harianto nim: 30600112057repositori.uin-alauddin.ac.id/2981/1/harianto.pdf · 2017. 7. 17. · ii...
TRANSCRIPT
i
PERGESERAN KEKUASAAN
ELIT LOKAL DI DESA BONTOBULAENG
KECAMATAN BULUKUMPA KABUPATEN BULUKUMBA
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Meraih Gelar
Sarjana Ilmu Politik Jurusan Ilmu Politik Pada
Fakultas Ushuluddin, Filsafat Dan Politik
UIN Alauddin Makassar
Oleh :
JURUSAN ILMU POLITIK
FAKULTAS USHULUDDIN,FILSAFAT DAN POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
2016
HARIANTO
NIM: 30600112057
ii
PERNYATAAN KEASLHIAN SKRIPSI
Mahasiswa yang bertandatangan dibawah ini:
Nama : HARIANTO
NIM : 30600112057
Tempat/Tgl. Lahir : Kaliang, 20 April 1994
Jurusan/Prodi : Ilmu Politik
Fakultas/Program : Ushuluddin, filsafat dan politik
Alamat : BTP Blok H. Lama No. 241 Kota Makassar
Judul : PERGESERAN KEKUASAAN ELIT LOKAL DI
DESA BONTOBULAENG KECAMATAN
BULUKUMPA KABUPATEN BULUKUMBA
Menyatakan dengan sesungguhnya dan penuh kesadaran bahwa skripsi ini
benar adalah hasil karya sendiri, jika di kemudian hari terbukti bahwa ia merupakan
duplikat, tiruan, plagiat, atau dibuat oleh orang lain, sebagian atau seleruhnya, maka
skripsi dan gelar yang diperoleh karenanya batal demi hukum.
Makassar, November 2016
Yang menyatakan
HARIANTO
NIM. 30600112057
ii
PENGESAHAN SKRIPSI
SkrIpsi yang berjudul, PERGESERAN KEKUASAAN ELIT LOKAL DI
DESA BONTOBULAENG KECAMATAN BULUKUMPA KABUPATEN
BULUKUMBA , yang disusun oleh saudara HARIANTO, NIM: 30600112057,
Mahasiswa Jurusan Ilmu Politik Fakultas Ushuluddin,Filsafat dan Politik UIN
Alauddin Makassar, telah di uji dan dipertahankan dalam sidang munaqasyah
yang diselenggarakan pada hari Rabu tanggal 30 November 2016 dan dinyatakan
telah dapat diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Ilmu Politik (S.Sos), jurusan Ilmu Politik (dengan beberapa perbaikan).
Makassar 28 Desember 2016.
DEWAN PENGUJI
Ketua : Dr. Abdullah, M.Ag.
Sekretaris : Syahrir Karim, M.Si.,Ph.D.
Munaqisy I : Ismah Tita Ruslin, S.IP.,M.Si.
Munaqisy II : Dra. Hj. Marhaeni Saleh, M.Pd.
Pembimbing I : Syahrir KIarim, M.Si.,Ph.D.
Pembimbing II: Fajar, S.Sos.,M.Si.
Diketahui oleh;
Dekan Fakultas Ushuluddin,filsafat dan
politik UIN Alauddin Makassar
Prof. Dr. H. Muh. Natsir Siola, MA.
NIP.19621016 199003 1 003
iv
KATA PENGANTAR
Tiada kata yang paling mulia diucapkan selain puji dan syukur kehadirat
Allah SWT karena berkat limpahan rahmat serta karunia-Nya yang senantiasa
diberikan pada diri penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang
berjudul “ PERGESERAN KEKUASAAN ELIT LOKAL DI DESA
BONTOBULAENG KECAMATAN BULUKUMPA KABUPATEN
BULUKUMBA”.
Shalawat serta salam atas junjungan Nabi Muhammad SAW, keluarganya,
para kerabat nya, dan orang-orang yang mengikuti petunjuknya.
Adapun maksud dari penulisan tugas akhir ini adalah untuk memenuhi
salah satu syarat yang telah ditentukan untuk mencapai gelar Sarjana Ilmu Politik
fakultas Ushuluddin, filsafat dan politik Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin
Makassar. Dalam penulisan ini, penulis mendasar pada ilmu pengetahuan yang
telah penulis peroleh selama ini, khususnya dalam pendidikan di Universitas
Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar serta hasil penelitian penulis tentang
legislator dan konstituen.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapat bantuan, bimbingan,
dan pengarahan dari berbagai pihak, baik secara spiritual maupun moril. Maka
atas bantuan yang telah diberikan kepada penulis, pada kesempatan ini penulis
ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Kedua orang tua penulis, Alm. La Sikki dan Hj. Salika yang tiada pernah
putus mendoakan demi kesuksesan belajar putranya dan telah memberikan
v
seluruh cinta serta kasih sayangnya, dan juga yang telah memberikan
dukungan lahir batin kepada penulis dalam proses studi selama ini.
2. Keluarga dan kerabat dekat yang selalu memberikan motivasi dan semangat
serta selalu memberikan dukungan dalam menempuh studi kurang lebih 4
tahun.
3. Bapak Prof. Dr. Musafir Pababbari, M.Si selaku Rektor Universitas Islam
Negeri (UIN) Alauddin Makassar.
4. Bapak Prof. Dr. H. Muh. Natsir Siola, MA selaku Dekan Fakultas
Ushuluddin, filsafat dan politik Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin
Makassar.
5. Bapak Dr. Syarifuddin Jurdi, M.Si selaku Ketua Jurusan Ilmu Politik dan
Syahrir Karim, M.Si. Ph.D selaku sekretaris Jurusan Ilmu Politik.
6. Bapak Syahrir Karim, M.Si.,Ph.D dan Bapak Fajar, S.Sos.,M.Si selaku
pembimbing yang telah memberikan banyak pengetahuan dan kontribusi
ilmu terkait judul yang diangkat penulis.
7. Ibu Ismah Tita Ruslin, S.iP.,M.Si dan Ibu Dra. Hj. Marhaeni Saleh, M.Pd.
selaku penguji yang memberikan banyak masukan dalam perbaikan skripsi
yang disusun oleh penulis
8. Bapak/Ibu dosen serta seluruh karyawan Fakultas Ushuluddin, Filsafat dan
Politik Universitas Islam Negeri Makassar yang telah memberikan
pelayanan dalam proses penyelesaian study.
9. Teman-teman kerabat mahasiswa serta para sahabat yang telah membantu
dan teman- teman Ilmu politik Angkatan 2012, teman – teman organisasi
vi
PMII Makassar, IPMI Sidrap, terima kasih karena telah memberikan arti
kebersamaan dan membantu selama perkuliahan sampai sekarang ini, yang
senantiasa memberikan dukungan kepada penulis selama proses penyusunan
skripsi ini.
Akhir kata penulis berharap kiranya tugas akhir ini dapat berguna bagi seluruh
pembaca pada umumnya dan penulis pribadi pada khususnya.
AamiinyaaRabbalAlamiin.
Makassar, November 2016
Penulis,
HARIANTO
NIM. 30600112057
vii
DAFTAR ISI
JUDUL ...................................................................................................... i
PERNYATAAN KEASLIHAN SKRIPSI ................................................ ii
PERSETUJUAN PENGUJI DAN PEMBIMBING .................................. iii
KATA PENGANTAR .............................................................................. iv
DAFTAR ISI ............................................................................................. vii
ABSTRAK ................................................................................................ ix
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................... 1
A. Latar Belakang ........................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ................................................................... 10
C. Kajian Pustaka ......................................................................... 11
D. Tujuan dan kegunaan penelitian .............................................. 17
BAB II TINJAUAN TEORITIS .............................................................. 19
A. Teori Elit ................................................................................ 19
B. Teori Kekuasaan ..................................................................... 20
BAB III METODE PENELITIAN............................................................ 22
A. Sekilas Tentang Lokasi Penelitian ......................................... 22
B. Jenis Penelitian ........................................................................ 34
C. Metode Pendekatan ................................................................. 39
BAB IV ANALISIS HASIL PENELITIAN ............................................. 41
A. Proses Pergeseran Elit Lokal di Desa Bontobulaeng ................... 41
B. Faktor-Faktor yang Membuat Bangsawan Tidak Terpilih Lagi Dalam
Memimilih Kepala Desa di Desa Bontobulaeng .................................. 56
viii
BAB V PENUTUP .................................................................................... 70
A. Kesimpulan .............................................................................. 70
B. Implikasi .................................................................................. 71
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 72
LAMPIRAN .............................................................................................. 74
RIWAYAT HIDUP ................................................................................... 76
ix
ABSTRAK
Nama : Harianto
Nim : 30600112057
Judul : Pergeseran Kekuasaan Elit Lokal di Desa Bontobulaeng Kecamatan
Bulukumpa Kabupaten Bulukumba
Penelitian ini membahas tentang pergeseran kekuasaan elit lokal dengan
fokus pembahasan pada pemilihan kepala desa yang terjadi di Desa Bontobulaeng
Kecamatan Bulukumpa Kabupaten Bulukumba. Terpilihnya Rais H. Abd Salam
sebagai kepala desa yang dari masyarakat biasa merupakan amanah dari warga
untuk memberikan kepemimpinan yang lebih baik dari kepala desa sebelumnya
yang dari golongan bangsawan. Kepercayaan dan amanah tidak di berikan begitu
saja oleh warga, besar harapan yang dititipkan oleh warga dengan tujuan
memberikan hasil yang benar-benar diperuntukkan untuk rakyat dan desa bukan
kepentingan pribadi ataupun keluarga. Teori yang digunakan dalam penelitian
yaitu Teori Elit dan Teori Kekuasaan.
Penelitian dalam skripsi ini menggunakan metode kualitatif dengan jenis
penelitian yang digunakan deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari
orang-orang atau perilaku yang diamati. Data dikumpulkan dengan melakukan
wawancara, observasi dan dokumentasi. Metode analisis data dalam penelitian ini
dilakukan dengan tahap-tahap pengumpulan data, reduksi data, penyajian data,
dan menarik kesimpulan data.
Hasil penelitian menunjukkan adanya pergeseran kekuasaan elit lokal yang
terjadi di Desa Bontobulaeng dimana Rais H. Abd Salam terpilih sebagai kepala
desa dan memutus mata rantai dari kepala desa yang sebelumnya dijabat oleh
golongan bangsawan. Beberapa tahun kepemimpinannya terbukti membuat
perubahan khusunya dari segi pembangunan dan pelayanan kepada warga desa,
meskipun sebagai kepala desa Pak Rais tidak pernah membeda-bedakan antara
golongan bangsawan dengan masyarakat biasa.
Diharapkan kedepannya Kepala Desa sebagai pemimpin dalam sebuah
Desa harus bersifat terbuka dan mengutamakan pelayanan bagi warga masyarakat
dan lebih mementinkan kepentingan warga dari pada kepentingan pribadi.
Bagamanapun kepala desa harus memiliki hubungan yang baik dengan warga
masyarakat.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Elit politik lokal yakni mereka yang menduduki posisi jabatan politik di
ranah lokal. Perjalanan sejarah mencatat bahwa posisi mereka sebagai elit politik
lokal mengalami „pasang naik‟ dan „pasang surut‟ paralel dengan perubahan yang
terjadi. Mereka yang pada rentang waktu tertentu mengalami pembatasan dari
struktur yang ada, berubah nasibnya menjadi mengalami pemberdayaan pada
kurun waktu yang lain. Demikian pula ada di antara mereka yang semula
mengalami pemberdayaan berubah menjadi mengalami pembatasan dari struktur.
Realitas pentas politik Indonesia menunjukkan, tatkala rezim otoritarian Orde
Baru berkuasa, ada sekelompok elit politik lokal yang mengalami pembatasan dari
struktur yang ada dan ada pula sejumlah elit politik lokal lainnya yang mengalami
pemberdayaan. Tumbangnya pemerintahan Orde Baru menghasilkan kehadiran
sistem politik yang bercorak demokrasi memungkinkan terjadinya perubahan
pemaknaan struktur yang ada, elit politik lokal yang semula memaknai struktur
sebagai pembatasan berubah menjadi pemberdayaan, dan mereka yang tadinya
memaknai sebagai pemberdayaan berubah menjadi pembatasan.1
Upaya rezim pasca Orde Baru membangun harmonisasi antara
pembangunan ekonomi melalui jalur liberalisasi dan akomodasi atas ledakkan
partisipasi politik masyarakat melalui jalur demokratisasi nampak tidak mudah
dilakukan. Berbagai regulasi yang memberi jalan terbuka bagi proses privatisasi
1 Haryanto, Elit Politik Lokal Dalam Perubahan Sistem Politik, Jurnal Ilmu Sosial Dan
Ilmu Politik, Volume 13, Nomor 2 November 2009 Hlm 139-140 ( Diakses 31 Agustus 2016 ).
2
terus berlangsung sejak kepemimpinan Habibie hingga Susilo Bambang
Yudhoyono.2
Setelah Orde Baru, identitas politik masyarakat yang semua disalurkan
melalui lembaga politik yang amat terbatas terbukti kembali menemukan basis
primordialnya. Bersamaan dengan tumbuhnya rezim neoliberal, berubah pula
konstruksi tentang negara yang dikehendaki oleh struktur internasional.Konstruksi
dunia kapitalis tentang agen mengalami perubahan.Jika liberalisme menyukai
agen-agen yang represif, rezim neoliberal mencoba mengkonstruksi negara
sebagai agen demokratis. Penting untuk ditambahkan bahwa rezim neoliberal juga
mulai menggarap secara langsung identitas politik yang mereka harapkan pada
level masyarakat domestik.Seperti dikemukakan Ian Bremmer bahwa rezim
neoliberal membutuhkan pemerintahan yang terbuka, efisien, tranparan dan punya
akuntabilitas supaya pasar bisa bekerja. Tak mengherankan jika kemudian topik-
topik tentang efisiensi, transparansi dan akuntabilitas menjadi wacana kunci rezim
neoliberal.
Proses demokratisasi yang berlangsung pasca Orde Baru telah
memunculkan persebaran namun gagal memperlihatkan pendalaman. Pendalaman
negara atas rejim neoliberal memang telah memunculkan demokrasi (liberal)
sebagai sistem politik. Namun.watak dan arah demokrasi tersebut berlangsung di
tengah negara yang berubah menjadi market apparatus dan dalam fase neoliberal
yang bagi konteks negara pasca-kolonial, sedang menjalankan sebuah pola
produksi “market make state”.
2 Ade M Wirasenjaya,” Negara, Pasar dan pendalaman Demokrasi Pasca Orde Baru, The
Politics 1, no. 2 (2015), Hlm. 183.
3
Munculnya proses liberalisasi politik di Indonesia pasca Orde Baru banyak
dipuja-puji dunia internasional sebagai sebuah perkembangan yang menonjol dari
demokrasi di negara-negara berkembang. Bahkan sebagai negara muslim terbesar
di dunia, Indonesia disebut-sebut sebagai negara muslim yang tingkat
demokrasinya paling maju. Lembaga-lembaga internasional segera memberikan
fokus bagi penguatan dan pendalaman demokrasi Indonesia.
Gelombang neoliberalisme dan respon Indonesia terhadapnya semakin
menunjukkan lemahnya peran negara.Dinamika politik domestik Indonesia pasca
Orde Baru memunculkan fragmentasi sosial-politik termasuk dalam gerakan
masyarakat sipil (civil society).Negara memang tidak lagi menjadi otoriter
sebagaimana dalam fase developmental state Orde Baru, sistem kepartaian tidak
lagi hegemonik serta relasi negara dan masyarakat tidak lagi bersifat asimetris.
Namun pendalaman atas rejim neoliberal internasional telah mengkontruksi
institusi negara sebagai lembaga oligarki yang menjadi arena perebutan institusi
neoliberal internasional dengan munculnya aktor-aktor politik dan ekonomi di
level domestik.
Gerakan civil society di Indonesia pasca Orde Baru memperlihatkan
sebuah pola menarik, dari pahlawan reformasi menjadi pembuat gaduh (trouble
makers) demokrasi . Asumsi-asumsi tentang munculnya kekuatan sipil dalam
transisi dan pendalaman demokrasi Indonesia juga mengalami hambatan yang luar
biasa ketika kelompok civil society yang hadir tidak sepenuhnya kontributif bagi
proses pendalaman demokrasi. Civil society yang hadir dalam konstelasi politik
4
Indonesia pasca Orde Baru menampilkan dirinya dalam dua bentuk, yakni good
civil society dan bad civil society.3
Sistem politik Indonesia merupakan sistem politik yang berlaku di
Indonesia sedangkan sistem politik di Indonesia adalah sistem politik yang pernah
berlaku di Indonesia. Artinya bahwa sistem politik Indonesia merupakan sistem
politik yang dianut oleh Indonesia yang berdasarkan nilai budaya Indonesia yang
bersifat turun-temurun dan juga bisa diadopsi dari nilai budaya asing yang positif
bagi pembangunan sistem politik di Indonesia. Sedangkan sistem politik di
Indonesia lebih menekankan bahwa sistem ini adalah sistem politik Indonesia
yang pernah dilakasanakan pada masa lalu. Contoh, pada masa pemerintaha Orde
Lama , Orde Baru dan bahkan pada masa prakemerdekaan.4
Pada era modern ini sistem sistem politik di ukur dari kemampuannya
melakukan penyelesaian dalam menghadapi masalah bangsa dan tantangannya.
