hubungan antara intensitas cahaya dengan...

12
21 HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERUHAN PADA PERAIRAN TELUK AMBON DALAM PENDAHULUAN Perkembangan pembangunan yang semakin pesat mengakibatkan kondisi Teluk Ambon, khususnya Teluk Ambon Dalam (TAD) mendapat tekanan yang cukup berat, dengan adanya pemanfaatan lahan atas untuk daerah pemukiman mengakibatkan sedimentasi di daerah pantai. Adanya sedimentasi dapat mengakibatkan hilangnya terumbu karang di Teluk Ambon Dalam (Wouthuyzen 2001). Sedimentasi menyebabkan peningkatan kekeruhan air yang menghalangi penetrasi cahaya yang masuk ke dalam air dan mengganggu organisme yang memerlukan cahaya. Menurut Dahuri (2003), sedimen yang berasal dari lahan pertanian yang mengandung nitrogen dan fosfat yang tinggi dapat menimbulkan eutrofikasi. Dengan tingginya kekeruhan akan mempengaruhi penetrasi cahaya ke dalam kolom perairan selanjutnya akan menurunkan produktivitas fitoplankton pada perairan. Cahaya matahari yang menembus laut mengalami dua perubahan penting. Pertama, energinya akan semakin berkurang secara eksponensial, dan kedua, lebar spektrumnya semakin menyempit. Di perairan samudera, makin dalam cahaya menembus makin menyempit spektrum ke arah warna biru (475 nm). Dengan kata lain telah diserap pada lapisan lebih atas. Di perairan pantai hal ini bergeser ke gelombang yang lebih panjang (hijau sampai kuning) bergantung pada banyaknya zat terlarut dan tersuspensi dalam air. Proses fotosintesis fitoplankton hanya dapat berlangsung bila ada cahaya pada kolom perairan (Nybakken 1992). Hasil fotosintesis yang cukup besar dapat diperoleh mulai dari lapisan permukaan sampai ke kedalaman dengan nilai intensitas cahaya tinggal 1% dari intensitas cahaya di permukaan air, dan kedalaman ini merupakan batas bawah zona eufotik. Selanjutnya Domingues et al. (2005) menyatakan cahaya dapat menjadi pembatas pertumbuhan fitoplankton, terutama sel-sel fitoplankton. Cahaya matahari yang memasuki suatu medium optik seperti air, intensitasnya akan berkurang atau mengalami peredupan bergantung pada materi yang terkandung dalam kolom air itu sendiri. Pada kolom air yang memiliki tingkat kekeruhan yang tinggi, tingkat peredupannya juga tinggi. Kekeruhan (turbidity) merupakan gambaran sifat optik air dari suatu perairan yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang dipancarkan dan diabsorpsi oleh partikel- partikel yang ada dalam air. Kekeruhan disebabkan oleh bahan organik maupun anorganik tersuspensi dan terlarut seperti lumpur pasir halus, plankton, dan mikroorganisme (APHA 1989). Tujuan penelitian ini adalah menganalisis hubungan intensitas cahaya dengan kekeruhan di perairan Teluk Ambon Dalam. METODE PENELITIAN Pengukuran kekeruhan menggunakan CTD-ALEC, Model ASTD-687. Penentuan posisi stasiun menggunakan GPS-Garmin, Model 76CSx. Intensitas cahaya matahari permukaan diukur dengan alat Automatic Weather Station (AWS) tipe JY 106 dari Badan Meteorologi dan Geofisika Ambon. Besarnya

Upload: truongbao

Post on 15-Feb-2018

223 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

21

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN

KEKERUHAN PADA PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

PENDAHULUAN

Perkembangan pembangunan yang semakin pesat mengakibatkan kondisi

Teluk Ambon, khususnya Teluk Ambon Dalam (TAD) mendapat tekanan yang

cukup berat, dengan adanya pemanfaatan lahan atas untuk daerah pemukiman

mengakibatkan sedimentasi di daerah pantai. Adanya sedimentasi dapat

mengakibatkan hilangnya terumbu karang di Teluk Ambon Dalam (Wouthuyzen

2001). Sedimentasi menyebabkan peningkatan kekeruhan air yang menghalangi

penetrasi cahaya yang masuk ke dalam air dan mengganggu organisme yang

memerlukan cahaya. Menurut Dahuri (2003), sedimen yang berasal dari lahan

pertanian yang mengandung nitrogen dan fosfat yang tinggi dapat menimbulkan

eutrofikasi. Dengan tingginya kekeruhan akan mempengaruhi penetrasi cahaya ke

dalam kolom perairan selanjutnya akan menurunkan produktivitas fitoplankton

pada perairan.

