hubungan antara lama pemaparan kebisingan menurut masa kerja dengan keluhan gangguan pendengaran...

119
FAKULTAS TEKNIK PRODI TEKNIK LINGKUNGAN UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT Jl. Achmad Yani Km. 36 Fakultas Teknik UNLAM Banjarbaru 70714, Telp : (0511) 4773868 Fax: (0511) 4781730,Kalimantan Selatan, Indonesia

Upload: raissa-rosadi

Post on 19-Jul-2015

1.127 views

Category:

Engineering


9 download

TRANSCRIPT

Page 1: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

FAKULTAS TEKNIK

PRODI TEKNIK LINGKUNGAN

UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT

Jl. Achmad Yani Km. 36 Fakultas Teknik UNLAM Banjarbaru 70714,

Telp : (0511) 4773868 Fax: (0511) 4781730,Kalimantan Selatan,

Indonesia

Page 2: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

Ucapan terimakasih kami ucapkan kepada :

1. Rektor Universitas Lambung Mangkurat :

Prof. Dr. H. Sutarto Hadi, M.Si, M.Sc.

2. Dekan Fakultas Teknik Universitas Lambung

Mangkurat :

Dr-Ing Yulian Firmana Arifin, S.T., M.T.

3. Kepala Prodi Teknik Lingkungan Universitas

Lambung Mangkurat :

Rijali Noor, S.T.,M.T.

4. Dosen Mata Kuliah Epidemiologi :

Dr. Qomariyatus Sholihah, Amd. Hyp., S.T., Mkes.

Page 3: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

5. Anggota Kelompok :

- Raissa Rosadi

- Dwi Ayu Wulandari

- Aditya Kumara Putra

- Meredith Kartika Putri

Page 4: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT

MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN

PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN

CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

Disusun Oleh:

Aditya Kumara Putra H1E113056

Dwi Ayu Wulandari H1E113021

Meredith Kartika Putri H1E113216

Raissa Rosadi H1E113206

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL

UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT

FAKULTAS TEKNIK

PROGRAM STUDI TEKNIK LINGKUNGAN

BANJARBARU

2014

Page 5: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

ii

PERNYATAAN

Dengan ini menyatakan bahwa Tugas Besar ini tidak terdapat karya yang

pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi,

dan sepanjang pengetahuan kami juga tidak terdapat karya atau pendapat yang

pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu

dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Banjarbaru, Desember 2014

Tim Penulis

Page 6: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

iii

ABSTRAK

HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN

MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN

PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA

DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA

KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

Aditya Kumara Putra, Dwi Ayu Wulandari, Meredith Kartika Putri,

Raissa Rosadi

Kegiatan pertambangan Intan Cempaka dilakukan menggunakan mesin

dumping yang bising yang dapat mengganggu pendengaran karena standar

keamanan bagi pekerja sangat sedikit bahkan tidak ada. Tujuan penelitian ini

adalah menganalisis pemaparan kebisingan menurut masa kerja dengan keluhan

gangguan pendengaran pada tenaga kerja di pertambangan rakyat intan cempaka

kelurahan sungai tiung Banjarbaru. Jenis penelitian yang dilakukan adalah

penelitian observasional analitik dengan rancangan cross sectional. Responden

diambil dengan menggunakan teknik purposive sampling dengan jumlah 25

responden. Instrumen penelitian Sound Level Meter Mobile Cassy 524-009,512

Hz garputala dan lembar wawancara. Hasilnya, 19 responden (80%) dari 25

responden mengalami gangguan gangguan pendengaran, dan 6 responden adalah

normal. Hilangnya pendengaran rata-rata terjadi selama waktu kerja (>10 tahun)

ada 8 responden. Pengaruh masa kerja pada gangguan pendengaran pekerja adalah

gangguan sensorineural. Hasil Fisher’s Exact Test dari 95% antara masa kerja

terhadap gangguan pendengaran akibat kebisingan nilai p= 0,002 (p> 0,01). Uji

statistik ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara lama pemaparan kebisingan

menurut masa kerja dengan keluhan gangguan pendengaran para pekerja di

pertambangan Cempaka. Kesimpulan dan saran penelitian ini adalah pekerja akan

mengalami gangguan pendengaran akibat kebisingan yang dipengaruhi oleh masa

kerja dan tanpa menggunakan APD saat mesin beroperasi dalam proses

pertambangan berlian. Pemerintah bekerja sama dengan pusat kesehatan Cempaka

untuk memberikan konseling mengenai dampak bahaya kebisingan.

Kata-kata kunci: masa kerja, kebisingan, gangguan pendengaran,

pertambangan intan.

Page 7: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

iv

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat

limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kami sedapat menyelsaikan Tugas

Besar tentang “Hubungan antara lama pemaparan kebisingan menurut masa

kerja dengan keluhan gangguan pendengaran pada tenaga kerja di

pertambangan rakyat intan cempaka kelurahan sungai tiung Banjarbaru”, tepat

pada waktunya meskipun dalam bentuk yang sederhana.

Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih kepada dosen mata

kuliah Ibu Dr. Qomariyatus S, ST., M.Kes yang telah menugaskan kepada kami

untuk memaparkan materi mengenai “Hubungan antara lama pemaparan

kebisingan menurut masa kerja dengan keluhan gangguan pendengaran pada

tenaga kerja di pertambangan rakyat intan cempaka kelurahan sungai tiung

Banjarbaru”, sehingga melalui Tugas Besar ini penulis dapat memperoleh ilmu

pengetahuan.

Tak lupa saran dan kritik yang sifatnya membangun, sangat kami nantikan

dari berbagai pihak agar Tugas Besar ini kedepannya dapat lebih baik lagi.

Semoga Tugas Besar ini bermanfaat bagi dunia ilmu pengetahuan.

Banjarbaru, Desember 2014

Tim Penulis

Page 8: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

v

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL. ................................................................................... i

HALAMAN PERNYATAAN ...................................................................... ii

ABSTRAK .................................................................................................... iii

KATA PENGANTAR .................................................................................. iv

DAFTAR ISI ................................................................................................. v

DAFTAR TABEL ........................................................................................ vii

DAFTAR GAMBAR .................................................................................... viii

DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ ix

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah .............................................................................. 4

C. Tujuan Penelitian ............................................................................... 4

D. Manfaat Penelitian ............................................................................. 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Pertambangan Rakyat......................................................................... 6

B. Pengertian Kesehatan dan Keselamatan Kerja ................................... 46

C. Pengertian Alat Pelindung Diri .......................................................... 51

D. Kebisingan ......................................................................................... 63

E. Gangguan Pendengaran ...................................................................... 69

F. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Gangguan Pendengaran ............ 72

Page 9: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

vi

BAB III LANDASAN TEORI

A. Landasan Teori ................................................................................... 76

B. Hipotesis ............................................................................................. 77

BAB IV METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian ......................................................................... 78

B. Populasi dan Sampel .......................................................................... 78

C. Instrumen Penelitian........................................................................... 79

D. Variabel Penelitian ............................................................................. 80

E. Definisi Operasional........................................................................... 80

F. Prosedur Penelitian............................................................................. 81

G. Teknik Pengumpulan dan Pengolahan Data ...................................... 82

H. Cara Analisis Data.............................................................................. 82

I. Tempat dan Waktu Penelitian ............................................................ 83

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umur ................................................................................. 84

B. Hasil Pengukuran ............................................................................... 86

C. Hasil Pemeriksaan Garputala Untuk Gangguan Pendengaran ........... 87

D. Pengaruh Masa Kerja Terhadap Kebisingan Pada Tenaga Kerja ...... 88

BAB VI PENUTUP

A. Kesimpulan ........................................................................................ 92

B. Saran ................................................................................................... 92

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

Page 10: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

vii

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

2.1 Nilai ambang Batas (NAB) kebisingan.......................................................... 64

4.1 Pengukuran gangguan fungsi pendengaran dengan garputala........................ 80

Page 11: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

viii

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

2.1 Hubungan antara Jumlah Penambang vs Kualitas Perairan. ................. ......... 18

2.2 Bagan / Kerangka Pemikiran Implementasi Kebijakan ................................. 28

2.3 Sistem Kebijakan Publik................................................................................. 29

2.4 Diagram Analisis SWOT................................................................................ 44

3.1 Skema kerangka konsep penelitian hubungan massa kerja terhadap

gangguan pendengaran akibat kebisingan pada tenaga kerja di

pertambangan intan cempaka Banjarbaru...................................................... 77

5.1 Karekteristik responden berdasarkan umur..................................................... 84

5.2 Karekteristik responden berdasarkan massa kerja. ......................................... 85

5.3 Titik pengambilan sampel uji kebisingan....................................................... 86

5.4 Kategori hasil pengukuran pendengaran responden....................................... 87

5.5 Distribusi pengukuran pendengaran responden berdasarkan massa kerja...... 88

Page 12: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

ix

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran

1. Hasil Pengukuran Menggunakan Sound Level Meter

2. Hasil Uji Statistik

3. Dokumentasi

Page 13: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Menurut UU Nomor 1 Pasal 1 (2007) tentang keselamatan kerja,

menjelaskan bahwa “tempat kerja ialah tiap ruangan atau lapangan, tertutup

atau terbuka, bergerak atau tetap dimana tenaga kerja bekerja, atau yang

sering dimasuki tenaga kerja untuk keperluan suatu usaha ...”. Tempat kerja

yang dapat dijadikan suatu bidang modal usaha salah satu contohnya adalah

pertambangan.

Pertambangan di Kalimantan selatan merupakan propinsi yang kaya akan

pertambangan salah satunya adalah intan di pertambangan rakyat di Kecamatan

Cempaka Kota Banjarbaru. Tambang rakyat merupakan tambang yang secara

turun – menurun dikerjakan oleh masyarakat atau penduduk setempat baik

secara perorangan maupun secara kelompok dengan manajemen secara

tradisional. Aktivitas yang dilaksanakan oleh masyarakat di Kecamatan

Cempaka ini adalah kegiatan penambangan batu, pasir, emas, batubara dan

intan. Salah satu pertambangan intan yang masih ada sampai saat ini adalah

pertambangan rakyat intan masyarakat Cempaka (Yustinus SB, 2008).

Penambangan rakyat intan dahulu dilakukan secara tradisional dengan

jumlah penambangan yang terbatas. Dalam perkembangan selanjutnya,

penambangan intan ini menarik orang lain (bukan penduduk sekitar kecamatan

Page 14: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

2

Cempaka) untuk ikut melakukan kegiatan penambangan, mengingat harga dari

butiran intan sangat mahal, dengan banyaknya kegiatan tersebut maka semakin

banyak mesin dumping yang digunakan sehingga menimbulkan kebisingan.

Menurut As’ad (2005), seiring dengan meningkatnya perkembangan tersebut,

membawa dampak negatif bagi kehidupan manusia yang salah satunya adalah

terhadap gangguan pendengaran. Dari dampak negatif tersebut dapat diartikan

bahwa sistem keamanan dari kegiatan pertambangan masih belum memadai.

Keamanan bagi pekerja penambangan intan rakyat ini sangat riskan

sekali dan pekerja rentan terhadap risiko keselamatannya. Hal ini karena

standar keamanan serta keselamatan bagi pekerja memang kurang, bahkan

dapat dikatakan tidak ada. Akibatnya, persentase kemungkinan terpaparnya

kebisingan di pertambangan rakyat intan masih sangat besar.

Kebisingan di industri pertambangan adalah semua bunyi yang tidak

dikehendaki dan mengganggu bagi para pekerja di area industri. Kebisingan

industri dapat disebabkan mesin yang beroperasi, dan kendaraan yang berlalu

di area tersebut. Kebisingan di industri (Keputusan Menteri Tenaga Kerja.

Nomor: Kep-51/MEN/1999). Kategori ini dibedakan atas waktu paparan

kebisingan yang diterima oleh pekerja di area industri. Semakin tinggi paparan

kebisingan yang diterima maka waktu yang diijinkan untuk menerimanya

semakin sebentar, dimulai dengan 85 dBA dengan waktu maksimal paparan

delapan jam, sampai 118 dBA dengan waktu maksimal paparan 14,06 detik.

Meninjau kondisi tingkat kebisingan yang melebihi batas ambang maksimal

waktu paparan delapan jam sehari, maka diperlukan upaya pengendalian

Page 15: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

3

paparan kebisingan yang bertujuan menjaga pekerja dari gangguan

pendengaran sedini mungkin dari paparan ketika bekerja pada area dengan

tingkat kebisingan yang tinggi (Huboyo H.S,2008).

Banyak kasus yang diteliti akibat kebisingan terhadap pendengaran

antara lain pada penelitian Sholihah Q, Sri H dan Laili K (2006) disebutkan

bahwa nelayan yang mengalami penurunan nilai ambang dengar adalah sebesar

85,71% dari 35 responden. Tidak terdapat hubungan antara lama pajanan

dalam jam dan mingguan terhadap penurunan nilai ambang dengar nelayan

(p>0,05) sedangkan lama pajanan per tahun mempengaruhi terjadinya

penurunan nilai ambang dengar nelayan (p>0,05) (Sholihah Q dkk, 2006).

Hasil observasi yang dilakukan pada lokasi pertambangan rakyat intan

Cempaka Kelurahan Sungai Tiung Banjarbaru, dalam operasionalnya

menghasilkan bising melebihi Nilai Ambang Batas (NAB) yaitu rata – rata

mencapai 98,8 dB dengan waktu kerja 10 jam perhari dan waktu istirahat

selama 1 jam. Kebisingan tersebut dapat menimbulkan gangguan pendengaran

bagi para penambang intan Cempaka Kelurahan Sungai Tiung Banjarbaru.

Dari uraian tersebut, perlu dilakukan penelitian mengenai hubungan

antara lama pemaparan kebisingan menurut masa kerja dengan keluhan

gangguan pendengaran pada tenaga kerja di pertambangan rakyat intan

cempaka kelurahan sungai tiung Banjarbaru.

Page 16: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

4

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka permasalahan yang

akan diteliti adalah “Apakah Ada Hubungan Antara Lama Pemaparan

Kebisingan Menurut Masa Kerja dengan Keluhan Gangguan Pendengaran Pada

Tenaga Kerja di Pertambangan Rakyat Intan Cempaka Kelurahan Sungai Tiung

Banjarbaru?”.

C. Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara lama

pemaparan kebisingan menurut masa kerja dengan keluhan gangguan

pendengaran pada tenaga kerja di pertambangan rakyat intan cempaka

kelurahan sungai tiung Banjarbaru.

Adapun tujuan khusus penelitian ini dilakukan adalah untuk:

1. Mengukur kebisingan di lingkungan kerja pertambangan rakyat intan

Cempaka Kelurahan Sungai Tiung Banjarbaru.

2. Mendefinisikan gagguan pendengaran yang dialami tenaga kerja.

3. Menganalisis hubungan antara lama pemaparan kebisingan menurut masa

kerja dengan keluhan gangguan pendengaran pada tenaga kerja di

pertambangan rakyat intan cempaka kelurahan sungai tiung Banjarbaru.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat agar dapat

dijadikan sebagai bahan informasi tentang sumber risiko bahaya di lingkungan

Page 17: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

5

kerja, terutama yang berhubungan dengan kebisingan dan bahan masukan

sehingga dapat dilakukan pengarahan dan pembinaan terhadap pekerja dalam

upaya peningkatan kesehatan dan keselamatan kerja.

Page 18: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pertambangan Rakyat

Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-

Ketentuan Pokok Pertambangan, pasal 1 huruf n, menyebutkan: “Pertambangan

rakyat adalah suatu usaha pertambangan bahan-bahan galian dari semua

golongan a, b, dan c, seperti yang dimaksud pada pasal 3 ayat 1, yang dilakukan

oleh rakyat setempat secara kecil-kecilan atau gotong royong dengan alat-alat

sederhana untuk pencarian sendiri.”

Definisi lain tentang pertambangan rakyat dapat kita baca dalam pasal 1

Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 01 P/201/M.PE/1986 tentang

Pedoman Pengelolaan Pertambangan Rakyat Bahan Galian Strategis dan Vital

(Golongan A dan B), adalah: “usaha pertambangan bahan galian strategis

(Golongan A) dan vital (Golongan B) yang dilakukan oleh rakyat setempat yang

bertempat tinggal di daerah bersangkutan untuk penghidupan mereka sendiri

sehari-hari yang diusahakan secara sederhana”.

Dalam definisi pertama, bahan galian yang dapat diusahakan oleh rakyat

setempat adalah bahan galian strategis, vital, dan c, sedangkan dalam definisi

kedua, bahan galian yang dapat diusahakan oleh rakyat setempat adalah bahan

galian strategis dan vital. Apabila kita menggunakan kerangka berpikir tentang

hierarki perundang-undangan, ketentuan yang lebih tinggi adalah ketentuan yang

Page 19: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

7

tercantum dalam UU Nomor 11 Tahun 1967, sedangkan Peraturan Menteri

Pertambangan dan Energi merupakan penjabaran operasional dari UU. Sehingga

tidak boleh bertentangan dengan UU. Walaupun dalam Peraturan Menteri

Pertambangan dan Energi hanya membolehkan untuk mengusahakan bahan galian

strategis dan vital, namun rakyat setempat tidak hanya diberikan ijin untuk

mengusahakan bahan galian strategis dan vital, tetapi dapat juga diberikan ijin

untuk mengusahakan bahan galian.

Dari uraian di atas, dapat dikemukakan unsur-unsur pertambangan rakyat,

yaitu:

1. Usaha pertambangan

2. Bahan galian yang diusahakan meliputi bahan galian strategis, vital, dan

galian c

3. Dilakukan oleh rakyat

4. Domisili di area tambang rakyat

5. Untuk penghidupan sehari-hari

6. Diusahakan dengan cara sederhana

Usaha pertambangan merupakan usaha melakukan kegiatan eksplorasi,

eksploitasi, produksi, pemurnian dan penjualan. Bahan galian strategis (golongan

a) merupakan bahan galian untuk kepentingan pertahanan keamanan serta

perekonomian Negara. Sedangkan bahan galian untuk kepentingan pertahanan

keamanan serta perekonomian Negara. Sedangkan bahan galian vital, yaitu bahan

galian yang lazim disebut dengan galian c.

Page 20: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

8

Pertambangan rakyat dilakukan oleh rakyat, artinya petambangan itu

dilakukan oleh masyarakat yang berdomisili di area pertambangan rakyat.

