bab i pendahuluan 1.1 latar belakangdigilib.uinsgd.ac.id/1296/5/4_bab1sd5.pdf · untuk membasmi...

41
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ketombe disebut juga Pityriasis sika atau dandruff merupakan suatu keadaan anomali pada kulit kepala dengan terjadinya pengelupasan sel stratum korneum atau lapisan tanduk secara berlebihan dari kulit kepala yang lebih cepat dari biasanya, membentuk sisik tipis berukuran 2−3 milimeter, berwarna keputih- putihan dan disertai rasa gatal. Berbagai kondisi memudahkan seseorang berketombe yaitu hiperproliferasi epidermis, keaktifan kelenjar sebasea, faktor genetik dan stress (Degree, 1989). Pityrosporum ovale merupakan yeast lipofilik sebagai komensalisme kulit dan bisa menjadi patogen pada kondisi tertentu (Kindo, 2004) seperti suhu, kelembaban dan kadar minyak yang tinggi dapat memicu pertumbuhan fungi P. ovale ini sehingga menimbulkan ketombe (Naturakos, 2009). Pada kondisi normal, kecepatan pertumbuhan fungi P. ovale kurang dari 47%. Akan tetapi, jika ada faktor pemicu yang dapat mengganggu kesetimbangan P. ovale pada kulit kepala, maka akan terjadi peningkatan kecepatan pertumbuhan fungi P. ovale yang dapat mencapai 74%. Banyaknya populasi P. ovale inilah yang memicu terjadinya ketombe (Rook, 1991 dalam Yulinah, 2006). Penggunaan tumbuhan obat sebagai obat tradisional di berbagai negara kini semakin berkembang. Di negara kita, masyarakat banyak menggunakan tumbuhan obat sebagai obat alternatif, karena selain mudah didapatkan harganya pun relatif murah jika dibandingkan obat modern. Salah satu tumbuhan yang sering dipakai

Upload: duongthuy

Post on 01-Feb-2018

220 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ketombe disebut juga Pityriasis sika atau dandruff merupakan suatu

keadaan anomali pada kulit kepala dengan terjadinya pengelupasan sel stratum

korneum atau lapisan tanduk secara berlebihan dari kulit kepala yang lebih cepat

dari biasanya, membentuk sisik tipis berukuran 2−3 milimeter, berwarna keputih-

putihan dan disertai rasa gatal. Berbagai kondisi memudahkan seseorang

berketombe yaitu hiperproliferasi epidermis, keaktifan kelenjar sebasea, faktor

genetik dan stress (Degree, 1989).

Pityrosporum ovale merupakan yeast lipofilik sebagai komensalisme kulit

dan bisa menjadi patogen pada kondisi tertentu (Kindo, 2004) seperti suhu,

kelembaban dan kadar minyak yang tinggi dapat memicu pertumbuhan fungi

P. ovale ini sehingga menimbulkan ketombe (Naturakos, 2009). Pada kondisi

normal, kecepatan pertumbuhan fungi P. ovale kurang dari 47%. Akan tetapi, jika

ada faktor pemicu yang dapat mengganggu kesetimbangan P. ovale pada kulit

kepala, maka akan terjadi peningkatan kecepatan pertumbuhan fungi P. ovale

yang dapat mencapai 74%. Banyaknya populasi P. ovale inilah yang memicu

terjadinya ketombe (Rook, 1991 dalam Yulinah, 2006).

Penggunaan tumbuhan obat sebagai obat tradisional di berbagai negara kini

semakin berkembang. Di negara kita, masyarakat banyak menggunakan tumbuhan

obat sebagai obat alternatif, karena selain mudah didapatkan harganya pun relatif

murah jika dibandingkan obat modern. Salah satu tumbuhan yang sering dipakai

untuk pengobatan khususnya pada penyakit kulit oleh masyarakat adalah rimpang

temulawak (Soemiati, 2002).

Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) (Jawa Tengah) disebut juga

koneng gede (Jawa Barat/Sunda). Temulawak termasuk suku zingiberaceae yang

merupakan jenis tumbuh-tumbuhan herba dengan batang pohon berbentuk batang

semu dan tinggi mencapai 2 meter. Aroma dan warna khas dari rimpang

temulawak adalah berbau tajam dan daging buah berwarna kekuning-kuningan

(Armando, 2009).

Berdasarkan penelitian beberapa tumbuhan obat sebagai antifungi

diperoleh kesimpulan bahwa rimpang temulawak berpotensi sebagai antifungi lain

(Sundari, 2001). Pemberian konsentrasi ekstrak rimpang temulawak berpengaruh

terhadap penurunan jumlah koloni bakteri Staphylococcus aureus dan berpotensi

sebagai antibakteri (Mashita, 2008). Air perasan rimpang temulawak mempunyai

daya anti fungi terhadap fungi Trichophyton rubrum dan Microsporum gypseum,

yang ditunjukan dengan kemampuannya dalam menghambat pertumbuhan fungi

tersebut pada konsentrasi 10% (Yusuf, 2000). Oleh karena itu, rimpang

temulawak dapat digunakan sebagai alternatif untuk menghambat pertumbuhan

fungi pada ketombe.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, penulis tertarik untuk meneliti

efektivitas ekstrak rimpang temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) sebagai

penghambat pertumbuhan fungi Pityrosporum ovale pada ketombe. Selain itu,

hasil yang diperoleh nantinya dapat memberikan informasi kepada masyarakat

tentang khasiat dan efektivitas ekstrak rimpang temulawak dalam menghambat

pertumbuhan fungi P. ovale pada ketombe.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini

adalah:

1. Apakah ekstrak rimpang temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) efektif

menghambat pertumbuhan fungi Pityrosporum ovale pada ketombe?

2. Berapakah konsentrasi ekstrak rimpang temulawak (Curcuma xanthorrhiza

Roxb.) yang efektif menghambat pertumbuhan fungi Pityrosporum ovale pada

ketombe?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui efektivitas ekstrak rimpang temulawak (Curcuma xanthorrhiza

Roxb.) dalam menghambat pertumbuhan fungi Pityrosporum ovale pada

ketombe.

2. Mengetahui konsentrasi ekstrak rimpang temulawak (Curcuma xanthorrhiza

Roxb.) yang efektif menghambat pertumbuhan fungi Pityrosporum ovale pada

ketombe.

1.4 Manfaat Penelitian

Diharapkan penelitian ini dapat menambah data ilmiah bagi ilmu dan

pengetahuan serta memberikan informasi kepada masyarakat umum mengenai

efektivitas ekstrak rimpang temulawak dalam menghambat pertumbuhan fungi

P. ovale pada ketombe.

1.5 Kerangka Pemikiran

Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair yang diperoleh dengan

mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia menggunakan pelarut yang sesuai,

kemudian semua pelarut diuapkan. Ekstraksi adalah perpindahan massa zat aktif

yang semula berada dalam simplisia selanjutnya akan ditarik oleh cairan penyari

(BPOM RI, 2010). Metode ekstraksi adalah maserasi, perkolasi, refluks, infus dan

soxhletasi. Pemilihan metode tersebut didasarkan dengan kepentingan dalam

memperoleh sari yang baik (Widayati, 2008).

Maserasi adalah proses penyarian simplisia menggunakan pelarut dengan

perendaman dan sesekali pengadukan pada suhu kamar. Maserasi merupakan

proses paling cepat dimana simplisia yang sudah halus di rendam dalam pelarut

sampai meresap dan melunakkan susunan sel, sehingga zat-zat yang mudah larut

akan melarut. Pemilihan larutan penyari harus mempertimbangkan banyak faktor

diantaranya larutan penyari yang baik harus memenuhi kriteria yaitu murah,

mudah didapat dan selektif yaitu hanya menarik zat berkhasiat yang dikehendaki

dan tidak mempengaruhi zat berkhasiat tersebut (Ditjen POM, 2000).