Cahaya matahari yang menembus laut mengalami dua perubahan penting.

Pertama, energinya akan semakin berkurang secara eksponensial, dan kedua, lebar

spektrumnya semakin menyempit. Di perairan samudera, makin dalam cahaya

menembus makin menyempit spektrum ke arah warna biru (475 nm). Dengan

kata lain telah diserap pada lapisan lebih atas. Di perairan pantai hal ini bergeser

ke gelombang yang lebih panjang (hijau sampai kuning) bergantung pada

banyaknya zat terlarut dan tersuspensi dalam air. Proses fotosintesis fitoplankton

hanya dapat berlangsung bila ada cahaya pada kolom perairan (Nybakken 1992).

Hasil fotosintesis yang cukup besar dapat diperoleh mulai dari lapisan permukaan

sampai ke kedalaman dengan nilai intensitas cahaya tinggal 1% dari intensitas

cahaya di permukaan air, dan kedalaman ini merupakan batas bawah zona eufotik.

Selanjutnya Domingues et al. (2005) menyatakan cahaya dapat menjadi pembatas

pertumbuhan fitoplankton, terutama sel-sel fitoplankton.

Cahaya matahari yang memasuki suatu medium optik seperti air,

intensitasnya akan berkurang atau mengalami peredupan bergantung pada materi

yang terkandung dalam kolom air itu sendiri. Pada kolom air yang memiliki

tingkat kekeruhan yang tinggi, tingkat peredupannya juga tinggi. Kekeruhan

(turbidity) merupakan gambaran sifat optik air dari suatu perairan yang ditentukan

berdasarkan banyaknya cahaya yang dipancarkan dan diabsorpsi oleh partikel-

partikel yang ada dalam air. Kekeruhan disebabkan oleh bahan organik maupun

anorganik tersuspensi dan terlarut seperti lumpur pasir halus, plankton, dan

mikroorganisme (APHA 1989). Tujuan penelitian ini adalah menganalisis

hubungan intensitas cahaya dengan kekeruhan di perairan Teluk Ambon Dalam.

METODE PENELITIAN

Pengukuran kekeruhan menggunakan CTD-ALEC, Model ASTD-687.

Penentuan posisi stasiun menggunakan GPS-Garmin, Model 76CSx. Intensitas

cahaya matahari permukaan diukur dengan alat Automatic Weather Station

(AWS) tipe JY 106 dari Badan Meteorologi dan Geofisika Ambon. Besarnya

22

intensitas cahaya matahari di tiap kedalaman dihitung berdasarkan persamaan

Beer-Lambert (Walsby 2001) sebagai berikut:

Iz = Ioe-kz

Dimana :

Iz adalah intensitas cahaya pada kedalaman z,

Io adalah intensitas cahaya permukaan,

k adalah koefisien peredupan.

Koefisien peredupan dapat dihitung berdasarkan persamaan matematis yang

dikemukakan oleh (Tillman et al. 2000):

k = 0.191 + 1.242/Sd

Sd (dalam satuan meter) adalah kedalaman penetrasi cahaya yang diukur

mempergunakan cakram sechi ( secchi disc ) berdiameter 30 cm

Selanjutnya untuk mengetahui distribusi intensitas cahaya dan kekeruhan secara

temporal dan spasial dianalisis dengan ANOVA satu arah. Apabila pada analisis

ini terdapat perbedaan yang nyata, maka analisis dilanjutkan dengan uji Post-doc

Duncan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Intensitas Cahaya Matahari

Intensitas cahaya matahari permukaan perairan umumnya menunjukkan

adanya fluktuasi pada setiap musim. Rata-rata intensitas cahaya terendah pada

Musim Timur (169.22 sampai 330.72 µmol foton m-2

det-1

) dan tertinggi pada

Musim Peralihan II (300.49 – 807.84 µmol foton m-2

det-1

) (Gambar 10 dan 11).

