handout diskusi wahabi

12
WAHABI A. Sejarah kemunculan wahabi Kalangan wahabi mengklaim bahwa latar belakang kemunculan wahabiyah tidak dapat dilepaskan dari tiga kondisi umat Islam waktu itu; Pertama, politik. Secara politik umat Islam di seluruh kawasan kekuasaan Islam berada dalam keadaan lemah. Turki Usmani (kerajaan Ottoman) yang menjadi penguasa tunggal Islam pada saat itu sedang mengalami kemunduran dalam segala bidang. Banyak daerah kekuasaannya yang melepaskan diri, terutama di daratan Eropa. Kedua, perilaku keagamaan. Di samping kelemahan politik, perilaku keagamaan umat di masa itu merupakan faktor yang paling mendorong munculnya gerakan ini. Pada umumnya, terutama di Semenanjung Arabia, telah terjadi distrosi pemahaman Alquran. Ketiga, sosial ekonomi. Tumbuh suburnya perilaku keagamaan semacam ini sesuai dengan tingkat kesejahteraan kebanyakan umat. Kekacauan politik telah menyebabkan kejahatan timbul di segala tempat. Sistem kabilah merupakan tradisi lama bagi mayoritas penduduk Nejd dan mayoritas penduduk Semenanjung Arabia. Kabilah-kabilah yang kuat dapat menguasai jalur perdagangan, sedangkan peduduk pada umumnya berada dalam kekurangan. Menurut Hamid (2010/101), munculnya gerakan wahabi tidak bisa dipisahkan dari gerakan politik, perilaku keagamaan, pemikiran dan social ekonomi umat islam. Mulanya Muhammad bin Abdul Wahab hidup di lingkungan sunni pengikut madzhab Hanbali, bahkan ayahnya Syaikh Abdul Wahab bin Sulaiman adalah seorang sunni yang baik, begitu pula guru-gurunya. Muhammad bin Abdul wahab memang dikenal orang yang haus ilmu. Ia berguru pada Syeikh Abdullah bin Ibrahim an-N ajdy, Syeikh Efendi ad Daghastany, Ismail al-Ajlawy, syeikh Abdul lathief al-‘Afalaqy dan Syeikh Muhammad al-‘afalaqy. Di antara mereka yang paling lama menjadi guru adalah Muhammad hayat Sindhi dan

Upload: saefullah-el-fathin

Post on 01-Feb-2016

11 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

Sejarah kemunclan wahabi dan gerakan pemikiran wahabi saat ini, tokoh tokoh wahabi, organisasi-organisasi berpaham wahabi, sejarah kemunculan wahabi di Nusantara. Wahabi dan Ahlussunnah wal jamaah (Aswaja)

TRANSCRIPT

Page 1: Handout Diskusi Wahabi

WAHABI

A. Sejarah kemunculan wahabi

Kalangan wahabi mengklaim bahwa latar belakang kemunculan wahabiyah tidak dapat

dilepaskan dari tiga kondisi umat Islam waktu itu; Pertama, politik. Secara politik umat

Islam di seluruh kawasan kekuasaan Islam berada dalam keadaan lemah. Turki Usmani

(kerajaan Ottoman) yang menjadi penguasa tunggal Islam pada saat itu sedang mengalami

kemunduran dalam segala bidang. Banyak daerah kekuasaannya yang melepaskan diri,

terutama di daratan Eropa. Kedua, perilaku keagamaan. Di samping kelemahan politik,

perilaku keagamaan umat di masa itu merupakan faktor yang paling mendorong munculnya

gerakan ini. Pada umumnya, terutama di Semenanjung Arabia, telah terjadi distrosi

pemahaman Alquran. Ketiga, sosial ekonomi. Tumbuh suburnya perilaku keagamaan

semacam ini sesuai dengan tingkat kesejahteraan kebanyakan umat. Kekacauan politik telah

menyebabkan kejahatan timbul di segala tempat. Sistem kabilah merupakan tradisi lama

bagi mayoritas penduduk Nejd dan mayoritas penduduk Semenanjung Arabia. Kabilah-

kabilah yang kuat dapat menguasai jalur perdagangan, sedangkan peduduk pada umumnya

berada dalam kekurangan.

