dikembangkan oleh penduduk local dalam usaha mengembangkan produk yang laku di pasaran

Kebijakan : Cara dan tindakan pemerintah untuk mengatasi masalah pembangunan tertentu atau untuk mencapai tujuan pembangunan tertentu dengan mengeluarkan keputusan, strategi , perencanaan maupun implementasinya di lapangan dengan menggunakan instrument tertentu

Kegiatan Sosial : Kegiatan yang tidak terbatas pada pengaturan rumah tangga tetapi menyangkut kegiatan berhubungan dengan orang-orang di sekelilingnya untuk kepentingan bersama

Kelembagaan : Suatu tatanan dan pola hubungan antara anggota masyarakat atau organisasi yang saling mengikat yang dapat menentukan bentuk hubungan antar manusia atau antara organisasi yang diwadahi dalam suatu organisasi atau jaringan dan ditentukan oleh faktor-faktor pembatas dan pengikat berupa norma, kode etik , aturan formal maupun informal untuk pengendalian perilaku sosial serta insentif untuk bekerjasama dan mencapai tujuan bersama

Kelompok Tani : Kumpulan petani dalam suatu wadah organisasi yang tumbuh berdasarkan kebersamaan, keserasian, kesamaan profesi dan kepent ingan dalam memanfaatkan sumberdaya alam yang mereka kuasai dan berkepentingan untuk bekerjasama dalam rangka meningkatkan produkt ivitas usahatani dan kesejahteraan anggotanya

Kemiskinan : Sebuah kondisi yang berada di bawah garis nilai standar kebutuhan minimum, baik untuk makanan dan non-makanan

Konsesi : Hak yang diberikan kepada pengusaha untuk memanfaatkan dan mengelola hutan secara lestari dan berkelanjutan

Masyarakat Desa Hutan : Kelompok masyarakat setempat, terutama masyarakat tradisional, baik yang berada di dalam hutan maupun di pedesaan sekitar hutan

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

270 Kehutanan Masyarakat 269

GLOSARIUM

Agroforestryi : Istilah kolektif untuk sistem-sistem dan teknologi penggunaan lahan, yang secara terencana dilaksanakan pada suatu unit lahan dengan mengkombinasikan tumbuhan berkayu (pohon, perdu, palem, bambu dan lain-lain) dengan tanaman pertanian dan/atau hewan (ternak) dan/atau ikan, yang dilakukan pada waktu bersamaan atau bergiliran sehingga terbentuk interaksi ekologis dan ekonomis antar berbagai komponen yang ada

Dukuh : Istilah untuk kebun buah yang terdiri dari kelompok pohon yang didominasi oleh buah-buahan dari hasil tanaman permudaan alam yang pola tanamnya tidak teratur, strata tidak seragam, tidak seumur, menyerupai hutan alam

Ekosistem : Unit dasar fungsional yang merupaka lingkungan bagi makhluk hidup maupun benda mati yang masing-masing ikut menentukan sifat-sifat anggotanya dan diperlukan untuk menjaga kelestarian bumi

Erosi : Suatu proses atau peristiwa hilangny lapisan permukaan atas tanah yang disebabkan pergerakan air dan/atau angin

Hutan : Suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan

Hutan Rakyat : Hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik maupun hak lainnya dengan ketentuan luas minimum 0,25 ha, penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan dan tanaman lainnya lebih dari 50%

Hutan Kemasyarakatan : Hutan Negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat setempat di dalam kawasan hutan negara

Hutan Tanaman Industri : Pengelolaan hutan yang dibangun oleh kelompok industri dalam rangka pemenuhan kebutuhan bahan baku industri hasil hutan

Teori dan Implementasi

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

DAFTAR GAMBAR

vi

Halaman

Gambar 1. Hubungan antara Manfaat Hutan Dan Lokasi Tempat Tinggal Masyarakat ........…............................... 7

Gambar 2. Pola Perladangan Masyarakat Suku Dayak Meratus Loksado ................................................................ 18

Gambar 3. Kerusakan Hutan Akibat Timber Extraction di Mesopotamia …........................................................................................ 43

Gambar 4. Bilateral Matching Institution …............................................................ 178

Gambar 5. Koordinasi Instansi Pelaksana dengan Instansi Terkait ............................................................................ 180

Gambar 6. Pengawasan Kegiatan HKm .................................................................... 181

Gambar 7. Skema Masalah Inti dan Sebab-sebab dari Pengembangan Hutan Rakyat ....................…............................... 213

Gambar 8. Masalah Inti dan Akibat-akibat yang dapat ditimbulkan dari adanya Permasalahan Pembangunan Hutan Rakyat ...............................…............................... 214

xi

Kayu Gergajian : Kayu bulat yang telah dikonversikan dengan mempergunakan gergaji termasuk balok-balok segi empat pacakan

Kearifan Lokal : Pengetahuan lokal yang sudah demikian menyatu dengan sistem kepercayaan, norma dan budaya yang diekspresikan di dalam tradisi dan mitos yang dianut dalam jangka waktu yang cukup lama ada

Kebun Hutan : Suatu variasi dari kebun pekarangan tradisional yang dikembangkan oleh penduduk local dalam usaha mengembangkan produk yang laku di pasaran

Kebijakan : Cara dan tindakan pemerintah untuk mengatasi masalah pembangunan tertentu atau untuk mencapai tujuan pembangunan tertentu dengan mengeluarkan keputusan, strategi , perencanaan maupun implementasinya di lapangan dengan menggunakan instrument tertentu

Kegiatan Sosial : Kegiatan yang tidak terbatas pada pengaturan rumah tangga tetapi menyangkut kegiatan berhubungan dengan orang-orang di sekelilingnya untuk kepentingan bersama

Kelembagaan : Suatu tatanan dan pola hubungan antara anggota masyarakat atau organisasi yang saling mengikat yang dapat menentukan bentuk hubungan antar manusia atau antara organisasi yang diwadahi dalam suatu organisasi atau jaringan dan ditentukan oleh faktor-faktor pembatas dan pengikat berupa norma, kode etik , aturan formal maupun informal untuk pengendalian perilaku sosial serta insentif untuk bekerjasama dan mencapai tujuan bersama

Kelompok Tani : Kumpulan petani dalam suatu wadah organisasi yang tumbuh berdasarkan kebersamaan, keserasian, kesamaan profesi dan kepent ingan dalam memanfaatkan sumberdaya alam yang mereka kuasai dan berkepentingan untuk bekerjasama dalam rangka meningkatkan produkt ivitas usahatani dan kesejahteraan anggotanya

Kemiskinan : Sebuah kondisi yang berada di bawah garis nilai standar kebutuhan minimum, baik untuk makanan dan non-makanan

Konsesi : Hak yang diberikan kepada pengusaha untuk memanfaatkan dan mengelola hutan secara lestari dan berkelanjutan

Masyarakat Desa Hutan : Kelompok masyarakat setempat, terutama masyarakat tradisional, baik yang berada di dalam hutan maupun di pedesaan sekitar hutan

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

270 Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

xii

Kehutanan Masyarakat 1

Teori dan Implementasi

1.1 Pendahuluan

Saat ini kawasan hutan di Indonesia meliputi areal kurang lebih seluas 136,88 juta hektar, termasuk kawasan konservasi perairan. Sebagai negara yang terletak pada kawasan tropis dunia, hutan Indonesia yang berdasarkan penelitian terdiri dari 15 formasi hutan dimana sebagian besar di dominasi oleh tipe hutan hujan tropis. Hutan tropis Indonesia dikenal sebagai tempat megadiversity sehingga menjadi pusat konsentrasi keragaman hayati, baik di daratan maupun perairan.

Hutan di Indonesia adalah habitat bagi kurang lebih 38.000 jenis tumbuhan termasuk 27.500 spesies tumbuhan berbunga (10% dari tumbuhan berbunga di dunia, yang separuhnya merupakan jenis endemik Indonesia), 515 spesies mamalia (12% jenis mamalia dunia), 511 spesies reptilia (7,3% dari jenis reptilia dunia), 270 spesies amphibia, 1.531 jenis burung (17% spesies burung dunia), 2.827 jenis binatang tak bertulang, kupu-kupu sebanyak 121 spesies (44% jenis endemik), serta lebih dari 25% spesies ikan air laut dan air tawar di dunia.

Disamping itu, Indonesia memiliki tumbuhan palma sebanyak 477 spesies (47% endemik) dan kurang lebih 3.000 jenis spesies tumbuhan penghasil bahan berkhasiat obat. Diantara berbagai jenis tumbuhan dan satwa di atas beberapa diantaranya merupakan jenis-jenis yang baru ditemukan, terutama di kawasan-kawasan hutan di daerah Papua (Kemenhut, 2010).

Hutan bagi masyarakat bukanlah hal yang baru, terutama bagi masyarakat yang masih memiliki nilai-nilai dan kultur tradisional. Sejak jaman dahulu, mereka tidak hanya melihat hutan sebagai sumber daya potensial saja, melainkan memang merupakan sumber pangan, obat-obatan, energi, sandang, lingkungan dan sekaligus tempat tinggal meraka. Bahkan ada sebagian masyarakat tradisional yang meyakini bahwa hutan memiliki nilai spiritual, yakni percaya bahwa hutan atau komponen biotik dan abiotik yang ada di dalamnya sebagai obyek yang memiliki kekuatan dan/atau pesan supranatural yang mereka patuhi.

BAB 1PEMANFAATAN HUTAN

OLEH MASYARAKAT

Kehutanan Masyarakat2

Teori dan Implementasi

Sebagai sumber pangan, masyarakat sekitar hutan mengelola lahan hutan dengan pola shifting cultivation (perladangan berpindah). Peladang membuka hutan seluas sekitar 2 ha setiap KK untuk ditanami dengan tanaman pangan (palawija) selama 2-3 tahun, kemudian berpindah-pindah secara berputar dengan daur rotasi normal sekitar 15-20 tahun. Menurut para pakar arkeolog, sistem perladangan seperti ini sudah ada sejak 7000 tahun Sebelum Masehi.

Sebagai sumber obat-obatan dan energi, masyarakat tradisional memanfaatkan tumbuhan-tumbuhan liar yang hidup di hutan sebagai bahan obat-obatan dan bahan bakar. Bahan obat ini mereka peroleh dengan cara pemungutan langsung dari alam baik dengan kegiatan pengayaan maupun tanpa pengayaan. Begitu pula dalam hal pemenuhan kebutuhan akan sandang, masyarakat sekitar hutan memiliki teknologi sederhana yang cukup arif dalam memanfaatkan sumberdaya hutan sebagai bahan baku sandang.

Dalam perkembangan peradaban selanjutnya, masyarakat tradisional tidak lagi menggantungkan sumber pangan, pakaian dan obat-obatan dari hutan secara langsung. Akan tetapi mereka menjadikan hutan sebagai sumber kegiatan ekonomi. Produk-produk hasil hutan yang mereka peroleh tidak lagi berorientasi kepada kebutuhan konsumsi mereka, melainkan juga diperdagangkan sebagai sumber mata pencaharian mereka.

Menurut Ostrom (1986), akses kepemilikan sumber daya alam baik berupa lahan maupun segala yang ada di dalamnya dapat dilihat dari 3 perspektif. Pertama, akses kepemilikan sumber daya alam bersifat open-access atau bersifat terbuka, tidak bertuan, tidak jelas pemiliknya. Kedua, akses kepemilikan sumber daya alam bersifat state property dimana sumber daya alam tersebut merupakan sumber-sumber publik dan negara merasa berhak untuk memiliki dan mengatur penggunaannya. Ketiga, akses kepemilikan sumber daya alam bersifat communal property, dimana sumber daya alam adalah milik adat dan negara tidak boleh menyentuhnya.

Kemudian Bromley dalam Suhardjito dkk (2000) menambahkan dengan butir ke empat bahwa akses kepemilikan sumber daya alam juga dapat bersifat private property, bahwa hak kepemilikan sumber daya alam dapat dimiliki oleh sekelompok orang secara legal yang hak kepemilikannya diatur oleh negara.

Terlepas dari pengelompokkan tersebut, sejarah pemanfaatan lahan berbasis masyarakat merupakan kenyataan yang riil dan faktual yang dapat di lihat dari masa lalu dan masa sekarang. Sejak zaman dahulu masyarakat amat tergantung pada sumber daya alam berupa hutan.

Kehutanan Masyarakat 3

Teori dan Implementasi

Ketergantungan tersebut amatlah besar sehingga di dalam memanfaatkan hutan masyarakat yang ada di dalamnya selalu taat pada norma-norma yang mengatur keselarasan dan keharmonian dengan alam. Kegiatan ladang berpindah merupakan kegiatan pemanfaatan lahan yang sudah sangat lama tumbuh dan berkembang di kalangan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan. Proses perpindahan kegiatan berladang tersebut merupakan kearifan lokal masyarakat di dalam menjaga keseimbangan lahan yang mereka gunakan.

Menurut Chin (1987) dalam Lahadjir (2001 ), perladangan atau kegiatan pertanian ladang yang dilakukan oleh suku Dayak adalah suatu sistem pertanian yang lebih bersifat ekstensif daripada intensif, terutama yang berhubungan dengan penggunaan lahan pertaniannya. Pertanian ladang adalah suatu bentuk pengolahan lahan pertanian yang mempunyai beberapa karakteristik sebagai berikut :

a. rotasi ladangb. membersihkan areal dengan apic. tidak terdapat binatang-binatang penarik bajak d. tidak menggunakan pupuk dan pestisidae. menggunakan peralatan yang sederhana danf. masa bera yang panjang

Dengan demikian petani ladang tradisional adalah orang-orang yang cukup rasional dan pemakai yang piawai terhadap lingkungan alam mereka sendiri (Padoch, 1982 dan Dove, 1985 dalam Lahadjir, 2001).

Menurut Darusman dan Bahruni (1999) terdapat tiga hal pokok yang merupakan basis hubungan antara pengelolaan hutan dan masyarakat sekitar hutan yang dapat menunjukkan keberlanjutan pengelolaan sumber daya hutan. Ketiga hal tersebut adalah :

a) Masyarakat sekitar hutan yang kehidupannya tergantung pada sumber daya hutan, dengan kearipan lokal dan norma-norma yang dimilikinya dapat diselaraskan dengan sistem pengelolaan hutan. Pengelolaan sumber daya hutan tidak boleh mengeliminasi atau mengurangi hak-hak masyarakat sekitar hutan.

b) Pengelolaan sumber daya hutan tidak boleh mengganggu seluruh aspek tatanan kehidupan masyarakat sekitar hutan.

c) Masyarakat sekitar hutan diberikan keleluasaan untuk mengembangkan aktivitas serta partisipasinya dalam pengelolaan sumber daya hutan.

Teori dan Implementasi

Kehutanan Masyarakat4

1.2 Manfaat Hutan Bagi Masyarakat

Fungsi hutan, baik untuk aspek ekonomi maupun aspek perlindungan, akan dimanfaatkan oleh masyarakat sesuai dengan nilai dan kebutuhan setiap golongan masyarakat terhadap komoditas yang ditawarkan. Misalnya untuk aspek ekonomi komoditas yang ditawarkan oleh hutan dapat berupa pakan ternak, pangan, daun, getah, buah, kayu bakar, kayu pertukangan, air bersih, dan sebagainya. Pembagian manfaat ekonomi bagi parafihak harus dapat dialokasikan secara adil dan demokratis.

Sumberdaya hutan (SDH) Indonesia menghasilkan berbagai manfaat yang dapat dirasakan pada tingkatan lokal, nasional, maupun global. Manfaat tersebut terdiri atas manfaat nyata yang terukur (tangible) berupa hasil hutan kayu, hasil hutan non kayu seperti rotan, bambu, damar dan lain-lain, serta manfaat tidak terukur (intangible) berupa manfaat perlindungan lingkungan, keragaman genetik dan lain-lain.

Saat ini berbagai manfaat yang dihasilkan tersebut masih dinilai secara rendah sehingga menimbulkan terjadinya eksploitasi SDH yang berlebih. Hal tersebut disebabkan karena masih banyak pihak yang belum memahami nilai dari berbagai manfaat SDH secara komperehensif. Untuk memahami manfaat dari SDH tersebut perlu dilakukan penilaian terhadap semua manfaat yang dihasilkan SDH ini. Penilaian sendiri merupakan upaya untuk menentukan nilai atau manfaat dari suatu barang atau jasa untuk kepentingan manusia.

Dengan diketahuinya manfaat dari SDH ini maka hal tersebut dapat dijadikan rekomendasi bagi para pengambil kebijakan untuk mengalokasikan sumberdaya alam (SDA) yang semakin langka dan melakukan distribusi manfaat SDA yang adil. Terlebih dengan meningkatnya pertambahan penduduk saat ini yang menyebabkan timbulnya tekanan yang serius terhadap SDH, menyebabkan perlunya penyempurnaan pengelolaan SDA melalui penilaian akurat terhadap nilai ekonomi sumberdaya alam yang sesungguhnya.

Berkaitan dengan pemanfaatan sumberdaya hutan, memasuki era tahun 1970, yang merupakan periode awal pembangunan lima tahunan nasional, Indonesia menjadi salah satu negara penghasil kayu tropis komersial di dunia. Dalam pemanfaatan kayu tersebut tercatat kurang lebih 120 famili tumbuhan yang terdiri dari 267 spesies sebagai penghasil komoditas kayu. Disamping itu, Indonesia dikenal juga sebagai penghasil terbesar komoditas rotan di dunia.

Teori dan Implementasi

Kehutanan Masyarakat 5

Dalam konteks pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (HHBK), terdapat beberapa jenis produk yang merupakan komoditas penting perdagangan seperti terpentin, gondorukem/getah damar, jelutung, tengkawang, kemiri, sutera alam, gaharu, sarang burung walet, berbagai jenis tanaman obat dan rempah, serta berbagai jenis lain komoditas perdagangan, baik di dalam negeri maupun ekspor.

Pemanfaatan kayu yang dimulai pada tahun 1967 yang didorong dengan diterbitkannya undang-undang tentang Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), telah menempatkan sektor kehutanan sebagai penggerak ekonomi nasional. Indonesia telah merebut pasar ekspor kayu tropis dunia yang diawali dengan ekspor kayu bulat/log. Sejalan dengan berkembangnya industri pengolahan kayu yang sangat pesat sejak ditetapkan kebijakan larangan ekspor kayu bulat tahun 1985, Indonesia menjadi negara pengekspor kayu gergajian, kayu lapis dan produk industri kayu lainnya. Selama tahun 1992-1997 tercatat perolehan devisa negara sebesar US$.16,0 milyar sebagai sektor penghasil devisa kedua setelah minyak dan gas bumi. Pada tahun 2003, ekspor hasil hutan tercatat sebesar US$.6,6 milyar atau sekitar 37% dari ekspor non migas.

Penerimaan negara dari sektor kehutanan yang berasal dari dana reboisasi (DR), provisi sumberdaya hutan (PSDH), iuran hak pengusahaan hutan (IHPH) termasuk hutan tanaman industri (HTI), ekspor satwa, denda pelanggaran, pungutan pariwisata alam, pada tahun 1999 mencapai Rp.3,3 trilyun. Kondisi penerimaan itu menurun menjadi Rp.2,72 trilyun pada tahun 2003 sejalan dengan pengurangan jatah tebangan dari hutan alam, termasuk penurunan luasan areal pemanfaatan hasil hutan kayu.

Meskipun penerimaan negara dibidang kehutanan pada beberapa tahun terakhir relatif sama, namun tidak sebesar dibandingkan dengan penerimaan ketika tingkat produksi kayu sebelumnya yang sangat besar. Akan tetapi kegiatan perekonomian dari usaha-usaha dibidang kehutanan masih tetap memberikan kontribusi penting khususnya pada pembangunan di daerah penghasil kayu dan hasil hutan lainnya. Kondisi selanjutnya, meskipun produksi kayu bulat dari hutan alam cenderung tetap rendah pada beberapa tahun terakhir, namun produksi kayu dari hutan tanaman dan hutan rakyat serta hasil hutan bukan kayu menunjukan peningkatan yang cukup baik.

Pemanfaatan fungsi hutan bagi masyarakat dan para pihak, baik fungsi ekonomi maupun fungsi perlindungan, bersifat spesifik dan proporsional untuk wilayah dengan jarak dari hutan yang berbeda-beda (Gambar 1). Misalnya, lapangan kerja fisik berlaku untuk masyarakat dekat dengan hutan.

Teori dan Implementasi

Kehutanan Masyarakat6

Pakan ternak dapat menjangkau penduduk desa yang agak jauh dari hutan, sedang kayu bakar dapat menjangkau wilayah yang lebih luas lagi. Manfaat air setidaknya meliputi masyarakat dalam satu DAS yang sama, sedang kayu pertukangan, udara bersih, plasma nutfah dan fungsi aestetika dampak atau manfaatnya dapat menjangkau seluruh penduduk dunia. Manfaat hutan dan jangkauannya untuk masyarakat yang jarak tempat tinggalnya berbeda-beda dapat diterangkan sebagai berikut:

Tabel 1. Manfaat Hutan bagi Masyarakat menurut Jarak Tempat Tinggal dari Hutan

Sumber : Simon (2005)

Menurut Kemenhut (2010) jumlah desa yang berhubungan dengan kawasan hutan saat ini tercatat sebanyak 31.957 desa, yang terdistribusi di dalam kawasan hutan sebanyak 1.305 desa (4,08%), tepi kawasan hutan sebanyak 7.943 (24,86%) dan di sekitar kawasan hutan sebanyak 22.709 (71,06%). Provinsi terbanyak untuk desa di dalam kawasan hutan adalah Kalimantan Tengah (sebanyak 208 desa), dan Jawa Tengah (sebanyak 1.581 desa di tepi kawasan hutan dan 6.795 desa di sekitar kawasan hutan). Hubungan antara manfaat hutan dengan tempat tinggal masyarakat tersebut dapat dilihat dalam Gambar 1.

Manfaat Hutan

Rincian Manfaat Hutan

Untuk:

Manfaat Ekonomi 1. Membentuk tanah subur 2. Lapangan kerja fisik 3. Pakan ternak 4. Kayu bakar 5. Lapangan kerja trampil 6. Kayu pertukangan

Masyarakat lokal Masyarakat lokal Masyarakat lokal luas Masyarakat lokal luas Nasional Masyarakat global

Manfaat Perlindungan

1. Tempat bermain 2. Mencegah erosi 3. Tata air 4. Udara bersih 5. Plasma nutfah 6. Aestetika

Masyarakat lokal Masyarakat satu DAS Masyarakat satu DAS Masyarakat global Masyarakat global Masyarakat global

Teori dan Implementasi

Kehutanan Masyarakat 7

Gambar 1. Hubungan antara Manfaat Hutan dan Lokasi Tempat Tinggal Masyarakat Keterangan: Lingkaran paling kecil di pinggir kiri menggambarkan lokasi kawasan hutan

Secara umum peranan hutan bagi masyarakat yang tinggal disekitar atau dalam kawasan hutan dapat dikelompokkan menjadi tiga sebagaimana dikemukakan oleh Mubiyarto et.al (1991) yaitu :

a) Hutan sebagai penghasil kayu, baik kayu bulat (log), maupun kayu bakar, dan hasil hutan bukan kayu seperti buah-buahan hewan dan daun-daunan.

b) Hutan menjadi penyedia lahan untuk kegiatan pertanian. para petani sekitar hutan melihat hutan selain sebagai sumber kehidupan, mereka juga melihat hutan sebagai cadangan bagi perluasan lahan usaha tani, ketika para petani membutuhkan tambahan usaha tani nya karena adanya pertumbuhan penduduk. Kegiatan pertanian

c) tersebut dapat menghasilkan berbagai macam bahan makanan seperti beras, jagung, palawija, dan sebagainya.

d) Hutan sebagai sumber makanan ternak dan tempat hidup ternak.

1.3 Jenis-Jenis Hasil Hutan Yang Dimanfaatkan Oleh Masyarakat

Jenis-jenis hasil hutan yang biasanya dimanfaatkan oleh masyarakat desa hutan adalah kayu, getah karet, kayu manis, getah damar, rotan, kemiri, madu, kulit kayu sintuk, bambu, buah-buahan serta hasil hutan non kayu lainnya yang tidak dikomersilkan seperti akar-akaran, jamur, rebung bambu dan lain-lain.

Teori dan Implementasi

Kehutanan Masyarakat8

Berdasarkan pengertian dari Penjelasan Pasal 4 UU No. 41 Tahun 1999 hasil hutan dapat berupa :

1. Hasil hutan beserta turunannya seperti kayu, bambu, rotan, rumput-rumputan, jamur-jamur, tanaman obat, getah-getahan dan lain-lain, serta bagian-bagian dari tumbuh-tumbuhan atau yang dihasilkan oleh tumbuh-tumbuhan di dalam hutan.

2. Hasil hewani beserta turunannya seperti satwa liar dan hasil penangkarannya, satwa buru, satwa elok dan lain-lain hewan, serta bagian-bagiannya atau yang dihasilkannya.

3. Benda-benda non hayati yang secara ekologis merupakan satu kesatuan ekosistem dengan benda-benda hayati penyusun hutan, antara lain berupa sumber air, udara bersih dan lain-lain yang termasuk benda-benda tambang.

4. Jasa yang diperoleh dari hutan antara lain berupa jasa wisata, jasa keindahan dan keunikan, jasa perburuan dan lain-lain.

5. Hasil produksi yang langsung diperoleh dari hasil pengolahan bahan-bahan mentah yang berasal dari hutan, yang merupakan produksi primer antara lain berupa kayu bulat, kayu gergajian, kayu lapis dan pulp.

Jasa lingkungan dari hutan yang utama adalah menjaga ekosistem bumi, yang secara garis besar berupa:

a. Jasa penyediaan untuk menghasilkan berbagai komoditas kebutuhan manusia termasuk obat-obatan, sumber genetik, air, dll,

b. Jasa pengaturan untuk menjaga kualitas iklim, udara, air, erosi dan mengontrol berbagai aspek biologis di muka bumi,

c. Jasa kultural dalam membentuk identitas budaya, hubungan sosial, peninggalan pusaka, wisata, dll, dan

d. Jasa pendukung dalam membentuk formasi tanah, produk oksigen, habitat, dan siklus mineral.

Sedangkan hasil hutan yang berupa benda-benda nabati di lingkungan kehutanan digolongkan menjadi :

1. Hasil hutan berupa kayu2. Hasil hutan non kayu

Hasil hutan non kayu berupa benda-benda nabati yang sudah dikenal secara luas adalah rotan, nipah, sagu, bambu, getah-getahan, biji-bijian dan lain-lain. Sedangkan hasil hutan non kayu yang berupa benda-benda hewani antara lain bagian-bagian dari satwa liar antara lain seperti tanduk, kulit dan lain-lain (Departemen Kehutanan, 1993).

Teori dan Implementasi

Kehutanan Masyarakat 9

Menurut Surat Keputusan Dirjen Kehutanan No. 56/ KPTS/ DJ/ I/ 1983 tentang pola pengusahan hasil hutan ikutan, pengertian Non Timber Forest Product (NTFP) adalah benda-benda hayati selain kayu yang dihasilkan dari hutan dengan pengelompokan yang terlihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Pengelompokan hasil hutan non kayu

Secara rinci akan dijelaskan proses pemanfaatan beberapa jenis hasil hutan non kayu sebagai berikut :

1.3.1 Karet

Karet dikenal dengan nama botanis Hevea Braziliensis dan bagi masyarakat Banjar dikenal dengan “gatah” karena pohon karet dapat menghasilkan getah atau lateks. Cara pemanfaatannya dengan menyadap karet atau disebut juga dengan melukai permukaan bidang sadap. Penoresan bidang sadap dimulai pada titik atas kiri kemudian ke bawah melingkar ke kanan dengan sudut kemiringan 45°. Alat yang digunakan untuk menyadap adalah pisau sadap, tempurung, ember dan kotak pembekuan.

Teori dan Implementasi

Kehutanan Masyarakat10

Pemanfaatan getah karet sudah dilakukan masyarakat secara turun temurun. Dalam cara memungut getah karet, sejak dahulu hingga sekarang tidak mengalami perubahan. Pemanfaatan getah karet tersebut oleh masyarakat pada saat ini tidak mengalami kendala baik cara mengambil, cara mengolah, maupun pemasarannya. Waktu yang digunakan untuk menyadap karet pada setiap kali kerja kurang lebih ½ hari.

Volume hasil sadapan setiap kepala keluarga di pengaruhi oleh umur pohon, dan banyak sedikitnya jumlah pohon karet yang dimiliki. Karet muda sedikit menghasilkan lateks dan kurang kental. Sedangkan pada umur produktif volume lateks yang dihasilkan meningkat dan kental. Tenaga kerja yang digunakan untuk menyadap karet masyarakat lokal memakai tenaga sendiri dan anggota keluarganya. Semua hasil dari kegiatan memanfaatkan karet dijual kepada pedagang perantara dan pedagang pengumpul.

Pengolahan getah karet dilakukan dengan cara sederhana. Getah karet yang sudah terkumpul di tempurung dibiarkan membeku dengan sendirinya. Pada hari ketiga setelah lateks membeku, tempurung dipakai lagi untuk penampungan selanjutnya. Getah karet yang sudah beku yang berbentuk seperti wadai apollo atau lum diletakan di bawah pohon karet. Setelah dikira cukup untuk satu kotak, lum dikumpulkan dan dimasukan kedalam kotak kayu kemudian disiram dengan getah lateks yang baru, dan dibiarkan membeku dengan sendirinya. Hasil pembekuan didalam kotak ini disebut slap.

Pemanfaatan getah karet dipengaruhi oleh musim, musim hujan, musim gugur daun, musim gawi (musim tugal, musim panen padi) dan kegiatan aruh tradisional. Keseluruhannya memakan kisaran waktu 3 (tiga) bulan.

1.3.2 Kayu manis

Kayu manis yang dikenal dengan nama botanis Cinnamomun Burmanii, penyebarannya di Kalimantan Selatan banyak terdapat di Loksado (Hulu Sungai Selatan). Pemanfaatan kayu manis oleh masyarakat sudah cukup lama dan sudah turun temurun. Cara pengambilannya sejak dahulu hingga sekarang tidak mengalami perubahan. Kendala yang dihadapi dalam pemanfaatan kayu manis adalah harga kulit manis yang berfluktuasi. Dalam sekali pemungutan masyarakat memerlukan waktu ½ - 1 hari kerja. Volume yang diperoleh dalam sekali pemungutan berkisar antara 10 15 kg.

Cara pengambilan kulit manis melalui berbagai tahapan yaitu memilih pohon kayu manis yang akan ditebang, menebang pohon, mengerat pohon dengan ukuran 2 kilan atau 4 kilan (kilan = jarak dari ujung ibu jari ke ujung

kelingking) secara memutar (melingkari pohon) mulai dari pangkal pohon ke ujung hingga ke percabangan yang dianggap bisa menghasilkan kulit manis. Kemudian dikuliti, kulit manis yang tadinya dikerat dengan ukuran 4 kilan dipotong menjadi 2 bagian sama, kegiatan selanjutnya mengerik kulit manis dari lumut dan kulit ari (kulit luar). Setelah kulit manis bersih baru diiris setebal 2 jari dengan arah membujur serat kulit.

Kegiatan selanjutnya adalah penjemuran kulit manis pada panas matahari selama 1 2 hari. Kemudian dikumpulkan dan diikat dengan rotan atau tali bambu dengan kisaran satu ikat seberat 10 15 kg. Kegiatan pengambilan kulit manis memakai tenaga sendiri dan anggota keluarga. Alat yang digunakan untuk pemungutan kulit kayu manis adalah parang, pisau dan kapak.

Dari hasil pemanfaatan kayu manis sebagian besar dijual, hanya sedikit sekali yang digunakan sendiri. Volume pemanfaatan kayu manis setiap keluarga tidak sama, hal ini dipengaruhi oleh volume kepemilikan kayu manis tiap keluarga, juga kebutuhan keluarga yang mendesak. Harga kulit manis di daerah Loksado (Kalimantan Selatan) biasanya dalam kisaran Rp. 3.500,- s/d Rp. 3.900,- per kg (tahun 2003).

Faktor yang mempengaruhi terhadap harga kulit manis di Desa Lok Lahung adalah biaya tranportasi. Harga kulit manis mengalami fluktuasi, pedagang perantara yang menentukan tinggi rendahnya harga kayu manis. Cara pembayaran kulit manis oleh pedagang pengumpul / perantara secara tunai, tidak pernah di hutang.

Hal yang mempengaruhi pemanfaatan kayu manis adalah musim, fluktuasi harga, musim gawi (tugal, panen), kegiatan aruh ( nih sambu, nih muda, nih halin). Waktu pemanfaatan kulit manis dalam setahun bekisar antara 9 bulan.

1.3.3 Damar

Getah damar dihasilkan oleh pohon Shorea Javanica, Agathis Labillardiari. Masyarakat local di daerah pegunungan Meratus mengenalnya dengan nama lokal pohon damar dan pohon mampiring. Penyebaran pohon yang menghasilkan damar berada di hutan alam. Pemanfaatan damar sudah dilakukan secara turun temurun. Cara pengambilan damar oleh masyarakat lokal di desa Lok Lahung (Kalimantan Selatan) sejak dahulu hingga sekarang tidak mengalami perubahan.

Kehutanan Masyarakat 11

Teori dan Implementasi

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

Pengambilan damar ke hutan alam dilakukan satu hari penuh, mengingat jarak pemukiman dan hutan alam kurang lebih 3 km. Volume pengumpulan damar setiap kepala keluarga pengumpul damar tidak merata. Hal ini dipengaruhi oleh kekuatan fisik pencari damar, cepat lambatnya ketemu dengan pohon damar, banyak sedikitnya damar yang tersedia bawah pohon damar dan keahlian seseorang mencari damar di bawah humus.

Cara pengambilan damar biasanya dengan mengumpulkan damar yang kelihatan di permukaan tanah, mencari damar dengan penusukan parang, atau tongkat keras ke dalam tanah sampai ketemu benda keras (damar) kemudian dikumpulkan. Pemungutan damar dilakukan sendiri atau berkelompok satu keluarga. Peralatan yang digunakan yaitu parang, tongkat keras, butah, karung dan ambinan.

Getah damar yang sudah dikumpulkan tidak perlu pengolahan tetapi hanya dibersihkan dari kotoran tanah. Kemudian dijual ke pedagang perantara dengan harga yang sudah disepakati sesuai dengan pesanan. Harga damar berkisar antara Rp. 1.000,- s/d Rp. 1.200,- per Kg (tahun 2003). Cara pembayaran penjualan damar secara tunai dan bayar dimuka sebagai tanda ikatan kerja. Pesanan damar di desa penghasil tidak menentu dalam satu tahun kadang-kadang 1 -3 kali pesanan, sehingga pemanfaatan damar tidak bisa secara kontinyu. Kendala yang dihadapi masyarakat dalam pemanfaatan damar adalah permintaan damar tidak kontinyu, sehingga pemungutan damar dilakukan berdasarkan pesanan, dan harga damar sudah disepakati.

1.3.4 Rotan

Rotan dikenal dengan nama botanis Calamus sp dan masyarakat Banjar mengenalnya dengan nama daerah paikat. Daerah penyebaran banyak terdapat di hutan-hutan pegunungan Meratus. Jenis-jenis paikat yang tumbuh adalah kelompok rotan sega (rotan taman), rotan pulut (rotan lilin), rotan manau dan rotan wilatung. Kelompok rotan tersebut tumbuh di hutan alam dan hutan sekunder bercampur dengan pohon karet dan buah-buahan.

Pemungutan rotan di hutan dilakukan sehari penuh dan jika di hutan sekunder hanya setengah sampai satu hari. Hasil yang diperoleh dari pemungutan yang berasal dari hutan sekunder tiap kepala keluarga tidak sama hal ini dipengaruhi oleh banyak sedikitnya rotan yang dimiliki oleh masing-masing kepala keluarga sedangkan di hutan alam dipengaruhi oleh kekuatan fisik seseorang, potensi rotan yang didapat, serta jarak tempat pemungutan dan pemukiman penduduk.

12

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

Cara pemungutan rotan dari dulu hingga sekarang tidak mengalami perubahan. Alat yang digunakan dalam pemungutan rotan adalah parang dan tali. Biasanya rotan itu sendiri yang dijadikan tali pengikat. Cara pengambilan rotan cukup sederhana yaitu, pemilihan batang yang dianggap cukup tua, ditebang ditarik dan dibersihkan durinya, dipotong-potong sesuai dengan ukuran pesanan kemudian diikat, baru dikeluarkan ke jalan untuk memudahkan pengangkutan. Pemungutan rotan oleh masyarakat telah dilakukan telah lama, bahkan secara turun temurun baik untuk keperluan sendiri (subsisten) maupun diperdagangkan. Peranan rotan bagi masyarakat setempat adalah untuk dipergunakan sendiri, seperti untuk pembuatan anyam-anyaman, tali pengikat kulit kayu manis, kulit sintuk, sedangkan apabila ada pesanan, pemungutan rotan khusus untuk dijual.

Penjualan rotan juga dilakukan dalam bentuk rotan bulat dengan harga per-batang. Harga rotan ditentukan oleh kesepakatan antara pemesan dan pencari rotan.

Kendala yang dihadapi dalam pemanfaatan rotan adalah permintaan pasar yang tidak kontinyu, sehingga pemanfaatan rotan secara komersil apabila ada pesanan dari pihak luar dan harga sudah disepakati oleh kedua belah pihak.

1.3.5 Kemiri

Kemiri dikenal dengan nama botanis Aleurites Moluccana, masyarakat desa mengenalnya dengan nama keminting. Penyebaran kemiri hampir merata di setiap dusun. Pemanfaatan kemiri sudah dilakukan sejak lama, bahkan secara terun temurun.

Cara pemungutannya mulai dahulu hingga sekarang tidak mengalami perubahan. Pemungutan kemiri tidak banyak mengalami kesulitan atau kendala. Pemungutan kemiri adalah sebagai usaha sampingan, volume pemanfaatan kemiri tiap kepala keluarga tidak sama, dipengaruhi oleh kepemilikan pohon kemiri oleh setiap keluarga.

Cara pengambilan kemiri cukup sederhana yaitu dengan mengumpulkan biji kemiri yang sudah jatuh di bawah pohonnya kemudian dibersihkan kulit cangkang luarnya, apabila daging buahnya masih basah dijemur 1 2 hari kemudian dikumpulkan dalam butah atau karung. Alat yang digunakan untuk mengumpulkan biji kemiri adalah butah atau karung. Penjualan kemiri oleh masyarakat tanpa pengolahan yang berarti biasanya dilakukan penjemuran 1 hari saja atau dibiarkan kering di bawah pohonnya.

13

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

1.3.6 Madu

Madu dihasilkan oleh jenis lebah Apis Dorsata, masyarakat di Kalimantan Selatan mengenalnya dengan nama wanyi. Pemanfaatan madu sudah dilakukan secara terun temurun. Cara pemungutan madu mulai dahulu hingga sekarang tidak mengalami perubahan. Cara pengambilan dengan cara dipuai (sebutan masyarakat Banjar Kalimantan Selatan).

Urutan kegiatannya adalah (i) memilih waktu bulan gelap, (ii) menyiapkan kelompok 4-5 orang, (iii) menyiapkan bahan lantakan (tangga), (iv) menyiapkan peralatan. Apabila keadaanya sudah siap maka ada pembagian kerja. Apabila sudah tiba malam hari, pembuatan lantakan mulai dikerjakan. Satu persatu pemanjat naik, sampai di atas ada pembagian kerja, pekerjaan pemuaian madu di cabang pohon dilakukan bisa lebih dari 2 orang dengan bekal simbung yang dinyalakan, pemuai madu mulai bekerja simbung dipuaikan ke sarang lebah dan lebah jatuh, mengejar bara simbung ke bawah akhirnya tertinggal sarang lebah yang berisi madu dan anak lebah. Sarang lebah dipetik dimasukan kedalam butah atau ember, kemudian diturunkan kebawah memakai tali.

Langkah selanjutnya memotong / memisahkan sarang lebah yang berisi madu dan kepompong lebah. Sarang madu kemudian diperas di dalam kain atau dengan tangan untuk usaha pengepresan. Madu hasil pemerasan / pengepresan ditampung diember, kemudian dilakukan penyaringan dan dimasukan ke dalam botol atau jerigen. Berikutnya pembagian secara merata kepada kelompok yang sudah bekerja. Waktu untuk memuai madu antara ½ hari sampai satu malam. Volume yang diperoleh dipengaruhi oleh besar kecilnya sarang lebah yang ada.

Kendala yang dihadapi dalam pemanfaatan madu adalah keberadaan pemanjat pohon/pemuai madu serta harga madu yang diterima oleh pemuai madu sangat rendah. Sehingga produksi madu dari dusun ini sangat kecil. Hal-hal yang mempengaruhi pemungutan madu adalah harga jualnya murah tidak sesuai dengan waktu kerja dan resiko kerja dari pemuai madu. Panen madu hanya satu kali dalam setahun.

Mengingat konsumsi masyarakat terhadap madu cukup tinggi karena khasiatnya yang cukup besar maka perlu adanya pembinaan dari instansi terkait untuk meningkatkan nilai tambah seperti dalam hal pengemasan, memperkuat “brand image” bahwa madu yang dihasilkan memang asli.

14

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

1.3.7 Kulit kayu sintuk

Kayu sintuk dikenal dengan nama botanis Cinamommun sp. Cara pemungutan sejak dahulu hingga sekarang tidak mengalami perubahan. Kendala yang dihadapi pemanfaatan kulit sintuk adalah permintaan yang tidak kontinyu. Cara pengambilan kulit sintuk sama dengan pengambilan kulit manis yang membedakan ukurannya saja. Kulit sintuk potong dengan panjang 1 meter dan lebarnya satabah (lima jari manusia).

Kulit sintuk di jual kepada pedagang pengumpul atau perantara dengan cara pembayaran tunai dan pembayaran dimuka sebagai tanda ikatan kerja.

1.3.8 Bambu

Bambu di kenal dengan nama botanis Bamboosa sp, dimana masyarakat Banjar menyebutnya paring. Pemanfaatan bambu sudah dilakukan secara turun temurun. Cara pengambilan bambu cukup sederhana yaitu memilih bambu yang akan ditebang, penebangan, pembersihan daun dan ranting. Alat penebangannya cukup memakai parang.

Peranan bambu bagi masyarakat desa hutan cukup besar, baik digunakan untuk keperluan sendiri maupun untuk dijual. Penggunaan bambu untuk keperluan sendiri antara lain untuk perkakas rumah, pembuatan gudang padi, pondok, anyam-anyaman, pengikat, serta khusus bambu buluh untuk memasak lamang. Rabung bambu juga dikonsumsi sebagai sayur. Sedangkan bambu yang untuk dijual masih berupa bambu bulat tanpa pengolahan.

1.3.9 Buahan-buahan

Buah-buahan hutan yang sering dimanfaatkan masyarakat antara lain adalah durian (Durio Zibethinus), Langsat (Lanseum sp), Cempedak (Arthocarpus sp), Kapul(Bacaorea sp) Jengkol (Pithecollbium Jiringa) dan lain-lain. Pemanfaatannya sudah mulai turun temurun hingga sekarang dan tidak mengalami perubahan.

15

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

16

PERLADANGANBERPINDAH

BAB 2

2.1 Pendahuluan

Di Indonesia, bercocok tanam dengan cara berladang merupakan salah satu bentuk pemanfaatan sumber daya hutan yang bersifat tradisional. Kegiatan perladangan sampai saat ini masih dilakukan oleh masyarakat khususnya di luar Pulau Jawa. Penelitian Asysyfa (2008) menunjukkan masyarakat Suku Dayak Meratus di Kecamatan Loksado, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Propinsi Kalimantan Selatan merupakan salah satu kelompok masyarakat yang masih melakukan kegiatan perladangan. Bahkan dapat dikatakan hasil usaha tani berladang merupakan sumber utama pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat khususnya bahan pangan.

Sistem perladangan berpindah ini merupakan titik awal kearifan tradisional masyarakat di dalam memanfaatkan lahan. Perkembangan sistem ini tereskalasi sedemikian rupa dari waktu ke waktu yang akhirnya berubah menjadi suatu tradisi. Tradisi ini tidak hanya terfokus pada kegiatan berladang namun juga pada kegiatan pemanfaatan lahan yang lain seperti kebun rakyat (Hafizianor, 2002).

Warsopranoto (1975) dalam Hafizianor (2002) menyatakan bahwa perladangan berpindah adalah suatu sistem pertanian secara primitif dengan cara menebang pohon-pohon hutan dan membakar kayunya (slash and burn) kemudian lahan yang telah dibuka ditanami dengan jenis-jenis tanaman pangan sampai kesuburannya menurun. Selanjutnya petani berpindah ke tempat lain dan mengulang cara bercocok tanam yang sama. Selang beberapa tahun kemudian antara 8 10 tahun, mereka kembali ke tempat semula dengan asumsi kondisi lahan sudah kembali pulih kesuburannya.

Kegiatan berladang berpindah mempunyai banyak istilah yang berbeda di setiap daerah, misalnya istilah taungya di Birma, chema di Srilangka dan milpa di Amerika (Hardjosoediro, 1975 dalam Hafizianor, 2002). Di Indonesia, istilah perladangan ini dikenal dengan istilah bahuma di Kalimantan Selatan dan Tengah dan Umaq taont dalam bahasa suku Dayak Benuaq di Kalimantan Timur. Dalam sub pokok bahasan ini akan mencermati pemahaman tentang perladangan berpindah dan faktor-faktor lainnya yang berpengaruh terhadap perubahan vegetasi hutan di Indonesia.

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

17

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

2.2 Kegiatan dalam Perladangan Berpindah

Praktek perladangan masyarakat Suku Dayak Meratus terdiri atas kegiatan pemilihan lahan, penyiapan lahan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan dan pemberaan. Kegiatan penyiapan lahan dilakukan dengan cara menebas semak, menebang pohon dan membakar. Proses pembakaran mempunyai keuntungan karena akan menghasilkan abu dan arang yang akan menaikkan pH tanah karena kemasaman menurun yang menyebabkan unsur P akan meningkat seiring dengan kenaikan pH dan mengurangi kandungan unsur Al dan Fe terlarut di dalam tanah (Sanchez, 1992).Proses perladangan mengikuti proses alamiah kesuburan tanah dan bagi masyarakat suku Dayak Meratus pola perladangan Gilir Balik ini dapat menggambarkan tingkat suksesi seperti pada Gambar 2.

Gambar 2. Pola Perladangan Masyarakat Suku Dayak Meratus Loksado

Sumber : YCHI, 2005 dan Data Primer

Keterangan:a. Balukar Anum (Belukar Muda)

Merupakan daerah bekas perladangan masyarakat yang telah mereka tinggalkan dan masih berupa semak belukar (umurnya berkisar 1-7 tahun). Daerah ini pada umumnya belum bisa digunakan untuk bahuma (berladang). Kalaupun dipaksakan maka hasilnya akan kurang bagus, sebab tingkat kesuburan tanah di daerah tersebut masih rendah.

b. Jurungan (Hutan Muda)

Adalah kawasan bekas peladangan yang mulai menjadi hutan kembali (hutan muda), di dalamnya telah tumbuh berbagai jenis pohon dengan diameter batang kurang lebih 20 cm. Umur hutan tersebut berkisar antara 7 12 tahun. Kawasan hutan inilah yang nantinya dibuka/ditebang untuk dijadikan pahumaan.

18

III

III

IV

Jurungan7-12 Tahun

Balukar Anum > 7 tahun

Kebun Campuran

Pahumaan1-2 TahunHutan

> 12 tahun

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

C. Pahumaan (Areal Perladangan)

Merupakan istilah bagi masyarakat setempat yang artinya suatu daerah atau kawasan yang telah dibuka untuk dijadikan tempat peladangan, di kawasan tersebut nantinya mereka tanami banih tugal (bibit padi) yang ditumpangsarikan dengan tanaman hortikultura. Setelah banih tugal (padi gogo), lahan dibiarkan hingga menjadi hutan kembali.

d. Kebun/Perkebunan

Daerah yang telah dihumai, selain dihutankan kembali ada juga yang dimanfaatkan untuk ditanami jenis tanaman perkebunan seperti karet, kayu manis, kemiri/keminting dan lain-lain. Apabila tanah tersebut ditanami tanaman perkebunan maka otomatis akan mengurangi jumlah lahan keturunan yang dimiliki, jadi semakin banyak lahan yang ditanami tanaman perkebunan maka akan semakin sedikit luas hutan yang bisa dibuka untuk dijadikan daerah pahumaan. Hal ini bahkan dapat menyebabkan suatu keluarga menyewa lahan keluarga lain untuk bahuma,karena tanahnya banyak ditanami tanaman perkebunan, sedangkan tanah yang tersisa masih berupa balukar anum.

e. Daerah Keramat

Hampir semua perkampungan masyarakat Dayak terdapat suatu daerah yang dikeramatkan. Daerah-daerah ini biasanya merupakan tempat pemakaman para leluhur atau merupakan tempat yang dipercaya didiami oleh urang halus (makhluk gaib).

f. Kayuan

Hutan-hutan yang tidak pernah dihumai oleh masyarakat biasa disebut dengan kayuan dan kadang disebut juga hutan lindung. Kayuan ini dapat ditemui di puncak-puncak gunung di wilayah Pegunungan Meratus.

Daerah peruntukan tersebut bukanlah merupakan suatu ketetapan. Daerah-daerah tersebut dapat saling bertukar fungsi, artinya bisa saja daerah yang dulunya adalah perkebunan atau pahumaan kemudian dialihfungsikan menjadi pemukiman, kecuali untuk daerah hutan keramat dan kayuan yang tidak boleh dialih fungsikan menjadi daerah lainnya.

Sekarang masyarakat melakukan pembukaan lahan untuk ladang pada lahan jurungan yang merupakan lahan bekas ladang yang sudah ditinggalkan selama kurang lebih 7 tahun hal disebabkan oleh semakin sempitnya lahan dan meningkatnya kebutuhan mereka.

19

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

Yang menjadi masalah adalah kondisi menyempitnya ruang hidup dan ruang agraris akibat pertambahan penduduk, bertambahnya tuntutan masyarakat akan sumberdaya alam dalam memenuhi kebutuhan pangan, dan permasalahan tersebut merupakan permasalahan masyarakat peladang pada umumnya.

Kegiatan penanaman dilakukan setelah proses penyiapan lahan selesai dan musim yang dipandang tepat (awal musim penghujan). Jenis tanaman semusim yang dibudidayakan antara lain padi lahan kering, jagung, kacang tanah dan sayuran seperti bayam, timun, kacang panjang, terung dan lombok. Hasil panen tanaman padi umumnya hanya untuk mencukupi kebutuhan pangan peladang dan keluarganya sendiri, sedangkan hasil lainnya sebagian untuk dijual.

Setelah lahan ladang ditanami selama 1 - 2 kali panen dengan tanaman semusim dan produktivitasnya mulai menurun, maka lahan tersebut akan ditinggalkan atau diberakan. Selama proses pemberaan, lahan bekas ladang akan ditumbuhi vegetasi yang akan menghasilkan bahan organik, sehingga dapat memulihkan kesuburannya. Setelah bekas ladang tersebut dipandang subur, maka lahan tersebut akan ditanami kembali. Karena adanya proses rotasi ini, maka perladangan juga dikenal dengan istilah pertanian gilir-balik. Proses ini dilakukan dalam waktu berkisar antara 7 12 tahun.

Adanya proses pembakaran dan pemberaan tersebut, sistem perladangan dipandang sebagai bentuk adaptasi terhadap lingkungan dan perkembangan pengetahuan masyarakat atau kearifan tradisional. Hal ini disebabkan lahan di lingkungan hutan tropis pada umumnya memiliki tingkat kesuburan alami yang relatif rendah karena lebih banyak pengangkutan basa dan oksidasi tinggi, tanah tua ultisol dan sangat bergantung pada bahan organik yang dihasilkan oleh vegetasi penutup di atasnya.

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

2.3 Ritual Adat dalam Sistem Perladangan

Kegiatan perladangan yang dilakukan disertai dengan berbagai ritual adat yang disebut Aruh atau selamatan yang bertujuan untuk memohon kepada Sang Pencipta supaya tanaman padi yang mereka tanam dapat tumbuh subur sampai tiba waktunya panen. Adapun tahapan kegiatan perladangan beserta ritual adat yang mengiringinya sebagai berikut :

2.3.1 Penetapan Lokasi (Bamimpi/Batanung)

Bagi masyarakat suku Dayak Meratus Loksado penetapan lahan untuk digunakan sebagai ladang tidak ditentukan begitu saja, namun mereka meyakini bahwa lokasi yang kemudian menjadi lahan bagi ladang mereka telah ditentukan oleh yang Maha Kuasa, dimana petunjuk itu diperoleh melalui mimpi yang datang kepada Tetuha/Balian dimana sebelumnya telah dilakukan penandaan pada lahan yang mereka inginkan.

Penandaan dilakukan dengan menancapkan kayu mahang (Macaranga sp) atau memberikan ciri yang lain, apabila Tetuha/Balian memperoleh mimpi yang bagus, maka itu berarti lahan tersebut baik dan cocok untuk dijadikan ladang. Dalam memilih lokasi ladang, masyarakat juga memiliki kriteria yaitu tanaman bawah bukan berupa alang-alang, tanah berwarna hitam dan ditumbuhi rotan, hal ini menandakan kesuburan tanah.

2.3.2 Pembersihan Lahan dari Semak Belukar (Manabas)

Setelah ditetapkan sebagai lokasi untuk berladang, lahan yang terpilih tadi dibersihkan dari semak belukar, proses pembersihan ini dilakukan dengan menggunakan peralatan sederhana yaitu parang. Kemudian dilakukan pemotongan pohon bambu yang ada atau disebut Batilah. Pemotongan pohon bambu menyisakan anakan karena akar bambu bermanfaat untuk kesuburan tanah dan mampu mengikat tanah sehingga tidak terkikis oleh air hujan.

2.3.3 Penebangan Pohon-pohon (Batabang)

Penebangan pohon-pohon besar dilakukan dengan menggunakan kapak dan parang. Penebangan biasanya menyisakan pohon Enau dan pohon Birik. Kedua pohon ini memiliki manfaat bagi masyarakat dan bagi kesuburan tanah.

21

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

2.3.4 Pembakaran (Manyalukut)

Setelah dilakukan membersihan dan penebangan, lahan ditinggalkan selama 7 - 10 hari. Hal ini untuk mengeringkan ranting dan sisa pembersihan untuk kemudian dilakukan pembakaran.

Cara pembakaran yang dilakukan oleh Masyarakat Dayak Meratus adalah membuat batasan yang bersih dari daun dan ranting selebar 3 - 4 m, memperhatikan arah anginnya, dimana waktu pembakaran dilakukan berlawanan dengan arah anginnya. Hal ini untuk menghindari api menjalar ke daerah lain.

Tu j u a n da r i ke g i a ta n i n i a da la h u n tu k m e r u b a h s i s a pembersihan/tumbuhan menjadi abu sehingga mudah diserap oleh tanah, dan membantu meningkatkan kesuburan tanah karena abu memiliki kandungan unsur hara yang bermanfaat. Kegiatan Manyalukut ini dilakukan secara bergotong-royong.

2.3.5. Penanaman Benih Padi (Manugal)

Sebelum dilakukan penanaman, terlebih dahulu dilakukan pembersihan sisa-sisa pembakaran. Kemudian dilakukan ritual doa yang disebut Pamataan/Aruh Mahanyari yang dipimpin oleh seorang Balian (tetuha/kepala adat) di lokasi penanaman padi/banih . Ritual Pamataan/Mahanyari dimaksudkan agar padi yang ditanam tumbuh subur dan terhindar dari serangan hama penyakit. Kegiatan Manugal dilakukan kurang lebih 2 minggu setelah pembakaran dan dilakukan pada awal musim hujan.

2.3.6 Pemeliharaan Tanaman dari Rumput (Marumput)

Kegiatan marumput ini dilakukan untuk membersihkan tanaman dari rumput pengganggu yang akan menghambat pertumbuhan tanaman padi, kegiatan ini biasanya dilakukan oleh kaum ibu. Kegiatan marumput biasanya dilakukan pada saat padi berumur sekitar 2 bulan.

2.3.7. Basambu

Pada saat padi berumur sekitar 4 bulan, atau saat padi mulai mengeluarkan buah, dilakukan upacara adat yang disebut Aruh Basambu.

22

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

Acara ini dimaksudkan supaya padi yang ditanam subur dan masyarakat di desa diberi kesehatan untuk melakukan tahapan berladang selanjutnya. Acara ini dilakukan di dalam balai oleh beberapa orang Balian dan dilaksanakan selama 3 hari 3 malam. Pada acara ini apabila ada yang barjanji (nazar) maka harus dibayar pada saat panen.

2.3.8 Panen (Mangatam)

Kegiatan mangatam disambut dengan sukaria, dilakukan secara bergotong royong dan hanya dilakukan oleh kaum ibu.

Setelah tiba waktu panen, dilakukan ritual Aruh Bawanang Nih Mudah, acara ini merupakan perwujudan rasa syukur dan terima kasih kepada 'Nining Bhatara Sang Hyang Wanang' atas panen yang diberikan. Ritual ini dilaksanakan di dalam Balai selama 5 hari 5 malam.

Selama masa panen masyarakat memiliki pantangan yang tidak boleh dilanggar, yaitu : 1) Sebelum dilaksanakan Aruh, padi yang dipanen tidak boleh (pamali) untuk dimakan; 2) Pamali menanam padi sebelum Aruh Bawanang Nih Halin (selamatan pada saat membersihkan ladang setelah panen); 3) Selama 6 hari biasanya masyarakat berkumpul di dalam balai dan tidak boleh menerima tamu untuk masuk ke dalam balai; 4) Apabila ada yang barjanji (nazar) pada saat Aruh Basambu, maka dia harus menyembelih babi pada acara Bawanang.

Setelah ritual Bawanang Nih Mudah dilaksanakan lagi Aruh Bawanang Nih Halin atau ritual terakhir sebelum dilakukan penanaman padi selanjutnya. Acara ini dilakukan di dalam balai selama 7 hari 7 malam. Hasil padi yang mereka peroleh digunakan untuk dimakan, dan sisanya disimpan saja di dalam lumbung padi sebagai persediaan.

2.4 Perladangan Berpindah: Kearifan Lokal vs Deforestasi

Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki areal hutan terluas di dunia (nomor tiga setelah Brazil dan Zaire) dan memiliki 10% dari total luas hutan dunia. Studi yang paling berpengaruh dalam bidang deforestasi di Indonesia mengungkapkan bahwa sekitar satu juta hektar, dari 100 juta hektar hutan yang ada, telah hilang setiap tahun (World Bank, 1990;FAO, 1990).

Pada dasarnya terdapat dua kutub pandangan dalam perdebatan tentang penyebab deforestasi di Indonesia. Beberapa penulis menyebutkan bahwa

23

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

petani kecil (peladang berpindah) dan jumlahnya yang terus bertambah merupakan penyebab utama deforestasi (FAO, 1990; World Bank, 1990; Barbieer et al, 1993; Fraser, 1996).

Penulis lain, meski mengakui peranan yang nyata para petani kecil terhadap deforestasi, memberikan tekanan lebih tinggi pada pemerintah dan proyek-proyek pembangunannya serta pada perusahan kayu (Dick, 1991; WALHI, 1992; Ascher, 1993; Dauvergne, 1994; Porter, 1994; Thiele,1994; World Bank, 1994; Angelsen, 1995; Dove, 1996; Ross, 1996). Pengamat kelompok kedua tadi cenderung berargumentasi bahwa pengaruh perladangan berpindah terhadap vegetasi hutan seperti yang disajikan pada studi-studi terdahulu adalah terlalu dilebihlebihkan.

Sistem perladangan dipandang sebagai aktivitas yang dapat menimbulkan kerusakan sumber daya alam. Penyiapan lahan dengan cara menebang pohon dan membakar, akan meningkatkan laju erosi tanah di lapisan top soil yang kaya unsur hara.

Curah hujan yang tinggi di lingkungan hutan tropis akan menerpa langsung ke permukaan tanah akibat hilangnya vegetasi penutup lahan. Hal ini akan menurunkan laju infiltrasi air ke dalam tanah dan meningkatkan aliran air permukaan yang dapat mengangkut partikel-partikel tanah lapisan top soil yang banyak mengandung unsur hara.

Hilangnya vegetasi penutup lahan juga akan menyebabkan siklus unsur hara berhenti untuk sementara waktu sampai tanaman yang dibudidayakan mampu menghasilkan bahan organik. Heterogenitas jenis dan struktur vertikal tanaman penutup lahan dalam sistem perladangan juga lebih rendah dibandingkan dengan vegetasi hutan alam, menyebabkan kesuburan lahan tidak dapat dipertahankan dalam jangka waktu lama sehingga usaha tani ladang kurang menguntungkan secara ekonomis. Keterisolasian wilayah desa tempat tinggal peladang yang jauh dari pusat-pusat kegiatan ekonomi masyarakat, dapat mengurangi nilai ekonomis produk hasil tani perladangan. Jarak yang jauh dan sarana-prasarana transportasi yang terbatas, menyebabkan biaya angkut dalam pemasaran hasil-hasil perladangan menjadi mahal.

Beberapa lainnya mengaku bahwa perladangan berpindah tradisional itu jauh dari hal yang berbahaya bagi hutan, adalah sangat penting bagi kegiatan masa depan pengelolaan dan konservasi hutan di Indonesia (Zerner, 1992; Colfer and Dudley, 1993;Hasanuddin, 1996; de Jong, 1977).

24

Kehutanan Masyarakat

2.4.1 Kontinum Usahatani Dalam Hutan

Bagaimana pandangan tentang peranan perladangan berpindah di hutan-hutan Indonesia itu terpolarisasikan demikian tajamnya? Bagaimana beberapa orang bersikukuh bahwa perladangan berpindah itu merupakan penyebab fundamental hilangnya vegetasi hutan; sementara yang lainnya memandangnya hanya sebagai masalah yang tidak nyata, dan bahkan masih berpikir bahwa praktek itu merupakan hal yang esensial bagi usaha-usaha mendatang dalam bidang perlindungan hutan ? Jawaban terhadap munculnya pelbagai kubu pemikiran dalam debat itu berkenaan dengan perbedaan jenis sistem usahatani.

Sementara beberapa penulis merujuk pada jenis perladangan berpindah tertentu, yang lainnya merujuk hal lainnya. Hal itu menjadi kecenderungan yang menggiring ke arah kerancuan dalam perdebatan.

‘Kontinum usahatani dalam hutan' berbasis pada pemilahan konseptual dari 'perladangan berpindah' (kadang-kadang dipadankan dengan swidden agriculture atau pertanian tebas-bakar) dan sistem usahatani perambahan hutan (forest pioneer farming system) yang juga dikenal sebagai truck farming seperti yang diusulkan oleh Weinstock dan Sunito (1989).

Weinstock dan Sunito (1989) mendefinisikan peladang berpindah sebagai orang-orang “yang mempraktekkan suatu bentuk pertanian berotasi dengan perioda pemberaan yang lebih panjang dibanding dengan perioda budidayanya. Sejauh tidak menghadapi masalah tekanan penduduk dan kendala lainnya, lahan hanya digunakan satu sampai tiga tahun dan kemudian diberakan untuk jangka waktu relatif panjang (sampai dengan 20 tahun atau lebih)”.

Perambahan hutan didefinisikan sebagai orang-orang “yang menggunakan metoda tebas-bakar untuk membuka vegetasi yang ada dengan perhatian utama untuk membangun lahan produksi pertanian permanen atau semi permanen. Meski membudidayakan beberapa jenis tanaman pangan, budidaya tanaman perdagangan (dan pada umumnya tanaman tahunan) merupakan perhatian yang utama. Lahan biasanya tidak dibiarakan melainkan digunakan secara terus-menerus. Lahan itu kemudian ditinggalkan jika kesuburan tanahnya sudah sama-sekali menurun, dan tidak ada rencana jangka panjang bagi mereka untuk kembali ke hamparan yang sama”

Gagasan implisit dalam konsep 'kontinum usahatani dalam hutan' adalah suatu pandangan bahwa praktek perladangan itu menjadi kurang lestari jika:

25

Teori dan Implementasi

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

(i) Rotasi pemberaannya diperpendek atau dihilangkan; (ii) Tradisi memberi jalan bagi modernitas; (iii) Tanaman subsistens diganti dengan tanaman perdagangan; (iv) Modal kerja keluarga digantikan dengan modal dari luar; dan (v) Usahatani berdekatan dengan perkotaan. Dalam dunia nyata, tentu saja, banyak sekali deviasi dari konsep ideal 'kontinum usahatani dalam hutan'.

Jadi, bisa dijumpai praktek perladangan berpindah yang tradisional ternyata membudidayakan tanaman perdagangan, dan usahatani perambahan hutan ternyata sama sekali membudidayakan tanaman pangan secara subsistens. Titik perhatian konsep itu bukan pada pencatatan dan prediksi kecenderungan aktualnya, melainkan lebih pada upaya untuk mengikat argumentasi utama yang dikaitkan dengan pelbagai sistem usahtani di dalam hutan.

Seseorang yang berpandangan bahwa perladangan berpindah itu merupakan hal yang esensial bagi upaya konservasi dan pengelolaan hutan pada masa yang akan datang adalah yang menyandarkan argumentasinya pada praktek tradisional, perladangan berpindah dengan masa pemberaan yang panjang.

Sebaliknya, seseorang yang berpandangan bahwa perladangan berpindah itu merupakan ancaman terhadap hutan adalah yang menyandarkan argumentasinya pada praktek perladangan berpindah dengan masa pemberaan yang pendek (bagian tengah dari kontinum) atau pada usahatani perambahan hutan (ujung kanan kontinum). Faktanya, sistem usahatani perambahan hutan kerap dicampur-adukkan dengan terminologi perladanan berpindah meski mereka sama sekalil tidak mengenal siklus rotasi penggunaan lahan.

Mengapa pelbagai pihak yang berdebat itu cenderung mengabaikan adanya keragaman yang tinggi pada sistem usahatani dan cenderung menerima pemahaman kolektif dari terminologi 'perladangan berpindah'? Hal itu antara lain disebabkan: pandangan setiap pihak cenderung menerima kecenderungan bahwa perladangan berpindah itu (pemberaan jangka panjang di satu pihak dan pemberaan jangka pendek atau tanpa siklus rotasi di pihak lainnya) sebagai bentuk dominan, dan dengan demikian sistem usahatani lainnya dianggap sebagai tidak signifikan.

Rezekiah (2006) dan Assyfa (2008) melakukan penelitian terhadap pelbagai praktek usahatani yang bernama perladangan berpindah di kawasan pegunungan meratus Kalimantan Selatan. Perladangan yang dilakukan oleh masyarakat suku Dayak Meratus dikenal dengan sebutan perladangan Gilir Balik. Kegiatan perladangan gilir balik oleh masyarakat suku Dayak Meratus

26

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

Loksado pada dasarnya merupakan kearifan lokal yang lahir dari pengalaman dan tradisi kehidupan antar generasi, dimana di dalam kegiatan perladangan gilir balik terdapat unsur yang bersifat religi, magis dan memandang manusia adalah merupakan bagian dari alam lingkungan itu sendiri, dimana terdapat roh-roh yang bertugas menjaga keseimbangannya.

Masyarakat suku Dayak Meratus Loksado memiliki kepercayaan bahwa untuk terhindar dari bencana dan malapetaka dalam kehidupannya, mereka wajib untuk menjaga hubungannya dengan alam/hutan, sehingga pemanfaatannya harus bijaksana dan bertanggung jawab, dimana pada akhirnya melahirkan suatu bentuk kearifan lokal yang terdiri dari kepercayaan dan pantangan, etika dan aturan, serta teknik dan teknologi.

Kegiatan perladangan yang dilakukan oleh masyarakat pada umumnya memiliki pola dan pemilihan jenis yang sama. Pola penanaman dilakukan dengan cara sederhana yang dikenal dengan istilah agroforestri. Dalam agroforestri ini tanaman padi gunung sebagai tanaman pokok, sedangkan tanaman semusim berupa kacang tanah, sayur mayur seperti bayam, cabe, jagung, ketela pohon dan pisang, dan tanaman keras atau tanaman tahunan berupa karet, kayu manis dan kemiri.

Menurut Rafieq (2003) petani peladang berpindah di Pegunungan Meratus mempunyai kearifan lokal dalam mengantisipasi serangan hama dan penyakit pada tanaman padi gogo. Banyaknya variasi varietas yang ditanam oleh orang Meratus di Balai Tamburasak merupakan salah satu upaya mereka untuk memonitor ketahanan varietas yang mereka tanam. Mereka tidak akan menanam kembali suatu varietas apabila setelah dua kali menanamnya tidak memberikan hasil yang memadai.

Selain itu dalam kebudayaan orang Meratus juga terdapat konsep "daraman", yaitu kesesuaian diri seseorang dengan sesuatu, termasuk dengan suatu varietas padi tertentu. Konsep ini membuat petani peladang berpindah tidak lagi menanam suatu varietas apabila varietas yang mereka tanam tidak memberikan hasil yang memuaskan dalam 2-3 musim tanam berturut-turut. Mereka baru menanam kembali varietas yang ditinggalkan apabila varietas yang biasanya mereka tanam mulai berkurang hasilnya.

Bersamaan dengan penanaman padi mereka juga menanam berbagai jenis tanaman lain seperti hanjalai (jelai) dan berbagai jenis sorgum lainnya. Tanaman ini berfungsi sebagai tanaman pelengkap bagi berbagai jenis hama yang biasanya menyerang tanaman padi. Prinsip tanaman perangkap ini sekarang mulai dikembangkan sebagai salah satu solusi untuk mencegah serangan hama pada pertanian modern.

27

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

Penanaman padi ringan dan halin sebenarnya juga merupakan salah satu jalan keluar bagi orang Meratus dalam mengatasi kelangkaan tenaga kerja. Orang Meratus tidak mengenal buruh upah dalam perladangan berpindah yang mereka lakukan. Padi ringan yang merupakan varietas berumur pendek ditanam terlebih dahulu sehingga terdapat selang waktu yang cukup lama antara panen padi ringan dan padi halin. Selang waktu di antara dua panen ini dapat mereka gunakan untuk menyadap karel, meramu ubi talas (kamuna) atau menyelesaikan pembuatan/perbaikan tempat penyimpanan padi (lampau).

Orang Meratus juga mempunyai teknologi panen dan pasca panen yang baik sehingga kualitas gabah yang mereka simpan dapat dipertahankan hingga 6 - 7 tahun. Mereka tidak memanen bulir padinya yang masih basah, baik karena adanya embun maupun karena hujan. Mereka hanya melakukan pemanenan padinya apabila tidak ada lagi embun yang melekat di bulir padi yang dipanen. Begitu pula jika turun hujan, mereka menghentikan kegiatan memanen hingga hujan reda dan bulir gabah yang akan dipanen telah kering.

Dalam penyimpanan, mereka membiarkan bulir padi tersimpan dalam wadah (lulung) yang terbuka dalam lampau sehingga menjamin terjadinya penguapan dan aerasi yang baik secara terus menerus. Teknologi pasca panen ini sangat menentukan kualitas hasil panen yang disimpan. Masalah ini sekarang menjadi perdebatan yang panjang ketika Bulog menetapkan standar kualitas yang tinggi dalam pembelian padi hasil panen petani.

Orang Meratus juga mempunyai keterampilan dan keahlian mengenai iklim. Mereka dapat memperkirakan awal musim hujan dan kemarau serta lamanya musim hujan dan kemarau berdasarkan letak bintang, isyarat binatang dan ciri tumbuh-tumbuhan di hutan. Mereka juga mempunyai pengetahuan yang luas mengenai kesuburan tanah dan konservasi. Pengetahuan semacam ini sebenamya sangat penting diketahui oleh para peneliti sehingga tidak ada lagi pelaksanaan percobaan pada berbagai penelitian dan pengkajian, justru gagal karena hasilnya tidak dapat dipanen sebagai akibat perubahan kondisi iklim yang tidak terprediksikan sebelumnya oleh peneliti dan pengkaji.

Dalam melakukan aktivitas perladangan masyarakat suku Dayak Meratus Loksado menggunakan peralatan yang sederhana, dan memiliki aturan-aturan adat yang melarang masyarakat untuk membuka hutan lindung serta hutan keramat untuk dijadikan ladang karena bagi mereka hutan keramat merupakan sarana mereka untuk berkomunikasi dengan sang Pencipta. Apabila ada yang melanggar, mereka berkeyakinan akan kedatangan bala dan bencana bagi mereka kelak, melarang penggunaan pupuk dan

28

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

pembasmi hama karena menurut mereka, bahan-bahan tersebut memiliki bahan yang nantinya bisa menimbulkan pengaruh negatif bagi kesuburan dan kesehatan, dan melarang (pamali) bagi masyarakat untuk menjual padi hasil ladang, padi ladang hanya untuk dikonsumsi sendiri dan disimpan sebagai persediaan.

Yunida (2007) menyebutkan bahwa selain memiliki potensi alam dan budaya tersebut di atas, masyarakat Kecamatan Loksado memiliki tradisi yang merupakan budaya turun menurun dari masyarakat/penduduk di dalam kawasan hutan lindung Loksado yaitu perladangan berpindah. Ada beberapa alasan yang mereka kemukakan mengapa tradisi tersebut masih dipertahankan, yaitu : (i) jika tidak melaksanakan berarti keluar dari agama/kepercayaan mereka (bagi yang menganut kepercayaan Kaharingan); (ii) efesiensi, jika dilakukan intensifikasi pertanian seperti pemupukan, hasil produksi tidak seimbang dengan biaya produksi; (iii) kemudahan dalam bertani. Hal ini berarti bahwa sebagian besar masyarakat di Kecamatan Loksado sangat tergantung terhadap lahan.

Pada sisi lain, terdapat hasil telaahan informal yang memberikan 'bobot' relatif yang sangat beragam tentang pelbagai sistem usahatani. World Bank (1994), misalnya, menyebutkan bahwa “masyarakat tradisional itu boleh jadi jauh lebih banyak dari yang diperkirakan semula”. Sebaliknya, peneliti lain menyebutkan bahwa perladangan berpindah tradisional itu hanya berjumlah sedikit, dan itupun tengah merubah sistem usahataninya secara cepat.

Tomich dan van Noordwijk (1995) mengatakan bahwa perladangan berpindah tradisional telah benar-benar menghilang di Sumatra. Potter (1993) merujuk studi WWF menunjukkan bahwa sistem tradisional itu telah mengalami modernisasi, misalnya dengan menggunakan chainsaw. Kartawinata et al (1989) melakukan pengamatan di beberapa tempat: bahwa praktek perladangan berpindah di Kalimantan Timur juga membudidayakan tanaman tahunan yang terpelihara selama sepuluh tahun atau lebih. Riset terkini lainnya mendeskripsikan contoh-contoh regional dan lokal tentang perladangan berpindah dan pertanian perambahan hutan (Bappeda dan PPKD, 1995; DepHut, 1995; DepTrans dan YDWL, 1996; Endogeotec Visicon, 1996).

2.4.2 Peran Perladangan Berpindah dan Deforestasi

Pada tahun-tahun belakangan ini terdapat empat perkembangan utama menyangkut peran perladangan berpindah dan deforestasi di Indonesia. Pertama, menyangkut pergeseran persepsi yang fundamental tentang nilai penting perladangan berpindah dikaitkan dengan hilangnya vegetasi hutan.

29

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

Kedua, kecenderungan untuk menggunakan terminologi 'perladangan berpindah' yang lebih cermat. Ketiga, menyangkut tentang pengaruh pembukaan perkebunan rakyat, yang sering berasosiasi dengan perladangan berpindah, terhadap vegetasi hutan. Keempat, pemahaman baru berkenaan dengan alasan-alasan memperpendek masa pemberaan.

2.4.2.1 Perubahan Persepsi tentang Perladangan Berpindah

Pada tahun 1990, FAO dan World Bank telah mempublikasikan hasil studi penting yang menyatakan bahwa laju deforestasi di Indonesia kira-kira mencapai sejuta hektar per tahun. Keduanya mengungkapkan bahwa perladangan berpindah merupakan penyebab utama kehilangan vegetasi hutan. Hal itu bersandar pada perhitungan bahwa di Sumatera, Kalimantan, dan Irian Jaya terdapat praktek perladangan berpindah yang mencapai luasan 27 juta hektar lahan (RePPProT, 1990 dalam World Bank, 1990) dan setiap tahun mengalami perluasan sebesar 2% (500,000 hektar). Perhitungan itu menjadikan perladangan berpindah sebagai penyebab terbesar deforestasi di Indonesia (World Bank, 1990).

Studi selanjutnya cenderung meredakan peran perladangan berpindah (dengan menyebutkan adanya kecenderungan melebih-lebihkan pengaruh perladangan berpindah); amat menonjolkan pelaku lain seperti industri kayu; dan menyebutkan bahwa sifat pemerintah serta pembangunan politik dan ekonomi di Indonesia sebagai penyebab utama. Studi yang dilakukan Dick (1991) terutama sangat berpengaruh dalam pengembangan perubahan persepsi tentang peranan perladangan berpindah dalam deforestasi di Indonesia.

Dick mengkritik asumsi utama yang digunakan studi World Bank (1990) dan FAO (1990) dengan menyatakan bahwa, mereka telah menggunakan istilah 'konversi perkebunan rakyat' atau 'perladangan berpindah' dan digabung dalam istilah 'perladangan yang menurut pandangannya sebagai hal yang lebih ramah, dan istilah 'transmigrasi spontan' yang menurut pandangannya sebagi praktek yang kurang lestari dan dinilai justru sebagai penyumbang terbesar deforestasi. Dick juga menentang kesahihan estimasi deforestasi yang dikembangan World Bank dan FAO, karena pernyataan bahwa 27 juta hektar sebagai jejak perladangan berpindah sebenarnya mencakup pula padang rumput dan belukar alam yang telah ada sejak waktu yang lama serta areal yang telah dijadikan sebagai lahan pertanian dalam waktu yang panjang.

30

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

Menurut pendapatnya, peladang berpindah tradisional hanya mencakup 21% dari deforestasi total; estimasi itu pun agaknya masih terlalu tinggi karena banyak di antara hutan yang dibuka itu merupakan bagian dari rotasi pada lahan adat yang telah berlangsung cukup lama. Selanjutnya, ditunjukkannya juga bahwa peladang berpindah itu “tidak memilikiperalatan yang dibutuhkan untuk membuka seluruh areal itu kecuali untuk membuka hutan primer yang memang sudah terbuka” (Dick, 1991).

Perkembangan utama yang positif dalam perdebatan tentang peranan perladangan berpindah adalah: para analis situasi hutan yang paling berpengaruh tidak lagi mau menerima pernyataan bahwa perladangan berpindah itu secara seragam adalah buruk bagi konservasi dan pengelolaan hutan. Terdapat pengakuan yang makin meluas tentang sistem usahatani yang sangat beragam yang sebelumnya dirangkai dalam istilah 'perladangan'.

2.4.2.2 Perubahan Penggunaan Terminologi

Dalam tahun-tahun belakangan ini kedua kutub perdebatan dalam perladangan berpindah telah melakukan penyempurnaan peristilahan dan kian memfokuskan perhatiannya pada kutub ekstrem pada kontinum sistem usahatani dalam hutan.

LSM bidang lingkungan, misalnya, memutuskan untuk menggunakan istilah perladangan gilir-balik (rotational agriculture) sebagai pengganti istilah perladangan berpindah (shifting cultivation). Dengan cara ini mereka mencoba kian mempertegas aspek positif pengelolaan sumberdaya tradisional: perladangan berpindah dengan masa pemberaan yang panjang.

Mereka menyatakan bahwa kata 'shifting' itu telah menimbulkan impresi yang keliru bahwa pertanian tradisional dengan masa pemberaan yang panjang itu tidak memiliki ruang yang terbatas, berpindah-pindah, dan merambah. Lantas kata 'rotational' lebih disukai, karena hal itu mempertegas fakta bahwa pertanian tradisional dengan masa pemberaan yang panjang itu terjadi pada areal yang tegas dan tertentu, dan regenerasi ekologik suatu sumberdaya melalui siklus rotasi (gilir-balik) itu menyebabkan petani tidak perlu untuk beranjak dari hamparan pemberaan tradisionalnya.

Ketika membuat perubahan peristilahan, aktifis lingkungan semakin sadar terhadap makna konsep 'ruang' yang mereka terapkan pada ujung kiri kontinum usahatani dalam hutan.

31

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

Sayangnya, mereka cenderung mendeskripsikan semua usahatani skala kecil di luar Jawa sebagai 'pertanian gilir-balik' (Hasanudiin, 1996), dan kurang menaruh perhatian pada sistem usahatani lainnya dalam kontinum usahatani dalam hutan. Aktifis lingkungan tampak ketakutan: mengakui keberadaan sistem usahatani perkebunan rakyat yang tidak lestari itu akan melemahkan pengakuan bahwa penduduk di seputar hutan itu memiliki kearifan dalam pengelolaan hutan. Padahal memandang kontinum utuh sistem usahatani secara patut itu bukannya melemahkan malah akan menguatkan posisi LSM untuk dua alasan. Pertama, hal itu menunjukkan pengenalan yang lebih baik terhadap kompleksitas perubahan sosial di pedesaan. Kedua, menunjukkan perhatian yang patut kepada perambah hutan, yang merupakan korban dari perubahan sosial yang cepat seperti halnya peladang berpindah. Pergeseran peristilahan juga terjadi di antara wakil-wakil pemerintah yang mengambil posisi sebagai 'anti perladangan berpindah'. Istilah perambahan hutan (forest pioneer farming) kini makin sering digunakan dibanding dengan perladangan berpindah, yang mengisyaratkan kecenderungan untuk memberikan tekanan lebih eksplisit pada ujung kanan kontinum usahatani dalam hutan. Suatu kecenderungan untuk tetap mencela perambahan hutan dan perladangan berpindah seraya menghindari atau mengabaikan sama sekali pembedaan di antara keduanya.

Adalah sangat disesalkan bahwa penyikapan pemerintah itu telah gagal untuk memberikan penghargaan yang patut pada kontribusi positif terhadap lingkungan yang diberikan oleh pertanian tradisional dengan masa pemberaan yang panjang. Kegagalan ini dijelaskan dengan pola hubungan pemerintah dengan pemegang konsesi pengusahaan kayu, yang sering mengokupasi areal yang sama dengan peladang berpindah tradisional dan diberi rujukan akses pada lahan dan sumberdaya hutan.

2.4.2.3 Perkebunan Rakyat Tanaman Keras

Perkebunan rakyat sering dipahami sebagai bagian dari perladangan berpindah, karena beberapa peladang berpindah itu memproduksi tanaman keras. Seharusnya hal itu dipandang sebagai sesuatu yang berbeda, karena meski sangat berkaitan erat dengan perladangan berpindah, kegiatan perkebunan rakyat itu cenderung dilakukan pada jenis lahan yang berbeda serta menganut logika produksi yang berbeda pula (Dove, 1993).

Boleh jadi memang terdapat asosiasi yang kuat antara perkebunan rakyat tanaman keras dengan deforestasi. Chomitz dan Griffiths (1996) menemukan bahwa tanaman keras, dan biasanya adalah karet, memegang peran lebih penting dalam hal deforestasi di Indonesia dibanding dengan

32

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

perladangan berpindah subsistens. Karet merupakan penyumbang terbesar sumber pendapatan pertanian negeri ini (US$ 1.5 miliar pada tahun 1994-95) dan nilai outputnya meningkat hampir dua kali lipat pada periode 1984-1995 (World Bank, 1996). Antara tahun 1982 sampai 1994, produksi tanaman keras meningkat 66% untuk karet, 60% untuk kelapa, dan 55% untuk kopi; dan untuk semua perkebunan rakyat, tanaman keras merupakan sumber produksi utamanya (Economist Intelligence Unit, 1995; World Bank, 1996).

Singkatnya, signifikansi temuan Chomitz dan Griffiths (1996) dalam konteks diskusi ini adalah bahwa pengaruh perladangan berpindah terhadap pelenyapan vegetasi hutan pada areal pemberaan adalah kurang signifikan dibanding dengan areal tanaman keras.

2.4.2.4 Alasan Pemendekan Masa Pemberaan

Telah lama diketahui bahwa indikator utama penurunan tingkat kelestarian dalam perladangan berpindah adalah penurunan masa pemberaannya. Banyak yang beranggapan bahwa peningkatan kepadatan penduduk merupakan penyebab utama (satu-satunya) pemendekan masa pemberaan itu.

Fraser (1996), misalnya, berpendapat bahwa peningkatan kepadatan penduduk dan tekanan yang dihasilkan praktek perladangan berpindah menyebabkan kehilangan tahunan vegetasi hutan 0.9-1 juta hektar seperti yang diobservasi oleh FAO. Tapi tidak jelas, dalam hal apa tinginya korelasi antara peningkatan kepadatan penduduk dengan penurunan vegetasi hutan bersifat kausalitas dan dalam hal apa bersifat kebetulan. Adalah masih mungkin adanya variabel lain, yang tidak dipertimbangkan oleh Fraser, yang boleh jadi memilik korelasi yang tinggi. Itu menyangkut variabel bebas (perubahan teknologi, distribusi kesejahteraan dan pendapatan, permintaan terhadap hasil pertanian, pertumbuhan infrastruktur, tingkat pendidikan dan partisipasi perempuan dalam pasar tenaga kerja, dan sebagainya) yang bolehjadi akan merubah pengaruh populasi terhadap vegetasi hutan. Jika variabel-variabel itu dipertimbangkan, tampaknya peranan fundamental peningkatan populasi terhadap kehilangan vegetasi hutan akan menjadi kurang nyata.

Beberapa di antara variabel tersebut diperhitungkan oleh Angelsen (1995), dalam studikasusnya di Sumatera menegaskan bahwa peningkatan populasi bukanlah penyebab utama deforestasi. Angelsen melakukan pembobotan faktor-faktor yang menyebabkan pembersihan hutan tahunan dan menemukan hal-hal sebagai berikut: (1) Peningkatan proporsi

33

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

rumahtangga yang membuka perladangan tebas-bakar memberikan kontribusi 70%; (2) Peningkatan populasi total rumahtangga memberikan kontribusi 23%; dan (3) Peningkatan ukuran rata-rata perladangan tebas-bakar memberikan kontribusi 7%.

Analisis ini menemukan bahwa pertumbuhan populasi hanya mampu menerangkan sekitar seperempat dari penghilangan vegetasi hutan. Pandangan alternatif menyangkut keterkaitan antar variabel dari suatu gugus data yang sama ternyata dapat menghasilkan kesimpulan yang berbeda. Mungkin saja terjadi, misalnya, bahwa peningkatan proporsi rumahtangga yang membuka perladangan tebas-bakar (katakan saja mampu menerangkan 70% kejadian) merupakan suatu tanggapan atas peningkatan kepadatan dan tekanan penduduk lokal. Yang menarik bahwa hasil survai Angelsen (1995) menemukan bahwa tigaperempat petani responden percaya bahwa peningkatan populasi akan menyebabkan kekurangan lahan.

Di tengah kontradiksi seperti itu, adalah penting dalam riset mendatang mengenai alasan pemendekan masa pemberadaan harus mengindarkan asumsi tentang peranan kepadatan penduduk dalam perubahan vegetasi hutan. Karena itu adalah masuk akal bahwa fenomena perubahan vegetasi hutan itu dipengaruhi oleh aneka-ragam faktor, antara lain : (1) kepadatan penduduk; (2) perubahan proporsi rumahtangga yang terlibat dalam perladangan berpindah; (3) perubahan areal produksi per rumahtangga; dan (4) kendalakendala kompetisi penggunaan lahan yang mempengaruhi perkebunan rakyat (misalnya: konsesi perusahaan kayu, penanaman pertanian dan kehutanan, dan pertambangan).

34

Teori dan Implementasi

PENGELOLAAN HUTANKONVENSIONAL

BAB 3

3.1 Pendahuluan

Sesuai dengan perkembangannya, bentuk pengelolaan hutan di dunia sekarang ini dapat dipisahkan antara strategi kehutanan konvensional (convensional forestry strategy) dengan strategi kehutanan sosial (social forestry strategy). Strategi kehutanan konvensional telah melewati dua tahap, yaitu penambangan kayu (timber extraction) dan pengelolaan hutan tanaman atau kebun kayu (timber management).Perubahan atau perkembangan program pengelolaan hutan dari paradigma timber extraction ke timber management mulai dirintis oleh Negara-negara Eropa Tengah, khususnya dipelopori oleh Perancis, Jerman dan Austria. Apabila perubahan ke paradigma timber management itu tidak dapat dicapai, maka yang terjadi adalah kerusakan hutan seperti yang dialami oleh kebanyakan negara-negara sedang berkembang.