Sementara itu, tujuan kegiatannya adalah untuk meningkatkan kehidupan

masyarakat sehari-hari. Usaha pertambangan rakyat dilakukan secara sederhana,

artinya kegiatan pertambangan itu dengan menggunakan alat-alat sederhana. Jadi,

tidak menggunakan teknologi canggih, sebagaimana halnya dengan perusahaan

pertambangan yang mempunyai modal besar dan memakai teknologi canggih.

a. Landasan Hukum Pertambangan Rakyat

Eksistensi penambangan rakyat diakui secara yuridis, yaitu diatur dalam

pasal 11 UU Nomor 11 Tahun 1967, selanjutnya ketentuan ini dijabarkan lebih

lanjut dalam:

1. Pasal 5 sampai Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996

tentang Pelaksanaan UU No 11 Tahun 1967.

2. Pasal 2 dan Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2001 tentang

Perubahan kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996.

3. Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 01

P/201/M.PE/1986 tentang Pedoman Pengelolaan Pertambangan Rakyat

Bahan Galian Strategis dan Vital (Golongan A dan B).

4. Surat Edaran Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 223

E/201/M.DJP, perihal Pertambangan Rakyat Galian Strategis dan Vital

(Golongan A dan B).

Page 21: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

9

Surat edaran ini berisi himbauan kepada Gubernur untuk dapat

melaksanakan Peraturan Menteri Pertambangan dan energy Nomor 01

P/201M.PE/1986 tentang Pedoman Pengelolaan Pertambangan Rakyat Bahan

Galian Strategis dan Vital (Golongan A dan B). Hal ini bertujuan untuk:

1. Mencegah adanya penambangan oleh rakyat secara lair dengan sistem

penambangan yang merusak keseimbangan lingkungan.

2. Menghilangkan sistem ijon.

3. Mengarahkan dan membina dalam wadah koperasi pertambangan rakyat

atau KUD.

4. Agar diketahui, bahwa suatu pertambangan rakyat hanya dapat

dilaksanakan oleh rakyat setempat dengan cara sederhana. Peralatan

serta mesin yang digunakan berkekuatan maksimal 25 PK serta dilarang

menggunakan alat berat dan bahan peledak.

Pada umumnya, penambang rakyat menggunakan perlatan yang sederhana

dalam melakukan eksploitasi terhadap bahan galian, karena keterbatasan modal

yang mereka miliki.

b. Kuasa Pertambangan Rakyat

Kuasa pertambangan rakyat merupakan kuasa yang diberikan kepada rakyat

setempat untuk melakukan usaha pertambangan. Usaha penambangan yang

diberikan kepada rakyat setempat meliputi kegiatan; penyelidikan umum,

eksplorasi, eksploitasi, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan

(Pasal 2 Ayat 3 PP No 75 Tahun 2001):

Page 22: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

10

Kuasa pertambangan rakyat penyelidikan umum, merupakan kuasa

pertambangan yang diberikan kepada masyarakat setempat untuk melakukan

penyelidikan secara geologi umum dengan maksud untuk menetapkan tanda-

tanda adanya bahan galian pada umumnya.

Kuasa pertambangan eksplorasi, merupakan wewenang (kuasa) yang diberikan

kepada pejabat berwenang untuk menetapkan lebih teliti/seksama kebenaran

letak serta sifatnya, dalam kaitannya dengan penyelidikan geologi

pertambangan.

Kuasa pertambangan rakyat eksplorasi, merupakan kuasa pertambangan untuk

menghasilkan bahan galian dan memanfaatkannya.

Kuasa pertambangan rakyat pengolahan dan pemurnian, merupakan kuasa

pertambangan untuk mempertinggi mutu bahan galian serta untuk

memanfaatkan dan memperoleh unsur yang terdapat pada bahan galian itu.

Kuasa pertambangan rakyat pengangkutan dan penjualan, merupakan kuasa

pertambangan untuk memindahkan serta menjual bahan galian hasil

pengolahan dan pemurnian dari daerah eksplorasi atau tempat pengolahan atau

pemurnian.

c. Perijinan Pertambangan Rakyat

Hal yang sangat penting dalam penertiban pertambangan rakyat adalah

tentang perijinan. Ini perlu dilakukan agar dapat mengetahui komitmen para

penambang dalam melakukan aktivitasnya melalui perijinan setempat.

Page 23: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

11

a) Pejabat yang Berwenang Menertibkan Keputusan Ijin Pertambangan Rakyat

Pasal 5 PP Nomor 32 Tahun1969 tentang Pelaksanaan UU Nomor 11 Tahun

1967, telah ditentukan, bahwa permintaan ijin pertambangan rakyat diajukan

kepada menteri. Namun, menteri dapat menyerahkan pelaksanaan permintaan ijin

pertambangan rakyat kepada gubernur. Dengan adanya pelimpahan wewenang,

pejabat yang berwenang untuk menetapkan ijin pertambangan rakyat adalah

gubernur.

Sejak bergulirnya otonomi daerah, kewenangan gubernur dalam penetapan

ijin pertambangan rakyat telah dialihkan kepada bupati/walikota. Hal ini dapat

dikaji dari ketentuan Pasal 2 Ayat 3 PP Nomor 32 Tahun 1969, yang menetapkan:

“Surat Keputusan Ijin Pertambangan Rakyat adalah Kuasa Pertambangan

yang diberikan oleh bupati/walikota kepada rakyat setempat untuk melaksanakan

usaha pertambangan secara kecil-kecilan dan dengan luas wilayah yang sangat

terbatas, melalui tahap kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, eksploitasi,

pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan”.

Dalam ketentuan ini tidak hanya diatur tentang pejabat yang berwenang

untuk menertibkan ijin pertambangan rakyat, tetapi juga meliputi tahap-tahap

aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat setempat. Tahapan kegiatan itu meliputi

tahap-tahap aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat setempat. Tahapan kegiatan

itu meliputi penyellidikan umum, eksplorasi, eksploitasi, pengolahan dan

pemurnian, pengangkutan dan penjualan.

Page 24: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

12

b) Prosedur dan Syarat dalam Memperbaiki Kuasa Pertambangan Rakyat.

Persyaratan dalam mengajukan ijin pertambangan rakyat telah diatur dalam

Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 01 P/201/M.PE/1986 tentang

Pedoman Pengelolaan Pertambangan Rakyat Bahan Galian Strategis dan Vital

(Golongan A dan B) pasal 16, yaitu:

1. Keterangan wilayah usaha pertambangan rakyat yang bersangkutan

dengan peta situasi dengan batas-batas secara jelas.

2. Penjelasan tentang riwayat usaha petambangan yang bersangkutan.

3. Penjelasan tentang tata guna tanah dan surat keterangan tidak keberatan

dari pemilik tanah.

4. Penjelasan tentang penduduk setempat sebagai peserta dalam usaha

pertambangan rakyat atau kelompok pertambanhan rakyat.

5. Jenis bahan galian yang diusahakan.

6. Alat-alat yang digunakan untuk menambang.

Pada Pasal 5 PP Nomor 75 Tahun 200, telah ditentukan prosedur dan

persyaratan untuk mengajukan permintaan ijin pertambangan rakyat. Untuk

mendapatkan ijin pertambangan rakyat, maka yang bersangkutan harus

mengajukan permohonan kepada bupati/walikota dengan menyampaikan

keterangan tentang:

1. Wilayah yang akan diusahakan.

2. Jenis bahan galian yang akan diusahakan.

Page 25: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

13

Apabila dibandingkan persyaratan yang akan diajukan oleh Pasal 5 PP

Nomor 75 Tahun 2001 diatas, maka persyaratan yang diajukan oleh Peraturan

Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 01 P/201/M.PE/1986 sangat birokratis.

Persyaratan ini sulit untuk dapat dipenuhi oleh masyarakat setempat, karena

mereka tidak mempunyai keahlian dalam membuat peta situasi. Hal yang

dipikirkan oleh masyarakat adalah bagaimana mereka dapat menambang dengan

cepat dan menghasilkan bahan galian, yang kemudian bahan galian tersebut dijual

untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Akan tetapi, persyaratan yang tercantum pada pasal 5 PP nomor 75 Tahun

2001 sangat sederhana. Masyarakat setempat akan merasa dimudahkan dalam

memenuhi persyaratan tersebut. Dalam permohonan penambangan,

masyarakatcukup menyampaikan kepada bupati/walikota tentang wilayah yang

akan diusahakan serta jenis bahan galian yang akan diusahakan. Biasanya bahan

galian yang akan ditambang oleh masyarakat lokal adalah bahan galian emas serta

intan. Bahan galian ini mempunyai nilai ekonomis yang tinggi dan cara

pengelolaannya sangat sederhana.

c) Luas Wilayah Pertambangan Rakyat

Luas wilayah ijin pertambangan rakyat yang diberikan kepada masyarakat

diatur dalam Pasal 13 dan pasal 17 Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi

Nomor 01 P/201/M.PE/1986 tentang Pedoman Pengelolaan Pertambangan Rakyat

Bahan Galian Strategis dan Vital (Golongan A dan B).

Page 26: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

14

Dalam Pasal 13 diatur tentang luas maksimal wilayah pertambangan rakyat

yang diberikan kepada masyarakat atau kelompok masyarakat dan luas wilayah

pertambangan sungai. Luas maksimal satu wilayah pertambangan rakyat adalah

15 ha. Sementara itu, luas wilayah pertambangan sungai cukup diukur atau

ditetapkan menurut panjang dan lebar sungai.

Selanjutnya, pada pasal 17 telah diatur luas wilayah untuk:

1. Satu ijin pertambangan rakyat.

2. Perorangan.

3. Kelompok masyarakat.

4. Kopersai.

Luas wilayah untuk satu ijin pertambangan rakyat diberikan maksimal 5 Ha.

Jumlah ijin pertambangan rakyat yang diberikan kepada perorangan hanya untuk

satu ijin pertambangan, sedangkan luas wilayah pertambangan rakyat yang

diberikan kepada perorangan maksimal seluas 5 Ha. Bagi masyarakat setempat

hanya diberikan satu ijin pertambangan rakyat dengan luas maksimal 5 Ha. Bsgi

koperasi dapat diberikan 5 (lima) ijin pertambangan rakyat, dengan luas maksimal

25 Ha.

d) Jangka Waktu Ijin Pertambangan Rakyat

Pasal 5 Ayat 4 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 75 Tahun

2001 telah diatur tentang jangka waktu ijin pertambangan rakyat. Dalam pasal

tersebut telah ditentukan, bahwa ijin pertambangan rakyat diberikan untuk jangka

waktu paling lama 5 (lima) tahun. Jika diperlukan, ijin tersebut dapat diperpanjang

Page 27: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

15

untuk jangka waktu/periode yang sama. Jangka waktu yang diberikan kepada

pemegang ijin pertambangan tidak terbatas.

e) Berakhirnya Ijin Pertambangan Rakyat

Berakhirnya ijin pertambangan adalah tidak berlakunya ijin pertambangan

rakyat yang diberikan oleh pejabat yang berwenang. Berakhirnya ijin

pertambangan rakyat dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu sudah habis mas

waktunya serta dicabut (Pasal 18 Pertaraturan Menteri Pertambangan dan Energi

nomor 01 P/201/M.PE/1986).

Di dalam Surat Ijin Pertambangan Rakyat, telah ditentukan jangka waktu

ijin pertambangan rakyat. Jangka waktu ijin pertambangan rakyat. Misalnya, jika

ijin yang diberikan oleh bupati/walikota ditetapkan pada tanggal 01 Juni 2005,

maka berakhirnya ijin pertambangan rakyat pada tanggal 01 Mei 2010. Namun,

apabila ijin pertambangan itu diperpanjang, maka jangka waktu kegiatan

pertambangan adalah sampai 2015.

Berakhirnya ijin karena dicabut adalah tidak berlakunya lagi ijin

pertambangan rakyat yang diberikan kepada orang, kelompok atau koperasi yang

disebabkan oleh beberapa alasan, yaitu meliputi:

1. Kondisi penambangannya membahayakan bagi lingkungan hidup dan

keselamatan masyarakat setempat.

2. Terjadinya persengketaan tentang hak milik tanah yang tidak dapat

diselesaikan.

Page 28: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

16

3. Tidak memenuhi petunjuk-petunjuk maupun persyaratan yang telah

diberikan oleh pejabat yang berwenang.

4. Endapan bahan galian sudah habis atau sudah sulit didapat.

5. Untuk kepentingan negara.

Pencabutan ijin pertambangan rakyat untuk kepentingan negara merupakan

pencabutan yang dilakukan oleh pejabat berwenang. Wilayah pertambangan

rakyat itu digunakan untuk kepentingan yang lebih besar dan menguntungkan

negara. Misalnya, wilayah pertambangan rakyat ditingkatkan statusnya, dari

pertambangan rakyat menjadi wilayah kontrak karya atau perjanjian

pertambangan batubara.

a. Limbah Pertambangan Rakyat

Hasil tambang merupakan suatu komoditi yang mempunyai nilai ekonomis

yang sangat tinggi. Sejak jaman dahulu orang-orang selalu berusaha untuk

mendapatkan dan memanfaatkan sumber daya alam. Tempat dan daerah yang

mengandung sumber daya alam selalu dikejar oleh penambang untuk melakukan

kegiatan eksploitasi. (Rahmi,1995). Menggolongkan bahan-bahan galian sebagai

berikut:

Galian A : Merupakan bahan galian strategis, yaitu strategis untuk

perekonomian negara serta pertahanan dan keamanan negara.

Contoh: minyak bumi, batubara, uranium dan lain-lain.

Galian B : Merupakan bahan galian vital, yaitu dapat menjamin hajad

hidup orang banyak. Contoh: besi, tembaga, emas, perak dan

Page 29: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

17

lain-lain.

Galian C : Bukan merupakan bahan galian strategis ataupun vital, karena

sifatnya tidak langsung memerlukan pasaranyang bersifat

internasional. Misalnya: marmer, batu kapur, tanah liat, pasir,

yang sepanjang tidak mengandung unsur mineral.

Selanjutnya disebutkan bahwa di dalam merencanakan suatu penambangan harus

memperhatikan beberapa faktor berikut ini:

- Keuntungan yang diinginkan oleh perusahaan. Hal ini karena masing-

masing perusahaan mempunyai perbedaan dalam menargetkan keuntungan

yang diperoleh.

- Jumlah dan umur tambang yang akan menentukan jumlah produksi

- Ukuran dan batas maksimum dari kedalaman tambang pada akhir

operasinya.

- Kemiringan tebing (bench), dengan bantuan dana tentang ukuran dan batas

maksimum dari kedalaman pada akhir operasi, maka kemiringan tebing

dapat diperkirakan berdasarkan data fisik bantuan.

- “Sripping Ratio”. Dalam mendesain, perlu ditentukan barapa luas daerah

kuasa pertambangan yang diminta dan berapa banyak “overburden” uang

dibuang.

- “Cut of Grade”. Kadar terendah yang masih memberikan keuntungan

apabila dieksploitasi.

Limbah penambangan rakyat merupakan buangan dari proses pencucian

atau penyemprotan yang mengandung bahan-bahan organik dan anorganik.

Page 30: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

18

Limbah dari penambangan terdiri dari air, batu, kerikil, pasir, tanah dan lain-lain.

Sedangkan hasil dari pencucian atau penyemprotan adalah berupa pasir atau

lumpur.

Tambanga rakyat yang ada di wilayah penelitian terdiri dari tambang intan,

dan batu pasir. Jumlah penambang yang ada di sekitar lokasi akan mempengaruhi

kualitas ir. Semakin tinggi aktivitas penambangan akan mengakibatkan semakin

rendahnya kualitas perairan. Prediksi hubungan antara jumlah penambang dengan

kualitas perairan adalah sebagai fungsi berikut:

Gambar 2.1 Fungsi (x) Hubungan antara Jumlah Penambang vs Kualitas Perairan

(Rahmi, 1995)

Dari gambar di atas dapat diprediksi bahwa semakin kekanan jumlah

penambang semakin banyak, maka kualitas perairan akan semakin menurun

(dalam asumsi semua penambang bekerja).

Page 31: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

19

Pada umumnya pencemaran yang sering terjadi pada perairan tawar,

ditimbulkan oleh masalah masuknya berbagai substansi padatan maupun cair

sebagai hasil aktivitas manusia (Dix dalam Sofarini, 1999). Limbah cair dari suatu

kegiatan lingkungan masyarakat dan terutama terdiri dari air yang telah

dipergunakan dengan hampir 0,1% padanya berupa benda-benda padat terdiri dari

zat organik dan anorganik. Limbah cair adalah benda berbentuk cair yang

mengandung padatan, senyawa/larutan yang dihasilkan di dalam suatu proses

pencucian, pemurnian dan atau pengolahan lainnya, bukan merupakan produk

tujuan dari proses itu.

Besarnya konsentrasi padatan, senyawa/larutan tersebut dapat dijadikan

acuan untuk mengetahui berbahaya atau tidaknya limbah bagi lingkungan. Untuk

itu perlu dilakukan analiasis air. Beberapa kategori kegiatam yang memerlukan

analisis kualitas air yaitu:

Limbah penambangan

Pertanian (termasuk analisis

kesuburan tanah)

Aquakultur

Industri

Kolam

Fishing

Air limbah apapun

Pengoksidan air

Ekologi air, limnologi

Mutu air berbagai bidang

b. Dampak Pasca Tambang

Kegiatan penambangan rakyat dapat mempengaruhi sifat fisika, kimia serta

biologi tanah maupun air, malalui pengupasan tanah lapisan atas, penambangan,

Page 32: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

20

pencucian serta pembuangan tailing. Di lokasi tambang terbuka misalnya,

kegiatan penambangan mengakibatkan hilangnya atau bepindahnya tanah,

sedangkan di lokasi pembuangan tailing adalah tertimbunnya tanah asli dngan

tailing. Dengan demikian sifat tanah asli/semula berupa menjadi sifat tanah tailing

(Rahmi, 1995).

Sistem penambangan rakyat di wilayah Banjarbaru adalah menggunakan

sistem “dumping”, yaitu suatu cara penambangan dengan mengupas tanah

permukaan yang kemudian dilanjutkan dengan penggalian, namun setelah selesai

penambangan, lapisan tanah atas (top soil) tidak dikembalikan ke tempat asalnya.

Secara fisik, keadaan lokasi bekas tambang sangat buruk, berupa lubang-lubang

besar mirip seperti danau dan dikelilingi tumpukan-tumpukan tanah bekas galian,

seperti bukit-bukit kecil yang tidak beraturan. Dengan kondisi demikian, apabila

bekas areal tambang tersebut dimanfaatkan sebagai lahan pertanian, maka sangat

sulit dalam pengelolaannya. Untuk mengembalikan kualitas bekas areal sehingga

dapat dijadikan lahan pertanian memerlukan investasi yang sangat besar, yang

sebenarnya kewajiban penambang.