Farmakope Indonesia telah menetapkan bahwa sebagai cairan penyari yang

dapat dipergunakan adalah air, etanol, etanol-air dan eter. Etanol tidak

menyebabkan pembengkakan membran sel melainkan memperbaiki stabilitas

bahan obat atau simplisia terlarut. Etanol dipertimbangkan sebagai penyari karena

lebih selektif, kapang dan kuman sulit tumbuh dalam etanol 20% keatas, tidak

beracun, netral dan absorpsinya baik. Etanol dapat melarutkan alkaloid basa,

glikosida, kurkumin, antrakinon, flavonoid dan steroid (Indraswari, 2008).

Rimpang temulawak mengandung zat kuning yaitu kurkumin, minyak

atsiri, pati, protein, lemak (fixed oil), selulosa dan mineral. Kadar dari masing-

masing zat tersebut tergantung dari umur tumbuhan yang dipanen (Yusuf, 2000).

Rimpang temulawak mengandung zat kurkumin sebanyak 1,4−4% dan minyak

atsiri yaitu phellandreen, kamfer memberi bau khas pada temulawak. Kandungan

minyak atsiri pada temulawak yang bermuatan felandren dan turmerol, terdapat

juga pada kurkumin dan pati temulawak dengan dosis 0,5−1,5 g (Kartasapoetro,

1992). Minyak atsiri dan kurkumin pada temulawak dapat menyembuhkan

penyakit tertentu termasuk penyakit kulit. Kadar minyak atsiri mencapai

7,3−29,5% dan zat tepung atau pati sebesar 37,2−61% (Rismunandar, 1996).

Ketombe merupakan suatu keadaan anomali pada kulit kepala dengan

terjadinya pengelupasan sel stratum korneum atau lapisan tanduk secara

berlebihan dari kulit kepala yang lebih cepat dari biasanya, membentuk sisik tipis

berukuran 2−3 milimeter, berwarna keputih-putihan dan disertai rasa gatal

(Degree, 1989).

Pityrosporum ovale merupakan yeast lipofilik sebagai komensalisme kulit

dan bisa menjadi patogen pada kondisi tertentu (Kindo, 2004) seperti suhu,

kelembaban dan kadar minyak yang tinggi dapat memicu pertumbuhan fungi

P. ovale ini sehingga menimbulkan ketombe (Naturakos, 2009). Pada kondisi

normal, kecepatan pertumbuhan fungi P. ovale kurang dari 47%. Akan tetapi, jika

ada faktor pemicu yang dapat mengganggu kesetimbangan P. ovale, maka akan

terjadi peningkatan kecepatan pertumbuhan fungi P. ovale yang dapat mencapai

74%. Banyaknya populasi P. ovale inilah yang memicu terjadinya ketombe

(Rook dalam Yulinah, 2006).

Hiperproliferasi sel epidermis dan peningkatan jumlah fungi P. ovale

terdapat pada ketombe, akan tetapi sampai saat ini belum ada kesepakatan

mengenai faktor mana yang merupakan penyebab primer. Leyden, et al. (1976)

serta Kligman, et al. (1979) berdasarkan penelitiannya mengobati ketombe dengan

amfoterisin topikal, menyimpulkan bahwa P. ovale bukanlah penyebab ketombe

karena mereka tidak mendapati perbaikan ketombe meskipun jumlah P. ovale

menurun. Mereka menganggap peningkatan jumlah P. ovale pada penderita

ketombe disebabkan oleh peningkatan persediaan nutrisi bagi fungi tersebut

di kulit kepala dengan adanya skuama (kerak) yang berlebihan. Namun setelah

meninjau kembali kepustakaan yang ada, Shuster (1984) menyimpulkan bahwa

P. ovale tidak diragukan sebagai penyebab primer ketombe karena memenuhi

Postulat Koch, yaitu pertumbuhan berlebihan dari P. ovale didapati pada ketombe

(Wijaya, 2001).

1.6 Hipotesis

Berdasarkan kerangka pemikiran di atas diajukan hipotesis sebagai berikut:

1. Ekstrak rimpang temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.) efektif dalam

menghambat pertumbuhan fungi Pityrosporum ovale pada ketombe.

2. Diketahui konsentrasi ekstrak rimpang temulawak (Curcuma xanthorriza

Roxb.) yang efektif menghambat pertumbuhan fungi Pityrosporum ovale pada

ketombe.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Obat Tradisional

Obat tradisional sejak zaman dahulu mempunyai peranan dan manfaat

penting untuk meningkatkan kesehatan tubuh serta dapat mengobati berbagai

penyakit, sampai sekarang masih digunakan oleh masyarakat. Obat tradisional

adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan yang secara turun

temurun digunakan untuk pengobatan (Damayanti, 2008).

2.2 Tanaman Rimpang Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.)

(a)

(b)

(c)

Gambar 1. Temulawak (a) Rimpang, (b) Simplisia, (c) Ekstrak rimpang (Koleksi Penulis, 2011)

2.2.1 Klasifikasi Tanaman Rimpang Temulawak

Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.) tidak hanya dikenal di dalam

negeri saja sebagai bahan baku untuk jamu tradisional, tetapi sudah sejak lama di

Eropa barat juga digunakan sebagai bahan obat (Rismunandar, 1996). Kedudukan

tanaman rimpang temulawak dalam sistematika tumbuhan adalah sebagai berikut:

Divisi : Spermatophyta

Subdivisi : Angiospermae

Kelas : Monocotyledonae

Bangsa : Zingiberales

Suku : Zingiberaceae

Marga : Curcuma

Spesies : Curcuma xanthorriza Roxb.

(Rukmana,

1995)

2.2.2 Nama Lain

Nama lain rimpang temulawak setiap daerah berbeda-beda yaitu daerah

Madura temo lobak, Sunda koneng gede, Indonesia temulawak (Rukmana, 1995).

2.2.3 Ciri-Ciri Rimpang Temulawak

Temulawak merupakan suku zingiberaceae yang berumur tahunan,

membentuk banyak batang semu yang tingginya bisa mencapai 2 meter.

Temulawak membentuk induk rimpang yang silindris, berbuku-buku, berdiameter

hingga 5 cm lebih dan tinggi tidak kurang dari 10 cm, membentuk cabang

rimpang ke kanan dan ke kiri yang selanjutnya membentuk rimpang ranting

ke berbagai arah (Rismunandar, 1996). Daunnya lebar dan pada setiap helaian

dihubungkan dengan pelepah dan tangkai daun yang agak panjang. Temulawak

mempunyai bunga yang berbentuk unik (bergerombol) dan berwarna kuning tua.

Rimpang temulawak sejak lama dikenal sebagai bahan ramuan obat. Aroma dan

warna khas rimpang temulawak adalah berbau tajam dan daging buah berwarna

kekuning-kuningan (Armando, 2009).

Uraian makroskopiknya berupa kepingan akar ini berbentuk bulat atau

lonjong, bersifat keras dan rapuh, bergaris tengah ± 6 cm, tebalnya sekitar

2−5 cm, agak berkerut-kerut, berwarna coklat kekuning-kuningan sampai coklat,

keadaannya tidak rata dan sedikit melengkung (Kartasapoetra, 1992). Bagian

tanaman yang berkhasiat adalah rimpangnya. Rimpang temulawak mempunyai

bau aromatik dan rasanya pahit agak tajam, karena bagian ini mengandung

minyak atsiri seperti kurkuminoid, mirsen, p-toluil metil, karbinol, felandren,

sabinen, sineol, borneol, zingiberen, turmeron, atlanton, artumeron dan

xanthorhizol (Handayani, 2003).