Atau lebih berorientasi pada hal yang bersifat nyata, seperti pertumbuhan
ekonomi, stabilisasi politik, sosial dan lain-lain. Kemampuanini dapat
mempengaruhi perubahan politik, karena perubahan atau prakarsa prubshsn
politik dapat berasal dari 3 sumber yaitu, dari kelompok elit, infrastruktur politik
dan dari lingkungan internasional.5
Kebanyakan diskusi akademik dan politik tentang pasca-Soeharto, baik
yang dilakukan di dalam maupun di luar Indonesia umumnya bersifat elite-sentris,
bias aktor, dan juga voluntaris. Euforia kejatuhan Soeharto, setelah tiga dekade
3Ade M Wirasenjaya,” Negara, Pasar dan pendalaman Demokrasi Pasca Orde Baru, The
Politics 1, no. 2 (2015), Hlm. 185-187. 4 Rahman, Sistem Politik Indonesia, (Yogyakarta : Graha Ilmu, 2007), Hlm. 9.
5 Rahman, Sistem Politik Indonesia, (Yogyakarta : Graha Ilmu, 2007), Hlm. 71.
5
pemerintahannya yang otoriter dan tangan besi itu mendorong banyak pihak untuk
berasumsi bahwa tercerai-berainya orde baru akan menjadi semacam „juru angkut‟
yang membawa indonesia memasuki periode pemerintahan baru yang demokratik.
Bagi banyak pihak , syarat-syarat yang memungkinkan terwujudnya hal itu
umumnya di pandang sebagai persoalan yang hanya bersifat teknis: jaminan
kebebasan bagi partai-partai politik, undang-undang pemilihan yang baik, serta
berbagai reformasi hukum dan kelembagaan lainnya. Sebagian dari para analis,
baik secara eksplisit maupun implisit, memahami soal ini dalam hubungannya
dengan upaya untuk mencapai apa yang disebut good governance- suatu
termenologi yang di inspirasikan oleh bank dunia dan sedang populer akhir-akhir
ini.6
Pasca reformasi 1998, Indonesia mengalami perubahan sistem politik yang
signifikan. Judul besar perubahan itu adalah demokratisasi, baik dalam kehidupan
politik maupun dalam kehidupan ekonomi. Diantara komponen yang mengalami
perubahan itu adalah sistem kepartaian, sistem pemilihan umum, dan hubungan
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Ketiga komponen ini memiliki
pengaruh serius terhadap kehidupan politik pada level desa.
Dalam hal sistem kepartaian, Indonesia menerapkan sistem multi-partai
diiringi dengan pencabutan politik massa mengambang (floating mass).
Konsekuensinya, penduduk desa bebas untuk menjadi pengurus, anggota,
dan/atau simpatisan partai politik manapun. Terkait dengan sistem pemilihan
umum, reformasi menghendaki para pejabat politik, terutama eksekutif pada level
6Vedi R Hadiz, Dinamika Kekuasaan: Ekonomi Politik Indonesia Pasca-Soeharto,
(Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2005), Hlm. 255-256.
6
pemerintahan pusat dan daerah (provinsi dan kabupaten/kota) dipilih langsung
oleh rakyat. Konsekuensinya, frekuensi penduduk desa mengikuti pemilihan
umum semakin tinggi. Dalam kurun waktu lima tahun, paling tidak, mereka akan
mengikuti empat pemilu yakni: pemilu presiden/wakil presiden, pemilu anggota
DPR/DPD/DPRD, pemilu gubernur/wakil gubernur, pemilu bupati/wakil bupati
dan/atau walikota/wakil walikota, serta pemilihan kepala desa (pilkades).
Sementara itu, tatkala reformasi merubah hubungan pemerintah pusat
dengan pemerintah daerah melalui kebijakan desentralisasi yang diaplikasikan
sejak 1999, jarak proses pembuatan keputusan politik semakin pendek dan
pemerintah daerah semakin memiliki ruang manuver lebih besar untuk
mempercepat pembangunan daerah. Di depan mata, terlihat jelas bagaimana
desentralisasi diiringi dengan pemekaran desa/kelurahan, implementasi Dana
Alokasi Desa (DAD), dan semakin strategisnya posisi kepala desa dan penduduk
desa karena imbas pemilihan kepala daerah secara langsung.7
Sebagai konsekuensi dari penerapan kebijakan desentralisasi dan otonomi
daerah, dalam sepuluh tahun trakhir ini berlangsung pergeseran pendulum politik
dari politik yang serba sentralistik(Jakarta-centris) ke politik yang lebih lokal.
Melalui undang-undang otonomi daerah tersebut, ruang-ruang politik menyebar
dan meluas ke arah lokal, mulai dari level desa sampai provinsi. Dalam konteks
kehadiran aktor yang semakin beragam itu, muncul beberapa pertanyaan yang
menyangkut peran aktor (elite) dalam mendorong dan menghambat proses
demokratisasi. Dalam perspektif demokrasi oligarki, pergeseran kekuasaan politik
7 Alamsyah, “Dinamika Politik Pilkades di Era Otonomi Daerah”, Tamanpraja 1, no. 1
(2011), Hlm. 2-3.
7
yang besar di daerah pada akhirnya memungkinkan aktor politik lama, yang
berkolaborasi dengan para kapitalis lokal menguasai sumber daya eonomi dan
politik lokal. Dengan cara tersebut kemudian mereka memanipulasi arah
desentralisasi dan demokrasi lokal itu sendiri.8
Daerah merupakan arena persiapan untuk meniti karir lanjutan dibidang
politik dan pemerintahan tingkat Nasional. Bagi masyarakat lokal, pendidikan
politik pada tingkat lokal sangat bermanfaat untuk menentukan pilihan politiknya.
Dalam pemilihan seorang politisi lokal untuk menduduki jabatan politik, dengan
adanya pendidikan politik maka masyarakat lokal akan terhindar dari usaha
memilih calon yang tidak berkompeten.9
Diantara mereka yang terpilih, tidak sedikit yang sesungguhnya hanyalah
melanjutkan kekuasaan masa lalunya atau bahkan melanjutkan “Darah
Kekuasaan” dari generasi sebelumnya. Sejatinya, tahun ini juga menjadi harapan
akan adanya sirkulasi aktor politik dalam mekanisme demokrasi prosedural.
Meskipun demikian, nyatanya realita politik malah menciptakan sebuah siklus
kekuasaan yang langgeng. Dinasti politik adalah istilah yang paling umum untuk
mendefinisikan siklus kekuasaan tersebut diatas, dan politik lokal menjadi ranah
dari sekian banyak studi yang telah ada. Dari sinilah para penulis politik
kemudian mencoba menyimpulkan bahwa demokratisasi dan desentralisasi di
8 R. Siti Zuhro, Demokrasi Lokal Peran Aktor Dalam Demokratisasi, (Yogyakarta:
Ombak,2009), Hlm. 9-10. 9 Syahrir Karim, Politik Desentralisasi Membangun Demokrasi Lokal, (Penerbit Alauddin
University Press. Makassar, 2012), Hlm. 120.
8
Indonesia telah membuka peluang bagi perubahan dinamika politik lokal
diberbagai daerah.10
Adapun ayat yang mendukung bahwa bukan hany untuk masyarakat
bangsawan melaikan pula untuk masyarakat biasa, hal ini sesuai firman Allah swt
dalam QS. Al-Imran/3:26 yang berbunyi :
Terjemahnya:
Katakanlah: "Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan
kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang
yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan
Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. di tangan Engkaulah segala
kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.11
Ayat diatas menjelaskan bahwa kekuasaan dapat dilakukan oleh siapa saja,
tidak tentu harus dari kalangan bangsawan jika sudah ditetapkan maka kekuasaan
itu tidak bisa di ganggu kecuali jika pemimpin itu sendiri yang membuat
kesalahan.
Studi elit, kelompok elit merupakan minoritas dimana pengakuan
masyarakat terhadap kelebihan dan kecerdasan tertentu yang dimiliki merupakan
prasyaratan utama. Oleh sebab itu, kelompok elit memiliki status yang cukup
10
Haryanto, Klanisasi Demokrasi Politik Klan Qahhar Mudzakkar di Sulawesi Selatan,
(Yogykarta: Penerbit Polgom, 2010), Hlm. 1-2.
11
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang :
Toha Putra, 2015), Hlm. 53.
9
tinggi di tengah masyarakat sekaligus menjadi pembeda dengan masyarakat biasa
lainnya.
Tidak dipungkiri bahwa keberadaan elit tertentu sedikit banyaknya telah
mempengaruhi sebagian sisi kehidupan masyarakat. Kebutuhan akan kehadiran
orang–orang dengan kelebihan tertentu memberikan pengaruh terhadap pola pikir,
cara pandang, dan persepsi masyarakat terhadap sebuah persoalan. Di sisi lain,
kehadiran orang- orang pilihan ini menghasilkan perbedaan persepsi pada
masyarakat itu sendiri, adanya perlakuan- perlakuan khusus, melebih-lebihkan,
bahkan mengagung-agungkan dianggap merupakan potensi besar lahirnya ketidak
adilan yang pada ahirnya bermuara pada konflik sosial.12
Adanya sistem lapisan masyarakat dapat terjadi dengan sendirinya dalam
proses pertumbuhan masyarakat itu. Akan tetapi, dengan sengaja disusun untuk
mengerjakan suatu tujuan bersama. Alasan terbentuknya lapisan masyarakat yang
terjadi dengan sendirinya adalah kepandaian, tinggkat umur (yang senior), sifat
keaslian keanggotaan kerabat seseorang kepada masyarakat, dan mungkin juga
harta dalam batas- batasan tertentu. Alasan yang dipakai berlainan bagi tiap-tiap
masyarakat.13
Adanya perbedaan kelas dalam lapisan masyarakat di Desa
Bontobulaeng sangat mempengaruhi berlangsungnya pemilihan kepala desa,
banyak pemilih yang sangat bersemangat megikuti proses demokrasi yang
berlangsung dan ikut berpasrtisipasi, dengan memilih salah satu calon
12
Muh. Irfan Idris dan Nita Sastrawati, Sosiologi Politik,(Makassar : Alauddin Press,
2010), Hlm. 69. 13
Suriani, Sosiologi Pedesaan, (Makassar : Alauddin Universitas press, 2013), Hlm. 63-
70.
10
menunjukkan adanya harapan perubahan masyarakat Desa Bontobulaeng untuk
kedepanya.
Uraian diatas memperlihatkan perbedaan antara kelas dalam masyarakat,
namun dalam Islam tidak mengenal perbedaan dan dijelaskan dalam firman Allah
swt, QS. al-Hujurât ayat 13:
Terjemahnya :
Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa danbersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia
diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.14
Keluarga kelas bangsawan yang banyak dijumpai di Desa Bontobulaeng
yaitu Andi. Andi adalah pemegang kekuasaan Kepala Desa selama beberpa priode
di Desa Bontobulaeng, tetapi hadirnya Rais H. Abd. Salam sebagai Kepala Desa
dari masyarakat biasa (bukan bangsawan) memberikan nuansa baru di
Bontobulaeng karena terputusnya kalangan bangsawan yang memegang
kekuasaan, Sehingga hal ini mendorong peneliti untuk melakukan penelitian yang
berjudul pergeseran kekuasaan elit lokal di Desa Bontobulaeng Kecamatan
Bulukumpa Kabupaten Bulukumba.
B. Rumusan Masalah
14
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Semarang :
Toha Putra, 2015), Hlm. 517.
11
1. Bagaimana proses pergeseran kekuasaan dalam pemilihan Kepala Desa di
Desa Bontobulaeng.?
2. Faktor-faktor apa yang membuat bangsawan tidak terpilih lagi dalam
pemilihan Kepala Desa di Desa Bontobulaeng.?
C. Kajian Pustaka
Sejauh pengamatan penulis, adapun beberapa hasil penelitian yang
berkaitan dengan tema yang diangkat.
1. Penelitian Lia amelia, skripsi yang berjudul “sistem kekerabatan dan
pelapisan sosial (stratifikasi sosial) mempengaruhi politik di Kabupaten
Bone”. Keturunan Arung (bangsawan) masih banyak memiliki peranan
penting dalam struktur pemerintahan di Bone, hal ini salah satunya
didukung oleh masyarakat Bone yang masih percaya jika dipimpin oleh
Kepala daerah yang bergelar Arung. Selain itu struktur pemerintahan juga
dikuasai oleh kerabat dari Pemimpin daerah hal ini dikarenakan oleh
sistem pemerintahan otonomi daerah membuat kekuasan dipegang penuh
oleh Bupati.
Hasil penelitian menunjukkan wacana dalam masyarakat bahwa
sistem pelapisan sosial dan sistem kekerabatan berpengaruh terhadap
tindakan sistem politik Kabupaten Bone sekarang, dimana daerah ini
masih menjunjung tinggi adat istiadat lokal. Yakni pada dasarnya sistem
kekerabatan yang berlaku masih berupa pemetaan-pemetaan stratifikasi
tertentu yang berujung pada suatu keinginan untuk pencapaian politik.
Antara pelapisan sosial, kekerabatan dan politik sangat erat kaitannya. Ini
12
terlihat dari bentuk-bentuk strategi politik yang ditunjukkan oleh kandidat
bakal calon Bupati Bone bahwa antara satu bakal calon dan calon yang
lainnya masih memiliki hubungan kekerabatan bahkan masih ada
hubungan darah.
Hal ini menunjukkan warisan budaya politik pada era kerajaan,
masih berdampak dalam perilaku politik dewasa ini, namun
pemaknaannya sudah berbeda dimana pada masa kerajaan masih murni
memelihara kejujuran dalam menjalankan pemerintahannya. Beda halnya
dengan saat ini dimana masa sekarang memanfaatkan lapisan sosial
(Arung) dan sistem kekerabatan tersebut sebagai strategi pemenangan
pemilihan kekuasaan yang sistem pemerintahannya berkesan lambat.
Dengan otonomi daerah banyak menimbulkan kasus-kasus dipemerintahan
dikarenakan orientasi kepentingan pemimpin didukung oleh sistem
kekerabatan yang tidak sesuai lagi dengan sistem nilai budaya.15
2. Penelitian Wasisto Raharjo Djati, jurnal yang berjudul “ Revivalisme
Kekuatan Familisme Dalam demokrasi: Dinasti Politik Di Aras Lokal”.
Kesimpulan Secara garis besar, gejala yang timbul dalam proses
demokratisasi lokal adalah proses reorganisasi kekuatan tradisional untuk
berkuasa didaerah dalam arena demokrasi. Revitalisasi kekuatan politik
tradisional tersebut tumbuh seiring dengan proses otonomi daerah
sehingga kelompok elit mendapat kesempatan untuk mengukuhkan
pengaruhnya kembali. Selain adanya revitalisasi kelompok politik
15 Lia Amelia, Pilkada Kabupaten Bone Dalam Konteks Sistem Kekerabatan dan
Pelapisan Sosial, Skripsi. (Makassar: Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas
Hasanuddin, 2012), Hlm. 33.
13
tradisional, gejala lain yang timbul dalam proses demokratisasi lokal
adalah fungsi partai politik yang melemah dalam melakukan kaderisasi
sehingga menimbulkan adanya pragmatisme politik dengan mengangkat
para kelompok elit tersebut. Hal itu juga diikuti proses demokrasi yang
mahal di mana masyarakat memilih pasif dalam proses demokrasi dan
lebih cenderung menghendaki status quo pemerintahan sekarang.
Sementara itu, Kepala daerah memiliki tren untuk mewariskan
kekuasaannya kepada kerabat demi menjaga kekuasaan dan menutupi aib
politik. Semua itu mengkondisikan terbentuknya dinasti politik di ranah
lokal.16
3. Penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) didalam Media
Tribun Timur Makassar, tentang Politik Dinasti Syahrul Yasin Limpo di
Makassar menyatakan bahwa Dinasti politik yang sedang berkembang di
Sulsel lambat laun akan meruntuhkan sebuah peradaban. Kekuasaan yang
berdasarkan keluarga dan kerabat itu tak memberi peluang bagi orang lain
untuk mendapatkan persamaan hak dalam politik dan pemerintahan.
Dinasti boleh dibangun tapi dinasti simbolis, bukan kekuasaan
pemerintahan. Dinasti politik hadir karena tak bisa dilepas dari pilihan
rakyat. Klan Yasin Limpo hadir di pemerintahan karena
pilihannrakyat.“Sebaiknya harus ada etikanya juga. angan misalnya yang
memimpin hanya dari mereka saja terus.17
16
Wasito Raharja Djati, Revivalisme Kekuatan Familisme Dalam demokrasi: Dinasti
Politik di Aras Lokal, Sosiologi Masyarakat 18, No. 2 (2013), Hlm. 203-231. 17
“Politik Dinasti Syahrul Yasin Limpo Dimakassar” (Laporan Utama) Tribunnews, 31
Agustus 2013.
14
4. Liputan Anis kurniawan, “Ancaman Refeodalisasi dalam Politik Lokal di
Indonesia, (Studi dari Fenomena Pilkada Kabupaten Bulukumba Sulsel
2004)”, sebuah berita kompasiana, Tulisan ini akan menjelaskan
fenomena society yang menjelma menjadi suatu kekuatan besar dan
mendominasi kekuatan politik formal. Fenomena tersebut bisa juga
disebut sebagai fase kebangkitan elit-elit lokal. Elit lokal menjadi local
strong man dan terorganisir baik dalam bentuk organisasi massa maupun
yang dalam kapasitasnya sebagai elit kultur. Untuk memudahkan
pembacaan kita terhadap konsep society-monoistic atau terpusatnya
kekuatan sosiety pada representasi simbolik (komunitas kultur), maka
penulis melakukan studi kasus pada dominasi politik dan kekuasaan Andi
dalam kontestasi politik lokal di Bulukumba Sulawesi Selatan.
