hlhlp116

90
HIJAUNYA LEMBAH HIJAUNYA LERENG PEGUNUNGAN Jilid 116 Cetakan Pertama PENERBIT: “MURIA” YOGYAKARTA Kolaborasi 2 Website : dengan Pelangi Di Singosari / Pembuat Ebook : Sumber Buku Karya SH MINTARDJA Scan DJVU : Ismoyo, Arema Converter & Editor Ebook : --???0dw0???- Naskah ini untuk keperluan kalangan sendiri, penggemar karya S.H. Mintardja dimana saja berada y ang berkumpul di Web Pelangi Singosari dan Tiraikasih Jilid 116 "MESKIPUN demikian setelah dibersihkan, kesannya akan berbeda sekali." mPu Sidikara memang tidak berkeberatan. Karena itu, maka merekapun segera berjalan kembali kerumah Mahendra. Ketika Mahendra melihat anaknya y ang terluka, maka iapun menjadi sangat terkejut. Dengan serta merta maka

Upload: lukmanul-hakim

Post on 06-Dec-2015

213 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

hIJAU116

TRANSCRIPT

HIJAUNYA LEMBAH HIJAUNYA LERENG PEGUNUNGAN

Jilid 116

Cetakan Pertama

PENERBIT:

“MURIA”

YOGYAKARTA

Kolaborasi 2 Website :

dengan

Pelangi Di Singosari

/

Pembuat Ebook :

Sumber Buku Karya SH MINTARDJA

Scan DJVU : Ismoyo, Arema

Converter & Editor Ebook :

--???0dw0???-

Naskah ini untuk keperluan kalangan sendiri,

penggemar karya S.H. Mintardja dimana saja berada y ang

berkumpul di Web Pelangi Singosari dan Tiraikasih

Jilid 116

"MESKIPUN demikian setelah dibersihkan, kesannya akan

berbeda sekali."

mPu Sidikara memang tidak berkeberatan. Karena itu,

maka merekapun segera berjalan kembali kerumah Mahendra.

Ketika Mahendra melihat anaknya y ang terluka, maka

iapun menjadi sangat terkejut. Dengan serta merta maka

iapun bertanya "Apa yang terjadi ?"

"Biarlah mPu Sidikara berceritera ay ah, aku akan

membersihkan lukaku lebih dahulu."

"Kau memerlukan air hangat" berkata ayahnya.

"Aku akan merebusnya " jawab Mahisa Murti.

Demikianlah ketika Mahisa Murti sibuk didapur bersama

pembantu dirumah Mahendra sebelum mandi dan

membersihkan lukanya, maka mPu Sidikara telah berceritera

tentang orang yang aneh, y ang menemui mereka dibulak

panjang sedikit diluar kota.

mPu Sidikara menceriterakan apa y ang telah terjadi dari

awal sampai akhir. mPu Sidikara juga berceritera tentang

pohon gayam yang terbakar.

Terakhir mPu Sidikara menyampaikan salam dari orang

yang aneh itu sebelum ia menghilang dikegelapan.

"Orang itu tentu berilmu sangat tinggi" berkata Mahendra.

"Namun nampaknya ia memang tidak berniat buruk" sahut

mPu Sidikara.

"Mudah-mudahan ia memang tidak berniat buruk. " sahut

Mahendra sambil mengangguk-angguk.

"Jika ia berniat buruk, tentu ia sudah melakukannya,

karena ia memang mempunyai kesempatan untuk itu" berkata

mPu Sidikara selanjutnya.

Sementara mPu Sidikara berbincang dengan Mahendra,

maka Mahisa Murtipun telah mandi dan membersihkan lukalukanya

dengan air hangat. Baru kemudian ia ikut berbincang

diruang dalam sejenak. Karena kemudian iapun teringat akan

Mahisa Semu dan Mahisa Amping.

"Sudah terlalu malam. Amping tentu sudah mengantuk"

berkata Mahisa Murti.

"Baiklah. Pergilah kerumah Arya Kuda Cemani. Agaknya

disana masih ada beberapa orang keluarganya y ang berjagajaga."

Sejenak kemudian, maka Mahisa Murtipun telah pergi ke

rumah Arya Kuda Cemani untuk mengambil Mahisa Semu dan

Mahisa Amping. Sekaligus untuk minta diri, karena dihari

berikutnya Mahisa Murti dan kedua orang adik angkatnya itu

akan meninggalkan Singasari kembali ke Padepokan Bajra

Seta yang jaraknya terhitung panjang.

"Singasari akan terasa sepi" berkata Mahisa Pukat.

"Bukankah kau akan segera kembali kedalam kesibukanmu

sehari-hari?" bertanya Mahisa Murti.

"Ya " jawab Mahisa Pukat "tetapi rasa-rasanya sepeninggal

kakang Mahisa Bungalan yang begitu tergesa -gesa, dan besok

kau bersama Mahisa Semu dan Mahisa Amping, aku akan

tinggal sendiri di Singasari."

"Tentu tidak " mPu Sidikaralah y ang m enyahut "disini ada

Ki Mahendra. Lebih dari itu, kau tidak lagi sendiri di Singasari

yang ramai ini."

Mahisa Pukat tersenyum. Mahisa Murti juga ter senyum

meskipun landasannya berbeda.

Namun Mahisa Pukat dan Arya Kuda Cemani tidak dapat

menahan Mahisa Murti lebih lama lagi. Mereka terpaksa

melepaskan Mahisa Murti esok meninggalkan Singasari

kembali ke Padepokan Bajra Seta.

Namun dalam pada itu, meskipun Mahisa Murti sudah

membersihkan diri, tetapi luka-lukanya masih juga dapat

dilihat oleh Mahisa Pukat dan Arya Kuda Cemani. Tetapi

Mahisa Murti tidak mengatakan selengkapnya sebagaimana

yang terjadi. Ia hanya m engatakan dengan singkat bahwa di

bulak panjang telah terjadi perselisihan karena salah paham.

"Tetapi siapa y ang dapat m elukaimu itu ?" bertanya Arya

Kuda Cemani.

"Begitu tiba-tiba diluar kesiapanku" jawab Mahisa Murti

"t etapi tidak apa-apa."

"Kau apakan orang itu ?" bertanya. Mahisa Pukat.

"Orang itu pergi dengan sendirinya," jawab Mahisa Murti.

Namun katanya kemudian "Satu kejadian y ang tidak penting. "

Mahisa Pukat dan Arya Kuda Cemani memang tidak

bertanya lebih jauh. Agaknya Mahisa Murti sendiri juga tidak

menaruh banyak perhatian terhadap garis-garis luka dilengan

dan pundaknya itu.

Sementara itu, Amping memang sudah menjadi sangat

mengantuk. Sekali-sekali m atanya sudah terpejam sedangkan

kepalanya terangguk-angguk. Karena itu, maka Mahisa

Murtipun segera minta diri. Juga minta diri karena dikeesokan

harinya ia akan kembali ke Padepokan Bajra Seta.

Malam itu mPu Sidikara tidur dirumah Mahendra. Ia tidak

kembali ke Kasatrian, karena esok pagi ia akan menunggui

keberangkatan Mahisa Murti kembali ke Padepokan Bajra

Seta. mPu Sidikara memang sudah minta ijin untuk itu,

sekaligus mengantar Mahisa Murti yang m ohon diri kepada

Pangeran Kuda Pratama. '

Pagi-pagi benar Mahisa Murti, Mahisa Semu dan Mahisa

Amping sudah bersiap. Sementara mereka sudah berada di

halaman, mPu Sidikara masih sempat berdesis "Aku tidak

akan memberimu obat. Luka-lukamu akan sembuh dengan

sendirinya, karena didalam tubuhmu telah terdapat obat

untuk segala macam penyakit."

"Ah, kau" desis Mahisa Murti.

Namun mPu Sidikara menjawab dengan bersungguhsungguh

"aku berkata sebenarnya. "

Mahisa Murti terseny um. Katanya "Bukan aku y ang

mempunyai kelebihan. Tetapi obat-obatmu. Atau bahkan

sentuhan tanganmu sudah cukup meny embuhkan segala

macam penyakit."

"Jika benar, tentu aku akan merasa bahagia sekali" desis

mPu Sidikara.

Mahisa Murtipun tertawa. Demikian pula mPu Sidikara.

Demikianlah, maka sejenak kemudian Mahisa Murti dan

kedua adik angkatnyapun meninggalkan istana Singasari.

Mereka telah m eninggalkan pesan pula, agar ayahnya tidak

mengatakan y ang sebenarnya, kenapa ia terluka.

"Kau harus sering datang kemari Mahisa Murti" desis

ay ahnya dimuka regol samping halaman istana "barangkali

aku tidak akan dapat sering m engunjungi Padepokan Bajra

Seta. "

"Baik ay ah. Biar aku saja y ang datang kemari. Ayah

sebaiknya tidak melakukan pekerjaan atau perjalanan yang

meletihkan" jawab Mahisa Murti.

Mahendra menepuk bahu anaknya. Kemudian mengelus

kepala Mahisa Semu dan Mahisa Amping sambil berkata

"Kalian harus berbuat sebaik-baiknya untuk mempersiapkan

masa depan kalian yang panjang nanti."

Keduanya mengangguk hormat. Mahisa Semu berdesis

perlahan "Kami mohon restu."

Demikianlah, maka sejenak kemudian bertiga mereka telah

berpacu meninggalkan istana. Untuk beberapa lama mereka

menyusuri jalan-jalan ramai di Kotaraja. Namun kemudian

merekapun telah meluncur lewat pintu gerbaiig kota.

Jalan memang tidak lagi terlalu ramai, sehingga m ereka

dapat berkuda lebih cepat lagi. Meskipun demikian mereka

tidak berpacu dengan kecepatan y ang terlalu tinggi. Selain

debu y ang berhamburan, mereka dapat menimbulkan

kecelakaan karena kuda-kuda mereka yang kurang terkendali.

Seperti biasanya maka Mahisa Amping telah melarikan

kudanya dipaling depan. Cahaya matahari pagi yang cerah

menimpa dedaunan yang masih basah oleh embun, membuat

Mahisa Amping merasa semakin segar, sesegar kudanya yang

tegar.

Namun tiba -tiba saja Mahisa Amping telah menarik kendali

kudanya, sehingga kudanya itupun terkejut. Dengan serta

merta kudanya itupun telah berhenti, sekali berputar namun

kemudian Mahisa Amping berhasil menenangkannya.

Mahisa Murti dan Mahisa Semupun terkejut. Dengan cepat

mereka mendekat. Namun kuda Mahisa Amping telah menjadi

tenang kembali.

"Apa yang telah terjadi?" bertanya Mahisa Murti.

Mahisa Amping m engerutkan dahinya. Namun kemudian

iapun menjawab "Aku tidak tahu kakang. Tiba-tiba saja aku

ingin menghentikan kudaku. Tanganku serasa bergerak

sendiri m enarik kendali kudaku. Aku sendiri bahkan terkejut

karenanya."

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya "Satu getar

isy arat bagimu. Coba Amping, lihat, apakah kau mengenali

isy arat itu lebih dari sekedar terkejut dan menarik kendali

kuda?-

Mahisa Amping termangu-mangu sejenak. Namun iapun

kemudian bertanya "Apa maksud kakang?"

"Amping, lihat kedalam dirimu sendiri. Tumbuhkan

pertanyaan didalam dirimu, kenapa kau harus menarik

kendali kudamu." berkata Mahisa Murti.

"Aku tidak tahu maksud kakang. " desis Mahisa Amping.

"Lihat kembali getar isy arat itu Amping."

"Apa y ang harus aku lakukan ?" bertanya Mahisa Amping

kebingungan.

"Kau harus memusatkan nalar budimu. Bangkitkan kembali

getar isyarat itu. Lihatlah kekedalamannya. Kita harus

mengurai dan menemukan artinya. "

"Aku tidak tahu." jawab Mahisa Amping kebingungan.

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Ia memang

tidak dapat memaksa Mahisa Amping untuk melakukan

sesuatu yang tidak dimengertinya.

Dengan nada rendah Mahisa Murti itpun berkata

"Sudahlah. Pada saatnya kau akan mengetahuinya apa artinya

getaran y ang timbul didalam dadamu. Pada saat berikutnya

kau tentu akan dapat m empelajari untuk dapat menangkap

maksud dari getaran y ang timbul didalam dadamu itu."

Mahisa Amping memang mengangguk-angguk. Tetapi ia

tidak mengerti dengan jelas, apa y ang telah terjadi dengan

dirinya itu.

Karena itu, m aka Mahisa Murtipun berkata "Marilah. Kita

melanjutkan perjalanan."

Ketika Mahisa Amping akan mendahului lagi, maka Mahisa

Murtipun berkata "Kita bersama-sama Amping."

Mahisa Amping mengerti maksud Mahisa Murti. Karena

itu, maka iapun tidak lagi melarikan kudanya jauh mendahului

Mahisa Murti dan Mahisa Semu.

Beberapa ratus patok telah berlalu. Ternyata mereka tidak

menjumpai persoalan y ang dapat menghambat perjalanan

mereka. Ketika mereka melewati sebuah pasar y ang tidak

terlalu ramai, karena nampaknya hari itu bukan hari pasaran,

mereka tidak berhenti. Beberapa orang y ang ada di pasar itu

memandangi mereka dengan dahi berkerut. Namun ketiga

orang berkuda itu berjalan terus. Sekali-sekali Mahisa Amping

memang berpaling dan bahkan memandang berkeliling. Tibatiba

saja dahinya berkerut ketika ia m elihat seseorang yang

berdiri termangu-mangu disebelah pintu gerbang pa sar.

Sekali lagi hampir diluar sadarnya, ia menarik kembali

kudanya. Karena kudanya memang tidak berlari kencang,

maka kudanyapun segera berhenti.

Mahisa Murti dan Mahisa Semupun berhenti disebelah

menyebelahnya. Dengan kening berkerut Mahisa Murtipun

bertanya "Kenapa kau berhenti lagi dengan tiba-tiba ?”

Mahisa Amping termangu -mangu sejenak Namun

kemudian katanya "Aku melihat orang berdiri disebelah pintu

gerbang pasar. Begitu aku melihatnya, rasa -rasanya jantungku

bergetar semakin cepat.

Mahisa Murti dan Mahisa Semupun serentak telah

berpaling kearah pintu gerbang pasar. Dengan nada rendah

Mahisa Murti bertanya "Orang y ang bersandar pagar itu?"

"Bukan " jawab Mahisa Amping.

"Yang mana?" desak Mahisa Semu.

Mahisa Amping tidak segera menjawab. Tetapi orang yang

dilihatnya itu sudah tidak ada ditempatnya.

"Apakah ia masih ada di sana?" bertanya Mahisa Murti

pula.

Mahisa Ampingpun menggeleng. Katanya "Orang itu sudah

pergi."

"Bukankah kau tidak tidur dan bermimpi sambil berkuda?"

bertanya Mahisa Semu.

"Aku m elihat sebenarnya. Dan aku tidak tahu kenapa aku

menjadi berdebar-debar."

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya"Baiklah,

Marilah, kita lanjutkan perjalanan kita. "

Mahisa Amping tidak menjawab. Namun merekapun

kemudian telah m elanjutkan perjalanan. Kuda-kuda itu tidak

berlari terlalu cepat. Bahkan sepanjang perjalanan Mahisa

Amping menjadi tegang.

Tetapi Mahisa Murtipun berkata "Jangan gelisah, Amping.

Tidak akan ada hambatan disepanjang perjalanan kita.”

Mahisa Amping m engangguk kecil. Tetapi bagaimanapun

juga Mahisa Amping masih saja memikirkan gejolak

perasaannya yang kurang dimengertinya'sendiri.

Diperjalanan yang panjang itu, maka ketiganyapun telah

berhenti dan beristirahat disebuah kedai. Bukan kedai yang

pernah disinggahinya. Tetapi justru kedai y ang lain, y ang sama

sekali asing bagi Mahisa Murti dan kedua adik angkatnya.

Di kedai itu ternyata mereka mendapat pelayanan y ang

baik. Pemilik kedai itu cukup ramah. Demikian pula

pembantu-pembantunya yang melayani para pembelinya.

Di kedai itu juga tidak dijumpai anak-anak muda y ang

minum tuak dan bertingkah laku kurang mapan. Mereka

memang melihat dua tiga orang anak muda yang ada di kedai

itu. Namun nampaknya mereka adalah anak-anak muda yang

sedang bepergian. Sikapnyapun wajar. Jika anak-anak muda

itu nampak cerah dan gembira, bahkan sekali-sekali terdengar

mereka tertawa, justru menunjukkan kemudaan mereka.

Namun sikap mereka tidak berlebihan.

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Iapun masih

muda juga. Tetapi rasa-rasanya masa mudanya sudah lewat. Ia

tidak lagi berada dalam suasana sebagaimana anak-anak muda

itu. Ia tidak lagi berkumpul bersama anak-anak muda

sebay anya, bergurau dan bergembira menikmati satu masa

yang penuh gairah.