Hasil analisis secara temporal intensitas cahaya menunjukkan ada perbedaan

antar musim (ANOVA ;P<0.01), dimana Musim Timur berbeda sangat nyata

dengan musim-musim lainnya. Karena pada Musim Timur rata-rata intensitas

cahaya rendah (253.87 µmol foton m-2

det-1

) dan tercatat hari-hari dengan curah

hujan yang tinggi yaitu hari hujan 25 sampai 28 hari (data BMG Stasiun Laha

Ambon). Sedangkan pada Musim Peralihan II didominasi hari-hari dengan rata-

rata intensitas cahaya matahari permukaan yang tinggi (619.16 µmol foton m-2

det-

1) dan pada Musim Barat dan Musim Peralihan I, intensitas cahaya matahari relatif

stabil dengan kisaran masing-masing 482.24 sampai 568.17 µmol foton m-2

det-1

dan 439.41 sampai 674.16 µmol foton m-2

det-1

. Sedangkan intensitas cahaya

maksimum pada daerah tropis berkisar dari 765.88 sampai 903.29 µmol foton m-

2det

-1 (Barnabe and Barnabe-Quet 2000). Gambar 11 memperlihatkan bahwa pada

bulan Oktober dan November intensitas cahaya pada permukaan laut berada pada

kisaran intensitas cahaya maksimum daerah tropis.

23

Gambar 10 Fluktuasi intensitas cahaya rata-rata pada Musim Timur, Peralihan II,

Barat, dan Peralihan I di permukaan laut TAD (Sumber data : BMG

Stasiun Ambon 2011-2012)

Gambar 11 Fluktuasi intensitas cahaya pada setiap bulan di permukaan laut

(Sumber data : BMG Stasiun Laha Ambon 2011-2012)

Kedalaman Penetrasi Cahaya (Secchi Depth) dan Koefisien Peredupan

Distribusi rata-rata kedalaman penetrasi cahaya (kecerahan) pada Musim

Timur di TAD berkisar dari 2.83 sampai 5.83 m (4.60±0.96), dengan kedalaman

penetrasi cahaya terendah sekitar daerah Poka (St 3) yang berdekatan dengan

muara sungai. Sebaliknya tertinggi di (St 8) bagian tengah antara Lateri dan

Waiheru. Menurut Mainassy et al. (2005) kecerahan perairan pada bulan Juli

(musim Timur) berkisar dari 6.10 sampai 10.5 m.

Pada Musim Peralihan II rata-rata kedalaman penetrasi cahaya berkisar

dari 5.17 sampai 8.18 m (7.07±0.99), kedalaman penetrasi cahaya terendah di

daerah Dermaga Galala (St 1) dan tertinggi di (St 8) sekitar bagian tengah antara

24

Lateri dan Waiheru. Distribusi rata-rata kedalaman penetrasi cahaya pada Musim

Barat bervariasi dari 5.83 sampai 8.83 m (7.27±0.96), dengan kedalaman terendah

di sekitar daerah Poka (St 3) dan tertinggi di daerah depan Dermaga Angkatan

Laut (St 5). Kedalaman penetrasi cahaya di Musim Peralihan I berkisar dari 5.50

sampai 6.17 m (5.80±0.25), kedalaman terendah di sekitar daerah Poka (St 3),

depan Dermaga Angkatan laut (St 5) dan Latta (St 7), sebaliknya yang tertinggi di

(St 2) bagian tengah antara Dermaga Galala dan Poka. Kedalaman penetrasi

cahaya tertinggi pada keempat musim terdapat di Stasiun 2, Stasiun 5 dan Stasiun

8 yang terletak pada bagian tengah teluk dengan kekeruhan yang rendah.

Distribusi kedalaman penetrasi cahaya secara temporal memperlihatkan

perbedaan nyata (ANOVA;P<0.01), artinya musim sangat berpengaruh terhadap

kedalaman penetrasi cahaya. Analisis lanjutan menunjukkan bahwa Musim Timur

berbeda nyata terhadap Musim Peralihan I dan sangat nyata terhadap Musim

Peralihan II dan Musim Barat. Pada Musim Timur, Peralihan II, dan Barat

kedalaman penetrasi cahaya terendah pada Zona-1 sedangakan pada Musim

Peralihan I pada Zona-2 (Tabel 11)

