makalah cacing
TRANSCRIPT
1
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
1.1. Ascaris lumbricoides
1.1.1. Epidemiologi
Pada umumnya frekuensi tertinggi penyakit ini diderita oleh anak-anak
sedangkan orang dewasa frekuensinya rendah. Hal ini disebabkan oleh karena
kesadaran anak-anak akan kebersihan dan kesehatan masih rendah ataupun
mereka tidak berpikir sampai ke tahap itu. Sehinga anak-anak lebih mudah
diinfeksi oleh larva cacing Ascaris misalnya melalui makanan, ataupun infeksi
melalui kulit akibat kontak langsung dengan tanah yang mengandung telur
Ascaris lumbricoides.
Faktor host merupakan salah satu hal yang penting karena manusia
sebagai sumber infeksi dapat mengurangi kontaminasi ataupun pencemaran
tanah oleh telur dan larva cacing, selain itu manusia justru akan menambah
polusi lingkungan sekitarnya. Di pedesan kasus ini lebih tinggi prevalensinya,
hal ini terjadi karena buruknya sistem sanitasi lingkungan di pedesaan, tidak
adanya jamban sehingga tinja manusia tidak terisolasi sehingga larva cacing
mudah menyebar. Hal ini juga terjadi pada golongan masyarakat yang
memiliki tingkat social ekonomi yang rendah, sehingga memiliki kebiasaan
membuang tinja (defekasi) ditanah, yang kemudian tanah akan terkontaminasi
dengan telur cacing yang infektif dan larva cacing yang seterusnya akan
terjadi reinfeksi secara terus menerus pada daerah endemik (Brown dan
Harold, 1983 dalam Rasmaliah, 2001).
Perkembangan telur dan larva cacing sangat cocok pada iklim tropik
dengan suhu optimal adalah 23°C sampai 30°C. Jenis tanah liat merupakan
tanah yang sangat cocok untuk perkembangan telur cacing, sementara dengan
bantuan angin maka telur cacing yang infektif bersama dengan debu dapat
menyebar ke lingkungan (Rasmaliah, 2001).
2
1.1.2. Morfologi
Taksonomi dari Ascaris lumbricoides kingdom; animalia, filum
nematode, klas secementae, ordo ascaridida, family ascarididae, genus ascaris
dan spesies Ascaris lumbricoides.
Cacing betina dewasa mempunyai bentuk tubuh posterior yang
membulat (conical), berwarna putih kemerah-merahan dan mempunyai ekor
lurus tidak melengkung. Cacing betina mempunyai panjang 22 - 35 cm dan
memiliki lebar 3 - 6 mm (Prasetyo, 2003).
Gambar 1. Cacing betina dewasa Ascaris lumbricoides
Sementara cacing jantan dewasa mempunyai ukuran lebih kecil, dengan
panjangnya 12 - 13 cm dan lebarnya 2 - 4 mm, juga mempunyai warna yang
sama dengan cacing betina, tetapi mempunyai ekor yang melengkung kearah
ventral. Kepalanya mempunyai tiga bibir pada ujung anterior (bagian depan)
dan mempunyai gigi-gigi kecil atau dentikel pada pinggirnya, bibirnya dapat
ditutup atau dipanjangkan untuk memasukkan makanan (Soedarto,1991 dalam
Rasmaliah, 2001). Pada potongan melintang cacing mempunyai kutikulum
tebal yang berdampingan dengan hipodermis dan menonjol kedalam rongga
badan sebagai korda lateral. Sel otot somatik besar dan panjang dan terletak di
3
hipodermis; gambaran histologinya merupakan sifat tipe
polymyarincoelomyarin. Alat reproduksi dan saluran pencernaan mengapung
didalam rongga badan, cacing jantan mempunyai dua buah spekulum yang
dapat keluar dari kloaka dan pada cacing betina, vulva terbuka pada
perbatasan sepertiga badan anterior dan tengah, bagian ini lebih kecil dan
dikenal sebagai cincin kopulasi (Prasetyo, 2003 dan Rasmaliah, 2001).
Gambar 2 Cacing jantan dewasa Ascaris lumbricoides
Gambar 3 Mulut Ascaris lumbricoides
Telur yang di buahi (fertilized) berbentuk ovoid dengan ukuran 60-70 x
30-50 mikron. Bila baru dikeluarkan tidak infektif dan berisi satu sel tunggal.
Sel ini dikelilingi suatu membran vitelin yang tipis untuk meningkatkan daya
tahan telur cacing tersebut terhadap lingkungan sekitarnya, sehingga dapat
bertahan hidup sampai satu tahun. Di sekitar membran ini ada kulit bening
dan tebal yang dikelilingi lagi oleh lapisan albuminoid yang permukaanya
4
tidak teratur atau berdungkul (mamillation). Lapisan albuminoid ini kadang-
kadang dilepaskan atau hilang oleh zat kimia yang menghasilkan telur tanpa
kulit (decorticated). Didalam rongga usus, telur memperoleh warna kecoklatan
dari pigmen empedu. Telur yang tidak dibuahi (unfertilized) berada dalam
tinja, bentuk telur lebih lonjong dan mempunyai ukuran 88-94 x 40-44
mikron, memiliki dinding yang tipis, berwarna coklat dengan lapisan
albuminoid yang kurang sempurna dan isinya tidak teratur (Rasmaliah, 2001).
