hukum ternak cacing dalam pandangn islam

Upload: nugraha-saputra

Post on 06-Oct-2015

41 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Hukum Ternak Cacing

TRANSCRIPT

Hukum Ternak Cacing dalam Pandangn Islam

PENDAHULUANBelakangan ini marak bisnis ternak cacing dan jangkrik seiring dengan meningkatnya permintaan di pasar terutama untuk pengobatan, kosmetik dan pakan ikan. Menurut data Pusat Inkubator Bisnis Inkopin (PIBI) Jawa Barat menunjukkan bahwa setiap tiga bulan industri farmasi, kosmetik dan pakan ikan di wilayah Jawa Barat memerlukan 12.8 ton. Sementara untuk kebutuhan ekspor ke Korea Selatan, sedikitnya 35.000 ton perbulan. Menurut Jawa Pos permintaan negara Thailand lebih dari 120 ton perbulan. Sedangkan hasil ternak jangkrik biasanya untuk konsumsi makanan burung piaraan. Pertanyaan yang timbul mengingat bahwa media hidup cacing ternak adalah kotoran sapi perah yang dicampur dengan tanah dan sayuran serta limbah atau sampah restoran sedangkan pakan ternak jangkrik adalah sayur-sayuran.[1]Pertanyaan yang sering muncul adalah Bagaimanakah hukum halal-haramnya cacing?. Dapatkah cacing dan dijadikan sebagai objek bisnis? Bolehkah kita mengkonsumsi cacing untuk obat seperti dalam ramuanshin sheyang menggunakan cacing kering untuk mengobati sakit tipes?