Ciri utama strategi kehutanan konvensional adalah tujuan pengelolaan ditetapkan untuk memproduksi kayu jenis tertentu agar pengelola hutan dapat memperoleh keuntungan finansial yang setinggi-tingginya. Karena dimulai dari menebang hutan alam, maka jenis tertentu yang dimaksudkan itu adalah jenis pohon dominan yang terdapat di suatu wilayah. Setelah hutan alam ditebang, biasanya hanya jenis yang bernilai ekonomi saja yang diambil, hutan tersebut akan mempermuda kembali secara alam dengan jenis dominan yang sama dengan sebelumnya. Ketika hutan tanaman sudah mulai dikenal, yang dikembangkan juga jenis tersebut karena manfaat kayu maupun penanganan permudaanya sudah dikenal.

Sesuai dengan tahapan perkembangannya, strategi kehutanan konvensional dibedakan antara penebangan hutan alam dan pengelolaan hutan tanaman. Antara kedua bentuk pengelolaan hutan itu mempunyai kesamaan dalam hal tujuan pengelolaan untuk mengusahakan jenis kayu tertentu dalam rangka memperoleh keuntungan finansial bagi perusahaan, tetapi mempunyai perbedaan pokok dalam kaitannya dengan kelestarian hasil maupun kelestarian sumber daya hutannya.

Kehutanan Masyarakat 35

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

3.2 Penambangan Kayu (Timber Extraction)

3.2.1 Sejarah Penambangan Kayu

Penambangan kayu (timber extraction), adalah kegiatan menebang kayu jenis tertentu dari hutan alam untuk memperoleh keuntungan uang (tujuan komersial). Praktek penebangan kayu dari hutan alam secara komersial tersebut telah dimulai di Mesopotamia sejak sekitar pemerintahan kerajaan Sumeria. Menurut catatan, kerajaan-kerajaan di Mesopotamia telah muncul sejak tahun 3.500 SM. Salah satu kerajaan besar yang berkuasa di kawasan subur lembah sungai Eufrat dan Tigris itu adalah Sumeria, yang masih bertahan sampai sekitar tahun 2.000 SM (BARRACLOUGH, 1982:17).

Mesopotamia merupakan wilayah kedua dimana kerajaan-kerajaan besar berkuasa. Wilayah pertama lahirnya kerajaan besar di muka bumi ini adalah lembah sungai Nil di Afrika Utara, yang setidaknya sudah muncul sekitar 5.000 - 4.500 tahun SM. Mula-mula sebuah kerajaan besar sudah lahir di sekitar pantai barat Laut Merah, sampai kemudian peradaban manusia berkembang di lembah sungai Nil (BARRACLOUGH, 1982:8) karena persediaan pangan di wilayah yang subur sehingga sedimentasi air banjir tersebut lebih terjamin.

Menurut para ahli, nenek moyang manusia lahir di Afrika Timur, sekitar Kenya sekarang. Oleh karena itu perkembangan kerajaan manusia modern terletak di antara Kenya dengan Mesir. Namun demikian jangka waktu antara terbentuknya komunitas manusia yang yang paling sederhana, setingkat desa sekarang, sampai adanya suatu kerajaan biasanya sangat panjang, yaitu sampai 10 abad atau bahkan lebih.

Dengan meningkatkan jumlah manusia, lalu tercipta kehidupan berkelompok untuk memenuhi berbagai kepentingan hidupnya, khususnya dalam mempertahankan diri dari serangan makhluk lain dan untuk memperoleh persediaan pangan yang cukup. Pada tahap permulaan, manusia memperoleh pangan dari persediaan yang terdapat di alam, baik makanan nabati maupun hewani.

Dalam memenuhi kebutuhan dasar tadi, manusia mulai mengenal pemimpin dan penguasaan terhadap wilayah tertentu. Kedua hal itu juga terjadi pada kelompok binatang, misalnya yang nampak nyata pada harimau, kera, kerbau, dan sebagainya. Binatang-binatang tersebut mengenal pemimpin dan suksesinya, serta mempunyai wilayah teritorial terntentu dengan batas-batas yang jelas.

36

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

Setelah jumlah populasi manusia bertambah, karena adanya jaminan keamanan dan suplai pangan yang cukup, maka kelompok manusia semakin berkembang sehingga mulai dikenal hirarkhi kelompok. Dalam hirarkhi kelompok tersebut mulai berkembang pula aturan-aturan kelompok, baik di dalam setiap kelompok kecil maupun antar kelompok kecil yang membentuk satuan kelompok besar. Dengan demikian ada ketua kelompok kecil dan ketua kelompok besar. Karena perkembangan terus terjadi, maka ketua kelompok besar juga semakin bertingkat-tingkat, yang disertai dengan aturan antar kelompok yang bertingkat-tingkat pula. Akhirnya terbentuklah tatanan baru yang disebut raja dan kerajaan, dan raja-raja berikut kerajaan besar pertama yang dikenal dalam peradaban manusia adalah Mesir kuno yang terletak di lembah sungai Nil yang sangat subur. .

Tentu saja catatan tentang kerajaan periode pertama itu tidak tersedia melimpah. Tetapi sejarah manusia beruntung karena kerajaan Mesir kuno meninggalkan monumen yang masih dapat disaksikan sampai sekarang, yaitu Piramid dan Sphink yang amat spektakuler, baik ukuran maupun muatan teknologinya. Jauh sebelum era Mesir kuno, peninggalan sejarah kebudayaan manusia (Homo erectus) masih berupa lukisan-lukisan di gua-gua pegunungan kapur di sekitar perbatasan Perancis-Jerman-Swiss, dan benda-benda kecil di tempat yang sama.

Perkembangan tingkat kebudayaan manusia modern (Homo sapiens) yang kemudian membentuk kerjaaan, mendorong masyarakat menjadi lebih beragam pola hidupnya. Dalam era kerajaan, sebagian kelompok masyarakat tidak lagi terlibat langsung dengan kegiatan mengumpulkan bahan pangan untuk keluarganya. Di sekitar raja, mulai ada kelompok yang melayani kehidupan raja dan pemerintahan, dan mereka memperoleh pangan dari gaji yang dikumpulkan kerajaan dari seluruh rakyat.

Pada waktu itu di seluruh dunia masih berlaku konsep bahwa rakyat merupakan abdi atau kawula raja, sehingga semua rakyat berkewajiban menyerahkan sebagian hasil pangannya untuk diserahkan kepada raja sebagai tanda kesetiaannya. Raja dengan seluruh anggota keluarganya dan para pembantu dekat serta tentara, menerima gajih dari Negara, tidak lagi terlibat dengan kegiatan bercocok-tanam untuk menghasilkan pangan. Kekayaan raja diperoleh dari rakyat, dan gaji untuk pegawai dan tentara diambil dari kekayaan raja tersebut.

Dalam era manusia modern, bulu bekti rakyat untuk rajanya itu berubah menjadi pajak untuk pemerintah. Perubahan besar yang mengatur hubungan raja dengan rakyat baru terjadi di Perancis pada awal abad ke-19 dengan revolusi sosialnya yang terkenal itu, dan melahirkan pemerintahan baru yang

37

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

disebut Republik. Penguasa negara yang baru itu bukan lagi raja yang memerintah rakyat secara turun-temurun, melainkan oleh Presiden yang dipilih oleh rakyat.

Tidak lama kemudian di Inggeris juga muncul bentuk pemerintah rakyat yang diwakili oleh Majelis Rendah. Peranan raja sebagai pemimpin pemerintahan mulai digantikan oleh Perdana Menteri. Di Inggeris, Perdana Menteri yang pertama kali dipilih rakyat adalah OLIVER CROMWELL, yang menjabat tahun 1649-1658.

Perkembangan kebudayaan juga telah mengenal kegiatan baru dalam kaitannya dengan pangan, yaitu munculnya peternakan dan pertanian. Salah satu diversifikasi yang muncul dalam kebudayaan manusia yang telah mengenal kerajaan adalah perdagangan. Kegiatan ini muncul karena adanya kebutuhan pangan dan kebutuhan primer lainnya untuk memenuhi kelompok-kelompok masyarakat yang tidak lagi terlibat langsung dengan produksi pangan, peternakan maupun pertanian, serta kegiatan ekstraksi bahan-bahan alami.

Para pedagang menjadi perantara bagi kaum pengumpul dan produsen barang primer dengan pengguna atau konsumen. Jadi kegiatan perdagangan baru muncul dalam masyarakat yang telah lanjut tingkat perkembangan kebudayaannya. Salah satu komodiats yang diperdagangkan itu adalah kayu, yang diperlukan untuk bahan-bahan konstruksi rumah, perkakas rumah tangga, alat-alat pertanian dan sarana transportasi.

Karena adanya kebutuhan kayu untuk berbagai macam keperluan tersebut, maka para pedagang dapat menyediakan jasa kepada konsumen dalam jumlah yang diperlukan. Jumlah itu diperoleh dari para penebang kayu yang membentuk organisasi penyedia kayu dari hutan alam. Pada awalnya kayu-kayu yang baik untuk ketiga macam keperluan itu dapat dipenuhi dari kayu daun lebar yang tumbuh di alam dalam jumlah yang besar.

Di seluruh permukaan bumi ini ada beberapa wilayah dengan jenis kayu daun lebar tertentu yang tumbuh di hutan alam yang terkenal sebagai penghasil kayu pertukangan yang bagus. Di daerah beriklim sedang (temperit), termasuk Eropah dan Amerika Utara, hutan alamnya didominasi oleh jenis oak (Querqus spp.). Di Amerika Tengah dan Selatan yang beriklim tropis terkenal dengan jenis mahagoni (Swietenian spp.), di Afrika tropis ada jenis khaya (Khaya spp.), sedang di Asia Tenggara terdapat keluarga Dipterocarpaceae yang cukup banyak ragam jenisnya. Khusus di beberapa negara Asia Selatan dan Asia Tenggara yang beriklim muson terdapat jenis jati (Tectona grandis) yang kualitas kayunya setingkat dengan oak sebagai bahan

38

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

bangunan dan kayu perkakas. Jenis-jenis itulah yang menjadi sasaran atau yang menyebabkan dilaksanakan penebangan kayu di hutan alam sesuai dengan waktu masing-masing dimana penguasanya mulai dengan kegiatan komersial dari sumber daya tersebut.

Jadi penambangan atau ekstraksi kayu adalah bentuk pengelolaan hutan yang pertama kali dilakukan oleh suatu bangsa. Karena kegiatan ekstraksi kayu berkaitan erat dengan perdagangan, maka aktifitas tersebut juga dilakukan oleh masyarakat atau negara yang sudah mengenal perdagangan.

Sesuai dengan latar belakang itu maka negara yang pertama kali melaksanakan kegiatan ekstraksi kayu adalah kerajaan Sumeria di Mesopotamia, yang wilayahnya penuh dengan hutan alam yang subur dan lebat. Mesir belum dikenal sebagai negara yang melaksanakan ekstraksi kayu untuk perdagangan luar negeri karena jumlah penduduk masih sedikit dan hutan alam di sekitar pusat kerajaan tidak banyak.

Dari Mesopotamia, pelaksanaan ekstraksi kayu lalu menyeberang ke Eropa pada masa kejayaan Kekaisaran Romawi. Dari Eropa inilah teknik ekstraksi kayu lalu menyebar ke seluruh penjuru dunia sampai abad ke-20, termasuk di negara-negara Afrika, Amerika Latin maupun seluruh negara yang ada di Asia. Penyebaran teknik ekstraksi kayu dari hutan alam tersebut mirip dengan yang terjadi di Eropa.

Ketika kerajaan Romawi menjajah negara-negara Eropa Tengah dan Barat, semua hutan di negara jajahannya hampir tidak lepas dari sasaran kegiatan yang menghasilkan banyak uang tersebut. Setelah negara-negara jajahan itu merdeka, penebangan kayu dari hutan alam dilanjutkan untuk memperoleh dana pembangunan. Pada waktu negara-negara Eropa keluar dari sarang untuk menjajah Amerika Latin, Afrika dan Asia, ekstraksi kayu berlanjut di negara jajahan tersebut.

Setelah merdeka, proses itu berjalan terus seperti yang terjadi di Eropa paska kekaisaran Romawi. Untuk negara-negara baru bekas jajahan Eropa, pelaksanaan ekstraksi kayu berlangsung sampai akhir abad ke-20 yang lalu. Di antara pelaksanaan timber extraction tersebut, ekstraksi kayu di Luar Jawa merupakan yang terakhir, yang hanya berlangsung singkat antara tahun 1970 - 1990.

Semua praktik ekstraksi kayu selalu berakhir dengan kehancuran hutan alam yang menjadi obyek penebangan tersebut, kecuali di Sabah yang berlangsung antara tahun 1965-1980. Pengalaman Mesopotamia dan Eropa, dibandingkan dengan pengalaman Jawa dan luar Jawa, memberi banyak

Negara

Mesopotamia Romawi Jawa Luar Jawa

Periode

3500 1000 SM 300 SM - 1000

750 - 1850 1972 - 1992

Jangka waktu

25 abad 1.300 tahun 1.100 tahun

20 tahun

Jenis

Oak Oak Jati

Meranti

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

informasi yang jelas tentang proses timber management di dunia yang telah berlangsung selama 4 milenium ini. Kalau diperhatikan, jangka waktu berlangsungnya ekastraksi kayu di empat wilayah di atas semakin kini semakin singkat.

Tanpa menyebut luas hutan alam masing-masing, di Mesopotamia memerlukan waktu sampai 2.500 tahun untuk menghabiskan kayu dari hutan alam yang ada. Jangka waktu itu tinggal 1.300 tahun untuk Eropa pada periode berikutnya, kemudian 1.000 tahun untuk hutan alam jati di Jawa, dan yang luar biasa cepatnya adalah hutan meranti di luar Jawa yang ludes hanya dalam kurun waktu 20 tahun saja, yaitu efektifnya dari tahun 1972-1992.

Oleh karena itu praktek ekstraksi kayu yang terkenal adalah Mesopotamia dan Eropa, yang keduanya menarik untuk dikaji proses maupun akibat-akibat yang ditimbulkannya. Waktu atau jangka waktu berlangsungnya ekstraksi kayu di empat daerah tersebut dapat dibaca dalam Tabel 3.

Tabel 3. Pelaksanaan Ekstraksi Kayu dan Jangka Waktu Berlakunya di Beberapa Negara

Sumber: Simon 1999 (dengan beberapa perubahan).

Dari pengalaman terjadinya ekstraksi kayu di beberapa negara tersebut di atas timbul dua pertanyaan, yaitu:

1. Mengapa ekstraksi kayu selalu berakhir dengan kerusakan hutan alam2. Mengapa hal itu selalu terulang kembali di setiap negara yang memiliki

hutan alam hingga persediaan hutan alam terakhir yang ada di muka bumi ini habis, yaitu Sumatera dan Kalimantan di Indonesia.

Pertanyaan pertama dapat dijawab dari keterangan lebih lanjut tentang apa sebenarnya ekstraksi kayu yang dimaksud. Mengulang kembali penjelasan di muka, ekstraksi kayu adalah kegiatan menebang hutan alam untuk tujuan komersial dengan menjual kayu yang bernilai ekonomi dari hutan alam

40

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

tersebut. Jadi kalau kegiatan menebang hutan alam tujuannya bukan untuk memperoleh uang, maka kegiatan tersebut tidak tergolong ekstraksi kayu. Misalnya menebang hutan alam untuk berladang, berkebun, membuka lahan pemukiman dan sebagainya, bukan termasuk ekstraksi kayu. Contoh kegiatan-kegiatan yang disebutkan tadi bukan merupakan bagian dari pengelolaan hutan.

3.2.2 Tahapan Kegiatan Penambangan Kayu

Sebagai bagian kegiatan pengelolaan hutan, elemen pekerjaan di dalam penambangan kayu ada tiga macam, yaitu: menebang kayu, mengolah, dan menjual kepada konsumen. Setelah jenis kayu yang dapat dijual dengan nilai uang yang ekonomis habis, maka lokasi penebangan itu ditinggalkan begitu saja, dan kegiatan menebang pindah ke tempat lain.

Pada waktu itu penebang kayu dari hutan alam belum memikirkan masalah permudaan kembali karena persediaan hutan alam masih melimpah, sedang di fihak lain permintaan kayu masih kecil karena jumlah penduduk masih sangat sedikit. Kondisi suplai kayu yang melimpah dan permintaan yang masih kecil tersebut sangat nyata pada waktu ekstraksi kayu berlangsung di era Romawi, apalagi era Mesopotamia. Selama kedua era itu, masih banyak bagian daratan di bumi ini yang belum dihuni oleh manusia, sedang yang sudah dihuni pun peradabannya belum berkembang sehingga oleh karena itu kegiatan perdagangan belum ada.

Karena suplai-deman kayu masih belum berimbang itu maka permudaan kembali kawasan hutan bekas tebangan cukup diserahkan kepada terjadinya permudaan secara alami. Karena intensitas penebangan masih rendah dibanding dengan luas hutan alam yang tersedia, maka pada mulanya tidak nampak adanya gejala kerusakan hutan. Pelan-pelan namun pasti, semua kawasan bekas tebangan itu akan terbaharui kembali melalui proses permudaan alam, walaupun memerlukan waktu yang sangat lama. Akan tetapi lamanya waktu yang diperlukan tidak atau belum menjadi persoalan, karena jangka waktu untuk menebang seluruh hutan alam yang ada masih tak terbatas.

Belum lagi hutan alam yang ada habis ditebang, kawasan bekas tebangan pada periode awal telah berubah menjadi hutan sekunder tua yang mirip dengan hutan alam primer, karena dalam penebangan tidak semua pohon yang ada ditebang. Penebangan hanya dilakukan terhadap jenis pohon yang bernilai ekonomi, berdiameter besar, dan kualitasnya bagus.

41

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

Dengan kata lain, belum genap satu rotasi ekstraksi kayu di suatu wilayah hutan alam suatu negara, telah terjadi pemulihan kembali hutan-hutan yang ditebang pada awal periode. Oleh karena itu selama 2.000 tahun pelaksanaan ekstraksi kayu di Mesopotamia, atau 1.000 tahun di Eropah, dan 600 tahun di Jawa, tanda-tanda kerusakan hutan belum nampak.

Kecepatan proses permudaan alam tentu terjadi menurut sifat jenis, keadaan iklim dan kesuburan tanah wilayah hutan yang bersangkutan. Di samping itu ada faktor eksternal yang mempunyai pengaruh penting, yaitu campur tangan manusia. Pada awal kegiatan ekstraksi kayu, karena jumlah penduduk masih rendah, maka faktor eksternal tersebut belum ada. Akan tetapi dengan adanya kegiatan ekstraksi kayu yang menghasilkan banyak uang, maka di wilayah itu laju pertambahan penduduk meningkat karena migrasi setempat (in-migration). Perpindahan penduduk ke wilayah ekstraksi kayu didorong oleh keinginan untuk memperoleh kesempatan kerja menjual jasa, yaitu:

1. Bekerja dalam kegiatan penebangan kayu, baik sebagai tenaga upahan atau sebagai tenaga terdidik.

2. Menyediakan barang-barang atau komoditas yang diperlukan oleh komunitas penebang kayu, misalnya menanam sayur-sayuran dan buah-buahan, pangan, dan sebagainya.

3. Menjual jasa yang diperlukan oleh masyarakat luas, seperti sebagai penjual makanan, penjual kebutuhan hidup sehari-hari, tenaga buruh untuk berbagai pekerjaan, dan sebagainya.

Dengan masuknya penduduk dari daerah lain yang meningkatkan kepadatan di wilayah ekstraksi kayu itu, maka laju penebangan hutan juga meningkat. Di samping penebangan untuk ekstraksi kayu seperti sebelum kedatangan penduduk baru tersebut, ada tambahan penebangan hutan untuk memperluas kawasan pemukiman dan lahan pertaninan, atau ada pengurangan kawasan hutan yang seharusnya mengikuti proses permudaan alam. Kebutuhan akan kayu juga meningkat bagi penduduk baru itu, baik untuk konstruksi rumah, alat-alat rumah tangga, alat-alat pertanian maupun sarana transportasi. Oleh karena itu dengan meningkatnya pertambahan penduduk akibat in-migration tersebut maka laju penebangan juga meningkat, yang justru diimbangi oleh berkurangnya laju permudaan kembali kawasan bekas tebangan. Akibatnya, laju penebangan yang semula masih di bawah laju permudaan alam, semakin lama antar keduanya semakin berimbang. Bahkan setelah berimbang untuk beberapa tahun, laju permudaan yang terus menurun sedang laju penebangan meningkat sehingga akhirnya permudaan alam tidak dapat mengimbangi kecepatan menebang. Dengan kata lain, saat itu mulai terjadi kerusakan hutan.

42

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

Dengan masuknya penduduk dari daerah lain yang meningkatkan kepadatan di wilayah ekstraksi kayu itu, maka laju penebangan hutan juga meningkat. Di samping penebangan untuk ekstraksi kayu seperti sebelum kedatangan penduduk baru tersebut, ada tambahan penebangan hutan untuk memperluas kawasan pemukiman dan lahan pertaninan, atau ada pengurangan kawasan hutan yang seharusnya mengikuti proses permudaan alam. Kebutuhan akan kayu juga meningkat bagi penduduk baru itu, baik untuk konstruksi rumah, alat-alat rumah tangga, alat-alat pertanian maupun sarana transportasi.

Oleh karena itu dengan meningkatnya pertambahan penduduk akibat in-migration tersebut maka laju penebangan juga meningkat, yang justru diimbangi oleh berkurangnya laju permudaan kembali kawasan bekas tebangan. Akibatnya, laju penebangan yang semula masih di bawah laju permudaan alam, semakin lama antar keduanya semakin berimbang.

Bahkan setelah berimbang untuk beberapa tahun, laju permudaan yang terus menurun sedang laju penebangan meningkat sehingga akhirnya permudaan alam tidak dapat mengimbangi kecepatan menebang. Dengan kata lain, saat itu mulai terjadi kerusakan hutan.

Proses menurunnya laju permudaan dan meningkatnya laju penebangan dalam timber extraction dapat dilukiskan dalam Gambar 2.

Gambar 3. Kerusakan Hutan Akibat Timber Extraction di Mesopotamia; Laju Permudaan Alam (garis hijau) menjadi lebih kecil dibanding dengan Laju Penebangan Kayu (garis

merah) Sejak Tahun 1500 SM; Akhirnya Seluruh Hutan habis pada Tahun 1000 SM

43

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

Dalam Gambar 3 jelas bahwa sampai dengan tahun 1500 SM, timber extraction di Mesopotamia belum menyebabkan terjadinya kerusakan hutan, yang ditunjukkan oleh grafik pemudaan kembali masih di atas grafik tebangan. Pada waktu itu hanya kayu tua dari hutan alam yang ditebang untuk dijual ke konsumen. Dengan istilah yang kemudian berkembang di kehutanan, dapat dianalogkan bahwa “daur teknik” untuk kayu konstruksi masih cukup panjang, misalnya 120 tahun seperti yang digunakan kayu oak di Eropa setelah mengenal hutan tanaman.

Di Mesopotamia, selama 1000 tahun awal pelaksanaan timber extraction mungkin masih menghadapi persediaan hutan alam yang masih cukup luas. Tetapi juga tidak tertutup kemungkinan bahwa hutan sekunder, yaitu yang berasal dari permudaan alam areal bekas tebangan, sudah mulai layak untuk ditebang. Seperti telah diterngkan di atas, kelayakan tebangan hutan sekunder itu dapat dilihat dengan umurnya, yaitu apabila telah mencapai umur 120 tahun (daur tehnik). Sebelum tahun 1500 SM, sudah tersedia hutan sekunder yang berumur lebih dari 120 tahun sehingga sudah layak untuk ditebang. Misalnya pada tahun 2500 SM, setelah lebih dari 1000 tahun pelaksanaan timber extraction, umur hutan sekunder yang mulai ditebang masih 140 tahun. Karena jumlah penduduk meningkat, maka laju penebangan terus bertambah, sehingga pada tahun 2000 SM umur hutan sekunder yang mulai ditebang sudah turun menjadi 130 tahun. Demikian selanjutnya sampai tahun 1500 SM, hutan sekunder yang ditebang sudah berumur sama dengan panjangnya daur tehnik, yaitu 120 tahun.

Proses tersebut terus berlanjut, yaitu kecepatan laju permudaan semakin tidak dapat mengimbangi laju tebangan, sehingga umur hutan sekunder yang ditebang sudah di bawah daur tehnik. Dalam kondisi ini, walaupun di lapangan belum nampak adanya kerusakan hutan, tetapi berarti potensi tegakan yang normal sudah menurun, yang ditandai dengan penebangan hutan sekunder yang di bawah “ketentuan normal.” Demikian seterusnya, setelah umur hutan sekunder yang ditebang begitu rendah, misalnya kurang dari 50 tahun, berarti hutan yang layak ditebang sudah semakin sedikit sampai akhirnya tidak layak ditinjau dari kualitas kayu yang laku dijual. Dengan kata lain, sudah tidak ada lagi hutan yang layak ditebang, atau tebangan kayu sudah berhenti karena tida ada potensi.

Pada saat umur hutan sekunder sudah lebih rendah dari umur daur, untuk mengejar nilai keuntungan maupun volume pasokan kayu seperti sebelumnya, luas penebangan menjadi lebih besar. Karena tebangan semakin luas, maka permudaan semakin tidak mampu mengejar, dan ketika tebangan sudah berhenti sama sekali maka pengelola hutan sudah meninggalkan tempat itu, berpindah ke daerah lain yang masih tersedia hutan alam. Pada waktu itu, di

44

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

sekitar Mesopotamia hutan alam belum tersentuh oleh timber extraction sehingga mencari lahan baru untuk mencari keuntungan tersebut tidaklah sulit.

Setelah merambah beberapa negara tetangga Mesopotamia, akhirnya pada tahun 500-400 SM pelaksanaan timber extraction mulai sampai di benua Eropa. Pada tahun 300 SM Romawi mulai menapak menjadi negara besar menggantikan Yunani, yang kelak menguasai hampir seluruh kawasan Eropa. Pada saat itulah, sebagai pusat perdagangan dunia, Romawi juga melakukan penebangan kayu dari hutan-hutan alam yang ada. Kerajaan besar itu memperoleh keuntungan uang yang tidak kecil dari hasil kayu tersebut, dan alat-alat transportasi, bak gerobak maupun perahu dan kapal, memberi sumbangan yang sangat penting bagi perokenomian dan pertahanan negara.

Akan tetapi proses seperti yang terjadi di Mesopotamia pada tahun 3500-1500 SM juga terjadi di Eropa antara tahun 300 SM-900 M, yang kemudian diikuti dengan kerusakan hutan setelah itu, karena intensitas penebangan tak dapat diimbangi oleh laju permudaan alam. Namun demikian Eropa beruntung karena sebelum kerusakan hutan mencapai titik maksimum, masyarakat luas telah menyadari perlunya untuk menghentikan proses degradasi hutan tersebut.

Salah satu faktor penting yang kemudian bermanfaat sangat besar untuk menghindari kerusakaan hutan secara total itu adalah munculnya wacana “asas kelestarian hasil” di Jerman pada abad ke-9. Karena pada waktu itu tingkat pendidikan masyarakat di dunia sudah lebih tinggi disbanding dengan era Mesopotamia, termasuk di Eropa, maka masyarakat luas sudah dapat mengantisipasi wacana asas kelestarian tersebut. Walaupun demikian, system pengelolaan hutan yang benar-benar dapat menjamin kelestarian baru dapat terwujud di lapangan sekitar abad ke15 - 17.

Di samping membatasi atau mengurangi laju penebangan, adanya wacana asas kelestarian telah mendorong pengelola hutan untuk memperbaiki proses permudaan kembali areal bekas tebangan. Kalau selama ini proses permudaan hanya diserahkan kepada alam saja, sejak abad ke-10 mulai ada campur tangan agar hasilnya lebih memenuhi keinginan pengelola.

Upaya campur tangan permudaan hutan yang menghasilkan hutan yang baik tersebut memang memerlukan waktu yang cukup panjang, akan tetapi pelan-pelan hasil permudaan itu dapat mengimbangi laju penebangan. Setelah pengelola hutan mampu merumuskan sistem silvikultur yang mantap, akhirnya permudaan hutan dapat menyelesaikan setiap masalah permudaan di areal bekas tebangan, sehingga hutan-hutan di Jerman, Austria dan Perancis berubah menjadi hutan tanaman yang tinggi produktifitas kayunya.

45

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

Pada saat itulah kehutanan di Jerman dan sekitarnya mulai menemukan paradigma baru pengelolaan hutan, yaitu timber management (pengelolaan hutan tanaman). Dengan keterangan tersebut, penebangan hutan alam yang hampir menghancurkan hutan di Eropa, kemudian dapat dirubah menjadi pembangunan hutan tanaman yang produktif.

Selama periode 300 SM-500 M, penebangan hutan alam di Eropa telah memberi keuntungan besar kepada Kerajan Romawi sebagai negara penjajah. Karena pertambahan penduduk yang meningkat, maka akhirnya sekitar tahun 500 M laju penebangan sudah tidak lagi dapat diimbangi dengan hasil permudaan alam, sehingga potensi hutan mulai menurun (declining). Mulai tahun 500 M, mungkin sudah mulai ditebang hutan sekunder yang umurnya sama dengan daur tehnik, yaitu 120 tahun.akan tetapi seiring dengan berukurangnya hutan alam yang masih tersedia, umur hutan sekunder yang ditebang terus menurun sampai di bawah 100 tahun.

Pada saat itulah masyarakat luas seolah-olah mulai melihat sinyal akan terjadinya kerusakan hutan, sampai kemudian muncul wacana asas kelestarian hasil pada abad ke-9 itu. Upaya permudaan alam yang disertai oleh campur tangan manusia, akhirnya melahirkan system permudaan buatan yang telah menunjukkan hasil nyata sekitar abad ke-15. pada saat itulah potensi hutan terus meningkat dengan tajam, sehingga vulome tebangan juga dapat mengikutinya.

Setelah hutan tanaman dapat menutup seluruh kawasan hutan sekitar abad ke-19, maka kapasitas tebangan dan permudaan seimbang; volume tebangan sama dengan riap tegakan untuk kawasan hutan yang bersangkutan, dan ini berarti asas kelestarian hasiol telah dapat diwujudkan di lapangan.

Dari pelajaran di Eropa, selanjutnya dapat dikaji apa yang pernah terjadi di Jawa. Di atas telah diterangkan bahwa di Jawa penambangan kayu telah dimulai pada abad ke-8 karena sejak abad pertama kerajaan di pulau kecil tetapi tanahnya subur ini sudah berdiri sebuah kerajaan yang semakin lama semakin menjadi kuat. Kerajaan Mataram Hindu tersebut selalu menjalin hubungan baik dengan India sebagai negara induknya, sehingga pelayaran dan perdagangan internasional juga sudah terjalin. Kebetulan di pulau Jawa terdapat hutan alam jati yang kayunya bernilai tinggi sehingga laku dijual ke pasar internasional. Di samping itu, ternyata kayu jati juga merupakan bahan baku yang sangat bagus untuk membuat kapal.

Penambangan kayu di Jawa terus berlangsung sampai kedatangan bangsa Belanda di pulau Jawa pada akhir abad ke-16. Namun sampai dengan kedatangan bangsa Belanda itu hutan alam jati di Jawa belum menampakkan

46

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

tanda-tanda adanya kerusakan karena intensitas penebangannya masih dapat diimbangi oleh kecepatan permudaan alam. Akan tetapi setelah bangsa Belanda dengan VOC-nya menguasai penebangan hutan jati tersebut, kira-kira mulai tahun 1650, kerusakan hutan mulai menunjukkan laju yang nyata. Akibatnya, pada akhir abad ke-18 atau awal abad ke-19 hutan jati di Jawa dinyatakan dalam keadaan rusak berat.

Karena VOC sebagai organisasi dagang yang secara de facto mengusai penebangan kayu jati di Jawa dinyatakan bangkrut pada akhir abad ke-18, maka kekuasaan atas kepulauan Nusantara diamdil alih oleh pemerintah kerajaan Belanda. Untuk mengatur pemerintahan di Indonesia lalu dibentuk apa yang dinamakan pemerintah Hindia Belanda. Mengingat menfaat ekonomi hutan jati di Jawa yang sangat penting bagi kerajaan Belanda, maka salah satu tugas pemerintah Hindia Belanda adalah membangun kembali hutan alam jati yang telah rusak itu. Kebetulan pada waktu masyarakat Eropa telah menyaksikan keberhasilan beberapa negara dalam membangun hutan tanaman, di atas puing-puing kerusakan hutan alam akibat timber extraction. Jadi apa yang terjadi di pulau Jawa dengan hutan jatinya adalah replikasi sejarah Eropa sejak millennium sebelumnya. Oleh karena mudah dimengerti bahwa niat untuk membangun hutan jati di Jawa mendapat petunjuk yang nyata dari pengalaman Eropa.

Pelaksanaan penambangan kayu di Jawa dapat dipisahkan antara cara tradisional, abad ke-8 sampai tahun 1650, dan cara modern, tahun 1650 - 1850. Cara tradisional belum mengakibatkan terjadinya kerusakan hutan, sedang cara modern telah menunjukkan tanda-tanda yang nyata adanya degradasi potensi hutan jati. Tahun 1850 ditetapkan sebagai tonggak sejarah di sini karena pembentukan Tim MOLLIER tahun 1849 untuk mempersiapkan pembangunan hutan tanaman jati di Jawa.

Sejak Tim MOLLIER melaksanakan tugasnya, pelan-pelan tapi pasti, pembangunan hutan tanaman jati di Jawa berhasil dilaksanakan dengan baik. Percobaan sistem blandong cultuur mulai tahun 1865 dan kemudian disambung dengan percobaan sitem tumpangsari tahun 1873-1883 yang menunjukkan hasil sangat mengesankan, merupakan salah satu faktor penting yang dapat menghindari kerusakan total hutan jati di Jawa, dan bahkan serupa dengan di Eropa, kemudian dapat terbentuk hutan tanaman yang produktif.

Akan tetapi pembangunan hutan jati yang baik itu terhenti tahun 1942 karena pergantian penguasa. Walaupun pemerintah Hindia Belanda telah meninggalkan petunjuk pembangunan dan pengelolaan hutan tanaman jati yang baik pada tahun 1938, namun kenyataan menunjukkan bahwa akahirnya

47

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

pemerintah Republik Indonesia tidak mampu mempertahankan warisan tersebut.

Mulai akhir dekade 1950-an, atau setidak-tidaknya mulai awal dasawarsa 1960-an, hutan jati di Jawa terus mengalami kemerosotan, yang puncaknya pada akhir abad ke20 ketika terjadi pergantian pemerintahan tahun 1998 yang diikuti dengan penjarahan hutan.

Dari pulau Jawa, pelajaran tentang kerusakan hutan akibat timber extraction dapat dilanjutkan ke luar Jawa. Penebangan kayu dari hutan alam di luar Jawa sebenarnya telah dimulai sejak pemerintah Hindia Belanda berkuasa pada awal abad ke-19. Namun demikian penebangan yang diawasi oleh pemerintah Hindia Belanda baru mulai pada awal abad ke-20, ketika volume perdagangan dan pembangunan meningkat sebagai buah keberhasilan program Cultur-stelsel tahun 1830-1865. Tetapi sampai dengan tahun 1970, intensitas penebangan kayu dari hutan alam di luar Jawa belum besar sehingga tidak menimbulkan kerusakan hutan yang berarti.

Pada waktu itu kerusakan hutan alam di Luar Jawa justru terjadi sebagai akibat perladangan. Sampai dengan awal dasawarsa 1960-an penebangan kayu di luar Jawa masih dilakukan secara tradisional, sedang pemerintah melalui Dinas Kehutanan Provinsi maupun Kabupaten hanya melakukan pengawasan dan penerbitan ijin untuk para pengusaha local. Penebangan kayu tradisional itu di Sumatera dikenal dengan istilah sistem panglong, sedang di Kalimantan disebut banjir cap.

Di Sumatera dikenal ada sistem panglong, karena penebangan kayu pada umumnya dijual kepada perusahaan-perusahaan China yang mempunyai perusahaan penggergajian kayu. Penggergajian kayu milik toke-toke China inilah yang dinamakan panglong, yang selanjutnya menjual hasilnya ke Singapura.

Di Kalimantan lebih dikenal dengan banjir cap, karena penebangan hanya dilakukan pada waktu banjir atau waktu air sungai cukup tinggi, sehingga pengangkutan balok-balok berukuran besar itu dari lokasi tebangan ke hilir mudah dilakukan. Cap adalah bahasa Belanda yang artinya tebangan. Hal ini berbeda dengan Sumatera, karena di Kalimantan pada waktu itu belum tersedia jalan darat sama sekali. Karena sangat tergantung dengan angkutan sungai, maka lokasi tebangan banjir cap hanya terbatas di sekitar sungai-sungai besar saja. Balok-balok besar yang ditebang tersebut dilepas di atas air sungai dengan hanya diberi kode-kode tertentu, kemudian majikan-majikan partner penebang masing-masing akan memungut di hilir, seperti Pontianak, Sampit, Pangkalan Bun, Banjarmasin, Samarinda dan Tarakan. Majikan-

48

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

majikan kayu di Kalimantan tersebut pada umumnya pengusaha pribumi (haji) yang manjadi kaya karena usaha itu, yang kemudian menjual balok-baloknya ke Singapura.

Di tengah-tengah sistem penebangan tradisional itu, pada tahun 1952 di daerah Sampit dan Berau mulau beroperasi perusahaan swasta dari Negeri Belanda, yaitu pabrik pintu Bruinzyl di Amsterdam. Namun volume kayu yang ditebang dari kedua wilayah itu masih rendah, yaitu 300.000 m3/th. Sebelum meninggalkan Indonesia pemerintah Hindia Belanda masih sangat hati-hati dalam memperluas penebangan hutan alam di luar Jawa.

Pada waktu itu persiapan ke arah penebangan yang lebih besar sudah dipersiapkan, yaitu dengan mengumpulkan hukum adat tiap suku yang akan dijadikan bahan untuk mengatur hak ulayat agar tidak terjadi gejolak sosial bila penebangan hutan alam secara besar-besaran benar-benar dilaksanakan. Bersamaan dengan pengumpulan masalah sosial itu, pemerintah Hindia Belanda juga sudah membuat peta-peta tentang batas kawasan hutan (register hutan).

Di atas telah dikatakan bahwa di samping penebangan kayu untuk tujuan komersial, di luar Jawa terjadi penebangan hutan alam untuk berladang. Hingga sekarang sistem bercocok-tanam penduduk di luar Jawa sebagian besar masih dengan sistem perladangan berpindah. Sistem ini mulai menimbulkan kerusakan hutan manakala rotasi perladangannya sudah pendek karena pertambahan jumlah penduduk. Dengan rotasi perladangan yang pendek, ditambah dengan terjadinya kebakaran secara rutin, waktu yang tersedia tidak cukup untuk membentuk hutan sekunder. Oleh karena itu akhirnya kawasan tersebut didominasi oleh semak belukar dan padang alang-alang, yang justru semakin meningkatkan kerawanan terjadinya kebakaran.

Penebangan kayu dari hutan alam di luar Jawa mulai meningkat tajam setelah pemerintah Republik Indonesia mengundang modal asing untuk bergerak di bidang penebangan hutan alam ini. Hanya dengan persiapan 5 tahun (1967-1972), penebangan kayu besar-besaran itu telah dimulai. Sementara itu kenaikan jumlah penduduk di lokasi timber extraction di luar Jawa mengalami peningkatan yang cukup tajam, karena angka kematian bayi yang menurun maupun in-migration penduduk dari luar yang mencari kerja. Oleh karena itu tidak lama setelah para pemegang HPH itu beroperasi, kerusakan hutan terjadi secara cepat karena banyak areal bekas tebangan yang kemudian dijadikan lading oleh penduduk local, dan terutama pendatang. Akibatnya, pada tahun 1990 hutan alam yang luasnya tidak kurang dari 64 juta hektar tersebut dinyatakan dalam keadaan rusak berat.

49

Wilayah

Konvensional

Modern

Jawa Abad ke-8 sampai tahun 1650 Tahun 1650-1850

Luar Jawa Tahun 1900-1970 1970-sekarang

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

Dengan keterangan di atas, mirip dengan yang terjadi di Jawa, penambangan kayu di luar Jawa juga dapat dibedakan antara era konvensional (1900-1970) dan era modern (1970-sekarang). Bedanya, timber extraction konvensional di luar Jawa belum sempat menghasilkan banyak uang, sedang timber extraction modern menghasilkan banyak uang, tetapi sebagian besar jatuh di tangan orang asing.

Perkembangan penambangan kayu di Jawa dan luar Jawa, secara skematis dapat diringkas dalam bentuk tabel sebagai berikut:

Tabel 4. Perkembangan Penambangan Kayu di Indonesia

Dalam paragraf berikutnya akan diterangkan tentang paradigma timber management di Jawa, baik pembangunannya maupun proses kerusakan yang terjadi sejak Indonesia merdeka. Di tengah-tengah terjadinya kerusakan hutan tanaman di Jawa, lahirlah paradigma kehutanan sosial. Sejak itu upaya-upaya untuk menegakkan paradigma baru telah dimulai, sedang di luar Jawa yang sebagian besar masih bergulat dengan paradigma timber extraction, baru mulai ada timber management untuk jenis daur pendek di beberapa tempat. Upaya kehutanan sosial di luar Jawa nampaknya masih agak jauh karena intensitas tekanan sosial-ekonomi masyarakat masih relatif rendah. Secara singkat perubahan paradigma pengelolaan hutan di Indonesia dapat diringkas dalam bentuk Tabel 5.

Tabel 5. Garis Besar Perubahan Paradigma Pengelolaan Hutan di Indonesia

50

Wilayah

Timber extraction

Timber management

Kehutanan sosial

Jawa Abad 8-19 Tahun 1850-sekarang Uji coba sejak 1986

Luar Jawa Tahun 1800-1990 Di beberapa tempat mulai tahun 1992, belum merata dan belum final

Sampai dengan tahun 2005 belum mulai

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

3.3 Pengelolaan Hutan Tanaman (Timber Management)

3.3.1 Sejarah Pengelolaan Hutan Tanaman

Menurut kenyataan, begitu kerusakan hutan di wilayah ekstraksi kayu terjadi, proses itu terus berlangsung dan semakin lama semakin cepat. Oleh karena itu ekstraksi kayu yang telah berlangsung aman selama 2.000 tahun di Mesopotamia (3500 SM-1500 dengan mendatangkan banyak keuntungan uang, akhirnya hutan di kawasan itu musnah dalam jangka waktu 500 tahun terakhir (1500 SM- 1000 SM). Kehancuran hutan jati di Jawa dipercepat oleh ekstraksi kayu yang menggunakan alat dan teknologi baru yang dibawa bangsa Belanda dengan VOC-nya hanya dalam kurun waktu kurang dari 150 tahun, padahal sebelumnya ekastraksi kayu telah berjalan lebih dari 800 tahun. Bahkan hanya dalam jangka 20 tahun saja hutan alam di Luar Jawa hancur, yaitu dari tahun 1972-1992, karena kawasan Dipterocarpaceae tidak kurang dari 70 juta hektar itu dikeroyok untuk memenuhi bahan baku industri kayu di Jepang, Korea Selatan, Taiwan dan Amerika Serikat. Mulai tahun 1970 industrialis dari empat negara itu datang ke Indonesia dengan membawa alat-alat berat hasil teknologi mutakhir untuk mengeruk kayu di kawasan HPH-nya masing-masing dalam waktu sekitar 10-15 tahun saja.

Hancurnya hutan di Mesopotamia menyebabkan kawasan subur itu sebagian berubah menjadi lahan pemukiman, pertanian, semak-belukar, bahkan padang rumput dan padang pasir. Hilangnya hutan di Mesopotamia menyebabkan kelembaban di Jazirah Arab turun dan mendorong meluasnya gurun pasir di wilayah tersebut. Kini perluasan gurun pasir seperti itu masih terjadi di sekeliling gurun Sahara di Afrika, yang merupakan problem berat bagi negara-negara di kawasan tersebut.

Hilangnya hutan di Mesopotamia tidak banyak berpengaruh bagi kepentingan para industrialis maupun pedang kayu, karena di tempat lain hutan lebat masih tersedia melimpah. Daerah-daerah tetangga Mesopotamian seperti Persia, Anatolia, India dan sebagainya masih tertutup rapat oleh hutan, sementara jumlah penduduk belum terlalu tinggi. Oleh karena itu secara sporadis praktek ekstraksi kayu terus berlangsung di negara-negara tetangga Mesopotamia, sampai akhirnya konsentrasi ekstraksi kayu beralih ke Eropah, di bawah pengaruh kekaisaran Romawi yang menjadi super power antara tahun 300 SM sampai tahun 500 M.

Ekstraksi kayu di Eropah selama kekaisaran Romawi ini dapat berlangsung secara terorganisir rapi dan mendatangkan banyak keuntungan uang karena ada beberapa faktor yang menguntungkan. Beberapa faktor itu adalah:

51

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

1. Letak Romawi yang sangat strategis, yaitu mengelilingi Laut Tengah yang pada waktu itu sudah ramai dengan lalu-lintas pelayaran samudra.

2. Hutan Eropa mempunyai potensi tinggi dengan hasil kayu oak yang bernilai tinggi pula sebagai bahan untuk kayu konstruksi rumah, alat-alat pertanian, perkakas rumah tangga, bahan pembuat kapal, dan sarana transportasi darat.

3. Pada era Romawi industri perkayuan sudah cukup berkembang sehingga jumlah kebutuhan bahan baku yang tetap sudah memerlukan jasa kaum pedagang.

4. Jumlah penduduk di Eropa mengalami perkembangan yang cukup pesat karena keberhasilan mengembangkan peternakan dan pertanian pangan. Teknologi untuk kedua kegiatan itu telah berhasil dikembangkan di Persia sejak tahun 2.000 SM, yang kemudian menyebar ke seluruh penjuru dunia, khususnya Eropa.

Seperti halnya di Mesopotamia, setelah berlangsung selama 800 tahun dengan aman, akhirnya kerusakan hutan akibat ekstraksi kayu di Eropa mulai terjadi. Bahkan dalam kurun waktu 200 tahun berikutnya, kerusakan hutan di Eropa tampak begitu hebatnya sehingga mengkhawatirkan semua fihak. Trauma kerusakan hutan dan lingkungan hidup di Mesopotamia 15 abad sebelumnya menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi para penguasa dan masyarakat Eropa. Di lain pihak, ketika hutan Eropa rusak akibat ekstraksi kayu tersebut, tingkat pendidikan masyarakat sudah jauh lebih baik dibanding dengan keadaan di Mesopotamia tahun 1.500-1.000 SM.

Agama Islam yang membawa sistem pendidikan klasikal seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw setiap menerima wahyu dari Allah Swt, sampai abad ke-8 telah melahirkan empat universitas terkenal, yaitu Universitas di Baghdad, Damaskus, Al Azhar di Kairo, dan Al Hambra di Spanyol. Sampai abad ke-8 itu Eropa belum memiliki universitas sendiri, sehingga para pemudanya banyak yang datang ke Al Hambra maupun Baghdad untuk menuntut ilmu. Hampir setiap pemuda Eropa yang pulang dari Al Hambra atau Damaskus, mereka lalu membangun pendidikan di negaranya masing-masing. Hasilnya, sekitar abad ke-9 tingkat pendidikan masyarakat Eropa sudah mulai tumbuh sehingga mampu menanggapi dan mengantisipasi kerusakan hutan yang dihadapi secara tepat.

Salah satu temuan penting dalam menghadapi kerusakan hutan tersebut, pada abad ke-9 di Jerman telah muncul wacana asas kelestarian hasil kayu. Pada masa itu sudah ada beberapa fihak yang berkepentingan dengan hutan (stakeholders), yaitu pemilik hutan, pengelola hutan (rimbawan), pedagang kayu, pekerja hutan dan kaum industrialis berikut buruh-buruhnya.

52

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

Pihak-pihak tersebut semuanya berkepentingan dengan terwujudnya asas kelestarian hasil kayu. Akan tetapi siapa di antara para fihak itu yang mampu atau mempunyai kewajiban untuk mewujudkan asas kelestarian agar wacana tersebut menjadi program yang operasional?

Sesuai dengan kepentingannya, wacana asas kelestarian hasil kayu barangkali muncul dari para pemilik industri perkayuan, karena kalau bahan baku yang diperoleh menurun akan menyebabkan kerugian bagi perusahaannya. Pemilik industri paling berkepentingan dengan hasil kayu yang stabil, agar buruh dan alat-alat yang dimiliki dapat selalu bekerja secara efisien.

Impian untuk mewujudkan asas kelestarian hasil kayu baru menjadi kenyataan berkat kerja keras para pengelola hutan (rimbawan) yang bekerja sama dengan para akademisi yang mengasuh sekolah atau pendidikan kehutanan. Namun demikian waktu antara munculnya wacana kelestarian hasil hutan sampai terbentuk sistem yang mapan cukup panjang, yaitu dari abad ke-9 sampai abad ke-18.

Pada awal abad ke-19 COTTA menerbitkan sebuah buku berjudul Anweisung zum Waldbau (Petunjuk Silvikultur, 1816), yang kemudian sangat bermanfaat bagi para rimbawan di lapangan untuk mengatur perngelolaan hutannya sesuai dengan kebutuhan asas kelestarian (SIMON, 1999:89).

3.3.2 Kegiatan Timber Management

Dengan telah dirumuskannya sistem pengelolaan hutan yang berlandaskan pada asas kelestarian hasil, maka mulailah paradigma baru pengelolaan hutan yaitu perubahan dari timber exitraction menjadi timber management. Kalau di dalam timber extraction hanya ada tiga macam kegiatan, yaitu menebang, mengolah dan menjual kayu, maka di dalam timber management ada lima macam kegiatan, yaitu:

1. Pembangunan atau penanaman hutan (forest establishment)2. Pemeliharaan, penjagaan dan peningkatan kualitas tanaman hutan

(forest culture)3. Pemanenan (harvesting) 4. Pengolahan hasil hutan (processing), dan 5. Pemasaran hasil hutan (marketing).

Lima macam kegiatan dalam timber management itu, kegiatan kesatu sampai ketiga dinamakan manajemen tegakan (stand management), sedang

53

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

kegiatan keempat dan kelima disebut manajemen hasil hutan (forest products management). Pendidikan kehutanan dikembangkan untuk mendukung perkembangan manajemen tegakan, yang merupakan disiplin di bidang tersebut.

Pelajaran-pelajaran yang khas kehutanan, tidak dijumpai dalam kurikulum pendidikan di bidang lain, adalah ilmu silvik dan silvikultur, pengaturan hasil dan perhitungan etat, ilmu ukur kayu, ilmu tata hutan, pembagian batang, dan nilai hutan. Semua ilmu tersebut dikemas untuk membentuk watak orang kehutanan yang disebut jiwa rimbawan. Ciri khas jiwa rimbawan adalah kecintaannya dengan hutan demi terwujudnya asas kelestarian (hasil) hutan.

3.3.2.1 Pembangunan Hutan (Forest Establishment)

Pembangunan hutan adalah kegiatan menanam hutan sampai berhasil (forest establishment), tidak sekedar menanam lalu ditinggalkan. Untuk jenis-jenis daun lebar di Eropa seperti oak misalnya, jangka waktu membuat tanaman sampai berhasil itu dapat berkisar antara 15-30 tahun. Untuk membuat tanaman jati di Jawa dengan sistem tumpangsari kreasi BUURMAN (1883) pembuatan tanaman dapat diselesaikan dalam waktu dua tahun dengan hasil bagus. Akan tetapi sejak dekade 1970-an, karena meningkatnya gangguan sosial-ekonomi masyarakat, pembuatan tanaman jati dengan sistem tumpangsari dua tahun tidak cukup. Upaya untuk memperpanjang jangka waktu pembuatan tanaman menjadi lima tahun juga tidak membawa perbaikan; hasil tumpangsari tetap kurang memuaskan.

Di luar Jawa upaya merumuskan system pembuatan tanaman seperti di Jawa itu belum pernah dilakukan secara sungguh-sungguh sehingga sampai sekarangpun belum dapat dirumuskan sistem pembangunan hutan untuk permudaan kawasan hutan bekas tebangan hutan alam. Sistem TPI (Tebang Pilih Indonesia) yang lahir tahun 1974 belum pernah dilaksanakan dengan baik, kemudian diganti dengan TPTI (Tebang Pilih Tanam Indonesia) yang juga belum menghasilkan apa-apa. Dua sistem yang dilansir berikutnya adalah sistem THPB (Tebang Habis dengan Permudaan Buatan) dan THPA (Tebang Habis dengan Permudaan Alam), juga belum dilaksanakan. Sementara itu beberapa perusahaan HPHTI (Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri) seperti PT MHP (Musi Hutan Persada) yang menanam mangium, menggunakan cara permudaan buatan seperti jati dengan peralatan modern, yang berhasil dengan baik.

54

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

3.3.2.2 Pemeliharaan, penjagaan dan peningkatan kualitas tanaman hutan (Forest Culture)

Setelah pembangunan hutan berhasil, kegiatan berikutnya adalah memelihara dan menjaga hasil tanaman itu dari gangguan yang merusak. Termasuk ke dalam kegiatan ini adalah penjarangan, yaitu mengurangi jumlah pohon yang ada secara periodik untuk memberi ruang tumbuh yang optimal bagi tegakan tinggal. Dalam pandangan konvensional, tujuan penjarangan adalah untuk memperoleh tegakan pada akhir daur yang bernilai tinggi dengan volume maksimal.

Akan tetapi di sini tidak mustahil diperoleh hasil uang, yaitu dari kayu penjarangan ketika tegakan yang dijarangi sudah cukup besar sehingga sudah laku dijual sebagai kayu pertukangan. Namun demikian intensitas penebangan yang rendah, menjadi penyebab mengapa biaya penjarangan pada umumnya dianggap relatif tinggi. Itulah sebabnya mengapa penjarangan pada tegakan muda pada umumnya terlambat atau tidak dilaksanakan.

Dipandang dari hasil kayu yang diperoleh, penjarangan dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu penjarangan pemeliharaan (tending thinning) dan penjarangan komersial (commercial thinning). Penjarangan pemeliharaan dilakukan pada tegakan muda, dimana kayu yang diperoleh dari penjarangan itu belum laku dijual sebagai kayu pertukangan. Karena hanya memerlukan biaya tanpa menghasilkan, maka penjarangan pemeliharaan sering tidak dilaksanakan, padahal bentuk penjarangan awal ini sangat penting artinya untuk membentuk tegakan yang bagus dan bernilai tinggi.

Sebaliknya, untuk penjarangan komersial seringkali pelaksanaannya terlalu keras atau menyimpang dari ketentuan yang berlaku, karena untuk memperoleh hasil penjarangan yang tinggi dalam nilai uang. Kedua penyimpangan tersebut, yaitu tending thinings yang terlambat dan commercial thinnings yang terlalu keras, merupakan paradoks pelaksanaan penjarangan hutan tanaman di negara-negara sedang berkembang atau yang dilakukan oleh perusahaan hutan yang tingkat keuntungannya marginal.

Penjagaan dan pemeliharaan tegakan tidak hanya penjarangan. Kegiatan lain yang juga penting adalah tanaman pengkayaan (enrichment planting) yang bertujuan untuk menambah jumlah pohon per hektar di tempat-tempat yang kerapatan pohonnya kurang, agar menjadi sama dengan jumlah normal. Pengurangan jumlah pohon setelah berhasil pada penanaman awal dapat terjadi karena terjadinya kematian oleh hama, penyakit atau gangguan bencana alam seperti petir dan angin ribut. Untuk hutan tanaman seumur, tanaman pengkayaan ini kurang lazim dilakukan karena akan

55

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

tersusun tegakan yang tidak seumur sehingga dianggap mengganggu administrasi, khususnya dalam penentuan kelas hutan dan metoda inventore untuk penaksiran volume tegakan.

Penjarangan dan tanaman pengkayaan pada hakekatnya merupakan upaya untuk menjaga agar jumlah pohon per hektar pada umur dan bonita tertentu selalu sesuai dengan ukuran tegakan normal. Dengan demikian maka pertumbuhan riap volume maupun riap diameter dapat optimal sesuai tujuan yang diinginkan, dan di lain fihak kualitas kayu yang dihasilkan dari setiap pohon mencapai maksimal. Baik untuk kepentingan kualita batang yang baik maupun pertumbuhan yang optimal, kegiatan lain yang juga peranan penting dalam forest culture adalah pruning, yaitu memangkas ranting sebelum menjadi cabang yang berukuran cukup besar.

Pada setiap pohon selalu tumbuh ranting yang membesar menjadi cabang. Ranting dan cabang merupakan bagian batang yang membentuk tajuk, sedang tajuk dengan daunnya merupakan elemen utama untuk terjadinya proses fotosintesis. Dalam kaitannya dengan fotosintesis ini pengurangan jumlah cabang dan ranting mempunyai hubungan yang erat untuk memperoleh hasil asimilasi bersih (net assimilation) yang optimal agar diperoleh riap massa yang maksimal (BOSSEL dkk, 1986).

Pada tegakan yang terlalu rapat akan terjadi pruning (kematian) ranting alami sehingga tidak ada cabang yang kelak meninggalkan mata kayu pada batang pokok. Kalau tegakan terlalu jarang, maka ranting-ranting dapat berkembang menjadi batang yang berukuran besar sehingga bila dipotong meninggalkan mata kayu, yang menjadi salah satu pertimbangan dalam menentukan kualita batang. Mata kayu ini mempunyai pengaruh besar dalam menentukan harga jual.

Intensitas dan cara pruning amat bergantung kepada sifat silvikultur jenis yang diusahakan serta tujuan penggunaan kayu yang diinginkan (SMITH, 1966:128-130). Untuk jenis intolerant, pada umumnya pruning alami lebih mudah terjadi dibanding dengan kelompok jenis tahan teduh. Oleh karena itu kebutuhan pruning untuk jenis tahan teduh lebih besar, walaupun ditanam rapat. Sifat kayu yang berkaitan dengan percabangan juga mempunyai pengaruh besar.

Ada jenis yang mata kayunya mudah lepas bila sudah mati sehingga papan yang dibuat dari kayu jenis ini mudah berlubang karena mata kayunya lepas. Sebaliknya ada jenis pohon yang mata kayunya menyatu dengan batang pokok sehingga malah membuat kekuatan kayu tersebut meningkat. Untuk jenis kayu tertentu malah mata kayu yang dapat menyatu dengan batang pokok ini membuat kayu menjadi lebih indah (dekoratif).

56

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

Sebagai kesimpulan, kegiatan pruning harus dirancang dengan baik, agar dapat diperoleh hasil kayu dengan nilai yang setinggi-tingginya. Cara melakukan pruning dan alat-alat yang diperlukan harus tepat, dan setiap jenis seringkali memerlukan cara yang berbeda-beda agar luka bekas pruning tidak menjadi lubang untuk masuknya jamur ke dalam kayu sehingga menimbulkan kerusakan.

3.3.2.3 Pemanenan (Harvesting)

Setelah penjagaan tegakan, pada akhir daur akan dilakukan pemanenan. Istilah ini berbeda dengan penebangan dalam kegiatan ekstraksi kayu. Pemanenan dalam timber management adalah penebangan kayu pada akhir daur, yang didasarkan pada asas kelestarian, sedang penebangan dalam ekstraksi kayu semata-mata ditujukan untuk memperoleh keuntungan financial bagi perusahaan. Implikasinya, pemanenan kayu volumenya harus dihitung berdasarkan hasil inventore tegakan yang kemudian dari sini ditentukan etat tebangan, sedang penebangan dalam timber extraction hanya didasarkan pada pertimbangan biaya-biaya yang diperlukan untuk memperoleh nilai jual kayu yang setinggi-tingginya. Oleh karena penentuan volume panenan kayu kayu lebih rumit dibanding dengan penentuan tebangan dalam ekstraksi kayu.

Dengan etat yang dihitung dengan cermat maka volume kayu yang diperoleh dari kegiatan tebangan akhir tidak akan melebihi riap (over cutting) yang tumbuh dalam periode yang sama. Itupun penentuan etat harus diikuti dengan penentuan temapt-tempat atau petak yang akan ditebang sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang menjamin asas kelestarian hasil.

Kegiatan pemanenan merupakan puncak perhitungan kegiatan pengelolaan hutan yang harus dapat menghasilkan keuntungan setinggi-tingginya. Organisasi pelaksana pekerjaan pemanenan harus professional, baik mandor maupun jumlah serta ketrampilan tenaga kerjanya. Oleh karena itu perencanaan organisasi, alat-alat yang diperlukan dan juga jalan angkutan harus disusun secara komprehensif agar efektif dan efisien. Jalan angkutan untuk pemanenan hutan jati di Jawa sering dibedakan antara penyaradan dan pengangkutan menuju TPK. Penyaradan adalah pengangkutan kayu dari tempat pohon ditebang menuju tempat pengumpulan (TPN). Dari TPN ini kayu diangkut ke TPK dengan menggunakan kendaraan, yaitu cikar, lori, atau truk.

Dulu penyaradan kayu jati di Jawa banyak menggunakan tenaga hewan, yaitu kerbau atau sapi. Di luar Jawa penyaradan kayu pada era panglong dan

57

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

banjir kap menggunakan tenaga manusia. Balok-kalok kayu yang besar itu diletakkan di atas kuda-kuda dari batang-batang kayu yang berukuran diameter sekitar 20-30 cm, kemudian didorong menuju jalan truk untuk panglong atau menuju sungai terdekat untuk banjir kap.

Di Sumatera dari tepi jalan ini balok diangkut dengan truk menuju lokasi penggergajian tempat kayu tersebut dijual kepada toke toke panglong. Dari tepi sungai ini kemudian balok dihanyutkan ke sungai besar, setelah diberi tanda-tanda tertentu agar dikenali dan volume serta ukurannya discatat oleh majikan di kota (hilir). Pada abad ke-18 sampai 19, penyaradan kayu di Eropa digunakan kuda tarik yang tenaganya sangat kuat tetapi larinya tidak kencang.

Di era timber extraction modern oleh HPH, dalam panyaradan (skidding) digunakan traktor yang sangat kuat, dan inilah yang menyebabkan kerusakan hutan alam di luar Jawa sangat cepat. Dalam waktu yang sama, timber extraction di Serawak dan Sabah masih menggunakan sistem kuda-kuda sehingga laju kerusakan hutan di kedua negara itu tidak secepat yang terjadi di Sumatera maupun Kalimantan.

3.3.2.4 Pengolahan Hasil

Setelah pohon ditebang, pertama kali batang dipotong-potong untuk memperoleh sortimen yang dapat menghasilkan nilai jual tertinggi. Pemotongan batang pohon setelah rebah (bucking policy) ini merupakan bentuk pengolahan kayu pertukangan paling awal dan paling sederhana dalam timber extraction maupun timber management. Walaupun sederhana namun pembagian sortimen ini sangat penting artinya, karena kesalahan kecil dapat berpengaruh besar terhadap nilai jual kayu yang bersangkutan.

Pembagian sortimen kayu sudah diatur dalam petunjuk yang selalu diperbaharui menurut kebutuhan. Baik-buruknya pembagian sortimen sangat ditentukan oleh pekerjaan mandor tebang, dan sebaliknya kualitas seorang mandor tebang banyak ditentukan oleh keahliannya dalam menentukan pembagian sortimen kayu yang terbaik.

Bentuk pengolahan kayu selain pembagian batang adalah pembuatan sortimen kayu untuk berbagai keperluan, seperti untuk bantalan kereta api, konstruksi rumah, bahan untuk daun pintu, papan, dan sebagainya. Pada mulanya pekerjaan ini dapat dilakukan oleh penebang (blandong) dengan alat paling sederhana, yaitu kapak dan gergaji tangan. Untuk perusahaan yang agak besar, pembuatan bahan-bahan konstruksi rumah dan mebelair dilakukan dengan alat-alat modern dalam bentuk industri penggergajian. Dengan

58

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, alat-alat yang digunakan dalam pengolahan kayu semakin maju dan modern, seperti industri kalu lapis, industri pulp dan kertas, industri panel, industri mdf (middle dimension fiber) dan sebagainya.

3.3.2.5 Pemasaran

Setelah pengolahan kayu, kagiatan terakhir dalam paradigma timber management adalah pemasaran. Dari aspek pemasaran ini sebenarnya kayu merupakan benda yang penanganannya tidak sulit. Sejak industri perkayuan (wood-based industries) berkembang pesat di Eropa pertengahan abad ke-19 yang lalu, kayu merupakan bahan baku yang selalu dibutuhkan dalam jumlah besar dengan volume yang relatif tetap. Ketika kereta api masih menggunakan mesin uap yang memerlukan bahan bakar kayu dan bantalan rel juga dari kayu, pangsa pasar kayu untuk bidang ini cukup besar jumlahnya. Industri pulp dan kertas juga bidang yang cukup banyak memerlukan kayu dalam jumlah tetap.

Untuk beberapa jenis kayu konstruksi seperti jati, kayu dapat disimpan untuk jangka waktu yang lama tanpa perlakuan yang memerlukan biaya mahal dan teknologinya sederhana. Itulah beberapa hal yang membuat pemasaran kayu tidak sulit. Namun demikian ketepatan menentukan strategi pemasaran kayu tetap merupakan kegiatan kunci yang sering menjadi kunci apakah kegiatan timber management sukses atau tidak.

Salah satu bentuk paradigma timber management yang masih melekat ke dalam jiwa rimbawan sampai sekarang adalah, kawasan hutan dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu hutan produksi, hutan lindung, dan hutan suaka alam. Dengan pembagian tiga kelompok tersebut berarti hutan dipandang sebagai fragmen-fragmen untuk memenuhi tujuan tertentu, tidak lagi dipandang sebagai satu kesatuan ekosistem yang utuh. Hutan produksi hanya untuk menghasilkan produksi kayu tertentu, tidak dirancang untuk memenuhi fungsi perlindungan lingkungan.

Demikian pula sebaliknya hutan lindung tidak boleh disentuh untuk menghasilkan komoditas apapun, karena fungsinya hanya untuk mengatur tata-air dan melindungi lingkungan hidup. Hutan suaka hanya untuk melestarikan jenis tertentu, flora dan atau fauna.

Akibat pembagian seperti itu maka banyak hutan produksi yang tidak dapat memberi manfaat maksimal, sebaliknya hutan lindung dan suaka alam banyak yang rusak karena penebangan tidak resmi untuk memperoleh kayu bakar, kayu pertukangan atau hasil hutan lainnya.

59

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

Secara ringkas, perbedaan antara paradigma penambangan kayu dengan pengelolaan hutan tanaman monokultur dapat dikemukakan dalam bentuk Tabel 6.

Tabel 6. Perbedaan antara Paradigma Penambangan Kayu dengan Pengelolaan Hutan Tanaman Monokultur

Ciri utama hutan tanaman yang dikembangkan di Eropa, khususnya Jerman, yang kemudian meluas ke Amerika Utara dan Australia itu adalah:

1. Sistem silvikultur yang digunakan adalah tebang habis dengan permudaan buatan.

2. Pohon yang diusahakan hanya satu jenis, sehingga hutannya monokultur dan dinamakan jenis pokok.

3. Karena tebang habis dan monokultur, maka dalam pengelolaan hanya dikenal satu macam daur (daur tunggal).

60

Subyek

Penambangan Kayu

Pengelolaan Hutan Tanaman

Kegiatan: 1. Penebangan pohon 2. Pengolahan 3. Penjualan

Manajemen tegakan: 1. Pembangunan hutan 2. Pemeliharaan 3. Pemanenan

Manajemen hasil hutan: 4. Pengolahan hasil hutan 5. Pemasaran

Tujuan Keuntungan finansial maksimal bagi perusahaan

Keuntungan finansial optimal bagi perusahaan

Asas Belum mengenal Kelestarian hutan (hasil kayu)

Perencanaan Peranannya cukup penting, dengan perspektif tahunan

Mutlak diperlukan, perspektif satu daur di detailkan untuk satu jangka (10 tahun)

Batas kawasan Masih longgar, dapat berubah-rubah

Harus tetap dan diakui fihak lain, diberi tanda permanen dengan batu atau kayu di lapangan

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

4.1 Pendahuluan

Sampai paska Perang Dunia II teknologi timber management belum dapat diserap oleh masyarakat di luar daerah yang telah disebutkan di atas. Di lain pihak, sejak awal abad ke-20 banyak negara jajahan yang memperoleh kemerdekaan. Pada umumnya negara baru tersebut kondisi ekonominya tergolong miskin, karena sumber daya manusianya masih terbelakang karena penjajah tidak mengembangkan pendidikan. Oleh karena itu setelah memperoleh kemerdekaan, negara bekas jajahan bangsa Eropa dan Amerika Utara itu ingin memperoleh sumber dana untuk pembangunan.

Mengikuti apa yang pernah dilakukan oleh penjajah, salah satu sumber alam yang tersedia dan penanganannya relatif lebih mudah dilakukan adalah hutan. Dengan demikian di negara-negara yang baru memperoleh kemerdekaan tersebut penebangan kayu dari hutan alam dilakukan secara besar-besaran.

Akan tetapi karena kemampuan manajemen negara baru tersebut tidak sebaik penjajah, maka kerusakan hutan akibat timber extraction itu terjadi begitu cepat. Dari sini sejak dekade 1950-an ada gejala umum di negara-negara sedang berkembang, yaitu kerusakan hutan meluas di mana-mana. Pada umumnya kerusakan itu terjadi karena pertambahan jumlah penduduk menuntut perluasan lapangan kerja, permintaan pangan dan pemukiman meningkat, yang semuanya tidak dapat dipenuhi oleh pemerintah baru tersebut.

Akibatnya, kemiskinan banyak dijumpai di negara-negara sedang berkembang yang jumlahnya terus bertambah. Adanya kemiskinan ini merupakan beban berat bagi pengelolaan hutan karena dengan kemiskinan itu tekanan sosial ekonomi terhadap kawasan hutan cukup tinggi sehingga banyak terjadi kegiatan-kegiatan destruktif seperti bibrikan lahan, penggembalaan ternak, pencurian kayu dan kebakaran.

Dalam menanggapi gejala kerusakan hutan yang meluas di negara-negara sedang berkembang tersebut, dikaitkan dengan kemiskinan penduduk

PENGELOLAAN HUTANDENGAN STRATEGI KEHUTANAN SOSIAL

BAB 4

61

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

di sekitar hutan, maka dalam Konggres Kehutanan Dunia VI di Seattle tahun 1960 ditetapkan tema Multiple Use of Forest Land. Di dalam bahasa Indonesia tema tersebut diterjemahkan dengan istilah Hutan Serba Guna. Tujuan penetapan tema itu memang untuk mendorong pengelolaan hutan yang tidak hanya menghasilkan kayu dan memperoleh keuntungan untuk perusahaan pengelola hutan saja, karena penduduk di sekitar hutan memerlukan pangan, tempat tinggal, lapangan pekerjaan, pakan ternak, dan sebagainya.

Dengan tema tersebut berarti bentuk pengelolaan hutan tanaman monokultur yang telah sukses besar di Eropa, Amerika Utara dan Australia mulai dipertanyakan, paling tidak kesesuaiannya dengan negara-negara sedang berkembang. Padahal sebenarnya negara-negara tersebut belum mampu menerapkan pengelolaan hutan tanaman dengan baik sehingga belum merasakan keuntungannya.

Di lain pihak, pelaksanaan prinsip hutan serba guna yang dapat menghasilkan hasil tidak hanya kayu, tentu memerlukan ketrampilan manajerial yang baik pula. Malahan manajemen dan perencanaan hutan serba guna jauh lebih rumit dibanding dengan pengelolaan hutan tanaman monokultur yang belum dapat dikuasai oleh negara-negara sedang berkembang tersebut.

Oleh karena itu upaya untuk menerapkan prinsip-prinsip hutan serba guna setelah Konggres Kehutanan Dunia VI juga tidak berhasil dengan baik, bahkan di Indonesia ada kekeliruan dalam menangkap makna Multiple Use of Forest Land tersebut. Pesan untuk tidak lagi mengembangkan hutan tanaman monokultur ditangkap sebagai tidak mengembangkan hutan tanaman penghasil kayu daur panjang seperti jati yang baru ditebang setelah mencapai umur 80 tahun. Bentuk penerapan hutan serba di Jawa lalu berupa pengembangan hutan berdaur pendek, non-kayu, di atas kawasan hutan jati yang rusak karena tekanan sosial-ekonomi masyarakat. Istilah fast growing species memang muncul di dalam arena Konggres Kehutanan Dunia VI tersebut.

Dalam Konggres Kehutanan Dunia VIII di Jakarta tahun 1978 ditetapkan tema konggres yang merupakan tindak lanjut konggres sebelumnya. Dalam WFC (World Forestry Congres) VIII tersebut tema yang ditetapkan adalah Forest for People. Dalam konggres yang amat semarak itu muncul pula wacana Social Forestry dan Forest Community, yang mempunyai arti serupa, yaitu untuk merubah bentuk pengelolaan hutan baru yang lebih berorientasi kepada kepentingan penduduk miskin atau masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar dan di dalam hutan. Selama ini pengelolaan hutan tanaman monokultur berorientasi kepada pemilik modal (kapitalis), dan rakyat di sekitar hutan hanya dipandang sebagai sumber tenaga kerja murah.

62

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

Dengan wacana baru dalam Konggres Kehutanan Dunia VIII di Jakarta itu maka mulai terjadi perubahan besar dalam paradigma pengelolaan hutan. Perubahan tersebut benar-benar bersifat mendasar, yaitu dari pengelolaan hutan tanaman monokultur yang berorientasi kepada keuntungan pemilik modal, ke pengelolaan hutan serba guna yang berorientasi kepada kepentingan masyarakat miskin dan masyarakat di sekitar hutan serta kelestarian ekosistem.

Pandangan terhadap kelestarian ekosistem menguat karena efek negatif hutan tanaman monokultur yang semula (abad ke-18) sudah diperingatkan kaum konservasionis dan diabaikan kelompok yang mementingkan keuntungan uang, mulai menunjukkan bukti-bukti nyata. Berkurangnya populasi satwa burung di daerah hutan tanaman monokultur, fenomena adanya hujan asam di Eropa yang mengakibatkan memburuknya kesehatan pohon, bukti kebenaran kaum konservasionis jauh sebelum akibat-akibat buruk tersebut nampak di lapangan.

Namun dengan munculnya pandangan baru dalam konggres Jakarta tahun 1978 itu, maka baik timber management maupun timber extraction yang hanya berorientasi kepada kepentingan uang dan masyarakat kota, lalu dikatagorikan sebagai strategi kehutanan konvensional. Sebaliknya pandangan baru pengelolaan hutan yang berorientasi kepada lingkungan hidup dan kepentingan masyarakat lokal itu dinamakan strategi kehutanan sosial, untuk mengangkat wacana yang dimunculkan oleh pemakalah non-rimbawan dalam WFC VIII tersebut.

Akan tetapi pandangan tentang strategi kehutanan sosial tidak segera difahami oleh rimbawan di luar arena konggres Jakarta, termasuk para pengajar di perguruan tinggi, khususnya di negara-negara sedang berkembang. Hanya FAO (Food Agricultural Organization) dan perguruan tinggi di negara maju yang intensif mengembangkan paradigma baru tersebut. Padahal sebenarnya kebutuhan untuk menerapkan prinsip-prinsip kehutanan sosial justru lebih mendesak di negara-negara sedang berkembang. Untuk menutup kesenjangan itu, FAO dengan dibantu oleh lembaga donor internasional serta tenaga pengajar dari negara maju banyak melakukan percobaan-percobaan di negara-negara sedang berkembang.

63

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

4.2 Pokok-pokok pikiran Social Forestry

Untuk strategi kehutanan sosial, yang wacananya baru lahir dalam Kongres Kehutanan Dunia VIII di Jakarta tahun 1978, bentuk konkrit di lapangan hingga awal abad ke-21 ini masih dicari atau diuji-coba. SIMON (1999) mengatakan bahwa strategi kehutanan sosial akan mempunyai dua bentuk pengelolaan, yaitu pengelolaan hutan sebagai penghasil berbagai komoditas ekonomi (forest resource management, FRM) dan pengelolaan hutan yang dititik-beratkan untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup (forest ecosystem management, FEM).

Kedua bentuk pengelolaan hutan menurut strategi kehutanan sosial itu dapat dirancang dengan prosedur perencanaan yang sama, tetapi berbeda dalam merumuskan titik berat manfaatnya. Sesuai dengan kondisi fisik lapangan maupun sosial-ekonomi masyarakat, secara garis besar FRM akan diterapkan pada kawasan hutan produksi menurut kriteria paradigma timber management, sedang FEM akan digunakan untuk mengelola hutan lindung dan suaka margasatwa atau taman nasional.

Berbeda dengan strategi kehutanan konvensional yang terbagi ke dalam dua tahapan perkembangan, yaitu penambangan kayu dan pengelolaan hutan tanaman, maka FRM dan FEM dalam strategi kehutanan sosial merupakan bentuk pengelolaan hutan yang bersifat komplementer.

Social Forestry memang bukan suatu hal yang baru, namun momen peletakan kebijakan baik pada tatanan awal maupun pada tatanan pengembangan sangat menentukan tingkat manfaatnya. Mengalirnya kebijakan pemerintah dengan disampaikannya pesan oleh Presiden Republik Indonesia pada sidang ITTO di Bali pada tanggal 13 Mel 2002, bahwa pada masa 10 sampal 20 tahun kedepan hutan perlu diberi waktu untuk bernapas, yang kemudian dapat kita terjemahkan sebagal era rehabilitasi dan konservasi. Lima kebijakan prioritas sektor kehutanan sebagal langkah konkrit upaya menata kembali pembangunan kehutanan dan menghentikan laju kerusakan hutan.

Langkah menata kembali (restrukturisasi) pembangunan kehutanan merupakan titik start yang tepat untuk mengangkat, mengembangkan, atau memulai kembali pembangunan Social Forestry secara nyata. Menteri Kehutanan pada Rakernas Kehutanan tahun 2002 telah menyatakan bahwa Social Forestry merupakan payung pembangunan kehutanan kedepan. Dalam jangka pendek dan menengah, Social Forestry merupakan pilar penyangga lima kebijakan prioritas kehutanan.

64

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

Kesenjangan sosial dan ekonomi masyarakat semakin nyata setelah krisis ekonomi yang berkelanjutan. Sektor kehutanan mempunyal kemampuan berpartisipasi nyata dalam pemerataan pembangunan yang berkeadilan terutama bagi masyarakat di dalam dan sekitar hutan. Hal ini dapat dilakukan dengan mengajak masyarakat di dalam dan sekitar hutan bangkit merajut ekonomi berbasis kelola kawasan hutan oleh masyarakat. Pada saatnya, kemampuan masyarakat dapat ditingkatkan secara nyata dengan membangun mitra usaha kelola kawasan namun tetap menempatkan masyarakat sebagal pelaku utama.

Social Forestry menempatkan masyarakat didalam dan sekitar hutan sebagai pelaku utama pengelolaan hutan. Masyarakat di dalam dan sekitar hutan dengan kehidupan yang bersentuhan Iangsung dengan hutan, merasakan dampak keberadaan hutan secara Iangsung, balk dalam arti positif maupun negatif. Dengan demikian sangat beralasan menempatkan masyarakat di dalam dan sekitar hutan sebagai mitra utama pengelolaan hutan menuju hutan lestari.

Secara umum Social Forestry merupakan sistem pengelolaan sumberdaya hutan yang dilaksanakan baik pada kawasan hutan negara maupun hutan hak, dengan menempatkan masyarakat setempat sebagai pelaku utama dengan maksud meningkatkan kesejahteraannya dan mewujudkan kelestarian hutan di Iingkungannya. Sasaran antara Social Forestry yaitu (1) membangkitkan kegiatan ekonomi masyarakat didalam dan sekitar hutan, dan (2) mempercepat rehabilitasi hutan dengan menyatukan masyarakat, dunia usaha dan pemerintah.

Sistem pengelolaan hutan dalam Social Forestry meliputi seluruh kegiatan pengelolaan secara komprehensif meliputi menanam, memelihara, dan memanfaatkan. Untuk terlaksananya pengelolaan yang komprehensif perlu penguatan kelembagaan kemitraan antara masyarakat, dunia usaha, dan pemerintah. Disamping kelembagaan kemitraan, penguatan sistem pengelolaan dan sistem usaha berbasis masyarakat sangat menentukan keberhasilan Social Forestry. Kemampuan wirausaha masyarakat merupakan hat yang perlu diperkuat oleh berbagai sektor, yaltu menumbuhkan kemampuan masyarakat sebagai produsen (jangka pendek dapat diisi dengan berbagai komoditi, sedangkan jangka panjang menuju hutan lestari sesuai fungsi hutan).

Kelembagaan Social Forestry merupakan legitimasi terhadap pencadangan kawasan, serta struktur manajemen dan usaha. Secara sangat jelas kebijakan pencadangan kawasan bukanlah untuk merubah status dan fungsi kawasan, dan juga bukan untuk memberikan kepemilikan atas

65

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

kawasan. Pencadangan kawasan untuk pembangunan Social Forestry dapat menjamin dilakukan kegiatan manajemen dan usaha menuju tercapainya sasaran Social Forestry yaitu meningkatkan ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar hutan, dan mewujudkan kelestarian hutan yang kedua-duanya diibaratkan sebagal dua sisi mata uang. Dalam kelembagaan tersebut melekat tugas, tanggung jawab, dan hak masing-masing mitra.

Pengembangan kelembagaan merupakan proses transformasi dan sistem yang ada dan dilakukan secara bertahap sesuai kesepakatan kebijakan pusat, daerah, dan masyarakat. Dengan demiikian Social Forestry merupakan program jangka panjang melengkapi dan memperkuat pengalaman kegiatan pengelolaan hutan dengan masyarakat.

Bentuk kemitraan dengan menempatkan masyarakat di dalam dan sekitar hutan sebagai pelaku utama sekaligus berarti memfungsikan Pemerintah Desa dalam pengelolaan hutan dan ini merupakan perwujudan nyata desentralisasi pengelolaan hutan. Untuk itu dan sebagal konsekuensi reformasi pembangunan, maka dukungan seluruh jajaran pemenintah (pusat, propinsi, kabupaten/kota, dan desa), antar sektor baik di pusat maupun didaerah, dunia usaha, serta para pihak kehutanan lainnya sangat diperlukan.

Strategi pokok Social Forestry yaltu kelola kawasan dan sumberdaya hutan, pengembangan kemitraan, dan pengembangan usaha. Dalam pelaksanaannya, Social Forestry dapat diintegrasikan dengan program nasional strategis lainnya seperti ketahanan pangan, ketenagakerjaan, peningkatan pendidikan masyarakat dan pemuda, peningkatan kemampuan usaha berbasis masyarakat dan sebagainya.

4.3. Penerapan Pengelolaan Hutan dengan Strategi Social Forestry

4.3.1 Joint Forest Management (JFM)

JFM diciptakan oleh Prof ROY dari West Bengal, India, tahun 1989. Sepanjang masa penjajahan Inggeris, pengelolaan hutan negara di India penuh dengan konflik antara penguasa dengan rakyat. Begitu besarnya konflik tersebut, sampai terjadi beberapa kali pemberontakan kelompok rakyat, yaitu antara lain di Chuar (1799-1800), Bhunij (1832-1833), dan Santal (1835), West Bengal, kemudian pemberontakan Muda (1900) di Bihar dan pemberontakan Gond (1910) di Madya Pradesh (HERU ISWANTORO, 2001). Setelah kemerdekaan, konflik tersebut sedikit menjadi reda, tetapi kerusakan hutan malah meningkat.

66

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

Dalam masa kolonial sebenarnya telah dikeluarkan Undang-undang Kehutanan untuk mengatur pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya hutan bagi pembangunan. Undang-undang tersebut pertama kali diumumkan pada tahun 1865, kemudian diganti pada tahun 1878, dan akhirnya disempurnakan lagi pada tahun 1927. Pada tahun 1894, pemerintah kolonial menyusun Kebijakan Kehutanan, sebagai aplikasi Undang-undang Kehutanan yang telah dikeluarkan tadi.

Setelah merdeka pada tahun 1947, pemerintah India tidak pernah membuat Undang-undang Kehutanan yang baru, melainkan hanya merubah Kebijakan Kehutanan Nasional, yaitu pada tahun 1952. Selama pemerintah kolonial itu telah dapat dipetakan kawasan hutan di Seluruh India seluas 78 juta hektar, dimana 92% dari kawasan tersebut dikontrol oleh negara, 5% oleh masyarakat, dan 2% sisanya dikuasai oleh perorangan.

Seperti trend kehutanan di dunia pada waktu itu, hutan negara dikelola dengan paradigma timber management yang titik beratnya untuk menghasilkan kayu bagi pemenuhan kepentingan industri kereta api, perkapalan dan pertahanan (PALIT 1993, dalam HERU ISWANTORO 2001).

Untuk memperbaharui Kebijakan Kehutanan tahun 1952, pada tahun 1988 dibuat revisi, setelah sebelumnya pada tahun 1976 juga diadakan beberapa perubahan untuk disesuaikan dengan kepentingan sektor lain, khususnya pertanian (Komisi Nasional tentang Pertanian tahun 1976). Akan tetapi Kebijakan Kehutanan tahun 1988 tersebut ternyata tidak mampu mengakomodasikan kepentingan kelompok masyarakat yang semakin miskin, khususnya yang tinggal di sekitar hutan. Di lain pihak, kerusakan hutan terus bertambah, sedang konflik antara masyarakat dengan pengelola hutan semakin tajam (seperti yang terjadi di Jawa). Di sini rasanya terdapat kesenjangan yang besar antara rakyat dengan kehutanan dan para pengelolanya.

Untuk mengisi atau menyambung kesenjangan tersebut, Prof ROY dari Indian Institute of Technology, West Bengal, melansir hasil rekayasanya yang kemudian terkenal dengan nama Joint Forest Management (JFM). Prinsip-prinsip dasar JFM adalah sebagaui berikut (HERU ISWANTORO, 2001):

1. Hutan negara dikelola oleh masyarakat desa, bejkerja-sama dengan Departemen Kehutanan tingkat Negara Bagian.

2. Masyarakat desa hutan tidak diberi hak memiliki atau hak menyewakan kawasan hutan.

3. Masyarakat pengelola hutan diberi hak penuh untuk memperoleh hasil hutan non-kayu; untuk hasil kayu masyarakat pengelola

67

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

memperoleh bagian dari hasil tebangan akhir. Bagian tersebut bervariasi antara Negara Bagian, yaitu berkisar antara 10-60% (di West Bengal 25%).

4. Masyarakat bersama Departemen Kehutanan membuat “Rencana Mikro” untuk pedoman melaksanakan pengelolaan hutan. Dalam hirarkhi perencanaan pembangunan hutan, Rencana Mikro sama dengan Rencana Operasional untuk tingkat distrik (satuan managemen hutan).

5. Agar terjadi keterbukaan dan keadilan, LSM diperkenankan menjadi penghubung antara masyarakat dengan Departemen Kehutanan.

Pada tahun 1989 pemerintah Negara Bagian West Bengal telah menerima konsep JFM tersebut dan memerintah jajaran Departemen Kehutanan untuk melaksanakannya. Bahkan perintah tersebut diikuti oleh Departemen Kehutanan Nasioanl agar JFM dilaksanakan di seluruh India tahun 1990. Namun demikian, pelaksanaanya hingga kini masih belum seperti yang diharapkan karena adanya beberapa kendala. Sampai dengan tahun 2000 JFM telah dilaksanakan di 23 Negara Bagian yang meliputi kawasan hutan seluas 11 juta hektar (di India ada 36 Negara Bagian).

Ide dasar JFM di atas oleh pencetusnya dilengkapi dengan beberapa piranti pengelolaan (management instruments) agar di lapangan dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan. Setelah ada kesepakatan bersama antara masyarakat desa dengan Departemen Kehutanan yang diwakili oleh Division Forest Officer, lalu dibentuk kelompok kerja yang dinamakan FPC (Forest Protection Committee). Seluruh anggota masyarakat yang terlibat dalam JFM menjadi anggota FPC, yang jumlah pengurusnya bervariasi antara 9-13 orang.