Gambar 4. Telur Ascaris
lumbricoides fertilGambar 5. Telur Ascaris lumbricoides
unfertil
1.2.3. Daur Hidup
Manusia merupakan satu-satunya hospes definitif Ascaris lumbricoides,
jika tertelan telur yang infektif, maka didalam usus halus bagian atas telur
akan pecah dan melepaskan larva infektif dan menembus dinding usus masuk
kedalam vena porta hati yang kemudian bersama dengan aliran darah menuju
jantung kanan dan selanjutnya melalui arteri pulmonalis ke paru-paru dengan
masa migrasi berlangsung selama sekitar 15 hari (Rasmaliah, 2001).
5
Dalam paru-paru larva tumbuh dan berganti kulit sebanayak 2 kali,
kemudian keluar dari kapiler, masuk ke alveolus dan seterusnya larva masuk
sampai ke bronkus, trakhea, laring dan kemudian ke faring, berpindah ke
osepagus dan tertelan melalui saliva atau merayap melalui epiglottis masuk
kedalam traktus digestivus. Terakhir larva sampai kedalam usus halus bagian
atas, larva berganti kulit lagi menjadi cacing dewasa. Umur cacing dewasa
kira-kira satu tahun, dan kemudian keluar secara spontan.
Siklus hidup cacing ascaris mempunyai masa yang cukup panjang, dua
bulan sejak infeksi pertama terjadi, seekor cacing betina mulai mampu
mengeluarkan 200.000 – 250.000 butir telur setiap harinya, waktu yang
diperlukan adalah 3 – 4 minggu untuk tumbuh menjadi bentuk infektif
(Rasmaliah 2001).
Menurut penelitian stadium ini merupakan stadium larva, dimana telur
tersebut keluar bersama tinja manusia dan di luar akan mengalami perubahan
dari stadium larva I sampai stadium III yang bersifat infektif. Telur-telur ini
tahan terhadap berbagai desinfektan dan dapat tetap hidup bertahun-tahun di
tempat yang lembab. Di daerah hiperendemik, anak-anak terkena infeksi
secara terus-menerus sehingga jika beberapa cacing keluar, yang lain menjadi
dewasa dan menggantikannya. Jumlah telur ascaris yang cukup besar dan
dapat hidup selama beberapa tahun maka larvanya dapat tersebar dimana-
mana, menyebar melalui tanah, air, ataupun melalui binatang. Maka bila
makanan atau minuman yang mengandung telur ascaris infektif masuk
kedalam tubuh maka siklus hidup cacing akan berlanjut sehingga larva itu
berubah menjadi cacing. Jadi larva cacing ascaris hanya dapat menginfeksi
tubuh melalui makanan yang tidak dimasak ataupun melalui kontak langsung
dengan kulit (Rasmaliah, 2001).
6
Gambar 6. Daur Hidup Ascaris lumbricoides
1.2.4. Cara penularan
Penularan Ascariasis dapat terjadi melalui bebrapa jalan yaitu masuknya
telur yang infektif ke dalam mulut bersama makanan atau minuman yang
tercemar, tertelan telur melalui tangan yang kotor dan terhirupnya telur
infektif bersama debu udara dimana telur infektif tersebut akan menetas pada
saluran pernapasan bagian atas, untuk kemudian menembus pembuluh darah
dan memasuki aliran darah (Soedarto, 1991 dalam Rasmaliah, 2001).
1.2.5. Patogenesa dan Manifestasi Klinis
Kelianan-kelainan yang terjadi pada tubuh penderita terjadi akibat
pengaruh migrasi larva dan adanya cacing dewasa. Pada umumnya orang yang
kena infeksi tidak menunjukkan gejala, tetapi dengan jumlah cacing yang
7
cukup besar (hyperinfeksi) terutama pada anak-anak akan menimbulkan
kekurangan gizi, selain itu cacing itu sendiri dapat mengeluarkan cairan tubuh
yang menimbulkan reaksi toksik sehingga terjadi gejala seperti demam
typhoid yang disertai dengan tanda alergi seperti urtikaria, odema di wajah,
konjungtivitis dan iritasi pernapasan bagian atas (Rasmaliah, 2001).
Cacing dewasa dapat pula menimbulkan berbagai akibat mekanik
seperti obstruksi usus, perforasi ulkus diusus. Oleh karena adanya migrasi
cacing ke organ-organ misalnya ke lambung, oesophagus, mulut, hidung dan
bronkus dapat menyumbat pernapasan penderita.
Ada kalanya askariasis menimbulkan manifestasi berat dan gawat dalam
beberapa keadaan sebagai berikut :
1. Bila sejumlah besar cacing menggumpal menjadi suatu bolus yang
menyumbat rongga usus dan menyebabkan gejala abdomen akut.
2. Pada migrasi ektopik dapat menyebabkan masuknya cacing kedalam
apendiks, saluran empedu (duktus choledocus) dan ductus pankreatikus.
Bila cacing masuk ke dalam saluran empedu, terjadi kolik yang berat
disusul kolangitis supuratif dan abses multiple. Peradangan terjadi karena
desintegrasi cacing yang terjebak dan infeksi sekunder. Desintegrasi
betina menyebabkan dilepaskannya telur dalam jumlah yang besar yang
dapat dikenali dalam pemeriksaan histology (Soedarto, 1991 dalam
Rasmaliah, 2001).