PEMBAHASANBerdasarkan pengamatankaidah fiqihdan pertimbangan ushul fiqih sebelum mencari dalil-dalil (nash) tentang halal haramnya cacing dan maka kita perlu menegaskan bahwa hukum asal segala sesuatu adalah boleh (al-Ashlu fil asya al-ibahah) sama artinya bahwa hukum asal segala sesuatu yang Allah ciptakan dan ada manfaatnya adalah halal dan boleh, kecuali apa yang ditentukan hukum keharamannya secara pasti oleh nash-nash yang shahih dan sharih (accurate texts and clear statements). Maka jika tidak ada nash seperti itu maka hukumnya kembali kepada asalnya yakni boleh. (istishab hukmil ashl).[2]Prinsip inilah yang dipakai Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam menentukan hukum segala sesuatu selain ibadah dan aqidah.[3]Kaidah hukum itu berdasarkan ayat-ayat yang jelas (sharih), firman Allah: Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit! Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.[4]. Inilah bentuk rahmat Allah kepada umat manusia dengan berlakunya syariah yang memperluas wilayah halal dan mempersempit wilayah haram, seperti ditegaskan oleh Nabi saw: Apa yang Allah halalkan dalam kitab-Nya maka ia adalah halal (hukumnya) dan apa yang Dia haramkan maka (hukumnya) haram. Sedang apa yang Dia diamkan maka ia adalah suatu yang dimaafkan. Maka terimalah pemaafan-Nya, karena Allah tidak mungkin melupakan sesuatu.[5]Ketika Rasulullah SAW ditanya tentang hukum mentega, keju dan keledai liar, beliau enggan menjawab satu persatu masalah parsial ini melainkan beliau alihkan kepada kaidah dasar hukum agar mereka dapat cerdas menyimpulkan segala persoalan dengan sabdanya: Sesuatu yang halal itu adalah apa yang dihalalkan Allah dalam kitab-Nya dan sesuatu yang haram itu adalah apa yang diharamkan Allah dalam kitab-Nya, dan apa yang Allah diamkan (tidak sebutkan) berarti termasuk apa yang dimaafkan (dibolehkan) untuk kamu.[6]Bahkan Rasulullah melarang kita untuk mencari-cari alasan untuk mempersoalkan sesuatu yang Allah sengaja diamkan itu dengan sabdanya: Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa hal fardhu maka jangan kamu abaikan, dan telah menggariskan beberapa batasan maka jangan kamu langgar dan telah mengharamkan beberapa hal maka jangan kamu terjang serta telah mendiamkan beberapa hal sebagai rahmat bagi kamu tanpa unsur kelupaan maka jangan kamu permasalahkan.[7]Bila kita telusuri berbagai macam kitab-kitab fiqih dalam masalah makanan, niscaya akan kita temukan suatu kesimpulan bahwa hukum asal makanan adalah halal dan tidak dapat diharamkan kecuali berdasarkan dalil khas yang spesifik.[8]Allah telah menjelaskan secara jelas dan tuntas semua yang halal maupun yang haram.[9]Dari sini para ulama menyimpulkan kaidah bahwa prinsip dasar makanan adalah halal kecuali bila terdapat larangan darinash(Al-Quran dan Sunnah) Di antara faktor-faktor dan unsur-unsur kandungan yang dapat mengharamkan makanan di antaranya:1.Dipastikan dapat menimbulkandharar(bahaya) bagi fisik manusia. Allah berfirman: Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.[10]Rasulullah saw bersabda: Tidak dibolehkan melakukan sesuatu yang membahayakan (dharar) diri sendiri dan orang lain (dhirar).[11]dan sabdanya: Barang siapa yang mereguk racun lalu membunuh dirinya sendiri, maka racunnya akan tetap berada di tangannya seraya ia mereguknya di neraka Jahanam selama-lamanya.[12]2.Memabukkan, melalaikan atau menghilangkan ingatan. Seperti segala jenis minuman keras, obat-obatan terlarang, candu, narkotika dan zat adiktif lainnya. Allah berfirman: Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.[13]. Rasulullah saw bersabda: segala sesuatu jika banyaknya memabukkan, maka yang sedikitnya pun haram.[14]3.Najis dan terkontaminasi najis. Contoh: babi, darah, anjing, bangkai (selain ikan dan belalang). Allah berfirman: Katakanlah:Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi karena semua itu najis atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah.[15]As-Syaukani melihat tidak ada relevansinya pengharaman binatang yang diperintahkan oleh Nabi untuk dibunuh maupun yang dilarang Nabi untuk dibunuh merupakan konsekuensi logis dan kultural untuk menjadi dalil pengharaman untuk memakannya maka hal itu tidak dapat dijadikan dasar pengharaman. Namun bila binatang yang diperintahkan Nabi untuk membunuhnya maupun yang dilarang untuk membunuhnya termasuk kategorikhabaits(najis) maka pengharamannya berdasarkan ayat di atas, jika tidak mengandung unsurkhabaitsyangmanshus(ditegaskan oleh nash ayat) maka hukumnya kembali kepada hukum asal yakni halal berdasarkan dalil dan kaidah umum.[16]Adapun hukum cacing tanah dan menurut uraian kaidah hukum di atas adalah kembali kepada hukum asal makanan yakni halal, karena tidak ada nash tegas maupun qiyas yang relevan untuk mengharamkannya ataupun memasukkannya dalam kategorikhabaits(najis) hanya berdasarkan perasaan geli dan jijik yang nisbi (relatif) sementara hukum dibangun di atas dasar kepastian dan universalitas. Sebagian ulama mengatakan bahwa boleh mengkonsumsi cacing dan semua binatang melata ataupun serangga selama aman (secara medis maupun pengalaman empirik) dari racun ataupun bakteri yang membahayakan kesehatan. Apalagi sampai kini secara empirik dan medis belum ditemukan indikasi yang membahayakan dan kita tidak dituntut oleh Allah untuk mengetahui sesuatu di luar kemampuan kita sehingga kita terhalang dari memanfaatkan apa yang Allah ciptakan untuk kita.