Tetapi Mahisa Murti tidak meny esal. Ia telah dengan

sengaja terjun kesatu dunia yang dipilihnya.

Untuk beberapa lama mereka duduk dikedai itu menikmati

minuman dan m akanan y ang kebetulan sesuai dengan selera

mereka.

Namun tiba -tiba saja Mahisa Amping telah bangkit berdiri.

Wajahnya menjadi tegang memandang ke jalan yang

membujur dihadapan kedai itu.

"Apa yang kau lihat?" bertanya Mahisa Murti.

"Orang berkuda itu" jawab Mahisa Amping.

"Yang baru saja lewat?" bertanya Mahisa Murti.

"Ya " jawab anak itu.

"Siapa?" bertanya Mahisa Semu pula.

"Yang berdiri disebelah pasar itu" jawab Mahisa Amping.

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak melihat

wajah orang berkuda yang lewat di depan kedai itu. Justru saat

Mahisa Murti baru meneguk minumannya. Apalagi ia tidak

mengira bahwa orang berkuda itu adalah orang yang telah

menarik perhatian Mahisa Amping didekat pasar itu.

"Sudahlah" berkata Mahisa Murti kemudian "jangan

hiraukan lagi orang itu."

Mahisa Amping yang telah duduk kembali itu mengangguk.

Tetapi nafasnya menjadi terengah-engah seperti seseorang

yang baru saja berlari-lari menempuh jarak y ang panjang.

"Minumlah" berkata Mahisa Murti kemudian.

Mahisa Ampingpun kemudian mengangkat mangkuknya

dan minum beberapa teguk.

Demikianlah, maka beberapa saat kemudian, merekapun

telah meneruskan perjalanan mereka. Mereka tidak lagi

merasa haus dan lapar. Demikian juga kuda-kuda mereka.

Namun demikian, meskipun tidak dikatakan kepada kedua

adik angkatnya, Mahisa Murti menjadi sangat berhati-hati.

Bagaimana pun ia tidak dapat melepaskan perhatiannya

kepada sikap Mahisa Amping. Apalagi ketiga ia meraba

goresan lukanya y ang meskipun tidak lagi t erlalu menarik

perhatian orang lain, namun masih terasa sedikit ny eri jika

tersentuh ujung-ujung jarinya.

"Apakah orang itu y ang aku temui diluar pintu gerbang kota

Singasari?" pertanyaan itu timbul pula dihati Mahisa Murti.

Tetapi Mahisa Murti sama sekali tidak nampak menjadi

gelisah.

"Sesaat kemudian, maka kuda -kuda m ereka telah berlarilari

disepanjang bulak. Tetapi sekali-sekali m ereka menyusup

diantara padukuhan-padukuhan yang bertebaran diantara

kotak-kotak sawah yang luas, seperti onggokan pulau-pulau

ditengah-tengah lautan yang tenang.

Mahisa Murti dan kedua adik angkatnya ternyata memang

tidak mengalami hambatan apapun. Mereka telah melampaui

kedai yang mereka singgahi saat mereka berangkat. Tetapi

kedai itu ternyata tutup. Agaknya memang terjadi perubahanperubahan

tatanan kehidupan di lingkungan itu.

"Apakah kakang akan singgah?" bertanya Mahisa Semu.

Mahisa Murti memang memperlambat lari kudanya.

Tetapi sebenarnya ia tidak berniat untuk berhenti. Namun

dua orang yang berdiri dipinggir jalan tiba-tiba telah

melambaikan tangannya sambil berkata "Anak-anak muda.

Kenapa kalian tidak singgah?"

Mahisa Murti dan kedua adik angkatnyapun telah berhenti.

Bahkan mereka telah berloncatan turun. Antara ingat dan

tidak ingat mereka mengenali kedua orang itu. Mereka ikut

mengerumuninya saat terjadi keributan di kedai yang tutup

itu.

"Kedai itu tutup" desis Mahisa Murti.

"Untuk sementara " jawab salah seorang dari mereka.

"Kenapa ?" bertanya Mahisa Murti.

"Penghuni padukuhan ini tidak ingin melihat kehidupan

yang muram itu lagi. Karena itu, maka pemilik kedai itu harus

merubah wajah kedainya," jawab orang itu.

"Bagaimana dengan Ki Bengkel dan para bebahu?" bertanya

Mahisa Murti.

"Mereka sudah berubah" jawab orang itu.

"Sokurlah" desis Mahisa Murti "mudah-mudahan segala

sesuatunya akan tetap baik untuk seterusny a."

Namun Mahisa Murti memang tidak dapat singgah di

padukuhan itu m eskipun kedua orang itu m enganjurkan agar

mereka singgah dirumah Ki Bekel.

"Ki Bekel tentu akan senang sekali menerima kehadiran

kalian dirumahnya" berkata orang itu.

"Terima kasih. Lain kali kami akan singgah. Agaknya kami

akan sering melalui jalan ini" jawab Mahisa Murti.

Demikianlah, m aka Mahisa Murtipun segera melanjutkan

perjalanannya bersama kedua adik angkatnya. Namun rasarasanya

mereka ikut bergembira, bahwa satu perubahan telah

terjadi di padukuhan itu. Bahkan Ki Bekelpun telah turut

berubah pula.

Di perjalanan selanjutnya, mereka memang tidak

mengalami hambatan apapun meski Mahisa Murti masih tetap

berhati-hati. Mahisa Ampingpun tidak lagi nampak gelisah

sekali. Bahkan anak itu mulai banyak berbicara sebagaimana

kebiasaannya.

Ketika mereka kemudian memasuki jalan yang langsung

menuju ke regol padepokan mereka, maka jantung mereka

rasa-rasanya telah dibasahi dengan air embun y ang sejuk.

Kedatangan mereka disambut oleh seisi Padepokan Bajra

Seta dengana perasaan sokur. Perjalanan y ang panjang telah

mereka selesaikan dengan selamat. Bahkan m ereka sampai di

Pa depokan lebih awal dari kedatangan Mahendra dan mPu

Sidikara pada kunjungan mereka yang terakhir.

Setelah mandi dan berbenah diri serta beristirahat sejenak,

maka merekapun duduk di pendapa bangunan induk

Pa depokan mereka bersama Wantilan dan Sambega serta

beberapa orang cantrik. Sementara itu lampu minyak yang

menyala ditengah-tengah pendapa itu bergoy ang dihembus

angin y ang melintas.

Banyak hal yang dapat diceritakan oleh Mahisa Murti,

Mahisa Semu dan Mahisa Amping. Mahisa Amping tidak

henti-hentinya berceritera tentang pernikahan Mahisa Pukat

yang meriah. Upacara-upacara y ang sebagian besar belum

pernah disaksikan. Namun Mahisa Amping juga berceritera

tentang perkelahian antara Mahisa Murti dengan seorang anak

muda y ang merasa tersinggung oleh pernikahan Mahisa Pukat

itu.

Mereka y ang mendengarkan Mahisa Amping berceritera

hanya ter senyum-senyum saja. Mereka memang mengenal

Mahisa Amping y ang banyak berbicara itu.

Ketika malam menjadi larut, Mahisa Ampingpun mulai

mengantuk. Mahisa Semupun nampak letih. Sehingga dengan

demikian, maka Mahisa Murti telah minta agar mereka

beristirahat.

"Tidurlah. Kalian tentu letih dan mengantuk"

Mahisa Amping m emandang Mahisa Semu sekilas. Ketika

ia melihat Mahisa Semu mengangguk, maka Mahisa

Ampingpun kemudian beringsut dan meninggalkan

pertemuan itu bersama Mahisa Semu.

Baru kemudian Mahisa Murtipun menceriterakan apa y ang

dialaminya di Singasari pada malam hari menjelang

keberangkatannya kembali ke Padepokan Bajra Seta di pagi

harinya. Mahisa Murtipun berceritera tentang isyarat yang

tergetar didada Mahisa

Amping namun yang tidak

dapat ditangkap dan apalagi

diterjemahkannya.

Wantilan, Sambega dan

beberapa orang cantrik y ang

ikut berkumpul di pendapa itu

mengerti maksud Mahisa

Murti. Mereka harus berhatihati

menghadapi beberapa

kemungkinan y ang dapat

terjadi. Orang yang dilihat oleh

Mahisa Amping diregol pasar

dan kemudian melintas di

depan kedai itu mungkin

adalah orang yang bertemu

dengan Mahisa Murti diluar gerbang kota di Singasari. Orang

yang memiliki ilmu y ang sangat tinggi. Bahkan lebih tinggi

dari ilmu Mahisa Murti.

"Tetapi kita tidak perlu terlalu cemas" berkata Mahisa

Murti "kita tidak pernah melakukan satu perbuatan yang

dengan sengaja mengganggu orang lain."

Yang mendengarkan keterangan Mahisa Murti itu

mengangguk-angguk. Mereka memang tidak mengganggu

orang lain. Jika hal itu pernah dilakukan Sambega, namun itu

sudah lewat, sehingga hal seperti itu tidak lagi dilakukan.

Dihari-hari berikutnya, maka kehidupan di Padepokan itu

berjalan wajar. Tidak ada per soalan-persoalan y ang dapat

mengeruhkan kehidupan di Padepokan itu. Kerja, latihanlatihan

dan peningkatan pengetahuan berlangsung dari hari ke

hari.

Namun dalam pada itu, seseorang selalu mengawasi

kehidupan di Padepokan itu dari hari ke hari. Orang itu tahu

benar, bahwa sekali-sekali Mahisa Murti keluar dari

padepokannya untuk berbagai macam keperluan. Kadangkadang

pergi ke padukuhan-padukuhan sebelah meny ebelah

untuk melakukan hubungan agar kehidupan di padepokan itu

tidak terpisah dari lingkungan disekitarnya. Sementara itu

anak-anak muda dari padukuhan-padukuhan disekitarnya

masih banyak y ang ikut menyadap ilmu di Padepokan Bajra

Seta.

Karena itu, maka pada satu saat, orang itu memang

berkesempatan untuk m enemui Mahisa Murti ketika Mahisa

Murti kembali dari padukuhan disebelah padepokannya.

Mahisa Murti memang terkejut. Iapun segera dapat

mengenali, bahwa orang itu adalah orang y ang pernah

menemuinya dan bahkan melukainya diluar gerbang kota

Singasari. Ketika orang itu membakar sebatang pohon gayam,

maka Mahisa Murti sempat melihat dengan jelas wajah orang

itu.

"Kau " desis Mahisa Murti.

Orang itu tersenyum. Katanya "Ya. Aku memang sengaja

ingin menemuimu seorang diri. "

"Kaukah y ang mengikuti perjalananku dari Singasari

beberapa hari y ang lalu ?" bertanya Mahisa Murti.

Orang itu menggeleng sambil menjawab "Bukan aku."

Wajah Mahisa Murti berkerut. Ia tidak m elihat perubahan

wajah orang itu. Karena itu, maka Mahisa Murti berkata "Aku

memang mencurigaimu bahwa kau telah mengikuti aku saat

itu."

"Aku berkata sesungguhnya, bahwa bukan aku y ang

mengikutimu. Tetapi aku tahu siapa orang itu."

"Siapa ?" bertanya Mahisa Murti.

"Orang berilmu tinggi ? Ia ingin melihat padepokanmu.

Sekarang orang itu kembali ke Singasari." jawab orang itu.

"Untuk apa ?" bertanya Mahisa Murti.

Orang itu m enarik nafas dalam-dalam. Katanya "Kau telah

membuat per soalan dengan orang itu. Orang itu bukan

seorang y ang berhati lapang. Karena itu, maka tentu timbul

niatnya untuk membuat perhitungan denganmu."

"Apa yang telah aku lakukan ?" bertanya Mahisa Murti.

"Mungkin kau tidak sengaja melakukannya. Tetapi

akibatnya tidak akan baik buatmu." berkata orang itu.

"Ya. Tetapi apa yang telah aku lakukan ?" b ertanya Mahisa

Murti pula.

"Kau telah berkelahi melawan anak saudara seperguruan

Arya Kuda Cemani " jawab orang itu.

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya "Ya. Tetapi

bukankah saat itu tidak ada jalan yang terbaik yang harus aku

lakukan terhadap anak muda itu ? Tentu tidak sepantasnya

jika Mahisa Pukat sendiri turun ke medan justru ia sudah

dalam pakaian upacara disaat pernikahannya."

"Kau memang tidak bersalah" jawab orang itu "tetapi orang

itu tidak akan dapat mengerti."

"Orang itu siapa ? Saudara seperguruan Arya Kuda Cemani

?" bertanya Mahisa Murti.

"Bukan saudara seperguruan Arya Kuda Cemani.

Seandainya ia akan menuntut balas, maka ia tidak akan dapat

mengalahkanmu." jawab orang itu.

"Jadi siapa ?" desak Mahisa Murti.

"Guru anak y ang kau kalahkan itu. Ia tidak berguru kepada

ay ahnya sendiri. Ia berguru kepada seorang y ang memiliki

ilmu sangat tinggi. Namun ternyata anak muda itu tidak dapat

mengalahkanmu. Tentu juga tidak dapat mengalahkan Mahisa

Pukat. Karena itu maka ia menjadi sakit hati. Sementara itu, ia

bukan orang y ang lapang dada." berkata orang itu.

"Apakah Ki Sanak guru anak muda y ang telah aku kalahkan

itu karena aku melihat unsur ilmu Ki Sanak mempunyai

persamaan dengan unsur ilmu anak muda itu ?"

"Sudah aku katakan bahwa orang itu bukan aku. Orang

yang m engikutimu karena ia ingin melihat tempat tinggalmu

itu bukan aku." jawab orang itu.

"Jadi bagaimana ? Aku m enjadi bingung. Jika demikian,

apa maksud Ki Sanak sebenarnya?" bertanya Mahisa Murti.

"Anak muda " berkata orang itu "kau adalah anak muda

yang luar biasa. Pada umurmu y ang m uda itu, kau memiliki

segala-galanya. Ilmu yang jarang ada duanya. Namun

meskipun demikian, setelah aku menjajagi ilmumu sampai

kepuncak, maka kau tidak akan mampu melawan guru anak

muda yang telah kau kalahkan itu."

"Apa hubungan Ki Sanak dengan orang itu justru karena

persamaan ilmu yang aku lihat ?" bertanya Mahisa Murti.

"Aku saudara seperguruannya. Aku saudara tua

seperguruan dari orang yang mendendammu. Anak muda

yang kau kalahkan itu adalah murid adik seperguruanku."

Mahisa Murti m enarik nafas dalam-dalam. Dengan nada

rendah ia bertanya "Jadi apa yang sebenarnya Ki Sanak

inginkan ? Apakah yang Ki Sanak kehendaki dari aku ?"

Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian

dengan nada dalam iapun berkata "Aku sudah berbicara

dengan Arya Kuda Cemani. Aku bahkan sudah berbicara

dengan Ki Mahendra. Karena itu, maka aku sudah mengetahui

banyak hal tentang kau, Mahisa Murti."

Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun ia tidak

segera percaya pada kata-kata orang y ang belum dikenalnya

dengan baik itu, selain ia tidak dapat mengingkari, bahwa

orang itu memang berilmu sangat tinggi.

Dalam pada itu, maka orang itupun berkata "Mahisa Murti.

Setelah aku berbicara dengan Ki Mahendra dan Arya Kuda

Cemani, m aka aku berpendapat, bahwa kau adalah seorang

anak muda y ang pantas dikagumi. Kau telah banyak

melakukan sesuatu bagi banyak orang. Bahkan pada suatu saat

kau pernah melakukan tapa ngrame bersama Mahisa Pukat.

Kau bahkan banyak m emberikan pengorbanan bagi sesama.

Kau juga telah banyak berkorban bagi saudaramu, Mahisa

Pukat. Antara lain juga saat kau bertempur dengan anak

saudara seperguruan Arya Kuda Cemani itu. Murid saudara

seperguruanku itu."

Mahisa Murti masih saja termangu-mangu. Tetapi ia

merasa ketika ia memberitahukan bahwa ia telah bertempur

dengan orang yang tidak dikenalnya diluar kota Singasari,

ay ahnya sama sekali tidak memberikan kesan, bahwa ia

pernah berbicara dengan orangyang melukainya. Karena itu,

maka Mahisa Murti itupun bertanya "Kapan Ki Sanak bertemu

dengan ayah?"

"Setelah kau berangkat meninggalkan Singasari" jawab

orang itu.

"Tetapi bagaimana Ki Sanak mengetahui bahwa saudara

seperguruan Ki Sanak itu mengikuti aku untuk melihat

padepokanku disini?" bertanya Mahisa Murti pula.

"Itu adalah bagian dari kegiatanku. Aku tidak dapat

menceriterakannya " jawab orang itu.

Mahisa Murti memang tidak mendesaknya. Tetapi ia

bertanya "Sekarang, apakah yang Ki Sanak inginkan?"

"Mahisa Murti" berkata orang itu "semakin banyak aku

mengetahui tentang kau, maka semakin ingin aku ikut

mencampuri persoalanmu dengan saudara seperguruanku itu.

