hubungan tingkat pengetahuan perawat · pdf file... obedience, sop when setting up iv fluid...
TRANSCRIPT
i
i
HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN PERAWAT TENTANG PLEBITIS
DENGAN KEPATUHAN MELAKSANAKAN STANDAR PROSEDUR
OPERASIONAL PEMASANGAN INFUS PADA BBLR DI
RSUD DR. SOEDIRAN MANGUN SUMARSO
WONOGIRI
SKRIPSI
Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Sarjana Keperawatan
Oleh :
H A R T A T I
NIM: ST. 14 027
PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN
STIKES KUSUMA HUSADA
SURAKARTA
2016
ii
ii
iii
iv
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha
kuasa karena berkat petunjuk dan karuniaNya penulis dapat menyelesaikan
penyusunan skripsi yang berjudul: ”Hubungan Tingkat Pengetahuan Perawat
tentang Plebitis dengan Kepatuhan Melaksanakan Standar Prosedur Operasional
Pemasangan Infus pada BBLR di Ruang Perinatologi RSUD dr. Soediran Mangun
Sumarso Wonogiri.
Dalam penyusunan skripsi ini penulis menyadari bahwa tanpa dorongan,
bimbingan dan motivasi dari semua pihak, penulis tidak akan mampu
menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Oleh karena itu, penulis menyampaikan
terimakasih yang tak terhingga kepada :
1. Ns. Wahyu Rima Agustin, M.Kep., selaku Ketua STIKes Kusuma Husada
Surakarta, yang telah memberi izin penelitian kepada penulis.
2. Ns. Atiek Murharyati, M.Kep., selaku Ketua Prodi S1 Keperawatan yang telah
memberikan dukungan dan motivasi kepada semua mahasiswanya.
3. Ns. Happy Indri Hapsari, M.Kep., selaku pembimbing yang telah
memberikan bimbingan dan arahan penulis dengan penuh kesabaran sehingga
skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.
4. Ns. Ika Subekti Wulandari, M.Kep., selaku pembimbing yang telah
memberikan bimbingan dan arahan penulis dengan penuh kesabaran sehingga
skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.
5. Ns. Galih Setia Adi, M.Kep., selaku penguji yang telah memberikan
bimbingan dan arahan penulis dengan penuh kesabaran sehingga skripsi ini
dapat terselesaikan dengan baik.
v
vi
6. dr. Setyorini, M.Kes., selaku Direktur Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD)
dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri yang telah memberikan ijin
penelitian kepada penulis.
7. Bapak dan Ibu Dosen STIKes Kusuma Husada Surakarta yang telah
memberikan segenap ilmu dan pengalamannya kepada penulis, sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
8. Keluarga yang telah memberikan dukungan, doa, nasihat, kasih sayang dan
semangat bagi penulis dalam mengerjakan skripsi ini.
9. Semua responden yang telah bersedia untuk menjadi responden dan bersedia
untuk mengisi kuesioner yang diberikan dalam rangka penyusunan skripsi.
10. Teman Angkatan/Kelas ST14 yang telah memberikan dukungan dan
bantuannya, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
11. RSUD DR. Soediran Mangun Soemarso sebagai tempat penelitian.
Tiada kata yang pantas penulis sampaikan kepada semuanya, kecuali
ucapan terima kasih yang tak terhingga serta iringan doa semoga kebaikan
Bapak/Ibu/Saudara mendapat balasan dari Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca pada umumnya.
Surakarta,12 Januari 2016
Hartati
NIM. ST. 14 027
vi
vii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN SAMPUL .......................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................... iv
KATA PENGANTAR ........................................................................... v
DAFTAR ISI ........................................................................................ vii
DAFTAR TABEL ................................................................................. viii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................. ix
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................... xi
ABSTRAK ... ........................................................................................ xii
ABSTRACH .. ........................................................................................ xiii
BAB I. PENDAHULUAN ................................................................. 1
2.1 Latar Belakang .............................................................. 1
2.2 Rumusan Masalah .......................................................... 5
2.3 Tujuan Penelitian ........................................................... 5
2.4 Manfaat Penelitian ........................................................ 6
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Teori ............................................................... 7
2.2. Keaslian Penelitian ........................................................ 34
2.3 Kerangka Teori .............................................................. 35
2.4 Kerangka Konsep ........................................................... 36
2.5 Hipotesis ........................................................................ 36
vii
viii
BAB III. METODE PENELITIAN
3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian ...................................... 37
3.2 Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel......... 38
3.3 Tempat dan Waktu Penelitian ......................................... 39
3.4 Variabel, Definisi Operasional dan Skala Pengukuran ..... 40
3.5 Unstrumen Penelitian ..................................................... 40
3.6 Uji Validitas dan Reliabilitas ......................................... 43
3.6. Teknik Pengumpulan Data ............................................. 45
3.7 Pengolahan dan Analisis Data ........................................ 46
3.8 Etika Penelitian ............................................................. 49
BAB IV HASIL PENELITIAN
4.1. Analisis Univariat ........................................................... 51
4.2. Analisis Bivariat ............................................................ 53
BAB V PEMBAHASAN
5.1. Analisis Univariat ........................................................... 55
5.2. Analisis Bivariat ............................................................ 61
BAB VI PENUTUP
6.1. Simpulan ........................................................................ 64
6.2. Saran ............................................................................ 64
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR LAMPIRAN
viii
ix
DAFTAR TABEL
Nomor Tabel Judul Tabel Halaman
2.1 Keaslian Penelitian ............................................................... 33
3.1 Definisi Operasional Variabel ............................................... 38
3.2. Kisi-kisi Angket Variabel Pengetahuan tentang Plebitis ........ 39
4.1. Karakteristik Responden Menurut Umur ............................... 51
4.2. Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin ..................................... 51
4.3. Distribusi Frekuensi Pendidikan Akhir ................................. 52
4.4. Karakteristik Responden Menurut Lama Bekerja ................... 52
4.5. Distribusi Frekuensi tentang Tingkat Pengetahuan ................ 52
4.6. Distribusi Frekuensi tentang Kepatuhan Perawat .................. 53
4.7. Hasil Crostab dan Analisis Uji Chi-Sqquare (χ2) ................... 53
ix
x
DAFTAR GAMBAR
Nomor Gambar Judul Gambar Halaman
2.1 Kerangka Teori ..................................................................... 35
2.2 Kerangka Konsep .................................................................. 36
x
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Lampiran Nama Lampiran
1. Surat Ijin Studi Pendahuluan
2. Surat Balasan Ijin Pendahuluan
3. Surat ijin Penelitian
4. Surat Balasan Ijin Penelitian
5. Surat Permohonan Menjadi Informan
6. Surat Persetujuan Menjadi Informan
7. Kuesioner
8. Rekapitulasi Hasil Penelitian
9. Hasil Penelitian
10. Jadwal Penelitian
11. Blangko Konsultasi
xi
xii
PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN
STIKES KUSUMA HUSADA SURAKARTA
2016
Hartati
HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN PERAWAT TENTANG PLEBITIS
DENGAN KEPATUHAN MELAKSANAKAN STANDAR PROSEDUR
OPERASIONAL PEMASANGAN INFUS PADA BBLR DI
RSUD DR. SOEDIRAN MANGUN SUMARSO
WONOGIRI
Abstrak
Salah satu komplikasi pemberian terapi intravena adalah terjadinya
phlebitis. Perawat profesional yang bertugas dalam memberikan pelayanan
kesehatan tidak terlepas dari kepatuhan perilaku perawat dalam setiap tindakan
prosedural yang bersifat invasif seperti halnya pemasangan infus. Tujuan dari
penelitian ini untuk menganalisis hubungan tingkat pengetahuan perawat tentang
plebitis dengan kepatuhan melaksanakan standar prosedur operasional pemasangan
infus pada BBLR.
Metode yang digunakan adalah deskriptif korelasional dengan pendekatan
case control. Penelitian dilakukan pada bulan Oktober 2015 di Ruang Perinatologi
RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri. Jumlah sampel 18 responden
dengan teknik total sampling. Alat analisis yang digunakan dengan analisis chi-
square (X2).
Hasil penelitian menunjukkan: Karakteristik responden nilai rata-rata umur
33 tahun, berjenis kelamin perempuan (100%), berpendidikan D-3 Keperawatan
(88,9%), dan rata-rata lama bekerja 9 tahun; sebagian besar perawat mempunyai
tingkat pengetahuan tinggi (83,3%); sebagian besar perawat mempunyai
kepatuhan dalam pelaksanaan SPO pemasangan infus tergolong patuh (94,4%);
ada hubungan signifikan tingkat pengetahuan perawat tentang plebitis dengan
kepatuhan melaksanakan standar prosedur operasional pemasangan infus pada
BBLR (p-value = 0,021 < 0,05), adapun tingkat hubungan tergolong sedang.
Kesimpulan dari penelitian, ada hubungan signifikan tingkat pengetahuan
perawat tentang plebitis dengan kepatuhan melaksanakan standar prosedur
operasional pemasangan infus pada BBLR.
Kata kunci: Tingkat Pengetahuan, Kepatuhan, SPO Pemasangan Infus, Plebitis,
BBLR.
Daftar Pustaka: 47 (2005 – 2014)
xiii
BACHELOR OF NURSING PROGRAM
SCHOOL OF HEALTH SCIENCES OF KUSUMA HUSADA
SURAKARTA
2016
Hartati
The Relationship between Knowledge Levels of Nurses on Phlebitis and Their
Standard Operating Procedure Obedience when Setting Up IV fluid infusion for
Low Birth Weight Infants at dr. Soediran Mangun Sumarso Regional Public
Hospital of Wonogiri
Abstract
One of intravenous therapy complications is known as phlebitis. A
professional nurse serving as a health care service provider requires their obedience
in every invasive procedural care, one of which is procedure to set up IV fluid
infusion. The aim of the research is to analyze the relationship between knowledge
levels of nurses on phlebitis and their standard operating procedure obedience when
setting up IV fluid infusion for low birth weight infants.
This research used descriptive correlational method with case control
approach. It was conducted in October 2015 at perinatology suites of dr. Soediran
Mangun Sumarso Regional Public Hospital of Wonogiri. Samples of 18
respondents were taken with total sampling technique. The data were later
analyzed using chi-square (X2) analysis.
The research findings indicate that 1) Respondents are characterized by
average ages of 33 years, feminine gender (100%), educational background of
three year nursing diploma (88.9%), and average length of work experience of 9
years; 2) Most nurses possess high level of knowledge (83.3%); 3) Most nurses
(94.4%) are proven to be obedient when setting up IV fluid infusion; 4) there
exists a significant relationship between knowledge levels of nurses on phlebitis
and their standard operating procedure obedience when setting up IV fluid
infusion for low birth weight infants (with p-value of 0.021 < 0.05) which is
considered as moderate relationship.
In conclusion, there is a significant relationship between knowledge levels
of nurses on phlebitis and their standard operating procedure obedience when
setting up IV fluid infusion for low birth weight infants.
Keywords : knowledge levels, obedience, SOP when setting up IV fluid
infusion, phlebitis, low birth weight infants
Bibliography : 47 (2005 – 2014)
1
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Prevalensi bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) secara
global hingga saat ini masih tetap berada di kisaran 10-20% dari seluruh bayi
yang lahir hidup setiap tahunya (Sulani, 2014). World Health Organisation
(WHO) (2011) memperkirakan sekitar 25 juta bayi mengalami BBLR setiap
tahun dan hampir 5% terjadi di negara maju sedangkan 95% terjadi di negara
berkembang. Prevalensi BBLR di India mencapai 26%, dan di Amerika
Serikat mencapai 7%. Kematian bayi di seluruh dunia adalah 20 kali lebih
besar pada bayi yang mengalami BBLR dibandingkan dengan yang tidak
BBLR (Jayant, 2011).
Menurut Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013,
prevalensi bayi dengan BBLR Indonesia diperkirakan mencapai 2.103 bayi
dari 18.948 bayi (11,1%) yang ditimbang dalam kurun waktu 6-48 jam setelah
melahirkan. Prevalensi ini menyebar secara tidak merata antara satu provinsi
dengan provinsi lainya dengan prevalensi tertinggi berada di Provinsi Nusa
Tenggara Timur sekitar 19.2%, dan terendah berada di Provinsi Sumatera
Barat yakni 6,0% (Kemenkes RI, 2013).
Berdasarkan profil kesehatan provinsi Jawa Tengah jumlah bayi
dengan BBLR di Jawa Tengah pada tahun 2013 sebanyak 16.303 (2,81%)
meningkat bila dibandingan tahun 2012 sebesar 11.865 (2.08,%). Banyaknya
BBLR yang ditangani oleh tenaga kesehatan secara keseluruhan di tingkat
Provinsi Jawa Tengah, cakupannya tidak selalu mengalami peningkatan. Pada
1
2
tahun 2011 sebesar 92,77% dan pada tahun 2012 sebesar 99,67 % sedang pada
tahun 2013 bayi BBLR yang ditangani sebesar 96,67% (Dinkes Jateng, 2014).
Menurut Profil Kesehatan Kabupaten Wonogiri (2013), di Kabupaten
Wonogiri ditemukan angka kejadian BBLR sebanyak 133 kasus dari 17.296
bayi lahir hidup (0,77%) dan jumlah ini meningkat dibandingkan tahun 2007
yaitu 94 kasus dari 16.976 bayi lahir hidup (0,55%).
