hki.umm.ac.idhki.umm.ac.id/files/file/materi/strategi dan momentum... · web viewdefinisi,...

66
STRATEGI DAN MOMENTUM PENGKONSTRUKSIAN PERLINDUNGAN HUKUM DALAM PENGIDENTIFIKASIAN DAN PENGEKSPLOITASIAN HASIL- HASIL RISET HAYYAN UL HAQ Pusat Studi dan Pelayanan Hak atas Kekayaan Intelektual, Fakultas Hukum, Universitas Mataram Makalah ini dipresentasikan pada Perlatihan Pengelola Gugus Hak Atas Kekayaan Intelektual (TOT-HAKI) Perguruan Tinggi se-Indonesia, Tahun 2004, yang diselenggarakan oleh Direktorak Pembinaan Penelitian dan Pengabdian pada

Upload: hangoc

Post on 20-Mar-2019

222 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

STRATEGI DAN MOMENTUM PENGKONSTRUKSIAN

PERLINDUNGAN HUKUM DALAM

PENGIDENTIFIKASIAN DAN PENGEKSPLOITASIAN HASIL-

HASIL RISET

HAYYAN UL HAQPusat Studi dan Pelayanan Hak atas Kekayaan

Intelektual, Fakultas Hukum, Universitas Mataram

Makalah ini dipresentasikan pada Perlatihan Pengelola Gugus Hak Atas Kekayaan Intelektual (TOT-HAKI) Perguruan Tinggi se-Indonesia, Tahun 2004, yang diselenggarakan oleh Direktorak Pembinaan Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat , Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional, Republik Indonesia, di Hotel Milenium, Jakarta, 22 September, 2004.

Hayyanulhaq, 2004, Identifikasi & Eksploitasi Hasil Riset: Strategi dan Momentum Perlindungan Hukum

STRATEGI DAN MOMENTUM PENGKONSTRUKSIAN PERLINDUNGAN HUKUM DALAM PENGIDENTIFIKASIAN

DAN PENGEKSPLOITASIAN HASIL-HASIL RISET

HAYYAN UL HAQ

1. PENGANTAR................................................................................32. PENDAHULUAN............................................................33. EKSISTENSI HASIL-HASIL RISET DALAM REGIM PATEN....4

3.1. DOKTRIN INVENTOR: KONSEP DASAR PENGAPRESIASIAN KREATIFITAS DAN PRODUKTIFITAS DALAM PENGEMBANGAN HASIL-HASIL RISET............................43.2. RASIONALISASI DAN JUSTIFIKASI TEKHNIS ATAS HAK PATEN.......................53.2. DEFINISI, PENGERTIAN, DAN LINGKUP PERLINDUNGAN..............................73.3. KERANGKA HUKUM BAGI PERLINDUNGAN HASIL RISET.............................83.4. PENGIDENTIFIKASIAN HASIL-HASIL RISET DALAM REZIM PATEN................11

3.4.1. Kebaruan (Novelty)..............................................................123.4.2. Langkah Inventif..................................................................133.4.3. Dapat Diterapkan dalam Dunia Industri...............................154. STRATEGI DAN MOMENTUM DALAM MELINDUNGI HASIL RISET............................................................................15

4.1. PENGEVALUASIAN HASIL RISET – TEKNOLOGI.......................................164.2. TAHAPAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PENGOPTIMASIAN HASIL RISET.....17

4.2.1. Pra Riset : Menilai Teknologi dalam Konteks Paten.............174.2.2. Paska Riset : Perolehan Hak melalui Pendaftaran Permohonan Hak............................................................................18

4.3. PENGEKSPLOITASIAN : MENGKOMERSIALKAN HASIL RISET –TEKNOLOGI.....194.4. LISENSI : INSTRUMEN HUKUM DALAM PENDISTRIBUSIAN TEKNOLOGI.........20

4.4.1. Definition and Basic Concept...............................................214.4.2. Obyek dalam Perjanjian Lisensi Paten: Invention................214.4.3. Subject of Patent License: Licensor and Licensee................234.4.4. Tipe dan Model Lisensi Paten...............................................234.4.5. Prinsip-prinsip Umum dalam Perjanjian Lisensi....................264.6. Konstruksi Hukum Kontrak Lisensi Paten................................26

4.5. MEMBUAT KONTRAK LISENSI: PENGKONSTRUKSIAN PERLINDUNGAN HUKUM..........................................................................................................27

4.5.1. Pra Kontrak : Persiapan........................................................284.5.1.1. Pengidentifikasian Subyek dan Obyek...........................314.5.1.2. Ruang Lingkup Pengkomersialisasian Teknologi melalui Lisensi.........................................................................................324.5.1.3. Implied Lisence dalam Perjanjian Lisensi.......................324.5.1.4. Pembayaran: Royalty dan Pertimbangan Finansial.......334.5.1.5. Terminologi Tambahan: Arbitrasi dan Ganti Rugi..........34

2

Hayyanulhaq, 2004, Identifikasi & Eksploitasi Hasil Riset: Strategi dan Momentum Perlindungan Hukum

4.5.2. Kontrak: Dasar Hukum bagi Hak dan Kewajiban Para Pihak 344.5.3. Paska Kontrak: Pelaksanaan, Pengawasan dan Pengembangan..............................................................................375. Penutup.....................................................................................38

3

Hayyanulhaq, 2004, Identifikasi & Eksploitasi Hasil Riset: Strategi dan Momentum Perlindungan Hukum

STRATEGI DAN MOMENTUM PENGKONSTRUKSIAN PERLINDUNGAN HUKUM DALAM

PENGIDENTIFIKASIAN DAN PENGEKSPLOITASIAN HASIL-HASIL RISET1

HAYYAN UL HAQ2

1. PENGANTARTulisan ini ditujukan untuk menjelaskan beberapa strategi

penelusuran hasil-hasil riset dan strategi perlindungannya dalam regime paten. Ada tiga isu utama yang akan dibahas berkaitan dengan tema diatas, yaitu: eksistensi, strategi atau metode dan momentum. Eksistensi ini mengacu pada apa yang yang kita maksudkan dengan hasil-hasil riset dalam tulisan ini dan mengapa ia harus dilindungi. Selanjutnya, bagaimana cara memberikan perlindungan terhadap hasil-hasil riset –dalam bentuk penemuan yang telah dipatenkan- mengacu pada strategi yang dapat diterapkan. Sudah tentu, strategi yang hendak diterapkan dalam memberikan perlindungan atas hasil-hasil riset tersebut mencakup pembahasan yang terkait dengan instrument hukum atau norma-norma hukum yang melindunginya, tahapan perlindungannya, dan cara melindunginya.

2. PENDAHULUANTak dapat diragukan lagi bahwa tampilan peradaban

manusia saat ini merupakan elemen kebaruan (emergent properties) dari seluruh rangkaian dan sekaligus akumulasi dari kreatifitas dan produktifitas manusia. Pertanyaannya, apakah yang menjadi bahan bakar dan akselerator dari kreatifitas dan produktifitas manusia tersebut? Dalam beberapa hasil penelusuran literature, ditemukan bahwa akselerator yang sangat signifikan dalam peningkatan dan pengembangan kreatifitas dan produktifitas manusia tersebut terletak pada terciptanya iklim yang kondusif.

Iklim yang kondusif tercipta bila semua komponen masyaratkanya dapat mengembangkan potensi dan energinya secara optimal tanpa hambatan3. Dalam kaitannya dengan

1 Makalah ini dipresentasikan pada Perlatihan Pengelola Gugus Hak Atas Kekayaan Intelektual (TOT-HAKI) Perguruan Tinggi se-Indonesia, Tahun 2004, yang diselenggarakan oleh Direktorak Pembinaan Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat , Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional, Republik Indonesia, di Hotel Milenium, Jakarta, 22 September, 2004. 2 Pembelajar Hak atas Kekayaan Intelektual pada Pusat Studi dan Pelayanan Hak atas Kekayaan Intelektual, Fakultas Hukum, Universitas Mataram3 Berkaitan dengan hal tersebut, kewajiban fundamental yang kita emban bersama adalah menggunting seluruh hambatan yang dapat mengunci kebebasan setiap orang dalam mengembangkan potensi dan enersinya secara optimal. Hal ini

4

Hayyanulhaq, 2004, Identifikasi & Eksploitasi Hasil Riset: Strategi dan Momentum Perlindungan Hukum

pengembangan kreatifitas dan produktifitas masyarakat, iklim yang kondusif mensyaratkan adanya kerangka hukum yang kuat dalam menjamin dan melindungi hak-hak dan kewajiban setiap masyarakat dalam mengembangkan kreatifitasnya. Hal penting lainnya adalah dinamika perekonomian –industri dan perdagangan- yang dinamis yang dapat berfungsi sebagai medium dalam pemanfaatan hak-hak kreatif masyarakat.

Pengalaman beberapa negara maju menunjukkan bahwa terciptanya iklim yang kondusif menuju creative community ini terletak pada keberhasilan pemerintah dan masyarakatnya dalam membangun kebijakan (political will) yang mengintegrasikan komponen pendidikan dan penelitian, serta industri dan perdagangan. Produk kebijakan tersebut dapat dilihat dalam bentuk produk peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan hasil-hasil penelitian berikut pemanfaatannya4. Dalam hal ini, produk hukum itu adalah pengaturan paten5.

Paralel dengan uraian diatas, pembahasan tentang pengidentifikasian, pengeksploitasian, dan perlindungan hasil-hasil riset ini akan ditelaah dalam kerangka rezim paten.

3. EKSISTENSI HASIL-HASIL RISET DALAM REGIM PATEN Bagian ini akan membahas perihal hakekat dari hasil-hasil

riset yang dilindungi dalam regim paten. Mengapa ia harus dilindungi? Bagaimana rasionalisasi, dan justifikasi teknisnya? Apa yang kita maksudkan dengan hasil-hasil riset yang dilindungi dalam regim paten ini? bagaimana cakupan perlindungannya, serta kerangka hukum dan cara pengidentifikasian atau penelusuran dan penentuan hasil-hasil riset yang dapat dilindungi dalam regim paten.

mengharuskan pengintegrasian semua komponen baik politik, hukum, ekonomi, social dan budaya yang seimbang.4 Dengan demikian jelaslah, bahwa paten ini dapat berfungsi sebagai salah satu instrumen untuk mereformasi perilaku masyarakat. Ia mengandung serangkaian norma yang menjamin insentif bagi setiap orang yang kreatif dan produktif sekaligus membebani hukuman bagi mereka yang kontra-produktif atau kontra-kreatif. 5 Rezim paten ini merupakan alas hak bagi pihak yang kreatif dalam memanfaatkan hasil-hasil temuannya baik secara komersial maupun akademis. Paten diperuntukkan hanya bagi pihak yang kreatif, karena dalam bekerjanya, ia memiliki dua instrument yang dapat menstimulasi kreatifitas, yaitu (i) insentif atau reward bagi yang rajin, dan sekaligus, (ii) membebani hukuman (punishment) bagi pihak yang kontra kreatif. Dengan demikian jelaslah bahwa paten ini dapat berfungsi sebagai salah satu instrumen untuk mereformasi perilaku masyarakat.

5

Hayyanulhaq, 2004, Identifikasi & Eksploitasi Hasil Riset: Strategi dan Momentum Perlindungan Hukum

3.1. Doktrin Inventor: Konsep Dasar Pengapresiasian Kreatifitas dan Produktifitas dalam Pengembangan Hasil-Hasil Riset

Konsep dasar dalam pengapresiasian dan pengembangan hasil-hasil riset tidak dapat dilepaskan dari risalah pengkonstruksian perlindungan hukum bagi kreatifitas dan produktifitas manusia. Konsep ini dapat ditelusuri dari ajaran Lockean yang menjadi landasan filosofis bagi pemvalidasian eksistensi sebuah kreatifitas yang saat ini dikenal dengan HAKI. Konsepsi dasar hak atas kekayaan intelektual (HAKI) bersumber pada proposisi yang dipostulasikan oleh John Locke6, filosof Inggris abad ke XVII. Inti gagasan proposisi tersebut menempatkan hak milik sebagai hak yang melekat (inherent) pada kepribadian individu7. Setiap orang memiliki hak untuk mempertahankan hidup dengan karya fisik, ide, kreativitas dan derivat-derivatnya. Jika seseorang mengkombinasikan karya manusiawinya, dengan obyek-obyek alamiah dan menambahkan sesuatu dari dirinya, maka secara otomatis hasilnya merupakan bagian dari kekayaannya8, dan tidak dapat dihilangkan dari dirinya tanpa seizinnya9. Untuk itu, semua manusia memiliki hak-hak alamiah tertentu dan untuk menikmati hak-hak tersebut tidak memerlukan izin dari pemerintah10. Proposisi ini sesungguhnya menggambarkan proses interaksi (structural coupling) antara manusia dan alam sebagai syarat minimal untuk hidup manusiawi. Namun demikian, seluruh derivat dari structural coupling itu seharusnya tidak membatasi orang lain dalam melakukan atau menikmati derivat tersebut secara wajar.

Deskripsi di atas membimbing kita pada kesimpulan yang mengkualifikasi hak milik intelektual sebagai hak kodrat11 dan ia harus diberikan perlindungan sebagai bagian dari hak kodrat yang dianugerahkan oleh Tuhan kepada manusia. Dengan demikian ia dapat dikategorikan ke dalam nilai-nilai universal yang harus dihormati oleh manusia sebagai subyek hukum.

6 “(1) God has given the world to people in common; (2) Every person has a property in his own person; (3) A person`s belong to him; (4) Whenever a persons mixes his labour with something in the commons, he thereby makes it his property; (5) The rights of property is conditional upon a person leaving in the commons enough and as a good for the other commoners; (6) A person cannot take more out of the commons than they can use to advantage”. Lihat: Drahos, Peter, 1996, A Philosophy of Intellectual Property, Dartmouth, h.43.7 Konsep ini bersumber dari ajaran Lockean dan Hegelian. Lihat Peter Drahos, 1996, A Philosophy of Intellectual Property, Dartmouth, h. 41-95.8 Locke, Chapter V, #.27. dalam Jacqueline Siegnette, Ibid.9 Ibid, ##138,139,193.10 Locke, Second Treatise, Chapter V, On Locke, dalam Jacqueline Siegnette, 1996, Chalenges to The Creator Doctrine, Information Law, Kluwer, p. 20.11 Lihat. Peter Drahos, Ibid.

6

Hayyanulhaq, 2004, Identifikasi & Eksploitasi Hasil Riset: Strategi dan Momentum Perlindungan Hukum

3.2. Rasionalisasi dan Justifikasi Tekhnis atas Hak PatenSaat ini, teknologi sebagai produk paten telah menjadi

salah satu komoditi yang paling strategis dalam perdagangan internasional. Ia memainkan peranan yang signifikan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat. Hal ini karena hampir semua kebutuhan manusia dalam abad modern ini berasal dari produk-produk yang lahir dari kemampuan intelektual manusia12 di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.

Secara teoritis, Masami Hanabusa mencoba menjustifikasi dan dengan meletakkan dasar rasionalitas keberadaan paten melalui pengidentifikasian beberapa fungsi hukum paten, seperti fungsi kebijakan: (i) tekhnis, (ii) hak milik industri, dan (iii) fungsi kebijakan industrial13.

Secara tekhnis, hukum paten –dengan standar tertentu- mengevaluasi terciptanya ide tekhnis yang bermanfaat secara industrial, dan memberikan paten, monopoli hukum atau kekuatan hukum yang eksklusif bagi inventor. Hukum paten, pertama menentukan sebuah penemuan apakah ia mengandung kreatifitas atasu tidak, seberapa besar kreatifitas dari ide tekhnis dan juga membangun suatu standar untuk mengevaluasi perubahan dari suatu kreasi sebelumnya (prior art), i.e. kreatifitas14.

Berdasarkan fungsi hak milik industri, hak untuk mendapatkan paten, hak paten, dan label (branched) atau hak-hak derivatif (derrivatives right), dalam hal ini, pemberian lisensi eksklusif ataupun non eksklusif merupakan basis penting bagi aktifitas industrial dalam masyarakat ekonomi. Oleh karena itu, substansi hak tersebut seharusnya dipublikasikan secara resmi dan dan bentuk atau model prosedurnya harus distandarisasi dalam upaya menjamin keamanan transaksi15. Dalam hal ini, hukum paten diperlukan untuk memberikan perlindungan dan pemanfaatan hak dalam upaya memperoleh hak paten. Selanjutnya, berdasarkan fungsi kebijakan industri, hukum paten difungsikan oleh pemerintah untuk (i) melindungi dan memanfaatkan penemuan, dan (ii) mendorong penemuan.

Mengingat pentingnya teknologi dan hubungannya dengan hak ekonomi dan hak asasi manusia, beberapa ahli memformulasikan dan mengkaji rasionalitas dari perlindungan paten. Pada tahun 1950, Fritz Machlup dan Edith Penrose dalam bukunya An Economic Review of the Patent System,

12 Bandingkan dengan Hiroyuki Mizuno, 1997,”Perspective an Intellectual Property Rights System in the 21 Century” in APEC Intellectual Property Rights Business Conference, JIII, Japan, p.2.13 Dalam fungsi kebijakan industri, hukum paten difungsikan oleh pemerintah untuk (i) melindungi dan memanfaatkan penemuan, dan (ii) mendorong penemuan.14 Japnese Patent Law, Pasal. 29 and 32; Lihat juga: Hanabusa, Masami, p. 18.15 Hanabusa, p.19.

7

Hayyanulhaq, 2004, Identifikasi & Eksploitasi Hasil Riset: Strategi dan Momentum Perlindungan Hukum

mengidentifikasi empat teori yang menjustifikasi perlindungan paten:

(i) natural law16, (ii) reward by monopoly17, (iii) monopoly-profit- incentive18, dan (iv) exchange for secrets19.