Penambangan rakyat yang tidak memperhatikan aspek lingkungan akan

menyebabkan terancamnya daerah sekitarnya dari bahaya erosi dan tanah longsor

sebagai hilangnya vegetasi penutup tanah. Pembongkaran lahan secara besar-

besaran juga menyebabkan terjadinya perubahan benatng alam (morfologi dan

topografi), yaitu perubahan sudut panjang dan bentuk lereng. Pengupasan,

penimbunan tanah penutup dari penggalian sumber daya alam menimbulkan

Page 33: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

21

perubahan pada drainase, debit air sungai dan kualitas permukaan pada saat hujan.

Menurut (Rahmi,1995), aspek tersebut adalah:

a. Aspek Hidrologi

Pada musim hujan mata air keluar dibanyak tempat pada lembah-lembah di

kaki bukit, tetapi pada musim kemarau sebagian besar dari mata air tersebut

kering karena di sepanjang bukit sebagian besar sudah gundul. Pada beberapa

lembah yang agak dalam dan datar sering ditemukan rawa atau genangan air yang

cukup besar terutama di musim hujan. Genangan-genangan tersebut mempunyai

kenampakan air yang bermacam-macam, dengan warna coklat karena keruh,

warna hijau kebiruan sampai warna merah. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas

air di dalam kolam-kolam tersebut juga beragam.

b. Aspek Geologi

Tumpukan batuan penutup (overurden) yang dibiarkan tertumpuk secara

tidak teratur sekitar bukaan tambang megahsilkan bukit-bukit kecil dan lubang-

lubang. Demikian juga bekas bukaan yang tidak ditutup kembali juga akan

menghasilkan lubang yang akan terisi oleh air hujan. Kenyataan di lapangan yang

banyak terdapat kolam berisi air hujan mengindikasikan bahwa timbunan tanah

bekas galian bersifat kedap air, serapan air hujan untuk membentuk sistem air

tanah sangat kecil.

c. Erosi Tanah

Erosi tanah bersifat permanen dan merupakan salah satu dampak utama dari

aktivitas penambangan. Erosi tanah menimbulkan dampak lanjutan yaitu

menurunnya kesuburan tanah di lahan terbuka sekitar lubang tambang dan

Page 34: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

22

sedimentasi sungai. Sedimen hasil eosi tanah diangkut oleh aliran air larian

(runoff) masuk ke dalam sungai pada ujung tekuk lereng dalam daerah tadah

(catchment area).

d. Longsoran Tanah

Longsoran overburden dan waste rock dapat menimbulkan dampak lanjutan

berupa sedimentasi sungai. Karena jumlah overburden dan waste rock cukup

banyak. Hal ini berdampak negatif terhadap lingkungan yang bersifat permanen.

e. Sedimantasi Sungai

Sedimentasi dari longsoran dan erosi tanah dapat terbawa oleh air larian

yang masuk ke dalam sungai. Meskipun longsoran dan erosi tanah merupakan

dampak yang signifikan, tetapi sedimentasi belum tentu mempunyai dampak yang

signifikan. Sedimentasi sungai selain ditentukan oleh jumlah sedimentasi yang

masuk kedalam sungai, namun juga ditentukan oleh faktor-faktor hidrologi

sungai, seperti kecepatan arus, pola arus sungai, kelandaian dasar sungai dan

morfologi dasar sungai.

f. Gangguan Estetika Lahan

Kegiatan pertambangan pada umumnya dilakukan dengan penambangan

terbuka. Lokasi kegiatannya berderet-deret di daerah perbukitan yang memberikan

pemandangan deretan lahan terbuka berwarna coklat, kontras dengan daerah

bervegetasi yang nampak hijau. Perubahan bentuk lahan dan kerusakan lahannya

nampak jelas dari kejauhan yang terlihat jelas karena letaknya yang cukup tinggi.

Hal ini akan menimbulkan gangguan terhadap estetika lahan yang harmonis.

Page 35: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

23

g. Pencemaran Air

Pencemaran air baik terhadap air permukaan maupun air tanah dapat terjadi

karena adanya air lindian (leachate) dari timbunan limbah, serta dari genangan di

lubang tambang. Pencemaran pada badan sungai akan mempengaruhi kualitas air.

Parameter kualitas air yang mungkin akan terganggu akibat aktivitas

penambangan rakyat adalah : oksigen terlarut (Disolve Oxigen/DO), derajat

keasaman (pH), kekeruhan, padatan tersuspensi (Total Suspended Solid/TSS), besi

(Fe).

c. Kewajiban Rehabilitasi Lahan

Kewajiban untuk memulihkan lingkungan yng tercemar akibat kegiatan

pertambangan dan mengembalikan dalam konteks rehabilitasi adalah usaha yang

hukumnya wajib bagi kegiatan/usaha pertambangan pada saat kegiatan

pertambangan tersebut berakhir. Rehabilitasi tidak dimaksudkan mengembalikan

deposit mineral yang ditambang, tetapi suatu kegiatan dalam usaha

mengembalikan rona lingkungan fisik (terutama pada bentang lahan yang

dirusak). Upaya ini dilakukan untuk mengembalikan secara ekologis ataupun

difungsikan menurut rencana peruntungan lainnya adalah untuk melakukan

pemantauan dari lahan pasca tambang termasuk pada sistem pengelolaan B3, yang

potensi dampaknya akan muncul dan terukur dalam jangka waktu yang panjang.

Dengan demikian pertanyaannya adalah, bagaimana hal ini diatur dan

disepakati dalam rambu-rambu hukum yang pasti, dengan tanpa mengingkari

prinsip-prinsip kelestarian lingkungan. Misalnya, berapa lamakah kewajiban

Page 36: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

24

untuk melakukan pasca tambang dan siapa yang harus membiayai dan melakukan

pengawasannya. Mining closure siapa yang membuat dan apakah sudah

diperbincangkan dan disosialisasikan pada “publik”?? nampak hal ini lah yang

harus diformulasikan dengan sekligus menjawab persoalan otonomi, transparansi

penegelolaan dan tanggung jawab hukum pada publik dan masyarakat terutama

masyarakat tambang.

Kewajiban pasca tambang yang bersifat fisik mempunyaidimensi ekonomi

dan sosialyang sangat tinggi dan berpotensi menimbulkan konflik pada

masyarakat dengan pemerintah dan juga dengan usaha pertambangan. Pengelolaan

pasca tambangan bukan semata persoalan fisik, tetapi lebih dari itu, pada

persoalan political will pemerintah untuk meregulasi secara benar dengan

menganut kaidah lingkungan. Kemudian mengimplementasikannya dengan

mengedepankan kepentingan masyarakat lokal dan mengacu pada falsafah

ekonomi dan sosial serta akuntabilitas yang dapat dipercaya.

d. Kebijakan Publik dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup

Berkaitan dengan good governance, Mardiasmo (2002) mengemukakan

bahwa orientasi pembangunan sektor publik adalah untuk menciptakan good

governance, di mana pengertian dasarnya adalah ke pemerintahan yang baik.

Kondisi ini berupaya untuk menciptakan suatu penyelenggaraan manajemen

pembangunan yang solid dan bertanggung jawab sejalan dengan prinsip

demokrasi, efisiensi, pencegahan penyimpangan baik secara politik maupun

administratif.

Page 37: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

25

2.5.1 Konsep Good Govenance pada Pengelolaan Lingkungan Hidup

Berkaitan dengan good governance, , Mardiasmo (2002) mengemukakan

bahwa orientasi pembangunan sektor publik adalah untuk menciptakan good

governance, di mana pengertian dasarnya adalah ke pemerintahan yang baik.

Kondisi ini berupaya untuk menciptakan suatu penyelenggaraan manajemen

pembangunan yang solid dan bertanggung jawab sejalan dengan prinsip

demokrasi, efisiensi, pencegahan penyimpangan baik secara politik maupun

administratif.

Tuntutan reformasi mengharuskan aparatur negara untuk mewujudkan

administrasi negara yang mempu mendukung kelancaran dan keterpaduan

pelaksanaan tugas dan fungsi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan

menurut prinsip good governance. Karakteristik good governance adalah:

1. Participation. Setiap warga negara mempunyai suara dalam pembuatan

keputusan, baik secara langsung maupun melalui intermediasi institusi

legitimasi yang mewakili kepentingannya.

2. Rule of Law. Kerangka hukum harus adil dan dilaksanakan tanpa pandang

bulu, terutama hukum hak asasi manusia.

3. Transparency. Transparansi yang dibangun atas kebebasan arus informasi.

4. Responsivenes. Setiap lembaga dan proses penyelenggaraan pemerintahan

dan pembangunan harus mencoba untuk melayani setiap stakeholder.

Page 38: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

26

5. Consesus Orientation. Good Governance menjadi perantara kepentingan

yang berbeda untuk memperoleh pilihan terbaik bagi kepentingan yang lebih

luas, baik dalam hal kebijakan maupun prosedur.

6. Equity. Semua warga negara mempunyai kesempatan untuk meningkatkan

atau menjaga kesejahteraan mereka.

7. Effectiveness and Efficiency. Lembaga-lembaga serta prosesnya,

menghasilkan produk yang sesuai dengan apa yang telah digariskan dengan

menggunakan sumber-sumber yang tersedia sebaik mungkin.

8. Accountability. Para pembuat keputusan dalam pemerintahan, sektor swasta

dan masyarakat bertanggung jawab kepada publik dan lembaga stakeholders.

Kedelapan karakteristik good governance dapat dianalogikan juga menjadi

karakteristik setiap pemerintahan daerah yang diperlukan dalam penyelenggaraan

ontonomi daerah berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004. Dengan kata lain dapat

dikatakan bahwa dalam pelaksanaan otonomi daerah diperlukan sumber daya

manusia aparatur pemerintah daerah memiliki karakteristik yang mampu

mewujudkan karakteristik good governance.

Dengan demikian keterkaitan penerapan asas good governance dengan

efektivitas pengololaan kebijakan lingkungan hidup sangat erat. Hal ini karena

pemerintah daerah akan secara konsisten, transparan dan akuntabel dalam

mempertanggungjawabkan semua program kerja yang ada, termasuk program

lingkungan hidup yang layak bagi semua habitat yang ada sehingga keberlanjutan

pelaksanaan pembangunan secara luas akan telaksana.

Page 39: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

27

Pencapaian tujuan pengelolaan lingkungan hidup akan tercapai jika semua

stakeholder termasuk juga masyarakat dilibatkan secara intensif, karena

masyarakat memiliki pola penyelesaian masalah maupun komitmen untuk terlibat

dalam pelaksanaan pembangunan secara luas. Substansi lingkungan hidup beserta

dampak pengelolaannya secara langsung berakibat pada masyarakat, maka

keterlibatan masyarakat akan mempermudah penyelesaian masalah yang timbul

dari berbagai kegiatan pembangunan yang berkaitan dengan pengelolaan

lingkungan hidup.

2.5.2 Kebijakan Lingkungan Hidup dalam Instrumen Kebijakan Publik

Menurut Anderson dalam Winarno (1989), kebijakan pada dasarnya adalah

arah tindakan yang mempunyai maksud dan tujuan, ditetapkan oleh seorang aktor

atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah atau suatu perubahan.

Selanjutnya Anderson memberikan gambaran bahwa suatu permasalahan baru

akan menjadi permasalahan kebijakan (polocy problem), bila problem-problem itu

dapat membangkitkan orang banyak untuk melakukan tindakan terhadap

problema-problema tersebut.

Masalah pencemaran lingkungan misalnya, merupakan problem yang

mempunyai akibat luas termasuk dapat mengenai orang secara tidak langsung

terlibat. Sehubungan dengan hal itu, maka langkah pertama yang harus dilakukan

adalah mengidentifikasi problem yang timbul kemudian dirumuskannya. Untuk

itu problem tersebut harus terlebih dahulu dalam agenda pemrintah.

Page 40: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

28

Hubungan antara kebijakan publik dengan kebijakan lingkungan hidup

dalam implementasinya digambarkan oleh Dunn (2001) adalah sebagai berikut:

Gambar 2.2 Bagan / Kerangka Pemikiran Implementasi Kebijakan

(Dunn, dalam Tangkillsan, 2004).

Berdasarkan bagan/kerangka pemikiran dihubungkan dengan permasalahan

yang dianalisis sebagai berikut:

a. Public Policy, merupakan rangkaian pilihan yang harus saling

berhubungan (termasuk keputusan-keputusan untuk tidak bertindak) yang

dibuat oleh badan dan pejabat pemerintah. Kemudian diformulasikan

dalam bidang-bidang mulai dari pertahanan, energi, kesehatan sampai

pendidikan, kesejahteraan dan kejahatan. Pada salah satu isu bidang

tersebut terdapat banyak isu kebijakan, yaitu serangkaian arah tindakan

pemerintah yang aktual dan potensial yang mengandung konflik di antara

segmen-segmen yang ada dalam masyarakat.

b. Policy stakeholder, yaitu para individu dan atau kelompok individu yang

mempunyai andil dalam kebijakan karena mereka mempengaruhi dan

Page 41: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

29

dipengaruhi oleh keputusan pemerintah. Pelaku kebijakan (misalnya

kelompok warga negara, perserikatan birokrasi partai politik, agen-agen

pemerintah, pimpinan terpilih dan para analis kebijakan.

c. Policy Environment, problem-problem di sekeliling isu kebijakan yang

terjadi dipengaruhi dan mempengaruhi oleh pembuatan kebijakan dan

kebijakan publik. Oleh karena itu, sistem kebijakan berisi proses yang

bersifat dialiktis, berarti bahwa dimensi obyektif dan subyektif dari

pembuatan kebijakan tidak terpisahkan di dalam prakteknya. Sistem

kebijakan adalah produk manusia yang subyektif, diciptakan melalui

pilihan-pilihan yang sadar oleh para pelaku kebijakan. Sistem kebijakan

bersifat obyektif yang dimanifestasikan dalam tindakan yang terkontrol

berikut konsekuensinya. Para pelaku kebijakan merupakan produk dari

sistem kebijakan.

Gambar 2.3 Sistem Kebijakan Publik (Tangkillisan, 2004)

a. Input, sumber daya-sumber daya yang digunakan sebagai ujung tombak

dalam proses administrasi maupun organisasi pelaksana.

Page 42: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

30

b. Process, merupakan interaksi antar kator, yakni antara instansi teknis

sebagai pelaksana dengan pengusaha serta masyarakat.

c. Output, yaitu hasil yang diharapkan memberikan dampak positif kepada

pemerintah dan masyarakat sebagai penerima manfaat.

1. Konsep Efektivitas Implementasi Kebijakan Lingkungan

Menurut Halim (2001), keberhasilan pembangunan daerah adalah adanya

peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik,

kehidupan sosial ekonomi yang semakin maju, keadilan, pemerataan, serta adanya

hubungan yang serasi atar unit-unit pemerintah daerah melalui kepemimpinan

daerah yang kuat. Keadaan tersebut hanya akan tercapai apabila lembaga sektor

publik dikelola dengan memperhatikan konsep efektivitas. Konsep efektifitas

tersebut dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

a. Efektivitas pelayanan publik, dalam arti pelayanan tepat sasaran.

b. Meningkatkan mutu pelayanan publik.

c. Biaya pelayanan yang murah karena hilangnya inefisiensi dan

penghematan penggunaan resources.

d. Alokasi belanja yang lebih berorientasi pada kepentingan publik.

e. Menignkatkan public cost awareness sebagai pelaksanaan

pertanggungjawaban publik.

Pemberian otonomi yang luas serta desentralisasi kepada kabupaten dan

kota memberikan jalan begi pemerintah daerah untuk melakukan pembenahan

pengelolaan program pembangunan di daerah. Dalam pengelolaan program

Page 43: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

31

pembangunan daerah, maka pemerintah dituntut untuk melakukan pengelolaan

program pembangunan yang berorientasi pada kepentingan publik (public

oriented). Hal tersebut meliputi tuntutan kepada Pemerintah Daerah untuk

berkinerja secara optimal agar tujuan pembangunan dapat tercapai. Faktor penentu

efektivitas program, menurut Devas, dkk (1989) adalah sebagai berikut:

a. Faktor suber daya manuasia seperti tenaga kerja, kemampuan kerja,

maupun sumber daya fisik seperti peralatan kerja, tempat bekerja serta

dana keuangan.

b. Faktor struktur organisasi, yaitu susunan yang stabil dari jabatan-

jabatan baik struktural maupun fungsional.

c. Faktor teknologi pelaksanaan pekerjaan.

d. Faktor dukungan kepada aparatur dan pelaksanaannya baik pimpinan

maupun masyarakat.

e. Faktor pimpinan dalam arti kemampuan untuk mengkombinasikan

keempat faktor tersebut ke dalam suatu usaha yang berdaya guna dan

berhasil guna untuk mencapai sasaran yang dimaksud.

Dengan demikian efektivitas adalah ukuran berhasil tidaknya pencapaian

tujuan suatu program. Apabila pelaksanaan suatu organisasi mencapai tujuan yang

telah di desain, maka program tersebut telah berjalan dengan efektif. Analisis

kebijakan dari pelaksanaan program dengan rencana dan desain yang telah

dirumuskan.

Page 44: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

32

2. Indikator Efektivitas Implementasi Kebijakan Pengelolaan Lingkungan

a. Kesesuaian target dan realisasi program kerja serta efektivitas

implementasi dari suatu kebijakan, tidak akan lepas dari pembahasan

yang berkaitan dengan tingkat pencapaian tujuan organisasi. Efektivitas

organisasi merupakan keseimbangan atau pendekatan secara optimal

pada pencapaian tujuan, kemampuan dan pemanfaatan tenaga manusia.

Berbicara mengenai kinerja suatu kebijakan, secara otomatis akan

bersentuhan dengan konsep produktivitas yang merupakan rasio

masukan dan keluaran. Sedangkan organisasi publik, produktivitas

dapat diartikan sampai sejauh mana taget yang ditetapkan oleh

organisasi dapat direalisasikan dengan baik. Untuk organisasi Badan

pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (BAPPEDAL),

produktivitas organisasi dapat dilihat sampai sejauh mana pelaksanaan

pengelolaan lingkungan hidup sudah mencapai target yang telah

ditetapkan sesuai mandat yang diterima BAPPEDAL, untuk mengelola

lingkunagn hidup menjadi lebih efektif dan efisien.

b. Kualitas penanganan limbah

Kualitas penanganan limbah merupakan indikator kinerja yang patut

diperhitungkan karena merupakan salah satu misi dari penentuan

kebijakan penanganan lingkungan hidup yang merupakan slaah satu

tugas yang diemban BAPPEDAL di wilayah kerjanya. Kualitas

penanganan limbah akan berkaitan kinberja BAPPEDAL untuk

Page 45: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

33

menekan tingkat pencemaran dan memantau serta menciptakan sistem

pengolahan limbah yang efektif.

c. Persepsi dan respon masyarakat dalam lingkungan hidup

Konsekuensi logis dari analisis stakeholder adalah pembahasan

berhubungan dengan masyarakat yang lebih banyak mengalami dampak

dari suatu aktivitas yang berkaitan dengan lingkungan hidup.