Di West Bengal jumlah pengurus FPC ada 9 orang, terdiri atas 6 orang masyarakat desa, satu orang dari Departemen Kehutanan (biasanya Beat Officer, yaitu pejabat setingkat KRPH di Indonesia), satu orang dari pemerintah desa (Gam Panchayat), dan satu orang dari pemerintah kecamatan (Panchayat Samiti). FPC inilah yang kemudian bertugas untuk menyusun Rencana Mikro.

JFM mendorong terjadinya kerjasama atau terbentuknya persatuan antara masyarakat dengan pengelola hutan yang selama sekian puluh tahun selalu bermusuhan (sama dengan di Jawa). Di samping itu JFM juga membuka kemungkinan masyarakat dapat memperoleh hasil dari kawasan hutan, yang sangat berharga dan dibutuhkan bagi kepentingan hidupnya. Dengan demikian diharapkan kerusakan hutan dapat diatasi dan sebaliknya kelestarian hutan dapat diwujudkan.

68

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

Akan tetapi, walaupun hanya satu orang dalam kepengurusan, pejabat kehutanan yang diwakili oleh Beat Officer itu selalu mendominasi semua kegiatan FPC. Dalam kenyataan, kegiatan FPC lebih banyak dikendalikan oleh Beat Officer dan Forest Guards. Keberhasilan JFM sangat bergantung sampai seberapa jauh masyarakat dapat ikut memainkan perannya dalam menyusun Rencana Mirko dan pelaksanaan pengelolaan di lapangan. Sebegitu jauh, berdasarkan hasil beberapa penelitian, para pejabat kehutanan ternyata tidak banyak membantu kepentingan masyarakat.

Bahkan antara masyarakat dengan pejabat kehutanan masih sering berbeda persepsi tentang tujuan JFM sehingga kebersamaan yang dicita-citakan seringkali hanya terpatri pada dataran wacana atau slogan saja. Lagi pula, hampir semua kawasan hutan yang telah dikelola dengan JFM seluas 11 juta hektar itu berupa lahan kosong, dan Depertemen Kehutanan belum rela atau belum ikhlas untuk melepas pengelolaan kawasan hutan yang produktif karena akan kehilangan sebagian uang dari hasil tebangan akhir.

Nampaknya sikap Beat Officer ini representatif untuk sikap pejabat kehutanan di negara-negara sedang berkembang. Sikap pejabat kehutanan seperti itu merupakan hambatan besar untuk melaksanakan strategi kehutanan social yang justru penting untuk kehutanan di negara belum maju itu.

4.3.2 Model Forest di Kanada

Menyikapi perkembangan persaingan pengelolaan hutan dengan pengelolaan lahan lainnya, pada tahun 1991 Kanada mengumumkan sebuah terobosan baru tentang pengelolaan hutan berbasis kepentingan masyarakat luas. Pendekatan pengelolaan hutan tersebut dinamakan model forest, yang lahirnya didorong oleh dua pandangan atau pertimbangan, yaitu:

1. Adanya persaingan untuk memenuhi kebutuhan dan nilai-nilai sosial, sementara and the ketersediaan sumber daya semakin terbatas. Tumbuhnya kebutuhan dengan kemampuan bumi untuk memenuhi kebutuhan tersebut semakin tidak seimbang.

2. Di sektor kehutanan lahir pendekatan baru yang inovatif untuk mengatasi masalah tersebut, agar hutan tetap lestari.

Dalam pertemuan UNCED di Rio de Janeiro tahun 1992 delegasi Kanada mengumumkan pembentukan Jaringan Model Forest International (International Model Forest Network, IMFN) untuk mendorong gerakan yang sama dalam membangun hutan. Dalam aplikasi di setiap negara, disadari oleh

69

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

pencetus ide bahwa meskipun seluruh model forest secara umum mempunyai struktur organisasi, tujuan dan sasaran yang sama, di setiap daerah akan berkembang model yang sesuai dengan kekhasan atau spesifikasi keadaan lokal, regional maupun nasional.

Ciri-ciri utama model forest dapat disebutkan sebagai berikut:

1. Suatu pekerjaan atau kegiatan yang berbasis lahan, dimana hutan merupakan salah satu sumber daya atau nilai utamanya.

2. Salah satu persyaratannya, wilayah model forest harus cukup luas agar mampu mencakup berbagai pengaruh atau keperluan lingkungan sosial-ekonomi (di Kanada minimum 100.000 ha).

3. Model forest harus mampu mengembangkan paket-paket proyek terpadu yang dapat menghasilkan kesimpulan yang lebih baik bagi upaya pengelolaan hutan lestari.

4. Model forest merupakan suatu kemitraan suka-rela antar berbagai pihak yang mempunyai kepentingan dengan pengelolaan hutan lestari. Oleh karena itu anggota organisasi dan kemitraannya mencakup aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan yang ada di dalam basis lahan tersebut.

Kemitraan model forest bekerja untuk mengidentifikasi, mengembangkan dan menerapkan opsi-opsi pengelolaan sumber daya hutan yang inovatif untuk wilayah yang bersangkutan. Ciri khas model forest terletak pada inisiatif berbagai fihak di tingkat operasional untuk menangani bersama suatu masalah yang timbul dari kegiatan pengelolaan hutan. Ciri khas tersebut dapat dilihat adanya lima macam atribut inti model forest, yaitu:

1. Kemitraan: melibatkan semua pengguna lahan kunci dan stakehoders di wilayah model forest (industri, kelompok masyarakat, lembaga pemerintah, LSM, lembaga pendidikan, taman nasional, kelompok penduduk asli, pemilik lahan perorangan, dan lain-lain). Tugas kemitraan untuk mengidentifikasi sasaran, menentukan prioritas, mengembangkan pedoman kebijakan untuk seluruh program.

2. Mempunyai komitmen terhadap pengelolaan hutan lestari: diterapkan dan didemonstrasikan praktek dan teknik-teknik kehutanan yang dapat diterima masyarakat dan layak secara ekonomi. Seluruh tujuan dan program kegiatan didasarkan atas pendekatan ekosistem untuk mencapai pengelolaan hutan lestari.

3. Ruang lingkup kegiatan: mencerminkan realitas dan kebutuhan masyarakat, baik pada tingkat lokal maupun nasional. Kegiatan tersebut juga harus mendukung peningkatan pengetahuan dan pendekatan baru dalam mencapai pengelolaan hutan lestari.

70

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

4. Struktur organisasi: proses pengelolaan dilakukan melalui cara partisipasi dan transparan. Struktur organisasinya merefleksikan realitas-realitas budaya, sosial, politik dan ekonomi di wilayah yang bersangkutan. Struktur organisasi akan mendukung pengembangan konsensus antar anggota atau peserta.

5. Kerjasama, berbagi dan membangun kapasitas: baik pada tingkat lokal, regional, nasional maupun global.

Di Kanada model forest mulai dilaksanakan pada tahun 1992. Sejak model tersebut dilansir, ahli dan peneliti dari berbagai disiplin telah merespon secara positif sehingga banyak sekali penelitian yang dilakukan untuk menguji dan memperkaya persiapan pelaksanaannya di lapangan. Bidang-bidang yang mendapat perhatian dalam penelitian itu adalah biodiversitas dan lingkungan hidup, teknik-teknik kehutanan, inventore hutan, kebijakan sistem-sistem pendukung, partisipasi masyarakat, aspek sosial ekonomi, serta kehidupan satwa.

Sampai dengan tahun 2000 model forest telah dilaksanakan di 11 Negara Bagian. Berdasarkan hasil-hasil penelitian tersebut maka bentuk pelaksanaan model forest dirumuskan, yang seperti telah dikatakan di muka ada perbedaan antara Negara Bagian untuk disesuaikan dengan keadaan lokal maupun regional. Secara garis besar, spesifikasi model forest di masing-masing Negara Bagian dapat dikemukakan sebagai berikut:

4.3.2.1 Model Forest di Long Beach: Community capacity building

Di Long Beach, persiapan model forest dimulai dari pertemuan fihak-fihak yang akan menjadi parner kerja. Sebelumnya berbagai fihak pernah terlibat dalam sengketa tentang penebangan hutan dengan sistem tebang habis di daerah Clayoquot Sound. Parner kerja yang datang dan kemudian menjadi anggota model forest di Long Beach itu adalah tujuah kelompok masyarakat yang ada di wilayah yang bersangkutan, kelompok lingkungan hidup, perusahaan pembalakan kayu MacMilan Bloedel, dan Taman Nasional Pacific Rim. Pertemuan pertama merumuskan tujuan umum yang akan dicapai oleh model forest. Luas wilayah yang ditetapkan untuk membangun model forest di Long Beach ini adalah 400.000 ha, meliputi hutan hujan temperit (temperate rainforest) di pulau Vancouver, serta Taman Nasional Pacific Rim dan Clayoquot Sound. Model forest juga memutuskan untuk menyampaikan informasi tentang sumber daya hutan yang ada kepada rakyat lokal seperti halnya kepada pengelola dan perusahaan hutan.

Untuk itu lalu dibangun jaringan GIS (Geographic Information System)

71

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

kepada komunitas setempat, yaitu Hesquiaht, Ahousaht, Tla-o-qui-aht, Toquaht dan Uduelet, dan juga kepada anggota yang lain. Oleh karena itu model forest melakukan pelatihan kepada masyarakat lokal untuk dapat menggunakan jaringan GIS tersebut.

4.3.2.2 Model Forest McGregor: Scenario Planning

Luas wilayah yang ditetapkan untuk model forest ini 181.000 ha, tertutup oleh hutan boreal-montane-subalpine, yang terletak di tengah-tengah Negara Bagian British Columbia. Hutan di daerah ini dikelola oleh perusahaan Northwoods Inc, yang secara tradisional membuat perencanaan konvensional seperti layaknya perncanaan untuk paradigma timber management. Perencanaan konvensional itu hanya disusun oleh beberapa rimbawan, dan hasilnya hanya diketahui serta untuk kepentingan perusahaan. Bentuk perencanaan seperti itu kurang peduli dengan kemungkinan akan timbulnya konflik dengan fihak lain, atau fihak lain harus menyesuaikan diri dengan rencana yang telah disusun perusahaan.

Anggota penting yang turut ambil bagian dalam McGregor model forest ini adalah perusahaan McGregor, Departemen Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup, dan Departemen Perikanan dan Kelautan. Pada langkah awal, lembaga-lembaga pemerintah Negara Bagian tersebut merancang tujuh skenario rancangan yang diproyeksikan untuk jangka waktu 300 tahun.

Setiap skenario dititik-beratkan pada beberapa macam tujuan pengelolaan, yaitu untuk menghasilkan kayu, rekreasi, satwa liar, atau perikanan. Semua rancangan dalam scenario itu menggunakan model komputer untuk memasukkan nilai-nilai yang menjadi kepentingan stakeholders lain. Hasil rancangan dari setiap skenario dilihat bersama dalam satu meja, termasuk stakeholders lain di luar lembaga pemerintah tadi.

Dengan demikian semua pihak akan mengetahui apakah kepentingannya telah diakomodasikan secara proporsional atau belum, termasuk keuntungan-keuntungan yang akan diperoleh. Di samping itu semua pihak juga dapat menyampaikan usulan-usulan sesuai dengan keinginannya.

Berdasarkan pendapat-pendapat dari semua fihak itu selanjutnya perusahaan McGregor akan menyusun rencana kerja bagi perusahaannya. Dengan demikian jelas bahwa perusahaan McGregor telah memilih pendekatan perencanaan baru yang sangat berbeda dengan sistem perencanaan konvensional. Jadi model forest McGregor ini menitik-beratkan pada pendekatan perencanaan baru yang telah memperhitungkan banyak kepentingan di wilayah kerjanya.

72

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

4.3.2.3 Foothills Model Forest: Mimicking Natural Disturbance

Wilayah model forest ini sangat luas, yaitu 2,75 juta hektar, hutan rendah dan pegunungan foothills-montane-subalpine dataran di bagian barat Negara Bagian Alberta. Di wilayah tersebut juga terdapat Jasper National Park. Salah satu spesies yang dilindungi di Taman Nasional itu adalah beruang Grizzly.

Oleh ilmuwan beruang Grizzly diyakini sebagai spesies satwa yang penting dari sudut pandang ekologi, ekonomi maupun sosial. Sedangkan oleh ahli biologi beruang Grizzly dianggap sebagai spesies payung (unbrella species), yaitu memerlukan kawasan yang luas untuk hidupnya sehingga akan menjadi habitat umum untuk kehidupan banyak spesies lainnya.

Dengan melindungi suatu spesies payung maka kebutuhan ekologi untuk banyak spesies lainnya juga akan tercakup. Di samping itu beruang Grizzly juga berperanan sebagai indikator mengenai integritas serta kesehatan proses ekosistem dan populasi satwa yang lain. Beruang Grizzly dan spesies lainnya tersebut merupakan masalah sosial yang penting untuk masyarakat Kanada maupun dunia internasional. Beruang Grizzly merupakan simbol wilderness dan oleh karena itu sesuatu yang amat penting bagi masyarakat yang memikirkan sumber daya alam maupun warisan kepentingan nasional.

Selama beberapa dasawarsa terakhir kawasan Foothills Model Forest itu sering terganggu oleh kebakaran, bencana angin, banjir, serta serangan hama dan penyakit. Di wilayah yang luas tersebut, terdapat satwa sebanyak 284 spesies. Aktivitas pembalakan dan bencana alam dikhawatirkan akan menurunkan kualitas lingkungan hidup binatang-binatang tersebut.

Untuk mengawali kegiatan model forest, pada tahun 1992 perusahaan Weldwood of Canada Limited mulai melakukan penelitian untuk menjamin bahwa teknik pembalakan dan permudaan hutan yang dipraktekkan tidak mengganggu kehidupan semua satwa yang ada. Dalam kegiatan penelitian itu, perusahaan perkayuan tersebut bekerjasama dengan semua anggota model forest yang tertarik dengan kepentingan kelestarian hutan dan satwa liar, maupun kepentingan ekonomi dari sumber daya alam yang tersedia. Untuk tahap awal hasil penelitian dapat menemukan teknik kehutanan yang dapat mendorong perkembangan populasi 35 macam satwa. Selanjutnya model forest dengan semua mitra kerjanya akan berusaha untuk mengembangkan habitat yang mendorong perkembangan seluruh 284 macam spesies tersebut.

73

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

4.3.2.4 Prince Albert Model Forest: Wapus Lake Elk Re-establishment Project

Di wilayah kerja model forest seluas 360.000 ha yang terletak di Negara Bagian Saskatchewan ini terdapat satwa elk yang terancam punah. Pada dekade 1930-an populasi elk di daerah tersebut masih sangat banyak, tetapi menurun pada awal tahun 1940-an karena epidemi. Penurunan populasi elk berlanjut ketika pada dekade 1960-an dilakukan penebangan hutan di daerah tersebut, dan dampaknya luar biasa, yaitu pada tahun 1975 sudah tidak ada lagi elk di kawasan itu. Oleh karena itu Prince Albert Model Forest berusaha untuk mengembalikan kehdiupan elk di wilayah itu.

Di Elk Island National Park Negara Bagian Alberta populasi elk malah berlebih karena di sana tidak ada predator. Oleh karena itu pada tahun 1999 dimasukkan 276 ekor elk ke kawasan di sekitar telaga Wapus. Selanjutnya dibuat rencana untuk memasukan 600-1.200 ekor lagi dalam program kerja lima tahun, yang menjadi tanggung-jawab semua anggota model forest. Untuk mensukseskan program itu, tentu saja upaya-upaya telah dilakukan dalam mengurangi dampak penebangan hutan terhadap mernurunnya populasi elk melalui penelitian.

4.3.2.5 Manitoba Model Forest: Protecting Woodland Caribou

Wilayah yang ditetapkan untuk Manitoba Model Forest ini luas seluruhnya ada 1,05 juta hektar di Negara Bagian Manitoba. Hutan di antara danau Manitoba dan danau Winnipeg ini adalah tipe boreal-montane-subalpine, yang didominasi oleh jenis konifer. Pada pertengahan dekade 1980-an, sebuah perusahaan pabrik kertas bernama The Pine Falls Paper Company akan memanen kayu dari hutan yang menjadi tempat tinggal sejenis rusa yang disebut woodland caribou. Kehidupan binatang ini peka terhadap kerusakan habitat sehingga kegiataan penebangan kayu oleh perusahan kertas tersebut ditentang oleh Departemen Sumber Daya Alam dan Lingkungan Provinsi serta kelompok pecinta lingkungan seperti TREE (Time to Respect the Earth's Ecosystem), yang mengkhawatirkan dampak negatif penebangan kayu terhadap kehidupan binatang tersebut.

Sebenarnya perusahaan berbasis kayu tersebut telah berusaha agar operasinya tidak menggangu kehidupan woodland caribou, namun kelompok-kelompok pencinta lingkungan menganggap bahwa data yang disajikan tidak cukup sehingga program pengamanannya kurang meyakinkan untuk mengakomodasikan pengelolaan terpadu antara kehutanan dengan binatang tadi. Dengan bantuan model forest, maka dua proyek dilansir untuk menambah pengetahuan tentang kehidupan woodland caribou itu.

74

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

Pertama, dibentuk kemitraan antara perusahaan kertas dengan Departemen Sumber Daya Alam Manitoba serta beberapa LSM lingkungan hidup, dengan bantuan lembaga konsultan, untuk menganalisis data yang telah tersedia dan merumuskan strategi berkenaan dengan pelaksanaan pengelolaan hutan di areal yang menjadi tempat tinggal woodland caribou itu.

Sementara proyek yang pertama itu berjalan, kemitraan lain juga dibentuk, yaitu antara Manitoba Hydro, Manitoba Natrual Resource, LOTEK Engineering, TAEM Consultants dan Manitoba Model Forest. Kemitraan yang kedua ini bertugas menguji suatu sanimal-borne positioning system (GPS) sebagai cara untuk memonitor pergerakan caribou dan habitat yang diperlukan.

Dari kedua kegiatan itu dapat disusun managemen pembangunan terpadu tentang Kehutanan-Woodland Caribou yang diperlukan oleh berbagai fihak di wilayah model forest itu. Hasilnya menunjukkan dengan jelas bahwa ternyata caribou pada umumnya justru menggunakan areal bekas tebangan, tetapi belum diketahui dengan pasti alasannya. Hasil temuan ini digunakan oleh perusahaan kertas tersebut untuk membuat percobaan rencana tebangan kayu yang paling baik bagi kepentingan perpindahan atau pergerakan caribou dari waktu ke waktu.

Hasil percobaan ini selanjutnya akan digunakan untuk menyusun rencana tebangan yang dapat disetujui oleh semua anggota model forest. Proyek GPS telah berakhir tahun 1999, tetapi mitra model forest masih terus melanjutkan fungsinya sebagai badan penasehat untuk kepentingan strategi pengelolaan terpadu.

4.3.2.6 Lake Abitibi Model Farest: Harvesting with Regeneration Protection

Luas wilayah model forest ini mencapai 1,1 juta hektar, berupa hutan boreal di Negara Bagian Ontario timur laut. Di daerah ini beroperasi perusahaan Abitibi-Consolidated Inc. yang menebang hutan dengan sistem tebang habis. Jenis-jenis pohon yang ditebang dari hutan boreal itu adalah black spruce, jack pine dan aspen. Perusahaan hutan tersebut ingin memperbaiki teknik pembalakan yang dapat mengurangi kerusakan lingkungan, mengurangi biaya dan memperpendek jangka waktu permudaan. Untuk itu perusahan tadi bekerja sama dengan seluruh mitra model forest, dengan titik berat untuk menciptakan teknik pembalakan yang economically feasible dan sekaligus environmentally friendly. Salah satu kegiatan model forest adalah melakukan penelitian oleh penliti dari perusahaan sendiri,

75

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

bekerjasama dengan peneliti dari Dinas Kehutanan Kanada dan Universitas Laurentian. Salah satu perhatian ditujukan untuk mempelajari kembali pembalakan yang menggunakan kuda, yang pernah dilakukan pada tahun 1915-18.

Ternyata teknik konvensional tersebut dapat mempercepat permudaan kembali dibanding dengan sistem tebang habis karena anakan yang tumbuh di bawah tegakan dapat berkembang dengan baik. Dalam sistem tebang habis, permudaan dimulai dari biji yang disebar setelah kegiatan pembalakan selessai, masih memerlukan waktu untuk mempersiapkan lahan tanaman.

Hasil penelitian merumuskan apa yang dinamakan Harvesting with Regeneration Protection system, disingkat HARP. Dalam sistem ini penebangan dilakukan secara selektif untuk memungut pohon-pohon yang masak tebang, dan kerusakan pohon tinggal harus dihindari sampai sekecil mungkin. Di samping itu biaya permudaan juga dapat ditekan banyak sekali karena ternyata permudaan alam dapat memberikan hasil yang sangat memuaskan.

4.3.2.7 Eastern Ontario Model Forest: Response to the Ice Storm

Bulan Januari tahun 1998 terjadi badai es yang melanda dan merusak hutan rakyat di bagian timur Ontario. Daerah ini 90% wilayah hutannya merupakan hutan milik (private forest). Sebagian besar pemilik hutan rakyat itu bergantung pada produksi maple syrup. Karena kerusakan itu, pemilik hutan rakyat tersebut kehilangan pendapatan antara 19-80 persen. Oleh karena itu sekitar 2.500 pemilik hutan memerlukan bantuan keuangan untuk merehabilitir hutan yang rusak itu, terutama yang mengalami kerusakan berat.

Setelah terjadi badai es tersebut, banyak pihak yang menderita karenanya lalu bergabung dalam kemitraan untuk mengatasi masalah yang mereka hadapi bersama, biarpun tingkat kerusakan yang dihadapi berbeda-beda. Mereka itu adalah rakyat penghasil sirup maple, pemilik hutan rakyat, pengembang pohon Christmas, pemilik industri pulp dan kertas, Kementerian Sumber Daya Alam Ontario, dan lain-lain. Mereka bergabung untuk mebentuk model forest, dengan tujuan untuk menyusun rencana kerja bersama. Besarnya kerusakan akibat badai es ditaksir, dengan mengkombinasikan metoda penaksiran lokal dan metoda yang biasa dilakukan oleh Kementerian Sumber Daya Alam Ontario dan Jawatan Kehutanan Kanada. Model forest ini meliputi luas wilayah 1,53 juta hektar, sebagian besar tertutup oleh hutan campur (tidak satu jenis).

76

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

4.3.2.8 Waswanipi Cree Model Forest: Traplaine Pilot Project

Kekhususan model forest yang dibentuk pada tahun 1997 ini karena pelakunya berintikan pada kepemimpinan penduduk Aborigin. Tujuannya adalah untuk menawarkan sistem pengelolaan hutan yang mampu menjamin terwujudnya kelestarian hutan bagi seluruh pengguna hutan yang ada. Sistem pengelolaan hutan ini disusun oleh rimbawan dengan memperhatikan kepentingan masyarakat luas secara proporsional. Hal ini sangat mirip dengan makna perencanaan artikulatif yang dicetuskan oleh SIMON pada tahun 1991.

Waswanipi Cree First Nation mengelola hutan boreal seluas 35.000 km2, yang dilakukan dengan cara yang disebut uchimows. Di dalam sistem ini ada bos lahan yang bertanggung-jawab untuk mengawasi pelaksanaan perburuan satwa, perladangan, dan secara keseluruhan apa saja yang sedang terjadi. Untuk maksud tersebut, dibuat 52 trapline, dengan ukuran bervariasi antara 500 sampai 700 km2. Trapline merupakan inisiatif untuk mengembangkan dan mengartikulasikan visi Cree dan basis lahannya, yang ditujukan untuk menawarkan solusi manajemen yang mampu menjamin pembangunan berkelanjutan untuk semua sumber daya dan semua pengguna hutan.

Pemerintah Negara Bagian Quebec telah mengeluarkan lisensi pengelolaan hasil kayu kepada sembilan perusahaan hutan, dengan linsensi milik masyarakat Mishtuk Corporation untuk menggarap hutan seluas 209.600 ha. Penebangan hutan akhir-akhir ini telah mengancam kehidupan masyarakat Cree. Hampir separoh penduduk di daerah itu bergantung kepada pendapatan dari hutan. Generasi muda Cree masih bermaksud untuk melanjutkan tradisi hidup nenek moyang mereka dengan memanfaatkan sumber daya alam yang diwariskan.

Uji coba trapline tersebut dipusatkan pada tiga lokasi, yaitu satu trapline di perusahaan penebangan kayu Domstar, yang kedua di atas lahan yang menjadi hak empat perusahaan, dan satu lagi di wilayah milik perusahaan kayu Donohue. Semua mitra industri setuju memberi bantuan kepada Waswanipi Cree Model Forest untuk menyusun rencana pengelolaan trapline sampai akhir tahun 1999. Rencana pengembangan Cree dan rencana-rencana perusahaan kayu digabung untuk mengendalikan peranan ekonomi hasil non-kayu dan manfaat sosial secara lestari dan harmonis, baik untuk generasi sekarang maupun generasi yang akan datang. Oleh karena itu semua anggota Model Forest ini harus mempunyai bekal ilmu kehutanan yang cukup untuk menyelesaikan tugas yang dihadapi masing-masing.

77

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

4.3.2.9 Bas-Saint-Laurent Model Forest: Forest Tenant Farming

Di pedalaman Negara Bagian Quebec masih ada peninggalan nilai-nilai lama pengelolaan hutan dari Perancis yang dinamakan metayage. Di daerah tersebut para tuan tanah pemilik hutan (seigneurs) menyewakan sebagian hutannya kepada petani pengelola (metayers) dengan perjanjian rente yang lebih menguntungkan seigneurs. Para metayers pada umumnya tetap miskin, dan daerah dengan hutan yang dikelola dengan sistem tersebut selalu timbul kesan “daerah yang kaya sumber daya hutan tetapi miskin lapangan pekerjaan.”

Karena adanya pembagian keuntungan yang kurang seimbang, maka tentu saja pengelolaan hutan dengan sistem itu rawan konflik sehingga membahayakan asas kelestarian. Model forest mencoba untuk mengajak 25 petani kecil atau metayers bekerjasama dengan Abitibi-Consolidated Inc. sebagai mitra; luas areal hutan yang digarap sekitar 1.000 ha. Areal model forest seluruhnya di daerah ini ada 113.100 ha, terletak di bagian timur Negara Bagian Quebec, termasuk yang telah dikelola oleh Abitibi-Consolidated Inc. Untuk tahap pertama disusun rencana kerja 10 tahun (1989-99), lalu diperpanjang untuk 5 tahun berikutnya. Rencana tersebut disusun bersama antara kedua belah fihak, dengan dibantu oleh lembaga-lembaga pemerintah, perguruan tinggi dan LSM.

Hasil kerjasama saling menguntungkan antara metayers dengan perusahaan kertas tersebut menunjukkan bahwa metayers mampu meningkatkan taraf hidupnya dengan menjual kayu, sementara kondisi hutan menjadi lebih baik dan produktifitasnya (m3/ha/tahun) meningkat. Di dalam perjanjian juga disebutkan bahwa kelak para metayers akan menerima royalty untuk tiap kubik penjualan kayunya kepada perusahaan. Di samping itu dibentuk koperasi metayers untuk melakukan pengelolaan secara kolektif terhadap satwa liar, yang dikemas bagi kegiatan berburu, menangkap ikan dan rekreasi di seluruh wilayah model forest, yang tentu saja dapat menghasilkan tambahan pendapatan yang tidak sedikit.

4.3.2.10 Fundy Model Forest: Hayward Brook Watershed Study

Luas areal yang ditetapkan untuk Fundy Model Forest (FMF) adalah 419.300 ha, terletak di wilayah selatan Negara Bagian Brunswick, pantai timur Kanada. Di dalam areal tersebut termasuk pula Taman Nasional Fundy (Fundy National Park). Pembentukan FMF bermula dari pertanyaan: bagaimana pengaruh kerusakan hutan di areal tersebut terhadap kehidupan satwa, karena adanya penurunan kualitas air akibat kegiatan penebangan kayu yang dilakukan oleh perusahaan perkayuan J.D. Irving Limited.

78

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, FMF membuat program penelitian selama lima tahun di kawasan Hayward Brook Watershed yang dikerjakan oleh banyak mitra. Dalam penelitian itu perusahaan J.D. Irving Limited menyediakan kawasan hutan rakyat seluas 30 km2 di kawasan DAS tersebut. Proyek penelitian tadi bersifat multi-years dan multi-disciplinary dengan melibatkan Jawatan Lingkungan Hidup Kanada, Universitas de Moncton, Universitas Brunswick, dan perusahaan J.D Irving Limited. Tujuan penelitian adalah untuk menguji efektifitas berbagai macam lebar buffer zone yang dibuat untuk melindungi satwa liar serta kualitas air, sebagai dampak dari berbagai kegiatan pengelolaan hutan di wilayah DAS itu. Tujuan lain adalah menguji dampak tebang pilih pada jalur-jalur penyangga serta respons pertumbuhan vegetasi di kawasan tebang habis. Secara tradisional perusahaan J.D. Irving Limited memang menggunakan teknik silvikultur tebang habis dengan permudaan buatan.

Analisis data dari hasil penelitian masih berlangsung, namun hasil sementara menunjukkan bahwa pembuatan jalan logging menimbulkan dampak paling besar terhadap kualitas air dan perubahan habitat satwa. Oleh karena itu kedua issues tersebut merupakan salah satu topik dalam video pendidikan yang diterbitkan oleh FMF dengan judul: Forestry Best Management Practices and Water Quality. Video tersebut meperlihatkan bagaimana pelaksanaan kegiatan di tempat-tempat sekitar sumber air agar tetap dapat menjaga integritas ekologi dan ekosistem di sekitarnya.

4.3.2.11 Western Newfoundland Model Forest: Pine Marten

Newfoundland adalah pulau di Negara Bagian Newfounland, terletak di Lautan Atlantik, berhadapan dengan Greenland di timur laut, yang dibatasi oleh selat Davis. Wilayah model forest yang ditetapkan seluas 923.000 ha, di pantai barat pulau tersebut, tertutup oleh hutan boreal. Di pulau ini juga terdapat sebuah Taman Nasional Gros Morne. Di wilayah model forest ini hidup biatang karnifor yang terancam punah, yaitu pine marten. Pada tahun 1986 jumlah populasi pine marten itu masih tercatat 900 ekor, dan turun drastis menjadi tinggal kurang dari 400 ekor pada pertengahan dekade 1990-an. Penyebab utama turunnya populasi marten tersebut adalah operasi logging oleh perusahaan Corner Brook Pulp and Paper Ltd.

Pada tahun 1982 Departemen Lingkungan Hidup minta agar perusahaan itu melakukan studi untuk mengetahui dampak pembalakan yang dilakukan terhadap kehidupan marten. Akan tetapi apa yang dilakukan perusahaan tidak pernah memuaskan lembaga pemerintah tadi, sehingga timbul konflik antara keduanya. Di tengah-tengah terjadinya konflik tersebut,

79

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

muncul usulan untuk menetapkan kawasan reservasi untuk binatang pengerat tadi. Namun yang timbul adalah pro dan kontra. Nilai ekonomi yang ada di pulau besar itu sudah jelas; perusahaan Corner Brook telah memperoleh lisensi untuk menebang satu juta meter kubik kayu, perusahaan perkayuan lainnya, Atibiti-Consolidate Inc. mempunyai jatah sebanyak 200.000 m3, sedang Departemen Pertambangan dan Energy kehilangan kesempatan untuk memanfaatkan tambang emas dan logam dasar di daerah tersebut. Jadi sebenarnya ini merupakan pro-kontra klasik tentang pemanfaatan sumber daya hutan, yaitu manfaat ekonomi dan manfaat perlindungan lingkungan serta kelestarian plasma nutfah.

Untuk memecahkan masalah tersebut, semua fihak yang berkepentingan sepakat untuk memecahkannya melalui pendekatan model forest. Sampai tahun 1999, jawaban dari pemerintah provinsi tentang model forest itu belum turun, sehingga laporan kegiatan berikutnya belum diperoleh. 4.3.3 Pengelolaan Hutan Jati Optimal (PHJO)

Sejak selesai Perang Dunia II, kawasan hutan di negara-negara sedang berkembang, termasuk Indonesia, banyak yang mengalami kerusakan. Hutan tanaman jati di Jawa yang bagus warisan Djatibedrijfs juga ditimpa nasib yang sama, khususnya mulai awal dekade 1960-an. Akan tetapi sejak akhir dekade 1970-an, perhatian pejabat Kehutanan Indonesia lebih banyak terpaling ke luar Jawa yang jauh lebih luas dan sedang dilanda demam HPH. Rimbawan Indonesia terpesona dengan alat-alat berat dan jutaan dollar yang mengalir dari batang-batang meranti, melanda seluruh Kalimantan dan Sumatara, menggoncang Jakarta dan Surabaya dengan hotel-hotel baru, serta membuat lemas pengelolaan hutan jati di Jawa.

Karena kesibukan di luar Jawa itu, maka pengelolaan hutan jati di Jawa dilepas dan diserahkan kepada BUMN yang dibentuk tahun 1963, PN Perhutani. Laporan dari Perhutani yang bernada ABS (asal bapak senang) dan kesibukan di luar Jawa telah menutupi masalah serius kerusakan hutan di Jawa. Dengan hanya ditangani oleh Perhutani sendiri, maka pada tahun 1974 lahir kebijakan Prosperity Approach, yang pada tahun 1982 berganti nama menjadi PMDH (Pembinaan Masyarakat Desa Hutan). Pada tahun 1976 lahir pula paket Perhutanan Sosial (PS) yang dirancang dari pemikiran beberapa anggota Direksi di Jakarta (top-down approach). Akan tetapi kebijakan tersebut tidak mengurangi intensitas konflik antara masyarakat dengan pengelola hutan, dan juga tidak mengurangi laju degradasi hutan.

Hasil rekayasa yang merupakan aplikasi pendekatan perencanaan insentif (incentive planning) tersebut dinamakan PHJO, singkatan Pengelolaan Hutan Jati Optimal. Pada dasarnya bentuk pengelolaan hutan yang

80

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

baru itu juga untuk menjalin kerjasama saling menguntungkan antara masyarakat di sekitar hutan dengan pengelola hutan, dalam rangka membangun hutan untuk mewujudkan kelestarian sumber daya hutan, kelestarian ekosistem, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya yang bertempat tinggal di sekitar hutan.

PHJO merupakan hasil pemikiran SIMON tahun 1988, yang kemudian mulai diuji-coba di KPH Madiun tahun 1991, kerjasama antara Direksi Perum Perhutani dengan Fakultas Kehutanan UGM. Karena dianggap berhasil, maka pada tahun 1994 uji-coba model yang sama juga dilakukan di BKPH Tangen, KPH Surakarta. Tangen adalah suatu daerah dengan kawasan hutan yang sudah lama kosong, dan tanahnya berasal dari batuan kapur yang sangat tandus. Di samping erosi telah lama berlangsung, tanahnya telah mengalami pencucian yang intensif sehingga hampir tidak ada hara yang tersisa. Penduduk di sekitar hutan sangat miskin, sedang kawasan hutan tertekan oleh intensitas penggembalaan yang sangat tinggi. Namun demikian sejak awal dekade 1990-an jalan komunikasi mulai dibuka oleh pemerintah dengan meningkatkan kapasitas jembatan yang melintas Bengawan Solo dan jembatan-jembatan kecil di wilayah sebelah utara yang biasa disebut brang lor tersebut. Sejak itu banyak generasi muda yang pergi ke kota-kota besar, bahkan juga ke luar negeri untuk mencari pekerjaan.

Itulah latar belakang lahirnya PHJO, yang merupakan salah satu bentuk strategi kehutanan sosial yang dikembangkan dari strategi kehutanan konvensional, timber management. Walaupun hutan tanaman jati telah dibangun dengan sukses oleh Djatibedrijfs tahun 1890-1942, namun degradasi hutan telah berjalan selama lebih dari dua dasawarsa (1860-1880) tanpa ada tanda-tanda akan terselesaikan dengan baik. Pembuatan tanaman dengan sistem tumpangsari yang diciptakan oleh BUURMAN melalui percobaan tahun 1873-1883 itu rupanya sudah memerlukan modifikasi, khususnya dari aspek pendapatan petani yang ikut terlibat di dalamnya. Modifikasi sistem tumpangsari ini dijadikan salah satu instrumen yang diperbaiki dalam PHJO tersebut.

Di lain fihak, SIMON (2000) telah mengembangkan lebih lanjut bahwa strategi kehutanan sosial yang menggunakan pendekatan perencanaan yang bersifat holistik dan dan berdasarkan prinsip perencanaan insentif tersebut dalam aplikasi pengelolaannya membedakan antara Forest Resource Management (FRM) dan Forest Ecosystem Management (FEM). PHJO adalah salah satu bentuk FRM untuk pengelolaan kawasan hutan jati di Jawa. Dengan PHJO akan dicapai tiga aspek penting dalam pengelolaan hutan, yaitu kemakmuran masyarakat di sekitar hutan, keuntungan finansial yang tinggi bagi pengelola hutan, dan kelestarian ekosistem dan lingkungan hidup.

81

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

Sejak awal dekade 1960-an, paradigma timber management di Jawa mulai mendapat gangguan dari tekanan sosial-ekonomi masyarakat yang tidak diantisipasi dengan tepat oleh pengelolanya. Beberapa kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah maupun pengelola hutan di Jawa tidak mengurangi tekanan sosial-ekonomi tersebut. Bahkan sebaliknya kebijakan yang ditetapkan justru mengurangi hak atau akses masyarakat dalam memperoleh kesempatan untuk memanfaatkan hutan sehingga konflik antara pengelola dengan masyarakat mulai terjadi. Akibat yang ditimbulkan oleh adanya konflik tersebut kawasan hutan tak produktif semakin luas, yang timbul dari meningkatnya tanaman gagal, pencurian kayu bakar dan kayu pertukangan, dan over-cutting karena tebangan suplisi yang justru dibuat oleh Biro Perencanaan. Kebiasaan tebangan suplisi itu mulai ada sejak tahun 1968, ketika permintaan kayu jati meningkat untuk kepentingan pembangunan dalam negeri dan peningkatan ekspor untuk meningkatkan setoran uang tunai bagi pemerintah. Sejak tahun 1968 tersebut intensitas over-cutting terus bertambah secara tetap karena bersumber dari tebangan suplisi serta pencurian kayu pertukangan.

Meningkatnya kawasan hutan tak produktif, di lain fihak malah diimbangi dengan keinginan untuk memperoleh keuntungan finansial yang lebih besar, padahal hal itu justru disertai oleh terus meningkatnya konflik antara pengelola dengan masyarakat. Tidak disadari oleh pengelola hutan bahwa ketiga hal itu menyebabkan biaya sosial (social costs) pengelolaan hutan di Jawa terus bertambah sehingga keuntungan riel hasil kayu per satuan volume terus menurun. Sejak dekade 1960-an itu etat volume setiap unit pengelolaan selalu turun dari jangka ke jangka berikutnya, sedang etat luas terus meningkat. Akibatnya, sejak dekade 1980-an sudah banyak unit perencanaan yang tidak lagi memiliki etat volume, Resort Polisi Hutan tidak lagi berfungsi sebagai pusat tebang (cap centra), sehingga unit kelestarian hasil ditarik ke tingkat KPH.

Hubungan antara aspek sosial dengan aspek kehutanan tersebut berpengaruh saling merugikan sehingga antara keduanya terjadi lingkaran syetan (vicious circle). Karena berpengaruh saling merugikan dan tidak pernah diatasi secara tuntas dan mendasar, maka konflik sosial semakin meningkat dan produktifitas kawasan hutan jati di Jawa semakin menurun pula. Konsep PHJO disusun untuk memutus lingkaran syetan itu. Sumber pokok lingkaran syetan tersebut tidak lain adalah kemiskinan masyarakat di sekitar hutan karena pemilikan lahan pertanian semakin kecil, sementara penyediaan lapangan kerja di sektor non-pertanian tidak cukup untuk menyerap berkembangnya tenaga kerja baru yang terus tumbuh. Oleh karena itu konsep PHJO dikembangkan dari perluasan lahan garapan di kehutanan sedemikian rupa agar semua tenaga kerja petani desa hutan dapat terserap

82

sehingga pengangguran dapat ditekan sampai serendah-rendahnya. Bahkan kalau mungkin pengangguran di desa hutan diusahakan untuk ditekan sampai titik nol.

Kompromi antara keinginan untuk mempertahankan kelestarian sumber daya hutan di daerah berpenduduk padat yang kekurangan lahan garapan tersebut akhirnya melahirkan pengelolaan hutan yang pada tahap awal dibuat berselang-seling antara jalur kehutanan dan jalus pertanian. Oleh petani di daerah Caruban, jalur pertanian itu dinamakan plong-plongan yang kemudian dikenal luas sampai sekarang. Lebar jalur pertanian tersebut disesuaikan dengan besarnya tekanan sosial ekonomi masyarakat terhadap kawasan hutan, yang membawa konsekuensi lamanya jangka waktu lahan garapan di suatu petak. Dipadukan dengan kebutuhan masyarakat secara agreagat akan hasil hutan, terutama kayu bakar dan kayu pertukangan, modifikasi pelaksanaan tumpangsari melahirkan berbagai macam management regimes. Istilah yang dikemukan oleh KNUCHEL tahun 1952 tersebut dalam konsep PHJO diartikan sebagai ragam pengelolaan hutan untuk memaksimumkan produktifitas kawasan hutan, sesuai dengan keadaan fisik lapangan (topografi, bonita, dan keadaan berbatu) serta tekanan eosial-ekonomi masyarakat di sekitar hutan.

Atas dasar pemikiran itu maka di Sub-KPH Madiun Utara ada lima macam management regims untuk FRM dan satu untuk FEM. Lima macam pola FRM itu masing-masing dinamakan MRK (konvensional), MR I, MR II, MR III, dan MR IV, sedang pola tanam untuk FEM dinamakan MR V. Karena keluasan wilayah yang berbeda, maka Bagian Hutan Caruban dibagi menjadi tiga strata untuk menempatkan masing-masing management regime tersebut, sedang di Bagian Hutan Pagotan hanya ada dua strata. Berhubung kondisi fisik wilayah maupun tekanan sosial-ekonomi masyarakat di sekitar hutan berbeda, maka di Bagian Hutan Tangen hanya ada satu stratum dan satu management regime untuk FRM. Secara rinci spesifikasi dan tujuan masing-masing management regime dapat dibaca pada uraian berikut.

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

83

Karakter tiap Management Regime di Sub-KPH Madiun Utara

MRK:

! Terletak di stratum C, yaitu areal yang paling jauh (remote) letaknya dari pemukiman penduduk atau lahan pertanian, yang bertopografi terjal atau berbonita rendah (di bawah 3).

! Jarak tanam jati 3*1 m dengan tanaman sela lamtoro, mengikuti sistem penjarangan konvensional yang ditetapkan HART tahun 1928.

! Jangka waktu tumpangsari 2 tahun. ! Tujuan pengelolaan untuk memaksimumkan fungsi perlindungan

(termasuk populasi satwa) petak-petak yang dikelola untuk paradigma FRM.

! Daur untuk jati 80 tahun

MR I:

! Terletak di stratum C yang bertopografi landai sampai datar dan berbonita tinggi (di atas 3).

! Jarak tanam jati 3*1 m dengan tanaman lamtoro, diperlakukan dengan penjarangan keras mulai umur 15 tahun.

! Jangka waktu tumpangsari 2 tahun. ! Tujuan pengelolaan untuk memaksimumkan fungsi perlindungan

lingkungan dan sedikit meningkatkan produksi kayu pertukangan.

! Daur untuk jati 80 tahun.

MR II:

! Terletak di stratum B yang bertopografi curam atau berbonita rendah.

! Jarak tanam awal untuk tanaman jati 6*1 m, jarak tanam lamtoro (tanaman sela) tetap 3*1 m.

! Diperlakukan dengan penjarangan keras. ! Jangka waktu tumpangsari 5 tahun, dan dapat dilanjutkan dengan

penanaman penghasil karbohidrat tahan teduh (ganyong, garut, ubi, porang, dsb) untuk 10 tahun berikutnya.

! Tujuan pengelolaan untuk meningkatkan produksi kayu pertukangan dan hasil pangan.

! Daur untuk jati 80 tahun.

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

84

MR III:

! Terletak di stratum B yang bertopografi landai sampai datar, atau di stratum A yang bertopografi curam.

! Jarak tanam jati dan lamtoro 3,*1 m, setiap 5 larik tanaman jati (jalur kehutanan) diselingi dengan 3 larik tanaman pokok yang tidak ditanam (jalur pertanian). Tanaman sela lamtoro di jalur pertanian tetap ditanam dengan jarak 3*1 m, yang kemudian akan dikelola untuk penghasil kayu bakar.

! Jati diperlakukan dengan penjarangan keras secara geometrik, yang setelah berumur 25 tahun jalur kehutanan tersisa 3 larik sampai akhir daur.

! Jangka waktu tumpangsari di jalur pertanian 2 tahun, di jalur pertanian dapat bertahan sampai 10-15 tahun. Penanaman penghasil karbohidrat tahan teduh dapat dilakukan untuk jangka waktu menurut kebutuhan dan keinginan petani.

! Tujuan pengelolaan hutan meningkatkan hasil kayu pertukangan, kayu bakar dan pangan.

! Daur jati 80 tahun.

MR IV:

! Terletak di stratum A (kawasan hutan yang berbatasan langsung dengan pemukiman penduduk atau lahan pertanian, juga disebut interface area), yang bertopografi datar sampai landai.

! Jarak tanam jati dan lamtoro 3,*1 m, setiap 9 larik tanaman jati (jalur kehutanan) diselingi dengan 9 larik tanaman pokok yang tidak ditanam (jalur pertanian). Tanaman sela lamtoro di jalur pertanian tetap ditanam dengan jarak 3*1 m, yang kemudian akan dikelola untuk penghasil kayu bakar.

! Setelah jati berumur 2 tahun, jalur pertanian dapat ditanami kayu yang hasilnya 60% untuk petani dan 40% untuk kehutanan. Jenis kayu yang ditanam di atas jalur pertanian ini ditentukan bersama antara petani dengan kehutanan.

! Tanaman jati diperlakukan dengan penjarangan keras secara geometrik, yang setelah berumur 25 tahun jalur kehutanan tersisa 5 larik sampai akhir daur.

! Jangka waktu tumpangsari di jalur kehutanan 2 tahun, di jalur pertanian dapat bertahan sampai 20 tahun, ditanami tanaman pangan atau kayu-kayuan menurut keinginan petani.

! Tujuan pengelolaan hutan meningkatkan hasil pangan dan menyediakan lapangan kerja seluas-luasnya bagi masyarakat, khususnya yang bertempat tinggal di sekitar hutan.

! Daur jati 40 tahun.

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

85

MR V:

! Pola tanam dirancang khusus; dapat menggunakan salah satu pola management regimes

! Tujuan pengelolaan disesuaikan dengan kebutuhan setempat, misalnya perlindungan mata air, satwa tertentu, keinginan masyarakat setempat, dan sebagainya. Di Madiun Utara ada dua petak yang ditetapkan untuk membuat lingkungan yang sejuk bagi rumah sakit paru-paru.

! Jenis tanaman dipilih campuran, pemanfaatan hasil dapat dilakukan dengan cara-cara yang disesuaikan dengan sifat jenis maupun keadaan setempat.

! Dalam hal tujuannya untuk perlindungan waduk di petak-petak yang relatif datar, dapat dipakai MR III dengan tanaman jati yang di bawahnya dikembangkan tanaman sono siso (sono minahasa) untuk perlindungan erosi, penghasil kayu bakar serta menciptakan habitat yang baik untuk satwa.

4.3.4 Forest Ecosystem Management

Pada dasarnya pemanfataan hutan adalah pengelolaan suatu ekosistem, yang harus mengikuti kaidah-kaidah yang mesti diselaraskan dengan kepentingan pelestarian ekosistem tersebut. Semangat seperti itu juga selalu dikemukakan pada waktu paradigma timber management mulai dirumuskan. Akan tetapi pelaksanaannya banyak pengelola hutan yang semakin menyimpang dari semangat tersebut. Semangat untuk mengelola hutan berbasis ekosistem tidak mudah untuk diwujudkan dalam rencana kerja. Sebaliknya, yang terjadi paradigma timber management justru telah dielaborasi dalam bentuk pembagian atau pengelompokan kawasan hutan yang tidak mendorong terwujudnya keinginan agar kelestarian ekosistem ditempatkan pada prioritas teratas dalam menyusun rencana kegiatan pengelolaan hutan.

Di dalam paradigma timber management sangat terkenal sampai sekarang bahwa kawasan hutan dibedakan antara hutan produksi, hutan lindung dan hutan suaka alam. Di antara ketiga kawasan hutan itu, hutan produksi yang memperoleh perhatian paling besar. Baru akhir-akhir ini saja, khususnya setelah konferensi bumi di Rio de Janeiro tahun 1992, hutan lindung maupun hutan suaka mulai mendapat perhatian. Namun sampai sekarang dibanding dengan kawasan hutan produksi, baik perencanaan maupun pengelolaannya masih belum sebanding. Hal itu disebabkan karena kawasan hutan produksi banyak mendatangkan uang, sedang dua bentuk kawasan hutan lainnya justru memerlukan uang.

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

86

Pengelolaan hutan produksi lebih banyak dititik-beratkan untuk menghasilkan kayu pertukangan atau bahan baku industri, khususnya kayu lapis, pulp dan kertas. Di negara-negara maju industri perkayuan merupakan salah satu sektor yang menghasilkan banyak uang dan menyediakan banyak sekali lapangan kerja. Negara-negara sedang berkembang, termasuk Indonesia, belum lama memasuki bisnis yang memerlukan modal tinggi dan pengelolaan yang yang rumit tersebut. Efesiensi, termasuk dalam mengatur tenaga kerja dan menggunakan peralatan modern, menjadi kunci apakah kegiatan industri perkayuan akan sukses atau tidak.

Karena alasan efesiensi itu maka paradigma timber management selalu bekerja dengan hutan satu jenis (monokultur) yang sejak lahir di Jerman pada abad ke-15 yang lalu telah mendapat kritik dari rimbawan yang berjiwa konservasionis. Salah satu tokoh tersebut adalah KAREL GAYER, dan pernah dilanjutkan oleh NEMICH ketika menjadi anggota tim untuk mempersiapkan pengelolaan hutan modern (timber management) di Jawa. Namun nasib kedua rimbawan konservasionis tersebut sama, yaitu ide-idenya tidak diterima oleh penguasa dan tidak didukung oleh para industrialis yang memiliki modal. Di Jerman nama KAREL GAYER baru dikenal setelah Eropa dilanda hutan asam, yang terjadi sekitar 150 tahun setelah kematiannya. Di Jawa jarang ada rimbawan yang mengenal nama NEMICH, sedang nama-nama MOLLIER, BUURMAN, BRUINSMA, COSTER dan sebagainya jauh lebih dikenal.

Nasib hutan lindung dan hutan suaka di dunia, khususnya di negara sedang berkembang, lebih buruk dibanding kawasan hutan produksi. Di Indonesia, sebelum hutan produksi habis pada awal reformasi, nasib hutan lindung dan hutan suaka telah mengalami degradasi bebera dasawarsa sebelum reformasi. Sebagai contoh, Suaka Margasatwa ketika ditetapkan tahun 1934 luasnya 2 juta ha, tetapi berturut-turut turun menjadi 306.000 ha (1957) dan 200.000 ha (1971). Pada tahun 1982 status Suaka Margasatwa dirubah menjadi Taman Nasional Kutai (TNK) dengan luas 200.000 ha. Pada tahun 1991 luas TNK telah berkurang menjadi 198.604 ha (SIMON 1999), dan entah berapa luasnya setelah reformasi dan lahirnya Undang-undang Otonomi Daerah tahun 1998.

Di dalam kawasan hutan produksi jati di Jawa, sampai dengan akhir dasawarsa 1960-an masih banyak dijumpai hutan lindung yang luasnya kadang-kadang hanya 4,0-10,0 ha. Bahkan ada pula hutan yang berfungsi untuk melindungi mata air luasnya hanya 0,1 ha dan disebut “lapangan dengan tujuan istimewa,” disingkat ldti. Tetapi sekarang semua anak petak yang ditetapkan sebagai hutan lindung tersebut telah berubah menjadi hutan produksi, karena pada awal dekade 1970-an telah habis, entah siapa yang menebang kayunya. Hal itu disebabkan karena tidak ada rencana khusus untuk mengelola kawasan hutan lindung, melainkan hanya dibiarkan saja.

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

87

Konsep SIMON (1999) tentang paradigma social forestry tidak memisahkan hutan menjadi tiga macam penggunaan di atas. Hutan dipandang sebagai suatu ekosistem yang utuh, dan harus dikelola secara utuh pula. Dalam paradigma timber management, hutan produksi dipandang sebagai penghasil kayu dan fungsi lindungnya diabaikan. Tidak ada hutan tanaman monokultur yang mampu melestarikan populasi satwa seperti ketika hutan itu masih berupa hutan alam dengan banyak jenis. Demikian pula sebaliknya, hutan lindung maupun suaka alam tidak boleh ditebang kayunya, melainkan harus dibiarkan saja sehingga keadaannya tidak berubah seperti asalnya. Tetapi kenyataannya seperti telah dikemukakan di atas, bahwa tidak ada hutan lindung atau suaka alam yang utuh, karena di kawasan itu terjadi penebangan secara liar yang dilakukan oleh banyak fihak.

Lebih lanjut SIMON (1998) mengatakan bahwa dalam paradigma social forestry hanya dibedakan antara Forest Resource Management (FRM) dan Forest Ecosystem Management (FEM), yang keduanya perlu dirancang dengan prosedur yang sama, yaitu perencanaan artikulatif. Pembedaan antara kedua bentuk pengelolaan yang akan ditetapkan secara komplementer (tata ruang) itu adalah keadaan fisik wilayahnya. Baik fungsi ekonomi maupun fungsi lindung dalam FRM atau FEM tetap dihitung dengan baik. Pemanfaatan fungsi ekonomi maupun fungsi lindung itu pada FRM maupun FEM berubah secara dinamik, dan secara garis besar FRM akan lebih banyak berfungsi untuk memenuhi fungsi ekonomi, dan sebaliknya FEM lebih banyak ditetapkan untuk memenuhi fungsi perlindungan.

Penelitian Fauzi (2006) menyatakan bahwa untuk kegiatan Rehabilitasi hutan lindung adalah dengan pendekatan Forest Ecosystem Management (FEM) dengan ragam pengelolaan MR-V melalui kegiatan konservasi sipil teknis dan penanaman jenis pohon-pohonan yang berfungsi untuk perlindungan yang dikombinasikan dengan jenis multi purpose tree species (MPTS). Dasar pemikiran penanaman jenis MPTS di kawasan hutan lindung dikarenakan akses masyarakat ke daerah ini cukup baik sehingga diharapkan masyarakat pada saatnya nanti tidak akan menebang pohon yang ada melainkan mengambil manfaat lain dari pohon tersebut terutama buahnya dan merasakan manfaat lingkungan seperti udara yang segar, tata air yang baik, habitat binatang dan hasil hutan non kayu lainnya. Begitu pula untuk kawasan dengan kelerengan sangat curam berada pada kawasan hutan produksi tetap dan hutan produksi terbatas. Lahan dengan kelerengan sangat curam sangat potensial terjadinya erosi, oleh karena itu rehabilitasi kelerengan sangat curam ditujukan untuk mengurangi terjadinya erosi. Kegiatan yang disarankan untuk mengurangi besarnya erosi pada lahan dengan kelerengan sangat curam dengan metoda vegetatif dan sipil teknis (teras bangku). Cara vegetatif dilaksanakan dengan penanaman jenis-jenis

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

88

yang berfungsi untuk perlindungan melalui ragam pengelolaan MR-V dengan penanaman searah garis kontur. Pembangunan hutan pola MR-V diusulkan sebagai pola rehabilitasi lahan berlereng sangat curam dengan alasan kondisi berada di stratum C yang notabene akses masyarakat terhadap hutan relatif jauh sehingga tujuan untuk memaksimumkan fungsi hutan dalam perlindungan lingkungan hidup akan lebih mudah tercapai.

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

89

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

90

Kehutanan Masyarakat

KONSEPSI SISTEM HUTAN KERAKYATAN(COMMUNITY FORESTRY)

BAB 5

5.1 Pendahuluan

Kegagalan pembangunan dan industrialisasi kehutanan telah melahirkan konfrontasi antara negara atau pemerintah melalui lembaga-lembaga yang kegiatan-kegiatannya langsung atau tidak langsung berurusan dengan kehidupan masyarakat adat yang menghuni kawasan-kawasan hutan. Penetrasi sistem perekonomian yang kapitalistik dan eksploitatif menimbulkan proses-proses pemiskinan sosial-budaya masyarakat adat.

Proses pemiskinan sosial-budaya ini sebagai akibat dari dampak buruk pembangunan yang ditandai dengan krisis ekonomi, proses militerisasi, krisis negara, penyangkalan terhadap hak-hak manusia dan indentitas kultural, konflik atas sumberdaya alam serta masalah sains dan teknologi yang lolos kendali.

Masalah-masalah ini merupakan bahaya yang lebih besar bagi komunitas-komunitas adat yang kecil dan rentan dibandingkan masyarakat yang bukan masyarakat adat yang dominan, besar, kuat dan terorganisir. Oleh karena itu amat perlu memahami bagaimana gagasan community forestry diperjuangkan sebagai penyangga dari kecenderungan-kecenderungan pembangunan dan globalisasi yang amat merugikan masyarakat adat.

Yang sama pentingnya adalah kebutuhan untuk menemukenali, melukiskan dan menganalisis kecenderungan-kecenderungan tandingan sebagai akibat dari langkah-langkah koreksi yang diambil negara dan sebagian lain karena aksi-aksi yang semakin banyak dari gerakan-gerakan rakyat untuk perdamaian, demokrasi, dan pelestarian lingkungan.

Secara demografis di masing-masing negara, masyarakat adat berjumlah kecil sehingga secara politik sangat tidak berpengaruh dan secara ekonomis tidak berarti. Lagipula, selama berabad-abad mereka telah menjadi sasaran utama untuk ditaklukan dan dijajah secara politik. Sebagian masyarakat adat mampu melawan dominasi dan penyatuan politik tetapi sayangnya banyak yang telah tunduk kepada kekuatan politik dan militer yang lebih besar dan tidak lagi menjadi komunitas etnis yang hidup dan otonom.

91

Tonggak penting perhatian dunia pada nasib masyarakat adat penghuni hutan terjadi pada saat Konggres Kehutanan Dunia 1978 di Jakarta. Sejak saat itu dunia mulai berpaling pada model pengelolaan hutan untuk masyarakat lokal. Karena, paradigma tehnokrasi masih kental pada masa-masa itu, cara menafsirkan idiom “hutan untuk rakyat” dengan mengubah wajah manajemen hutan komersial. Wajah kapitalis yang rakus ditransplantasi menjadi wajah yang penuh “kasih sayang”.

Tahun 1982 ternyata dianggap menjadi awal gerakan community forestry di Asia Pasifik. Negara-negara di Asia Pasifik mencoba menterjemahkan community forestry menjadi inisiatif-inisiatif nasional seperti Joint Forest Management di India, Community-based Forest Management di Filipina, Social Forestry di Indonesia, Community Logging di Nepal dan Laos, Community Forestry di Thailand. Gerakan ini bisa berkembang karena memperoleh dukungan politik dari pemerintah lokal dan dukungan dana dari lembaga-lembaga pembangunan internasional dan lembaga-lembaga keuangan dunia. Selain itu gerakan ini juga memperoleh dukungan dari para pemikir yang berasal dari berbagai universitas terkemuka.

Sonja Vermeulen (2001) memberikan gambaran pengertian community forestry dari persepsi para pihak. Dari sisi pemerintah, Community forestry adalah sistem kehutanan yang didesain dan diterapkan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial, rumahtangga dan lingkungan lokal dan untuk mengembangkan ekonomi lokal. Dari sisi peneliti, Community forestry berbasis pada penguasaan lokal atas, dan pemanfaatan keuntungan dari, sumberdaya hutan lokal. Keuntungan itu bukan semata bersifat moneter, dan bukan pula semata dari produksi kayu, namun dapat bervariasi menurut banyaknya nilai manfaat yang bisa didapat dari ekosistem hutan, termasuk nilai-nilai kultural, spiritual, sosial, kesehatan, ekologis, rekreasional, estetika dan ekonomi. (Curran and M'Gonigle 1997).

Dari sisi definisi lokal Pengelolaan masyarakat atas hutan telah mengubah konsep kehidupan masyarakat. Warga desa tidak lagi berpikir soal manfaat perorangan, namun lebih pada manfaat kolektif. Kami gunakan dana yang diperoleh dari pengelolaan hutan untuk pembangunan di masyarakat, seperti memperbaiki jalan-jalan dan penyediaan air minum. (Tik Karki, Jaykot Forest Users' Group, Nepal, dalam Poffenberger 2000).

Proses pengembangan community forestry juga berkembang di Afrika Barat dan Afrika Timur serta Amerika Selatan. Melalui fasilitator-fasilitator nasional, gagasan community forestry disebarkan melalui berbagai bentuk publikasi, metode-metode baru, makalah ilmiah, pertemuan-pertemuan ilmiah dan proyek-proyek percontohan.

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

92

Selama dekade 80-an, inisiatif community forestry banyak berasal dari pemerintah. Bagi negara-negara yang demokratis seperti India, Nepal, Thailand, Filipina dan beberapa negara Afrika, community forestry berkembang amat radikal. Sedangkan bagi negara-negara otoriter dan tertutup seperti Indonesia dan Cina, community forestry hanya berjalan di tempat.

Yang menarik bukan wujud akhir dari community forestry melainkan proses-proses politik dan proses-proses sosial yang menyertainya. Bagi negara-negara demokratis terjadi pergeseran yang signifikan dari model pengelolaan hutan yang berbasis negara menuju model pengelolaan hutan yang populis atau partisipatif. Proses-proses perubahan itu terjadi baik pada tataran pemerintah maupun pada masyarakat setempat. Perubahan itu meliputi kebijakan negara, konsep-konsep pengelolaan, pendekatan dan metode aplikasi dan sikap-sikap baru dalam menilai hubungan antara pemerintah, masyarakat lokal dan hutan.

Proses-proses ini terus berkembang dan melebar dengan menjangkau populasi masyarakat lokal yang semakin besar. Besarnya jumlah penduduk yang terlibat dalam program-program community forestry terutama di India, Nepal dan Thailand melahirkan apa yang kemudian disebut gerakan community forestry yang populis. Gerakan-gerakan perlawanan ini membentuk varian baru dalam perkembangan community forestry.

Gerakan ini ditandai dengan keyakinan-keyakinan baru yang berbasis pada pendekatan spiritual dan ideologi yang progresif seperti gerakan Hmong di Thailand, gerakan Chipko di India, gerakan Zapatista di Meksiko. Varian terakhir ini memberikan kontribusi penting dalam memahami community forestry lebih komprehensif.

Di sisi lain, community forestry ternyata menciptakan posisi politik masyarakat lokal semakin kuat. Dengan dikuasai wilayah-wilayah hutan negara oleh kelompok-kelompok masyarakat lokal, pemerintah semakin kehilangan otoritas dan pada gilirannya pemerintah-pemerintah baru hasil pemilu terpaksa selalu mendukung program community forestry. Karena, partai-partai politik yang tidak mendukung program community forestry akan kehilangan suaranya di wilayah-wilayah community forestry. Situasi ini menggambarkan bahwa pada konflik tenurial antara negara dan masyarakat adat bisa disiasati dengan diduduki secara legal wilayah-wilayah hutan negara melalui program community forestry.

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

93

5.2 Pengertian dan Prinsip Sistem Hutan Kerakyatan

Sebelum memahami pengertian SHK, kiranya perlu diungkapkan beberapa masalah kehutanan yang menjadi keprihatinan yang berkaitan erat dengan lahirnya istilah SHK.

Masalah-masalah kehutanan tersebut meliputi :

! Sejarah eksploitasi hutan telah menyebabkan ketidakadilan dan kerusakan lingkungan hidup yang mengancam masa depan manusia.

! Rakyat setempat semakin lemah dalam mengontrol sumber-sumber agraria khususnya yang berkaitan dengan sumber daya hutan.

! Pemerintah menganggap bahwa hutan tidak ada pemiliknya, karenanya secara sepihak diklaim/diakui sebagai kawasan negara.

! Pengelolaan bidang-bidang hutan oleh masyarakat lokal/masyarakat adat selalu dianggap sebagai penyebab kerusakan hutan.

! Pengetahuan-pengetahuan lokal dan kearifan tradisional selalu dinilai tidak ilmiah, khusunya yang berkaitan dengan pengelolaan kawasan hutan.

! Pengetahuan-pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumber daya hutan terancam punah karena sumber pengetahuan mereka (berupa hutan, sungai,bukit dll.) dihancurkan secara sistimatik oleh kebijaksanaan negara dan hanya tinggal segelintir orang dari komunitas tersebut yang menguasai pengetahuan tersebut.

Sistem Hutan Kerakyatan (SHK) mempunyai sifat yang unik dan khas yang berbeda dari suatu wilayah ke wilayah yang lain. Di masing-masing tempat kita temukan SHK mempunyai nama lokal yang berbeda-beda, misalnya di Kalimantan Barat : tembawang, repong (Krui, Lampung), Simpungk (Kalimantan Timur), Dukuh (Kalimantan Selatan) dan sebagainya.

Kata kunci dalam konsep SHK adalah “sistem hutan” dan “kerakyatan”. Kata “sistem hutan” sengaja ditegaskan untuk menggambarkan bahwa “hutan” dalam konsepsi SHK bukan sekedar tegakan kayu melainkan suatu sistem pengelolaan kawasan “wilayah hukum adat” yang elemen-elemennya antara lain terdiri dari : hutan alam, hutan sekunder, sungai, danau, ladang, kebun, pemukiman, hutan keramat, dan banyak lagi tergantung komunitas dan sistem ekologinya. "Sistem hutan" berfungsi sebagai penopang sistem kehidupan setempat dan sumber pengembangan kebudayaan setempat.

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

94

Sebagai penopang sistem kehidupan, formasi sistem hutan alam memberikan prasyarat bagi berlangsungnya kehidupan masyarakat setempat dengan menyediakan air, menjaga kesuburan tanah, sumber makanan dan lain-lain. Sedangkan sebagai sumber pengembangan kebudayaan, masyarakat setempat dengan kemampuan budi dan nalarnya mengembangkan pengetahuan, nilai-nilai, norma kepercayaan dengan mengelola bidang-bidang itu menjadi kebun hutan. Model pengelolaan kebun hutan ini berbeda-beda disetiap lokasi (pluralistik).

Kata kunci kedua adalah "kerakyatan". Kata ini menegaskan bahwa aktor utama dalam pengelolaan hutan adalah komunitas lokal. Karena itu tujuan pengelolaan hutan adalah memberikan manfaat dan keuntungan-keuntungan sebesar-besarnya pada komunitas-komunitas lokal. SHK percaya bahwa pengelolaan hutan yang bertumpu pada komunitas lokal akan mewujudkan pengelolaan hutan adil dan lestari.

Terdapat 9 prinsip yang mestinya terkandung dalam SHK yaitu :

(1) Aktor utama pengelola adalah rakyat (masyarakat lokal, masyarakat adat);

(2) Lembaga pengelola dibentuk, dilaksanakan, dan dikontrol secara langsung oleh rakyat bersangkutan;

(3) Memiliki wilayah/teritori yang jelas dan memiliki kepastian hukum yang mendukungnya;

(4) Interaksi antara masyarakat dan lingkungannya dalam konteks SHK bersifat langsung dan erat. Ekosistem menjadi bagian yang penting dari kehidupan rakyat setempat;

(5) Pengetahuan lokal (indegenous knowledge) menempati posisi yang penting dan melandasi kebijaksanaan dan sistem pengelolaan hutan. Disisi lain pengetahuan moderen dapat memperkaya dan mengembangkan SHK setelah melalui proses penyesuaian dengan situasi dan kondisi lokal;

(6) Teknologi yang dipergunakan jika bukan teknologi lokal telah melalui proses adaptasi dan berada dalam batas-batas yang dikuasai rakyat;

(7) Skala produksi tidak dibatasi, kecuali oleh prinsip-prinsip kelestarian (sustainability);

(8) Sistem ekonomi didasarkan atas kesejahteraan bersama dan (9) Keanekaragaman hayati menjadi dasar dalam berbagai bidang baik

dalam jenis dan genetis; pola budidaya dan pemanfaatan sumberdaya, sistem ekonomi dan lain sebagainya.

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

95

Dari pengertian SHK di atas, maka dapat dikategorikan tipologi SHK seperti disenaraikan pada tabel di bawah ini :

Tabel 7. Tipologi Sistem Hutan Kerakyatan

Gambaran nyata dari tipologi di atas tersebut bisa diambil lokasi SHK di Simpakng Hulu - Kalimantan Barat dan Krui (Lampung Barat) yang telah mempraktekkan pola SHK selama ratusan tahun.

5.3 Latar Belakang Muncul Konsep SHK di Indonesia

Para pembuat UU No. 41/99 menyadari bahwa UUPK No. 5/67 sudah tidak sesuai lagi dengan dinamika aspirasi dan peranserta masyarakat, adat dan budaya serta tata nilai masyarakat. Disamping itu hutan sebagai salah satu sistem penyangga kehidupan dan sumber kemakmuran rakyat telah menurun kondisinya.

Elemen Inti

Sub-elemen

Contoh Komunitas

Sistem Hutan

Kerakyatan

Hutan Satu komunitas Ladang Pekarangan Keramat

Baduy Dalam

Banyak komunitas Ladang Keramat Sungai

Anak Dalam

Hutan, Kebun Hutan

Satu komunitas

Sawah Ladang Pekarangan Kebun Keramat

Tenganan

Banyak komunitas

Sawah Ladang Pekarangan Kebun Keramat

Dayak Simpang Dayak Benuaq

Kebun Hutan Satu komunitas

Sawah Kebun Pekarangan Keramat

Suku Naga Banjar

Banyak komunitas

Sawah Kebun Pekarangan Keramat

Krui

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

96

Pada satu dekade terakhir laju deforestasi menunjukkan angka sekitar 1,6 juta hektar pertahun. Areal hutan produksi seluas + 41 juta hektar yang dikelola oleh 320 unit HPH, seluas + 11,6 juta hektar (28%) telah rusak, menjadi semak belukar, tanah kosong, dan ladang. Sedangkan dari areal eks 112 unit HPH seluas 5,7 juta hektar yang dikelola PT INHUTANI I V, seluas 2,6 juta hektar (45%) telah rusak, menjadi semak belukar, tanah kosong, dan ladang.

Rekalkulasi terhadap hutan lindung dan kawasan konservasi seluas + 29,8 juta hektar menunjukkan hanya + 6,7 juta ha (54%) dari hutan lindung dan + 10,7 juta ha (62%) dari kawasan konservasi (cagar alam, suaka margasatwa, taman hutan raya, dan taman nasional) yang masih tersisa sebagai hutan primer (Dephut, 2000).

Konflik-konflik yang terjadi di lapangan antara HPH dan HTI dengan masyarakat lokal dan ornop dari tahun ke tahun makin meningkat. Data yang dikumpulkan Pusdokinfo Dephut yang kemudian diolah Latin (lihat Tabel 2) menunjukkan sepanjang tahun 1990 1996 konflik antara HPH, HTI, dan Perhutani dengan masyarakat lokal menempati posisi teratas diantara konflik-konflik yang lain dalam pengelolaan sumberdaya alam. Pada era reformasi konflik ini makin marak dan keras, beberapa camp HPH dibakar dan jalannya diblokir sehingga tidak bisa beroperasi.

Seperti yang dilaporkan dari Aceh, Warga Marah, "Base Camp: HPH dibakar (Kompas, 30 Mei 1999) dan dari Medan, Warga Blokir Perusahaan HPH (Kompas, 27 Mei 2000). Di Kalimantan Timur sebagai salah satu propinsi yang kaya akan sumberdaya hutan konflik antara HPH/HTI dengan masyarakat adat terus berlanjut dan meluas (lihat Tabel 3).

Konflik-konflik yang terjadi pada umumnya karena wilayah adat mereka telah diambil alih dan tanaman tumbuh mereka digusur bersamaan dengan penebangan kayu oleh HPH dan land clearing oleh HPHTI.

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

97

Tabel 8. Rekapitulasi Konflik Sumberdaya Alam

Sumber : Pusdokinfo Dephutbun diolah oleh LATIN.

UU No. 41/99 tentang Kehutanan menggambarkan masih kuatnya keinginan pemerintah dalam hal ini Dephutbun untuk tetap mempertahankan kontrol dan penguasaan terhadap kawasan hutan dan sumberdaya hutan, sekalipun kontrol dan penguasaan tersebut selama ini telah mengakibatkan menurunnya kuantitas dan kualitas hutan serta terjadinya konflik-konflik di lapangan antara pemerintah maupun pengusaha di satu pihak dengan rakyat di pihak yang lainnya.

Semangat kontrol dan penguasan ini terlihat mulai dari Pasal 4 mengenai Penguasaan Hutan. Penguasaan Negara atas semua hutan di wilayah RI dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk : a) mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan; b) menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan; dan c) mengatur dan menetapkan

Sumber Konflik

Jumlah Kasus Jenis Konflik Pelaku Konflik

HPH 8741 Pembakaran areal, tumpang tindih status lahan, konflik sosial >

Perusahaan, masyarakat lokal dan pemerintah pusat/daerah

HTI

5757 Perubahan status penggunaan kawasan, mark-up dana reboisasi, konflik sosial

Perusahaan, masyarakat lokal dan pemerintah pusat/daerah

Perhutani

3097 Pencurian kayu, penjarahan lahan dan jati, penyerangan petugas

Perhutani, masyarakat lokal dan komplotan pencuri

Tanah

1492 Sengeketa lahan dan tanah, penyalahgunaan HGU

BPN, masyarakat, pemda dan perusahaan swasta

Taman Nasional

1492 Penebangan liar, tumpang tindih status lahan, perladangan liar dan penjarahan

Masyarakat lokal, taman nasional dan PKA

Perkebunan

405 Penjarahan hasil kebun, dan penyerobotan lahan masyarakat

Perusahaan negara, perusahaan swasta dan masyarakat lokal

Etnis

331 Perang antar etnis, penyinkiran etnis, konflik sosial antara pendatang dan penduduk asli

Berbagai macam kelompok etnis, perusahaan dan pemerintah

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

98

hubungan hukum antara orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan.

Kewenangan pemerintah ini kemudian dipertegas dalam Pasal 5, 6, dan 8 yang memberikan kewenangan kepada pemerintah dalam menetapkan status dan fungsi hutan. Kelompok pembuat dan pendukung undang-undang UU No. 41/99 secara naif percaya kepada maksud dan budi baik pemerintah dengan memberikan kewenangan yang demikian besar kepada pemerintah (Pemerintah Pusat).

Sementara wewenang yang dimiliki oleh administrasi pemerintahan yang lebih rendah (Dinas Kehutanan) sangat terbatas. Unit pemerintah yang lebih rendah ini seharus lebih memahami dan mengetahui persoalan kehutanan di lapangan. Dalam Pasal 66 UU 41/99 dinyatakan bahwa penyerahan sebagian kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah bertujuan untuk mengefektifkan pengurusan hutan dalam rangka pengembangan otonomi daerah. Penjelasan ayat (2) menyatakan bahwa kewenangan yang akan diserahkan adalah yang bersifat operasional. Dan sesuai ayat (3) penyerahan kewenangan operasional ini akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Seringkali dalam diskusi dan dialog yang terjadi antara birokrat kehutanan dan ornop di tingkat nasional maupun daerah, birokrat memberikan contoh-contoh kegagalan masyarakat dalam mengelola hutan dan sumberdaya alam secara lestari. Sementara ornop memberikan contoh-contoh dan pengalaman mendampingi masyarakat yang telah mengelola hutan dan sumberdaya alam mereka secara lestari. Sehingga pertanyaannya kemudian, masyarakat yang mana yang dijadikan contoh oleh Dephutbun dan masyarakat mana yang didampingi ornop?

Pada sisi yang lain informasi kebijakan pemerintah seringkali tidak sampai kepada masyarakat adat atau masyarakat lokal yang berinteraksi secara langsung dengan hutan dan sumberdaya alam. Informasi kebijakan seringkali diterima dan dimanfaatkan oleh golongan menengah (mis: pengusaha, rimbawan, perguruan tinggi, ornop ?) atau kelompok-kelompok kepentingan yang berasal dari kota. Atau jika sampai ke masyarakat adat atau masyarakat lokal telah bias oleh kepentingan-kepentingan tersebut.

Seperti SK Menhutbun No: 677/Kpts II/98 tentang Hutan Kemasyarakatan (HKM) yang memberikan peluang kepada masyarakat setempat untuk memperoleh hak dalam mengelola hutan, misalnya. Meski SK ini banyak dikritik terutama persyaratan kelembagaannya yang hanya berupa koperasi, prosedur perijinan dan monitoring serta evaluasinya yang rumit dan

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

99

sentralistik -- , informasi kebijakan ini tidak banyak diketahui, dipahami, dan dimanfaatkan oleh masyarakat setempat. Informasi kebijakan ini lebih banyak diterima, dipahami, dan dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok kepentingan dan atau golongan menengah dari kota. Proposal-proposal HKM yang diterima langsung Dephutbun menunjukkan banyak koperasi-koperasi yang mengajukan proposal HKM adalah koperasi “jadi-jadian”, bukan koperasi yang dibentuk oleh masyarakat setempat.

Tabel 9. Beberapa Konflik HPH/HPHI di Kaltim

Sumber : Titus Sarijanto dalam Kompas, Rabu 24 Mei 2000

Nama HPH/HPHI

Lokasi

Tuntutan

Keterangan

PT Ananga Pundinusa

Kutai 20% dari produksi - klaim tanah adat

seluas 75.000 ha

Diupayakan penyelesaian oleh Tim Advokasi APHI dan Komda APHI dibantu pakar sosial

PT Adindo Hutan Lestari

Bulungan - Ganti rugi makam senilai Rp

5.700.000.000. - Gantu rugi tanaman

tumbuh senilai Rp

950.000.000.

Ancaman penyanderaan alat berat prusahaan oleh masyarakat

PT Tunggal Yudi Hutani

Kutai - Ganti rugi Rp. 21.954.066.000

- Ganti rugi tumpang klaim

tanah adat sebesar Rp 3 milyar

Telah dilakukan pembicaraandan belum tercapai kesepakatan Diberikan kompensasi Rp 400.000.000,-

PT Belayan River Timber

Kutai - Levy and Grants Rp 17.000/m3

- Tenaga kerja diambil dari daerah

setempat - Perlu kalkulasi ulang

tentang tapal batas HPH dengan

desa setempat

Proses penyelesaian dilakukan oleh tokoh masyarakat

PT Kiani Lestari Kutai Uang 2 dolar AS/m 3 produksi kayu

- Manajemen PT Kiani Lestari dengan tokoh masyarakat

- Ancaman penghentian kegiatan hutan

- KU APHI & Komda APHI Kaltim telah menghadap Dirjen PHP guna penyelesaian kasus ini.

PT Limbang Ganeca Kutai Pengadaan mesin pompa air & dan pembuatan saluran /penampungan air

Tuntutan sesuai janji Menhutbun (Muslimin Nasution) saat melakukan kunjungan

PT Susukan Agung Kutai Uang tunai 2 dolar AS/m3 produksi

Ancaman penghentian kegiatan sebelum tuntutan dipenuhi

PT Melapi Timber Kutai Tuntutan dana Levy & Gran

Ancaman akan mendatangi kamp

Kasus 3 perusahaan Kutai Barat Uang tunai 2 dolar AS/m3 produksi

Tim APHI, Bupati, Muspika dan Kepala Adat telah mengupayakan penyelesaian namun masyarakat tetap pada

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

100

Kenyataan-kenyataan tersebut menunjukkan bahwa, terdapat gap antara para policy maker (pembuat kebijakan) di Jakarta dengan masyarakat sekitar hutan yang menjadi subyek dari kebijakan yang disusun tersebut. Pertama, para pembuat kebijakan belum mengenal masyarakat sekitar hutan secara baik, dan Kedua, informasi kebijakan yang telah disusun belum sampai kepada masyarakat sekitar hutan yang menjadi subyek dari kebijakan tersebut.

Gap yang ada ini merupakan lahan subur yang dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok kepentingan di kota dan tempat terjadinya praktek-praktek KKN (Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme). Sehingga yang sering terjadi adalah implementasi kebijakan yang menyimpang dari tujuan dan prinsip-prinsip yang tertulis dalam kebijakan tersebut.

Sejak tahun 1980-an ornop gencar mengkampanyekan hak-hak masyarakat adat dan masyarakat lokal dalam pengelolaan hutan. Pada tahun 1993, beberapa aktivis ornop dari berbagai daerah yang bergiat di bidang pemberdayaan masyarakat adat, masyarakat transmigrasi, pengelolaan kawasan konservasi, pengelolaan sumberdaya alam di dalam dan di luar kawasan konservasi dan lain-lain berkumpul dan mendiskusikan hasil temuan mereka mengenai pola-pola pengelolaan hutan yang berbasis pada pengetahuan masyarakat setempat yang tersebar di seluruh wilayah nusantara. Keberadaan pola-pola tradisional tersebut terancam oleh kehadiran berbagai aktivitas pembangunan seperti HPH, HTI, trasmigrasi, perkebunan besar, dan pertambangan.

Menyikapi hal tersebut para aktivis ornop menggagas konsep SHK (Sistem Hutan Kerakyatan) dari pola-pola pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat yang telah hidup dan berkembang secara lestari. Konsep SHK dikembangkan sebagai antitesis terhadap konsep negara dalam pengelolaan sumberdaya hutan yang telah terbukti mengakibatkan kerusakan hutan dan marginalisasi rakyat.

5.4 Gerakan Community Forestry di Indonesia

Community forestry di Indonesia sebagai paradigma baru dalam pengelolaan hutan masih merupakan gagasan baru dan konsep-konsep tentang apa si community forestry masih dalam proses evolusi. Ada yang mengatakan community forestry adalah sistem pengelola hutan oleh masyarakat dimana kepastian akses masyarakat terhadap hutan dijaminkan.

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

101

Sebagian lagi mengatakan, community forestry adalah pengakuan hak masyarakat adat atas kawasan hutan dan pengembalian ke sistem pengelolaan hutan secara tradisional atau lokal yang sudah ada sejak lama. Ada lagi persepsi yang menyebutkan bahwa community forestry adalah pendekatan pembangunan baru dimana hutan bisa dilihat sebagai pelopor pembangunan desa dan daerah. Dalam pengertian ini, isu besar, selain akses, adalah redistribusi aset hutan kepada masyarakat yang tergantung kepada hutan dan proses pengelolaan aset tersebut secara ekonomis untuk meningkatkan kesejahteran masyarakat. Ada juga persepsi bahwa community forestry hanya adalah keterlibatan masyarakat dalam kegiatan kegiatan kehutanan secara langsung, sebagai mitra dengan pihak lain. Ada juga beberapa pendapat lain tentang community forestry. Paling tidak semua pendekatan membuka ruang untuk masyarakat dalam pengertian kehutanan dan mengakui bahwa hubungan masyarakat dan hutan di Indonesia tidak lagi bisa di abaikan.

Sekarang retorik community forestry sudah naik ke tingkat politik dengan isitilah “hutan untuk rakyat”, dan beberapa pihak yang mendorong “community forestry” sudah mulai lebih aktif di beberapa lapisan, dari aksi masyarakat di lapangan sampai ke interaksi dengan DPR-RI. Kegiatan-kegiatan ini secara seluruhnya mulai diterima sebagai satu “gerakan community forestry”.

Untuk menganalisir apakah memang sudah ada “gerakan” community forestry di Indonesia perlu kita bertanya: apakah itu sebuah “gerakan”? Istilah gerakan juga bisa di terjemahkan dengan bentuk masing masing tetapi paling tidak sebuah gerakan terdiri dari : Aktor-aktor yang terlibat gerakan masal (critical mass), yang mencari perubahan secara proaktif, dengan arah dan isu yang jelas, berdasarkan strategi (kampanye, advokasi, lobi dll), yang punya penguatan dari hubungan antara berbagai pihak, yang dimotori oleh kejadian dan kegiatan yang terus menerus, serta diakui dan tidak bisa diabaikan oleh orang di luar gerakan.

Gambaran gerakan community forestry secara keseluruhan di Indonesia merupakan gerakan yang belum dilihat sebagai gerakan masal yang dapat memperlihatkan perubahan yang besar. Dari beberapa sisi, ada dorongan bersama yang disadari atau tidak oleh masing-masing pelaku, mengarahkan pada pengembangan community forestry di Indonesia.

Terdapat gerakan-gerakan yang dapat dilihat dari aktor-aktor yang terlibat dalam gerakan community forestry , pertama masyarakat melalui aksi meminta haknya kembali atas kawasan hutan yang menggunakan sistem pengelolaan hutan secara tradisionil; kedua kelompok pemerhati yang mempunyai komitmen pada kehidupan masyarakat hukum adat dan masyarakat lokal yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan.

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

102

Kelompok ini terdiri dari (1) kelompok pemerhati non-pemeritah dan (2) kelompok pemerhati didalam tubuh organisasi pemerintah; dan ketiga adalah Pemerintah (melalui kebijakan) yang sudah mulai bergerak di tingkat retorik dan beberapa kegiatan sebagai langkah awal tetapi masih belum memastikan akses dan hak masyarakat terhadap hutan dan masih belum mengakui, menerima dan menjamin keberlanjutan sistem pengelolaan hutan secara tradisionil.

a. Masyarakat Sebagai Aktor Gerakan Community Forestry

Gerakan community forestry sebenarnya dimulai dan dimunculkan oleh masyarakat yang langsung terkait di lapangan. Pemunculan ini diawali dengan berbagai kasus sengketa antara masyakat di dalam dan sekitar hutan dengan pengelola dan industri kehutanan. Sengketa dimulai pada saat industri kehutanan mengusik keberadaan dan kehidupan masyarakat hukum adat, sekitar tahun 1970-an.

Sengketa ini sebenarnya memperlihatkan bagaimana sistem pengelolaan hutan mereka, yang sudah berakar di masyarakat, terganggu dan terdesak oleh sistem pengusahaan hutan yang sama sekali tidak memberikan peluang berkembangnya sistem pengelolaan mereka. Tujuan pergerakan masyarakat di dalam dan sekitar hutan adalah pengakuan dan pengembalian hak serta akses ke hutan.

Gerakan community forestry yang ada di masyarakat bermunculan berdasarkan kasus per kasus. Klaim hak atas tanah dan dorongan untuk meminta dikembalikannya hak atas hutan adat yang “dinegarakan” memperlihatkan bahwa masyarakat berusaha untuk mempertahankan sistem pengelolaan yang sudah menjadi bagian dari kehidupan mereka, karena tidak bisa ditukar dengan sistem apapun.

Gerakan ini semakin keras pada era reformasi, kondisi krisis ekonomi dan pasca kebakaran hutan, dimana keberanian untuk mempertahankan sistem pengelolaan mereka dan meminta kembali haknya, menunjukan bahwa sistem ini merupakan satu-satunya sistem yang dapat menompang kehidupan masyarakat di dalam dan sekitar hutan.

Kegiatan masyarakat untuk mengklaim akses dan/atau hak atas hutan di banyak lokasi masih merupakan kegiatan sporadik dan masih dalam bentuk “kasus per kasus”, bersifat lokal. Posisi tawar menawar masyarakat adat dan masyarakat lokal masih lemah, dan hubungan dengan pemda, pengusaha dan beberapa sumber kekuasaan lain sangat bervariasi.

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

103

B. Kelompok Pemerhati dan Peduli terhadap Pengembangan Community Forestry.

Kelompok masyarakat lainnya yang menangkap sinyal gerakan masyarakat adalah kelompok pemerhati atau yang mempunyai komitment besar terhadap kehidupan masyarakat hukum adat dan masyarakat lokal yang tinggal di dalam dan sekitar hutan.

Dimulai dengan melihat sistem pengelolaan masyarakat secara tradisionil sebagai obyek penelitian sistem pengelolaan yang mampu mempertahankan keanekaragaman hayati; penelitian kehidupan atau kearifan lokal yang sangat beragam dan “menakjubkan” bagi orang luar; dan keberagaman sistem yang melahirkan banyak konsep dan pemikiran para ilmuwan serta dijadikan dasar pengembangan ilmu-ilmu praktis kehutanan.