Aku tidak ingin bahwa kau y ang telah banyak berbuat baik

bagi banyak orang itu, justru akan mengalami kesulitan.

Sebagaimana aku katakan, bahwa saudara seperguruanku itu

pada suatu saat, tentu akan datang kepadamu. Sementara itu

aku tahu bahwa ilmunya lebih tinggi dari ilmumu."

Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Tetapi ia tidak

segera menjawab. Sementara orang itu berkata selanjutnya

"Tetapi sebenarnyalah bahwa kau mempunyai kemungkinan

yang lebih baik dari saudara seperguruanku. Bekal y ang kau

miliki lebih banyak. Jika saja ada yang membantumu, m aka

kemampuanmu dengan cepat akan meningkat. Apalagi jika

seseorang dengan tepat membantumu m eloncati satu tataran

yang kini seolah-olah membatasi kemungkinan perkembangan

ilmumu."

Mahisa Murti m engerutkan dahinya. Dengan nada datar ia

bertanya "Apakah Ki Sanak melihat batas itu?"

"Adalah kebetulan, bahwa aku berdiri diatas tataran itu,

sehingga aku sempat melihatnya. Sementara ini, tidak ada

orang y ang mampu melihatnya karena tidak ada orang yang

memiliki kelebihan darimu." orang itu berhenti sejenak, lalu

katanya "Mahisa Murti, bukan maksudku untuk

meny ombongkan diri. Tetapi jika ada k esan seperti itu, maka

maksudku semata-mata untuk m engatakan bahwa aku dapat

membantumu untuk meloncat pada satu tataran menembus

batas yang selama ini seakan-akan tidak memberi

kemungkinan lagi bagimu untuk berkembang."

"Maksud Ki Sanak?" bertanya Mahisa Murti.

"Aku menawarkan diri untuk membantumu menembus

batas itu." jawab orang itu.

Mahisa Murti tidak segera menjawab. Untuk sejenak ia

termenung. Seolah-olah ia meyakinkan dirinya, apakah yang

dikatakan oleh orang itu benar-benar akan dapat dilakukan.

Namun orang itupun kemudian berkata "Tetapi Mahisa

Murti. Jika kau benar-benar mampu menembus batas ilmumu

yang sekarang, sehingga kau akan mendapat kesempatan

untuk membubung lebih tinggi, sehingga kemampuanmu

dapat berada diatas kemampuan saudara seperguruanku, aku

minta agar bila saudara seperguruanku itu k elak benar-benar

datang kepadamu, kau dapat mengendalikan dirimu.

Maksudku, kau hanya akan melawannya sampai batas

mengalahkannya. Tidak membunuhnya. "

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Sementara

orang itu berkata "Aku minta maaf, bahwa permintaan ini aku

sampaikan untuk mey akinkanku. Sebenarnya aku percaya,

bahwa kau tentu akan berbuat demikian karena kau m emang

bukan seorang pembunuh."

Mahisa Murti memandang orang itu dengan tajamnya.

Dengan nada dalam iapun berkata "Jika Ki Sanak berbaik hati

untuk membantuku, maka aku tidak dapat berkata lain kecuali

mengucapkan terima kasih y ang sebesar-besarnya."

"Jika kau m empercayai aku Mahisa Murti, maka kita akan

berada didalam sanggar untuk beberapa hari. Bukan berarti

bahwa kau tidak dapat keluar sanggar sama sekali. Tetapi

waktumu yang beberapa hari itu akan lebih banyak berada

didalam sanggar dari pada di luar. "

"Aku akan menjalani laku itu Ki Sanak." jawab Mahisa

Murti.

"Baiklah. Aku yakin bahwa kau akan mampu menyusul

ilmu saudara seperguruanku itu, justru karena bekalmu sudah

lengkap." berkata orang itu.

Dengan demikian maka Mahisa Murti telah

mempersilahkan orang itu untuk singgah di Padepokannya.

Mahisa Murti juga ingin bertanya kepada Mahisa Amping,

apakah bukan orang itulah yang telah dilihatnya di dekat pintu

gerbang pasar. Yang kemudian juga dilihatnya lewat di depan

kedai saat Mahisa Murti dan kedua adik angkatnya itu

singgah.

Ketika kemudian Mahisa Murti dan orang itu m emasuki

regol padepokan, maka Mahisa Amping tengah berlari-lari di

halaman mengajar ayamnya yang terlepas dari kurungan.

Namun demikian ia melihat Mahisa Murti datang, maka iapun

berhenti,

Mahisa Murti memang menjadi berdebar-debar. Mahisa

Amping memandangi orang y ang datang itu dengan seksama.

Namun sama sekali tidak ada kesan, bahwa ia pernah melihat

orang itu.

Selangkah-selangkah Mahisa Amping mendekat sambil

bertanya "Apakah kakang pergi ke padukuhan?"

"Ya " jawab Mahisa Murti.

"Kakang tidak mengajak aku serta. Aku sudah berjanji

kepada Windu, anak padukuhan itu untuk memberinya

sepasang ayam kate.”

Mahisa Murti tertawa. Katanya "Bukankah besok atau lusa

kau dapat memberikannya. Mungkin anak itu akan datang

kemari. Atau kau titipkan saja kepada anak-anak padukuhan

yang belajar menjadi pande besi di perapen itu.”

Tetapi anak itu menjawab "Aku akan datang sendiri

kerumahnya. Ia akan menukarnya dengan sepa sang burung

merpati gambir."

Sambil menepuk pundak Mahisa Amping, Mahisa Murti

berkata "Besok aku masih akan pergi ke padukuhan lagi. Besok

kau boleh ikut. " Mahisa Murti terdiam sejenak. Namun iapun

kemudian bertanya "Apakah kau mengenal kakek y ang datang

ini?"

Mahisa Amping memandangi orang itu dengan seksama.

Namun iapun kemudian menggeleng sambil berkata "Aku

belum mengenalnya kakang."

"Kenalkan anak manis" berkata orang itu "panggil aku

kakek Wijang.

"Selamat datang di padepokan kami, kakek Wijang" berkata

Mahisa Amping sambil mengangguk dalam-dalam.

Kiai Wijang ter senyum sambil berkata "Kau benar-benar

anak y ang baik" Lalu iapun bertanya kepada Mahisa Murti

"Siapakah anak ini?"

"Adikku " iawab Mahisa Murti.

Kiai Wijang mengerutkan dahinya. Tetapi ia tidak bertanya

lagi. Meskipun demikian Mahisa Murti mengerti bahwa orang

itu masih ingin bertanya tentang Mahisa Amping, karena

orang itu tentu tahu bahwa ia tidak mempunyai saudara yang

lain kecuali Mahisa Pukat.

Namun Mahisa Murti itu justru bertanya "Apakah ay ah

tidak pernah berceritera tentang adik-adik angkatku?"

Orang itu mengerutkan dahinya. Namun kemudian iapun

menjawab "Ki Mahendra terlalu banyak berceritera tentang

dirimu. Mungkin perhatiannya saat itu tidak ada yang ter sisa

untuk berbicara tentang orang lain."

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Ayah

masih menganggap aku kanak-kanak "

"Sama sekali tidak" jawab Kiai Wijang.

Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Sementara itu

Mahisa Amping telah menghambur berlari menyusul ay am

yang dikejarnya sambil berkata "Aku akan menangkap ay am

itu kakang."

Mahisa Murti tidak menjawab. Sementara itu Mahisa

Amping telah berlari menjauh.

"Aku mempunyai dua orang adik angkat" berkata Mahisa

Murti kemudian "Mahisa Semu dan Mahisa Amping "

Kiai Wijang mengangguk-angguk, sementara Mahisa Murti

mengajaknya naik ke pendapa.

Kepada Kiai Wijang Mahisa Murti sempat m enceriterakan

kemampuan Mahisa Amping untuk menangkap isyarat. Tetapi

ia sendiri tidak menyadarinya. Bahkan tidak mengerti apa

yang terjadi.

Mahisa Murtipun berceritera juga bagaimana Mahisa

Amping menerima isyarat tentang seseorang yang

mengikutinya dari Singasari saat Mahisa Murti dan kedua

orang adik angkatnya itu pulang dari Singasari.

"Anak yang luar biasa. Firasatnya tentu tajam sekali. Jika

ada seseorang yang dapat membantu mengasahnya, maka

anak itu akan dapat menjadi anak y ang memiliki kelebihan

dari kebanyakan orang. "

“Mudah-mudahan" berkata Mahisa Murti.

"Orang y ang dimaksud anak itu tentu saudara

seperguruanku itu " berkata Kiai Wijang.

"Tetapi kenapa ia tidak berbuat sesuatu ketika aku dalam

perjalanan kembali ke Padepokan Bajra Seta?"

"Salah satu kelemahannya, ia kurang y akin akan

kemampuannya y ang sangat tinggi itu. Ia tentu ingin

meyakinkan, bahwa ia akan dapat mengalahkanmu."

"Apa yang akan dilakukannya?" bertanya Mahisa Murti.

"Ia akan mengirimkan orang untuk menjajagi

kemampuanmu. Tidak hanya satu orang. Tetapi beberapa.

Orang-orang itu tidak akan membunuhmu. Tetapi sekedar

mengetahui seberapa tingkat ilmumu.”

"Satu cara yang rumit " desis Mahisa Murti.

“Ya. Tetapi itu sudah m enjadi kebia saannya. Tetapi ia juga

bukan seorang pembunuh yang sebenarnya. Meskipun

demikian, bukan berarti bahwa ia tidak pernah membunuh.”

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Jika demikian

maka ia akan m enghadapi dua tataran pertempuran. Ia akan

bertemu dengan orang-orang y ang sekedar menjajagi ilmunya.

Orang-orang itu tentu mencari perkara agar dapat timbul

perkelahian. Baru kemudian saudara seperguruan Kiai Wijang

itu akan datang untuk membuat perhitungan yang sebenarnya.

Demikianlah, maka Mahisa Murtipun kemudian telah

memperkenalkan Kiai Wijang dengan Wantilan, Sambega dan

para cantrik di padepokannya. Kepada mereka Mahisa Murti

mengatakan, bahwa Kiai Wijang untuk beberapa hari akan

berada di Padepokan Bajra Seta.

Sebenarnyalah bahwa sejak saat itu Kiai Wijang memang

berada di padepokan. Seperti y ang dijanjikan, maka Kiai

Wijang benar-benar telah mencoba untuk menghentakkan

ilmu Mahisa Murti. Namun untuk satu dua hari, Kiai Wijang

dengan sungguh-sungguh telah melihat, menilai dan

menimbang ilmu dan kemampuan Mahisa Murti sendiri. Ia

melihat unsur-unsur serta dorongan kekuatan dan

kemampuan yang ada didalam diriny a. Kiai Wijang juga

melihat seberapa tinggi tenaga dalam y ang ada didalam diri

Mahisa Murti serta seberapa jauh ia mampu

mengungkapkannya.

Ketika Kiai Wijang merasa sudah cukup teliti menilai

kekuatan, tenaga dan kemampuan yang ada didalam diri

Mahisa Murti, maka iapun berkata "Kau m empunyai segalasegalanya

anak muda. Kau tinggal melangkah satu langkah

lagi. Maka segala-galanya sudah akan terbuka bagimu. Tetapi

yang selangkah itu kadang-kadang memang sulit untuk

dilakukan. Bukan karena tidak memiliki day a loncat y ang kuat.

Tetapi sekedar memerlukan petunjuk, kemana harus

melangkah."

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya "Aku memang

tidak tahu, apa yang harus aku lakukan."

"Kau memang masih terlalu muda. Seandainya tidak ada

persoalan yang mendesak, maka pada saatnya, kau sendiri

akan dapat melihat dan mengerti, apa y ang harus kau lakukan

untuk meniti jalan menuju kearah y ang benar, sehingga kau

akan mampu melangkah mencapai tataran puncakmu."

berkata Kiai Wijang " bahkan masih jauh lebih awal dari yang

pernah aku capai sebagaimana sekarang ini."

Mahisa Murti menganggukangguk

pula. Katanya

kemudian "Aku hanya dapat

mengucapkan terima ka sih

yang sebesar-besarnya atas

petunjuk Kiai."

"Aku tentu tidak akan dapat

berbuat apa-apa jika aku tidak

berhadapan dengan kau yang

memiliki segala-galanya. Aku

tidak akan dapat mendorong

dan menunjukkan apapun juga

kepada murid adik

seperguruanku itu. Karena ia

tidak memiliki bekal yang

lengkap sebagaimana kau."

Mahisa Murti ju stru termangu-mangu sejenak. Tetapi

dihatinya ia mengucap sokur kepada Yang Maha Agung, yang

telah mempertemukannya dengan seorang yang berilmu lebih

tinggi dari ilmunya dan y ang bersedia menuntunnya untuk

mencapai tataran yang lebih tinggi sebagaimana pernah

ditemuinya beberapa kali dalam petualangannya.

Demikianlah, dihari -hari berikutnya, Mahisa Murti hampir

setiap saat berada didalam sanggarnya. Seisi padepokan itu

mengetahui bahwa Mahisa Murti sedang berusaha dengan

bekerja keras untuk meningkatkan ilmunya.

Beberapa orang memang menjadi heran, bahwa masih ada

orang yang memiliki ilmu lebih tinggi dari Mahisa Murti.

Namun mereka tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa

Mahisa Murti memang mengakui bahwa Kiai Wijang memiliki

ilmu y ang lebih tinggi dari ilmunya.

Demikianlah dari hari kehari, Mahisa Murti seakan-akan

semakin terdorong menuju kepintu y ang sudah terbuka.

Betapapun berat laku y ang harus dijalani, bahkan rasa-rasanya

Mahisa Murti harus merangkak diteriknya panas matahari dan

di dinginnya embun malam, tetapi semuanya itu dilakukannya

dengan sungguh-sungguh. Namun disamping laku yang

dijalani, maka Kiai Wijangpun minta agar Mahisa Murti tidak

henti-hentinya memohon, agar baginya dibukakan pintu untuk

menembus batas tataran tertinggi ilmunya y ang seakan-akan

sudah mapan didalam dirinya.

Memang terjadi gejolak didalam diri Mahisa Murti. Jika ia

sekali-sekali keluar dari sanggar, maka ia nampak sangat letih.

Bahkan seakan-akan untuk menggerakkan tangannyapun

Mahisa Murti menjadi segan. Namun demikian ia masuk

kembali ke dalam sanggar, maka tenaga dan kekuatannya

seakan-akan menjadi pulih kembali, sehingga apapun yang

harus dilakukannya, dapat dilakukannya.

Disanggar, Mahisa Murti memang lebih banyak

mengungkapkan tenaga didalam dirinya. Melihat

kekedalaman diri serta segala kemungkinan-kemungkinannya.

Upaya untuk semakin mengenali kekuatan didalam diri serta

usaha memancarkannya keluar. Jalinan pernafasan yang

mampu mengucapkan getar kekuatan didalam diri itu. Lebih

dari segala-galanya adalah key akinannya akan Kuasa dari

Yang Maha Agung.

Demikianlah, maka hari -haripun berlalu, Mahisa Murti

nampak semakin letih. Sehingga akhirnya, Mahisa Murti

untuk tiga hari tiga m alam sama sekali t idak nampak k eluar

dari sanggarnya.

Ketika dengan gelisah Mahisa Semu dan Mahisa Amping

bertanya kepada Wantilan, maka jawabnya "Mahisa Murti

memang sudah mengatakan bahwa selama tiga hari tiga

malam ia akan berada di sanggar. Kita harus menunggu

dengan sabar.”

Keduanya mengangguk-angguk. Namun Mahisa Semu

masih bertanya " Tetapi bukankah paman Wantilan percaya

kepada orang y ang berilmu sangat tinggi itu bahwa ia tidak

akan menyulitkan kakang Mahis Murti."

Wantilan mengerutkan dahinya. Dipandanginya Mahisa

Amping sekila s. Hampir diluar sadarnya ia

bertanya"Bagaimana menurut pendapatmu?"

Mahisa Amping memandang Mahisa Semu dan Wantilan

berganti-ganti. Namun kemudian anak itu justru bertanya

"Apakah nanti kakang Mahisa Murti akan memiliki ilmu yang

semakin tinggi?"

Wantilan mengangguk kecil. Katanya " Kita berdoa. Semoga

kakakmu Mahisa Murti berhasil."

Mahisa Amping m engangguk-angguk pula. Sementara itu

Wantilan tidak melihat isyarat y ang mencemaskan pada sikap

Mahisa Amping y ang memiliki firasat y ang sangat tajam.

Namun bagaimanapun juga, seisi padepokan itu m emang

menanti dengan jantung y ang berdebar -debar. Bukan hanya

Wantilan, Sambega, Mahisa Semu dan Mahisa Amping saja.

Tetapi para cantrikpun rasa-rasanya ingin segera m elihat apa

yang telah terjadi dengan Mahisa Murti.