Pencemaran ini terjadi pada aliran sungai misalnya akan berdampak

pada kualitas hidup masyarakat yang masih bergantung pada sungai

sebagai salah satu sumbar penyediaan air yang terpenting. Kejadian

yang berhubungan dengan lingkungan hidup itu akan mempengaruhi

efektivitas implementasi kebijakan tergantung pada persepsi dan

respons masyarakat terhadap peristiwa lingkungan hidup itu. Jika

persepsi atau pengetahuan masyarakat terhadap lingkungan hidup baik,

maka akan terjadi suatu interaksi positif dalam penanganan lingkungan

hidup. Hal ini juga akan berpengaruh terhadap respons dari masyarakat

terhadap dampak negatif pencemaran terhadap kualitas hidupnya.

3. Kebijakan Pemerintah dalam Pengelolaan Lingkungan

a. Kebijakan Nasional

Pembangunan nasional di bidang sumber daya alam dan lingkungan hidup

pada dasarnya merupakan upaya untuk mendayagunakan sumber daya bagi

kemakmuran rakyat. Dalam mendayagunakan sumber daya alam tersebut harus

memperhatikan pelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup,

Page 46: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

34

pembangunan berkelanjutan, kepentingan ekonomi dan budaya masyarakat lokal,

serta penataan ruang. Hal ayng perlu dicermati mengenai persoalan pengelolaan

lingkungan dalam konteks otonomi daerah adalah soal pendayagunaan sumber

daya alam (SDA). Ini penting karena SDA merupakan tumpuan daerah

memperoleh dana (PAD) untuk menyelenggarakan rumah tangganya. Pada sis

lain, pendayagunaan SDA yang semena-mena berpotensi timbulnya berbagai

masalah. Tanpa penagturan SDA, maka kesejahteraan rakyat tidak akan terjamin

karena rentan terjadinya kerusakan lingkungan.

Otonomi daerah pada dasarnya memiliki potensi pemicu konflik lingkungan

antar daerah. Komoditas SDA pada umumnya berasal dari satu wilayah ekosistem

yang di dalamnya tercakup sejumlah provinsi, kabupaten, dan kota. oleh karena

itu, pengelolaan lingkungan perlu dikoordinasi antar wilayah yang berbasis

ekosistem. Untuk mengantisipasi berbagai implikasi otonomi daerah di bidang

lingkungan hidup, maka dibutuhkan pengutan/ pemberdayaan birokrasi (birokrat

daerah), yaitu:

Mempertegas kembali komitmen untuk memberdayakan lembaga

lingkungan di kabupaten/kota, baik dari sis masalah lingkungan yang

mendesak, penetapan program prioritas, lembaga BAPPEDAL, SDM dan

mitra lingkungan.

Implikasi dari penguatan lembaga lingkungan disemua level pemerintah

(pusat, provinsi, kabubpaten/kota), disertai perubahan peran dan

tanggung jawab berdasarkan asas kemitraan yang ditetapkan.

Page 47: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

35

Penguatan BAPPEDAL regional ditekankan pada peran penerjemahan

kebijakan nasional pengelolaan lingkungan, termasuk pngendalian

dampak lingkungan.

Penguatan kelembagaan, SDM, dan kemitran lingkungan dilakukan

berdasarkan konsepsi sinergi, yaitu perwujudan dan kristalisasi berbagai unsur,

aspek organisasi pembelajar, SDM lingkungan yang ahndal dan profesional, dan

membangun jaringan kemitraan lingkungan yang luas. Konsepsi sinergi

dimaksudkan dalam bentuk program aksi yang mencakup kelembagaan, SDM,

dan kemitraan lingkungan, yaitu:

a) Progarm kelembagaan, mecakup antara lain:

Pengembangan konsep penguatan kelembagaan dalam pengelolaan

lingkungan.

Pemantapan organisasi lingkungan, seperti Bappedal dan Bappedal

regional.

Pemantapan lembaga lingkungan di tiap level pemerintahan.

Pemberdayaan dan pembentukan lembaga lingkungan.

Penguatan lembaga lingkungan di semua stakeholder (pemerintah,

swasta dan masyarakat).

b) Program sumber daya manusia (SDM), mencakup:

Pemantapan konsep pengembanagn SDM lingkungan.

Peningkatan profesionalisme SDM lingkungan.

c) Program kemitraan, mencakup:

Pemantapan konsep kemitraan lingkungan.

Page 48: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

36

Pengembangan forum stakeholder.

Pengembangan forum lingkungan.

b. Kebijakan Lokal

Paradigma pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan yang

merupakan kebijakan nasional telah menjadi acuan utama bagi setiap jenis

kegiatan pembangunan daerah. Gukungan terhadap garis kebijakan tersebut

semestinya diberikan dengan lebih memperhatikan aspek pelestarian fungsi

lingkungan hidup. Agar penyelenggaraan pemabngunan di daerah efektif tetap

dalam jalur paradigma tersebut, perlu dipastikan, bahwa pemabngunan itu benar-

benar bersifat aspiratif, dan rendah resikko dan konflik lingkungan. Untuk itu

perlu mendayagunakan segenap potensi sumber daya manusia di daerah,

teridentifikasi memiliki 8 (delapan) peran pokok dalam pengelolaan lingkungan

hidup, agar berperan aktif.

Potensi SDM dimaksud meliputi segenap komponen pengelola lingkungan

hidup yang terdiri adri 8 (delapan) pelaku ;lingkungan hidup (Tangkilisan, 2004),

yaitu:

1. Birokrasi, sebagai fasilitator.

2. Legislatif, sebagai kontrol.

3. Yudikatif, sebagai penegak hukum.

4. LSM, sebagai pendamping.

5. Perguruan Tinggi, sebagai lembaga konsultatif.

6. Pengusaha, sebagai pihak yang bertanggung jawab.

Page 49: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

37

7. Masyarakat, sebagai pihak yang melaksanakan.

8. Tokoh masyarakat, sebagai pemimpin.

Kedelapan pelaku itu disebut Hasta Pelaku Lingkungan Hidup,

dimaksudkan agar pemberdayaan peran pengelola lingkungan hidup dapat lebih

optimal. Sehingga perlu dibentuk Forum komunikasi Hasta pelaku Lingkungan

Hidup.

Pengelolaan lingkungan hidup tidak hanya berarti memanfatkan sumber

daya, namun merupakan upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan

hidup yang meliputi kebijakan penataan, pemanfaatan, pengembangan,

pemeliharaan pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup.

Dalam kaitannya dengan kehidupan manusia, maka lingkungan hidup mempunyai

3 (tiga) fungsi dasar, yaitu:

a) Menyediakan ruang untuk hidup manusia di dalam bertempat tinggal

dan menjalankan aktivitas kehidupannya (fungsi ruang).

b) Menyediakan sumber daya hayati meupun non hayati, baik yang

dapat/reneweble resources atau tidak dapat diperbaharui/non renewable

resources (fungsi pemasuk sumber daya).

c) Merupakan media berbagai proses alami untuk memberikan pelayanan

kepada manusia, agar ;lingkungan tetap dapat mendukung manusia

(fungsi ekologi).

Permasalahan lingkungan yang sering timbul seperti pencemaran air, banjir,

sedimentasi, erosi dan lain-lain pada hakikatnya muncul akibat terabaikannya

salah satu dari ketiga fungsi tersebut dalam memanfaatkan lingkungan. Oleh

Page 50: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

38

karena itu, Dinas Pertambangan dan Lingkungan Hidup Kota Banjarbaru sebagai

satu-satunya instansi pengelola lingkungan di Kota Banjarbaru harus memiliki

visi dan misi yang jelas dalam mengelola lingkungan hidup.

Tujuan upaya penanganan terhadap dampak lingkungan di Kota Banjarbaru

harus didasarkan atas prinsip pelestarian sumber daya lingkungan dan

memperbaiki atau meningkatkan kualitas lingkungan hidup. Sehingga

pembangunan disegala sektor yang dilakukan harus berdasarkan prinsip

berwawasan lingkungan yang berkelanjutan. Dari prinsip tersebut dijabarkan

tujuan penanganan dampak lingkungan, yaitu:

a) Terpeliharanya fungsi lingkungan hidup dalam usaha menignkatkan

daya dukung dan daya tampung lingkungan.

b) Pengendalian fdan penanggulangan pencemaran yang telah dan

diperkirakan akan terjadi akibat suatu kegiatan.

c) Memperbaiki kualitas lingkungan akibat terjadinya kerusakan sehingga

dapat berfungsi kembali sesuai dengan peruntukannya.

d) Peningkatan pencarian informasi tentang kuantitas dan kualitas SDA,

serta tingkat kerusakan alam dan kemampuan daya dukung alam.

e) Meningkatkan kualitas kelembagaan, SDM dan peran serta masyarakat.

Sasaran umum pengendalian dampak lingkungan yang harus dilaksanakan

adalah sebagai berikut:

a) Terciptanya SDA yang lestari dalam usaha meningkatkan daya dukung

dan daya tampung lingkungan.

Page 51: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

39

b) Terkendalinya pencemaran yang disebabkan suatu kegiatan dari

berbagai sektor.

c) Tercapainya tujuan perbaikan SDA sebagai akibat kerusakan yang

timbul oleh kegiatan pembangunan.

d) Terciptanya kualitas kelembagaan, SDM dan peran serta masyarakat

dalam pengelolaan lingkungan hidup.

4. Faktor yang Mempengaruhi Efektivitas Implementasi Kebijakan

Lingkungan Hidup

Implementasi kebijakan lingkungan menurut tangkillisan (2004) hidup

merupakan rangkaian proses penerjemahan dari kebijakan lingkungan hidup yang

direspon berupa tindakan para pelaku lingkungan hidup secara konsisten dalam

rangka pencapaian dan sasaran yang telah digariskan oleh kebijakan.

1. Variabel Kebijakan

Kebijakan penanganan lingkungan hidup merupakan salah satu kebijakan

publik yang berupaya mengelola lingkungan hidup di Kota Banjarbaru secara

efektif. Kebijakan ini bertujuan, agar mampu menekan tingkat pencemaran pada

titik minimal, yang dicapai melalui kesesuaian antar target dan hasil yang dicapai

serta respons masyarakat terhadap masalah lingkungan.

Dalam menganalisis implementasi terhadap kebijakan pengelolaan

lingkungan hiudp, maka perlu dilakukan pemilihan variabel independen, yaitu:

kotrol masyarakat, sanksi hukum serta komitmen pengusaha. Ketiga variabel

tersebut didasarkan atas pemikiran:

Page 52: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

40

a. Kontrol dari pihak masyarakat dibutuhkan karena mereka adalah pihak

langsung terkena dampak dari pencemaran lingkungan hidup yang

terjadi.

b. Suatu kebijakan akan berjalan efektif jika ada penerapan sanksi hukum

yang jelas dan konsisten untuk membuat para pelaku atau para pelanggar

patuh dan tidak akan mengulangi perbuatan pencemaran lingkungan.

c. Komitmen pengusaha dibutuhkan karena sebab dari pencemaran

kegiatannya, sehingga pencegahan pencemaran hanya terjadi jika pihak

pengusaha terintegrasi dan ramah lingkungan.

2. Kontrol Masyarakat dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup

Civil Society merupakan suatu bentuk hubungan antara negara dengan

sejumlah kelompok sosial, misalnya keluarga, kalangan bisnis, asosiasi

masyarakat dan gerakan-gerakan sosial yang ada dalam negara, namun sifatnya

independen dalam negara. Jadi, civil society adalah sebuah masyarakat, baik

secara individual maupun kelompok dalam suatu negara yang mampu berinteraksi

secara independen.

Berperannya kontrol masyarakat akan berfungsi secara maksimal pada

konteks masyarakat yang menerapkan civil society dalam kehidupan

bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Masyarakat dapat melakukan

partisipasi dalam pembentukan dan implementasi kebijakan publik dalam suatu

negara.

Kontrol masyarakat dalam kebijakan lingkungan hidup yang menerapkan

civil society dilakukan baik secara individu maupun secara kelompok dalam suatu

Page 53: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

41

wilayah pemerintahan yang mampu berinteraksi dengan pemerintah secara

independen untuk melakukan kontrol terhadap kebijakan yang telah ditetapkan.

3. Sanksi Hukum (Law Enforcement) di Bidang Lingkungan Hidup

Sudikno Mertokusumo (1984) berpendapat, bahwa kesadaran hukum yang

rendah pada pelanggaran hukum, sedangkan makin tinggi kesadaran hukum

semakin tinggi ketaatan hukumnya. Adanya hukum harus ditaati, dilaksanakan,

dan ditegakkan.

Kesadarn hukum lingkungan dapat dibangun melalui pendidikan formal,

non formal, dan informal. Sedangkan pendidikan berjalan secara terus-menerus

yang tidak ada henti-hentinya sepanjang manusia hidup (long life education). Ini

berarti pembangunan kesadaran hukum lingkungan juga akan berjalan dalam

waktu yang lama atau tidak pernah berhenti sepanjang lingkungan hidup ingin

dikelola dengan baik oleh manusia.

4. Komitmen Pengusaha terhadap Kebijakan Lingkungan Hidup

Pengusaha merupakan pelaku yang bertanggung jawab atas terganggunya

fungsi lingkungan hidup, sehingga harus dilakukan pengawasan terhadap

pengusaha. Hal ini dimaksudkan untuk menignkatkan kesadaran hukum

lingkungan pengusaha, ke depan akan membantu menignkatkan kualitas

lingkungan di Kota Banjarbaru.

Upaya kesadaran hukum lingkungan bagi pengusaha selayaknya dilakukan

melalui penataan sukarela (voluntary compliance) sesuai dengan yang tersirat

dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997, tentang Pengelolaan Lingkungan

Hidup, yaitu:

Page 54: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

42

Sistem Pendanaan Lingkungan (Pasal 8)

Perangkat Manajemen Lingkungan yang Bersifat Dinamis (Pasal 10)

Penghargaan Lingkungan (Pasal 10)

Mengenai Teknologi Bersih/Produksi Bersih (Pasal 10)

Audit Lingkungan (Pasal 5, 19, 29)

Konsep penegakan hukum lingkungan hanya akan berjalan denngan baik

jika pengawasan terhadap penataan persyaratan per-UU-an dari perijinan yang

dilaksanakan secara terprogram. Hal ini yang melatar belakangi Menteri

Lingkungan Hidup menetapkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup (Kepmen

LH) Nomor 07 Tahun 2001 tentang Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup dan

Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah.

e. Analisis SWOT

SWOT merupakan alat (tool) yang dapat dipakai untuk menganalisis

kualitatif (Kodoatie, 2003). Sedangkan menurut rangkuti (1997), analisis SWOT

adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi

kebijakan. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan

kekuatan (Strength) dan peluang (Opportunities), namun secara bersamaan dapat

meminimalkan kelemahan (Weakness) dan ancaman (Threats)

Kuadran 1 : Ini merupakan situasi yang sangat menguntungkan.

Kebijakan tersebut memiliki peluang dan kekuatan

sehingga dapat memanfaatkan peluang yang ada.

Strategi yang harus diterapkan dalam kondisi ini

Page 55: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

43

adalah mendukung kebijakan pertumbuhan yang

agresif (growth oriented strategy)

Kuadran 2 : Meskipun menghadapi berbagai ancaman, kebijakan

ini memiliki kekuatan dari segi internal. Strategi yang

harus diterapkan adalah menggunakan kekuatan untuk

memanfaatkan peluang jangka panjang dengan cara

strategi diversifikasi.

Kuadran 3 : Kebijakan mengahadapi peluang pasar yang sangat

besar, tetapi dilain pihak, dapat menghadapi beberapa

kendala/kelemahan internal. Fokus strategi kebijakan

ini adalah meminimalkan masalah-masalah internal

sehingga dapat merebut peluang yang lebih baik.

Kuadran 4 : Ini merupakan situasi yang sangat tidak

menguntungkan, kebijakan tersebut menhadapi

berbagai ancaman dan kelemahan internal.

Page 56: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

44

Gambar 2.4 Diagram Analisis SWOT

Penelitian menunjukkan bahwa kinerja kebijakan dapat ditentukan oleh

kombinasi faktor internal dan eksternal (Rangkuti, 2005). Kedua faktor tersebut

harus dipertimbangkan dalam analisis SWOT. Dari analisis secara makro, posisi

permasalahan pengelolaan penambangan rakyat ini ada 4 (empat) strategi yang

dapat digunakan untuk meningkatkan kinerja perusahaan, yaitu:

1) Strategi yang meningkatkan indikator kekuatan (S), dengan cara

memanfaatkan indikator peluang-peluang (O) yang dimiliki, disebut

dengan strategi S-O.

2) Suatu strategi yang menignkatkan indikator kekuatan (S) untuk

meminimalkan ancaman-ancaman (T) yang muncul, dikenal dengan

strategi S-T.

Page 57: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

45

3) Strategi yang meminimalkan kelemahan (W) yang ada dengan

memanfaatkan peluang-peluang (O) yang dimiliki, ini disebut dengan

strategi W-O.

4) Strategi mengurangi kelemahan (W) yang dimiliki untuk memperkecil

atau menghilangkan ancaman (T) yang muncul, disebut dengan strategi

W-T.

f. Prinsip Pengelolaan Lingkungan dengan Indikator POAC

Menurut Asdak (2004), pengelolaan lingkungan suatu wilayah dapat

digunakan indikator (Planning – Organizing – Actuating – Controlling).

A. Planning (Perencanaan)

Perencanaan yang disusun dalam rangka pengelolaan lingkungan secara

terpadu terhadap suatu wilayah.

B. Organizing (Pengorganisasian)

Pengorganisasian dimaksudkan agar pelaksanaan kegiatan pengelolaan

lingkungan suatu wilayah lebih efektif dan efisien, dalam arti masing-

masing pihak yang terlibat dapat menjalankan tugasnya dengan baik dan

bertanggung jawab.

C. Actuating (Pelaksanaan)

Pada tahap pelaksanaan, program-program yang dirancang harus

menunjukkan adanya:

Page 58: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

46

1. Optimasi pemanfaatan sumber daya secara efisien.

2. Dorongan pelaksanaan konservasi sumber daya alam dalam

penambangan.