Hasil kajian dan riset-riset yang dilakukan banyak ilmuwan dan pemerhati lingkungan, kearifaan dari pengelolaan ini mulai terangkat kepermukaan pada banyak konferensi tingkat nasional maupun internasional.

Penjabaran para ilmuwan tentang bagaimana sistem ini mampu mempertahankan komunitas hutan dan sistem keberlanjutan yang mampu mempertahankan keragaman sumberdaya hayati, lengkap dengan masalah dan prediksi hancurnya sistem yang telah berakar di masyarakat hukum adat, mendorong sebagian masyarakat yang perduli lingkungan terpanggil untuk mengkampanyekan pertahanan terhadap kearifan sistem pengelolaan hutan oleh masyarakat hukum adat dan setempat.

Kelompok ini bekerja cukup keras untuk membantu pengembalian hak masyarakat atas sumberdaya alam, dan mengembalikan sistem masyarakat hukum adat sebagai salah satu bentuk pengelolaan sumberdaya hutan.

c. Kelompok Pemerhati non-Pemerintah

Kelompok pemerhati non-Pemerintah dari berbagai lembaga : LSM; Perguruan Tinggi dan kelompok lainnya yang mempunyai komitmen penuh pada masyarakat mempunyai kewajiban moral untuk mempertahankan sistem pengelolaan dan membela tuntutan pengembalian hak masyarakat hukum adat terhadap hutan adat.

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

104

Penyampaian fakta dilapangan dan bagaimana kearifan tradisional sangat bermanfaat bagi keberlangsungan pengelolaan sumberdaya hutan, serta kritik kebijakan yang dapat menghancurkan sistem pengelolaan hutan oleh masyarakat hukum adat dan masyarakat lokal, merupakan salah satu upaya kelompok ini untuk gerakan community forestry.

Namun sayang sekali kadang-kadang inti gerakan belum ditangkap sebagai gerakan positif dan sangat strategis untuk kelestarian sumberdaya alam serta pengembangan community forestry di Indonesia. Kampanye; advokasi dan pendampingan masyarakat dalam pengembangan sistem pengelolaan masih dianggap sebagai provokasi yang cukup membahayakan keberlangsungan kehidupan bernegara. Seringkali istilah “membangkitkan macan tidur” dan gerakan mengangkat sistem yang sudah hilang atau mengada-ada merupakan momok yang selalu didengungkan oleh sebagian pihak. Banyak penyebab dari pandangan negatif ini, salah satunya adalah mungkin ketidak mengertian atas pentingnya pengembangan community forestry sebagai bagian dalam pembangunan kehutanan.

Perjuangan kelompok ini tidak hanya pada gerakan advokasi hak masyarakat hukum adat, beberapa lembaga dan perguruan tinggi juga melakukan pendampingan dan membantu dokumentasi untuk mengangkat isu sistem yang berasal dari masyarakat hukum adat dan masyarakat lokal, baik dalam perumusan kebijakan maupun upaya perbaikan sistem pembelajaran. Beberapa lembaga swadaya masyarakat dan perguruan tinggi juga mengadakan kerjasama bersama dengan pihak Pemerintah dan BUMN untuk mengembangkan Perhutanan Sosial di Jawa sebagai cikal bakal pengembangan community forestry, dan pengembangan program-program kearah community forestry di luar Jawa. Kerjasama yang dijalin ini secara umum menajdi wadah untuk proses belajar bersama.

Forum Komunikasi Kehutanan masyarakat, merupakan forum yang mempelopori gerakan community forestry melalui proses komunikasi; proses belajar; eksplorasi; penguatan data dan informasi; pemberdayaan semua pihak; penggalian konsep-konsep dan instrumen; advokasi perubahan dan penerapan kebijakan kehutanan. Gerakan yang dibangun bersama (Masyarakat, Perguruan Tinggi; Pemerintah, LSM, termasuk KPSHK, dan Swasta serta pemerhati lainnya) ini sangat strategis dan telah menjadi pelopor gerakan yang dimanfaatkan semua pihak.

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

105

Dengan adanya forum ini, gerakan community forestry semakin terlihat dan menjadi isu kuat bagi perubahan kebijakan nasional. Sebagai bagian dari akar akar gerakan, KPSHK sudah berhasil mewarnai persfektif FKKM, dimulai dengan pemahaman atas konsep SHK sampai ke naskah Rancangan Undang Undang Pengelolaan Sumber Daya Hutan yang mengakomodasikan hutan adat dan akses serta hak masyarakat hutan adat.

Kenyataan di lapangan dan dorongan yang cukup kuat dari kelompok pemerhati dan peduli membuat gerakan community forestry dilihat oleh kalangan dunia internasional sebagai isu strategis yang berlu diangkat dan didorong. Oleh karena itu, proyek-proyek bantuan Pemerintah luar sejak awal tahun 90-an juga mulai memasukan aspek partisipasi masyarakat dalam setiap bantuan teknisnya. Sehingga dorongan yang cukup keras dari proyek donor untuk perkembangan community forestry, melengkapi gerakan community forestry oleh kelompok swadaya masyarakat. Sebagai contoh adalah kerjasama untuk pengembangan community forestry antara Pemerintah Indonesia (melalui Departemen Kehutanan) dengan Republik Federal Jerman (GTZ-SFDP) di Sanggau Kalimantan Barat. Proyek kerjasama juga dapat dijadikan proses mencari pilihan pilihan bentuk community forestry di masyarakat, selain yang memang sudah ada dan berakar dimasyarakat. Pendekatan yang digunakan dalam proyek bisa dijadikan salah satu alternatif model gerakan community forestry.

d. Kelompok Pemerhati di dalam Organisasi Pemerintah.

Kelompok ini masih merupakan kelompok kecil perorangan, baik pelaksana program di lapangan maupun pejabat teknis terkait. Kelompok ini memang belum terlihat sebagai gerakan community forestry, namun kepedulian dan komitmen untuk mensejahterakan masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan merupakan nilai positif bagi dorongan gerakan community forestry. Secara perlahan kelompok ini terus mencoba “mempengaruhi” Pemerintah, khususnya Departemen Kehutanan, untuk memberi peluang peningkatan peran serta masyarakat di dalam pengelolaan hutan dan mengembangkan kemitraan antara masyarakat, pemerintah dan swasta, agar hubungan “harmonis” dapat diciptakan diantara mereka.

Melalui berbagai pendekatan, kelompok ini berusaha untuk masuk dalam perumusan kebijakan di dalam lingkup tanggung-jawab kerjanya masing masing. Disadari atau tidak oleh mereka, secara tidak langsung

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

106

komitment dan upayanya ikut berkontribusi positif dalam gerakan community forestry. Memang tidak mudah bagi kelompok ini untuk secara terus menerus terlibat dalam gerakan, karena tidak jarang dari mereka terputus dari proses pengembangan karena perpindahan tugas dan lokasi. Secara moril dan pribadi, banyak dari kelompok ini berupaya terus membuka celah bagi kelompok di luar organisasi Pemerintahan untuk masuk kedalam sistem yang memformulasikan kebijakan kebijakan kehutanan. Kesempatan ini terus mereka perlebar melalui diskusi; kerjasama pengembangan program; pembahasan teknis kebijakan dan lainnya. Strategi ini memang tidak selamanya berhasil, namun sebagai bagian dari gerakan peran kelompok ini sangat positif. Sebagai contoh lahirnya kebijakan Kawasan Dengan Tujuan Istimewa (KDTI); pengembangan program Pengelolaan Hutan Produksi untuk Masyarakat Tradisionil (PHPMT); pengembangan program Hutan Kemasyarakat (HKM versi SK 677/1998); pengembangan program community forestry di beberapa Taman Nasional dan beberapa program masyakarakat didalam dalam dan sekitar hutan.

Perkembangan lain yang memperlihatkan bagaimana upaya kelompok ini adalah perubahan pada tatacara penataan batas kawasan hutan dan penyelesaian sengketa hak atas tanah di kawasan hutan melalui penyelesaian “enclave” dan Pengukuhan Wilayah Masyarakat Hukum Adat. Walaupun kebijakan ini masih belum dikeluarkan namun pembicaraan dan diskusi ke arah perubahan di dalam Departemen Kehutanan dan Perkebunan cukup positif untuk memperlihatkan adanya dorongan gerakan untuk dukungan terhadap community forestry. Perubahan kebijakan ini minimal dapat digunakan sebagai entry point bagi diakuinya sistem pengelolaan oleh masyarakat hukum adat dan masyarakat lokal di dalam dan sekitar hutan.

5.5 Peran Pemerintah dalam Pengembangan Community Forestry

Retorik politik sudah mulai, dan perubahan kebijakan merupakan peluang besar bagi gerakan community forestry untuk mengambil bagian dalam prosesnya. Menempatkan Pemerintah sebagai bagian dari gerakan community forestry sangat tepat, karena gerakan ini adalah gerakan massa.

Perkembangannya memang mungkin memerlukan waktu, namun sebagai gerakan masa perannya juga sangat cukup menentukan percepatan dari gerakan. Gambaran pergerakan yang terjadi dalam tubuh Pemerintah arahnya cukup baik, namun memerlukan penguatan pihak pihak lain untuk lebih menekankan pada asensi dari gerakan community forestry.

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

107

Perkembangan kebijakan yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat di dalam dan sekitar hutan dimulai dengan kebijakan yang mencoba memberi peluang masyarakat diakui dan “diperhatikan” keberadaannya. Didahului oleh SK HPH Bina Desa Hutan tahun 1991 dan selanjutnya berkembang kebijakan yang berkaitan dengan Hutan Rakyat; Perhutanan Sosial; Pembinaan Masyarakat Desa Hutan (perubahan dari HPH Bina Desa Hutan); perkembangan Pengelolaan Hutan Produksi oleh Masyarakat Tradisionil (PHPMT) dan Hutan Kemasyarakatan (HKM), serta kebijakan yang membuka peluang ke arah dukungan dan pengakuan sistem pengelolaan masyarakat tradisionil yaitu KDTI untuk Krui Lampung.

Jika dilihat gambaran perubahan kebijakan sejak tahun 1991 sampai dengan saat ini, pertama diarahkan pada bagaimana mengusahakan masyarakat bisa hidup harmonis dengan perusahaan yang diberi Hak Pengelolaan Hutan (HPH). Saat itu masyarakat masih dilihat sebagai “masalah” yang perlu ditangani, bahkan perambah hutan yang harus segera “disadarkan”. Hal ini dapat dilihat pada kebijakan Pembinaan masyarakat Desa Hutan mulai dari SK Menhut No. 691/1991 yang mengalami perubahan sebanyak tujuh kali (terakhir SK Menhut. No 523/1997).

Kebijakan-kebijakan program-program yang “seolah-olah” berpihak pada rakyat menunjukan bahwa Pemerintah belum menangkap inti gerakan community forestry oleh masyarakat dan kelompok pemerhati. Kebijakan bingung yang dikeluarkan terkesan setengah-setengah dan tidak didasarkan pada hasil analisis permasalahan sebenarnya dan belum terlihat dikonsultasikan pada masyarakat. Tidak jarang jika beberapa kebijakan dalam pengusahaan hutan justru menjadi penghalang gerakan community forestry dan menjadi kendala utama berkembangnya program ini. Sampai saat ini gerakan community forestry masih belum dijadikan starting point bagi perubahan paradigma pembangunan kehutanan.

Gerakan yang belum dapat dikatakan sebagai gerakan community forestry oleh Pemerintah, khususnya dalam tubuh Departemen Kehutanan, sebenarnya dapat dilihat sebagai peluang positif untuk lebih mengarah kepada gerakan yang telah dilakukan oleh masyarakat dan kelompok pemerhati. Sebagai contoh adalah program HKM yang saat ini menjadi pendekatan untuk menunjukan perubahan paradigma Pemerintah dalam pembangunan kehutanan untuk mensejahterakan dan meningkatkan peran serta masyarakat.

Lepas dari sisi kekurangan dan ketidaksempurnaan kebijakan ini, pengembangan program ini merupakan salah satu peluang bagi gerakan community forestry, untuk menyemprnakan pendekatan ini bersama dengan

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

108

masyarakat sebagai satu opsi untuk pengelolaan hutan. Selain itu keterlibatan sebagai mitra belajar bisa lebih lebih memperlihatkan dan beragumentasi bahwa bukan hanya HKM yang dapat dijadikan satu satunya bentuk pengelolaan hutan oleh masyarakat.

Perubahan yang cukup positif, ditengah-tengah perdebataan keras mengenai ada atau tidak adanya sistem pengelolaan hutan oleh masyarakat hukum adat, adalah dikeluarkannya Kepmeneg Agraria/Kepala BPN nomor 5 tahun 1999, tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adaat. Walaupun masih terdapat banyak ketidak jelasan dalam SK ini, namun kebijakan ini dapat ditangkap gerakan di dalam tubuh pemerintah untuk mengakui; mengembalikan dan melindungi sistem pengelolaan sumberdaya hutan oleh masyarakat hukum adat dan masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan.

5.6 Isu-isu Strategis bagi Gerakan Community Forestry

Banyak sekali isu isu yang sebaiknya mendapat perhatian oleh semua aktor dalam gerakan community forestry diantaranya adalah isu isu kebijakan yang berkaitan secara langsung maupun tidak langsung pada gerakan. Isu-isu kebijakan yang tarik menarik antar sektoral pada kebijakan untuk menyusun paduserasi tata ruang wilayah; isu desentralisasi; perumusan Rancangan Undang Undang dan beberapa kebijakan lokal daerah yang sentralistik daan sektoral.

Kebijakan sektoral yang diterapkan Pemerintah dalam rencana pembangunan secara umum terlihat belum perduli dengan gerakan community forestry. Sektor-sektor yang langsung terkait dengan masyarakat di dalam dan sekitar hutan, seperti Departemen Dalam Negeri (Pemdes), Kehutanan, Sosial dan Badan Pertanahan Nasional, dalam perumusan kebijakan kebiajakan yang terkait dengan masyarakat di dalam dan sekitar hutan masih belum sepenuhnya mengakui prinsip-prinsip pengelolaan sumberdaya hutan oelh masyarakat hukum adat dan masyarakat lokal. Masyarakat hukum adat yang masih memegang kuat sistem pengelolaan hutan, masih belum diakui secara nyata, bahkan keraguan dan pernyataan bahwa masyarakat hukum adat “sudah hilang” karena perubahan dinamika kehidupan, terus menjadi alasan dasar untuk menolak masyarakat hukum adat.

Isu tata ruang wilayah propinsi secara makro masih perlu diantisipasi oleh pelaku gerakan community forestry dalam perencanaan mikro yang dapat menjamin keberadaan kawasan hutan masyarakat hukum adat dalam tata

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

109

ruang wilayah. Isu ini sangat strategis untuk memasukan hasil pemetaan partisipatif masyarakat dalam rencana tata ruang wilayah kecamatan sebagai bagian terkecil dalam perencanaan tata ruang wilayah.

Sebagai tahapan strategis dalam pengakuan dan pengembalian hak masyarakat hukum adat konsentrasi kedalam isu ini sangat prioritas. Dari perencanaan sektoral, redesign areal Hak Pengusahaan Hutan (HPH) oleh Departemen Kehutanan dan Pemerintah Daerah perlu mendapat perhatian ekstra bagi pelaku gerakan community forestry. Redesign tersebut belum mengakomodasikan bentuk bentuk community forestry lainnya selain bentuk HKM pada pencadangan arealnya.

Isu desentralisasi pengelolaan sumberdaya hutan, yang dikaitkan dengan UU Pemerintahan Daerah, masih memerlukan perhatian khusus terutama dalam memformulasikan turunan kebijakan dari UU berupa peraturan perundangannyanya, peraturan pemerintah, peraturan dan surat keputusan menteri dan kebijakan operasionalnya. Formulasi kebijakan ini juga sangat penting bagi gerakan community forestry, sehingga diperlukan perhatian penuh dalam strategi gerakan. Berkaitan dengan isu ini, dibukanya peluang invertos dalam mengalola sumberdaya alam oleh Pemerintah Daerah untuk mengejar Pendapatan Asli Daerah (PAD), merupakan ancaman bagi gerakan community forestry, karena akan berkaitan dengan alokasi penggunaan lahan.

Berkaitan dengan pasca kebakaran hutan tahun 1997/1998, isu yang tidak langsung berkaitan dengan community forestry, tetapi berkaitan dengan masyarakat di dalam dan sekitar hutan dan estimasi timbulnya kebakaran hutan mendatang. Kebijakan yang baru dan sedang berjalan saat ini adalah tebang penyelamatan dan rehabilitasi lahan bekas terbakar. Tebang penyelamatan pada areal HPH melalui Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK) Tebang Penyelamatan mempunyai potensi sumber kebakaran hutan jika dalam pelaksanaannya disimpangkan dengan “menyelamatkan” atau menebang juga pohon yang hidup setelah kebakaran hutan.

Kebakaran kembali akan mengorbankan kawasan hutan masyarakat yang berada di dalam dan sekitar areal HPH. Begitupun dengan proyek rehabilitasi hutan bekas terbakar yang mengikutsertakan peran masyarakat. Jika tidak jelas mekanismenya, hal ini mempunyai potensi konflik berikutnya.

Kebijakan pemberian hak pengusahaan hutan melalui lembaga koperasi. Apabila koperasi dijadikan sebagai satu-satunya lembaga yang secara hukum memenuhi syarat untuk diserahi hak pengusahaan hutan kepada masyarakat, maka hal ini bisa merupakan “salah satu” penyebab

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

110

musnahnya lembaga-lembaga yang ada pada masyarakat hukum adat dan masyarakat setempat. Pengembangan community forestry sangat tergantung kepada konteks sosial, ekologi, budaya dan ekonomi, mungkin perlu ada keanekaragaman kelembagaan. Koperasi hanya bisa menjawab isu ekonomi, sedangkan commuty forestry lebih menekankan pada hubungan antara masyarakat dengan hutan. Dengan mengganti lembaga yang ada di masyarakat dengan koperasi sebagai lembaga ekonomi, baik melalui pembinaan dan pemberdayaan, dan rekayasa, maka pemunahan sistem sistem pengelolaan sumberdaya hutan oleh masyarakat hukum adat dan masyarakat setempat dapat dilakukan secara struktural dalam jangka panjang.

Sampai saat ini fokus utama strategi gerakan masih pada pengembalian hak dan kepastian akses masyarakat, walaupun sangat mendasar, hal ini belum cukup. Banyak hal lain yang masih perlu diperhatikan lebih dalam gerakan adalah bagaimana memperbaiki dan meningkatkan ekonomi, pengolahan nilai tambah dan meningkatkan produktivitas hutan dan lahan, kelestarian keanekaragaman hayati, keadilan dalam pendistribusian hasil hasil sumberdaya alam, pendekatan kesetaraan gender dan lainnya yang saling terkait.

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

111

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

112

PEMBERDAYAANMASYARAKAT

BAB 6

143

6.1 Pendahuluan

Masyarakat sekitar hutan adalah masyarakat yang tinggal di desa yang secara administratif dan ekologis berada dan atau berbatasan langsung dengan hutan. Perhutani (1999) mendefinisikan bahwa masyarakat desa hutan adalah orang-orang yang bertempat tinggal di desa hutan dan yang bertempat tinggal di desa hutan dan melakukan kegiatan yang berinteraksi dengan sumber daya hutan untuk mendukung kehidupannya. Masyarakat desa hutan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ekosistem hutan. Interaksi antara ekosistem hutan dan sosiosistem masyarakat sekitar hutan akan menentukan kelangsungan pengelolaan sumber daya hutan.

Menurut Sardjono (1998) pengertian masyarakat sekitar hutan lebih ditekankan pada sekelompok orang yang secara turun temurun bertempat tinggal di dalam/di sekitar hutan dan kehidupan serta penghidupannya (mutlak) bergantung pada hasil hutan dan/atau lahan hutan. Sekelompok orang tersebut dalam konteks yang lebih spesifik (dikaitkan dengan nilai kearifan terhadap sumberdaya hutan yang ada) disebut sebagai masyarakat tradisional dan dari sisi kepentingan yang lebih luas (pembangunan daerah) lebih sering diistilahkan sebagai masyarakat lokal.

Selanjutnya Darusman (2000) menyatakan bahwa fakta yang sangat kuat dan meluas bahwa ada masyarakat yang hidup di sekitar dan di dalam hutan, baik bermukim (menetap) maupun nomaden (berpindah-pindah) baik asli/turun-temurun maupun pendatang. Masyarakat sekitar hutan adalah bagian tubuh bangsa Indonesia yang tidak dapat dipisahkan dalam setiap gerak pembangunan. Lebih lanjut Darusman (2000) dan Awang (2006) menyebutkan bahwa masyarakat sekitar hutan harus diperhatikan karena :

a) Masyarakat sekitar hutan adalah bagian dari ekosistem hutan yang saling tergantung.

b) Masyarakat sekitar hutan adalah berhak mendapatkan keadilan, karena selama ini terpinggirkan.

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

113

c) Masyarakat sekitar hutan mempunyai hak untuk berdemokrasi dan hak untuk berdemokrasi dan hak untuk menentukan suatu kebijakan.

d) Masyarakat sekitar hutan sebanyak 20% - 35% masih berada dibawah garis kemiskinan yang tentunya mengimpikan menjadi warga negara yang sejahtera.

e) Masyarakat sekitar hutan dapat menjadi sumber gangguan keamanan hutan.

Data Brown & Sunderlin dkk yang dikutip Strategi nasional multistakeholder forestry programme (2005) hasil kerjasama Dephut dengan Departement for international development (DFID) Inggris menyebutkan terdapat sekitar 48,8 juta penduduk Indonesia bermukim di wilayah hutan negara, dari jumlah itu, 10,2 juta orang adalah miskin dan sekurangnya enam juta orang sangat tergantung kehidupan mereka pada sumber daya hutan. Akibat kondisi ekonomi masyarakat sekitar hutan yang sangat miskin karena kurangnya kesempatan para petani maupun masyarakat sekitar hutan untuk mengelola sumber daya hutan yang disebabkan oleh ketimpangan dalam pembagian pemilikan lahan, maka hal tersebut berakibat pada rusaknya hutan itu sendiri baik itu yang rusak karena penjarahan maupun penyabotan lahan hutan.

Simon (1999) menyatakan bahwa petani hutan sebagai satu lapisan sosial yang relatif paling bawah pada umumnya tidak memiliki lahan dan akses petani hutan terhadap sumber daya hutan juga tertutup. Kondisi tersebut semakin menjadikan proses kemiskinan masyarakat sekitar hutan mengalami eskalasi kenaikan yang cukup siginifikan.

Paradigma baru pemberdayaan yang menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama pembangunan diharapkan lebih dapat bersifat memberdayakan masyarakat. Mengingat salah satu tujuan pembangunan adalah terciptanya masyarakat yang memiliki daya, kekuatan atau kemampuan berpartisipasi aktif dalam pembangunan serta memiliki kebebasan di segala bidang kehidupan.

Keberhasilan implementasi paradigma baru pemberdayaan masyarakat disadari bukanlah hal yang mudah, tetapi memerlukan upaya dan kerja keras dari berbagai pihak, baik pemerintah, swasta, pelaku pemberdayaan maupun masyarakat. Salah satu yang harus diperhatikan dalam proses pemberdayaan masyarakat adalah keterlibatan masyarakat sasaran dan pemanfaatan potensi dan sumberdaya lokal secara optimal agar masyarakat dapat menolong dirinya sendiri (mandiri).

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

114

6.2 Definisi Pemberdayaan

Empowerment yang dalam bahasa Indonesia berarti “pemberdayaan”, adalah sebuah konsep yang lahir sebagai bagian dari perkembangan alam pikiran masyarakat kebudayaan Barat, utamanya Eropa. Memahami konsep empowerment secara tepat harus memahami latar belakang kontekstual yang melahirkannya.

Konsep empowerment mulai nampak sekitar dekade 70-an dan terus berkembang hingga 1990-an. (Pranarka & Vidhyandika,1996) menjelaskan bahwa konsep pemberdayaan dapat dipandang sebagai bagian atau sejiwa sedarah dengan aliran yang muncul pada paruh abad ke-20 yang lebih dikenal sebagai aliran post-modernisme. Aliran ini menitikberatkan pada sikap dan pendapat yang berorientasi pada jargon antisistem, antistruktur, dan antideterminisme yang diaplikasikan pada dunia kekuasaan. Pemahaman konsep pemberdayaan oleh masing-masing individu secara selektif dan kritis dirasa penting, karena konsep ini mempunyai akar historis dari perkembangan alam pikiran masyarakat dan kebudayaan barat.

Prijono dan Pranarka (1996) membagi dua fase penting untuk memahami akar konsep pemberdayaan, yakni: pertama, lahirnya Eropa modern sebagai akibat dari dan reaksi terhadap alam pemikiran, tata masyarakat dan tata budaya Abad Pertengahan Eropa yang ditandai dengan gerakan pemikiran baru yang dikenal sebagai Aufklarung atau Enlightenment, dan kedua, lahirnya aliran-aliran pemikiran eksistensialisme, phenomenologi, personalisme yang lebih dekat dengan gelombang Neo-Marxisme, Freudianisme, strukturalisme dan sebagainya.

Perlu upaya mengakulturasikan konsep pemberdayaan tersebut sesuai dengan alam pikiran dan kebudayaan Indonesia. Perkembangan alam pikiran masyarakat dan kebudayaan Barat diawali dengan proses penghilangan harkat dan martabat manusia (dehumanisasi). Proses penghilangan harkat dan martabat manusia ini salah satunya banyak dipengaruhi oleh kemajuan ekonomi dan teknologi yang nantinya dipakai sebagai basis dasar dari kekuasaan (power).

Power adalah kemampuan untuk mendapatkan atau mewujudkan tujuan. Bachrach dan Baratz (1970) membuktikan bahwa power adalah konsep rasional (rational concept). Dalam pandangan mereka, power dilakukan yang dilakukan A hanya dilakukan dalam hubungan individu atau kelompok B untuk memenuhi kebutuhan. Pemenuhan kebutuhan yang diberikan oleh B yang rela melakukan pilihan atas sanksi yang ada atau akan kehilangan sesuatu yang lebih tinggi (kekuasaan atau uang).

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

115

Ironisnya, kekuasaan itu kemudian membuat bangunan-bangunan yang cenderung manipulatif, termasuk sistem pengetahuan, politik, hukum, ideologi dan religi. Akibat dari proses ini, manusia yang berkuasa menghadapi manusia yang dikuasai. Dari sinilah muncul keinginan untuk membangun masyarakat yang lebih manusiawi dan menghasilkan sIstem alternatif yang menemukan proses pemberdayaan. Sistem alternatif memerlukan proses empowerwent of the powerless. Namun empowerment hanya akan mempunyai arti kalau proses pemberdayaan menjadi bagian dan fungsi dari kebudayaan, yaitu aktualisasi dan koaktualisasi eksistensi manusia dan bukan sebaliknya menjadi hal yang destruktif bagi proses aktualisasi dan koaktualisasi eksistensi manusia (Prijono dan Pranarka, 1996).

Para ilmuwan sosial dalam memberikan pengertian pemberdayaan mempunyai rumusan yang berbeda-beda dalam berbagai konteks dan bidang kajian, artinya belum ada definisi yang tegas mengenai konsep tersebut. Namun demikian, bila dilihat secara lebih luas, pemberdayaan sering disamakan dengan perolehan daya, kemampuan dan akses terhadap sumber daya untuk memenuhi kebutuhannya. Oleh karena itu, agar dapat memahami secara mendalam tentang pengertian pemberdayaan maka perlu mengkaji beberapa pendapat para ilmuwan yang memiliki komitmen terhadap pemberdayaan masyarakat.

Pemberdayaan dapat diartikan sebagai memberikan kekuasan, mengalihkan kekuatan, atau mendelegasikan otoritas ke pihak lain, sedangkan memberdayakan dapat diartikan sebagai upaya untuk memberi kemampuan atau keberdayaan. Merriam Webster (dalam Onny S. Prijono; 1996 : 3).

Pemberdayaan masyarakat diperlukan ketika masyarakat dianggap apatis atau masa bodoh, selalu bergantung kepada penguasa atau pimpinan, mereka termarjinalkan, atau karena alasan-alasan apa saja yang pada akhirnya masyarakat hanya berperan sebagai obyek dalam kehidupan berpolitik dan dalam sistem penyelenggaraan negara. Pemberdayaan masyarakat dimaksudkan dengan usaha menjadikan masyarakat semakin berdaya untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan kebijakan publik (Ahmad Qodri; 2003 : 11, 21). Memberdayakan masyarakat berarti memungkinkan masyarakat untuk mencapai kemampuan prestasi tinggi. Proses pemberdayaan masyarakat dilakukan dengan memberikan kewenangan kepada masyarakat untuk membuat lebih banyak keputusan yang berkaitan dengan tugas dan tanggung jawabnya (Gaspersz; 1997 : 57).

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

116

Pemberdayaan berarti pembagian kekuasan yang adil sehingga meningkatkan kesadaran politis dan kekuasan kelompok yang lemah serta memperbesar pengaruh mereka terhadap proses dan hasil-hasil pembangunan (Paul; 1987 dalam Onny S. Priyono; 1996 : 63).

Stamatis (dalam Veronica, 1999: 47) menyatakan menyatakan pemberdayaan dapat dilihat dari dua perspektif :

a) Memberdayakan para masyarakat untuk melakukan pekerjaan, mengambil keputusan yang diperlukan untuk memuaskan tuntutan pelanggan, dan bekerja dengan sedikit campur tangan penyeliaan.

b) Memberdayakan masyarakat untuk melaksanakan dan mengelola kinerja unitnya melalui perencanaan, pengendalian, koordinasi, maupun penyempurnaan pekerjaan

Robinson (1994) menjelaskan bahwa pemberdayaan adalah suatu proses pribadi dan sosial; suatu pembebasan kemampuan pribadi, kompetensi, kreatifitas dan kebebasan bertindak. Ife (1995) mengemukakan bahwa pemberdayaan mengacu pada kata empowerment, yang berarti memberi daya, memberi power (kuasa), kekuatan, kepada pihak yang kurang berdaya. Segala potensi yang dimiliki oleh pihak yang kurang berdaya itu ditumbuhkan, diaktifkan,dikembangkan sehingga mereka memiliki kekuatan untuk membangun dirinya.

Pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan masyarakat menekankan kemandirian masyarakat itu sebagai suatu sistem yang mampu mengorganisir dirinya. Payne (1997) menjelaskan bahwa pemberdayaan pada hakekatnya bertujuan untuk membantu klien mendapatkan daya, kekuatan dan kemampuan untuk mengambil keputusan dan tindakan yang akan dilakukan dan berhubungan dengan diri klien tersebut, termasuk mengurangi kendala pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan.

Paul (1987) menyatakan bahwa pemberdayaan berarti pembagian kekuasaan yang adil sehingga meningkatkan kesadaran politis kekuasaan kelompok yang lemah serta memperbesar pengaruh mereka terhadap proses dan hasil-hasil pembangunan. Rappaport (1987) mengatakan bahwa pemberdayaan diartikan sebagai pemahaman secara psikologis pengaruh kontrol individu terhadap keadaan sosial, kekuatan politik dan hak-haknya. MacArdle (1989) mengartikan pemberdayaan sebagai proses pengambilan keputusan oleh orang-orang secara konsekuen melaksanakan keputusan itu. Orang-orang yang telah mencapai tujuan kolektif diberdayakan melalui kemandiriannya, bahkan merupakan

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

117

“keharusan” untuk lebih diberdayakan melalui usaha mereka sendiri dan akumulasi pengetahuan, ketrampilan serta sumber lainnya dalam rangka mencapai tujuan tanpa tergantung pada pertolongan dari hubungan eksternal.

Pemberdayaan dapat diartikan sebagai suatu pelimpahan atau pemberian kekuatan (power) yang akan menghasilkan hierarki kekuatan dan ketiadaan kekuatan, seperti yang dikemukakan Simon (1990) dalam tulisannya tentang Rethinking Empowerment.

Simon menjelaskan bahwa pemberdayaan suatu aktivitas refleksi, suatu proses yang mampu diinisiasikan dan dipertahankan hanya oleh agen atau subyek yang mencari kekuatan atau penentuan diri sendiri (self-determination). Sementara proses lainnya hanya dengan memberikan iklim, hubungan, sumber-sumber dan alat-alat prosedural yang melaluinya m a s y a r a k a t d a p a t m e n i n g k a t k a n k e h i d u p a n n y a . Pemberdayaan merupakan sistem yang berinteraksi dengan lingkungan sosial dan fisik. Dengan demikian pemberdayaan bukan merupakan upaya pemaksaan kehendak, proses yang dipaksakan, kegiatan untuk kepentingan pemrakarsa dari luar, keterlibatan dalam kegiatan tertentu saja,dan makna-makna lain yang tidak sesuai dengan pendelegasian kekuasaan atau kekuatan sesuai potensi yang dimiliki masyarakat.

Sulistiyani (2004) menjelaskan lebih rinci bahwa secara etimologis pemberdayaan berasal dari kata dasar "daya" yang berarti kekuatan atau kemampuan. Bertolak dari pengertian tersebut, maka pemberdayaan dimaknai sebagai proses untuk memperoleh daya, kekuatan atau kemampuan, dan atau proses pemberian daya, kekuatan atau kemampuan dari pihak yang memiliki daya kepada pihak yang kurang atau belum berdaya.

Berdasarkan beberapa pengertian pemberdayaan yang dikemukakan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pada hakekatnya pemberdayaan adalah suatu proses dan upaya untuk memperoleh atau memberikan daya, kekuatan atau kemampuan kepada individu dan masyarakat lemah agar dapat mengidentifikasi, menganalisis, menetapkan kebutuhan dan potensi serta masalah yang dihadapi dan sekaligus memilih alternatif pemecahnya dengan mengoptimalkan sumberdaya dan potensi yang dimiliki secara mandiri.

Pemberdayaan sebagai proses menunjuk pada serangkaian tindakan yang dilakukan secara sistematis dan mencerminkan pentahapan kegiatan atau upaya mengubah masyarakat yang kurang atau belum berdaya, berkekuatan, dan berkemampuan menuju keberdayaan. Makna "memperoleh" daya, kekuatan atau kemampuan menunjuk pada sumber

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

118

inisiatif dalam rangka mendapatkan atau meningkatkan daya, kekuatan atau kemampuan sehingga memiliki keberdayaan. Kata "memperoleh" mengindikasikan bahwa yang menjadi sumber inisiatif untuk berdaya berasal dari masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, masyarakat harus menyadari akan perlunya memperoleh daya atau kemampuan. Makna kata "pemberian" menunjukkan bahwa sumber inisiatif bukan dari masyarakat. Inisiatif untuk mengalihkan daya, kemampuan atau kekuatan adalah pihak-pihak lain yang memiliki kekuatan dan kemampuan, misalnya pemerintah atau agen-agen pembangunan lainnya .

6.3 Proses Pemberdayaan Masyarakat

Pranarka & Vidhyandika (1996) menjelaskan bahwa ”proses pemberdayaan mengandung dua kecenderungan. Pertama, proses pemberdayaan yang menekankan pada proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuatan,kekuasaan atau kemampuan kepada masyarakat agar individu lebih berdaya.

Kecenderungan pertama tersebut dapat disebut sebagai kecenderungan primer dari makna pemberdayaan. Sedangkan kecenderungan kedua atau kecenderungan sekunder menekankan pada proses menstimulasi, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog”.

Kartasasmita (1995) menyatakan bahwa proses pemberdayaan dapat dilakukan melalui tiga proses yaitu: Pertama, Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling). Titik tolaknya adalah bahwa setiap manusia memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Artinya tidak ada sumberdaya manusia atau masyarakat tanpa daya. Dalam konteks ini,pemberdayaan adalah membangun daya, kekuatan atau kemampuan, dengan mendorong (encourage) dan membangkitkan kesadaran (awareness) akan potensi yang dimiliki serta berupaya mengembangkannya. Kedua, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat (empowering), sehingga diperlukan langkah yang lebih positif, selain dari iklim atau suasana. Ketiga, memberdayakan juga mengandung arti melindungi. Dalam proses pemberdayaan, harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah, oleh karena kekurangberdayaannya dalam menghadapi yang kuat.

Proses pemberdayaan warga masyarakat diharapkan dapat menjadikan masyarakat menjadi lebih berdaya berkekuatan dan

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

119

berkamampuan. Kaitannya dengan indikator masyarakat berdaya, Sumardjo (1999) menyebutkan ciri-ciri warga masyarakat berdaya yaitu: (1) mampu memahami diri dan potensinya, mampu merencanakan (mengantisipasi kondisi perubahan ke depan), (2) mampu mengarahkan dirinya sendiri, (3) memiliki kekuatan untuk berunding, (4) memiliki bargaining power yang memadai dalam melakukan kerjasama yang saling menguntungkan, dan (5) bertanggungjawab atas tindakannya.

Slamet (2003) menjelaskan lebih rinci bahwa yang dimaksud dengan masyarakat berdaya adalah masyarakat yang tahu, mengerti, faham termotivasi, berkesempatan, memanfaatkan peluang, berenergi, mampu bekerjasama, tahu berbagai alternative, mampu mengambil keputusan, berani mengambil resiko, mampu mencari dan menangkap informasi dan mampu bertindak sesuai dengan situasi. Proses pemberdayaan yang melahirkan masyarakat yang memiliki sifat seperti yang diharapkan harus dilakukan secara berkesinambungan dengan mengoptimalkan partisipasi masyarakat secara bertanggungjawab.

Adi (2003) menyatakan bahwa meskipun proses pemberdayaan suatu masyarakat merupakan suatu proses yang berkesinambungan, namun dalam implementasinya tidak semua yang direncanakan dapat berjalan dengan mulus dalam pelaksanaannya. Tak jarang ada kelompok-kelompok dalam komunitas yang melakukan penolakan terhadap ”pembaharuan” ataupun inovasi yang muncul. Beberapa kendala (hambatan) dalam pembangunan masyarakat, baik yang berasal dari kepribadian individu maupun berasal dari sistem sosial:

a. Berasal dari Kepribadian Individu; kestabilan (Homeostatis), kebiasaan (Habit), seleksi Ingatan dan Persepsi (Selective Perception and Retention), ketergantungan (Depedence), Super-ego, yang terlalu kuat, cenderung membuat seseorang tidak mau menerima pembaharuan, dan rasa tak percaya diri (self-Distrust)

b. Berasal dari Sistem Sosial; kesepakatan terhadap norma tertentu (Conformity to Norms), yang”mengikat” sebagian anggota masyarakat pada suatu komunitas tertentu, kesatuan dan kepaduan sistem dan budaya (Systemic and Cultural Coherence), kelompok kepentingan (vested Interest), hal yang bersifat sakral (The Sacrosanct), dan penolakan terhadap ”Orang Luar” (Rejection of Outsiders)

Dalam proses pemberdayaan juga terjadi proses belajar bersama dan berusaha bersama memecahkan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat. Berikut ini adalah proses pendampingan yang dapat dilakukan dalam rangka pemberdayaan masyarakat yang mandiri :

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

120

a. Membangun kedekatan

Kedekatan antara pendamping dengan masyarakat sangat diperlukan dalam melakukan pendampingan. Hal ini dapat dipelajari dari pengalaman kegagalan dalam pembinaan masyarakat pedesaan yang pada umumnya gagal karena petugas hanya berkunjung beberapa saat saja bilamana ada kepentingan kemudian meninggalkan desa dan masyarakatnya. Oleh karena itu membangun kedekatan adalah sangat penting, dan berarti para pendamping harus tinggal bersama-sama masyarakat.

b. Membangun pertemanan

Dalam tahap ini terjadi proses keakraban antara masyarakat dengan pemdamping. Hal ini bisa terjadi karena pendamping hidup bersama-sama masyarakat. Mewujudkan pertemanan bukanlah hal yang mudah, oleh karena itu baik pendamping maupun masyarakat harus memahami prinsip-prinsip pertemanan. Prinsip-prinsip yang dikembangkan oleh P3AE-UI dkk. dalam pendampingan masyarakat antara lain adalah kesetaraan, demokrasi dan keadilan.

Kesetaraan artinya semua individu mempunyai status atau derajat yang sama, tidak membeda-bedakan antara pendamping dengan masyarakat maupun antar individu di dalam masyarakat. Demokrasi artinya semua mempunyai hak yang sama, hak untuk mengemukanan pendapat, mengungkapkan permasalahan dan menyampaikan keinginan. Sedangkan keadilan artinya mereka mempunyai kewajiban dan hak yang sama dalam memecahkan masalah dan mewujudkan keinginan bersama.

Suatu hal yang sangat perlu ditumbuh kembangkan dalam pertemanan adalah rasa saling senasib sepenanggungan, saling menjaga antara sesama teman, saling menghormati dan saling memberi toleransi. Senasib sepenanggungan karena mereka mempunyai permasalahan dan keinginan yang sama. Saling menjaga, saling menghormati dan saling memberi toleransi kerena pada dasarnya mereka terdiri dari individu-individu yang berbeda.

c. Membangun kepercayaan

Kepercayaan tidak dapat dibangun hanya dengan janji-janji belaka. Akan tetapi kepercayaan dapat dibangun dengan cara menunjukan kenyataan bahwa apa yang diucapkan itulah yang kemudian dilakukan. Untuk itu dalam melakukan pendampingan hendaknya

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

121

menghindari ucapan janji-janji, dan mengutamakan upaya berbuat bersama antara pendamping dan masyarakat.

Membangun kepercayaan adalah sangat penting karena rasa saling percaya merupakan pilar utama dari semua interaksi antar individu maupun kelompok dalam masyarakat. Dengan rasa saling percaya kita dapat menciptakan kedekatan, keterbukaan, kerjasama, kelompok dan kelembagaan.

d. Membangun keterbukaan

Keterbukaan diperlukan dalam mengungkapkan masalah yang dihadapi, keinginan yang diharapkan, potensi yang dimiliki dan kelemahan serta kekurangan yang ada. Keterbukaan ini tidak akan dapat dilakukan apabila sebelumnya tidak ada kedekatan dan rasa saling percaya.

Perlu disadari bahwa di dalam pendampingan terkandung kegiatan identifikasi masalah dan potensi yang terdapat di dalam masyarakat. Melalui membangun keterbukaan inilah sebenarnya proses identifikasi tersebut berjalan dan mengalir dengan sendirinya. Berdasarkan hasil identifikasi masalah dan potensi yang diungkapkan oleh masyarakat dengan cara keterbukaan tadi, kemudian pendamping bersama-sama masyarakat dapat menarik kesimpulan bahwa sebenarnya mereka memiliki masalah yang sama, keinginan yang sama pula, dan juga memiliki potensi yang dapat diberdayakan untuk mencapai keinginan bersama tersebut.

e. Membangun kerjasama

Masing-masing individu dalam masyarakat pada tahap ini sudah mengetahui bahwa mereka memiliki masalah yang sama, keinginan yang sama pula, dan juga memiliki potensi yang dapat diberdayakan untuk mencapai keinginan bersama tersebut. Akan tetapi potensi yang mereka miliki tidak mungkin dapat diberdayakan untuk memecahkan masalah dan mencapai keinginan apabila potensi tersebut masih terpecah-pecah pada masing-masing individu.

Pada tahap inilah saatnya seluruh masyarakat bersama-sama pendamping memikirkan perlunya membangun kerjasama. Dalam membangun kerjasama ini mereka secara lebih nyata dituntut memahami dan melaksanakan prinsip-prinsip kesetaraan, demokrasi, keadilan, dan pertemanan yang meliputi rasa saling senasib

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

122

sepenanggungan, saling menjaga antara sesama teman, saling menghormati dan saling memberi toleransi. Setelah masyarakat memahami, mau dan mampu bekerjasama, maka kegiatan-kegiatan bermusyawarah mulai dapat dilakukan. Pertemuan-pertemuan untuk membahas masalah dan keinginan dalam pengelolaan kebun garapan di kawasan hutan dapat dijadwalkan secara berkala. Kemudian bagaimana melakukan kerjasama menggarap kebun dan bagaimana melakukan langkah-langkah untuk mendapatkan kepastian jaminan atas status pengelolaan lahan garapannya tersebut.

f. Membangun kelompok

Kerjasama dengan berbagai aktivitasnya merupakan proses yang dinamis, oleh karena itu diperlukan wadah yang dapat menampung dinamika kerjasama tersebut. Pada status yang demikian perlu dibentuk kelompok sebagai wujud atau wadah dari interaksi atau kerjasama yang sudah dan sedang dibangun. Pembentukan kelompok-kelompok tersebut dimaksudkan agar kerjasama diantara anggota kelompok akan menjadi lebih efektif dan efisien. Dalam pembentukan kelompok di samping mempertimbangkan prinsip-prinsip yang telah disebutkan di atas, juga mempertimbangkan kesatuan lokasi garapan dan kesatuan lokasi tempat tinggal.

g. Membangun kelembagaan

Kelembagaan merupakan kelanjutan dari kelompok yang telah dilengkapi dengan pranata-pranata atau aturan-aturan yang dibuat dan disepakati oleh anggota kelompok. Di samping itu kelompok yang sudah melembaga juga memiliki struktur kepengurusan sesuai dengan aturan-aturan yang telah disepakati para anggotanya. Dengan demikian mekanisme kerja kelompok menjadi lebih sistematis dan terpimpin. Suatu hal yang perlu dipahami dan ditekankan bahwa peran kepengurusan di dalam membangun kelembagaan adalah mewakili, memfasilitasi dan melaksanakan kesepakatan atau kerjasama yang diputuskan oleh seluruh anggota kelompok.

Kelembagaan masyarakat dalam kaitannya dengan upaya pengelolaan lahan garapan di dalam kawasan hutan bukan hanya sekedar bertujuan memenuhi persyaratan untuk mendapatkan kepastian jaminan dari pemerintah. Akan tetapi dalam membangun kelembagaan yang lebih penting adalah bagaimana mencapai kemandirian masyarakat dalam upaya pengelolaan hutan secara lestari dan menjadikan masyarakat lebih sejahtera.

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

123

Seluruh proses pemdampingan masyarakat seperti telah diuraikan di atas sebaiknya dilakukan dengan konsep belajar bersama dan mengikuti arus perkembangan yang diinginkan masyarakat. Belajar bersama artinya baik pendamping maupun masyarakat dalam kegiatan ini tidak ada yang merasa lebih pintar, lebih tahu atau lebih mampu dari pada yang lain.

Akan tetapi mereka sama-sama menyadari bahwa pendamping harus belajar dari masyarakat karena kenyataannya masyarakatlah yang lebih tahu tentang diri mereka sendiri, demikian juga masyarakat belajar dari pendamping karena kenyataannya pendamping lebih banyak mengetahui kebijakan-kebijakan pemerintah tentang ketentuan-ketentuan pengelolaan hutan oleh masyarakat. Demikian juga tentang hal-hal yang lain menyangkut pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan, mereka saling belajar.

Sedangkan mengikuti arus keinginan masyarakat pengertiannya adalah bahwa proses pendampingan yang dilakukan tidak membuat target-target tertentu yang dibatasi oleh waktu ataupun hasil yang harus dicapai dengan cara setengah dipaksakan. Karena praktek pendampingan yang dibatasi oleh waktu dan setengah dipaksakan banyak mengalami kegagalan, sebagaimana kebiasaan yang terjadi pada berbagai proyek pada masa lalu.

6.4 Tujuan dan Tahapan Pemberdayaan Masyarakat

Jamasy (2004) mengemukakan bahwa konsekuensi dan tanggungjawab utama dalam program pembangunan melalui pendekatan pemberdayaan adalah masyarakat berdaya atau memiliki daya, kekuatan atau kemampuan. Kekuatan yang dimaksud dapat dilihat dari aspek fisik dan material, ekonomi, kelembagaan, kerjasama, kekuatan intelektual dan komitmen bersama dalam menerapkan prinsip-prinsip pemberdayaan. Kemampuan berdaya mempunyai arti yang sama dengan kemandirian masyarakat.

Salah satu cara untuk meraihnya adalah dengan membuka kesempatan bagi seluruh komponen masyarakat dalam tahapan program pembangunan. Setiap komponen masyarakat selalu memiliki kemampuan atau yang disebut potensi. Keutuhan potensi ini akan dapat dilihat apabila di antara mereka mengintegrasikan diri dan bekerja sama untuk dapat berdaya dan mandiri.

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

124

Terkait dengan tujuan pemberdayaan, Sulistiyani (2004) menjelaskan bahwa tujuan yang ingin dicapai dari pemberdayaan masyarakat adalah untuk membentuk individu dan masyarakat menjadi mandiri. Kemandirian tersebut meliputi kemandirian berpikir, bertindak dan mengendalikan apa yang mereka lakukan. Kemandirian masyarakat merupakan suatu kondisi yang dialami oleh masyarakat yang ditandai dengan kemampuan memikirkan, memutuskan serta melakukan sesuatu yang dipandang tepat demi mencapai pemecahan masalah-masalah yang dihadapi dengan mempergunakan daya/kemampuan yang dimiliki.

Daya kemampuan yang dimaksud adalah kemampuan kognitif, konatif, psikomotorik dan afektif serta sumber daya lainnya yang bersifat fisik/material. Kondisi kognitif pada hakikatnya merupakan kemampuan berpikir yang dilandasi oleh pengetahuan dan wawasan seseorang dalam rangka mencari solusi atas permasalahan yang dihadapi. Kondisi konatif merupakan suatu sikap perilaku masyarakat yang terbentuk dan diarahkan pada perilaku yang sensitif terhadap nilai-nilai pemberdayaan masyarakat. Kondisi afektif adalah merupakan perasaan yang dimiliki oleh individu yang diharapkan dapat diintervensi untuk mencapai keberdayaan dalam sikap dan perilaku. Kemampuan psikomotorik merupakan kecakapan keterampilan yang dimiliki masyarakat sebagai upaya mendukung masyarakat dalam rangka melaku-kan aktivitas pembangunan.

Terjadinya keberdayaan pada empat aspek tersebut (kognitif, konatif, efektif dan psikomotorik) akan dapat memberikan kontribusi pada terciptanya kemandirian masyarakat yang dicita-citakan. Karena dengan demikian, dalam masyarakat akan terjadi kecukupan wawasan, yang dilengkapi dengan kecakapan keterampilan yang memadai, diperkuat oleh rasa memerlukan pembangunan dan perilaku sadar akan kebutuhannya.

Kemandirian masyarakat dapat dicapai tentu memerlukan sebuah proses belajar. Masyarakat yang mengikuti proses belajar yang baik, secara bertahap akan memperoleh daya, kekuatan atau kemampuan yang bermanfaat dalam proses pengambilan keputusan secara mandiri. Sebagaimana dikemukakan oleh Montagu & Matson (Suprijatna, 2000) yang mengusulkan konsep The Good Community and Competency yang meliputi sembilan konsep komunitas yang baik dan empat komponen kompetensi masyarakat.

The Good Community and Competency itu adalah; (1) setiap anggota masyarakat berinteraksi satu sama lain berdasarkan hubungan pribadi atau kelompok; (2) komunitas memiliki kebebasan atau otonomi, yaitu memiliki kewenangan dan kemampuan untuk mengurus kepentingannya

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

125

sendiri secara mandiri dan bertanggung jawab; (3) memiliki vialibilitas yaitu kemampuan memecahkan masalah sendiri; (4) distribusi kekuasaan secara adil dan merata sehingga setiap orang mempunyai berkesempatan dan bebas memiliki serta menyatakan kehendaknya; (5) kesempatan setiap anggota masyara-kat untuk berpartsipasi aktif untuk kepentingan bersama; (6) komunitas member makna kepada anggota; (7) adanya heterogenitas/beda pendapat; (8) pelayanan masyarakat ditempatkan sedekat dan secepat mungkin kepada yang berkepentingan; dan (9) adanya konflik dan manajemen konflik.

Melengkapi sebuah komunitas yang baik perlu ditambahkan kompetensi yang harus dimiliki masyarakat yaitu, sebagai berikut: (1) mampu mengidentifikasi masalah dan kebutuhan komunitas, (2) mampu mencapai kesempatan tentang sasaran yang hendak dicapai dalam skala prioritas, (3) mampu menemukan dan menyepakati cara dan alat mencapai sasaran yang telah disetujui, dan (4) mampu bekerjasama dalam bertindak mencapai tujuan. Kompetensi-kompetensi tersebut merupakan kompetensi pendukung untuk mengantarkan masyarakat agar mampu memikirkan, mencari dan menentukan solusi yang terbaik dalam pembangunan sosial.

Pembentukan masyarakat yang memiliki kemampuan yang memadai untuk memikirkan dan menentukan solusi yang terbaik dalam pembangunan tentunya tidak selamanya harus dibimbing, diarahkan dan difasilitasi. Berkaitan dengan hal ini, Sumodiningrat (2000) menjelaskan bahwa pemberdayaan tidak bersifat selamanya, melainkan sampai target masyarakat mampu untuk mandiri, dan kemudian dilepas untuk mandiri, meskipun dari jauh tetap dipantau agar tidak jatuh lagi. Berdasarkan pendapat Sumodiningrat berarti pemberdayaan melalui suatu masa proses belajar, hingga mencapai status mandiri.

Proses belajar dalam rangka pemberdayaan masyarakat berlangsung secara bertahap, yaitu: (1) tahap penyadaran dan pembentukan perilaku menuju perilaku sadar dan peduli, sehingga yang bersangkutan merasa membutuhkan peningkatan kapasitas diri, (2) tahap transformasi kemampuan berupa wawasan berpikir atau pengetahuan, kecakapan-keterampilan agar dapat mengambil peran di dalam pembangunan, dan (3) tahap peningkatan kemampuan intelektual, kecakapan-keterampilan sehingga terbentuk inisiatif, kreatif dan kemampuan inovatif untuk mengantarkan pada kemandirian (Sulistiyani, 2004).

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

126

Tahap pertama atau tahap penyadaran dan pembentukan perilaku merupakan tahap persiapan dalam proses pemberdayaan. Pada tahap ini pelaku pemberdayaan berusaha menciptakan prakondisi, supaya dapat memfasilitasi berlangsungnya proses pemberdayaan yang efektif. Apa yang diintervensi dalam masyarakat sesungguhnya lebih pada kemampuan afektifnya untuk mencapai kesadaran konatif yang diharapkan agar masyarakat semakin terbuka dan merasa membutuhkan pengetahuan dan keterampilan untuk memperbaiki kondisinya.

Pada tahap kedua yaitu proses transformasi pengetahuan, pengalaman dan keterampilan dapat berlangsung baik, demokratis, efektif dan efisien, jika tahap pertama telah terkondisi. Masyarakat akan menjalani proses belajar tentang pengetahuan dan kecakapan-keterampilan yang memiliki relevansi dengan apa yang menjadi tuntutan kebutuhan jika telah menyadari akan pentingnya peningkatan kapasitas. Keadaan ini akan menstimulasi terjadinya keterbukaan wawasan dan penguasaan keterampilan dasar yang mereka butuhkan. Pada tahap ini masyarakat hanya dapat berpartisipasi pada tingkat yang rendah, yaitu sekedar menjadi pengikut/obyek pembangunan saja, belum menjadi subyek pembangunan.

Tahap ketiga adalah merupakan tahap pengayaan atau peningkatan intelektualitas dan kecakapan-keterampilan yang diperlukan, supaya mereka dapat membentuk kemampuan kemandirian. Kemandirian tersebut ditandai oleh kemampuan masyarakat di dalam membentuk inisiatif, melahirkan kreasi-kreasi, dan melakukan inovasi-inovasi di dalam lingkungannya. Apabila masyarakat telah mencapai tahap ketiga ini maka masyarakat dapat secara mandiri melakukan pembangunan. Dalam konsep pembangunan masyarakat pada kondisi seperti ini seringkali didudukkan sebagai subyek pembangunan atau pemeran utama. Pemerintah tinggal menjadi fasilitator saja.

Serangkaian tahapan yang ditempuh melalui pemberdayaan tersebut dapat diamati pada Tabel 10.

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

127

Tahapan Afektif

Tahapan Kognitif

Tahapan Psikomotorik

Tahapan Konatif

Belum merasa sadar dan peduli

Belum memiliki wawasan pengetahuan

Belum memiliki keterampilan dasar

Tidak berperilaku membangun

Tumbuh rasa kesadaran dan kepedulian

Menguasai pengetahuan dasar

Menguasai keterampilan dasar

Bersedia terlibat dalam pembangunan

Memupuk semangat kesadaran dan kepedulian

Mengembangkan pengetahuan dasar

Mengembangkan keterampilan dasar

Berinisiatif untuk mengambil peran dalam pembangunan

Merasa membutuhkan kemandirian

Mendalami pengetahuan pada tingkat yang lebih tinggi

Memperkaya variasi keterampilan

Berposisi secara mandiri untuk membangun diri dan lingkungan

Tabel 10. Tahapan pemberdayaan knowledge, attitudes, practice dengan pendekatan aspek afektif, kognitif, psikomotorik dan konatif

Sumber : Sulistiyani (2004)

6.5 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pemberdayaan Masyarakat

6.5.1 Pelaku Pemberdayaan

Tujuan pembangunan adalah mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur yang dilakukan melalui proyek-proyek/program-program pembangunan yang berpihak pada masyarakat. Proyek atau program pembangunan, terutama yang berkaitan dengan pembebasan masyarakat dari ketidakberdayaan. Salah satu permasalahan yang sedang dan yang akan dihadapi oleh masyarakat saat ini adalah tuntutan pemenuhan kebutuhan yang semakin tinggi, kurangnya lapangan kerja dan kerusakan lingkungan. Lingkungan merupakan hal yang sangat vital bagi keberlangsungan kehidupan manusia.

Lingkungan yang sehat akan menciptakan suasana kehidupan manusia yang harmonis, sehat dan berkelanjutan Demikian juga sebaliknya lingkungan yang tidak sehat/rusak akan menimbulkan permasalahan yang serius dan bahkan jadi malapetaka serta ancaman bagi kehidupan mahluk

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

128

secara keseluruhan. Oleh karena itu, kelestarian lingkungan merupakan hal yang penting dan mendesak untuk dipikirkan upaya-upaya yang signifikan agar lingkungan tersebut dapat tetap lestari.

Kelestarian lingkungan tidak terlepas dari peran masyarakat, terutama masyarakat yang memiliki akses dan peluang yang tinggi untuk mengganggu atau merusak lingkungan. Misalnya masyarakat yang ada di sekitar kawasan hutan, baik itu hutan produksi, hutan konversi, hutan biasa dan apalagi hutan lindung. Kelestarian lingkungan/hutan memang penting, tetapi keberlanjutan kehidupan masyarakat yang ada di sekitarnya juga tidak kalah pentingnya. Kedua hal tersebut harus dipikirkan secara bersamaan agar keduanya tetap berkelanjutan. Kaitannya dengan pelestarian hutan, pemerintah telah banyak menggulirkan dana melalui program-program yang berkaitan dengan perbaikan fisik lingkungan seperti penghijauan, reboisasi, hutan kemasyarakatan dengan memberdayakan masyarakat sekitar kawasan hutan untuk berpartisipasi dalam program tersebut.

Dalam menjalankan program yang berkaitan dengan pelestarian hutan pemerintah tidak dapat melakukan sendiri. Tetapi harus berkolaborasi dengan para stakeholders lainnya, seperti Lembaga Swadaya Masyarakat, swasta dan kelompok-kelompok masyarakat yang memiliki kepedulian dan komitmen terhadap kelestarian hutan dan kesejahteraan masyarakat. Pemerintah, swasta, LSM, tokoh masyarakat inilah yang dalam makalah ini disebut sebagai pelaku pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan hutan lindung.

Pelaku pemberdayaan diharapkan memiliki kemampuan, sikap dan ketrampilan yang memadai dalam mendampingi, membina dan mengarahkan masyarakat dalam menjalankan program-program yang berkaitan dengan pelestarian hutan dan pembebasan masyarakat dari belenggu ketidakberdayaan dan kemiskinan.

Seperti yang dijelaskan oleh Tjokrowinoto (2001) bahwa seorang pelaku pemberdayaan setidaknya harus memiliki minimal lima bentuk kemampuan, yakni:

1. Kemampuan untuk melihat peluang-peluang yang ada, 2. Kemampuan untuk mengambil keputusan dan langkah-langkah

yang perlu dengan mengacu pada misi yang ingin dicapai, 3. Kemampuan mengidentifikasikan subjek-subjek yang

mempunyai potensi memberikan berbagai input dan sumber bagi proses pembangunan,

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

129

4. Kemampuan menjual inovasi dan memperluas wilayah penerimaan program-program yang diperuntukkan bagi kaum miskin, dan

5. Kemampuan memainkan peranan sebagai fasilitator atau meningkatkan kemampuan masyarakat untuk tumbuh berkembang dengan kekuatan sendiri.

Keterpaduan dari kelima kemampuan pelaku pemberdayaan tersebut patut dijadikan rujukan oleh seluruh unsur stakeholders, terutama yang mempunyai tanggungjawab langsung terhadap keberhasilan pembangunan. Namun dukungan kelima kemampuan ini pun tidak akan berarti kalau tidak disertai dengan sikap perilaku adil dan komitmen yang kuat.

Lebih rinci Jamasy (2004) menguraikan tujuh syarat kemampuan umum yang harus dimiliki pelaku pemberdayaan dan kesemuanya harus terefleksi dalam kegiatan aksi program, yakni: kemampuan mempertahankan keadilan, kemampuan mempertahankan kejujuran (pada diri sendiri dan orang lain), kemampuan melakukan problem solving, kemampuan mempertahankan misi (sense of mission atau mission driven profesionalism), kemampuan memfasilitasi dan kemampuan menjual inovasi, social marketing (termasuk kemampuan melakukan asistensi dan promosi).

Kemampuan pelaku pemberdayaan (stakeholders) yang utama adalah kemampuan menggali, menumbuhkan, mengembangkan dan memanfaatkan potensi sumberdaya lokal. Menumbuhkembangkan potensi sumberdaya lokal mempunyai arti yang sangat penting terutama agar masyarakat tidak tergantung pada pihak luar.

Pelaku pemberdayaan harus yakin bahwa jika sumber daya dan potensi lokal bisa terangkat, maka proses pemberdayaan yang berujung pada pemandirian akan mudah dicapai. Artinya, bahwa potensi lokal akan menjadi perangsang menuju masyarakat yang berkembang, berdaya dan mandiri.

Menurut Lemlit Unlam (2008) pelaku pemberdayaan masyarakat di Kawasan Lindung Tahura Sultan Adam masih belum bisa memahami aspirasi petani dan komunikasi antara pembina/penyuluh lapangan dengan petani masih dirasakan kurang dibanding keingintahuan petani yang sangat besar terhadap informasi selanjutnya dari proyek.

Merujuk pada beberapa uraian yang dikemukakan oleh Compton dan Galaway (1989), Parsons, Jorgensen dan Hernandez (1994), Tjokrowinoto

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

130

(2001), dan Jamasy (2004), maka dapat disimpulkan bahwa para pelaku pemberdayaan yang dapat memberdayakan masyarakat sebaiknya memiliki kemampuan yang memadai yang tercermin pada tiga aspek perilaku yaitu: aspek pengetahuan, sikap dan ketrampilan, seperti yang disajikan dalam Tabel 11.

Tabel 11. Ciri-ciri pelaku pemberdayaan yang memberdayakan dilihat dari aspek perilaku; pengetahuan, sikap dan ketrampilan

No.

Aspek Perilaku

Pelaku Pemberdayaan yang memberdayakan

Pelaku Pemberdayaan yang tidak memberdayakan

1. Pengetahuan (kognitif)

a. Berpengetahuan luas dan berwawasan jauh ke depan

b. Berkemampuan mengenal kebutuhan dan potensi yang dimiliki masyarakat

c. Memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang perencanaan partisipatif

d. Memiliki pemahaman tentang penyuluhan, pendampingan, pelayana n dan komunikasi

a. Berpengatahuan terbatas dan berwawasan sempit

b. Kurang mengenal kebutuhan dan potensi yang dimiliki masyarakat

c. Pengetahuan dan pemahaman tentang perencanaan partisipatif yang terbatas

d. Kurang memahami prinsip penyuluhan, pendampingan, pelayanan dan komunikasi

2. Sikap (Afektif) a. Empati b. Cepat tanggap (responsif) c. Fleksibel d. Komunikatif e. Demokratis f. Memiliki komitmen yang

tinggi terhadap kepentingan masyarakat

g. Bertanggungjawab

a. Kurang memiliki rasa empati

b. Kurang responsive c. Kaku dalam bertindak d. Kurang komunikatif e. Kurang demokratis f. Komitmen rendah

terhadap kepentingan masyarakat

g. Bertanggungjawab 3. Keterampilan

(Psikomotorik) a. Dapat mengidentifikasi

kebutuhan dan potensi yang dimiliki masyarakat secara baik dan tepat

b. Terampil memotivasi dan memfasilitasi masyarakat

c. Trampil memanfaatkan teknologi modern dalam mencari informasi peluang baru secara baik

d. Trampil memasarkan dan mengembangkan motivasi

a. Kurang tepat dalam mengidentifikasi kebutuhan dan potensi masyarakat

b. Kurang trampil memotivasi dan memfasilitasi masyarakat

c. Kurang trampil memanfaatkan teknologi modern dalam mencari informasi dan pelu ang baru

d. Kurang inovatif

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

131

6.5.2 Mekanisme Pemberdayaan

Terciptanya masyarakat yang berdaya tidak terlepas dari keterlibatan ketiga pilar utama pembangunan yaitu: pemerintah, masyarakat dan swasta. Ketiga pilar pembangunan ini harus berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah, artinya ketiganya saling terkait dan melengkapi tanpa ada yang merasa bahwa yang satu lebih penting dari yang lainnya. Keberhasilan program pemberdayaan sangat ditentukan oleh kepedulian, keberpihakan dan komitmen pemerintah dan swasta dalam menyusun program-program pemberdayaan. Selain itu keterlibatan masyarakat dalam proses pemberdayaan merupakan kata kunci dan jaminan keberlanjutan program-program pemberdayaan tersebut.

Keterlibatan masyarakat pada seluruh proses pemberdayaan harus mendapat perhatian yang serius yaitu; mulai dari indentifikasi masalah, potensi dan kelompok-kelompok strategis, perencanaan kegiatan, pengorganisasian, pelaksanaan dan monitoring serta evaluasi kegiatan. Pemerintah dan swasta atau lembaga lain harus sadar bahwa yang paling mengenal dan paham terhadap kondisi masyarakat sasaran adalah masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu dalam menjamin keberlanjutan program pemberdayaan sekitar kawasan hutan lindung maka pelibatan masyarakat sekitar kawasan hutan lindung adalah suatu keharusan.

Namun juga perlu disadari oleh semua pihak bahwa keterlibatan dalam suatu proses pemberdayaan memiliki aturan main yang harus dipahami dan diamalkan secara bersama. Artinya bahwa setiap pihak terlibat berdasarkan batas-batas kewenangan dan peran masing-masing.

Salah satu fungsi pemerintah dalam proses pemberdayaan adalah menyediakan sarana dan prasarana penunjang dan menyediakan prangkat prangkat hukum pelaksanaan kegaiatan, seperti Peraturan Pemerintah (PP), Keputusan Mentri (Kepmen), Peraturan Daerah (Perda) dan lain sebagainya. Pihak swasta dan lembaga-lembaga donor lainnya berperan sebagai motivator, mediator dan fasilitator terhadap pihak-pihak yang memiliki kepedulian dan komitmen terhadap pemberdayaan masyarakat. Masyarakat berperan sebagai pelaku utama dan penentu keberhasilan suatu program pemberdayaan, sehingga masyarakat diyakinkan bahwa program tersebut dari mereka, oleh mereka dan untuk mereka. Artinya program pemberdayaan itu berdasarkan pada kondisi dan permasalahan yang mereka hadapi, sehingga masyarakatlah yang menentukan dan melaksanakan alternatif pemecahannya dan hasil dari upaya itu akan masyarakat rasakan sendiri.

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

132

Terkait dengan proses pemberdayaan dalam beberapa kasus, masyarakat hanya dilibatkan sebagai pelaksanaan program saja. Masyarakat belum dilibatkan secara optimal dalam proses perencanaan, pengorganisasian dan evaluasi. Berdasarkan pengakuan dari sebagian besar responden bahwa mereka hanya dilibatkan pada awal pelaksanaan dan rekrutmen peserta program, karena ada kaitannya dengan persyaratan pencairan dana.

Pada saat perencanaan, pengorganisasian dan evaluasi masyarakat tidak dilibatkan sama sekali. Jadi tidak heran kalau hampir semua program pemberdayaan (Dana bergulir, bantuan ternak, Hutan Kemasyarakatan dll) dan pengentasan kemiskinan (PNPM, Raskin, Gaskin, BLT, dll) jarang berhasil, apalagi berkelanjutan. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa semua program tersebut tidak membuat masyarakat berdaya/mandiri atau jumlah masyarakat miskin berkurang, tetapi justru sebaliknya hanya membuat masyarakat semakin tergantung bantuan dari pihak luar.

Kegagalan program pemberdayaan dan pengentasan kemiskinan yang dilakukan selama ini, selain disebabkan oleh tidak dilibatkannya masyarakat, terutama pada waktu perencanaan, pengorganisasian dan evaluasi juga disebabkan oleh para pelaku yang tidak memiliki komitmen dan keberpihakan pada masyarakat. Pelaku pemberdayaan lebih cenderung mengutamakan kepentingan pribadi dan kelompoknya daripada memikirkan bagaimana program tersebut berhasil dan berkelanjutan atau dengan kata lain hanya menyelamatkan diri sendiri.

Idealnya seorang pelaku pemberdayaan harus menjadi fasilitator motivator, mediator dan advokasi terhadap seluruh kepentingan masyarakat yang diberdayakan, bukan sebaliknya mengambil keuntungan dari ketidakberdayaan masyarakat untuk kepentingan pribadi dan kelompok.

6.5.3 Masyarakat yang diberdayakan

Masyarakat berdaya pada hakekatnya adalah masyarakat yang dapat menolong dirinya sendiri dengan mengoptimalkan potensi dan kemampuan yang dimiliki. Oleh karena itu agar masyarakat berdaya harus memiliki kemampuan dalam berpikir, bersikap, bertindak dan berinovasi dalam dimensi politik, sosial, ekonomi, dan lingkungan. Keempat dimensi tersebut harus terintegrasi dalam perilaku masyarakat secara umum.

Tingkat keberdayaan masyarakat sekitar kawasan hutan sangat tergantung kepada modal sosial yang dimilikinya. Rendahnya kualitas modal

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

133

manusia akan berakibat pada pengetahuan dan pemahaman mereka terhadap sumberdaya produksi, tidak mandiri dalam pengambilan keputusan dan tidak percaya diri dalam berinteraksi dengan pihak luar.

Padahal masyarakat berdaya harus mampu mengintegrasikan dirinya dalam suatu kelompok atau organisasi sebagai wadah yang dapat menampung aspirasi dan kepentingannya. Di dalam kelompok atau organisasi, masyarakat secara bebas dan terlibat penuh dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kepentingan dan pemenuhan kebutuhannya baik dalam penentuan sikap politiknya, pengembangan dan peningkatan skala usahanya (ekonomi), menentukan pola interaksi dan jaringan sosial maupun menciptakan lingkungan yang bersih dan sehat.

Agar mampu mengintegrasikan keempat dimensi (politik, sosial, ekonomi dan lingkungan), maka masyarakat harus memiliki sifat-sifat seperti, bebas merdeka sebagai pribadi yang luhur, memahami diri dan lingkungannya, proaktif untuk mau bersama, menganggap pihak lain sebagai mitra, jujur, adil dan bertanggung jawab serta memposisikan dirinya sebagai subjek.

Menurut pengalaman empiris penulis, faktor-faktor di dalam masyarakat yang menyebabkan keswadayaan masyarakat untuk mengembangkan program kehutanan sosial melalui rehabilitasi hutan dan lahan masih rendah adalah :

1) Kebanyakan pola pikir masyarakat pedesaan lebih mengharapkan bahwa apapun pekerjaan harus mampu menghasilkan “uang” dalam waktu yang tidak terlalu lama. Sementara, program seperti ini memerlukan waktu yang relatif lama untuk dapat memungut hasilnya, sehingga menimbulkan keengganan masyarakat untuk mengikuti program pelestarian kawasan lindung (Rehabilitasi hutan). Dibandingkan dengan menebang kayu atau menambang emas, maka jelas tidak ada dampak ekonomi langsung yang diperoleh masyarakat

2) Ketergantungan kepada ketua kelompok/kepala desa masih kuat, sehingga menyebabkan kurangnya kreatifitas petani karena hanya mengandalkan seseorang yang dianggap lebih pintar dan lebih bisa menguasai keadaan dari yang lain. Hal ini dapat mengakibatkan sikap malas pada anggota kelompok dan kurang memotivasi mereka untuk mengembangkan lahannya.

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

134

PEMBINAAN MASYARAKATDESA HUTAN

BAB 7

171

7.1 Pendahuluan

Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. No 523/1997 jo no. 691/Kpts-II/1991 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Pembinaan Masyarakat Desa Hutan adalah kewajiban yang dikenakan kepada setiap pemegang HPH/HPHTI dalam rangka berperan serta untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat, terutama masyarakat tradisional, baik yang berada di dalam hutan maupun di pedesaan sekitar hutan.

Selanjutnya sesuai SK. Menteri Kehutanan No. 69/Kpts-II/1995 jo. SK. Menhut No. 523/Kpts-II/1997 maka yang dimaksud dengan Pembinaan Masyarakat Desa Hutan adalah kegiatan pembinaan terhadap masyarakat yang dilaksanakan oleh pemegang HPH dan pemegang HTI dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat tersebut.

Masyarakat Desa Hutan adalah kelompok masyarakat setempat, terutama masyarakat tradisional, baik yang berada di dalam hutan maupun di pedesaan sekitar hutan (Anonim, 1995).

Masyarakat tradisional adalah masyarakat yang bersikap, berpikir dan bertindak selalu berpegang teguh pada norma dan adat kebiasaan yang ada secara turun temurun (Anonim, 1995).

7.2 Tujuan dan Sasaran PMDH

Tujuan PMDH adalah membantu mewujudkan terciptanya masyarakat desa hutan yang mandiri, sejahtera dan sadar lingkungan, terutama yang berada di dalam atau sekitar areal kerja HPH atau HPHTI (Anonim, 1997), dengan sasaran kegiatan PMDH adalah :

a. Meningkatkan pendapatan, terbukanya kesempatan kerja dan kesempatan berusaha serta tumbuhnya ekonomi pedesaan yang berwawasan lingkungan

b. Tersedianya sarana dan prasarana sosial ekonomi yang memadaic. Terciptanya kesadaran dan prilaku positif masyarakat dalam pelestarian

sumberdaya hutan guna meningkatkan pengamanan hutan.

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

135

7.3 Prinsip Dasar Pengelolaan PMDH

Pembinaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH) pada awalnya disebut sebagai Bina Desa Hutan (BDH). BDH didefinisikan pertama kali dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan (SK. Menhut No. 691/Kpts-II/1991 sebagai upaya untuk membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang berada di dalam dan sekitar hutan.

Sesuai dengan judul dari surat keputusan tersebut yaitu peranan pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dalam pembinaan masyarakat di sekitar hutan, maka pelaksana kegiatan hanyalah para pemegang HPH atau dengan kata lain tidak termasuk perusahaan pemegang Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI). Di samping itu tekanan pemahaman dari para pelaksana BDH, bahwa tugas yang diemban oleh mereka hanyalah 'membantu' dalam membangun desa dan masyarakat. Akibat yang timbul dari konsepsi tersebut adalah kesan yang 'tidak serius' dalam pelaksanaaan BDH.

Empat tahun kemudian diterbitkan SK. Menhut No. 69/Kpts-II/1995, di mana BDH berubah istilah menjadi kegiatan Pembinaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH). Mulai tahun tersebut sebagai pelaksana PMDH tidak saja perusahaan pemegang HPH, tetapi juga perusahaan pemegang HPHTI.

Mengacu kepada SK. Menhut No 523/1997 terdapat 3 (tiga) tahapan pokok dalam pelaksanaan PMDH, yaitu pertama Pra-perencanaan (studi diagnostik) merupakan penjajakan kebutuhan masyarakat dan identifikasi kesesuaian ekologis dan sosial ekonomi yang diharapkan dapat menghasilkan arahan program kegiatan pembinaan masyarakat, kedua perencanaan yang dimaksudkan untuk menentukan susunan situasi sosial, ekonomi, administrasi dan fisik desa/masyarakat sasaran pada kurun waktu yang diinginkan, ketiga pelaksanaan yang mencakup persiapan dan pengorganisasian, implementasi, dokumentasi hasil, pemantauan dan pengendalian, serta pelaporan.

Pada dasarnya pengelolaan PMDH mempunyai 4 (empat) prinsip dasar, yaitu :

1) Sinkronisasi : pemaduan kegiatan PMDH dengan program pembangunan yang diselenggarakan oleh pemerintah, perusahaan, lembaga atau masyarakat yang subyek dan obyek wilayahnya sama,

2) Koordinasi : kerjasama dan konsolidasi dengan divisi lain dalam perusahaan itu sendiri, atau dengan instansi terkait di luar perusahaan, baik pemerintah atau perusahaan lainnya, di wilayah yang sama,

3) Partisipasi pemberian kesempatan yang luas kepada setiap pihak,

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

136

khususnya masyarakat binaan, untuk berfungsi secara aktif khususnya dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan, dan

4) Orientasi kebutuhan : menyangkut pemecahan masalah yang dialami oleh masyarakat setempat, khususnya yang dapat dilakukan oleh pihak perusahaan HPH/HPHTI dalam lingkup PMDH

7.4 Pra-Perencanaan (Studi Diagnostik) PMDH

Studi Diagnostik adalah kegiatan identifikasi yang mencakup seluruh potensi, kondisi, aspirasi dan tata nilai masyarakat serta potensi sumberdaya alam sebagai bahan dalam menyusun rencana pembinaan masyarakat desa hutan. Studi Diagnostik merupakan tahap awal terpenting dalam penentuan alternatif program. Sebagaimana dikemukakan ICRAF (1987) yang dikutip Sardjono (1996), bahwa diagnosis dalam bidang medis senantiasa mengawali suatu terapi, sehingga dalam hubungannya dengan Program Pembinaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH) menjadi elemen awal yang sangat menentukan berhasil tidaknya program PMDH.

Sasaran penyusunan studi diagnostik adalah didapatkannya pola pembinaan program pembinaan masyarakat desa hutan yang tepat terhadap desa yang akan dibina.

Adapun materi yang terkandung dalam studi diagnostik menurut SK Dirjend Pengusahaan hutan No. 211/Kpts/IV-PHH/1992 mencakup :

1. Aspek Pengusahaan hutan : a. Perkembangan status pengusahaan hutanb. Kawasan ; data letak, luas, kondisi kawasanc. Pemanfaatan dan pembinaan hutand. Perlindungan hutane. Pembinaan masyarakat saat inif. Ekonomi pengusahaan hutang. Organisasi dan tenaga pelaksana

2. Aspek Biofisika. Iklimb. Fisiografic. Tata ruangd. Tanahe. Hidrologi3. Aspek Sosial Ekonomia. Administrasi pemerintahan

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

137

b. Struktur pendudukc. Perekonomian lokald. Pola usaha tanie. Pendidikanf. Adat istiadatg. Agama dan kepercayaanh. Kelembagaan masyarakati. Kesehatanj. Sarana dan prasaranak. Persepsi masyarakat terhadap hutan dan aktivitas pengusahaan

hutanl. Permasalahan sosial ekonomi setempat

Dalam mengkaji masalah kondisi dan potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan aspek sosial ekonomi setempat, metode yang dipergunakan adalah dengan melakukan survey cepat menggunakan teknik PRA.

Hasil penelitian Fauzi (2000) menunjukkan pelaksanaan penyusunan studi diagnostik PMDH HPH PT. Aya Yayang Indonesia (Kab.Tabalong,Kalsel), PT. Sumpol Timber (Kab. Tanah Laut, Kalsel) dan PT. Inhutani II (Kab.Kotabaru,Kalsel) dilakukan oleh konsultan, Perguruan Tinggi dan/atau HPH sendiri sesuai SK. Dirjen Pengusahaan Hutan No. 170/1992.

Lebih lanjut Fauzi (2000) menyatakan bahwa konsultan pelaksana Studi Diagnostik merupakan Daftar Rekanan Mampu (DRM) sebagaimana dipersyaratkan dalam SK. Dirjen PH No. 229/1992, namun untuk HPH PT. Inhutani II ternyata melaksanakan sendiri kegiatan mengidentifikasi seluruh potensi, kondisi, aspirasi dan tata nilai masyarkat serta potensi sumber daya alam sebagai bahan dalam menyusun rencana PMDH.

Di satu sisi memang penyusunan Studi Diagnostik, oleh HPH sendiri tidak bertentangan dengan perundang-undang yang berlaku dan ada kecenderungan bahwa HPH mengetahui banyak tentang situasi dan kondisi wilayah yang akan diidentifikasi termasuk sosial ekonomi dan budaya masyarakat, namun di sisi lain karena dokumen studi diagnostik merupakan salah satu persyaratan yang harus dicantumkan dalam pengusulan Rencana Karya Lima Tahunan (RKL) dan Rencana Karya Tahunan (RKT) sehingga mau tidak mau perusahaan harus membuat dokumen studi diagnostik sebaik mungkin, dan tidak menutup kemungkinan dalam proses identifikasi dan pembuatannya menjadi dokumen dicampuri demi kepentingan HPH yang bersangkutan, dan akibatnya unsur subyektivitas turut mewarnai pembuatan Dokumen Studi Diagnostik.

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

138

Walaupun pelibatan konsultan mampu tidak menjamin keabsahan data seratus persen, sebab tidak menutup kemungkinan juga “membawa pesan sponsor”, namun setidaknya mereka merupakan Daftar Rekanan Mampu yang telah mendapat kepercayaan dari Departemen Kehutanan yang dianggap kualified untuk melaksanakan Studi Diagnostik seobyek mungkin. Dengan memanfaatkan pelaksana studi dari konsultan mampu yang notabene merupakan lembaga Independen diharapkan akan mampu memberikan analisis dan laporan sesuai dengan keadaan di lapangan (SK Dirjen PH No. 170/1992), walaupun pembuatan Dokumen Kamuflase oleh pihak konsultan memungkinkan untuk itu.

Sardjono (1996) mengemukakan bahwa jumlah dan komposisi tenaga pelaksana sangat menentukan kualitas dokumen hasil Studi Diagnostik, mengingat kegiatan mendiagnosis permasalahan membutuhkan tenaga ahli dengan berbagai disiplin ilmu (multidisiplin). Masing-masing HPH terpilih mencatumkan jumlah dan komposisi tenaga pelaksana relatif seragam yang ada umumnya berasal dari HPH, Kantor Wilayah Departemen Kehutanan dan Kantor Dinas Kehutanan Tingkat I Kalimantan Selatan dengan bidang ilmu Kehutanan, Ekonomi, Pertanian, Sosial dan di luar disiplin ilmu tersebut.

Berdasarkan SK. Dirjen Pengusahaan Hutan No. 1749/1992 disyaratkan bahwa pelaksanaan Studi Diagnostik harus melibatkan tenaga dari berbagai disiplin, sebab kegiatan mengidentifikasi ini bertujuan memperoleh data selengkap mungkin yang berhubungan dengan aspek sosial, ekonomi, budaya, pengusahaan hutan dan biofisik harus menggunakan Metode Obsevasi Partisifatif dan Hollistic approach.

Dalam hubungan dengan waktu dan tahapan pelaksanaan studi, Fauzi (2000) mengemukakan bahwa kegiatan penyusunan studi diagnostik berjalan 11 12 bulan terhitung sejak persetujuan terhadap kerangka proposal sampai penyelesaian dokumen. Sesuai dengan SK. Dirjen PH No. 211/1992 dan SK. Dirjen Pengusahaan Hutan No. 1748/1992 bahwa materi pelaksanaan Studi Diagnostik mencakup aspek Pengusahaan Hutan, Biofisik dan Sosial Ekonomi dan Budaya (Sosekbud).

Meteri yang dikumpulkan oleh HPH terpilih sesuai dengan SK Dirjen PH No. 211/1992 dan SK. Dirjen PH No. 1748/1992, baik dari segi kelengkapan maupun jenis data yang dikumpulkan, dimana untuk Apek Biofisik dan Sosekbud, data yang dikumpulkan selain dari data sekunder tetapi juga mengambil sejumlah sampel yang dianggap mewakili. Data sekunder yang memiliki HPH ditambah dengan data akurat. Banyak data yang harus diambil oleh pelaksana studi dan tuntutan waktu untuk menyelesaikan identifikasi merupakan pertimbangan mengapa data yang diambil juga berasal dari data sekunder.

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

139

Permasalahannya, apakah data yang diambil tersebut benar-benar menunjukkan situasi dan kondisi masing-masing HPH dan desa lokasi studi ? dan Apakah data sosial ekonomi dan budaya menyangkut keadaan masyarakat yang berkembang secara dinamis memang sesuai dengan aspirasi masyrakat desa ?

Keadaan ini baru dapat dilihat pada saat implementasi program di lapangan yang sering tidak mendapat dukungan sepenuhnya dari masyarakat disebabkan pada saat melakukan studi kurang memperhatikan aspirasi masyarkat.

Terkait dengan sumber data sosekbud dan metodologi studi, penelitian Fauzi (2000) menemukan seluruh elemen dalam masyarakat menjadi sumber data studi dan teknik yang digunakan pun sesuai dengan SK. Dirjen PH. No. 211/1992, S. Ed Dirjen PH No. 300/1991 dan SK Dirjen PH No. 1748/1992 mengenai pendekatan yang digunkan berupa Obsevasi Partisipatip dengan mencantumkan contoh kuesioner, intensitas sampling dan berita acara akan dapat meyakinkan orang bahwa pelaksana studi benar-benar turun langsung ke lapangan.

Hasil kajian Fauzi (2000) pada HPH terpilih terlihat bahwa Studi Diagnostik dilaksanakan pada sejumlah desa sampel dengan pertimbangan aksebilitas desa yang tinggi dan keterbatasan waktu, biaya, dan tenaga. Pemilihan lokasi desa binaan belum mencerminkan isi yang terkandung dalam SK. Menhut No. 69/1995 jo. SK. Menhut No. 523/1997 tentang Prioritas Lokasi Desa Binaan yang salah satu pasalnya mengisyaratkan bahwa pemilihan lokasi binaan berdasarkan pertimbangan letak dengan urutan prioritas di dalam, dibatas, dan di luar areal kerja HPH. Selain itu desa binaan telah ditetapkan sebelum dilaksankan kegiatan Studi Diagnostik.

Desa yang berada dalam areal kerja kedua HPH masih ada, namun mereka beranggapan bahwa untuk menjangkau desa yang berada di dalam areal tersebut cukup sulit, sehingga perlu dana dan tenaga yang tidak sedikit. Menurut analisa penulis pemilihan desa binaan di batas dan di luar HPH cenderung didasarkan atas pertimbangan “politis” yang memudahkan dalam penilaian pelaksanaan PMDH oleh instansi terkait.

Dari segi jumlah desa yang dibina, maka kiranya HPH Skala Kecil perlu mengantisipasi SK. Menhut No. 523/1997 yang menyebutkan bahwa HPH wajib melaksanakan kegiatan PMDH dengan jumlah minimal 2 (dua) desa per tahun, dan diharpkan pada akhir RKPH semua desa di dalam areal kerja HPH telah dibina.

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

140

Desa Binaan unggulan merupakan desa-desa terpilih sebagai lokasi studi yang diklasifikasikan kedalam desa Swakarya dan Swasembada dengan status miskin dan tidak miskin. Untuk HPH PT. Inhutani II desa binaan unggulan dalam status tidak miskin klasifikasi swakarya, padahal cukup banyak desa di wilayah HPH PT. Inhutani II yang masing berstatus desa miskin.

Ironisnya HPH yang mempunyai kemampuan (terutama biaya dan jangkauan pengusahaan yang besar) justeru memilih desa tidak miskin. HPH PT. Aya Yayang Indonesia memilih desa dengan status miskin. Bagi pemegang HPH, kondisi awal suatu desa jelas menciptakan titik awal (starting point) dalam pembinaan berikutnya. Dengan kondisi desa miskin, swakarya dan masih tradisional tentunya akan lebih menyulitkan dalam pembinaan sehubungan dengan perubahan Hutan No. 210/1993 dan SK. Materi Kehutanan No. 523/1997 secra jelas diterangkan bahwa prioritas desa binaan salah satunya pada desa tradisonal.