Sementara itu didalam sanggar Mahisa Murti tengah

memusatkan nalar budinya untuk menggapai hentakan

terakhir pada laku yang tengah dijalaninya. Mahisa Murti

sudah tidak lagi mempergunakan wadagnya untuk melakukan

gerakan-gerakan terakhir. Mahisa Murti justru hanya duduk

bersila dengan menyilangkan tangan didadanya. Matanya

terpejam dengan wajah y ang sedikit menunduk. Namun dalam

pada itu, ia sedang memusatkan kekuatan batinnya untuk

melakukan gerakan-gerakan yang harus diulanginya dan

diulanginya. Mahisa Murti seakan-akan menyaksikan dirinya

sendiri dengan mata hatinya, bergerak berloncatan,

berputaran, menghentak-hentak dan bahkan melayang-layang

dengan tangkasnya. Tanpa m enggerakkan wadagnya, Mahisa

Murti telah meyakinkan dirinya, penguasaan atas semua

simpul sy arafnya, sehingga semua geraknya benar-benar

terkendali oleh kehendaknya. Kesadaran akan dirinya atas

semua bagian dari tubuhnya. Penguasaan tenaga dasar

didalam dirinya serta irama pernafasannya yang mengental

telah menebarkan getar kekuatan y ang tiada taranya, sehingga

getar itu seakan-akan telah membuat kulit dan dagingnya

menjadi liat.

Dimata hatinya, Mahisa Murti melihat dirinya sendiri

semakin lama menjadi semakin mantap. Setiap gerak

menimbulkan getar dari tenaga dasarnya dalam irama

pernafasannya yang mapan.

Dibelakang Mahisa Murti, Kiai Wijang duduk bersila.

Kedua telapak tangannya dilekatkannya dipunggung Mahisa

Murti. Orang itu seakan-akan ikut melihat apa yang sedang

dilakukan oleh Mahisa Murti tanpa unsur kewadagannya itu.

Namun Mahisa Murtipun seakan-akan juga mendengar

perintah-perintah y ang diucapkan oleh Kiai Wijang.

Sebenarnyalah perintah-perintah itu memang pernah

diucapkan. Sebelum Mahisa Murti mulai menjalani laku

terakhir itu, Mahisa Murti harus m elakukan gerakan-gerakan

sebagaimana diperintahkan oleh Kiai Wijang. Perintah itu

diulanginya beberapa kali, sementara Mahisa Murti

melakukannya beberapa kali pula, sehingga akhirnya pada

puncak laku yang harus dijalaninya, maka Mahisa Murti ju stru

melakukannya tanpa unsur kewadagannya. Demikian pula

setiap perintah yang diucapkan Kiai Wijang sama sekali tidak

mempergunakan lagi kata-kata dari lesannya.

Demikianlah, ketika segala sesuatunya sudah sampai pada

batas tertinggi, dari usaha pencapaian oleh Mahisa Murti,

maka gerakan-gerakan Mahisa Murti tanpa unsur

kewadagannya itu menjadi semakin lamban. Tetapi menjadi

semakin mantap. Seakan-akan udara disekitarnya ikut

bergetar dan bergerak sebagaimana Mahisa Murti.

Sehingga akhirnya, Mahisa Murtipun sampai pada

batasnya. Demikian ia melakukan unsur gerak yang terakhir

tanpa wadagnya, pada tarikan nafasnya y ang berat, maka

Mahisa Murtipun kemudian telah menghempaskan dirinya,

duduk bersila sebagaimana unsur wadagnya.

Dalam peningkatan pemusatan nalar budi pada tataran

tertinggi, maka Mahisa Murti itupun seakan-akan telah

terangkat dari tempat duduknya, melayang dan bayangan

diangan-angan Mahisa Murti dalam ujud dirinya sendiri itu

tiba -tiba telah menyatu kembali kedalam unsur

kewadagannya.

Sesaat terasa nafas Mahisa Murti menjadi sesak. Ada

semacam kericuhan didalam irama tarikan nafasnya. Namun

beberapa saat kemudian, Mahisa Murti mulai merasa bahwa ia

telah berhasil m enguasai kembali dirinya sendiri sepenuhnya.

Tarikan nafasny a y ang panjang-panjang mulai menjadi

semakin teratur.

Sejenak kemudian maka Mahisa Murtipun mulai membuka

matanya. Ia melihat bay angan y ang kabur. Namun semakin

lama menjadi semakin jelas, sehingga akhirnya ia melihat isi

sanggarnya satu persatu.

Mahisa Murtipun segera m enyadari sepenuhnya apa y ang

telah t erjadi pada dirinya. Keringat telah membasah diseluruh

tubuhnya sehingga seolah-olah Mahisa Murti itu baru saja

bangkit dari bawah arus sungai yang deras.

Perlahan-lahan Mahisa Murti beringsut. Tangan Kiai

Wijang tidak lagi terasa di punggungnya.

Ketika ia kemudian memutar dirinya perlahan-lahan, maka

ia melihat bahwa Kiai Wijangpun sedang berusaha untuk

menemukan keseimbangan dirinya. Tangannya memang

sudah berada dipangkuannya dengan kedua telapak tangannya

menakup.

Demikian Mahisa Murti kemudian duduk menyamping,

maka Kiai Wijang itupun tersenyum sambil berdesis " Kau

telah berhasil ngger. Kau telah mampu melangkah melampaui

hambatan dipuncak kemampuanmu.”

"Aku mengucapkan terima kasih atas tuntunan Kiai. Jika

aku berhasil, tentu karena Kiailah yang telah menuntun

menunjukkan jalan bagiku." sahut Mahisa Murti.

"Bersukurlah kepada Yang Maha Agung, y ang telah

memberimu kekuatan untuk menggapai satu langkah yang

penting didalam hidupmu. Namun kaupun harus berjanji,

bahwa kemampuanmu tidak akan kau salah gunakan. " berkata

Kiai Wijang kemudian.

"Aku berjanji, Kiai" jawab Mahisa Murti.

"Kau harus berjanji terutama kepada dirimu sendiri. Lebih

dari itu, kepada Yang Maha Agung."

Mahisa Murti mengangguk dalam-dalam. Katanya "Aku

mengerti, Kiai. Aku akan melakukannya."

"Baiklah. Sekarang, kita dapat keluar dari sanggar. Keluarga

Pa depokan Bajra Seta tentu menunggumu dengan cemas."

Demikianlah, maka Mahisa Murti dan Kiai Wijang telah

keluar dari sanggar. Mereka telah minta disediakan air abu

merang untuk mandi keramas. Baru kemudian mereka minum

minuman hangat serta makan makanan cair.

Meskipun Mahisa Murti nampak letih sekali, tetapi cahaya

wajahnya yang ceria menunjukkan keberhasilannya. Minuman

hangat dan makanan cair telah membuat wajahnya yang pucat

menjadi sedikit merah. Perlahan-lahan kekuatan didalam

tubuhnya yang letih mulai tumbuh kembali.

Mahisa Murti itupun mengucapkan terima kasih ketika ia

menerima pernyataan selamat dari seisi padepokan.

Kecemasan y ang mencengkam padepokan itu rasa-rasanya

telah lampau.

Ketika semalam telah lewat, serta Mahisa Murti sudah

mulai makan sebagaimana biasanya, maka kekuatannyapun

menjadi semakin meningkat pula. Demikian pula Kiai Wijang

yang juga merasa sangat letih. Tetapi di hari kedua, maka

Mahisa Murti dan Kiai Wijang sudah hampir menjadi pulih

kembali. Mahisa Murti sudah mulai melakukan gerakangerakan

sederhana di sanggarnya bersama Mahisa Semu dan

Mahisa Amping.

Ketika Mahisa Murti sudah pulih kembali, maka Kiai

Wijang menjadi sangat puas m elihat hasil yang telah dicapai

oleh Mahisa Murti. Kiai Wijang sendiri telah menjajagi

kemampuan anak muda itu setelah ia menembus dinding yang

seakan-akan membatasinya pada kemampuannya y ang sudah

mapan.

Dalam penjajagan yang dilakukan disanggar, maka Kiai

Wijang itupun berkata "Bukan main ngger. Semua tataran

ilmumu sudah meningkat. Jika sebelumnya aku mampu

menangkal ilmumu yang mampu menghisap kemampuan dan

kekuatan orang lain, maka rasa -rasanya sekarang tidak lagi

sepenuhnya. Ketika aku minta kau pergunakan ilmumu itu,

aku merasakan kekuatan itu menghisap disetiap sentuhan

betapapun kecilny a. Namun dalam pertempuran yang lama,

maka aku akan dapat kehabisan tenaga. Bukan saja karena aku

harus mengerahkan segala kemampuanku untuk mengatasi

kemampuanmu, tetapi juga karena aku tidak dapat lagi

menangkal ilmumu sepenuhnya. Selain kemungkinan itu,

maka akupun menjadi ragu. Apakah aku mampu melawan

ilmumu dalam benturan puncak ilmu kita masing-masing.”

"Tetapi Kiai sudah m emiliki pengalaman y ang sangat luas

serta kemampuan mengembangkan ilmu Kiai sejauh -jauhnya. "

Kiai Wijang ter senyum. Katanya "Tetapi bekal y ang ada

didalam diriku tidak selengkap bekal y ang ada didalam dirimu.

Dengan m enjalani laku m aka apa yang ada didalam dirimu,

ternyata sudah berada pada tataran y ang tidak lagi terjangkau

oleh ilmuku."

"Tetapi seperti yang aku katakan, Kiai memiliki lumbung

pengalaman yang tidak terhingga." berkata Mahisa Murti.

"Mungkin ngger. Tetapi semisal bangunan, bahan-bahan

yang ada padamu lebih baik dari bahan-bahan y ang ada

padaku." berkata Kiai Wijang. Lalu katanya pula "Nah,

selanjutnya kau akan dapat membuat semua bekal yang ada

didalam dirimu luluh menyatu. Aku y akin bahwa dalam waktu

yang singkat semuanya itu akan dapat kau lakukan. Semuanya

yang ada didalam dirimu akan luluh m enjadi satu kebulatan

ilmu y ang jarang ada duanya. "

"Aku mohon doa restu Kiai." desis Mahisa Murti.

"Tetapi kau harus selalu ingat. Kau bertanggung jawab atas

ilmumu yang sangat tinggi. Kau tidak boleh menyalah

gunakannya. "

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Seakan-akan kepada

dirinya sendiri ia bergumam "Aku akan selalu mengingatnya."

Demikianlah, dihari berikutnya, maka tenaga dan kekuatan

Mahisa Murtipun benar-benar telah mencapai tataran

tertingginya kembali. Bahkan tataran ilmunya sudah

meningkat dengan satu loncatan panjang, menembus batas

kemapanan dari ilmunya itu sebelumnya.

Dihari berikutnya, m aka Kiai Wijang yang merasa bahwa

tugasnya telah selesai itupun kemudian telah minta diri. Ia

harus segera kembali ke tempat tinggalnya y ang terpencil.

"Meskipun tempat tinggalku terpencil, t etapi hidupku

sehari-hari tidak terpisah dari lingkunganku, sebagaimana

kehidupan di padepokan ini. Namun orang-orang disekitarku

mempunyai tanggapan yang berbeda atas diriku. Mereka

menganggap aku seorang petani y ang hidup dari hasil

pategalan dan bahkan tinggal disebuah gubug kecil di tengahtengah

pategalan. "

"Apakah Kiai tidak berkeluarga ?" bertanya Mahisa Murti.

Pandangan mata orang itu menerawang jauh. Dengan nada

yang lemah ia menjawab "Sekarang tidak ngger"

Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Ia melihat sinar

mata Kiai Wijang y ang kemudian menjadi redup.

Katanya dengan nada rendah. “Aku telah kehilangan segalagalanya.

Bahkan dua orang muridku telah tidak ada pula. Satu

bencana y ang tidak terduga telah terjadi. Justru disaat aku

sedang berada dipuncak kejayaan karena ilmuku yang

menurut pendapatku waktu itu tidak ada y ang mampu

mengimbanginya. Ternyata itu merupakan bencana bagiku.

Beberapa orang telah m endendamku karena kesombonganku,

kesewenang-wenanganku dan barangkali juga keganasanku.

Akhirnya mereka tidak tahan lagi mengalami perlakuanku.

Mereka sepakat untuk datang kerumahku bersama-sama

karena mereka merasa tidak akan dapat mengalahkan aku

sendiri-sendiri. Tetapi ternyata saat itu aku tidak ada dirumah.

Yang ada adalah isteriku, seorang anakku perempuan dan dua

orang muridku. Seorang diantaranya diantaranya adalah bakal

menantuku. Tetapi mereka semuanya telah dihancurkan.

Rumahku telah dibakar habis bersama tubuh-tubuh mereka

yang terbunuh." Kiai Wijang berhenti sejenak. Lalu katanya

"Ketika aku pulang dan menemui keny ataan itu, aku m emang

hampir menjadi gila. Aku bertekad untuk mencari mereka dan

akan membunuh mereka semuanya dengan caraku."

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Matanya menjadi

semakin lama semakin redup. Kenangan yang buruk itu

menjadi semakin jela s di angan-angannya. Katanya kemudian

" Tiga orang telah aku habisi dengan caraku. Tetapi aku tidak

puas. Dari mereka aku tahu, siapa -siapa yang telah datang

kerumahku dan m embunuh keluargaku dan m urid-muridku.

Karena itu, maka aku bertekad untuk menemukan mereka

semuanya. "

Mahisa Murti mendengarkan ceritera tentang peristiwa

yang buruk itu dengan hati y ang berdebar-debar. Sementara

itu Kiai Wijang berkata selanjutnya " Tetapi pada saat aku

hampir kehilangan seluruh dasar kemanusiaanku, maka aku

telah bertemu dengan seorang tua. Bukan pertemuan biasa.

Tetapi justru pada saat aku terjebak. Sisa-sisa musuhku telah

berkumpul dan menyusun jebakan y ang tidak dapat aku

hindari. Aku tidak mampu melawan beberapa orang bersamasama.

Aku memang mengira bahwa aku tentu sudah mati.

Bahkan barangkali itu yang terbaik buatku. Namun ternyata

tidak. Aku ditolong oleh orang tua itu. Lukaku diobati. Sedikit

demi sedikit aku sembuh. Namun setiap hari aku m endengar

ceriteranya tentang kebaikan. Tentang keluhuran budi dan

tentang sumber hidup manusia. Maka sedikit demi sedikit

terbangunlah sikap y ang jauh berbeda dari sikapku

sebelumnya. Ketika kemudian aku sembuh dan pulih kembali,

maka aku telah menjadi orang lain. Untuk menghindari

kemungkinan buruk itu terjadi lagi atasku, sehingga sifat-sifat

ganasku tumbuh kembali, maka aku telah hidup dalam satu

dunia y ang lain pula. Aku tinggal disebuah pategalan. Terpisah

dari padukuhan-padukuhan. Tetapi bukan b erarti bahwa aku

tidak berhubungan dengan orang-orang padukuhan itu."

"Di manakah orang tua itu sekarang ?" bertanya Mahisa

Murti.

"Orang itu sudah tidak ada lagi. Orang itu adalah orang

yang berilmu sangat tinggi. Lebih tinggi dari ilmuku waktu itu,

meskipun aku m engira bahwa aku adalah orang y ang terbaik

dalam olah kanuragan diseluruh dunia. Namun sebelum ia

meninggal, ia sudah memberikan warisan ilmu kepadaku.

Tetapi bekal yang ada padaku waktu itu ternyata tidak

selengkap bekal yang kau m iliki. Karena itu, m aka suatu saat

setelah kau mampu mengembangkan ilmumu, kau akan

menjadi orang y ang jauh lebih baik dari aku. Bukan saja

ilmumu. Tetapi arti dari kehadiranmu diantara sesama.

Karena itu, maka aku memaksa diri untuk membantumu agar

kau tidak mengalami kesulitan karena dendam yang

membakar saudara seperguruanku itu."

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun kemudian

iapun bertanya “Apakah Kiai juga masih sering berhubungan

dengan saudara seperguruan Kiai ?"

"Jarang sekali. Cara hidup kami sudah jauh berbeda. Aku

tidak lagi mempunyai arti apa-apa baginya. Akupun berharap

bahwa ia tidak tahu atas kehadiranku disini. "

"Apakah ia tidak dapat melihat bekas tangan Kiai pada

ilmuku sesudah Kiai menuntunku menembus batas

kemapanannya ?"

"Tidak. Kau tetap berpijak pada landasan dasar ilmumu

yang semula tentu warisi dari beberapa sumber namun yang

sudah luluh menyatu dalam dirimu. Itulah yang akan

dilihatnya. Sementara aku hanya menolongmu untuk

melakukan satu loncatan panjang menembus batas yang

seakan-akan menghentikan peningkatannya."

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun setiap kali ia

masih saja mengucapkan terima kasih kepada Kiai Wijang.

Dengan ilmunya y ang semakin meningkat, maka akan semakin

banyak pula y ang dapat dilakukannya bagi kepentingan

sesamanya.