Pemilihan Kepala daerah langsung (Pilkada) yang berlangsung sejak
tahun 2005 sebagai manifestasi politik desentralisasi kemudian menjadi
kesempatan emas bagi kebangkitan elit lokal. Fenomena ini bisa juga
disebut sebagai refeodalisasi yakni bangkitnya kelompok-kelompok
primordial dalam politik. Dalam konteks yang lebih nyata, refeodalisasi
politik melahirkan praktik informal governance (pemerintahan informal)
atau shadow state. Fenomena ini bukanlah hal yang baru, pada tataran
teoritis pembicaraan tentang hal ini sudah muncul sejak tahun 1990-an.
Barbara Harris-White (2003) menemukan bahwa praktik shadow state
akan mewabah kuat di daerah seiring Otonomi Daerah (Otoda). Kekuatan
15
itu dibangun oleh struktur sosial baik berupa kelas, kasta dan gender
merepresentasikan diri sebagai elit masyarakat.
Penguasaan simbolik dan modal sosial (social capital) elit lokal
seperti bangsawan Andi di Bulukumba Sulawesi Selatan menjadikan
kelompok kultur tersebut melakukan praktik dominasi yang sangat kuat.
Basis-basis massa yang dikuasai Andi tidak saja secara genetika, tetapi
juga penguasaan ekonomi yang sifatnya warisan dari leluhurnya.
Modalitas politiknya kemudian terakumulasi sehingga mendominasi
pertarungan politik.18
5. Penelitan Sailal Arimi, jurnal yang berjdul “ Pergeseran Kekuasaan
Bangsaan Jawa Indonesia: Sebuah Analisis Wacana Kritis. Mengadopsi
Analisis Wacana Kritis ( CDA ) pendekatan ini, kertas menawarkan model
studi sosiolinguistik pada identitas kekuasaan dalam kasus bangsawan
lokal Jawa ( bangsawan ) . Itu analisis sangat dikonfirmasi ( 1981 ) tesis
Soemardjan yang bangsawan lokal Jawa tidak lagi memegang kekuasaan
ekonomi dan politik terhadap orang-orang mereka .
Kekuatan mereka memiliki bergeser ke daerah unpowerful budaya .
pergeseran kekuasaan seperti telah memberikan dampak untuk melanggar
struktur tradisional masyarakat Jawa . Sebuah kesimpulan yang ditarik dari
analisis diragukan lagi mengusulkan tesis penting bahwa struktur
masyarakat Jawa sebagaimana didalilkan Koentowijoyo ( 2004) sebagai
terdiri dari Kesultanan , priyayi ( bangsawan lokal ) , dan kawula ( rakyat )
18 “Ancaman Refeodalisasi Dalam Politik Lokal Di Indonesia”, (Laporan Utama),
Kompasiana, 24 Februari 2015.
16
seharusnya dipertimbangkan kembali . Di dalam kertas, saya mengusulkan
bahwa struktur modern Jawa masyarakat harus terdiri dari hanya
Kesultanan dan orang-orang. Sampai saat ini , Sultan tidak masih
memainkan perannya sebagai administrasi. Dalam kajian ini telah
dikemukakan bahwa masyarakat bangsawan Jawa secara historis memiliki
kekuasaan yang sangat kuat sejak (bahkan sebelum) zaman kolonial secara
sosial, ekonomi, politik dan kultural. Mereka adalah golongan kapitalis
yang memiliki tanah yang luas, centeng yang banyak, berpendapatan luar
biasa tinggi, dan cenderung mengikuti gaya hidup hedonis.
Dalam merespon fakta-fakta sosial yang berkembang di masyarakat
secara luas, setiap komunitas tidak terkecuali golongan bangsawan
(priyayi) Jawa telah beradaptasi dengan nilai-nilai baru yang
mengakibatkan terjadinya friksi kepentingan kelompok yang berasal dari
dalam (push factor) maupun dari luar (pull factors) sehingga karakter dan
ciri komunitas ini mengalami pergeseran. Pergeseran itu telah membawa
golongan bangsawan ini ke domain kekuasaan yang semakin melemah.
Ciri golongan bangsawan Jawa sekarang ini tidak lagi menggambarkan
ciri-ciri seperti pada masa kejayaannya di zaman sebelum atau sesudah
kolonial. Mereka tidak lagi mempunyai kekuasaan politik dan ekonomi.
Kekuasaan itu telah bergeser ke ranah kekuasaan budaya yang tidak terlalu
menentukan dan mengendalikan lapisan masyarakat yang lebih rendah19
.
19
Sailal Arimi, Pergeseran Kekuasaan Bangsawan Jawa Indonesia: Sebuah Analisis
Wacana Kritis, Masyarakat & Budaya 10, No. 2 (2008), Hlm. 1.
17
Sesuai dengan beberapa contoh penelitian yang diutarakan diatas, penulis
melakukan penelitian dengan tema yang tidak jauh berbeda dengan beberapa
contoh yang ada diatas, penulis melakukan penelitian dengan judul pergeseran
kekuasaan elit lokal pada pemilihan kepala desa di Desa Bontobulaeng
Kecamatan Bulukumpa Kabupaten Bulukumba. Adapun perbedaan hasil
penelitian penulis dengan contoh skripsi dan jurnal yang diamati oleh penulis,
pada penelitian ini penulis mengkaji mengenai pergeseran kekuasaan bangsawan
dalam hal ini Andi, Andi adalah pemegang kekuasaan Kepala Desa selama
beberpa priode di Desa Bontobulaeng, tetapi hadirnya Rais H. Abd. Salam sebagai
Kepala Desa dari kalangan bawah atau kelas bawah (bukan bangsawan)
memberikan nuansa baru di Bontobulaeng karena terputusnya kalangang
bangsawan yang memegan kekuasaan sebagai Kepala Desa dan mengenai
Bagaimana proses pergeseran kekuasaan dalam pemilihan Kepala Desa di Desa
Bontobulaeng dan Faktor-faktor apa yang membuat bangsawan tidak terpilih lagi
dalam pemilihan Kepala Desa di Desa Bontobulaeng. sehingga keistimewaan dari
tulisan ini adalah menjawab tentang kekuasaan apa yang digunakan dari kalangan
bukan bangsawan sehingga terpilih menjadi Kepala Desa dan bagaimana proses
pergeseran kekuasaan Elit lokal.
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Hadirnya sosok pemimpin baru di Desa Bontobulaeng, dimana di sini
doktrin kebangsawanan yang masih kental dengan tradisi posisi kelas teratas di
kuasai oleh Andi, tapi dengan menjabatnya Rais H. Abd. Salam sebagai Kepala
18
Desa, hal ini yang membuat peneliti yang berkeinginan untuk meneliti dan
mengkaji kekuasaan apa yang digunakan oleh Kepala Desa ini, dengan
berpatokan pada sebuah tujuan antara lain:
a. Untuk mengetahui bagaimana proses pergeseran kekuasaan dalam
pemilihan Kepala Desa di Desa Bontobulaeng.
b. Untuk mengetahui Faktor-faktor yang membuat bangsawan tidak terpilih
lagi dalam pemilihan Kepala Desa di Desa Bontobulaeng.
2. Kegunaan penelitian
Kegunaan yang diharapkan penulis dari penelitian antara lain:
a. Secara teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah perbendaharaan, pengetahuan
dan menambah cakrawalah dalam melihat kekuasaan dari pergeseran
kepemimpinan di Desa Bontobulaeng.
b. Secarah praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk memberi tambahan
informasi, referensi sebagai acuan bagi yang membutuhkan dan dapat
berguna untuk memberikan sumbagan pemikiran bagi akademika yang
akan melakukan penelitian selanjutnya dan sebagai salah satu faktor
untuk mencapai strata satu.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Teori Elit
19
Garis besar perkembangan elit Indonesia adalah dari yang bersifat
tradisional yang berorientasi kosmologis dan berdasarkan keturunan kepada
elit modern yang berorientasi kepada negara kemakmuran, berdasarkan
pendidikan. Elit modern ini jauh lebih beraneka ragam dari pada elit
tradisional.20
Pareto menyatakan bahwa setiap masyarakat diperintah oleh
sekelompok kecil orang yang mempunyai kualitas yang diperlukan dalam
kehidupan sosial dan politik. Kelompok kecil itu disebut dengan elit, yang
mampu menjangkau pusat kekuasaan. Elit adalah orang-orang berhasil yang
mampu menduduki jabatan tinggi dalam lapisan masyarakat. Pareto
mempertegas bahwa pada umumnya elit berasal dari kelas yang sama, yaitu
orang-orang kaya dan pandai yang mempunyai kelebihan dalam
matematika, bidang musik, karakter moral dan sebagainya. Pareto lebih
lanjut membagi masyarakat dalam dua kelas, yaitu pertama: elit yang
memerintah (governing elite) dan elit yang tidak memerintah (non
governing elite). Kedua, lapisan rendah (non elite) kajian tentang elit politik
lebih jauh dilakukan oleh Mosca yang mengembangkan teori elit politik.
Menurut Mosca, dalam semua masyarakat, mulai dari yang paling giat
mengembangkan diri serta mencapai fajar peradaban, hingga pada
masyarakat yang paling maju dan kuat selalu muncul dua kelas, yakni kelas
yang memerintah dan kelas yang diperintah. Kelas yang memerintah,
biasanya jumlahnya lebih sedikit, memegang semua fungsi politik,
20
Robert Van Niel, Munculnya Elite Modern Indonesia, (Jakarta: Penerbit Pustaka Jaya,
1984), Hlm. 12.
20
monopoli kekuasaan dan menikmati keuntungan-keuntungan yang
didapatnya dari kekuasaan. Kelas yang diperintah jumlahnya lebih besar,
diatur dan dikontrol oleh kelas yang memerintah.21
B. Teori Kekuasaan
Michel Foucault dalam Konsep Kekuasaan ( power/duvoir) menurut
Foucault tidak terlepas dari relasinya dengan pengetahuan
(knowledge/savoir). Foucault melihat relasi pengetahuan dan kekuasaan
sangat erat, dalam The Archaeology Of Knowledge, Foucault menjelaskan
konsep discourse (diskursus) sebagai gambaran bagaimana pengetahuan
bekerja sebagai kumpulan pernyataan. Kekuasaan tersebar dan datang dari
mana saja.
Penggunaan kekuasaan berlangsung dan bekerja dalam ruang pilihan –
pilihan bagi mereka yang berada dalam posisi untuk memilih. Kekuasaan
mempengaruhi pilihan – pilihan atas beberapa kemungkinan pilihan.
Kekuasaan ditunjukan dengan adanya kebebasan untuk memilih dan
dijalankan terhadap subjek- subjek bebas yang memiliki kebebbasan untuk
memili dan mempengaruhi. Kekuasaan terwujud dalam pemuculan dan
pelibatan “permainan- permainan strategi atara pemilik – pemilik kebebasan
memilih (strategis games between liberties). Perminan – permainan strategis
bekerja dalam segala tempat dan waktu hingga pada ruang bawah sadar
yang selanjutnya sangat mempengaruhi kecendrungan terhadap pilihan-
pilihan. Perminan –perminan strategis melibatkan kekuasaan ( power )
21
Robert Van Niel, Munculnya Elite Modern Indonesia, (Jakarta: Penerbit Pustaka Jaya,
1984), Hlm. 35.
21
meyebar dimana- mana, dijalankan oleh siapapun dan tumbuh dalam segala
level kuasa. Dari bekerjannya kekuasaan dan perminan- permainan
strategisnya.22
Kekuasaan bisa muncul dalam suatu proses hubungan pertukaran,
karena kekuasaan merupakan hasil hubungan pertukaran yang timbang.
Kekuasaan muncul ketika seseorang atau sekelompok orang membutuhkan
sesuatu dari seseorang atau sekelompok orang lainnya, namun tidak
mempunyai sesuatu yang sama nilainya sebagai penukar, sehingga barang
dan jasa yang dibutuhkan tersebut hanya bisa dipenuhinya melalui
ketundukan atau kepatuhan terhadap kekuasaan mereka yang menguasai
barang dan jasa tersebut.23
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Sekilas Tentang Lokasi Penelitian
22 Damsar, Pengantar Sosiologi Politik, ( Jakarta : Prenada Media Group, 2013 ) H. 74-
75.
23
Damsar, Pengantar Sosiologi Politik, ( Jakarta : Prenada Media Group, 2013 ) H. 75-
77.
22
1. Sejarah Desa Bontobulaeng
Kabupaten Bulukumba terletak di bagian selatan Provinsi Sulawesi Selatan dan
berjarak 153 Km dari Makassar (Ibu Kota Provinsi Selawesi Selatan). Luas wilayah
Kabupaten Bulukumba 1.154,67 Km2.
Kabupaten Bulukumba terletak antara 05o20‟-
05o40‟ LS dan 119
o58‟-120
o28‟ BT yang terdiri dari 10 Kecamatan dengan batas-
batas yakni :
a. Sebelah Utara berbatasan Kabupaten Sinjai,
b. Sebelah Timur berbatasa Teluk Bone dan Pulau Selayar,
c. Sebelah Selatan berbatasan Laut Flores,
d. Sebelah Barat berbatasan Kabupaten Bantaeng.24
Bontobulaeng adalah sebuah Desa yang berada di wilayah Kecamatan
Bulukumpa Kabupaten Bulukumba Propinsi Sulawesi Selatan. Bontobulaeng berasal dari
kata makassar yang artinya “Bukit Emas”, Pada awalnya wilayah Desa Bontobulaeng
merupakan bagian dari Desa Balangtaroang akan tetapi pada Tahun 1960 terjadi
pemekaran Desa sehingga Desa Bontobulaeng menjadi wilayah yang terpisah dari Desa
Balangtaroang. Pada awal Pemerintahan yang memimpin Desa dinamakan Gellareng
yang dijabat oleh Haji Karaeng Bennu atau biasa juga dipanggil Karaeng Gella yang
menjabat sekitar 30 Tahun. Sistem pemilihan Kepala Pemerintahan Desa pada awal
berdiri dengan sistem penunjukan langsung, ini berlangsung sekitar 15 Tahun lamanya
hingga sistem Pemilihan Kepala Desa berubah menjadi pemilihan langsung yang berlaku
sampai sekarang. Haji Karaeng Bennu menjabat sekitar 30 Tahun lamanya yang
kemudian dijabat oleh anaknya sendiri yaitu Drs. Andi Amsir selama 2 periode berturut-
24
BPS, Kabupaten Bulukumba, 2013. Hal. 1.
23
turut, setelah Drs. Andi Amsir yang menjabat Kepala Desa selanjutnya yaitu ibu Haslida
istri dari Drs. Andi Amsir yang memimpin 2 periode dan pada tahun 2013 sampai
sekarang dijabat oleh Rais H. Abd Salam.25
2. Kondisi Geografi
Desa Bontobulaeng berada pada Daerah yasng Strategis, dimana terdiri dari
Daerah Pertanian dan Daerah Perkebunan sehingga sumber utama penghasilan
masyarakat Desa Bontobulaeng bersumber daeri Pertanian dan Perkebunan.26
PETA DESA BONTOBULAENG SESUDAH ADA PAMSIMAS
Adapun batas – batas Wilayah Desa Bontobulaeng adalah :
1. Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Balangtaroang Kec. Bulukumpa
2. Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Bulo – Bulo Kec. Bulukumpa
3. Sebelah Selatan berbatasan dengan Bonto Lohe Kec. Rilau Ale
4. Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Sapobonto Kec. Bulukumpa27
3. Kondisi Demografi
25 Profil dokumen Desa Bontobulaeng 2013/20219, Tanggal 08-10-2016.
26
Profil dokumen Desa Bontobulaeng 2013/20219, Tanggal 08-10-2016.
27
Profil dokumen Desa Bontobulaeng 2013/20219, Tanggal 08-10-2016.
24
a. Luas Wilayah Desa Bontobulaeng
1) Luas Seluruhnya adalah 439,09 Ha
2) Wilayah dusun adalah :
No Dusun
1 Dusun Tappalang
2 Dusun Bontobulaeng
3 Dusun Pumpikatu
4 Dusun Serre
5 Dusun Mattunggaleng
3) Luas Wilayah menurut Penggunaan
No Uraian Jumlah/Ha
1 Pemukiman 4,225 Ha
2 Persawahan 398,50 Ha
3 Perkebunan 18,56 Ha
4 Kuburan 1,5 Ha
5 Pekarangan 2,5 Ha
6 Perkantoran 0.5 Ha
7 Prasarana Umum lainnya 5,5 Ha
b. Kependudukan
Jumlah Penduduk Seluruhnya = 3.690 Jiwa
No Uraian Jumlah
1 Laki – Laki 1952
2 Perempuan 1738
3 Jumlah Kepala Keluarga 923
4. Kondisi Ekonomi
25
Kondisi Perekonomian Masyarakat Desa Bontobulaeng Kecamatan
Bulukumpa sangat berbeda-beda sesuai dengan sektor dan jenis mata
pencaharian.28
Struktur Mata Pencaharian Penduduk
Jenis Pekerjaan Laki – Laki Perempuan
Petani 786 Orang 105 Orang
Buruh Tani 37 Orang -
Pegawai Negeri Sipil 22 Orang 35 Orang
Montir 38 Orang -
Perawat Swasta - -
TNI - -
POLRI - -
Pensiunan PNS/TNI/POLRI 21Orang 14 Orang
Dukun Kampung terlatih - -
5. Visi dan Misi
Pemerintah Desa adalah Penyelenggara urusan Pemerintah yang
dilaksanakan oleh Pemerintah Desa dan Badan Perwakilan Desa dengan menitik
beratkan pada asal usul Desa tetapi masih berada dalam bingkai Negara Kesatuan
Republik Indonesia.Untuk Penyelenggaraan pemerintah Desa dilaksanakan oleh
seorang Kepala Desa bersama-sama Perangkat Desa dan unsur Pemerintah
lainnya. Berdasarkan kepada potensi yang ada maka kami dari Pemerintah Desa
Bontobulaeng menuangkan dalam Rencana Strategis Pembangunan Desa
Bontobulaeng dengan :29
a. Visi
Visi adalah gambaran ideal tentang keadaan masa depan yang diinginkan
dengan melihat Potensi dan Kebutuhan Desa. Penyusunan visi Desa Bontobulaeng
28 Profil dokumen Desa Bontobulaeng 2013/20219, Tanggal 08-10-2016.
29
Profil dokumen Desa Bontobulaeng 2013/20219, Tanggal 08-10-2016.