Musim Timur distribusi kedalaman koefisien peredupan berkisar antara

0.41 sampai 0.64 meter (0.49±0.08). Musim Peralihan II yaitu 0.36 sampai 0.49

meter (0.40±0.04), dan Musim Barat yaitu 0.34 sampai 0.41 meter (0.37±0.02)

dan Musim Peralihan I yaitu 0.43 sampai 0.49 meter (0.45±0.02). Pada Musim

Timur, Peralihan II dan Barat kedalaman penetrasi cahaya sangat berkorelasi

dengan koefisien peredupan masing-masing (Pearson’s r = -0.992, r = -0.913 dan r

= -0.982;P<0.01) (Lampiran 1, 2, dan 3), hal ini menunjukkan bahwa dengan

bertambahnya kedalaman penetrasi cahaya, maka koefisien peredupan semakin

rendah atau sebaliknya

Pada beberapa stasiun menunjukkan koefisien peredupan yang tinggi,

tetapi cenderung intensitas cahaya matahari yang menembus kolom air relatif

kecil, sebaliknya pada beberapa stasiun dengan koefisien peredupan yang rendah,

cenderung intensitas matahari yang masuk ke kolom air relatif besar (Gambar 12

dan Gambar 13). Stewart (2002) menyatakan bahwa peredupan intensitas cahaya

disebabkan oleh penyerapan pigmen-pigmen dan molekul-molekul serta partikel-

partikel yang tersebar dalam air.

Secara temporal distribusi kedalaman koefisien peredupan menunjukkan

perbedaan nyata (ANOVA; P<0.01). Analisis lanjutan menunjukkan bahwa

Musim Barat dan Musim Peralihan II berbeda dengan Musim Peralihan I dan

Musim Timur. Rata-rata kedalaman koefisien peredupan lebih dalam pada Musim

Timur, Peralihan II, Barat, dan Peralihan I di Zona-1 (Tabel 12).

Tabel 11 Rerata kedalaman penetrasi cahaya (m) pada setiap zona

Zona MUSIM

Timur Peralihan II Barat Peralihan I

1 4.17 6.50 6.92 5.83

2 4.72 7.28 7.50 5.72

3 5.06 7.61 7.50 5.83

25

Tabel 12 Rerata kedalaman koefisien peredupan (m) pada setiap zona

Zona MUSIM

Timur Peralihan II Barat Peralihan I

1 0.53 0.41 0.38 0.46

2 0.48 0.39 0.37 0.46

3 0.45 0.38 0.37 0.44

Gambar 12 Profil kedalaman penetrasi cahaya (secchi depth) dan koefisien

peredupan pada Teluk Ambon Dalam (Juni s/d November 2011)

Musim Timur, koefisien peredupan berkorelasi dengan kekeruhan

(Pearson’s r = 0.662;P<0.05), hal ini menunjukkan bahwa meningkatnya

kekeruhan maka akan meningkatkan koefisien peredupan. Sedangkan pada bulan

Oktober dan November dengan intensitas cahaya yang tinggi masing-masing

(749.15 dan 807.84 µmol foton m-2

det-1

) (data BMG Stasiun Ambon) dengan

rata-rata curah hujan yang rendah masing-masing (9.5 mm dan 4.4 mm) (data

BMG Stasiun Laha Ambon), terdapat koefisien peredupan yang rendah tetapi

26

cenderung intensitas cahaya yang masuk ke kolom air relatif besar. Peningkatan

intensitas cahaya dengan pengurangan kekeruhan (run off) akan mengurangi

koefisien peredupan pada kolom air (Madhu et al. 2007).

Gambar 13 Profil kedalaman penetrasi cahaya (secchi depth) dan koefisien

peredupan pada Teluk Ambon Dalam (Desember 2011 s/d Mei

2012)

Hal ini terlihat di bulan Juni pada daerah dari Dermaga Galala sampai daerah

Poka (St 1, St 2, St 3) dan daerah Hunut (St 6) dengan kedalaman penetrasi

cahaya 2.5 m, dan tercatat kedalaman koefisien peredupan 0.69 m. Hal ini

disebabkan terdapat tingkat kekeruhan yang tinggi (1.76 sampai 3.27 FTU.