1.2.6. Diagnosa
Untuk menegakkan diagnosis pasti harus ditemukan cacing dewasa
dalam tinja atau muntahan penderita dan telur cacing dengan bentuk yang
khas dapat dijumpai dalam tinja atau didalam cairan empedu penderita melalui
pemeriksaan mikroskopik (Soedarto, 1991 dalam Rasmaliah, 2001).
\
8
1.2.7. Pencegahan dan upaya penanggulangan
Berdasarkan kepada siklus hidup dan sifat telur cacing ini, maka upaya
pencegahannya dapat dilakukan sebagai berikut :
a. Penyuluhan kesehatan
Penyuluhan kesehatan tentang sanitasi yang baik dan tepat guna,
Hygiene keluarga dan higiene pribadi seperti :
- Tidak menggunakan tinja sebagai pupuk tanaman.
- Sebelum melakukan persiapan makanan dan hendak makan, tangan
dicuci terlebih dahulu dengan menggunkan sabun.
- Bagi yang mengkonsumsi sayuran segar (mentah) sebagai lalapan,
hendaklah dicuci bersih dan disiram lagi dengan air hangat.
Karena telur cacing Ascaris dapat hidup dalam tanah selama bertahun-tahun,
pencegahan dan pemberantasan di daerah endemik adalah sulit. Adapun upaya
yang dapat dilakukan untuk mencegah penyakit ini adalah sebagai berikut:
1. Mengadakan kemotrapi massal setiap 6 bulan sekali didaerah endemik
ataupun daerah yang rawan terhadap penyakit askariasis.
2. Memberi penyuluhan tentang sanitasi lingkungan.
3. Melakukan usaha aktif dan preventif untuk dapat mematahkan siklus
hidup cacing misalnya memakai jamban/WC.
4. Makan makanan yang dimasak saja.
5. Menghindari sayuran mentah (hijau) dan selada di daerah yang
menggunakan tinja sebagai pupuk.
b. Pengobatan penderita
Bila mungkin, semua yang positif sebaiknya diobati, tanpa melihat
beban cacing karena jumlah cacing yang kecilpun dapat menyebabkan migrasi
ektopik dengan akibat yang membahayakan. Untuk pengobatan tentunya
semua obat dapat digunakan untuk mengobati Ascariasis, baik untuk
pengobatan perseorangan maupun pengobatan massal. Pada waktu yang lalu
9
obat yang sering dipakai seperti : piperazin, minyak chenopodium, hetrazan
dan tiabendazol. Oleh karena obat tersebut menimbulkan efek samping dan
sulitnya pemberian obat tersebut, maka obat cacing sekarang ini berspektrum
luas, lebih aman dan memberikan efek samping yang lebih kecil dan mudah
pemakaiannya (Soedarto, 1995). Adapun obat yang sekarang ini dipakai
dalam pengobatan adalah :
1. Mebendazol.
Obat ini adalah obat cacing berspektrum luas dengan toleransi hospes
yang baik. Diberikan satu tablet (100 mg) dua kali sehari selama tiga hari,
tanpa melihat umur, dengan menggunakan obat ini sudah dilaporkan beberapa
kasus terjadi migrasi ektopik.
2. Pirantel Pamoat.
Dosis tunggal sebesar 10 mg/kg berat badan adalah efektif untuk
menyembuhkan kasus lebih dari 90 %. Gejala sampingan, bila ada adalah
ringan dan obat ini biasanya dapat diterima (“well tolerated”). Obat ini
mempunyai keunggulan karena efektif terhadap cacing kremi dan cacing
tambang. Obat berspekturm luas ini berguna di daerah endemik dimana
infeksi multipel berbagai cacing Nematoda merupakan hal yang biasa.
3. Levamisol Hidroklorida.
Obat ini agaknya merupakan obat anti-askaris yang paling efektif yang
menyebabkan kelumpuhan cacing dengan cepat. Obat ini diberikan dalam
dosis tunggal yaitu 150 mg untuk orang dewasa dan 50 mg untuk orang
dengan berat badan <10 kg. Efek sampingan lebih banyak dari pada pirantel
pamoat dan mebendazol.
4. Garam Piperazin.
Obat ini dipakai secara luas, karena murah dan efektif, juga untuk
Enterobius vermicularis, tetapi tidak terhadap cacing tambang. Piperazin sitrat
diberikan dalam dosis tunggal sebesar 30 ml (5 ml adalah ekuivalen dengan
750 mg piperazin). Reaksi sampingan lebih sering daripada pirantel pamoat
10
dan mebendazol. Ada kalanya dilaporkan gejala susunan syaraf pusat seperti
berjalan tidak tetap (unsteadiness) dan vertigo.
1.2. Oxyuris vermicularis (E. vermicularis)
1.2.1. Epidemiologi E. vermicularis
Insiden tinggi di negara-negara barat terutama USA 35-41 %.
Merupakan penyakit keluarga. Tidak merata dilapisan masyarakat dan yang
sering diserang yaitu anak-anak umur 5-14 tahun. Pada daerah tropis insiden
sedikit oleh karena cukupnya sinar matahari, udara panas, kebiasaan ke WC
(yaitu sehabis defekasi dicuci dengan air tidak dengan kertas toilet). Akibat
hal-hal tersebut diatas maka pertumbuhan telur terhambat, sehingga dapat
dikatakan penyakit ini tidak berhubungan dengan keadaan sosial ekonomi
masyarakat tapi lebih dipengaruhi oleh iklim dan kebiasaan. Udara yang
dingin, lembab dan ventilasi yang jelek merupakan kondisi yang baik bagi
pertumbuhan telur.(Soejoto dan Soebari, 1996).