26
dilakukan dengan pendekatan Partisipatif, melibatkan pihak – pihak yang
berkepentingan di Desa seperti Pemerintah Desa, BPD, Tokohh Masyarakat,
Tokohh Agama, Tokohh Perempuan, Tokohh Pemudan dan Masyarakat Desa
pada umumnya. Berdasarkan hasil musyawarah bersama maka ditetapkan Visi
Desa Bontobulaeng adalah :
1) Terwujudnya Pemerintahan Desa yang Transparan dan Profesional
dalam meningkatkan Taraf Hidup Masyarakat Melalui Potensi Desa
2) Mengabdi Kepada Pemerintah dan Masyarakat Desa Bontobulaeng
dengan Adil Berdasarkan Rasa Persatuan, Gotong Royong dan
Musyawarah Mufakat.
3) Hadir Lebih Dekat Melayani Masyarakat untuk menuju Desa
Bontobulaeng yang bermartabat serta menjunjung tinggi Nilai Norma
dalam Masyarakat.
b. Misi
Selain penyusunan Visi juga ditetapkan misi-misi yang memuat suatu
pernyataan yang harus dilaksanakan oleh Desa agar Visi Desa dapat tercapai.
Pernyataan Visi ini dijabarkan kedalam misi agar dapat dioperasionalkan dan
dikerjakan. Sebagaimana penyusunan visi, misi pun dalam penyusunannya
menggunakan pendekatan partisipatif dan dengan pertimbangan potensi dan
Kebutuhan Desa Bontobulaeng. Sebagaimana proses yang dilakukan maka Misi
Desa Bontobulaeng adalah :
1. Meningkatkan Kualitas Pelayanan kepada Masyarakat Desa
Bontobulaeng.
27
2. Melindungi dan Memperjuangkan Hak – Hak Masyarakat Desa
Bontobulaeng.
3. Menerima dan Mendengarkan Aspirasi Masyarakat Desa
Bontobulaeng serta merealisasikannya dalam bentuk tindakan dengan
Prinsip Lebih Cepat Lebih Baik serta Jujur dan Adil.
Menjalin Kerja sama yang baik dengan Tokohh Agama, Tokohh Masyarakat,
PKK, Tokohh Pemuda dan Lembaga – Lembaga yang ada di Desa
Bontobulaeng.30
6. Struktur Pemerintahan Desa
Bagan Struktur Pemerintahan Desa Bontobulaeng sebagai berikut. 31
30 Profil dokumen Desa Bontobulaeng 2013/20219, Tanggal 08-10-2016.
28
7. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 6 tahun 2014:
31 Profil dokumen Desa Bontobulaeng 2013/20219, Tanggal 08-10-2016.
KEPALA DESA
Rais H. Abd Salam
SEKERTARIS
Drs.A.Nurhayim
BPD
A.Muslimin
KAUR KEUANGAN
Rukmewanti
KAUR UMUM
Rukma Amir
KADUS
SERRE
Marsuki M
KAUR SOSIAL
A.Paisal
KAUR
PEMBANGUNAN
A.Wiwin Amdrianto, SE.
KADUS
BONTOBULAENG
A.Budiman, SH.
KADUS
MATTUNGGALENG
A.Muh. Sabir
KADUS
PUMPIKATU
Ismail
KADUS
TAPPALANG
Muh. Sapri
29
Pemilihan Kepala Desa
Pasal 31
(1) Pemilihan Kepala Desa dilaksanakan secara serentak di seluruh wilayah
Kabupaten/Kota.
(2) Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota menetapkan kebijakan pelaksanaan
pemilihan Kepala Desa secara serentak sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan Kepala Desa serentak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Pemerintah.
Pasal 32
(1) Badan Permusyawaratan Desa memberitahukan kepada Kepala Desa
mengenai akan berakhirnya masa jabatan Kepala Desa secara tertulis 6
(enam) bulan sebelum masa jabatannya berakhir.
(2) Badan Permusyawaratan Desa membentuk panitia pemilihan Kepala Desa.
(3) Panitia pemilihan Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
bersifat mandiri dan tidak memihak.
(4) Panitia pemilihan Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
terdiri atas unsur perangkat Desa, lembaga kemasyarakatan, dan tokoh
masyarakat Desa.
Pasal 33
Calon Kepala Desa wajib memenuhi persyaratan:
a. Warga Negara Republik Indonesia;
30
b. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. Memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta
mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika;
d. Berpendidikan paling rendah tamat sekolah menengah pertama atau
sederajat;
e. Berusia paling rendah 25 (dua puluh lima) tahun pada saat mendaftar;
f. Bersedia dicalonkan menjadi Kepala Desa;
g. Terdaftar sebagai penduduk dan bertempat tinggal di Desa setempat paling
kurang 1 (satu) tahun sebelum pendaftaran;
h. Tidak sedang menjalani hukuman pidana penjara;
i. Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana
yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun atau
lebih, kecuali 5 (lima) tahun setelah selesai menjalani pidana penjara dan
mengumumkan secara jujur dan terbuka kepada publik bahwa yang
bersangkutan pernah dipidana serta bukan sebagai pelaku kejahatan
berulang-ulang;
j. Tidak sedang dicabut hak pilihnya sesuai dengan putusan pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
k. Berbadan sehat;
l. Tidak pernah sebagai Kepala Desa selama 3 (tiga) kali masa jabatan; dan
31
m. Syarat lain yang diatur dalam Peraturan Daerah.
Pasal 34
(1) Kepala Desa dipilih langsung oleh penduduk Desa.
(2) Pemilihan Kepala Desa bersifat langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan
adil.
(3) Pemilihan Kepala Desa dilaksanakan melalui tahap pencalonan,
pemungutan suara, dan penetapan.
(4) Dalam melaksanakan pemilihan Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), dibentuk panitia pemilihan Kepala Desa.
(5) Panitia pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bertugas
mengadakan penjaringan dan penyaringan bakal calon berdasarkan
persyaratan yang ditentukan, melaksanakan pemungutan suara,
menetapkan calon Kepala Desa terpilih, dan melaporkan pelaksanaan
pemilihan Kepala Desa.
(6) Biaya pemilihan Kepala Desa dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah Kabupaten/Kota.
Pasal 35
Penduduk Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) yang pada hari
pemungutan suara pemilihan
Kepala Desa sudah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau sudah/pernah menikah
ditetapkan sebagai pemilih.
Pasal 36
32
(1) Bakal calon Kepala Desa yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 ditetapkan sebagai calon Kepala Desa oleh
panitia pemilihan Kepala Desa.
(2) Calon Kepala Desa yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diumumkan kepada masyarakat Desa di tempat umum sesuai
dengan kondisi sosial budaya masyarakat Desa.
(3) Calon Kepala Desa dapat melakukan kampanye sesuai dengan kondisi
sosial budaya masyarakat Desa dan ketentuan peraturan perundang-
undangan
Pasal 37
(1) Calon Kepala Desa yang dinyatakan terpilih adalah calon yang
memperoleh suara terbanyak.
(2) Panitia pemilihan Kepala Desa menetapkan calon Kepala Desa terpilih
(3) Panitia pemilihan Kepala Desa menyampaikan nama calon Kepala Desa
terpilih kepada Badan Permusyawaratan Desa paling lama 7 (tujuh) hari
setelahpenetapan calon Kepala Desa terpilih sebagaimana dimaksud pada
ayat(2).
(4) Badan Permusyawaratan Desa paling lama 7 (tujuh) hari setelah menerima
laporan panitia pemilihan menyampaikan nama calon Kepala Desa terpilih
kepada Bupati/Walikota.
(5) Bupati/Walikota mengesahkan calon Kepala Desa terpilih sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) menjadi Kepala Desa paling lama 30 (tiga puluh)
33
hari sejak tanggal diterimanya penyampaian hasil pemilihan dari panitia
pemilihan Kepala Desa dalam bentuk keputusan Bupati/Walikota.
(6) Dalam hal terjadi perselisihan hasil pemilihan Kepala Desa,
Bupati/Walikota wajib menyelesaikan perselisihan dalam jangka waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
Pasal 38
(1) Calon Kepala Desa terpilih dilantik oleh Bupati/Walikota atau pejabat
yang ditunjuk paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah penerbitan
keputusan Bupati/Walikota.
(2) Sebelum memangku jabatannya, Kepala Desa terpilih bersumpah/berjanji.
(3) Sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebagai berikut:
“Demi Allah/Tuhan, saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan
memenuhikewajiban saya selaku Kepala Desa dengan sebaik-baiknya,
sejujur jujurnya, dan seadil-adilnya; bahwa saya akan selalu taat dalam
mengamalkan dan mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara; dan
bahwa saya akan menegakkan kehidupan demokrasi dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta melaksanakan segala
peraturan perundang undangan dengan selurus-lurusnya yang berlaku bagi
Desa, daerah, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Pasal 39
(1) Kepala Desa memegang jabatan selama 6 (enam) tahun terhitung sejak
tanggal pelantikan.
34
Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menjabat paling
banyak 3 (tiga) kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak secara
berturut-turut.32
B. Metode Penelitian Kualitatif
Penilitian yang digunakan adalah kualitatif metode ini mengharuskan
peneliti meleburkan diri dalam aturan sosial yang ia teliti, mengamati orang-orang
dalam lingkungan alami mereka, dan ikut serta dalam aktivitas mereka33
untuk
memperoleh gambaran serta menjelaskan bagaimana Pergeseran Kekuasaan Elit
Lokal di Desa Bontobulaeng Kecamatan Bulukumpa Kabupaten Bulukumba
dalam pemilihan Kepala Desa Periode 2013-2019) penelitian kualitatif tidak
ditemukan adanya angka-angka yang dianalisis menggunakan alat statistik,
melainkan data diperoleh dari penelitian deskripsif. Deskriptif nantinya digunakan
untuk mengungkap sebuah fakta empiris secara objektif ilmiah dengan
berlandaskan pada logika disiplin keilmuan penulis yakni ilmu politik .
Adapun lokasi objek penelitian ini dilakukan di Desa Bontobulaeng.
Penulis melakukan penelitian di Desa tersebut karena Kepala Desanya dijabat
oleh seorang dari kalangan bawah. Hal ini untuk mengetahui bagaimana
perolehan kekuasaan kalangan bawah sehingga memutus rantai pemerintahan
yang selalu di duduki oleh kalangan bangsawan.
1. Sumber Data
a. Data primer
32
“Undang-Undang Republik Indonesia”, Bagian Ketiga Tentang Pemilihan Kepala
Desa, (Nomor 6 Tahun 2014). Hlm. 12-14. 33
David Marsh & Gerry Stoker,Teori Dan Metode Dalam Ilmu Politik (Bandung: Nusa
Media, 2010),Hlm 240.
35
Data primer data ini langsung dikumpulkan oleh peneliti, yang
didapat dari sumber informan yaitu individu atau perseorangan seperti hasil
wawancara yang dilakukan oleh peneliti dengan Kepala Desa Bontto bulaeng,
subjek dari data primer yaitu hasil observasi di lapangan secara langsung dalam
bentuk catatan tentang perilaku (verbal dan non verbal, serta
percakapan/conversation).34
b. Data Sekunder
Yaitu Data yang sudah tersedia sehingga kita tinggal mencari dan
mengumpulkan. Data sekunder biasanya didapatkan di tempat kumpulan
informasi seperti perpustakaan, perkantoran, pusat statistik, kantor-kantor
pemerintah dan sebagainya.
2. Teknik Pegumpulan Data
a. Tehnik Library Research.
Library Research, yaitu melakukan penelitian di perpustakaan dan mengkaji
buku dan literatur ilmiah yng berhubungan dengan masalah yang di teliti. Adapun
teknik penulisan yang digunakan yaitu:
1) Kutipan langsung: mengutip bahan referensi kepustakaan tanpa
merubah redaksi sedikitpun.
2) Kutipan tidak langsung : mengutip bahan referensi melalui
perantara.35
b. Wawancara
34
Sugiyono,metode penelitian kuantitatif dan kualitatif, (bandung: alvabeta,2014) Hlm.
137.
35
Sugiyono,metode penelitian kuantitatif dan kualitatif, (bandung: alvabeta,2014), Hlm.
137.
36
Wawancara dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan
pedoman wawancara yang sebelumnya telah dirancang dalam instrumen
penelitian.
Dalam hal ini, peneliti melakukan wawancara dengan beberapa informan
diantarannya:
1. Kepala Desa Bontobulaeng
2. Tokoh Agama
3. Tokoh Pemuda
4. Tokoh Masyarakat
5. Masyarakat Umum/Pemilih
Bentuk wawancara yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah
wawancara bertemu secara langsung (face to face) dan menggunakan teknik
wawancara tak terstruktur (Non Structured Interview). 36
Dengan wawancara ini, peneliti dapat menghasilkan data sebanyak-
banyaknya yang ingin diungkapkan dengan maksud untuk menggali, memperoleh
informasi yang lengkap dan efektif sesuai dengan keadaan sebenarnya tentang
pergeseran kekuasaan elit lokal di Desa Bontobulaeng.
c. Dokumentasi
Dalam hal ini penulis pengumpulan data melalui peninggalan tulisan
berupa file-file, buku-buku, surat kabar elektronik dan lain-lain sebagai bukti yang
menunjukkan peristiwa atau kegiatan yang berhubungan dengan penelitian ini.
Teknik ini digunakan untuk memperoleh data tentang gambaran pemilihan kepala
36
Sugiyono,metode penelitian kuantitatif dan kualitatif, (bandung: alvabeta,2014), Hlm
137.
37
Desa. Alat yang digunakan dalam dokumentasi penelitian ini adalah kamera. Hasil
dokumentasi ini digunakan untuk mengumpulkan data sekunder yang melengkapi
atau mendukung data primer hasil wawancara dan pengamatan dari Kepala Desa
Bontobulaeng.
3. Metode Analisis Data
Metode analisis data digunakan untuk proses mencari dan menyusun secara
sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan dan
dokumentasi dengan cara mengorganisasikan data kedalam kategori, menyusun
kedalam pola memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari dan membuat
kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh diri sendiri maupun orang lain.37
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah bersifat
deskriptif. Analisis deskriptif itu sendiri yaitu analisis yang tidak berdasarkan
perhitungan angka melainkan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan yang
digunakan secara deskriptif.
Analisis data dalam penelitian ini dengan menggunakan analisis data
kualitatif, dengan tahapan sebagai berikut :
a. Reduksi Data
Reduksi data merupakan proses merangkum, memilih hal-hal yang pokok,
memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya. Dengan
demikian data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas,
37
Sugiyono,Metode Penelitian Kuantitatif Dan Kualitatif, (Bandung: Alvabeta,2014), Hlm
244.
38
dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya, dan
mencarinya bila diperlukan.38
Dalam mereduksi data, setiap peneliti akan dipandu oleh tujuan yang akan
dicapai. Tujuan utama dalam penelitian kualitatif adalah pada temuan. Oleh
karena itu, kalau peneliti dalam melakukan penelitian, menemukan segala sesuatu
yang dipandang asing, tidak dikenal, belum memiliki pola, justru itulah yang
harus dijadikan perhatian oleh peneliti dalam melakukan reduksi data.39
b. Penyajian Data
Dalam penelitian kualitaif, penyajian data bisa dilakukan dalam bentuk
uraian singkat, bagan , hubungan antar kategori dan sejenisnya. Dalam penelitian
ini Penyajian yang digunakan adalah bentuk teks naratif. Dalam penyajian data
maka akan memudahkan untuk memahami apa yang terjadi, merencanakan kerja
selanjutnya berdasarkan apa yang telah dipahami tersebut.40
c. Menarik Kesimpulan (Verifikasi)
Dalam penelitian kualitaif, penyajian data bisa dilakukan dalam bentuk
uraian singkat, bagan , hubungan antar kategori dan sejenisnya. Dalam penelitian
ini Penyajian yang digunakan adalah bentuk teks naratif. Dalam penyajian data
maka akan memudahkan untuk memahami apa yang terjadi, merencanakan kerja
selanjutnya berdasarkan apa yang telah dipahami tersebut.41
Dalam penelitian ini
38
Sugiyono,Metode Penelitian Kuantitatif Dan Kualitatif, (Bandung: Alvabeta,2014),
Hlm. 247. 39
Sugiyono,Metode Penelitian Kuantitatif Dan Kualitatif, (Bandung: Alvabeta,2014),
Hlm. 249. 40
Sugiyono,Metode Penelitian Kuantitatif Dan Kualitatif, (Bandung: Alvabeta,2014),
Hlm. 249. 41
Sugiyono,Metode Penelitian Kuantitatif Dan Kualitatif, (Bandung: Alvabeta,2014),
Hlm. 249
39
penarikan kesimpulan dilakukan berangkat dari munculnya kalangan masyarakat
masyarakat biasa yang menjabat sebagai Kepala Desa di Desa Bontobulaeng,
kemudian mengapa bisa terpilih menjadi Kepala Desa dan Untuk kemudian dapat
ditarik suatu kesimpulan hubungan keterkaitan antara keduanya.