Menurut Hamid (2010/101), munculnya gerakan wahabi tidak bisa dipisahkan dari

gerakan politik, perilaku keagamaan, pemikiran dan social ekonomi umat islam. Mulanya

Muhammad bin Abdul Wahab hidup di lingkungan sunni pengikut madzhab Hanbali,

bahkan ayahnya Syaikh Abdul Wahab bin Sulaiman adalah seorang sunni yang baik, begitu

pula guru-gurunya. Muhammad bin Abdul wahab memang dikenal orang yang haus ilmu. Ia

berguru pada Syeikh Abdullah bin Ibrahim an-N ajdy, Syeikh Efendi ad Daghastany, Ismail

al-Ajlawy, syeikh Abdul lathief al-‘Afalaqy dan Syeikh Muhammad al-‘afalaqy. Di antara

mereka yang paling lama menjadi guru adalah Muhammad hayat Sindhi dan Syeikh

Abdullah al-Najdy. Tidak puas dengan itu ia pergi ke syiria untuk belajar sambil berdagang.

Disana ia menemukan buku-buku karya Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim yang sangat ia

idolakan. Akhirnya ia semakin jauh terpengaruh terhadap dua aliran reformis itu. Tak lama

kemudian ia pergi ke Basrah dan berguru pada Syeikh Muhammad al-majmuu’iyah. Di kota

ini ia menghabiskan mencari ilmu selama empat tahun, sebelum akhirnya ia ditolak

masyarakat karena pandangannya dirasa meresahkan dan bertentangan dengan pandangan

umum yang berlaku di masyarakat setempat. Kemudian Muhammad bin Abdul Wahab

diusir dari tempat tersebut dan menuju ke subuah tempat yang bernama Najd. Di situlah

Abdul Wahab bertemu dengan Abdul Aziz Al Sa’ud yang sedang memerintah Dir’iyyah.

Beliau pun mendapat angin segar, karana Abdul Aziz Al Sa’ud menaungi kehidupannya,

bahkan menjadi pelindung.

Wahabisme dan keluarga Kerajaan Saudi telah menjadi satu kesatuan yang tak

terpisahkan sejak kelahiran keduanya. Wahabisme-lah yang telah menciptakan kerajaan

Saudi, dan sebaliknya keluarga Saud membalas jasa itu dengan menyebarkan paham Wahabi

Page 2: Handout Diskusi Wahabi

ke seluruh penjuru dunia. Mereka menyerang Madinah dan merusak kubah dan hiasan-

hiasan yang ada di kuburan Nabi SAW. Dari Madinah mereka teruskan penyerangan ke

Mekah, disini kiswah sutra yang menutup Ka’bah juga dirusak. Semua itu di anggap bid’ah.

Tetapi pada tahun 1813 ekspedisi yang diutus Muhammad Ali (penguasa wilayah taklukan

Kerajaan Usmani di Mesir) atas perintah dari Sultan Mahmud II (Kerajaan Usmani/Ottoman

di Istanbul) berhasil membebaskan kembali Mekah dan Madinah. Pada saat itu gerakan

Wahabi menjadi sangat lemah bahkan hampir pudar. Gerakan Wahabi mulai bangkit

kembali pada permulaan abad ke-20 di Arab Saudi. Penyokongnya adalah Abdul Aziz ibn

Sa’ud, yang menduduki Mekah pada tahun 1924, serta Jedah dan Madinah setahun

berikutnya. Sejak saat itu aliran dan kekuatan politik Wahabi mempunyai kedudukan yang

kuat di Arab.

Mereka tak segan-segan melakukan tindakan keras dalam menyebarkan pahamnya itu.

Ketika memasuki kota Tha’if pada 1924, kaum wahabi melakukan penjaharan dan menyeret

para qadi (hakim agama) yang menolak paham wahabiyah, dan bahkan membunuh mereka.

Mereka juga meratakan kuburan rasulullah saw dan menghancurkan kuburan para sahabat

serta bangunan kuburan tokoh-tokoh sufi yang sering di kunjungi masyarakat. Perbuatan

yang tidak terpuji ini dilakukan setelah kerjaan Arab Saudi berdiri dan mengambil paham

Wahabiyah sebagai mahdzab resmi Negara.