Tampaknya teori tersebut tidak dapat dipisahkan, oleh karena itu, ia harus diinterpretasi secara simultan. Hal ini disebabkan karena masing-masing teori mengandung keterbatasan –baik secara tekhnis ataupun konseptual- dalam memvalidasi perlindungan HAKI –paten-. Teori Hukum Alam dan Imbalan melalui Monopoli (natural law and reward by monopoly theories) dikritisi, karena kedua teori tersebut hanya memperkuat kepentingan inventor semata yang dapat mengimplikasikan monopoli permanen atau abadi; dan memungkinkan ciptaan yang bebas, mandiri dan menekankan pada ex post facto justice, bukan pada insentif untuk menciptakan sesuatu20. Begitu pula, teori

16 Teori ini memvalidasi penemuan sebagai suatu kekayaan atau kepemilikan (property). Ia mengasumsikan bahwa seseorang yang menemukan sesuatu akan memiliki hak atas penemuannya sebagai suatu kekayaan atau kepemilikan. Akibatnya, setiap pengambilan pemanfaatan atasnya seharusnya dihukum sebagai suatu pelanggaran atas kekayaannya. Lihat: Ricketson, S., 1984, The Law of Intellectual Property, Law Book Company, p.868-869; Blakeney and Mc Keough, J., 1992, Intellectual Property: Commentary and Materials, 2nd edition, The Law Book Company, pp.416-419; Grifith, P.B.C., 1993, Patent Notes 1993, Faculty of Law, University of Technology Sydney, pp.47-48; Ricketson, S., and Richardson, M., 1998, Intellectual Property: Cases, Materials and Commentary, 2nd edition, Butterworths, p. 553-554.17 Teori ini memvalidasi pemberian hak kepada penemu atas kontribusinya kepada masyarakat. Adqlah tidak fair dan demikian tidak adil, jika seseorang menggunakan ide penemu tersebut tanpa kompensasi atas waktu dan tenaga kerja yang diinvestasikannya. Lihat:Machlup and Penrose quoted John Stuart Mill in his bokk, Principles of Political Economy (1848; 932): "…the inventor, ought to be both compensated and rewarded… it would be a gross immorality of the law to set every body free to use a person's work without his consent, and without giving him an equivalent". Lihat: Ricketson, S., 1984, The Law of Intellectual Property, Law Book Company, p. 869. Lihat juga: Blakeney and Mc Keough, 1992, 417; Griffith, P.B.C., p. 48; Ricketson, S., and Richardson, M., 1998, Intellectual Property: Cases, Materials and Commentary, 2nd edition, Butterworths, p. 553-554. 18 Teori ini memberikan insentif kepada inventor. Tujuannya untuk mendorong kegiatan penelitian dan memaksimalisasikan penemuan yang pada gilirannya mengembangkan kegiatan industri. Lihat: Ricketson, S., 1984, The Law of Intellectual Property, Law Book Company, p. 869. Lihat juga: Griffith, P.B.C., 1993, p. 48; Ricketson, S., and Richardson, M., 1998, Intellectual Property: Cases, Materials and Commentary, 2nd edition, Butterworths, pp. 553-554. 19 Teori ini sama halnya dengan teori insentif pada teori monopoli. Akan tetapi pengembangan industri sangat tergantung pada keterbukaan rahasian atas suatu penemuan. Lihat: Ricketson, S., 1984, p. 869. Lihat: Grifith, P.B.C., 1993, p. 4820 Griffith mengidentifikasi beberapa permasalahan dalam teori hukum alam ini, antara lain: (i) semata-mata didasarkan atas kepentingan inventor; (ii) akan berimplikasi pada monopoli yang permanen atau abadi; (iii) memungkinkan

8

Hayyanulhaq, 2004, Identifikasi & Eksploitasi Hasil Riset: Strategi dan Momentum Perlindungan Hukum

incentive by monopoly dan monopoly exchange for secrets' theories lebih menekankan pada kepentingan masyarakat dan insentif semata, bukan pada reward atau imbalan. Selain itu, perkembangan industri yang diadvokasi oleh teori yang terakhir ini sangat tergantung pada keterbukaan rahasia pada penemuan21.

3.2. Definisi, Pengertian, dan Lingkup PerlindunganHukum paten dapat didefinisikan sebagai serangkaian

norma yang memberikan perlindungan hukum bagi kreatifitas dan produktifitas manusia yang lahir dari kemampuan intelektualnya di bidang teknologi, mainstream hukum hak milik industri. Terminologi ini mengandung pemahaman dan ruang lingkup yang luas. Ia tidak hanya dapat diterapkan pada bidang industri dan perdagangan saja, tetapi juga bidang pertanian, extractive industries, dan produk-produk manufaktur22.

Konsep paten menempatkan hak eksklusif sebagai inti dari hak paten. Ia adalah hak monopoli terbatas atas teknologi yang digambarkan dalam dokumen paten, kepada inventor yang pertama kali dan mempublikasikan penemuan yang memberikan kontribusi bagi kemajuan teknologi dan industri23. Ia menawarkan monopoli kepada pengembang atas produk atau proses yang bermanfaat. Lebih tepatnya, paten adalah hak eksklusif atau hak hukum untuk mencegah pihak ketiga dari membuat, menggunakan, atau menjual setiap penemuan yang dikonstruksi dalam klaim paten24. Secara substansial, hak eksklusif diberikan oleh Negara kepada inventor untuk melaksanakan penemuannya atau memberikan kewenangan kepada orang lain untuk melaksanakannya dalam period waktu tertentu25. Hak eksklusif ini

penciptaan yang sebebas-bebasnya, tanpa criteria nilai. Sedangkan imbalan (reward) pada teori monopoli memuat beberapa kelemahan: (i) teori ini memberikan ruang yang lebih besar bagi kepentingan inventor, bukan kepentingan masyarakat; (ii) teori ini juga menekankan ex post facto justice, bukan insentif untuk berkreasi; Lihat: Griffith, P.B.C., 1993, Patent Notes, Law School, UTS, p. 48.21 Lihat: Griffith, P.B.C., 1993, Ibid.22 Pasal 1 (3) Paris Convention menyatakan bahwa: “Industrial property shall be understood in its broadest sense and shall apply not only to industry and commerce proper, but likewise to agricultural and extractive industries and to all manufactured or natural products; for example, wines, grain, tobacco leaf, fruit, cattle, minerals, mineral water, beer, flowers and flour”. 23 Lihat: Jill Mc Keough and Andrew Stewart, 1997, Intellectual Property in Australia, Butterworths, Australia, pp. 274-275. 24 Lihat: UU No.14 Tahun 2001 tentang Paten, Pasal 17(1) and 17 (1) (a); Bandingkan dengan: PA 1990, Pasal 13, Lihat juga: Hanabusa, Masami, 1992, An Analysis of Japanese Patent law, Brunswick Publishing, p.2 ; Patricia Loughland, 1998, Intellectual Property: Creative and Marketing Rights, LBC, p. 97.25 Indonesian UU No.14 Tahun 2001 tentang Paten, Pasal 1 (1).

9

Hayyanulhaq, 2004, Identifikasi & Eksploitasi Hasil Riset: Strategi dan Momentum Perlindungan Hukum

memuat prinsip utama paten26 yang memberikan perlindungan hukum bagi inventor atau pemegang paten untuk melaksanakan penemuannya dalam jangka waktu 20 tahun untuk paten stadar27

dan 10 tahun untuk paten sederhana28.

3.3. Kerangka Hukum bagi Perlindungan Hasil RisetAturan dan sumber hukum paten ini dapat ditemukan baik

pada tataran internasional maupun nasional. Indonesia terikat oleh kewajiban internasional untuk melindungi paten. Pembukaan undang-undang paten menyatakan keanggotaan Indonesia dalam the World Trade Organisation termasuk Trade related on Intellectual Property Rights (TRIPs), The Paris Convention for the Protection of Industrial Property, dan the Patent Cooperation Treaty as consideration to promote the Patent Act29. Akibatnya, Indonesia harus menyesuaikan ketentuan nasionalnya dengan perjanjian-perjanjian internasional tersebut30.

Beberapa ciri yang terdapat dalam system perundang-undangan di Indonesia biasanya difokuskan pada prinsip-prinsip hukum dan cenderung memuat konsep yang umum dan luas. Selain itu, norma-norma tersebut tidak diatur secar rinci, sehingga membuka ruang interpretasi. Begitu pula halnya dengan beberapa perundang-undangan di bidang informasi, pengetahuan dan teknologi di Indnoesia, seperti UU No. 14 Tahun 2001, tentang Paten, UU No.18 tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Kedua undang-undang pokok tersebut belum diikuti oleh aturan pelaksanaan yang rinci tentang pemanfaatan teknologi, seperti alih teknologi, licensing, dan lain-lain.

Oleh karena itu, untuk menjamin keakurasian dan kepastian hukum, pemerintah memberlakukan aturan-aturan pelaksanaan31 yang menjabarkan isi undang-undang pokok di bidang paten. Hal yang perlu dicermati dalam memberikan

26 Oka Mahendra, 1991, Undang-undang Paten: Perlindungan Hukum Bagi Penemu dan Sarana Menggairahkan Penemuan, Sinar Harapan, p.67.27 UU No.14 Tahun 2001 tentang Paten, Art. 9 (1).28 UU No.14 Tahun 2001 tentang Paten, Art. 10.29 Lihat juga: Pasal. 107 (1). Applications may be filed through the Patent Cooperation Treaty. Procedures and requirements are regulated by Government Regulation: art. 107 (2).30 Penjelasan UU No.14 Tahun 2001 tentang Paten, p.1.31 Peraturan pelaksanaan mencakup: Peraturan Pemerintah No.32 of 1991, dated June 11, 1991, tentang Impor Bahan

mentah dan produk tertentu yang dilindungi paten untuk produksi obat dalam negeri.

Peraturan Pemerintah No.33 of 1991, June 11, 1991, tentang Pendafataran Khusus Konstultan Paten

Peraturan Pemerintah No.33 of 1991, June 11, 1991, tentang Prosedur Permohonan Paten.

10

Hayyanulhaq, 2004, Identifikasi & Eksploitasi Hasil Riset: Strategi dan Momentum Perlindungan Hukum

perlindungan hukum adalah keluwesan peraturan agar dapat diperbaharui dan dikembangkan terus menerus agar dapat mengakomodir perubahan dan tuntutan masyarakat. Lebih jauh, peranan hakim dalam menafsirkan undang-undang dan aturan pelaksanaannya merupakan suatu kebutuhan yang mendesak dalam menegakkan system hukum paten secara memadai.

Secara normative dan lebih rinci, kerangka perlindungan hukum bagi hasil-hasil riset yang telah dipatenkan dapat ditemukan dalam ketentuan pasal 16, 17 dan 19 Undang-undang No. 14 Tahun 2001. Dari pasal-pasal tersebut terlihat jelas bahwa system paten di Indonesia selain memberikan hak dan kewenangan penuh pemegang paten untuk membuat, menjual, mengimpor, menyerahkan, memakai, menyediakan untuk dijual atau disewakan32, juga memberikan hak untuk melarang orang lain untuk membuat atau mengimpor produk yang dipatenkan ke dalam wilayah dimana produk itu telah dipatenkan atau diproduksi33.

Dalam hal terjadinya pelanggaran, sebuah paten dikatakan telah dilanggar, jika seseorang menggunakan atau memanfaatkan hak eksklusif si pemegang paten. Undang-undang Paten Indonesia menempatkan hak eksklusif ini sebagai isu inti dalam hal terjadinya pelanggaran. Pasal 16 UU Paten Indonesia memberikan inventor hak eksklusif untuk mengeksploitasi invensinya dan mengalihkan atau mengkuasakan kepada orang lain untuk

Keputusan Menteri Kehakiman No. M.01-HC.02.10, 1991, 31 July, 1991, tentang Paten Sederhana

Keputusan Menteri Kehakiman No. M.02-HC.02.10 of 1991, July 31, 1991, tentang Pelaksanaan Publikasi Paten

Surat Edaran Meneteri Kehakiman No. M.03-HC.02.10 of 1991, 2 Agustus, 1991, tentang Pembayaran untuk Permohonan Paten , Pembaharuan Paten, pemeriksaan substantive, dan biaya tambahan untuk untuk kelebihan klaim (SE ini telah ditarik dan diganti dengan Keputusan Menteri Kehakiman)

Keputusan Menteri Kehakiman No. M.04-HC.02.10 of 1991, September 10, 1991, tentang Keadaan, Batas Waktu, dan Administrasi Pembyaran Paten

Keputusan Menteri Kehakiman No. M.05-HC.02.10, 1991, 3 September, 1991, Tentang Tatacara Pendaftaran Konsultan Paten

Keputusan Menteri Kehakiman No. M.06-HC.02.10 of 1991, 22 Oktober 1991, tentang Tatacara Pengjuan Permohonan Paten (1991 Decicion on Patent Application)

32 Lihat: UU No. 14 Tahun 2001, pasal 16 33 Pemegang Paten Indonesia dapat melarang impor dan penjualan produk dari luar negeri apabila produk itu dipatenkan dan dibuat di Indonesia. Lihat: UU No. 14 tahun 2001, pasal 19

11

Hayyanulhaq, 2004, Identifikasi & Eksploitasi Hasil Riset: Strategi dan Momentum Perlindungan Hukum

mengeksploitasinya. Berdasarkan undang-undang, terminology eksploitasi ini mencakup produk34 dan proses paten.35

Salah satu tahapan yang paling krusial dalam konteks ini adalah tahapan dalam menentukan pelanggaran. Pertama, mengidentifikasi dan mengenal isi dan deskripsi dari penemuan tersebut, selanjutnya dari deskripsi tersebut, kita dapat memutuskan apa atau bagian mana atau unsur apa dari paten yang dilanggar. Oleh karena itu, seorang pemegang paten harus merinci spesifikasi yang rinci36 dari penemuan tersebut unsure yang dilindungi dari invensi tersebut menjadi lebih jelas. Konstruksi klaim dalam spesifikasi tersebut harus dinyatakan secara detail dan jelas. Setiap bagian dari klaim yang dinyatakan seharusnya dirumuskan dalam kata-kata yang jelas dan akurat (fairly based on the matter described)37, karena klaim merupakan bagian dari aplikasi, yang menjelaskan inti invensi yang harus dilindungi38. Tahapan terpenting dalam menentukan pelanggaran paten adalah bagaimana mengkonstruksi makna dari klaim yang bersangkutan dan kemudian dibandingkan dengan tindakan yang dinyatakan atau dituduhkan dalam pelanggaran tersebut. Dengan demikian ia dapat dilihat apakah tindakan tersebut masuk ke dalam makna yang dimaksud dalam klaim tersebut.39

Dalam menguji pelanggaran, sebuah klaim diinterpretasikan dalam konteks yang paling luas.40 Ini berarti, bahwa klaim tidak semata-mata mengacu pada kata-kata yang lengkap, tetapi juga mempertimbangkan essensi atau tujuan dari klaim tersebut.41 Konsep spesifikasi ini pertama kali diinspirasi oleh Lord Diplock dalam Catnic Components Ltd v Hill and Smith Ltd42 , yang menegaskan pentingnya beberapa elemen substansial, seperti: (i) kata-kata klaim yang diuji oleh para ahli

34 Produk paten meliputi hak untuk membuat, menyewakan, menjual, menyimpan produk, menggunakan atau mengimpornya, dan seterusnya. Lihat: Patricia Loghan, 1998, Intellectual Property: Creative and Marketing Rights, Law Book Company, p.132. 35 Proses paten meliputi setiap (tindakan dalam produk), membuat, menyewakan, dan menjual, dalam kaitannya dengan produk yang dihasilkan dari penggunaan proses tersebut. Patricia Loughlan, 1998, Intellectual Property: Creative and Marketing Rights, Law Book Company, p.132.36 PA 1990, S. 40 (1-3).37 Lihat: Mc Keough, J., and Stewart, A., 1997, Intellectual Property in Australia, 2nd

edition, Butterworths, p.278. 38 Penjelasan Pasal . 28(2) (h) of UU No.14 Tahun 2001 tentang Paten.39 Philip Griffith, 2000, Patent Notes: Novelty in Patent Law, Lecture Materials, Faculty of Law, UTS, p.3.40 Isandi Harahap, 1992, op.cit. p. 204.41 Philip Griffith in lecture of Patent Law, Faculty of Law, University of Technology Sydney, 14 June 2001.42 (1981) FSR 60 (House of Lords).

12

Hayyanulhaq, 2004, Identifikasi & Eksploitasi Hasil Riset: Strategi dan Momentum Perlindungan Hukum

dalam bidang yang terkait43, (ii) invensi utama yang berkaitan dengan klaim, (iii) spesifikasi yang tidak hanya memuat detail invesi, tetapi juga tujuan dari konstruksi paten. Lebih jauh, dari kasus the Clarkv Adie (1877) 2 App Cas 315, kita dapat mempelajari bahwa terdapat tiga cara dalam menentukan pelanggaran: (i) dimana keseluruhan spesifikasi itu digunakan; (ii) dimana substansi atau 'pith and marrow' dari invensi tersebut digunakan; dan (iii) dimana subordinate invensi dapat terjadi dalam invensi yang besar44.

3.4. Pengidentifikasian Hasil-Hasil Riset dalam Rezim Paten

Pengidentifikasian hasil-hasil riset dalam rezim paten ini mensyaratkan indicator normative guna menentukan apakah hasil riset itu dapat dikonstruksi sebagai suatu penemuan yang dapat dilindungi atau tidak45. Konsep penemuan ini tidak dapat dipisahkan dari konsep teknologi dalam hukum paten. Dalam hal ini, teknologi mensyaratkan adanya level kreatifitas dan dapat merespon tuntutan /kebutuhan masyarakat46.

Berkaitan dengan konsep diatas, maka sudah sepatutnyalah jika hasil-hasil riset (penemuan) dari para inventor tersebut diberikan penghargaan. Di Indonesia, salah satu bentuk penghargaan tersebut adalah pemberian perlindungan paten oleh

43 This term refers to skilled person, which stated in The Australian Patent Office Manual of Practice and Procedure, vol.2 National paras 4.2.5.3. :"The basic rules for determining who is the person skilled in the art are the same as for determining the addressee of the specification". Thus, the person skilled in the art:a. is a skilled, but non inventive worker in the relevant field of technology in

Australiab. knows the common general knowledge in Australiac. could be anyone from tradesman in some arts to highly qualified scientist in

others depending on the nature of the problemd. could be a team of people. Lihat: Griffith, P.B.C., 2000, Patent Notes: Novelty in

Patent Law, Lecture Materials, Faculty of Law, UTS, p.5.

44 Lihat: Griffith, P.B.C., 1993, Patent Notes 1993, Faculty of Law, UTS, p. 38. 45 Beberapa petunjuk normative tentang hasil-hasil riset yang dapat diberikan perlindungan paten dapat ditemukan dalam undang-undang paten. Untuk menentukan apakah suatu hasil penelitian dapat diberikan perlindungan paten, seorang inventor harus mencermati beberapa persyaratan dasar. Persyaratan substansial tersebut mengacu pada elemen-elemen konstitutif yang membentuk patentabilitas atas suatu penemuan. Patentabilitas ini ditentukan oleh adanya: (i) kebaruan; (ii) mengandung langkah inventif; dan (iii) dapat diterapkan dalam industri.46 Konsep ini diperkuat oleh Kohler yang menyatakan bahwa "invention is an expression of creation of an idea which is useful for satisfying the demand of man by overcoming nature utilizing natural force to obtain a certain effect. Lihat: Masao Miyake, "Some Thoughts on Patent Law (Revised Edition)", Buzanbo, July 10 1976, pp.32-33. dalam Hanabusa, M., 1992, p.23.

13

Hayyanulhaq, 2004, Identifikasi & Eksploitasi Hasil Riset: Strategi dan Momentum Perlindungan Hukum

Negara kepada penemu. Pengertian tentang paten dapat dijumpai dalam beberapa Undang-undang Paten yang pernah diberlakukan di Indonesia47. Secara normative, paten –mencakup paten standar dan sederhana48- dipahami sebagai hak khusus yang diberikan negara kepada penemu atas penemuannya49 di bidang teknologi, untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri penemuannya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada orang lain untuk melaksanakannya.

Penemuan yang didefinisikan dalam undang-undang paten Indonesia menegaskan adanya kreativitas manusia50. Untuk dapat diberikan paten, suatu invention harus memenuhi persyaratan perundang-undangan –dalam hal ini validitas – patentabilitas51, yaitu: kebaruan, langkah inventive, dan dapat diterapkan dalam dunia industri52.