C. Metode Pendekatan
Terdapat lima pendekatan dalam memahami perilaku pemilih, yakni
pendekatan struktural, sosiologis, ekologis, psikologi sosial dan pendekatan
pilihan rasional.
Pendekatan struktural terlihat kegiatan memilih sebagai produk dari
konteks struktur yang lebih luas, seperti struktur sosial, sistem partai, sistem
pemilihan umum, permasalahan dan program yang ditonjolkan oleh setiap partai.
Pendekatan sosiolog cenderung menempatkan kegiatan memilih dalam
kaitan dengan konteks sosial. Kongkritnya, pilihan seseorang dalam pemilihan
umum dipengaruhi oleh latar belakang demografi dan sosial ekonomi, seperti
jenis kelamin, tempat tinggal (kota desa), pekerjaan, pendidikan, kelas,
pendapatan dan agama.
Pendekatan ekologis hanya relevan apabila dalam suatu daerah pemilihan
terdapat karakteristik pemilih berdasarkan unit teritorial, seperti desa, kelurahan,
kecamatan dan kabupaten.
Pendekatan psikologi sosial identik dengan perilaku politik. Salah satu
konsep psikologi sosial yang digunakan untuk menjelaskan perilaku untuk
memilih pada pemilihan umum berupa identifiksi partai. Konsep ini merujuk pada
persepsi pemilih atas partai-partai yang ada atau keterikatan emosional pemilih
40
terhadap partai tertentu. Artinya bahwa, partai yang secara emosionaldirasakan
sangat dekat dengannya merupakan partai yang selalu dipilih tanpa terpengaruh
oleh faktor-faktor lain.
Sedangakan pendekatan pilihan rasional lebih melihat kegiatan memilih
sebagai produk kalkulasi utung dan rugi. Pertimbangannya tidak hanya “ongkos”
memilih dan kemungkinan suaranya dapat mempengaruhi hasil yang diharapkan,
tapi ini digunakan pemilih dan kandidat yang hendak mencalonkan diri sebagai
wakil rakyat atau pejabat pemerintah. Bagi pemilih, pertimbangan untung rugi
digunakan untuk membuat keputusan tentang partai atau kandidat yang dipilih,
terutama untuk membuat keputusan apakah ikut memilih atau tidak ikut memilih?.
Pendekatan rasional ini tidak selalu memuaskan karena cukup banyak warga
mayrakat menggunakan hak pilihsebagai kebanggaan psikologis, seperti
menunaikan kewajiban sebagai warga negara, menegaskan identitas kelompok,
dan menujukkan loyalitas terhadap partai.
Pendekatan diatas sama-sama berasumsi bahwa memilih merupakan
kegiatan otonom, dalam ati bahawa dalam memilih tanpa ada paksaan dari pihak
lain. Meskipun dalam kenyataanya, perilaku pemilih juga ditentukan oleh faktor-
faktor lain seperti tekanan kelompok, intimidasi, dan paksaan dari kelompok atau
pemimpin tertentu.42
42
Ramlan Subakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: Grasindo, 2010). Hlm.185-188.
41
BAB IV
ANALISIS HASIL PENELITIAN
A. Proses Pergeseran Kekuasaan Elit Lokal di Desa Bontobulaeng
Elit adalah minoritas yang efektif dan bertanggung jawab. Dalam arti
efektif setelah melihat pelaksanaan kegiatan terkait kepentingan dan perhatian
kepada orang lain tempat golongan elite ini berkiprah. Golongan elite secara
sosial mempunyai arti bertanggung jawab untuk merealisasikan tujuan-tujuan
sosial yang penting dan menjaga terus berlanjutnya social order. Dibandingkan
rakyat biasa golongan elit mempunyai tanggung jawab yang lebih besar.43
Gerakan rakyat atau gerakan elit adalah fenomena situasional-kondisional.
Muncul tidaknya gerakan rakyat ditentukan oleh situasi dan kondisi. Gerakan
rakyat akan sangat mudah muncul bila ada keadaan yang sangat timpang di
masyarakat. Ketimpangan yang sangat mencolok tidak lain karena besarnya
tingkat kemiskinan dimasyarakat. Kemiskinan ini terjadi karena memang ada
proses struktural yang membuat masyarakat miskin. Proses struktural yang
memiskinkan masyarakat ini bisa dilacak saat orde baru melaksanakan revolusi
hijau. Melalui revolusi hijau telah menambah kesenjangan antara petani kaya dan
petani miskin. Petani kaya menjadi semakin kaya, sedangkan petani miskin tetap
miskin. Meningkatnya ketimpangan ini membuat masyarakat mudah dipicu untuk
melakukan perlawanan yaitu perlawanan golongan lemah terhadap orang kaya
maupun negara.
43 Yusron, Elite Lokal dan Civil Society, (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2009), Hlm.
38.
42
Elit lokal yang menyadarkan rakyat bahwa sedang terjadi perubahan sosial
akibat proses modernisasi pertanian atau lebih dikenal dengan istilah revolusi
hijau. Apabila rakyat disadarkan bahwa yang menjadi penyebab kemiskinan
adalah revolusi hijau maka rakyat akan mempunyai kasadaran untuk melawan.
Kesadaran terhadap kondisi kemiskinan dan kelemahan serta tingkat
pengangguran yang tinggi, maka tidak sulit bagi elit lokal untuk memberikan
proses penyadaran kepada rakyat. Semakin tinggi tingkat kesadaran rakyat maka
semakin mudah mengorganisasikan rakyat untuk melakukan perlawanan. Semakin
tinggi pengorganisasian maka semakn tinggi pula kehadiran dan peran serta elit
lokal. Sebab elit lokal itulah yang secara kultural mereka percayai.44
Kelompok elit politik dilihat dari sifat dan karakternya dapat digolongkan
menjadi tiga tipe, yaitu sebagai berikut. Pertama, elit politik yang dalam segala
tindakan berorientasi pada kepentingan pribadi atau golongan, tipe elit ini bersifat
tertutup (menolak golongan lain masuk dalam linkara elit) dan juga bersifat
konservatif. Kedua, elit politik liberal. Elit tipe ini, sifat dan perilakunya
membuka seluas-luasnya bagi setiap warga masyarakatuntuk meningkatkan status
sosial. Elit ini bersifat terbuka dan cenderung membuat lapisan masyarakat
bersifat pluralis, serta berorientasi kepada kepeningn umum. Ketiga, pelawan elit
(counter elite). Menurut tipe ini, para pemimpin yang berorientasi pada khalayak
dengan cara menentang segala bentuk kemapanan (established order) maupun
dengan cara menentang segala bentuk perubahan. Ciri kelompok ini adalah
ekstrim, tidak toleran, anti-intelektualisme, beridentitas rasial tertentu, dan
44 Yusron, Elite Lokal dan Civil Society, (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2009), Hlm.
35-37.
43
menggunakan kekerasan dalam memperjuangkan aspirasinya. Kelompok elit ini
terdiri atas sayap kiri (left wing) yang menuntut perbahan secara radikal dan
revolusioner dan sayap kanan (right wing) yang memnentang berbagai perubahan
sosial, budaya, ekonomi dan politik. Namun kedua sayap ini memperlihatkan diri
sebagai pembawa suara rakyat.45
Pergeseran elit yang terjadi dalam pemilihan Kepala Desa di Bontobulaeng
merupakan sarana penentu untuk mengetahui siapa yang akan memimpin Desa
Bontobulaeng dalam 6 tahun pada periode 2013-2019. Kepala desa yang terpilih
merupakan elit politik yang akan memerintah Desa Bontobulaeng sekaligus
mempunyai peran yang kuat untuk menentukan struktur perangkat desa yang
nantinya akan menjadi elit politik di Desa Bontobulaeng.
Penulis melakukan wawancara dengan pemuda Bontobulaeng yaitu Andi
Ikrayanto tentang bagaimana proses pergeseran kekuasaan yang terjadi di Desa
Bontobulaeng
“Pada masa pemilihan kemarin banyak yang mengatakan bahwa Haslinda
incumbent akan terpilih lagi maenjadi kepala desa, tetapi fakta dan realita
yang terjadi bukan Haslinda yang terpilih, melainkan Rais lah yang
terpilih, banyak yang terjadi pada masa-masa pemilihan kemarin diamana
Haslinda yang berubah menjadi baik dan bersosialisasi kepada
masyarakat, padahal sebelumnya Haslinda jarang sekali terlihat seperti
itu, biasanya ia hanya tinggal di rumahnya atau keluar. Namun
masyarakat sudah betul-betul tahu bagaimana sifat asli dari Haslinda,
sedangkan Rais adalah sosok yang jiwa sosialnya tinggi, sebelum
mencalonkan diri sebagai kepala desa ia sudah dekat dengan masyarakat,
meskipun Rais mantan Preman tetapi terbukti dalam beberapa tahun
masa jabatnnya sudah banyak perubahan di Desa, jalan sudah banyak di
aspal beton, pelayanan dikantor desa sudah bagus bahkan masyarakat
45 Cholisin & Nasiwan, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2012),
Hlm. 54-55.
44
bisa langsung mendatangi kerumahnya apabila jam kantor sudah
berakhir.”46
Hasil wawancara diatas menujukkan bagaimana masyarakat yang sudah
jenuh dan tidak mempercayai lagi kepada Haslinda untuk memimpin Desa
Bontobulaeng dan lebih memilih Rais sebagai Kepala Desa.
Konsep pergantian (sirkulasi) elit juga dikembangkan oleh Pareto. Setiap
masyarakat ada gerakan yang tak dapat ditahan dari individu-individu dan elit-elit
kelas atas hingga kelas bawah, dan dari tingkat bawah ke tingkat atas yang
melahirkan suatu peningkatan yang luar biasa pada unsur-unsur yang melorotkan
kelas- kelas yang memegang kekuasaan, yang pada fihak lain justru malah
meningkatkan unsur-unsur kualitas superior pada kelompok- kelompok (yang
lain). Ini makin terisi kelompok-kelompok elit yang ada dalam masyarakat. Dan
akibatnya, keseimbangan masyarakat pun menjadi terganggu. Karena inilah yang
menjadi perhatian utama Pareto mengemukakan tentang berbagai jenis pergantian
antara elit.47
Kekuasaan merupakan salah satu yang menentukan posisi khusus
dalam berpolitik, dimana kekuasaan itu merupakan kemampuan seseorang pelaku
untuk mempengaruhi seorang pelaku lain, sehingga perilakunya menjadi sesuai
dengan keinginan pelaku yang mempunyai kekuasaan.48
Kekuasaan mendorong mereka yang memegang kekuasaan untuk terus
mempertahankan kekuasaannya dengan dominasi dan melakukan eksploitasi
46
Andi Ikrayanto (24 Tahun), Pelajar, Wawancara, Bontobulaeng, 27-11-2016.
47
Varma,Teori Politik Modern, (Jakarta : Rajagrafindo Persedo, 2010), Hlm. 200-201. 48
Mirian Budiardjo, Dasar – Dasar Ilmu Politik , (Jakarta : Pt Gramedia Pustaka Utama,
2008 ), Hlm. 60.
45
terhadap masyarakat.49
Pola yang membatu para elit di Desa Bontobulaeng dalam
proses pergeseran antara elit yang satu dengan elit yang lainya dapat dilihat pada
ekonomi, posisi politik, dan asal keluarga. Sistem kekerabatan atau pada berbagai
etnis di Sulawesi selatan, hingga hari ini kelihatannya masih tetap dipertahankan
dan dijujung tinggi. Sistem kekerabatan yang berlaku di Bontobulaeng, hubungan
kekeluargaan seseorang dapat ditelusuri melalui dua jalur, yakni melalui
hubungan kekeluargaan dari garis keturunan ayah maupun dari ibu. Haslinda
merupakan elit yang dari golongan pendukung perolehan kekuasaan keluarga elit
bangsawan, kemudian berbicara tentang ekonomi di Desa Bontobulaeng
sebenarnya masyarakat atau faktor ekonomi bukan hal yang utama untuk
dijadikan sebagai pendukung kekuatan baik itu dari elit bangsawan (Haslinda)
atau elit bukan bangsawan (Rais). Tetapi ketika berbicara mengenai posisi politik
Haslinda dan Rais memiliki porsinya masing-masing, tetapi dengan gaya atau
karakter pemimpin yang blusukan, ramah dan terbuka membuat Rais unggul dari
calon-calon yang lain tak terkecuali oleh Haslinda dan karakter pemimpin seperti
Rais juga merupakan harapan masyarakat Bontobulaeng.
Tabel nama-nama kepala desa di Desa Bontobulaeng.
No Nama Golongan Periode
1 Andi Bennu Bangsawan 1963-1993
2 Andi Amsir Bangsawan 1993-2003
3 Haslinda Bangsawan 2003-2013
4 Rais Masyarakat baisa 2013-2019
49
Anggriani Alamsyah, Etika Politik (Makassar :UIN Alauddin Press, 2012 ), Hlm. 118.
46
Tabel di atas menunjukkan dominasi golongan bangsawan menjabat
sebagai kepala desa mulai dari kepala desa pertama yaitu Andi Bennu memimpin
sejak tahun 1963 sampai tahun 1993, 30 tahun lamanya Andi Bennu memimpin
Desa Bontobulaeng, pada tahun 1993 dilanjutkan oleh anak Andi Bennu yaitu
Andi Amsir kepemimpinannya berlangsung 2 periode sampai pada tahun 2003,
setelah berakhir masa jabatan Andi Amsir, kepala desa selanjutnya yaitu Haslinda
istri Andi Amsir(mantan kepala desa), masa kepemimpinan Haslinda berlangsung
2 periode pada tahun 2003 sampai pada tahun 2013, di kepemimpinan Haslinda
inilah dominasi golongan bangsawan terputus, sebab pada pemilihan kepala desa
tahun 2013 Haslinda gagal kembali menjadi kepala desa, dan jabatan kepala desa
dijabat oleh masyarakat biasa yaitu Rais yang menjabat pada tahun 2013 sampai
pada tahun 2019.
Pola pergeseran yang terjadi pada pemilihan kepala desa di Desa
Bontobulaeng yaitu tokoh masyarakat dan kepala dusun tidak di dominasi lagi
oleh golongan bangsawan, pada pragraf dibawah ini penulis menjelaskan pola
pergeseran yang terjadi di Desa Bontobulaeng:
Secara teoritis, semua manusia dapat di anggap sederajat. Akan tetapi,
sesuai dengan kenyataan hidup kelompok-kelompok sosial, halnya tidaklah
demikian. Pembedaan atas lapisan merupakan gejala universal yang merupakan
bagian sistem sosial setiap masyarakat.50
Pada beberapa masyarakat di dunia,
terdapat kelas-kelas yang tegas sekali karena orang-orang dari kelas tersebut
memperoleh sejumlah hak dan kewajiban yang dilindungi oleh hukum positif
50
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), Hlm.
202.
47
masyarakat yang bersangkutan. Warga masyarakat semacam itu sering kali
mempunyai kesadaran dan konsepsi yang jelas tentang seluruh susunan lapisan
dalam masyarakat.51
Misalnya di Kabupaten Bulukumba khususnya Desa
Bontobulaeng ada istilah tertentu untuk masyarakat golongan bangsawan yaitu
Andi/Karaeng. Pada awal mulanya terbentuk Desa Bontobulang kepala desa serta
jajarannya di pegang oleh golongan bangsawan dan menjadikan golongan
bangsawan di Desa Bontobulaeng sangat di hargai dan di hormati, para tokoh
masyarakatpun di desa ini hampir semuanya berasal golongan bangsawan.
Sehingga inilah yang membuat kekuasaan berpuluh-puluh tahun di pegang oleh
golongan bangsawan, namun lambat laun eksistensi golongan bangsawan yang
ada di Desa Bontobulaeng ini mulai terkikis dan puncaknya terjadi pada
pemilihan kepala desa tahun 2013 yang lalu, dimana dari beberapa calon kepala
desa tiga diantaranya berasal dari golongan bangsawan dan empat lainnya berasal
dari masyarakat biasa dan yang terpilih menjadi kepala desa yaitu dari masyarakat
biasa. Ini tidak lepas dari tokoh-tokoh masayarakat yang mana golongan
bangsawanpun mulai terkikis pada ranah ini. Sehingga membuat peluang bagi
masyarakat biasa untuk bersaing dan memenangkan pemilihan kepala desa yang
terjadi di Desa Bontobulaeng.
Seperti yang tertera pada pragraf sebelumnya, bahwa pada mulanya di
Desa Bontobulaeng kepala desa serta jajaranya dijabat oleh golongan bangsawan,
dalam jajaran ini termasuk kepala dusun yang dimana semua kepala dusun di jabat
oleh golongan bangsawan. Namun lambat laun pergeseran yang terjadi pada
51
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), Hlm.