2.2.4 Komposisi Rimpang Temulawak

Rimpang temulawak mengandung kurkumin, minyak atsiri, pati, protein,

lemak (fixed oil), selulosa dan mineral. Kadar dari masing-masing zat tersebut

tergantung dari umur tumbuhan yang di panen (Yusuf, 2000). Rimpang

temulawak mengandung zat kurkumin sebanyak 1,4−4% dan minyak atsiri yaitu

phellandreen, kamfer yang memberi bau khas temulawak. Kandungan zat minyak

atsiri pada temulawak yang bermuatan felandren dan turmerol, terdapat juga pada

kurkumin dan pati temulawak dengan dosis 0,5−1,5 g (Kartasapoetro, 1992).

Minyak atsiri dan kurkumin pada temulawak tersebut dapat menyembuhkan

penyakit tertentu termasuk penyakit kulit. Kadar minyak atsiri mencapai

7,3−29,5%, zat tepung atau pati 37,2−61%, kadar air maksimum 12% dan

kadar abu 3−7% (Rismunandar, 1996).

2.2.5 Manfaat Rimpang Temulawak

Rimpang temulawak mempunyai banyak manfaat yaitu rimpang

temulawak yang sudah dikeringkan diseduh dengan air panas dapat dimanfaatkan

untuk menyembuhkan gangguan liver atau empedu. Parutan rimpang diperas dan

di minum di samping dapat menyembuhkan kedua penyakit tersebut dan

melancarkan buang air besar. Selanjutnya air temulawak dimanfaatkan dalam

penyembuhan penyakit malaria dan memperbanyak ASI. Perasan air temulawak

untuk membasmi penyakit cacing pita dan cacing kremi pada manusia dan ternak.

Tepung temulawak dapat dimakan sebagai bubur dan dodol. Untuk menghasilkan

tepung temulawak, rimpang di parut kemudian diperas dan diendapkan. Dalam

pengobatan modern, bubuk rimpang temulawak dijual dalam kapsul dan tidak

mengakibatkan rasa mual (Rismunandar, 1996).

2.3 Ekstraksi

2.3.1 Simplisia

Simplisia merupakan bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang

belum mengalami pengolahan kecuali dinyatakan lain berupa bahan yang telah

dikeringkan. Simplisia terdiri dari tiga jenis yaitu simplisia nabati, simplisia

hewani dan simplisia pelikan. Simplisia nabati adalah simplisia yang berupa

tanaman utuh, bagian tanaman atau eksudat tanaman. Eksudat tanaman yaitu isi

sel yang secara spontan keluar dari tanaman atau isi sel yang dengan cara tertentu

dikeluarkan dari selnya atau zat-zat nabati lainnya yang dengan cara tertentu

dipisahkan dari tanamannya dan belum berupa zat kimia murni (BPOM RI, 2010).

2.3.2 Cairan Penyari

Farmakope Indonesia telah menetapkan bahwa sebagai cairan penyari yang

dapat dipergunakan adalah air, etanol, etanol-air dan eter. Etanol tidak

menyebabkan pembengkakan membran sel melainkan memperbaiki stabilitas

bahan obat atau simplisia terlarut. Pemilihan larutan penyari harus

mempertimbangkan banyak faktor yaitu murah, mudah didapat dan selektif yaitu

hanya menarik zat berkhasiat yang dikehendaki dan tidak mempengaruhi zat

berkhasiat tersebut (Ditjen POM, 2000).

2.3.3 Ekstraksi

Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair yang diperoleh dengan

mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia menggunakan pelarut yang sesuai,

kemudian semua pelarut diuapkan. Ekstraksi merupakan peristiwa perpindahan

massa zat aktif yang semula berada dalam simplisia selanjutnya akan ditarik oleh

cairan penyari. Ekstraksi bertujuan untuk menarik semua komponen kimia yang

didasarkan pada perpindahan massa komponen zat padat ke dalam pelarut, dimana

perpindahan mulai terjadi pada lapisan antar muka, kemudian berdifusi masuk ke

dalam pelarut (BPOM RI, 2010).

2.3.4 Metode ekstraksi

Metode ekstraksi dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu maserasi,

perkolasi, refluks, sokletasi dan infus.

2.3.4.1 Maserasi

Maserasi adalah proses penyarian simplisia menggunakan pelarut dengan

perendaman dan pengadukan sesekali pada suhu kamar. Maserasi merupakan

proses paling cepat dimana simplisia yang sudah halus direndam dalam pelarut

sampai meresap dan melunakkan susunan sel, sehingga zat-zat yang mudah larut

akan melarut (Ditjen POM, 2000).

Bahan simplisia yang dihaluskan sesuai dengan syarat farmakope

(umumnya terpotong-potong atau berupa serbuk kasar) disatukan dengan bahan

pengekstraksi. Selanjutnya rendaman tersebut disimpan terlindung dari cahaya

matahari (mencegah reaksi yang dikatalisis cahaya atau perubahan warna) dan

dikocok kembali. Waktu lamanya maserasi berbeda-beda antara 4−10 hari.

Selama maserasi cairan pelarut akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam

rongga sel yang mengandung zat aktif, zat aktif akan larut karena adanya

perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dengan yang diluar sel,

maka larutan yang terpekat akan di desak keluar. Proses tersebut terjadi secara

berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan yang ada diluar

dan didalam sel. Remaserasi berarti dilakukan penambahan pelarut setelah

dilakukan penyaringan maserasi pertama dan seterusnya (Ditjen POM, 2000).

Ekstraksi dengan cara maserasi memiliki keuntungan yaitu cara kerja dan

peralatan yang dipergunakan sederhana sedangkan kerugiannya adalah proses

pengerjaan yang membutuhkan waktu lama dan penyarian dengan cara ekstraksi

ini ekstraksinya kurang sempurna (Ditjen POM, 2000).

2.3.4.2 Perkolasi

Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru, yang umumnya

dilakukan pada suhu ruangan, penetesan atau penampungan ekstrak secara terus

menerus sampai diperoleh perkolat yang jumlahnya 1 sampai 5 kali jumlah bahan

(BPOM RI, 2010).

2.3.4.3 Refluks

Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya,

selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan

adanya pendingin balik (BPOM RI, 2010).

2.3.4.4 Sokletasi

Sokletasi adalah proses ekstraksi yang dilakukan dengan menggunakan alat

khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan

dengan adanya pendingin balik (BPOM RI, 2010).

2.3.4.5 Infus

Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada suhu 96−98ºC selama waktu

15−20 menit di penangas air, dapat berupa bejana infus tercelup dalam penangas

air mendidih (BPOM RI, 2010).

2.4 Kurkumin Rimpang temulawak

Kurkumin merupakan produk senyawa metabolit sekunder dari tanaman

temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) suku zingiberaceae. Kurkumin telah

banyak dimanfaatkan dalam industri farmasi, makanan dan parfum. Data-data dan

literatur yang menunjukkan bahwa rimpang temulawak berpotensi dalam aktivitas

farmakologi yaitu sebagai anti virus (virus flu burung), anti bakteri, anti fungi,

antioksidan dan anti karsinogenik. Kandungan kurkumin dalam rimpang

temulawak berkisar antara 1,6−2,22% dihitung berdasarkan berat kering

(Rukmana, 1995).