3.4.1. Kebaruan (Novelty) Kebaruan (Novelty) merupakan syarat pokok dari

patentabilitas. Tanpa kebaruan53, permintaan paten akan ditolak. 47 Lihat: Pasal 1 ayat 1, Undang-undang Nomor 6 Tahun 1986; Undang-undang Nomor 13 Tahun 1997; dan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 yang kesemuanya mengatur tentang Paten.48 Untuk penemuan yang berupa benda, alat atau hasil produksi yang baru yang tidak memiliki kualitas sebagai penemuan akan tetapi mempunyai nilai kegunaan praktis disebabkan oleh bentuk, konfigurasi, konstruksi atau komposisinya akan diberikan perlindungan hukum dalam bentuk paten sederhana atas penemuan sederhana tersebut. Lihat: pasal 6 UU N0. 6 tahun 1989 tentang Paten; jo. UU N0. 13 tahun 1989; jo UU N0. 14 tahun 2001 tentang Paten.49 Penemuan yang dimaksud harus merupakan kegiatan pemecahan masalah tertentu di bidang teknologi yang dapat berupa proses atau hasil produksi atau penyempurnaan dan pengembangan proses atau hasil produksi. 50 UU No.14 Tahun 2001 tentang Paten, Art.1(2) states that "any solution of a creation technological problem which may take form in a process or a product or the improvement and development thereof". 51 Pengujian patentabilitas, dapat dilakukan dalam beberapa tahapan: (i) pemeriksaan (sebelum paten diberikan); (ii) opposisi dan revokasi (setelah paten diberikan). Lihat: UU NO. 14 Tahun 2001, pasal 2 ayat 1 mensyaratkan adanya kebaruan, langkah inventif dan dapat diterapkannya dalam dunia industri. Lihat juga pasal 6 (paten sederhana), dan pasal 7 (pengecualian paten), dan pasal 91 (a)52 UU No.14 Tahun 2001 tentang Paten, Art.2 (1).53 Penemuan ini disebut baru bila tidak terdapat dalam teknologi/pengetahuan yang ada sekarang, atau sebelumnya, baik berupa tulisan maupun lisan. Teknologi yang dimaksud dibatasi pada teknologi yang ada dalam negara yang akan memberi paten, jadi mengecualikan pengetahuan luar negeri, bila dokumen patennya tidak termasuk ke dalam negeri sebelum permintaan didaftarkan, walaupun pengetahuan tersebut diketahui sudah ada di luar negeri sebelumnya. Lihat: Hayyanulhaq, 2003, EKSISTENSI, ANATOMI, DAN SIGNIFIKANSI HAK PATEN SEBAGAI ATRAKTOR DAN AKSELERATOR PEMBANGUNAN INFORMASI DAN TEKNOLOGI DI INDONESIA: Upaya Memahami Dokrin Inventor melalui pendekatan Normatif terhadap Proses

14

Hayyanulhaq, 2004, Identifikasi & Eksploitasi Hasil Riset: Strategi dan Momentum Perlindungan Hukum

Dokumen dari teknologi / pengetahuan yang sudah ada (prior art) dapat menggagalkan kebaruan bila bidang penemuan itu secara eksplisit terdapat dalam dokumen ini54. Penemuan dikatakan baru apabila ia tidak diketahui sebelumnya atau bukan merupakan bagian dari pengalaman keahlian dalam bidang invensi tersebut55. UU Patent mengindikasikan bahwa kebaruan akan ditentukan oleh fakta bahwa pada saat permohonan paten, invensi tersebut tidak sama dengan bagian invensi lain atai atau prior art56.

UU Paten mensyaratkan adanya kebaruan57 dalam penemuan yang diklaim. Hal ini berarti bahwa penemuan yang diklaim tersebut tidak berada dalam ranah public domain. Dengan demikian, penemuan tersebut tidak membentuk bagian dari "the state of the art". Secara essensial untuk menentukan kebaruan, ia dapat dinilai atau dilihat sebagai berhadapan atau berseberangan dengan latarbelakang dari 'the prior art base' yang berkaitan dengan bidang teknologi yang terkait58. Hal terpenting yang perlu dicermati adalah public disclosure yang dapat menyebabkan penolakan terhadap suatu aplikasi, jika dilakukan sebelum mengajukan permohonan. Misalnya, mendiskusikannya dengan teman kerja atau kolega sebelum mengajukan permohonan paten dapat merusak kebaruan dari paten tersebut59.

Pemvalidasian, Pengadministrasian, dan Pengeksploitasiannya : Sebuah Pengantar, Materi pembelajaran pada Mata Kuliah HAKI pada Fakultas Hukum Universitas Mataram.54 Jadi dokumen itu secara teliti akan dibandingkan dengan dokumen permintaan paten yang sedang diperiksa. Bila dalam dokumen acuan terdapat hal-hal yang sama dengan penemuan yang diklaim dalam permintaan maka nilai kebaruan penemuan akan lenyap.55 Richard D. Walker, 1995, Patents as Scientific and Technical Literature, The Scarcrow Press Inc., Metuchen, N.J., & London, 1995, p.83.56 This is because, the test of novelty and inventive step are applied by reference to the prior art at the filing date (UU No.14 Tahun 2001 tentang Paten, Art.3(2)(a)) or at the priority date if an application is filed with a priority right pursuant to the Paris Convention and TRIPs (Patent Bill, Art.3(2)(b)); Lihat juga: UU No.14 Tahun 2001 tentang Paten, Art. 3, in Philip Griffith, "Patent Law in Indonesia", Indonesia Australia Specialised Training Project, Intellectual Property Right Phase II, Faculty of Law, University of Technology Sydney, p.3.57 This concept derives from the policy enunciated by the common law courts in Darcy v Allin and restated in section 6 of the Statute of Monopolies 1623 in the requirement of a manner of new manufacture. The concept of "new" is now called novelty. Lihat juga: PA 1990, Schedule 1 Dictionary on invention; and PA 1990 Section 18 (1) (a). For further information on novelty, Lihat: Ricketson, S. and Richardson,M., 1998, op.cit. pp. 627 - 666; Philip Griffith, 2000, 'Novelty in Patent Law', Lecture Materials, Faculty of Law, UTS, p.1. 58 Ricketson, S. and Richardson,M., 1998, op.cit. pp. 628.59 Walker, Richard D. , 1995, Patents as Scientific and Technical Literature, The Scarcrow Press Inc., Metuchen, N.J., & London, 1995, p.83.

15

Hayyanulhaq, 2004, Identifikasi & Eksploitasi Hasil Riset: Strategi dan Momentum Perlindungan Hukum

3.4.2. Langkah InventifLangkah inventif merupakan salah satu syarat yang harus

dipenuhi dalam mendapatkan perlindungan paten. Dengan kata lain, invensi tersebut harus tidak terduga60 bagi para ahli61di bidangnya. Klaim paten dianggap membuka langkah inventif jika penemuan yang diklaim tersebut merupakan sesuatu yang tidak terduga oleh ahli di bidang invensi yang hendak diklaim tersebut62, dengan mempertimbangkan prior art pada tanggal pengajuan permohonan. Hal ini juga diterapkan jika permohonan tersebut diajukan dengan meminta hak prioritas63. Langkah inventif diasumsikan sebagai sesuatu yang tidak terduga "unexpected matter"64 bagi orang atau pihak yang memiliki keahlian standar dalam bidang tekhnis invensi tersebut65. Lebih jauh, terminology "unexpected matter" tidak semata-mata merupakan transpirasi ide tetapi juga mencakup elemen inspirasi66.

Tampaknya, permasalahan krusial dalam praktek adalah bagaimana menentukan criteria ahli dalam bidang invensi yang bersangkutan dan pengetahuan apa yang diharapkan untuk diketahui oleh mereka67. Walker mengatakan bahwa langkah inventif merupakan bidang hukum paten dan praktik yang paling rentan mengandung ketidakpastian, sehingga sering memunculkan kontroversi yang ekstrim68.

60 Lihat: PA 1990, S,18(1)(b)(ii) and UU No.14 Tahun 2001 tentang Paten, Art. 2(3).61Expert in this case refers to a person possessing average technical skills in the relevant field. 62 Indonesian Patent Act, Art. 2 (2); Lihat juga: Government Explanation in Parliament in 1989 when answering the question of parliament on inventive steps. In Mahendra, 1989, Undang-undang Paten: Perlindungan Hukum bagi Penemu dan Sarana Menggairahkan Penemuan, Sinar Harapan, Jakarta, p. 130.63 Indonesian Patent Act, Art. 2 (3)64 "unexpected matter" expertise existing at prior to the time an application is made must be taken into account in assessing invention step.65The expression person with usual expertise in the technical field" could be assumed to refer to a skilled person presumably with universal (as opposed to simply local) knowledge. Lihat: Fysh Michael, Q.C., Patentability, Rights Conferred by Patent in Patent Licensing, paper presented at the National Seminar for Police and the Judiciary on Enforcement of Intellectual Property Rights, Indonesia, September, 27 - October 5, 1990, p.13. 66 Mebius, E.J., "General Conditions of Patentability", a paper given in a patent agent workshop, Jakarta, 27-29 November, 1990, p.5.67 Mc Keough, J. and Stewart, A., 1997, op.cit. p.305.68 Wlaker menambahkan bahwa langkah inventif yang tidak terduga harus dibuat atau dibuktikan oleh pemohon paten yang bekerja dari posisi yang tidak menguntungkan, karena pemohon harus membuktikan the isolated prices yang diidentifikasi oleh pemeriksa yang tidak semata-mata menegasikan langkah inventif hanya dengan meLihat atau mengacu literature. Lihat: Walker, Richard D. ,1995, ibid. Similar opinion is also expressed by Professor Griffith (in his lectures) in commenting the inventive step requirement. Patent Lecture in IASTP Group, 27 June 2000.

16

Hayyanulhaq, 2004, Identifikasi & Eksploitasi Hasil Riset: Strategi dan Momentum Perlindungan Hukum

Suatu penemuan dikatakan mengandung langkah inventif apabila dalam penemuan tersebut terdapat lompatan teknologi yang tidak diduga sebelumnya oleh orang yang mempunyai keahlian normal dalam bidang dimana penemuan itu dimintakan perlindungan patennya. Kebaruan berbeda dengan langkah inventif69. Jadi yang disebut penemuan itu cukup hanya memiliki “perberbedaan”70 dengan teknologi yang sudah ada sebelumnya.

3.4.3. Dapat Diterapkan dalam Dunia IndustriUnsur ketiga dalam patentabilitas atas suatu penemuan

adalah dapat diterapkannya penemuan tersebut dalam dunia industri71. Terminologi industrial applicable ini mengacu pada fungsi atau kemanfaatan. Dengan kata lain "the patent works".72

Ia mengharuskan invensi (produk dan proses)73, yang dapat memproduksi material (benda) yang mencakup produk produk dan proses dalam jumlah besar secara terus menerus dan teratur dengan kualitas yang sama dan stabil74.

Paham tersebut dapat dimengerti mengingat paten tersebut secara histories berakar kuat dalam tradisi dan karakteistik ekonomi. Akan tetapi, beberapa penemuan yang dapat dipatenkan merupakan pembadanan dari teori atau sebagai perluasan dari teori baru yang dikembangkan, termasuk proses dan obyek fisik75.

4. STRATEGI DAN MOMENTUM DALAM MELINDUNGI HASIL RISET

Strategi dalam melindungi hasil-hasil riset secara optimal, terkait dengan momentum, atau saat kita harus melindungi hasil-hasil penelitian. Strategi dan momentum ini dapat diklasifikasi ke dalam tiga tahapan yaitu: (i) tahapan pra riset, (ii) tahapan saat

69 Penemuan itu dikatakan memiliki kebaruan bila terdapat perbedaan antara penemuan dan teknologi yang ada (state of the art). Sedangkan penemuan yang dikatakan memiliki langkah inventif terdapat kebaruan, dalam hal ini, lompatan teknologi. Lihat: Hayyanulhaq, 2003, EKSISTENSI, ANATOMI, DAN SIGNIFIKANSI HAK PATEN SEBAGAI ATRAKTOR DAN AKSELERATOR PEMBANGUNAN INFORMASI DAN TEKNOLOGI DI INDONESIA: Upaya Memahami Dokrin Inventor melalui pendekatan Normatif terhadap Proses Pemvalidasian, Pengadministrasian, dan Pengeksploitasiannya : Sebuah Pengantar, Materi pembelajaran pada Mata Kuliah HAKI pada Fakultas Hukum Universitas Mataram.70 Namun demikian, perlu dicatat bahwa perbedaan itu harus mengandung langkah inventif, sehingga dapat dikatakan bahwa penemuan tersebut mengandung kemajuan teknologi.71 TRIPs Art.2772 UU NO. 14 Tahun 2001, pasal. 573 Untuk mengetahui informasi yang lebih detail tentang produk dan proses, Lihat kembali Morton Rules : RE GEC Application (1942) 60 RPC 1 and NRDC case, Re (1961) RPC 134.74 Pejelasan UU N0.14 Tahun 2001, pasal 5.75 Walker, Richard D., 1995, Ibid.

17

Hayyanulhaq, 2004, Identifikasi & Eksploitasi Hasil Riset: Strategi dan Momentum Perlindungan Hukum

pelaksanaan riset, dan (iii) tahapan paska riset. Secara konkrit, ketiga tahapan itu dapat diwujudkan dalam beberapa aktivitas: (i) pengelolaan aktifitas penelitian76; (ii) perlindungan hasil penelitian77; (iii) pengeksploitasian aset kekayaan intelektual yang sudah dilindungi78; (iv) pemeliharaan dan penegakkan perlindungan hukum bagi hasil-hasil riset79.

Secara umum dapat dirumuskan beberapa isu relevan yang dapat dipertimbangkan dalam menentukan strategi perlindungan aset kekayaan intelektual, seperti: (i) bidang teknis yang terkait; (ii) bentuk-bentuk hak kekayaan intelektual yang dapat diterapkan; (iii) bagaimana memonitor kompetisi; (iv)

76 Pengelolaan aktifitas penelitian, dapat dilakukan dengan jalan membuat rencana aktifitas, tujuan dan strategi penelitian, memelihara dan memperbaharui validasi strategi dan tujuan penelitian yang bersangkutan, mengklarifikasi status kepemilikan hukum hasil penelitian, dan menjaga kondisi untuk pengamanan perlindungan hasil. Lihat: Lipovsky, dan Hayes, Using Information Systems to Enhance Research Goals and Improve the Technology Transfer Process, in http://www.nal.usda.gov/ttic/parad.htm; A Tutorial on Technology Transfer in U.S. Colleges and Universities, pp/1-22; Carr, Robert, K., Menu of Best Practice in Technology Transfer, in http://www.milkern.com/rkcarr/flpart2.html, pp.1-11; Sach, Alvin, Technology Transfer Guidelines: Transfering Technology from VA Federal Laboratory to the Private Sector for Commercialization, in http://wwwguide.stanford.edu/TTran/TTG.html, pp.1-21; Technology Transfer Information Centre, 1997, Technology Transfer Journal, Using The Journal List, in http://www.nal.usda.gov/ttic/serials.htm77 Perlindungan hasil-hasil riset dapat dilakukan dengan jalan menentukan rencana kegiatan perlindungan hasil penelitian, mengevaluasi nilai aset kekayaan intelektual untuk menentukan jenis dan cakupan perlindungan, memilih jenis perlindungan yang paling menguntungkan secara bisnis, mengamankan hasil penelitian tersebut dengan memintakan perlindungannya, melakukan perlindungan atas ide berikutnya, dan melakukan perlindungan di luar negeri/wilayah target pemasaran. Lihat: Lihat: Lipovsky, dan Hayes, Using Information Systems to Enhance Research Goals and Improve the Technology Transfer Process, in http://www.nal.usda.gov/ttic/parad.htm; Carr, Robert, K., Menu of Best Practice in Technology Transfer, in http://www.milkern.com/rkcarr/flpart2.html, pp.1-11; Sach, Alvin, Technology Transfer Guidelines: Transfering Technology from VA Federal Laboratory to the Private Sector for Commercialization, in http://wwwguide.stanford.edu/TTran/TTG.html, pp.1-21; 78 Pengeksploitasian hasil-hasil riset yang sudah dilindungi, dapat dilakukan melalui pengevaluasian nilai riil dari aset tersebut melalui technological assessment, termasuk juga di dalamnya pembuatan business plan dan feasible study, sehingga hasil penelitian tersebut siap untuk diimplementasikan sendiri ataupun diberikan kepada orang lain pelaksanaannya melalui lisensi atau bentuk pengalihan lain yang paling sesuai dan menguntungkan bagi teknologi yang bersangkutan. Lihat: Technology Transfer Information Centre, 1997, Technology Transfer Journal, Using The Journal List, in http://www.nal.usda.gov/ttic/serials.htm79 Pemeliharaan dan penegakkan perlindungan hasil-hasil riset dapat dilakukan melalui pemantauan atas pelanggaran yang dilakukan oleh pihak yang tidak berhak (infringement watch) dan sekaligus melakukan penegakan hukum atas kekayaan intelektual dari percobaan pelanggaran, apakah melalui gugatan ataupun pengaduan ke pihak yang berwenang.

18

Hayyanulhaq, 2004, Identifikasi & Eksploitasi Hasil Riset: Strategi dan Momentum Perlindungan Hukum

negara tujuan pasar; (v) biaya yang tersedia bagi perlindungan; (vi) beban kerja, biaya dan personil yang diperlukan; (vii) jangka waktu perlindungan yang diperlukan; (viii) bagaimana jika membeli atau menjual lisensi atas aset kekayaan intelektual.

4.1. Pengevaluasian Hasil Riset – TeknologiPengevaluasian hasil-hasil riset ini dapat dilakukan dari

berbagai aspek, baik scientificnya, ekonominya, maupun aspek hukumnya. Dalam bagian ini, pembahasan akan difokuskan hanya pada aspek hukumnya saja. Jadi, saya tidak berbicara banyak tentang bagaimana mengevaluasi hasil-hasil riset secara tekhnis ataupun ekonomis.

Mengevaluasi hasil-hasil riset dalam konteks hukum ini berarti membicarakan keabsahan (validitas) hasil-hasil riset. Dalam konteks ini, beberapa hal yang perlu dicermati antara lain: validitas target, strategi, dan hasil riset80, kelembagaan atau organisasi, kontrak kerjasama dan hubungan hukum, serta akibat-akibat hukum yang mungkin timbul dalam pengembangan riset bersama, dan bagaimana cara pemanfaatan hasil-hasil riset. Secara teknis, dalam rezim paten, sudah tentu, semua rencana, dan proses pelaksanaan serta hasil-hasil riset tersebut perlu dijaga kerahasiaannya dalam rangka melindungi kepentingan komersialnya.

4.2. Tahapan Perlindungan Hukum Bagi Pengoptimasian Hasil Riset

Penilaian terhadap teknologi dalam konteks paten ini dimaksudkan untuk memperoleh hasil penelitian yang berdaya saing tinggi. Dalam konteks ini, paten dapat menciptakan nilai tambah dan posisi tawar yang lebih tinggi melalui: (i) perlindungan pangsa pasar prospektif; (ii) peminimalisasian kompetisi pada bidang yang sama. Dalam konteks ini peneliti perlu mencermati dua isu paten yang terkait dengan hasil penelitian, yaitu: (i) kepastian perlindungan terhadap invensi atau inovasi yang dihasilkan, (ii) kepastian bahwa penelitian tersebut tidak melanggar paten pihak lain81.

Guna menelaah aspek-aspek yang berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap kegiatan penelitian ini secara lebih detail, maka pembahasan pada bagian akan difokuskan pada dua tahapan utama dalam perlindungan hukum atas hasil-hasil penelitian, yaitu: (i) tahap pra riset, dan (ii) tahap paska riset.

80 validasi target dan strategi penelitian ditujukan untuk mencegah pelanggaran atas hasil penelitian karena ada pihak lain yang melakukan pencurian ide di tengah jalan karena tidak dilindunginya hasil-hasil penelitian potensil yang menuju hasil penelitian utamanya.

19

Hayyanulhaq, 2004, Identifikasi & Eksploitasi Hasil Riset: Strategi dan Momentum Perlindungan Hukum

4.2.1. Pra Riset : Menilai Teknologi dalam Konteks PatenDalan tahap pra riset, seorang peneliti perlu menelusuri

(searching) dokumen penemuan / teknologi dalam bidang yang sama, yang berdekatan (prior art). Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan semua sumber informasi82. Penelusuran dokumen paten ini dapat memberikan informasi yang lebih proporsional, karena ia merupakan publikasi spesifik paten yang memuat rincian teknis yang mengungkapkan fungsi suatu penemuan.