Demikianlah, maka Mahisa Murti tidak lagi dapat menahan

orang itu untuk tinggal lebih lama di Padepokan Bajra Seta.

Pa da suatu hari, maka Kiai Wijang itupun telah meninggalkan

padepokan itu, tanpa mau memberi tahukan, dimana ia

tinggal.

"Tetapi pada saatnya kau akan mengetahuinya. Bahkan aku

akan mengundangmu untuk mengunjungi aku ditempat

tinggalku. Namun ingat, aku bukan orang yang memiliki

kelebihan apa-apa diantara orang-orang padukuhan itu."

Mahisa Murti memang harus melepaskan orang itu,

betapapun berat hatinya. Sebelum pergi Kiai Wijang masih

memperingatkannya "Hati-hatilah dengan saudara

seperguruanku. Tetapi tolong, jangan kau bunuh orang itu.

Usahakan agar kau m ampu menundukkannya dan sokurlah

jika kau mampu membuatnya jera."

Mahisa Murti mengangguk sambil menjawab "Aku akan

mencoba Kiai. Namun percayalah, bahwa aku sama sekali

tidak mempunyai niat membunuhnya."

"Aku mempercayaimu ngger. Sehingga jika saudara

seperguruanku itu terbunuh, tentu sama sekali tidak kau

sengaja.”

Mahisa Murti tidak menjawab.

Iapun percaya bahwa Kiai Wijang

berkata dengan jujur. Bukan

sekedar membesarkan hatinya.

Namun sepeninggal Kiai

Wijang, Mahisa Murti harus selalu

berhati-hati. Saudara seperguruan

Kiai Wijang itu akan mengirimkan

orang untuk menjajagi

kemampuannya. Jika ia berada di

puncak kemampuannya setelah ia

mendapat tuntutan laku dari Kiai

Wijang, maka saudara

seperguruan Kiai Wijang itu t entu

tidak akan datang kepadanya.

Karena itu, maka Mahisa Murti sudah bertekad untuk

memancing saudara seperguruan Kiai Wijang itu agar ia

datang menemuinya.

Dengan demikian, maka ia harus memberikan kesan bahwa

ia tidak akan mampu m engalahkan saudara seperguruan Kiai

Wijang.

Namun sebenarnyalah bahwa Mahisa Murti m emang tidak

dengan sombong menepuk dadanya bahwa ia tentu akan dapat

mengalahkan saudara seperguruan Kiai Wijang, karena

menurut pendapatnya, perhitungan Kiai Wijangpun tentu

dapat keliru pula, karena betapapun tinggi ilmunya, namun

Kiai Wijang tetap hanya titah biasa, sehingga kemungkinan

bahwa ia keliru dapat juga terjadi.

Dari hari kehari, maka Mahisa Murtipun masih selalu

menunggu orang-orang y ang mungkin dikirim oleh saudara

seperguruan Kiai Wijang. Justru karena itu, maka Mahisa

Murti menjadi lebih banyak pergi keluar padepokannya

seorang diri.

Namun sementara itu, jika Mahisa Murti berada didalam

sanggarnya, maka ia sempat mendalami ilmunya dan berusaha

mengembangkannya. Justru karena ia sudah berhasil

menembus batas kemapanan ilmunya, maka rasa-rasanya

setapak demi setapak, Mahisa Murti menuju kemapanannya

pada tataran yang lebih tinggi.

Dalam pada itu, saat y ang ditunggunya itu akhirnya datang

pula. Ternyata untuk beberapa hari tiga orang telah

mengamatinya saat-saat Mahisa Murti keluar dari

padepokannya.

Pa da saat yang dianggap paling tepat, selagi Mahisa Murti

berada diluar padepokannya menjelang senja, tiga orang itu

telah datang menemuinya.

Seorang diantara mereka langsung bertanya "Ki Sanak.

Menurut ciri-ciri y ang ada, maka bukankah kau Mahisa Murti

?"

Mahisa Murti m engangguk mengiakan. Katanya "Ya. Aku

adalah Mahisa Murti. Pemimpin Padepokan Bajra Seta yang

berada tidak jauh dari tempat ini.”

"Bagus Ki Sanak" berkata orang itu "aku memang

menunggumu. S ejak dua hari yang lalu kami meny empatkan

diri untuk dapat menemuimu."

"Kenapa kau tidak datang ke padepokan ?" bertanya Mahisa

Murti.

"Tidak Ki Sanak." jawab orang itu "aku ingin bertemu justru

saat kau sendiri. "

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnya ia

sama sekali tidak terkejut mendengar jawaban itu. Namun ia

masih juga bertanya "Apakah kau mempunyai keperluan

khusus dengan aku ? Tidak dengan padepokanku ?"

"Ya. Aku mempunyai keperluan khusus dengan kau, Mahisa

Murti." berkata orang itu.

"Siapakah sebenarnya kalian bertiga ?" bertanya Mahisa

Murti pula.

"Itu tidak penting bagimu." jawab orang itu.

"Jadi, apakah y ang penting bagiku ?" bertanya Mahisa

Murti selanjutnya.

"Kami datang untuk menangkapmu. Kami ingin

membawamu kepada pemimpin kami. Jangan takut bahwa

kami akan menyakitimu, karena segala sesuatunya terserah

kepada pemimpin kami." jawab orang itu.

Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun kemudian

katanya menebak "Jadi, kalian sekedar mencari per soalan

untuk berselisih ? Apakah sebenarnya maksudmu. Bukankah

kita belum pernah bertemu sehingga tidak ada per soalan

diantara kita ?"

"Seharusnya kau tidak m enghindar. Kau sudah m elakukan

kecurangan sehingga kau harus bertanggung jawab." jawab

orang itu.

"Kecurangan apa ?" bertanya Mahisa Murti.

"Sudahlah, sekarang menyerahlah. Jangan banyak bertanya

lagi." berkata orang itu.

"Ki Sanak" berkata Mahisa Murti y ang sudah m engetahui

maksud kedatangan orang itu "jika kau sekedar mencari

perkara untuk berselisih, marilah. Aku tidak berkeberatan.

Tetapi sudah tentu bahwa aku tidak akan m eny erah begitu

sa ja. Marilah, siapa diantara kalian y ang akan mencoba untuk

berkelahi melawan aku?"

"Kami tidak datang untuk menantangmu berperang

tanding. Karena itu, m aka tidak ada seorang diantara kami

yang akan maju melawanmu. Tetapi kami bertiga memang

sudah siap untuk membawamu kepada pemimpin kami."

"O, begitu. Jadi kalian akan bertempur bersama-sama ?"

bertanya Mahisa Murti pula.

"Sekali lagi. Kami akan m enangkapmu. Itu saja. Terserah

kamu mengartikannya" jawab orang itu.

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Apa y ang

dikatakan oleh Kiai Wijang itu benar-benar terjadi.

Dengan nada berat Mahisa Murtipun kemudian berkata "Ki

Sanak. Sikap Ki Sanak benar-benar tidak dapat aku mengerti.

Tetapi sudah tentu bahwa aku tidak akan bersedia

menyerahkan diri, apalagi untuk kalian bawa kepada orang

lain yang menurut pendapatku, tidak ada hubungan apapun

juga dengan aku dan padepokanku."

"Jika kau benar-benar berkeberatan, maka ber siaplah. Aku

mendapat wewenang untuk mempergunakan kekerasan.

Bahkan jika kau tetap berkeras, maka jika kau mati, sama

sekali bukan tanggungjawabku.”

"Jadi tanggung jawab siapa ?" bertanya Mahisa Murti.

"Tanggung jawabmu sendiri " jawab orang itu.

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Ia memang

harus bertempur. Tetapi ia harus memberikan kesan, bahwa

ilmunya tidak akan melampaui ilmu saudara seperguruan Kiai

Wijang. Meskipun ia tetap sadar, bahwa banyak kemungkinan

dapat terjadi.

Demikianlah, ketiga orang itupun kemudian telah bergeser.

Mereka telah saling menjauhi. Dengan nada berat seorang

diantara mereka berkata " Bersiaplah. Kami benar-benar akan

bertindak sesuai dengan wewenang y ang ada pada kami.

Ber siaplah. Mungkin kau akan sampai kebatas hidupmu."

Mahisa Murti tidak menjawab. Sementara itu malampun

mulai turun. Namun karena ketajaman penglihatan mereka,

maka m ereka masih dapat melihat dengan jelas orang-orang

yang sudah siap untuk bertempur itu.

Demikianlah, maka ketiga orang itu mulai bergeser.

Seorang diantara m ereka telah meloncat m eny erang. Namun

Mahisa Murti yang melangkah surut, telah berhasil

membebaskan diriny a dari garis serangan itu. Tetapi kedua

orang y ang lainpun telah meny erang pula berganti-ganti.

Demikianlah, maka pertempuran antara Mahisa Murti

melawan ketiga orang itupun menjadi semakin cepat. Ketiga

orang itu ternyata memang berilmu tinggi. Tetapi untuk

menjajagi kemampuan seseorang dibandingkan dengan

saudara seperguruan Kiai Wijang itu, maka ketiga orang itu

tentu tidak memiliki kemampuan lebih baik dari saudara

seperguruan Kiai Wijang itu sendiri. Jika ketiga orang itu

mampu mengalahkannya, maka orang y ang telah

dikalahkannya itu tentu tidak akan menang melawan saudara

seperguruan Kiai Wijang itu sendiri.

Mahisa Murti m enyadari akan hal itu. Karena itu, maka ia

memang tidak ingin mengalahkan ketiga orang itu. Yang

dilakukan oleh Mahisa Murti adalah sekedar mengimbangi

kemampuan ketiga orang yang bertempur semakin lama

semakin cepat.

Meskipun demikian, ternyata ketiga orang itu merasa sulit

untuk dengan cepat mengalahkan Mahisa Murti. Bertiga

mereka telah mengerahkan kemampuan mereka. Namun

Mahisa Murti masih saja luput dari serangan-serangan mereka

yang datang beruntun seperti arus banjir yang deras.

Namun sebalikny a, Mahisa Murti tidak juga dapat

menyentuh mereka. Mahisa Murti lebih banyak m enghindar

daripada meny erang. Bahkan rasa-rasanya Mahisa Murti

memang tidak mempunyai kesempatan sama sekali.

Semakin lama pertempuran itupun menjadi semakin sengit.

Ketiga orang itu menekan semakin berat. Mereka m eny erang

dari tiga arah bahkan serangan itu-sering datang bersamasama.

Namun sebenarnyalah bahwa ketiga orang itu justru dapat

dipergunakan oleh Mahisa Murti untuk mengenal tataran

ilmunya sendiri. Meskipun didalam sanggar bersama Kiai

Wijang, Mahisa Murti sudah melakukan penjajagan itu,

namun menghadapi ketiga orang yang sebelumnya belum

pernah dikenal, maka Mahisa Murti akan mendapat

kesempatan yang lain untuk menilai kemampuannya sendiri.

Untuk beberapa saat Mahisa Murti m emang tidak berbuat

lebih dari sekedar mengimbangi ketiga lawannya. Namun

kemudian timbul niatnya untuk memberikan lebih banyak

perlawanan sebelum akhirnya ia harus melarikan diri dari

pertempuran itu masuk kedalam padepokannya atau berusaha

menghilangkan jejaknya di kegelapan.

Dengan demikian, maka pertempuran itupun justru

meningkat menjadi semakin sengit. Mahisa Murtipun

kemudian tidak sekedar berusaha menghindari seranganserangan

lawannya. Namun iapun mulai membalas

menyerang.

Ternyata serangan-serangan Mahisa Murti itu telah

mengejutkan lawan-lawannya. Apalagi setelah beberapa kali ia

mampu mengenai mereka. Bahkan m enyakiti m ereka seorang

demi seorang.

Meskipun demikian Mahisa Murti tidak sampai melampaui

batas keinginannya untuk memancing saudara seperguruan

Kiai Wijang. Karena itu, m aka y ang kemudian dilakukannya

adalah menilai daya tahan tubuhnya sendiri.

Untuk beberapa saat Mahisa Murti justru membiarkan

lawan-lawannya itu meny erangnya dan bahkan mengenainya.

Dengan demikian, m aka Mahisa Murtipun merasa yakin,

bahwa ilmunya memang meningkat. Satu loncatan yang

panjang telah dilakukannya sehingga ia mampu menembus

batas kemapanannya untuk mendapatkan kemapanan baru

dalam tataran y ang lebih tinggi.

Lawan-lawannya yang berhasil mengenainya menjadi

semakin garang. Mereka menganggap bahwa tenaga dan

kemampuan Mahisa Murti sudah mulai menjadi susut,

sehingga tidak mampu lagi menghadapi ketiga orang lawannya

itu.

Mahisa Murti memang beberapa kali harus berloncatan

mundur. Serangan lawan-lawannya memang menjadi semakin

garang, sehingga kemudian serangan-serangan itu mulai

menyakitinya.

Tetapi Mahisa Murti memang membiarkannya. Meskipun

dimata lawan-lawannya Mahisa Murti masih juga berloncatan

menghindar, namun beberapa kali mereka berhasil menembus

pertahanan anak muda itu.

Untuk mengurangi rasa sakitnya, maka Mahisa Murti telah

mengerahkan day a tahannya. Dengan lambaran tenaga dalam,

maka Mahisa Murti mengerahkan getar didalam dirinya

melawan serangan-serangan yang mengenai tubuhnya.

Dengan m engentalkan tenaga y ang dialasi tenaga dalamnya,

maka Mahisa Murti berusaha menahan setiap serangan yang

mengenai tubuhnya.

Ternyata akibatnya m emang luar biasa. Kulitnya seakanakan

menjadi liat. Serangan-serangan y ang mengenai

tubuhnya seakan-akan telah memental tanpa menyakitinya.

Ternyata puncak dari day a tahannya telah membuat

kulitnya seakan-akan menjadi kebal. Ia tidak lagi merasa

serangan-serangan lawannya y ang mengenainya itu

menyakitinya.

Tetapi Mahisa Murti tidak menjadi kehilangan akal. Ia tidak

berniat untuk m enghancurkan lawan-lawannya itu m eskipun

kemudian m enurut perhitungannya ia akan dapat mengatasi

ketiga lawannya, meskipun Mahisa Murti y akin, bahwa ada

diantara mereka y ang masih meny impan ilmu puncaknya.

Sebenarnyalah bahwa karena Mahisa Murti tidak segera

dapat ditundukkannya, meskipun serangan-serangan mereka

mampu menembus pertahanan anak muda itu dan bahkan

sekali-sekali mengguncang keseimbangannya, maka seorang

diantara merekapun berniat untuk memaksa Mahisa Murti

untuk mengakui kekalahannya.

Karena itu, maka dalam pertempuran selanjutnya, Mahisa

Murti merasa betapa serangan salah seorang lawannya

menjadi sangat berbahaya. Seorang y ang bertubuh tinggi

meskipun agak kekurus-kurusan itu ternyata memiliki

kelebihan dari kedua orang y ang lain. Meskipun Mahisa Murti

dilindungi day a tahannya y ang memiliki sifat m endekati ilmu

kebal, namun ia harus berhati-hati terhadap lawannya yang

bertubuh tinggi itu. Tangan orang itu seakan-akan semakin

lama menjadi semakin keras, sehingga kemudian tangan itu

bagaikan gumpalan batu hitam.

Dengan demikian, maka sentuhan tangan itu masih juga

mampu menggetarkan day a tahan Mahisa Murti, sehingga ia

merasa betapa kerasnya tangan lawannya. Meskipun masih

dalam batas perlindungan daya tahannya, namun sentuhan itu

memang dapat menggetarkan daya tahannya yang sangat

tinggi itu.

Sementara itu, Mahisa Murti merasa sudah cukup bermainmain

dengan ketiga orang lawannya. Ia masih ingin

memancing kehadiran saudara seperguruan Kiai Wijang.

Sebagaimana pesan Kiai Wijang, m aka ia sama sekali tidak

ingin mengakhiri hidup orang itu. Tetapi ia ingin membuat

orang itu jera.

Meskipun demikian, Mahisa Murti juga tidak m engingkari

kemungkinan bahwa justru ia sendirilah y ang akan dikalahkan

dan justru diakhiri oleh saudara seperguruan Kiai Wijang itu.

Namun Mahisa Murti masih mempunyai sandaran untuk

menyerahkan segala kemungkinan y ang bakal terjadi. Ia y akin

akan kuasa Yang Maha Agung.

Demikianlah, maka Mahisa Murti seakan-akan menjadi

semakin terdesak.

Serangan-serangan ketiga orang lawannya berganti-ganti

telah mengenai tubuhnya. Mahisa Murti sama sekali tidak

memberikan kesan, bahwa daya tahannya mampu m engatasi

serangan-serangan y ang datang beruntun itu. Hanya serangan

dari orang y ang b ertubuh agak tinggi itulah yang sebenarnya

mampu menggetarkan day a tahannya. Namun tidak

menentukan.

Demikianlah, maka beberapa saat kemudian, Mahisa

Murtipun berusaha untuk berloncatan mengambil jarak.