[17]Lebih tegas dan secara khusus ulama tafsir (mufassirun) mengatakan khabits itu adalah seperti bangkai dan sebagainya (segala yang diharamkan Allah secara eksplisit/terang dalam al-Quran). Sedangkan Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat di atas (Wa yuhillu lahum ath-thayyibat wa yuharrimu alaihim al-khabaits) mengatakan: Maknanya adalah menghalalkan bagi mereka apa yang mereka telah haramkan sebelumnya atas diri merekaBahiirah(unta yang telah beranak lima kali dan anak kelimanya jantan, lalu unta betina itu dibelah telinganya, dilepaskan dan tidak boleh ditunggangi lagi serta tidak boleh diambil susunya)Saaibah(unta betina yang dibiarkan pergi ke mana saja lantaran suatu nazar)Washiilah( seekor domba betina melahirkan anak kembar yang terdiri dari jantan dan betina, maka yang jantan ini disebut washilah, tidak disembelih dan diserahkan kepada berhala) danHaam(unta jantan yang tidak diganggu gugat lagi karena telah dapat membuntingkan unta betina sepuluh kali[18]Apalagi agrobisnis cacing dan diperuntukkan untuk konsumsi binatang ternak atau piaraan, farmasi dan kosmetik yang tidak dimakan, maka hukumnya lebih ringan lagi. Meskipun kita telah mendudukkan hukum asalnya yakni halal. (Berdasarkan pada kaidah halal-haram makanan dan minuman)[19]Adapun mengenai media hidupnya yang sebagian dari kotoran sapi (binatang yang halal dimakan dagingnya) adalah bukan najis dan tidak dapat dimasukkan dalam kategoriJallalah. yang dimakruhkan ulama yakni binatang yang sebagian besar media hidupnya barang-barang najis. Dan menurut ulama kotoran binatang yang dimakan dagingnya seperti unta, sapi tidak najis, di samping itu bukan makanan pokok satu-satunya. Itupun masih diperselisihkan ulama dan paling berat mereka menghukuminya makruh tidak sampai haram. (Al-Mathalib, VI/309, Az-Zuhaili, II/513) Demikian pula bisnis dalam hal ini hukum prinsipnya juga halal termasuk mengkonsumsinya untuk obat-obatan. Selama tidak diketemukan unsur-unsur lain yang mengharamkannya.Pendapat lain mengatakan, cacing termasuk dalam kategori binatang-binatang yang melata di atas bumi seperti ulat, serangga, cacing, lipan, kala dan sebagainya. Dalam menjelaskan hukum memakannya, para ulama terbahagi kepada dua pandangan;Pertama; Haram memakannya karena ia adalah keji. Mereka berdalilkan firman Allah (bermaksud); Dan dia menghalalkan untuk mereka yang baik-baik dan melarang ke atas segala yang keji-keji (al-Araf; 157). Pandangan pertama ini adalah pandangan jumhur ulama. Bagi mereka; maksud keji dalam ayat di atas ialah yang dipandang jijik oleh manusia terutamanya masyarakat Arab. Setiap yang dipandang keji oleh tabiat manusia yang normal, maka memakannya adalah haram sekalipun tidak disebut pengharamannya secara khusus oleh al-Quran atau Hadis.Kedua; ulama-ulama mazhab Maliki berpandangan; tidak haram memakannya kecuali jika diketahui boleh mendatangkan mudarat pada badan. Hujjah mereka ialah; tidak ada nas yang menunjukkan pengharamannya. Adapun mengenai ayat di atas, mereka tidak sependapat dengan jumhur ulama di atas. Bagi mereka, maksud keji dalam ayat di atas bukanlah diukur berdasarkan perasaan atau fitrah manusia, tetapi berdasarkan nas Syarak (yakni al-Quran atau Hadis Nabi s.a.w.). Jadi yang keji-keji dalam ayat di atas maksudnya ialah yang diharamkan oleh Syarak seperti bangkai, darah, daging babi dan sebagainya.Itu adalah hukum memakannya. Bagaimana pula hukum memanfaatkannya dengan kegunaan-kegunaa lain dari sebagai makanan? Katakanlah kita berpegang dengan pandangan jumhur yang mengharamkan kita memakannya, adakah ia bermakna haram juga kita memanfaatkannya untuk kegunaan lain? Jawapannya; tidak. Tahi lembu, tahi ayam dan sebagainya; haram kita memakannya, namun Syarak mengharuskannya untuk digunakan sebagai pupuk tanaman. Malah ulama-ulama mazhab Hanafi mengharuskan menjualnya melihat kepada manfaatnya walaupun dari segi zatnya ia adalah najis. Tegasnya, tidak semua yang haram dimakan, haram pula dimanfaatkan untuk kegunaan lain selain makanan. Dalam sebuah hadis, Ibnu Abbas r.a. menceritakan; Nabi s.a.w. telah melihat seekor kambing yang mati. Lalu Nabi s.a.w. berkata kepada sahabat-sahabatnya; Kenapa kamu tidak mengambil kulitnya, kemudian menyamaknya dan memanfaatkannya. Mereka menjawab; Ia adalah bangkai, wahai Rasulullah. Baginda menjawab; Yang haram ialah memakannya (HR Imam Muslim). Hadis ini menunjukkan bahwa tidak semua yang haram dimakan, haram pula memanfaatkannya untuk kegunaan lain selain makanan-. Seperti penjelaskan di awal tadi bahwa; semua yang bermanfaat bagi manusia di atas muka bumi ini hukumnya adalah harus selagi tidak ada nas yang melarang atau menegahnya. Maka sekalipun kita berpegang dengan pandangan jumhur yang mengharamkan kita memakan cacing, namun itu tidak bermakna haram pula untuk kita memanfaatkanya untuk kegunaan lain, kecuali jika ada nas lain pula yang mengaramkan kita memanfaatkannya. Selagi tidak ada nas yang melarang, haruslah kita memanfaatkannya.