Sedangkan di bulan Juli pada daerah Halong (St 4), (St 8) bagian tengah antara

Lateri dan Waiheru dan Nania (St 9) dengan kedalaman penetrasi cahaya 6.5 m,

tercatat kedalaman koefisien peredupan 0.38 m dan di bulan Oktober pada depan

Dermaga Angkatan Laut (St 5) dan Stasiun 8, bulan Januari pada Stasiun 5 dan di

bulan April pada Stasiun 2 dan Hunut (St 6) masing-masing dengan kedalaman

penetrasi cahaya 10.5 m tercatat kedalaman koefisien peredupan 0.31 m. Hal ini

27

disebabkan dengan bertambahnya kedalaman penetrasi cahaya, maka koefisien

peredupan semakin rendah.

Daerah Mixing dan Eufotik

Rasio Zmix:Zeu secara spasial dan temporal diperoleh dari perbandingan

antara kedalaman tercampur berdasarkan salinitas dengan kedalaman perairan

dimana intensitas cahaya tinggal 1% (Gambar 14). Distribusi rasio Zmix:Zeu

pada setiap musim relatif sama pada semua stasiun, pada saat terjadi percampuran

vertikal hanya berlangsung dalam zona eufotik. Menurut Nybakken (1992) bila

percampuran vertikal berlangsung dalam zona eufotik, sel-sel fitoplankton hanya

diangkut ke bawah menempuh jarak yang pendek sehingga sel-sel masih tetap

tinggal di suatu wilayah di mana cahaya cukup untuk fotosintesis.

Musim Peralihan I rasio Zmix:Zeu cenderung memiliki nilai rata-rata yang

lebih tinggi (45.97 %), sedangkan Musim Peralihan II dengan rata-rata nilai rasio

yang lebih rendah (33.87 %). Pada Musim Peralihan I memiliki rasio Zmix:Zeu

lebih tinggi, disebabkan karena rata-rata zona eufotik yang rendah, sedangkan

pada Musim Peralihan II memiliki zona eufotik yang lebih dalam, disebabkan

intensitas cahaya permukaan lebih tinggi. Berdasarkan hasil analisis, maka lapisan

tercampur berlangsung dalam zona eufotik yang terjadi TAD.

Gambar 14 Rasio Zmix:Zeu (%) pada perairan Teluk Ambon Dalam

Rasio Zmix:Total Depth secara spasial dan temporal diperoleh dari

perbandingan antara kedalaman tercampur dengan kedalaman total perairan

(Gambar 15). Distribusi rasio pada setiap musim relatif sama, kecuali pada

Stasiun 3, 9, dan 10, pada ketiga stasiun ini terdapat nilai rasio yang tinggi

disebabkan lebih dalamnya zona mixing. Rata-rata rasio Zmix:Total Depth

tertinggi terdapat pada Musim Peralihan I (21.67 %), sedangkan rata-rata rasio

terendah pada Musim Timur (16.56%). Rendahnya rata-rata rasio Zmix:Total

Depth pada Musim Timur disebabkan oleh lebih dangkal zona mixing. Hal ini

menunjukan bahwa lapisan tercampur tidak sampai di dasar perairan.

28

Gambar 15 Rasio Zmix:Total Depth (%) pada perairan Teluk Ambon Dalam

Rasio Zeu:Total Depth secara spasial dan temporal diperoleh dari

perbandingan antara kedalaman eufotik dengan kedalaman total perairan

(Gambar 16). Distribusi rasio pada setiap musim relatif sama, kecuali pada

Stasiun 3, 9, dan 10, dengan kedalaman masing-masing 7 meter, 10 meter, dan 16

meter. Pada ketiga stasiun ini terdapat nilai rasio yang tinggi disebabkan lebih

dalamnya zona eufotik, disamping itu zona eufotik mendekati atau sampai di

dasar perairan. Rata-rata rasio Zeu:Total Depth tertinggi terdapat pada Musim

Barat (52.96 %), sedangkan rata-rata rasio terendah pada Musim Timur (43.78%).

Tingginya rata-rata rasio Zeu:Total Depth pada Musim Barat disebabkan oleh

lebih dalamnya zona eufotik, sedangkan Musim Timur sebaliknya.

Gambar 16 Rasio Zeu : Total Depth (%) pada perairan Teluk Ambon Dalam

Hubungan Intensitas cahaya dengan Kekeruhan

Kekeruhan (turbiditas) perairan menggambarkan sifat optik air yang

ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh

bahan-bahan yang terdapat dalam air. Kekeruhan suatu perairan dapat disebabkan

oleh bahan-bahan organik, seperti plankton dan organisme lainnya, serta bahan

anorganik seperti lumpur dan pasir halus. Tingkat kekeruhan perairan

29

mempengaruhi tingkat kedalaman pencahayaan matahari. Semakin keruh suatu

badan air, sinar matahari yang masuk ke dalam air akan semakin terhambat.