Dalam hubungannya dengan Pembiyaan Bina Desa, menurut penelitian Fauzi (2000) masalah pembiayan merupakan komponen terpenting dalam meralisasikan setiap program yang telah direncanakan. Sering program yang telah disusun sedemikian rupa tidak bisa dilaksanakan, karena berbenturan dengan dana yang tersedia. Begitu juga dengan program PMDH ini, maka masalah pembiayaan merupakan komponen sensitif tapi juga kritis bagi pelaksanaan program PMDH.

Dalam ketentuan peraturan perundang-undangan SK. Dirjen Pengusahaan Hutan No. 59/1993 sebenarnya tidak ada ketentuan secra implisit mengenai jumlah minimal biaya yang harus dikelurkan oleh pemegang HPH. Namun yang jelas bahwa besar kecilnya dana yang termanfaatkan akan sangat berpengaruh terhadap berhasil tidaknya program PMDH. Dalam Peraturan perundang-undangan mengenai pembiayaan PMDH sebanyak RP. 1.000,- per m3 kayu yang dieksploitasi perusahaan HPH bersangkutan.

Seluruh Aspek pembinaan yang harus dibina HPH sesuai SK. Dirjen PH No. 170/1992 tentang HPH Bina Desa Hutan telah diprogramkan oleh HPH yang bersangkutan dengan waktu perencanaan 20 tahun, meskipun sebenarnya masalah waktu ini tidak ada ketentuan yang pasti mengenai waktu minimal dalam pembinaan PMDH. Seluruh HPH telah merencanakan 20 tahun (bertepatan dengan masa ijin HPH berakhir), dan ini dikhawatirkan bahwa masyarakat desa binaan tidak siap untuk melanjutkan program, padalah tujuan dan sasaran PMDH antara lain menumbuhkan kemandirian masyarka. Oleh karena itu, strategi pembinaan hendaknya juga berorientasi pada sumber daya manusia (Software), fisik/teknologi (hardware), dan

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

141

kemampuan manajmen (Brainware) yang seharusnya ada pada setiap program PMDH (Sardjono, 1996).

Program Kegiatan yang dibuat oleh HPH tidak berkorelasi positif dengan kepemilikan saham perusahaan, baik swasta maupun pemerintah. Program kegiatan HPH milik pemerintah lebih sedikit daripada HPH milik swasta. Ironisnya adalah alokasi dana yang disediakan HPH juga tidak terlalu berbeda jauh antara kedua skala HPH tersebut, sehingga output yang dihasilkan pun patut dipertanyakan.

Salah satu fungsi manajemen yang sangat menetukan keberhasilan suatu program adalah bagaimana pengorganisasian yang dibuat oleh suatu perusahaan/organisasi/badan usaha, begitu juga dengan kegiatan PMDH ini. Menurut SK. Dirjen Pengusaahan hutan No. 170/1992, maka di dalam organisasi Bina Desa Hutan perlu memiliki petugas khusus. Bahkan di dalam SK. Dirjen PH No. 288/1992 ditegaskan bahwa pengorganisasian petugas khusus. Bahkan di dalam SK. Dirjen No. 288/1992 ditegaskan bahwa pengorganisasian petugas bina desa pun harus dibuat tersendiri (organisasi khusus petugas).

Hasil penelitian Fauzi (2000) juga menemukan pada seluruh HPH terpilih struktur yang menagani program Pembinaan Masyrakat Desa Hutan. Namun, ada HPH yang menetapkan organisasi pelaksana PMDH di bawah bidang/seksi khusus, misalnya Seksi PHLP seperti HPH PT. Aya Yayang Indonesia.

Dalam pelaksanaan di Lapangan idealnya seluruh HPH harus menempatkan tenaga spesialis PMDH di desa binaan, sehingga diharapkan petugas yang bersangkutan dapat mensosialisasikan program dan membaur dengan anggota masyarakat, serta dapat merasakan suka dan duka masyarakat. Sebaliknya masyarakat pun merasa bahwa petugas PMDH merupakan bagian dari komunitas mereka, sehingga mereka bisa berpartisipasi dalam setiap kegiatan pembagunan desa.

7.5 Perencanaan PMDH

Sesuai dengan SK. Menhut No. 523/1997 ada beberapa tahapan kegiatan perencanaan PMDH. Berikut akan dijelaskan kegiatan apa saja yang p e r l u d i l a k u k a n d a n p i h a k - p i h a k m a n a s a j a y a n g berperan/bertanggungjawab pada setiap tahapan kegiatan perencanaan. Tahap-tahapan kegiatan perencanaan tersebut adalah sebagai berikut :

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

142

7.5.1 Rencana Umum

Bertujuan untuk tersusunnya kerangka (arah) kegiatan bagi program PMDH berjangka panjang (20 atau 25 tahun) yang pada prinsipnya dapat ditinjau atau disesuaikan pada setiap 5 tahun.

Uraian berikut tidak akan menjelaskan bagaimana menyusun Rencana Umum, akan tetapi hanya memberikan contoh apa substansi Rencana Umum PMDH sebagai informasi dasar dalam menjelaskan Rencana berikutnya. Contoh Rencana Umum berikut ini dibuat dengan asumsi, bahwa sudah tersedia informasi dasar tentang keadaan fisik dan social ekonomi budaya di wilayah kerja PMDH. Dalam hal ini Rencana Umum disajikan dengan bagan berikut :

Re n c a n a u m u m s e p e r t i t e r s e b u t di a ta s ya n g h a r u s disajikan/diinformasikan oleh seorang petugas lapangan PMDH dalam forum Musyawarah Desa untuk selanjutnya dibhas bersama masyarakat, guna ditetapkan menjadi beberapa kegiatan PMDHJ yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat desa yang bersangkutan, sedangkan hal-hal yang menyangkut informasi dasar keadaan fisik dan sosekbud masyarakat setempat bukanlah contoh Rencana Umum PMDH (non contoh).

Tingkatan Tujuan Kegiatan

Sasaran (Goal) Pendapatan Masyarakat desa di dalam dan di sekitar wilayah kerja HPH/HPHTI meningkat

Maksud (Purpose) Kelompok-kelompok tani dan lembaga masyarakat desa di dalam dan di sekitar wilayah HPH/HPHTI mampu mengelola sumberdaya alam di wilayahnya secara efektif untuk usaha produktif dan mandiri

Hasil-hasil kerja : 1. Tersedianya dan diterapkannya pola kelompok usaha bersama (KUB)

melalui pola pendampingan dan pengembangan jaringan kerjasama kemitraan usaha antar kelompok dan antara kelompok dengan pihak lain

2. Tersedianya fasilitas keuangan pedesaan yang dapat membantu permodalan bagi pengembangan usaha kelomp ok

3. Terbantunya masyarakat dalam proses transportasi hasil -hasil usaha tani untuk mengakses unit-unit pengolahan dan pemasaran hasil.

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

143

7.5.2 Rencana Lima Tahun PMDH

Rencana Lima Tahun (RLT) PMDH adalah rencana pembinaan masyarakat desa di dalam dan sekitar wilayah kerja HPH/HPHTI untuk jangka waktu lima tahun berdasarkan sasaran, maksud dan hasil-hasil yang akan dicapai dalam kegiatan PMDH sebagaimana yang ditetapkan dalam Rencana Umum. Jadi RLT PMDH adalah penjabaran rencana umum ke dalam rencana lima tahunan. Jika kegiatan PMDH berjangka waktu 20 tahun, maka harus ada 4 RLT PMDH yang disusun secara periodik setiap 5 tahun.

Dalam proses penyusunan Rencana Lima Tahun ada 2 tahap/langkah kerja yang paling mendasar, yaitu :

a) Menetapkan kegiatan pokok yang sesuai dengan hasil-hasil kerja yang akan dicapai (dalam kerangka/arah kegiatan jangka panjang), seperti yang telah ditetapkan pada Rencana Umum. Karena RU berjangka 20 tahun maka penyusunan RLT mungkin dilakukan 4 kali dalam satu jangka waktu pengusahaan hutan

b) Menetapkan indikator-indikator masing-masing kegiatan

Kegiatan pokok dengan indikator-indikator yang harus ada dalam RLT PMDH sebagai berikut :

! Kegiatan-kegiatan pokok,! Tujuan khusus kegiatan,! Keluaran/hasil kegiatan,! Kelompok sasaran,! Wilayah kerja kegiatan,! Waktu/periode kegiatan,! Pelaksana/penanggungjawab kegiatan, dan! Asumsi penting untuk terlaksananya kegiatan.

Isi pokok RLT-PMDH pada prinsipnya :

a) Harus saling menjelaskan, sehingga benar-benar dapat menjadi acuan bagi pelaksana atau pihak lain yang berkepentingan

b) Dapat menjelaskan ukuran-ukuran tertentu, sehingga menjadi indikator dalam mengukur apakah kegiatan sudah mencapai hasil sebagaimana yang diharapkan.

Karena PMDH merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sistem pembangunan masyarakat desa (PMD) maka penyusunan RLT-PMDH harus terintegrasi pula dengan pelaksanaan Musyawarah Desa.

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

144

7.5.3 Rencana Tahunan PMDH

Rencana Tahunan PMDH adalah rencana kegiatan PMDH yang dibuat untuk dilaksanakan dalam periode 1 tahun, dimana kegiatan-kegiatan yang direncanakan merupakan rincian sub-sub kegiatan dari kegiatan pokok yang telah ditetapkan dalam RLT PMDH, yang disertai dengan berbagai penjelasan dan ukuran (indikator) bagi pelaksanaannya.

Hal yang membedakan Rencana Tahunan dengan Rencana Lima Tahun PMDH adalah :

a) Bahwa kegiatan pokok sudah dirinci dengan sub-sub kegiatanb) Bahwa masing-masing sub kegiatan dijelaskan volume/frekuensi

pelaksanaannyac) Bahwa lokasi kegiatan sudah lebih spesifik

Contoh Rencana Tahunan PMDH dapat dilihat pada Tabel Lampiran 2.Isi pokok Rencana Tahunan PMDH adalah :

a) Sub-Sub Pokok Kegiatanb) Tujuan khusus dari setiap sub kegiatanc) Volume/frekuensi kegiatand) Keluaran/hasil sub kegiatane) Kelompok Sasaranf) Lokasi kegiatan

Kapan waktu yang tepat untuk menyusun Rencana Tahunan?

Sama dengan pertimbangan pada penetapan waktu penyusunan Rencana Lima Tahunan, maka waktu penyusunan Rencana tahunan dilakukan setelah RPTD dalam P3MD selesai disusun oleh Musbangdes. Mengapa demikian? Karena kita harus tahu dulu, mana kegiatan-kegiatan dalam RPTD yang sudah memperoleh pengakuan/persetujuan masyarakat untuk diintegrasikan sebagai bagian dan tanggungjawab PMDH. Setelah semua status kegiatan PMDH jelas, barulah tepat untuk menyusun Rencana tahunan PMDH.

7.5.4 Rencana Operasional (RO) PMDH

Pada dasarnya RO PMDH adalah penjabaran RT PMDH secara teknis dan administratif. Gunanya adalah sebagai pedoman pelaksanaan (petunjuk teknis) bagi para pelaku dalam melaksanakan tugas dan peranannya di masing-masing lokasi kegiatan.

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

145

Apa Isi pokok RO-PMDH?

Sesuai dengan sifatnya sebagai “petunjuk teknis”, maka isi pokok rencana operasional meliputi semua isi pokok pada rencana tahunan yang ditambah dengan penjelasan-penjelasan yang diperlukan.

Kapan waktu yang tepat untuk menyusun RO-PMDH?

Sebaiknya dilakukan segera (jika perlu dilanjutkan 1-2 hari) setelah menyusun Rencana Tahunan.

7.6 Pelaksanaan PMDH

Acuan utama pada tahap pelaksanaan adalah rencana operasional. Artinya semua kegiatan yang sudah direncanakan harus dilaksanakan sesuai dengan rencana yang dibuat dan telah disepakati bersama masyarakat.

Tahapan kegiatan yang perlu diorganisasikan secara partisisipatif dalam pelaksanaan PMDH dengan melibatkan seluruh unsur masyarakat dan pihak-pihak yang berkepentingan terlibat secara aktif meliputi : persiapan dan pengorganisasian, pelaksanaan kegiatan lapangan sebagai bentuk realisasi perencanaan, dokumentasi hasil, pemantauan dan pengendalian serta pelaporan.

Tahap pelaksanaan seringkali juga menyangkut perencanaan berjalan, bilamana terdapat masukan-masukan berharga selama kegiatan lapangan dan memerluka respon penyempurnaan rencana sebelumnya, khususnya rencana tahunan. Dengan kata lain tahap perencanaan dan pelaksanaan bersifat “bias terulang” dalam satu siklus pengelolaan.

Kegiatan Pembinaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH) harus dipahami sebagai program pemberdayaan masyarakat dan bukan sebagai suatu “proyek sesaat”, dimana akan berakhir pada saat suatu perusahaan pemegang HPH/HPHTI selesai (atau dicabut konsesinya).

Dalam kerangka sasaran PMDH, pemberdayaan masyarakat dilakukan dengan mengembangkan berbagai alternatif kegiatan sebagaimana dituangkan dalam SK. Ditjen Pengusahaan Hutan No.36/1998 meliputi :

a) Peningkatan pendapatan, tumbuhnya ekonomi masyarakat pedesaan yang berwawasan lingkungan, yang meliputi :

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

146

(1) Pendidikan dan latihan keterampilan di bidang pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, kerajinan rumah tangga serta penyediaan beasiswa dan tenaga guru,

(2) Pemasaran hasil pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, kerajinan rumah tangga,

(3) Pembentukan/pembinaan koperasi, bantuan modal kerja/usaha dan kredit lunak.

b) Penyediaan sarana dan prasarana social ekonomi, yang meliputi :

(1)Pembangunan sarana fisik desa seperti jalan, jembatan, dan lain-lain(2)Pembangunan sarana fisik keagamaan(3)Pembangunan sarana fisik pendidikan(4)Pemanfaatan sarana/prasarana kesehatan

c) Meningkatkan kesadaran dan perilaku positif masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam yang meliputi :

(1)Berbagai bentuk penyuluhan di bidang konservasi SDA, pertanian menetap, agroforestry, dan sebagainya,

(2)Pengembangan hutan rakyat, aneka usaha kehutanan, hutan kemasyarakatan dan pelestarian SDA.

Hal-hal yang bukan bagian kegiatan pelaksanaan program PMDH antara lain :

g) Pembinaan kesadaran politik masyarakat untuk terlibat aktif dalam kegiatan Partai Politik,

h) Mempromosikan produk tertentu untuk dijual kepada masyarakat, sehingga bias mendidik masyarakat cenderung bersifat konsumtif,

i) Menerapkan pola monopoli dalam pemasaran hasil-hasil bumi dan kerajinan masyarakat, sehingga harga jauh di bawah standar dan tidak ada posisi tawar masyarakat dengan perusahaan,

j) Menjadi pihak pengumpul dalam jaringan penebangan liar di luar blok perusahaan oleh masyarakat peserta program PMDH.

Untuk mencapai tujuan dan sasaran PMDH, maka setiap pemegang HPH dan HPHTI, kecuali HTI-trans wajib melaksanakan kegiatan PMDH dengan jumlah minimal 2 (dua) desa untuk setiap tahun, dengan ketentuan bahwa setelah 20 tahun atau setelah jangka waktu hak pengusahaan hutan berakhir, seluruh desa di dalam atau di sekitar areal kerja pengusahaan hutan terbina seluruhnya.

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

147

Menurut Sunardi (1993) dan Dirjen RRL (1992) secara garis besar kegiatan HPH Bina Desa Hutan/Pembinaan Masyarakat Desa Hutan mempunyai ruang lingkup sebagai berikut :

7.6.1 Pengembangan Pertanian Menetap

Pengembangan pertanian menetap dimkasudkan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan cara bertani dari peladang berpindah secara bertahap menjadi petani menetap dalam arti pertanian luas. Metode pendekatan yang dipakai bersifat membimbing dan mendorong motivasi yang dilakukan secara bertahap dan dimulai dari cara yang paling sederhana dan praktis sampai pada model petak percontohan.

Beberapa aspek kegiatan dalam lingkup pertanian menetap berupa :

a. Usahatani lahan kering berupa usaha wanatani, budidaya tanaman industri, holtikultura dan hutan kemasyarakatan

b. Usaha tani lahan basah berupa pembuatan dam/irigasi, pencetakan sawah baru, pembuatan kolam ikan/tambak, dan pengadaan sarana produksi pertanian (Saprodi).

Hasil penelitian Fauzi (1999) terhadap kegiatan pertanian menetap oleh HPH PT. Aya Yayang Indonesia adalah pembinaan sistem peladang berpindah, pembangunan kebun bibit desa, peningkatan produksi pertanian tanaman pangan, buah-buahan, dan sayur-sayuran beserta pengendalian hama dan penyakitnya, penyediaan dan pengembangan ternak sapi, ayam buras dan kambing, pengembangan produksi perikanan air tawar dan pengembangan perkebunana karet dan kelapa hibrida di lahan kering.

Kegiatan pembinaan yang telah dilaksanakan berupa pembinaan sistem peladang berpindah menjadi petani menetap dengan harapan agar kesuburan lahan meningkat dan peningkatan pengetahuan, keterampilan dan sikap metal dalam teknik budaya usaha tani yang berwawasan konservasi. Dampak dari kegiatan ini diharapkan mampu meningkatkan produktivitas lahan, pendapatan meningkat, pola budaya usaha tani membaik dan tata air tanah membaik.

Sampai saat ini kegiatan yang dibina berupa pemberian kesempatan kepada peserta untuk mengelola lahan seluas 0,5 1,0 ha/KK dengan sejumlah bantuan seperti bibit padi gogorencah, penyediaan sarana produksi (pupuk, herbisida, pestisida, cangkul, parang dan sprayer). Pembinaan dilakukan dengan menempatkan langsung petugas PMDH di lokasi Desa Binaan sehingga pembinaan dapat terkontrol.

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

148

Pembinaan juga dilakukan dalam upaya deversifikasi hasil pertanian berupa pemerian bantuan bibit buah-buahan dan sayur-sayuran seperti rambutan, pisang, jagung, nenas, bayam, kacang tanah disertai dengan bimbingan cara pemeliharaan tanaman termasuk cara pengendalian hama dan penyakit tanaman secara praktis.

Hama yang sering menyerang tanaman penduduk setempat adalah babi, tikus dan serangga sehingga bantuan yang diberikan berupa umpan beracun dan gropyokan, diazinon, furadan 3-G, sevin dan pengaturan jadwal pengendalian hama dan penyakit.

Bantuan ternak sapi diberikan kepada sejumlah penduduk secara kredit dengan bunga lunak. Namun ketika penelitian ini dilaksanakan diperoleh informasi bahwa sapi bantuan tersebut banyak yang terserang penyakit dan mati. Sementara upaya penanggulangan dari penduduk masih minim mengingat penegtahuan yang mereka miliki memang tidak memadai. Untuk merangsang masyarakat dalam upaya diversifikasi pertanian maka dibangun demplot pertanian di samping Camp Induk PMDH Desa Dambung Raya dengan ditanami berbagai komoditas pertanian dan kehutanan seperti karet, sungkai, durian, padi, nenas dan ubikayu. Memang banyak yang tertarik dengan kegiatan ini, tapi hanya sedikit yang benar-benar mau melaksanakannya.

Untuk mengetahui lebih jauh tentang keaktifan responden dalam kegiatan ini dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12. Keaktifan Responden dalam Kegiatan Pertanian Menetap pada Program PMDH PT. Aya Yayang Indonesia

Sumber : Fauzi (2000)

Kelompok yang memberikan jawaban kurang aktif dan tidak aktif tersebut menambahkan alasan dalam jawaban mereka bahwa kalaupun mereka menjadi Peserta PMDH, tapi kegiatan Pertanian Ladang berpindah masih terus dilakukan dan masih dianggap lebih menguntungkan. Selain itu ada juga yang menambahkan bahwa mereka enggan aktif dalam kegiatan pertanian menetap, sebab ada oknum petugas PMDH yang ingkar janji untuk memberikan sejumlah bantuan kepada peladang yang mau bertani menetap.

No.

Alternatif Jawaban

Frekuensi (Jiwa)

Prosentase (%)

1. 2. 3.

Aktif Kurang aktif Tidak aktif

7 7

10

29,2 29,2 41,6

Jumlah 24 100

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

149

Karena tergiur dengan janji tersebut maka banyak peladang yang bersedia ikut Program Pertanian Menetap.

Namun, sampai sekarang janji tersebut tidak pernah direalisasikan. Sementara para warga tahu bahwa dana bantuan tersebut telah dicairkan oleh pihak perusahaan. Tentu saja warga merasa tertipu dan memutuskan untuk ikut dalam PMDH “seadanya saja” sambil tetap melanjutkan aktivitas berladang dengan sistem tebas bakar dan berusaha lain seperti mengambil kayu secara ilegal dan mendulang emas. Hasil observasi langsung peneliti memang melihat banyak lahan hutan yang sudah dibakar dan siap untuk ditanami. Lahan hutan yang dibakar ini kebanyakan berada di daerah-daerah lembah pegunungan.

Sementara responden yang memberikan jawaban aktif mengemukakan alasan bahwa mereka menyadari bahwa luas lahan untuk berladang berpindah semakin sempit akibat pengusahaan hutan oleh HPH (PT. Aya Yayang Indonesia) dan HPHTI (PT. Jenggala Semesta). Sementara areal yang tersedia terletak di sekitar Hutan Lindung (Gunung Kesale) dan daerah-daearh yang cukup jauh dari pemukiman mereka.

Responden lain mengemukakan bahwa secara fisik mereka sudah tidak mampu lagi bekerja apabila harus berladang berpindah mengingat jarak ke lokasi perladangan cukup jauh, sehingga mereka memutuskan berusaha pada satu areal saja (Pertanian Menetap) demi memenuhi keperluan hidup mereka.

Petugas PMDH setempat mengakui bahwa sangat sulit mengajak warga desa untuk bertani menetap bahkan sekalipun mendapat fasilitas mereka kurang respek terhadap program ini. Kalaupun mereka mau ikut dalam program ini, maka sistem bertani yang diterapkan sebagaimana layaknya berladang berpindah.

Demplot pertanian juga tidak banyak membentu dalam memotivasi warga desa, sebab mereka berpikir kalau usaha seperti ini dilaksanakan perlu banyak modal untuk itu.

Faktor penghambat yang cukup vital justru berasal dari oknum Kepala Desa, sebab beliau bersikap apatis dalam menanggapi program ini. Bahkan menurut keterangan petugas PMDH dan informan kunci, kepala desa tersebut yang mengajak warga desa melaksanakan aktivitas berladang berpindah dan memungut kayu.

Penemuan lain di lapangan berdasarkan informasi dari Informan kunci dijelaskan bahwa tenaga khusus pertanian telah disiapkan sebanyak 1 (satu)

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

150

orang petugas pertanian (Sarjana Pertanian), tetapi dia harus menangai 3 (tiga) buah desa sekaligus dengan letak yang saling berkejauhan, sedangkan petugas lapangan yang ada kurang menguasai permasalahan pertanian secara khusus, walaupun pernah mengikuti mberbagai kursus dan pelatihan pertanian, namun pendekatan yang dilakukan petugas masih belum mampu mengajak petani untuk aktif dalam kegiatan pertanian menetap.

Dalam pemasaran hasil pertanian biasanya berlangsung di tempat petani, dimana pedagang mengumpul datang langsung ke petani dan harga ditentukan oleh pedagang pengumpul tersebut, sehingga tidak jarang harga jual sangat rendah. Dalam situasi ini petani menghadapi pilihan sulit, sebab harga jual di pasar Doroi dan Panaan memang tinggi tapi baru aktif masing-masing setiap hari Rabu dan Jum'at, sementara hasil pertanian harus dijual karena takut busuk. Sedangkan kalau menjual ke pedagang pengumpul harganya sangat rendah.

Hal yang menguntungkan bagi petani adalah kesediaan pihak logistik (Dapur umum) HPH PT. Aya Yayang Indonesia membeli sayur dan buah-buahan hasil panen petani dalam jumlah besar dengan harga cukup ideal. Untuk mengetahui pengaruh kegiatan PMDH di bidang Pertanian Menetap dapat dilihat pada Tabel 13.

Tabel 13. Tanggapan Responden Mengenai Dampak Pembinaan Bidang Pertanian Menetap terhadap peningkatan Pendapatan Keluarga Peserta PMDH PT. Aya Yayang

Indonesia

Sumber : Fauzi (2000)

Jawaban responden seperti pada Tabel 22 dapat disimpulkan bahwa kegiatan Pertanian Menetap belum memberikan pengaruh positif terhadap peningkatan pendapatan (50 % responden menyatakan Tidak berubah dan 20,8 % menyatakan menurun).

Alasan mereka bahwa secara nyata produksi pertanian yang diperoleh tidak jauh berbeda dengan usaha berladang berpindah, bahkan kalau pengadaan bibit dan saprodi diperhitungkan justru pendapatan dari usaha ini

No.

Alternatif Jawaban

Frekuensi (jiwa)

Prosentase (%)

1. Meningkat 7 29,2

2. Tidak berubah 12 50,0

3. Menurun 5 20,8

Jumlah 24 30

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

151

lebih rendah daripada hasil dari berladang berpindah. Sedangkan responden yang menyatakan bahwa pendapatan meningkat akibat keikutsertaan dalam Pertanian Menetap mengemukakan alasan bahwa produk pertanian yang dihasilkan saat ini lebih bervariasi sehingga pemasukan dana juga didapat dari berbagai sumber.

Berdasarkan hasil observasi lapangan dan wawancara dengan Indorman kunci dan Petugas PMDH setempat dapat disimpulkan bahwa pembinaan HPH di bidang Pertanian Menetap telah dilaksanakan di semua desa sampel. Masing-masing desa sampel tersebut mendapat pembinaan dari petugas PMDH yang mempunyai latarbelakang pendidikan yang tidak seragam, walaupun bidang pembinaan yang dilaksanakan adalah pertanian.

Kenyataan ini terjadi karena masing-masing desa binaan ditangani oleh perusahaan atau petugas HPH sendiri. Walaupun demikian dapat disimpulkan bahwa bentuk pembinaan dalam bidang pertanian menetap berupa usaha budidaya tanaman pangan, holtikultura, budidaya tanaman keras, usaha peternakan dan perikanan. Selain itu, petugas PMDH juga menjelaskan bahwa kegiatan pembinaan di bidang pertanian dalam arti luas menjadi prioritas utama dalam Pelaksanaan PMDH oleh perusahaan pemegang HPH di Kalimantan Selatan.

Namun demikian, prioritas bidang pertanian dalam arti luas, terutama pertanian lahan basah apabila dikaji dari segi potensi dan kondisi tanah di kawasan hutan di Kalimantan Selatan, termasuk tingkat kesuburannya maka prioritas pertanian menetap khususnya lahan basah patut dipertanyakan begaimana keberhasilan dan dukungan masyarakat, karena tanah yang subur dan cocok untuk budidaya tersebut masih sedikit, mengingat tanah di Kalimantan Selatan merupakan tanah marginal untuk pertanian (Nurul Azkar, 1998).

Hal lain yang dapat ditemukan oleh peneliti, karena prioritas PMDH dalam bidang peningkatan pendapatan melalui kegiatan pertanian menetap menyebabkan perusahan kesulitan mendapat areal yang cocok untuk dikembangkan lebih lanjut. Dengan permasalahan ini, pihak HPH terpaksa memilih desa yang jauh dengan basecamp HPH bersangkutan, padahal disisi lain masih ada beberapa desa yang dekat dengan basecamp yang seharusnya lebih mendapat pembinaan lebih dahulu, tetapi HPH yang bersangkutan tetap saja menetapkan desa binaan yang relatif jauh tersebut. Alasan utama yang dikemukakan oleh petugas HPH dalam persoalan ini adalah potensi desa yang relatif lebih dekat ini tidak atau kurang mendukung.

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

152

Menarik untuk dicermati, ternyata pemilihan prioritas kegiatan dibidang pertanian menetap didasarkan atas pertimbangan bahwa kegiatan pertanian (PerladanganBerpindah) telah menjadi bagian dari budaya masyarakat hutan yang secara turun temurun telah dilaksanakan sehingga apabila program ini ditawarkan untuk mendapat pembinaan kepada masyarakat maka mereka akan aktif mendukung dan mengikuti kegiatan ini. Alasan lainnya justeru bersifat politis bahwa kegiatan pertanian lebih mudah dilihat manakala ada pengawasan dan penilaian dari instansi berwenang, sebab penilaian demikian yang selalu didambakan HPH guna memperlancar hak-hak mereka dalam pengusahaan hutan.

Menanggapi persoalan pembinaan di bidang Pertanian Menetap ini, masing-masing responden pada kedua HPH memiliki tanggapan yang berbeda-beda. Namun secara kumulatif, mereka pada umumnya kurang aktif (37,8%) dalam kegiatan Pertanian Menetap. Secara parsial, maka responden yang paling aktif adalah responden binaan PT. Inhutani II (33,3%) disusul oleh masyarakat bnaan PT. Aya Yayang Indonesia (29,2%).

Keaktifan Responden pada HPH PT. Inhutani II diduga disebabkan oleh karena latarbelakang pendidikan responden yang lebih tinggi dibandingkan respoden pada HPH PT. AYI.. Kemampuan responden mengadopsi teknologi, termasuk pertanian menetap pada desa binaan rupanya sudah cukup memadai. Sebab menurut Mardikanto (1992) keputusan untuk mengadopsi sesuatu yang baru bagi petani biasanya dipengaruhi oleh perbedaan individual yang dimiliki seseorang.

Salah satu faktor yang mempengaruhi adalah pendidikan, sebab dengan tingginya pendidikan menyebabkan pola pikir seseorang juga menunjukkan korelasi fositif, dan akibatnya kesadaran masyarakat untuk bertani menetap juga cuckp tinggi. Disamping faktor pendidikan, lebih aktifnya responden pada PT. Inhutani II juga disebabkan oleh frekuensi contact person dan pendekatan yang dilakukan oleh petugas PMDH termasuk pemberian sejumlah bantuan dengan alokasi dana yang besar.

Walaupun secara parsial responden pada PT. Inhutani II lebih efeltif namun secara kumulatif, kearifan responden dalam kegiatan pertanian menetap masih rendah. Bebagai kendala yang ditemukan dalam pembinaan di bidang pertanian menetap dapat dirangkum sebagai berikut :

a) Kesulitan dalam meyakinkan dan mendapatkan dukungan penduduk desa dalam melaksanakan pembinaan

b) Masih adanya kekhawatiran dari peserta PMDH mengenai kemungkinan semakin berkurangnya kesuburan tanah yang mereka garap apabila penanaman dilakukan setiap tahun pada areal yang sama dengan periode 3 4 kali.

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

153

c) Pembiayaan yang cukup besar apabila mereka melakukan pertanian menetap dibandingkan ketika mereka masih berladang berpindah, sebab diperlukan biaya tambahan untuk pembelian pupuk dan obat-obatan. Walaupun Sarana Produksi ini diberikan oleh pihak HPH, tetapi tetap ada kekhawatiran kalau suatu suatu saat mereka tidak mendapatkannya lagi.

d) Dikalangan peeserta PMDH mulai muncul ketergantungan terhadap petugas dan perusahaan HPH yang tercemin dari penuturan beberapa peserta yang selalu mengharapkan bantuan pupuk, obat-obatan, bibit dan beberapa peralatan lainnya. Ini berarti bahwa pembinaan dan bantuan yang ada selama ini sebenarnya dimaksudkan untuk merangsang dan menunbuhkan kemandirian peserta, tetapi yang sebaliknya terjadi adalah muncul ketergantungan warga masyarakat.

Ini berarti bahwa pembinaan dan bantuan terhadap masyarakat desa masih memerlukan waktu yang relatif lama, memerlukan kesabaran dan berusaha untuk mengusahakan mereka sampai dapat memetik hasilnya. Pada masyarakat pedesaan kebanyakan, mereka masih memerlukan bukti bahwa program yang ditawarkan memang memberikan hasil yang positif terlebih dahulu. Penegasan ini penting mengigat selama ini mereka dalam melaksanakan kegiatan perladangan berpindah tidak pernah berkenalan dengan berbagai produk teknologi pertanian, keculai pupuk kandang yang berasal dari kotoran ternak.

e) Adanya oknum tertentu yang sengaja menghalang-halangi suksesnya pembinaan di bidang ini, sebab oknum yang bersangkutan merasa kepentingannya terganggu.

Dalam menanggapi kasus ini, infoman kunci berpendapat bahwa petani ladang berpindah ini sebenarnya dapat diarahkan menjadi petani menetap. Untuk mencapai tujuan tersebut, ada beberapa hal yang dapat dilakukan :

a) Pembinaan yang diberikan harus dilakukan secara rutin dan penuh kesanggupan disertai dibuatnya petak percontohan yang benar-benar dapat dilaksanakan petani.

b) Mempersiapkan tenaga khusus yang dapat memberikan pembinaan kepada petani dan ditempatkan di lokasi desa binaan.

c) Diupayakan agar secara ekonomis, bentuk pertanian menetap harus benar-benar menguntungkan bagi petani dibandingkan dengan kegiatan peladang berpindah atau kalau memungkinkan setara dengan pendapatan yang diperoleh dari “mengayu”.

d) Luas lahan pertanian harus ditingkatkan, sehingga hasil pertanian dari lahan persawahan ini dapat mencukupi kebutuhan keluarga peserta PMDH bersangkutan.

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

154

Sementara itu menurut Direktorat Reboisasi dan Rehabilitas Lahan (1981) proses Pengendalian Peladang Berpindah meliputi 3 9tiga) pokok usaha yang langsung berkaitan, yaitu :

a) Pembangunan bentuk (satuan) Usaha Tani Menetap yang sesuai, produktif dan mengindahkan usaha pelestarian lahannya.

b) Pemulihan (Rehabilitas) areal bekas perladangan berpindah sehingga tidak menjadi sumber/penyebab bencana alam.

c) Pembinaan petani dan pengembangan usaha taninya sehingga pendapatan terus meningkat dan dapat berperan dalam pembagunan regional.

Berdasarkan pokok-pokok kebijaksanaan di atas, maka dalam merumuskan program dan penjabarannya selanjutnya dalam pola penyelenggaraannya serta metode pelaksanaannya, peneliti sepakat apabila prinsip-prinsip yang digunakan sejauh mungkin harus dipenuhi (Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan, 1981) adalah sebagai berikut :

a) Dapat Dilaksanakan Secara MassalDalam waktu yang relatif singkat pada kondisi yang ada dapat dilaksanakan secara luas, sederhana/murah dalam penyelenggaraannya tanpa harus banyak menyiapkan pra-kondisi yang memerlukan banyak input, usaha peningkatan intensitas dan kualitas dilaksanakan bersamaam dengan membaiknya prakondisi itu.

b) Meningkatkan pendapatan masyarakat desa binaan secara nyata dalam waktu relatif singkat, sehingga jenis komoditi yang dipilih harus cepat menghasilkan dan bernilai ekonomis tinggi.

c) Sesuai dengan kemampuan wilayah dan keadaan tanah dalam rangka mempertahankan Kelestarian Sumber Daya Alam

d) Sesuai dengan tingkat perkembangan sosial ekonomi peladang. Jenis komoditi dan teknik pembudidayaan yang dipilih pada tahap awal sejauh mungkin yang sudah atau mudah dikenal dan dapat diterima. Kegiatan penanaman, pemeliharaan dan pemungutan hasilnya tidak memerlukan biaya tinggi di luar jangkauan masyarakat desa.

e) Menimbulkan rasa tanggungjawab atas hasil usaha. Dengan mengembangkan azas ini diharapkan tumbuhnya sikap dan perbuatan untuk memelihara dan mempertahankan hasil usaha pembagunan secara berkelanjutan. Pemberian kepastian hak tertentu secara mantap melalui pengukuhan tanah milik melalui sertifikat merupakan salah satu cara dapat dipakai.

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

155

7.6.2 Konservasi Sumberdaya Hutan dan Lingkungan

Sejalan dengan tujuannya, kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan konservasi sumberdaya alam yang dikembangkan antara lain (a) Penghijauan, (b) Penyuluhan tentang hutan dan kehutanan serta lingkungan dan (c) Pembuatan Terasering dan lain-lain

Hasil penelitian Fauzi (2000) menunjukkan bahwa dalam kegiatan Pelestarian Sumber Daya Hutan dan Lingkungan, jenis-jenis kegiatan yang diprogramkan oleh PT. Aya Yayang Indonesia berupa: (1) Penyuluhan tentang KSDA dan Hutan dengan materi penyuluhan tentang usaha-usaha kegiatan KSDA dan Hutan bekerjasama dengan Departemen Kehutanan dan Perkebunan Tingkat II Tabalong; (2) Penyuluhan tentang Pertanian Menetap, Agroforestry dan Peternakan; dan (3) Pengembangan Aneka Usaha Kehutanan.

Guna memanfaatkan lahan berjangka panjang perlu kiranya diadakan penanaman tanaman kehutanan yang bermanfaat baik dari segi ekonomis maupun konsevasi. Tanaman kehutanan yang ditanam adalah Ampupu dan Akasia Daun Lebar.

Walaupun perusahaan telah berupaya merealisasikan kegiatan namun responden beranggapan bahwa pembinaan yang dilaksanakan jarang (54,2%) dlakukan. Alasan mereka dan diakui petugas PMDH sendiri bahwa kegiatan ini memang kurang diminati warga (Penyuluhan) dan tidak melibatkan seluruh masyarakat (pengembangan Aneka Usaha Kehuatan). Dengan demikian responden beranggapan bahwa kegiatan PMDH tidak berpengaruh positif terhadap pelestarian lingkungan dengan alasan yang ditambahkan responden bahwa penanaman tanaman kehutanan seperti Akasia dan Ampupu tidak mampu memperbaiki lingkungan yang ada bahkan terkesan pekerjaan sia-sia, sebab tidak ada menfaat yang dapat dirasakan dari kegiatan ini.

Jawaban responden tentang penyuluhan yang berkaitan erat dengan upaya pelastarian lingkungan memberikan gambaran bahwa pembinaan di bidang pelestarian sumber daya hutan dan lingkungan telah dilaksanakan, sebab diakui oleh Petugas PMDH, informan kunci dan responden bahwa keaktifan masyarakat untuk menghadiri penyuluhan masih kurang mengigat mereka lebih disibukkan oleh kegiatan berladang dan mengambil hasil hutan.

Untuk melaksankan pola perladangan diperlukan adanya pembinaan yang intensif dan kontinyu serta berkelanjutan. Untuk melakukan tugas ini diperlukan tenaga-tenaga penyuluh lapangan yang handal dan profesional

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

156

dalam bidangnya, terutama pengetahuan yang memadai mengenai teknik-teknik pertanian lahan kering yang ramah lingkungan. Perladangan menetap memerlukan syarat pokok pemeliharaan yang intensif seperti pengolahan lahan tanah, pemupukan, pengendalian hama dan penyakit, ataupun peningkatan mutu bibit/benih dengan pemakaian varietas unggul. Tanpa diikuti dengan pemupukan yang cukup dan teknik-teknik konservasi yang tepat akan berakibat semakin cepat rusaknya tanah pertanian.

Dalam pada itu pengadaan berbagai jenis bibit/benih tanaman pangan, hortikultura, ataupun tanaman industri dan tanaman keras lainnya penting untuk membantu peladang memilih jenis-jenis tanaman yang menguntungkan bagi petani dan program HPH dalam pelestarian sumber daya hutan dan lingkungan. Penyuluhan harus membantu peladang dalam menentukan jenis komoditi yang akan diusahakan disesuaikan dengan kondisi tanah dan iklim setempat. Selain itu penyuluhan dapat dilakukan secara terpadu secara sekaligus mengembangkan sektor-sektor lainnya.

Alternatif lain pembangunan perladangan ditinjau dari aspek teknis peningkatan produksi adalah dengan Sistem Agroforestry dengan menerapkan pola pengembangan perladangan sekaligus mengawetkan tanah secara vegetatif. Sistem ini dapat mengawetkan tanah karena ia berfungsi menjaga kesuburan tanah, menciptakan iklim mikro, serta sekaligus memperoleh produksi yang optimal dari sebidang lahan yang telah menurun kesuburannya.

Selanjutnya didapat infomasi bahwa pelaksanaan PMDH cenderung memberikan pengaruh positif terhadap pelstarian sumber daya hutan dan lingkungan. Sebab dirasakan positif terhadap pelestarian sumber daya hutan dan lingkungan. Sebab dirasakan oleh penduduk desa bahwa dengan adanya pelaksanaan PMDH ini maka kepedulian HPH terhadap lingkungan cukup memadai, karena selama ini HPH cedurungan mengambil dan mengeruk keuntungan dari kegiatan pengusahaan hutan tanpa upaya-upaya konservasi.

Walaupun demikian secara parsial, responden pada PT. Aya Yayang Indonesia menganggap bahwa pelaksanaan PMDH tidak memberikan pengaruh apa-apa terhadap pelestarian lingkungan, sebab pembinaan yang dilakukan memang tidak sungguh-sungguh dilakukan oleh HPH yang bersangkutan.

Informan kunci dalam hal ini menjelaskan bahwa pelaksanaan PMDH yang berkaitan langsung dengan upaya pelestarian lingkungan memang belum seperti yang diharapkan. Kegiatan nyata yang dilakukan oleh petugas PMDH baru pada tahap pernah memberikan penyuluhan dan pelaksanaan penyuluhan inipun belum dilakukan oleh semua pemegang HPH, terutama di

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

157

lokasi penelitian. Dapat pula ditegaskan bahwa bidang pelestarian lingkungan masih belum mendapat perhatian dan pembinaan yang baik dari petugas HPH atau belum menjadi prioritas program PMDH di lapangan.

Selain itu, penyuluhan yang diberikan kepada masyarakat desa tentang pelestarian lingkungan menurut beberapa infoman kunci masih dianggap belum cukup. Walaupun penyuluhan yang diterima masyarakat bukan saja dilakukan oleh petugas PMDH, akan tetapi juga dilakukan oleh petugas dari instansi pemerintah terkait. Pelestarian lingkungan tersebut hanya mungkin membudaya dan mendapat perhatian dari anggota masyarakat desa apabila mereka mendapat contoh langsung (teladan), sekaligus mereka dapat memetik dan menikmati hasil nyata dalam bnetuk penambahan penghasilan keluarga.

7.6.3 Peningkatan Sosial Budaya

Aspek sosial budaya yang dikembangkan dalam program PMDH adalah (a) Pengembangan dan bantuan sarana dan prasarana pendidikan dan keagamaan; (b) Pengadaan tenaga guru; (c) Bantuan beasiswa; (d) Bantuan tenaga medis/paramedis serta Keluarga Berencana; dan (e) Pengembangan dan bantuan bidang olah raga dan kesenian.

Hasil penelitian Fauzi (2000) menemukan bahwa program peningkatan sosial budaya adalah peningkatan sumber daya manusia, pembentukan kanitap dan pengadaan tenaga penyuluh lapangan pertanian, peternakan dan koperasi (Dokumen Studi Diagnosis, Rencana Umum HPH BDH, RKL HPH, BDH/PMDH, RKT HPH BDH/PMDH, dan Rencana Operesional HPH BDH/PMDH tahun 1994 1999)

Lebih jauh petugas PMDH mengungkapkan bahwa peningkatan sumber Daya Manusia direalisasikan melalaui pembentukan dan pengembangan karang taruna dan pramuka, pemberian bea siswa kepada siswa SD, SMP, dan SMU, sumbangan terhadap kegiatan keagamaan seperti Isra Mi'raj, Maulid Nabi, dan hari besar agama lainnya. Selain itu juga mengikutsertakan sejumlah warga mengikuti Diklat Manajemen yang diadakan Departemen Koperasi.

Dalam mempercepat pencapaian target usaha pertanian menetap maka dibentuk Kelompok Kader Usaha Tani Menetap (KANITAP) pada seluruh desa binaan, dan untuk desa Maniang dibangun Ruang Pertemuan Kelompok Tani, sehingga diharapkan transfer informasi dan komunikasi warga yang salaing berjauhan dapat berlangsung di tempat ini. Namun, sampai saaat nini

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

158

keaktifan para anggotanya yang hadir sedikit sekali dan sering kesepakatan hasil pertemuan tidak direalisasiskan. Menurut responden yang juga anggota KANITAP, hal ini disebabkan sebagian besar anggota yang cukup jauh dengan pemungkiman penduduk merupakan salah satu faktor kurang aktifnya anggota dalam berbagai pertemuan tersebut. Disamping itu para anggota kebanyakan juga menjadi nelayan, sehingga mereka lebih disibukan dengan kegiatan mencari ikan dan udang.

Dalam hal pengadaan tenaga penyuluh, pihak HPH bekerjasama dengan Instansi terkait seperti pihak Departemen pertanian, Perikanan, Kehutanan, Koperasi dan Kesehatan. Tenaga penyuluhan ini rutin didatangkan tiap bulan dengan insentif tambahan dari HPH.

Pelaksanaan PMDH di bidang Sosial Budaya secara umum telah dilaksanakan pada semua lokasi desa binaan sampel, dan pembinaan yang dilakukan aspek keagamaan, pendidikan, kesehatan, olahraga dan kesenian dan adat istiadat masyarakat setempat. Hanya saja secara kualitatif dirasakan bahwa peembinaan tersebut masih belum memadai dan masih kurang mengingat HPH kurang proaktif dalam menanggapi berbagai permasalahan sosial budaya yang dihadapi masyarakat setempat.

Hasil penelitian Fauzi (2000) menunjukkan bahwa terdapat dua kutub budaya yang masing-masing memperhatikan dominasi antar desa maupun antar kampung sendiri yaitu budaya yang dianut oleh masyarakat pendatang dan budaya masyarakat asli. Kedua sistem budaya ini akan mengarahkan sikap dan perilaku warganya berdasarkan suatu kerangka nilai dan norma yang diacunya. Sehingga pada gilirannya pranata-pranata dan interaksi sosial yang terbetuk di dalamnya akan berlainan corak menurut latar belakang suku atau tempat budaya asal mereka masing-masing. Adanya dua nilai budaya yang berlainan, cepat atau lambat akan mengarah pada perubahan arientasi nilai budaya dan berimplikasi pada perubahan sosial dikarenakan oleh tuntutan kebutuhan dari masing-masing budaya itu sendiri. Akibatnya interaksi kedua budaya ini akan menghasilkan budaya baru. Di dalam nilai baru biasanya cita-cita atau unsur-unsur kebudayaan tersebut telah dipergunakan sebagai social institution dalam masyarakat dan telah melembaga dalam kepribadian setiap anggotanya.

Di dalam budaya baru akibat perubahan sosial, yang terpenting adalah bagaimana suatu sikap dan perilaku yang akomodatif dapat dimunculkan dari tiap anggita masyarakat yang berbeda latar belakangnya dalam suatu kesamaan tujuan atau kepentingan, agar suatu proses pengembangan atau pembinaan jangka panjang dapat ditempuh secara menyeluruh dan merata tanpa menimbulkan kecemburuan sosial yang bisa menghambat kemajuan.

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

159

Rendahnya kualitas sumber daya manusia berkorelasi positif terhadap nilai budaya semtepat, karena semakin rendah nilai budaya suatu masyarakat maka kualitas sumber daya manusia juga rendah. Keadaan ini justru akan memperlambat cepat tumbuhnya kemajuan ekonomi masyarakat yang bersangkutan. Rendahnya tingkat pendidikan ini juga dapat melestarikan kemiskinan pikiran dan selanjutnya mengakibatkan kemiskinan ekonomi. Gejala ini nampak di lokasi penelitian yang dicirikan oleh sikap hidup atau ekonomi yang hanya memikirkan kepentingan hari ini dan kurang menghargai waktu serta sikap ketergantungan terhadap alam sangat tinggi.

Kualitas sumber daya manusia, nilai budaya yang miskin diduga disebabkan oleh faktor intern dan ekstrn. Faktor intern muncul dari dalam masyrakat bersangkutan seperti kurangnya kemauan, kesempatan dan kemampuan masyarakat untuk memperbaiki hidup mereka, sehingga yang ada hanyalah sikap pasif dan fatalisme. Penyebab lain adalah faktor ekstern berupa faktor pendukung seperti sarana dan prasarana pendidikan (sekolah), tenaga pendidikan dan sebagainya yang berfungsi memotivasi masyarakat masyarakat untuk menuju ke arah kemajuan.

Apabila kedua penyebab tersebut dibiarkan berlanjut, maka dikhawatirkan akan berpengaruh pada pencapaian teknologi terbentur pada faktor intern dan ekstern tersebut. Dengan demikian yang terpenting adalah bagaimana melakukan pendekatan kepada mereka untuk terus medorong atau memotivasi dan meyakinkan kepada mereka bahwa inovasi atau teknologi yang diperkenalkan tersebut mempunyai keunggulan kompetitif. Oleh sebab itu si pendidik harus mempunyai tingkat kesabaran yang tinggi karena latar belakang pendidikan mereka sangat rendah. Hal ini yang perlu diperhatikan adalah bagaimana memantapkan sistem pendidikan di masa mendatang yang disertai oleh faktor pendukung seperti sarana dan prasarana sekolah dan tenaga pendidik yang profesional serta pemberian beasiswa bagi sejumlah siswa berprestasi yang kurang mampu.

7.6.4 Peningkatan Ekonomi

Hasil penelitian Fauzi (2000) terhadap kegiatan peningkatan ekonomi yang dilakukan oleh PT. Inhutani II SU Palau Laut adalah penyediaan lapangan kerja, pengembangan dan pembinaan pengusahaan kecil, koperasi, ternak lebah madu (Dokumen Studi Diagnostik, Rencana Umum HPH BDH, RKL HPH BDH/PMDH, RKT HPH BDH/PMDH, dan Rencana Operasional HPH BDH/PMDH tahun 1994 1999).

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

160

Sebelum mengamati kegiatan PMDH dalam bidang peningkatan ekonomi terlebih dahulu diugkapkan kondisi ekonomi masyarakat desa binaan (responden) sebagaimana nampak pada Tabel 14.

Tabel 14. Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Peserta PMDH PT. Inhutani II SU Pulau Laut

Sumber : Fauzi (2000)Keterangan : * Menurut Sayogya (1976) dalam Mubyarto (1982)

Tabel 14 menunjukkan bahwa responden yang menjadi penduduk miskin dan miskin sekali diperkirakan sekitar 40 % dari total keseluruhan responden. Menurut responden disebutkan bahwa pendapatan yang mereka peroleh hanya didapat dari usaha pertanian semata. Sementara penduduk yang tergolong dalam kategore Tidak miskin mata pencarian tambahan di luar usaha tani yang justru lebih memberikan kontribusi terhadap pendapatan mereka. Usaha lain diantaranya berdagang, berkerja di HPH, nelayam, tambak udang dan mengayu.

Hal ini diperkuat oleh kenyataan bahwa sebagian besar masyarakat berusaha tani dan nelayan atau pengambil kayu di hutan. Sedangkan untuk profesi sebagai buruh HPH/HTI dikemukakan bahwa penduduk tersebut umumnya memang menekuni pekerjaan atau dengan kata lain jarang mereka mempunyai pekerjaan sampingan sebab jadwal kerja mereka dari jam 7.30 sampai 16.00 Wita.

Jadi pekerjaan tersebut hanya bersifat formalitas saja, sebab memang tidak jarang penduduk mempunyai pekerjaan rangkap. Walaupun bertani tapi pada musim-musim tertentu mereka menjadi nelayan.

Kontribusi yang diberikan HPH kepada nelayan berupa pemberian bantuan pinjaman modal sebesar Rp. 3.000.000 / nelayan dengan bunga lunak (5 %/tahun) untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun. Kemudahan lainnya berupa pembayaran baru dilakukan pada bulan ke tujuh sehingga diharapkan pada saatnya nanti para nelayan telah mempu membayarnya. Bahkan, menurut

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

161

petugas HPH setempat dijelaskan apabila kreditur lancar dalam membayar utangnya akan diberi pinjaman lagi dengan modal yang lebih besar.

Pembinaan dan pengembangan juga diberikan kepada sejumlah kecil seperti pegusaha batubata, kerupuk udang, bakso, salon kecantikan, pandai besi dan pengusaha anyaman bambu/rotan. Pembinaan yang diberikan berupa bantuan modal dan sejumlah prasarana pendukung serta pembelian produk jadi sesuai dengan keperluan HPH. Namun, sayang sekali berdasarkan hasil laporan bulanan tentang Kemajuan Pengembalian Pinjaman Program Pembinaan Pengusaha Kecil diketahui hampir 65 % tidak mampu mengembalikan pinjaman sampai batas tempo (kredit macet), sehingga dana yang seyogyanya digulirkan tidak bisa dilaksanakan.

Hasil wawancara dengan sejumlah pengusaha kecil diketahui alasan keterlambatan mereka membangun disebabkan bahwa dalam 8 (delapan) bulan terakhir ini usaha mereka mengalami kesulitan dalam hal pemasaran sementara dilain pihak pemenuhan kebutuahn pokok mereka memerlukan tambahan dana yang lebih besar dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Sehingga mereka pada umumnya berharap pihak perusahaan memahami dan memberikan kebijaksanaan terhadap persoalan ini. Bahkan mereka berharap ikut andil dalam mengalami problem pemasaran yang dihadapi.

Pembinaan dan pengembangan koperasi yang dilakukan dengan mendirikan 2 (dua) buah koperasi KUD yaitu di Desa Stagen dan Mekarpura. Usaha kedua KUD tersebut selain bersifat simpan pinjam juga menyediakan sejumlah kebutuhan pokok bagi peserta dan warga dengan harga relatif murah. Namun dalam hal pemasaran produk setempat seperti hasil panen, Koperasi masih belum terlihat peranannya.

Jaringan pemasaran produk sebenarnya mempunyai tingkat aksebilitas yang cukup baik. Penduduk dapat memasarkan hasil pertanian ke Pasar (Ibukota Kabupaten) melalui jalan beraspal HPH PT. Inhutani II dengan kendaraan roda dua atau roda empat. Transaksi jula beli juga dilakukan di tempat petani, namun harga sangat ditentukan pedagang pengumpul (Tengkulak).

Dari program yang ada, pembinaan dalam hal peternakan lebah madu yang samapai saat ini tidak bisa dilaksanakan walaupun sebenarnya pernah dilakukan Diklat Beternak Lebah Madu. Memang diakui oleh petugas PMDH bahwa usaha pembudidayaan Lebah madu memerlukan keuletan, kesabaran dan kerja keras yang tinggi.

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

162

Selanjutnya untuk mengetahui tanggapan responden terhadap pembinaan bidang peningkatan ekonomi dapat dilihat pada Tabel 15.

Tabel 15. Tanggapan Responden Terhadap Sering Tidaknya Perusahaan Memberikan Pembinaan dan Bantuan Di Bidang Peningkatan Ekonomi pada PT.

Inhutan II SU Pulau Laut

Sumber : Fauzi (2000)

Tabel 15 menunjukkan bahwa sebagian reponden menyatakan bahwa pembinaan HPH dalam upaya meningkatan ekonomi masyarakat sering dilakukan melalui pembinaan pengusaha kecil, bantuan modal dan perangkat usaha.

Masalah pokok yang dihadapi masyarakat pedalaman disekitar dan di dalam areal HPH PT. Aya Yayang adalah kemiskinan dan keterbelakangan, kecuali PT. Inhutani yang telah maju (Swasembada). Mereka tertinggal dalam arti sejumlah penduduk masih tertinggal dalam memanfaatkan dan menikmati hasil pembagunan yang diselenggarakan oleh pemerintah. Masalah ini nampaknya telah berakar pada sejarah lama, yang menyangkut berbagai aspek kehidupan yang laus dan kompleks.

Kemiskinan yang diderita masyarakat tidak hanya pada rendahnya tingkat pendapatan, tetapi juga karena melebarnya kesenjangan antara kaya dan miskin. Ketertinggalan masyarakat itu berakibat partisifasi mereka dalam pembagunan semakin kecil.

Disatu pihak, mayoritas penduduk asli menjalankan sistem perekonomian rakyat yang berkaitan dengan usaha secara luas, meliputi perladang, kehutanan berupa memungut hasil hutan kayu dan non kayu, serta aktivitas ekonomi lain. Dilain pihak, inverstor besar dari luar mengeksploitasi sumber daya alam seperti penebangan hutan, pertambangan, perkebunan dan lain-lain. Dalam situasi seperti itu keterlibatan masyarakat kelas bawah dalam proses pembagunan kurang, sehingga perekonomian mereka semakin terdesak dan akhirnya kesenjangan semakin melebar.

No.

Alternatif

Frekuensi (Jiwa)

Prosentase (%)

1. Sering 18 60

2. Jarang 12 40

3. Tidak Pernah 0 0

30 100

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

163

Ciri umum perekonomian rakyat ini antara lain lemahnya tukar hasil produksi, rendahnya produktifitas, lemahnya organisasi, minimalnya modal, rendahnya teknologi, lemahnya posisi tawar dan sebagainya.

Semua ciri tersebut berpangkal pada rendahnya kualitas sumberdaya manusia pelaku perekonomian rakyat yang berakibat semakin terdesaknya perekonomian rakyat, dan akhirnya kesenjangan semakin melebar.

Usaha pengembangan perekonomian rakyat dengan memperhatikan kondisi setempat hanya dapat dilakukan apabila mampu merubah kondisi-kondisi yang bersifat negatif menjadi positif sehingga pada akhirnya pendapatan bisa meningkat, rendahnya kesenjangan kaya dan miskin, dan menguatnya partisifasi masyarakat dalam pembangunan.

Peningkatan ekonomi yang bertujuan untuk meningkatkan kesenjangan para peladang berpindah dimana dalam kaitannya dengan pengusahaan hutan, sebaiknya diawali dengan pembahasan apakah sebenarnya keuntungan dan kerugian dari adanya pengusahaan hutan bagi para peladang berpindah.

Keuntungan yang dapat dicapai dari pengusahaan hutan bagi para peladang yaitu terciptanya lapangan kerja bagi masyarakat lokal. Sedangkan kerugian dari pengusahaan hutan diantaranya adalah tidak terjaminnya keuntungan yang didapat dari peladang berpindah. Bagimana jika pengusahaan hutan sudah selesai, apakah pengusahaan hutan masih terus memperkejakan mereka ? bagaimana mempertahankan pasar lokal yang sudah terbentuk ? apakah jalan-jalan yang ada dapat terus berfungsi dan ditingkatkan kondisinya ? (Manuwoto, 1993).

Dari permasalahan yang dihadapai oleh para peladang timbul satu pertanyaan dasar apakah dengan adanya pengusahaan hutan pendapatan mereka akan mingkat, tingkat pendidikan dan kesehatan jega meningkat atau secara keseluruhan kesejahteraan mereka meningkat ?

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 691/KPTS II/1991 jo. SK. Menteri Kehutanan No. 523/Kpts II/1997, maka setiap pemegang HPH diharuskan untuk berpartisipasi aktif dalam program Pembinaan Masyarakat desa Hutan. Sehubungan dengan program HPH Bina Desa Hutan/PMDH, apakah perusahaan HPH yang mempunyai sifat “Profit making business” memang benar-benar dapat mempunyai interes murni membantu masyarakat seperti peladang berpindah (Manuwoto, 1993).

Berdasarkan kenyataan yang ada pada Tabel 15 dan 25 terlihat bahwa prosentase warga desa yang bekerja di HPH sebagai realisasi pemanfaatan tenaga kerja setempat berkisar antara 10,82 29,10 % dan sissanya sebagai petani, pedagang, pengrajin dan pencari kayu/mengulin.

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

164

Berbagai sebagian penduduk, pekerjaan mengulin atau mencari kayu di dalam hutan adalah lebih baik jika dibandingkan jika bekerja di HPH. Pihak perusahaan juga tidak akan mempekerjakan mereka dengan jabatan yang tinggi sehingga pendapatan yang diperoleh juga sedikit.

Pada umumnya responden menggangap pembinaan jarang dilakukan sebab masih dijumpai permasalahan dalam pembinaan yang kurang menguntungkan masyarakat. Permasalahan dalam pembinaan yang kurang menguntungkan masyarakat. Permasalahan hasil usaha tani di lokasi penelitian masih mengalami berbagai hambatan baik ditingkat petani maupun ditingkat konsumen. Di tingkat petani, kendalanya adalah kurangnya hasil yang diperoleh dari kegiatan usaha tani, disamping biaya pemasaran dari dusun atau kampung ke pasar cukup tinggi. Keadaan ini disebabkan sistem pertanian mereka masih tradisional sehingga hasil yang diperoleh juga relatif kecil apabila panen yang memungkinkan sekali setahun.

Hambatan lain dibidang pemasaran adalah kurangnya sarana transportasi yang disebabkan jauhnya atau terisolirnya wilayah yang bersangkutan. Di tingkat konsumen tentang pemasaran yang dilakukan adalah persoalan haraga yang relatif rendah dan jumlah yang dibeli relatif besar. Selanjutnya hambatan pemasaran yang dikemukakan adalah jumlah pembeli relatif sedikit, akaibatnya harga menjadi rendah. Keadaan ini menuntut adanya campur tangan dari berbagai pihak, baik dari HPH maupun dari pemerintah terutama dalam menjaga kesatbilan harga dan keterbukaan wilayah khususnya daerah perkampungan.

Hal yang menggembirakan bagi penduduk di lokasi penelitian adalah adanya keterlibatan pihak perusahaan dalam pembelian kebutuhan sehari-hari yang dipasarkan oleh petani setempat. Selain itu juga terbukanya jalan oleh pihak perusahaan, namun karena pola pemungkiman penduduk dilokasi penelitian menyebar, maka fasilitas hanya dirasakan oleh kelompok tertentu.

Permasalahan umum yang dihadapi oleh petani dan diperkirakan akan muncul adalah pemasaran hasil usaha tani. Bila petani berhasil dibina menjadi petani yang profesional, dengan menggunakan teknologi pertanian, maka ini mengisyaratkan kepada semua pihak agar terus dipikirkan pemecahanya sejak dini. Alternatif yang memungkinkan adalah bagaimana menghidupkan koperasi (KUD) sebagai sokoguru perekonomian rakyat yang memungkinkan masuknya arus barang. Koperasi sebagai wadah kegiatan ekonomi rakyat tersebut bisa berbentuk badan hukum formal maupun usaha bersama informal.

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

165

Koperasi tersebut bisa bergerak dan aktif dalam tiga unit usaha yaitu (Departemen Koperasi, 1993) :

a) Unit perkreditan berupa usaha simpan pinjam dan usaha kredit barang.

b) Unit pemasaran berupa usaha pemasaran hasil produksi petani anggota, dimana koperasi dapat memmetik keuntungan dari pendapatan bersih petani anggota.

c) Unit distribusi bergerak dibidang pertokoan yang melayani keperluan sembilan bahan pokok (Sembako), sasaran produksi pertanian (pupuk, pestisida, peralatan pertanian), dan tarsportasi hasil bumi.

7.6.5 Peningkatan Sarana dan PrasaranaUmum

Peningkatan sarana dan prasarana umum, baik meningkatkan yang sudah ada atau membangun yang baru antara lain :

a. Sarana dan prasarana pemerintah desab. Penyediaan air bersih dan listrikc. Perbaikan atau pembangunan jalan dan jembatand. Perbaikan atau pengadaan pengairan dan pemukimane. Ruang lingkup kegiatan Pembinaan Masyarakat Desa Hutan

meliputi :f. Pendidikan dan pelatihan keterampilan di bidang budidaya

tanaman pangan, tanaman kehutanan, peternakan, pertukangan kayu, dan seni budidaya (seperti patung dan seni ukir)

g. Pemasaran hasil pertanian atau hasil budidaya tanaman lainnya dan hasil peternakan masyarakat yang bersangkutan

h. Penyediaan sarana dan prasarana sosial ekonomi termasuk memperkenankan masyarakat memanfaatkan poliklinik, koperasi dan sekolah yang dibangun oleh perusahaan yang bersangkutan

i. Penyuluhan tentang pentingnya konservasi sumber daya alam dan melibatkan masyarakat dalam kegiatan konservasi tersebut

Hasil penelitian Fauzi (2000) kegiatan peningkatan sarana dan prasarana umum yang dilakukan oleh PT. Aya Yayang Indonesia berupa:

a) Pembagunan Fisik Desa berupa pembangunan/pemeliharaan jalan desa dan jembatan, penyediaan sarana prasarana air bersih, fasilitas MCK dan penerangan umum (listrik)

b) Pembangunan Fisik Keagamaan berupa Mesjid, balai adat dan Gereja.

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

166

c) Pembagunan fisik pendidikan berupa bangunan Sekaloh Dasar (SD) dan rumah guru

d) Pembagunan Sarana dan Prasarana Perusahaan dalam rangka PMDH seperti balai pertemuan dengan fasilitasnya.

Realisasi pembagunan sarana dan prasarana umum yang telah mendapat batuan HPH dapat dilihat pada Tabel 16.

Tabel 16. Sarana Dan Prasarana Umum Bantuan PT. Aya Yayang Indonesia Di Desa Dambung Raya

Sumber : Base Camp PMDH Desa Dambung Raya ; 2000

Pada umumnya setuju dengan program pembinaan di bidang sarana dan prasarana umum. Bahkan responden berpendapat agar pengadaan fasilitas penerangan umum dapat lebih menjangkau seluruh masyarakat desa dan perusahaan lebih berperanan dalam pemasaran hasil pertanian.

Disamping itu ditegaskan oleh informan kunci bahwa walaupun poliklinik telah tersedia, namun tenaga kesehatan jarang datang. Dalu memang pernah ada 1 (satu) orang petugas kesehatan di desa namun sekarang sudah tidak ada lagi, padahal perusahaan sudah memberikan gaji bagi petugas kesehatan tersebut.

Hal lain yang ingin dikemukakan oleh petugas PMDH sehubungan dengan masalah kesadaran terhadap warga desa terhadap pemeliharaan sejumlah fasilitas yang telah dibagun ternyata masih kurang sekali, kecuali diberikan insentif apabila kegiatan gotong-royong dilaksanakan.

No.

Jenis Sarana dan Prasarana Umum

Banyaknya

Keterangan

1. Jalan Desa 1 buah Eks Logging

2. Jembatan 3 buah Eks Logging

3. Pasar Lokal 1 Buah Mingguan

4. SD 1 buah Baik

5. Rumah Guru 1 buah Baik

6. Balai Pertemuan Bina Desa 1 buah Baik

7. Sarana Air Bersih 1 buah Kurang Terpakai

8. Balai Adat 1 buah Baik

9. Mesjid 1 buah Baik

10. Gereja 1 buah Baik

11. Poliklinik 1 buah Baik

12. Penerangan Umum 1 unit Belum memadai

13 Kantor Desa 1 buah Kurang memadai

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

167

Walaupun responden mendukung terhadap pembinaan di bidang sarana dan prasarana umum, namun 41,7 % responden menyatakan kurang sesuai dengan aspirasi masyarkat sebab ada sejumlah keinginan penduduk yang sampai saat ini belum diprogramkan da/atau direalisasikan HPH seperti rehabilitasi rumah penduduk, penyediaan saprodi yang belum memadai dan fasilitas penerangan umum yang belum merata, sarana dan prasarana pendidikan yang kurang terpakai.

Para responden menunjukan sikap antuasias dengan program-program kegiatan pelaksanaan PMDH dibidang sarana dan prasarana umum. Sebab pembangunan sarana dan prasarana bantuan HPH telah memungkinkan aktifitas sosial, ekonomi dan budaya masyarakat menjadi lebih lancar.

Prasarana jalan dan perhubungan di lokasi penelitian cukup memadai untuk digunakan. Disampaing melalui jalur darat, penduduk desa binaan (Desa Dembung Raya) mengandalkan jalan air dan sungai. Keberadaan jalan HPH yang menghubungkan antar daerah bagi masyarakat setempat sangat terasa urgensinya. Namun ini hanya terbatas pada kampung tertentu mengingat pola pemungkiman yang meyebar. Selain itu adanya alternatif jalan darat selain jalan air dapat dimanfaatkan masyarakat desa dalam keadaan tertentu (musim kemarau).

Persoalan adanya jalan darat ini justru banyak dimanfaatkan penduduk pendatang dengan membentuk perkampungan disepanjang jalan tersebut. Keadaan ini perlu menjadi perhatian terutama pihak HPH dan pemerintah setempat dalam peredaman potensi konflik yang adakan diperkirakan antara penduduk pendatang dengan penduduk setempat.

Di bidang pendidikan, pengadaan Sekolah Dasar masih belum merata di setiap perkampungan dan ini akan berimplikasi pada tingkat pendidikan penduduk relatif rendah bahkan sebagian tidak tamat SD. Keadaan ini diikuti oleh terbatasnya tenaga guru dan perpustakaan. Karena itu pengadaan sarana pendidikan seperti SD dan SLTP yang dilengkapi oleh tenaga pendidikan perlu diperhatikan. Khusus untuk desa binaan di wilayah HPH PT. Inhutani II memang telah dilengkapi prasarana pendidikan yang memadai, dimana telah dibangun Sekolah Dasar (semua desa binaan), SLTP (Desa Stagen dan Maniang), dan SMU (Desa Stagen). Sebab kemampuan pembiyaan HPH sudah tinggi dan kesadaran masyarakat untuk menyekeolahkan anaknya cukup tinggi.

Sarana kesehatan dan fasilitas yang terkait dilokasi penelitian belum memadai. Akibatnya adalah penduduk yang ingin berobat harus ke klinik pewrusahaan yang jaraknya cukup jauh dari pemungkiman penduduk.

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

168

Disamping kurangnya sarana kesehatan, juga pengetahuan penduduk akan kesehatan masih tergolong rendah. Hal ini terlihat dari pembuangan sampah secara sembarangan dan pembuangan hajat masih dilakukan di sungai padahal sungai tersebut juga dipakai sebagai sumber air bersih. Oleh sebab itu pengadaan sarana dan prasarana kesehatan perlu mendapat perhatian yang serius disamping penempatan tenaga kesehatan yang benar-benar mampu melaksanakan tugas di desa. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah tentang penyuluhan kesehatan dan Keluarga Berencana (KB) karena diperkirakan rate kelahiran ataupun kematian terus meningkat.

Dari keseluruhan pembinaan yang diberikan maka responden dan diperkuat oleh informan kunci dapat ditegaskan bahwa pembinaan yang diberikan memang masih kurang sesuai dengan keinginan mereka, sebab walaupun mereka setuju dengan program yang ada, namun mereka beranggapan bahwa perencanaan program ini tidak sepenuhnya melibatkan masyarakat dari pihak PMDH kurang terbuka dalam perencanaan program pembagunan di bidang ini, dan pelaksanaan pembangunan sarana dan prasarana umum tersebut tidak sesuai dengan keinginan mereka. Namun karena merasa dibantu, para responden merasa setuju saja terhadap pembinaan tersebut. Kelompok yang memberikan jawaban belum sesuai dengan yang diharapkan menambahkan alasan dalam jawabannya bahwa pembagunan jalan memang dilakukan, tetapi banyak penduduk yang kurang memanfaatkan jalan yang ada karena apabila melalui jalan batuan HPH tersebut menjadikan perjalanan mereka begitu lama dan jauh.

Terlepas dari itu sebenarnya HPH telah berupaya memberikan pembinaan dan batuan sarana dan prasarana umum, tapi berhubung banyaknya tuntutan masyarakat sehingga perusahaan berupaya memilih program sesuai dengan skala prioritas dan kemampuan HPH.

Dalam melaksanakan kebiatan PMDH, pemegang HPH dan pemegang HPHTI wajib mematuhi ketentuan sebagai berikut (pasal 7 SK. Menteri Kehutanan No. 523/Kpts-II/1997) :

a. Membentuk unit kerja yang mengurus kegiatan PMDH dalam organisasinya yang sudah lengkap personalianya

b. Menyediakan dana untuk kegiatan PMDHc. Membuat rencana detail dalam bentuk rencana operasional

berdasarkan rencana tahunan PMDH yanh telah disahkand. Membuat laporan kegitan PMDH secara periodik (dua kali setahun)

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

169

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

170

Kehutanan Masyarakat

HUTANKEMASYARAKATAN (Hkm)

BAB 8

8.1 Pendahuluan

Kementerian kehutanan sangat menyadari bahwa agar lebih sukses merehabilitasi hutan adalah dengan melibatkan masyarakat. Rehabilitasi hutan sangat tidak mungkin menghindari masyarakat, masyarakat harus dilibatkan secara aktif. Pemerintah menyadari kondisi tersebut. Oleh karena itu, sejak UU No. 41/1999 keberpihakan kepada masyarakat dalam mengelola hutan dimulai (Udiansyah, 2008).

Hutan kemasyarakatan merupakan kegiatan pengelolaan hutan yang dilakukan di kawasan hutan negara bertujuan untuk memberdayakan masyarakat setempat tanpa mengganggu fungsi pokoknya. Karena tujuan utamanya untuk memberdayakan masyarakat, maka pemilihan jenis tanaman diutamakan jenis tanaman yang bermanfaat dengan produk non kayu, namun jenis tanaman tersebut juga memiliki fungsi ekologis seperti dengan penanaman Pohon multi guna (MPTS).

Pembangunan HKM perlu juga mengkombinasikan berbagai jenis aneka usaha kehutanan sedemikian rupa sehingga hasilnya ada yang dapat diperoleh dalam periode waktu harian, mingguan, bulanan dan tahunan agar tekanan penduduk terhadap kawasan lindung menjadi berkurang.

Pengelolaan hutan dalam hal ini merupakan bentuk kegiatan untuk memperoleh manfaat optimal dari hutan untuk kesejahteraan seluruh masyarakat dalam pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu serta pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu. Kegiatan nyata untuk merealisasikan peran serta masyarakat dalam mengelola dan mengurus hutan adalah dengan dikeluarkannya ketetapan yang mengatur kegiatan Hutan Kemasyarakatan (Keputusan Menteri Kehutanan No. 622/Kpts-II/95) yang telah direvisi dan ditetapkan kegiatan Hak Pengusahaan Hutan Kemasyarakatan/HPHKmn (Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No.677/Kpts-II/1998) dan direvisi dan ditetapkan Keputusan Menteri Kehutanan No.31/Kpts-II/2001 tentang Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan. Menurut perundang-undangan tersebut, HKm merupakan sistem pengelolaan hutan berdasarkan

Teori dan Implementasi

171

fungsinya dengan mengikutsertakan masyarakat yang ditujukan untuk mendukung kehidupan dan kesejahteraan masyarakat tanpa mengurangi fungsi pokok hutannya akibat adanya manfaat timbale balik antara hutan dan masyarakat.

Hutan Kemasyarakatan pada hutan negara dengan sistem pengelolaan hutan yang bertujuan untuk memberdayakan masyarakat setempat tanpa mengganggu fungsi pokoknya. Pengelolaan hutan dalam hal ini merupakan bentuk kegiatan untuk memperoleh manfaat optimal dari hutan untuk kesejahteraan seluruh masyarakat dalam pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu serta pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu.

Kegiatan nyata untuk merealisasikan peran serta masyarakat dalam mengelola dan mengurus hutan adalah dengan dikeluarkannya ketetapan yang mengatur kegiatan Hutan Kemasyarakatan (Keputusan Menteri Kehutanan No. 622/Kpts-II/95) yang telah direvisi dan ditetapkan kegiatan Hak Pengusahaan Hutan Kemasyarakatan/HPHKmn (Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No.677/Kpts-II/1998) dan direvisi dan ditetapkan Keputusan Menteri Kehutanan No.31/Kpts-II/2001 tentang Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan. Menurut perundang-undangan tersebut, HKm merupakan sistem pengelolaan hutan berdasarkan fungsinya dengan mengikutsertakan masyarakat yang ditujukan untuk mendukung kehidupan dan kesejahteraan masyarakat tanpa mengurangi fungsi pokok hutannya akibat adanya manfaat timbale balik antara hutan dan masyarakat.

Kegiatan Hutan Kemasyarakatan disokong dengan terbitnya Undang-undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, dimana di dalam pasal 68 ayat (1) dinyatakan bahwa masyarakat berhak menikmati kualitas lingkungan hidup yang dihasilkan hutan dan pada ayat (2) diterangkan bahwa masyarakat dapat :

1. memanfaatkan hutan dan hasil hutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku

2. mengetahui rencana peruntukan hutan, pemanfaatan hasil hutan dan informasi kehutanan

3. memberikan informasi, saran serta pertimbangan dalam pembangunan kehutanan

4. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan kehutanan baik langsung maupun tidak langsung.

Dari kenyataan di atas nyatalah bahwa pemerintah RI di era reformasi ini memberikan kesempatan kepada masyarakat di dalam dan di sekitar hutan untuk turut serta berpartisipasi aktif dalam mengelola dan mengurus hutan untuk kemaslahatan bersama.

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

172

Kegiatan hutan kemasyarakatan pada dasarnya dilaksanakan oleh masyarakat atau anggota masyarakat yang berada di dalam dan di sekitar hutan yang kawasan hutannya ditetapkan sebagai areal kegiatan hutan kemasyarakatan. Adapun kegiatan hutan kemasyarakatan dimulai dari perencanaan, penanaman, pemeliharaan, perlindungan, pemungutan, pengelolaan dan pemasaran.

Menurut Sumardi (1987) bahwa hutan kemasyarakatan diselenggarakan oleh Dirjen RRL, dalam rangka rehabilitasi lahan dan perbaikan pola tanam dengan tujuan untuk meningkatkan daya dukung lahan, meningkatkan produktifites lahan dan pendapatan rakyat serta konservasi sumber daya alam (hutan, tanah dan air) dan segala fungsinya.

8.2 Konsepsi Hutan Kemasyarakatan

Pada awal dekade 90-an (Pelita V) berkembanglah sutau sistem pengelolaan lahan yang mengintegrasikan kepentingan peningkatan kelestarian fungsi hutan dan kepentingan peningkatan kesejahteraan masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan atau yang dikenal dengan hutan kemasyarakatan. Konsep dasar yang dikembangkan dalam hutan kemasyarakatan adalah partisipasi aktif masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan dalam mengelola hutan dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraannya serta meningkatkan kelestarian fungsi hutan (Departemen Kehutanan, 1996).

Pengembangan hutan kemasyarakatan menggunakan metode pemanfaatan ruang tumbuh atau bagian-bagian tertentu dari tanaman hutan sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kualitas sumberdaya hutan. Adapun komoditas yang bisa dikembangkan adalah aneka usaha kehutanan ataupun jenis-jenis tanaman multi guna (multi purpose tree spesies).

Jadi, hutan kemasyarakatan menurut Departemen Kehutanan (1996) adalah suatu sistem pengelolaan hutan yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan dengan tetap memperhatikan kelestarian fungsi hutan.

Reformasi dalam bidang kehutanan menyempurnakan konsepsi tentang hutan kemasyarakatan dengan memfokuskan kegiatan pada kawasan hutan negara (bukan hutan rakyat). Hutan kemasyarakatan dirumuskan berdasarkan Kepmenhutbun No. 677/Kpts-II/1998 sebagai hutan negara yang dicadangkan atau ditetapkan oleh menteri untuk dikelola oleh

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

173

masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan hutan, dengan tujuan pemanfaatan hutan secara lestari sesuai dengan fungsinya dan menitikberatkan pada kepentingan menyejahterakan masyarakat.

Prinsip-prinsip yang dikembangkan lebih berpihak lagi kepada masyarakat, yakni (Dephutbun, 1999):

1) Masyarakat sebagai pelaku utama, 2) Masyarakat sebagai pengambil keputusan, 3) Kelembagaan pengusahaan ditentukan oleh pengambil keputusan, 4) Kepastian hak dan kewajiban semua pihak, 5) Pemerintah sebagai fasilitator dan pemantau program, 6) Pendekatan didasarkan pada keanekaragaman hayati dan

keanekaragaman budaya

Hutan Kemasyarakatan sebagai sebuah konsepsi yang mempertemukan semua kepentingan masyarakat, produktifitas sumberdaya hutan dan kelestarian fungsi hutan merupakan pendekatan yang diharapkan mampu menjadi alternatif solusi dalam kegiatan pengelolaan hutan. Melalui konsep ini bisa lebih luas dijabarkan dalam pola-pola managemen lahan hutan yang mampu secara efektif melibatkan masyarakat secara langsung dalam sistem pengelolaan hutan, memberikan kontribusi secara real bagi kesejahteraan masyarakat, secara teknis mampu meningkatkan produktivitas sumberdaya hutan dan secara ekologis mampu menjamin kelestarian fungsi hutan.

Sebagai contoh, pelaksanaan hutan kemasyarakatan pada kawasan produksi menurut Departemen Kehutanan (1999) dapat dilakukan dengan memanfaatkan hasil hutan kayu dan non kayu dan atau jasa lingkungan rekreasi melalui model agroforestry (agosilviculture, silvopastoral, silvofishery, sericulture, dll), baik untuk tujuan bisnis maupun keperluan sendiri.

Dari aspek ekologis maupun produktivitas lahan diharapkan hutan kemasyarakatan merupakan alternatif yang lebih baik, karena banyak penelitian yang membuktikan bahwa persaingan antara tanaman hutan/perkebunan dengan tanaman palawija lebih menguntungkan dibandingkan dengan persaingan dengan alang-alang. Sepanjang penanaman tanaman pangan di lahan hutan dan kebun untuk produksi pangan harus tidak menggangu fungsi hutan sehingga sesuai dengan salah satu kesepakatan Quebec 1997 yaitu pemanfaatan sumberdaya alam (hutan) yang menjamin kelestarian lingkungan hidup termasuk air.

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

174

8.3 Tujuan dan Pola Kemitraan Hkm

Hutan Kemasyarakatan (HKM) adalah sebuah “proses” perubahan yang mengarah kepada keterlibatan masyarakat yang lebih luas dalam pengelolaan hutan. Sebagai sebuah “proses”, maka konsep HKM ini juga tidak memiliki sebuah sistem atau definisi yang baku, tetapi berkembang sesuai dengan kebutuhan, kondisi masyarakat dan sistem sosial ekonomi, serta kesepakatan-kesepakatan diantara pihak-pihak yang terlibat. Oleh sebab itu, adalah sah-sah saja terjadi perbedaan dalam pola pelaksanaannya di berbagai daerah sesuai dengan evolusi sistem sosial, ekonomi dan politik setempat. Sebagai contoh, Nepal harus melalui berbagi proses dan tahapan HKM sebelum sampai pada sistem yang ada sekarang. Sistem sekarangpun sedang dalam proses perubahan untuk mengakomodasi berbagai perubahan sistem sosial ekonomi masyarakat.

Kegiatan Hutan Kemasyarakatan menurut Keputusan Menteri Kehutanan No. 622/Kpts-II/1995 jo No. 31/Kpts-II/2001 bertujuan untuk:

a. meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar dan di dalam hutanb. meningkatkan mutu dan produktivitas hutan sesuai fungsi dan

peruntukannyac. menjaga kelestarian fungsi hutan dan lingkungan hidup.

Salah satu pola yang dikembangkan dalam HKm didasarkan pada pola kemitraan. Kata kemitraan berasal dari kata mitra yang berarti teman. Hubungan kemitraan harus dilandasi dengan ke-ikhlas-an bagi pihak yang bermitra untuk membangun kemitraan yang kuat. Kemitraan yang dilandasi dengan ke-ikhlas-an akan memperoleh keuntungan yang berkeadilan bagi kedua belah pihak. Namun, agar terjadi suatu keuntungan yang berkeadilan tersebut, diperlukan kekuatan yang berimbang diantara pihak yang bermitra. Selama kekuatan masing-masing pihak tersebut tidak berimbang, maka kemitraan hanya bersifat semu dan itu sangat rapuh. Pada giliran, hanya satu atau dua pihak saja yang diuntungkan, sementara pihak lainnya akan dirugikan. Salah satu pihak yang mempunyai posisi yang lemah dalam kemitraan HKm ini adalah rakyat. Oleh karena itu, rakyat mutlak harus diperkuat kelembagaan dan pengetahuan mereka. Pengembangan HKm pola kemitraan ini minimal ada tiga pihak yang bermitra, yaitu pihak pemerintah (Kehutanan), dunia usaha dan masyarakat.

Menurut Limberg et al (2006) kalau dikelola dengan baik, hutan kemasyarakatan dapat memenuhi berbagai kebutuhan dan jasa dari hutan dan membuka peluang pendapatan. Hutan kemasyarakatan memberi peluang penguatan kelembagaan di tingkat masyarakat. Hutan kemasyarakatan dapat mendorong pengelolaan sumberdaya hutan yang berkesinambungan sambil mempertahankan jasa lingkungan seperti perlindungan DAS.

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

175

8.4 Sasaran Lokasi

Beberapa kawasan hutan yang dapat dilaksanakan kegiatan hutan kemasyarakatan adalah kawasan hutan dengan fungsi lindung yang kritis dan perlu direhabillitasi dan/atau hutan produksi. Sedangkan kawasan hutan dengan fungsi cagar alam, suaka margasatwa, taman wisata alam, taman buru, taman nasional, taman hutan raya, areal hutan produksi yang telah dibebani HPH/HPHTI tidak dapat dilaksanakan atau ditetapkan sebagai kegiatan hutan kemasyarakatan.

8.5 Kegiatan Hutan Kemasyarakatan

Kegiatan hutan kemasyarakatan pada dasarnya dilaksanakan oleh perseorangan, kelompok atau koperasi yang berada di dalam dan/atau di sekitar hutan yang kawasan hutannya ditetapkan sebagai areal kegiatan HKm. Peserta diusulkan oleh kepala desa atau ketua kelompok atau pengurus koperasi yang diketahui kepala desa diajukan kepada kepala dinas kehutanan setempat. Setiap peserta kegiatan HKm dapat diberikan areal hutan sebagai areal kerjanya dengan ketentuan:

a) untuk perorangan seluas maksimum 4 hab) untuk kelompok atau koperasi seluas maksimum 4 ha dikalikan jumlah

anggota kelompok yang turut sebagai peserta

8.6 Hak dan Kewajiban Peserta Hkm

Peserta HKm berhak untuk memungut dan memanfaatkan hasil hutan bukan kayu di dalam areal kerjanya sesuai dengan yang ditetapkan dalam perjanjian dan berdasarkan izin pemungutan yang diterbitkan instansi kehutanan yang berwenang.

Semua hasil hutan yang dipungut harus dilengkapi dengan dokumen dan juga dikenakan pungutan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Di samping ada hak, maka peserta HKm juga mempunyai beberapa kewajiban antara lain:

a) Terlibat secara langsung dalam proses penyusunan rencana pengusahaan dan pelaksanaan kegiatan HKm, melakukan penataan batas areal kerjanya sesuai dengan yang telah disetujui dan dituangkan dalam perjanjian

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

176

b) Menjaga keamanan, mencegah kebakaran dan melaporkan adanya perburuan satwa liar baik satwa yang dilindungi maupun yang tidak dilindungi

c) Melaksanakan isi perjanjian dan mengikuti petunjuk, bimbingan dan penyuluhan petugas serta ketentuan-ketentuan lain dalam kegiatan HKm dan membayar Iuran Hasil Hutan (IHH) Bukan kayu sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

8.7 Pemantapan Kawasan

Mengingat lokasinya yang relatif dekat dengan pemukiman, maka areal kegiatan perlu dipastikan bebas dari pemanfaatan untuk kegiatan lain. Langkah yang harus ditempuh sebagai berikut:

1) Survei lapangan untuk mengecek kembali terhadap lahan yang akan direncanakan untuk kegiatan HKm pada lokasi yang telah dipetakan di peta. Dalam pengecekan perlu mengikutsertakan parapihak seperti Dinas Kehutanan Kabupaten atau Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) dengan masyarakat diwakili oleh perangkat desa dan tokoh masyarakat. Pengecekan dengan membawa alat GPS agar diperoleh data yang valid,

2) Membatasi dan memasang patok batas areal yang direncanakan untuk dijadikan kegiatan HKm,

3) Apabila dalam kawasan yang direncanakan terdapat penggunaan lain yang diakui secara adat untuk kepentingan masyarakat bersifat subsisten dan bukan untuk skala usaha, maka perlu dienclave,

Batas-batas lahan yang akan direhabilitasi dengan pola HKm dan dienclave tersebut harus disepakati kedua belah pihak antara Dinas Kehutanan Kabupaten atau BPKH dengan masyarakat setempat yang diatur dalam Surat Perjanjian Kesepakatan (SPK). Dengan demikian lahan yang telah direncanakan untuk kegiatan HKm telah bebas dari konflik untuk kepentingan lain.