PENUTUPKesimpulannya, berdasarkan keterangan di atas berpandangan boleh menternak dan menjual cacing dan untuk tujuan-tujuan dan kegunaan-kegunaan yang biasa diambil kemanfaatanya seperti dijadikan untuk pupuk tanaman, bahan kosmetik, makanan ternakan dan sebagainya kerena tidak ada nas yang melarang kita dari memanfaatkannya dan tidak ada nas yang menyebutkannya sebagai najis. Adapun hokum cacing untuk dimakan masih mempunyai dua pendapat yang saling menguatkan, disisi lain berpendapat boleh memakan cacing, tapi pendapat lainya juga mengatakan tidak boleh memakan cacing. Adapun perbedaa hokum memakan cacing hendaklah disadari dari kebutuhan hidup manusia normal dan wajar agar kita terhindar dari bahaya yang tidak diinginkan.

DAFTAR PUSTAKAAl-Quran dan terjemahImam As-Suyuthi dalam tafsir Al-Jalalain ketika menafsirkan kata (khabaits) dalam surat Al-Al-Araf:157Sayyid Sabiq,Fiqih Sunnah,Dr.Yusuf Qprdhawi. Al HAlal wal Haram fil Islam. Hal 22HR. Hakim dan BazaarHR. Tirmidzi danIbnu MajahHR. Dar QuthniMausuah Fighiyqh. Kuwait. Juz 5 Hal 123.

[1]. NU. Online.dakwatuna.com[2]. Dr. Yusuf Qordhawi.Al Halal wal HAram fil Islam. Hal 22. Lihat pla Dakwatuna.com[3].Qawaid Nuraniyah Fiqhiyah, hal. 112-113[4].Q.S Albaqorah ayat 29. Lihat pula Q.S Al jatsiyah[5]. HR. Hakim dan Bazaar[6]. HR. Tirmidzi danIbnu Majah[7]. HR. Dar Quthni[8]. Mausuah Fighiyqh. Kuwait. Juz 5 Hal 123.[9].QS. Al-Araf: 157, An-Nisa:29, Al-Maidah:4, Al-Anam: 119, 145[10].QS. Al-Baqarah:195.[11].HR. Ibnu Majah dan Ahmad.[12].HR. Bukhari[13].QS. Al-Maidah:90[14].H.R Tirmidzi, Abu Daud, Ibnu Majah, Ahmad.[15].Q.S Al Anam :145[16].Sayyid Sabiq,Fiqih Sunnah, V/14[17].Ibid, II/10[18].Imam As-Suyuthi dalam tafsir Al-Jalalain ketika menafsirkan kata (khabaits) dalam surat Al-Al-Araf:157[19]. Lihatdalam al-Quran: QS. Al-Baqarah:173, Al-Maidah:3-5, 87, 145, Al-Araf:32, Al-Anam:119, Yunus:59, An-Nahl:35, 115, 116, Al-Isra:70, Al-Hajj:3, At-Tahrim:1

CACING SEBAGAI PENURUN PANAS, HALALKAH?4 Desember 2009 pukul 18:42

Cacing, banyak orang merasa bahwa hewan melata ini tidak berguna. Padahal selain berguna sebagai untuk ikut menyuburkan tanah dan pellet ikan saja. Cacing juga banyak dimanfaatkan untuk berbagai jenis obat-obatan. Beberapa wilayah di Indonesia bahkan banyak yang mengolahnya menjadi panganan.