1.2.2. Taksonomi
Enterobius vermicularis dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
Phylum : Nematoda
Kelas : Plasmidia
Ordo : Rabtidia
Super famili : Oxyuroidea
Family : Oxyuridea
Genus : Enterobius
Species : Enterobius vermicularis
1.2.3. Morfologi
Ukuran telur E. vermicularis yaitu 50-60 mikron x 20-30 mikron (rata-
rata 55 x 26 mikron). Telur berbentuk asimetris, tidak berwarna, mempunyai
11
dinding yang tembus sinar dan salah satu sisinya datar. Telur ini mempunyai
kulit yang terdiri dari dua lapis yaitu : lapisan luar berupa lapisan albuminous,
translucent, bersifat mechanical protection. Di dalam telur terdapat bentuk
larvanya. Seekor cacing betina memproduksi telur sebanyak 11.000 butir
setiap harinya selama 2 samapi 3 minggu, sesudah itu cacing betina akan mati
(Soedarto, 1995).
Gambar 7. Telur cacing E. Vermicularis
Cacing dewasa E. vermicularis berukuran kecil, berwarna putih, yang
betina jauh lebih besar dari pada yang jantan. Ukuran cacing jantan adalah 2-5
mm, cacing jantan mempunyai sayap yang dan ekornya melingkar seperti
tanda tanya. Sedangkan ukuran cacing betina adalah 8-13 mm x 0,4 mm,
cacing betina mempunyai sayap, bulbus esofagus jelas sekali, ekornya
panjang dan runcing. Uterus cacing betina berbentuk gravid melebar dan
penuh dengan telur. Bentuk khas dari cacing dewasa ini adalah tidak terdapat
rongga mulut tetapi dijumpai adanya 3 buah bibir, bentuk esofagus bulbus
ganda (double bulb oesophagus), didaerah anterior sekitar leher kutikulum
cacing melebar, pelebaran yang khas disebut sayap leher (cervical alae).
12
Gambar 8. Cacing dewasa E. Vermicularis (Soedarto, 1995)
1.2.4. Siklus hidup E. vermicularis
Manusia merupakan satu-satunya hospes definitif E. vermicularis dan
tidak diperlukan hospes perantara. Cacing dewasa betina mengandung banyak
telur pada malam hari dan akan melakukan migrasi keluar melalui anus ke
daerah : perianal dan perinium. Migrasi ini disebut Nocturnal migration. Di
daerah perinium tersebut cacing-cacing ini bertelur dengan cara kontraksi
uterus, kemudian telur melekat didaerah tersebut. Telur dapat menjadi larva
infektif pada tempat tersebut, terutama pada temperatur optimal 23-26 ºC
dalam waktu 6 jam (Soedarto, 1995).
Waktu yang diperlukan untuk daur hidupnya, mulai dari tertelan telur
matang sampai menjadi cacing dewasa gravid yang bermigrasi kedaerah
perianal, berlangsung kira-kira 2 minggu sampai 2 bulan. Mungkin daurnya
hanya berlangsung kira-kira I bulan karena telur-telur cacing dapat ditemukan
kembali pada anus paling cepat 5 minggu sesudah pengobatan (Soedarto,
1995).
13
Gambar 9. Siklus Hidup E. Vermicularis
1.2.5. Cara penularan
Cara penularan Enterobius vermicularis dapat melalui tiga jalan :
1. Penularan dari tangan ke mulut penderita sendiri (auto infection) atau pada
orang lain sesudah memegang benda yang tercemar telur infektif misalnya
alas tempat tidur atau pakaian dalam penderita.
2. Melalui pernafasan dengan menghisap udara yang tercemar telur yang
infektif.
3. Penularan secara retroinfeksi yaitu penularan yang terjadi pada penderita
sendiri, oleh karena larva yang menetas di daerah perianal mengadakan
migrasi kembali ke usus penderita dan tumbuh menjadi cacing dewasa.
14
Gambar 10. Cara Penularan E. Vermicularis
1.2.6. Patologi dan Gejala Klinis
Enterobiasis relative tidak berbahaya, jarang menimbulkan lesi yang
serius. Gejala klinis yang menonjol disebabkan iritasi di sekitar anus,
perineum dan vagina oleh cacing betina gravid yang bermigrasi ke daerah
anus dan vagina sehingga menyebabkan pruritus local. Oleh karena cacing
bermigrasi ke daerah anus dan menyebabkan pruritus ani, maka penderita
menggaruk daerah sekitar anus sehingga timbul luka garuk. Keadaan ini
sering terjadi pada malam hari hingga penderita terganggu tidurnya. Kadang-
kadang cacing dewasa muda dapat bergerak ke usus halus bagian proksimal
sampai ke lambung, esophagus dan hidung, sehingga menyebabkan
15
gangguan di daerah tersebut. Cacing betina gravid berjalan-jalan dan dapat
bersarang di vagina dan tuba Fallopi, sehingga menyebabkan radang di
saluran telur.