Orang y ang b ertubuh tinggi itu sempat berkata "Jangan lari.

Meny erah sajalah. Atau kau akan mati."

Tetapi Mahisa Murti sadar, bahwa orang-orang itu tidak

akan membunuhnya. Mereka tentu akan membiarkannya

hidup. Kemudian orang-orang itu akan melaporkannya kepada

saudara seperguruan Kiai Wijang.

Mahisa Murtipun kemudian sudah bersiap-siap untuk

melarikan diri. Ia dapat dengan cepat memasuki gerumbulgerumbul

yang diselubungi oleh kegelapan sebagaimana

direncanakannya.

Tetapi tiba-tiba timbul pertanyaan dihatinya "Apakah yang

akan mereka lakukan seandainya aku benar-benar kalah ?

Apakah mereka akan membawa aku kepada saudara

seperguruan Kiai Wijang untuk ditantang berperang tanding

?.”

Tetapi akhirnya Mahisa Murti memilih untuk melakukan

rencananya. Ia akan melarikan diri kedalam kegelapan. Ia

berharap bahwa saudara seperguruan Kiai Wijang itu benarbenar

akan datang kepadanya.

Beberapa saat Mahisa Murti masih bertahan sambil

berloncatan berputaran. Tetapi kemanapun ia pergi, maka

salah seorang lawannya telah memburunya dan

menyerangnya.

Tetapi akhirnya Mahisa Murtipun telah benar-benar

berusaha melepaskan diri. Dengan beberapa loncatan, panjang

ia masuk kedalam gerumbul-gerumbul perdu. Untuk beberapa

saat ketiga orang lawannya mampu melihat jejaknya pada

ranting-ranting yang terguncang. Namun kemudian rasarasanya

menjadi semakin sulit untuk mereka ikuti.

"Jangan lari, pengecut " teriak orang y ang bertubuh tinggi

itu. T etapi ia justru berhenti m engejar. Demikian pula kedua

orang kawannya.

Sejenak mereka memandang kekegelapan. Namun

kemudian orang bertubuh tinggi itu berkata "Ia memang

memiliki kelebihan. Tetapi ia bukan lawan yang tangguh bagi

Kiai Putut. "

Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Seorang

diantaranya berkata "Kulitnya cukup liat. Ia mampu bergerak

cepat. Semua itu harus kita laporkan kepada Kiai Putut, agar ia

tidak salah menilai anak muda itu."

"Tetapi ia akan dengan cepat digila s oleh kemampuan Kiai

Putut y ang sangat tinggi." sahut kawannya y ang seorang.

"Tugas kita sudah selesai " berkata orang y ang bertubuh

tinggi. “Besok k ita kembali ke perguruan untuk memberikan

laporan tentang tugas kita ini."

Sementara itu, Mahisa Murti y ang melarikan diri itupun

berhenti disebuah padang perdu y ang tidak begitu luas. Ketika

ia mengetahui bahwa ketiga orang lawannya sudah tidak

mengejarnya lagi, maka iapun kemudian m elangkah menuju

ke padepokannya.

Sebelum Mahisa Murti memasuki regol padepokannya,

maka dibenahinya pakaiannya. Ia tidak ingin menceriterakan

apa y ang dialaminya kepada isi padepokannya.

Karena itu, maka Mahisa Murtipun telah menghapus segala

kesan tentang perkelahian yang baru saja dilakukan melawan

ketiga orang y ang memang sudah diduganya akan datang.

Wantilan y ang kebetulan berada di pendapa bangunan

induk padepokannya itu dengan serta-merta bertanya "Kau

datang dari mana ?"

"Dari padukuhan sebelah Barat itu, paman," jawab Mahisa

Murti.

"Biasanya kau tidak sampai malam jika kau pergi ke

padukuhan itu." berkata Wantilan pula.

Mahisa Murti tersenyum. Katanya "Aku melihat anak-anak

muda y ang sedang beramai-ramai mempersiapkan keramaian.

Ki Bekel di padukuhan itu akan menyelenggarakan peralatan."

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Ia memang

pergi ke rumah Ki Bekel itu. Dan Ki Bekel memang akan

menyelenggarakan peralatan. Anaknya perempuan akan

menikah dengan anak seorang saudagar ternak yang terhitung

berkecukupan.

Namun Mahisa Murti tidak naik kependapa. Katanya "Aku

belum mandi."

Demikianlah, sejak hari itu Mahisa Murti menjadi semakin

berhati-hati. Ia memperhitungkan bahwa saudara seperguruan

Kiai Wijang itu tentu akan datang menemuinya.

Dari hari ke hari Mahisa Murti menanti. Namun ia tidak

melalaikan tugasny a sebagai seorang pemimpin di Padepokan

Bajra Seta. Sejak Mahisa Pukat m eninggalkan padepokan itu,

maka tugas Mahisa Murti memang menjadi bertambah berat.

Mahisa Murtipun tidak melupakan tugas khususny a. Ia

dengan sungguh-sungguh telah m enempa Mahisa Semu dan

Mahisa Amping. Keduanya tidak lagi pernah m erasa semakin

jauh dari Mahisa Murti sebagaimana saat-saat mereka datang.

Jika Mahisa Murti tidak langsung menunggui mereka didalam

sanggar, maka mereka sudah m enyadari bahwa tugas Mahisa

Murti memang cukup banyak.

Namun pada hari -hari terakhir, Mahisa Murti lebih banyak

pergi seorang diri menjelang senja. Ada-ada saja yang

dilakukan. Mahisa Murti tidak selalu pergi ke padukuhanpadukuhan

disekitar padepokannya. Kadang -kadang Mahisa

Murti justru pergi ke tempat-tempat yang terpencil untuk

berlatih seorang diri dialam terbuka. Sekali-sekali di padang

perdu, dilereng bukit atau ditepian sungai.

Mahisa Murti memang dengan sengaja memberi

kesempatan kepada saudara seperguruan Kiai Wijang untuk

menemuinya. Namun disamping itu, Mahisa Murti juga

sedang berlatih sehingga ia benar-benar dapat menguasai

setiap unsur dari ilmunya serta setiap unsur dari tubuhnya

sendiri.

Dalam pada itu, sebenarnyalah bahwa saudara seperguruan

Kiai Wijang y ang telah mendapat laporan dari ketiga orang

yang dimintanya untuk menjajagi kemampuan Mahisa Murti,

telah berada di dekat padepokan itu pula. Ternyata ia tidak

datang sendiri. Ketiga orang yang telah lebih dahulu datang

menemui Mahisa Murti itu diajaknya pula.

Dengan mudah, maka saudara seperguruan Kiai Wijang

itupun segera mendapat kesempatan untuk bertemu dengan

Mahisa Murti. Selagi Mahisa Murti berada di padang perdu

untuk memantapkan penguasaannya atas unsur-unsur

ilmunya tetapi juga unsur-unsur tubuhnya, maka saudara

seperguruan Kiai Wijang bersama ketiga orang pengikutnya

telah mengamatinya dengan saksama.

"Luar biasa " desis orang itu

"anak muda itu memang berilmu

sangat tinggi. Jika pertumbuhannya

tidak dihentikan, maka beberapa

tahun lagi, ia akan m enjadi orang

yang sangat berbahaya."

"Bagaimana Kiai Putut dapat

menghentikan pertumbuhan ilmu

anak muda itu ? Apakah anak muda

itu harus dibunuh ?"

"Tidak " jawab saudara

seperguruan Kiai Wijang itu "tetapi

bagian dari tubuhnya atau simpulsimpul

syarafny a harus dirusak agar jalur hubungan antara

kehendak dan bagian-bagian tubuhnya terganggu. Dengan

demikian, maka ia tidak akan mampu lagi menguasai

tubuhnya dengan sempurna. Sehingga ia tidak mungkin

menjadi seorang yang memiliki kemampuan tinggi dalam olah

kanuragan, meskipun ujud dan sikapnya sehari-hari tidak

menunjukkan cacatnya itu.”

Ketiga orang y ang datang bersama Kiai Putut itu

mengangguk-angguk. Sementara Kiai Putut itu berkata

selanjutnya "Anak itu masih tetap dapat melakukan kerja

sehari-hari. Tetapi tidak lebih dari seorang gembala di padang

penggembalaan. Ia hanya dapat meniup seruling sambil duduk

bersandar pepohonan mengalunkan lagu sedih meratapi

nasibny a y ang malang. Tetapi semuanya itu terjadi akibat

kesombongannya sendiri."

Ketiga orang yang menyertainya itu hanya menganggukangguk

saja. Namun rasa-rasanya memang sayang sekali,

bahwa tunas yang sedang tumbuh itu harus dipatahkan. Tetapi

ketiga orang itu tidak berani mengatakannya.

Dalam pada itu, maka mataharipun telah menjadi semakin

rendah dan bahkan telah tenggelam dibalik punggung gunung.

Langit menjadi buram dan angin semilir lembut.

Mahisa Murtipun menghentikan gerakan-gerakannya. Ia

mulai menurunkan irama pernafasannya. Bahkan kemudian

kedua tangannya telah menakup diatas kepalanya, kemudian

turun perlahan-lahan sampai ke depan dadanya.

Dengan satu tarikan nafas panjang, maka kedua tangannya

itupun dilepaskannya.

Namun demikian Mahisa Murti berhenti sama sekali,

terdengar seseorang tertawa dari balik gerumbul perdu.

Mahisa Murti pura-pura terkejut. Tetapi sebenarnyalah

sejak ia berlatih, ia sudah mengetahui, bahwa ada beberapa

pasang mata tengah mengawasiny a.

Dengan nada yang tajam Mahisa Murti bertanya "Siapakah

kalian?"

"Baiklah aku mengaku, siapakah aku sebenarnya. Aku

adalah Kiai Putut. Seorang yang pernah merasa kau rendahkan

dihadapan banyak orang " jawab orang itu.

Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun kemudian

iapun bertanya kepada ketiga orang yang menyertai Kiai Putut

itu

"Bukankah kau orang-orang yang pernah datang m enemui

aku beberapa hari yang lalu?"

"Ya " jawab orang itu "kami memang telah datang

menemuimu beberapa hari y ang lalu. Kami pernah sedikit

bermain-main. Namun dengan licik kau melarikan diri."

Mahisa Murti tertawa. Katanya "Akukah yang licik?

Bukankah aku bertempur seorang diri, sedangkan kalian

bertempur bersama-sama?"

"Kita tidak sedang berperang tanding. Tetapi kami sedang

mengemban tugas untuk menangkapmu" jawab orang yang

bertubuh tinggi itu.

"Nah, bukankah dengan demikian aku juga tidak sedang

berperang tanding? Yang aku lakukan adalah m embebaskan

diri dari usaha penangkapan dari orang-orang yang tidak aku

kenal."

"Per setan" potong Kiai Putut "sekarang aku datang untuk

menantangmu berperang tanding"

"Apakah alasanmu?" bertanya Mahisa Murti.

"Kau telah menghina aku" jawab orang itu.

"Kapan dan dimana?" bertanya Mahisa Murti pula.

"Seharusnya kau tidak bertanya seperti itu. Pertanyaanmu

menunjukkan betapa sombongnya kau. Kau yang sudah

menghina dan merendahkan martabat perguruanku, begitu

sa ja melupakannya tanpa merasa bertanggung jawab sama

sekali, " jawab Kiai Putut.

Mahisa Murti m enarik nafas dalam-dalam. Katanya "Aku

tidak pernah merasa menyakiti hati orang lain, apalagi

menghina dan merendahkan martabat sebuah perguruan."

"Per setan. Apapun yang kau katakan, tetapi bersiaplah

untuk menerima akibat dari perbuatanmu itu. Aku datang

untuk menunjukkan kepadamu, bahwa kau untuk selanjutnya

tidak akan menghina aku lagi." berkata Kiai Putut kemudian.

Mahisa Murti tidak sempat menjawab. Orang itu telah

bergeser mendekat dan bersiap untuk bertempur.

Namun orang itu sempat berkata kepada ketiga orang itu

"Kalian menjadi saksi. Aku tantang anak ini berperang

tanding, agar ia tidak lagi merasa berhak melarikan diri.

Kecuali jika ia benar-benar seorang yang licik."

Ketiga orang itu tidak menjawab. Sementara Mahisa

Murtipun telah bersiap pula. Ia memang tidak merasa perlu

untuk bertanya lebih lannjut untuk apa orang itu datang.

Demikianlah, maka sejenak kemudian, orang itu telah

memancing gerakan Mahisa Murti. Dengan serangan yang

lemah, orang itu mulai berloncatan.

Mahisa Murtipun bergeser menghindar. Namun Kiai Putut

itu telah memburunya.

Dengan demikian maka pertempuran itupun segera

menyala. Selapis demi selapis keduanya mulai m eningkatkan

kemampuan mereka. Namun keduanya masih saja saling

menjajagi kemampuan masing-masing.

Mahisa Murtipun segera mengenali unsur-unsur gerak

dalam ilmu lawannya. Bukan saja y ang dikenalinya lewat

lawannya, anak saudara seperguruan Arya Kuda Cemani,

tetapi juga lewat saudara seperguruan Kiai Putut yang ju stru

telah mempersiapkannya untuk menghadapinya.

Dengan nada rendah Mahisa Murti itupun kemudian

berkata "Aku sekarang tahu Kiai Putut. Kau m endendamku

karena aku telah bertempur melawan seorang anak muda yang

memiliki ilmu sejalan dengan ilmumu di Singasari."

Kiai Putut itu ju stru meloncat surut. Dipandanginya Mahisa

Murti dengan tatapan mata y ang menyala. Dari sorot matanya

Mahisa Murti memang melihat dendam yang memancar.

Dengan geram orang itu m enyahut "Anak muda. Sekarang

kau m engetahui kenapa aku datang darijauh untuk bertemu

dengan kau. Sekarang kau tidak akan dapat ingkar lagi, bahwa

kau memang pernah menghina aku dan merendahkan

martabat perguruanku."

"Kiai Putut" berkata Mahisa Murti "menurut

pengetahuanku, kau adalah seorang guru y ang mumpuni. Kau

adalah seorang yang pantas menjadi contoh bagi muridmuridmu.

Jika kau masih terbawa oleh arus perasaanmu yang

tidak terkendali, apakah jadinya dengan perguruanmu?”

"Jadi menurut pendapatmu, apapun y ang terjadi di

perguruanku, sebaiknya aku duduk saja berpangku tangan?

Apakah aku harus mematikan perasaanku jika aku melihat

seseorang menghina muridku dan perguruanku? Itukah

menurut pendapatmu sikap seorang guru y ang baik?"

"Ki Putut" berkata Mahisa Murti kemudian "apakah kau

tersinggung bahwa muridmu telah dikalahkan oleh seseorang?

Seharusnya kau melihat persoalannya secara utuh. Bukan

hanya sepotong, bahwa muridmu telah dikalahkan. Seorang

guru menurut pendapatku, harus berani menunjukkan kepada

muridnya, yang manakah y ang benar dan yang manakah y anga

salah. Jika murid Kiai Putut melakukan kesalahan, seharusnya

Kiai Putut tidak membelanya. Justru memperingatkannya.

Karena pembelaan Kiai akan mendorong murid Kiai itu untuk

melakukan kesalahan-kesalahan berikutnya. Karena anak itu

akan merasa selalu mendapat perlindungan. "

"Siapakah y ang dapat m enentukan, bahwa muridku telah

bersalah? Siapa pula yang dapat menentukan garis yang

memisahkan antara kebenaran dan ketidak benaran. Apa

katamu jika aku berpendapat bahwa muridku telah berjalan

diatas jalan kebenaran?" berkata Kiai Putut.

"Ki Putut. Kenapa kau yang sudah ubanan itu m asih saja

mudah dibakar oleh perasaan dendam? Kiai Putut. Sekarang

kau datang kepadaku dengan membawa dendam. Tetapi

ketahuilah, bahwa aku tidak berdiri sendiri. Jika saja guruku

atau orang tuaku atau siapa saja y ang menganggap, sekali lagi,

menganggap aku berjalan diatas jalan kebenaran menuntut

balas, maka dendam itu akan berkepanjangan. Orang lain yang

menganggapmu benar akan menuntut dan yang lain dan yang

lain. Bukankah dengan demikian, dunia ini akan dibakar oleh

perasaan dendam?"

"O" Kiai Putut menyahut dengan serta merta "ajaran itukah

yang kau terima dari gurumu? Kau biarkan sajakah jiwa

keluargamu dihinakan dan direndahkan martabatnya?

"Aku akan melihat persoalannya, Kiai" jawab Mahisa Murti.

Tetapi Mahisa Murti tidak sempat meny elesaikan katakatanya.

Kiai Putut itupun berteriak "Jangan banyak berbicara lagi.

Aku sudah siap untuk menghancurkanmu. Kau akan

kehilangan kemampuanmu untuk selama-lamanya. Meskipun

aku tidak ingin membunuhmu, tetapi kau harus menebus

kesombonganmu dengan harga yang sangat mahal.”