Bagi peneliti, penelusuran dokumen paten ini diperlukan dalam rangkaian kegiatan penelitian baik dalam: (i) tahap perencanaan strategi dan tujuan83, (ii) selama pelaksanaan84, dan

81 Kegagalan memastikan perlindungan terhadap hasil penelitian yang dibuat itu dapat memicu persoalan yang sangat kompleks dan amat rumit di kemudian hari. Hasil penelitian dan pengalaman menunjukkan beberapa persoalan yang dapat muncul, antara lain: (i) rentan terhadap kemungkinan melanggar paten pihak lain; (ii) rentan terhadap kemungkinan entry-barrier terhadap produk yang mengandung paten di negara tujuan pasar; (iii) tidak siap untuk masuk dan berkompetisi di pasar global; (iv) tidak mampu mempertahankan keunggutan kompetitif dari suatu produk yang mengandung aset intelektual. Lihat: Lubis, Efridani, 2003, Perguruan Tinggi dan Potensi Kekayaan Intelektual yang Berdaya Saing Tinggi, Kantor Hak Kekayaan Intelektual dan Alih Teknologi (KaHati) Lembaga Penelitian Institut Pertanian Bogor. Lihat dan bandingkan: Carr, Robert, K., Menu of Best Practice in Technology Transfer, in http://www.milkern.com/rkcarr/flpart2.html, pp.1-11; Sach, Alvin, Technology Transfer Guidelines: Transfering Technology from VA Federal Laboratory to the Private Sector for Commercialization, in http://wwwguide.stanford.edu/TTran/TTG.html, pp.1-2182 Sumber informasi tersebut dapat dalam bentuk paten atau dokumen permintaan paten yang dipublikasikan maupun yang bukan paten seperti jurnal, tabloid, majalah dan sebagainya. Technology Transfer Information Centre, 1997, Technology Transfer Journal, Using The Journal List, in http://www.nal.usda.gov/ttic/serials.htm83 Dalam perencanaan strategi dan tujuan penelitian, dokumen paten berfungsi untuk mendeteksi dan menghindari kemungkinan: (i) melakukan penelitian terhadap teknologi yang telah dipatenkan pihak lain; (ii) melalukan penelitian atas teknologi yang sudah kadaluwarsa (tidak up to date) ; (iii) melanggar hak paten orang lain. Dengan demikian, penentuan target dan strategi penelitian dan pengembangan dapat mencegah biasnya hasil penelitian yang dilaksanakan, sehingga kegiatan dapat dilaksanakan secara lebih terfokus. Selain itu, peneliti dapat mengantisipasi hasil penelitian yang akan muncul, sekaligus mencegah peneliti melakukan redundancy penelitian. Lihat lebih jauh: Lipovsky, dan Hayes, Using Information Systems to Enhance Research Goals and Improve the Technology Transfer Process, in http://www.nal.usda.gov/ttic/parad.htm; Hayter, Dana, When a License is Worse than a Refusal: A Comparative Competitive Effects Standard to Judge Restrictions in Intellectual Property Licenses, in http://server.berkeley.edu/BTLJ/articles/11-2/hayter.html; Melnicoe, Alan, H., Locked Out Licenses, in http://www.ipmag.com/melon.html84 Selama pelaksanaan kegiatan penelitian, dokumen paten dapat digunakan untuk memastikan kelayakan hasil penelitian, sekaligus untuk mencermati kemungkinan pengajuan permohonan paten oleh pesaing atau penemuan yang sama. Lihat juga: Bremer, Haward W., University Technology Transfer : Evaluation and Revolution, in http://www.cogr.edu/Bremer.htm, pp1-12; Daines, Gregory P., University Technology

20

Hayyanulhaq, 2004, Identifikasi & Eksploitasi Hasil Riset: Strategi dan Momentum Perlindungan Hukum

(iii) setelah kegiatan penelitian85. Informasi dalam dokumen paten ini tidak terbatas pada informasi yang berkaitan dengan perlindungan hukum atau yang sedang dalam proses mendapatkan perlindungan, tetapi juga meliputi informasi tentang paten yang jangkawaktu perlindungannya sudah habis atau yang telah menjadi public domain. Informasi demikian sangat bermanfaat baik bagi peneliti, pengusaha ataupun masyarakat luas dalam rangka mengakses informasi tersebut secara bebas dan mengembangkannya tanpa kekhawatiran telah melakukan pelanggaran atas paten orang lain.

Pentingnya perlindungan hukum sebelum penelitian dilakukan untuk melindungi nilai inventif dan inovatif dari hasil penelitian86, sedangkan pada saat sesudah kegiatan penelitian selesai, perlindungan hukum ditujukan untuk melindungi nilai ekonomis dari hasil riset.

4.2.2. Paska Riset : Perolehan Hak melalui Pendaftaran Permohonan Hak

Perlindungan hukum dalam tahap paska penelitian ini dapat dilakukan melalui pnentuan status kepemilikan atas hasil-hasil riset tersebut. Penentuan kepemilikan ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya sengketa di kemudian hari, yang bisa berakibat terabaikannya hasil penelitian. Hal ini dapat dilakukan dengan upaya perolehan hak paten atas hasil-hasil riset tersebut.

Cara untuk memperoleh hak paten ini dapat dilihat dalam berbagai peraturan pelaksanaan yang sudah berlaku secara efektif. Secara umum, peroleh hak paten ini diawali dengan menagajukan pendaftaran permohonan hak. Permohonan paten

Management and Understanding and Planning for the Future of Higher Education, in http://the-nexus.org/journal/future.html.85 Selanjutnya, pada tahap paska tujuan kegiatan penelitian disempurnakan, dokumen paten dapat berfungsi untuk menentukan strategi perlindungan yang paling baik atas hasil-hasil penelitian tersebut. Memastikan bahwa sebelum pengajuan permohonan paten dilakukan, dengan melakukan analisis klaim-klaim dan dokumen pengajuan permohonan paten, bagian-bagian yang penting dari penemuan yang diklaim memenuhi kriteria baru dan mengandung langkah inventif. Lihat: Lubis Ibid; Lihat juga: Weintraub, and Wayne, License Lifeboat: In Order to survive, bankcrupt patent licensees must be allowed to assign their rights, in http://www.ipmag.com/wein.html; Massing, Daniel E., Licensing Engineering Inventions A Process Planning Model, in http://nhse.cs.rise.edu/autum/journal/93/licensing93.htm86 Perlindungan nilai inventif dan inovatif atas hasil kegiatan penelitian, dapat dilakukan melalui: (i) penentuan target dan strategi penelitian; (ii) pengklarifikasian kepemilikan secara hukum terhadap hasil penelitian; (iii) pemeliharaan validasi dari target dan strategi penelitian; (iv) pemeliharaan potensi perlindungan hukum terhadap hasil penelitian. Lihat: Lubis, Ibid.

21

Hayyanulhaq, 2004, Identifikasi & Eksploitasi Hasil Riset: Strategi dan Momentum Perlindungan Hukum

menjadi dasar dari kepemilikan patent tersebut87. Secara normatif, permohonan hak paten harus memuat88: (i) tanggal, bulan dan tahun pendaftaran; (ii) alamat lengkap peohon; (iii) nama lengkap dan kewarganegaraan pemohon (inventor atau pemegang paten); (iv) permohonan paten yang dimintakan; (v) judul penemuan; (vi) klaim yang terdapat dalam invensi tersebut; (vii) deskripsi tertulis tentang penemuan yang memuat informasi yang lengkap tentang cara pelaksanaan invensi; (viii) gambar yang disebut dalam deskripsi diperlukan untuk klarifikasi; dan (ix) abstrak yang berkaitan dengan invensi.

Pentingya permohonan paten ini mensyaratkan adanya system administrasi yang efesien89 dan kualifikasi tekhnis dalam bidang ilmu pengetahuan dan rekayasa90. Oleh karena itu, para pengacara paten memainkan peranan kunci dalam merumuskan aplikasi paten, khususnya dalam merancang klaim91. Profesi ini diberikan setelah lulus dari serangkaian ujian yang mencakup aspek-aspek hukum dan pratek dalam system paten92. Tujuan dari kebijakan ini semata-mata hanya untuk mempermudah inventor atau pemegang paten93 mendapatkan hak patennya.

4.3. Pengeksploitasian : Mengkomersialkan Hasil Riset –Teknologi

Pengkomersialisasian hasil-hasil riset ini dapat dilakukan melalui berbagai cara atau metode. Umumnya, metode utama dalam pengeksploitasian –pengkomersialisasian- teknologi ini dilakukan dengan jalan memindahkan teknologi tersebut. Secara

87 Undang undang Paten menyatakan bahwa paten diberikan atas dasar permohonan (system konstitutif). Lihat: UU No. 14 Tahun 2001 tentang Paten, pasal.21.88 Art. 28 (2) (a-k)89 Christoph Antons, 1997, Indonesian Intellectual Property Law in Context, in Veronica Taylor, (ed) 1997, Asian Laws Trough Australian Eyes, Law Book Company, p.42190 Lihat: Mc Keough, J., and Stewart, A., 1997, Intellectual Property in Australia, 2nd

edition, Butterworths, p.280. Lihat juga: Penjelasan pasal 25 (2), UU NO. 14 Tahun 2001 tentang Patent yang menyatakan bahwa pengacara paten harus memiliki pengetahuan dan keahlian khusus. 91 The construction of claim is very important for determining and obtaining the boundaries of monopoly of invention. A useful judicial statement concerning the function of the claim or claims is to be found in Electrical and Musical Industries & Another v. Lissen Limited (1938) 56 RPC 23, where it was said:

"The function of the claims is to define clearly and with precicion the monopoly claimed, so that others may know the exact boundaries of the area within which they will be trespasser. The claims must undoubtedly be read as part of the entire document, and not as a separate document; but the forbidden field must be found in the language of the claims and not elsewhere".

92 Penjelasan pasal 25 (2), UU NO. 14 Tahun 2001 tentang Patent.93 Hal ini disebabkan karena tidak semua inventor dan pemegang paten familiar dengan aspek-aspek hukum dan tekhnis administrative dalam system paten. Lihat: Penjelasan pasal 25 (2), UU NO. 14 Tahun 2001 tentang Patent

22

Hayyanulhaq, 2004, Identifikasi & Eksploitasi Hasil Riset: Strategi dan Momentum Perlindungan Hukum

normative, berdasarkan UU Paten Indonesia-, paten dapat ditransfer berdasarkan (i) pewarisan94, (ii) hibah95, (iii) wasiat96, pejanjian tertulis97, dan metode lain yang dibenarkan undang-undang98, seperti jual beli, dan lisensi99.

Dalam prakteknya, adanya keragaman model kontrak alih teknologi ini disebabkan karena kondisi lingkungan, saat kontrak dibuat (moment of contracting), karakteristik negara atau perusahaan characteristics, dan sebagainya. Kontrak dalam rangka pengkomersialisasian teknologi tersebut dapat terjadi dalam berbagai perjanjian, seperti jual beli paten, franchise dan distribusi, turnkey projects100; kontrak konstruksi, kontrak manufaktur, kontrak manajemen, dan kontrak bantuan tekhnis, atau konsultasi, joint venture, foreign direct investment, and licence101. Dari berbagai penelusuran literature, dpat diketahui bahwa diantara berbagai metode perjanjian tersebut, perjanjian lisensi merupakan inti dalam proses pengalihan teknologi –pengkomersialisasian teknologi.102

4.4. Lisensi : Instrumen Hukum dalam Pendistribusian Teknologi

Hingga saat ini, lisensi paten merupakan cara yang paling efesien dan efektif dalam mengeksploitasi teknologi –technology transfer-103. Ia dapat menjembatani berbagai kepentingan bisnis baik individu maupun lembaga –perusahaan atau negara-,

94 UU No.14 Tahun 2001 tentang Paten, Pasal. 66(1) (a)95 UU No.14 Tahun 2001 tentang Paten, Pasal. 66(1) (b)96 UU No.14 Tahun 2001 tentang Paten, Pasal. 66(1) (c)97 UU No.14 Tahun 2001 tentang Paten, Pasal. 66(1) (d) 98 UU No.14 Tahun 2001 tentang Paten, Pasal. 66(1) (e)99 UU No.14 Tahun 2001 tentang Paten, Pasal. 69(1)100 Turnkey project is one of methods in transferring technology which is aimed at acquiring the technology necessary for the construction and operation of a large industrial plant, such as that required for heavy industry or power generation. For detail information on turnkey project, Lihat: Blakeney, M., 1989, pp.44.101 Hemais, C., A., 1996, The Development of a Theoretical Model of International Transfer of Technology, Warwick Business School Research Bureau, No.249, p.2; Lihat juga: Blakeney, 1989, pp.43-48. Pemahaman lebih tekhnis tntang hal ini dapat ditelusuri melalui: Hayes, Kate, Generating Solutions to the Hardwood Industry’s Technology Based Problems, pp.1-5; Research Corporations Technology, Putting Inventions to Work, in http://www.rctech.com.tips.html; Research Corporations Technology, RCT’s Tips for Inventors, in http://www.rctech.com.tips.html; Research Corporations Technology, RCT’s Tips for Inventors: How Does RCT Appraise Technologies?, in http://www.rctech.com.tips.html102 UNCTAD considered license agreement as the mean of technology transfer, when it proposed a code of conduct for technology transfer to developing countries, Lihat: Chawtra, B.I., 1986, p. 19; Lihat juga: Hemais, C., A., 1996, p.2; Hawthorne, Edward, 1970, The Transfer of Technology, Organisation for Economic Co-operation Devellopment, p.50.103 Blakeney illustrated that:

23

Hayyanulhaq, 2004, Identifikasi & Eksploitasi Hasil Riset: Strategi dan Momentum Perlindungan Hukum

khususnya dalam menelusuri atau mencari invention dan innovation. Dari konsep diatas, dapat diidentifikasi beberapa kemanfaatan dalam lisensi paten. Kemanfaatan tersebut menyentuh aspek: (i) ekonomi; (ii) industri, (iii) teknologi dan (iv) alasan hukum.

4.4.1. Definition and Basic ConceptSecara literar, kata lisensi berasal dari kata “licentia”, yang

berarti ijin untuk menggunakan sesuatu104. Secara esensial, lisensi merupakan pemberian hak untuk melakukan sesuatu105. Secara normatif, lisensi paten didefinisikan sebagai ijin untuk mengeksploitasi atau memberikan kewenangan untuk mengeksploitasi106 penemuan yang sudah dipatenkan.

4.4.2. Obyek dalam Perjanjian Lisensi Paten: InventionObyek lisensi paten adalah invensi atau penemuan di

bidang teknologi. Perlu diketahui bahwa penemuan tersebut dapat terdiri dari paten dan know how. Sebagai perbandingan, di Eropa, perjanjian lisensi ini dapat mencakup paten murni, know how, dan campuran antara know how dan paten murni107.

“the owner of patent may wish to profit from the exploitation of the patent in a foreign country, without investing its own time and money in manufacturing and marketing foods in that country. By granting to a licensee the right to exploit the patent in the foreign country in return for royalty payments, the licensor saves itself the trouble and expense of manufacturing and marketing goods in unknown environment, while harnessing the local knowledge, business contact and expertise of the foreign licensee”. Then He continued:... by selling licenses rather than products, the licensor can concentrate its commercial efforts on the production of technology in its home country, without the need to market the products of that technology; the licensee on the other hand, can benefit from a developed and tested technology process without having to invest in research and development“.

Lihat: Blakeney, Michael, 1989, p.34. For detailed licensing reasons further, Lihat: Arnold, Tom, ‘General Aspects of Licensing, Including Trade Secrets, Know How, Bankruptcy: Basic Considerations in Licensing’, in Recent Development in Licensing, Presented at the Annual Meeting of the American Bar Association, August 7-12, 1981, New Orleans, Louisiana, p. 6; Lihat juga: Ibrahim Idham, 1993, ‘Masalah Perjanjian Lisensi’ (Problems in License Areement), in Seminar Peranan HAKI Untuk Meningkatkan Perdagangan dan Industri dalam Era Globalisasi (Seminar on The Role of Intellectual Property in Improving Trade and Industry in Global Era), Jakarta, p.12; Ruslan Saleh, 1991, Seluk Beluk Praktis Lisensi, Sinar Grafika, Jakarta, pp. 6-7; Lihat juga: Ruslan Saleh, 1991, Seluk Beluk Praktis Lisensi, Sinar Grafika, Jakarta, pp. 6-7.104 Dalam konteks HAKI, kata ini merupakan metode untuk mengeksploitasi produk yang berasal dari kemampuan intelektual manusia di bidang seni, sastra, ilmu pengetahuan, dan teknologi.105 Griffith, P.B.C., 2000, Definitions: Intellectual Property Dictionary, Law School, UTS, p.61; Martin, Elizabeth, A., A Dictionary of Law, Oxford University Press, p.230.106 UU NO.14 Tahun 2001 tentang Paten, Pasal. 17.

24

Hayyanulhaq, 2004, Identifikasi & Eksploitasi Hasil Riset: Strategi dan Momentum Perlindungan Hukum

Sebagaimana telah dikemukakan diatas, bahwa umumnya hasil riset yang dapat dilisensikan adalah invensi yang sudah dipatenkan. Dengan demikian, paten yang dijadikan sebagai obyek dalam perjanjian lisensi harus memenuhi persyaratan substansial108 dan criteria penemuan yang dapat dipatenkan (patentabilitas). Berkaitan dengan patentabilitas dari suatu penemuan, pada dasarnya, semua penemuan yang lahir dari kemampuan intelektual manusia dapat dipatenkan109, kecuali beberapa hal yang disebutkan dalam Pasal 7, UU No. 14 Tahun 2002: (i) tidak bertentangan dengan hukum110, ketertiban umum, dan moral111.

Sedangkan terminology know how digunakan untuk mengkonstruksi informasi komersial yang bermanfaat yang tidak dilindungi oleh paten112. Know how merupakan pembadanan dari informasi tekhnis yang bersifat rahasia113, substantial114 dan

107 Commission Regulation (EC Law) of Technology Transfer. 240/96 of 31 January 1996, Article 10 (6) and Recital 4.108 Persyaratan substansial ini mencakup kebaruan, langkah inventif, dan industrial applicability. Lihat: pasal 2(1) UU No. 14 tahun 2001 tentang Paten. Bandingkan dengan TRIPs, Pasal 27 (1).109 Lihat: 35 USC, s.101; Lihat juga: Diamond v Chakrabarty 447 U.S. 303 (1980); Bandingkan dengan: UU NO.14 Tahun 2001 tentang Paten, Pasal.7, Australian Patent Act, s.51 and Japanese Patent Law, s.32.110 Pengkajian atas isu yang paten bertentangan dengan hukum ini akan lebih menarik jika kita meLihat pengalaman Negara lain –Australia- dalam mengapresiasi ketentaun tersebut: In this manner, the Commissioner has discretion to refuse an application in respect of an invention 'the use of which would be contrary to law'. The interpretation of this article is followed and completed by precedent. It refers to Official Rulings 1923 C (1923) 40 RPC Appendix iv. Its indicators are criminal act, punishable as crime or misdemeanour or prohibited under by laws or regulations made for police and administrative purposes, for example bombs intended for surreptitious use or an explosive safe designed to kill burglars. Lihat: Griffith, P.B.C., 2000, "Subject Matter Not Patentable" (Hand out for Intellectual Property Lecture of Post Graduate Program, 22 March, 2000 ), Faculty of Law, UTS, pp.1, 13; Lihat juga: McKeough, J. and Stewart, A., 1997, pp. 296 and 297.111 Lihat: UU NO.14 Tahun 2001 tentang Paten, Pasal.7(1).112Know-how dapat dikomunikasikan dalam bentuk yang berwujud seperti blueprint, gambar, film, atau computer tapes, dan dapat terdiri dari instruksi untuk pembangunan konstruksi pabrik dan untuk perakitan (assemble) dan pengoperasionalisasian mesin, proses flow charts, job descriptions, product specifications dan informasi pengemasan (packaging) dan penyimpanan atau pergudangan (warehousing). Lihat: Blakeney, Michael, 1989, pp.42.113 Secret means that the know-how package as a body, or in the precise configuration and assembly of its components, is not generally known or easily accessible. This value consists in the lead which the licensee gains when it is communicated to the narrow sense that each individual component of the know how should be totally unknown or unobtainable outside the licensor's business. Lihat: Commission Regulation (EC Law) of Technology Transfer, No. 240/96 of 31 January 1996, Art.10 (2)114 Substantial means that the know-how includes information which must be useful, it can be reasonably expected at the date of conclusion of the agreement to be capable

25

Hayyanulhaq, 2004, Identifikasi & Eksploitasi Hasil Riset: Strategi dan Momentum Perlindungan Hukum

diidentifikasi115 dalam bentuk yang wajar. Secara khusus, know-how adalah pengetahuan atau keahlian dalam melaksanakan beberapa fungsi –dalam produk atau proses- secara efesien. Sebagai contoh, dalam lisensi know-how, lisensor akan memberitahukan atau mendeskripsikan pada lisensee tentang teknik manufacturing atau proses, resep, formula kimia, rancangan atau gambar pabrik116.