1.2.7. Diagnosa
Cara memeriksa Enterobiasis yaitu dengan menemukan adanya cacing
dewasa atau telur dari cacing E. vermiculsris. Adapun caranya adalah sebagai
berikut :
a. Cacing dewasa
Cacing dewasa dapat ditemukan dalam feses, dicuci dalam larutan Nacl
agak panas, kemudian dikocok sehingga menjadi lemas, selanjutnya diperiksa
dalam keadaan segar atau dimatikan dengan larutan fiksasi untuk
mengawetkan. Nematoda kecil seperti E. vermicularis dapat juga difiksasi
engan diawetkan dengan alkhohol 70% yang agak panas. (Brown, 1983)
b. Telur cacing
Telur E. vermicularis jarang ditemukan didalam feses, hanya 5% yang
positif pada orang-orang yang menderita infeksi ini (Soejoto dan Soebari,
1996). Telur cacing E. vermicularis lebih mudah ditemukan dengan tekhnik
pemeriksaan khusus, yaitu dengan menghapus daerah sekitar anus dengan
“Scotch adhesive tape swab”. (Gracia, 2001).
1.2.8. Terapi
Mengingat bahwa Enterobiasis adalah masalah kesehatan keluarga maka
lingkungan hidup keluarga harus diperhatikan, selain itu kebersihan
perorangan merupakan hal yang sangat penting dijaga. Perlu ditekankan pada
anak-anak untuk memotong kuku, membersihkan tangan sesudah buang air
besar dan membersihkan daerah perianal sebaik-baiknya serta cuci tangan
sebelum makan.
16
Di samping itu kebersihan makanan juga perlu diperhatikan. Hendaknya
dihindarkan dari debu dan tangan yang terkontaminasi telur cacing E.
vermicularis. Tempat tidur dibersihkan karena mudah sekali tercemar oleh
telur cacing infektif. Diusahakan sinar matahari bisa langsung masuk ke
kamar tidur, sehingga dengan udara yang panas serta ventilasi yang baik
pertumbuhan telur akan terhambat karena telur rusak pada temperatur lebih
tinggi dari 46ºC dalam waktu 6 jam. Karena infeksi Enterobius mudah
menular dan merupak penyakit keluarga maka tidak hanya penderitanya saja
yang diobati tetapi juga seluruh anggota keluarganya secara bersama-sama
(Soedarto, 1995).
Kemoterapi dengan penggunaan obat yang dianjurkan oleh dokter seperti :
1. Mebendazol.
Obat ini adalah obat cacing berspektrum luas dengan toleransi hospes
yang baik. Diberikan satu tablet (100 mg) dua kali sehari selama tiga hari,
tanpa melihat umur, dengan menggunakan obat ini sudah dilaporkan beberapa
kasus terjadi migrasi ektopik.
2. Albendazol
Obat ini digunakan untuk mengobati infeksi cacing usus, baik infeksi
tunggal maupun infeksi campuran. Dosis yang digunakan untuk orang dewasa
dan anak- anak berusia diatas 2 tahun diberikan takaran 400 mg sebagai dosis
tunggal. Untuk anak- anak berumur 1- 2 tahun diberikan dosis 200 mg sebagai
dosis tunggal.
3. Pirantel Pamoat.
Dosis tunggal sebesar 10 mg/kg berat badan adalah efektif untuk
menyembuhkan kasus lebih dari 90 %. Gejala sampingan, bila ada adalah
ringan dan obat ini biasanya dapat diterima (“well tolerated”). Obat ini
mempunyai keunggulan karena efektif terhadap cacing kremi dan cacing
tambang. Obat berspekturm luas ini berguna di daerah endemik dimana
infeksi multipel berbagai cacing Nematoda merupakan hal yang biasa.
17
4. Garam Piperazin.
Obat ini dipakai secara luas, karena murah dan efektif, juga untuk
Enterobius vermicularis, tetapi tidak terhadap cacing tambang. Piperazin sitrat
diberikan dalam dosis tunggal sebesar 30 ml (5 ml adalah ekuivalen dengan
750 mg piperazin). Reaksi sampingan lebih sering daripada pirantel pamoat
dan mebendazol. Ada kalanya dilaporkan gejala susunan syaraf pusat seperti
berjalan tidak tetap (unsteadiness) dan vertigo.
5. pyrvinium pamoate
Obat ini digunakan untuk mengobati infeksi enterobiasis. Pemberian
sirup ini digunakan dosis tunggal dengan takaran 0,5 ml/kgBB. Pemberian
sebaiknya pagi hari sebelum makan pagi. Kemasan sirup 10 mg Pirvinium
sitrat/ml. dianjurkan diberikan bersama- sama pada seluruh anggota keluarga
atau kelompok.
18
BAB II
ILUSTRASI KASUS
Seorang anak laki- laki 6 tahun, diantar ibunya dengan keluhan sering
diare sejak 1 bulan yang lalu. Tetapi diarenya tidak tentu dan dalam sehari
belum tentu diare. Tidak nafsu makan dan sering gatal di anus pada malam
hari. Ibunya juga pernah menemukan cacing kremi di anus anaknya tersebut.
Dari scotch adhesive test didapatkan cacing kremi (Oxyuris vermicularis) dan
pemeriksaan feses didapatkan adanya telur cacing gelang (Ascaris
lumbricoides).