Kurkumin merupakan senyawa aktif rimpang temulawak sebagai obat

penyakit kulit (Santosa, 2002). Kurkuminoid juga merupakan senyawa khas dari

kurkumin yang berwarna kuning dan bersifat aromatik sehingga dapat

memberikan warna kuning dan juga aroma serta rasa khas pada makanan terutama

rasa getir agak pahit yang merupakan ciri khas rimpang temulawak (Istafid, 2006).

2.5 Minyak Atsiri Rimpang Temulawak

Minyak atsiri adalah zat cair yang mudah menguap bercampur dengan

persenyawaan padat yang berbeda dalam hal komposisi dan titik cairnya,

kelarutan dalam pelarut organik dan kelarutan dalam air (Armando, 2009).

Sifat minyak atsiri yang mudah menguap maka minyak atsiri harus disimpan

dalam wadah tertutup rapat pada suhu kamar dan terlindung dari cahaya

(Marlina, 2010).

Bagian tanaman yang berkhasiat adalah rimpang karena bagian ini

mengandung minyak atsiri yaitu kurkuminoid, mirsen, p-toluil metil, karbinol,

felandren, sabinen, sineol, borneol, zingiberen, turmeron, atlanton, artumeron

dan xanthorhizol (Handayani, 2009). Kurkuminoid merupakan salah satu

komponen utama yang terdapat dalam rimpang temulawak dan berpotensi

terhadap peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit (Istafid, 2006) dan

minyak atsiri rimpang temulawak berkhasiat dalam pengobatan penyakit kulit

(Santosa, 2002).

2.6 Ketokonazol

Ketokonazol termasuk golongan imidazol bersifat fungistatik dan

digunakan untuk pengobatan ketombe atau dermatitis seboroika. Untuk

pengobatan ketombe menggunakan ketokonazol 1% dalam bentuk shampo

sebanyak 2 kali dalam seminggu selama ± 8 minggu. Ketokonazol mempunyai

spektrum yang luas dan efektif terhadap fungi P. ovale penyebab ketombe.

Ketokonazol bekerja menghambat sintesa ergosterol yaitu komponen yang

penting untuk integritas membran sel fungi. Ketokonazol bersifat fungistatik yang

mengakibatkan perubahan dinding sel fungi sehingga terjadi kebocoran

sitoplasma kemudian terjadi kerusakan sintesa ergosterol pada fungi tersebut

(Lubis, 2008).

2.7 Deskripsi Pityrosporum ovale

Gambar 2. Kultur P. ovale pada media SDA+olive oil suhu 35⁰C selama 4 hari (Kaw Bing, 2005)

2.7.1 Klasifikasi Pityrosporum ovale

Kingdom : Fungi

Divisi : Basidiomycota

Kelas : Hymenomycetes

Bangsa : Tremellales

Suku : Filobasidiaceae

Marga : Malassezia

Spesies : Malassezia sp (sinonim Pityrosporum ovale)

(Baillon,

1889)

2.7.2 Sifat Pityrosporum ovale

Pityrosporum ovale merupakan yeast lipofilik sebagai komensalisme kulit

dan menjadi patogen pada kondisi tertentu (Kindo, 2004). Morfologi P. ovale

berkarakteristik oval seperti botol, berwarna putih−krem, halus, aerob, berukuran

1−2 × 2−4 mm, pH 5−6 (Bramono, 2008), suhu optimum bagi P. ovale ini antara

35−37⁰C, memperbanyak diri dengan cara blastospora atau tunas. Blastospora

dibentuk dari proses pertunasan sederhana dimana tunas tidak melepaskan diri

dari induknya tetapi membentuk kumpulan tunas yang menempel pada sel yang

memanjang atau pseudomiselium, tunas-tunas sel tersebut tetap berbentuk oval

sehingga membentuk cabang baru (Fardiaz, 1992). P. ovale merupakan fungi yang

berperan menyebabkan ketombe (Bramono, 2008).

Pityrosporum ovale dapat dikultur pada media yang diperkaya dengan

asam lemak berukuran C12-C14 (Elsner, 2006). Pada saat menumbuhkan fungi

P. ovale ini menggunakan media Sabouraud Dextrose Agar dengan media

penambah yaitu minyak kelapa, minyak samin atau olive oil. Lemak merupakan

kebutuhan mutlak bagi P. ovale karena fungi ini bersifat lipofilik yaitu

memerlukan lemak (lipid) untuk pertumbuhannya (Mayser, 2008). P. ovale

merupakan yeast yang ditemukan pada kulit kepala karena kulit kepala

mengandung sejumlah besar kelenjar sebasea. Kelenjar sebasea atau sebum

menghasilkan minyak pada kulit kepala namun pada penderita ketombe

jumlahnya lebih banyak (Niharika, 2010).

2.8 Ketombe

2.8.1 Pengertian Ketombe

Ketombe disebut juga Pityriasis sika atau dandruff merupakan suatu

keadaan anomali pada kulit kepala dengan terjadinya pengelupasan sel stratum

korneum atau lapisan tanduk secara berlebihan dari kulit kepala yang lebih cepat

dari biasanya, membentuk sisik tipis berukuran 2−3 milimeter, berwarna

keputih-putihan dan umumnya disertai rasa gatal (Degree, 1989).

Ketombe disebabkan oleh fungi yang disebut P. ovale merupakan yeast

yang ditemukan pada kulit kepala. Pada kondisi normal, kecepatan pertumbuhan

fungi P. ovale kurang dari 47%. Akan tetapi, jika ada faktor pemicu yang dapat

mengganggu kesetimbangan P. ovale pada kulit kepala, maka akan terjadi

peningkatan kecepatan pertumbuhan fungi P. ovale yang mencapai 74%.

Banyaknya populasi P. ovale inilah yang memicu terjadinya ketombe (Rook

dalam Yulinah, 2006).

Kulit kepala yang berkeringat akan menyebabkan kulit menjadi lembab.

Kulit kepala yang lembab akan menyebabkan fungi mudah bersarang di kulit

kepala (Santosa, 2002). Secara periodik kulit kepala memperbaharui diri, sel kulit

kepala yang mati secara normal akan dikeluarkan atau didorong ke permukaan

kulit. Sel kulit kepala yang mati selanjutnya akan lepas dengan sendirinya. Namun

dalam kondisi-kondisi tertentu pelepasan ini tidak terjadi sehingga sel-sel mati

menumpuk di permukaan kulit kepala dan terlihat sebagai ketombe.

Ketombe dapat terjadi karena penumpukan sel epidermis kulit kepala dalam

jumlah yang banyak (Naturakos, 2009). Ketombe tidak berbahaya tetapi sering

menjengkellkan karena disertai rasa gatal. Akibat rasa gatal tersebut penderita

ketombe sering menggaruk-garuk kulit kepala dan tanpa disadari dapat

menimbulkan luka (Santosa, 2002).

Gambar 3. Stuktur kulit kepala manusia (Farrell, 1980)

2.8.2 Faktor-Faktor yang mempengaruhi terjadinya ketombe

Faktor-faktor penyebab timbulnya ketombe adalah sebagai berikut:

1. Hiperproliferasi sel epidermis

Dalam keadaan normal lapisan kulit teratas (stratum korneum) akan diganti

oleh sel-sel dari lapisan di bawahnya. Hal ini terjadi pula pada kulit kepala yaitu

sel keratin (sel yang telah mati) akan terlepas dan diganti oleh sel-sel dari lapisan

yang lebih bawah. Sel-sel basal pada lapisan basalis akan bergerak ke lapisan

yang lebih atas dan akhirnya sampai pada permukaan kulit (lapisan kulit yang

paling atas). Umumnya, proses ini berlangsung cukup pelan sehingga tetap tidak

terlihat. Pada kebanyakan orang, seluruh kulit kepala berganti setiap bulan, tetapi

pada penderita ketombe proses ini berlangsung lebih cepat menjadi 10−15 hari

(Wijaya, 2001).