Bayi dengan BBLR berisiko untuk hipotermia, apnue, hipoksemia,
sepsis, intoleransi minum dan enterokolitis nekrotikan, semakin kecil bayi
semakin tinggi resikonya. Salah satu tatalaksana bayi dengan BBLR adalah
dengan pemberian cairan intravena yang bertujuan untuk mensuplai cairan,
elektrolit, nutrisi dan obat. Salah satu komplikasi pemberian terapi intravena
adalah terjadinya phlebitis. Bayi dengan BBLR risiko tinggi terjadinya
phlebitis karena bayi dengan BBLR memiliki sistem imun yang belum aktif
selama beberapa bulan kehidupan, sehingga menyebabkan rentang terhadap
berbagai infeksi dan alergi, walaupun struktur kulit bayi sudah terbentuk saat
lahir tetapi belum matang. Epidermis dan dermis tidak terikat dengan baik dan
sangat tipis, kulit bayi sangat sensitif dan dapat rusak dengan mudah, kulit
sering terlihat bercak-bercak, terutama di daerah sekitar ekstremitas, tangan
dan kaki terlihat sedikit sianotik (IDAI, 2014).
Akibat yang ditimbulkan dari komplikasi plebitis pada pasien adalah
meningkatkan hari rawat di rumah sakit, menambah lama terapi, dan
meningkatkan tanggung jawab perawat serta dapat menyebabkan pasien
mendapatkan risiko masalah kesehatan lain, sehingga untuk mencegah
3
terjadinya plebitis diperlukan kepatuhan perawat dalam melaksanakan
pemasangan infus sesuai dengan standar prosedur operational (Alexander at
al, 2010)
Perawat profesional yang bertugas dalam memberikan pelayanan
kesehatan tidak terlepas dari kepatuhan perilaku perawat dalam setiap
tindakan prosedural yang bersifat invasif seperti halnya pemasangan infus.
Pemasangan infus dilakukan oleh setiap perawat. Semua perawat dituntut
memiliki kemampuan dan keterampilan mengenai pemasangan infus yang
sesuai Standar Prosedur Operasional (SPO) (Hinlay, 2009). Hasil penelitian
Andares (2009), menunjukkan bahwa perawat kurang memperhatikan
kesterilan luka pada pemasangan infus. Perawat biasanya langsung memasang
infus tanpa memperhatikan tersedianya bahan-bahan yang diperlukan dalam
prosedur tindakan tersebut, tidak tersedia handscoen, kain kasa steril, alkohol,
dan pemakaian yang berulang pada selang infus yang tidak steril. Hasil
penelitian Pasaribu (2008), yang melakukan analisa pelaksanaan pemasangan
infus diruang rawat inap Rumah Sakit Haji Medan menunjukkan bahwa
pelaksanaan pemasangan infus yang sesuai Standar Prosedur Operasional
katagori baik 27 %, sedang 40 % dan buruk 33 %.
Kepatuhan merupakan bagian dari perilaku individu yang
bersangkutan untuk mentaati atau mematuhi sesuatu, sehingga kepatuhan
perawat dalam melaksanakan SPO pemasangan infus tergantung dari perilaku
perawat itu sendiri. Menurut Green (1980) dalam Notoatmodjo (2010)
perilaku seseorang dipengaruhi oleh tiga faktor utama yaitu : faktor-faktor
predisposisi (predisposing factors), mencakup pengetahuan dan sikap, tradisi
dan kepercayaan masyarakat, sistem budaya, tingkat pendidikan dan tingkat
4
sosial ekonomi, faktor-faktor pemungkin/pendukung (enabling factors),
mencakup sarana dan prasarana/fasilitas, faktor-faktor penguat (reinforcing
factor) meliputi sikap tokoh masyarakat, tokoh agama, petugas kesehatan,
undang-undang dan peraturan-peraturan.
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu (Notoatmodjo, 2010),.
Penelitian yang dilakukan oleh Pamuji (2008) yang meneliti tentang hubungan
pengetahuan perawat tentang Standar Prosedur Operasional dengan kepatuhan
perawat terhadap pelaksanaan SPO profesi pelayanan keperawatan, hasil
penelitian menjelaskan bahwa ada hubungan antara pengetahuan SPO dengan
kepatuhan pelaksanaan SPO yang bersifat positip yaitu tingkat pengetahuan
perawat yang tinggi diikuti dengan tingkat kepatuhan yang tinggi pula.
Hasil studi pendahuluan yang dilakukan di RSUD dr. Soediran
Mangun Soemarso Wonogiri menemukan bahwa pada tahun 2014-2015
terdapat 155 kasus bayi dengan BBLR dan 139 kasus yang diinfus, selain itu
ditemukan juga kejadian phlebitis dari pasien yang telah dipasang infus
terdapat 27 pasien yang mengalami phlebitis dari 139 pasien yang terpasang
infus atau sekitar 18,6% yang sudah menampakan adanya tanda-tanda plebitis
seperti bengkak disekitar tusukan jarum infus, kemerahan dan nyeri
disepanjang vena. Hasil observasi terhadap 5 perawat menunjukkan bahwa 3
perawat patuh (60%) dan 2 perawat (40%) cenderung tidak patuh. Hasil
wawancara terhadap perawat yang tidak patuh menyatakan bahwa mereka
kurang mematuhi Standar Prosedur Operasional pemasangan infus karena
lupa, repot, terlalu formal dan situasional.
5
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dalam penelitian ini
ditentukan judul : “Hubungan tingkat pengetahuan perawat tentang plebitis
dengan kepatuhan melaksanakan standar prosedur operasional pemasangan
infus pada BBLR di Ruang Perinatologi RSUD dr. Soediran Mangun
Soemarso Wonogiri.
1.2 Rumusan Masalah
Data dari RSUD dr. Soediran Mangun Soemarso Wonogiri diketahui
pada tahun 2014-2015 terdapat 155 kasus bayi dengan BBLR dan 139 kasus
yang di infus,selain itu ditemukan juga kejadian phlebitis dari pasien yang
telah dipasang infus terdapat 27 pasien yang mengalami phlebitis dari 139
pasien yang terpasang infus atau sekitar 18,6% yang sudah menampakan
adanya tanda-tanda plebitis seperti bengkak disekitar tusukan jarum infus,
kemerahan dan nyeri disepanjang vena. Hasil wawancara terhadap 5 perawat
menunjukkan bahwa 3 perawat patuh (60%) dan 2 perawat (40%) cenderung
tidak patuh. Hasil wawancara terhadap perawat yang tidak patuh menyatakan
bahwa mereka kurang mematuhi Standar Prosedur Operasional pemasangan
infus karena lupa, repot, terlalu formal dan situasional. Berdasarkan uraian di
atas dapat dirumuskan masalah : “Apakah ada hubungan tingkat pengetahuan
perawat tentang plebitis dengan kepatuhan melaksanakan standar prosedur
operasional pemasangan infus pada BBLR di Ruang Perinatologi RSUD dr.
Soediran Mangun Soemarso Wonogiri?”
6
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan
tingkat pengetahuan perawat tentang plebitis dengan kepatuhan
melaksanakan standar prosedur operasional pemasangan infus pada BBLR
di Ruang Perinatologi RSUD dr. Soediran Mangun Soemarso Wonogiri.
1.3.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus dalam penelitian ini adalah untuk :
1. Mendeskripsikan karakteristik responden dan tingkat pengetahuan
perawat tentang plebitis di Ruang Perinatologi RSUD dr. Soediran
Mangun Soemarso Wonogiri.
2. Mendeskripsikan kepatuhan melaksanakan standar prosedur
operasional pemasangan infus pada BBLR di Ruang Perinatologi
RSUD dr. Soediran Mangun Soemarso Wonogiri
3. Untuk menganalisis hubungan tingkat pengetahuan perawat tentang
plebitis dengan kepatuhan melaksanakan standar prosedur operasional
pemasangan infus pada BBLR di Ruang Perinatologi RSUD dr.
Soediran Mangun Soemarso Wonogiri.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini antara lain adalah :
1. Manfaat Teoritis
a. Bagi peneliti
Mengaplikasikan teori metodologi penelitian untuk diterapkan dalam
kegiatan nyata di lapangan seperti rumah sakit atau tempat pelayanan
kesehatan lainnya.
7
b. Bagi peneliti berikutnya
Sebagai acuan untuk peneliti lebih lanjut yang melakukan penelitian
khususnya mengenai pengetahuan perawat tentang plebitis
hubungannya dengan kepatuhan melaksanakan SPO pemasangan infus.
c. Bagi Institusi Pendidikan
Penelitian ini memperkaya ilmu pengetahuan dalam bidang
keperawatan khususnya keperawatan maternitas untuk dimanfaatkan
sebagai sumber belajar.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Rumah Sakit
Sebagai masukan untuk meningkatkan pelayanan Rumah Sakit,
terutama pelayanan keperawatan pada Bayi Berat Lahir Rendah
(BBLR) untuk mengurangi kejadian plebitis.
b. Bagi Perawat
Perawat dapat mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi
kepatuhan melaksanakan standar prosedur operasional pemasangan
infus pada BBLR selain pengetahuan tentang plebitis.
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Landasan Teori
2.1.1 Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR)
a. Pengertian
Bayi berat lahir rendah (BBLR) adalah bayi dengan berat lahir
kurang dari 2500 gram tanpa memandang usia gestasi. BBLR dapat terjadi
pada bayi kurang bulan (< 37 minggu) atau pada bayi cukup bulan
(intrauterine growth restriction) (Pudjiadi, dkk., 2010).
b. Klasifikasi
Ada beberapa cara dalam mengelompokkan BBLR (Proverawati
dan Ismawati, 2010) :
1) Menurut harapan hidupnya
a) Bayi berat lahir rendah (BBLR) dengan berat lahir 1500-2500
gram.
b) Bayi berat lahir sangat rendah (BBLSR) dengan berat lahir 1000-
1500 gram.
c) Bayi berat lahir ekstrim rendah (BBLER) dengan berat lahir kurang
dari 1000 gram.
2) Menurut masa gestasinya
a) Prematuritas murni yaitu masa gestasinya kurang dari 37 minggu
dan berat badannya sesuai dengan berat badan untuk masa gestasi
atau biasa disebut neonatus kurang bulan sesuai untuk masa
kehamilan (NKB-SMK).
8
9
b) Dismaturitas yaitu bayi lahir dengan berat badan kurang dari berat
badan seharusnya untuk masa gestasi itu. Bayi mengalami retardasi
pertumbuhan intrauterin dan merupakan bayi kecil untuk masa
kehamilannya (KMK).
c. Faktor penyebab
Beberapa penyebab dari bayi dengan berat badan lahir rendah
(Proverawati dan Ismawati, 2010).
1) Faktor ibu
a) Penyakit
(1) Mengalami komplikasi kehamilan, seperti anemia, perdarahan
antepartum, preekelamsi berat, eklamsia, infeksi kandung
kemih.
(2) Menderita penyakit seperti malaria, infeksi menular seksual,
hipertensi, HIV/AIDS, TORCH, penyakit jantung.
(3) Penyalahgunaan obat, merokok, konsumsi alkohol.
b) Ibu
(1) Angka kejadian prematitas tertinggi adalah kehamilan pada usia
< 20 tahun atau lebih dari 35 tahun.
(2) Jarak kelahiran yang terlalu dekat atau pendek (kurang dari 1
tahun).
(3) Mempunyai riwayat BBLR sebelumnya.
c) Keadaan sosial ekonomi
(1) Kejadian tertinggi pada golongan sosial ekonomi rendah. Hal ini
dikarenakan keadaan gizi dan pengawasan antenatal yang
kurang.
10
(2) Aktivitas fisik yang berlebihan
(3) Perkawinan yang tidak sah
2) Faktor janin
Faktor janin meliputi : kelainan kromosom, infeksi janin kronik (inklusi
sitomegali, rubella bawaan), gawat janin, dan kehamilan kembar.
3) Faktor plasenta
Faktor plasenta disebabkan oleh : hidramnion, plasenta previa, solutio
plasenta, sindrom tranfusi bayi kembar (sindrom parabiotik), ketuban
pecah dini.
4) Faktor lingkungan
Lingkungan yang berpengaruh antara lain : tempat tinggal di dataran
tinggi, terkena radiasi, serta terpapar zat beracun.
d. Permasalahan pada BBLR
BBLR memerlukan perawatan khusus karena mempunyai
permasalahan yang banyak sekali pada sistem tubuhnya disebabkan
kondisi tubuh yang belum stabil (Surasmi dkk, 2007).
1) Ketidakstabilan suhu tubuh.
Dalam kandungan ibu, bayi berada pada suhu lingkungan 36°C- 37°C
dan segera setelah lahir bayi dihadapkan pada suhu lingkungan yang
umumnya lebih rendah. Perbedaan suhu ini memberi pengaruh pada
kehilangan panas tubuh bayi. Hipotermia juga terjadi karena
kemampuan untuk mempertahankan panas dan kesanggupan
menambah produksi panas sangat terbatas karena pertumbuhan
11
otototot yang belum cukup memadai, ketidakmampuan untuk
menggigil, sedikitnya lemak subkutan, produksi panas berkurang
akibat lemak coklat yang tidak memadai, belum matangnya sistem
saraf pengatur suhu tubuh, rasio luas permukaan tubuh relatif lebih
besar dibanding berat badan sehingga mudah kehilangan panas.
2) Gangguan pernafasan
Akibat dari defisiensi surfaktan paru, toraks yang lunak dan otot
respirasi yang lemah sehingga mudah terjadi periodik apneu.
Disamping itu lemahnya reflek batuk, hisap, dan menelan dapat
mengakibatkan resiko terjadinya aspirasi.