206.
48
kepala dusun yang dominan golongan bangsawan menjadi di dominasi lagi oleh
masyarakat biasa atau bukan bangsawan. Pada pemilihan kepala desa yang terjadi
di Desa Bontobulaeng penulis melihat pergesaran yang terjadi bukan hanya pada
kepala desa namun juga terjadi pada tokoh masyarakat dan kepala dusun.
Pergeseran yang terjadi pada tokoh masyarakat dan kepala dusun ini
sangat mempengaruhi pada pemilihan kepala desa, sebab suara-suara dari tokoh
masyarakat dan kepala dusun yang bukan dari golongan bangsawan hampir
keseluruhan mengarah kepada calon kepala desa Rais. Hal inilah yang
menyebabkan menurunnya suara calon kepala desa dari golongan bangsawan.
Melihat penjelasan pada pragraf diatas, bahwa peran dari tokoh masyarakat dan
kepala dusun sangat berpengaruh dalam pemilihan kepela desa yang terjadi di
Desa Bontobulaeng.
Pada pemilihan Kepala Desa Bontobulaeng ada tujuh kandidat yaitu Rais,
Haslinda, A. Darnisa, A. Bangsawan, Ismail, Safaruddin dan Mansyur dalam
pemilihan yang terjadi penulis akan membahas mulai dari prapemilihan sampai
pascapemilihan.
a. Kampanye
Kampanye dapat dimengerti sebagai suatu komubikasi yang ditunjukan
untuk memengaruhi orang atau kelompok lain agar menggunakan atau tidak
menggunakan suara seperti yang diharapkan oleh pelaku kampanye pada suatu
pemilihan. Sebab pemilihan umum merupakan salah satu dari beragam aktivitas
49
politik yang ada. Pemaham ini muncul ketika Indonesia memasuki era baru dalam
pemilihan umum yang lebih bebas, serta pemilihan kepala daerah di Indonesia.52
Sama halnya kampanye yang terjadi di Desa Bontobulaeng ada dua bentuk
yaitu secara terang-terangan dan sembunyi-sembunyi, pada beberapa tempat
terlihat foto-foto kandidat seperti di pintu rumah warga, batas Desa dan lapangan
sepakbola (tempat pencoblosan Kades). Dari hasil penelitian yang dilakukan
penulis, penulis mewawancarai salah satu tokoh agama yaitu Imam Dusun
Mattunggaleng, beliau mengemukakan.
“Hettunna makkampanye suasanana mafella di Desae, faita di
pendukunna Kepala Desae, maega calon lao dia’ millau untuk upilei,
engka to makkampanye antara bola ke bola. Menurukku pemilihan kapala
Desa eddi baru-barue beda siba pemilihan kapala Desa mallalloe, nasaba
eddi baru-barue maega calonna dibanding mallalloe, apalagi masyarakat
paimeng bosang tonni di kpala Desa mallalloe (Haslinda) nasaba
pelayananna de’na makessing nappa bangunanna kurang to di banding
Kepala Desae kokkoro(Rais H. Abd Salam). A. bangsawan ia upile eddi
baru-barue nasaba keluargau nappa sitampe bolau paimeng, tapi ucennini
ati pak aplus, eddi upadang langsung pak aplus de’ usobbui” 53
(Dalam
masa kampanye berlangsung ketegangan di dalam Desa sangat terlihat
antara pendukung calon Kepala Desa, banyak calon yang mendekati saya
untuk memilihnya, ada juga yang berkampanye dari rumah ke rumah.
Menurut saya pemilihan Kepala Desa kemarin beda dengan pemilihan
Kepala Desa yang lalu, itu karena sekarang banyak calon Kepala Desa
dibandingkan yang lalu serta masyarakat juga sudah mulai jenuh terhadap
Kepala Desa yang lalu (Haslinda) diamana pelayanan tidak terlalu bagus
dan pembangunan yang sangat kurang jika di bandingkan dengan Kepala
Desa sekarang ( Rais H. Abd. Salam). Saya memilih A. Bangsawan dalam
pemilihan kemarin karena selain keluarga dia juga tetangga tapi dalam hati
saya, saya mendukung pak Aplus(nama gaul Rais) dan saya mengatakan
langsung ini kepada pak Aplus).
52 Damsar, Pengantar Sosisalisasi Politik, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group,
2013), Hlm. 228.
53
Anwar(50 tahun) Imam Dusun Mattunggaleng Desa Bontobulaeng, Wawancara,
Bontobulaeng, 12-04-2016.
50
Melihat hasil wawancara diatas memberikan pelajaran bahwa dalam
pemilihan strategi politik penting untuk dilihat sebagaimana tingkat efektifitas
kampanye partai politik dalam setiap pemilihan umum, karena terkadang apa yang
kita sudah siapkan (strategi politik) sejauh mungkin, namun ternyata di lapangan
sangat berbeda. Dalam teknik kampanye ada yang disebut “dari pintu ke pintu”
(door to door campaign) dilakukan dengan cara kandidat atau tim sukses
mendatangi pemilih sambil menanyakan persoalan-persoalan yang mereka
hadapi.54
Dalam wawancara dengan salah satu tokohh masyarakat yaitu Pak
Yasab yang diwawancarai oleh penulis mebenarkan bahwa salah satu kampanye
yang dilakukan oleh salah satu pendukung kandidat yaitu door to door. Kampanye
“tellu ngesso sebelunna mattoddo Kepala Desa taue, ko henniki ulaoi
bolana taue ngangke subuh urengi pemahaman wargae na uwillau
dukungi pak aplus . pemahamang warengengi pekkuga kondisinna Desata
hettunna karaeng pimpingi mappamula karaeng bennu gangke Haslinda
kurang ladde bangunanna, nappa pelayannanna liwa to ja’ lao warga
tannia karaeng. Kuna’ ro millau dukungan untuk Rais nasaba gaulki
nappa liwa to kessi lao ditaue, mau to bekas paremang tapi purato maccoe
mancaji jamaah tabligh” 55
(Pada tiga hari menjelang pemilihan Kepala
Desa, saya berjalan dari rumah kerumah warga pada malam hari sampai
subuh untuk memberikan pemahaman serta meminta dukungan untuk
memilih Rais (biasa dipanggil Aplus). Pemahaman yang saya berikan
tentang bagaimana kondisi Desa selama golongan darah biru (bangsawan)
dari Kepala Desa pertama(karaeng Bennu) sampai saat ini (Haslinda)
sangat kurang pembangunannya, dan pelayanannya bisa dibilang sangat
buruk ke kalangan masyarakat bawah. Dan saya maminta dukungan untuk
Rais karena jiwa sosial Rais sangatlah bagus meskipun beliau mantan
preman tapi beliau pernah juga menjadi anggota jamaah Tabliq).
54
Mulianyah A. Ways, Political Ilmu Politik, Demokrasi, Partai Politik dan Welfare
State (Yogyakarta: Litera Yogyakarta, 2015) , Hlm. 149-150.
55
Yasab (49 tahun) Tokoh Masyarakat Desa Bontobulaeng, Wawancara, Bontobulaeng
09-10-2016.
51
Pada masa kampanye yang terjadi pada saat pemilihan kepala desa di Desa
Bontobulaeng bisa dilihat pada gambaran di atas bahwa kampanye yang dilakukan
oleh salah satu pendukung kandidat sangat mempengaruhi warga untuk tidak
memilih pemimpin dari golongan bangsawan, melainkan menganjurkan memilih
pemimpin dari golongan yang bukan bangsawan terkhususnya kepada
Rais(Kepala Desa terpilih).
b. Pemilihan
Indonesia adalah negara yang mencita-citakan negara demokrasi yang
maju dan sejahtera. Demokrasi adalah sebuah sistem kenegaraan yang syarat
dengan kemerdekaan, kebebasan, kebijaksanaan, keadialan, keseimbangan dan
lain sebagainya. Hal tersebut akan menjadi pijakan negara untuk menerbitkan
rakyatnya menuju negara yang benar-benar merdeka dan tanpa ada kediktatoran,
anarkisme, dan diskriminatif. Menjadi negara demokratis memang sulit, tetapi
kalau praktik negara demokratis berjalan secara ideal, maka negara atau bangsa
Indonesia akan keluar dari yang namanya keterpurukan.56
Mekanisme pemilihan pilkada langsung hanya bagian kecil dari
peningkatan kualitas demokrasi ditingkat lokal. Ia tidak dengan sendirinya
menjamin (taken for granted) peningkatan kualitas demokrasi itu sendiri.
Demokrasi ditingkat lokal sangata membutuhkan berbagai persyaratan, khususnya
bagi masyarakat ( para pemilih) itu sendiri sebagai pemilik tertinggi kedaulatan di
negeri ini. Bahkan sangat disayangkan karena tingkat pendidikan yang rendah,
56 Muliansyah A. Ways, Political Ilmu Politik, Demokrasi, Partai Politik & Welfare
State. (Yogyakarta: Buku Litera Yogyakarta, 2015), Hlm. 96.
52
belum terbiasa untuk aktif berpartisipasi cenderung emosional (irational) dalam
proses politik mereka juga sangat dimnipulasi, baik seacara simbolik maupun
secara material yang kemudian sangat menjauhkan mereka dari nilai- nilai
demokrasi itu sendiri.57
Seperti yang terjadi di Desa Bontobulaeng Demokrasi yang berlasung
pada pemilihan Kepala Desa, pilkades yakni tahapan yang di tunggu-tunggu jauh
hari sebelumnya, karena dalam tahapan inilah berlangsungnya pemilihan yang
mana menentukan siapakah yang terpilih menjadi kepala desa selama 6 tahun
kedepannya. Partisipasi masyarakat dapat dilihat pada saat pemilihan berlangsung,
warga maysarakat sangat antusias dalam memberikan dukungan dan suaranya
kepada kandidat yang mereka dukung. Setelah memberikan hak suaranya warga
masyarakat tidak langsung meninggalkan tempat pemungutan suara tetapi mereka
tetap tinggal dan menunggu sampai penghitungan suara selesai. Mereka ingin
mengetahui hasil penghitungan suara apakah kandidat yang mereka dukung
terpilih atau tidak.
Saat penulis melaksanakan salah satu tugas Kampus yaitu Kuliah Kerja
Nyata (KKN) di Desa Bntobulaeng, penulis sempat mewawancarai Andi Amri
Syam salah satu tokoh pemuda tentang bagaimana proses pemilihan Kepala Desa
pada priode 2013.?
Pemilihan Kepala Desa kemarin bisa dibilang sexy kenapa saya bilang
begitu karena banyak polisi, tentara dan satpol PP yang mengawasi
berlangsungnya pencoblosan hingga pemungutan suara selesai. Karena
polisi mempekirakan jika Rais tidak terpilih maka pemilihan akan kacau,
untung saja yang naik adalah Rais klau bukan saya tidak tau bagaimana,
57 Salim Said, Kebijakan Elits Politik Indonesia, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2006),
Hlm. 180.
53
karena banyak teman preman dari luar yang datang mengawasi
pemilihan. Pada saat pencoblosan perolehan suara pak Aplus tidak
pernah dikalahkan tapi sempat selisih 10an suara antara Rais dengan ibu
Hasinda dan pada saat itu situasi sangat tegang di antara kandidat dan
para pendukung masing-masing hingga akhirnya suara Rais kembali
mejauh memimpin selisih lebih dari 100 suara dari Haslinda hingga
selesai dan selisihnya yaitu lebih dari 200 suara dari 2000an pemilih yang
memilih.58
Hasil wawancara diatas menunjukkan berjalannya proses penyoblosan
kepala desa sampai selesai yang dimenangkan oleh Rais. Berikut ini tabel
perolehan suara pemilihan kepala desa yang berlangsung di Desa Bontobulaeng.
No Nama calon Desa Jumlah hak
pemilih
Hasil suarah
yang diperoleh
kandidat
1. Rais H. Abdul Salam
(masyarakat biasa)
2672
759
2. Haslinda (bangsawan) 524
3. Ismail (masyarakat
biasa)
396
4. Andi
Darnisa(bangsawan)
291
5. Andi
Bangsawan(bangsawan)
302
6. Safarudin(masyarakat
biasa)
143
7. Mansur(masyarakat
biasa)
127
59
Tabel di atas menunjukkan perolehan suara pemilihan yang terjadi di Desa
Bontobulaeng, dan dapat dilihat bahwa Rais memperoleh suara terbanyak
meninggalkan para calon-calon lainnya dengan selisih cukup jauh dari pesaing
58 Andi Amri Syam (31 tahiun) Tokoh Pemuda Desa Bontobulaeng, Wawancara,
Bontobulaeng, 05-04-2016.
59
Dokumen Desa Bontobulaeng 2013/20219, Tanggal 08-10-2016.
54
terdekat yaitu Haslinda atau incumbent. Dapat dilihat bahwa perolehan suara dari
golongan masyarakat biasa terbilang tinggi karena jika di totalkan suara dari
golongan masyarakat biasa berjumlah 1425 dan dari golongan bangsawan
memiliki total suara 1247, artinya golongan bangsawan di Desa Bontobulaeng
sudah mulai menurun elektabilitasnya dan masyarakat biasa mulai meningkat
elektabilitasnya.
Keadaan pemilihan yang terbilang panas juga diungkapakn oleh mantan
calon kepala desa sekaligus Kepala Dusun Pumpikatu Pak Ismail.
“Hettunna mattoddo taue mapella suasanae, iya maddumba dumbaka
nasaba nappaku eddi mancaji calon kapala Desa, suasanana aman mua
nasaba maega mua keamanan engka, namu’ to kafang kurang tim
keamanan tafi’ tette toi aman nasaba timna Rais hedding makkebbu resyu
tapi ia mua menre. Namu’to dikalaka tafi maega pangalamang uruntu,
sebelum mattoddo taue pura uwisseng kedda Tania iya menre’ mancaji
Desa. Naulle matu’ mattama sikka mancaji calong. Makessing kalea Rais
nasaba iya baru-barue eddi balinna hettunna mattoddo’ taue tafi tetteka
napercayai mancaji kapala dusun”. 60
(Pada saat pencoblosan saya merasa
deg-degan karena ini adalah pengalaman pertama saya mencalonkan diri
sebagai Kepala Desa, suasana di TPS aman dan kondusif karena banyak
tim pengamanan, meskipun tim pengamanan sedikit saya yakin pemilihan
akan tetap berjalan aman, karena satu-satunya kandidat yang bisa bikin
ricuh hanya Rais. Sebelum hari pencoblosanpun saya sudah tahu bahwa
saya tidak akan terpilih sebagai Kepala Desa, Meskipu saya kalah tapi
banyak pengalaman yang bisa dipetik, mungkin berikutnya lagi saya akan
masuk sebagai calon. Rais sangatlah baik mengapa saya mengatakan hal
demikian, sebelum maju sebagai calon kepala desa, saya menjabat sebagai
kepala Dusun Pumpikatu dan memundurkan diri untuk maju pencalonan
tapi setelah pemilihan Rais Tetap mempercayakan jabatan kepala dusun
kepada saya)
Penggolongan partisipasi politik bahwa memilih dalam pemilihan
merupakan salah satu bentuk partisipasi politik, bagaimana perilaku politik dalam
60 Ismail (51 tahun) Mantan Calon Kepala Desa Bontobulaeng, Wawancara,
Bontobulaeng, 11-10-2016.
55
pemilihan dapat dijelaskan dalam pendekatan perilaku pemilih.61
Perilaku pemilih
yang sangat bersemangat megikuti proses demokrasi yang berlangsung dan ikut
berpasrtisipasi dengan memilih salah satu calon menujukan adanya harapan
perubahan masyarakat Desa Bontobulaeng untuk kedepannya ada perubahan yang
terjadi dalam sosok pemimpin Kepala Desa.
Rais menerima suara terbanyak dengan selisih 200an suara dari incumbent
Haslinda yang menempati suara terbanyak ke dua, dengan perolehan suara itu
maka Rais dinyatakan sebagai pemenang dalam pemilihan Kepala Desa dan
berhak memimpin 6 tahun kedepan Desa Bontobulaeng. Penulis juga melakukan
wawancara dengan Kepala Desa Bontobulaeng yaitu Rais.
“Saya maju sebagai calon kepala desa karena memang dalam hati saya
tergugah untuk maju disebabkan melihat kondisi Desa dari segi
pembangunannya sangat minim, saya maju karena memang ingin
membangun Desa dan ingin memberikan pelayanan terbaik kepada
masyarakat, tidak seperti kepla desa kemarin banyak warga yang
mengeluhkan masalah pelayanan apalagi masalah pembangunan,
contohnya jika melakukan rapat pendapat yang diajukan masyarakat tidak
di hargai, dan pada pendapat atau keputusan yang diambil tetap pendapat
mereka sendiri meski pendapat warga lebih baik ketimbang pendapat
mereka. Jadi masyarakat banyak yang sudah jenuh dan kecewa. Dalam
pemilihan kemarin saya maju sebagai calon kepala desa hanya benar-
benar mengandalkan sosialisasi kepada masyarakat, karena jika
mengandalkan perekonomian tidak akan bisa sebab perekonomian
keluarga saya ada pada perekonomian kelas bawah. Bahkan pada masa-
masa kampanye kemarin para wargalah yang membawa kopi, gula, rokok
dan sebagainya ke rumah. Pada masa kampanye kemarin, saya tidak
mempunyai strategi khusus, yang saya lakukan hanya mengandalkan
sosialisasi terhadap masyarakat, menerima masukan-masukan yang
diberikan oleh warga. Warga yang mendukunglah mempunyai peran
besar atas terpilihnya saya sebagai kepala desa, Dan alhamdulillah
61 Cholisin & Nasiwan, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2012)
Hlm. 152.