Berdasarkan distribusi kekeruhan rata-rata pada Musim Timur di TAD berkisar

dari 0.78 sampai 3.27 FTU (1.61±0.72). Pada Musim Timur kekeruhan tertinggi

pada bulan Juni (Tabel 13 dan Gambar 17). Kekeruhan tertinggi di Musim Timur

di Zona-1 pada sekitar daerah Poka (St 3) dan terendah sekitar daerah Latta (St 7)

dan Stasiun 5 pada Zona-2. Tingginya kekeruhan pada Stasiun 3 disebabkan

karena stasiun tersebut berdekatan dengan muara sungai. Kekeruhan yang

disebabkan oleh lumpur dan partikel yang dapat mengendap digunakan sebagai

faktor pembatas, sedangkan kekeruhan yang disebabkan oleh organisme,

merupakan indikasi produktivitas (Odum 1971).

Gambar 17 Peta distribusi kekeruhan di perairan Ambon Dalam

Turbiditas [FTU]

0.0 1.2 2.4 3.6 4.8 6.0

128.19°BT 128.2 °BT 128.21°BT 128.22°BT 128.23°BT 128. 24°BT 128.25°BT

-3.6

7°L

S-3

.66°L

S-3

.65

°LS

-3.6

4°L

S-3

.63°LS

Poka

PassoNeg. Lama

WaiheruHunuth

R. Tiga

Lateri

Latta

Halong

Galala

Tantui

U

128.19°BT 128.2 °BT 128.21°BT 128.22°BT 128.23°BT 128. 24°BT 128.25°BT

-3.6

7°L

S-3

.66°L

S-3

.65

°LS

-3.6

4°L

S-3

.63°LS

Poka

PassoNeg. Lama

WaiheruHunuth

R. Tiga

Lateri

Latta

Halong

Galala

Tantui

U

128.19°BT 128.2 °BT 128.21°BT 128.22°BT 128.23°BT 128.24°BT 128.25°BT

-3.6

7°LS

-3.6

6°L

S-3

.65°LS

-3.6

4°LS

-3.6

3°L

S

Poka

PassoNeg . Lama

Waiheru

Hunuth

R. Tiga

Lateri

Latta

Halong

Galala

Tantui

U

128.19°BT 128.2 °BT 128.21°BT 128.22°BT 128.23°BT 128.24°BT 128.25°BT

-3.6

7°L

S-3

.66°L

S-3

.65°L

S-3

.64°L

S-3

.63°L

S

Poka

PassoNeg . Lama

Waiheru

Hunuth

R.Tiga

Lateri

Latta

Halong

Galala

Tantui

U

128.19°BT 128.2 °BT 128.21°BT 128.22°BT 128.23°BT 128.24°BT 128.25°BT

-3.6

7°L

S-3

.66°L

S-3

.65

°LS

-3.6

4°L

S-3

.63°L

S

Poka

Passo

Neg . LamaWaiheru

Hunuth

R. Tiga

Lateri

Latta

Halong

Galala

Tantui

U

128.19°BT 128.2 °BT 128.21°BT 128.22°BT 128.23°BT 128. 24°BT 128.25°BT

-3.6

7°L

S-3

.66°L

S-3

.65

°LS

-3.6

4°L

S-3

.63

°LS

Poka

PassoNeg. Lama

Waiheru

Hunuth

R. Tiga

Lateri

Latta

Halong

Galala

Tantui

U

128.19°BT 128.2 °BT 128.21°BT 128.22°BT 128.23°BT 128.24°BT 128.25°BT

-3.6

7°LS

-3.6

6°L

S-3

.65°L

S-3

.64°L

S-3

.63°L

S

Poka

PassoNeg . Lama

Waiheru

Hunuth

R. Tiga

Lateri

Latta

Halong

Galala

Tantui

U

128.19°BT 128.2 °BT 128.21°BT 128.22°BT 128.23°BT 128.24°BT 128.25°BT

-3.6

7°L

S-3

.66°L

S-3

.65

°LS

-3.6

4°L

S-3

.63°L

S

Poka

Passo

Neg . LamaWaiheru

Hunuth

R. Tiga

Lateri

Latta

Halong

Galala

Tantui

U

128.19 °BT 128.2 °BT 128.21°BT 128.22°BT 128.23°BT 128.24°BT 128. 25°BT

-3.6

7°LS

-3.6

6°L

S-3

.65

°LS