3) Imaturitas imunologis
Pada bayi kurang bulan tidak mengalami transfer IgG maternal melalui
plasenta selama trimester ketiga kehamilan karena pemindahan
substansi kekebalan dari ibu ke janin terjadi pada minggu terakhir
masa kehamilan. Akibatnya, fagositosis dan pembentukan antibodi
menjadi terganggu. Selain itu kulit dan selaput lendir membran tidak
memiliki perlindungan seperti bayi cukup bulan sehingga bayi mudah
menderita infeksi.
4) Masalah gastrointestinal dan nutrisi
Lemahnya reflek menghisap dan menelan, motilitas usus yang
menurun, lambatnya pengosongan lambung, absorbsi vitamin yang
larut dalam lemak berkurang, defisiensi enzim laktase pada jonjot usus,
menurunnya cadangan kalsium, fosfor, protein, dan zat besi dalam
12
tubuh, meningkatnya resiko NEC (Necrotizing Enterocolitis). Hal ini
menyebabkan nutrisi yang tidak adekuat dan penurunan berat badan
bayi.
5) Imaturitas hati
Adanya gangguan konjugasi dan ekskresi bilirubin menyebabkan
timbulnya hiperbilirubin, defisiensi vitamin K sehingga mudah terjadi
perdarahan. Kurangnya enzim glukoronil transferase sehingga
konjugasi bilirubin direk belum sempurna dan kadar albumin darah
yang berperan dalam transportasi bilirubin dari jaringan ke hepar
berkurang.
6) Hipoglikemi
Kecepatan glukosa yang diambil janin tergantung dari kadar gula darah
ibu karena terputusnya hubungan plasenta dan janin menyebabkan
terhentinya pemberian glukosa. Bayi berat lahir rendah dapat
mempertahankan kadar gula darah selama 72 jam pertama dalam kadar
40 mg/dl. Hal ini disebabkan cadangan glikogen yang belum
mencukupi. Keadaan hipotermi juga dapat menyebabkan hipoglikemi
karena stress dingin akan direspon bayi dengan melepaskan
noreepinefrin yang menyebabkan vasokonstriksi paru. Efektifitas
ventilasi paru menurun sehingga kadar oksigen darah berkurang. Hal
ini menghambat metabolisme glukosa dan menimbulkan glikolisis
anaerob yang berakibat pada penghilangan glikogen lebih banyak
sehingga terjadi hipoglikemi. Nutrisi yang tak adekuat dapat
13
menyebabkan pemasukan kalori yang rendah juga dapat memicu
timbulnya hipoglikemi.
2.1.2 Kepatuhan
1. Kepatuhan
Kepatuhan adalah ketaatan seseorang dalam melaksanakan suatu
perintah perawatan, pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh
perawat, dokter atau tenaga kesehatan lainnya (Smeth, 2005). Perilaku
kepatuhan bersifat sementara karena perilaku akan bertahan apabila ada
pengawasan.bila kurang ada pengawasan maka akan timbul perilaku
ketidakpatuhan. Perilaku kepatuhan ini dapat dicapai jika pengawas
merupakan orang yang dapat dipercaya dan dapat memberikan motivasi
(Purwanto, 2006).
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku kepatuhan
Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku untuk patuh adalah :
(Niven, 2008)
a. Faktor internal
1) Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan terjadi seseorang telah
melakukan penginderaan terhadap suatu objek. Penginderaan terjadi
melalui panca indera manusia yaitu indera penglihatan, pendengaran,
penciuman, rasa dan raba (Notoatmodjo, 2010). Oleh karena itu
pengetahuan menuntut adanya kesadaran obyek yang diketahui.
14
Perilaku yang didasari pengetahuan umumnya bersifat dalam waktu
yang lama, sebelum orang mengadopsi perilaku baru tersebut.
2) Sikap
Sikap adalah bentuk suatu perasaan yang mendukung ( favourable )
dan perasaan yang tidak mendukung ( unfavourable ) pada obyek.
Sikap berupa kesiapan untuk bereaki pada obyek tertentu. Sikap
adalah suatu respon seseorang terhadap stimulus. Stimulus
merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial.
b. Faktor eksternal
a) Karakteristik Organisasi
Keadaan dari organisasi dan struktur organisasi ditentukan oleh
filosofi dari manajer organisasi. Keadaan organisasi dan struktur
organisasi akan memotivasi atau gagal memotivasi perawat
profesional untuk berpartisipasi pada tingkatan yang konsisten sesuai
dengan tujuan. Bahwa karakteristik organisasi meliputi komitmen
organisasi dan hubungan antara teman sekerja dan supervisor yang
akan berpengaruh terhadap kepuasan kerja dan perilaku individu
(Walgito, 2004).
b) Karakteristik Kelompok
Karakteristik kelompok adalah unit komunitas yang terdiri dari dua
orang atau lebih yang memiliki suatu kesatuan tujuan dan pemikiran
serta integritas antar anggota yang kuat.
15
c) Karakteristik Pekerjaan
Karakteristik pekerjaan akan memberikan motivasi bagi karyawan
untuk lebih bekerja dengan giat dan untuk menumbuhkan semangat
kerja yang lebih produktif. Karakteristik pekerjaan adalah proses
membuat pekerjaan akan lebih berarti, menarik dan menantang
sehingga dapat mencegah seseorang dari kebosanan dan aktivitas
pekerjaan yang monoton sehingga pekerjaan terlihat lebih bervariasi.
d) Karakteristik Lingkungan
Perawat harus bekerja dalam lingkungan yang terbatas dan
berinteraksi secara konstan dengan staf lain, pengunjung, dan tenaga
kesehatan lain. Kondisi seperti ini yang dapat menurunkan motivasi
perawat terhadap pekerjaannya, dapat menyebabkan stress, dan
menimbulkan kepenatan.
3. Pengukuran kepatuhan
Pengukuran kepatuhan dapat dilakukan dengan wawancara atau
angket yang menyatakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subyek
penelitian atau responden. Kedalaman tingkat kepatuhan yang ingin
diketahui atau diukur dapat disesuaikan dengan tingkatan dari kepatuhan
tersebut. Tingkat kepatuhan seseorang dapat diketahui dan diinterpre-
tasikan dengan skala yang bersifat kuantitatif, yaitu: (Natasia, 2014)
1) Patuh : bila (x) ≥ 50% dari nilai skor total
2) Kurang patuh : bila < 50% dari nilai skor total
16
3.1.3 Pengetahuan
1. Pengertian
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah
orang melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu,
penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni penglihatan,
pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Pengetahuan atau kognitif
merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan
seseorang (Notoatmodjo, 2010).
2. Tingkat Pengetahuan
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang penting bagi
terbentuknya perilaku seseorang. Pengetahuan yang mencakup domain
kognitif mencakup 6 tingkatan: (Notoatmodjo, 2010)
a. Tahu (Know)
Tahu diartikan sebagai pengingat suatu materi yang telah
dipelajari sebelumnya termasuk dalam tingkat ini adalah mengingat
kembali terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang
dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh karena itu tahu
merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah.
b. Memahami (Comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk
menjelaskan secara benar tentang obyek yang diketahui dan dapat
intrepretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham
terhadap suatu obyek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebut
17
contoh, menyimpulkan dan meramalkan terhadap suatu obyek yang
telah dipelajari.
c. Aplikasi (Aplication)
Aplikasi diartikan sebagai suatu kemampuan untuk
menggunakan materi yang telah dipelajari dalam keadaaan yang nyata.
Aplikasi di sini dapat diartikan sebagai penggunaan hukum-hukum,
rumus, metode dan prinsip dalam kontek dan situasi lain.
d. Analisis (analyisis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi
suatu obyek kedalam suatu struktur obyek kedalam komponen-
komponen, tetapi masih dalam struktur organisasi tersebut dan masih
ada kaitannya satu dengan yang lain. Kemampuan analisis ini dapat
dilihat dari penggunaan kata kerja seperti: menggambarkan,
membedakan, memisahkan, mengelom-pokkan dan sebagainya.
e. Sintesis (synthesis)
Sintesis menunjukkan pada satu kemampuan untuk meletakkan
atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk
keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu
kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi
yang telah ada.
f. Evaluasi (evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan
justifikasi atau penilaian lain terhadap suatru obyek atau penilaian
18
terhadap suatu obyek atau materi. Penilain ini ditentukan oleh kriteria
yang ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria yang telah ada.
Tingkat pengetahuan seseorang erat hubungannya dengan
pendidikan yang telah diperolehnya. Dalam arti luas pendidikan mencakup
proses kehidupan dan segala bentuk interaksi individu dengan
lingkungannya, baik secara formal maupun informal. Apabila seseorang
mempunyai pendidikan lebih tinggi maka dirinya akan lebih mudah dalam
mengetahui, mengerti dan memahami. Kemampuan mengetahui sesuatu
dipengaruhi oleh kemampuan belajar dan daya ingat. Pengukuran
pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang
menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subyek penelitian
atau responden (Sukanto, 2005).
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan
Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk
terbentuknya perilaku terbuka (Over behavior) perilaku yang didasari
pengetahuan bersifat langgeng. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi
tingkat pengetahuan (Soekanto, 2005) yaitu :
a. Tingkat pendidikan, pendidikan adalah upaya untuk memberikan
pengetahuan sehingga terjadi perubahan perilaku positif yang
meningkat.
b. Informasi, seseorang mempunyai sumber informasi lebih akan
mempunyai pengetahuan lebih luas
19
c. Budaya, tingkah laku manusia atau kelompok manusia dalam
memenuhi kebutuhan yang meliputi sikap dan kepercayaan.
d. Pengalaman, sesuatu yang pernah dialami seseorang akan menambah
pengetahuan tentang sesuatu yang bersifat informal.
e. Sosial ekonomi, tingkat kemampuan seseorang untuk memenuhi
kebutuhan hidup. Semakin tinggi tingkat sosial ekonomi akan
menambah tingkat pengetahuan, hal ini disebabkan oleh sarana
prasarana serta biaya yang dimiliki untuk mencari ilmu pengetahuan
terpenuhi.
4. Pengukuran Tingkat Pengetahuan
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau
angket yang menyatakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subyek
penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui
atau kita ukur dapat disesuaikan dengan tingkatan domain di atas
(Notoatmodjo, 2010).
Tingkat pengetahuan seseorang dapat diketahui dan diinterpre-
tasikan dengan skala yang bersifat kuantitatif, yaitu: (Riwidikdo, 2010)
1) Pengetahuan Tinggi : bila (x) > mean + 1 SD
2) Pengetahuan Sedang : bila mean – 1 SD ≤ x ≤ mean + 1 SD
3) Pengetahuan Rendah : bila (x) < mean - 1 SD.
20
3.1.4 Standar Prosedur Operasional (SPO) Pemasangan Infus
1. Konsep Dasar Therapi Intravena (Infus)
a. Pengertian
Terapi intravena/Pungsi vena adalah sebuah teknik yang
digunakan untuk memungsi vena secara transkutan dengan
menggunakan jarum (pemflon) yang tajam (jarum kupu-kupu atau
jarum logam) yang sebagian dilapisi oleh kateter plastik atau dengan.
jarum yang dipasangkan ke spuit (Perry dan Potter, 2005). Terapi
intravena adalah bagian terpenting dari sebagian terapi yang diberikan
di rumah sakit, dan merupakan prosedur umum yang diberikan kepada
pasien yang membutuhkan akses vaskuler (Gabriel, 2010). Hal ini
berarti terapi intravena merupakan suatu tindakan pemberian cairan
atau obat ke dalam tubuh melalui pembuluh darah vena dengan
menggunakan jarum logam atau jarum kupu-kupu.
b. Ukuran, lamanya penggunaan jarum, dan daerah pemasangan infus
Menurut Perry dan Potter (2005) ukuran jarum infus yang
biasa digunakan adalah :
1) Untuk orang dewasa : 18 sampai 22-G
2) Untuk anak-anak : 23 sampai 25-G
3) Untuk bayi : Wings needle (jarum kupu-kupu)
Lamanya penggunaan jarum infus menurut Kartono dalam
Yansyah (2004) harus diganti paling sedikit setiap 24 jam, ganti lokasi
vena yang ditusuk jarum therapi intravena setiap 48 Jam. Secara
21
teknis, lamanya penggunaan jarum kateter intravena (IV) tetap steril
selama 48 sampai dengan 72 jam, disamping itu juga teknik ini lebih
menghemat biaya dan tidak meningkatkan resiko infeksi.
Adapun daerah penusukan therapi intravena (pemasangan
infus) yang sering digunakan dan sangat efektif. Vena supervisial atau
periferkutan yang terletak di dalam fasia subcutan dan merupakan
akses paling mudah untuk terapi intravena. Daerah tempat infus yang
memungkinkan adalah permukaan dorsal tangan (vena supervival
dorsalis, vena basalika, dan vena sefalika), lengan bagian dalam (vena
bosalika, vena sefalika, vena kubital median, vena median lengan
bawah, dan vena radialis), permukaan dorsal (vena safena margna,
ramus dorsalis). Vena kulit kepala (biasanya vena yang terletak di
frontal, daerah tempotal, di atas atau di belakang telinga), sering
digunakan pada anak umur kurang dari 2 tahun dan tebaik pada bayi
muda (Perry dan Potter, 2005).
2. Prosedur Pemasangan Infus
Prosedur pemasangan therapi intravena menurut Perry dan Potter
(2005) dapat dikemukakan sebagai berikut :
1) Informed Concent
2) Persiapan Alat
Dalam melakukan pemasangan infus dibutuhkan alat dan bahan yang
sebelumnya harus dipersiapkan terlebih dahulu. (1). Sarung tangan
nonsteril. (2). Kateter plastik yang menyelubungi jarum (jarum infus).