2. 1. Identitas Penderita
Nama : An.R
Umur :6 tahun
Jenis kelamin : Laki- laki
Alamat : Jl. MT Haryono, Lowokwaru
Pekerjaan : Pelajar
Pendidikan : TK
Agama : Islam
Suku : Jawa
Nama ayah : Tn. S
Umur ayah : 32 Tahun
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Wiraswasta
Nama ibu : Ny. Y
Umur Ibu : 29 Tahun
Pendidikan :SMA
Pekerjaan : IRT
2.2. Anamnesa
1. Keluhan utama : Diare
19
2. Riwayat penyakit sekarang
Diare dirasakan sejak satu bulan yang lalu. Diare tidak tentu, dalam satu
hari kadang diare kadang tidak. Diare dalam bentuk cair dan kadang disertai
lendir. Diare bisa terjadi sampai 5 kali dalam sehari. Selain itu nafsu makan
an. R turun, hal ini dirasakan sejak dua minggu yang lalu. Pasien juga
mengeluhkan sering gatal- gatal pada lubang dubur. Gatal- gatal sudah
dirasakan sejak satu bulan yang lalu. Gatal semakin meningkat pada malam
hari, sampai membuat pasien tidak bisa tidur. Pada suatu saat ibu melihat di
anusnya dan menemukan adanya cacing kremi.
3. Riwayat Penyakit Dahulu:
- Riwayat sakit serupa : (-)
- Riwayat mondok : (-)
- Riwayat sakit gula : (-)
- Riwayat bronkitis : (-)
- Riwayat asma : (-)
- Riwayat penyakit jantung : (-)
- Riwayat sakit kejang : (-)
- Riwayat alergi obat : (-)
- Riwayat alergi makanan : (-)
4. Riwayat Penyakit Keluarga
- Riwayat keluarga dengan penyakit serupa : (-)
- Riwayat hipertensi : (-)
- Riwayat sakit gula : (-)
- Riwayat asma : (-)
- Riwayat jantung : (-)
- Riwayat alergi : (-)
5. Riwayat Kebiasaan
- Riwayat merokok : (+), ayah
- Riwayat pengisian waktu luang : bermain dan nonton TV
20
6. Riwayat Sosial Ekonomi
An. R adalah putra dari Bapak S dan Ibu Y. An. R tinggal bersama kedua
orangtuanya dan kedua saudaranya yang merupakan bentuk nuclear family.
An. R adalah anak ketiga dari tiga bersaudara. Bapak S bekerja sebagai
wirausaha fotocopy, sedangkan Ibu Y adalah ibu rumah tangga. Kesan social
ekonomi kurang.
7. Riwayat Gizi
Pasien makan 3 kali sehari. Satu kali makan pasien bisanya
menghabiskan setengah piring makan dengan nasi lauk dan sayur. Namuan
selama 2 minggu ini nafsu makan pasien menurun, makanan setengah piring
tidak habis, dan apabila ibu menyuruh makan langsusng mengelak.
8. Riwayat Kehamilan Ibu
Ny. Y memiliki tiga anak dan An. R adalah anak ketiga. Pada saat hamil
ibu rutin ANC ke dokter. Pernah sakit ringan seperti batuk dan pilek. Ibu tidak
pernah mengkonsumsi obat kecuali dari dokter, yaitu vitamin saja.
9. Riwayat Kelahiran
Pasien lahir dengan sesio sesar dengan indikasi panggul sempit. Pada saat
kelahiran bayi langsung menangis sepontan dengan keras. Berat badan saat
lahir 2800 g dengan panjang 54 cm. Kedua kakaknya juga lahir secara sesio
sesar karena indikasi yang serupa.
10. Riwayat imunisasi
Imunisasi dasar pasien lengkap sesuai dengan jadwal (BCG, DPT, Polio,
campak, dan hepatitis-B).
11. Riwayat tumbuh kembang
Anak sudah duduk di bangku TK, anak sudah bisa belajar dan bermain
dengan teman- temannya. Kesan tumbuh kembang baik.
21
2.2. Anamnesis Sistem
1. Kulit : warna kulit putih, pucat (-), kulit gatal (-),
2. Kepala : sakit kepala (- ), pusing ( -), rambut kepala rontok (- ), luka
pada kepala ( -), benjolan/borok di kepala ( -)
3. Mata : pandangan mata berkunang-kunang ( -), penglihatan kabur
( -), ketajaman penglihatan dalam batas normal
4. Hidung : tersumbat ( -), mimisan (- )
5. Telinga : pendengaran berkurang ( - ), berdengung ( - ), keluar cairan ( - )
6. Mulut : sariawan ( - ) sering, mulut kering (- )
7. Tenggorokan : sakit menelan ( -), serak (- )
8. Pernafasan : sesak nafas ( -), batuk lama (-)
9. Kadiovaskuler : berdebar-debar (-), nyeri dada ( -), ampeg ( -)
10. Gastrointestinal : mual ( - ), muntah ( - ), diare ( +), nafsu makan meningkat
( - ), nyeri perut ( - ), gatal pada lubang dubur.