Tidak semua jenis cacing bisa dimanfaatkan untuk obat, menjaga kesehatan dan makanan. Jenis cacing yang paling banyak digunakan adalah cacing tanah. Cacing masuk dalam golongan hewan tidak bertulang belakang (invertebrata). Menurut penelitian, cacing tanah banyak mengandung kadar protein yang tinggi, yakni sekitar 76%. Jauh lebih tinggi dari daging mamalia (65%) dan ikan (50%).

Tidak adanya efek samping menjadi salah satu alasan mengapa banyak orang mengkonsumsi cacing tanah ini. Cacing tanah dipercaya bisa mengobati berbagai infeksi saluran pencernaan seperti typus, disentri, diare dan gangguan perut lainnya. Selain itu cacing tanah juga dipercaya bisa mengobati penyakit infeksi saluran pernapasan seperti batuk, asma, influenza dan juga TBC. Termasuk juga digunakan untuk penurunan kadar kolesterol, menurunkan tekanan darah, menurunkan kadar gula, mengobati wasir, eksim, sakit gigi dan yang lainnya.

Lebih dari itu, cacing tanah juga dapat dimanfaatkan untuk menjaga kesehatan, terutama meningkatkan daya tahan tubuh, meningkatkan nafsu makan, bahkan menambah vitalitas seksual kaum lelaki. Tak mengherankan pula jika sekarang banyak dipasarkan kapsul herbal yang berisi ekstrak cacing tanah.

Bukan rahasia lagi jika sebagian produk kosmetik juga menggunakan cacing tanah sebagai bahan bakunya, terutama pelembab kulit dan lipstik. Bahkan di beberapa negara maju, cacing tanah diolah menjadi makanan spesial yang nikmat dan kaya nutrisi.

Di samping kaya protein (50-72%), cacing tanah juga mengandung beberapa asam amino yang sangat penting bagi unggas seperti arginin (10,7%), tryptophan (4,4%) dan tytosin (2,25%).

Ekstrak cacing

Cacing tanah tidak dapat begitu saja digunakan sebagai obat. Sebagian besar cacing dimanfaatkan dengan cara diekstrak terlebih dahulu, barulah kemudian digunakan sebagai bahan aktif maupun campuran untuk obat, sahut Fajar, salah seorang Auditor Halal Internal PT. Vermindo, perusahaan obat herbal yang memproduksi ekstrak cacing ini.

Ia mengaku kebanyakan ekstrak cacing ini dimanfaatkan untuk memproduksi aneka produk farmasi. Khasiatnya yang sudah terbukti menjadikan ekstrak cacing ini juga banyak di ekspor ke luar negeri.

Halal untuk dikonsumsi

Perdebatan mengkonsumsi cacing memang telah lama terjadi, dan hingga sampai saat ini pun ada beberapa kalangan ulama yang masih berbeda pendapat. Terutama pada jenis cacing yang berbahaya dan menyebabkan penyakit.

Hal ini merujuk pada beberapa ayat Al-Quran, salah satunya adalahTidakkah kamu memperhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nimat-Nya lahir dan batin.(Q.S. 31:20)

Rasulullah SAW juga telah bersabdaApa-apa yang dihalalkan Allah di dalam kitab-Nya (Al-Quran) adalah halal, dan apa yang diharamkan-Nya hukumnya haram, dan apa-apa yang Allah diamkan/tidak dijelaskan hukumnya dimaafkan. Maka terimalah pemaafan-Nya, sebab Allah tidak pernah lupa tentang sesuatu apapun.(H.R. Al-Hakim).

Selain itu ada pula kaidah fiqh yang menyatakanAl-Ashlu fil-manafi al-ibahah.Yang berarti pada dasarnya segala sesuatu yang bermanfaat itu adalah mubah/halal.

Merujuk dari situlah maka Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Komisi Fatwanya telah menetapkan bahwa cacing halal untuk dikonsumsi sepanjang bermanfaat dan tidak membahayakan, sahut Sekretaris Komisi Fatwa MUI, Dr. Hasanudin M.Ag.

Dengan memahami dalil-dalil tersebut maka para ulama membenarkan adanya pendapat beberapa ulama, yaitu Imam Malik, Ibn Abi Layla dan Al-Auzal yang menghalalkan mengkonsumsi cacing sepanjang tidak berbahaya demikian halnya juga dengan ekstrak cacing, dimana diperkenankan selama tidak mengandung bahan lain yang tidak jelas kehalalannya.