22
(3). Larutan IV untuk cairan. (4). Papan lengan (pilihan). (5). Slang
infus. (6). Tiang IV (yang diletakkan di tempat tidur atau berdiri
sendiri dengan roda) atau pompa IV. (7). Paket atau perlengkapan
pemasangan IV, termasuk torniket (atau manset tekanan darah);
plester-dengan lebar 2,5 cm (atau lebar plester 5 cm), potong); kapas
alkohol (atau antiseptik yang telah direkomendasikan oleh institusi,
seperti povidone); balutan kasa berukuran 5x5 cm; plester perekat ;
label perekat. (8). Gunting dan sabun (opsional). (9). Handuk atau
penglindung linen.
3) Persiapan Penolong
a) Cuci tangan dengan sabun pada air mengalir dan keringkan dengan
handuk/tissue/alat pengering
b) Pasang sarung tangan
4) Pelaksanaan Tindakan
a) Letakkan alat-alat disamping pasien lalu pengalas dibawah lokasi
penusukan
b) Pasang turniket sehingga vena tampak jelas
c) Menghapushamakan kulit dengan cara memutar searah jarum jam
dari dalam keluar dan lanjutkan dengan menghapus satu kali dari
bagian atas ke bawah.
d) Ibu jari dan telunjuk kanan memegang jarum infus, tangan kiri
menyangga bagian akan ditusuk dengan posisi ibu jari dan
telunjuk mengfikasasi vena yang akan ditusuk, tiga jari lainnya
bagian bawah.
23
e) Tusukan ujung jarum dengan lubang mengarah ke atas dengan
sudut 30 - 40 derajat, bila ujung jarum memasuki lumen vena
maka darah akan. keluar melalui vena yang ditusuk
f) Turniket dilonggarkan, selang kateter disejajarkan dengan jalan
vena, dorong hingga kateter melewati tusukkan vena sambil
ditarik sedikit kemudian dikeluarkan dengan cara tan an kiri
menekan pangkal kateter untuk menekan darah tidak keluar dari
posisi tangan sedikit pleksi.
g) Sambungkan pangkal kateter dengan selang infus, lalu buka
pengatur tetesan secara perlahan-lahan.
h) Tutup pangkal tusukan dengan kasa steril yang telah diberi
betadine kemudian fiksasi dengan plaster.
i) Atur dan hitung tetesan sesuai kebutuhan pasien (8 tetes/menit, 10
tetes/menit, kocor atau asnet).
j) Memasang bidai bila diperlukan
k) Pasang kertas grafik pada botol infus
l) Merapikan pasien kemudian alat-alat dibereskan
m) Cuci tangan setelah tindakan
Adapun Standar Operasional Prosedur (SOP) pemasangan infus
menurut RSUD dr. Soediran Mangun Soemarso Wonogiri (2014) adalah :
1) Cuci tangan
Dalam melakukan tindakan perawat diharuskan mecuci tangan baik
sebelum dan sesudah melakukan tindakan.
24
2) Dekatkan alat
Peralatan yang dibutuhkan didekatkan agar mudah dijangkau dalam saat
melakukan pemasangan infus.
3) Jelaskan kepada pasien dan keluarga tentang prosedur pemasangan infus
dan efek samping setelah dipasang infus. Didalam melaksankan tindakan
sebelum memasang infus perawat memberikan informasi pada pasien dan
keluarga tentang maksud dan tujuan dipasang infus.
4) Atur posisi pasien
Memberikan kenyamanan posisi pada pasien dan memudahkan perawat
dalam menentukan vena sebelum dilakukan pemasangan infus.
5) Siapkan cairan, menyambung botol cairan dengan selang infus dan
gantungkan pada standar infuse. Menyiapkan cairan sesuai dengan terapi
dan menghilangkan udara yang ada didalam selang infus.
6) Menentukan area vena yang akan ditusuk
Perawat sebelum menusukkan kateter ke dalam vena harus
mempertimbangkan ukuran vena dengan ukuran kateter yang digunakan.
7) Pasang alas
Pengalas yang diletakan dibawah tangan pasien dengan tujuan
memberikan kenyamanan pasien dan menghindari kotoran (darah, cairan)
yang tumpah tidak mengenai sprai atau pakaian pasien.
8) Pasang tourniket pembendung ± 15 cm diatas vena yang akan ditusuk
Tindakan ini dilakukan dengan tujuan mempermudah vena kelihatan
membesar dan tidak bergeser sebelum tusuk dengan kateter.
25
9) Pakai sarung tangan
Bagian dari alat pelindung diri perawat dan mengurangi proses penularan
infeksi.
10) Desinfeksi area yang akan ditusuk dengan diameter 5-10 cm
Membersihkan area yang akan ditusuk dengan cairan disinfektan dengan
tujuan mengurangi terjadinya infeksi.
11) Tusukan IV catheter ke vena dengan jarum menghadap ke jantung
Mengarahkan jarum kateter keatas agar jarum keteter tajam masuk
kedalam vena.
12) Pastikan jarum IV masuk ke vena
Memastikan jarum keteter masuk kedalam vena dengan cara menarik
mandrain atau jarum keluar disertai darah yang keluar lewat kateter hal
ini menunjukan bahwa kateter intravena sudah masuk.
13) Sambungkan jarum IV dengan selang infus
Menyambungkan selang infus yang telah disiapkan dengan kateter yang
telah masuk kedalam vena.
14) Lakukan fiksasi ujung jarum IV ditempat insersi
Mengikat kateter dengan hepafix atau plaster bertujuan untuk tidak lepas
ataupun bergeser dari vena.
15) Tutup area insersi dengan kasa kering kemudian plester
Menutup kateter dengan kassa steril untuk mengurangi bakteri masuk
kedalam tempat penusukan.
26
16) Atur tetesan infus sesuai program medis
Mengatur tetesan infus sesuai dengan kebutuhan.
17) Lepas sarung tangan
Melepas sarung tangan yang infekius kedalam tempat infeksius yang
telah disediakan.
18) Pasang label pelaksanaan tindakan yang berisi: nama pelaksana, tanggal
dan jam pelaksanaan.
Memberikan informasi tanggal berikutnya penggantian infus kepada team
sejawat (perawat).
19) Bereskan alat.
Membersihakan peralatan yang telah digunakan dan dilakukan
strerilisasi.
20) Cuci tangan.
Mencuci tangan setelah melakuakan tindakan untuk mengurangi
penularan infeksi.
21) Observasi dan evaluasi respon pasien, catat pada dokumentasi
keperawatan.
Mengawasi dan mengkaji keluhan pasien setelah dipasang infus dan
melihat tanda tanda phlebitis.
3.1.5 Phlebitis
1. Pengertian
Phlebitis adalah peradangan pada tunika intima vena yang terjadi
karena komplikasi pemberian terapi intra vena ( IV) yang di tandai dengan
27
bengkak, kemerahan sepanjang vena, nyeri, peningkatan suhu pada daerah
insersi kanula dan penurunan kecepatan tetesan infus (Smeltzer dan Bare,
2005). Phlebitis merupakan inflamasi vena yang disebabkan oleh iritasi
kimia maupun mekanik. Hal ini ditunjukkan dengan adanya daerah yang
merah, nyeri dan pembengkakan di daerah penusukan atau sepanjang vena.
Insiden plebitis meningkat sesuai dengan lamanya pemasangan jalur
intravena. Komplikasi cairan atau obat yang diinfuskan (terutama PH dan
tonisitasnya), ukuran dan tempat kanula dimasukkan. Pemasangan jalur IV
yang tidak sesuai, dan masuknya mikroorganisme pada saat penusukan
(Brunner dan Sudarth, 2005).
Menurut Infusion Nursing Society (INS, 2006) phlebitis merupakan
peradangan pada tunika intima pembuluh darah vena, yang sering
dilaporkan sebagai komplikasi pemberian terapi infus. Peradangan
didapatkan dari mekanisme iritasi yang terjadi pada endhothelium tunika
intima vena, dan perlekatan tombosit pada area tersebut.
2. Tanda dan gejala phlebitis
Pasien yang dipasang infus dapat dikatakan mengalami flebitis jika
pada daerah sekitar tempat penusukan kanula ditemukan tanda-tanda
berikut: (INS/Infusion Nursing Society, 2006.)
a. Rubor (Hyperemia)
Kemerahan atau rubor biasanya merupakan kejadian pertama yang
ditemukan di daerah yang mengalami peradangan. Pada reaksi
peradangan arteriola yang mensuplai darah tersebut mengalami
28
pelebaran sehingga darah yang mengalir ke mikrosirkulasi lokal lebih
banyak.
b. Kalor (Hipertermi)
Kalor terjadi bersamaan dengan kemerahan pada reaksi peradangan.
Daerah sekitar peradangan menjadi lebih panas, karena darah yang
disalurkan ke daerah tersebut lebih besar dibandingkan daerah lainnya
yang normal
c. Tumor (Oedem)
Pembengkakan lokal terjadi karena pengiriman cairan dan sel-sel dari
sirkulasi ke jaringan intrerstitiel, campuran antara sel yang tertimbun
didaerah peradangan disebut eksudat. Pada keadaan ini reaksi
peradangan eksudatnya adalah cairan
d. Nyeri (Dolor)
Rasa nyeri pada daerah peradangan dapat disebabkan oleh perubahan
pH lokal ataupun konsentrasi ion-ion tertentu yang merangsang ujung
saraf selain itu juga pembengkakan yang terjadi dapat juga
menyebabkan peningkatan tekanan lokal yang dapat merangsang sakit.
3. Penyebab plebitis
Penyebab plebitis yang dinyatakan oleh Workman (1999) terbagi
atas 3 yaitu: (Pujasari, 2007).
a. Iritasi kimia
Biasanya iritasi ini bersumber dari cairan intravena atau obat-obatan
yang digunakan umumnya cairan tersebut memiliki pH rendah dengan
29
osmolaritas tinggi, sebagai contoh adalah cairan dextrose hipertonik
atau cairan yang mengandung kalium klorida.
b. Iritasi fisik
Terjadi karena faktor bahan kanul yang digunakan berdiameter besar,
sehingga mempermudah pecahnya pembuluh darah flebitis dapat pula
terjadi jika pemasangan tidak pada tempat yang baik, misalnya siku
atau pergelangan tangan.
c. Iritasi mekanik
Misalnya fiksasi kurang baik sehingga menyebabkan kanul ber-gerak-
gerak dalam pembuluh darah dan menyebabkan iritasi pada pembuluh
darah. Banyak hal yang dapat menyebabkan flebitis antara lain
tindakan pembersihan yang akan dilakukan penusukan kateter
intravena kurang baik dan juga adanya bakteri. Boker dan Ignaticus
(1996) menyimpulkan bahwa bakteri-bakteri yang terdapat pada kulit
yang mempunyai potensi menyebabkan flebitis adalah staphylococcus
apidernidis dan staphylococcus aureus.
4. Skala Phlebitis
Ada beberapa standar yang bisa digunakan untuk mengukur tingkat
keparahan flebitis (Pujasari, 2007).
a. Menurut Lai (1998), tingkat keparahan flebitis diidentifikasi sebagai
berikut:
Skala 0 : Tidak kemerahan, tidak nyeri, tidak terjadi pembeng-
kakan lokal, tidak hangat dan tidak indurasi.
30
Skala 1 : Terjadi kemerahan, tidak nyeri, tidak terjadi pembeng-
kakan lokal, tidak hangat dan tidak indurasi.
Skala 2 : Terjadi kemerahan, nyeri, terjadi pembengkakan lokal,
tidak hangat dan tidak indurasi
Skala 3 : Terjadi kemerahan, nyeri, terjadi pembengkakan lokal,
terasa hangat dan indurasi kurang dari 7 cm.
Skala 4 : Terjadi kemerahan, nyeri, terjadi pembengkakan lokal,
terasa hangat dan indurasi lebih atau sama dengan 7 cm.
b. Skala phlebitis
Menurut Intravenous Nurses Society (INS. 2006) keparahan flebitis
diidentifikasi sebagai berikut :
Skala 0 : Tidak nyeri, tidak kemerahan, tidak edema, tidak hangat
dan tidak terjadi pembengkakan lokal
Skala 1 : Terasa nyeri, kemerahan, tidak hangat, tidak terjadi
pembengkakan lokal dan mungkin bisa terjadi edema atau
tidak terjadi edema.
Skala 2 : Terasa nyeri, kemerahan, hangat, tidak terjadi
pembengkakan lokal dan mungkin bisa terjadi edema atau
tidak terjadi edema
Skala 3 : Terasa nyeri, kemerahan, hangat, terjadi pembengkakan
lokal dan mungkin bisa terjadi edema atau tidak edema
5. Tindakan Pencegahan Phlebitis
Kejadian phlebitis merupakan hal yang masih lazim terjadi pada
pemberian terapi cairan baik terapi rumatan cairan, pemberian obat
31
melalui intravena maupun pemberian nutrisi parenteral. Oleh karena itu
sangat diperlukan pengetahuan tentang faktor–faktor yang berperan dalam
kejadian phlebitis serta pemantauan yang ketat untuk mencegah dan
mengatasi kejadian phlebitis. Ada banyak hal yang dapat dilakukan untuk
mencegah terjadinya phlebitis yang telah disepakati oleh para ahli, antara
lain : (Nassaji dan Ghorbani, 2007)
a. Mencegah phlebitis bakterial
Pedoman yang lazim dianjurkan adalah menekankan pada kebersihan
tangan, tehnik aseptik, perawatan daerah infus serta antisepsis kulit.