Dalam hal know how, licensee mendapat ijin untuk mengakses dan menggunakan know - how, yang merupakan bagian dari perjanjian lisensi, yang tidak dapat diperoleh dengan mudah dan murah oleh licensee. Oleh karena itu, perlindungan atas informasi rahasia menjadi penting. Ia dapat dilindungi atas dasar hubungan kontraktual diantara para pihak yang terlibat dalam perjanjian lisensi.

4.4.3. Subject of Patent License: Licensor and LicenseeSubyek dalam perjanjian lisensi adalah para pihak yang

terlibat dalam kontrak lisensi. Kontrak tersebut dibuat oleh lisensor dan lisensee atau pengguna dari teknologi yang dilisensikan. Dalam prakteknya, para pihak tersebut dapat melibatkan pemerintah, lembaga, perusahaan dan atau bahkan individu117.

4.4.4. Tipe dan Model Lisensi PatenPada dasarnya, terdapat dua tipe lisensi: (i) sukarela; dan

(ii) lisensi wajib. Lisensi sukarela didasarkan atas perjanjian para pihak berdasarkan prinsip-prinsip umum dalam hukum kontrak, sedangkan lisensi wajib melibatkan intervensi pemerintah dalam melaksanakannya. Dalam hal ini, lisensi diberikan tanpa memerlukan perjanjian dari pemegang hak paten118. Di Indonesia,

of improving the competitive position of the licensee, for example by helping him to enter a new market or giving an advantage in competition with other manufacturers or to the licensed secret know-how or other comparable know-how. Lihat: Commission Regulation (EC Law) of Technology Transfer, No. 240/96 of 31 January 1996, Art.10 (3)115 Identified means that the know-how is described or recorded in such a manner as to make it possible to verify that it satisfies the criteria of secrecy and substantiality and to ensure that the licensee is not unduly restricted in his exploitation of his own technology. To be identified, the know-how can either be set out in the license agreement or in a separate document or recorded in any other appropriate form at the latest when the know-how is transferred or shortly thereafter, provided that the separate document or other document can be made available if the need arises. Lihat: Commission Regulation (EC Law) of Technology Transfer, No. 240/96 of 31 January 1996, Art.10 (4)116 Commission Regulation (EC Law) of Technology Transfer. 240/96 of 31 Jan. 1996, Recital 4.117 Lihat :Aggarwal, Raj, 1991, p.58; For more detail on the parties and pattern of technology transfer, Lihat: Appendix 1.118 Lihat: Griffith, P.B.C., 2000, p. 14.

26

Hayyanulhaq, 2004, Identifikasi & Eksploitasi Hasil Riset: Strategi dan Momentum Perlindungan Hukum

lisensi wajib diatur berdasarkan Undang-undang No. 14 Tahun 2001 tentang Paten, pasal 74 - 87.

Obyek dari ketentuan lisensi wajib ini adalah paten yang tidak digunakan. Tujuannya, untuk menjamin agar inventor, baik asing maupun domestik, dan pemegang paten national dapat melaksanakannya dalam wilayah Negara Indonesia119, sehingga tidak menghambat pembangunan ekonomi –industri dan perdagangan- nasional. Selain itu, ketentuan ini juga ditujukan untuk mencegah impor barang yang sama ke dalam wilayah Indonesia.120

Ketentuan yang berkaitan dengan lisensi wajib ini merefleksikan perhatian pemerintah terhadap upaya perlindungan kepentingan nasional, kepentingan publik, dan agar teknologi yang dipatenkan tersebut tidak disalahgunakan121. Sejalan dengan pernyataan tersebut, berdasarkan kepentingan nasional, pertahanan keamanan, dan kepentingan publikseperti kesehatan, makanan, dan untuk mengawasi pelaksanaan suatu paten122, UU Paten memberlakukan ketentuan tentang lisensi wajib123 dan pembatalan atau penarikan (revocation)124 atas suatu patent.

Lisensi wajib diberikan oleh pengadilan niaga125 setelah mempertimbangkan: (i) kemampuan126 dan fasilitas yang memadai127 dari pemohon yang mengajukan permohonan lisensi wajib untuk melaksanakan paten yang bersangkutan secar penuh; (ii) usaha wajar yang dilakukan oleh si pemohon untuk mendapatkan lisensi atas dasar persyaratan yang normal128; (iii) apakah paten yang bersangkutan memberikan kemanfaatan pada sebagian besar masyarakat129.

119 UU NO.14 Tahun 2001 tentang Paten, Pasal.76 (1)(b).120 Dalam hal ini barang tersebut hanya didaftarkan patennya saja di Indonesia, tetapi tidak dibuat atau diproduksi di Indonesia, tetapi di luar negeri oleh produser lain. Liaht: UU NO.14 Tahun 2001 tentang Paten, Pasal. 75(2) and 76(1); Lihat juga: Committee of Experts on Restrictive Business Practices, 1972, Restrictive Business Practices Relating to Patents and Licences, OECD, p.6.121 UU NO.14 Tahun 2001 tentang Paten, Pasal 75 (2); Bandingkan dengan: PA 1990, s.133; Lihat juga: Committee of Experts on Restrictive Business Practices, 1972, ibid, pp.7-8; Yankey, G.S.A., 1987, International Patents and Technology Transfer to Less Developed Countries, Avebury, pp.71.122 UU NO.14 Tahun 2001 tentang Paten, Pasal. 8, 18. Lihat juga: Concept of national interest and social function at 345; 346123 UU NO.14 Tahun 2001 tentang Paten, Pasal, 74 – 86; Bandingkan dengan: PA 1990, s.133.124 UU NO.14 Tahun 2001 tentang Paten, Pasal. 87 - 96; Bandingkan dengan: PA 1990, ss.134-140125 UU NO.14 Tahun 2001 tentang Paten, Pasal. 75(3).126 UU NO.14 Tahun 2001 tentang Paten, Pasal. 76 (a) (i). 127 UU NO.14 Tahun 2001 tentang Paten, Pasal. 76 (a) (ii). 128 UU NO.14 Tahun 2001 tentang Paten, Pasal. 76 (a) (iii). 129 UU NO.14 Tahun 2001 tentang Paten, Pasal. 76 (1) (b).

27

Hayyanulhaq, 2004, Identifikasi & Eksploitasi Hasil Riset: Strategi dan Momentum Perlindungan Hukum

Tampaknya, beberapa Negara berkembang berharap memperoleh teknologi asing melalui lisnsi wajib130. Namun demikian, sekalipun lisensi wajib diyakini sebagai instrument utama untuk mengaktifkan paten yang tidak dilaksanakan, secara praktis, hal ini tidak dapat bekerja secara maksimal131. Bahkan lebih ekstrim, Yanke menyarankan, agar dinyatakan bahwa secara tekhnis, lisensi wajib merupakan suatu proses yang sangat sulit karena lisensing semata-mata tanpa mentransfer know how dari pemegang paten tidak dapat diharapkan menjadi efektif dan efesien132.

Selanjutnya, mengenai metode, secara teoritis, lisensi paten dapat dilaksanakan melalui beberapa cara: (i) exclusive133; (ii) non-exclusive; and (iii) license tunggal. Undang-undang Paten Indonesia mengklasifikasikannya ke dalam lisensi eksklusif dan non-eksklusif. Karakteristik dari paten yang dilisensikan itu

130 Expert Committe on RBP indicates that there is tendency of modern legislation to replace revocation of the patent by the grant of a compulsory license as the penalty for non-use. This provision is designed to oblige a foreign patentee to work his patent under penalty of revocation. Lihat: Committee of Expert on Restrictive Business Practices, 1972, Restrictive Business Practices Relating to Patents and Licenses, OECD, p.6.131 Berdasarkan hasil penelitian, Yankey menemukan bahwa penggunaan lisensi wajib di Negara-negara berkembang hampir tidak pernah ada. Lihat: Yankey, G.S.A., 1987, International Patents and Technology Transfer to Less Developed Countries, Avebury, p.75.132 Yankey found a limited numbers of compulsory license cases, that is less than 5 per country over the period of a decade. Therefore, He emphasis the importance of a certain level of technological shopistication of licensee countries in order to use a licensed knowledge effectively. Analogous to the point of indigenous research capabilities raised above, this is exactly what was often lacking, due to shortages of human capital etc. Lihat: Yankey, G.S., 1987; in Verspagen, B., 1999, p.19. 133 Secara normative, lisensi dikatakan eksklusif jika lisensor tidak menawarkan kepada orang lain teknologi yang dilisensikan. Di Amerika, lisensi eksklusif ini mengacu pada janji tambahan untuk mencegah lisensor memberikan atau membuat setiap perjanjian atau kontrak dengan pihak lain atau melaksanakan haknya sendiri. Begitu pula di Eropa, berdasarkan Commission Regulation 2349/84, perjanjian lisensi eksklusif ini, i.e. perjanjian yang didalamnya lisensor tidak mengeksploitasi “penemuan yang dilisensikan”; i.e. penemuan paten yang dilisensikan dan setiap know how yang dikomunikasikan kepada licensee. Chawtra, menyimpulkan bahwa dalam lisensi eksklusif, lisensor mengemban dua kewajiban. Pertama, lisensor tidak memberikan ijin pada pada orang lain. Kedua, licensor tidak mengeksploitasi paten itu sendiri dalam wilayah yang dimaksud dalam perjanjian lisensi patent tersebut. Lihat: McKeough, J. and Stewart, A., 1997, Intellectual Property in Australia, p. 505. Lihat juga: Lihat: Chawthra, B.I., 1986, Patent Licensing in Europe, 2nd edition, Butterworths, pp. 56, 70; Maulana, I.B., 1996, p.10

28

Hayyanulhaq, 2004, Identifikasi & Eksploitasi Hasil Riset: Strategi dan Momentum Perlindungan Hukum

berpengaruh dalam memutuskan apakah paten itu dilisensikan secara eksklusif134 atau non-eksklusif.135

4.4.5. Prinsip-prinsip Umum dalam Perjanjian Lisensi Dalam proses lisensi, ada beberapa petunjuk yang dapat

dipertimbangkan. Petunjuk tersebut diekstraksi dari pandangan umum tentang prinsip-prinsip hukum yang diredusir ke dalam factor-faktor yang paling sering terjadi dalam perjanjian lisensi. Prinsip tersebut merupakan cara praktis untuk mengatasi kesenjangan atau perbedaan kepentingan para pihak dan kepentingan publik. Serangkaian aturan telah dikembangkan dari analisis yang didasarkan atas prinsip-prinsip fundamental yang bersumber dari common law, dan diterapkan ke dalam kasus-kasus yang menafsirkan prinsip-prinsip normative yang selanjutnya dapat diterapkan dalam pelisensian HAKI136 -patent- seperti yang dirumuskan oleh Melville.137

134 Berdasarkan konsep diatas, tampaknya, lisensi eksklusif ini memungkinkan licensee mengontrol pengeksploitasian penemuan tersebut secara absolut. Penerima lisensi eksklusif ini dapat membuat perjanjian sub lisensi lainnya kepada pihak lain. Oleh karena itu, lisensi eksklusif mensyaratkan formalitas tertentu yang lengkap, dan setiap ketentuan kontraktual itu mengatur rincian pengaturan yang seharusnya ditujukan untuk mencapai kualitas standard dari kejelasan dan kepastian dalam merumuskan dan menentukan kewajiban yang saling menguntungkan bagi para pihak. Lisensi eksklusif ini seringkali digunakan jika lisensee menanggung biaya substantial, upaya dan resiko dalam mengeksploitasi teknologi yang dilisensikan. Lisensi demikian dapat mensyaratkan eksklusivitas untuk menjamin pemanfaatan teknologi yang dilisensikan. Sebaliknya, licensor seringkali mensyaratkan adanya jaminan pelaksanaan dari penerima license eksklusif ini. Jaminan tersebut biasanya dalam bentuk royalty minimal atau alterntifnya, suatu mekanisme dimana lisensor dapat menghentikan pelaksanaan lisensi tersebut. Lihat: McKeough, J. and Stewart, A., 1997, p. 505. Lihat juga: Ohio University, 1999, A Tutorial on Technology Transfer in U.S. Colleges and Universities’, in http://www.cogr.edu/techtransfertutorial.htm., p.10 of 22.; Martin Baker case, dalam Hayyan ul Haq, Technology Transfer in Patent Legal System, University of Technology Sydney.135 Dalam lisensi non-exclusive, lisensor dapat mempertahankan haknya untuk memberi lisensi dengan obyek dan area yang sama kepada licensee lainnya. Dalam lisensi ini, pemilik paten tidak membuat janji yang berkaitan dengan eksklusivitas dari dirinya, atau pihak ketiga. Dia mempertahankan kebebasannya untuk berkompetisi dengan lisensee, dan memberikan lisensi lainnya kepada pihak ketiga. Lisensi non-eksklusif ini biasanya sangat disukai jika penemuan itu merupakan alat atau perangkat penelitian, bermanfaat baik bagi kepentingan komersial maupun akademik, dan kemungkinan akses yang tinggi. Umumnya, lisensi non-exclusive diinginkan jika penemuan itu merupakan proses yang dapat diterapkan secara luas atau memiliki bukti kemanfaatan yang melekat pada teknologi tersebut, yang akan bermanfaat bagi banyak perusahaan.Lihat: McKeough, J. and Stewart, A., 1997, p. 505; Chawthra, B.I., 1986, p. 56. and Ohio University, 1999, p.11 of 22.136 Melville, L.W., 1972, Precedents on Intellectual Property and International Licensing, London, Sweet & Maxwell, p. 7-8; Lihat juga: Treaty of Rome, article 85; Appendixes, 2, 3, and 4.137Melville mengusulkan beberapa prinsip dalam lisensi paten: (i) the certainty on limits of subject matter, time and territory of the right; (ii) the right is limited to the

29

Hayyanulhaq, 2004, Identifikasi & Eksploitasi Hasil Riset: Strategi dan Momentum Perlindungan Hukum

4.6. Konstruksi Hukum Kontrak Lisensi Paten Interaksi antara HAKI dan aturan kontrak selalu menjadi

isu utama dalam mendistribusikan asset-aset HAKI di pasar terbuka. Interaksi tersebut merupakan titik sentral dan utama dalam mencapai kontrak yang seimbang. Kontrak sebagai instrument hukum untuk pengembangan dan pengeksploitasian asset-aset komersial dari informasi dan teknologi.

Dalam lisensi paten, tidak ketentuan umum tentang kontrak standar. Pembatasan pada kontrak dapat bersumber dari teori-teori hukum kontrak dan kebijakan public, termasuk beberapa kebijakan yang bersumber dari paten dan bidang HAKI lainnya. Pembatasan yang lehir dari doktrin HAKI dan kebijakan lain cenderung dititikberatkan pada penghapusan praktik persaingan curang. Konstruksi kontrak lisensi yang wajar sangat tergantung pada bagaimana keadaan ketika kontrak itu dibuat. Tidak hanya kata-kata atau aturan dan pasal-pasal dalam perjanjian,138 tetapi juga niat dari para pihak dan factor lain juga perlu dipertimbangkan oleh pengadilan139.

primary act of exploitation by the owner or his licensee; (iii) the owner may split the totality of his rights into horizontal or vertical divisions, or into divisions of time and area; (iv) improvements belong to the developer; (v) a licensor may not impose unwanted facilities on a licensee; (vi) a licensee may demand a competitive advantage; (vii) a licence shall not contain covetous obligations; (viii) the validity of the rights granted is universally fundamental; (ix) an undue concentration of related rights may convert a beneficial “monopoly” into an unacceptable one; (x) the justification of exclusivity is that there shall be made a reasonable offer to exploit the subject matter for the benefit of the relevant public; (xi) the impact upon foreign trade and domestic imports may justify protective provisions; (xii) royalties for use of an invention after patent has expired are unenforceable as the right is in the public domain. Lihat: Melville, L.W., 1972, Ibid., pp. 8-28; Bandingkan dengan: Treaty of Rome, article 85; and Lihat: Appendixes, 2, 3, and 4. 138 The construction of the license agreement is reflected into the words or provisions stipulated in the contract. Normally, they cover preamble, definitions, scope of license, language, duration and termination of contract, territory, parties’ obligation and rights, know-how, improvements, guarantee of results, purchase, installation and ownership of plant and equipment, exploitation of the market, quality standards, reports to licensor, confidentiality, assignment of rights and obligations, payment, royalty and other financial considerations, indemnities, force majeure, governing law, settlement of disputes. Those provisions of licensing patent are summarized from several contracts of patent license. Lihat: Melville, L.W., 1972, Precedents on Intellectual Property and International Licensing, London, Sweet & Maxwell; Anderson, Mark, 1996, ; Brookhart, Walter R., et al., 1980, Current International Legal Aspects of Licensing and Intellectual Property, American Bar Association; Commonwealth of Australia, 1984, Licensing Australian Technology Overseas, Australian Government Publishing Service, Canberra.139 Lihat: Anderson, Mark, 1996, , pp.285.

30

Hayyanulhaq, 2004, Identifikasi & Eksploitasi Hasil Riset: Strategi dan Momentum Perlindungan Hukum

4.5. Membuat Kontrak Lisensi: Pengkonstruksian Perlindungan Hukum

Salah satu cara yang dapat dilakukan dalam pengusahaan hasil-hasil riset, teknologi adalah pengalihan teknologi melalui linsensi. Hal ini dapat diwujudkan melalui pembuatan kontrak pengkomersialisasian teknologi atau alih teknologi140. Kontrak inilah yang menjadi dasar bagi para pihak dalam bertindak guna memenuhi hak dan kewajibannya masing-masing. Isi dari kontrak ini juga dapat berfungsi sebagai indicator dalam melakukan pelaksanaan, pengawasan, dan pengembangan tekonologi yang diperjanjikan. Hal yang terlebih penting lainnya adalah seluruh isi kontrak yang disepakati tersebut menjadi instrumen hukum yang paling kuat dalam melindungi kepentingan para pihak. Dengan demikian, pembuatan kontrak ini merupakan salah satu strategi yang digunakan dalam melindungi hasil-hasil riset dalam bentuk teknologi atau penemuan yang sudah dipatenkan.