11. Genitourinaria : BAK ±5x dan cair sehari kadang- kadang, kencing malam
hari (-) kali/hari, kuning jernih nampak normal
12. Neurologik : kejang (- ) sering, lumpuh ( - ), kesemutan dan rasa tebal
pada kedua kaki ( - )
13. Psikiatri : emosi stabil, mudah marah ( - )
14. Muskuloskeletal : kaku sendi ( - ), nyeri tangan dan kaki ( - ), nyeri otot ( - )
15. Ekstremitas :
o Atas kanan : bengkak ( - ), sakit ( - ), luka ( - )
o Atas kiri : bengkak ( - ), sakit ( - ), luka ( - )
o Bawah kanan : bengkak ( - ), sakit ( - ), luka ( - )
o Bawah kanan : bengkak ( - ), sakit ( - ), luka ( - )
2.3. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum : tampak lemas , compos mentis GCS( E4 V5 M6)
2. Tanda Vital
22
BB : 19 kg
TB : 100 cm
BMI : kesan normoweight
Tensi : - mmHg
Nadi : 90 x/menit regular, isi cukup, simetris
Pernafasan : 20 x/mnt
Suhu : 36,7°C
3. Status Lokalis : eskoriasi (+) dan iritatif (+) di daerah anus
4. Kulit
sawo matang, turgor baik, ikterik (-), sianosis (-), pucat (-), spidernevi (-),
petechie (-), eritem (-), venektasi (-)
5. Kepala
Bentuk mesocephal , luka ( - ), rambut rontok ( - ), makula ( - ), papula ( - ),
nodula ( - ).
6. Mata
Conjunctiva anemis ( - / - ), sklera ikterik ( - / - ), warna kelopak (kecoklatan),
katarak ( - / - ), strabismus (-/-)
7. Hidung
Nafas cuping hidung (-), sekret (-), epistaksis (-), deformitas hidung (-),
hiperpigmentasi (-).
8. Mulut
Bibir pucat (-), bibir kering (-), lidah kotor (-), papil lidah atrofi (-), tepi lidah
hiperemis (-), tremor (-).
9. Telinga
Nyeri tekan mastoid (-), sekret (-), pendengaran berkurang (-), cuping telinga
dalam batas normal.
10. Tenggorokan
Tonsil membesar (-), pharing hiperemis (-).
11. Leher
23
lesi kulit (-), pembesaran kelenjar tiroid (-), pembesaran kelenjar limfe (-),
deviasi trakea (-).
12. Toraks
bentuk normal, simetris, pernafasan thoracoabdominal, retraksi sela iga (-)
spidernevi (-), sela iga melebar (-), massa (-),kelainan kulit (-), nyeri (-)
13. Cor:
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis kuat angkat
Perkusi Batas kiri atas : ICS II Linea para sternalis sinistra
Batas kanan atas : ICS II Linea para sternalis dekstra
Batas kiri bawah: ICS V medial lineo medio clavicularis
sinistra
Batas kanan bawah: ICS IV linea para sternalis dekstra
Auskultasi : bunyi jantung I-II intensitas normal, regular, bising (-)
Suara tambahan jantung : (-)
14. Pulmo :
Statis (depan dan belakang)
Inspeksi : bentuk normal, simetris, pergerakan dada kanan
sama dengan dada kiri,irama regular, otot bantu
nafas (-), pola nafas abnormal (-), usaha bernafas
meningkat.
Palpasi : fremitus raba kiri sama dengan kanan
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/.+),
wheezing ronkhi
Dinamis (depan dan belakang)
- -
-
- -
-
24
15. Abdomen :
Inspeksi : datar/sejajar dinding dada, venektasi (-), massa (-),
bekas jahitan (-)
Palpasi : supel, nyeri epigastrium (-), hepar dan lien tidak
teraba, turgor baik, massa (-), asites (-)
Perkusi : timpani seluruh lapangan perut
Auskultasi : peristaltik (+), 39x/menit
16. Sistem Columna Vertebralis
Inspeksi : deformitas (-), skoliosis (-), kiphosis (-), Lordosis
(-)
Palpasi : nyeri tekan (-)
Perkusi : NKCV (-)
17. Ekstremitas : palmar eritem (-)
Akral hangat
Oedem
18. Pemeriksaan Neurologik
Kesadaran : kompos mentis GCS (E4 V5 M6)
Fungsi luhur : dalam batas normal
Fungsi Vegetatif : dalam batas normal
Fungsi sensorik :
Fungsi motorik
- -
- -
- -
- -
N N
N N
- -
- -
- -
- -
- -
- -
- -
- -
kekuatan tonus RF RP
25
19. Pemeriksaan Psikiatrik
Penampilan : perawatan diri baik
Kesadaran : compos mentis
Afek : appopriate
Psikomotor : normoaktif
Proses pikir : bentuk :realistik
isi :waham ( - ), halusinasi ( - ), ilusi ( - )
arus :koheren
Insight : baik
2.4. Pemeriksaan Penunjang
1. scotch adhesive test didapatkan cacing kremi (Oxyuris vermicularis)
2. pemeriksaan feses didapatkan adanya telur cacing gelang (Ascaris
lumbricoides).
2.5. Resume
Pasien datang berobat diantarkan oleh ibunya dengan keluhan diare. Diare
tersebut dirasakan sejak 1 bulan yang lalu. Diare munculnya tidak tentu. Selain
diare pasien juga mengeluhkan tidak nafsu makan yang dirasakan sejak 2 minggu
yang lalu. Pasien juga mengeluhkan gatal pada daerah dubur, gatal tersebut
meningkat pada malam hari. Ibu juga menemukan adanya cacing kremi pada
dubur.
Berdasarkan pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum an. R tampak
lemas, vital sign normal, pada status lokalis didapatkan eskoriasi yaitu di daerah
anus dan adanya peningkatan peristaltik.