Untuk pemilihan larutan antisepsis, CDC merekomendasikan
penggunaan chlorhexedine 2%, akan tetapi penggunaan tincture
yodium, iodofor atau alcohol 70 % bisa digunakan.
b. Selalu waspada dan tindakan aseptic.
Selalu berprinsip aseptic setiap tindakan yang memberikan manipulasi
pada daerah infus. Studi melaporkan Stopcock (yang digunakan
sebagai jalan pemberian obat, pemberian cairan infus atau
pengambilan sampel darah ) merupakan jalan masuk kuman.
c. Rotasi katheter
Pemberian Perifer Parenteral Nutrition (PPN), di mana mengganti
tempat (rotasi) kanula ke lengan kontralateral setiap hari pada 15
pasien menyebabkan bebas flebitis. Namun, dalam uji kontrol acak
yang dipublikasi baru-baru ini oleh Webster dkk disimpulkan bahwa
kateter bisa dibiarkan aman di tempatnya lebih dari 72 jam jika tidak
32
ada kontraindikasi. The Centers for Disease Control and Prevention
menganjurkan penggantian kateter setiap 72-96 jam untuk membatasi
potensi infeksi.
c. Aseptic dressing
INS merekomendasikan untuk penggunaan balutan yang transparan
sehingga mudah untuk melakukan pengawasan tanpa harus
memanipulasinya. Penggunaan balutan konvensional masih bisa
dilakukan, tetapi kassa steril harus diganti tiap 24 jam.
d. Kecepatan pemberian
Para ahli umumnya sepakat bahwa makin lambat infus larutan
hipertonik diberikan makin rendah risiko flebitis. Namun, ada
paradigma berbeda untuk pemberian infus obat injeksi dengan
osmolaritas tinggi. Osmolaritas boleh mencapai 1000 mOsm/L jika
durasi hanya beberapa jam. Durasi sebaiknya kurang dari tiga jam
untuk mengurangi waktu kontak campuran yang iritatif dengan dinding
vena. Ini membutuhkan kecepatan pemberian tinggi (150 – 330
mL/jam). Vena perifer yang paling besar dan kateter yang sekecil dan
sependek mungkin dianjurkan untuk mencapai laju infus yang
diinginkan, dengan filter 0.45mm. Katheter harus diangkat bila terlihat
tanda dini nyeri atau kemerahan. Infus relatif cepat ini lebih relevan
dalam pemberian infus sebagai jalan masuk obat, bukan terapi cairan
maintenance atau nutrisi parenteral.
33
e. Titrable acidity
Titratable acidity mengukur jumlah alkali yang dibutuhkan untuk
menetralkan pH larutan infus. Potensi phlebitis dari larutan infus tidak
bisa ditaksir hanya berdasarkan pH atau titrable acidity sendiri.
Bahkan pada pH 4.0, larutan glukosa 10% jarang menyebabkan
perubahan karena titrable acidity nya sangat rendah (0.16 mEq/L).
Dengan demikian makin rendah titrable acidity larutan infus makin
rendah risiko phlebitisnya.
f. Heparin dan hidrokortison
Heparin sodium, bila ditambahkan ke cairan infus sampai kadar akhir 1
unit/mL, mengurangi masalah dan menambah waktu pasang katheter.
Risiko phlebitis yang berhubungan dengan pemberian cairan tertentu
(misal, kalium klorida, lidocaine, dan antimikrobial) juga dapat
dikurangi dengan pemberian aditif IV tertentu, seperti hidrokortison.
Pada uji klinis dengan pasien penyakit koroner, hidrokortison secara
bermakna mengurangi kekerapan phlebitis pada vena yg diinfus
lidokain, kalium klorida atau antimikrobial. Pada dua uji acak lain,
heparin sendiri atau dikombinasi dengan hidrokortison telah
mengurangi kekerapan phlebitis, tetapi penggunaan heparin pada
larutan yang mengandung lipid dapat disertai dengan pembentukan
endapan kalsium.
34
2.2. Keaslian Penelitian
Sejauh penelusuran yang dilakukan, belum pernah ditemukan pada
penelitian yang sama, namun ada beberapa penelitian terdahulu yang dapat
dijadikan acuan, hal ini dapat disajikan dalam tabel berikut :
Tabel 2.1. Hasil-Hasil Penelitian Terdahulu
No Nama Peneliti Judul Metode Hasil
1 Triwidiyatmi,
dkk (2013)
Hubungan
kepatuhan perawat
dalam menjalan
SOP Pemasangan
infus dengan
kejadian phlebitis.
Jenis penelitian
deskriptif kore-
lasional dengan
pendekatan
crossectional.
Alat analisis
yang digunakan
uji ch-square.
Ada hubungan yang
signifikan antara
kepatuhan perawat
dalam menalan SOP
pemasangan infus
dengan kejadian
phlebitis.
2 Muspita
(2014)
Kepatuhan
perawat dalam
melaksanakan
standar prosedur
operasional
pemasangan infus.
Jenis penelitian
kualitatif dengan
rancangan studi
kasus yang
hasilnya disaji-
kan secara
deskriptif.
Hasil penelitian menun-
jukkan seluruh perawat
tidak patuh (100%)
dalam melaksanakan
SPO pemasangan infus.
Hasil wawancara
mendalam menunjukkan
bahwa komitmen,
hubungan sosial,
kelangkaan, resiprositas,
validasi sosial dan
otoritas terkait
kepatuhan perawat
belum terwujud dengan
baik dalam hal
pelaksanaan 1SPO
pemasangan infus.
3 Ratnawati
(2012)
Hubungan antara
tingkat pengeta-
huan perawat
tentang patient
safety dengan
tindakan pemasa-
ngan infus sesuai
dengan SOP.
Jenis penelitian
deskriptif
analitik dengan
pendekatan
crossectional.
Alat analisis uji
chi-square.
Tidak ada hubungan
yang bermakna antara
tingkat pengetahuan
perawat tentang
patient safety dan
tindakan pemasangan
infus.
35
2.3. Kerangka Teori
Berdasarkan tinjauan pustaka di atas, maka dapat dibuat kerangka teori
sebagai berikut:
Keterangan :
: Tidak Diteliti
: Diteliti
Gambar 2.1. Kerangka Teori
Sumber: Notoatmodjo (2010), Proverawati dan Ismawati (2010), Noven (2008)
Dampak
ketidakpatuhan :
1. Meningkatkan
hari rawat
2. Menambah
lama terapi
3. Meningkatkan
tanggung
jawab perawat
4. Resiko
masalah
kesehatan lain
Faktor-faktor yang
mempengaruhi
pengetahuan:
Internal:
1. Pengetahuan
a. Pendidikan
b. Informasi
c. Budaya
d. Pengalaman
e. Sosial
ekonomi
2. sikap
Eksternal:
a. Karakteristik
organisasi
b. Karakeristik
kelompok
c. Karakteristik
pekerjaan
Kepatuhan SPO
pemasangan
infus
Patuh :
Masalah teratasi
Tidak patuh
Plebitis
Masalah pada BBLR :
a. Ketidakstabilan suhu
tubuh
b. Gangguan pernafasan
c. Imaturitas imunologis
d. Gastrointestinal dan
nutrisi
e. Imaturitas hati
f. hipoglikemi
Pengetahuan
tentang plebitis
36
2.4. Kerangka Konsep
Untuk memperjelas alur pemikiran secara jelas, maka dapat dibuat suatu
kerangka konsep seperti tampak pada gambar berikut:
Variabel Independen : Variabel Dependen :
Gambar 2.2. Kerangka Konsep
2.5. Hipotesis
Hipotesis adalah jawaban sementara dari penelitian, patokan duga atau
dalil sementara yang kebenarannya akan dibuktikan dalam penelitian
(Notoatmodjo, 2010). Hipotesis dalam penelitian ini adalah :
Ho : Tidak ada hubungan antara pengetahuan perawat tentang plebitis dengan
kepatuhan melaksanakan standar prosedur operasional pemasangan infus
pada BBLR di Ruang Perinatologi RSUD dr. Soediran Mangun Soemarso
Wonogiri.
Ha : Ada hubungan antara pengetahuan perawat tentang plebitis dengan
kepatuhan melaksanakan standar prosedur operasional pemasangan infus
pada BBLR di Ruang Perinatologi RSUD dr. Soediran Mangun Soemarso
Wonogiri.
Pengetahuan perawat
tentang Plebitis
Kepatuhan Melaksanakan
SPO Pemasangan Infus
37
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1.Jenis dan Rancangan Penelitian
3.1.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini menggunakan rancangan penelitian deskriptif
korelasional, dengan menggunakan pendekatan case-control yaitu dengan
melakukan pengukuran sesaat untuk mengetahui hubungan pengetahuan
perawat tentang plebitis dengan kepatuhan melaksanakan standar prosedur
operasional pemasangan infus pada BBLR di Ruang Perinatologi RSUD dr.
Soediran Mangun Soemarso Wonogiri. Faktor risiko serta efek tersebut diukur
menurut keadaan atau status pada waktu observasi, jadi tidak ada tindak lanjut
(Setiadi, 2007).
3.1.1 Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian dalam penelitian ini dapat disajikan dalam
gambar berikut :
N =
Keterangan :
X1 : Pengetahuan perawat tentang plebitis
X2 : Kepatuhan melaksanakan SPO pemasangan infus
: Hubungan
Gambar 3.1. Rancangan Penelitian
37
X2 X1
38
3.2. Populasi dan Sampel Penelitian
3.2.1. Populasi
Populasi adalah keseluruhan subyek penelitian yang akan diteliti
(Setiadi, 2007). Adapun populasi dalam penelitian ini adalah seluruh
perawat yang bekerja di Ruang Perinatologi RSUD dr. Soediran Mangun
Soemarso Wonogiri. Hasil studi pendahuluan pada bulan Juli 2015 yang
dilakukan oleh peneliti didapatkan bahwa jumlah perawat sebanyak 18
orang.
3.2.2. Sampel
Sampel adalah sebagian dari populasi yang diteliti (Suharsimi,
2006). Penentuan jumlah sampel ditentukan bahwa apabila subyeknya
kurang 100 lebih baik diambil semua sehingga penelitiannya merupakan
penelitian populasi (Arikunto, 2006).
Kriteria sampel :
3.2.2.1. Kriteria Inklusi :
1. Semua perawat di ruang Perinatologi
2. Minimal berpendidikan D-3
3. Pengalaman bekerja minimal 2 tahun.
3.2.2.2. Kriteria Eksklusi :
1. Perawat yang sedang cuti
2. Perawat yang sedang sakit
3. Tidak bersedia menjadi responden
39
3.2.3. Teknik Sampling
Dalam penelitian ini seluruh populasi dijadikan sampel, sehingga
penelitian ini menggunakan teknik total sampling. Total sampling adalah
teknik pengambilan sampel dengan melibatkan semua populasi yang ada
(Arikunto, 2006). Adapun jumlah sampel ditetapkan sebanyak 18 orang.
3.3. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober 2015. Tempat penelitian
dilakukan di Ruang Perinatologi RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso
Wonogiri.
3.4. Variabel, Definisi Operasional, dan Skala Pengukuran
Variabel yang diteliti dalam penelitian ini meliputi:
3.4.1. Variabel bebas :
Variabel bebas adalah variabel yang berpengaruh yang
menyebabkan berubahnya nilai dari variabel terikat dan merupakan
variabel bebas pada penelitian ini adalah pengetahuan perawat
tentang plebitis.
3.4.2. Variabel terikat :
Variabel terikat adalah variabel yang diduga nilainya akan
berubah karena pengaruh dari variabel bebas. Variabel terikatnya
adalah kepatuhan perawat dalam melaksanakan Standar Prosedur
Operasional (SPO) Pemasangan Infus.
Definisi operasional yang digunakan dalam penelitian ini dapat
dijelaskan sebagai berikut:
40
Tabel 3.1. Definisi Operasional Variabel.
No Variabel Definisi Operasional Alat
Ukur
Hasil Ukur Skala
1 Tingkat
Pengetahuan
perawat
tentang
plebitis
Segala sesuatu yang
diketahui perawat ter-
hadap plebitis pada
bayi BBLR (Berat
Badan Lahir Rendah).
Kuesione
r
1. Tinggi :
(x) > mean + 1
SD
2. Sedang
mean – 1 SD ≤ x
≤ mean + 1 SD
3. Rendah
(x) < mean - 1 SD
(Riwidikdo, 2009)
Ordinal
2 Kepatuhan
perawat
dalam
pelaksanaan
SPO
Suatu hal yang
dilakukan perawat
dalam melaksanakan
perawatan,
pengobatan dan
perilaku yang disaran-
kan oleh perawat lain,
dokter atau tenaga
kesehatan lainnya ber-
kaitan dengan
pelaksanaan SPO
pemasangan infus
pada BBLR di ruang
Perinatologi RSUD
dr. Soediran Mangun
Soemarso Wonogiri.
Lembar
observasi
1. Patuh :
(x) ≥ 50%
2. Kurang patuh
(x) < 50%
(Natasia, 2014)
Ordinal
3.5. Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan
kuesioner, yaitu:
1. Kuesioner pengetahuan tentang plebitis
Instrumen ini digunakan untuk alat pengumpul data dalam pengambilan
data variabel pengetahuan yang tertuang dalam point pernyataan yang
berjumlah 18 item. Kuesioner ini berbentuk closed question/pertanyaan
41
tertutup, dengan pilihan jawaban dikotomi choice yaitu : apabila
pertanyaan bersifat favourable jawaban salah nilainya 0 dan benar nilainya
1, sebaliknya apabila bentuk pertanyaan bersifat unfavourable jawaban
benar nilainya 0 dan jawaban salah nilainya 1 (Wawan dan Dewi, 2010).