Pembuatan kontrak guna mencapai kesepakatan dalam perjanjian alih teknologi –lisensi- dapat menjadi permasalahan yang sangat kompleks.141 Permasalahan pertama, terkait dengan kurangnya sumber informasi yang dapat diacu secara formal dan mengikat secara hukum tentang alih teknologi142. Tidak ada standar perjanjian alih teknologi yang dapat diterima secara internasional. Faktor-faktor tersebut telah mengakibatkan perjanjian alih teknologi sangat tergantung pada pada pengalaman dan keahlian negosiasi yang baik143 dari masing-masing individu. Namun demikian, terdapat masalah-masalah hukum yang perlu dicatat dalam membuat kontrak alih teknologi.

140 Kontrak ini serangkaian kegiatan yang disengaja untuk melahirkan hubungan hukum agi para pihak yang membuatnya. Upaya itu dimulai dari mempersiapkan, merancang, dan mengkonstruksi keinginan para pihak ke dalam suatu dokumen yang mengikat sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Keinginan tersebut dirumuskan dalam kategori-kategori hukum yang disebut hak dan kewajiban.141 The complex problems refer to a number of contractual issues, which may not arise when other types of personal property are transferred. For example: who may or must register the transaction; who is responsible for maintaining the patent in force (paying renewal fees); who may or must deal with infringes; who may or must deal with challenges to the patent (eg. applications for revocation); and (in the case of assignments particularly), who may sue in respect of infringements which occurred prior to the date of the assignment? Lihat: Anderson, Mark, 1996, , p.146. 142 Blakeney in preface of his book, signified some reasons of legal writers neglected the transfer of technology: (i) the subject does not fit into one of the existing categories legal scholarship. It combines elements of intellectual property law, competition law, international trade law and the law of international legal organisations; (ii) the subject straddles discipline economics, sociology and political science. Lihat: Blakeney, 1989, ibid.143 Braquene, Hans, 1996, Introduction to the Legal Aspects of The Transfer of Technology, in http://www.braquene.be/teksten/transfer_tech.html, p. 1 of 18.

31

Hayyanulhaq, 2004, Identifikasi & Eksploitasi Hasil Riset: Strategi dan Momentum Perlindungan Hukum

Masalah tersebut dapat diidentifikasi pada tiga tahapan: (i) Pra-Kontrak; (ii) Kontrak; (iii) Paska Kontrak.

4.5.1. Pra Kontrak : Persiapan Dalam tahap pra kontrak ini, para pihak dapat melakukan

persiapan untuk menjamin keberhasilan proses pengkomersialisasian hasil-hasil riset, teknologinya. Dalam konteks ini, para pihak dapat melakukan evaluasi atas teknologi dan aspek pengelolaannya (manajemen dan pemasaran), menilai dan memilih mitra yang potensial, mengidentifikasi pasar, mencermati masalah hukum dalam pengusahaan teknologi, dan lain sebagainya.

Dari sudut kepentingan lisensor, dalam pengeksploitasian teknologi, Mc Keough dan Stewart menegaskan pentingnya manajemen144 dan pemasaran teknologi145. Para pihak juga perlu mencermati potensi pasar yang belum terbukti, sebagai the most often challenging basic premise dalam kaitannya dengan invensi lisensor. Oleh karena itu, dalam upaya mengeliminasi resiko, lisensor perlu mengadopsi prinsip pengoptimasian146, pengayaan (enrichment)147 dan strategi pengamanan (safeguarding strategies)148 dalam mengelola teknologi, dan selanjutnya, pemasaran teknologi yang baik untuk mendapatkan licensees yang potensial149.

Sedangkan dari sudut kepentingan licensee, penilaian teknologi ini sangat penting artinya untuk memastikan atau menjamin keberhasilan dalam proses alih teknologi. Oleh karena itu, sebelum memasuki tahap negosiasi yang konkrit, licensee harus dapat menilai teknologi yang dilisensikan. Sayang sekali

144 Management of technology may include evaluating and obtaining technology, and preserving confidentiality of technical information. Lihat: McKeough, J. and Stewart, A, 1997, Ibid, p. 497.145 It has been estimated that up to 85 % of patents are not exploited due to lack of technical expertise sufficient - management - to use the information protected within the legal infrastructure. Lihat: McKeough, J. and Stewart, A, 1997, Intellectual Property in Australia, Butterworths, p. 497; Schlicher, J. W., 1996, p. 45. 146 Optimisation means making sure that ideas and inventions are fully investigated and not discarded without their potential being properly assessed. Lihat: McKeough, and Stewart, 1997, p.498.147 Enrichment involves fighting the obsolescence of all technology by its constant renewal and accurately assessing resources available in terms of personnel, infrastructure, plant, site, power and transport, thus being in position to identify needs and potential applications of existing technology. Lihat: McKeough, Jill and Stewart, A, 1997, Ibid, p. 498.148 Safeguarding refers to the appropriate utilisation of patent laws and keeping informed of all scientific and technological information, making sure it is available to everyone who may need it. Lihat: McKeough, Jill and Stewart, A, 1997, Ibid, p. 498.149 Traditionally, methods in marketing technology may cover advertising invention, publishing lists of technologies available for licensing, or using internet listing services, and so forth. Lihat: Ohio University, 1999, p.9 of 22.

32

Hayyanulhaq, 2004, Identifikasi & Eksploitasi Hasil Riset: Strategi dan Momentum Perlindungan Hukum

teknologi tersebut seringkali dilisensikan pada saat potensi pasarnya tidak dapat direalisasikan. Terkadang para pihak telah menyepakati terminology lisensi, bahkan sebelum teknologi tersebut dikembangkan. Kasus ini kerap muncul sebagai bagian dari perjanjian kerjasama penelitian150.

Selain itu, para pihak tidak selalu terlibat dalam analisis yang rinci ketika menentukan harga yang harus dibayar untuk teknologi, khususnya teknologi tahap awal. Mereka juga kerap membuat putusan berdasarkan intuisinya, dan penilaian terhadap apa yang dikehendaki oleh pihak lain dalam negosiasi. Akibatnya, para pihak sering menemukan gap awal antara harapan dan fakta yang berkaitan dengan keuangan151. Oleh karena itu, adalah penting untuk mengidentifikasi beberapa factor yang mempengaruhi harga teknologi tersebut152.

Selain masalah tekhnis, diatas, masalah yang tidak kalah krusialnya adalah masalah hukum dalam tahap pra kotrak lisensi. Masalah ini berkaitan dengan permasalahan tekhnis ketika menegosiasikan dan menyepakati terminology-terminologi yang digunakan dalam kontrak alih teknologi. Penegosiasian dan perancangan proses tersebut harus diarahkan pada pengharmonisasian tujuan komersial dari lisensor dan tujuan pengembangan teknologi penerima lisensi153. Dalam tahap ini,

150 Anderson, Mark, 1996, p.379. Lihat juga: Bloxam, George, 1972, Licensing Rights in Technology: A Legal Guide to Managers in Negotiation, Grower Press, pp. 163-196.151 Mark Anderson signified some useful factors that can be used to evaluate the technology: (i) how strong the commitment of each party who wants to the deal?; (ii) how well proven is the technology?; how new is the technology?; the anticipated life of the technology; and how great contribution the technology makes to improving the product?; (iii) how much capital investment is required to make use of the technology?; (iv) to what extent will the licensor assist the licensee to make use of the technology?; (v) to what extent the technology increases the profits or volume of the sale?; (vi) how strong are any patents owned by the licensor in relation to the technology?, and whether either party has the resources to enforce these rights, by litigation or otherwise; (vii) to what extent third parties own rights which may impede the use of the technology; (viii) can the licensed products be sold through existing outlets or as part of an existing product range, or will a new sales network be required?; (ix) the nature of the rights granted, including degree exclusivity, territory, field; improvements and whether these are covered by the agreements; (x) the cost and time scale for acquiring or developing alternative technologies. Lihat: Anderson, Mark, 1996, pp.378-379. Lihat juga: Schlicher, John W., 1996, p. 45; Melville, L.W. 1965, Precedents on Industrial Property and Commercial Chooses in Action, Sweet and Maxwell, p.137.152 Upaya indentifikasi dapat dilakukan melalui penelusuran literature dan dokumen patent, seringkali dengan bantuan librarian yang profesional, dan kadang dengan mengkonsultasikannya pada pengacara paten untuk mendapat patentability opinion berdasarkan hasil penelusuran pengacara paten dari berbagai sumber. Lihat: Anderson, Mark, 1996, p.379. dalam Hayyan ul Haq, 2001, Technology Transfer in Patent Legal System, UTS, Sydney. 153 Goldsheider, 1980, ‘International Licensing Agreements Involving Developing Countries’, in Finnegan and Goldsheider, p.520.33, in Blakeney, Michael, 1989, pp.34-

33

Hayyanulhaq, 2004, Identifikasi & Eksploitasi Hasil Riset: Strategi dan Momentum Perlindungan Hukum

perbedaan para pihak yang terlibat dalam kontrak tersebut harus saling mengenal dan mengetahui satu sama lainnya. Mereka harus dapat mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan yang ditawarkan melalui kerjasama dan mereka harus dapat mencapai kesepakatan mengenai hak yang seimbang antara keinginan masing-masing pihak.

Secara praktis, Schlicher mengidentifikasi beberapa factor yang mempengaruhi negosiasi dalam kontrak lisensi: (i) permasalahan penawaran; (ii) alternative teknologi yang tersedia bagi penerima lisensi yang potensial; (iii) biaya transaksi lisensi154; (iv) masalah litigasi yang berkaitan dengan pelanggaran; dan (v) beberapa sumber resiko155. Kompleksitas dalam menegosiasikan kontrak alih teknologi156 mensyaratkan para pihak untuk mempertimbangkan factor-faktor diatas, dan merancangnya serta mengkonstruksinya ke dalam kontrak secara hati-hati. Hal ini penting, karena perjanjian lisensi memuat hubungan yang terus menerus dan timbale balik antara lisensor dan lisensi. Untuk alasan tersebut, adalah penting untuk menelusuri kecocokan dan komitmen para pihak yang berkontrak dalam mengeksploitasi teknologi. Selain itu, obyek hubungan tersebut harus diidentifikasi secara jelas157.

Hasil negosiasi tesebut biasanya dibadankan ke dalam sebuah dokumen memorandum of understanding (MoU)158. Sekalipun para pihak belum terikat oleh kewajiban formal, dokumen tersebut dapat memberikan informasi yang signifikan dalam membuat kontrak. Biasanya, klausula dalam memorandum of understanding tidak jauh berbeda dengan dengan klausula-klausula yang disepakatai dalam hasil akhir perjanjian yang ditandatangani159. Selain itu, nilai dari dokumen MoU sudah tentu

35. Lihat juga: Bloxam, G., 1972, Licensing Right in Technology: A Legal Guide to Managers in Negotiation, Gower Press, p.29.154 The transaction cost are the cost of gathering information about contract opportunities, preparing, negotiating and determining terms and form of contract, monitoring performance, and enforcing agreements. Lihat: Schlicher, John W., 1996, p. 12.155 Schlicher, John W., 1996, pp. 39-56: Lihat juga: Anderson, Mark, 1996, p.379; Chen, Min, 1996, Managing International Technology Transfer, International Thomson Business Press, p.163.156 Anderson, M., 1996, p.146; Lihat juga: Braquene, Hans, 1996, Introduction to the Legal Aspects of The Transfer of Technology, in http://www.braquene.be/teksten/transfer_tech.html, p. 2 of 18.157 McKeough and Stewart emphasizes this aspect by citing Niklasson, ”Arrangement for Acquisition of Technology---Implication for Business Strategy”, WIPO Regional Seminar on Licensing and Other Technology Transfer Arrangements, Seoul, 1987, p.21 in McKeough, J. and Stewart, A., 1997, p.504.158 Beberapa kontrak diekspresikan dalam Memorandum of Understanding dengan nama letter of intent, atau letter of understanding.159 Sebagai contoh, para pihak telah menyepakati cara teknologi ditransfer pada pasar atau pada definisi dari studi tahap pertama. Hal ini mencakup the letter of intent.

34

Hayyanulhaq, 2004, Identifikasi & Eksploitasi Hasil Riset: Strategi dan Momentum Perlindungan Hukum

lebih memiliki muatan moral dan komersial daripada muatan hukum160.

Umumnya, beberapa isu yang dibahas dalam negosiasi tersebut mencakup (i) identifikasi obyek dan subyek dari perjanjian, ruang lingkup lisensi, royalty, perpajakan, implied licence, jangka waktu dan berakhirnya kontrak, ketentuan pembatasan praktek persaingan curang yang berkaitan dengan lisensi, dan penyelesaian sengketa.

4.5.1.1. Pengidentifikasian Subyek dan Obyek Validitas kontrak tergantung pada kejelasan baik subyek

maupun obyek dari perjanjian lisensi. Di Indonesia, sumber hukum tersebut dapat ditemukan dalam pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang mengatur persyaratan subyektif dan obyektif161. Secara tekhnis, subyek dalam perjanjian lisensi ini dapat berupa lembaga, termasuk Negara, perusahaan, dan departemen tertentu, atu perorangan. Sedangkan obyek dalam perjanjian lisensi ini adalah hasil-hasil riset yang teknologi yang dipatenkan.

Dalam upaya melindungi kepentingan bisnis lisensor, sekaligus menjamin keberhasilan alih teknologi, para pihak perlu mengidentifikasi dan menentukan mitra (penerima lisensi) yang berkualitas dan potensial. Sebelum memulai upaya serius apapun dalam negosiasi, penerima lisensi yang potensial harus menunjukkan bahwa ia memiliki kemampuan tekhnis, kemampuan financial, dan kemampuan pemasaran dalam mengembangkan penemuan ke dalam produk atau jasa dan membawanya ke pasar162, disamping status, posisi, dan fasilitas. Secara praktis, adalah tidak mudah untuk menemukan dan mencari tahu mitra yang berkualitas dan potensial tersebut163.

Selanjutnya, dengan mempertimbangkan kemampuan tekhnis dan keuangan kandidat dalam mengembangkan dan memasarkan teknologi164, lisensor akan membuat penilaian yang berkaitan dengan prospek yang lebih baik dari lisensi. Seharusnya

160Sanksi moral dapat menjadi lebih efektif dari sanksi lain. Konsekwensi moral tidak saja mengakibatkan kehilangan klien yang potensial tetapi juga nama baik. Lihat: Braquene, H., 1996, Introduction to the Legal Aspects of The Transfer of Technology, in http://www.braquene.be/teksten/transfer_tech.html, p.5 of 18.161 Persayaratan subyektif mencakup (i) kesepakatan para pihak, (ii) kapasitas atau kecakapan para pihak. Sedangkan persyaratan obyektif mencakup : (iii) obyek tertentu; dan (iv) suatu sebab yang halal.162 Ohio University, 1999, p.10 of 22.163 Normally, finding potential licensee takes 1 to 2 years. The difficulties at this stage being the acquisition of satisfactory information about the licensee’s business. Lihat: Hawthorne, Edward, 1970, The Transfer of Technology, Organisation for Economic Co-operation Devellopment, p.52. 164Commonwealth of Australia, 1984, Licensing Australian Technology Overseas, Australian Government Publishing Service, Canberra, p.8.

35

Hayyanulhaq, 2004, Identifikasi & Eksploitasi Hasil Riset: Strategi dan Momentum Perlindungan Hukum

dicatat bahwa motivasi dan komitmen yang kuat dari penerima lisensi untuk mengkomersialisasikan teknologi lebih penting daripada ukuran –besar atau kecil- perusahaan penerima lisensi165. Sebaliknya, dari sudut kepentingan penerima lisensi, adalah penting untuk mengidentifikasi teknologi yang potensial yang akan dilisensikan.

4.5.1.2. Ruang Lingkup Pengkomersialisasian Teknologi melalui Lisensi

Ruang lingkup lisensi membentuk keluasan hak yang diberikan pada para pihak yang berkontrak – licensor dan licensee. Secara lebih spesifik, pembatasan ruang lingkup lisensi akan berdampak terhadap klusula lain dari perjanjian, termasuk royalty, peningkatan, non-competition clauses, hak untuk menentukan pengkhiran kontrak lebih awal, ganti rugi, jaminan dan perwakilan, dan lain sebagainya166.

Ada beberapa indicator yang dapat digunakan untuk menentukan ruang lingkup lisensi paten: (1) konsep, dan keluasan hak eksklusif, (2) metode lisensi paten; dan (3) criteria dari isu atau masalah yang dapat dipatenkan. Indicator 1 and 2 akan membentuk otoritas dan kompetensi para pihak, sedangkan yang ke-3 akan menentukan ruang lingkup dari lisensi paten.

4.5.1.3. Implied Lisence dalam Perjanjian Lisensi Dalam kontrak lisensi, ada kesepakatan yang kadang-

kadang tidak dibadankan dalam bentuk kontrak, tetapi tindakan tertentu harus dilakukan karena ia melekat pada produk atau teknologi yang dilisensikan. Biasanya, pengeksploitasian barang-barang yang dipatenkan oleh pembeli atau licensor dikonstruksi ke dalam (embodied) “implied licence” kecuali inventor menentukan pembatasan khusus167. Tampaknya, “the implied licence” berasal dari konsep hak eksklusif pemegang paten. Tampaknya implied licence cenderung melindungi kepentingan licensor. Secara praktik, licensee kerap menentang pemuatan kewajiban demikian dalam perjanjian, atas dasar bahwa lisensor menerapkan kewajiban yang berat bagi lisensee168.

Dalam implied licence, perjanjian kerap memasukkan kewajiban pada lisensee untuk menggunakan upayanya yang terbaik dalam melakukan sesuatu, seperti memaksimalkan

165 Ohio University, 1999, p.10 of 22.166 Bereskin, Daniel R., and Wiebe, Justine, 1991, “Licensing: Defining A Relationship, in http://www.bereskinparr.com/art-html/Licensing.html., p. 4 of 10.167 Incandescent Gas Light Co. v. Cantelo, (1895) 12 RPC 262 and National Phonograph Company of Australia Ltd. v. Menck (1911) AC 336 168 Lihat: Anderson, Mark, 1996, , pp.299.

36

Hayyanulhaq, 2004, Identifikasi & Eksploitasi Hasil Riset: Strategi dan Momentum Perlindungan Hukum

penjualan dari produk yang dilisensikan169. Perjanjian tersebut juga dapat memuat klausula yang mensyaratkan lisensi untuk menggunakan ‘all diligence’170 guna meningkatkan penjualan atas invensi dan menggunakan segala upaya terbaiknya ‘best endeavours’ untuk mengeksploitasinya171.

4.5.1.4. Pembayaran: Royalty dan Pertimbangan Finansial Persoalan keuangan dalam perjanjian lisensi ini

mengharuskan adanya keseimbangan antara resiko dan reward. Pembayaran tersebut dapat berupa ikatan timbale balik172; lump sum173; service fees; equity interest or royalty. Tingkat royalty tidak ditentukan oleh undang-undang, ia merupakan kewajiban licensee atas dasar hubungan kontraktual, dan prinsip keseimbangan174.