56
sekarang jika melihat pembangunan warga sudah melihat kemajuan
contohnya saja sudah banyak jalan beton yang dibangun serta pelayanan
bisa selalu terbuka.” 62
Pragraf ditas menunjukkan hasil wawancara penulis dengan kepala desa
terpilih yaitu Rais H. Abd Salam. dimana Rais merupakan calon terpilih menjadi
kepala desa dengan hanya mengandalkan pendekatan-pendeatan sosial kepada
masyarakat desa.
B. Faktor-Faktor yang Membuat Bangsawan tidak Terpilih lagi dalam
Pemilihan Kepala Desa di Desa Bontobulaeng
Parameter terwujudnya demokrasi lokal di tingkat lokal adalah
pelaksanaan pemilu lokal di tingkat lokal adalah pelaksanaan pemilu lokal yang
dilakukan secara teratur, kompetitif, jujur dan adil. Pemilu lokal merupakan
bentuk partisipasi masyarakat dalam berdemokrasi, dari hasil kegiatan tersebut
nantinya diperoleh wakil-wakil rakyat atau pemimpin sesuai aspirasi masyarakat.
Arena politik yang didasarkan pada tatanan politik selama ini hanya diperuntukan
bagi elit politik tertentu, birokrasi, ataupun militer sehingga menutup peluang bagi
partisipasi politik rakyat, termasuk bagi masyarakat elit (bukan bangsawan). 63
Kekuasaan oleh golongan bangsawan pernah beberapakali menduduki
posisi politik teratas yaitu sebagai pemimpin daerah atau kepala desa. Kekuasaan
politik sebagai bagian kekuasaan sosial memiliki keterkaitan juga dengan
kekuasaan alam. Kekuasaan politik merupakan kemampuan untuk mempengaruhi
kebijaksanaan umum (pemerintah) baik terbentuknya maupun akibatnya sesuai
62 Rais (43 tahun) Kepala Desa Bontobulaeng, Wawancara, Bontobulaeng, 11-10-2016
63
Syharil Karim, Politik Desentralisasi Membangun Demokrasi Lokal, ( Makassar :
Alauddin University Press 2012), Hlm. 118.
57
dengan tujuan pemegang kekuasaan sendiri. sebagai bagian dari kekuasaan maka
kekuasaan politik memang berkaitan dengan kehidupan manusia/masyarakat.
Tetapi analisis yang menekankan aspek paksaan dari kekuasaan akan cenderung
memandang politik sebagai perjuangan, pertentangan, dominasi, dan konflik dan
cenderung melihat tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh elit politik tidak
menyangkut masyarakat secara keseluruhan, melainkan menyangkut kepentingan
kelompok kecil masyarakat.64
hal inipun pernah terjadi di Desa Bontobulaeng yang
selalu dipimpin oleh elit politik bangsawan, tetapi pada pemilihan 2013 arena
politik juga sudah dimainkan oleh elit dan tak terkecuali oleh elit bukan dari
bangsawan atau masyarakat biasa.
Adapun ayat yang menggambarkan fenomena pemilihan kepala desa yang
terjadi di Desa Bontobulaeng yang berbunyi : Qs. Al-Baqarah 2:247
Terjemahnya:
Nabi mereka mengatakan kepada mereka: "Sesungguhnya Allah Telah
mengangkat Thalut menjadi rajamu." mereka menjawab: "Bagaimana Thalut
memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan
daripadanya, sedang diapun tidak diberi kekayaan yang cukup banyak?" nabi
(mereka) berkata: "Sesungguhnya Allah Telah memilih rajamu dan
menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa." Allah memberikan
pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan Allah Maha luas
pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui.
64 Cholisin & Nasiwan, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2012),
Hlm 45-48.
58
Ayat di atas menggambarkan tentang kepemimpinan yang tidak harus dari
golongan bangsawan ataupun dari orang kaya tetapi orang yang benar-benar
imgin memimpin dengan baik dan bijak, ayat tersebut sangat mendukung tentang
apa yang terjadi di Desa Bontobulaeng, pada pemilihan kepala desa yang
bertarung antara golongan bangsawan dengan masyarakat biasa.
Kasus pergeseran kekuasaan yang terjadi di Desa Bontobulaeg, pada
pemimpin sebelumnya masyarakat merasa kurang dihargai dan pemimpin harus di
hargai bagaikan raja, hal inilah yang menjadi alasan masyarakat tidak melirik lagi
pemimpin dari golongan bangsawan. Pada siklus inilah adanya pergeseran
kekuatan elit dan digantikan oleh kekuatan elit dari bukan bangsawan, celah
inilah menjadi kelemahan elit bangsawan (Haslinda) dan menjadi kekuatan oleh
elit bukan bangsawan (Rais), pada celah inilah yang dimanfaatkan oleh Rais untuk
mengalahkan Haslinda pada pemilihan kepala desa. Kesalahan yang dibuat
pemerintah merupakan kelemahan baginya. Tetapi jika lawan tidak mampu
menggunakan kelemahan ini dengan cara yang benar kepada masyarakat pemilih,
kelemahan tersebut tidak akan dapat bisa dimanfaatkan. Suatu kritik negatif
terhadap suatu politik yang merupakan kelemahan pihak lawan, tidak selalu
menghasilkan kekuatan bagi pihak tertentu65
seperti yang di ungkapkan oleh Ewa
Kupile pak aplus nasaba eloka parellu perubahan pammarenta di
kamponge. Nasaba rekko karaeng pimpingi, masyarakat biasa mangali’
komunikasi siba pamarenta Desata, carata mabbicara dipaceniki iga
missennangi sala paui taue. Kuni eddi keunngulanna pak aplus Kepala
Desa kokkoro, taunna macca sosialisasi siba masyaraka’ke, macca mita
kondisi ko maccarita siba taue. Intina butua Kepala Desa masennang na
65
Peter Schroder, Strategi Politik, (Jerman: nomos, baden-baden. 2000), Hlm. 83.
59
engkato hassele dita pole jama-jamanna na perullu to pemimpin iya mitai
masyarakatta siba macca turusi elonna masyarakatta”. 66
(Saya memilih
pak Aplus(Rais) itu karena saya merasa perlu ada perubahan dalam bentuk
pemerintahan dikampung ini karena kalau dari elit bangsawan yang
memimpin saya yang masyarakat biasa segan - segan untuk berkomunikasi
dengan pihak pemerintahan cara bicara harus diperbaiki karena ini kami
berkomunikasi dengan orang bangsawan dan ke unggulan dari Rais itu
orangnya bersosialisasi bisa menepatlkan dirinya untuk bicara dengan
siapa saja intinya saya butuh Kepala Desa yang santai dan ada hasil kerja
yang tidak perlu terlalu di agung agungkan , pemimpin yang merakyat).
Pareto mempertegas bahwa pada umumnya elit berasal dari kelas yang
sama, yaitu orang-orang kaya dan pandai, dan biasanya elit jumlahnya lebih
sedikit.67
Pilihlah aku adalah kata yang paling indah di ucapkan dalam sebuah
narasi, kata yang pendek tetapi tersimpan makna-makna yang terkandung di
dalamnya. Alam demokrasi memberikan kesempatan kepada kita semua untuk
menentukan pilihan-pilihan sesuai hati nurani manusia.68
Pergeseran yang terjadi
pada pemilihan adalah minat masyarakat yang ingin memilki pemimpin baru,
terlihat dengan terpilihnya kepala desa dari masyarakat biasa.
Berikut penulis menjelaskan faktor-faktor tidak terpilihnya bangsawan
dalam pemilihan kepala desa di Desa Bontobulaeng.
1. Menurunnya karisma bangsawan dimata masyarakat.
Warga suatu masyarakat pedesaan mempunyai hubugan yang lebih
erat dan lebih mendalam ketimbang hubungan mereka dengan warga
masyarakat pedesaan lainnya. Sistem kehidupan biasanya berkelompok atas
66 Ewa (22 tahun) Masyarakat Desa Bontobulaeng, Wawancara, Bontobulang 10-10-
2016.
67
Robert Van Niel, Munculnya Elite Modern Indonesia, (Penerbit Pustaka Jaya,
Jakarta,1984), Hlm. 12. 68
Mulianyah A. Ways, Political Ilmu Politik, Demokrasi, Partai Politik dan Welfare
State (Yogyakarta: Litera Yogyakarta, 2015), Hlm. 118.
60
dasar sistem kekeluargaan. Golongan orang-orang tua pada masyarakat
pedesaan umumnya memegang peranan penting. Orang akan selalu meminta
nasihat pada meraka apabila ada kesulitan yang dihadapi. Kesukarannya
adalah bahwa golongan orang-orang tua itu mempunyai pandangan yang
didasarkan pada tradisi yang kuat, seihngga sukar untuk melakukan
perubahan-perubahan yang nyata.69
Kebudayaan khusus kelas sosial. Di dalam setiap masyarakat akan
dijumpai lapisan sosial karena setiap masyarakat mempunyai sikap
menghargai yang tertentu terhadap bidang-bidang kehidupan yang tertentu
pula. Dengan demikian kita mengenal lapisan sosial yang tinggi, rendah dan
menengah. Masing-masing kelas sosial mempunyai kebudayaannya masing-
masing, menghasilkan kepribadian yang tersendiri pula pada setiap diri
anggota-anggotanya.70
Contohnya yang terjadi di desa bontobulaeng
mempunyai kelas sosial dari golongan bangsawan dan masyarakat biasa dan
kebudayaan memiliki perbedaan.
Pada wawancara penulis dengan Aspin (Tokoh Pemuda) tentang
menurunnya karisma bangsawan.
“Ada beberapa faktor yang membuat karisma bangsawan khususnya
kepala desa sebelumnya (Haslinda) menurun di Desa Bontobulaeng,
seperti sifatnya yang agak sombong, kepemimpinannya yang tertutup serta
pada masa kepemimpinannya kurangnya pembangunan. Hal-hal itulah
yang membuat karisma dari bangsawan menurun, sehingga masyarakat
yang sangat mempercayai golongan bangswan lama-lama mulai jenuh,
69
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Pt Radja Grafindo Persada,
2004), Hlm. 153-154. 70
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Pt Radja Grafindo Persada,
2004), Hlm. 189.
61
dan pada pemilihan kemarin sangat terlihat bagaimana masyarakat tidak
lagi mempercayai golongan bangsawan menjadi kepala desa mereka lebih
percaya kepada masyarakat biasa.”71
Wawancara diatas menujukkan bagaimana masyarakat tidak lagi
mempercayai bangsawan karena beberapa faktor yang karisma dari
golongan bangsawan menurun dan imbasnya terlihat pada pemilihan kepala
desa, dimana yang menjadi kepala desa bukan lagi dari golongan bangsawan
melaikan dari masyarakat biasa.
Golongan bangsawan dalam sosiologi merupakan golongan yang
mempunyai kelas tertinggi dibanding masyarakat lainnya, seperti yang
terjadi pada Desa Bontobulaeng, bangsawan sangat dipandang dan sangat di
hargai oleh masyarakat, tetapi pada dekade terakhir ini karisma dari
golongan bangsawan mulai menurun sehingga berdampak pula pada
pemilihan kepala desa. Pada pemilihan kepala desa yang terjadi di
Bontobulaeng, ada tiga calon dari golongan bangsawan dan empat calon
dari masyarakat biasa, namun yang terpilih melaikan dari masyarakat biasa,
ini menandakan bahwa kekarismatikan dari golongan bangsawan sudah
menurun sehingga masyarakat tidak lagi mempercayai untuk menjadi kepala
desa, walaupun dari pertama terbentuknya Desa Bontobulaeng sudah di
pimpin oleh golongan bangsawan. Alasan yang dikemukakan warga desa
tidak memilih calon kepala desa dari bangsawan bermacam-macam ada
yang mengatakan sudah jenuh pada kepemimpinan golongan bangsawan,
ada pula yang mengatakan selama golongan bangsawan yang memimpin
71
Aspin (35 Tahun) Tokoh Pemuda Dusun Serre, Wawancara, Bontobulaeng, 27-11-
2016.
62
pelayanan dan pembangunan di desa sangatlah minim. Berbagai pendapat
yang dikemukakan oleh warga.
2. Pemilih Rasional
Pemilihan umum berarti rakyat melakukan kegiatan memilih orang
atau sekelompok orang menjadi pemimpin rakyat, pemimpin negara atau
pemimpin pemerintahan. Hal ini berarti pemimpin itu dipilih oleh rakyat,
jadi melalui pemilihan umum, rakyat yang memunculkan calon pemimpin
pemerintahan. Pemilihan umum adalah sebuah mekanisme politik untuk
mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan warga negara dalam proses
memilih sebagai rakyat menjadi pemimpin pemerintahan72
.
Keikutsertaan warga negara dalam pemilihan umum merupakan
serangkain kegiatan membuat keputusan, yakni apakah memlih atau tidak
memilih dalam pemilihan umum.73
Pilihan rasional adalah bahwa „ketika
dihadapkan pada beberapa jenis tindakan, orang biasnya melakukan apa
yang mereka yakini berkemungkinkan mempunyai hasil yang terbaik.74
Bagi pemilih, pertimbangan untung rugi digunakan untuk membuat
keputusan tentang partai atau kandidat yang dipilih, terutama untuk
membuat keputusan apakah ikut memilih atau tidak ikut memilih?.
Pendekatan rasional ini tidak selalu memuaskan karena cukup banyak warga
masyarakat menggunakan hak pilih sebagai kebanggaan psikologis, seperti
72
Toni Andrianus Pito, Mengenal Teori-Teori Politik dari Sistem Politik Sampai Korupsi,
(Bandung: Nuansa, 2006). Hlm. 301. 73
Ramlan Subakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: Grasindo, 2010). Hlm. 185. 74
David Marsh & Gerry Stoker, Teori dan Metode dalam Ilmu Politik, (Bandung: Nusa
Media, 2010), Hlm. 76.
63
menunaikan kewajiban sebagai warga negara, menegaskan identitas
kelompok, dan menujukkan loyalitas terhadap partai.75
Pemilihan kepala desa yang terjadi di Desa Bontobulaeng, warga
masyarakat sudah mulai menggunakan akal rasional mereka untuk memilih
calon pemimpinnya, diamana mereka sudah mengetahui mana pemimpin
yang baik dan mana pemimpin yang kurang baik untuk menjadi kepala desa.
Jika melihat perbandingan yang terjadi anatara pemimpin dari golongan
bangsawan dengan masyarakat biasa, penulis melihat perbedaan yang
signifikan dimana pada saat desa dimimpin dari bangsawan pembangunan
dan pelayanan sangat tidak mendukung, sedangkan pemimpin dari
masyarakat biasa dari sektor pembangunan dan pelayanannya sangat di
sukai oleh warga, terbukti dengan banyaknya pembangunan jalan serta
irigasi dan pelayanan yang mengutamakan kepentingan warga daripada
kepentingan pribadi.
Penulis melihat adanya minat masyarakat yang ingin dipimpin oleh
pemimpin yang merakyat, dari sinilah penulis dapat mengamati bahwa
kekuasaan yang dimiliki oleh Rais itu menunjukan pemimpin yang
merakyat dimana masyarakat selama ini mengharapkan kepemimpinan yang
seperti itu. Wawancara diatas menunjukan bahwa Rais terpilih dari
masyarakat sesuai dengan hati nurani bukan dengan materi melainkan ingin
melihat perubahan.
3. Genealogi Rais
75
Ramlan Subakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: Grasindo, 2010). Hlm. 187.
64
Rais lahir di Desa Bontobulaeng pada 05 Mei 1973 dari pasangan H.
Abd Salam dengan Hj. Tati, Rais berasal dari keluarga yang sangat
sederhana, kedua orang tuannya hanyalah petani, ia adalah anak ke 3 dari
empat bersaudara, dimana saudara tertuanya bernama Pak Jong, kakak
keduanya seorang perempuan yang bernama ibu Hartina dan adiknya
seorang perempuan yang bernama Anti, mereka berempat sudah berkeluarga
dan memiliki anak, Rais menikah dengan Ardianti dan memiliki empat
anak, tiga laki-laki dan satu perempuan. Ia bersekolah di SDN 188
Bulukumba, setelah lulus di sekolah dasar melanjutkan pendidikannya di
SMPN 15 Bulukumba. Setelah lulus sekolah menengah pertama, beliau
berhenti bersekolah dan membantu orang tua bekerja di kebun setelah
beberapa tahun membantu orang tua, kemudian mengambil paket C untuk
ijazah SMA, ia pernah mengalami masa-masa buruk selama hidupnya
dengan menjadi preman, imbasnya pernah mendapat tikaman dari lawannya,
setelah menikah ia memilih merantau ke Kolaka untuk berkebun dan setelah
beberapa tahun hidup di Kolaka ia kembali ke Desa Bontobulaeng dan ikut
menjadi jama‟ah tabliq selama beberapa tahun, setalah jadi jama‟ah tabliq ia
kemudian maju mencalonkan diri sebagai Kepala Desa Bontobulaeng.