Instrumen ini diisi oleh perawat pelaksana yang bertugas di ruang
Perinatologi RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri. Adapun kisi-
kisi kuesioner untuk pengetahuan perawat tentang plebitis dapat dilihat
pada tabel 3.1.
Tabel 3.2 Kisi-kisi Angket Variabel Pengetahuan tentang Plebitis
No. Indikator Item No. Jml. Item
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Pengertian Plebitis
Proses Infeksi
Cuci tangan
Kewaspadaan isolasi
Pencegahan dan penanganan
infeksi pada petugas kesehatan
Dekontaminasi
Disinfeksi dan sterilisasi
Aseptik bedah
1, 2
3, 4, 5, 6,
7, 8
9, 10
11, 12
13, 14, 15
16
17
18
2
4
2
2
2
3
1
1
1
Total Item 18
Pengetahuan tentang plebitis dibagi menjadi 3 kategori, sehingga untuk
menentukan pembagian intervalnya menggunakan rumus:
Interval = KategoriJumlah
TerendahNilaiTertinggiNilai −
Interval = 3
118− = 5
Berdasarkan ketentuan tersebut maka tingkat pengetahuan tentang plebitis
dapat dikategorikan dengan batasan sebagai berikut : (Riwidikdo, 2009)
1 : Rendah jika nilai skor antara 1 – 6 ( (x) < mean - 1 SD)
42
2 : Sedang jika nilai skor antara 7 – 12 ( mean–1 SD ≤ x ≤ mean+1SD)
3 : Tinggi jika nilai skor antara 13 – 18 ( (x) > mean + 1 SD)
2. Lembar observasi tentang kepatuhan perawat dalam pelaksanaan SPO
Pemasangan Infus pada BBLR
Kepatuhan perawat dalam pelaksanaan SPO Pemasangan Infus pada
BBLR diisi oleh observer (peneliti dan kepala ruang) yang berbentuk
closed question/pertanyaan tertutup, alat pengumpulan data untuk
pengambilan data variabel kepatuhan melaksanakan SPO pemasangan
infus yang tertuang dalam point pernyataan 1-21. Masing-masing jawaban
dari pernyataan dinyatakan dengan: “melakukan“ dan “tidak
melakukan“. (jika melakukan nlai 1 dan tidak melakukan nilai 0).
Kepatuhan perawat dalam pelaksanaan SPO Pemasangan infus pada
BBLR dibagi menjadi 2 kategori, sehingga untuk menentukan pembagian
intervalnya menggunakan rumus:
Interval = KategoriJumlah
TerendahNilaiTertinggiNilai −
Interval = 2
121− = 10
Berdasarkan ketentuan tersebut maka kepatuhan perawat dalam
pelaksanaan SPO Pemasangan Infus pada BBLR dapat dikategorikan
dengan batasan sebagai berikut : (Natasia, 2014)
1 : Kurang patuh jika nilai skor antara 1 – 10 (< 50%)
2 : Patuh jika nilai skor antara 11 – 21 (≥ 50%)
43
3.6. Uji Validitas dan Reliabilitas
1. Uji Validitas
Uji Validitas merupakan tingkat kemampuan suatu instrumen
untuk mengungkapkan sesuatu yang menjadi sasaran pokok pengukuran
yang dilakukan dengan instrumen tersebut (Sugiyono, 2008). Untuk
mengetahui validitas tiap item dari instrumen dengan menggunakan
perhitungan korelasi point biserial dari Sugiyono (2008). Adapun rumus
korelasi point biserial adalah :
rpbi = �������� ��
r = koefisien korelasi point biserial
Mp = jumlah responden yang menjawab benar
Mq = jumlah responden yang menjawab salah
St = standar deviasi untuk semua item
P =proporsi responden yang menjawab benar
Q = proporsi responden yang menjawab benar
Bila koefisien korelasi untuk seluruh item telah dihitung, perlu
ditentukan angka terkecil yang dapat dianggap cukup “ tinggi ” sebagai
indikator adanya konsistensi antara skor item dan skor keseluruhan. Dalam
hal ini tidak ada batasan yang tegas. Prinsip utama pemilihan item dengan
melihat koefisien korelasi adalah mencari harga koefisien yang setinggi
mungkin dan menyingkirkan setiap item yang mempunyai korelasi negatif
(-) atau koefisien yang mendekati nol (0,00). Menurut Friedenberg (1995)
dalam Sugiyono (2008) biasanya dalam pengembangan dan penyusunan
skala-skala psikologi, digunakan harga koefisien korelasi yang minimal
sama dengan 0,30. Dengan demikian, semua item yang memiliki korelasi
44
kurang dari 0,30 dapat disisihkan dan item-item yang akan dimasukkan
dalam alat test adalah item-item yang memiliki korelasi diatas 0,30 dengan
pengertian semakin tinggi korelasi itu mendekati angka satu (1,00) maka
semakin baik pula konsistensinya (validitasnya).
2. Uji Reliabilitas
Uji Reliabilitas adalah suatu uji yang digunakan untuk menguji
sejauh mana alat ukur relatif konsisten apabila pengukuran diulang dua
kali atau lebih. Untuk menguji reliabilitas kuesioner dalam penelitian ini
digunakan nilai koefisien alpha Cronbach. Rumus alpha cronbach yang
digunakan adalah :
r11 =
−
−∑
2
2
11 St
Si
k
k
Keterangan :
r11 = nilai reliabilitas yang dicari
k = banyaknya item
Si2 = Jumlah varian item
St2 = Varian total
Setelah harga r11 diketahui, kemudian diinterpretasikan dengan indeks
korelasi > 0,600 berarti reliabilitas tinggi (Ghozali, 2009).
Uji validitas dan reliabilitas dalam penelitian ini tidak dilakukan
karena instrumen yang berupa lembar kuesioner pengetahuan perawat tentang
plebitis sudah pernah dilakukan oleh Supatmono (2013) dengan tingkat
reliabilitas sebear 0,893, sedangkan untuk instrumen kepatuhan perawat dalam
45
pelaksanaan SPO menggunakan lembar observasi yaitu pelaksanaan SPO
pemasangan infus.
3.7. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan cara :
1. Peneliti mengajukan surat permohonan ijin penelitian dari institusi kepada
Direktur RSUD dr. Soediran Mangun Soemarso Wonogiri.
2. Setelah mendapatkan surat persetujuan dari Direktur RSUD dr. Soediran
Mangun Soemarso Wonogiri, selanjutnya peneliti menentukan waktu
penelitian.
3. Peneliti bertemu dan meminta bantuan kepada Kepala Ruang Perinatologi
RSUD dr. Soediran Mangun Soemarso Wonogiri atau perawat yang
bertanggung jawab di tempat penelitian untuk mengumpulkan data dari
perawat berkaitan dengan tingkat pengetahuan tentang plebitis dan
kepatuhan perawat dalam pelaksanaan SPO.
4. Peneliti mengadakan pendekatan kepada calon responden dengan
menjelaskan tujuan dan manfaat penelitian kemudian responden yang
bersedia menjadi responden menandatangani informed consent dan
responden diberi lembar kuesioner berkaitan dengan pengetahuan tentang
plebitis dan lembar observasi tentang kepatuhan perawat dalam
pelaksanaan SPO Pemasangan infus pada BBLR.
5. Setelah responden mengisi lembar kuesioner dan lembar observasi telah
diisi oleh observer, peneliti mengambil lembar kuesioner dan lembar
46
observasi tersebut untuk dikumpulkan dan dianalisis data dalam rangka
mengetahui hasil penelitian.
3.8. Pengolahan dan Analisis Data
1. Pengolahan Data
Data yang telah terkumpul dalam tahap pengumpulan data, perlu
diolah dulu. Pengolahan data dalam penelitian ini dilakukan melalui suatu
proses dengan tahapan sebagai berikut:
a. Editing
Proses editing dilakukan untuk meneliti kembali apakah isian
lembar kuesioner sudah lengkap atau belum. Editing dilakukan di
tempat pengumpulan data, sehingga apabila ada kekurangan dapat
segera di lengkapi.
b. Coding
Coding adalah usaha mengklasifikasi jawaban-jawaban/hasil-
hasil yang ada menurut macamnya. Klasifikasi dilakukan dengan jalan
manandai masing-masing jawaban dengan kode berupa angka,
kemudian dimasukkan dalam lembaran tabel kerja guna
mempermudah membacanya. Hal ini penting untuk dilakukan karena
alat yang digunakan untuk analisa data dalam komputer yang
memerlukan suatu kode tertentu. Hal ini penting untuk dilakukan
karena alat yang digunakan untuk analisa data dalam komputer yang
memerlukan suatu kode tertentu. Adapun kode yang dimaksud dalam
penelitian ini adalah:
47
1) Karakteristik responden
a) Umur : - 21 - 30 tahun = code 1
- 30 – 40 tahun = code 2
- > 40 tahun = code 3
b) Tingkat pendidikan : - D3-Keperawatan = code 1
- S1-Keperawatan = code 2
2) Pengetahuan : - Rendah = code 1
- Sedang = code 2
- Tinggi = code 3
3) Kepatuhan Perawat : - Kurang patuh = code 1
- Patuh = code 2
c. Scoring
Pemberian nilai pada masing-masing jawaban dari pertanyaan
yang diberikan kepada responden sesuai dengan ketentuan penilaian
yang telah ditentukan.
d. Tabulating
Kegiatan memasukkan data-data hasil penelitian ke dalam
tabel-tabel sesuai kriteria sehingga didapatkan jumlah data sesuai
dengan kuesioner
2. Analisis Data
Data yang terkumpul kemudian diolah dengan tahapan perbaikan
data, pemberian kode, dan setelah itu dilakukan tabulasi. Analisis data
dilakukan dengan analisis univariate dan bivariate (Notoatmodjo, 2010),
sebagai berikut:
48
a. Analisis Univariate
Analisis univariate dilakukan terhadap tiap-tiap variabel dan
hasil penelitian yang meliputi karakteristik responden, pengetahuan
perawat tentang plebitis dan kepatuhan perawat dalam pelaksanaan
SPO pemasangan infus.
Analisis univariat bertujuan untuk mendeskripsikan karakteristik
setiap variabel penelitian (Notoatmodjo, 2010). Analisis univariat
dalam penelitian ini dilakukan untuk mendeskripsikan tingkat
pengetahuan perawat tentang plebitis dan kepatuhan perawat dalam
pelaksanaan SPO pemasangan infus. Pada analisis univariat, data yang
diperoleh dari hasil pengumpulan dapat disajikan dalam bentuk tabel
distribusi frekuensi atau grafik, yaitu menyajikan data yang bersifat
ordinal yaitu tingkat pengetahuan perawat tentang plebitis dan
kepatuhan perawat dalam pelaksanaan SPO pemasangan infus.
b. Analisis Bivariate
Hasil pengukuran dari dua variabel yang diteliti dikumpulkan
dan diolah dalam bentuk tabel maupun paparan. Data dengan
sampel besar dilakukan uji hipotesis dengan menggunakan uji hipotesis
dengan analisis Chi-Square (χ2) yaitu untuk mencari hubungan antar
variabel dengan syarat datanya berbentuk ordinal dan ordinal dengan
kriteria lebih dari satu, tidak ada sel yang kosong (0) serta nilai
expected lebih dari 5% (Dahlan, 2014). Untuk menjawab hipotesa yang
49
telah dibuat, digunakan interpretasi nilai korelasi menurut Sugiyono
(2008), adalah:
1) Bila hasil χ2hit < χ2
tab atau nilai p > 0,05, artinya bahwa tidak ada
hubungan pengetahuan tentang plebitis dengan kepatuhan
melaksanakan standar prosedur operasional pemasangan infus pada
BBLR di Ruang Perinatologi RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso
Wonogiri.
2) Bila hasil χ2hit ≥ χ2
tab atau nilai p < 0,05, artinya bahwa ada
hubungan pengetahuan tentang plebitis dengan kepatuhan
melaksanakan standar prosedur operasional pemasangan infus pada
BBLR di Ruang Perinatologi RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso
Wonogiri.
Setelah diketahui apakah ada hubungan signifikan atau tidak,
maka perlu diketahui pula seberapa kekuatan hubungan tersebut, untuk
itu maka dilakukan uji Coeficien Contingency (CC). Uji CC bertujuan
untuk mengetahui seberapa besar ukuran kekuatan hubungan antar
variabel tersebut (Dahlan, 2014).
3.9. Etika Penelitian
Dalam melakukan penelitian, seorang peneliti harus menerapkan etika
penelitian : (Hidayat, 2011)
1. Informed Consent (lembar persetujuan menjadi responden)
Merupakan cara persetujuan antara peneliti dengan responden
penelitian dengan memberikan lembar persetujuan. Informed consent ini
50
diberikan sebelum penelitian dilakukan dengan memberi lembar
persetujuan untuk menjadi responden. Hal ini bertujuan agar responden
mengerti maksud dan tujuan penelitian serta mengetahui dampak yang
ditimbulkan.
2. Anonimity (tanpa nama)
Identitas responden tidak perlu dicantumkan pada lembar
pengumpulan data, cukup menggunakan kode pada masing-masing lembar
pengumpulan data.
3. Confidentialty (kerahasiaan)
Kerahasiaan informasi dari responden dijamin oleh peneliti, hanya
kelompok data tertentu yang akan disajikan atau dilaporkan pada hasil
penelitian
51
BAB IV
HASIL PENELITIAN
4.1 Analisis Univariat
4.1.1 Karakteristik Responden
Karakteristik responden dalam penelitian ini membahas tentang
umur, jenis kelamin, pendidikan dan masa kerja pada perawat di Ruang
Perinatologi RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri. Hal ini dapat
dikemukakan seperti tampak pada pembahasan berikut :
1. Umur
Tabel 4.1. Karakteristik Responden menurut Umur
Keterangan Mean Minimum Maximum STD
Umur 33,3 26 49 6,16
Tabel 4.1. menunjukkan bahwa rata-rata umur responden 33
tahun dengan standar deviasi sebesar 6,16 tahun.