8.8 Aspek Kelembagaan

Hutan kemasyarakatan merupakan kegiatan pengelolaan hutan yang dilakukan di kawasan hutan negara bertujuan untuk memberdayakan masyarakat setempat tanpa mengganggu fungsi pokoknya. Karena tujuan utamanya untuk memberdayakan masyarakat, maka pemilihan jenis tanaman diutamakan jenis tanaman yang bermanfaat dengan produk non kayu, namun jenis tanaman tersebut juga memiliki fungsi ekologis.

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

177

Progam HKm sebenarnya merupakan modifikasi dari program reboisasi. Kalau program reboisasi lebih diarahkan pada areal dengan aksesibilitas berat, maka program HKm dirancang pada areal lahan kritis, namun memiliki akses baik terutama dekat dengan pemukiman.

Ada beberapa tahapan yang harus dilalui untuk menuju sebuah sistem pelaksanaan HKM yang ideal. Tahapan ini dijelaskan oleh Prof. S.B. Roy (1999) dari Indian Institute of Bio-Social Research & Development. Profesor Roy mengatakan bahwa salah satu kelemahan dari konsep HKM selama ini adalah ketergesaan pelaksana kegiatan yang langsung menuju kepada pemenuhan aspek ekonomi dengan melupakan tahapan pengembangan institusi dan ekologi. Secara lebih terperinci Prof. Roy menggambarkan tahapan-tahapan ini yang disebutnya sebagai “Bilateral Matching Institution” seperti tergambar pada diagram berikut:

Gambar 4. Bilateral Matching Institution

Prof. Roy menyebut diagram di atas sebagai “Bilateral Matching Institution” karena proses yang terjadi dalam program HKM di India melibatkan dua institusi yang sebelumnya terasa amat jauh dan berbeda, yaitu Departemen Kehutanan dan masyarakat lokal. Dengan kondisi yang demikian, dua aspek yang sangat penting yang harus diselesaikan sejak awal adalah menyamakan visi dan menciptakan kondisi saling percaya (trust) yang sebelumnya tidak pernah ada antara Departemen Kehutanan dan masyarakat lokal. Sebelumnya, Departemen Kehutan selalu curiga kepada masyarakat dan menganggap masyarakat tidak mampu mengelola hutan.

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

178

Sebaliknya, masyarakat lokal menganggap Departemen Kehutan sebagai sebuah institusi yang korup dan tidak perduli kepada mereka. Dikarenakan kondisi yang demikianlah, Prof. Roy meletakkan penekanan yang sangat besar pada penciptaan visi yang sama dan rasa saling percaya diantara masyarakat lokal dan Departemen Kehutanan.

Diagram yang diperlihatkan di atas memberikan perbedaan yang sangat kentara antara aspek Institusi, ekologi dan ekonomi. Aspek institusi harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum masuk ke aspek ekologi dan ekonomi. Setelah itu aspek ekologi dan ekonomi harus datang secara berbarengan.

Ketika melakukan pilihan ekologi, maka aspek ekonomi harus juga dijadikan pertimbangan sehingga ada kesimbangan antara aspek konservasi disatu pihak dan keuntungan ekonomi dipihak lain. Walaupun demikian, kodisi setempat sangat berpengaruh terhadap pilihan yang dilakukan. Pada areal yang sangat sensitif secara ekologi, maka tidak ada pilihan selain memberikan penekanan yang besar kepada pemenuhan aspek ekologi.

Agar pelaksanaan HKm berjalan dengan baik, maka pelaksananya harus jelas. Unit terkecil pelaksana kegiatan HKm adalah kelompok tani HKm yang dibentuk pada masing-masing desa. Pembentukan kelompok tani harus jauh hari sebelumnya dan biasanya kelompok tani dibentuk pada saat sosialisasi kegiatan tahap pra kondisi. Hal yang perlu diperhatikan bahwa agar kelompok tani nantinya berjalan optimal, maka pembentukannya harus melibatkan peran penyuluh, Perguruan Tinggi, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan perangkat desa, tokoh masyarakat atau alim ulama pada desa yang bersangkutan.

Berdasarkan perhitungan satu unit kelompok tani kegiatan HKm berjumlah 25 orang dengan luas areal 25 ha. Luas 25 ha tersebut merupakan 1 unit kegiatan HKm. Luas kegiatan HKm setiap desa disarankan 100 150 ha, mencakup 4 - 6 kelompok tani masing-masing kelompok beranggotakan 25 orang (Lemlit Unlam, 2002)

Kelompok tani HKm secara rutin mengadakan pertemuan dengan anggotanya yang dihadiri juga oleh perangkat desa, tokoh masyarakat atau alim ulama, Perguruan Tinggi dan LSM. Paling tidak pertemuan rutin diadakan setiap bulan.

Kegiatan HKm merupakan kegiatan dengan leading sector kehutanan, sehingga instansi yang menangani kegiatan ini adalah Dinas Kehutanan Kabupaten atau Propinsi.

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

179

Pola yang dikembangkan dalam program HKm ini dengan penanaman tidak hanya jenis kayu-kayuan saja, namun juga jenis-jenis buah-buahan dan perkebunan. Jenis penghasil buah-buahan seperti durian dan rambutan, sedangkan jenis perkebunan yaitu karet, kemiri dan petai. Mengingat pengembangan jenis mencakup juga jenis perkebunan dan buah-buahan, maka kerjasama dengan Dinas Perkebunan merupakan satu hal penting dalam rangka pembinaan kelompok tani Hkm.

Saat ini kendala sering muncul karena tidak lakunya hasil panen, oleh karena itu perlunya kerjasama dengan Dinas Koperasi juga penting menyangkut pemasaran hasil panen. Secara umum Badan Perencanaan Daerah memiliki peran utama dalam mengkoordinasikan dengan instansi terkait lainnya.

Hubungan antar instansi sebagai gambaran adanya koordinasi antara instansi pelaksana dengan instansi terkait dengan kegiatan HKm secara jelas diperlihatkan pada Gambar 5.

Keterangan:

: garis komando

: garis koordinasi

Gambar 5. Koordinasi Instansi Pelaksana dengan Instansi Terkait

Secara internal pemantauan dan pengawasan pada tingkat bawah akan dilakukan oleh mandor tanam. Mandor ini merupakan satu aspek penting dalam keberhasilan pembangunan HKm. Mandor merupakan pegawai Dinas Kehutanan Kabupaten Banjar.

Seorang mandor bertanggungjawab penuh terhadap satu unit kegiatan reboisasi seluas 25 ha dengan 25 orang pekerja tanam dan 5 orang kepala kerja tanam. Mandor akan bertanggungjawab kepada PINLAK dan 5 orang mandor akan dibawahi oleh seorang PINLAK. Sistem pemantauan dan pengawasan tersebut dikenal dengan jenjang pengawasan (span of control).

Dishut Kab.

Banjar

Kelompok

Tani HKm

Disperbun Kab.

Banjar

Diskop Kab. Banjar

Bappeda Kab.

Banjar

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

180

Jadi 1 unit kegiatan HKm di desa seluas 125 ha ha dengan kebutuhan kelompok tani = 5 buah, mandor = 5 orang, kepala kerja tanam = 5 orang dan pekerja kerja tanam = 125 orang.

Secara rinci sistem pemantauan dan pengawasan dengan mendasarkan pada jenjang pengawasan kegiatan HKm diperlihatkan pada Gambar 6.

Pengawasan Internal

P

Gambar 6. Pengawasan Kegiatan HKm.Keterangan:M = Mandor TanamK = Kepala Kerja TanamP = Pekerja TanamPT = Perguruan TinggiLSM = Lembaga Swadaya Masyarakat

Perlu menjadi catatan bahwa areal HKm tidak perlu dalam satu hamparan, bahkan dari segi pengawasan lebih efektif bila areal mengelompok hanya sekitar 5-10 ha. Pemantauan dan pengawasan oleh instansi luar yaitu Perguruan Tinggi atau LSM akan lebih efektif bila pemantau atau pengawas tinggal di tempat lokasi kegiatan. Koordinasi secara rutin perlu dilakukan antara kelompok tani, penyuluh, LSM atau Perguruan Tinggi, dan tokoh masyarakat dan perangkat desa.

M

K K K K K

T

M M M M

PINLAK

PT/LSM

Pengawasan Eksternal

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

181

8.9 Pemilihan Jenis

Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutan No. 622/Kpts-II/1995 tentang Pedoman Hutan Kemasyarakatan, disebutkan bahwa hasil hutan dari hutan kemasyarakatan adalah komoditi hasil hutan bukan kayu. Akan tetapi menurut Departemen Kehutanan (1999), hasil komoditi bisa berupa kayu dan non kayu, baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk diusahakan. Komoditi kayu sudah jelas merupakan komiditi yang sangat prospektif, terutama jenis-jenis kayu lunak yang umumnya banyak diproduksi dari kegiatan hutan kemasyarakatan dan hutan rakyat seperti sengon (Paraserianthes falcataria) dan Pinus (Pinus spp). Data dari FAO menunjukkan bahwa pada tahun 1997 defisit ekspor-impor kita untuk bahan baku kayu pulp sebesar 6.108.984 US$ (FAO, 1997). Sementara kebutuhan kayu untuk konsumsi masyarakat saja cukup tinggi, mengingat tingkat konsumsi perkapita masyarakat Indonesia akan kayu masih jauh dari normal.

Hasil hutan non kayu yang dimungkinkan bisa berupa komoditi pangan, sumber energi, bahan baku obat-obatan dan kosmetik, bahan baku pakaian, kerajinan, satwa dan lain-laian termasuk komoditi pariwisata alam. Untuk komoditi pangan, menurut Dephutbun (1999a), dari hasil perhitungan kasar dari 52 juta ha hutan yang kita kelola dapat menghasilkan selain kayu juga pangan sebanyak 1.560.000 ton per tahun. Dengan potensi ini apabila dapat diwujudkan kiranya Indonesia suatu saat justru dapat menjadi pusat cadangan pangan dunia.

Beberapa contoh tanaman pangan nasional non padi yang direkomendasikan untuk diprioritaskan dalam kegiatan hutan kemasyarakatan melalui program Hutan Cadangan Pangan antara lain ubi kayu/cassava roots (Manihot utilissima), garut/arrowrot (Maranta arundinacea), Ganyong/a tuber (Canna edulis), sukun (Artocarpus communis), Ubi jalar/sweet potato (Ipomoea batatas), jagung/maize (Zea mays), Kacang tanah/peanuts (Arachis hypogea), Kedelai/soybean (Glycine max), Talas komoditi tanaman pangan tersebut merupakan sumber kalori dan gizi yang tinggi dan sangat dibutuhkan pagi peningkatan kualitas sumberdaya manusia Indonesia. Untuk mencapai hal ini pengembangan program Hutan Cadangan pangan hendaknya bukan sekedar proyek mercusuar belaka.

Secara ekonomis, usaha tani komoditi-komoditi tersebut pun memiliki tingkat keuntungan yang tinggi. Komoditi hutan kemasyarakatan non pangan juga memiliki prospek yang sangat bagus. Komoditi rotan misalnya, FAO dan Dephut (1990) memproyeksikan produksi rotan Indonesia pada tahun 2000 mencapai 170.464 ton. Komoditi hasil hutan kemasyarakatan non pangan umumnya merupakan bahan baku kegiatan industri hilir padat karya, sehingga memiliki multiplier efect yang tinggi terhadap kegiatan ekonomi masyarakat, khususnya kelas menengah dan kecil.

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

182

Jenis-jenis pohon/tanaman yang ditanam pada hutan kemasyarakatan adalah jenis pohon/tanaman serbaguna atau pohon kehidupan yang sesuai dan cocok dengan kindisi tanah dan lingkungannya serta menghasilkan buah-buahan, getah-getahan dan sebagainya. Dengan penanaman pohon/tanaman serbaguna tersebut diharapkan dapat memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk memanfaatkan hasil hutan bukan kayu.

Adapun kriteria pemilihan jenis pohon/tanaman serbaguna adalah:

- Mempunyai fungsi konservasi (tata air & pengawetan tanah)- Kesesuaian tempat tumbuh- Disukai masyarakat- Mempunyai nilai ekonoms tinggi- Mempunyai akses pasar yang baik

Menurut Limberg et al (2006) kalau dikelola dengan baik, hutan kemasyarakatan dapat memenuhi berbagai kebutuhan dan jasa dari hutan dan membuka peluang pendapatan. Hutan kemasyarakatan memberi peluang penguatan kelembagaan di tingkat masyarakat. Hutan kemasyarakatan dapat mendorong pengelolaan sumberdaya hutan yang berkesinambungan sambil mempertahankan jasa lingkungan seperti perlindungan DAS.

8.10 Hak Pengusahaan Hutan Kemasyarakatan

Hak Pengusahaan Hutan Kemasyarakatan (HPHKm) adalah Hak yang dikeluarkan oelh menteri kepada masyarakat setempat melalui koperasinya untuk melakukan pengusahaan hutan kemasyarakatan dalam jangka waktu tertentu. Prinsip dasar dilaksanakannya kegiatan Hak Pengusahaan HKm adalah:

a. Masyarakat sebagai pelaku utama dalam pengambilan manfaat dan pengambil keputusan serta menentukan system pengusahaan

b. Kelembagaan pengusahaan ditentukan oleh masyarakatc. Adanya kepastian hak dan kewajiban semua pihakd. Pemerintah sebagai fasilitator dan pemantau kegiatane. Pendekatan berdasarkan pada keanekaragaman hayati dan budaya

Menurut Dephutbun (1999) tujuan dari Pangusahaan hutan Kemasyarakatan antara lain :

a. Meningkatkan kesejahteraan, kualitas hidup, kemampuan dan kapasitas ekonomi dan sosial masyarakat

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

183

b. Meningkatkan ikatan komunitas masyarakat dan mendoron percepatan pengembangan wilayah

c. Menciptakan lapangan kerja, meningkatkan kesempatan berusaha dan meningkatkan pendapatan

d. Meningkatkan mutu, produktivitas dan keamanan hutan e. Mengembangkan keanekaragaman hasil hutan yang menjamin

kelestarian fungsi dan manfaat hutan

Menurut Soesilo (1999), lokasi yang ditetapkan sebagai kawasan Hak Pengusahaan Hutan Kemasyarakatan adalah hutan produksi, hutan lindung dan kawasan hutan pelestarian alam pada zonasi pemanfaatan hutan raya dan taman wisata alam, dimana kesemua kawasan tersebut tidak dibebani hak-hak lain di bidang kehutanan, missal HPH atau HPHTI.

Untuk pemberdayaan kelembagaan masyarakat setempat pengembangan HPHHKm dilaksnakan melalui wadah koperasi. Koperasi tersebut berfungsi bukan hanya produsen hasil hutan tapi juga sekaligus sebagai pemasok sarana produksi.

Hak yang diberikan pada pemegang HPHKm yaitu melakukan pengusahaan hutan kemasyarakatan di areal kerjanya selama jangka waktu 35 tahun dan dapat diperbaharui atau diperpanjang setelah diadakan penilaian dan menerapkan sistem pengusahaan tradisional dan atau teknologi lainnya yang dipahami sesuai dengan pengetahuan dan keterampilan sepanjang tidak bertentangan dengan azas kelestarian hutan dan lingkungan.

Sedangkan kewajiban yang harus dipenuhi oleh pemegang HPHKm yaitu menyusun Rencana Induk Pengusahaan HKm, Rencana Karya Lima tahunan HKm (RKLHKm) dan Rencana Karya Tahunan HKm, melakukan penataan batas areal, melaksanakan perlindungan hutan dan membayar iuran kehutanan sesuai ketentuan yang berlaku.

Rencana induk pengusahaan HPHKm berisi rencana pengusahaan HKm selama jangka waktu pengusahaan 35 tahun, merupakan rencana induk, bersifat jangka panjang dan makro. Sedangkan RKLHKm berisi rencana 5 tahun, penjabaran dari rencana induk, berisfat jangka menengah dan semi makro (kebijaksanaan operasional). Rencana Karya Tahunan HKm berisi rencana satu tahun, bersifat jangka pendek dan kegiatan operasional mikro.

Setelah perencanaan dibuat dan disahkan, maka langkah berikutnya adalah pelaksanaan pengusahaan HKm. Beberapa batasan yang harus diperhatikan oleh pemegang HPHKm antara lain:

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

184

a. Pada kawasan hutan produksi dilaksanakan dengan cara mengusahakan hasil hutan kayu, hasil hutan bukan kayu dan komoditas lain serta jasa rekreasi lingkungan, baik untuk memenuhi sendiri maupun diusahakan yang meliputi kegiatan penanaman, pemeliharaan, perlindungan, pengamanan, pemungutan dan pemasaran yang berpedoman pada azas kelestarian

b. Pada kawasan hutan lindung dilaksanakan untuk pengusahaan hutan non kayu dan jasa rekreasi, baik untuk memenuhi sendiri maupun diusahakan dengan tidak mengganggu fungsi keseimbangan tata air dan perlindungan kesuburan tanah

c. Pada kawasan pelestarian alam dilaksanakan untuk pengusahaan jasa rekreasi, pemanfaatam serta penangkaran satwa dari tumbuhan liar dengan tetap memperhatikan perlindungan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya.

Pemegang HPHKm mempunyai hak sebagai berikut:

a. Melakukan pengusahaan hutan kemasyarakatan di areal kerjanya selama jangka waktu 35 tahun dan diperbaharui atau diperpanjang setelah diadakan penilaian

b. Menerapkasn system pengusahaan hutan tradisional dan atau teknologi lainnya yang dipahami sesuai dengan pengetahuan dan keterampilan sepanjang tidak bertentangan dengan azas kelestarian hutan dan lingkungan.

Sedangkan kewajiban yang harus dipenuhi oleh pemegang HPHKm adalah:

a. Menyusun RIPHKm, RKLHKm, dan RKTHKmb. Melakukan penataan batas arealc. Melaksanakan perlindungan hutand. Membayar iuran kehutanan sesuai ketentuan yang berlaku

Pelaksanaan kegiatan evaluasi kegiatan HPHKm dilaksanakan setiap 2 (dua) tahun oleh Kepala Kantor Wilayah bersama instansi terkait. Kegiatan pembimbingan dan pengendalian terhadap pelaksanaan HPHKm dilakukan oleh kepala Kantor Wilayah bersama instansi terkait lainnya, sedangkan pembina teknis dilakukan oleh Direktorat Jenderal yang berwenang (Bastari 1999).

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

185

8.11 Pengalaman Pelaksanaan Hkm

Dalam rangka pengembangan hutan kemasyarakatan (HKm) sampai dengan tahun 2008 telah dilakukan pengembangan pengelolaan HKm berupa penetapan dan pemberian ijin areal HKm sebanyak 57 unit dengan area seluas 8,8 ribu ha, fasilitasi kemitraan, fasilitasi masyarakat dalam pengelolaan HKm, serta fasilitasi pembentukan kelompok tani Hkm.

Di Kalimantan Selatan, kawasan lindung yang pernah dijadikan lokasi hutan kemasyarakatan adalah di sekitar catcment area Riam Kanan seluas 17.575,92 ha. Satu unit program HKm seluas 25 ha, sedangkan luas areal HKm untuk satu desa berkisar antara 100 150 ha.

Di Nusa Tenggara Barat (NTB) ada dua kegiatan HKm yang berjalan secara simultan.Satu merupakan swadana dan swakelola oleh masyarakat dengan bantuan teknis dan kelembagaan dari Dinas Kehutanan, sedangkan satunya lagi dengan bantuan dana dari Departemen Kehutanan.

Pada tahun pertama pelaksanaan HKM, program HKM swadana tertinggal jauh bila dibandingkan dengan program yang didanai oleh Dep. Kehutanan. Hanya sekitar 30 % lokasi HKM swadana yang tertanami dibandingkan dengan hampir 100 % pada lokasi yang didanai oleh Dep. Kehutanan. Tetapi pada tahun ketiga, keadaan menjadi terbalik. Proyek yang didanai oleh Dep. Kehutanan tidak terawat dengan baik sementara kegiatan HKM swadana menunjukkan hasil yang sangat menggembirakan dimana lokasi HKM telah berubah kembali menjadi hutan dan mendapat perwatan yang terus menerus dari masyarakat.

Kunci kesuksesan HKM swadana adalah adanya keinginan oleh masyarakat sendiri untuk terlibat dalam pengelolaan hutan dan tentu saja rasa memiliki terhadap program yang mereka laksanakan ditambah dengan bantuan teknis dari Dinas Kehutanan setempat. Hal ini telah memicu semangat untuk berhasil, karena masyarakat telah menginvestasikan dana dan tenaga untuk mengembangkan HKM tersebut. Sebaliknya program yang didanai oleh Dep. Kehutanan mengalami kegagalan karena rendahnya komitmen masyarakat dan belum tertata dengan rapinya aspek kelembagaan HKM. Masyarakat berpartisipasi karena ada harapan mendapat keuntungan finansial tertentu, sementara program menjadi goyah karena tidak ada perekat kelembagaan yang bisa mengikat untuk menyukseskan program secara berkelanjutan.

Divisi Pengembangan Daerah Penyangga Unit Manajemen Leuser juga pernah mengembangkan program HKm. Program ini telah didisain sedemikan rupa dan dimulai dengan pembenahan masalah institusi baik di

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

186

tingkat Propinsi, Kabupaten maupun masyarakat calon peserta HKm. Pada tingkat propinsi telah terbentuk sebuah Tim Tingkat Propinsi yang bertanggung jawab untuk membuat kebijakan yang berkaitan dengan implementasi HKm di lapangan dan pengurusan Izin lokasi dan kelompok.

Tim Tingkat Propinsi yang terdiri dari unsur kehutanan, UML, LSM, dan Universitas dibentuk dengan adanya kesepakatan kerja sama antara Kakanwil Kehutanan dan Ko-Direktur UML. Sedangkan Tim Tingkat Kabupaten yang dibentuk dengan SK Bupati bertanggung jawab dalam hal pemilihan lokasi, pembentukan kelompok, pembinaan teknis, dan pemantauan kegiatan HKM dilapangan.

Tim tingkat Propinsi merumuskan kebijakan pelaksanaan HKm seperti: (1) kriteria penentuan lokasi; (2) cara pembentukan kelompok; (3) Jenis tanaman untuk HKm; (4) prosedur pengurusan perizinan; dan lain-lain. Semua kebijakan di atas telah selesai di sosialisasikan kepada seluruh Tim Tingkat Kabupaten (6 kabupaten di D.I. Aceh). Tim Tingkat Kabupaten bekerja menyiapkan institusi lokal dan penyuluhan-penyuluhan dalam pembentukan kelompok masyarakat peserta HKm. Sejalan dengan pembentukan kelompok, Tim juga telah berembuk dengan beberapa kelompok masyarakat menyangkut penentuan lokasi yang sesuai untuk tempat pelaksanaan Hkm.

Sementara itu CIFOR telah mengadakan kegiatan di 27 desa di daerah aliran sungai (DAS) Hulu Malinau, Kalimantan Timur, sejak tahun 1999 guna meningkatkan keterjangkauan dan penguasaan masyarakat setempat terhadap manfaat hutan.

Salah satu contoh sistem hutan kemasyarakatan yang hampir sepenuhnya otonom adalah upaya masyarakat Punan di Long Pada (Hulu Sungai Tubu, Kabupaten Malinau) untuk melindungi gaharu (Aquilaria spp.) sebagai hasil hutan andalan di wilayah desa mereka dari eksploitasi oleh pihak dari luar desa. Masyarakat Long Pada tidak mengetahui status hukum hutan di wilayah desa mereka. Pengumpulan gaharu di wilayah desa lama di hulu Sungai Malinau (sekitar 15.000 hektar) merupakan sumber utama pendapatan masyarakat Punan Pelancau (jumlah penduduk hampir 300 jiwa).

Gaharu adalah damar dengan harum khas yang dihasilkan oleh infeksi jamur pada pohon Aquilaria spp. Gaharu dapat mencapai harga lebih dari 1.000 dollar AS per kilo untuk mutu terbaik. Pengumpulan gaharu secara berlebihan oleh pengumpul dari luar desa mengakibatkan populasi gaharu menurun drastis. Dalam diskusi tentang pilihan ekonomi ada beberapa anggota masyarakat yang tertarik untuk menanam gaharu untuk menjamin keberadaan gaharu di masa mendatang.

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

187

Anggota yang lain tidak yakin kegiatan ini akan berhasil karena keadaan di kebun berbeda dari keadaan tumbuh gaharu di alam dan karena tidak berpengalaman dengan metode inokulasi. Mereka menekankan bahwa perlu ada perlindungan terhadap gaharu yang terdapat di wilayah desa. Mereka menyadari bahwa mereka akan menghadapi beberapa kesulitan dengan kedua pilihan tersebut.

Pertama, mereka tidak yakin akan hak mereka untuk mengelola gaharu dan melarang pengumpul dari luar desa masuk ke wilayah desa mereka. Kedua, penegakan peraturan ini tidak mudah karena wilayah desa sangat luas dan terpencil dan pohon gaharu tumbuh terpencar-pencar. Namun mereka juga mengetahui bahwa sebagian besar daerah dengan potensi gaharu secara resmi ditetapkan sebagai hutan lindung, sehingga penebangan kayu tidak boleh dilaksanakan.

Keadaan ini memungkinkan pengembangan kegiatan ekonomis, termasuk perlindungan dan pengayaan tanaman gaharu. Pemerintah kabupaten juga menyadari bahwa gaharu adalah sumber pendapatan penting bagi masyarakat yang semakin lama semakin berkurang.

Dalam upaya untuk menjamin keberadaan gaharu di masa mendatang pemerintah kabupaten meluncurkan gerakan “Sejuta Pohon Penghasil Gaharu”. Gerakan ini dan uji coba pertama dengan metode inokulasi merangsang masyarakat Pelancau untuk mulai menanam pohon gaharu.Selama ini masyarakat Pelancau belum membahas gagasan untuk melindungi pohon gaharu di alam dengan pemerintah kabupaten atau mencoba mendapatkan izin pengelolaan, misalnya Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Non Kayu.

Namun hal ini dapat memperkuat posisi masyarakat sekaligus menjadi dasar pengelolaan yang lebih baik. Meskipun demikian, masyarakat Pelancau bersama pemerintah kabupaten tetap perlu mengembangkan strategi penegakan pengelolaan agar menjamin keberlanjutan sumber daya ini (Limberg, 2006).

Salah satu aspek penting dalam pelaksanaan program HKm adalah keinginan untuk ikut serta dalam kegiatan HKm harus datang dari masyarakat tanpa ada unsur paksaan. Dalam pelaksanaan program, sangat ditekankan rasa pemilikan oleh kelompok masyarakat terhadap program HKm yang mereka ikuti. Implikasinya adalah dalam program ini masyarakat tidak mendapat bayaran dari pihak manapun tetapi partisipasi yang dilakukan adalah sukarela.

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

188

8.12 Kendala Pelaksanaan Hutan Kemasyarakatan

Pengembangan HKm menghadapi beberapa kendala diantaranya: (Note:Godwin Limberg, Ramses Iwan, Eva Wollenberg & Moira Moeliono, Peluang dan Tantangan Mengembangkan HKm Pengalaman dari Malinau, Center for Internasional Forestry Research, Juni 2006 Nomor 15b)

Ditingkat Desa, masyarakat menghadapi beberapa kesulitan karena:

- Kelembagaan desa lemah- Pola pembagian keuntungan tidak baik- Tidak ada pengelolaan konflik yang efektif- Kurangnya informasi tentang pasar dan biaya transport yang tinggi- Pengakuan dan hubungan antara peraturan masyarakat dengan perda

lemah- Batas dan penguasaan lahan tidak jelas

Di tingkat pemerintah kabupaten masalah utama adalah:

- Pengalaman dan pengetahuan teknis tentang berbagai pola HKm terbatas

- Pengembangan HKm membutuhkan banyak tenaga dan pendamping dari Dinas Kehutanan

- HKm sulit dikembangkan pada skala lebih besar

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

189

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

190

HUTANRAKYAT

BAB 9

241

9.1 Pendahuluan

Pembangunan kehutanan sebagai bagian dari pembangunan nasional, diarahkan untuk memberikan manfaat bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan tetap menjaga kelestarian sumber daya alam dan fungsi lingkungan hidup, memelihara tata air, serta meningkatkan sumber pendapatan negara dan devisa serta memacu pembangunan daerah. Salah satu bentuk pengembangan produksi hasil kayu dan non kayu diselenggarakan melalui peningkatan pengusahaan hutan rakyat yang didukung oleh penyediaan bibit tanaman yang tangguh.

Pemerintah Indonesia melalui Departemen Kehutanan dalam menyikapi realita dan dinamika masyarakat serta perubahan alam yang semakin tidak bersahabat, telah menetapkan berbagai kebijakan untuk mengatasi dan mengantisipasi serta mempersiapkan pembangunan kehutanan yang lebih baik kedepan dengan membuat Rencana Strategis Departemen Kehutanan tahun 2010-2014 (Kementerian Kehutanan, 2010), yang antara lain misinya adalah: (1) memantapkan kepastian status kawasan hutan serta kualitas data dan informasi kehutanan. Misi tersebut bertujuan untuk meningkatkan kepastian kawasan hutan sebagai dasar penyiapan prakondisi pengelolaan sumberdaya hutan secara lestari; (2) meningkatkan Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) untuk memperkuat kesejahteraan rakyat sekitar hutan dan keadilan berusaha; (3) memantapkan penyelenggaraan perlindungan dan konservasi sumberdaya alam; (4) memelihara dan meningkatkan fungsi dan daya dukung daerah aliran sungai (DAS) sehingga dapat meningkatkan optimalisasi fungsi ekologi ekonomi dan sosial DAS; (5) meningkatkan ketersediaan produk teknologi dasar dan terapan serta kompetensi SDM dalam mendukung penyelenggaraan pengurusan hutan secara optimal; (6) memantapkan kelembagaan penyelenggaraan tata kelola kehutanan Kementerian Kehutanan.

Selanjutnya berdasarkan misi tersebut disusun pula 8 (delapan) kebijakan prioritas dengan menekankan pada Pemantapan Kawasan Hutan, Rehabilitasi Hutan dan Peningkatan Daya Dukung Daerah Aliran Sungai (DAS), Pengamanan Hutan dan Pengendalian Kebakaran Hutan, Konservasi

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

191

Keanekaragaman Hayati, Revitalisasi Pemanfaatan Hutan dan Industri Kehutanan, Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Hutan, Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Sektor Kehutanan dan Penguatan Kelembagaan Kehutanan. Salah satu kegiatan dalam rehabilitasi kehutanan tersebut adalah dengan memfasilitasi pembangunan hutan rakyat seluas 250.000 hektar.

Undang-undang nomor 41 tahun 1999 tentang Ketentuan Pokok Kehutanan menjelaskan bahwa pada dasarnya hutan dapat dibagi dua yaitu hutan negara dan hutan hak. Selanjutnya pada penjelasan yang disebut hutan hak adalah hutan rakyat, yang dimaksud hutan milik adalah hutan yang tumbuh di atas lahan yang dibebani hak milik. Jadi hutan rakyat adalah hutan yang dimiliki oleh rakyat (Dinas Kehutanan, 1999).

Hutan rakyat telah sejak puluhan tahun yang lalu diusahakan dan terbukti sangat bermanfaat, tidak hanya bagi pemiliknya, tapi juga masyarakatnya dan lingkungannya. Sekalipun demikian pada awalnya keberadaan dan peran hutan rakyat kurang “dilirik” oleh para birokrat, peneliti maupun ilmuwan pada umumnya, hingga adanya temuan hasil penelitian IPB pada tahun 1976 dan UGM pada tahun 1977 tentang konsumsi kayu pertukangan dan kayu bakar di Jawa yang ternyata sebagian besar disediakan oleh hutan rakyat.

Sejak saat itu muncul keyakinan bahwa hutan rakyat menyimpan potensi yang sangat berarti dalam percaturan pengelolaan hutan nasional. Hal tersebut antara lain ditunjukkan oleh dimasukkannya hitungan potensi hasil hutan rakyat dalam penyediaan bahan baku industri pengolahan kayu. Keyakinan tersebut semakin bertambah sejak disadarinya terjadi penurunan potensi hutan negara secara pasti, baik yang berasal dari hutan alam maupun tanaman. Pemahaman dan keyakinan itu sepatutnya disukuri yang diwujudkan dalam bentuk perhatian dan langkah tindak yang mengarah kepada peningkatan kinerja usaha hutan rakyat, yang selama ini telah diusahakan oleh masyarakat secara swakarsa, swadaya dan swadana.

9.2 Konsepsi Hutan Rakyat

Kegiatan hutan rakyat (farm forestry) merupakan salah satu bentuk dari social forestry (sebagian pakar menterjemahkan menjadi perhutanan sosial, Nurrochmat, 2005:81), selain kehutanan masyarakat (community forestry). Perhutanan sosial menawarkan satu pendekatan yang dikaitkan dengan masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat pedesaan dan pemerintah.

Istilah hutan rakyat atau usaha tani kehutanan telah muncul sebagai satu alternatif model untuk menyelesaikan masalah yang disebabkan oleh

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

192

semakin luasnya jumlah pohon yang hilang dari hutan-hutan yang ada di muka bumi dan berkurangnya penutupan bumi oleh hutan di negara-negara sedang berkembang. Dengan membantu masyarakat pedesaan agar menanam pohon dilahan sendiri, biaya penghutanan kembali dapat dikurangi (Awang, 2004:10-13).

Menurut Awang dkk (2001:146-147), konsep hutan rakyat bukanlah sebaran atau hamparan lahan yang seluruhnya ditumbuhi pohon-pohonan, namun merupakan hamparan lahan yang di dalamnya tumbuh berbagai macam tumbuhan tanaman keras, tanaman pangan, tanaman hijauan makanan temak, tanaman kayu bakar, tanaman non kayu dan buah-buahan.

Hutan rakyat merupakan bank data dan bank kehidupan keluarga bagi masyarakat pedesaan sekitar hutan, sekaligus gambaran ekosistem sempurna dari bentang alam (landscape).

Ada beberapa bentuk hutan rakyat, antara lain: a) hutan tanaman murni, yaitu hutan yang dibangun dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas hutan, yang seluruhnya ditanami satu jenis kayu-kayuan, dengan menerapkan silvikultur intensif; b) hutan tanaman campuran, yaitu hutan yang dibangun dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas hutan, yang seluruhnya ditanami berbagai jenis kayu-kayuan, dengan menerapkan silvikultur intensif; dan c) agroforestri yaitu manajemen pemanfaatan hutan secara optimal dan lestari, dengan cara mengkombinasi kegiatan kehutanan dan pertanian pada unit pengelolaan lahan yang sama, dengan memperhatikan kondisi lingkungan fisik, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat sehingga masyarakat dapat berperan serta (Departemen Kehutanan, 2002:120-121).

Menurut Prayitno (1999) dan Peraturan Menteri Kehutanan No. 03/Menhut-V/2004 mengemukakan bahwa hutan rakyat adalah areal berhutan yang dimiliki oleh rakyat dengan luas minimal 0,25 hektar dengan penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan dan atau jenis lainnya lebih dari 50% dan atau pada tanaman tahun pertama dengan tanaman sebanyak minimal 500 tanaman tiap hektar.

Sementara itu, Dirjen RRL Dephut (1996) mengemukakan pengertian hutan rakyat adalah suatu lapangan yang berada di luar kawasan hutan negara yang bertumbuhan pohon-pohonan sedemikian rupa sehingga secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta lingkungan yang pemilikan tanahnya berada pada rakyat.

Menurut Dinas Perhutanan dan Konservasi Tanah (1998) hutan rakyat (hutan milik) adalah hutan yang dimiliki oleh rakyat, baik secara perorangan, kelompok maupun badan hukum. Hutan rakyat merupakan hutan buatan dan terletak di luar kawasan hutan negara.

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

193

Sebetulnya hutan rakyat telah lama berkembang di Indonesia khususnya di Jawa dan beberapa daerah di luar pulau Jawa. Pada awal tahun 1960 usaha hutan rakyat khususnya diperkenalkan melalui program karangkitri. Usaha ini bertujuan untuk menghijaukan pekarangan, talun, lahan-lahan rakyat yang gundul untuk tujuan konservasi tanah dan air serta perbaikan lingkungan. Selain itu dalam perkembangan ini diarahkan pula mencapai sasaran peningkatan sosial ekonomi atau kesejahteraan masyarakat di pedesaan dan kebutuhan bahan baku industri meubel (Tinambunan, 1996).

Pembangunan hutan rakyat adalah suatu rangkaian kegiatan pembuatan tanaman hutan rakyat yang terdiri dari penyiapan lokasi, penyediaan bibit, penanaman dan pemeliharaan (Dinas Perhutanan dan Konservasi Tanah, 1998). Pada prinsipnya pembangunan hutan rakyat hendaknya menjadi sumber lapangan kerja dan dengan sendirinya menjadi sumber pendapatan. Status mereka (petani-petani tersebut) dipertinggi bukan sekedar penanam-penanam di atas tanah terlantar, tetapi sebagai subyek pengelola yang penuh tanggung jawab dan dengan imbalan prestasi yang memadai. Di samping itu mereka dapat mengambil hasil sesuai dengan prestasinya (Nurwanto,1981).

9.3 Karakteristik dan Bentuk Hutan Rakyat

Menurut Dirjen RRL Dephut (1996) dan Dephut (1998), Hutan Rakyat mempunyai karakteristik sebagai berikut :

a. Kawasan tidak perlu berupa hamparan, melainkan bisa terpencar di antara lahan-lahan pedesaan lainnya

b. Pola tanam dapat berupa hutan rakyat murni atau campuran dipadukan dengan sistem agroforestry

c. Dapat terdiri dari tanaman yang cepat tumbuh dan cepat memberikan hasil bagi pemiliknya, maupun berfungsi bagi kesejahteraan masyarakat umum.

d. Bentuk pembagian areal dapat berupa unit percontohan (demplot) dan areal dampak yang terdiri dari beberapa blok.

e. Sistem pengelolaan mencakup kegiatan perencanaan, pelaksanaan, pengorganisasian kelompok dan pengendalian.

Beberapa bentuk hutan rakyat menurut Anonimous (1998) adalah :

a. Hutan rakyat murni yaitu areal hutan rakyat yang seluruhnya ditanami kayu-kayuan

b. Hutan rakyat campuran (Agroforestry) yaitu areal hutan rakyat yang ditanami dengan tanaman kayu-kayuan yang dicampur dengan tanaman

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

194

pertanian dengan perbandingan penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan lebih dari 50%.

Sedangkan menurut Departemen Kehutanan (2005), bentuk hutan rakyat berupa:

a. Hutan Rakyat pola RHL insentif ; diberikan bantuan bibit dan insentif biaya penanaman sebagai perangsang untuk pengembangannya.

b. Hutan rakyat pola RHL subsidi /biaya penuh; adalah pelaksanaan pembuatan tanaman hutan rakyat pada daerah tertinggal

c. Hutan rakyat sistem pot; Pot tanaman berupa galian pada batuan lunak yang diisi dengan media tanam.

d. Hutan rakyat pola block grant kepada kelompok tani; adalah pelaksanaan pembangunan hutan rakyat dengan subsidi yang pelaksanaan fisik serta keuangan dikelola secara mandiri oleh kelompok dan dana disalurkan langsung kepada kelompok

e. Hutan rakyat pola kemitraan usaha ; adalah pelaksanaan pembuatan hutan rakyat dengan suatu bentuk kerjasama antara kelompok tani dengan mitra usaha (perusahaan hutan tanaman/industri perkaayuan)

f. Hutan rakyat pola perlindungan waduk/bendungan/danau ; adalah pelaksanaan pembuatan tanaman hutan rakyat pada daerah tangkapan air waduk/bendungan /danau

9.4 Tujuan dan Sasaran Hutan Rakyat

Tujuan Hutan Rakyat sebagaimana telah ditetapkan oleh Dephutbun (1999) adalah sebagai berikut :

a. Memenuhi kebutuhan kayu bagi masyarakat dan bahan baku bagi industri pengolahan kayu

b. Meningkatkan produktivitas lahan dengan berbagai hasil tanaman hutan rakyat berupa kayu-kayuan

c. Memberikan peluang kesempatan kerja dan kesempatan berusaha sehingga dapat meningkatkan pendapatan masyarakat

d. Meningkatkan kualitas lingkungan melalui percepatan rehabilitasi lahan dan konservasi tanah dan air

e. Terbentuknya kelompok tani yang mandiri dan terbinanya hutan rakyat sebagai suatu unit usaha berkelanjutan.

f. Pemberdayaan masyarakat dibidang permodalan

Kelembagaan kelompok tani yang ideal mempunyai indikator : (a) Kemampuan kelompok dalam merencanakan kegiatan untuk meningkatkan

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

195

produktivitas usaha tani para anggotnya dengan penerapan rekomendasi yang tepat dan memanfaatkan sumberdaya alam secara optimal dan lestari; (b) Kemampuan melaksanakan dan mentaati perjanjian dengan pihak lain; (c) Kemampuan pemupukan modal dan pemanfaatan pendapatan secara rasional; (d) Kemampuan meningkatkan hubungan yang melembaga antara kelompok tani dengan pihak lain; dan (e) Kemampuan menerapkan teknologi dan pemanfaatan informasi serta kerjasama kelompok yang dicerminkan oleh tingkat produktivitas dari usaha tani anggotanya

Sasaran utama pembangunan Hutan Rakyat diprioritaskan pada :

a. Areal kritis dengan keadaan lapangan berjurang dan bertebing dengan kemiringan lereng lebih besar dari 50%

b. Areal kritis yang ditelantarkan atau tidak digarap lagi sebagai lahan pertanian tanaman semusim

c. Areal kritis karena pertimbangan khusus seperti untuk perlindungan mata air dan bangunan perairan

d. Lahan milik rakyat, tanah adat atau lahan di luar kawasan hutan yang memiliki potensi untuk pengembangan hutan rakyat, dapat berupa lahan tegalan dan lahan pekarangan yang luasnya memenuhi syarat sebagai hutan rakya dalam wilayah DAS priorias. Secara ekonomi lebih menguntungkan apabila dijadikan hutan rakyat.

Hasil penelitian Hermawan (2008) menunjukkan, hutan rakyat di Desa Karee, Madiun telah membawa dampak positif bagi pemberdayaan masyarakat meskipun bagi perbaikan lingkungan belum maksimal, hal ini disebabkan; 1) adanya kelemahan dalam organisasi penyuluhan, 2) masalah status kepemilikan lahan 3) masalah kekeringan akibat distribusi air yang tidak merata.

9.5 Pola Pengembangan Hutan Rakyat

Pola pengembangan hutan rakyat adalah suatu cara pengembangan kegiatan hutan rakyat yang dianggap sesuai dengan kondisi dan situasi sosial budaya daerah setempat. Pola yang dapat dikembangkan pada kegiatan hutan rakyat adalah: 1) pola swadaya, yaitu hutan rakyat yang dibangun oleh kelompok atau perorangan dengan kemampuan modal dan tenaga dari kelompok atau perorangan itu sendiri; 2) pola subsidi, yaitu hutan rakyat yang dibangun melalui subsidi atau bantuan sebagian atau keseluruhan biaya pembangunannya; 3) pola kemitraan, yaitu hutan rakyat yang dibangun atas kerjasama masyarakat dan perusahaan swasta/ koperasi dengan insentif permodalan bunga ringan.

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

196

Menurut Aryadi (2000:5-6), bentuk usaha kegiatan hutan rakyat dapat berbentuk unit usaha dalam model kegiatan hutan rakyat seperti Koperasi Usaha Perhutanan Rakyat atau Mitra usaha yaitu merupakan usaha bersama antara masyarakat (kelompok tani hutan rakyat) dengan pihak swasta yang ada hubungan keterkaitan usaha. Dengan adanya keterkaitan usaha tersebut diharapkan akan menjadi jaminan akses pasar terhadap hasil hutan rakyat yang berkesinambungan.

9.6 Pengelolaan Pembangunan Hutan Rakyat

Pembangunan hutan yang berhasil adalah kunci sukses tercapainya kelestarian hutan. Untuk itu maka pengelolaannya harus dilaksanakan secara baik yang dimulai dari perencanaan sampai dengan pengendalian.

9.6.1 Perencanaan Teknis

Pembuatan tanaman hutan rakyat dilaksanakan berdasarkan Rencana Teknik Tahunan (RTT) yang merupakan rencana indikatif yang menunjukkan lokasi, jenis dan volume kegiatan tahunan dalam satuan wilayah administratif pada DAS prioritas yang digunakan sebagai dasar penyusunan rancangan setiap kegiatan pada setiap lokasi.

Rancangan Kegiatan (RK) pembuatan tanaman hutan rakyat disusun 1 (satu) tahun sebelum pelaksanaan (T-1), namun dalam kondisi tertentu dapat dilaksanakan pada tahun berjalan (T-0). Penyusunan rancangan dilaksanakan berdasarkan hasil orientasi lapangan, pengukuran dan pemetaan calon lokasi serta wawancara dengan masyarakat setempat. RK memuat rancangan teknis dan biaya serta rancangan kelembagaan yang secara operasional digunakan sebagai untuk melaksanakan kegiatan pembuatan tanaman hutan rakyat.

9.6.2 Pelaksanaan

Tahapan pelaksanaan kegiatan pembuatan tanaman hutan meliputi persiapan lapangan, persiapan bibit, pembuatan tanaman dan pemeliharaan tanaman. Persiapan lapangan meliputi penyiapan kelembagaan, pembuatan sarana dan prasarana, dan penataan areal.

Bagi petani/masyarakat yang belum terbentuk dalam kelompok tani diarahkan untuk membentuk kelompok tani dengan pendampingan dalam rangka penguatan kelembagaan oleh LSM, Tenaga Kerja Sarjana Terdidik

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

197

(TKST), tenaga kerja social, tenaga kerja sarjana kehutanan dalam arti luas yang telah memperoleh pendidikan pemberdayaan masyarakat. Kelompok tani diarahkan untuk mampu melaksanakan persiapan pembuatan tanaman hutan rakyat antara lain:

a. Mengikuti sosialisasi penyuluhan dan pelatihanb. Menyusun rencana kegiatan bersama-sama penyuluh kehutanan

lapangan dan pendampingc. Menyiapkan lahan miliknya untuk lokasi kegiatan pembuatan tanaman

hutan rakyatd. Menyelenggarakan pertemuan-pertemuan kelompok tanie. Menyiapkan administrasi kelompok tanif. Menyusun perangkat aturan/kesepakatan internal kelompok tani

Pembuatan sarana dan prasarana diantaranya berupa gubuk kerja dan papan pengenal di lapangan yang memuat tentang lokasi, luas, jenis tanaman, nama kelompok tani dan jumlah peserta serta tahun pembuatan hutan rakyat. Disamping itu juga termasuk pembuatan jalan dan/atau jembatan di dalam lokasi tanaman hutan rakyat.

Penataan areal tanaman dimaksudkan untuk pengaturan tempat dan waktu. Areal tanaman dibagi dalam beberapa blok sesuai dengan pembagian kelompok. Kegiatan penataan areal diantaranya berupa pemancangan tanda batas dan pengukuran lapangan, pembersihan lapangan dan pengolahan tanah, penentuan arah larikan serta pemancangan ajir tanaman sejajar dengan garis kontur, pembuatan piringan tanaman di sekeliling ajir (untuk lahan basah bisa dibuat tokongan) dan pembuatan lubang tanaman yang ukurannya sesuai dengan keperluan masing-masing jenis tanaman.

Pembuatan tanaman diawali dengan pemilihan jenis. Pemilihan tanaman untuk masing-masing daerah bisa berbeda tergantung pada situasi, kondisi dan kebutuhan masyarakat setempat. Pembuatan hutan rakyat dapat dilaksanakan dengan sistem tumpangsari, yaitu menanam tanaman kayu-kayuan dicampur dengan tanaman semusim seperti padi, jagung, kedelai, kacang panjang dan lain-lain.

Pemilihan jenis tanaman pokok disesuaikan dengan jenis tanah, iklim setempat dan peruntukan kayunya dengan penjelasan sebagai berikut :

1. Untuk Kayu Bakar

Untuk kayu bakar biasanya dipilih jenis-jenis yang mempunyai persyaratan cepat tumbuh, menghasilkan trubusan (tunas baru) bila

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

198

dipangkas dan mempunyai nilai kalori panas yang tinggi. Pembangunan hutan rakyat ini dikaitkan dengan penyediaan bahan bakar untuk industri perusahaan genteng, batu kapur dan pembuatan arang.

2. Untuk Kayu Pertukangan

Pemilihan jenis kayu untuk pertukangan dipilih jenis yang mempunyai nilai ekonomi, cepat tumbuh, berkualitas batang baik, produksinya tinggi dan pasarannya cukup baik, jenis-jenis yang dianjurkan adalah:

! Sengon (Paraserianthes falcataria) mempunyai riap (pertambahan tumbuh) 37,4 m3.ha-1.tahun-1 dengan rotasi 5 tahun

! Mahoni (Swietenia macrophylla) mempunyai riap 16,7 m3.ha-1.tahun-1 dengan rotasi 10 tahun

! Sonokeling (Delbergia lafifolia) mempunyai riap 16 m3.ha-1.tahun-1 dengan rotasi 15 tahun

! Jati (Tectona grandis) mempunyai riap 7,9 10,9 m3.ha-1.tahun-1 dengan rotasi 60 tahun.

3. Untuk Bahan Baku Industri

Untuk penyediaan bahan baku industri misalnya untuk kertas, pulp atau pabrik korek api, pemilihan ini ditekankan pada nilai ekonomi, bersifat cepat tumbuh dalam berbagai kondisi lahan dan mempunyai riap tinggi. Jenis untuk bahan baku ini adalah:

! Paraserianthes falcataria mempunyai riap 37,4 m3.ha-1.tahun-1dengan rotasi 5 tahun

! Eucalypthus deglupta mempunyai riap 24,5 m3.ha-1.tahun-1 dengan rotasi 9 tahun

! Kayu Afrika/Kayu manis (Maesopsis emenii) mempunyai riap 13,34 m3.ha-1.tahun-1 dengan rotasi 15 tahun

! Damar (Agathis larantifolia) mempunyai riap 27,4 m3.ha-1.tahun-1 dengan rotasi 25 tahun

! Pinus (Pinus merkusii) mempunyai riap 19,9 m3.ha-1.tahun-1dengan rotasi 15 tahun.

4. Untuk Tujuan Perbaikan Hydroorologi

Pemilihan jenis dititikberatkan kepada jenis-jenis yang ideal dengan syarat-syarat:

! Cepat tumbuh; ! Bertajuk lebat dan dapat memberikan serasah yang banyak; ! Dapat tumbuh di tempat-tempat yang lahannya kritis; ! Mempunyai sistem perakaran yang dalam, melebar dan kuat, sehingga

mampu mengikat tanah.

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

199

5. Untuk Tujuan Ekonomi dari Hasil Buahnya

Pemilihan jenis ini bertujuan dapat dikonsumsi sendiri atau dijual buahnya. Jenis-jenis antara lain: Duwet (Eugenia cuminia), Durian (Durio zibethinus), Nangka (Arthocapus integra), Kemiri (Aleurites moluccana), Jambu Air (Euginia aquatica) atau Kapuk Randu (Ceiba pentanora).

Penanaman hutan rakyat dapat dilakukan dengan cara system tumpang sari dan cemplongan. Sistem tumpang sari adalah suatu teknis penanaman yang dilaksanakan dengan menanam tanaman semusim dan tanaman sela diantara larikan tanaman pokok (kayu-kayuan/MPTS). Sistem cemplongan adalah suatu teknis penanaman dengan pembersihan lapangan tidak secara total (pembersihan lapangan hanya dilakukan di sekitar tempat yang akan ditanam) yang ditetapkan pada lahan miring yang tanahnya peka erosi dan penduduknya jarang dan pada lahan yang sudah ada tanaman kayu-kayuan tetapi masih perlu dilakukan pengkayaan tanaman.

Pola penanaman dapat dikembangkan sesuai dengan kondisi lahan. Pada lahan terbuka maka pola tanamnya dengan baris dan larikan tanaman luru, tanaman jalur dengan system tumpang sari dan penanaman searah garis kontur. Pola pada lahan tegalan dan pekarangan meliputi penanaman pengkayaan pada batas kepemilikan dan sisipan.

Pemiliharan dilakukan pada tahun berjalan, tahun kedua dan tahun ketiga seperti penyulaman, penyiangan, pemupukan, pendangiran, dan perlindungan hama penyakit (perlindungan tanaman).

9.6.3 Pengendalian

Pengendalian meliputi pemantauan, evaluasi, pelaporan yang dilaksanakan oleh Menteri Kehutanan, Gubernur dan Bupati yang dibantu Kepala Dinas yang membidangi kehutanan. Pengawasan dilakukan oleh instansi pengawasan fungsional Kementerian Kehutanan, Pemerintan Provinsi maupun Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan dan peraturan berlaku.

9.7 Pengalaman Pembangunan Hutan Rakyat

Hutan rakyat di Indonesia mempunyai potensi besar, baik dari segi populasi pohon maupun jumlah rumah yangga yang mengusahakannya, yang ternyata mampu menyediakan bahan baku industri kehutanan. Perkiraan

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

200

potensi dan luas hutan rakyat yang dihimpun dari kantor-kantor dinas yang menangani kehutanan di seluruh Indonesia mencapai 39.416.557 m3 dengan luas 1.568.415,64 ha, sedangkan data potensi hutan rakyat berdasarkan sensus pertanian yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa potensi hutan rakyat mencapai 39.564.003 m3 dengan luas 1.560.229 ha. Jumlah pohon yang ada mencapai 226.080.019, dengan jumlah pohon siap tebang sebanyak 78.485.993 batang (Anonim, 2004).

Dalam rangka pemulihan kondisi dan fungsi lahan-lahan kritis, khususnya pada DAS prioritas, sejak tahun 2003 telah dicanangkan Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Gerhan). Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan sampai dengan tahun 2008 adalah penanaman pada kawasan hutan (reboisasi) seluas 906.969 ha. Sedangkan kegiatan rehabilitasi lahan di luar kawasan hutan melalui kegiatan penghijauan telah dilakukan pembuatan hutan rakyat seluas 1.102.912 ha dan penghijauan lingkungan pada lahan-lahan publik seperti sekolah, turus jalan, mesjid, taman kota, telah dilakukan penanaman sebanyak 504,2 juta bibit pohon.

Kalimantan Selatan sebagai bagian dari daerah penghasil kayu alam dan industri kayu juga tidak terlepas dari permasalahan pengelolaan hutan yang tidak sesuai harapan. Secara geografi, Propinsi Kalimantan Selatan mempunyai luas wilayah 3.705.161.578 ha, hingga saat ini masih mempunyai luas wilayah berhutan sekitar 1.659.003 ha. Sedangkan jika kita bandingkan dengan lahan kritis, maka keberadaan areal berhutan hanya sekitar sepertiganya.

Luas lahan yang kritis adalah 3.147.646,5 ha dengan rincian potensial kritis 1.051.423 ha, agak kritis 1.540.112 ha, kritis 500.078 ha dan sangat kritis 55.905 ha (BP DAS Riam Kanan, 2004). Menurut penyebarannya, seluruh lahan kritis di atas terdapat pada beberapa kawasan, yaitu di kawasan hutan lindung seluas seluas 578.847 Ha, kawasan lindung di luar kawasan hutan seluas 73.955 Ha dan yang terdapat di kawasan budidaya pertanian seluas 2.596.376 Ha. Berbagai usaha rehabilitasi sudah pernah dilaksanakan seperti di sekitar waduk Riam Kanan dengan program Reboisasi dan Penghijauan sejak tahun 1990 hingga 1995, namun belum ada yang berhasil dan malah lahan kritis semakin meluas (Budi dkk, 2005:21).

Dalam rangka menyikapi kondisi di atas dan dinamika yang berkembang dalam pembangunan sektor kehutanan di Kalimantan Selatan tersebut, serta melaksanakan amanah UU No. 41/1990 tentang Kehutanan, yang menyatakan bahwa: rehabilitasi hutan dan lahan dimaksudkan untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas dan peranannya dalam mendukung

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

201

sistem penyangga kehidupan tetap terjaga (psl 41); rehabilitasi hutan dan lahan diselenggarakan melalui kegiatan reboisasi, penghijauan (Hutan Rakyat), pemeliharaan, dst (psl 41); dan rehabilitasi hutan dan lahan dilaksanakan berdasarkan kondisi spesifik biofisik, penyelenggaraan diutamakan pelaksanaannya melalui pendekatan partisipatif dalam rangka mengembangkan potensi dan memberdayakan masyarakat (psl 42) --- pemerintah daerah Propinsi Kalimantan Selatan mencoba melaksanakan kegiatan penghijauan dalam bentuk usaha tani konservasi, penanaman tanaman pangan dan tahunan dalam bentuk hutan rakyat, pembuatan bangunan konservasi tanah, peningkatan sumberdaya manusia dan peran serta masyarakat .

Dinas Kehutanan propinsi Kalimantan Selatan sebenarnya telah memulai program Hutan Rakyat sejak tahun 1980 an, yaitu dimulai pada tahun 1986 dengan nama program demplot Usaha Pertanian Menetap (UPM) dibawah program Penghijauan yang dilaksanakan oleh Dinas Kehutanan Propinsi Kalimantan Selatan. Luas areal demplot adalah 20 Ha dengan jenis tanaman karet, rambutan dan tanaman semusim (padi dan kacang). Langkah lebih terarah, terencana dan lebih luas dimulai tahun 2000 melalui dana APBD.

Sejak tahun 2001 telah melaksanakan Proyek Peningkatan Produksi Kehutanan yang kemudian dilanjutkan pada tahun 2002 melalui Proyek Pengembangan Hutan Rakyat dengan luas 1.320 ha, dengan jenis tanaman Sengon, Jati, Mahoni Sungkai dan Kemiri. Pada tahun 2004 telah dibangun hutan rakyat seluas 17.691 ha yang bersumber dari dana APBN dan ABPD (Dinas Kehutanan Propinsi Kalimantan Selatan, 2006).

Pengelolaan hutan rakyat yang baik akan mengantarkan kepada pengakuan dunia Internasional dengan diberikannya sertifikat hutan lestari. Hal ini dibuktikan oleh masyarakat di Desa Dengok (Kec. Playen), Desa Girisekar (Kec. Parang) dan Desa Kedungkeris (Kecamatan Nglipar). Pengelolaan hutan rakyat secara lestari telah dimulai sejak tahun 2006 oleh Shorea, Arupa, dan PKHR UGM yang tentunya berkolaborasi dengan masyarakat desa hutan. Seluruh kawasan hutan rakyat yang mendapat sertifikat hutan lestari di ketiga desa tersebut berstatus lahan milik dengan total seluas 815,18 ha dan sebagai gambaran pengelolaannya adalah sebagai berikut setiap petani hutan rakyat bergabung di dalam Kelompok Tani Hutan Rakyat (KTHR) di tingkat dusun kemudian setiap KTHR bergabung di dalam Paguyuban di tingkat Desa selanjutnya setiap Paguyuban bergabung di dalam Koperasi Wana Manunggal Lestari di tingkat Kabupaten. Selanjutnya setiap kelompok dibagi berdasarkan kesepakatan menjadi 3 unit, yaitu (1) Koperasi sebagai unit bisnis, (2) Paguyuban sebagai unit kelestarian, (3) KTHR sebagi unit kelembagaan.

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

202

Kesadaran yang tinggi dari para petani di ketiga desa tersebut dalam melakukan penanaman pohon menjadi modal untuk meningkatkan ekonomi para petani di masa mendatang. Gayung bersambut dan kesadaran tersebut mendapatkan dukungan yang sangat besar dari Pemerintah Daerah Kabupaten Gunung Kidul dan Pemerintah kabupaten berharap bahwa ketiga desa tersebut menjadi contoh untuk desa-desa lain di sekitar Kabupaten Gunung Kidul.

Perbedaan dengan hutan rakyat yang lain yang telah mendapat sertifikat ekolabel adalah adanya dukungan penuh dari pemerintah kabupaten (sampai tahun 2010 ada 25.000 ha hutan rakyat yang telah mendapat Sertifikat Hutan Lestari dari Lembaga Ekolabel Indonesia). Dukungan pemerintah kabupaten tersebut diwujudkan dengan membentuk Kelompok Kerja Hutan Rakyat Lestari (POKJA HRL) yang beranggotakan para pihak yang ada di Kabupaten Gunung Kidul termasuk para petani hutan rakyat, mempunyai peran dan keterkaitan langsung dalam upaya mendorong kelestarian hutan Rakyat di Gunung Kidul. POKJA tersebut bertugas untuk (1) melakukan inventarisasi dan identifikasi potensi hutan rakyat lestari, (2) melaksanakan sosialisasi dan diseminasi program sertifikasi hutan rakyat lestari yang berdampak pada pengembangan agro-ekosistem, (3) memfasilitasi kegiatan ekonomi produktif berbasis hutan rakyat lestari, (4) mewujudkan pengelolaan hutan rakyat lestari sebagai sarana pemberdayaan ekonomi masyarakat dan penyelamatan lingkungan, (5) memformulasikan pengembangan usaha aneka hasil-hasil hutan rakyat dan melaporkan hasil pelaksanaan kerjanya kepada Bupati Gunung Kidul.

Gerakan Hutan Rakyat yang mendapat dukungan dari pemerintah kabupaten dalam program HRL tersebut masih perlu memperbaiki manajemen secara internal di tingkat KTHR sampai dengan Koperasi Wana Manunggal Lestari untuk menghindari kemungkinan perselisihan atau potensi konflik di masa mendatang. Harapan ke depan, sertifikat ekolabel dapat menjadi tiket masuk ke pasar internasional untuk produk atau hasil hutan rakyat yang dikelola secara lestari.

Kearifan tradisional menjadi acuan untuk melakukan pengelolaan hutan rakyat meskipun teori tentang perencanaan pengelolaan hutan dan pemasaran hasil dari hutan rakyat belum sepenuhnya dipahami oleh setiap petani yang menjadi anggota KTHR namun pada tingkat pelaksanaannya, para petani menggunakan kearifan lokal/tradisional yang diperoleh secara turun temurun. Kearifan lokal yang dimaksud adalah penggunaan terasering untuk menjawab solusi kondisi biofisik yang rawan kritis di Kabupaten Gunung Kidul yang sebagian besar berbukit.

Yang menarik adalah pembuatan terasering tersebut masih dilakukan secara gotong-royong. Para petani masih menggunakan ilmu titen dalam

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

203

menentukan pohon mana yang siap untuk dipanen atau ditebang - tidak sepenuhnya menggunakan hasil inventarisasi potensi hutan yang telah dilakukan secara gotong-royong. Ilmu titen yang digunakan untuk menentukan umur pohon didasarkan pada peristiwa penting yang terjadi di desa atau peristiwa di tingkat nasional.

Selain itu, ilmu titen juga digunakan untuk memprediksi datangnya musim hujan untuk mengatur kapan harus memberi pupuk untuk mempertahankan kesuburan pada lahan tersebut. Hal lain yang menjadi pertimbangan dalam penilaian dan bersifat positif adalah budaya gotong-royong masih digunakan dalam mengelola lahan/hutan rakyat yang dimiliki oleh setiap petani.

Memang ada pengelolaan yang dikerjakan oleh orang lain (sistem di-buruh-kan), namun hal itu sangat sedikit sekali. Di ketiga desa tersebut tidak dikenal sistem upah apalagi istilah UMR (Upah Minimum Regional) dalam mengelola hutan rakyat mereka karena masih diberlakukannya budaya gotong-royong. Kalaupun ada kegiatan pengelolaan hutan rakyat yang perlu bantuan orang lain (bukan pemilik lahan) maka sistem upahnya dilakukan dengan prinsip uga rasa tepa seliro.

Lagipula biasanya pemilik lahan masih menggunakan tenaga bantuan yang masih ada ikatan keluarga dengan pemilik lahan. Gotong-royong hanya menjadi bentuk kebersamaan dalam mengerjakan sesuatu hal yang membutuh tenaga fisik sedangkan pengambilan keputusan dalam pengelolaan lahan/hutan rakyat tetap pada si pemilik lahan namun tetap mengacu pada kesepakatan yang telah diputuskan bersama di dalam KTHR atau Paguyuban.

Keterlibatan perempuan juga terlihat aktif di dalam kepengurusan KTHR sampai dengan koperasi, dimana anggota KTHR juga terdapat kaum perempuan yang otomatis mempunyai hak sama dalam pengambilan keputusan dan kesempatan dalam mengembangkan kapasitas mereka (termasuk kaum perempuan). Keterlibatan perempuan (ibu usia senja) juga banyak terlihat dalam penyiapan lahan terutama pembuatan terasiring dan pada saat pemupukan lahan.

Kebiasaan yang sering dilakukan oleh masyarakat di ketiga desa tersebut adalah mengumpulkan dana (sumbangan) yang digunakan untuk keperluan bersama, seperti jika ada yang sakit atau mengalami musibah atau bila ada yang mempunyai hajatan. Saudara atau anak-anak mereka yang berdomisili di luar desa (merantau) juga dilibatkan dalam kegiatan pengumpulan dana tersebut, terutama bila menyangkut hal-hal yang bersifat publik seperti pembangunan fasilitas umum yang diperlukan di desa tersebut.

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

204

Sebenarnya ada mekanisme penyelesaian sengketa/konflik yang terbangun secara turun temurun yang masuk dalam tatanan kearifan lokal namun mekanisme tersebut belum ada aturannya secara detail. Lagipula sampai saat ini, belum ada kasus penyelesaian sengketa lahan yang berujung sampai di tingkat pengadilan, cukup menggunakan penyelesaian sengketa secara kekeluargaan.

Sertifikat ekolabel yang telah diperoleh bukan hasil akhir karena perjalanan masih panjang untuk mendapatkan pengakuan dunia. Di masa mendatang, Koperasi Wana Manunggal Lestari mempunyai tugas dan peran yang berat dalam mempertahankan kelestarian fungsi hutan untuk fungsi produksi, fungsi sosial dan terutama fungsi ekologinya. Pembenahan tersebut antara lain manajeman dan pembagian peran antar anggota KTHR PAGUYUBAN KOPERASI harus lebih teknis dan detail yang dituangkan ke dalam rencana kerja setiap periode yang disepakati.

Selain itu adanya kebutuhan hidup yang mendorong beberapa petani melakukan tebang butuh sehingga diperlukan manajemen koperasi yang kuat terutama pada sharing kapasitas antar anggota di setiap KTHR yang tergabung dalam koperasi. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah sedikitnya generasi muda (usia produktif) yang tinggal di desa sehingga diperlukan usaha yang keras dalam membangun lapangan kerja di desa mereka dan merencanakan kondisi yang dapat membuat para generasi muda yang sudah mempunyai banyak pengalaman di perantauan (terutama yang pernah bekerja di bidang perbankan) untuk bersedia menerapkan pengalamannya di desanya untuk membangun Koperasi Wana Manunggal Lestari.

Sebenarnya sudah ada potensi lapangan pekerjaan yang dapat meningkatkan manfaat bagi masyarakat desa secara luas, seperti; (1) kerajinan mebel di Dusun Sendowo Kidul, (2) kerajinan tangan (handycraft) dari limbah kayu di Dusun Pringsurat, dan (3) kerajinan ukir batu di Dusun Kedungkeris.

Namun potensi lapangan pekerjaan tersebut hanya terpusat di Desa Kedungkeris, sangat baik jika kondisi tersebut dapat ditularkan ke desa-desa lain terutama Desa Girisekar dan Desa Dengok. Melalui pengembangan program hutan rakyat (farm forestry) yang berkelanjutan dari tahun ketahun serta pengelolaannya diarahkan sebagai usaha kelompok tani secara mandiri, diharapkan akan mempercepat upaya rehabilitasi lahan, perbaikan lingkungan, pemenuhan kebutuhan kayu sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat pedesaan sekitar hutan.

Ada beberapa kondisi sosial yang dibutuhkan agar pengelolaan sumberdaya hutan dapat dilakukan sebuah kelompok masyarakat dengan

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

205

efektif, antara lain adalah: a) Batas wilayah kelola, adanya kesepakatan bersama tentang batas wilayah kelola rakyat, hak-hak yang diakui, mekanisme pembagian hasil hutan; b) Mekanisme pengambilan keputusan, masyarakat setempat memiliki hak bicara, hak menentukan nasibnya sendiri, dan hak mengambil keputusan sesuai dengan kebutuhan kelompok; c) Insentif, masyarakat setempat memperoleh manfaat nyata dari kegiatan pengelolaan hutan baik manfaat ekonomi, budaya dan spritual; d) Ukuran kelompok, sebaiknya kecil supaya komunikasi dan bertatap muka secara teratur dimungkinkan (Munggoro, 2001:13-14).

9.8 Kontribusi Hutan Rakyat terhadap Masyarakat

Pengusahaan hutan rakyat adalah suatu usaha yang meliputi kegiatan: produksi, pengolahan hasil, pemasaran dan kelembagaan. Dari cakupan pengusahaan hutan rakyat tersebut dapat diketahui bahwa stakeholder dalam usaha hutan rakyat ini cukup banyak, antara lain pemilik lahan, petani penggarap, buruh tani, pekerja kasar, sampai dengan pedagang dan industri serta pemerintah daerah. Dengan banyaknya pihak yang terlibat dalam pengusahaan hutan rakyat tersebut, wajar jika usaha hutan rakyat memberikan kontribusi pendapatan kepada lebih banyak stakeholdernya.

Sebagaimana diketahui bahwa hutan rakyat sampai saat ini diusahakan oleh masyarakat di pedesaan, sehingga kontribusi manfaat hutan rakyat akan berdampak pada perekonomian desa. Manfaat ekonomi hutan rakyat secara langsung dapat dirasakan masing-masing rumah tangga para pelakunya dan secara tidak langsung berpengaruh pada perekonomian desa. Ekonomi pedesaan yang dimaksud disini lebih diartikan sebagai ekonomi yang berlaku di wilayah pedesaan.

Pendapatan dari hutan rakyat bagi petani masih diposisikan sebagai pendapatan sampingan dan bersifat insidentil dengan kisaran tidak lebih dari 10% pendapatan total yang mereka terima. Hal ini disebabkan karena pengusahaan hutan rakyat masih merupakan jenis usaha sambilan. Usaha hutan rakyat pada umumnya dilakukan oleh keluarga petani kecil biasanya subsisten yang merupakan ciri umum petani Indonesia.

Golongan petani subsisten tersebut menurut Scott (1976) memiliki kebiasaan mendahulukan selamat artinya apa yang diusahakan prioritas pertama adalah untuk mencukupi kebutuhan konsumsi sendiri, yang biasa disebut dengan etika subsisten. Luasnya cakupan penguasaan hutan memberikan sebaran kontribusi ekonomi yang juga cukup luas di masyarakat desa.

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

206

Pada sub sistem produksi dan pengolahan, hutan rakyat juga memberikan kontribusi pendapatan terhadap orang-orang di luar pemilik hutan rakyat, misalnya buruh tani atau tenaga kerja lainnya. Ini dapat terlihat jelas pada hutan-hutan rakyat yang dikelola secara intensif maupun secara sambilan, dimana pengusahaan hutan rakyat ini mampu menyerap tenaga kerja di desa tersebut.

Untuk aktivitas pemasaran hasil, pengusahaan rakyat memberikan kontribusi pendapatan terhadap para pelaku dalam sistem distribusi. Dapat dipahami bahwa jika pengusahaan hutan dilakukan secara sambilan (input teknologi dan manajemen yang rendah) hanya memiliki manfaat langsung ekonomi kepada pemilik lahan dan tengkulak, sehingga belum nampak adanya kontribusi pendapatan terhadap pihak lain.

Sedangkan pada pengusahaan hutan rakyat yang dilakukan secara intensif, diperkirakan mampu memberikan manfaat ekonomi terhadap pihak-pihak penyedia input yang lebih luas. Dengan demikian peran pengusahaan hutan rakyat dalam perekenomian desa, minimal mampu memberikan kontribusi pendapatan rumah tangga pelaku hutan rakyat (secara mikro), yang pada gilirannya memberikan kontribusi terhadap pendapatan desa.

Pengamatan Bambang Sukartiko, 1981 (dalam Agus,S., 1986:6) di KPH Banyumas Barat dengan Inmas tumpang padi gogo ternyata dapat menaikkan hasil dari 2,65 ton/hektar sehingga sekaligus dapat meningkatkan petani sebesar Rp 152.832, per hektar. Selanjutnya Karyono (1980) melaporkan hasil pengamatannya di Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan, pola usaha tani dengan sistem hutan rakyat sebesar Rp 7,40/m2 sampai Rp 76/m2 pada rotasi 40 tahun. Andayani (2005) menyatakan kelayakan finansial pengusahaan hutan rakyat pola agroforestri Sengon di Kecamatan Sapuran, Wonosobo menghasilkan nilai NPV Rp 4.201.852,41/ha/daur, nilai BCR 2,87 dan IRR 34,31% yang berarti layak dan menguntungkan.

Selain peran dalam memberikan kontribusi pendapatan, pengusahaan hutan rakyat juga mampu memberikan lapangan pekerjaan terhadap tenaga kerja produktif juga mampu menstimulir usaha ekonomi produktif lainnya sebagai produksi lanjutan dari pengusahaan hutan rakyat, bahkan hutan rakyat juga terbukti mampu meminimalisir dampak krisis moneter.

Untuk meningkatkan peran hutan rakyat dalam perekonomian desa maka perlu adanya intensifikasi pengelolaan hutan rakyat, sehingga hutan rakyat lebih mampu melebarkan spektrum perannya dalam meningkatkan perekonomian khususnya di pedesaan sebagai basis usaha hutan rakyat.

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

207

Makin intensifnya pengusahaan hutan rakyat secara umum akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja dan memberikan kontribusi pendapatan yang lebih luas, karena para pelaku yang terlibat dalam pengusahaan hutan rakyat makin banyak. Dengan terjadinya peningkatan pendapatan dari masing-masing individu yang terlibat dalam pengusahaan hutan maka secara tidak langsung, usaha hutan rakyat ini akan ikut mendongkrak perekonomian pedesaan.

Pengusahaan hutan rakyat dalam perekonomian pedesaan memegang peranan penting baik bagi petani pemilik lahan hutan rakyat maupun untuk tumbuhnya industri pengolahan kayu rakyat. Meskipun demikian, sampai saat ini masih banyak diterapkan apa yang disebut “daur butuh”, yakni umur pohon yang dipanen ditentukan oleh kebutuhan pendapatan. Di masa mendatang sistem pemanenan seperti ini diharapkan akan berubah menjadi sistem pemanenan yang terencana karena semakin meningkatnya permintaan dari industri-industri pengolahan kayu yang berada dekat di daerah sekitar hutan rakyat, seperti industri penggergajian dan industri meubel.

Permintaan kayu rakyat dirasakan semakin meningkat sejak pemerintah memberlakukan moratorium atau jeda balak. Dengan adanya kebijakan tersebut maka pasokan kayu dari hutan negara ke industri pengolahan kayu juga semakin berkurang. Dalam kondisi seperti ini, hutan rakyat muncul menjadi salah satu alternatif sumber pasokan bahan baku kayu.

Menurut Hardjanto (2003) permintaan kayu rakyat terdiri dari tiga macam yaitu: a) permintaan pasar lokal, b) industri menengah yang produknya untuk skop yang lebih luas dan berorientasi ekspor, dan c) industri besar padat modal. Pada industri menengah alat-alat yang digunakan relatif lebih sederhana, serta kwalita dan randemen kayu olahan yang dihasilkan masih rendah. Selain itu masih belum ada standarisasi produk, sehingga terkadang kurang memenuhi atau sesuai dengan permintaan pasar.

9.9 Permasalahan dan Alternatif Solusi

Permasalahan hutan rakyat yang muncul sampai saat ini meliputi empat aspek yaitu: a) produksi, b) pengolahan, c) pemasaran dan d) kelembagaan. Aspek produksi, khususnya tentang struktur tegakan dan potensi produksi, penelitian Hardjanto (2003) menemukan bahwa disatu sisi struktur tegakan kayu rakyat menunjukkan struktur hutan normal, namun disisi lain ternyata pohon-pohon yang dijual mengalami penurunan kelas diameter. Hal ini berarti akan mengancam kelestarian tegakan hutan rakyat, dan sekaligus berarti mengancam pula kelestarian usahanya.

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

208

Aspek pengolahan yang dimaksud disini adalah semua jenis tindakan/perlakuan yang merubah bahan baku (kayu bulat) menjadi barang setengah jadi maupun barang jadi. Masalah terbesar saat ini pada aspek pengolahan adalah masalah jumlah dan kontinuitas sediaan bahan baku.

Sementara itu permasalahan pada aspek pemasaran meliputi beberapa hal antara lain yaitu: sistem distribusi, struktur pasar (market structure), penentuan harga, perilaku pasar (market conduct) dan keragaan pasar (market performance). Kelembagaan yang mendukung pada setiap sub sistem juga masih perlu disempurnakan agar kinerja usaha hutan rakyat secara keseluruhan menjadi lebih baik (Darusman, 2006).

Berdasarkan penelitian Fauzi (2003), permasalahan yang menyangkut pembangunan hutan rakyat dapat dikelompokkan dalam 3 (tiga) kelompok permasalahan yaitu manajemen keproyekan, teknis lapangan dan kelembagaan kelompok tani.

a. Manajemen Keproyekan

Beberapa permasalahan yang terkait dengan manajemen keproyekan diantaranya : Pertama, adanya ketidaksesuaian antara rencana yang disusun oleh masyarakat dengan yang disetujui Pemerintah pusat dalam kegiatan-kegiatan bersifat penting dan strategis, sehingga pada saat proyek berjalan terpaksa dilakukan peninjauan dan penyesuaian.

Hal ini dapat dilihat pada kasus pengadaan bantuan fisik yang kurang sesuai dengan rencana, dimana ada bantuan yang seharusnya diprogramkan tidak bisa dilaksanakan dan terpaksa diganti dengan bantuan lain yang dianggap lebih bermanfaat. Sebagai contoh, paket bantuan Arit dan Parang sebenarnya telah diprogramkan, namun kedua peralatan tersebut dianggap tidak akan bisa digunakan pada areal berawa seperti di daerah Barito Kuala dan sekitarnya, sehingga diambil kebijakan untuk menggantinya dengan Bajak.

Disamping itu dijumpai pula ketidaksinkronan paket bantuan dengan kondisi fisik di lapangan. Misalnya beberapa bantuan yang tidak sesuai dengan kondisi lapangan, seperti pada pembuatan piring tanaman. Di lapangan pembuatan piring tanaman tersebut tidak dapat diterapkan karena kondisi tanah yang tergenang air secara alami, sehingga hal ini diatasi dengan pembuatan tokongan (gundukan tanah berbentuk setengah bola sebagai tempat tanaman pokok) yang dikerjakan sendiri oleh masyarakat.

Kedua, adanya keterlambatan pencairan dana yang telah direncanakan sehingga mengganggu pelaksanaan teknis di lapangan. Hal ini terkait dengan

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

209

kebijakan keproyekan dimana setiap dana yang akan dicairkan maka terlebih dahulu harus ada bukti-bukti pengeluaran uang dan penandatangan sejumlah berita penerimaan barang yang sebenarnya belum diberikan. Jadi terkesan bahwa sebenarnya uang telah dicairkan, padahal sebenarnya tidak. Persyaratan “tandatangan terlebih dahulu” inilah yang sering dikeluhkan petani dan pelaksana proyek, namun kebijakan pusat memang harus seperti itu.

Ketiga, masalah manajemen waktu proyek dimana schedule penanaman bibit seringkali tidak menyesuaikan dengan perubahan musim. Misalnya, waktu penanaman direncanakan pada akkhir musim penghujan, padahal logikanya penanaman biasanya dilakukan pada awal musim penghujan karena pada kondisi tersebut tanaman memerlukan air dalam jumlah yang tidak sedikit., sebab jenis sengon termasuk jenis yang mengkonsumsi air yang cukup banyak (evavotranspirasi tinggi). Dari hasil penelitian Daryono (2000) menunjukkan jenis sengon yang berumur 1 sampai 2 tahun, penelitian selama 1 tahun mencatat kebutuhan air yang cukup tinggi sekitar 89% dari curah hujan 3489 mm/-.

b. Teknis Lapangan

Beberapa permasalahan yang menyangkut teknis di lapangan adalah pertama, kurangnya kegiatan pemeliharaan secara swadaya oleh masyarakat, karena masyarakat sangat tergantung dengan anggaran pemerintah.

Kedua, peranan masyarakat dalam hal-hal yang bersifat strategis dan menentukan masih sangat kurang, dimana hal ini masih didominasi oleh pihak pelaksana proyek. Di sisi lain, tingkat partisipasi masyarakat pada saat berjalannya proyek termasuk tinggi karena mereka terpacu untuk mengejar realisasi fisik dari program hutan rakyat ini, terbukti pada akhir proyek pertumbuhan tanaman mencapai 100%. Jika dihitung secara kasarnya dengan bantuan Rp. 500.000,- petani harus menutupi kekurangan tersebut hingga mencapai Rp. 2.000.000,- per petani, jadi mereka mengupayakan yang Rp. 1.500.000,- lagi. Namun, pada sisi pengambilan keputusan dalam hal-hal yang bersifat strategis dirasakan masih sangat kurang dan cenderung menunggu keputusan dari PKL atau pelaksana proyek.

Dalam hal pembinaan, terutama penyuluhan sangat kurang dirasakan petani. Hal ini dapat dilihat pada data hasil wawancara dengan petani bahwa 85% dari mereka menjawab penyuluhan sangat kurang, kecuali penyuluhan yang dlaksanakan oleh tenaga LSM lapangan. Mereka hanya menerima informasi per oral dari satu petani ke petani yang lain, dimana pada saat dikirimkan beberapa petani untuk mengikuti studi banding di Jawa (pada tahap awal perencanaan) mereka melihat bahwa perkembangan hutan rakyat di Jawa sangat pesat dan mereka ingin menirunya.

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

210

c. Kelembagaan Kelompok Tani

Beberapa permasalahan yang menyangkut kelembagan kelompok tani adalah : (1) Terbatasnya sumberdaya peserta proyek terutama dalam penerapan prinsip intensifikasi pertanian dan optimalisasi lahan; (2) Persepsi sebagian besar masyarakat terhadap istilah Proyek yang dikaitkan dengan bantuan cuma-cuma mengakibatkan adanya kesan keberhasilan bukanlah prioritas utama; dan (3) Kemampuan dan keterampilan manajemen kelompok tani masih relatif rendah, terutama menyangkut penataan keuangan.

Dari aspek kelembagaan ini, berdasarkan wawancara diketahui bahwa kelompok tani binaan tidak semua anggotanya berasal dari desa yang bersangkutan, sehingga sangat kesulitan dalam mengadakan koordinasi dan pertemuan kelompok tani. Tenaga LSM sebagai fasilitator, motivator dan mediator dirasakan petani sudah cukup membantu dalam menjembatani hubungan antara petani dengan kepala desa dan camat supaya persepsi semua pihak dapat disatukan.

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka sebetulnya masalah inti pada kegiatan ini adalah “Pelibatan Masyarakat Lokal Dalam Program Hutan Rakyat Masih Rendah”. Meskipun sebenarnya keswadayaan masyarakat pada saat pelaksanaan proyek itu ada, namun secara keseluruhan dikatakan masih rendah bila dikaitkan dengan upaya-upaya pengembangan Hutan Rakyat selanjutnya (setelah proyek berakhir).

Permasalahan tersebut sebenarnya disebabkan oleh 2 (dua) yaitu faktor di dalam masyarakat (internal factor) dan faktor di luar masyarakat (eksternal faktor).

a. Faktor dalam masyarakat

Faktor-faktor di dalam masyarakat yang menyebabkan keswadayaan masyarakat untuk mengembangkan program Hutan Rakyat masih rendah adalah :

1) Kebanyakan pola pikir masyarakat pedesaan yang lebih mengharapkan bahwa apapun pekerjaan harus mampu menghasilkan “uang” dalam waktu yang tidak terlalu lama. Sementara, proyek seperti ini memerlukan waktu yang relatif lama baru bisa dipungut hasilnya, sehingga menimbulkan keengganan masyarakat peserta untuk mengikuti program ini.

2) Terbatasnya modal usaha masyarakat untuk mengembangkan program Hutan Rakyat, dimana masyarakat desa cenderung bersifat subsisten,

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

211

dimana mencari uang sehari dan digunakan untuk memenuhi kebutuhan pada hari itu juga, sehingga belum ada pikiran menabung untuk hari esok.

3) Ketergantungan kepada ketua kelompok masih kuat, sehingga menyebabkan kurangnya kreatifitas petani karena hanya mengandalkan seseorang yang dianggap lebih pintar dan lebih bisa menguasai keadaan dari yang lain. Hal ini dapat mengakibatkan sikap malas pada anggota kelompok dan kurang memotivasi mereka untuk mengembangkan lahannya.

b. Faktor di luar masyarakat

Faktor-faktor di luas masyarakat yang paling berperan untuk keberhasilan dari pengembangan program Hutan Rakyat adalah pelaksana kegiatan itu sendiri atau dengan istilah “Pelaksana Proyek”. Beberapa penyebab sehingga keswadayaan masyarakat untuk mengembangkan program hutan rakyat masih rendah yang diduga berasal dari faktor luar yaitu :

1) Keberlanjutan progam tidak jelas, termasuk diantaranya kepastian pasar. Hal ini penting menjadi perhatian oleh pelaksana proyek, karena pada beberapa kasus proyek serupa masyarakat tidak mengetahui secara pasti kemana mereka harus menjual kayu nantinya, sehingga kayu-kayu sengon yang telah hampir mendekati periode pemanenan terpaksa ditebang dan diganti dengan tanaman yang lebih komersial seperti Karet.

2) Adanya “oknum” pegawai pemerintah yang dimasukkan sebagai peserta proyek di luar anggota masyarakat desa setempat, sehingga mengurangi jatah bagi anggota masyarakat yang sebenarnya berhak untuk diikutsertakan dalam proyek tersebut.

3) Pembinaan terhadap petani masih kurang, dimana petani merasa pembinaan/penyuluhan dari Dinas Kehutanan masih belum cukup karena belum bisa memahami aspirasi petani. Di samping itu intensitas pertemuan antara pembina/penyuluh lapangan dengan petani masih dirasakan kurang dibanding keingintahuan petani yang sangat besar terhadap informasi selanjutnya dari proyek.

4) Status hasil Hutan Rakyat belum jelas; Hal ini disebabkan kebijakan pemerintah dalam pemungutan hasil hutan yang dibudidayakan oleh rakyat masih terbatas jenisnya. Nantinya apabila panen telah tiba, maka dikhawatirkan petani akan kesulitan dalam memasarkan kayu karena mereka tidak memiliki kapabilitas dalam mengurus dokumen dokumen Tata Usaha Kayu.

5) Kondisi alam yang kurang mendukung; dimana pada musim hujan tanaman mengalami penggenangan air secara alami dan saluran air

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

212

yang ada tidak dapat mengalirkan air. Sebaliknya pada musim kemarau tanah kering dan saluran air tidak dapat menyalurkan air pasang ke arah tanaman. Hal ini menyebabkan pertumbuhan tanaman terhambat (khususnya tanaman semusim).

Secara rinci hasil analisis masalah inti dalam pengembangan Hutan Rakyat dan sebab-sebabnya diperlihatkan pada Gambar 7.

Gambar 7. Skema Masalah Inti dan Sebab-sebab dari Pengembangan Hutan Rakyat

MASALAH INTI

A. SEBAB-SEBAB

Rendahnya Pendapatan Masyarakat

Terbatasnya Modal Usaha Masyarakat

Lahan Usaha Terbatas

Pola Pikir masyarakat yang bersifat subsisten

Manajemen Keproyekan masih belum baik

Belum adanya dana talangan (Saving fund)

Pembinaan terhadap Petani Masih Kurang

Status Pemasaran Hasil Hutan Rakyat Belum Jelas

Adanya Peserta Proyek “Titipan” yang bukan warga setempat

Faktor di

dalam Masyarakat

Faktor di luar

Masyarakat

Pelibatan Masyarakat untuk

Pengembangan

Hutan Rakyat Masih

Rendah

Tingkat Pendidikan dan keterampilan tentang HR Kurang

Kebijakan strategis dalam manajemen proyek masih sentralistik

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

213

3. Akibat-akibat yang ditimbulkan

Masih kurangnya keswadayaan masyarakat untuk mengembangkan program hutan rakyat dapat menimbulkan akibat negatif (resiko) yang tentunya akan menyimpang dari tujuan/sasaran yang diinginkan, sehingga akan membawa kondisi yang merugikan bagi lingkungan ataupun masyarakat itu sendiri. Pada prinsipnya terdapat dua akibat yang relevan yaitu :

a) Sosial Ekonomi budaya ; dapat dicerminkan dari belum tercapainya standar ekonomi/kehidupan yang layak bagi masyarakat dan daya partisipatif serta inisiatif masyarakat masih rendah.

b) Lingkungan SDA ; program Hutan Rakyat merupakan salah satu bagian dari pembangunan kehutanan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas lingkungan melalui percepatan rehabilitasi lahan dan konservasi tanam. Rendahnya keswadayaan masyarakat akan program ini akan berakibat pada kecilnya laju penutupan/rehabilitasi lahan dan produktifitas lahan belum optimal.