-3.6

4°LS

-3.6

3°LS

Poka

Passo

Neg . LamaWaiheru

Hunuth

R. Tiga

Lateri

Latta

Halong

Galala

Tantui

U

128.19 °BT 128.2 °BT 128.21°BT 128.22°BT 128.23°BT 128.24 °BT 128. 25°BT

-3.6

7°L

S-3

.66°L

S-3

.65

°LS

-3.6

4°LS

-3.6

3°L

S

Poka

PassoNeg. Lama

Waiheru

Hunuth

R. Tiga

Lateri

Latta

Halong

Galala

Tantui

U

128.19°BT 128.2 °BT 128. 21°BT 128.22°BT 128.23°BT 128. 24°BT 128.25°BT

-3.6

7°LS

-3.6

6°L

S-3

.65°L

S-3

.64°L

S-3

.63°L

S

Poka

PassoNeg . Lama

Waiheru

Hunuth

R.Tiga

Lateri

Latta

Halong

Galala

Tantui

U

128. 19°BT 128.2 °BT 128. 21°BT 128.22°BT 128.23°BT 128.24°BT 128.25°BT

-3.6

7°L

S-3

.66°L

S-3

.65

°LS

-3.6

4°L

S-3

.63°LS

Poka

Passo

Neg . LamaWaiheru

Hunuth

R. Tiga

Lateri

Latta

Halong

Galala

Tantui

U

Juni 2011 Juli 2011 Agustus 2011

September 2011 Oktober 2011 November 2011

Desember 2011 Januari 2012 Februari 2012

Maret 2012 April 2012 Mei 2012

P.A M B O N P. A M B O NP. A M B O N

P. A M B O NP. A M B O N

P. A M B O NP. A M B O N

P. A M B O N

P. A M B O N P. A M B O N P. A M B O N

P. A M B O N

MT

MP

2M

BM

P1

30

Tabel 13 Kisaran dan rerata kekeruhan permukaan laut TAD pada Musim Timur

dan Peralihan II

Nilai

Kekeruhan (FTU)

Musim

Timur Peralihan II

Juni Juli Agustus September Oktober November

Maksimum 6.04 1.69 2.07 2.03 0.55 1.71

Minimum 1.00 0.70 0.64 0.77 0.31 0.46

Rerata 2.65 1.02 1.17 1.07 0.45 0.90

Standar Deviasi 1.52 0.29 0.47 0.36 0.08 0.41

Distribusi kekeruhan pada Musim Peralihan II berkisar dari 0,60 sampai

1.17 FTU (0.81±0.20). Rata-rata kekeruhan pada bulan September lebih tinggi

dari bulan Oktober dan November (Tabel 13). Pada bulan September rata-rata

kekeruhan tinggi disebabkan oleh tingginya konsentrasi klorofil-a (1.46 µg/l).

Pada musim ini, kekeruhan berkorelasi dengan nitrat dan nitrit masing-masing

(Pearson’s r = 0.842 dan r = 0.808;P< 0.01) Hal ini menunjukkan bahwa dengan

meningkatnya nitrat dan nitrit, akan meningkatkan kekeruhan atau konsentrasi

klorofil-a.

Distribusi kekeruhan pada Musim Barat berkisar dari 0.74 sampai 1.43 FTU

(0.92±0.21). Pada Musim Barat rata-rata kekeruhan pada bulan Desember lebih

tinggi (Tabel 14 dan Gambar 17), Kekeruhan yang tinggi pada bulan Desember

disebabkan oleh rata-rata suhu tinggi (30.93oC) sehingga meningkatkan proses

dekomposisi. Dan kekeruhan berkorelasi negatif dengan densitas (Pearson’s r = -

0.742;P<0.05), hal ini menunjukkan bahwa peningkatan kekeruhan oleh proses

dekomposisi yang disebabkan oleh suhu yang tinggi, akan menurunkan densitas

dan sebaliknya. Pada musim ini rata-rata curah hujan yang sangat rendah (6.3

sampai 6.9 mm).