Merka tidak hanya menolak praktik dan ajaran sufi, bahkan menganggapnya sebagai

bid’ah dan syirik. Memang ini konsekuensi dari sikap teologis Muhammad bin Abdul

Wahab yang tegas dengan prinsip tuhid (pengesaan allah). Begitu juga dengan sikap taqlid

di kalangan umat islam, dianggapnya sebagai penyebab kemunduran islam. Sikap radikal

dalam memurnikan ajaran islam Muhammad bin Abdul Wahab ini oleh sebagai peneliti

islam di sebut gerakan pembaruan islam. Namun, dalam perkembangannya, sikap kritis itu

tidak menular kepada pengikutnya. Mereka malah menjadi fanatic dan terjebak dalam taqlid

kepada Muhammad bin Abdul Wahab. Ajaran pemurnian akidah islam ini dikritik oleh

Sulaiman bin Abdul wahab kakak Muhammad bin Abdul Wahab dalam buku Al-Shawa’iq

Al-IIahiyah. Aliran wahabiyah ini jika diruntut secara historis berasal dari pemikiran dan

fatwa yang di kembangkan oleh Ibnu Taimiyah dan Ahmad bin Hanbal. Dengan dukungan

pemerintah Arab Saudi, ajaran wahabiyah cepat menyebar dan menginspirasi lahirnya

gerakan pembaruan islam Indonesia yang di tandai berdirinya Muhammadiyah dan

persatuan islam.

B. Tokoh-tokoh penting wahabi

1. Muhammad bin Abdul Wahhab (Pendiri Wahabi)

2. Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

3. Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

4. Muhammad Nashiruddin Al-Albani

5. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan

Page 3: Handout Diskusi Wahabi

6. Abdullah bin Abdurrahman bin Jibrin

C. Corak Pemikiran Wahabi

Pemikiran yang dicetuskan oleh Ibn Abdul Wahhab untuk memperbaiki kedudukan umat

Islam timbul sebagai reaksi terhadap paham tauhid yang terdapat di kalangan umat Islam

waktu itu. Gerakan Ibn Abdul Wahhab didorong oleh keinginan untuk memurnikan ajaran

Islam, khususnya dibidang tauhid, yang merupakan pokok ajaran Islam. Ia tidak berhasrat

untuk mengubah ajaran Islam atau mengadakan penafsiran baru tentang wahyu, melainkan

membawa misi pemberantasan unsur-unsur luar (bid’ah dan khurafat) yang masuk ke dalam

ajaran Islam serta mengajak umat Islam untuk kembali kepada bentuk ajaran Islam yang

murni. Yang di maksud dengan ajaran Islam yang murni itu ialah Islam yang dianut dan di

praktikkan pda zaman Nabi Muhammad saw, para sahabat serta tabiin (sampai abad ke-3 H).

Sejalan dengan misi yang di bawanya, pemikiran Ibn Abdul Wahhab hampir seluruhnya

bertemakan pemurnian tauhid.

Ibn Abdul Wahhab memandang tauhid sebagai agama Islam itu sendiri. Dia

berpendapat, keesaan Allah diwahyukan dalam tiga bentuk. Pertama, tauhid ar-rububiyyah,

penegasan keesaan Allah dan tindakan-Nya: Allah sendiri adalah Pencipta, Penyedia dan

Penentu alam semesta. Kedua, tauhid al-asma’ wa al-sifat (keesaan nama dan sifat-sifat-

Nya), yang berhubungan dengan sifat-sifat Allah. Kepunyaan-Nya-lah semua yang ada di

langit, semua yang ada di bumi, semua yang ada di antara keduanya, dan semua yang ada

di bawah tanah(Q.s. Thaha [20]: 6). Aspek ketiga, tauhid al-ilahiyah, menjelaskan hanya

Allah yang berhak di sembah. Penegasan “tidak ada Allah kecuali Allah dan Muhamad

sebagai utusan-Nya” berarti semua bentuk ibadah seharusnya dipersembahkan semata

kepada Allah; Muhamad tidak untuk disembah, tetapi sebagai Nabi, dia seharusnya dipatuti

dan diikuti.

Gerakan ini sangat tidak sepakat dengan lawan-lawannya mengenai

masalah tawassul (perantara). Bagi Muhamad ibn Abdul Wahhab, ibadah merujuk pada

seluruh ucapan dan tindakan lahir dan batin yang dikendaki dan diperintahkan oleh Allah.