Secara rinci analisis permasalahan dalam mengembangkan program Hutan Rakyat dan akibat-akibatnya diperlihatkan pada Gambar 8.

Gambar 8. Masalah Inti dan Akibat-akibat yang dapat ditimbulkan dari adanya Permasalahan Pembangunan Hutan Rakyat

Pelibatan Masyarakat Masih Rendah

Sosekbud

Standar Ekonomi/ Kehidupan yang Layak Masih Belum Tercapai

Daya insiatif dan partisipatif masyarakat masih rendah

Laju Penutupan/ Rehabilitasi Lahan Relatif Kecil

Lingkungan SDA Produktivitas lahan

masih rendah

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

214

4. Alternatif Pemecahan Masalah

a. Manajemen Keproyekan

1) Penetapan rencana kegiatan yang akan dilaksanakan sebaiknya merupakan hasil musyawarah masyarakat dan pelaksana proyek yang difasilitasi oleh tenaga LSM Fasilitator.

2) Mengusahakan dana talangan (saving fund) yang dicadangkan guna mengantisipasi keterlambatan pencairan dana

3) Mengadakan sistem kredit bagi petani, salah satunya dengan cara membuat perjanjian kerjasama (commitment) dengan perusahaan sebagai mitra usaha

4) Perlunya pengaturan waktu proyek sehingga tidak berbenturan dengan perubahan musim dan waktu penanaman padi oleh masyarakat

5) Pelibatan masyarakat dalam setiap tahapan kegiatan mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan proyek.

b. Teknis Lapangan

1) Penyuluhan harus tetap dilaksanakan walaupun proyek sudah berakhir dalam rangka menumbuhkan kesadaran masyarakat akan arti pentingnya penghijauan bagi mereka baik secara ekonomis maupun ekologis

2) Penerapan konsep buttom-up sudah saatnya digalakkan dengan difasilitasi oleh tenaga swadaya masyarakat (LSM)

3) Perlu dilanjutkan upaya diversifikasi tanaman dan tidak melulu hanya Sengon dan MPTS dengan memperhatikan aspek ekonomis, praktis, relatif pendek, disukai masyarakat, ketersediaan dan bernilai ekologis

c. Kelembagaan

1) Pembinaan/penyuluhan pada kegiatan hutan rakyat harus ditingkatkan, baik kualitas maupun kuantitasnya, baik si penyuluh, yang di suluh, maupun apa yang dijadikan bahan penyuluhan. Peningkatan kualitas dan kuantitas penyuluhan, pelatihan dan up grading dengan materi yang aplikatif dan tepat guna, dimana kegiatan ini tentunya melibatkan pihak tenaga penyuluh, fasilitator LSM dan masyarakat itu sendiri

2) Istilah keproyekan sebagai kegiatan bantuan cuma-cuma harus dirubah menuju kepada kesadaran bahwa proyek sifatnya hanya sementara dan pancingan yang nantinya kegiatan selanjutnya

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

215

tumbuh dari kesadaran masyarakat, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengelolaan sampai pembiayaan

3) Perlu dikembangkan kelembagaan kelompok tani sehingga menjadi kelompok tani yang ideal dengan indikator : (a) Kemampuan kelompok dalam merencanakan kegiatan untuk meningkatkan produktivitas usaha tani para anggotnya dengan penerapan rekomendasi yang tepat dan memanfaatkan sumberdaya alam secara optimal dan lestari; (b) Kemampuan melaksanakan dan mentaati perjanjian dengan pihak lain; (c) Kemampuan pemupukan modal dan pemanfaatan pendapatan secara rasional; (d) Kemampuan meningkatkan hubungan yang melembaga antara kelompok tani dengan pihak lain; dan (e) Kemampuan menerapkan teknologi dan pemanfaatan informasi serta kerjasama kelompok yang dicerminkan oleh tingkat produktivitas dari usaha tani anggotanya.

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

216

Kehutanan Masyarakat

HUTANTANAMAN RAKYAT

BAB 10

217

10.1 Pendahuluan

Hutan merupakan salah satu ekosistem sumberdaya alam hayati yang dapat diperbaharui, mempunyai peran penting dalam perekonomian nasional dan berfungsi pula sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan. Oleh karena itu keberadaan hutan sangat strategis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Keadaan seperti ini hanya dimungkinkan bila hutan dikelola secara lestari dengan mendasarkan pada karakteristik dan sistem mekanisme internal hutan sebagai ekosistem.

Sejalan dengan tuntutan reformasi, pengelolaan hutan dilakukan dengan menggunakan paradigma berbasis masyarakat agar diperoleh rasa kebersamaan, pemberdayaan dan keadilan, seluruh komponen masyarakat merasa memilik dan ikut menjaganya. Upaya ini dharapkan dapat menjadikan hubungan yang harmonis antara hutan, pengelola hutan, dan pemerintah. Arah yang dituju adalah semangat untuk lebih mensejahterakan masyarakat sekitar hutan, dan menjadi lebih berdaya

Kebutuhan kayu untuk bahan baku industri di Indonesia yang tercatat resmi mencapai 50-60 juta m3 per tahun, di mana sekitar 25 juta m3 adalah untuk keperluan industri pulp & kertas. Sebagian besar kebutuhan kayu bulat tersebut masih dipasok dari hutan alam. Padahal kemampuan hutan produksi alam dalam penyediaan kayu bulat sudah semakin terbatas. Untuk tahun 2006 hutan produksi alam yang dikelola secara lestari diperkirakan hanya mampu menyediakan kayu bulat 8,2 juta m3.

Impor kayu bulat untuk memenuhi bahan baku industri tampaknya kurang memadai. Selain persaingan harga dan permintaan dengan negara lain, volume kayu bulat daun lebar yang resmi diperdagangkan antar negara hanya 44 juta m3 per tahun di mana volume kayu bulat tropis-nya hanya 15 juta m3.

Bahan baku pengganti dari perkebunan, seperti kayu karet, batang kelapa sawit dan batang kelapa, belum cukup untuk menutup kekurangan kebutuhan kayu tersebut dan masih belum banyak diminat oleh para penggunanya.

Teori dan Implementasi

Sementara itu pembangunan hutan tanaman industri (HTI) masih berjalan lambat dan kurang memuaskan daya hasil (produktivitas) serta mutu tegakannya. Dari 9 juta hektar kawasan hutan yang telah diberikan ijin tetap, ijin sementara serta pencadangan untuk pembangunan HTI, ternyata baru sekitar 3 juta ha yang telah dibangun tanamannya.

Kemampuan HTI menghasilkan kayu juga masih rendah Tahun 2004 misalnya, volume kayu bulat yang dihasilkan dari HTI hanya 7,3 juta m3. Bandingkan dengan New Zealand yang hutan tanamannya sekitar 1,5 juta hektar tetap setiap tahun mampu menghasilkan kayu bulat sekitar 20 juta m3.

Untuk dapat memenuhi kebutuhan bahan baku kayu sekaligus mengurangi tekanan terhadap pembalakan hutan alam, maka pembangunan hutan tanaman harus ditingkatkan dan dipercepat luasan serta mutu tegakannya. Apabila selama ini pembangunan HTI hanya dilakukan oleh perusahaan swasta atau badan usaha milik negara, maka untuk mempercepat pembangunan hutan tanaman sekaligus menyediakan kesempatan kerja dan berusaha bagi masyarakat, terutama yang bermukim di dalam dan sekitar hutan, pemerintah perlu merancang program pembangunan hutan tanaman oleh rakyat.

Hutan tanaman oleh rakyat tersebut pada dasarnya dapat dikembangkan melalui dua skema. Skema pertama adalah hutan tanaman rakyat, yaitu hutan tanaman yang dibangun oleh masyarakat di kawasan hutan negara. Skema kedua adalah hutan tanaman yang dibangun oleh masyarakat di lahan milik, yang selama ini sudah dikenal dengan istilah hutan rakyat.

Dalam PP 06 tahun 2007, Hutan Tanaman Rakyat (HTR) didefinisikan sebagai tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh perseorangan atau koperasi untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi. Ketentuan umum di dalam PP 6/2007 memberikan batasan yang tegas tentang HTR, sehingga khalayak bisa memahami perbedaan antara HTR dengan Hutan Kemasyarakatan (HKM) dan Hutan Rakyat. HTR hanya akan dikembangkan pada areal kawasan hutan produksi yang tidak dibebani hak. HKM (dalam PP 6/2007 memungkinkan dikembangkan di hutan konservasi (kecuali Cagar Alam dan zona inti Taman Nasional) kawasan hutan produksi, dan hutan lindung. Sedangkan Hutan Rakyat jelas-jelas dibangun di luar kawasan hutan negara atau berada pada hutan hak (hutan yang beradapada tanah yang dibebani hak atas tanah).

Alokasi penetapan areal HTR pada kawasan hutan produksi pada kenyataannya masih banyak yang bermasalah (belum clear and clean), antara lain adanya sebagai akibat kegiatan okupasi kawasan yang dilakukan oleh

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

218

masyarakat maupun badan usaha pertanian, perkebunan, pemukiman dan sebagainya. Untuk itu diharapkan pembangunan HTR dapat menjadi solusi penyelesaian konflik.

Program ini menerapkan silvikultur dalam rangka menjamin kelestarian sumber daya hutan. Program ini sebuah program baru dari departemen kehutanan sebagai upaya pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar kawasan hutan produksi yang tidak produktif. Kawasan yang memenuhi syarat untuk bisa menjadi lokasi HTR adalah lahan kosong dan semak belukar.

Jadi sangat jelas bahwa program HTR setidaknya mempunyai 2 tujuan utama, yaitu : membuka akses masyarakat terhadap sumber daya hutan (fungsi ekonomi) dan merehabilitasi kawasan hutan yang kosong (fungsi ekologi). Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK-HTR) juga dimaksudkan untuk memberikan akses hukum, akses ke lembaga keuangan dan akses pasar yang lebih luas kepada masyarakat dalam pemanfaatan hutan produksi. Kementerian Kehutanan telah mengalokasikan hutan produksi tidak produktif untuk usaha hutan Tanaman Rakyat (HTR) seluas 5,4 juta ha. Hutan produksi tidak produktif seluas 5,4 juta ha tersebut tersebar di 8 propinsi yang ada di 102 kabupaten di daratan Sumatera dan Kalimantan, merupakan alokasi untuk tahap pertama. Untuk realisasi pelaksanaannya terlebih dahulu akan dilakukan klarifikasi kondisi riil di lapangan.

Pada tahun 2010 Kementrian Kehutanan (Kemenhut) menargetkan akan membuka 1,2 juta ha untuk HTR, terutama untuk kawasan hutan di luar Jawa seperti Kalimantan dan Sumatra. Sekarang harus adil, rakyat di sekitar hutan juga harus bisa menikmati manfaat dari hutan. Jika masing-masing kepala keluarga menerima 5 hingga 15 hektar dan ditanami pohon sengon misalnya, ini tentu bisa menciptakan kesejahteraan yang luar biasa bagi rakyat di sekitar hutan.

Alokasi lahan hutan di daratan Sumatera dan Kalimantan tersebut dengan pertimbangan mengingat konsentrasi industri perkayuan terletak di kedua daratan dimaksud. Usaha hutan tanaman rakyat dimaksud diharapkan akan melibatkan 360.000 kepala keluarga dengan luasan 15 hektar per kepala keluarga. Setiap tahun direncanakan realisasi rata-rata 1,4 juta hektar.

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

219

10.2 Prinsip Penyelenggaraan HTR

Konsep pemberian akses yang lebih luas kepada masyarakat dalam pembangunan hutan tanaman, disusun dari proses pembelajaran Departemen Kehutanan atas program maupun proyek Pemberdayaan Masyakat yang selama ini ada, misalnya program Bina Desa, program kemitraan seperti Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM)/Mengelola Hutan Bersama Masyarakat (MHBM)/Hutan Rakyat Pola Kemitraan (HRPK) oleh HPH/IUPHHK-HA/HT, proyek-proyek kerjasama teknik luar negeri seperti Social Forestry Dephut-GTZ di Sanggau Kalimantan Barat, Multistakeholders Forestry Programme Dephut-DFID dan beberapa proyek pemberdayaan masyarakat yang ada di Departemen Kehutanan.

Hasil pembelajaran tersebut memberikan kerangka filosofis atas pemberdayaan ekonomi masyarakat untuk mengatasi kemiskinan melalui pemberian akses yang lebih luas ke hukum (legalitas), ke lembaga keuangan dan ke pasar.

Selain kerangka filosofisnya, diperoleh pula prinsip-prinsip pemberdayaan masyarakat (the principles) yaitu:

a. Masyarakat mengorganisasikan dirinya berdasarkan kebutuhan (people organized themselves based on their necessity) yang berarti pemberdayaan hutan beserta masyarakatnya ini bukan digerakkan oleh proyek ataupun bantuan luar negeri karena kedua hal tersebut tidak akan membuat masyarakat mandiri dan hanya membuat “kebergantungan” masyarakat. Pembangunan hutan tanaman rakyat di bangun secara mandiri dan tidak bergantung pada proyek ataupun bantuan. Prinsip ini dikembangkan dalam kelembagaan kelompok sehingga ada tanggung renteng atas kewajiban terhadap lahan/hutan, keuangan dan kelompok.

b. Kegiatan pembangunan HTR bersifat padat karya (labor-intensive) sehingga kegiatan ini tidak mudah ditunggangi pemodal (cukong) yang tidak bertanggung jawab

c. Pemerintah memberikan pengakuan/rekognisi dengan memberikan aspek legal berupa SK IUPHHK-HTR sehingga kegiatan masyarakat yang tadinya informal di sektor kehutanan dapat masuk ke sektor formal ekonomi masyarakat sehingga bebas dari pemerasan oknum birokrasi dan premanisme pasar.

Ketiga prinsip di atas dikonsepkan dan diimplementasikan dalam pembangunan HTR dimana masyarakat akan menjadi ”owner” IUPHHK-HT dan sebagai pelaku langsung.

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

220

10.3 Sasaran program HTR

Dalam Workshop Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat yang diadakan pada tanggal 21-22 Februari 2007. Menteri Kehutanan dalam sambutannya menegaskan, Hutan Tanaman Rakyat sangat penting untuk segera diwujudkan sebagai kebijakan Pemerintah untuk memberikan akses hukum, akses ke lembaga keuangan dan akses pasar yang lebih luas kepada masyarakat dalam pemanfaatan hutan produksi dalam kerangka mensejahterakan masyarakat dan mewujudkan pengelolaan hutan lestari.

Pemberian akses yang lebih luas ke hukum pada dasarnya memberikan legalitas masyarakat setempat dalam memperoleh izin pemanfaatan hutan produksi terutama dalam pembangunan hutan tanaman mengingat begitu luasnya hutan-hutan produksi yang rusak akibat kekeliruan dalam pengusahaan atau pemanfaatannya, perambahan dan pencurian kayu, kebakaran dan dampak negatif euphoria otonomi daerah.

Sasaran Program HTR adalah:

a. Masyarakat yang berada di dalam dan sekitar hutan yang merupakan kesatuan komunitas sosial yang didasarkan pada persamaan mata pencaharian yang bergantung pada hutan, kesejarahan, keterikatan tempat tinggal, serta pengaturan tata tertib kehidupan bersama dalam wadah kelembagaan

b. Kawasan hutan produksi yang tidak produktif, tidak dibebani hak/izin, letaknya diutamakan dekat dengan industri hasil hutan dan telah ditetapkan pencadangannnya sebagai lokasi HTR oleh Menteri Kehutanan. Tak dibenarkan adanya kegiatan IPK dari hutan alam dan atau IPK dari hasil reboisasi. Kegiatan yang menjadi sasaran program HTR berupa fasilitasi yang dilakukan pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya antara lain melakukan pengakuan status legalitas, penguatan kelembagaan, bimbingan dan penyuluhan teknis, pendidikan dan latihan, akses ke pembiayaan dan akses ke pasar.

c. Kegiatan IUPHHK-HTR adalah pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman yang meliputi tahapan kegiatan penyiapan lahan, pembibitan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan dan pemasaran hasil hutan kayu dari HTR.

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

221

10.4 Pola Penyelenggaraan HTR

Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P23/Menhut-II/2007 mengatur Pola penyelenggaraan HTR mencakup pola mandiri, pola kemitraan, pola developer. HTR Pola Mandiri adalah HTR yang dibangun oleh Kepala Keluarga pemegang IUPHHK (Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu) - HTR. Masyarakat Setempat membentuk kelompok Pemerintah mengalokasikan areal dan SK IUPHHK HTR untuk setiap individu dalam kelompok dan masing-masing ketua kelompok bertanggung jawab atas pelaksanaan HTR, pengajuan dan pengembalian kredit, pasar, dan pendampingan dari pemerintah/Pemda.

HTR Pola Kemitraan adalah HTR yang dibangun oleh Kepala Keluarga pemegang IUPHHK-HTR bersama dengan mitranya berdasarkan kesepakatan bersama dengan difasilitasi oleh pemerintah agar terselenggara kemitraan yang menguntungkan kedua pihak. Pemerintah menerbitkan SK IUPHHK-HTR ke individu dan menetapkan mitra. Mitra bertanggung jawab atas pendampingan, input/modal, pelatihan dan pasar. HTR Pola Developer adalah HTR yang dibangun oleh BUMN atau BUMS dan selanjutnya diserahkan oleh Pemerintah kepada Kepala Keluarga pemohon IUPHHK-HTR dan biaya pembangunannya menjadi tanggung jawab pemegang IUPHHK-HTR dan dikembalikan secara mengangsur sejak Surat Keputusan IUPHHK-HTR diterbitkan.

Sesungguhnya, kemitraan harus dibangun bukan saja pada HTR pola kemitraan, tetapi juga untuk HTR pola mandiri dan pola developer. Kata kemitraan berasal dari kata mitra yang berarti teman. Hubungan kemitraan harus dilandasi dengan ke-ikhlas-an bagi pihak yang bermitra untuk membangun kemitraan yang kuat. Kemitraan yang dilandasi dengan ke-ikhlas-an akan memperoleh keuntungan yang berkeadilan bagi kedua belah pihak.

Namun, agar terjadi suatu keuntungan yang berkeadilan tersebut, diperlukan kekuatan yang berimbang diantara pihak yang bermitra. Selama kekuatan masing-masing pihak tersebut tidak berimbang, maka kemitraan hanya bersifat semu dan itu sangat rapuh. Pada giliran, hanya satu atau dua pihak saja yang diuntungkan, sementara pihak lainnya akan dirugikan.

Salah satu pihak yang mempunyai posisi yang lemah dalam kemitraan HTR ini adalah rakyat. Oleh karena itu, rakyat mutlak harus diperkuat kelembagaan dan pengetahuan mereka. Pengembangan HTR pola kemitraan ini minimal ada dua pihak yang bermitra, yaitu pihak perusahaan dan rakyat. Bahkan, HTR pola mandiri-pun sangat penting bermitra dengan perusahaan. Tujuannya adalah untuk memasarkan hasil panen HTR tersebut. Perusahaan itulah yang mengolah hasil panen. Kegagalan pengembangan sektor kehutanan umumnya, karena belum jelasnya pemasaran produk kehutanan yang dikembangkan tersebut (Udiansyah, 2008)

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

222

Jenis tanaman pokok yang bisa dikembangkan berupa tanaman hutan berkayu, ataupun tanaman hutan berkayu yang dikombinasikan dengan tanaman budidaya tahunan yang berkayu. Tanaman hutan berkayu, antara lain (1) kayu pertukangan (Meranti, jati, sengon, mahoni, dll); dan (2) kayu serat (gamelina, akasia, dll).

Sedangkan tanaman budidaya tahunan berkayu adalah jenis MPTS, antara lain: karet, nangka, kemiri, rambutan, mangga, dll. persentase komposisi jenis tanaman adalah tanaman hutan berkayu (70%) dam tanaman budidaya tahunan berkayu (30%). Komposisi ini tidak termasuk kegiatan tumpangsari tanaman semusim.

10.5 Pembiayaan HTR dan Alternatif Pengembaliannya

Pemerintah juga telah mengalokasikan dana untuk pembangunan HTR sebesar 9,7 triliun hingga tahun 2014. Dana tersebut disediakan untuk pengembangan HTR bagi rakyat yang diambilkan dari Dana Reboisasi Rekening Pembangunan Hutan (DRRPH) dan dikelola oleh Badan Pembiayaan Pembangunan Hutan (BPPH). setiap kelompok akan menerima Rp50 juta untuk membuat Kebun Bibit Rakyat. Selain itu juga ada program bantuan Rp 1,3 juta per hektar untuk digunakan melakukan penanaman pohon di lingkungan masing-masing sambil menunggu bibit siap tumbuh.

Sumber dana HTR berasal dari (1) Dana Reboisasi yang ada pada rekening pembangunan hutan yang telah diatur dalam SKB Menteri Keuangan dan Menteri Kehutanan dan (2) Pendapatan dari jasa layanan publik dan hibah tidak terkait dari masyarakat atau badan lain.

Pembiayaan pengembangan HTR dengan memberi pinjaman uang dengan bunga lunak kepada kelompok tani hutan atau koperasi tani hutan. Ini merupakan kemitraan dalam hal pembiayaan HTR. Permasalahan diduga akan muncul pada saat pengembalian pinjaman, terutama jika usaha ini tidak berhasil atau merugi. Oleh karena itu, skema pengembalian pinjaman perlu diatur dengan jelas agar rakyat yang terlibat dalam kegiatan ini memperoleh manfaat yang signifikan.

Ada dua skema pengembalian pinjaman, yaitu sistem konvensional (bunga bank) dan sistem bagi hasil. Sistem konvensional pasti tidak menarik bagi pengembangan HTR, kecuali bunga bank pinjaman tersebut sangat rendah (di bawah lima persen). Inipun masih ada peluang ketidakberhasilan HTR, karena sangat memungkinkan di-investasi-kan ke sektor lain.

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

223

Sistem Konvensional. Untuk menghitung sistem konvensional ini adalah dengan mengetahui biaya pembangunan HTR, tingkat suku bunga, dan lamanya rotasi tebangan.

Menurut Udiansyah (2008) berdasarkan Biaya Pembangunan HTR PT. Hutan Rindang Banua (HRB) adalah Rp. 6.198.409,- (Jumlah ini lebih murah dibandingkan dengan Standard biaya Pembangunan HTR, Peraturan Menhut No. P. 48/2007, Rp. 6.471.600,-). Perhitungan selanjutnya menggunakan data dari PT HRB. Dengan tingkat suku bunga 20 % dan daur tujuh tahun, maka secara sederhana pada akhir tahun ketujuh modal awal tersebut akan menjadi Rp. 22.210.020,-. Jumlah tersebut akan bertambah seiring dengan meningkatnya tingkat suku bunga.

Berapa keuntungan yang didapat oleh rakyat, hal ini sangat tergantung dengan berapa jumlah volume kayu yang dihasilkan HTR tersebut. Secara finansial kegiatan HTR ini layak dilaksanakan apabila skenario sesuai dengan kenyataannya. Panen kayu harus 185 meter kubik, harga kayu Rp. 460.000,-/m3, tingkat suku bunga 20 %, dan lama daur 7 tahun. Dengan skenario tersebut pendapatan kotor petani adalah Rp. 39.764.980 dalam satu rotasi atau Rp 5,68 juta per tahun. Pendapatan bersih petani pada nilai sekarang adalah Rp. 1.585.382,- per hektar per tahun. IRR hampir mencapai 41,42%.

Angka-angka tersebut sangat baik ditinjau dari aspek finansial. Variabel dalam skenario tersebut yang sangat berpengaruh adalah hasil panen kayu dan tingkat suku bunga. Harga kayu diduga akan terus bertambah sejalan dengan meningkatnya kebutuhan barang yang berasal dari kayu. Namun, hasil panen kayu sangat tergantung dengan sistem silvikultur dan jenis dan kualitas bibit yang digunakan. Jika harga (Rp. 460.000,-) dan hasil panen hanya 80 meter kubik, dan tingkat suku bunga disesuaikan dengan program KUR (Kredit Usaha Rakyat), yaitu 16%. Maka, pendapatan petani bersih petani sekarang menurun menjadi Rp. 429.634,- per tahun.

Namun, jika harga tetap Rp. 460.000,- per meter kubik dan tingkat suku bunga 16%, sementara hasil panen kurang dari 55 meter kubik per hektar. Maka, petani tidak mendapat apa-apa secara finansial. Hasil panen 185 meter kubik per hektar adalah suatu data yang sangat optimis. Data empiris hasil penelitian menunjukkan hanya hasil tebangan di PT HRB kurang dari 100 meter kubik per hektar (Barkaturrahim, 2003). Jika, pengembangan HTR ini secara finansial dan ekonomi mempunyai prospek yang sangat baik dan perlu mendapat dukung semua pihak.

Berdasarkan simulasi tersebut, maka jelas bahwa sensitivitas pengembangan HTR ini sangat tinggi. Oleh karena itu diperlukan insentif

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

224

yang menarik dari pemerintah, diantaranya: jenis dan kualitas bibit serta tingkat subsidi suku bunga. Seandainya tingkat suku bunga bisa nol persen, maka pengawasan yang ketat agar penyaluran kredit tersebut tepat guna dan tepat sasaran dapat terjamin.

Dalam kemitraan ini, PT HRB sebagai penyedia dana dan petani sebagai pengelola dana. Sebagaimana Tabel 1, total biaya dan pendapatan adalah Rp. 22.210.020,- dan Rp. 61.975.000,-. Dengan demikian total pendapatan sebesar Rp. 53.139.907,-. Dari pendapatan tersebut dibagi menjadi 40% untuk petani atau 21.255.963 dan 60% untuk perusahaan yaitu Rp. 31.883.944,-. Pendapatan tersebut tidak memperhitungkan tingkat suku bunga. Jika tingkat suku bunga diperhitungkan sebesar 20 % maka pendapatan petani menurun tajam menjadi Rp. 847.450,- atau hanya Rp. 70.621,- per bulan. Jika, hasil panen hanya 80 meter kubik per hektar, maka pendapatan petani hanya menjadi Rp. 286.496 per hektar per tahun atau Rp. 23.874 per hektar per bulan.

Berdasarkan Peraturan Kepala Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan No. P.01/2008, disebutkan bahwa Pengembalian pinjaman (pokok dan bunga) bagi debitur HTR dilakukan sekalugus setelah panen. Untuk HTI (HTR belum diatur) pembayaran bunga pinjaman dlakukan mulai tahun ke empat sejak pinjaman. Ketentuan ini diiasumsikan berlaku juga untuk HTR. Andai saja kondisi HTR yang ditanam menghasilkan sama dengan pola sebelumnya, maka petani akan memperoleh pendapatan bersih sekarang sebesar Rp. 1.894.038,- per hektar per tahun. Namun, pendapatan penyedia dana (Departemen Kehutanan) hanya Rp. 224.586,-. Jika, hasil panen hanya 80 meter kubik maka pendapatan petani HTR turun tajam menjadi hanya Rp. 491.653,- sementara pendapatan penyedia dana tetap.

Karena, program HTR ini telah mengakomodir subsidi bunga, sehingga pendapatan penyedia dana sangat kecil hanya Rp. 224.586,-. Hal ini tidak akan menghasilkan sumber pembiayaan lain, kecuali hanya sumber dana dari Departemen Kehutanan (Dana Reboisasi Rekening Pembangunan Hutan). Oleh karena itu, perlu dicari skema yang kedua belah pihak saling menguntungkan.

Sistem Bagi Hasil. Ide dasar pengembangan prinsip syariah pada perbankan didasari keinginan umat muslim untuk menjadi muslim yang kaffah. Dengan benar-benar menjalankan syariah Islam dalam setiap aspek kehidupannya, termasuk hal-hal yang berkaitan dengan muamalah. Dengan adanya doktrin dalam syariah Islam yang mengatakan bahwa bunga bank adalah haram karena termasuk riba. Sehingga diperlukan alternatif operasional perbankan yang berdasarkan syariah. Teknik-teknik finansial

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

225

yang dikembangkan dalam perbankan syariah adalah teknik-teknik finansial yang tidak didasarkan bunga, tetapi didasarkan pada profit and loss sharing principle (PLS).

Perbankan tanpa bunga sebagai lembaga intermediasi mulai diakui dalam Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan yang aturan pelaksanaannya diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 72 tahun 1992 tentang Bank berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Pengertian prinsip syariah berkaitan dengan pembiayaan bagi hasil adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara Sumber Pendanaan dan pihak lain untuk pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah

Pendanaan syariah berupa transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah. Secara makro, pembiayaan bertujuan untuk: (a) Peningkatan ekonomi umat, artinya : masyarakat yang tidak dapat akses secara ekonomi, dengan adanya pembiayaan mereka dapat melakukan akses ekonomi. Dengan demikian dapat meningkatkan taraf ekonominya. (b) Tersedianya dana bagi peningkatan usaha, artinya: untuk pengembangan usaha membutuhkan dana tambahan. Dana tambahan ini dapat diperoleh untuk melakukan aktivitas pembiayaan. Pihak yang surplus dana menyalurkan kepada pihak minus dana, sehingga dapat tergulirkan. (c) Meningkatkan produktivitas, artinya : adanya pembiayaan memberikan peluang bagi masyarakat usaha mampu meningkatkan daya produksinya. Sebab upaya produksi tidak akan dapat jalan tanpa adanya dana. (d) Membuka lapangan kerja baru, artinya: dengan dibukanya sektor-sektor usaha melalui penambahan dana pembiayaan, maka sektor usaha tersebut akan menyerap tenaga kerja. Hal ini berarti menambah atau membuka lapangan kerja baru. (e) Terjadi distribusi pendapatan, artinya: masyarakat usaha produktif mampu melakukan aktivitas kerja, berarti mereka akan memperoleh pendapatan dari hasil usahanya. Penghasilan merupakan bagian dari pendapatan masyarakat. Jika ini terjadi maka akan terdistribusi pendapatan.

Mekanisme perhitungan bagi hasil yang diterapkan di dalam perbankan syariah terdiri dari dua sistem, yaitu: Profit Sharing dan Revenue Sharing. Profit sharing menurut etimologi Indonesia adalah bagi keuntungan. Dalam kamus ekonomi diartikan pembagian laba. Profit secara istilah adalah perbedaan yang timbul ketika total pendapatan (total revenue) suatu perusahaan lebih besar dari biaya total (total cost). Keuntungan usaha dalam dunia bisnis bisa negatif, artinya usaha merugi, positif berarti ada angka lebih sisa dari pendapatan dikurangi biaya-biaya, dan nol artinya antara pendapatan dan biaya menjadi balance. Keuntungan yang dibagikan adalah keuntungan bersih (net profit) yang merupakan kelebihan dari selisih atas pengurangan total cost terhadap total revenue.

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

226

Sementara, Revenue sharing berarti pembagian hasil, penghasilan atau pendapatan. Dalam revenue sharing, perhitungan bagi hasil didasarkan kepada total seluruh pendapatan yang diterima sebelum dikurangi biaya-biaya yang telah dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan tersebut.

Sistem revenue sharing berlaku pada pendapatan bank yang akan dibagikan dihitung berdasarkan pendapatan kotor (gross sales), yang digunakan dalam menghitung bagi hasil untuk produk pendanaan bank. Di dalam revenue terdapat unsur-unsur yang terdiri dari total biaya (total cost) dan laba (profit). Pada umumnya dalam praktek, bank syariah mempergunakan Revenue Sharing, hal ini sebagai salah satu upaya untuk mengurangi resiko penyelewengan yang mungkin dilakukan oleh mudharib.

Resiko yang terdapat pada mudharabah, terutama pada penerapannya dalam pembiayaan relatif tinggi, diantaranya: Side streaming, nasabah menggunakan dana itu buka seperti dalam kontrak. Lalai dan kesalahan yang disengaja. Penyembunyian keuntungan oleh nasabah bila nasabahnya tidak jujur. Pada dasarnya para fuqaha berpendapat bahwa dalam akad mudharabah tidak perlu dan tidak boleh mensyaratkan agunan sebagai jaminan. Hal ini karena mudharabah bukan bersifat hutang melainkan bersifat kerjasama dengan jaminan kepercayaan antara shahibul maal dan mudharib untuk berbagi hasil. Hukum ini sangat sesuai dengan pengembangan HTR yang tidak memerlukan agunan.

Sebaliknya, dalam sistem konvensional agunan merupakan syarat yang mutlak. Selain agunan yang tidak dipersyaratkan, tujuan dari pembiayaan pengembangan HTR bukan hanya untuk merehabilitasi hutan dan mensuplai bahan baku industri, pembiayaan juga bertujuan: 1) peningkatan ekonomi rakyat, 2) tersedianya dana bagi peningkatan usaha rakyat, 3) meningkatkan produktivitas, 4) membuka lapangan kerja baru, dan 5) terjadi distribusi pendapatan. Dengan demikian, keuntungan bagi rakyat juga perlu mendapat perhatian serius.

Ada beberapa skim di dalam prinsip syariah, antara lain: pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak Bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).

Dalam pengembangan HTR, penyedia dana (shahibul maal) adalah Departemen Kehutanan atau perusahaan pemegang IUPHHK. Pengelola dana

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

227

(mudharib) adalah rakyat atau petani. Sistem bagi hasil mana yang diimplementasikan, tergantung dengan kesepakatan kedua belah pihak yang bermitra. Berikut disajikan pola Mudharabah dan Murabahah, yang dianalisis sesuai untuk diimplentasikan dalam pengembangan HTR.

Pola Bagi Hasil Mudharabah. Dengan variabel yang sama dengan pola bagi hasil PT HRB, maka pola ini akan menghasilkan Rp 1,70 juta, dan Rp. 1,48 juta per tahun, untuk masing-masing ratio bagi hasil 80:20 dan 70:30, untuk petani dan pengelola. Bagi hasil laba dibayarkan pada akhir rotasi (7 tahun). Jika, hasil panen hanya 80 meter kubik per hektar, maka pendapatan petani bersih sekarang menjadi Rp. 572.992 per hektar per tahun.

Pola bagi Hasil Murabahah. Pola ini adalah petani mengangsur setiap bulan kepada Departemen Kehutanan, sebagaimana pola developer. Dengan jumlah dana yang diperlukan untuk membangun satu hektar HTR, sebesar Rp. 6.198,409,-. Margin penyedia dana sudah ditentukan yaitu 20% atau setara Rp. 5.361.612,-. Sehingga jumlah yang harus dikembalikan oleh petani adalah Rp. 11.562.021,-. Jumlah tersebut dibagi jumlah bulan dalam satu rotasi HTR yaitu 84 bulan. Dengan demikian, petani harus mengangsur sebesar Rp. 137.643,- per bulan. Implementasi sistem ini, petani akan memperoleh pendapatan bersih sebesar Rp. 40.641.579,- per rotasi HTR atau Rp. 1.620.331 per tahun bersih sekarang. Jika, hasil panen hanya 80 meter kubik per hektar, maka pendapatan petani bersih sekarang menjadi hanya Rp. 217.946 per hektar per tahun.

Kondisi yang diimplementasikan untuk masing-masing sistem sama. Kondisi tersebut adalah modal awal Rp. 6.198,409,-, hasil panen 185 meter kubik per hektar, tingkat suku bunga 20%, lama rotasi adalah 7 tahun, dan harga kayu Rp. 335.000,- per meter kubik. Pendapatan petani masing-masing sistem per bulan disajikan pada Tabel 2.

Pendapatan ini merupakan pendapatan bersih sekarang atau Net Present Value (NPV). Tabel 2 tersebut menjelaskan bahwa Pola Bagi Hasil PT HRB, menunjukkan bahwa pendapatan petani paling kecil dibandingan pola lainnya, sementara pendapatan penyedia dana paling besar.

Sebaliknya, Pola HTR merupakan pola yang menghasilkan pendapatan petani paling besar, namun pendapat penyedia dana paling kecil. Pola bagi hasil Mudharabah dan Murabahah menghasilkan pendapatan petani di atas dari Pola Konvensional dan Pola HRB, namun di bawah Pola HTR. Tetapi, ketika hasil panen tidak sesuai harapan, misalnya, hanya 80 meter kubik per hektar. Maka, pendapatan petani pola Mudharabah menjadi yang terbesar (Rp. 572.992,-), sementara pendapatan penyedia dana (Rp. 214.872) tidak terlalu jauh berbeda dengan pola HTR (Rp. 224.586,-), khususnya untuk ratio bagi hasil 70 : 30 untuk petani dan penyedia dana.

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

228

Pendapatan petani tersebut secara finansial tidak terlalu menarik, apalagi HTR merupakan satu-satunya pekerjaan petani. Akan tetapi, walaupun pendapatan petani pola bagi hasil PT HRB kecil, namun sangat menarik minat petani sebagaimana disampaikan Manajemen PT HRB pada presentasi di Hotel Jelita, tanggal 28 Oktober 2008. Hal tersebut dapat dimengerti, karena perusahaan yang menyediakan modal dan mengerjakan semuanya, dan tiba-tiba pada akhir tahun ke tujuh petani mendapat bagian dari hasil panen.

Bahkan menurut informasi dari staf Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kotabaru, areal penanaman tersebut bukan pada lahan masyarakat, tetapi pada areal hutan produksi yang bukan areal IUPHHK-HTI PT HRB.

Memang secara finansial pengembangan HTR ini tidak terlalu menarik. Apalagi kayu hasil panen tidak sesuai dengan harapan. Namun, sesungguhnya progam HTR ini mempunyai nilai ekonomi yang sangat besar. Nilai tersebut adalah petani yang bekerja di lahan HTR mereka itu. Jika pendapatan itu dihitung maka ini suatu program yang sangat besar manfaatnya bagi masyarakat, dunia kehutanan, dan perekonomian Indonesia.

Sesungguhnya, hampir semua pembiayaan untuk pengembangan HTR dapat merupakan pendapatan bagi petani, misalnya penyiapan lahan, penanaman, pemeliharaan, dan pengamanan. Dalam pemeliharaan, yang tidak mungkin menjadi pendapatan masyarakat adalah bahan kimia (herbisida). Bahkan, upah penebangan bisa menjadi pendapatan masyarakat. Jika pengeluaran pembangunan HTR dihitung sebagai pendapatan masyarakat, maka pendapatan rakyat akan menjadi tinggi. Bahkan jika, hasil panen hanya 80 meter kubik per hektar pendapatan petani masih Rp. 1.704.467 per tahun.

Dari sistem-sistem di atas, Pola Bagi Hasil Mudharabah dapat diterapkan pada HTR. Pola ini sangat membantu petani saat hasil panen tidak sesuai harapan dan masih memberikan harapan pendapatan bagi petani. Selain itu, ada beberapa alasan: a) petani tidak punya agunan seperti pada sistem konvensional dan persyaratan yang diatur program HTR, b) kalaupun tidak memerlukan agunan petani kesulitan mengembalikan modal ketika hasil panen tidak sesuai harapan, dan c) sistem ini memberikan keuntungan yang baik bagi petani.

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

229

10.6 Proses permohonan IUPHHK HTR

Untuk memperoleh IUPHHK HTR, perseorangan ataupun koperasi harus mengajukan permohonan kepada Menteri Kehutanan. Mekanisme pemberian IUPHHK-HTR pada dasarnya mengikuti kegiatan sebagai berikut:

A. Permohonan IUPHHK-HTR dari perorangan diajukan kepada Bupati/walikota melalui Kepala Desa, sedangkan permohonan dari koperasi diajukan kepada Gubernur melalui Bupati/walikota dengan tembusan kepada kepala desa.

b. Berdasarkan permohonan dari perorangan dan tembusan permohonan dari koperasi, kepala desa melakukan verifikasi atas keabsahan persyaratan permohonaan

c. Kepala desa menyampaikan rekomendasi hasil verifikasi keabsahan persyaratan permohonan kepada Bupati/Walikota sekaligus menyampaikan berkas permohonan untuk pemohon perorangan. Tembusan rekomendasi Kepala Desa disampaikan kepada camat dan UPT Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi/BP2HP dilengkapi fotokopi berkas permohonan.

d. Berdasarkan tembusan rekomendasi dari kepala desa, kepala BP2HP berkoordinasi dengan Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) melakukan verifikasi atas persyaratan administrasi dan sketsa/peta areal yang dimohon dan hasil nya disampaikan kepada Bupati/walikota sebagai pertimbangan teknis

e. Dalam melakukan verifikasi, Kepala BP2HP bersama BPKH mengadakan pemeriksaan status dan kondisi areal yang dimohon sesuai kriteria dan persyaratan yang ditetapkan serta kelengkapan dokumen permohonan

f. Berdasarkan rekomendasi kepala desa dan pertimbangan teknis dari kepala BP2HP, Bupati/walikota dapat menugaskan kepala Dinas Kabupaten yang membidangi kehutanan untuk melakukan penilaian atas permohonan IUPHHK-HTR dan hasilnya disampaikan oleh Bupati/Walikota kepada Gubernur bersama kelengkapan berkas permohonan

g. Gubernur atas nama Menteri Kehutanan menerbitkan keputusan IUPHHK-HTR kepada perorangan atau koperasi. Proses dalam rangka penerbitan IUPHHK-HTR dapat dilakukan oleh dinas propinsi yang membidang kehutanan.

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

230

10.7 Pengalaman Pembangunan HTR

Berikut ini diuraikan tentang program HTR di DI Yogyakarta. Luas hutan negara di wilayah Propinsi DI Yogyakarta terdiri atas kawasan hutan seluas 17.064,3 Ha dan hutan produksi tetap seluas ± 1.773 Ha. Sampai saat ini, hutan di propinsi DIY telah memberikan kontribusi yang penting dalam pembangunan daerah dan masyarakat antara lain dalam bentuk peningkatan pendapatan masyarakat, penyerapan tenaga kerja, pemenuhan bahan bau industri dan jasa lingkungan.

Namun demikian dalam dekade terakhir ini, hutan mengalami banyak kerusakan sehingga tidak dapat berfungsi seperti fungsi hutan sesungguhnya karena kondisinya yang kritis. Produksi hasil hutan menurun dan jasa lingkungan tidak dapat dipertahankan sehingga masih sangat perlu ditingkatkan perannya untuk kesejahteraan masyarakat, secara berkeadilan dan berkelanjutan.

Pada kawasan hutan negara, pengembalian dan peningkatan fungsi hutan dilakukan dengan kegiatan reboisasi dan penghijauan melalui kegiatan gerakan nasional rehabilitasi hutan dan lahan (GN-RHL), dana APBD Propinsi DIY dibawah wewenang Dishutbun Propinsi DIY, dan kegiatan hutan kemasyarakatan (HKm) dengan dukungan dana APBD kabupaten. Sedang pada areal hutan produksi tetap belum dilakukan usaha-usaha pengembalian fungsi seperti yang ada pada kawasan hutan negara.

Saat ini, salah satu yang berkembang dan menjadi kebijakan nasional dalam rangka pengembalian dan peningkatan fungsi hutan adalah program hutan tanaman rakyat. Hutan Tanaman Rakyat (HTR) adalah hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh kelompok masyarakat untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur dalam rangka menjamin kelestarian sumberdaya hutan. HTR merupakan salah satu alternatif dalam mendukung revitalisasi sektor kehutanan yang perlu dipercepat untuk meningkatkan kontribusi kehutanan terhadap pertumbuhan ekonomi dan pengurangan pengangguran dan pengentasan kemiskinan (pro-growth, pro- job, pro-poor).

Adanya kebijakan nasional tentang HTR tersebut merupakan suatu peluang untuk perbaikan dan pengembalian fungsi hutan. Salah satu lokasi yang diusulkan dalam pelaksanaan HTR adalah wilayah kawasan hutan di Propinsi DI Yogyakarta. Lokasi yang diusulkan berada pada tanah Hutan Produksi Tetap yang saat ini masih dalam kondisi kritis dan kosong, dan terletak di wilayah Kabupaten Gunungkidul seluas ± 1.773 Ha. (berdasarkan Peta Indikasi lokasi Hutan Produksi Tetap, Surat Keputusan Menhut Nomor

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

231

197/kpts-II/2000, tanggal 12 Juli 2000). Oleh karena itu, diperlukan rencana umum dan konsep pelaksanaan HTR di Propinsi DI Yogyakarta yang sesuai dengan karakteristik dan kondisi wilayah yang ada.

Pola yang dikembangan dalam HTR adalah Pola mandiri. Masyarakat Setempat membentuk kelompok, Pemerintah mengalokasikan areal dan SK IUPHHK-HTR untuk setiap individu dalam kelompok dan masing-masing ketua kelompok bertanggung jawab atas pelaksanaan HTR, pengajuan dan pengembalian kredit, pasar, dan pendampingan dari pemerintah/Pemda

Lokasi yang diusulkan untuk HTR berada pada tanah Hutan Produksi Tetap yang terletak di wilayah Kabupaten Gunungkidul seluas ± 1.773 Ha. (berdasarkan Peta Indikasi lokasi Hutan Produksi Tetap, Surat Keputusan Menhut Nomor 197/kpts-II/2000, tanggal 12 Juli 2000). Kondisi areal ini masih dalam kondisi kritis, kosong, dan belum mencerminkan suatu hutan. Areal masih berupa lahan semak belukar dengan ditanami tanaman tumpangsari pada beberapa tempat

Jenis tanaman yang dikembangkan di areal HTR merupakan jenis tanaman fast growing. Jenis tanaman dikembangkan dan cocok di Gunungkidul adalah jarak pagar (Jatropa curcas L.), akasia (acacia mangium), dan gaharu (Aqualaria Mallacensis) dan mindi (Melia azedarac). Jarak pagar akan menghasilkan ketika berumur 5-6 bulan dan merupakan tanaman tahunan yang dapat hidup lebih dari 20 tahun. Tanaman jarak pagar akan diambil minyaknya sebagai bahan alternatif.

Peluang minyak jarak pagar cukup besar. Permintaan jarak pagar per tahun sekitar 600.000 kg dan baru terpenuhi 20 %. Apalagi ada kebijakan baru dari pemerintah untuk mengembangkan tanaman jarak pagar sebagai bahan alternatif BBM yang semakin mahal.Sedang akasia dan mindi merupakan bahan baku industri pabrik kertas yang semakin langka sehingga banyak pabrik kertas dan kayu pertukangan yang kekurangan bahan baku.

Gaharu merupakan tanaman yang menghasilkan dupa. Minyak yang diekstraksi dari gaharu juga bisa digunakan sebagai parfum. Gaharu kelas tinggi bisa mencapai harga US $ 400 per kilogram atau gaharu kualitas super bisa mencapai Rp 5 juta/kg.

Pelaksanaan HTR akan di kelola lembaga masyarakat pada level kabupaten yang sudah berbadan hukum koperasi dengan nama Koperasi Wana Manunggal LESTARI. Koperasi Wana Manunggal Lestari merupakan koperasi yang beranggotakan paguyuban-paguyuban atau kelompok pada level desa untuk mengelola hasil hasil hutan baik hutan negara maupun hutan

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

232

rakyat. Untuk mempermudah manajemen koperasi, maka masyarakat pengelola HTR membentuk paguyuban atau kelompok HTR pada tiap-tiap desa yang merupakan anggota dari koperasi.

Untuk kegiatan pendampingan dan penguatan kelompok pengelola HTR, akan dilakukan oleh Community Consultant (CC) yang dibentuk oleh Gubernur. CC merupakan semacam pokja yang beranggotakan multistakeholder (birokrasi, LSM, dan Perguruan tinggi). CC bersama dengan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Propinsi DIY akan mengawal implementasi HTR di Yogyakarta. Pusdalbanghut Regional I mengadakan Lokakarya/Workshop Pengelolaan Hutan dengan tema Peluang, Tantangan dan Prospek Pembangunan HTR yang berlangsung di Medan pada tanggal 16-18 Juli 2007. Lokakarya dihadiri oleh Dishut beberapa Provinsi/Kabupaten di Sumatera, UPT Dephut, perusahaan HTI, dan Asosiasi (APHI, MPI) dengan pembicara dari Departemen Kehutanan, Daerah (Kabupaten/Provinsi), Dunia usaha, dan Masyarakat Perkayuan Indonesia (MPI).

Beberapa hal yang mengemuka dan perlu ditindaklanjuti adalah :

1. Dalam Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 23/Menhut-II/2007 tentang Tata Cara Perizinan IUPHHK-HTR, masih terdapat beberapa hal yang perlu dilengkapi dengan petunjuk pelaksanaan/petunjuk teknis/surat edaran, yaitu :

a. No.P. 23/Menhut-II/2007 HTR tidak secara tegas menjelaskan posisi Dinas Kehutanan Provinsi walaupun Gubernur diberi kewenangan untuk menerbitkan Keputusan IUPHHK-HTR. Untuk itu dalam petunjuk pelaksanaannya perlu dicantumkan secara eksplisit posisi Dinas Kehutanan Provinsi dalam proses penerbitan izin HTR, Demikian halnya dalam pelaksanaan verifikasi adminstrasi dan teknis oleh UPT Dephut (Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi/BP2HP) terhadap permohonan HTR, juga perlu melibatkan Dinas Provinsi/Kabupaten/Kota yang mengurusi bidang kehutanan.

b. Perlu adanya penyempurnaan beberapa pasal terkait dengan keberpihakan kepada masyarakat, seperti HTR tidak dapat diwariskan haknya jika meninggal sementara jika mempunyai hutang terkait HTR harus ditanggung oleh ahli warisnya, hapusnya izin jika pemegang izin meninggal, sehingga kontra produktif dengan pasal yang menyatakan tanaman HTR merupakan asset pemegang izin.

c. Perlu kejelasan terkait dengan jangka perizinan konsesi yang hanya diberikan satu kali dan setelah berakhir tidak dapat diperpanjang

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

233

karena akan memberikan disinsentif bagi keberlanjutan program HTR.

2. Alokasi penetapan areal HTR pada kawasan hutan produksi pada kenyataannya masih banyak yang bermasalah (belum clear and clean), antara lain adanya sebagai akibat kegiatan okupasi kawasan yang dilakukan oleh masyarakat maupun badan usaha pertanian, perkebunan, pemukiman dan sebagainya. Untuk itu diharapkan pembangunan HTR dapat menjadi solusi penyelesaian konflik.

3. Pembangunan HTR perlu didahului dengan pembentukan kelembagaan yang kuat dan kesiapan pemerintah dalam menyiapkan infrastruktur dan akses pasar. Koperasi yang akan dilibatkan dalam pembangunan HTR harus mempunyai kepengurusan yang jelas orang-orangnya dan minimal dikelola oleh 3 orang (ketua, sekretaris dan bendahara), dan kelembagaan tersebut sebaiknya terbentuk sebelum terbitnya IUPHK-HTR.

4. Diperlukan standar biaya yang rasional bagi pembiayaan pembangunan HTR dengan mempertimbangkan karakteristik setiap wilayah/daerah yang memiliki perbedaan yang bersifat lokal spesifik. Dikhawatirkan dengan standar biaya yang pukul rata sama menyebabkan.

10.8. Tantangan Pengembangan HTR

Berdasarkan pengalaman dalam pembangunan HTI dan hutan rakyat, berbagai kajian menunjukkan bahwa masalah utama yang dapat menghambat pembangunan dan pengembangan hutan tanaman oleh rakyat adalah sebagai berikut:

a) Kawasan yang ditetapkan menjadi areal hutan tanaman tidak menjamin kepastian usaha, ditinjau dari sisi penguasaan lahan, jangka waktu pemanfaatan maupun pengalihan ijin pemanfaatan;

b) Penetapan lokasi yang keliru dan tapaknya tidak sesuai dengan jenis yang ditanam menyebabkan tanaman berdaya hasil, biaya pembangunan tanaman menjadi mahal, atau kayu hasil tanaman sulit dipasarkan;

c) Minat masyarakat untuk mengembangkan hutan tanaman umumnya rendah karena tanaman hutan memerlukan waktu cukup lama untuk siap dipanen;

d) Kemampuan masyarakat untuk membangun dan mengelola hutan tanaman umumnya rendah, ditinjau dari sisi mutu sumberdaya

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

234

manusia, peralatan, maupun pembiayaan untuk pembangunan tanaman;

e) Kelembagaan masyarakat untuk melakukan usaha hutan tanaman masih lemah bahkan di banyak desa belum tersedia;

f) Ketidakpastian pasar dan harga jual dari kayu hasil tanaman masyarakat;

g) Serangan hama-penyakit akibat pengembangan hutan tanaman sejenis dan kebakaran hutan akibat pembukaan lahan menggunakan cara pembakaran.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut maka diperlukan beberapa langkah kebijakan yang harus disiapkan oleh Kemenhut sebagai berikut:

a) Penetapan lokasi untuk pembangunan dan pengembangan hutan tanaman oleh rakyat secara cermat dengan memperhatikan sebaran lokasi industri pengolahan kayu, pasar kayu olahan, serta ketersediaan sarana-prasarana untuk menjangkau industri dan pasar;

b) Penata batasan dan pengukuhan terhadap areal yang ditetapkan untuk pembangunan dan pengembangan hutan tanaman oleh rakyat tersebut;

c) Menyusun peta kesesuaian jenis untuk area hutan tanaman tersebut, termasuk kesesuaian jenis untuk mata dagang (komoditi) pertanian dan perkebunan;

d) Menyusun pedoman atau tata cara pembangunan hutan tanaman oleh rakyat;

e) Pemasyarakatan atau sosialisasi tentang manfaat (benefits), rencana dan tata cara pembangunan hutan tanaman oleh rakyat;

f) Menyediakan berbagai bentuk pelatihan (training) atau lokakarya (workshop) untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam pembangunan (termasuk teknik pembukaan lahan yang ramah lingkungan) dan pengelolaan hutan tanaman (termasuk pengendalian hama-penyakit), serta pemasaran hasil dari hutan tanaman;

g) Meningkatkan kemampuan kelembagaan masyarakat melalui pendampingan;

h) Menyediakan kemudahan bagi masyarakat dalam menjangkau sumber-sumber pembiayaan untuk pembangunan dan pengelolaan hutan tanaman, termasuk membentuk lembaga keuangan yang membantu penyediaan pinjaman sebagai modal pembangunan hutan tanaman;

i) Menyediakan kemudahan bagi masyarakat untuk membangun kemitraan dengan industri dan pasar kayu olahan.

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

235

Belajar dari pengalaman pembangunan HTI, ternyata HTI yang berhasil adalah HTI yang dibangun secara swadana oleh perusahaan dan siap dengan industri yang akan menampung hasilnya. Sementara itu telah diuraikan terdahulu bahwa sebagian kendala yang akan menghambat atau menggagalkan pengembangan hutan tanaman oleh rakyat adalah ketersediaan modal untuk membangun hutan tanaman dan kemungkinan sulitnya pemasaran hasil tanaman.

Untuk itu masyarakat yang membangun hutan tanaman harus membentuk kelompok untuk bermitra dengan industri pengolahan atau pemasaran kayu, kecuali apabila kelompok masyarakat tersebut sudah mampu memiliki industri dan membangun jaringan pasar secara mandiri.

Penguatan kelembagaan mutlak diperlukan. Sekarang ini, sudah sangat lazim, bahwa suatu kelompok atau koperasi terdiri dari satu keluarga saja. Jika kondisi seperti bukan tidak mungkin akan menghambat keberhasilan program HTR. Jangan sampai seperti kebun kelapa sawit. Hanya sekedar mengingatkan, banyak bidang kebun kelapa sawit sekarang ini yang dulu tujuan adalah untuk masyarakat sebagai plasma perkebunan besar, kini sudah berpindah tangan kepada orang yang berdomisili di kota atau sekitar pabrik.

Akibatnya, masyarakat hanya jadi penonton. Mereka tergiur rupiah sehingga lahan yang berisi kebun sawit tersebut mereka jual. Jika, program HTR akan bernasib seperti ini juga, maka berarti kegagalan pengembangan HTR. Pengawasan dan aturan untuk melindungi petani dari praktik seperti kebun sawit di atas perlu diinisiasi.

Seyogyanya, pengembangan HTR ini merupakan program yang harus didukung oleh semua pihak. Baik pihak Departemen Kehutanan, Pengusaha, Rakyat, LSM, dan pihak Universitas. Tidak ada pihak yang dirugikan dengan program ini, bahkan semua pihak mendapat manfaat. Namun, perlu beberapa kondisi yang perlu disiapkan oleh pihak Kementerian Kehutanan, diantaranya: Peningkatan kesadaran masyarakat.

Sebelum adanya kontrak pembangunan HTR antara masyarakat dengan pemerintah, kesadaran masyarakat akan pentingnya program ini perlu mendapat perhatian serius terlebih dahulu. Sebelum mereka mempunyai kesadaran hal tersebut, sebaiknya kontrak HTR tersebut jangan langsung disetujui (Udiansyah, 2008).

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

236

Kehutanan Masyarakat 237

HUTAN ADAT

BAB 11

11.1 Pendahuluan

Undang-Undang Kehutanan menyatakan bahwa hutan merupakan kekayaan alam yang dikuasai oleh negara yang akan digunakan untuk kesejahteraan rakyat. Pemerintah yang mewakili negara, berwenang menetapkan status hutan termasuk menetapkan satu wilayah sebagai hutan adat.

Dalam Undang-undang No. 41 Tahun 1999, Hutan Adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah adat yang pengelolaannya diserahkan pada masyarakat hukum adat. Berarti, masyarakat adat tidak diakui kepemilikannya tetapi dapat memperoleh hak mengelola dan memanfaatkan hutan sebagai hutan adat.

Pemerintahlah yang berwewenang memberikan hak itu, melalui proses pengakuan Masyarakat Adat yang masih "hidup". Dengan adanya otonomi daerah, banyak kabupaten lalu mengembangkan pengertian hutan adat yang agak berbeda dengan pengertian pemerintah pusat. Misalnya, dalam dua Peraturan Daerah Kabupaten Malinau mengenai Kehutanan, Hutan Adat diartikan sebagai hutan yang dimiliki dan atau dikuasai secara bersama-sama oleh kelompok masyarakat adat tertentu yang mendapat pengesahan dari Pemerintah Kabupaten. Berarti, Pemerintah Daerah mengakui kepemilikan oleh masyarakat adat. Meskipun demikian, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah mengharuskan adanya pengesahan masyarakat adat sebagai persyaratan utama diperolehnya hak pengelolaan hutan adat.

Pandangan masyarakat adat mengenai hutan adat sangat beragam dan sangat terkait dengan konsep wilayah adat setempat. Ada masyarakat adat yang mendefinisikan hutan adat sebagai daerah keramat dimana kuburan nenek moyang berada. Ada yang mendefinisikan hutan adat sebagai hutan lindung atau hutan cadangan yang dapat dibuka jika anggota masyarakat membutuhkan tanah. Ada pula yang mendefinisikan semua hutan di dalam wilayah adat mereka sebagai hutan adat.

Adanya perbedaan persepsi tentang hutan adat terkadang menyebabkan timbulnya berbagai macam konflik. Pada banyak konflik

Teori dan Implementasi

penguasaan dan pengelolaan SDA yang ditemukan dalam komunitas-komunitas masyarakat adat, masyarakat adat dipaksa menghadapi lapisan tekanan terhadap eksistensi dan relasinya dengan alam.

Pertama, masyarakat adat harus berhadapan dengan tekanan dari pihak luar yang mengambil alih wilayah-wilayah dan hutan-hutan adat. Kedua, komunitas-komunitas masyarakat adat juga harus dihadapkan pada ketidakadilan dari kebijakan negara. Kebijakan-kebijakan negara yang ada sekarang ini tidak mengakui Hak-Hak Masyarakat Adat atas kepemilikan wilayah, akses, pengelolaan dan kontrol terhadap Sumber Daya Alam. Maka dari itu, sebaiknya masyarakat adat sendiri-lah yang harus mencapai kesepakatan untuk menentukan pengertian hutan adat dan wilayah adat, untuk kemudian diusulkan pada pemerintah untuk disahkan.

Banyaknya persoalan yang muncul dari pengelolaan hutan yang dilakukan oleh negara, menimbulkan reaksi dari masyarakat (adat) yang turun temurun telah mempraktekkan cara-cara mengelola sumber daya alam, termasuk sumber daya hutan secara bijak dan baik sehingga antara alam dan masyarakat terjadi hubungan yang harmonis.

Diantara praktek-praktek masyarakat dalam pengelolaan sumber daya hutan antara lain dikenal adanya Parak di Sumatera Barat, Rimbo Larangan dan Hutan Adat di Jambi, Repong di Lampung, Tembawang di Kalimantan Barat, Simpukg di Kalimantan Timur, dan sebagainya, adalah sedikit dari banyak contoh keberhasilan masyarakat adat mengelola hutan.

Perubahan paradigma pengelolaan sumber daya hutan berbasiskan negara ke pengelolaan hutan berbasiskan masyarakat dipandang penting untuk dilakukan karena: (1) pendekatan pengelolaan hutan berbasis negara dalam skala besar yang diterapkan selama ini, kurang memberikan hasil nyata dalam meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat khususnya yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan, serta gagal dalam melestarikan fungsi hutan sendiri, (2) kemampuan negara dalam mengelola hutan semakin terbatas, sementara tekanan semakin besar, (3) masyarakat lokal yang berada di dalam dan sekitar hutan merupakan asset yang potensial dalam menjaga, mengelola dan melestarikan hutan.

11.2 Hak Masyarakat Adat

Salah satu issue yang menonjol juga diperdebatkan dalam proses penyusunan UUK adalah status Hutan adat. Kelompok ornop, masyarakat adat dan beberapa kalangan akademisi menuntut disetarakannya status hutan adat dengan hutan negara dan hutan rakyat. Tuntutan ini merupakan refleksi terhadap dampak yang terjadi sebagai akibat implementasi dari peraturan

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

238

perundang-undangan dan kebijakan sebelumnya (UUPK No:5/67 dan turunannya) yang telah meng-klaim hutan-hutan adat ke dalam hutan negara. Kebijakan ini telah mengabaikan bahkan memarginalisasi hak-hak masyarakat adat.

Konsesi-konsesi HPH, HTI, dan perkebunan skala besar yang diberikan pemerintah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada telah mengambil alih hutan-hutan adat yang secara turun temurun telah menjadi tempat hidup dan saling bergantung masyarakat adat. Sehingga terjadi konflik-konflik berkepanjangan di lapangan antara perusahaan dengan masyarakat adat yang mengakibatkan penderitaan dan kerugian terutama pada masyarakat dan juga kerugian pada perusahaan.

Sementara menurut UUK, Penjelasan Pasal 5 ayat (1) : “Hutan negara dapat berupa hutan adat, yaitu hutan negara yang diserahkan pengelolaannya kepada masyarakat hukum adat (rechtsgemeenschap). Hutan adat tersebut sebelumnya disebut hutan ulayat, hutan marga, hutan pertuanan, atau sebutan lainnya. Hutan yang dikelola oleh masyarakat adat dimasukkan dalam pengertian hutan negara sebagai konsekuensi adanya hak menguasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat pada tingkat yang tertinggi dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dengan dimasukkannya hutan adat dalam pengertian hutan negara, tidak meniadakan hak-hak masyarakat hukum adat sepanjang kenyataannya masih ada dan diakuai keberadaannya, untuk melakukan kegiatan pengelolaan hutan”. Dari penjelasan-penjelasan dan argumentasi yang diberikan oleh Kementerian Kehutanan (Kemenhut) atas kritik dan pertanyaan yang disampaikan terhadap UUK, dapat dilihat bahwa penempatan hutan adat di dalam hutan negara dipengaruhi oleh: Pertama, ketidakpercayaan dan kekhawatiran pemerintah (Dephutbun) terhadap masyarakat adat dalam mengelola hutan secara lestari dan Kedua, konsent pemerintah (Kemenhut) terhadap status penguasaan hutan.

Padahal penguasaan hutan oleh pemerintah (Kemenhut) yang selama ini terjadi , tidak menjamin pengelolaan hutan secara lestari. Bahkan praktek-praktek yang ada menunjukkan hak penguasaan, pengaturan dan pengelolaaan hutan yang dipegang oleh Kemenhut mengakibatkan meningkatnya kerusakan hutan dan marginalisasi masyarakat adat dan masyarakat sekitar hutan lainnya.

Masyarakat adat menginginkan kedaulatan dan hak penuh atas hutan yang berada dalam wilayah adatnya. Sekali lagi ini membutuhkan kejelasan dari pihak masyarakat adat sendiri mengenai apa yang dimaksud dengan wilayah

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

239

adat dan apa yang dimaksud dengan hak penuh. Pada umumnya masyarakat adat menggunakan, hukum adat, sejarah dan garis keturunan sebagai dasar pembuktian hak. Akan tetapi, di banyak tempat sejarah menunjukkan bahwa suatu wilayah telah dimanfaatkan secara bergantian atau bersama-sama oleh banyak kelompok masyarakat adat.

Menurut sejarah maupun garis keturunan semuanya berhak. Jalan keluarnya adalah perundingan dan pembuatan kesepakatan baru sesuai kebutuhan dan jaman. Kalau ingin diakui sebagai masyarakat adat yang mempunyai hak atas wilayah adat, satu masyarakat adat juga perlu mengakui keberadaan dan hak masyarakat adat lainnya. Terlepas dari tuntutan masyarakat, Undang-undang No. 41 Tahun 1999 menetapkan hak masyarakat adat di hutan negara, sebagai berikut:

a) Memungut hasil hutan untuk pemenuhan hidup sehari-harib) Mengelola hutan sesuai hukum adat yang berlaku bila tidak

bertentangan dengan undang- undangc) Mendapatkan pemberdayaan untuk meningkatkan kesejahteraan.

Persyaratan utama untuk memperoleh pengakuan atas hak-hak itu adalah pembuktian keberadaan sebagai masyarakat adat. Adapun hak masyarakat adat atas hutan adat menurut Undang-undang No. 41 Tahun 1999 itu sebenarnya sangat terbatas:

a) Hak atas hutan adat hanyalah hak pakaib) Hak pakai ini dibatasi oleh hak negara melaksanakan pembangunan

dan hak hutan untuk dilestarikanc) Hak atas hutan adat diberikan oleh pemerintah dan dapat ditarik oleh

pemerintah sehingga tidak ada kepastian hukumd) Urusan memperoleh hak atas hutan adat tidak mudah karena meliputi

usaha membuktikan diri sebagai masyarakat adat.

Pemerintah Pusat juga beranggapan bahwa hak atas hutan hanya meliputi sebagian kawasan hutan yang ditetapkan sebagai hutan adat. Karena itu pula, pemerintah ingin menetapkan hutan adat dengan batas-batas yang pasti. Ketentuan mengenai penentuan hutan adat dan pengesahan hak masyarakat adat diharapkan diatur melalui peraturan pemerintah yang sampai sekarang belum selesai.

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

240

11.3 Perlindungan Hukum Bagi Masyarakat Adat dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam

Kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak yang mereka miliki secara konstitusional sudah diakui secara tegas dalam Perubahan Kedua UUD 1945. Pasal 18B ayat (2) Perubahan Kedua UUD 1945 menegaskan bahwa Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Pengakuan dan perhomatan atas masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya, sangat mungkin dilakukan oleh negara, apabila negara konsekuen melaksanakan amanat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, yang menyatakan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya di kuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Menurut Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960, hak menguasai negara memberikan wewenang kepada Pemerintah untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukkan, pemanfaatan, persediaan, dan pemeliharaan sumber daya alam, serta mengatur hubungan hukum dan perbuatan hukum antara orang dan badan hukum dengan sumber daya alam, termasuk didalamnya pengaturan mengenai peruntukkan dan pemanfaatan sumber daya alam oleh masyarakat hukum adat serta bentuk hubungan hukum di antara keduanya.

Dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) jelas menyatakan bahwa negara mengakui dan menjunjung tinggi HAM dan kebebasan dasar manusia. Dalam UU HAM ditegaskan bahwa Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peringatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan. Pengakuan ini penting artinya dalam hal bahwa negara tidak bisa mengelak dari tugasnya yang telah dinyatakan dalam undang-undang.

Kemudian ditegaskan selanjutnya bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab Pemerintah. Tanggung jawab Pemerintah tersebut tidak hanya berkaitan dengan kewajiban dan tanggungjawab menghormati, melindungi, menegakkan dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam UU tentang HAM, maupun peraturan perundang-undangan lain, tetapi juga hukum internasional tentang hak asasi manusia. Kewajiban dan tanggung jawab

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

241

Pemerintah tersebut meliputi langkah implementasi yang efektif dalam bidang hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan negara, dan bidang lain.

Tentu saja HAM yang dimaksud dalam UU HAM tersebut termasuk didalamnya hak-hak masyarakat adat atas sumber daya hutan. Sebab hutan menjadi tulang punggung bagi hidup, tumbuh dan berkembangnya masyarakat adat. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan (UU Kehutanan) menyatakan bahwa hutan merupakan kekayaan alam yang dikuasai negara yang akan digunakan untuk kesejahteraan rakyat. Pemerintah yang mewakili negara, berwenang menetapkan status hutan termasuk menetapkan satu wilayah sebagai hutan adat.

Dalam Undang-undang No. 41 Tahun 1999, Hutan Adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah adat yang pengelolaannya diserahkan pada masyarakat hukum adat, dalam arti bukan sebagai pemilik, tetapi masyarakat adat mempunyai hak mengelola dan memanfaatkan hutan menurut hukum adat. Dan pemerintahlah yang berwewenang memberikan hak itu, melalui proses pengakuan masyarakat adat dan hutan adat. Dalam konteks ini tanggung jawab Negara (Pemerintah) yang selama ini diimplementasikan dalam pendekatan intervensi sudah harus berubah menjadi pendekatan fasilitasi, sehingga integritas masyarakat adat dapat terlindungi dalam konteks integrasi masyarakat Indonesia. Bentuk fasilitasi yang perlu diberikan oleh Pemerintah adalah adanya kemudahan-kemudahan prosedur dan kepastian hukum bagi masyarakat hukum adat untuk memungut, memanfaatkan dan mengelola hutan, baik dalam wadah hutan adat, maupun bentuk hutan negara lainnya.

Pandangan masyarakat adat mengenai hutan adat sangat beragam dan sangat terkait dengan konsep wilayah adat setempat. Ada masyarakat adat yang mendefinisikan hutan adat sebagai daerah keramat dimana kuburan nenek moyang berada. Ada yang mendefinisikan hutan adat sebagai hutan lindung atau hutan cadangan yang dapat dibuka jika anggota masyarakat membutuhkan tanah. Ada pula yang mendefinisikan semua hutan di dalam wilayah adat mereka sebagai hutan adat. Sebaiknya masyarakat adat sendiri mencapai kesepakatan untuk menentukan pengertian hutan adat dan wilayah adat, untuk kemudian diusulkan pada pemerintah untuk disahkan.

Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 menetapkan hak masyarakat adat atas sumber daya hutan yaitu (a) hak memungut hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari; (b) hak melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan dengan undang-undang; dan (c) mendapatkan pemberdayaan untuk meningkatkan kesejahteraannya.

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

242

Persyaratan utama untuk memperoleh pengakuan atas hak-hak itu adalah pembuktian keberadaan sebagai masyarakat adat. Apabila suatu komunitas dapat membuktikan diri sebagai kesatuan masyarakat hukum adat, pengukuhannya ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Disini tidak dijelaskan apakah Peraturan Daerah dimaksud adalah Peraturan Daerah Propinsi atau Peraturan Daerah Kabupaten. Penjelasannya hanya menyebutkan bahwa Peraturan Daerah disusun dengan pertimbangan hasil penelitian para pakar hukum adat, aspirasi masyarakat setempat, dan tokoh masyarakat adat yang ada di daerah yang bersangkutan, serta instansi atau pihak lain yang terkait. Ketidakjelasan tersebut dapat diatasi dengan segera menerbitkan Peraturan Pemerintah sebagaimana ditegaskan dalam UU No. 41/1999 yang akan mengatur lebih lanjut mengenai tata cara pemuhan hak atas sumber daya hutan, persyaratan serta mekanisme pengukuhan hutan adat.

Ketentuan di atas, disatu sisi membuka kemungkinan bagi masyarakat hukum adat melakukan pemungutan hasil hutan. Namun disisi lain beberapa rumusan dalam ketentuan tersebut ternyata belum memberikan rasa keadilan dan ketidakjelasan mengenai pemungutan hasil hutan dengan pengelolaan dan pemanfaatan hasil hutan lengkap dengan alas haknya seperti HPH?

Merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Serta Pemanfaatan Hutan, yang dimaksud dengan “pemungutan hasil hutan adalah kegiatan untuk mengambil hasil hutan baik berupa kayu dan atau bukan kayu dengan batasan waktu, luas dan/atau volume tertentu. Ketentuan umum ini dijabarkan pada Pasal 45 PP 6 2007 yang intinya menyatakan, pemungutan hasil hutan kayu oleh masyarakat adat dalam hutan alam pada hutan produksi bukan untuk diperdagangkan, diberikan untuk memenuhi kebutuhan pembangunan fasilitas umum kelompok masyarakat setempat paling banyak 50 meter kubik dan untuk memenuhi kebutuhan hidup individu tidak melebihi 20 meter kubik untuk setiap kepala keluarga . Sedangkan pemungutan hasil hutan bukan kayu seperti rotan, manau, madu, getah, gaharu, tanaman obat, buah-buahan dapat diperdagangkan dengan volume maksimal 20 ton setiap kepala keluarga.

Berdasarkan ketentuan di atas, pemungutan hasil hutan terutama hasil hutan kayu tidak untuk diperdagangkan, namun hanya untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari, seperti pembangunan tempat ibadah, balai desa atau sekolah. Kebutuhan pribadi berkaitan dengan kayu adalah pembangunan rumah, pembuatan alat transportasi seperti perahu.

Ketidakjelasan dan ketidakadilan lain adalah prasyarat yang cukup berat untuk pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat sebagaimana dalam penjelasan Pasal 67 UU Kehutanan yakni, “Masyarakat hukum adat diakui

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

243

keberadaannya, jika menurut kenyataannya memenuhi unsur antara lain: masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban;masyarakatnya masih dalam bentuk perangkat penguasa adatnya; ada wilayah hukum adat yang jelas; ada pranata dan perangkat hukum, khusunya peradilan adat yang masih ditaati; dan masih melakukan pemungutan hasil hutan, di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.

Prasyarat tersebut dinilai cukup berat, karena untuk mengetahui keberadaan masyarakat hukum adat tidak sekedar dilakukan identifikasi, namun dibutuhkan kajian mendalam dan penguatan kembali perangkat kelembagaan adat. Mengingat lebih dari 40 tahun telah mengalami pemudaran peran dalam pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan di masyarakat.

Kondisi ini semakin memperihatinkan ketika penjabaran dan pengaturan lebih lanjut mengenai hak-hak masyarakat hukum adat dan pengukuhan hutan adat dengan Peraturan Pemerintah. Saat tulisan ini dibuat, PP tersebut masih terbatas pada Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP). Masih terdapat perdebatan apakah substansi RPP tersebut akan lebih menekankan pada segala sesuatu yang berkaitan dengan pengelolaan hutan adat, atau sekaligus juga mengatur tentang tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat.

Banyak pihak berharap agar substansi RPP tersebut lebih banyak mengatur aspek pengelolaan hutan adat, karena pengakuan keberadaan masyarakat adat sudah menjadi kewenangan Pemerintahan Daerah untuk mengukuhkannya sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 67 ayat (2) UU 41/1999. Beberapa pasal dalam RPP ini juga masih menimbulkan pertanyaan, seperti cakupan masyarakat hukum adat yang akan dikukuhkan dengan Peraturan Daerah Provinsi atas usulan masyarakat atau Bupati. Jika masyarakat hukum adat yang dimaksudkan mencakup satu wilayah Kabupaten, tentu mustahil dilakukan mengingat perkembangan dan perubahan yang terjadi. Berbeda, jika pengukuhan tersebut dapat dilakukan terhadap beberapa atau satu komunitas yang sekarang secara administratif dinamakan desa, tentu akan lebih mungkin dilakukan.

Jika kebijakan tentang hutan adat dihadapkan pada ketidakpastian, nasib yang sama juga dialami oleh hutan desa. Alenia ketiga penjelasan Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 41 Tahun 1999 menyatakan “Hutan negara yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa disebut hutan desa”. Tidak ada penjabaran lebih lanjut mengenai hutan desa.

Akses masyarakat yang ada didalam dan sekitar hutan terhadap sumber daya hutan mempunyai kejelasan dan kepastian hukum dengan

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

244

diperkenalkannya konsep Hutan Kemasyarakatan (HKm). Dalam Keputusan Menteri Kehutanan (Kepmenhut) Nomor 31/Kpts-II/2001 tentang Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan dinyatakan bahwa Hutan Kemasyarakatan (HKm) adalah Hutan Negara dengan sistem pengelolaan hutan yang bertujuan untuk memberdayakan masyarakat (meningkatkan nilai ekonomi, nilai budaya, memberikan manfaat/benefit kepada masyarakat pengelola, dan masyarakat setempat), tanpa mengganggu fungsi pokoknya (meningkatkan fungsi hutan dan fungsi kawasan, pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu, pemanfaatan hasil hutan bukan kayu dengan tetap menjaga fungsi kawasan hutan).

Kepmenhut tersebut memberikan ruang bagi masyarakat untuk mengelola dan memanfaatkan hutan untuk kesejahteraannya. Kepmenhut ini, juga memberikan kewenangan bagi daerah untuk mengeluarkan kebijakan tentang ijin pemanfaatan hutan kemasyarakatan.

Kegiatan HKm dapat dilakukan di Hutan Lindung dan Hutan Produksi yang ditujukan atau bisa dimanfaatkan oleh masyarakat atau kelompok tani HKm di sekitar kawasan hutan, yang memiliki ketergantungan pada kawasan hutan tersebut. Dengan ketentuan: (a) kegiatan pengelolaan HKm tersebut bukan pada wilayah yang masih berhutan bagus. (b) Wilayah kelola HKm tidak diizinkan membuka hutan yang masih baru atau membuka baru (memperluas lahan garapan). (c) HKm bisa dilakukan pada lahan yang sudah kritis dan sudah digarap oleh masyarakat selama beberapa tahun. Sehingga secara substansial ketentuan yang digariskan dalam Kepmenhut No. 31/Kpts-II/2001 tidak dapat dijadikan landasan dalam pengukuhan dan pengelolaan hutan adat. Karena pengelolaan hutan adat menurut UU 41/1999 junto PP No. 6/2007 dapat dilakukan baik pada semua kawasan hutan negara baik kawasan hutan yang masih bagus (hutan alam) maupun pada kawasan hutan yang sudah kritis.

Hak masyarakat adat atas hutan adat menurut UU 41/1999 itu sebenarnya sangat terbatas yaitu hak atas hutan adat hanyalah semacam hak pakai atas kawasan hutan negara, sehingga hak pakai ini dibatasi oleh hak negara. Hak atas hutan adat diberikan oleh pemerintah dan dapat ditarik oleh pemerintah sehingga tidak ada kepastian hukum.

Urusan memperoleh hak atas hutan adat tidak mudah karena meliputi usaha membuktikan diri sebagai masyarakat adat. Pemerintah Pusat juga beranggapan bahwa hak atas hutan hanya meliputi sebagian kawasan hutan yang ditetapkan sebagai hutan adat. Karena itu pula, pemerintah ingin menetapkan hutan adat dengan batas-batas yang pasti. Ketentuan mengenai penentuan hutan adat dan pengesahan hak masyarakat adat diharapkan diatur melalui peraturan pemerintah yang sampai sekarang belum selesai.

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

245

Belum rampungnya penyusunan RPP mengenai hutan adat telah menimbulkan ketidakjelasan atas pengukuhan hutan adat oleh Pemerintah Daerah sebagai sebagai salah satu sarana untuk memenuhi hak-hak masyarakat atas sumber daya hutan. Dengan adanya otonomi daerah, banyak kabupaten membuat Peraturan Daerah untuk melindungi keberadaan hak masyarakat atas hutan, misalnya, Kabupaten Nunukan punya Perda Nomor 03 Tahun 2004 tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Disusul dengan Perda Nomor 04 Tahun 2004 tentang Hak Ulayat Mayarakat Hukum Adat Lundayeh di Kabupaten Nunukan.

Di Kabupaten Paser sedang disiapkan Raperda tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Kabupaten Malinau mengatur lembaga adat dengan Perda Nomor 04 Tahun 2001 tentang Pemberdayaan, Pelestarian, Perlindungan dan Pengembangan Adat Istiadat dan Lembaga Adat, dan Raperda tentang Hak Ulayat dan Hukum Adat. Kabupaten Malinau mengembangkan pengertian hutan adat yang agak berbeda dengan pengertian Pemerintah Pusat. Dalam Peraturan Daerah Kabupaten Malinau mengenai Kehutanan, Hutan Adat diartikan sebagai hutan yang dimiliki dan atau dikuasai secara bersama-sama oleh kelompok masyarakat adat tertentu yang mendapat pengesahan dari Pemerintah Kabupaten. Berarti, Pemerintah Daerah mengakui kepemilikan oleh masyarakat adat. Meskipun demikian, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah mengharuskan adanya pengesahan masyarakat adat sebagai persyaratan utama diperolehnya hak pengelolaan hutan adat.

Untuk memberikan fondasi hukum yang lebih kuat kepada masyarakat adat dalam mengelola hutan adat sebaiknya bentuk pilihan hukum pengukuhan hutan adat tersebut harus berupa Perda sebagaimana digariskan dalam Pasal 67 ayat (2) UU 41/1999. Melalui Perda, pengelolaan hutan adat mendapatkan legitimasi dari Kepala Daerah dan sekaligus dari DPRD sebagai wakil masyarakat Daerah, sehingga kegiatan-kegiatan yang ditujukan untuk pemberdayaan masyarakat adat dan pengelolaan hutan adat dapat dimasukkan dalam kegiatan yang didanai oleh APBD.

Upaya pencabutan kembali hak pengelolaan hutan adat tersebut oleh Pemerintahan Daerah kemungkinan kecil tidak akan terjadi, kalaupun ada upaya untuk itu maka membutuhkan proses politik di DPRD yang diperkirakan akan terjadi secara alot. Pencabutan hak pengelolaan adat tersebut kemungkinan besar dapat dilakukan oleh Pemerintah Pusat dengan alasan perundang-undangan dan kepentingan nasional. Namun kalau ini yang terjadi, menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pemerintahan Daerah dapat menempuh upaya hukum berupa pengujian materil (judicial review) ke Mahkamah Agung.

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

246

Hutan adat dan hutan desa merupakan pilihan hukum masyarakat untuk mengelola hutan di dalam kawasan hutan negara. Hutan adat dikhususkan untuk diberikan kepada masyarakat hukum adat. Sementara itu, Hutan Desa adalah hutan negara yang belum dibebani izin ataupun hak, yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa.

Berdasarkan Undang-Undang Kehutanan No.41 tahun 1999 pada bab II tentang status dan fungsi hutan, pasal 5 ayat(1) menyebutkan bahwa hutan berdasarkan statusnya terdiri dari hutan negara dan hutan hak. Kemudian, masih dengan pasal yang sama pada ayat 2, 3 dan 4 menyebutkan bahwa hutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dapat berupa hutan adat. Pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2); dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya. Apabila dalam perkembangannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak ada lagi, maka hak pengelolaan hutan adat kembali kepada Pemerintah.

Dapat diartikan, sudah sangat jelas bahwa suatu hutan dapat dikatakan sebagai hutan adat jika telah ditetapkan oleh pemerintah. Kemudian faktor terpenting selain pemerintah yaitu masyarakat hutan adat itu sendiri. Hal ini terkait dengan pengelolaan hutan adat. Dua faktor inilah yang menentukan penetapan hutan adat dan mempengaruhi akan suksesnya pengelolaan hutan tersebut.

Keterkaitan hukum perundang-undangan dengan hutan adat juga dituangkan masih pada undang-undang yang sama yaitu pada pasal 37 ayat (1) dan (2) menyebutkan bahwa pemanfaatan hutan adat dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan, sesuai dengan fungsinya. Pemanfaatan hutan adat yang berfungsi lindung dan konservasi dapat dilakukan sepanjang tidak mengganggu fungsinya.

Maksudnya adalah, pemanfaatan hutan adat haruslah dilakukan oleh masyarakat adat itu sendiri bukan oleh masyarakat di luar dari hukum adat dan yang sangat penting dalam pengelolaannya haruslah sesuai dengan fungsi dari kawasan hutan adat itu sendiri. Pasal 39 juga memiliki hubungan erat dengan hutan adat. Bahwa pasal-pasal yang telah disebutkan di atas juga harus didukung dan diatur lebih lanjut oleh peraturan pemerintah.

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

247

11.4 Pengakuan Terhadap Hutan Adat

Status kawasan hutan sangat diperlukan oleh pemegang HPH/HPHTI dan juga masyarakat untuk memberi jaminan keamanan berusaha. Saat ini status kawasan hutan menjadi salah satu sumber konflik sosial di lapangan. Selain itu sistem tenurial (kepemilikan lahan) hutan masyarakat menjadi salah satu poin yang dinilai dalam sertifikasi, yaitu batas antara kawasan konsesi dengan kawasan komunitas harus terdelineasi secara jelas.

Untuk memantapkan status kawasan hutan secara hukum dan fakta lapangan yang akan dikelola oleh pengusaha pemegang HPH, pemerintah perlu melakukan inventarisasi dan penataan ulang batas-batas kawasan hutan negara dengan hutan adat, dan private land. Kendala yang dihadapi saat ini adalah masalah keuangan dan sumberdaya manusianya.

Pengalihan sebagian saham perusahaan kepada masyarakat sesuai dengan luas lahan hutan yang dituntut sebagai hutan adat adalah salah satu alternatif yang dapat dipakai untuk menyelesaikan konflik sosial saat ini. Dengan pengalihan sebagian saham perusahaan kepada masyarakat adalah salah satu upaya pencapaian win-win solution. Masyarakat akan memperoleh manfaat langsung dari hutan adat karena mereka dapat terlibat langsung dalam pengusahaan hutan. Perusahaan dapat melakukan penetapan batas partisipatif yang mengikutsertakan masyarakat, yang akan membuat enclave hutan adat di wilayah HPH/HPHTI. Yang menjadi masalah adalah perusahaan harus berpedoman pada ketentuan yang telah ditetapkan oleh pemerintah, termasuk luas kawasan hutan yang diusahakan.

Apabila pemerintah telah mengakui hak adat ini, pengusaha langsung bernegosiasi dan bermitra dengan masyarakat adat yang memiliki hutan. Pengusaha hanya berkewajiban membayar fee produksi kepada pemerintah.

Secara riil bentuk pengakuan Pemerintahan Daerah terhadap hak-hak pengelolaan masyarakat adat telah diberikan oleh Pemerintahan Daerah Kabupaten yang ada di Propinsi Jambi seperti Bungo dan Merangin. Keputusan Bupati Bungo Nomor 1249 Tahun 2002 Tentang Pengukuhan Hutan Adat Desa Batu Kerbau Kecamatan Pelepat Kabupaten Bungo, telah menetapkan kawasan hutan seluar 1900 hektar untuk d ikelola oleh masyarakat adat Desa Batu Kerbau sebagai hutan adat yang berfungsi lindung dan produksi menurut piagam adat dan ketentuan hukum adat.

Demikianpula di Kabupaten Merangin ada sekitar 600 hektar kawasan hutan yang berstatus Hutan Produksi dan Areal Penggunaan Lain ditetapkan sebagai Hutan Adat Desa Guguk yang dikelola menurut kearifan dan ketentuan

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

248

hukum adat yang mereka warisi dan sepakati bersama. Pengukuhan atas kawasan hutan adat Desa Guguk tersebut dilakukan melalui Keputusan Bupati Merangin 287 Tahun 2003 Tentang Pengukuhan Kawasan Bukit Tapanggang Sebagai Hutan Adat Masyarakat Hukum Adat Desa Guguk Kecamatan Sungai Manau Kabupaten Merangin.