3. Menigkatnya peran stakeholder dan kelembagaan yang terlibat.

D. Controlling (Pengawasan)

Tujuan pengelolaan lingkungan pada suatu wilayah adalah keberlanjutan

pembangunan (sustainable development) dengan asas keterpaduan,

maka pengendalian pengelolaan lingkungan tersebut meliputi:

1. Pengendalian dan pengawasan melekat, secara bersama (sharing

control) dan kemitraan (parnertshipcontrol).

2. Hasil pemantauan dan evaluasi digunakan untuk peninjauan

kebijakan dan perencanaan program lanjutan.

3. Mendorong partisipasi dan pengawasan publik dalam aktivitas

pemantauan evaluasi.

4. Pengembangan Sistem Informasi Sumber Daya Alam dan

Lingkungan Hidup (SISDA-LH) untuk memperoleh informasi yang

lengkap mengenai potensi dan produktivitas sumber daya alam serta

lingkungan hidup melalui invebtarisasi dan evaluasi serta penguatan

sistem informasi.

B. Kesehatan dan Keselamatan Kerja

Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) merupakan suatu upaya untuk

menciptakan suana bekerja yang aman, nyaman, dan tujuan akhirnya adalah

Page 59: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

47

mencapai produktivitas setinggi-tingginya. Maka dari itu K3 mutlak untuk

dilaksanakan pada setiap jenis bidang pekerjaan tanpa kecuali. Upaya K3

diharapkan terjadinya kecelakaan maupun penyakit akibat melakukan pekerjaan

dapat dicegah dan mengurangi resiko (Abidin Z dkk, 2008).

Menurut undang-undang pokok kesehatan RI no.9 tahun 1960, bab 1 pasal

2, keadaan sehat diartikan sebagai kesempurnaan yang meliputi keadaan jasmani,

rohani, kemasyarakatan, dan bukan hanya keadaan yang bebas dari penyakit,

cacat, dan kelemahan-kelemahan lainya. Keselamatan dan kesehatan kerja

difilosofikan sebagai suatu pemikiran dan upaya untuk menjamin keutuhan dan

kesempurnaan baik jasmani maupun rohani tenaga kerja pada khususnya dan

manusia pada umumnya, hasil karya, dan budidayanya menuju masyarakat

makmur dan sejahtera, sedangkan pengertian secara keilmuan adalah suatu ilmu

pengetahuan dan penerapannya dalam usaha mencegah kemungkinan terjadi

kecelakaan dan penyakit akibat kerja

(Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1960, 1960).

Dalam pasal 86 UU no.13 tahun 2003, dinyatakan bahwa setiap pekerja

atau buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas keselamatan dan

kesehatan kerja, moral dan kesusilaan, dan perlakukan yang sesuai dengan harkat

dan martabat serta nilai-nilai agama (Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 13 Tahun 2003, 2003). Undang-undang No.1 tahun 1970 tentang

keselamatan kerja yang ruang lingkupnya meliputi segala lingkungan kerja, baik

di darat, di dalam tanah, di permukaan air, di dalam air maupun udara, yang

berada didalam wilayah kekuasaan hukum Republik Indonesia. Undang-undang

Page 60: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

48

tersebut juga mengatur syarat-syarat keselamatan kerja dimulai dari perencanaan,

pembuatan, pemeliharaan dan penyimpanan bahan, barang produksi teknis dan

aparat produksi yang mengandung, dan dapat menimbulkan bahaya kecelakaan.

Walaupun sudah banyak peraturan yang diterbitkan tetapi pada peleksanaannya

masih banyak kekurangan dan kelemahanya (Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 1 Tahun 1970,1970).

Pada prinsipnya dasar-dasar keselamatan dan kesehatan kerja menekankan

beberapa hal, yaitu setiap pekerja berhak memperoleh jaminan atas keselamatan

kerja agar terhindar dari kecelakaan, setiap orang yang berada ditempat kerja

harus dijamin keselamatannya dan tempat pekerja dijamin dalam keadaan aman

(Rifai M,2009).

1. Tujuan Keselamatan Dan Kasehatan Kerja (K3)

Adapun tujuan dari K3, yaitu :

Melindungi karyawan atau tenaga kerja atas hak keselamatannya dalam

melakukan pekerjaan untuk keselamatan dan kesejahteraan hidup &

meningkatkan produksi atau produktivitas nasional.

Bisa menjamin keselamatan hidup atau kesejahteraan setiap orang yang

berada di tempat kerja.

Sumber-sumber dari produksi dipelihara dan dipergunakan secara aman

dan efisien.

Page 61: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

49

2. Kecelakaan Akibat Kerja

A. Definisi Kecelakaan Akibat Kerja

Kecelakaan akibat kerja adalah kecelakaan yang berhubungan

dengan pada suatu pekerjaan di tempat kerja, artinya bahwa kecelakaan

kerja terjadi di sebabkan oleh pekerjaan atau pada saat bekerja yang tidak

terduga, tidak di kehendaki dan dapat menyebabkan kerugian baik jiwa

maupun harta benda.

B. Klasifikasi Dalam Kecelakaan Akibat Kerja

Klasifikasi kecelakaan akibat kerja, karena pada kenyataanya

kecelakaan yang disebabkan akibat kerja biasanya tidak disebabkan hanya

satu faktor saja, tetapi banyak faktor yang memicu atau saling berkaitan

yang bisa menyebabkan terjadinya kecelakaan. kecelakaan akibat kerja

diklasifikasikan menjadi 4 macam golongan, yaitu:

1. Klasifikasi Menurut jenis Kecalakaan akibat Kerja.

a. Terjatuh.

b. Tertimpa benda jatuh.

c. Tertumbuk atau terkena benda ditempat kerja.

d. Terjepit.

e. Gerakan melebihi kemampuan.

f. Pengaruh suhu tinggi.

g. Terkena arus listrik.

h. Kontak dengan bahan-bahan berbahaya atau radiasi.

Page 62: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

50

i. Jenis-jenis lain, termasuk kecelakaan yang datanya tidak cukup

atau kecelakaan lain yang belum termasuk klasifikasi tersebut.

2. Klasifikasi Menurut Penyebab Kecelakaan Akibat Kerja

a. Mesin, misalnya mesin pembangkit tenaga listrik.

b. Alat angkut dan alat angkat.

c. Peralatan lain, misalnya instalasi pendingin dan alat-alat listrik.

d. Bahan-bahan atau zat-zat radiasi.

e. Lingkungan kerja.

f. Penyebab-penyebab lain yang belum termasuk golongan tidak

memadai.

3. Klasifikasi Menurut Sifat luka atau Kelainan

a. Patah tulang.

b. Dislokasi atau keseleo.

c. Regang otot atau urat.

d. Memar dan luka dalam lain.

e. Amputasi.

f. Luka-luka lain.

g. Luka di permukaan.

h. Gegar dan remuk.

i. Luka bakar.

j. Keracunan-keracunan mendadak (akut).

k. Akibat cuaca.

l. Mati lemas.

Page 63: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

51

m. Pengaruh arus listrik.

n. Pengaruh radiasi.

o. Luka-luka yang banyak dan berlainan sifatnya.

4. Klasifikasi Menurut letak Kelainan atau Luka Di Tubuh

a. Kepala

b. Leher

c. Badan

d. Anggota atas

e. Anggota bawah

f. Banyak tempat

g. Kelainan umum

C. Alat Pelindung Diri

1. Pengertian APD

Setiap kegiatan yang bersangkutan dengan faktor manusia, mesin dan

bahan yang melalui tahapan proses memiliki tingkat risiko bahaya dengan

tingkatan risiko berbeda-beda yang akan memungkinkan terjadinya kecelakaan

dan penyakit akibat kerja. Risiko kecelakaan dan penyakit akibat kerja tersebut

disebabkan karena adanya sumber-sumber bahaya akibat dari aktivitas kerja di

tempat kerja. Tenaga kerja atau karyawan merupakan aset perusahaan yang sangat

penting dalam proses produksi, sehingga perlu diupayakan agar derajat kesehatan

tenaga kerja selalu dalam keadaan optimal.

Page 64: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

52

Rata-rata umumnya di semua tempat kerja selalu terdapat sumber-sumber

bahaya. Hampir tidak ada tempat kerja yang sama sekali bebas dari sumber

bahaya. Sumber-sumber bahaya perlu dikendalikan atau diminimalisasi untuk

mengurangi kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Untuk mengendalikan sumber-

sumber bahaya, maka sumber-sumber bahaya tersebut harus ditemukan.

Adapun untuk menemukan dan menentukan lokasi bahaya potensial yang

dapat mengakibatkan kecelakaan dan penyakit akibat kerja, maka perlu diadakan

identifikasi sumber bahaya potensial yang ada di tempat kerja. Pengendalian

tersebut merupakan faktor-faktor bahaya yang dilakukan untuk meminimalkan

bahkan menghilangkan penyakit akibat kerja dan kecelakaan kerja yaitu dengan

cara pengendalian teknis dan administratif, tetapi banyak perusahaan atau pekerja

tambang yang menolak untuk melaksanakan pengendalian tersebut dengan alasan

biaya yang mahal.

Maka perusahaan tersebut mengupayakan dengan merekomendasikan Alat

Pelindung Diri (APD) sebagai tindakan proteksi dini terhadap bahaya kecelakaan

dan penyakit akibat kerja yang timbul ditempat kerja. Penggunaan Alat Pelindung

Diri (APD) sebenarnya merupakan alternatif terakhir bagi pihak perusahaan untuk

melindungi tenaga kerjanya dari faktor dan potensi bahaya.

Alat Pelindung Diri adalah seperangkat alat keselamatan yang digunakan

oleh pekerja untuk melindungi seluruh atau seabagian tubuhnya dari kemungkinan

adanya pemaparan potensi bahaya lingkungan kerja terhadap kecelakaan dan

penyakit akibat kerja (Tarwaka, 2008).

Page 65: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

53

Alat Pelindung diri merupakan suatu alat yang mempunyai kemampuan

untuk melindungi seseorang dalam pekerjaan yang berfungsi mengisolasi tenaga

kerja dari bahaya di tempat kerja. Perlindungan tenaga kerja melalui usaha-usaha

teknis pengamanan tempat, peralatan dan lingkungan kerja adalah sangat perlu di

utamakan. Namun kadangkadang keadaan bahaya masih belum dapat

dikendalikan sepenuhnya, sehingga digunakan alat-alat pelindung diri (Milos

Nedved dan Imamkhasani, 1991).

Alat pelindung haruslah enak dipakai, tidak mengggangu kerja dan

memberikan perlindungan yang efektif. hal-hal yang perlu diperhatikan dalam

pemakaian alat pelindung diri, yaitu:

1. Pengujian mutu

Alat pelindung diri harus memenuhi standar yang telah ditentukan

untuk menjamin bahwa alat pelindung diri akan memberikan perlindungan

sesuai dengan yang diharapkan. Semua alat pelindung diri sebelum

dipasarkan harus diuji lebih dahulu mutunya.

2. Pemeliharaan alat pelindung diri

Alat pelindung diri yang akan digunakan harus benar-benar sesuai

dengan kondisi tempat kerja, bahaya kerja dan tenaga kerja sendiri agar

benar-benar dapat memberikan perlindungan semaksimal mungkin pada

tenaga kerja.

Page 66: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

54

3. Ukuran harus tepat

Adapun untuk memberikan perlindungan yang maksimum pada

tenaga kerja, maka ukuran alat pelindung diri harus tepat. Ukuran yang

tidak tepat akan menimbulkan gangguan pada pemakaiannya.

4. Cara pemakaian yang benar

Sekalipun alat pelindung diri disediakan oleh perusahaan, alat-alat

ini tidak akan memberikan manfaat yang maksimal bila cara memakainya

tidak benar. Tenaga kerja harus diberikan pengarahan tentang :

a. Manfaat dari alat pelindung diri yang disediakan dengan potensi bahaya yang

ada.

b. Menjelaskan bahaya potensial yang ada dan akibat yang akan diterima oleh

tenaga kerja jika tidak memakai alat pelindung diri yang diwajibkan.

c. Cara memakai dan merawat alat pelindung diri secara benar harus dijelaskan

pada tenaga kerja.

d. Perlu pengawasan dan sanksi pada tenaga kerja menggunakan alat pelindung

diri.

e. Pemeliharaan alat pelindung diri harus dipelihara dengan baik agar tidak

menimbulkan kerusakan ataupun penurunan mutu.

f. Penyimpaan alat pelindung diri harus selalu disimpan dalam keadaan bersih

ditempat yang telah tersedia, bebas dari pengaruh kontaminasi.

1. Pemilihan Alat Pelindung Diri

Setiap tempat kerja mempunyai potensi bahaya yang berbeda-beda sesuai

dengan jenis, bahan dan proses produksi yang dilakukan. Dengan demikian,

Page 67: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

55

sebelum melakukan pemilihan alat pelindung diri mana yang tepat digunakan,

diperlukan adanya suatu investarisasi potensi bahaya yang ada di tempat kerja

masing-masing. Pemilihan dan penggunaan alat pelindung diri harus

memperhatikan aspek-aspek sebagai berikut (Tarwaka, 2008).

1). Aspek Teknis, meliputi :

a. Pemilihan berdasarkan jenis dan bentuknya. Jenis dan bentuk alat

pelindung diri harus disesuaikan dengan bagian tubuh yang dilindungi.

b. Pemilihan berdasarkan mutu atau kualitas. Mutu alat pelindung diri akan

menentukan tingkat keparahan dan suatu kecelakaan dan penyakit akibat

kerja yang mungkin terjadi. Semakin rendah mutu alat pelindung diri,

maka akan semakin tinggi tingkat keparahan atas kecelakaan atau

penyakit akibat kerja yang terjadi. Adapun untuk menetukan mutu suatu

alat pelindung diri dapat dilakukan melalui uji laboratorium untuk

mengetahui pemenuhan terhadap standar.

c. Penentuan jumlah alat pelindung diri. Jumlah yang diperlukan sangat

tergantung dari jumlah tenaga kerja yang terpapar potensi bahaya di

tempat kerja. Idealnya adalah setiap pekerja menggunakan alat pelindung

diri sendiri-sendiri atau tidak dipakai secara bergantian.

d. Teknik penyimpanan dan pemeliharaan. Penyimpanan investasi untuk

penghematan dari pada pemberian alat pelindung diri.

2). Aspek Psikologis

Di samping aspek teknis, maka aspek psikologis yang menyangkut

masalah kenyamanan dalam penggunaan alat pelindung diri juga sangat penting

Page 68: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

56

untuk diperhatikan. Timbulnya masalah baru bagi pemakai harus dihilangkan,

seperti terjadinya gangguan terhadap kebebasan gerak pada saat memakai alat

pelindung diri. Penggunaan alat pelindung diri tidak menimbulkan alergi atau

gatal-gatal pada kulit, tenaga kerja tidak malu memakainya karena bentuknya

tidak cukup menarik.

Ketentuan pemilihan alat pelindung diri meliputi (Tarwaka, 2008) :

a. Alat pelindung diri harus dapat memberikan perlindungan yang adekuat

terhadap bahaya yang spesifik atau bahaya-bahaya yang dihadapi oleh

tenaga kerja.

b. Berat alat hendaknya seringan mungkin dan alat tersebut tidak

menyebabkan rasa ketidaknyamanan yang berlebihan.

c. Alat harus dapat dipakai secara fleksibel.

d. Bentuknya harus cukup menarik.

e. Alat pelindung tahan lama untuk pemakaian yang lama.

f. Alat tidak menimbulkan bahaya-bahaya tambahan bagi pemakainya, yang

dikarenakan bentuknya yang tidak tepat atau karena salah dalam

penggunaanya.

g. Alat pelindung harus memenuhi standar yang telah ada. Alat tersebut tidak

membatasi gerakan dan presepsi sensoris pemakaiannya. Suku cadangnya

mudah didapat guna mempermudah pemeliharaannya.

Page 69: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

57

j. Kriteria Alat Pelindung Diri

Berdasarkan aspek-aspek tersebut diatas, maka perlu diperhatikan

pula beberapa kriteria dalam pemilihan alat pelindung diri sebagai berikut:

a. Alat pelindung diri harus mampu memberikan perlindungan efektif

kepada pekerja atas potensi bahaya yang dihadapi ditempat kerja.

b. Alat pelindung diri mempunyai berat yang seringan mungkin,

nyaman dipakai dan tidak menjadi beban tambahan bagi

pemakainya.

c. Bentuknya cukup menarik, sehingga tenaga kerja tidak malu

memakainya.

d. Tidak menimbulkan gangguan kepada pemakainya, baik karena

jenis bahayanya maupun kenyamanan dan pemakiannya. Mudah

untuk dipakai dan dilepas kembali.

e. Tidak mengganggu penglihatan, pendengaran dan pernafasan serta

gangguan kesehatan lainnya pada waktu dipakai dalam wktu yang

cukup lama.

f. Tidak mengurangi persepsi sensoris dalam menerima tanda-tanda

peringatan.

g. Suku cadang alat pelindung diri yang bersangkutan cukup tersedia

dipasaran.

h. Mudah disimpan dan dipelihara pada saat tidak digunakan.

i. Alat pelindung diri yang dipilih harus sesuai dengan standar yang

ditetapkan dan sebagainya.

Page 70: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

58

k. Jenis-Jenis Alat Pelindung Diri

Jenis-jenis alat pelindung diri berdasarkan fungsinya terdiri dari

beberapa macam. Alat pelindung diri yang digunakan tenaga kerja sesuai

dengan bagian tubuh yang dilindungi, antara lain :

1). Alat Pelindung Kepala

Digunakan untuk melindungi rambut terjerat oleh mesin yang berputar dan

untuk melindungi kepala dari terbentur benda tajam atau keras, bahaya

kejatuhan benda atau terpukul benda yang melayang, percikan bahan kimia

korosif, panas panas sinar matahari.

2). Alat Pelindung Mata

Alat pelindung jenis ini digunakan untuk melindungi mata dari percikan

bahan kimia korosif, debu dan partikel-partikel kecil yang melayang di udara,

gas atau uap yang dapat menyebabkan iritasi mata, radiasi gelombang

elektronik, panas radiasi sinar matahari, pukulan atau benturan benda keras.

3). Alat Pelindung Telinga

Alat pelindung jenis ini digunakan untuk mengurangi intensitas yang

masuk kedalam telinga.

4). Alat Pelindung Pernafasan

Alat pelindung jenis ini digunakan untuk melindungi pernafasan dari

resiko paparan gas, uap, debu, atau udara terkontaminasi atau beracun, korosi

atau yang bersifat rangsangan. Sebelum melakukan pemilhan terhadap suatu

alat pelindung pernafasan yang tepat, maka perlu mengetahui informasi tentang

Page 71: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

59

potensi bahaya atau kadar kontaminan yang ada di lingkungan kerja. Hal-hal

yang perlu diketahui antara lain.