Ibn Abdul Wahhab menulis bahwa peminta perlindungan kepada pohon, batu, dan

semacamnya adalah syirik. Dengan kata lain, tidak ada bantuan, perlindungan, ataupun

tempat berlindung kecuali Allah. Perantara oleh pihak lain tidak dapat dilakukan kecuali

siizin Allah atas orang yang diminta menjadi perantara, seseorang yang benar-benar

mengesakan Allah. Kebiasaan mencari perantara dari orang suci yang telah meninggal

adalah terlarang, seperti halnya kesetiaan yang berlebihan tatkala mengunjungi makam

mereka. Memohon Nabi menjadi penghubung kepada Allah juga tidak dapat diterima sebab

Nabi tidak bisa memberi petunjuk kepada orang-orang yang dia inginkan untuk memeluk

Islam tanpa kehendak Allah; dia pun tidak diperbolehkan memintakan ampun dari Allah

bagi mereka yang syirik.

Page 4: Handout Diskusi Wahabi

Doktrin tawasul mendorong Wahhabiyah untuk mengecam keras praktik-praktik

ziarah ke kuburan dan bangunan kubah di dekatnya, sesuatu yang sudah umum dilakukan.

Awalnya, Ibn Abdul Wahhab membolehkan berziarah ke kuburan, dengan syarat dilakukan

sesuai dengan semangat Islam yang sebenarnya, dan ini termasuk tindakan kebajikan serta

patut dipuji. Akan tetapi, Wahhabiyah percaya bahwa banyak orang telah mengubah doa

bagi yang dikubur menjadi memanjatkan doa kepada yang dikubur; kuburan telah berubah

menjadi tempat orang berkumpul untuk menyembah. Pemuja yang berlebihan terhadap jasad

mereka yang memiliki reputasi suci merupakan langkah pertama yang akan membawa

orang-orang untuk kembali menyembah berhala seperti pada masa lampau. Untuk

menghindari perbuatan syirik seperti ini, menurut Wahhabiyah, seluruh makam yang

disucikan itu harus dihancurkan. Kaum Wahhabiyah berpendapat, kuburan harus dibangun

sama rata dengan tanah, dan bahwa tulisan-tulisan, prasasti, serta hiasan-hiasan, ataupun

penerangan di pekuburan tersebut harus dihindari. Kaum Wahabiyyah juga percaya bahwa

mengaku sebagai muslim saja tidak cukup menjadi benteng agar terhindar dari menjadi

musyrik. Seseorang yang telah mengucapkan syahadat, tetapi masih tetap mempraktikan

syirik (seperti yang didefinisikan oleh kaum Wahhabiyah) seharusnya dicela sebagai kafir

dan seharusnya dibunuh.

Konflik antara ijtihad dan taklid adalah perinsip keenam yang menjadi perhatian

Wahhabiyah. Menurut Ibn Abdul Wahhab dan pengikutnya, Allah memerintahkan orang

untuk hanya mematuhi-Nya dan mengikuti ajaran Nabi. Tuntutan Wahhabiyah untuk

mengikuti sepenuhnya Al-Quran dan Sunnah bagi semua muslim adalah juga sebagai

penolakan Wahhabiyah terhadap semua penafsiran imam mazhab empat –termasuk

pandangan- mazhab Wahhabiyah sendiri, Hanbali, yang tidak sesuai dengan Al-Quran dan

Sunnah Nabi. Sebagai upaya pemurnian tauhid ini, secara khusus Ibnu Abdul Wahhab

menyusun kitab at-Tauhid yang memuat pandangan-pandangannya sekitar tauhid, syirik,

dan lain-lain yang menyangkut masalah akidah Islam. Menurutnya kalimat la ilaha illa

Allah (tidak ada Allah selain Allah) tidak cukup hanya diucapkan, tetapi harus di

manifestasikan dengan la ma’bud illa Allah (tidak ada yang di sembah kecuali Allah).