Kedua Keputusan Bupati tersebut memberikan pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat atas sumber daya hutan yaitu melalui otonomi (hak mengatur dan mengurus sendiri) pengelolaan hutan adat, baik berupa pemanfaatan hasil hutan (kayu atau non-kayu), pemeliharaan, perlindungan, pengawasan dan penegakkan hukum atas kegiatan-kegiatan yang merusak hutan adat atau tidak sesuai dengan ketentuan pengelolaan yang ditetapkan dalam piagam kesepakatan pengelolaan hutan adat. Kegiatan pengelolaan hutan adat tersebut secara rutin dan berkala (6 bulan atau satu tahun sekali) harus dilaporkan kepada Bupati melalui Camat.

Bentuk hukum Keputusan Bupati, didasarkan kepada kewenangan Bupati dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Namun Keputusan Bupati tersebut mempunyai derajat kekuatan hukum yang rendah dan sifatnya seperti surat penetapan (beschikking) yang setiap saat dapat dengan mudah dicabut oleh Bupati. Klausul ini secara tegas dituangkan dalam Keputusan Bupati Merangin Nomor 287 Tahun 2003 diatas, bahwa Apabila Pengelolaan Hutan Adat Desa Guguk menyimpang dari aturan perundang-undangan yang berlaku ataupun bertentangan dengan kepentingan nasional serta menyimpang dari Piagam Kesepakatan maka keputusan ini dapat dibatalkan.

Klausul ini menimbulkan ketidakpastian hukum bagi masyarakat adat dalam mengelola hutan adat. Idealnya klausul ini tidak perlu ada, karena penyimpangan pengelolaan hutan adat dapat diatasi dengan melakukan penguatan kelembagaan adat, bimbingan teknis kehutanan, dan pengawasan yang dilakukan bersama antara Pemerintahan Daerah Kabupaten dan masyarakat adat.

11.5 Hak Ulayat

Definisi dari hak ulayat disini adalah suatu sifat komunaltistik yang menunjuk adanya hak bersama oleh para anggota masyarakat hukum adat atas suatu tanah tertentu. Dalam pelaksanaannya, kelompok tersebut bisa merupakan masyarakat hukum adat yang teritorial (Desa, Marga magari, hutan) bisa juga merupakan masyarakat hukum adat geneologik atau keluarga, seperti suku. Para warga sebagai anggota kelompok, masing-masing mempunyai hak untuk menguasai dan menggunakan sebagian tanah

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

249

bersama tersebut guna memenuhi kebutuhan pribadi dan keluarganya, namun tidak ada kewajiban untuk menguasai dan menggunakannya secara kolektif. Oleh karena itu penguasaan tanahnya dirumuskan dengan sifat individual.

Dalam pada itu, hak individual tersebut bukanlah bersifat pribadi, semata-mata, di dasari, bahwa yang dikuasai dan digunakan itu adalah sebagian dari tanah bersama. Oleh karena itu dalam penggunaannya tidak boleh hanya berpedoman pada kepentingan pribadi semata-mata, melainkan juga harus diingat akan kepentingan bersama, yaitu kepentingan kelompok, maka sifat penguasaan yang demikian itu pada dirinya mengandung apa yang disebut dengan unsur kebersamaan.

Oleh sebab itu, hak bersama yang merupakan hak ulayat itu bukan hak milik dalam arti yuridis, akan tetapi merupakan hak kepunyaan bersama, maka dalam rangka hak ulayat dimungkinkan adanya hak milik atas tanah yang dikuasai pribadi oleh para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Pada dasarnya hak ulayat keberadaannya dalam UUPA adalah sudah diakui, akan tetapi pengakuan tersebut masih diikuti oleh syarat-syarat tertentu, yaitu: “eksistensi” dan mengenai pelaksananya. Oleh karena itu, hak ulayat dapat diakui sepanjang menurut kenyataan masih ada. Maksudnya adalah apabila di daerah-daerah dimana hak itu tidak ada lagi, maka tidak akan dihidupkan kembali.

Pelaksanaan tentang hak ulayat dalam UUPA diatur di dalam pasal 3 yang berbunyi sebagai berikut : “Pelaksanaan hak ulayat harus sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak bertentangan dengan Undang-Undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi. Sesuai dengan apa yang diterangkan dalam penjelasan umum (Angka H/3) disini ditegaskan pula bahwa kepentingan sesuatu masyarakat harus tunduk pada kepentingan nasional dan negara yang lebih tinggi dan lebih luas". Oleh sebab itu, pelaksanaan hak ulayat secara mutlak, yaitu seakan-akan anggota-anggota masyarakat iu sendirilah yang berhak atas tanah wilayahnya itu, dan seakan hanya di peruntukan masyarakat hukum adat itu sendiri. Maka sikap yang demikianlah yang oleh UUPA dianggap bertentangan, hal ini sesuai dengan asas-asas yang tercantum dalam pasal 1 dan 2.

Dalam UUPA dan hukum tanah nasional, bahwasanya hak ulayat tidak di hapus, tetapi juga tidak akan mengaturnya, dalam artian adalah mengatur hak ulayat dapat berakibat melanggengkan atau melestarikan eksistensinya. Karena pada dasarnya hak ulayat hapus dengan sendirinya melalui proses alamiah, yaitu dengan menjadi kuatnya hak-hak perorangan dalam masyarakat hukum adat yang bersangkutan (uraian 85 dan 106 E).

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

250

Tanah ulayat merupakan tanah kepunyaan bersama yang diyakini sebagai karunia suatu kekuatan ghaib atau peninggalan nenek moyang kepada kelompok yang merupakan masyarakat hukum adat sebagai unsur pendukung utama bagi kebidupan dan penghidupan kelompok tersebut sepanjang masa.

Disinilah sifat religius hubungan hukum antara para warga masyarakat hukum adat bersama dengan tanah ulayatnya ini. Adapaun tanah ulayat atau tanah bersama yang dalam hal ini oleh kelompok di bawah pimpinan kepala adat masyarakat hukum adat, misalnya adalah hutan, tanah lapang, dan lain sebagainya. Tanah untuk pasar, penggembalaan, tanah bersama, dan lain-lain yang pada intinya adalah demi keperluan bersama.

11.6 Proses Perolehan Hak Mengelola Hutan Adat

Saat ini pemerintah pusat sedang membahas Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) mengenai hutan adat yang mengatur hak pengelolaan hutan adat. Proses yang diusulkan dalam RPP Hutan Adat tersebut. Seperti telah disebutkan, satu syarat adalah bahwa keberadaan masyarakat adat mendasar adalah bahwa masyarakat adat harus terbukti ada. Pembuktian ini diharuskan dilakukan oleh pihak lain yang ditetapkan pemerintah. Setelah keberadaan masyarakat lalu diakui dengan Perda, masyarakat adat tidak langsung memperoleh haknya.

Masyarakat adat masih diharuskan terlebih dahulu membuat perencanaan terinci termasuk penatagunaan dan rencana pengelolaan. Tata cara pengelolaan dan pemanfaatan hutan adat diatur sedemikian rupa sehingga sulit untuk ditaati. Kebebasan untuk melakukan pengelolaan berdasarkan adat hampir-hampir tidak ada. Tetapi karena RPP Hutan Adat masih berbentuk usulan, proses ini masih mungkin diperbaiki dan disempurnakan.

Tidak ada hak tanpa kewajiban dan RPP Hutan Adat juga mengatur kewajiban masyarakat adat. Masyarakat adat harus bertanggung jawab atas kerusakan hutan dan mengikuti berbagai ketentuan perlindungan hasil hutan adat, pembinaan dan pengawasan. Di lain pihak, tidak ada ketentuan perlindungan hak masyarakat adat atas hutan adat tersebut. Meskipun yang diberi hak pengelolaan adalah masyarakat hukum adat, mereka boleh melaksanakannya bersama perusahaan. Karena persyaratan begitu banyak, masyarakat adat akan cenderung menyerahkannya pada perusahaan sehingga keuntungan atas hutan adat hanya sedikit yang akan diperoleh masyarakat adat.

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

251

11.7 Perubahan Iklim, Hutan & Masyarakat Adat

Konsentrasi gas rumah kaca yang ada di atmosfer terus meningkat. Hal ini disebabkan oleh emisi yang dihasilkan oleh berbagai macam aktivitas manusia, terutama aktivitas transportasi dan industri. Berbagai kegiatan pertanian, penghancuran hutan (deforestasi), kegiatan rumah-tangga dan pembuangan limbah melepaskan gas pemanas, yaitu karbon (zat arang) dan metan, ke udara. Akan tetapi penyumbang gas pemanas yang utama dalam seratus tahun terakhir ini adalah proses pembakaran bahan-bakar fosil termasuk minyak, gas dan batu bara untuk kendaraan angkutan, proses produksi barang secara industrial, dan pembangkitan tenaga listrik. Di Indonesia sendiri penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar dihasilkan dari kebakaran hutan dan penggundulan hutan.

Di lain pihak, kemampuan bumi untuk menyerap zat arang, terutama hutan, semakin terbatas, baik karena penyusutan wilayah hutan secara cepat, maupun karena dengan memanasnya suhu udara sehingga wilayah-wilayah pengikat zat arang dapat berubah menjadi wilayah sumber pelepasan zat arang dalam tempo beberapa puluh tahun saja .

Hutan, termasuk yang ada di Indonesia, dapat berperan sebagai paru-paru dunia yang menyerap karbon dioksida dan mengubahnya menjadi oksigen melalui proses fotosintesis. Namun di lain pihak, hutan juga merupakan salah satu sumber emisi GRK. Karbon yang berhasil diserap oleh hutan akan tersimpan di dalam pepohonan untuk waktu yang tidak permanen. Jika terjadi penebangan hutan, kebakaran hutan dan kerusakan hutan lainnya, maka karbon yang telah diserap sebelumnya akan dilepaskan ke atmosfer kembali.

Pada tahun 1990, sektor kehutanan telah melepaskan emisi karbon ke atmosfer sebesar 42,5% dari total emisi GRK di Indonesia. Akibat berbagai aktivitas yang menghasilkan gas-gas rumah kaca tersebut, radiasi matahari yang terperangkap di atmosfer bumi lebih banyak dari pada radiasi yang berhasil di pantulkan ke luar atmosfer bumi.. Akibatnya, suhu bumi semakin panas. Fenomena ini kemudian dikenal dengan nama Pemanasan Global. Meningkatnya suhu rata-rata permukaan bumi akan diikuti oleh beberapa perubahan besar, seperti meningkatnya penguapan di udara, meningkatnya suhu air laut, berubahnya tekanan udara, dan pada akhirnya merubah pola iklim dunia. Peristiwa ini kemudian lebih dikenal dengan nama Perubahan Iklim.

Membicarakan perubahan iklim saat ini memang merupakan momentum yang sangat tepat bagi masyarakat adat mengingat semakin

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

252

memanasnya pertarungan “ekonomi politik” antara negara-negara dunia ketiga (sebagai pemilik wilayah pengingat karbon terluas) dengan negara-negara industri (sebagai penghasil emisi karbon tertinggi) sehingga telah memacetkan proses negosiasi yang berkait dengan upaya-upaya mitigasi perubahan iklim global itu sendiri.

Seluruh kemacetan perundingan untuk mengatasi krisis ini bersumber dan bermuara pada penolakan beberapa negara penghasil emisi tertinggi di dunia untuk mengurangi emisinya di negeri sendiri. Akan tetapi, lebih parah lagi dari itu, secara sinis para penguasa keuangan dunia melihat peluang raksasa dari krisis ini untuk “menciptakan nilai (uang) dari perdagangan zat arang atau ijin melepas zat arang ke udara”.

Bank Dunia misalnya, telah mengambil inisiatif ke arah ini dengan menanamkan modal untuk Dana Karbon Prototipe (Prototype Carbon Funds) sebesar US$ 180 juta. Perkiraan awal perputaran uang dari “komoditi” zat arang ini berkisar sekitar US$ 15-20 milyar per tahun. Dengan umpan baru yang menggiurkan ini proses perundingan UNFCCC untuk mengatasi perubahan iklim hendak dibajak menjadi proses tawar-menawar keuangan antara perusahaan industri (pribadi/privat) dan pengurus (pemerintah) negara industri dengan juru runding dari negara-negara dunia ketiga.

Bukan hanya prinsip dan tujuan-tujuan utama mengatasi krisis yang dikesampingkan dalam putaran perundingan UNFCCC dalam beberapa tahun terakhir ini. Kesepakatan-kesepakatan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang vital seperti Konvensi Keaneka-ragaman Hayati (CBD), Konvensi Ramsar dan Konvensi Melawan Perluasan Gurun Pasir pun menjadi harus tunduk pada definisi “hutan” yang terlalu sempit, serta penyempitan pengertian tata guna tanah, perubahan tata guna tanah dan perhutanan semata pada urusan penangkapan zat arang. Begitu pula perlindungan terhadap masyarakat adat/asli dan komunitas lokal dalam berbagai instrumen hukum antar-bangsa terancam terabaikan demi agenda perdagangan zat arang antar wilayah.

11. 8 Sertifikasi Hutan Adat : Pengalaman Pengelolaan Hutan Adat

Pada tanggal 7 Agustus 2008, sebuah komunitas masyarakat adat di Kalimantan Barat menerima pengukuhan pengakuan atas upaya dan perjuangannya dalam mengelola hutan adat. Pengakuan itu diwujudkan dalam sebuah Sertifikat Ekolabel Pengelolaan Hutan Lestari yang diberikan oleh Lembaga Ekolabel Indonesia. Penyerahan Sertifikat Ekolabel dilakukan dengan upacara adat yang dirangkaikan dengan Upacara Adat Gawai di Rumah Panjae Sungai Utik. Sebuah pengakuan yang membawa harapan baru bagi praktik pengelolaan hutan yang bijak, disela laju kehilangan hutan Indonesia yang semakin tak terbendung.

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

253

Masyarakat Iban Menua Sungai Utik merupakan bagian dari komunitas adat di Kalimantan Barat, tepatnya di Desa Batu Lintang, Kecamatan Embaloh Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu. Wilayah hukum adat Iban Menua Sungai Utik seluas kurang lebih 9,5 ribu hektare merupakan hulu DAS Kapuas dan berbatasan langsung dengan daerah penyangga Taman Nasional Betung Kerihun di sebelah utara. Seperti juga wilayah hutan lain di Indonesia, luas hutan di Kalimantan Barat semakin berkurang akibat tekanan dari praktik pengelolaan hutan yang eksploitatif sehingga terjadi perubahan fungsi hutan yang signifikan.

Sungai Utik secara administratif berada di Kecamatan Embaloh Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Di bagian utara Sungai Utik berbatasan langsung dengan Serawak sedangkan di bagian timur berbatasan dengan propinsi Kalimantan Timur, bagian barat berbatasan dengan Kabupaten Sintang.

Sungai Utik secara adat merupakan bagian dari Ketemenggungan Jalai Lintang, Sementara wilayah Ketemenggungan Jalai Lintang sendiri selain Sungai Utik meliputi Kulan, Ungak, Apan dan Sungai Tebelian. Komposisi demografi masyarakat di Sungai Utik mayoritas adalah Dayak Iban, demikian pula di Ketemenggungan Jalai Lintang.2 Masyarakat Dayak Iban di Jalai Lintang sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani, baik lahan kering (umai pantai) ataupun lahan basah (umai payak). Merekapun masih menjalankan ritual adat yang berkaitan dengan relasi antar manusia (kelahiran, perkawinan dan kematian) maupun relasi antara manusia dengan alam (adat ngintu menua, adat bumai, membuat rumah, tanah mali dan kampong mali). Relasi antara manusia dengan alam menjadi penting disini karena mendasari pandangan dan filososfi Masyarakat Dayak Iban dalam mengelola sumber daya alam dan manfaaat bagi kehidupan mereka.

Secara turun temurun masyarakat Dayak Iban di Sungai Utik memiliki aturan pengurusan wilayah adatnya yang masih dipegang dan dijalankan dalam mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam di wilayah adatnya. Menurut pengelolaan dan peruntukan kawasan, Masyarakat Dayak Iban di Sungai Utik membagi wilayahnya ke dalam 15 kategori peruntukan dan pengelolaan kawasan.

! Rumah Panjae: Merupakan kawasan pemukiman penduduk. ! Taba': Kawasan yang ditunjuk/dipilih sebagai lokasi rumah

panjae. ! Temawai: Adalah kawasan bekas lokasi rumah panjae atau

pondok (langkau) ! Damun: Suatu kawasan bekas ladang. Terdapat beberapa jenis

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

254

damun berdasarkan penampakan dan lamanya suatu damun ditinggalkan. Sifat kepemilikannya adalah individual dan bisa diwariskan

! Tanah Mali: Kawasan hutan yang tidak boleh dibuka untuk areal perladangan. Segala sesuatu yang ada di dalam tidak boleh dipungut atau diambil, biasanya tempat ini digunakan sebagai tempat untuk menyembelih ayam/babi untuk keperluan upacara kematian.

! Kampong Puang: Kampong Puang merupakan tanah/hutan yang dimiliki secara kolektif oleh Masyarakat Dayak Iban.

! Pendam: Merupakan kawasan yang khusus diperuntukan dan digunakan sebagai tempat pemakaman/pekuburan.

! Penganyut Aek: Wilayah yang diperuntukan dan dikelola sebagai sumber (mata) air. Biasanya berlokasi di sepanjang aliran sungai dan juga digunakan sebagai jalur transportasi.

! Pulau: Merupakan kawasan hutan yang berfungsi sebagai hutan cadangan karena kekhususannya, misal: pulau buah, pulau tapang, pulau kayu dan sejenisnya. Status kepemilikannya bisa individu maupun kolektif.

! Hutan Simpan: Kawasan Hutan adat yang dilindungi sebagai hutan cadangan. Di kawasan ini tidak boleh dibuka ladang. Kawasan ini dimiliki secara kolektif.

! Redas: Areal yang diperuntukan untuk kebun (tanaman sayur-sayuran)

! Tapang Manye: Pohon Madu (merupakan kepemilikan individu penemu pohon dan bisa diwariskan)

! Tanah Kerapa: Kawasan lahan basah atau tanah rawa yang biasanya juga diperuntukkan sebagai lahan perladangan (Umai Payak)

! Tanah Endor Nampok: wilayah keramat untuk bertapa ! Umai: diperuntukkan sebagai areal ladang, biasa disebut sebagai

Umai Pantai

Keberadaan hutan adat di masyarakat Dayak Iban Sungai Utik merupakan hal yang sangat penting. Guna menjaga keseimbangan dan manfaat yang berkelanjutan dari relasi antara manusia dengan alam maka dalam adat Dayak Iban berkembang konsep pembagian hutan adat. Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik membagi tiga kawasan hutan adatnya, yaitu:

! Kampong Taroh: Merupakan kawasan hutan yang tidak boleh ada kegiatan perladangan, mengambil/menebang kayu. Kampong Taroh adalah kawasan hutan lindung adat, ditujukan untuk melindungi mata air dan perkembangbiakan satwa. Tempat yang

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

255

merupakan Kampong Taroh biasanya berada di hulu-hulu Sungai. ! Kampong Galao: Merupakan kawasan hutan cadangan. Kegiatan

yang diperbolehkandi dalam kawasan ini adalah mengambil tanaman obat, mengambil kayu api dan membuat sampan. Pemanfaatan hutan ini sangat terbatas dan diawasi sangat ketat, bahkan terdapat sanksi adat jika melakukan pelanggaran di kawasan ini.

! Kampong Endor Kerja: Merupakan kawasan hutan produksi di mana hutan ini ditujukan untuk fungsi produksi dan dikelola secara adil dan berkelanjutan.Di kawasan ini boleh diambil kayunya dengan syarat diameter kayu yang di ambil di atas 30 cm. Selebihnya kawasan hutan ini juga difungsikan sebagai sumber bibit.

Menurut Forest Watch Indonesia (2008), luas hutan alam yang bisa dikatakan berkondisi baik di Kalimantan Barat terus menyusut hingga 1,9 juta hektare.Kehilangan hutan alam banyak disumbang oleh praktik pengelolaan hutan yang mengabaikan prinsip kelestarian.

Melihat ancaman dan tekanan terhadap keberadaan hutan di sungai Utik maka tidak berlebihan jika kemudian muncul berbagai macam strategi untuk mempertahankan hutan adat. Masyarakat Dayak Iban di Sungai Utik bersama beberapa lembaga lokal (PPSHK, LBBT, Pancur Kasih) mengembangkan beberapa inisiatif dan alternatif untuk menjawab ancaman dan tekanan tersebut termasuk pengakuan atas hak masyarakat adat terhadap tanah adat dan praktek pengelolaan hutan yang berkelanjutan. Sinergi yang dibangun antar lembaga lokal yang bekerja di Sungai Utik memberikan dampak yang positif kepada masyarakat Dayak Iban.

Beberapa initisiatif yang dikembangkan di Sungai Utik bersama dengan lembaga pendamping antara lain:

! Bersama dengan Pancur Kasih mengembangkan usaha Credit Union (koperasi kredit) atau dikenal dengan istilah CU. Hal ini dikembangkan untuk memperkuat ekonomi masyarakat dan mengurangi tekanan internal terhadap hutan adat.

! Bersama dengan LBBT mengembangkan inisiatif untuk membangun dan memperkuat kedudukan masyarakat Dayak Iban Sungai Utik secara politis. Inisiatif yang dilakukan adalah melakukan studi identifikasi Hak Ulayat Masyarakat Adat Sungai Utik dan sekitarnya. Dari inisiatif ini melahirkan sebuah hasil studi dan juga sebagai bahan penyusunan draft perda yang mengakui keberadaan masyarakat Sungai Utik beserta wilayah adatnya.

! Sejak beberapa tahun yang lalu PPSHK Kalbar bersama dengan

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

256

masyarakat di Sungai Utik telah memulai mengembangkan kegiatan yang terfokus pada pengelolaan sumber daya hutan. Kegiatan yang berkembang dimulai dari peta partisipatif wilayah adat, perencanaan kawasan serta mengembangkan industri mebel. Pemikiran pengolahan hasil hutan menjadi barang/produk dan akan memberikan keuntungan lebih bagi masyarakat, yaitu mendapatkan pengakuan atas wilayah dan bentuk pengelolaan menurut adat.

! Masyarakat Sungai Utik bersama AMAN dan PPSHK Kalbar mencoba memperluas cakupan manfaat yang tidak saja secara politis, ekonomi tetapi juga ekologis dan ketrampilan dalam aspek pengelolaan hutan dengan merujuk prinsip-prinsip kelestarian melalui inisiatif community logging. Inisiatif ini didasarkan pada potensi sumber daya alam/hutan yang masih bagus, masyarakat adatnya yang masih menjaga nilai-nilai pengelolaan sumber daya hutan yang berorientasi kelestarian serta potensi dan kapasitas lembaga pendamping. Pada akhir kegiatan community logging ini, diharapkan model Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat yang dilakukan di sungai Utik dan produksinya akan diakui pasar melalui skema sertifikasi pengelolaan hutan dari Lembaga Ekolabel Indonesia.

Jauh sebelum masuknya perusahaan HPH hingga mendapatkan sertifikat ekolabel, masyarakat adat Iban Menua Sungai Utik telah melakukan pengelolaan hutan adatnya secara lestari berdasarkan hukum adat yang sudah berlaku ratusan tahun. “Tanah dan air tidak memiliki benih, sehingga kami harus jaga untuk generasi mendatang”, kata Apai Janggut, Kepala Rumah Panjang Sungai Utik. “Sesudah hutan adat kami mendapatkan sertifikasi ekolabel, kami akan tetap mengelola hutan kami secara lestari, karena hutan merupakan kehidupan kami, dan biarlah masyarakat adat yang lain mengikuti langkah kami”, Apai Janggut menambahkan.

Secara umum kriteria dan indikator penilaian (Aspek Ekologi, Sosial dan Produksi) atas pengelolaan hutan adat Iban Menua Sungai Utik memenuhi syarat ideal untuk memperoleh sertifikat ekolabel, meskipun secara bertahap masih harus dilakukan perbaikan kelembagaan dalam unit manajemennya. Sertifikat Ekolabel bagi pengelolaan hutan oleh komunitas masyarakat adat merupakan upaya nyata di tingkat tapak untuk mempertahankan hutan alam yang tersisa. Pemberian sertifikat ini merupakan hal yang membanggakan dan harus dijadikan contoh solusi untuk mencegah berlanjutnya penghancuran hutan di Indonesia.

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

257

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

258

Kehutanan Masyarakat

PENUTUP

BAB 12

259

Bangsa Indonesia patut bersyukur kepada Allah SWT karena telah dikarunia hutan tropik dengan nilai keanekaragaman hayati yang sangat tinggi, tersebar di seluruh tanah air mulai dari pantai sampai pegunungan tinggi dengan tipe-tipe hutan yang bervariasi sesuai dengan kondisi pedoegroklimatnya. Indonesia merupakan negara terbesar ketiga setelah Brasil dan Zaire yang memiliki hutan tropik yang merupakan salah satu pusat mega biodeversity di dunia.

Selama tiga dasawarsa terakhir, sektor kehutanan telah memberikan andil yang cukup besar dalam menopang laju pembangunan ekonomi nasional, karena mana sektor ini berperan sebagai penghasil devisa terbesar, pendorong ekonomi wilayah, pendukung sektor terkait dan penyedia lapangan kerja. Dalam masanya, Indonesia pernah dikenal sebagai penghasil kayu lapis terpenting di dunia dan telah diprediksikan akan menjadi produsen pulp dunia di masa depan.

Tahun 70-an merupakan awal dimulainya sektor kehutanan di indonesia. Selama dua dasawarsa sektor kehutanan merupakan penghasil devisa terbesar di Indonesia mendampingi sektor pertambangan khususnya migas. Saat itu bisnis di sektor ini boleh dibilang ibarat bagai menambang emas hijau yang tak ada habisnya. Slogan bahwa sumber daya alam hutan memiliki sifat “Renewable” semakin membuat bisnis disektor ini diminati oleh berbagai kalangan. Diperkirakan hingga tahun 90-an jumlah HPH di Kalimantan saja mencapai kurang lebih 450 HPH.

Seiring dengan kontribusinya yang besar terhadap sektor riil di bidang ekonomi, di sisi lain pembangunan kehutanan dengan berbagai aktivitas eksploitasi secara besar-besaran ternyata berpengaruh negatif terhadap kualitas sumberdaya hutan itu sendiri dan kesejahteraan masyarakat khususnya mereka yang menggantungkan hidupnya pada sumberdaya hutan.

Selama lebih dari tigapuluh tahun sumber daya hutan dikelola secara masif, seragam, sentralistik, nirpartisipatif rakyat, padat modal dan monopolistik yang berakibat pada pemusatan kekuasaan pengusahaan hutan menjadi kewenangan pusat seutuhnya dan dikuasai para konglomerat, tanpa memperdulikan kepentingan masyarakat pada tingkat akar rumput. Penguasaan dan pengelolaan hutan tersebut telah menimbulkan berbagai

Teori dan Implementasi

konflik di masyarakat secara berkepanjangan. Salah satu sebab pokoknya adalah pengabaian sejarah, bahwa di berbagai tempat di tanah air, kawasan-kawasan hutan ini bukanlah bidang kosong dari manusia, sehingga menyebabkan masyarakat lokal menjadi kehilangan akses atas sumberdaya hutan.

Oleh karena itu trend pengelolaan sumberdaya hutan sekarang ini adalah melakukan desentralisasi dan devolusi pengelolaan kepada stakeholder di level bawah termasuk melibatkan secara aktif partisipasi masyarakat melalui melalui konsep pengelolaan hutan berbasis masyarakat (PHBM) menuju pengelolaan yang adil, demokratis serta berkelanjutan. Tujuannya untuk mewujudkan pengelolaan dan keberlanjutan sumber daya alam seperti sumber daya hutan, dengan menempatkan posisi masyarakat sebagai bagian terpenting dari sumber daya itu sendiri. Dimana masyarakat mendapatkan kepercayaan dan kesempatan untuk ikut mengelola hutan rakyat sesuai dengan nilai dan konsep yang mereka miliki.

Pengelolaan hutan bersama masyarakat merupakan orientasi pembangunan kehutanan dewasa ini. Konsep ini tidak lagi menempatkan masyarakat sekitar hutan sebagai buruh atau penonton praktek pengelolaan hutan, dan bersorak kegirangan ketika melihat logging trucks mengangkut ber-kubik-kubik kayu bulat dari hutan yang tidak jauh dari kebun-kebun mereka. Masyarakat sekitar hutan memang selama ini belum mendapatkan tempat yang adil dalam pengelolaan hutan sistem HPH. Mereka tetap dan semakin miskin karena hutan tidak lagi mampu mensuplai air untuk persawahan mereka. Mereka semakin sulit mendapatkan hewan buruan di hutan yang semakin termarginalkan. Pohon duren yang dulu subur dengan buah yang rimbun, kini semakin langka.

Kita harus mengakui bahwa sejak awal sejarah peradabannya manusia memiliki keterkaitan yang erat dengan sumberdaya hutan. Masyarakat lokal telah sejak lama memahami prinsip bahwa hutan alam klimaks lebih merupakan puncak keseimbangan ekologis daripada mampu menjanjikan produktivitas tinggi bagi kepentingan hidup manusia. Banyak bukti-bukti yang menunjukkan bahwa pemanfaatan hutan dan lahan hutan oleh masyarakat mampu menjawab persoalan lingkungan dan sosial ekonomi masyarakat.

Dari waktu ke waktu praktik pemanfaatan hutan dan lahan hutan oleh masyarakat meskipun di bawah tekanan sosial politik yang tidak menguntungkan masih bertahan dan menunjukkan kemampuannya untuk mewujudkan kelestarian sumber daya alam. Misalnya saja, sistem Lembo di Kalimantan Timur, kebun Kemenyan di Tapanuli Utara, Kebun Karet di Jambi, Kebun Damar di Krui, Kebun Hutan Durian di Benawai Agung, Tembawang di Sanggau, Kebun Rotan di Bentian, Hutan Adat di Tenganan, Sistem Dukuh dan

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

260

Asyura di Kalimantan Selatan dan masih banyak lagi yang lainnya yang kesemuanya itu menunjukkan bahwa rakyat yang hidup di sekitar hutan memiliki pengalaman panjang dan kemampuan yang memadai untuk mengelola hutan.

Darusman et al., 2001 menyimpulkan bahwa Usaha Kehutanan Masyarakat telah membuktikan tingkat resiliensi yang tinggi terhadap terpaan gelombang krisis ekonomi yang melanda sendi-sendi perekonomian nasional sejak 1997. Lebih lanjut dikatakan bahwa terdapat dua faktor internal masyarakat (keluarga) yang sangat berpengaruh terhadap resiliensi Usaha Kehutanan Masyarakat, yaitu tingkat pengetahuan (know-how) dan responsifitas (low profile).

Pengetahuan dan budaya merupakan hal penting yang mempengaruhi kearifan masyarakat dalam melakukan pengelolaan sumberdaya hutan dan usaha-usaha ekonominya.

Community Base Forest Management atau Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (dalam prakteknya bisa berupa hutan rakyat, hutan adat, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat dan lainya) merupakan sistem pengelolaan sumber daya alam hutan yang dikembangkan oleh masyarakat di lingkungannya bagi kesejahteraannya. Hutan bukan sekedar tegakan pohon melainkan suatu sistem pengelolaan kawasan wilayah hukum adat yang elemennya terdiri atas hutan alam, hutan sekunder, sungai, danau, ladang, kebun, pemukiman, tanah keramata dan komunitas serta sistem ekologinya. Sistem ini memberikan syarat bagi berlangsungnya kehidupan. Misalnya sebagai penyedia air, menjaga kesuburan tanah, penyedia bahan makanan, papan, sandang, obat-obatan dan religi.

Sebagai pembeda dengan sistem pengelolaan hutan lainnya, PHBM memiliki karakteristik program sebagai berikut :

1. Masyarakat setempat (lokal) sebagai aktor utama pengelola hutan 2. Lembaga pengelolaan dibentuk, dilaksanakan dan dikontrol secara

langsung oleh rakyat yang bersangkutan. 3. Sistem memiliki atau menguasai wilayah yang jelas dan memiliki

kepastian hukum (adat dan nasional) yang mendukungnya. 4. Interaksi antara rakyat dan lingkungannya bersifat erat dan langsung 5. Pengetahuan lokal memiliki tempat yang penting dan melandasi

kebijaksanaan dan tradisi sistem. 6. Teknologi yang digunakan adalah melalui proses adaptasi yang berada

dalam batas-batas yang dikuasai rakyat. 7. Skala produksi tidak dibatasi kecuali prinsip-prinsip kelestarian

(sustainability). 8. Sistem ekonomi didasarkan pada kesejahteraan bersama dan

keuntungan dibagi secara adil dan proporsional.

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

261

9. Keanekaragaman mendasari berbagai bidang yaitu jenis dan genetis, pola budidaya dan pemanfaatan sumber daya, sistem sosial, sistem ekonomi dan sebagainya.

Konsep Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) dikembangkan sebagai antitesis terhadap konsep negara dalam pengelolaan sumberdaya hutan yang telah terbukti mengakibatkan kerusakan hutan dan marginalisasi rakyat. Dalam pengembangan konsep PHBM, masyarakat terlibat secara aktif, berakar di masyarakat dan bersendikan adat isitiadat maupun norma-norma yang berlaku di masyarakat pula. Dimana penguasaan lahan , distribusi, pemanfaatan dan pengusahaannya tidak terlepas dari adat dan kebiasaan setempat. Bahkan dikontrol oleh pranata sosial dan budaya lokal. Artinya pengembangan PHBM bukan untuk tujuan ekonomi semata, karena sistem ini secara tegas menekan bahwa aktor utamanya adalah rakyat yang berada pada komunitas-komunitas lokal.

Akhirnya PHBM sebagai sebuah model pengelolaan hutan akan mampu merakit pengelolaan hutan yang berbasis masyarakat serta berorientasi kepada kelestarian ekosistem hutan kedalam sistem manajemen hutan merupakan langkah yang sangat mendesak untuk meningkatkan kualitas pengelolaan sumberdaya hutan yang lestari dan terintegrasi.

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

262

Kehutanan Masyarakat

DAFTAR PUSTAKA

263

Adi, I.R. 2003. Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat dan Intervensi Komunitas. Jakarta: Lembaga Penerbit FEUI.

Ahmad, M. 1995. The Role of Timber Production in Indonesian Economy: Reality or Illusion? Konphalindo. Jakarta.

Angelsen, A. 1995. Shifting Cultivation and 'Deforestation': a Study from Indonesia. World Development 23 (10): 1713-1729.

Andayani, W. 2005. Ekonomi Agroforestri. Debut Press.Yogyakarta

Anonim. 2002. Bangun Hutan Bersama Masyarakat. PHBM Mengubah Masyarakat Jadi Pelaku Utama Pengelola Hutan. Http://www.pikiranrakyat.com

A n o n i m . 2 0 0 3 . M e n u j u P e n g e lo la a n B e r s a m a S e c a r a a da f t i f . Http://www.cifor.cgiar.org

Anonim. 2004. Potensi Hutan Rakyat Indonesia 2003. Kerjasama antara Pusat Inventarisasi dan Statistik Kehutanan, Departemen Kehutanan dengan Direktorat Statistik Pertanian, Badan Pusat Statistik. Jakarta.

A n o n i m . 2 0 0 8 . P o tr e t Pe n g e lo la a n H u t a n A da t di S u n g a i U t i k . Http://alamkoe08.multiply.com/journal/item/5/Potret_Pengelolaan_Hutan_adat_di_sungai_Utik

Ascher, W. 1993. Political Economy and Problematic Forestry Policies in Indonesia: Obstacles to Incorporating Sound Economics and Science. The Center for Tropical Conservation. Duke University.

Asysyfa. 2008. Karakteristik Sistem Perladangan Suku Dayak Meratus Kecamatan Loksado Kalimantan Selatan. Jurnal Hutan Tropis Borneo (9) 24 :25-29

Awang, S. 1991. HPH Membangun Desa Hutan. Dalam Prospek Pedesaan: Hutan, Perladangan dan Pertanian Masa Depan. Prospek Pedesaan, edisi keenam. P3PK UGM, Yogyakarta.

Awang, S.A. 1993. Pembangunan Masyarakat dan Keserasian mewujudkannya dalam pengelolaan hutan yang lestari di Indonesia. Fakulats Kehutanan UGM. Yogyakarta

Awang, S (ed ). 1999. Forest for People: Berbasis Ekosistem. Pustaka Hutan rakyat. Bigraf Publlishing, Yogyakarta.

Awang, S. 2003. Politik Kehutanan Masyarakat. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Teori dan Implementasi

Awang, S. 2004. Dekonstruksi Sosial Forestri: Reposisi Masyarakat dan Keadilan Lingkungan.. Bigraf Publishing dan Program Pustaka. Didanai oleh Ford Foundation, Yogyakarta.

Awang, S. 2006. Sosiologi Pengetahuan Deforestasi: Konstruksi sosial dan perlawanan. Debut Press, Yogyakarta.

Awang, S. 2008. Mengukur Demokrasi Indonesia: Politik, ekonomi, dan ekologi. Makalah disampaikan pada acara Seminar Kagama tanggal 18 April 2008 di Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 2004. Potensi Hutan Rakyat Indonesia 2003. Direktorat Statistik Pertanian, Jakarta,.

Bachrach P. Dan M.S. Baratz. 1970. Power and Poverty: Theory and Practice. New York: Oxford University Press.

Bappeda dan PPKD Kalteng. 1995. Profil Ladang Berpindah di Kalimantan Tengah. Bappeda Propinsi Dati I Kalimantan Tengah dan Pusat Penelitian Kebudayaan Dayak.

Barbier, E B, Bockstael, N, Burgess, J C, & Strand, I, (1993), The timber trade and tropical deforestation in Indonesia, LEEC Paper DP 93-01, London Environmental Economics Centre.

Bina Kelola Pembangunan. 1991. Metode dan Teknik Perencanaan Proyek. Jakarta.

Chomitz, K M, & Griffiths, C, (1996), Deforestation, shifting cultivation and tree crops in Indonesia: nationwide patterns of smallholder agriculture at the forest frontier, Research Project on Social and Environmental Consequences of Growth-Oriented Policies, Working Paper 4, World Bank, Washington DC.

CIFOR . 2004. Manfaat Lingkungan yang Bertumpu pada Hutan Rakyat. Bogor,.

Colfer, C J P, with Dudley, R G, (1993), Shifting Cultivators of Indonesia:Marauders or Managers of the Forest? Community Forestry Case Study Series 6, FAO, Rome.

Curran and M'Gonigle 1997, dalam the Forests and Communities website, http://www.forestsandcommunities.org /ecosystem.html Dauvergne, P, 1994. The politics of deforestation in Indonesia. Pacific Affairs 66(4): 497-518.

Dauvergne, P, (1994), The politics of deforestation in Indonesia, Pacific Affairs 66(4): 497-518.

De Jong, W, 1997. Developing swidden agriculture and the threat of biodiversity loss. unpublished manuscript.

Departemen Kehutanan. 1995. Laporan: Inventarisasi dan Identifikasi Perladangan Berpindah/Perambahan Hutan Propinsi Kalimantan Timur, Tahun Anggaran 1994/1995, Departemen Kehutanan, Kantor Wilayah Propinsi Kalimantan Timur, Samarinda.

Departemen Kehutanan. 2004. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.03/Menhut-V/2004 tentang Pedoman Pembuatan Tanaman Hutan Rakyat Gerakan RHL.

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

DepTrans &YDWL. 1996. Upaya Penanganan Permasalahan Perambah Hutan di Propinsi Kalimantan Timur (Taman Nasional Kutai) dan Kalimantan Selatan (Sungai Pinang), Departemen Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan, Kantor Wilayah Propinsi Kalimantan Timur dan Yayasan Dharma Wana Lestari, Fakultas Kehutanan, Universitas Mulawarman, Samarinda.

Dick, J. 1991. Forest land use, forest use zonation, and deforestation in Indonesia: a summary and interpretation of existing information, Background paper to UNCED for the State Ministry for Population and Environment (KLH) and the Environmental Impact Management Agency (BAPEDAL).

Dove, M R. 1985. The agroecological mythology of the Javanese, and the Political Indonesia 36:1-36.

Dove, M R. 1993. Smallholder rubber and swidden agriculture in Borneo: a sustainable adaptation to the ecology and economy of the tropical forest. Economic Botany 47(2): 136-147.

Dove, M R. 1996. So far from power, so near to the forest: a structural analysis of gain and blame in tropical forest development', pp 41-58

Downton, M W. 1995. Measuring tropical deforestation: development of the methods. Environmental Conservation 22(3): 229-240.

Dudung D dan Hardjanto. 2006. Tinjauan Ekonomi Hutan Rakyat: Prosiding Seminar Hasil Penelitian Hasil Hutan 2006 : 4-13

Emila dan Suwito. 2007. Hutan Tanaman Rakyat: Agenda Baru untuk Pengentasan Kemiskinan. Warta Tenure Nomor 4 - Februari 2007

Endogeotec Visicon, (1996), Studi pola migrasi perambah hutan, Lokasi: Sumatra Selatan dan Lampung, Endogeotec Visicon, Jakarta.

FAO. 1990. Situation and Outlook of the Forestry Sector in Indonesia, Vol. 1: Issues, Findings and Opportunities, Ministry of Forestry, Government of Indonesia; FAO, Jakarta.

Fauzi, Hamdani. 2000. Analisis Pelaksanaan Pembinaan Masyarakat Desa Hutan di Kalimantan Selatan. Fakultas Kehutanan Unlam. Banjarbaru

Fauzi, Hamdani. 2008. Peranan Hasil Hutan Non Kayu terhadap Pendapatan Masyarakat. Jurnal Hutan Tropis Borneo (9) 23 : 73-82

Fraser, A I. 1996. Social, economic and political aspects of forest clearance and land-use planning in Indonesia, Unpublished manuscript.

Hafizianor. 2002. Pengelolaan Dukuh ditinjau dari Perspektif Sosial-Ekonomi dan Lingkungan. Tesis S-2 (tidak dipublikasikan). Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta

Hardjanto. 2003. Keragaan dan Pengembangan Usaha Kayu Rakyat Di Pulau Jawa. Disertasi. (Tidak dipublikasikan). Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor.

Hasanuddin, L, 1996. Mitos-mitos pengelolaan hutan di Indonesia, Kertas Posisi No. 02,Wahana Lingkungan Hidup Indonesia/Friends of the Earth Indonesia.

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

265

Heru Iswantoro, 2001, Developing Criteria and Indicators for Assessing the Functioning of Forest Protection Communities: Case Studies from West Bengal and Indonesia, Disertasi Program Doktor (PhD), tidak dipublikasikan, Rural Development Center, Indian Institute of Technology, West bengal, India

Hikmat, H. 2004. Strategi Pemberdayaan Masyarakat. Humaniora: Bandung.Ife, J.W. 1995. Community Development: Creating Community Alternatives, Vision,

Analysis and Practice: Longman. Australia.

Jamasy, O. 2004. Keadilan, Pemberdayaan, & Penanggulangan Kemiskinan. Blantika. Jakarta Selatan

Kartasasmita, G. 1996. Power and Empowermant: Sebuah Telaah Mengenal Konsep Pemberdayaan Masyarakat. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.

Kementerian Kehutanan. 2010. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P.08/Menhut-II/2010 tentang Rencana Strategis Kementerian Kehutanan 2010-2014. Jakarta

Lahadjir. 2001. Etnoekologi Perladangan Orang Dayak Tunjung Linggang. Galang Press. Yogyakarta.

Limberg, Godwin, Ramses Iwan, Eva Wollenberg & Moira Moeliono. 2006. Peluang dan Tantangan untuk Mengembangkan Hutan Kemasyarakatan Pengalaman dari Malinau. Center for International Forestry Research.

Mardikanto, T. 1996. Penyuluhan Pembangunan Kehutanan. Kerjasama Pusat Penyuluhan Kehutanan Dephut-Faperta UNS. Jakarta

Maskoen, S. 1967. Aspek planning dalam pembinaan desa. Akademi Pemerintahan Dalam Negeri. Bandung

Mubiyarto et.al. 1991. Pengantar Ekonomi Pertanian. LP3ES. Jakarta

Ostrom, 1986. Advocates The Use Of The Term Management System. McGraw Hill Book Co.Inc.N.Y. P.142-147

Partono. S. 2002. Kontribusi Kehutanan dalam Era Otonomi Daerah. Dinas Kehutanan Propinsi Kalimantan Selatan. Banjarbaru

Paul, S. 1987. Community Partisipation in development Project. The World Bank Experience. The World Bank. Washington, D.C.Padoch, C, & Peluso, N L, (eds.), Borneo in Transition: People, Forests, Conservation, and Development, Oxford University Press, Kuala Lumpur.

Payne, M. 1997. Social Work and Community Care. McMillan. London

Porter, G. 1994. The environmental hazards of Asia Pacific development: the Southeast Asian rainforests, Current History 93(587): 430-434.

Pranaka dan Vidhyandika. 1996. Pemberdayaan (Empowerment). Centre of Strategic and International Studies (CSIS). Jakarta

Priyono, O.S. & A.M.W. Pranarka, 1996. Pemberdayaan: Konsep, Kebijakan dan Implementasi. Center for Strategic and International Studies (CSIS). Jakarta

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

266

Rappaport. 1987. Terms of Empowerment: Toward a theory for Community Psychology. American Journal of Communitry Psychology. (15) 2: 15-16

Rezekiah, A, A. 2006. Perladangan Masyarakat Dayak Bukit Meratus di Kecamatan Loksado Hulu Sungai Selatan. Tesis Program PascaSarjana (tidak dipublikasikan). Yogyakarta

Robinson, J.R. 1994. Community Development in Perspective. Ames: Iowa State University Press

Ross, M. 1996. Conditionality and logging reform in the tropics, pp 167-197 in: Keohane, R O & Levy, M A, (eds.), Institutions for Environmental Aid: Problems and Prospects, MIT Press, Cambridge, Massachusetts.

Roy, S.B. 1999. Joint Forest Management in India Presentation made for Workshop on Training for Social Forestry Official”, Bogor, April 1999.

Rusdiansyah, S. 1981. Ekonomi Pembangunan : Proses masalahan dan Dasar kebijakan. Fakultas Ekonomi UI. Jakarta

Sanchez, A, P. 1992. Sifat dan Pengelolaan Tanah Tropika 1 dan 2. Penerbit ITB. Bandung.

Sardjono, M.A. 1996. Kajian aspek sumberdya manusia dalam pelaksanaan program PMDH : Permasalahan dan alternatif pemecahan masalah. Fakultas Kehutanan Unmul. Samarinda

Sardjono,M.A. 1998. Upaya PemberdayaanMasyarakat di SekitarKawasanHutan diKaltim: Analisis Krisis Implementasi dan Perspektif ke Depan. Lokakarya Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah. Samarinda 21-22Oktober 1998.

Scott, J.C. 1976. Moral Ekonomi Petani. Pengolahan dan Subsistensi di Asia Tenggara. Terjemahan Hasan Basari. LP3ES. Jakarta.Simon, Hasanu. 1993. Hutan Jati dan Kemakmuran. Aditya Media, Yogyakarta

Simon, Hasanu. 1994. Merencanakan Pembangunan Hutan untuk Strategi Kehutanan Sosial, Yayasan Pusat Studi Sumber Daya Hutan. Yogyakarta

Simon, Hasanu. 1999. Pengelolaan Hutan Bersama Rakyat (Cooperative Forest Management). Penerbit Bigraf Publishing. Yogyakarta

Simon, Hasanu. 2004. Perencanaan Pembangunan Hutan (Diktat Kuliah S-2). Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta

Slamet, M. 2003. Pemberdayaan Masyarakat. Dalam Membetuk Pola Perilaku Manusia Pembangunan. Disunting oleh Ida Yustina dan Adjat Sudradjat. Bogor: IPB Press

Sonja Vermeulen. 2001. Memahami KF: lima hal pokok yang perlu dipertimbangkan. Embarking on komuniti forestri: five points to keep in mind. IIED

Suharjito, Didik et.al. 2000 Karekteristik Pengelolaan Hutan Berbasiskan Masyarakat. Aditya Media. Yogyakarta.

Sulistiyani, A.T. 2004. Kemitraan dan Model-Model Pemberdayaan. Gaya Media. Yogyakarta

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

267

Sumardjo. 1999. Transformasi Model Penyuluhan Pertanian Menuju Pengembangan Kemandirian Petani: Kasus di Propinsi Jawa Barat. Disertasi Doktor. Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Sumodiningrat, G. 2000. Visi dan Misi Pembangunan Pertanian Berbasis Pemberdayaan. IDEA. Yogyakarta

Thiele, R, (1994), How to manage tropical forests more sustainably: the case of Indonesia, Intereconomics 29(4): 184-193.

Tjokrowinoto, M. 2001. Pembangunan Dilema dan Tantangan.Pustaka Pelajar. Yogyakarta

Tomich, T P & van Noordwijk, M, 1995. What drives deforestation in Sumatra?, Paper presented at Regional Symposium on “Montane Mainland Southeast Asia in Transition”, Chiang Mai, Thailand, 13-16 November 1995.

U d i a n s y a h . 2 0 0 8 . P e m b a n g u n a n H u t a n Ta n a m a n R a k y a t P o la Kemitraan.Http://udiansyah.blogspot.com/2008/11/pembangunan-hutan-tanaman-rakyat-pola_24.html

Umar. S. 2002. Proses pembentukan agroforest khas Sulawesi Tengah. Intitut Pertanian Bogor. Bogor

WALHI, (1992), Violated Trust: Disregard for the Forests and Forest Laws of Indonesia, The Indonesian Environmental Forum (WALHI), Jakarta.

Weinstock, J A & Sunito, S. 1989. Review of shifting cultivation in Indonesia, Directorate General of Forest Utilization, Ministry of Forestry, Government of Indonesia and FAO, Jakarta.

Widayanti W.T. dan Slamet Widodo, 1999, Pemerataan dan Pemanfaatan Pendapatan Keluarga Petani Hutan, Jurnal Hutan Rakyat Volume 1 Nomor 1 November, 1999.

Widodo, S. 1995. Kebijakan Kegiatan Pembinaan Masyarakat Desa Hutan. Direktorat Bina Pengusahaan Hutan-Dephut. Jakarta.

World Bank. 1990. Indonesia: Sustainable Development of Forests, Land, and Water, The World Bank, Washington, DC.

World Bank. 1994. Indonesia: Environment and Development, The World Bank,Washington, DC.

Yunida. 2007. Analisis Perkembangan Penduduk Dan Pengaruhnya Terhadap Kelestarian Kawasan Hutan Lindung Loksado (tidak dipublikasikan). Tesis Pasca Sarjana Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat.

Zerner, C, 1992. Indigenous forest-dwelling communities in Indonesia's outer islands: livelihood, rights, and environmental management institutions in the era of industrial forest exploitation, Unpublished manuscript.

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

268

Kehutanan Masyarakat 269

GLOSARIUM

Agroforestryi : Istilah kolektif untuk sistem-sistem dan teknologi penggunaan lahan, yang secara terencana dilaksanakan pada suatu unit lahan dengan mengkombinasikan tumbuhan berkayu (pohon, perdu, palem, bambu dan lain-lain) dengan tanaman pertanian dan/atau hewan (ternak) dan/atau ikan, yang dilakukan pada waktu bersamaan atau bergiliran sehingga terbentuk interaksi ekologis dan ekonomis antar berbagai komponen yang ada

Dukuh : Istilah untuk kebun buah yang terdiri dari kelompok pohon yang didominasi oleh buah-buahan dari hasil tanaman permudaan alam yang pola tanamnya tidak teratur, strata tidak seragam, tidak seumur, menyerupai hutan alam

Ekosistem : Unit dasar fungsional yang merupaka lingkungan bagi makhluk hidup maupun benda mati yang masing-masing ikut menentukan sifat-sifat anggotanya dan diperlukan untuk menjaga kelestarian bumi

Erosi : Suatu proses atau peristiwa hilangny lapisan permukaan atas tanah yang disebabkan pergerakan air dan/atau angin

Hutan : Suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan

Hutan Rakyat : Hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik maupun hak lainnya dengan ketentuan luas minimum 0,25 ha, penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan dan tanaman lainnya lebih dari 50%

Hutan Kemasyarakatan : Hutan Negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat setempat di dalam kawasan hutan negara

Hutan Tanaman Industri : Pengelolaan hutan yang dibangun oleh kelompok industri dalam rangka pemenuhan kebutuhan bahan baku industri hasil hutan

Teori dan Implementasi

Kayu Gergajian : Kayu bulat yang telah dikonversikan dengan mempergunakan gergaji termasuk balok-balok segi empat pacakan

Kearifan Lokal : Pengetahuan lokal yang sudah demikian menyatu dengan sistem kepercayaan, norma dan budaya yang diekspresikan di dalam tradisi dan mitos yang dianut dalam jangka waktu yang cukup lama ada

Kebun Hutan : Suatu variasi dari kebun pekarangan tradisional yang dikembangkan oleh penduduk local dalam usaha mengembangkan produk yang laku di pasaran

Kebijakan : Cara dan tindakan pemerintah untuk mengatasi masalah pembangunan tertentu atau untuk mencapai tujuan pembangunan tertentu dengan mengeluarkan keputusan, strategi , perencanaan maupun implementasinya di lapangan dengan menggunakan instrument tertentu

Kegiatan Sosial : Kegiatan yang tidak terbatas pada pengaturan rumah tangga tetapi menyangkut kegiatan berhubungan dengan orang-orang di sekelilingnya untuk kepentingan bersama

Kelembagaan : Suatu tatanan dan pola hubungan antara anggota masyarakat atau organisasi yang saling mengikat yang dapat menentukan bentuk hubungan antar manusia atau antara organisasi yang diwadahi dalam suatu organisasi atau jaringan dan ditentukan oleh faktor-faktor pembatas dan pengikat berupa norma, kode etik , aturan formal maupun informal untuk pengendalian perilaku sosial serta insentif untuk bekerjasama dan mencapai tujuan bersama

Kelompok Tani : Kumpulan petani dalam suatu wadah organisasi yang tumbuh berdasarkan kebersamaan, keserasian, kesamaan profesi dan kepent ingan dalam memanfaatkan sumberdaya alam yang mereka kuasai dan berkepentingan untuk bekerjasama dalam rangka meningkatkan produkt ivitas usahatani dan kesejahteraan anggotanya

Kemiskinan : Sebuah kondisi yang berada di bawah garis nilai standar kebutuhan minimum, baik untuk makanan dan non-makanan

Konsesi : Hak yang diberikan kepada pengusaha untuk memanfaatkan dan mengelola hutan secara lestari dan berkelanjutan

Masyarakat Desa Hutan : Kelompok masyarakat setempat, terutama masyarakat tradisional, baik yang berada di dalam hutan maupun di pedesaan sekitar hutan

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

270

Masyarakat tradisional : Masyarakat yang bersikap, berpikir dan bertindak selalu berpegang teguh pada norma dan adat kebiasaan yang ada secara turun temurun

Participatory Rural Apraisal:Sekumpulan pendekatan dan metode atau alat yang mendorong masyarakat pedesaan untuk turut serta meningkatkan dan menganalisa pengetahuan mereka mengenai hidup dan kondisi mereka sendiri, agar mereka dapat membuat rencana dan tindakan

Pembangunan Masyarakat Desa : Seluruh kegiatan pembangunan yang dilaksanakan ke

desa dan mencakup seluruh aspek kehidupan masyarakat yang dilaksanakan secara terpadu dengan mengembangkan prakarsa dan swadaya gotong royong masyarakat.

Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat : Sistem pengelolaan sumberdaya hutan dengan pola

kolaborasi yang bersinergi antara parapihak dan masyarakat desa hutan atau para pihak yang berkepentingan dalam upaya mencapai keberlanjutan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan yang optimal dan peningkatan IPM yang bersifat feksibel, partisipatif dan akomodatif

Peran : Hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang harus di j a la n k a n s e s e o ra n g k a re n a s ta tu s a ta u kedudukannya

Perilaku : Tindakan-tindakan nyata yang merupakan cerminan dari sikap seseorang

Perubahan sosial : Perubahan yang terjadi di dalam suatu masyarakat karena sebab-sebab dari dalam masyarakatnya sendiri maupun karena sebab dari luar

Penyadaran : Proses yang berlangsung melalui pendidikan agar masyarakat belajar memahami persoalan mereka serta mengambil tindakan terhadap unsur-unsur yang menindas

Pemberdayaan : Penguatan masyarakat agar mereka memiliki kemampuan untuk menilai keadaan dirinya sendiri dan memiliki keterampilan untuk merencanakan dan melaksanakan kegiatan mereka sendiri agar hidup mereka lebih baik; Proses membantu individu, keluarga, kelompok dan masyarakat dalam meningkatkan kekuatan personal, interpersonal, sosio-ekonomi dan politik serta mengembangkan p e n g a r u h te r h a da p p e r b a i ka n li n g ku n g a n mereka

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

271

Peluang : Kesempatan untuk menggunakan sumberdaya tanpa memiliki wewenang untuk mengambil keputusan terhadap cara penggunaan dan pemanfaatan hasil sumberdaya tersebut

Penguasaan : Kewenangan penuh untuk mengambil keputusan atas penggunaan dan pemanfaatan hasil sumber daya

Potensi : Segala kemampuan yang mungkin bisa dikembangkan untuk menyelenggarakan kegiatan

Partisipasi : Keterlibatan atau keikutsertaan seseorang di dalam kegiatan di lingkungannya (masyarakat) untuk kepentingan bersama, terutama melalui kegiatan-kegiatan lembaga di masyarakatnya

Penyuluhan Kehutanan : Transformasi teknologi dan penyampaian kebijakan serta informasi kehutanan kepada kelompok masyarakat sasaran melalui pendidikan non formal untuk mengubah perilaku agar tahu, mau dan mampu menerapkan teknologi dan kebijakan itu bagi perbaikan hidupnya serta secara sadar ikut aktif dalam pelestarian hutan dan sumberdaya alam lainnya

Perhutanan Sosial : Upaya atau kebijakan kehutanan yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya yang tinggal di dalam dan sekitar hutan

Perladangan Berpindah : Sistem pertanian secara primitif dengan cara menebang pohon-pohon hutan dan membakar kayunya (slash and burn) kemudian lahan yang telah dibuka ditanami dengan jenis-jenis tanaman pangan sampai kesuburannya menurun. Selanjutnya petani berpindah ke tempat lain dan mengulang cara bercocok tanam yang sama. Selang beberapa tahun kemudian antara 8 10 tahun, mereka kembali ke tempat semula dengan asumsi kondisi lahan sudah kembali pulih kesuburannya

Pengetahuan Lokal : Sekumpulan pengetahuan yang diciptakan oleh sekelompok masyarakat dari generasi ke generasi berikutnya yang hidup menyatu dan selaras dengan alam

Rehabilitasi : Kegiatan perbaikan atau pemulihan kemampuan produktivitas sumberdaya alam sekurang-kurangnya pada keadaan semula pada waktu lahan tersebut dibuka untuk pertanian

Sikap : Kerangka pikiran seseorang yang merupakan hasil dari belajar

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

272

Sistem Silvikultur : Rangkaian kegiatan berencana dalam pengelolaan hutan yang meliputi penebangan, permudaan dan pemeliharaan tegakan tinggal guna menjamin kelestarian produksi kayu dan hasil hutan lainnya

Status : Posisi seseorang di antara orang lain di dalam masyarakatnya yang menentukan ruang lingkup pergaulan orang tersebut, gengsi serta hak dan kewajibannya

Tanaman Unggulan : Tanaman yang mempunyai daya saing nilai jual di pasaran dan daya tumbuh yang baik di suatu tempat dan secara teknis telah dikuasai teknik-teknik silvikulturnya sehingga dapat dikembangkan sebagai unit usaha mandiri dan atau bagian dari areal hutan tanaman

Tanaman Unggulan Lokal : Tanaman Kehutanan (kayu-kayuan) jenis asli daerah yang bersangkutan yang mempunyai ni la i perdagangan tinggi

Tanaman MPTS : Jenis tanaman serbaguna yang dapat diambil buah, bunga, kulit dan daunnya

Tugas : Kegiatan-kegiatan yang harus dijalankan untuk memenuhi hak dan kewajibannya

Wilayah Pengembangan : Lahan milik, tanah adat atau lahan di luar kawasan hutan yang sesuai dengan persyaratan yang diperlukan

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

273

Kayu Gergajian : Kayu bulat yang telah dikonversikan dengan mempergunakan gergaji termasuk balok-balok segi empat pacakan

Kearifan Lokal : Pengetahuan lokal yang sudah demikian menyatu dengan sistem kepercayaan, norma dan budaya yang diekspresikan di dalam tradisi dan mitos yang dianut dalam jangka waktu yang cukup lama ada

Kebun Hutan : Suatu variasi dari kebun pekarangan tradisional yang dikembangkan oleh penduduk local dalam usaha mengembangkan produk yang laku di pasaran

Kebijakan : Cara dan tindakan pemerintah untuk mengatasi masalah pembangunan tertentu atau untuk mencapai tujuan pembangunan tertentu dengan mengeluarkan keputusan, strategi , perencanaan maupun implementasinya di lapangan dengan menggunakan instrument tertentu

Kegiatan Sosial : Kegiatan yang tidak terbatas pada pengaturan rumah tangga tetapi menyangkut kegiatan berhubungan dengan orang-orang di sekelilingnya untuk kepentingan bersama

Kelembagaan : Suatu tatanan dan pola hubungan antara anggota masyarakat atau organisasi yang saling mengikat yang dapat menentukan bentuk hubungan antar manusia atau antara organisasi yang diwadahi dalam suatu organisasi atau jaringan dan ditentukan oleh faktor-faktor pembatas dan pengikat berupa norma, kode etik , aturan formal maupun informal untuk pengendalian perilaku sosial serta insentif untuk bekerjasama dan mencapai tujuan bersama

Kelompok Tani : Kumpulan petani dalam suatu wadah organisasi yang tumbuh berdasarkan kebersamaan, keserasian, kesamaan profesi dan kepent ingan dalam memanfaatkan sumberdaya alam yang mereka kuasai dan berkepentingan untuk bekerjasama dalam rangka meningkatkan produkt ivitas usahatani dan kesejahteraan anggotanya

Kemiskinan : Sebuah kondisi yang berada di bawah garis nilai standar kebutuhan minimum, baik untuk makanan dan non-makanan

Konsesi : Hak yang diberikan kepada pengusaha untuk memanfaatkan dan mengelola hutan secara lestari dan berkelanjutan

Masyarakat Desa Hutan : Kelompok masyarakat setempat, terutama masyarakat tradisional, baik yang berada di dalam hutan maupun di pedesaan sekitar hutan

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

270274

Kehutanan Masyarakat 269

GLOSARIUM

Agroforestryi : Istilah kolektif untuk sistem-sistem dan teknologi penggunaan lahan, yang secara terencana dilaksanakan pada suatu unit lahan dengan mengkombinasikan tumbuhan berkayu (pohon, perdu, palem, bambu dan lain-lain) dengan tanaman pertanian dan/atau hewan (ternak) dan/atau ikan, yang dilakukan pada waktu bersamaan atau bergiliran sehingga terbentuk interaksi ekologis dan ekonomis antar berbagai komponen yang ada

Dukuh : Istilah untuk kebun buah yang terdiri dari kelompok pohon yang didominasi oleh buah-buahan dari hasil tanaman permudaan alam yang pola tanamnya tidak teratur, strata tidak seragam, tidak seumur, menyerupai hutan alam

Ekosistem : Unit dasar fungsional yang merupaka lingkungan bagi makhluk hidup maupun benda mati yang masing-masing ikut menentukan sifat-sifat anggotanya dan diperlukan untuk menjaga kelestarian bumi

Erosi : Suatu proses atau peristiwa hilangny lapisan permukaan atas tanah yang disebabkan pergerakan air dan/atau angin

Hutan : Suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan

Hutan Rakyat : Hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik maupun hak lainnya dengan ketentuan luas minimum 0,25 ha, penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan dan tanaman lainnya lebih dari 50%

Hutan Kemasyarakatan : Hutan Negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat setempat di dalam kawasan hutan negara

Hutan Tanaman Industri : Pengelolaan hutan yang dibangun oleh kelompok industri dalam rangka pemenuhan kebutuhan bahan baku industri hasil hutan

Teori dan Implementasi

INDEKS

AAbiotik, 1Adat, 2,91,92,93,94,95,97,99,100,101,102, 103,104,105,106,109,110,111,135,

166, 177,196Adat istiadat, 138,159,Agroforestri, 27,193,207,Akses ,2,5,32,82,88,89,101,102,103,106, 111,114, 116,129,178,183,197,

219,220,221, 226,234,238,244,260,Amphibia, 1Apollo, 10Arkeolog, 2Aruh, 10,11, 21,22,23Asas kelestarian, 45,46,52,53,54,57,78,

BBahan bakar, 2Bahuma, 17Bajak, 3Balai adat 167,Balukar, 18Balian, 21Batanung, 21banih tugal, 19Batabang, 21Batilah, 21Bera, 3Biotik, 1Bromley, 2Burung, 1

275

Kayu Gergajian : Kayu bulat yang telah dikonversikan dengan mempergunakan gergaji termasuk balok-balok segi empat pacakan

Kearifan Lokal : Pengetahuan lokal yang sudah demikian menyatu dengan sistem kepercayaan, norma dan budaya yang diekspresikan di dalam tradisi dan mitos yang dianut dalam jangka waktu yang cukup lama ada

Kebun Hutan : Suatu variasi dari kebun pekarangan tradisional yang dikembangkan oleh penduduk local dalam usaha mengembangkan produk yang laku di pasaran

Kebijakan : Cara dan tindakan pemerintah untuk mengatasi masalah pembangunan tertentu atau untuk mencapai tujuan pembangunan tertentu dengan mengeluarkan keputusan, strategi , perencanaan maupun implementasinya di lapangan dengan menggunakan instrument tertentu

Kegiatan Sosial : Kegiatan yang tidak terbatas pada pengaturan rumah tangga tetapi menyangkut kegiatan berhubungan dengan orang-orang di sekelilingnya untuk kepentingan bersama

Kelembagaan : Suatu tatanan dan pola hubungan antara anggota masyarakat atau organisasi yang saling mengikat yang dapat menentukan bentuk hubungan antar manusia atau antara organisasi yang diwadahi dalam suatu organisasi atau jaringan dan ditentukan oleh faktor-faktor pembatas dan pengikat berupa norma, kode etik , aturan formal maupun informal untuk pengendalian perilaku sosial serta insentif untuk bekerjasama dan mencapai tujuan bersama

Kelompok Tani : Kumpulan petani dalam suatu wadah organisasi yang tumbuh berdasarkan kebersamaan, keserasian, kesamaan profesi dan kepent ingan dalam memanfaatkan sumberdaya alam yang mereka kuasai dan berkepentingan untuk bekerjasama dalam rangka meningkatkan produkt ivitas usahatani dan kesejahteraan anggotanya

Kemiskinan : Sebuah kondisi yang berada di bawah garis nilai standar kebutuhan minimum, baik untuk makanan dan non-makanan

Konsesi : Hak yang diberikan kepada pengusaha untuk memanfaatkan dan mengelola hutan secara lestari dan berkelanjutan

Masyarakat Desa Hutan : Kelompok masyarakat setempat, terutama masyarakat tradisional, baik yang berada di dalam hutan maupun di pedesaan sekitar hutan

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

270 Kehutanan Masyarakat 269

GLOSARIUM

Agroforestryi : Istilah kolektif untuk sistem-sistem dan teknologi penggunaan lahan, yang secara terencana dilaksanakan pada suatu unit lahan dengan mengkombinasikan tumbuhan berkayu (pohon, perdu, palem, bambu dan lain-lain) dengan tanaman pertanian dan/atau hewan (ternak) dan/atau ikan, yang dilakukan pada waktu bersamaan atau bergiliran sehingga terbentuk interaksi ekologis dan ekonomis antar berbagai komponen yang ada

Dukuh : Istilah untuk kebun buah yang terdiri dari kelompok pohon yang didominasi oleh buah-buahan dari hasil tanaman permudaan alam yang pola tanamnya tidak teratur, strata tidak seragam, tidak seumur, menyerupai hutan alam

Ekosistem : Unit dasar fungsional yang merupaka lingkungan bagi makhluk hidup maupun benda mati yang masing-masing ikut menentukan sifat-sifat anggotanya dan diperlukan untuk menjaga kelestarian bumi

Erosi : Suatu proses atau peristiwa hilangny lapisan permukaan atas tanah yang disebabkan pergerakan air dan/atau angin

Hutan : Suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan

Hutan Rakyat : Hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik maupun hak lainnya dengan ketentuan luas minimum 0,25 ha, penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan dan tanaman lainnya lebih dari 50%

Hutan Kemasyarakatan : Hutan Negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat setempat di dalam kawasan hutan negara

Hutan Tanaman Industri : Pengelolaan hutan yang dibangun oleh kelompok industri dalam rangka pemenuhan kebutuhan bahan baku industri hasil hutan

Teori dan Implementasi

CChema, 17Chin, 3communal property, 2

DDamar, 5, 11,12,187,199,260Dana reboisasi 5,98,223Daraman, 27Darusman, 3Daur, 2,44,46,50,55,57,60,62,84,85,207,208,224,Dayak, 3, 17, 22,27Demokratis 4,93,127,131,260,Deforestasi,29,30,31Devisa, 5Distribusi, 4Dove, 3

EEkosistem, 8,59,63,70,73,79,81,86,88,92,95,113,185,193,203,217,262Eksploitasi, 4,94,141,163,187,259Ekspor, 5,82,182,208,Ekstraksi kayu,39,40,41,42,43,51,52,57,Endemik, 1energi, 1, 2,120,182Estetika, 6Etat,57,82

FFormasi, 1

GGawi, 11Gilir Balik, 18, 20

HHabitat, 1Halin,27 Hanjalai, 27

276

Kayu Gergajian : Kayu bulat yang telah dikonversikan dengan mempergunakan gergaji termasuk balok-balok segi empat pacakan

Kearifan Lokal : Pengetahuan lokal yang sudah demikian menyatu dengan sistem kepercayaan, norma dan budaya yang diekspresikan di dalam tradisi dan mitos yang dianut dalam jangka waktu yang cukup lama ada

Kebun Hutan : Suatu variasi dari kebun pekarangan tradisional yang dikembangkan oleh penduduk local dalam usaha mengembangkan produk yang laku di pasaran

Kebijakan : Cara dan tindakan pemerintah untuk mengatasi masalah pembangunan tertentu atau untuk mencapai tujuan pembangunan tertentu dengan mengeluarkan keputusan, strategi , perencanaan maupun implementasinya di lapangan dengan menggunakan instrument tertentu

Kegiatan Sosial : Kegiatan yang tidak terbatas pada pengaturan rumah tangga tetapi menyangkut kegiatan berhubungan dengan orang-orang di sekelilingnya untuk kepentingan bersama

Kelembagaan : Suatu tatanan dan pola hubungan antara anggota masyarakat atau organisasi yang saling mengikat yang dapat menentukan bentuk hubungan antar manusia atau antara organisasi yang diwadahi dalam suatu organisasi atau jaringan dan ditentukan oleh faktor-faktor pembatas dan pengikat berupa norma, kode etik , aturan formal maupun informal untuk pengendalian perilaku sosial serta insentif untuk bekerjasama dan mencapai tujuan bersama

Kelompok Tani : Kumpulan petani dalam suatu wadah organisasi yang tumbuh berdasarkan kebersamaan, keserasian, kesamaan profesi dan kepent ingan dalam memanfaatkan sumberdaya alam yang mereka kuasai dan berkepentingan untuk bekerjasama dalam rangka meningkatkan produkt ivitas usahatani dan kesejahteraan anggotanya

Kemiskinan : Sebuah kondisi yang berada di bawah garis nilai standar kebutuhan minimum, baik untuk makanan dan non-makanan

Konsesi : Hak yang diberikan kepada pengusaha untuk memanfaatkan dan mengelola hutan secara lestari dan berkelanjutan

Masyarakat Desa Hutan : Kelompok masyarakat setempat, terutama masyarakat tradisional, baik yang berada di dalam hutan maupun di pedesaan sekitar hutan

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

270 Kehutanan Masyarakat 269

GLOSARIUM

Agroforestryi : Istilah kolektif untuk sistem-sistem dan teknologi penggunaan lahan, yang secara terencana dilaksanakan pada suatu unit lahan dengan mengkombinasikan tumbuhan berkayu (pohon, perdu, palem, bambu dan lain-lain) dengan tanaman pertanian dan/atau hewan (ternak) dan/atau ikan, yang dilakukan pada waktu bersamaan atau bergiliran sehingga terbentuk interaksi ekologis dan ekonomis antar berbagai komponen yang ada

Dukuh : Istilah untuk kebun buah yang terdiri dari kelompok pohon yang didominasi oleh buah-buahan dari hasil tanaman permudaan alam yang pola tanamnya tidak teratur, strata tidak seragam, tidak seumur, menyerupai hutan alam

Ekosistem : Unit dasar fungsional yang merupaka lingkungan bagi makhluk hidup maupun benda mati yang masing-masing ikut menentukan sifat-sifat anggotanya dan diperlukan untuk menjaga kelestarian bumi

Erosi : Suatu proses atau peristiwa hilangny lapisan permukaan atas tanah yang disebabkan pergerakan air dan/atau angin

Hutan : Suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan

Hutan Rakyat : Hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik maupun hak lainnya dengan ketentuan luas minimum 0,25 ha, penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan dan tanaman lainnya lebih dari 50%

Hutan Kemasyarakatan : Hutan Negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat setempat di dalam kawasan hutan negara

Hutan Tanaman Industri : Pengelolaan hutan yang dibangun oleh kelompok industri dalam rangka pemenuhan kebutuhan bahan baku industri hasil hutan

Teori dan Implementasi

hayati, 1Hutan adat 237,238,239,240,242,243,245, 246,247,248,249,251Hutan Kemasyarakatan,99,108,129,133, 147,148,171,172,173,174,175,176,17

7,182,183,184,185,186,187,189,218,231,245,261,Hutan Rakyat,76,79,108,147,173,182,191,192,193,194,195,196,197,198,199,

200,201,202,203,204,205,207,208,209,210,211,212213,214,hutan hujan tropis,1

IIntangible, 4

JJasa lingkungan 8,171,172,174,175,183,231, 245Jurungan, 18

KKaret, 9,10Kayuan, 19Kearifan lokal 3,23, 27,203,205,kebun rakyat, 17Kehutanan konvensional,35,63,64,81Kehutanan sosial,35,50,61,63,64,81,109, 134Keminting, 13Keragaman, 1Kilan, 10Komoditas, 4Konservasi 1,97,101,147,156,157,166,173Konsumsi, 2Kontinum, 25Kultur, 1Kupu-kupu,1

LLahadjir, 3Lamang, 15Lateks, 9, 10Log, 5Loksado, 10, 11, 17,29Lum, 10

277

Kayu Gergajian : Kayu bulat yang telah dikonversikan dengan mempergunakan gergaji termasuk balok-balok segi empat pacakan

Kearifan Lokal : Pengetahuan lokal yang sudah demikian menyatu dengan sistem kepercayaan, norma dan budaya yang diekspresikan di dalam tradisi dan mitos yang dianut dalam jangka waktu yang cukup lama ada

Kebun Hutan : Suatu variasi dari kebun pekarangan tradisional yang dikembangkan oleh penduduk local dalam usaha mengembangkan produk yang laku di pasaran

Kebijakan : Cara dan tindakan pemerintah untuk mengatasi masalah pembangunan tertentu atau untuk mencapai tujuan pembangunan tertentu dengan mengeluarkan keputusan, strategi , perencanaan maupun implementasinya di lapangan dengan menggunakan instrument tertentu

Kegiatan Sosial : Kegiatan yang tidak terbatas pada pengaturan rumah tangga tetapi menyangkut kegiatan berhubungan dengan orang-orang di sekelilingnya untuk kepentingan bersama

Kelembagaan : Suatu tatanan dan pola hubungan antara anggota masyarakat atau organisasi yang saling mengikat yang dapat menentukan bentuk hubungan antar manusia atau antara organisasi yang diwadahi dalam suatu organisasi atau jaringan dan ditentukan oleh faktor-faktor pembatas dan pengikat berupa norma, kode etik , aturan formal maupun informal untuk pengendalian perilaku sosial serta insentif untuk bekerjasama dan mencapai tujuan bersama

Kelompok Tani : Kumpulan petani dalam suatu wadah organisasi yang tumbuh berdasarkan kebersamaan, keserasian, kesamaan profesi dan kepent ingan dalam memanfaatkan sumberdaya alam yang mereka kuasai dan berkepentingan untuk bekerjasama dalam rangka meningkatkan produkt ivitas usahatani dan kesejahteraan anggotanya

Kemiskinan : Sebuah kondisi yang berada di bawah garis nilai standar kebutuhan minimum, baik untuk makanan dan non-makanan

Konsesi : Hak yang diberikan kepada pengusaha untuk memanfaatkan dan mengelola hutan secara lestari dan berkelanjutan

Masyarakat Desa Hutan : Kelompok masyarakat setempat, terutama masyarakat tradisional, baik yang berada di dalam hutan maupun di pedesaan sekitar hutan

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

270 Kehutanan Masyarakat 269

GLOSARIUM

Agroforestryi : Istilah kolektif untuk sistem-sistem dan teknologi penggunaan lahan, yang secara terencana dilaksanakan pada suatu unit lahan dengan mengkombinasikan tumbuhan berkayu (pohon, perdu, palem, bambu dan lain-lain) dengan tanaman pertanian dan/atau hewan (ternak) dan/atau ikan, yang dilakukan pada waktu bersamaan atau bergiliran sehingga terbentuk interaksi ekologis dan ekonomis antar berbagai komponen yang ada

Dukuh : Istilah untuk kebun buah yang terdiri dari kelompok pohon yang didominasi oleh buah-buahan dari hasil tanaman permudaan alam yang pola tanamnya tidak teratur, strata tidak seragam, tidak seumur, menyerupai hutan alam

Ekosistem : Unit dasar fungsional yang merupaka lingkungan bagi makhluk hidup maupun benda mati yang masing-masing ikut menentukan sifat-sifat anggotanya dan diperlukan untuk menjaga kelestarian bumi

Erosi : Suatu proses atau peristiwa hilangny lapisan permukaan atas tanah yang disebabkan pergerakan air dan/atau angin

Hutan : Suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan

Hutan Rakyat : Hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik maupun hak lainnya dengan ketentuan luas minimum 0,25 ha, penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan dan tanaman lainnya lebih dari 50%

Hutan Kemasyarakatan : Hutan Negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat setempat di dalam kawasan hutan negara

Hutan Tanaman Industri : Pengelolaan hutan yang dibangun oleh kelompok industri dalam rangka pemenuhan kebutuhan bahan baku industri hasil hutan

Teori dan Implementasi

MMamalia, 9Mampiring, 11Manabas, 21Manyalukut, 22Manugal, 22Marumput, 22Masa pemberaan,33masyarakat, 1, 2, 3Meratus, 26,27,28Mubiyarto, 7Megadiversity, 1

NNabati,8Negara, 2Nilai ekonomi, 4Non Timber Forest Product, 9Norma, 3

OObat, 1, 2Open access, 2Ostrom, 2

PPadi gunung, 27Padoch,, 3Paikat, 12Pahumaan, 18, 19Palawija, 2Palma, 1Pamataan, 22pangan, 1, 2paring 15Papua, 1Peladang, 2Penambangan kayu,35,36,41,46,47,50, 60,64Penebangan,15,22,35,39,41,42,43,44,45,46,47,48,49,55,57,60,61,71,74,76,77,

78,88,97,98,147,164,188,229,252,

278

Kayu Gergajian : Kayu bulat yang telah dikonversikan dengan mempergunakan gergaji termasuk balok-balok segi empat pacakan

Kearifan Lokal : Pengetahuan lokal yang sudah demikian menyatu dengan sistem kepercayaan, norma dan budaya yang diekspresikan di dalam tradisi dan mitos yang dianut dalam jangka waktu yang cukup lama ada

Kebun Hutan : Suatu variasi dari kebun pekarangan tradisional yang dikembangkan oleh penduduk local dalam usaha mengembangkan produk yang laku di pasaran

Kebijakan : Cara dan tindakan pemerintah untuk mengatasi masalah pembangunan tertentu atau untuk mencapai tujuan pembangunan tertentu dengan mengeluarkan keputusan, strategi , perencanaan maupun implementasinya di lapangan dengan menggunakan instrument tertentu

Kegiatan Sosial : Kegiatan yang tidak terbatas pada pengaturan rumah tangga tetapi menyangkut kegiatan berhubungan dengan orang-orang di sekelilingnya untuk kepentingan bersama

Kelembagaan : Suatu tatanan dan pola hubungan antara anggota masyarakat atau organisasi yang saling mengikat yang dapat menentukan bentuk hubungan antar manusia atau antara organisasi yang diwadahi dalam suatu organisasi atau jaringan dan ditentukan oleh faktor-faktor pembatas dan pengikat berupa norma, kode etik , aturan formal maupun informal untuk pengendalian perilaku sosial serta insentif untuk bekerjasama dan mencapai tujuan bersama

Kelompok Tani : Kumpulan petani dalam suatu wadah organisasi yang tumbuh berdasarkan kebersamaan, keserasian, kesamaan profesi dan kepent ingan dalam memanfaatkan sumberdaya alam yang mereka kuasai dan berkepentingan untuk bekerjasama dalam rangka meningkatkan produkt ivitas usahatani dan kesejahteraan anggotanya

Kemiskinan : Sebuah kondisi yang berada di bawah garis nilai standar kebutuhan minimum, baik untuk makanan dan non-makanan

Konsesi : Hak yang diberikan kepada pengusaha untuk memanfaatkan dan mengelola hutan secara lestari dan berkelanjutan

Masyarakat Desa Hutan : Kelompok masyarakat setempat, terutama masyarakat tradisional, baik yang berada di dalam hutan maupun di pedesaan sekitar hutan

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

270 Kehutanan Masyarakat 269

GLOSARIUM

Agroforestryi : Istilah kolektif untuk sistem-sistem dan teknologi penggunaan lahan, yang secara terencana dilaksanakan pada suatu unit lahan dengan mengkombinasikan tumbuhan berkayu (pohon, perdu, palem, bambu dan lain-lain) dengan tanaman pertanian dan/atau hewan (ternak) dan/atau ikan, yang dilakukan pada waktu bersamaan atau bergiliran sehingga terbentuk interaksi ekologis dan ekonomis antar berbagai komponen yang ada

Dukuh : Istilah untuk kebun buah yang terdiri dari kelompok pohon yang didominasi oleh buah-buahan dari hasil tanaman permudaan alam yang pola tanamnya tidak teratur, strata tidak seragam, tidak seumur, menyerupai hutan alam

Ekosistem : Unit dasar fungsional yang merupaka lingkungan bagi makhluk hidup maupun benda mati yang masing-masing ikut menentukan sifat-sifat anggotanya dan diperlukan untuk menjaga kelestarian bumi

Erosi : Suatu proses atau peristiwa hilangny lapisan permukaan atas tanah yang disebabkan pergerakan air dan/atau angin

Hutan : Suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan

Hutan Rakyat : Hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik maupun hak lainnya dengan ketentuan luas minimum 0,25 ha, penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan dan tanaman lainnya lebih dari 50%

Hutan Kemasyarakatan : Hutan Negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat setempat di dalam kawasan hutan negara

Hutan Tanaman Industri : Pengelolaan hutan yang dibangun oleh kelompok industri dalam rangka pemenuhan kebutuhan bahan baku industri hasil hutan

Teori dan Implementasi

Pengayaan, 2Penjarangan,55,56,84,85,perairan., 1perspektif, 2pestisida, 3perladangan berpindah, 2, 17,30,31,32,33, 49,154,155,264potensial, 1private property, 2produktivitas, 20publik, 2Pulp, 8pupuk, 3

R

Rabung, 15Religius 251,Reptilia, 1Reboisasi 98,129,155,178,180,201,202, 221,223,231,Rimbawan,52,53,54,59,63,72,77,80,87,99,Rotasi, 2, 3, 20

Ssandang, 1, 2Satwa, 1shifting cultivation, 2sistem, 3sintuk, 8, 14Sistem Hutan Kerakyatan,91,94,96,101,slap, 10slash and burn, 17Social Forestry,35,62,64,65,66,88,92,192,220,Spesies, 1spiritual, 1state property, 2Studi Diagnostik 136,137,138,139,140,160subsisten, 13Suhardjito, 2supranatural, 1

279

Kayu Gergajian : Kayu bulat yang telah dikonversikan dengan mempergunakan gergaji termasuk balok-balok segi empat pacakan

Kearifan Lokal : Pengetahuan lokal yang sudah demikian menyatu dengan sistem kepercayaan, norma dan budaya yang diekspresikan di dalam tradisi dan mitos yang dianut dalam jangka waktu yang cukup lama ada

Kebun Hutan : Suatu variasi dari kebun pekarangan tradisional yang dikembangkan oleh penduduk local dalam usaha mengembangkan produk yang laku di pasaran

Kebijakan : Cara dan tindakan pemerintah untuk mengatasi masalah pembangunan tertentu atau untuk mencapai tujuan pembangunan tertentu dengan mengeluarkan keputusan, strategi , perencanaan maupun implementasinya di lapangan dengan menggunakan instrument tertentu

Kegiatan Sosial : Kegiatan yang tidak terbatas pada pengaturan rumah tangga tetapi menyangkut kegiatan berhubungan dengan orang-orang di sekelilingnya untuk kepentingan bersama

Kelembagaan : Suatu tatanan dan pola hubungan antara anggota masyarakat atau organisasi yang saling mengikat yang dapat menentukan bentuk hubungan antar manusia atau antara organisasi yang diwadahi dalam suatu organisasi atau jaringan dan ditentukan oleh faktor-faktor pembatas dan pengikat berupa norma, kode etik , aturan formal maupun informal untuk pengendalian perilaku sosial serta insentif untuk bekerjasama dan mencapai tujuan bersama

Kelompok Tani : Kumpulan petani dalam suatu wadah organisasi yang tumbuh berdasarkan kebersamaan, keserasian, kesamaan profesi dan kepent ingan dalam memanfaatkan sumberdaya alam yang mereka kuasai dan berkepentingan untuk bekerjasama dalam rangka meningkatkan produkt ivitas usahatani dan kesejahteraan anggotanya

Kemiskinan : Sebuah kondisi yang berada di bawah garis nilai standar kebutuhan minimum, baik untuk makanan dan non-makanan

Konsesi : Hak yang diberikan kepada pengusaha untuk memanfaatkan dan mengelola hutan secara lestari dan berkelanjutan

Masyarakat Desa Hutan : Kelompok masyarakat setempat, terutama masyarakat tradisional, baik yang berada di dalam hutan maupun di pedesaan sekitar hutan

Kehutanan Masyarakat

Teori dan Implementasi

270 Kehutanan Masyarakat 269

GLOSARIUM

Agroforestryi : Istilah kolektif untuk sistem-sistem dan teknologi penggunaan lahan, yang secara terencana dilaksanakan pada suatu unit lahan dengan mengkombinasikan tumbuhan berkayu (pohon, perdu, palem, bambu dan lain-lain) dengan tanaman pertanian dan/atau hewan (ternak) dan/atau ikan, yang dilakukan pada waktu bersamaan atau bergiliran sehingga terbentuk interaksi ekologis dan ekonomis antar berbagai komponen yang ada

Dukuh : Istilah untuk kebun buah yang terdiri dari kelompok pohon yang didominasi oleh buah-buahan dari hasil tanaman permudaan alam yang pola tanamnya tidak teratur, strata tidak seragam, tidak seumur, menyerupai hutan alam

Ekosistem : Unit dasar fungsional yang merupaka lingkungan bagi makhluk hidup maupun benda mati yang masing-masing ikut menentukan sifat-sifat anggotanya dan diperlukan untuk menjaga kelestarian bumi

Erosi : Suatu proses atau peristiwa hilangny lapisan permukaan atas tanah yang disebabkan pergerakan air dan/atau angin

Hutan : Suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan

Hutan Rakyat : Hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik maupun hak lainnya dengan ketentuan luas minimum 0,25 ha, penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan dan tanaman lainnya lebih dari 50%

Hutan Kemasyarakatan : Hutan Negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat setempat di dalam kawasan hutan negara

Hutan Tanaman Industri : Pengelolaan hutan yang dibangun oleh kelompok industri dalam rangka pemenuhan kebutuhan bahan baku industri hasil hutan

Teori dan Implementasi

280

TTangible, 4Taungya, 17Tebas-bakar 25,34Teknologi, 2terpentin,5Tradisional, 1, 2,28Tropis, 1Tumbuhan, 1

UUmaq taont, 17unsur hara 22,24,urang halus, 19

VVegetasi 17,20,24,25,79

WWanyi, 14