hifema, trauma kimia, dan trauma tembus

13
HIFEMA Grading Grade I: Lapisan darah menempati kurang dari 1/3 COA Grade II: Darah mengisi 1/3 – ½ COA Grade III: Lapisan darah mengisi ½ sampai dengan kurang dari seluruh COA Grade IV: Bekuan darah total, sering disebut sebagai “black ball” atau “8-ball hyphema” Penatalaksanaan Analgesik yang dapat digunakan untuk mengurangi rasa nyeri adalah asetaminofen dengan atau tanpa kodein, tergantung derajat nyerinya. Efek antiplatetet aspirin cenderung meningkatkan terjadinya perdarahan ulang pada pasien hifema traumatik dan harus dihindari. NSAID dengan aktivitas analgesik seperti asam mefenamat dan naproxen, memiliki efek antiplatelet yang merusak ini. Elevasi kepala 30-45 o mempermudah terjadinya pengendapan hifema di inferior COA dan memudahkan klasifikasi hifema. Pengendapan hifema di inferior mempercepat peningkatan visus, evaluasi dini pada polus posterior, dan pembersihan sudut COA yang lebih baik. Berbagai obat topikal telah direkomendasikan untuk mengobati pasien dengan hifema traumatik, termasuk skilopegik untuk iridosiklitis traumatik dan miotik untuk meningkatkan luas permukaan iris sehingga meningkatkan resorpsi hifema. Kortikosteroid dan estrogen telah direkomendasikan dengan hasil yang bertentangan. Salah satu rekomendasi penggunaan

Upload: jordyyylim

Post on 12-Jan-2016

258 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

Ilmu Penyakit Mata

TRANSCRIPT

Page 1: Hifema, Trauma Kimia, Dan Trauma Tembus

HIFEMA

Grading

Grade I: Lapisan darah menempati kurang dari 1/3 COA

Grade II: Darah mengisi 1/3 – ½ COA

Grade III: Lapisan darah mengisi ½ sampai dengan kurang dari seluruh COA

Grade IV: Bekuan darah total, sering disebut sebagai “black ball” atau “8-ball hyphema”

Penatalaksanaan

Analgesik yang dapat digunakan untuk mengurangi rasa nyeri adalah asetaminofen

dengan atau tanpa kodein, tergantung derajat nyerinya. Efek antiplatetet aspirin cenderung

meningkatkan terjadinya perdarahan ulang pada pasien hifema traumatik dan harus dihindari.

NSAID dengan aktivitas analgesik seperti asam mefenamat dan naproxen, memiliki efek

antiplatelet yang merusak ini.

Elevasi kepala 30-45o mempermudah terjadinya pengendapan hifema di inferior COA

dan memudahkan klasifikasi hifema. Pengendapan hifema di inferior mempercepat

peningkatan visus, evaluasi dini pada polus posterior, dan pembersihan sudut COA yang

lebih baik.

Berbagai obat topikal telah direkomendasikan untuk mengobati pasien dengan hifema

traumatik, termasuk skilopegik untuk iridosiklitis traumatik dan miotik untuk meningkatkan

luas permukaan iris sehingga meningkatkan resorpsi hifema. Kortikosteroid dan estrogen

telah direkomendasikan dengan hasil yang bertentangan. Salah satu rekomendasi penggunaan

obat topikal adalah penggunaan steroid topikal setelah hari ketiga atau keempat mungkin

menguntungkan untuk mengurangi iridosiklitis dan untuk mencegah terjadinya periferal

sinekia anterior dan sinekia posterior. Atropin topikal (1%) diindikasikan pada hifema yang

menempati lebih dari 50% COA, untuk mencegah terjadinya blok pupil.

Antifibrinolitik ACA diberikan secara sistemik untuk menurunkan kejadian

perdarahan sekunder. ACA menghambat bekuan lisis dengan mencegah pengikatan plasmin

dengan lisin. Plasmin berperan menghancurkan fibrinogen, fibrin dan, faktor pembekuan

darah lainnya. ACA merupakan inhibitor kompetitif yang menghambat plasmin dan

merupakan aktivator plasminogen. Pemberian ACA oral dengan dosis 100mg/kgBB setiap 4

jam dalam waktu 5 hari, menunjukkan penurunan kejadian perdarahan sekunder yang

signifikan. Pemberian sistemik ACA harus diberikan pada perdarahan yang menempati 75%

dari COA, karena bekuan dapat bertahan dalam waktu yang lebih lama di COA. ACA tidak

boleh diberikan pada wanita hamil dan pada pasien dengan gangguan hati dan ginjal.