(Lihat, Kitab tauhid alladzi huwa Haqqullah ‘alal ‘ibad, hal. 1-90; al-Syekh Muhamad bin

Abdul Wahhab, ‘Aqidatuhu al-Salafiyyah wa Da’watuhu al-Ishlahiyyah, hal. 1-90; Aqidah

al-syekh Muhamad bin Abdul Wahhab al-Salafiyyah wa Atsaruha fi al-‘Alam al-Islami, I:1-

970, II:1-588; al-Rasail al-Syakhshiyah li al-Syekh Muhamad bin Abdul Wahhab, hal 1-146)

Dari konsep pemikiran di atas tampak jelas bahwa pada hakikatnya Wahhabiyyah

tidak membawa konsepsi pemikiran baru tentang Islam dan umat, khususnya tentang aqidah.

Mereka melakukan reaktualisasi konsepsi pemikiran Taqiyuddin Ibn Taimiyah (1263-1328

M) dalam bentuk yang berbeda. Cara persuasif yang dilakukan Ibn Taimiyah dalam

mencetuskan pemikirannya dirasakan oleh Ibnu Abdul Wahab tidak efektif. Maka ia

mengambil sikap keras dalam menggunakan kekuatan. Wahhabiyah, sebagaimana Ibn

Page 5: Handout Diskusi Wahabi

Taimiyyah, menggunakan prosedur-prosedur yang ketat untuk mengarahkan pembahasan

mengenai masalah-masalah doktrinal. Untuk menjawab pertanyaan yang berhubungan

dengan persoalan agama, mereka pertama-tama mencari jawabannya pada ayat-ayat Al-

Quran dan Hadis, dan menetapkan jawaban sesuai dengan kedua sumber tersebut.  Apabila

rujukan tidak ditemujan pada ayat-ayat tersebut, mereka mencari konsensus di kalangan

“kaum terdahulu yang saleh”, khususnya para sahabat dan tabi’in, seta ijma para ulama.

Namun, ijma dibatasi hanya yang sejalan dengan Al-Quran dan Hadis. Meskipun

Wahhabiyah mengikuti Madzhab Hanbali, mereka tidak menerima pandangan-

pandangannya sebagai jawaban yang final. Apabila terdapat tafsiran Hanbali terbukti salah,

pendapat itu harus ditinggalkan. Untuk mendukung pendapat mereka, kaum Wahhabiyah

mengutip ayat-ayat Al-Quran yang menunjukan bahwa Al-Quran dan Hadis sebagai satu-

satunya dasar penetapan fiqih (hukum Islam). (Lihat, Bahtsun Haula al-Syekh Muhamad bin

Abdul Wahhab wa Harakatuh al-Mujaddiduh, hal. 1-31; Al-Mausu’ah al-Muyassarah fi al-

Adyan wa al-Madzahib, I:164-172)

D. Wahabi dan Ahlussunnah wal jama’ah

Para ulama sunni pun memberikan kritik terhadap aliran wahabiyah ini. Diantaranya

Abdullah bin Lathif Syafii menulis kitab “tajrid syaiful al-jihad lil mudda’I al-ijtihad”,

Afiffudin Abdullah bin dawud hanbali menulis kitab “as-awa’iq wa al-ruduud”, Muhammad

bin Adurahman bin Afalik Hanbali menulis kitab “tahkamu al-muqalladin biman ad’I

tajdidi ad-diin”, Ahmad bin Ali bin Luqbaani Basri dan Syaikh Atha’ allah Makki yang

menulis kitab “al-aarimul al-hindi fi unuqil najdi”.

Mungkin orang-orang  yang awam tidak begitu menyadari perbedaan  besar antara

akidah yang dijalani Ahlusunnah wal jamaah dengan Akidah Ala Wahabi. Sehingga

sebagian diantarnya ada yang berhujah dengan keduanya karna tidak bisa membedakannya

dan akibatnya terjadi kerancuan bahkan menimbulkan kesalah pahaman yang makin besar.

Orang-orang semacam ini hanya mengikuti saja pendapat sebagian orang  tanpa berfikir jauh

jika ada hal yang salah dalam pemahamnnya.Lucunya lagi ada yang mengaku Ahlusunnah

wal jama`ah, namun apa yang ia sampaikan, justru paham Wahabi. Ada pula wahabi

wahabian alias pengikut taqlid yang sebenarnya tidak banyak paham akidah wahabi namun

kemudian malah apa yang ia utarakan justru paham paham Ahlususnnah wal jama`ah yang

dia anggap itu ajaran wahabi.dan celakanya lagi ia ngotot mempertahankannya degan

mengatakan “ Inilah akidah wahabi yang benar”.