Tabel 14 Kisaran dan rerata kekeruhan permukaan laut pada Musim Barat dan

Musim Peralihan I

Nilai

Kekeruhan (FTU)

Musim

Barat Peralihan I

Desember Januari Pebruari Maret April Mei

Maksimum 1.18 1.47 1.65 1.83 0.63 2.50

Minimum 0.78 0.64 0.64 1.04 0.44 0.77

Rerata 0.98 0.83 0.94 1.25 0.54 1.37

Standar Deviasi 0.15 0.25 0.30 0.22 0.06 0.50

Distribusi kekeruhan pada Musim Peralihan I berkisar dari 0.81 sampai

1.44 FTU (1.05±0.17). Pada Musim Peralihan I rata-rata nilai kekeruhan yang

tinggi pada bulan Mei (Tabel 14). Rata-rata kekeruhan yang tinggi pada bulan Mei

(1.37 FTU) disebabkan oleh rata-rata konsentrasi klorofil-a tinggi (0.77 µg/l).

Secara temporal dan spasial, rata-rata konsentrasi kekeruhan di permukaan

perairan (Gambar 17) menunjukkan ada perbedaan nyata (ANOVA; P<0.01).

Musim Timur kekeruhan lebih tinggi (1.61 FTU) dibandingkan dengan ketiga

musim yang lain. Kekeruhan berkorelasi dengan klorofil-a (Pearson’s r =

0.810;P<0.01) (Lampiran 1). Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan klorofil-a

31

akan meningkatkan kekeruhan. Pada Musim Timur nilai kekeruhan lebih tinggi di

Zona-1 dengan rata-rata konsentrasi klorofil-a tinggi (1.06 µg/l) dan rendah di

Zona-2 dengan rata-rata konsentrasi klorofil-a (0.78 µg/l). Musim Peralihan II,

Musim Barat dan Musim Peralihan I nilai kekeruhan tinggi pada Zona-3 dan

rendah pada Zona-1(Tabel 15).

Tabel 15 Rerata kekeruhan (FTU) permukaan laut pada setiap zona

Zona MUSIM

Timur Peralihan II Barat Peralihan I

1 2.15 0.67 0.82 1.02

2 1.18 0.83 0.82 1.07

3 1.33 0.96 1.13 1.08

Gambar 18 menunjukkan hubungan antara intensitas cahaya dan kekeruhan.

Hubungan intensitas cahaya dengan kekeruhan pada Musim Timur dan Barat

tidak menunjukkan perbedaan (ANOVA;P=0.067,P=0.28), akan tetapi Musim

Peralihan II dan Peralihan I menunjukkan perbedaan (ANOVA;P<0.001). Hasil

analisis regresi pada Musim Peralihan I dan Peralihan II diperoleh berturut-turut

nilai koefisien korelasi (r) adalah 0.885 dan 0.884. hal ini menunjukkan ada

hubungan yang signifikan antara intensitas cahaya dengan kekeruhan, lagi pula

semakin tinggi intensitas cahaya, maka semakin rendah kekeruhan.

Gambar 18 Hubungan kekeruhan dengan intensitas cahaya.

Kekeruhan sangat berhubungan dengan konsentrasi klorofil-a, hal ini terlihat pada

Musim Timur (Gambar 11) dengan rata-rata intensitas cahaya yang rendah (254

µmol foton /m2/det), kekeruhan berkorelasi sangat kuat dengan rata-rata

konsentrasi klorofil-a (Pearson’s r =0.810;P<0.01). Hal ini disebabkan

konsentrasi klorofil-a yang tinggi (0.94 µg/l) meningkatkan kekeruhan di perairan.

Pada musim-musim yang lain rata-rata intensitas cahaya tinggi, maka konsentrasi

32

klorofil-a menurun. Menurut Lalli and Parsons (1993) intensitas cahaya yang

tinggi akan menurunkan fotosintesis.

SIMPULAN

Secara nyata rata-rata intensitas cahaya pada keempat musim berbeda,

mulai dari tertinggi keterendah pada Musim Peralihan II, Musim Barat, Musim

Peralihan I dan Musim Timur. Sedangkan rata-rata kekeruhan sebaliknya.

Hubungan antara intensitas cahaya dan kekeruhan menunjukkan korelasi yang

kuat hanya pada Musim Peralihan I dan Musim Peralihan II.