Page 2: Hifema, Trauma Kimia, Dan Trauma Tembus

Pemberian topikal lebih baik karena lebih efektif dan mengurangi efek samping dibandingkan

dengan pemberian oral. Asam traneksamat juga memiliki sifat antifibrinolitik. Asam

traneksamat dapat menyebabkan gangguan penglihatan sehinga menyulitkan evaluasi

penglihatan pasien. Pemberian t-PA telah dipertimbangkan untuk hifema yang tidak bisa

secara spontan dibersihkan atau berhubungan dengan tekanan introkular malignan.

Untuk mengatasi peningkatan tekanan intraokular, dapat dilakukan pemberian

antiglaukoma topikal, seperti timolol (antagonis reseptor beta), latanoprost (analog

prostaglandin), serta brimonidin (agonis reseptor 2 tipe perifer). Kesemua agen ini bertujuan

untuk mengurangi produksi akuous humor dan dapat membantu menurunkan tekanan

intraokular. Apabila masih tinggi, dapat diberikan inhibitor enzim karbonat-anhidrase (CAI)

topikal.. Tekanan yang belum terkontrol mengindikasikan pemberian CAI sistemik (melalui

oral), yakni asetazolamid dengan dosis 20 mg/kg/hari terbagi dalam empat dosis. Hal ini

terutama digunakan apabila tekanan masih di atas 22 mmHg. Pilihan terakhir apabila tekanan

masih tinggi adalah pemberian agen osmotik (seperti manitol IV 1,5 g/kg dalam larutan 10%

2 kali sehari atau 3 kali sehari apabila tekanan sangat tinggi), atau pemberian gliserol per

oral.

Indikasi pasien rawat inap:

1. Pasien dengan hifema grade II atau lebih, sebab berpotensi terjadinya perdarahan

sekunder

2. Pasien dengan sickle cell trait

3. Trauma tembus okuli

4. Pasien yang tidak patuh terhadap pengobatan

5. Pasien yang memiliki riwayat glaukoma

Perlu dilakukan pemantauan secara intensif seperti visus, tekanan intraokular, serta

resolusi hifema. Selain itu perlu pula diamati apakah terdapat indikasi bedah pada pasien.

Pasien akan menjalani pembedahan apabila terdapat:

1. Corneal blood staining

2. Riwayat sickle cell trait, dengan tekanan intraokular di atas 24 mmHg, lebih dari 24

jam

3. Hifema dengan derajat lebih dari 50% COA selama 9 hari atau lebih. Hal ini perlu

dilakukan pembedahan agar tidak terjadi sinekia anterior, meskipun sudah

mendapatkan terapi medik secara maksimal

Page 3: Hifema, Trauma Kimia, Dan Trauma Tembus

4. Hifema total, dengan tekanan intraokular lebih dari 50 mmHg selama 4 hari atau lebih

meskipun sudah mendapatkan terapi medik secara maksimal

5. Hifema total atau hifema dengan derajat >75% COA, dengan tekanan intraokular

lebih dari 25 mmHg selama lebih dari 6 hari, meskipun sudah mendapatkan terapi

medik secara maksimal

Komplikasi

Komplikasi hifema traumatik bisa berkaitan langsung dengan retensi darah di COA.

Empat komplikasi yang paling sering terjadi adalah sinekia posterior, periferal sinekia

anterior, pewarnaan kornea, dan atrofi optik.

Sinekia Posterior

Sinekia posterior dapat terjadi pada pasien dengan hifema traumatik. Komplikasi ini

terjadi sekunder dari iritis atau iridosiklitis. Akan tetapi, komplikasi ini jarang terjadi pada

pasien yang diterapi secara medis. Sinekia posterior lebih sering terjadi pada pasien yang

menjalani evakuasi pembedahan hifema.

Periferal Sinekia Anterior

Periferal sinekia anterior biasanya muncul pada pasien yang diterapi secara medis di

mana hifema yang ada menetap dalam periode yang lebih lama di COA, biasanya selama 9

hari atau lebih. Patogenesis sinekia periferal anterior bisa terjadi karena iritis kronis akibat

trauma awal atau iritis kimiawi, yang menghasilkan darah di COA. Penyebab lainnya, adanya

bekuan darah pada sudut bilik menyebabkan terjadinya “trabecular meshwork fibrosis” yang

dapat menutup sudut.