2. Genetik

Faktor genetik mempunyai peran penting dalam patogenesis ketombe

karena didapati bahwa P. ovale tanpa faktor predisposisi genetik tidak mungkin

menginduksi ketombe pada orang-orang yang tidak berketombe (Wijaya, 2001).

3. Kelenjar Sebacea

Produksi sebum akan mulai menurun meskipun ukuran kelenjar sebasea

bertambah. Sekresi sebum ini dipengaruhi oleh hormon androgen. Distribusi usia

penderita, dimana ketombe relatif jarang dan ringan pada masa anak-anak,

mencapai puncak keparahan pada usia sekitar 20 tahun, kemudian menjadi lebih

jarang setelah usia 50 tahun, memberi kesan bahwa hormon androgen mempunyai

pengaruh dan tingkat aktivitas kelenjar sebasea merupakan salah satu faktor

terjadinya ketombe (Wijaya, 2001).

4. Diet

Lemak yang dimakan dalam proporsi normal diperlukan oleh tubuh tetapi

jika berlebihan, lemak tersebut dapat mencapai kelenjar sebasea dan akhirnya

menjadi bahan pembentuk sebum. Kelenjar sebasea akan memproduksi minyak

sehingga kulit kepala menjadi sangat berminyak dan dengan pengaruh P. ovale

akan menimbulkan ketombe (Wijaya, 2001).

5. Variasi musim

Ketombe mencapai keadaan terendah pada musim panas dan pada musim

dingin ketombe akan memburuk (Wijaya, 2001).

6. Stress

Stress psikis menyebabkan peningkatan aktivitas kelenjar sebasea diduga

dapat mempengaruhi timbulnya ketombe (Wijaya, 2001).

7. Iritasi

Garukan dan penyisiran yang terlalu keras pada kulit kepala dapat

menimbulkan iritasi. Pemakaian kosmetika rambut yang mengandung zat kimia

tertentu dapat menimbulkan iritasi kulit kepala. Penggunaan beberapa minyak

rambut yang mengandung mustard atau minyak kelapa dicampur ramuan

tradisional dapat menimbulkan ketombe. Minyak kelapa merupakan media yang

baik bagi P. ovale karena fungi ini bersifat lipofilik (Wijaya, 2001).

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Rancangan Percobaan

Desain penelitian yang dilakukan adalah penelitian eksperimental dengan

menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan perlakuan terdiri dari

ekstrak rimpang temulawak dengan empat taraf yaitu konsentrasi 35%, 30%, 25%

dan 20%. Eksperimen dilakukan tiga kali ulangan.

3.2 Waktu dan Tempat Percobaan

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Terapan dan Laboratorium

Mikrobiologi Politeknik Kesehatan Bandung dari bulan Mei sampai Juli 2011.

3.3 Bahan dan Alat

Bahan yang dipergunakan adalah rimpang temulawak yang diperoleh dari

pasar tradisional Banjaran sebanyak 1000 g dan diperoleh dari kebun temulawak

Bapak Tateng di Jl. Banjaran Kabupaten Bandung sebanyak 500 g yang berumur

2 tahun pada bulan Mei 2011. Peralatan yang dipergunakan dalam penelitian ini

yaitu cawan petri, gelas kimia, pipet volume 10 ml, pipet volume 1 ml, bunsen

spiritus, neraca analitis, jarum ose, autoklaf, oven, blender, vaccum rotary

evaporator, waterbath dan pelubang gabus. Bahan penelitian yang dipergunakan

yaitu sampel rimpang temulawak, fungi P. ovale yang diperoleh dari

BIOFARMA, media Saboraud Dextrose Agar (SDA)+minyak kelapa, akuades,

etanol 96%, kertas saring dan shampo ketokonazol 1%.

3.4 Metode Percobaan

Untuk mengetahui efektivitas ekstrak rimpang temulawak terhadap fungi

P. ovale pada ketombe dilakukan dengan metode difusi agar menggunakan

pelubang gabus.

3.5 Langkah-langkah Percobaan

3.5.1 Sterilisasi Alat

Sterilisasi alat terdiri dari proses pencucian semua peralatan yang akan

digunakan dengan sabun dan dibilas dengan air bersih kemudian didiamkan

sampai kering, masing-masing alat yang sudah kering dibungkus dengan kertas.

Lalu masukan alat-alat yang sudah siap disterilkan pada suhu 180ºC selama 2 jam.

3.5.2 Pembuatan Ekstrak Rimpang Temulawak

Pembuatan ekstrak rimpang temulawak terdiri dari persiapan sampel

(pengolahan simplisia) dan maserasi. Pengolahan simplisia yaitu rimpang

temulawak dicuci dengan air dan dikeringkan, rimpang temulawak tersebut

dipotong-potong sehingga terbagi menjadi bagian yang kecil-kecil, diangin-

anginkan pada suhu kamar sampai benar-benar kering dan hindari terkena sinar

matahari agar senyawa-senyawa yang terkandung di dalamnya tidak rusak,

kemudian simplisia dihaluskan menggunakan blender untuk mendapatkan serbuk

simplisia.

Tahap selanjutnya adalah maserasi yaitu serbuk simplisia rimpang

temulawak dimaserasi dengan etanol 96% dengan perbandingan serbuk dan

pelarut 150g/1000ml, selanjutnya diaduk dan didiamkan selama 6 hari, simplisia

yang telah direndam disaring menggunakan kertas saring, ekstrak rimpang

temulawak di evaporasi dengan menggunakan vacum rotary evaporator pada suhu

80ºC, kemudian diuapkan dengan waterbath untuk menguapkan sisa pelarut

etanol, ekstrak yang sudah diuapkan pelarutnya dan berbentuk ekstrak kental siap

digunakan untuk uji hayati (Modifikasi Nurhayati, 2008).

3.5.3 Pembiakan Fungi Pityrosporum ovale

Pembiakan fungi P. ovale pertama-tama adalah sediakan plat

SDA+minyak kelapa steril, jarum ose steril yang telah disiapkan diletakkan pada

sumber isolat lalu goreskan ose tersebut pada cawan petri yang berisi media

SDA+minyak kelapa, bungkus cawan petri yang sudah ditanami tersebut dengan

kertas, sterilkan lagi ose dengan bunsen spiritus, inkubasikan pada inkubator suhu

37ºC selama 3 hari, secara makroskopik dapat dilihat dari ada tidaknya

pertumbuhan fungi berupa bercak-bercak (koloni).

3.5.4 Pembuatan Media SDA+minyak kelapa

Dalam penelitian ini media yang digunakan adalah media SDA+minyak

kelapa. Komposisi bahan-bahan yang terkandung dalam setiap liter media

SDA+minyak kelapa adalah SDA 65 g, akuades 1000 ml dan minyak kelapa

100 ml. Pembuatan dan sterilisasi media yang akan dipergunakan yaitu terlebih

dahulu timbang 16,25 g media SDA dan 25 ml minyak kelapa, kemudian larutkan

dengan 250 ml akuades dan didihkan sampai larut sambil diaduk, sterilkan dalam

autoklaf, setelah dingin tuangkan ke dalam cawan petri (Atlas; 1993, Subakir;

1992; Wijaya; 2001).

3.5.5 Uji Hayati

Fungi yang akan dipergunakan terlebih dahulu dibiakkan selama 5 hari

dalam cawan petri yang berisi medium SDA+minyak kelapa. Setelah merata

kemudian dibuat bulatan pada fungi dengan menggunakan pelubang gabus

berukuran 3,10 mm. Ekstrak rimpang temulawak diencerkan dengan akuades

steril pada konsentrasi 20%, 25%, 30% dan 35% (Modifikasi dari Riyanti,1996).