Apa hukum mengkonsumsi cacing sebagai obat?PertanyaanApa hukum mengkonsumsi cacing? Bolehkah mengkonsumsi cacing sebagai obat? Sesuai laporan medis terkini bahwa cacing itu dapat digunakan sebagai obat untuk menyembuhkan penyakit seperti sesak nafas (asma), diabetes dan tipes. Terimakasih banyak atas jawabannya.Jawaban GlobalJawaban yang kami terima dari beberapa kantor marja' taklid (sehubungan dengan pertanyaan Anda) adalah sebagai berikut:1.Kantor hadhrat Ayatullah al-'Uzhma Khamene'i Hf : Cacing itu dihukumi suci, tetapi diharamkan mengkonsumsinya.2.Kantor hadhrat Ayatullah al-'Uzhma Sistani Hf: Boleh mengkonsumsi cacing sebagai obat, pada kondisi darurat.3.Hadhrat Ayatullah Mahdi Hadawi Tehrani Hf memberikan jawaban sebagai berikut:1.Mengkonsumsi cacing hukumnya haram.2.Menggunakan hal-hal yang diharamkan untuk tujuan pengobatan hukumnya tidak diperbolehkan, kecuali pada kondisi darurat. Dan hal itupun harus disesuaikan dengan kebutuhan. [IQuest]Untuk telaah lebih jauh, silahkan Anda lihat indeks: Pilihan Perkara antara Pandangan Dokter dan Pandangan Syari'at Islam.Pertanyaan No. 7283 (Site: 7939).

BOLEHKAH BEROBAT DENGAN MAKANCACING?Posted byFarid Ma'rufpada 13 Januari 2007SOAL : Ustadz, masyarakat sering menggunakan cacing untuk obat typhus dengan direbus atau digoreng. Hukumnya bagaimana? Mendesak. (Jamaluddin & Heri, Yogya)JAWAB :Jumhur ulama mazhab, selain mazhab Maliki, menyatakan cacing itu najis dan haram dimakan. Keterangan ini bisa kita dapat bila kita buka kitabMughni Al-Muhtaj(karya Syekh Asy-Syarbaini al-Khathib) pada halaman 268-302 jilid 4. Dan keterangan itu juga bisa di dapat pada kitabAl-Mughni(karya Ibnu Qudamah) jilid 8 halaman 605.Adapun jika digunakan untuk berobat, maka menurut kami hukum cacing adalah makruh. Sebab berobat dengan benda najis dan haram hukumnya adalah makruh, bukan haram. Demikian pendapat Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitabnyaasy-Syakhshiyyah al-IslamiyyahJuz III.Kemakruhan itu kata an-Nabhani, dikarenakan adanya dalil larangan untuk berobat dengan yang haram, tapi di sisi lain masih ada dalil yang menunjukkan toleransi untuk memanfaatkan zat yang najis atau haram dalam berobat. Nabi SAW pernah membolehkan suku Ukl dan Urainah untuk berobat dengan meminum air kencing unta. Nabi SAW membolehkan pula Zubair bin Awwam dan Abdurrahman bin Auf untuk memakai sutra karena keduanya menderita gatal-gatal.Jadi, larangan berobat dengan sesuatu yang najis atau haram, merupakan larangan makruh.Oleh karena itu, jika kita mengambil pendapat jumhur ulama yang menyatakan cacing itu najis dan haram dimakan, maka berobat dengan cacing hukumnya adalah makruh, tidak haram. Wallahu alam.Yogyakarta, 14 Pebruari 2006