Pewarnaan Kornea/Cornea Bloodstaining

Pewarnaan kornea terutama terjadi pada pasien dengan hifema total dan dihubungkan

dengan peningkatan tekanan intraokular. Beberapa faktor yang dapat meningkatkan

pewarnaan kornea; semua faktor-faktor ini mempengaruhi intregitas endotel:

- Kondisi awal endotel kornea; viabilitas menurun pada keadaan trauma dan usia lanjut

- Trauma bedah pada endotel

- Bekuan dengan jumlah yang besar mengalami kontak dengan endotel

- Peningkatan tekanan intraokular yang berkepanjangan

Pewarnaan kornea dapat terjadi dengan tekanan intraokular yang rendah atau normal.

Pewarnaan kornea lebih sering terjadi pada pasien dengan total hifema yang berlangsung

sekurangnya selama 6 hari, diikuti peningkatan tekanan intraokular lebih dari 25 mmHg.

Page 4: Hifema, Trauma Kimia, Dan Trauma Tembus

Proses penyembuhan pewarnaan kornea membutuhkan waktu beberapa bulan. Secara umum,

pewarnaan kornea terbentuk di sentral kemudian menyebar ke perifer pada endotel kornea.

Proses penyembuhan pewarnaan kornea diawali dari perifer ke sentral, kebalikan dari proses

pembentukannya.

Atrofi Optik

Atrofi optik dapat terjadi pada fase akut maupun pada periode peningkatan transien

tekanan intraokular, atau peningkatan kronik tekanan intraokular. Atrofi optik

nonglaukomatos pada pasien dengan hifema terjadi mungkin karena trauma awal atau periode

transien peningkatan tekanan intraokular. Diffuse optic pallor (not glaucomatous cupping)

adalah hasil periode transien peningkatan tekanan intraokular yang nyata. Pallor terjadi

dengan tekanan konstan 50 mmHg/lebih selama 5 hari, atau 35 mmHg/lebih selama 7 hari.

TRAUMA KIMIA

Grading :

Trauma kimia akut dinilai dinilai dalam 4 grade untuk merencanakan tatalaksana yang

tepat serta indikasi penentuan prognosis. Penilaian ditetapkan berdasarkan tingkat kejernihan

kornea dan keparahan iskemik limbus. Selain itu, penilaian juga dilakukan untuk menilai

patensi dari pembuluh darah limbus superfisial dan profunda.

Grade I : Kornea jernih dan tidak ada iskemia limbus (prognosis sangat baik)

Grade II : Kornea berkabut dengan iris yang masih terlihat dan terdapat kurang dari 1/3

(120o) iskemia limbus (prognosis baik)

Grade III : Epitel kornea hilang total, stroma berkabut dengan gambaran iris tidak jelas

dan terdapat ½ iskema limbus (prognosis kurang)

Grade IV : Kornea opak dan sterdapat lebih dari ½ iskemia limbus (prognosis sangat

buruk)

Kriteria lain yang perlu dinilai adalah seberapa luas hilangnya epitel pada kornea dan

konjungtiva, perubahan iris, keberadaan lensa, dan tekanan intra okular.

Penatalaksanaan

Irigasi merupakan hal yang krusial untuk meminimalkan durasi kontak mata dengan

bahan kimia, dan untuk menormalisasi pH pada saks konjungtiva yang harus dilakukan

sesegera mungkin. Larutan normal salin harus digunakan untuk mengirigasi mata selama 15-

30 menit samapi pH mata menjadi normal (7,3). Pada trauma basa hendaknya dilakukan

irigasi lebih lama, paling sedikit 2000 ml dalam 30 menit, semakin lama semakin baik. Jika

Page 5: Hifema, Trauma Kimia, Dan Trauma Tembus

perlu dapat diberikan anestesi topikal, larutan natrium bikarbonat 3%, dan antibiotik. Irigasi

dalam waktu yang lama lebih baik menggunakan irigasi dengan kontak lensa (lensa yang

terhubung dengan sebuah kanul untuk mengirigasi mata dengan aliran yang konstan).

Double eversi pada kelopak mata dilakukan untuk memindahkan material yang

terdapat pada bola mata. Selain itu, tindakan ini dapat menghindarkan terjadinya

perlengketan antara konjungtiva palpebra, konjungtiva bulbi, dan konjungtiva forniks.

Debridemen pada daerah epitel kornea yang mengalami nekrotik sehingga dapat terjadi re-

epitelisasi pada kornea.