Pada pencalonannya menjadi kepala desa pada tahun 2013, ia
terpilih menjadi kepala desa dengan perolehan suara sebanyak 759 dan
memimpin desa pada periode 2013-2019. Pada masa-masa
kepemimpinannya banyak perubahan yang terjadi pada Desa Bontobulaeng,
pada pemilihan Bupati Bulukumba tahun 2015 ia aktif sebagai tim sukses
65
dari pasangan A. Sukri dan Tommi Satria, ia sangat dekat Bupati dan Wakil
Bupati Bulukumba. Ia juga sering mendapat sanjungan dari Wakil Bupati
Bulukumba atas kinerja pembangunan di Bontobulaeng.
Melihat Genealogi dari Rais, membuktikan bahwa seseorang yang
lahir dari keluarga sederhana dan pendidikan tidak terlalu tinggi namun
memiliki pengalaman yang luas, dan memiliki jiwa sosial yang tinggi bisa
menjadi kepala desa. itulah salah satu faktor yang membuat Rais dipilih
oleh masyarakat, dengan jiwa sosialnya yang tinngi dan pandai
bergaulnyalah membuat masyarakat tertarik dan memilihnya. Masyarakat
Desa Bontobulaeng sudah melihat gagal pada kepemimpinan golongan
bangsawan, karena dari segi pembangunan yang kurang dan pelayanannya
yang sangat tertutup.
Adapun wawancara penulis dengan salah satu masyarakat Desa
Bontobulaeng yang ikut dalam pemilihan yakni ibu Ani.
“Kupile pak aplus nasaba eloka parellu perubahan pammarenta di
kamponge. Nasaba rekko karaeng pimpingi, masyarakat biasa mangali’
komunikasi siba pamarenta Desata, carata mabbicara dipaceniki iga
missennangi sala paui taue. Kuni eddi keunngulanna pak aplus Kepala
Desa kokkoro, taunna macca sosialisasi siba masyaraka’ke, macca mita
kondisi ko maccarita siba taue. Intina butua Kepala Desa masennang na
engkato hassele dita pole jama-jamanna na perullu to pemimpin iya mitai
masyarakatta siba macca turusi elonna masyarakatta”.76
(Saya memilih
pak aplus itu karena saya merasa perlu ada perubahan dalam bentuk
pemerintahan dikampung ini karena kalau dari elit bangsawan yang
memimpin, saya yang masyarakat biasa segan-segan untuk berkomunikasi
dengan pihak pemerintah, cara bicara harus diperbaiki siapa tau salah kata,
beginilah cara kami berkomunikasi dengan orang bangsawan, dan ke
unggulan dari pak aplus itu orangya bersosialisasi bisa menepatkan dirinya
untuk bicara dengan siapa saja, intinya saya butuh kepala desa yang santai
76
Ani (48 tahun) Masyarakat Desa Bontobulaeng,Wawancara, Bontobulaeng 10-10 -
2016.
66
dan ada hasil kerja yang nyata, serta tidak perlu terlalu di agung-agungkan
bagaikan raja, tentunya pemimpin yang merakyat).
Wawancara diatas menggambarkan bahwa masyarakat memilih karena
ingin adanya perubahan dan ingin mencoba sesuatu yang baru dan itu terbukti dari
kepemimpinan Rais beberapa tahun ini di pergunakan untuk mengelola
sumberdaya-sumberdaya ekonomi dan sosial guna pembangunan masyarakat.
Melihat pembangunan dan pelayanan yang terjadi selama Rais menjadi kepala
desa, jelas ini membuktikan bahwa kepemimpinan dari seorang elit bukan
bangsawan lebih baik dibanding dengan elit bangsawan yang memimpin.
Kekuasaan bisa muncul dalam suatu proses hubungan pertukaran, karena
kekuasaan merupakan hasil hubungan pertukaran yang timbang. Kekuasaan
muncul ketika seseorang atau sekelompok orang membutuhkan sesuatu dari
seseorang atau sekelompok orang lainnya, namun tidak mempunyai sesuatu yang
sama nilainya sebagai penukar, sehingga barang dan jasa yang dibutuhkan
tersebut hanya bisa dipenuhinya melalui ketundukan atau kepatuhan terhadap
kekuasaan mereka yang menguasai barang dan jasa tersebut.77
Kekuasaan dari elit bukan bangsawan muncul ketika adanya kejenuhan
dari masyarakat Bontobulaeng dan sosok pemimpin yang merakyat yang dicari
menimbulkan adanya anggapan dari warga masyarakat yang memilih calon untuk
mencoba-coba hal ini diungkapan oleh tokoh masyarakat. Orang yang dipandang
memiliki pemahaman luas atau visi yang jauh kedepan tentang kehidupan
komunitas mereka. Pada menjelang musim pemilihan, biasanya para politisi
melakukan silaturahmi atau sowan politik kepada tokoh masyarakat untuk
77 Damsar, Pengantar Sosiologi Politik,( Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2013 ),
Hlm. 75-77.
67
memperoleh “restu mereka”. Kepemilikan “restu” politik pada tokoh masyaratkat
diharapkan menjadi bekal politis untuk mendapatkan “pengaruh “, yang melekat
dari “restu” hal ini menperlihatkan tokoh masyarakat dipandang sebagai
komunikator politik yang relevan untuk memperjuangkan atau menfasilitasi
keinginan para politik atau kandidat.78
Hasil wawancara dengan Kepala Dusun
Bontobulaeng yakni Pak Sapri
“Selaing engkana kekecewaan na rasa de’na puas pole di pammarentae
sebelunna engkato rasa coba-coba, coba-coba Tania nasaba pak aplus
lebbi makessing uwita darpada calong lainge dari pada upile ulangi matu
sala pilea engkangi barue kupile. Ia majjam di Desae sebagai staf Desa
sebelunna ulleni bandingkangi kokkoro kemajuanna pole di
pembangunange di Desa Bontobulaeng di periode 2013 gangke 2019
nasaba didukuttoi pole dana Desae maega to nappa pammarenta turutto
paimeng ma’bangung”. 79
(Selain dari adanya kekecewaan dan rasa tidak
puas dari pemerintahan sebelumnya ada juga rasa mencoba coba , mencoba
– coba itu karena bukan calon pak aplus itu yang terbaik dari calon lainya
tapi dari pada mengulang untuk dipilih dengn pilihan yang salah lebih
memilih yang baru . tetapi saya sebagai staf Desa yang suda bekerja dari
pemerintah sebelumnya dapat mengbandingkan kemajuan dari segi
pembangunan Desa pada periode ini 2013-2019 karena didukung oleh dana
Desa yang besar dan itupun didukung dengan pemerintahan yang aktif
menperhatikan pembagunan).
Adapun salah satu faktor yang menunjang pembangunan Desa yaitu dari
segi pendanaan yang masuk didesa alokasi dana desa (ADD) dan anggaran
pendapatan dan belanja desa (APBD). Penulis mewawancarai salah satu staf desa
yaitu Rukma Amir mengatarakan,
78 Damsar, Pengantar Sosiologi Politik, ( Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2013),
Hlm. 223.
79
Sapri (52 tahun) Kepala Dusun Tappalang Desa Bontobulaeng, Wawancara,
Bontobulaeng 10-10 -2016.
68
“Salah satu faktor penunjang pembangunan desa yang sekarang adalah
termanfaatkannya betul-betul anggaran desa yang masuk, dimana
pembangunan yang merata jalan-jalan yang belum di aspal sekarang sudah
di aspal, pembangunan irigasi, Talu, dan lain sebagainya. Perbedaan
anggaran pada kepala desa kemarin dengan kepala desa yang sekarang
sangat jauh. Tapi pemanfaatan anggaran yang kemarin kuarang efektif,
berbeda dengan kepala desa yang sekarang yang benar-benar
memanfaatkan anggara desa seperti apa yang di rencanakan dalam
pertahunnya.”80
Peningkatan Dana Desa untuk tahun 2016 hingga mencapai 6% dari dan
diluar dana transfer ke daerah merupakan road map Dana Desa 2015-2019 sesuai
dengan amanat Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014. Arah kebijakan transfer
Dana Desa 2016 mencerminkan Pemerintah Pusat melakukan percepatan
pembangunan infrastruktur dengan prinsif berkeadilan dan pemerataan di setiap
Desa, hal ini dibuktikan dengan dalam rancangan alokasi tahun 2016 ada kenaikan
yang signifikan yaitu sebesar 126,57% atau sebesar 46,9 T dari tahun 2015 yang
hanya sebesar 20,7 T. Meningkatnya transfer dana ke Desa harus diiringi dengan
keberhasilan sesuai dengan yang diamanatkan dalam peraturan perundang-
undangan dan mengedepankan azas transparansi, partisipatif, akuntabel, efisiensi,
efektif, berkeadilan dan berkelanjutan.81
Masyarakat memiliki kesadaran secara utuh bahwa mereka adalah aktor
politik. Oleh karena masyarakat dalam budaya politik partisipan dapat menilai
dengan penuh kesadaran baik sistem politik sebagai totalitas, input output maupun
posisi dirinya sendiri. Masyarakat dalam budaya ini memiliki sikap yang kritis
untuk memberikan penilaian terhadap sistem politik dan hampir kepada semua
80
Amir Rukma (53 tahun) Staff Desa Bontobulaeng, Wawancara, Bontobulaeng 10-10
-2016.
81
Undang- Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014.
69
aspek kekuasaan.82
kesadaran atas hak dan kewajiban seorang masyarakat ini di
apresiasikan oleh masyarakat Bontobulaneg.
Dari beberapa hasil wawancara penulis mengamati bahwa faktor
pemimpin yang merakyat merupakan kekuatan besar yang dimiliki oleh Rais
sehingga unggul dari calon-calon yang lain, meskipun lawan Rais dari golongan
bangsawan, tapi dari calon itulah menjadi nilai minus kepada masyarakat karena
ada trauma kepada masyarakat Bontobulaeng yang dipimpin oleh bangsawan.
BAB V
82 Rahman, Sistem Politik Indonesia, (Yogyakarta: Graham Ilmu, 2007), Hlm. 270.
70
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pergeseran kekuasaan elit yang terjadi pada pemilihan kepala desa
di Desa Bontobulaeng merupakan sarana penentu untuk mengetahui
siapa yang akan memimpin desa dalam enam tahun kedepannya.
Terpilihnya Rais H. Abd Salam sebagai kepala desa tidak lepas dari
peran warga yang mendukung, menurunnya dominasi golongan
bangsawan pada tokoh masyarakat dan kepala dusun sangat
berdampak pada pemilihan kepala desa yang terjdi di Desa
Bontobulaeng yang dimana membuat Incumbent Haslinda tidak
terpilih lagi menjadi kepala desa.
Faktor-faktor pemilih dalam pemilihan kepala desa di Desa
Bontobulaeng yaitu keinginan warga yang tidak lagi mau di pimpin
oleh golongan bangsawan, warga sudah merasa jenuh karena dalam
kepemimpinan dari golongan bangsawan beberapa dekade ini tidak
memiliki pembangunan seperti yang di inginkan warga dan pelayanan
yang di berikan tidak memuaskan warga. Jadi warga memilih calon
kepala desa dari masyarakat biasa dan terbukti dalam beberapa tahun
masa kepemimpinannya sudah banyak pembangunan jalan, Taluk dan
irigasi serta pelayanan kepada masyarakat sangat terbuka.
71
B. Implikasi
Kepala Desa sebagai pemimpin dalam sebuah Desa harus bersifat
terbuka dan mengutamakan pelayanan bagi warga masyarakat dan lebih
mementinkan kepentingan warga dari pada kepentingan pribadi.
Bagamanapun kepala desa harus memiliki hubungan yang baik dengan
warga masyarakat.
72
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur‟an dan Terjemahanya. Departemen Agama Republik Indonesia, Semarang
: Toha Putra, 2015.
Alamsyah, “Dinamika Politik Pilkades di Era Otonomi Daerah”, Tamanpraja 1,
no. 1 2011
Alamsyah, Anggriani, Etika Politik , Makassar :UIN Alauddin Press, 2012.
Amelia, Lia, Pilkada Kabupaten Bone Dalam Konteks Sistem Kekerabatan dan
Pelapisan Sosial, Skripsi. Makassar: Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik
Universitas Hasanuddin, 2012.
Ancaman Refeodalisasi Dalam Politik Lokal Di Indonesia”, (Laporan Utama),
Kompasiana, 24 Februari 2015.
Arimi, Sailal, pergeseran Kekuasaan Bangsawan Jawa Indonesia: Sebuah Analisis
Wacana Kritis, Jurnal Masyarakat & Budaya 10, No. 2 Tahun 2008.
Budiardjo, Mirian, Dasar – Dasar Ilmu Politik , Jakarta : Pt Gramedia Pustaka
Utama, 2008.
Damsar, Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta : Prenada Media Group, 2013
Djati, Wasito Raharja, Revivalisme Kekuatan Familisme Dalam demokrasi:
Dinasti Politik di Aras Lokal, Jurnal Sosiologi Masyarakat 18, No. 2 ,
2013.
Hadiz, Vedi R., Dinamika Kekuasaan: Ekonomi Politik Indonesia Pasca-
Soeharto, Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2005
Haryanto, Klanisasi Demokrasi (Politik Klan Qahhar Mudzakkar di Sulawesi
Selatan). Penerbit Polgom: Yogykarta, 2010.
Haryanto, Elit Politik Lokal Dalam Perubahan Sistem Politik, Jurnal Ilmu Sosial
Dan Ilmu Politik 13, No. 2 2009.
Karim Syahrir. Politik Desentralisasi Membangun Demokrasi Lokal. Penerbit
Alauddin University Press. Makassar, 2012.
Nasiwan & Cholisin, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Yogyakarta: Penerbit Ombak,
2012.
73
Niel, Robert Van. Munculnya Elite Modern Indonesia, Jakarta: Penerbit Pustaka
Jaya,1984.
Peter, Schroder, Strategi Politik, Jerman: Nomos, Baden-baden. 2000.
Pito, Toni Andrianus, Mengenal Teori-Teori Politik dari Sistem Politik Sampai
Korupsi, Bandung: Nuansa, 2006.
Politik Dinasti Syahrul Yasin Limpo Dimakassar” (Laporan Utama) Tribunnews,
31 Agustus 2013.
Rahman, Sistem Politik Indonesia, Yokyakarta: Graham Ilmu, 2007.
Said, Salim, Kebijakan Elits Politik Indonesia, Yogyakarta : Pustaka Pelajar,
2006.
Sastrawati, Nita dan Idris, Muh. Irfan, Sosiologi Politik, Makassar : Alauddin
Press, 2010.
Soekanto, Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Pt Radja Grafindo
Persada, 2004.
Stoker, Gerry & Marsh, David, Teori dan Metode Dalam Ilmu Politik Bandung:
Nusa Media, 2010.
Subakti, Ramlan, Memahami Ilmu Politik, Jakarta: Grasindo, 2010.
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif, Bandung: Alvabeta,
2014.
Suriani, Sosiologi Pedesaan, Makassar : Alauddin Universitas press, 2013.
Undang- undang desa nomor 6 tahun 2014.
Varma,Teori Politik Modern, Jakarta : Rajagrafindo Persedo, 2010.
Ways, A. Mulianyah, Political Ilmu Politik, Demokrasi, Partai Politik dan
Welfare State Yogyakarta: Litera Yogyakarta, 2015.
Wirasenjaya, Ade M,” Negara, Pasar dan pendalaman Demokrasi Pasca Orde
Baru, The Politics 1, no. 2, 2015.
Yusron, Elite Lokal dan Civil Society, Jakarta : Pustaka LP3ES Indonesia 2009
Zuhro, R.sitti dkk, Peran Aktor dalam Demokratisasi, Yokyakarta : Ombak, 2009.
74
76
Daftar Gambar
Gambar 1: wawancara dengan Kepala Desa Bontobulaeng Rais
Gambar 2: Wawancara dengan Staf Desa Amir Rukma
77
Gambar 3: Wawancara dengan Kepala Dusun Tappalang Pak Sapri
Gambar 4: Wawancara dengan Tokoh Masyarakat Pak Yasab.
71
RIWAYAT HIDUP
HARIANTO, lahir pada tanggal 20 April 1994,
di Kelurahan Tanrutedong Kecamatan Duapitue,
Kabupaten Sidrap, Sulawasi Selatan merupakan anak
kelima dari enam bersaudara, dari pasangan Bapak
Alm. La Sikki dan Ibu Hj. Salika.
Jenjang pendidikan ditempuh mulai dari sekolah dasar SDN 11 Bila Kecematan
Duapitue Kabupaten Sidrap Provinsi Sulsel (2000-2006) dilanjukan ke tingkat
menengah pertama di SMPN 2 Duapitue Kecamatan Duapitue Kabupaten Sidrap
Sulsel (2006-2009). Kemudian penulis melanjukan sekolah menegah atas di SMAN
1 Duapitue Kecamatan Duapitue Kabupaten Sidrap Sulsel (2009-2012).
Tahun yang sama 2012 penulis melanjukan pendidikan ke jenjang perguruan
tinggi di Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar Pada Fakultas Ushuluddin,
Filsafat dan Politik dan mengambil jurusan Ilmu Politik ( 2012-2016). Selama masa
perkuliahan penulis juga aktif mengikuti organisasi intra kampus yaitu himpunan
mahasiswa jurusan (HMJ), organisasi ekstra yaitu pergerakan mahasiswa islam
Indonesia (PMII), ikatan pelajar nahdlatul ulama (IPNU), dan Ikatan Pelajar
Mahasiswa Indonesia Sidrap (IPMI Sidrap).