2. Jenis Kelamin
Tabel 4.2. Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin
Jenis Kelamin Jumlah (%)
Laki-laki 0 0,0
Perempuan 18 100,0
Jumlah 18 100,0
Tabel 4.2. menunjukkan bahwa semua responden mempunyai
jenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 18 responden (100%).
51
52
3. Pendidikan akhir
Tabel 4.3. Distribusi Frekuensi Pendidikan Akhir
Pendidikan Jumlah (%)
D-3 Keperawatan 16 88,9
S1-Keperawatan 2 11,1
Jumlah 18 100,0
Tabel 4.3. menunjukkan bahwa sebagian besar responden
mempunyai tingkat pendidikan D-3 Keperawatan yaitu sebanyak 16
responden (88,9%).
4. Lama Bekerja
Tabel 4.4. Karakteristik Responden menurut Lama Bekerja
Keterangan Mean Minimum Maximum STD
Lama Bekerja 8,78 4 21 4,47
Tabel 4.1. menunjukkan bahwa rata-rata lama bekerja
responden 9 tahun dengan standar deviasi sebesar 4,47 tahun.
4.1.2 Tingkat Pengetahuan
Hasil distribusi frekuensi tentang tingkat pengetahuan perawat
tentang plebitis disajikan dalam tabel 4.5 berikut:
Tabel 4.5. Distribusi Frekuensi tentang Tingkat Pengetahuan
Perawat tentang Plebitis
Tingkat Pengetahuan Frekuensi Persentase (%)
Rendah
Sedang
Tinggi
0
3
15
0,0
16,7
83,3
Jumlah 18 100,0
Sumber: Data primer yang diolah, 2015.
Distribusi data tentang tingkat pengetahuan tentang plebitis pada
perawat di Ruang Perinatologi RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso
Wonogiri sebagian besar mempunyai pengetahuan tinggi yaitu sebanyak 15
orang (83,3%).
53
4.1.3 Kepatuhan perawat
Hasil distribusi frekuensi tentang kepatuhan perawat dalam
melaksanakan Standar Prosedur Operasional (SPO) Pemasangan Infus dapat
disajikan dalam tabel 4.6.
Tabel 4.6. Distribusi Frekuensi tentang Kepatuhan Perawat
Kepatuhan Perawat Frekuensi Persentase (%)
Kurang patuh
Patuh
1
17
5,6
94,4
Jumlah 18 100,0
Sumber: Data primer yang diolah, 2015.
Distribusi data tentang kepatuhan perawat dalam melaksanakan
Standar Prosedur Operasional (SPO) Pemasangan Infus sebagian besar
mempunyai kepatuhan tergolong patuh yaitu sebanyak 17 orang (94,4%).
4.2 Analisis Bivariat
Penelitian ini menggunakan uji Chi-Square (χ2) untuk mengetahui
hubungan antara pengetahuan perawat tentang plebitis dengan kepatuhan
melaksanakan standar prosedur operasional pemasangan infus pada BBLR.
Berikut hasil analisis yang telah diuji yang tersajikan dalam tabel 4.7.
Tabel 4.7 Hasil Crostab dan analisis Uji Chi-Square (χ2)
Kepatuhan
Total
χ2hit
p-value Kurang
Patuh
Patuh
Tingkat
Pengetahua
n
Sedang f 1 2 3
% 33.3% 66.7% 100,0%
Tinggi f 0 15 15 5,294 0,021
% 0.0% 100.0% 100,0%
Total f 1 17 18
% 5.6% 94.4% 100,0%
54
Hasil analisis Chi-square (χ2) diketahui bahwa nilai chi-square hitung
sebesar 5,294 dengan nilai probabilitas 0,021 (p value < 0,05), artinya ada
hubungan antara pengetahuan perawat tentang plebitis dengan kepatuhan
melaksanakan standar prosedur operasional pemasangan infus pada BBLR di
Ruang Perinatologi RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri.
Hal ini dapat dikatakan bahwa semakin tinggi dan meningkat
pengetahuan yang dimiliki perawat maka semakin patuh dan meningkat pula
kepatuhan perawat dalam melaksanakan standar prosedur operasional
pemasangan infus pada BBLR di Ruang Perinatologi RSUD dr. Soediran
Mangun Sumarso Wonogiri, adapun kekuatan hubungan tergolong hubungan
yang sedang, karena nilai coeficient contingency (CC) = 0,477 yang berada
diantara 0,26 - 0,50.
55
BAB V
PEMBAHASAN
5.1 Hasil Analisis Univariat
5.1.1 Karakteristik Responden
1. Umur
Penelitian menunjukkan bahwa rata-rata umur responden 33 tahun
dengan standar deviasi sebesar 6,16 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa
responden memiliki usia yang matang dalam berfikir dan bekerja atau
masih dalam usia produktif. Sejalan dengan pendapat Nursalam (2007)
bahwa semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan
seseorang akan lebih matang dalam berpikir dan bekerja. Karena dengan
bertambahnya umur seseorang maka kematangan dalam berpikir
semakin baik sehingga akan termotivasi setiap melakukan pekerjaan
dalam melayani pasien secara profesional.
Hal ini sejalan dengan penelitan yang dilakukan oleh
Triwidyawati (2013) bahwa sebagian besar perawat yang diteliti adalah
usia 21-40 tahun, dengan usia yang masih muda tersebut dilihat dari
pengalaman-pengalaman yang didapat dari tindakan SPO pemasangan
infuse belum banyak dibandingkan dengan perawat yang sudah berusia
lebih tua. Hal ini diungkapkan oleh Potter dan Perry (2005) bahwa usia
akan mempengaruhi jiwa seseorang yang menerima untuk mengolah
kembali pengertian-pengertian atau tanggapan, sehingga dapat dilihat
bahwa semakin tinggi usia seseorang, maka proses pemikirannya untuk
55
56
bekerja melakukan tindakan di rumah sakit lebih matang. Biasanya
orang muda pemikirannya radikal sedangkan orang dewasa lebih
moderat.
2. Pendidikan
Penelitian didapatkan hasil bahwa sebagian besar responden
mempunyai tingkat pendidikan Diploma yaitu sebanyak 16 (88,9%). Di
samping itu, menurut hasil observasi diketahui bahwa syarat minimal
saat ini sebagai syarat tenaga perawat profesional yang disyaratkan oleh
rumah sakit minimal memiliki tingkat pendidikan D-3 Keperawatan.
Tingkat pendidikan perawat dengan rasio akademik lebih banyak
akan memudahkan dalam menerima serta mengembangkan pengetahuan
dan teknologi. Hasil ini diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh
Purwadi dan Sofiana (2006) yang membuktikan bahwa perawat dengan
pendidikan minimal Diploma (D3) dan tingkat pendidikan yang lebih
tinggi mempunyai efisiensi kerja dan penampilan kerja yang lebih baik
dari pada perawat dengan pendidikan SPK. Oleh karena itu, pendidikan
seseorang merupakan faktor yang penting sehingga kinerja perawat
dalam memberikan asuhan keperawatan kepada pasien agar
mendapatkan hasil yang maksimal.
3. Masa Kerja
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata masa kerja perawat
adalah 9 tahun. Hal ini juga didukung hasil observasi bahwa sebagian
besar responden mempunyai masa kerja kurang dari 10 tahun, namun
57
juga ada beberapa responden mempunyai masa kerja lebih dari 10 tahun.
Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Pamuji dkk (2008)
bahwa hasil penelitian menunjukkan sebagian besar responden
mempunyai masa kerja antara 1-5 tahun (61,5%).
Pada awal bekerja, perawat memiliki kepuasan kerja yang lebih,
dan semakin menurun seiring bertambahnya waktu secara bertahap lima
atau delapan tahun dan meningkat kembali setelah masa lebih dari
delapan tahun, dengan semakin lama seseorang dalam bekerja, akan
semakin terampil dalam melaksanakan pekerjaan (Hariandja, 2008).
Seseorang yang sudah lama mengabdi kepada organisasi memiliki
tingkat kepuasan yang tinggi. Hal ini juga dinyatakan oleh
Sastrohadiworjo (2005), bahwa semakin lama seseorang bekerja
semakin banyak kasus yang ditanganinya sehingga semakin meningkat
pengalamannya, sebaliknya semakin singkat orang bekerja maka
semakin sedikit kasus yang ditanganinya. Pengalaman bekerja banyak
memberikan kesadaran pada seseorang perawat untuk melakukan suatu
tindakan sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan, hal ini ini sesuai
dengan penelitian yang dilakukan oleh Arfianti (2010) yang menyatakan
pengalaman merupakan salah satu faktor dari kepatuhan.
5.1.2 Tingkat Pengetahuan
Hasil penelitian tentang tingkat pengetahuan perawat diketahui
bahwa sebagian besar mempunyai tingkat pengetahuan tinggi yaitu
sebanyak 15 orang (83,3%). Pengetahuan responden tergolong tinggi
58
disebabkan oleh tingkat pendidikan yang dimiliki responden, berdasarkan
hasil penelitian diketahui bahwa mayoritas responden berpendidikan D3-
Keperawatan dan ada juga yang mempunyai pendidikan S1-Keperawatan
namun belum ada perawat yang mempunyai pendidikan profesi (Ners).
Tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi tingkat pengetahuan perawat, dalam kesehariannya,
pendidikan seseorang berhubungan dengan kehidupan sosial dan
perilakunya. Semakin tinggi pendidikan seseorang maka perilaku seseorang
itu akan semakin baik, oleh sebab itu perawat yang memiliki tingkat
pendidikan tinggi cenderung memiliki tingkat pengetahuan yang baik.
Pengetahuan merupakan faktor penting dalam seseorang mengambil
keputusan namun tidak selamanya pengetahuan seseorang bisa
menghindarkan dirinya dari kejadian yang tidak diinginkannya, misalnya
perawat yang tingkat pengetahuannya baik tidak selamanya melaksanakan
keselamatan pasien dengan baik karena segala tindakan yang akan dilakukan
beresiko untuk terjadi kesalahan (Notoatmodjo, 2010).
Lamanya responden bekerja juga dapat mempengaruhi tingkat
pengetahuan perawat. Dalam penelitian ini responden sebagian besar
bekerja antara 5-10 tahun. Masa kerja adalah (lama kerja) adalah merupakan
pengalaman individu yang akan menentukan pertumbuhan dalam pekerjaan
dan jabatan. Masa kerja yang lama akan cenderung membuat seseorang
betah dalam sebuah organisasi hal ini disebabkan karena telah beradaptasi
dengan lingkungan yang cukup lama sehingga akan merasa nyaman dalam
pekerjaannya (Saragih, 2009).
59
Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh
Trianiza (2014) yang menjelaskan bahwa perawat sebagian besar
mempunyai pengetahuan baik (55%), dengan lama bekerja sebanyak 68
orang atau 94 % bekerja ≤ 10 tahun. Hasil penelitian ini juga diperkuat oleh
penelitian yang dilakukan oleh Mada (2012) yang menjelaskan bahwa rata-
rata perawat memiliki pengetahuan yang tinggi tentang infeksi nosokomial.
Hasil ini menunjukkan bahwa dengan latar belakang pendidikan yang
didominasi oleh D-3 keperawatan, perawat tetap memiliki pengetahuan
tentang infeksi nosokomial dalam kategori tinggi berkaitan dengan
penerapan prinsip steril pada pemasangan infus yang dilakukan oleh
perawat
5.1.2 Kepatuhan Perawat
Hasil penelitian diketahui bahwa kepatuhan perawat dalam
melaksanakan Standar Prosedur Operasional (SPO) Pemasangan Infus di
Ruang Perinatologi RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri
sebagian besar patuh terhadap SPO pemasangan infus yaitu sebanyak 17
orang (94,4%). Hal ini disebabkan sebagian besar perawat melakukan
pengkajian tentang pemasangan infus yang berdampak pada terjadinya
plebitis pada pasien hanya berdasarkan usia, keterbatasan mobilisasi dan
terpasangnya infus/iv ataupun kateter. Kepatuhan merupakan ketaatan
seseorang pada tujuan yang telah ditetapkan. Kepatuhan merupakan masalah
utama kedisiplinan dalam pelayanan perawatan di rumah sakit.
Menurut Setyarini, dkk (2013), bahwa perawat yang sudah
mendapatkan sosialisasi atau memahami terkait dengan pengkajian
60
pemasangan infus dan dampaknya terhadap plebitis cenderung lebih baik
dalam melakukan pengkajian resiko jatuh dibandingkan dengan perawat
yang belum memahami dan mendapat sosialisasi SPO pemasangan infus,
selain itu umur juga mempengaruhi kepatuhan perawat dalam SPO
pemasangan infus. Seseorang yang dikatakan senior lebih cenderung
memiliki sikap yang kurang dalam pengkajian SPO pemasangan infus.
Mereka lebih sering menggunakan penilaian berdasarkan ketergantungan
pasien (Setyarini, dkk, 2013).
Sebagaimana dijelaskan dalam suatu penelitian yang dilakukan
Triwidyawati (2013) bahwa kepatuhan perawat dalam menjalan SOP
pemasangan infus sebagian besar termasuk dalam kategori patuh (70,3%).