Untuk melihat pengaruh ekstrak rimpang temulawak terhadap fungi

P. ovale, tuangkan 1 ml ekstrak rimpang temulawak dan 9 ml media

SDA+minyak kelapa ke dalam cawan petri, kemudian digoyang-goyangkan agar

ekstrak dan media tercampur dan merata. Sebelum fungi ditanamkan, media

dibiarkan membeku. Bulatan fungi yang telah disiapkan ditanamkan pada media

yang telah membeku sebanyak 1 buah dalam 1 cawan petri lalu bungkus dengan

kertas. Pada tahap selanjutnya, fungi yang telah diberi perlakuan disimpan dalam

suhu 37ºC selama 3 hari kemudian diamati pertumbuhannya (Modifikasi Riyanti,

1996).

Parameter dalam penelitian ini adalah diameter pertumbuhan dan

persentase penghambatan fungi P. ovale pada media SDA+minyak kelapa yang

telah diberi tambahan ekstrak rimpang temulawak pada masing-masing

konsentrasi. Pengukuran diameter pertumbuhan fungi menggunakan jangka

sorong (mm) dan penghitungan persentase penghambatan fungi menggunakan

rumus Pandey et al. yaitu =(a−b)

𝑎× 100%, dimana a adalah diameter fungi pada

kontrol dan b adalah diameter fungi pada perlakuan (Modifikasi Wasilah, 2007).

Data yang diperoleh dianalisis dengan Anava menggunakan software SPSS

16. Data dijelaskan secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabel dan

gambar.

Dihancurkam dengan blender

Gambar 4. Diagram Alur Pembuatan Ekstrak Rimpang Temulawak

(Modifikasi Nurhayati, 2008)

1500 g rimpang temulawak dicuci dan dikeringkan

Diperoleh serbuk rimpang temulawak 150 g

Ditambahkan pelarut etanol 96% 1000 ml

Didiamkan selama 6 hari dan diaduk sesekali

Disaring menggunakan kertas saring

Dievaporasi dengan vaccum rotary evaporator suhu 80ºC

Ekstrak diuapkan dengan waterbath

Ekstrak kental

Gambar 5. Diagram Alur pembiakan fungi P. ovale (Modifikasi Dwidjoseputro, 2003)

Pengenceran dengan akuades

kontrol 20% 25% 30% 35%

masing-masing diambil 1 ml

Gambar 6. Diagram alur uji hayati

Dimasukkan 1 ose fungi P. ovale dalam media SDA+minyak

kelapa

Dibungkus cawan petri dengan kertas

Diinkubasikan pada suhu 37ºC selama 3 hari

Setelah merata dibuat bulatan fungi dengan pelubang gabus

9 ml SDA+minyak kelapa (dibiarkan sampai membeku)

Ekstrak kental rimpang temulawak Shampo Ketokonazol

Diinokulasikan fungi P. ovale 1 bulatan pada 1 petri (3x ulangan)

Disimpan pada inkubator 37ºC dan diamati pertumbuhannya

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Ekstrak Rimpang Temulawak

Hasil ekstrak rimpang temulawak dengan proses maserasi dapat dilihat

pada gambar 5. Berdasarkan gambar tersebut, diperoleh ekstrak kental rimpang

temulawak sebanyak 15 g didapat dari hasil maserasi rimpang temulawak

sebanyak 1500 g dengan pelarut etanol 96%, yang sebelumnya dilakukan

beberapa tahap yaitu dari mulai proses pengolahan simplisia sampai diperoleh

ekstrak kental untuk selanjutnya dilakukan uji hayati. Uji hayati dilakukan untuk

mengetahui efektifitas ekstrak rimpang temulawak tersebut terhadap fungi

P. ovale penyebab ketombe.

Gambar 7. Ekstrak Kental Rimpang Temulawak

Maserasi adalah proses penyarian simplisia menggunakan pelarut dengan

perendaman dan beberapa kali pengadukan pada suhu kamar. Maserasi

merupakan proses paling cepat dimana simplisia dalam bentuk serbuk direndam

dalam pelarut sampai meresap dan melunakkan susunan sel, sehingga zat-zat yang

mudah larut akan melarut. Maserasi memiliki keuntungan yaitu cara kerja dan

peralatan yang dipergunakan sederhana. Larutan penyari dalam proses maserasi

menggunakan etanol karena larutan penyari tersebut murah, mudah didapat dan

selektif yaitu hanya menarik zat berkhasiat yang dikehendaki dan tidak

mempengaruhi zat berkhasiat tersebut (Ditjen POM, 2000).

Bahan simplisia dalam bentuk serbuk bertujuan untuk memudahkan dalam

proses maserasi dan waktu lamanya maserasi yaitu 6 hari supaya zat-zat aktif

yang terkandung di dalam ekstrak rimpang temulawak tersebut benar-benar

tertarik oleh etanol 96% tersebut. Selama maserasi cairan pelarut akan menembus

dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif, zat aktif

akan larut karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam

sel dengan yang diluar sel, maka larutan yang terpekat akan di desak keluar.

Proses tersebut terjadi secara berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi

antara larutan yang ada di luar dan di dalam sel (Ditjen POM, 2000).

4.2 Ekstrak Rimpang Temulawak Terhadap Pertumbuhan koloni P. ovale

Hasil penelitian pengaruh ekstrak rimpang temulawak terhadap

pertumbuhan P. ovale secara difusi agar pada hari ke-4 dapat dilihat dalam

tabel 1. Berdasarkan tabel tersebut, semua konsentrasi perlakuan menunjukan

penghambatan dibandingkan dengan kontrol. Uji anava terhadap data diameter

penghambatan pertumbuhan P. ovale dengan ekstrak rimpang temulawak

menunjukan berbeda nyata pada taraf nyata (α) 0,05 artinya ekstrak rimpang

temulawak berpengaruh terhadap penghambatan pertumbuhan P. ovale pada

ketombe. Hasil tersebut diatas menunjukan bahwa ekstrak rimpang temulawak

35% efektif melakukan penghambatan pertumbuhan P. ovale pada ketombe yaitu

sebesar 3,47 mm dibandingkan dengan perlakuan ekstrak rimpang temulawak

lainnya yaitu kontrol 5,70 mm, konsentrasi 30% 3,50 mm, konsentrasi 25%

3,83 mm dan konsentrasi 20% 7,70 mm.

Tabel 1. Diameter Pertumbuhan P. ovale dengan ekstrak rimpang temulawak

Konsentrasi ekstrak

rimpang temulawak

Diameter P. ovale (mm)

Rata-Rata

hari ke-4 hari ke-5 hari ke-6

Kontrol 5.70 7.30 7.80 6.93

20% 7.70 7.47 7.27 7.48

25% 3.83 3.97 4.07 3.96

30% 3.50 3.57 3.53 3.53

35% 3.47 3.53 3.57 3.52

Hasil penelitian pengaruh ekstrak rimpang temulawak terhadap

pertumbuhan P. ovale secara difusi agar pada hari ke-5 dapat dilihat dalam

Tabel 1. Berdasarkan tabel tersebut, semua perlakuan menunjukan penghambatan

pertumbuhan P. ovale. Konsentrasi 35% menunjukan diameter terkecil yaitu

sebesar 3,53 mm, perlakuan konsentrasi 30%, 25% dan 20% menunjukan

kecenderungan diameter P. ovale lebih besar. Uji anava terhadap data diameter

penghambatan pertumbuhan P. ovale dengan ekstrak rimpang temulawak

menunjukan berbeda nyata pada taraf nyata (α) 0,05 artinya ekstrak rimpang

temulawak berpengaruh terhadap penghambatan pertumbuhan P. ovale pada

ketombe.