Untuk memahami apa sebenarnya yang menjadi pokok persoalan antara Ahlusunnah

wal Jam`ah dengan Wahabi, berikut ini penjelasan beberapa dari permasalahan itu.

1. Maha Suci Allah daripada bersifat duduk atau bersemayam

Aswaja Menganggap atau mengatakan bahwa Allah duduk atau bersemayam di atas arasy

atau di atas kursi Adalah suatu hal yang keliru karna yang demikian itu adalah sifat

makhluk Allah bukan sipat Allah. Aswaja berlandaskan pada Firman Allah Ta’ala: "Dia

Page 6: Handout Diskusi Wahabi

(Allah) tidak menyerupai sesuatu pun daripada makhlukNya,baik dari satu segi maupun

dari semua segi, dan tidak ada sesuatu pun yang menyerupaiNya" (Asyura ayat:11).

Adapun Wahabi menyamakan Allah dengan manusia dan juga binatang. Mereka

berkata:“Allah duduk di atas kursi”.

2. Maha suci Allah daripada anggota dan jisim

Allah Ta’ala tidak sama dengan makhlukNya, Dia tidak mempunyai anggota dan jisim

sebagaimana Yang dimiliki oleh makhluk. Hal ini didasari dengan Firman Allah Ta’ala

“Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatu pun dari makhlukNya baik dari satu segi maupun

dari semua segi, dan tidakada sesuatu pun yang menyerupaiNya", (Asyura ayat:11).

Sedangkan Ibnu Baz yang merupakan tokoh/ulama besar wahabi mengatakan bahwa

“penafian jisim dan anggota bagi Allah adalah suatu yang dicela”.

3. Tentang  Abu jahal dan Abu lahab

Kalangan Aswaja berpendapat bahwa Abu jahal dan Abu lahab bukanlah dari kalangan

orang Islam sebagaimana di jelaskan dalam Al-qur’anul kariim dan tidak bisa

terbantahkan. Adapun Wahabi mengatakan bahwa Abu jahal lebih mulia dan

mengamalkan serta  peng-ESA-an tauhid mereka kepada Allah daripada orang Islam 

umumnya yang mengucap dua kalimah syahadah. (yang dimaksudkan dengan orang

Islam di sini ialah mereka yang bertawassul dengan wali-wali dan para solihin dimana

pengertian tawasul menurut wahabi seperti menyembah berhala, batu, orang mati atau

sejenisnya ).

4. Madzhab

Aswaja berpendapat bahwa 4 madzab adalah generasi penerus akidah  Ulama Salaf

sebagaimana  penjelasn sunnah Rasullullah yang menjadi pembimbing umat islam kearah

yang benar menurut sunnah Rasulullah dan  bukan syirik. Hal ini berdasarkan pada ijma’

kebanyakan ulama (jumhur ulama’). Sedangkan Wahabi tidak mengakui terhadap

keberadaan mazhab dan mengatakan bahwa yang demikian adalah bagian dari taqlid yang

berpotensi pada kesyirikan.

Ada  banyak sekali perbedaan antara keduanya..terutama memahami perkara Bid`ah walaupun

keduanya  sama sama sepakat mengakui adanya Bid`ah dan pada uraian ini hanya sekedar

bahan renungan kita atas hujah hujah para Ulama Ahlsuunnah wal jama`ah dan Wahabi.

Beberapa ulama menulis secara khusus tentang gerakan wahabi, diantaranya:

1. Penolakan pada paham Wahabiyah ( الوهابية علي ditulis oleh Sulaiman bin Abdul ( الرد

Wahab yang merupakan saudara kandung Muhammad bin Abdul Wahab sendiri.