5). Alat Pelindung Tangan

Digunakan untuk melindungi tangan dan bagian lainnya dari dari benda

tajam atau goresan, bahan kimia, benda panas dan dingin, kontak dengan arus

listrik. Sarung tangan terbuat karet untuk melindungi kontaminasi terhadap

bahan kimia dan arus listrik; sarung tangan dari kain/katun untuk melindungi

kontak dengan panas dan dingin.

6). Alat Pelindung Kaki

Digunakan untuk melindungi kaki dan bagian lainnya dari benda-benda

keras, benda tajam, logam/kaca, larutan kimia, benda panas, kontak dengan

arus listrik.

7). Pakaian Pelindung

Digunakan untuk melindungi seluruh atau bagian tubuh dari percikan api,

suhu panas atau dingin, cairan bahan kimia. Pakaian pelindung dapat berbentuk

apron yang menutupi sebagian tubuh pemakainya yaitu mulai daerah dada

sampai lulut atau overall yaitu menutupi suluruh bagian tubuh. Apron dapat

terbuat dari kain dril, kulit, plastik PVC/polyethyline, karet, asbes atau kain

yang dilapisi alumunium. Apron tidak boleh digunakan di tempat-tempat kerja

dimana terdapat

mesin-mesin yang berputar.

Page 72: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

60

8). Sabuk Pengaman Keselamatan

Digunakan untuk melindungi tubuh dari kemungkinan terjatuh dari

ketinggian, seperti pekerjaan mendaki, memanjat dan pada pekerjaan kontruksi

bangunan (Tarwaka, 2008).

l. Kebijakan Tentang APD

Undang-Undang No. 25 Tahun 1997 tentang ketenagakerjaan pasal 108

menyatakan bahwa “Setiap pekerja mempunyai hak untuk memperoleh

perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja, moral dan kesusilaan,

perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai

agama”. Oleh karena itu upaya perlindungan terhadap pekerja akan bahaya

khususnya pada saat melaksanakan kegiatan/proses di tempat kerja perlu

dilakukan oleh pihak manajemen perusahaan. Salah satu upaya perlindungan

terhadap tenaga kerja tersebut adalah dengan penggunaan alat pelindung diri

(APD).

Penggunaan APD di tempat kerja sendiri telah diatur melalui Undang-undang

No. 1 Tahun 1970. Pasal-pasal yang mengatur tentang penggunaan APD adalah

antara lain :

a. Pasal 3 ayat 1 butir f menyatakan bahwa salah satu syarat-syarat

keselamatan kerja adalah dengan cara memberikan alat pelindung diri

(APD) pada pekerja.

Page 73: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

61

b. Pasal 9 ayat 1 butir c menyatakan bahwa pengurus (perusahaan)

diwajibkan menunjukkan dan menjelaskan pada setiap tenaga kerja baru

tentang alat-alat pelindung diri bagi tenaga kerja yang bersangkutan.

c. Pasal 12 butir b menyatakan bahwa tenaga kerja diwajibkan untuk

memakai alat pelindung diri (APD).

d. Pasal 12 butir e menyatakan bahwa pekerja boleh mengatakan keberatan

apabila alat pelindung diri yang diberikan diragukan tingkat keamanannya.

e. Pasal 13 menyatakan bahwa barang siapa akan memasuki suatu tempat

kerja, diwajibkan mentaati semua petunjuk keselamatan kerja dan

memakai alat pelindung diri yang diwajibkan.

f. Pasal 14 butir c menyatakan bahwa pengurus (pengusaha) diwajibkan

untukm mengadakan secara cuma-cuma, semua alat perlindungan diri

yang diwajibkan pada tenaga kerja yang berada dibawah pimpinannya dan

menyediakan bagi setiap orang lain yang memasuki tempat kerja tersebut,

disertai dengan petunjuk-petunjuk yang diperlukan menurut petunjuk

pegawai pengawas atau ahli-ahli keselamatan kerja.

Peraturan lain yang mengatur penggunaan APD adalah Peraturan Menteri

Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 01/Men/1981, disebutkan dalam pasal 4

ayat 3, bahwa “pengurus wajib menyediakan secara cuma-cuma semua alat

perlindungan diri yang diwajibkan penggunaannya oleh tenaga kerja yang berada

dibawah pimpinannya untuk mencegah penyakit akibat kerja”.

Begitu pula dalam pasal 5 ayat 2 disbutkan bahwa “tenaga kerja harus

memakai alat-alat perlindungan diri yang diwajibkan untuk pencegahan penyakit

Page 74: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

62

akibat kerja”. Kebijakan sebuah perusahaan tentang pelaksanaan K3 dijelaskan

dengan detail dalam bentuk peraturan-peraturan.

Kepastian hukum yang kuat akan memberikan kemantapan dalam

pengawasan. Karena apabila diberi teguran dan peringatan tidak dihiraukan maka

perangkat peraturanlah yang akan berperan dalam hal pemberian sanksi. Maka

peraturan yang berkaitan dengan situasi kerja merupakan upaya yang dilakukan

dalam meningkatkan efektifitas pelaksanaan program K3 di sebuah perusahaan.

Adanya kebijakan dalam bentuk sanksi dan pemberian penghargaan/hadiah

ternyata mempunyai makna dalam meningkatkan motivasi berperilaku pekerja

terutama dalam penggunaan APD. Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh

Pudjowati pada tahun 1998 dikatakan bahwa secara statistik tidak ada perbedaan

yang bermakna antara proporsi yang menyatakan ada kebijakan dengan yang

menyatakan tidak ada kebijakan dalam pemakaian APD.

Menurut pendapatnya bahwa kebijakan yang dilakukan oleh pihak manajemen

terkesan sebagai suatu hal yang tidak banyak memberikan motivasi positif kepada

pekerja, padahal motivasi ini sangat diperlukan agar para pekerja lebih peduli lagi

terhadap pentingnya penggunaan APD. Menurut hasil penelitian yang dilakukan

oleh Sumbung pada tahun 2000 dikatakan bahwa secara statistik variabel

kebijakan terbukti mempunyai hubungan bermakna terhadap penggunaan APD.

Didalam hal kebijakan, semua responden mengetahui adanya peraturan

tentang diberlakukannya penggunaan APD. Pekerja juga mengetahui jika mereka

melanggar peraturan, maka mereka akan mendapatkan sanksi dari perusahaan.

Namun sanksi yang ada tidak jalan sebagaimana mestinya, juga tidak ada

Page 75: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

63

penghargaan bagi yang memenuhi peraturan khususnya yang bersifat individual

sehingga tidak memberikan dorongan kepada pekerja untuk lebih peduli terhadap

penggunaan APD.

D. Kebisingan

1. Pengertian kebisingan

Beberapa ahli mendefinisikan bising secara subyektif sebagai bunyi yang

tidak diinginkan, tidak disukai, dan mengganggu. Secara obyektif bising terdiri

atas getaran bunyi kompleks yang terdiri atas berbagai frekuensi dan amplitudo,

baik yang getarannya bersifat periodik maupun nonperiodik (Jenny.

Bashirudin,2009). Menurut Kepmenaker No. Kep-51/Men/1999, kebisingan

adalah semua suara yang tidak dikehendaki yang bersumber dari alat-alat proses

produksi dan alat-alat kerja yang pada tingkat tertentu dapat menimbulkan

gangguan pendengaran (Keputusan Menteri Tenaga Kerja. Nomor: Kep-

51/MEN/1999,1999). Bising mempunyai suatu frekuensi atau jumlah getar per

detik yang dituliskan dalam Hertz, dan satuan intensitas yang dinyatakan dalam

desibel (dB). Berkaitan dengan pengaruhnya terhadap manusia, bising mempunyai

satuan waktu atau lama pajanan yang idnyatakan dalam jam per hari atau jam per

minggu (Jenny. Bashirudin,2009).

Negara telah menetapkan Nilai Ambang Batas (NAB) kebisingan untuk

menanggulangi kebisingan di suatu industri atau pabrik. NAB kebisingan di

tempat kerja adalah intensitas suara tertinggi yang merupakan nilai rata – rata

yang masih dapat diterima tenaga kerja tanpa mengakibatkan hilangnya daya

Page 76: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

64

dengar yang menetap untuk waktu kerja terus – menerus tidak lebih dari 8 jam

sehari dan 40 jam seminggu. Berikut ini batas waktu pemaparan kebisingan per

hari yang direkomendasikan oleh Departemen Tenaga Kerja Republik Indonesia

Nomor kep 51/MEN/1999 (Keputusan Menteri Tenaga Kerja. Nomor: Kep-

51/MEN/1999,1999).

Tabel 2.1 Nilai Ambang Batas (NAB) Kebisingan

Waktu Pemaparan

per Hari

Intensitas Kebisingan

dalam dB (A)

8

Jam

85

4 88

2 91

1 94

30

Menit

97

15 100

7,5 103

3,75 106

1,88 109

0,94 112

28,12

Detik

115

14,06 118

7,03 121

3,52 124

Page 77: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

65

1,76 127

0,88 130

0,44 133

0,22 136

0,11 139

Sumber : Keputusan Menteri Tenaga Kerja no 51/MEN/1999

2. Jenis – jenis Kebisigan

Jenis kebisingan yang sering ditemukan antara lain (Nadiroh M.H, 2011):

a. Bising yang kontinyu dengan spektrum frekuensi yang luas. Bising ini

relatif tetp dala batas kurang lebih 5 dB untuk periode 0,5 detik berturut –

turut. Misalnya mesin, kipas angin, dapur pijar.

b. Bising yang kontinyu dengan spektrum frekuensi yang sempit. Bising ini

juga relatif tetap, akan tetapi ia hanya mempunyai frekuensi tertentu saja

(pada frekuensi 500, 11000, dan 4000 Hz). Misalnya gergaji sekuler dan

katup gas.

c. Bising terputus – putus (intermitten). Bising disini tidak terjadi secara terus

– menerus, melainkan ada periode relatif tenang. Misalnya suara lalu litas dan

kebisingan di lapangan kerja.

d. Bising Implusif. Bising jenis ini memiliki perubahan tekanan suara melebihi

40 dB dalam waktu yang sangat cepat dan biasanya mengejutkan

pendengaran. Misalnya pendengaran, suara ledakan mercon, meriam.

Page 78: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

66

e. Bising impusif berulang. Sama dengan bising implusif, hanya saja disini

terjadi berulang – ulang. Misalnya mesin tempa.

3. Sumber Kebisingan

Sumber kebisingan secara global dapat dibedakan, yaitu kebisingan yang

ditimbulkan industri baik ringan maupun berat dan bising yang ditimbulkan oleh

kemajuan transportasi (Yustinus SB, 2008). Di tempat kerja, sumber kebisingan

berasal dari peralatan dan mesin-mesin. Peralatan dan mesin-mesin dapat

menimbulkan kebisingan karena (Huboyo H.S, 2008):

a. Mengoperasikan mesin–mesin produksi yang sudah cukup tua.

b. Terlalu sering menoperasikan mesin-mesin kerja pada kapasitas kerja cukup

tinggi dalam perioe operasi cukup panjang.

c. Sistem perawatan dan perbaikan mesin-mesin produksi sekedarnya. Misalnya

mesin diperbaiki hanya pada saat mesin mengalami kerusakan parah.

d. Melakukan modifikasi atau perubahan atau pergantian secara parsial pada

komponen-komponen mesin produksi tanpa mengidahkan kaidah-kaidah

keteknikan yang benar, termasuk menggunakan komponen-komponen mesin

tiruan.

e. Pemasangan dan peletakan komponen-komponen mesin secara tidak tepat

(terbalik atau tidak rapat), terutama pada bagian penghubung antara modul

mesin (bad connection).

f. Penggunaan alat-alat yang tidak sesuai dengan fungsinya.

Page 79: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

67

4. Dampak Kebisingan terhadap Kesehatan

Kebisingan di tempat kerja dapat menimbulkan gangguan yang dapat

dikelompokkan secara bertingkat sebagai berikut (Jenny,2009; Novi A,2004;

Ikron I Made Djaja,2007):

a. Gangguan fisiologis. Gangguan fisiologis adalah gangguan yang mula-

mula timbul akibat bising, dengan kata lain fungsi pendengaran secara

fisiologis dapat terganggu. Pada berbagai penyelidikan ditemukan bahwa

pemaparan bunyi terutama yang mendadak menimbulkan reaksi fisiologis

seperti: denyut nadi, tekanan darah, metabolisme, gangguan tidur, dan

penyempitan pembuluh darah.

b. Gangguan psikologis.Perubahan emosional sebagai ekspresi akan

kebisingan berupa rasa jengkel atau rasa terganggu yang dapat mengurangi

daya kerja baik fisik maupun mental berupa gangguan komunikasi

maupun penurunan ketajaman pikiran.

c. Gangguan pendengaran. Penyakit akibat kerja yang sering dijumpai di

banyak pekerja industri terutama yang belum menerapkan sistem

perlindungan pendengaran yang baik.

d. Gangguan pola tidur. Kebisingan dapat mengganggu tidur dalam hal

kelelapan, kontinuitas, dan lama tidur. Seseorang yang sedang tidak bisa

tidur atau sudah tidur tetapi belum terlelap tiba-tiba ada gangguan suara

yang akan mengganggu tidurnya, maka orang tersebut mudah marah atau

tersinggung.

Page 80: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

68

5. Pengendalian Kebisingan

Pengendalian kebisingan meliputi dua kelompok, yaitu (Ada,2008;Huboyo

H.S,2008; Laras DP,2011) :

a. Pengendalian secara teknis

Pengendalian secara teknis dapat dilakukan pada sumber bising,

media yang dilalui bising dan jarak sumber bising terhadap pekerja.

Pengendalian bising pada sumbernya merupakan pengendalian yang

sangat efektif dan hendaknya dilakukan pada sumber bising yang paling

tinggi.

b. Pengendalian secara administrasi

Pengendalian ini meliputi rotasi kerja pada pekerja yang terpapar

oleh kebisingan dengan intensitas tinggi ke tempat atau bagian lain yang

lebih rendah, pelatihan bagi pekerja terhadap bahaya kebisingan dan

mengatur waktu istirahat. Pengaturan waktu istirahat berdasarkan

keputusan Menteri Tenaga Kerja No 51/Men/1999 tentang nilai ambang

batas iklim kerja indeks suhu basah dan bola (ISBB) yang diperkenankan

ditampilkan dalam tabel 2.2 (Mallapiang F,2008).

No

Pengaturan waktu kerja

setiap jam

ISSB (C⁰)

Beban Kerja

Waktu

Kerja

Waktu

Istirahat Ringan Sedang Berat

1 Bekerja - 30 26,7 25

Page 81: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

69

terus -

menerus (8

jam/hari)

2 75% 25% 30,6 28 25,9

3 50% 50% 31,4 29,4 27,9

4 25% 75% 32,2 31,1 30

c. Pemakaian alat pelindung diri

Pemakaian alat pelindung diri untuk mengurangi kebisingan

meliputi ear plugs dan ear muffs. Pengendalian ini tergatung terhadap

pemilihan peralatan yang tepat untuk tingkat kebisingan tertentu,

kelayakan dan cara merawat peralatan.

E. Gangguan Pendengaran

1. Pengertian gangguan pendengaran.

Kerusakan pendengaran karena kebisingan sebenarnya adalah kerusakan

pada indera pendengaran dengan resiko penurunan daya dengar yang akhirnya

dapat menjadi tuli menetap yang tidak dapat disembuhkan. Oleh karena itu,

menghindari kebisigan yang berlebihan adalah satu-satunya cara yang tepat untuk

mencegah kerusakan pendengaran. Namun dalam sesuatu proses produksi hal ini

tidak dapat dilaksanakan. Pengaruh kebisingan terhadap manusia tergantung pada

karakteristik fisis, waktu berlangsung dan waktu kejadianya. Pengaruh tersebut

Page 82: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

70

berbentuk gangguan yang dapat menurunkan kesehatan, kenyamanan, dan rasa

aman manusia.

2. Jenis-jenis gangguan pendengaran

Jenis gangguan pendengaran yang di timbulkan kebisingan yaitu :

a. Gangguan pendengaran konduktif

Pada gangguan pendengaran jenis ini, transmisi gelombang suara tidak

dapat mencapai telinga dalam secara efektif. Ini disebabkan karena beberapa

gangguan atau lesi pada kenal telinga luar, rantai tulang pendengaran, ruang

telinga tengah, fenestra ovalis, fenestra rotunda dan tuba aurlitiva.

b. Gangguan pendengaran sensorineural

Gangguan jenis ini umumya irreversible karena terdapat masalah di telinga

begian dalam dan saraf pendengaran.

c. Gangguan pendengran campuran

Gangguan jenis ini merupakan kombinasi dari gangguan pendengaran

jenis konduktif dan gangguan pendengaran jenis sensorineural. Mula-mula

gangguan pendengaran jenis ini adalah jenis hantaran (misalnya otosklerosis),

kemudian berkembang lebih lanjut menjadi gangguan sensorineural, lalu

kemudian disertai dengan gangguan hantaran (misalnya presbikusis), kemudian

terkena infeksi otitis media, kedua gangguan tersebut dapat terjadi bersama-sama,

misalnya trauma kepala yang berat sekaligus mengenai telinga tengah dan telinga

dalam.

Page 83: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

71

3. Pemeriksa dan diagnosis gangguan pendengaran

Tes garputala merupakan tes kualitatif. Garputala 512 Hz tidak terlalu

dipengaruhi suara bisisng disekitarnya. Menurut Guyton dan Hail, cara melakukan

pemeriksaan nya adalah :

a. Tes Rinne

Membandingkan antara hantaran tulang dengan hantaran udara pada satu

telingga responden. Garputala digetarkan, tangkainya diletakan di prosesus

mastoideus. Setelah tidak terdengar penala dipegang di depan telinga kira-kira 2 ½

cm. Bila masih terdengar disebut rinne positif. Bila tidak terdengar disebut rinne

negatif.

b. Tes Weber

Membandingkan hantaran tulang antara kedua telinga pasien. Caranya

yaitu garputala digetarkan dan tangkai garputala diletakkan di garis tangah kepala

(di virtex, dahi, pangkal hidung dan di dagu). Apabila bunyi garputala terdengar

lebih keras pda salah satu telinga disebut weber lateralisasi ke telinga tersebut.