Hasil terbaik terjadi pada perlakuan ekstrak rimpang temulawak 35%

dengan diameter pertumbuhan koloni P. ovale terkecil yaitu 3,53 mm. Hasil

tersebut menunjukan bahwa ekstrak rimpang temulawak 35% efektif dalam

melakukan penghambatan pertumbuhan koloni P. ovale dibandingkan dengan

perlakuan ekstrak rimpang temulawak lainnya yaitu kontrol 7,30 mm, konsentrasi

30% 3,57 mm, konsentrasi 25% 3,97 mm dan konsentrasi 20% 7,47 mm.

Hasil penelitian pengaruh ekstrak rimpang temulawak terhadap

pertumbuhan P. ovale secara difusi agar pada hari ke-6 dapat dilihat dalam

Gambar 8. Berdasarkan gambar tersebut, semua konsentrasi perlakuan

menunjukkan penghambatan dibandingkan dengan kontrol. Perlakuan konsentrasi

ekstrak rimpang temulawak 30% menunjukan diameter pertumbuhan P. ovale

terkecil yaitu sebesar 3,53 mm. Perlakuan konsentrasi ekstrak rimpang temulawak

20%, 25% dan 35% menunjukkan diameter pertumbuhan P. ovale lebih besar. Uji

Anava terhadap data diameter penghambatan pertumbuhan P. ovale dengan

ekstrak rimpang temulawak menunjukkan berbeda nyata pada taraf nyata (α) 0,05

artinya ekstrak rimpang temulawak berpengaruh terhadap penghambatan

pertumbuhan P. ovale pada ketombe.

Hasil tersebut di atas menunjukkan bahwa ekstrak rimpang temulawak

30% efektif melakukan penghambatan pertumbuhan P. ovale pada ketombe

dibandingkan dengan perlakuan ekstrak rimpang temulawak lainnya yaitu kontrol

7,80 mm, konsentrasi 35% 3,57 mm, konsentrasi 25% 4,07 mm dan konsentrasi

20% 7,27 mm.

(a)

(b)

(c)

(d)

(e)

Gambar 8. Koloni P. ovale hari ke-6 pada media SDA+minyak kelapa suhu 37⁰C setelah diberi

perlakuan ekstrak rimpang temulawak, (a) Kontrol, (b) 20%, (c) 25%, (d) 30%, dan

(d) 35%.

Hasil penelitian pengaruh ekstrak rimpang temulawak terhadap

pertumbuhan P. ovale secara difusi agar pada hari ke- 4, 5 dan 6 setelah dirata-

ratakan dapat dilihat dalam Tabel 1 dan Gambar 9. Berdasarkan tabel dan gambar

tersebut, perlakuan konsentrasi ekstrak rimpang temulawak 35% dan 30%

dianggap sama dalam menghambat pertumbuhan P. ovale pada ketombe yaitu

pada konsentrasi 35% sebesar 3,52 mm dan konsentrasi 30% 3,53 mm. Perlakuan

konsentrasi ekstrak rimpang temulawak 25% dan 20% menunjukan diameter

pertumbuhan P. ovale lebih besar. Uji anava terhadap data diameter

penghambatan pertumbuhan P. ovale dengan ekstrak rimpang temulawak

menunjukan berbeda nyata pada taraf nyata (α) 0,05 artinya ekstrak rimpang

temulawak berpengaruh terhadap penghambatan pertumbuhan P. ovale pada

ketombe.

Hasil tersebut di atas menunjukan bahwa ekstrak rimpang temulawak 35%

efektif melakukan penghambatan pertumbuhan P. ovale pada ketombe

dibandingkan dengan perlakuan ekstrak rimpang temulawak lainnya yaitu kontrol

6,93 mm, konsentrasi 30% 3,53 mm, konsentrasi 25% 3,96 mm dan konsentrasi

20% 7,48 mm.

Gambar 9. Diameter pertumbuhan rata-rata koloni P. ovale setelah diberi perlakuan ekstrak

rimpang temulawak.

Kemampuan ekstrak rimpang temulawak tersebut karena kandungan

senyawa kurkumin atau zat warna kuning dan kurkuminoid, mirsen, p-toluil metil,

karbinol, felandren, sabinen, sineol, borneol, zingiberen, turmeron, atlanton,

artumeron dan xanthorhizol di dalam minyak atsiri (Handayani, 2003). Hasil

serupa terjadi juga pada penelitian rimpang temulawak sebagai antifungi lain

(Sundari, 2001), antifungi Trichophyton rubrum dan Microsporum gypseum

(Yusuf, 2000), dapat menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus

(Mashita, 2008) dan bakteri Salmonella thypii (Masri, 2002).

Mekanisme penghambatan antifungi menurut Pelczar dan Reid dalam

Budiarti (2007) terbagi menjadi empat cara yaitu:

1. Merusak dinding sel fungi sehingga menyebabkan dinding sel lisis. Antifungi

berikatan kuat dengan sterol yang terdapat pada membran sel fungi. Ikatan ini

mengakibatkan kebocoran membran sel, sehingga terjadi kehilangan beberapa

bahan intrasel dan menyebabkan kerusakan pada sel fungi.

2. Menggangu permeabilitas membran sitoplasma sehingga terjadi kebocoran zat

nutrisi dari dalam sel fungi. Permeabilitas dinding sel dirusak dengan

mengganggu proses sintesis asam nukleat atau dengan menimbun senyawa

peroksida dalam sel fungi sehingga terjadi kerusakan dinding sel yang

mengakibatkan permeabilitas terhadap berbagai zat intrasel meningkat

3. Menghambat proses mitosis fungi dengan mengikat protein mikrotubuler

dalam sel fungi.

4. Merusak sistem metabolisme di dalam sel fungi dengan cara menghambat

kerja enzim intraseluler.

Rimpang temulawak yang di uji cobakan pada fungi P. ovale tersebut

diperoleh dari tempat yang berbeda yaitu dari daerah Pangalengan dan Banjaran

yang merupakan dataran tinggi. Menurut Rukmana (1995) rimpang temulawak

yang dihasilkan dari dataran tinggi lebih banyak kandungan minyak atsirinya

dibandingkan dengan rimpang temulawak yang diperoleh dari dataran rendah.

Pada saat pembiakan fungi P. ovale menggunakan media SDA+minyak kelapa

sebagai media pertumbuhannya karena kandungan asam lemak minyak kelapa

dapat digunakan sebagai pengganti olive oil (Mahidol, 1995).

4.3 Shampo ketokonazol terhadap pertumbuhan koloni P. ovale

Hasil penelitian pengaruh shampo ketokonazol terhadap pertumbuhan

P. ovale secara difusi agar pada hari ke-4 dapat dilihat pada Tabel 2. Berdasarkan

tabel tersebut, semua perlakuan menunjukkan penghambatan pertumbuhan

P. ovale. Konsentrasi ketokonazol 35% menunjukan diameter terkecil yaitu

sebesar 3,13 mm, perlakuan konsentrasi ketokonazol 30%, 25% dan 20%

menunjukkan kecenderungan diameter P. ovale lebih besar. Uji Anava terhadap

data diameter penghambatan pertumbuhan P. ovale dengan shampo yang

mengandung ketokonazol menunjukkan berbeda nyata pada taraf nyata (α) 0,05

artinya shampo dengan kandungan ketokonazol berpengaruh terhadap

penghambatan pertumbuhan P. ovale pada ketombe.