4.5.1.5. Terminologi Tambahan: Arbitrasi dan Ganti RugiPerjanjian lisensi eksklusif juga secara khusus biasanya

memuat klausula yang menentukan siapa pihak yang akan melakukan penyelesaian atau penuntutan terhadap paten yang dilanggar. Selain itu, sebagian besar perjanjian lisensi memuat

169 Lihat: Ricketson, S. and Richardson, M., 1998, p. 754. Lihat juga: Anderson, Mark, 1996,, pp.299.170 The diligence provision is important part of any licence negotiation. In detail, the diligence requirements may include, for example, specifying the number of people assigned to develop the invention within the company, the amount of funding a people assigned to develop the invention within the company, the amount of funding a company will commit to development, or in the case of small company the amount of products is sufficiently predictable at the same time of licensing, the diligence provisions may specify a date by which a working prototype of the product is made, a date by which the commercial product must be sold, and sales levels that must be achieved by certain dates. Lihat: Ohio University, 1999, p.11 of 22.171 Lihat: Anderson, Mark, 1996, , pp.299.172 This type of payment is relatively uncommon. They can be valuable where two firms of a similar level of technical competence wish to co-operate in technical exchange. Lihat: Commonwealth of Australia, 1984, Licensing Australian Technology Overseas, Australian Government Publishing Service, Canberra, p.19.173 Lump sum payment is once only payment in a simple sale of technology. Usually this type is charged for any of the following reasons: (i) to help cover the cost of preparing the technological package; (ii) to cover the cost of preparing drawings, plans, and operating manuals; (iii) the cost of administering an agreement including any special condition that may apply within a country (strikes, labour laws, transport problems and so on). Lihat: Commonwealth of Australia, 1984, Licensing Australian Technology Overseas, Australian Government Publishing Service, Canberra, p.19.174 Royalti dapat juga ditetapkan dalam persentase penjualan dari produk atau jasa yang dikover oleh paten tersebut. Tingkat royalty tergantung pada beberapa faktor, seperti profitability (margin) dari kelompok produk yang dikover patent tersebut; ukuran pasar; tahap pengembangan teknologi ketika dilisensikan; apakah produk tersebut termasuk produk yang diproduksi oleh paten yang dimiliki oleh pihak lain; apakah lisensor teknologi merupakan factor kunci dalam pengembangan teknologi atau hanya sekadar komponen minor. Lihat: Ohio University, 1999, p.12 of 22.

37

Hayyanulhaq, 2004, Identifikasi & Eksploitasi Hasil Riset: Strategi dan Momentum Perlindungan Hukum

klausula yang berkaitan dengan bagaimana kerugian atau ganti rugi tersebut akan didistribusikan175; siapa yang akan bertanggungjawab dalam melindungi dan memelihara patent yang dilisensikan; bagaimana proses hukum dan administrasi dalam menangani sengketa para pihak176 dan ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan force majeure177.

4.5.2. Kontrak: Dasar Hukum bagi Hak dan Kewajiban Para Pihak

Penandatanganan kontrak ini merupakan momentum lahirnya hubungan hukum diantara para pihak. Pada prinsipnya, hukum yang berkaitan dengan transaksi HAKI –paten- sama dengan transaksi personal property lainnya yang didasarkan atas prinsip-prinsip hukum kontrak. Namun demikian, kontrak yang dibuat tersebut harus sesuai atau tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang yang berlaku178. Sebagai contoh, berdasarkan UU Paten Indonesia, kontrak tersebut tidak boleh merugikan perekonomian Indonesia atau menghambat pengembangan teknologi179. Oleh karena itu, untuk memudahkan pengawasan, maka kontrak tersebut harus : (i) daftarkan pada Kantor Paten dan (ii) dicatat di Direktorat Jenderal HAKI180 dengan membayar biaya pemeliharaan181.

Kontrak merupakan dasar hubungan hukum yang melahirkan hak dan kewajiban bagi para pihak. Oleh karena itu, ia merupakan kehendak yang dibadankan dalam kontrak tertulis182 atas dasar praktik bisnis yang wajar dan prinsip keseimbangan dalam upaya menjamin kerjasama yang saling menguntungkan.

Namun demikian, beberapa lisensor dapat berupaya mengembangkan hak paten mereka dengan jalan memasukkan klausula-klausula tertentu dlam perjanjian tersebut. Di Indonesia, upaya tersebut dilarang berdasarkan pasal 71(1) UU Paten, yang secara tegas mengecualikan setiap tindakan yang dapat merusak atau menghambat perekonomian Indonesia. Sayang sekali

175 Indemnities clausule is aimed at protecting both parties -licensor and licensee - against mistakes or circumstances which could cause difficulties to the other or third parties. Lihat: McKeough and Stewart, op.cit., p. 510.176 Lihat: Bloxam, George, 1972, Licensing Rights in Technology, Grower Press, pp. 142-160; Lihat juga: Ohio University, 1999, Ibid.177 Force majeure refers to an unforeseeable and irresistible event that renders an obligation impossible to perform. 178 Seperti UU Paten, Undang-undang Anti Persaingan Curang, Undang-undang No. 18 Tahun 2002 dan lain-lain.179 UU NO.14 Tahun 2001 tentang Paten, Pasal. 71 180 UU NO.14 Tahun 2001 tentang Paten, Pasal. 72 (2).181 UU NO.14 Tahun 2001 tentang Paten, Pasal. 72 (1).182 S. 14(1), PA 1990; Bandingkan dengan: Pasal.66(1)(d) and 66(3), UU NO.14 Tahun 2001 tentang Paten.

38

Hayyanulhaq, 2004, Identifikasi & Eksploitasi Hasil Riset: Strategi dan Momentum Perlindungan Hukum

ketentuan ini tidak digambarkan secara rinci, seperti di Negara-negara lain, misalnya Australia183, Jepang, Amerika dannegara maju lainnya.

Dalam perjanjian lisensi, para pihak harus mengindahkan prinsip-prinsip hukum umum agar dapat menjamin kompetisi yang jujur, fair. Petunjuk umum mengenai hal ini dapat diperoleh dari karya-karya Melville184 atau rumusan Pugwash185 atau UNCTAD, Bagian 4186. Prinsip umum tersebut dibadankan dalam beberapa ketentuan yang membatasi praktik bisnis tertentu.

Pembatasan praktek bisnis ini dapat bervariasi, beberapa tipe utamanya, antara lain: (i) klausula mengikat (tying clause)187 –termasuk tie in188, dan tie-out189-; (ii) price fixing190; (iii) package

183 Di Australia, instrument utamadari peraturan pembatasan praktek bisnis ini adalah the Trade Practice Act 1974 (Cth). Fungsi undang-undang tersebut adalah untuk mendorong dan memelihara kompetisi yang baik (workable competition), meningkatkan perlindungan terhadap kepentingan pengusaha kecil, dan mendorong efesiensi ekonomi melalui rasionalisasi dan restrukturisasi industri dengan mempertimbangkan kompetisi internasional.184 Lihat: Melville, L.W. who formulated General Principles in Licensing Patent in 3.6. of this project.185 Pugwash Code of Conduct of Technology Transfer is submitted to the report of the Working Group for Technology Transfer at Pugwash Conference held in Geneva, Switzerland, April 1974. It attempts to define clauses and practices which should be prohibited and guarantees which should be made to ensure equity in the transfer of technology to the developing countries. Lihat: Finnegan, Marcus B., “A Code of Conduct Regulating International Technology Transfer: Panacea or Pitfall” in Brookhart, Walter R., et.al., 1980, Current International Legal Aspects of Licensing and Intellectual Property, American Bar Association, pp.43-44.186 UNCTAD Document TD/CODE TOT/47 (1985) in Blakeney, 1989, Legal Aspect of the Trasfer of Technology to Developing Countries, ESC Publishing Limited, pp. 35-42.187 Larangan klausula mengikat ini mencakup: (i) kontrak untuk menyuplai produk yang dipatenkan; (ii) lisensi untuk mengerjakan invensi yang dipatenkan. Klausula ini digunakan licensor untuk membatasi kebebasan licensee dalam berkompetisi. Klausula ini merupakan klausula yang tidak dapat dibenarkan secara hukum, dan banyak ditentang oleh wakil-wakil dari perusahaan-perusahaan di negara berkembang. 188 Tie in clauses are clauses and/or practices restricting the source of supply of raw materials, spare parts, intermediate products and capital goods for use with the licensed technology only from licensor or its designee generally should not be included in licensing agreement. Lihat: UNCTAD draft International Code on Transfer of Technology, Chapter 4.189 While, tie-out clauses are restriction in obtaining or complementary technology through patents and know how from other licensors with regard to the sale or manufacture of competing products. Lihat: Pugwash Code, ch. III, para. 4 (iv) in Finnegan, Marcus B., p. 56190 Price fixing memuat kluasula dan atau praktik dimana supplier teknologi diberi hak untuk menentukan harga jual dari produk yang dibuat, dan biaya pemeliharaan. Dalam hal ini, competitor sepakat menjaga harga standar dalam upaya mempengaruhi harga kompetisi. Sekalipun lisensor dapat mempengaruhi harga jual melalui royalty yang wajibkannya, ia seharusnya tidak melakukan pematokan harga. Price fixing dapat dipraktikan oleh lisensor melalui penjualan dan penjualan kembali produk yang dilisensikan atau dibuat dengan menggunakan teknologi yang

39

Hayyanulhaq, 2004, Identifikasi & Eksploitasi Hasil Riset: Strategi dan Momentum Perlindungan Hukum

licensing191, (iv) field of use restrictions192and territorial exclusivisity; (v) grant-back provisions193; (vi) limitations on transferee with respect to research and development, klausula pengontrolan kualitas, penjualan eksklusif atau perjanjian representation, pembatasan volume produksi, pembatasan ekspor194, dan pembatasan lainnya.195

dilisensikan. Price fixing dapat menjadi perilaku anti kompetisi yang sehat. Oleh karena itu ia harus dicegah. Lihat: Pugwash Code, ch. III, para. 4 (viii) in Finnegan, Marcus B., p. 57. Lihat juga: UNCTAD draft International Code on Transfer of Technology, Chapter 4, UNCTAD Document TD/CODE TOT/47 (1985). Lihat juga: Ss. 45, 45B of TPA 1974; Lihat juga: Radio 2 UE Sydney Pty Ltd v. Stereo FM Pty Ltd (1983) 68 FLR 70; TPC v Australian Autoglass Pty Ltd. (1988) ATPR 40-881. For further detail on the various forms of resale price maintenance. Lihat: TPA 1974, ss.96 (3) (a-f)191 Praktik lain yang sama dengan price fixing ini adalah packaged licensing. Package licensing didefinisikan sebagai “clauses and/ or practices yang mensyaratkan penerimaan teknologi tambahan yang tidak dikehendaki oleh penerima teknologi, karena kondisi untuk mendapatkan teknologi, dan keperluan mendapatkan pembayaran tambahan untuk teknologi tambahan. Praktik package licensing ini berkaitan dengan pelisensian semua peten yang dimiliki dalam bidang tertentu dan penolakan untuk memberikan lisensi jika tidak secara keseluruhan. Jelaslah, bahwa lisensor mengeksploitasi posisi yang dominant dan memaksakan lisensee untuk menerima lisensi melebihi dari apa yang dibutuhkan. Lihat: Pugwash Code, ch. III, para. 4 (iv) in Finnegan, Marcus B., p. 54. Lihat juga: Committee of Experts on Restrictive Business Practices, 1972, Restrictive Business Practices Relating to Patents and Licenses, OECD, p.15.192 Field use restriction diterapkan dengan mendefine bidang-bidang tekhnis yang didalamnya lisensee dapat beroperasi. Dalam hal ini, licensor dapat membatasi kompetisi terhadap licensee atau licensee lainnya. Penggunaan klausula ini juga dapat mengacu pada wilayah geografis dan menentukan wialayah yang didalamnya licensee dapat menggunakan teknologi. Dalam kasus tertentu, penerapan klausula ini secara terbatas dimungkinkan, sepanjang ia digunakan untuk memelihara kualitas produk dalam wilayah tertentu. Lihat: McKeough, J., and Stewart, A., 1997, p. 505. Lihat juga: Colgate-Palmolive Ltd. v Markwell Finance Ltd, (1989), RPC 497. In the case, a US parent company had licensees manufacturing toothpaste in Brazil and the UK and was forced to take action to prevent parallel importation of the Brazilian product into Britain. Lihat: McKeough, and Stewart, Ibid.193 Klausula grant back ini mengharuskan lisensee mengembalikan kembali kepada lisensor inovasi atau hasil peningkatakan dan pengembangan teknologi selama masa pelaksanaan lisensi paten. Lihat: Committee of Experts on Restrictive Business Practices, 1972, Restrictive Business Practices Relating to Patents and Licenses, OECD, p.14. Lihat juga: UNCTAD draft International Code on Transfer of Technology, Chapter 4, UNTAD Document TD/CODE TOT/47 (1985).194 Klausula-klausula yang berkaitan dengan kontrak penjualan, seperti penjualan atau perwakilan, pembatasan volume produksi, dan pembatasan eksport ini kerap dimasukkan ke dalam perjanjian lisensi yang mewajibkan lisensee mengambil barang dari pemegang patennya atau yang ditunjuk. Pada prinsipnya,klausula ini dapat dibenarkan sepanjang, karena alas an tekhnis, ia ditujukan untuk menjamin kualitas dari barang yang diproduksi berdasarkan perjanjian lisensi. Lihat: UNCTAD draft

40

Hayyanulhaq, 2004, Identifikasi & Eksploitasi Hasil Riset: Strategi dan Momentum Perlindungan Hukum

4.5.3. Paska Kontrak: Pelaksanaan, Pengawasan dan Pengembangan

Perlindungan hukum terhadap hasil-hasil riset pada tahap paska kontrak ini dapat dilakukan melalui pelaksanaan, pengawasan dan pengembangan. Dalam tahap ini, perldingunan hukum memerlukan peran struktur hukum dalam mengelola paten, seperti pemerintah, dan aparat patent, aparat hukum, polisi, jaksa dan hakim, bahkan para pihak yang terlibat dalam kontrak. Aparat hukum memainkan peranan yang signifikan dalam memelihara dan mengembangkan kontrak lisensi. Dengan demikian, adalah penting untuk memahami kebijakan pemerintah dalam paska kontrak.

Undang-undang paten memiliki instrument untuk mengontrol terminology-terminologi atau aspirasi para pihak yang dirumuskan dalam kontrak lisensi dengan alasan perlindungan kepentingan publik196. UU Paten mengintrodusir sejumlah indicator untuk mengontrol lisensi paten, seperti revokasi, atau pembatalan patent, dan lisensi wajib. Di Indonesia, indicator tersebut didasarkan atas kepentingan public, pertahanan, keamanan, kesehatan dan makanan197.

Lebih jauh, dalam upaya memberikan perlindungan terhadap dan pengawasan yang efektif, UU Paten mengharuskan agar setiap perjanjian lisensi dicatat pada kantor Paten198. Di Indonesia, perjanjian lisensi ini tidak berpengaruh pada pihak ketiga, kecuali ia didaftarkan pada Direktorat Jenderal HAKI dan dicatat dalam buku Patent199 dengan membayar sejumlah biaya200.

International Code on Transfer of Technology, Chapter 4, UNTAD Document TD/CODE TOT/47 (1985).195 Pembatasan lain yang kerap dimasukkan ke dalam perjanjian antara lain, pembayaran royalty minimum /persyaratan kuantitas, post termination restrictions, sub licensing restrictions, klausula non-kompetisi, full or third line forcing and leveraging. Lihat: Trade Practice Commission, 1991, “Application of the Trade Practice Act to Intellectual Property”, background paper.196 s. 144(1) of PA 1990; Bandingkan dengan Pasal. 8, 17(3), 18. UU NO.14 Tahun 2001 tentang Paten. 197 Lihat: Konsep Kepentingan Nasional dan Fungsi Sosial. UU NO. 14 Tahun 2001 tantang Paten, Pasal. 8, 18. Lebih jauh, jika dibandingkan dengan Australia misalnya, hal sdemikian tidak diatur secara eksplisit, akan tetapi baik UU Paten Australia (PA 1990), dan UU Anti Monopoli Australia melarang praktik bisnis tertentu sekaligus memaksakan kewajiban positif untuk mencegah penggunaan hak yang bertentangan dengan kepentingan publik.198 Pasal. 72(2), UU NO.14 Tahun 2001 tentang Paten; Bandingkan dengan: S. 187, PA 1990: “Particulars of patents in force, and other prescribed particulars’ relating to patents are required to be registered”. The “prescribe particulars” include entitlements of mortgagees, licensees and other interests in patent; transfer of interest. Lihat: reg. 19.1(1) in Ricketson and Richardson, p. 753.199 Pasal. 72(2), UU NO.14 Tahun 2001 tentang Paten; Bandingkan dengan: PA 1990 (Cth) s.189, 195, 196 concerning Effect no recording license. 200 Pasal. 72(1), UU NO.14 Tahun 2001 tentang Paten

41

Hayyanulhaq, 2004, Identifikasi & Eksploitasi Hasil Riset: Strategi dan Momentum Perlindungan Hukum

Sayang sekali, hingga saat ini, Indonesia belum memiliki aturan yang lengkap dan detail tentang prosedur pendaftaran perjanjian lisensi201.

5. PenutupStrategi dalam melindungi hasil-hasil riset secara optimal,

terkait dengan momentum, atau saat kita harus melindungi hasil-hasil penelitian. Pertimbangan strategi dan momentum ini dapat dibadankan dalam tiga tiga tahapan perlindungan hukum, yaitu: (i) tahapan pra riset, (ii) tahapan saat pelaksanaan riset, dan (iii) tahapan paska riset.

Tahapan perlindungan hukum dalam tahapan pra riset dapat dilakukan melalui pengelolaan aktifitas penelitian, dalam bentuk : (i) membuat rencana aktifitas, tujuan dan strategi penelitian; (ii) menjaga dan memperbaharui validasi strategi dan tujuan penelitian yang bersangkutan; (iii) mengklarifikasi status kepemilikan hukum hasil penelitian, dan menjaga kondisi untuk pengamanan perlindungan hasil.

Kemudain, tahapan perlindungan hukum dalam tahapan ketika riset sedang dilaksanakan, dapat dilakukan dengan jalan menentukan (i) rencana kegiatan perlindungan hasil penelitian; (ii) mengevaluasi nilai aset kekayaan intelektual untuk menentukan jenis dan cakupan perlindungan; (iii) memilih jenis perlindungan yang paling menguntungkan secara bisnis; (iv) mengamankan hasil penelitian tersebut dengan memintakan perlindungannya; (iv) melakukan perlindungan atas ide berikutnya, dan (v) melakukan perlindungan di luar negeri/wilayah target pemasaran.

Selanjutnya, tahapan pemanfaatan dan perlindungan hukum hasil-hasil riset dalam tahapan pra-riset dapat dilakukan melalui pengeksploitasian202; dan (ii) pemeliharaan dan penegakkan perlindungan hukum bagi hasil-hasil riset203.

Pengekploitasian, pemeliharaan dan penegakkan hukum bagi hasil-hasil riset ini, dapat memanfaatkan beberapa instrumen

201 The registration and recording of a licensing agreement may be further regulated by Government Regulation. Lihat: UU NO.14 Tahun 2001 tentang Paten, Pasal. 72(3) and 73202 Pengeksploitasian hasil-hasil riset yang sudah dilindungi, dapat dilakukan melalui pengevaluasian nilai riil dari aset tersebut melalui technological assessment, termasuk juga di dalamnya pembuatan business plan dan feasible study, sehingga hasil penelitian tersebut siap untuk diimplementasikan sendiri ataupun diberikan kepada orang lain pelaksanaannya melalui lisensi atau bentuk pengalihan lain yang paling sesuai dan menguntungkan bagi teknologi yang bersangkutan.203 Pemeliharaan dan penegakkan perlindungan hasil-hasil riset dapat dilakukan melalui pemantauan atas pelanggaran yang dilakukan oleh pihak yang tidak berhak (infringement watch) dan sekaligus melakukan penegakan hukum atas kekayaan intelektual dari percobaan pelanggaran, apakah melalui gugatan ataupun pengaduan ke pihak yang berwenang.