2. Ini dia Gerakan Wahabi ( �ة الوه�ابي هي .oleh Muhammad Jawad Mugniyah (هذه

3. Para Wahabi dan Tugas Membajak ( القرصنة فريضة و (الوهابيون

4. Petir Ilahi dalam Menolak Paham Wahabi ( الوهابية علي الرد في اإللهية (الصواعق

5. Bahaya Wahabi pada Umat Islam ( ( عبد ( أحمد للدكتور اإلسالمية األمة على الوهابية خطر

السايح .oleh Muhammad Abdurrahim (الرحيم

Page 7: Handout Diskusi Wahabi

Buku-buku tersebut hanyalah sebagian kecil dari buku-buku yang ditulis oleh para ulama

semasanya sebagai upaya untuk membendung paham wahabi yang merusak umat.

E. Wahabi di Indonesia

Gerakan wahabi masuk ke indonesia, menurut beberapa sejarawan, dimulai pada masa

munculnya gerakan padri sumatera barat pada awal abad xix. Beberapa tokoh minangkabau

yang tengah melaksanakan ibadah haji melihat kaum wahabi menaklukkan mekah dan

madinah yang pertama pada tahun 1803-1804. Abna. (2012). mereka sangat terkesan dengan

ajaran tauhid dan syariat wahabiyah dan bertekat menerapkannya apabila mereka kembali ke

sumatera. Tiga di antara mereka adalah haji miskin, haji sumanik, dan haji piobang.

Jejak gerakan Wahabi (Salafi) di Indonesia sebenarnya sudah ada pada abad ke 18

dengan corak ragam yang berbeda-beda dalam cara dan bentuknya sesuai dengan perbedaan

kemampuan tokoh-tokohnya serta lingkungan dimana mereka berada, namun demikian

gerakan-gerakan tersebut menuju satu sasaran yang sama dan berjuang dibawah satu

semboyan yaitu kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah serta kembali ke jalan kaum

Salaf. Karena itu, sebagian orang menamakan gerakan-gerakan tersebut dengan nama

gerakan Salafiah. Hisyam (2013)

Gerakan Wahabi (Salafi) di Indonesia dimulai dengan kelahirannya di Sumatera, salah

satu lima pulau terbesar di Indonesia, pada tahun 1802 atas inisiatif beberapa orang Haji dari

umat Islam di pulau Sumatera tersebut yang kembali dari Mekkah yang setelah mereka

disana mengadakan hubungan dengan tokoh-tokoh Wahabi (ini nama yang diberikan oleh

para penentangnya), merekapun merasa puas akan kebenaran Dakwah Wahabi (Salafi) dan

mengikutinya. Pada tahun 1905, penyebaran ajaran Wahabi diperkuat oleh datangnya

Ahmad Surkati, ulama Wahabi keturunan Arab-Sudan. Melihat perlawanan yang cukup

keras dari mayoritas penganut Ahlussunnah Wal Jamaah, terlebih setelah berdirinya

Nahdlatul Ulama pada 1926 yang diprakarsai Hasyim Asy’ari, penyebaran ajaran

Wahabiyah lebih condong dilakukan melalui jalur pendidikan, dengan mendirikan sekolah-

sekolah semi modern.

Menurut Ensiklopedi Islam, meski sempat melemah di Arab Saudi, ajaran Wahabi

justru telah tersebar luas ke berbagai negara seperti India, Sudan, Libya serta ke Indonesia.

Penyebaran aliran Wahabi ke wilayah Nusantara dibawa oleh para haji yang baru pulang

menunaikan rukun Islam kelima di Tanah Suci. Salah satunya melalui kaum Padri di

Minangkabau yang dikembangkan tiga tokoh. Ketiga tokoh yang tertarik dengan ajaran

Wahabi itu adalah Haji Miskin dari Lu(h)ak Agam, Haji Abdur Rahman dari Piobang,

bagian dari Lu(h)ak Limah Puluh Kota, dan Haji Muhammad Arief dari Sumanik,

Batusangkar.

Daftar Bacaan:

Page 8: Handout Diskusi Wahabi

1. Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jilid-3, Ichtiar Baru Van Hoeve,

Jakarta, 1997.

2. Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jilid-5, Ichtiar Baru Van Hoeve,

Jakarta, 1997.

3. Nurcholis Madjid, Khazanah Intelektual Islam, PT. Bulan Bintang, Jakarta, Cet. Ke-3,

1984

4. Aboebakar Aceh, Prof. DR. H., Sejarah Filsafat Islam, CV. Ramadhani, Cet. ke-4, 1991.

5. Buku-buku Hasan Hanafi