Mahisa Murti memang tidak sempat menjawab. Orang

itupun mulai meloncat meny erang. Tangannya bergerak

dengan cepat menyambar wajah Mahisa Murti.

Tetapi Mahisa Murti dengan tangkas pula mengelak,

sehingga serangan Kiai Putut itu tidak mengenainya.

Namun demikian Mahisa Murti bergeser, maka kaki Kiai

Putut lah yang menyambar lambung.

Mahisa Murti memang tidak sempat mengelak. Dengan

sikunya ia m encoba melindungi lambungnya. Dengan sedikit

merendah, Mahisa Murti berusaha mendapat tumpuan pada

kedua kakinya y ang bagaikan berakar kedalam bumi.

Tetapi Mahisa Murti ternyata masih terguncang pula. Ia

bergerak dan tergeser setapak surut.

Namun Kiai Pututpun terkejut. Serangan kakinya y ang

keras dan cepat itu telah membentur kekuatan yang kokoh,

sehingga terasa getaran yang merambat dari telapak kakinya

ke setiap sendi-sendi tulangnya.

"Anak iblis" geram Kiai Putut "darimana kau mendapatkan

kekuatan itu?"

Mahisa Murti tidak menjawab. Namun iapun mulai

menyerang pula.

Dengan demikian, maka keduanyapun kembali terlibat

dalam pertempuran yang sengit. Kiai Putut bergerak semakin

lama semakin cepat. Namun Mahisa Murtipun mampu

mengimbanginya pula. Selapis demi selapis ilmu mereka

semakin meningkat.

Ketiga orang y ang m enyaksikan pertempuran itu memang

menjadi tegang. Mereka sudah m emberitahukan kepada Kiai

Putut, bahwa anak muda itu memiliki kemampuan yang tinggi.

Kiai Putut memang tidak ingin langsung m enghancurkan

lawannya yang masih muda itu. Ia ingin tahu, tataran tertinggi

kemampuannya. Bahwa anak muda itu mampu mengalahkan

muridnya y ang termasuk salah seorang diantara muridnya

yang terbaik, telah menggelitik hatinya untuk mengetahui

pada tataran yang mana Mahisa Murti itu berada.

Namun setiap kali Kiai Putut itu meningkatkan ilmunya,

maka lawannya y ang muda itu masih saja mampu

mengimbangi. Bahkan setelah Kiai Putut berada pada tataran

selapis diatas tataran muridnya, Mahisa Murti m asih dapat

mengimbanginya.

Dengan demikian maka Kiai Puput itu y akin bahwa

kekalahan muridnya bukan karena kesalahan y ang dilakukan

oleh m uridnya itu. Tetapi ilmu Mahisa Murti memang lebih

tinggi dari ilmu muridnya itu.

Dengan demikian, maka Kiai Piatut justru menjadi semakin

bernafsu untuk menundukkan Mahisa Murti dan membuatnya

kehilangan segenap kemampuannya tanpa mendapat

kesempatan untuk menumbuhkannya kembali.

"Hukuman itu adalah hukuman y ang paling pantas untuk

anak muda yang telah m enghina perguruanku" berkata Kiai

Puput didalam hatinya.

Namun dalam pada itu, Kiai Puput masih belum dapat

menundukkan Mahisa Murti. Ketika Kiai Putut bergerak

semakin cepat, maka Mahisa Murtipun melakukannya pula.

Keduanyapun kemudian berloncatan saling meny erang dan

menghindar. S ekali-sekali m emang terjadi benturan diantara

mereka. Namun Mahisa Murti masih tetap mampu bertahan.

Kiai Puput memang m enjadi semakin heran. Ketika Kiai

Puput meningkatkan kemampuannya lagi, maka Mahisa Murti

masih belum dapat ditundukkannya.

Karena itu, maka kemarahan Kiai Puputpun menjadi

semakin membakar hatinya. Anak muda yang m engalahkan

muridnya itu ternyata memang memiliki ilmu yang jauh lebih

tinggi dari y ang diduganya.

Ketika Kiai Putut meningkatkan ilmunya lebih tinggi, maka

kecepatannya bergerakpun justru menjadi berkurang.

Ia tidak lagi berloncatan dengan cepat, bahkan seakan-akan

kakinya tidak meny entuh tanah. Tetapi geraknya ju stru

nampak semakin lamban. Namun setiap ayunan tangan atau

kakinya, seakan-akan telah menggetarkan udara disekitarnya.

Mahisa Murti menyadari, bahwa lawannya mulai

merambah pada ilmu andalannya. Karena itu, maka Mahisa

Murtipun harus berhati-hati. Iapun telah memanjat pada

tataran ilmunya semakin tinggi.

Kiai Putut memang menjadi semakin heran. Seranganserangannya

yang meluncur dengan cepat sebelumnya, tidak

mampu menembus pertahanan anak muda y ang sangat rapat

itu. Kecepatannya bergerak, masih juga dapat diimbanginya.

Namun ketika gerak Kiai Putut justru menjadi lamban,

Mahisa Murti harus menjadi sangat berhati-hati.

Meskipun Kiai Puatut tidak lagi berloncatan sebagaimana

sebelumnya, namun bobot serangannya benar-benar m enjadi

semakin berbahaya. Ketika tangannya terayun menyambar

kening, meskipun Mahisa Murti sempat mengelak, namun

getar udara yang deras telah menerpa wajahnya.

"Satu kekuatan y ang sangat besar " desis Mahisa Murti. Ia

sa dar, jika serangan-serangan itu mampu mengenai tubuhnya,

maka keseimbangannya tentu akan terguncang.

Untuk melindungi dirinya, selain memperketat

pertahanannya, m aka Mahisa Murtipun telah meningkatkan

day a tahannya. Sehingga day a tahannya pada tataran tertinggi

itu seakan-akan merupakan lapisan ilmu kebal yang

menyelubungi tubuhnya.

Semakin lama maka pertempuran itupun menjadi semakin

mendebarkan. Meskipun keduanya tidak lagi berloncatan

dengan cepat, namun serangan-serangan mereka menjadi

sangat berbahaya. Bahkan keduanya seakan-akan tidak lagi

berusaha untuk menyusup diantara pertahanan lawannya,

tetapi mereka siap untuk saling membenturkan kekuatan dan

kemampuan mereka. Mereka tidak merasa perlu mencari

celah -celah pertahanan lawannya. Tetapi mereka berusaha

untuk langsung memecahkan pertahanan lawannya itu.

Semakin tinggi tingkat tataran ilmu mereka, maka Kiai

Puputpun menjadi semakin marah. Tetapi juga semakin

heran. Tingkat kemampuannya telah berada jauh diatas

kemampuan muridnya. Tetapi anak muda itu masih juga

mampu mempertahankan diri. Benturan-benturan yang

terjadi, sama sekali masih belum m ampu mengoyak apalagi

memecahkan pertahanan Mahisa Murti. Bahkan anak muda

itu bukan saja hanya bertahan. Namun seranganserangannyapun

membuat Kiai Puput menjadi berdebardebar.

Ketiga orang pengikut Kiai Putut itu menjadi sangat tegang.

Yang m ereka saksikan adalah benturan-benturan ilmu yang

tinggi. Meskipun mereka menyadari, bahwa anak muda itu

berilmu tinggi, tetapi mereka tidak mengira bahwa ia m asih

mampu bertahan sampai tataran yang sedemikian jauhnya.

"Kenapa saat itu ia melarikan diri ?" desis orang y ang

bertubuh tinggi.

"Entahlah" jawab kawannya "jika saja saat itu ia berniat

menghancurkan kami bertiga, maka agaknya ia mampu

melakukannya.”

"Ilmunya seimbang dengan ilmu Kiai Puput." desis orang

yang bertubuh tinggi.

Tetapi kawannya y ang lain berdesis "Kiai Putut belum

sampai kepuncak ilmunya, karena Kiai Putut memang tidak

ingin membunuh anak muda itu. Tetapi jika ia kehabisan

kesabaran, maka anak muda itu tentu akan dibunuhnya."

Ketiga orang itu terdiam ketika mereka melihat Kiai Puput

melontarkan serangan yang dahsy at. Dengan satu loncatan

panjang, Kiai Putut mengangkat tangannya dan diayunkannya

langsung kearah kepala Mahisa Murti.

Mahisa Murti m emang tidak

sempat mengelak. Tetapi kedua

tangannya terangkat dan

bersilang melindungi kepalanya

itu.

Satu benturan yang sangat

keras telah terjadi. Dua

kekuatan raksasa telah beradu.

Yang tidak diduga telah

terjadi. Mahisa Murti memang

terdorong surut. Tetapi ia

dengan cepat dapat menguasai

keseimbangannya sehingga

Mahisa Murti itu tidak

terdorong jatuh.

Namun sementara itu, Kiai Putut y ang telah meny erang

Mahisa Murti itu m erasakan betapa kekuatan ilmunya telah

membentur pertahanan y ang benar-benar diluar dugaannya.

Kiai Putut memang melihat Mahisa Murti menangkis

serangannya. Ia mengira bahwa dengan demikian

pertempuran itu akan berakhir. Tangan Mahisa Murti akan

patah sehingga untuk selanjutnya ia tidak akan mampu

mempergunakan tangannya itu. Seandainya tangan itu

sembuh, namun tangan itu tentu sudah cacat dan hanya

mampu dipergunakan untuk melakukan sesuatu y ang tidak

berarti. Apalagi kemudian ia akan dapat merusakkan simpulsimpul

sarafnya sehingga hubungan antara kehendak dan

sy araf penggerak tidak dapat berjalan lancar untuk seterusnya.

Tetapi y ang terjadi tidak sebagaimana dikehendaki.

Ketika benturan itu terjadi, maka keseimbangan Kiai Putut

justru telah terguncang. Kiai Putut justru terdorong dan

mental beberapa langkah. Untunglah bahwa ia masih mampu

mempertahankan keseimbangannya, sehinga Kiai Putut itu

tidak jatuh terlentang.

Mahisa Murti memang melihat Kiai Putut itu goyah. Tetapi

ia tidak meloncat memburu dan mempergunakan kesempatan

itu. Ketika Kiai Puput berusaha untuk memperbaiki

keseimbangannya, maka Mahisa Murti berdiri saja

memandanginya.

Kiai Putut itu menggeram. Kemarahan telah membakar

kepalanya, sehingga ia tidak lagi dapat mengendalikan dirinya.

Dengan suara y ang bergetar oleh kemarahan y ang

menghentak-hentak didadanya Kiai Putut itu berkata "Kau

memang anak iblis. Jika semula aku tidak ingin

membunuhmu, maka kau m emang tidak m empunyai pilihan

lain. Karena itu, maka bersiaplah untuk mati anak muda."

"Kiai Putut" sahut Mahisa Murti dengan nada berat

"Apakah sebenarnya persoalan y ang terjadi diantara kita ?

Apakah karena aku sempat mengalahkan muridmu, maka kita

harus bertempur sampai mati ? Itu sangat berlebihan Kiai.”

"Per setan anak cengeng " Kiai Putut hampir berteriak

"sudah aku katakan, bahwa semula aku tidak akan

membunuhmu. Tetapi ternyata kau sombong, keras kepala

dan tidak tahu diri. Karena itu, m aka aku benar-benar akan

membunuhmu."

"Sampai saat ini akupun masih dapat mengendalikan

diriku, Kiai. Tetapi jika keadaan menjadi semakin gawat, maka

akupun dapat m engancammu sebagaimana kau mengancam

aku, meskipun aku sama sekali tidak menghendaki hal itu

terjadi."

"Kesombonganmu itulah y ang membuat aku bernafsu

untuk membunuhmu. Kau kira kau itu siapa, dan kau kira aku

ini siapa, sehingga kau berani mengancam aku ?"

"Aku bukan siapa -siapa dan kau juga bukan siapa -siapa,

Kiai. Kita masing -masing sudah dibakar oleh kemarahan

sementara api dendam menyala dihatimu. Karena itu, m aka

baik kau m aupun aku m erasa tidak perlu lagi tahu siapakah

kita masing -masing sebenarnya. "

"Per setan kau anak iblis" geram Kiai Putut sambil meloncat

menyerang.

Namun Mahisa Murtipun telah bersiap sepenuhnya. Ia

tidak mengelak, tetapi sekali lagi ia menangkis serangan itu.

Benturan kekuatan itu telah m enggetarkan isi dada kedua

belah pihak, sehingga Kiai Puput menjadi semakin garang

karenanya.

Dengan demikian, maka Kiai Putut telah mengerahkan

segenap kemampuannya. Dengan dor ongan tenaga dalamnya

yang terbina dengan baik, Kiai Putut berusaha mendesak

Mahisa Murti.

Tetapi Mahisa Murtipun mampu mengimbanginya. Bahkan

tenaga Mahisa Murti justru seakan-akan menjadi semakin

bertambah-tambah. Serangan-serangannya menjadi semakin

kuat dan bahkan beberapa kali Mahisa Murti mampu

menembus pertahanan Kiai Putut.

Tetapi Mahisa Murti telah menemui lagi kemampuan y ang

sangat tinggi. Mahisa Murti segera mengenalinya,

sebagaimana saat ia bertempur melawan Kiai Wijang diluar

gerbang Kotaraja.

Tubuh Kiai Putut itu seakan-akan menjadi sangat liat.

Tulang-tulangnya menjadi lentur. Jika terjadi benturan, maka

tidak terasa hentakan-hentakan y ang keras. Tetapi ju stru

sebaliknya. Tenaga dan kekuatan Mahisa Murti bagaikan

tertampung dan hilang tertelan tanpa beka s.

Mahisa Murti sebenarnya tidak terkejut menghadapi

keadaan itu. Sebagai saudara seperguruan Kiai Wijang, maka

Kiai Pututpun tentu mampu melakukannya.

Namun Mahisa Murti tidak terhenti sampai sekian. Ia tidak

menjadi kehilangan akal. Dengan bantuan Kiai Wijang, maka

kemampuan dan ilmu Mahisa Murti telah menjadi jauh

berkembang. Ia telah berhasil menembus batasan kemapanan

ilmunya sendiri untuk menggapai satu tataran kemapanan

kemampuan yang lebih tinggi.

Karena itu, maka menghadapi ilmu lawannya, Mahisa

Murtipun telah mengerahkan day a tahan tubuhnya. Seperti

yang pernah terjadi, maka day a tahannya yang sampai

kepuncak itu dapat meny elubungi dirinya mirip dengan

kekuatan ilmu kebal.

Tetapi lebih dari itu, Mahisa Murtipun berniat untuk

mengetrapkan ilmunya y ang mampu menghisap tenaga dan

kemampuan lawannya. Meskipun ia pernah gagal ketika ia

berhadapan dengan Kiai Wijang, namun setelah ilmunya

berkembang, maka ia berharap bahwa ilmunya itu akan

mampu menembus penangkal y ang dimiliki oleh Kiai Putut.

Ketika pertempuran itu menjadi semakin sengit, maka

Mahisa Murti tidak mempunyai pilihan lain. Ia mulai

mengetrapkan ilmunya y ang mampu menghisap tenaga dan

kemampuan lawannya, meskipun tidak langsung dengan

kemampuan sepenuhnya. Memang timbul niat Mahisa Murti

untuk mengetahui batas tataran ilmunya itu pada saat ilmunya

itu menembus kekuatan penangkal y ang dimiliki oleh Kiai

Pulut. Tetapi juga tidak tertutup kemungkinan, bahwa

ternyata sampai puncak kemampuannya, ilmunya itu m asih

tetap tidak dapat menembus penangkal y ang dimiliki oleh Kiai

Putut. Meskipun Kiai Wijang pernah mengatakannya, bahwa

Mahisa Murti mampu mengatasi penangkal ilmunya, namun

tidak mustahil bahwa Kiai Putut dapat mengembangkannya

lebih baik.

Demikianlah, maka pertempuran itupun sampai pada

puncaknya. Mahisa Murti benar-benar telah mengetrapkan

ilmunya meskipun tidak pada tingkat tertinggi.

Namun dalam pada itu, sejenak kemudian, maka Kiai

Puput yang meloncat sambil mengambil jarak itu tertawa

Katanya "Anak muda. Kau ternyata memiliki ilmu y ang luar

biasa. Kau mampu dengan licik menghisap tenaga dan

kekuatan lawanmu. Tetapi kau akan kecewa bahwa kau

mencoba mengelapkannya padaku, karena aku mempunyai

penangkal ilmumu itu. Sayang bahwa muridku belum pernah

mewarisi kekuatan penangkal itu. Tetapi pada suatu saat, ia

akan memilikinya juga. Namun bahwa kau tidak akan pernah

melihat kemampuannya itu, karena hari ini adalah hari

terakhirmu."

Mahisa Murti tidak menjawab. Tetapi ia meny erang

semakin garang.

Benturan demi benturan telah terjadi. Serangan Mahisa

Murti memang bagaikan tertelan kedalam kulit dan daging

lawannya tanpa menyakitinya. Bahkan i lmunya yang mampu

menghisap tenaga lawannya masih juga belum sampai pada

batas untuk menembus penangkal lawannya itu.