Trauma kimia ringan (grade 1 dan 2) dapat diterapi dengan pemberian steroid topikal

jangka pendek, sikloplegik, dan antibiotik profilaksis selama 7 hari. Tujuan utama terapi pada

trauma kimia berat untuk mengurangi inflamasi, membantu regenerasi epitel dan mencegah

terjadinya ulkus kornea.

Steroid bertujuan untuk mengurangi inflamasi dan infiltrasi neutofil. Namun

pemberian steroid dapat menghambat penyembuhan stroma dengan menurunkan sintesis

kolagen dan menghambat migrasi fibroblas. Untuk itu, steroid hanya diberikan secara inisial

dan di tappering off setelah 7-10 hari.

Asam askorbat mengembalikan keadaan jaringan skorbutik dan meningkatkan

penyembuhan luka dengan membantu pembentukan kolagen matur oleh fibroblas kornea.

Natrium askorbat 10% topikal diberikan setiap 2 jam. Untuk dosis sitemik dapat diberikan

sampai dosis 2 gr.

Asam Sitrat menghambat aktivitas netrofil dan mengurangi respon inflamasi. Natrium

sitrat 10% topikal diberikan setiap 2 jam selama 10 hari. Tujuannya untuk mengeliminasi

fagosit fase kedua yang terjadi 7 hari setelah trauma.

Tetrasiklin efektif untuk menghambat kolagenase, menghambat aktifitas netrofil, dan

mengurangi pembentukan ulkus. Dapat diberikan bersamaan antara topikal dan sistemik

(doksisiklin 100 mg).

Pembedahan segera yang sifatnya segera dibutuhkan untuk revaskularisasi limbus,

mengembalikan populasi sel limbus, dan mengembalikan kedudukan forniks. Beberapa

prosedur dapat digunakan untuk pembedahan:

- Pengembangan kapsul tenon dan penjahitan limbus bertujuan untuk mengembalikan

vaskularisasi limbus juga mencegah perkembangan ulkus kornea. 

- Transplantasi stem sel limbus dari mata pasien yang lain (autograft) atau dari donor 

(allograft) bertujuan untuk mengembalikan epitel kornea menjadi normal. 

- Graft membran amnion untuk membantu epitelisasi dan menekan fibrosis 

Page 6: Hifema, Trauma Kimia, Dan Trauma Tembus

Pembedahan lanjut menggunakan beberapa prosedur:

- Pemisahan conjungtival bands dan simblefaron

- Pemasangan graft membran mukosa atau konjungtiva 

- Koreksi apabila terdapat deformitas pada kelopak mata 

- Keratoplasti dapat ditunda sampai 6 bulan. Semakin lama semakin baik, hal ini untuk

memaksimalkan resolusi dari proses inflamasi.  

- Keratoprostesis dilakukan pada kerusakan mata yang sangat berat, karena hasil dari

graft konvensional sangat buruk. 

Komplikasi

1. Simblefaron. Dengan gejala gerak mata terganggu, diplopia, lagoftalmus, sehingga

kornea dan penglihatan terganggu. 

2. Kornea keruh, edema, neovaskuler 

3. Sindroma mata kering 

4. Katarak traumatik, trauma basa pada permukaan mata sering menyebabkan katarak.

Komponen basa yang mengenai mata menyebabkan peningkatan pH cairan akuos dan

menurunkan kadar glukosa dan askorbat. Hal ini dapat terjadi akut ataupun perlahan-

lahan. Trauma kimia asam sukar masuk ke bagian dalam mata maka jarang terjadi

katarak traumatik. 

5. Glaukoma sudut tertutup 

6. Entropion dan phthisis bulbi

TRAUMA TEMBUS

Langkah-langkah yang harus dilakukan:

1. Lindungi mata dengan pelindung mata setiap saat

2. Lakukan CT Scan otak dan orbita untuk menyingkirkan kemungkinan IOFB

3. UBM bisa dibutuhkan untuk melokalisasi ruptur posterior atau untuk menyingkirkan

adanya benda asing di dalam bola mata yang tidak terlihat oleh CT Scan. UBM tidak

boleh dilakukan pada pasien dengan ruptur anterior karena berisiko terjadi ekstrusi isi

bola mata.

4. Pasien puasa makan dan minum

5. Bedrest dan hindari posisi membungkuk dan Valsava manuver

Page 7: Hifema, Trauma Kimia, Dan Trauma Tembus

6. Antibiotik sistemik harus diberikan dalam waktu 6 jam setelah injuri. Untuk orang

dewasa diberikan cefazolin 1 gr iv tiap 8 jam atau vankomisin 1 gr iv tiap 12 jam.