Pada pemeriksaan penunjang dilakukan scotch adhesive test didapatkan
cacing kremi (Oxyuris vermicularis) dan pemeriksaan feses didapatkan adanya
telur cacing gelang (Ascaris lumbricoides).
2.6. Diagnosa
Diare et causa Infeksi parasit Oxyuris vermicularis Ascaris lumbricoides.
26
2.7. Terapi
Non medikamentosa
1. Mencuci tangan sebelum makan dan setelah buang air besar
2. Memotong kuku dan menjaga kebersihan kuku
3. Mencuci seprei minimal 2 kali/minggu
4. Mencuci jamban setiap hari
5. Menghindari penggarukan daerah anus karena bisa mencemari jari-jari tangan
dan setiap benda yang dipegang/disentuhnya
Medikamentosa
.
dr. Oktiyasari Puji NurwatiSIP : 207 121 0005
Praktek/ Rumah : Hari Praktek :Jl. Joyo Tambaksari 30B Senin- Jum’atMalang Pagi 07.00-09.00 WIB081334950980 Sore 16.00-20.00 WIB
Malang, 28 Februari 2012
R/ Combantrin susp 2mg 5/ml 60 ml No.IS 1 dd cth I½
_____________________________________________##R/ Biodiar tab ½
Glukosa qsm.f.l.a. pulv dtd No. VIIIS p.r.n. 2 dd I post defecatio________________________________________________##
R/ Confortin cream g 20 No.IS ue. a.n part doll________________________________________________##
R/ Apialys syr ml 100 No. IS 1 dd cth I pc________________________________________________##
Pro : An. R Umur : 6 thAlamat: Jl. MT. Haryono BB : 19 kg
27
BAB III
PEMBAHASAN
Terapi medikamentosa yang diberikan pada An. R adalah sebagai
berikut:
1. Combantrin
Pertimbangan diberikannya combantrin (Pirantel Pamoat) adalah karena
antihelmenth obat ini lebih efektif untuk infeksi cacing kremi dan cacing
tambang. Berbeda dengan obat lain seperti piperazim dan pyrvinium yang
hanya efektif untuk enterobiosis. Selain itu dengan cara pemberian obat sekali
dalam sehari lebih efektif untuk meningkatkan kepatuhan pasien. Berbeda
dengan Albendasol yang dibagi menjadi dua dosis. Pemilihan obat dengan
suspensi adalah untuk memudahkan pemberian pada anak- anak. Jumlah
suspense adalah 60 ml atau 1 fl cukup untuk delapan hari.
2. Biodiar pulv
Pertimbangan diberikan biodiar untuk mengurangi gejala yaitu diare.
Obat ini diberikan dalam sediaan puyer, hal ini karena anak masih sulit untuk
menelan tablet. Puyer ini hanya diberikan apabila ada keluhan diare dan
diminum setelah buang air besar yang cair (diare).
3. Confortin cream g
Pertimbangan pemberian confortin adalah untuk pruritus dan adanya
eskoriasi. Pemberian dengan cara dioleskan tipis pada tempat lesi (eskoriasi).
Diberikan bila perlu saja, kalau gatal saja, umumnya pada malam hari.
Pemberian cream I tube karena hanya dioleskan pada daerah anus dan bila
perlu saja.
4. Apialys syr
Pertimbangan pemberian obat ini adalah untuk meningkatkan asupan
gizi, meningkatkan nafsu makan, dan daya tahan tubuh. Hal ini karena pasien
mengeluhkan tidak nafsu makan ditambah dengan diare dan pasien dalam
28
kondisi terinfeksi, sehingga pasien harus ditingkatkan ketahanan tubuh dan
gizinya agar pasien bisa segera pulih, sembuh dari infeksi, dan infeksi tidak
kambuh lagi. Pemberian satu flash untuk 20 kali pemberian.
29
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
dapat disimpulkan bahwa An. R adalah pasien penderita diare et causa infeksi
parasit E. vermicularis dan Ascaris lumbricoides. Pasien diberiakan terapi
non medikamentosa dan medikamentosa (pirantel pamoat, biodiar, confortin,
dan apialys.
4.2. Saran
Saran yang diberikan penulis adalah diharapkan kritik dan saran yang
membangun bagi pembaca tentang penulisan dan isi dari makalah.
30
TINJAUAN PUSTAKA
Brown, Harold, W. 1983. Dasar Parasitologi Klinis. Gramedia. Jakarta
Garcia, Lyne Shore. 2001. Diagnostic Medical Parasitology. ASM Press: Wasington
Handoko RP, Djuanda A, Hamzah M. 2005. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Ed.4. FKUI: Jakarta
Prasetyo, Heru. 2003. Helmintologi Kedokteran. Airlangga University Press: Surabaya
Rasmaliah. 2001. Ascariasis dan Upaya Penanggulangannya. FKM Universitas Sumatera Utara: Sumatera Utara.
Santoso dkk. 2011. MIMS Edisi Bahasa Indonesia. PT Medidata Indonesia: Jakarta.
Soedarto, 1995. Helmintologi Kedokteran. Edisi ke 2. EGC. Jakarta.
Wibowo, Samekto dkk. 2002. Formularium Rumah Sakit Dr. Sardjito Yogyakarta.
RS Dr. Sardjito: Yogyakarta.