Dijelaskan pula bahwa dalam pelayanan keperawatan, kepatuhan terhadap
standar sangat membantu perawat untuk mencapai asuhan yang berkualitas,
sehingga perawat dan bidan harus berpikir realitis tentang pentingnya
evaluasi sistematis terhadap semua aspek asuhan yang berkualitas tinggi
(Simamora, 2012).
Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Pamuji, dkk (2014) yang meneliti tentang kepatuhan perawat
melaksanakan standar prosedur operasional pelayanan keperawatan, hasil
penelitian menyebutkan bahwa sebagian besar tingkat kepatuhan perawat
dalam pelaksanaan SPO profesi pelayanan tergolong patuh yaitu 24 orang
(92,3%) namun demikian masih adanya responden yang mempunyai tingkat
kepatuhannya rendah, hal ini disebabkan oleh kurangnya pengetahuan
61
karena kurang adanya penyegaran maupun pelatihan. Selain itu juga akibat
kurangnya perawat mengikuti berbagai seminar. Pelatihan dan seminar pada
program pengembangan staf keperawatan sebagian besar pelatihan bersifat
untuk peningkatan spiritual dan kepribadian. Sedangkan untuk pelatihan dan
penyegaran tentang standar prosedur operasional pelayanan keperawatan
belum pernah dilakukan.
Namun demikian, penelitan ini kurang didukung oleh penelitian
yang dilakukan oleh Muspita (2014) yang meneliti tentang kepatuhan
perawat dalam melaksanakan standar operasional prosedur pemasangan
infus, hasil penelitian menjelaskan bahwa kepatuhan perawat terhadap SPO
pemasangan infus diperoleh 42 orang kategori tidak patuh (100%).
Berdasarkan SPO Pemasangan Infus di rumah sakit, terdapat beberapa poin
yang tidak sesuai dengan Peripheral Intravenous Catheter Guideline
(2013), poin-poin yang terdapat pada Guideline namun tidak terdapat pada
SPO pemasangan infus di rumah sakit yaitu diantaranya pendokumentasian
yang lebih terperinci mengenai tanggal dan jam pemasangan infus, termasuk
tipe kateter intravena, lokasi anatomi penusukan, cairan desinfektan/
antiseptik yang digunakan dan nama operator.
5.2 Hasil Analisis Bivariat
Hasil penelitian diketahui sebagian besar responden mempunyai
tingkat pengetahuan tinggi dengan kepatuhan tergolong patuh yaitu sebanyak
15 orang (83,3%), dan hasil analisis Chi-Square (χ2) diketahui nilainya
sebesar 5,294 dengan nilai probabilitas 0,021 (p value < 0,05), sehingga Ha
62
diterima dan Ho ditolak, artinya bahwa terdapat hubungan antara pengetahuan
perawat tentang plebitis dengan kepatuhan melaksanakan standar prosedur
operasional pemasangan infus pada BBLR di Ruang Perinatologi RSUD dr.
Soediran Mangun Sumarso Wonogiri. Hal ini dapat dikatakan bahwa semakin
tinggi dan meningkat pengetahuan yang dimiliki perawat maka semakin patuh
perawat dalam melaksanakan standar prosedur operasional pemasangan infus
pada BBLR di Ruang Perinatologi RSUD dr. Soediran Mangun Soemarso
Wonogiri, adapun kekuatan hubungan tergolong hubungan yang sedang,
karena nilai coeficient contingency (CC) = 0,477 yang berada diantara 0,26 -
0,50.
Hubungan antara tingkat pengetahuan dengan kepatuhan perawat
dalam pelaksanaan Standar Prosedur Operasional dalam melaksanakan
pemasangan infus dapat diasumsikan bahwa seseorang yang memiliki tingkat
pengetahuan yang tinggi cenderung lebih baik dalam melakukan pengkajian
pemasangan infus dan kejadian plebitis lebih baik dibandingkan dengan
perawat yang memiliki tingkat pengetahuan rendah. Pengetahuan yang baik
sebagian besar dimiliki oleh perawat berpendidikan sarjana dibandingkan D3.
Tingkat pendidikan yang tinggi akan lebih mempermudah seseorang dalam
melakukan sesuatu (Pamuji I, dkk, 2008).
Depkes RI (2008) menjelaskan bahwa kepatuhan dalam melaksanakan
SPO pengkajian pemasangan infus dan kejadian plebitis. Pengetahuan perawat
yang baik akan mempengaruhi tingkat kepatuhan perawat sehingga
mengurangi resiko komplikasi pada pasien. Pengkajian pemasangan infus dan
63
kejadian plebitis ini telah dapat dilaksanakan sejak pasien mulai mendaftar,
yaitu dengan menggunakan skala jatuh. Pengalaman, pengetahuan dan sumber
informasi merupakan hal yang mempengaruhi kejelian perawat dalam
melakukan pengkajian pemasangan infus kejadian plebitis. Sumber informasi
di sini didapat dalam pelatihan–pelatihan, seminar ataupun workshop tentang
resiko jatuh pasien. Dalam pelatihan-pelatihan perawat dibekali ilmu, skill dan
pengalaman terkait pasien safety (Anwar, 2012).
Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh
Triwidyawati (2013) yang menyimpulkan bahwa ada hubungan yang
signifikan antara kepatuhan perawat dalam menjalankan SPO pemasangan
infus dengan kejadian plebitis. Hasil penelitian lain yang juga memperkuat
hasil penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Mada, dkk (2012),
yang menjelaskan bahwa ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan
perawat tentang infeksi nosokomial dengan penerapan prinsip steril pada
pemasangan infus di RS Kristen Lende Moripa, Sumba Barat.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Wayunah (2012) yang
menjelaskan bahwa ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan perawat
tentang terapi infus dengan kejadian plebitis (p<0.01), dan ada hubungan yang
signifikan antara pengetahuan perawat tentang terapi infus dengan
kenyamanan (p<0.01).
64
BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan dapat disimpulkan
beberapa hal sebagai berikut:
1. Karakteristik responden diketahui sebagian besar rata-rata umur 33 tahun,
berjenis kelamin perempuan (100%), berpendidikan D-3 Keperawatan
(88,9%), dan rata-rata lama bekerja 9 tahun.
2. Sebagian besar perawat mempunyai tingkat pengetahuan tentang plebitis
tergolong tinggi yaitu sebanyak 15 orang (83,3%).
3. Sebagian besar perawat mempunyai kepatuhan dalam pelaksanaan SPO
pemasangan infus tergolong patuh yaitu sebanyak 17 orang (94,4%).
4. Terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara hubungan antara
pengetahuan perawat tentang plebitis dengan kepatuhan melaksanakan
standar prosedur operasional pemasangan infus pada BBLR di Ruang
Perinatologi RSUD dr. Soediran Mangun Soemarso Wonogiri (p-value =
0,021), adapun tingkat hubungan tergolong sedang (C = 0,447).
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat
disimpulkan beberapa saran :
1. Bagi Rumah Sakit
Diharapkan untuk dilakukannya sosialisasi kepada seluruh perawat
yang berkaitan dengan pengkajian pemasangan infus dan plebitis dan
64
65
bagaimana cara pengisian menggunakan form SPO pemasangan infus serta
menetukan intepretasi secara benar.
2. Bagi Institusi Pendidikan
Diharapkan dapat mempergunakan sebagai bahan acuan dalam
menentukan kebijakan dalam menyusun panduan perkuliahan terutama
yang berkaitan dengan tingkat pengetahuan hubungannya dengan
kepatuhan perawat dalam pelaksanaan SPO pemasangan infus pada pasien
di rumah sakit.
3. Bagi Peneliti Selanjutnya
Bagi peneliti selanjutnya diharapkan dapat meneliti faktor yang
mempengaruhi kepatuhan perawat dalam pelaksanaan Standar Prosedur
Operasional (SPO) pemasangan infus pada pasien misalnya sikap dan
lingkungan kerja, serta meneliti cakupan sampel yang lebih luas.
4. Bagi Peneliti
Bagi peneliti dapat menerapkan teori ke dalam kegiatan nyata di
lapangan terutama penerapan metode penelitian berkaitan dengan tingkat
pengetahuan perawat tentang plebitis hubungannya dengan kepatuhan
perawat dalam pelaksanaan SPO pemasangan infus pada pasien di rumah
sakit.
66
DAFTAR PUSTAKA
Alphatino, (2009). Nutrisi Parenteral Total Pada Bayi Prematur. Jurnal Neonatal. Jakarta: UI.
Andares, (2009), Analisa hubungan karakteristik perawat dan tingkat kepatuhan perawat dalam pelaksanaan protap pemasangan infus di Rumah Sakit Badrul Aini Medan, Tesis Program Pasca Sarjana, Minat Magister Kesehatan, Universitas Sumatera Utara, Medan.
Brunner & Suddarth. (2005). Keperawatan Medikal Bedah.(edisi 8). Jakarta : EGC.
Dinkes Kabupaten Wonogiri. (2013). Profil Kesehatan Kabupaten Wonogiri. Wonogiri: Dinkes Kab. Wonogiri.
Gabriel, Dougherty; Bravery, K;; Kayley, J; Scales, K; & Inwood, S. (2010). Standards for Infusion Therapy. The RCN IV Therapy Forum 2010.
Hinlay. (2006). Terapi Intravena pada Pasien di Rumah Sakit. Yogyakarta : Nuha Medika.
IDAI, (2014). Buku Ajar Neonatologi. Edisi pertama. Jakarta: IDAI. INS. (2006). Setting the Standard for Infusion Care. Diperoleh tanggal 2 Juli
2015, dari http://www.ins1.org.
Jayant D, Phalke DB, Bangal BV, Peeyuusha D, Sushen B. (2011). Maternal risk factor for low birth weight neonates: a hospital based case-control study in rural area of Western Maharshtra, India. Natl J Community Med.
Kemenkes RI. (2013). Hasil Riskesdas 2013. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
Mada MD, Susilo CB, Nekada CY. (2013). Hubungan Pengetahuan Perawat tentang Infeksi Nosokomial dengan Penerapan Prinsip Steril pada Pemasangan Infus di RS Kristen Lende Moripa, Sumba Barat.
Mayunah, (2012). Hubungan Pengetahuan Perawat tentang Terapi Infus dengan Kejadian Plebitis dan Kenyamanan Pasien di Ruang Rawat Inap di RSUD Indramayu. Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 8 No. 1, Juni 2012: 90-99.
Mulyani. 2011. Tinjauan Pelaksanaan Standar Operasional Prosedur (SOP) Pemasangan Infus Pada Pasien Di Instalasi Gawat Darurat (IGD) RS PKU Muhammadiyah Gombong. Jurnal Keperawatan. Gombong.
Muspita, M J. 2014. Gambaran Kepatuhan Perawat dalam Melaksanakan Standar Operasional Prosedur Pemasangan Infus di RS PKU Muhammadiyah Gombong. Naskah Publikasi. Yogyakarta: PPS UNY.
Nassaji, M dan Ghorbani R. (2007). Peripheral Intravenous Catheter Re;ated
Phlebitis and Related Risk Factors. Singapore Medicine Journal 48 (8): 733.
67
Niven, Niel. 2008. Psikologi Kesehatan : Pengantar Untuk Perawat Dan Profesional. Jakarta : EGC.
Notoatmodjo, S. 2010. Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta:
Rineka Cipta. Pamuji I, Asrin, Kamaludin A. 2008. Hubungan Pengetahuan Perawat tentang
SPO dengan Kepatuhan Perawat terhadap Pelaksanaan SPO Profesi Pelayanan Keperawatan. Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing), Volume 3 No.1 Maret 2008.
Pasaribu. 2008. Analisis Pelaksanaan Standar Operasional Prosedur Pemasangan
Infus terhadap Kejadian Phlebitis di Ruang Rawat Inap RS Haji Medan. Jurnal Keperawatan. Medan: USU.
Perry dan Potter. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan Konsep, Proses dan
Praktek. Edisi 4. Alih bahasa Renata Komalasari. Jakarta : EGC. Proverawati Atikah, & Ismawati Cahyo, S. (2010). BBLR : Berat Badan Lahir
Rendah. Yogyakarta: Nuha Medika. Pudjiadi Antonius, H., Hegar Badriul, dkk. (2010). Pedoman Pelayanan Medis
Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta: IDAI. Pujasari, Hening. (2007). Angka kejadian phlebitis dan tingkat keparahanya di
ruang penyakit dalam RSCM Jakarta, diakses dari http:/Pujasari pada tanggal 20 Juni 2015.
Purwanto. (2006). Pengantar Perilaku Manusia Untuk Keperawatan, Jakarta:
Buku Kedokteran.
Smeltzer, Suzanne C. dan Bare, Brenda G, (2005), Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan Suddarth (Ed.8, Vol. 1,2), Alih bahasa oleh Agung Waluyo…(dkk), Jakarta: EGC.
Smeth, Bart. (2005). Psikologi Kesehatan. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.
Soekanto, Soerjono. 2005. Sosiologi Ruang Lingkup dan Aplikasinya. Bandung: Remaja Rosda Karya
Surasmi A., Handayani S., Kusuma H. (2007). Perawatan Bayi Resiko Tinggi. Jakarta: EGC.
Trianiza, Efi. (2013). Faktor-faktor Penyebab Kejadian Phlebitis di Ruang Rawat Inap RSUD Cengkareng. Tesis (tidak dipublikasikan). Jakarta: Universitas Esa Unggul.
Triwidyawati, Kristiyawati dan Purnomo. (2013). Hubungan Kepatuhan Perawat
dalam Menjalankan SOP Pemasangan Infus dengan Kejadian Plebitis. Jurnal Keperawatan. Semarang: STIKES Telogorejo Semarang.