Juga diberikan siprofloksasin 400 mg per oral/iv (generasi ke-4 fluorokuinolon seperti

gatifloksasin 400 mg atau moksifloksasin 400 mg). Untuk anak-anak di bawah 12

tahun diberikan cefazolin dengan dosis 25-50 mg/kg/hari iv dibagi 3 dosis dan

gentamisin 2 mg/kg iv tiap 8 jam. Pemberian antibiotik harus dikurangi jika fungsi

ginjal terganggu.

7. Berikan tetanus toxoid p.r.n

8. Berikan antiemetik (proklorperazin 10 mg iv tiap 8 jam) untuk mual dan muntuk,

untuk mencegah Valsava.

9. Pertimbangkan anti nyeri sebelum dan sesudah operasi

10. Rencanakan pembedahan sesegera mungkin.

Tatalaksana bedah:

1. Laserasi kornea kecil tidak membutuhkan penjahitan karena sering sembuh secara

spontan atau dengan bantuan lensa kontak verban lembut.

2. Laserasi kornea ukuran medium biasanya membutuhkan jahitan, terutama jika kornea

datar. COA yang datar dapat kembali seperti semula apabila kornea telah dijahit, jika

tidak harus diberikan solusi garam yang seimbang. Bandage contact lens post-operatif

bisa juga berguna selama beberapa hari untuk memastikan COA tetap di dalam.

3. Laserasi kornea dengan inkarserasi iris. Tatalaksana bergantung dari durasi dan

luasnya inkarserasi. Kebocoran kecil dari inkarserasi yang baru terjadi dapat

digantikan oleh kontriksi pupil dengan intrakameral asetilkolin. Inkarserasi iris yang

besar harus dilakukan absisi, terutama jika sudah beberapa hari iris tampak non-viabel

dengan risiko terjadi endoftalmitis.

4. Laserasi kornea dengan kerusakan lensa diterapi dengan menjahit laserasi dan

memindahkan lensa mengguna phacoemulsification atau dengan vitreus cutter apabila

vitreus terlibat. Implamantasi utama dari lensa intraokular sering dihubungkan dengan

visual outcome yang baik dan insiden komplikasi postoperatif yang rendah.

5. Laserasi sklera anterior yang tidak melewati bagian posterior insersi otot ekstaorikular

mempunyai prognosis yang lebih baik daripada lesi yang lebih posterior dan

melibatkan retina. Luka pada sklera anterior dapat berhubungan dengan komplikasi

serius seperti prolaps uvea dan inserkaserasi vitreus. Inserkaserasi vitreus meskipun

dengan manajemen yang tepat, dapat menimbulkan traksi vitreo-retina dan ablasio

Page 8: Hifema, Trauma Kimia, Dan Trauma Tembus

retina. Setiap usaha harus dilakukan untuk mereposit jaringan uvea viabel yang

terekspos dan memotong vitreus yang prolaps.

6. Laserasi sklera posterior sering berhubungan dengan kerusakan retina meskipun

laserasinya sangat superfisial. Selama perbaikan, sangat penting untuk menghindari

terjadinya tekanan yang berlebihan dan traksi pada mata untuk mencegah atau

meminimalkan kehilangan isi bola mata. Hal ini juga berguna sebagai profilaksis

terhadap robekan retina.

Perbaikan sekunder segmen posterior trauma, jika mungkin dilakukan 10-14 hari

setelah perbaikan awal. Hal ini memberikan waktu tidak hanya bagi penyembuhan luka tetapi

juga untuk perkembangan pemisahan vitreus posterior yang memfasilitasi vitrektomi yang

baik. Tujuan utama perbaikan sekunder adalah:

- Untuk menjernihkan keopakan media seperti katarak dan perdarahan vitreus untuk

meningkatkan visus.

- Untuk menstabilkan interaksi vitreoretina yang abnormal dan mencegah sekuele

jangka panjang seperti ablasio retina traksional.

Sumber:

1. Sheppard JD. Hyphema. diakses dari

http://emedicine.medscape.com/article/1190165-overview, tanggal 13 Agustus

2015.

2. Kanski JJ. Chemical injury in clinical opthalmology: a systemic approach.

London: Elsevier; 2003.p.677-80.

3. Ehlers JP, Shah CP, ed. Ruptured globe and penetrating ocular injury in the wills

eye manual. 5th edition. Baltimore: Lippincott Williams & Wilkins; 2008.p.39-41.

4. Kanski JJ. Penetrating trauma in clinical opthalmology: a systemic approach.

London: Elsevier; 2003.p.671-4.