Tetapi lawannyapun menjadi gelisah, bahwa Mahisa Murti

yang mempergunakan perisai daya tahannya yang

ditingkatkannya sampai kepuncak itupun rasa -rasanya selalu

dapat mengatasi rasa sakit pada setiap serangan Kiai Puput

menembus pertahanannya. Serangan-serangan Kiai Puputpun

rasa-rasanya sama sekali tidak menyakitinya. Bahkan

seakan-akan tidak terasa sama sekali.

Sementara itu, selapis demi selapis Mahisa Murtipun telah

meningkatkan ilmunya untuk menghisap kemampuan

lawannya itu.

Dengan keyakinan bahwa ia mampu menangkal ilmu

Mahisa Murti, maka ternyata Kiai Puput justru menjadi

lengah. Ia tidak menghiraukan bahwa Mahisa Murti

meningkatkan ilmunya selapis demi selapis, sehingga

akhirnya, seperti juga terhadap Kiai Wijang, maka ilmu itu

mampu memecahkan penangkalnya yang dimiliki oleh Kiai

Puput.

Tetapi Kiai Puput tidak segera menyadarinya. Perlahanlahan

tetapi pasti, Mahisa Murti telah m enghisap tenaga dan

kemampuan Kiai Puput.

Namun akhirnya, Kiai Puput y ang berilmu tinggi itupun

menjadi curiga. Ia merasakan sesuatu y ang tidak wajar terjadi

pada dirinya. Dengan demikian, maka ia mulai

memperhatikan setiap benturan dan sentuhan y ang terjadi.

“Anak iblis" Kiai Puput menggeram. Ia segera mengetahui,

bahwa kemampuan ilmu Mahisa Murti mampu menembus

day a tangkalnya terhadap ilmu itu. Karena itu, maka dengan

gelisah Kiai Puput itu telah meloncat surut mengambil jarak.

Mahisa Murti sengaja tidak meloncat memburunya. Masih

terngiang pesan Kiai Wijang, bahwa Mahisa Murti tidak

membunuh Kiai Puput apabila ia dapat mengatasi ilmunya.

Mahisa Murti sama sekali tidak ingin mengingkari pesan

Kiai Wijang yang telah m embantunya meningkatkan ilmunya.

Karena itu, maka ketika ia melihat Kiai Puput meloncat surut,

maka ia justru memberikan kesempatan. Dengan demikian ia

berharap agar Kiai Puput sempat menilai apa y ang telah

terjadi.

Untuk beberapa saat Kiai Puput b erdiri termangu-mangu.

Namun kemudian ternyata dugaan Mahisa Murti keliru. Kiai

Puput tidak menilai per soalan y ang sedang dihadapinya.

Tetapi darahnya justru telah mendidih.

Dengan geram Kiai Puput itu berkata "Anak muda.

Ternyata kau benar-benar keras kepala. Sampai saat ini aku

masih mengekang diri. Karena itu, aku ingin

memperingatkanmu sekali lagi, agar kau tidak dengan

sombong mencoba melawan aku."

"Jika aku tidak melawan, lalu apa yang akan terjadi atas

diriku?" bertanya Mahisa Murti.

"Kau tidak akan mati" jawab Kiai Puput.

"Lalu apa ? Kita akhiri pertempuran ini sampai disini?"

bertanya Mahisa Murti.

"Ya." jawab Kiai Puput.

"Jika demikian, baiklah. Aku tidak berkeberatan. Kita

lupakan permusuhan ini untuk selanjutnya. " berkata Mahisa

Murti.

Ketiga orang y ang m enyaksikan pertempuran itu menjadi

berdebar-debar. Namun diluar sadar, mereka menganggap

bahwa keputusan itu adalah keputusan yang bijaksana.

Tetapi ternyata Kiai Puput masih berkati " Tetapi aku masih

mempunyai syarat."

"Maksud Kiai Puput ?" bertanya Mahisa Murti dengan

jantung yang berdebaran.

"Untuk selamanya kau tidak akan memiliki kemampuan

ilmu kanuragan lagi" jawab Kiai Puput.

“Aku memilih mati. Aku kira seperti kau, akupun tidak akan

dapat hidup dengan keadaan y ang demikian. "

Wajah Mahisa Murti menjadi tegang. Dengan suara y ang

bergetar Mahisa Murti bertanya "Bagaimana hal seperti itu

dapat terjadi atasku ?"

"Aku akan membuat kau cacat. Aku akan merusakkan

simpul-simpul sy arafmu, sehingga hubungan antara kehendak

dan sy araf penggerakmu tidak wajar lagi." jawab Kiai Puput.

Telinga Mahisa Murti menjadi panas. Betapapun ia

menyabarkan hatinya, namun kata-kata Kiai Puput itu telah

menyulut darah mudanya, sehingga bibirnya serasa bergetar.

"Kiai Puput " sahut Mahisa Murti "aku masih belum kau

kalahkan. Jika kau masih dapat meningkatkan ilmumu, maka

akupun masih mampu m elakukannya pula. Karena, itu, jika

kau masih menuntut bermacam-macam syarat, apalagi dengan

lambaran dendam seperti itu, maka aku akan melayanimu

bertempur sampai kapanpun. Aku pertaruhkan apa y ang ada

padaku untuk menjaga kehormatan dan harga diriku. Kau

tentu tahu, bahwa aku lebih baik mati daripada mendapat

penghinaan seperti itu."

Gigi Kiai Puput itupun gemeretak menahan kemarahannya.

Dengan lantang ia berkata "Anak muda. Jika kau menolak

sy aratku dan masih berniat melawanku, maka kau akan mati

hangus menjadi abu. Aku tidak hanya sekedar mengancammu.

Tetapi aku akan benar-benar dapat melakukan atasmu."

"Aku tidak peduli" jawab Mahisa Murti "tetapi aku tidak

dapat kau hinakan seperti itu. Betapapun lemahnya seekor

kucing, tetapi jika ia terinjak kaki, m aka ia akan m enggeliat

juga."

"Bagus" geram Kiai Puput "jika demikian bersiaplah. Kau

benar-benar akan mengalami kematian y ang sangat pahit.”

"Aku atau kau, Kiai" jawab Mahisa Murti.

Kiai Puput yang marah serta dibakar oleh dendam

dihatinya itu tidak dapat mengekang diri lagi. Iapun segera

bersiap untuk bertempur dalam tataran puncak

kemampuannya.

Ketiga orang y ang m enyaksikan pertempuran itu kembali

menjadi tegang. Semula mereka sempat menarik nafas

panjang, ketika ketegangan seakan-akan telah mereda. Namun

sudah tentu bahwa anak muda itu tidak akan dengan suka rela

membiarkan tubuhnya menjadi cacat. Apalagi cacat untuk

sepanjang umurnya. Sementara itu, anak muda itu masih

belum dapat dianggap kalah. Bahkan anak muda itu mampu

menunjukkan beberapa kelebihan dari Kiai Puput itu sendiri.

Karena itu, maka degup pernafasan merekapun seakanakan

menjadi semakin cepat, tetapi seakan-akan tertahantahan

oleh ketegangan yang semakin memuncak.

Mahisa Murti dan Kiai Puputpun telah bertempur kembali.

Namun Kiai Puput yang menyadari betapa berbahayanya ilmu

Mahisa Murti, selalu berusaha untuk menghindari setiap

benturan. Bahkan Kiai Puputpun merasa bahwa ia tidak akan

sempat menyerang untuk mengenai tubuh lawannya, karena

dengan demikian akan berarti satu sentuhan. Sementara

tubuh lawannya yang muda itu seakan-akan tidak dapat

disakitinya, namun justru tenaga dan kemampuannya akan

terhisap.

Karena itu, maka Kiai Puput tidak mempunyai pilihan lain.

Ia harus menunjukkan puncak kemampuannya selagi tenaga

dan kemampuannya masih dapat dianggap utuh.

Beberapa saat kemudian, ketika ia m endapat kesempatan,

maka Kiai Puputpun telah meloncat mengambil jarak. Dengan

lantang iapun berkata "Anak muda. Kali ini adalah

kesempatanmu y ang terakhir. Karena aku menaruh belas

kasihan kepadamu y ang masih muda, maka aku memberi

kesempatan kepadamu sekali lagi tetapi y ang terakhir untuk

menyerah. Jika tidak, maka kau benar-benar akan mati

dengan cara y ang sama sekali tidak meny enangkan."

"Sudah aku katakan Kiai. Aku tidak akan menghentikan

perlawanan dengan sy arat y ang kau berikan itu. Tetapi jika

kau mengancam untuk membunuhku, maka akupun akan

melakukannya juga, karena sebenarnya akupun tidak ingin

membunuhmu jika kau menyadari bahwa langkahmu itu

adalah langkah y ang salah. Dendam yang berbalas dendam

tidak akan pernah mendapat peny elesaian. Tetapi jika kau

menyadari akan kesalahanmu itu, maka aku berjanji tidak

akan membunuhmu." berkata Mahisa Murti yang sudah

menjadi semakin marah itu.

Tetapi ancaman Mahisa Murti itu membuat Kiai Puput

seakan-akan menjadi mata gelap. Dengan lantang ia berbicara

"Anak muda. Lihat, apa yang dapat aku lakukan. Bukan hanya

sekedar mencuri kesempatan menghisap kekuatan dan

kemampuan lawan, tetapi aku akan dapat membakarmu

hidup-hidup."

"Aku tidak peduli" jawab Mahisa Murti.

"Anak iblis. Buka matamu lebar-lebar. Aku akan

menunjukkan kepadamu, bahwa aku tidak hanya sekedar

mengancammu."

Mahisa Murti tidak sempat menjawab. Ia melihat orang itu

sedang memusatkan nalar budinya. Hanya sesaat. Kemudian

kedua telapak tangannyapun dikatubkannya. Ketika kemudian

ia menghentakkan tangannya, maka dari telapak tangannya

yang terbuka itu seakan-akan telah m eluncur segumpal api

sebesar buah jeruk pecel kearah sebatang pohon cangkring

yang tumbuh di padang perdu itu.

Mahisa Murti dengan tegang mengikuti peristiwa

sebagaimana pernah dilihatnya. Sementara itu ketiga orang

pengikut Kiai Puput itu bagaikan membeku ditempat mereka.

Tiba-tiba saja mereka merasa bahwa tidak adil jika anak muda

itu harus mati oleh dendam y ang membakar jantung Kiai

Puput.

Demikianlah maka sebagaimana pernah terjadi, maka

ketika api itu meny entuh selembar daun cangkring, maka

meledaklah bunga api sebagaimana pernah disaksikannya.

Ketiga orang y ang m enyaksikan pameran ilrru itu m enjadi

sangat tegang. Jika ilmu itu dilontarkan langsung kearah

Mahisa Murti, maka anak muda itu tentu benar-benar akan

menjadi abu.

Dalam pada itu, Mahisa Murtipun menyaksikan bunga api

yang m eledak itu dengan jantung y ang berdebaran. Ilmu Kiai

Puput, sebagaimana Kiai Wijang memang luar bia sa.

Sementara itu, terdengar suara Kiai Puput "Nah, anak

muda. Kau dapat memilih. Meny erah dengan segala akibatnya

atau mengalami serangan ilmu seperti y ang kau lihat."

Mahisa Murti memang menjadi tegang. Ia melihat daun

dan ranting pohon cangkring itu memang rontok menjadi abu.

Tetapi ia melihat dahan-dahan utamanya dan apalagi pohon

pohon cangkring itu masih berdiri tegak. Dengan demikian

maka Mahisa Murti mengerti bahwa kekuatan ilmu Kiai

Wijang masih jauh lebih tinggi. Ketika Kiai Wijang

menghantam pohon gayam dengan ilmunya y ang dahsyat itu,

maka bukan saja ranting -ranting dan daun-daunnya sajalah

yang runtuh menjadi debu. Tetapi juga cabang-cabangnya

yang besar runtuh berserakan.

Karena itu, maka Mahisa Murtipun berniat untuk

mengimbangi pameran kekuatan ilmu itu. Dipusatkannya

nalar budinya. Ketika segala kekuatan yang dimilikinya sudah

dihimpunnya, maka iapun mulai mengangkat tangannya.

Kedua telapak tangannya memang ditakupkan. Namun

kemudian tangannya itupun dihentakkannya dengan kedua

telapak tangannya terbuka menghadap ke batang pohon

cangkring y ang besar itu.

Dari tangan Mahisa Murti telah meluncur cahaya y ang

kehijau-hijauan. Mahisa Murti sendiri m engerutkan dahinya,

ketika ia melihat cahaya itu jauh lebih terang dari cahaya yang

meluncur dari telapak tangannya disaat-saat sebelumnya.

Cahaya itupun dengan kecepatan yang sangat tinggi telah

menyambar batang cangkring y ang masih berdiri tegak itu.

Yang terjadi adalah sangat mengejutkan. Pokok batang

Cangkring itu telah meledak dengan dahsy atnya. Pohon

cangkring y ang besar itu ternyata tidak saja mampu

dirobohkan, tetapi batang pohon yang besar itu seakan-akan

telah dilemparkan ke udara. Melenting dan kemudian jatuh

beberapa langkah dan r oboh ditanah. Pohon itu telah

terpenggal dari pokoknya yang masih berpegangan pada akarakarnya

y ang menancap jauh kedalam bumi.

Ketiga orang pengikut Kiai Puput itu rasa-rasanya seperti

sedang bermimpi. Peristiwa itu sangat dahsy at didalam

penglihatan mereka. Batang cangkring yang besar dan r oboh,

serta pokoknya y ang masih menghunjam ditanah, nampak

merah membara.

Kiai Puput menyaksikan pameran kekuatan ilmu anak

muda itu dengan mulut yang menganga. Ia merasa kepalanya

tersuruk kedalam dunia mimpi yang menakutkan. Anak muda

itu ternyata memiliki ilmu yang sangat tinggi.

Selagi Kiai Puput termangu-mangu dicengkam oleh gejolak

perasaannya, maka Mahisa Murti telah berdiri menghadap

kepadanya sambil berkata "Nah, Kiai Puput. Kita masingmasing

sudah menunjukkan kemampuan dan kekuatan ilmu

kita. Terserah kepadamu, apakah kau masih akan

memaksakan kehendakmu. Bukan maksudku untuk

meny ombongkan diri jika aku menunjukkan kelebihanku

kepadamu, Kiai Puput. Tetapi aku y akin, bahwa jika kau

benar-benar meny erangku dengan ilmumu itu, kau sendiri

akan mengalami kesulitan. Aku akan dapat membentur

ilmumu sehingga ilmumu sama sekali tidak akan

menyentuhku. Aku dapat menahan jarak atas apimu.

Sementara kelebihan ilmuku akan dapat m endorong ilmumu

mental dan akan menghancurkan dirimu sendiri. "

Wajah Kiai Puput menjadi tegang. Ia tidak dapat

mengingkari kenyataan y ang dihadapinya. Iapun tidak akan

dapat ingkar, bahwa kekuatan ilmu anak muda itu lebih besar

dari kekuatan ilmunya. Bukan karena tenaga dan

kemampuannya sudah terhisap oleh anak muda itu, karena ia

segera menyadari hal itu. Tetapi ia harus mengakui, anak

muda itu lebih baik dari Kiai Puput itu sendiri.

Untuk beberapa saat Kiai Puput berdiri menegang. Ia

berdiri dipersimpangan antara keny ataan y ang dihadapinya

serta harga diriny a. Tetapi jika ia berpegang pada harga

dirinya, maka tubuhnya akan terbaring ditempat itu. Bahkan

mungkin untuk selama-lamanya. Ketiga orang itupun akan

tetap menceriterakan kepada semua orang, bahwa ia telah

dikalahkan oleh seorang anak muda, pemimpin Padepokan

Bajra Seta.

Mahisa Murti dengan sengaja memang memberikan

kesempatan kepada Kiai Puput untuk menentukan sikap.

Meskipun demikian Mahisa Murti tidak menjadi lengah,

karena dapat saja setiap saat Kiai Puput itu dengan serta merta

menyerangnya.

Namun ternyata Kiai Puput itupun kemudian menarik

nafas dalam-dalam sambil berkata "Aku harus mengakui

kelebihanmu anak muda. Aku memang tidak akan dapat

mengalahkanmu."

"Jadi, apakah y ang akan kau lakukan ?" bertanya Mahisa

Murti.

"Kaulah y ang akan menentukan." jawab Kiai Puput.

Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun kemudian

iapun berkata "Bagaimana jika aku m engajukan syarat yang

sama sebagaimana kau ajukan ?"

Wajah Kiai Puput menegang. Namun kemudian katanya

"Jika kau berkeras untuk melakukannya, baiklah anak muda.”

"Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Katanya "Jadi kau

berkeberatan jika aku membuatmu cacat dan kemudian

merusakkan simpul-simpul sarafmu agar hubungan antara

kehendak dan syaraf-sy araf penggerakmu tidak bekerja

dengan wajar?"

(Bersambung ke Jilid 117)

Conv ert, Edit, Ebook by