Bila tidak dapat dibedakan ke arah telinga mana bunyi terdengar lebih keras

disebut weber tidak ada lateralisasi.

c. Tes Schwabach

Membandingkan daya transport melalui tulang mastoid antara pemeriksa

(normal) dengan probandus. Caranya garputala digetarkan, tangkai garputala

diletakkan pada prosesus mastoidus sampai tidak terdengar bunyi. Kemudian

tangkai garputala segera dipindahkan pada prosesus mastoidus telinga pemeriksa

yang pendengaranya normal. Bila pemeriksa masih dapat mendengar disebut

Page 84: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

72

schwabach memendek, bila tidak pemeriksa tidak dapat mendengar, pemeriksa

diulang dengan cara sebaliknya, yaitu garputala diletakkan pada prosesus

mastoidus pemeriksa lebih dahulu. Bila penderita masih dapat mendengar bunyi

disebut schwabach memanjang dan bila pasien dan pemeriksa kira-kira sama-

sama mendengarnya disebut schwabach sama dengan pemeriksa.

F. Faktor-faktor yang mempengaruhi gangguan pendengaran

Gangguan pendengaran akibat kebisingan di pengaruhi oleh beberapa hal,

yaitu :

1. Penggunan Obat–obatan

Penggunan obat –obatan lebih dari 14 hari baik diminum maupun melalui

suntikan menyebabkan terjadinya gangguan pendengaran. Obat-obatan

yangmempengaruhi organ pendengaran pada umumnya adalah jenis antibiotik

aminoglikosid yang mempunyai efek ototoksik, obat obatan tersebut adalah

neomisin, kanamisin, amikasin dan dihidrostreptomisin yang berpengaruh pada

komponen akusti.

2. Umur

Pada usia lanjut, sedang sakit atau anak berumur antara 4 sampai 6 tahun,

dipandang lebih sensitif terhadap gangguan kebisingan dibanding kelompok usia

lain. Orang yang berumur lebih dari 40 tahun akan lebih mudah tuli akibat

ngangguan kebisingan dibanding kelompok usia lain. Orang yang berumur lebih

dari 40 tahun akan lebih mudah tuli akibat bising. Pada orang lanjut usia,

Page 85: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

73

gangguan pendengaran biasanya disebabkan oleh fungsi organ pendengaran yang

menurun ataau disebut presbiakusis (sekitar 1,8-5%).

3. Penyakit

1. Otitis Media

Suatu peradanga telinga tengah yang terjadi akibat infeksi bekateri

Streptococcus pneumoniae, Haemopilus influenzae, atau Staphylococcus aureus.

Otitis media juga dapat timbul akibat infeksi virus (otitis media infeksiosa) yang

biasanya dengan antibiotik, atau terjadi akibat alergi (otitis media serosa) yang

dapat diobati dengan antihistamin dengan atau tanpa antibiotik.

2. Tinnitus

Tinnitus adalah suara berdenging di satu atau dua telinga. Tinnitus dapat

timbul pada penimbunan kotoran telinga atau presbiakusis, kelebihan aspirin dan

infeksi telinga.

3. Hipertensi

Para penderita penyakit darah tinggi, dimana sel sel pembuluh darah

sekitar tlinga ikut tegang dan mengeras, juga harus selalu memperhatikan

kesehatan telingannya. Sebab, berkurangnya oksigen yang masuk lebih

memudahkan sel sel pendengaran mati.

4. Influenza

Penyakit Influenza dapat menyebabkan gangguan pada telinga karna

lubang yang menghubungkan telinga bagian tengah dan hidung (tuba eustakius)

mengalami peradangan atau bahkan mampet.

Page 86: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

74

4. Alat Pelindung Telinga

Pengendalian kebisingan terutama ditujukan bagi mereka yang dalam

kesehariannya menerima kebisingan. Karena daerah utama kerusakan akibat

kebisingan pada manusia adalah pendengaran (telinga bagian dalam), maka

metode pengendaliannya dengan memanfaatkan alat bantu yang bisa meredukasi

tingkat kebisingan yang masuk ketelinga bagian luar dan bagian tengah sebelum

masuk ke telinga bagian dalam.

5. Ruangan Tempat Pengukuran

Pemerikasaan harus dilakukan dalam ruangan kedap suara atau ditempat

yang sunyi dengan intensitas suara yang sesuai dengan persyaratan, yaitu latar

belakang kebisingan tidak lebih dari 40 dB.

6. Jenis Kebisingan

Kebisingan bernada tinggi lebih menggangu daripada kebisingan bernada

rendah, lebih lebih yang terputus putus atauyang datangnya secara tiba tiba dan

tidak terduga. Kebisingan impulsif yang berintensitas tinggi dapat menyebabkan

rusaknya alat pendengar. Kerusakan dapat terjadi pada gendang pendengaran atau

tulang tulang halus di telinga tengah.

7. Masa Kerja

Resiko gangguan pendengaran pada tingkat kebisingan ≤ 75 dB untuk

papran harian selama 8 jam dapat diabaikan, bahkan pada tingkat paparan sampai

80 dBtidak ada peningkatan subyek dengan gangguan pendengaran. Akibat tetapi

pada 85 dB ada kemungkinan bahwa setelah 5 tahun berkerja, 1% pekerja akan

mengalami gangguan pendengaran (Cholidah, 2005). Salah satu alat pengukur

Page 87: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

75

kebisingan adalah Sound Level Meter yaitu alat yang dapat digunakan untuk

mengukur besarnya tekanan suara atau intensitas suara dengan lokasi tetap atau

waktu pengukuran tertentu. Alat itu dapat mengukur kebisingan antara 30-130 dB

dan frekuensi 20-20.000 Hz. Keras dan intensitas kebisingan dinyatakan dalam

desibel (dB) (Novi A, 2004).

Kebisingan ditempat kerja dapat menimbulkan gangguan pendengaran dan

gangguan sistemik yang dalam jangka waktu panjang dapat menimbulkan

gangguan kesehatan dan penurunan produktivitas tenaga kerja dangan lama

papran dan masa kerja lama. Pada masa kerja selama 5 tahun bekerja, 1% pekerja

akan mengalami gangguan pendengaran (Cholidah, 2005).

Oleh karena itu perlu dilakukan pemantauan dan deteksi dini untuk

pencegahan karena kerugian yang harus dibayarkan akibat kebisingan ini cukup

besar. Pemerikasaan gangguan pendengaran harus dilakukan secara teliti, cermat,

dan hati hati untuk menghindari kesalahan prosedur dalam memberikan

kompensasi kepada tenaga kerja (Novi A, 2004).

Penelitian yang dilakukan oleh Laras Dyah Permaningtyas (2011) pada

pekerja home industry di kelurahan Purbalingga Lor bahwa kejadian Noise

Induced Hearing Loss (NIHL) lebih banyak diderita oleh pekerja yang memiliki

lama masa kerja lebih dari 10 tahun dibandingkan dengan yang kurang dari 10

tahun

(Laras DP, 2011).

Page 88: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

76

BAB III

LANDASAN TEORI DAN HIPOTESIS

A. Landasan Teori

Kebisingan merupakan suara yang tidak diinginkan, dalam intensitas

tertentu akan menimbulkan dampak negatif bagi pendengaran baik jangka pendek

maupun dalam jangka panjang (Jenny, 2009). Beerdasarkan hasil observasi, dapat

diketahui bahwa sebagian besar pekerja di pertambangan wilayah tersebut telah

mengalami gangguan fungsi pendengaran. Hal ini apat dilihat dengan adanya

perubahan volume nada bicara sehari – hari dari normal menjadi lebih keras. Akan

tetapi, para pekerja menjadikan hal tersebut menjadi sesuatu hal yang biasa,

karena aktivitas sebagian pekerja menjadikan kebisingan sebagai bagian dari

pekerjaan mereka. Dalam hal ini kebisingan bersumber dari mesin produksi yang

mempunyai intensitas kebisingan lebih dari >85 dB yang dapat menimbulkan

dampak negatif bagi seseorang dilingkungan kerja seperti gangguan pendengaran

(Keputusan Menteri Tenaga Kerja, 1999). Gangguan pendengaran adalah

perubahan pada tingkat pendengaran yang berakibat pada kesulitan dalam

melaksanakan kehidupan normal, biasanya dalam hal memahami pembicaraan

seseorang (Cholidah, 2005). Terpapar kebisingan setelah 5 tahun bekerja, 1%

pekerja akan mengalami gangguan pendengaran. Hal ini perlu upaya

pengendalian agar meningkatkan kesehatan dan keselamatan kerja para pekerja di

tempat kerja (Cholidah, 2005). Secara ringkas, kerangka konsep penelitian ini

dapat ditunjukkan pada gambar berikut :

Page 89: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

77

Gambar 3.1 Skema Kerangka Konsep Penelitian Hubungan Antara Lama

Pemaparan Kebisingan Menurut Masa Kerja Dengan Keluhan

Gangguan Pendengaran Pada Tenaga Kerja Di Pertambangan

Rakyat Intan Cempaka Kelurahan Sungai Tiung Banjarbaru.

B. Hipotesis

Hipotesis penelitian ini adalah ada Hubungan Antara Lama Pemaparan

Kebisingan Menurut Masa Kerja Dengan Keluhan Gangguan Pendengaran Pada

Tenaga Kerja Di Pertambangan Rakyat Intan Cempaka Kelurahan Sungai Tiung

Banjarbaru.

Pekerjaan

Pertambangan

Intan

Bising Pengukuran :

- Sond Level

Meter

Gangguan

Pendengaran

Penerapan K3 Masa Kerja

Page 90: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

78

BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Rencana penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian observasi analitik dengan

rancangan cross sectional.

B. Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi dalam penelitian adalah seluruh pekerja di pertambangan intan

cempaka. Pekerja dipertambangan intan cempaka kurang lebih sebanyak 200

pekerja. Sampel dalam penelitian ini yang selanjutnya disebut responden, diambil

dengan menggunakan teknik purposive sampling sebanyak 25 responden yang

memenuhi kriteria inklusi dengan ciri-ciri antara lain yaitu:

1. umur 20 - 40

2. masa kerja dibagi 2 kelompok. Kelompok 1 (masa kerja baru): ≤ 10 tahun

dan kelompok 2 ( masa kerja lama): ≥ 10 tahun

3. bekerja di lingkunagan kerja dengan tingkat kebisingan > 85dB

selanjutnya perhitungan besar sempel minimal dengan menggunakan rumus

(2):

Page 91: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

79

Keterangan:

n=besar sampel

N=populasi

P=estimator proporsi populasi = (0.5)

q=1-p = (0.5)

α=5% (Zα=1,96)

d=penyimpangan derajat ketepatan yang diingankan sebesar 5%

Berdasarkan hasil perhitungan, jumlah sempel dalam penelitian ini sebesar

32 responden.

C. Instrumen Penelitian

1. Sound Level Meter

Sound level meter Mobile-Cassy 524-004 untuk mengukur tingkat

kebisingan di lingkungan kerja.

2. Garputala

Garputala adalah alat yang berbentuk seperti garpu bergigi dua (atau

berbentuk huruf y) dan beresonansi pada frekuensi tertentu bila dihentakkan pada

suatu benda. Garputala yang digunakan berkekuatan 512 Hz karena tidak terlalu

dipengaruhi suara bising disekitarnya.

3. Lembar Wawancara

Lembar wawancara untuk mengetahui karakteristik responden yang terdiri

dari umur, jenis kelamin, lama paparan dan masa kerja.

Page 92: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

80

D. Variabel penelitian

1. Variabel bebas ( variabel independent)

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah masa kerja responden

2. Variabel terikat ( Variabel dependent)

Variabel terikat dalam penelitian ini adalah gangguan pendengaran.

E. Definisi Operasional

1. Lama Kerja

Lama waktu responden dalam melakukan pekerjaanya (dalam tahun) di

lingkungan kerja bising terhitung sejak pertama kali bekerja hingga saat penelitian

dilakukan. Diketehui dari data lembar wawancara dengan skala data ordinal.

Masa kerja ≤ 10 Tahun : Kelompok masa kerja baru

Masa kerja ≥ 10 Tahun : Kelompok masa kerja lama

2. Gangguan Pendengaran

Perubahan pada tingkat pendengaran yang berakibat pada kesulitan dalam

melaksanakan kehidupan normal, biasanya dalam memahami pembicaraan.

Tabel 4.1 Pengukuran Gangguan Pendengaran dengan Garputala

Kategori Tes Schwabach Tes Rinne Tes Weber

Normal

Sama dengan

pemeriksa

Posistif

Tidak ada

Leteralisasi

Gangguan

Pendengaran

Memanjang Negatif/positif

Leteralisasi ke

telinga skit/sehat

Page 93: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

81

F. Prosedur Penelitian

Pengumpulan data dilakukan melalui tiga tahap, yaitu :

1. Tahap Persiapan

a. Pembuatan permohonan ijin penelitian di penambangan intan

cempaka.

b. Dilakukan survei pendahuluan berupa observasi awal di penambangan

intan Cempaka.

c. Sebelum penelitian dan pengambilan data terlebih dahulu dilakukan

perkenalan diri serta memberikan penjelasan kepada responden tentang

tujuan dan manfaat penelitian dilakukan.

d. Persiapan alat Sound Level Meter untuk mengukur kebisingan di

penambangan intan Cempaka.

e. Persiapan lembar wawancara yang akan digunakan untuk mengetahui

karakteristik responden yang terdiri dari umur, jenis kelamin, lama

paparan dana masa kerja.

2. Tahap Pelaksanaan

Tahap pelaksanaan ini dilakukan pengukuran intensitas kebisingan

menggunakan alat Sound Level Meter yang di lakukan pada 7 titik, yaitu terdiri

dari 1 titik pada mesin dumping dan 6 titik lainnya pada sekeliling lubang galian

tambang intan tersebut. Penentuan populasi dan sampel sesuai dengan rancangan

penelitian. Observasi dan wawancara terhadap responden menggunakan lembar

wawancara. Pengukuran secara manual untuk mengetahui gangguan pendengaran

tenaga kerja dengan gerputala 512 Hz. Pengukuran tersebut dilakukan 1 jam

Page 94: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

82

setelah pekerja terpapar bising, hal ini apabila pengukuran lebih dari 1-2 jam

maka hilangnya pendengaran tersebut akan sembuh

3. Tahap Pelaporan

Setelah tahap pengumpulan data dilakukan, kemudian data diolah dan

selanjutnya dibuat laporan.

G. Teknik Pengumpulan Data

1. Observasi

Observasi dilakukan pada saat studi pedahuluan untuk melihat secara

langsung kondisi lingkungan kerja pertambangan intan cempaka kalimantan

selatan.

2. Pengukuran

Pengukuran tingkat kebisingan dengan menggunakan sound level meter,

sound lever meter mobile-cassy 524-009 untuk melihat hasil intensitas kebisingan

di lingkungan kerja.

3. Lembar Wawancara

Lembar wawancara untuk mengetahui karakteristik responden yang terdiri

dari umur, jenis kelamin, lama paparan, dan masa kerja.

H. Cara Analisis Data

Mengelompokan masa kerja dan hasil pengukuran gangguan pendengaran

tersebut kemudian ditabulasi dan dipersentasikan serta dianalisis secara deskriptif

kemudian disajikan dengan bentuk tabel dan grafik. Analisis data dilakukan

Page 95: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

83

komputerisasi menggunakan program SPSS 16. Uji yang digunakan adalah

Fisher’s Exact Test dengan tingkat kepercayaan 95% untuk melihat adanya

hubungan antara lama pemaparan kebisingan menurut masa kerja dengan keluhan

gangguan pendengaran pada tenaga kerja di pertambangan rakyat intan cempaka

kelurahan sungai tiung Banjarbaru.

I. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di pertambangan intan kelurahan sungai Tiung

Kecamatan Cempaka Banjarbaru Kalimantan Selatan pada hari Sabtu 15

November 2014.

Page 96: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

84

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum

1. Karakteristik Responden Berdasarkan Umur

Penelitian ini dilakukan terhadap gangguan pendengaran pekerja yang

dihubungakn dengan masa kerja pada pekerja dipertambangan intan. Pekerja yang

dijadikan subjek penelitian ini sebanyak 25 responden. Karakteristik responden

berdasarkan umur dapat dilihat pada gambar 5.1

Gambar 5.1 menunjukan karakteristik responden berdasarkan kelompok

umur yang terbanyak adalah pada usia 26-28 tahun. Pada rentan usia tersebut,

pekerja masih berada dimasa produktif tetapi sudah bekerja separuh waktu

0

1

2

3

4

5

6

20-22 23-25 26-28 29-31 32-34 35-38 38-40

UMUR

Masa Kerja Baru (≤10 Tahun) Masa Kerja Lama (>10 Tahun)

Page 97: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

85

ditempat bising, hal tersebut tentunya mempunyai resiko besar untuk

pendengaran.

Pekerja menganggap pekerjaan ini merupakan warisan yang turun –

menurun sehingga setelah selesai sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) bahkan

sekolah dasar (SD) mereka langsung bekerja di pertambangan tersebut dan enggan

untuk melanjutkan sekolah atau mencari pekerjaan yang lain. Pekerja

menyepelekan masalah kesehatan dan keselamatan kerja karena menganggap

mereka masih muda dan kuat sehingga tidak memiliki resiko apapun.

2. Karakteristik Responden Berdasarkan Masa Kerja

berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dengan alat ukur lembar

wawancara didapatkan hasil penelitian berupa karakteristik responden

berdasarkan kelompok masa kerja. Karakteristik responden berdasarkan masa

kerja dapat dilihat pada gambar 5.2

52

%

48

%

M A S A K E R J A B A R U M A S A K E R J A L A M A

Page 98: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

86

gambar 5.2 menunjukan bahwa karakteristik responden berdasarkan masa

kerja baru sebanyak 13 responden (52%) dan masa kerja lama sebanyak 12

responden (46%). Hal ini dikarenakan responden sudah merasa nyaman dan tidak

merasakan efek atau dampak apapun terhadap kesehatan mereka karena mereka

sudah bekerja dari muda, selain itu rumah para pekerja tersebut berada disekitar

tempat pertambangan dan terbiasa dengan suara bising dari mesin sehingga

banyak pekerja disana yang masa kerjanya lebih dari 10 tahun bahkan 20 tahun

lebih.

B. Hasil Pengukuran Kebisingan

Hasil pengukuran menggunakan Sound Level Meter Mobile-Cassy 524-

009 dengan pengambilan sampel sebanyak 7 titik pada lubang galian tambang

seperti yang terlihat pada gambar 5.3 dibawah ini.

Gambar 5.3 Titik Pengambilan Sampel

Mesin dumping

Page 99: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

87

Dari pengambilan sampel pada titik – titik yang terlihat pada gambar 5.3

diatas, didapat nilai rata rata kebisingan 98,8 dB (dapat dilihat pada lampiran 5)

dimana lebih dari NAB (>85 dB).