Hukum Cacing Tanah Sebagai Obat Dalam Pandangan Islam

Sebenarnya penggunaan cacing tanah sebagai obat sudah dimulai sejak tahun 4000 SM oleh bangsa Cina. Khasiat yang disebutkan beragam seperti melancarkan air seni (diuresis), menetralkan bisa gigitan laba-laba, mengobati sakit malaria, membasmi cacing pita, mengobati sakit kuning dengan perut buncit, meredakan demam dan kejang demam dan menyembuhkan stroke.Selanjutnya, cacing tanah (earth worm) digunakan sebagai antitrombosis di Korea Selatan, Cina dan Vietnam; bahan makanan di Jepang, Hongaria, Thailand, Filipina dan Amerika Serikat; pertumbuhan kanker di Amerika Serikat; dan makanan obat di berbagai negara Asia Afrika. Di Jepang dikenal vermijuice dan di Eropa, worm burger, worm spagheti, crispy earthworm dan verne de terre Untuk zaman sekarang ini hampir semua orang tau bahwa cacing terkenal sebagai obat bagi penderita typus, baik menggunakan kapsul cacing yang gampang di dapatkan di apotek-apotek maupun dengan membuat racikan dengan mencari cacing sendiri kemudian di olah dengan cara di sangray atau lainnya. Jumhur ulama mazhab, selain mazhab Maliki, menyatakan cacing itu najis dan haram dimakan. Keterangan ini bisa kita dapat bila kita buka kitab Mughni Al-Muhtaj (karya Syekh Asy-Syarbaini al-Khathib) pada halaman 268-302 jilid 4. Dan keterangan itu juga bisa di dapat pada kitab Al-Mughni (karya Ibnu Qudamah) jilid 8 halaman 605. Adapun jika digunakan untuk berobat, maka menurut kami hukum cacing adalah makruh. Sebab berobat dengan benda najis dan haram hukumnya adalah makruh, bukan haram. Demikian pendapat Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitabnya asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah Juz III. Kemakruhan itu kata an-Nabhani, dikarenakan adanya dalil larangan untuk berobat dengan yang haram, tapi di sisi lain masih ada dalil yang menunjukkan toleransi untuk memanfaatkan zat yang najis atau haram dalam berobat. Nabi SAW pernah membolehkan suku Ukl dan Urainah untuk berobat dengan meminum air kencing unta. Nabi SAW membolehkan pula Zubair bin Awwam dan Abdurrahman bin Auf untuk memakai sutra karena keduanya menderita gatal-gatal. Jadi, larangan berobat dengan sesuatu yang najis atau haram, merupakan larangan makruh. Oleh karena itu, jika kita mengambil pendapat jumhur ulama yang menyatakan cacing itu najis dan haram dimakan, maka berobat dengan cacing hukumnya adalah makruh, tidak haram.

Fatwa MUI Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: Kep-139/MUI/IV /2000 Tentang Makan Dan Budidaya Cacing Dan Jangkrik Pandangan peserta sidang Komisi Fatwa MUI Mengingat :1. Firman Allah SWT: Allah-lah yang menjadikan semua yang ada di bumi untuk kamu sekalian (QS. al-Baqarah [2]: 29).2. Allah menundukkan untukmu semua yang ada di langit dan di bumi (sebagai rahmat) dari-Nya (QS, al-Jasiyah: 13)3.Tidakkah kamu memperhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan) mu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi dan menyempurnakan untukmu nimat-Nya lahir dan batin (QS. Luqman: 20).4. Hadist Nabi SAW : Apa-apa yang dihalalkan oleh Allah dalam kitabNya (al-Quran) adalah halal, apa-apa yang diharamkan-Nya, hukumnya haram, dan apa-apa yang Allah diamkan / tidak dijelaskan hukumnya, dimaafkan. Untuk itu terimalah pemaafan-Nya, sebab Allah tidak pernah lupa tentang sesuatu apa pun (HR. Al-Hakim).5. Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka janganlah kamu sia-siakan, menentukan beberapa ketentuan, janganlah kamu langgar, mengharamkan beberapa hal, janganlah kamu rusak; dan Allah tidak menjelaskan hukum beberapa hal karena kasih sayang kepadamu, bukan karena lupa, janganlah kamu cari-cari hukumnya. (HR. Turmuzi dan Ibn Majah)6. Kaidah fiqh : Pada dasarnya segala sesuatu yang bermanfaat adalah mubah / harus. MEMUTUSKAN Cacing adalah salah satu jenis hewan yang masuk ke dalam kategori Al-Easyarat Membenarkan adanya pendapat ulama (Imam Malik, Ibn Abi Laila dan al-Auzai) yang menghalalkan memakan cacing sepanjang bermanfaat dan tidak membahayakan dan pendapat ulama yang mengharamkan memakannya.

Membudidayakan cacing untuk diambil manfaatnya, tidak untuk dimakan, tidak bertentangan dengan hukum Islam. Membudidayakan cacing untuk diambil sendiri manfaatnya, untuk pakan burung misalnya, tidak untuk dimakan atau dijual, hukumnya boleh (mubah).