Hasil terbaik terjadi pada perlakuan ketokonazol 35% dengan diameter

pertumbuhan koloni P. ovale terkecil yaitu 3,13 mm. Hasil tersebut menunjukkan

bahwa shampo ketokonazol 35% efektif dalam melakukan penghambatan

pertumbuhan koloni P. ovale pada ketombe dibandingkan dengan perlakuan

shampo ketokonazol lainnya yaitu kontrol 5,70 mm, konsentrasi 30% 3,17 mm,

konsentrasi 25% 3,33 mm dan konsentrasi 20% 3,27 mm.

Tabel 2. Diameter pertumbuhan P. ovale dengan shampo ketokonazol

Konsentrasi

ketokonazol

Diameter P. ovale (mm) Rata-Rata

hari ke-4 hari ke-5 hari ke-6

Kontrol 5.70 7.30 7.80 6.93

20% 3.27 3.27 3.27 3.27

25% 3.33 3.33 3.33 3.33

30% 3.17 3.20 3.20 3.19

35% 3.13 3.13 3.13 3.13

Hasil penelitian pengaruh shampo ketokonazol terhadap pertumbuhan

P. ovale secara difusi agar pada hari ke-5 dapat dilihat dalam Tabel 2.

Berdasarkan tabel tersebut, semua perlakuan menunjukan penghambatan

pertumbuhan P. ovale. Konsentrasi 35% menunjukan diameter terkecil yaitu

sebesar 3,13 mm, perlakuan konsentrasi 30%, 25% dan 20% menunjukan

kecenderungan diameter P. ovale lebih besar. Uji anava terhadap data diameter

penghambatan pertumbuhan P. ovale dengan shampo ketokonazol menunjukan

berbeda nyata pada taraf nyata (α) 0,05 artinya shampo ketokonazol berpengaruh

terhadap penghambatan pertumbuhan P. ovale pada ketombe.

Hasil terbaik terjadi pada perlakuan shampo ketokonazol 35% dengan

diameter pertumbuhan koloni P. ovale terkecil yaitu 3,13 mm. Hasil tersebut

menunjukan bahwa shampo ketokonazol 35% efektif dalam melakukan

penghambatan pertumbuhan koloni P. ovale dibandingkan dengan perlakuan

shampo ketokonazol lainnya yaitu kontrol 7,30 mm, konsentrasi 30% 3,20 mm,

konsentrasi 25% 3,33 mm dan konsentrasi 20% 3,27 mm.

Hasil penelitian pengaruh shampo ketokonazol terhadap pertumbuhan

P. ovale secara difusi agar pada hari ke-6 dapat dilihat pada Gambar 10.

Berdasarkan gambar tersebut, semua perlakuan menunjukkan penghambatan

pertumbuhan P. ovale. Konsentrasi ketokonazol 35% menunjukan diameter

terkecil yaitu sebesar 3,13 mm, perlakuan konsentrasi ketokonazol 30%, 25% dan

20% menunjukkan kecenderungan diameter P. ovale lebih besar. Uji Anava

terhadap data diameter penghambatan pertumbuhan P. ovale dengan shampo yang

mengandung ketokonazol menunjukkan berbeda nyata pada taraf nyata (α) 0,05

artinya shampo dengan kandungan ketokonazol berpengaruh terhadap

penghambatan pertumbuhan P. ovale pada ketombe.

Hasil terbaik terjadi pada perlakuan ketokonazol 35% dengan diameter

pertumbuhan koloni P. ovale terkecil yaitu 3,13 mm. Hasil tersebut menunjukkan

bahwa shampo ketokonazol 35% efektif dalam melakukan penghambatan

pertumbuhan koloni P. ovale pada ketombe dibandingkan dengan perlakuan

shampo ketokonazol lainnya yaitu kontrol 7,80 mm, konsentrasi 30% 3,20 mm,

konsentrasi 25% 3,33 mm dan konsentrasi 20% 3,27 mm.

(a)

(b)

(c)

(d)

(e)

Gambar 10. Koloni P. ovale hari ke-6 pada media SDA+minyak kelapa suhu 37⁰C setelah diberi

perlakuan ketokonazol, (a) Kontrol, (b) 20%, (c) 25%, (d) 30% dan (e) 35%

Hasil penelitian pengaruh shampo ketokonazol terhadap pertumbuhan

P. ovale secara difusi agar pada hari ke-4, 5 dan 6 setelah dirata-ratakan dapat

dilihat dalam Tabel 2 dan Gambar 11. Berdasarkan tabel dan gambar tersebut,

perlakuan shampo ketokonazol konsentrasi 35% menghambat pertumbuhan

P. ovale pada ketombe yaitu sebesar 3,13 mm. Perlakuan konsentrasi 30%, 25%

dan 20% menunjukan diameter pertumbuhan P. ovale lebih besar. Uji anava

terhadap data diameter penghambatan pertumbuhan P. ovale dengan shampo

ketokonazol menunjukan berbeda nyata pada taraf nyata (α) 0,05 artinya shampoo

ketokonazol berpengaruh terhadap penghambatan pertumbuhan P. ovale pada

ketombe.

Hasil tersebut di atas menunjukan bahwa shampo ketokonazol 35% efektif

melakukan penghambatan pertumbuhan P. ovale pada ketombe dibandingkan

dengan perlakuan shampo ketokonazol lainnya yaitu kontrol 6,93 mm, konsentrasi

30% 3,19 mm, konsentrasi 25% 3,33 mm dan konsentrasi 20% 3,27 mm. Hasil

penelitian shampo ketokonazol tersebut lebih baik dibandingkan dengan ekstrak

rimpang temulawak.

Gambar 11. Diameter pertumbuhan rata-rata koloni P. ovale setelah diberi perlakuan

shampo ketokonazol.

Pengujian ketokonazol terhadap pertumbuhan P. ovale dilakukan sebagai

pembanding efektifitas hasil pengujian antara senyawa artifisial (shampo

ketokonazol) dengan senyawa alamiah (ekstrak rimpang temulawak).

Hal ini dilakukan untuk melihat tingkat kemampuan penghambatan terhadap

objek yang sama.

Novitasari (2010) menjelaskan bahwa mekanisme kerja shampo

ketokonazol ini akan mengakibatkan perubahan dinding sel fungi sehingga terjadi

kebocoran sitoplasma kemudian terjadi kerusakan sintesa ergosterol pada fungi

tersebut. Hasil serupa terjadi juga pada penelitian Pratama dan Nugroho (2008),

yaitu ketokonazol efektif menghambat pertumbuhan P. ovale serta ketokonazol

efektif menghambat pertumbuhan Candida albicans (Setiawati, 2008).

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Ekstrak rimpang temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) efektif dalam

menghambat pertumbuhan fungi Pityrosporum ovale pada ketombe.

2. Konsentrasi ekstrak rimpang temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) 35%

adalah konsentrasi yang efektif menghambat pertumbuhan fungi Pityrosporum

ovale pada ketombe.

5.2 Saran

Meninjau hasil penelitian ini, penulis memberikan saran sebagai berikut:

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang kemungkinan ekstrak rimpang

temulawak (sebagai senyawa alamiah) di dalam shampo untuk menekan

pertumbuhan fungi Pityrosporum ovale penyebab ketombe.

2. Perlu dilakukan uji lebih lanjut dari hasil penelitian ini terhadap efektifitas

penghambatan Pityrosporum ovale pada ketombe secara langsung di kepala

seseorang.

3. Umur dan tempat rimpang temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) yang

akan di uji cobakan dibuat seragam karena berbeda kandungan senyawa aktif

di dalam rimpang temulawak tersebut dan pengambilan data fokus pada

stuktur dan pertumbuhan koloninya.