Berdasarkan keputusan menteri tenaga kerja nomor kep-51/MEN/1999

bahwa semakin tinggi paparan kebisingan yang diterima oleh pekerja maka waktu

yang diijinkan untuk menerimanya pun semakin sebentar. Seharusnya waktu

paparan yang boleh diterima pekerja hanya menit tetapi pada kenyataanya

hal ini berbeda jauh dimana waktu paparan pekerja adalah lebih dari 8 jam dalam

sehari (Keputusan Menteri Tenaga Kerja, 1999).

C. Hasil Pemeriksaan Garputala Untuk Gangguan Pendengaran

Hasil pemeriksaan menggunakan garputala terbagi menjadi 2 yaitu normal

dan gangguan pendengaran. Katagori gangguan pendengaran responden

berdasarkan masa kerja dapat dilihat pada gambar 5.3

76%

24%

GangguanPendengaran

Normal

Page 100: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

88

berdasarkan gambar 5.4 diketahui dari 25 responden terdapat 19 resonden

(76%) mengalami gangguan pendengaran dan sisanya 6 responden (24%) dengan

pendengaran masih normal. Tingginya intensitas kebisingan ditempat kerja dapat

dipengaruhi oleh umur, riwayat penyakit, masa kerja, jenis kebisingan, dan alat

pelindung diri.

D. Pengaruh Masa Kerja terhadap Kebisingan pada Tenaga Kerja

Hasil pengukuran pendengaran menggunakan garputala pada responden

berdasarkan masa kerja dapat dilihat pada gambar 5.5

Berdasarkan gambar 5.5 dapat dilihat jumlah pekerja yang termasuk

kategori ada gangguan pendengaran dan pendengaran yang normal berdasarkan

kelompok masa kerjanya. Hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap

pendengaran telinga kiri dan kanan para responden pada masa kerja lama (>10

0

2

4

6

8

10

12

14

Masa Kerja Baru Masa Kerja Lama

Normal Gangguan Pendengaran

Page 101: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

89

tahun) semuanya mengalami gangguan pendengaran yaitu sebanyak 12 orang dan

pada kategori masa kerja baru ( tahun) sebanyak 8 orang yang mengalami

gangguan pendengaran.

Hasil uji Fisher’s Exact Test dengan taraf kepercayaan 95% antara masa

kerja terhadap gangguan pendengaran akibat kebisingan didapatkan bahwa nilai

p=0,002 (p>0,01). Uji statistik ini menandakan bahwa hasil uji signifikan secara

statistilk, dengan demikian Hipotesis ditolak dimana ada pengaruh masa kerja

terhadap gangguan pendengaran pekerja di Pertambangan Cempaka.

Hasil penelitian sesuai dengan penelitian yang dilakukan pleh Laras Dyah

Permaningtyas (2011) pada pekerja home industry knalpot di kelurahan

purbalingga lor bahwa kejadian Noise Induced Hearing loss (NIHL) lebih banyak

diderita oleh pekerja yang memiliki lama masa kerja lenih dari 10 tahun.

Didukung juga dengan penelitian Arini pada tenaga kerja unit produksi PT.Kurnia

Jati Utama Semarang (2005) bahwa lama masa kerja merupakan faktor resiko

terhadap kejadian NIHL pada pekerja industry (Laras DP,2011).

Gangguan pendengran akibat kebisingan paling banyak ditemukan adalah

gangguan pendengaran sensorneurial yang bersifat permanen dan tidak dapat

disembuhkan. Gangguan pendengaran ini dapat terjadi setelah 3,5 sampai 20

tahun terjadi pemaparan, ada yang mengatakan bahwa setelah 10-15 tahun setelah

terjadi pemaparan. Penderita mungkin tidak menyadari bahwa pendengarannya

telah berkurang dan baru diketahui setelah dilakukan pemeriksaan. Hilangnya

pendengaran sementara akibat pemaparan bising biasanya sembuh setelah istirahat

beberapa jam (1-2 jam). Bising dengan intensitas tinggi dalam waktu yang cukup

Page 102: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

90

lama (10-15 tahun) akan menyebabkan robeknya sel-sel rambut organ Corti

sampai terjadi destruksi total organ Corti. (Jenny,2009).

Proses ini belum jelas terjadinya, tetapi mungkin karena rangsangan bunyi

yang berlebihan dalam waktu lama dapat mengakibatkan perubahan metabolism

dan vaskuler sehingga terjadi kerusakan degeneratif pada struktur sel-sel rambut

organ corti. Akibatnya terjadi kehilangan pendengaran yang permanen. Ini

merupakan proses yang lambat dan tersembunyi, sehingga pada tahap awal tidak

disadari oleh para pekerja. Hal ini hanya dapat dibuktikan dengan pemeriksaan

audiometri (Jenny,2009) gangguan pendengaran.

Apabila bising dengan intensitas tinggi tersebut terus berlangsung dalam

waktu yang cukup lama, akhirnya pengaruh penurunan pendengaran akan

menyebar ke frekwensi percakapan (500-2000 Hz). Pada saat itu pekerja mulai

merasakan ketulian karena tidak dapat mendengar percekapan sekitar (Ikron I

Made Djaja,2007).

Semua pekerja dengan masa kerja lama ( tahun) mengalami

gangguan pendengaran rata-rata usia lebih dari 28 tahun bahkan 40 tahun. Hal ini

sejalan dengan penelitian yang dilakukan Jenni B tentang hubungan faktor umur

dengan terjadinya gangguan pendengaran dan keseimbangan akibat kerja

menunjukan bahwa ada hubungan yang bermakna peningkatan umur usia lebih

dari 35 tahun terhadap gangguan pendengaran dan penelitian oleh Mardji tentang

interaksi faktor individu berumur 40 tahun. Semakin tua seseorang tingkat

kesegaran jasmaninya semakin berkurang karena kondisi fisik menurun sehingga

Page 103: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

91

penurunan pendengaran lebih cepat terjadi dibandingkan dengan tenaga kerja

yang muda (Mallapiang F,2008).

Keterbatasan dalam penelitian ini adalah pekerja yang tidak mengetahui

secara pasti masa kerja mereka, karena untuk menhetahui masa kerja tersebut

menggunakan lembar wawancara dan ada beberapa pekerja yang takut untuk dites

pendengaranya dengan menggunakan garputala.

Page 104: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

92

BAB VI

PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan:

1. Karakteristik responden berdasarkan masa kerja diketahui bahwa masa

kerja baru sebanyak 13 responden (52%) dan masa kerja lama sebanyak

12 (48%) responden.

2. Dari 25 responden terdapat 19 (76%) responden mengalami gangguan

pendengaran dan hanya 6 (24%) responden dengan pendengaran normal.

3. Hasil uji Fisher’s Exact Test dengan taraf kepercayaan 95% bahwa antara

masa kerja terhadap gangguan pendengaran akibat kebisingan didapatkan

p=0,002 dan Ho ditolak yang artinya ada pengaruh, hal ini dikarenakan

bising dengan intensitas tinggi dalam waktu lama akan menyebabkan

robeknya sel-sel rambut organ corti.

B. Saran

1. Sebaiknya di pertambangan Intan Cempakamengadakan penyuluhan

ataupun sosialisasi mengenai bahaya dan dampak dari bahaya terpapar

mesin dumping lebih dari nilai ambang batas maksimal yang telah

ditetapkan.

2. Pemilik Pertambangan Intan beserta pihak terkait bekerjasama untuk

pengadaan alat pelindung diri seperti ear plug untuk meminimalisir bahya

Page 105: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

93

gangguan pendengaran yang ditimbulkan serta melakukan pengawasan

secara rutin dan berkala.

3. Peneliti lain yang hendak melakukan penelitian lanjutan hendaknya

mengkaji tentang apakah masih berpengaruh antara masa kerja terhadap

kebisingan akibat gangguan pendengaran pada pekerja setelah

penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) tersebut.

Page 106: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

DAFTAR PUSTAKA

1. Ada, Yustinus SB. Kebisingan, pencahayaan, dan getaran ditempat kerja.

Mitra 2008 ; 14(3):282-290.

2. Abdul Halim. 2001. Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta: UPP AMP

YKPN.

3. Abidin Z,Tri Wj,dkk. Hubungan perilaku keselamatan dan kesehatan kerja

dengan dosis radiasi pada pekerja reaktor kartini. Diajukan pada Seminar

Nasional IV SDM Teknologi Nuklir,25-26 agustus 2008, Yogyakarta.

Yogyakarta: Sekolah Tinggi Teknologi Nuklir-BATAN,2008.

4. Asdak, C. 2004.Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gajah

Mada University Press. Yogyakarta

5. As’ad. Pengelolaan lingkungan pada penambangan rakyat (studi kasus di

penambangan Intan Rakyat di Kecamatan Cempaka Kota Banjarbaru

Kalimantan Selatan). Semarang : Tesis Program Magister Ilmu Kesehatan

Lingkungan Universitas Diponegoro, 2005.

Page 107: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

6. BAPPEDA Kota Banjarbaru; BPS Kota Banjarbaru. 2003. Kota Banjarbaru

Dalam Angka. Banjarbaru

7. BAPPEDA Kota Banjarbaru; BPS Kota Banjarbaru. 2003. Kecamatan

Cempaka Dalam Angka. Banjarbaru.

8. Cholidah. 2005. Perbedaan ambang pendengaran tenaga kerja setelah terpapar

kebisingan dan sesudah bekerja pada lingkungan bising Departemen Ring

Frame Unit Spinning I PT. Apac Inti Corpora Bawen. Skripsi. Semarang :

Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Semarang.

9. Devas, Nick dkk. 1989. Keuangan Pemerintahan Daerah Di Indonesia.

Penerbit Universitas Indonesia Press, Jakarta.

10. Dunn, William. H., 2000, Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Edisi kedua.

Gajah Mada University Press, Yogyakarta.

11. Huboyo H.S. 2008. Analisis sebaran kebisingan fasilitas utility PT. Pertamina

(PERSERO) UP-VI Balongan Indramayu. Jurnal Presipitasi ; 5(2): 1-7

12. Ikron I Made Djaja, Ririn A. 2007. Pengaruh kebisingan lalulintas jalan

terhadap gangguan kesehatan psikologis anak SDN Cipinang Muara

Page 108: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

Kecamatan Jatinegara, Kota Jakarta Timur Propinsi DKI Jakarta. Jurnal

Makara Kesehatan ; 11(1): 32-37.

13. Jenny, Bashirudin. 2009. Program konservasi pendengaran pada pekerja yang

terpajan bising industri. Majalah Kedokteran Indonesia ; 58(1): 14-19.

14. Kodoatie, R.J.; Sugiyanto.2002. Banjir ,Beberapa Penyebab dan Metode

Pengendaliannya dalam Perspektif Lingkungan. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

15. Keputusan Menteri Tenaga Kerja. 1999. Nomor: Kep-51/MEN/1999 tentang

nilai ambang batas faktor fisika di tempat kerja. Jakarta: Departemen Tenaga

Kerja dan Transmigrasi.

16. Laras DP. 2011. Hubungan lama masa kerja dengan kejadian Noise-Incuded

Hearing Loss pada pekerja Home Industry knalpot di Kelurahan Purbalingga.

Jurnal Mandala of Health ; 5 (3) : 1-5.

17. Mallapiang F. 2008. Faktor-faktor yang berhubungan dengan pendengaran

tenaga kerja akibat bising pada unit produksi PT. Sermani Steel Coorporation

Makasar 2008. Skripsi. Makasar. Universitas Alauddin Makasar.

18. Mardiasmo. 2002. Akuntansi Sektor Publik. Penerbit Andi. Yogyakarta.

Page 109: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

19. Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta

1981.

20. Nadiroh M.H. 2011. Hubungan paparan kebisingan dengan stres kerja pada

tenaga kerja di bagian weaving PT. Triangga Dewi Surakarta. Skripsi.

Surakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret.

21. Noradzuwa S. 2008. Noise induced hearing loss (NIHL). Jakarta: Makalah

Jurusan Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Ukrida

Kristen Krida Wacana.

22. Novi A. 2004. Pengaruh kebisingan terhadap kesehatan tenaga kerja. Cermin

Dunia Kedokteran ; 144: 24-28.

23. Rangkuti, F.2005. Analisis SWOT Teknis Pembedah Kasus Bisnis. Gramedia

Press. Jakarta.

24. Rahmi, F. 2005. Analisis SWOT Teknis Pembedah Kasus Bisnis. Gramedia

Press. Jakarta.

25. Rifai M. 2009. Keselamatan dan kesehatan kerja serta pengaruhnya terhadap

kinerja. Jurnal Aplikasi Manajemen ; 7(4): 944-952.

Page 110: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

26. Sholihah Q, Sri H,dkk. 2006. Hubungan lama pajanan bunyi mesin kapal

terhadap penurunan nilai ambang dengar pada nelayan Kecamatan Pulau

Laut Utara Kabupaten Kotabaru. Jakarta: Jurnal Berkala Kedokteran ; 5(2):

175-181

27. Sofarini, D. 1999. Laporan Penelitian Skripsi. Upaya Penjernihan Air Limbah

Batubara dengan Perlakuan Eceng Gondok (Eichornia Cressipes) dan Aerasi.

Fakultas Perikanan UNLAM. Banjarbaru.

28. Tangkilisan, H.N.S. 2004. Kebijakan dan Manajemen Lingkungan Hidup.

YPAPI, Yogyakarta.

29. TKP2LH. 2001. Penelitian Dampak Penambangan di wilayah Kota

Banjarbaru. BAPPEDA. Banjarbaru.

30. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1960 tentang Pokok-

Pokok Kesehatan. Jakarta : Departemen Kesehatan,1960.

31. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan . Jakarta: Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, 2003.

Page 111: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

32. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1970 tentang

Keselamatan Kerja. Jakarta : Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi,

1970.

33. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967, tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok

Pertambangan

34. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992, tentang Tata Ruang

35. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997, tentang Pengelolaan Lingkungan

Hidup

36. Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2001, tentang Perubahan Kedua Atas

Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1968, tentang Pelaksanaan Undang-

Undang Nomor 11 Tahun 1967, tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok

Pertambangan.

37. Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 01 P/201/M.PE/1986,

tentang Pedoman Pengelolaan Pertambangan Rakyat Bahan Galian Strategis

dan Vital (Golongan A dan B)

38. Peraturan Daerah Nomor 05 Tahun 2001, tentang Rencana Umum tata Ruang

Kota (RUTRK) Banjarbaru Tahun 2000-2010

Page 112: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

39. Peraturan Daerah Kota Banjarbaru Nomor 05 Tahun 2002, tentang

Pengelolaan Usaha Pertambangan Rakyat Bahan Galian Strategis dan Vital (

Golongan A dan B)

40. Nedved, M dan Imamkhasani S. 1991. Dasar-dasar Keselamatan Kerja Bidang

Kimia dan Pengendalian Bahaya Besar. Jakarta : ILO (International Labour

Organization).

41. ILO. Introduction to Occupational Health and Safety. 2003 International

Labour Office, Pencegahan Kecelakaan, PT. Pustaka Binaman Pressindo,

Jakarta, 1989

42. Suma’mur P.K. 1986. Keselamatan kerja dan pencegahan kecelakaan kerja.

Haji Masagung,Jakarta.

43. Suma’mur P. K. 1996. Keselamatan Kerja dan Pencegahan Kecelakaan.

Jakarta : CV Haji Massagung.

44. Suma’mur P. K. 2009. Higene Perusahaan dan Kesehatan Kerja. Jakarta : PT

Toko Gunung Agung

Page 113: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

45. Tarwaka. 2008. Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Manajemen dan

Implementasi Kesehatan dan Keselamatan Kerja di Tempat Kerja. Surakarta :

Harapan Press.

Page 114: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

Lampiran 1. Hasil Pengukuran Kebisingan Menggunakan Sound Level Meter

SAMPEL dB

Titik A (Mesin) 114,3

Titik B 92

Titik C 99,3

Titik D 95,4

Titik E 96,2

Titik F 99,6

Titik G 94,7

Rata - rata 98,8

Page 115: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

Lampiran 2. Hasil Uji Statistik

WEIGHT

BY Freq .

CROSSTABS

/TABLES=Masa_Kerja BY Hasil_Pengukuran

/FORMAT= AVALUE TABLES

/STATISTIC=CHISQ

/CELLS= COUNT

/COUNT ROUND CELL .

Crosstabs Notes

Output Created 17-DEC-2014 13:08:33

Comments

Input Active Dataset DataSet1

Filter <none>

Weight Freq

Split File <none>

N of Rows in Working Data File 3

Missing Value Handling

Definition of Missing User-defined missing values are treated as missing.

Cases Used Statistics for each table are based on all the cases with valid data in the specified range(s) for all variables in each table.

Syntax CROSSTABS /TABLES=Masa_Kerja BY Hasil_Pengukuran /FORMAT= AVALUE TABLES /STATISTIC=CHISQ /CELLS= COUNT /COUNT ROUND CELL .

Resources Elapsed Time

0:00:00,02

Dimensions Requested 2

Cells Available 174876

Processor Time 0:00:00,02

Page 116: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

[DataSet1]

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

Masa_Kerja * Hasil_Pengukuran 25 100,0% 0 ,0% 25 100,0%

Masa_Kerja * Hasil_Pengukuran Crosstabulation

Count

Hasil_Pengukuran Total

Gangguan

Pendengaran Normal

Gangguan Pendengaran

Masa_Kerja Masa Kerja Baru 8 5 13

Masa Kerja Lama 0 12 12

Total 8 17 25

Chi-Square Tests

Value df Asymp. Sig.

(2-sided) Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 10,860(b) 1 ,001

Continuity Correction(a)

8,216 1 ,004

Likelihood Ratio 14,020 1 ,000

Fisher's Exact Test ,002 ,001

Linear-by-Linear Association 10,425 1 ,001

N of Valid Cases 25

a Computed only for a 2x2 table b 2 cells (50,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3,84. >Warning # 3211

>On at least one case, the value of the weight variable was zero,

negative,

>or missing. Such cases are invisible to statistical procedures

and graphs

>which need positively weighted cases, but remain on the file and

are

>processed by non-statistical facilities such as LIST and SAVE.

Page 117: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

Lampiran 3. Dokumentasi

Gambar 1. Mesin yang digunakan di Pertambangan Intan Cempaka

Gambar 2. Kegiatan Pendulangan Intan Cempaka Banjarbaru

Page 118: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

Gambar 3. Kegiatan wawancara

Gambar 4. Kegiatan observasi di wilayah Tambang Intan Cempaka

Page 119: HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

Gambar 5. Pengukuran Kebisingan menggunakan Sound Level Meter