42

Hayyanulhaq, 2004, Identifikasi & Eksploitasi Hasil Riset: Strategi dan Momentum Perlindungan Hukum

hukum, baik yang bersumber dari ketentuan normative (UU Paten) dan kontrak. Dalam pemanfaatan ketentuan normative, ini, para peneliti, inventor dan pemegang paten dapat menggunakan pasal-pasal yang mengatur tentang pendaftaran, pengeksploitasian –lisensi-, dan pembatalan. Selanjutnya, dalam pemanfaatan instrument kontrak, peneliti, inventor, dan pemegang paten dapat mencermati isu-isu hukum yang muncul, baik pada tahap pra kontrak, kontrak, dan paska kontrak. Pada tahap pra kontrak, isu hukum tersebut berkaitan dengan pengidentifikasian legalitas atau validitas obyek dan subyek dari perjanjian lisensi. Pada tahap pra kontrak, para pihak yang berkepentingan perlu mencermati isi kontrak yang akan diperjanjikan, terutama yang berkaitan dengan praktik pembatasan dalam kegiatan bisnis, seperti (i) klausula mengikat (tying clause) –termasuk tie in, dan tie-out-; (ii) price fixing; (iii) package licensing, (iv) field of use restrictionsand territorial exclusivisity; (v) grant-back provisions; (vi) limitations on transferee with respect to research and development, klausula pengontrolan kualitas, penjualan eksklusif atau perjanjian representation, pembatasan volume produksi, pembatasan ekspor, dan pembatasan lainnya. Karena isi kontrak inilah yang akan menjadi dasar perlindungan hukum bagi para pihak dalam pengeksploitasian hasil-hasil riset –teknologi-.

Selanjutnya, pada tahap paska riset, perlindungan hukum bagi pemanfaatan hasil-hasil riset ini dapat dilakukan dengan memanfaatkan peran substansi dan struktur hukum. Dalam hal ini, substansi hukum adalah ketentuan-ketentuan normative yang mengatur dan mengawasi pelaksanaan pengeksploitasian teknologi, seperti pasal-pasal tentang lisensi, pendaftaran lisensi, kepentingan public, kepentingan nasional, fungsi social, dan lain-lain. Sedangkan struktur hukum adalah aparat penegak hukum yang terkait dengan pelaksanaan pengkomersialisasian teknologi, seperti aparat paten, aparat hukum, kepolisiian, kejaksaan, hakim, pengacara. ***

43

Hayyanulhaq, 2004, Identifikasi & Eksploitasi Hasil Riset: Strategi dan Momentum Perlindungan Hukum

BIBLIOGRAPHY

A Tutorial on Technology Transfer in U.S. Colleges and Universities, pp/1-22;

Arnold, Tom, ‘General Aspects of Licensing, Including Trade Secrets, Know How, Bankruptcy: Basic Considerations in Licensing’, in Recent Development in Licensing, Presented at the Annual Meeting of the American Bar Association, August 7-12, 1981, New Orleans, Louisiana

Bereskin, Daniel R., and Wiebe, Justine, 1991, “Licensing: Defining A Relationship, in http://www.bereskinparr.com/art-html/Licensing.html., p. 4 of 10.

Blakeney and Mc Keough, J., 1992, Intellectual Property: Commentary and Materials, 2nd edition, The Law Book Company

Blakeney, 1989, Legal Aspect of the Trasfer of Technology to Developing Countries, ESC Publishing Limited

Bloxam, G., 1972, Licensing Right in Technology: A Legal Guide to Managers in Negotiation, Gower Press

Bloxam, George, 1972, Licensing Rights in Technology: A Legal Guide to Managers in Negotiation, Grower Press, pp. 163-196.

Braquene, H., 1996, Introduction to the Legal Aspects of The Transfer of Technology, in http://www.braquene.be/teksten/transfer_tech.html

Braquene, Hans, 1996, Introduction to the Legal Aspects of The Transfer of Technology, in http://www.braquene.be/teksten/transfer_tech.html

Braquene, Hans, 1996, Introduction to the Legal Aspects of The Transfer of Technology, in http://www.braquene.be/teksten/transfer_tech.html,

Brookhart, Walter R., et al., 1980, Current International Legal Aspects of Licensing and Intellectual Property, American Bar Association;

Carr, Robert, K., Menu of Best Practice in Technology Transfer, in http://www.milkern.com/rkcarr/flpart2.html, pp.1-11;

Chawthra, B.I., 1986, Patent Licensing in Europe, 2nd edition, Butterworths

44

Hayyanulhaq, 2004, Identifikasi & Eksploitasi Hasil Riset: Strategi dan Momentum Perlindungan Hukum

Chen, Min, 1996, Managing International Technology Transfer, International Thomson Business Press

Christoph Antons, 1997, Indonesian Intellectual Property Law in Context, in Veronica Taylor, (ed) 1997, Asian Laws Trough Australian Eyes, Law Book Company

Commission Regulation (EC Law) of Technology Transfer, No. 240/96 of 31 January 1996

Commission Regulation (EC Law) of Technology Transfer. 240/96 of 31 January 1996, Article 10 (6) and Recital 4.

Committee of Expert on Restrictive Business Practices, 1972, Restrictive Business Practices Relating to Patents and Licenses, OECD

Committee of Experts on Restrictive Business Practices, 1972, Restrictive Business Practices Relating to Patents and Licences, OECD

Commonwealth of Australia, 1984, Licensing Australian Technology Overseas, Australian Government Publishing Service, Canberra.

Commonwealth of Australia, 1984, Licensing Australian Technology Overseas, Australian Government Publishing Service, Canberra

Drahos, Peter, 1996, A Philosophy of Intellectual Property, Dartmouth

Finnegan, Marcus B., “A Code of Conduct Regulating International Technology Transfer: Panacea or Pitfall” in Brookhart, Walter R., et.al., 1980, Current International Legal Aspects of Licensing and Intellectual Property, American Bar Association

Fysh Michael, Q.C., Patentability, Rights Conferred by Patent in Patent Licensing, paper presented at the National Seminar for Police and the Judiciary on Enforcement of Intellectual Property Rights, Indonesia, September, 27 - October 5, 1990

Goldsheider, 1980, ‘International Licensing Agreements Involving Developing Countries’, in Finnegan and Goldsheider

Griffith, P.B.C., 1993, p. 48; Ricketson, S., and Richardson, M., 1998, Intellectual Property: Cases, Materials and Commentary, 2nd edition, Butterworths

Griffith, P.B.C., 1993, Patent Notes, Law School, UTS

45

Hayyanulhaq, 2004, Identifikasi & Eksploitasi Hasil Riset: Strategi dan Momentum Perlindungan Hukum

Griffith, P.B.C., 2000, "Subject Matter Not Patentable" (Hand out for Intellectual Property Lecture of Post Graduate Program, 22 March, 2000 ), Faculty of Law, UTS

Griffith, P.B.C., 2000, Definitions: Intellectual Property Dictionary, Law School, UTS

Griffith, P.B.C., 2000, Patent Notes: Novelty in Patent Law, Lecture Materials, Faculty of Law, UTS

Hanabusa, Masami, 1992, An Analysis of Japanese Patent law, Brunswick Publishing

Hawthorne, Edward, 1970, The Transfer of Technology, Organisation for Economic Co-operation Development

Hawthorne, Edward, 1970, The Transfer of Technology, Organisation for Economic Co-operation Development

Hayyan ul Haq, 2000, Harmonisation of Patent Law System in Asia Pasific, Research Paper, Law School, University of Technology Sydney, Australia

Hayyan ul Haq, 2000, Intellectual Property Law System, Research Paper, Law School, University of Technology Sydney, Australia

Hayyan ul Haq, 2000, Patent Law System, Research Paper, Law School, UTS, Australia.

Hayyan ul Haq, 2001, Pengembanan Hukum dalam Dinamika Informasi dan Teknologi di Indonesia, Makalah Seminar disampaikan dalam Seminar Nasional tentang Layanan Informasi di Hotel Lombok Raya, 21 November, 2001.

Hayyan ul Haq, 2001, Technology Transfer in Patent Legal System, Research Project, Law School, University of Technology Sydney, Australia

Hayyan ul Haq, 2002, Pengembanan Hukum dalam Dinamika Informasi dan Teknologi, Jatiswara, Bahan Diskusi pada The Lifelong Learner Group, Hayyanulhaq’s Law Research Library, Desember.

Hayyan ul Haq, 2002, Pengkontruksian Kerangka Konseptual dalam Pengapresiasian Hak Atas Kekayaan Intelektual, Makalah disampaikan dalam diskusi terbatas lingkar The Lifelong Learner dan Pusat Studi dan Pelayanan Hak Atas Kekayaan Intelektual, Fakultas Hukum Universitas Mataram.

Hayyan ul Haq, 2004, EKSISTENSI, ANATOMI, DAN SIGNIFIKANSI HAK PATEN SEBAGAI ATRAKTOR DAN AKSELERATOR PEMBANGUNAN INFORMASI DAN TEKNOLOGI DI INDONESIA

46

Hayyanulhaq, 2004, Identifikasi & Eksploitasi Hasil Riset: Strategi dan Momentum Perlindungan Hukum

(Upaya Memahami Dokrin Inventor melalui pendekatan Normatif terhadap Proses Pemvalidasian, Pengadministrasian, dan Pengeksploitasiannya), Materi pembelajaran dan diskusi pada pada Mata Kuliah HAKI pada Fakultas Hukum Universitas Mataram dan The Lifelong Learner Group, Centre for Intellectual Property Studies and Services (CIPSS), Law School, Mataram University

Hemais, C., A., 1996, The Development of a Theoretical Model of International Transfer of Technology, Warwick Business School Research Bureau

Hiroyuki Mizuno, 1997,”Perspective an Intellectual Property Rights System in the 21 Century” in APEC Intellectual Property Rights Business Conference, JIII, Japan, p.2.

Ibrahim Idham, 1993, ‘Masalah Perjanjian Lisensi’ (Problems in License Areement), in Seminar Peranan HAKI Untuk Meningkatkan Perdagangan dan Industri dalam Era Globalisasi (Seminar on The Role of Intellectual Property in Improving Trade and Industry in Global Era), Jakarta

Incandescent Gas Light Co. v. Cantelo, (1895) 12 RPC 262 and National Phonograph Company of Australia Ltd. v. Menck (1911) AC 336

Jacqueline Siegnette, 1996, Chalenges to The Creator Doctrine, Information Law, Kluwer

Jill Mc Keough and Andrew Stewart, 1997, Intellectual Property in Australia, Butterworths, Australia, pp. 274-275.

Lubis, Efridani, 2003, Perguruan Tinggi dan Potensi Kekayaan Intelektual yang Berdaya Saing Tinggi, Kantor Hak Kekayaan Intelektual dan Alih Teknologi (KaHati) Lembaga Penelitian Institut Pertanian Bogor

Machlup and Penrose quoted John Stuart Mill in his bokk, Principles of Political Economy (1848; 932)

Martin, Elizabeth, A., A Dictionary of Law, Oxford University PressMasao Miyake, "Some Thoughts on Patent Law (Revised Edition)",

Buzanbo, July 10 1976, pp.32-33. dalam Hanabusa, M., 1992Mc Keough, J., and Stewart, A., 1997, Intellectual Property in

Australia, 2nd edition, ButterworthsMcKeough, Bowrey, Griffith, 2002, Intellectual Property:

Commentary and Materials, Third Edition, Law Book Company

47

Hayyanulhaq, 2004, Identifikasi & Eksploitasi Hasil Riset: Strategi dan Momentum Perlindungan Hukum

Mebius, E.J., "General Conditions of Patentability", a paper given in a patent agent workshop, Jakarta, 27-29 November, 1990

Melville, L.W. 1965, Precedents on Industrial Property and Commercial Chooses in Action, Sweet and Maxwell

Melville, L.W., 1972, Precedents on Intellectual Property and International Licensing, London, Sweet & Maxwell

Melville, L.W., 1972, Precedents on Intellectual Property and International Licensing, London, Sweet & Maxwell; Anderson, Mark, 1996

Morton Rules : RE GEC Application (1942) 60 RPC 1 and NRDC case, Re (1961) RPC 134.

Niklasson, ”Arrangement for Acquisition of Technology---Implication for Business Strategy”, WIPO Regional Seminar on Licensing and Other Technology Transfer Arrangements, Seoul

Ohio University, 1999, A Tutorial on Technology Transfer in U.S. Colleges and Universities’, in http://www.cogr.edu/techtransfertutorial.htm.

Oka Mahendra, 1991, Undang-undang Paten: Perlindungan Hukum Bagi Penemu dan Sarana Menggairahkan Penemuan, Sinar Harapan

Patricia Loughland, 1998, Intellectual Property: Creative and Marketing Rights, LBC

Philip Griffith, "Patent Law in Indonesia", Indonesia Australia Specialised Training Project, Intellectual Property Right Phase II, Faculty of Law, University of Technology Sydney

Philip Griffith, 2000, Patent Notes: Novelty in Patent Law, Lecture Materials, Faculty of Law, UTS

Richard D. Walker, 1995, Patents as Scientific and Technical Literature, The Scarcrow Press Inc., Metuchen, N.J., & London, 1995

Ricketson, S., 1984, The Law of Intellectual Property, Law Book Company

Ricketson, S., and Richardson, M., 1998, Intellectual Property: Cases, Materials and Commentary, 2nd edition, Butterworths

Ruslan Saleh, 1991, Seluk Beluk Praktis Lisensi, Sinar Grafika, Jakarta

Sach, Alvin, Technology Transfer Guidelines: Transfering Technology from VA Federal Laboratory to the Private Sector

48

Hayyanulhaq, 2004, Identifikasi & Eksploitasi Hasil Riset: Strategi dan Momentum Perlindungan Hukum

for Commercialization, in http://wwwguide.stanford.edu/TTran/TTG.html, pp.1-21;

Technology Transfer Information Centre, 1997, Technology Transfer Journal, Using The Journal List, in http://www.nal.usda.gov/ttic/serials.htm

Trade Practice Commission, 1991, “Application of the Trade Practice Act to Intellectual Property”, background paper.

Walker, Richard D. , 1995, Patents as Scientific and Technical Literature, The Scarcrow Press Inc., Metuchen, N.J., & London

Yankey, G.S.A., 1987, International Patents and Technology Transfer to Less Developed Countries, Avebury

Yankey, G.S.A., 1987, International Patents and Technology Transfer to Less Developed Countries, Avebury

UNDANG-UNDANG DAN PERATURAN PELAKSANAAN

UU No.14 Tahun 2001 tentang Paten1. Peraturan Pemerintah No.32 of 1991, dated June 11, 1991,

tentang Impor Bahan mentah dan produk tertentu yang dilindungi paten untuk produksi obat dalam negeri.

2. Peraturan Pemerintah No.33 of 1991, June 11, 1991, tentang Pendafataran Khusus Konstultan Paten

3. Peraturan Pemerintah No.33 of 1991, June 11, 1991, tentang Prosedur Permohonan Paten.

4. Keputusan Menteri Kehakiman No. M.01-HC.02.10, 1991, 31 July, 1991, tentang Paten Sederhana

5. Keputusan Menteri Kehakiman No. M.02-HC.02.10 of 1991, July 31, 1991, tentang Pelaksanaan Publikasi Paten

6. Surat Edaran Meneteri Kehakiman No. M.03-HC.02.10 of 1991, 2 Agustus, 1991, tentang Pembayaran untuk Permohonan Paten , Pembaharuan Paten, pemeriksaan substantive, dan biaya tambahan untuk untuk kelebihan klaim (SE ini telah ditarik dan diganti dengan Keputusan Menteri Kehakiman)

7. Keputusan Menteri Kehakiman No. M.04-HC.02.10 of 1991, September 10, 1991, tentang Keadaan, Batas Waktu, dan Administrasi Pembyaran Paten

8. Keputusan Menteri Kehakiman No. M.05-HC.02.10, 1991, 3 September, 1991, Tentang Tatacara Pendaftaran Konsultan Paten

49

Hayyanulhaq, 2004, Identifikasi & Eksploitasi Hasil Riset: Strategi dan Momentum Perlindungan Hukum

9. Keputusan Menteri Kehakiman No. M.06-HC.02.10 of 1991, 22 Oktober 1991, tentang Tatacara Pengjuan Permohonan Paten (1991 Decicion on Patent Application)

KASUS

Colgate-Palmolive Ltd. v Markwell Finance Ltd, (1989), RPC 497Diamond v Chakrabarty 447 U.S. 303 (1980)Electrical and Musical Industries & Another v. Lissen Limited

(1938) 56 RPC Martin Baker caseRadio 2 UE Sydney Pty Ltd v. Stereo FM Pty Ltd (1983) 68 FLR 70TPC v Australian Autoglass Pty Ltd. (1988) ATPR 40-881

50

Hayyanulhaq, 2004, Identifikasi & Eksploitasi Hasil Riset: Strategi dan Momentum Perlindungan Hukum

Curriculum VitaePenulis adalah salah seorang pengajar untuk mata

kuliah Hak Atas Kekayaan Intelektual, pada Fakultas Hukum, Universitas Mataram. Lahir di Mataram, Lombok, pada tanggal 20 November, 1967. Dia menyelesaikan studinya pada Fakultas Hukum Universitas Mataram pada tahun 1990, dan terlibat dalam berbagai kegiatan akademik –perlatihan, pendidikan, dan riset - di bidang hukum ekonomi, khususnya hak atas kekayaan intelektual. Pengalamannya pendidikannya dibidang HAKI dimulai sejak tahun 1995, dengan mengikuti berbagai kegiatan antara lain: (i) perlatihan Training for Intellectual Property Teachers di Jakarta, (ii) perlatihan untuk para pengajar HAKI di Surabaya (1996), (iii) The Intellectual Property Specialist Training Program di Sydney, Australia (1997), The Industrial Property Specialist Training Program di Tokyo (1998), dan menyelesaikan studi Master of Law (LL.M) dengan spesialisasi di bidang Intellectual and Industrial Property Law di University of Technology Sydney, Australia, (2001), menyampaikan materi tentang Cultural Property Protection pada International Association for the Advancement on Teaching and Research in Intellectual Property Congress, (ATRIP) in Tokyo (Ausgust, 2003), and Utrecht (July, 2004).

Saat ini, penulis mengajar pada program S1 dan S2, Fakultas Hukum Universitas Mataram. Selain itu, dia juga mengabdikan aktifitas academicnya pada Pusat Studi dan Pelayanan HAKI dan Pusat Studi Bahasa dan kebudayaan, Universitas Mataram. Sebagian besar kegiatan akademiknya (mengajar, meneliti, dan memberikan pengabdian pada masyarakat) dikonsentrasikan pada bidang hak atas kekayaan intelektual, hukum perusahaan, investasi, kontrak, penyelesaian sengketa alternatif, dan learning organisation and system thinking. Beberapa karya ilmiahnya yang telah diterbitkan secara terbatas antara lain hukum pasar modal (1994)). Saat ini, dia telah menyelesaikan karya terjemahan “Legal Negotiation” (2003), dan beberapa artikel yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual, penyelesaian sengketa alaternatif, budaya, dan system thinking.

Saat ini sedang menyelesaikan text book HAKI. Sejak bulan Juni 2004, mengikuti program Ph.D. pada Molengraaf Institute for Private Recht, Faculteit Rechtsgeleerheid, Universiteit Utrecht, Netherland. Dibawah bimbingan Prof. Grosheide, penulis sedang melaksanakan riset yang menitikberatkan kajiannya pada isu pemanfaatan dan

51

Hayyanulhaq, 2004, Identifikasi & Eksploitasi Hasil Riset: Strategi dan Momentum Perlindungan Hukum

pendistribusian teknologi. Riset ini ditujukan untuk mengkaji upaya perekonseptualisasian doktrin inventor bagi penciptaan konstruk hukum yang seimbang dan berkelanjutan dalam pendistribusian informasi dan teknologi.***

52